perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KAJIAN MODEL PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 (Analisis Putusan BPSK dan Putusan Banding Pengadilan Negeri Sragen)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum
Minat Utama : Hukum Pidana Ekonomi
Disusun Oleh : TEGAR HARBRIYANA PUTRA NIM : S. 330811013
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2015 commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta karunia dan hidayah-Nya sehingga tesis dengan judul KAJIAN MODEL PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 (Analisis Putusan BPSK dan Putusan Banding Pengadilan Negeri Sragen), ini dapat penulis selesaikan tepat waktu guna memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tesis ini merupakan salah satu persyaratan yang harus ditempuh dalam rangkaian kurikulum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maretdan juga merupakan syarat utama yang harus dipenuhi dalam menempuh jenjang kesarjanaan S2. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan ilmiah ini tidak luput dari kekurangan, baik dari segi materi yang disajikan maupun dari segi analisisnya. Namun, penulis berharap bahwa penulisan hukum ini mampu memberikan manfaat baik bagi penulis sendiri maupun bagi pembacanya. Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan rasa terima kasih yang tulus kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Bapak Prof. Dr. Supanto, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 4. Bapak Dr. Hari Purwadi, S.H., M.Hum., selaku Kepala Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 5. Bapak Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, arahan, petunjuk dan masukan bagi commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kesempurnaan tesis ini, sehingga dapat tersusun dan terselesaikan dengan baik dan lancar. 6. Ibu Rofikah, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, petunjuk dan masukan bagi kesempurnaan penulisan tesis ini sehingga tesis ini dapat tersusun dan terselesaikan dengan baik dan lancar. 7. Bapak dan Ibu Dosen Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan ilmunya dengan penuh dedikasi dan keikhlasan sehingga menambah wawasan dan pengetahuan penulis. 8. Bapak dan Ibu Staf Sekretariat Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu kelancaran administrasi selama penulis menempuh perkuliahan hingga penyelesaian penulisan tesis ini. 9. Kedua orangtua penulis, Ayahanda Sri Hartoyo., dan Ibunda Sri Sayekti, yang telah memberikan doa, harapan, kasih sayang, cinta, serta motivasi yang tidak terhingga sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister Ilmu Hukum. 10. Bunda tersayang yang telah sabar menemani dan membantu ayah dalam menyelesaikan tesis. 11. Keluarga besarku
tersayang, dengan dorongan doa dan kasih sayang,
sehingga penulis dapat menyelesaiakan tesis. 12. Sahabat penulis serta teman-teman Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, khususnya kelas Hukum Pidana Ekonomi, yang telah memberikan semangat dan doa sehingga tesis ini dapat terselesaikan tepat waktu. 13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan tesis sampai dengan terselesainya tesis ini. Semoga amal budi baik yang disumbangkan kepada penulis dalam penyusunan penulisan hukum ini mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT. commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“Demi matahari dan sinarnya pada siang hari” “Demi bulan apabila mengiringinya” “Demi siang apabila menampakkannya” “Demi malam apabila menutupinya (gelap gulita)” “demi langit serta pembinaannya (yang menakjubkan)” “Demi bumi serta penghamparannya (ciptaannya)” “Maka dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketaqwaan” “Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu)” “Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya” (Al Qur’an Surat Asy-Syam ayat 1-10)
“Allah akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (Q.S. Al Thalaq (65) : 7)
Rasulullah SAW bersabda : Shadaqah tak akan mengurangi harta. Tidaklah seorang hamba senang memberi maaf, melainkan Allah akan menambah kemuliannya, Tidaklah seorang bertawadhu’ karena Allah, melainkan akan meninggikan derajatnya. (HR. Muslim dari Abu Hurairah r.a)
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL …………………………………………………..
I
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ………………………..
Ii
HALAMAN PENGESAHAN TESIS …………………………………
Iii
PERNYATAAN ………………………………………………………
Iv
KATA PENGANTAR …………………………………………………
V
MOTTO ………………………………………………………………..
viii
DAFTAR ISI …………………………………………………………..
ix
ABSTRAK INDONESIA ……………………………………………...
xii
ABSTRAK INGGRIS …………………………………………………
xiii
BAB
BAB
I.
PENDAHULUAN …………………………..………..
1
A. Latar Belakang Masalah …………………………………
1
B. Perumusan Masalah …..…………………………………
7
C. Tujuan Penelitian ……..…………………………………
7
D. Manfaat Penelitian ……..………………………………..
8
II.
LANDASAN TEORI ……..……………………...…...
10
1. Tinjauan Umum Tentang Konsumen …………………...
10
a. Pengertian Konsumen ………………………...........
10
b. Hak dan Kewajiban Konsumen …………………….
12
2. Tinjauan Umum Tentang Pelaku Usaha..........................
23
a. Pengertian Pelaku Usaha …………………………...
23
b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha …………………
23
c. Tanggung Jawab Pelaku Usaha. ............................................... 25
24
3. Tinjauan Umum Tentang Sengketa Konsumen ….........
25
a.
Penegertian Sengketa Konsumen ………………..
25
b.
Bentuk-Bentuk Sengketa Konsumen ..................................... 28
28
4. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen ....................... 31
31
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5. Tinjauan Umum tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ....................................................................... 35 a.
Pengertian Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen............................................................................... 35
b.
BAB IV.
35
Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ..................................................
BAB III.
35
38
6. Teori Penegakan Hukum ............................................................... 40
40
7. Teori Sistem Hukum....................................................................... 46
46
8. Penelitian yang Relevan ................................................................. 50
49
9. Kerangka Berpikir .......................................................................... 53
52
METODE PENELITIAN ……………………………...
54
1. Jenis Penelitian ............................................................................... 54
54
55 2. Lokasi Penelitian ............................................................................
55
3. Jenis dan Sumber Data ................................................................... 55 4. Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 57
55
5. Teknik Analisis Data ………………………………………
58
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ….……..
59
A. Hasil Penelitian ............................................................................... 59
59
1. Deskripsi Kasus ........................................................................ 59
59
a.
BPSK Surakarta ................................................................. 59
b.
Uraian Singkat Keabsahan Perjanjian yang dilakukan antara Pengadu dan Teradu …………
c.
61
Uraian Singkat tentang kekuatan Mengikat dari Klausa Baku dalam Perjanjian Yang dilakukan antara Pengadu dan Teradu …………………….
d.
Amar
Putusan
BPSK
Nomor
04-
16/LS/IX/2012/BPSK.Ska.................................. commit to user
x
62
63
59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
e.
Amar Putusan Pengadilan Negeri Surakarta No. 233/Pdt.G/2012/ PN.Ska...............................
f.
64
Amar Putusan Pengadilan Negeri Sragen No.55/Pdt.G/BPSK/2012/ PN.SRG.....................
65
66 B. Pembahasan .................................................................................... 1.
Model Penyelesaian Sengketa Konsumen oleh 66 BPSK dan Pengadilan Negeri Surakarta ................................
2.
66
Hambatan dan Solusi Dalam Memutus Sengketa Konsumen
di
BPSK
dan
Pengadilan
Negeri...........................................................................
89
BAB V.
PENUTUP ………………………………………………..
97
A.
Kesimpulan ………………………………………………..
97
B.
Implikasi …………………………………………………..
99
C.
Saran ………………………………………………………
99
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….
102
commit to user
xi
66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model penyelesaian sengketa di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Pengadilan Negeri Sragen, serta untuk mengetahui hambatan dan solusi dalam penyelesaian sengketa. Penelitian ini termasuk kedalam penelitian non doktrinal dengan mendasarkan pada konsep hukum yang ketiga, yaitu hukum adalah apa yang diputus oleh hakim inconcreto dan tersistematisasi sebagai judge made law.Jenis data yang penulis gunakan, yaitu data primer dan sekunder. Adapun teknik pengumpulan data mengunakan studi wawancara (interview) dan studi kepustakaan. Teknik analisis data menggunakan analisa data secara kualitatif. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa model penyelesaian sengketa yang digunakan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu arbitrase. Sedangkan di Pengadilan Negeri menggunakan model penyelesaian sengketa yang berlaku pada penyelesaian perkara perkara perdata biasa. Hambatan yang dihadapi oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen antara lain perbedaan latar belakang kultur masing-masing anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, permasalahan sarana dan prasarana yang kurang memadai, regulasi peraturan yang tidak lengkap dan membingungkan dan sulitnya dalam pemanggilan para pihak yang bersengketa. Hambatan di Pengadilan Negeri yaitu memerlukan waktu yang lama, tidak melindungi kerahasiaan. Pengadilan (litigasi) dianggap tidak efektif dan efisien sehingga akan mengganggu atau menghambat kegiatan bisnis khususnya bagi pelaku usaha, begitu juga bagi konsumen, susahnya memanggil para pihak yang bersengketa. Solusi terhadap hambatan tersebut di antaranya perlu adanya peningkatan sumber daya manusia, khususnya bagi hakim arbiter agar supaya lebih menguasai tentang hukum, mengingat tidak semua hakim arbiter mempunyai latar belakang di bidang hukum. Kemudian, perlu adanya peran serta pemerintah kota setempat, dalam hal ini khususnya pemerintah Kota Surakarta, supaya lebih meningkatkan sarana dan prasarana di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen agar dapat mempercepat proses penyelesaian sengketa konsumen, serta perlu adanya regulasi Undang-Undang yang jelas mengenai batas kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Pengadilan Negeri. Kata Kunci : Model Penyelesaian Sengketa, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Pengadilan Negeri
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Abstract This study aims to determine the model of dispute resolution in Consumer Dispute Settlement Board and the Court of Surakarta, as well as to find out the barriers and solutions in the settlement of disputes in BPSK and the District Court. To achieve these objectives, then the non-doctrinal legal research. The type of data used are primary and secondary data to study the document, selanjutrnya analyzed using qualitative research data analysis. From the results of this research is that the model of dispute resolution used in the Consumer Dispute Settlement Board is arbitration. While in the District Court using the model of dispute resolution in effect on the settlement ordinary civil cases. Obstacles faced by the Consumer Dispute Settlement Board, among others, differences in cultural background of each member of the Consumer Dispute Settlement Board, the issue of infrastructure is inadequate, regulatory rules that are incomplete and confusing and difficult in summoning the parties to the dispute. While the obstacles in the District Court which require a long time, does not protect the confidentiality, the Court (litigation) is not considered effective and efficient so that it will interfere with or hinder business activity, especially for business people, as well as for consumers, difficult to call the parties to the dispute. The solution to these obstacles include the need for an increase in human resources, particularly for judges in order to better master arbiter of the law, given that not all judges arbiters have a background in law. Then, the need for participation of the local municipality, in this particular Surakarta local government, in order to further improve the facilities and infrastructure in the Consumer Dispute Settlement Board of Surakarta in order to expedite the process of resolving consumer disputes, as well as the need for regulation of the Act are clear about boundaries authority of the Consumer Dispute Settlement Board and the District Court. Keywords : Dispute Resolution Model, Consumer Dispute Settlement Board, the District Court
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Arah kebijakan pembangunan perekonomian pemerintah sekarang ini salah
satu
ditekankan
pada
pembangunan
perekonomian
nasional,
dilaksanakan sebagai upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin lama semakin maju dalam segala bidang, maka tidak menutup kemungkinan akan majunya perkembangan ekonomi. Pesatnya pertumbuhan perekonomian dan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi telekomunikasi dan informatika turut mendukung perluasan ruang lingkup dan gerak transaksi persaingan usaha barang dan jasa. Pada era perdagangan bebas membuat persaingan usaha menjadi semakin ketat. Ketatnya persaingan usaha ini menumbuhkan kreasi-kreasi untuk menciptakan produk-produk baik jasa maupun barang perdagangan. Produk di bidang jasa yang berkembang sangat pesat sampai saat ini adalah bidang pembiayaan, karena perluasan usaha dan pemenuhan peralatan modal membutuhkan pembiayaan. Permasalahan yang sering timbul berkaitan kegiatan dunia usaha seperti perdagangan baik jasa dan/ atau barang senantiasa menarik untuk lebih diperhatikan, dicermati dan diteliti. Hal ini disebabkan karena perdagangan akan selalu berkaitan dengan apa yang disebut dengan konsumen dan produsen. Kondisi tersebut pada satu pihak sangat bermanfaat bagi kepentingan konsumen, karena kebutuhannya akan barang dan jasa semakin besar seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan jaman. Demikian pula dengan semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya masing-masing.Dilain pihak, kondisi dan fenomena tersebut commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang. Konsumen dapat menjadi objek aktivitas bisnis dari pelaku usaha melalui iklan, promosi serta penerapan perjanjian-perjanjian standar yang merugikan konsumen. Hal ini disebabkan karena kurangnya pendidikan konsumen dan rendahnya kesadaran akan hak-hak dan kewajibannya. Persaingan yang sehat antar pelaku usaha sesungguhnya tidak salah, asalkan dengan diimbangi peningkatan kualitas dan mutu barang dan/ atau jasa serta didukung pelayanan yang jujur, baik serta pemberian informasi yang benar dari pelaku usaha kepada konsumen tentu akan sangat bermanfaat dan menguntungkan konsumen. Berbeda jika persaingan usaha hanya didasarkan pada pencarian keuntungan belaka dari pelaku usaha dengan cara yang tidak sehat, maka sudah tentu dapat berakibat buruk bagi konsumen. Potensi demikian dapat menimbulkan terjadinya sengketa konsumen antara konsumen
dengan
pelaku
usaha.
Untuk
dapat
menjamin
suatu
penyelenggaraan perlindungan konsumen, maka pemerintah menuangkan perlindungan konsumen dalam bentuk suatu produk hukum, yaitu UndangUndang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (yang untuk selanjutnya disebut dengan UUPK). Menurut G. Deepa dan Dr. K. Vijayarani“an act to provide for better protection of the interests of consumers and for that purpose to make provision for the establishment of consumer councils and other authorities for the settlement of consumers’ disputes and for matters connected therewith”.1 Artinya, tindakan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik dari kepentingan konsumen dan untuk tujuan itu untuk membuat ketentuan pembentukan dewan konsumen dan otoritas lainnya untuk penyelesaian sengketa konsumen dan untuk hal-hal yang berhubungan dengannya. Maksudnya bahwa memberikan perlindungan terhadap konsumen dengan dibentuknya peraturan perlindungan konsumen sangat penting, mengingat banyaknya sengketa konsumen yang timbul dan pada akhirnya dalam hal ini konsumenlah yang banyak dirugikan. G. Deepa dan Dr. K. Vijayarani, “Performance of Consumer Disputes Redressal Agencies in TN”, International Journal of Management and Commerce Innovations ISSN 2348-7585 (Online) Vol. 2, Issue 2, 2015, hlm. 21. 1
commit to user
2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lahirnya UUPK yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 20 April 1999, dan berlaku secara efektif tanggal 20 April 2000 mengatur antara lain keberadaan lembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang disebut dengan BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), sebagai pelaksanaannya pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Pembentukan BPSK ini dilatarbelakangi adanya globalisasi dan perdagangan bebas, yang didukung kemajuan teknologi dan informatika dan dapat memperluas ruang gerak transportasi barang dan/ atau jasa melintasi batas-batas wilyah suatu Negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) UUPK2 menjamin adanya kepastian hukum terhadap konsumen.Kepastian hukum itu meliputi segala upaya untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.3 Sedangkan dalamPasal 3 ayat (1) dan (2) UUPK4 lebih menyoroti kepada tujuan dari dibentuknya UUPK yang akan penulis bahas dalam penelitian hukum ini lebih lanjut. Sesuai penjelasan dalam ayat (2) UUPK, konsumen mendapatkan porsi perlindungan yang lebih diperhatikan atas barang/jasa yang dipakainya. Dalam era globalisasi, pembangunan perekonomian nasional harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa yang dapat meningkatkan kesejahteraan
2
Pasal 1 angka (1) UUPK menyatakan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. 3
AZ. Nasution, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Teropong, Edisi Mei, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 6-7. 4
Pasal 3 ayat (1) UUPK menyatakan bahwa tujuan dibentuknya UUPK adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, sedangkan dalam ayat (2) bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
commit to user
3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masyarakat banyak.5 Pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum memiliki kekuatan untuk memaksa pelaku usaha dan konsumen untuk mentaatinya dan hukum juga memiliki sanksi yang tegas. Dalam penjelasan UUPK disebutkan bahwa mengingat dampak penting yang dapat ditimbulkan akibat
tindakan
pelaku
usaha
yang
sewenang-wenang
dan
hanya
mengutamakan keuntungan dari bisnisnya sendiri, maka pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi konsumen yang posisinya memang lemah, disamping ketentuan hukum yang melindungi belum memadai. Amanat UUPK memerintahkan penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara. Cara penyelesaian sengketa pertama melalui proses litigasi di dalam pengadilan, kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerjasama (kooperatif) di luar pengadilan (non litigasi). Proses litigasi menghasilkan putusan yang bersifat pertentangan (adversarial) yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, bahkan cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan diantara pihak yang bersengketa.6 Penyelesaian dengan jalan litigasi bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 48 UUPK7. Sedangkan mengenai penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau non litigasi bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 47 UUPK8. Sesuai Pasal
5
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen.PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003,hlm. 98. 6
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,hlm. 3. 7
Pasal 48 UUPK menyatakan bahwa penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan Pasal 45. 8
Pasal 47 UUPK menyatakan bahwa penyelesain sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/ atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita konsumen.
commit to user
4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
45 ayat(1) UUPK9. Sedangkan dalam Pasal 45 ayat(2) UUPK10. Dengan cara penyelesaian sengketa secara damai sesungguhnya yang paling diinginkan, diusahakan bentuk penyelesaian sengketa yang mudah dan relatif lebih cepat. Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK pada prinsipnya diserahkan kepada pilihan para pihak, antara konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan apakah akan diselesaikan melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Setelah konsumen dan pelaku usaha mencapai kesepakatan untuk memilih salah satu cara penyelesaian sengketa konsumen dari tiga cara yang ada di BPSK, maka Majelis BPSK wajib menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen menurut pilihan yang telah dipilih dan para pihak wajib mengikutinya. Namun seiring berjalannya waktu banyak sekali masalah yang timbul diantara para konsumen dengan penyedia barang dan jasa. Hal tersebut dapat dipahami bahwa keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai badan yang dibentuk secara khusus oleh pemerintah dalam rangka membantu masyarakat untuk penyelesaian persoalan-persoalan tentang sengketa konsumen harus lebih diketahui oleh masyarakat secara luas, agar masyarakat memiliki gambaran bagaimana menyelesaikan persoalan jika mereka selaku konsumen menghadapi kekecewaan atau ketidakpuasan atau bahkan penipuan dari pelaku usaha atas barang dan/ atau jasa yang telah konsumen beli dengan membayarkan uang dalam jumlah tertentu sehingga tidak mengalami banyak kerugian. Dalam hal ini tidak hanya membantu masyarakat saja, melainkan juga BPSK juga berperan untuk membantu lembaga pembiayaan yang sedang bermasalah dengan konsumen yang diakibatkan karena kesalahan yang dilakukam oleh pihak konsumen, yang antara lain ketidakmauan konsumen untuk melakukan kewajibannya
9
Pasal 45 ayat (1) UUPK menyatakan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum. 10
Pasal 45 ayat(2) UUPK10 menyatakan bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa dengan cara ini disebut cara kekeluargaan.
commit to user
5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membayar dalam rangka pengadaan barang dan jaa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Dengan hadirnya BPSK sebagaimana dimaksudkan dalam UUPK yang dibentuk oleh pemerintah adalah badan yang melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi, sehingga akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan terhadap kekuatan mengikat putusan arbitrase BPSK tersebut. Ketentuan Pasal 54 ayat 3 UUPK11, menyebutkan bahwa Putusan BPSK sebagai hasil dari penyelesaian sengketa konsumen secara mediasi atau arbitrase atau konsiliasi bersifat final dan mengikat. Pengertian final berarti bahwa penyelesaian sengketa telah selesai dan berakhir.Sedangkan kata mengikat mengandung arti memaksa dan sebagai sesuatu yang harus dijalankan oleh pihak yang diwajibkan untuk itu.Prinsip res judicata pro veritate habetur, menyatakan bahwa suatu putusan yang tidak mungkin lagi untuk dilakukan upaya hukum, dinyatakan sebagai putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti. Namun jika pasal tersebut dihubungkan dengan Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 58 ayat (2) UUPK, menyatakan bahwa terhadap putusan BPSK yang menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha dapat diajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri, dan terhadap putusan Pengadilan tersebut dapat diajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung. Hal ini bertentangan dengan pengertian putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat tersebut, sehingga dengan demikian ketentuan pasal-pasal tersebut saling kontradiktif. Maraknya praktek-praktek usaha dibidang pembiayaan dengan sistem perjanjian fidusia yang dilakukan pelaku usaha baik bank maupun non bank termasuk lembaga pembiyaan (finance) menyebabkan tingkat konsumsi masyarakat, khususnya di Kota Surakarta menjadi meningkat terutama konsumsi dibidang otomotif baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Namun ternyata masalah mulai muncul ketika banyak debitur yang tidak bisa
commit to user
6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menepati perjanjian yang telah mereka buat dengan pengusaha, seperti kasus debitur yang tidak bisa melunasi angsuran. Seperti dalam kasus yang penulis bahas, konsumen dan lembaga pembiayaan yang telah sepakat mengadakan perjanjian pembiayaan konsumen dan pengakuan hutang yang dilakukan oleh PT. Andalan Finance dengan Nomor 4095/J/95/110783. Diawali ketika konsumen tidak lagi melakukan pelaksanaan pembayaran angsuran sesuai dengan jatuh tempo sebagaimana ketentuan perjanjian yang telah disepakati bersama oleh kedua belah pihak. Pada akhirnya kasus ini dilaporkan ke BPSK sebagai lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa konsumen, dan terus berlajut sampai ke Pengadilan Negeri. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk menyusun sebuah penelitian ilmiah dalam bentuk tesis yang berjudul:“Kajian Model Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 (Analisis Putusan BPSK dan Putusan Banding Pengadilan Negeri Sragen)”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan tersebut, maka penulis membatasi pembahasan dalam penulisan ini dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah model penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK dan Pengadilan Negeri Sragen? 2. Apa yang menjadi hambatan dan bagaimana solusi dalam memutus sengketa konsumen di BPSK dan Pengadilan Negeri?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah suatu target yang hendak dicapai untuk menemukan pemecahan masalah penelitian (tujuan obyektif), untuk memenuhi kebutuhan akan ilmu pengetahuan khususnya secara pribadi commit to user
7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(tujuan subyektif). Apa yang hendak dicapai dalam penelitian hendaknya dikemukakan dengan jelas dan tegas12. Berdasarkanpermasalahan diatas maka penulis menetapkan tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Tujuan Obyektif a) Untuk mengetahui model penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK dan Pengadilan Negeri Sragen. b) Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan dalam memutus sengketa konsumen di BPSK dan Pengadilan Negeri Sragen. 2. Tujuan Subyektif a) Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam menyusun karya ilmiah guna memenuhi persyaratan yang diwajibkan dalam meraih gelar Magister di bidang Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Pidana Ekonomi pada Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. b) Untuk menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan pengalaman penulis serta pemahaman aspek hukum, selain itu untuk memberikan masukan kepada pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a.
