STUDI ANALISIS INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERIAN JAMINAN KEPASTIAN HUKUM KEPADA DEBITUR YANG TELAH MENYELESAIKAN KEWAJIBANNYA ATAU TINDAKAN HUKUM KEPADA DEBITUR YANG TIDAK MENYELESAIKAN KEWAJIBANNYA BERDASARKAN PENYELESAIAN KEWAJIBAN PEMEGANG SAHAM DALAM PENYELESAIAN KASUS BANTUAN LIKUIDITAS BANK INDONESIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum Minat Utama : Hukum dan Kebijakan Publik
Oleh: Rizki Amalia NIM : S 310508014
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dimensi kejahatan yang masih mendapat sorotan global dan mendapat perhatian serius dalam Konggres PBB ke-8 Tahun 1990 di Havana adalah korupsi, terutama dalam kaitannya dengan economic crime dan organized crime, khususnya mengingat korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik dinilai dapat menghancurkan efektivitas potensial program pemerintah sehingga berimplikasi menghambat pembangunan. Bahkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse the power) termasuk dalam crime trend yang dinilai membahayakan dan merugikan disamping white collar crime dan economic crime.1 Demikian urgennya efek korupsi bagi perekonomian dan keuangan negara sehingga pemberantasan korupsi selalu menjadi prioritas agenda pemerintah untuk ditanggulangi secara serius sebagai bagian dari upaya mengembalikan kepercayaan masyarakat atas hukum dalam rangka memulihkan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara. Agenda pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi, sebagai bagian dari bentuk kebijakan publik, secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu kasus tindak pidana korupsi terbesar yang melibatkan berbagai kajian ilmu untuk menemukan upaya penyelesaian yang dinilai tepat adalah dugaan korupsi yang melingkupi penyaluran dan penggunaan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat Indonesia mengalami krisis moneter yang berdampak pada situasi perbankan yang mengalami rush, bahkan hingga saat ini masih belum tuntas dan terus diupayakan pengembalian uang negara. 1
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Ed. Pertama ctk. Ke-1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 14-15.
BLBI merupakan kebijakan pemerintah yang bertujuan agar perbankan nasional tidak mengalami collapse. Bank Indonesia sebagai lender of the last resort, sebagaimana tercantum dalam Pasal 32 ayat (3) UU Nomor 13 Tahun 1968 menyebutkan bahwa Bank Indonesia dapat memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat. Selanjutnya Pasal 37 ayat (2) huruf b UU Nomor 7 Tahun 1992 menegaskan bahwa dalam hal suatu bank mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan langsung usahanya, Bank Indonesia dapat mengambil tindakan lain sesuai perundang-undangan lain. Adapun kebijakan yang diambil oleh pemerintah bersama Bank Indonesia berupa bantuan dan jaminan pemerintah dalam bentuk BLBI bertujuan untuk menyehatkan manajemen dan kinerja di sektor perbankan nasional. Kesalahan pengelolaan keuangan Negara, terkait dengan penyaluran dan penyalahgunaan dana BLBI dimana pengelolaan uang Negara
dilakukan
dengan
kesengajaan
ataupun
kelalaian
sehingga
menimbulkan kerugian Negara. Tindak pidana dibidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan bukan untuk menyehatkan manajeman dan kinerja perbankan nasional, melainkan disalahgunakan untuk keperluan pribadi pemilik bank, sehingga penyalahgunaan dana BLBI menjadi perbuatan yang melanggar hukum mengarah pada tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo.UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan tindak pidana yang berkaitan dengan kegiatan menjalankan usaha bank dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Undang-Undang Perbankan. Penyalahgunaan dana BLBI merupakan suatu bentuk tindak pidana korupsi yang dikenal dengan istilah kejahatan kerah putih (white collar crime), dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland pada 1939, diartikan sebagai kejahatan yang dilakukan oleh orang terhormat dan mempunyai status sosial yang tinggi dalam pekerjaannya. White collar crime sebagai kegiatan di bidang bisnis sering terjadi dalam bentuk penyampaian laporan keuangan suatu perusahaan
secara tidak benar, penyuapan pejabat publik, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk memperoleh kemudahan dan penyimpangan penggunaan dana termasuk dalam kasus penyalahgunaan BLBI. Kesempatan terjadinya tindak pidana korupsi idealnya terjadi pada suatu organisasi yang besar, negara misalnya, namun terbatas pada organisasi yang kecil dan pengawasannya cenderung ketat. Namun demikian tidak berlaku bagi beberapa bank yang masuk dalam program penyehatan perbankan dan memperoleh kucuran dana BLBI.2 Penyalahgunaan dana BLBI yang telah mengakibatkan timbulnya kerugian Negara sebenarnya telah tegas melanggar perundang-undangan yang telah disebut diatas, dimana mekanisme pengembalian kerugian Negara telah jelas pula harus melalui court settlement, dengan pertimbangan adanya upaya paksa baik berupa sanksi pidana maupun berupa penyitaan aset-aset dalam rangka pengembalian uang Negara. Namun demikian guna mendorong pengembalian dana BLBI tersebut, penanggulangan kejahatan kontemporer yang melibatkan beberapa debitur dalam kasus penyalahgunaan dana BLBI sejauh ini lebih mengutamakan sarana non penal karena terdapat hambatan dalam memperoleh pengembalian kewajiban yang berasal dari bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan pemenuhan penyelesaian kredit yang melanggar batas maksimum pemberian kredit (BMPK) sehingga mendorong ditempuhnya penyelesaian out of court settlement. Bentuk penyelesaian di luar pengadilan yang digunakan untuk penyelesaian kasus BLBI adalah dengan melakukan perjanjian yang disebut dengan Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA),3 Master 2
M. Arief Amrullah, Kejahatan Korporasi, Bayumedia Publishing, Malang, 2006, hlm. 21-25. The optimal size of government balances the wishes of the corrupt public sector for a larger government, and so greater opportunities for corruption, with those in the private sector who prefer a smaller government. Lihat dalam Raul A. Barreto, Corruption, Optimal Taxation, and Growth, http://pfr.sagepub.com/cgi/content/abstract/31/3/2007, 10 Oktober 2009, 22.40 WIB. 3
MSAA diberlakukan terhadap pemegang saham pengendali bank yang bermasalah (PSP bank) yang masih memiliki aset yang dinilai cukup untuk menyelesaikan kewajibannya kepada pemerintah. Penyelesaian kewajiban PSP bank dibedakan menjadi dua, yaitu 1) PSP bank yang berstatus BBO/BBKU untuk menyelesaikan kewajiban BLBI dan kredit BMPK; dan 2) PSP bank yang berstatus BTO untuk menyelesaikan kredit yang melanggar BMPK. MRNIA diberlakukan
Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA), dan Akte Pengakuan Utang. Penyelesaian kasus BLBI berlanjut pada keluarnya Inpres Nomor 8 tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang
Tidak
Menyelesaikan
Kewajibannya
Berdasarkan
Penyelesaian
Kewajiban Pemegang Saham yang menjadi dasar hukum bagi penyelesaian kasus BLBI secara out of court settlement, menginstruksikan kepada Menko Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), Menteri Kehakiman dan HAM, menteri-menteri anggota KKSK, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisan Republik Indonesia dan Ketua BPPN untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi penyelesaian kewajiban pemegang saham dalam rangka menyelesaikan seluruh kewajibannya pada BPPN berdasarkan perjanjian MSAA, MRNIA, dan APU. Adapun dalam butir-butir Inpres tersebut menyebutkan bahwa bagi para debitur yang telah menyelesaikan kewajiban sebagai pemegang saham dalam bentuk MSAA, MRNIA, dan APU akan diberikan bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan dalam rangka memberikan kepastian hukum sebagaimana telah diatur dalam perjanjian-perjanjian tersebut. Bahkan dalam butir ke 4 disebutkan pembebasan debitur dari aspek pidana, baik yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan sekaligus dilakukannya proses penghentian penanganan aspek pidana namun proses ini tetap dilakukan dalam koridor ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini bertentangan dengan Pasal 28D Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Kedua bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di terhadap PSP bank yang asetnya setelah dinilai tidak dicapai kesepakatan mengenai nilainya. PSP bank mengakui bahwa penyelesaian kewajibannya belum selesai meskipun telah melakukan pembayaran sebagian secara tunai. Akta Pengakuan Utang diberlakukan terhadap pemegang saham yang tidak mengikuti salah satu dari dua perjanjian sebelumnya dengan mengikatkan diri dalam perjanjian disertai jaminan pribadi dan atau aset. Lihat dalam Kusumaningtuti, Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 182-183.
hadapan hukum. Penegasan demikian berarti bahwa hukum tidak mengenal adanya diskriminasi dalam upaya penegakannya. Namun tidak demikian dengan adanya Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, yang lebih dikenal dengan Release and Discharge, 4 menandai adanya proses transformasi penegakan hukum dari proses penegakan hukum punitive melalui court settlement mengarah pada out of court settlement pada kejahatan bisnis meskipun sifatnya kasuistis. Instruksi Presiden tidak dikenal dalam sistem ketatanegaran Indonesia, sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III Tahun 2000 tentang tata urutan perundang-undangan ditegaskan bahwa tata urutan perundang-undangan sebagai pedoman dalam pembuatan aturan hukum dibawahnya.5 Pengaturan tentang kebijakan penyelesaian dalam bentuk instruksi presiden dinilai tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku saat itu, yaitu Ketetapan MPR Nomor III Tahun 2000. Terlebih materi yang diatur bisa jadi merupakan bentuk diskresi yang terlalu luas, menjadikan situasi dan kondisi yang dihadapi saat krisis ekonomi yang melanda Indonesia sebagai alasan pembenar dalam mengambil kebijakan out of court settlement dalam dugaan tindak pidana di bidang perbankan yang dilakukan dalam penggunaan dana Bantuan Likuditas Bank Indonesia, karena pengaturan mengenai tindak pidana korupsi telah diatur secara terpisah. 4
Istilah Release and Discharge tidak dikenal dalam pranata hukum Indonesia, melainkan acquit et decharge (A&D) dalam rangka pelepasan dan pembebasan tanggungjawab direksi dan komisaris PT, yang selalu diikuti penegasan, bila kemudian ternyata telah terjadi tindak pidana selama masa jabatannya, maka akan dilakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan undangundang hukum pidana. Lihat dalam Kompas, 14 Januari 2003. Disebut Release and Discharge karena penerima dana BLBI (debitur) setelah melakukan pembayaran secara tunai sebesar 30% dari keseluruhan jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dan 70% sisanya dibayar melalui penyerahan sertifikat bukti hak pada BPPN diberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) dan dibebaskan dari semua tuntutan hukum. Lihat dalam ibid., hlm. 57. 5
Muin Fahmal, Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, UII Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 2.
Kebijakan out of court settlement sebagai upaya penyelesaian kasus BLBI dalam bentuk Instruksi Presiden dinilai hanya mengedepankan upaya pengembalian keuangan Negara saja sehingga upaya penegakan hukum pidana yang mempunyai mekanisme pengembalian kerugian Negara melalui upaya paksa dan penyitaan asset bagi terdakwa dimana hukum pidana dalam kasus BLBI diterapkan sebagai ultimum remidium dikesampingkan. Alasan-alasan penggunaan sarana out of court settlement sebagai upaya penyelesaian kasus BLBI inilah yang hendak dikaji dengan menggunakan teori kebijakan hukum pidana, disamping mengkaji sinkronisasi Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dalam sebuah tesis dengan judul. Studi
Analisis
Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 Tentang
Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham Dalam Penyelesaian Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Kebijakan Hukum Pidana.
B. Perumusan Masalah Kebijakan penyelesaian kasus BLBI berupa Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, yang lebih dikenal dengan Release and Discharge, mengutamakan penyelesaian out of court settlement dengan mengesampingkan aspek pidana dalam kasus tersebut dinilai tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Namun demikian upaya
penyelesaian out of court settlement tetap dipertahankan bahkan hingga saat ini upaya penyelesaian tersebut masih terus dilanjutkan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perumusan masalah yang dibahas adalah sebagai berikut : 1. Apakah Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan
Kewajibannya
Berdasarkan
Penyelesaian
Kewajiban
Pemegang Saham sinkron dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia? 2. Mengapa Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan
Kewajibannya
Berdasarkan
Penyelesaian
Kewajiban
Pemegang Saham digunakan sebagai dasar hukum penyelesaian kasus tindak pidana korupsi BLBI secara out of court settlement ditinjau dari perspektif kebijakan hukum pidana?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Obyektif a. Mengetahui kedudukan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dalam system perundangundangan di Indonesia. b. Menganalisis Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham sebagai kebijakan dalam upaya
penyelesaian kasus BLBI ditinjau dari perspektif kebijakan hukum pidana. 2. Tujuan Subyektif a. Memperoleh data secara lengkap dan jelas sebagai bahan penyusunan penulisan hukum. b. Mendalami pemahaman kebijakan publik yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum pelaksanaan kebijakan.
D. Manfaat Penelitian 1. Segi Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum serta ilmu lain yang terkait dengan penelitian ini. 2. Segi Praktis Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberi masukan bagi para pembuat kebijakan dalam merumuskan kebijakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas pemerintahan yang baik, serta mempertimbangkan ekses kebijakan bagi keberadaan hukum pidana dalam upaya penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Tentang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia 1.
Awal Munculnya Krisis Perbankan Prioritas yang diberikan oleh berbagai negara, khususnya negaranegara berkembang termasuk Indonesia, bagi pelaksanaan deregulasi sektor keuangan selama dasawarsa 1970an dan 1980an berkaitan erat dengan pendekatan pembangunan ekonomi yang diterapkan di negaranegara berkembang pada periode 1950an dan 1960an yang cenderung mengarahkan pembangunan ekonomi ke sektor-sektor strategis. Berkaitan dengan itu, kebijakan di sektor keuangan yang diambil adalah melakukan selective credit policy atau semacamnya agar dana lebih banyak mengalir ke sektor-sektor ekonomi tersebut. Kebijakan ini didukung oleh kebijakan suku bunga kredit yang rendah. Berbagai kebijakan itu telah membatasi keleluasaan sektor keuangan untuk bergerak secara efisien dalam menyalurkan dana dari pemilik ke pengguna dana. Sebagai dampak dari terbatasnya ruang gerak sektor keuangan maka terjadilah apa yang disebut sebagai “financial repression” yang menyebabkan “shallow finance”, yaitu tidak tersalurnya dana (daya beli) secara efisien ke kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif dan efisien pula, sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi terhalang. Untuk mengatasi masalah itu dianjurkan agar diadakan liberalisasi (deregulasi) sehingga terjadi “financial deepening”.6 Melalui 6
McKinnon dan Shaw dalam Burhanuddin Abdullah, Peran Kebijakan Moneter dan Perbankan Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi Di Indonesia, Ceramah pada Kursus Reguler Angkatan XXXVI Lemhanas, Jakarta, tanggal 13 Juni 2003, hlm. 1-6, terdapat dalam http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/8DCFCBCE-0709-40B7-843CD1FEC3FE61B/8035/tindak.pdf. , 12 Oktober 2009, 08.05 WIB. Banyak tulisan dan hasil kajian yang mencoba menjelaskan penyebab Indonesia mengalami krisis yang dalam dan menelan biaya besar, khususnya di sektor perbankan. Pandangan analis ekonomi mengemukakan bahwa krisis perbankan di Indonesia, selain merupakan perkembangan dari krisis nilai tukar, juga disebabkan oleh rentannya sistem perbankan Indonesia. Lemahnya sektor
deregulasi, bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan lainnya diberi keleluasaan yang lebih besar untuk beroperasi secara efisien atas dasar mekanisme pasar sehingga mereka dapat berfungsi dengan baik dan seefisien mungkin dalam menyalurkan dana dari pemilik dana kepada pengguna
dana
(pengusaha)
untuk
keperluan
produksi.
Mereka
berkeyakinan bahwa ketersediaan dana berdasarkan mekanisme pasar merupakan faktor yang sangat penting untuk dapat menciptakan sistem perekonomian yang efisien dan mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Strategi deregulasi sektor keuangan itu yang diterapkan di
Indonesia, dimulai secara terbatas dengan menetapkan suku bunga bank lebih realistis pada tahun 1968 – 1970, dan kemudian dilanjutkan dengan deregulasi tahun 1983 dan 1988. Sebagai hasilnya, sektor perbankan telah berhasil meningkatkan perannya sebagai media intermediasi dan penyedia jasa perbankan lainnya, dan hal ini telah pula menunjang pertumbuhan ekonomi yang tinggi di masa lalu. 7
perbankan di Indonesia disebabkan setidaknya 3 hal, yaitu : (1) pertumbuhan jumlah bank yang pesat tidak disertai dengan ketentuan prudensial dan pengawasan yang memadai oleh bank sentral; (2) lemahnya penerapan good corporate governance di sector perbankan antara lain karena konsentrasi kepemilikan sangat tinggi; (3) terjadinya economic boom dan integrasi keuangan internasional yang mengakumulasi tingkat kerentanan system perbankan Indonesia. Lihat dalam Kusumaningtuti, op. cit, hlm. 2-3. 7
The Indonesian banking system has experienced structural developments. Following the implementation of extensive bank reforms in October 1988, the banking industry grew rapidly in terms of the number of banks as well as total assets. However, a lack of effective supervision resulted in imprudent behaviour by the banking industry. In February 1991, prudential banking principles were introduced, and banks were urged to merge or consolidate. Furthermore, in the mid-1990s self-regulatory measures, including the improvement of internal controls as well as information technology and systems were introduced to strengthen the banks’ soundness. Unfortunately, the wide-scale banking consolidation and the improvement of bank control systems never took place prior to the recent crisis. This was due to a lack of commitment by the owners of banks to strengthen their organisations and weak law enforcement from Bank Indonesia (BI) as the supervisory authority. Under the old law of 1968, Bank Indonesia lacked independence and, to a large extent, was unable to apply tough measures on well-politically connected banks. During the pre-crisis period, besides having poor governance and control, the banking industry also suffered from fundamental liquidity management weaknesses as indicated by: (i) large volatile deposits in the composition of banks’ funds (ii) a high loan to deposit ratio and exposure to foreign exchange risk. As the currency crisis spread in mid-1997, this generated other risks. Firstly, there was an increase of liquidity risk due to a huge maturity mismatch of assets and liabilities. Secondly, credit risk increased due to the inability of debtors to repay their foreign currency loans as the rupiah depreciated sharply. Lihat dalam Sukarela Batunanggar and
Pertumbuhan perbankan yang sangat pesat ini bukannya tidak menimbulkan permasalahan tersendiri, pada tingkat makro perkembangan sektor keuangan yang pesat ini telah menimbulkan permasalahan di sektor moneter. Bagi pengendalian moneter, perkembangan sektor keuangan yang pesat, yang juga salah satunya didorong oleh arus globalisasi, telah menyebabkan berbagai hubungan kausalitas antara besaran-besaran moneter
menjadi
tidak
tetap,
yang
berimplikasi
kepada
makin
kompleksnya transmisi kebijakan moneter dan kurang efektifnya instrumen
moneter
yang
ada.
Kompleksitas
permasalahan
ini
bagaimanapun juga turut mempengaruhi kemampuan dalam merespon setiap gejolak yang timbul dalam perekonomian. Dalam perkembangannya, ternyata infrastruktur perekonomian di Indonesia belum mampu menghadapi semakin cepatnya proses integrasi perekonomian Indonesia ke dalam perekonomian global. Perangkat kelembagaan bagi bekerjanya ekonomi pasar yang efisien ternyata belum tertata dengan baik. Sebagai konsekuensinya, ekonomi Indonesia menjadi sangat rentan terhadap gejolak eksternal sebagaimana terjadi pada pertengahan tahun 1997. Sebagaimana terbukti dari pengalaman negaranegara tetangga di Asia yang sejak pertengahan tahun 1997 mengalami krisis ekonomi, kestabilan ekonomi makro ternyata tidak dapat menjamin kinerja perekonomian yang baik secara berkesinambungan selama masih terdapat kelemahan-kelemahan pada infrastruktur perekonomian.8
Bambang W. Budiawan, Problem Bank Identification, Intervention And Resolution In Indonesia, Ocassional Internal Paper, 2002, p. 69, terdapat dalam http: // www.seacen.org/publications/content/2008/rp74/4-chap3.pdf., 10 Oktober 2009, 22.30 WIB. Some countries chose to have only bank finance of firms for political reasons, and then adjusted their laws accordingly to protect banks and discourage shareholders. Strong system of legal enforcement could substitute for weak rules, since active and well-functioning courts can step in and rescue investors abused by the management. La Porta, http://mba.tuck.dartmouth.edu/pages/faculty/rafael laporta/ publications/laporta PDF papersALL/Laws and finance-all/law&finance/PDF., 10 Oktober 2009, 23.00 WIB. 8
Lihat uraian Burhanuddin Abdullah, op. cit., hlm.5-6.
Pengaturan perbankan yang berdasarkan prinsip kehati-hatian, termasuk pengaturan
yang
berkenaan dengan kecukupan
modal,
sebenarnya telah diperkenalkan jauh sebelum krisis, yaitu pengaturan menyeluruh terhadap modal, aset, manajemen, equity, dan likuiditas yang dikenal sebagai CAMEL,9 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 bahwa bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas asset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai
dengan
prinsip
kehati-hatian.
Kebijakan
dan
pengaturan
penyelesaian bank bermasalah pada masa sebelum krisis tahun 1997 tidak secara jelas diatur sehingga penyelesaian bank bermasalah berupa pencabutan izin usaha sebelum krisis tahun 1997 sangat dihindari.10 2. Kebijakan Penyelesaian Krisis Perbankan Terpuruknya sistem perbankan nasional akibat krisis pada tahun 1997 membuat negara-negara yang mengalami krisis menempuh upaya penanggulangan kebijakan dan kegiatan yang dilakukan diprioritaskan untuk menstabilkan sistem keuangan dan mengembalikan kepercayaan dalam
pengelolaan
perekonomian.
Langkah-langkah
yang
sifatnya
memaksa diperlukan untuk menghentikan penarikan simpanan besarbesaran,
mempertahankan
sistem
pembayaran,
membatasi
bantuan
likuiditas bank sentral, meminimalkan gangguan pada arus kredit,
9
Kusumaningtuti, op. cit., hlm 4-5.
10
Kerentanan sistem perbankan diakibatkan oleh tidak adanya exit policy serta lemahnya pengawasan dan pengaturan bank. Sebelum krisis 1997, Bank Indonesia mengadopsi strategi resolusi penyelematan bank (open bank resolution) melalui pinjaman darurat baik untuk kebutuhan likuiditas maupun untuk modal. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa penutupan bank akan mengurangi kepercayaan terhadap sistem perbankan, menyebabkan penarikan dana besar-besaran dan membahayakan stabilitas perbankan sehingga demikian besar dana yang dikucurkan demi mempertahankan bank bermasalah dalam pengawasan intensif. Namun demikian dalam pelaksanaannya kebijakan BI tersebut menimbulkan moral hazard. Lihat dalam Sukarela Batunanggar and Bambang W. Budiawan, op. cit.
memelihara pengendalian moneter, dan menahan pelarian arus modal keluar. Berdasarkan rekomendasi IMF, pada 1 November 1997, Bank Indonesia menutup 16 bank kecil yang insolven dan menempatkan lebih banyak bank bermasalah lain dalam pengawasan intensif dengan melakukan penggantian simpanan yang ditalangi oleh pemerintah secara terbatas, maksimal 20 juta rupiah per nasabah per bank, mencakup 90% jumlah penyimpan namun hanya 20 % dari total nilai simpanan (dana pihak ketiga). Dampak penutupan yang tidak dapat diantisipasi, dengan tujuan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, berbalik terjadi penarikan dana secara besar-besaran. Hal ini terjadi disebabkan pedoman pengembalian simpanan tidak jelas, kebijakan likuiditas yang lemah disertai ketidakpastian politik, kepentingan penutupan bank sehingga menimbulkan kepanikan pasar.11 Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka program penyelesaian krisis perbankan di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian besar, yaitu : 1) kelompok penanggulangan yang terdiri dari: a) exit policy yang bertujuan memperlancar likuidasi bank; b) diterapkannya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia untuk mencegah jatuhnya system perbankan; c) mengembalikan kepercayaan masyarakat melalui blanket guarantee; 2) kelompok penyehatan yang terdiri dari: a) pendirian BPPN; b) penyelesaian asset; c) akuisisi, merger, dan konsolidasi; d) rekapitalisasi bank-bank; 3) kelompok penguatan ketahanan yang terdiri dari: a) restrukturisasi kredit; b) jaring pengaman keuangan (financial safety net). 11
http://www.scribd.com/doc/7425750/Awalil-Rizky-Nasyith-Majidi-Bank-BersubsidiYang Membebani, , 10 Oktober 2009, 22.45 WIB. Indonesia’s crisis resolution suffered from two main problems: (i) a lack of understanding on the part of the International Monetary Fund (IMF) and of the authorities handling the crisis which resulted in inappropriate strategies both at the macro- and microlevel; and (ii) a lack of government commitment to take consistent and objective measures. The intense political intervention also worsened the situation. In addition, the absence of a clear mechanism of the crisis resolution has created costly Bank Indonesia Liquidity Support (BLBI) during the 1997 crisis, which in turn created a painful and very controversial case. Lihat dalam Sukarela Batunanggar and Bambang W. Budiawan, op. cit.
Bank Indonesia memberikan kredit likuiditas darurat kepada beberapa bank yang mengalami kesulitan likuiditas akibat adanya penarikan dana secara besar-besaran oleh sebagian besar anggota masyarakat dalam jangka waktu yang bersamaan (rush).12 Pemberian kredit likuiditas Bank Indonesia lebih dikenal dengan istilah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).13 Kredit Likuiditas 12
Kusumaningtuti, op. cit., hlm. 91-94. Penarikan dana secara besar-besaran dalam waktu bersamaan mengakibatkan bank kesulitan dalam membayar dana nasabahnya sehingga membutuhkan bantuan dana dari BI berupa kredit likuiditas yang diberikan melalui sistem kliring yaitu proses yang dilakukan tiap hari di lembaga penyelenggara kliring yaitu BI atau bank lain yang ditunjuk BI, menunjukkan posisi tagihan dan kewajiban yang dimiliki setiap bank pada bank lainnya. Lihat juga dalam Marwan Batubara, Skandal BLBI: Ramai-ramai Merampok Uang Negara, ctk. I, Haekal Media Center, Jakarta, 2008, hlm. 4. 13
Istilah BLBI atau liquidity support dikenal sejak 15 Januari 1998 sebagaimana ditegaskan pemerintah dalam Letter of Intent dengan International Moneter Fund (IMF) yang menyatakan pentingnya bantuan likuiditas Bank Indonesia pada perbankan menjadi salah satu prasyarat cairnya bantuan IMF. Dalam arti luas liquidity support meliputi kredit subordinasi, Kredit Likuiditas Darurat dan fasilitas diskonto I dan II. Namun BLBI saat itu mencakup bantuan likuiditas pada bank untuk menutup kekurangan likuiditas berupa saldo debet, fasilitas diskonto SBPU khusus serta talangan untuk membayar kewajiban luar negeri. http://www.scribd.com/doc/7425750/Awalil-Rizky-Nasyith-Majidi-Bank-Bersubsidi-Yang Membebani, op. cit., 10 Oktober 2009, 22.45 WIB. Kesalahpahaman pengertian terjadi antara Kredit Likuiditas Darurat atau lebih dikenal dengan istilah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan Kredit Likuiditas Bank Indonesia. KLD merupakan dana bank sentral yang dipergunakan untuk memberikan bantuan likuiditas kepada perbankan dalam jumlah besar dalam rangka menghindari efek negatif pada sistem perbankan sedangkan KLBI diberikan untuk membiayai berbagai kredit program pemerintah yang disalurkan melalui Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Lihat dalam Kusumaningtuti, op. cit., hlm. 9194. Soedrajad Djiwandono mendefinisikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia sebagai fasilitas yang diberikan Bank Indonesia untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran dan sektor perbankan karena ketidakseimbangan antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank baik jangka pendek maupun jangka panjang. Lihat dalam Marwan Batubara, op.cit, hlm. 2. Dalam KLD (BLBI) terdapat 5 fasilitas dengan ketentuan-ketentuan yang berbeda sebagai berikut. 1. Fasilitas yang diberikan untuk mempertahankan kestabilan sistem pembayaran, yaitu bila terjadi mismatch antara penerimaan dan penarikan dana, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Fasilitas untuk jangka pendek dikenal dengan Fasilitas Diskonto I, sedangkan fasilitas jangka panjang disebut dengan Fasilitas Diskonto II. 2. Fasilitas dalam rangka operasi pasar terbuka (OPT) sejalan dengan program moneter (SBPU) lelang dan bilateral. 3. Fasilitas dalam rangka penyehatan bank atau kredit likuiditas darurat dan kredit subordinasi. 4. Fasilitas untuk mempertahankan kestabilan sistem perbankan dan sistem pembayaran sehubungan dengan rush atau penarikan dana secara besar-besaran (penarikan cadangan wajib dan saldo negatif atau saldo debet (overdraft) rekening bank di Bank Indonesia). 5. Fasilitas untuk mempertahankan kepercayaan kepada perbankan Indonesia (dana talangan untuk membayar kewajiban luar negeri dan dalam rangka penjaminan oleh pemerintah). Lihat dalam Indonesian Corruption Watch, Position Paper Penyelesaian Hukum Kasus BLBI, 2006, Jakarta, hlm. 3.
Darurat yang diberikan oleh Bank Indonesia dari segi yuridis dalam melaksanakan fungsinya sebagai lender of last resort14 merupakan penyediaan likuiditas oleh bank sentral pada lembaga keuangan atau pasar karena terjadi shock secara tiba-tiba sehingga menyebabkan peningkatan permintaan likuiditas secara abnormal yang tidak dapat dipenuhi oleh sumber-sumber lainnya.15 BLBI dalam perkembangannya bukan saja menjadi instrumen mencegah terjadinya rush, namun juga untuk mengatasi berbagai permasalahan lainnya, termasuk dalam rangka pelaksanaan program penjaminan serta mencegah makin merosotnya kredibilitas perbankan nasional. Upaya untuk memilah kriteria bank penerima bantuan likuiditas pada saat krisis sebagai tanggapan terhadap pandangan bahwa bantuan likuiditas hanya disediakan bagi bank yang tidak likuid dan bukan pada bank yang menunjukkan gejala insolven karena pada saat krisis indikasi bank-bank yang mengalami kesulitan akan mengarah pada ke kondisi insolven. Terlebih setelah likuidasi bank-bank pada November tahun 1997, terdapat kebijakan untuk tidak melakukan likuidasi lagi dalam waktu dekat sehingga Bank Indonesia terperangkap dalam posisi terpaksa menyediakan likuiditas.16 Namun demikian pemberian kredit likuiditas
14
Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Indonesia menyebutkan bahwa Bank (BI) dapat pula memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank umum untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat. Pasal 37 ayat (2) huruf b UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan bahwa dalam hal suatu bank mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia dapat mengambil tindakan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 15
Suatu bank tidak dapat menolak penarikan dana nasabah dan kreditur lainnya, meskipun dana dalam rekening giro bank tidak mencukupi sehingga harus mencari sumber pendanaan lain, baik simpanan bank itu sendiri atau pinjaman yang diperoleh dari bank lain. Bilamana pandanaan masih tidak mencukupi, maka kekurangan pembayaran akan diambil dari rekening giro bank bersangkutan di BI. Pada saat terjadi krisis, bank-bank yang telah bersaldo negatif tetap diperbolehkan melakukan kliring untuk mempertahankan stabilitas perbankan di masyarakat. Lihat dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 4. 16
Likuidasi adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk: pertama, mengubah harta (aset) ke dalam bentuk tunai atau persediaan menjadi rekening likuid untuk memnuhi kewajiban segera dan pembayaran utang jangka panjang perusahaan; kedua, pemberhentian kegiatan usaha dengan menjual seluruh harta kekayaan dan membagi hasilnya untuk melunasi kewajiban dan utang;
darurat mengandung beberapa kelemahan, antara lain ketidakjelasan kriteria bank yang dapat dipilih sebagai bank penerima kredit, prosedur pengawasan
yang
kurang
efektif,
dan
adanya
moral
hazard
penyalahgunaan bantuan oleh pemilik dan pengurus bank, termasuk penentuan
besaran
biaya
fiskal
berupa
dispute
mengenai
pertanggungjawaban beban BLBI antara Bank Indonesia dan pemerintah memberi celah terjadinya penyalahgunaan dana BLBI dari tujuan semula termasuk pengembalian dana BLBI dari debitur pada pemerintah masih temui halangan, salah satunya belum tercapai kesepakatan jumlah pengembalian debitur pada pemerintah. Pengaturan masalah pemberian kredit likuiditas darurat dilakukan secara tegas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan bahwa kesulitan perbankan yang sifatnya sistemik menjadi tanggung jawab pemerintah; dengan kata lain beban biayanya menjadi beban fiskal sehingga dana yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia terlebih dahulu dianggap sebagai dana talangan, yang kemudian akan diperhitungkan oleh pemerintah. Penyelesaian krisis perbankan di Indonesia dilakukan dengan membentuk suatu lembaga pemerintah dan bertindak atas nama pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 sebagai dasar hukum pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).17
Upaya BPPN untuk mengoptimalkan pengembalian uang
ketiga, menyelesaikan long atau short position termasuk pembekuan operasi dan pembekuan kegiatan usaha bank. Lihat dalam Kusumaningtuti, op. cit., hlm. 101. 17
BPPN bertugas : a) melakukan pengadministrasian jaminan yang diberikan pemerintah kepada Bank Umum; b) melakukan pengawasan, pembinaan, dan upaya penyehatan termasuk restrukturisasi bank yang telah dinyatakan tidak sehat oleh BI; c) melakukan tindakan hukum yang diperlukan dalam rangka penyehatan bank yang tidak sehat. Tugas BPPN sebagaimana tercantum dalam keppres tersebut tidak diikuti dengan kewenangan yang jelas sehingga dikeluarkan Keppres Nomor 34 Tahun 1998, dimana kewenangan BPPN antara lain meliputi meminta pernyataan bank dalam penyehatan untuk menaati persyaratan praktik perbankan yang sehat dan peningkatan kinerja bank,; meminta bank dalam penyehatan serta direksi, komisaris, dan pemegang saham bank untuk menandatangani segala dokumen yang bersifat mengikat; dan meminta untuk mengajukan rancana perbaikan. Disamping itu BPPN memiliki tugas tambahan untuk mengambil alih pengoperasian bank; menentukan tingkat kompensasi yang dapat diberikan kepada direksi,
Negara baik dari para bankir, pemegang saham terkait maupun dari debitur masing-masing bank yang mendapat penyaluran dana BLBI, ditempuh berbagai konsep penyelesaian yang sifatnya menyeluruh.18 Optimalisasi pengembalian dana BLBI ke dalam kas negara, dari pemerintah melalui BPPN untuk melakukan tiga hal.19 1. Mengalihkan kewajiban bank menjadi kewajiban pemegang saham pengendali (pemilik bank), diberlakukan bagi bank-bank yang dikategorikan bank beku operasi (BBO), dan bank beku kegiatan usaha (BBKU). Penandatanganan perjanjian antara pemerintah dan pemegang saham tersebut meliputi Master Settlement and Aqcuisition (MSAA), Master Refinancing Agreement and Note Issuance Agreement (MRNIA). 2. Konversi BLBI menjadi Penyertaan Modal Sementara (PMS) pada bank-bank kategori Bank Take Over (BTO).
komisaris, dan karyawan bank; dan mengambil alih pengelolaan termasuk penilaian kembali kekayaan yang dimiliki bank. Lihat dalam ibid., hlm. 171. 18
19
Indonesian Corruption Watch, op. cit., hlm. 9.
