DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12/DPD RI/I/2013-2014 TENTANG RANCANGAN UNDANG-UNDANG USUL INISIATIF DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR
JAKARTA 2013
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12/DPD RI/I/2013-2014 TENTANG RANCANGAN UNDANG-UNDANG USUL INISIATIF DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
: a. bahwa air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dapat memberikan manfaat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia sehingga pemanfaatannya harus dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa untuk mengelola dan memelihara ketersediaan sumber daya air maka diperlukan kebijakan pengelolaan sumber daya air yang mengedepankan pendekatan kemanusiaan dan kelestarian lingkungan dengan senantiasa memperhatikan fungsi sosial; c. bahwa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dipandang sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu dilakukan perubahan; d. bahwa salah satu kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah dapat mengajukan rancangan undangundang mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; e. bahwa berdasarkan ketentuan pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d diatas, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia melalui Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sesuai dengan lingkup tugasnya telah menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; f. bahwa rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada huruf e telah dilakukan harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi oleh Panitia Perancang Undang-Undang Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia untuk mewujudkan keselarasan konsep rancangan undang-undang dimaksud dengan Pancasila, tujuan nasional, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan memuat kesesuaian unsur filosofis, yuridis, sosiologis, serta politis; g. bahwa rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada huruf e telah disampaikan dan diputuskan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagai Rancangan Undang-
733
Undang Usul Inisiatif Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia untuk disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; h. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; Mengingat : 1. Pasal 22D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043); 4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah; 5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/DPD/2007 tentang Pedoman Umum Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;
Menetapkan
:
PERTAMA
:
KEDUA
:
KETIGA
:
Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-5 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Masa Sidang I Tahun Sidang 2013-2014 Tanggal 1 Oktober 2013 MEMUTUSKAN: KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG RANCANGAN UNDANG-UNDANG USUL INISIATIF DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR. Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Isi dan rincian rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Diktum Pertama, disusun dalam naskah terlampir yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan ini. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Oktober 2013 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA Ketua,
H. IRMAN GUSMAN, SE.,MBA Wakil Ketua,
GKR. HEMAS
734
Wakil Ketua,
DR. LAODE IDA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
BAGIAN PERTAMA NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR
JAKARTA 2013 735
736
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Air merupakan sumber daya yang sangat azasi dalam menopang kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Manusia dan makhluk hidup tidaklah dapat hidup tanpa air, sehingga air dapat dikatakan sebagai bagian dari hidup dan kehidupan. Selain untuk memenuhi kebutuhan langsung manusia dan makhluk hidup lainnya, sumber daya air (SDA) memiliki berbagai fungsi lainnya, antara lain untuk menghasilkan produk pertanian, produk industri, tenaga listrik, maupun untuk memenuhi kebutuhan lingkungan - yang pada hakekatnya - seluruhnya diperuntukkan bagi peningkatan kesejahteraan umat manusia. Kebutuhan air terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu dan sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan mereka. Sumber daya air dibagi menjadi dua: air laut dan air tawar. Air tawar (fresh water), yang dibutuhkan oleh makhluk hidup dan lingkungan, dihasilkan dari proses siklus hidrologi (hidrological cycle) dalam bentuk air hujan. Dengan rata-rata curah hujan 