PENERAPAN SANKSI TINDAKAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat)
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Untuk memperoleh gelar SARJANA HUKUM
Oleh :
RINI SRI WAHYUNI 050200252 HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR Bismillaahirrahmanirrahim. Syukur Alhamdulillah Penulis panjatkan yang tiada henti-hentinya akan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun dan diajukan untuk melengkapi tugas-tugas akhir dan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul skripsi ini adalah : “PENERAPAN
SANKSI
TINDAKAN
TERHADAP
ANAK
SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat)” Penulis menyadari bahwa di dalam pelaksanaan pendidikan ini banyak mengalami kesulitan maupun hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari Dosen Pembimbing maka Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih banyak terdapat kelemahan serta kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan adanya suatu masukan serta saran yang bersifat membangun di masa yang akan datang. Penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Ayahanda Kompol Suwarno dan Ibunda Sri Hastuti Tercinta. Sembah sujud Penulis atas curahan dan kasih sayang yang tulus dan dengan susah payah serta segala upaya telah membesarkan dan mendidik Penulis hingga Penulis dapat menyelesaikan studi di Perguruan Tinggi. Dan tak lupa Penulis sampaikan terima Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
kasih kepada Adik-adik tersayang, Rika Agustina dan Lidya Pratidina. Penulis berharap Penulis dapat menjadi panutan untuk kalian saat ini dan di masa yang akan datang. Dalam penulisan skripsi ini, Penulis juga banyak menerima bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S. H, M. Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara . 2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S. H, M. Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara . 3. Bapak Syafuddin Hasibuan, S. H, M. H, DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara . 4. Bapak M. Husni, S. H, M. Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara . 5. Bapak Abul Khair, S. H, M. Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan dan sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I Penulis atas bimbingan dan dukungan Bapak selama ini kepada Penulis. 6. Ibu Rafiqoh Lubis, S. H, M. Hum selaku Dosen Pembimbing II Penulis atas perhatian dan bimbingan Ibu kepada Penulis selama penulisan skripsi ini. 7. Ibu Nurmalawaty, S. H, M. Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bimbingan kepada Penulis.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
8. Ibu Megarita, S. H, CN, M. Hum selaku Dosen Penasehat Akademik selama Penulis menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. 9. Seluruh Staf Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 10. Seluruh Bapak dan Ibu Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 11. Seluruh Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 12. Pengadilan Negeri Stabat yang telah memberikan data pada Penulis yang mendukung penyelesaian skripsi ini. 13. Buat semua Keluarga Besarku di Medan dan Tebing Tinggi yang telah memberikan semangat kepada Penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 14. Buat Abang-abang, Kakak-kakak, Adik-adik dan Teman-teman BTM Alladinsyah SH dari Stambuk 2002-2008 yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu. 15. Buat semua Kakanda, Adik-adik, dan Teman-teman HMI Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan dari Stambuk 2002-2008. 16. Buat seluruh Teman-teman Stambuk 2005, dan khususnya Teman-teman Departemen Hukum Pidana Stambuk 2005 yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu. 17. Buat Sahabat-sahabat terbaik yang selalu memberikan doa, dukungan baik moril maupun spiritual, semangat, dan segala sesuatu yang Penulis tidak dapat melupakannya (Nova Yusmira, SH., Syarifa Yana, Sarah Ayu Diningtyas Zai,
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Angreni Fajrin Dalimunthe, Febrina Anindha, Irma Latifah Sihite, dan MayaSari). 18. Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada Penulis dalam menyusun skripsi ini, namun Penulis tidak dapat menyebutkannya satu per satu. Demikianlah yang dapat Penulis sampaikan, atas segala kesalahn dan kekurangan, Penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Atas perhatiannya Penulis ucapkan terima kasih.
Medan, Maret 2009
Penulis, Rini Sri Wahyuni
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ....................................................................................... i Daftar Isi ................................................................................................ v Abstraksi ................................................................................................ vii BAB I. PENDAHULUAN A. . Latar Belakang .....................................................................
1
B. Perumusan Masalah ..............................................................
5
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ..............................................
5
D. Keaslian Penulisan ................................................................ 6 E. Tinjauan Kepustakaan .......................................................... 7 1. Pengertian Pidana, Tindakan dan Sanksi Tindakan Dibeberapa Negara ..................................................... 7 2. Pengertian Anak dan Batas Usia Anak ..................... 15 3. Pengertian Peradilan Anak dan Bentuk Peradilan Anak .................................................................................. 18 4. Fungsi dan Tujuan Peradilan Anak ............................ 23 F. Metode Penelitian ................................................................. 27 G. Sistematika Penulisan ........................................................... 29
BAB II.
PENGATURAN MENGENAI SANKSI TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA DITINJAU DARI BEBERAPA HUKUM POSITIF DI INDONESIA
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
A. Ditinjau dari Undang-undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak ..................................................................................... 31 B. Ditinjau
dari Undang-undang
No.
23
Tahun 2002
Tentang
Perlindungan Anak ............................................................... 49 C. Ditinjau dari Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ................................................................................ 62
BAB III. PENERAPAN
SANKSI
TINDAKAN
TERHADAP
ANAK
PELAKU TINDAK PIDANA A. Kasus Posisi ............................................................................ 84 B. Dakwaan ................................................................................. 86 C. Tuntutan Pidana ...................................................................... 90 D. Putusan .................................................................................... 91 E. Fakta hukum ............................................................................ 91 F. Analisis kasus .......................................................................... 95
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan .......................................................................... 103 B. Saran .................................................................................... 105
DAFTAR PUSTAKA Lampiran
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
ABSTRAKSI Rini Sri Wahyuni1 Abul Khair, SH, M.Hum** Rafiqoh Lubis, SH, M.Hum** Anak sebagai bagian dari generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Untuk itu diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan anak dan bangsa di masa depan. Akan tetapi, pada kenyataannya terkadang dijumpai penyimpangan perilaku dikalangan anak, bahkan ada pula yang melakukan perbuatan melanggar hukum. Untuk itu diperlukan sanksi yang mengaturnya. Skripsi ini membahas beberapa permasalahan yang terkait dengan pengaturan mengenai sanksi terhadap anak pelaku tindak pidana dari beberapa hukum positif di Indonesia, diantaranya UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam skripsi ini juga membahas tentang penerapan sanksi tindakan terhadap anak pelaku tindak pidana yang ditinjau dari putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat. Penulisan skripsi ini menggunakan spesifikasi penelitian dengan metode penelitian hukum normatif dengan melakukan penelitian terhadap bahan-bahan hukum berupa data sekunder. Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan yang dianalisis dengan metode kualitatif untuk menjawab permasalahan yang di dalam skripsi ini.
* Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, diperlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa depan. Dalam berbagai hal upaya pembinaan dan perlindungan tersebut, dihadapkan pada permasalahan dan tantangan dalam masyarakat dan kadangkadang dijumpai penyimpangan perilaku di kalangan anak, bahkan lebih dari itu terdapat anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum, tanpa mengenal status sosial dan ekonomi. Di samping itu, terdapat pula anak, yang karena satu dan lain hal tidak mempunyai kesempatan memperoleh perhatian baik secara fisik, mental, maupun sosial. Karena keadaan diri yang tidak memadai tersebut, maka baik sengaja maupun tidak sengaja sering juga, anak melakukan tindakan atau berperilaku yang dapat merugikan dirinya dan atau masyarakat. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Selain itu, anak yang kurang atau tidak memperoleh
kasih
sayang,
asuhan,
bimbingan
dan
pembinaan
dalam
pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali, atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya. Dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan tingkah laku Anak Nakal, perlu dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang khas. Walaupun anak telah dapat menentukan sendiri langkah perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan, dan kehendaknya, tetapi keadaan sekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya. Oleh karena itu, dalam menghadapi masalah Anak Nakal, orang tua dan masyarakat sekelilingnya seharusnya lebih bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan pengembangan perilaku anak tersebut. Hubungan antara orang tua dengan anaknya merupakan suatu hubungan yang hakiki, baik hubungan psikologis maupun mental spiritualnya. Mengingat ciri dan sifat anak yang khas tersebut, maka dalam menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap Anak Nakal diusahakan agar anak dimaksud jangan dipisahkan dari orang tuanya. Apabila karena hubungan antara orang tua dan anak kurang baik, atau karena sifat perbuatannya sangat merugikan masyarakat sehingga perlu memisahkan anak dari orang tuanya, hendaklah tetap dipertimbangkan bahwa
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
pemisahan tersebut semata-mata demi pertumbuhan dan perkembangan anak secara sehat dan wajar. Di samping pertimbangan tersebut di atas, demi pertumbuhan dan perkembangan mental anak, perlu ditentukan pembedaan perlakuan di dalam hukum acara dan ancaman pidananya. Penjatuhan pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak diberlakukan terhadap anak. Khusus mengenai sanksi terhadap anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) sampai 12 (dua belas) tahun hanya dikenakan tindakan, seperti dikembalikan kepada orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial, atau diserahkan kepada negara, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai umur di atas 12 (dua belas) sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Pembedaan perlakuan tersebut didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak. Mengingat ciri dan sifat yang khas pada anak dan demi perlindungan terhadap anak, maka perkara Anak Nakal, wajib disidangkan pada Pengadilan Anak yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Dengan demikian, proses peradilan perkara Anak Nakal dari sejak ditangkap, ditahan, diadili, dan pembinaan selanjutnya, wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang benar-benar memahami masalah anak. Dalam penyelesaian perkara Anak Nakal, Hakim wajib mempertimbangkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan yang dihimpun oleh Pembimbing Kemasyarakatan mengenai data pribadi maupun keluarga dari anak yang bersangkutan. Dengan adanya hasil laporan tersebut, diharapkan Hakim dapat memperoleh gambaran yang tepat untuk memberikan putusan yang seadiladilnya bagi anak yang bersangkutan. Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Putusan hakim akan mempengaruhi kehidupan selanjutnya dari anak yang bersangkutan, oleh sebab itu Hakim harus yakin benar, bahwa putusan yang diambil akan dapat menjadi salah satu dasar yang kuat untuk mengembalikan dan mengantar anak menuju masa depan yang baik untuk mengembangkan dirinya sebagai warga yang bertanggung jawab bagi kehidupan keluarga, bangsa dan negara. Untuk lebih memantapkan upaya pembinaan dan pemberian bimbingan bagi Anak Nakal yang telah diputus oleh Hakim, maka anak tersebut ditampung di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Berbagai pertimbangan tersebut di atas serta dalam rangka mewujudkan peradilan yang memperhatikan perlindungan dan kepentingan
anak,
maka
perlu
diatur
ketentuan-ketentuan
mengenai
penyelenggaraan pengadilan yang khusus bagi anak dalam lingkungan Peradilan Umum. 2
Dengan demikian, Pengadilan Anak diharapkan memberikan arah yang tepat dalam pembinaan dan perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana.
B. Perumusan Masalah Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Bagaimana pengaturan mengenai sanksi terhadap anak pelaku tindak pidana ditinjau dari beberapa hukum positif di Indonesia. 2. Bagaimana penerapan sanksi tindakan terhadap anak pelaku tindak pidana pada kasus Raju di Pengadilan Negeri Stabat. 2
Gatot Supramono. Hukum Acara Pengadilan Anak. Jakarta:PT. Djambatan, 2007.
hlm. 11-12. Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah: a. Untuk mengetahui pengaturan mengenai sanksi tindakan ditinjau dari beberapa hukum positif di Indonesia. b. Untuk mengetahui penerapan sanksi tindakan terhadap anak pelaku tindak pidana dalam kasus Raju di Pengadilan Negeri Stabat.
2. Manfaat Penulisan Manfaat yang diperoleh dari penulisan skripsi ini yaitu : a. Manfaat Teoritis. Skripsi ini diharapkan akan dapat memberi masukan bagi ilmu pengetahuan serta dapat membantu pembaca untuk lebih mengerti dan memahami tentang anak sebagai pelaku tindak pidana dan penerapan sanksi terhadapnya, khususnya sanksi tindakan berdasarkan hukum positif di Indonesia. b. Manfaat Praktis. Pembahasan skripsi ini diharapkan dapat menambah wawasan pembaca mengenai sanksi tindakan terhadap anak pelaku tindak pidana, dan sebagai pedoman serta bahan rujukan bagi akademisi dan praktisi hukum dalam membedakan sanksi-sanksi yang dapat dikenakan kepada anak pelaku tindak pidana dengan tetap melindungi hak-hak asasi anak yang hakiki dan kepentingan mereka di masa depan.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
D. Keaslian Penulisan Topik Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana diangkat Penulis karena ketertarikan Penulis terhadap kenakalan anak yang belakangan ini sering terjadi di tengah-tengah masyarakat. Skripsi dengan judul Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku tindak Pidana ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini asli merupakan hasil karya Penulis sendiri, kalaupun ada judul yang sama atau menyerupai Penulis meyakini bahwa substansi dari isinya berbeda. Penulis menyusun skripsi ini dari referensi buku-buku, makalah-makalah, media cetak dan elektronik serta bantuan dari berbagai pihak.
E. Tinjauan Kepustakaan 1.
Pengertian Pidana, Tindakan dan Sanksi Tindakan di Beberapa
Negara. Pada dasarnya pidana dan tindakan adalah sama, ialah berupa penderitaan. Perbedaannya hanya terletak, penderitaan pada tindakan lebih kecil atau ringan dari pada penderitaan yang diakibatkan oleh penjatuhan pidana. Menjalani pendidikan/ pembinaan anak karena putusan hakim yang menjatuhkan tindakan ii adalah lebih ringan dari pada menjalani pidana penjara. Pidana berasal dari kata straf
(Belanda), yang disebut juga dengan
istilah hukuman. Walaupun istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. Pidana didefnisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja diajtuhkan/ diberikan oleh Negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
(sanksi) baginya atas perbuataannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. 3 Wujud-wujud penderitaan yang dapat dijatuhkan oleh negera itu telah ditetapkan dan diatur secara rinci, baik mengenai batas-batas dan cara menjatuhkan na serta dimana dan bagaimana cara menjalankannya. Mengenai wujud jenis penderitaan itu dimuat dalam pasal 10 KUHP. Tetapi wujud dan batas-batas berat ringannya dalam menjatuhkannya dimuat dalam rumusan mengenai masing-masing larangan dalam hukum pidana yang bersangkutan. Pidana dalam hukum pidana adalah suatu alat dan bukan tujuan dari hukum pidana, yang apabila dilaksanakan tiada lain adalah berupa penderitaan atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut terpidana. Tujuan utama hukum pidana adalah ketertiban, yang secara khusus dapat disebut terhindarnya masyarakat dari perkosaan-perkosaan terhadap kepentingan hukum yang dilindungi. Di samping sanksi pidana, juga dikenal adanya tindakan. Tindakan merupakan penjatuhan sanksi tindakan kepada seseorang yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk memberikan pembinaan, perawatan dan tindakan tertentu lainnya. Terhadap anak nakal yang belum berumur 12 (dua belas) tahun dan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a. Yang diancam dengan pidana penjara sementara waktu, tidak diancam dengan hukuman mati/seumur hidup dijatuhkan sanksi akan tetapi dikenakan sanksi 3
Drs. Adami Chazawi, S. H. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002), hlm. 24. Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
berupa tindakan. Untuk dapat diajukan ke depan sidang Pengadilan Anak, maka anak nakal minimum telah berumur 8 (delapan) tahun dan maksimum 18 (delapan belas) tahun. Sementara anak yang belum berumur 8 (delapan) tahun, walaupun melakukan tindak pidana belum dapat diajukan ke sidang Pengadilan Anak. Ini didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis dan paedagogis, bahwa anak yang
belum
berumur
8
(delapan)
tahun
itu
belum
dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Akan tetapi dalam hal anak melakukan tindak pidana dalam batas umur 8 (delapan) tahun, akan tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun maka ia diajukan ke depan sidang Pengadilan Anak. Sanksi terhadap anak nakal yang melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 huruf a Undang-undang No. 3 Tahun 1997 dan anak yang melakukan perbuatan terlarang bagi anak sesuai Pasal 1 angka 2 huruf b Undang-undang No. 3 Tahun 1997 dapat diberi tindakan disertai dengan teguran dan syarat-syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim. Syarat tambahan itu misalnya kewajiban untuk melapor secara periodic kepada Pembimbing Kemasyarakatan. Untuk menentukan apakah si anak akan dikenakan pidana (Pasal 23 Undang-undang No. 3 Tahun 1997) atau tindakan (Pasal 24 Undang-undang No. 3 Tahun 1997) haruslah dengan memperhatikan berat ringannya kejahatan atau kenakalan yang dilakukan. Selain itu juga wajib memperhatikan keadaan anak, keadaan rumah tangga orang tua/wali/orang tua asuhnya, hubungan antara anggota
keluarga,
keadaan
penghuninya
dan
memperhatikan
Laporan
Pembimbing Kemasyarakatan Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Adapun tindakan yang dapat dikenakan kepada anak nakal (Pasal 24 Undang-undang No. 3 Tahun 1997) adalah sebagai berikut : 4 a) Mengembalikan kepada orang tua/wali/orang tua asuh. Anak nakal dijatuhi tindakan dikembalikan kepada orang tua wali/orang tua asuh, apabila menurut penilaian hakim si anak masih dapat dibina di lingkungan orang tuanya/wali/orang tua asuhnya. Namun demikian si anak tersebut tetap di bawah pengawasan dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan antara lain untuk mengikuti kegiatan kepramukaan, dan lain-lain. b) Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Pada hakekatnya, jenis tindakan tersebut di atas dapat dijatuhkan Hakim kepada Anak Nakal yang melakukan tindak pidana (Pasal 1 angka 2 huruf a UU No. 3 Tahun 1997). Konkretnya, secara teoritik dan praktik penjatuhan tindakan sebagaimana ketentuan Pasal 24 ayat (1) huruf b UU No. 3 Tahun 1997 ini dilakukan apabila Hakim berpendapat bahwa orang tua, wali, atau orang tua asuh tidak dapat memberikan pendidikan dan pembinaan yang lebih baik, maka Hakim dapat menetapkan anak tersebut ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Latihan kerja dimaksudkan untuk memberikan bekal kekal keterampilan kepada anak, misalnya dengan memberikan keterampilan mengenai pertukangan, pertanian,
4
Darwan Prinst. Hukum Anak Indonesia. Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hlm.
