perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KEBIJAKAN PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN KLATEN BERKAITAN DENGAN BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 43 TAHUN 2007 TENTANG PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL
TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum Minat Utama : Kebijakan Publik
Oleh :
YULI BUDI SUSILOWATI NIM. S 310409029
PROGRAM PASCA SARJANA ILMU HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
commit to user i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KEBIJAKAN PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN KLATEN BERKAITAN DENGAN BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 43 TAHUN 2007 TENTANG PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL
DISUSUN OLEH :
YULI BUDI SUSILOWATI NIM. S 310409029 Telah Disetujui oleh Tim Pembimbing : Dewan Pembimbing
Jabatan
Pembimbing I
Nama
Tanda Tangan
Prof. Dr.H. Jamal Wiwoho,SH.,MH ...........................
Tanggal
………….
NIP. 196111081987021001
Pembimbing II
..........................
Suranto, SH., M.Hum. NIP. 195608121986011001
Mengetahui, Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum
Prof. Dr. H. Setiono, SH.,MS NIP 194405051969021001
commit to user ii
…………
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KEBIJAKAN PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN KLATEN BERKAITAN DENGAN BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 43 TAHUN 2007 TENTANG PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL
DISUSUN OLEH :
YULI BUDI SUSILOWATI NIM. S 310409029 Telah Disetujui oleh Tim Penguji :
Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Tanggal
Ketua
Prof. Dr. H. Setiono, SH.,MS
............ ............
Sekretaris
Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum
............ ............
Anggota
1. Prof. Dr.H. Jamal Wiwoho,SH.,MH
............ ............
2. Suranto, SH., M.Hum
............ ............
Mengetahui,
Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Tanggal
Ketua Program Studi Prof. Dr. H. Setiono, SH.,MS Magister Ilmu Hukum NIP 194405051969021001
............
............
Direktur Program Pascasarjana
............
............
Prof.Drs.Suranto,M.Sc.,Ph.D NIP 195708201985031004
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Yang menyatakan di bawah ini : Nama :
YULI BUDI SUSILOWATI
NIM :
S. 310409029
Menyatakan
dengan
sesungguhnya
bahwa
tesis
dengan
judul
”KEBIJAKAN PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN KLATEN BERKAITAN DENGAN BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 43 TAHUN 2007 TENTANG PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL” adalah benarbenar karya saya sendiri. Hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tersebut di atas tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, yang berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta,
Juli 2010
Yang Membuat Pernyataan
YULI BUDI SUSILOWATI
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Motto Inna ma’al ‘usri yusran (sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan, Al- Insyirah : 6) PERSEMBAHAN Tesis ini kupersembahkan dengan tulus hati dan rasa terimakasih kepada : Orang tuaku tercinta SLAMET YOSO SUHARJO DAN HJ. SOEKARTI yang senantiasa mendoakanku dengan tulus
Anakku tercinta ALIF DAFFA FAUZAN HIDAYATULLAH yang selalu mendampingi, mendoakan dan memberikan semangat kepada “Mama”-nya untuk selesainya penulisan tesis ini
Kakak-kakakku : Endang/Munawir, Bambang/Indah, Titik/Didik (alm), Joko/Nining, Ning/Ucok dan Etik yang selalu memberikan dukungan dan semangat. Dan Keponkan-keponakanku tersayang
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan taufik, hidayah serta petunjuk – Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini yang diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan minat utama Hukum Kebijakan Publik. Salah satu permasalahan yang harus ditangani pemerintah saat ini adalah mengurangi angka pengangguran, kebijakan yang ditempuh pemerintah diantaranya adalah dengan membuka kesempatan kerja melalui pengadaan CPNS. Kebijakan pengadaan CPNS melalui pegangkatan tenaga honorer menjadi CPNS sebagaimana yang diatur dalam PP 43 Tahun 2007 merupakan hal menarik untuk dikaji, diteliti dan dianalisa. Berangkat dari hal tersebut tesis ini mengambil judul : ” KEBIJAKAN PENGANGKATAN TENAGA HONORER
MENJADI
KABUPATEN
KLATEN
CALON
PEGAWAI
BERKAITAN
NEGERI
DENGAN
SIPIL
DI
BERLAKUNYA
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 43 TAHUN 2007 TENTANG PENGANGKATAN
TENAGA
HONORER
MENJADI
CALON
PEGAWAI NEGERI SIPIL”. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini tak lepas dari bantuan, partisipasi, bimbingan dan dorongan moril serta informasi baik dari pembimbing maupun dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar besarnya kepada : 1.
Bapak Prof. Dr. Syamsulhadi, S.P.Kj Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2.
Bapak Prof. Drs.Suranto,M.Sc.,Ph.D. selaku Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
3.
digilib.uns.ac.id
Bapak Muh. Yamin, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
4.
Bapak Prof. Dr. H. Setiono, SH.,MS. selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang dengan sabar memberikan waktu, arahan dan motivasi sehingga memberi kemudahan kepada peneliti dalam penulisan tesis.
5.
Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah membantu dalam penyelesaian studi penulis.
6.
Bapak Prof. Dr.H. Jamal Wiwoho,SH.,MH, Selaku Pembimbing I yang dengan sabar memberikan waktu, arahan dan motivasi sehingga memberi kemudahan kepada peneliti dalam penulisan tesis.
7.
Bapak Suranto, SH., M.Hum Selaku Pembimbing II yang dengan sabar memberikan waktu, arahan dan motivasi sehingga memberi kemudahan kepada peneliti dalam penulisan tesis.
8.
Bapak Drs. Purwanto Anggono Cipto, M.Si Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten yang telah berkenan memberikan ijin dan datadata dalam penelitian yang dilakukan penulis, serta keluarga besar Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten yang telah memberikan waktu dan motivasi dalam penulisan tesis ini.
9.
Dosen Pengajar pada Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang senantiasa memberikan dukungan dan bantuan dalam penulisan tesis ini.
10. Rekan – rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta terutama teman senasib dalam suka dan duka lapar dan dahaga di kelas kebijakan publik angatan 2009 (April) yang senantiasa memberikan dukungan dan bantuan dalam penulisan tesis ini (wabil khusuzon Dyan, mbak Yuli, mbak Eny, Pak Djatmiko, Frangko dan Ahmad yang selalu memberikan dukungan semangat kepada penulis).
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11. Teman-teman di Badan Kepegawaian Daerah yang selalu memberikan semangat, bantuan, dukungan dan perhatian untuk selesainya penulisan tesis ini. 12. Semua pihak yang telah membantu dan berperan aktif yang tidak dapat penulis sebut satu persatu dalam penulisan tesis ini. Dengan hati yang tulus, penulis hanya bisa berdoa semoga semua pihak yang telah berkenan membantu selesainya penulisan tesis ini senantiasa mendapatkan ridho dan pahala yang lebih dari
Allah SWT. penulis juga
menyadari tesis ini masih ada kekurangannya, dan masih jauh dari sempurna oleh karena itu segala saran, koreksi, pendapat dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan. Dan semoga tesis ini dapat memberikan manfaat. Amin.
Surakarta,
Juli 2010.
Penulis
YULI BUDI SUSILOWATI NIM. S. 310409029
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………
i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ………………………………..
ii
HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI ………………………………..
iii
PERNYATAAN ………………………………………………………………..
iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ……………………………….
v
KATA PENGANTAR ………………………………………………………….
vi
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………
viii
DAFTAR TABEL ………………………………………………………………
x
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………
xi
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………...
xii
ABSTRAK ……………………………………………………………………...
xiii
ABSTRACT …………………………………………………………………….
xiv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ………………………………………………….
1
A
Latar Belakang ……………………………………………….
1
B
Rumusan Masalah …………………………………………....
9
C
Tujuan Penelitian …………………………………………….
9
D
Manfaat Penelitian …………………………………………...
10
LANDASAN TEORI ……………………………………………...
11
A
Deskripsi Teoritik ……………………………………………
11
1. Kajian tentang Kebijakan Publik (Public Policy)................
11
a. Definisi kebijakan publik ................................................
11
b. Teori pengambilan kebijakan ..........................................
16
c. Proses Pembuatan kebijakan ...........................................
17
d. Analisis kebijakan ...........................................................
19
2. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation) ..............
20
3. Efektifitas Bekerjanya Hukum ...........................................
30
4. Tinjauan Tentang Pegawai Negeri .......................................
41
5. Tinjauan Tentang Tenaga Honorer ......................................
45
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III
BAB IV
digilib.uns.ac.id
B
Penelitian Yang Relevan .........................................................
48
C
Kerangka Berpikir ...................................................................
48
METODE PENELITIAN .................................................................
50
A
Jenis Penelitian ........................................................................
50
B
Lokasi Penelitian .....................................................................
53
C
Data dan Sumber Data .............................................................
53
D
Tehnik Pengumpulan Data ......................................................
54
E
Tehnik Analisis Data ...............................................................
56
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...............................
59
A
Hasil Penelitian ........................................................................
59
1. Gambaran Umum Badan Kepegawaian Daerah ..................
59
2. Dasar Hukum Badan Kepegawaian Daerah Kab. Klaten ....
59
3. Struktur Organisasi BKD Kab. Klaten ................................
60
4. Kondisi Tenaga Honorer di Kabupaten Klaten ...................
68
Pembahasan ............................................................................
71
B
1. Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi
BAB V
Calon Pegawai Negeri Sipil Di Kabupaten Klaten .............
71
2. Faktor-Faktor Penghambat...................................................
96
P E N U T U P ..................................................................................
103
A
Kesimpulan ..............................................................................
103
B
Implikasi ..................................................................................
109
C
Saran-saran ..............................................................................
110
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................
112
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL Halaman TABEL 4.1 .............……………………………………………………………
76
TABEL 4.2 .......................................................………………………………..
78
TABEL 4.3 .......................................................………………………………..
80
TABEL 4.4 …...………………………………………………………………..
81
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
1. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 2. Surat Ijin Melakukan Penelitian
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR Halaman GAMBAR 2.1 .............…………………………………………………………
49
GAMBAR 3.1 .......................................................……………………………..
59
GAMBAR 4.1 .......................................................……………………………..
62
.
commit to user xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil yang dilaksanakan di Pemerintah Kabupaten Klaten dipandang dari aspek efektifitas hukum dan untuk mengevaluasi efektifitas implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 dalam menyelesaikan masalah pengadaan pegawai di Kabupaten Klaten. Dalam kenyataannya untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagian dilakukan oleh tenaga honorer. Diantara tenaga honorer tersebut ada yang telah lama bekerja kepada pemerintah dan keberadaannya sangat dibutuhkan oleh pemerintah. Untuk menjawab permasalahan tenaga honorer tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengatur pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Dengan filosofi ingin merekrut Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dari tenaga honorer sebagai apresiasi terhadap pengabdian mereka terhadap pemerintah, dikeluarkanlah kebijakan Pemerintah berupa mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum sosiologis, karena bertitik tolak dari data primer, yakni diperoleh langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan, yang dilakukan baik melalui pengamatan (observasi) dan wawancara. Penelitian hukum sebagai penelitian sosilogis (empiris) dapat direalisasikan terhadap efektifitas hukum yang sedang berlaku ataupun penelitian terhadap identifikasi hukum. Penelitian ini mengambil lokasi di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten untuk lebih memudahkan akses mendapatkan sumber atau informasi mengenai data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dan mendasarkan tempat tinggal peneliti yang berada di wilayah lokasi penelitian sehingga tingkat pengamatan, pengkajian dan analisa terhadap objek penelitian diharapkan lebih cermat. Hasil pembahasan melalui analisa, menunjukkan bahwa pelaksanaan pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai negeri sipil di Kabupaten Klaten sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil masih ditemui hambatan/permasalahan yang menyebabkan proses implementasi tidak efektif.
commit to user xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
The objectives of research is to analyze the Government Regulation No. 43 of 2007 abaout the Honorary Officer Hiring into the Potencial Civil Servants implemented in the Government of Regency Klaten viewed from the law effectiveness aspect and to evaluate the effectiveness of Government Regulation No. 43 of 2007 implementation in coping with the problems of officer hiring in Regency Klaten. In fact, in order to support the smoothness of government and development assignment implementation, in both central and local government, the honorary officers are hired. Among those honorary officers some of them had been working for a long time for the government and their existences are really necessary to the government. In order to cope with the problems of honorary officer, the government issues a policy goverming the honorary officers hiring into the Potential Civil Servant (CPNS). With the philosophy of desiring to recruit the Potential Civil Servant (CPNS) from honorary officer as appreciation for their dedication to the government, the Government Policy is issued in the form of Government Regulation No. 43 of 2007 about the Honorary Officer Hiring into the Potencial Civil Servants. The research method used in this study was sociological law research, because it started from the primary data, the one deriving directly from the society as the first source using field study that was conducted using observation and interview. The law research as sociological (empirical) research can be realized in the law effectiveness prevailing or the research on law identification. This research was taken place in Badan Kepegawaian Daerah of Regency Klaten to facilitate the access to the source and information on the data needed in this research and because the writer resides in the research location area so that observation, study and analysis level on the research object is expected to be more precisely. The result of discussion using analysis shows that the implementation of honorary officer hiring into the potential civil servants in Regency of Klaten has not effective because some obstacles and problems are found during implementation of honorary officer hiring into the potential civil servants in Regency of Klaten.
commit to user xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Era reformasi di Indonesia yang dimulai sejak jatuhnya rezim orde baru membawa harapan baru bagi bangsa Indonesia menuju kehidupan yang lebih demokratis. Salah satu transisi kebijakan ekonomi dan politik di Indonesia pada tahun 1999 adalah pengenalan desentralisasi, otonomi yang memungkinkan pemerintah daerah berperan langsung terhadap perkembangan wilayahnya
dan alokasi sumber daya yang ada di
wilayahnya masing-msing. Decentralisation policy in Indonesia, as it has been implemented in recent years has impacted strongly on regional levels of government. An examination of how decentralisation policy has affected good governance implementation at regional of government levels is timely.1
Dari batasan di atas, dapat dijelaskan bahwa kebijakan desentralisasi di Indonesia, seperti yang telah diimplementasikan dalam beberapa tahun terakhir telah berdampak kuat pada tingkat pemerintah daerah. karena daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat yang ada di wilayahnya, sehingga mendukung pemerintah daerah untuk merespons kebutuhan penduduk setempat baik pada masa kini dan mendatang. However they also admitted that the current decentralization process is still far from perfect and many parts of process still need a lot of improvement. Generally, it has to be admitted that despite the (mild) 1
Mardiasmo, Diaswati and Barnes, Paul H. and Sakurai, Yuka (2008) Implementation of Good Governance By Regional Governments in Indonesia: The Challenges. In Brown, Kerry A. and Mandell, Myrna and Furneaux, Craig W. andBeach, Sandra, Eds. Proceedings Contemporary Issues in Public Management:The Twelfth Annual Conference of the International Research Society for PublicManagement (IRSPM XII), pages pp. 1-36, Brisbane, Australia.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
success of decentralization process, there were some big holes in the laws that sometimes led to the confusion or even conflicts between local and central government or among local government.2 Dari pengertian di atas diperoleh gambaran bahwa ternyata proses desentralisasi saat ini masih jauh dari sempurna dan banyak bagian dari proses tersebut masih perlu banyak perbaikan, ketidaksempurnaan arus proses desentralisasi itu karena ketidakmampuan aparat pelaksana melalui produksi masing-masing peraturan pemerintah. Dalam proses pelaksanaan desentralisasi, ada beberapa lubang besar dalam peraturan pemerintah yang kadang-kadang menyebabkan
kebingungan atau bahkan konflik antara
pemerintah daerah dan pusat atau di antara lokal pemerintah. Desentralisasi di Indonesia merupakan salah satu perwujudan dari tuntutan reformasi dilakukan dalam berbagai bidang diantaranya reformasi dibidang politik yang ditandai dengan penyelenggaraan pemilu yang berbeda dari pemilu sebelumnya yaitu dengan sistem pemilihan legislatif maupun eksekutif secara langsung oleh rakyat dari tingkat pusat sampai daerah. Reformasi politik ternyata belum mampu menciptakan suatu sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa karena masih banyaknya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di lembaga-lembaga negara dari tingkat pusat sampai daerah. Sulitnya memberantas KKN dalam pemerintahan dan birokrasi terjadi karena rendahnya komitmen pemerintah untuk membenahi sistem birokrasi publik. Reformasi politik tanpa diikuti oleh reformasi birokrasi ternyata tidak menghasilkan perbaikan kinerja pelayanan publik.3 Selain hal-hal di atas masih banyak permasalahan yang harus ditangani oleh pemerintah. Permasalahan yang harus ditangani secara serius dan sungguh-sungguh oleh pemerintah dan bangsa Indonesia pada saat ini, antara lain : memberantas kemiskinan, mengurangi pengangguran 2
Bambang Brodjonegoro, The Indonesian Decentralization after Law Revision : Toward Better Future, Departement of Economics University of Indonesia,
[email protected], Indonesian Paper.pdf 3 Agus Dwiyanto, dkk, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Yogyakarta, PSKK UGM, 2002
commit to user 2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
serta menegakkan ketertiban dan keamanan. Ketiga hal tersebut berkaitan satu sama lain. Pengangguran menyebabkan kemiskinan. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya. Pengangguran yang berkepanjangan dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Pengangguran dan kemiskinan itu secara langsung menyebabkan terganggunya keamanan dan ketertiban. Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kekacauan politik keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Pengangguran di Indonesia untuk saat ini sudah mencapai 99,9 juta orang (BPS 2010). Kemiskinan dan pengangguran adalah masalah substansional, masalah utama yang mendasar, yang sejak awal perencanaan pembangunan harus ditetapkan sebagai target nasional utama. Pasal 27 (Ayat 2) UUD 1945 menyebutkan : "...Tiap-tiap warganegara berhak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan...". Salah satu cara yang ditempuh pemerintah dalam mengurangi pengangguran adalah dengan membuka kesempatan kerja melalui pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil. Menjadi Pegawai Negeri Sipil merupakan alternatif pilihan bagi sebagian besar pencari kerja di tengah-tengah keadaan sulitnya mencari pekerjaan. Berkarier di lingkungan birokrasi pemerintah sampai saat ini masih menjadi pilihan banyak orang. Kepastian adanya gaji tetap, minimnya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan adanya pensiun di hari tua menjadi alasan untuk memilih Pegawai Negeri Sipil sebagai pilihan profesi. PNS (Pegawai Negeri Sipil) mempunyai kedudukan yang sangat penting dan menentukan bagi negara, dimana PNS merupakan unsur
commit to user 3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
aparatur negara yang menyelenggarakan tugas pemerintahan dan tugas pembangunan dalam rangka pencapaian tujuan nasional. Kedudukan yang sangat
penting
dalam
kinerja
birokrasi
tentunya
membutuhkan
profesionalitas dan kompetensi dari para PNS karena kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional terutama tergantung dari kesempurnaan kinerja PNS. Dengan demikian perlu adanya manajemen kepegawaian yang teratur dan terencana bagi PNS baik ditingkat pusat maupun daerah. Dalam Pasal 129 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa : (1) Pemerintah melaksanakan pembinaan manajemen pegawai negeri sipil daerah dalam satu kesatuan penyelenggaraan manajemen pegawai negeri sipil secara nasional. (2) Manajemen Pegawai Negeri Sipil daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban, kedudukan hukum, pengembangan kompetensi dan pengendalian jumlah. Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut, menurut HAW. Widjaja, dalam sistem kepegawaian secara nasional, pegawai negeri memiliki posisi penting untuk menyelenggarakan pemerintahan dan difungsikan sebagai alat pemersatu bangsa. Sejalan dengan kebijakan desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka ada sebagian kewenangan di bidang kepegawaian diserahkan kepada daerah yang dikelola dalam sistem kepegawaian daerah.4 Harus diakui bahwa manajemen kepegawaian di Indonesia masih belum tertata rapi. Mulai dari sistem administrasi, renumerasi, rekruitmen, 4
HAW Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia Dalam Rangka Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005.
commit to user 4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pengangkatan, hingga pembinaan dan pengawasan
masih nampak
kelemahan yang melingkupinya. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kinerja aparat birokrasi dan berujung pada penggambaran (image) bahwa birokrasi tidak profesional, berbelit-belit, kurang efisien dan efektif, bahkan kadang-kadang sampai terjadi pungutan liar (pungli) dalam pengurusan-pengurusan kepentingan publik tertentu, misalnya KTP, akta kelahiran dan berbagai urusan perizinan. Ada beberapa otokritik terhadap sistem penataan aparatur birokrasi di Indonesia yang secara sistemik masih menjangkiti aparatur pemerintah di negeri ini. Pertama, lemahnya sistem rekruitmen pegawai, dengan tanpa perencanaan yang matang yang mendasarkan pada job analisis yang jelas. Model rekruitmen ini tidak akan memenuhi permintaan pegawai yang benar-benar proposional dengan kebutuhan birokrasi yang sesungguhnya dan berimplikasi panjang, yakni tidak terpenuhinya tuntutan the right man in the right place. Kedua, pola rekruitmen yang buruk juga memberikan kontribusi pada sistem alokasi atau penempatan pegawai yang menjadi tidak standar. Ketiga, pola pengembangan aparatur yang belum diorientasikan pada sistem karier secara benar. Keempat, sistem penilaian kinerja melalui DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) dipandang kurang objektif dan bersifat kontraproduktif. Kelima, sistem kenaikan pangkat yang berjalan secara otomatis, menjadikan pegawai bersikap apatis, pasif dan menerima apa adanya tanpa ada suatu tantangan untuk senantiasa meningkatkan produktivitas kerja. Keenam, sistem imbalan yang sama pada tingkat kepangkatan, golongan dan ruang yang sama kurang mengakomodasi perbedaan prestasi kerja, tingkat kompetensi dan kinerja pegawai yang lebih baik. Ketujuh, peraturan disiplin pegawai tidak mampu
commit to user 5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengikat secara tegas, karena unsur pimpinan sendiri seringkali melakukan pelanggaran disiplin.5 Persoalan lain muncul berkaitan dengan manajemen pegawai negeri sipil, yaitu masalah keberadaan tenaga honorer. Dalam kenyataannya untuk menunjang
kelancaran
pelaksanaan
tugas-tugas
pemerintahan
dan
pembangunan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagian dilakukan oleh tenaga honorer. Diantara tenaga honorer tersebut ada yang telah lama bekerja kepada pemerintah dan keberadaannya sangat dibutuhkan oleh pemerintah. Untuk menjawab permasalahan tenaga honorer tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengatur pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Dan tenaga honorer yang telah lama bekerja kepada pemerintah dan keberadaannya sangat dibutuhkan oleh pemerintah serta memenuhi syarat yang ditentukan dalam peraturan pemerintah dapat diangkat menjadi CPNS. Dengan filosofi ingin merekrut Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dari tenaga honorer sebagai apresiasi terhadap pengabdian mereka terhadap pemerintah, dikeluarkanlah kebijakan Pemerintah berupa Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tanggal 11 Nopember 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tanggal 11 Nopember 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dilakukan bertahap mulai Tahun Anggaran 2005 dan paling lambat selesai Tahun Anggaran 2009.
