PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN DONGGALA SULAWESI TENGAH
Tesis Untuk memenuhi Sebagai Persyaratan Mencapai Derajat Megister Program Studi Ilmu Hukum Minat Utama : Pidana Ekonomi
Diajukan oleh :
Nouvi Lihu S330908009
PROGAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Manusia dengan segala motivasi atau kepentingannya sejak lama telah memanfaatkan potensi sumberdaya alam, tumbuhan maupun satwa liar (florafauna) baik untuk menunjang ekonomi, sosial budaya dan ilmu pengetahuan dimana pada banyak jenis tumbuhan dan satwa liar, pemanfaatan yang telah dilakukan oleh manusia diyakini telah menyebabkan jenis-jenis tersebut menjadi terancam kepunahan. Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian terpenting dari sumber daya alam yang terdiri dari alam hewani, alam nabati ataupun berupa fenomena alam, baik secara masing-masing maupun bersama-sama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti. Meskipun luas daratan Indonesia hanya sekitar 1,32 persen dari luas daratan dunia, ternyata bila dibandingkan dengan jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang ada di dunia Indonesia memiliki sekitar 12 persen (515 jenis) dari total jenis binatang menyusui (mamalia), 7,3 persen (511 jenis) dari total reptil dan 17 persen (1531 jenis) dari total jenis burung di dunia, 270 jenis ampibi, 2827 jenis ikan tidak bertulang belakang, serta 47 jenis ekosistem. Selain itu sebagai bagian terbesar di kawasan Indo Malaya, Indonesia merupakan salah satu dari 12 pusat distribusi keanekaragaman genetik tanaman atau yang lebih dikenal sebagai Vavilov CentreI. 1 Tiga lokasi utama yang merupakan pusat kekayaan spesies di Indonesia: 1. Papua (memiliki tingkat kekayaan spesies dan endemisitas tinggi). 2. Kalimantan (memiliki tingkat kekayaan spesies tinggi, dengan endemisisitas yang sedang). 3. Sulawesi (memiliki tingkat kekayaan spesies sedang, dengan endemisitas tinggi). 1
Kementerian Lingkungan Hidup, Keanekaragam Hayati, http://www.menlh.go.id/i/art/ DFBAB%20VII%20KEANEKARAGAMAN%20HAYATI%2011062003.
2
Menurut Hartiwiningsih lingkungan hidup yang merupakan harta warisan yang harus dijaga keutuhannya dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab, tampaknya tidak dapat dipertahankan lagi keutuhaanya, sebagai akibat kerakusan manusia dalam memenuhi kebutuhan ekonominya. Pemenuhan kebutuhan ekonomi tampaknya adalah segalanya meskipun harus mengorbankan kepentingan lingkungan yang nota bene adalah kepentingan seluruh bangsa didunia pada umumnya dan bangsa Indonesia khususnya. Pemuasan dan pemenuhan kebutuhan ekonomi pada masyarakat modern yang konsumtif, kerakusan manusia, korupsi dan persekongkolan yang dilakukan elit penguasa, kerjasama antara elit penguasa dengan pebisnis kelas dunia, tampaknya yang menjadi penyebab munculnya berbagai penyimpangan dalam pengelolaan lingkungan baik yang dilakukan oleh elit penguasa, pebisnis maupun masyarakat”.2 Dalam siaran pers Nomor: S.632/PIK-1/2008 16 Desember 2008 Kepala Pusat Informasi Kehutanan menyatakan : “Pohon Ki Tenjo yang dalam bahasa latinnya disebut Anisoptera costata (Korth) tumbuh alami di Cagar Alam Leuwi Sancang dan Taman Nasional Ujung Kulon. Menurut hasil penelitian Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor, di habitat alam aslinya pohon Ki Tenjo tinggal satu batang, dan tidak ditemukan anakannya. Eksplorasi yang dilakukan oleh Titi Kalima pada tahun 2008 di Kawasan TN Ujung Kulon hanya menemukan satu batang Anisoptera Costata Korth yang berdiameter 121 cm. Pohon tersebut masih berdiri tegak pada ketinggian 80 m di atas permukaan laut. Keberadan spesies pohon tersebut sangat rawan punah. Dari pohon yang tersisa tersebut tidak ditemukan anakan. Hal ini menunjukkan bahwa A. costata Korth di tempat tersebut tidak dapat melanjutkan keturunan. Ancaman yang paling mengkhawatirkan adalah penebangan yang dilakukan oleh perambah hutan. Aktivitas perambahan yang makin mendekati lokasi pohon ini sangat mengancam percepatan kepunahannya.3 Kegiatan manusia sangat mempengaruhi keberadaan keanekaragaman hayati yang ada di muka bumi ini, disamping bencana alam yang terjadi secara alami, lebih dari 99 % spesies yang punah saat ini disebabkan oleh akibat yang dilakukan oleh manusia. Dewasa ini, walaupun bukan merupakan satu-satunya 2
Hartiwiningsih. Hukum Lingkungan Dalam Prespektif Kebijakan Hukum Pidana, Surakarta, UNS Press, 2008, Hal 25 3
Masyhud, www.dephut.go.id
Kepala
Pusat
Informasi
3
Kehutanan,
Siaran
Pers,
Jakarta,
2008,
faktor, namun pertumbuhan penduduk dunia yang cenderung pesat merupakan pemicu kepunahan keanekaragaman hayati, dimana pertambahan penduduk dunia manusia meningkatkan penggunaan sumber daya alam. Dalam upaya pemenuhan kebutuhan tersebut, maka kegiatan manusia menimbulkan berbagai tindakan yang mengancam berbagai keberadaan keanekaragaman hayati.4 Mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan manusia, maka upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah menjadi kewajiban mutlak dari tiap generasidimana pada akhir-akhir ini usaha-usaha konservasi isu yang paling banyak dibicarakan. Arie Trouwborst mengemukakan : On the current agenda of the international community of states, the socalled biodiversity crisis Prominent occupies a position. According to mainstream scientific opinion, species of animals and plants are disappearing at a rate presently Which is 100 to 1.000 times higher than the average rate of Extinction since life on Earth originated. The main Causes of recent extinctions are WellKnown, and all of human origin. In order of significance, they want are: (i) the removal, Degradation and / or fragmentation of species' habitats, (ii) the introduction of alien species, (iii) overexploitation and (iv) pollution. Frequently, extinctions have been the result of a combination of factors These.Broad agreement exists That Which at the current rate of biodiversity is being reduced amounts to a major concern, for Reasons varying behavior from ethics to economics5. (Permasalahan kelangkaan keanekaragaman hayati, pada saat ini menjadi salah satu agenda utama masyarakat internasional. Menurut pendapat pakar ilmiah, spesies hewan dan tumbuhan saat ini menghilang dengan kecepatan 100 sampai 1.000 kali lebih tinggi dibandingkan tingkat rata-rata kepunahan sejak kehidupan di bumi diciptakan. Penyebab utama kepunahan tersebut hampir semua akibat perbuatan manusia, yaitu: (i) penghapusan, degradasi dan / atau fragmentasi 'habitat spesies; (ii) pemasukan spesies asing, (iii) eksploitasi yang berlebihandan (iv) polusi.) Seringkali, kepunahan merupakan hasil kombinasi dari faktor-faktor ini. ada kesepakatan luas bahwa tingkat keanekaragaman hayati saat ini sedang berkurang sangat besar sehingga menjadi perhatian utama, karena alasan-alasan yang bervariasi dari etika ekonomi. Fakta di atas dapat memberikan gambaran bahwa pemanfaatan yang dilakukan selama ini cenderung tidak memperhatikan prinsip kelestarian. Keberadaan potensi keanekaragaman hayati tidak jauh berbeda dengan habitat 4
Widada dkk. Sekilas Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Ditjen PHKA-JICA, Jakarta, 2006, Hal 29. 5
Arie Trouwborst, Article Conservation Nature International Law International To The Adaptation OF Biodiversity Climate Change: A mismatch. Copyright © 2009 by Oxford University Press. Journal of Environmental Law 2009
4
(tempat tumbuh atau hidup) yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Berbagai tekanan dan gangguan terhadap kawasan konservasi yang dapat berupa perusakan terhadap keutuhan kawasan, perburuan satwa, pengambilan tumbuhan dalam kawasan turut memperparah keberadaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Tindakan yang tidak bertanggung jawab yang dapat menimbulkan kerusakan pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam ataupun tindakan yang melanggar ketentuan tentang perlindungan tumbuhan dan dan satwa yang dilindungi, harus diancam dengan sanksi yang berat dan tegas. Sanksi yang berat dan tegas tersebut dipandang perlu karena kerusakan atau kepunahan salah satu unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya akan mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat yang tidak dapat dinilai dengan materi, sedangkan pemulihannya kepada keadaan semula tidak mungkin lagi. Untuk menjamin agar kekayaan sumber daya alam tidak habis dalam waktu singkat, diperlukan sutu kebijakan dalam pemanfaatan sumber daya alam secara menyeluruh dengan rasa tanggung jawab dan bijaksana. Dalam prespektif hukum kebijakan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Selanjutnya dalam penjelasan umum dinyatakan berhasilnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berkaitan erat dengan tercapainya tiga sasaran konservasi, yaitu: a. Menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia (perlindungan sistem penyangga kehidupan); b. Menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah);
5
c. Mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya (pemanfaatan secara lestari) Namun ketika kita mencermati tentang pemanfataan sumber daya alam pada akhir-akhir ini kita dihadapkan pada kenyataan bahwa pemanfaatan yang cenderung tidak memperhatikan dan menjaga keseimbangan populasi dengan habitatnya dan kemerosotan penegakan hukumnya. Sebagai contoh : Dalam Portal Keanekaragaman Hayati Sulawesi Celebes Biodiversity dengan tulisan yang berjudul “Minahasa” Pasar Satwa Liar mengambarkan kebiasaan mengkonsumsi daging satwa liar sebagian orang Minahasa mengakibatkan sebagian besar satwa liar di Sulawesi Utara sudah sangat sulit didapat akibat tingginya penangkapan, sehingga ini memicu perburuan dilakukan lebih jauh sampai ke wilayah propinsi lain yaitu Propinsi Sulawesi Tengah, Barat, Selatan dan Tenggara. Aktifitas pola perburuan yang tinggi dikawatirkan akan berdampak negatif bagi keberlanjutan hidup satwa liar di Sulawesi Utara bahkan seluruh dataran Sulawesi. Ketakutan akan kepunahan satwa liar yang unik di Sulawesi akan menjadi kenyataan jika perburuan intensif ini tidak segera dihentikan. Yaki, Babi Rusa, Burung Rangkong, dan Penyu yang terdapat di Sulawesi merupakan jenis satwa liar yang dilindungi Undang-undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, tetapi sebaliknya satwa liar ini sangat mudah kita jumpai di bebrapa pasar di Minihasa tanpa ada kontrol dari para petugas maupun aparat yang berwenang.6 Menurunya kualitas lingkungan hidup dalam lima tahun terakhir semakin memprihatinkan, sebetulnya sebelum revormasi bergulir sistem pengelolaan lingkungan itu sudah mulai efektif, namun perubahan tatanan ekonomi, sosial dan politik yang disertai dengan perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi otonomi melemahkan kepemerintahan termasuk upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup7. Kondisi kebijakan dan penegakan hukum pidana dibidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya saat ini masih sangat menghawatirkan, masih menjadi wacana birokrat/pemerintah, dan belum menuju pada tindakan konkrit yang prioritas. 6
Celebes Biodiversity, Portal Keanekaragaman Hayati Sulawesi, HPPTwww.celebio.org diakses pada tanggal 8 September 2009 10.30 WIB. 7
I Gusti Ayu Ketut Rachmi. Penegakan Hukum Lingkungan. Jurnal Ekosains Volume 1 Nomo 2 Program Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan. Juni 2009. Hal 1
6
Menurut Catatan Walhi Sulawesi Tengah Masalah yang berkaitan dengan illegal logging dan legal logging yang paling mengkhawatirkan adalah yang terjadi di Kabupaten Donggala. Walau di daerah itu tidak ada hak pengusahaan hutan (HPH), tetapi dengan adanya izin pengelolaan kayu (IPK) dan izin pengolahan kayu tanah milik (IPKTM) terjadi penebanganan kayu secara masif. Bahkan disinyalir, kayu yang ditebang tidak hanya berada di aeral IPK dan IPKTM, tetapi juga menyebar di luar areal tersebut. seperti yang disebut-sebut terjadi di Desa Tonggolobibi Kecamatan Sojol. Dugaan kasus tersebut sempat memicu protes masyarakat. Bahkan DPRD Donggala juga ikut turun tangan. Namun, masalah tersebut hilang bagai ditelan bumi8. Kondisi yang mengkawatirkan terhadap penegakan hukum konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tersebut menunjukkan adanya sesuatu yang harus dipahami dan dibenahi secara menyeluruh pada penegakan hukum secara luas. Penegakan hukum secara luas mencakup tugas dari pembentuk Undang-Undang yang disebut tahap formulasi, kemudian tahap aplikasi yang melibatkan aparat penyidik/kepolisian, aparat penuntut umum/kejaksaan, aparat pengadilan, dan aparat pelaksana pidana.9 Di Indonesia penggunaan sarana hukum pidana tampaknya merupakan suatu kebijakan yang sudah dapat diterima oleh semua pihak, terbukti selalu hadirnya sanksi pidana dalam setiap kebijakan pembuatan suatu peraturan perundangan. Penggunaan hukum pidana dianggap sebagai hal yang wajar dan normal, dan memang seyogyanya harus ada dalam setiap peraturan perundangan sebagai upaya ditaatinya suatu peraturan. Namun permasalahan yang muncul, kebijakan yang bagaimana yang harus ditempuh, agar kebijakan penggunaan sanksi pidana dalam setiap perundangan benar-benar dapat efektif, kehadirannya dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, dapat berhasil dan berdaya guna. Mengingat akhir-akhir ini sarana sanksi pidana dirasakan kurang bermanfaat karena jarang bahkan hampir tidak pernah diterapkan oleh badan yang berwenang.
8 9
Pembeberantasan Ilegal Logging Belum jadi prioritas, Radar Sulteng, 23 Agustus 2008 Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981. Hal. 112.
7
Sehubungan dengan hal tersebut Herbert L. Packer dengan bukunya “The limits of the criminal sanction” dalam Hariwiningsih, mengemukakan : a. The criminal sanction is indispensable; we could not, now or in the foreseeable future get along, without it b. The criminal sanction is the best available device we have for dealing with gross and immediate harms and threats of harm c. The criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used providently and humanely, it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it is threatener.10 Dari rumusan tersebut dapat dilihat betapa pentingnya kehadiran sanksi pidana dalam menghadapi berbagai ancaman kejahatan dan pelanggaran baik masa kini maupun masa yang akan datang. Sanksi pidana merupakan sarana yang terbaik yang tersedia untuk menghadapi kejahatan dan bahaya besar, ia merupakan penjamin utama dan suatu ketika bisa merupakan pengancam utama dari kebebasan manusia. Merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat cermat, dan sebagai pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. Dalam hal dimana hukum lain selain hukum pidana gagal, maka hukum pidana harus maju kedepan. Hal ini dikemukakan oleh Moderman11
Negara
seyogyanya memidana hal-hal yang bertentangan dengan hukum, yang tidak dapat dihambat oleh upaya-upaya lain dengan baik, maka hukum pidana harus menjadi ujung tombak. Tetapi tidak pula bisa diharapkan bahwa hukum pidana akan mengisi semua kekosongan. Permasalahan lain yang berkaitan dengan penegakan hukum yaitu pengetahuan perundang-undangan khususnya yang terkait dengan perlindungan, pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya masih belum tersosialisasi dengan baik pada aparat penegak hukum serta instansi terkait lainnya. Terbatasnya informasi perlindungan, pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, jenis-jenis tubuhan dan satwa yang dilindungi pengetahuan tentang seluk-beluk perdaganan ilegal tumbuhan dan satwa satwa liar yang dilindungi, baik di tingkat nasional dan regional masih belum banyak dipahami oleh aparat penegak hukum dan instansi terkait lainnya. 10
Op. Cit, Hartiwiningsih, Hal 167
11
Op.Cit, Riduan Syahrani, Hal.75
8
Demikian pula halnya dengan pengetahuan tentang perlindungan, pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, jenisjenis tumbuhan satwa yang dilindungi, serta fungsi ekologinya di dalam ekosistemnya yang dapat digunakan untuk mendukung upaya penegakan hukumnya juga belum banyak dipahami oleh aparat penegak hukum dan instansi terkait lainnya. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitan dengan judul
PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK
PIDANA DI BIDANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DI WILAYAH HUKUM KABUPATEN DONGGALA SULAWESI TENGAH
B. Perumusan Masalah Berdasarkan apa yang dipaparkan di atas, maka permasalahan dalam penulisan makalah ini dapat dirumuskan adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana penegakan hukum terhadap tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tahap aplikasi di wilayah hukum Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi proses penegakan hukum pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di wilayah hukum Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang penulis kemukakan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui kebijakan penegakan hukum terhadap tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tahap aplikasi di wilayah hukum Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses penegakan hukum pidana di bidang
konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya di wilayah hukum Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah.
9
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memeberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum bidang hukum pidana ekonomi dalam hal penegakan hukum terhadap tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tahap aplikasi. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi instansi pemerintah pada umumnya dan secara khusus bagi Kementerian Kehutanan c.q. Direktorat Jenderal Pelestarian Hutan Konservasi Alam dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum khususnya dalam proses penegakan hukum terhadap tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Umum Tentang Penegakan Hukum Dan Kebijakan hukum Pidana 1. Penegakan Hukum Menurut kajian normatif penegakan hukum adalah suatu tindakan yang pasti yaitu menerapkan hukum terhadap suatu kejadian, yang dapat diibaratkan menarik garis lurus antara dua titik. Dalam ilmu hukum cara seperti itu disebut sebagai model mesin otomat dan pekerjaan menegakan hukum menjadi aktivitas subsumsi otomat. Disini hukum dilihat sebagai variabel yang jelas dan pasti dan terlihat sangat sederhana12
Dalam
kenyataannya tidak sesederhana itu melainkan yang terjadi penegakan hukum itu mengandung pilihan dan kemungkinan, oleh karena dihadapkan 12
Satjipto Raharjo, Sosoilogi Hukum Perkembangan Metode Dan Pilihan Masalah, Muhamadiyah University Press, Surakarta, Tahun 2002 Hal 173
10
kepada kenyataan yang kompleks. Dalam ilmu hukum normatif kompleksitas tersebut diabaikan, sedangkan sosiologi hukum sebagai ilmu empirik sama sekali tidak dapat mengabaikannya.13 Menurut Soerjono Soekanto14 menyebutkan bahwa
secara konseptual , inti dan arti
penegakan hukum terletak pada kegiatan meyerasikan hubungan niali-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan , memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Selanjutnya menurut Soerjono Soekanto, agar suatu penegakan hukum dapat berjalan paling sedikit empat faktor harus dipenuhi : 1. Kaedah hukum atau peraturan itu sendiri 2. Petugas yang menerapkan atau menegakan 3. Fasilitas yang diharapkan akan dapat mendukung pelaksanaan kaedah hukum 4. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut.15 Keempat faktor tersebut harus mempunyai hubungan yang serasi, kepincangan salah satu unsur akan mengakibatkan bahwa seluruh sistem akan
terkena
dampak
negatifnya.
Selanjutnya
Satjipto
Raharjo
berpendapat bahwa unsur-unsur yang terlibat dalam proses penegakan hukum
dibagi dalam dua golongan besar, yaitu unsur-unsur yang
mempunyai tingkat keterlibatan yang agak jauh dan yang dekat. Sebagai contoh unsur yang mempunyai keterlibatan yang dekat dengan proses penegakan hukum adalah legislatif atau pembuat Undang-Undang dan polisi, sedang unsur pribadi dan sosial mempunyai keterlibatan yang jauh.16 Hal ini dapat dipahami karena legislatif adalah badan yang memproduksi peraturan, sedang polisi adalah badan yang melaksanakan peraturan sehingga mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan 13
Loc.cit
14
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang RajaGrafindo Perkasa, Jakarta, Tahun 2008, Hal 5.
Mempengaruhi
Penegakan
Hukum,
15
Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Penerbit CV Rajawali, Jakarta, Tahun 1980, Hal. 16
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Bandung Hal. 24
11
proses penegakan hukum, sedang masyarakat adalah obyek yang terkena peraturan sehingga wajar apabila keterlibatannya dengan proses penegakan hukum terlihat lebih jauh. Oleh karena itu menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginankeinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginankeinginan hukum disini adalah pikiran-pikiran badan pembuat UndangUndang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Keberhasilan dari proses penegakan hukum itu sangat tergantung oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri.17 Penegakan hukum dilihat dari kacamata normatif memang merupakan permasalahan yang sangat sederhana, tetapi bila dilihat dari kacamata sosiologis maka penegakan hukum merupakan proses yang panjang dan merupakan suatu perjuangan, sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa penegakan hukum dan keadilan merupakan serangkaian proses yang cukup panjang dan dapat melibatkan berbagai kewenangan instansi aparat penegak hukum lainnya (di bidang penegakan hukum pidana melibatkan aparat penyidik/kepolisian, aparat penuntut umum kejaksaan, aparat pengadilan, dan aparat pelaksana pidana) 18 Selanjutnya Leden Marpaung mengatakan19 Penegakan hukum tidak berlangsung dalam suasana vakum atau kekosongan sosial. Yang dimaksud dengan kekosongan sosial adalah tiadanya proses-proses di luar hukum yang secara bersamaan berlangsung dalam masyarakat. Proses-proses tersebut adalah seperti ekonomi dan politik. Penegakan hukum berlangsung ditengah-tengah berjalannya proses-proses tersebut. Dengan dikeluarkanya UndangUndang misalnya maka tidak sim salabim lalu segalanya menjadi persis seperti dikehendaki oleh Undang-Undang itu. Hubungan kompetitif, tarik menarik dan dorong mendorong antara hukum dan bidang serta proses lain di luarnya tetap saja terjadi
17
Loc.cit
18
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan HukumDan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Penerbit PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, Tahun 2001 Hal.2 19
Leden Marpaung. Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Masalah Prevensinya, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Tahun 1997 Hal.22
12
Menurut Marc Galanter Dalam Satjipto Rahardjo,20 bahwa penegakan hukum tidak sesederhana yang kita duga, melainkan bahwa penegakan hukum itu mengandung pilihan dan kemungkinan, oleh karena dihadapkan kepada kenyataan kompleks. Dalam ilmu hukum normatif kompleksitas itu diabaikan, sedangkan sebagai ilmu yang empirik tidak dapat mengabaikannya. Sosiologi hukum berangkat dari kenyataan di lapangan, yaitu melihat berbagai kenyataan, kompleksitas, yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kenyataan itu membentuk maksud dengan melihat hukum dari (from the other end of the telescope) “Ujung yang lain dari teleskop”. Oleh karena memasukan kompleksitas tersebut ke dalam pemahaman dan analisisnya, maka dalam sosiologi hukum, penegakan hukum itu tidak bersifat logis universal, melainkan variabel. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa penegakan hukum mengandung pilihan dan kemungkinan, oleh karenanya dihadapkan pada masalah yang kompleks, baik pada tahap aplikasinya maupun pada tahap formulasi. Karena kondisinya tidak steril maka dalam proses penegakannya juga dapat dihinggapi berbagai permasalahan baik yang positip maupun negatip, dipengaruhi oleh berbagai kepentingan baik kepentingan pembuat Undang-Undang, kepentingan pelaksana UndangUndang, dan kepentingan masyarakat yang terkena Undang-Undang. Faktor kepentingan dari unsur-unsur yang terdapat didalam proses penegakan hukum tampaknya memegang peran dominan, sebagaimana penelitian Stewart Macaulay tentang penegakan hukum kontrak yang telah dibuat sendiri oleh para pelaku justru banyak yang dikesampingkan, hubungan bisnis antara para pelaku tidak selalu didasarkan pada kontrak yang telah dibuat sendiri. Hubungan-hubungan yang seharusnya bersifat kontraktual tetapi ternyata telah menjadi non kontraktual, karena ternyata yang bersifat non kontraktual lebih menguntungkan bagi kedua belah pihak dalam melakukan hubungan bisnis.21 Selanjutnya menutur Muladi penegakan hukum sebagai suatu usaha untuk menegakkan norma-norma dan sekaligus nilai-nilai yang ada di belakang norma tersebut. Untuk itu, para penegak hukum harus memahami 20
Satjipto Raharjo. Op.Cit Hal.1
21
Ibid, Hal. 179
13
betul semangat hukum yang mendasari dibuatnya peraturan hukum yang hendak ditegakan itu.22 Aparat penegak hukum harus menyadari bahwa penegakan hukum sebagai sub sistem dari sistem yang lebih luas, rentan terhadap pengaruh lingkungan, seperti pengaruh perkembangan politik, ekonomi, pendidikan, globalisasi. Karena itu, pemahaman atas perlunya kebersamaan dan kerjasama antar komponen yang digambarkan sebagai pendekatan sistem dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) sudah seharusnya terimplementasi dalam tiap komponen atau aparat penegak hukum. Sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Komponen-komponen dalam sistem peradilan pidana itu diharapkan bekerjasama untuk membentuk apa yang dikenal dengan nama integrated criminal justice administration23. Menurut Romli Asmasasmita sistem peradilan pidana, yang berarti interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi terkait dalam proses peradilan pidana. Dengan kata lain, sistem peradilan pidana, di dalamnya terkandung gerak sistemik dari subsistem-subsistem pendukungnya (sebagaimana telah dikemukakan di atas), yang secara keseluruhan berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output) yang menjadi tujuan sistem peradilan pidana, yaitu tujuan jangka pendek berupa resosialisasi pelaku, jangka menengah adalah pencegahan, dan jangka panjang adalah kesejahteraan sosial. 24 Menurut Muladi untuk mencapai tujuan tersebut, sistem peradilan pidana sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan bidang-bidang kehidupan manusia. Karena itu, sistem peradilan pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interaksi, interkoneksi, dan interdependensi dengan
22
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, BP. UNDIP, Semarang, Tahun 1995.