Sejalan dengan optimalisasi tersebut, dalam rangka penyelesaian kasus BLBI dilakukan perjanjian antara pemerintah dan debitur penerima dana BLBI, yaitu : 1. Master Settlement and Aqcuisition (MSAA) diberlakukan pada penerima BLBI yang asetnya dinilai mampu mencukupi pembayaran seluruh kewajiban-kewajibannya, dibedakan menjadi dua jenis yaitu terhadap pemegang saham pengendali BBKU dan BTO dengan jangka waktu selama 4 tahun untuk menyerahkan aset-asetnya pada negara sebagai bentuk pelunasan utangutang. Perjanjian ini diikuti oleh Bank Central Asia, Bank Umum Nasional, Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Surya, dan Bank Risyad Salim Internasional. 2. Master Refinancing Agreement and Note Issuance Agreement (MRNIA) diberlakukan pada penerima BLBI yang nilai asetnya tidak mencukupi pembayaran seluruh kewajibankewajibannya. Sehingga selain menyerahkan aset-aset yang dimiliki, penerima BLBI juga harus menyerahkan jaminan pribadi (personal guarantee) dan menyatakan kesediaan untuk menyerahkan aset tambahan jika aset yang diserahkan belum mencukupi pembayaran utang. Adapun jangka waktu pelaksanaan perjanjian ini lamanya mencapai 4 tahun dan diikuti oleh Bank Modern, Bank Umum Nasional, Bank Danamon, dan Bank Hokindo. 3. Akta Pengakuan Hutang (APU) merupakan revisi dari model MSAA perbedaannya terletak pada pemegang saham pengendali harus bertanggungjawab jika aset yang diserahkan tidak mencukupi pelunasan pembayaran kewajiban. Pembayaran kewajiban tersebut dilakukan secara tunai dan berkala dalam jangka waktu yang ditentukan, adapun perjanjian ini diikuti oleh Bank Bumi Raya Utama, BIRA, Bank Sewu, Bank Hastin, Bank Tata, Bank Namura Yasonanta, Bank Indotrade, Bank Putera, Bank Baja, Bank Lautan Berlian, Bank Papan Sejahtera, Bank Yama, Bank Tamara, Bank Nusa Nasional, Bank Intan, Bank PSP, Bank Namura Maduma, Bank Metropolitan, Bank Umum Sertivia, Bank Aken, Bank Mashill, dan Bank Sanho. Lihat dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 53-55. Lihat juga dalam Indonesian Corruption Watch, op. cit., hlm. 9.
3. Pengalihan utang bank ke pemegang saham pengendali melalui penandatanganan Akta Pengakuan Hutang (APU). Penyelesaian kasus BLBI berlanjut pada keluarnya Inpres Nomor 8 tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur
Yang
Tidak
Menyelesaikan
Kewajibannya
Berdasarkan
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, dikenal dengan Release and Discharge menjadi dasar hukum bagi penyelesaian kasus BLBI secara out of
court
settlement,
menginstruksikan
kepada
Menko
Bidang
Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), Menteri Kehakiman dan HAM, menteri-menteri anggota KKSK, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisan Republik Indonesia dan Ketua BPPN untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi penyelesaian kewajiban pemegang saham dalam rangka menyelesaikan seluruh kewajibannya pada BPPN berdasarkan perjanjian MSAA, MRNIA, dan APU.20
Maksud dan tujuan pemberian release and
discharge adalah penyelesaian utang BLBI dan pelanggaran BMPK (Batas Minimum Pemberian Kredit) dengan pembebasan dari semua tuntutan hukum, termasuk aspek pidana. Adapun dalam butir-butir Inpres tersebut menyebutkan bahwa bagi para debitur yang telah menyelesaikan kewajiban sebagai pemegang saham dalam bentuk MSAA, MRNIA, dan 20
Istilah Release and Discharge tidak dikenal dalam pranata hukum Indonesia, melainkan acquit et decharge (A&D) dalam rangka pelepasan dan pembebasan tanggungjawab direksi dan komisaris PT, yang selalu diikuti penegasan, bila kemudian ternyata telah terjadi tindak pidana selama masa jabatannya, maka akan dilakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan undangundang hukum pidana. Lihat dalam Kompas, 14 Januari 2003. Disebut Release and Discharge karena penerima dana BLBI (debitur) setelah melakukan pembayaran secara tunai sebesar 30% dari keseluruhan jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dan 70% sisanya dibayar melalui penyerahan sertifikat bukti hak pada BPPN diberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) dan dibebaskan dari semua tuntutan hukum. Lihat dalam loc.cit., hlm. 57. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan rangkaian kebijakan BLBI telah mendapatkan landasan hukum yang sah. Karena itu, kini pemerintah tetap berupaya untuk mengembalikan uang negara sebesar mungkin. Rangkaian kebijakan untuk mengatasi krisis, termasuk kebijakan BLBI, program penjaminan, penyehatan dan rekapitulasi perbankan, dan program divestasi telah melalui proses politik saat itu dan mendapatkan landasan hukum yang sah. http://www.mediaindonesia.com/. 13Februari 2008.
APU akan diberikan bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan dalam rangka memberikan kepastian hukum sebagaimana
telah diatur
dalam perjanjian-perjanjian tersebut. Bahkan dalam butir ke 4 disebutkan pembebasan debitur dari aspek pidana, baik yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan sekaligus dilakukannya proses penghentian penanganan aspek pidana yang dilakukan dalam koridor ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B. Konsep Hukum dan Kebijakan Publik 1.
Ruang Lingkup Kebijakan Publik Hukum dan kebijakan publik merupakan variabel yang memiliki keterkaitan yang sangat erat, seiring makin luasnya peranan pemerintah dalam berbagai bidang kehidupan yang kompleks baik ekonomi, sosial, dan politik. Sehingga peraturan hukum berperan untuk membantu pemerintah dalam usaha menemukan alternatif kebijakan yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat dimana penilaian bahwa fungsi hukum menjadi penting ketika semua perencanaan kebijaksanaan dan programprogram pemerintah dilaksanakan melalui hukum.21 Hukum memberikan legitimasi bagi pelaksanaan kebijaksanaan publik,
dan
sebagai
peraturan
perundang-undangan
hukum
telah
menampilkan peranan hukum sebagai salah satu alat untuk melaksanakan kebijaksanaan. Hukum menjadi indikator adanya kebijaksanaan dimana menurut Siegler, bahwa constitutions, statutes, administrative orders and executive orders are indicators of policy dimana hukum merupakan bagian integral dari kebijaksanaan, yang pembentukannya dilakukan oleh 21
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama, Semarang, 2005, hlm. 130. Lihat juga Esmi Warasih dalam Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm. 76-77. Pemberlakuan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan karena secara teknis hukum dapat memberikan atau melakukan halhal: a. hukum merupakan suatu sarana untuk menjamin kepastian dan memberikan prediktabilitas di dalam kehidupan masyarakat, b. hukum merupakan sarana pemerintah untuk menerapkan sanksi, c. hukum sering dipakai oleh pemerintah sebagai sarana untuk melindungi melawan kritik, d. hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk mendistribusikan sumber-sumber daya.
legislatif dalam bentuk peraturan-peraturan untuk kemudian diberikan pengesahan sehingga berlaku sebagai hukum yang harus dipatuhi.22 Kebijakan publik yang telah memasuki bidang kehidupan hukum harus memenuhi
tehnik
perumusan
pembuatan
perundang-undangan,
menggunakan bahasa resmi yang sederhana sehingga mudah dipahami sehingga harus berpijak pada tata administrasi dalam hal ini berkaitan dengan hukum administrasi Negara. Konsep kebijakan publik dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan didefinisikan berbeda oleh para ahli, antara lain oleh David Easton memberikan arti policies sebagai the autoritative allocation of values for the whole society,23 dimana hanya pemerintah dalam sistem politik yang secara sah dapat melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam bentuk pengalokasian nilai-nilai pada masyarakat.24 Lasswel dan Kaplan mengartikan kebijaksanaan publik sebagai a projected program of goals, values, and practices.25 Thomas R Dye mendefinisikan kebijaksanaan Negara sebagai “is whatever government choose to do or not to do”, bila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya (obyektifnya) dan kebijaksanaan negara harus meliputi semua “tindakan” pemerintah jadi bukan semata-mata pernyataan pemerintah, disamping itu sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah juga termasuk kebijaksanaan Negara karena
kebijaksanaan
untuk tidak melakukan sesuatu dengan kebijaksanaan melakukan sesuatu akan memiliki dampak yang sama.26
22
Ibid., hlm. 131-133.
23
Ibid., hlm. 132.
24
M. Irfan Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 2007, hlm. 19. 25
26
Esmi Warassih, op. cit., hlm. 132.
M. Irfan Islamy, op. cit., hlm. 18. Dalam sumber lain disebutkan Dye menyatakan bahwa suatu kebijaksanaan tidak dapat menjadi kebijakan publik kalau ia tidak dirumuskan, disahkan, dan dilaksanakan oleh lembaga-
Carl J. Frederick mendefinisikan kebijaksanaan sebagai “….a proposed course of action of a person, group, or government within a given environment providing obstacles and opportunities which the policy was proposed to utilize and overcome in an effort to reach a goal or realize an objective or a purpose”. Sedangkan menurut James E. Anderson, bahwa kebijaksanaan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu. Namun demikian kebijaksanaan Negara menurut James E. Anderson diartikan sebagai kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah. Definisi kebijakan publik sebagaimana
dikemukakan
oleh
Edward
dan
Sharkansky
bahwa
kebijaksanaan publik dapat ditetapkan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan atau dalam bentuk pidato-pidato pejabat pemerintah atau juga berupa program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah.
27
Pelbagai definisi kebijaksanaan publik yang beragam dan luas, tidak menjadikan
suatu
kebijaksanaan
publik
sempit
artinya
bilamana
menggunakan suatu definisi secara tepat dan rasional karena kebijaksanaan publik memiliki fokus yang sama yaitu pada nilai, tujuan, dan sarana. Salah satu sarana yang banyak dipilih adalah peraturan perundangundangan, utamanya undang-undang yang dilegitimasi melalui pengesahan oleh DPR sehingga mempunyai sifat mengikat bagi seluruh warga lembaga pemerintahan seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Lebih lanjut dalam Materi Kuliah Hukum dan Kebijakan Publik. Jamal Wiwoho. 2008. hlm. 5. 27
Sehingga implikasi dari pengertian tersebut diatas, adalah: (1) bahwa kebijaksanaan Negara selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan; (2) bahwa kebijaksanaan berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah; (3) bahwa kebijaksanaan merupakan apa yang senyatanya dilakukan oleh pemerintah, bukan hanya pernyataan keinginan ; (4) bahwa kebijaksanaan dapat bersifat positif dalam arti merupakan bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negative, berupa keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; dan (5) bahwa kebijaksanaan pemerintah dalam arti positif, dimana kebijaksanaan selalu dilandaskan pada peraturan-peraturan perundangan dan bersifat memaksa (otoritatif). Lihat dalam ibid., hlm 17-19.
masyarakat. Oleh karena itu, pada hakikatnya hukum pun mengandung nilai, konsep-konsep dan tujuan yang mana proses perwujudan ide dan tujuan merupakan hakikat dari penegakan hukum. Hukum tidak lagi hanya berfungsi sebagai alat kontrol sosial, tetapi juga dipakai sebagai sarana untuk melakukan perubahan masyarakat hingga digunakan sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik.28 Alokasi penetapan tujuan merupakan output dari sistem politik yang dapat berupa alokasi nilai otoritatif
dinyatakan
sebagai
kebijakan
publik,
selanjutnya
akan
diimplementasikan pada masyarakat, sehingga nampak bahwa hukum merupakan indikator adanya kebijakan. Makna dalam istilah kebijakan (policy) tidak hanya bersifat tekstual melainkan lebih bersifat kontekstual, beragam mengikuti dinamika aksi sosio-ekonomi dan politik yang terjadi disekitar kita dan persepsi terhadap istilah kebijakan.29 Hogwood dan Gunn mengelompokkan beberapa penggunaan istilah kebijakan dalam sepuluh (10) kelompok, antara lain.30 1. Policy as a label for Feld of Activity (Kebijakan sebagai Sebuah Label atau Merk bagi Suatu Bidang Kegiatan Pemerintah). Istilah kebijakan sebagai suatu label bagi suatu bidang kegiatan pemerintah pada dasarnya berkaitan dengan bidang-bidang kegiatan pemerintah atau bidang-bidang kegiatan tertentu dimana pemerintah terlibat didalamnya. Konsep ruang kebijakan (policy space) digunakan untuk menggambarkan suatu ruang kebijakan tertentu cenderung padat sepanjang waktu ditandai dengan makin gencarnya campur tangan pemerintah dan makin kompleksnya interaksi di antara instansi-instansi pemerintah yang terlibat didalamnya. Sebaliknya konsep ini juga dapat dideskripsikan bahwa ruang kebijakan tertentu relatif kosong dari campur tangan pemerintah. 2. Policy as an Expression of General Purpose or Desired State of Affairs (Kebijakan sebagai suatu pernyataan mengenai tujuan umum atau keadaan tertentu yang dikehendaki).
28
Esmi Warassih, op. cit., hlm. 133.
29
Solichin Abdul Wahab, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, UMM Press, Malang, 2008, hlm. 17. 30
Ibid., hlm. 18. Lihat juga dalam Bambang Sunggono, op. cit., hlm. 15.
3.
4.
5.
6.
7.
Istilah kebijakan digunakan untuk menunjukkan pernyataanpernyataan kehendak pemerintah mengenai tujuan-tujuan umum dari kegiatan yang dilakukannya dalam bidang tertentu yang diharapkan dicapai pada kurun waktu tertentu. Namun pernyataan kehendak ini belum bersifat operasional karena masih sebatas wacana sehingga mudah dilupakan baik oleh masyarakat maupun pembuat kebijakan. Policy as Spesific Proposals (Kebijakan sebagai suatu usulanusulan khusus). Istilah kebijakan digunakan untuk menunjukkan adanya usulanusulan tertentu (spesifik) yang berasal baik dari luar struktur pemerintahan (kelompok-kelompok kepentingan atau partai politik) maupun dari dalam struktur pemerintahan untuk mempengaruhi proses pengesahan kebijakan terkait dengan usulan-usulan tersebut, dan dimungkinkan juga menunjukkan cara-cara untuk mencapai tujuan yang lebih besar sebagaimana kebijakan sebagai suatu label bagi suatu bidang kegiatan pemerintah serta pernyataan-pernyataan kehendak pemerintah mengenai tujuan-tujuan umum dari kegiatan yang dilakukannya dalam bidang tertentu yang diharapkan dicapai pada kurun waktu tertentu. Policy as Decision of Government (Kebijakan sebagai keputusan pemerintah). Istilah kebijakan pada lingkup ini terfokus pada keputusan yang muncul ketika terdapat alternative pilihan dengan mempertanyakan implementasinya dan hasil yang dicapai. Policy as Formal Authorization (kebijakan sebagai bentuk pengesahan formal). Istilah kebijakan sebagai bentuk pengesahan formal ditandai dengan diundangkannya seperangkat aturan oleh parlemen diharapkan dapat diimplementasikan. Tahap pengesahan bukan tidak penting, namun pengesahan saja belum memberikan gambaran tentang hal substansial yang menjadi dampak dari pengesahan kebijakan tersebut. Diundangkannya suatu aturan tidak serta merta dapat diimplementasikan, karena dipengaruhi faktor-faktor pelaksanaan yang tidak mendukung. Policy as Programme (kebijakan sebagai program). Istilah kebijakan sebagai program dimaksudkan pada suatu lingkup kegiatan pemerintah yang relative khusus dan jelas batas-batasnya, mencakup serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan legislasi, pengorganisasian, dan penyediaan sumber daya yang diperlukan. Program-program atau sub-sub program dipandang sebagai sarana (instrumen) untuk mewujudkan berbagai tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah. Policy as Output (kebijakan sebagai keluaran).
Kebijakan sebagai keluaran dipandang sebagai apa yang telah dihasilkan atau diberikan oleh pemerintah, sebagai kebalikan dari apa yang telah dijanjikan, saat kebijakan sebagai bentuk pernyataan tujuan yang dikehendaki atau bahkan saat kebijakan tersebut sebagai pengesahan formal berupa undang-undang. Kebijakan sebagai keluaran bentuknya bermacam-macam, dapat berupa pemberlakuan peraturan-peraturan, program-program berupa pemberian manfaat secara langsung (berupa uang), pemberian pelayanan kepada publik berupa barang (air bersih atau beras untuk orang miskin). Namun adakalanya kebijakan ini sendiri merupakan faktor penunjang bagi tercapainya output bukan output itu sendiri, karena masih memerlukan serangkaian tindakan untuk mewujudkan apa yang menjadi kebijakan sebagai output. 8. Policy as Outcome (kebijakan sebagai hasil akhir). Upaya lain memahami makna kebijakan adalah dengan melihat kebijakan dari sudut hasil akhir yaitu apa yang sesungguhnya telah dicapai dalam artian pencapaian dari program-program tertentu, memungkinkan adanya penilai mengenai tujuan formal (normatif) dari suatu kebijakan (sebagaimana tercantum dalam dokumen) yang telah dibuktikan dalam praktik kebijakan. Sehingga dapat dilakukan penilaian mengenai terwujudnya tujuan formal dari suatu kebijakan. Sedangkan fokus pada dampak kebijakan sendiri juga berguna untuk mengingatkan bahwa implementasi sebuah kebijakan dan dampaknya jarang sebagai akibat hubungan langsung antara instrument kebijakan tertentu atau interaksi organisasi tertentu dengan lingkungannya untuk menghasilkan dampak yang jelas. 9. Policy as Theory or Model (kebijakan sebagai sebuah teori atau model). Kebijakan pada dasarnya mengandung asumsi-asumsi mengenai apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan akibat yang terjadi sebagai dampak dari tindakan-tindakan tersebut. Namun demikian kebijakan public pada umumnya memuat suatu teori atau model tertentu yang menyiratkan hubungan sebab dan akibat, yangmana dalam praktiknya untuk menilai bahwa suatu kebijakan gagal dilaksanakan sehingga berdampak sesuai dengan teori kausalitas cukup rumit. 10. Policy as Procees (kebijakan sebagai proses). Kebijakan dipandang sebagai sebuah proses, terutama proses politik (political process), maka kebijakan dipersepsikan sebagai sebuah ban berjalan (conveyor belt) yang difokuskan pada tahap pelaksanaan kebijakan. Adapun pembuatan kebijakan meliputi. 1) Penyusunan agenda tertentu berupa daftar-daftar persoalan, dilihat dari tingkat kepentingannya, oleh pejabat pemerintah dianggap perlu mendapat perhatian serius.
2) Perumusan kebijakan, disebut juga adopsi kebijakan (policy adoption) yaitu proses pengesahan yang dirancang khusus untuk mengatasi atau mengurangi masalah yang terjadi di masa lalu atau untuk mencegah terjadinya kembali masalah kebijakan publik yang sama dimasa mendatang. 3) Implementasi kebijakan, dapat dirumuskan sebagai suatu proses, output (keluaran), atau hasil akhir (outcome). Sebagai suatu proses, implementasi kebijakan mengacu pada serangkaian keputusan dan tindakan pemerintah untuk mencapai tujuan. Konsep implementasi kebijakan sebagai output (keluaran) mengacu pada cara-cara atau sarana yang telah dipakai untuk mencapai tujuan tertentu yang telah diprogramkan, misalnya sejumlah ongkos untuk mengatasi suatu masalah. Sedangkan implementasi kebijakan yang dipandang sebagai outcome (hasil akhir) adalah terjadinya perubahan-perubahan tertentu pada permasalahan sosial yang ingin diatasi oleh suatu program, misalnya penurunan angka kejahatan atau kriminalitas. 4) Evaluasi kebijakan memfokuskan pada dampak nyata dari sebuah proses legislasi atau seberapa jauh kebijakan tertentu mencapai hasil-hasil yang diinginkan. 5) Perubahan kebijakan (policy change) mencakup berbagai tahapan siklus kebijakan seperti perumusan kebijakan, implementasi kebijakan, evaluasi kebijakan dan pengakhiran kebijakan. Konsep perubahan kebijakan merupakan instrumen analitik yang mengacu pada suatu titik dimana kebijakan seharusnya dievaluasi dan didesain kembali, yang dengan perubahan kebijakan tersebut menjadi keseluruhan proses kebijakan yang baru. Pengakhiran kebijakan ini sendiri merupakan cara mengakhiri kebijakan yang telah kadaluwarsa atau kinerjanya dianggap tidak lagi memadai. 2. Proses dan Model-Model Kebijakan Publik Kebijaksanaan negara dibentuk melalui suatu proses perumusan, meliputi serangkaian tindakan dalam memilih alternatif-alternatif yang tersedia sebagai penyelesaian dari masalah yang sedang dihadapi dengan mengambil satu diantara beberapa alternatif tersebut sebagai sebuah keputusan. Pengambilan keputusan tersebut kemudian dirumuskan sebagai sebuah kebijaksanaan. Permasalahan yang timbul dapat diartikan secara formal, untuk kepentingan kebijaksanaan, menurut David G Smith disebut sebagai kondisi atau situasi yang menghasilkan kebutuhan-kebutuhan yang
yang harus dicari upaya penanggulangannya namun tidak semua masalah (problems) akan berakhir dengan kebijaksanaan sebagai pengakhiran masalah. Bahwa suatu problems baru akan menjadi problema-problema kebijaksanaan (policy problems) bila masalah-masalah tersebut mendorong orang banyak, terutama para pembuat kebijaksanaan,
melakukan
tindakan.31 Analisis kebijakan publik (public policy analysis) bertujuan untuk meramu secara sistematik beragam gagasan yang berasal dari berbagai macam disiplin kemudian digunakan untuk menginterpretasikan sebab dan akibat dari tindakan pemerintah. Berbagai definisi mengenai kebijakan mengartikan bahwa sesungguhnya sukar untuk mengidentifikasi waktu pembuatan sebuah kebijakan yang dimaksud karena seringkali kebijakan bersifat berkelanjutan bahkan berkembang sedemikian rupa dalam tahap implementasi sehingga muncul anggapan bahwa suatu kebijakan telah bersifat final. Hal ini berarti bahwa permasalahan suatu kebijakan bukan hanya ditahap pembuatan kebijakan dari proses kebijakan, melainkan juga pada tahap implementasi.32 Analisis
kebijakan
publik
membutuhkan
alat-alat
konseptual
(conceptual tools), berupa model-model dan tipologi tertentu sehingga dapat diketahui beberapa aspek penting yang terdapat dalam proses kebijakan, menurut Thomas R Dye sebagai upaya untuk menyederhanakan atau
mengejewantahkan
kenyataan
politik.
Model-model
analisis
kebijakan publik menurut Thomas R Dye meliputi 6 model, yaitu.33 1. Model Kelembagaan; Model kelembagaan merupakan model analisis yang memandang kebijakan publik sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah secara otoritatif dirumuskan, ditetapkan, disahkan, dilaksanakan dan dipaksakan 31
M. Irfan Islamy, op. cit., hlm. 79. Lihat juga dalam Solichin Abdul Wahab, op. cit, hlm.
32
Solichin Abdul Wahab, ibid., hlm. 38-41.
33
Ibid., hlm. 79-123.
33.
pemberlakuannya. Sehingga terdapat hubungan yang erat antara kebijakan publik dan lembaga-lembaga pemerintah. 2. Model Kelompok; Kebijaksanaan negara merupakan equilibrium (keseimbangan) yang dicapai sebagai perjuangan kelompok, sehingga untuk menjaga keseimbangan tersebut sistem politik berperan untuk menengahi konflik yang terjadi diantara kelompok-kelompok tersebut. Individu-individu dengan latar belakang yang sama akan bergabung dalm kelompok baik formal maupun informal yang kemudian mendesakkan kepentingan-kepentingan tersebut pada pemerintah. Perilaku individu baru memiliki makna politik ketika mereka bertindak atas nama atau dengan membawa kepentingan kelompok, sehingga kelompok berfungsi sebagai jembatan politik yang menghubungkan antara individu dengan pemerintah untuk mempengaruhi kebijakan publik Kebijakan publik model kelompok, menurut Earl Latham, adalah keadaan seimbang yang tercapai sesudah berlangsung perjuangan antar kelompok pada suatu waktu tertentu, kebijakan publik ini mencerminkan keseimbangan setelah kelompokkelompok tertentu berhasil mengarahkan kabijakan publik kearah yang menguntungkan mereka. Pada model ini, legislatif bertindak sebagai penengah dalam membantu tercapainya kompromikompromi serta mengesahkannya dalam bentuk undang-undang. 3. Model Elit; Kebijakan publik dari sudut model elit selalu dianggap sebagai the result of the preferences and values of governing elite, dimana pejabat pemerintah dan administrator hanya dianggap sebagai alat dan pelaksana kebijaksanaan yang substansinya telah dipikirkan, dirumuskan dan ditetapkan sebagaimana oleh Ralp Miliband disebut instrumentalism. Alasan yang dikemukakan bahwa negara hanya sebagai instrumen bagi elit untuk mengokohkan dominasi secara sosial, ekonomi, politik dalam masyarakat adalah sebagai berikut. 1. Kesamaan latar belakang sosial antara golongan borjuis dan anggota elit negara, yaitu menduduki jabatan-jabatan senior dalam pemerintahan baik dinas sipil, militer, badan peradilan maupun lembaga kenegaraan lain. 2. Adanya kekuasaan atau kekuatan yang dimiliki oleh golongan borjuis yang memungkinkan untuk bertindak sebagai kelompok penekan melalui kontak dan jaringan hubungan pribadi yang dibangun serta melalui asosiasi bisnis dan industri yang dikuasainya. 3. Kendala yang dihadapi oleh negara berkenaan dengan usaha untuk mempertahankan eksistensi melalui proses penanaman modal.
4. Model Rasional; Kebijakan dengan model rasional mendifinisikan proses kebijakan dengan suatu pemilihan keputusan dari alternatifalternatif dari hasil analisis yang menyeluruh dari seluruh alternatif yang tersedia dengan mempertimbangkan akibat yang akan terjadi dari pemilihan keputusan tersebut. Model rasional menekankan pada pembuatan keputusan yang rasional seefisien mungkin, dimana rasio nilai yang dicapai dan nilai yang dikorbankan lebih tinggi dibanding nilai alternatif lain. Suatu kebijakan dinilai rasional menurut model ini bila kebijakan yang diambil diarahkan bagi tujuan-tujuan atau kepentingan negara. Oleh karena itu pada kebijakan dengan model rasional harus ditentukan tujuan yang hendak dicapai oleh negara untuk kemudian menggunakan sarana yang tersedia, perlunya pemahaman yang holistik dan mendasarkan diri pada nilai-nilai yang ada didalam masyarakat serta kepentingan yang relevan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan tersebut. 5. Model Inkremental; Kebijakan negara dipandang sebagai suatu kelanjutan kegiatan-kegiatan pemerintah di masa lalu dengan hanya melakukan perubahan.-perubahan seperlunya. Lidblom, sebagaimana dikutip oleh Dye, berpendapat bahwa pembuat kebijakan tidak akan melakukan penilaian tahunan secara teratur terhadap seluruh kebijakan-kebijakan yang ada maupun yang telah diusulkan sebelumnya sehingga enggan untuk mengidentifikasikan semua alternatif kebijakan berikut semua akibat-akibatnya. Pembuatan kebijakan publik dengan model inkremental memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Pembuat kebijakan sering kali enggan untuk berpikir dalam kerangka yang menyeluruh atau setidaknya menjelaskan secara terbuka tujaun-tujuan yangt hendak dicapai. Pilihan untuk tidak menjelaskan disebabkan adanya ketakutan memperoleh rekasi pertentangan atas kebijakan yang dibuat. b. Pembuat kebijakan melakukan perubahan-perubahan kecil atau penyesuaian-penyesuaian seperlunya yang cenderung inkremental terthadap kebijakan-kebijakan yang telah diambil bilamana kebijakan sebelumnya ternyata gagal mengatasi masalah. c. Adanya pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada pemecahan masalah yang menyelesaikan secara singkat karena kebijakan merupakan siklus yang akan kembali dari awal. d. Kebijakan-kebijakan publik lebih banyak dibuat melalui interaktif dari banyak pihak yang dapat mempengaruhi kebijakan dan yang beroperasi dalam suatu jaringan kekuasaan.
e. Adanya penyesuaian diri pada masing-masing pihak yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan publik melalui tawar menawar, negosiasi, dan kompromi. f. Kebijakan yang muncul merupakan kebijakan yang saling disepakati oleh kelompok-kelompok yang terlibat sebagai bentuk konsensus. Model inkremental merupakan gaya konservatif dalam pembuatan kebijakan publik, karena dasar pertimbangan yang digunakan selalu mengacu pada program-program yang sudah ada dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan pada masa sebelumnya. Sehingga, pembuat kebijakan cenderung tidak peduli terhadap efektivitas kebijakan yang telah ada sebelumnya dan menerima keabsahan dari program-program yang sudah ada untuk menyelesaikan masalah yang saat ini sedang dihadapi. 6. Model Sistem. Kebijakan, menurut David Easton, dipandang sebagai respon suatu sistem politik terhadap kekuatan yang meliputi kekuatan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya sehingga kebijaksanaan negara merupakan hasil dari sistemsistem politik. Sistem politik disini adalah lembaga-lembaga, yang terdiri dari badan legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, kelompok kepentingan, golongan elit, struktur birokrasi, prosedur, mekanisme politik, sikap dan perilaku pembuat keputusan serta aktivitas-aktivitas politik berinteraksi dalam proses untuk mengubah tuntutan, dukungan, dan sumber bagi suatu kebijakan (input) menjadi hasil keluaran (output). Sehingga kebijaksanaan negara merupakan hasil dari kegiatan politik yang otoritatif dengan konsekuensi, baik berupa dampak yang diharapkan maupun timbulnya dampak yang tidak diharapkan. Salah satu proses utama dari sistem politik adalah masukanmasukan (inputs), yang berbentuk tuntutan-tuntutan (demands) dan dukungan-dukungan (support) serta sumber daya (resources). Tuntutan-tuntutan mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk mempengaruhi alokasi nilai-nilai yang sah dari pihak penguasa (pemerintah). Sedangkan dukungan-dukungan mencakup berbagai tindakan, seperti memilih dalam pemilihan umum, kepatuhan terhadap hukum atau peraturan perundangundangan, dan kesediaan membayar pajak. Sementara itu sumbersumber daya antara lain meliputi kekayaan alam, harta benda, pengetahuan dan teknologi. 34 34
Ibid., hlm. 119. Suatu sistem politik akan menyerap pelbagai macam tuntutan (baik dari dalam maupun dari luar), dan dapat terjadi bahwa diantara tuntutan-tuntutan tersebut tidak relevan atau bertentangan satu sama lain. Dalam hal seperti itu diperlukan pengaturan terhadap tuntutantuntutan tersebut dan memaksakan pengaturan itu kepada pihak-pihak yang terlibat atau berkepentingan agar tuntutan-tuntutannya dapat dikonversikan (diproses) didalam sistem politik
Masukan, dukungan maupun sumber-sumber yang merupakan input kebijakan pada model sistem ini (sistem politik) sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan berupa keadaan sosial, ekonomi, politik dan berpengaruh pula pada output yang dihasilkan bahkan terhadap dampak dari implementasi output tersebut. Adapun dampak implementasi yang diakibatkan, baik positif maupun negatif, dapat dimanfaatkan sebagai umpan balik untuk digunakan atau tidak dipertimbangkan kembali sebagai input (masukan) dalam proses politik berikutnya. Berdasarkan
tipologi
Dye
tersebut
diatas,
Nicholas
Henry
mengelompokkan tipologi tersebut menjadi 2 (dua) klasifikasi besar, yaitu: (1) Kebijaksanaan negara dianalisa dari sudut proses, lebih bersifat deskriptif, mencoba menggambarkan proses pembuatan kebijakan, antara lain model kelembagaan, model elit massa, model kelompok, dan model sistem; (2) Kebijaksanaan negara dianalisa dari sudut hasil dan akibatnya, bersifat
preskriptif
dengan
berupaya
menunjukkan
cara
untuk
meningkatkan kualitas isi, hasil dan akibat kebijaksanaan negara, meliputi model rational comprehensive dan model inkremental.35 Evaluasi terhadap sebuah kebijakan dapat dilakukan dengan mengorganisasikan fenomena menjadi kategori-kategori tertentu guna mensistemasikan program analisis, dengan terlebih dulu memahami tipologi kebijakan. Tipologi dapat dipakai untuk memahami pembuatan kebijakan publik dengan menggunakan kerangka analisis bersifat umum untuk mengonversikan fakta-fakta dari studi-studi kasus pada seperangkat penelitian yang dapat dievaluasi, ditimbang, dan dihimpun. kategori kebijaksanaan negara adalah antara lain sebagai berikut.
