Fabales – Terjebak Mimpi
Terjebak Mimpi Mimosa Fabales
Angka kecil yang menyala di sudut layar HP menunjukkan jam 2:15 siang. Sudah beberapa lama aku duduk saja mempermainkan HP tanpa keinginan sama sekali untuk membuka aplikasi yang ada di situ kalau-kalau ada e-mail atau SMS yang masuk. Rasanya mengantuk walaupun masih siang dan sebentar lagi Joko pulang sekolah. Entah mengapa sekolah di kota kecil tempat kami tinggal di Amerika ini selalu keluar cepat pada hari Rabu. Kalau hari lain, anak-anak di kelas sampai jam 3:20, pada hari Rabu jam 2:30 mereka sudah pulang. Aku masih bisa ingat dengan jelas perasaanku waktu sudah pasti kami akan berangkat ke Amerika. Aku sangat ingin mendapatkan gelar PhD dari universitas di Amerika. Untuk karir, tentu saja luar biasa. Yang berhak menggunakan predikat doktor banyak. Di antara teman-teman di univeristasku pun ada beberapa. Kebanyakannya dalam negeri dan satu-dua yang keluar hanya ke Malaysia atau paling jauh ke Australia. Aku sangat ingin melebihi mereka dengan belajar di Amerika. Ilmu yang bakal aku dapat pasti lebih hebat dan kelihatannya PhD dari Amerika masih mampu membawa pemiliknya ke jabatan yang lebih tinggi dibandingkan ijazah lain. Hati Joko juga berbunga-bunga mendengar dia akan sekolah di sana. Terbayang teman-teman yang bule serta keadaan kelas yang teratur dan menyenangkan seperti yang sering ditontonnya di TV. Yang kurang senang mendengar aku akan kuliah di Amerika itu hanya Mas Tanto yang senyum-senyum saja. Dia sudah tahu aku punya ambisi yang tinggi. Bagi dia bekerja di bank di kota, tempat ia lahir dan besar, sudah cukup. Gaji lumayan, katanya. Kerjanya tidak susah. Dia disenangi oleh atasan di kantor. “Mau apa lagi?” Dia sering bertanya begitu. Dan aku tidak susah menjawab. “Apa tidak mau menjadi direktur dengan hak mengatur orang lain? Apa tidak akan menyenangkan kalau semua orang menghormati Mas sebagai orang yang berkuasa dalam suatu lembaga yang sangat mereka perlukan?” Mas Tanto hanya ketawa dan mengatakan semua itu tidak penting, apalagi kalau dia dinaikkan pangkatnya menjadi direktur atau yang lain, dia pasti harus pindah ke cabang yang lebih besar. Karena itu, dia malas. Sekarang ini pulang-pergi ke kantornya makan waktu 15 menit saja dan tidak pernah macet, keadaan yang jarang ditemukan di mana saja di Indonesia. Waktu luang juga banyak. Untuk bermain-main dengan Joko atau sekadar bercengkerama dengan tetangga. Nonton bola semalaman juga tidak apa-apa karena tidak ada yang mendesak hari berikutnya. Karena itu barangkali reaksi Mas Tanto biasa-biasa saja waktu dengan gembira sekali aku ceritakan kesempatan yang datang. Dengan memegang surat yang menyatakan aku diterima di program PhD di salah satu universitas di AS yang diprint dari e-mail di kantor, aku terangkan panjang lebar keinginanku untuk belajar di luar negeri dan apa artinya bagi kami sekeluarga nanti. Waktu itu, Mas Tanto ikut gembira tapi mengingatkan aku bahwa masih akan perlu beasiswa dari pemerintah Indonesia.