28-29. Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
perbengkelan, tat arias, dan sebagainya sehingga setelah selesai menjalani tindakan dapat hidup mandiri. c) Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan letihan kerja. Secara teoritik dan praktik, apabila Anak Nakal wajib mengikuti pendidikan, keputusannya
pembinaan, sekaligus
dan
latihan
menentukan
kerja lembaga
maka
Hakim
tempat
dalam
pendidikan,
pembinaan dan latihan kerja tersebut dilaksanakan (Pasal 32 UU No. 3 Tahun 1997). Pada prinsipnya pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja diselenggarakan oleh Pemerintah di Lembaga Pemasyarakatan Anak atau Departemen Sosial, tetapi dalam hal kepentingan anak menghendaki, hakim dapat menetapkan anak yang bersangkutan diserahkan kepada Organisasi Kemasyarakatan, seperti pesanteren, panti sosial, dan lembaga sosial lainnya dengan memperhatikan agama anak yang bersangkutan. Di samping tindakan yang dikenakan kepada anak nakal, juga disertai dengan teguran dan syarat-syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim sesuai Pasal 24 ayat (2) UU No 3 Tahun 1997. Teguran itu berupa peringatan dari hakim baik secara langsung terhadap anak, atau tidak langsung melalui orang tuanya, walinya atau orang tua asuhnya. Maksud dari teguran ini, agar anak nakal tidak lagi mengulangi perbuatan yang mengakibatkan ia dijatuhi tindakan. Sementara syarat tambahan, misalnya kewajiban untuk melapor secara periodic kepada Pembimbing Kemasyarakatan, misalnya seminggu sekali, sebulan sekali atau pada hari-hari tertentu. Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
2. Pengertian Anak dan Batas Usia Anak Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian “Anak” dimata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig/ person under age), orang yang di bawah umur/ keadaan di bawah umur (minderjarigheid/ inferiority) atau sering juga disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali (minderjarige ondervoordij). 5 Maka dengan bertitik tolak kepada aspek tersebut di atas ternyata hukum positif Indonesia (ius constitutum/ ius operatum) tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku secara universal untuk menentukan kriteria batasan umur bagi seorang anak. Apabila dijabarkan lebih terperinci maka ada beberapa batasan umur dari hukum positif Indonesia tentang batasan umur bagi seorang anak yaitu: 1. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Dalam ketentuan Pasal 1 Ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 yang dimaksud dengan “Anak” adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. 2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Berdasarkan ketentuan pasal 47 Ayat (1) dan pasal 50 Ayat (1), yanag disebut dengan “Anak” adalah yang belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaannya. 6
5
Lilik Mulyadi. Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktik dan Permasalahannya. Bandung: CV. Mandar Maju. 2005. hlm. 3 6 Prof. R. Subekti, S. H. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta: PT Pradnya Paramita., 2001. hlm. 551. Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1981 pasal 171 Ayat (1) batasan umur anak di sidang pengadilan yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah anak yang umurnya belum cukup 15 (lima belas) tahun dan belum pernah kawin. 4. Kitab Undang-undang Hukum Perdata Berdasarkan ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata maka yang disebut “Anak” adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21(dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. 7 5. Hukum Adat dan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Dalam Hukum Adat Indonesia maka batasan umur untuk disebut anak bersifat pluralistis. Dalam artian kriteria untuk menyebut bahwa seseorang tidak lagi disebut anak dan telah dewasa beraneka ragam istilahnya. Ada yang menyebutnya “telah kuat gawe”, “akil baligh”, “meneg bajang” dsb. Sedangkan menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang berorientasi kepada hukum adat di Bali menyebutkan batasan umur anak adalah di bawah 15 (lima belas) tahun. 8 6. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Menurut ketentuan Pasal 45 KUHP maka yang disebut Anak adalah orang yang berumur di bawah 16 (enam belas) tahun. 9 Terhadap hal ini baik secara teoritik dan praktik maka apabila anak melakukan tindak pidana, hakim
7
Ibid, hlm. 90 Lilik Mulyadi. Op.cit., hlm. 6 9 R. Soesilo. Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentarnya Pasal demi Pasal. Bogor: Politea, 1993. hlm. 61 8
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
dapat menentukan anak tersebut dikembalikan kepada orang tuanya, wali atau pemeliharanya tanpa penjatuhan pidana, diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana sebagai anak Negara atau juga dapat dijatuhi pidana. akan tetapi ketentuan Pasal 45, 46, dan 47 berdasarkan ketentuan Pasal 47 UU No. 3 Tahun 1997 dinyatakan tidak berlaku lagi. Sedangkan apabila ditinjau batasan anak dalam KUHP sebagai korban kejahatan sebagaimana Bab XIV ketetntuan Pasal 287, 290, 292, 294, dan 295 KUHP adalah beumur kurang dari 15 (lima belas) tahun. 7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 yang dimaksud dengan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. 8. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 yang dimaksud dengan Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
4. Pengertian Peradilan Anak dan Bentuk Peradilan Anak Secara harfiah “Peradilan Anak” terdiri dari dua kata yaitu “peradilan” dan “anak”. Arti Peradilan. Menurut kamus bahasa Indonesia Peradilan berarti “segala sesuatu yang berkenaan dengan Pengadilan”. 10 Dengan demikian secara sempit “Peradilan”
10
Daryanto. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. (Surabaya: Apollo.1998). hlm. 17
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
adalah hal-hal yang menyangkut hukum acara yang hendak mempertahankan materiilnya. Sedangkan secara luas adalah kejadian-kejadian/ hal-hal yang terjadi terhadap suatu perkara termasuk proses penerapan hukum acara dalam mempertahankan materiilnya. 11 Secara sosiologis “peradilan” merupakan Lembaga Kemasyarakatan atau suatu institusi sosial yang berproses untuk mencapai keadilan. Alasan bahwa peradilan sebagai lembaga sosial berdasar pada pengertian dari lembaga sosial adalah: “Suatu lembaga kemasyarakatan merupakan himpunan dari pada kaidahkaidah dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat”. Secara yuridis “peradilan” merupakan kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan peradilan. Dalam peradilan terkait beberapa lembaga yaitu kejaksaan, kepolisian, kehakiman, lembaga pemasyarakatan, bantuan hukum, dalam mewujudkan perlindungan dan keadilan bagi setiap warga Negara. 12 Pandangan filosofis peradilan berhubungan erat dengan konsepsi keadilan. Keadilan pada dasarnya merupakan nilai tertinggi di antara segala nilai yang ada dalam hubungan antara manusia dan masyarakat. Keadilan merupakan integritas dari berbagai nilai kebijaksanaan yang telah, sedang dan selalu diushakan untuk dicapai pada setiap waktu dan segala bidang serta masalah yang dihadapi. Konsepsi ini berkembang selaras dengan berkembangnya rasa keadilan dunia dan peardaban manusia.
11
Agung Wahyono, S. H dan Siti Rahayu, S. H. TInjauaun tentang Peradilan Anak di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 1993). hlm. 14 12 Dr. Maidin Gultom, S. H, M. Hum. Perlindungan Hukum Terhadap Anak. Bandung: PT Refika Aditama, 2008. hlm. 66. Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Jadi dapatlah diambil kesimpulan bahwa secara filosofis yang dimaksud dengan “Peradilan” adalah proses menegakkan keadilan yang dilakukan Badan Peradilan untuk mencapai kedamiana hidup bernegara dan bermasyarakat. Arti Anak. Kelahiran
anak
(bayi)
karena
perkawinan
sedikit
banyaknya
menyebabkan hal-hal tertentu dalam berbagai kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Secara hukum kelahiran tersebut menimbulkan akibat hukum. Dalam lapangan hukum perdata akibat hukum ini berpokok kepada hak dan kewajiban, yaitu: a. Kekuasaan orang tua b. Pengakuan sahnya anak dan penyangkalan sahnya anak c. Perwalian d. Pendewasaan e. Pengangkatan anak Kondisi fisik dan psikologis anak yang mempunayai kedudukan tertentu dalam rangka pengembangan manusia seutuhnya memerlukan usaha yang menjamin perlakuan asil dan mengakibatkan kesejahteraan anak. Perumusan dalam berbagai undang-undang tentang anak tidak memberikan pengertian akan konsepsi anak, melainkan perumusan tersebut merupakan pembatasan untuk suatu perbuatan tertentu, kepentingan tertentu dan tujuan tertentu, misalnya dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, dalam pasal 1 Ayat (2) merumuskan: “Anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”. Dalam penjelasannya menyebutkan: Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
“Batas usia 21 (dua pulu satu) tahun ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seorang anak dicapai pada usia tersebut”. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa: “Batas usia 21 (dua puluh satu) tahun tidak mengurangi ketentuan batas usia dalam peraturan perundang-undangan lainnya, dan tidak pula mengurangi kemungkinan anak melakukan perbuatan sejauh ia mempunyai kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku”.
Pengertian anak menurut pasal 45 KUHP adalah orang yang belum cukup umur, dengan belum cukup umur dimaksud adalah mereka yang melakukan perbuatan sebelum umur 16 tahun. Jadi dapatlah disimpulkan arti dan pengertian “Peradilan Anak” setelah terlebih dahulu kita mengetahui apa itu arti “peradilan” dan “anak”. Penempatan kata “anak” dalam Peradilan anak menunjukkan batasan atas perkara yang ditangani oleh Badan Peradilan yaitu perkara anak. Proses mewujudkan keadilan berupa rangkaian tindakan yang dilakukan oleh Badan-badan Peradilan disesuaikan dengan bentuk-bentuk serta kebutuhan anak. Peradilan anak meliputi segala aktifitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan anak. Ruang lingkup Peradilan Anak meliputi: a. Segala aktifitas pemeriksaan b. Pemutusan perkara c. Hal-hal yang menyangkut kepentingan anak. Bentuk Peradilan Anak Bentuk (form) Peradilan anak jika didasarkan pada tolok ukur uraian tentang Pengertian dari Peradilan dan Pengertian Anak, serta motivasi tertuju Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
demi kepentingan anak untuk mewujudkan kesejahteraannya, maka tidak ada bentuk yang cocok bagi Peradilan Anak kecuali sebagai Peradilan Khusus. Demikianlah kenyataan yang terjadi di Negara-negara yang telah mempunyai Lembaga Peradilan Anak. Mereka menempatkan bentuk dan kedudukan secara khusus di dalam sistem Peradilan Negara masing-masing, walaupun istilah yang dipakai berbeda-beda. 13 Bahwasanya terdapat kaitan erat antara bentuk dan kedudukan/ status Peradilan Anak dalam sistem tata hukum, hal tersebut tidak dapat dipungkiri. Negara kita telah mengenal istilah Peradilan Umum dalam UU No. 19 Tahun 1984 tetapi istilah Peradilan Khusus baru kita jumpai sekitar tahun 1964 yaitu dikenal dalam UU No. 14 Tahun 1964 yang dilanjutkan oleh UU No. 14 Tahun 1970. Pembedaan istilah Peradilan Umum dan Peradilan Khusus itu disebabkan oleh adanya perkara-perkara/ golongan-golongan tertentu. Pasal 10 Ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 menentukan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan: 1. Peradilan Umum; 2. Peradilan Agama; 3. Peradilan Militer; dan 4. Peradilan Tata Usaha Negara.
13
Agung Wahyono, S. H dan Siti Rahayu, S. H. Op. Cit. hlm. 23
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Undang-undang ini membedakan antara 4 lingkungan peradilan yang masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili tertentu dan meliputi badan –badan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara merupakan peradilan khusus karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Perdilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya, mengenai perkara perdata maupun perkara pidana. peradilan agama menyangkut tentang nikah, talak, rujuk, dsb. Sedangkan Peradilan Militer menyangkut perkara-perkara pidana dan disiplin militer bagi yang berstatus militer. Kemungkinan menempatkan Peradilan Khusus di samping 4 Badan Peradilan yang sudah ada, berdasarkan Pasal 15 UU No. 4 Tahun 2004, dapat diketahui bahwa Pengadilan Khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang. Sesuai dengan hal ini Peradilan Anak merupakan Peradilan Khusus, merupakan spesialisasi dan difrensiasinya di bawah Peradilan Umum. Dalam Pasal 2 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menentukan bahwa Pengadilan anak adalah pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Di Indonesia belum ada tempat bagi suatu Peradilan anak yang berdiri sendiri sebagai peradilan yang khusus. Peradilan anak masih di bawah ruang lingkup Peradilan Umum. Secara intern di lingkungan Peradilan Umum dapat ditunjuk Hakim yang khusus mengadili perkara-perkara anak. Peradilan anak Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
melibatkan anak dalam proses hukum sebagai subjek tindak pidana dengan tidak mengabaikan masa depan si anak, dan menegakkan wibawa hukum sebagai pengayom, pelindung serta menciptakan iklim yang tertib untuk memperoleh keadilan. Perlakuan yang harus diterapkan oleh aparat penegak hukum, yang pada kenyataannya secara biologis, psikologis, dan sosiologis, kondisi fisik, mental, dan sosial anak, menempatkan anak pada kedudukan khusus. 14 5. Fungsi dan Tujuan Peradilan Anak Fungsi Peradilan Anak pada umumnya adalah tidak berbeda dengan Peradilan lainnya sebagimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 pada bagian akhirnya menyebutkan: 15 “……tugas pokok badan-badan peradilan adalah untuk memerikasa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya”. Kata terpenting di atas adalah “mengadili”. Sebenarmya dengan kata “mengadili” sudah tercakup kata-kata yang lainny. Perbuatan mengadili maksudnya adalah memberi keadilan. Untuk memberikan suatu keadilan, Hakim melakukan kegiatan dan tindakan. Pertama-tama harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya. Kemudian setelah itu mempertimbangkan dengan memberikan penilaian atas peristiwa itu serta menghubungkannya dengan hukum yang berlaku, lalu memberikan kesimpulan dan menyatakan putusan terhadap peristiwa itu. Dalam mengadili, Hakim berusaha menegakkan kembali hukum ya ng dilanggar karena itu sering dikatakan bahwa Hakim atau Pengadilan adalah penegak hukum.