5
Ambar Teguh Sulistyani, Memahami Good Governance Dalam Prespektif Sumber Daya Manusia, Yogyakarta, Gava Media, 2004.
commit to user 6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Implementasi Peraturan Pemerintah tersebut ternyata mengalami banyak permasalahan dan kendala. Apa yang diharapkan pemerintah sesuai dengan filosofi yaitu adanya wujud reward (penghargaan) terhadap tenaga honorer yang telah mengabdi pada pemerintah melalui perekrutan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, pada kenyataannya belum bisa menuntaskan ataupun mengakomodir semua honorer yang ada. Kegiatan perekrutan dimaksud diawali dengan Pendataan Tenaga Honorer yang ada. Dari kegiatan pendataan ini sudah timbul masalah, karena lemahnya sosialisasi, sehingga menyebabkan perbedaaan persepsi di antara petugas pendataan di kabupaten/kota juga para tenaga honorer. Tentang definisi tenaga honorer telah menimbulkan bias penafsiran, sehingga masyarakat mempunyai persepsi sendiri, belum lagi para tenaga honorer yang mempunyai kepentingan agar bisa diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Definisi tenaga honorer menjadi isu yang sangat pelik, karena sangat menentukan klasifikasi / kriteria tenaga honorer yang akan didata. Data tersebut menjadi pedoman pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Tenaga honorer yang akan diangkat menjadi CPNS harus tercantum dalam database, oleh karena itu para tenaga honorer berusaha untuk didata dengan membawa penafsiran masing-masing, dengan harapan bisa diangkat menjadi CPNS. Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 juga menjadi beban, karena kondisi tenaga honorer daerah sangat bervariatif, diantaranya : 1.
Legalitas pejabat yang mengangkat tenaga honorer bervariasi.
2.
Pendanaan penggajian tidak hanya dari APBN/APBD, tapi juga dari pendapatan lainnya.
commit to user 7
perpustakaan.uns.ac.id
3.
digilib.uns.ac.id
Tempat kerja tidak di Instansi Pemerintah tetapi diangkat oleh pejabat yang berwenang, gaji dari APBN/APBD.
4.
Banyak tenaga honorer yang tidak memenuhi ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 mengenai usia dan masa kerja. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara telah menetapkan formasi
Calon Pegawai Negeri Sipil tahun 2009 untuk Kabupaten Klaten sebanyak 505 orang yang akan ditempatkan di seluruh wilayah Kabupaten Klaten, yang dituangkan dalam Surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 102.PM/M.PAN/9/2009 tanggal 7 September 2009 perihal Persetujuan Rincian Formasi Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah Tahun 2009 untuk Pelamar Umum, Tenaga Honorer dan Sekretaris Desa. Formasi tersebut disesuaikan dengan kebutuhan PNS dan diutamakan untuk bidang pelayanan seperti pendidikan, kesehatan dan teknis strategis lainnya. Untuk tahun 2009 Kabupaten Klaten mendapat alokasi CPNS sebesar 505 orang yang terdiri dari 70 untuk tenaga honorer, 418 dari pelamar umum dan 17 sekretaris desa. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 sebagai produk kebijakan publik diharapkan dapat mengakomodir tuntutan semua tenaga honorer untuk dapat diproses menjadi calon pegawai negeri sipil. Akan tetapi fakta di Kabupaten Klaten menunjukkan bahwa implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tersebut justru menimbulkan berbagi permasalahan dan ketidakpuasan dari para tenaga honorer yang belum bisa diproses menjadi calon pegawai negeri sipil.
commit to user 8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut : 1. Apakah pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Kabupaten Klaten berdasar PP Nomor 43 Tahun 2007 sudah efektif ? 2. Faktor-faktor penghambat apakah yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Klaten dalam penerapan/implementasi PP Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil ?
D. Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian adalah : 1. Untuk menganalisa implementasi PP Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil yang dilaksanakan di Kabupaten Klaten di pandang dari aspek efektifitas hukum. 2. Untuk
mengevaluasi
efektifitas
dan
mengetahui
faktor-faktor
penghambat implementasi PP Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Klaten dalam menyelesaikan masalah pengadaan pegawai.
commit to user 9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi antara lain : 1. Sebagai sumbangan pemikiran di bidang ilmu hukum, khususnya Hukum Tata Negara / Hukum Administrasi Negara yang sekarang berkembang dengan cepat. 2. Diharapkan dalam penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumbangan pemikirian pada pihak – pihak yang terkait dengan kegiatan Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil dalam pengambilan kebijakan.
commit to user 10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Deskripsi Teoritik 1. Kajian Tentang Kebijakan Publik (Public Policy) a. Definisi kebijakan publik Seiring dengan berkembangnya masalah-masalah di dunia, berkembang pulalah usaha yang yang dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah
tersebut.
masalah-masalah
yang
Dalam usaha
terdapat
di
untuk
memecahkan
tengah-tengah
kehidupan
masyakarat, pemerintah telah mengeluarkan banyak kebijakan.
Recently the terms "governance" and "good governance" are being increasingly used in development literature. The concept of "governance" is not new. It is as old as human civilization. Simply put "governance" means: the process of decision-making and the process by which decisions are implemented (or not implemented).7 Batasan diatas menjelaskan bahwa baru-baru ini istilah pemerintahan (goverment) dan tata pemerintahan (good governance) yang baik sering digunakan dalam literatur pembangunan. Konsep pemerintahan bukan merupakan hal yang baru karena sudah ada sejak adanya peradaban manusia. Secara sederhana tata (good) berarti : proses pengambilan keputusan atau kebijakan dan proses dengan mana keputusan / kebijakan itu diimplementasikan (atau tidak diimplementasikan). Dari pengertian tersebut diperoleh gambaran bahwa good governance adalah cara bagaimana kekuasaan pemerintah baik pusat maupun daerah digunakan untuk mengelola 7
United Nations, ESCAP, PBB Web Site/Website PBB Locator, Proverty and Development Division, Good Governance, http://www.unescap.org/pdd/prs/Project Activities/Ongoing/gg/governance.asp, 28/05/2010
commit to user 11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sumber daya-sumber daya ekonomi dan sosial untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat. Thomas R Dye8 menjelaskan bahwa kebijakan negara atau public policy is whatever goverments choose to do or not to do (pilihan tindakan apapun yang dilakukan atau tidak ingin dilakukan oleh pemerintah). Menurut Anderson dan Dye,9 ada 3 (tiga) alasan mempelajari kebijakan negara yaitu, pertama dilihat dari sudut alasan ilmiah (scientific reason), kebijakan negara dipelajari dengan maksud untuk memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam mengenai hakekat dan asal mula kebijakan negara, berikut prosesproses yang mengantarkan perkembangannya serta akibat-akibatnya pada masyarakat; kedua dilihat dari sudut alasan profesional (profesional reason), maka studi kebijakan negara dimaksudkan untuk menerapkan pengetahuan ilmiah di bidang kebijakan negara guna memecahkan masalah-masalah sosial sehari-hari. Sehubungan dengan ini, terkandung suatu pemikiran tentang faktor-faktor yang membentuk kebijakan negara, atau akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kebijakan tertentu, maka perlu dipertimbangkan bagaimana individu, kelompok atau pemerintah dapat bertindak guna mencapai tujuan mereka; ketiga, dilihat dari sudut alasan politis (political reason), maka mempelajari kebijakan negara pada dasarnya dimaksudkan agar pemerintah dapat menempuh kebijakan yang tepat, guna mencapai tujuan yang tepat pula. Dengan kata lain, studi kebijakan
negara
dalam
hal
ini
dimaksudkan
untuk
menyempurnakan kebijakan negara yang dibuat oleh pemerintah.
8
9
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, PT. Suryandaru Utama, 2005 Solichin Abdul Wahab, Public Policy : Pengertian Pokok Untuk Memahami dan Analisis Kebijakan Pemerintah, Surabaya : Airlangga University Press, 1997.
commit to user 12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan memberi arti kebijakan sebagai suatu pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktekpraktek yang terarah, sedang Carl J. Friedrich mendefinisikan kebijakan
sebagai
”...serangkaian
tindakan
yang
diusulkan
seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatankesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.”10 Ragam kebijakan yang dibuat ada beberapa jenis, pertama kebijakan yang dibuat oleh legislatif secara tunggal (Undang-undang Dasar, Ketetapan MPR), kedua kebijakan yang dibuat dalam bentuk kerja sama antara legislatif dan eksekutif (undang-undang). Ketiga adalah kebijakan yang dibuat oleh eksekutif saja, karena di dalam perkembangan kebijakannya peran eksekutif tidak cukup hanya melaksanakan
kebijakan
yang
meningkatnya
kompleksitas
dibuat
kehidupan
legislatif. bersama
Semakin diperlukan
kebijakan-kebijakan untuk melaksanakan kebijakan yang bersifat umum yang dibuat legislatif (UUD, TAP MPR, UU, dll). Di Indonesia
ragam
bertingkat, contoh :
kebijakan
yang
dibuat/ditangani
eksekutif
11
Di tingkat pusat yaitu : 1). Peraturan Pemerintah (PP), 2). Keputusan Presiden (Kepres), 3). Keputusan Menteri atau Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen, dll.
10
Joko Purwono, Analisis Kebijakan Publik : Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Yakarta, Bumi Aksara, 1989 . 11 Riant Nugroho, Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, Jakarta, Edisi Kedua, Gramedia, 2004 .
commit to user 13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Di tingkat daerah yaitu : 1). Keputusan Gubernur, 2.) Keputusan
Bupati
dan
bertingkat-tingkat
keputusan
di
bawahnya, 3). Keputusan Walikota dan bertingkat-tingkat keputusan di bawahnya. Dalam studi kebijakan publik, maka kebijakan-kebijakan tertulis formal inilah yang menjadi pusat perhatian. Proses implementasi sangat erat dengan kebijakan. Kebijakankebijakan yang diputuskan dan ditetapkan bermuara untuk mengatasi masalah yang terjadi dalam masyarakat (publik), menurut Friedrich mendefinisikan kebijakan sebagai :12 ”serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada, di mana kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan
untuk
memanfaatkan
potensi
sekaligus
mengatasi
hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu” Sedangkan James E Anderson menyatakan bahwa kebijakan adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau kelompok pelaku guna memecahkan masalah tertentu13 WI. Jenkins merumuskan kebijakan sebagai :14serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh seseorang aktor politik atau sekelompok aktor politik berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu situasi 12
Ibid, hal 4 Irfan Islami, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Jakarta, Bumi Aksara, 2004. 14 Abdul. Wahab Solichin, op.cit, hal 4 13
commit to user 14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dimana keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut. Sedangkan kebijakan menurut Heins Eulau dan Keneth Prewith adalah keputusan yang teguh yang disifati oleh adanya perilaku yang konsisten dan pengulangan pada bagian dari keduanya yakni bagi orang-orang yang membuatnya dan bagi orang-orang yang melaksanakannya. Kebijakan publik dipahami sebagai pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat atau badan pemerintah dalam bidang tertentu. Dalam pandangan David Easton ketika pemerintah membuat kebijakan publik, maka ketika itu pula pemerintah mengalokasikan nilai-nilai kepada masyarakat, karena setiap kebijakan mengandung seperangkat nilai di dalamnya. Sedangkan Harold Laswell dan Abraham Kaplan berpendapat bahwa kebijakan publik hendaknya berisi tujuan, nilai-nilai dan praktika-praktika sosial yang ada dalam masyakarat. Ketika kebijakan publik berisi/mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyakarat, maka kebijakan publik tersebut akan mendapat resistensi ketika diimplementasikan. Sebaliknya, suatu kebijakan publik harus mampu mengakomodasikan nilai-nilai dan praktika-praktika yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Kebijakan menurut Graycar15 dapat dilihat sebagai konsep filosofis, sebagai suatu produk, sebagai suatu proses, dan sebagai suatu kerangka kerja. Dalam konsep filosofis, kebijakan merupakan serangkaian prinsip, atau kondisi yang diinginkan; sebagai suatu produk, kebijakan dipandang sebagai suatu serangkaian kesimpulan dan rekomendasi; sebagai suatu proses, kebijakan dipandang sebagai 15
Yeremias T Keban, Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep, Teori dan Isu, Gava Media, Yogyakarta, 2004, hlm. 55
commit to user 15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
suatu sistem organisasi, sehingga dapat mengetahui apa yang diharapkan dari program dan mekanisme kerja dalam mencapai produknya serta sebagai suatu kerangka kerja. Kebijakan merupakan suatu proses tawar menawar dan negosiasi untuk merumuskan isuisu dan metode implementasinya. Thomas R. Dye 16menjelaskan, bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Selanjutnya Dye mengatakan, apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu, maka harus ada tujuannya dan kebijakan tersebut harus meliputi semua tindakan pemerintah, bukan semata-mata keinginan pemerintah atau pejabatnya. Disamping itu, sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijakan negara. Hal ini disebabkan “sesuatu yang tidak dilakukan “ oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh yang sama besarnya dengan “sesuatu yang dilakukan” pemerintah. b Teori pengambilan kebijakan Menurut Solichin Abdul Wahab17 ada tiga teori pengambilan kebijakan yang sering dipakai, yaitu: Pertama, Teori Rasional Komprehensif. Teori ini paling banyak dikenal dan diterima oleh kalangan luas. Unsur-unsur utama dari teori ini meliputi: (1) Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu yang dapat dibedakan dari masalah-masalah lain; (2) Tujuan-tujuan, nilai-nilai atau sasaran yang sebagai pedoman pembuat
keputusan
amat
jelas
dan
dapat
diperbandingkan
rangkingnya sesuai dengan urutan kepentingannya; (3) Berbagai alternatif untuk memecahkan masalah tersebut diteliti secara seksama; 16
Hanif Nurcholish, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2005, hlm 159 17 Solichin Addul Wahab, 2004,op.cit hlm. 19
commit to user 16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(4) Akibat-akibat berupa biaya dan manfaat yang ditimbulkan oleh setiap alternatif dipilih dan diteliti; (5) Setiap alternatif dan masingmasing akibat yang menyertainya dapat diperbandingkan dengan alternatif lainnya; (6) Pembuat keputusan akan memilih alternatif dan akibat-akibatnya untuk mencapai tujuan, nilai atau sasaran yang telah digariskan. Hasil dari proses tersebut adalah keputusan yang rasional yakni suatu keputusan dapat mencapai tujuan paling efektif. Kedua, Teori Inkremental. Pengambilan keputusan dalam teori ini menghindari banyak masalah yang harus dipertimbangkan dan pada saat yang sama merupakan teori lebih banyak menggambarkan cara untuk ditempuh oleh pejabat pemerintah dalam mengambil keputusan sehari-hari. Ketiga, Teori Pengamatan Terpadu. Suatu pendekatan untuk pengambilan sebuah keputusan dengan memperhitungkan baik keputusan-keputusan yang bersifat fundamental maupun keputusankeputusan bersifat inkremental dan memberikan urutan teratas bagi proses pembuatan kebijakan fundamental guna memberikan arahan dasar dan proses pembuatan kebijakan inkremental sesudah keputusan tercapai. c
Proses Pembuatan kebijakan Membuat atau merumuskan suatu kebijakan Negara, bukanlah suatu proses sederhana dan mudah, hal ini disebabkan karena terdapat banyak faktor atau kekuatan-kakuatan yang berpengaruh terhadap proses pembuatan kebijakan Negara tersebut. Menurut Irfan Islamy18 ada enam langkah yang harus diperhatikan dalam perumusan kebijakan Negara yaitu; Pertama Perumusan masalah; Kedua, Penyusunan agenda pemerintahan; Ketiga, Perumusan usulan
18
Irfan Islamy, 2004, 0p.cit, hlm. 78
commit to user 17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kebijakan; Keempat, Pengesahan kebijakan Negara; Kelima, Pelaksanaan kebijakan dan Keenam,Penilaian kebijakan Negara. William Dunn19 mengemukakan proses pembuatan kebijakan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung menurut urutan-urutan waktu; Pertama, Penyusunan agenda, para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda
publik;
Kedua,
Formulasi
kebijakan,
para
pejabat
merumuskan alternatif kebijakan untuk mengantisipasi masalah; ketiga, Adopsi kebijakan, alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus diantara direktur lembaga
atau
keputusan
peradilan;
keempat,
Implementasi
kebijakan, kebijakan dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia; Kelima, Penilaian kebijakan, untuk pemeriksaan dan akuntasi dalam pemerintahan menentukan apabila badan-badan eksekutif, legislatif dan badan peradilan memenuhi persyaratan seperti yang ditentukan oleh undang-undang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan. Proses kebijakan dapat dilukiskan sebagai deretan keadaan yang berbeda-beda sehubungan dengan keseluruhan dari tindakan yang dinamis dalam hal persiapan, penentuan, pelaksanaan, penilaian dan pengendalian suatu kebijakan. David Easton menjelaskan,20 “Melalui proses pembuatan keputusanlah komitmenkomitmen masyarakat yang acap kali masih kabur dan abstrak sebagaimana
tampak
dalam
nilai-nilai
dan
tujuan-tujuan
masyarakat, diterjemahkan oleh para aktor (politik) ke dalam
19
William Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gajahmada University Press, Yogyakarta, 1998, hlm. 24 20 Bambang Sunggono, 1997, Hukum dan Kebijakan Publik, Jakarta, Insan Cendikia
commit to user 18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
komitmen-komitmen yang lebih spesifik menjadi tindakan-tindakan dan tujuan-tujuan yang konkrit.” Thomas R. Dye merumuskan secara terperinci pembuatan kebijakan sebagai :21 “ Keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian
dan
pendefinisian
masalah,
perumusan
kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut ke dalam sistem politik, pengupayaan pengenaan sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, pengesahan dan pelaksanaan/implementasi, monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik).” Dalam pembuatan kebijakan ada beberapa model yang salah satunya adalah model group theory : Policy as Group Equilibrium. Model kelompok merupakan abstraksi dari proses pembuatan kebijakan yang dimana beberapa kelompok kepentingan berusaha untuk mempengaruhi isi & bentuk kebijakan secara interaktif. Dengan demikian pembuatan kebijakan terlihat sebagai upaya untuk menanggapi tuntutan dari berbagai kelompok kepentingan dengan cara bargaining, negoisasi dan kompromi.22 d Analisis kebijakan William Dunn23 menyatakan Analisis kebijakan dilakukan untuk menilai secara kritis dan mengkonsumsikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu atau lebih tahap proses pembuatan kebijakan. Dalam melakukan analisis kebijakan Dunn membagi lima tahap analisis yaitu, (1) Perumusan masalah (2) Peramalan (3) Rekomendasi (4) Pemantauan (5) Penilaian. Setiap
21
Ibid, hal 47 R. Slamet Santoso, Model dalam Kebijakan Publik, 23 Ibid; hlm. 23 22
commit to user 19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tahap berhubungan dengan tahap berikutnya, dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan agenda), atau tahap ditengah, dalam lingkup aktivitas yang tidak linier. Berdasarkan pendapat tadi, dapat dipastikan bahwa kebijakan adalah rangkaian tindakan dengan tujuan untuk memecahkan masalah, tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat yang dilakukan setelah adanya keputusan terhadap alternatif yang dipilih.
2. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation) Jika suatu kebijakan telah diputuskan atau direkomendasikan untuk dipilih, maka kebijakan tersebut tidak akan berhasil terwujud apabila kebijakan tadi tidak diimplementasikan. Kebijakan yang telah dipilih oleh pembuat kebijakan (policy makers) tidak menjamin bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya. Istilah implementasi sering digunakan oleh para ahli untuk menggambarkan tahapan pelaksanaan. Namun di kalangan para ahli sendiri hingga saat ini belum ada kesatuan pendapat mengenai implementasi, hal ini disebabkan karena memang apa yang disebut sebagai implementasi merupakan tahapan yang kompleks dan rumit. Kendati sulit untuk merumuskan batasan implementasi secara definitif, namun batasan mengenai apa yang disebut implementasi untuk keperluan analisis, mutlak diperlukan. Kamus Webster, merumuskan secara pendek bahwa To Implement (mengimplementasikan) berarti to provide, the mean for carrying out,
commit to user 20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu), to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu)24 Implementasi menurut Mazmanian dan Sabatier adalah :25 Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan, yakni kejadian-kejadian atau kegiatankegiatan
yang
timbul
sesudah
disahkannya
pedoman-pedoman
kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian. Mazmanian dan Sabatier juga memberikan definisi lain tentang implementasi yaitu : Pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk Undang-Undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif
yang penting atau keputusan badan
peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasi masalahnya yang ingin dicapai, menyebutkan secara tegas tujuan/sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk untuk menstrukturkan/mengatur proses implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan Undang-undang, kemudian output kebijaksanaan dalam bentuk pelaksanaan keputusankeputusan tersebut oleh kelompok sasaran, dampak nyata baik yang dikehendaki atau yang tidak dari output tersebut, dampak keputusan sebagai dipersepsikan oleh badan-badan yang mengambil keputusan dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting atau upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan
terhadap
Undang-undang/peraturan
bersangkutan. 24 25
Abdul. Wahab Solichin, 2004, op.cit 64. Ibid, hal 65-68
commit to user 21
yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Implementasi tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menumbuhkan ketaatan pada diri kelompok sasaran. Implementasi juga menyangkut jaringan-jaringan kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terikat dan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap dampak yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Sedangkan Van Meter dan Van Horn merumuskan proses implementasi sebagai berikut : Tindakan-tindakan
yang
dilakukan
baik
oleh
individu-
individu/pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan. Proses implementasi terkait erat dengan kebijakan, implementasi melibatkan usaha dari policy makers untuk mempengaruhi “street level bureaucats” untuk memberikan pelayananan atau mengatur perilaku kelompok sasaran (target group). Untuk kebijakan yang sederhana, implementasi hanya melibatkan satu badan yang berfungsi sebagai implementator. Sebaliknya untuk kebijakan yang bersifat makro, maka usaha-usaha implementasi akan melibatkan berbagai institusi. Mengenai
keterlibatan
berbagai
pelaku
(actors)
dalam
implementasi, Ripley dan Franklin menyatakan :26 Impelementation processinvolve many important actors holding diffuse and competing goals and expectations who work within a contexts of an increasingly large and complex mix of government programs that require participation form numerous layers and unit of government and who are affected by powerfull factors beyond their control. 26
AG. Subarsono, op.cit, hal 88-89
commit to user 22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pengertian di atas menjelaskan bahwa Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor atau unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual maupun variabel organisasional dan masing-masing variabel pengaruh tersebut juga saling berinteraksi satu sama lain. Setelah ditetapkannya suatu kebijakan tidak berarti bahwa masalah yang dihadapi sudah terselesaikan, masalah yang masih harus dihadapi adalah apakah kebijakan itu langsung dapat diterima oleh masyarakat
dan
mempunyai
kesediaan
diri
untuk
mengimplementasikannya. Jika suatu kebijakan telah dirumuskan dan diputuskan maka dibutuhkan suatu sistem untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Kebijakan yang telah dirumuskan, diterima dan disahkan oleh pihak yang berwenang maka siap untuk diimplementasikan. Masalah implementasi kebijakan tidak hanya terbatas pada perwujudan secara riil dari kebijakan tersebut. Pembuat kebijakan tidak hanya ingin melihat kebijakannya dilihat oleh masyarakat akan tetapi juga ingin mengetahui seberapa jauh kebijakan tersebut memberikan konsekwensi positif dan negatif bagi masyarakat. Sebab pada dasarnya kebijakan itu dibuat untuk kepentingan rakyat banyak. Implementasi
kebijakan
sesungguhnya
bukanlah
sekedar
bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh karena itu tidak terlalu salah apabila dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Untuk commit to user 23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengimplementasikan kebijakan publik, maka dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Pada umumnya tugas implementasi adalah mengkaitkan realisasi tujuan kebijakan dengan hasil kegiatan/program pemerintah. Beberapa kebijakan bersifat ”self executing” artinya dapat dirumuskannya kebijakan
itu
sekaligus
(dengan
sendirinya)
kebijakan
itu
terimplementasikan. Akan tetapi jumlah kebijakan yang self executing ini tidak banyak. Kebanyakan kebijakan negara itu berbentuk peraturan perundang-undangan
baik
berupa
undang-undang,
peraturan
pemerintah, ataupun berbagai macam ketentuan dan ketetapan yang sejenis dengan itu yang lebih bersifat non self executing, artinya bahwa kebijakan negara perlu diwujudkan dan dilaksanakan oleh berbagai pihak sehingga nampak efeknya. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerjasama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan.27 Meter dan Horn mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta baik secara individu atau kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagaimana dirumuskan dalam kebijakan.28 Ada dua macam strategi dalam proses implementasi kebijakan negara yaitu top down dan bottom up, yang masing-masing memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Sabatier mengemukakan, kenyataannya pelaksanaan suatu kebijakan sangat dipengaruhi oleh bekerjanya tarik 27 28
Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta, Media Pressindo, 2002 Samodra Wibawa dkk, Evaluasi Kebijakan Publik, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
commit to user 24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menarik kepentingan antara pemerintah dengan perubahan sikap masyarakat. Dinamika tarik menarik inilah yang disebutnya sebagai Implementasi top-down dan bottom up.29 Menurut teori yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn maupun Sabatier dan Mazmanian, suatu implementasi akan efektif apabila pelaksananya mematuhi apa yang telah digariskan oleh peraturan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis atau dengan menggunakan model top down.
Kebijakan yang bersifat top down
hampir tidak memberikan ruang kepada aparat pelaksana untuk melakukan inovasi dalam bekerja. Segala tindakan sudah diatur dengan detail
dan
bersifat
mengikat.
Kecenderungan
aparat
untuk
melaksanakan kebijakan sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis sangat kuat.
Accountability is a top-down notion. It assumes – rightly – that the government structure is a hierarchical one. In a hierarchical bureaucracy, accountability usually implies answerability to higher echelons of government.30 Dari pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa menurut Santosh Mehrotra, implementasi top down berkaitan dengan kemampuan meningkatkan akuntabilitas pemerintah. Struktur pemerintah adalah suatu hirarki tatanan birokrasi, dan akuntabilitas dalam hal ini biasanya berarti answerability ke tingkat yang lebih tinggi dalam pemerintahan. Yang pada akhirnya pertanggungjawaban ini harus disampaikan kepada warga negara. Keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh banyak variabel, faktor dan dimensi dan masing-masing saling berhubungan
29
Mas Roro Lilik Ekowati, Perencanaan, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan atau Program, Pustaka Citra, Surakarta, 2005. 30 Santosh Mehrotra, Penasihat Ekonomi Daerah Kemiskinan dan Pemerintahan, Pusat Regional untuk Asia, Elaborasi pada kemampuan pendekatan Sen, Demokrasi, Desentralisasi dan akses ke Layanan Dasar, Bangkok, E-mail:
[email protected].
commit to user 25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
satu sama lain. Para ahli banyak mengemukakan pendapatnya tentang teori metode implementasi kebijakan. Menurut Grindle keberhasilan implementasi dipengaruhi oleh 2 (dua) variabel besar, yaitu isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (contex of implementation). Variabel isi kebijakan menyangkut:31 1). Kepentingan kelompok sasaran 2). Jenis manfaat 3). Derajad perubahan yang diinginkan 4). Letak pengambilan keputusan 5). Pelaksanaan program 6). Sumber daya yang dilibatkan Sedang variabel lingkungan implementasi menyangkut : 1). Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat 2). Karakteristik lembaga dan penguasa 3). Kepatuhan dan daya tanggap Sedang Edward memandang bahwa : implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel yakni : (1) komunikasi, (2) sumber daya, (3) disposisi dan (4) struktur birokrasi. Keempat variabel tersebut juga saling berhubungan satu sama lain. Sementara Van Meter dan Van Horn berpendapat bahwa Implementasi kebijakan berjalan lancar secara linier dari kebijakan publik, implementator dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik adalah variabel : 32 1). Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi. 2). Karakteristik dari agen pelaksana/implementator. 31 32
AG. Subarsono, op.cit, hal 90-94 Riant Nugroho, op.cit, hal 167
commit to user 26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3). Kondisi ekonomi, sosial dan politik. 4). Kecenderungan (disposition) dari pelaksana/impelementator. Mazmanian dan Sabatier mengembangkan model yang disebut sebagai A Frame work for Implementation Analysis (Kerangka Analisis Implementasi) Peran penting dari implementasi kebijaksanaan negara ialah mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabelvariabel yang dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) katagori besar yaitu : 1). Mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan. 2). Kemampuan keputusan kebijaksanaan untuk menstrukturkan secara cepat proses implementasi dan 3). Pengaruh langsung pelbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijaksanaan tersebut.33 Berdasar pengertian di atas dapat diketahui bahwa implementasi bukan hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan pula menyangkut jaringan
kekuatan-kekuatan
politik,
ekonomi
dan
sosial
yang
berlangsung atau tidak dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat dan pada akhirnya berpengaruh terhadap dampak baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan ádalah suatu proses tindakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok setelah peraturan atau keputusan 33
Abdul. Wahab Solichin, op.cit, hal 81
commit to user 27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ditetapkan untuk mencapai tujuan dengan didukung oleh peralatan, aparat pelaksana, dan biaya. Suatu kebijakan negara akan menjadi efektif bila dilaksanakan dan mempunyai dampak positif bagi masyarakat. Dengan kata lain, tindakan atau perbuatan manusia yang menjadi anggota masyarakat itu bersesuaian dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah atau negara. Dengan demikian jika mereka bertindak/berbuat tidak sesuai dengan keinginan pemerintah/negara itu, maka kebijakan negara akan menjadi tidak efektif. Dari berbagai pendapat tersebut, maka implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijakan. Usaha untuk melakukan melaksanakan kebijakan tetentu, tentunya membutuhkan suatu keahlian dan keterampilan dalam menguasai persoalan yang hendak dikerjakan. Dalam hal ini birokrasi menempati kedudukan yang strategis, karena birokrasilah yang berkewajiban melaksanakan kebijakan tersebut, sehingga birokrasi senantiasa dituntut untuk mempunyai keterampilan dan keahlian yang tinggi. Keberhasilan implementasi kebijakan negara sebagai suatu proses secara garis besar disamping dipengaruhi oleh faktor tujuan yang telah ditetapkan, dengan cara apa tujuan tersebut dilaksanakan juga dipengaruhi oleh beberapa variabel dalam implementasi kebijakan publik, yaitu : communications (komunikasi), resources (sumber daya), dispotitions atau attitudes (sikap) dan bereaucratic structure (struktur birokrasi).34
34
commit to user
Mas Roro Lilik Ekowati, op.cit, hal 37
28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a). Komunikasi Agar
implementasi
kebijakan
berjalan
efektif
diperlukan
komunikasi yang jelas, akurat dan konsisten bagi implementator. Tidak cukupnya komunikasi bagi implementator mengakibatkan implementasi yang dikirim akan mengalami kesalahan atau kerusakan, samar-samar atau tidak konsisten yang akhirnya secara serius akan mempengaruhi implementsai kebijakan. b). Sumber Daya Diperlukan sumber daya yang memadai agar implementasi bisa efektif. Pentingnya sumber daya ini meliputi ukuran staf dan keahlian yang dimiliki, sumber daya yang lemah akan berakibat bahwa pelayanan tidak akan bisa diberikan atau peraturan-peraturan tidak akan bisa untuk diterapkan. c). Sikap Seorang implementator disamping harus mengetahui apa yang harus dilaksanakan juga harus bisa membawa kebijakan sebagaimana yang diinginkan (diharapkan). d). Struktur birokrasi Struktur birokrasi merupakan faktor penting di dalam pelaksanaan kebijakan. Dimana di dalam birokrasi tersebut akan terjadi koordinasi dan kerjasama agar implementasi kebijakan bisa efektif dan efisien. Langkah terakhir dari suatu proses kebijakan adalah evaluasi kebijakan yang meliputi penilaian terhadap hasil-hasil kebijakan, tujuan-tujuan, sarana-sarana, aktivitas-aktivitas, urutan waktu dengan berpegang pada ukuran-ukuran lain dari tujuan-tujuan kebijakan seperti asas-asas maupun pandangan-pandangan lain yang dianut oleh para penilai.
commit to user 29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Efektifitas Bekerjanya Hukum Sesungguhnya hubungan hukum dan kebijakan publik sangat erat bagaikan dua sisi mata uang. Maksudnya adalah produk hukum yang baik harus melalui proses komunikasi yang baik antara stakeholders dan antar komponen masyarakat yang biasa dilakukan dalam proses penyusunan kebijakan publik. Produk hukum dibicarakan dalam dua sisi, yakni sisi keadilan dan sisi legalitas sebagai upaya adanya kepastian hukum yang kemudian menjelma hukum positif, yakni produk hukum yang berlaku dalam suatu negara tertentu dan dibuat lembaga yang berwenang seperti pembuatan undang-undang dilakukan oleh pemerintah dan DPR RI, peraturan daerah dibuat oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati. Dalam melakukan penerapan hukum membutuhkan kebijakan publik sebagai sarana yang mampu mengaktualisasikan hukum tersebut dengan kebutuhan dan kondisi riil yang ada di masyarakat, sebab jika responsifitas aturan masyarakat hanya sepenuhnya diserahkan pada hukum semata, maka bukan tidak mungkin pada saatnya akan terjadi pemaksaan-pemaksaan hukum yang tidak sejalan dengan cita-cita hukum itu sendiri yang ingin mensejahterakan masyarakat. Kebijakan publik sebagai sebuah konsep pengaturan masyarakat yang lebih menekankan pada proses, dewasa ini tampaknya menjadi lebih populer daripada hukum. Namun keberadaan hukum secara sadar atau tidak sadar masih tetap dibutuhkan oleh masyarakat modern. Penerapan hukum menjadi sangat tergantung pada kebijakan publik sebagai sarana yang dapat menyukseskan berjalannya penerapan hukum itu sendiri. Sebab dengan adanya kebijakan publik, maka pemerintah pada level yang terdekat dengan masyarakat setempat akan mampu merumuskan apa-apa saja yang harus dilakukan agar penerapan hukum yang ada pada suatu saat dapat berjalan dengan baik. commit to user 30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurut Lawrence Meir Friedman seorang ahli sosiologi hukum dari Stamford University dalam bukunya The Legal System, mengemukakan mengenai Tiga Unsur Sistem Hukum (Three Element of Legal System). Untuk itu sangat tepat Teori Friedman yang menyatakan bahwa hukum merupakan satu kesatuan sistem yang terdiri dari tiga unsur yang saling terkait. Ketiga unsur sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya hukum tersebut adalah sebagai berikut :35 a. Struktur Hukum (legal structure); Struktur menurut Friedman adalah kerangka bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di Indonesia berbicara tentang struktur sistem hukum Indonesia maka termasuk didalamnya struktur Institusi-institusi penegakan hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan Dalam hal ini merupakan unsur yang berasal dari para pemegang aturan hukum. Bisa jadi pemerintah (eksekutif), pembuat peraturan (legislatif) ataupun lembaga kehakiman (yudikatif). Para aparat penegak hukum, seyogyanya harus bersikap konsisten terhadap apa yang telah dikeluarkannya. Ia tidak boleh mangkir dari kebijakan-kebijakan hukum yang telah dibuatnya. Atau dengan kata lain, dalam melakukan segala perbuatan, pemerintah harus selalu berpegang teguh terhadap peraturan umum yang telah dibuatnya. Jadi pada dasarnya struktur hukum secara sederhana bisa diartikan dari kerangka hukum maupun wadah dan organisasi dari lembaga-lembaganya.
35
Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta, PT. Yarsif Watampone, 2001.
commit to user 31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Substansi Hukum ( legal substance); Substansi adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem hukum itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada didalam sistem hukum itu mencakup peraturan baru yang mereka susun. Komponen substantif sebagai output dari sistem hukum yang berupa peraturan-peraturan keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.36 Substansi hukum meliputi norma dan aturan itu sendiri. Tidak terbatas pada norma formal saja tetapi juga meliputi pola perilaku sosial termasuk etika sosial, terlepas apakah nantinya akan perilaku sosial tersebut akan membentuk norma formal tersendiri. Idealnya, isi/materi
hukum
tidak
boleh
diinterpretasikan
secara
baku/sebagaimana adanya seperti yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. c. Kultur hukum (legal culture). Pernyataan Friedman menyatakan bahwa kultur hukum ádalah apa yang masyarakat rasakan terhadap hukum dan sistem hukumnya, kemudian Friedman memperluas lagi bahwa budaya hukum bukan sekedar pikiran saja, tetapi juga cara pandang dan cara masyarakat menentukan bagaimana sebuah hukum itu digunakan Pada akhirnya, pemahaman kultur hukum menurut Friedman adalah setiap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah susunan pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalah gunakan. 36
Ibid, hal 5
commit to user 32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tanpa Kultur Hukum maka sistem hukum itu sendiri tidak berdaya.
Pendapat Friedman, jika unsur ini dihilangkan akan
menimbulkan
kepincangan
hukum
&
tidak
bisa
berjalan
sebagaimana mestinya, serta cita-cita mewujudkan keadilan pun akan sirna. Pemerintah, dalam menyusun peraturan dan menentukan langkah-langkah hukum perlu memperhatikan pula nilai-nilai dalam masyarakat. Tidak boleh mengambil keputusan/kebijakan hanya berdasarkan asumsinya belaka. Sesuai/tidaknya kebijakan hukum dengan tuntutan masyarakat umum, akan sangat menentukan keberhasilan hukum itu sendiri. Berdasarkan teori sistem dari Friedman diatas kalau ingin memperbaiki sistem hukum yang ada ketiga komponen tersebut harus diperhatikan dan dibenahi. Kondisi ini memerlukan suatu proses yang panjang untuk mampu merubahnya karena menyangkut masalah sosial budaya, sehingga bukan hanya perundang-undangan yang harus dibenahi namun juga budaya hukum masyarakat. Menurut Setiono, pada dasarnya di dalam penerapan hokum tergantung pada empat unsur yaitu unsure hukum, unsur struktural, unsur masyarakat dan budaya.37 1) Unsur Hukum Unsur hokum merupaka produk atau teks aturan-aturan hokum. Ketika pada kasus tertentu ternyata unsur hokum ini tidak dapat diterapkan sama persis dengan harapan yang ada, maka kebijakan publik diharapkan mampu memberikan tindakan-tindakan yang lebih kontekstual dengan kondisi riil di lapangan. Ketika kebijakan publik melakukan hal itu maka sesungguhnya ia pun berangkat dari unsur hokum yang dimaksud. Perencanaan dan langkah-langkah 37
Setiono, PemahamanTterhadap Metodologi Penelitian Hukum, Program Studi Ilmu Hukum, Surakarta, Pasca Sarjana UNS, 2005.