Merupakan salah satu sarana untuk mengumpulkan data sebagai bahan penyusunan tesis guna melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar Magister di bidang Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Pidana Ekonomi pada Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta;
b.
Untuk memberi sumbangan pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya,
12
Maria S.W Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, PT. Raja Grafindo Persada, Yogyakarta, 1989. hlm. 23
commit to user
8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
khususnya hukum pidana ekonomi dalam rangka pembinaan hukum nasional di Indonesia, terutama tentang peran dan fungsi BPSK. 2. Manfaat Praktis a.
Diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk terjun ke masyarakat;
b.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah, aparat penegak hukum dan semua pihak yang terkait. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi literatur yang berguna bagi pengetahuan masyarakat.
commit to user
9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
1.
Tinjauan Umum tentang Konsumen a. Pengertian Konsumen Asal mula istilah “konsumen” berasal dari bahasa Inggris yaitu consumer atau dalam bahasa Belanda yaitu consument. Konsumen secara harfiah
adalah
orang
yang
memerlukan,
membelanjakan
atau
menggunakan, pemakai atau pembutuh.13 Konsumen bisa juga diartikan sebagai consumer adalah “lawan (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang”. Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan para
ahli hukum pada umumnya
sepakat
mengartikan
konsumen
sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa (uiteindelijke gebruiker van goederen en diensten).14 Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara)
dan konsumen pemakai
terakhir. Konsumen dalam arti luas
mencakup kedua kriteria itu, sedangkan konsumen dalam arti sempit hanya mengacu pada konsumen pemakai terakhir. Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK, pengertian konsumen sesungguhnya dapat terbagi dalam tiga bagian, terdiri atas: 1) Konsumen dalam arti
umum yaitu pemakai,
pengguna dan/atau
pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu. 2) Konsumen antara adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi menjadi barang/jasa lain atau
13
N.H.T. Siahaan, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Cet. I, Bogor : Grafika Mardi Yuana, 2005, hal. 23. 14
E.H. Hondius, 1976, Konsumentenrecht, dalam Shidharta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, hal 2
commit to user
10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
untuk memperdagangkannya dengan tujuan komersial. Konsumen ini sama dengan pelaku usaha. 3) Konsumen akhir adalah setiap orang alami (natuurlijke persoon) yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidup pribadinya,
keluarga dan/atau rumah
tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Konsumen
akhir
inilah
yang
dengan
jelas
diatur
perlindungannya dalam UUPK tersebut. Selanjutnya apabila digunakan istilah
konsumen
dalam Undang-undang dan penelitian ini, yang
dimaksudkan adalah konsumen akhir. Ketentuan Pasal 1 angka (2) UUPK menyebutkan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai
barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Ternyata pengertian konsumen dalam UUPK tidak hanya konsumen secara individu, juga meliputi
pemakaian barang untuk
kepentingan makhluk hidup lain, seperti binatang peliharaan, tetapi tidak diperluas pada individu pihak ketiga (bystander) yang dirugikan atau menjadi korban akibat penggunaan atau pemanfaatan suatu produk barang atau jasa. Dalam pengertian konsumen ini adalah “syarat untuk tidak diperdagangkan” , yang menunjukkan sebagai “konsumen akhir” (end consumer),
dan
sekaligus membedakan dengan konsumen antara
(intermediate consumer). Az.Nasution juga mengklasifikasikan pengertian Konsumen menjadi tiga bagian : 15 a. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat dan/atau jasa untuk tujuan tertentu. b. Konsumen antara yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat dan/atau jasa untuk diproduksi menjadi barang dan/jasa lain untuk
15
AZ.Nasution, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Tinjauan Singkat UU Nomor 8 Tahun 1999,www.pemantauperadilan.com. diakses pada 26 Juni 2015.
commit to user
11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memperdagangkannya
(distributor)
dengan
tujuan
komersial.
Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha. c. Konsumen akhir yaitu, pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Konsumen akhir inilah yang dengan jelas diatur perlindungannya dalam UUPK.
b. Hak dan Kewajiban Konsumen Konsumen dengan pelaku usaha mempunyai hubungan yang saling membutuhkan. Pelaku usaha dalam memasarkan barang dagangannya pasti membutuhkan konsumen. Dalam hal ini, seorang konsumen tentu mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Bagi seorang konsumen, biasanya yang penting adalah mendapatkan barang yang dia inginkan. Sementara bagi pelaku usaha, tujuannya adalah untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya sehingga sering timbul pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang akan merugikan konsumen. Sudikno Martokusumo dalam bukunya Mengenai Hukum, Suatu Pengantar, menyatakan bahwa dalam pengertian hukum, hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan itu sendiri berarti tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Sehingga dapat dikatakan bahwa hak adalah suatu tuntutan yang pemenuhannya dilindungi oleh hukum.Mengenai hak konsumen, diatur dalam Pasal 4 UUPK, yakni : 1. Hak
atas
kenyamanan,
keamanan,
dan
keselamatan
dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Hak ini mengandung arti bahwa konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang akan dikonsumsi, mendapatkan jaminan keamanan dan keselamatannya secara jasnmani maupun rohani. Hak untuk memperoleh keamanan ini penting ditempatkan pada kedudukan utama karena berabad-abad berkembang suatu falsafah berpikir bahwa konsumen (terutama commit to user
12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pembeli) adalah pihak yang wajib berhati-hati, bukan pelaku usaha.16 Falsafah yang disebut caveat emptor (let the buyer beware) ini mencapai puncaknya pada abad 19 seiring dengan berkembangnya paham rasional di Amerika Serikat. Dalam perkembangannya kemudian prinsip yang merugikan konsumen ini telah ditinggalkan. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa keamanan dan keselamatan merupakan hal yang utama bagi manusia. Hanya saja disadari atau tidak, penghargaan orang terhadap hal itu berbeda-beda. Hal ini tergantung pada tingkat pendapatan dan kepedulian konsumen itu sendiri, dan secara khusus konsumen di negara-negara didunia (termasuk Indonesia) karena mayoritas dalam kondisi rentan, maka arti penting dari hak tersebut masih banyak diabaikan. Berangkat dari kondisi konsumen yang masih rentan, baik secara ekonomi maupun sosial, maka Undang-Undang Perlindungan Konsumen memandang perlu menggariskan etika dan peraturan yang mewajibkan pelaku usaha untuk menjamin kemanan dan keselamatan. Untuk implementasinya, selanjutnya diperlukan peranan dari berbagai pihak, khususnya Pemerintah, secara intensif dalam menyusun suatu peraturan maupun kontrol atas penerapan peraturan tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari dengan mudah dapat dilihat bahwa hak atas keamanan dan keselamatan masih diabaikan. Kekurang mampuan produk-produk negeri kita menembus pasar internasional adalah suatu bukti dimana produk dari para produsen dalam negeri relatif masih kurang baik. Pasar internasional dimana tingkat kompetisinya cukup tinggi,
jelas
akan
menyingkirkan
produk-produk
yang
tidak
mempertimbangkan keamanan dan keselamatan konsumen. Dengan demikian, pada dasarnya kepedulian produsen terhadap keamanan dan keselamatan konsumen, justru akan menguntungkan semua pihak. Sementara kepedulian konsumen akan haknya juga akan menjadi pendorong bagi pengambil kebijakan baik pelaku usaha maupun 16
Abdoel Djamali, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo, 2006, hal. 3.
commit to user
13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pemerintah, sehingga menjadi lebih sempurna. Baik langsung maupun tidak, hal ini akan membantu penggalangan cinta produksi dalam negeri, serta pemasukan devisa melalui ekspor ke luar negeri.17 2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Mengkonsumsi suatu barang atau jasa harus berangkat dari kebutuhan dan kecocokan konsumen. Bagi konsumen golongan menengah ke atas yang memiliki kekuatan materi, mungkin saja tidak mempunyai masalah dengan hak pilih. Namun bagi konsumen golongan bawah, dimana kemampuan daya belinya relatif rendah, maka hal ini menjadi masalah. Ketidak berdayaan konsumen golongan ini umumnya terletak pada pengetahuan mutu suatu barang dan / atau jasa. Sekalipun mereka mengetahui adanya ancaman yang terselip dari barang yang dikonsumsi
tersebut,
tetap
saja
konsumen
golongan
ini
akan
mengkonsumsi barang/ jasa tersebut karena sesuai dengan daya belinya. 3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Tujuan informasi dari suatu produk, baik disampaikan secara langsung atau melalui iklan dan label, bukan semata untuk perluasan pasar saja, tetapi juga menyangkut masalah informasi secara keseluruhan menyangkut kelebihan dan kekurangan atas produk tersebut, terutama dalam hal keamanan dan keselamatan konsumen. Pemberian batas kadaluarsa, kandungan bahan serta sejumlah peringatan dan aturan penggunaan lainnya harus disertakan dan diberikan informasi secara benar pada konsumen. Namun apabila hal-hal tersebut tidak dapat diberikan oleh produsen/ pedagang, maka konsumen berhak untuk menuntutnya. Terhadap hak atas informasi ini, konsumen perlu waspada mengingat seringnya pihak produsen/ pedagang melakukan penyampaian 17
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Jakarta: Grasindo, 2000
commit to user
14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
informasi secara berlebihan. Sehingga, dalam banyak hal, pihak produsen/ pedagang tanpa tersadari sering mendorong konsumen untuk bertindak tidak lagi rasionil. Untuk itu konsumen perlu selektif terhadap informasi yang diberikan dan berusaha mencocokkan dengan kenyataan yang ada pada produk tersebut. Tak kalah pentingnya, konsumen pun harus jeli dalam membedakan mana rayuan, mana promosi dan mana kenyataannya. Hal itu merupakan tindakan yang bijak daripada mengalami kerugian di belakang hari. 4. Hak untuk didengar keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Menurut Shidarta, keselamatan dan keamanan yang terancam, serta wujud yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan kenyataan produk yang dijajakan, cukup banyak terjadi. Hal ini meresahkan serta merugikan konsumen. Untuk semua itu, konsumen berhak mengeluh dan menyampaikan masalah tersebut pada pelaku usaha bersangkutan. Sebaliknya, pelaku usaha juga harus bersedia mendengar, menampung dan menyelesaikan perihal yang telah dikeluhkan oleh konsumen tadi. Pada hal yang sama, hak ini dimaksudkan sebagai jaminan bahwa kepentingan, pendapat, serta keluhan konsumen harus diperhatikan baik oleh pemerintah, produsen maupun pedagang. Hak untuk didengar dapat diungkapkan oleh konsumen dengan cara mengadu kepada produsen/ penjual/ instansi yang terkait. Dan konsumen perlu memanfaatkan hak untuk didengarnya dengan baik serta optimal. Hal ini dirasa perlu, karena dari pengalaman sehari-hari terlihat, bahwa hak untuk didengar ini belum dimanfaatkan. Contoh yang paling sederhana misalnya, dalam ikatan transaksi jual beli atau sewa beli, kontrak-kontrak sepihak dan ketentuan-ketentuan yang tercantum pada bon pembelian yang biasanya hanya menguntungkan produsen/ pedagang, biasanya karena dipermasalahkan secara terbuka. Kalaupun telah merasakan ketidakseimbangan ketentuan tersebut, konsumen segan mengajukan usulan yang menjadi haknya. Kedepannya, hal tersebut perlu commit to user
15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mendapat perhatian, agar konsumen jangan selamanya berada pada posisi yang dirugikan. 5. Hak
untuk
mendapatkan
advokasi,
perlindungan,
dan
upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Bahwasanya di dalam memberikan perlindungan hukum bagi konsumen tercakup juga kewajiban untuk melakukan upaya-upaya peningkatan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri sendiri, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan harkat dan martabat konsumen, sekaligus menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha untuk berlaku jujur dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, pemberian perlindungan hukum bagi konsumen hendaknya tanpa merugikan pelaku usaha yang memang berperilaku baik dan jujur. Seyogyanya, antara konsumen dengan pelaku usaha menjadi mitra sejajar dan saling membutuhkan. 6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen. Shidarta
menjelaskan
bahwa
konsumen
berhak
untuk
mendapatkan pendidikan dan ketrampilan, terutama yang menyangkut mutu barang dan layanan agar peluang seorang konsumen untuk ditipu atau tertipu semakin kecil. Untuk meningkatkan hasil guna dan daya guna dari pendidikan ini, konsumen memang dituntut aktif, seperti membiasakan untuk membaca label. Dan sebaliknya, sangat diharapkan peran serta pemerintah dan produsen untuk mendistribusikan materi yang diperlukan konsumen. Upaya pendidikan konsumen tidak selalu harus melewati jenjang pendidikan formal, tetapi dapat melewati media massa dan kegiatan lembaga swadaya masyarakat. 18 Dalam banyak hal, pelaku usaha terikat untuk memperhatikan hak konsumen untuk mendapatkan “ pendidikan konsumen “ ini. Pengertian “ pendidikan“ tidak harus diartikan sebagai proses formal yang dilembagakan. Pada prinsipnya, makin kompleks teknologi yang diterapkan dalam menghasilkan suatu produk menuntut pula makin 18
Shidarta, op.cit. hal 24-25.
commit to user
16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
banyak informasi yang harus disampaikan kepada konsumen. Bentuk informasi
yang
lebih
komprehensif
dengan
tidak
semata-mata
menonjolkan unsur komersialisasi, sebenarnya sudah merupakan bagian dari pendidikan konsumen. Produsen mobil misalnya dalam memasarkan produk dapat menyisipkan program-program pendidikan konsumen yang memiliki kegunaan praktis, seperti tata cara perawatan mesin, pemeliharaan ban, atau penggunaan sabuk pengaman. 7. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Ketika UUPK ini dirancang, para perumus RUUPK sangat memperhatikan dasar-dasar acuan untuk mewujudkan perlindungan konsumen, yaitu pertama, hubungan hukum antara penjual dengan konsumen secara jujur, kedua hubungan kontrak penjual dan konsumen dirumuskan
dengan
jelas,
ketiga
konsumen
sebagai
pelaku
perekonomian, keempat konsumen yang menderita kerugian akibat yang cacat mendapat ganti rugi yang memadai, kelima diberikannya pilihan penyelesaian sengketa kepada para pihak. Dasar-dasar
tersebut
telah
menekankan
pada
pentingnya
pemberian hak kepada konsumen untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/ atau penggantian, apabila ternyata tidak sesuai dengan yang diperjanjikan maupun tidak dalam kondisi sebagaimana mestinya. Terlepas adanya unsur ketidak sengajaan dari pihak penjual yang mengakibatkan terjadinya cacat barang yang tersembunyi dan sekalipun telah yakin terhadap kejujuran penjual tersebut, maka pada contoh kasus ini telah melekat hak konsumen untuk mendapatkan ganti rugi. Ganti rugi dimaksud bisa saja dalam bentuk pengembalian pembayaran, mengganti dengan barang baru yang sama, ataupun bentuk kompensasi lainnya sesuai hasil penyelesaian masalah/ sengketa 8. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. commit to user
17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam praktek sehari-hari masih banyak dijumpai adanya pelaku usaha yang suka membeda-bedakan pelayanan terhadap seoarang konsumen dengan konsumen lainnya, antara lain dengan memilah-milah status konsumen. Kesemuanya ini telah diantisipasi oleh UUPK, dimana konsumen dibekali hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif oleh pelaku usaha.19 9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya. Termasuk kedalam hak konsumen yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, berupa :20 1. Hak Untuk Mendapatkan Lingkungan Hidup Yang Baik dan Sehat Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak yang diterima sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai organisasi konsumen di dunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat berarti sangat luas, dan setiap makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup meliputi lingkungan hidup dalam arti fisik dan lingkungan non fisik. Dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup,
hak
untuk
mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat ini dinyatakan secara tegas. Desakan pemenuhan hak konsumen atas lingkungan hidup yang baik dan sehat makin mengemuka akhir-akhir ini. Misalnya munculnya gerakan konsumerisme hijau (green consumerism) yang sangat peduli pada kelestarian lingkungan. Sementara itu, mulai tahun 2000 semua perusahaan yang berkaitan dengan hasil hutan, baru dapat menjual produknya di Negaranegara yang tergabung dalam The International Tropical Timber Organization (ITTO), juga telah memperoleh ecolabeling certificate. 19
Shidarta, op.cit. hal 27.
20
Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo. Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada, 2011, hal. 40
commit to user
18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ketentuan demikian sangat penting artinya, khususnya bagi produsen hasil hutan tropis, seperti Indonesia karena praktis pangsa pasar terbesarnya adalah Negara-negara anggota ITTO. Untuk itu lembaga Ecolabeling Indonesia (LEI) pada tahun 1998 mulai melakukan audit atas sejumlah perusahaan perkayuan Indonesia agar dapat diberikan sertifikat ekolabeling yang disebut SNI 5000. 2. Hak Untuk Dilindungi dari Akibat Negatif Persaingan Curang Persaingan curang atau dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 disebut dengan “ persaingan usaha tidak sehat” dapat terjadi jika seorang pengusaha berusaha menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan usahanya atau memperluas penjualan atau pemasarannya dengan menggunakan alat atau sarana yang bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran dalam pergaulan perekonomian. Walaupun persaingan terjadi antara pelaku usaha, namun dampak dari persaingan itu selalu dirasakan oleh konsumen. Jika persaingan sehat, konsumen memperoleh keuntungan. Sebaliknya jika persaingan curang konsumen pula yang dirugikan. Kerugian itu boleh jadi tidak dirasakan dalam jangka pendek tetapi cepat atau lambat pasti terjadi. Contoh bentuk yang kerap terjadi dalam persaingan curang adalah permainan harga (dumping). Satu produsen yang kuat mencoba mendesak produsen saingannya yang lebih lemah dengan cara membanting harga produk. Tujuannya untuk merebut pasar, dan produsen saingannya akan berhenti berproduksi. Pada kesempatan berikutnya, dalam pasar yang monopolistik itulah harga kembali dikendalikan oleh si produsen curang ini. Dalam posisi demikian, konsumen pula yang dirugikan. Hak konsumen untuk dihindari dari akibat negatif persaingan curang dapat dikatakan sebagai upaya pre-emptive yang harus dilakukan, khususnya oleh Pemerintah guna mencegah munculnya akibat-akibat langsung yang merugikan konsumen. Itulah sebabnya, gerakan konsumen sudah selayaknya menaruh perhatian terhadap keberadaan peraturan perundangcommit to user
19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
undangan yang berkaitan dengan hak ini, seperti yang ada saat ini, yaitu UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam UU No. 5 Tahun 1999 disebutkan adanya (1) perjanjian yang dilarang, dan (2) kegiatan yang dilarang, antara lain dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24. Termasuk dalam bentuk perjanjian yang dilarang adalah ologopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertical, perjanjian tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan tidak sehat. Jika dibandingkan antara hak-hak konsumen sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan Resolusi PBB, tampaknya tidak ada perbedaan mendasar. Penyebabnya, antara lain adalah bahwa hak-hak konsumen yang disebut di dalam Resolusi PBB itu adalah rumusan tentang hak-hak konsumen yang diperjuangkan oleh lembaga-lembaga konsumen di dunia,dan telah sejak lama diperjuangkan di negaranya masing-masing. Hal ini menunjukkan pula bahwa hak-hak konsumen bersifat universal. Hak tersebut diatas pada intinya adalah untuk memberikan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Sebab masalah tersebut
merupakan
hal
yang
paling
utama
dalam
perlindungan
konsumen.Pada dasarnya dikenal 10 macam hak konsumen. Hak-hak konsumen tersebut adalah: 21 a. Hak atas kenyamanan dan keselamatan Dimaksudkan
untuk
menjamin
kemanan
dan
keselamatan
konsumen dalam penggunaan barang atau jasa yang diperolehnya sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengonsumsi suatu produk. b. Hak untuk memperoleh informasi Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk 21
Ibid, hal. 45.
commit to user
20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang diinginkan sesuai kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk. c. Hak untuk memilih Hak untu memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak luar. d. Hak untuk didengar Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut. Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi tentang produk tersebut kurang memadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan suatu produk, atau
yang berupa pernyataan/pendapat tentang suatu kebijakan
pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen. e. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup Hak ini merupakan hak yang mendasar karena menyangkut kelangsungan hidup seseorang. Dengan demikian, setiap konsumen berhak untuk memperoleh kebutuhan dasar (barang atau jasa) untuk mempertahankan hidupnya secara layak. f. Hak untuk memperoleh ganti kerugian Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak akibat adanya penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Hak ini sangat terkait dengan penggunaan produk yang telah merugikan konsumen baik yang berupa kerugian materi maupun kerugian yang menyangkut kerugian atas diri kosumen sendiri. g. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen Dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk, karena dengan pendidikan konsumen tersebut, commit to user
21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
konsumen dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam memilih suatu produk yang dibutuhkan. h. Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat Hak atas lingkungan yang bersih dan sehat ini sangat penting bagi setiap konsumen dan lingkungan. i. Hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya. Hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari permainan harga yang tidak wajar, karena dalam keadaan tertentu konsumen dapat saja membayar harga suatu barang yang jauh lebih tinggi daripada kegunaan atau kualitas dan kuantitas barang atau jasa yang diperolehnya. j. Hak untuk mendapat upaya penyelesaian hukum yang patut Hak ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan akibat penggunaan barang atau jasa. Perbandingan hak konsumen dalam Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dengan 10 hak konsumen yaitu : 22 “Hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam Pasal 4 Undang undang Perlindungan Konsumen tersebut, terdapat satu hak yang tidak terdapat pada 10 hak konsumen yang diuraikan sebelumnya, yaitu “hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif”, namun sebaliknya Pasal4 Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak mencantumkan secara khusus tentang “hak untuk memperoleh kebutuhan hidup yang bersih dan sehat” tapi hak tersebut dapat dimasukkan ke dalam hak yang terakhir dalam Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen tersebut yaitu “hak-hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya”. Sedangkan hak-hak lainnya hanya perumusan yang lebih dirinci, tapi pada dasarnya sama dengan hak-hak yang disebutkan sebelumnya”. Sedangkan mengenai kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 UUPK, yaitu : 1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian. 22
Ibid, hal. 46.
commit to user
22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. 3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. 4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa konsumen secara patut.