14 15
Dr. Maidin Gultom, S. H, M. Hum. Op. Cit, hlm. 76 Agung Wahyono, S. H dan Siti Rahayu, S. H. Op. Cit. hlm. 37
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Tugas lain yang dibebankan kepada Hakim adalah dalam melakukan peradilan. Pengadilan harus mengadili berdasarkan hukum yang berlaku meliputi hukum tertulis dan tidak tertulis. Menurut UU No. 14 Tahun 1970 tugas Hakim adalah melakukan interpretasi hukum, dan hak menguji undang-undang ditetapkan dalam Pasal 23 UU No. 14 tahun 1970. Dalam Pasal 24 UU No. 14 Tahun 1970 menentukan pula tugas Pengadilan di luar perbuatan mengadili, yaitu berkewajiban untuk saling membantu atau memberi bantuan antar Pengadilan untuk kepentingan peradilan juga. Berbicara tentang fungsi dari peradilan, tidaklah terlepas dari peranan peradilan itu sendiri. Adapun peranan peradilan anak meliputi: 1. Umum a. sebagai penegak keadilan. b.
menyelesaikan perkara yang diajukan ke Pengadilan.
c.
membentuk hukum sebagai konsekuensi dari adagium yang menyatakan bahwa Hakim dianggap tahu tentang hukum.
2. Khusus a. Badan Peradilan sebagai sarana pendidiakn dalam arti ikut serta dalam membentuk kepribadian anak melalui putusan atau penetapan Hakim. Pendidikan tersebut ditujukan bagi pelanggar-pelanggar muda. b. Badan Peradilan berkewajiban memberikan perlindungan bagi pelanggarpelanggar muda dalam proses peradilan, dari tindakan-tindakan dan perlakuan-perlakuan yang merugikan demi kepentingan anak. c. Badan Peradilan harus melakukan pengawasan dan bimbingan dalam tindak lanjut dari putusannya. Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Jadi fungsi yang dibebankan Undang-undang kepada Badan peradilan tidak akan mencapai tujuan tanpa peranan dari peradilan itu sendiri. Antara fungsi dan peranan tidak dapat dipisahkan karena peranan memegang merupakan fungsi yang dinamis dengan pemegang peran adalah pejabat-pejabat peradilan. 16 Peradilan anak bertujuan memberikan yang terbaik bagi anak tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat dan tegaknya keadilan. Tujuan Peradilan Anak tidak berbeda dengan perdailan lainnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-undang No. 4 tahun 2004 yang menentukan bahwa: “Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman tercantum dalam pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan perdilan ang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Pasal 3 UU No. 3 Tahun 1997 menentukan: “Sidang Pengadilan Anak yang selanjutnya disebut Sidang Anak, bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan mneyelesaikan perkara anak sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini.” Dalam mengadili, Hakim berusaha menegakkan kembali hukum yang dilanggar. Salah satu usaha penegakkan hukum itu adalah melalui Peradilan Anak, sebagai suatu usaha perlindungan anak untuk mendidik kembali dan memperbaiki sikap dan perilaku anak sehingga ia dapat meninggalkan perilaku buruk yang selama ini telah ia lakukan. Perlindungan anak yang diusahakan dengan memberikan bimbingan/ pendidikan dalam rangka rehabilitasi dan resosiliasi, menjadi landasan peradilan anak. Pasal 1 butir 1 a UU No 4 Tahun 1970 menyebutkan: “Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar baik secara rohani, jasmani meupun sosial.” 16
Agung Wahyono, S. H dan Siti Rahayu, S. H. Op.cit. hlm. 35-38
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Mewujudkan kesejahteraan anak, mengekkan keadilan merupakan tugas pokok badan peradilan menurut undang-undang. Peradilan tidak hanya mengutamakan penjatuhan pidana saja, tetapi juga perlindungan bagi masa depan anak, merupakan sasaran yang dicapai oleh Peradilan Anak. Filsafat Peradilan Anak adalah untuk mewujudkan kesejahteraan anak, sehingga terdapat hubungan erat antara Peradilan Anak dengan UU Kesejahteraan Anak (UU No. 4 Tahun 1979). Peradilan Anak hendaknya memberi pengayoman, bimbingan, pendidikan melalui putusan yang dijatuhkan. Aspek perlindungan anak dalam Peradilan Anak ditinjau dari segi psikologis bertujuan agar anak terhindar dari kekerasan, keterlantaran, penganiayaan, tertekan, perlakuan tidak senonoh, kecemasan, dsb. Mewujudkan hal ini perlu ada hukum yang melandasi, menjadi pedoman perlakuan maupun tindakan yang diambil terhadap anak. Dalam mewujudkan kesejahteraan anak, anak perlu diadili oleh suatu badan peradilan tersendiri.
Usaha
mewujudkan
kesejahteraan
anak
adalah
bagian
dari
meningkatkan pembinaan bagi semua anggota masyarakat, yang tidak terlepas dari kelanjutan dan kelestarian peradaban bangsa, yang penting bagi masa depan bangsa dan negara. Kesejahteraan anak itu penting karena : a. Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang landasannya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya b. Agar setiap anak mampu memikul tanggung jawab tersebut maka ia perlu mendapat kesempatan untuk tumbuh, berkembang secara wajar c. Bahwa di dalam masyarakat terdapat anak-anak yang mengalami hambatan kesejahteraan rohani, jasmani, sosial, dan ekonomi Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
d. Anak belum mampu memelihara dirinya e. Bahwa menghilangkan hambatan tersebut hanya akan dapat dilaksanakan dan dieproleh bila usaha kesejahteraan anak terjamin. 17
F. Metode Penelitian Metode yang dimaksudkan adalah sebagai suatu hal yang merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sehubungan dengan hal itu, Penulis menggunakan metode penulisan sebagai berikut: 1. Spesifikasi Penelitian Penelitian yang Penulis lakukan adalah penelitian hukum yuridis normatif. Suatu analisis yuridis normatif pada hakikatnya menekankan pada metode deduktif sebagai pegangan utama, dan metode induktif sebagai tata kerja penunjang. Analisis normatif terutama mempergunakan bahan-bahan kepustakaan sebagai sumber data penelitiannya. Pada tahap awal penulisan, Penulis akan melakukan penelitian terhadap bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan yang berkaitan dengan anak. Bahan-bahan tersebut dipergunakan untuk melihat sisi normatif dari peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengadilan anak dalam memberikan sanksi ataupun hukuman terhadap anak yang melakukan kenakalan atau anak yang berkonflik dengan hukum. 2. Data dan Sumber Data Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari: 18
17
Dr. Maidin Gultom, S. H, M. Hum. Op. cit. hlm. 77-78 Amiruddin, S. H, M. Hum dan H. Zainal Asikin, S. H., S. U. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006. hlm. 31 18
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
a. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Bahan hukum sekunder, terdiri dari bahan-bahan berupa hasil penelitian berupa bacaan yang berisi artikel-artikel, lokakarya, dan dokumen yang terkait dengan judul skripsi Penulis. c. Bahan hukum tersier, terdiri dari bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk atau penjelasan terhadap bahan-bahan hukum sekunder seperti kamus-kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah. 3. Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini, Penulis menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut: a. Penelitian Kepustakaan (Library Research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan yakni buku-buku, pendapat sarjana, artikel, kamus, dan juga berita yang Penulis peroleh dari internet. b. Penelitian lapangan (Field Research) yaitu dalam pengumpulan data ini , Penulis mengambil putusan perkara anak di Pengadilan Negeri Stabat berupa putusan tentang Raju (Nomor: 828/Pid.B/2005/PN.Stb). 4. Analisis Data Data-data yang diperoleh Penulis melalui berbagai literatur dan perundang-undangan serta menganalisa putusan kemudian dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan di dalam skripsi ini
G. Sistematika Penulisan
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Dalam menulis skripsi ini, Penulis membagi dalam 4 (empat) Bab yang terdiri dari: BAB I : Bab ini berisi Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang permasalahan mengapa Penulis memilih “Penerapan Sanksi Tindakan terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana” sebagai judul dalam penulisan skripsi ini. Dalam Bab ini juga terdapat rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. BAB II : Bab ini berisi tentang Pengaturan mengenai sanksi terhadap anak pelaku tindak pidana ditinjau dari beberapa hukum positif Indonesia antara lain ditinjau dari Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak, Undang-undang Nomor 23 Tahun2002 tentang Perlindungan anak, dan Undangundang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia, BAB III : Bab ini berisi tentang Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana, yang terdiri dari kasus posisi, dakwaan, tuntutan pidana, putusan, fakta hukum dan analisis kasus. BAB IV : Bab ini berisi tentang Penutup, yang terdiri dari: 1. Kesimpulan Kesimpulan ini berisi tentang ringkasan atas pembahasan permasalahan tentang Penerapan Sanksi Tindakan TerhadapAnak Pelaku Tindak Pidana. 2. Saran Adapun saran yang diberikan Penulis bertujuan agar aparat penegak hukum dapat menerapkan sanksi yang adil terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dengan tetap memperhatikan kejahatan yang dilakukan dan umur dari anak yang bersangkutan. Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
BAB II PENGATURAN MENGENAI SANKSI TINDAKAN DITINJAU DARI BEBERAPA HUKUM POSITIF DI INDONESIA
A. Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak 1. Jenis-jenis penjatuhan pidana pada persidangan anak Secara gradual, jenis-jenis penjatuhan pidana pada persidangan anak diatur dalam Ketentuan Pasal 22-32 Undang-undang No. 3 Tahun 1997 dan dapat berupa: a. Pidana, atau b. Tindakan. Apabila diperinci lagi, pidana dapat bersifat pidana pokok dan pidana tambahan. Adapun Pidana pokok itu sendiri terdiri dari : a. Pidana penjara b. Pidana kurungan c. Pidana denda d. Pidana pengawasan Sedangkan Pidana tambahan terdiri atas : a. Perampasan barang-barang tertentu, dan atau b. Pembayaran ganti rugi Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak Nakal ialah: a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, orang tua asuh
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
b. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Pada asasnya, identik dengan Hukum Pidana Umum (Ius Commune) maka Pengadilan anak hanya mengenal penjatuhan 1 (satu) pidana pokok saja. 19. Tegasnya, kumulasi 2 (dua) pidana pokok dilarang. Konkretnya, terhadap anak Nakal yang melakukan tindak pidana (Pasal 1 Angka 2 Huruf a UU No. 3 Tahun 1997), Hakim dapat menjatuhkan salah satu pidana pokok atau tindakan sedangkan terhadap anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan (Pasal 1 Ayat (2) huruf b UU No. 3 Tahun 1997) Hakim hanya dapat menjatuhkan tindakan (Pasal 25 Ayat (1), (2) UU No. 3 Tahun 1997). Selanjutnya dalam menentukan pidana atau tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak, Hakim mempertimbangkan berat ringannya tindak pidana atau kenakalan yang dilakukan oleh anak yang bersangkutan. Di samping itu juga Hakim wajib memperhatikan keadaan anak, keadaan rumah tangga orang tua, wali, atau orang tua asuh, hubungan antara anggota keluarga dan keadaan lingkungannya.
Demikian
pula,
Hakim
wajib
memperhatikan
laporan
Pembimbing Kemasyarakatan 20.
19 20
Lilik Mulyadi, Op. Cit, hlm. 131 Ibid, hlm. 132.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
1. Pidana Pidana adalah hukuman yang dijatuhkan atas diri seseorang yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana 21. Menurut ketentuan Pasal 10 KUHP, hukuman itu terdiri dari hukuman pokok dan hukuman tambahan 22. a. Hukuman Pidana Pokok Undang-Undang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997 tidak mengikuti ketentuan Pidana pada pasal 10 KUHP, dan membuat sanksinya secara tersendiri. Pidana pokok menurut Undang-undang No. 3 Tahun 1997 (pasal 23 ayat (2)) terdiri dari: 1. Pidana Penjara Secara universal, pidana penjara merupakan pidana yang bersifat perampasan kemerdekaan pribadi terdakwa karena penempatannya dalam bilik penjara. Kalau dilihat dari bentuknya maka hukuman penjara dapat berupa seumur hidup atau untuk sementara. Hukuman penjara untuk sementara mempunyai rentang waktu minimum selama 1 (satu) hari dan maksimal 15 (lima belas) tahun. Akan tetapi, rentang waktu ini dapat berupa 20 (dua puluh) tahun dalam hal residive, gabungan kejahatan, kejahatan yang menurut pilihan Hakim boleh dihukum mati, dsb. Sedangkan spesipikasi Hukum Pidana Khusus seperti Tindak Pidana Ekonomi (UU Nomor : 7/Drt/1955) dalam pasal 2 UU No. 5/Pnps/1959 maka rentang waktu pidana penjara minimal menjadi 1 (satu) tahun dan maksimal 20 tahun. Lalu terhadap pidana 21 22
Darwin Prinst, Op. Cit, hlm. 23. R. Soesilo, Op. Cit, hlm. 34.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
penjara yang dapat dijatuhkan dalam Pengadilan Anak, apabila diteliti dengan analisa tajam ternyata pada prinsipnya pidana terhadap anak tidak mengikuti sebagaimana tersebut di atas. Teoritik dan praktik Pengadilan anak tidak mengenal pidana penjara seumur hidup, hanya mengenal pidana penjara maksimal 10 tahun, dan sebagainya. 23 Sedangkan apabila diperinci dari ketentuan Pasal 26, 29 UU No. 3 Tahun 1997 maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan Hakim dalam persidangan anak secara sistematik dapat berupa 24 : 1.a. Pidana penjara kepada anak Nakal yang melakukan tindak pidana (Pasal 1 angka 2 huruf a UU No. 3 Tahun 1997) paling lama setengah dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa, dalam artian maksimum ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dalam KUHP dan undang-undang lain. 2.a.
Bila Anak Nakal tersebut melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup serta telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan paling lama 10 (sepuluh) tahun, dan apabila belum mencapai umur 12 tahun maka hanya dapat dijatuhkan tindakan berupa menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja (Pasal 24 Ayat (1) huruf b UU No. 3 Tahun 1997).