commit to user 33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang diambil oleh kebijakan publik bisa jadi tidak sepenuhnya sama dengan teks-teks aturan hokum, dengan demikian pada dasarnya kebijakan publik itu lebih sebagai upaya untuk membantu atau memperlancar penerapan hokum yang telah ditetapkan. 2) Struktural Struktural merupakan lembaga-lembaga atau organisasi yang diperlukan dalam penerapan hokum itu. Kebijakan publik dalam konteks unsur struktural ini lebih dominan berposisi sebagai sebuah seni, yaitu bagaimana ia mampu melakukan kreasi sedemikian rupa sehingga performance organisasi yang dialaminya itu dapat tampil lebih baik, sekaligus distorsi-distorsi pemaknaan dari unsur hokum yang ada tidak diselewengkan atau ditafsir berbeda oleh para pelaksananya di lapangan. Atau mungkin terjadi para pelaksana dalam organisasi sudah mengerti maksud dari aturan hokum yang ada tetapi mereka tidak mampu menjalankannya. 3) Masyarakat Yang dimaksud dengan masyarakat disini adalah bagaimana kondisi social politik dan social ekonomi dari masyarakat yang akan terkena dampak atas diterapkannya sebuah aturan hokum atau Undangundang. Sebaik apapun unsur-unsur kinerja organisasi atau institusi pelaksana, bila kondisi masyarakatnya sedang kacau balau tentu semua itu tidak akan dapat berjalan seperti yang diharapkan. Posisi dari kebijakan publik lagi-lagi akan sangat berpengaruh dalam hal unsur masyarakat dalam penerapan hokum. Kondisi masyarakat yang
ada
itu
harus
diselesaiakan
terselenggaranya sebuah penerapan hokum
commit to user 34
terlebih
dahulu
demi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) Budaya Yang dimaksud dengan budaya adalah berkaitan dengan bagaimana isi kontekstual sebuah Undang-undang yang hendak diterapkan dengan pola piker, pola perilaku, norma-norma nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Unsur budaya dalam penerapan hokum sangat penting sebab ini berkaitan dengan bagaimana pamahaman masyarakat atas sebuah introduksi nilai yang hendak ditransformasikan oleh sebuah produk hokum atau Undang-undang. Earl Letham beranggapan,38 bahwa kebijakan publik pada dasarnya mencerminkan keseimbangan yang tercapai dalam perjuangan antar kelompok. Kebijakan publik merupakan keadaan seimbang yang tercapai dalam perjuanagan antar kelompok pada suatu waktu tertentu dan merupakan cerminan keseimbangan setelah pihak-pihak atau kelompok tertentu berhasil mengarahkan kebijakan publik itu ke arah yang menguntungkan. Dalam hubungan mencapai keseimbangan itu dibutuhkan berlakunya suatu system hukum yang merupakan cerminan dari nilai-nilai dan standar elit masyarakat, masing-masing mempunyai kepentingan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan kelompok mereka. Kebijakan dalam bidang hukum akan berimplikasi kepada masalah politik yang sarat dengan diskriminasi terhadap kelompok lain. Menurut Soerjono Soekanto, bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral sehingga dampak positif atau negatifnya penegakan hukum itu terletak pada isi faktorfaktor tersebut. Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut : 39
38 39
Bambang Sunggono, op.cit, hal. 60 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,1983
commit to user 35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1). Faktor hukumnya sendiri Yang dimaksud dengan hukum dalam hal ini adalah peraturan tertulis yang dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah, yang mencakup : a. Peraturan pusat yang berlaku untuk semua warga negara atau suatu golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum di sebagian wilayah negara. b. Peraturan setempat yang hanya berlaku di suatu tempat atau daerah saja. 2). Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Seorang penegak hukum sebagaimana halnya dengan wargawarga masyarakat lainnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil bahwa antara berbagai kedudukan dan peranan tersebut timbul konflik (status conflict dan conflict of roles). Kalau di dalam kenyataannya terjadi suatu kesenjangan antara peranan yang seharusnya dengan peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan aktual, maka akan terjadi kesenjangan peranan (role distance). Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. 3). Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan commit to user 36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan lain-lain. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya. 4). Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hokum berlaku atau diterapkan Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu dipandang dari sudut tertentu masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Tidak setiap usaha yang bertujuan supaya warga masyarakat menaati hukum menghasilkan kepatuhan tersebut. Ada kemungkinan bahwa kegiatan atau usaha tersebut malahan menghasilkan sikap tindak yang bertentangan dengan tujuannya. 5). Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat sengaja dibedakan karena dalam pembahasannya diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non materiil. Kebudayaan hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari), Masih menurut Soerjono Soekanto, kelima faktor tersebut saling berkaitan erat, karena merupakan esensi dari penegakan hukum dan merupakan tolok ukur dari efektivitas penegakan hukum. Hukum agar bisa berfungsi sebagai sarana rekayasa sosial bagi masyarakat biasa dan masyarakat pejabat sebagai pemegang law enforcement, maka dapat dipakai pendekatan dengan mengambil teori
commit to user 37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Robert Seidman,40 yang menyatakan bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat itu melibatkan tiga kemampuan dasar, yaitu pembuat hukum (Undang-undang), birokrat pelaksana dan masyarakat obyek hukum. Pelaksana hukum, perilakunya ditentukan pula oleh peranan yang diharapkan darinya, namun bekerjanya harapan itu tidak hanya ditentukan oleh peraturan-peraturan saja, melainkan juga ditentukan oleh faktor-faktor lainnya tetapi juga oleh : a). Sanksi-sanksi yang terdapat didalamnya. b). Aktifitas dari lembaga-lembaga atau badan-badan pelaksana hukum c). Seluruh kekuatan sosial, politik dan lainnya yang bekerja atas diri pemegang peran itu. Efektifitas hukum merupakan indikator untuk menilai berhasil atau tidaknya penerapan suatu produk hukum atau penegakkan hukum di dalam masyarakat. Hukum akan ditaati dan dilaksanakan sebagai perilaku oleh warga masyarakat apabila hukum tersebut berhasil mengatur pola perilaku orang/warga masyarakat sesuai tujuannya. Suatu kaedah hukum akan berhasil atau gagal dalam mencapai tujuannya dapat diukur dengan terwujudnya hukum sebagai perilaku. Dalam hal ini Soerjono Soekanto mengatakan, bahwa apabila seseorang mengatakan suatu kaedah hukum berhasil atau gagal mencapai tujuannya, maka hal itu biasanya diukur apakah pengaruhnya berhasil mengatur sikap tindak atau perilaku tertentu sehingga sesuai dengan
tujuannya
atau
tidak.
Pernyataan
ini
pada
dasarnya
memperlihatkan bahwa hal berlakunya hukum adalah terwujudnya hukum sebagai perilaku.
40
Robert Seidman, Law and Development, A General Model, Law and Society Review, Madison, University of Wisconsin, USA, dalam Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, PT. Suryandaru Utama, 1972.
commit to user 38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Paul dan Dias mengajukan 5 (lima) syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektifkan sistem hukum, yaitu :41 1) Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap dan dipahami 2) Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan hukum yang bersangkutan 3) Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum 4) Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaiakan sengketa 5) Adanya anggapan dan pengakuan yang merata dikalangan warga masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif. Menurut Satjipto Rahardjo, secara sosiologis dapat dilihat adanya 2 (dua) fungsi utama hukum, yaitu :42 a). Social control (kontrol sosial) Yaitu mempengaruhi warga masyarakat agar bertingkah laku sejalan dengan apa yang telah digariskan sebagai urutan hukum, termasuk nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. b). Social Engineering (rekayasa sosial) Penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib hukum atau keadaan masyarakat sebagaimana yang diinginkan oleh pembuat hukum. Berbeda dengan fungsi kontrol sosial yang lebih praktis, yaitu untuk kepentingan waktu sekarang, maka fungsi rekayasa sosial dari hukum lebih mengarah pada pembahasan sikap dan perilaku masyarakat di masa mendatang sesuai dengan keinginan pembuat undang-undang. 41 42
Esmi Warrasih, 2005, op. cit, hal. 105-106. Satjipto Rahardjo, 1986, Hukum dan Masyarakat, Bandung, Angkasa.
commit to user 39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Perubahan-perubahan yang dikehendaki itu apabila berhasil pada akhirnya akan melembaga sebagai pola-pola tingkah laku yang baru dalam masyarakat. Menurut Radbuch,43 hukum harus mempunyai 3 (tiga) nilai idealis atau nilai dasar yang merupakan konsekuensi hukum yang baik, yaitu : a). Keadilan b). Kemanfaatan/kegunaan c). Kepastian Hukum Suatu Undang-undang/kaedah hukum dibuat dengan tujuan untuk mengatur kepentingan-kepentingan anggota masyarakat agar tidak terjadi perselisihan sehingga tercipta kedamaian, ketertiban dan yang lebih penting lagi bahwa hukum itu harus bisa mewujudkan keadilan di dalam masyarakat. Pembuatan undang-undang/kaedah hukum merupakan proses awal bergulirnya pengaturan. Namun kita tidak berhenti hanya membahas masalah wujudnya yang formal berupa peraturan-peraturan tertulis yang telah dibakukan dalam peraturan perundangan saja, akan tetapi perlu dikaji lebih jauh konsekwensi dari peraturan perundangan tersebut dalam kehidupan di masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang bisa bekerja untuk menciptakan kepastian, kedamaian, ketertiban, keadilan dan kesejahteraan di dalam kehidupan masyarakat. Agar supaya berfungsi, maka kaedah hukum harus memenuhi tiga unsur berlakunya hukum yaitu, yuridis, sosiologis dan filosofis.44 Apabila suatu kaedah hukum hanya mempunyai unsur yuridis belaka, maka kaedah hukum tersebut merupakan suatu kaedah hukum yang mati (dodel regel). Kalau suatu kaedah hukum hanya mempunyai kelakuan sosiologis dalam arti teori kekuasaan, maka kaedah hukum 43 44
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2000. Purnadi Purbacaraka dalam Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia, 1983.
commit to user 40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang bersangkutan menjadi aturan pemaksa (dwangmaat-regel). Akhirnya apabila suatu kaedah hukum hanya mempunyai kelakuan filosofis, maka kaedah hukum hukum tersebut hanya boleh disebut sebagai kaedah hukum yang diharapkan atau dicita-citakan (ius constituendum atau ideal norm). Menurut Dias45, suatu sistem hukum itu dapat dikatakan efektif kalau perilaku-perilaku manusia di masyarakat dapat cocok sepenuhnya dengan apa yang telah ditentukan di dalam aturan-aturan hukum yang berlaku, dengan perkataan lain adanya suatu sistem hukum yang efektif itu akan ditandai oleh adanya suatu kelainan yang sangat minimal antara sistem hukum yang formal dengan sistem hukum yang operatif.
4. Tinjauan Tentang Pegawai Negeri Sipil Kamus Umum Bahasa Indonesia memberi penjelasan mengenai arti pegawai adalah orang yang bekerja pada pemerintah, perusahaan, dst. Sedangkan pengertian negeri adalah arti Negara, pemerintahan atau kota, tempat tinggal. Arti Sipil adalah berkenaan dengan orang biasa bukan militer, hal-hal yang mengenai pemerintahan bukan militer.46 Berdasar pengertian menurut kamus umum Bahasa Indonesia itu, pengertian pegawai negeri sipil adalah orang yang bekerja pada pemerintah dan bukan pegawai militer. Karena pemerintahan dilaksanakan berdasar Undang-Undang, maka orang yang menjadi pegawai negeri sipil diangkat berdasar peraturan perundang-undangan mengenai kepegawaian. Pengertian Pegawai Negeri Sipil sesuai Pasal 1 angka 1 Undangundang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-undang 45
Bambang Sunggono dalam Aries Hartanto, Bantuan Hukum Dan Hak asasi Manusia. Mandar Maju. Bandung. 2001. 46 Purwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, 1976.
commit to user 41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian dengan perumusan sebagai berikut : “ Pegawai Negeri adalah setiap Warga Negara Republik Indonesia yang telah memenuhi persyaratan yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku” 47 Dari definisi tersebut di atas maka pengertian Pegawai Negeri mencakup 4
( empat ) hal yaitu :
1).
Setiap WNI yang telah memenuhi syarat yang ditentukan.
2).
Diangkat oleh pejabat yang berwenang.
3).
Diserahi tugas negeri atau diserahi tugas negara lainnya.
4).
Digaji
berdasarkan
peraturan
Perundang-undangan
yang
berlaku. Mereka yang memenuhi keempat syarat-syarat tersebut termasuk Pegawai Negeri. Menurut pasal 2 ayat ( 1 ) Undang - undang Nomor 43 Tahun 1999, Pegawai Negeri terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional
Indonesia dan Anggota Kepolisian Republik
Indonesia . Tahun 2006 jumlah Pegawai Negeri Sipil di Indonesia secara drastis meningkat sekitar 3,6 juta. Pegawai Negeri Sipil di Indonesia dibedakan dalam tiga sistem penggajian : 48
47
Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian 48 Eko Prasojo, Teguh Kurniawan, Defny Holidin, An Analysis of The Government Systems in Indonesia, Draft of The Final Report, June 2007, Administrative Sciences Department University of Indonesia and Korea-Australia Research Centre University of New South Wales.
commit to user 42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1). Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Pusat, yaitu Pegawai Negeri Sipil yang pembayaran gajinya dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN); 2). Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Daerah Otonom, yaitu Pegawai Negeri Sipil yang pembayaran gajinya dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); dan 3). Pegawai Negeri Sipil Usaha Negara, yaitu Pegawai Negeri yang pembayaran
gajinya
dengan
menggunakan
aktiva
pajak
tangguhan. Sedangkan Pegawai Negeri Sipil sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 ayat ( 1 ) huruf a terdiri dari Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah . a. Pegawai Negeri Sipil Pusat . Menurut penjelasan dari Undang - undang Nomor 43 Tahun 1999 maka yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah: 1). Pegawai Negeri Sipil Pusat yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan bekerja pada Departemen, Lembaga Pemerintah
Non
Departemen,
Kesekretariat Lembaga Tertinggi / Tinggi Negara, Instansi Vertikal di Daerah - daerah dan Kepaniteraan Pengadilan. 2). Pegawai Negeri Sipil Pusat yang bekerja pada Perusahaan Jawatan. 3). Pegawai Negeri Sipil Pusat yang dipekerjakan pada Daerah Otonom.
commit to user 43
diperbantukan atau
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4). Pegawai Negeri Sipil yang
berdasarkan sesuatu peraturan
perundang-undangan diperbantukan atau dipekerjakan pada badan lain, seperti Perusahaan Umum, Yayasan lain-lain. 5). Pegawai Negeri Sipil Pusat yang menyelenggarakan tugas negara lainnya, seperti Hakim pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dan lain-lain. b. Pegawai Negeri Sipil Daerah Pengertian Pegawai Negeri Sipil Daerah menurut penjelasan Undang - Undang Nomor 43 Tahun 1999 adalah Pegawai Negeri Sipil Daerah Otonom . Sedangkan Derah Otonom
menurut
menurut Undang - undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang
Pemerintahan Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak , berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Pegawai Negeri Sipil Daerah Otonom pada pokoknya berlaku ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku sebagaimana disebutkan dalam pasal 129 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah : (1) Pemerintah melaksanakan pembinaan manajemen pegawai negeri sipil daerah dalam satu kesatuan penyelenggaraan manajemen pegawai negeri sipil secara nasional. (2) Manajemen Pegawai Negeri Sipil daerah sebagaimana dimaksud pengadaan,
pada ayat
(1)
pengangkatan,
meliputi penetapan formasi, pemindahan,
pemberhentian,
penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban, kedudukan hukum, pengembangan kompetensi dan pengendalian jumlah. commit to user 44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sistem manajemen pegawai sesuai dengan kondisi pemerintahan saat ini tidak murni menggunakan unified system namun sebagai konsekuensi kebijakan desentralisasi maka dalam hal ini menggunakan gabungan unified system dan separated system, artinya ada bagianbagian kewenangan yang diserahkan kepada daerah untuk selanjutnya dilaksanakan oleh pembina kepegawaian daerah. Prinsip lain yang dianut adalah memberikan suatu kejelasan dan ketegasan bahwa ada pemisahan antara pejabat politik dan pejabat karier baik tata cara mengenai rekruitmennya maupun kedudukan, tugas, wewenang, fungsi dan pembinaannya. Berdasarkan prinsip dimaksud, maka pembina kepegawaian daerah adalah pejabat karier tertinggi pada pemerintah daerah.49
5. Tinjauan Tentang Tenaga Honorer Tenaga honorer adalah seseorang yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan
tugas
tertentu
pada
instansi
pemerintah
atau
penghasilannya menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007, Pasal 1). Pejabat Pembina Kepegawaian berwenang untuk mengangkat tenaga honorer dengan tujuan untuk memperlancar pelaksanaan sebagian tugas – tugas pemerintahan dan pembangunan yang selama ini pelaksanaanya kurang maksimal dikarenakan terbatasnya jumlah pegawai yang ada. Tenaga honorer yang telah lama bekerja dan atau tenaganya sangat dibutuhkan oleh Pemerintah dan memenuhi syarat yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah dapat diangkat menjadi
49
HAW Widjaja, op. cit, hal. 145-146
commit to user 45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Calon Pegawai Negeri Sipil, dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga tertentu pada instansi pemerintah. Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil diprioritaskan bagi yang melaksanakan tugas sebagai : 1). Tenaga guru; 2). Tenaga kesehatan pada unit pelayanan kesehatan; 3). Tenaga penyuluh di bidang pertanian, perikanan peternakan; dan 4). Tenaga teknis lainnya yang sangat dibutuhkan pemerintah. Pengangkatan tenaga honorer dilakukan melalui seleksi administrasi, disiplin, integritas, kesehatan dan kompetensi dan diprioritaskan pada tenaga honorer yang usianya paling tinggi dan/atau mempunyai masa kerja lebih banyak. Mereka juga diwajibkan mengisi/menjawab daftar pertanyaan mengenai pengetahuan tata pemerintahan/kepemerintahan. Tenaga honorer yang akan diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil harus memenuhi kriteria antara lain : a. Disiplin dan integritas yang tinggi. Disiplin dan integritas adalah bahwa selama menjadi tenaga honorer melakukan tugasnya dengan baik dan disiplin serta mempunyai integritas tinggi yang dibuktikan dengan surat pernyataan oleh atasan langsungnya serta disahkan kebenarannya oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain yang ditunjuk sekurangkurangnya pejabat struktural eselon II. b. Sehat jasmani dan rohani. Tenaga honorer harus sehat jasmani dan rohani yang ditunjukan dengan surat keterangan dari Dokter Pemerintah.
commit to user 46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Memiliki kompetensi. Kompetensi adalah bahwa tenaga honorer tersebut mempunyai pendidikan, kecakapan, keahlian, atau ketrampilan yang sesuai dengan jabatan yang akan diduduki.
Pengertian diatas memberikan penjelasan bahwa kompetensi merupakan bagian integral dari reportoar perilaku individu sebagai mediator yang membantu atau menghalangi kinerja mereka, mencakup aspek kinerja seperti pengetahuan teknis, kemampuan dan ketrampilan yang mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap kinerja. 50 d. Tidak terlibat tindak pidana. e. Bebas dari Zat aditif, narkoba dan zat – zat terlarang lainnya (NAPZA). Tenaga honorer yang telah diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan Pegawai Negeri Sipil lainnya yang tidak diperoleh selama menjadi tenaga honorer, sesuai dengan Undang – undang Kepegawaian Nomor 43 tahun 1999. Setiap Pegawai negeri wajib dan setia dan taat kepada Pancasila, Undang – undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah, serta wajib menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Undang Undang Kepegawaian Nomor 43 tahun 1999, Pasal 4). Sedangkan haknya tercantum dalam ketentuan pasal 7 ayat (1) s/d (3) : 1). Setiap Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya
50
Ann Davis and Judy Scully,The Aston Centre for Human Resources, A free sample chapter from Strategic Human Resource Management, Published by the CIPD. Copyright © CIPD 2008
commit to user 47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2). Gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri harus mampu memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraannya 3). Gaji Pegawai Negeri yang adil dan layak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Pemerinyah. Pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil ini diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan bagi yang bersangkutan, yang tidak diperoleh selama menjadi tenaga honorer. Walaupun belum menerima gaji penuh, karena sebelum PNS penuh CPNS baru menerima gaji 80 % dari gaji penuhnya, namun secara ekonomi kesejahteraannya mereka meningkat cukup signifikan.
B. Penelitian Yang Relevan Muhammad Arifin, Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di Pemerintah Kota Surakarta, ( Skripsi ), Universitas Sebelas Maret Surakarta. Skripsi ini memaparkan tentang proses pelaksanaan pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil di Pemerintah Kota Surakarta.
C. Kerangka Berpikir Berdasarkan kerangka teori yang telah dipaparkan, dapatlah kemudian dibuat kerangka dasar pemikiran penelitian Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Klaten, dengan menggunakan teori dari Soerjono Soekanto mengenai lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu : faktor hukumnya sendiri,
commit to user 48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan yang dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 2.1
Apresiasi terhadap pengabdian tenaga honorer
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil
Pelaksanaan Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil - Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 30 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil
Faktor Hukumnya Sendiri
Faktor Penegak Hukum
Faktor Sarana atau Fasilitas
Faktor Masyarakat
Faktor Kebudayaan
Faktor-faktor Penghambat
Efektif
Tidak Efektif
commit to user 49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum sosiologis (non doktrinal), karena penelitian ini bertitik tolak dari data primer atau dasar, yakni diperoleh langsung dari masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan, yang dilakukan baik melalui pengamatan (observasi) ataupun wawancara. Penelitian hukum sebagai penelitian sosilogis (empiris) dapat direalisasikan terhadap efektifitas hukum yang sedang berlaku ataupun penelitian terhadap identifikasi hukum. Penelitian
sosiologis
pada
dasarnya
diharapkan
dapat
mengungkapkan fenomena tertentu serta menghasilkan kesimpulan teoritis tentang jalin- menjalinnya gejala atau fenomena tadi. Bobot kinerja penelitian sosial ditentukan oleh kemampauan untuk mewujudkan dua kategori kinerja, yaitu visi (vision) dan presisi. Visi adalah kemampuan peneliti untuk melihat jalin-menjalinnya fenomena atau peristiwa yang satu dengan yang lainnya. Sedangkan presisi meliputi kemampuan peneliti untuk mengungkap realitas sosial secara obyektif, tepat dan unbiased atau tidak menyimpang. Persoalan penting bagi suatu penelitian adalah mengenai pemilihan metodologinya akan menentukan derajat keberhasilan penelitian. Di dalam penelitian ini peneliti ingin memberikan gambaran metode yang aktual dengan jalan mengumpulkan data, menyusun, menganalisa dan menginterprestasikannya. Metode yang digunakan adalah metode yuridis
commit to user 50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sosiologis dengan sifat penelitian deskriptif dan tehnik pendekatan secara kualitatif. Penelitian deskriptif adalah : Penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan (deskripsi) mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian. Dalam arti ini penelitian deskriptif itu adalah akumulasi data dasar, dalam cara cara deskriptif semata-mata tidak perlu mencari atau menerangkan saling hubungan, mentest hipotis, membuat ramalan, atau mendapatkan makna dan implikasi, walaupun penelitian yang bertujuan untuk menemukan hal-hal tersebut dapat mencakup juga metode-metode deskriptif.52 Sedang penelitian kualitatif adalah penelitan yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan metode ilmiah.53 Bogdan dan Taylor, mengatakan: ”Prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata – kata tertulis atau lisan dari orang – orang dan perilaku yang diamati disebut pula metodologi kualitatif”54 Menurut Moh. Nazir penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu obyek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran pada masa sekarang.55 Pendapat-pendapat tersebut menjadi dasar pemakaian jenis penelitian yang digunakan, karena penelitian ini berusaha mendeskripsikan kajian tentang Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang
52
Sumadi Suryabrata, Penelitan Kualitatif, Jakarta, Edisi Keempat, Bumi Aksara, 2004. Lexy J, Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2004. 54 Ibid, hal. 3 55 Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, 1983. 53
commit to user 51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Dengan mendiskripsikan kajian tersebut peneliti dapat menganalisa Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga
Honorer
menjadi
Calon Pegawai Negeri Sipil
dikaitkan dengan teori mengenai keefektifan suatu kebijakan publik. Dalam mempelajari hukum, tentunya tidak boleh lepas dari lima konsep hukum menurut Soetandyo Wignjosoebroto sebagai berikut :56 1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal (yang menurut bahasa Setiono disebut sebagai Hukum Alam) 2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundangundangan 3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto dan tersistematisasi sebagai judge made law. 4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik 5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi mereka (yang menurut bahasa Setiono disebut sebagai Hukum yang ada dalam benak manusia) Dalam penulisan ini, penulis memakai konsep hukum yang ke 5 (lima), yaitu manifestasi makna-makna simbolik perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi mereka.
