IMPLEMENTASI SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU CONCURSUS OLEH PENGADILAN IMPLEMENTATION OF CRIMINAL SANCTION TO THE CHILD ACTORS CONCURSUS BY THE COURT
Muh. Ardiansyah Arafah Putra, Musakkir, M. Said Karim Konsentrasi Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi : Muh. Ardiansyah Arafah Putra, S.H. Fakultas Hukum Program Pascasarjana (S2) Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP: 085242329637 Email:
[email protected]
Abstrak Putusan hakim adalah mahkota dan puncak pencerminan nilai-nilai keadilan, namun pada kenyataannya, masih ada saja putusan hakim di pengadilan yang belum mengoptimalkan sanksi pidana (baik pidana pokok maupun pidana tambahan) terhadap anak pelaku concursus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan asas concursus pada perkara anak sebagai pelaku tindak pidana di pengadilan dan implementasi penjatuhan sanksi pidana terhadap anak pelaku tindak pidana concursus di pengadilan. Penelitian ini dilakukan di PN Makassar dengan menggunakan tipe penelitian sosioyuridis, pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan dokumentasi kemudian dianalisis secara kualitatif, selanjutnya dideskripsikan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan pertimbangan serta keyakinan dari seorang hakim sangat berperan penting dalam menerapkan asas concursus secara umum (baik itu concursus idealis, perbuatan berlanjut, maupun concursus realis) dalam sebuah perkara anak nakal di pengadilan, dan implementasi penjatuhan sanksi pidana terhadap anak pelaku concursus di pengadilan belum optimal, Penjatuhan sanksi yang diberikan hakim terhadap terdakwa anak pelaku concursus di pengadilan terbukti bahwa sanksi pidana sangat jarang di implementasikan oleh hakim anak di pengadilan, sehingga tidak akan menjamin efek jera dari suatu sanksi dapat terwujud dan mungkin saja anak nakal tersebut ketika telah selesai menjalankan hukumannya yang tergolong ringan (sanksi tindakan), dapat mengulangi perbuatannya di kemudian hari. Kesimpulannya putusan pengadilan menjadi tidak optimal karena banyak putusan yang hanya memberikan sanksi tindakan saja bagi anak pelaku concursus, sehingga akibatnya anak dapat mengulangi perbuatannya di kemudian hari. Kata Kunci : Implementasi, sanksi pidana, anak pelaku concursus. Abstract Judge's decision is a reflection of the crown and peak values of justice, but in reality, there are still ruling the Makassar District Court judge in the criminal sanctions have not been optimizing (both principal and additional criminal punishment) against the perpetrators of child concursus. This study aims to determine the application of concursus in case the child as a criminal in court and assess the implementation of criminal sanctions to the child actors concursus by the court. The research was conducted in PN. Makassar using the type sosioyuridis research , The data were collected through interviews and documentary inspection and manage with qualitatively analysis. The study indicates that the role of the Prosecutor's indictment and the judgment and conviction of a judge is very important in applying the general concursus (be it concursus idealist, continous act, and concursus realist) in a case of a child in court, and the implementation of criminal sanctions to the child actors concursus in court is still not optimal, given the imposition of sanctions against the defendant judges concursus child actors in the court proved that the criminal sanctions are very rarely, so it is not will ensure the deterrent effect of a sanction can be realized and may be the bad boy when it has finished running a relatively mild punishment (action sanction), can repeat his actions in the future. In conclusion court decision is not optimal because many decisions are only impose sanctions for offenders act alone concursus, so consequently the child can repeat the offense in future. Keywords : The Implementation, criminal sanctions, the child actors concursus.