23 24
Lilik Mulyadi. Op. Cit. hlm. 134. Lilik Mulyadi. Ibid.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
3.a. Bila Anak Nakal tersebut melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana seumur hidup dan belum mencapai 12 (dua belas) tahun maka Anak Nakal dijatuhkan salah satu tindakan Pasal 24 yaitu : a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; b. menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan
yang
bergerak
di
bidang
pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. 4.a. Apabila Anak Nakal tersebut dijatuhkan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun Hakim dapat menjatuhkan : 1. Pidana bersyarat dengan jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun; a. Syarat Umum bahwa anak Nakal tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani pidana bersyarat. b. Syarat Khusus ialah untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhaitkan kebebasan anak. Pada asasnya “Syarat Khusus” ini antara lain ialah tidak boleh
mengemudikan
kendaraan
bermotor,
atau
diwajibkan mengikuti kegiatan yang diprogramkan Balai Pemasyarakatan dan lamanya “syarat khusus” Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
lebih pendek dari pada masa pidana bersyarat bagi “syarat umum”. 2. Pengawasan selama menjalani masa pidana bersyarat dilakukan oleh Jaksa sedangkan bimbingan agar anak Nakal menepati persyaratan yang telah ditentukan oleh Pembimbing Pemasyarakatan dan anak Nakal ini dapat mengikuti pendidikan di sekolah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2. Pidana Kurungan (Hechteis) Identik dengan pidana penjara maka pidana kurungan juga merupakan pidana perampasan kemerdekaan pribadi seseorang. Apabila ditinjau secara global, maka pidana kurungan bentuknya dapat dibagi berupa kurungan principal, dan kurungan subsidair (pengganti denda). Terhadap jangka waktu kurungan principal lamanya minimum 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan dalam hal adanya gabungan kejahatan, ulangan kejahatan, dan karena ketentuan Pasal 52 KUHP. Sedangkan terhadap kurungan subsidair (pengganti denda) lama minimum 1 (satu) hari dan maksimum 6 (enam) bulan dapat ditambah sampai 8 (delapan) bulan dalam hal residive, gabunagn tindak pidana serta ketentuan pasal 52 KUHP 25. Terhadap pidana kurungan yang dapat dijatuhkan pada sidang anak, menurut ketentuan Pasal 27 UU No. 3 Tahun 1997 ditegaskan bahwa
25
Ibid, hlm. 136.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak Nakal yang melakukan tindak pidana (Pasal 1 angka 2 huruf a UU No. 3 Tahun 1997) paling lama setengah dari maksimum ancaman pidana kurungan terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dalam KUHP dan undang-undang lainnya. 3. Pidana Denda. Jika dibandingkan secara global, apabila pidana penjara/pidana kurungan merupakan pidana perampasan kemerdekaan pribadi seorang anak maka pidana denda adalah jenis pidana terhadap harta benda seorang anak. Pada asasnya apabila pidana denda dijatuhkan Hakim kepada seorang anak Nakal yang melakukan tindak pidana (Pasal 1 ayat (2) huruf a UU No. 3 Tahun 1997) maka Hakim mewajibkan anak yang dijatuhkan pidana tersebut untuk membayar sejumlah uang tertentu. Pada KUHP ditentukan limit beratnya pidana denda adalah batas umum minimum sebesar Rp 250,- dan batas umum denda paling tinggi yang diancam (Pasal 43) sebesar Rp 150.000,. 26 Lalu terhadap pidana denda yang dapat dijatuhkan Hakim dalam sidang anak sesuai UU No. 3 Tahun 1997 ditentukan oleh ketentuan Pasal 28 UU No. 3 Tahun 1997 yang dapat diperinci sebagai berikut : a. Pidana denda dapat dijatuhkan kepada anak Nakal yang melakukan tindak pidana (Pasal 1 angka 2 huruf a UU No, 3 Tahun 1997) paling banyak setengah dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa. Adapun yang dimaksud dengan “maksimum
26
Ibid., hlm. 138.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
ancaman pidana denda bagi orang dewasa” adalah maksimum ancaman pidana denda terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dalam KUHP atau undang-undang lainnya. b. Apabila pidana denda tidak dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja yang dimaksudkan sebagai pengganti denda dan sekaligus untuk mendidik anak yang bersangkutan agar memiliki keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya. c. Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama 90 hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4 jam sehari serta tidak dilakukan pda malam hari (identik dengan ketentuan Pasal 4 Permenaker No. : Per-01/Men/1987). 4. Pidana Pengawasan Hakekat dasar pidana pengawasan diatur dalam ketentuan Pasal 30 UU No 3 Tahun 1997. Menurut penjelasan Pasal 30 UU No. 3 Tahun 1997, pidana pengawasan merupakan pidana yang khusus dikenakan untuk anak, yakni pengawasan yang dilakukan oleh Jaksa terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut, dan pemberian
bimbingan
yang
dilakukan
oleh
Pembimbing
Kemasyarakatan 27. Selanjutnya, terhadap ketentuan Pasal 30 UU No. 3 Tahun 1997 pidana pengawasan ini dapatlah diijabarkan sebagai berikut :
27
Lilik Mulyadi, Loc.cit., hlm. 138.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
a. Pidana Pengawasan kepada anak Nakal yang melakukan tindak pidana (Pasal angka 2 huruf a UU No, 3 Tahun 1997) adalah paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun. b. Pelaksanaan pengawasan dilakukan Jaksa terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah anak tersebut dan pemberian bimbingan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. 28 b. Hukuman Pidana Tambahan Terhadap anak Nakal tidak dapat dijatuhkan pidana mati maupun penjara seumur hidup. Akan tetapi pidana penjara bagi anak Nakal maksimal 10 (sepuluh) tahun. Jenis pidana baru dalam undang-undang ini adalah pidana pengawasan yang tidak ada diatur dalam KUHP 29. Perihal pidana tambahan diatur dalam ketentuan Pasal 23 Ayat (3) UU No. 3 Tahun 1997, yakni berupa 30 : 1. Perampasan Barang-Barang Tertentu Dilihat
dari
aspek
teknis-yuridis,
terminologi
“perampasan”
merupakan terjemahan istilah bahasa Belanda “verbeurd verklaring” sebagai pidana tambahan yang dapat dijatuhkan Hakim di samping pidana pokok. Pengertian “perampasan barang-barang tertentu” berarti mencabut dari orang yang memegang barang bukti tersebut kemudian dirampas untuk kepentingan negara, atau dimusnahkan, atau dirusak
28
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, Loc.cit., Pasal 30. Darwin Prinst, Ibid., hlm. 24. 30 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, Op.cit., Pasal 23 ayat (3). 29
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
sehingga tidak dapat dipergunakan lagi 31. Menurut KUHP maka perampasan barang-barang tertentu tersebut berorientasi kepada 32 : a. Milik terdakwa anak sendiri; b. Barang tersebut dipergunakan terdakwa anak untuk melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya, dan c. Barang-barang tersebut diperoleh anak karena melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. 2. Pembayaran ganti kerugian Pada dasarnya pembayaran ganti rugi yang dijatuhkan sebagai pidana tambahan merupakan tanggung jawab dari orang tua atau orang lain yang menjalankan kekuasaan orang tua. Selanjutnya mengenai ketentuan bentuk dan tata cara pembayaran ganti rugi di atur lebih lanjut dengan Peraturan pemerintah (Pasal 23 Ayat (4) UU No. 3 Tahun 1997). 2.. Tindakan Sebagaimana telah diuraikan di muka maka dalam sidang anak, Hakim dapat menjatuhkan pidana dan tindakan. Pidana tersebut dapat berupa pidana pokok dan pidana tambahan serta perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi (Pasal 22, Pasal 23 Ayat (1), (3) UU No. 3 Tahun 1997). Sedangkan terhadap tindakan menurut ketentuan Pasal 24 UU No. 3 Tahun 1997 implementasinya berupa : a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
31 32
Lilik Mulyadi, Op. Cit., hlm 139. R. Soesilo, Op. Cit., hlm. 57.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
b. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
2. Bentuk-Bentuk Sanksi Tindakan Bentuk–bentuk tindakan yang dapat dikenakan kepada anak Nakal berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 adalah sebagai berikut: a. Dikembalikan Kepada Orang Tua Wali Atau Orang Tua Asuh Anak Nakal dijatuhi tindakan dikembalikan kepada orang tua/wali/orang tua asuh, apabila melalui penilaian hakim, si anak masih dapat di bina di lingkungan orang tuanya/wali/orang tua asuhnya. Namun demikian si anak tersebut tetap dibawah pengawasan dan bimbingan dari Pembimbing
Kemasyarakatan, seperti untuk
mengikuti kegiatan
kepramukaan, dan lain-lain. b. Diserahkan Kepada Negara Dalam hal menurut penilaian hakim, pendidikan dan pembinaan terhadap anak Nakal tidak dapat lagi dilakukan di lingkungan keluarga (Pasal 24 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 3 Tahun 1997), maka anak itu diserahkan kepada Negara dan disebut sebagai Anak Negara. Untuk itu, si anak ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak dan wajib mengikuti pendidikan, pembinaan, dan Latihan Kerja. Tujuannya untuk memberi bekal keterampilan kepada anak dengan memberikan Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
keterampilan mengenai pertukangan, pertanian, perbengkelan, tat arias, dan lain sebagainya. Selesai menjalani tindakan itu, si anak diharapkan mampu hidup mandiri. c. Diserahkan Kepada Departemen Sosial Atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan Tindakan lain yang mungkin dijatuhkan hakim kepada Anak Nakal adalah menyerahkannya kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja untuk dididik dan dibina. Walaupun pada prinsipnya
pendidikan,
pembinaan
dan
latihan
kerja
itu
diselenggarakan oleh Pemerintah di Lembaga Pemasyarakatan Anak atau oleh Departemen Sosial, akan tetapi dalam hal kepentingan si anak menghendaki, maka hakim dapat menetapkan
bahwa anak
tersebut diserahkan kepada Organisasi Sosial Kemasyarakatan, seperti pesantren, panti sosial dan lembaga sosial lainnya (Pasal 24 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 3 Tahun 1997). Apabila anak diserahkan kepada Organisasi Sosial Kemasyarakatan, maka harus diperhatikan agama dari anak yang bersangkutan. Di samping tindakan yang dikenakan kepada anak Nakal, juga disertai dengan teguran dan syarat-syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim sesuai Pasal 24 ayat (2) huruf c Undang-Undang No. 3 Tahun 1997. Teguran itu berupa peringatan dari hakim baik secara langsung terhadap anak, atau tidak langsung melalui orang tuanya, walinya atau orang tua asuhnya. Maksud dari teguran ini adalah agar anak yang Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Nakal tersebut tidak lagi mengulangi perbuatan yang mengakibatkan ia dijatuhi tindakan. Sementara syarat tambahan, misalnya kewajiban untuk melapor secara periodic kepada Pembimbing Kemasyarakatan, umpama seminggu sekali, sebulan sekali, atau pada hari-hari tertentu.
3. Pertimbangan Pidana dan Perlakuan Terhadap Anak Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana di Pengadilan. Pemisahan sidang
anak dan sidang yang mengadili perkara tindak
pidana yang dilakukan oleh orang dewasa memang mutlak adanya, karena dengan dicampurnya perkara yang dilakukan oleh anak dan oleh orang dewasa tidak akan menjamin terwujudnya kesejahteraan anak. Dengan kata lain, pemisahan ini penting dalam hal mengadakan perkembangan pidana dan perlakuannya. Sejak adanya sangkaan atau diadakan penyidikan sampai diputuskan pidananya dan menjalani putusan tersebut, anak harus didampingi oleh petugas sosial yang membuat Case Study tentang anak dalam sidang. Pembuatan laporan sosial yang dialukan oleh sosial worker ini merupakan yang terpenting dalam sidang anak, yang sudah berjalan ialah pembuatan Case Study oleh petugas BISPA (Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak). Adapun yang tercantum dalam Case Study ialah gambaran keadaan si anak berupa : a. Masalah sosialnya b. Kepribadiannya c. Latar belakang kehidupannya, misalnya : Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
1. Riwayat sejak kecil 2. Pergaulan di luar dan di dalam rumah 3. Keadaan rumah tangga si anak 4. Hubungan antara bapak, ibu dan si anak 5. Latar belakang saat dilakukannya tindak pidana tersebut 6. Hubungan si anak dengan keluarganya, dan lain-lain Semua itu didapat
dari keterangan si anak sendiri, orang tuanya,
lingkungan sekitarnya (guru, RT/RW dan lurah setempat). Dalam mengumpulkan bahan-bahaan Case Study
ini petugas BISPA tidak kenal lelah. Mereka
mendatangi rumah-rumah orang tua si anak di pelosok-pelosok daerah, namun kekurangan tenagadan sarana untuk mencapai tujuan diharapkan merupakan masalah yang perlu di atasi. Oleh karena itu, diharapkan lembaga-lembaga sosial dan semua lapisan masyarakat ikut pula membantu terlaksananya pembuatan Case Study ini demi hari depan si anak. Case Study ini sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan anak di kemudian hari, karena di dalam memutuskan perkara anak dengan melihat Case Study
dapat dilihat dengan nyata keadaan si anak secara khusus (pribadi).
Sedangkan apabila Hakim yang memutus perkara anak tidak dibantu dengan pembuatan Case Study,maka hakim tidak akan mengetahui keadaan sebenarnya dari si anak sebab hakim hanya boleh bertemu terbatas dalam ruang sidang yang hanya memakan waktu beberapa jam saja dan biasanya dalam Case Study petugas BISPA menyarankan pada hakim tindakan-tindkan yang sebaiknya siambil oleh para Hakim guna kepentingan dan lebih memenuhi kebutuhan anak.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Demikianlah walaupun Case Study ini tidak mnegikat Hakim, namun ia merupakan alat pertimbangan yang mau tidak mau wajib diperhatikan oleh Hakim, sehingga menjadi pedoman bagi Haim dalam memutus perkara pidana anak di muka sidang pengadilan. Pertimbangan pidana dan perlakuannya terhadap anak-anak yang melakukan tindak pidana perlu mendapat perhatian khusus, sebab pada peradilan anak ini keputusan Hakim tersebut harus mengutamakan pada pemberian bimbingan edukatif terhadap anak-anak, di samping tindakan yang bersifat menghukum. Case Study ini dapat menentukan hukuman manakah yang sebaiknya bagi si anak, mengingat Hakim dapat memilih dua kemungkinan pada Pasal 22 UU No. 3 Tahun, yaitu si anak dapat dijatuhi tindakan (bagi si anak yang masih berumur 8 sampai 12 tahun) atau pidana (bagi anak yang telah berumur 12 sampai 18 tahun) yang ditentukan dalam undang-undang tersebut. Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada si anak ditentukan dalam Pasal 24 UU No. 3 Tahun 1997 : a. Si anak dikembalikan dapat dipertimbangkan kepada orang tua,wali, atau orang tua asuh; Putusan demikian dapat dipertimbangkan, bilamana pengadilan melihat dan meyakini kehidupan di lingkungan keluarga itu dapat membantu si anak agar tidak lagi melakukan perbuatan pidana. b. Si anak akan diserahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja;
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Bilamana keadaan lingkungan keluarga tidak memberi jaminan dapat membantu si anak dalam perbaikan dan pembinaannya. Misalnya: orang tua tidak memberi contoh yang baik (cerai, kumpul kebo, dan lain-lain) maka pilihan yang tepat ialah menjadikan ia anak Negara. c. Si anak diserahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Bilamana keluarga sudah tidak sanggup lagi untuk mendidik dan membina si anak ke arah yang lebih baik, sehingga si anak tidak melakukan perbuatan pidana lagi. Adapun pidana yang dapat dijatuhkan kepada si anak terdapat dalam Pasal 23 UU No. 3 Tahun 1997, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Dalam hal Hakim memutus untuk memberikan pidana pada anak, maka ada tiga hal yang perlu diperhatikan: 1. Sifat kejahatan yang dijalankan, 2. Perkembangan jiwa si anak, 3. Tempat dimana ia harus menjalankan hukumannya. Sebagai contoh: A (anak di bawah umur) melakukan kejahatan pencurian. Si anak ditahan beberapa bulan. Menurut Hakim yang memeriksa sejalan dengan hukum, anak dijatuhi hukuman yang sama dengan lamanya ia ditahan, namun berdasarkan Case Study ternyata orang tua si anak tidak diketahui dimana tempat tinggalnya dan ia sering melakukan Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
homoseksual dengan bangsa asing. Melihat hal yang demikian, maka Hakim membatalkan niatnya untuk melepas si anak, kemudian Hakim memerintahkan agar si anak diserahkan kepada Negara dengan harapan si anak: 1) mendapat didikan yang baik, 2) dapat diobati penyakitnya, 3) dapat mengurangi kesempatan untuk terulangnya penyakit tersebut, 4) Tidak menulari anak-anak di tempat ia tinggal semula. Perlu mendapat perhatian pula adalah masalah tempat penahanan dan perlakuan dalam hal adanya alas an yang sangat mendasar selama pemeriksaan perkara si anak harus ditahan, yaitu: a) Sebaiknya anak ditahan dalan tahanan khusus untuk anak di dalam lembaga sosial, seperti Permadisiwi, tidak disatukan dengan orang dewasa. b) Sambil menunggu kasusnya disidangkan, anak sedapat mungkin dipenuhi kebutuhannya baik materiil maupun moril, yang berupa pelajaran dan latihan-latihan kerja serta diberi pengertian agar anak dapat menghayati arti dan tujuan tindakan-tindakan yang dijatuhkakn
kepadanya
sehingga
tumbuh
kesadaran
atas
perbuatan yang dilakukan. c) Orang tua/ walinya harus ditunjukkan aan kekurangan dan kesalahannya dalam melaksanakn kewajibannya terhadap anak yang kemudian disadarkan. Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Usaha ini dilakukan oleh petugas sosial (Sosial Worker) atau BISPA (Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak).