Adapun 36
sehingga menghasulkan keputusan atau kebijaksanaan. Lihat dalam M. Irfan Islamy, op.cit., hlm 45 35
36
M. Irfan Islamy, Ibid., hlm. 36.
Ibid., hlm. 103. Bandingkan Menurut Theodore Lowi, kebijakan publik dapat dibagi dalam tiga tipe, yang mana pada tiap-tiap tipe kebijakan mempunyai tipe hubungan politik tertentu, yaitu. 1. Kebijakan regulatoris (regulatory policies); 2. Kebijakan distributif (distributive policies); 3. Kebijakan redistibutif (distributive policies).
1. Substantive dan Procedural Policies Substantive policies adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan tentang apa yang akan atau ingin dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan procedural policies merupakan kebijaksanaan yang meliputi tentang siapa atau pihak-pihak yang terlibat dalam perumusan kebijaksanaan negara dan cara perumusannya. 2. Distributive, Re-distributive, Regulatory dan Self Regulatory Policies Distributive policies adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan tentang pemberian pelayanan-pelayanan atau keuntungan bagi sejumlah khusus penduduk. Re-distributive policies adalah kebijaksanaan yang sengaja dilakukan pemerintah untuk memindahkan pengalokasian kekayaan, pendapatan, pemilikan, atau hak-hak diantara kelas dan kelompok penduduk. Sedangkan regulatory policies berkenaan dengan pembatasan atau laranganlarangan perbuatan bagi seseorang atau sekelompok orang sehingga bersifat mengurangi kebebasan untuk berbuat sesuatu. Adapun self-regulatory policies merupakan kebijaksanaan mengenai pembatasan-pembatasan atau pengawasan perbuatan pada masalah-masalah tertentu bagi sekelompok orang, yang biasanya sering dibutuhkan dan didukung oleh kelompok orang yang berkepentingan dengan kebijaksanaan tersebut sebagai alat untuk melindungi atau meningkatkan kepentingan kelompok. Penilaian kebijaksanaan dapat ditinjau dari :37 (1) sudut spesifikasi obyektif yang meliputi hasil dari program-program pemerintah yang telah dilaksanakan, (2) sudut teknik penilaian dengan mengumpulkan data-data untuk menilai hasil program pemerintah tersebut dengan menggunakan teknik yang ilmiah, sistematis, dan (3) sudut metode analisa untuk menilai program
pemerintah
mampu
kebijaksanaan sebagai akibat
menunjukkan dan
hasil
konsekuensi yang
dan
dampak
timbul dari
pelaksanaan kebijaksanaan secara akurat, baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak kebijaksanaan dapat difungsikan sebagai umpan balik dan menjadi masukan baru dalam proses perumusan kebijaksanaan negara berikutnya, baik sebagai perbaikan kebijaksanaan terdahulu maupun kebijaksanaan baru. Lihat dalam Solichin Abdul Wahab, op. cit., hlm. 128. 37
M. Irfan Islamy, op. cit., hlm. 112.
C. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Kejahatan Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan (social welfare) sebagai tujuan akhir dari politik kriminal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa politik kriminal pada hakikatnya merupakan bagian integral dari politik sosial yaitu kebijakan untuk mencapai kesejahteraan sosial. Secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut : 38 Social Welfare Policy Tujuan
Social Policy Social Defence Policy Penal Criminal Policy
Non-Penal Istilah “kebijakan” berasal dari istilah “policy” atau “politiek” sehingga istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”, yang dalam kepustakaan asing istilah ini dikenal dengan istilah “penal policy”, “criminal law policy”, atau “strafrechtspolitiek”. Kebijakan
38
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, op. cit., hlm.2-3. Politik kriminal atau criminal policy, menurut Marc Ancel sebagai the rational organization of the control of crime by society. Definisi tersebut tidak berbeda dengan pandangan G. Peter Hoefnagels, menyatakan, criminal policy is the rational of the social reaction to crime. Lihat dalam Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, ctk. II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 13.
hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum pidana maupun dari politik kriminal. Politik hukum adalah : 39 a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Berdasarkan pengertian diatas, melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna dan merupakan usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Sebagai bagian dari politik hukum maka politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundangundangan pidana yang baik.40 Kebijakan hukum pidana sebagai usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana, menurut G. Peter Hoefnagels dapat ditempuh melalui 3 (tiga) cara, yaitu.41 1. criminal law application; 2. prevention without punishment; 3. influencing views of society on crime and punishment.
39
Menurut Prof. Sudarto dalam Barda Nawawi Arief, ibid, hlm. 22.
40
Menurut Marc Ancel, “Penal Policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Lihat dalam Mokhamad Najih, Politik Hukum Pidana Pasca Reformasi, Intrans Publishing, Malang, 2008, hlm. 43. Dengan demikian, istilah “penal policy” sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”. 41
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hlm. 17-18.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua macam), yaitu kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan
sarana
hukum
pidana
(penal
policy)
dan
kebijakan
penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (non- penal policy). 1. Penanggulangan Tindak Pidana Menggunakan Sarana Hukum Pidana (Penal Policy) Menurut Roeslan Saleh ada tiga alasan masih perlunya pidana dan hukum pidana, yaitu.42 1. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada tujuan yang hendak dicapai melainkan pada usaha untuk menggunakan paksaan. 2. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan bagi terpidana dan adanya reaksi atas pelanggaran yang telah dilakukan. 3. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada pelaku, tetapi juga untuk mempengaruhi masyarakat. Hukum pidana, menurut Utrecht,43 memberi suatu sanksi istimewa, baik atas pelanggaran hukum privat maupun atas pelanggaran hukum publik. Hukum pidana melindungi kepentingan yang diselenggarakan oleh peraturan-peraturan hukum privat maupun hukum publik. Hukum pidana melindungi kedua macam kepentingan tersebut dengan membuat sanksi istimewa karena kadang-kadang perlu diadakan tindakan pemerintah yang lebih keras. Secara
umum
hukum
pidana
berfungsi
mengatur
dan
menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar tercipta dan terpelihara ketertiban umum. Secara khusus sebagai hukum publik, hukum pidana berfungsi, yaitu:44
42
Barda Nawawi dan Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Ed. 2, ctk. 2, Alumni, Bandung, 1998, hlm. 153. 43
44
Teguh Prasetyo, op.cit., hlm. 10.
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 15-16.
1. Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang menyerang kepentingan hukum; 2. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka menjalankan fungsi perlindungan atas pelbagai kepentingan hukum; 3. Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka melaksanakan fungsi perlindungan atas kepentingan hukum. Berpijak pada kodifikasi sebagai sumber utama hukum pidana, maka hukum pidana adalah bagian dari hukum publik yang memuat ketentuan mengenai.45 1. Aturan umum hukum pidana yang dikaitkan dengan larangan melakukan perbuatan-perbuatan baik aktif maupun pasif tertentu yang disertai dengan ancaman berupa pidana bagi pelakunya. 2. Syarat-syarat yang harus ada untuk menjatuhkan sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggar. Aspek hukum pidana dalam rumusan ini adalah mengenai ada tidaknya kesalahan sehingga dapat diperpertanggungjawabkan secara pidana pada diri si pembuat atau yang lebih dikenal dengan asas geen straf zonder schuld bahwa untuk dapat dipidana pada seseorang yang perbuatannya nyata melanggar hukum pidana, disyaratkan bahwa itu dapat dipersalahkan padanya, ialah si pembuat itu mempunyai kesalahan. Kedua aspek ini merupakan hukum pidana materiil yang mana memuat aturan umum dan larangan disertai ancaman sanksi. 3. Tindakan dan upaya-upaya yang harus dilakukan negara melalui alat perlengkapannya terhadap pelaku tindak pidana, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana, serta upaya yang dapat ditempuh oleh pelaku untuk melindungi dan mempertahankan haknya dari tindakan negara dalam upaya menegakkan hukum pidana. Aspek ini berisi tentang hak dan kewenangan negara dalam menegakkan hukum pidana. Hukum pidana yang mengandung aspek pertama dan kedua merupakan hukum pidana materiil tidak berdampak bilamana tidak dilaksanakan melalui hukum pidana dalam arti formil berupa tindakan alat perlengkapan negara pada aspek ketiga. Negara melalui alat perlengkapannya dalam menjalankan fungsi melindungi kepentingan hukum, secara represif diberi hak dan kekuasaan untuk menjatuhkan pidana. Pidana dalam hukum pidana adalah suatu alat
45
Ibid., hlm. 2-5.
dan bukan tujuan dari hukum pidana. Tujuan utama hukum pidana adalah ketertiban. Penjatuhan sanksi pidana oleh negara menjadi dasar untuk mencari alasan dan tujuan negara dalam menjalankan haknya dengan melanggar hak pribadi orang. Adapun tujuan pemidanaan dapat digolongkan menjadi 3, yaitu.46 a. Teori absolut atau teori pembalasan, b. Teori relatif atau teori tujuan, c. Teori gabungan Dasar pembenar dari penjatuhan pidana menurut teori absolut adalah pembalasan sebagai akibat mutlak terhadap orang yang melakukan kejahatan. Pidana menurut teori absolut adalah untuk memuaskan rasa keadilan. Menurut Nigel Walker teori retributif dibagi dalam beberapa golongan, yaitu a. teori retributif murni, bahwa pidana harus sesuai dengan kesalahan pelaku; b. teori retributif tidak murni, terbagi dalam : 1) teori retributif terbatas, yaitu pidana tidak harus sesuai dengan kesalahan namun tidak boleh melebihi batas sesuai kesalahan terdakwa; 2) teori retributif distributif, yaitu pidana tidak boleh dikenakan pada orang yang tidak bersalah, tetapi juga pengenaan pidana tidak harus sesuai dan dibatasi oleh kesalahan. Pemidanaan menurut teori pembalasan mempunyai maksud memberi efek jera atas pidana yang dijatuhkan sehingga pelaku merasakan derita seimbang dengan kejahatan yang telah dilakukan sehingga diharapkan mampu menciptakan kembali ketertiban dalam masyarakat. Teori relatif atau tujuan berpangkal pada pemidanaan sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat bukan untuk memuaskan 46
Barda Nawawi dan Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, op. cit., hlm. 18. Lihat juga dalam Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Ed.2, ctk. I., Jakarta, 2007, hlm. 59-62.
tuntutan absolut dari keadilan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pidana mempunyai sifat pencegahan, yaitu.47 1. Pencegahan umum dimaksudkan pengaruh pidana pada masyarakat pada umumnya dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana. 2. Pencegahan khusus dimaksudkan pengaruh pidana terhadap terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Pidana disini bertujuan agar terpidana dapat berubah dan berguna bagi masyarakat, teori ini dikenal dengan Rehabilitation Theory. Teori relatif lebih tepat disebut teori reduktif karena dasar pembenaran pidana terletak pada upaya mengurangi frekuensi kejahatan, bukan hanya pembalasan melainkan mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu pula disebut dengan utilitarian theory. Sedangkan pada teori gabungan mendasarkan pada asas pembalasan dan asas pertahanan ketertiban masyarakat. Teori gabungan dapat dibedakan atas.48 1. Teori gabungan yang menitikberatkan pada pembalasan, namun tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan cukup untuk mempertahankan ketertiban masyarakat. Penjatuhan pidana mempunyai makna pembalasan dengan maksud untuk melindungi tata tertib hukum. 2. Teori gabungan yang menitikberatkan pada pencegahan umum yang terletak pada ancaman pidana dalam undang-undang, yang apabila tidak cukup kuat dan efektif maka diadakan pencegahan khusus seperti menakuti, memperbaiki, dan membinasakan. Kebijakan hukum pidana atau kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana merupakan suatu proses bagaimana hukum pidana
47
Barda Nawawi dan Muladi, op. cit., hlm. 18. Teori relatif bertolak pada tiga tujuan utama pemidanaan, yaitu preventif, detterence, dan reformatif. Khusus mengnai tujuan preventif dan detterence, menurut Jeremy Bentham ada empat tujuan utama pidana: (1) mencegah semua pelanggaran, (2) mencegah pelanggaran yang paling jahat, (3) menekan kejahatan, (4) menekan kerugian/ biaya sekecil-kecilnya. Lihat dalam Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hlm. 96. 48
Adami Chazawi, op. cit., hlm. 162-163.
dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan
legislatif),
kebijakan aplikasi (kebijakan
yudikatif), dan kebijakan aplikasi (kebijakan eksekutif).49 Kebijakan legislatif dipandang sebagai tahap yang menentukan karena pada tahap ini proses kriminalisasi sebagai proses penetapan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana mulai terbentuk untuk kemudian diatur dalam peraturan perundang-undangan dimana perbuatan tersebut diancam dengan suatu sanksi berupa pidana. Kebijakan aplikasi merupakan kebijakan hukum pidana yang berkaitan dengan penerapan perundang-undangan hukum pidana sebagai kebijakan yudikatif dengan melibatkan polisi, jaksa, hakim, pengacara, dan petugas lembaga pemasyarakatan selaku aparat penegak hukum serta masyarakat, dimana keseluruhan elemen ini merupakan penegakan hukum dalam kerangka sistem peradilan pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan. Kebijakan hukum pidana pada tahap aplikasi tidak dapat dilepaskan dengan kebijakan legislatif yang telah memberi legitimasi tahap-tahap selanjutnya, berupa perumusan tindak pidana, sanksi pidana termasuk mekanisme sistem peradilan pidana sebagai penegakan hukum pidana yang diharapkan efektif. Crime policy termasuk sistem peradilan pidana, menurut La Patra, dikatakan efektif apabila mampu mengurangi kejahatan, baik dalam hal pencegahan (prevention of crime) maupun dalam hal melakukan perbaikan terhadap pelaku kejahatan (rehabilitation of criminals). Peradilan pidana tidak hanya dilihat sebagai sistem penanggulangan kejahatan, melainkan juga sebagai social problem yang sama dengan kejahatan karena tingginya tingkat kejahatan menjadi indikator bahwa sistem peradilan pidana yang tidak efektif menjadi faktor kriminogen dan viktimogen. Kebijakan hukum pidana pada tahap eksekutif merupakan kebijakan pelaksanaan dari apa yang telah ditetapkan dalam kebijakan yudikatif, dengan mendasarkan pada sistem pemidanaan yang telah direncanakan dengan tepat dan efektif apabila 49
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hlm. 18.
dikenakan terhadap terpidana, hal ini berkaitan dengan tujuan pemidanaan dalam hukum pidana.50 Kebijakan
penanggulangan
kejahatan
merupakan
bagian
dari
kebijakan penegakan hukum, khususnya hukum pidana, melalui pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai bagian integral dari politik sosial dalam upaya mencapai kesejahteraan mencakup perlindungan masyarakat. Namun demikian dalam pembuatan peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan kejahatan dan hal demikian akan nampak dalam perumusan sanksi pidana yang diancamkan.51 Memilih
dan
menetapkan
hukum
pidana
sebagai
sarana
menanggulangi kejahatan harus memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung bekerjanya hukum pidana dalam kenyataannya sehingga kriminalisasi harus terus dilakukan evaluasi karena, menurut Sudarto,52 pengaruh umum pidana hanya dapat terjadi di suatu masyarakat yang mengetahui tentang adanya sanksi pidana namun demikian intensitas pengaruhnya tidak sama antara tindak pidana satu dengan tindak pidana lainnya. Dinamika hukum pidana semakin diandalkan dalam mengatur dan menertibkan masyarakat dapat dilihat dari adanya kebijakan sanksi pidana melalui pencantuman ketentuan pidana dalam perumusan peraturan perundang-undangan. Perumusan dan penyelenggaraan hukum pidana, menurut Mardjono Reksodiputro, harus memperhatikan sejumlah asas yaitu:53
50
Supanto, Delik Agama, ctk. 1, LPP UNS dan UNS Press, Surakarta, 2007, hlm. 50-57.
51
Barda Nawawi dan Muladi, op. cit., hlm. 29-30.
52
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hlm. 20. Penggunaan hukum pidana sebagai salah satu sanksi sosial sebagaimana diungkapkan Nigel Walker memiliki keterbatasan yang harus diperhatikan oleh pembentuk undang-undang sampai dimana tapal batas penggunaan hukum pidana. Lihat dalam Barda Nawawi dan Muladi, op. cit., hlm. 131. 53
Mokhammad Najih, op. cit., hlm. 43.
1. asas masuk akalnya kerugian yang dapat digambarkan oleh perbuatan tersebut (dapat mempunyai aspek moral, tetapi seharusnya merupakan “public issues”); 2. asas toleransi terhadap perbuatan tersebut (penilaian atas terjadinya kerugian, berkaitan erat dengan ada atau tidaknya toleransi: toleransi didasarkan pada penghormatan atas kebebasan dan tanggung jawab individu); 3. asas subsidiaritas (sebelum perbuatan dinyatakan sebagai tindak pidana, perlu diperhatikan apakah kepentingan hukum yang terlanggar oleh perbuatan tersebut masih dapat dilindungi dngan cara lain; hukum pidana hanya ultimum remidium); 4. asas proporsionalitas (harus ada keseimbangan antara kerugian yang digambarkan dengan batas-batas yang diberikan oleh asas toleransi, dan dengan pidana yang diberikan); 5. asas legalitas telah dipertimbangkan, masih perlu dilihat apakah perbuatan tersebut dapat dirumuskan dengan baik hingga kepentingan hukum yang akan dilindungi, tercermin dan jelas hubungannya dengan asas kesalahan sebagai sendi utama hukum pidana); 6. asas penggunaannya secara praktis dan efektivitasnya, berkaitan dengan kemungkinan penegakannya serta dampaknya pada prevensi umum. Menurut
Barda
Nawawi
Arief,
proses
kriminalisasi
harus
memperhatikan berbagai aspek pertimbangan sebagai berikut. 54 1. Penggunaan hukum harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil spiritual berdasarkan Pancasila; 2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas warga masyarakat; 3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benafit principles) juga biaya sosial, dimana usaha untuk mengkriminalisasi harus seimbang dengan hasilnya; 4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum agar tidak terdapat kelebihan beban kerja yang mengakibatkan peraturan menjadi tidak efektif (overblasting). Pertimbangan kriminalisasi tersebut diatas umumnya dilakukan dilakukan dengan alasan: 54
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hlm. 50-51.
a. adanya korban; b. kriminalisasi bukan semata-mata ditujukan untuk pembalasan; c. harus berdasarkan asas ratio principle; dan d. adanya kesepakatan sosial. Alasan yang menyebutkan adanya korban disini adalah perbuatan tersebut harus menimbulkan sesuatu yang buruk atau menimbulkan kerugian. Konsep hukum pidana sebagai social defence mempunyai konsekuensi bahwa pendekatan kebijakan yang rasional namun juga ekonomis, antara biaya atau beban yang ditanggung masyarakat dengan digunakannya hukum pidana dengan efektivitas sanksi pidana perlu dipertimbangkan. Pidana dapat disebut sebagai alat pencegah yang ekonomis (economical detterence) apabila dipenuhi syarat sebagai berikut: a. pidana itu sungguh-sungguh mencegah; b. pidana tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya/ merugikan daripada yang akan terjadi apabila pidana tidak dikenakan; c. tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan bahaya/ kerugian yang lebih kecil. Mengenai kriminalisasi dan dekriminalisasi, Muladi memberikan batasan-batasan atau kriteria ukuran kriminalisasi dan dekriminalisasi secara doktrinal harus berpedoman pada:55 a. kriminalisasi tidak boleh berkesan menimbulkan “overcriminalization” yang masuk kategori “the misuse of criminal sanction”; 55
Mokhammad Najih, op. cit., hlm. 35. Bandingkan dengan Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta, 1987, hlm. 156. Suatu proses dekriminalisasi yang mempengaruhi pengambilan keputusan pemegang kebijakan, antara lain : 1. Sanksi secara sosiologis merupakan persetujuan atau penolakan terhadap pola perilaku tertentu. 2. Adanya kemungkinan nilai-nilai masyarakat mengenai sanksi negatif tertentu terhadap perilaku tertentu mengalami perubahan. 3. Timbul keragu-raguan yang kuat akan tujuan yang ingin dicapai dengan penetapan sanksisanksi negatif tertentu. 4. Adanya keinginan yang kuat, bahwa biaya sosial untuk menerapkan sanksi-sanksi negatif tertentu sangat besar. 5. Terbatasnya efektivitas sanksi-sanksi negatif tertentu sehingga penerapannya akan menimbulkan pudarnya kewibawaan hukum.
b. kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc; c. kriminalisasi harus mengandung unsur korban (victimizing); d. kriminalisasi harus memperhitungkan analisa biaya dan hasil dan prinsip ultimum remidium; e. kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang “enforcable”; f. kriminalisasi harus memperoleh dukungan publik (public support); g. kriminalisasi harus mengandung unsur “subsocialiteit” (mengakibatkan biaya bagi masyarakat, sekalipun kecil); h. kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap peraturan pidana membatasi kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan kepada aparat penegak hukum untuk mengekang kebebasan itu. Hukum pidana dapat menjadi primum remidium jika:56 a. korban sangat besar; b. terdakwa residivis; c. kerugian tidak dapat dipulihkan. Penggunaan hukum pidana untuk penanggulangan kejahatan perlu memperhatikan fungsi hukum pidana yang subsider, digunakan apabila upaya-upaya lain diperkirakan kurang memberikan hasil yang memuaskan. Namun bilamana hukum pidana tetap akan dilibatkan, maka perlu melihat hubungan keseluruhan politik kriminal sebagai bagian integral dari rencana pembangunan nasional.57 Kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan kriminal, demikian juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan upaya perlindungan bagi masyarakat dan upaya untuk mencapai kesejahteraan dalam bentuk perencanaan program pembangunan secara keseluruhan tercakup dalam kebijakan pembangunan nasional. Pendekatan sistematik diperlukan dalam kebijakan penanggulangan kejahatan sebagai satu-kesatuan dengan kebijakan pembangunan nasional, mulai dari keseluruhan penentuan hukum pidana substantif dan hukum acara pidana; meliputi pemasukan proses dekriminalisasi, depenalisasi, dan diversi, baik mengenai pembaharuan prosedurnya yang menjamin dukungan warga 56
Menurut H.G de Bunt dalam Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media , Jakarta, 2003, hlm. 77. 57
Barda Nawawi dan Muladi, op.cit., hlm. 129.
masyarakat maupun mengadakan tinjauan terhadap keberadaan semua kebijakan dengan memperhitungkan segala akibatnya.58 Namun demikian dalam menghadapi perkembangan delik-delik baru, perlu dipikirkan alternatif pidana lain sesuai dengan hakikat permasalahan.59 Skala prioritas pembangunan dalam sistem ekonomi yang berimbang dimana faktor ekonomi merupakan primadona karena leverage effect yang diharapkan terhadap bidang-bidang pembangunan yang lain, seringkali pendekatan non penal lebih dikedepankan daripada menggunakan sarana penal. Meskipun secara teoritik tidak menguntungkan, sebab dalam kasuskasus yang serius pertimbangan pemidanaan dinilai penting yaitu untuk tujuan moral dan deterrent effect. Namun demikian alasan untuk menggunakan hukum pidana lebih beralasan mengingat viktimologis yang sangat luas.60 Hukum
pidana
akan
selalu
dimanfaatkan
dalam
upaya
penanggulangan kejahatan sehubungan dengan perkembangan masyarakat dalam pembangunan sebagai keterlibatan hukum pidana, yang dapat bersifat otonom dalam arti bersifat murni dalam perundang-undangan hukum pidana baik dalam merumuskan perbuatan yang dianggap bersifat melawan hukum, dalam
penentuan
pertanggungjawaban
pidananya,
maupun
dalam
penggunaan sanksi pidana dan tindakan yang diperlukan. Keterlibatan hukum pidana yang bersifat komplementer terhadap bidang hukum lain, misalnya hukum administrasi, hukum pidana berkedudukan sebagai penunjang penegakan hukum lain, misalnya pengaturan masalah perpajakan,
58
Supanto, op.cit., hlm. 40.
59
Permasalahan yang muncul adalah mengenai pemilihan dan penetapan pidana apa yang paling tepat, sebagaimana diungkapkan Bentham “punishment ought not to be inflicted if it is groundless, needless, unprofitable or inefficacious” Lihat dalam Barda Nawawi dan Muladi, op.cit., hlm. 132. 60
Penal intervention becomes essential in many and diversified field of business practices in order to control conducts which pose a threat to the life, health, property, and happiness of the general public. Lihat dalam Barda Nawawi dan Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, ctk. I, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 18.
hak cipta, paten, dan sebagainya, dalam hal-hal tertentu diharapkan bersifat fungsional mengingat situasi perekonomian yang kurang menguntungkan.61 Kompleksitas karakteristik pasar turut mempengaruhi masalah hukum yang dihadapi, terutama berkaitan dengan kejahatan bisnis di bidang perbankan dan keuangan sehingga terdapat beberapa aspek hukum yang melingkupi yaitu hukum administrasi, hukum perdata, dan hukum pidana. Konsekuensi yang logis dari keadaan dan masalah hukum berkaitan dengan pelanggaran dalam kejahatan bisnis yang telah mencapai titik mengkhawatirkan, sementara perangkat hukum untuk menemukan pelaku dan menghukumnya sudah tidak memadai, maka diperlukan perangkat hukum lain untuk menciptakan ketertiban dan kepastian hukum serta keadilan bagi para pelaku dan pihak yang dirugikan. Perangkat hukum ini adalah hukum pidana. 62
2. Penanggulangan Tindak Pidana Menggunakan Sarana Di Luar Hukum Pidana (Non-Penal Policy) Politik kriminal dapat dilakukan dengan menggunakan baik sarana penal maupun sarana non penal (prevention without punishment). Sarana penal berarti penggunaan sistem peradilan pidana, mulai dari kriminalisasi sampai dengan pelaksanaan pidana. Sedangkan sarana non penal pada dasarnya merupakan tindakan preventif, mulai dari pendidikan kode etik sampai dengan pembaharuan hukum perdata dan hukum administrasi.63 Klasifikasi pencegahan kejahatan biasanya dibedakan dalam kategori berikut:
61
Supanto, op.cit., hlm. 41-44.
62
Romli Atmasasmita, op. cit., hlm. 34-36.
63
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, ctk. I, The Habibie Center, Jakarta, 2002, hlm. 156.
1. Primary prevention; suatu strategi yang dilakukan melalui kebijakan publik, khususnya untuk mempengaruhi sebab dan akar kejahatan, dengan target masyarakat umum. 2. Secondary prevention; targetnya adalah calon-calon pelaku. 3. Tertiary prevention; targetnya mereka yang telah melakukan kejahatan. Oleh karena hukum pidana hanya merupakan salah satu cara saja maka secara bersamaan juga perlu dilakukan upaya-upaya lain secara sinergis untuk menanggulangi kejahatan. Walaupun demikian penggunaan hukum pidana tetap diperlukan sebagai sarana pencelaan masyarakat dan negara terhadap kejahatan dan pelakunya, dengan memperhatikan 6 prinsip menurut Nigel Walker, yaitu:64 1. Hukum pidana tidak digunakan dengan tujuan semata-mata untuk pembalasan; 2. Tindak pidana yang dilakukan harus menimbulkan kerugian dan korban yang jelas. 3. Hukum pidana tidak digunakan bila masih ada cara lain yang lebih baik dan damai. 4. Kerugian yang ditimbulkan pemidanaan harus lebih kecil daripada akibat tindak pidana. 5. Mendapat dukungan masyarakat. 6. Dapat diterapkan secara efektif. Penanggulangan
kejahatan
dengan
jalur
“non
penal”
lebih
menitikberatkan pada sifat-sifat “preventive” (pencegahan) sebelum kejahatan terjadi namun walaupun demikian sebenarnya penanggulangan dengan “penal” juga merupakan tindakan represif pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas. Sasaran utama dari penanggulangan “non penal” adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif tersebut antara lain berpusat pada kondisi-kondisi sosial secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan bahkan menumbuhsuburkan kejahatan. 64
Barda Nawawi Arief, Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Ed. Revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm.78.
Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka upaya non-penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal. 65 Sebab-sebab dan kondisi yang menimbulkan kejahatan, ditegaskan pula dalam berbagai kongres PBB mengenai The Prevention Of Crime And The Treatment
Of
Offenders,
salah satu hasil kongres tersebut
menyebutkan. 66 a. Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas lingkungan hidup yang layak/pantas bagi semua orang. b. Bahwa strategis pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan. c. Penyebab utama dari kejahatan dibanyak negara ialah ketimpangan sosial, diskriminasi ras dan diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah pengangguran dan kebutahurufan (kebodohan) diantara golongan besar penduduk. Proyek-proyek dan program-program pembangunan direncanakan dan dilaksanakan disesuaikan dengan kenyataan lokal, regional, dan nasional didasarkan
pada
penilaian
dan
perkiraan
yang
nyata
mengenai
kecenderungan sosial, ekonomi pada masa sekarang dan masa yang akan datang, meliputi kejahatan dan kajian terhadap pengaruh sosial dan akibat keputusan kebijakan serta penanaman modal. Pembangunan bukan sebagai penyebab timbulnya kejahatan atau sebaliknya, tetapi aspek-aspek dari pembangunan yang memunculkan faktor kriminogen berkaitan dengan permasalahan perkembangan masyarakat industri yang sangat kompleks dengan segala kemajuan teknologi sehingga kemudian muncul kriminalitas kontemporer, misalnya kejahatan di bidang lingkungan hidup, sumber energi, dan pola kejahatan di bidang ekonomi seperti kejahatan perbankan, komputer, penipuan konsumen, dan berbagai pola kejahatan korporasi. Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana merupakan bagian integral dari kebijakan hukum pidana, dan menjadi bagian integral dari 65
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, op. cit., hlm. 40.
66
Ibid., hlm. 41.
politik sosial yaitu kebijakan untuk mencapai kesejahteraan sosial sekaligus perlindungan masyarakat sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia 1945.67 Kejahatan merupakan gejala, dimana sebab-sebab yang menjadi faktor kondusif
timbulnya
kejahatan
tidak
dapat
diatasi
dengan
hanya
menggunakan upaya “penal”, disinilah letak keterbatasan jalur “penal” yang perlu ditunjang dengan oleh jalur “non penal”. Demikian pula dengan efektivitas sarana penal masih diragukan atau setidak-tidaknya tidak diketahui seberapa jauh pengaruhnya.68 Memilih dan menetapkan pidana yang paling tepat terutama dalam menghadapi perkembangan tindak pidana yang dinilai baru, perlu dipikirkan alternatif pidana lain sesuai dengan hakikat permasalahannya, dengan mengamati masalah-masalah yang berhubungan dengan badan hukum dan perbankan sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Apabila hakikat permasalahannya lebih bersifat tindakan-tindakan di bidang hukum perekonomian, maka sanksi yang dinilai sesuai berupa tindakan tata tertib dan sanksi pidana denda harus lebih diutamakan. Dengan mengingat prioritas dalam perkembangan masyarakat yang sedang membangun.69
67
Supanto, op. cit., hlm. 41-44.
68
Schultz menyatakan, bahwa naik turunnya kejahatan di suatu Negara tidaklah berhubungan dengan perubahan-perubahan di dalam hukumnya atau kecenderungankecenderungan dalam putusan-putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam masyarakat. Lebih lanjut dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, op. cit., hlm. 44-49. 69
Sebagaimana dinyatakan Bentham “punishment ought not to be inflicted if it is roundless, needless, unprofitable, or inefficacious”. Barda Nawawi dan Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, loc.cit., hlm. 132. Perkembangan hukum ekonomi pada umumnya dan tindak pidana di bidang perekonomian khususnya, selain dipengaruhi kondisi-kondisi ekonomi internasional juga dipengaruhi oleh sistem ekonomi negara dan tidak lepas dari rezim yang berkuasa dan sistem pemerintahan yang digunakan. Sehingga terjadi pergeseran dalam fungsi pemidanaan dalam tindak pidana bidang perekonomian, dari pendekatan tradisional ke arah pendekatan kemanfaatan dimana fungsi hukum pidana tidak hanya diarahkan pada kesalahan individual tetapi juga diarahkan pada perlindungan public order yang direkayasa sesuai dengan kebutuhan pembangunan saat tertentu. Lihat dalam Barda Nawawi Arief dan Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, op. cit., hlm. 13-14.