2.700 mm/tahun, Indonesia dikaruniai Allah Yang Maha Esa dengan potensi SDA yang sangat melimpah, yakni sebanyak 2.287 km3 (2,28 trilyun m3) air tawar setiap tahunnya (FAO, 2010). Namun, karena kerusakan permukaan bumi Indonesia, sebagian besar dari air tersebut berubah menjadi aliran permukaan (surface run-off), yang berpotensi menimbulkan banjir dan langsung mengalir ke laut, sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh manusia maupun makhluk hidup lainnya. Sebagai khalifah di atas permukaan bumi, manusia berperan sebagai manajer (pengelola) SDA dan sumber daya alam lainnya bagi sebesar-besarnya kesejahteraan umat manusia. Sumber daya air dan alam lainnya – di dalam sistem alami – memiliki karakteristik dan keterkaitan yang dinamis sifatnya. Oleh karena itu, pengetahuan dan pemahaman manusia akan karakteristik dan keterkaitan akan sumber daya air dan alam lainnya menjadi modal dasar bagi pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Mengingat ketersediaan SDA semakin lama semakin langka (scarce), sementara kebutuhannya terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, maka untuk menjamin pemanfaatan SDA secara efektif, efisien, berkeadilan dan berkelanjutan, diperlukan adanya undang-undang yang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan SDA tersebut secara komprehensif dan terintegrasi. Pemerintah Indonesia sesungguhnya telah mengatur pemanfaatan sumber daya alam, termasuk di dalamnya SDA. Bahkan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 33 ayat 3 menyatakan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Hal ini mengindikasikan bahwa negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi pemenuhan kebutuhannya. Bahkan, operasionalisasi dari pasal tersebut telah dirumuskan di dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 mengenai Sumber Daya Air. Namun, setelah sembilan tahun, pelaksanaan UU tersebut masih belum optimal dalam memperbaiki kondisi SDA di Indonesia dan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan hasil tinjauan pustaka, diskusi dan lokakarya, serta hasil uji sahih dan kunjungan kerja DPD ke berbagai daerah menunjukkan bahwa tidak optimalnya kinerja pengelolaan SDA ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain: lemahnya penegakan hukum (lack of law enforcement), kurang harmonisnya koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, kurang baiknya koordinasi lintas stakeholders yang membidangi SDA, terjadinya kekosongan atau tumpang tindih (overlapping) kewenangan diantara lembaga pengelola SDA, lemahnya kapasitas kelembagaan dan personal dari instansi pemerintah dalam mengelola SDA, kurangnya pembiayaan dalam pengembangan dan pemanfaatan SDA, serta faktor lainnya. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 telah mengamanahkan bahwa SDA memiliki fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan hidup yang harus diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras. Namun, pengelolaan SDA di Indonesia sering menimbulkan permasalahan sosial, ekonomi dan lingkungan. Bahkan, saat ini tampak adanya pergeseran posisi SDA dari fungsi sosial kepada fungsi ekonomi. Pergeseran ini telah mempengaruhi pola-pola pengelolaan SDA di negeri ini, sehingga berpotensi merugikan pihak-pihak tertentu, terutama masyarakat golongan ekonomi lemah, juga bertentangan dengan ketentuan internasional yang tercantum di dalam dokumen PBB General Comment No. 15 Tahun 2002 yang menyatakan air sebagai hak azasi manusia (United Nation Committee on Economic, Social and Cultural Rights, 2002). Di dalam General Comment No 15 dinyatakan bahwa hak atas air merupakan hak atas setiap orang untuk mendapatkan air secara cukup, aman, terjangkau, dapat diterima (layak), serta relatif mudah diakses. Meskipun Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang SDA dinilai jauh lebih komprehensif dibandingkan dengan peraturan pendahulunya, yakni Undang-Undang nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan, namun UU tersebut masih dihadapkan pada berbagai kelemahan, masalah dan kendala, baik dalam materi hukum maupun pelaksanaannya. Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut, maka diperlukan upaya-upaya penyempurnaan materi hukum Undang-
737