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto57
penelitian non doktrinal adalah penelitian hukum yang tidak dikonsepsikan dan dikembangkan sebagai rules tetapi sebagai reguleritas yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari atau dalam alam pengalaman. Artinya, hukum
56
Soetandyo Wignjosoebroto, Mengembangkan Ketaatan Hukum di Sanubari Warga Masyarakat Lewat Proses Belajar, Makalah, Surabaya, FISIP UNAIR, 1974. 57 Ibid, hal.147
commit to user 52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
adalah tingkah laku atau aksi-aksi dan interaksi manusia secara aktual dan potensial akan terpola sebagai realita sosial yang terjadi dalam alam pengalaman indrawi empiris. Menurut Lexy J. Moleong,58 kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama.
B. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan mengambil lokasi di Kabupaten Klaten tepatnya di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, hal ini didasarkan karena tugas pokok dan fungsi peneliti di bidang kepegawaian pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten untuk lebih memudahkan akses mendapatkan sumber atau informasi mengenai data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dan mendasarkan tempat tinggal peneliti yang berada di wilayah lokasi penelitian sehingga tingkat pengamatan, pengkajian dan analisa terhadap objek penelitian diharapkan lebih cermat.
C. Data dan Sumber Data 1. Data Primer Data Primer adalah data dari hasil penelitian secara langsung dari lapangan penelitian berupa keterangan yang diperoleh dari hasil wawancara yang berkaitan dengan implementasi PP nomor 43 Tahun 2007. Dalam penelitian ini wawancara akan dilakukan dengan orang – orang yang dipandang dapat memberikan informasi yang memadai (key person) dari kegiatan pengadaan pegawai. Dalam hal ini maka responden yang diwawancarai adalah aparat yang terlibat langsung sesuai tugas pokok dan fungsinya dalam menangani pengadaan calon 58
commit to user
Lexy J, Moleong, 2004, op. Cit, hal. 112
53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pegawai negeri sipil dari tenaga honorer, seperti Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, Sekretaris Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, Kepala Bidang Pengembangan, Kepala Sub Bidang Pengadaan, Pengembangan Pegawai, Staf Bidang Pengadaan, Pengembangan Pegawai, serta tenaga honorer pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di Kabupaten Klaten yang akan diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintah kabupaten Klaten. 2. Data Sekunder Data sekunder dalam penelitian ini berupa bahan hukum yang mencakup : a. Bahan Hukum Primer, yaitu : Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder berupa bahan kepustakaan yang berkaitan dengan pokok permasalahan penelitian ini, seperti buku-buku hukum, literatur-literatur, penulisan hukum dan lain sebagainya. c. Bahan Hukum Tertier, antara lain : 1) Kamus Hukum Indonesia 2) Kamus Umum Bahasa Indonesia
D. Tehnik Pengumpulan Data Sumber data dalam penelitian ini bisa dari beragam jenis, bisa berupa orang, peristiwa, tempat, lokasi, benda serta dokumen tertulis atau arsip. Dengan beragam jenis sumber data tersebut untuk mengumpulkan data dalam penelitian guna mendapatkan data yang diperlukan untuk menjawab
commit to user 54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
permasalahannya. Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini, perlu dilakukan metode (tehnik) sebagai berikut : a. Pengamatan langsung atau observasi. b. Wawancara tidak terstruktur, dan c. Sumber tertulis. Untuk lebih jelasnya ketiga sumber data tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : a. Pengamatan Langsung atau Observasi Pengamatan langsung yaitu tehnik pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan langsung tehadap obyek penelitian. Ada dua jenis pengamatan menurut Nazir, yaitu pengamatan berstruktur dan pengamatan tidak berstruktur. Pengamatan berstruktur menurut Moh. Nazir59 adalah : Si peneliti telah mengetahui aspek apa dari aktifitas
yang akan diamatinya yang relevan dengan masalah serta tujuan penelitiannya, dengan pengungkapan yang sistematis untuk menguji hipotesisnya. Dengan demikian, pengamatan yang dilakukan dalam penelitian ini sejalan dengan pertanyaan penelitian dan bermaksud untuk melengkapi data – data dan informasi yang dibutuhkan untuk menjelaskan aspek – aspek perbandingan dalam penelitian ini. Tehnik pengamatan langsung berperan aktif agar peneliti tidak bersikap pasif sebagai
pengamat,
tetapi
memainkan
berbagai
peran
yang
dimungkinkan dalam suatu situasi yang berkaitan dengan penelitian. b. Wawancara Tidak Terstruktur Wawancara, dilaksanakan dengan tujuan untuk lebih memahami berbagai data dan informasi sekunder. Definisi wawancara adalah60: proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian, dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara sipenanya atau pewawancara 59 60
Moh. Nazir, Metode Penelitian, Cetakan Ketiga, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hal. 219 Ibid, hal. 234
commit to user 55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan sipenjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (pedoman wawancara). Dalam penelitian ini wawancara akan dilakukan dengan orang – orang yang dipandang dapat memberikan informasi yang memadai (key person) dari kegiatan pengadaan pegawai. Dalam hal ini maka responden yang akan diwawancarai adalah seperti aparat yang terlibat langsung tugasnya dalam menangani pengadaan calon pegawai negeri sipil dari tenaga honorer, seperti Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, Sekretaris, Kepala Bidang Pengembangan dan Diklat, Kepala Sub Bidang Formasi dan Pengadaan Pegawai, Staf Bidang Formasi dan Pengadaan Pegawai, serta tenaga honorer pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di Kabupaten Klaten yang akan diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil. Tehnik wawancara dikembangkan mengarah pada wawancara mendalam (in depth interviewing) agar diperoleh kedalaman informasi guna menggali pandangan subyek penelitian tentang banyak hal yang bermanfaat secara lebih jauh dan mendalam. c. Sumber Tertulis Sumber tertulis, yang berupa dokumen tertulis, arsip dan studi kepustakaan merupakan sumber data yang penting dalam penelitian ini, terutama bila sasaran kajian mengarah pada latar belakang peristiwa guna mendukung proses interprestasi setiap peristiwa yang diteliti.
E. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik kualitatif, yakni suatu cara pemilihan data yang menghasilkan data deskriptif yaitu ” apa yang dinyatakan responden secara tertulis atau lisan dan juga perilaku nyata yang diamati dan diteliti dipelajari secara utuh.” Data sekunder yang tersedia menjadi pangkal penelitian dihubungkan commit to user 56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan data primer, kemudian dianalisis secara kualitatif. Teknik analisisnya dengan model analisis interaktif (Interactive Model of Analysis) dari Milles dan Huberman. Dalam teknik ini ketiga komponen utama yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan yang dilakukan serentak dengan proses pengumpulan data, dalam bentuk siklus selama proses penelitian yang digambarkan seperti di bawah ini :61 Gambar 3.1 Pengumpulan data
Reduksi Data
Sajian Data
Penarikan kesimpulan dan verifikasi
Untuk lebih jelasnya tiga komponen dalam model analisa interaktif dari Milles dan Huberman dalam Sutopo di atas dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Reduksi Data (Pengumpulan Data) Merupakan proses seleksi, berupa membuat singkatan, coding, memusatkan tema, membuat batas – batas permasalahan, menulis memo. Proses reduksi ini berlangsung sampai laporan akhir penelitian selesai ditulis. Data reduksi adalah bagian dari analisis, suatu bentuk analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal yang tidak penting dan mengatur sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan. Teknik ini
61
H.B. Sutopo, op.cit, hal., 18
commit to user 57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
digunakan agar data dapat digunakan sepraktis dan seefisien mungkin, sehingga hanya data yang diperlukan dan dinilai valid yang dijadikan sumber penelitian. Tahap ini berlangsung terus menerus dari tahap awal sampai tahap akhir. b. Data Display (Penyajian Data) Merupakan suatu rakitan organisasi informasi yang memungkinkan kesimpulan penelitian dapat dilakukan. Dengan melihat suatu penyajian data, peneliti akan mengerti apa yang terjadi dan memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada analisis ataupun tindakan lain berdasarkan pengertian tersebut. Penyajian berupa kalimat panjang atau cerita menyulitkan peneliti untuk mendapatkan gambaran yang telas tentang data keseluruhannya guna menyusun kesimpulan studi. Dengan demikian susunan penyajian data yang baik dan jelas, sistematis akan menolong peneliti. Display meliputi berbagai matriks, gambar/sketsa, jaringan kerja berkaitan kegiatan dan tabel. Kesemuanya dirancang guna merakit informasi secara teratur supaya mudah dilihat dan dimengerti dalam bentuk yang kompak. Data display merupakan bagian analisis. c. Conclusion Drawing (Penarikan Kesimpulan) Dari awal pengumpulan data, peneliti sudah harus sudah mulai mengerti apa arti dari hal-hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan peraturan -peraturan, pola-pola, pernyataan-pernyataan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, arahan, sebab akibat dan proposisi – proposisi peneliti yang kompeten memegang berbagai hal tersebut tidak secara kuat, artinya tetap bersikap terbuka. Dari data yang diperoleh dilapangan maka dapat diambil suatu kesimpulan hasil akhir proses penelitian tersebut.
commit to user 58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Badan Kepegawaian Daerah Dalam perjalanan pelaksanaan reformasi, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dirubah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, demikian juga dengan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang organisasi dan tata kerja perangkat daerah juga mengalami perubahan. Dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, maka kelembagaan perangkat daerah juga diadakan penataan kembali sehingga seluruh urusan pemerintahan dapat diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Dan sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2007 di atas maka Pemerintah Kabupaten Klaten menetapkan Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten yang yang ditetapkan tanggal
2 September 2008. Badan
Kepegawaian Daerah mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang kepegawaian.65 2. Dasar Hukum Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten Dasar hukum berdirinya Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten adalah sebagai berikut :
65
Pasal 3, Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 23 Tahun 2008, tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten.
commit to user 59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; b. Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian; c. Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten. Landasan Operasional Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten setiap tahunnya adalah Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten tahun yang bersangkutan. Kegiatan Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten adalah menyelenggarakan Manajemen Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Kabupaten Klaten. Tujuan dari Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten
mewujudkan Sumber
Daya Manusia
(SDM) Aparatur
Pemerintah Kabupaten Klaten yang ulet, terampil, kreatif, jujur, bertanggung jawab serta bersih dan bebas dari KKN. 3. Struktur Organisasi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten a. Susunan Organisasi Susunan Organisasi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 23 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, adalah sebagai berikut :
commit to user 60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1) Kepala; 2) Sekretariat : a) Sub Bagian Perencanaan dan Pelaporan; b) Sub Bagian Keuangan; c) Sub Bagian Umum dan Kepegawaian. 3) Bidang Umum Kepegawaian : a) Sub
Bidang
Administrasi
Umum,
Dokumentasi
dan
Pengolahan Data; b) Sub Bidang Pembinaan Disiplin, Perundang-undangan dan Kesejahteraan Pegawai. 4) Bidang Pengembangan Pegawai : a) Sub Bidang Pengadaan dan Pengembangan Pegawai; b) Sub Bidang Pendidikan dan Pelatihan Pegawai. 5) Bidang Mutasi : a) Sub Bidang Penggajian, Kepangkatan, Pemberhentian dan Pensiun; b) Sub Bidang Mutasi Jabatan dan Staf. 6) Kelompok Jabatan Fungsional. b. Bagan Organisasi Bagan Organisasi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten sebagaimana termuat dalam Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 23 Tahun 2008 sebagai berikut :
commit to user 61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 4.1 BAGAN ORGANISASI BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH KAB. KLATEN
KEPALA
KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL
SEKRETARIAT
Sub Bagian Perencanaan Dan Pelaporan
BIDANG PENGEMBANG AN PEGAWAI
BIDANG UMUM
Sub Bagian Keuangan
Sub Bagian Umum dan Kepegawaian
BIDANG MUTASI
Sub Bidang Adm. Umum, Dokumentasi dan Pengolahan Data
Sub Bidang Pengadaan dan Pengembangan Pegawai
Sub Bidang Penggajian, Kepangkatan, Pemberhentian dan Pensiun
Sub Bidang Pembinaan Disiplin, PerundangUndangan & Kesejahteraan. Pegawai
Sub Bidang Pendidikan dan Pelatihan Pegawai
Sub Bidang Mutasi Jabatan dan Staf
Sumber Data : Bagan Organisasi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten (Perda Kab. Klaten Nomor 23 Tahun 2008)
c. Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 23 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten dalam Pasal 3 diterangkan mengenai kedudukan Badan Kepegawaian Daerah adalah sebagai
commit to user 62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
unsur pendukung Bupati yang dipimpin oleh seorang kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah. Sedangkan untuk tugas pokok
dan fungsi Badan
Kepegawaian Daerah diatur dalam Keputusan Bupati Klaten Nomor 54 Tahun 2008 Tanggal 28 Nopember 2008 tentang Rincian Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Badan Kepegawaian Daerah
Kabupaten
Klaten. Rincian Tugas Badan Kepegawaian Daerah yaitu : 1). Kepala Badan Kepegawaian Daerah. Tugas Kepala Badan Kepegawaian Daerah adalah memimpin Penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah di bidang kepegawaian daerah, dan melaksanakan manajemen Pegawai Negeri Sipil Daerah. Sedangkan Rincian Tugas tersebut di atas antara lain sebagai berikut : a). Menyiapkan penyususnan peraturan perundang-undangan daerah di bidang kepegawaian sesuai norma, standart dan prosedur yang ditetapkan pemerintah; b). Melakukan perencanaan dan pengembangan kepegawaian daerah ; c). Menyiapkan kebijakan teknis pengembangan kepegawaian daerah ; d). Menyiapkan dan melaksanakan pengangkatan, kenaikan pangkat, pemindahan dan pemberhentian PegawaiNegeri Sipil Daerah sesuai dengan norma dan standart serta prosedur yang ditetapkan pemerintah ;
commit to user 63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
e). Menyiapkan dan melaksanakan administrasi kepegawaian dalam pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan ke dalam Jabatan struktural serta fungsional sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku ; f). Menyelenggarakan administrasi manajemen Pegawai Negeri Sipil Daerah ; g). Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai bidang tugasnya. 2). Sekretaris Badan Kepegawain Daerah. Tugas Sekretaris Badan Kepegawaian Daerah adalah mengelola urusan administrasi ketatausahaan yang meliputi urusan umum, kepegawaian, keuangan, perencanaan, evaluasi, dan pelaporan. a). Sub Bagian Perencanaan dan Pelaporan. Tugas Sub Bagian ini adalah menyusun rencana program kegiatan, pengumpulan dan pengolahan data, evaluasi dan pelaporan kegiatan badan. b). Sub Bagian Keuangan. Sub Bagian Keuangan mempunyai tugas sebagai Pejabat Penatausahaan Keuangan (PPK) yang melaksanakan fungsi pengelolaan keuangan Badan. c). Sub Bagian Umum dan Kepegawaian. Tugas
Sub Bagian ini adalah melakukan urusan surat
menyurat, penggandaan, ekspedisi, kearsipan, rumah tangga, pengadaan dan pemeliharaan perlengkapan kantor serta melakukan pengelolaan administrasi kepegawaian.
commit to user 64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3). Bidang Umum Kepegawaian. Tugas Bidang Umum Badan Kepegawaian Daerah adalah melaksanakan
sebagian
tugas
badan
di
bidang
umum
kepegawaian yang meliputi pengelolaan administrasi umum, dokumentasi dan pengolahan data serta pembinaan disiplin, perundang-undangan dan kesejahteraan pegawai. a). Sub
Bidang
Administrasi
Umum,
Dokumentasi
dan
Pengolahan Data. Bertugas melaksanakan sebagian tugas bidang umum kepegawaian yang mengelola administrasi umum, dokumentasi dan pengolahan data pegawai. b). Sub Bidang Pembinaan Disiplin, Perundang-undangan dan Kesejahteraan Pegawai. Mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas bidang umum kepegawaian yang mengelola pembinaan disiplin pegawai, peraturan perundang-undangan dan kesejahteraan pegawai. 4). Bidang Pengembangan Pegawai. Bidang
Pengembangan
Pegawai
mempunyai
tugas
melaksanakan sebagian tugas Badan di bidang pengembangan pegawai yang meliputi pengadaan dan pengembangan pegawai serta pendidikan dan pelatihan pegawai. a). Sub Bidang Pengadaan dan Pengembangan Pegawai. Sub Bidang Pengadaan dan Pengembangan Pegawai mempunyai tugas
melaksanakan sebagian tugas bidang
pengembangan pegawai yang menyelenggarakan urusan pengadaan dan pengembangan pegawai. Dalam pembahasan ini penulis akan sedikit menguraikan rincian tugas sub
bidang pengadaan dan pengembangan
commit to user 65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pegawai yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti yaitu mengenai pengangkatan calon pegawai negeri sipil di kabupaten Klaten, antara lain : (1) menyelenggarakan administrasi kepegawaian tentang pengangkatan calon pegawai baru; (2) mengumpulkan,
mengolah
dan
memelihara
data
tentang pengangkatan calon pegawai baru; (3) menyiapkan konsep ajuan tentang pengangkatan calon pegawai baru, serta menyiapkan Surat Keputusan tentang Pengangkatan calon pegawai baru; (4) mengurus pengumpulan bahan untuk penyusunan kebutuhan formasi dengan cara menghimpun data dari unit kerja terkait; (5) mengurus administrasi pelaksanaan pengadaan pegawai negeri guna pengisian formasi sesuai kebutuhan yang telah ditetapkan dalam formasi yang ada. b). Sub Bidang Pendidikan dan Pelatihan Pegawai. Sub Bidang Pendidikan dan Pelatihan Pegawai mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas bidang pengembangan pegawai yang menyelenggarakan urusan pendidikan dan pelatihan pegawai. 5). Bidang Mutasi. Bidang Mutasi mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas badan yang menyelenggarakan urusan mutasi kepegawaian yang meliputi penggajian, kepangkatan, pemberhentian, pensiun, mutasi jabatan dan staf. a). Sub Bidang Penggajian, Kepangkatan Pemberhentian dan Pensiun. Mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas di
commit to user 66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bidang
mutasi
yang
menyelenggarakan
penyelesaian
administrasi penggajian, kepangkatan, pemberhentian dan pensiun pegawai. b). Sub Bidang Mutasi Jabatan dan Staf. Sub Bidang Mutasi Jabatan dan Staf mempunyai tugas melaksanakan
sebagian
tugas
bidang
mutasi
yang
menyelenggarakan urusan mutasi jabatan dan staf. d. Keadaan Pegawai Jumlah Pegawai Negeri Sipil pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten per 1 Juni 2010 adalah 53 (lima puluh tiga) orang. Jumlah tersebut dapat dibedakan berdasarkan golongan ruang, jenis kelamin dan pendidikan. Sedangkan Pegawai Negeri Sipil yang sedang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi pada saat penulis mengadakan survei ada 4 orang untuk jenjang Strata-1 (S-1) dan 3 orang untuk jenjang Strata-2
(S-2) serta 1 orang tugas belajar
Strata-2 (TB, S-2). Mengenai rekapitulasi pejabat struktural yang ada pada Badan Kepegawaian Daerah berjumlah 14 pejabat yang terdiri dari Kepala 1 (satu) orang eselon II, Sekretaris Badan 1 (satu) orang eselon III.a, 3 (tiga) orang Kepala Bidang eselon III.b, dan 9 (sembilan) orang Kasubag dan Kasubid eselon IV. Mengenai jabatan fungsional yang merupakan bagian dari susunan organisasi Badan Kepegawaian Daerah sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, sampai
commit to user 67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penelitian ini dilakukan belum terealisasi karena formasinya belum ditetapkan.