Hal 69 23
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidan, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, Jakarta, Tahun 1994. Hal 85 24
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung, Tahun 1996. Hal 14.
14
lingkungannya dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, teknologi, dan subsistem-subsistem dari sistem peradilan pidana.25 Apa yang telah dikemukakan tersebut secara singkat, sebagai upaya menunjukkan bahwa untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan, perlu ada keterpaduan antar subsistem, dan jika tidak terjadi dikhawatirkan subsistem-subsistem itu akan berjalan sendiri-sendiri, yang pada akhirnya bukan hasil seperti yang diharapkan, akan tetapi malah sebaliknya. Demikian juga halnya dengan penegakan hukum terhadap tindak pdana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) sebagai sarana utamanya, maka apabila terjadi ketimpangan, tentu akan menumpulkan bekerjanya sistem peradilan pidana.
Penegakan hukum sebagai upaya untuk menanggulangi tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya melalui sarana hukum pidana sebagaimana yang sudah dirumuskan dalam UndangUndang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan berbagai berbagai perundang-undangan terkait selanjutnya perlu dioperasionalkan, dilaksanakan atau ditegakan. UndangUndang yang berhasil dibuat, tidak akan bergerak jika tidak digerakan. Dalam arti, proses geraknya itu secara sistemik dari subsistem-subsistem pendukungnya antara lain, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan. a. Polisi Di antara pekerjaan-pekerjaan penegakan hukum pekerjaan kepolisian adalah yang paling menarik, karena di dalamnya banyak dijumpai keterlibatan manusia sebagai pengambil keputusan. Polisi pada hakekatnya dapat dilihat sebagai hukum yang hidup, karena di
25
Opcit, Hal 2-3
15
tangan polisi tersebut hukum mengalami perwujudannya, setidaktidaknya dalam hukum pidana.26 Fungsi kepolisian merupakan
salah
satu fungsi pemerintahan
negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. 27 Kepolisian bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib
dan
tegaknya
hukum,
terselenggaranya
perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (Pasal 4). Fungsi dan tujuan kepolisian semacam itu kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam tugas pokok kepolisian yang meliputi: 1) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat 2) menegakkan hukum 3) memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 13). Dalam
melaksanakan
tugas
pokoknya
tersebut,
Pasal 14
menyatakan, kepolisian bertugas untuk: 1) Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan 2) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan 3) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan 4) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional 5) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum 26
Satjipto Raharjdo, Opcit, Hal. 111
27
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Repobik Indonesia
16
6) Melakukan koordinasi,
pengawasan dan pembinaan teknis
terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa 7) Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya 8) Menyelenggarakan identifikasi kepolisian kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian 9) Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk
memberikan
bantuan
dan
pertolongan
dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia 10) Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang 11) Memberikan
pelayanan
kepada
masyarakat
sesuai
dengan
kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian 12) Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundangundangan. Selanjutnya Pasal 15 menjelaskan bahwa dalam menjalankan tugasnya tersebut kepolisian berwenang untuk: 1) Menerima laporan dan/atau pengaduan 2) Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum 3) Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat 4) mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa 5) Mengeluarkan
peraturan kepolisiandalm
lingkup
kewenangan
administratif kepolisian 6) Melaksakan
pemeriksaan
khusus
sebagai
tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan
17
bagian
dari
7) Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian 8) Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang 9) Mencari keterangan dan barang bukti 10) Menyelenggarakan pusat informasi kriminal nasional 11) Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat 12) Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain,
serta kegiatan
masyarakat 13) Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. Semua wewenang di atas masih ditambahkan beberapa wewenang lainnya, antara lain: 1) Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya 2) Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor 3) memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor 4) Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik 5) Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak dan senjata tajam 6) Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan 7) Memberikan petunjuk,mendidik dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian 8) Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional 9) Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah indonesia dengan koordinasi instansi terkait 10) Mewakili pemerintah ri dalam organisasi kepolisian internasional
18
11) Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugaskepolisian. Dalam rangka menjalankan tugasnya, kepolisian masih diberikan wewenang lain, yaitu: 1) Melakukan
penangkapan,
penahanan,
penggeledehan
dan
penyitaan; 2) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; 3) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; 4) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; 5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; 6) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 7) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; 8) Mengadakan penghentian penyidikan; 9) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; 10) Mengajukan permintaan secara langsung kepada imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; 11) Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; 12) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Ketentuan terkait “tindakan lain” tersebut menyatakan: 1) Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum
19
2) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya 3) Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; 4) Menghormati hak asasi manusia. Terkait dengan pejabat kepolisian, Pasal 18 menyatakan, untuk kepentingan umum pejabat kepolisian negara RI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri (Ayat 1). Pelaksanaan ayat ini hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat
perlu dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian negara RI (Ayat 2). Selanjutnya dikatakan dalam Pasal 19, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat kepolisian senantiasa bertindak berdasarkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia (Ayat 1). Selanjutnya Pasal 6 Ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang28. Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 36)29 bahwa syarat kepangkatan bagi pejabat polisi Negara Republik Indonesia sekurang-kurangnya Pembantu Letnan Dua Polisi, sedangkan bagi pejabat pegawai negeri sipil tertentu itu sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b atau yang disamakan dengan itu). Di samping itu, KUHAP mengatur penyidik pembantu. Menurut ketentuan Pasal 10 KUHAP, Penyidik pembantu adalah pejabat
28
Andi Hamzah, KUHAP dan KUHP, Cetakan Kedua, PT Rineka Cipta, Jakarta, Hal 237
29
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 36)
20
kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983, yaitu syarat kepangkatan untuk pejabat polisi Negara Republik Indonesia sekurang-kurangnya Sersan Dua, sedangkan untuk pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkungan kepolisian Negara Republik Indonesia sekurang-kurangnya berpangkat pengatur muda (Golongan II/a) atau yang disamakan dengan itu. Penyidik dan penyidik pembantu karena kewajibannya mempunyai wewenang : 1) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana 2) Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian 3) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka 4) Melakukan
penangkapan,
penahanan,
penggeledahan
dan
penyitaan 5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat 6) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang 7) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi 8) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara 9) Mengadakan penghentian penyidikan 10) Pengadaan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Wewenang-wewenang tersebut di atas, untuk penyidik pembantu dikecualikan apabila menyangkut penahanan, karena untuk melakukan hal itu harus ada pelimpahan wewenang dari penyidik. Selanjutnya, apabila telah mulai melakukan penyidikan, penyidik memberitahu penuntut umum. Demikian juga, jika
telah selesai melakukan
penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu
21
kepada penuntut umum. Lain halnya yang menyangkut penghentian penyidikan karena tidak terdapat bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka, atau keluarganya. b. Kejaksaan Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam UndangUndang Nomor 16 Tahun 200430 disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenanangan lain berdasarkan Undang-Undang. Dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya, Kejaksaan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan normanorma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sebagai salah satu lembaga penegak hukum, Kejaksaan dituntut untuk
lebih
berperan
dalam
menegakkan
supremasi
hukum,
perlindungan kepentingan umum, dan penegakan Hak Asasi Manusia. Selain itu, Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasakan Pancasila, serta berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan masyarakat. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 merupakan peraturan perundang-undangan mengenai Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dijelaskan mengenai susunan organisasi kejaksaan, yang terdiri dari Kejaksaan agung berkedudukan
30
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Repoblik Indonesia
22
di ibukota negara Republik Indonesia, Kejaksaan Tinggi berkedudukan di ibukota propinsi, dan Kejaksaan Negeri berkedudukan di ibukota Kabupaten/ Kotamadya. Kejaksaan agung dipimpin oleh seorang Jaksa agung yang mengendalikan tugas dan wewenang Kejaksaan. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa Agung dibantu oleh seorang wakil Jaksa Agung yang merupakan satu kesatuan unsur pimpinan dan beberapa orang Jaksa Agung Muda sebagai unsur pembantu pimpinan. Untuk ditingkat propinsi, dipimpin oleh seorang Jaksa Tinggi yang dibantu oleh seorang wakil Kepala Kejaksaan Tinggi sebagai kesatuan unsur pimpinan, beberapa orang unsur pimpinan, dan unsur pelaksana. Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dimaksud dengan Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai Jaksa Penuntut Umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 ayat 2 UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim, dan menunjuk juga pada Pasal 6 a dan Pasal 6 b KUHAP. Dalam proses perkara pidana tugas dan wewenang Jaksa Penuntut Umum di dalam Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 disebutkan bahwa kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : 1) Melakukan penuntutan 2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap 3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan,dan keputusan lepas bersyarat
23
4) melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang 5) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Selanjutnya dalam Pasal 14 KUHAP disebutkan bahwa Penuntut Umum mempunyai wewenang : 1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu 2) Mengadakan
prapenuntutan
apabila
ada
kekurangan
pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan
ayat
(4),
dengan
memberi
petunjuk
dalam
rangka
penyempurnaan penyidikan dari penyidik 3) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik 4) Membuat surat dakwaan 5) Melimpahkan perkara ke pengadilan 6) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk dating pada sidang yang telah ditentukan 7) Melakukan penuntutan 8) Menutup perkara demi kepentingan hukum 9) Mengadakan tindakan lain dalamlingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan Undang-Undang ini 10) Melaksanakan penetapan hakim Disamping tugas dan wewenang kejaksaan di bidang pidana yang tersebut dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 diatas, pada Pasal 32 juga disebutkan bahwa kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.
24
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara / instansi lainnya. Selain itu kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah laiinya, sesuai dengan bunyi Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. c. Hakim Pengaturan mengenai badan pengadilan dalam sistem hukum dimasukan kedalam kategori kekuasaan kehakiman. Pasal 1 UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Lebih lanjut dalam Pasal 2 dikatakan
penyelenggaraan
kekuasaan
kehakiman
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Menurut Satjipto Rahardjo tugas penyelengaraan peradilan yang diperinci kedalam kegiatan-kegiatan menerima, memeriksa dan mengadili perkara, pengadilan melakukan penegakan hukum. Cara mengadili seperti yang dikehendaki sistem hukum tersebut termasuk dalam kategori ajudikatif, yaitu menentukan menentukan apa yang sesungguhnya merupakan isi suatu peraturan, kemudian menentukan apakah suatu peraturan itu telah dilanggar.31 Pengadilan negeri sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang tugasnya menerima, memeriksa, dan mengadili dan menyelesaikan
31
Satjipto Rahardjo, Opcit, Hal 77
25
perkara yang ditunjuk kepadanya wajib menerima, memeriksa, dan mengadili dan menyelesaikan perkara tersebut. Stelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum, ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dilimpahinya (Pasal 147 KUHAP). Setelah mempelajari, langkah yang dilakukan adalah (Pasal 148 KUHAP dan penjelasannya) sebgai berikut. 1) Dalam hal ketua pengadilan negeri berpendapat, bahwa perkara pidana itu tidak termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya, tetapi termasuk wewenang pengadilan negeri lain, ia menyerahkan surat pelimpahan perkara tersebut kepada pengadilan negeri lain yang dianggap berwenang mengadilinya dengan surat penetapan yang memuat alasannya. 2) Surat pelimpahan perkara tersebut diserahkan kembali kepada penuntut umum selanjutnya kejaksaan negeri yang bersangkutan menyampaikannya kepada kejaksaan negeri di tempat pengadilan negeri yang tercantum dalam surat penetapan. Dengan demikian, kejaksaan negeri yang menerima surat pelimpahan perkara tersebut dari kejaksaan negeri semula, maka ia membuat surat pelimpahan baru untuk disampaikan ke pengadilan negeri yang tercantum dalam surat penetapan. 3) Turunan surat penetapan sebagaimana dimaksud dalam angka (1) di atas disampaikan kepada terdakwa atau penasihat hukum dan penyidik. Meskipun, pengadilan negeri telah mengeluarkan surat penetapan, akan tetapi tidak selalu harus dilaksanakan oleh penuntut umum. Apabila penuntut umum berkeberatan terhadap surat penetapan pengadilan negeri tersebut, ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi yang bersangkutan dalam waktu tujuh hari setelah penetapan itu diterima, lebih dari itu mengakibatkan batalnya perlawanan. Perlawanan itu disampaikan kepada ketua pengadilan
26
negeri yang mengeluarkan penetapan tadi, dan dalam waktu tujuh hari pengadilan negeri wajib meneruskan perlawanan itu kepada pengadilan tinggi yang bersangkutan. Untuk itu, pengadilan tinggi dalam waktu paling lama empat belas hari dapat menguatkan atau menolak perlawanan itu. Jika pengadilan tinggi menguatkan perlawanan penuntut umum maka dengan surat penetapan memerintahkan pengadilan negeri yang bersangkutan untuk menyidangkan perkara tersebut. Sebaliknya, jika pengadilan tinggi menguatkan pendapat pengadilan negeri, pengadilan tinggi mengirimkan berkas perkara pidana itu kepada pengadilan negeri yang bersangkutan (Pasal 149 KUHAP). Apabila dalam perkara itu tidak terjadi permasalahan yang berkaitan dengan wewenang mengadili, pengadilan negeri setelah menerima surat pelimpahan perkara dan berpendapat bahwa perkara itu termasuk wewenangnya, ketua pengadilan menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut dan yang ditunjuk itu menetapkan hari sidang dan selanjutnya memerintahkan kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan saksi untuk datang di sidang pengadilan (Pasal 152 KUHAP). 2. Kebijakan Hukum Pidana Mengkaji politik hukum pidana akan terkait dengan politik hukum. Politik hukum terdiri atas rangkaian kata politik dan hukum. Menurut Sudarto,32 Istilah politik dipakai dalam berbagai arti, yaitu : a. perkataan politik dalam bahasa Belanda berarti sesuatu yang berhubungan dengan negara. b. berarti membicarakan masalah kenegaraan atau yang berhubungan dengan negara Lebih lanjut Sudarto mengatakan, makna lain dari politik adalah kebijakan yang merupakan sinonim dari policy. Dengan dasar itu, 32
Sudarto, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Penerbit Sinar Baru, Bandung, Tahun 1983, Hal.16.
27
Sudarto mengatakan,33 Politik hukum merupakan kebijakan negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menerapkan peraturanperaturan yang dikehendaki yang diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Sedang menurut Solly Lubis,34 politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Atas dasar pendapat para pakar tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa politik dan hukum mempunyai hubungan yang erat karena politik berhubungan dengan negara sedangkan hukum berhubungan dengan suatu aturan, norma, peraturan perundangan-undangan, yang diproduk oleh negara. Kedekatan hubungan antara politik dan hukum ini tidak saja pada tataran formulasi tetapi juga dapat dilihat pada tataran aplikasi dan eksekusi. Hubungan yang erat antara politik dan hukum ini juga mendapat perhatian dari Mahfud
35
yang menjelaskan
bahwa hukum merupakan produk politik. Hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh) dan politik sebagai independent variabel (variabel berpengaruh). Dengan asumsi yang demikian itu, Mahfud36 merumuskan politik hukum sebagai: Kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Disini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai PasalPasal yang bersifat imperative atau keharusan-keharusan, melainkan
33 34
Loc.cit Solly Lubis, Serba-Serbi Politik Dan Hukum, Mandar Maju, Bandung, Tahun 1989,
Hal.49. 35
Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES, Jakarta, Tahun 1998, Hal.1-2
36
Loc.cit
28
harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan Pasal-Pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya. Berdasar pendapat tersebut terlihat jelas bahwa secara umum politik/kebijakan hukum selalu ada dan melingkupi bekerjanya hukum dalam masyarakat baik pada tahap formulasi dimana ide-ide dasar, kepentingan, keinginan baik yang disukai maupun yang tidak yang merupakan
ekspresi dan keinginan
masyarakat
diangkat
dan
dituangkan dalam bentuk rumusan aturan perundangan-undangan yang kemudian disahkan oleh lembaga yang berwenang, selanjutnya politik hukum juga akan mempengaruhi proses aplikasi dimana aturan yang sudah disahkan oleh lembaga yang berwenang diterapkan dalam proses pengakan hukum dan yang terakhir akan mempengaruhi pula tahap eksekusi. Sedangkan secara khusus politik hukum juga mempengaruhi berbagai sistem tata hukum yang ada seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum tata pemerintahan, hukum administrasi dan lain-lain, dimana sistem tata hukum yang terdiri dari unsur-unsur hukum seperti perdata, pidana, tata negara, administrasi dan lain-lain tersebut diatas saling bertautan, saling pengaruh mempengaruhi serta saling mengisi. Oleh karena itu membicarakan satu bidang atau unsur atau subsistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari yang lain sehingga mirip dengan tubuh manusia, unsur hukum bagaikan organ yang keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari organ yang lain.37 Hukum pidana yang merupakan bagian dari sistem hukum atau sistem norma-norma, termasuk bidang hukum publik. Dimana menurut Utrecht, hukum pidana mempunyai kedudukan istimewa, yang harus diberi tempat tersendiri di luar kelompok hukum publik dan hukum privat. Utrecht melihat hukum pidana sebagai suatu hukum sanksi 37
Ilham Bisri, Sistem Hukum Indonesia; Prinsip-prinsip dan Implementasi Hukum Di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 39
29
istimewa, baik atas pelanggaran hukum privat maupun atas pelanggaran hukum publik. Hukum pidana melindungi kepentingan yang diselenggarakan oleh peraturan-peraturan hukum privat maupun peraturan-peraturan hukum publik. Hukum pidana melindungi kedua macam kepentingan itu dengan membuat sanksi istimewa. Sanksi istimewa itu perlu, oleh karena kadang-kadang perlu diadakan tindakan pemerintah yang lebih keras.38 Pidana dan pemidanaan merupakan masalah yang selalu mendapat perhatian banyak pakar, karena langsung berhubungan dengan kepentingan mendasar manusia, untuk menentukan apakah suatu pebuatan dikatagorikan sebagai
tindak pidana, pantaskah suatu
perbuatan dikatagorikan sebagai tindak pidana, berapa lama jumlah sanksi yang tepat bagi suatu perbuatan yang dikatagorikan sebagai tindak pidana, diperlukan bantuan ilmu yaitu kebijakan hukum pidana. Menurut Sudarto politik/ kebijakan hukum pidana adalah 39 1. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan 2. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu. Selanjutnya Sudarto mengemukakan politik criminal itu dapat diberi arti sempit, lebih luas dan paling luas.40 -
-
Dalam arti sempit, politik criminal digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana. Dalam arti yang lebih luas, ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk didalamnya cara kerja pengadilan dan polisi
38
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Edisi Revisi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, Hal.75 39
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni Bandung 1981 Hal.151
40
Ibid, Hal 113-114.
30
-
Dalam arti yang paling luas, ia merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang betrujuan untuk menegakan norma-norma sentral masyarakat. Pada bagian lain Sudarto mengemukakan bahwa sebagai bagian
dari politik hukum maka politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Maka melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundangan-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna.41 Dalam kesempatan lain dikemukakan pula, bahwa melaksanakan politik hukum pidana mempunyai arti sebagai usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.42 Pada
hakekatnya
kebijakan
hukum
pidana
dapat
difungsionalisasikan dan dioperasionalkan melalui beberapa tahap, yaitu tahap formulasi atau tahap kebijakan legislatif, tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif dan tahap eksekutif atau kebijakan administratif43 Tahap formulasi atau kebijakan legislatif dapat dikatakan sebagai tahap perencanaan dan perumusan peraturan perundang-undangan pidana. Tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif merupakan tahap penerapan dari ketentuan peraturan perundangundangan pidana yang telah dilanggar. Tahap eksekusi atau kebijakan administratif adalah tahap pelaksanaan dari putusan pengadilan atas perbuatan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Tahap formulasi atau kebijakan legislatif merupakan tahap awal yang
paling
41
Ibid, Hal.152.
42
Ibid, Hal. 20.
strategis
dari
43
keseluruhan
perencanaan
proses
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, Tahun 2001 Hal 75.
31
fungsionalisasi atau operasionalisasi hukum pidana. Tahap formulasi atau kebijakan legislatif tersebut menjadi dasar, landasan dan pedoman bagi tahap-taha fungsionalisasi atau operasionalisasi hukum pidana berikutnya, yaitu tahap aplikasi dan eksekusi.44 Kesalahan atau kelemahan tahap formulasi atau kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat bagi tahap-tahap berikutnya dalam kebijakan hukum pidana (penal policy), yaitu tahap apilkasi dan eksekusi 45 Lebih lanjut Marc Ancel dalam Barda Nawawi Arief, menjelaskan bahwa Modern Criminal Science terdiri dari tiga komponen 46 1. Criminology 2. Criminal Law 3. Penal Policy Penal Policy (politik hukum pidana) menurut Marc Ancel 47 adalah ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada pembuat Undang-Undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan Undang-Undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksanan putusan pengadilan. Selanjutnya menurut A. Mulder dalam Barda Nawawi Arief Politik Hukum Pidana
(Strafrechtspolitiek)
ialah garis kebijakan untuk
menentukan 48 1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui.
44
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992 Hal 157-158. 45
Ibid, Hal 75.
46
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Tanpa Tahun. Hal.1.
47
Ibid. Hal. 7.
48
Loc.cit.
32
2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana. 3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan. Oleh karena itu jika hukum pidana ditetapkan sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan maka harus benar-benar memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana dalam kenyataannya.49 Faktor-faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana tersebut antara lain dikemukakan oleh Sudarto :50 1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur merata materiil spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. 2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan atau spiritual) atas warga masyarakat. 3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle) 4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting) Dan yang lebih penting agar sanksi pidana dapat lebih didaya gunakan, maka perlu dilakukan suatu pendekatan. Menurut Barda Nawawi Arief, pendekatan tersebut meliputi : 1. Pendekatan rasional 2. Pendekatan fungsional 3. Pendekatan pragmatis 4. Pendekatan nilai Pendekatan yang rasional memang merupakan pendekatan yang seharusnya melekat pada setiap langkah kebijakan. Hal ini berarti 49
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, Tahun 1996, Hal. 29-30. 50
Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1983 Hal.44-48.
33
bahwa suatu politik kriminal dengan menggunakan kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Sedangkan pendekatan yang fungsional merupakan suatu pendekatan yang melekat (inherent) pada setiap kebijakan yang rasioanl. Artinya dalam memilih dan menetapkan (hukum) pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar telah memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya (hukum) pidana itu dalam kenyataannya.51 Selanjutnya dalam melakukan kebijakan hukum pidana diperlukan pendekatan
yang
berorientasi
pada
kebijakan
(policy-oriented
approach) yang lebih bersifat pragmatis dan juga pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-judgment approach).52 Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan sama sekali dari masalah nilai, terlebih lagi Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis kebijakan pembangunan nasionalnya bertujuan membentuk “manusia Indonesia seutuhnya”
53
karenanya
seperti dikatakan oleh Christiansen dalam Arief,54 “the conception of problem crime and punishment is an essential part of the culture of any society. Apabila pidana akan digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut, maka pendekatan humanistis harus pula diperhatikan. Hal ini penting tidak hanya karena kejahatan itu pada hakekatnya merupakan masalah kemanusiaan (human problem), tetapi juga karena pada hakekatnya pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia.55 Selanjutnya Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa pendekatan humanistis dalam penggunaan sanksi pidana tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan kepada si pelanggar harus sesuai dengan nilainilai kemanusiaan yang beradab, tapi juga harus dapat membangkitkan 51
Op.Cit, Barda Nawawi Arief, Hal.164
52
Loc.cit.