Undang nomor 7 tahun 2004, dalam rangka peningkatan kinerja sektor SDA di Indonesia dimasa mendatang. B. Identifikasi Masalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 sejatinya merupakan dasar hukum yang dapat memberikan kepastian, kemanfaatan dan keadilan hukum dalam pengelolaan SDA di Indonesia guna mencapai program pembangunan berkelanjutan yang akan menghasilkan sebesarbesarnya kemakmuran bagi seluruh masyarakat, sebagaimana diatur di dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Undang-Undang No. 7 tahun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan telah disahkan pada tahun 2004. Namun, ada empat faktor yang menjadi dasar pertimbangan diperlukannya perubahan terhadap Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang SDA ini: 1) Pengelolaan SDA sangat dinamis, karena air dipengaruhi oleh berbagai faktor alami maupun non-alami terkait dengan dampak aktivitas manusia. Disamping itu, ketersediaan air semakin terbatas, baik secara kuantitas maupun kualitas, namun kebutuhan akan air terus mengalami peningkatan. Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 masih belum mampu mengatasi berbagai permasalahan SDA di Indonesia karena kompleksitas persoalan dan perubahan paradigma terkait dengan pengelolaan SDA, seperti: semakin terbatasnya ketersediaan SDA, sementara kebutuhan terus mengalami peningkatan (masalah kuantitas); semakin meningkatnya pencemaran SDA (masalah kualitas); adanya ekses perkembangan nilai ekonomi air secara berlebihan; lemahnya koordinasi vertikal dan horizontal antar lembaga pengelola SDA; tuntutan tujuan pembangunan pembangunan berkelanjutan, dan lainnya. Beragam permasalahan nyata pengelolaan SDA sering timbul di tengah masyarakat, baik di perkotaan maupun perdesaan. Permasalahan di perkotaan umumnya mencakup: semakin sulitnya penyediaan air bersih untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, semakin mahalnya harga air, semakin meningkatnya pencemaran air di badan air, semakin seringnya kejadian kekeringan dan banjir, serta permasalahan lainnya. Permasalahan di perdesaan biasanya tidak separah permasalahan air di perkotaan, namun tetap sering terjadi, seperti: persaingan mendapatkan air (antara untuk air irigasi, air industri, air baku Perusahaan Daerah Air Minum), kekeringan dan banjir, pencemaran air limbah pertanian, dan lainnya. 2) Mengingat SDA merupakan barang publik yang memiliki fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan, ketersediaannya terbatas sementara kebutuhannya terus meningkat, maka pengaturan negara dalam pengelolaan air menjadi sangat diperlukan. Tanpa adanya pengaturan dari pemerintah, kinerja pengelolaan SDA akan semakin memburuk. Misalnya, tanpa adanya pengaturan oleh negara maka akan timbul keributan diantara masyarakat dalam mengalokasikan air permukaan (misalnya air sungai) untuk berbagai keperluan ketika terjadi kekeringan pada musim kemarau. Demikian juga, tanpa adanya pengaturan oleh negara, air tanah dangkal maupun air tanah dalam (shallow and deep groundwater) di perkotaan akan tersedot habis oleh perusahaan, perkantoran, hotel, niaga, industri dan perumahan. Ketika hal ini terjadi, akan menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat dan negara karena akan meningkatkan biaya pengambilan (pemompaan),menimbulkan penurunan muka air tanah (water table), intrusi air laut (sea water intrusion), pencemaran air tanah, penurunan muka tanah (land subsidence) dan lainnya, sebagaimana yang terjadi di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Oleh karena itu, Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 yang masih berlaku saat ini perlu dirubah untuk mengakomodasikan perkembangan ilmu dan teknologi serta paradigma terbaru di dalam pengelolaan SDA, sehingga mampu mencegah permasalahan-permasalahan yang sama berulang kembali dan sekaligus mengatasi permasalahan-permasalahan yang telah dan/ akan timbul pada saat ini maupun masa datang. 3) Perubahan Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 diperlukan karena memiliki rasionalitas berdasarkan pertimbangan filosofis, sosiologis dan yuridis. Berdasarkan pertimbangan filosofis, pengelolaan SDA ditujukan untuk memenuhi semua keperluan makhluk hidup di muka bumi ini karena SDA merupakan karunia Allah Yang Maha Kuasa bagi seluruh makhluk. Demikian pula, SDA harus dikelola dengan baik dengan mempertimbangkan fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan, juga harus terpadu antarsektor, antarwilayah dan antargenerasi, sehingga menghasilkan pemerataan dan keadilan di dalam masyarakat. Secara sosiologis, negara berperan dalam membina ketertiban, keamanan dan kesejahteraan seluruh masyarakat. Implikasinya, peraturan hukum yang berlaku pun harus menjamin peran negara tersebut. Terkait dengan SDA, tantangannya adalah bagaimana agar UU SDA mampu memberikan landasan hukum yang bisa menjamin tercapainya kesejahteraan sosial tersebut. Salah satu isu yang mengemuka terkait dengan pengelolaan air adalah masalah swastanisasi dan komersialisasi SDA yang muncul sebagai implikasi dari pasal 40 ayat 4. Dengan adanya peran swasta ini telah memunculkan masalah baru di masyarakat, karena air dikelola pihak swasta yang hanya mementingkan ekonomi pihak pengelola semata. Kondisi ini telah menimbulkan keresahan masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah. Dari aspek yuridis, kewenangan pemerintah dalam pengelolaan air sangatlah
