SKRIPSI
EFEKTIFITAS PELAKSANAAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi Kasus Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa)
Oleh : REALIZHAR ADILLAH KHARISMA RAMADHAN B 111 09 378
BAGIAN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013
PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi Kasus Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa) EFEKTIFITAS PELAKSANAAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK
Oleh : REALIZHAR ADILLAH KHARISMA RAMADHAN B 111 09 378
Skripsi
Diajukan sebagai Tugas dalam rangka Penyelesaian Studi Sarjana Bagian Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum
Pada
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
REALIZHAR ADILLAH KHARISMA RAMADHAN (B111 09 378), Efektifitas Pelaksanaan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika, dibimbing oleh Slamet Sampurno, & Haeranah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan Narkotika dalam menekan angka ketergantungan Narkotika bagi warga binaan, maupun efektifitas pelaksanaan pidana pelaku penyalahgunaan narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika, serta menguraikan fakta yang didapatkan di lapangan melalui hasil wawancara. Penelitian ini dilaksanakan di (LAPAS) Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa maupun Balai Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk penelitian lapangan, serta Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, untuk penelitian kepustakaan. Hasil yang diperoleh penulis dalam penelitian ini antara lain adalah: (1) Upaya yang dilakukan pihak Lembaga pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Sungguminasa antara lain adalah MAPENALIN, Harm Reduction and Self Suport, Program BPU, program kerohanian, terapi moran, mental dan peningkatan percaya diri, pengobatan menggunakan Metadon, pembentukan KDS (Kelompok Dukungan Sebaya), Keterampilan kesenian, kerajinan tangan, keterampilan pertukangan kayu, pembinaan keterampilan las maupun keterampilan bercocok tanam. Serta ditemui kendala dalam hal: Luas lahan, daya tampung, jumlah blok hunian, kapasitas klinik Kesehatan, Ruang Rehabilitasi dan ruang isolasi, jumlah petugas/tenaga kesehatan, jumlah petugas keamanan dan persenjataan Lembaga Pemasyarakatan. (2) selain dikarenakan berbagai macam kendala yang menjadi penghambat upaya dalam menekan sifat ketergantungan narkotika warga binaan, LAPAS Narkotika Sungguminasa belum mengadakan kerjasama dengan pihak BNN Makassar perihal pengrehabilitasian. LAPAS Narkotika Sungguminasa juga belum memiliki strategi Nasional Program Terapi dan Rehabilitasi yang mengikat yang dapat dijadikan protaf bagi LAPAS khusus Narkotika, dengan demikian penulis berpandangan bahwa proses pelaksanaan pidana terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sungguminasa belum cukup efektif. v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis hadiratkan kepada Allah SWT, karena atas limpahan
rahmat
dan
hidayah-Nya
lah
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul Efektifitas Pelaksanaan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika ini, sebagai syarat untuk mengakhiri studi pada jenjang Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, serta shalawat penulis haturkan kepada Nabi Besar Rasulullah Muhammad SAW. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari masih terdapatnya beberapa kelemahan maupun penyusunan. Oleh karena itu, segala masukan dalam bentuk kritik dan saran yang bersifat membangun senantiasa diharapkan oleh penulis demi kesempurnaan penulisan di masa mendatang. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada orang tua tercinta yang telah membesarkan penulis hingga dapat meneyelesaikan studi ini, Ayahanda Drs. Muh. Arief Dimas M.Si yang telah memberikan semangat dan bantuan lainnya dalam penyusunan skripsi, memberikan berbagai macam bimbingan hidup maupun petunjuk dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan ini. Kepada Ibunda Sulfiani S.Pd atas segala doa, kesabaran dalam mendidik dan membesarkan penulis, serta berbagai upaya yang telah dilakukan dalam mendukung proses akademik penulis dalam seluruh jenjang pendidikan hingga saat ini. Serta kepada Saudari dan Saudara Kandung
vi
Penulis, Adinda Reananda Adillah Putri, Reashiqah Deindha Putri, dan Muh. Rea Aura Batara Salipuri yang telah memberikan semangat kepada penulis. Terima kasih pula penulis haturkan kepada: 1. Prof. Dr. Idrus Paturusi, selaku Rektor Universitas Hasanuddin, beserta seluruh jajarannya. 2. Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.H., DFM., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Dr. Anshori Ilyas, S.H., M.H selaku selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, serta Romi Librayanto, S.H., M.H. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. 3. Prof. Dr. Slamet Sampurno, S.H., M.H. selaku Pembimbing I, yang di sela-sela kesibukannya yang sangat padat namun tetap dapat memberikan dukungan moril serta bantuan teknis dan non teknis yang sangat besar kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 4. Hj. Haeranah, S.H., M.H. selaku Pembimbing II, yang telah dengan sabar meluangkan waktunya untuk memberikan dukungan moril, masukan dan petunjuk, serta bantuan yang sangat besar dan berarti baik secara teknis maupun non teknis kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 5. H. M. Imran Arief S.H., M.H., Abd. Asis, S.H., M.H., dan Hijrah Adhyanti M, S.H., M.H. selaku tim penguji, yang telah meluangkan
vii
waktu dan tenaga untuk dapat berkenan hadir menguji, mengarahkan dan memberi masukan yang sangat berharga dalam penyusunan skripsi ini dengan baik.
6. Alm. Prof. Dr., Achmad Ali, S.H., M.H. selaku Penasihat Akademik yang selama masa berkuliah telah memberikan wejangan-wejangan yang bermanfaat bagi proses perkuliahan Penulis. 7. Harustiati Andi Muin, S.H., M.H. selaku Penasihat Akademik yang selama masa berkuliah telah memberikan wejangan-wejangan yang bermanfaat bagi proses perkuliahan Penulis. 8. Prof. Dr. Djuajir, S.H., M.H. Selaku Dosen Pembina UKM BSDK (Bengkel Seni Dewi Keadilan) yang telah memberikan dukungan moril kepada kami Anggota UKM BSDK (Bengkel Seni Dewi Keadilan) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. 9. Sakka Pati, S.H., M.H. Selaku Dosen Pembina UKM BSDK (Bengkel Seni Dewi Keadilan) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang pada saat penulis pertama kali menghadiri pembukaan Ko-Kurikuler Seni, beliau yang secara pribadi sempat menyampaikan kepada penulis “sebagai seorang mahasiswa calon sarjana hukum, kamu jangan pernah bermain-main meskipun kamu menyukai seni. Ingatlah tujuan utama kamu di Fakultas Hukum dan jangan mengecewakan kedua orang tuamu selama menjalani status mahasiswa karena kamulah masa depan yang sangat diharapkan oleh orang mereka”. Kalimat inilah yang terus diingat dan dijadikan motivasi oleh penulis.
viii
10. Kanda Muh. Fauzan Aries, S.H., yang telah memberikan berbagai macam bimbingan, bantuan baik materil maupun non materil serta masukan-masukan
sangatlah
berarti
bagi
penulis
mulai
dari
penyusunan proposal hingga tiba pada penyelesaian akhir pada penulisan skripsi ini. 11. Kanda Yefta Gracian D’mayor K S, S.H., atas bantuan motivasi maupun bimbingan serta masukan-masukan yang sangat berarti bagi penulis dalam penyusunan skripsi ini. 12. Untuk Love in My Heart, Wahyuni Wenna yang selalu menyejukkan dan memberi harapan di setiap tatapan dan tawanya. Senyummu Penawar Perihku. 13. Keluarga besar Bengkel Seni Dewi Keadilan (BSDK) FH-UH, tempat saya menemukan kehangatan situasi keluarga baik dalam berkreasi maupun berorganisasi, termasuk didalamnya Nurhadi Halim selaku Ketua Umum beserta jajaran pengurusnya, Dima Adinsa, Nurul Fitriani Salim, Nabila Soraya, Zultani Satri, Irfai Herman, Mario Husain, Audi Rahmat, Rizal Nurhabib Y, Tri Bakti Juniarto, Zaenal, Sahlan Ramadhan, A. Vebrianti Rasyid, A. Febriani Arif, Mulfha Indah Sari, Fenni Pratama B, Ria Wulandari, Rezki Eka Putri, Aulia Pertiwi, Adriany Ramadhany, Linda Syaharani, maupun adik-adik lainnya yang tidak sempat disebutkan namanya karena sangking banyaknya. Kebersaman kita takkan pernah lekang oleh waktu karena semangat kita takkan pernah padam, dan persaudaraan kita kan terus
ix
terikat SELAMANYA. “Salam Seni Dewi Keadilan Terus Berkarya Terus Berekspresi!!!”. 14. Saudara/saudariku BSDK DIKSAR X Periode Kepengurusan 20112012 yakni Rijal Saputra selaku Mantan Ketua Umum, Arif Fitrawan selaku Mantan Wakil Ketua, Kiky Wahyuni, S.H. selaku Mantan Sekretaris dan Musdalifa Ayu, S.H. selaku Mantan Bendahara, serta Indra Pradana Mulyawan, Imamul Akbar, Dewi Anggia, Ariza Sufraningrum F, S.H., Fitrahwati Porwilah, S.H., Ivon Yunita, S.H., Nurul Latifah, S.H. serta saudara/saudariku yang tak sempat saya sebutkan namanya. 15. Jajaran Pengurus dan saudara/saudariku tercinta di ALSA (Asian Law Students Association) Local Chapter Universitas Hasanuddin. “Alsa Always Be One”. 16. Saudara/saudariku PSM (Paduan Suara Mahasiswa) UNHAS tempat dimana saya dapat menyalurkan karunia yang diberikan oleh Allah SWT dan menorehkan kisah-kisah maupun prestasi membanggakan yang takkan pernah terlupakan. Termasuk di dalamnya, Burhanuddin selaku Ketua Umum beserta jajaran pengurusnya. VIVA PSM “No Body Sing Like Us”. 17. Saudara seperjuanganku personel Life As Winner Band (L.A.W) yang selama ini telah menemani dalam menuangkan semua imajinasi dan kreatifitas serta memenuhi rasa haus akan bermusik. My BASSIST Bintang Mustawa (Bintang), my GUITARIST Mario Husain (Ryo) ,
x
my GUITARIST Nurhadi Halim (Hadi), my DRUMMER Irfai Herman (Fay). Kita memiliki berbagai macam perbedaan aliran bermusik, akan tetapi berbagai macam warna itulah yang menjadikannya indah untuk menyatukan kecintaan kita. Ingatlah perjuangan dan kebersamaan kita belum usai, masih banyak planning yang mesti kita wujudkan bersama “mas bro”. 18. “THE FREEMAN” antara lain Ochank (Evil King/Super Kimochi), Rio (The Thousand Face), Fai (Labonte’), Hadi (KKK “Kura-Kura Kandas”), Rizal (Larva Kupluk), Audi (Mr. Phone Galo), Fahri (Wisma Boy), Dima (Rindaman “cucian”), Satri (Manusia Batu), Indra (Gondrong Melayu), Iman (Si Tukang Gigi), beserta anggota lainnya yang saya tidak dapat saya sebutkan seluruhnya karena saking banyaknya anggota. “Don’t let the zombies get us, JUSTICE or JUST ICE!!!”. 19. Saudara/saudari sekaligus rekan se-Fakultas Hukum yang tergabung dalam “LAW PARKING AREA” yang telah lahir dan berdiri untuk mempertemukan dan mempersatukan kita. Antara lain Satri, Bintang, Rijal, Indra, Aan, Upik, Dicky, Adi, Ainul, Sonda, Udin, Ochang, Mahsyar, Saddam, Eli, Wandi, Uya, Syafriadi, Ilham, Iman, Dhani, Asdar, Faisal, Danu, Imha, Ratih, Hike, Wira, Ekha, Nia Mas’ud, beserta seluruh rekan-rekanku yang tidak sempat saya sebutkan namanya.
xi
20. Saudara/saudariku Fakultas Hukum angkatan 2009
“DOKTRIN
(Dasar Organisasi Kemahasiswaan Menuju Tri Dharma Perguruan Tinggi Negeri)” yang telah banyak mensupport dalam perjuangan bersama sejak menjalani status mahasiswa. 21. Sahabat-sahabatku keluarga besar FANS CLUB “DM (DRIVE MANIACS) MAKASSAR” sebuah nama dan kecintaan terhadap karya musik
salah
satu
band
terbaik
anak
bangsa
yang
dapat
mempersatukan kita semua. “GO GREEN!!!” 22. Sahabat-sahabat sesama mahasiswa, “mas bro” dan “mbak sist” dalam Kuliah Kerja Nyata (KKN) Reguler Angkatan 82 Desa Lerang, Kecamatan Lanrisang, Kabupaten Pinrang Tahun 2012. Antara lain Edi Saputra, Ashadi,
Muh. Yahya Anwar, A. Utamie
Nirwana, Nurhikmah, Hardiyanti, & Nurhayati. Sebuah pengalaman hidup dalam jalinan persahabatan, kebersamaan dan kekeluargaan yang amat berarti bersama kalian. 23. Sahabat-sahabat sesama mahasiswa yang tergabung dalam IMPS (Ikatan Mahasiswa Pelajar Soppeng) Komisariat Perguruan Tinggi Universitas Hasanuddin. 24. Kepala Desa Lerang, Kecamatan Lanrisang, Kabupaten Pinrang, Bapak Abu Thalib beserta keluarga yang telah menampung dan membimbing serta telah menganggap kami sebagai anak mereka selama menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) Reguler Angkatan 82 JuniAgustus 2012.
xii
25. Kepala
Lembaga
Pemasyarakatan
Narkotika
Klas
IIA
Sungguminasa yakni Agus Soekono, Bc.IP., S.H. beserta jajarannya antara lain Dra. Suhartini selaku Kepala Sub. Bagian Tata Usaha, Muh. Askari Utomo, A.Md. IP, S.H., M.H. selaku Kepala Seksi Bimbingan Napi/Anak Didik, Ali Imran, A.Md.IP., S.H., M.H. selaku Kepala Keamanan beserta seluruh jajaran sipir lainnya yang telah memberikan segala dukungan dan bantuan selama penulis melakukan penelitian. 26. Kepala Badan Narkotika Nasional Makassar yakni dr. Maparape B. Nonchi, Franky Chandra Krisdianto selaku Program Manager BNN Makassar beserta jajaran yang telah memberikan segala dukungan dan bantuan selama penulis melakukan penelitian. 27. Segenap
orang-orang
yang
telah
mengambil
bagian
dalam
penyelesaian skripsi ini namun tidak sempat dituliskan namanya. Terima kasih sebesar-besarnya. Jerih payah kalian begitu berarti.
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................
ii iii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ....................................
iv
ABSTRAK ..............................................................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................
vi
DAFTAR ISI ............................................................................................
xiv
DAFTAR TABEL ....................................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xvii
BAB I: PENDAHULUAN ........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................
1
B. Rumusan Masalah ................................................................
8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..........................................
8
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................
10
A. Efektifitas ..............................................................................
10
1. Definisi Efektifitas ........................................................
10
2. Efektifitas Hukum .........................................................
12
2.1.
Efektifitas Pidana Penjara .............................
13
B. Pidana, Pemidanaan dan Tindak Pidana ...............................
15
1. Istilah dan Definisi Pidana ...........................................
15
1.1.
Istilah Pidana ................................................
15
1.2.
Definisi Pidana ..............................................
17
2. Pemidanaan ................................................................
22
2.1.
Definisi Pemidanaan .....................................
22
2.2.
Teori Tujuan Pemidanaan .............................
25
2.3.