2. Tinjauan Umum tentang Pelaku Usaha a. Pengertian Pelaku Usaha Yang dimaksud dengan pelaku usaha bukan hanya produsen, melainkan hingga pihak terakhir yang menjadi perantara antara produsen dan konsumen, seperti agen, distributor dan pengecer (konsumen perantara). Dalam UU No. 8 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 3 yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah : “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha baik-baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang diberikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara RI, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Mengenai hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU No. 8 Tahun 1999 (UUPK) adalah : 1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. 2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik. 3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen. 4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ataujasa yang diperdagangkan. commit to user
23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1999 UUPK adalah : 1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. 2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. 3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. 4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. 5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan. 6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. 7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha. Adanya hubungan timbal balik antara konsumen dan pelaku usaha, adalah bukti adanya unsur kepentingan antar dua pihak yang membuat perjanjian yang saling mengikatkan diri satu sama lainnya.
commit to user
24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Tanggungjawab Pelaku Usaha Ketentuan mengenai tanggung jawab pelaku usaha terdapat dalam Pasal 19,20,21 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 antara lain : a. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan; b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau pengganti barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku c. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu tujuh hari setelah tanggal transaksi d. Pemberian ganti rugi sebagaimana ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan e. Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) tidak berlakuapabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen
3. Tinjauan Umum tentang Sengketa Konsumen a. Pengertian Sengketa Konsumen Sengketa atau konflik umumnya bersumber dari perbedaan pendapat atau ketidaksesuaian di antara para pihak. Perbedaan pendapat ini dapat berakibat buruk bagi kelangsungan hubungan antara para pihak yang bersengketa, oleh karena itu, setiap menghadapi perbedaan pendapat (sengketa), para pihak selalu berupaya menemukan cara – cara penyelesaian yang tepat. Permasalahan yang terjadi biasanya diselesaikan oleh para pihak yang bersengketa dengan memperhatikan hukum yang ada, hukum bukanlah sekedar pedoman untuk di baca, dilihat atau diketahui saja, melainkan untuk dilaksanakan dan ditaati. Hubungan hukum yang di laksanakan sebelum terjadi sengketa berpedoman kepada hukum pedata materiil, namun jika commit to user
25
perpustakaan.uns.ac.id
dalam
digilib.uns.ac.id
hubungan
hukum
tersebut
terjadi
masalah
maka
untuk
menyelesaiakannya berpedoman kepada hukum perdata formil atau hukum acara perdata. Sengketa Konsumen sesungguhnya bukanlah suatu sengketa yang sederhana, karena sengketa konsumen ini sebenarnya sangat luas cakupannya. Penyebab sengketa salah satunya adalah dari adanya wanprestasi dari salah satu pihak yang tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan yang disepakati bersama atau ada faktor eksternal diluar para pihak yang mengakibatkan tidak terpenuhinya prestasi dari suatu perjanjian.23 Berdasarkan pengertian, sengketa konsumen diartikan sebagai sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/ atau yang mendapat kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/ atau manfaat jasa. Az Nasution mendefinisikan sengketa konsumen adalah setiap perselisihan antara konsumen dengan penyedia produk konsumen (barang atau jasa konsumen) dalam hubungan hukum satu sama lain, mengenai produk konsumen tertentu.24 UUPK tidak memberikan batasan apakah yang dimaksud dengan “sengketa konsumen”, namun bukan berarti tidak ada penjelasan. Kata-kata sengketa konsumen dijumpai pada beberapa bagian UUPK, yaitu: 1. Pasal 1 butir (11) UUPK jo. BAB XI UUPK, penyebutan sengketa konsumen sebagai bagian dari sebutan institusi administrasi Negara yang mempunyai tugas untuk menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen, dalam hal ini adalah BPSK. Batasan BPSK pada pasal 1 butir (11) UUPK menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan “sengketa
konsumen”
yaitu sengketa antara pelaku usaha dan
konsumen. 2. Penyebutan sengketa konsumen menyangkut tata cara atau prosedur penyelesaian sengketa terdapat pada BAB X penyelesaian sengketa.
23
Ade Maman Suherman, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Jakarta,2004, hlm.46 24 BPSKSebagai Upaya Penegakan Hak Konsumen Di Indonesia, http://www.scribd.com, Diakses Pada Hari Minggu, Tanggal 22 Mei 2015,
commit to user
26
perpustakaan.uns.ac.id
Pada BAB ini
digilib.uns.ac.id
digunakan penyebutan sengketa konsumen secara
konsisten, yaitu Pasal 45 ayat (2) dan Pasal 48 UUPK. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (8) Kepmen No. 350/2001 disebutkan bahwa sengketa konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa. Sengketa konsumen menurut Pasal 23 UUPK dimulai pada saat konsumen menggugat pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memenuhi ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), baik melalui BPSK atau peradilan umum ditempat kedudukan konsumen. Yang menangani penyelesaian sengketa konsumen antara pelaku usaha dan konsumen adalah BPSK dengan cara Konsiliasi atau Mediasi, atau Arbitrase atau melalui peradilan yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Sengketa salah satu penyebabnya adalah dari adanya wanprestasi dari salah satu pihak yang tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan yang disepakati bersama atau ada faktor eksternal diluar para pihak yang mengakibatkan tidak terpenuhinya prestasi dari suatu perjanjian.25 Sedangkan sengketa konsumen diartikan sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/ atau yang mendapat kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/ atau manfaat jasa.26 Dengan demikian
bisa diktakan bahwa pengertian sengketa
konsumen sangatlah luas, sehingga diperlukan penafsiran yang mendalam untuk memahami pengertian “sengketa konsumen”dalam kerangka UUPK. Menurut Yusuf Shofie dalam memahami tentang sengketa konsumen diperlukan sebuah metode penafsiran, yaitu:27 25
Ade Maman Suherman, 2004, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Aspek Hukum dala Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Anggota IKAPI, Jakarta, hlm.46 26 Kep.Menperindag. No.350/MPP/Kep./12/2001, Pasal 1 angka 8 27 Yusuf Shofie, 2002, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), Teori dan Praktek Penegakan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.12.
commit to user
27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Batasan konsumen dan pelaku usaha menurun UUPK, berikut batasan antara keduanya. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersdia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun mahkluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.28 Sedangkan Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum negara Indonesia, baik
sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.29 b. Batasan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) pada pasal 1 angka 11 UUPK menunjukkan bahwa yang dimaksudkan dengan “sengketa konsumen”, yaitu sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Pelaku usaha disitu, yaitu: 1. Setiap orang atau individu; 2. Badan hukum atau badan usaha yang tidak berbadan hukum.
b. Bentuk-bentuk dan PenyelesaianSengketa Konsumen Secara umum yang dimaksud dengan bentuk-bentuk dari sengketa konsumen adalah sengketa-sengketa yang secara umum banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat. Menurut Pasal 1 angka 4 dan Pasal 1 angka 5 UU No.8 tahun 1999, dijelaskan bahwa sengketa konsumen bisa dikelompokan dalam 2 kategori, yaitu: 1. Barang, yaitu setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen. 2. Jasa, yaitu setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. 28
UU No.8 Tahun 1999, Pasal 1 angka 2. UU No.8 Tahun 1999, Pasal 1 angka 3.
29
commit to user
28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa bentuk yang dimaksud adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan barang dan/ atau jasa yang sedang disengketakan oleh konsumen dan pelaku usaha. Yang mana sengketa tersebut akan menimbulkan hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen. Terdapat 2 (dua) bentuk cara atau model penyelesaian sengketa konsumen, diantaranya yaitu :30 1.
Penyelesaian
sengketa
melalui
Pengadilan,
adalah
suatu
pola
penyelesaian sengketa yang diselesaikan oleh Pengadilan (litigasi); 2.
Penyelesaian sengketa diluar Pengadilan, yaitu melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternatif Dispute Resolution (ADR), adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan seperti yang diatur didalam Pasal 1 ayat (10) UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999, yaitu : a. Konsultasi b. Negoisasi c. Mediasi d. Konsiliasi e. Penilaian Ahli Konsiliasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa di antara para
pihak yang melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak. Konsiliasi merupakan suatu bentuk proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pada proses Konsiliasi dilibatkan pihak lain di luar pihak yang sedang bersengketa yang bersikap pasif dan netral, tidak memihak, pihak yang dimaksud disebut sebagai konsiliator. Pada sengketa konsumen, yang bertindak sebagai konsiliator adalah majelis yang telah disetujui oleh BPSK. Tujuan dilibatkannya konsiliator adalah agar dapat dengan mudah tercapai kata sepakat atas pemasalahan yang terjadi, sehingga sengketa dapat diselesaikan dengan baik. 30
Jamal Wiwoho, Pengantar Hukum Bisnis, UNS Press, Surakarta, 2011, hlm.35.
commit to user
29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Mediasi adalah proses negosiasi penyelesaian sengketa atau pemecahan masalah di mana pihak-pihak ketiga yang tidak memihak (impartial) bekerjasama dengan para pihak yang bersengketa membantu memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan. Penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh pihak ketiga netral yang disebut mediator. Mediator menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun besarnya ganti kerugian atau tindakan tertentu untuk menjamin tidak terulangnya kembali kerugian konsumen. Mediator tidak berwenang memutuskan sengketa para pihak. Mediator hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang diserahkan kepadanya. Berdasarkan Undang-undang No. 30 Tahun 1999, pengertian arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan, yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang
bersengketa.
Dalam
proses
ini,
pihak
bersengketa
mengemukakan masalah mereka kepada pihak ketiga netral dan memberinya wewenang untuk memutus. Dalam Kepmenperindag RI Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK mendefinisikan“Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan
sepenuhnya
penyelesaian
sengketa
kepada
BPSK”.
Penyelesaian sengketa melalui arbritase melibatkan pihak ketiga netral yaitu arbiter. Pada persidangan dengan cara arbitrase, para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa yang terjadi. Menurut Christopher Baum, “There are several reasons why litigation is not the mosteffective means of resolving disputes in common interestdevelopments. The most compelling reason is the cost of commit to user
30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
litigation”.31 Bahwa ada beberapa alasan mmengapa litigasi bukan merupakan cara yang paling efektif untuk menyelesaikan sengketa kepentingan umum. Alasan yang paling menarik adalah mengenai biaya litigasi. Biaya yang dikeluarkan dalam penyelesaian sengketa melalui litigasi lebih tinggi, Dibandingkan jika penyelesaian sengketa melalui non litigasi yang membutuhkan biaya lebih rendah dibandingkan melalui litigasi. Disamping itu juga membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan keputusan akhir litigasi. 4. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Konsumen Perlindungan Konsumen pada dasarnya merupakan bagian penting dalam ekonomi pasar (laissez faire). Di pasar bebas, para pelaku usaha menawarkan produk dan jasa dengan tujuan mencari keuntungan di satu sisi, berhadapan dengan para pembeli dan konsumen yang ingin memperoleh barang dan atau jasa yang murah dan aman di sisi lain. Tetapi dalam kenyataan posisi pengusaha lebih menguntungkan daripada posisi konsumen, hal ini dikarenakan penguasaan informasi tentang produk sepenuhnya ada pada tangan produsen. Menurut Paul O’shea dan Charles Rickett : “Consumer protection measures, which include statutory provisions, regulations, policy statements, mandatory and voluntary codes, that incorporate and purport to embody rules of fixed and general application, are less likely to be successful and effective as final solutions, and are thus more likely to be subject to challenge in the courts.32 Maksud dari kalimat tersebut adalah bahwa langkah-langkah perlindungan konsumen, yang meliputi ketentuan perundang-undangan, peraturan,
pernyataan
kebijakan,
kode
wajib
dan
sukarela,
yang
menggabungkan dan dimaksudkan untuk mewujudkan aturan aplikasi tetap dan umum cenderung menjadi sukses dan efektif sebagai solusi akhir, dan dengan demikian lebih mungkin untuk menjadi subyek menantang di pengadilan.
Christopher Baum, “The Benefits of Alternative Dispute Resolution in Common Interest Development Disputes”, St. John's Law Review Volume 84 Issue 3, 2010, hlm. 916. 32 Paul O’shea dan Charles Rickett, “In Defence Of Consumer Law: The Resolution Of Consumer Dispute”, Sydney Law Review Vol 28: 139, 2006, hlm. 144. 31
commit to user
31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Posisi para konsumen sebenarnya amat rentan untuk dieksploitasi. Hanya dengan seperangkat aturan hukum atau perundang-undangan yang ditetapkan oleh negara, ketimpangan informasi tersebut dapat diatasi. Sehingga keberadaan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh negara tersebut, benar-benar dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen. Adapun yang dimaksud dengan konsumen menurut UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 ayat (2) adalah, “Setiap pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan” Makna Perlindungan Konsumen adalah segala upaya
yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen. Pada hakekatnya, terdapat dua instrumen hukum penting yang menjadi landasan kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia, yakni : Pertama, Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, mengamanatkan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tujuan pembangunan nasional diwujudkan melalui sistem pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga mampu menumbuhkan kembangkan dunia usaha yang memproduksi barang dan/ jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat. Kedua, UndangUndang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Lahirnya Undang-undang ini memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia, untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas transaksi suatu barang dan jasa. UUPK menjamin adanya kepastian hukum bagi konsumen. Penyelesaian sebuah perkara atau sengketa dalam kehidupan masyarakat saat ini dalam prakteknya tidak hanya dapat diselesaikan melalui jalur pengadilan tetapi juga dapat diselesaikan melalui jalur luar pengadilan, salah satu penyelesaian sengketa yang dapat diselesaikan diluar pengadilan adalah sengketa konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen dalam perkembangan kehidupan masyarakat dapat diselesaikan oleh suatu badan atau lembaga yang commit to user
32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
secara hukum telah dibentuk oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden No.90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, selanjutnya disebut dengan BPSK yang merupakan amanat dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang tersebut diharapkan sebagai sarana bagi konsumen yang bertujuan untuk melindungi hak da kewajiban
konsumen dengan adanya
kepastian hukum. Namun demikian bukan berarti bahwa Undang-Undang ada untuk mematikan pelaku usaha, melainkan sebagai sarana untuk berkompetisi dalam menghadapi era pasar bebas, karena pelaku usaha dituntut untuk mampu bersaing dalam hal mempruduksi dan memperdagangkan barang dan/atau jasa yang berkualitas, yang pada akhirnya akan berujung pada untuk mendorong iklim usaha yang sehat. Undang-Undang perlindungan konsumen hanya mengatur materi pokokpokonya saja dalam upaya perlindungan bagi konsumen, maka diperlukan pula peraturan-peraturan pelaksanaan yang memuat lebih rinci dalam bentuk Peraturan Pemerintah, dalam rangka mengimplementasikan Undang-Undang yang dimaksud
untuk melindungi hak-hak dan kewajiban konsumen dan
pelaku usaha. Penyelesaian sengketa konsumen dalam perkembangan kehidupan masyarakat dapat diselesaikan oleh suatu badan atau lembaga yang secara hukum telah dibentuk oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden No.90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, selanjutnya disebut dengan BPSK yang merupakan amanat dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999. tentang Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 1 angka 1
UU No. 8
Tahun 1999 Undang-undang
Perlindungan Konsumen (UUPK) bahwa, “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk member perlindungan kepada konsumen”.33 Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. 33
Ahmad Wiru dan SutarmanYudo, 2007, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.1
commit to user
33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain perlindungan konsumen, sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen.34 Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata costumer ( Inggris – Amerika ), atau consument / Konsument ( Belanda ). Pengertian itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah arti kata consumer adalah ( lawan dari produsen ) setiap orang yang menggunakan barang.35 AZ Nasution dalam Selina Tri Siwi Kristiyanti mengartikan perlindungan konsumen sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk barang dan/atau jasa, antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat. Lebih lanjut mengenai definisi tersebut, AZ Nasution menjelaskan sebagai berikut : “Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan social ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikan. Rasionya adalah sekalipun tidak selalu tepat, bagi mereka masing-masing lebih mampu mempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah. Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau masalah dalam masyarakat itu tidak seimbang.” Konsumen dapat dilindungi oleh UUPK dalam hal mana hak-hak para konsumen telah diabaikan oleh pelaku usaha. Dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak konsumen tersebut, maka pelaku usaha diharapkan dapat menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen. Hak-hak konsumen yang dilindingi diantaranya adalah ( diatur dalam Pasal 4 UUPK ) : 1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
34
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.30 35 Ibid hlm. 22.
commit to user
34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; 4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; 5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. 6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; 7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai perjanjian; 9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturaan perundang-undangan lainnya.
5. Tinjauan Umum tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen a. Pengertian Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Badan penyelesaian sengketa konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan
menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan
konsumen.36 Sedangkan dalam Pasal 1 angka 11 UU No. 8 Tahun 1999 UUPK, dijelaskan bahwa “bahwa penyelesaian sengketa konsumen adalah badan yang betugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen”. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan suatu lembaga khusus yang dibentuk diatur dalam Undangundang
Perlindungan
Konsumen,
yang
tugas
utamanya
adalah
menyelesaikan sengketa atau perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha.37 36
UU No. 8 Tahun 1999, Pasal 1 angka 11 Yusuf Shofie, 2002, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan
37
commit to user
35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pasal 23 UU No.8 Tahun 1999 dikatakan dalam hal pelaku usaha pabrikan dan/ atau pelaku usaha distributor menolak dan/ atau tidak memberi tanggapan dan/ atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha dan menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau dengan cara mengajukan gugatan kepada badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Menurut Suherdi Sukandi bisa dilihat bahwa peran dari BPSK ada dua hal penting:38 1 Bahwa undang-undang perlindungan konsumen memberikan alternatif penyelesaian melalui badan diluar system peradilan yang disebut dengan BPSK, selain melalui pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan konsumen. 2 Bahwa pilihan penyelesaian sengketa konsumen dengan pelaku usaha bukanlah suatu pilihan yang eksklusif, yang tidak dapat tidak harus dipilih. Pilihan penyelesaian sengketa melalui BPSK adalah pararel atau sejajar dengan pilihan penyelesaian sengketa memalui badan peradilan. Untuk mengatur kelembagaan BPSK tersebut telah dikeluarkan sejumlah peraturan perundang-undangan sebagai berikut:39 - Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlidungan Konsumen - Keputusan Presiden No.90/ 2001 tentang Pembentukan BPSK. - Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.301 MPP/ Kep./10/2001 tanggal 24 Oktober 2001 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota dan Sekretariat BPSK.(Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen)
Konsumen (UUPK), Teori dan Praktek Penegakan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.39 38 Ibid. hlm. 39-41 39 Drs. H. Suherdi Sukandi, Fungsi Dan Peranan Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen, Semiloka UUPK dan BPSK Kota Bandung, Bandung 29 Mei 2004. Hlm. 14
commit to user
36
perpustakaan.uns.ac.id
- Keputusan
digilib.uns.ac.id
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
No.302
MPP/Kep./10/2001 tanggal 24 Oktober 2001 tentang Pendaftaran LPKSM (Lembaga Perlindungan KonsumenSwadaya Masyarakat). - Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
No.350/MPP/Kep./12/2001 tanggal 10 Desember 2001 tentang Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. - Surat
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
No.
605/MPP/Kep./8/2002 tanggal 29 Agustus 2002 tentang Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa konsumen dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu :40 1. Tahap I telah dibentuk 10 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yaitu pada Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota Makassar. 2. Pada tahap II dibentuk 14 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yaitu, pada Pemerintah Kota Kupang, Kota Samarindah, Kota Sukabumi, Kota Bogor, Kota Kediri, Kota Palangkaraya, Kota Kupang, Kabupaten Belitung, Kabupaten Sukabumi. Kabupaten Bulungan, kabupaten Serang, Kabupaten Ogan Komering Ulu, dan Kabupaten Jeneponto. 3. Pada tahap III dibentuk 4 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2005 Tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yaitu, pada Pemerintah Kota Padang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Indramayu, Dan Kabupaten Bandung.