B. Ditinjau Dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 1. Perlindungan Hukum terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pasal 1 angka 2 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk mencegah, rehabilitasi, dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah (child abuse), eksploitasi, dan penelantaran agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik, mental, dan sosialnya. Arif Gosita berpendapat bahwa perlindungan anak adalah suatu usaha melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya 33. Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung pengaturan dalan peraturan perundang-undangan. Kebijaksanaan, usaha dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan hak-hak anak, pertama-tama didasarkan atas pertimbangan bahwa anak-anak merupakan golongan yang rawan dan dependent, di samping karena adanya golongan anak-anak yang mengalami
33
Maidin Gultom, Op. Cit, hlm. 34.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangannya baik rohani, jasmani maupun sosial 34. Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang baik orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah maupun Negara. Pasal 20 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan sebagai berikut: “Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan anak”. Jadi yang mengusahakan perlindungan anak adalah setiap anggota masyarakat seesuai dengan kemampuannya dengan berbagai macam usaha dalam situasi dan kondisi tertentu. Setiap warga Negara ikut bertanggung jawab terhadap dilaksanakannya perlindungan anak demi kesejahteraan anak. Kebahagiaan anak merupakan
kebahagiaan
bersama,
kebahagiaan
yang
dilindungi
adalah
kebahagiaan yang melindungi. Tidak ada keresahan pada anak, karena perlindungan
anak
dilaksnakan
dengan
baik,
anak
menjadi
sejahtera.
Kesejahteraan anak menpunyai pengaruh positif terhadap orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Perlindungan anak bermanfaat bagi anak dan orang tua keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Koordinasi kerjasama kegiatan
perlindungan
anak
perlu
dilakukan
dalam
rangka
mencegah
ketidakseimbangan kegiatan perlindungan anak secara keseluruhan. Kewajiban dan tanggung jawab negara dan pemerintah dalam usaha perlindungan anak diatur dalam UU No. 23 Tahun 2002 yaitu: a. Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental (Pasal 21); 34
Ibid.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
b. Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 22); c. Menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahtteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara umum bertanggung jawab terhadap anak dan mengawasi peneyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23); d. Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (Pasal 24). Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melakui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 25 UU No. 23 Tahun 2002). Kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orang tua dalam usaha perlindungan anak diatur dalam Pasal 26 UU No. 23 Tahun 2002 yaitu: a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya atau karena suatu sebab, tidak dapat dilaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku 35.
35
Ibid., hlm. 39.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Pasal 59 UU No. 23 Tahun 2002 menetukan bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dan kelompok minoritas dan terisolasi, anak dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang menjadi korban penyalahguanaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangann, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan dan penelantaran. Pasal 64 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 menentukan bahwa perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui: perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak; penyediaan petugas pendamping anak sejak dini; penyediaan sarana dan prasarana khusus; penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum; pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi (Pasal 64 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002). Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
maupun di luar lembaga; upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahlu, baik fisik, mental maupun sosial; dan pemberian aksebilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara (Pasal 64 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002).
2. Perlindungan Hak-Hak Anak Pelaku Tindak Pidana Mengembangkan hak anak-anak dalam proses peradilan pidana guna mewujudkan perlindungan hukum bagi anak, diperlakukan dengan mengerti permasalahannya menurut proporsi terpadu. Sebab pengembangan hak-hak anak dalam proses peradilan adalah suatu hasil interaksi dari adanya interrelasi antara berbagai fenomena yang saling terkait dan saling mempengaruhi. Dimulai dengan memperhatikan aspek-aspek mental, fisik, sosial, ekonomi secara dimensional, guna didapat pengertian yang tepat mengenai suatu permasalahan dengan menggunakan metode pendekatan melalui disiplin ilmu yang bersifat interdisipliner. Hal ini terwujud dalam menyusun data sosial oleh probation officer (Petugas Balai Bispa) sehingga kepribadian anak, keluarga, kondisi sosial dan ekonomi serta motivasi dari tindak pidana diketahui, dipahami, kemudian dirancanglah suatu pola penanggulangan dengan mempertimbangkan setiap anak dan situasinya secara individual, misalnya dengan tes fisik dan tes psikologi terhadap anak agar dapar menginterpretasikan kepribadiannya 36. Jika akhirnya melalui keputusan Hakim, anak dinyatakan membutuhkan pemeliharaan dan pembinaan, diharapkan ia mendapat fasilitas yang sesuai
36
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Bandung : Refika Aditama, 2005, hlm. 69.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
dengan kebutuhannya dan dari orang-orang yang berkualifikasi. Dengan demikian, penanggulangan yang diberikan mampu dipertanggungjawabkan, karena bersikap atau bertindak secara tepat guna, interdisipliner, intersektoral dan interdepartemental. Wujud dari suatu keadilan adalah dimana pelaksanaan hak dan kewajiban seimbang. Pelaksanaan hak dan kewajiban bagi anak yang melakukan tindak pidana perlu mendapat bantuan dan perlindungan agar seimbang dan manusiawi. Perlu kiranya digarisbawahi bahwa kewajiban bagi anak harus diperlakukan dengan situasi, kondisi mental, fisik, keadaan sosial dan kemampuannya pada usia tertentu. Dengan demikian hal-hal di bawah ini perlu kiranya diperhatikan dan diperjuangkan keberadaannya, antara lain 37: a) Setiap anak diperlukan sebagai yang belum terbukti bersalah b) Waktu peradilan anak tidak diselingi oleh peradilan orang dewasa c) Setiap anak mempunyai hak untuk dibela oleh seorang ahli d) Suasana tanya jawab dilaksanakan secara kekeluargaan, sehingga anak merasa aman, dan tidak takut. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa yang dimengerti anak. e) Setiap anak berhak mendapat perlindungan dari tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosialnya. f) Setiap anak mempunyai hak untuk memohon ganti kerugian atas kerugian atau penderitaannya (Pasal 1 ayat (22) KUHAP) g) Setiap anak mempunyai hak untuk disidang secara tertutup, hanya dikunjungi oleh orang tua, wali, orang tua asuh, petugas sosial, saksi dan
37
Ibid., hlm. 70-71.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
orang-orang yang berkepentingan, mengingat kehormatan/ kepentingan anak dan keluarga, maka wartawan pun tidak dibenarkan ikut serta, kecuali mendapat ijin dari hakim dengan identitas anak tidak boleh diumumkan. h) Para petugas tidak menggunakan pakaian seragam tetapi memakai pakaian bebas resmi i) Peradilan sedapat mungkin tidak ditangguhkan, konsekuensinya persiapan yang matang sebelum sidang dimulai j) Berita acara dibuat rangkap 4 (empat) yang masing-masing untuk Hakim, Jaksa, Petugas Bispa dan untuk arsip k) Jika Hakim memutus perkara anak harus masuk ke Lembaga Pemasyarakatan Anak atau Panti asuhan, maka perlu diperhatikan hakhaknya. Proses peradilan pidana adalah merupakan suatu proses yuridis, dimana hukum ditegakkan dengan tidak mengeyampingkan kebebasan mengeluarkan pendapat dan pembelaan dimana keputusannya diambil dengan mempunyai suatu motivasi tertentu. Hak-hak yang kiranya perlu diperhatikan dan diperjuangkan adalah 38: a. Hak diperlakukan sebagai yang belum terbukti bersalah. b. Hak-hak mendapat perlindungan dari tindakan-tindakan yang merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial. c. Hak mendapat pendamping dari penasehat hukum.
38
Ibid., hlm. 71.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
d. Hak mendapat fasilitas transport serta penyuluhan dalam ikut serta memperlancar pemeriksaan. e. Hak untuk menyatakan pendapat. f. Hak akan persidangan tertutup demi kepentingannya. g. Hak untuk mendapat pembinaan yang manusiawi sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dan ide pemasyarakatan. h. Peradilan sedapat mungkin tidak ditangguhkan, konsekuensinya persiapan yang matang sebelum sidang dimulai. i.
Hak untuk dapat berhubungan dengan orang tua dan keluarganya. Beberapa faktor pendukung dalam usaha pengembangan hak-hak anak
dalam peradilan pidana adalah: 39 1. Dasar pemikiran yang mendukung Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Garis-garis Besar Haluan Negara, ajaran agama, nilai-nilai sosial yang positif mengenai anak, norma-norma (deklarasi hak-hak anak, Undangundang Kesejahteraan Anak). 2. Berkembangnya
kesadaran
bahwa
permasalahan
anak
adalah
permasalahan nasional yang harus ditangani sedini mungkin secara bersama-sama, intersektoral, interdisipliner, interdepartemental. 3. Penyuluhan, pembinaan, pendidikan dan pengajaran mengenai anak termasuk pengembangan mata kuliah Hukum Perlindungan Anak, usahausaha perlindungan anak, meningkatkan perhatian terhadap kepentingan anak.
39
Ibid., hlm. 72.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
4. Pemerintah bersama-sama masyarakat memperluas usaha-usaha nyata dalam menyediakan fasilitas bagi perlindungan anak. Beberapa faktor penghambat dalam usaha pengembangan hak-hak anak dalam peradilan pidana adalah: 40 1. Kurang adanya pengertian yang tepat mengenai usaha pembinaan, pengawasan dan pencegahan yang merupakan perwujudan usaha-usaha perlindungan anak. 2. Kurangnya keyakinan hukum bahwa permasalahan anak merupakan suatu permasalahan nasional yang harus ditangani bersama karena merupakan tanggung jawab nasional. Untuk sampai pada pemikiran tentang jaminan hak anak dan perlindungannya maka terlebih dahulu harus diketahui apa yang menjadi penyebab bahwa hak anak dan perlindungannya terabaikan. Setelah melalui penganalisaan terdahulu ternyata bahwa hak anak dan perlindungannya terabaikan akibat dari kurangnya perhatian dari keluarga sebagai masyarakat terkecil juga sebagai akibat dari lingkungan sekitar anak. Oleh karena
itu,
pemikiran tentang
jaminan
hak
anak
serta
perlindungannya perlu dimulai pada perbaikan pola pembinaan anak dalam masyarakat kita, dengan mendasarkan kepada kasih sayang dan cinta yang tulus dan murni dari orang tuanya, yang pada gilirannya akan menumbuhkan rasa kasih sayang dan cinta kepada sesama manusia pada jiwa sang anak di kemudian hari. Beranjak dari sini, maka terbentuk suatu masyarakat yang memiliki kesejahteraan, ketentraman dan stabilitas yang tinggi.
40
Ibid.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Langkah selanjutnya adalah membuka jalan bagi kemungkinan pengembangan dan meningkatkan ikut sertanya masyarakat untuk mengambil peranan secara optimal dalam usaha perlindungan anak sebagai perwujudan ketentuan-ketentuan formal (hukum positif) maupun ketentuan yang sifatnya non formal sebagai perwujudan dari hukum adat dan hukum agama. Panti asuhan harus mampu berperan dalam mempersembahkan anak secara fisik dan mental untuk kembali ke masyarakat, oleh karena itu panti asuhan seharusnya mendapat perhatian yang wajar, cukup memiliki tenaga-tenaga ahli (professional), pekerja sosial yang berdedikasi dan fasilitas-fasilitas keterampilan, sehingga diharapkan adanya suatu sistem antara lembaga-lembaga pengentasan pendahuluan dan lembaga-lembaga pengentasan yang sesungguhnya. Walaupun demikian perlu ditekankan bahwa tindakan yang dilakukan di luar lembaga selalu lebih baik dari pada jika dilakukan di dalam suatu lembaga, sekalipun lembaga tersebut diselenggarakan dengan sangat baik. Akan tetapi diyakini juga bahwa tidak semua orang dapat dibiarkan begitu saja dalam masyarakat bebas tanpa dibiarkan berkeliaran begitu saja dalam masyarakat bebas tanpa membahayakan masyarakat. Untuk orang-orang ini perlu dikenakan tindakan penutupan/dikenakan penjara. Tindakan yang paling tepat dan bijaksana adalah penjatuhan pidana terhadap anak sesuai dengan apa yang dibutuhkan, dengan tidak meninggalkan peraturan perundang-undangan yang berlaku selama ini dan demi terjaminnya hak dan perlindungan anak, maka diupayakan langkahlangkah pemikiran sebagai berikut 41:
41
Ibid., hlm. 74.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
1. Bilamana pengadilan melihat dan meyakini kehidupan di lingkungan keluarga itu dapat membantu anak agar tidak lagi melakukan perbuatan pidana (ada jaminan). Dalam hal ini bijaksana bilamana tidak dijatuhkan hukuman apapun. 2. Bilamana keadaan keluarga si anak tidak memberi jaminan, sementara keadaan keluargnya tidak memberi contoh yang baik, maka tentu pilihan yang tepat ialah menjadikan ia anak Negara atau jika terdapat pihak ketiga yang merasa berkewajiban secara moral untuk mengakomodasikannya dan bersedia menjadi orang tua asuh, dengan dasar pemikiran bahwa kebutuhan anak yang paling dominan disini adalah kasih sayang keluarga, kasih sayang orang tua, yang tidak pernah diperolehnya sejak ia lahir ditinggal ibunya kemudian diasuh oleh keluarganya yang tidak memperlihatkan contoh kehidupan yang baik. Menjatuhkan hukuman terhadap si anak haruslah sangat berhati-hati, jika tidak ada pilihan lain seperti si anak sudah berkali-kali melakukan perbuatan pidana dan sifat kejahatannya meningkat. Kemudian hal itu harus didukung pula oleh hukum positif yang memiliki sanksi atas
pelanggarannya. Dengan
didasarkan kepada kesadaran akan masalah anak di Negara kita yang merupakan salah satu masalah pokok yang perlu diperhatikan dan dipikirkan pemecahannya, khususnya dalam rangka perlindungan dan perlakuan terhadap anak dalam bidang peradilan. Oleh karena itu, peradilan pidana anak perlu memfokuskan titik perhatiannya pada 2 (dua) hal , yaitu 42 : a. Masa depan pelanggar hukum yang berusia muda atau belum dewasa.
42
Ibid., hlm. 75.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
b. Akibat-akibat sosiologis dan psikologis akibat diterapkannya suatu jenis hukuman. Dengan demikian, diharapkan bahwa hal tersebut di atas selalu melatarbelakangi tindakan-tindakan yang diberikan Hakim dalam memutuskan perkara anak di muka sidang pengadilan. Pembenahan mengenai sidang anak yang selama ini terpisah anatara pidana dan perdata. Disini kita membicarakan tentang bentuk kewenangan menangani perkara anak, baik itu perdata maupun pidana dipisahkan secara tersendiri penanganannya, sehingga tidak berlaku bagi anak pemisahan antara perdata dan pidana melainkan khusus. Peradilan anak yang merupakan bagian dari peradilan umum yang menangani khusus. Peradilan anak yang merupakan bagian dari peradilan umum yang menangani khusus perkara Anak Nakal. Adapun wewenang di dalam sidang anak tidak terbatas pada perkara pidana atau perkara perdata saja, tetapi menangani pula terhadapa anak-anak Nakal, anak telantar, perwalian, pengangkatan dan pelaku tindak pidana anak (termasuk pula tindak pidana ekonomi, subversi, korupsi dan narkotika) 43. Hall demikian dimungkinkan karena dalam pemidanaan bagi anak haruslah mempertimbangkan banyak hal yang telah diuraikan, yang tidak berlaku bagi orang dewasa. Pasal 59 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 menentukan bahwa pemerintah dan lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dan kelompok minoritas dan terisolasi,
43
Ibid.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
anak dieksploitasi secara ekonomi dan/atau mental, anak yang mengandung cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 menentukan bahwa perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui ketentuan Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, yaitu : a. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak; b. penyediaan petugas pendamping anak sejak dini c. penyedian sarana dan prasarana khusus d. pejatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum; f. pemberian jaminan untukm mempertahankan hubungan dengan orang tua dan atau keluarga; dan g. perlindungan dari pemberian identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. 44 Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakaan melalui upaya rehabilitasi, dalam baik dalam lembaga maupun di luar lembaga; upaya perlindungan dari
44
Ibid.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi; pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial; dan pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara sebagaimana yang diatur Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002.
C. Ditinjau Dari Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pada dasarnya Undang-undang No. 39 Tahun 1999 menyebutkan berbagai ruang lingkup dan jenis Hak-hak Asasi Manusia, sedangkan Undangundang No. 26 Tahun 2000 menyebutkan antara lain berbagai kejahatan terhadap Hak-hak Asasi Manusia, proses dan cara penanganannya di Pengadilan. 1. Jenis-jenis Hak Asasi a. Hak untuk hidup b. Hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan c. Hak untuk mengembangkan diri d. Hahk untuk memperoleh keadilan e. Hak untuk kebebasan pribadi f. Hak atas rasa aman g. Hak atas kesejahteraan h. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan i.
Hak wanita
j.