Romli Atmasasmita mencermati perbedaan hukum memang diakui dalam ilmu pengetahuan hukum namun bukan berupa pemisahan atau pembagian hukum berdasar obyek pembahasannya, misal : perdata, pidana dan tata negara. Presumsi pembagian atau pemisahan yang demikian kurang tepat untuk perkembangan masyarakat yang kompleks. Implikasi hukum dalam perkembangan bidang kehidupan masyarakat salah satunya adalah peranan hukum mana yang seharusnya dikedepankan untuk mendukung perubahan-perubahan kebijakan di berbagai sektor kehidupan masyarakat.70 D. Hukum Ditinjau dari Teori Hukum 1. Pengertian Hukum dalam Kajian Positivisme Hukum dalam pandangan positivisme, menurut H.L.A. Hart dianggap sebagai: (a) undang-undang adalah perintah-perintah manusia, (b) anggapan bahwa tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral atau hukum yang ada dan yang seharusnya ada, (c) anggapan bahwa analisis konsepsi hukum layak dilanjutkan dan harus dibedakan dari penelitian historis mengenai sebab-sebab atau asal dari undang-undang, dihindarkan dari penelitian sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya, (d) anggapan bahwa sistem hukum adalah suatu sistem hukum yang logis dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan lebih dahulu tanpa mengingat tuntutan-tuntutan sosial, kebijaksanaan, norma-norma moral, dan (e) anggapan bahwa penilaian-penilaian moral tidak dapat
70
Hukum pidana hanya merupakan salah satu sarana disamping sarana lain untuk pemulihan di bidang ekonomi. Kondisi stabilitas politik ikut menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi, hal ini membuktikan bahwa kebijakan hukum pidana dan kebijakan ekonomi harus saling berkaitan. Kebijakan pemerintah dalam memberlakukan ketentuan pidana yang mengatur tindak pidana di bidang perbankan seperti dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 merupakan bentuk kontrol yang ketat terutama terhadap bank-bank swasta nasional, sebagaimana terdapat dalam Pasal 2 bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berdasarkan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian, merupakan faktor penunjang dalam rangka mencegah bank melakukan kejahatan sehingga sifat hukum pidana sebagai ultimum remidium dapat berfungsi. Lihat dalam Romli Atmasasmita, op. cit., hlm. 25.
dipertahankan, antara pernyataan tentang fakta dan alasan-alasan yang rasional, petunjuk, atau bukti.71 Esensi hukum menurut Hart terletak pada penggunaan unsur paksaan oleh karena itu hukum cenderung bersifat formal, jelas dan diinstitusikan secara sengaja. Kelsen tegas menyatakan bahwa hukum adalah suatu tata perbuatan manusia dalam suatu sistem aturan-aturan dan hukum dipahami sebagai seperangkat peraturan yang mengandung semacam kesatuan melalui sistem hukum.72
2. Teori Stuffenbau Hukum adalah legal, bilamana undang-undang dan peraturan yang ditentukan menurut kriteria yang berlaku sehingga mempunyai kekuatan yuridis.73
Karakter dinamis dari sistem norma dan fungsi norma dasar
mengungkapkan
kekhasan
hukum,
dimana
hukum
mengatur
pembentukannya sendiri karena suatu norma hukum menentukan cara untuk membuat norma hukum yang lain hingga derajat tertentu, menentukan isi dari norma hukum yang lain. Sehingga antara norma satu dengan lainnya membentuk hubungan ”superordinasi” dan ”subordinasi”, dimana norma yang menentukan pembentukan norma lain adalah norma yang lebih tinggi, sedangkan norma yang dibentuk menurut peraturan ini adalah norma yang lebih rendah. Suatu peraturan baru dapat diakui legal, bila tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku pada suatu jenjang yang lebih tinggi, yang dikenal dengan teori Stufenbau. Teori stuffenbau 71
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum Di Indonesia, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2005, hlm. 61. 72
73
Ibid., hlm. 62.
Hukum yang diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan suatu tatanan hukum tertentu, maka hukum adalah sesuatu yang teleh dibuat menurut prosedur yang ditetapkan konstitusi yang menjadi dasar bagi tatanan hukum tersebut. Disebut sebagai norma hukum bilamana segala sesuatu yang telah dibuat sesuai prosedur tersebut berisikan norma untuk mengatur perbuatan manusia, dengan menetapkan suatu tindakan paksaan sebagai sanksi. Lihat dalam Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, ctk. I. Nusamedia, Bandung, 2006, hlm. 178.
memperlihatkan bahwa seluruh sistem hukum mempunyai suatu struktur piramida, mulai dari yang abstrak sampai yang konkret.74 Hans Kelsen mengemukakan teori mengenai jenjang norma hukum (Stufentheorie) dan berlapis-lapis dalam suatu tata susunan, dalam arti, suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm).75 Norma, menurut Hans Kelsen, merupakan suatu kesatuan dengan struktur piramida. Sistem hukum merupakan suatu proses yang terus menerus, mulai dari abstrak menjadi yang positif dan selanjutnya sampai menjadi yang konkrit, dimulai dari yang bersifat relatif. Hal ini berkaitan dengan fungsi sistem hukum yaitu mengusahakan keseimbangan tatanan dalam masyarakat (restitutio in integrum), dimana sistem hukum bersifat kontinu, berkesinambungan dan otonom.76 Susunan hirarkis tatanan hukum suatu negara secara umum, dengan mempostulasikan norma dasar, dalam hal ini identik dengan konstitusi, menempati urutan tertinggi dalam hukum nasional. Konstitusi dalam arti materiil tidak hanya menentukan organ-organ dan prosedur pembentukan undang-undang, namun pada derajat tertentu menentukan isi dari hukum yang akan datang, baik secara negatif maupun positif, dengan melarang hukum dan mengamanatkan isi hukum.77 74
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm. 44. Suatu tatanan urutan norma-norma dari tingkatan-tingkatan yang berbeda, kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh pembentukan norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma yang lebih tinggi. Rangkaian proses pembentukan hukum ini diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi membentuk suatu kesatuan tatanan hukum. Hans Kelsen, op. cit., hlm.179. 75
Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan (1), Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm. 41-44.
76
Riawan Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Ed. Revisi, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2005, hlm. 7. 77
Konstitusi dalam hal ini dipahami bukan dalam arti formal berkaitan dengan suatu dokumen resmi, yang pembentukannya membutuhkan ketentuan khusus, melainkan dipahami dalam arti materiil terdiri atas peraturan-peraturan yang mengatur pembentukan norma-norma
Teori Fuller menekankan pada isi hukum positif oleh karena itu harus dipenuhi delapan (8) asas yang disebut principles of legality, yaitu.78 1. Suatu sistem hukum yang harus mengandung suatu peraturanperaturan, tidak boleh, mengandung sekadar keputusan-keputusan yang bersifat ad-hoc. 2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan. 3. Tidak boleh peraturan yang berlaku surut, oleh karenanya apabila ada yang demikian itu wajib ditolak, maka peraturan itu bilamana menjadi pedoman tingkah laku, membolehkan peraturan secara berlaku surut berarti akan merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang. 4. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti. 5. Suatu sistem hukum tidak boleh mengandung peraturan yang bertentangan satu sama lain. 6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan. 7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk mengubah peraturan sehingga menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi. 8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari. Lebih lanjut, Fuller juga mengemukakan tentang adanya cita-cita kekuasaan hukum yang menuntut agar aturan-aturan bersifat adil, karena telah dikembangkan berbagai prinsip yang dipedomani dalam pembuatan hukum.79
Hal
tersebut
diperkuat
oleh
Gustav
Radbruch
yang
mengemukakan bahwa cita hukum tersebut ditopang oleh kehadiran tiga nilai dasar (Grundwerten), yaitu keadilan (Gerechtigkeit), kemanfaatan (Zweckmaeszigkeit) dan kepastian hukum (Rechtssicherkeit).80 Nilai-nilai dasar tersebut tidak selalu dalam hubungan serasi satu sama lain, melainkan
saling
berhadapan,
bertentangan,
muncul
ketegangan
hukum yang bersifat umum, terutama pembentukan undang-undang. Hans Kelsen, op.cit., hlm. 180. 78
Khudzaifah Dimyati, op. cit., hlm. 64.
79
Ibid., hlm. 61.
80
Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagat Ketertiban, ctk. I, UKI Press, Jakarta, 2006, hlm. 135. Namun pada perkembangannya terdapat kritik yang mengemukakan bahwa tujuan hukum, sebagaimana dikemukakan Gustav Radbruch sebelumnya, harus dilihat kasus per kasus.
(Spannungsverhaeltnis) satu sama lain. Keadilan bisa bertabrakan dengan kemanfaatan
dan
kepastian
hukum,
tuntutan
kemanfaatan
bisa
bertabrakan dengan keadilan dan kepastian hukum, dan seterusnya. Cita hukum makin menonjol ketika terjadi perkembangan menuju hukum modern yang ditandai dengan dituliskan atau dipositifkan hukum, sehingga turut memunculkan permasalahan yang tidak ada sebelumnya, yaitu kepastian sebagai wacana yang baru dalam perkembangan hukum dibanding nilai-nilai dasar lainnya yaitu keadilan dan kemanfaatan. Positivisme hukum memang harus dilepaskan dari moral dan keadilan, namun demikian dalam proses pembentukan hukum positif, secara substantif ditujukan untuk mencapai nilai-nilai dasar yang utama yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
E. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dalam penelitian ini adalah buku dengan judul “Politik Hukum Pidana dalam Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di Bidang Perbankan”, M. Arief Amrullah, Bayu Media Publishing, Malang, 2007. Pembahasan berupa politik hukum pidana dalam rangka perlindungan korban kejahatan ekonomi di bidang perbankan, dengan salah satu sampel berupa kasus penyalahgunaan dana BLBI.
F. Kerangka Berpikir Bank Indonesia sebagai lender of the last resort, sebagaimana tercantum dalam Pasal 32 ayat (3) UU Nomor 13 Tahun 1968 menyebutkan bahwa Bank Indonesia dapat memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat. Adapun kebijakan yang diambil oleh pemerintah bersama Bank Indonesia berupa bantuan dan jaminan pemerintah dalam bentuk BLBI bertujuan untuk menyehatkan manajemen dan kinerja di sector perbankan nasional. Kesalahan pengelolaan keuangan Negara, terkait dengan penyaluran dan penyalahgunaan dana BLBI
mengakibatkan timbulnya kerugian Negara. Tindak pidana di bidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan bukan untuk menyehatkan manajeman dan kinerja perbankan nasional, melainkan disalahgunakan untuk keperluan pribadi pemilik bank, sehingga penyalahgunaan dana BLBI menjadi perbuatan yang melanggar hukum. Tindak pidana di bidang perbankan berupa penyalahgunaan dana BLBI mengarah dapat mengarah pada tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan pelanggaran terhadap Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) terjadi karena pemberian kredit bank yang seharusnya dibatasi pada unit usaha yang dimiliki oleh pemilik bank yang bersangkutan tidak dipatuhi sehingga dinilai telah melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang UndangUndang Perbankan. Menurut stuffenbau theorie, Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dinilai tidak sinkron dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana diatur dalam Tap MPR/Nomor III/Tahun 2000 tentang Tata Urutan Perundang-undangan. Pola kebijakan yang ditempuh dalam menyelesaikan kasus penyalahgunaan BLBI dapat dikategorikan sebagai kebijakan inkremental, dimana penyelesaian yang ditempuh tidak mengalami perubahan mendasar melainkan hanya melanjutkan kebijakan sebelumnya. Penyalahgunaan dana BLBI yang telah mengakibatkan timbulnya kerugian Negara sebenarnya telah tegas melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo.Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dimana mekanisme pengembalian kerugian Negara telah jelas pula harus melalui court settlement meskipun terdapat pengembalian uang Negara tetap tidak menghapuskan sifat dapat dipidana.
Namun demikian guna mendorong pengembalian dana BLBI tersebut, pemerintah mengupayakan penyelesaian secara out of court settlement berupa Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA), dan Akte Pengakuan Utang hingga dikeluarkannya kebijakan yang kemudian menjadi dasar hukum penyelesaian out of court settlement serta pembebasan debitur dari aspek pidana melalui Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham maka upaya penal dikesampingkan. Upaya non penal digunakan dengan pertimbangan efisiensi antara biaya dan hasil dalam upaya pengembalian uang Negara dan adanya kelemahan pada sarana penal. Adapun kerangka pemikiran dapat terlihat pada bagan di bawah ini. Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge
Teori Stuffenbau
Alasan Memilih Sarana Non Penal dalam Penyelesaian Kasus BLBI
Kebijakan Publik
Kebijakan Hukum Pidana
Sarana penal
Sarana non penal
Teori penal policy menurut Soedarto dan Mardjono Reksodipuro
Teori non penal policy menurut Nigel Walker dan Bentham
1. UU Nomor 31 Tahun 1999 jo.UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
1. Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), 2. Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA), dan 3. Akte Pengakuan Utang.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Pandangan terhadap pengertian hukum dan sejauh mana batasan hukum serta bagaimana merumuskan hukum yang baik terus berkembang sehingga memunculkan aliran-aliran dalam filsafat hukum untuk mencari pengertian dan batasan-batasan hukum. Mengikuti pendapat Soetandyo Wignjosoebroto, terdapat lima konsep hukum, yaitu.81 a. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal; b. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundangundangan hukum nasional; c. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto, dan tersistematisasi sebagai judge made law; d. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik; e. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial sebagaimana tampak dalam interaksi antar mereka. Penelitian ini termasuk ke dalam tipe penelitian hukum normatif dan termasuk dalam konsep hukum yang kedua, yaitu hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilaksanakan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder. Penelitian hukum normatif bertujuan untuk memahami adanya hubungan antara ilmu hukum dan asas hukum positif adalah dengan melakukan telaah terhadap unsur-unsur hukum, mencakup.82 a. Penelitian terhadap asas hukum; b. Penelitian terhadap sistematik;
81 82
Setiono, Metodologi Penelitian Hukum, Pascasarjana UNS, Surakarta, 2005, hlm. 20.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Ed. 1 ctk. 10, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 14.
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal; d. Penelitian perbandingan hukum; e. Penelitian sejarah hukum. Adapun penelitian hukum normatif yang hendak dilakukan adalah melakukan penelitian terhadap taraf sinkronisasi secara vertikal suatu Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 terhadap peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya, berdasarkan Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urut Peraturan Perundangan yang menjadi dasar bagi penyusunan suatu produk hukum, yang kemudian difokuskan pada UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Berdasarkan bentuknya penelitian ini, terutama permasalahan kedua, dapat dikategorikan sebagai penelitian diagnostik yang dilakukan untuk mendapatkan keterangan mengenai sebab-sebab terjadinya suatu gejala atau beberapa gejala.83 Penelitian dengan judul Studi Analisis Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 Tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham Dalam Penyelesaian Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Kebijakan Hukum Pidana untuk membahas permasalahan pertama
menggunakan pendekatan peraturan
perundang-undangan, dengan melihat hukum sebagai bahan hukum utama, dengan fokus pada Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang 83
Setiono, op. cit., hlm. 5.
Saham sebagai suatu bentuk kebijakan yang menjadi dasar hukum, dalam perumusannya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urut Peraturan Perundangan sebagai dasar pembentukan produk hukum pada masa
pembentukkannya,
dengan
mensinkronkan
substansi
kebijakan
penyelesaian kasus BLBI yang terdapat dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002 dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan; sedangkan pada permasalahan kedua menggunakan pendekatan konsep mengenai kebijakan hukum pidana.84
B. Jenis Data Adapun data yang digunakan dalam penelitian normatif merupakan jenis data sekunder, mencakup : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain peraturan perundangan yang berhubungan dan berkaitan dengan penelitian ini, terdiri atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urut Peraturan Perundangan sebagai dasar pedoman pembentukan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. b. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer diperoleh dari literatur, catatan, karya ilmiah, buku-buku, dokumen.
84
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Malang, 2007, hlm. 231.
c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, yaitu bahan-bahan yang dapat memberi informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, pada dasarnya mencakup.85 1. Bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang lebih dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum. Misalnya, abstrak perundang-undangan, bibliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, indeks majalah hukum, kamus hukum, internet. 2. Bahan-bahan primer, sekunder dan penunjang (tersier) di luar bidang hukum. Misalnya, yang berasal dari bidang sosiologi, ekonomi, ilmu politik, filsafat daan lain sebagainya, yang oleh para peneliti hukum dipergunakan untuk melengkapi ataupun menunjang data penelitiannya. C. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan bahan hukum baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dilakukan dengan melakukan studi kepustakaan yaitu suatu pengumpulan dokumen-dokumen, buku-buku dan bahan pustaka lainnya yang mendukung berkaitan dengan pembahasan penelitian dalam hal ini peneliti mengumpulkan data-data dengan cara mempelajari buku-buku dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan pokok-pokok bahasan penelitian serta dokumen-dokumen atau berkas-berkas lain yang diperoleh kemudian dikaji secara komprehensif.
D. Analisis Data Analisa data dilakukan dengan menginventarisasi peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan penelitian dengan menggunakan ilmu interdisipliner untuk mendukung penelitian yang hendak dilakukan. Analisis data dalam suatu penelitian adalah menguraikan atau memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan data yang diperoleh kemudian diolah pokok
85
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op. cit., hlm. 33.
permasalahan yang diajukan terhadap penelitian yang bersifat deskriptif. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik logika deduktif.86 Logika deduktif yaitu penarikan kesimpulan secara deduktif dari premis yang umum (premis mayor) kepada premis khusus (premis minor), melalui suatu konstruksi silogisme. Silogisme dalam bidang hukum dimulai dari suatu premis mayor yang merupakan statement normatif, sehingga silogisme seperti itu disebut dengan silogisme logika normatif (norm-logic syllogism).87 Premis mayor dalam penelitian ini adalah kebijakan hukum pidana, sedangkan premis minornya adalah Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 Tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.
86
Ibid., hlm. 249. Logika deduktif dimaksudkan untuk membangun sistem hukum positif. Lihat dalam Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, ctk.4, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hlm. 10. 87
hlm. 26.
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, ctk. Pertama, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007,
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Sinkronisasi Inpres Nomor 8 Tahun 2002 Terhadap Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku di Indonesia 1. Sinkronisasi Inpres Nomor 8 Tahun 2002 Terhadap Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku di Indonesia Menurut Teori Stuffenbau Teori jenjang norma Hans Kelsen mengenai struktur piramida norma hukum memiliki pengaruh yang memberi dasar pengaturan sistem norma di Indonesia, sebagaimana terdapat dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/ Tahun 2000 tentang Tata Urutan Perundang-undangan ditegaskan bahwa tata urutan perundang-undangan sebagai pedoman dalam pembuatan aturan hukum dibawahnya meliputi.88 (1) Undang Undang Dasar 1945 (2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (3) Undang-Undang (4) Perpu (5) Peraturan Pemerintah (6) Keputusan Presiden 88
Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 1 Tap MPR No. III/MPR/2000 mengandung arti bahwa : a. Aturan yang lebih rendah merupakan aturan pelaksana dari aturan yang lebih tinggi; b. Aturan yang lebih rendah tidak boleh mengubah substansi yang ada dalam aturan yang lebih tinggi; tidak menambah, tidak mengurangi dan tidak menyisipkan suatu ketentuan baru, tidak memodifikasi substansi dan pengertian yang telah ada dalam peraturan induknya. Lihat dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 104. Sinkronisasi Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dengan fokus pada Tap MPR Nomor III Tahun 2000 yang menjadi dasar pedoman pembuatan peraturan perundang-undangan berdasarkan waktu pembuatan kebijakan sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan Pembuatan Peraturan Perundang-undangan.
(7) Peraturan Daerah Hirarki merupakan penjenjangan setiap jenis peraturan perundangundangan yang didasarkan pada asas lex specialis derogate lex generalis, dimana peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 89 Kendati bersifat hirarkis bukan berarti dalam hal perumusan dan penetapan suatu peraturan perundang-undangan selalu bersumber atau merupakan perincian teknis dari peraturan perundang-undangan yang berada persis diatasnya. Penyusunan hirarki dilakukan dalam upaya menyinkronkan atau menghindari konflik teknis pelaksanaan antara satu peraturan perundangundangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Sehingga suatu peraturan perundang-undangan dapat dilaksanakan secara efektif. 90 Meskipun tidak dikenal dalam sistem ketatanegaran Indonesia, sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/Tahun 2000 tentang Tata Urutan Perundang-undangan, kebijakan pemerintah berupa Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian
Hukum
Kepada
Debitur
Yang
Telah
Menyelesaikan
Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan
Kewajibannya
Berdasarkan
Penyelesaian
Kewajiban
Pemegang Saham (dikenal dengan Release and Discharge), 91 baik dari segi keabsahan, meskipun telah diajukan judicial review atas Inpres Nomor 8
89
Muin Fahmal, op. cit., hlm. 2.
90
Imam Syaukani dan A. Ahsani Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Ed.1, ctk. 2, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 85-86. Efektivitas hukum dipengaruhi oleh 3 (tiga) tkomponen menurut Lawrence M. Friedmann, meliputi (1) Struktur, (2) Substantif, dan (3) Kultur. Komponen substansi berupa norma-norma hukum baik peraturan-peraturan maupun keputusan-keputusan, ketiadaan salah satu komponen dapat menyebabkan ketidakefisienan hukum. Lihat dalam Esmi Warassih, op. cit., hlm.138. 91
Instruksi dinilai tidak tepat disebut sebagai peraturan perundang-undangan karena instruksi bersifat individual dan konkret serta harus ada hubungan atasan dan bawahan secara organisatoris, sedangkan sifat dari suatu norma hukum dalam peraturan perundang-undangan adalah umum, abstrak dan berlaku terus-menerus. Lihat dalam Maria Farida, op.cit, hlm. 79-80.
Tahun 2002 dan ditolak oleh Mahkamah Agung,92 maupun efektivitas pelaksanaannya yang selalu diperdebatkan tetap dikeluarkan dan berlaku sebagai dasar hukum bagi upaya penyelesaian kasus tindak pidana korupsi BLBI. Namun dalam pembahasan ini akan dibatasi pada sinkronisasi Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Sehingga sebagai bentuk kebijakan yang kemudian menjadi suatu produk hukum, Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur
Yang
Tidak
Menyelesaikan
Kewajibannya
Berdasarkan
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Tap MPR Nomor III Tahun 2000. Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 ini berlaku intern bagi (1) Menteri Negara Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan; (2) Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia; (3) Para Menteri anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan; (4) Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara;(5) Jaksa Agung Republik Indonesia; (6) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan (6) Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Adapun instruksi tersebut memuat tindakan-tindakan guna mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dalam rangka penyelesaian seluruh kewajibannya kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional berdasarkan perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, baik yang berbentuk MSAA, MRNIA, dan/atau Akta Pengakuan Utang/APU, dengan berpedoman pada kebijakan sebagai berikut :
92
Keputusan penolakan gugatan judicial review ditetapkan dalam Surat Putusan MA No. 06G/HUM/2003 tanggal 30 Desember 2003.
1. Kepada para Debitur yang telah menyelesaikan kewajiban Pemegang Saham, baik yang berbentuk MSAA, MRNIA, dan/atau Akta Pengakuan Utang/APU, diberikan bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan dalam rangka jaminan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam perjanjian-perjanjian tersebut ; 2. Kepada para Debitur yang sedang melakukan penyelesaian sesuai dengan perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, baik yang berbentuk MSAA, MRNIA, dan/atau Akta Pengakuan Utang/APU, diberi kesempatan untuk terus dan secepatnya menyelesaikan kewajibankewajibannya dalam tenggang waktu yang ditetapkan oleh Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) ; 3. Kepada para Debitur yang tidak menyelesaikan atau tidak bersedia menyelesaikan kewajibannya kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional baik dalam rangka MSAA, MRNIA, dan/atau Akta Pengakuan Utang/APU sampai dengan berakhirnya batas waktu yang telah ditetapkan oleh Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), diambil tindakan hukum yang tegas dan konkret, yang dilaksanakan secara terkoordinasi antara Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia; 4. Dalam hal pemberian kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam angka 1 menyangkut pembebasan debitur dari aspek pidana yang terkait langsung dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan oleh instansi penegak hukum, maka sekaligus juga dilakukan dengan proses penghentian penanganan aspek pidananya,
yang
pelaksanaannya tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembuatan kebijakan, dalam hal ini Inpres No. 8 Tahun 2002 harus memperhatikan asas-asas legalitas yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum dan moral. Asas hukum merupakan sumber pokok dan jiwa dari norma-norma yang berlaku serta merupakan landasan penerapan norma dan leading motive dari norma-norma hukum tersebut. Penerapan norma hukum yang mengabaikan atau melupakan asas-asas hukum merupakan penerapan yang tanpa arah dan kehilangan landasan untuk berpijak dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Perangkat kaidah atau dikenal dengan norma-norma harus memenuhi asas lex certa yaitu rumusan harus pasti (certainty), jelas (concise), dan tidak membingungkan (unambiguous). Penerapan normanorma tersebut harus dilandasi asas hukum yang telah diakui, misalnya asas nebis in idem dalam hukum pidana, asas konsesuil dalam hukum perdata, dan asas tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dalam hukum tata Negara.93 Pedoman dalam pembuatan aturan hukum ditegaskan dalam Ketetapan MPR Nomor III/ 2000 tentang Tata Urutan Perundang-undangan, meliputi : (1) Undang Undang Dasar 1945; (2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; (3) Undang-Undang; (4) Perpu; (5) Peraturan Pemerintah; (6) Keputusan Presiden; (6) Peraturan Daerah. Terkait dengan Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan
Hukum
Kepada
Debitur
Yang
Tidak
Menyelesaikan
Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (dikenal dengan Release and Discharge) sebagai dasar hukum bagi penyelesaian kasus penyalahgunaan dana BLBI dan pelanggaran BMPK, dalam pembentukannya dinilai tidak sesuai dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya, meliputi : 1) Undang Undang Dasar 1945 a. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 amandemen Pasal UUD 1945 amandemen Pasal 1 ayat (3) menyebutkan “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Ketentuan tersebut 93
Romli Atmasasmita, op. cit., hlm. 25.
memberikan makna segala permasalahan negara harus diselesaikan bukan dengan kekuasaan semata, tetapi harus sesuai dengan prosedur hukum. Ketentuan ini berfungsi mencegah terjadinya kesewenangwenangan kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat Negara maupun masyarakat. Implikasi pernyataan Negara hukum adalah setiap permasalahan akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku. Demikian pula dalam kaitannya dengan kasus penyalahgunaan dana BLBI
yang
dilakukan
oleh
debitur,
yangmana
dalam
perkembangannya setelah diadakan berbagai perjanjian mengenai skema penyelesaian pengembalian uang Negara berupa dana talangan yang diberikan pada sejumlah bank, Inpres No.8 Tahun 2002 menunjukkan bahwa Presiden telah mengintervensi kekuasaan yudikatif dengan menginstruksikan membebaskan seseorang yang tersangkut kasus pidana tanpa proses hukum melalui peradilan, atau dengan kata lain Presiden menyelesaikan permasalahan hukum dengan kekuasaan semata. Penyelesaian terkait dengan penyalahgunaan dana BLBI dan pelanggaran BMPK yang dilakukan oleh debitur penerima dana BLBI telah terakomodir dalam perundang-undangan yang berlaku, secara jelas dan tegas menentukan proses hukum yang ditempuh sebagai upaya menjaga dan melaksanakan asas Negara hukum. Namun demikian keberadaan perundang-undangan yang berlaku untuk mengakomodir permasalahan hukum terutama berkaitan dengan penyalahgunaan dana BLBI dan pelanggaran BMPK tidak menjadi bahan pertimbangan dalam pembuatan Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge, melainkan adanya proses politik yang mendasari keluarnya inpres tersebut.94 Ketika hukum berhadapan dengan politik maka hubungan antara keduanya 94
Menurut pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani merupakan kebijakan guna mengatasi krisis telah melalui proses politik sebagai upaya pengembalian uang negara. Lihat dalam www.indonesia.go.id.
berada pada subordinat karena hukum dibentuk dalam suatu proses politik, dengan mudahnya disesuaikan dengan kebijakan, sehingga hukum hanya berperan sebagai alat legalisasi keinginan-keinginan politik yang saling bersaing.95 b. Pasal 14 UUD RI 1945 menyebutkan bahwa : 1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. 2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Ketentuan dalam butir 4 menyebutkan bahwa dalam hal pemberian kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam angka 1 menyangkut pembebasan debitur dari aspek pidana yang terkait langsung dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan oleh instansi penegak hukum, maka sekaligus juga dilakukan dengan proses penghentian penanganan aspek pidananya, yang pelaksanaannya tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Presiden selaku kepala Negara hanya mempunyai kewenangan memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi dengan mempertimbangkan masukan Mahkamah Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat, diluar daripada keempat hal tersebut diatas, Presiden dinilai telah melakukan tindakan
inkonstitusional
serta
dapat
dikategorikan
sebagai
penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 14
95
Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa hubungan antara subsistem politik dan subsistem hukum nampak bahwa politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah. Praktik politik, menurut Sri Sumantri, secara substantif sebagian besar bertentangan dengan aturan-aturan hukum sehingga senyatanya pengaruh politik terhadap hukum dapat berlaku terhadap penegakan hukum dan karakteristik produk-produk serta proses pembuatannya. Lihat dalam Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm. 71-72.
UUD RI 1945. Menurut Purnadi Purbacaraka perilaku atau sikap tindak melanggar hukum, yaitu.96 1) Perilaku atau sikap tindak melampaui batas kekuasaan dalam bidang hukum tata negara (excess de pouvoir); 2) Perilaku atau sikap tindak menyalahgunakan kekuasaan di bidang hukum administrasi negara (detournement de pouvoir); 3) Perilaku atau sikap tindak yang merupakan penyelewengan perdata (onrechtmatige daad); 4) Peristiwa pidana yang sebenarnya merupakan penyelewengan di bidang tata negara, administrasi negara maupun perdata, namun yang ada ancaman pidananya (strafbaarfeit). Adapun
parameter
untuk
mengukur
penyalahgunaan
wewenang adalah sebagai berikut.97 1) Unsur menyalahgunakan kewenangan dinilai ada tidaknya pelanggaran terhadap peraturan dasar tertulis atau asas kepatutan yang hidup dalam masyarakat dan Negara. 2) Asas kepatutan dalam rangka melaksanakan suatu kebijakan diterapkan apabila tidak ada peraturan dasar ataupun apabila terdapat peraturan dasar, sedangkan peraturan dasar tertulis nyatanya tidak dapat diterapkan pada kondisi dan keadaan tertentu yang mendesak sifatnya. Namun demikian keadaan mendesak tidak dapat diterapkan terkait dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge, karena rentang waktu yang cukup lama antara hasil audit BPK yang menyimpulkan adanya penyalahgunaan dana BLBI dan pelanggaran BMPK dengan berbagai skema penyelesaian yang diadakan antara pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh BPPN, dan debitur penerima dana BLBI. Demikian pula proses hukum untuk sebagian pihak terkait dengan kasus BLBI tetap berjalan, sehingga implikasi adanya Inpres Nomor 8 Tahun 96
97
Purnadi Purbacaraka dalam Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op. cit., hlm. 72.
Pendapat Indriyanto Seno Adji dalam Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Jakarta, Laksbang Mediatama, Ed. I, ctk. ke-2, 2009. hlm. 96.
2002 adalah dihentikannya proses hukum yang sedang dilaksanakan dimana pemberian SKL (Surat Keterangan Lunas) dapat digunakan sebagai surat yang membebaskan debitur dari proses hukum dengan adanya pengembalian uang. Adapun dalam skema penyelesaian out of court settlement yang dilakukan oleh kedua belah pihak tidak satupun
yang
menyebutkan
masalah
pembebasan
pertanggungjawaban pidana bagi debitur, melainkan dilakukannya tindakan hukum bagi debitur yang tidak melaksanakan perjanjian yang telah disepakati dalam upaya penyelesaian kasus BLBI sebatas pengembalian pinjaman. Kriteria penilaian ada tidaknya penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) adalah dengan melakukan pengujian bagaimana tujuan dari wewenang tersebut diberikan dicapai. Parameter penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang terikat (wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan) adalah dengan menggunakan peraturan perundang-undangan atau menggunakan asas legalitas,98 sedangkan pada kewenangan bebas (diskresi) menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai parameternya. Penyalahgunaan wewenang sendiri dapat dikategorikan sebagai crime trend yang dinilai tidak hanya membahayakan melainkan juga merugikan karena hukum tidak berfungsi sebagaimana semestinya, hukum tidak lagi berpengaruh bagi golongan yang dapat menawar berlakunya hukum dan kerugian akan tetap ditanggung Negara karena tidak adanya ketegasan dalam upaya pengembalian uang negara. Pembebasan debitur dari aspek pidana yang terkait langsung dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, yang 98
Asas legalitas merupakan asas yang universal sebagai perwujudan perlindungan hak asasi manusia berlaku sebagai prinsip utama yang dijasdikan dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan, dimana pemerintah hanya dapat melakukan perbuatan hukum jika memiliki legalitas atau didasarkan pada undang-undang untuk mencapai tujuan tertentu. Lihat dalam Nur Basuki Minarno, ibid. hlm. 83.
masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan oleh instansi penegak hukum, maka sekaligus juga dilakukan dengan proses
penghentian
penanganan
aspek
pidana
sebagaimana
disebutkan dalam diktum pertama butir ke-4 inpres tersebut merupakan bentuk intervensi pemerintah dibidang yudikatif, meskipun dalam butir tersebut juga ditegaskan bahwa pelaksanaan pembebasan dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan
yang
berlaku,
dengan
melibatkan
Jaksa
Agung
menggunakan hak oportunitas yang dimiliki sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan
Republik
Indonesia.