40
Ibid. hlm 30-41
commit to user
37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdirinya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah bentuk dari berkembangnya permasalahan yang terjadi berkaitan dengan sengketa dibidang perlindungan konsumen. BPSK tidak sekedar suatu lembaga atau badan yang dapat berdiri atau dibentuk oleh perseorangan tetapi suatu lembaga yang berpayung hukum dengan dasar peraturan perundang-undangan yang cukup jelas. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur tentang pembentukan BPSK yang dipertegas didalam Pasal 49 ayat (1) UUPK yang berbunyi: “Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.” Yang dalam hal ini adalah jelas peran dan fungsi dari BPSK adalah menyelesaikan permasalahan yang timbul antara pihak konsumen dengan lembaga pembiayaan, dimana terjadi wan prestasi yang dilakukan oleh pihak konsumen dari lembaga pembiayaan.
b. Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada dasarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum ( hakhak ) konsumen. Bagaimana hak-hak konsumen itu diakui dan diatur didalam hukum, serta bagaiamana ditegakkan dalam praktek kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian hukum perlindungan konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hak-hak konsumen, yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya.41 Selanjutnya menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa tatanan yang diciptakan oleh hukum baru itu menjadi kenyataan apabila kepada subyek hokum diberikan hak dan dibebani kewajiban. Setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh hukum selalu mempunyai dua segi yang isinya disatu pihak hak, sedangkan di pihak lain kewajiban. Tidak ada hak tanpa kewajiban, sebailknya tidak ada kewajiban tanpa hak.42 41 42
Op Cit, Celina Tri Siwi Kristiyanti, hlm. 67. Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, hlm. 40.
commit to user
38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Alternatif Penyelesaian Sengketa pada umumnya dapat diartikan sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa nonlitigasi dengan mempertimbangkan segala bentuk efisiensinya dan untuk tujuan masa yang akan datang sekaligus menguntungkan para pihak yang bersengketa. 43 Dasar hukum dalam alternatif penyelesaian sengketa adalah kehendak bebas yang teratur
dari
pihak-pihak
yang
bersengketa
untuk
menyelesaiakan
perselisihan diluar hakim negara.44 Istilah alternatif penyelesaian sengketa merupakan label atau merek yang diberikan untuk mengelompokkan proses negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase.45 Alternatif penyelesaian sengketa jika dilihat berdasarkan kata “alternatif” menunjukkan bahwa, alternatif dapat diartikan para pihak yang bersengketa itu bebas melalui kesepakatan bersama memilih bentuk dan tata cara apa yang terdapat didalam alternatif penyelesaian sengketa dan akan diterapkan
pada
penyelesaian
sengketanya.46
Sehingga
alternatif
penyelesaian sengketa dapat diberi batasan sebagai sekumpulan prosedur atau mekanisme yang berfungsi memberi alternatif atau pilihan suatu tata cara penyelesaian sengketa melalui bentuk alternatif penyelesaian sengketa agar memperoleh putusan akhir dan mengikat para pihak. Mengenai tugas dan wewenang Badan peneyelesaian Sengketa Konsumen menurut ketentuan Pasal 52 UUPK, meliputi: a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen; c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang; 43
Suyud Margono, 2000, APS (Alternatif Penyelesaian Sengketa) & Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Anggota IKAPI, Jakarta, hlm.13 saduran dari Basuki ReksoWidodo, Studi Perbandingan Beberapa Model Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Projustitia No.4, Tahun 16, Oktober 1996. 44 Ibid, hlm.16 45 Ibid,hlm.37 46 H. Priyatna Abdulrrasyid , Prof. DR.., SH, Ph.D, C.HSL., D.iAA., Fell BIS., LAA., Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Fikahati Aneska & BANI, Jakarta, 2002 ,hlm.12.
commit to user
39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlinduyngan konsumen; f. Melakukan
penelitian
dan
pemeriksaan
sengketa
perlindungan
konsumen; g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/ atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini; i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; j. Mendapatkan, meneliti dan/ atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/ atau pemeriksaan; k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di piuhak konsumen; l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
6. Teori Penegakan Hukum Hukum tumbuh dan berkembang seiring perkembangan masyarakat. Hukum adalah salah satu sarana untuk menciptakan ketertiban dan kedamaian di masyarakat dalam pergaulan hidupnya sehari-hari. Hukum bisa berjalan dengan baik apabila masyarakat menyadari akan pentingnya hukum dalam kehidupannya sehari-hari, yaitu dengan jalan mentaatinya dan patuh akan hukum yang berlaku dalam kehidupannya. Menurut Soerjono Soekamto, hukum bertujuan untuk mencapai suatu kedamaian dalam
commit to user
40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masyarakat.47 Hukum adalah suatu sistem yaitu sistem norma-norma yang memiliki sifat umum dari suatu sistem. Sistem memiliki dua pengertian yang penting untuk dikenali. Yang pertama adalah pengertian sistem sebagai jenis satuan yang mempunyai tatanan tertentu. Tatanan tertentu menunjuk kepada struktur yang tersusun dari bagian-bagian. Kedua, sistem sebagai suatu rencana, metode atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu.48 Hukum berfungsi sebagai pelindung dari kepentingan manusia, agar kepentingan-kepentingan manusia bisa terlindungi maka hujum harus dilaksanakan dan dipatuhi. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu :49 1. Kepastian hukum (Rechtssicherheit) 2. Kemanfaatan hukum (zweckmassigkeit) 3. Keadilan (gerechtigkeit). Dengan demikian bisa dikatakan bahwa hukum merupakan salah satu sub sistem diantara sub sistem lainnya seperti sosial, budaya, politik dan ekonomi. Ini berarti hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sebagai basis bekerjanya.50 Sedangkan menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum menjadi kenyataan.51 Sehingga bisa juga dikatakan bahwa untuk terwujudnya tujuan-tujuan hukum, maka diperlukan kesadaran hukum yang tinggi sehingga apa yang dicita-citakan dalam penegakan hukum bisa tercapai dan adanya perlindungan hukum bagi masyarakat secara adil. Sebagai sarana mencapai ketertiban dan kedamaian berdasarkan keadilan, maka ada persyaratan yang merupakan landasan bagi berlakunya hukum
47
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, hlm. 13. 48 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya, Bandung, 2000, hlm.48 49 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Universitas Atma Jaya, yogyakarta, 2010, hlm. 207. 50 Esmi Warasih, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru, Semarang, 2005, hlm.80 51 Satjipto Raharjo dalam Faisal, Menerobos Postivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010, hlm.39.
commit to user
41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sehingga dapat berjalan efektif dalam rangka mewujudkan tujuan hukum, yaitu bahwa hukum harus memiliki nilai-nilai keadilan, ditetapkan oleh penguasa yang sah melalui mekanisme sesuai konstitusi serta berdasarkan situasi kebutuhan masyarakat52. Keadilan adalah ukuran yang dipergunakan dalam memberikan perlakuan terhadap obyek hukum, sehingga hukum yang memasuki hubungan antar manusia akan meliputi keadilan selain ketertiban53. Hal ini terkait dengan kedudukan negara yang memang diberi wewenang oleh warga negaranya sehingga memiliki kekuasaan untuk mengatur tata kehidupan masyarakat bersama sehingga ketertiban dan keadilan dapat diwujudkan. Pelanggaran terhadap norma hukum yang ditetapkan negara akan menyebabkan timbulnya tindakan dari aparatur penegak hukum negara untuk mengadakan upaya law enforcement atau penerapan hukum termasuk pemberian sanksi sesuai peraturan yang telah ditetapkan54. Hukum senantiasa dibatasi oleh situasi atau lingkungan dimana ia berada, sehingga tidak heran kalau terjadi ketidak cocokkan antara apa yang seharusnya (das sollen) dengan apa yang senyatanya (das sein). Sedangkan menurut Menurut Soerjono Soekanto, ada lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu: 1.
Undang-Undang Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Artinya, supaya undang-undang tersebut mencapai tujuannya, sehingga efektif. Asas-asas tersebut antara lain: a. Undang-undang tidak berlaku surut artinya, undang-undang hanya boleh diterapkan terhadap peristiwa yang disebut di dalam undangundang tersebut, serta terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan berlaku.
52
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Kanisius, Yogyakarta,1982,hlm.274 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum¸ Citra Aditya Bhakti, Bandung,2000.hlm.165 54 Opcit.hlm.175,184 53
commit to user
42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula. c. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undangundang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama. Artinya, terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang menyebutkan peristiwa itu, walaupun bagi persitiwa khusus tersebut dapat
pula
diperlakukan
undang-undang
yang
menyebutkan
peristiwa yang lebih luas ataupun lebih umum, yang juga dapat mencakup peristiwa khusus tersebut. d. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undangundang yang berlaku terdahulu. Artinya, undang-undang lain yang lebih dahulu berlaku dimana diatur mengenai suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi apabila ada undang-undang baru yang berlaku belakangan yang mengatur pula hal tertentu tersebut, akan tetapi makna atau tujuannya berlainan atau berlawanan dengan undangundang lama tersebut. e. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat. f. Undang-undang
merupakan
suatu
sarana
untuk
mencapai
kesejahteraan spiritual dan matrial bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestarian ataupun pembaharuan (inovasi). Artinya, supaya pembuat undang-undang tidak sewenang-wenang atau supaya undang-undang tersebut tidak menjadi huruf mati. 2. Penegak Hukum Yang termasuk dalam penegak hukum dalah kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga peace maintenance. Secara sosiologis, maka setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role).Kedudukan (social) merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan, yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah yang isinya adalah hak-hak dan kewajibancommit to user
43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kewajiban tertentu. Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant). Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban tugas. Suatu peranan tertentu, dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur, sebagai berikut; a. Peranan yang ideal (ideal role) b. Peranan yang seharusnya (expected role) c. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role) d. Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role) 3. Faktor Sarana atau Fasilitas Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan
lancar. Sarana atau
fasilitas tersebut, antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya. 4. Faktor Masyarakat Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Masyarakat Indonensia pada khusunya, mempunyai pendapatpendapat tertentu mengenai hukum. Pertama-tama ada berbagai pengertian atau arti yang diberikan pada hukum, yang variasinya adalah dari sekian banyaknya pengertian yang diberikan pada hukum, terdapat kecenderungan yang besar pada masyarakat,untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasinya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baikburuknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak commit to user
44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hukum tersebut, yang menurut pendapatnya merupakan pencerminan dari hukum sebagai struktur maupun proses. 5. Faktor Kebudayaan Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dau keadaan ekstrim yang harus diserasikan55. Dalam konteks penegakan hukum dapat diterjemahkan bahwa tiada dua kasus hukum yang identik sama, sehingga setiap kasus harus dipertimbangkan sesuai dengan karakteristik masing-masing kasus. Dengan demikian dalam mekanisme operasionalnya, masing-masing kasus akan diselesaikan secara konseptual.Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya demikian sehingga pengertian law enforcement begitu populer.Selain itu ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan putusan-putusan hakim. Dari penjelasan diatas bisa ditarik kesimpulan, bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral sehingga dampak positif atau negatif terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut antara lain:56 a. Faktor hukum sendiri yang dibatasi oleh undang-undang saja b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hokum. c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hokum.
55
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruh Penegakan Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1983, hlm. 11-58 56 Natangsa Surbakti,2001, Kembang Setaman Kajian Hukum Pidana, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta,hlm,8.
commit to user
45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Menurut
Wayne La fave di dalam penegakan hukum diskresi
sangat penting karena:57 a. Tidak ada perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya, sehingga dapat mengatur semua perilaku manusia; b. Adanya
kelambatan-kelambatan
untuk
menyesuaikan
perundang-
undangan dengan perkembangan-perkembangan di dalam masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakpastian; c. Kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan sebagaimana yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang; d. Adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus.
7.
Teori Sistem Hukum Hukum harus dipandang sebagai suatu sistem norma, dimana hukum itusendiri merupakan subsistem dari sebuah sistem besar yang dinamakan masyarakat. Sistem hukum adalah suatu kesatuan peraturan-peraturan hukun yang terdiri atas bagian-bagian (hukum) yang mempunyai kaitan (interaksi) satu sama lain, yang tersusun sedemikian rupa menurut asas-asasnya, dimana berfungsi untuk mencapai tujuan. Keseluruhan peraturan hukum dalam setiap masyarakat merupakan suatu sistem hukum.Seluruh peraturan-peraturan hukum dalam suatu Negara dapat dikatakan sebagai satu sistem hukum, seperti sistem hukum Indonesia.Dalam sistem hukum Indonesia terdapat berbagai macam bidang hukum yang masing-masing mempunyai sistem sendiri-sendiri, sehingga ada sistem hukum perdata, sistem hukum pidana, sistem hukum Tata Negara dan sebagainya. Kemudian dalam sisitem hukum
57
Wayne LaFave, 1964.The Decision To Take a Suspect Into Custo, Boston: Little, Brown and Company, hlm, 14.
commit to user
46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perdata (barat) misalnya, terdapat lagi sistem hukum orang, sistem hukum benda, sistem hukum perikatan dan sistem hukum pembuktian. Dengan demikian dalam suatu negara terdapat tingkatan-tingkatan sistem huku. Keseluruhan peraturan hukum positif di Indonesia adalah merupakan sistem hukum. Hukum perdata, hukum pidana dan hukum tata Negara adalah sistem hukum, tetapi juga sekaligus sebagai sub-sub sistem nasional.58
Paul dan Dias dalam Esmi Warassih mengajukan 5 syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum, yaitu: 1. Mudah tidaknya makna aturan–aturan hukum itu untuk ditangkap dan dipahami. 2. Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan–aturan hukum yang bersangkutan. 3. Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum. 4. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa–sengketa. 5. Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga masyarakat bahwa aturan–aturan dan pranata–pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif59. Agar hukum tersebut bisa bekerja dengan baik maka menurut Lawrence M Friedman ada 3 (tiga) unsur yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan sistem hukum tersebut, yaitu60 : 1. Struktur Hukum (Legal Structur) Yaitu bagian-bagian yang bergerak didalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang ada dan disiapkan dalam sistem, misalnya
58
Wasis Priyanto, Sistem Hukum Nasional Indonesia Dalam Pengaruh Sistem Hukum yang Ada Didunia,http://oasis-pecintailmu.blogspot.com/2009/12/sistem-hukum-nasional-indonesiadalam.html?m=1, 23 Juni 2015, 15.52. 59 Paul Dias dalam Esmi Warrasih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologi, Suryandaru Utama,Semarang,2005, hlm.105. 60 Lawrence M Friedman dalam Ontje Salman, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007. hlm.153
commit to user
47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Struktur hukum dapat juga diartikan sebagai pola yang memperlihatkan tentang bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya. Strukur ini memperlihatkan bagaimana pengadilan, pembuatan hukum dan lain-lain badan serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan. Jadi struktur hukum ini menyangkut aparat yang melaksanakan hukum. 2. Subtansi Hukum (Legal Subtance) Yaitu hasil aktual yang diterbitkan oleh sistem hukum, misalnya putusan hakim dan Undang-undang. Subtansi hukum adalah peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku hukum pada waktu melakukan perbuatan-perbuatan serta hubungan-hubungan hukum. Jadi materi hukum yang menyangkut perangkat Undang-undang. Menurut Esmi Warasih, substansi hukum dijelaskan sebagai berikut: Substansi hukum adalah aturan, norma dan pola perilaku yang nyata manusia yang berada dalam sistem hukum itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substasi juga mencakup living law (hukum yang hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang atau law in books. Komponen substantif yaitu sebagai output dari sistem hukum yang berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.61 3. Budaya Hukum (Legal Culture) Yaitu sikap publik atau nilai-nilai, komitmen moral dan kesadaran yang mendorong bekerjanya sistem hukum atau keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat. Budaya hukum juga dapat diartikan sebagai sikap masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum yang mereka yakini. 61
Esmi Warasih, op.cit, hlm. 105
commit to user
48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan sistem yasng utuh dan mengikat sistem hukum secara keseluruhan yang ada di masyarakat. Seseorang menggunakan atau tidak mengunakan hukum, dan patuh atau tidak patuh terhadap hukum sangat tergantung pada kultur hukumnya.62 Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Melalui penegakan hukum inilah, hukum itu menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechtigkeit).63 Salah satu ciri yang menonjol dari hukum pada masyarakat modern adalah penggunaannya secara sadar oleh masyarakatnya. Disini hukum tidak hanya dipakai untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkan kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandangnya tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola kelakukan baru dan sebagainya. Inilah yang disebut sebagai pandangan modern tentang hukum itu yang menjurus kepada penggunaan hukum sebagai suatu instrumen.64 Gustav Radbruch mengemukakan adanya tiga nilai dasar yang ingin dikejar dan perlu mendapat perhatian serius dari para pelaksana hukum, yakni nilai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Terutama nilai dasar kemanfaatan ini akan mengarahkan hukum pada pertimbangan kebutuhan masyarakat pada suatu saat tertentu, sehingga hukum itu benarbenar mempunyai peranan yang nyata bagi masyarakatnya. Paul dan Dias dalam Esmi Wirasih65 mengajukan 5 (lima) syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum, yaitu:
62
Ibid, hlm.82 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2010, hlm 207 64 Satjipto Raharjo, Op.Cit., Hal 206. 65 Ibid Hal 105-106 63
commit to user
49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1) Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap dan dipahami. 2) Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan hukum yang bersangkutan. 3) Efisien dan efektif tidaknya mobilitas aturan hukum. 4) Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa. 5) Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif.
7.
Penelitian yang Relevan 1. Peran
Badan
Penyelesaian
Sengketa
Penyelesaian Sengketa Konsumen
Konsumen
(BPSK)
Dalam
Berdasarkan Undang-Undang No.8
Tahun 1999 (Studi Penyelesaiain Sengketa Konsumen Di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Bandung). Penelitian oleh Bra. Putri Woelan Sari Dewi, SH, dari Universitas Doponegoro, dengan hasil bahwa penyelesaian sengketa di BPSK Kota Bandung belum sesuai dengan kaidah atau peraturan perundang-undangan yang ada, dilihat dari waktu penyelesaian berbeda antara aturan dengan kenyataan, bahwa dalam perundang-undanganpenyelesaian sengketa konsumen dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan sudah mendapatkan keputusan Majelis. Dalam pelaksanaan di BPSK, 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung sejak adanya kesepakatan metode penyelesaian sengketa, pada tahapan prasidang bukan sejak permohonan. Faktor penghambat dan pendukung dilihat dari peran majelis yang bersifat pasif ketika menjadi konsiliator atau aktif ketika menjadi mediator atau arbitor dalam proses penyelesaian sengketa konsumen adalah sesuai dengan aturan pelaksanaan BPSK dalam keputusan menteri yaitu majelis sebagai konsiliator hanya menjawab pertanyaan pelaku usaha dan konsumen jika ada pertanyaan dari commit to user
50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kedua belah pihak dan itu tentang peraturan dibidang perlindungan konsumen. Tetapi itu dapat menjadi penghambat ketidak aktifan para pihak yang bersengketa untuk bertanya. Dan menjadi pendukung ketika para pihak yang bersengketa dapat saling berkomunikasi. 2. Penyelesaian Sengketa Konsumen Di Luar Pengadilan Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Studi Kasus Di BPSK Semarang. Penelitian oleh Sri Soerjani dari Universitas Diponegoro, dengan hasil penelitian bahwa tindakan-tindakan dari BPSK Kota Semarang dalam penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, antara lain : pengaduan atas kerugian pembelian produk, konsumen tidak puas atas pembelian rumah yang kondisinya tidak sesuai dengan yang dipromosikan
dan
klaim
asuransi
jiwa.
Kemudian
permasalahan/hambatan-hambatan yang dihadapi oleh BPSK Semarang dalam menyelesaikan sengketa konsumen, antara lain : a. BPSK Kota Semarang tidak memiliki kewenangan untuk memantau sejauh mana hasil aduan konsumen dapat ditindaklanjuti oleh pelakuk usaha. Kemudian sulit menghadirkan pihak konsumen yang jumlahnya lebih dari satu orang. b. hambatan yang dihadapi adalah hambatan operasional : perbedaan latar belakang anggota dan secretariat BPSK Kota Semarang. Cara BPSK Kota Semarang mengatasi hambatan yang dihadapi diantaranya adalah dengan menyusun petunjuk teknis dan pelaksanaan penyelesaian sengketa konsumen yang ditandatangani oleh ketua BPSK Kota Semarang. Kemudian pembentukan tim penyusun kode etik bagi anggota dan sekertariat BPSK Kota Semarang. 3. Pelaksanaan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Sengketa Konsumen Di Makassar. Disusun oleh Vita Sulfitri Y. Haya, Universitas Hasanuddin Makassar. Hasil dari penelitian tersebut bahwa Implementasi dan prosedur penyelesaian sengketa konsumen pada BPSK telah sesuai dengan ketentuan yang belaku yaitu Undang-undang No. 8 commit to user
51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Kepmenperindag No. 350/MPP/ 12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK, sebagai berikut: a. Upaya penyelesaian sengketa konsumen di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di bagi atas 2 tahap yaitu tahap pengajuan gugatan dan tahan persidangan. b. Konsumen dapat mangajukan gugatan secara tertulis maupun lisan ke sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang selanjutnya dilakukan pemanggilan terhadap pelaku usaha. c. Pada tahap persidangan dibagi menjadi 3 tahapan yaitu konsiliasi, mediasi, dan arbitrase d. Putusan mediasi dituangkan dalam Nota Perdamaian dan putusan arbitrase dituangkan dalam bentuk Putusan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Keefektifan putusan BPSK dapat dilihat dari 2 aspek yaitu efektif dari proses beracaranya karena proses beracara yang mudah, cepat, dan murah dan tidak efektif dari pelaksanaan putusannya karena terhadap putusan BPSK yang bersifat final masih dimungkinkan adanya upaya keberatan di peradilan umum. Dari ketiga penelitian yang relevan tersebut diatas, terdapat perbedaan dengaan penelitian penulis, diantaranya yaitu lokasi penelitian.Lokasi penelitian penulis berada di Kota Surakarta dan Sragen, sedangkan dalam penelitian yang relevan diatas diantaranya pertama berlokasi di Bandung, kemudian penelitian relevan yang kedua berlokasi di Semarang dan penelitian relevan yang ketiga berlokasi di Makasar. Mengenai perumusan masalah maupun pembahasan, dalam penelitian penulis membahas mengenai model penyelesaian sengketa yang digunakan oleh BPSK Kota Surakarta dan model penyelesaian sengketa yang digunakan di Pengadilan Negeri Sragen. Sedangkan penelitian yang relevan tersebut diatas tidak demikian. Dalam penelitian penulis, pembahasan tidak hanya berhenti pada putusan BPSK saja tetapi juga sampai di Pengadilan Negeri Sragen. Sehingga pembahasannya commit to user
52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menjadi lebih luas karena sampai pada tingkat Pengadilan sesuai dengan yang diputuskan oleh para pihak.Sedangkan dalam penelitian yang relevan diatas hanya membahas sebatas pada BPSK saja. 8.
Kerangka Berpikir Kerangka berpikir mengenai kewenangan mengdili BPSK berangkat dari adanya perbuatan hukum antara para pelaku usaha atau biasa disebut kreditur dibidang pembiayaan dalam menjalankan usahanya biasa membuat suatu perjanjian, yang mana akan berakibat pada timbulnya akibat hukum diantara dua pihak yang saling mengikatkan diri dalam sebuah perikatan atau perjanjian. Yang mana dasar hukum dari adanya perjanjian adalah KUH Perdata dan UUPK, sedangkan badan yang berwenang dalam hal ini adalah BPSK sebagai badan yang ditunjuk untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan. Kerangka berpikir yang diuraikan diatas apabila digambarkan dalam bentuk bagan adalah sebagai berikut.