53
Loc.cit.
54
Loc.cit.
55
Loc.cit.
34
kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan hidup bermasyarakat.56 3. Teori Bekerjanya Hukum Hukum adalah karya manusia yang berupa norma-norma berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Hukum merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan kemana harus diarahkan. Oleh karena itu pertama-tama hukum itu mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum itu diciptakan. Ide-ide ini adalah ide menegenai keadilan. Tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakat, adalah diluar pengutamaan nilai kepastian hukum. Dengan adanya nilai-nilai yang berbeda tersebut maka penilaian mengenai keabsahan hukum pun bisa bermacam-macam. Masalah ini biasanya dibicarakan dalam hubungan dengan berlakunya hukum.57 Sebagai pedoman atau pengarahan pada warga masyarakat untuk berperilaku, fungsi hukum menyiratkan perilaku yang diharapkan diwujudkan oleh masyarakat apabila warga masyarakat melakukan kegiatan yang diatur oleh hukum. Sebagai sarana pengendalian sosial, hukum bermakna secara esensial bahwa suatu sistem mengandung peraturan-peraturan-peraturan
perilaku
yang
benar
dan
semua
masyarakat akan mengambil langkah untuk mendorong perilaku yang baik dan memberikan sanksi negatif bagi pelaku yang buruk. Sebagai sarana penyelesaian sengketa, fungsi hukum adalah menjadi sumber bagi peneyelesaian sengketa serta pemecahan perselisihan yang timbul dimasyarakat. Sebagai sarana rekayasa sosial hukum tidak saja digunakan untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkan
56
Loc.cit.
57
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Cetakan Keenam, Bandung, Tahun 2006, Hal 18-19.
35
pada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaankebiasaan yang dipandang tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya.58 Melakukan kegiatan dibidang hukum adalah melakukan tindakantindakan yang bermacam-macam, seperti pembuatan dan penerapan hukum. Apapun juga tindakan dan perbuatan itu, semua merupakan ekspesi akal pikiran manusia. Oleh karena keadaan yang demikian itu maka semua usaha dan kegiatan itupun peka dan terbuka terhadap pengukuran dari sudut prinsip-prinsip berfikir. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan dan penerapan hukum dapat berasal dari pembentuk
hukum,
penegak
hukum,
para
pencari
keadilan
(justiabelen) maupun golongan-golongan lain didalam masyarakat. Faktor-faktor itulah yang harus diidentifikasi, oleh karena itu suatu kelemahan yang terjadi kalau hanya tujuan-tujuan yang dirumuskan tanpa mempertimbangkan saran-saran untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.59 Tentang berlakunya hukum dibedakan atas tiga hal yaitu berlakunya secara filosofis, yuridis dan sosiologis, yang intinya adalah effektifitas hukum. Studi efektifitas hukum merupakan suatu kegiatan yang memperlihatkan suatu strategi perumusan masalah yang bersifat umum, yaitu suatu perbandingan antara realitas hukum dan ideal hukum, secara khusus terlihat jenjang antara hukum dalam tindakan (law ini action) dengan hukum dalam teori (law in theory) atau dengan kata lain, kegiatan ini akan memperlihatkan kaitan antara law in book dan law in action.60 Realitas hukum menyakut perilaku dan apabila hukum itu dinyatakan berlaku, berarti menemukan perilaku hukum yaitu perilaku 58
Soleman B Taneko, Pokok-Pokok Studi Hukum Dalam Masyarakat. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Tahun 1993, Hal.39-41 59
Soerjono Soekanto, Efektifitas Hukum dan Peranan Sanksi, Remaja Karya, Bandung, 1985, Hal. 119. 60
Soleman B Taneko,op.cit, Hal.47-48
36
yang sesuai dengan ideal hukum. Dengan demikian apabila ditemukan perilaku yang tidak sesuai dengan ideal hukum, yaitu tidak sesuai dengan rumusan yang ada pada Undang-Undang atau keputusan hakim (case law) dapat berarti bahwa diketemukan keadaan dimana ideal hukum tidak berlaku, dan mengingat perilaku hukum itu terbentuk karena faktor motif dan gagasan, maka tentu saja bila diketemukan perilaku yang tidak sesuai dengan hukum berarti ada faktor penghalang atau kendala bagi terwujudnya perilaku sesuai dengan hukum. Ada tiga nilai dasar yang perlu mendapat perhataian dari pelaksanaan
hukum
yakni,
keadilan,
kepastian
hukum
dan
kemanfaatan, yang mengarahkan hukum pada pertimbangan kebutuhan masyarakat pada suatu saat tertentu. Hukum benar-benar mempunyai peranana nyata bagi masyarakat dimana kekuatan sosial bekerja dalam tahapan pembuatan Undang-Undang. Kekuatan sosial itu akan terus berusaha masuk dan mempengaruhi setiap proses legislasi secara efektif dan efesien. Peraturan yang dikeluarkan itu memang akan menimbulkan hasil yang diinginkan, tapi efeknya sangat tergantung pada kekuatan-kekuatan sosial yang melingkupinya. Masyarakat
dan
ketertibannya
merupakan
dua
hal
yang
berhubungan secara erat, bahkan bisa juga dikatakan sebagai dua sisi mata uang. Susah untuk mengatakan adanya masyarakat tanpa ada suatu ketertiban, bagaimanapun kualitasnya.
Ketertiban dalam
masyarakat diciptakan secara bersama-sama oleh berbagai lembaga secar bersama-sama seperti hukum dan tradisi. Oleh karena itu dalam masyarakat juga dijumpai berbagai macam norma yang masing-masing memberikan sahamnya dalama menciptakan ketertiban itu. Kehidupan dalam masyarakat yang sedikit banyak berjalan dengan tertib dan teratur ini didukung oleh adanya suatu tatanan, karena adanya tatanan inilah kehidupan menjadi tertib.61
61
Satjipto Rahardjo, op.cit, Hal 13
37
Suatu tatanan yang ada dalam masyarakat kita sesungguhnya terdiri dari suatu kompleks tatanan yaitu terdiri dari sub-sub tatanan yang berupa kebiasaan, hukum dan kesusilaan. Dengan demikian ketertiban yang terdapat dalam masyarakat ini senantiasa terdiri dari ketiga tananan tersebut diatas,62 keadaan yang demikian ini memberi pengaruhnya tersendiri terhadap masalah effektifitas tatanan dalam masyarakat. Efektifitas ini bisa dilihat dari segi peraturan hukum sehingga ukuran-ukuran untuk menilai tingkah laku dan hubunganhubungan antara orang-orang pun didasarkan pada hukum atau tatanan hukum. Menurut Soerjono Soekanto bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya, faktor-faktor itu mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: a)
Kaedah Hukum atau peraturan itu sendiri;
b)
Petugas yang menegakannya;
c)
Fasilitas yang diharapkan mendukung pelaksanaan hukum;
d)
Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut;
e)
Budaya Hukum63 Selanjutnya menurut Robert B Saidman, bekerjanya hukum sangat
dipengaruhi oleh kekuatan atau faktor-faktor sosial dan personal. Faktor-faktor sosial dan personal tidak hanya berpengaruh terhadap masyarakat (rakyat) sebagai sasaran yang diatur oleh hukum, melainkan terhadap lembaga-lembaga hukum. Dari arah panah sebagaimana yang terlihat pada bagan dibawah dapat diketahui bahwa hasil akhir dari pekerjaan tatanan dalam masyarakat tidak bisa hanya 62
Satjipto Rahardjo, op.cit. Hal. 14
63
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. RajaGrafindo. Jakarta. 2008, Hal. 8
38
dimonopoli oleh hukum melainkan juga oleh kekuatan sosial dan personal lainya. Teori bekerjanya hukum dari Robert B. Saidman tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1. Teori bekerjanya hukum dari Robert B. Saidman Faktor – faktor Sosial dan personal lainya
Umpan Balik
Lembaga Pembuat Peraturan Norma Umpan balik
Norma
Lembaga penerap peraturan
39
Pemegang peranan Aktifitas Penerapan
Faktor – faktor Sosial dan personal lainya
Faktor – faktor Sosial dan personal lainya
Bagan tersebut diatas diuraikan dalam dalil-dalil berikut ini : 64 1. Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang pemegang peranan (rule occupsnt) itu diharapkan bertindak. 2. Bagaimana seorang pemegang peranan itu akan bertindak sebagai suatu respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksi, aktifitas dari lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan komplek kekuatan sosial, politik dan lainya-lainya mengenai dirinya. 3. Bagamana lembaga – lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksisanksinya, keseluruhan komplek kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-lainya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari para pemegang peranan. 4. Bagaimana para pembuatan Undang-Undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan komplek kekuatankekuatan sosial, politik, idiologis dan lain-lainya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari para pemegang peranan serta birokrasi. Bekerjanya hukum sebagai suatu pranata didalam masyarakat, terdapat suatu faktor yang menjadi perantara yang memungkinkan terjadinya penerapan dari norma-norma hukum itu. Regenerasi atau penerapa hukum dalam kehidupan masyarakat itu hanya dapat terjadi melalui manusia sebagai perantaranya. Masuknya faktor manusia kedalam hukum, khususnya didalam hubungan dengan bekerjanya hukum itu, mempaba kepada penglihatan mengenai hukum sebagai karya manusia didalam masyarakat, maka tidak dapat membatasi masuknya pembicaraan mengenai faktor-faktor yang memberikan beban pengaruhnya (impact) terhadap hukum, yang meliputi : a)
64
Pembuatan Hukum
Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1980, Hal
27
40
Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengatur kehidupan bersama manusia, hukum harus menjalanai suatu proses yang panjang dan melibatkan berbagai aktifitas dengan kualitas yang berbeda-beda. Jika masalah pembuatan hukum itu hendak dilihat dengan bekerjanya hukum sebagai suatu lembaga sosial, maka pembuatan hukum itu dilihat sebagai fungsi masyarakat. Apabila hukum itu dilihat sebagai karya manusia maka pembicaraannya juga sudah harus dimulai sejak dari pembuatan hukum. Jika masalah pembuatan hukum itu hendak dilihat dalam hubungan dengan bekerjanya hukum sebagai suatu lembaga sosial, maka pembuatan hukum itu dilihat sebagi fungsi masyarakatnya. Didalam hubungan\nya dengan masyarakat, pembuatan hukum merupakan
cerminan
dalam
model
masyarakat.
Menurut
Chambliss dan Saidman, terdapat 2 model masyarakat yaitu : 65 1.
2.
Model masyarakat yang berdasarkan pada basis kesepakatan akan nilai-nilai (value consensus), masyarakat yang demikian ini akan sedikit sekali menegenal adanya konflik atau ketegangan didalamnya sebagai akibat adanya kesepakatan nilai-nilai yang menjadi landasan kehidupanya, dengan demikian masalah yang dihadapai oleh pembuatan hukum hanyalah menetapkan nilai-nilai apakah yang berlaku didalam masyarakat itu. Masyarakat dengan model konflik. Di dalam hal ini masyarakat dilihat sebagai suatu penghubungan yang sebagian warganya mengalami tekanan-tekanan oleh sementara pihak warga lainya, perubahan dan konflikkonflik merupakan kejadian yang umum. Nilai-nilai yang berlaku didalam masyarakat berada dalam situasi konflik satu sama lainnya sehingga ini juga akan tercermin dalam pembuatan hukumnya.
b) Bekerjanya Hukum di Bidang pengadilan Pembicaraan mengenai bekerjanya hukum dalam hubungan dengan
proses
peradilan
secara
konvensional
melibatkan
pembicaraan tentang kekuasaan kehakiman, prosedur perkara dan
65
Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat….., op.cit, Hal 49
41
sebagainya.
Masalahnya
bagaimana
mengatur
penyelesaian
sengketa secara tertip berdasarkan prosedur-prosedur formal yang ditentukan. Keadaan menjadi agak lain, apabila penyelesaian sengketa itu dilihat sebagai fungsi kehidupan sosial. Dalam hal ini yang menjadi masalah adalah bagaimana bekerjanya pengadilan sebagai suatu pranata yang melayani kehidupan sosial. Didalam kerangka penglihatan ini maka lembaga pengadilan tidak dilihat sebagai
suatu badan yang merupakan bagian-bagian dari
keseluruhan nilai-nilai dan proses-proses yang bekerja didalam masyarakat tersebut.66
c) Pelaksanaan Hukum (hukum sebagai suatu proses) Hukum tidak dapat
bekerja atas kekuatannya sendiri,
melainkan hukum hanya akan dapat berjalan melalui manusia. Manusialah
yang
menciptakan
hukum,
tetapi
juga
untuk
pelaksanaan hukum yang telah dibuat itu masih diperlukan campur tangan manusia pula. Oleh karena itu masih diperlukan langkah yang memungkinkan ketentuan hukum dapat dijalankan. Pertama, harus ada pengangkatan pejabat sebagaimana ditentukan dalam peraturan hukum. Kedua, harus ada orang-orang yang melakukan perbuatan hukum. Ketiga, orang-orang tersebut mengetahui adanya peraturan tentang keharusan bagi mereka untuk menghadapai pegawai yang telah ditentukan untuk mencatatkan peristiwa hukum tersebut.67 d) Hukum dan Nilai-Nilai di Dalam Masyarakat Hukum menetapkan pola hubungan antar manusia dan merumuskan nilai-nilai yang diterima oleh masyarakat kedalam bagan-bagan. Di dalam masyarakat ada norma-norma yang disebut sebagai norma yang tertinggi atau norma dasar. Norma ini adalah 66
Satjipto Raharjdo, Ilmu……, op.cit, Hal 53
67
Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat….op.cit, Hal 71.
42
norma yang paling menonjol, yang paling kuat kerjanya atas diri anggota-anggota masyarakat, seperti halnya dengan norma maka nilai itu diartikan sebagai suatu pernyataan tentang hal yang diinginkan oleh seseorang. Norma dan nilai itu merujuk pada hal yang sama tetapi dari sudut pandang yang berbeda. Norma itu mewakili suatu perspektif sosial, sedangkan nilai melihatnya dari sudut perspektif individual.68 Menurut keadialan,
Radburch, nilai-nilai dasar dari hukum meliputi kegunaan
(zweckmasziqkeif)
dan
kepastian
hukum.
Sekalipun ketiga-tiganya itu merupakan nilai dasar dari hukum namun diantara mereka terdapat suatu Spannunghsverhaltnis, yaitu suatu ketegangan antara satu sama lain. Keadaan yang demikian itu dapat dimengerti, kerena ketiga-tiganya berisikan tuntutan yang berlainlainan dan yang satu sama lainnya mengandung potensi untuk bertentangan. Apa yang sudah dinilai sah atas dasar persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu peraturan, bisa dinilai tidak sah dari segi kegunaannya bagi masyarakat.69 Hukum agar bisa berfungsi dapat dipakai bila pendekatan dengan mengambil teori Robert Saidman yang menyatakan bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat itu melibatkan tiga kemampuan dasar, yaitu pembuat hukum (Undang-Undang, birokrat pelaksana dan masyarakat objek hukum). Pelaksana hukum, perilakunya ditentukan pula peranannya yang diharapkan daripadanya, namun bekerjanya harapan itu tidak hanya ditentukan oleh peraturan-peraturan saja, melainkan juga ditentukan oleh faktor-faktor lainya, tetapi juga oleh : 70 a. Sanksi-sanksi yang terdapat didalamnya
68
Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat…..op.cit., 1980, Hal 78.
69
Radburch dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu…..op.cit, Hal 19.
70
Esmi Warasih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologi,PT. Suryandaru,Semarang, 2005, Hal 107.
43
b. Aktifitas dari lembaga-lembaga atau badan-badan pelaksana hukum c. Seluruh kekuatan sosial, politik dan lainnya yang bekerja atas diri pemegang peran itu. B. Sistem Pemidanaan dan Pengaturan Pidana dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1990 Tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya dan Bebrapa Undang-Undang Terkait 1. Sistem Pemidanaan Secara konseptual, Barda Nawawi Arief, mengutip pernyatan L.H.C. Hulsman, mengemukakan bahwa sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan. Apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup pengertian: a. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemidanaan b. Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk pemberian/ penjatuhan dan pelaksanaan pidana c. Keseluruhan
sistem
(aturan
perundang-undangan)
untuk
fungsionalisasi/ operasionalisasi/konkretisasi pidana d. Keseluruhan sistem (perundang-undangan) yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Dengan mengacu pada pengertian ini, maka semua perundangundangan adalah berhubungan dengan hukum pidana material/substantif. Hukum pidana formal dan hukum pelaksanaanpidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan. Dengan kata lain, sistem pemidanaan terdiri dari subsistem hukum pidana substantif, subsistem hukum pidana formal, dan subsistem hukum pelaksanaan/eksekusi pidana. Beberapa konsep mendasar yang berhubungan dengan sistem pemidanaan:
44
a. Kejahatan dan Pelanggaran Penggolongan ini diatur di dalam buku tersendiri. Buku II memuat tentang jenis-jenis tindak pidana yang termasuk dalam golongan kejahatan. Sedangkan tindak pidana yang termasuk di dalam golongan pelanggaran diatur di dalam Buku III. Kata kejahatan dan pelanggaran merupakan terjemahan dari istilah misdrijf dan overtreding dalam Bahasa Belanda. Sebenarnya tidak mudah membedakan kejahatan dengan pelanggaran, karena keduanya merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Tetapi ada dua cara untuk menemukan perbedaan itu, yaitu: pertama, meneliti maksud dari pembentuk Undang-Undang; kedua, meneliti sifat-sifat yang berbeda antara tindak-tindak pidana yang termuat di dalam Bab II KUHP dan tindak-tindak pidana yang termuat di dalam Buku III KUHP71. b. Tindak Pidana Material dan Formil Penggolongan tindak pidana ini adalah berdasarkan cara perumusan ketentuan hukum pidana oleh pembentuk Undang-Undang. Apabila perumusan tindak pidana dirumuskan tanpa menyebutkan secara rinci kegiatan atau tindak pidananya, tetapi hanya menyebutkan perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu, maka tindak pidana ini disebut sebagai tindak pidana material. Sedangkan apabila tindak pidana itu dirumuskan dengan menggambarkan wujud perbuatannya tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu, maka tindak pidana semacam itu disebut sebagai tindak pidana formil. 72 c. Unsur Kesengajaan dan Kelalaian dalam Tindak Pidana Kesengajaan (dolus) menurut teori kehendak (wilstheorie) dan teori pengetahuan (voorstellingstheorie) adalah adalah perbuatan atau
71
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, Hal.32-33. 72
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Ketujuh, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, Hal. 88-90.
45
tindakan yang dikehendaki dan diketahui akan mewujudkan perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan dikategorikan sebagai tindak pidana. Sebuah teori lain yang disebut dengan inkauf nehmen atau oleh Moeljatno disebut dengan teori “apa boleh buat”, menyatakan bahwa kesengajaan merupakan perbuatan atau tindakan yang kemungkinan akibatnya diketahui oleh terdakwa dan sikapnya atas kemungkinan tersebut, andaikata terjadi, adalah berani mengambil risikonya.73 Sementara, kelalaian (tidak sengaja atau culpa) adalah tindak pidana yang dilakukan dalam situasi di mana terdakwa tidak mengetahui sifat melawan hukumnya perbuatan tersebut.74
d. Subjek Tindak Pidana Subjek tindak pidana adalah orang yang bisa dikenakan tanggung jawab pidana. Dalam konsep hukum perdata yang kemudian diadopsi dalam hukum-hukum publik, orang adalah istilah yang mencakup dua subjek hukum yakni manusia dan subjek lain yang oleh hukum ditetapkan sebagai subjek hukum. Dalam konteks yang terakhir ini, hukum perdata telah mengkategorikan badan hukum sebagai subjek hukum.75 Namun dalam perkembangan selanjutnya, subjek hukum pidana tidak hanya manusia dan badan hukum tetapi juga mencantumkan nama korporasi. Menurut Sutan Sjahdeini, dalam hukum pidana, pengertian korporasi tidak hanya badan hukum. Di sana, korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan badan hukum. Cakupannya, bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi, atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga firma, perseroan komanditer atau CV, dan
73
Moeljatno, ibid., Hal. 171-177.
74
Moeljatno, ibid., Hal. 185-192.
75
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003, Hal. 73-74.
46
persekutuan atau maatschap, yaitu badan-badan usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu hukum. Sekumpulan orang yang terorganisasi dan memiliki pimpinan dan melakukan perbuatanperbuatan hukum, juga termasuk ke dalam apa yang dimaksud dengan korporasi.76 e. Stelsel Pidana Stelsel pidana mencakup pengaturan tentang jenis-jenis pidana (strafsoord), berat ringannya pidana (straafmaat) dan cara bagaimana pidana itu dilaksanakan (strafmodus).77 Di dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diatur mengenai jenis pidana (hukuman), yang terdiri dari: (1) Pidana pokok: (a) pidana mati, (b) pidana penjara, (c) pidana kurungan, (d) pidana denda, (e) pidana tutupan. (2) Pidana tambahan: (a) pencabutan hak-hak tertentu, (b) perampasan barang-barang tertentu, (c) pengumuman putusan hakim. Berkaitan dengan berat ringannya pidana, KUHP menyebut pidana dengan jumlah/maksimum pidana, minimum pidana dan pidana yang sudah ditentukan jenis dan jumlah atau bentuknya (pidana mati, penjara seumur hidup dan penjara 20 tahun). Sedangkan cara-cara pelaksanaan pidana berbeda-beda berdasarkan jenis pidananya. f. Pidana Administrasi 76
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Graffiti Pers, Jakarta, 2006, Hal. 39-47. 77
Muladi, “Pembaruan Hukum Pidana Yang Berkualitas Indonesia”, Jurnal MasalahMasalah Hukum, No. 2 Tahun 1988, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, Hal. 28.
47
Pidana administrasi tersebar di berbagai Undang-Undang sektoral di Indonesia. Pidana ini merupakan bagian dari sanksi administrasi karena dikenakan kepada pelanggaran-pelanggaran atas hukum administrasi. Menurut Barda Nawawi Arief, hukum administrasi pada dasarnya adalah hukum mengatur atau hukum pengaturan (regulatory rules), yaitu hukum yang dibuat dalam melaksanakan kekuasaan mengatur/pengaturan maka hukum pidana administrasi sering disebut sebagai hukum pidana pengaturan atau hukum pidana dari aturanaturan (ordnungstrafrecht/ ordeningstrafrecht). Selain itu, kata Barda, istilah hukum administrasi juga terkait dengan tata pemerintahan, sehingga
istilah
menyebutnya
hukum
pidana
sebagai
administrasi
hukum
pidana
juga
ada
yang
pemerintahan
(verwaltungsstrafrehct/bestuursstrafrechct). Dengan demikian, hukum pidana
administrasi
merupakan
perwujudan
dari
kebijakan
menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk melaksanakan atau menegakan hukum administrasi. Jadi, pidana administrasi merupakan bentuk fungsionalisasi/operasionalisasi hukum pidana di bidang hukum adiministrasi.78 Adapun sanksi pidana yang dapat dijatuhkan pada pelaku kejahatan atau pelanggaran di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara umum dapat dikenai ketentuan yang termuat dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
terdapat dalam Pasal 98 sampai dengan 115 berupa pidana penjara dan denda, Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sanksi pidana berupa penjara dan denda terdapat dalam Pasal 78, dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya sanksi pidana berupa pidana penjara dan denda. Oleh karena berfungsi sebagai
78
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, Hal. 14-15.
48
umbrella provision maka ketentuan pidana yang termuat dalam UndangUndang No.23 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 dan Undang-Undang 41 Tahun 1999 terhadap sanksi pidana yang terdapat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 berlaku adagium lex specialis derogat legi generalis atau lex posterior derogat legi periori79. Pemberlakuan sanksi pidana tersebut secara yuridis formal tergambar dalam ragaan di bawah ini :
Gambar 2. Ruang Lingkup Pemberlakuan Sanksi Pidana Konservasi Keanekaragaman Hayati Sanksi pidana dalam UndangUndang No 32 Tahun 2009 bersifat umum untuk semua kasus lingkungan hidup dapat dijerat. Sanksi pidana dalam UndangUndang No 41 Tahun 1999 bersifat khusus untuk kejahatan di luar dan dalam kawasan hutan lindung dan produksi. Sanksi pidana dalam UndangUndang No 5 Tahun 1999 bersifat khusus untuk kejahatan konservasi keanekaragaman hayati. 2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya
79
Saifullah, Hukum Lingkungan Paradigma Kebijakan Kriminal di Bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati, UIN Malang Press Cetakan I, Malang, 2007, Hal 138-139.