Hak anak
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
2. Implementasi Hak Untuk menjabarkan ahak-hak anak secara transparan yang memenuhin standar hukum, ada baiknya terlebih dahulu memehami pengertian tentang hak seorang manusia dapat disebut mempunyai hak karena timbul dari adanya manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon). Manusia diharuskan untuk menunjukkan sesuatu yang menjadi jati diri self of diginity (kemuliaan), self of image (percaya diri), dan self esteem (harga diri) terhadap lingkungan sosial. Kepribadian yang utuh atau jati diri sesesorang lahir sebagai wujud kepemilikan terhadap sesuatu nilai yang mendasar di dalam dirinya (human rights). Nilai ini kemudian meletakkan dasar kepribadian yang membedakan terhadap sesame manusia. Pengertian human rights, menurut Decey menyebutkan human rights meliputi: 45 1. the rights to personal freedom 2. the rights to freedom of discussion 3. the rights to public meeting nilai ini dikenal dalam kepemilikan yang disebut “hak” dari seorang manusia atau subjek hukum, kemudian dikelompokkan ke dalam Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan demikian yang dimaksud dengan Hak yaitu kekuasaan yang diberikan oleh badan hukum kepada seseorang (Badan Hukum) karena perhubungan hukum dengan orang lain.
45
Maulana Hassan Wadong. Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Grasindo, 2000. hlm. 28 Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Hak anak dapat dibangun dari pengertian hak secara umum ke dalam pengertian sebagai berikut : “Hak anak adalah sesuatu kehendak yang dimiliki oleh anak yang dilengkapi dengan kekuatan (macht) dan yang diberikan oleh system hukum/tertib hukum kepada anak yang bersangkutan.” Dari defenisi hak anak tersebut, pada sisi lain diletakkan hak-hak lain dalam lingkungan sosial, seperti hak orang tua, pemerintah, warga masyarakat atau lebih umum disebut lingkungan sosial dimana anak itu berada akan mencirikan hak-hak itu secara formal. Hak apapun yang diberikan oleh lingkungan sosial, baik terhadap seseorang anak maupun kepada manusia pada umumnya, hak itu memiliki sifat dan cirri-ciri sebagai berikut: 46 1. kepentingan seseorang yang terlindungi 2. kehendak yang dilengkapi dengan kekuatan 3. kumpulan kekuasaan yang mempunyai landasan hukum.
3. Hak Asasi Dalam Declaration on The Right of The Child Dalam pandangan dunia internasional, hak-hak anak menjadi actual, sejak dibicarakan pada tahun 1924, yaitu lahirnya Konvensi Jenewa yang mengelompokkan hak-hak manusia dalam bidang kesejahteraan, dimana dalam konvensi ini juga dimuat hak asasi anak. Pada tanggal 10 Desember 1948 lahir The Universal Declaration of Human Rights yang dikeluarkan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa), dimana hak asasi anak dikelompokkan ke dalam hak-hak manusia secara umum. Karena sangat sulit untuk memisahkan hak-hak manusia dari satu pihak dengan hak asasi anak di pihak lain. Pada tanggal 29
46
Ibid. hlm 30
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
November 1959, PBB memandang perlu untuk merumuskan Declaration on the Rihgts of The Child. Kemudian dikenal dengan sebutan Deklarasi Hak Asasi Anak.hak Asasi Anak dalam pandangan deklarasi hak asasi anak yang dicetuskan oleh PBB pada tahun 1959 meliputi hak-hak asasi sebagai berikut: 47 a. hak untuk memperoleh perlindungan khusus dan memperoleh kesempatan yang dijamin oleh hukum (ketentuan Pasal 2 DRC) b. hak
unutk
memperoleh
nama
dan
kebangsaan
atau
ketentuan
kewarganegaraan (ketentuan Pasal 3 DRC) c. hak untuk memperoleh jaminan untuk tumbuh dan berkembang secara sehat (ketentuan Pasal 4 DRC) d. hak khusus bagi
anak-anak cacat (mentak dan fisik) dalam memperoleh
pendidikan, perawatan, dan perlakuan khusus (ketentuan Pasal 5 DRC) e. hak untuk memperoleh kasih saying dan pengertian (ketentuan Pasal 6 DRC) f. hak untuk memperoleh pendidikan secara Cuma-Cuma sekurang-kurangnya di tingkat SD-SMP (ketentuan Pasal 7 DRC) g. hak untuk didahulukan dalam perlindungan/pertolongan (ketentuan Pasal 8 DRC) h. hak untuk dilindungi dari penganiayaan, kekejaman perang dan penindasan rezim (ketentuan Pasal 9 DRC) i.
hak untuk dilindungi dari diskriminasi rasial, agama maupun diskriminasi lainnya (ketentuan Pasal 10 DRC). Keputusan deklarasi hak asasi anak yang dicetuskan oleh PBB, belum
dapat
dipandang
47
sebagai suatu
ketentuan hukum
yang
positif dalam
Ibid. hlm 34
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
tersosialisasinya pergaulan masyarakat dengan anak. Kenyataan dari ketentuan ketatanegaraan hak-hak asasi anak di Indonesia, belum adanya pertauran perundang-undangan yang melindungi kehidupan anak secara yuridis formal. Bangsa Indonesia masih perlu untuk meratifikasi Deklarasi Hak Asasi Anak tersebut menjadi sebuah undang-undang dan peraturan lain yang bersifat lebih mengikat kepada hak asasi anak di Indonesia. Perlindungan hak asasi anak di Indonesia, dirumuskan dalam suatu kerangka hukum yang tidak jauh beda dengan ketentuan-ketentuan hukum orang dewasa pada umumnya. Misalnya, dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Bentuk dan makna rumusan HAM tentang anak menyimpulkan hak-hak anak yang terdapat dalam Declaration on The Rihgt of The Child, yang telah diratifikasi menjadi ketentuan-ketentuan hak asasi anak Indonesia yang baru.
4. Perlindungan Hak Asasi Anak Perlindungan hak asasi anak adalah meletakkan hak anak ke dalam status sosial anak dalam kehidupan masyarakat, sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan anak yang mengalami masalah sosial. Perlindungan dapat diberikan pada hak-hak dalam berbagai cara . Proses perlindungan anak dimaksud disebut sebagai proses edukasional terhadap ketidakpahaman atau ketidakmampuan anak dalam melakukan suatu tugas-tugas sosial kemasyarakatan. Perlindungan hak asasi anak dapat diberikan dengan cara yang sistematis, melalui serangkaian program, stimulasi, latihan, pendidikan, bimbingan salat, permainan dan dapat juga diberikan melalui bantuan hukum yang dinamakan Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Dengan meletakkan hak asasi anak dalam berbagai aspek seperti agama dan deklarasi hak asasi anak yang menjadi pokok persoalan dalam kajian adalah bagaimana meletakkan hak asasi anak dalam proses peradilan pidana yang dieliminir dari ketentuan-ketentuan hukum pidana dan hukum acara pidana yang berlaku dalam Negara kesatuan Republik Indonesia, yaitu Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Ketentuan ini melengkapi proses peradilan anak yang terdapat dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang belum memiliki ketentuan dasar hukum pelaksanaan di dalam masyarakat.
5. Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Anak Logika pertanggungjawaban hukum terhadap anak berkedudukan sangat luas. Dalam lingkungan sosial keagamaan seorang anak senantiasa berada dalam lingkungan, bimbingan, dan pengawasan dan penafikan yang diberikan oleh keluarga dekatnya yaitu kedua orang tua dan sanak saudara. Pertanggungjawaban sosial dan agama, akan berbeda kedudukannya dengan pertanggungjawaban hukum terhadap seorang anak. Pertanggungjawaban hukum memiliki nuansa yang structural atas segala bentuk dan tindakan yang diberikan pemerintah dan Negara kepada seorang anak. Pertanggungjawaban ini sering diwujudkan kepada: a. Orang Tua Peranan orang tua dalam pertanggungjawaban hukum terhadap anak, telah menjadi bagian formal dalam system hukum nasional. Tanggung jawab yang dimaksud adalah kewenangan yang ditentukan oleh hukum pidana dalam menjatuhkan hukuman pidana terhadap anak. Jenis hukuman ini dibagi ke dalam dua bentuk yang diklasifikasikan dengan Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
“hukuman
pidana”
dan
“hukuman
tindakan”
yang
ditentukan
berdasarkan Pasal 22 Undang-undang No. 3 Tahun 1997 yang menyebutkan “terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam Undang-undang.keberadaan orang tua dalam perakra anak maka hanya dalam pengelompokkan bentuk “tindakan” yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal, sedangkan pengelompokkan pidana orang tua tidak mempunyai wewenang hukum terhadap
anak
yang
melakukan tindak
pidana kejahatan atau
pelanggaran. Dalam tindak pidana yang dilakukan oleh seorang anak yang belum dewasa , hukuman pidana atau tindakan yang akan dijatuhkan kepadanya dapat dengan jalan anak tersebut dipulangkan kepada orang tuanya. Ketentuan Pasal 24 Undang-undang No. 3 Tahun 1997 ini telah menjadi salah satu objektif dari penafsiran terhadap bentuk-bentuk hukuman yang akan dijatuhkan kepada seorang anak di bawah umur atau yang belum dewasa. Sebagaimana bersifat objektif, seyogianya sikap orang tua di dalam menjalankan tugas mempidanakan atau menghukum anak sendiri, hendaknya harus dipandang sebagai orang tua yang telah diberikan hak fictie oleh Negara atau pemerintah. 48 Hak fictie adalah setiap manusia dan atau orang tua dianggap telah mengetahui dan memahami dan telah mengerti tentang Undang-undang baik yang mengatur tentang pidana, tindakan atau hukum pada umumnya. Kedudukan anak yang dihukum dengan diserahkan kepada
48
Ibid. hlm. 50
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
orang tua tidak dapat disebut sebagai gugurnya tindak pidana yang dilakukan anak tersebut dan atau dihapuskannya hak untuk menjalankan hukuman (penjara) dari anak itu b. Pemerintah/Negara Tanggung jawab hukum pemerintah/Negara dikonsentrasikan pada halhal sebagai berikut: 1. menjalankan fungsi yudikatif/legislstif 2. pengadaan dan penyebaran hukum yang telah dibuat 3. mengadili dengan seadil-adilnya. Pertanggungjawaban hukum pemerintah terhadap anak tidak memiliki makna politik kenegaraan, tetapi menjadi tanggung jawab konstitusional, di dalam mnerapkan tujuan Negara yang tercantum di dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea keempat yang berbunyi: “…. mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang abadi…….” Pertanggungjawaban hukum dari pemerintah terhadap seorang Anak Nakal terdapat pada Pasal 24 ayat b Undang-undang No. 3 Tahun 1997 bahwa Anak Nakal diserahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Penyerahan kepada Negara hanya dapat dilakukan melalui ketetapan atau keputusan hakim dan atau Manjelis hakim yang bertugas untuk itu. Batas penyerahan pendidikan, pembinaan atau latihan kerja yang diberikan pemerintah adalah sampai pada anak nakal itu mencapai usia 18 tahun. c. Lingkungan Sosial Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Selain ketentuan pertanggungjawaban masyarakat terhadap anak yang terdapat dalam ketentuan Pasal 24 ayat c Undang-undang No. 3 Tahun 1997, tanggung jawab hukum masyarakat terhadap anak dapat dilihat pada fungsi-fungsi sosial lain dari anggota masyarakat antara lain: 1. agen of change 2. sosial engineering 3. sosial control.
6. Relevansi Undang-undang HAM dengan Hukum Perlindungan Anak. Berbicara tentang Undang-undang HAM tidak terlepas dari keberadaan Komnas HAM. Komnas HAM memilki spesifikasi tertentu yang dapat dijadikan sebagai fungsi kontradiksi terhadap KUHP yang telah berpuluh-puluh tahun mengatur tentang masalah hak-hak politik dari masyarakat Indonesia. Lembaga Komnas HAM adalah lembaga independent. Kegiatan Komnas HAM diletakkan dari kebijaksanaan nilai globalisasi perkembangan Hukum Internasional terhadap fungsi perlindungan dari anggota masyarakat suatu negara
yang menjalin
keterikatan dengan PBB. Kedudukan tahun 1991 ternyata semakin fungsional dan strategis dalam konfigurasi hukum nasional Indonesia. Dalam perkembangan lebih lanjut, Komnas HAM mulai menjalankan fungsi dan tugas yang menyangkut hal-hal yang beraspek pada kemanusiaan. Kemudian pada babakan Presiden B. J. Habibi dengan terobosan Orde Reformasi berhasil mengeluarkan perundang-undangan khusus yang menhatur tentang HAM yaitu Undang-undang No. 39 Tahun 1999. Fenomena Komnas HAM mulai diratifikasi menjadi statement kemanusiaan yang berbentuk yuridis formal. Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Hubungan Undang-undang HAM dengan Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak belakangan ini dapat disebut dengan hubungan “formal konstitusional”, yaitu Komnas HAM merupakan hukum formal yang memuat perlindungan hak-hak anak secara yuridis. Bentuk-bentuk ratifikasi dijabarkan secara transparan dengan memuat ketentuan-ketentuan formal yang menyangkut statement hukum yang mengatur tentang hak-hak anak Indonesia yang harus mendapat
prioritas
perlindungan
dalam
tindakan
kehidupan
sosial
kemasyakaratan, kenegaraan. Undang-undang No. 3 Tahun 1997 dengan transparansi memuat dan mencantumkan hak-hak anak ke dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 66. Pasal-pasal ini menjabarkan atau memperinci hak-hak anak yang harus mendapat perlindungan lebih utama. Dalam Pasal 66 sebagai pasal terakhir dari hak-hak anak menyebutkan bahwa : 1. Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. 2. Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak. 3. Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum. 4. Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya akhir. 5. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya. 6. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak meperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku. 7. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.
BAB III PENERAPAN SANKSI TINDAKAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA A. Kasus Posisi Dalam kasus tindak pidana penganiayaan ynag dilakukan oleh anak sebagai pelaku tindak pidana di wilayah hukum Pengadilan Negeri Stabat dengan nomor perkara No. 828/Pid. B/2005/PN. Stb dimana identitas Terdakwa yang tersebut dalam surat dakwaan ialah : Nama Lengkap
: Muhammad Azuar
Umur
: 8 (delapan) tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Kebangsaan
: Indonesia
Tempat Tinggal
:Dusun
VI
Gang
Saudara
Desa
Paluh
Manis,
Kecamatan Gebang, Kabupaten Langkat. Agama
: Islam
Pekerjaan
: Ikut orang tua
Pertimbangan Hakim pada saat itu menjatuhkan hukuman berupa tindakan kepada Muhammad Azuar disebabkan karena beberapa hal yaitu bahwa Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Terdakwa masih muda, Terdakwa masih sekolah, Terdakwa diharapkan masih dapat merubah perilakunya dan juga Terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam masyarakat sering terjadi kejahatan amupun pelanggaran yang dilakukan oleh anak di bawah usia 18 tahun, sehingga harus mempertanggungjawabkan secara hukum positif melalui proses sidang pengadilan. Dalam proses ini tugas seorang hakim menjadi sangat mulia dan harus manusiawi. Dalam menghadapi perbuatan anak di bawah usia 18 tahun, Hakim harus menyelidiki dengan sangat teliti apakah anak tersebut sudah mampu membeda-bedakan secara hukum akibat perbuatannya atau belum. Jika hakim berkeyakinan bahwa anak tersebut sudah mampu membeda-bedakan maka ia dapat menjatuhkan pidana terhadap anak dengan dikurangi sepertiga dari hukuman pidana biasa maupun hukuman berupa tindakan. Dalam hal ini, Muhammad Azuar yang bertempat tinggal di Gang Antara sekitar pukul 13.00 Wib, hari Rabu Tanggal 31 Agustus 2005, telah terbukti melakukan penganiayaan terhadap Saksi Ermansyah (Eman) sehingga Saksi Ermansyah mengalami luka dan terganggu untuk melakukan aktifitas pekerjaannya sehari-hari. Hal tersebut dibuktikan berdasarkan hasil pemeriksaan Visum Et Revertum No. 94/VER/MR/K/2005 tanggal 05 September 2005 yang ditandatangani oleh Dr. Irsyam Risdawati selaku salah satu dokter pada RSU Tanjung Pura. Terdakwa diajukan di persidangan oleh Penuntut Umum dengan dakwaan tunggal tertanggal 12 Desember 2005.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Usia Terdakwa pada waktu melakukan tindak pidana terhitung sejak tanggal Terdakwa lahir pada tanggal 05 September 1996 sampai Terdakwa melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum yaitu pada tanggal 31 Agustus 2005 adalah 8 (delapan) tahun lewat 8 (delapan) bulan, 26 (dua puluh enam) hari. Namun pada waktu Terdakwa diajuka ke Sidang Anak terhitung sejak Terdakwa lahir pada tanggal 05 September 1996 sampai Terdakwa diajukan ke Sidang Anak yaitu pada tannggal 26 Desember 2005 adalah 9 (sembilan) tahun lewat 21 (dua puluh satu) hari. Berdasarkan Dakwaan Penuntut Umum, Terdakwa telah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP jo. UU No. 3 Tahun 1997 dan terhadap Terdakwa haruslah dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya.