UU No. 8 tahun 1999 tentang UUPK Debitur (Pengguna jasa)
Wanprestasi
Kreditur (pelaku usaha)
(Pengguna Jasa)
Non Litigasi
BPSK
Litigasi
Keberatan commit to user
53
Pengadilan Negeri
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
1.
Jenis Penelitian Penelitian dalam penulisan ini termasuk jenis penelitian hukum non doktrinal, yang mana pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris adalah suatu pendekatan yang dilakukan untuk menganalisa tentang sejauh manakah suatu peraturan atau perundangundangan atau hukum yang sedang berlaku secara efektif, dalam hal inipendekatan
tersebut
dapat
digunakan
untuk
menganalisis
secara
kualitatif.66 Dilihat dari sifatnya penelitian ini termasuk penelitian yang deskriptif, yaitu dimaksudkan untuk memberikan data yang diteliti seteliti mungkin tentang manusia, keadaan dan gejala-gejala lainnya.67 Metode penelitian yang digunakan di dalam penelitian hukum tergantung pada konsep hukum itu sendiri. Soetandyo Wignyosubroto mengemukakan lima konsep hukum yaitu : a. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati serta berlaku universal. b. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional. c. Hukum
adalah
apa
yang
diputus
oleh
hakim
inconcreto
dan
tersistematisasi sebagai judge made law. d. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan eksis sebagai variable sosial yang empirik. 66
Soerjono Soekanto Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta UI, 1984, hlm. 52 Ibid, hlm 10.
67
commit to user
54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
e. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik pada perilaku sosial sebagai dampak dalam interaksi antar mereka68.
Dalam penelitian ini penulis mendasarkan pada konsep hukum yang ke-3 seperti yang dikemukakan oleh Soetandyo Wignjosubroto bahwa hukum adalah apa yang diputus oleh hakim inconcreto dan tersistematisasi sebagai judge made law. Dengan kata lain hukum adalah norma positif yang ada dalam Undang- undang. Pada penelitian ini yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan atau terhadap masyarakat. Dari sudut bentuknya penelitian ini tergolong penelitian diagnostik yang merupakan suatu penelitian yang dimaksudkan untuk mendapat keterangan sebab-sebab terjadinya sesuatu atau beberapa gejala dan termasuk juga bentuk penelitian perspektif karena merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu.69
2.
Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan antara lain di BPSK kota Surakarta, Pengadilan Negeri Surakarta dan Pengadilan Negeri Sragen, serta Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3.
Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini jenis dan sumber data yang diperoleh melalui : a. Data Primer Teknik pengumpulan data primer dengan cara
wawancara
(interview). Wawancara ini dilakukan dengan cara mengadakan tanya 68
Setiono, Penelitian Hukum (Suatu Ajakan Untuk Menyamakan Persepsi Mengenai Penelitian Hukum), Sebelas Maret University.hlm. 20. 69 Ibid, hlm. 6.
commit to user
55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
jawab secara langsung dengan narasumber yakni hakim BPSK dan Hakim di Pengadilan Surakarta dan Sragen. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara yang terarah, terpimpin, dan mendalam sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti guna memperoleh hasil berupa data dan informasi yang lengkap dan seteliti mungkin.
b. Data Sekunder Dalam penelitian ini data sekunder mencakup : 1) Bahan Hukum Primer `Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang berhubungan erat dengan permasalahan yang diteliti yang berupa perundang-undangan, antara lain : - Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. - KUH Perdata - Keputusan Presiden No.90/ 2001 tentang Pembentukan BPSK. - Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.301 MPP/ Kep./10/2001 tanggal 24 Oktober 2001 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian
Anggota
dan
Sekretariat
BPSK.(Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen) - Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.302 MPP/Kep./10/2001 tanggal 24 Oktober 2001 tentang Pendaftaran LPKSM (Lembaga Perlindungan KonsumenSwadaya Masyarakat). - Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
No.350/MPP/Kep./12/2001 tanggal 10 Desember 2001 tentang Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. - Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 605/MPP/Kep./8/2002
tanggal
29
Agustus
2002
tentang
Pengangkatan Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. - Perma Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK commit to user
56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
- Putusan BPSK. - Putusan Pengadilan Negeri Surakarta dan Sragen. 2) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder merupakan bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai hal-hal yang telah dikaji bahan-bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder terdiri dari bukubuku tentang hukum, literatur-literatur tentang hukum, putusan pengadilan yang sudah bekekuatan hukum tetap serta segala yang berkaitan dengan penelitian ini.
4.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah sebagai berikut : a. Data Primer Teknik pengumpulan data primer dengan cara
wawancara
(interview).Wawancara ini dilakukan dengan cara mengadakan tanya jawab secara langsung dengan narasumber yakni Hakim BPSK, hakim Pengadilan Negeri Surakarta dan Sragen . Wawancara yang dilakukan adalah wawancara yang terarah, terpimpin, dan mendalam sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti guna memperoleh hasil berupa data dan informasi yang lengkap dan seteliti mungkin. b. Data Sekunder Teknik pengumpulan data sekunder dengan cara studi kepustakaan (library research). Merupakan cara pengumpulan data untuk memperoleh keterangan dan data yang diperlukan sebagai landasan berfikir dengan cara membaca dan mempelajari buku-buku literatur, peraturan perundangundangan, putusan pengadilan yang sudah bekekuatan hukum tetap serta segala yang berkaitan dengan penelitian ini.
commit to user
57
perpustakaan.uns.ac.id
5.
digilib.uns.ac.id
TeknikAnalisis Data Analisis data merupakan tahap yang penting, karena pada tahap ini data yang sudah terkumpul akan diolah dan dianalisis guna memecahkan atau menjelaskan masalah-masalah yang akan diteliti. Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.70 Adapun teknik menganalisis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah penelitian dengan analisa data secara kualitatif. Teknik analisa data secara kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menggunakan dan menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan responden secara tertulis maupun lisan dan juga perilaku nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh71.
70
Lexy J. Moleong, Metodologi penelitian kualitatif, PT. Remaja Raskarya, Bandung, 1993, hlm. 103. 71 Loc Cit. Soerjono Soekanto.hlm. 242
commit to user
58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN 1. Deskripsi Kasus a. BPSK Surakarta Dalam kasus yang penulis teliti dimana Riyadi adalah sebagai Pengadu dan PT. Andalan Finance Cabang Surakarta disebut sebagai Teradu. Bahwa pada tanggal 24 Juni 2011 Pengadu telah mengadakan perjanjian pinjam uang dengan Teradu. Berdasarkan perjanjian tersebut: a. Pengadu memperoleh pinjaman sebesar Rp. Rp.36.500.000,- (tiga puluh enam juta lima ratus ribu rupiah). b. Pengembalian hutang disepakati selama 24 bulan ( 2 tahun), dengan besar angsuran perbulan Rp.1.817.000,- (satu juta delapan ratus tujuh belas ribu rupiah), c. Dengan adanya hutang uang tersebut, Pengadu menjaminkan mobil : Nama Pemilik
: H. Suwito Hadi Suprapto
Merk/Type
: Suzuki Carry/ST100
Jenis/Model
: MPNP/Stattion Wagon
Warna
: Biru Metalic
Nomor Rangka/NIK
: MHYESL4102J / 641932
Nomor Mesin
: F10A-ID-641932
Tahun
: 2002
Nomor Polisi
: AD 8710 ME
Mobil tersebut merupakan milik orang tua Pengadu. commit to user
59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bahwa Pengadu pada angsuran pertama (Agustus 2011), terlambat untuk membayar angsuran. Bahwa pada saat Pengadu akan membayar angsuran pertama (Agustus 2011), ternyata pihak Teradu meminta pembayaran angsuran dua bulan sekaligus (Agustus dan September 2011) dan hal ini tidak bisa dipenuhi oleh Pengadu. Pada saat Pengadu akan membayar angsuran kedua (september 2011), yaitu di bulan oktober 2011, ternyata sudah tidak dapat diterima oleh Teradu, dan kemudian Teradu melakukan penarikan (penyitaan) terhadap mobil Suzuki Carry AD 8710 ME. Bahwa Pengadu pernah menerima surat pemberitahuan penyelesaian kewajiban
pembayaran
dari
Teradu
yaitu
surat
No.
28/ASL/SPPK/X/2011, tertanggal 25 oktober 2011 yang isinya antara lain menetapkan kepada Pengadu untuk menyelesaikan kewajibannya sebesar Rp.42.432.300,- (empat puluh dua juta empat ratus tiga puluh dua ribu tiga ratus rupiah) paling lambat tanggal 5 November 2011. Oleh karena Pengadu diharuskan melunasi seluruh sisa hutangnya sebesarRp.42.432.300,- (empat puluh dua juta empat ratus tiga puluh dua ribu tiga ratus rupiah) Pengadu merasa keberatan dan merassa tidak sanggup untuk melunasi. Bahwa sebelum tanggal 5 November 2011, Pengadu bermaksud menanyakan keadaan mobil yang dijadikan jaminan, ternyata menurut pihak Teradu, mobil tersebut telah dijual oleh pihak Teradu. Dengan adanya peristiwa seperti terurai diatas, maka Pengadu merasa dirugikan : a. Bila harus melunasi seketika sebesar Rp.42.432.300,- (empat puluh dua juta empat ratus tiga puluh dua ribu tiga ratus rupiah), Pengadu merasa keberatan, karena seharusnya kewajiban tersebut bisa diangsur, dan jatuh temponya masih lama. b. Dengan ditahannya mobil, maka Pengadu harus mengeluarkan biaya tambahan yang tidak sedikit. commit to user
60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan surat pengaduannya tersebut, Pengadu memohon kepada BPSK kota Surakarta, untuk membantu menyelesaikan masalah diajukan olehnya, dan mengajukan tuntutan sebagai berikut : a. PT. Andalan Finance (Teradu) mengembalikan mobil suzuki Carry AD 8710 ME, sesuai dengan keadaan waktu diambil; b. Pengadu diperbolehkan untuk mengangsur kembali sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati; c. Biaya kerugian materiil selama mobil ditarik, karena harus mengeluarkan biaya transport tambahan sebesar RP. 750.000 x 13 bulan = Rp.9.750.000,- (sembilan juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
b. Uraian Singkat Keabsahan Perjanjian yang dilakukan antara Pengadu dan Teradu Bahwa selama proses persidangan berlangsung, ditemukan fakta-fakta dimana BPKB dan STNK mobil merk Suzuki carry keduanya menyebutkan nama pemilik adalah H. Suwito Hadi Suprapto (orang Tua Pengadu), yang mana telah melakukan balik nama dan memperoleh hak atas kendaraan tersebut sejak tahun 2004. Berdasarkan hal tersebut maka dapat diketahui kendaraan yang menjadi
objek
perjanjian pembiayaan konsumen, adalah kendaraan yang sejak semula (sebelum adanya perjanjian pembiayaan konsumen), telah berada di bawah kekuasaan pengadu, dan bukan diperoleh berdasarkan perjanjian pembiyaan konsumen. Bahwa Pengadu tidak mengakui adanya jual beli kendaraan antara pengadu dengan Igantius Ade Cahyanto, sehingga terbitlah
sertifikat
jaminan
fidusia
dengan
Nomor
:
W9.37431.AH.05.01.TH 2011 tanggal 31 Oktober 2011 oleh Notaris Dini Warastuti, SH.,M.Kn, dan pengadu berkeyakinan tidak pernah menandatangani dokumen tersebut. Bahwa meskipun telah diberi waktu yang cukup, Teradu ternyata tidak bisa bersedia/tidak dapat membuktikan bahwa Pengadu commit to user
61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
benar-benar sebagai orang yang menandatangani dokumen/ surat fidusia tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka majelis tidak memiliki keyakinan, bahwa benar-benar telah terjadi perjanjian jual-beli kendaraan bermotor antara Igantius Adhe Cahyanto dengan Riyadi (Pengadu). Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas, maka dapatlah diketahui bahwa tujuan para pihak untuk membuat dan menyetujui perjanjian pembiayaan konsumen tidaklah tercapai. Hal ini dikarenakan objek dari perjanjian pembiayaan konsumen yang berupa barang berdasarkan kebutuhan konsumen (vide Pasal 1 huruf g jo pasal 6 ayat (1), (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 Tentang Perusahaan Pembiyaan jo Pasal 1 angka 7 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga Pembiayaan), tidaklah pernah ada. Sehingga berdasarkan pertimbangan diatas, maka dapat diketahui bahwa perjanjian yang dilakukan antara Pengadu dan Teradu, tidak memenuhi sarat syahnya perjanjian.
c. Uraian Singkat tentang kekuatan Mengikat dari Klausa Baku dalam Perjanjian Yang dilakukan antara Pengadu dan Teradu Bahwa dengan Wanprestasi yang telah dilakukan oleh Pengadu, maka Teradu mewajibkan Pengadu untuk membayar keseluruhan sisa pembayaran yang masih terutang walaupun masa perjanjian belum berakhir. Dengan ditetapkannya kewajiban yang demikian, berarti Teradu telah mengubah perjanjian secara sipihak, tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu dari Pengadu, oleh karena Pengadu
yang
semula
memiliki
kewajiban
untuk
melakukan
pembayaran secara angsuran, kemudian diubah diwajibkan untuk menjadi pembayaran secara keseluruhan, walaupun masa perjanjian belum berakhir, dan yang mana apabila dilihat secara seksama dari perjanjian
pembiayaan
konsumen
commit to user
62
dan
pengakuan
hutang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
No.4095/J/95/110783, yang dibuat dan ditandatangani bersama oleh kedua belah pihak, bentuk dan besarnya tidak dapat dibaca secara jelas. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Teradu bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf d UU No.8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), selain itu juga bertentangan dengan pasal 18 ayat (2) UUPK yang melarang pelaku usaha untuk mencantumkan klausa baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Sehingga berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UUPK klausul yang demikian dinyatakan batal demi hukum.
d. AmarPutusan BPSK Nomor 04-16/LS/IX/2012/BPSK.Ska Tanggal, 25 Oktober 2012 atas nama Sdr. Riyadi melawan PT. Andalan Finance 1. Mengabulkan permohonan (konsumen) untuk sebagian; 2. Menyatakan bahwa surat perjanjian pembiayaan konsumen dan pengakuan hutang No. 4095/J/95/110783, yang dibuat dan ditandatangani (disepakati bersama pada tanggal 28 Juli 2011), batal demi hukum; 3. Menghukum kepada Pengadu untuk mengembalikan uang tunai yang pernah diterimanya sebesar Rp. 34.210.000,- (tiga puluh empat juta dua ratus sepuluh ribu rupiah) seketika atau secara bersama-sama pada saat menerima penyerahan kendaraan bermotor ysang menjadi objek perjanjian pembiayaan konsumen dan pengakuan hutang No.4095/J/95/110783; 4. Menghukum kepada Teradu menyerahkan kendaraan bermotor yang menjadi objek pembiaayaan konsumen dan pengakuan hutang No. 4095/J/95/110783, seketika setelah putusan ini dibacakan dan diberitahukan kepada para pihak; 5. Menghukum Teradu menyerahkan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) yang menjadi objek perjanjian pembiayaan commit to user
63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
konsumen dan pengakuan hutang No. 4095/J/95/110783, dan dokumen-dokumen pendukung lainnya kepada Pengadu secara bersamaan dengan penyerahan kendaraan sebagaimana diputuskan dalam putusan 4 diatas; 6. Menghukum kepada pihak Teradu unutk menberikan ganti rugi kepada pihak Pengadu atas penarikan yang menjadi objek perjanjian konsumen dan pengakuan hutang No. 4095/J/95/110783, berupa biaya transportasi sejak kendaraan ditarik dengan ganti rugi Rp. 750.000,-/bulan, yang dialami Pengadu selama 13 bulan, atau sebesar Rp.9.750.000.- (sembilan juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) (Rp. 750.000 x 13 bulan), yang dapat dikurangkan dari kewajiban Pengadu kepada Teradu; 7. Menolak
permohonan
Pengadu
(konsumen)
yang lain
dan
selebihnya. Bahwa atas putusan dari BPSK Kota Surakarta Nomor 0416/LS/IX/2012/BPSK.Ska Tanggal, 25 Oktober 2012 tersebut diatas, pelaku usaha mengajukan Keberatan/ Banding ke Pengadilan Negeri Surakarta.
e. Amar Putusan Pengadilan Negeri Surakarta No. 233/Pdt.G/2012/ PN.Ska antara PT. Andalan Finance melawan Riyadi Bahwa terhadap keberatan yang diajukan oleh Pemohon Keberatan tersebut, maka Pengadilan Negeri Surakarta mengambil putusan, yang tertuang dalam amar putusan Pengadilan Negeri Surakarta No. 233/Pdt.G/2012/ PN.Ska tanggal 13 Desember 2012, yang amar putusannya sebagai berikut : 1. Menyatakan pengajuan Keberatan masih dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-undang; 2. Menyatakan Pengajuan Keberatan melalui Pengadilan Negeri Surakarta tidak sesuai dengan tata cara pengajuan yang diatur dalam Undang-undang; commit to user
64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Menyatakan Keberatan terhadap Putusan BPSK Nomor 0416/LS/IX/2012/BPSK.Ska tertanggal 25 Oktober 2012 yang diajukan Pemohon Keberatan melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri Surakarta tidak dapat diterima; 4. Menghukum Pemohon Keberatan untuk membayar biaya perkara yang timbul hingga saat ini sebesar Rp. 196.000,- (seratus sembilah puluh enam ribu rupiah). Oleh karena Pengajuan Keberatan yang diajukan ditolak oleh Pengadilan Negeri Surakarta dikarena domisili Tergugat bukan diwilayah kota Surakarta melainkan di wilayah Sragen, maka Pemohon mengajukan Keberatan ke pengadilan Negeri Sragen.
f. Amar Putusan Pengadilan Negeri Sragen No. 55/Pdt.G/BPSK/2012/ PN.SRG Dalam Perkara Keberatan Terhadap Putusan BPSK antara PT. Andalan Finance (Pemohon Keberatan) melawan Riyadi (Termohon Keberatan) Bahwa terhadap Putusan Pengadilan Negeri Surakarta yang menolak Keberatan Pemohon yang dikarenakan Pemohon mengajukan domisili Tergugat bukan diwilayah kota Surakarta melainkan di wilayah Sragen, maka Pemohon mengajukan Keberatan ke pengadilan Negeri Sragen. Dengan diajukannya Keberatan Tersebut oleh Pemohon Keberatan, maka Pengadilan Negeri Sragen mengambil keputusan, yang mana dalam amar keputusannya sebagai berikut : 1. Menolak keberatan dari Pemohon Keberatan; 2. Menguatkan Putusan BPSK Kota Surakarta Nomor : 0416/LS/IX/2012/BPSK.Ska Tanggal 25 Oktober 2012; 3. Membebankan biaya perkara ini kepada Pemohon Keberatan sebesar Rp. 219.000,- (dua ratus sembilan belas ribu rupiah).
commit to user
65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. PEMBAHASAN 1. Model Penyelesaian Sengketa Konsumen oleh BPSK dan Pengadilan Negeri Surakarta Sengketa
konsumen
adalah
sengketa
berkenaan
dengan
pelanggaran hak-hak konsumen.72 Berkaitan dengan sengketa konsumen, pada Pasal 4 UUPK huruf e, bahwa upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut merupakan salah satu hak yang memberikan jaminan bahwa setiap konsumen berhak atas mendapatkan penyelesaian sengketa konsumen yang dihadapinya yakni dengan cara menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Untuk penyelesaian sengketa konsumen, Pasal 45 ayat (1)UUPK sendiri membagi penyelesaian konsumen manjadi dua bagian, yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi) dan penyelesaian sengketa di peradilan (litigasi) yang berada dilingkungan peradilan umum dalam hal ini Pengadilan Negeri dengan cara mengajukan gugatan perdata, baik atas dasar Wanprestasi atau Perbuatan Melawan Hukum. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi) dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak sendiri dan penyelesaian sengketa melalui lembaga yang berwenang, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 49, yakni Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan (litigasi) dianggap tidak efektif dan efisien sehingga akan mengganggu atau menghambat kegiatan bisnis. Hal ini disebabkan proses berperkara ke pengadilan harus menempuh prosedur beracara yang sudah ditetapkan dan tidak boleh disimpangi, sehingga memerlukan waktu yang lama, tidak melindungi kerahasiaan, serta hasilnya ada pihak yang kalah dan yang menang, sehingga akan memperpanjang persengketaan karena dimungkinkan melanjutkan perkara ke pengadilan yang lebih tinggi (upaya hukum) 72
Praditya, Penyelesaian Sengketa Konsumen, Garuda, Jakarta,2008, hal 135
commit to user
66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
meskipun terdapat asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya murah.73 Hal tersebut yang menyebabakan masyarakat sekarang lebih memilih untuk menyelesaikan sengketa dengan cara non litigasi, salah satunya adalah melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Prinsip penyelesaian sengketa di BPSK adalah cepat, murah dan sederhana.74 .Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.BPSK ini dibentuk untuk menyelesaikan sengketa konsumen yang berskala kecil dan bersifat sederhana. Keberadaan BPSK dapat menjadi bagian dari pemerataan keadilan, terutama bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha, karena sengketa diantara konsumen dan pelaku usaha biasanya nominalnya kecil sehingga tidak mungkin mengajukan sengketanya ke pengadilan karena tidak sebanding antara biaya perkara dengan besarnya kerugian yang akan dituntut. Pembentukan BPSK sendiri didasarkan pada adanya kecenderungan masyarakat yangsegan untuk beracara di pengadilan karena posisi konsumen yang secara sosial dan finansial tidak seimbang dengan pelaku usaha. Sesungguhnya keberadaan BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen seperti yang telah diuraikan diatas sudah mendapatkan kepercayaan di hati masyarakat. Terbukti dari beberapa putusan yang telah dikeluarkan oleh majelis BPSK dimana para pihak menerima putusan BPSK tersebut secara sukarela tanpa mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri. Namun demikian ada beberapa putusan BPSK yang oleh para pihak diajukan keberatan ke Pengadilan Negeri. Dari sengketa yang ada ketika para pihak yang bersengketa memilih penyelesaian sengketa di luar peradilan yaitu BPSK, maka pihak
73
Hanum Rahmaniar Helmi, Eksistensi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Memutus Sengketa Konsumen Di Indonesia, Jurnal Hukum Acara Perdata, Jhaper: Vol. 1, No. 1, Januari– Juni 2015. 74 Badan Penyelesaian Sengketa konsumen, http://duniathoto.blogspot.com, diakses pada tanggal 19 Juni 2015.