49
Undang-Undang
ini
mengenal
tindak
pidana
kejahatan
dan
pelanggaran. Keduanya masuk dalam bab tentang ketentuan pidana80. Lihat Tabel 1. Tabel 1. Tindak Pidana Kejahatan Dan Pelanggaran UndangUndang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya Pasal Pasal 40 (1)
Pasal 40 (1)
Pasal 40 (2)
Pasal 40 (2)
Pasal 40 (2)
Pasal 40 (2)
Pasal 40 (2)
Pasal 40 (2)
Tindak Pidana Kejahatan
Pasal
Melakukan kegiatan yang dapat Pasal 40 (3) mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam melakukan kegiatan yang dapat Pasal 40 (3) mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional Mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati; Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan,memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup Menyimpan,memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian
80
Tindak Pidana Pelanggaran Kegiatan di samping dilakukan secara lalai
Kegiatan di samping dilakukan dengan secara lalai
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
50
tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi Melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam
Pasal 40 (2)
Pasal 40 (2)
Undang-Undang ini mengenal penggolongan tindak pidana materil dan formil. Rumusan Pasal tindak pidana formil dapat dijumpai di Pasal 40 ayat 2 yang merujuk pada ketentuan Pasal 21 ayat 1 dan 2 serta Pasal 33 ayat 3. Berikut bunyi lengkap Pasal 21 ayat (1) dan (2) serta Pasal 33 ayat (3). Sedangkan rumusan tindak pidana materil dapat dijumpai dalam Pasal 40 ayat 1, yang merujuk pada ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1)81. Lihat Tabel 2. Tabel 2.
Penggolongan Tindak Pidana Materil Dan Formil UndangUndang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya.
Pasal Pasal 21 ayat (1) dan (2)
81
Tindak Pidana Formil
Pasal
(1) Setiap orang Pasal 19 dilarang untuk: ayat (1) a. Mengambil, b. Menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian- bagiannya dalam keadaan hidup atau mati; c. Mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagianbagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu
Ibid
51
Tindak Pidana Materil Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.
tempat di indonesia ke tempat lain di alam atau di luar indonesia. (2) Setiap orang dilarang untuk: a. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; b. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati; c. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; d. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagianbagian lain satwa yang dilindungi atau barangbarang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; e. Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi. Pasal 33 ayat Setiap orang dilarang Pasal 33 (3) melakukan kegiatan yang tidak ayat (1) sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.
Oleh karena terdapat peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus tersebut di atas maka kejahatan atau pelanggaran yang terjadi di dalam kawasan konservasi dan kejahatan atau pelanggaran terhadap tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi diberlakukan Undang-Undang
52
Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 3. Undang-Undang Nonor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Jenis-jenis tindak pidana yang termuat di dalam Undang-Undang ini dibagi menjadi tindak pidana kejahatan dan pelanggaran (lihat tabel 3). Kedua kategori ini masuk dalam bab tentang ketentuan pidana, yang secara tegas dipisahkan dari jenis sanksi ganti rugi dan administratif82. Tabel 3. Jenis-Jenis Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nonor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal
Pasal
Pasal 78 (1)
Kejahatan merusak prasarana dan sarana perlindungan kehutanan
Pasal 78 (8)
Pasal 78 (1)
Melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan
Pasal 78 (12)
Pasal 78 (2)
Mengerjakan, menggunakan, menduduki kawasan hutan secara tidak sah Merambah hutan
Pasal 78 (2) Pasal 78 (2) Pasal 78 (3) & (4) Pasal 78 (5)
82
Tindak Pidana Kejahatan
Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan jarak dan radius tertentu Membakar hutan Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
53
Tindak Pidana Pelanggaran Menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang Mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuhtumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi Undang-Undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang
Pasal 78 (5)
Pasal 78 (6)
Pasal 78 (7)
Pasal 78 (9)
Pasal 78 (10)
Pasal 78 (11)
dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin (mencuri) Menerima, membeli, atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang dipungut secara tidak sah. Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin menteri. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan. Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang. Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. Membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan.
Undang-Undang ini mengenal penggolongan tindak pidana formil dan materil83. Tindak pidana formil dapat dijumpai di Pasal 78 ayat (1) dan (2), yang merujuk ketentuan di Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3). Pasal 50 ayat (1) menyatakan: Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan. Pasal 50 ayat (3) berbunyi: Setiap orang dilarang84:
83
Loc.cit.
84
Loc.cit.
54
(a). mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; (b). merambah kawasan hutan; (c). melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan: 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai. (d). membakar hutan; (e). menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang; (f). menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; (g). melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri; (h). mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan; (i). menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang; (j). membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang; (k). membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; (l). membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi Undang-Undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.85 Inti dari Pasal-pasal di atas adalah adanya larangan terhadap orang dan atau badan hukum untuk melakukan suatu kegiatan di kawasan hutan.
85
Loc.cit
55
Sedangkan untuk rumusan tindak pidana materil, dapat dijumpai dalam Pasal 78 ayat (1), yang merujuk Pasal 50 ayat (2). Isi Pasal 50 ayat (2) adalah: “Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.” Pasal ini merumuskan larangan melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. Yang menjadi intinya adalah bukan uraian perbuatan tetapi perbuatan yang menimbulkan kerusakan hutan. Selanjutnya Undang-Undang ini sebenarnya mengenal badan hukum sebagai pelaku tindak pidana. Ketentuan ini diatur di dalam ketentuan Pasal 78 ayat (14). Pasal ini berbunyi: Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan. Pasal tersebut mengatur pertanggungjawaban pidana dari pengurus badan usaha yang melakukan kejahatan di bidang kehutanan. 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang ini hanya mengenal penggolongan tindak pidana kejahatan.
Jenis-jenis
tindak
pidana
di
dalam
Undang-Undang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah sebagai berikut : (lihat tabel 4) Tabel 4. Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal Pasal 98 (1)
Tindak Pidana Kejahatan Melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
56
Pasal 100 (1)
Melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan
Pasal 101
Melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan atau izin lingkungan
Pasal 102
Melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin
Pasal 103
Menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan
Pasal 104
Melakukan dumping limbahdan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin
Pasal 105
Memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Pasal 106
Memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Pasal 108
Melakukan pembakaran lahan
Pasal 109
Melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan
Pasal 110
Menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal
Pasal 111 (1)
Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL
Pasal 111 (2)
Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan
Pasal 112
Pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundangundangan dan izin lingkungan
Pasal 113
Memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
Pasal 114
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah
Pasal 115
Dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil
Pasal-pasal yang memuat ketentuan tindak pidana materil dalam Undang-Undang ini adalah Pasal 98 ayat (1) yang berbunyi Setiap orang
57
yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) danpaling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)86. Undang-undang menganut asas ultimum remedium. Asas ini menempatkan penegakan hukum pidana sebagai pilihan hukum yang terakhir. Penegakan hukum lain berupa mekanisme hukum perdata dan hukum administrasi harus didahulukan. Jadi jika kedua penegakan hukum tersebut ternyata tidak mampu juga menyelesaikan dan menghentikan tindak pidana lingkungan hidup menurut undang-undang ini, maka hukum pidana dapat ditegakkan87. C. Kerangka Pikir Dalam prespektif hukum kebijakan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kebijakan hukum pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya telah dirumuskan dalam UU No. 5 Tahun 1990 yaitu sebagaiman yang terdapat dalam Bab XII tentang Ketentuan Pidana Pasal 40 selanjutnya perlu dioperasionalkan, dilaksanakan dan ditegakan oleh sub-sub sistem penegak hukum pidana. 86
Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup 87
Penjelasan Undang-Undang 32 Tahun 2009 ketentuan umum angka 6. Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang ini memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.
58
Namun pada kenyataannya kondisi penegakan hukum pidana dibidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai suatu usaha untuk
menegakkan
norma-norma
tersebut
saat
ini
masih
sangat
menghawatirkan, masih menjadi wacana birokrat/pemerintah, dan belum menuju pada tindakan konkrit yang prioritas. Kondisi yang mengkawatirkan terhadap penegakan hukum konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dengan sarana hukum pidana tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor personal dan sosial lainnya. Adapun skema dari kerangka pikir penulis adalah sebagai berikut :
Gambar 3. Skema Kerangka Pikir
UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Penegakan Hukum Pidana Sangat Ditentukan Oleh : 1. Peraturan itu sendiri 2. Petugas yang menerapkan 3. Fasilisats yang mendukung 4. Warga Masyarakat yang terkena peraturan tersebut
Penegakan Hukum Pidana Oleh Polisi/PPNS Jaksa Hakim
Proses Penegakan Hukum Pidana Oleh Polisi/PPNS Jaksa Hakim
Faktor yang mempengaruhi proses penegakan hukum : 1. Adanya kelebihan beban pekerjaan 2. Belum adanya keberanian PPNS. 3. Adanya interfensi pejabat penegak hukum 4. Faktor Ekonomi
59
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Menurut Setiono Metode adalah alat untuk mencari jawaban dari suatu pemecahan masalah, oleh karena itu suatu metode atau alat harus jelas dahulu yang akan dicari. Penetuan metode yang digunakan harus cermat, tepat dan jelas sehingga mendapat kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan
88
Di
dalam penelitian hukum, metode yang digunakan tergantung pada konsep apa yang akan digunankan. Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Motodologi suatu sistem dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan kerangka tertentu89. Berdasarkan pandangan Soetandyo Wigyosoebroto90, mengemungkakan ada 5 (lima) konsep hukum, yaitu : 1. Hukum sebagai asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal. 2. Hukum adalah norma-norma posistif didalam sistem perundang-undangan nasional. 3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim in concreto dan tersistematis sebagai Judge Made Law 4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembaga eksis sebagai variabel sosial yang empirik.
88
Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum. Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Tahun 2008 Hal.19. 89
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, 2006, Hal 42
90
Setiono, Op.Cit Hal 20-21
60
5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosila sebagai tanpak dalam interaksi mereka. Dalam penelitian yang menggunakan konsep hukum ke lima, yaitu hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar mereka (hukum yang ada pada benak manusia),91 hukum disini bukan dikonsepkan sebagai rules tetapi sebagai regularities yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Disini hukum adalah tingkah laku atau aksi-aksi dan interaksi manusia yang secara aktual dan potensial akan terpola. Karena setiap perilaku atau aksi itu merupakan suatu realita sosial yang terjadi dalam alam pengalaman indrawi dan empiris, maka setiap penelitian yang mendasarkan atau mengkonsepkan hukum sebagai tingkah laku atau perilaku dan aksi ini dapat disebut sebagai penelitian sosial (hukum), penelitian empiris atau penelitian non doktrinal. Tipe kajian ini adalah kajian keilmuan dengan maksud hanya hendak mempelajari saja bukan hendak mengajarkan suatu doktrin. Maka metodenya disebut sebagai metode non doktrinal.92 Dikonsepkan sebagai gejala empiris yang teramati di dalam pengalaman, hukum jelas tidak lagi dimaknakan norma-norma yang eksis secara eklusif di dalam suatu sistem legitimasi yang formal, dari segi substansinya, kini hukum terlihat sebagai suatu kekuatan sosial yang nyata di dalam masyarakat dan empiris wujudnya, yang bekerja dengan hasil yang mungkin saja efektif akan tetapi mungkin pula tidak untuk memola perilaku-perilaku aktual warga masyarakat. Karena dikonsepkan sebagai gejala yang berada, bergerak atau beroperasi di dunia empiris, hukum baik sebagai kekuatan substansi sosial maupun sebagai struktur institusi pembuat keputusan in cconcreto yang berkekuasaan. Dari perspektif ini kini hukum akan menampakan diri sebagai realitas sosial yang kasat mata, yang tentunya akan bisa dikategorikan berdasarkan keajegan-keajegan
(regulaties
nomos)
atau
keseragaman-keseragaman
(uniformilities) peristiwanya. Dengan demikian menurut konsepnya hukum 91
Ibid, Hal 21
92
Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm 33-34
61
akan dapat diamati, maka hukum yang dikonsepkan secara sosiologis akan dapat dijadikan objek penelitian yang dikerjakan secara positifis, non doktrinal, dan tidak akan lagi dijadikan sekedar objek penggarapanpenggarapan untuk menyusun sistem normatif yang koheren belaka (atas dasar prosedur logika deduktif semata-mata).93 Menurut Jane Donoghue dalam International Journal of Law :94 Hence, the existence of empirical socio-legal research on legal procedure and judicial discretion highlighted above elucidates several rudimentary (but nonexhaustive) areas ofinterest to this discussion of the social character of law. Socio-legal research demonstrates thatlaw is inextricably linked to socially constructed notions of justice, fairness and truth which are all underpinned by the exertion of (forms of) power in society. In this regard, law can and should be utilised as a means to better understand the social world, and in particular, the regulation of specific ‘social fields’. As Van Krieken (2006: p. 587) observes: ‘law might be best understood as a kind of meta-knowledge given its role in resolving/managing social and interpersonal conflict but.it will be increasingly important. to see law as part of a ‘‘knowledge production/governance complex’’ rather than simply as gloriously distinct and autonomous’. (Oleh karena itu, adanya penelitian sosial-hukum empiris pada prosedur hukum dan peradilan kebijaksanaan ditandai elucidates beberapa daerah (belum sempurna) dari bunga diskusi ini karakter sosial hukum. Penelitian sosial hukum menunjukkan bahwa hukum adalah terkait erat dengan gagasan keadilan sosial dibangun, keadilan dan kebenaran yang semua didukung oleh tenaga dari (bentuk) kekuasaan dalam masyarakat. Dalam hal ini, hukum bisa dan harus digunakan sebagai sarana untuk lebih memahami dunia sosial, dan khususnya, regulasi spesifik '' bidang sosial. Sebagai Van Krieken (2006: p. 587)95 diamati: 'hukum mungkin terbaik dipahami sebagai semacam metapengetahuan yang diberikan perannya dalam menyelesaikan / mengelola sosial dan but.it konflik interpersonal akan semakin penting, untuk melihat hukum sebagai bagian dari “pengetahuan produksi/tata kompleks'' bukan sekadar sebagai luhur berbeda dan otonom').
93
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam dan Huma cetakan pertama, 2002, hlm.193-194 94
Jane Donoghue, Reflection on the Sociology of Law : A Rejection of Law as “ Socially Marginal”International Journal of Law, Crime and Justice, Volume 37, Issues 1-2, March-June 2009, Pages 60 95
Van Krieken, R., 2006. Law’s autonomy in action: anthropology and history in court. Social & Legal Studies, dikutip dalam Jane Donoghue, Reflection on the Sociology of Law : A Rejection of Law as “ Socially Marginal”International Journal of Law, Crime and Justice, Volume 37, Issues 1-2, March-June 2009, Pages 60
62
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum sosiologis atau empiris (sosiolegal research). Dalam penelitian sosiologis atau empiris maka yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, untuk kemudian dilakukan penelitian pada data primer lapangan, atau terhadap masyarakat.96 Berdasarkan sifatnya penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dimaksudkan untuk memberikan data yang teliti seteliti mungkin tentang manusia dan gejala-gejalanya, 97 dengan metode penelitian kualitatif yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.98 Berdasarkan pengertian di atas,
penelitian ini menggunakan jenis
penelitian non doktrinal, dimana penulis menggunakan konsep hukum yang kelima, yaitu hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosila sebagai tanpak dalam interaksi mereka, tipe kajiannya sosiologi dan /atau sosial antropologi hukum mengkaji “law as it is in (human ) action” , tipe kajiannya sosial/non-doktrinal dengan pendekatan interaksional/mikro dengan analisis-analisis yang kualitatif ini metode penelitiannya kemudian penelitiannya menggunakan sosioantropologi, pengkajian humaniora dan orientasinya kepada simbolik interaksional. 99 Konsep hukum yang kelima bukan merupakan konsep normatif melainkan sesuatu yang normologi. Hukum disini bukan dikonsepkan sebagai rule tetapi sebagai reguralities yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari atau dalam alam pengalaman. Disini hukum adalah tingkah laku atau aksi-aksi dan interaksi manusia yang secara aktual atau potensial akan terpola. Karena setiap
96
Soerjono, Op.Cit Hal 52
97
Setiono, Op.cit Hal 5
98
Soerjono, Op.Cit Hal 250
99
Burhan Ashshofa., Metode Penelitian Hukum, Cetakan ketiga. Rineka Cipta. Jakarta, Tahun 2001, Hal .11.
63
perilaku atau aksi itu merupakan suatu realita sosial yang terjadi dalam alam pengalaman inderawi dan empiris, maka setiap penelitian yang mendasarkan atau mengkonsepkan hukum sebagai tingka laku atau perilaku dan aksi ini dapat disebut sebagai penelitian sosial (hukum), penelitian empiris atau penelitian yang non doktrinal. Tipe kajian ini adalah kajian keilmuan dengan maksud hanya mempelajari saja dan bukan hendak mengajarkan sesuatu doktrin, maka metodenya disebut metode non doktrinal100. Berdasarkan konsep hukum kelima dengan tipe kajiannya sosial/nondoktrinal dengan pendekatan interaksional/mikro, tipe kajian ini berupaya menemukan hukum sebagai fenomena simbolik sebagaimana terwujud dalam aksi-aksi atau interkasi antara manusia dalam masyarakat. Dilihat dari bentuknya tersebut diatas, penelitian ini termasuk bentuk penelitian diagnostik, yang mana penulis ingin mengetahui dan mencari apa sebab-sebab, ingin menggali pendapat-pendapat, ide-ide, pikiran-pikiran dari pelaku peristiwa secara langsung dan mendalam mengenai penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya di wilayah hukum kabupaten Donggala Sulawesi Tengah. B. Lokasi Penelitian Penelitian direncanakan akan dilakukan di : 1. Balai KSDA Sulawesi Tengah 2. Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah 3. Kejaksaan Negeri Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah 4. Kepolisian Resort Donggala Propinsi Sulawesi Tengah 5. Perpustakaan Pascasarjana UNS 6. Perpustakaan Fakultas Hukum UNS 7. Perpustakaan Universitas Sebelas Maret C. Jenis dan Sumber Data
100
Ibid, Hal 34.
64
Karena penelitian ini termasuk penelitian hukum sosiologis atau nondoktrinal, maka jenis data yang diperlukan adalah data primer dan data sekunder. 1. Data primer Merupakan keterangan atau fakta yang diperoleh secara langsung melalui penelitian lapangan atau dari lokasi penelitian. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan responden Polisi Resort Donggala, PPNS BKSDA Sulteng, Jaksa Pengadilan Negeri Donggala, Hakim Pengadilan Negeri Donggala, Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan. 2. Data sekunder Adalah jenis data yang mendukung dan menunjang kelengkapan data primer melalui bahan kepustakaan, buku-buku dan lain sebagainya. Data sekunder terdiri atas : a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang berhubungan erat dengan permasalahan yang akan diteliti. Bahan hukum primer terdiri dari : 1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. 2) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. 3) Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 4) Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. 5) Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder merupakan bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai hal-hal yang telah dikaji bahan-bahan hukum primer. bahan hukum sekunder terdiri dari buku-
65
buku tentang hukum, buku-buku yang berkaitan dengan konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya.
c. Bahan Hukum Tersier Sebagai bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang meberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier dalam penelitian ini adalah kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum Sumber data yang digunakan : a. Sumber Data Primer Merupakan data yang diperoleh berdasarkan keterangan dari Polisi Resort Donggala, PPNS BKSDA Sulteng, Jaksa Pengadilan Negeri Donggala, Hakim Pengadilan Negeri Donggala, Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan b. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen-dokumen yang berkaitan langsung dengan masalah yang diteliti. D. Teknik Pengumpulan data Data primer diperoleh dari metode utama pengumpulan data yaitu wawancara mendalam (indepth interview) melalui penelitian dilapangan. Penelitian dilapangan sangat penting untuk mengetahui bagaimana penegakan hukum pidana dan faktor-faktor apakah yang mempengaruhi proses penegakan hukum tindak pidana konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya di wilayah hukum kabupaten Donggala Sulawesi Tengah tahap aplikasi. Dalam hal penentuan teknik sampling, teknik yang dipakai adalah porposive sampling ( Non Probability Sampling), yakni suatu teknik sampling dimana sampel yang diambil sudah ditentukan sebelumnya. Dalam hal ini lokasi yang dijadikan sampel adalah Balai Konservasi Sumber Daya Alam
66
Sulawesi Tengah Kepolisian Resort Donggala, Kejaksaan Negeri Donggala, Pengadilan Negeri Donggala.
E. Teknik Analisis Data Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis model interaktif. Menurut HB.Soetopo teknik analisis kualitatif dengan metode interaktif terdiri dari tiga komponen yaitu :101 1. Reduksi Data Reduksi
data
merupakan
proses
penyelesaian,
pemfokusan,
penyederhanaan, dan abstraksi data yang diperoleh dari data yang kasar yang dmuat dicatatan tertulis. 2. Penyajian Data Penyajian data berupa rangkaian informasi yang tersusun dalam kesatuan bentuk narasi yang memungkinkan untuk dapat ditarik suatu kesimpulan dari penelitian yang dilakukan. Selain dalam bentuk narassi kalimat, sajian data dapat pula ditampilkan dengan berbagai jenis matrik, gambar, jaringan kerja, kaitan kegiatan dan juga tabel. 3. Penarikan kesimpulan dan Verifikasinya Penarikan kesimpulan adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh peneliti yang perlu untuk diverifikasi, berupa suatu pengulangan dari tahap pengumpulan data yang terdahulu dan dilakukan secara lebih teliti setelah data tersaji. Penarikan kesimpulan dan Verifikasi merupakan tahap akhir dari suatu penelitiabn yang dlakukan dengan didasarkan pada semua hal yang ada dalam reduksi maupun penyajian data. Teknik analisis kualitatif interaktif dapat diganbarkan dalam bentuk rangkaian yang utuh antara ketiga komponen diatas (reduksi data, penyajian data serta penarikan kesimpulan dan verifikasinya) yaitu sebagi berikut :
101
H.B. Soetopo, Metodologi Penelitian Kualitatif, UNS Pres, Surakarta, 2006, Hal. 120
67
Pengumpulan Data
Sajian Data
Reduksi Data
Penarikan Gambar 4: Analisis Data (Interactive Model of Analysis) Keterangan : Data yang etrkumpul direduksi berupa seleksi dan penyederhanaan data dan kemudian diambil kesimpulan. Tahapa-tahap ini tidak harus urut, yang memungkinkan adanya penilaian data kembali setelah adanya gambaran kesimpulan. Data-data yang diperoleh dari wawancara terhadap responden di Balai KSDA Sulawesi Tengah dan Instansi terkai lainnya mengenai faktorfaktor apakah yang mempengaruhi penegakan hukum Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 di Sulawesi Tengah.
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian
68
1. Keadaan dan Gambaran Lokasi Penelitian Kabupaten Donggala adalah salah satu kabupaten yang berada diwilayah Propinsi Sulawesi Tengah yang memiliki luas wilayah sebesar 10.471,71 kilometer persegi dan secara geografis terletak pada 0,30o LU sampai dengan 2,20o LS dan 119,45o sampai dengan 121,45o BT dengan batas wilayah administrasi Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Toli–Toli, Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan, Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Parigi Moutong, dan Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar, dengan jumlah penduduk 471492 jiwa.102 Kabupaten Donggala terdiri atas 21 Kecamatan yaitu Kecamatan Labuan, Tanantovea, Sindue, Sirenja, Balaesang, Damsol, Sojol, Biromaru, Tanabulawa , Gumbasa, Palolo, Dolo, Dolo Selatan, Marawola, Pinembani, Kulawi, Kulawi Selatan, Pipikoro, Banawa Utara, Banawa Selatan dan Rio Pakava dengan 287 Desa, 9 Kelurahan. Untuk kegiatan ekspor, nilai total ekspor non migas daerah ini sebesar 17.276.000,49 ribu US$, dengan konstribusi terbesar datang dari komoditi Biji Kakao (16.267.302,99 ribu US$), Bahan Bangunan dari Kayu (866.891,72 ribu US$), Ebony Sawn Timber (105.712,36 ribu US$). Di sektor pertambangan Kabupaten Donggala ini mempunyai potensi bahan tambang berupa emas, sirtu, kerikil alam, batu pecah, pasir alam, batu pondasi, dengan sirtu sendiri boleh dibilang terdapat hapir disemua kecamatan terutama di wilayah Pantai Barat103. Luas kawasan hutan Forest Area kabupaten Donggala 708.078 Ha yang terdiri dari Hutan Lindung Protection Forest seluas 232.995, Hutan Produksi Biasa Tetap Definitive Production Forest seluas 11.624 Ha, Hutan Produksi Terbatas Limited Production Forest seluas 294.427 Ha, Hutan yang Dapat dikonversi Conversion Forest seluas 33.296 Ha, Hutan
102
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Donggala Dalam Angka
Tahun 2008. 103
Loc.Cit
69
Suaka Alam dan Huta Wisata Natural Park and Reserve Forest 135.736 Ha dan Luas Kawasan Hutan. Kawasan konservasi yang terdapat di wilayah Kabupaten Donggala terdiri dari Cagar Alam Gunung Sojol dengan luas 50.000 Ha, Suaka Margasatwa Pulau Pasoso seluas 5.000 Ha, dan Taman Wisata Laut Tosale Towale seluas 5.000 Ha. dimana pengelolaan kawasan konservasi dilakukan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Balai Konservasi Sumber Daya Alam adalah unit pelaksana teknis di bidang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) dengan tugas pokok penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam dan taman buru, koordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya dan hutan lindung serta konservasi tumbuhan dan satwa liar di luar kawasan konservasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku104. Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tengah menyelenggarakan fungsi : a. Penyusunan rencana, program dan evaluasi pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa, Cagar Alam, Taman Wisata Alam dan Taman Buru, konservasi tumbuhan dan satwa liar di dalam dan di luar kawasan. b. Pengelolaan kawasan Suaka Margasatwa, Cagar Alam, Taman Wisata Alam dan Taman Buru, konservasi tumbuhan dan satwa liar di dalam dan di luar kawasan. c. Perlindungan, pengamanan dan karantina sumberdaya alam hayati di dalam dan di luar kawasan. d. Pengamanan, perlindungan dan penanggulangan kebakaran kawasan.