Sistem Pemidanaan di Indonesia .................
37
3. Tindak Pidana ..............................................................
39
3.1.
Istilah Tindak Pidana ....................................
39
xiv
3.2.
Definisi dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ......
40
3.3.
Jenis/Penggolongan Tindak Pidana .............
44
C. Definisi Pelaku ......................................................................
46
D. Narkotika ...............................................................................
48
1. Definisi Narkotika .........................................................
49
2. Jenis-Jenis Narkotika ..................................................
52
E. Penyalahgunaan Narkotika ...................................................
56
BAB III: METODE PENELITIAN ............................................................
59
A. Lokasi Penelitian ...................................................................
59
B. Jenis dan Sumber Data ........................................................
60
C. Teknik Pengumpulan Data ....................................................
61
D. Analisis Data .........................................................................
61
BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................
62
A. Gambaran Umum Tentang Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa......................................... B. Analisis
Data-Data
Warga
Binaan
Lembaga
Pemasyarakatan Klas II A Sungguminasa ............................. C. Upaya
dan
Kendala
Dalam
62
Menekan
64
Sifat
Ketergantungan Narkotika Warga Binaan .............................
67
1. Upaya Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa .........................................................
67
2. Kendala Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa ......................................................
70
D. Efektifitas Pelaksanaan Pidana Pelaku Penyalahgunaan Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa ...................................................................
75
BAB V: PENUTUP ..................................................................................
82
A. Kesimpulan ...........................................................................
82
B. Saran ....................................................................................
85
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
88
LAMPIRAN
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Data Jumlah Warga Binaan Berdasarkan Kategori Status Penghuni 2 Tahun Terakhir .....................................................................
65
Tabel 2. Data Jumlah Warga Binaan Jenis Kejahatan 2 Tahun Terakhir ................................................................................................... Tabel 3.
Data Jumlah
Residivis Penyalahgunaan
65
Narkotika
Terhitung Juli 2011- Desember 2012 .......................................................
66
Tabel 4. Program Rehabilitasi (Tahapan I) .............................................
78
Tabel 5. Program Pasca Rehabilitasi (Tahapan II) .................................
78
Tabel 6. Program Penyiapan Kembali ke Keluarga (Tahapan III) ...........
80
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
1. Rekomendasi Penelitian Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusia R.I, Kantor Wilayah Sulawesi Selatan. 2. Surat Keterangan Penelitian Lembaga Narkotika Klas II A Sungguminasa 3. Surat
Keterangan
Penelitian
Badan
Pemasyarakatan
Narkotika
Nasional
Republik Indonesia (National Narcotics Board Republic of Indonesia) Balai Rehabilitasi Baddoka 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 5. Konvensi Tunggal Narkotika 1961 (United Nations Single on Narcotic Drugs 1961)
xvii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kemajuan-kemajuan yang dicapai pada era reformasi cukup memberikan harapan yang lebih baik, namun di sisi lain dengan derasnya arus globalisasi yang terjadi saat ini, telah menimbulkan berbagai masalah pada hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Seluruh aspek sosial, budaya, agama, politik, ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi menjadi daerah rawan karena terjadinya perubahan-perubahan yang sangat mendasar sehingga memerlukan payung hukum untuk menaunginya. Dari berbagai aspek tersebut terdapat banyak masalah yang memprihatinkan khususnya menyangkut perilaku sebagian generasi muda kita yang terperangkap pada penyalahgunaan narkotika. Mendengar kata Narkotika di ucapkan seringkali memberi bayangan tentang dampak yang tidak inginkan, hal ini dikarenakan narkotika identik sekali dengan perbuatan jahat, terlarang dan melanggar peraturan. Penyalahgunaan narkotika di Indonesia merupakan masalah yang sangat mengkhawatirkan karena posisi Indonesia saat ini tidak hanya sebagai daerah transit maupun pemasaran narkotika, melainkan sudah menjadi
daerah
produsen
narkotika.
Hal
ini
dibuktikan
dengan
terungkapnya pabrik-pabrik pembuatan narkotika dalam bentuk besar dari
1
luar negeri ke Indonesia. Karena saat ini letak Indonesia yang sangat strategis dan tidak jauh dari segi tiga emas (Laos, Thailand, dan Myanmar) dan daerah bulan sabit (Iran, Afganistan, dan Pakistan) yang merupakan daerah penghasil opium terbesar di dunia, menjadikan Indonesia sebagai lalu lintas gelap narkotika. Penyalahgunaan
narkotika
di
kalangan
masyarakat
luas
mengisyaratkan kepada kita untuk peduli dan memperhatikan secara lebih khusus untuk menanggulangi, karena bahaya yang ditimbulkan dapat mengancam keberadaan generasi muda yang kita harapkan kelak akan menjadi pewaris dan penerus perjuangan bangsa di masa yang akan datang. Untuk mengatur permasalahan di atas, keberadaan hukum pidana sangatlah diperlukan. Hukum pidana sebagai salah satu bagian dari hukum pada umumnya memang tidak menunjukkan adanya perbedaan dengan hukum-hukum lainnya, yaitu bahwa semua hukum tersebut memuat sejumlah ketentuan-ketentuan untuk menjamin agar normanorma yang ada di dalam hukum ditaati oleh masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya semua hukum bertujuan untuk menciptakan suatu keserasian, ketertiban, kepastian hukum dan lain sebagainya dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Akan tetapi dalam satu hal hukum pidana menunjukkan adanya suatu perbedaan dari hukum-hukum yang lain pada umumnya, yaitu
2
bahwa di dalamnya orang mengenal adanya suatu kesengajaan untuk memberikan suatu akibat hukum berupa suatu bijzondere leed atau suatu penderitaaan yang bersifat khusus dalam bentuk suatu hukuman kepada mereka yang telah melakukan suatu pelanggaran atau larangan-larangan yang telah ditentukan di dalamnya. 1 Adanya penderitaan yang bersifat khusus dalam bentuk suatu hukuman itu sudah pasti tidak dapat dihindarkan di dalam bagian-bagian hukum pada umumnya, yaitu apabila orang menginginkan agar normanorma yang terdapat di dalamnya benar-benar akan ditaati oleh orang. Di dalam hukum perdata misalnya, orang mengenal lembaga penyitaan harta kekayaan milik seseorang untuk memulihkan kerugian yang telah ditimbulkan oleh perbuatan orang tersebut kepada orang lain. Suatu penyitaan yang sudah diputuskan oleh hakim sudah pasti dapat menimbulkan suatu penderitaan pada diri orang yang harta kekayaannya telah disita. Akan tetapi penderitaan yang bersifat khusus di dalam hukum pidana sifatnya sangat berbeda dengan penderitaan di dalam hukum perdata. Di dalam hukum pidana orang mengenal lembaga perampasan kemerdekaan atau lembaga pembatasan kemerdekaan yang dapat dikenakan oleh hakim terhadap orang-orang yang telah melanggar normanorma yang telah diatur di dalam hukum pidana, bahkan di dalamnya orang juga mengenal lembaga perampasan nyawa dalam bentuk
1
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, Hlm. 16.
3
hukuman mati, yang secara nyata memang tidak dikenal dalam hukumhukum lain pada umumnya. Adanya penderitaan-penderitaan yang bersifat khusus dalam bentuk
hukuman-hukuman
seperti
yang
telah
dikatakan
diatas
menyebabkan hukum pidana mendapatkan suatu tempat tersendiri di antara hukum-hukum yang lain, sehingga menurut pendapat para sarjana, hukum pidana itu hendaknya dipandang sebagai suatu ultimum remedium atau sebagai suatu upaya yang harus dipergunakan sebagai upaya terakhir untuk memperbaiki kelakukan manusia, dan wajarlah apabila orang menghendaki agar hukum pidana itu dalam penerapannya haruslah disertai dengan pembatasan-pembatasan yang seketat mungkin.2 Dengan mengetahui berbagai macam bahaya yang ditimbulkan atas
penyalahgunaan
narkotika,
maka
segala
macam
bentuk
penyalahgunaan barang haram tersebut pun diatur dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun Tentang Narkotika. Pembentukan undangundang
tersebut
merupakan
gambaran
gencarnya
negara
ini
mempertahankan kriminalisasi terhadap pengguna Narkotika. Selain itu, pembentukan konsistensi
undang-undang sikap
proaktif
tersebut
Indonesia
merupakan
mendukung
perwujudan
gerakan
dunia
internasional dalam memerangi segala bentuk tindak pidana narkotika.
2
Ibid, Hlm. 17.
4
Proaksi tersebut disimbolir oleh penerbitan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan (ratifikasi) United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
tentang
Pemberantasan
Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988) serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol Tahun 1972 yang Mengubahnya.3 Tujuan hukum pidana untuk memperbaki kelakuan manusia cukup terbentur dengan kondisi indonesia saat ini. Paradigma yang telah dianut oleh Indonesia selama ini harus diakui sebagai faktor utama dari terjadinya praktik dehumanisasi terhadap pengguna narkotika. Paradigma negara yang steoritif terhadap pengguna narkotika menular dan membentuk paradigma baru dalam masyarakat sehingga pengguna narkotikasering kali dianggap sampah, penjahat, dan berbagai stigma yang dapat dikatakan diskriminatif dan berujung pada dehumanisasi. Dalam menyikapi hal tersebut maka pemerintah di dalam merumuskan undang-undang Narkotika telah memasukkan rehabilitasi dalam undang-undang tersebut. Dapat dilihat pada Pasal 54 UndangUndang Narkotika yang menyebutkan “Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan
Narkotika
wajib
menjalani
rehabilitas medis dan
rehabilitasi sosial. Selain itu, baik berupa rehabilitasi medis yang dapat diperoleh di rumah sakit dan lembaga rehabilitasi tertentu yang ditunjuk 3
Aziz Syamsuddin,MAF., Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, Hlm. 90.
5
oleh menteri (Pasal 56), rehabilitasi sosial yang dapat diperoleh di instansi pemerintah maupun masyarakat (Pasal 58). Dalam hal ini yang dimaksud instansi pemerintah misalnya Lembaga Pemasyarakatan Narkotika. Rumusan Pasal-Pasalnya sudah mencukupi hanya yang perlu diteliti adalah apakah dalam praktek dilapangan sudah siap menerima penetapan, keputusan dan perintah hakim sebagaimana diamanatkan dalam Pasal tersebut. Di Indonesia saat ini, penjatuhan sanksi pidana berupa pidana penjara oleh hakim bagi pelaku tindak pidana Narkotika merupakan salah satu kebijakan kriminal yang dianut UU Narkotika dan tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pidana yang dianut oleh hukum pidana selama ini, misalnya pada Pasal 10 KUHPidana. Lain halnya di belahan dunia lain terjadi perkembangan yang cukup signifikan terhadap pengguna narkotika dengan melakukan tindakan-tindakan depenalisasi terhadap penggunanya yang bertujuan menggantikan sanksi pidana penjara yang kadang diterapkan dengan sanksi pidana lain misalnya sanksi kerja sosial (Community Service Order). Minimnya putusan Hakim yang memerintahkan rehabilitasi bagi pencandu Narkotika disebabkan oleh berbagai faktor yakni: Pertama, Hakim harus melihat kasus per kasus jika akan menerapkan Pasal 54 UU Narkotika. Alasannya, konstruksi hukuman untuk kasus narkotika memang diancam pidana tinggi. Misalnya UU Narkotika mengatur setiap orang
6
yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I diancam pidana penjara paling lama 20 tahun. Sementara untuk golongan II dan III diancam pidana penjara paling lama 10 tahun. Kedua, selain UU Narkotika, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pemidanaan agar setimpal dengan berat dan sifat kejahatannya. Ketiga, persepsi Hakim dalam memutus perkara Narkotika didasarkan bahwa
pemidanaan
berupa penjara lebih efektif bila
dibandingkan dengan rehabilitasi, di samping itu karakteristik pengedar dan pemakai di dalam UU Narkotika diancam sanksi pidana.4 Meskipun telah diatur dalam perundang-undangan yang baru, namun sampai saat ini belum ada wujud yang kongkrit di dalam peraturan tersebut untuk menempatkan pengguna narkotikatidak hanya sebagai pelaku kriminal tetapi juga menitikberatkan bahwa pengguna adalah korban yang juga harus dipulihkan. Selain yang telah dijelaskan di atas, ilmu hukum pada umumnya dan praktiknya seringkali menimbulkan masalah yang menyangkut keberadaan kaidah hukum, dan efektivitas kaidah-kaidah hukum dengan menge-tengahkan efektivitas hukum. Artinya efektvititas hukum akan disoroti dari tujuan yang ingin dicapai.
4
Dikutip dari http://my--anne1.blogspot.com/2009/01/analisis-yuridis-penerapan-sist , diakses pada 24/09/2012 (02:46)
7
Alasan inilah yang mendorong penulis untuk menyusun tugas akhir dengan judul : “Efektifitas Pelaksanaan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika”
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut diatas maka dirumuskan permasalahan sebagai ruang lingkup pembahasan di dalam penelitian ini: 1. Upaya-upaya apa sajakah yang dilakukan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa dalam menekan angka ketergantungan Narkotika bagi warga binaan? 2. Bagaimanakah
efektifitas
pelaksanaan
pidana
pelaku
penyalahgunaan narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian: Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak Lembaga
Pemasyarakatan
Narkotika
Sungguminasa
dalam
menekan angka ketergantungan Narkotika bagi warga binaan?
8
2. Untuk
mengetahui
efektifitas
pelaksanaan
pidana
pelaku
penyalahgunaan narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sungguminasa. Adapun kegunaan penelitian ini antara lain: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan agar kiranya dapat memberikan sumbangsi pikiran untuk menemukan pemikiran-pemikiran baru dalam bidang ilmu hukum. Juga dapat memberikan sumbangan pemikiran di kalangan akademisi dan para pembaca pada umumnya serta dapat dijadikan sebagai referensi bagi para akademisi yang berminat pada masalah-masalah hukum pidana. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan juga dapat bermanfaat dan menjadi bahan
pertimbangan
bagi
kalangan
praktisi
hukum
demi
menciptakan penegakan hukum yang lebih baik.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Efektifitas 1. Definisi Efektifitas Efektifitas berasal dari kata “efektif” yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektifitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai 5. Efektifitas mengandung arti “keefektif-an”
(efectiveness)
pengaruh/efek
keberhasilan,
atau
kemanjuran/kemujaraban.6 Dengan kata lain efektifitas menunjukkan sampai seberapa jauh pencapaian hasil yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Berikut ini merupakan definisi efektifitas menurut beberapa ahli, antara lain:7 1) Hidayat (1986) : “Efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana
5
Dikutip dari http://madhienyutnyut.blogspot.com/2012/02/pengertian-efektifitas-menurutpara.html, diakses pada 18/11/2012 (12:26) 6 Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 85 7 Dikutip dari http://dansite.wordpress.com/2009/03/28/pengertian-efektifitas/, diakses pada 18/11/2012 (12:07)
10
semakin besar presentase target yang dicapai, makin tinggi efektifitasnya”. 2) Schemerhon John R. Jr. (1986:35) : “Efektifitas adalah pencapaian target output yang diukur dengan cara membandingkan output anggaran atau seharusnya (OA) dengan output realisasi atau sesungguhnya (OS), jika (OA) > (OS), disebut efektif.” 3) Prasetyo Budi Saksono (1984) : “Efektifitas adalah seberapa besar tingkat kelekatan output yang dicapai dengan output yang diharapkan dari sejumlah input.” Efektifitas menurut pengertian-pengertian di atas mengertikan bahwa indikator efektifitas dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya merupakan sebuah pengukuran dimana suatu target telah tercapai sesuai dengan apa yang telah direncakan. Berdasarkan pada pendapat para ahli di atas, penulis menarik suatu pandangan bahwa konsep efektifitas merupakan suatu konsep yang bersifat
multidimensional,
artinya
dalam
mendefinisikan
efektifitas
berbeda-beda sesuai dengan dasar ilmu yang dimiliki walaupun tujuan akhir dari efektifitas adalah selalu sama yaitu pencapaian tujuan.