PENDAHULUAN Pengertiaan straabar feit adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau culpa (lalai) oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan (Poernomo, 1992). Sedangkan menurut Moeljatno definisi tindak pidana atau delik adalah “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut” (Moeljatno, 2002). Dalam kamus hukum yang ditulis oleh Sudarsono dinyatakan bahwa delik adalah Perbuatan yang dapat dikenakan pidana karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang (Sudarsono, 2007). R. Abdoel Djamali mengemukakan pengertian tindak pidana (delik) sebagai suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana (Djamali, 2005). Pada dasarnya yang dimaksud dengan perbarengan ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang, dimana tindak pidana yang dilakukan pertamakali belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim. Pada pengulangan juga terdapat lebih dari suatu tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang. Perbedaan pokoknya ialah, bahwa pada pengulangan tindak pidana yang dilakukan pertama atau lebih awal telah diputus oleh hakim dengan mempidana pada si pembuat, bahkan telah dijalaninya baik sebagian atau seluruhnya. Sedangkan pada perbarengan syarat, seperti pada pengulangan tidaklah diperlukan (Chazawi, 2009). Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa menarik batas antara belum dewasa dengan sudah dewasa, tidak perlu dipermasalahkan karena pada kenyataannya walaupun orang belum dewasa namun ia telah dapat melakukan perbuatan hukum, misalnya anak yang belum dewasa telah melakukan jual beli, berdagang, dan sebagainya, walaupun ia belum berwenang kawin (Gultom, 2008). Menurut Romli Atmasasmita bahwa kelalaian orang tua terhadapa anak akan dapat menimbulkan keterlantaran. Keterlantaran yang berkelanjutan tanpa penyelesaian, tindakan kekerasan dan kekejaman yang terus menerus dialami seorang anak, serta eksploitasi tenaga kerja anak secara di sengaja dan dibiarkan akan dapat mengakibatkan goncangan dan konflik batin pada diri si anak. Hal tersebut akan sangat berpengaruh pada perkembangan fisik, mental emosinya serta sosialnya (Atmasasmita, 1995). Dikemukakan juga oleh Barda Nawawi
Arief
bahwa
hukum
perlindungan
sosial
mensyaratkan
penghapusan
pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan digantikan tempatnya oleh pandangan perbuatan anti sosial (Arief, 1994).
Putusan hakim disatu pihak berguna bagi terdakwa yaitu memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut, apakah akan menerima putusan atau akan melakukan upaya hukum terhadap putusan tersebut. Sedangkan di lain pihak, apabila telah ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim adalah mahkota dan puncak pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas hakim yang bersangkutan (Mulyadi, 2007). Berdasarkan pendapat tersebut, maka tampak bahwa moralitas dan mentalitas hakim dalam menangani perkara terletak pada putusan yang dijatuhkan, karena putusan hakim merupakan mahkota atau puncak pencerminan nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Delik adalah pengertian umum tentang semua perbuatan yang melanggar hukum atau pun undang-undang dengan tidak membedakaan apakah pelanggaran itu dibidang hukum privat atau pun hukum publik, termasuk hukum pidana (Ali, 2008). Namun pada kenyataannya, masih ada saja putusan hakim di Pengadilan Negeri Makassar yang belum mengoptimalkan sanksi pidana (baik pidana pokok maupun pidana tambahan) terhadap anak pelaku concursus, sanksi yang hanya berupa tindakan banyak terdapat dalam putusan-putusan hakim. Berdasarkan uraian tersebut di atas, tampak pelaksanaan sanksi pidana terhadap anak pelaku concursus cenderung tidak optimal, sehingga tidak memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana khususnya pelaku concursus. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui implementasi penjatuhan sanksi pidana terhadap anak pelaku tindak pidana concursus di pengadilan.
METODE PENELITIAN Lolasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Negeri Makassar. Penentuan lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan bahwa di kantor Pengadilan Negeri Makassar tersedia data yang diperlukan sebagai bahan analisis, data tersebut diperoleh dengan mengumpulkan dokumen-dokumen perkara anak yang meliputi berita acara penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di muka sidang. Tipe Penelitian Tipe penelitian ini adalah sosioyuridis yaitu meneliti ketentuan-ketentuan yang ada dengan cara menelaah terlebih dahulu bahan-bahan kepustakaan hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang hendak diteliti serta bagaimana praktik dilapangan yang berkaitan dengan penulisan ini.
Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan pihak-pihak yang terkait pada Pengadilan Negeri Makassar. Dari populasi tersebut ditetapkan beberapa sampel, dengan ketentuan Sampel dipilih dan ditentukan dengan menggunakan metode purposive sampling. Dengan jumlah responden 3 (tiga) orang Hakim anak Pengadilan Negeri Makassar sebagai nara sumber, serta Putusan Pengadilan Negeri Makassar. Dalam membahas permasalahan yang dikaji, penulis menggunakan 3 (tiga) putusan perkara anak pelaku concursus. Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dipergunakan teknik pengumpulan data melalui Wawancara (metode atau teknik pengumpulan data yang didapatkan secara langsung kepada narasumber dengan menggunakan pedoman wawancara) dan Dokumentasi (pengumpulan data dengan mengkaji dokumen-dokumen penting dari Instansi yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, dan dokumentasi tersebut bersifat sebagai bahan kajian yang relevan dengan penelitian). Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer (data empirik yang diperoleh langsung dari lapangan penelitian yang bersumber dari responden dan narasumber yang berkaitan dengan permasalahan penelitian) dan data sekunder (data yang diperoleh dari instansi Pengadilan Negeri Makassar, yaitu bahan-bahan laporan, sejumlah putusan dan dokumen lain yang mempunyai hubungan erat dengan masalah yang di bahas dalam penulisan ini). Analisis Data Sesuai dengan permasalahan yang ingin dijawab dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka data yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder dianalisis secara kualitatif, selanjutnya dideskripsikan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini.
HASIL Penerapan Asas Concursus Terhadap Anak Sebagai Pelaku. Tidak ada aturan secara khusus yang mengatur mengenai aturan concursus bagi anak sebagai pelaku (anak nakal), oleh karena itu aturan concursus idealis (Pasal 63 KUHP), perbuatan berlanjut (Pasal 64 KUHP), dan concursus realis (Pasal 65 sampai dengan Pasal 71 KUHP) juga diterapkan dalam perkara-perkara anak nakal yang melakukan tindak pidana atau anak nakal yang melakukan hal-hal yang terlarang bagi anak, hanya saja yang
membedakannya adalah terletak pada sistem pemidanaannya, yakni setiap sanksi pidana yang dijatuhkan kepada anak, dikurangi setengah (1/2) dari hukuman yang di ancamkan terhadap orang dewasa (sebagaimana perhitungan ancaman hukuman dalam KUHP). Namun demikian, tidak selamanya hakim dalam perkara anak nakal memutus seorang anak yang melakukan tindak pidana dengan sanksi pidana, dan bisa saja hakim hanya menjatuhkan sanksi tindakan saja. ini tergantung dari pertimbangan dan kebijakan hakim yang berhak menjatuhkan sanksi pidana atau sanksi tindakan. Kecuali dalam perkara anak nakal yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, hakim hanya dapat menjatuhkan sanksi tindakan dan tidak diperbolehkan menjatuhkan sanksi pidana. Menurut pendapat penulis disinilah salah satu kelemahan dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, dimana aturan Pasal 25 ayat (1) memberikan peluang / kesempatan bagi hakim untuk menjatuhkan sanksi tindakan terhadap anak pelaku tindak pidana, seharusnya aturan Pasal 25 ayat (1) UU Pengadilan Anak tidak memberikan pilihan bagi hakim untuk menjatuhkan sanksi pidana atau sanksi tindakan. Penulis berpandangan bahwa tidak semua perkara anak nakal (anak sebagai pelaku) menitikberatkan kepada keharusan untuk diberikan perlindungan, jika melihat kasus anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan (dalam perkara anak nakal), maka sah-sah saja jika seorang anak nakal patut untuk diberikan perlindungan, namun jika melihat kasus lain, dimana anak melakukan suatu tindak pidana, atau bahkan di kategorikan sebagai concursus, maka menurut penulis anak tersebut tidak patut untuk diberikan perlindungan, ini dikarenakan perbuatannya yang dipandang sebagai perbuatan yang seharusnya hanya dilakukan oleh orang dewasa namun dilakukan juga oleh anak akibat kenakalannya. Pandangan penulis tersebut di dasarkan teori yang penulis telah jelaskan pada bab-bab sebelumnya, dengan menggunakan teori relatif (sebagai salah dari teori-teori tujuan pemidanaan), yakni memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Dengan kata lain pemidanaan bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang melakukan kejahatan melainkan mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak memiliki nilai, tetapi hanya sekedar sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat (social defence). Jadi, dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana
dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan melainkan “supaya orang jangan melakukan kejahatan lagi di kemudian hari” oleh karena itu bagi anak nakal yang melakukan tindak pidana, maka seyogyanya hakim memberikan sanksi pidana agar efek jera dari suatu pemidanaan dapat terwujud sehingga anak nakal tersebut ketika telah selesai menjalankan hukumannya, ia akan berpikir keras untuk tidak mengulangi perbuatannya di kemudian hari. Implementasi Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Concursus Di Pengadilan Negeri Makassar. Implementasi penjatuhan sanksi pidana terhadap anak pelaku concursus di Pengadilan Negeri Makassar masih belum optimal, dimana putusan yang dijatuhkan oleh hakim Pengadilan Negeri Makassar selama tahun 2010 hingga tahun 2012, hanya 30% (tiga puluh persen) yang menjatuhkan sanksi pidana, dan 70% (tujuh puluh persen) putusan hanya menjatuhkan sanksi tindakan saja. Dari 3 (tiga) sampel putusan perkara-perkara anak nakal yang terkait dengan concursus realis di Pengadilan Negeri Makassar, yakni 1. Putusan Nomor : 942/Pid.B/2011/PN.MKS. 2. Putusan Nomor : 1354/Pid.B/2011/PN.MKS. dan 3. Putusan Nomor : 1700/Pid.B/2011/PN.MKS. Namun hanya ada satu putusan yang memberikan sanksi pidana, berupa pidana kurungan yakni Putusan Nomor: 1354/Pid.B/2011/PN.MKS, selebihnya
(Putusan
Nomor
:
942/Pid.B/2011/PN.MKS.