commit to user
67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang bersengketa secara otomatis memilih penyelesaian sengketamelalui BPSK, dengan demikian pihak yang bersengketa berkewajiban untuk memilih cara penyelesaian yang ada dan/ atau yang tersedia/ditentukan di BPSK. Model penyelesaian sengketa konsumen yang disediakan oleh BPSK(sesuai Pasal 54 ayat (4) jo. Pasal 26 sampai Pasal 36 Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001),diantaranya adalah sebagai berikut : a. Persidangan dengan cara konsiliasi Dalam
Pasal
1
butir
9
Kepmenperindag
RI
Nomor
350/MPP/KEP/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK mendefinisikan “Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak”.Konsiliasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa di anara para pihak yang melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak.75P.C Rao mendefinisikan konsiliasi sama dengan mediasi:76 “A non binding procedure in which discussions between the parties are initiated without the intervention of any third party with object of arriving at a negotiated settlement of the dispute” Konsiliasi merupakan suatu bentuk proses penyelesaian sengketa di luarpengadilan. Pada proses Konsiliasi dilibatkan pihak lain di luar pihak yang sedang bersengketa yang bersikap pasif dan netral, tidak memihak, pihak yang dimaksud disebut sebagai konsiliator. Pada sengketa konsumen, yang bertindak sebagai konsiliator adalah majelis yang telah disetujui oleh BPSK.Tujuan dilibatkannya konsiliator adalah agar dapat dengan mudah tercapai kata sepakat atas pemasalahan yang terjadi, sehingga sengketa dapat diselesaikan dengan baik.Konsiliator yang memilliki latar belakang pengetahuan mengenai konsumen 75
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen ditinjau dari Hukum Acara serta Kendala Implementasinya, Jakarta, Prenada Media Group, 2011, hal. 106. 76 Ibid.
commit to user
68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tentunya akan dapat lebih mempermudah membantu para pihak untuk mencapai kata sepakat. Konsiliator hanya melakukan tindakan seperti :77 1. Mengatur waktu dan tempat pertemuan oleh para pihak 2. Mengarahkan subjek pembicaraan 3. Membawa pesan dari satu pihak ke pihak lain jika pesan tersebut tidak mungkin disampaikan langsung oleh para pihak Konsiliator dapat mengusulkan solusi penyelesaian sengketa, tetapi tidak berwenang untuk memutus perkaranya. Pihak-pihak yang bersengketa harus menyatakan persetujuan atas usulan konsiliator dan menjadikannya sebagai kesepakatan penyelesaian sengketa. Dalam hal ini, majelis BPSK menyerahkansepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak yang bersengketa, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti kerugiannya. Pasal 29 Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001, menyebutkan bahwa prinsip tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi ada 2 cara yaitu : 1. Proses penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak sedangkan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bertindak pasif sebagai konsiliator, dan; 2. Hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Hasil musyawarah yang merupakan kesepakatan antar konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa, dan diserahkan kepada majelis untuk dituangkan dalam keputusan majelis BPSK yang menguatkan perjanjian tersebut. b. Persidangan dengan cara Mediasi Mediasi adalah proses negosiasi penyelesaian sengketa atau pemecahan masalah di mana pihak-pihak ketiga yang tidak memihak 77
Ibid.
commit to user
69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(impartial) bekerjasama dengan para pihak yang bersengketa membantu memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan.78 Black, Hendry Campbell, mendefinisikan mediasi79 yaitu: “Mediation: Private informal dispute resolution process in which a neutral third person, the mediator helps disputing parties to reach an agreement. The mediator has no power to impose a decition on parties.” Penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh pihak ketiga netral yang disebut mediator. Mediator menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun besarnya ganti kerugian atau tindakan tertentu untuk menjamin tidak terulangnya kembali kerugian konsumen. Mediator tidak berwenang memutuskan sengketa para pihak. Mediator hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang diserahkan kepadanya. Dalam sengketa di mana salah satu pihak lebih kuat dan cenderung menunjukkan kekuasaannya, pihak ketiga memegang peran penting untuk menyetarakannya .Kesepakatan dapat tercapai dengan mediasi, jika pihak yang bersengketa berhasil mencapai saling pengertian dan bersama-sama merumuskan penyelesaian sengketa dengan arahan konkret dari mediator. Mediator bertindak lebih aktif dengan memberikan nasihat, petunjuk, saran dan upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa. Pada proses mediasi ini adalah atas permintaan para pihak, mediator dapat meminta diperlihatkan bukti baik surat dan/atau dokumen lain yang mendukung dari kedua belah pihak. Atas persetujuan para pihak atau kuasanya, mediator dapat mengundang seorang atau lebih saksi atau saksi ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang terkait dengan sengketanya. 78
Susanti Adi Nugroho, Op.cit.,hal. 109. Ibid.hal 110.
79
commit to user
70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan Pasal 31 Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001, prinsip tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi ada 2 (dua) cara, yaitu: a) Proses penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak sedangkan kepada majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bertindak pasif sebagai mediator. b) Hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Mediator
wajib
menentukan
jadwal
pertemuan
untuk
penyelesaian proses mediasi. Dimana proses ini merupakan proses penyelesaian sengketa melalui proses mediasi di mana dalam hal-hal tertentu para pihak baik konsumen atau pelaku usaha masing-masing dimediasikan secara terpisah. Hal ini diperlukan jika para pihak sulit untuk didamaikan. Hasil musyawarah yang merupakan kesepakatan antara konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis, yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa yang diserahkan kepada Majelis BPSK untuk menguatkan perjanjian tersebut. c. Persidangan dengan cara Arbitrase Berdasarkan Undang-undang No. 30 Tahun 1999, pengertian arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan, yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dalam proses ini, pihak bersengketa mengemukakan masalah mereka kepada pihak ketiga netral
dan
memberinya
Kepmenperindag
RI
wewenang
Nomor
untuk
memutus.
350/MPP/Kep/12/2001
Dalam tentang
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK mendefinisikan“Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya commit to user
71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penyelesaian sengketa kepada BPSK”.Penyelesaian sengketa melalui arbritase melibatkan pihak ketiga netral yaitu arbiter. Pada persidangan dengan cara arbitrase, para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa yang terjadi. Proses pemilihan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen menurut Pasal 32 Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 dengan cara arbitrase dapat ditempuh melalui 2 (dua) tahap, yaitu: a. Para pihak memilih arbiter dari anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. b. Arbitor yang dipilih para pihak tersebut kemudian memilih arbiter ketiga dari anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, jadi unsur pemerintah selalu dipilih untuk menjadi ketua Majelis. Penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan cara mediasi dan konsiliasi memberikan kewenangan yang lebih besar kepada para pihak untuk menyelesaikan dan menemukan sendiri penyelesaian masalahnya. Sedangkan lembaga, baik mediator dan konsiliator sebagai pihak ketiga yang dilibatkan dalam penyelesaian sengketa konsumen oleh para pihak, bersifat netral dan tidak berwenang untuk memutus.80 Hasil penyelesaian sengketa mediasi dan konsiliasi adalah kesepakatan para pihak yang prosesnya dibantu oleh anggota BPSK sebagai mediator atau konsiliator, maka putusan yang dikeluarkan BPSK tidak lebih dari suatu pengesahan terhadap kesepakatan para pihak, dan tidak akan ada putusan yang akan dikeluarkan oleh BPSK tanpa adanya kesepakatan para pihak. Putusan BPSK hanya memberikan kekuatan hukum bagi kesepakatan yang telah disetujui
80
Munir Fuadi, Arbritase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 33.
commit to user
72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
oleh para pihak untuk kemudian dipatuhi.81 Putusan yang dikeluarkan oleh BPSK berbentuk penetapan dan memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak yaitu konsumen dan pelaku usaha. Berbeda halnya jika para pihak memilih cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrase, para pihak yang bersengketa dapat mengemukakan masalah mereka kepada pihak ketiga yang netral dan memberikan wewenang untuk memberikan keputusan yang kemudian mengikat para pihak yang bersengketa. Jika para pihak sudah sepakat memilih salah satu mekanisme penyelesaian
sengketa
mengalami
kegagalan
dalam
membuat
kesepakatan, maka para pihak tersebut tidak dapat melanjutkan proses penyelesaian sengketanya dengan menggunakan mekanisme lainnya yang sebelumnya tidak dipilih. Penyelesaian selanjutnya hanya dapat dilanjutkan melalui badan peradilan umum, hal mana menunjukkan bahwa mekanisme penyelesaian sengketa di BPSK tidak berjenjang sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Kepmen No. 350 / 2001.Jika para pihak tidak menerima atas putusan yang telah dikeluarkan oleh BPSK, maka para pihak dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri dengan jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak putusan tersebut diucapkan oleh majelis BPSK. Dalam kasus yang penulis teliti, pihak konsumen yaitu Riyadi memilih untuk menyelesaikan sengketa konsumen melalui BPSK. Setelah berkas pengaduan diserahkan, kemudian dilakukan tahapan pemeriksaan oleh BPSK kota Surakarta atas pengaduan yang dilakukan konsumen. Dalam pengaduan konsumen tersebut register
perkara
BPSK
kota
tercatat
SurakartaBPSK
didalam
Nomor
04-
16/LS/IX/2012/BPSK.Ska. Sebelum melangkah lebih lanjut, pada persidangan pertama ketua majelis BPSK wajib mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa yaitu, Riyadi (Pengadu) dengan PT. 81
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hal. 242
commit to user
73
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Andalan Finance (Teradu). Jika terjadi perdamaian antara kedua belah pihak yang bersengketa, sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (3) Kepmen No. 350/2001 maka majelis wajib membuat putusan dalam bentuk penetapan perdamaian, akan tetapi upaya perdamaian tersebut tidak berhasil. Tidak tercapainya upaya damai kepada para pihak, kemudian BPSK pun menawarkan para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui mediasi, konsiliasi atau arbitrase.Kemudian para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa konsumen tersebut melalui arbitrase. Arbitrase merupakan model penyelesian sengketa yang dipilih oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa konsumen yang dihadapi para pihak. Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar Pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK. Berdasarkan ketentuan Pasal 32 Kepmen No. 350/2001 disebutkan bahwa konsumen akan memilih salah satu arbiter konsumen yang terdiri dari tiga orang, demikian pula pengusaha akan memilih 1 (satu) arbiter pengusaha dari 3 (tiga) arbiter yang ada. Sedangkan ketua majelis hakim BPSK adalah seorang dari 3 (tiga) wakil pemerintah dalam BPSK. Bentuk dan besarnya ganti rugi yang menentukan adalah majelis BPSK bukan para pihak, karena para pihak telah menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa konsumen kepada majelis BPSK, sehingga penyelesaian sengketa konsumen dibuat dalam bentuk Putusan BPSK. Dalam kasus yang penulis teliti yang mana sengketa konsumen yang
telah
diputus
oleh
BPSK
dengan
Nomor
04-
16/LS/IX/2012/BPSK.Ska, tanggal 25 Oktober 2012, bahwa model penyelesaian sengketa di BPSK Kota Surakarta yang dalam hal ini menggunakan arbitrase yaitu dengan dengan prosedur persidangan sebagai berikut : 1. Bahwa pada persidangan pertama yang dilakukan pada tanggal 2 Oktober 2012, setelah Pengadu (Riyadi) mengajukan gugatanya ke commit to user
74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BPSK Kota Surakarta. Oleh Ketua Majelis Ketua Majelis dalam hal ini wajib mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa, dan bilamana tidak tercapai perdamaian, maka persidangan dimulai dengan membacakan isi gugatan konsumen dan surat jawaban pelaku usaha. Ketua majelis memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha
yang
bersengketa
untuk
menjelaskan
hal-hal
yang
persengketakan. Oleh karena pada persidangan pemeriksaan/ sidang pertama, pihak Teradu (PT. Andalan Finance) belum dapat menjawab atau menjelaskan hal-hal yang ditanyakan oleh Majelis, pihak Teradu meminta waktu untuk menjawabnya, maka dengan hal ini persidangan ditunda dan akan dilanjutkan kembali pada tanggal 9 Oktober 2012. Yang mana sebelum Ketua Majelis Sidang menutup sidang, Ketua Majelis tetap mengingatkan dan meminta kedua belah pihak untuk melakukan komunikasi guna menyelesaikan sengketa secara damai. 2. Bahwa pada sidang ke dua yang dilakukan pada tanggal 2 Oktober 2012 telah hadir Pengadu dan Teradu, dimana pada sidang kedua ini ternyata belum ada atau terdapat kesepakatan damai antara kedua belah pihak yang mana dalam hal ini adalah Pihak Pengadu dan Teradu. Di dalam sidang kedua ini Teradu (PT. Andalan Finance) menjelaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan Pengadu (Riyadi) sebagai yang dalam hal ini sebagai Konsumen terhadap kendaraan yang dijaminkan oleh Pengadu, maka telah dilakukan jual-beli kendaraan antara Pengadu dan penjual (Ignatius Adhe Cahyanto ), sehingga terbitlah sertifikat jaminan fidusia dengan Nomor : W9.37431.AH.05.01.TH.2011 tanggal 312 Oktober 2011, oleh Notaris Dini Warastuti, SH., M.Kn. namun hal tersebut disangkal oleh Pengadu, Pengadu mengaku tidak pernah melakukan jualbeli kendaraan dengan pihak penjual dan pengadu juga mengaku tidak pernah melihat, mengetahui dan menandatangani suratsurat atau dokumen tersebut seperti yang didalilkan pihak Teradu. Atas dasar pengakuan dari Pengadu tersebut majelis meminta kepada pihak Teradu untuk membuktikan keaslian dan kebenaran tanda tangan commit to user
75
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pengadu, tetapi pihak Teradu tidak bersedia dan belum bisa membuktikannya
kepada
majelis
dan
meminta
waktu
untyuk
membuktikan hal tersebut. Oleh karena hal tersebut, maka Majelis menunda sidang sidang ke dua, dan akan dilanjutkan kembali pada tanggal 18 Oktober 2012. Dan sebelum Majelis menutup sidang, Ketua majelis Sidang tetap mengingatkan dan meminta kedua belah pihak untuk melakukan komunikasi, guna menyelesaikan sengketa yang ada secara damai. 3. Bahwa pada sidang ke tiga yang dilakukan pada tanggal 18 Oktober 2012, telah hadir kedua belah Pihak yaitu Pengadu dan Teradu. Dimana pada sidang ke dua ini juga belum terdapat kesepakatan damai antara kedua belah pihak. Pada sidang ke dua yang diagendakan ini ternyata pihak
Teradu
juga
belum
bisa
membuktikan
kebenaran
penandatanganan Pengadu akta fidusia. Selama proses persidangan berlangsung ternyata ditemukan fakta bahwa adanya perbedaan datadata tentang objek fidusia oleh majelis, yang terdapat dalam sertifikat jaminan fidusia Nomor : W9.37431.AH.05.01.TH.2011 tanggal 312 Oktober 2011, oleh Notaris Dini Warastuti, SH., M.Kn, dan salinan buku daftar fidusia, dengan STNK dan BPKB yang terkait dengan kendaraan yang dijadikan jaminan. Dimana terdapat perbedaan kepemilikan STNK yang dijadikan objek perjanjian pembiayaan konsumen, dan perjanjian fidusia dengan nama H. Suwito Haji Suprapto (pemilik pertama), dengan No.Polisi kendaraan AD 8701 ME, sedangkan dalam salinan buku daftar fidusia tertulis nama pemilik adalah Drs. M.Nur Fadli, M.Pd (pemilik kedua) dengan No.Polisi AD 7581 CE, hal tersebut bisa dilihat di dalam buku kepemilikan BPKB. Dengan adanya perbedaan tersebut, dan meskipun Majelis telah meminta Teradu untuk menjelaskan, akan tetapi sampai sidang berakhir Teradu tetap tidak dapat menjelaskan adanya perbedaan tersebut. Bahwa dengan melihat dari fakta yang terdapat selama proses persidangan, dan juga tidak terdapat kesepakatan damai antara kedua belah commit to user
76
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pihak, maka Majelis memutuskan bahwa sengketa konsumen yang terjadi antara PT. Andalan Multi Finance Indonesia (Teradu) melawan Riyadi (Pengadu): 1. Mengabulkan permohonan (konsumen) untuk sebagian; 2. Menyatakan bahwa surat perjanjian pembiayaan konsumen dan pengakuan
hutang
No.
4095/J/95/110783,
yang
dibuat
dan
ditandatangani (disepakati bersama pada tanggal 28 Juli 2011), batal demi hukum; 3. Menghukum kepada Pengadu untuk mengembalikan uang tunai yang pernah diterimanya sebesar Rp. 34.210.000,- (tiga puluh empat juta dua ratus sepuluh ribu rupiah) seketika atau secara bersama-sama pada saat menerima penyerahan kendaraan bermotor ysang menjadi objek perjanjian
pembiayaan
konsumen
dan
pengakuan
hutang
No.4095/J/95/110783; 4. Menghukum kepada Teradu menyerahkan kendaraan bermotor yang menjadi objek pembiaayaan konsumen dan pengakuan hutang No. 4095/J/95/110783, seketika setelah putusan ini dibacakan dan diberitahukan kepada para pihak; 5. Menghukum Teradu menyerahkan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) yang menjadi objek perjanjian pembiayaan konsumen dan pengakuan hutang No. 4095/J/95/110783, dan dokumen-dokumen pendukung lainnya kepada Pengadu secara Bersamaan dengan penyerahan kendaraan sebagaimana diputuskan dalam putusan 4 diatas; 6. Menghukum kepada pihak Teradu untuk menberikan ganti rugi kepada pihak Pengadu atas penarikan yang menjadi objek perjanjian konsumen dan pengakuan hutang No. 4095/J/95/110783, berupa biaya transportasi sejak kendaraan ditarik dengan ganti rugi Rp. 750.000,-/bulan, yang dialami Pengadu selama 13 bulan, atau sebesar Rp.9.750.000.(sembilan juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) (Rp. 750.000 x 13 bulan), yang dapat dikurangkan dari kewajiban Pengadu kepada Teradu; commit to user
77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7. Menolak permohonan Pengadu (konsumen) yang lain dan selebihnya. Adapun pertimbangan BPSK dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut adalah : 1. Tentang keabsahan perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak, maka dapatlah diketahui bahwa perjanjian yang dilakukan tidak memenuhi persyaratan sahnya perjanjian, khususnya Pasal 1320 nomor 3 KUH Perdata. 2. Tentang kekuatan mengikat perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak dinyatakan batal demi hukum, karena adanya perubahan perjanjian yang dilakukan secara sepihak oleh Teradu , sehingga dalam hal ini pencantuman klausul baku dalam perjanjian bertentangan dengan Undang-undang perlindungan konsumen, khususnya Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UUPK. Dalam kasus yang tersebut diatas, terdapat salah satu pihak yaitu Termohon (PT. Andalan Finance) yang pada akhirnya kemudian tidak menerima
putusan
BPSK
kota
Surakarta
Nomor
04-
16/LS/IX/2012/BPSK.Ska tanggal 25 Oktober 2012 dalam perkara sengketa konsumen yang dihadapinya. Atas putusan majelis hakim BPSK kota Surakarta tersebut, selanjutnya termohon / pelaku usaha mengajukan keberatan atau banding ke Pengadilan Negeri Surakarta.Sebab dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen mengatur bahwa terhadap putusan BPSK dapat diajukan keberatan ke pengadilan. Keberatan adalah upaya bagi pelaku usaha dan konsumen yang tidak menerima putusan BPSK. Istilah keberatan sebetulnya dalam bidang hukum acara perdata tidak dikenal, istilah keberatan ini membuat para hakim pengadilan negeri, tempat dimana ada pengajuan keberatan atas putusan BPSK mendapatkan kesulitan untuk menafsirkan apakah pengajuan
keberatan
tersebut
semacam
banding,
gugatan
atau
permohonan, karena dalam hal ini belum ada ketentuan yang mengatur lebih lanjut mengenai apa dan bagaimana yang dimaksud dengan pengajuan keberatan atas putusan BPSK di pengadila negeri. Sedangkan commit to user
78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
selama ini proses pemeriksaan perkara di pengadilan negeri hanya berbentuk gugatan dan permohonan. Akan tetapi kalau kita lihat ketentuan Perma No.1 Tahun 2006 Pasal 6 ayat (2) tentang tata cara pemeriksaan keberatan dinyatakan bahwa pemeriksaan keberatan dilakukan hanya atas dasar putusan BPSK dan berkas perkara, hal ini mirip dengan upaya hukum banding. PERMA No. 1 Tahun 2006 mengatur bahwa keberatan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh BPSK82 dan dalam hal diajukan keberatan, BPSK bukan merupakan pihak.83Keberatan diajukan melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri sesuai dengan prosedur pendaftaran perkara perdata.84 Dan dalam hal keberatan diajukan oleh konsumen dan pelaku usaha terhadap putusan BPSK yang sama, maka perkara tersebut harus didaftar dengan nomor yang sama.85 Adapun alasan yang dapat dijadikan sebagai dasar pengajuan keberatan
terhadap
putusan
arbitrase
BPSK
adalah
apabila
memenuhipersyaratan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu:86 1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusandijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu; 2. Setelah putusan arbitrase BPSK diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan; 3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
82
Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK 83 Pasal 3 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK. 84 Pasal 5 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK.. 85 Pasal 5 Ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK. 86 Pasal 6 Ayat (3). Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK.