11
2. Efektifitas Hukum Berbicara efektifitas hukum, Soerjono Soekanto (2011: 26) berpendapat tentang pengaruh hukum “Salah satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia. Masalah pengaruh hukum tidak hanya terbatas pada timbulnya ketaatan atau kepatuhan pada hukum tapi mencakup efek total dari hukum terhadap sikap tindak atau perilaku baik yang bersifat positif maupun negatif”.8 Efektifitas penegakan hukum dibutuhkan kekuatan fisik untuk menegakkan
kaidah-kaidah
hukum
tersebut
menjadi
kenyataan
berdasarkan wewenang yang sah. Sanksi merupakan aktualisasi dari norma hukum threats dan promises, yaitu suatu ancaman tidak akan mendapatkan legitimasi bila tidak ada kaidahnya untuk dipatuhi atau ditaati. Efektifitas penegakan hukum amat berkaitan erat dengan efektifitas hukum. Agar hukum itu efektif, maka diperlukan aparat penegak hukum untuk menegakkan sanksi tersebut. Suatu sanksi dapat diaktualisasikan kepada masyarakat dalam bentuk ketaatan (compliance), dengan kondisi tersebut menunjukkan adanya indikator bahwa hukum tersebut adalah efektif.
8
Dikutip dari http://www.negarahukum.com/hukum/efektifitas-hukum.html, diakses pada 18/11/2012 (17:00)
12
Dalam Pentingnya
sanksi kepastian
negatif, tersebut
yang
penting
antara lain
adalah
kepastiannya.
mengakibatkan
bahwa
pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut harus dilakukan secara ketat. Suatu ancaman hukuman benar-benar efektif atau tidak untuk mencegah terjadinya kejahatan, tergantung pula pada persepsi manusia terhadap resiko yang dideritanya apabila melanggar suatu norma tertentu. Pokok masalahnya adalah bagaimana menimbulkan anggapan bahwa kalau seseorang melanggar ketentuan tertentu akan mendapat risiko ancaman hukuman yang berat. 9 Disamping itu, kecepatan penindakan pelaksanaan hukuman dengan kepastian dan beratnya hukuman mempunyai efek yang lebih besar terhadap keefektiftasan hukum. Salah satu jenis sanksi pidana seperti yang dicantumkan dalam Pasal 10 KUHPidana yakni pidana Penjara. Jenis pidana ini merupakan pidana yang paling sering dijumpai pada semua kasus kejahatan/tindak pidana. Berikut di bawah ini akan sedikit membahas mengenai efektifitas pidana penjara. 2.1.
Efektifitas Pidana Penjara
Menurut Barda Nawawi Arief (2002: 224), efektifitas pidana penjara dapat ditinjau dari dua aspek pokok tujuan pemidanaan, yaitu aspek 9
Ibid.
13
perlindungan masyarakat dan aspek perbaikan si pelaku. Yang dimaksud dengan aspek perlindungan masyarakat meliputi tujuan mencegah, mengurangi
atau
keseimbangan mendatangkan
mengendalikan
masyarakat rasa
tindak
(antara
aman,
pidana
lain
dan
memulihkan
menyelesaikan
memperbaiki
konflik,
kerugian/kerusakan,
menghilangkan noda-noda, memperkuat kembali nilai-nilai yang hidup di dalam
masyarakat).10
Sedangkan
yang
dimaksud
dengan
aspek
perbaikan si pelaku meliputi berbagai tujuan, antara lain melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku dan melindunginya dari perlakuan sewenang-wenang di luar hukum. a. Efektifitas
Pidana
Penjara
Dilihat
dari
Aspek
Perlindungan
Masyarakat. Dilihat dari aspek perlindungan/kepentingan masyarakat maka suatu pidana dikatakan efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat
mencegah
atau
mengurangi kejahatan.
Jadi, kriteria
efektifitas dilihat dari seberapa jauh frekuensi kejahatan dapat ditekan. Dengan kata lain, kriterianya terletak pada seberapa jauh efek pencegahan umum (general prevention) dari pidana penjara dalam mencegah warga masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan kejahatan. b. Efektifitas Pidana Penjara Dilihat dari Aspek Perbaikan si Pelaku.
10
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, CitraAditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 224.
14
Dilhat dari aspek perbaikan si pelaku, maka ukuran efektifitas terletak pada aspek pencegahan khusus (special prevention) dan pidana. Jadi, ukurannya terletak pada masalah seberapa jauh pidana
itu
(penjara)
mempunyai
pengaruh
terhadap
si
pelaku/terpidana. Berdasarkan masalah-masalah metodologis yang dikemukakan diatas dapatlah dinyatakan, bahwa penelitian-penelitian selama ini belum dapat membuktikan secara pasti apakah nidana penjara itu efektif atau tidak. Terlebih masalah efektifitas pidana sebenarnya berkaitan dengan banyak faktor.11 (Barda Nawawi Arief, 2002: 225, 229, 230).
B. Pidana, Pemidanaan, & Tindak Pidana 1. Istilah dan Definisi Pidana 1.1.
Istilah Pidana
Secara Etimologi penggunaan istilah pidana diartikan sebagai sanksi pidana. Untuk pengertian yang sama sering juga digunakan istilah lain yaitu hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian pidana dan hukuman pidana. Adapun pendapat para ahli menenai istilah “pidana” secara etimologi, antara lain: 1) Menurut Moelyatno, mengatakan bahwa:
11
Ibid. Hlm. 225, 229, 230.
15
Istilah hukuman yang berasal dari kata “straf” dan istilah “dihukum” yang berasal dari perkataan “woedt gestraf” merupakan istilah-istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilahistilah itu dan menggunakan istilah yang non konvensional, yaitu “pidana” untuk menggantikan kata ”straf” dan “diancam dengan pidana” untuk menggantikan kata “wordt gestraf. Menurutnya, kalau “straf” diartikan “hukuman” maka “strafrecht” seharusnya diartikan “hukum hukuman”. Menurut beliau “dihukum” berarti “diterapi hukum” baik hukum pidana maupun hukum perdata. “Hukuman” adalah hasil dari akibat penerapan hukum tadi yang maknanya lebih luas daripada pidana sebab mencakup juga keputusan hakim dalam hukum perdata. 12 2) Menurut Sudarto, menyatakan bahwa: “Penghukuman” berasal dari kata “hukum” sehingga dapat diartikan sebagai “menetapkan hukum” atau “memutuskan tentang hukumnya” (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, namun juga hukum perdata. Selanjutnya menurut beliau istilah “penghukuman” dapat disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana yang kerap kali sinonim dengan “pemidanaan” atau “pemberian/penjatuhan pidana” oleh hakim. Dengan demikian,
12
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992, Hlm.1.
16
menurutnya bahwa istilah “hukuman” kadang-kadang digunakan untuk pengganti kata “starft” namun istilah “pidana” lebih baik digunakan daripada “hukuman”. 13 3) Selanjutnya Jimly Asshiddiqie, mengatakan bahwa: Dirinya mengikuti pendapat Sudarto dan juga menggunakan istilah “pidana” bukan “hukuman” ataupun “hukuman pidana”. 14 1.2.
Definisi Pidana
Beberapa definisi pidana yang dikemukakan oleh beberapa pakar antara lain: 1) Sudarto, menyatakan bahwa: 15 Menyatakan secara tradisional, pidana didefinisikan sebagai nestapa yang dikenakan oleh negara kepada seseorang yang melakukan
pelanggaran
terhadap
ketentuan
undang-undang,
sengaja agar dirasakan sebagai nestapa. 2) Van Hamel, mengatakan bahwa: 16 Hukum positif, arti dari pidana atau straf adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggungjawab dari ketertiban umum bagi
13
Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, Hlm. 18, Hlm. 18 Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Angkasa, Bandung, 1995, Hlm. 15. 15 Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, Hlm. 19 16 Ibid, Hlm. 18. 14
17
seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara. 3) Simons, menyatakan bahwa: 17 Pidana merupakan suatu penderitaan yang oleh UndangUndang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap norma, yang dengan suatu putusan hakim yang telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah. 4) Algra Jassen menyatakan bahwa: 18 Pidana atau straf merupakan alat yang dipergunakan oleh penguasa (hakim) untuk memperingatkan mereka yang telah melakukan seuatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut kembali sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati terpidana atas nyawa, kebebasan, atau harta kekayaannya, yaitu seandainya ia telah melakukan suatu tindak pidana. 5) Roeslan Saleh, mengatakan bahwa: 19 Pidana adalah “reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa dengan sengaja diterapkan kepada si pembuat delik itu.
17
Ibid, Hlm. 18. Ibid, Hlm. 18-19. 19 Ibid, Hlm. 19. 18
18
6) Fritzgerald, mengatakan bahwa: 20 Punishment is the auhoritative infliction of suffering for an offense. (Pidana adalah penderitaan dari yang berwenang terhadap sebuah pelanggaran) 7) Ted Honderich, mengatakan bahwa: 21 Punishment
is an
the
authority’s
infliction
of
penalty
(something invloving deprivation or distress) on an offender for an offense. Artinya yaitu: Pidana adalah hukuman dari pihak yang berwenang
(sesuatu
yang
meliputi
pencabutan/penderitaan)
terhadap seorang pelanggar dari sebuah pelanggaran. 8) H.L.A. Packer, mengemukakan 5 karakteristik pidana, yaitu:22 a. Pidana itu diberikan harus merupakan suatu nestapa akibatakibat lain yang tidak menyenangkan; b. Pidana itu diberikan harus kepada seseorang yang telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan; c. Pidana itu dijatuhkan atas suatu perbuatan atau ditujukan kepada pelaku pelanggaran atas perbuatannya; d. Pidana itu harus merupakan suatu kesengajaan administrasi oleh masyarakat terhadap pelanggar; e. Pidana itu harus dijatuhkan oleh lembaga instansi yang berwenang. 20
Ibid, Hlm. 19. Ibid, Hlm. 19. 22 Ibid, Hlm. 19-20. 21
19
9) Alf Ross mengatakan bahwa pidana adalah tanggung jawab sosial dimana:23 a. Terdapat pelanggaran terhadap aturan hukum; b. Dijatuhkan atau dikenakan oleh pihak yang berwenang atas nama perintah hukum terhadap pelanggar hukum; c. Merupakan suatu nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; d. Perwujuduan pencelaan terhadap pelanggar. 10) Bonger mengemukakan: 24 Pidana adalah “mengenakan suatu penderitaan karena orang itu telah melakukan suatu perbuatan yang merugikan masyarakat”. 11) H.L.A. Hart menyatakan bahwa pidana merupakan salah satu unsur yang esensial di dalam hukum pidana. Pidana itu harus:25 a. Mengandung penderitaan atau kosenkuensi lain yang tidak menyenangkan; b. Dikenakan pada seseorang yang benar-benar atau disangka benar melakukan tindak pidana; c. Dikenakan berhubung suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan umum; d. Dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana;
23
Ibid, Hlm. 20. Ibid, Hlm. 21. 25 Ibid, Hlm. 21. 24
20
e. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan sustu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut. 12) Muladi dan Barda Nawawi Arief dalam Dwija Priyatno: 26 Tidak semua sarjana berpendapat bahwa pidana pada hakikatnya adalah suatu penderitaan atau nestapa, diantaranya adalah: Menurut Hulsman, hakikat pidana adalah “menyerukan untuk tertib” (tot de orde reopen). Pidana pada hakikatnya mempunyai dua tujuan
utama,
yakni
untuk
mempengaruhi
tingkah
laku
(gedragsbeinvloeding) dan penyelesaian konflik (conflictoplossing). Penyelesaian konflik dapat terdiri dari perbaikan kerugian yang dialami
atau
perbaikan
hubungan
baik
yang
dirusak
atau
pengembalian kepercayaan antar sesama manusia. 13) G.P. Hoefnagles: 27 Beliau menyatakan sikap tidak setuju dengan pendapat bahwa pidana merupakan suatu pencelaan (censure) atau suatu penjeraan (discouragement) atatu merupakan suatu penderitaan. Ia melihat secara empiris bahwa pidana merupakan suatu proses waktu. Keseluruhan
proses
pidana
itu
sendiri
(sejak
penahanan,
pemeriksaan sampai vonis dijatuhkan) merupakan suatu pidana. Hoefnagles menekankan bahwa pemberian sanksi merupakan suatu proses pembangkitan semangat (encouragement) dan pencelaan 26
Dwi Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2007, Hlm. 8-9. 27 M. Abul Khair Dan Mohammad Eka Putra, Pemidanaan, USU Press, Medan, 2011, Hlm. 6.
21
(censure) untuk tujuan agar seseorang berorientasi menyesuaikan diri dengan suatu norma atau undang-undang yang berlaku. 14) Plato dan Aristoteles:28 Pidana itu dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar jangan diperbuat kejahatan.
2. Pemidanaan Sebelum membahas lebih jauh mengenai masalah yang ada, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan pengertian pemidanaan, tujuan pemidanaan, dan sistem pemidanaan di Indonesia. 2.1.
Definisi Pemidanaan
Sanksi pidana merupakan salah satu cara untuk menanggulangi tindak pidana. Pendekatan mengenai peranan pidana dalam menghadapi kejahatan menurut Anttila telah berlangsung beratus-ratus tahun.29 Penggunaan sanksi pidana untuk menanggulangi kejahatan merupakan cara yang paling tua, setua dengan peradaban manusia itu sendiri, bahkan ada yang menyebutkan
sebagai “older philosophy of crime
control”30 Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada 28
Marlina, Op. Cit. Hlm. 22. Ibid. Hlm. 27. 30 Ibid. Hlm. 27 29
22
umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman. Doktrin membedakan hukum pidana materil dan hukum pidana formil. J.M. Van Bemmelen menjelaskan kedua hal tersebut sebagai berikut :31 a. Hukum pidana materil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut,
peraturan
umum
dapat
diterapkan
terhadap
perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu. b. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada kesemptan itu. Tirtamidjaja menjelaskan hukum pidana meteril dan hukum pidana formil sebagai berikut :32 a. Hukum pidana materil adalah kumpulan aturan hukum yang menentukan pelanggaran pidana, menetapkan syarat-syarat bagi pelanggar pidana untuk dapat dihukum, menunjukkan orang dapat dihukum dan dapat menetapkan hukuman ataas pelanggaran pidana. b. Hukum pidana formil adalah kumpulan aturan hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum pidana materil terhadap pelanggaran yang dilakukan orang-orang tertentu, atau dengan kata lain mengatur cara bagaimana hukum pidana materil 31 32
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Sinar Grafika. Jakarta. 2005. Hlm. 2 Ibid, Hlm. 2
23
diwujudkan sehingga memperoleh keputusan hakim serta mengatur cara melaksanakan putusan hakim. Pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hukum pidana materil berisi larangan atau perintah jika tidak terpenuhi diancam sanksi, sedangkan hukum pidana formil adalah aturan hukum yang mengatur cara menjalankan dan melaksanakan hukum pidana materil. Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban juga orang lain dalam masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga teori konsekuensialisme. Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa. Pernyataan di atas, terlihat bahwa pemidanaan itu sama sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus sebagai upaya preventif terhadap terjadinya kejahatan serupa. Pemberian pidana atau pemidanaan dapat benar-benar terwujud apabila melihat beberapa tahap perencanaan sebagai berikut : 1. Pemberian pidana oleh pembuat undang-undang; 2. Pemberian pidana oleh badan yang berwenang; 3. Pemberian pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.