ISSN - 2206-0596 (Online)
58
Aksara, Vol. 1 No. 1
January 2016
“Apa Mas pikir aku tidak bisa diberi beasiswa?” aku tanya dengan nada marah. “Bukan begitu,” katanya ramah. “Pemerintah kan macam-macam. Banyak orang yang layak menerima beasiswa, tetapi tetap saja ada masalah. Di kantorku saja, ada beberapa.” Dalam hati, aku tahu Mas Tanto benar. Namun, aku begitu yakin. Sudah terasa bagiku semua akan berjalan lancar sampai aku bisa berangkat ke Amerika. Dan rupanya itulah yang terjadi. Dengan mudah saja aku diluluskan dalam seleksi untuk beasiswa yang kata temanteman di kampus semakin sulit karena banyak orang yang tidak bisa menyelesaikan tesis pada waktunya, tidak tamat atau mengalami masalah lain dalam perkuliahan di luar negeri. Umumnya hal ini dilihat sebagai masalah universitas tempat mereka belajar yang kurang mendukung calon doktor dari luar negeri. Karena itu pemerintah semakin hati-hati memberikan beasiswa, walaupun dosen-dosen dengan ijazah asing sangat didambakan oleh universitas di Indonesia. Jadi waktu datang pemberitahuan bahwa aku lulus seleksi dan akan dibiayai selama empat tahun kuliah di Amerika, terasa sangat istimewa. Aku tentu saja mengharapkan keistimewaan ini dapat dirasakan oleh semua orang, terutama Mas Tanto. Tapi kenyataannya lain. Mas Tanto tentu saja senang, malah bangga tapi sangat menjengkelkanku dengan pertanyaan: “Jadi Tin mau mengambil beasiswa itu?” “Tentu saja,” kujawab dengan cepat. “Harus aku ambil. Kesempatan seperti ini tidak bakal datang lagi.” “Tin tidak susah meninggalkan kami selama empat tahun?” tanya Mas Tanto. “Tapi kita semua akan ke Amerika!” Tidak pernah terpikirkan olehku bahwa kami bertiga – aku, Mas Tanto dan Joko – tidak akan bersama-sama di tempat aku kuliah. Tiba-tiba aku sadar bahwa pandangan Mas Tanto lain. Selama ini dia membayangkan harus tinggal di Indonesia tanpa aku. Dengan bersemangat, aku ceritakan teman-teman dan orang yang pernah aku dengar yang kuliah di luar negeri dengan membawa keluarga. Anak mereka masuk sekolah di sana. Suami mereka mencari pekerjaan. Ya, pekerjaan apa saja di sana gajinya besar. Menjadi kuli di pasar pun bisa menabung. Tidak ada alasan Mas Tanto tidak bisa bekerja di sana sementara aku kuliah. Joko yang sudah kelas 5 SD tentu saja akan sekolah sama dengan di Indonesia. Tapi Mas Tanto hanya menggelengkan kepala dan tersenyum. “Aku tidak mungkin seperti itu, Tin. Aku pegawai bank. Kalau pergi selama tiga empat tahun posisiku akan hilang. Akan diberikan ke orang lain. Mereka nggak mungkin menunggu pulang dari menemani isteri kuliah selama itu.” Lama kami membicarakan apa yang harus kami lakukan sampai akhirnya diputuskan aku dan Joko saja yang berangkat. Mas Tanto tetap di kota kami menjaga rumah dan bekerja seperti biasa. Kedua kami mempunyai keluarga di kota ini. Mas Joko ada beberapa orang adik yang semuanya sudah berkeluarga dan tinggal tidak jauh dari kami. Orang tuanya juga. Ibuku masih tinggal di rumah tempat aku dibesarkan hanya beberapa kilo dari rumah kami. Tiap sebentar dia ke rumah mengajak Joko jalan-jalan ke pasar atau membantu dia mengerjakan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dikerjakan tapi menjadi kesempatan bermain-main dengan cucunya. Kebetulan aku saja anak Ibu yang masih tinggal di kota kami sehingga Joko dimanjakan luar biasa oleh neneknya. Sekarang semua yang aku inginkan dulu sudah terjadi dan aku duduk di apartemen yang terasa mewah bagiku walaupun merupakan tempat tinggal biasa-biasa saja yang dianggap cocok untuk mahasiswa dan pekerja rendah di AS. Di luar jendela ladang petani ISSN - 2206-0596 (Online)
59
Fabales – Terjebak Mimpi