4. Kondisi Tenaga Honorer di Kabupaten Klaten Untuk
menunjang
kelancaran
pelaksanaan
tugas-tugas
pemerintahan dan pembangunan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagian pekerjaan atau tugas pemerintahan dilakukan oleh tenaga honorer, mereka terdiri dari Guru, Tenaga Medis, Tenaga Teknis lain termasuk Penyuluh Pertanian serta tenaga-tenaga administratif. Masa pengabdian mereka sangat bervariaasi antara 1 tahun sampai dengan 20 tahun bahkan lebih dari 20 tahun, usia mereka juga bervariasi rata-rata antara 25 tahun sampai dengan 45 tahun, namum ada yang kurang dari 25 tahun ada juga yang lebih dari 45 tahun. Tenaga honorer sendiri ada bermacam-macam istilahnya dalam praktek pelaksanaan pemerintahan khususnya di Kabupaten Klaten, antara lain : tenaga harian lepas, tenaga borongan, guru bantu, wiyata bakti, guru tidak tetap, pegawai tidak tetap dan lain-lain. Pada dasarnya tenaga honorer ada 2 (dua) macam/jenisnya, yaitu (1) tenaga honorer yang sumber gajinya dari APBN/APBD dan (2) tenaga honorer yang sumber gajinya dari pembiayaan lainnya atau non APBN/APBD. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan secara detail sebagai berikut : 1) Tenaga honorer yang sumber gajinya dari APBN: a) PTT atau Pegawai tidak tetap untuk formasi dokter dan bidan yang Surat Keputusan pengankatannya oleh Menteri Kesehatan dan sumber gajinya dari APBN
commit to user 68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b) Guru Bantu yaitu tenaga honorer untuk formasi guru yang Surat Keputusan pengangkatannya oleh MenteriPendidikan Nasional dan sumber gajinya dari APBN c) Penyuluh pertanian, diangkat oleh Menteri Pertanian dan sumber gajinya juga dari APBN Untuk ketiga jenis tenaga honorer di atas masa kontraknya adalah 3 (tiga) tahun dan setelah tiga tahun dapat memperpanjang kontraknya. 2) Tenaga honorer yang sumber gajinya dari APBD : Tenaga honorer yang sumber gajinya dari APBD disebut dengan Tenaga Kontrak, yaitu tenaga honorer yang Surat Keputusan pengangkatannya
dikeluarkan
oleh
Kepala
Daerah
(Gubernur/Bupati/Walikota) dengan masa kontra k 1 (satu) tahun dan setiap akhir tahun harus memperpanjang kontraknya, namun bisa juga diberhentikan setelah kontraknya habis atau tidak diperpanjang lagi kontraknya sesuai kebutuhan daerah. 3) Tenaga honorer yang sumber gajinya dari pembiayaan lainnya atau non APBN/APBD, yaitu tenaga honorer yang Surat Keputusan Pengangkatannya dikeluarkan oleh Kepala Instansi/Unit Kerja (Kepala Sekolah, Kepala Badan, Kepala Dinas, Kepala Kantor, Camat dan lain-lain) dan sumber gajinya dari masing-masing instansi/unit kerja yang mengangkatnya sesuai kemampuan masingmasing. Contoh : WB (Wiyata Bakti) dan GTT (Guru Tidak Tetap) diangkat oleh Kepala Sekolah untuk membantu mengajar sesuai kebutuhan sekolah yang bersangkutan. Ada lagi PTT (Pegawai Tidak Tetap) adalah tenaga kontrak non guru selain dokter dan bidan. Yaitu
commit to user 69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tenaga teknis atau administratif di instansi/unit kerja yang mengangkatnya. Jumlah tenaga honorer yang ada di Kabupaten Klaten seluruhnya ada 3.311 orang, terdiri dari tenaga honorer dengan sumber penghasilan/penggajian dari APBN/APBD sejumlah 2.070 orang dan tenaga honorer dengan sumber penghasilan/penggajian dari non APBN/APBD atau pembiayaan lainnya sejumlah 1.241 orang. Selama masa pengabdiannya mereka tidak memiliki kejelasan masa depan karir serta kesejahteraan dan hak-hak lainnya. Mengingat jumlah tenaga honorer di Indonesia berdasar hasil pendataan cukup besar, maka penyelesaiannya akan dilakukan secara bertahap mulai tahun 2005 sampai dengan tahun 2009. Untuk tahap awal, penanganan tenaga honorer diprioritaskan bagi mereka yang pembayaran gajinya dibiayai dari APBN/APBD. Oleh karena itu perlu dilakukan langkah strategis untuk diselesaikan, sebelum terakumulasi menjadi masalah nasional yang akan menganggu penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan. Dengan mengangkat mereka sebagai PNS diharapkan akan meningkatkan dedikasi, loyalitas dan prestasi kerja yang bersangkutan. Diharapkan dalam penanganan masalah tenaga honorer, hendaknya tidak perlu mencari siapa yang salah dalam hal ini, tetapi yang terpenting adalah bagaimana mencari solusi terbaik dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bermanfaat bagi semua pihak. Selain itu pula dengan mengangkat tenaga honer yang ada maka ke depan tidak akan ada lagi pengangkatan tenaga honorer.
commit to user 70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Pembahasan 1. Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil Berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 Di Kabupaten Klaten Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil pada prinsipnya dilakukan secara selektif baik jenis pekerjaan/jabatan yang akan diisi, kualifikasi pendidikan dan kompetensi sesuai dengan tugas/jabatan yang diduduki. Pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil pada awalnya di dasarkan pada filosofi keinginan pemerintah merekrut Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dari tenaga honorer sebagai apresiasi terhadap masa kerja dan pengabdian mereka terhadap pemerintah. Dan sebagai perwujudan apresiasi tersebut dikeluarkanlah kebijakan Pemerintah berupa Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tanggal 11 Nopember 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007. Untuk keperluan pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS tersebut pemerintah melakukan pendataan tenaga honorer. Berdasarkan surat Edaran Menteri
Pendayagunaan
Aparatur
Negara
Nomor
B/2524/M.PAN/11/2005 tanggal 16 Nopember 2005 serta Peraturan Kepala BKN Nomor 21 Tahun 2005 tentang Pedoman Pendataan dan Pengolahan Tenaga Honorer Tahun 2005. Kegiatan pendataan tersebut dimaksudkan agar terbangun suatu database tenaga honorer yang nantinya akan diumumkan secara transparan kepada publik dalam tenggang waktu yang cukup memadai, denga memperhatikan prinsip obyektivitas dan dijamin akuntabilitasnya sebagai dasar pengangkatan sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS).
commit to user 71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Secara umum implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, pada dasarnya melalui dua tahapan kegiatan yaitu tahapan sosialiasi dan tahap pelaksanaan. a. Tahap Sosialisasi Sosialisasi atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil tidak bisa lepas dari Pedoman Pendataan dan Pengolahan Tenaga Honorer (Peraturan Kepala BKN nomor 21 Tahun 2005) serta Pedoman Pelaksanaan Pengadaan CPNS Tahun 2005 (Peraturan Ka BKN Nomor 30 Tahun 2007) Sosialisasi dilakukan secara berjenjang dari tingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota masing-masing. Seperti dikemukakan oleh Kepala Badan Kepegawaian Daerah, Drs. Purwanto Anggono Cipto, M.Si sebagai berikut :66 ”Sosialisasi tentang Peraturan Pemerintah ini dilakukan secara berjenjang, dimulai dari tingkat pusat, tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota. Bahkan sebelum peraturan tersebut dikeluarkan secara resmi sudah disosialisasikan kepada jajaran Gubernur, Bupati/Walikota dari jajaran Badan Kepegawaian Negara secara nasional. Waktu itu dari Kabupaten Klaten yang hadir Kepala Badan Kepegawaian Daerah bersama Sekretaris Daerah Kabupaten Klaten pada Rapat Kerja Kepegawaian Nasional pada tanggal 10-11 Agustus 2005 di Jakarta. Walaupun belum secara detail dijelaskan tetapi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara telah mensosialisasikan akan terbitnya Peraturan Pemerintah tersebut”.
66
Purwanto Anggono Cipto, Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, Wawancara, 21April 2010
commit to user 72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam pelaksanaan kebijakan pengadaan calon pegawai negeri sipil di Kabupaten Klaten, diawali dengan kegiatan pendataan, sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 yang telah diubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 serta pelaksanaannya terlihat adanya interaksi antara lembaga perumus dengan lembaga atau instansi terkait. Interaksi dapat berupa koordinasi (rapat koordinasi), perintah/petunjuk (surat edaran, petunjuk teknis). Kepala BKD Kabupaten Klaten
lebih
lanjut mengungkapkan :67 ”Koordinasi dilakukan antara pemerintah pusat dalam hal ini Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) dan Badan Kepegawaian Negara dengan instansi pelaksana di daerah yaitu Badan Kepegawaian Daerah Provinsi serta kabupaten/kota. BKD Kabupaten Klaten selalu berkoordinasi dengan instansi terkait mulai dari kegiatan pendataan, pelamaran, seleksi dan penyerahan Surat Keputusan. Hal ini berkaitan dengan tugas dan pembinaan tenaga honorer ada pada masing-masing instansi sebagai contoh : tenaga guru di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, tenaga kesehatan di Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, tenaga teknis dan administratif lain tersebar pada dinas, kantor dan satuan kerja di wilayah Kabupaten Klaten”. Mendukung
pernyataan
Kepala
Badan
Kepegawaian
Daerah, Sekretaris BKD Drs. Triyanto, MM menyatakan :68 ”Untuk menangani, mengolah dan menyelesaikan permasalahan tenaga honorer kita tidak bisa meninggalkan koordinasi dengan instansi lain, terkait dengan pembinaan dan tugas pokok tenaga honorer berada di instansi/satker di lingkup Kabupaten Klaten” Interaksi perumus kebijakan dengan pelaksana kebijakan serta instansi terkait dilakukan baik secara vertikal maupun horisontal.
67
Purwanto Anggono Cipto, Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, Wawancara, 21 April 2010 68 Triyanto, Sekretaris Badan Kepegawaian Daerah, Wawancara, 22 April 2010
commit to user 73
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kepala Bidang Pengembangan Pegawai,
Dody Hermanu,
SH, menyatakan :69 ”Kepala Badan Kepegawaian Daerah dan Sekretaris Daerah berangkat pada acara Rapat Kerja Kepegawaian Nasional di Jakarta tanggal 10-11 Agustus 2005 yang mensosialisasikan bahwa akan diterbitkan Peraturan Pemerintah untuk pengangkatan tenaga honorer melalui seleksi khusus. Sedang sosialisasi di tingkat provinsi diselenggarakan di Hotel Lor Inn Solo pada tanggal 1 Desember 2005, di tingkat Kabupaten Klaten dilaksanakan pada tanggal 8 Desember 2005 di Pendopo Pemerintah Kabupaten Klaten.” Senada dengan pernyataan Kepala Bidang Pengembangan Pegawai, Tamtama, S.Sos, seorang staf sub bidang Pengembangan Pegawai menyatakan :70 ”Sosialisasi Peraturan Pemerintah di tingkat provinsi dilaksanakan di Solo tanggal 1 – 3 Desember 2005, saya ikut hadir dalam acara tersebut, selanjutnya di tingkat kabupaten pada tanggal 10 Desember 2005 dengan mengundang dinas instansi di lingkungan pemerintah Kabupaten Klaten. Selain sosialisasi juga diperintahkan kepada para Kepala Unit Kerja untuk menginformasikan kepada tenaga honorer di unit kerjanya untuk segera mengumpulkan datadata dan bukti pendukung yang diperlukan sesuai ketentuan untuk pendataan tenaga honorer di Kabupaten Klaten, paling lambat tanggal 10 Januari 2006.” Dari hasil wawancara lanjutan ketiga nara sumber tersebut menyatakan pada saat sosialisasi di tingkat Provinsi pada tanggal 13 Desember 2005 ditemui kendala adanya kesalahan persepsi khususnya dalam mengartikan pengertian tenaga honorer yang akan didata. Seharusnya tenaga honorer yang didata hanya yang penghasilannya diperoleh dari APBN dan APBD dan tercantum dalam klausul kontrak tenaga honorer yang bersangkutan. Namun 69
Dody Hermanu, Kepala Bidang Pengembangan Pegawai Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, Wawancara, 27 April 2010 70 Tamtama, Staf Sub Bidang Pengembangan Pegawai Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, Wawancara, 21 April 2010
commit to user 74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hasil sosialisasi itu menjadi bias karena pengertian tenaga honorer dikaitkan dengan pasal 6 ayat (2) PP Nomor 43 Tahun 2007 yang menyatakan : ”Tenaga honorer yang bekerja pada instansi pemerintah dan penghasilannya tidak dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, baru dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil apabila semua tenaga honorer yang dibiayai Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah seluruhnya secara nasional telah diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil sebelum Tahun Anggaran 2009” Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil Kesalahan persepsi tentang pengertian tenaga honorer yang kemudian dilanjutkan dengan pemisahan pendataan yang dilakukan oleh seluruh kabupaten/kota di Jawa Tengah akhirnya menimbulkan permasalahan yang besar dengan kesalahan pengumuman Calon Pegawai Negeri Sipil di tahun 2005, dengan adanya 2 kali pengumuman yaitu tanggal 17 dan 18 Maret, yang menimbulkan keresahan di antara tenaga honorer apalagi 116 orang menjadi korban revisi/ralat pengumuman. Hal ini terjadi karena kesalahan dalam pengolahan data di tingkat propinsi, yang dilakukan pihak ketiga (yang ditunjuk oleh panitia dari propinsi Jawa Tengah), yang mencampur data base A dan data base B sehingga 116 orang yang masuk data base B muncul dalam pengumuman. Seharusnya data base B tidak ikut diolah, dan hanya data base A saja yang diolah. Dari uraian tadi nampak bahwa sosialisasi telah dilakukan secara berjenjang dan dilakukan melalui pertemuan resmi, namun masih terdapat hambatan/permasalahan yaitu belum adanya commit to user 75
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kesatuan persepsi dalam mengartikan tenaga honorer yang akan didata, khususnya di Provinsi Jawa Tengah. Dan ternyata provinsi lainnya tidak mendata tenaga honorer yang bekerja pada instansi pemerintah dan penghasilannya tidak dibiayai oleh APBN dan APBD. b. Tahap Pelaksanaan Sebagai dasar pengangkatan tenaga honorer sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007, dilakukan pendataan tenaga honorer dengan pedoman Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara nomor 21 Tahun 2005 tentang Pedoman Pendataan dan Pengolahan Tenaga Honorer Tahun 2005. Kegiatan pendataan tenaga honorer di Kabupaten Klaten dilaksanakan sesuai jadwal waktu sebagai berikut :
Tabel 4.1 Jadwal Pendataan Tenaga Honorer di Kabupaten Klaten No
KEGIATAN
JADWAL
1
Sosialisasi Pendataan 12 Des 2005 Tenaga Honorer di masing-masing instansi/daerah
2
Pengisian Isian 13 – 16 Des Formulir oleh tenaga 2005 honorer
3
Pengecekan Isian 15 – 17 Des Pengelola Formulir Pendataan 2005 Kepegawaian Tenaga Honorer oleh Instansi Pejabat Pengelola Kepegawaian masingcommit to user 76
KETERANGAN Prop/Kab/Kota
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masing instansi 4
Pengiriman Formulir 17 Des 2005 ke BKD/Bag. Kepegawaian masingmasing daerah
5
Pengolahan Formulir 19 – 26 Des BKD/Bag. (Batching, Editing, 2005 Kepeg. Coding, Entry Data, Kab/Kota/Prop Penyimpanan) oleh masing-masing daerah
6
Penyampaian/Penandat 27 – 28 Des BKD/Bag. anganan Print Out 2005 Kepeg. Hasil Pengolahan ke Kab/Kota/Prop Bupati/Walikota
7
Penyampaian ke BKD 29 Des 2005 Prop. • Listing Print Out setelah ditandatangani Bupati/Walikota beserta CD masingmasing tiga rangkap.
Pengelola Kepegawaian Instansi
BKD/Bag. Kepeg. Kab/Kota/Prop
• Formulir Pendataan disertai berkas fisik per tenaga honorer masing-masing satu rangkap. 8
9
10
Penandatanganan 30 – 31 Des BKD Prop Listing Print Out ke 2005 Gubernur Penyampaian kembali 2 Jan 2005 BKD Prop Listing Print Out ke Kab/Kota masingmasing Pengumuman ke 4 Jan 2005 masyarakat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian masingmasing (pengumuman tempel/surat edaran di seluruh Instansi) commit to user 77
BKD/Bag. Kepeg. Kab/Kota/Prop
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11
Masa Uji Publik
4 – 7 Jan 2005 BKD/Bag. Kepeg. Kab/Kota/Prop
12
Up Dating/Revisi 4 – 7 Jan 2005 BKD/Bag. berdasarkan hasil uji Kepeg. publik oleh Kab/Kota/Prop Kab/Kota/Prop. Masing-masing
13
Penandatanganan 8 – 9 Jan 2005 BKD/Bag. Listing Print Out akhir Kepeg. ke Bupati/Walikota Kab/Kota/Prop masing-masing
14
Penyampaian kembali 9 Jan 2005 Print Out, CD dan Formulir pendataan disertai berkas fisik masing-masing ke BKD Prop.
15
Penandatanganan 11 – 12 Jan BKD Prop Listing Print Out akhir 2005 ke Gubernur
16
Pengiriman Listing 13 Jan 2005 Print Out akhir dan CD ke Pusat.
BKD/Bag. Kepeg. Kab/Kota/Prop
BKD Prop
Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Tahun 2010 Dari hasil kegiatan pendataan tenaga honorer tersebut dihasilkan data sebagai berikut : Tabel 4.2 Data Jumlah Tenaga Honorer dengan sumber Penghasilan dari APBN/APBD Jumlah tenaga honorer seluruhnya
2070 org
Jumlah tenaga honorer yang memenuhi PP Nomor 43 1407 org Tahun 2007 Tenaga Pendidik
528 org
commit to user 78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Guru TK/RA/BA
11 orang
2. Guru SD/MI
245 orang
3. Guru SMP/MtS
107 orang
4. Guru SMU/MA
56 orang
5. Guru SMK
109 orang
Tenaga Kesehatan
170 org
1. Dokter Umum/Spesialis
11 orang
2. Bidan
159 orang
Tenaga Teknis Lainnya
516 org
Tenaga Adminstrasi Lainnya
193 org
Jumlah tenaga honorer yang tidak
663 org
memenuhi PP Nomor 43 Tahun 2007 Tenaga Pendidik
570 org
1. Guru TK/RA/BA
285 orang
2. Guru SD/MI
75 orang
3. Guru SMP/MtS
56 orang
4. Guru SMU/MA
34 orang
5. Guru SMK
120 orang
Tenaga Kesehatan
2 orang
Bidan
2 orang
Tenaga Teknis Lainnya
73 orang
Tenaga Adminstrasi Lainnya
18 orang
Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Tahun 2010
commit to user 79
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 4.3 Data Jumlah Tenaga Honorer dengan sumber Penghasilan dari Pembiayaan Lainnya Jumlah tenaga honorer seluruhnya
1241 orang
Jumlah tenaga honorer yang usia dan masa 1136 orang kerjanya sesuai PP Nomor 43 Tahun 2007 Tenaga Pendidik
505 orang
1. Guru SD/MI
246 orang
2. Guru SMP/MtS
180 orang
3. Guru SMU/MA
59 orang
4. Guru SMK
20 orang
Tenaga Teknis Lainnya
86 orang
Tenaga Adminstrasi Lainnya
545 orang
Jumlah tenaga honorer yang usia dan masa 105 orang kerjanya tidak sesuai PP Nomor 48 Tahun 2005 Tenaga Pendidik
59 orang
1. Guru TK/RA/BA
2 orang
2. Guru SD/MI
33 orang
3. Guru SMP/MtS
16 orang
4. Guru SMU/MA
7 orang
5. Guru SMK
1 orang
Tenaga Teknis Lainnya
5 orang
Tenaga Adminstrasi Lainnya
41 orang
Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Tahun 2010
commit to user 80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pemerintah Kabupaten Klaten mulai tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 telah mengangkat Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Negeri Sipil dengan rincian sebagai berikut : Tabel 4.4 Data Pengadaan PNS Kabupaten Klaten Formasi Tahun 2000 – 2007 No Formasi Jumlah
Guru
Kesehatan Teknis
Tahun 1
2005
Jumlah Pelamar/Ket
360
223
34
103
Tenaga Honorer
2
2006
709
378
59
272
Tenaga Honorer
3
2007
772
488
76
208
Tenaga Honorer
4
2008
492
230
66
196
22.367/umum & honorer
5
2009
505
162
76
267
14.355/umum & honorer
Sumber : Badan Kepegawaian Daerah Tahun 2010
Tahun 2009 Kabupaten Klaten mendapat alokasi CPNS sebesar 505 orang yang terdiri dari 70 untuk tenaga honorer, 418 dari pelamar umum dan 17 sekretaris desa. Proses pemberkasan untuk pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai negeri sipil tahun 2009 dilakukan pada tanggal 26 Oktober s/d 13 Nopember
2009 yang bertempat di Ruang
Rapat B-2 Setda.