24
2.2.
Teori Tujuan Pemidanaan
Alf Ross mengemukakan bahwa “Concept of Punishment” bertolak pada dua syarat atau tujuan yaitu:33 1. Pidana ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan (punishment is aimed at anflicting suffering upon the person upon whom it is imposed); 2. Pidana itu merupakan suatu pernyataan pencegahan terhadap perbuatan si pelaku (the punishment is an expression of disapproval of the action for wich it is imposed). Sebelum membahas mengenai tujuan dari pemidanaan itu sendiri, terlebih dahulu kita melihat unsur-unsur atau ciri-ciri pidana sebagaimana yang dinyatakan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief sebagai berikut: a. Pidana
itu
pada
hakekatnya
merupakan
suatu
pengenaan
penderitaan atas nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang); c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.34
33 34
Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, Hlm. . 29-30 Amir Ilyas, dan Yuyun Widaningsih. Hukum Korporasi Rumah Sakit. Yogyakarta. 2010. Hlm. 12.
25
Berdasarkan uraian di atas, M. Shoelehuddin mengemukakan sifat dari unsur-unsur pidana berdasarkan atas tujuan pemidanaan tersebut, yaitu: a. Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang. b. Edukatif, dalam artian bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan. c. Keadilan, dalam artian bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil (baik oleh terhukum maupun oleh korban penanggulangan kejahatan)35 Hal senada terdapat pada pernyataan Roscoe Pound yang merupakan seorang ahli filsafat hukum yang mengemukakan uraiannya bahwa pada akhir abad ke-19 tumbuh suatu cara pemikiran baru, dimana sarjana-sarjana hukum tidak lagi berbicara tentang kemauan manusia pribadi, tetapi mulai berpikir dalam istilah kebutuhan manusia dalam masyarakat, dan tujuan hukum dihubungkan dengan tujuan sosial. Di sini mulai tumbuh apa yang dikatakan tujuan atau fungsi hukum sebagai Law as a tool of social engineering, yaitu bahwa hukum telah beralih, tidak saja hukum sebagai alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat,
35
Ibid. Hlm. 13
26
melainkan sebagai alat yang dapat membantu proses perubahan masyarakat.36 Dari pernyataan di atas. Hukum pidana mendapat pengaruh dari pandangan Roscue Pound, yang akhirnya menimbulkan aliran hukum pidana modern, yitu tujuan hukum pidana untuk melindungi individu dan sekaligus masyarakat terhadap kejahatan dan penjahat itu haruslah disertai penentuan tujuan pemidanaan yang tidak klasik dengan pidana tidak hanya semata-mata sebagai pembalasan. Berikut ini adalah beberapa teori-teori yang pernah dirumuskan oleh para ahli untuk menjelaskan secara mendetail mengenai pemidanaan dan tujuan dari dijatuhkannya pemidanaan. Pada umumnya teori-teori pemidanaan terbagi atas tiga golongan besar, yaitu: a. Teori absolut / teori pembalasan / teori retributif (Vergeldings Theorien) b. Teori relatif / teori tujuan (Doel Theorien) / (De Relatieve Theorien) c. Teori gabungan (Vernegins Theorien) Pada bagian ini penulis akan menguraikan teori-teori tersebut sebagai berikut:
36
Pipin Syarifin S.H, Hukum Pidana DI Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2008, Hlm. 23
27
1) Teori absolut / teori pembalasan / teori retributif (Vergeldings Theorien) Aliran ini menganggap sebagai dasar dari hukum pidana adalah
alam
pikiran
untuk
pembalasan
(vergelding
atau
vergeltung). Teori ini muncul pada akhir abad ke-18. Penganut dari teori ini antara lain Emmanuel Kant, Julius Stahl, Leo Polak, Hegel, Herbart. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas sesuai yang telah dikutip dari pendapat Immanuel Kant di dalam bukunya “Philosophy of Law” sebagai berikut: “...........pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk memproposikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat tetapi dalam semua
hal
harus
dikenakan
hanya
karena
orang
yang
bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya) pembunuh terkahir yang masih berada di dalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya dan perasaan balas dendam tidak boleh ada tetap ada pada anggota masyarakat karena apabila tidak dilakukan mereka semua dapat memandang sebagai orang yang
28
ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum”. 37 Menurut Emmanuel Kant, “siapa yang membunuh harus dibunuh pula”.38 Dengan demikian Immanuel Kant berpendapat, pembalasan atas suatu perbuatan melawan hukum adalah suatu syarat mutlak menurut hukum dan keadilan, hukuman mati terhadap penjahat yang melakukan pembunuhan berencana mutlak dijatuhkan. Selain itu teori ini mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan
pidana
itu.
Setiap
kejahatan
harus
berakibat
dijatuhkan pidana kepada pelanggar. Oleh karena itulah maka teori ini disebut teori absolute. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana ialah pembalasan. Namun dengan melihat teori ini, M. Cherif Bassiouni berpendapat bahwa: hukum pidana penuh dengan gambarangambaran mengenai perlakuan oleh ukuran-ukuran sekarang dipandang kejam dan melampaui batas. Selanjutnya dikatakan bahwa pembaharuan pidana di Eropa kontinental, selanjutnya di 37 38
Ibid. Hlm. 46. Prof. Dr. A. S. Alam, Pengantar Kriminologi, Pustaka Refleksi, Makassar, 2010, Hlm. 81.
29
Inggris justru merupakan reaksi humanistik terhadap kekejaman pidana. Atas dasar pandangan yang demikian kiranya ada pendapat bahwa theory retributive atau teori pembalasan dalam hal pemidanaan merupakan “a relic of barbarism” (sebuah peninggalan dari kebiadaban).39 2) Teori relatif / teori tujuan (Doel Theorien) / (De Relatieve Theorien) Teori ini muncul sebagai reaksi keberatan terhadap teori absolut. Menurut teori ini, memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu sebagaimana yang telah dikutip dari J. Andenles, dapat disebut sebagai “teori perlindungan masyarakat” (the theory of social defense).40 Bertitik tolak pada dasar pemikiran bahwa tujuan utama pidana adalah alat untuk menyelenggarakan, menegakkan dan mempertahankan serta melindungi kepentingan pribadi maupun publik dan mempertahankan tatatertib hukum dan tertib sosial dalam masyarakat (rechtsorde; social orde) untuk prevensi terjadinya kejahatan. Maka dari itu untuk merealisasikannya
39 40
Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, Hlm. . 27-28 Ibid. Hlm. 57.
30
diperlukan pemidanaan, yang dimana menurut sifatnya adalah: menakuti, memperbaiki, atau membinasakan. Dengan demikian menurut Wirjono Prodjodikoro, tujuan dari hukum pidana ialah untuk memenuhi rasa keadilan. Selanjutnya ia mengatakan, “Di antara para sarjana hukum diutarakan bahwa tujuan hukum pidana ialah” : a. Untuk
menakut-nakuti
orang
agar
tidak
melakukan
kejahatan, baik menakut-nakuti orang banyak (generale preventie), maupun menakut-nakuti orang tertentu yang telah melakukan kejahatan, agar di kemudian hari ia tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventie). b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang yang
baik
tabiatnya,
sehingga
bermanfaat
bagi
masyarakat.41 Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus (speciale preventie) yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum (general preventie) yang ditujukan ke masyarakat. Dengan penjelasan bahwa pencegahan umum (menakut-nakuti dengan cara pelaku yang tertangkap dijadikan contoh, dengan harapan menghendaki 41
Pipin Syarifin, Hukum Pidana DI Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2008, Hlm. 22
31
agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik) dan pencegahan khusus (tujuan dari pidana adalah untuk mencegah niat jahat dari si pelaku tindak pidana yang telah dijatuhi pidana agar tidak melakukan tindak pidana lagi). Van Hamel menunjukkan bahwa prevensi khusus suatu pidana ialah : 1. Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan niat buruknya. 2. Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana. 3. Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki. 4. Tujuan satu-satunya suatu pidana ialah mempertahankan tata tertib hukum.42 Teori relatif ini berasas pada tiga tujuan utama pemidanaan yaitu preventif, detterence, dan reformatif. Tujuan preventif (prevention) untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti (detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan, baik bagi individual pelaku agar tidak mengulangi perbuatanya, 42
Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1 : Stelsel Pidana Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2002. Hlm. 160
32
maupun bagi publik sebagai langkah panjang. Sedangkan tujuan perubahan (reformation) untuk mengubah sifat jahat si pelaku dengan dilakukannya pembinaan dan pengawasan, sehingga nantinya dapat kembali melanjutkan kebiasaan hidupnya seharihari sebagai manusia yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Selanjutnya Christian mengatakan bahwa adapun ciri-ciri Teori Relatif, yaitu:43 1. Tujuan pemidanaan adalah untuk pencegahan; 2. Pencegahan ini bukanlah tujuan akhir (final aim), tetapi merupakan saran untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi lagi, yaitu kesejahteraan masyarakant (social welfare); 3. Hanya
pelanggaran-pelanggaran
dipersalahkan kesengajaan
kepada atau
hukum
pelaku
kelalaian,
yang
kejahatan,
sebagai
syarat
dapat berupa untuk
dijatuhkannya pidana 3) Teori gabungan (Vernegins Theorien) Dengan menyikapi keberadaan dari teori Absolut dan teori Relatif, maka muncullah teori ketiga yakni Teori Gabungan yang menitikberatkan
pada
pandangan
bahwa
pidana
hendaknya
didasarkan pada tujuan pembalasan namun juga mengutamakan tata tertib dalam masyarakat, dengan penerapan secara kombinasi 43
Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, Hlm. . 54
33
yang
menitik
beratkan
pada
salah
satu
unsurnya
tanpa
menghilangkan unsur lainnya maupun dengan mengutamakan keseimbangan antara kedua unsur ada. Hal ini juga dapat dilihat dalam pernyataan M. Sholehuddin yang mengatakan: Tujuan pemidanaan harus sesuai dengan politik hukum pidana dimana harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat keselarasan
dari hidup
kesejahteraan dengan
serta
keseimbangan
memperhatikan
dan
kepentingan
masyarakat/negara, korban, dan pelaku.44 Menurut Adami Chazawi, teori gabungan dapat dapat digolongkan dalam dua golongan besar, yaitu :45 a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dipertahankannya tata tertib masyarakat. b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana. Dengan demikian secara singkat dapat dilihat teori ini bertujuan untuk: a. Pembalasan, membuat pelaku menderita
44 45
Amir Ilyas, dan Yuyun Widaningsih. Hukum Korporasi Rumah Sakit. Yogyakarta. 2010. Hlm. 13 Adami Chazawi. Op. Cit., Hlm. 162
34
b. Upaya presensi, mencegah terjadinya tindak pidana c. Merehabilitasi pelaku d. Melindungi masyarakat Dengan berkembangnya Restorative Justice saat ini sebagai koreksi atas Retributive Justice (Keadilan yang Merestorasi) secara umum bertujuan untuk membuat pelaku mengembalikan keadaan kepada kondisi semula. Keadilan yang bukan saja menjatuhkan sanksi yang seimbang bagi pelaku namun juga memperhatikan keadilan bagi korban. Pemahaman ini telah diakomodir oleh RKUHP tahun 2005. Tujuan Pemidanaan berdasarkan Pasal 54 R-KUHP tahun 2005 : (1) Pemidanaan bertujuan: a. mencegah dilakukanya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana dan; e. memaafkan terpidana. (2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia . Dalam Pasal 55 R-KUHP juga terdapat pedoman pemidanaan yang belum diatur dalam UU kita :
35
(1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
Kesalahan pembuat tindak pidana; Motif dan tujuan melakukan tindak pidana; Sikap batin pembuat tindak pidana; Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana; Cara melakukan tindak pidana; Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana Pengaruh pidana terhadap massa depan pembuat tindak pidana; Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya dan /atau; Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
(2) Rintangan perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Dari aturan diatas dapat dicermati bahwa dalam R-KUHP menganut teori prevensi, rehabilitasi dan restotaif dalam tujuan pemidanaannya. Teori prevensi umum tercermin dari tujuan pemidanaan
mencegah
dilakukannya
tindak
pidana
dengan
menegakkan norma hukum demi pengayoman kepada masyarakat. Teori
rehabilitasi
pemidanaan
dan
untuk
resosialisasi
tergambar
memasyarakatkan
dari
terpidana,
tujuan dengan
36
melakukan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna. Dan restoratif terdapat dalam tujuan pemidanaan yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam damai dalam masyarakat; membebaskan rasa bersalah pada terpidana; dan memaafkan terpidana. 2.3.
Sistem Pemidanaan di Indonesia
Pada saat ini sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum pidana yang berlaku seperti yang diatur dalam KUHP yang ditetapkan pada UU No. 1 tahun 1964 jo UU No. 73 tahun 1958, beserta perubahan-perubahannya sebagaimana yang ditentukan dalam UU No. 1 tahun 1960 tentang perubahan KUHP, UU No. 16 Prp tahun 1960 tentang beberapa perubahan dalam KUHP, UU no. 18 prp tentang perubahan jumlah maksimum pidana denda dalam KUHP. Meskipun Wetboek van Strarecht peninggalan zaman penjajahan belanda
sudah
tidak
dipakai
lagi
di
Negara
kita,
tapi
sistem
pemidanaannya masih tetap digunakan sampai sekarang, meskipun dalam praktek pelaksanaannya sudah sedikit berbeda. Dalam masalah pemidanaan dikenal dua sistem atau cara yang biasa diterapkan mulai dari jaman W.V.S belanda sampai dengan sekarang yakni dalam KUHP :
37
1. Bahwa orang yang dipidana harus menjalani pidananya didalam tembok penjara. Ia harus diasingkan dari masyarakat ramai terpisah dari kebiasaan hidup sebagaimana layaknya mereka bebas. Pembinaan bagi terpidana juga harus dilakukan dibalik tembok penjara. 2. Bahwa selain narapidana dipidana, mereka juga harus dibina untuk kembali bermasyarakat atau rehabilitasi/resosialisasi. Dalam KUHP penjatuhan pidana pokok hanya boleh satu macam saja dari tindak pidana yang dilakukan, yaitu salah satu pidana pokok diancam secara alternatif pada pasal tindak pidana yang bersangkutan. Untuk pidana pokok masih dapat satu atau lebih pidana tambahan seperti termasuk dalam Pasal 10b, dikatakan dapat berarti penambahan pidana tersebut adalah fakultatif. Jadi pada dasarnya dalam sistem KUHP ini tidak diperbolehkan dijatuhi pidana tambahan mandiri tanpa penjatuhan pidana pokok, kecuali dalam Pasal 39 ayat 3 (perampasan atas barang sitaan dari orang yang bersalah) dan Pasal 40 (pengembalian anak yang belum dewasa tersebut pada orangtuanya). Mengenai maksimum pidana penjara dalam KHUP adalah lima tahun dan hanya boleh dilampaui hingga menjadi dua puluh tahun, yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati,pidana seumur hidup, atau pidana penjara selama waktu tertentu. Atau antara pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu sebagaimana
38
diatur dalam Pasal 12 ayat (3) sedangkan minimum pidana penjara selama waktu tertentu adalah satu hari dan paling lama lima belas hari sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (2) KUHP. Sedangkan mengenai maksimum pidana kurungan adalah satu tahun dan hanya boleh dilewati menjadi satu tahun empat bulan, dalam hal ada pemberatan pidana karena pengulangan, perbarengan, atau karena ketentuan Pasal 52-52a. Adapun minimum pidana kurungan adalah satu hari sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 KUHP. 3. Tindak Pidana Bagian ini secara khusus akan membahas mengenai masalah tindak pidana yang di uraikan sebagaimana berikut: 3.1.