104
Laporan Tahunan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tengah Tahun
2009
70
e. Promosi dan informasi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem kawasan Suaka Margasatwa, Cagar Alam, Taman Wisata Alam dan Taman Buru,. f. Pelaksanaan bina wisata alam dan cinta alam serta penyuluhan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. g. Kerja sama pengembangan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. h. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga105. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.02/MenhutII/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Konservasi Sumber Daya Alam, struktur organisasi Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tengah memiliki 2 (dua) Seksi Konservasi Wilayah dan struktur organisasi Balai KSDA Sulawesi Tengah saat ini adalah sebagai berikut (lihat gambar 4) :
Gambar 5. Stuktur Organisasi dan Tata Kerja Balai Konservasi Sumber Daya Alam Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.02/Menhut-II/2007
Balai KSDA
105
Lok.Cit
71
Sub Bagian Tata Usaha
Seksi Konservasi Wilayah I
Seksi Konservasi Wilayah II
Kelompok Jabatan Fungsional
Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi serta kewenangan Balai Konservasi Sumber Daya Alam, maka kawasan konservasi yang dikelola oleh Balai KSDA Sulawesi Tengah tersebar di kabupaten-kabupaten yang berada di Propinsi Sulawesi Tengah. Kawasan konservasi yang saat ini dikelola Balai KSDA Sulawesi Tengah terdiri atas 7 kawasan Cagar Alam, 8 kawasan Suaka Margasatwa, 7 kawasan Hutan Wisata, dan1 kawasan Taman Buru, secara keseluruhan berjumlah 23 kawasan dengan jumlah total luas kawasan 639,802.82 Ha, 8 kawasan memiliki status penetapan dan sisanya 15 kawasan statusnya masih penunjukan. Sebaran kawasan konservasi di Kabupaten Donggal dapat dilihat pada tabel 5
Tabel 5 Data Kawasan Konservasi Di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah
No
Nama Kawasan
Luas
Status Pengukuhan
Kawasan (Ha)
Penunjukan
72
Penetapan
Jumlah Petugas
(orang) 1 1
2 Cagar
3 Alam 64,448.71
4
5
6
SK.
Gunung Sojol
Menhutbun No. 354/KptsII/1999
1
Tgl. 24 - 05 1999 2
Taman Wisata 250.00
SK.
Alam Wera
No.
Mentan.
843/Kpts/UM/1
2
1/1980 Tgl. 25 - 11 - 1980 3
Suaka
5,000.00
SK Menhutbun No. 757/Kpts-
(Merangk
Pulau Pasoso
II/1999 Tgl 23
ap petugas
September 1999 4
1
Margasatwa
Taman Wisata 5,000.00
SK Menhutbun
Laut Tosale
No. 757/KptsII/1999 Tgl 23 September
di TWL Tosale)
Dirangkap petugas SM Pulau Pasoso
1999
Wilayah Hukum Kopolisian Resot Donggala, Kejaksaan Negeri Donggala dan Pengadilan Negeri Donggala adalah mencakup keseluruhan wilayah pemerintahan Kabupaten Donggala yang luas wilayahnya 10.471.71 KM dengan jumlah penduduk kurang lebih 46 juta jiwa perkilometer. Kepolisian Resort Donggala terdiri dari 21 Sektor
73
Kepolisian yang tersebar di 21 Kecamatan sedangkan Kejaksaan Negeri Donggala terdapat 2 cabang Kejaksaan Negeri yaitu Cabang Kejaksaan Negeri Tompe dan Cabang Kejaksaan Negeri Sabang. 2. Hasil Penelitian Dokumen Dari hasil penelitian penulis terhadap penanganan perkara tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di wilayah hukum Kabupaten Donggala dalam kurun waktu 2006 sampai dengan 2009 tergambar dalam beberapa tabel berikut ini : a. Kepolisian Tabel 6 Data Penanganan Kasus Pidana Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Tahun 2006 samai dengan 2009 POLRES Donggala Sulawesi Tengah
No
1
Kasus Yang Ditangani Undang-Undang
Tahun
Yang Dilanggar Undang-Undang No. 5 /1990
2
Undang-Undang
No
41/1999 3
Undang-Undang No. 32/ 2009
Jumlah
2006
2007
2008
2009
-
-
-
-
-
7
25
17
42
91
-
-
-
-
-
Berdasarkan studi dokumen yang ditemukan penulis, penegakan hukum tidak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya kebijakan hukum pidana yang diterapkan adalah Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kasus yang pernah ditangani Polres Donggala dalam rentan waktu empat tahun terakhir dengan prosentase 0%. b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil
74
Tabel 7 Data Penanganan Kasus Pidana Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Tahun 2006 samai dengan 2009 Oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil BKSDA Sulteng di Kabupaten Donggala
No
1
Kasus Yang Ditangani
Undang-Undang
Tahun
Yang Dilanggar Undang-Undang No. 5 1990
2
Undang-Undang
No
41/1999 3
Undang-Undang No. 32 2009
Jumlah
2006
2007
2008
2009
1
-
-
-
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Berdasarkan studi dokumen yang ditemukan penulis, penegakan hukum tidak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya kebijakan hukum pidana yang diterapkan adalah Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kasus yang pernah ditangani Polres Donggala dalam rentan waktu empat tahun terakhir dengan prosentase 0%.
c. Kejaksaan Tabel 8 Data Penanganan Perkara Pidana Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Tahun 2006 samai dengan 2009 Di Kejaksaan Negeri Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah
75
Perkara
UU No. 5 Tahun 1990
UU No. 41 Tahun 1999
UU No. 32 Tahun 2009
Penyerahan
Surat
Tahun
SPDP
2006
4
1
2007
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
2008
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
2009
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
2006
9
2
7
9
2007
29
4
25
29
2008
21
1
20
22
2009
42
12
10
26
42
2006
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
2007
1
2008
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
2009
Nihil
Nihil
Nihil
Nihil
Tahap I Tahap II Dakwaan 3
1
Jumlah 4
1
Data diatas tergambar bahwa kebijkan penegakan hukum terhadap penegakan hukum tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dengan sarana hukum pidana terdapat penurunan yang sangat drastis dari tahun ke tahun.
d. Pengadilan Tabel 9 Data Penanganan Perkara Pidana Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Tahun 2006 samai dengan 2009 Di Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala
76
Jumlah Kasus No
1
Undang-Undang Yang Dilanggar
Upaya Hukum
Tahun 2006 2007 2008 2009
Banding Kasasi
UU No 5 Tahun 1990
Tentang
3
-
-
-
-
-
7
25
20
26
-
-
-
1
-
-
-
-
KSDAE 2
UU No. 41 Tahun 1999
Tentang
Kehutanan 3
UU No. 32 Tahun 2009
Tentang
Perlindungan Dan Lingkungan Hidup
3. Hasil Wawancara a. Kepolisian Wawancara dengan AIPDA Taufik Usman pada tanggal 3 Pebruari 2010 diperoleh penjelasan sebagai berikut : 1) Polisi disebut sebagai aparat penegak hukum dan peyebutan itu yang menonjol dan yang melekat pada pemikiran masyarakat dimana sebenarnya belum mengambarkan apa yang sesungguhnya dilakukan oleh polisi. Polisi tidak hanya menjalankan hukum melainkan melaksanakan ketertiban yang mana antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat jelas dan ini merupakan warna dari pekerjaan polisi. Dalam menjalankan hukum/penegakan hukum sangat berkaitan erat dengan kekuasaan. Oleh hukum polisi diberi sejumlah kewenangan seperti menangkap, menggeledah, menahan, menyuruh berhenti, melarang meninggalkan tempat dan sebagainya dimana polisi ada pada kedudukan yang memaksa sedangkan masyarakat wajib mematuhinya. Kalau kita gambarkan hubungan ini bersifat atas bawah. Sedangkan yang berkaitan dengan tugas sebagai mengayomi melindungi, membimbing dan melayani rakyat polisi berada pada keadaan yang sama atau horisontal atau juga yang biasa disebut kemitraan
77
2) Polisi dalam mejalankan hukum adalah pekerjaan yang terkait dengan prosedur hukum yang jelas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian halnya dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang konservasi sumber adaya alam hayati dan ekosistemnya. Wawancara dengan Brigadir Sutisno penyidik Polres Donggala pada tanggal 4 Pebruari 2010 diperoleh penjelasan sebagai berikut : 1) Dalam melakukan penyidikan terhadap kasus tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang mengunakan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 dalam rentan waktu 2006 sampai dengan 2009 di Polres Donggala belum pernah melakuakan, demikian halnya dengan berbagai undang-undang terkait lainnya. Yang pernah dan sering kami lakukan penyidikan terhadap kasus-kasus illegal logging yang dijerat dengan Undangundang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Ini dilakuakan karena tempat kejadiannya berada di luar kawasan hutan yaitu pada saat hasil hutan ilegal tersebut diangkut. Memang ada beberapa kasus tempat kejadiannya didalam kawasan hutan tetapi bukan dalam kawasan konservasi. 2) Di wilayah hukum Polres Donggala terdapat beberapa kawasan konservasi yaitu Taman Nasional Lore Lindu, Cagar Alam Gunung Sojol, TWL. Tosale Towale dan SM. Pulau Pasoso namun karen keterbatasan personil untuk melakukan penegakan hukum di daerah tersebut belum maksimal. 3) Animo masyarakat atau kepedulian masyarakat untuk melaporkan tindak pidana pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya atau tindak pidana yang berkaitan dengan isu-isu lingkungan hidup sangat rendah bahkan tidak ada sama sekali, hal ini dibuktikan dengan tidak adanya laporan masyarakat atau lembaga suadaya masyarakt yang berkaitan dengan konservasi. 4) Dalam penangan kasus ilegal loging kebanyakan diketahui atau ditemukan oleh polisi walau memang ada beberapa kasus informasi awal berasal dari masyarakat. 5) Dalam proses penyidikan penerapan UU No 41 Tahun 1999 sangat mudah diterapkan karena unsur-unsur pidana yang terumasus dalam Undang-undang tersebut tersebut pada prakteknya sangat mudah untuk ditemukan oleh polisi hal ini sangat berbeda dengan penerapan unsur-unsur pidana dalam Undang-undang nomor 5 Tahun 1990, apalagi ketika barang bukti dan pelaku ditemukan atau ditangkap di luar kawasan hutan. Selanjutnya Pasal 6 Ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
78
undang-undang. Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 36) bahwa syarat kepangkatan bagi pejabat polisi Negara Republik Indonesia sekurang-kurangnya Pembantu Letnan Dua Polisi, sedangkan bagi pejabat pegawai negeri sipil tertentu itu sekurangkurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b atau yang disamakan dengan itu). b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Konservasi Sumber Daya Alama Sulawesi Tengah. Hasil Wawancara dengan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Johni
Hutabarat pada tanggal 13 Januari 2010 diperoleh pejelasan sebagai berikut : 1) Jumlah petugas di CA. Gunung Sojol TWA Tosale Towale dengan luas kawasan sekitar 70.000 Ha hanaya diawasi dua orang petugas. Jadi di sini tugas saya disamping sebagai penyidik juga sebagai Polhut. 2) Dalam melaksanakan tugas sebagai polhut dalam kasus-kasus tertentu terpaksa melakukan penyimpangan dalam arti ketika menemukan pelanggaran terhadap tindak pidana di dalam kawasan konservasi dalam skala kecil dan berdampak tidak tidak besar dan melihat pelaku yang dalam melakukan perbuatan tersebut hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup hanya dilakukan pembinaan berupa membuat surat pernyataan untuk tidak melakukan perbuatannya lagi. Tetapi ketika pelakunya dan perbuatannya bisa berdampak besar harus diproses sesuai peraturan yang berlaku. 3) Adanya interfensi dari pelaku pada saat penyidikan, dimana pelaku yang bermodal besar melakukan interfensi dalam proses penyidikan melalui pejabat penegak hukum lainnya. 4) Faktor ekonomi dari petugas bisa mempengaruhi proses penegakan hukum dimana petugas karena keadaan ekonomi yang tidak memadai menerima pemberian dari pelaku sehingga proses tidak berlanjut. 5) Pada saat penyerahan berkas perkara tahap II oleh penyidik ke penunu umum biasanya penuntu umum memperhatikan latar belakang pelaku dimana jika pelakunya masyarakat ekonomi lemah dan dampak pemidanaan akan berpengaruh terhadap keluarga tersangka Jaksa akan menhentikan proses penuntutan.
79
Hasil Wawancara dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Fachrudin Desi, SH pada tanggal 14 Januari 2010 diperoleh pejelasan sebagai berikut : 1) Dalam proses penegakan hukum terutama dalam melakukan melakukan penyidikan, penyidik pegawai negeri sipil pada balai KSDA Sulteng belum memiliki keberanian untuk melakukan penyidikan, hal ini berkaitan dengan belum adanya pengalaman melakukan penyidikan. 2) Sumber daya manusia yang belum memadai baik latar belakang pendidikan penydik maupun pelatihan-pelatihan dan pembinaan dari korwas PPNS dalam rangka peningkatan keteramilan tenik penyidikan masih kurang. 3) Pekerjaan penyidikan hanya merupakan tugas tambahan disamping tugas pokok sebagai PNS atau pejabat fungsional, sehingga dalam pelaksanaanya bersifat insidesil yang tidak diimbangi dengan pemberian dana intensif kepada penyidik, dimana sebaiknya PPNS dijadikan sebagai tugas pokok disamping tugas-tugas lainnya. 4) Dana penyidikan yang tidak memadai. Hasil Wawancara dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Iskandar, SP pada tanggal 14 Januari 2010 diperoleh pejelasan sebagai berikut : 1) Dalam proses pemberkasan perkara ketika P.19 dikeluarkan jaksa, penyidik sulit memenuhi sesuai petunjuk yang diberikan jaksa, sebagai contoh sesuai petujuk yang diberikan jaksa pada surat P19 menyerahkan tersangka dimana hal ini tisak dapat dilaksanakan karena tersangkanya telah melarikan diri. 2) Anggaran penyidikan terlalu minim sehingga untuk menjangkau TKP yang berada dalam kawasan konservasi yang masuk wewenang BKSDA Sulteng sulit dijangkau mengingat sebaran kawasan yang berjauhan. 3) Sarana parasarana yang belum mendukung Hasil
Wawancara
dengan
Penyidik
Pegawai
Negeri
Sipil
Marwansyah, SH pada tanggal 20 Januari 2010 diperoleh pejelasan sebagai berikut : 1) Proses penyidikan tidak dapat dilakukan karena laporan kejadian dari petugas Polhut tidak pernah ada dimana tahapannya untuk dapat dilakukan peyidikan harus didahului adanya laporan kejadian. Penegakan hukum yang diterapkan oleh Polisi Kehutanan dengan pendekatan kekeluargaan dimana anggota masyarakat yang tertangkap tangan dilepaskan dengan catatan tidak mengulang
80
perbuatannya dengan syarat-syarat tertentu yang dubuat dalam surat pernyataan. 2) Tugas penyidikan bersifat temporer sehingga penyidik tidak terlatih dalam melakukan peyidikan. 3) Dana penyidikan yang tidak memadai. c. Kejaksaan Wawancara dengan Kepala Seksi Pidana Umum Agustinus Heri Mulyanto, SH pada tanggal 5 Pebruari 2010 diperoleh penjelasan sebagai berikut : 1) Dalam sistem peradilan pidana kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan sangat ditentukan oleh subsistem yang lain dalam hal ini polisi maupun penyidik pegawai negeri silpil, karen disini peran polisi sebagai penyidik/PPNS merupakan pintu masuknya seseorang kedalam sistem peradilan pidana, karena tanpa melaui proses yang dilakuakn polisi/PPNS seseorang tidak dapat dilakukan penuntutan (diluar tindak pidana korupsi). Dalam menangani tindak pidana jaksa penuntut umum berpedoman pada KUHAP, yaitu sebelum melakukan penuntutan perkara penuntut umum mempelajari berkas perkara dari penyidik yang menyangkut kelengkapan formil dan materil. Setelah mendapat gamabaran yang jelas tentang tindak pidana yang dilakukan terdakwa penuntut umum membuat surat dakwaan dan melimpahkan perkara ke pengadilan untuk disidangkan. 2) Ketika kita membicarakan tindak pidana yang harus diperhatikan yaitu perbuatan dan sanksi, perbuatan apa yang dilarang dan apa sanksinya. Membicarakan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 yaitu berbicara masalah kawasan hutan yang merupakan suatu kesatuan ekosistem. Didalam merumuskan perbuatan pidana harus dibuktikan unsurunsur delik dari perbuatan tersebut dan apa sanksinya. Apabila unsur-unsur pidana telah terpenuhi maka terhadap tersangka dapat dilakukan penuntutan. 3) Berdasarkan data yang ada di kejaksaan Negeri Donggala kebijakan hukum pidana yang diterapkan terhadap tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya menerapkan pidana diatur Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990. Pada kebanyakan kasus yang terkait dengan hutan dan hasil hutan penerapanya menggunakan Undang-undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 4) Kebijakan pengunaan Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya sulit untuk diterapkan ada beberapa dalam undang-undang tersebut sulit
81
dibuktikan telah terjadi perbuatan pidana apalagi tempat kejadian perkara berada di luar kawasan konservasi sementara barang bukti berasal dari kawasan. Kebijakan penggunaan Undang-undang 41 Tahun 1999 diambil mengingat pembuktiannya mudah dan jaksa dalam manangani perkara selalu memperhaikan prinsip biaya murah dan cepat dimana yang diharapkan tujuan dari penggunaan sarana pidana tercapai. 5) Kendala yang dihadapi dalam pemeriksaan berkas oleh jaksa yaitu penyidik belum memahami betul tentang peraturan perundangundangan yang mejadi dasar hukumnya. Disini terjadi bolak-balik berkas perkara antara penyidik dan penuntut umum sehingga prinsip cepat dalam penganan perkara tidak tercapai. Untuk mengantisipasi hal tersebut diupaya penyidik adalah sarjana hukum sehingga dapat mempermudah dalam proses penyidikan. 6) Belum semua Jaksa memahai tentang konservasi sumber daya alam untuk itu perlu adanya pendidikan dan lepatihan khusus bagi jaksa tentang konservasi sumber daya alam termasuk penggunaan teknologinya. d. Kehakiman Wawancara dengan Pranoto, SH Hakim Ketua Pengadilan Negeri Donggala pada tanggal 2 Pebruari 2010 diperoleh penjelasan sevagai berikut : 1) Dalam penerapan hukum terhadap tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya itu tergantung dari penilaian dan keyakian hakim apakah akan menerapkan sanksi atau membebaskan terdakawa dari dakwaan jaksa penuntut umum, kebebasan hakim memiliki kebebasan dalam memutus perkara tetapi kebebasan hakim tidak membuta-tuli. 2) Dalam memutus perkara tidak harus sama, harus dilihat secara menyeluruh yaitu aspek yuridis, aspek sosiologisdan aspek filsofis Disparitas bisa saja terjadi walaupun dalam kasus yang sama. Misalnya dalam kasus illegal logging yang pelakunya para cukong dan pemodal besar harus dibedakan dengan pelaku yang masyarakat biasa yang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Harus dibedakan pula illegal logging yang skala besar dan skala kecil. Jadi hakim bukan hanya sekedar corong undang-undang yang melaksanakan hukum sebagai mana tertulis. Hakim dalam memutus perkara harus bebas dalam arti disamping harus memperhatikan aspek prosedural tetapi juga memperhatikan aspek substansial yang berkenaan dangan rasa keadilan dan kemungkinan menimbulkan rasa tidak puas dan yang paling utama adalah menemukan titik keseimbangan antara hak-hak terdakwa dengan kepentingan korban agar tercipta ketertiban dalam masyarakat yang bisa dipertanggung jawabkan.
82
Wawancara dengan Hakim Wisnu Widodo, SH pada tanggal 22 Pebruari 2010 diperoleh penjelasan sebagai berikut : 1) Hakim dalam menangani perkara mempunyai karakteristik tersendiri tergantung perkara apa yang ditangani dan kepentingan masyarakat mana yang akan dilindungi. Hakim tidak boleh terpaku pada rumusan ancaman pidana seperti rumusan dalam undangundang tersebut sepanjang dilandasi dengan argumen-argumen hukum. 2) Penegakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan adalah untuk mendapatkan keadilan yang walaupun keadilan dapat ditafsirkan berbeda-beda oleh pihak-pikah yang berperkara tergantung dari mana mereka melihat. Tetapi pada prinsipnya ada tiga nilai yang harus termuat dalam pengambilan keputusan yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, ketiga nilai ini oleh pelaksana hukum harus diupayakan secara maksimal mungkin secara bersama-sama oleh karena itu latar belakang, pendidikan, organisasi, pengalaman, keadaan lingkungan, kursus-kursus, sangat mempengerauhi hakim dalam menjatuhkan putusan yang akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Adapun fakto-faktor yang dihadapi hakim dalam menjatuhkan pususan perkara kehutanan adalah semua produk hukum yang berkaitan dengan kehutanan itu sendiri, sosiologi, psikologi, faktor kepentingan korban dan faktor sosial lainnya supaya putusan itu menjadi adil. 3) Jika saya mengkaji beberapa putusan di bidang kehutanan yang dalam putusan pidananya mengacu pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 sangat sedikit, ini terjadi karena kehakiman sesuai tugas dan fungsinya hanya menerima, memerika dan memutus perkara, dalam hal perkara pidan itu semua tergantung dari penegak hukum yang lain dalam hal ini kejaksaan. Hakim dalam menerima, mengadila dan memutus perkara pidana berdasarkan surat dakwaan yang dibuat oleh Penuntut umum. 4) Dalam mengambil keputusan harus mempertimbangan filosofi dari suatu peraturan yang terkandung di dalamnya, semua produk putusan ada aspek-aspek lain yang dipertimbangkan, produk putusan tidak selalu sama makanya terbuka upaya hukum bagi pihak-pihak yang belum menerima suatu keputusan dan ini merupakan penghargaan terhadap suatu putusan. 5) Salah satu kekurangan hakim di Pengadilan negeri Donggala yaitu belum ada hakim yang memiliki keahlian di bidang lingkungan. Untuk memiliki keahlian dalam bidang lingkungan seharusnya para hakim diberikan pelatihan khusus atau pendidikan di bidang lingkungan termasuk bidang konservasi. Makanya setiap melakukan persidangan di bidang lingkungan hakim untuk memperoleh kejelasan tentang peristiwa pidana di bidang lingkungan hanya mengandalkan pada keterangan ahli.