Namun
demikian
depoonering yang dikeluarkan dengan alasan untuk kepentingan umum, terutama pengembalian uang Negara dari dana talangan dalam rangka mengatasi krisis keuangan sistemik, tidak tepat diterapkan dalam kasus penyalahgunaan dana BLBI termasuk pelanggaran BMPK. Pertimbangan demi kepentingan hukum hendaknya jelas apakah dengan out of court settlement keadaan perekonomian nasional akan pulih kembali tanpa mengesampingkan efek samping kebijakan tersebut terhadap timbulnya ketidaktertiban dan ketidakadilan hukum. Terlebih, program penyelesaian kewajiban bagi para pemegang saham bank-bank penerima dana BLBI merupakan suatu bentuk hubungan perdata,99 dimana suatu perjanjian telah dianggap selesai ketika masing-masing pihak telah melaksanakan prestasi sesuai yang diperjanjikan. Adapun telah selesainya hubungan keperdataan tidak menghentikan berjalannya proses hukum pidana. Oleh karena itu Inpres Nomor 8 Tahun 2002
99
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) merupakan mekanisme penyelesaian di luar jalur pengadilan atas dugaan pelanggaran hukum atau transaksi tidak wajar yang mengatur tata cara penyelesaian kewajiban pihak terkait yang dibuat oleh dan antara eks PSP dan Ketua BPPN dengan persetujuan Menteri Keuangan, dikenakan pada PSP BTO (Bank Take Over), BBO (Bank Beku Operasi), dan BBKU (Bank Beku Kegiatan Usaha) yang bersedia dan kooperatif. Bilamana sebaliknya maka BPPN akan menyelesaikan melalui jalur litigasi, baik jalur hukum pidana maupun perdata. Lihat dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 63.
tentang Release and Discharge merupakan suatu kebijakan yang dibuat diluar kewenangan Presiden sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Berkenaan
dengan
pendapat
Purnadi
Purbacaraka
mengemukakan bahwa perilaku atau sikap tindak melanggar hukum, maka Inpres Nomor 8 Tahun 2002 dapat dikategorikan sebagai peristiwa pidana yang sebenarnya merupakan penyelewengan di bidang tata negara, administrasi negara maupun perdata, namun terdapat ancaman pidana (strafbaarfeit). Yakni sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 3 “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau
suatu
korporasi,
menyalahgunakan
kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
yang
dapat
merugikan
keuangan
Negara
atau
perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat Negara, dalam hal ini Presiden, dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi. c. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 Persamaan kedudukan di hadapan hukum dikecualikan dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002 ditandai dengan adanya keleluasaan dalam pemenuhan kewajiban debitur dan pemberian jaminan kepastian dari proses pidana. Pemberian pembebasan hukum hanya dapat dilakukan melalui undang karena indemnity merupakan penyimpangan dari prinsip equality before the law. 100 Terlebih pembebasan 100
kualifikasi
tindak
pidana
merupakan
Menurut Bagir Manan dalam M. Arief Amrullah, op. cit., hlm. 33.
bentuk
dekriminalisasi, sehingga dalam prosesnya harus melalui tahap legislatif, tidak hanya berupa kebijakan berupa instruksi presiden. Kebijakan presiden seharusnya mampu mempertimbangkan aspekaspek hukum sehingga terjaga rasa keadilan masyarakat. Namun dalam praktiknya Inpres Nomor 8 Tahun 2002 justru menampakkan perbedaan perlakuan antara pelaku tindak pidana white collar crime dengan pelaku tindak pidana umum yang dibungkus dalam sebuah kebijakan produk hukum agar nampak legal. Hipotesa yang menyatakan bahwa semakin kompleks stratifikasi sosial suatu masyarakat semakin banyak hukumnya. Hal ini disebabkan makin banyak kepentingan yang hanya dapat diatur oleh hukum.101 Harus diakui bahwa tindakan-tindakan diskriminatif di dalam penerapan hukum tidak berawal mula dari karakteristik alami hukum itu sendiri melainkan aparatur penegak hukum. Hukum sebagai kaidah sejak awal selalu dinyatakan berlaku umum tanpa membeda-bedakan. Kalaupun ada pengecualian, akan dinyatakan secara eksplisit dan berdasarkan alasan tertentu yang dapat diterima dan dibenarkan. 102
Perbedaan perlakuan di muka hukum dalam
Inpres Nomor 8 Tahun 2002 terletak pada pelepasan debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya meskipun belum penuh yaitu sebesar 30% dari keseluruhan kewajiban, namun pemerintah tetap memberikan pelepasan dan pembebasan termasuk penghentian penanganan aspek pidana menyalahartikan maksud dari adanya jaminan kepastian hukum bagi para debitur. Tepat sebagaimana dikemukakan Sahetapy bahwa hukum selalu berpihak, selalu berwarna karena itu tidak ada kata keadilan atau kebenaran dalam
101
102
Soerjono Soekanto, op. cit., hlm. 199.
Soetandyo Wignyosoebroto, Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta, ELSAM, 2002, hlm. 6.
makna dan hakikat yang sebenarnya, selain kata kepastian.103 Kepastian berarti bahwa hukum tidak boleh sering diubah-ubah, terlebih
oleh
suatu
peraturan
perundang-undangan
yang
berkedudukan lebih rendah dibandingkan dengan apa yang dinamakan hukum itu sendiri, yaitu undang-undang. Keberpihakan dan keberwarnaan hukum tidak perlu terjadi apabila nilai-nilai demokrasi dan keadilan
sosial
yang
mendasari proklamasi
kemerdekaan diterjemahkan secara memadai ke dalam produkproduk hukum.104 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, meliputi.105 a. Tap MPR No.IX/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, khususnya Pasal 4 secara tegas menyebutkan “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat Negara, mantan pejabat Negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/ konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia”. Hal ini merupakan suatu penegasan bahwa pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme diharapkan berlaku secara universal tanpa pandang bulu sehingga persamaan dihadapan hukum sungguh benar adanya.
103
Lihat dalam M. Arief Amrullah, op. cit., hlm. 80. Ada empat hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu: 1) hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundangundangan (gesetzliches recht); 2) hukum itu didasarkan pada fakta (tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim; 3) fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping juga mudah dijalankan; 4) hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah. Lihat dalam Satjipto Rahardjo, op. cit., hlm. 136. 104
105
Abdul Hakim Garuda dalam ibid, hlm. 80.
Lihat dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 105-106. Lihat juga dalam Indonesian Corruption Watch, Position Paper Penyelesaian Hukum Kasus BLBI, Jakarta,2006, hlm. 14.
b. Tap
MPR
No.VIII/MPR/2001
tentang
Rekomendasi
Arah
Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Pasal 2 ayat 2 merekomendasikan “Melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguh-sungguh terhadap semua kasus korupsi, termasuk korupsi yang telah terjadi di masa lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya.” Tindakan hukum sebagaimana dimaksud Tap MPR No.VII/MPR/2001 meliputi kasus korupsi yang terjadi di masa lalu tidak berhenti proses penegakan hukumnya
sebagai
bentuk kesungguhan pemerintah dalam
Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. c. Tap MPR No.X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001, berkenaan dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional dalam menjalankan tugas dan fungsinya telah melakukan Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dengan debitor yang berbentuk perjanjian MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreement), MRNIA (Master of Refinancing and Note Issuance Agreement), dan/atau Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang (Akta Pengakuan Utang/APU). Terkait dengan hal ini Tap MPR No.X/MPR/2001 menugaskan Presiden dalam pengelolaan dan penjualan aset-aset yang dikelola BPPN, antara lain konsistensi menjalankan MSAA dan MRNIA, dan bagi mereka yang belum memenuhi kewajibannya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas butir c nomor 2,3, dan 4 perlu diambil tindakan tegas. Ketetapan MPR tidak termasuk dalam jenis peraturan perundangundangan karena masih merupakan suatu aturan dasar Negara, meliputi pula sumber dan dasar pembentukan peraturan perundang-undangan. Suatu Ketetapan MPR merupakan keputusan yang hanya mengikat
Presiden karena Ketetapan MPR merupakan suatu amanat yang harus dilaksanakan oleh Presiden dalam rangka menjalankan pemerintahan dan tidak mengatur umum.106 Salah satu substansi Ketetapan MPR yang menjadi salah satu dasar dikeluarkannya dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002 adalah Tap MPR No.X/MPR/2001. Namun demikian amanat yang terkandung dalam Ketetapan MPR Nomor X/MPR/2001 disalahartikan dari konsistensi pelaksanaan MSAA dan MRNIA, serta penyelesaian kewajiban oleh para debitur menjadi pelepasan dan pembebasan dalam rangka jaminan kepastian hukum. Ketidakkonsistenan pelaksanaan perjanjian diatas disalahartikan dengan adanya pemberian jaminan kepastian hukum sebagaimana dalam diktum 1 butir keempat dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002 yaitu pembebasan debitur dari aspek pidana pada semua tahap proses hukum tidak bersesuaian dengan tindakan hukum yang tegas. yang hendak diterapkan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas butir c nomor 2, 3, dan 4. Ketidaksesuaian internal dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002 terdapat dalam butir ketiga dan butir keempat yaitu adanya tindakan hukum yang tegas dan konkrit dilaksanakan secara terkoordinasi antara Ketua BPPN, Kapolri, dan Jaksa Agung. Koordinasi antara ketiga instansi tersebut memungkinkan adanya tindakan hukum dan proses pidana terkait dengan pengembalian uang Negara, terutama bagi debitur yang tidak melaksanakan MSAA,MRNIA dan/atau APU hingga batas waktu yang ditetapkan. Inkonsistensi juga terjadi ketika pemerintah memutuskan melakukan reformulasi APU yang bertujuan untuk menurunkan jumlah kewajiban yang harus dibayarkan dan penundaan jatuhnya tenggang waktu pembayaran dari batas waktu yang telah ditetapkan dari Maret 2004 mundur menjadi Maret 2006. 3. Undang-Undang 106
Maria Farida, op. cit., hlm. 90.
a. Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 1) Pasal 2 ayat (1) menyebutkan “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Selanjutnya pada ayat (2) menyebutkan “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Sebagaimana dikemukakan dalam ayat (1) diatas kata dapat sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, dimana tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Sehingga unsur kerugian keuangan Negara yang tidak ditemukan dalam kasus penyalahgunaan dana BLBI seharusnya tidak menjadi alasan dihentikannya proses hukum. Dugaan penyalahgunaan dana BLBI dilakukan ketika Negara mengalami krisis keuangan sistemik, dalam rangka pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap
perbankan
nasional
pemerintah
mengeluarkan
kebijakan untuk memberikan sejumlah dana talangan bagi masyarakat.
Namun
demikian
dalam
pelaksanaannya,
berdasarkan hasil audit BPK, ditemukan adanya penyimpangan
dalam penyaluran dan penggunaan dana BLBI.107 Keluarnya Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 sebagai bentuk kebijakan yang dimaksudkan untuk menyelesaikan kasus penyalahgunaan dana BLBI dalam berbagai bentuk perjanjian yang difasilitasi pemerintah108 tidak mempertimbangkan adanya unsur yang memberatkan suatu tindak pidana dilakukan saat Negara berada dalam situasi krisis keuangan dan perbankan. 2) Pasal 4 menyebutkan “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3”. Sebagaimana dikemukakan dalam 107
Hasil audit BPK pada tahun 2000 No.06/01/Auditama II/AI/VII/2000 menunjukkan terdapat berbagai penyimpangan dalam penggunaan BLBI sehingga BPK kemudian menyimpulkan adanya sangkaan tindak pidana atau perbuatan yang merugikan keuangan negara. Lihat dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 61. 108
Dalam rangka penyelesaian kasus BLBI dilakukan perjanjian antara pemerintah dan debitur penerima dana BLBI, yaitu : 1. Master Settlement and Aqcuisition (MSAA) diberlakukan pada penerima BLBI yang asetnya dinilai mampu mencukupi pembayaran seluruh kewajiban-kewajibannya, dibedakan menjadi dua jenis yaitu terhadap pemegang saham pengendali BBKU dan BTO dengan jangka waktu selama 4 tahun untuk menyerahkan asset-asetnya pada negara sebagai bentuk pelunasan utang-utang. Perjanjian ini diikuti oleh Bank Central Asia, Bank Umum Nasional, Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Surya, dan Bank Risyad Salim Internasional. 2. Master Refinancing Agreement and Note Issuance Agreement (MRNIA) diberlakukan pada penerima BLBI yang nilai asetnya tidak mencukupi pembayaran seluruh kewajibankewajibannya. Sehingga selain menyerahkan aset-aset yang dimiliki, penerima BLBI juga harus menyerahkan jaminan pribadi (personal guarantee) dan menyatakan kesediaan untuk menyerahkan aset tambahan jika aset yang diserahkan belum mencukupi pembayaran utang. Adapun jangka waktu pelaksanaan perjanjian ini lamanya mencapai 4 tahun dan diikuti oleh Bank Modern, Bank Umum Nasional, Bank Danamon, dan Bank Hokindo. 3. Akta Pengakuan Hutang (APU) merupakan revisi dari model MSAA perbedaannya terletak pada pemegang saham pengendali harus bertanggungjawab jika aset yang diserahkan tidak mencukupi pelunasan pembayaran kewajiban. Pembayaran kewajiban tersebut dilakukan secara tunai dan berkala dalam jangka waktu yang ditentukan, adapun perjanjian ini diikuti oleh Bank Bumi Raya Utama, BIRA, Bank Sewu, Bank Hastin, Bank Tata, Bank Namura Yasonanta, Bank Indotrade, Bank Putera, Bank Baja, Bank Lautan Berlian, Bank Papan Sejahtera, Bank Yama, Bank Tamara, Bank Nusa Nasional, Bank Intan, Bank PSP, Bank Namura Maduma, Bank Metropolitan, Bank Umum Sertivia, Bank Aken, Bank Mashill, dan Bank Sanho. Lihat dalam Marwan Batubara, loc. cit., hlm. 53-55. Lihat juga dalam Indonesian Corruption Watch, loc. cit., hlm. 9.
Pasal 4, dimaksudkan bahwa pengembalian kerugian keuangan Negara tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi, melainkan hanya merupakan salah faktor yang meringankan. Alasan yang dapat menghapuskan pidana, dalam teori hukum pidana terdiri atas.109 a) Alasan pembenar yaitu alasan untuk menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar. b) Alasan pemaaf,
yaitu alasan yang menghapuskan
kesalahan terdakwa, sehingga perbuatan yang dilakukan tetap bersifat melawan hukum tetapi tidak dipidana karena tidak adanya kesalahan. c) Alasan
penghapusan
penuntutan
dengan
dasar
pertimbangan kemanfaatan di masyarakat atau dikenal dengan istilah kepentingan umum. Pemberian kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge segera setelah debitur menyelesaikan pengembalian uang Negara, dalam kenyataannya pembayaran dilakukan sebanyak 30% dari jumlah kewajiban yang harus dibayar namun tetap diberikan Surat Keterangan Lunas (SKL), berupa
109
Ketentuan mengenai penghapusan pidana diatur dalam KUHP, meliputi : Pasal 48 KUHP mengenai daya paksa. Pasal 51 ayat (1) KUHP mengenai melaksanakan perintah jabatan yang dengan sepengetahuannya diberikan oleh pejabat yang berwenang. 3. Pasal 50 KUHP mengenai melaksanakan perintah undang-undang. Selain penghapusan pidana KUHP mengatur hapusnya hak untuk menuntut, antara lain: 1. nebis in idem (Pasal 76 KUHP) 2. Terdakwa meninggal dunia (Pasal 77 KUHP) 3. Perkara daluwarsa (Pasal 78 KUHP) 4. Terjadinya penyelesaian di luar persidangan (Pasal 82 KUHP) 1. 2.
pelepasan dan pembebasan dalam memberikan jaminan kepastian hukum dengan menghentikan penanganan
aspek
pidana tidak dapat dikategorikan sebagai alasan hapusnya pidana. Demikian pula SKL tidak dapat digunakan sebagai dasar
alasan
dikeluarkannya
SP3
(Surat
Penghentian
Penyidikan Perkara) karena unsur dalam tindak pidana korupsi tidak hapus karena adanya pengembalian uang Negara melainkan hanya salah satu faktor yang meringankan pidana. Demikian pula dengan penggunaan SKL sebagai bukti baru dalam proses persidangan berkenaan dengan penyalahgunaan dana BLBI dan pelanggaran BMPK. b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Undang-Undang Perbankan. 1) Pasal 49 ayat (2) huruf a disebutkan “Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank”. Berlanjut pada huruf b disebutkan “Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan
langkah-langkah
yang
diperlukan
untuk
memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-
undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam paling lama 8 (delapan)
tahun
serta
denda
sekurang-kurang
Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).” 2) Pasal 50 disebutkan “Pihak terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undangundang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurangkurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).” Adapun pihak terafiliasi dimaksud dalam Pasal 50 sebagimana dijelaskan dalam Pasal 1 poin ke-22 adalah: a. anggota dewan komisaris, pengawas, direksi atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank; b. anggota pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. pihak yang memberikan jasanya kepada bank, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan lainnya; d. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, keluarga pengurus; 3) Pasal 50A disebutkan “ Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank untuk
melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundangundangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).” Kesengajaan pemegang saham yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah untuk memastikan ketaatan terhadap ketentuan dalam Undang-Undang Perbankan, salah satu diantaranya adalah berkenaan dengan batas-batas BMPK terutama terkait dengan penggunaan dana BLBI, berfungsi sebagai dana talangan, seharusnya dibayarkan pada nasabah.110 BPK menemukan penyalahgunaan sebesar Rp 84,8 triliun, antara lain sebesar Rp 22,5 triliun digunakan untuk membiayai kontrak derivatif atau spekulasi valas. Audit yang dilakukan BPKP terhadap 42 bank penerima BLBI, 17 Juli 2000, menemukan penyalahgunaan sebesar Rp 53,4 triliun penyalahgunaan yang berindikasi tindak pidana korupsi dan tindak pidana perbankan dan Rp 1,159 triliun penyalahgunaan non tindak pidana korupsi atau non tindak pidana perbankan. Penyalahgunaan BLBI paling besar menurut audit BPKP adalah spekulasi valas, membiayai ekspansi kredit, dan 110
Jumlah BLBI yang jatuh pada pemiliknya atau kepada kelompoknya sendiri adalah sebagai berikut : a. Bank Central Asia milik Liem Sioe Liong sejumlah 60% (enam puluh persen). b. Bank Danamon milik Usman Admajaja sejumlah 60% (enam puluh persen). c. Bank Umum Nasional milik Bob Hasan sejumlah 78% (tujuh puluh delapan persen). d. Bank Dagang Nasional Indonesia milik Syamsul Nursalim sejumlah 91% (sembilan puluh satu persen). Dalam Munir Fuady, Bisnis Kotor Anatomi Kejahatan Kerah Putih, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 106.
membayar kepada pihak terkait. Berdasarkan hasil audit BPK, dari Rp 144,5 triliun BLBI yang dikucurkan ke 48 bank umum nasional, sebesar Rp 138,4 triliun atau 96 persen dinyatakan berpotensi
merugikan
Negara,
karena
kurang
jelas
pengunaannya.111 Hasil audit BPK pada tahun 2000 No.06/01/Auditama II/AI/VII/2000 menunjukkan terdapat berbagai penyimpangan dalam
penggunaan
BLBI
sehingga
BPK
kemudian
menyimpulkan adanya sangkaan tindak pidana atau perbuatan yang
merugikan
keuangan
negara.
Adapun
bentuk
penyimpangan dalam kasus BLBI tidak hanya pelanggaran perdata melainkan juga tindak pidana, berupa pengucuran BLBI kepada kelompok sendiri dengan melanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). BMPK membatasi pemberian kredit kepada kelompok sendiri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Pasal 1 ayat 4 tidak melebihi 10 persen (10%) modal bank, namun pada kenyataannya kredit diberikan pada unit usaha yang dimiliki oleh pemilik bank yang bersangkutan melebihi batas yang telah ditetapkan.112 Pelanggaran dalam BMPK merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 49 jo. Pasal 50 jo. Pasal 50 A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.113
111
Jurnal Hukum Bisnis, Volume 27-No 2 Tahun 2008, hlm. 49.
112
Samsul Nursalim sebagai pemilik BDNI menurut kantor akuntan Ernst and Young bahwa seluruh kredit per 13 April 1998 sebesar Rp 16,904 triliun, dimana 75,6 persen (75,6%) dari seluruh uang dipinjamkan sebagai kredit. Lihat dalam Kwik Kian Gie, Pikiran Yang Terkorup, Kompas, Cet. I., Jakarta, 2006, hlm. 168. 113
Lihat dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 61-62.
Tuntutan pidana dalam penyalahgunaan dana BLBI oleh pemegang saham dapat dikenakan atas dasar adanya penyimpangan BMPK dan penggunaan BLBI. Penghapusan aspek pidana hanya dapat dilakukan dalam ketentuan hukum yang setara kedudukannya dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan bukan oleh produk kebijakan yang berada dibawah undang-undang terlebih tidak terdapat kesesuaian dengan peraturan yang ada diatasnya sebagaimana tercantum dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge. Kebijakan pemberian pinjaman dana BLBI adalah instrumen bisnis dan hukum yang merupakan niat baik pemerintah bertujuan untuk menyehatkan manajeman dan kinerja perbankan nasional yang terkena dampak krisis moneter, namun terdapat penyalahgunaan dana didalamnya. Penyalahgunaan ini merupakan perubahan nilai-nilai kejujuran dalam masyarakat ketika suatu aktivitas bisnis dioperasikan sehingga merugikan kepentingan masyarakat luas. Hubungan dalam ranah perdata bergeser pada ranah hukum pidana ketika terjadi perbuatan-perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Namun dalam perkembangannya, pemerintah mengeluarkan produk kebijakan, dimana rentan terjadi kecacatan hukum dengan adanya Inpres Nomor 8 Tahun 2002 yang mengedepankan penyelesaian out of court settlement bagi debitur yang bersedia memenuhi kewajiban hutang sehingga terjadi pergeseran menuju hukum perdata. Pergeseran hukum
dari pidana ke perdata dianggap sebagai manifestasi
melemahnya hukum pidana. Hukuman pidana jarang dapat menjadi cara yang efektif untuk memperbaiki kerusakan dan pada saat yang sama berpotensi mempunyai sifat keras sehingga perlu dibatasi oleh formalisme prosedural.114 114
hlm.100.
Philippe Nonet-Philip Selznick, Hukum Responsif, Jakarta, Nusamedia, ctk. 2, 2008,
2. Inpres Nomor 8 Tahun 2002 Sebagai Bagian dari Kebijakan Publik Suatu public problem dapat masuk dalam agenda pemerintah, membutuhkan pertimbangan-pertimbangan yang tegas dan aktif dari para pembuat keputusan, bilamana terjadi krisis atau peristiwa yang luar biasa sehingga mendapat perhatian yang cukup besar dari masyarakat, termasuk pembuat
keputusan,
untuk memasukkan dalam agenda
pemerintah
menjadikan sebagai salah satu masalah yang perlu dicari penyelesaiannya, begitu pula dengan penyalahgunaan dana BLBI yang muncul sebagai akibat dari krisis moneter yang dialami Indonesia saat itu sehingga Bank Indonesia, selaku the last lender resort, menyuntikkan dana pada bank-bank nasional yang sedang mengalami kesulitan likuiditas agar dapat membayar kepada nasabah masing-masing. Permasalahan yang kemudian muncul akibat dari penanganan krisis tersebut berupa penyalahgunaan dana yang semula dimaksudkan untuk dibayarkan pada nasabah beralih pada penggunaan dana tersebut untuk kepentingan pemilik bank-bank penerima dana BLBI, berlanjut pada pengembalian dana yang berbentuk pinjaman pada bank-bank tersebut tidak selesai baik karena tidak sesuainya aset yang dijaminkan maupun kaburnya pemilik bank-bank penerima dana BLBI. Hukum dan kebijakan publik merupakan variabel yang memiliki keterkaitan yang sangat erat, seiring makin luasnya peranan pemerintah dalam berbagai bidang kehidupan yang kompleks baik ekonomi, sosial, dan politik. Sehingga peraturan hukum berperan untuk membantu pemerintah dalam usaha menemukan alternatif kebijakan yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat dimana penilaian bahwa fungsi hukum menjadi penting ketika semua perencanaan kebijaksanaan dan program-program pemerintah dilaksanakan melalui hukum.115 Namun demikian ketika kebijakan publik telah memasuki bidang kehidupan hukum, kebijakan publik harus
115
Esmi Warassih, loc.cit, hlm. 130.
memenuhi
tehnik
perumusan
pembuatan
perundang-undangan,
menggunakan bahasa resmi yang sederhana sehingga mudah dipahami sehingga harus berpijak pada tata administrasi dalam hal ini berkaitan dengan hukum administrasi Negara. Asas legalitas dalam hukum administrasi mencakup 3 (tiga) aspek yaitu wewenang, prosedur, dan substansi. Ketiga aspek tersebut harus berdasarkan peraturan perundangundangan, karena pada peraturan perundang-undangan tersebut sudah ditentukan tujuan diberikannya wewenang kepada pejabat administrasi, prosedur
untuk
mencapai
tujuan
serta
substansinya.
Parameter
penyalahgunaan wewenang pada jenis wewenang terikat adalah asas legalitas, sedangkan pada wewenang bebas menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang baik.116 Instruksi presiden, sebagai bentuk kebijakan berbentuk produk hukum yang ditujukan pada subyek dan masalah tertentu, tidak dikenal dalam tata urutan peraturan perundang-undangan namun masih muncul dalam praktik ketatanegaraan. Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 merupakan tindakan hukum publik sepihak berkedudukan sebagai kebijakan,
bentuk adanya freies emerssen
atau kebebasan untuk
menjabarkan kebijakan berkaitan dengan aspek yuridis. Rauke menjelaskan bahwa “discretion refers to the ability of an administrator to choose among alternative to decide in effect law the policies of the government should be implemented in specific case”.117
116
Namun demikian batasan dalam
Nur Basuki Minarno, op.cit. hlm. 98. Asas-asas pemerintahan yang baik dalam hukum positif Indonesia terdapat dalam Pasal 53 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, meliputi : a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. b. bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. c. 117 Diskresi disini merupakan tindakan, berupa pilihan-pilihan, oleh penyelenggara Negara sesuai kemampuan yang ada padanya dalam memutuskan kebijakan yang perlu diambil dibatasi hanya untuk masalah-masalah tertentu. Namun demikian kebebasan dalam menentukan kebijakan publik tidak boleh diartikan berlebihan melainkan perlu pertimbangan obyektif atas dasar asas-asas umum pemerintahan yang layak, lebih tepatnya wewenang bertindak berdasarkan kebijaksanaan. Dalam Esmi Warassih, op. cit., hlm. 138.
pembentukan peraturan kebijakan redaksi yuridisnya harus tetap mengikuti format peraturan perundang-undangan. Perumusan peraturan kebijakan yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku mengakibatkan suatu produk kebijakan tidak dapat dijadikan dasar hukum karena mengandung cacat hukum yaitu ketidaksesuaian peraturan perundangundangan yang berlaku. Hukum memberikan legitimasi bagi pelaksanaan kebijaksanaan publik,
dan
sebagai
peraturan
perundang-undangan
hukum
telah
menampilkan peranan hukum sebagai salah satu alat untuk melaksanakan kebijaksanaan.118 Penyelesaian penyalahgunaan dana BLBI melalui out of court settlement terutama sebagaimana yang dirumuskan dalam Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge berlaku sebagai
dasar
hukum,
menginstruksikan
kepada
Menko
Bidang
Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), Menteri Kehakiman dan HAM, menteri-menteri anggota KKSK, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisan Republik Indonesia dan Ketua BPPN untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi penyelesaian kewajiban pemegang saham dalam rangka menyelesaikan seluruh kewajibannya pada BPPN berdasarkan perjanjian MSAA, MRNIA, dan APU.119
Peraturan perundang-undangan dalam bentuk kebijakan merupakan aturan hukum yang dibentuk oleh pejabat atau badan tata usaha negara atas kewenangan yang bersumber dari freies emerssen. Lihat dalam Kusumaningtuti, op. cit., hlm 48. 118
119
Esmi Warassih, loc. cit., hlm. 131-133.
Istilah Release and Discharge tidak dikenal dalam pranata hukum Indonesia, melainkan acquit et decharge (A&D) dalam rangka pelepasan dan pembebasan tanggungjawab direksi dan komisaris PT, yang selalu diikuti penegasan, bila kemudian ternyata telah terjadi tindak pidana selama masa jabatannya, maka akan dilakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan undangundang hukum pidana. Lihat dalam Kompas, 14 Januari 2003. Disebut Release and Discharge karena penerima dana BLBI (debitur) setelah melakukan pembayaran secara tunai sebesar 30% dari keseluruhan jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dan 70% sisanya dibayar melalui penyerahan sertifikat bukti hak pada BPPN diberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) dan dibebaskan dari semua tuntutan hukum. Lihat dalam ibid., hlm. 57.
Kebijaksanaan, menurut James E. Anderson, diartikan sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan
oleh
seorang
pelaku
atau
sekelompok
pelaku
guna
memecahkan suatu masalah tertentu, yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah. Sedangkan definisi kebijakan sebagaimana diutarakan oleh WI. Jenkins, diungkapkan bahwa kebijakan merupakan serangkaian keputusan-keputusan yang saling terkait berkenaan dengan pemilihan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapainya dalam situasi tertentu.120 Kebijaksanaan negara dibentuk melalui suatu proses perumusan, meliputi serangkaian tindakan dalam memilih alternatif-alternatif yang tersedia sebagai penyelesaian dari masalah yang sedang dihadapi dengan mengambil satu diantara beberapa alternatif tersebut sebagai sebuah keputusan. Pengambilan keputusan tersebut kemudian dirumuskan sebagai sebuah kebijaksanaan. Menurut Nigro dan Nigro bahwa every policy determination
is
decision,
sehingga
tidak
ada
pembedaan
antara
pengambilan keputusan dan perumusan kebijaksanaan. Namun demikian kebijaksanaan-kebijaksanaan
membentuk
rangkaian-rangkaian
tindakan
yang mengarahkan berbagai keputusan dalam rangka melaksanakan tujuan yang telah dipilih.121 Permasalahan yang timbul dapat diartikan secara formal, untuk kepentingan kebijaksanaan, menurut David G Smith disebut sebagai kondisi atau situasi yang menghasilkan kebutuhan-kebutuhan yang yang harus dicari upaya penanggulangannya. 122 Penekanan dari pengertian kebijaksanaan berdasar pengertian diatas adalah adanya tujuan yang hendak dicapai oleh pembuat kebijaksanaan melalui rangkaian-rangkaian tindakan sebagai cara untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Adapun sarana yang 120
Sehingga salah satu implikasi dari pengertian tersebut diatas, adalah kebijaksanaan Negara selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan. Lihat dalam M. Irfan Islamy, loc. cit., hlm. 17-19. Kebijakan disebut pula sebagai keputusan pemerintah. Lihat dalam Solichin Abdul Wahab, op.cit., hlm. 24-27. 121
M. Irfan Islamy, op. cit., hlm. 24.
122
Ibid., hlm. 79.
digunakan dari serangkaian tindakan pembuat kebijaksanaan berupa keputusan yang menjadi dasar hukum penyelesaian dari permasalahan yang sedang dihadapi. Penyelesaian secara out of court settlement merupakan salah satu dari berbagai alternatif penyelesaian yang sebenarnya dapat ditempuh terutama dengan mengoptimalkan fungsi hukum pidana sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya menjadikan Inpres Nomor 8 Tahun 2002 sebagai bentuk kebijakan yang merupakan keputusan pemerintah. Tindak pidana di bidang perbankan terjadi ketika dana BLBI digunakan bukan untuk menyehatkan manajeman dan kinerja perbankan nasional, melainkan disalahgunakan untuk keperluan pribadi pemilik bank, sehingga penyalahgunaan dana BLBI menjadi perbuatan yang melanggar hukum. Tindak pidana di bidang perbankan berupa penyalahgunaan dana BLBI mengarah dapat mengarah pada tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan pelanggaran terhadap Batas Maksimum Pemberian Kredit
(BMPK) terjadi karena pemberian kredit bank yang seharusnya
dibatasi pada unit usaha yang dimiliki oleh pemilik bank yang bersangkutan tidak dipatuhi sehingga dinilai telah melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Undang-Undang Perbankan. Namun demikian pemerintah dalam hal ini lebih memberikan prioritas bagi pengembalian uang Negara yang sebelumnya berfungsi sebagai dana talangan untuk mengatasi krisis perbankan secara sistemik dibandingkan penegakan hukum dengan menggunakan hukum pidana. Adapun tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah dalam menyelesaikan berbagai kasus BLBI melalui Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang terdiri atas Master Agreement and Acquisition Agreement (MSAA), Master Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA), dan Akta Pengakuan Utang dari masa pemerintahan Presiden Habibie berlanjut hingga dikeluarkannya Inpres
Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge pada masa pemerintahan Presiden Megawati. Analisis kebijakan publik (public policy analysis) bertujuan untuk meramu secara sistematik beragam gagasan yang berasal dari berbagai macam disiplin kemudian digunakan untuk menginterpretasikan sebab dan akibat dari tindakan pemerintah. Nicholas Henry mengelompokkan tipologi tersebut menjadi 2 (dua) klasifikasi besar, yaitu: (1) Kebijaksanaan negara dianalisa
dari
menggambarkan
sudut proses
proses,
lebih
pembuatan
bersifat kebijakan,
deskriptif, antara
lain
mencoba model
kelembagaan, model elit massa, model kelompok, dan model sistem; (2) Kebijaksanaan negara dianalisa dari sudut hasil dan akibatnya, bersifat preskriptif dengan berupaya menunjukkan cara untuk meningkatkan kualitas isi, hasil dan akibat kebijaksanaan negara, meliputi model rational comprehensive dan model inkremental.123
Tipologi dapat dipakai untuk
memahami pembuatan kebijakan publik dengan menggunakan kerangka analisis bersifat umum untuk mengonversikan fakta-fakta dari studi-studi kasus pada seperangkat penelitian yang dapat dievaluasi, ditimbang, dan dihimpun. Pemahaman tipologi kebijakan berguna untuk mensistemasi analisis yang hendak dipakai dalam melakukan evaluasi terhadap sebuah kebijakan. Berdasarkan tipologi Nicholas Henry, ditinjau dari sudut proses pembuatannya, Inpres Nomor 8 Tahun 2002 merupakan kebijakan yang mendekati pada model sistem, dimana masukan, dukungan maupun sumbersumber yang merupakan input kebijakan pada model sistem ini (sistem politik) sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan berupa keadaan sosial, ekonomi, politik dan berpengaruh pula pada output yang dihasilkan bahkan terhadap dampak dari implementasi output tersebut. Inpres Nomor 8 Tahun 2002 yang substansinya memerintahkan kepada menteri-menteri dan lembaga-lembaga yang ditunjuk dengan berbagai faktor yang turut 123
M. Irfan Islamy, loc. cit., hlm. 36.
mempengaruhi dikeluarkannya kebijakan yang diharapkan yaitu konsistensi Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) melalui mekanisme yang telah ditentukan berupa MSAA, MRNIA, dan APU, bukan hanya pertimbangan pihak-pihak yang berkepentingan melainkan juga adanya faktor lain berupa upaya pengembalian keuangan negara dalam rangka stabilitas ekonomi nasional dinilai lebih memenuhi kualifikasi sebagai bentuk kebijakan sistem. Proses pembuatan kebijakan dengan model sistem merupakan hasil dari sistem politik yang meliputi lembaga-lembaga, yang terdiri dari badan legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, kelompok kepentingan, golongan elit, struktur birokrasi, prosedur, mekanisme politik, sikap dan perilaku pembuat keputusan serta aktivitas-aktivitas politik berinteraksi dalam proses untuk mengubah tuntutan, dukungan, dan sumber bagi suatu kebijakan (input) menjadi hasil keluaran (output). Inpres Nomor 8 Tahun 2002 merupakan produk politik sehingga karakter produk hukum akan sangat dipengaruhi oleh imbangan kekuatan politik.124 Terlebih upaya yang ditujukan untuk mengembalikan uang negara melalui mekanisme perjanjian sebagaimana telah disetujui oleh debitur dengan pemerintah merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi terbentuknya kebijakan yang dikeluarkan pemeritah melalui Inpres Nomor 8 Tahun 2002 berkenaan dengan konsistensi penyelesaian kewajiban pemegang saham. 124
Moh.Mahfud MD, op.cit., hlm. 4. Intervensi politik juga melatarbelakangi dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, menurut pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani merupakan kebijakan mengatasi krisis telah melalui proses politik sebagai upaya pengembalian uang negara. Lihat dalam www.indonesia.go.id. Kebijakan mengenai penyelesaian kasus BLBI tidak mengalami perubahan setelah pergantian pemerintahan dari Megawati Soekarnoputri kepada Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintah masih bersikap kompromistis terhadap para debitur BLBI dan lebih memprioritaskan pengembalian keuangan negara daripada penegakan hukumnya. Ironisnya pemerintah seringkali memperlakukan para konglomerat yang telah dinilai telah merugikan keuangan negara itu secara istimewa. Perlakuan istimewa itu ditunjukkan dengan kedatangan tiga debitur BLBI, yaitu Ulung Bursa, pemegang saham Bank Lautan Berlian; James Januardi, pemegang saham Bank Namura; serta Lukman Astanto yang mewakili Atang Latief, pemegang saham Bank BIRA, ke Kantor Presiden untuk menyatakan bersedia mengembalikan utang BLBI yang nilainya ratusan milyar rupiah asalkan mendapatkan kepastian hukum atau release and discharge. http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=236155&kat_id=16.