Istilah Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat WvS (Wetboek van Strarecht) Belanda, dengan demikian juga WvS (Wetboek van Strarecht) Hindia Belanda (KUHP). Kata strafbaar feit kemudian diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa Indonesia. Hingga saat ini tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu, namun hingga saat ini belum ada keseragaman pendapat.
39
Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundangundangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah sebagai berikut: 1. Tindak pidana, dapat diartikan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan kita. Hampir seluruh peraturan perundangundangan menggunakan istilah tindak pidana seperti dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini yaitu Wirjono Prodjodikoro. 2. Peritiwa Pidana, digunakan olehh beberapa ahli hukum, misalya R.Tresna dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana, A.Zainal Abidin Farid dalam buku beliau Hukum Pidana. 3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini digunakan oleh Utrecht. 4. Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam tulisan M. H. Tirtaamidjaja. 5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan Karni, begitu juga Schravendijk. 6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh pembentuk Undang-Undang Nomor 12/Drt Tahun 1951 Tentang Senjata Api dan Bahan Peledak. 7. Perbuatan Pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam berbagai tulisannya.46
3.2.
Definisi dan Unsur –Unsur Tindak Pidana
Untuk memberikan gambaran secara jelas tentang definisi tindak pidana atau delik, berikut ini penulis mengemukakan pandangan dari beberapa ahli hukum, antara lain:
46
Adami Chazawi. Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2008, Hlm. 67-68
40
1. D.Simons, mengatakan bahwa:
47
Tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung-jawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. 2. J.Bauman, mengatakan bahwa:
48
Perbuatan/tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan. 3. Moeljatno, mengatakan bahwa:
49
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. 4. Hazewinkel-Suringa, mengatakan bahwa: 50 Strafbaar Feit sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah di tolak di dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh
47
Tongat. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan. UMM Press. Malang. 2009, Hlm. 105. 48 Ibid. Hlm. 106. 49 Ibid. Hlm. 107. 50 P.A.F. Lamintang, 1997, Op. Cit., Hlm. 181-182.
41
hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya. 5. Pompe, mengatakan bahwa “strafbaar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai: 51 Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum
dan
terjaminnya
kepentingan
umum
sebagai
“de
normovertreding (verstoring de rechtsorde), waaran de overtreder schuld heeft en waarvan de bestraffing is voor de handhaving der rechts orde en de behartiging van het algemeen welzijn”. 6. Van Hattum, mengatakan bahwa:
52
Perkataan “Strafbaar” itu berarti “voor sraaf in aanmerking komend” atau “straaf verdienend” yang juga mempunyai arti sebagai pantas untuk dihukum, sehingga perkataan “strafbaar feit” seperti yang telah digunakan oleh pembentuk Undang-Undang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu secara “eliptis” haruslah diartikan sebagai suatu “tindakan, yang karena telah melakukan tindakan semacam itu membuat seseorang menjadi
51 52
Ibid, Hlm. 182 Ibid, Hlm. 184
42
dapat dihukum” atau suatu “feit terzake van hetwelk een persoon strafbaar is”. Unsur-unsur strafbaar feit, atau tindak pidana, atau delik antara lain: 1. Suatu perbuatan manusia; 2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undangundang; 3. Perbuatan itu harus bertentangan dengan hukum; dan 4. Perbuatan
itu
harus
dipertanggungjawabkan,
dilakukan artinya
oleh dapat
orang
yang
dipersalahkan
dapat karena
melakukan perbuatan tersebut. Alasan Simons apa sebabnya strafbaar feit harus dirumuskan seperti di atas adalah karena:53 a. Untuk adanya suatu strafbaar itu diisyaratkan bahwa di situ harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang, di mana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum; b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam undang-undang; dan
53
Ibid, Hlm. 185
43
c. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban
menurut
undang-undang
itu,
pada
hakikatnya
merupakan suatu “onrechtmatige handeling”.
3.3.
Jenis/Penggolongan Tindak Pidana
Secara umum tindak pidana dapat dibedakan kedalam beberapa pembagian sebagai berikut: 54 a. Tindak pidana dapat dibedakan secara kualitatif atas kejahatan dan pelanggaran: 1. Kejahatan. Secara doktrinal kejahatan adalah rechtdelicht, yaitu perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undangundang atau tidak. Sekalipun tidak dirumuskan sebagai delik dalam undang-undang, perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. Jenis tindak pidana ini sering disebut mala per se. Perbuatan-perbuatan
yang
dapat
dikualifikasikan
sebaga
rechtdelicht dapat disebut antara lain pembunuhan, pencurian, dan sebagainya.
54
Tongat. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan. UMM Press. Malang. 2009, Hlm. 117.
44
2. Pelanggaran. Jenis tindak pidana ini disebut wetsdelicht, yaitu perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari sebagai
suatu
tindak
pidana,
karena
undang-undang
merumuskannya sebagai suatu delik. Perbuatan-perbuatan ini baru disadari sebagai tindak pidana oleh masyarakat oleh karena undang-undang mengancamnya denan sanksi pidana. Tindak pidana ini disebut juga mala quila prohibita. Perbuatanperbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai wetsdelicht antara lain misalnya memarkir mobil di sebelah kanan jalan, berjalan di jalan raya sebelah kanan, dan sebagainya. b. Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana formil dan tindak pidana materiil: 1. Tindak Pidana Formil Tindak pidana
formil
adalah
tindak pidana
yang
perumusannya dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa tindak pidana formil adalah tindak pidana yang telah dianggap terjadi/selesai dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang dalam undang-undang,
tanpa
mempersoalkan
akibat.
Misalnya
pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP,
45
penghasutan sebagaimana diatur dalam Pasal 160 KUHP, dan sebagainya. 2. Tindak Pidana Materiil Tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang perumusannya dititikberatkan pada akibat yang dilarang. Dengan kata lain tindak pidana materiil adalah adalah tindak pidana yang baru dianggap telah terjadi, atau dianggap telah selesai apabila akibat yang dilarang itu telah terjadi. Apabila belum terjadi akibat yang dilarang, maka belum bisa dikatakan selesai tindak pidana ini, yang terjadi baru percobaan. Misalnya tindak pidana pembunuhan yang diatur dalam Pasal 338 KUHP, penipuan dalam Pasal 378 KUHP dan sebagainya. Berdasarkan dari berbagai rumusan tentang tindak pidana, maka dapat disimpulkan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melawan hukum yang mengakibatkan pembuatnya dapat dipidana. C. Definisi Pelaku Definisi pelaku menurut KUHP dirumuskan dalam Pasal 55 ayat 1 yaitu: “dipidana sebagai tindak pidana: mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, dan mereka yang sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.”
46
Terhadap kalimat: “dipidana sebagai pelaku...” itu timbullah perbedaan pendapat dikalangan para penulis hukum pidana, yaitu apakah yang disebut Pasal 55 ayat (1) KUHP itu adalah pelaku (dader) atau hanya disamakan sebagai pelaku (alls dader). Dalam hal ini ada 2 (dua) pendapat, yaitu:55 1. Pendapat yang luas (ekstensif): Pendapat ini memandang sebagai pelaku (dader) adalah setiap orang yang menimbulkan akibat yang memenuhi rumusan tindak pidana, artinya mereka yang melakukan yang memenuhi syarat bagi yang terwujudnya akibat yang berupa tindak pidana. Jadi menurut pendapat ini, mereka semua yang disebut dalam Pasal 55 ayat 1 KUHP itu adalah pelaku (dader). Penganutnya adalah: M.v. T, Pompe, Hazewinkel-Suringa, Van Hanttum, dan Moeljatno. 2. Pendapat yang sempit (resktriktif): Pendapat ini memandang (dader) adalah hanyalah orang yang melakukan sendiri rumusan tindak pidana. Jadi pendapat ini, si pelaku (dader) itu hanyalah yang disebut pertama (mereka yang melakukan perbuatan) Pasal 55 ayat (1) KUHP, yaitu yang personal (persoolijk) dan materiil melakuan tindak pidana, dan mereka yang disebut pada Pasal 55 ayat (1) KUHP bukan pelaku
55
Dikutip dari http://www.scribd.com/doc/52566553/pengertian-pelaku-menurut-undang diakses pada 19/11/2012 (19:15)
47
(dader), melainkan hanya disamakan (ask dader). Penganutnya adalah: H. R. Simons, Van Hamel, dan Jonkers. Terdapat beberapa pendapat dari ahli mengenai mereka yang melakukan tindak pidana (zij die feit plgeen) antara lain:56 a. Simons, mengartikan bahwa yang dimaksud dengan zij die het feit plgeen ialah apabila seseorang melakukan sendiri suatu tindak pidana, artinya tidak ada temannya (allen daderschaft) b. Noyon, mengartikan bahwa yang dimaksud dengan zij die het feit plgeen ialah apabila beberapa orang (lebih dari seorang) bersamasama melakukan sutu tindak pidana. c. Sarjana lain, menyatakan bahwa sebenarnya dengan dicantumkannya perumusan zij die het feit plgeen itu dalam Pasal 55 KUHP adalah overbody atau berkelebihan, sebab jika sekiranya perumusan itu dicantumkan dalam pasal tersebut, maka kan dapat ditemukan siapa pelakunya, yaitu: 1) Dalam delik formal, pelakunya adalah setiap orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik; 2) Dalam delik materil, pelakunya adalah setiap orang yang menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang. 3) Dalam delik yang memenuhi unsur kedudukan (kualitas), pelakunya adalah setiap orang yang memiliki unsur kedudukan (kualitas) sebagaimana dilakukan dalam delik. Misalnya, dalam delik-delik jabatan, yang dapat melakukannya adalah pegawai negeri. Dari semua uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaku adalah setiap orang yang memenuhi semua unsur yang terdapat dalam perumusan tindak pidana. D. Narkotika. Masyarakat luas mengenal istilah Narkotika yang kini telah menjadi fenomena berbahaya yang populer di tengah masyarakat kita. Ada pula istilah lain yang kadang digunakan adalah Narkoba (Narkotika dan Obat56
Ibid.
48
obatan berbahaya). Selain itu ada pula istilah yang digunakan oleh DepKes
RI
yaitu
NAPZA
merupakan
singkatan
dari
Narkotika,
Pasikotropika dan Zat adiktif lainnya. Semua istilah diatas mengacu pada sekelompok zat yang mempunyai resiko kecanduan atau adiksi. Narkotika dan Psikotropika itulah yang secara umum biasa di kenal dengan Narkoba atau NAPZA. Namun karena hadirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun Tentang Narkotika yang baru, maka beberapa pengaturan mengenai psikotropika dilebur ke dalam perundang-undangan yang baru. 1. Definisi Narkotika Secara umum yang dimaksud dengan narkotika adalah suatu kelompok zat yang bila dimasukkan dalam tubuh maka akan membawa pengaruh terhadap tubuh pemakai yang bersifat: -
Menenangkan
-
Merangsang
-
Menimbulkan khayalan Secara Etimologi narkotika berasal dari kata “Narkoties” yang sama
artinya dengan kata “Narcosis” yang berarti membius.57 Sifat dari zat tersebut terutama berpengaruh terhadap otak sehingga menimbulkan perubahan pada perilaku, perasaan, pikiran, persepsi, kesadaran, dan halusinasi disamping dapat digunakan dalam pembiusan.
57
Moh. Taufik Makarao. Tindak Pidana Narkotika. Ghalia Indonesia. Jakarta. 2003. Hlm. 21
49
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dapat dilihat pengertian dari Narkotika itu sendiri yakni: Pasal 1 point 1 Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini. Definisi dari Biro Bea dan Cukai Amerika Serikat mengatakan bahwa: yang dimaksud dengan narkotika ialah candu, ganja, cocaine, zatzat yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda tersebut yakni morphine, heroin, codein, hashisch, cocaine. Dan termasuk juga narkotika sintetis
yang
menghasilkan
zat-zat,
obat-obat
yang
tergolong
Hallucinogen, Depressant dan Stimulant. Berikut adalah pandangan dari ahli hukum mengenai pengertian dari narkotika: 1. Menurut Smith Klise dan French Clinical Staff mengatakan bahwa: “Narcotics are drugs which produce insebility stupor duo to their depressant effect on the control nervous system. Included in this
50
definition are opium derivates (morphine, codein, heroin, and synthetics opiates (meperidine, methadone).”58 Yang artinya kurang lebih sebagai berikut: Narkotika adalah zat-zat (obat) yang dapat mengakibatkan ketidaksamaan atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan saraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk jenis candu dan turunan-turunan candu (morphine, codein, heroin), candu sintetis (meperidine, methadone). 2. Sudarto mengatakan bahwa: Perkataan Narkotika berasal dari bahasa Yunani “Narke” yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Dalam Encyclopedia Amerikana dapat dijumpai pengertian “narcotic” sebagai “a drug that dulls the senses, relieves pain induces sleep an can produce addiction in varying degrees” sedang “drug” diartikan sebagai: Chemical agen that is used therapeuthically to treat disease/Morebroadly, a drug maybe delined as any chemical agen attecis living protoplasm: jadi narkotika merupakan suatu bahan yang menumbuhkan rasa menghilangkan rasa nyeri dan sebagainya.59 3. Soedjono. D mengemukakan bahwa: Narkotika adalah zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakannya dengan memasukkannya ke dalam tubuh. Pengaruh tubuh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit,
58
Hari Sasangka. Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana. Mandar Maju. Bandung. 2003. Hlm. 33 59 Djoko Prakoso. Bambang Riyadi Lany dan Muhksin. Kejahatan-Kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara. Bina Aksara. Jakarta. 1987. Hlm. 480
51
rangsangan semangat dan halusinasi atau khayalan-khayalan. Sifat tersebut diketahui dan ditemui dalam dunia medis bertujuan untuk dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia, seperti di bidang pembedahan untuk menghilangkan rasa sakit.60
2. Jenis-Jenis Narkotika Adapun penggolongan jenis-jenis dari Narkotika berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, adalah sebagai berikut: a. Narkotika golongan I: Narkotika
yang
hanya
dapat
digunakan
untuk
tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalanm terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Antara lain sebagai berikut: 1. Tanaman Papaver Somniferum L
dan semua bagian-
bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya. 2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya.
60
Soedjono. D. Hukum Narkotika Indonesia. Penerbit Alumni. Bandung. 1987. Hlm. 3
52
3. Opium masak terdiri dari : a. candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan penambahan
dan
peragian
bahan-bahan
dengan lain,
atau
dengan
tanpa maksud
mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan. b. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain. c. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing. 4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya. 5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia. 6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina. 7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina. 8. Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil
53
olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis. b. Narkotika golongan II: Narkotika yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Antara lain seperti: 1. Alfasetilmetadol; 2. Alfameprodina; 3. Alfametadol; 4. Alfaprodina; 5. Alfentanil; 6. Allilprodina; 7. Anileridina; 8. Asetilmetadol; 9. Benzetidin; 10. Benzilmorfina; 11. Morfina-N-oksida; 12. Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya termasuk bagian turunan morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-N-oksida, dan lain-lain.