738
penting. Oleh karenanya, diperlukan pengaturan kewenangan yang baik antar lembagapemerintah, secara vertikal maupun horizontal, dalam pengelolaan SDA. Apalagi, jika memperhatikan amanat UUD 1945 pasal 33 ayat 3, dimana pemerintah berkewajiban untuk dapat melakukan pengelolaan SDA dengan baik untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Ketika peraturan yang ada, UU no 7 tahun 2004, belum mampu merealisasikan tujuan ini, maka diperlukan adanya penyesuaian-penyesuaian untuk dapat mengatasi permasalahanpermasalahan implementasi yang ada. Hal ini menjadi semakin penting apabila dikaitkan dengan substansi otonomi daerah, dimana peraturan-peraturan yang dihasilkan daerah seringkali bertentangan, baik secara vertikal maupun horizontal. 4) Dengan memperhatikan ketiga faktor di atas, maka peraturan hukum yang menangani pengelolaan SDA di Indonesia, yakni UU nomor 7 tahun 2004, perlu dirubah (disesuaikan) untuk memperbaiki peraturan hukum yang masih memiliki kekurangan-kekurangan dan/ atau menambahkan peraturan baru untuk mengantisipasi kejadian dimasa datang. Dengan peraturan hukum yang lebih sempurna dan dapat dilaksanakan secara konsisten, diharapkan kinerja sektor SDA di Indonesia akan semakin baik di masa datang, dengan tujuan utama untuk mendukung tercapainya sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia, sebagaimana dimanatkan UUD 1945. Ruang lingkup pengaturan mencakup seluruh aspek pengelolaan SDA di Indonesia. Oleh karena itu, cakupan pengaturan di dalam UU SDA diwujudkan dalam pada pasal-pasal yang di dalam UU SDA. Arah pengaturan dalam pengelolaan SDA ditujukan untuk menghasilkan ketentuan-ketentuan hukum yang komprehensif dan terintegrasi, yang dapat dijadikan sebagai landasan bagi pengelolaan SDA di Indonesia, sehingga kinerja pengelolaan SDA di Indonesia akan menjadi lebih baik. C. Tujuan dan Kegunaan Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik perubahan Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dirumuskan sebagai berikut: (1) Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta cara-cara mengatasi permasalahan tersebut. (2) Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan perubahan UndangUndang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi dalam menangani permasalahan-permasalahan pengelolaan sumber daya air dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. 3) Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis dan yuridis perubahan Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. 4) Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam menyusun perubahan Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan atau referensi perubahan Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. D. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif, yakni dengan melakukan studi pustaka yang menelaah data sekunder, berupa Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan sumber daya air, putusan Mahkamah Konstitusi dan pengadilan, perjanjian atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian,dan referensi lainnya yang terkait dengan sumber daya air. Disamping hasil tinjauan pustaka di atas, penelitian ini juga dilengkapi dengan hasil rapat dengar pendapat, penyerapan aspirasi masyarakat, uji sahih ke beberapa daerah, serta dengan melakukan focus group discussion. Disamping kajian aspek hukum, yakni terhadap peraturan perundang-undangan mengenai sumber daya air dan peraturan lain yang terkait dengan sumber daya air di Indonesia, tinjauan pustaka juga dilakukan terhadap: teori pengelolaan sumber daya air ditinjau dari aspek teknis, sosial, ekonomi dan lingkungan, dan keterkaitannya dengan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Naskah Akademik yang disusun ini didasarkan pada kedua hal di atas, dengan tujuan utama bagaimana dapat dirumuskan suatu peraturan perundangan yang komprehensif dan terintegrasi yang dapat mendukung terciptanya good governance dalam praktik pengelolaan SDA, serta mengarahkan pengelolaan SDA di Indonesia dalam mencapai tujuan sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
739
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS A.