Penyusunan kebijakan akan lebih dipengaruhi oleh kelompok-kelompok dan individu-individu yang kepentingannya terkait dengan kebijakan dan menunggu hingga saat implementasi kebijakan. Penyusunan agenda pemerintah juga dipengaruhi oleh faktor tambahan yang berasal dari luar sistem politik negara, yang dilakukan terutama oleh lembaga-lembaga keuangan internasional dalam mendikte pemerintah penerima bantuan dalam menetapkan kebijakan.125 Suasana politik justru melingkupi upaya penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia lebih mendominasi dibandingkan semangat untuk melakukan upaya penegakan hukum. Hal ini juga ditandai dengan diadakannya pertemuan antara pemerintah dengan mengundang debitur penerima dana likuiditas Bank Indonesia di istana Negara.126 Karakter hukum sebagai konfigurasi politik yang dimaksud akan menghasilkan produk hukum yang bersifat responsif atau otonom maupun hukum yang otoriter. Meskipun pembentukan Inpres Nomor 8 Tahun 2002 dipengaruhi kekuatan politik namun tetap dianggap sebagai dasar hukum yang berlaku bagi aparat-aparat yang ditunjuk didalamnya. Sedangkan ditinjau dari sudut hasil dan akibat dari kebijakan yang dikeluarkan, maka dengan melihat substansi Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (dikenal dengan Release and Discharge) berupa konsistensi pelaksanaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham melalui perjanjian yang telah disepakati antara debitur dan pemerintah dengan tanpa perubahan yang berarti terutama fokus mekanisme penyelesaiannya yang
125
Solichin Abdul Wahab, op. cit., hlm. 110. Intervensi lembaga keuangan internasional dalam kebijakan ekonomi Indonesia sebagaimana terdapat dalam Letter of Intent IMF, meliputi antara lain kebijakan pengetatan likuiditas, penutupan 16 bank nasional, peninjauan fungsi BI sebagai the lender of the last resort, pengucuran obligasi, rekapitulasi perbankan, dan penjualan aset negara. Lihat dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 239-251. 126
Bisnis Indonesia, 23 Agustus 2004.
kemudian ditegaskan melalui inpres tersebut sebagai dasar hukum penyelesaian kasus BLBI, maka sebagai bentuk kebijakan Inpres Nomor 8 Tahun 2002 dikategorikan sebagai kebijakan inkremental dalam upaya mencari penyelesaian dalam rangka pengembalian dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Penyelesaian kasus BLBI yang memfokuskan pada upaya pengembalian uang Negara selalu menjadi agenda bagi pemerintahan berikutnya, meliputi.127 1. Pembentukan BPPN melalui Keppres No.27 Tahun 1998 pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, bertugas untuk : (1) menyehatkan dunia perbankan, (2) mengembalikan dana Negara, (3) mengelola asset-aset yang diambil alih oleh pemerintah sehubungan dengan keputusan penutupan 16 bank bermasalah.128 2.
Kebijakan pada masa pemerintahan Presiden Habibie dilakukan dengan mengambil tindakan yang berpegang pada prinsip out of court settlement berupa Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang terdiri atas Master Agreement and Acquisition Agreement (MSAA), Master Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA), dan Akta Pengakuan Utang.
3. Masa
pemerintahan
Presiden
Megawati
mengambil
tindakan
penyelesaian kasus BLBI dengan melanjutkan penanganan masalah perbankan, terutama berkaitan dengan pengambilalihan asset-aset obligor dan penjualan aset tersebut berlandaskan Tap MPR No.X/MPR/2001 dan Tap MPR No.VI/MPR/2002 sebagai konsistensi pelaksanaan kebijakan MSAA dan MRNIA.
127
Lihat dalam Kusumaningtuti, loc. cit., hlm. 171. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan rangkaian kebijakan BLBI telah mendapatkan landasan hukum yang sah. Karena itu, kini pemerintah tetap berupaya untuk mengembalikan uang negara sebesar mungkin. Rangkaian kebijakan untuk mengatasi krisis, termasuk kebijakan BLBI, program penjaminan, penyehatan dan rekapitulasi perbankan, dan program divestasi telah melalui proses politik saat itu dan mendapatkan landasan hukum yang sah. http://www.mediaindonesia.com/. 13 ebruari 2008. 128
Abdul Rahman Saleh, Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz: Memoar 930 hari di Puncak Gedung Bundar, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2008, hlm. 319-323.
Selanjutnya dikeluarkan Inpres Nomor 8 Tahun 2002 untuk memberikan jaminan kepastian hukum pada obligor yang kooperatif dan sanksi bagi obligor yang tidak kooperatif. Berdasarkan Inpres ini, para debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utangnya, walaupun hanya 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Atas dasar bukti ini, mereka yang diperiksa dalam proses penyidikan akan mendapat SP3. Dan apabila kasusnya dalam proses di pengadilan, maka akan dijadikan novum atau bukti baru yang akan menjadi dasar dibebaskannya para terdakwa.129 4. Adapun kebijakan yang diambil pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagaimana disampaikan dalam sebuah wawancara dengan MetroTV menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mengganggu gugat kebijakan penyelesaian terkait kasus BLBI dari pemerintahan sebelumnya. Adapun dalam perkembangannya antara pemerintah dan delapan debitur penandatangan Akta Pengakuan Utang yaitu Adisaputra Januardi/ James Januardi, Atang Latief, Ulung Bursa, Omar Putihrai, Lidia Muchtar, Marimutu Sinivasan, dan Agus Anwar dilakukan pembaharuan kebijakan dalam pengembalian uang Negara mengalami penundaan jatuh tempo pembayaran hingga akhir Desember 2006.130 Pemerintah memberikan kelonggaran penyelesaian kewajiban bagi 8 (delapan) debitur dalam program penyelesaian segera dan tata cara pembayaran PKPS yang dilakukan dengan pembayaran tunai sebesar 70% dan 30% berupa Suku Bunga Indonesia (SBI) dan 129
130
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=236155&kat_id=16.
Dikeluarkan Surat Keputusan No.151/KMK.01/2006 Tanggal 16 Maret 2006 oleh Menteri Keuangan tentang Prosedur Operasi Standar Penanganan Program PKPS dan BPPN, antara lain (1) memberikan kelonggaran kepada delapan pengutang BLBI menyelesaikan kewajiban hingga akhir Desember 2006, (2) pola pembayaran PKPS dilakukan dengan 70 persen tunai dan 30 persen near cash, yaitu Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Utang Negara (SUN) paling lambat akhir 2006. Debitur BLBI yang mampu melunasi kewajibannya hingga akhir Desember 2006 akan menerima surat keterangan PKPS dari Menkeu (dibebaskan dari tuntutan pidana). Lihat dalam Abdul Rahman Saleh, op. cit., hlm. 324-327.
Surat Utang Negara sedangkan bagi debitur yang mampu melunasi kewajiban tersebut akan diberikan surat keterangan PKPS dari Menteri Keuangan dan dibebaskan dari tuntutan pidana. Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge dikategorikan dalam kebijakan inkremental bukan dilihat dari bentuknya sebagai produk hukum yang dibuat oleh pemerintah sebagai kelanjutan kebijakan dari pemerintah sebelumnya dengan bentuk produk hukum yang sama yaitu instruksi presiden melainkan karena substansi didalamnya yang bertujuan menyelesaikan kasus BLBI dalam hal pemenuhan kewajiban oleh para debitur merupakan serangkaian kebijakan yang hampir tidak terdapat perubahan yang berarti hingga ditegaskan oleh pemerintah sebagai dasar hukum bagi penyelesaian kasus BLBI yang kemudian pada tahun 2006 dilakukan sedikit perubahan berupa reformulasi perjanjian Akta Pengakuan Utang (APU).
Kebijakan penyelesaian masalah hukum yang demikian
longgar mengakibatkan dampak negatif bagi penegakan hukum, terutama fungsi
hukum
pidana
dalam
melindungi
kepentingan
hukum.
Ketidakpatuhan individu-individu maupun kelompok-kelompok tertentu pada hukum makin nyata karena beberapa kebijaksanaan Negara, antara penegakan
hukum
dan
satu
sama
bertentangan
penyelesaian lain.
Namun
penyalahgunaan demikian
BLBI
saling
pemerintah
masih
mempertahankan Inpres Nomor 8 Tahun 2002 sebagai dasar hukum penyelesaian penyalahgunaan BLBI untuk menghormati politik hukum pada pemerintahan sebelumnya dengan mengesampingkan kepentingan hukum terkesan hanya melanjutkan kebijakan pada masa pemerintahan sebelumnya tanpa ada kepastian hukum bagi obligor yang tidak kooperatif. Namun demikian hingga akhir Desember 2006, belum tercapai kesepakatan antara pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan, dengan para obligor tentang tentang jumlah final utang dan mekanisme pembayarannya.131
131
Ibid. hlm. 326.
Kebijakan inkremental pada negara berkembang belum tepat untuk diterapkan karena kebijakan dengan model ini dinilai tepat apabila diberlakukan pada kondisi yang tidak memerlukan perubahan mendasar. Selain itu terkait dengan kebijakan out of court settlement yang dipilih pemerintah dalam menyelesaikan kasus tindak pidana dalam penggunaan dana BLBI membutuhkan evaluasi baik perumusan, pelaksanaan maupun dampak kebijakan bagi sistem hukum di Indonesia. Kebijakan pemerintah untuk tidak melakukan tindakan apapun yang dapat mengubah arah kebijakan penyelesaian kasus BLBI dilihat dari perspektif kebijakan publik merupakan tipe inkremental dimana dalam menetapkan suatu kebijakan tidak dilakukan penilaian terhadap seluruh kebijakan yang telah ada dengan mengidentifikasi alternatif kebijakan termasuk akibat yang timbul dari dikeluarkannya
suatu
kebijakan
sehingga
cenderung
melakukan
penyesuaian-penyesuaian terhadap kebijakan yang sebelumnya telah ada. Ukuran mengenai adanya suatu sistem hukum yang baik dalam rangka efektivitas hukum yang hendak diwujudkan menurut Fuller dalam delapan asas yang disebut principles of legality, salah satu diantaranya suatu sistem hukum tidak boleh mengandung peraturan yang bertentangan satu sama lain.132 Sebagaimana dikemukakan Lawrence M. Friedman bahwa efektivitas hukum ditentukan oleh 3 (tiga) komponen, salah satunya adalah komponen substansi.133 Ketidaksesuaian substansi peraturan perundangundangan satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain dapat mengakibatkan inefektivitas hukum.
B. Out of Court Settlement Sebagai Dasar Hukum Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi BLBI ditinjau dari Perspektif Kebijakan Hukum Pidana 1. Kebijakan Hukum Pidana Sebagai Bentuk Kebijakan Publik
132
Esmi Warassih, loc. cit., hlm. 31.
133
Esmi Warassih, loc. cit., hlm. 138.
Makna dalam istilah kebijakan (policy) tidak hanya bersifat tekstual melainkan lebih bersifat kontekstual, beragam mengikuti dinamika aksi sosio-ekonomi dan politik yang terjadi disekitar kita dan persepsi terhadap istilah kebijakan.134 Hogwood dan Gunn mengelompokkan beberapa penggunaan istilah kebijakan, antara lain kebijakan sebagai bentuk pengesahan formal (Policy as Formal Authorization). Istilah kebijakan sebagai bentuk pengesahan formal ditandai dengan diundangkannya seperangkat aturan oleh parlemen diharapkan dapat diimplementasikan. Disinilah hukum mulai berperan dalam memberikan legitimasi bagi pelaksanaan kebijakan publik, dan sebagai peraturan perundang-undangan, hukum telah menampilkan peranan hukum sebagai salah satu alat untuk melaksanakan kebijakan. Hukum merupakan bagian integral dari kebijakan, yang pembentukannya dilakukan oleh legislatif dalam bentuk peraturanperaturan untuk kemudian diberikan pengesahan sehingga berlaku sebagai hukum yang harus dipatuhi.135 Kebijakan hukum pidana disebut dengan istilah “politik hukum pidana” dapat dilihat dari politik hukum pidana maupun dari politik kriminal. Melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna dan merupakan usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Sebagai bagian dari
134
135
Solichin Abdul Wahab, loc. cit., hlm. 17.
Hukum menjadi indikator adanya kebijaksanaan dimana menurut Sigler, bahwa constitutions, statutes, administrative orders and executive orders are indicators of policy. Lihat dalam Esmi Warassih, op.cit., hlm. 131-133. Hukum dan kebijakan publik memiliki keterkaitan yang erat dan memiliki kesamaan yaitu bermula pada fokus dan muara yang sama. Hanya saja pada proses pembentukan hukum lebih difokuskan pada terbentuknya sebuah aturan dalam bentuk undang-undang, sedangkan pada proses formulasi kebijakan publik hasil akhir adalah pada terpilihnya sebuah alternatif solusi bagi penyelesaian masalah-masalah publik tertentu. Hubungan ideal antara hukum dan kebijakan publik terletak pada manfaat kebijakan publik dalam memaparkan kandungan yang ada dalam sebuah produk hukum. Dalam Setiono, Hukum dan Kebijakan Publik, Bahan Matrikulasi Program Magister (S-2) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2008, hlm. 4-5.
politik hukum maka politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.136 Kebijakan hukum pidana diwujudkan dalam perundang-undangan sebagai dasar hukum pelaksanaan kebijakan penanggulangan kejahatan, merupakan bagian dari kebijakan publik.137 Kebijakan publik, menurut James E. Anderson, sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu. Sehingga implikasi dari pengertian tersebut adalah kebijakan publik
memiliki orientasi tujuan yang hendak dicapai, dimana untuk
mencapai tujuan yang dimaksud, pembuat kebijakan membutuhkan sarana untuk mengesahkan suatu kebijakan publik menjadi sebuah dasar hukum dalam melaksanakan tindakan yang dimaksud.138 Edward dan Sharkansky menyatakan bahwa kebijaksanaan publik dapat ditetapkan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan atau dalam bentuk pidato-pidato pejabat pemerintah atau juga berupa program-program dan tindakan-
136
Menurut Marc Ancel, “Penal Policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Lihat dalam Mokhamamad Najih, loc.cit, hlm. 43. Dengan demikian, istilah “penal policy” sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”. 137
Kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum, khususnya hukum pidana, melalui pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai bagian integral dari politik sosial dalam upaya mencapai kesejahteraan mencakup perlindungan masyarakat. Namun demikian dalam pembuatan peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan kejahatan dan hal demikian akan nampak dalam perumusan sanksi pidana yang diancamkan. Barda Nawawi dan Muladi, loc. cit., hlm. 2930. 138
Sehingga implikasi dari pengertian tersebut diatas, adalah: (1) bahwa kebijaksanaan Negara selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan; (2) bahwa kebijaksanaan berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah; (3) bahwa kebijaksanaan merupakan apa yang senyatanya dilakukan oleh pemerintah, bukan hanya pernyataan keinginan ; (4) bahwa kebijaksanaan dapat bersifat positif dalam arti merupakan bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negative, berupa keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; dan (5) bahwa kebijaksanaan pemerintah dalam arti positif, dimana kebijaksanaan selalu dilandaskan pada peraturan-peraturan perundangan dan bersifat memaksa (otoritatif). Lihat dalam M. Irfan Islamy, loc. cit., hlm. 17-19.
tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. Bahkan menurut Siegler, undangundang merupakan salah satu indikator adanya kebijaksanaan.139 Kebijakan hukum pidana atau kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana sebagai bagian integral dari politik sosial dalam upaya
mencapai
kesejahteraan
mencakup
perlindungan
masyarakat
merupakan suatu proses bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif), dan kebijakan aplikasi (kebijakan eksekutif).140 Kebijakan hukum pidana yang diwujudkan dalam bentuk undangundang, dalam kaitannya dengan permasalahan diatas, salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Undang-Undang Perbankan. Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua macam), yaitu kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (non-penal policy) dimana masing-masing pemilihan penggunaan sarana-sarana tersebut memiliki pertimbangan tujuan yang hendak dicapai yaitu pengembalian uang Negara dalam kasus BLBI dan sarana yang digunakan dalam mencapai tujuan tersebut berupa penyelesaian out of court settlement.
2. Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi BLBI Melalui Sarana Non Penal 1) Optimalisasi pengembalian uang negara 139
140
Ibid., hlm 17-19. Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hlm. 18.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua macam), yaitu kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (non-penal policy). Sarana non penal pada dasarnya merupakan tindakan preventif, mulai dari pendidikan kode etik sampai dengan pembaharuan hukum perdata dan hukum administrasi.141 Menghadapi perkembangan delik-delik baru, perlu dipikirkan alternatif pidana lain sesuai dengan hakikat permasalahan. Permasalahan yang muncul mengenai pemilihan dan penetapan pidana apa yang paling tepat, sebagaimana diungkapkan Bentham “punishment ought not to be inflicted if it is groundless, needless, unprofitable or inefficacious”,142 dengan melihat skala prioritas pembangunan dalam sistem ekonomi yang berimbang dimana faktor ekonomi merupakan primadona karena leverage effect yang diharapkan terhadap bidangbidang pembangunan yang lain, seringkali pendekatan non penal lebih dikedepankan daripada menggunakan sarana penal. Meskipun secara teoritik sarana di luar hukum pidana (non-penal policy) tidak menguntungkan,
dalam
kasus-kasus
yang
serius
pertimbangan
pemidanaan dinilai penting yaitu untuk tujuan moral dan deterrent effect. Sehingga penekanan penggunaan sarana non penal dalam upaya pengembalian uang negara terutama menghadapi kasus yang sulit, dalam kasus BLBI misalnya terletak pada kemanfaatan digunakannya sebuah sarana hukum yang dinilai tepat saat itu. Upaya perkembangan
penanggulangan masyarakat
kejahatan
dalam
sehubungan
pembangunan
akan
dengan selalu
memanfaatkan hukum pidana, dapat bersifat otonom dalam arti bersifat
132.
141
Muladi, op. cit., hlm. 156
142
Lihat dalam Barda Nawawi dan Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, op.cit., hlm.
murni dalam perundang-undangan
hukum
pidana
baik dalam
merumuskan perbuatan yang dianggap bersifat melawan hukum, dalam penentuan pertanggungjawaban pidananya, maupun dalam penggunaan sanksi pidana dan tindakan yang diperlukan. Keterlibatan hukum pidana yang bersifat komplementer terhadap bidang hukum lain dalam hal-hal tertentu diharapkan bersifat fungsional mengingat situasi perekonomian yang kurang menguntungkan.143 Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Para Debitor yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitor yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban
Pemegang
Saham
merupakan
finalisasi
kebijakan
penyelesaian out of court settlement dengan memberikan legalitasnya sebagai dasar hukum dalam penyelesaian kasus dana BLBI. Bahkan jauh hari sebelum munculnya Inpres Nomor 8 Tahun 2002, penyelesaian krisis perbankan di Indonesia
dilakukan dengan
membentuk suatu lembaga pemerintah dan bertindak atas nama pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1998 sebagai dasar hukum pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).144 Upaya BPPN untuk mengoptimalkan pengembalian uang Negara baik dari para bankir, pemegang saham terkait maupun dari 143
144
Supanto, op. cit., hlm. 41-44.
BPPN bertugas : a) melakukan pengadministrasian jaminan yang diberikan pemerintah kepada Bank Umum; b) melakukan pengawasan, pembinaan, dan upaya penyehatan termasuk restrukturisasi bank yang telah dinyatakan tidak sehat oleh BI; c) melakukan tindakan hukum yang diperlukan dalam rangka penyehatan bank yang tidak sehat. Tugas BPPN sebagaimana tercantum dalam keppres tersebut tidak diikuti dengan kewenangan yang jelas sehingga dikeluarkan Keppres Nomor 34 Tahun 1998, dimana kewenangan BPPN antara lain meliputi meminta pernyataan bank dalam penyehatan untuk menaati persyaratan praktik perbankan yang sehat dan peningkatan kinerja bank,; meminta bank dalam penyehatan serta direksi, komisaris, dan pemegang saham bank untuk menandatangani segala dokumen yang bersifat mengikat; dan meminta untuk mengajukan rancana perbaikan. Disamping itu BPPN memiliki tugas tambahan untuk mengambil alih pengoperasian bank; menentukan tingkat kompensasi yang dapat diberikan kepada direksi, komisaris, dan karyawan bank; dan mengambil alih pengelolaan termasuk penilaian kembali kekayaan yang dimiliki bank. Lihat dalam loc.cit., hlm. 171.
debitur masing-masing bank yang mendapat penyaluran dana BLBI, ditempuh berbagai konsep penyelesaian yang sifatnya menyeluruh.145 Optimalisasi pengembalian dana BLBI ke dalam kas negara, dari pemerintah melalui BPPN untuk melakukan tiga hal.146 1. Mengalihkan kewajiban bank menjadi kewajiban pemegang saham pengendali (pemilik bank), diberlakukan bagi bank-bank yang dikategorikan bank beku operasi (BBO), dan bank beku kegiatan usaha (BBKU). Penandatanganan perjanjian antara pemerintah dan pemegang saham tersebut meliputi Master Settlement and Aqcuisition (MSAA), Master Refinancing Agreement and Note Issuance Agreement (MRNIA). 2. Konversi BLBI menjadi Penyertaan Modal Sementara (PMS) pada bank-bank kategori Bank Take Over (BTO). 3. Pengalihan utang bank ke pemegang saham pengendali melalui penandatanganan Akta Pengakuan Hutang (APU). Konversi BLBI menjadi penyertaan modal sementara yang dilakukan pemerintah mengakibatkan pada tanggungan kerugian yang dialami oleh bank sebagai resiko dalam menjalankan bisnis perbankan sehingga kerugian Negara dalam menjalankan perusahaan bukan sebagai tindak pidana korupsi. Sejalan dengan optimalisasi tersebut, dalam rangka penyelesaian kasus BLBI dilakukan perjanjian antara pemerintah dan debitur penerima dana BLBI, yaitu : 1. Master Settlement and Aqcuisition (MSAA) diberlakukan pada penerima BLBI yang asetnya dinilai mampu mencukupi pembayaran seluruh kewajiban-kewajibannya, dibedakan menjadi dua jenis yaitu terhadap pemegang saham pengendali BBKU dan BTO dengan jangka waktu selama 4 tahun untuk menyerahkan asetasetnya pada negara sebagai bentuk pelunasan utang-utang. Perjanjian ini diikuti oleh Bank Central Asia, Bank Umum Nasional, Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Surya, dan Bank Risyad Salim Internasional. 2. Master Refinancing Agreement and Note Issuance Agreement (MRNIA) diberlakukan pada penerima BLBI yang nilai asetnya tidak mencukupi pembayaran seluruh kewajiban-kewajibannya. Sehingga selain menyerahkan aset-aset yang dimiliki, penerima BLBI juga harus menyerahkan jaminan pribadi (personal guarantee) dan menyatakan kesediaan untuk menyerahkan aset tambahan jika aset yang diserahkan belum mencukupi pembayaran utang. Adapun jangka waktu pelaksanaan perjanjian ini lamanya 145
146
Indonesian Corruption Watch, loc. cit., hlm. 9.
Lihat dalam Marwan Batubara, loc. cit., hlm. 53-55. Lihat juga dalam Indonesian Corruption Watch, loc. cit., hlm. 9.
mencapai 4 tahun dan diikuti oleh Bank Modern, Bank Umum Nasional, Bank Danamon, dan Bank Hokindo. 3. Akta Pengakuan Utang (APU) merupakan revisi dari model MSAA perbedaannya terletak pada pemegang saham pengendali harus bertanggungjawab jika aset yang diserahkan tidak mencukupi pelunasan pembayaran kewajiban. Pembayaran kewajiban tersebut dilakukan secara tunai dan berkala dalam jangka waktu yang ditentukan, adapun perjanjian ini diikuti oleh Bank Bumi Raya Utama, BIRA, Bank Sewu, Bank Hastin, Bank Tata, Bank Namura Yasonanta, Bank Indotrade, Bank Putera, Bank Baja, Bank Lautan Berlian, Bank Papan Sejahtera, Bank Yama, Bank Tamara, Bank Nusa Nasional, Bank Intan, Bank PSP, Bank Namura Maduma, Bank Metropolitan, Bank Umum Sertivia, Bank Aken, Bank Mashill, dan Bank Sanho. 2) Penerapan fungsi hukum pidana sebagai ultimum remidium Penyelesaian kasus dana BLBI sepenuhnya menerapkan fungsi hukum pidana sebagai ultimum remidium, dimana prinsip penyelesaian out of court settlement yang memungkinkan terjadinya proses bargaining dalam hal pengembalian uang Negara lebih dikedepankan baru
kemudian
menggunakan
hukum
pidana
bilamana
pola
penyelesaian out of court settlement tidak tercapai. Hal ini nampak dalam data hasil audit BPK No.34G/XII/11/2006, menyebutkan terdapat 21 debitur yang menerima SKL dari pola penyelesaian Master Settlement and Aqcuisition (MSAA) dan pola penyelesaian
Akta
Pengakuan Hutang (APU), sedangkan debitur penandatangan Master Refinancing Agreement and Note Issuance Agreement (MRNIA) tidak memperoleh SKL karena dinilai tidak kooperatif dalam upaya pengembalian utang. Adapun pemegang saham yang menandatangani perjanjian PKPS dengan MRNIA yang tidak mendapat SKL adalah :147 No.
Bank
PSP
JKPS
Status
(Juta Rp)
1.
147
Danamon Ind.
Usman Admadjaja
12.532.749
Tidak ada kepastian
Lihat dalam Marwan Batubara, loc. cit., hlm. 68. Daftar pemegang saham yang menandatangi perjanjian PKPS-APU. Selanjutnya lihat dalam Abdul Rahman Saleh, op. cit., hlm. 492.
2.
Hokindo
3. 4
BUN Bank Modern
Ho Kianto/ Ho Kiarto Kaharudin Ongko Samadikun Hartono
297.571 8.347.882 2.663.873
Total
23.842.075
Dialihkan ke TPBPPN Vonis bebas Proses pengadilan: buron
Sedangkan peserta yang menandatangani PKPS APU yang dinilai tidak kooperatif karena belum meyelesaikan kewajibannya dan tidak mendapatkan SKL meliputi : 148 No .
Bank
PSP
1.
Bank Tamara
Omar
JKPS APU/ Reformulasi (Juta Rp.) 190.169
Realisasi Pembayaran (Juta Rp.) 31.028
Putihrai
2.
Bank Tamara
Lidia
4.
Bank NamuraYasonta Bank BIRA
Adisaputra Januardy/ James Atang Latief
Belum selesai
202.802
13.762
Muchtar
3.
Status
Belum selesai
123.042
35.439
Belum selesai
325.457
134.754
Belum selesai
5. 6. 7.
Bank Lautan Berlian
Ulung Bursa
Bank Putera Multikarsa
Marimutu Sinivasan
1.130.609
Agus Anwar
Pelita/ Istismarat
577.812
615.443
160.113
Belum selesai
249.337
Belum selesai
-
Belum selesai
PKPS APU antara kedelapan obligor tersebut diatas dengan BPPN sebagian besar ditandatangani pada tahun 2000, sedangkan APU Bank Pelita ditandatangani pada tahun 2003. Hingga batas waktu pelunasan kewajiban sebagaimana yang jatuh tempo pada Maret 2004,
148
494.
Hasil audit BPK Nomor 34G/XII/11/2006, lihat dalam Abdul Rahman Saleh, ibid., hlm.
para obligor tidak mampu memenuhi kewajibannya. Sehingga dilakukan reformulasi JKPS yang pada intinya pemerintah dalam hal ini KKSK, yang bertugas memberikan pedoman baik berupa keputusan maupun kebijakan bagi BPPN dalam melaksanakan tugas penyehatan dan restrukturisasi utang perusahaan, memberikan keringanan kepada obligor berupa penurunan jumlah kewajiban dalam APU
dan
tambahan waktu untuk melunasi kewajibannya hingga Maret 2006, termasuk kelonggaran dalam penyelesaian JKPS melalui kombinasi pembayaran secara tunai dan penyerahan aset yang dilakukan dengan mencicil. Reformulasi ini dilakukan dengan prasayarat bilamana terjadi default, maka perjanjian utang dikembalikan pada perjanjian APU awal. 149 Namun demikian hingga Maret 2006 para obligor tidak memenuhi
kewajibannya
sehingga
jumlah
kewajiban
yang
diperhitungkan kembali pada APU awal ditambah denda dan bunga. Penyelesaian out of court settlement kembali berlarut-larut karena obligor menolak dasar perhitungan pemerintah yang ditambah dengan bunga dan denda sebagai kewajiban dengan alasan selama ini telah dilakukan pembayaran. Namun demikian nilai pembayaran sangatlah kecil bila dibandingkan jumlah kewajiban yang harus ditanggung. Alasan lain yang menyebabkan obligor menolak kembali pada APU awal adalah karena obligor merasa memiliki bukti, prosedur, korespondensi terutama dengan BPPN dan Tim Pemberantasan yang menyatakan obligor tidak dalam keadaan default, dengan adanya penolakan ini maka terdapat perbedaan jumlah kewajiban sebesar Rp. 149
Terhadap Agus Anwar tidak diberikan pengurangan utang melalui JKPS reformulasi karena melarikan diri keluar negeri. Marwan Batubara, op. cit., hlm. 93. Dikeluarkan Surat Keputusan No.151/KMK.01/2006 Tanggal 16 Maret 2006 oleh Menteri Keuangan tentang Prosedur Operasi Standar Penanganan Program PKPS dan BPPN, antara lain (1) memberikan kelonggaran kepada delapan pengutang BLBI menyelesaikan kewajiban hingga akhir Desember 2006, (2) pola pembayaran PKPS dilakukan dengan 70 persen tunai dan 30 persen near cash, yaitu Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Utang Negara (SUN) paling lambat akhir 2006. Debitur BLBI yang mampu melunasi kewajibannya hingga akhir Desember 2006 akan menerima surat keterangan PKPS dari Menkeu (dibebaskan dari tuntutan pidana). Lihat dalam Abdul Rahman Saleh, loc. cit., hlm. 324-327.