54
c. Narkotika golongan III: Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam
terapi
dan/atau
untuk
tujuan
pengembangan
ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Antara lain seperti: 1. Asetildihidrokodeina 2. Dekstropropoksifena
:
α-(+)-4-dimetilamino-1,2-difenil-3-
metil-2-butanol propionat 3. Dihidrokodeina 4. Etilmorfina : 3-etil morfina 5. Kodeina : 3-metil morfina 6. Nikodikodina : 6-nikotinildihidrokodeina 7. Nikokodina : 6-nikotinilkodeina 8. Norkodeina : N-demetilkodeina 9. Polkodina : Morfoliniletilmorfina 10. Propiram
:
N-(1-metil-2-piperidinoetil)-N-2-
piridilpropionamida 11. Buprenorfina
:
21-siklopropil-7-α-[(S)-1-hidroksi-1,2,2-
trimetilpropil]-6,14-endo-entano-6,7,8,14-tetrahidrooripavina 12. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas
55
13. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika 14. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika
E. Penyalahgunaan Narkotika Secara etimologis, penyalahgunaan itu sendiri dalam bahasa asingnya disebut “abuse”, yaitu memakai hak miliknya yang bukan pada tempatnya. Dapat juga diartikan salah pakaiatau “misuse”, yaitu mempergunakan sesuatu yang tidak sesuai dengan fungsinya.61 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika tidak memberikan pengertian dan penjelasan yang jelas mengenai istilah penyalahgunaan, hanya istilah penyalah guna yang dapat dilihat pada undang-undang tersebut, yaitu penyalah guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau secara melawan hukum. Batasan mengenai penyalahgunaan yang diterapkan, baik oleh Konvensi Tunggal Narkotika 1961 (United Nations Single Convention on Narcotic Drugs 1961) maupun Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 (United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs
61
M. Ridha Ma’roef, Narkotika Masalah dan Bahayanya, CV. Marga Djaya, Jakarta, 1986, Hlm.9
56
and Psychotropic Substances 1988 ), tidak jauh berbeda dengan apa yang telah diuraikan di atas. Hal ini dikarenakan peraturan perundangundangan nasional yang dibuat khusus di Indonesia berkaitan dengan masalah penyalahgunaan narkotika, dan merupakan wujud dan bentuk nyata dari pengesahan atau pengakuan pemerintah Indonesia terhadap Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol Tahun 1972 yang Mengubahnya. Konvensi
Tunggal
Narkotika
1961
(United
Nations
Single
Convention on Narcotic Drugs 1961) secara tegas disebutkan dalam Pasal 2 ayat 5 sub (b) bahwa: “A Party shall, if in its opinion the prevailing conditions in its country render it the most appropriate means of protecting the public health and welfare, prohibit the production, manufacture, export and import of, trade in, possession or use of any such drug except for amounts which may be necessary for medical and scientific research only, including clinical trials therewith to be conducted under or subject to the direct supervision and control of the Party.” Yang artinya kurang lebih : “Suatu Pihak wajib, jika menurut pendapatnya berdasarkan kondisi yang berlaku di negaranya membuat itu cara yang paling tepat untuk melindungi kesehatan masyarakat dan kesejahteraan, melarang produksi, manufaktur, ekspor dan impor, perdagangan, pemilikan atau penggunaan narkoba apapun kecuali seperti untuk jumlah yang mungkin diperlukan untuk penelitian medis dan ilmiah saja, termasuk uji klinis dengannya akan dilakukan di bawah atau tunduk pada pengawasan dan kontrol langsung dari pihak tersebut.” Sementara
Konvensi
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
tentang
Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 menyebut
penyalahgunaan
obat
terlarang
sebagai
tindak
pidana 57
kejahatan dan dapat dihukum oleh hukum domestik setempat (dari negara yang menjadi para pihak di dalamnya) dimana perbuatan penyalahgunaan tersebut dilakukan. Begitu besarnya akibat dan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh penyalahgunaan narkotika, sehingga dalam Pasal 114 ayat (1) UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dinyatakan bahwa: Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
58
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian Agar penulis dapat menjawab rumusan masalah yang diangkat pada penulisan skripsi ini, maka penulis akan melakukan penelitian pada (LAPAS) Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa maupun Balai Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) Makassar. Pertimbangan mengenai dipilihnya lokasi penelitian ini yaitu dengan melakukan penelitian di lokasi tersebut Penulis dapat memperoleh data yang lengkap, akurat dan memadai sehingga dapat memperoleh hasil penelitian yang obyektif dan berkaitan dengan obyek penelitian, sesuai dengan tujuan penulisan skripsi yaitu untuk meneliti upaya-upaya yang dilakukan
oleh
pihak Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika
dalam
menekan angka ketergantungan Narkotika bagi warga binaan, maupun efektifitas pelaksanaan pidana pelaku penyalahgunaan narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika, serta menguraikan fakta yang didapatkan di lapangan melalui hasil wawancara penulis dengan pihak Lembaga Pemasyarakatan Narkotika.
59
B. Jenis dan Sumber Data Jenis data dalam penelitian ilmiah yang penulis gunakan terdiri atas 2 (dua), yakni: 1) Data primer yaitu data dan informasi informasi yang diperoleh melalui penelitian lapangan dengan pihak-pihak yang terkait sehubungan dengan penelitian ini, antara lain petugas Lembaga Pemasyarakatan dan Terpidana Penyalahgunaan Narkotika; 2) Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan terhadap berbagai macam bacaan yaitu dengan menelaah literatur, artikel, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun sumber lainnya yang berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian. Sumber data dalam penelitian ini adalah: 1) Penelitian pustaka (library research), yaitu membaca serta menelaah berbagai literatur seperti buku kepustakaan, koran dan karya ilmiah yang relevan dan berkaitan langsung dengan objek penelitian. 2) Penelitian lapangan (field research), yaitu pengumpulan data dengan
mengamati
secara
sistematis
terhadap
fenomena-
fenomena yang diselidiki.
60
C. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah: 1) Metode penelitian kepustakaan, penelitian ini Penulis lakukan dengan membaca serta mengkaji berbagai literatur yang relevan dan berhubungan langsung dengan objek penelitian yang dijadikan landasan teoritis. 2) Metode penelitian lapangan, dilakukan dengan metode wawancara atau pembicaraan langsung dan terbuka dalam bentuk Tanya jawab terhadap nara sumber atau petugas kepolisian yang dianggap dapat memberikan keterangan dan informasi yang diperlukan dalam pembahasan objek penelitian
D. Analisis Data Data yang telah diperoleh baik data primer dan data sekunder diolah dan dianalisis berdasarkan rumusan masalah yang telah diterapkan kemudian disajikan secara
deskriptif, yaitu menjelaskan, menguraikan,
dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini guna memberikan pemahaman yang jelas dan terarah yang diperoleh dari hasil penelitian nantinya, sehingga diharapkan dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang simpulan atas hasil penelitian yang dicapai.
61
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Tentang Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa di bentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M.04.PR.03 Tahun 2003 tentang Pembentukan 13 Unit Lembaga Pemasyarakatan
Khusus
Narkotika
(Salah
satunya
Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika Sungguminasa). Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sungguminasa berkapasitas 368 orang dengan penghuni saat ini berjumlah 594 orang (per tanggal 4 Februari 2013), terletak di jalan Lembaga desa Timbuseng kecamatan Pattalasang kabupaten Gowa. Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa berdiri diatas tanah seluas 158 x 103 meter persegi, dengan Luas Tembok Keliling 110 x 80,5 meter persegi, dibangun dalam empat tahap mulai tahun 2003 sampai dengan 2006. Mulai beroperasional melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sejak tanggal 2 Agustus 2007. Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sungguminasa didesain sedemikian rupa dengan tetap mempertimbangkan segi keamanan dan pembinaan
dan
mencoba
menggunakan
rehabilitasi yang berkombinasi dengan protaf.
pendekatan
mengarah
Bangunan Lembaga
62
Pemasyarakatan terdiri atas ruang perkantoran,
gedung blok / kamar
hunian yang terdiri atas:
Blok A bawah dan A atas Blok B bawah dan B atas Blok C1 bawah dan C atas Klinik, gereja, aula, ruang kegiatan kerja,masjid dan dapur Adapun visi, misi, tujuan, fungsi dan sasaran dari Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika Sungguminasa adalah sebagai berikut: Visi :
Terwujudnya insan petugas pemasyarakatan dan WBP yang bebas HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba
Misi :
1) Melaksanakan perawatan kesehatan; 2) Melaksanakan bimbingan rohani dan hokum; 3) Melaksanakan pelayanan terapi dan rehabilitasi social; 4) Membangun kemitraan;
Tujuan :
1) Meningkatkan penegakan hokum; 2) Pembentukan mental jasmani/rohani WBP; 3) Mencegah dan mengurangi penularan HIV/AIDS; 4) Meningkatkan kualitas hidup Odha; 5) Mengembangkan metode treatment, terapy rehabilitasi dan
security
narkoba
di
lingkungan
Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika Sungguminasa. Fungsi :
1) Melaksanakan pembinaan narapidana/anak didik kasus narkotika; 2) Memberikan
bimbingan,
terapi
dan
rehabilitasi
narapidana/anak didik kasus narkotika; 3) Melakukan bimbingan sosial/kerohanian; 4) Melakukan pemeliharaan keamanan tatib dan urusan
63
tata usaha dan rumah tangga. Sasaran (Umum) :
1) Meningkatnya kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2) Meningkatnya kualitas intelektual. 3) Meningkatnya kualitas sikap dan prilaku. 4) Meningkatnya kualitas profesionalisme. 5) Meningkatnya kualitas kesehatan jasmani dan rohani.
Sasaran
1) Isi Lembaga Pemasyarakatan ideal dengan kapasitas.
(Khusus) :
2) Angka pelarian dan gangguan kamtib minim (bahkan tidak ada). 3) Jumlah narapidana yang bebas sebelum waktunya meningkat. 4) Menurunnya jumlah residivis. 5) Persentase
kematian
dan
sakit
Warga
Binaan
Pemasyarakatan sama dengan dimasyarakat. 6) Biaya perawatan sama dengan kebutuhan minimal manusia Indonesia. 7) Lembaga Pemasyarakatan selalu dalam kondisi bersih dan terpelihara. 8) Pembinaan sejalan dengan nilai-nilai masyarakat umum.
B. Analisis Data-Data Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa Untuk mempertajam gambaran umum mengenai warga binaan pelaku kejahatan penyalahgunaan narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa Kab. Gowa, berikut merupakan hasil analisis atau olahan data warga binaannya.
64
TABEL 1
Data Jumlah Warga Binaan Berdasarkan Kategori Status Penghuni 2 Tahun Terakhir
No 1 2
Tahun 2011 2012
Status Penghuni/Warga Binaan Tahanan
Narapidana
78 27
400 569
Total
Daya Tampung
Kelebihan Daya Tampung
478 596
368
110 228
Sumber Data: Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa TABEL 2
Data Jumlah Warga Binaan Berdasarkan Kategori Jenis Kejahatan 2 Tahun Terakhir Jenis Kejahatan No
Tahun
1
2011
2
2012
3
2013
Bulan
Narkoba Bandar / Pengedar
Narkoba Pengguna
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari
64 64 65 74 74 74 80 86 89 103 121 130 135 135 135 411 438 438 453 429 445 461 455 479
218 230 234 244 269 313 230 243 249 354 354 354 348 364 355 125 135 146 165 160 171 176 169 118
Total Penghuni Tiap Bulan 282 294 299 318 343 387 310 329 338 457 475 484 483 499 490 536 573 584 618 589 616 637 624 597 588
Daya Tampung
368
368
368
Kelebihan Daya Tampung 19 89 107 116 115 131 122 168 205 216 250 221 248 269 254 229 220
Sumber Data: Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa
65
TABEL 3
Data Jumlah Residivis Penyalahgunaan Narkotika Terhitung Juli 2011 - Desember 2012
No
Tahun
1
2011
2
2012
Bulan
Residivis
Bukan Residivis
Total Penghuni Tiap Bulan
Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
29 30 30 47 40 42 41 39 40 39 39 37 36 36 34 32 32 30
281 299 308 410 435 442 442 460 450 497 534 547 582 553 582 605 592 567
310 329 338 457 475 484 483 499 490 536 573 584 618 589 616 637 624 597
Sumber Data: Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa
Selain data di atas, penulis juga memperoleh informasi mengenai jumlah pengguna dan pemakai narkotika di Sulawesi Selatan menurut Kepala BNN Sulsel, antara lain sebagai berikut:62 “Tahun 2012 sebanyak 53 warga Makassar ketergantungan narkoba dan dinyatakan wajib lapor, 37 diantaranya berhasil dinyatakan pulih dan selebihnya meninggal dunia. Jumlah tahanan narkoba di Sulawesi Selatan pada tahun 2012 adalah sebanyak 1.441 orang. Dari jumlah tersebut 773 orang adalah pengguna dan 668 orang adalah pengedar. Sulsel menduduki urutan ke 13 dari 33 provinsi sebagai provinsi terbanyak dalam penggunaan shabushabu.”
62
Harian FAJAR, Senin 25 Februari 2013, hlm. 15
66
C. Upaya dan Kendala Dalam Menekan Sifat Ketergantungan Narkotika Warga Binaan. 1. Upaya
Lembaga
Pemasyarakatan
Narkotika
Klas
II
A
Sungguminasa Untuk
merealisasikan
visi,
misi
dan
tujuan
Lembaga
Pemasyaraktan Narkotika, dibentuk Kelompok Kerja atau Satuan Tugas Anti Narkoba yang dirancang dan mengkoordinir program dan kegiatan. Adapun beberapa langkah atau treatment yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa Gowa adalah : a) Mengurangi Dampak Buruk penularan HIV/AIDS (Harm Reduction and Self Suport): Mengembangkan KIE dalam bentuk ; penyuluhan baik kepada petugas maupun WBP Lembaga Pemasyarakatan, pembentukan Pier Educator,
program konseling, pelatihan petugas tentang
HIV/AIDS dan narkoba,dan mengusulkan
pelatihan konselor,
Pembentukan KDS b) Bebas Peredaran Uang ( B P U ) dan bersih dari HP masuk: Tidak ada Peredaran Uang Tunai dalam Lembaga Pemasyarakatan Narkotika,
pelayanan
untuk
penghuni
(
WBP
)
dengan
menggunakan Kartu Pengganti Uang (sejenis Buku Bank) berjalan 100 %.
67
c) Meningkatkan Warga Binaan berhenti memakai narkoba, melalui program: -
Program kerohanian/pencerahan qalbu dan bacaan AlQuran bagi WBP Muslim, (jum’at ibadah dan dzikir)
-
Pendalaman Alkitab bagi WBP Nasrani
-
Terapy moran, mental, dan meningkatkan kepercayaan diri.
-
Pengobatan
untuk
mengurangi
kecanduan
dengan
menggunakan pil Metadon bagi pecandu putaw. -
Olah Raga Pagi, Sore, bagi WBP. (bulu tangkis, bola voli, tenis meja, futsal).