Kajian Teoritis Sumber daya air (SDA) saat ini harus dikelola dengan lebih baik dibandingkan masa-masa sebelumnya, karena pengelolaan SDA masa kini dihadapkan kepada berbagai masalah dan kendala yang dikhawatirkan akan mengarah kepada kondisi krisis air (water crisis). Berbagai hasil studi lembaga-lembaga penelitian di mancanegara (Food and Agricultural Organization, International Water Management Institute, World Bank, Asian Development Bank, dan lainnya) maupun domestik (Bappenas, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, dan lainnya) menunjukkan bahwa kondisi-kondisi SDA saat ini telah menunjukkan kondisi-kondisi krisis air, baik kuantitas maupun kualitas, yang disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya: semakin meningkatnya kompetisi dalam penggunaan SDA, meningkatnya pencemaran kualitas SDA, lemahnya upaya konservasi SDA, inefisiensi dalam penggunaan SDA, timbulnya masalah perubahan iklim (climate change), keterlambatan dalam pengembangan infrastruktur air, masalah koordinasi antar lembaga pengelola SDA, dan belum terbitnya Peraturan-peraturan Pemerintah yang menjelaskan secara lebih spesifik pasal-pasal tertentu dari UU SDA tersebut. Pada uraian di bawah ini akan disampaikan beberapa isu dan permasalahan SDA yang berpotensi mengarahkan kepada kondisi krisis sumber daya air di Indonesia. 1) Keseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan SDA Keseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan SDA merupakan isu sentral dalam pengelolaan SDA. Ketersediaan air tahunan dari hasil siklus hidrologi (hydrological cycle atau water cycle) secara umum relatif tetap. Namun, kebutuhan air oleh manusia dan makhluk hidup lain, serta lingkungan senantiasa mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, masalah alokasi SDA menjadi teramat penting dimasa mendatang karena tanpa adanya rasionalisasi dalam penggunaan (alokasi) SDA, dikhawatirkan menimbulkan berbagai masalah antarsektor, antarwilayah, antargenerasi, dan antarwaktu. Pada saat ini, neraca air (water balance atau keseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan air) di Pulau Jawa dan Bali sudah mengalami defisit. Data Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (1997)menunjukkan bahwa pada tahun 2015 diperkirakan defisit air akan meluas ke NTT (Nusa Tenggara Timur) dan Sulawesi (Tabel 1), walaupun secara nasional, Indonesia masih mengalami surplusair. Jika hal ini terjadi, maka akan sangat mengkhawatirkan karena pulau Jawa akan mengalami defisit air terbesar, terutama di musim kemarau. Hal ini terjadi, karena jumlah penduduk yang tinggal di Pulau Jawa mencapai 60% dari total penduduk Indonesia, sementara ketersediaan SDA hanya 6,3% dari total ketersediaan air nasional. 2) Masalah Kuantitas dan kualitas SDA. Dimensi permasalahan SDA saat ini sudah semakin kompleks, tidak sekedar masalah keseimbangan kuantitas air seperti pada isu pertama, tetapi juga sudah menyangkut masalah kualitas. Kualitas SDA mengalami degradasi (penurunan) pada satu atau dua dekade ini karena semakin meningkatnya limbah yang dihasilkan dan dibuang ke badan air, sehingga menimbulkan pencemaran sumber-sumber air, terutama sungai, danau, situ di perkotaan. Tingkat pencemaran air di beberapa daerah tertentu, misalnya di DKI Jakarta dan kota-kota besar lainnya, sudah sangat signifikan, sehingga nyaris tidakada lagi kehidupan di sungai-sungai, karena airnya tercemar berat. Tabel 1. Proyeksi Ketersediaan dan Kebutuhan Air Indonesia pada tahun 2015 No
Pulau
Ketersediaan (juta m3/th)
Kebutuhan Air (juta m3/th) 1995
2000
Surplus/Defisit Air (juta m3/th) 2015
1995
2000
2015
1.
Sumatera
111.077,7
19.164,8
25.297,5
49.583,2
91.912,9
85.780,2
61.494,5
2. 3. 4. 5.
Jawa Kalimantan Sulawesi Bali
30.569,2 140.005,6 34.787,6 1.067,3
62.927,0 5.111,3 15.257,0 2.574,4
83.378,2 8.203,6 25.555,5 8.598,5
164.672,0 23.093,3 77.305,3 28.719,0
-32.357,8 134.894,3 19.530,6 -1.507,1
-52.809,0 131.802,0 9.232,1 -7.531,2
-134.102,8 116.912,3 -42.517,7 -27.651,7
6.
NTB
3.508,6
1.628,6
1.832,2
2.519,3
1.880,0
1.676,4
989,3
7. 8. 9.