83
B. Pembahasan 1. Kebijakan Aplikatif Hukum Pidana Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya. Merebaknya perusakan yang diakibatkan oleh ekploitasi yang berlebihan dan tidak terencana serta melanggar ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya sangat berkaitan erat dengan adanya kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan otonomi daerah. Dimana kebijakan tersebut dimanfaatkan oleh para investor baik dibidang pertambangan, industri, kehutanan dan lain-lain untuk mengeruk keuntungan tanpa memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup, baik air, tanah, udara maupun hutan. Menurunya kualitas lingkungan hidup dalam lima tahun terakhir semakin memprihatinkan, sebetulnya sebelum revormasi bergulir sistem pengelolaan lingkungan itu sudah mulai efektif, namun perubahan tatanan ekonomi, sosial dan politik yang disertai dengan perubahan sistem pemerintahan
dari
sentralistik
menjadi
otonomi
melemahkan
kepemerintahan termasuk upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup106 Prinsip kemanfaatan secara ekonomi dalam jangka pendek menjadi alasan
pembenar
untuk
tidak
melakukan
tindakan
pencegahan,
pengawasan dan penegakan hukum. Cara pandang ekonomi dalam memandang dan memahami sistem investasi ternyata sangat berpengaruh terhadap upaya pelestarian lingkungan hidup dan proses penegakannya. Faktor ini ternyata juga merupakan salah satu pemicu maraknya perusakan dan penjarahan kawasan konservasi, selain kewenangan yang terbatas dari institusi kehutanan untuk menegakan hukum lingkungan dimana keterbatasan kewenangan itu tidak diikuti dengan koordinasi dan
106
I Gusti Ayu Ketut Rachmi, Penegakan Hukum Lingkungan. Jurnal Ekosains Volume 1 Nomo 2 Program Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan. Juni 2009. Hal 1
84
kerjasama yang baik antar instansi penegak hukum sesuai dengan mandat undang-undang107. Contoh kasus pembangunan transmigrasi Ogobayas Kabupaten Parigi Moutong yang berada dalam kawasan Cagar Alam Gunung Tinombala pihak pengelola Balai KSDA Sulawesi Tengah hanya sanggup melakukan upaya penegakan hukum melalu jalur pengadilan dengan berakhir bebasnya pihak-pihak yang seharusnya bertangung jawab. Indikasi kekuatan modal untuk memfasilitasi pembuat kebijakan guna melegitimasi perubahan kebijakan merupakan faktor yang memberi sumbangan terbesar dalam penyalahgunaan pengelolaan kawasan konservasi. Menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan-keinginan hukum disini adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturanperaturan hukum itu. Keberhasilan dari proses penegakan hukum itu sangat tergantung oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri.108 Penegakan hukum dilihat dari kacamata normatif memang merupakan permasalahan yang sangat sederhana, tetapi bila dilihat dari kacamata sosiologis maka penegakan hukum merupakan proses yang panjang dan merupakan suatu perjuangan, sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa penegakan hukum dan keadilan merupakan serangkaian proses yang cukup panjang dan dapat melibatkan berbagai kewenangan instansi aparat penegak hukum lainnya (di bidang penegakan hukum pidana melibatkan aparat penyidik/kepolisian, aparat penuntut umum kejaksaan, aparat pengadilan, dan aparat pelaksana pidana).109
107
Hartiwiningsih. Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana Cetakan 1, UNS Press, Surakarta, 2008, Hal 57 108
Satjipto Rahardjo, Sosoilogi Hukum Perkembangan Metode Dan Pilihan Masalah, Surakarta, Muhamadiyah University Press Tahun 2002 Hal 173 109
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan HukumDan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung Penerbit PT.Citra Aditya Bakti. Tahun 2001 Hal.2
85
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, penegakan hukum terhadap tindak pidana konservasi sumber daya alam yaitu suatu tindakan/upaya yang dilakukan aparat penegak hukum dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan penjatuhan sanksi pidana oleh hakim sebagiman yang diatur dalam Bab. XII Pasal 40 UU No. 5 Tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya. Konsep penegakan hukum yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnnya adalah konsep penegakan hukum pidana yang berupa : a. Tindak pidana materiil b. Tindak pidana formil c. Tindak pidana konservasi sumber daya alam adalah kejahatan dan pelanggaran110 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis pada lembaga-lembaga penegak hukum Kepolisian/PPNS, Kejaksaan dan Pengadilan di wilayah hukum Kabupaten Donggala diperoleh hasil bahwa prosentase penangan tindak pidana selang waktu empat tahun terakhir yaitu 2006 sampai dengan 2009 sangat kurang bahkan pada tahun 2007 sampai dengan 2009 tidak ada perkara. Penegakan hukum dengan sarana hukum pidana (penal) terhadap tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sangat jarang digunakan oleh aparat penegak hukum polisi/PPNS, Jaksa dan Hakim di wilayah hukum Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah, hal ini disebabkan karena keterpaduan dan koordinasi penegakan hukum yang masih lemah, dimana keyakinan bahwa konservasi sumber daya alam adalah satu sektor terbatas bukan proses yang perlu diperhatikan oleh semua sektor terkait. Menurut Soerjono Soekanto secara konseptual, maka inti dan arti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai110
Undang-Undang No 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
86
nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejahwanta dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memlihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup111. Lebih lanjut menurut beliau bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Agar suatu kaedah atau peraturan tertulis senantiasa dapat dikembalikan pada paling sedikit emapt faktor yaitu112 : 1. Faktor hukumya sendiri 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor Masyarakat, yaitu linkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Untuk mengkaji lebih dalam bagaimana penegakan hukum terhadap tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tahap aplikasi di wilayah hukum Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah maka pembahasan ini akan merujuk pada teori Soerjono Soekanto tersebut. a. Kaedah hukum atau peraturan itu sendiri Peraturan /norma merupakan dasar bagi proses penerapan hukum, berhasil tidaknya suatu proses penegakan hukum sangat tergantung pada apakah peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu secara hirarkis maupun horizontal tidak ada pertentangan, apakah secara kuantitatif dan secara kualitatif sudah cukup, apakah peraturan yang ada menimbulkan penafsiran ganda, sistematis dan penerbitannya sudah sesuai dengan persyaratan yuridis yang ada113. Bila dikaitkan dengan penggunaan hukum pidana yang sangat jarang
111
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Edisi I, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, Tahun 2008, Hal 5 112
Ibid, Hal 8
113
Op.cit Hartiwiningsih, Hal 63
87
digunakan dalam penegakan hukum pidana KSDAE saat ini sangat berkaitan dengan kualitas dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Latar belakang diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang
Konservasi
Sumber
Daya
Alam
Hayati
dan
Ekosistemnya adalah keinginan untuk mewujudkan tiga sasaran konservasi
yaitu
perlindungan
sistem
penyangga
kehidupan,
pengawetan sumber plasma nutfah dan pemanfaatan secara lestari. Ketiga sasaran konservasi tersebut diwujudkan dalam strategi pengaturan hukum konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dengan peraturan pelaksananya. Terlepas dari pembentukan Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya alam Hayati dan Ekosistemnya yang merupakan produk Orde Baru, dimana corak kebijakan pembangunan lingkungan yang sentralistik, sektoral, tidak memberikan ruang secara proposional bagi transparansi dan partisipasi masyarakat, serta manggaibaikan hak-hak masyarakat dengan didampingi kebijakan hukum yang represif undang-undang ini memmiliki beberapa kelemahan yang substansial. Kelemahan yang substansial sebagai berikut 114: 1) Peran
Pemerintah
masih
mendominasi
penguasaan
dan
pengelolaan sumber daya alam (state-base-recourcemanagament). 2) Keterpaduan dan koordinasi antar sektor dalam pengelolaan sumber daya alam (integrated recource managament) yang masih lemah. 3) Hak-hak masyarakat atas penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (indigeneous property rigths)
yang belum dikusai
secara utuh.
114
Saifullah, Hukum Lingkungan Paradigma Kebijakan Kriminal di Bidang Konservasi Keanekarahaman Hayati, Cetakan Pertama ,UIN Malang Press, Malang, Tahun 2007, Hal 219
88
4) Partisipasi masyarakat (publik participation) dalam pengelolaan sumber daya alam yang masih terbatas. 5) Transparansi dan demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan (transparancy and democratization in the process of decesion making) yang belum diatur secara utuh. 6) Akuntabilitas pemerintah kepada publik dalam pengelolaan sumber daya alam (public accountability) yang belum diatur secara tegas. Kesalahan atau kelemahan tahap formulasi atau kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat bagi tahap-tahap berikutnya dalam kebijakan hukum pidana (penal policy), yaitu tahap apilkasi dan eksekusi 115 Selanjutnya secara kualitas masih terdapat ketidak sempurnaan dalam hal perumusan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, sanksi pidana Berdasarkan hasil penelitian penulis memperoleh beberapa kelemahan lain dalam tahap pembentukan (formulasi) yang dapat penghambat dalam proses
penegakan hukum penegakan
hukum. Berdasarkan hasil wawancara dengan Jaksa Agustinus H. M terdapat bebrapa perumusan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang
Konservasi
Sumber
Daya
Alam
Hayati
dan
Ekosistemnya yang pembuktiannya sangat sulit. Dalam Pasal 40, yang merujuk pada ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1). Yang secara lengkap berbunyi : Pasal 19 ayat (1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam. Pasal 33 ayat (1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional116.
115
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001 Hal.75 116 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya
89
Mengenai perumusan delik materil dalam Pasal 33 ayat (1) yang mana pasal ini merumuskan larangan melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam. Yang menjadi intinya adalah bukan uraian perbuatan tetapi perbuatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam. Untuk membuktikan adanya perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam sangat sulit. Untuk membuktikan bahwa perubahan
sudah terjadi merupakan tugas yang sangat sulit bagi
penegak hukum. Unsur-unsur yang harus dipenuhi /dibuktikan oleh jaksa penuntut umum antara lain adanya perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, bersifat melawan hukum, adanya perubahan keutuhan kawasan serta adanya hubungan sebab akibat. Hal ini sangat sulit untuk
dibuktikan,
meskipun
memang
bisa
tapi
prosentase
keberhasilannya sangat kecil. Penggolongan tindak pidana
ini adalah berdasarkan cara
perumusan ketentuan hukum pidana oleh pembentuk undang-undang. Apabila perumusan tindak pidana dirumuskan tanpa menyebutkan secara rinci kegiatan atau tindak pidananya, tetapi hanya menyebutkan perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu, maka tindak pidana ini disebut sebagai tindak pidana material. Sedangkan apabila tindak pidana itu dirumuskan dengan menggambarkan wujud perbuatannya tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu, maka tindak pidana semacam itu disebut sebagai tindak pidana formil. Terhadap perumusan tindak pidana formil pada Pasal 33 ayat (3) telah jelas yaitu Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Namun kenyataan dalam proses penegakan hukum itu sulit diterapkan oleh lembagalembaga penegak hukum. Hal ini dapat kita lihat dari data pada tabel 1 tabel kawasan dan pembagian zonasi. Berdasarkan data tersebut
90
hampir semua kawasan pelestarian alam belum memiliki pembagian zonasi sehingga untuk memenuhi unsur-unsur delik dalam pasal tersebut tidak bisa terpenuhi.Demikian juga Pasal 40, yang merujuk pada ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1), terdapat ketidak jelasan dalam perumusan subyek tindak pidana, dan konsep yang menentukan siapa yang harus bertanggungjawab apabila terjadi tindak pidana yang pelakunya adalah korporasi. Secara vertikal terdapat pertentangan substansi dalam UndangUndang No 5 Tahun 1990 dengan peraturan pemerintah yang berada dibawahnya. Pertentangan substansi dapat dilihat dari adanya peraturan pemerintah yang mencantumkan sanksi pidana dan sanksi admistratif yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar dimana dalam bab X mengatur tentang sanksi (perumusan sanksi pidana lihat tabel 11). Dalam
Undang-undang
Nomor
10
Tahun
2004
tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) , yang dirumuskan sebagai berikut: Pasal 7 (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 secara hierarki berda di bawa Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 dan merupakan aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 Pasal 36 yang berbunyi : Pasal 36 (1) Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilaksanakan dalam bentuk:
91
a. pengkajian, penelitian dan pengembangan; b. penangkaran; c. perburuan; d. perdagangan; e. peragaan; f. pertukaran; g. budidaya tanaman obat-obatan; h. pemeliharaan untuk kesenangan. (2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Jika kita mengkaji rumusan ketentuan pidana dalam UndangUndang Nomor 5 tahun 1990 tidak merumuskan sanksi pidana dan sanksi
admistratif,
berupa
pencabutan
dan
pembekuan
ijin
sebagaimana yang dirumuskan dalam peraturan pemerintah tersebut maka seharusnya di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999 tidak boleh mencantumkan sanksi pidana dan sanksi pemaksa. Hal ini sangat bertentangan dan bisa mengakibatkan adanya ketidak pastian hukum dalam penegakan hukum. Dalam hubungannya dengan ketentuan mengenai sanksi pidana dan sanksi administratif dalam Peraturan Pemerintah pada dasarnya suatu Peraturan Pemerintah hanya boleh mencantumkan sanksi pidana ataupun sanksi administrasi apabila ditentukan dalam Undang-Undang yang
dilaksanakannya.
Apabila
Undang-Undangnya
tidak
mencantumkan sanksi pidana atau sanksi administrasi dalam ketentuan pasal-pasalnya, maka ketentuan-ketentuan Pertaturan Pemerintahnya tidak boleh mencantumkan sanksi pidana maupun sanksi pemaksa. Peraturan Pemerintah tidak boleh mencantumkan sanksi pidana atau denda apabila Undang-Undang yang khusus dijalankan olehnya tidak mencantumkan sanksi pidana atau denda. Juga tidak apabila didasarkan pada suatu Undang-undang yang bersifat umum yang memberi
kewenangan
kepada
suatu
atau
berbagai
Peraturan
Pemerintah untuk mencantumkan sansi atau denda, yakni kewenangan
92
yang bersifat blanko117. A. Hamid S. Attamimi, menentukan beberapa karakteristik Peraturan Pemerintah adalah sebagai berikut : a. Peraturan Pemerintah tidak dapat dibentuk terlebih dahulu sebelum Undang-Undang yang menjadi induknya. b. Peraturan Pemerintah tidak dapat mencantukan sanksi pidana apabila Undang-Undang yang menjadi induknya tidak menentukan demikian c. Ketentuan Peraturan Pemerintah tidak boleh menambah atau engurangi ketentuan Undang-Undang yang bersangkutan d. Untuk “menjalankan”, menjabarkan atau merinci ketentuan Undang-Undang Peraturan Pemerintah dapat dibentuk meski ketentuan Undang-Undang tersebut tidak memintanya secara tegastegas. a. Ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah berisis peraturan atau gabungan peraturan dan penetapan: Peraturan Pemerintah tidak berisi penetapan semata-mata118.hal ini sangat bertentangan bertentangan ini bisa mengakibatkan adanya ketidak pastian hukum dalam penegakan hukum. Dalam BAB XII tentang Ketentuan Pidana Pasal 40 tidak mencantumkan sanksi pidana dan sanski administrasi terhadap pelanggaran
Pasal 36, rumusan ketentuan pidana dalam Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1990 adalah sebagai berikut : BAB XII KETENTUAN PIDANA Pasal 40 (1) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat 117
Loc.cit.
118
A. Hamid S. Attamimi, Pembentukan Undang-Undang Indonesia. Beberapa Catatan Yang Memerlukan Perhatian, Makalah, 1998, terdapat dalam Maria Farida Indrati S. Ilmu Perundang-Undangan I (Jenis, Fungsi dan Marteri Muatannya), Kanisius (Anggota IKPAPI), Yogyakarta, 2007, Hal 195-196.
93
(4)
(5)
(1) dan Pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) adalah pelanggaran.
Tabel 10.
Perumusan
Sanksi
Pidana
Pemerintah
Nomor
8
Dalam
Tahun
Peraturan
1999
Tentang
Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar
Ketentuan Dalam PP No. 8 Tahun 1999
No
Substansi Yang Diatur
1
Menggunakan tumbuhan
Pasal
dan atau satwa liar yang
ayat (1)
Sanksi
50 Denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp.
dilindungi untuk
50.000.000,00 (lima puluh
kepentingan kepentingan
juta rupiah) dan atau
pengkajian, penelitian
dihukum tidak
dan pengembangan tanpa
diperbolehkan melakukan
ijin
kegiatan pengkajian, penelitian dan pengembangan terhadaptumbuhan liar dan satwa liar untuk waktu paling lama 5 tahun
2
Mengambil tumbuhan
Pasal 50
Denda administrasi
liar dan satwa liar dari
ayat (3)
sebanyakbanyaknya Rp.
habitat alam tanpa izin
40.000.000,00 (empat
atau dengan tidak
puluh juta rupiah) dan atau
94
memenuhi ketentuan
dihukum tidak diperbolehkan melakukan kegiatan pemanfaatan tumbuhan dan satwa li
3
Hasil pengkajian,
Pasal
penelitian dan
ayat (1)
51 Denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp.
pengembangan jenis
20.000.000,00 (dua puluh
tumbuhan dan satwa liar
juta rupiah) dan atau
yang dilindungi wajib
dihukum tidak
diberitahukan kepada
diperbolehkan melakukan
pemerintah
kegiatan pengkajian, penelitian dan pengembangan terhadap tumbuhan dan satwa liar untuk waktu paling lama 4 tahun
4
Melakukan penangkaran
Pasal
tumbuhan liar dan atau
ayat (1)
52 Denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp.
satwa liar yang
25.000.000,00 (dua puluh
dilindungi tanpa izin
lima juta rupiah) dan atau pencabutan izin penangkaran
5
Penangkar yang
Pasal
melakukan perdagangan
ayat (1)
53 Denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp.
tumbuhan dan atau satwa
100.000.000,00 (seratus
liar tanpa memenuhi
juta rupiah) dan atau
standar kualifikasi
pencabutan izin usaha penangkaran
6
Melakukan perdagangan
Pasal
tumbuhan atau satwa
ayat (1)
95
54 Denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp.
dilindungi hasil
100.000.000,00 (seratus
pengankaran sesuai
juta rupiah) dan atau
ketentuan
pencabutan izin usaha yang bersangkutan
7
Penangkar yang tidak
Pasal
memenuhi kewajiban
ayat (1)
penandaan dan sertifikasi
55 Denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan atau pencabutan izin usaha penangkaran.
8
Melakukan perdagangan
Pasal
satwa liar yang
ayat (1)
dilindungi
56 Denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan atau pencabutan izin usaha yang bersangkutan
9
Melakukan perdagangan
Pasal
tumbuhan liar dan atau
ayat (1)
57 Denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp.
satwa liar selain Badan
100.000.000,00 (seratus
Usaha dan masyarakat
juta rupiah) dan atau pencabutan izin usaha penangkaran
10
Badan Usaha
Pasal
perdagangan yang tidak
ayat (1)
58 Denda administrasi sebanyakbanyaknya
memenuhi kewajiban
Rp. 10.000.000,00
pasal 20 ayat (1) huruf a
(sepuluh juta rupiah) dan
dan c
atau pembekuan kegiatan usaha paling lama 2 (dua) tahun
11
Badan Usaha
Pasal
96
58 Pembekuan kegiatan usaha paling
perdagangan yang tidak
ayat (1)
Lama 1 (satu) tahun
memenuhi kewajiban pasal 20 ayat (1) huruf b 12
Ekspor, re-ekspor, atau impor tumbuhan liar dan atau satwa liar tanpa izin
13
Melakukan peragaan satwa liar tanpa izin
14
Melakukan pertukaran tumbuhan dan satwa yang menyimpang dari ketentuan
15
Pemeliharaan tumbuhan
Pasal
59 Denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp. ayat (1) 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan atau pencabutan izin usaha perdagangan yang bersangkutan Pasal 60 Dihukum karena melakukan percobaan ayat (1) perbuatan perusakan lingkungan hidup. Pasal 61 Denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp. ayat (1) 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan atau pencabutan izin usaha yang bersangkutan Pasal 62
liar dan atau satwa liar untuk kesenangan yang tidak memenuhi
Denda administrasi sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan atau perampasan atas satwa yang dipelihara
kewajiban dalam Pasal 40 dan Pasal 41 ayat (2) 16
Melakukan pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan atau satwa liar tanpa dokumen pengiriman atau pengangkutan, atau menyimpang dari syaratsyarat atau tidak
97
Pasal
63 Denda administrasi sebanyak-banyaknya rp. ayat (1) 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan atau pencabutan izin usaha yang bersangkutan
memenuhi kewajiban, atau memalsukan dokumen 17
Pelanggaran
Pasal
sebagaimana dimaksud
64 Tumbuhan dan satwa liar tersebut dirampas untuk ayat (1) negara
dalam Pasal 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, dan 63, sepanjang menyangkut tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi 18
Pelanggaran
Pasal
sebagaimana dimaksud
64 Tumbuhan dan satwa liar tersebut dirampas untuk ayat (1) negara
dalam Pasal 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, dan 63, sepanjang menyangkut tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi
Selain itu secara kuantitas sejak dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
masih
ada
peraturan
pelaksanaan
yang
diperintahkan dalam undang-undang ini belum dibuat. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan Peraturan Pemerintah adalah Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh presiden untuk melaksanakan Undang-Undang, untuk menjalankan UndangUndang. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menentukan sebagai berikut : Pasal 5 ayat (2)
98
“Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagiman mestinya”119. Peraturan
Pemerintah
ini
berisi
peraturan-peraturan
untuk
menjalankan Undang-Undang, atau dengan perkataan lain Peraturan Pemerintah merupakan peraturan-peraturan yang memuat ketentuanketentuan dalam suatu Undang-Undang bisa berjalan/diperlukan. Suatu Peraturan Pemerintah baru dapat dibentuk apabila sudah ada Undang-Undangnya, tetapi walaupun demikian suatu Peraturan Pemerintah dapat dibentuk meskipun dalam Undang-Undangnya tidak ditentukan secara tegas supaya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.120 Pembentukan ini hanyalah bersifat teknis yakni sebuah peraturan yang membuat Undang-Undang berjalan sebagaimana mestinya. Peraturan Pemerintah di bidang konservasi sumber daya alam mempunyai fungsi yang sangat penting utamanya bagi penegak hukum. Tidak adanya peraturan pemerintah tersebut akan mengganggu keserasian antara ketertiban dan ketenteraman di bidang konservasi suber daya alam hayati dan ekosistemnya. Khusus bagi pengelola kawasan konservasi peraturan pemerintah merupakan petunjuk operasional di lapangan. Semakin jelas peraturan pelaksana maka semakin mudah aparat untuk melaksanakan peraturan perundangundangan terkait. Dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun
1990 peraturan
pemerintah yang disyaratkan adalah sebagai berikut : Tabel 11. Daftar Peraturan Pelaksana Dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 No
119
Substansi Yang Diatur
Ketentuan Peraturan Dalam UU Pemerintah No. 5 Tahun
Undang-Undang Dasar 1945
120
Maria Farida Indrati S. Ilmu Perundang-Undangan I (Jenis, Fungsi dan Marteri Muatannya), Kanisius (Anggota IKPAPI), Yogyakarta, Tahun 2007, Hal 194.
99
1990 1
2
Belum ada
Perlindungan sistem penyangga
Pasal 8 ayat
kehidupan
(2)
Penetapan dan pemanfaatan suatu
Pasal 16 ayat
PP. No 68
wilayah sebagai kawasan suaka
(2)
Tahun 1998
Kegiatan yang dapat dilakukan di
Pasal 17 ayat
PP. No 68
dalam cagar alam dan suaka
(3)
Tahun 1998
Penetapan suatu kawasan suaka
Pasal 18 ayat
Belum ada
alam dan kawasan tertentu
(2)
alam dan penetapan wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga 3
margasatwa 4
lainnya sebagai cagar biosfer 5
6
Jenis tumbuhan dan satwa yang
Pasal 20 ayat
PP. No 7
dilindungi
(3)
Tahun 1999
Pengecualian larangan pasal 21
Pasal 22 ayat
Belum ada
(4) 7
Pemasukan tumbuhan dan satwa
Pasal 23 ayat
liar dari luar negeri ke dalam
(2)
Belum ada
wilayah Negara RI 8
Pengawetan jenis tumbuhan dan
Pasal 25 ayat
satwa yang dilindungi hanya
(2)
dapat dilakukan dalam bentuk pemeliharaan atau pengembangbiakan oleh lembaga-lembaga yang dibentuk
100
Belum ada
untuk itu. 9
Penetapan suatu wilayah sebagai
Pasal 29 ayat
PP. No 68
kawasan pelestarian alam dan
(2)
Tahun 1998
Kegiatan pariwisata di zona
Pasal 34 ayat
PP. No 18
pemanfaatan taman nasional,
(4)
Tahun 1994
Pemanfaatan jenis tumbuhan dan
Pasal 36 ayat
PP No.13
satwa liar
(2)
Tahun 1994
penetapan wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga 10
taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan mengikut sertakan rakyat. 11
PP. No 8 Tahun 1999 12
Peran serta rakyat dalam
Pasal 37 ayat
konservasi sumber daya alam
(3)
Belum ada
hayati dan ekosistemnya 13
Penyerahan sebagian urusan
Pasal 38 ayat
PP. No 6
pelaksanaan konservasi sumber
(2)
Tahun 1998
daya alam hayati dan ekosistemnya kepada pemerintah daerah
Tabel di atas menujukan bahwa dari 13 peraturan pemerintah yang disyaratkan oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 terdapat 6 peraturan pemerintah yang belum terealisasi yaitu :
101
1. Peraturan Pemerintah
tentang perlindungan sistem penyangga
kehidupan 2. Peraturan Pemerintah
tentang penetapan suatu kawasan suaka
alam dan kawasan tertentu lainnya sebagai cagar biosfer 3. Peraturan Pemerintah tentang penelitian ilmu pengetahuan bagi penyelamatan jenis tumbuhan dan atau satwa pemberian atau pertukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar negeri dengan izin pemerintah (pengecualian larangan pasal 21) 4. Peraturan Pemerintah tentang pemasukan tumbuhan dan satwa liar dari luar negeri ke dalam wilayah Negara RI 5. Peraturan Pemerintah
tentang pengawetan jenis tumbuhan dan
satwa yang dilindungi hanya dapat dilakukan dalam bentuk pemeliharaan atau pengembangbiakan oleh lembaga-lembaga yang dibentuk. 6. Peraturan Pemerintah tentang peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya Dari uraian diatas terlihat bahwa kondisi peraturan perundangundangan di bidang lingkungan baik yang terdapat di dalam maupun di luar UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup belum menunjang upaya penegakan hukum secara baik, sebab secara kuantitas masih banyak peraturan pelaksanaan yang belum tercipta, secara kualitas masih terdapat kekurang sempurnaan dalam perumusan tindak pidana, pertanggung jawaban pidana, dan sanksi pidana. Selanjutnya secara vertikal dan horizontal masih terdapat pertentangan antara paraturan yang lebih tinggi dengan peraturan yang lebih rendah.
b. Petugas yang menegakan atau yang menerapkan Petugas yang menegakan atau aparat penegak hukum yang menerapkan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu
102
faktor
pendukung
utama
keberhasilan
penegakkan
hukum.