100 miliar untuk masing-masing obligor. Sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 36 ayat 4 disebutkan bahwa piutang Negara yang mencapai lebih dari Rp. 100 miliar dalam penyelesaiannya ditetapkan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan DPR. Berdasarkan keputusan DPR pada 6 Februari 2008, terhadap obligor yang belum menyelesaikan kewajibannya sesuai APU reformulasi akan ditindaklanjuti dengan serangkaian tindakan pengurusan piutang Negara berupa penetapan jumlah piutang Negara sehingga dapat ditindaklanjuti dengan penetapan surat paksa, penyitaan terhadap harta kekayaan dan gijzeling.150 Namun demikian hendaknya pemerintah mengkaji kembali atas rencana pengenaan gijzeling terhadap obligor yang belum melunasi kewajibannya, mengingat konsistensi yang selama ini dipegang dan untung rugi atas diterapkannya gijzeling terhadap pemulihan kerugian uang Negara. Pertimbangan “konsistensi” pemerintah melakukan reformulasi perjanjian APU terhadap kedelapan obligor tersebut diatas karena pada perjanjian APU awal tidak ada mekanisme tentang asset settlement sehingga terhadap obligor yang hingga batas waktu Maret
2006 belum juga menyelesaikan
kewajibannya dan juga menolak untuk kembali pada APU awal mau tidak mau akan diselesaikan melalui APU reformulasi dengan kombinasi pembayaran tunai dan penyerahan aset.
150
Dibacakan dalam Keterangan dan Jawaban Pemerintah RI Mengenai Penyelesaian KLBI dan BLBI pada Rapat Paripurna DPR RI 12 Februari 2008. Lihat dalam http://www.presidenri.go.id/../856.html. Lembaga gijzeling adalah proses hukum dalam hukum perdata untuk penyelesaian hutang yang tidak dibayar berdasarkan niat buruk pengutang diajukan oleh dengan biaya ditanggung pemohon. Gijzeling diberlakukan melalui Perma Nomor 1 Tahun 2000 dapat diterapkan setelah adanya putusan pengadilan pada proses perdata yang telah in kracht, dengan jangka waktu terbatas yaitu hanya 6 (enam) bulan dan diperpanjang maksimal selama 3 (tiga) tahun dan si berhutang tidak mau melakukan pembayaran sesuai dengan doktrin imprisonment for civil debts. Selain itu negara harus memiliki hak untuk menggunakan hukum publik selayaknya hukum pidana, sehingga harus melalui settlement court. Lihat dalam http://beritasore.com/2008/04/11/gijzeling.
Ketika tekstur hukum terbuka maka penilaian hukum akan kehilangan kekhususannya dalam menentukan apa yang secara hukum benar dan salah pada kasus tertentu dengan mempertimbangkan tujuan, hambatan situasional, dan alternatif praktis. Hukum pidana dipaksa untuk melihat konteks yang jauh melampaui perbuatan, dengan terkikisnya
peraturan-peraturan,
berlipatgandanya
alasan-alasan
pemaaf, tumbuhnya doktrin pertanggungjawaban yang kompleks merupakan analisis pengkategorian yang tumpang tindih dibidang kejahatan.151 Pemberian kesempatan berulang kali dilakukan dalam berbagai bentuk perjanjian pelunasan utang, reformulasi berupa pengurangan kewajiban dan tenggang waktu pembayaran yang dapat dimundurkan melalui Surat Keputusan No.151/KMK.01/2006 Tanggal 16 Maret 2006 yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan merupakan kenyataan proses penyelesaian kasus BLBI yang berlarut-larut. Sikap politik pemerintah dalam menentukan rangkaian kebijakan untuk mengatasi penyelesaian kasus BLBI didasarkan pada fakta adanya landasan hukum yang “sah” setelah melalui proses politik, adanya hasil audit BPK terhadap recovery asset tahun 2006 dijadikan dasar bagi pemerintah untuk melanjutkan penyelesaian kasus BLBI secara out of court settlement sedangkan punitive sanction hanya akan dikenakan pada obligor yang tidak kooperatif dan melakukan perbuatan melawan hukum sebagai bagian dari apa yang disebut pemerintah sebagai konsistensi kebijakan demi menjamin kepastian hukum.
3) Konsistensi pemerintah dalam memberikan jaminan kepastian hukum melalui out of court settlement Nilai kepastian hukum yang dipertahankan pemerintah sebagai alasan mutlak dikeluarkannya kebijakan penyelesaian out of court 151
Philippe Nonet-Philip Selznick, op. cit., hlm. 100.
settlement dalam kasus BLBI dinilai hanya mengedepankan pentingnya kepastian hukum tanpa mempertimbangkan nilai keadilan bagi masyarakat dan kepentingan hukum. Dominasi kepastian hukum dalam Inpres Nomor 8 Tahun 2002 nampak dari tujuan yang hendak dicapai dari lahirnya sebuah kebijakan berupa pemberian jaminan kepastian hukum
berdasarkan
penyelesaian
kewajiban
dalam
perjanjian-
perjanjian, meliputi MSAA dan APU. Penyelesaian kewajiban tersebut akan disertai dengan pelepasan dan pembebasan debitur dari aspek pidana. Nilai kepastian hukum dimaknai secara limitatif oleh pembuat kebijakan dengan mengesampingkan makna kepastian hukum yang termasuk juga konsistensi terhadap undang-undang yang berlaku. Nilai kepastian hukum yang mendominasi mengabaikan keberadaan nilai dasar lain, yaitu keadilan. Sebagaimana dikemukakan oleh mantan Jaksa Agung Abdulrahman Saleh bahwa rasa keadilan justru terabaikan bilamana menilai kebijakan pemerintah dalam penyelesaian kasus BLBI dengan menggunakan tolak ukur keadilan karena situasi kritis yang dinilai luar biasa yang dihadapi saat itu.152 Ukuran keadilan dipandang berbeda baik secara absolut maupun secara relatif. Keadilan absolut berlaku dimana saja dan kapan saja, sedangkan keadilan relatif diberlakukan berbeda-beda menurut tempat dan waktunya. Perbedaan ukuran berlakunya keadilan menjadi dasar bagi pemerintah dalam memilih kebijakan penyelesaian out of court settlement diluar dogma keadilan berlaku secara universal. Hukum pidana hanya merupakan salah satu cara saja, maka secara bersamaan juga perlu dilakukan upaya-upaya lain secara sinergis untuk menanggulangi kejahatan. Walaupun demikian penggunaan hukum pidana tetap diperlukan sebagai sarana pencelaan masyarakat dan negara terhadap kejahatan dan pelakunya, dengan memperhatikan 6 152
Abdul Rahman Saleh, op. cit., hlm. 329.
prinsip menurut Nigel Walker, salah satu diantaranya hukum pidana tidak digunakan bila masih ada cara lain yang lebih baik dan damai.153 Terlepas digunakan atau tidaknya prinsip pembatasan hukum pidana tersebut dalam penyelesaian kasus BLBI, serangkaian kebijakan yang diambil pemerintah mengarah pada penggunaan out of court settlement dinilai lebih baik dan damai untuk diterapkan dimana pemerintah tetap konsisten melakukan asset tracing terhadap 8 (delapan) obligor yang dilakukan mulai 1 Januari 2007. Kelanjutan asset tracing akan diikuti dengan melakukan lelang aset yang hasilnya akan dimasukkan dalam kas negara melalui mekanisme konversi aset menjadi uang tunai oleh Panitia Urusan Piutang Negara dibawah Departemen Keuangan dengan target kurang lebih 6 (enam) bulan. Konsistensi pemerintah akan terus berlanjut, bahkan bila aset yang diperoleh dan kemudian dilelang tersebut tidak mencukupi jumlah utang, melakukan pengejaran karena konteksnya adalah kas Negara.
154
Namun demikian hendaknya
terhadap obligor yang tidak kooperatif segera ditentukan batas waktu pengejaran, bila tidak maka pertimbangan yang mendasari penggunaan out of court settlement atas adanya prinsip biaya dan hasil tidak berlaku karena biaya operasional yang harus disediakan untuk jangka waktu tak terbatas dengan hasil minimum.
4) Inefektivitas sarana penal
153
Prinsip yang membatasi penggunaan hukum pidana menurut Nigel Walker meliputi. 1. Hukum pidana tidak digunakan dengan tujuan semata-mata untuk pembalasan; 2. Tindak pidana yang dilakukan harus menimbulkan kerugian dan korban yang jelas. 3. Hukum pidana tidak digunakan bila masih ada cara lain yang lebih baik dan damai. 4. Kerugian yang ditimbulkan pemidanaan harus lebih kecil daripada akibat tindak pidana. 5. Mendapat dukungan masyarakat. 6. Dapat diterapkan secara efektif. Lihat dalam Barda Nawawi Arief, Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, op. cit., hlm.78. 154
http://m.detik.com/read/2006/12/26.
Perkembangan penyelesaian kasus-kasus pidana dalam praktik ini menyimpang dari paradigma lama yang dianut dalam sistem hukum pidana klasik yaitu tujuan pidana untuk efek jera bagi pelaku dan fungsi preventif bagi orang lain mengarah pada model penyelesaian dengan restoratif-rehabilitatif yang diambil dari spirit penyelesaian menurut hukum adat yang telah dimodernisasi untuk memulihkan keadaan, meskipun sulit diterima masyarakat dan dipandang tidak sejalan dengan rasa keadilan masyarakat,
155
terutama keadilan yang menetapkan
standar umum untuk memperbaiki perilaku dan tujuan yang hendak dicapai
melalui ukuran yang obyektif
bahwa hukum harus
memperbaiki kejahatan dan ganti rugi harus memulihkan keuntungan yang tidak sah.156 Pemerintah melalui Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge menawarkan penyelesaian yang dibayar dengan kepastian hukum berupa pelepasan dari segala proses hukum. Prosedur hukum inilah yang dihindari oleh para debitur sehingga sedapat mungkin dilakukan agar aparat hukum bersedia “menggeser” wilayah hukum dari pidana ke wilayah hukum perdata. Pergeseran hukum dari pidana ke perdata merupakan bentuk dekriminalisasi yang hanya ditentukan berdasarkan kebijakan pemegang wewenang. Perubahan masyarakat yang begitu cepat kadang tidak dapat diikuti oleh hukum yang ada, dimana hukum harus mengikuti perubahan tersebut. Suatu proses dekriminalisasi yang mempengaruhi pengambilan keputusan pemegang kebijakan berupa keragu-raguan yang kuat akan tujuan yang ingin dicapai dengan penetapan sanksi-sanksi negatif tertentu dan terbatasnya
155
156
efektivitas
sanksi-sanksi
negatif
tertentu
sehingga
Romli Atmasasmita, op. cit., hlm. 73.
Aristoteles membedakan keadilan atas keadilan distributif dan keadilan korektif. Dalam Khudzaifah Dimyati, op.cit, 2005, hlm. 53.
penerapannya akan menimbulkan pudarnya kewibawaan hukum.157 Keraguan akan tujuan yang hendak dicapai dengan menetapkan sanksisanksi negatif berupa penjatuhan pidana pada debitur yang tidak kooperatif menjadikan pertimbangan bagi pemerintah untuk tetap konsisten menyelesaikan kasus dana BLBI secara out of court settlement, selain itu prioritas utama adalah pengembalian uang negara mengingat situasi ekonomi yang membutuhkan kecepatan pengambilan keputusan. Penilaian bahwa out of court settlement lebih mampu menjadi upaya penyelesaian kasus BLBI disebabkan adanya pandangan bahwa proses peradilan justru memakan waktu yang lama, dengan biaya dan tenaga yang tidak sedikit untuk pengembalian uang negara.158 Penegakan hukum di negara berkembang, termasuk Indonesia, masih terdapat kelemahan dalam bidang politik, ekonomi, keuangan, dan iklim perbankan yang kurang bahkan tidak sehat, sehingga penegakan hukum pidana sulit dilaksanakan secara konsisten dan sesuai dengan asas kepastian hukum serta imparsialitas peradilan masih diragukan.159 Kejahatan merupakan gejala, dimana sebab-sebab yang menjadi faktor kondusif timbulnya kejahatan tidak dapat diatasi dengan hanya menggunakan upaya “penal”, disinilah letak keterbatasan jalur “penal” 157
Soerjono Soekanto, loc. cit., hlm. 156. Suatu proses dekriminalisasi yang mempengaruhi pengambilan keputusan pemegang kebijakan, antara lain : 1. Sanksi secara sosiologis merupakan persetujuan atau penolakan terhadap pola perilaku tertentu. 2. Adanya kemungkinan nilai-nilai masyarakat mengenai sanksi negatif tertentu terhadap perilaku tertentu mengalami perubahan. 3. Timbul keragu-raguan yang kuat akan tujuan yang ingin dicapai dengan penetapan sanksisanksi negatif tertentu. 4. Adanya keinginan yang kuat, bahwa biaya sosial untuk menerapkan sanksi-sanksi negatif tertentu sangat besar. 5. Terbatasnya efektivitas sanksi-sanksi negatif tertentu sehingga penerapannya akan menimbulkan pudarnya kewibawaan hukum. 6. 158
Mokhamad Najih, op. cit., hlm. 35. Bandingkan dengan Soerjono Soekanto, ibid., hlm.
159
Romli Atmasasmita, op. cit., hlm. 75.
156.
yang perlu ditunjang dengan oleh jalur “non penal”. Demikian pula dengan efektivitas sarana penal masih diragukan atau setidak-tidaknya tidak diketahui seberapa jauh pengaruhnya.160
3. Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Korupsi BLBI Melalui Sarana Penal Pemberian kredit likuiditas Bank Indonesia lebih dikenal dengan istilah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)161 diberikan oleh Bank Indonesia dari segi yuridis dalam melaksanakan fungsinya sebagai lender of last resort162 merupakan penyediaan likuiditas oleh bank sentral pada lembaga keuangan atau pasar karena terjadi shock secara tiba-tiba sehingga menyebabkan peningkatan permintaan likuiditas secara abnormal yang tidak
160
Johannes Anderson menyatakan bahwa bekerjanya hukum pidana harus dilihat dari keseluruhan, karena adanya saling mempengaruhi antara hukum dan faktor-faktor lain yang membentuk sikap dan tindakan. Sedangkan menurut Karl O. Christiansen menyatakan adanya pertimbangan politik kriminal yang rasional dimana pengaruh pidana terhadap masyarakat luas sulit untuk diukur. Lebih lanjut dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, op. cit., hlm. 44-49. 161
Istilah BLBI atau liquidity support dikenal sejak 15 Januari 1998 sebagaimana ditegaskan pemerintah dalam Letter of Intent dengan International Moneter Fund (IMF) yang menyatakan pentingnya bantuan likuiditas Bank Indonesia pada perbankan menjadi salah satu prasyarat cairnya bantuan IMF. Dalam arti luas liquidity support meliputi kredit subordinasi, Kredit Likuiditas Darurat dan fasilitas diskonto I dan II. Namun BLBI saat itu mencakup bantuan likuiditas pada bank untuk menutup kekurangan likuiditas berupa saldo debet, fasilitas diskonto SBPU khusus serta talangan untuk membayar kewajiban luar negeri. http://www.scribd.com/doc/7425750/Awalil-Rizky-Nasyith-Majidi-Bank-Bersubsidi-Yang Membebani, loc.cit., 10 Oktober 2009, 22.45 WIB. Bantuan Likuiditas Bank Indonesia merupakan dana bank sentral yang dipergunakan untuk memberikan bantuan likuiditas kepada perbankan dalam jumlah besar dalam rangka menghindari efek negatif pada sistem perbankan. Lihat dalam Kusumaningtuti, loc. cit., hlm. 91-94. Soedrajad Djiwandono mendefinisikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia sebagai fasilitas yang diberikan Bank Indonesia untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran dan sektor perbankan karena ketidakseimbangan antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank baik jangka pendek maupun jangka panjang. Lihat dalam Marwan Batubara, loc. cit., hlm. 2. Lihat juga dalam Indonesian Corruption Watch, loc. cit., hlm 3. 162
Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Indonesia menyebutkan bahwa Bank (BI) dapat pula memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank umum untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat. Pasal 37 ayat (2) huruf b UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan bahwa dalam hal suatu bank mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia dapat mengambil tindakan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
dapat dipenuhi oleh sumber-sumber lainnya.163 Bantuan likuiditas dalam berbagai bentuk dan jenis yang diberikan kepada bank penerima menurut tujuannya, dana BLBI diperuntukkan membayar dana pihak ketiga (masyarakat). Namun pada kenyataannya juga digunakan untuk membayar transaksi bank yang tidak layak dibiayai oleh dana BLBI. Bantuan likuiditas pada awalnya merupakan obyek dalam hukum perdata, karena adanya hubungan hukum dalam bentuk perjanjian atau kontrak sebagai kreditur dan debitur. Kelemahan dalam pemberian kredit likuiditas darurat, antara lain ketidakjelasan kriteria bank yang dapat dipilih sebagai bank penerima kredit, prosedur pengawasan yang kurang efektif, dan adanya moral hazard penyalahgunaan bantuan oleh pemilik dan pengurus bank, serta mismanajemen dalam bank bersangkutan merupakan salah satu masalah internal yang menyebabkan terjadinya krisis perbankan, termasuk fungsi pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia yang dilakukan tidak sesuai dengan prosedur membuka celah bagi debitur menyalahgunakan dana BLBI.164 Timbulnya penyalahgunaan dana BLBI yang mengakibatkan timbulnya kerugian keuangan Negara membawa implikasi pada bergesernya hubungan hukum dari hukum perdata menuju hukum pidana menjadi dasar penyelesaian pengembalian dana BLBI.
163
Suatu bank tidak dapat menolak penarikan dana nasabah dan kreditur lainnya, meskipun dana dalam rekening giro bank tidak mencukupi sehingga harus mencari sumber pendanaan lain, baik simpanan bank itu sendiri atau pinjaman yang diperoleh dari bank lain. Bilamana pandanaan masih tidak mencukupi, maka kekurangan pembayaran akan diambil dari rekening giro bank bersangkutan di BI. Pada saat terjadi krisis, bank-bank yang telah bersaldo negatif tetap diperbolehkan melakukan kliring untuk mempertahankan stabilitas perbankan di masyarakat. Lihat dalam Marwan Batubara, loc. cit., hlm. 4. 164
Struktur perbankan Indonesia dikatakan rentan karena pelaksanaan liberalisasi yang terlalu cepat, ditandai dengan pertumbuhan jumlah bank yang pesat tidak disertai dengan ketentuan prudensial dan pengawasan yang memadai oleh bank sentral, lemahnya penerapan prinsip good corporate governance karena konsentrasi kepemilikan amat tinggi, terjadi economic boom dan integrasi keuangan internasional. Sehingga perbankan Indonesia tidak siap dalam menghadapi krisis keuangan yang terjadi di Asia pada tahun 1997. Kusumaningtuti, op.cit., hlm. 2.
Terkait dengan tugasnya Badan Pemeriksa Keuangan melakukan audit investigasi terhadap kewajiban bank-bank penerima BLBI kepada pemerintah sebagai berikut.165 Tabel I. Kewajiban bank-bank penerima BLBI kepada pemerintah Deskripsi Bank Beku Operasi (BBO), 10 bank Bank Take Over (BTO), 5 bank Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU), 18 bank Bank Dalam Likuidasi (BDL), 15 bank Total
Jumlah (Rp. juta) 57.686.947 57.639.214 17.320.988 11.888.937 144.536.086
Hasil audit investigasi yang dilakukan oleh BPK menemukan adanya penyimpangan dalam penyaluran BLBI oleh BI dan penyimpangan penggunaan BLBI oleh bank penerima, yaitu : 166 Tabel II. Penyimpangan penyaluran BLBI dan penyimpangan penggunaan BLBI Temuan Investigasi
Audit BLBI disalurkan
yang Potensi kerugian % Negara/penyimpangan (Rp. juta)
165
Kewajiban bank-bank penerima BLBI kepada pemerintah. Dalam Indonesian Corruption Watch, op. cit., hlm 5. Lihat juga Lampiran II Bank-bank penerima BLBI per 29 Januari 1999. Dalam Marwan Batubara, loc.cit. hlm. 43. Pemeriksaan investigasi diupayakan untuk menstabilkan keuangan Negara pada posisi semula. Setelah pemeriksaan berakhir dilaksanakan, pemeriksa wajib menyusun laporan hasil pemeriksaan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pemeriksaan yang dilaksanakan dan jika diperlukan dapat diususun laporan intern pemeriksaan yang diterbitkan sebelum suatu pemeriksaan secara keseluruhan dengan tujuan untuk segera dilakukan tindakan pengamanan dan/atau pencegahan bertambahnya kerugian Negara. Lihat dalam Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 66. 166
Kewajiban bank-bank penerima BLBI kepada pemerintah. Dalam Indonesian Corruption Watch, op. cit., hlm 5. Lihat juga Lampiran III Daftar potensi kerugian negara dalam penyaluran BLBI. Dalam Marwan Batubara, loc.cit. hlm. 44-45.
138.442.026 95.78 A. Penyaluran BLBI 144.536.086 oleh BI 18.163.169 18.163.169 100 1. Saldo debet 28.231.481 28.231.481 100 2. FSBUK 54.460.895 54.460.895 100 3. Fasilitas Saldo 28.530.968 28.530.968 100 Debet 5.335.003 142.903 2.68 4. New Fasdis 9.814.570 8.912.610 80 5. Dana talangan Rp. 6. Dana talangan valas 84.842.162 58.70 B. Penggunaan BLBI 144.536.086 oleh bank penerima Audit yang dilakukan oleh BPK secara umum menyimpulkan, dalam
pemberian dana talangan valas kepada perbankan nasional terdapat penyimpangan yang dilakukan BI, yaitu. 167 a. Tidak melakukan prosedur verifikasi dan konfirmasi yang memadai sebelum melaksanakan pembayaran valas. b. Melakukan pengikatan jaminan yang tidak sepenuhnya dapat menjamin pengembalian dana talangan dari bank debitur dalam negeri yang mendapat pinjaman dana talangan valas. c. Melakukan pembayaran yang menyalahi ketentuan. d. Tidak menciptakan prosedur pengendalian terhadap penggunaan dana talangan valas oleh bank debitur dalam negeri dan pengembalian valas dari kreditur luar negeri. Dari total penerimaan dana BLBI pada 48 bank, senilai Rp.144,53 triliun, telah ditemukan penyimpangan-penyimpangan mencapai nilai Rp.84,84 triliun atau 59,7% dari keseluruhan dana BLBI, diuraikan sebagai berikut. 168
167
Indonesian Corruption Watch, op. cit., hlm 7. Sumber Laporan Audit BPK No.06/01/Auditama II/ AI/VII/2000. Laporan audit investigasi yang dilakukan oleh BPK dan BPKP menyebutkan bahwa kerugian Negara juga disebabkan oleh peranan BI, antara lain pengawasan perbankan, lalai dalam melakukan pengamanan terhadap bank yang dalam laporannya terindikasi pelanggaran BMPK, prinsip prudential, dan kejanggalan mutasi akuntasi. 168
Sumber Laporan Audit BPK No.06/01/Auditama II/ AI/VII/2000, dalam ibid.
Tabel III. Uraian penyimpangan penggunaan BLBI No . 1
Uraian Penyimpangan
Jumlah (Rp.juta) BLBI digunakan untuk membayar/melunasi modal 46.088 pinjaman atau pinjaman subordinasi 2 Untuk membayar/melunasi kewajiban pembayaran 113.812 bank umum yang tidak dapat dibuktikan P kebenarannya berdasarkan dokumen yang lazim untuk transaksi sejenis 3 Untuk membayar kewajiban kepada pihak terkait 18.505.140 4 Untuk transaksi surat berharga 136.902 5 E Untuk membayar/melunasi dana pihak ketiga yang 4.469.316 melanggar ketentuan 6 Untuk membiayai kontrak derivative baru atau 22.363.682 kerugian karena kontrak derivatif lama yang jatuh tempo/ cut loss 7 Untuk membiayai placement baru di PUAB 9.822.383 8 Untuk membiayai ekspansi kredit atau 15.812.953 merealisasikan kelonggaran tarik dari komitmen yang sudah ada 9 Untuk membiayai investasi dalam aktiva tetap, 456.357 pembukaan cabang baru, rekrutmen personal baru, P peluncuran produk baru, penggantian system baru. 10 Untuk membiayai over head bank umum 87.144 11 Untuk membiayai lain-lain yang tidak termasuk 10.028.324 butir 1-10 di atas Jumlah 84.842.162 Penyimpangan terbesar dilakukan oleh 5 bank, yang mencapai 74% dari total penyimpangan 48 bank penerima BLBI, yaitu : 169
Tabel IV. 5 (lima) besar penyimpangan BLBI Nama Bank
Nilai
penyimpangan %
Pemilik
BLBI Bank Dagang 24,47 triliun Nasional Indonesia
28,84 Sjamsul Nursalim
Lihat juga Lampiran 4 Daftar potensi kerugian Negara dalam penyimpangan penggunaan BLBI berdasarkan bank penerima per 29 Januari 1999. Dalam Marwan Batubara, op. cit. hlm. 46-47. 169
Sumber Laporan Audit BPK No.06/01/Auditama II/ AI/VII/2000, dalam ibid., hlm. 7. Lihat juga dalam Munir Fuady, op. cit., hlm. 106.
Bank Central Asia
15,82 triliun
Bank Danamon
13,8 triliun
Bank Umum 5,09 triliun Nasional (BUN) Bank Indonesia 3,66 triliun Raya (BIRA)
18,64 Soedono Salim 16,27 Usman Admadjaja 6,00 Bob Hasan 4,31
Atang Latief
Potensi kerugian Negara akibat penyimpangan-penyimpangan tersebut diatas disebabkan adanya fakta-fakta, yaitu : 1. BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp.144,53 triliun (posisi 29 Januari 1999) 2. Pemerintah harus membayar bunga kepada BI sebesar 3 % per tahun dari nilai BLBI setelah disesuaikan dengan Indeks Harga Konsumen. 3. Bank-bank penerima BLBI belum mengembalikan BLBI kepada pemerintah. 4. Apabila BLBI tersebut tidak dialihkan menjadi kewajiban pemerintah, sesuai dengan pedoman akuntansi BI, BLBI kepada BBO/BBKU/BDL akan disisihkan sebagai kerugian 100% dan untuk BLBI kepada BTO akan disisihkan sebagai kerugian 2-20%. 5. BPPN dan tim likuidasi Bank-Bank Dalam Likuidasi melakukan upaya pengembalian BLBI, tetapi karena membutuhkan waktu, potensi kerugian Negara saat audit dilakukan belum bisa dihitung. 6. BLBI kepada BTO akan dikonversi menjadi penyertaan (equity) pemerintah, pengembalian BLBI akan sangat tergantung dari divestasi yang dilakukan. Berdasarkan data-data berkaitan dengan penyimpangan BLBI baik dalam hal penyaluran oleh BI maupun penggunaannya oleh bank penerima sebagaimana diuraikan diatas, maka dapat ditemukan adanya unsur-unsur tindak pidana dalam BLBI, antara lain sebagai berikut : 1. Penggunaan BLBI diluar ketentuan yang telah ditentukan. Dana kredit likuiditas (BLBI), pada prinsipnya hanya boleh dipergunakan untuk membayar nasabah, namun beralih pada penggunaan lain sebagaimana diuraikan dalam Tabel III diatas, telah memenuhi unsur tindak pidana melawan hukum. Uraian salah satu
unsur inilah yang dapat memasukkan penyimpangan-penyimpangan dalam kasus BLBI dalam ranah hukum pidana.170 2. Pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) Pembatasan pemberian kredit kepada kelompok sendiri, dikenal dengan BMPK sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Pasal 1 ayat 4 tidak melebihi 10 persen (10%) modal bank, namun pada kenyataannya kredit diberikan pada unit usaha yang dimiliki oleh pemilik bank yang bersangkutan melebihi batas yang telah ditetapkan.171 Pelanggaran BMPK sesuai dengan Pasal 49 ayat 9 (2) jo. Pasal 50 jo. Pasal 50 A UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan merupakan tindak pidana. 3. Pemberian fasilitas kliring yang diberlakukan BI meskipun rekening bank yang bersangkutan telah bersaldo negatif. Keadaan perekonomian yang tidak stabil tidak dapat dijadikan alasan yang membenarkan proses kliring terhadap bank yang bersaldo negatif tetap berlangsung, melainkan seharusnya mengambil tindakan untuk menghentikan operasional bank bersangkutan, melakukan rekapitulasi tanggungan kewajiban pada pihak ketiga terutama nasabah. Selain itu BI dalam melakukan pengikatan jaminan tidak sepenuhnya dapat menjamin
170
Penyalahgunaan dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang dilakukan para bankir pemerintah dan swasta penerima BLBI merupakan salah satu bentuk kejahatan bisnis. Hasil audit BPK, 31 Juli 2000 menyebutkan, dari Rp 144,5 triliun BLBI yang dikucurkan ke 48 bank umum nasional, sebesar Rp 138,4 triliun atau 96 persen dinyatakan berpotensi merugikan Negara, karena kurang jelas pengunaannya. BPK menemukan penyalahgunaan sebesar Rp 84,8 triliun, antara lain sebesar Rp 22,5 triliun digunakan untuk membiayai kontrak derivatif atau spekulasi valas. Audit yang dilakukan BPKP terhadap 42 bank penerima BLBI, 17 Juli 2000, menemukan penyalahgunaan sebesar Rp 53,4 triliun penyalahgunaan yang berindikasi tindak pidana korupsi dan tindak pidana perbankan dan Rp 1,159 triliun penyalahgunaan non tindak pidana korupsi atau non tindak pidana perbankan. Penyalahgunaan BLBI paling besar menurut audit BPKP adalah spekulasi valas, membiayai ekspansi kredit, dan membayar kepada pihak terkait. Jurnal Hukum Bisnis, Volume 27-No 2 Tahun 2008, loc.cit., hlm. 49. Lihat juga dalam artikel BLBI dan Hukum Yang Bungkam http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=236155&kat_id=16. 171
Samsul Nursalim sebagai pemilik BDNI menurut kantor akuntan Ernst and Young bahwa seluruh kredit per 13 April 1998 sebesar Rp 16,904 triliun, dimana 75,6 persen (75,6%) dari seluruh uang dipinjamkan sebagai kredit. Lihat dalam Kwik Kian Gie, loc. cit., hlm. 168.
pengembalian dana talangan dari bank debitur dalam negeri yang mendapat pinjaman dana talangan valas. 172 4. Penggelembungan nilai aset oleh debitur BLBI dalam upaya menutup kewajiban yang harus dibayarkan pada pemerintah. Menurut audit BPK, dari total jaminan aset yang diserahkan ke BPPN dari BI senilai Rp. 132,77 triliun, sedangkan besaran dana BLBI yang dikeluarkan pemerintah senilai Rp. 144,5 triliun. Adapun nilai komersial aset hanya mencapai Rp. 12,29 triliun, sehingga terdapat penggelembungan aset sebesar Rp. 120,5 triliun oleh pihak perbankan. Selebihnya tidak mempunyai nilai komersial, misalnya tidak likuid, bermasalah dengan hukum dan fiktif. Namun demikian dengan nilai aset yang jauh dari laporan yang diberikan, debitur tetap menerima fasilitas release and discharge berupa SKL sehingga bebas dari tuntutan pidana.173 Penggelembungan nilai aset dilakukan oleh para debitur, salah satu diantaranya adalah Syamsul Nursalim (SN). Berdasarkan MSAA kewajiban pembayaran SN mencapai Rp. 28.408 triliun, dengan skema pembayaran sebagai berikut : a. Pembayaran tunai senilai Rp. 1 triliun. b. Pembayaran dengan penyerahan aset dengan perkiraan mencapai Rp. 27,4 triliun. Review ulang yang dilakukan oleh BPK atas aset-aset tersebut hanya mencapai Rp. 25,131 triliun (8,6%) dari nilai yang disepakati sebelumnya. Penurunan aset terbesar adalah perusahaan tambak Dipasena, penilaian aset oleh Credit SuisseFirast Boston dan SN mencapai Rp. 19,961 triliun sedangkan penilaian yang dilakukan oleh
172
Indonesian Corruption Watch, loc. cit., hlm. 7. Sumber Laporan Audit BPK No.06/01/Auditama II/ AI/VII/2000. Laporan audit investigasi yang dilakukan oleh BPK dan BPKP menyebutkan bahwa kerugian Negara juga disebabkan oleh peranan BI, antara lain pengawasan perbankan, lalai dalam melakukan pengamanan terhadap bank yang dalam laporannya terindikasi pelanggaran BMPK, prinsip prudential, dan kejanggalan mutasi akuntasi. 173
Marwan Batubara, op.cit., hlm. 182-183.