B. Dakwaan Dalam dakwaannya Jaksa Penuntut Umum (JPU) memberikan dakwaan tunggal. Berdasarkan Pasal 143 ayat (2) KUHAP, Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi: a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka; b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Apabila surat dakwaan tidak memenuhi ketentuan tersebut, maka surat dakwaan tersebut batal demi hukum.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Dalam keterangan saksi-saksi : Saksi Armansyah menerangkan bahwa Terdakwa sering memukuli adik dari Saksi Armansyah sehingga mengakibatkan trauma dan tidak mau sekolah lagi. Pada tanggal 31 Agustus 2005 sekitar pukul 13.00 wib terdakwa melakukan penganiayaan terhadap saksi sewaktu pulang dari sekolah dengan cara mencekik lehernya dengan kedua tangan Terdakwa kemudian saksi dibanting/dijatuhkan ke tanah lalu perut saksi diduduki sambil terdakwa menggenjot-genjotkan badannya ke perut saksi dan kemudian ditendang oleh terdakwa. Dimana perbuatan terdakwa tersebut disebabkan karena saksi mengadukan kepada guru perbuatan Terdakwa yang sering mengganggu adiknya Akibat perbuatannya itu, saksi mengalami luka memar di daerah perut, iga, dan pinggul dan akibat cekikan tersebut menyebabkan leher saksi terasa sakit. Atas keterangan yang diberikan saksi tersebut, Terdakwa menbantahnya. Saksi
Ani
Br.
Sembiring
menerangkan
bahwa
saksi
tidak
mengetahui/tidak melihat secara langsung penganiayaan tersebut, namun penganiayaan tersebut diketahui saksi dari Armansyah yang pulang dari sekolah dalam keadaan menangis terus menerus karena perutnya sakit akibat dipukuli oleh Terdakwa. Setelah saksi mengetahui hal tersebut, saksi membawa saksi Armansyahke rumah orang tua Terdakwa untuk meminta pertanggungjawaban perobatan atas perbuatan yang dilakukan terdakwa terhadap saksi Armansyah. Namun ternyata orang tua si Terdakwa menolak ketika saksi meminta uang ganti rugi perobatan untuk perdamaian, dan menuduh saksi melakukan pemerasan terhadapnya.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Saksi Fajaruddin menerangkan bahwa benar terdakwa telah melakukan penganiayaan terhadap saksi Armansyah sewaktu pulang dari sekolah dengan cara mencekik leher saksi dengan kedua tangannya lalu saksi dijatuhkan ke tanah dan pada saat itu terdakwa menggenjot-genjotkan badannya ke perut saksi dan kemudian menendangnya. Atas keterangan saksi tersebut, Terdakwa membenarkannya. Saksi Yunasriati, Ma. Pd menerangkan bahwa berdasarkan Buku Pendaftaran Murid Baru pada SD No 056633 atas nama terdakwa dicantumkan tanggal lahir ybs yaitu pada tanggal 05 Desember 1996, kemudian diperoleh data dari Buku Induk Statistik Seklolah bahwa sewaktu kelas I ke kelas II Terdakwa dinyatakan naik percobaan, dan sewaktu kelas II ke kelas III terdakwa tidak naik kelas. Pada saat ini terdakwa tercatat sebagai Murid kelas III yang seharusnya terdakwa sudah duduk di kelas V pada saat itu. Saksi juga mengetahui penganiayaan yang dilakukan terdakwa tersebut dari keterangan salah seorang muridnya yang duduk di kelas IV SD pada tanggal 31Agustus 2005. Pada hari saksi dimintai keterangannya di depan sidang Pengadilan, Terdakwa menolak untuk hadir di persidangan maka dari itu Terdakwa tidak memberikan tanggapannya.
Keterangan Terdakwa Berdasarkan keterangan Terdakwa di dalam persidangan bahwa benar Terdakwa telah melakukan penganiayaan sewaktu pulang sekolah terhadap Armansyah, yang mana Terdakwa lupa/ tidak ingat lagi hari dan tanggal ia melakukannya. Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Kemudian terdakwa melakukan penganiayaan terhadap saksi dengan cara memiting leher saksi dari belakang dengan tangan satu. Pada saat perkelahian itu terjadi, saksi tidak tinggal diam begitu saja, saksi mencakar muka dan bibir terdakwa yang kemudian dipisahkan oleh Adel (abang dari Terdakwa), saksi Fajaruddin, dan seoarng laki-laki dewasa yang terdakwa tidak mengenalnya. Setelah dipisahkan kemudian si Terdakwa mengucapkan “Awas kau” kepada Armansyah. Dan sebelumnya pula, terdakwa mengakui bahwa ia pernah berkelahi dengan adiknya saksi korban yang bernama Iwan. Terdakwa
memberikan
alasan
kenapa
melakukan
hal
tersebut
disebabkan karena diejek oleh saksi Armansyah yang pada saat itu mengatakan “Kalau aku jadi Iwan, ku tumbuk aja dia”.
Alat Bukti Surat Bahwa di persidangan telah diperlihatkan alat bukti surat masing-masing berupa: 1. Visum Et Revertum No. 94/VER/MR/K/2005 tanggal 05 September 2005 yang ditandatangani oleh Dr. Irsyam Risdawati selaku salag seorang dokter pada Rumah Sakit Umum Tanjung Pura. 2.
Surat Perjanjian Damai pada tanggal 26 Januari 2006 di Paluh Manis, yang ditanda tangani oleh Pihak Pertama (Orang tua Terdakwa) yang bernama Sugianto dengan Pihak Kedua (Orang tua Korban) yang bernama Syahliyang dihadiri oleh para saksi bernama Rusli dan Ani.
3. Daftar Hadir Siswa Kelas III SD yang dikuatkan dengan Surat Keterangan Kepala Sekolah pada tanggal 28 Nopember 2005 yang ditanda tangani oleh Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Yunasriati, Ma. Pd, yang menerangkan bahwa terdawa lahir di Paluh Manis tanggal 05 Desember 1996.
C. Tuntutan Pidana Berdasarkan pertimbangan tersebut maka Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus tersebut menguraikan tuntutannya yaitu yang pada pokoknya menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan : 1. Menyatakan Terdakwa Muhammad Azuar als Raju telah melakukan tindak pidana “Penganiayaan” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP jo. UU No. 3 Tahun 1997, dakwaan tunggal; 2. Menjatuhkan hukuman terhadap Terdakwa berupa: tindakan dikembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya; 3. Menyatakan barang bukti berupa: NIHIL; 4. Menetapkan agar Terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp 1.000,- (seribu rupiah).
D. Putusan Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukan di atas, maka dengan memperhatikan ketentuan Pasal 351 Ayat (1) KUHP jo. UU No. 3 Tahun 1997 dan ketentuan hukum lainnya yang bersangkutan dengan perkara ini, maka Hakim memutuskan perkara ini dengan Putusan sebagai berikut:
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
1. Menyatakan Terdakwa Muhammad Azuar Als. Raju terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penganiayaan” sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan tunggal, 2. Memidana Terdakwa oleh karena itu dengan tindakan mengembalikan Terdakwa kepada orang tuanya agar dapat dibina, 3. Melampirkan barang bukti nihil dan alat bukti baru dalam berkas perkara, 4. Membebani Terdakwa untuk menbayar biaya perkara sebesar Rp 1.000,(seribu rupiah).
E. Fakta Hukum Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan Pengadilan Negeri Stabat, maka Jaksa Penuntut Umum sampai kepada pembuktian mengeni unsure-unsur pidana yang didakwakan, dimana dakwaaan tunggal yaitu Pasal 351 ayat (1) KUHP jo. UU No, 3 Tahun 1997 yang mengandung unsure-unsur sebagai berikut : 1. Unsur “barang siapa” Yang dimaksud dengan barang siapa dalam perkara ini adalah setiap orang sebagai subjek hukum dari tindak pidana yang dilakukan yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya dan daripadanya tidak ada alas an pembenar dan pemaaf untuk melakukan perbuatan tersebut. Dalam perkara ini yang dimaksud “barang siapa” adalah terdakwa Muhammad Azuar, yang selama dalam proses pemeriksaan di persidangan dapat mengikuti jalannya persidangan dengan baik, dapat menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh Hakim maupun JPU Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
dan tidak ditemukan adanya fakta yang menunjukkan terdakwa tidak sehat jasmani dan rohani. Dengan demikian unsure “barang siapa” telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum. 2. Dengan sengaja melakukan penganiayaan Bahwasannya tentang arti kesengajaan tidak ada dalam KUHPidana, tetapi dalam MvT diterangkan sebagai berikut : “pidana pada umumnya hendaklah dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dengan dikehendaki dan diketahui”. Di dalam teori hukum pidana dikenal dengan adanya 2 aliran yaitu teori kehendak (wills theory) dan teori pengetahuan (voorstellings theory). Menurut teori kehendak, kesengajaan addalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti dirumuskan dalan undang-undang, sedangkan menurut teori pengetahuan, kesengajaan adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsure-unsur yang diperlukan menurut rumusan undang-undang. Dari kedua teori tersebut jelaslah bahwa unsure kesengajaan itu dititikberatkan kepada yang dikehendaki pada waktu berbuat dan apa yang diketahui pada waktu akan berbuat Yang dimaksud dengan penganiayaan dalam pasal ini adalah menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan, rasa sakit, atau luka. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di muka persidangan terungkap bahwa terdakwa melakukan penganiayaan terhadap Saksi Armansyah sewaktu pulang sekolah di Gang Antara desa paluh Manis, Kecamatan Gebang, Kabupaten Langkat. Penganiayaan itu dilakukan terdakwa Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
dengan cara mencekik leher saksi dengan kedua tangan terdakwa kemudian saksi dijatuhkan ke tanah lalu perut saksi diduduki sambil terdakwa menggenjot-genjotkan badannya de perut saksi, setelah itu saksi ditendang oleh terdakwa. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil pemeriksaan Visum Et Revertum No. 94/VER/MR/K/2005 tanggal 05 September2005 yang ditandatangani oleh Dr. Irsyam Risdawati selaku salah seorang dokter pada Rumah Sakit Umum Tanjung Pura dengan hasil terdapatnya luka memar akibat trauma tumpul pada bebarapa bagian tubuh saksi korabn. Di samping hasil keterangan VER tersebut, saksi Ani Br. Sembiring (ibu orang tua Saksi korban) menerangkan bahwa anaknya selain menderita sesuai dengan VER juga mengalami muntah darah dan kencing darah.
Maka dengan demikian jelas unsure
“dengan sengaja melakukan penganiayaan” telah terpenuhi. Oleh karena itu, semua unsur-unsur dalam dakwaan tunggal yakni Pasal 351 Ayat (1) KUHP jo. UU No. 3 Tahun 1997 telah terpenuhi, maka dakwaan tunggal telah terbukti secara sah dan meyakinkan dalam perkara ini. Berdasarkan uraian-uraian di atas, Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini menyatakan terdakwa terbukti bersalah karena telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP Ayatb (1) jo. UU No. 3 Tahun 1997 dan menuntut Hakim untuk menjatuhi hukuman pidana yang setimpal dengan perbuatan Terdakwa. Majelis Hakim dalam perkara ini telah menjatuhkan hukuman berupa tindakan kepada Muhammad Azuar als Raju. Hukuman tersebut dijatuhkan Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
kepada Terdakwa tentunya setelah melalui proses persidangan di pengadilan dengan pertimbangan barang bukti yang ada dan keterangan para saksi serta keterangan dari Terdakwa sendiri. Pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan hukuman berupa tindakan mengembalikan kepada orang tuanya agar dapat dibina adalah karena ada unsur-unsur yang memberatkan dan yang nmeringankan Terdakwa. Adapun hal-hal yang memberatkan yaitu : 1. Perbuatan Terdakwa merugikan dan menimbulkan trauma bagi Saksi Korban (Armansyah als Eman); 2. Terdakwa di dalam persidangan memberikan keterangan berbelit-belit; 3. Kelakuan Terdakwa menghambat proses persidangan karena tidak hadir beberapa kali di persidangan. Di samping hal-hal yang memberatkan Terdakwa, terdapat pula hal-hal yang meringankan Terdakwa yaitu : 1. Terdakwa masih muda; 2. Terdakwa masih bersekolah; 3. Terdakwa diharapkan masih dapat merubah perilakunya; 4. Terdakwa belum pernah dihukum; 5. Antara keluarga Terdakwa dengan keluarga korban telah tercapai perdamaian. Setelah Pengadilan Negeri Stabat membaca surat-surat perkara, mendengar
keterangan
saksi-saksi,
menimbang
dan
sebagainya,
dan
memperhatikan ketentuan Pasal 351 Ayat (1) KUHP jo. UU No. 3 Tahun 1997, maka amar putusannya Pengadilan Negeri Stabat yang mengadili terdakwa Muhammad Azuar menyatakan bahwa Terdakwa terbukti bersalah melakukan Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
tindak pidana “Pengaiayaan” sebagaimana didakwakan dalam dakwaan tunggal, dengan memidana Terdakwa dengan tindakan mengembalikan Terdakwa kepada orang tua untuk dibina, agar barang bukti nihil dan alat bukti baru dilampirkan dalam berkas perkara, serta membayar biaya perkara sebesar Rp 1.000,- (seribu rupiah). F. Analisis Kasus Remaja atau generasi muda adalah generasi penerus yang akan kita andalkan untuk membangun bangsa, negara, dan agama pada masa yang akan datang. Ada pun remaja yang dapat diandalkan tersebut ialah remaja yang kuat, pintar, mempunyai ilmu pengetahuan, beriman, serta mempunyai akhlak yang baik. Namun sekarang ini akhlak remaja masa kini kiat merosot contoh yang sangat terlihat jelas saat ini adalah remaja yang berkonflik dengan hukum. Saat ini remaja bukan hanya sebagai korban tetapi sekarang ini banyak remaja yang menjadi pelaku kejahatan tersebut ini sangat mengkwatirkan sekali. Jenis-jenis kejahatan yang dikatagorikan sebagai kejahatan remaja konflik hukum yaitu ketertiban umum, pencurian biasa, pencurian dengan kekerasan, pencurian dengan terencana, pemerasan, senjata tanjam narkotika, psikotropika, kejahatan seksual seperti asusila, perkosaan, pencabulan, perjudian, penipuan / penggelapan, kelalaian mati / luka, penganiayaan, ikut serta dalam penganiayaan, penganiayaan hingga tewas, pekerja seks komersial, pembunuhan, dan ikut serta dalam pembunuhan. Dalam kasus Muhammad Azuar als. Raju juga mengundang banyak komentar dari masyakrat. Raju didakwa telah melanggar ketentuan pasal 351 ayat (1) KUHP jo. Undang-undang No. 3 Tahun 1997. Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Unsur-unsur perbuatan yang terkandung dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP jo. Undang-undang no. 3 Tahun 1997 sudah terpenuhi. Unsur-unsur perbuatan tersebut adalah : 1. Unsur “barang siapa” Yang dimaksud dengan barang siapa dalam perkara ini adalah setiap orang sebagai subjek hukum dari tindak pidana yang dilakukan yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya dan daripadanya tidak ada alas an pembenar dan pemaaf untuk melakukan perbuatan tersebut. Dalam perkara ini yang dimaksud “barang siapa” adalah terdakwa Muhammad Azuar, yang selama dalam proses pemeriksaan di persidangan dapat mengikuti jalannya persidangan dengan baik, dapat menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh Hakim maupun JPU
dan tidak ditemukan adanya fakta yang
menunjukkan terdakwa tidak sehat jasmani dan rohani. Dengan demikian unsure “barang siapa” telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum. 2. Dengan sengaja melakukan penganiayaan Bahwasannya tentang arti kesengajaan tidak ada dalam KUHPidana, tetapi dalam MvT diterangkan sebagai berikut : “pidana pada umumnya hendaklah dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dengan dikehendaki dan diketahui”. Di dalam teori hukum pidana dikenal dengan adanya 2 aliran yaitu teori kehendak (wills theory) dan teori pengetahuan (voorstellings theory). Menurut teori kehendak, kesengajaan addalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti dirumuskan dalan undang-undang, sedangkan Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
menurut teori pengetahuan, kesengajaan adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsure-unsur yang diperlukan menurut rumusan undangundang. Dari kedua teori tersebut jelaslah bahwa unsure kesengajaan itu dititikberatkan kepada yang dikehendaki pada waktu berbuat dan apa yang diketahui pada waktu akan berbuat Yang dimaksud dengan penganiayaan dalam pasal ini adalah menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan, rasa sakit, atau luka. Unsur-unsur tindak pidana secara umum dibedakan atas unsur subjektif dan objektif. 49 Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pealku/hubungan dengan diri si pelaku, dan yang termasuk di dalamnya adalah segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur objektif adalah unsurunsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan dimana perbuatan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur subjektif dari tindak pidana meliputi: a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa) b. Maksud (kehendak pada suatu percobaan) c. Macam-macam maksud (oogmerk) d. Merencanakan terlebih dahulu (voordebachte raad) e. Perasaan takut (vrees). Perbuatan Terdakwa sudah jelas memenuhi unsur subjektif. Hal ini dapat dilihat dari perbuatan Terdakwa yang dilakukannya dengan sengaja dan
49
Dikutip dari diktat Slamat Haris (Lektor Kopertis Wil. I Dpk UMSU). Sari Kuliah Hukum Pidana I. Medan, 2002 Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
bermaksud untuk membuat Saksi korban luka yang dapat dibuktikan berdasarkan hasil Visum Et Revertum No. 94/VER/Mr/K/2005. Sedangkan unsur objektif dari tindak pidana meliputin a. Sifat melanggar hukum (wederrechtelijkheid) b. Kausalitas dari si pelaku c. Hubungan kausal (sebab akibat). Perbuatan Terdakwa adalah perbuatan yang melanggar hukum, yaitu hukum yang berlaku di Indonesia. Terdakwa telah melanggar KUHP dan Undangundang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Terdakwa adalah orang yangd apat dimintai pertanggungjawabannya karena Terdakwa adalah orang yang sehat mentalnya. Perbuatan Terdakwa merupakan perbuatan sebagai penyebab pebuatan melanggar hukum. Dengan demikian semua unsur objektif dan subjektif telah terpenuhi. Kesalahan (schuld) adalah unsur mengenai keadaan ata gambaran hati seseorang sebelum ataupun pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur ini selalul melekat pada diri pelaku dan bersifat objektif. Pada diri Terdakwa jelas telah mengandung unsure kesalahan. Dakwaan merupakan dasar penting hukum acara pidana karena berdasarkan hal yang dimuat dalam surat itu hakim akan memeriksa perkara itu. Pemeriksaan didasarkan kepada surat dakwaan. Penulis berpendapat bahwa surat dakwaan yang diajukan di persidangan oleh Penuntut Umum dengan Dakwaan Tunggal telah memenuhi syarat sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 143 KUHAP. Dengan demikian, Terdakwa hanya dapat dipidana jika terbukti telah melakukan dellik yang disebut dalam dakwaan. Jika Terdakwa terbukti Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
melakukan dellik tetapi tidak disebut dalam dakwaan maka ia tidak dapat dipidana. Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, menyebutkan bahwa alat bukti yang sah yaitu meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan juga keterangan terdakwa. Penulis berpendapat bahwa dalam perkara ini ditemui adanya beberapa alat bukti sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) tersebut yaitu berupa keterangan saksi, alat bukti surat, maupun keterangan terdakwa. Berdasarkan keterangan dari para saksi tersebut, maka Penulis berpendapat bahwa terdapat keseragaman/kesamaan keterangan dari masingmasing
saksi.