Kabupaten Klaten. Dari 70 Nominatif Tenaga Honorer semua melakukan proses pemberkasan namun yang dapat ditetapkan NIP-nya sebanyak 69
commit to user 81
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
orang yang terdiri dari formasi tenaga teknis dan administrasi. Satu orang yang tidak melakukan proses pemberkasan dikarenakan umurnya kurang 3 (tiga) bulan dari batasan umur yang seharusnya sesuai Peraturan Pemerintah yaitu 19 tahun, jadi usianya tidak memenuhi peryaratan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007. Seperti dijelaskan dalam kerangka pemikiran di atas, bahwa untuk menjawab efektifitas pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai negeri sipil berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2007, khususnya di Kabupaten Klaten digunakan rujukan teori dari Soerjono Soekanto mengenai lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu : faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan. Dengan demikian Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 sebagai produk hukum, bekerjanya juga tidak terlepas dari kelima faktor tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan melalui pembahasan sebagai berikut : a) Faktor Hukumnya Sendiri Untuk menilai berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2007 tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil secara yuridis, berdasarkan Stufent theory dari Hans Kelsen71, bahwa sistem hukum pada hakikatnya merupakan sistem hirarkis yang tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat tertinggi. Semakin tinggi kedudukan hukum dalam peringkatnya, semakin abstrak dan umum sifat norma yang dikandungnya, dan semakin rendah peringkatnya, semakin nyata operasional sifat norma yang dikandungnya. Hukum yang lebih rendah harus berdasar,
71
Budiman N.P.D Sinaga, 2004 hal. 18
commit to user 82
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi (lex superior derogate lex inferior), sifat bertentangan
dari
hukum yang lebih rendah akan berakibat batal demi hukum. Stufen theory ini juga menjiwai sistem hukum di Indonesia sebagaimana Undang-undang nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam pasal 7 ayat (1) sebagai berikut : Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: (a). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b).Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (c). Peraturan Pemerintah; (d). Peraturan Presiden; (e). Peraturan Daerah. Peraturan Pemerintah berada pada posisi nomor 3 (tiga) dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia sehingga semakin nyata operasional sifat norma yang dikandungnya. Isi dari Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2007 tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, utamanya dalam pengertian tentang tenaga honorer kurang jelas sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda atau bias baik bagi pelaksana maupun para tenaga honorer. Sehingga para tenaga honorer berusaha untuk didata dengan membawa penafsiran masing-masing, dengan harapan bisa diangkat menjadi CPNS, ketentuan akan adanya syarat usia dan masa kerja pada PP Nomor 43 Tahun 2007, menimbulkan permasalahan yaitu adanya gejolak dari para honorer yang merasa dirinya masuk kelompok tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi CPNS. Rumusan pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang definisi tenaga honorer : ”Tenaga honorer adalah seorang yang commit to user 83
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.” serta pasal 3 ayat (2) : ”Pengangkatan tenaga honorer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada usia dan masa kerja sebagai berikut : (a).Tenaga honorer yang berusia paling tinggi 46 (empat puluh enam) tahun dan mempunyai masa kerja 19 (sembilan belas) tahun. (b).Tenaga honorer harus mempunyai masa kerja paling sedikit 1 (satu) tahun secara terus menerus.” Rumusan tersebut menimbulkan beban masalah, karena kondisi tenaga honorer daerah sangat bervariatif, di antaranya : 1). Legalitas pejabat yang mengangkat tenaga honorer bervariasi 2) Pendanaan penggajian tidak hanya dari APBN/APBD tapi juga dari pendapatannya lainnya. 3) Tempat kerja tidak di instansi pemerintah tetapi diangkat oleh pejabat yang berwenang gaji dari APBN/APBD. 4) Banyak tenaga honorer yang tidak memenuhi ketentuan pasal 3 ayat (2) mengenai usia dan masa kerja. Kepala
Badan
Kepegawaian
Daerah
Kabupaten
Klaten
72
mengungkapkan :
” Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 rumusannya belum bisa sepenuhnya menyelesaikan permasalahan karena adanya pembatasan usia dan masa kerja, asal penghasilannya dan legalitas pejabat yang mengangkat, padahal kondisi tenaga honorer sangat bervariatif.”
72
Purwanto Anggono Cipto, Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, Wawancara, 21 April 2010
commit to user 84
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Senada dengan ungkapan Kepala Badan Kepegawaian Daerah, Tenaga honorer (Maryono)73 menyatakan bahwa : ”Rumusan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 belum dapat menyelesaikan permasalahan pengangkatan tenaga honorer, karena tenaga honorer jenisnya bermacam-macam dan belum bisa terangkum dalam rumusan definisi tenaga honorer, belum lagi jenis pengabdian tidak hanya di negeri saja, contoh guru bantu yang memiliki SK dari Mendiknas tapi bekerja di swasta. Adapula yang usia lebih tua dan pengabdian yang lama tapi tidak memenuhi syarat untuk diangkat.” Harapan pemerintah dengan menetapkan kebijakan untuk mengangkat
tenaga
honorer
diprioritaskan
bagi
mereka
yang
pembayaran penghasilannya dibiayai dari APBN/APBD. Penyelesaian pengangkatannya dilakukan secara bertahap mulai tahun 2005 sampai dengan tahun 2009, rumusan kebijakan sebagaimana diatur dalam pasal 1 dan pasal 3 ayat (2) nampaknya belum bisa mengakomodir seluruh tenaga honorer yang ada. Hal ini mengakibatkan kondisi : 1). Masih
ditemui
tenaga
honorer
yang
penghasilannya
dari
APBN/APBD terancam tidak bisa diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil karena terkendala rumusan pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 yang mengatur batasan usia dan masa kerja. Jumlah mereka menurut hasil pendataan tenaga honorer di Kabupaten Klaten sebanyak 663 orang. Padahal seiring dengan filosofi pemerintah mereka yang penghasilannya dari APBN/APBD menjadi prioritas penyelesaian pengangkatan menjadi Calon Pegawai Negeri. 2). Terdapat tenaga honorer yang bekerja di instansi pemerintah namun penghasilannya dari pendapatan lainnya (Non APBN/APBD) yang terkendala dengan rumusan pasal 1 dan 3 ayat (2) Peraturan 73
commit to user
Maryono, Tenaga honorer, Wawancara, 5 Mei 2010
85
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007, jumlah mereka sebanyak 1241 orang yang diperoleh dari hasil pendataan tenaga honorer di Kabupaten Klaten. Menurut Kepala Sub Bidang Pengembangan Pegawai Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten :74 ”Antara keinginan pemerintah dan rumusan kebijakan yang formal pada pengangkatan tenaga honorer ternyata tidak cocok, sehingga pada kenyatannya tidak bisa mengakomodir semua tenaga honorer, sehingga membuat mereka yang terkendala dengan rumusan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 menjadi kecewa” Kepala Bidang Pengembangan Pegawai Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten menyatakan hal yang senada :75 ”Sasaran kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 cenderung agak rumit proses penyelesaiannya karena harus ada pendataan terlebih dahulu. Dengan adanya rumusan yang membatasi sumber penghasilan, usia dan masa kerja selain menimbulkan masalah kekecewaan dari tenaga honorer non APBN/APBD dan guru/karyawan sekolah swasta. Kami di daerah hanya melaksanakan ketentuan yang ada saja.” Di sisi lain tenaga honorer yang terkendala Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 seperti Anik Hidayati dan Haryanto (Honorer non APBN/APBD) mengungkapkan pendapatnya :76 ”Bahwa rumusan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 ternyata menghapus harapan kami yang tadinya kami kami berharap dapat diangkat menjadi CPNS, namun adanya batasan persyaratan penghasilan, pengabdian, usia dan masa kerja membuat kami kecewa. Ternyata aturan tidak sesuai dengan pernyataan pemerintah melalui media massa.”
74
Purwanto Anggono Cipto, Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, Wawancara, 21 April 2010 75 Dody Hermanu, Kepala Bidang Pengembangan Pegawai dan Triyanto, Sekretaris Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, Wawancara, 27 April 2010 76 Anik Hidayati dan Haryanto, Tenaga honorer, Wawancara, 5 Mei 2010
commit to user 86
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Memaknai uraian dan pernyataan tadi nampak rumusan Peraturan
Pemerintah
Nomor
43
Tahun
2007
belum
bisa
mengakomodir seluruh sasaran/target yang dikehendaki, akibat terkendala dengan persyaratan sumber penghasilan, pengabdian, usia dan masa kerja. Kepala Badan Kepegawaian Daerah
Kabupaten Klaten
mengemukakan :77 ”Pada awal penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 43Tahun 2007, banyak protes yang ditujukan kepada jajaran Badan Kepegewaian, protes tersebut dilontarkan terutama berasal dari kelompok yang terkendala aturan PP tersebut, baik dari kelompok TMS, PGT2NK, FKGS dan juga dari kelompok korban revisi pengumuman CPNS. Yang terkendala PP tersebut minta PP dirubah/direvisi agar mereka bisa terakomodir untuk diangkat menjadi CPNS” Tenaga honorer yang sudah terangkat menjadi CPNS (Wakchid Hasyim) menyatakan keprihatinannya juga :78 ”Walaupun saya sudah terangkat namun saya juga minta agar ada revisi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 sehingga teman-teman saya dari guru bantu yang tidak memenuhi syarat bisa terangkat menjadi CPNS, mereka juga tenaga honorer APBN yang menjadi prioritas pengangkatan.” Senada dengan pernyataan tersebut Sekretaris FTHSNI (Nurul Hidayati) memberikan tanggapan :79 ”Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 sangat diskriminatif karena yang mengabdi di instansi negeri tidak hanya memiliki penghasilan/honor dari APBN/APBD, kami juga mengabdi di instansi negeri dan juga mendapat insentif dari APBD sehingga kami juga berhak dan menuntut untuk diangkat menjadi CPNS, Peraturan Pemerintah Nomor 43Tahun 2007 perlu dirubah atau direvisi”
77
Purwanto Anggono Cipto, Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, Wawancara, 21 April 2010 78 Wakchid Hasyim, Tenaga honorer yang sudah terangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, Wawancara, 7 Mei 2010 79 Nurul Hidayati, Sekretaris Forum Tenaga Honorer Sekolah Negeri Indonesia, Wawancara, 7 Mei 2010
commit to user 87
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sedang Ketua Forum Guru dan Karyawan Swasta Kabupaten Klaten (Suwarto), menambahkan :80 ”Guru dan karyawan swasta merasa dianaktirikan dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007, karena kami juga merasa ikut mendukung di dunia pendidikan untuk turut serta mencerdaskan anak-anak bangsa, oleh karena itu Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 agar direvisi sehingga kami juga bisa terakomodir dan bisa diangkat menjadi CPNS” Rumusan pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang definisi tenaga honorer : Tenaga honorer adalah seorang yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Seharusnya dari pengertian tersebut tenaga honorer yang didata hanya yang penghasilannya diperoleh dari APBN dan APBD dan tercantum dalam klausul kontrak tenaga honorer yang bersangkutan. Namun hasil sosialisasi itu menjadi bias karena pengertian tenaga honorer tadi dikaitkan dengan pasal 6 ayat (2) PP Nomor 43 Tahun 2007 yang menyatakan : ”Tenaga honorer yang bekerja pada instansi pemerintah dan penghasilannya tidak dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, baru dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil apabila semua tenaga honorer yang dibiayai Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah seluruhnya secara nasional telah diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil sebelum Tahun Anggaran 2009”
80
Suwarto, Ketua Forum Guru dan Karyawan Swasta Kabupaten Klaten, Wawancara, 17 Mei 2010
commit to user 88
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kesalahan persepsi tentang pengertian tenaga honorer yang kemudian
dilanjutkan
dengan
pemisahan
pendataan
akhirnya
menimbulkan permasalahan yang besar dengan kesalahan pengumuman Calon Pegawai Negeri Sipil di tahun 2005, dengan adanya 2 kali pengumuman yaitu tanggal 17 dan 18 Maret,
yang menimbulkan
keresahan di antara tenaga honorer apalagi 116 orang menjadi korban revisi/ralat
pengumuman.
Hal
ini
menyebabkan
pelaksanaan
pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Kabupaten Klaten berdasar
PP Nomor 43 Tahun 2007
menjadi tidak efektif. b) Faktor Penegak Hukum Yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
Penegak
hukum
diibaratkan
sebagai
mesin
yang
menggerakkan suatu peraturan hukum, maka efektifnya hukum akan sangat ditentukan oleh struktur pelaksana hukum tersebut. Penegak Hukum mencakup mereka yang secara langsung berkecimpung dalam penegakan hukum. Di dalam tulisan ini yang dimaksud dengan penegak hukum
akan
dibatasi
pada
kalangan
yang
secara
langsung
berkecimpung dalam pelaksanaan/implementasi PP nomor 43 tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, khususnya di Kabupaten Klaten, yaitu jajaran birokrasi di Pemerintah Kabupaten Klaten yang tugas pokok dan fungsi pelaksanaannya ada pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten. Dalam pelaksanaan PP nomor 43 tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil digunakan model kebijakan top down. Model kebijakan yang diimplementasikan secara top-down seperti kebijakan pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil ini antara lembaga perumus kebijakan dan commit to user 89
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pelaksana kebijakan serta instansi terkait diperlukan interaksi. Perumus kebijakan adalah lembaga pemerintah/birokrasi pada tataran yang lebih tinggi daripada lembaga pelaksana kebijakan. Koordinasi secara berjenjang tentu harus dilakukan agar kebijakan dapat berjalan efektif. Dari hasil wawancara, baik Kepala BKD, Sekretaris BKD, Kabid Pengembangan Pegawai, Kasubid Pengembangan Pegawai, mengungkapkan hal yang senada : bahwa kebijakan berupa Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 dan aturan penjelas/pendukung seperti Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 21 tahun 2005 tentang Pedoman Pendataan dan Pengolahan Tenaga Honorer tahun 2005 serta Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 30 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil Tahun 2008 dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan dalam masalah kebijakan pengadaan pegawai. Dalam Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 19 Tahun 2006 tanggal 31 Juli 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Kepegawaian Negara disebutkan pada pasal 1 dan 2 bahwa Badan Kepegawaian Negara (BKN) adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. BKN mempunyai tugas melaksanakan tugas permerintahan di bidang manajemen kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ada tiga lembaga yang dapat menjadi pelaksana kebijakan yaitu pemerintah, kerjasama pemerintah dan swasta atau kebijakan yang diswastakan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 jelas disebutkan dalam pasal 13 : ”Ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut oleh Badan Kepegawaian Negara”.
commit to user 90
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara diterbitkan ketentuan pelaksanannnya yaitu Peraturan Nomor 21 dan 22 Tahun 2005. Dalam ketentuan pelaksanaan tersebut diatur bahwa mulai dari kegiatan pendataan sampai dengan pengadaan dilaksanakan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian tingkat pusat, provinsi dan Kabupaten/Kota. Dibentuk Tim Pengadaan Pegawai Negeri Sipil di tingkat pusat, provinsi dan Kabupaten/Kota. Untuk Kabupaten Klaten Tim Pengadaan Pegawai Negeri Sipil ditetapkan oleh Bupati Klaten selaku Pejabat Pembina Kepegawaian Kabupaten Klaten dengan Keputusan Bupati Klaten nomor : 811/172/10 tanggal 9 Oktober 2009 tentang Tim Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah Kabupaten Klaten Formasi Tahun 2009. Karena karakter kebijakan adalah masalah kebijakan pengadaan pegawai negeri sipil, maka sudah tepat apabila pelaksana kebijakan adalah pemerintah. Kerjasama dengan pihak ketiga diperlukan dalam hal yang bersifat teknis saja, seperti penggandaan soal ataupun scanning hasil Lembar Jawab Komputer (LJK). Dalam implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2007 tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, yang dikategorikan penegak hukum adalah para pelaksana kegiatan dari tingkat pusat, propinsi dan sampai ke daerah yaitu kabupaten/kota.
Dan
permasalahan
implementasi
bermula
dari
pelaksana di tingkat Propinsi yaitu Panitia dari Badan Kepegawaian Daerah Propinsi Jawa Tengah yang salah dalam mengartikan isi dari Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2007, sehingga untuk provinsi Jawa Tengah tenaga honorer yang tidak dibiayai dari APBN dan APBD juga didata seluruhnya, dan pada proses pendataannya dibedakan penyebutannya dengan istilah Data Base A dan Data Base B. Dengan pengertian Data Base A adalah data dari tenaga honorer yang
commit to user 91
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penggajiannya dibiayai dari APBN atau APBD, sedangkan data base B adalah data dari tenaga honorer yang penggajiannya tidak dibiayai dari APBN atau APBD. Kesalahan persepsi tentang pengertian tenaga honorer yang kemudian dilanjutkan dengan pemisahan pendataan yang dilakukan oleh seluruh kabupaten/kota di Jawa Tengah akhirnya menimbulkan permasalahan yang besar dengan kesalahan pengumuman Calon Pegawai Negeri Sipil di tahun 2005, dengan adanya 2 kali pengumuman yaitu tanggal 17 dan 18 Maret,
yang menimbulkan
keresahan di antara tenaga honorer apalagi 116 orang menjadi korban revisi/ralat pengumuman. Hal ini terjadi karena kesalahan dalam pengolahan data di tingkat propinsi, yang dilakukan pihak ketiga (yang ditunjuk oleh panitia dari propinsi Jawa Tengah), yang mencampur data base A dan data base B sehingga 116 orang yang masuk data base B muncul dalam pengumuman. Seharusnya data base B tidak ikut diolah, dan hanya data base A saja yang diolah. Kesalahan
penafsiran
peraturan,
kesalahan
pengumuman
kelulusan menjadi indikator bahwa aspek sumber daya manusia di lingkungan penegak hukum selaku pelaku kegiatan pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil kurang siap. Kinerja yang dihasilkan pada awal Implementasi PP Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS tidak maksimal dan menimbulkan keresahan publik. c) Faktor Sarana atau Fasilitas Dalam upaya penegakan hukum pastilah diperlukan sarana dan fasilitas untuk mendukung kelancaran dari proses penegakan hukum tersebut. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu maka tidak mungkin penegakan hukum akan dapat berlangsung dengan lancar. commit to user 92
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sarana atau fasilitas tersebut mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan lain-lain. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya. Implementasi PP Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS juga memerlukan sarana dan fasilitas seperti tersebut di atas. Agar pelaksanaannya berjalan dengan lancar diperlukan tenaga dalam hal ini di lingkungan birokrasi terkait yang terampil dan memahami isi dan maksud dari PP tersebut, organisasi yang
baik
seperti
Kabupaten/Kota,
BKN
peralatan
dan yang
BKD
baik
memadai
provinsi yang
maupun
mendukung
terselenggaranya pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai negeri sipil dimaksud. Dan yang paling penting adalah adanya dana atau anggaran untuk pelaksanaan / implementasi PP Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS ini. d) Faktor Masyarakat Hukum merupakan bagian dari masyarakat yang timbul dan berproses di dalam dan untuk kepentingan masyarakat. Oleh karenanya masyarakatlah yang dapat menentukan luas daya cakup hukum maupun batas kegunaannya. Yang dimaksud masyarakat yang terkait dengan implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil adalah tenaga honorer itu sendiri. e) Faktor Kebudayaan Dalam upaya mengefektifkan hukum, harus dipahami kekuatankekuatan sosial yang melingkupinya. Penegakan hukum terhadap masyarakat bertujuan untuk mencapai kedamaian dan ketentraman di
commit to user 93
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam masyarakat, oleh karena itu dipandang dari sudut tertentu, maka budaya yang ada di dalam masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum. Kepatuhan dan daya tanggap masyarakat dalam hal ini tenaga honorer sebagai subyek, sasaran/target kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007sangat dipengaruhi oleh manfaat kebijakan yang diterima oleh tenaga honorer. 1). Bagi tenaga honorer yang memperoleh manfaat dari rumusan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 yaitu mereka yang memenuhi syarat baik dari segi pengabdian, penghasilan, usia dan masa kerja tentu saja akan menerima pelaksanaan kebijakan tersebut. 2) Bagi tenaga honorer yang tidak memperoleh manfaat terhadap pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007karena terkendala persyaratan pengabdian, penghasilan, usia dan masa kerja, tentu saja akan menolak dan melakukan protes agar PP tersebut diubah atau direvisi sehingga mereka bisa memperoleh manfaat yaitu bisa terangkat menjadi CPNS. Disinilah terlihat adanya budaya penolakan dari masyarakat dalam hal ini tenaga honorer terhadap peraturan yang tidak menguntungkan dan bahkan merugikan bagi dirinya, dengan tujuan agar pemerintah mengganti, merevisi atau menerbitkan peraturan baru yang akan mendatangkan atau membawa manfaat bagi masyarakat yang merasa dirugikan tersebut, karena implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 ternyata belum bisa mengkomodir tenaga honorer yang ada maka menimbulkan budaya penolakan dari para tenaga honorer yang merasa dirugikan oleh ketentuan yang termuat dalam Peraturan Pemerintah tersebut.
commit to user 94
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kelompok tenaga honorer yang menolak Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 membentuk kelompok/barisan/organisasi tersendiri yaitu : 1.) Kelompok
tenaga
honorer
APBN/APBD
yang
terkendala
persyaratan pengabdian, penghasilan, usia dan masa kerja Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007, sehingga terancam tidak bisa diangkat menjadi CPNS. (Kelompok TMS/tidak memenuhi syarat) 2) Kelompok tenaga honorer yang penghasilannya dari pendapatan lainnya tetapi bekerja di instansi pemerintah yang tergabung dalam Forum Tenaga Honorer Sekolah Negeri Indonesia (FTHSNI) 3) Kelompok guru dan karyawan swasta yang tergabung dalam Forum Guru dan Karyawan Swasta (FGKS) Kabupaten Klaten. Mereka melakukan upaya untuk mengadukan nasibnya, baik melalui dialog dengan Bupati, audiensi dengan DPRD Klaten dan ada pula yang mendirikan tenda keprihatinan. Pada intinya mereka menolak Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 dan meminta agar PP tersebut dirubah/direvisi. Audiensi di DPRD : 1). Pada tanggal 9 Nopember 2007 dan 19 Pebruari 2008 oleh kelompok FTHSNI. 2). Pada tanggal 28 September 2007 dan 11 Maret 2008 oleh FGKS 3).Tanggal 26 September 2008 kelompok FGKS 4).Tanggal 21 Desember 2009 kelompok FKGS dengan Komisi 1 DPRD Kab. Klaten.
commit to user 95
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dialog dengan Bupati Klaten : 1) Pada tanggal 17 Januari 2007 oleh kelompok TMS. Juga mendirikan tenda keprihatinan. 2).Tanggal 19 September 2008 oleh kelompok FTHSNI di Pendopo Pemda. 3).Tanggal 21 Juli 2009 oleh kelompok FGKS di Pendopo Pemkab Klaten. 4).Tanggal 17 Pebruari 2010 oleh kelompok Guru WB di Ruang Rapat B-2 Setda Kabupaten Klaten. 5).Terakhir tanggal 17 Juni 2010 oleh kelompok Guru WB dan PTT sejumlah 4.767 di GOR Gelarsena Klaten. Adanya
sebagian
besar
pendapat
yang
menolak
dan
menginginkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 menunjukkan bahwa budaya apriori atau penolakan terhadap peraturan yang merugikan menjadi indikator lemahnya substansi hukum yang berakibat kesalahan penafsiran isi dari peraturan oleh struktur hukum, sehingga mengakibatkan implementasi kebijakan tersebut menjadi kurang efektif.