-
Pelaksanaan
P4GN
(Pencegahan,
Pemberantasan,
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba) -
Pembentukan KDS (Kelompok Dukungan Sebaya) bagi WBP.
-
Keterampilan
kesenian,
keterampilan
kerajinan
tangan
berupa pembuatan bingkai foto dan asbak, keterampilan pertukangan kayu, pembinaan keterampilan las maupun bercocok tanam. Program ini diberikan kepada warga binaan sebagai aktifitas pendukung selama mereka berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan Narkotika. d) Dukungan dan Layanan Odha, melalui Program: Akses rujukan
Ke Rumah Sakit Bagi WBP yang sakit dan
memerlukan penanganan intensif. Selain program yang di atas, dalam menekan sifat ketergantungan narkotika
bagi
warga
binaan,
pihak
lembaga
pemasyarakatan
berdasarkan hasil wawancara (21 Januari 2013) terhadap Muh. Askari Utomo
selaku
Kepala
Seksi
Pembinaan
Narapidana
Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa mengemukakan
68
program dalam menekan
sifat
ketergantungan
narkotika
maupun
mencegah kegiatan peredaran gelap narkotika di dalam Lembaga Pemasyarakatan tersebut antara lain adalah Program MAPENALIN (Masa Awal Pengenalan Lingkungan) yang diberikan pertama kali kepada warga binaan yang baru saja didatangkan dari Rumah Tahanan. MAPENALIN (Masa Awal Pengenalan Lingkungan) sendiri dilaksanakan selama 3 hari sampai 2 minggu dan dilaksanakan sesuai dengan program pengamanan. Selain bertujuan untuk memperkenalkan hak dan kewajiban apa saja yang harus ditaati oleh warga binaan yang baru, MAPENALIN juga sebagai sarana untuk untuk mempelajari karakter dari masing-masing warga binaan baru serta melihat apakah warga binaan baru tersebut memiliki musuh antara sesama warga binaan lainnya yang dapat membahayakan keberadaan
warga
binaan
baru
tersebut
di
dalam
lembaga
pemasyarakatan. Setelah melalui program MAPENALIN (Masa Awal Pengenalan Lingkungan) barulah warga binaan yang baru diturunkan untuk bergabung di blok umum bersama warga binaan lainnya. Dalam
melaksanakan
program-program
tersebut,
Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa bekerjasama dengan berbagai instansi pemerintah,Lembaga Swadaya Masyarakat maupun organisasi keagamaan dan organisasi massa terkait antara lain:
Instansi : -
KPAP
-
Dinas Kesehatan
69
-
Rumah Sakit
-
Dinas Pendidikan Nasional
-
Dinas Sosial
LSM dan Ormas -
Metamorfosa Makassar
-
Yakita Makassar (saat ini vakum)
-
YKP2N napi yang akan bebas.
-
Yayasan Wahdah Islamiyah Makassar
-
Yayasan Badan Wakaf UMI Makassar
-
Organisasi Muhammadiyah Gowa
-
Pondok Pesantren Darul Istiqomah Gowa
-
Persekutuan Gereja Indonesia, dll
2. Kendala
Lembaga Pemasyarakatan Narkotika
Klas
II
A
Sungguminasa Dari berbagai program-program penunjang yang ditujukan untuk menekan ketergantungan narkotika terhadap warga binaan, Kepala Seksi Pembinaan Narapidana dalam wawancara (28 Januari 2013) mengakui mengahadapi banyak kendala yang mempengaruhi kinerja pihak lembaga pemasyarakatan khususnya untuk menjalankan esensi dari Lembaga Pemasyarakatan Narkotika itu sendiri sebagai wadah pemasyarakatan dan pembinaan bagi pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Dari hasil pengamatan langsung maupun wawancara yang diperoleh penulis dari pihak lembaga pemasyarakatan, berbagai kendala yang dihadapi antara lain menyangkut fasilitas maupun jumlah tenaga Petugas dalam Lembaga Pemasyarakatan. Berikut merupakan uraiannya antara lain:
70
1) Luas Lahan Persoalan kurangnya lahan menjadi kendala yang cukup rumit, saat ini total keseluruhan luas lahan adalah 3 hektar yang merupakan narkotika
tempat dan
bagi
Lembaga
Lembaga
Pemasyarakatan
Pemasyarakatan
wanita
khusus yang
bangunannya saling berdekatan. 2) Daya Tampung Pada awalnya Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa Kab.Gowa dirancang untuk dihuni kurang lebih 200 orang warga binaan, dan kemudian dibuatlah kawasan Lembaga Pemasyarakatan dengan daya tampung 368. Akan tetapi pada akhirnya seiring perkembangan zaman di era globalisasi, jumlah warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika membludak dan melebihi kapasitas daya tampung dan saat ini warga binaan berjumlah 594 orang pada . Hal ini diperparah oleh Rutan yang sudah mendesak untuk mengalihkan narapidana kasus narkotika yang telah divonis untuk dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Narkotika. Jumlah narapidana yang siap untuk dialihkan tidaklah sedikit namun berjumlah kurang lebih 300 orang. 3) Jumlah Blok Hunian Kapasitas untuk setiap kamar di blok hunian untuk warga binaan adalah berjumlah 10 orang namun dalam kenyataannya tak 71
dapat dihindari bahwa blok hunian tersebut dengan terpaksa di isi hingga 20 orang. Hal ini sangat mempengaruhi upaya pemisahan dan penggolongan warga binaan berdasarkan jenis narkotika yang digunakan demi membantu mengurangi tingkat ketergantungan dan memudahkan proses rehabilitasi, akan tetapi sekali lagi persoalan lahan menjadi kendala bagi pihak Lembaga Pemasyarakatan. 4) Kapasitas Klinik Kesehatan Klinik Kesehatan sangat berperan penting pada tahapan penyembuhan warga binaan yang sedang mengalami sakit atau gangguan kesehatan. Namun sangat disayangkan karena Klinik kesehatan kesehatan yang berada di Lembaga Pemasyarakatan pun sangat kecil dan tidak mempunyai ruang rawat inap. Kondisi darurat yang tidak dapat dihindari salah satunya bila ada warga binaan yang sakit, penanganan untuk rawat inap hanya dilakukan di ruang klinik dokter yang juga berfungsi ganda sebagai ruang pemeriksaan dan hanya memiliki 2 tempat tidur. 5) Ruang Rehabilitasi dan ruang isolasi Pihak Lembaga Pemasyarakatan mengaku tidak memiliki ruangan rehabilitasi yang seharusnya dapat digunakan untuk program penanggulangan narapidana ketergantungan narkotika. Pentingnya ruangan tersebut adalah untuk digunakan dalam menangani warga binaan yang sedang mengalami sakau. Begitu
72
pula dengan ruangan isolasi yang juga tak ada padahal keberadaan ruangan tersebut dapat digunakan untuk mengisolasi warga binaan yang yang mengalami perkelahian ataupun berbuat pelanggaran yang dapat membahayakan penghuni lainnya. 6) Jumlah Petugas/Tenaga Kesehatan Keberadaan petugas/tenaga kesehatan hanya terdiri dari seorang dokter dan seorang perawat. Kondisi ini diperparah dengan keberadaan dokter yang biasanya hanya ada di akhir pekan karena sedang izin mengikuti pendidikan spesialis sehingga hanya ada seorang perawat saja. Penanganan kesehatan terhadap warga binaan hanya sebatas koordinasi jarak jauh antara perawat dan dokter. Tidak hanya itu, Lembaga Pemasyarakatan Narkotika ini sendiri tidak memiliki tenaga psikolog maupun psikiater sedangkan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I A Makassar memiliki fasilitas tersebut. 7) Jumlah Petugas Keamanan dan Persenjataan di Lembaga Pemasyarakatan Salah satu kendala yang cukup memprihatinkan adalah kurangnya petugas keamanan Lembaga Pemasyarakatan. Pihak Lembaga Pemasyarakatan Narkotika mengaku sangat kekurangan personil. Hal ini dapat dilihat dari jumlah petugas untuk satu regu jaga hanya berjumlah 9 orang yang sudah termasuk di dalamnya
73
adalah Komandan Jaga dan Wakil Komandan Jaga yang bertugas di pos keamanan pusat, 2 orang bertugas untuk berjaga di pintu masuk, 2 orang lagi masing-masing bertugas di pos kanan dan kiri. sehingga hanya tersisa 3 orang petugas yang berjaga untuk pospos di setiap blok hunian. Hal ini sangat tidak mendukung kinerja pihak Lembaga Pemasyarakatan Narkotika untuk mengawasi keamanan dan ketertiban serta ketaatan warga binaan yang berjumlah 594 orang. Demikian pula ditambahkan oleh Ali Imran selaku Kepala Bagian Keamanan dalam wawancara (21 Januari 2013) jumlah perbandingan ideal petugas keamanan dengan warga binaan adalah 1:20 untuk kemanan Lapas, selain itu kendala yang lain adalah kurangnya jumlah peralatan persenjataan bagi anggota pengamanan lembaga pemasyaraktan narkotika. hingga sat ini persenjataan hanya berjumlah 2 buah dan hanya petugas yang berjaga di pintu utama dan komandan jaga saja yang ditugaskan untuk memegang senjata tersebut. Hal ini dirasa kurang mampu mendukung proses keamanan di dalam lembaga pemasyarakatan.
74
D. Efektifitas Pelaksanaan Pidana Pelaku Penyalahgunaan Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa Berdasarkan data residivis pelaku penyalahgunaan narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sungguminasa mulai bulan Juli 2011 s/d Desember 2012 yang peningkatan jumlahnya tidak terlalu besar, mungkin dapat dikatakan bahwa proses pemidanaannya sudah efektif. Akan tetapi hal tersebut tentunya tidak menjamin karena kemungkinan kembalinya seorang mantan narapidana Lembaga Pemasyarakatan Narkotika
Sungguminasa
menjadi
pelaku
penyalahguna
narkotika
sangatlah besar, termasuk mereka yang telah bebas tapi tetap menggunakan narkotika namun belum terdeteksi oleh pihak yang berwajib. Berbicara masalah keefektifan suatu pemidanaan tentu tak terbatas hanya pada berat vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim ataupun lama masa pemidanaan seorang narapidana, akan tetapi juga sangat bergantung pada sarana maupun fasilitas-fasilitas penunjang yang ada di dalam
suatu
lembaga
pemasyarakatan.
Dapat
diketahui
bahwa
keberadaan dan esensi dari tujuan suatu lembaga pemasyarakatan narkotika sudah dipastikan berbeda dari lembaga pemasyarakatan pada umumnya. Selain untuk mengembalikan keseimbangan dari sikap pelaku kejahatan agar jera dan tidak mengulang kejahatannya lagi, lembaga pemasyarakatan narkotika memiliki tugas penting untuk menangani dan
75
berusaha menghilangkan sifat ketergantungan narkotika dari warga binaannya. Menurut Aswanto63, “Masalah penyalahgunaan narkoba bukan hanya masalah hukum tetapi juga adalah masalah kemanusiaan, oleh karenanya pengguna dan pecandu narkoba harus direhabilitasi secara multi perspektif. Sedangkan menurut Noor Bahri Noor, “Pengguna dan pecandu harus direhabilitasi secara agama dan semangat kekeluargaan, olehnya itu peran alim ulama dan keluarga sangat penting”. Dengan demikian tidak hanya sebatas memasyarakatkan
para
narapidana seperti di lembaga pemasyarakatan umum, di dalam lermbaga pemasyarakatan narkotika diperlukan berbagai program khusus ataupun treatment terhadap seorang pelaku penyalahgunaan narkotika. Berbagai macam program tersebut tentunya perlu dukungan sarana maupun fasilitas yang ada di dalam lembaga pemasyarakatan narkotika. Hal yang menjadi kendala bila ternyata fasilitas maupun sarana yang ada sangat tidak memadai seperti yang dialami di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa Kab. Gowa. Standarisasi pengrehabilitasian oleh Lembaga Pemasyarakatan Narkotika juga belum ada dan hanya sebatas penanganan biasa di dalam blok hunian oleh petugas terhadap warga binaan yang sedang sakau. Sekali lagi hal tersebut juga dikarenakan permasalahan lahan dan fasilitas
63
Harian FAJAR, Selasa 26 Februari 2013, hlm. 23
76
yang kurang memadai. Menurut Kepala Seksi Pembinaan Naraparidana (wawancara 28 Januari 2013): “Mungkin bila membandingkan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kab. Gowa dengan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika yang lain di luar sana, Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kab. Gowa adalah yang paling tidak memiliki fasilitas yang memadai sebagai Lembaga Pemasyarakatan Narkotika. Esensi UU 35 tahun 2009 sendiri dapat dilihat bahwa apabila seseorang benar-benar hanya sebagai pengguna murni sebaiknya direhabilitasi. Pihak Lembaga Pemasyarakatan sendiri tidak tahu berapa jumlah putusan untuk direhabilitasi dan berapa putusan untuk dipidana dari 100% kasus narkotika yang diputus di pengadilan, Pihak Lembaga Pemasyarakatan hanya sebatas menerima warga binaan untuk menjalani pidananya dan sebisa mungkin dilaksanakan program pembinaan yang memang seharusnya berbeda dengan Lembaga Pemasyarakatan umum lainnya” Untuk memperjelas perbedaan pada penerapan program/treatment pengrehabilitasian antara Lembaga Pemasyarakatan Narkotika dan BNN, maka dari itu penulis mencantumkan tabel berbagai tahapan dalam proses rehabilitasi yang diterapkan di BNN yang tidak ada pada Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa:
77
TABEL 4
Program Rehabilitasi (Tahapan I) REHABILITASI DETOKSIFIKASI (2 MNGGU) Suatu rangkaian untuk menatalaksanakan kondisi akut dari intoksikasi maupun putus zat yang diikuti dengan pembersihan zat dari tubuh penyalahguna atau ketergantungan narkoba. Melalui program detoksifikasi akan dapat meminimalisasi dampak terhadap fisik yang disebabkan penggunaan narkoba. Detoksifikasi termasuk proses rehabilitasi medis yang dilakukan oleh petugas yang memiliki kualifikasi tertentu sesuai standar yang berlaku.
ENTRY (ORIENTASI / INDUCTION) (2 MINGGU) Kegiatan komunitas pada tahap orientasi berfokus pada penyesuaian diri melalui beberapa strategi spesifik, yaitu isolasi relatif, intervensi krisis, orientasi fokus, dan konseling.
PRIMARY STAGE (4 BULAN)
RE-ENTRY STAGE (1 MINGGU)
Residen mulai bersosialisasi dan bergabung dalam komunitas terstruktur yang memiliki hirarki, jadwal harian, terapi kelompok, grup seminar, konseling dan departemen kerja sebagai media pendukung perubahan diri.
Tahapan akhir dalam program TC, dimana residen berada dalam tahap adaptasi dan kembali bersosialisasi dengan masyarakat luas di luar komunitas residensial yang dipersiapkan melalui program pola hidup sehat dan produktif berbasis konservasi alam (hutan dan laut)
Tahapan ini dilaksanakan dalam 3 tahap: a. Tahap Yonger Member b. Tahap Middle Member Tahap Older Member
Sumber Data: Balai Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Baddoka Makassar
TABEL 5
Program Pasca Rehabilitasi (Tahapan II)
NO
1
PROGRAM PASCA REHABILITASI DI BNN MAKASSAR
TAHAP ORIENTASI PROGRAM (2 MINGGU)
Tahap orientasi program ditujukan untuk memberikan pembekalan dan pengenalan program sesuai jenis program yang ada serta menjadikan
PROGRAM YANG HAMPIR SAMA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN NARKOTIKA KLAS II A SUNGGUMINASA Program MAPENALIN (Masa Awal Pengenalan Lingkungan) yang diberikan pertama kali kepada warga binaan yang baru saja didatangkan dari Rumah
78
2
3
TAHAP PELATIHAN DAN PRAKTEK (4 MINGGU)
TAHAP EVALUASI HASIL DAN PENYIAPAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN (2 MINGGU)
residen terbiasa dengan kondisi lingkungan. a. Kegiatan pada tahap ini diarahkan pada penyiapan mental percaya diri. b. Pemantapan disiplin diri yang sudah dibentuk dalam tempat rehabilitasi. c. Pengenalan kondisi lingkungan termasuk tata tertib yang berlaku.