commit to user
79
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam hal keberatan diajukan atas dasar hal-hal disebut di atas, maka Majelis Hakim dapat mengeluarkan pembatalan putusan BPSK.87 Dan dalam hal keberatan diajukan atas dasar alasan lain di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 Ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK, Majelis Hakim dapat mengadili sendiri sengketa konsumen yang bersangkutan. Bahwa atas dasar putusan BPSK kota Surakarta Nomor 0416/LS/IX/2012/BPSK.Ska tanggal 25 Oktober 2012 tersebut diatas, Pelaku usaha mengajukanKeberatan atau Banding ke Pengadilan Negeri Surakarta kemudian diterima dan dicatat di register oleh Panitera Pengadilan Negeri Surakarta tertanggal 08 Novermber 2012 dengan Nomor Perkara : No. 233/Pdt.G/2012/ PN.Ska. Atas dasar pengajuan keberatan tersebut, maka yang sebelumnya PT. Andalan Finance dulu sebagai Teradu, sekarang menjadi Pemohon Keberatan dan Riyadi sebagai Termohon Keberatan. Oleh Pengadilan Negeri Surakarta, sengketa konsumen yang telah diajukan oleh para pihak diselasaikan dengan model/ cara penyelesaian sengketa acara perdata biasa. Model penyelesaian sengketa konsumen di pengadilan Negeri pada dasarnya adalah sama, yaitu menggunakan proses beracara perdata biasa, yang mana tahap dan proses persidangan, yaitu sebagai berikut :88 1. Pembacaan Gugatan; 2. Usaha Perdamaian; 3. Jawaban Tergugat; 4. Replik Penggugat; 5. Duplik Tergugat; 6. Pembuktian Penggugat; 7. Pembuktian Tergugat; 87
Pasal 6 Ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata CaraPengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK. 88 Djamanat Samosir, Hukum Acara Perdata “Tahap-Tahap Penyelesaian Perkara Perdata”, Nuansa Aulia, Bandung, 2011, hal.158
commit to user
80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8. Kesimpulan; 9. Putusan. Terhadap Gugatan Keberatan yang diajukan oleh PT. Andalan Finance
terhadap
putusan
BPSK
Kota
Surakarta
Nomor
04-
16/LS/IX/2012/BPSK, Pengadilan Negeri Surakarta telah mengambil putusan, yang amar putusannya sebagai berikut : 1. Menyatakan pengajuan Keberatan masih dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-undang; 2. Menyatakan Pengajuan Keberatan melalui Pengadilan Negeri Surakarta tidak sesuai dengan tata cara pengajuan yang diatur dalam Undangundang; 3. Menyatakan Keberatan terhadap Putusan BPSK Nomor 0416/LS/IX/2012/BPSK.Ska tertanggal 25 Oktober 2012 yang diajukan Pemohon Keberatan melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri Surakarta tidak dapat diterima; 4. Menghukum Pemohon Keberatan untuk membayar biaya perkara yang timbul hingga saat ini sebesar Rp. 196.000,- (seratus sembilah puluh enam ribu rupiah). Adapun yang menjadi pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam mengambil putusan tersebut adalah : 1. Bahwa pengajuan keberatan masih dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-undang Pasal 5 ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 2006 “Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas harin) terhitung sejak pelaku Usaha atau Konsumen menerima pemberitahuan putusan BPSK”. Dan Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) Kepmenperindag Nomor 350 Tahun 2001 yang berbunyi : “Dalam waktu 14 (empat belas ) hari kerja terhitung sejak Putusan BPSK diberitahukan, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima atau menolak Putusan BPSK” “Konsumen atau pelaku usaha yang menolak Putusan BPSK, dapat mengajukan keberatan kepada Pegadilan Negeri selambat-lambatnya commit to user
81
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak keputusan BPSK diberitahukan”; 2. Bahwa mengacu pada ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan (2) PERMA No. 01 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Konsumen yang berbunyi : “Keberatan terhadap Putusan BPSK dapat diajukan baik oleh Pelaku Usaha dan/ atau Konsumen kepada Pengadilan Negeri di tempat kedudukan hukum kinsumen tersebut” “Konsumen yang tidak mempunyai kedudukan hukum di Indonesia harus mengajukan keberatan di Pengadilan Negeri dalam wilayah hukum BPSK yang mengeluarkan putusan.” Bahwa dalam perkara ini yang berkedudukan sebagai Konsumen adalah Termohon Keberatan dahulu Pengadu (Riyadi) diketahui yang bersangkutan berdasarkan identitas berkedudukan di Kuto Rt.11, Mojodoyong, Kedawung, Sragen; 3. Bahwa karena Termohon keberatan berkedudukan atau bertempat tinggal diwilayah hukum atau yurisdiksi Pengaduan Negeri Sragen, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan (2) PERMA No. 01 Tahun 2006, maka menurut Majelis Hakim, tata cara pengajuan keberatan perkara ini haruslah diajukan ke Pengadilan Negeri Sragen, maka pengajuan Keberatan yang demikian haruslah dinyatakan tidak dapat diterima. Dengan tidak diterimanya Gugatan Keberatan yang diajukan oleh PT. Andalan Finance oleh Pengadilan Negeri Surakarta, pada tanggal 26 Desember 2012 PT. Andalan Finance mengajukan Gugatan Keberatan Ke Pengadilan Negeri Sragen dengan Nomor Register Perkara No. 55/Pdt.G/BPSK/2012/PN.Sragen. Yang mana di Pengadilan Negeri Sragen Gugatan keberatan yang diajukan juga diselesaikan dengan model atau proses peradilan acara perdata biasa seperti apa yang telah dijelaskan sebelumnya diatas. commit to user
82
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Proses atau model Litigasi yang dilakukan oleh pengadilan Negeri Sragen tersebut dilakukan karena sebelum Proses persidangan berlangsung dan Hakim yang melakukan perdamaian tidak bisa mendamaikan kedua belah pihak dan tidak ada kesepakatan damai antara kedua belah pihak, maka persidangan dilanjutkan dengan menggunakan proses perdata biasa oleh Pengadilan. Dengan diajukannya Keberatan Tersebut oleh Pemohon Keberatan, maka Pengadilan Negeri Sragen mengambil keputusan, yang mana dalam amar keputusannya sebagai berikut: 1. Menolak keberatan dari Pemohon Keberatan; 2. Menguatkan
Putusan
BPSK
Kota
Surakarta
Nomor
:
04-
16/LS/IX/2012/BPSK.Ska Tanggal 25 Oktober 2012; 3. Membebankan biaya perkara ini kepada Pemohon Keberatan sebesar Rp. 219.000,- (dua ratus sembilan belas ribu rupiah). Adapun yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara tesebut diatas adalah : 1. Bahwa sesuai dengan Pasal 130 HIR dan Perma No.1 tahun 2008 tentang Medisasi, maka selanjutnya Majelis Hakim berusaha untuk mengupayakan perdamaian kepada kedua belah pihak yang berperkara dengan memberi kesempatan melalui proses mediasi dengan menunjuk seorang mediator Sdr. Toni Widjaya H.Hilly, SH Hakim pada Penagdilan Negeri Sragen berdasarkan Penetapan
Majelis No. 55/
Pen.Pdt.G/BPSK/2012/PN.Srg, tertanggal 9 Januari 2013. 2. Bahwa atas dasar laporan hasil mediasi dari Hakim Mediator yang telah ditunjuk, yang menyatakan mediasi telah gagal karena kedua belah pihak yang berperkara tidak menghasilkan kesepakatan untuk menyelesaiakan
sengketa
dengan
jalan
perdamaian,
sehingga
selanjutnya Majelis Hakim menyatakan sidang dilanjutkan dengan membacakan keberatan Pemohon, dimana Pemohon menyatakan tetap pada keberatannya dan tidak ada perubahan. commit to user
83
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Bahwa pada proses persidangan kedua belah pihak sudah mengajukan bukti-bukti surat, seperti terlampir dalam lampiran putusan Pengadilan Negeri Sragen. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan model penyelesaian sengketa konsumen di BPSK dan Pengadilan Negeri adalah hampir sama. Yang membedakan bahwa penyelesaian sengketa konsumen di BPSK bisa dilakukan dengan menggunakan 3 cara sesuai dengan Pasal 54 ayat (4) jo. Pasal 26 sampai Pasal 36 Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001), yaitu sebagai berikut : 1. Persidangan dengan cara konsiliasi Dalam
Pasal
1
butir
9
Kepmenperindag
RI
Nomor
350/MPP/KEP/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK mendefinisikan “Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak”. Konsiliasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa di antara para pihak yang melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak. Konsiliasi merupakan suatu bentuk proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pada proses Konsiliasi dilibatkan pihak lain di luar pihak yang sedang bersengketa yang bersikap pasif dan netral, tidak memihak, pihak yang dimaksud disebut sebagai konsiliator. Pada sengketa konsumen, yang bertindak sebagai konsiliator adalah majelis yang telah disetujui oleh BPSK. Tujuan dilibatkannya konsiliator adalah agar dapat dengan mudah tercapai kata sepakat atas pemasalahan yang terjadi, sehingga sengketa dapat diselesaikan dengan baik. Hasil musyawarah yang merupakan kesepakatan antar konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa, dan diserahkan kepada majelis untuk dituangkan dalam keputusan majelis BPSK yang menguatkan perjanjian tersebut. commit to user
84
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Persidangan dengan cara Mediasi Mediasi adalah proses negosiasi penyelesaian sengketa atau pemecahan masalah di mana pihak-pihak ketiga yang tidak memihak (impartial) bekerjasama dengan para pihak yang bersengketa membantu memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan. Penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh pihak ketiga netral yang disebut mediator. Mediator menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun besarnya ganti kerugian atau tindakan tertentu untuk menjamin tidak terulangnya kembali kerugian konsumen. Mediator tidak berwenang memutuskan sengketa para pihak. Mediator hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang diserahkan kepadanya. Berdasarkan Pasal 31 Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001, prinsip tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi ada 2 (dua) cara, yaitu: a) Proses penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentuk maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak sedangkan kepada majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bertindak pasif sebagai mediator. b) Hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Hasil musyawarah yang merupakan kesepakatan antara konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, selanjutnya dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis, yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa yang diserahkan kepada Majelis BPSK untuk menguatkan perjanjian tersebut. 3. Persidangan dengan cara Arbitrase Berdasarkan Undang-undang No. 30 Tahun 1999, pengertian arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan, yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat commit to user
85
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dalam proses ini, pihak bersengketa mengemukakan masalah mereka kepada pihak ketiga netral
dan
memberinya
Kepmenperindag
RI
wewenang
Nomor
untuk
memutus.
350/MPP/Kep/12/2001
Dalam tentang
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK mendefinisikan“Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK”. Penyelesaian sengketa melalui arbritase melibatkan pihak ketiga netral yaitu arbiter. Pada
persidangan
dengan
cara
arbitrase,
para
pihak
menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa yang terjadi. Proses pemilihan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen menurut Pasal 32 Kepmenperindag No. 350/MPP/12/2001 dengan cara arbitrase dapat ditempuh melalui 2 (dua) tahap, yaitu: a. Para pihak memilih arbitor dari anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. b. Arbitor yang dipilih para pihak tersebut kemudian memilih arbiter ketiga dari anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, jadi unsur pemerintah selalu dipilih untuk menjadi ketua Majelis. Penyelesaian dengan cara arbitrase apabila kedua belah pihak belum mendapatkan kesepakatan,maka oleh Hakim Majelis dilanjutkan dengan persidangan, yang pada intinya hampir sama dengan proses persidangan di lingkup peradilan umum. Hanya saja yang membedakan pada proses persidangan di BPSK Hakim Majelis selalu memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak ynag berdengketa untuk berdamai, walaupun masih dalam proses persidangan. Model penyelesaian sengketa konsumen melalui arbitrase di BPSK mirip dengan proses di Pengadilan Negeri, dimana arbiter memberikan commit to user
86
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
putusan yang menurutnya paling adil, dan putusan arbiter adalah mengikat sebagaimana putusan hakim karena BPSK adalah pilihan yang telah dipilih oleh para pihak berdasarkan kesepakatan para pihak antara konsumen dan pelaku usaha. Putusan BPSK dengan cara arbitrase seperti halnya putusan perkara
perdata,
memuat
duduknya
perkara
dan
pertimbangan
hukumnya.89 Perbedaan utamanya adalah bahwa arbiter bukanlah lembaga peradilan yang dimiliki Negara, melainkan orang-orang yang biasanya dipilih oleh para pihak yang bersengketa, atas dasar reputasi dan keahlian mereka. Jadi konsep dasar putusan arbitrase BPSK, mirip dengan putusan Pengadilan Negeri yaitu memiliki kekuatan memaksa, meskipun kedua belah pihak sama-sama tidak dapat menyetujuinya dan putusan arbitrase BPSK tidak memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian putusan BPSK tidak memuat title eksekutorial.Titel eksekutorial merupakan salah satu kunci agar putusan dapat dieksekusi.Tanpa titel eksekutorial makaputusan tidak dapat dieksekusi.90 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bp. Bambang Ari wakil Ketua BPSK kota Surakarta, bisa dikatakan : “bahwa model penyelesaian sengketa di BPSK pada dasarnya sama dengan model penyelesaian perkara perdata pada umumnya, dan sama dengan proses beracara perdata di Pengadilan Negeri. Yang membedakan bahwa dalam setiap proses persidangan hakim sebelum memulai persidangan selalu menawarkan perdamaian antara kedua belah pihak yang bersengketa/ berprerkara. Namun demikian BPSK tidak mempunyai kekuatan eksekutorial, yang berhak untuk melalukan eksekusi terhadap putusan BPSK adalah Pengadilan Negeri”. Pasal 2 dan Pasal 4 SK Menperindag No : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK menegaskan bahwa 89
Aman Sinaga, 2004, Peran Dan Fungsi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Upaya Perlindungan Konsumen, Makalah, hal 6. 90 Hasan Bisri, Teknik Pembuatan Putusan, Makalah yang disampaikan untuk Diklat Cakim angkatan ke III di Pusdiklat MA-RI, Bogor, 2008, hal 2.
commit to user
87
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penyelesaian sengketa melalui BPSK bukanlah suatu proses penyelesaian secara berjenjang. Oleh karenanya untuk mengajukan proses penyelesaian sengketa konsumen ke Pengadilan Negeri tidak harus berproses terlebih dahulu melalui BPSK. Penegasan pada SK Menperindag ini dapat membantu memberikan pemahaman perihal upaya hukum keberatan atau banding dan kasasi pada sengketa konsumen yang diajukan kepada BPSK,meskipun
ditinjau
dari
tata
urutan
perundang-undangan
sebagaimana diatur dalam Tap MPR Nomor III / MPR / 2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-Undangan, dimana suatu Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri tidak termasuk di dalamnya, oleh karenanya suatu SK Menperindag tidak memiliki kewenangan untuk memberikan penjelasan terhadap materi suatu undang-undang, kecuali dalam batas-batas kewenangan yang diberikan oleh undang-undang yang bersangkutan. Tidak berbeda jauh dengan Penyelesaian sengketa di BPSK,dimana proses penyelesaian sengketa yang dilakukan di Pengadilan Negeri juga mernggunakan Mediasi, hanya saja mediasi dilakukan sebelum proses beracara di Pengadilan berlangsung. Hakim selalu memberikan atau mengupayakan perdamaian kepada kedua belah pihak, sebagai mana diatur dalam Pasal 130 HIR dan Perma No.1 Tahun 2008 Tentang Mediasi. Dan apabila selama proses Mediasi gagal, dan kedua belah berlah pihak tidak terdapat kesepakatan, maka oleh Hakim Pengadilan Negeri, dilanjutkan dengan Proses Beraca Perdata sesuai dengan prinsip beracara di peradilan umum. Berdasarkan hasil wawancara dengan Agung Nugroho Hakim Pengadilan Negeri Sragen, mengatakan bahwa: “model penyelesaian sengketa konsumen di Pengadilan Negeri pada dasarnya sama dengan yang dilakukan oleh BPSK, yaitu dengan menggunakan hukum acara yang sama. Perbedaan muncul pada saat memberikan pertimbangan dalam putusan Hakim, yaitu bisa dari Hakim Pengadilan Negeri sendiri, juga bisa dari Hakim Majelis BPSK” commit to user
88
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hal yang sama juga dikatakan oleh Bp. Ginting Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, mengatakan bahwa: “model penyelesaian sengketa yang dilakukan di Pengadilan Negeri menggunakan hukum acara pada umumnya, tentang tata cara, tata acara penyusunan putusan, adalah sama yaitu menggunakan hukum acara yang terdapat di peradilan umum”
2. Hambatandan Solusi Dalam Memutus Sengketa Konsumen Di BPSK dan Pengadilan Negeri Hambatan
merupakan
kendala
atau
sesuatu
hal
yang
menghalangi, menjadi penghalang terhadap seseorang maupun beberapa orang yang hendak mencapai tujuan tertentu. Adanya suatu hambatan mengakibatkan tujuan tidak dapat tercapai.Menurut Agung Nugroho, Wakil Ketua BPSK Surakarta, berdasarkan hasil wawancara, mengatakan bahwa secara umum hambatan BPSK dalam memutus sengketa antara lain adalah :91 1. Perbedaan latar belakang pendidikan masing-masing anggota BPSK, yang menyebabkan munculnya persepsi yang tidak sama antar anggota BPSK terhadap aspek-aspek perlindungan konsumen dan penafsiran hukum sehingga memperlambat proses penyelesaian sengketa. 2. Permasalahan sarana dan prasarana yang kurang memadai yang mana sampai saat ini BPSK Kota Surakarta belum mempunyai gedung sendiri, sehingga menghambat proses penyelesaian sengketa konsumen. 3. Regulasi peraturan yang tidak lengkap dan membingungkan, yaitu kelemahan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang UU BPSK, yang bisa dilihat adanya beberapa pengaturan dalam Pasal yang mengatur tentang BPSK banyak yang kontradiktif (tidak konsisten).
91
Wawancara kepada Bapak Agung Nugroho, selaku hakim Pengadilan Negeri Sragen dilakukan langsung pada tanggal 10 Desember 2014 pukul 13.30 WIB di kantor Pengadilan Negeri Sragen.
commit to user
89
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Sulitnya dalam pemanggilan para pihak yang bersengketa, khususnya pelaku
usaha
yang
biasanya
hanya
diwakilkan
kuasa
hukumnya,sehingga akan sulit tercapai kata perdamaian antara pihak yang bersengketa. Dan juga pelaku usaha jarang sekali mau mematuhi putusan BPSK. Masalah juga timbul pada saat eksekusi. Agar mempunyai kekuatan eksekusi, maka putusan BPSK harus dimintakan penetapan (fiat eksekusi) ke pengadilan. Dalam praktek, tidak mungkin memintakan penetapan eksekusi karena sama sekali tidak diatur.Pelaksanaan putusan BPSK menemui hambatan yang berpengaruh terhadap efektivitas pelaksanaan putusannya.Putusan arbitrase BPSK, terdapat 2 (dua) kemungkinan yang terjadi, yakni putusan dilaksanakan secara sukarela atau putusan tersebut dimintakan fiat eksekusi ke pengadilan. Pasal 42 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 menyebutkan bahwa putusan BPSK yang telah final dan mengikat dimintakan penetapan eksekusinya oleh BPSK kepada pengadilan negeri di tempat konsumen yang dirugikan. Ketentuan pasal ini bertentangan dengan ketentuan hukum acara pada umumnya yang mengatur bahwa pihak yang dimenangkan dalam putusan hakim, yang memohon kepada pengadilan negeri untuk dilakukan eksekusi baik secara tertulis atau secara lisan.92 Meskipun tujuan utama didirikannya BPSK adalah untuk memberikan suatu perlindungan hukum bagi konsumen, akan tetapi hal ini tidak berarti pula bahwa dalam upaya pelaksanaan ganti kerugian, BPSK juga yang harus mengajukan permohonan eksekusinya ke pengadilan. Sebab ganti kerugian diberikan adalah untuk kepentingan konsumen itu sendiri, dengan demikian yang seharusnya mengajukan eksekusi terhadap putusan BPSK hanyalah konsumen sendiri, bukan lembaga BPSK. Apabila BPSK dikenakan kewajiban untuk mengajukan eksekusi seperti yang
ditentukan
dalam
Pasal
42
Kepmenperindag
No.