Bagaimanapun baiknya suatu peraturan perundangan, bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik dan handal maka jangan diharapkan bahwa suatu penegakan akan berhasil, atau dengan kata lain bagaimanapun jeleknya suatu peraturan perundangan, apabila didukung dengan aparat penegak hukum
yang baik, mempunyai
moral, maka penegakan hukum akan berhasil. Keduanya memang saling
mendukung,
pengaruh
mempengaruhi,
tetapi persoalan
sebenarnya sangat tergantung pada sumber daya manusia. Menurut Satjipto Rahardjo, 121 Membicarakan masalah penegakan hukum tanpa menyinggung segi manusia yang menjalankan penegakan itu, merupakan pembicaraan yang steril sifatnya. Apabila kita membicarakan masalah penegakan hukum hanya berpegangan pada keharusan-keharusan sebagaimana tercantum dalam ketentuan-ketentuan hukum, maka kita hanya akan memperoleh gambaran stereotipis yang kosong. Ia baru menjadi berisi manakala dikaitkan pada pelaksanaannya yang konkret oleh manusia. Oleh karena itu manusia yang dalam hal ini adalah aparat penegak hukum
memegang peranan sangat penting bagi berhasilnya suatu
tugas penegakan hukum, khususnya penegakan hukum pidana lingkungan. Berhasil tidaknya penegakan hukum khusus di bidang KSDAE sangat ditentukan oleh kondisi aparat penegak hukum dan kondisi lembaga tempat bernaung aparat penegak hukum.Berdasarkan hasil penelitian pada lembaga penegak hukum Balai KSDA, Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman di wilayah hukum Kabupaten Donggala penegakan hukum dengan sarana hukum pidana sangat jarang, ini disebabkan karena belum tersedianya sumber daya manusia yang belum memadai. Di Balai Konservasi Sumber Daya Alam personil petugas yang mengawasi kawasan konservasi di wilayah Kabupaten Donggala dengan luas ± 74.698 (tujuh puluh empat ribu enam ratus sembilan puluh delapan ribu hektar) hanya sebanyak empat 121
Satjipto Rahardjo, Masalah pengakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Penerbit Genta Publishing, Cetakan I, Yogyakarta, Hal. 26
103
personil yang lokasinya saling berjauhan, Polres Donggala, pada bagian reserse kriminal hanya memiliki 3 orang penyidik dan 4 orang penyidik pembantu.122 Adalah wajar apabila penegakan dibidang hukum
KSDAE
tersendat
bahkan
tidak
jalan
sama
sekali,
bagaimanapun kecukupan dan kualitas sumber daya manusia memegang peranan penting bagai berhasilnya suatu penegakan hukum. Tanpa didukung kualitas dan kuantitas, komitmen akan tegaknya keadilan, kesiapan aparat penegak hukum dalam mengani masalah lingkungan, mustahil apa yang diamanatkan UU No. 5 Tahun 1990 dapat terwujud. Selanjutnya apabila dilihat dari sisi kualitas maka aparat penegak hukum belum sesuai apa yang diharapkan, hal ini dapat dilihat dari belum berfungsinya penegakan hukum pidana KSDAE saat ini terbukti berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis pada lembaga-lembaga penegak hukum Kepolisian/PPNS, Kejaksaan dan Pengadilan di wilayah hukum Kabupaten Donggala diperoleh hasil bahwa jumlah penangan tindak pidana KSDAE selang waktu empat tahun terakhir yaitu 2006 sampai dengan 2009 sangat kurang bahkan pada tahun 2007 sampai dengan 2009 tidak ada perkara. Minimnya
jumlah
kasus
pidana
KSDAE
yang
berhasil
diselesaikan, sebagaimana dikemukakan diatas berhubungan erat dengan kondisi kualitas aparat penegak hukum yang buruk. Menurut Andi Hamzah,123 dari sisi kualitas aparat penegak hukum dapat dikatakan belum menguasai seluk beluk hukum lingkungan bahkan mungkin pengenalan terhadap hukum lingkungan sangat kurang. Hal ini hanya dapat diatasi dengan pendidikan dan latihan di samping orangnya harus belajar sendiri dengan membaca buku, mengikuti pertemuan ilmiah. Pengetahuan yang luas biasanya membawa kepada meningkatnya kepercayaan diri sendiri dan selanjutnya akan menjurus kepada kejujuran. Di samping itu, belum ada spesialisasi di bidang ini. Belum ada jaksa khusus lingkungan, 122
Wawancara Brigadir Sutisno, pada tanggal 4 Pebruari 2010 Pukul 10.30 Wita
123
Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta, Sinar Grafika, Tahun 2005, Hal
55
104
belum ada polisi khusus lingkungan, apalagi patroli khusus yang terusmenerus memantau masalah lingkungan, sebagaimana halnya di Belanda. Pendapat tersebut benar adanya bahwa kondisi kualitas aparat penegak hukum KSDAE masih jauh dari harapan. Aparat penegak hukum di Kepolisan Resort Donggala, Kejaksaan dan Kehakiman Donggala
belum pernah mengikuti pelatihan sebagaimana yang
dijelaskan oleh Hakim Wisnu Widodo, SH124 : Salah satu kekurangan hakim di Pengadilan negeri Donggala yaitu belum ada hakim yang memiliki keahlian di bidang lingkungan. Untuk memiliki keahlian dalam bidang lingkungan seharusnya para hakim diberikan pelatihan khusus atau pendidikan di bidang lingkungan termasuk bidang konservasi, memang ada beberapa hakim yang telah memiliki sertifikat keahlian tetapi kebanyakan hakim-hakim yang berada di kota-kota besar. Makanya setiap melakukan persidangan di bidang lingkungan hakim untuk memperoleh kejelasan tentang peristiwa pidana di bidang lingkungan hanya mengandalkan pada keterangan ahli. Hal ini juga terjadi di Kejaksaan Negeri Donggala Bila dibandingkan dengan luas wilayah kabupaten Donggala, dan semakin maraknya tindak pidana di bidang KSDAE, maka pelatihanpelatihan yang berhubungan dengan peningkatan pengetahuan lingkungan itu sangat perul untuk diadakan.
c. Fasilitas yang diharapkan akan mendukung pelaksanaan kaedah hukum Secara sederhana fasilitas dapat dirumuskan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Ruang lingkupnya adalah terutama sarana fisik yang
124
Hasil wawancara dengan Hakim Wisnu Widodo, SH, Tanggal 22 Pebruari 2010 Pukul 11.00 Wita
105
berfungsi sebagai faktor pendukung. Sarana fisik tersebut bisa berupa materi atau uang, sarana prasarana berupa laboratorium, gedung, mobil, lembaga peradilan, dan sarana fisik lainnya. Penanggulangan masalah lingkungan memerlukan biaya yang besar disamping penguasaan teknologi dan manajemen.
Data Sara Prasaran Balai KSDA Sulteng Di Kabuaten Donggala Nama Kawasan
Cagar Alam Gunung Sojol Taman Wisata Alam Wera Suaka Marga Satwa PulauvPasoso Taman Wisata Laut Tosale
Luas (Ha) 64,448.71
250
Kendaraan Roda Roda Empat Dua
Pondok Kerja Jaga
-
1
-
1
-
-
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
5000 5000
Berdasarkan data diatas pada Balai KSDA Sulawesi Tengah khususnya di wilayah kabupaten Donggala untuk menunjang porses penegakan hukum masih sangat minim. Keadaan ini juga terjadi pada lembaga penegak hukum Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman di wilayah Donggala. Keadaan seperti ini akan membawa damapak buruk bagi kinerja aparat, sehingga harapan terwujudnya proses penegakan hukum KSDAE yang cepat, tegas, dan konsisten belum dapat terwujud.
d. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut Berbicara mengenai warga masyarakat maka hal ini sedikit banyaknya menyangkut masalah derajad kepatuhan. Secara sempit dapat dikatakan bahwa derajad kepatuhan masyarakat terhadap hukum
106
merupakan
salah
satu
indikator
berfungsinya
hukum
yang
bersangkutan. Tampaknya gaya hidup masyarakat khususnya para pengusaha yang mengutamakan provit, materi dan konsumtif telah mengubah cara pandang dan perlakuannya terhadap
lingkungan.
Untuk
memenuhi kebutuhannya para pengusaha tidak segan-segan untuk mengekploitasi sumber daya alam secara berlebihan untuk mengejar keuntungan komersial. Mereka mengetahui akibat-akibat yang akan ditimbulkan, namun demikian karena untuk mempertahankan tingkat keuntungan tersebut mereka lebih mengutamakan jalan pintas yang dipandang murah. Masyarakat yang berada di sekitar kawasan diperdaya dengan alasan ekonomi dan untuk keuntungan sesaat dengan berbagai macam modus operandi dan kedok. Dari penjelasan tersebut diatas dapat diambil satu kesimpulan bahwa kondisi
kesadaran hukum warga masyarakat terhadap
peraturan perundang-undangan di bidang KSDAE sangat rendah. Masyarakat disini meliputi pengusaha, pejabat pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu perlu terus diupayakan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat akan pentingnya pelestarian lingkungan, dan ketaatanya terhadap peraturan di bidang konservasi sumber daya alam, dengan cara memberi penyuluhan kepada masyarakat yang tidak memiliki pengetahuan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, memberi sanksi yang tegas, menjerakan dan tanpa pandang bulu kepada perusak lingkungan, baik itu pengusaha, pejabat, aparat penegak hukum maupun masyarakat.
Setelah mengkaji pendapat Soerjono Soekanto dikaitkan dengan kondisi penegakan hukum terhadap tindak pidana KSDAE saat ini maka dapat dilihat dengan jelas bahwa penegakan hukum KSDAE faktual /saat ini belum sesuai harapan.
107
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Penegakan Hukum Pidana Di Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tigkah laku orang sebagai masyarakat, tujuan hidup itu adalah mengadakan keselamatan, kebahagiaan, dan ketertiban di dalam masyarakat, karena masing-masing
masyarakat
memiliki
kepentingan
sehingga
untuk
mengatur berbagai kepentingan masyarakat agagar tercapai keseimbangan dalam kehidupan maka dalam hukum memiliki sanksi untuk dikenakan kepada anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran hukum. Dari penelitian atas data berupa dokumen yang diperoleh dan wawancara yang dilakukan terhadap para penegak hukum, maka selanjutnya untuk mengetahui faktor-faktor apa yang yang mempengaruhi proses penegakan hukum pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di wilayah hukum Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah penulis akan mengkaji dengan teori yang dikembangkan oleh William J. Cambliss dan Robert B. Seidmen mengenai teori bekerjanya hukum dalam masyarakat bahwa bekerjanya hukum dipengaruhi oleh tiga faktor yang saling kait mengkait yaitu lembaga pembuat peraturan, lembaga penerap peraturan, dan pemegang peran. Sehubungan dengan pokok permasalahan penelitian ini yang dititikberatkan pada penegakan hukum pidana tahap aplikasi, maka dalam pembahasan ini penulis akan membatasi pokok kajian pada lembaga penerap peraturan dan pemegang peran.
a. Lembag Penerap Peraturan Apabila kita melihat penegakan hukum sebagai suatu proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum menjadi kenyataan maka proses itu selalu melibatkan para pembuat dan pelaksana hukum, serta juga masyarakat. Masing-masing komponen ingin mengembangkan nilai-
108
nilai yang ada di lingkungannya yang sarat dengan pengaruh faktorfaktor non hukum lainnya125. Selanjutnya untuk mewujudkan hukum sebagai ide-ide ternyata dibutuhkan organisasi yang cukup kompleks. Lembaga-lembaga seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan dan sebagainya, akan mengembangkan perlengkapannya sendiri yang dikembangkan untuk menunjang pekerjaannya sebagai suatu lembaga hukum dengan tugas tertentu. Berdasarkan hasil penelitian terhadap badan-badan penegak hukum terlihat jelas bahwa badan-badan penegak hukum memiliki tujuantujuan dari masing-masing fungsi badan tersebut dan ketika dihadapkan pada tantangan cenderung untuk menganti tujuan-tujuan tersebut. 1) Tahap Penyidikan Oleh Polisi Penyidik merupakan lembaga penegak hukum yang organisasi yang memiliki tujuan masing-mising. Polisi dengan segala tugas dan bebanya sebaga pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya
penyelenggaraan
fungsi
kepolisian
yang
meliputi
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam melaksana fungsinya polisi memiliki pilihanpilihan untuk bertindak karena di tangan polisi hukum yang bersifat abstrak akan berubah kenyataan. Penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang konservasi sumber
daya
alam
hayati
dan
ekosistemnya
merupakan
pelanggaran/kejahatan terhadap kawasan hutan dengan fungsi konservasi, tumbuhan dan satwa yang dilindungi dimana berdasarkan adagium lex spesialis derogat legi generali maka kebijakan hukum pidana yang diterapkan adalah Undang-undang 125
Esmi Warasih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Cetakan 1, PT. Suryandaru Utama, Semarang, Tahun 20051, Hal 84
109
Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam. Namun pada kenyataan ketentuan ini tidak pernah dilaksanakan126 hal ini disebabkan karena tidak adanya laporan dari masyarakat. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Brigadir Sutisno penyidik Polres Donggala bahwa animo masyarakat untuk melaporkan tindak pidana sangat kurang bahkan dalam rentan waktu tiga tahun terakhir tidak pernah ada laporan yang masuk ke Kepolisian Resort Donggala. Yang pernah dan sering kami lakukan penyidikan terhadap kasus-kasus illegal logging yang dijerat dengan Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Ini dilakuakan karena tempat kejadiannya berada di luar kawasan hutan yaitu pada saat hasil hutan ilegal tersebut diangkut. Memang ada beberapa kasus tempat kejadiannya didalam kawasan hutan tetapi bukan dalam kawasan konservasi.127 Hal lain yang yang berkaitan dengan tugas Polisi sebagai penyidik dimana dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian
menyebutkan
bahwa
Negara Polisi
Repobik
Indonesia
mempunyai
tugas
Pasal
14
melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya, dalam kaitannya dengan Tindak pidana KSDAE yang mana merupakan tindak pidana kejahatan/ pelanggaran yang tidak termasuk dalam golongan delik aduan, seharusnya Polisi sebagai penyelidik/penyidik dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya harus lebih proaktif dalam mencari dan menemukan tindak pidana dimaksud. Namum pada kenyataannya hal ini sulit untuk dilakukan
126
Berdasarkan studi dokumen prosentase penaganan tindak pidana konservasi seumber daya alam hayati dan ekosistemnya tahun 2006 sampai dengan tahun 2009 sebanyak 0%, lihat tabel 6. 127
Wawancara Brigadir Sutisno, pada tanggal 4 Pebruari 2010 Pukul 10.30 Wita
110
mengingat tindak pidana KSDAE adalah tindak pidana yang berkaitan dengan kawasan hutan dengan fungsi konservasi, tempat kejadian perkara berada dalam kawasan hutan yang sebaranya sangat luas. Disini Polisi dihadapkan pada pilihan untuk melakukan
tindakan
yang
sifatnya
lebih
menguntungkan
organisasinya. Dalam kasus ini Polisi lebih memilih untuk membiarkan perbuatan tersebut untuk selanjutnya malakukan penindakan ketika pelaku dan barang bukti telah diangkut dan berpindah tempat keluar dari kawasan konservasi. Pilihan tindakan ini dilakukan mengingat adanya keterbatasan jumlah petugas dan biaya operasional yang sangat minim. Dari apa yang ditemukan penulis pilihan kebijakan pengunaan hukum pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan konservasi
sumber
daya
alam
penyidik
lebih
memilih
menerapkan Undang-undang lebih mudah untuk dilakukan proses penyidikan dan hal ini sesuai apa yang telah dikemukakan oleh
Chambliis dan Seidmen bahwa setiap organisasi tersebut
diarahkan kepada pencapaian tujuan tertentu. Tujuan-tujuan yang resmi inilah yang dicantumkan pada deskripsi dari jabatanjabatan yang dipangku oleh masing-masing badan penegak hukum. Bersamaan dengan itu setiap organisasi tersebut tunduk pada proses pengantian tujuan. Setiap organisasi bekerja dalam konteks sosial tertentu oleh karena itu
akan terjalin suatu
hubungan yang erat antar keduanya. Dilihat dari organisasi bersama personelnya
mereka
dihadapakan pada kenyataan bahwa berbagai tindakan dan kebijakan
menimbulkan
keuntungan,
sedang
lainnya
menimbulkan kerugian dan hambatan. Dihadapkan kepada tantangan, maka organisasi serta personelnya cenderung untuk menganti
tujuan-tujuan
111
dengan
kebijakan-kebijakan
dan
tindakan-tindakan
yang
akan
menghasilkan
maksimal dan hambatan minimal bagi organisasi.
128
keuntungan Berdasarkan
hasil penelitian penulis di Polres Donggala, pada bagian reserse kriminal hanya memiliki 3 orang penyidik dan 4 orang penyidik pembantu.129 Berdasarkan jumlah personil tersebut menjadikan suatu
hal
yang
mustahil
untuk
pihak
penyidik
dapat
melaksanakan tugas secara maksimal dimana pada bagian ini tidak hanya menangani maslah konservasi tetapi juga menangani kasus-kasus tindak pidana diluar KUHP lainnya. 2) Tahap Peyidikan Oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Jika dalam proses penegakan hukum terhadap tindak pidana KSDAE ditempu dengan menggunakan sarana hukum pidana maka harus benar-benar memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana dalam kenyataannya. Faktor-faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana tersebut antara lain dikemukakan oleh Sudarto :130 1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur merata materiil spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. 2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan atau spiritual) atas warga masyarakat. 3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle) 4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan
128
Op. Cit Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis....., Hal 51-52.
129
Loc.Cit
130
Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, 1983 Hal.44-48
112
penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting). Dalam proses penegakan hukum, penggunaan sarana hukum pidana oleh penyidik pegawai negeri sipil sangat jarang dilakuan disebabkan adanya kelampauan beban tugas dimana beban tugas yang diberikan terlampau berat. Berdasarkan hasil wawancara dengan PPNS Johni Hutabarat131 diperoleh penjelasan bahwa untuk mengawasi kawasan konservasi dengan luas ± 70.000 (tujuh puluh ribu hektar) hanya diawasi oleh dua orang petugas Polhut yang sekaligus merangkap sebagai PPNS, selanjutnya berdasarkan hasil wawancara dengan PPNS Facrudin Desi, SH132 diperoleh penjelasan bahwa pekerjaan penyidikan hanya merupakan tugas tambahan
disamping tugas pokok sebagai PNS atau pejabat
fungsional (Polisi Kehutanan), sehingga dalam pelaksanaanya bersifat insidesil yang tidak diimbangi dengan pemberian dana intensif kepada penyidik, dimana sebaiknya PPNS dijadikan sebagai tugas pokok yang tidak dibebani dengan tugas-tugas lainnya. Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan PPNS Iskandar, SP133 diperoleh pejelasan bahwa Anggaran penyidikan terlalu minim sehingga untuk menjangkau TKP yang berada dalam kawasan konservasi yang masuk wewenang BKSDA Sulteng sulit dijangkau mengingat sebaran kawasan yang berjauhan, Sarana parasarana yang belum mendukung. Disini terlihat jelas beban tugas yang diberikan oleh lembaga penegak hukum terlampau berat yang tidak didukung dengan biaya yang memadai sebagai
131
Hasil Wawancara Dengan PPNS Johni Hutabarat Tanggal 13 Januari 2010 Pukul 13.00
Wita 132
Hasil Wawancara Dengan PPNS Fachrudi Desi, SH tanggal 14 Januari 2010, Pukul 10.00 Wita 133
Hasil Wawancara Dengan PPNS Iskandar, SP tanggal 14 Januari 2010, Pukul 12.00
Wita
113
akibatnya proses penegakan hukum tidak dapat dilaksankan secara maksimal. Faktor lain yang berkaitan dengan personal (petugas penegak hukum) yaitu belum adanya keberanian dari petugas untuk melakukan proses penegakan hukum. Dimana berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan PPNS Facrudin Desi, SH diperoleh penjelasan bahwa dalam proses penegakan hukum terutama dalam melakukan melakukan penyidikan, penyidik pegawai negeri sipil pada balai KSDA Sulteng belum memiliki keberanian untuk melakukan penyidikan, hal ini berkaitan
dengan
belum
adanya
pengalaman
melakukan
penyidikan. Interfensi pejabad penegak hukum juga turut mempengarihu proses penegakan hukum, dimana pelaku yang bermodal besar melakukan interfensi dalam proses penyidikan melalui pejabat penegak hukum lainnya. Faktor selanjutnya yang mempengaruhi proses penegakan hukum yaitu faktor ekonomi petugas yang minim. Berdasarkan hasil penelitian faktor ini bisa mempengaruhi proses penegakan hukum dimana petugas karena keadaan ekonomi yang tidak memadai menerima pemberian dari pelaku sehingga proses tidak berlanjut dan diselesaikan dengan pendekatan kekeluargaan dimana anggota masyarakat yang tertangkap tangan dilepaskan dengan catatan tidak mengulang perbuatannya dengan syarat-syarat tertentu yang dubuat dalam surat pernyataan. Dalam melaksanakan tugas sebagai polhut dalam kasus-kasus tertentu terpaksa melakukan penyimpangan dalam arti ketika menemukan pelanggaran terhadap tindak pidana di dalam kawasan konservasi dalam skala kecil dan berdampak tidak tidak besar dan melihat pelaku yang dalam melakukan perbuatan tersebut hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup hanya dilakukan pembinaan berupa membuat surat pernyataan untuk tidak
114
melakukan perbuatannya lagi. Tetapi ketika pelakunya dan perbuatannya bisa berdampak besar harus diproses sesuai peraturan yang berlaku. 3) Tahap Penuntutan Kejaksaan merupakan sub sistem dari sistem ketatanegaraan Indonesia sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Sebagai salah satu sub sistem dari suatu sistem hukum, Kejaksaan memiliki kedudukan yang sentral dalam penegakan hukum, di Indonesia. Sebagai salah satu sub sistem hukum, Kejaksaan berada dalam satu kesatuan yang teratur dan terintegrasi, saling mempengaruhi dan saling mengisi dengan sub sistem lainnya untuk mencapai tujuan dari sistem hukum tersebut. Dalam UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1) menegaskan bahwa “Kejaksaan RI adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (dominus litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Oleh karena itu, adalah sebuah hal yang wajar jika masyarakat sangat mendambakan institusi Kejaksaan dapat berfungsi secara optimal dalam menegakan supremasi hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta dapat berfungsi menjadi
tulang
punggung
reformasi,
sehingga
dapat
memperkokoh ketahanan dan konstitusi sebagai prasyarat bagi tegaknya demokrasi dan civil society yang dicita-citakan.