Tahanan. MAPENALIN (Masa Awal Pengenalan Lingkungan) sendiri dilaksanakan selama 3 hari sampai 2 minggu
Tahap ini ditujukan untuk memberikan berbagai keterampilan residen dan dilanjutkan dengan praktek sampai memperoleh hasil yang diharapkan. Kegiatan pada tahap ini diarahkan pada: a. Pemberian keterampilan sesuai bakat dan minat. b. Praktek sesuai dengan keterampilan yang telah diberikan. c. Integrasi sosial dengan masyarakat sekitar
Keterampilan kesenian, keterampilan kerajinan tangan berupa pembuatan bingkai foto dan asbak, keterampilan pertukangan kayu, pembinaan keterampilan las maupun bercocok tanam. Program ini diberikan kepada warga binaan sebagai aktifitas pendukung selama mereka berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan Narkotika.
Tahap ini ditujukan untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh dan penyiapan residen memasuki kehidupan yang sesungguhnya dengan berbekal keterampilan yang telah dimiliki selama mengikuti program pasca rehabilitasi. Hasil evaluasi akan digunakan sebagai bahan masukan untuk program berikutnya yaitu rumah dampingan dan rumah mandiri.
___
Sumber Data: Balai Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Baddoka Makassar
79
TABEL 6
Program Penyiapan Kembali ke Keluarga (Tahapan III) PENYIAPAN KEMBALI KE KELUARGA RUMAH DAMPINGAN (2 BULAN)
RUMAH MANDIRI (2 BULAN)
Residen tinggal di rumah dampingan ini dengan sesama residen lainnya yang telah mengikuti program pasca rehabilitasi minimak 10 orang didampingi Konselor, Pekerja Sosial, dan Tenaga Medis. Selama tinggal di rumah dampingan ini residen secara berkala mengikuti tes urin dan rambut untuk mendeteksi kemungkinan penggunaan narkoba kembali (kekambuhan)
Pada Rumah Mandiri keberadaan Konselor atau Pekerja Sosial atau Tenaga Medis yang tidak tinggal bersama residen. Konselor atau Pekerja Sosial atau Tenaga Medis hadir secara periodik untuk melakukan pemantauan dan evaluasi atau pemeriksaan urin dan rambut. Konselor atau Pekerja Sosial atau Tenaga Medis dapat dihubungi setiap saat apabila ada residen yang membutuhkan.
Sumber Data: Balai Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Baddoka Makassar
Meskipun pada dasarnya Lembaga Pemasyarakatan Narkotika hanya memfokuskan pemidanaan narapidana akan tetapi hal yang tidak bisa dilupakan adalah perlu adanya program serius untuk menekan sifat ketergantungan seorang pelaku penyalahgunaan narkotika ataupun pengguna narkotika. Tidak hanya itu kerjasama antara Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa dengan pihak BNN Makassar belum pernah diadakan. Hal ini sesuai penjelasan yang diperoleh penulis (pada wawancara 6 Februari 2013) dari pihak BNN Makassar yakni Franky Chandra Krisdianto selaku Program Manager BNN Makassar sebagai berikut: “Hingga saat ini kami dari pihak BNN belum pernah menandatangani MOU untuk mengadakan kerjasama dalam bentuk penyuluhan terhadap narapidana ataupun kerjasama dalam hal
80
memberikan masukan perihal standarisasi pengrehabilitasian dan penanganan bagi pengguna narkotika pada pihak Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasa. Hal ini dikarenakan pihak Lembaga Pemasyarakatan hingga saat ini belum pernah mengirim permohonan kepada kami. Selain itu kami dari pihak BNN sendiri tidak dapat mendatangi Lembaga Pemasyarakatan Narkotika tanpa MOU terlebih dahulu karena segala hal yang berada di dalam lingkup lembaga pemasyarakatan adalah diluar dari kewenangan kami”. Dengan demikian berdasarkan segala macam kendala dan permasalahan yang dihadapi pihak Lembaga Pemasyarakatan Narkotika yang penulis temukan dalam penelitian ini, maka dari itu penulis berpandangan bahwa proses pelaksanaan pidana terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika di Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika
Sungguminasa Kab. Gowa belum efektif.
81
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berangkat dari rumusan masalah, hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Berbagai macam upaya, program maupun treatment yang dilakukan oleh
pihak
Lembaga
Pemasyarakatan
Narkotika
Klas
II
A
Sungguminasa Kab. Gowa dalam menekan sifat ketergantungan narkotika maupun mencegah kegiatan peredaran gelap narkotika di dalam Lembaga Pemasyarakatan tersebut antara lain adalah: a) MAPENALIN (Masa Awal Pengenalan Lingkungan) b) Mengurangi Dampak Buruk penularan HIV/AIDS (Harm Reduction and Self Suport) c) Program Bebas Peredaran Uang ( B P U ) dan bersih dari HP d) Meningkatkan Warga Binaan berhenti memakai narkoba, melalui program ; - Program kerohanian/pencerahan qalbu dan bacaan AlQuran bagi WBP Muslim, (jum’at ibadah dan dzikir) - Pendalaman Alkitab bagi WBP Nasrani - Terapy moran, mental, dan meningkatkan kepercayaan diri. - Pengobatan untuk mengurangi kecanduan dengan menggunakan pil Metadon bagi pecandu putaw. - Olah Raga Pagi, Sore, bagi WBP. (bulu tangkis, bola voli, tenis meja, futsal). - Pelaksanaan P4GN (Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba) - Pembentukan KDS (Kelompok Dukungan Sebaya) bagi WBP.
82
-
Keterampilan kesenian, keterampilan kerajinan tangan, keterampilan pertukangan kayu, pembinaan keterampilan las maupun keterampilan bercocok tanam. e) Dukungan dan Layanan Odha, melalui Program : Akses rujukan Ke Rumah Sakit Bagi WBP yang sakit dan memerlukan penanganan intensif. Dalam mewujudkan program tersebut, berdasarkan
hasil
pengamatan langsung maupun wawancara yang dilakukan, penulis menemukan berbagai macam kendala yang dihadapi Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A Sungguminasaantara lain: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Luas lahan Daya tampung Jumlah blok hunian Kapasitas klinik kesehatan Ruang rehabilitasi dan ruang isolasi Jumlah petugas/tenaga kesehatan Jumlah petugas keamanan dan persenjataan Lembaga Pemasyarakatan
2. Berbicara masalah keefektifan suatu pemidanaan tak terbatas hanya pada berat vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim ataupun lama masa pemidanaan seorang narapidana, akan tetapi juga sangat bergantung pada sarana maupun fasilitas-fasilitas penunjang yang ada di dalam suatu lembaga pemasyarakatan. Keberadaan dan esensi dari tujuan lembaga pemasyarakatan narkotika sudah dipastikan berbeda dari lembaga pemasyarakatan pada umumnya. Selain untuk mengembalikan keseimbangan dari sikap pelaku kejahatan agar jera dan tidak mengulang kejahatannya lagi, lembaga pemasyarakatan narkotika memiliki tugas penting untuk menangani
83
dan berusaha menghilangkan sifat ketergantungan narkotika dari warga binaannya. Apabila
berdasar
pada
data
residivis
di
Lembaga
Pemasyarakatan Narkotika yang peningkatan jumlahnya tidak terlalu besar, mungkin dapat dikatakan bahwa proses pemidanaannya sudah efektif. Akan tetapi hal tersebut tentunya tidak menjamin karena kemungkinan kembalinya seorang mantan narapidana Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sungguminasa menjadi pelaku penyalahguna narkotika sangatlah besar, termasuk mereka yang telah bebas tapi tetap menggunakan narkotika namun belum terdeteksi oleh pihak yang berwajib. Dapat
ditemui
bahwa
fasilitas maupun
program yang
seharusnya diprioritaskan khusus bagi pelaku penyalahgunaan narkotika masih belum bisa diwujudkan. Belum adanya kerjasama antara Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sungguminasa dengan BNN Makassar juga bisa menjadi faktor penghambat dalam upaya menghilangkan sifat ketergantungan bagi warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Narkotika. Standarisasi pengrehabilitasian oleh Lembaga Pemasyarakatan Narkotika juga belum ada dan hanya sebatas penanganan biasa di dalam blok hunian oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan terhadap warga binaan yang sedang sakau. Sekali lagi hal tersebut juga dikarenakan permasalahan lahan dan fasilitas yang kurang memadai. Dengan demikian penulis
84
berpandangan bahwa proses pelaksanaan pidana terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sungguminasa belum cukup efektif. B. Saran Meskipun pada dasarnya Lembaga Pemasyarakatan Narkotika hanya memfokuskan pemidanaan narapidana akan tetapi hal yang tidak bisa dilupakan adalah perlu adanya program maupun treatment tambahan guna meningkatkan pula kualitas penanganan terhadap warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika. Sehingga ada beberapa hal yang Penulis sarankan agar kiranya dapat bermanfaat atau menjadi suatu bahan pertimbangan dalam upaya penanganan untuk menekan sifat ketergantungan narkotika bagi warga binaan Lembaga Pemasyaraktan Narkotika: 1) Sebelum dilimpahkan ke Lembaga Pemasyarakatan, sebaiknya narapidana terlebih dahulu menjalani proses detoksifikasi paling lama 2 (dua) minggu di BNN guna mengeluarkan sisa zat-zat berbahaya narkotika dari dalam tubuhnya 2) Pengobatan bagi pecandu putaw dengan menggunakan pil metadon perlu diubah mengikuti program yang digunakan pihak BNN yang kini tidak lagi menggunakan obat-obatan narkotika berdosis ringan untuk menekan sifat ketergantungan pecandu narkotika.
85
3) Sebaiknya Lembaga Pemasyarakatan di isi sesuai dengan jumlah kapasitasnya yakni sebanyak 368 orang. Apabila melebihi kapastias seperti saat ini berjumlah 594 orang, maka sebaiknya pemerintah perlu mempertimbangkan adanya upaya perluasan lahan/kawasan di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika. 4) Pengembangan klinik kesehatan dengan menambahkan ruangan rawat inap yang dapat digunakan bagi narapidana yang sakit. 5) Pembangunan dan pengadaan Ruang Rehabilitasi yang dapat digunakan
untuk
program
penanggulangan
narapidana
ketergantungan narkotika, dan ruang isolasi yang dapat digunakan untuk mengisolasi warga binaan yang yang mengalami perkelahian ataupun berbuat pelanggaran yang dapat membahayakan penghuni lainnya. 6) Jumlah petugas/tenaga kesehatan sebaiknya ditambahkan dengan keberadaan tenaga psikolog ataupun psikiater serta keberadaan dokter di Lembaga Pemasyarakatan harus dapat diandalkan, artinya dokter harus bisa berada di tempat pada saat dibutuhkan. Apabila ada dokter yang sedang mengikuti pendidikan spesialis, sebaiknya dapat digantikan dengan dokter lain. 7) Jumlah petugas keamanan sebaiknya berbanding dengan jumlah maksimal mendukung
warga
binaan
kinerja
pihak
Lapas
yakni
Lembaga
1:20
sehingga
dapat
Pemasyarakatan
untuk
86
mengawasi keamanan dan ketertiban serta ketaatan warga binaan. Selain itu jumlah persenjataan bagi petugas keamanan harusnya memadai
untuk
berjaga-jaga
kemungkinan
adanya
upaya
pemberontakan untuk kabur yang dilakukan oleh warga binaan. 8) Bagi warga binaan yang akan bebas hendaknya setelah masa pembebasannya direkomendasikan untuk menjalani serangkaian terapi di BNN agar setelah betul-betul kembali di dalam masyarakat, mantan narapidana tersebut benar-benar bersih dari narkotika. 9) Segera ditetapkan strategi Nasional Program Terapi dan Rehabilitasi yang mengikat sehingga program tersebut menjadi protaf bagi Lapas khusus Narkotika. 10) Perlu
diadakannya
Pemasyarakatan
kerjasama Narkotika
berkelanjutan dalam
upaya
antara
Lembaga
menekan
sifat
ketergantungan narkotika bagi warga binaan.
87
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Literatur: Adami Chazawi, 2008, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. _____________, 2002, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1 : Stelsel Pidana Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Amir Ilyas dan Yuyun Widaningsih, 2010, Hukum Korporasi Rumah Sakit, Yogyakarta. A. S. Alam, 2010, Pengantar Kriminologi, Pustaka Refleksi, Makassar. Aziz Syamsuddin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta. Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung. ________________, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, CitraAditya Bakti, Bandung. Djoko Prakoso. Bambang Riyadi Lany dan Muhksin, 1987, KejahatanKejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Bina Aksara, Jakarta. Dwi Priyatno, 2007 Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung. Hari Sasangka, 2003, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung. Jimly Asshiddiqie, 1995 Pembaharuan Hukum Angkasa, Bandung.
Pidana
Indonesia,
Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. 88
M. Abul Khair Dan Mohammad Eka Putra, 2011, Pemidanaan, USU Press, Medan. M. Ridha Ma’roef, 1986, Narkotika Masalah dan Bahayanya, CV. Marga Djaya, Jakarta. Marlina, 2011, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung. Moh. Taufik Makarao, 2003, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta. Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung. P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Pipin Syarifin, 2008, Hukum Pidana DI Indonesia, Pustaka Setia, Bandung. Soedjono. D, 1987, Hukum Narkotika Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung. Tongat. 2009, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan. UMM Press. Malang.
Peraturan Perundang-Undangan: Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Konvensi Tunggal Narkotika 1961 (United Nations Single Convention on Narcotic Drugs 1961) Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 (United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988 )
89
Sumber-Sumber Lain: Harian FAJAR, Senin 25 Februari 2013 Harian FAJAR, Selasa 26 Februari 2013 http://my--anne1.blogspot.com/2009/01/analisis-yuridis-penerapansistem.html , diakses pada 24/09/2012 02:46 http://budi399.wordpress.com/2010/06/12/pidana-dan-pemidanaan/, diakses pada 28/09/2012 15:26 http://raypratama.blogspot.com/2012/02/pengertian-jenis-jenis-dantujuan.html, diakses pada 28/09/2012 15:21 http://www.prasko.com/2012/04/teori-teori-pemidanaan.html, diakses pada 28/09/2012 15:15 http://www.scribd.com/doc/52566553/pengertian-pelaku-menurut-undang diakses pada 19/11/2012 (19:15) http://madhienyutnyut.blogspot.com/2012/02/pengertian-efektifitasmenurut-para.html, diakses pada 18/11/2012 (12:26) http://dansite.wordpress.com/2009/03/28/pengertian-efektifitas/, pada 18/11/2012 (12:07)
diakses
http://www.negarahukum.com/hukum/efektifitas-hukum.html, diakses pada 18/11/2012 (17:00)
90