yang merupakan perbatasan kota kecil ini dengan daerah pertanian yang subur kelihatan sepi. Bulan Desember ini sangat dingin di daerah ini yang disebut “Barat Tengah” oleh orang Amerika. Mereka kadang-kadang menggunakan istilah “Barat Jauh” yang berarti negara bagian California dan tempat lain di pantai barat negeri ini. “Barat Dekat” sepertinya tidak ada. Aku tidak tahu mengapa. Hal-hal seperti ini membuat aku sadar betapa banyak yang tidak aku mengerti tentang tempat ini dan keadaanku sendiri. Pengertianku hanya sampai ke permukaan saja. Di bawahnya sangat banyak yang tidak bisa aku tembus dengan tenaga dan kemampuan yang aku miliki. Sebelum ke Amerika aku merasa sudah tahu semua seluk-beluk kehidupan di negeri itu karena semuanya terasa begitu jelas dalam pikiranku. Kota-kota Amerika seperti New York dan Los Angeles sudah sering aku lihat di TV. Aku bayangkan akan hidup di sebuah mega-kota seperti itu. Hal-hal yang aku kerjakan akan sama dengan kehidupanku di Indonesia, kecuali lebih teratur, lebih bagus, lebih bermanfaat dan memuaskan. Waktu sampai di kota kecil ini, atau lebih tepat disebut kampung ini, baru aku tahu banyak universitas di Amerika terletak di kota kecil yang jauh dari keramaian yang aku bayangkan sebelumnya. Kami, aku dan Joko maupun mahasiswa asing yang lain, tidak dianggap istimewa atau perlu perhatian oleh penduduk setempat. Di kampus kami diperlakukan dengan wajar, malah dengan baik sekali dibandingkan dengan perlakuan yang umumnya diterima mahasiswa S3 di Indonesia, tapi tidak ada yang teratrik dengan keadaan kami. Tiba-tiba aku sadar bahwa kami menganggap diri kami hebat karena bisa kuliah di luar negeri tapi bagi mereka yang tinggal di situ kami sering merupakan masalah yang menambah beban kerja mereka. Ini kesan yang aku dapat waktu berbicara dengan guru Joko di awal tahun sekolah bulan September yang lalu. Waktu itu, Joko baru saja aku daftarkan di SD dekat rumah sebagai murid kelas 6. Gurunya, seorang perempuan yang umurnya kira-kira sebaya dengan aku, menemui kami di kantor sekolah ingin mengantar Joko ke kelas. Penampilannya berbeda sekali dengan guru-guru SD di kota kami. Memang guru di Amerika tidak memakai seragam tapi guru Joko berpakaian sangat rapi dan bagus, lain sekali dengan yang diharapkan bagi seseorang yang akan bersama 25 anak sepanjang hari. Dia kelihatan seperti karyawan kantor yang muncul dalam iklan bank Mas Tanto yang menurut Mas Tanto adalah aktris yang memenuhi harapan masyarakat tentang pegawai professional. Orang yang sebenarnya bekerja di kantornya biasa-biasa saja. Guru Joko ini bukan saja kelihatan sangat professional, dia juga berbicara dengan nada orang yang biasa memberi tugas kepada orang lain dengan harapan perintahnya akan diikuti. Kepadaku dia katakan: “Kami senang menerima anak Ibu di sekolah kami tapi kami sadar dia belum bisa berbahasa Inggris. Di sekolah ini kami tidak punya ahli Bahasa Inggris untul penutur asing yang berbahasa Indoneisa. Hanya Bahasa Spanyol yang ada. Karena itu, Ibu harus mencek bahwa anak Ibu mengerti isi pelajarannya. Maksud saya, ada dua hal yang perlu diperhatilkan. Yang pertama Bahasa Inggris. Tentu kalau belajar di sini, Joko akan mendengar Bahasa Inggris setiap hari. Namun, dia pasti sulit menangkap isi pelajaran yang diberikan dalam bahasa itu. Itu yang kedua. Jadi tugas Ibu adalah menerangkan isi pelajaran kepada Joko sementara dia belum bisa mengerti penjelasan di kelas.” Ibu guru ini melihat aku dengan tajam, seperti dia menilai apakah aku mampu menerangkan pelajaran kelas 6 SD. Aku senyum saja. Di kota kami, Joko menjadi murid
ISSN - 2206-0596 (Online)
60
Aksara, Vol. 1 No. 1
January 2016