dan
Putusan
Nomor
:
1700/Pid.B/2011/PN.MKS.) hanya memberikan sanksi tindakan saja. Penjatuhan sanksi yang diberikan hakim terhadap terdakwa anak pelaku concursus di Pengadilan Negeri Makassar berdasarkan 3 (tiga) putusan yang penulis jadikan sampel penelitian, maka terlihat bahwa sanksi pidana sangat jarang di implementasikan oleh hakim anak di Pengadilan Negeri Makassar, ini tidak sejalan dengan teori relatif (sebagai salah dari teori-teori tujuan pemidanaan), yang menyatakan bahwa dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan melainkan “supaya orang jangan melakukan kejahatan lagi di kemudian hari”, jadi penjatuhan sanksi tindakan bagi anak nakal pelaku concursus oleh hakim, tidak akan menjamin efek jera dari suatu sanksi dapat terwujud sehingga mungkin saja anak nakal tersebut ketika telah selesai menjalankan hukumannya, dapat mengulangi perbuatannya di kemudian hari. Menurut Marlina yang menyatakan bahwa Seorang delinkuen (pelaku tindak pidana) sangat membutuhkan adanya perlindungan hukum, yang merupakan salah satu cara untuk melindungi tunas bangsa di masa depan. Perlindungan ini perlu karena anak merupakan bagian masyarakat yang mempunyai keterbatasan secara fisik dan mental (Marlina, 2009). Perbedaan penjatuhan sanksi pidana dengan sanksi tindakan dikemukakan lebih lanjut oleh
Sholehuddin, yang menjelaskan bahwa Sanksi pidana dan sanksi tindakan berbeda di tingkat ide dasar keduanya memiliki perbedaan fundamental. Keduanya bersumber dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bersumber pada ide dasar (mengapa di adakan pemidanaan), sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide dasar (untuk apa di adakan pemidanaan itu). Atau dengan kata lain sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Jika fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seseorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera) maka fokus sanksi tindakan terarah pada upaya memberi pertolongan agar dia berubah (Sholehuddin, 2003).
PEMBAHASAN Penelitian menunjukkan bahwa asas concursus pada perkara anak sebagai pelaku tindak pidana sudah di terapkan oleh Jaksa Penuntut Umum dan Hakim di pengadilan, penerapan asas concursus sangat bergantung pada peran dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan pertimbangan serta keyakinan dari seorang hakim sangat penting dalam menerapkan jenis concursus secara umum (baik itu concursus idealis, perbuatan berlanjut, maupun concursus realis) dalam perkara anak nakal di pengadilan, bahwa seorang hakim dalam perkara pidana (bersifat pasif) ia tidak dapat menjatuhkan putusan selain apa yang telah di dakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum di dalam persidangan. Begitupun sebaliknya, jika hakim di dalam pertimbangannya serta tidak berkeyakinan bahwa itu suatu perbuatan concursus atau bahkan bisa saja hakim berpendapat bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum kabur (obscure libel), maka hakim dapat saja tidak menerapkan concursus dalam putusannya, bahkan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Selain itu dari hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa implementasi penjatuhan sanksi pidana terhadap anak nakal belum optimal, ini di karenakan bahwa dari 3 (tiga) putusan pengadilan yang penulis jadikan sebagai sampel, hanya ada 1 (satu) putusan saja yang menjatuhkan sanksi pidana, dan 2 (dua) putusan lainnya hanya menjatuhkan sanksi tindakan saja, padahal sanksi adalah merupakan salah satu hal penentu dalam memberikan efek jera dari sifat pemidanaan, khususnya pemidanaan yang dilakukan oleh pelaku anak dalam pelaku concursus. Kategori anak nakal terbagi menjadi dua menurut Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 1997, kategori pertama yakni anak yang melakukan tindak pidana, dan kategori kedua yakni anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Jika dikaitkan dengan sanksi yang dijatuhkan, maka kategori