115
Kedudukan sentral Kejaksaan berkait erat dengan kedudukan dan fungsi Kejaksaan dalam penegakan hukum di Indonesia. Sudah tentu penekanan pada eksistensi dan eksisnya institusi ini baik dalam tataran teoritis yang mengacu pada konsepsi negara hukum maupun dalam asas normative praktis yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Artinya, Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam kedudukannya sebagai badan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum, harus menjunjung tinggi supremasi hukum sebagai prasyarat mutlak bagi penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara . Supremasi hukum berarti adanya jaminan konstitusional dalam proses politik yang dijalankan oleh kekuasaan eksekutif, legislative, dan yudikatif. Supremasi hukum akan selalu bertumpu pada kewenangan yang ditentukan oleh hukum . Dalam penegakan hukum tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya Jaksa Penuntut Umum mempunyai tugas melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu
dapat
dilimpahkan
melakukan ke
pemeriksaan
pengadilan
yang
tambahan
dalam
sebelum
pelaksanaannya
dikoordinasikan dengan penyidik (Pasal 30 ayat 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004). Berdasarkan studi dokumen jumlah perkara tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang pernah ditangani Kejaksaan Negeri Donggala selama empat tahun terakhir yaitu dari tahun 2006 sampai dengang 2009 sebanyak 4 perkara. Dasar kebijakan penerapan tindak
pidana konservasi
terhadap 4 perkara tersebut yaitu keempat perkara dimaksud locus deliktinya berada dalam kawasan konservasi (2 kasus di
116
Taman Nasional Lore Lindu 1 kasus di CA. Gunung Sojol dan1 kasus di SM. Pasoso). Dilihat dari prosentasi kasus tersebut dapat diketahui penegakan hukum terhadap tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sangat kecil, hal ini disebabkan penangana perkara pada lembaga kepolisian dan instansi kehutanan tidak berlanjut sampai pada tahap penuntutan. Jaksa sebagai lembaga penuntutan sifatnya hanya melanjutkan proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik untuk kemudian dilakukan penuntutan. 4) Tahap Pemeriksaan Dipersidangan Pengadilan negeri sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang
tugasnya
menerima,
memeriksa,
mengadili
dan
memutuskan perkara yang diajukan kepadanya wajib menerima, memeriksa, dan mengadili perkara tersebut. Dalam melaksanakan fungsinya oleh hakim sebagai salah satu penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role) sekaligus. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah yang isinya adalah hak-hak dan kewajibankewajiban tertentu yang merupakan role, oleh karena itu hakim yang mempunyai kedudukan tertentu yang lazim dinamakan pemegang peran. Putusan pengadilan negeri dalam perkara pidana merupakan hasil musyawarah atau hasil kerja dari hakim/majelis hakim yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, dimana apabila menurut hakim apa yang didakwakan dalam surat dakwaan terbukti dan terdakwa dipandang mampu mempertanggung jawabkan sebagaiman diatur dalam undang-undang maka kepada terdakwa dinyatakan bersalah yang diikuti dengan pemidanaan, sedangkan apabila dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa
117
menurut penilaian mereka tidak tidak terbukti maka mereka akan dibebaskan, adapun jika perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana atau ruang lingkup perkara perdata maka kepada terdakwa akan dibebaskan dari tuntutan hukum. Meskipun setiap hakim berusaha bersikap obyektif, namun secara ekstern terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dalam memberikan pertimbangan untuk menjatuhkan putusan. Menurut
Satjipto
Rahardjo134
secara
sosiologis
putusan
pengadilan (court decision) atau putusan hakim disatu pihak merupakan variabel dependen (dependent variabel), sedangkan di pihak lain struktur hukum formal maupun informal menempatkan posisi variabel independen (independent variabel) seperti konstitusi, peraturan perundang-undangan, doktrin, termasuk konsep-konsep. Hal ini berarti putusan pengadilan, potensial bervariasi bergantung pada faktor-faktor independen yang melingkupi proses pembentukan putusan pengadilan (caurt decision making). Faktor independen yang melingkupi hakim ketika ia memeriksa, mengadili dan memutus perkara berbedabeda antara hakim yang satu dengan hakim yang lain. Dalam kondisi normal idealnya setip hukum termasuk putusan pengadilan/hakim haruslah dijiwai/memuat ketiga nilai dasar yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Namun dalam prakteknya sangatlah sulit untuk mengharmonisasikannya dalam satu putusan. Hakim mempunyai kebebasan dalam memutus perkara pidana yang ditanganinya, namun kebebasan bukanlah
kebebasan
mutlak
melainkan
kebebasan
yang
terikat/terbatas. Dengan menyadari bahwa hakim sebagai aktor yang memiliki kebebasan 134
dalam
menentukan
Ibid, Hal 17
118
apa
saja
tindakan
yang
dilakukannya maka Antonius Sudirman menyatakan bahwa sesungguhnya hakim dapat memainkan peran politik tertentu yang ingin dicapainya melalui putusan akan tetapi peran politik yang dimainkan oleh hakim bukanlah politik judicial restrain, yang hanya menjalankan politik patuh kepada undang-undang, melainkan politik judicial activism yang mengandung makna bahwa dalam menjalankan putusannya sang hakim dapat mengadakan pilihan dari berbagai alternatif tindakan yang tepat untuk tercapainya rasa keadilan dalam masyarakat.135 Dengan demikian dalam melakukan tindakan tersebut dapat berpengaruh pada munculnya perilaku penyimpangan, yang maksudnya seorang hakim dapat bertindak tidak sesuai dengan kebiasaan umum atau norma atau aturan yang dijadikan pegangan bersama oleh para hakim atau organisasi lainya. Dari hasil penelitian terhadap perkara dan wawancara yang dilakuan oleh penulis dengan Hakim Wisnu Subroto, SH kebijakan pidana yang diterapkan terhadap ketiga perkara tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistenya telah sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam dimana tempat kejadian perkara berada di dalam kawasan konservasi dan obyek perbuatan pidana adalah jenis yang dilindung. Pertimbangan hakim memutus perkara tersebut yaitu berdasarkan barang bukti, keterangan saksi, keterangan terdakwa dan keterangan saksi ahli telah memenuhi unsur-unsur dalam rumusan pasal Pasal 21 ayat (1) huruf a dan Pasal 21 ayat (2) angka a. b. Pemegang Peran Sebagai pedoman atau pengarahan pada warga
masyarakat untuk
berperilaku, fungsi hukum menyiratkan perilaku yang diharapkan 135
Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya Suatu Pendekatan dari Ilmu Hukum Perilaku (Behaivioral Jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar, PT. Citra Adtya Bakti, Bandung, 2007, Hal 43
119
diwujudkan oleh masyarakat apabila warga masyarakat melakukan kegiatan yang diatur oleh hukum. Sebagai sarana pengendalian sosial, hukum bermakna secara esensial bahwa suatu sistem mengandung peraturan-peraturan-peraturan perilaku yang benar dan semua masyarakat akan mengambil langkah untuk mendorong perilaku yang baik dan memberikan sanksi negatif bagi pelaku yang buruk. Sebagai sarana penyelesaian sengketa, fungsi hukum adalah menjadi sumber bagi peneyelesaian sengketa serta pemecahan
perselisihan yang timbul
dimasyarakat. Sebagai sarana rekayasa sosial hukum tidak saja digunakan untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkan pada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan-kebiasaan yang dipandang tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya.136 Hukum tidak dapat bekerja atas kekuatannya sendiri, melainkan hukum hanya akan dapat berjalan melalui manusia. Manusialah yang menciptakan hukum, tetapi juga untuk pelaksanaan hukum yang telah dibuat itu masih diperlukan campur tangan manusia pula. Oleh karena itu masih diperlukan langkah yang memungkinkan ketentuan hukum dapat dijalankan. Yang dimaksud dengan peran adalah suatu sistem kaidah-kaidah yang berisikan patokan perikelakuan pada kedudukan tertentu dalam masyarakt, kedudukan mana dapat dipunyai oleh pribadi atau kelompok. Pribadi yang mempunyai peranan yang tadi dinamakan pemegang peran (role occupant). Dalam kalangan hukum apabila diterjemahkan dalam bahasa hukum pemegang peran adalah suyek hukum, sedangkan peran merupakan hak-hak dan kewajiban yang berkaitan dengan kepentingan hukum. Berperanya pemegang peran merupakan peristiwa hukum yang dapat sesuai atau berlawanan dengannya. Dengan demikian yang menjadi
136
Soleman B Taneko, Pokok-Pokok Studi Hukum Dalam Masyarakat. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta, 1993, Hal.39-41
120
masalah utamaya adalah bagaimana kaidah-kaidah hukum akan dapat mengatur berperannya pemegang peran.137 Menurut Rebert B. Seidman dalam Satjipto Rahardjo138 setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang pemegang peran (role occupant) itu diharapkan bertindak. Supaya dapat memasukan nilai-nilai baru ke dalam masyarakat maka diperlukan adanya pemahaman dan perubahan sikap dari anggota-anggota masyarakat untuk menerim perubahan-perubahan. Oleh karenanya hukum sebagai sarana untuk merubah tingkah laku tentunya mengandung nilai-nilai yang sudah dipahami benar oleh masyarakat. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 menghendaki agar anggota masyarakat sebagai adressat berlaku sesuai dengan filosofi undangundang tersebut. Rebert B. Seidman telah menyatakan bahwa adressat hukum sebagai pemegang peran diminta untuk mejalankan peran sebagaimana yang diharapkan oleh undang-undang tersebut, kendati dalam menjalankan peran tersebut tidak terdapat kesesuai dengan peran yang diharapkan. Dan oleh karena salah satu fungsi hukum adalah untuk mengubah tingkah laku masyarakat maka dalam hal ini dilibatkan sikapsikap anggota masyarakat terhadap pemahaman akan perannya dimaksud, dengan demikian berhasil tidaknya suatu kebijakan yang dituangkan dalam bentuk aturan hukum tersebut dapat dilihat dari pemahaman-pemahaman yang mendasarinya. Dari hasil penelitian tampak bahwa pengetahuan dari individu-individu anggota masyarakat terhadap penegakan hukum tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dapat dikatakan masih minim hal ini disebabkan kurangnya komunikasi dari lembaga-lembaga kepada masyarakat tentang adanaya kaidah-kaidah yang mengatur pemanfaatan hutan khususnya hutan dengan fungsi konservasi. Ditengah minimnya pemahaman tentang penegakan hukum tindak pidana konservasi sumber 137
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum CV. Rajawali, Jakarta, 1980 Hal 130
138
Satjipto Raharjdo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1982 Hal 27-28
121
daya alam hayati dan ekosistemnya masyarakat sebenarnya masyarakat telah memahami bahwa ada aturan atau norma-norma yang harus dijalankan dalam rangka pemanfaatan kawasan konservasi, masyarakat di sekitar kawasan hutan telah mengetahui apa saja yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakuakantetapi karena dipengaruhi oleh faktor ekonomi maka perilaku dari masyarakat menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh undang-undang. Dalam penegakan hukum lembaga penegak hukum bertindak dan menetukan
pilihan-pilihan
yang
menguntungakan
organisasinya,
pemegang pemeran melakukan pilihan-pilihan untuk bertindak seolaholah tidak sesuai dengan apa yang diharpkan oleh Undang-undang. Dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya polisi, jaksa dan hakim sebagai pemegang peran memilih
untuk
melakukan
tindakan-tindakan
yang
lebih
menguntungkannya. Pilihan ini dijalankan oleh petugas penegak hukum karena mereka memahami peraturan yang telah dibuat tidak dibarengi dengan usaha-usaha perbaikan terhadap sarana prasaran pendukung penegakan hukum dan usaha perbaikan ekonomi, sosial para penegak hukum dan masyarakat.
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka peneliti dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa : 1. Penegakan hukum tahap aplikasi
terhadap tindak pidana konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya oleh penegak hukum
122
Polisi/PPNS, Jaksa dan Hakim di wilayah hukum Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah sangat jarang digunakan, hal ini disebabkan karena keterpaduan dan koordinasi penegakan hukum yang masih lemah, dimana keyakinan bahwa konservasi sumber daya alam adalah satu sektor terbatas bukan proses yang perlu diperhatikan oleh semua sektor. Hal ini dipengaruhi oleh : a. Kaedah hukum atau peraturan itu sendiri (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 merupakan produk Orde Baru dimana corak kebijakan pembangunan lingkungan yang sentralistik, sektoral, tidak memberikan ruang secara proposional bagi transparansi dan partisipasi masyarakat, serta manggaibaikan hak-hak masyarakat dengan didampingi kebijakan hukum yang represif (2) Secara kualitas masih terdapat ketidak sempurnaan dalam hal perumusan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, sanksi pidana. (3) Secara vertikal terdapat pertentangan substansi dalam UndangUndang No 5 Tahun 1990 dengan peraturan pemerintah Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Pemanfaatan Jenis
Tumbuhan dan Satwa Liar dimana dalam bab X mengatur tentang sanksi pidana dan sanksi admistratif sementara undang-undang tersebut tidak mengatur. (4) Masih ada peraturan pelaksanaan yang diperintahkan dalam undang-undang ini belum dibuat. b. Petugas yang menegakan atau yang menerapkan 1) Dari segi kuantitas jumlah aparat penegak hukum masih sangat kurang. 2) Dari segi kualitas belum sesuai dengan apa yang diharapkan disebabkan masih minimnya pengetahuan tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
123
c. Fasilitas yang diharapkan akan mendukung pelaksanaan kaedah hukum baik sarana dan prasarana serta pendanaan masih sangat kurang d. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut kondisi kesadaran hukum terhadap peraturan perundang-undangan di bidang KSDAE sangat rendah. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penegakan hukum tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah : a. Belum terlaksananya penegekan hukum tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya oleh Polisi/PPNS, Jaksa, Hakim dipengaruhi oleh belum ada dukungan yang sepenuhnya dari lembaga-lembaga penegak hukum sebagai suatu sistem dalam peradilan pidana.
Dalam hal hakim mengambil keputusan hakim
selalu mempertimbangkan aspek kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan sehigga setiap putusan hakim akan berbeda tergantung kondisi dan keadaan perkara tersebut. Disamping aspek norma hukum positf, keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum hakim dalam memutus perkara konservasi sumber daya
alam hayati dan
ekosistemnya dipengaruhi oleh pengetahuan hakim tentang ilmu konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. b. Pemegang Peran Pengetahuan dari individu-individu anggota masyarakat dan aparat terhadap penegakan hukum tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dapat dikatakan masih minim hal ini disebabkan kurangnya komunikasi dari lembaga-lembaga kepada masyarakat
tentang
adanaya
kaidah-kaidah
yang
mengatur
pemanfaatan hutan khususnya hutan dengan fungsi konservasi. Ditengah minimnya pemahaman tentang penegakan hukum tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya masyarakat sebenarnya telah memahami bahwa ada aturan atau normanorma yang harus dijalankan dalam rangka pemanfaatan kawasan konservasi, masyarakat di sekitar kawasan hutan telah mengetahui apa
124
saja yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakuakan tetapi karena dipengaruhi oleh faktor ekonomi maka perilaku dari masyarakat menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh undangundang. B. Implikasi Konsekwensi logis dari fakta-fakta dalam kesimpulan di atas adalah : 1. Keterpaduan dan koordinasi penegakan hukum yang masih lemah, dimana keyakinan bahwa konservasi sumber daya alam adalah satu sektor terbatas bukan proses yang perlu diperhatikan oleh semua sektor dan akan saling mempengaruhi
mengakibatkan
penegakan
hukum
tidak
dapat
dilaksanakan sesuai jiwa dari undang-undang. a. Kaedah hukum atau peraturan itu sendiri 1) Corak kebijakan pembangunan lingkungan yang sentralistik, sektoral, tidak memberikan ruang secara proposional bagi transparansi dan partisipasi masyarakat, serta manggaibaikan hakhak masyarakat dengan didampingi kebijakan hukum yang represif akan berpengaruh pada rendahnya kepatuhan masyarakat 2) Ketidak sempurnaan dalam hal perumusan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, sanksi pidana akan menghambat proses penegakan hukum pidana. 3) Pertentangan substansi dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1990 dengan peraturan pemerintah Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar dimana dalam bab X mengatur tentang sanksi pidana dan sanksi admistratif sementara undang-undang tersebut tidak mengatur dapat menyebakan adanya ketidak pastian hukum. 4) Masih ada peraturan pelaksanaan yang diperintahkan dalam undang-undang ini belum dibuat akan berdampak pada kegiatan operasional. b. Petugas yang menegakan atau yang menerapkan
125
Minimnya
kualitas
dan
kuantitas
aparat
penegak
hukum
mempengaruhi keberhasilan penegakan hukum. c. Fasilitas baik sarana dan prasarana serta pendanaan masih sangat kurang mempengaruhi tercapainya penegakan hukum yang cepat, tegas, dan konsisten belum dapat terwujud d. Kondisi kesadaran hukum terhadap peraturan perundang-undangan di bidang KSDAE sangat rendah akan mempengaruhi tingkat kepatuhan 2. a. Pemilihan keputusan yang lebih menguntungkan oleh lembaga penegak hukum sebagai organisasi akan mempengaruhi eketifitas penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana (criminal justis system). b. Kurangnya
komunikasi
para
penegak
hukum
mengakibatkan
singkornisasi penegakan hukum tidak terwujud
C. Saran Dari kesimpulan yang diperoleh berdasarkan kerangka pemikiran Soerjono Soekanto yang dipadukan dengan pemikiran Chambliis dan Seidmen untuk penegakan hukum tindak pidana konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, oleh penulis menyarankan : 1. Dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana konsevasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dengan menggunakan sarana hukum pidana harus ada penyamaan persepsi dari semua sektor. Agar penegakan hukum pidana lebih efekti : a. Terhadap kaedah hukum atau peraturan itu sendiri 1) Mengingat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 merupakan produk Orde Baru dimana corak kebijakan pembangunan lingkungan yang sentralistik, sektoral, tidak memberikan ruang secara proposional bagi transparansi dan partisipasi masyarakat, serta manggaibaikan hak-hak masyarakat dengan didampingi kebijakan hukum yang represif maka hendakanya undang-undang ini segerah di formulasi kembali
126
2) Perlu dirumukannya tentang subyek hukum korporasi dan bentuk pertangung jawabannya baik pidana maupun administrasi. 3) Harus dirumuskan sanksi pidana dan sanksi adminstrasi terhadap pelanggaran/kejahatan yang berkaitan dengan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar yang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 belum diatur 4) Segerah membuat aturan pelaksana yang belum dikeluarkan sebagaiman yang diperintah oleh undang-undang. b. Petugas yang menegakan atau yang menerapkan Peningkatan
Kualitas
dan
Kuantitas
aparat
penegak
hukum.
Peningkatan ini dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan dan membiayai
pendidikan
dan
pelatihan
untuk
meningkatkan
pengetahuan. Disamping itu juga perlu dilakukan pemanbahan aparat penegak hukum dengan pola penerimaan yang selektif. c. Fasilitas yang diharapkan akan mendukung pelaksanaan kaedah hukum baik sarana dan prasarana serta pendanaan harus diadakan sesuai kebutuhan d. Pelibatan masyarakat dalam penegakan hukum dan pengelolaan harus lebih ditingkatkan. 2. a. Lembaga Penerap Peraturan 1) Penguatan organisasi lembaga penegak hukum dengan melakukan restrukturisasi lembaga penegak hukum sehingga koordinasi lintas sektoral dengan penegak hukum lainnya dapat berjalan lancar 2) Perlu dibentuk suatu sistem penegakan hukum satu atap sehingga proses penegakan hukum yang cepat, keterpaduan, biaya murah dapat terwujud 3) Perlu dibentuknya badan pengawas yang bertugas untuk mengawsi proses penegakan hukum yang berkaitan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. b. Pemegang Peran
127
Peningkatan kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak langsung termasuk para penegak hukum
dan penyuluhan kesadaran hukum
harus dilakukan secara menyeluruh baik di tingkat masyarakat maupun aparat penegak hukum.
DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah. 1983. KUHAP dan KUHP, Cetakan Kedua, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Barda Nawawi Arief, 2001 Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung. ---------------------------, 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Penerbit PT Citra Aditia Bakti, Bandung. ---------------------------, 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit PT Citra Aditia Bakti, Bandung. ---------------------------, 2008 Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penggulangan Kejahatan, Penerbit Kencana Perdana Media Group, Jakarta. ---------------------------, Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy). Burhan Ashshofa, 1998, Metode Penelitian Hukum, PT Rineka Cipta, Jakarta. Esmi Warassih Pujirahayu. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT Suryandaru Utama, Semarang. Hartiwiningsih, 1996, Penegakan Hukum Lingkungan Untuk Mengantisipasi Tindak Pidana Lingkungan Yang Dilakukan Korporasi, Tesis. H. B. Soetopo, 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif, UNS Pres, Surakarta. Ilham Bisri, Sistem Hukum Indonesia; Prinsip-prinsip dan Implementasi Hukum Di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Leden Marpaung, 1997, Tindak Pidana Lingkungan Hidup Dan Masalah Prevensinya, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta. Mahfud M.D, 1998, Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES, Jakarta. Marjono Reksodiputra. 1994. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum UI, Jakarta Moeljatno, 2002. Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Ketujuh, Rineka Cipta, Jakarta
128
Muladi, 1997. Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit BP. Undip, Semarang. Muladi Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung. Riduan Syahrani, 2004, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Edisi Revisi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Romli Atmasasmita. 1996. Sistem Peradilan Pidana,Binacipta, Bandung Saifullah. 2007. Hukum Lingkungan, Paradigma Kebijakan Kriminal di Bidang Konservasi Keanekaragaman Hayati, Cetakan Pertama, UIN Malang Press, Malang. Satjipto Rahardjo, 1980, Hukum, Masyarakat Dan Pembangunan, Penerbit Alumni, Bandung. ----------------------, 2001, Ilmu Hukum Bandung, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung. ----------------------, 2002, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode Dan Pilihan Masalah, Muhamadyah University Press, Surakarta. ----------------------. Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Bandung. ----------------------. 2007. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Cetakan I, Genta Publishing, Yogyakarta. Setiono, 2005, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana UNS, Surakarta. Soerjono Soekanto, Purnadi Purbacaraka, 1979, Perihal Kaedah Hukum, Penerbit Alumni, Bandung. ----------------------, 1980, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Penerbit CV Rajawali, Jakarta. ----------------------, 1985, Efektifitas Hukum Dan Peranan Sanksi, Remaja Karya, Bandung. ----------------------, 2005, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Soleman B.Taneko, 1993, Pokok-Pokok Studi Hukum Dalam Masyarakat. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Solly Lubis, 1989, Serba-Serbi Politik Dan Hukum, Mandar Maju, Bandung. Sudarto,1981. Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung. ---------, 1983. Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, Bandung Sinar Baru. ---------, 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
129
Sudikno Mertokusumo. 2003. Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta. Sutan Remy Sjahdeni. 2006. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Graffiti Pers, Jakarta. Wirjono Prodjodikoro. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung
Jurnal dan Makalah A, Hamzah, 1991, Penegakan Hukum Lingkungan, Makalah Dalam Hukum Pidana Dan Kriminologi Kerjasama Indonesia Belanda, Ambarawa. Arie Trouwborst, 2009 Article Conservation Nature International Law International To The Adaptation OF Biodiversity Climate Change: A mismatch. Journal of Environmental Law, Copyright © by Oxford University Press. I Gusti Ayu Ketut Rachmi, 2009, Penegakan Hukum Lingkungan Jurnal Ekosains Volume 1 Nomo 2 Program Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan. Muladi, 1998. ”Pembaharuan Hukum Pidana Yang Berkualitas”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, No. 2 Tahun 1998, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang Van Krieken, R., 2006. Law’s autonomy in action: anthropology and history in court. Social & Legal Studies, dikutip dalam Jane Donoghue, Reflection on the Sociology of Law : A Rejection of Law as “ Socially Marginal”International Journal of Law, Crime and Justice, Volume 37, Issues 1-2, March-June 2009, Pages 60 Undang-Undang : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Repoblik Indonesia. Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-undang Nomor 14 tahun 2004 tentang Kejaksaan Negeri Repoblik Indonesia
130
Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar.
Surat Kabar Radar Sulteng, 23 Agustus 2008 Media Elektronik : Celebes
Biodiversity, Portal Keanekaragaman Hayati Sulawesi, HPPTwww.celebio.org diakses pada tanggal 8 September 2009
Kementrian Lingkungan Hidup Keanekaragam Hayati, http://www.menlh.go.id/i/ art/DFBAB%20VII%20KEANEKARAGAMAN%20HAYATI%201106 2003 Masyhud, Siaran Pers, dalam www.dephut.go.id
131