suatu sekolah yang cukup elit di mana Bahasa Inggris diajarkan dari awal SD. Aku dan Mas Tanto sering kagum melihat kemampuan Joko menggunakan istilah Bahasa Inggris yang diberikan di kelasnya. Karena itu, aku yakin guru ini akan kagum pula melihat kemampuan Joko yang memang tergolong pintar sejak pertama masuk sekolah. Hal ini aku ceritakan kepada Mas Tanto malam itu lewat Skype. Kami ketawa waktu aku beritahu Mas Tanto tentang tugasku yang diberikan ibu guru tadi seakan aku juga anak kelasnya. Joko biasa-biasa saja waktu ditanya bapaknya tentang hari pertamanya di sekolah baru. Waktu Mas Tanto mengatakan bahwa Joko pasti punya banyak teman baru, Joko diam saja. Waktu itu, aku tidak terlalu memperhatiklan reaksi yang sebenarnya tidak biasa itu. Aku senang karena sekolah Joko berhasil aku urus tanpa masalah. Pikiranku penuh dengan masalah aku sendiri sehingga aku ingin sekali semua yang lain berjalan lancar. Pada waktu itu, kuliahku sudah berjalan tiga minggu karena semester mulai di akhir bulan Agustus, sedangkan sekolah Joko baru mulai pertengahan September. Aku diwajibkan mengambil tiga mata kuliah di semester pertama PhDku. Semuanya berbentuk seminar di mana mahasiswa disuruh membaca artikel yang panjang dan rumit yang membicarakan teori terbaru. Diskusi di kelas menyangkut perkembangan terkini di bidang kami. Mahasiswa lain yang semuanya orang Amerika dengan fasih bertutur tentang teori ini dan itu. Rupanya ada yang berkaitan dengan artikel yang kami baca dan ada juga yang bertentangan. Tidak satu pun pernah aku dengar sebelumnya. Artikel yang diberikan kepada kami sebagai latar belakang sangat berat dan menghabiskan waktu membacanya. Kalau dibaca pun, sebagian besarnya tidak bisa aku mengerti. Percakapan di kelas lebih susah lagi. Aku tidak bisa mengikutinya dan tidak bisa menyumbang apa-apa. Aku begitu lama memikirkan bentuk pertanyaan atau komentar yang mau diucapkan sehingga kesempatan untuk berbicara sudah lama berlalu sebelum aku siap membuka mulut. Aku dapat kesan orang Indonesia yang lain yang ada di universitasku merasa sama walaupun tidak ada yang mau bilang begitu terus terang. Makin lama makin susah kuliahku ini. Apalagi waktu harus menulis paper berdasarkan bacaan dan diskusi di kelas. Dua tugasku yang makan waktu berhari-hari aku susun dikembalikan dengan catatan, ‘Ini tidak bisa dinilai karena tidak memenuhi persyaratan.’ Satu lagi diberi nilai D dengan pesan untuk segera membuat janji dengan kantor Language Skills yang bisa membantu saya menulis dalam Bahasa Inggris. Masuk bulan Desember yang sangat dingin dan sepi di kota kecil tempat kami tinggal itu aku mulai yakin bahwa aku akan gagal dalam kuliahku semester ini, walaupun aku masih berani berharap tugas akhirku akan lebih baik dari yang sebelumnya. Aku selalu berdoa agar lulus dengan nilai baik tapi semakin jelas kemampuanku sangat kurang untuk mengerjakan apa yang perlu. Seperti teman kuliahku yang tidak begitu memperhatikan kehadiranku di antara mereka begitu jauh ke depan. Aku harus sampai ke tempat mereka tapi jalannya tidak jelas dan mereka terus maju dengan kecepatan yang melebihi usahaku untuk mengikutinya. Jadi selama tiga bulan pertama kuliahku yang juga merupakan masa awal Joko di sekolah di Amerika, aku lebih banyak memikirkan masalahku sendiri dibandingkan perkembangan Joko. Dengan rajin aku menjadi tutornya setiap malam membicarakan pelajarannya yang tidak terlalu sulit bagi Joko untuk memahami isinya. Aku sadar bahwa dia tidak mendapat banyak dari keterangan gurunya di kelas tapi karena dia bisa mengerti penjelasanku dengan mudah, aku tidak banyak memikirkan hal ini. Lain dengan keadaan sosialnya. Di Indonesia Joko selalu banyak teman. Sepulangnya dari sekolah dia akan bercerita tentang apa yang dibilang si Bambang, cerita Sumi seperti apa, siapa yang tidak ISSN - 2206-0596 (Online)
61
Fabales – Terjebak Mimpi