anak nakal yang pertama menurut Pasal 25 UU Nomor 3 Tahun 1997 dapat di jatuhi sanksi pidana (baik berupa pidana pokok dan pidana tambahan) atau sanksi tindakan, sedangkan kategori anak nakal yang kedua maka sanksi yang dapat dijatuhkan hanyalah sanksi tindakan (dengan kata lain tidak dapat di jatuhi sanksi pidana). Oleh karena itu jelaslah bahwa penjatuhan sanksi terhadap anak pelaku concursus tidak selamanya dijatuhi sanksi pidana, melainkan juga dapat berupa sanksi tindakan saja. Namun jika sanksinya adalah berupa pidana, maka perhitungan pidananya telah di atur lebih lanjut oleh UU Pengadilan Anak, yakni Pasal 26 UU Pengadilan Anak mengatur bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal menurut kategori pertama paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa, dan apabila anak tersebut melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun. Sedangkan perhitungan sanksi pidana bagi anak nakal kategori pertama (khususnya pidana kurungan), maka Pasal 27 UU Pengadilan Anak mengatur bahwa pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut adalah paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa. Begitupun dengan pidana denda, menurut Pasal 28 UU Pengadilan Anak mengatur bahwa pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling banyak 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa, dan apabila pidana denda ternyata tidak dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja. Dan pengaturan pidana pengawasan yang dapat di jatuhkan kepada anak nakal kategori pertama adalah paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dengan ditempatkan di bawah pengawasan Jaksa dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan. Oleh karena itu jika perbuatan anak nakal di kategorikan sebagai concursus, maka sanksi pidana penjara, pidana kurungan, maupun pidana denda yang di jatuhkan oleh hakim disesuaikan dengan jumlah perhitungan concursus dalam KUHP dikurangkan setengah (1/2) dari hukuman orang dewasa. Konsekuensi dari terbaginya concursus menjadi tiga jenis yaitu concursus idealis, perbuatan berlanjut dan concursus realis adalah berbedanya sistem pemidanaan pada masing-masing jenis concursus.
KESIMPULAN DAN SARAN Penjatuhan sanksi pidana terhadap anak pelaku concursus di Pengadilan Negeri Makassar belum optimal, Penjatuhan sanksi yang diberikan hakim terhadap terdakwa anak pelaku concursus di Pengadilan Negeri Makassar terbukti bahwa sanksi pidana sangat jarang
di implementasikan oleh hakim anak di Pengadilan Negeri Makassar, sehingga tidak akan menjamin efek jera dari suatu sanksi dapat terwujud. Oleh karena itu sebaiknya para Hakim yang menangani perkara-perkara anak khususnya bagi anak pelaku concursus, agar lebih obyektif dalam menjatuhkan sanksi terhadap terdakwa anak, ini di karenakan sanksi yang di jatuhkan terhadap pelaku concursus sangat berpengaruh terhadap terdakwa, apakah sanksi tersebut memberikan efek jera atau tidak bagi perbuatannya di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA Ali A. (2008). Menguak Tabir Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia. Arief, B.N. (1994). Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara. Semarang: CV Ananta. Atmasasmita R. (1995). Kapita Selekta Hukum Pidana Dan kriminologi. Bandung: CV Mandar Maju. Chazawi A. (2009). Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan Pidana, Kejahatan Aduan, Perbarengan Dan Ajaran Kausalitas, Bagian 2. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Djamali, R. A. (2005). Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Gultom, M. (2008). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Anak Di Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama. Marlina. (2009). Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice. Bandung: Refika Aditama. Moeljatno. (2002). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rhineka Cipta. Mulyadi L. (2007). Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Medan: Pustaka Bangsa Press. Poernomo, B. (1992). Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Ghalia Indonesia. Sholehuddin. (2003). Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System & Implementasinya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Sudarsono. (2007). Kamus Hukum. Jakarta: Rhineka Cipta.