350/MPP/Kep/12/2001, maka kedudukan BPSK sebagai badan yang netral 92
Susanti Adi Nugroho, Op. cit., hal. 264.
commit to user
90
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan imparsial menjadi diragukan. Selain itu apabila BPSK melakukan pengajuan permohonan eksekusi, maka akan menambah beban kerja dari BPSK itu sendiri. Untuk itulah demi mendorong kinerja BPSK yang baik hendaknya BPSK tidak dikenakan kewajiban mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan.93Apabila dikaitkan dengan Pasal 52 UUPK, maka sudah seharusnya kewajiban untuk mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan tidak menjadi tugas dan wewenang dari BPSK karena UUPK sendiri tidak mengatur demikian. BPSK tidak mempunyai lembaga juru sita sebagaimana yang dimiliki
oleh pengadilan negeri sehingga
putusan BPSK harus
ditindaklanjuti oleh BPSK untuk dilaksanakan eksekusinya oleh pengadilan negeri.94 Hal ini yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan eksekusi putusan BPSK menjadikan BPSK tidak dapat secara mandiri melaksanakan eksekusi putusannya, sehingga putusan BPSK yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pelaku usaha harus dimintakan penetapan eksekusinya kepada pengadilan negeri. Disamping hal-hal yang menjadi penghambat BPSK pada umumnya seperti yang tersebut diatas, hambatan yang dihadapi oleh BPSK kota Surakarta dalam menangani perkara dalam kasus yang penulis teliti diantaranya juga sulitnya untuk menghadirkan para pihak yang bersengketa, khususnya dari pelaku usaha yaitu PT. Andalan Finance, yang mana biasannya dari pihak pengusaha selalu diwakilkan oleh Kuasa Hukumnya, sehingga akan sulit terjadi kesepakatan damai antara kedua belah pihak yang bersengketa. Disisi lain, BPSK sendiripun tidak memiliki kekuatan upaya paksa untuk menghadirkanpelaku usaha yang tidak bersedia hadir di BPSK.Meskipun dalam UUPK menyebutkan bahwa BPSK dapat meminta bantuan dari Penyidik Umum (Polisi) namun dalam prakteknya sulit untuk dilaksanakan.Sebab penyidik umum kurang menanggapi permintaan bantuan dari BPSK. 93
Ibid.,hal. 348. Wawancarakepada bapak Bambang Ari selaku wakil ketua BPSK dilakukan langsung pada tanggal 10 Desember 2014 pukul 09.40 WIB di kantor BPSK Surakarta. 94
commit to user
91
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hambatan yang dihadapi oleh BPSK kota Surakarta juga mengenai hal yang diatur dalam Pasal 56 Ayat (2) UUPK yang memberi peluang kepada para pihak yang tidak setuju dengan putusan BPSK, untuk mengajukan keberatan ke pengadilan. Berdasarkan ketentuan Pasal 54 ayat (3) UUPK dikatakan bahwa “keputusan BPSK bersifat final dan mengikat”, berarti putusantersebut tidak membutuhkan upaya hukum lanjutan. Dengan dikeluarkannya putusan yang bersifat final, maka dengan sendirinya sengketa yang diperiksa telah berakhir. Para pihak yang bersengketa harus tunduk dan melaksanakan putusan yang sudah final tersebut. Pada penjelasan Pasal 54 ayat (3) UUPK ditegaskan bahwa kata besifat final diartikan tidak terdapat upaya banding dan kasasi. Akan tetapi, putusan BPSK tidak memiliki kekuatan eksekutorial seperti putusan pengadilan negeri yang berkekuatan eksekutorial.Eksekutorial disini artinya bahwa putusan tersebut dapat dipaksakan jika salah satu pihak tidak melaksanakan putusan. Upaya paksa pelaksanaan putusan BPSK dapat dilaksanakan melalui Pengadilan Negeri, yaitu dengan mengajukan eksekusi ke pengadilan negeri. Apabila dikaitkan dengan salah satu ketentuan dalam UUPK tersebut adalah Pasal 54 ayat (3) UUPK mengatakan bahwa “keputusan BPSK bersifat final dan mengikat”. Ketentuan ini jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 56 ayat (2) sangat kontradiktif, karena Pasal 56 ayat (2) menyatakan bahwa “Terhadap putusan BPSK dapat diajukan keberatan ke pengadilan”. Hal ini jelas menimbulkan ketidakpastian dalam hukum. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (untuk selanjutnya disebut dengan Perma No. 1 tahun 2006). Maka apabila dilihat dari ketentuan kedua peraturan Perundangundangan tersebut diatas, perlu ditinjau kembali oleh pemerintah dalam membuat Perarturan Perundang-undangan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam penerapan hukum, sehingga adanya kepastian dan commit to user
92
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perlindungan hukum yang diberikan kepada masyarakat bisa terlaksana sesuai dengan ketentuan Undang-undang, khususnya kepastian dan perlindungan hukum kepada masyarakat tingkat bawah yang dalam hal ini adalah konsumen yang kebanyakan belum mengerti tentang hukum. Alat bukti, juga merupakan hambatan bagi majelis BPSK kota Surakarta didalam memutus sengketa konsumen dalam kasus yang penulis teliti. Alat bukti yang diajukan masih kurang untuk dapat dijadikan dasar dalam memutus sengketa para pihak. Kemudian kronologis yang tidak jelas dari para pihak, membuat majelis BPSK kota Surakarta sulit untuk bisa menyimpulkan dan memutus sengketa tersebut. Kurangnya alat bukti dan kronologis yang tidak jelas juga menjadi penghambat bagi majelis hakim Pengadilan Negeri Sragen dalam memutus sengketa. Alat bukti adalah suatu hal berupa bentuk dan jenis yang dapat membantu dalam hal member keterangan dan penjelasan tentang sebuah masalah
perkara
untuk
membantu
penilaian
hakim
didalam
pengadilan.Jadi, para pihak yang berperkara hanya dapat membuktikan kebenaran dalil gugat dan dalil bantahan maupun fakta-fakta yang mereka kemukakan dengan jenis atau bentuk alat bukti tertentu saja.95 Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara perdata diatur dalam Pasal 1866 KUHPerdata yang terdiri dari : 1. Bukti Tulisan 2. Bukti dengan saksi-saksi 3. Persangkaan-persangkaan 4. Pengakuan 5. Sumpah Tugas hakim adalah menyelidiki adanya suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan, sehingga hubungan hukum itu harus dapat dibuktikan jika salah satu pihak (khususnya penggugat) menginginkan kemenangan.Tidak semua dalil dapat dibuktikan atau perlu dibuktikan, misalnya hal-hal yang diakui atau tidak disangkal oleh tergugat, tidak 95
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Cet. 10, Jakrta, 2010,hlm. 554.
commit to user
93
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perlu lagi dibuktikan, atau hal-hal yang sudah diketahui secara umum.Kebenaran atas suatu fakta adalah hal yang harus dibuktikan oleh hakim.Para pihak yang berperkara diwajibkan untuk membuktikan tentang duduk perkara.Oleh karenanya mereka harus mengajukan alat-alat bukti dan sekaligus membuktikan kebenaran alat bukti yang kemudian oleh hakim dicari kebenarannya dan dikonstantir peristiwa tersebut. Upaya hakim untuk memeriksa kebenaran dari bukti-bukti tersebut, hakim berkonsultasi kepada ahli-ahli hukum tertentu untuk menambah wacana keilmuan dan pemahaman tentang hukum. Hakim terikat oleh alat bukti dalam suatu proses pembuktian, namun demikian hakim juga diberi kebebassan untuk menilai alat bukti dan pembuktian tersebut. Hakim melakukan penilaian terhadap bukti, dan dapat dikatakan pembuktian merupakan penilaian terhadap kenyataan yang ada (judex factie).Suatu bukti dikatakan sempurna jika bukti yang diajukan tersebut dinilai hakim telah memadai untuk memberikan kepastian tentang peristiwa yang disengketakan. Kurangnya alat bukti yang diajukan dalam sidang perkara dalam kasus yang penulis teliti, menyebabkan persidangan menjadi lebih lama, sebab penundaan sidang dilakukan sampai waktu tertentu untuk memberikan kesempatan bagi para pihak agar dapat mengumpulkan alat bukti yang cukup. sehingga majelis hakim dapat segera menilai alat bukti dan putusan baru bisa dijatuhkan. Sedangkan kronologis yang tidak jelas, menyebabkan majelis hakim menjadi kurang bisa menilai perkara tersebut, dan para pihak harus menata kembali dengan jelas kronologis yang sebenarnya. Agar pada sidang berikutnya dapat berjalan dengan baik dan majelis hakim segera dapat membantu menyelesaikan perkara yang diajukan kepada pengadilan. Disamping hal tersebut diatas, hambatan juga berupa tidak adanya kemauan dari para pihak untuk datang dalam proses persidangan karena adanya salah satu pihak yang tidak mempunyai kuasa hukum, sehingga memperlambat proses penyelesaian sengketa konsumen. Selain itu, commit to user
94
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kemampuan para hakim pengadilan yang masih secara umum, belum adanya hakim khusus yang menangani perkara konsumen.Sehingga dalam memutus dimungkinkan dapat menimbulkan suatu ketidakadilan bagi salah satu pihak yang bersengketa. Terhadap kendala-kendala tersebut diatas, baik yang dihadapi oleh BPSK kota Surakarta maupun Pengadilan Negeri Sragen, maka perlu adanya suatu solusi agar proses penyelesaian sengketa konsumen dapat terlaksana dengan baik dan lancar. Solusi merupakan cara yang digunakan untuk menyelesiakan suatu permasalahan atau suatu sengketa tertentu. Dalam hal hambatan-hambatan yang telah diuraikan diatas, maka dapat diambil suatu solusi diantaranya yaitu dengan meningkatkan kerjasama yang lebih baik antara BPSK dengan pihak kepolisian untuk memanggil paksa pelaku usaha jika pelaku usaha tidak memenuhi panggilan 3 (tiga) kali secara berturut-turut karena tidak adanya kuasa hukum yang mendampingi pelaku usaha. Kemudian solusi pemecahan masalah pelaksanaan operasional BPSK antara lain perlu diatur dalam UUPK kewenangan BPSK untuk dapat memaksa para pelaku usaha dalam usaha penyelesaian sengketa konsumen melalui lembaga mediasi dan terhadap setiap perjanjian hukum yang dibuat tertulis antara pelaku usaha dan konsumen
perlu
mencantumkan salah satu klausul mengenai penyelesaian sengketa yang disepakati para pihak di BPSK. Selain itu, juga perlu adanya peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), khususnya bagi hakim arbiter agar supaya lebih menguasai tentang hukum, mengingat tidak semua hakim arbiter mempunyai latar belakang dibidang hukum. Kemudian, perlu adanya peran serta pemerintah kota setempat, dalam hal ini khususnya pemerintah kota Surakarta, supaya lebih meningkatkan sarana dan prasarana di BPSK kota Surakarta agar dapat mempercepat proses penyelesaian sengketa konsumen. Disamping solusi
tersebut diatas, juga perlu adanya regulasi
undang-undang yang jelas mengenai
kewenangan BPSK agar supaya
commit to user
95
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tidak ada inkonsistensi hukum dan agar para pihak bisa mendapatkan kepastian hukum yang jelas atas putusan BPSK yang telah dijatuhkan. Solusi menurut Bambang Ari selaku wakil ketua BPSK kota Surakarta, bahwa BPSK memang tidak memiliki kewenangan untuk melaksanakan putusannya, oleh karena itu seharusnya BPSK diberikan amunisi tambahan untuk dapat menjadikan putusannya menjadi putusan yang executable dengan merevisi pasal-pasal yang mengatur mengenai BPSK dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, sehingga putusan BPSK tidak lagi harus dimintakan penetapan eksekusinya ke pengadilan negeri.96 Kemudian solusi yang dapat penulis sampaikan bagi Pengadilan Negeri khususnya Pengadilan Negeri Surakarta dan Pengadilan Negeri Sragen, mengenai hambatan-hambatan yang muncul dalam proses persidangan, antara lain diantaranya adalah perlu adanya ketegasan dari para pihak yang bersengketa untuk hadir dalam proses persidangan. Agar supaya proses penyelesaian sengketa dapat berjalan dan selesai dengan cepat. Selain itu juga perlu adanya pendidikan khusus bagi para hakim yang khusus menangani sengketa konsumen agar supaya bisa memberikan suatu putusan yang mencerminkan rasa keadilan khussnya bagi para pencari keadilan khususnya dalam sengketa konsumen.
96
Wawancarakepada bapak Bambang Ari.Op. Cit.
commit to user
96
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dan pembahasan terhadap masalah yang ada, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Model Penyelesaian Sengketa Konsumen Di BPSK Surakarta dan Pengadilan Negeri Sragen Model penyelesaian sengketa konsumen di BPSK Kota Surakarta dengan menggunakan model mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.Dalam kasus yang penulis teliti, model penyelesaian sengketa yang digunakan adalah model arbitrase.Sedangkan model penyelesaian di Pengadilan Negeri Sragen menggunakan dua model penyelesaian sengketa. Sebelumnya didahului proses mediasi kepada kedua belah pihak, kemudian dilanjutkan dengan model penyelesaian acara perdata biasa yang berada di lingkup peradilan umum.
2. Hambatan dan Solusi dalam Memutus Sengeketa Konsumen di BPSK Kota Surakarta dan Pengadilan Negeri Sragen Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan (litigasi) dianggap tidak efektif dan efisien sehingga akan mengganggu atau menghambat kegiatan bisnis khususnya bagi pelaku usaha, begitu juga bagi konsumen.Di sisi lain, penyelesaian sengketa secara non litigasi (secara damai) yang didasarkan pada kesepakatan para pihak, ternyata hasilnya tidak memiliki kekuatan mengikat secara formal bagi para pihak, meskipun undangundang mengharuskan agar kesepakatan para pihak dituangkan dalam bentuk akta tertulis dan didaftarkan ke Pengadilan Negeri, dalam sistem acara perdata yang berlaku, bahwa terhadap akta hasil kesepakatan yang commit to user
97
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
telah dicapai tersebut tidak dapat langsung dimohonkan ke pengadilan untuk dijadikan putusan perdamaian (acta van dading), melainkan untuk itu para pihak harus tetap menempuh pengajuan gugatan ke pengadilan dengan melampirkan akta yang dimaksud, baru kemudian dalam persidangan diputus oleh majelis hakim berdasarkan akta perdamaian yang telah dicapai oleh para pihak di luar pengadilan tersebut, dengan putusan perdamaian hakim (acta van dading). Solusi terhadap hambatan tersebut, perlu adanya regulasi undangundang yang jelas mengenai kewenangan BPSK agar supaya tidak ada inkonsistensi hukum dan agar para pihak bisa mendapatkan kepastian hukum yang jelas atas putusan BPSK yang telah dijatuhkan. Seharusnya BPSK diberikan amunisi tambahan untuk dapat menjadikan putusannya menjadi putusan yang executable dengan merevisi pasal-pasal yang mengatur mengenai BPSK dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, sehingga putusan BPSK tidak lagi harus dimintakan penetapan eksekusinya ke pengadilan negeri. Perlu adanya peningkatan sarana dan prasarana di BPSK dalam menunjang kinerja BPSK. Disamping itu juga perlu adanya peningkatan SDM para anggota BPSK agar lebih dapat memahami tentang hukum khusunya dalam hal sengketa konsumen. Kemudian solusi bagi Pengadilan Negeri khususnya Pengadilan Negeri Sragen, mengenai hambatan-hambatan yang muncul dalam proses persidangan, antara lain diantaranya adalah perlu adanya ketegasan dari para pihak yang bersengketa untuk hadir dalam proses persidangan. Agar supaya proses penyelesaian sengketa dapat berjalan dan selesai dengan cepat. Selain itu juga perlu adanya pendidikan khusus bagi para hakim yang khusus menangani sengketa konsumen agar supaya bisa memberikan suatu putusan yang mencerminkan rasa keadilan khussnya bagi para pencari keadilan khususnya dalam sengketa konsumen.
commit to user
98
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. IMPLIKASI Dari hasil kesimpulan di atas, maka konsekuensi yang dapat ditimbulkan antara lain : 1. Di dalam proses persidangan di BPSK Kota Surakarta dan Pengadilan Negeri Sragen, model penyelesaian sengketa konsumen pada dasarnya menggunakan hukum acara yang sama yang berada dilingkungan peradilan umum. Yang membedakan di BPSK dikenal 3 model penyelesaian sengketa non litigasi yaitu Konsiliasi, Mediasi dan Arbitrase. Sedangkan di Pengadilan Negeri menggunakan mediasi pada saat sebelum proses persidangan berlangsung, apabila mediasi gagal maka dilanjutkan menggunakan hukum acara perdata biasa untuk menyelesaikan sengketa konsumen yang sedang terjadi. 2. Seyogyanya pemerintah dalam hal ini pembuat peraturan perundangundangan, membenahi atau mengkaji kembali undang-undang tentang konsumen dalam hal ini Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, agar memberi batasan yang jelas mengenai batasan kewenangan yang pasti di setiap lingkup badan peradilan dalam hal ini BPSK, agar tidak terjadi ketidak konsistensian dalam penerapan pasal dalan Undang-Undang, sehingga bisa memberikan kepastian hukum bagi para pencari keadilan, yang dalam hal ini adalah pelaku usaha dan konsumen, terutama konsumen yang biasanya dirugikan oleh pelaku usaha agar bisa mendapat perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang jelas.
C. SARAN 1. Pembuat Undang-undang diharapkan segera melakukan penyempurnaan berbagai produk Undang-undang yang berkaitan dengan sengketa konsumen terutama mengenai kekuatan mengikat suatu putusan BPSK, agar supaya putusan dari BPSK mempunyai kekuatan eksekutorial sehingga bisa memaksa, khususnya pelaku usaha untuk melakukan putusan dari BPSK. Selain itu juga perlu adanya revisi tentang Undang – commit to user
99
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Undang No.30 tahun 1999 dan Perma No.1 Tahun 2006, yang mana terdapat beberapa Pasal didalamnya yang membuat terjadinya tumpang tindihperaturan perundang-undangan.Maka apabila dilihat dari ketentuan kedua peraturan Perundang-undangan tersebut diatas, perlu ditinjau kembali oleh pemerintah dalam membuat Perarturan Perundang-undangan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam penerapan hukum, sehingga adanya kepastian dan perlindungan hukum yang diberikan kepada masyarakat bisa terlaksana sesuai dengan ketentuan Undang-undang, khususnya kepastian dan perlindungan hukum kepada masyarakat tingkat bawah yang dalam hal ini adalah konsumen yang kebanyakan belum mengerti tentang hukum. Adanya peraturan yang mengatur mengenai tugas dan wewenang BPSK yang justru menimbulkan kontroversi dalam pelaksanaannya, oleh karena itu penulis menyarankan agar pemerintah segera merevisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen berkaitan tentang BPSK agar tidak perlu diterbitkan berbagai peraturan perundang-undangan lain yang bertujuan demi kelancaran pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen itu sendiri sehingga pelaksanaannya menjadi lebih efektif. 2. Untuk
mendukung
kinerja
dan
membantu
memperlancar
proses
penyelesaian sengketa di BPSK, maka perlu peran serta pemerintah dalam hal pemenuhan sarana dan parsarana yang diperlukan untuk mendukung keberhasilan, kelancaran kinerja BPSK, sehingga bisa memberikan pelayanan yang maksimal bagi para pencari keadilan khususnya dalam hal sengketa konsumen yang bisa memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum bagi konsumen maupun pelaku usaha yang dirugikan haknya, karena adanya sengketa konsumen tersebut. Selain itu juga perlu lebih sering melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang keberadaan BPSK, sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen, dan tentang cara-cara penyelesaian sengketa di luar Pengadilan. commit to user
100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Bagi aparat penegak hukum yang dalam hal ini Hakim dari BPSK dan Hakim pengadilan Negeri agar supaya bisa lebih meningkatkan sumber daya manusianya, dalam bidang hukum terutama dalam hal ini menyangkut masalah sengketa konsumen, agar putusan-putusan yang diambil nantinya bisa mencerminkan rasa keadilan bagi para pencari keadilan, baik itu pelaku usaha maupun konsumen yang sedang bersengketa, khususnya bagi konsumen yang sering dirugikan haknya oleh pelaku usaha.
commit to user
101
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abdoel Djamali. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo. Ade
Maman Suherman. 2004.Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Jakarta:Ghalia Indonesia.
Ahmad Wiru dan SutarmanYudo.2007. Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. . 2011. Hukum Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Perlindungan
Konsumen,
Aman Sinaga. 2004.Peran Dan Fungsi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Upaya Perlindungan Konsumen. AZ.
Nasution. 2003. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, dalam JurnalTeropong, Edisi Mei, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Celina Tri Siwi Kristiyanti. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta. Christopher Baum, “The Benefits of Alternative Dispute Resolution in Common Interest Development Disputes”, St. John's Law Review Volume 84 Issue 3, 2010. Djamanat Samosir. 2011. Hukum Acara Perdata, Tahap-Tahap Penyelesaian Perkara Perdata, Nuansa Aulia, Bandung. Esmi
Warrasih. 2005. Pranata Hukum Sosiologi,Semarang:Suryandaru Utama.
commit to user
102
Sebuah
Telaah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
G. Deepa dan Dr. K. Vijayarani, “Performance of Consumer Disputes Redressal Agencies in TN”, International Journal of Management and Commerce Innovations ISSN 2348-7585 (Online) Vol. 2, Issue 2, 2015. Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani.2003. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama. H.
Priyatna Abdulrrasyid. 2002. Arbitrase & Alternatif SengketaJakarta: PT. Fikahati Aneska & BANI.
Penyelesaian
H. Suherdi Sukandi, Fungsi Dan Peranan Dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen, Semiloka UUPK dan BPSK Kota Bandung, Bandung 29 Mei 2004. Hanum Rahmaniar Helmi, Eksistensi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Memutus Sengketa Konsumen Di Indonesia, JurnalHukum Acara Perdata, Jhaper: Vol. 1, No. 1, Januari–Juni 2015. Hasan Bisri. 2008. Teknik Pembuatan Putusan, Makalah yang disampaikan untuk Diklat Cakim angkatan ke III di Pusdiklat MA-RI, Bogor. Lawrence M Friedman dalam Ontje Salman.2007. Teori Hukum, Bandung: Refika Aditama. Lexy J. Moeleong. 1993. Metodologi penelitian kualitatif, Bandung: PT. Remaja Raskarya. Maria S.W Sumardjono. 1989. Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Yogyakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Munir Fuadi. 2000. Arbritase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. N.H.T. Siahaan. 2005. Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Cet. I, Bogor: Grafika Mardi Yuana. Natangsa Surbakti. 2001.Kembang Setaman Kajian Hukum Pidana, Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. Paul O’shea dan Charles Rickett, “In Defence Of Consumer Law: The Resolution Of Consumer Dispute”,InternationalJournalSydney Law Review Vol 28: 139, 2006. commit to user
103
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Praditya,2008, Penyelesaian Sengketa Konsumen, Jakarta: Garuda. Rachmadi Usman. 2003.Pilihan Penyelesaian Pengadilan,Bandung:PT. Citra Aditya Bakti.
Sengketa
di
Luar
Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya, Bandung. Setiono, Penelitian Hukum (Suatu Ajakan Untuk Menyamakan Persepsi Mengenai Penelitian Hukum), Sebelas Maret University. Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Grasindo, Jakarta. Shidharta, 2000, Grasindo.
Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: PT
Soerjono Soekamto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta. Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-faktor yang Mempengaruh Penegakan Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Soerjono Soekanto, 1984,Pengantar Penelitian Hukum, UI, Jakarta.
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta.
Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. Susanti Adi Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Susanti Adi Nugroho, 2011, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen ditinjau dari Hukum Acara serta Kendala Implementasinya, Prenada Media Group, Jakarta. commit to user
104
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Suyud Margono, 2000, APS (Alternatif Penyelesaian Sengketa) & Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Anggota IKAPI, Jakarta. Wayne LaFave. 1964. The Decision To Take a Suspect Into Custody. Boston: Little, Brown and Company..Page Number. 14. Yusuf Shofie, 2002, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang PerlindunganKonsumen (UUPK), Teori dan Praktek Penegakan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. UNDANG-UNDANG
UU No. 8 Tahun 1999Tentang Perlindungan Konsumen
UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Kep.Menperindag. No.350/MPP/Kep./12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2006 Tentang Tata CaraPengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK.
INTERNET
AZ.Nasution, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Tinjauan Singkat UU Nomor 8 Tahun 1999,www.pemantauperadilan.com. diakses pada 26 Juni 2015.
BPSKSebagai
Upaya
Penegakan
Hak
Konsumen
Di
Indonesia,
http://www.scribd.com, diakses pada hari Minggu, Tanggal 22 Mei 2015,
commit to user
105