masuk hari itu, siapa yang bermain bola di halaman sekolah waktu istirahat, dan lain sebagainya. Kalau pulang dari sekolah di Amerika, tidak ada cerita seperti ini. Paling-paling Joko akan menceritakan hal umum yang terjadi di kelas yang diamatinya. Dia tidak pernah membawa teman ke tempat kami atau pergi ke rumah anak lain seperti kebiasaannya di Indonesia. Satu kali dia minta dibelikan baju baru. Waktu aku bilang baju yang sudah ada masih bagus dan cocok untuk sekolah, dia bilang baju itu tidak sama dengan baju yang dipakai anak lain di kelasnya dan dia merasa aneh memakainya. Jadi kami pergi ke Target, salah satu toko besar di AS yang menjual pakaian, perlengkapan rumah, dan banyak lagi, supaya Joko bisa memilih beberapa baju yang dianggapnya mirip dengan yang dipakai anak lain. Bagiku, pakaian yang kami bawa dari Indonesia sebenarnya lebih bagus tapi aku mengerti keinginan Joko untuk tampil seperti temannya. Apalagi sekolah di Amerika tidak ada seragam dan pakaian menjadi perhatian anak-anak. Kalau aku tanya tentang temannya atau kejadian di sekolah, Joko menjawab tapi tanpa semangat dan singkat-singkat saja. Sekarang aku sadar selama ini aku tidak mau melihat keadaan yang sebenarnya. Aku saja susah di sini, apalagi Joko yang masih kecil. Masalah yang kami alami seperti membantah pandangan diri yang aku miliki selama ini dan menggambarkan suatu kenyataan yang tidak mau aku terima. Tapi kemarin terjadi sesuatu yang sama sekali di luar dugaanku yang memaksaku betul-betul memikirkan semua ini. Tiba-tiba saja aku ditelpon oleh guru Joko yang memintaku datang ke sekolah sore itu. Walaupun dia bilang hanya ingin membicarakan keadaan Joko, aku cemas. Dengan halus aku bertanya kepada Joko kalau ada apa-apa yang terjadi di sekolah. Menurut dia, semuanya biasa saja, tidak ada yang menonjol baginya. Aku tidak mendesak. Untuk apa dia juga harus ikut cemas? Dengan tangan gemetar aku membuka pintu ruang kelas Joko tempat aku disuruh datang oleh si ibu guru. Dia sedang duduk di mejanya di bagian depan ruang kelasnya yang besar yang berisi beberapa baris meja tulis. Aku sudah tahu dari cerita Joko bahwa setiap anak punya meja sendiri yang bagian atasnya bisa dibuka. Di dalamnya mereka menyimpan buku dan alat tulis serta makan siang kalau dibawa sendiri dari rumah. Hari pertama Joko di sekolah makan siang ini menjadi masalah yang seperti banyak hal lain tidak pernah aku duga sebelumnya. Rupanya di Amerika anak-anak makan siang di sekolah dan ini merupakan bagian dari kegiatan mereka yang diamati oleh guru. Walaupun aku tahu Joko akan di sekolah sampai jam 3 lewat, masalah makan ini tidak terlalu aku perhatikan. Mungkin keadaan di Indonesia yang ada dalam pikiranku di mana Joko selalu makan siang di rumah sesudah jam sekolah. Kadang-kadang agak sore, terutama kalau bermain bersama teman dulu. Kalau lapar, banyak yang bisa dibeli dekat sekolah dan banyak orang yang sengaja berjualan di situ untuk melayani keperluan dan kebiasaan jajan anakanak. Di tempat kami di Amerika, jalanan sepi. Tidak ada yang berjualan sama sekali, entah karena tidak mau atau barangkali tidak boleh. Kalaupun ada, aku juga lupa memberi Joko uang hari pertama itu karena terlalu banyak yang harus dipikirkan dan kami belum punya kegiatan rutin setiap hari seperti di Indonesia. Waktu aku menjemput Joko, dia bercerita bahwa tepat pada jam 12, semua anak di kelasnya berdiri dan berlari ke luar kelas. Joko ikut gerombolan anak kelas 6 itu ke sebuah ruang besar yang ia mengerti adalah kafeteria sekolah. Di ujungnya ada meja panjang seperti di restoran di mana beberapa perempuan menghidangkan makanan kepada anak-anak yang mengantri dengan rapi, masing-masing memegang sebuah baki plastik yang tersedia di situ.