2. Faktor-Faktor Penghambat Dari hasil-hasil penelitian yang telah dikaitkan dengan kerangka pemikiran yang merujuk kepada teori dari Soerjono Soekanto mengenai lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu : faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan sebagaimana dipaparkan dimuka, dapat dilihat adanya hambatan dan permasalahan yang menimbulkan kendala dalam pelaksanaan atau implementasi Peraturan
commit to user 96
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Klaten sebagai berikut : a. Faktor Hukumnya Sendiri Hambatan/permasalahan pada Implementasi PP Nomor 48 Tahun 2005 yang telah diubah dengan PP Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, khususnya Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Klaten dapat diketahui dari hasil wawancara dengan Kasubid Pengembangan Pegawai yang mengungkapkan81 : “Sejak semula awal dari kendala, hambatan dan permasalahan yang ada dimulai dari kurang jelasnya aturan yang menimbulkan persepsi yang berbeda atau bias, serta ketentuan akan adanya syarat usia dan masa kerja pada PP Nomor 43 Tahun 2007, menimbulkan permasalahan yaitu adanya gejolak dari para honorer yang merasa dirinya masuk kelompok tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi CPNS”. Pasal 3 (2) PP Nomor 43 tahun 2007 : ”Pengangkatan tenaga honorer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada usia dan masa kerja sebagai berikut : a) Usia paling tinggi 46 (empat puluh enam tahun) dan paling rendah 19 (sembilan belas tahun ); dan b) Masa kerja sebagai tenaga honorer paling sedikit 1 (satu) tahun secara terus menerus. Pasal ini mengakibatkan keresahan karena sejumlah 663 orang honorer APBN/APBD merasa terancam tidak bisa terangkat menjadi CPNS. 81
Muh. Agus Salim, Kepala Sub Bidang Pengembangan Pegawai Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, Wawancara, 11 Mei 2010
commit to user 97
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Rumusan pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang definisi tenaga honorer : ”Tenaga honorer adalah seorang yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.” Seharusnya dari pengertian tersebut tenaga honorer yang didata hanya yang penghasilannya diperoleh dari APBN dan APBD dan tercantum dalam klausul kontrak tenaga honorer yang bersangkutan. Namun hasil sosialisasi itu menjadi bias karena pengertian tenaga honorer tadi dikaitkan dengan pasal 6 ayat (2) PP Nomor 43 Tahun 2007 yang menyatakan : ”Tenaga honorer yang bekerja pada instansi pemerintah dan penghasilannya tidak dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, baru dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil apabila semua tenaga honorer yang dibiayai Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah seluruhnya secara nasional telah diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil sebelum Tahun Anggaran 2009” Kesalahan persepsi tentang pengertian tenaga honorer yang kemudian dilanjutkan dengan pemisahan pendataan akhirnya menimbulkan
permasalahan
yang
besar
dengan
kesalahan
pengumuman Calon Pegawai Negeri Sipil di tahun 2005, dengan adanya 2 kali pengumuman yaitu tanggal 17 dan 18 Maret, yang menimbulkan keresahan di antara tenaga honorer apalagi 116 orang menjadi korban revisi/ralat pengumuman.
commit to user 98
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Penegak Hukum Hambatan dalam penegak hukum dalam hal ini pelaksana dari Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 adalah lemahnya sosialisasi yang dilaksanakan oleh instansi-instansi terkait, mulai dari tingkat pusat dalam hal ini Badan Kepegawaian Negara sampai ke
daerah,
yaitu
tim
atau
panitia
di
tingkat
Propinsi/Kabupaten/Kota. Disamping itu, kurangnya koordinasi antar lembaga-lembaga atau badan-badan terkait menyebabkan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 yang dimulai dengan kegiatan pendataan tenaga honorer menyebabkan waktu pelaksanaan kegiatan terkesan mendadak. Kinerja yang dihasilkan pada awal Implementasi PP Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS tidak maksimal dan menimbulkan keresahan publik. Demikian juga adanya kesalahan pengumuman CPNS di tahun 2005, yaitu adanya 2 kali pengumuman pada tanggal 17 dan 18 Maret, menimbulkan keresahan di antara tenaga honorer apalagi 116 orang menjadi korban revisi/ralat pengumuman. Hal ini terjadi karena kesalahan dalam pengolahan data di tingkat propinsi, yang dilakukan pihak ketiga (yang ditunjuk oleh panitia dari propinsi Jawa Tengah), yang mencampur data base A dan data base B sehingga 116 orang yang masuk data base B muncul dalam pengumuman. Seharusnya data base B tidak ikut diolah, dan hanya data base A saja yang diolah. Kejadian ini menunjukkan ketidak cermatan, ketidaktelitian panitia selaku pelaksana yang menurut teori Friedmen adalah struktur hukum dalam implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.
commit to user 99
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kesiapan sumber daya manusia selaku penegak hukum diharapkan mampu meminimalisir, hambatan/permasalahan pada implementasi suatu kebijakan. Kesalahan penafsiran peraturan, kesalahan pengumuman kelulusan menjadi indikator bahwa aspek sumber daya manusia di lingkungan pelaku kegiatan pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil kurang siap. c. Faktor Sarana atau Fasilitas Pelaksanaan kegiatan yang terkesan mendadak karena kurangnya sosialisasi menimbulkan kesulitan dalam hal pembiayaan di daerah-daerah pelaksana khususnya di Kabupaten Klaten karena tidak adanya perencanaan yang matang untuk melaksanakan kegiatan tersebut sehingga belum teranggarkan secara khusus dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Klaten. Hal itu dapat diketahui dari hasil wawancara dengan Sekretaris Badan Kepegawaian Daerah , Drs. Triyanto, MM yang menyatakan :82 ”Pelaksanaan PP Nomor 43 Tahun 2007 menimbulkan beberapa hambatan dan permasalahan. Selain sosialisasi yang nampaknya kurang baik juga dari waktu pelaksanaan kegiatan dikaitkan dengan pembiayaan/anggaran. Isi dari PP nomor 43 Tahun 2007 mengenai kriteria tenaga honorer menimbulkan keresahan. pelaksanaan pendataan tidak tersosialisasikan terlebih dahulu sehingga tidak dianggarkan. Pelaksanaan kegiatan pengadaan mempengaruhi proses pembiayaan/penganggaran.” Selanjutnya Kasubag Perencanaan dan Pelaporan Badan Kepegawaian Daerah, menyatakan : ”Kegiatan pendataan yang terkesan mendadak dan tidak teranggarakan sebelumnya, membuat kita harus mengajukan anggaran pada Biaya tak Terduga, yang sebetulnya pengeluaran 82
Triyanto, Sekretaris Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten, Wawancara, 17 Mei 2010
commit to user 100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
anggaran biaya tak terduga tadi relevansinya pada kejadian-kejadian luar biasa seperti bencana alam, wabah penyakit dan lain-lain. Namun mengingat pendataan ini merupakan kegiatan nasional yang harus segera dilaksanakan maka akhirnya pembiayaan kegiatan pendataan tersebut dapat ditutup dari Biaya Tak Terduga. Sedangkan kegiatan pengadaan mulai dari pendaftaran, seleksi dan lain-lain dilaksanakan pada awal tahun anggaran berikutnya, sehingga proses pencairan harus menunggu penetapan anggaran terlebih dahulu, dan pembiayaan harus mengajukan permohonan pencairan mendahului anggaran. Memang akhirnya pembiayaan dapat tercukupi namun mekanisme seperti ini dapat dianggap perencanaan anggaran yang tidak matang. Dari keterangan atau pernyataan di muka dapat dianalisis bahwa kendala, hambatan dan permasalahan implementasi PP 43 Tahun 2007 dari faktor sarana atau fasilitas pada Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Klaten dapat dilihat dari aspek : 1) Aspek Perencanaan Perencanaan kegiatan Pengadaan diawali dari pendataan terkesan tidak matang, mendadak dan tidak komprehensif, sehingga menyebabkan kurang tersedianya sarana dan prasarana yang diperlukan dalam pelaksanaan PP tersebut. 2) Aspek Keuangan Pelaksanaan kegiatan didukung dengan dana APBD, namun perencanaan
kegiatan
yang
tidak
komprehensif
sangat
mempengaruhi kelancaran proses mekanisme anggaran, yaitu pendanaan kegiatan tidak tepat waktu, membuat instansi terkait dalam hal ini Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten tidak mempunyai alokasi dana atau anggaran untuk kegiatan ini. d. Faktor Masyarakat Hambatan yang timbul di dalam masyarakat adalah bahwa definisi tenaga honorer telah menimbulkan bias penafsiran, commit to user 101
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sehingga masyarakat mempunyai persepsi sendiri, khususnya para tenaga honorer yang mempunyai kepentingan agar bisa diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Definisi tenaga honorer menjadi isu yang sangat pelik, karena sangat menentukan klasifikasi / kriteria tenaga honorer yang akan didata. Data tersebut menjadi pedoman pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. Tenaga honorer yang akan diangkat menjadi CPNS harus tercantum dalam database, oleh karena itu para tenaga honorer berusaha untuk didata dengan membawa penafsiran masing-masing, dengan harapan bisa diangkat menjadi CPNS. e. Faktor Kebudayaan Bagi tenaga honorer yang tidak memperoleh manfaat terhadap pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007, tentu saja akan menolak dan melakukan protes agar PP tersebut diubah atau direvisi sehingga mereka bisa memperoleh manfaat yaitu bisa terangkat menjadi CPNS. Budaya penolakan dari masyarakat dalam hal ini tenaga honorer terhadap peraturan yang tidak menguntungkan dan bahkan merugikan bagi dirinya, dengan tujuan agar pemerintah mengganti, merevisi atau menerbitkan peraturan baru yang akan mendatangkan atau membawa manfaat bagi masyarakat yang merasa dirugikan tersebut, muncul karena implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 ternyata belum bisa mengkomodir tenaga honorer yang ada. Budaya apriori atau penolakan terhadap peraturan yang merugikan menjadi indikator lemahnya substansi hukum yang berakibat kesalahan penafsiran isi dari peraturan oleh penegak hukum, sehingga mengakibatkan implementasi kebijakan tersebut menjadi kurang efektif. commit to user 102
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang kebijakan pengangkatan tenaga honorer
menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di
Kabupaten Klaten berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Bahwa pelaksanaan pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai negeri sipil di Kabupaten Klaten berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil tidak efektif karena : a. Faktor Hukumnya Sendiri Faktor hukumnya sendiri adalah ketentuan hukum mengenai pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai negeri sipil yang berupa syarat-syarat yang tertulis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007. Secara substansi hukum Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil masih bias dalam mengaturnya. Hal ini ditunjukkan dalam pengertian tenaga honorer yang kurang jelas dan bahkan tidak tegas sehingga menimbulkan persepsi yang bermacammacam dari berbagai pihak, baik dari pelaksana maupun dari tenaga commit to user 103
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
honorer sendiri yang mempunyai kepentingan untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. b. Faktor Penegak Hukum Faktor Penegak Hukum dalam hal ini pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007, yaitu tim pengadaan dari Badan Kepegawaian Negara dan Badan Kepegawaian Daerah baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Ketidaktegasan pengertian tenaga honorer dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, menyebabkan kesalahan pelaksana dalam mengartikan perintah yang termaktub pada peraturan tersebut. Sehingga untuk provinsi Jawa Tengah tenaga honorer yang tidak dibiayai dari APBN dan APBD juga didata
seluruhnya,
dan
pada
proses
pendataannya
dibedakan
penyebutannya dengan istilah Data Base A dan Data Base B. Dengan pengertian Data Base A adalah data dari tenaga honorer yang penggajiannya dibiayai dari APBN atau APBD, sedangkan data base B adalah data dari tenaga honorer yang penggajiannya tidak dibiayai dari APBN atau APBD. Kesalahan
penafsiran
peraturan,
kesalahan
pengumuman
kelulusan menjadi indikator bahwa aspek sumber daya manusia di lingkungan pelaku kegiatan pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil kurang siap. Kinerja yang dihasilkan pada awal Implementasi PP Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS tidak maksimal dan menimbulkan keresahan publik.
commit to user 104
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Faktor Sarana atau Fasilitas Implementasi PP Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS juga memerlukan sarana dan fasilitas seperti tersebut di atas. Agar pelaksanaannya berjalan dengan lancar diperlukan tenaga dalam hal ini di lingkungan birokrasi terkait yang terampil dan memahami isi dan maksud dari PP tersebut, organisasi yang
baik
seperti
Kabupaten/Kota,
BKN
peralatan
dan yang
BKD
baik
memadai
provinsi yang
maupun
mendukung
terselenggaranya pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai negeri sipil dimaksud. Dan yang paling penting adalah adanya dana atau anggaran untuk pelaksanaan / implementasi PP Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS ini. d. Faktor Masyarakat Yang dimaksud masyarakat yang terkait dengan implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil adalah tenaga honorer itu sendiri. e. Faktor Keudayaan Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil menimbulkan keresahan bagi tenaga honorer dan menyebabkan munculnya reaksi keras dari masyarakat dalam hal ini tenaga honorer yang dirugikan atau tidak mendapatkan manfaat dari adanya peraturan tersebut yang merupakan akibat dari budaya apriori atau menolak berlakunya suatu peraturan yang dianggap merugikan dirinya. commit to user 105
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Faktor-faktor penghambat yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Klaten dalam penerapan/implementasi PP Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil adalah sebagai berikut : a. Faktor Hukumnya Sendiri Hambatan dalam faktor hukumnya sendiri dalam pelaksanaan PP Nomor 43 Tahun 2007 muncul akibat adanya kesalahan persepsi tentang pengertian tenaga honorer yang kemudian dilanjutkan dengan pemisahan pendataan yang dilakukan oleh seluruh kabupaten/kota di Jawa Tengah atas perintah dari tim pelaksana Propinsi Jawa Tengah akhirnya menimbulkan permasalahan yang besar dengan kesalahan pengumuman Calon Pegawai Negeri Sipil di tahun 2005, dengan adanya 2 kali pengumuman yaitu tanggal 17 dan 18 Maret,
yang
menimbulkan keresahan di antara tenaga honorer apalagi 116 orang menjadi korban revisi/ralat pengumuman. b. Faktor Penegak Hukum Kesalahan
penafsiran
peraturan,
kesalahan
pengumuman
kelulusan menjadi indikator bahwa aspek sumber daya manusia di lingkungan pelaku kegiatan pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil kurang siap. Kinerja yang dihasilkan pada awal Implementasi PP Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS tidak maksimal dan menimbulkan keresahan publik. Hambatan pada struktur hukum dalam hal ini pelaksana dari Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 adalah lemahnya sosialisasi yang dilaksanakan oleh instansi-instansi terkait, mulai dari commit to user 106
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tingkat pusat dalam hal ini Badan Kepegawaian Negara sampai ke daerah, yaitu tim atau panitia di tingkat Propinsi/Kabupaten/Kota. Disamping itu, kurangnya koordinasi antar lembaga-lembaga atau badan-badan terkait berakibat pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 yang diawali dengan kegiatan pendataan tenaga honorer terkesan mendadak sehingga menimbulkan kesulitan karena tidak siapnya penegak hukum sebagai pelaksana. c. Faktor Sarana atau Fasilitas Hambatan dan permasalahan implementasi PP 43 Tahun 2007 dari faktor sarana atau fasilitas pada Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Klaten dapat dilihat dari aspek : 1) Aspek Perencanaan Perencanaan kegiatan Pengadaan diawali dari pendataan terkesan tidak matang, mendadak dan tidak komprehensif, sehingga menyebabkan kurang tersedianya sarana dan prasarana yang diperlukan dalam pelaksanaan PP tersebut. 2) Aspek Keuangan Pelaksanaan kegiatan didukung dengan dana APBD, namun perencanaan
kegiatan
yang
tidak
komprehensif
sangat
mempengaruhi kelancaran proses mekanisme anggaran, yaitu pendanaan kegiatan tidak tepat waktu, membuat instansi terkait dalam hal ini Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Klaten tidak mempunyai alokasi dana atau anggaran untuk kegiatan ini.
commit to user 107
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d) Faktor Masyarakat Hambatan yang timbul di dalam masyarakat adalah bahwa definisi tenaga honorer telah menimbulkan bias penafsiran, sehingga masyarakat mempunyai persepsi sendiri, khususnya para tenaga honorer yang mempunyai kepentingan agar bisa diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil. e) Faktor Kebudayaan Adanya sebagian
besar pendapat yang
menolak
dan
menginginkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 menunjukkan bahwa budaya apriori atau penolakan terhadap peraturan yang merugikan menjadi indikator lemahnya substansi hukum yang berakibat kesalahan penafsiran isi dari peraturan oleh struktur hukum, sehingga mengakibatkan implementasi kebijakan tersebut menjadi kurang efektif. Dari kelima faktor yang telah dibahas di atas, faktor hukumnya sendirilah yang paling dominan. Karena ketidaktegasan isi dari PP nomor 43 tahun 2007 terutama pada pengertian tentang tenaga honorer telah membawa dampak yang menyebabkan keempat faktor lainnya menjadi tidak efektif dalam pelaksanaan PP nomor 43 tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Klaten.
commit to user 108
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Implikasi Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan, maka implikasi dari penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil belum dapat diimplementasikan oleh pemerintah kabupaten Klaten dengan baik sehingga menimbulkan ketidakpuasan bagi tenaga honorer yang tidak bisa diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil. Belum semua sasaran/target tenaga honorer yang menjadi prioritas pengangkatan menjadi CPNS dapat diselesaikan pengangkatannya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 yaitu : Sebanyak 1241 tenaga honorer Non APBN/APBD tidak terangkat menjadi CPNS karena prioritas pengangkatan adalah tenaga honorer APBN/APBD terlebih dahulu, tanpa adanya pasal atau ketentuan lain yang mengatur tentang pengangkatan tenaga honorer non APBD/APBN, sehingga menimbulkan kekhawatiran dan keresahan bagi tenaga honorer non APBD/APBN bahwa dirinya tidak akan bisa diangkat menjadi CPNS. 2. Adanya perbedaan persepsi antara tenaga honorer dan aparat pelaksana dalam menterjemahkan pengertian tenaga honorer menimbulkan berbagai permasalahan yang mengakibatkan keresahan bagi tenaga honorer. Sampai saat ini masih ditemui kelompok-kelompok tenaga honorer yang menolak dan menginginkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007, menunjukkan adanya budaya apriori atau penolakan terhadap peraturan yang dianggap merugikan individu atau sekelompok orang.
commit to user 109
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Saran-Saran Berdasar hasil penelitian yang telah dibahas dan telah disimpulkan di atas, untuk meminimalisir hambatan, kendala dan permasalahan yang ada penulis menyampaikan saran-saran sebagai berikut : 1. Perlu adanya revisi Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 terutama mengenai pengertian tenaga honorer yang seharusnya lebih dirinci dan dipertegas mengenai pejabat yang mengangkat, sumber penggajian dan jenis tenaga honorer yang bisa diangkat menjadi CPNS, agar tidak menimbulkan bias penafsiran dan pemahaman yang berbeda-beda baik oleh tenaga honorer maupun aparat pelaksana sehingga peraturan yang ada bisa diimplementasikan secara efektif dan maksimal di daerah. 2. Perlu segera dibuat peraturan yang mengakomodir dan mengatur tentang pengangkatan tenaga honorer yang belum bisa diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007. Dan yang benar-benar dibuat berdasarkan kondisi/keadaan tenaga honorer di daerah sehingga bisa diterapkan dan tidak menimbulkan terlalu banyak kendala/hambatan dan permasalahan dalam penerapannya. Untuk masa mendatang pemerintah harus mengurangi perannya, sektor-sektor pekerjaan yang bisa dikelola swasta sebaiknya bekerja sama dengan pihak swasta. Pemerintah tidak perlu mengelola secara langsung sektor-sektor tersebut, karena akan menambah beban keuangan negara. Jenis-jenis pekerjaan seperti tenaga pembersih (cleaning service) petugas pengangkut sampah, pemungut restribusi menurut beban kerja sifatnya insidentil dan pemerintah bisa bekerja sama dengan pihak swasta tidak perlu mengangkat pegawai dengan jenis pekerjaan tersebut agar anggaran negara yang terbatas tidak terbebani dengan menggaji mereka sampai commit to user 110
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan pensiun. Anggaran negara yang terbatas bisa digunakan untuk menjalin kontrak kerja dengan pihak swasta dan mereka akan memperkerjakan pegawai untuk menyelesaikan tugas sesuai dengan kontrak. Tanggung jawab pekerjaan menjadi lebih jelas dan lebih membuka kesempatan kerja daripada pemerintah hanya bisa mengangkat tenaga kerja yang terbatas tetapi harus menanggung beban sampai dengan pensiun.
commit to user 111