Informasi
yang
mereka
berikan
masing-masing
saling
berhunbungan dan terkait erat. Penulis berpendapat bahwa hal ini sangat berpengaruh terhadap keyakinan Majelis Hakim. Selain keterangan saksi tersebut, Penuntut Umum juga menghadirkan Terdakwa di muka persidangan untuk dimintai keterangannya. Berdasarkan keterangan yang Terdakwa berikan maka Penulis berpendapat bahwa keterangan Terdakwa tersebut adalah benar adanya sesuai dengan perbuatan yang ia lakukan. Hal ini juga akan menjadi dasar pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan. Dalam mengambil keputusan, Majelis Hakim juga harus mengacu kepada Penjelasan Pasal 28 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa: “Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, Hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.”
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Dalam pengambilan keputusan Hakim juga telah menguji semua faktafakta yang terdapat selama persidangan dengan apa yang terdapat dalam dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum dalam Dakwaan Tunggalnya. Penulis menarik kesimpulan bahwa Terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dan telah memenuhi semua unsure dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP jo. Undang-undang No. 3 Tahun 1997. Dalam menentukan pidana atau tindakan, Hakim juga telah memperhatikan berat ringannya tindak pidana atau kenakalan yang dilakukan oleh anak yang bersangkutan. Penulis berpendapat bahwa Terdakwa sangat pantas untuk dijatuhi hukuman berupa tindakan tersebut yaitu mengembalikannya kepada orang tua untuk dibina, sehingga hal tersebut akan menjadi pelajaran bagi dirinya maupun masyarakat yang mengetahui hal tersebut agar lebih hati-hati dalam melakukan suatu perbuatan. Pada dasarnya, putusan Hakim tersebut bila ditinjau dari segi aspek perlindungan anak, telah mencerminkan perlindungan anak. Karena berdasarkan prinsip perlindungan anak, menjatuhkan pidana seharusnya adalah sebagai upaya terakhir. Oleh karena itu, seandainya saja segala sesuatu yang berkaitan dengan Pengadilan Anak telah dipersiapkan dengan matang, maka akan lebih banyak aparat penegak hukum yang lebih memperhatikan masalah perlindungan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, tidak hanya dari batasan usia saja, tetapi juga dari kejahatan yang dilakukannya dan perkembangan fisik serta mentalnya di masa yang akan datang. Dan hendaknya Hakim dalam mengambil keputusan memberikan pengertian akan hak dan kewajiban sebagai anak, karena dengan Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
mengetahui hak dan kewajiban sedini mungkin akan menjadikan anak sebagai warga masyarakat yang baik.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan permasalahan yang ada beserta pembahasannya pada skripsi ini, maka Penulis dapat menyimpulkan bahwa: 1. Hal penting yang harus diperhatikan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anak adalah konsekuensi penerapannya dikaitkan dengan berbagai faktor seperti kondisi ekonomi, sosial politik, dan budaya masyarakat.
Dalam
berbagai
peraturan
perundang-undangan
terdapat
perbedaan ketentuan yang mengatur tentang anak, hal ini dilatarbelakangi berbagai faktor yang merupakan prinsip dasar yang terkandung dalam dasar Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
pertimbangan
dikeluarkannya
peraturan
perundang-undangan
yang
bersangkutan yang berkaitan dengan kondisi dan perlindungan anak. Dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997, jenis-jenis penjatuhan pidana pada anak diatur dalam Pasal 22-34, berupa: a. Pidana, atau b. Tindakan. Apabila diperinci lagi, pidana dapat bersifat pidana pokok dan pidana tambahan. Adapun Pidana pokok itu sendiri terdiri dari : a. Pidana penjara b. Pidana kurungan c. Pidana denda d. Pidana pengawasan
Sedangkan Pidana tambahan terdiri atas : a. Perampasan barang-barang tertentu, dan atau b. Pembayaran ganti rugi Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah: b. Mengembalikan kepada orang tua, wali, orang tua asuh c. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau d. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Sedangkan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hanya menjamin dan melindungi anak serta hak-haknya, baik dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dan kelompok minoritas dan terisolasi, anak dieksploitasi secara ekonomi dan atau mental, anak yang mengandung cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tidak ada menentukan sanksi khusus yang dapat diberikan bagi anak pelaku tindak pidana. Dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 pada dasarnya menyebutkan berbagai ruang lingkup dan jenis hak-hak asasi manusia. Adapun jenis-jenis hak asasi itu meliputi: a. Hak untuk hidup b. Hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan c. Hak untuk mengembangkan diri d. Hak untuk memperoleh keadilan e. Hak untuk kebebasan pribadi f. Hak atas rasa aman g. Hak atas kesejahteraan h. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan i.
Hak wanita
j.
Hak anak.
Hak anak adalah sesuatau kehendak yang dimiliki oleh anak yang dilengkapi dengan kekuatan (macht) dan yang diberikan oleh sistem hukum/ tertib hukum kepada anak yang bersangkutan.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Pada tanggal 10 Desember 1948 lahir The Universal Declaration of Human Rights yang dikeluarkan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa), dimana hak asasi anak dikelompokkan ke dalam hak-hak manusia secara umum. Pada tanggal 29 November 1959, PBB memandang perlu untuk merumuskan Declaration on the Rihgts of The Child. Kemudian dikenal dengan sebutan Deklarasi Hak Asasi Anak. Hak Asasi Anak dalam pandangan Deklarasi Hak Asasi Anak yang dicetuskan oleh PBB pada tahun 1959 meliputi hak-hak asasi sebagai berikut: a. hak untuk memperoleh perlindungan khusus dan memperoleh kesempatan yang dijamin oleh hukum (ketentuan Pasal 2 DRC) b. hak unutk memperoleh nama dan
kebangsaan atau ketentuan
kewarganegaraan (ketentuan Pasal 3 DRC) c. hak untuk memperoleh jaminan untuk tumbuh dan berkembang secara sehat (ketentuan Pasal 4 DRC) d. hak khusus bagi anak-anak cacat (mentak dan fisik) dalam memperoleh pendidikan, perawatan, dan perlakuan khusus (ketentuan Pasal 5 DRC) e. hak untuk memperoleh kasih saying dan pengertian (ketentuan Pasal 6 DRC) f. hak untuk memperoleh pendidikan secara Cuma-Cuma sekurangkurangnya di tingkat SD-SMP (ketentuan Pasal 7 DRC) g. hak untuk didahulukan dalam perlindungan/pertolongan (ketentuan Pasal 8 DRC) h. hak untuk dilindungi dari penganiayaan, kekejaman perang dan penindasan rezim (ketentuan Pasal 9 DRC) Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
i.
hak untuk dilindungi dari diskriminasi rasial, agama maupun diskriminasi lainnya (ketentuan Pasal 10 DRC).
Keputusan deklarasi hak asasi anak yang dicetuskan oleh PBB, belum dapat dipandang sebagai suatu ketentuan hukum yang positif dalam tersosialisasinya pergaulan masyarakat dengan anak. Kenyataan dari ketentuan ketatanegaraan hak-hak asasi anak di Indonesia, belum adanya pertauran perundang-undangan yang melindungi kehidupan anak secara yuridis formal. Bangsa Indonesia masih perlu untuk meratifikasi Deklarasi Hak Asasi Anak tersebut menjadi sebuah undang-undang dan peraturan lain yang bersifat lebih mengikat kepada hak asasi anak di Indonesia. Perlindungan hak asasi anak di Indonesia, dirumuskan dalam suatu kerangka hukum yang tidak jauh beda dengan ketentuan-ketentuan hukum orang dewasa pada umumnya. Misalnya, dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Bentuk dan makna rumusan HAM tentang anak menyimpulkan hak-hak anak yang terdapat dalam Declaration on The Rihgt of The Child, yang telah diratifikasi menjadi ketentuan-ketentuan hak asasi anak Indonesia yang baru. Berbicara tentang Undang-undang HAM tidak terlepas dari keberadaan Komnas HAM. Dalam perkembangan lebih lanjut, Komnas HAM mulai menjalankan fungsi dan tugas yang menyangkut hal-hal yang beraspek pada kemanusiaan. Kemudian pada babakan Presiden B. J. Habibi dengan terobosan Orde Reformasi
berhasil mengeluarkan perundang-undangan
khusus yang mengatur tentang HAM yaitu Undang-undang No. 39 Tahun 1999. Fenomena Komnas HAM mulai diratifikasi menjadi statement kemanusiaan yang berbentuk yuridis formal. Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Bentuk-bentuk ratifikasi dijabarkan secara transparan dengan memuat ketentuan-ketentuan formal yang menyangkut statement hukum yang mengatur tentang hak-hak anak Indonesia yang harus mendapat prioritas perlindungan dalam tindakan kehidupan sosial kemasyakaratan, kenegaraan. Undang-undang No. 3 Tahun 1997 dengan transparansi memuat dan mencantumkan hak-hak anak ke dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 66. Pasal-pasal ini menjabarkan atau memperinci hak-hak anak yang harus mendapat perlindungan lebih utama. Dalam Pasal 66 sebagai pasal terakhir dari hak-hak anak menyebutkan bahwa: i.
Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
ii.
Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak.
iii.
Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
iv.
Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya akhir.
v.
Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
vi.
Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak meperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.
vii.
Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.
2.
B. Saran Adapun saran yang dapat Penulis sampaikan adalah: 1. Dalam rangka menegakkan keadilan tidak
hanya memerlukan Undang-
undang saja tetapi perlu mempersiapkan pejabat-pejabat pelaksananya yang benar-benar mengerti akan permasalahannya. Oleh karena itu, perlu dipersiapkan Hakim anak, Polisi, Jaksa dan lain-lain dengan meningkatkan kemampuan mereka di bidang masing-masing. 2. Setiap putusan Hakim akan selalu membawa pengaruh bagi anak-anak pelaku tindak pidana, oleh karena itu disarankan agar terhadap anak yang diajukan ke depan sidang anak, Hakim tidak langsung menjatuhkan pidana, terutama bagi anak yang baru pertama kali melakukan pelanggaran dan atau tindak pidana. Dan karena putusan Hakim memerlukan tindak lanjut, hendaknya diberikan pengertian akan hak dan kewajiban sebagai anak, karena dengan mengetahui Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
hak dan kewajiban sedini mungkin akan menjadikan anak sebagai warga masyarakat yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Atmasasmita, Romli, 1997, Peradilan Anak Di Indonesia, CV. Mandar Maju. Bandung. Azis, Aminah, 1998, Aspek Hukum Perlindungan Anak, USU Press, Medan. Chazawi, Adami, 2005, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Rajawali Press, Jakarta. Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Daryanto, 1998, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Apollo, Surabaya. Gultom, Maidin, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung. Hamzah, Andi, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, CV. Sapta Artha Jaya, Jakarta. Harahap, A. Bazar dan Nawangsih Sutardi, 2007, Hak Asasi Manusia dan Hukumnya, PECIRINDO, Jakarta. Hassan Wadong, Maulana, 2000, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta. Mulyadi, Lilik, 2005, Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktek dan Permaslahannya, CV. Mandar Maju, Bandung. Prinst, Darwan, 2003, Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Prodjohamidjojo, Martiman, 1997, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia 2, Pradnya Paramita, Jakarta. Sanusi Musthofa, Ahmad, 2002, Problem Narkotika-Psikotropika dan HIV-AIDS, Zikrul Hakim, Jakarta. Sasangka, Hari, 2003, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana Untuk Mahasiswa dan Praktisi Serta Penyuluh Masalah Narkoba, CV. Mandar Maju, Bandung. Soesilo, R, 1993, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor. Soetodjo, Wagiati, 2008, Hukum Pidana Anak, PT. Refika Aditama, Bandung. Sudarsono, 2008, Kenakalan Remaja, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Sunggono, Bambang, 2006, Metodologi Penelitian Hukum, Grafindo Persada, Jakarta. Supramono, Gatot, 2007, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta. Wahyono, Agung dan Siti Rahayu, 1993, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
B. Undang-Undang Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Rini Sri Wahyuni : Penerapan Sanksi Tindakan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi Putusan Raju di Pengadilan Negeri Stabat), 2009. USU Repository © 2009