ISSN - 2206-0596 (Online)
62
Aksara, Vol. 1 No. 1
January 2016
Oleh perempuan pertama setiap anak diberi sebuah piring berisi makanan yang masih panas beruap. Perempuan yang kedua memberinya mangkok kecil berisi irisan buah. Ada yang lain membagikan susu dalam kotak. Satu per satu anak-anak membayar dan membawa makan mereka ke meja panjang yang menjulur dari dinding sampai ke tengah ruangan. Anak-anak yang membawa makanan dari rumah lebih duluan duduk. Tapi mereka tidak boleh duduk sembarangan atau menunggu teman. Ada guru yang ditugaskan untuk menjaga kafeteria yang mengarahkan anak-anak untuk mengisi meja dari yang paling dekat pintu masuk sampai yang paling ujung. Anak pertama harus mengambil tempat dekat dinding. Yang berikut duduk di sebelahnya. Yang berikut duduk di korsi berikut dan seterusnya sampai mejanya penuh. Kalau tidak ada lagi korsi di satu meja, anak yang datang kemudian harus duduk di meja berikutnya. Bagi Joko, semua ini aneh sekali. Apalagi anak-anak kelihatan patuh sekali dan langsung mengambil tempat duduk sesuai dengan sistem ini. Aku kemudian bertanya kepada seorang mahasiswa dari India yang aku kenal di universitas yang sudah beberapa tahun di sini dan sekarang hampir selesai PhDnya. Katanya tujuannya supaya anak-anak tidak membentuk kelompok yang mengucilkan anak lain. Waktu melihat semua ini pertama kali, Joko bingung dan berdiri saja dekat pintu masuk karena tidak membawa makanan dan juga belum mengerti cara membeli makan siang. Guru yang jaga waktu itu melihat keadaan Joko dan menuntun dia ke ujung antrian anak yang mau membeli makanan. Joko diambilkan baki dan dibantu olehnya untuk mengambil makanan. Di tempat yang seharusnya dia membayar, guru itu mengatakan sesuatu kepada orang yang bekerja di situ dan mengantar Joko ke tempat duduknya di sebuah meja yang separuh penuh. “Malu sekali, Bu. Yang lain sudah tahu harus kerja apa. Joko nggak. Semuanya lihat!” “Mereka tahu Joko baru di sini. Masuk akal kalau Joko perlu dibantu.” Aku mencoba meyakinkannya walaupun aku bisa merasakan peristiwa itu pasti memalukan bagi seorang anak kelas 6, kelas tertinggi di sekolah itu. “Makanan sekolah itu bagaimana?” aku bertanya. “Jelek sekali. Tapi kalau nggak habis, nggak boleh bermain di luar.” Di hari-hari berikut, kami tahu peraturan sekolah ketat dan banyak. Joko sendiri kurang mengerti tujuan dan maksud semuanya. Sebanyak mungkin dia meniru anak lain di kelasnya tapi cara mereka berpikir susah dimengerti. Dia pernah bercerita tentang apa yang mereka lakukan habis makan siang. Rupanya siapa yang sudah selesai, harus mengangkat tangannya. Sebentar kemudian seorang guru akan mendekatinya dan membolehkan anak itu pergi asal makan siangnya sudah habis dimakan. Kalau ada yang tidak menghabiskan makanannyaatau bermain-main waktu makan, anak itu akan harus duduk di tempatnya sampai akhir jam makan. Anak yang diperbolehkan pergi akan membawa bakinya yang berisi piring kosong ke ujung ruang dan meletakkannya di rak besar yang kemudian diambil oleh orang yang bekerja di kafeteria itu. Sesudah itu anak itu baru boleh ke luar ke halaman sekolah. Di sana anak-anak bermain sampai akhir jam makan. “Joko main apa?” tanyaku. “Nggak main. Nggak ada yang ngajak.” “Temannya main apa?” “Ada yang main semacam bola tapi cara mainnya nggak jelas. Yang perempuan main tali dan semacam permainan lompat-lompat. Joko nggak ngerti caranya.”
ISSN - 2206-0596 (Online)
63
Fabales – Terjebak Mimpi
Waktu lonceng berbunyi sebagai tanda anak-anak harus masuk lagi, Joko mengikuti beberapa orang yang dia tahu ada di kelasnya dan kembali ke ruang kelasnya di mana ibu guru mengunggu mereka sama seperti dia menungguku sekarang. Seperti biasa guru Joko kelihatan lebih seperti artis atau peragawati daripada guru SD. Dengan senyum manis, dia menyuruh aku duduk di salah satu meja muridnya dan duduk di meja lain di sebelahnya. Langunsg saja dia mulai berbicara. “Kami melihat ada masalah dengan anak Ibu. Sesudah satu semester di sini, Joko masih susah menyesuaikan diri. Malah dia belum menjadi bagian dari kelas ini. . .” Tidak ada