PricewaterhouseCoopers sepengetahuan DPR hanya mencapai kurang dari Rp. 1 triliun.174 Mark up nilai aset dari nilai sesungguhnya merupakan suatu tindak pidana melanggar Pasal 49 ayat 1 Undangundang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan berkaitan dengan pencatatan laporan keuangan yang dilakukan dengan sengaja diancam dengan pidana paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 10 miliar.175 Penyalahgunaan dana BLBI merupakan suatu bentuk tindak pidana korupsi yang dikenal dengan istilah kejahatan kerah putih (white collar crime), White collar crime sebagai kegiatan di bidang bisnis sering terjadi dalam bentuk penyampaian laporan keuangan suatu perusahaan secara tidak benar, penyuapan pejabat publik, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk memperoleh kemudahan dan penyimpangan penggunaan dana termasuk dalam kasus penyalahgunaan BLBI.176 Maka penyelesaian pengembalian uang negara dalam bentuk utang yang diberikan berupa dana BLBI yang bertujuan membayar pihak ketiga (masyarakat) sebagai nasabah telah berkembang menjadi perkara pidana. Penyalahgunaan dana BLBI yang menimbulkan kerugian keuangan negara dinilai telah cukup memenuhi rumusan pidana berdasarkan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 untuk membawa kasus-kasus BLBI itu ke dalam proses peradilan untuk dimintakan pertanggungjawaban pidana. 174
Ibid. hlm. 188-189. Lihat juga dalam Lihat dalam Kwik Kian Gie, op. cit., hlm. 172-
174. 175
Lihat Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Pasal 49 ayat 1 huruf a,b,dan c. 176
Dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland pada 1939, white collar crime diartikan sebagai kejahatan yang dilakukan oleh orang terhormat dan mempunyai status sosial yang tinggi dalam pekerjaannya. Lihat dalam M. Arief Amrullah, loc. cit., hlm. 21-25. Kejahatan bisnis telah memasukkan konsep hukum pidana dengan sifat memaksa kedalam lingkup hukum perdata sebagai penerimaan (kooptasi). Implikasinya pada pola penyelesaian antara kooptasi hukum pidana dalam lingkup hukum perdata secara mutlak, sehingga tidak terdapat bargaining dan masih adanya ruang untuk melakukan tawar-menawar dalam pola penyelesaian dimaksud, lihat dalam Romli Atmasasmita, op.cit., hlm. 38-39.
Pertanggungjawaban
pidana
juga
dapat
dilakukan
terhadap
pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) terjadi karena pemberian kredit bank yang seharusnya dibatasi pada unit usaha
yang
dimiliki oleh pemilik bank yang bersangkutan, sebesar 10 persen (10%) modal bank, tidak dipatuhi sehingga dinilai telah melanggar UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Undang-Undang Perbankan. Atas dasar kerugian-kerugian baik fisik, sosial maupun ekonomi dari kejahatan korporasi, maka sangat beralasan jika kebijakan kriminal (criminal policy) diorganisasikan secara sistematis guna penanggulangan kejahatan korporasi. Kebijakan tersebut harus menggunakan secara berpasangan baik langkah-langkah yuridis (penggunaan hukum perdata, hukum administrasi dan hukum pidana) maupun langkah-langkah nonyuridis, yakni dalam bentuk tindakan-tindakan pencegahan dalam rangka mengatasi kendala-kendala penggunaan bidang hukum lainnya. Dalam kerangka
langkah-langkah
yuridis,
sekalipun
pada
umumnya
pendayagunaan hukum perdata dan hukum administrasi merupakan primum remedium dan hukum pidana sebagai ultimum remedium, diharapkan dalam hal-hal tertentu penggunaan hukum pidana dapat diutamakan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut. (1) Tingkat kerugian yang diderita publik; (2) Tingkat keterlibatan corporate managers; (3) Lamanya masa pelanggaran; (4) Frekuensi pelanggaran oleh korporasi; (5) Buktibukti kesengajaan tindak pidana; (6) Bukti telah terjadinya penyuapan; (7) Reaksi negatif dari media massa; (8) Preseden dalam hukum; (9) Riwayat kejahatan serius yang dilakukan korporasi; (10) Kemungkinan pengaruh pencegahan; (11) Tingkat kerjasama yang ditunjukkan oleh korporasi. 177 Kejahatan ekonomi atau “white collar crime” mencakup pula kejahatan korporasi, yakni setiap perbuatan yang dilakukan oleh korporasi yang diancam sanksi, baik itu hukum administrasi, hukum perdata atau 177
Muladi, op. cit., hlm. 150.
hukum pidana. Kejahatan ekonomi seringkali terdapat batas yang sempit antara legalitas, ilegalitas dan kriminalitas (mala prohibita) dan bukan “mala in se”. Pelaku sering merasakan dirinya bukan “sungguh-sungguh jahat” tetapi lebih karena kesialan ( unfortunate mistake) atau secara teknis tidak berbuat apa yang diharuskan (technical omission). Krisis moneter yang terjadi secara sistemik di seluruh wilayah Asia sehingga sulit untuk dibendung ketika krisis ini menjalar pada perbankan nasional dijadikan alasan oleh debitur dalam mempertanggungjawabkan kesalahannya.178 Kejahatan ekonomi, khususnya kejahatan korporasi, telah menjadi perhatian nasional maupun internasional karena dimensinya cukup luas dilihat dari sudut korban yang menanggung akibatnya (viktimologi), seperti perusahaan saingan, negara, karyawan, konsumen, masyarakat, dan pemegang saham. Belum lagi kerugian tidak langsung seperti biaya sistem peradilan yang mahal, karena biasanya kasus dan sasaran korbannya juga sangat kompleks. Faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya kejahatan ekonomi karena ciri-ciri sebagai berikut: kompleks, difusi tanggung jawab, difusi korban, sulit dideteksi, sanksi kurang berat serta hukum dan status pelaku yang mendua. Hukum pidana, menurut Utrecht, memberi suatu sanksi istimewa, baik atas pelanggaran hukum privat maupun atas pelanggaran hukum publik.179 Hukum pidana melindungi kepentingan yang diselenggarakan oleh peraturan-peraturan hukum privat maupun hukum publik dengan membuat sanksi istimewa karena kadang-kadang perlu diadakan tindakan pemerintah yang lebih keras. Tindakan keras inilah yang umumnya dianggap mampu memberi efek jera bagi pelakunya sekaligus diharapkan mampu mengembalikan rasa kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan pemerintah terkait dengan kasus penyalahgunaan dana BLBI yang dilakukan 178
Pengaturan perbankan yang berdasarkan prinsip kehati-hatian, termasuk pengaturan yang berkenaan dengan kecukupan modal, sebenarnya telah diperkenalkan jauh sebelum krisis Kusumaningtuti, loc. cit., hlm. 4-5. 179
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, loc. cit., hlm. 10.
pada saat terjadi krisis perbankan dan moneter di Indonesia pada tahun 1997. Prinsip hukum pidana sebagai primum remidium bukan suatu hal yang mustahil dengan tetap mempertimbangkan kemanfaatan sarana hukum pidana untuk memulihkan kerugian keuangan negara dan kerugian pada pihak ketiga sebagai akibat dari tindak pidana korupsi dalam bidang keuangan dan perbankan.180 remidium jika:
Hukum pidana dapat menjadi primum
181
a. korban sangat besar; b. terdakwa residivis; c. kerugian tidak dapat dipulihkan. Salah satu alasan yang memperkuat penggunaan fungsi hukum pidana sebagai primum remidium dalam kejahatan bisnis yang didalamnya tidak terdapat ruang untuk tawar-menawar antara pola penyelesaian melalui hukum perdata dan hukum pidana adalah besarnya korban baik masyarakat sebagai nasabah dan negara sebagai penanggung jawab kestabilan sistem perbankan nasional yang memberikan dana BLBI untuk menalangi sementara bagi para nasabah. Bahkan pengembaliannya melalui out of court settlement yang ditempuh secara konsisten oleh pemerintah selama ini dari berbagai tagihan pembayaran dari para obligor belum mampu menutup jumlah kerugian yang diderita negara dan akibatnya bagi perekonomian negara. Menurut catatan Indonesian Corruption Watch (ICW), sejak kasus BLBI ditangani Kejaksaan Agung pada tahun 2000 hingga tahun 2005, dari 65 orang tersangka yang telah dilakukan pemerikaan, baru 16 orang tersangka yang kasusnya dilimpahkan ke pengadilan, sebagai berikut. 180
Permasalahan yang muncul adalah mengenai pemilihan dan penetapan pidana apa yang paling tepat dengan melihat dari segi manfaat dijatuhkannya pidana, sebagaimana diungkapkan Bentham “punishment ought not to be inflicted if it is groundless, needless, unprofitable or inefficacious” Lihat dalam Barda Nawawi dan Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, loc.cit., hlm. 132. 181
Menurut H.G de Bunt dalam Romli Atmasasmita, op.cit., hlm. 77.
Pengadilan atas 16 Orang Tersangka BLBI 182 No. Vonis Pengadilan 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Seumur hidup (in absentia) 20 tahun penjara (in absentia) 8 tahun penjara 4 tahun penjara Dibawah 1 tahun Bebas
Jumlah (orang) 3 orang 2 orang 1 orang 1 orang 6 orang 3 orang
Total
16 orang
Proses hukum melalui peradilan pidana bukannya tidak ada namun demikian proses hukum berlangsung demikian lambat, hal ini nampak dari sejumlah 16 kasus yang dilimpahkan, baru 5 kasus yang telah divonis di tingkat kasasi dan telah in kracht dan putusan tanpa dihadiri terdakwa, karena yang bersangkutan telah melarikan diri. Sedangkan 11 kasus lainnya masih dalam proses dan belum jelas kepastian hukumnya. Hasil yang dicapai dari proses peradilan secara keseluruhan dinilai sangat mengecewakan. Tiga tersangka, yaitu Leonard Tanubrata, Kaharudin Ongko, dan Leo Ardiyanto memperoleh vonis bebas oleh pengadilan. Dari 13 tersangka yang telah divonis penjara oleh hakim di tingkat pertama, banding, atau kasasi, hanya Hendrawan Hartono, terpidana kasus korupsi BLBI Aspac, yang dapat dilakukan eksekusi. Dibutuhkan waktu selama 4 tahun untuk sampai pada putusan yang in kracht setelah adanya putusan Peninjauan Kembali oleh MA dengan vonis 1 tahun penjara. Selebihnya para terdakwa melarikan diri keluar negeri ketika proses hukum berlangsung, 183 termasuk David Nusa Wijaya pemilik Bank Sertivia dan Adrian Kiki selaku pemilik Bank Surya. David Nusa Wijaya adalah pemegang saham non kooperatif meskipun telah menandatangi APU dengan BPPN, dengan JKPS awal Rp. 182
Marwan Batubara, op.cit. hlm. 87. Lihat juga dalam Indonesian Corruption Watch, op. cit., hlm. 18. 183
Marwan Batubara, ibid., hlm. 86. Lihat juga dalam Indonesian Corruption Watch, ibid.
3,336 triliun dan turun menjadi Rp. 2,305 triliun berdasarkan JKPS Reformulasi, disamping pelanggaran lain sehingga uang negara yang dapat ditagih kembali hanya sejumlaah Rp. 27,892 miliar atau recovery rate hanya mencapai 0,84%. Sehingga BPPN menyerahkan tindakan hukum atas David Nusa Wijaya pada pihak kepolisian, namun dalam proses hukum yang bersangkutan melarikan diri keluar negeri dan diekstradisi. Selanjutnya dijatuhi vonis satu tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat, pada proses banding di Pengadilan Tinggi divonis empat tahun penjara, dan pada tingkat Mahkamah Agung divonis lebih tinggi yaitu delapan tahun penjara.184 Namun demikian hingga saat ini vonis belum dapat dieksekusi karena terpidana kasus korupsi BLBI kembali melarikan diri keluar negeri. Hal yang sama juga dilakukan oleh terpidana kasus korupsi BLBI Adrian Kiki
Ariawan. Perkembangan terbaru dalam upaya pengejaran
terhadap Adrian Kiki
dimulai dengan keluarnya putusan Pengadilan
Australia (Magistrate of the State of Western Australia) pada 16 September 2009 yang menyatakan bahwa Adrian Kiki dapat diekstradisi ke Indonesia. Meskipun atas putusan ini Adrian Kiki tidak menggunakan hak banding, ektradisi belum dapat dilakukan karena dimungkinkan untuk melakukan sejenis perlawanan dengan menyatakan belum mau diekstradisi untuk menjalani pidana.185 Hukum pidana harus maju kedepan dalam hal dimana hukum lain selain hukum pidana gagal. Sebagaimana dikemukakan Modderman, bahwa negara seharusnya menjatuhkan pidana terhadap hal-hal yang bertentangan dengan hukum, yang tidak dapat dihambat oleh upaya-upaya lain dengan 184
Kwik Kian Gie, op. cit., hlm. 215. Dari 16 orang PSP, mencakup 1 BTO dan 11 BBKU, meskipun telah dikelola oleh BPPN selama empat tahun, tidak memperoleh SKL. Dengan demikian terdapat 7 bank yang dialihkan pada tim penyelesaian BPPN, sedangkan sisanya termasuk David Nusa Wijaya diproses ke lembaga peradilan. Selanjutnya dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 78. Reformulasi JKPS dilakukan setelah default pada batas yang ditentukan yaitu Maret 2004, adapun reformulasi ini memberi keringanan beban utang debitur berupa penurunan kewajiban sebagaimana tercantum dalam APU dan mundurnya tenggang waktu pengembalian kewajiban hingga Maret 2006. 185
http://www.detiknews.com/read/2009/10/15/15:35
baik, sehingga pidana tetap merupakan ultimum remidium.186 Pada kasus David Nusa Wijaya, sarana non penal telah dilaksanakan melalui penandatanganan Akta Pengakuan Utang (APU) dengan BPPN yang kemudian dilakukan reformulasi oleh pemerintah berupa penurunan jumlah kewajiban dan mundurnya jatuh tempo pembayaran yang tidak dipenuhi oleh yang bersangkutan sehingga kemudian penyelesaian terakhir yang ditempuh pemerintah dalam hal ini diwakili BPPN adalah tindakan hukum melalui proses peradilan pidana. Fungsi hukum pidana sebagai ultimum remidium diupayakan sebagai jalan terakhir, meskipun demikian dalam pelaksanaannya terhadap terpidana belum dapat dieksekusi karena lambannya sikap tegas aparat penegak hukum dalam peradilan tindak pidana korupsi. Buruknya penanganan kasus BLBI diperparah dengan kebijakan Jaksa Agung yang menghentikan proses penyidikan dengan mengeluarkan SP3 terhadap debitur BLBI dengan alasan telah memperoleh Surat Keterangan Lunas (SKL) yang dikeluarkan BPPN berdasarkan Inpres No 8 Tahun 2002. Berdasarkan laporan BPK No.34G/XII/11/2006 debitur yang memperoleh Surat Keterangan Lunas (SKL) mencapai 21 orang, 187 antara lain Syamsul Nursalim pemilik BDNI yang belakangan tersandung dalam kasus penyuapan jaksa Urip Tri Gunawan selaku Ketua Tim yang memimpin penyidikan lanjutan kasus BLBI. Pemberian SKL membawa implikasi bagi para debitur dapat dinyatakan bebas dari tuntutan pidana Inpres tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, lebih dikenal dengan Inpres tentang release and discharge. Berdasarkan Inpres ini, para debitur BLBI dianggap sudah
186
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, op. cit., hlm. 10.
187
Lihat dalam Marwan Batubara, op. cit., hlm. 68.
menyelesaikan utangnya, walaupun hanya 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Atas dasar bukti ini, mereka yang diperiksa dalam proses penyidikan akan mendapat SP3. Dan apabila kasusnya dalam proses di pengadilan, maka akan dijadikan novum atau bukti baru yang akan menjadi dasar dibebaskannya para terdakwa. Upaya pengembalian uang Negara termasuk penyelesaian kasus penyalahgunaan
dana
BLBI
sebenarnya
dapat
ditempuh
dengan
menggunakan sarana penal melalui persidangan in absentia bagi terdakwa kasus korupsi BLBI. Berdasarkan catatan ICW, sedikitnya terdapat enam kasus korupsi BLBI pada yang diperiksa dan diputus secara in absentia.188 Persidangan perkara korupsi secara in absentia dapat dibenarkan dalam kerangka hukum positif di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UU No. 31 tahun 1999 diperbaharui dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara tegas menyebutkan jika terdakwa dalam perkara korupsi telah dipanggil secara sah tetapi tetap tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya (in absentia). Meskipun demikian terhadap putusan in absentia tersebut masih dibuka kesempatan bagi terdakwa atau kuasanya untuk mengajukan banding terhadap putusan yang dijatuhkan. Pengkhususan terhadap terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan berupa penetapan oleh hakim atas penuntut umum untuk melakukan
perampasan
barang-barang
yang
telah
disita
dengan
pertimbangan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan 188
Lihat juga dalam artikel Korupsi BLBI dan Persidangan In Absentia http://antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viacat&cid=6. Berdasarkan penelitian diperoleh hasil yang menunjukkan pelaksanaan peradilan in absentia sampai dengan saat ini efektif hanya terhadap pemeriksaan dan putusan perkara pidana terhadap terdakwa yang melarikan diri untuk menghindarkan diri dari penuntutan. Dalam Edi Irsan Kurniawan, Tinjauan Tentang Pemeriksaan Dan Putusan In Absentia Dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi. http://digilib.usu.ac.id/index.php/component/journals/index.php?option=com_journals&id=65&ty pe=19&task=list.
telah melakukan tindak pidana korupsi, dan penetapan perampasan tersebut tidak dapat dimohonkan upaya banding. Peradilan kasus korupsi secara in absentia dinilai memiliki beberapa keuntungan, yaitu : a) Jaminan kepastian hukum Upaya untuk menjamin adanya kepastian hukum, meskipun terdakwa melarikan diri, tetap berlangsung melalui peradilan in absentia. Proses persidangan dari awal hingga vonis tanpa kehadiran terdakwa (in absentia), meskipun diberi kesempata namun tidak menggunakan kesempatan untuk menggunakan haknya di persidangan, terhadap putusan yang telah in kracht tersebut dapat dilakukan eksekusi baik terhadap aset maupun terpidana bilamana tertangkap kembali. b) Keberadaan aset-aset dari pelaku korupsi bisa langsung disita dan dieksekusi, sehingga jumlah kerugian negara dapat ditekan turut ditentukan tindakan aparat penegak hukum untuk secara aktif menangani kasus korupsi terutama tersangka maupun terdakwa yang melarikan diri. Sikap kompromistis pemerintah terhadap debitur BLBI didasarkan pengalaman kegagalan BPPN sebelum dibubarkan dalam penyelesaian kasus korupsi BLBI melalui proses hukum, baik perdata maupun pidana. Mekanisme
yang
menggugat
ke
dimungkinkan pengadilan,
secara atau
perdata melakukan
seperti penyitaan, paksa
badan
(gijzeling/penyanderaan) terhadap debitur yang membandel membayar utang atau tidak mau menyerahkan asetnya. Upaya itu seringkali mengalami kegagalan dan justru mendapat perlawanan, bahkan tidak sedikit yang kalah di pengadilan. Sedangkan ketika diproses secara pidana seperti yang diuraikan sebelumnya, hasilnya jauh dari memuaskan. Bahkan tidak memberikan efek jera, karena pelakunya divonis ringan. Penjatuhan vonis yang dinilai berat sekalipun tidak memberikan efek karena pada kenyataannya terdakwa melarikan diri keluar negeri.
Proses penyelesaian kasus korupsi BLBI yang berjalan lamban, terutama terhadap terdakwa dan terpidana yang melarikan diri keluar negeri, turut dipengaruhi pula perbedaan sistem hukum negara sebagaimana dialami oleh Tim Pemburu Koruptor yang terdiri atas Kejaksaan Agung, Depkumham, Polri, Deplu, dan unsur PPATK dalam kasus Adrian Kiki masih terkendala perlawanan dari yang bersangkutan. Keterbatasan yang menyulitkan membawa kembali terdakwa dan terpidana koruptor untuk menjalani pidananya adalah tidak adanya perjanjian ekstradisi di negara yang menjadi tempat pelarian, misalnya Singapura. Inilah titik dimana pemerintah seharusnya mulai mengambil tindakan tegas dalam upaya mengembalikan uang
negara tidak
hanya
terfokus pada konteks
pengembalian kas negara namun juga mempertimbangkan serangkaian kebijakan penyelesaian kasus BLBI merupakan preseden hukum yang buruk dalam lintasan sejarah hukum Indonesia, dimana asas-asas peraturan perundang-undangan yang berlaku dikesampingkan dengan proses politik singkat untuk memunculkan keabsahan produk hukum sebagaimana terdapat dalam Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge. Sedangkan kebijakan hukum pidana yang terdapat dalam perundangundangan dikesampingkan, upaya non penal hanya efektif dilaksanakan dan dipenuhi oleh beberapa obligor. Namun demikian terhadap obligor yang tidak kooperatif konsistensi pemerintah untuk mengupayakan pengembalian uang negara dengan terus mengejar obligor tidak dibatasi waktu yang tegas hingga kapan dilakukan. Fungsi pidana sebagai ultimum remidium dikesampingkan, pidana dianggap tidak lagi efektif bilamana dikaitkan dengan pengembalian uang Negara karena subyek yang dihadapi adalah pihak yang sangat paham akan proses tawar-menawar hukum, menandatangi perjanjian dengan menyadari sepenuhnya kewajiban yang harus dibayarkan kemudian melakukan melakukan penggelembungan aset jaminan sehingga nilai aset sesungguhnya jauh dari yang dilaporkan serta pelanggaran perbankan lainnya. Namun pidana pula yang juga dinilai efektif diterapkan
sebagai ultimum remidium, setelah upaya out of court settlement melalui pelbagai perjanjian tidak dilaksanakan, pada beberapa kasus korupsi BLBI karena justru proses pidana inilah yang dihindari hingga penawaran pengembalian
yang
berkepastian
hukum
dipilih
sebagai
alternatif
penyelesaian. Memilih
dan
menetapkan
hukum
pidana
sebagai
sarana
menanggulangi kejahatan harus memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung bekerjanya hukum pidana dalam kenyataannya sehingga kriminalisasi harus terus dilakukan evaluasi, karena, menurut Sudarto,189 pengaruh umum pidana hanya dapat terjadi di suatu masyarakat yang mengetahui tentang adanya sanksi pidana namun demikian intensitas pengaruhnya tidak sama antara tindak pidana satu dengan tindak pidana lainnya. Putusan pengadilan terhadap terdakwa kasus korupsi BLBI yang hingga saat ini belum dapat dilaksanakan eksekusinya merupakan bentuk kegagalan tujuan dijatuhkannya pidana baik retributif sebagai upaya pencapaian keadilan terhadap tindak pidana yang telah dilakukan sehingga mengakibatkan kerugian Negara dan utamanya jatuhnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, kegagalan tujuan penjatuhan pidana untuk memperbaiki pelaku karena tanpa eksekusi tidak akan ada pembinaan, maupun kegagalan tujuan pidana sebagai prevensi general dimana pidana mencegah masyarakat atau calon-calon pelaku melakukan tindak pidana yang sama.
189
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, loc. cit., hlm. 20. Penggunaan hukum pidana sebagai salah satu sanksi sosial sebagaimana diungkapkan Nigel Walker memiliki keterbatasan yang harus diperhatikan oleh pembentuk undang-undang sampai dimana tapal batas penggunaan hukum pidana. Lihat dalam Barda Nawawi dan Muladi, op. cit., hlm. 131.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1.
Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge merupakan kebijakan inkremental dalam upaya penyelesaian kasus tindak pidana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang dalam pembuatannya dipengaruhi oleh imbangan kekuatan politik. Berlaku sebagai kebijakan yang menjadi dasar hukum bagi penyelesaian kasus tindak pidana korupsi BLBI, dalam butir-butir Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge terdapat ketidaksinkronan dengan Tap MPR Nomor III/MPR/Tahun 2000 tentang Tata Urutan Perundangundangan yang berlaku sebagai dasar pengaturan sistem norma di Indonesia yang turut mempengaruhi efektivitas hukum. Ketidaksinkronan Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge dengan peraturan perundang-undangan lain diatasnya, antara lain : a. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, meliputi Pasal 1 ayat (3), Pasal 14, dan Pasal 27 ayat (1); b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, meliputi Tap MPR No.IX/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Tap MPR No.VIII/MPR/2001 tentang
Rekomendasi
Arah
Kebijakan
Pemberantasan
dan
Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dan Tap MPR No.X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001; c. Undang-Undang, meliputi (1) Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 4, (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Undang-Undang Perbankan Pasal 49 ayat (2) huruf a, Pasal 50, dan Pasal 50A.
2.
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat ditempuh melalui penggunaan sarana hukum pidana (penal policy) dan sarana diluar hukum pidana (non penal policy). Penggunaan non penal policy berupa penyelesaian secara out of court settlement dalam rangka penyelesaian kasus tindak pidana korupsi kasus BLBI didasarkan atas pertimbangan pemerintah, meliputi. a. Optimalisasi pengembalian uang Negara dari obligor pemegang saham secara out of court settlement melalui mekanisme perjanjian MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreement), MRNIA (Master Refinancing and Note Issuance Agreement), dan APU (Akte Pengakuan Utang) dilihat dari nilai kemanfaatan. b. Konsistensi pemerintah atas jaminan kepastian hukum penyelesaian kasus BLBI melalui out of court settlement hingga dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge sebagai dasar hukum penyelesaian tindak pidana korupsi kasus BLBI. Kebijakan serupa tetap berlanjut pada pemerintah berikutnya dengan melakukan reformulasi perjanjian Akta Pengakuan Utang. c. Penerapan fungsi hukum pidana berlaku sebagai upaya hukum terakhir (ultimum remidium). d. Inefektivitas sarana penal
B. Implikasi 1. Ketidaksinkronan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Release and
Discharge
dengan
peraturan
perundang-undangan
diatasnya,
merupakan preseden hukum terbesar yang dialami Indonesia karena adanya kecacatan hukum baik formil maupun materiil pada kebijakan pemerintah yang kemudian berlaku sebagai dasar hukum penyelesaian tindak pidana korupsi kasus BLBI secara out of court settlement. 2. Mekanisme out of court settlement yang diupayakan dalam rangka pengembalian uang Negara berkaitan dengan tindak pidana korupsi kasus BLBI tidak secara optimal tercapai karena inkonsistensi pelaksanaan
kebijakan dan hukum pidana sebagai ultimum remidium diterapkan secara lambat. C. Saran 1. Kebijakan merupakan keluasan dari kewenangan namun tetap harus berada dalam koridor batas-batas pembentukan kebijakan yang berlaku yaitu asas umum pemerintahan yang baik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perjalanan suatu pemerintahan akan selalu diperlukan adanya suatu kebijakan sehingga preseden hukum dalam penyelesaian kasus BLBI melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham yang melukai rasa keadilan hukum dalam pandangan masyarakat hendaknya tidak terulang kembali dengan melakukan kajian awal sebelum mengeluarkan suatu kebijakan yang menjadi dasar hukum penyelesaian. 2. Runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan lemahnya perekonomian negara merupakan sedikit dari multi akibat tindak pidana di bidang perbankan dalam kasus BLBI. Konsistensi out of court settlement dalam penyelesaian kasus BLBI melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 hendaknya harus dihentikan ketika ternyata upaya tersebut tidak optimal kemudian beralih menggunakan sarana hukum pidana sebagai upaya hukum terakhir yang memungkinkan adanya persidangan in absentia dan mekanisme sita terhadap aset-aset obligor agar menjadi shock therapy bagi pelaku dan tujuan prevensi umum bagi calon-calon pelaku tindak pidana korupsi di bidang perbankan agar tidak terulang kembali mengingat dampaknya bagi perekonomian negara. Disamping upaya represif melalui sarana penal sebagai upaya terakhir sebagaimana tersebut diatas, upaya preventif yang hingga saat ini dinilai lemah adalah fungsi Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Abdul Rahman Saleh. 2008. Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz. Memoar 930 hari di Puncak Gedung Bundar, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta. Bambang Sunggono. 1994. Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta. Barda Nawawi Arief dan Muladi. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana, ctk. I, Alumni, Bandung. ____________________________. 1998. Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung. Barda Nawawi Arief. 2005. Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Ed. Revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung. __________________. 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Ed. Pertama ctk. Ke-1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Burhan Ashshofa. 2004. Metode Penelitian Hukum, ctk. 4, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Esmi Warassih. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama, Semarang. Evi Hartanti. 2007. Tindak Pidana Korupsi, Ed.2, ctk. I., Sinar Grafika, Jakarta. Hans Kelsen. 2006. Teori Umum tentang Hukum dan Negara, ctk. I. Nusamedia. Bandung. Imam Syaukani dan A. Ahsani Thohari. 2004. Dasar-dasar Politik Hukum, Ed.1, ctk. 2, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Johnny Ibrahim. 2007. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Malang.
Khudzaifah Dimyati. 2005. Teorisasi Hukum Di Indonesia, University Press, Surakarta.
Muhammadiyah
Kusumaningtuti. 2009. Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Kwik Kian Gie. 2006. Pikiran Yang Terkorup, Kompas, ctk. I., Jakarta. Maria Farida. 2007. Ilmu Perundang-Undangan (1), Kanisius, Yogyakarta. Marwan Batubara. 2008. Skandal BLBI: Ramai-ramai Merampok Uang Negara, Haekal Media Center, Jakarta. M. Arief Amrullah. 2006. Kejahatan Korporasi, Bayumedia Publishing, Malang. Moh. Mahfud MD. 1999. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta. Mokhamamad Najih. 2008. Politik Hukum Pidana Pasca Reformasi, Intrans Publishing, Malang. M. Irfan Islamy. 2007. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta. Muhammad Djafar Saidi. 2008. Hukum Keuangan Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Muin Fahmal. 2006. Peran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, UII Press, Yogyakarta. Muladi. 2002. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, ctk. I, The Habibie Center, Jakarta. Munir Fuady. 2004. Bisnis Kotor Anatomi Kejahatan Kerah Putih, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. ___________. 2007. Dinamika Teori Hukum, ctk. Pertama, Ghalia Indonesia, Bogor. Nur Basuki Minarno. 2009. Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Ed. I, ctk. ke-2, Laksbang Mediatama, Jakarta. Philippe Nonet-Philip Selznick. 2008. Hukum Responsif, ctk. 2, Nusamedia, Jakarta.
Riawan Tjandra. 2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Ed. Revisi, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. Romli Atmasasmita. 2003. Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media, Jakarta. Satjipto Rahardjo. Jakarta.
2006. Hukum dalam Jagat Ketertiban, ctk. I, UKI Press,
Setiono. 2005. Metodologi Penelitian Hukum, Pascasarjana UNS, Surakarta. ______. 2008. Hukum dan Kebijakan Publik, Bahan Matrikulasi Program Magister (S-2) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Soerjono Soekanto. 1987. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, CV.Rajawali, Jakarta. ________________ dan Sri Mamudji. 2005. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Solichin Abdul Wahab. 2008. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, UMM Press, Malang. Soetandyo Wignyosoebroto. 2002. Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, ELSAM, Jakarta. Supanto. 2007. Delik Agama, ctk. 1, LPP UNS dan UNS Press, Surakarta. Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, ctk. II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Theo Huijbers. 1995. Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta. B. Makalah dan Jurnal Burhanuddin Abdullah, Peran Kebijakan Moneter dan Perbankan Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi Di Indonesia, Ceramah pada Kursus Reguler Angkatan XXXVI Lemhanas tanggal 13 Juni 2003, p.1-6, Jakarta terdapat dalam http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/8DCFCBCE-0709-40B7843CD1FEC3FE61B/8035/tindak.pdf. , 12 Oktober 2009, 08.05 WIB.
La
Porta, http://mba.tuck.dartmouth.edu/pages/faculty/rafael publications/laporta PDF papers-ALL/Laws and all/law&finance/PDF. 10 Oktober 2009, 23.00 WIB.
laporta/ finance-
Raul A. Barreto, Corruption, Optimal Taxation, and Growth, dalam http://pfr.sagepub.com/cgi/content/abstract/31/3/2007., 10 Oktober 2009, 22.40 WIB. Sukarela Batunanggar and Bambang W. Budiawan, Problem Bank Identification, Intervention And Resolution In Indonesia, Ocassional Internal Paper, 2002, p. 69, terdapat dalam http: //www.seacen.org/publications/content/2008/rp74/4-chap3.pdf., 10 Oktober 2009, 22.30 WIB. http://www.scribd.com/doc/7425750/Awalil-Rizky-Nasyith-Majidi-BankBersubsidi-Yang Membebani, 10 Oktober 2009, 22.45 WIB. Indonesian Corruption Watch. 2006. Position Paper Penyelesaian Hukum Kasus BLBI, Jakarta. Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 27, No. 2 Tahun 2008, hlm. 48-52. Korupsi BLBI dan Persidangan In Absentia, dalam http://antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viacat&cid=6. Edi Irsan Kurniawan, Tinjauan Tentang Pemeriksaan Dan Putusan In Absentia Dalam
Peradilan
Tindak
Pidana
Korupsi.
http://digilib.usu.ac.id/index.php/component/journals/index.php?option=co m_journals&id=65&type=19&task=list http://www.detiknews.com/read/2009/10/15/15:35 BLBI
dan Hukum Yang Bungkam http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=236155&kat_id=16.
http://www.mediaindonesia.com/, 13Februari 2008.
C. Koran Kompas, 14 Januari 2003. Bisnis Indonesia, 23 Agustus 2004.
D. Peraturan Perundang-undangan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Indonesia. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urut Peraturan Perundangan. Inpres Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.