yang bisa aku katakan tapi dalam hati aku merasa hal ini kesalahan si guru ini. Tentu dia bisa menyuruh anak lain mengikutsertakan Joko dalam kegiatan mereka. “Kami juga lihat dia masih belum bisa mengerti peraturan sekolah dan kelas. Bahasanya pun tidak berkembang seperti yang kami harapkan. Kalau saya menerangkan sesuatu kepadanya, jelas dia kurang memahami atau menangkap sebagian saja. Saya mengerti Ibu tidak menggunakan Bahasa Inggris dengannya di rumah tapi ini masih menguatirkan . . .” Sekarang aku kaget. Bagiku Joko lancar berbahasa Inggris. Dia sering menggunakan kata atau kalimat bahasa itu kalau berbicara denganku. Dia suka menonton TV yang semuanya dalam Bahasa Inggris. Dan kalau Skype-an dengan bapaknya dia suka menyelipkan kata-kata Bahasa Inggris ke dalam percakapannya. Kesanku dia jauh lebih fasih berbicara dalam Bahasa Inggris daripada aku dan aku bayangkan dia mampu berkomunikasi dengan orang Amerika secara wajar. “Misalnya,” guru Joko meneruskan, “anak-anak kalau berjalan di gang sekolah dan naik-turun tanga harus di sebelah kanan. Anak TK sudah mengerti hal ini. Soalnya ini untuk keamanan bersama. Walaupun sudah beberapa bulan di sini Joko masih sering berjalan di sebelah yang salah atau di tengah. Ini sangat mengganggu keadaan dan bisa membahayakan anak lain, terutama di tangga. Saya berkali-kali menerangkan kepada dia kalau jalan harus di kanan dan memberi contoh, tapi dia sering lupa atau tidak memperhatikan. Di kelas dia sering melihat-lihat ke luar, tidak mengikuti kegiatan kami.” Sejauh ini, aku masih belum bisa berkata apa-apa. Aku baru tahu pihak sekolah memperhatikan hal kecil seperti ini, apalagi menganggapnya masalah. Sebenarnya aku juga mau membentak si guru ini. Pasti dia yang salah dalam hal ini. Kelasnya tidak menarik dan dia yang tidak bisa membuat Joko mengerti apa yang harus dikerjakannya! “Yang paling menguatirkan,” kata guru Joko lagi, “adalah cara Joko bergaul dengan anak lain. Misalnya kalau mereka bekerja dalam kelompok, dia sering memegang-megang tangan anak lain. Ada beberapa temannya yang mengeluh. Orang tua salah satu dari mereka menghubungi saya karena hal ini. Katanya anaknya sangat terganggu dipegang laki-laki lain. Saya heran guru di sekolahnya di Indonesia tidak pernah menjelaskan hal ini kepadanya.” Aku terperangah. Aku tahu pasti Joko tidak pernah bermasalah dalam bergaul dengan anak lain. Sejak pertama masuk sekolah, temannya selalu banyak. Aku lihat sendiri cara dia berbicara dan berlaku dengan anak lain sangat wajar dan menyenangkan. “Ibu harus mengerti, Joko sekarang kelas 6. Tugas kami tahun ini adalah mempersiapkan anak-anak untuk masuk junior high school tahun depan. Di sana keadaannya jauh berbeda secara akademik maupun sosial. Kalau ada anak yang kurang siap, bisa mempengaruhi seluruh kehidupan sekolahnya di masa depan . . .” Guru Joko bicara terus. Dia menyebut berbagai istilah psikologis yang artinya tidak jelas. Akan terpaksa aku cari dalam kamus nanti kalau bisa aku ingat bunyinya. Salah satu
ISSN - 2206-0596 (Online)
64
Aksara, Vol. 1 No. 1
January 2016
yang maknanya aku tahu adalah autistic. Autis! Anak yang tidak mampu berhubungan dengan orang lain karena gangguan perkembangan. Anak yang autis biasanya tidak bisa mengungkapkan perasaan mereka atau berkomunikasi seperti anak lain yang sama usianya. “Jadi untuk itu kami anjurkan supaya mulai semester depan Joko bekerja dengan psikolog sekolah dan dimasukkan ke kelas istimewa untuk anak dengan masalah seperti ini. Dengan begitu kami harap dia akan bisa mengejar ketinggalannya supaya siap masuk junior high tahun depan . . .” Akhirnya aku hanya bisa mengangguk lesu dan pulang tanpa berkata apa-apa. Bagaimana aku bisa melawan guru Joko dalam hal ini. Kalaupun aku bisa mengatakan semua yang ada dalam kepalaku, tentang pengalaman Joko di sekolah lamanya, bahwa dia punya teman banyak, bahwa nilainya tinggi-tinggi, bahwa gurunya tidak pernah merasa ada yang salah dengan dia, bahwa tidak pernah ada masalah seperti ini di keluarga kami, bahwa kami orang professional juga, orang terdidik, dan banyak lagi. Pandangan guru Joko lain dan dia sudah memutuskan seperti apa Joko berdasarkan pandangan dan penilaiannya tadi itu. Sejak pertemuan kemaren itu, aku tidak bisa memikirkan apa-apa kecuali masalah Joko dan perkataan gurunya. Tentu saja semua tidak bisa aku ceritakan kepada Mas Tanto. Dia akan bertanya bagaimana semua ini bisa terjadi dan aku baru tahu sekarang. Mungkin dia akan merasa aku menyembunyikan keadaan kami di Amerika selama ini atau barangkali dia akan melihat bahwa aku betul-betul tidak mengerti keadaan Joko. Pasti dia akan menyalahkanku karena memaksa mau ke sini dengan membawa Joko, kalaupun tidak diucapkannya secara terbuka. Memikirkannya saja aku mulai marah dengan Mas Tanto dan juga dengan diriku sendiri. Mengapa Mas Tanto harus begitu lunak. Kalau aku dilarang saja kuliah di luar negeri, pasti tidak akan terjadi hal seperti ini. Walaupun aku tahu Mas Tanto ingin aku senang dan juga mengerti pentingnya kesempatan kuliah ini bagiku, aku masih bayangkan kalau seandainya dia bilang tidak boleh dulu, alasan itu bisa aku pakai untuk menerangkan keadaanku kepada teman di fakultas. Ya, aku mau kuliah di luar negeri tapi suamiku melarang. Tentu istri yang baik akan menuruti kemauan suami . . . Sekarang semua yang aku impikan dulu sudah hancur. Tidak ada pilihan yang menyenagkan. Kalau kami terus di sini, Joko akan dimasukkan ke kelas istimewa untuk anak yang dianggap bermasalah. Keadaannya di sekolah jauh lebih parah dari yang aku bayangkan selama ini. Dia tidak pernah menceritakan semua ini tapi tiba-tiba aku sadar Joko pasti tidak tahu dia dianggap tidak normal. Sama dengan aku, dia tidak bisa menangkap makna yang sebenarnya dari hubungannya dengan orang di sini. Di samping itu, ada kemungkinan besar aku tidak akan lulus semua mata kuliah semester ini. Artinya akan harus diulang, yang akan memperpanjang masa kuliahku. Sistem PhD di universitasku cukup rumit dan di akhir masa kuliah yang seharusnya makan waktu dua tahun, setiap mahasiwa harus mengikuti sebuah ujian besar. Kalau lulus si mahasiswa dianggap boleh memulai risetnya, tapi banyak yang gagal di titik ini. Kalau pulang saja, artinya aku melepaskan beasiswa yang membiayai kuliahku dan kehidupan kami di sini. Sebenarnya banyak orang yang tidak tamat belajar di luar negeri, termasuk beberapa di fakultasku, tapi apa yang bisa aku bilang kepada orang-orang yang pasti akan bertanya. Aku begitu bangga dan yakin dulu, tiba-tiba pulang sesudah satu semester saja. Kalau alasanku Joko tidak senang, mereka pasti akan mengatakan dia bisa tinggal dengan bapaknya sementara aku kuliah di sini. Tapi selama ini Joko tidak pernah menyebut mau pulang ke Indonesia. Kalau dia bercerita kepada teman-teman tentang ISSN - 2206-0596 (Online)
65
Fabales – Terjebak Mimpi
pengalamannya di sini, cerita itu akan sampai ke telinga orang tua mereka juga. Sebagian dari orang tua mereka itu adalah temanku sehingga akan ketahuan ada yang aku sembunyikan. Rupanya aku harus mengaku tidak mampu menyelesaikan kuliah. Ini hal biasa, aku mencoba meyakinkan diriku. Tidak memalukan sama sekali dan aku tahu semua ini demi Joko. Terlintas dalam pikiranku apakah Joko akan bisa menyesuaikan diri kembali di Indonesia. Dulu dia tidak ada masalah sama sekali tapi pengalamannya di Amerika luar biasa. Susahnya barangkali lebih banyak dari senangnya. Kata orang, tidak ada pengalaman kita yang tidak berkesan. Ada kemungkinan sudah terjadi perubahan dalam diri anakku yang akan dibawanya selama hidup. Mungkin perubahan ini adalah apa yang dilihat gurunya yang dinilainya sebagai suatu kelainan. Sebentar lagi Joko akan pulang dari sekolah. Layar HPku yang dari tadi kuletakkan di meja sudah gelap. Menghemat tenaga baterai. Aku mengambilnya. Gerakanku membuat layarnya hidup kembali. Mudah sekali membuka internet mencari situs Garuda. Tinggal memilih jadwal penerbangan. 2015
Mimosa Fabales bekerja secara freelance sebagai konsultan dan sudah lama menetap di Amerika Serikat. Berminat menulis sejak remaja, dia sudah menerbitkan berbagai karya fiksi dan non-fiksi.
ISSN - 2206-0596 (Online)
66