NTT Maluku Papua
4.251,2 15.457,7 350.589,7
1.736,2 235,7 128,3
2.908,1 305,2 283,4
8.797,1 575,4 1.310,6
2.515,0 15.222,0 350.461,4
1.343,1 15.152,5 350.306,3
-4.545,9 14.882,3 349.279,1
Indonesia
691.314,6
108.763,3
156.362,2
356.575,2
582.551,3
534.952,4
334.739,4
Sumber : Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1997, Keterangan: Ketersediaan air = aliran mantap (yang dapat dimanfaatkan)
740
Penurunan kualitas air dapat disebabkan oleh aktivitas penambangan atau penggalian sumber daya alam lainnya, seperti penambangan batu, pasir atau mineral lainnya. Misalnya, sungai-sungai di Kabupaten Bogor banyak mengalami penurunan kualitas air akibat penambangan emas serta bahan galian C lainnya; demikian juga kondisi sungai-sungai di Kalimantan Selatan atau Kalimantan Timur yang banyak mengalami kerusakan akibat kegiatan penambangan batu bara atau bahan tambang lainnya. Kegiatan tersebut telah mencemari sumber daya air yang ada di peraiaran sekitarnya. Ketika hal ini terjadi, masyarakatlah yang menderita kerugian, tanpa ada tanggung jawab dari para pelaku pertambangan. Hasil uji sahih DPD di Sumatera Barat dan Bali juga menunjukkan adanya masalah ini di lapangan. Contoh konflik SDA lainnya adalah dalam pemanfaatan air tanah di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Sebagian besar masyarakat memanfaatkan air tanah sebagai sumber air utama kebutuhan sehari-hari, namun masyarakat di wilayah tersebut sebagian menggantungkan pendapatannya dari penambangan batu kapur di daerah kars. Masyarakat yang bergantung penuh terhadap mata air yang mengalir pada kawasan kars tersebut tentu saja khawatir kegiatan penambangan batu kapur pada wilayah tersebut akan membahayakan kehidupan mereka terutama pada pemenuhan kebutuhan akan air. 3) Konservasi dan Pengelolaan SDA Terpadu Kuantitas dan kualitas SDA dapat mengalami penurunan karena sebab-sebab tertentu, misalnya akibat bencana alam, kerusakan (penggundulan) hutan di wilayah hulu (water catchment area), aktivitas pertambangan, serta pencemaran yang diakibatkan oleh tindakan manusia lainnya, termasuk di dalamnya pembuangan sampah ke badan-badan air, baik sungai maupun waduk atau embung. Kerusakan lingkungan di sekitar SDA akan mengancam potensi dan keberlanjutan supply(pasokan) SDA tersebut. Untuk mengatasi masalah ini, maka manusia harus melakukan upaya-upaya konservasi untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan dimana SDA tersebut dihasilkan. Pengembangan SDA dalam jangka panjang harus memperhatikan dan menerapkan ekosistem sebagai kendala utama yang membatasi ruang-gerak pembangunan (Salim, 2007). Tanpa adanya kendali ekosistem dalam pembangunan, hanya akan menimbulkan kerugian bagi masyarakat dalam jangka panjang, karena potensi biaya yang ditimbulkan dapat melebihi dari manfaat yang dihasilkannya. Munculnya konsep sustainable development (pembangunan berkelanjutan) oleh World Commission on Environment and Development pada tahun 1983 merupakan response atas kesalahan-kesalahan dalam pengelolaan (mismanagement) sumber daya alam pada masa sebelumnya yang hanya mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, tanpa mengindahkan kondisi lingkungan dan sosial. Konservasi SDA sangat penting dilakukan mengingat tingkat kerusakan dan pencemaran SDA cenderung mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Kerusakan lingkungan akibat penebangan hutan atau kegiatan pertambangan terus meningkat, baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa; akibatnya produksi dan kualitas SDA terus mengalami penurunan. Sumber mata air Ciburial di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, misalnya, merupakan salah satu sumber utama air bagi masyarakat di Kabupaten Bogor. Mata air ini dikembangkan pertama kali tahun 1922, sebelum Indonesia merdeka oleh Belanda. Saat itu, kapasitas produksi (debit) mata air Ciburial adalah sebesar 650 liter/detik dan dialirkan hingga ke Batavia (bahkan hingga ke Istana Negara Jakarta) untuk memenuhi kebutuhan bangsawan Belanda yang tinggal di sana. Saat ini, debit air mata air Ciburial telah menurun hingga kurang dari 400 liter per detik akibat penebangan pepohanan di daerah hulu dan penambangan batu dan pasir (galian C) di sekitar lokasi mata air. Namun demikian, sumber mata air tersebut tetap menjadi tulang punggung bagi PDAM Kabupaten Bogor dalam memenuhi kebutuhan air bagi pelanggannya, yang telah mencapai 150.000 sambungan baik di Kabupaten Bogor, Kota Bogor, maupun Kota Depok. Jika hal ini terus berlangsung tanpa adanya upaya-upaya perbaikan dalam pengelolaan lingkungan, maka dalam jangka panjang potensi SDA akan terus menurun, sehingga berpotensi menimbulkan kekeringan. Sebaliknya, akibat kerusakan lingkungan tersebut, akan menimbulkan banjirketika musim hujan, karena menurunnya daya resap air akibat permukaan bumi dan lingkungan yang telah rusak. Masalah banjir Jakarta tidak lepas dari kondisi sumber daya alam di Kabupaten Bogor, juga Kabupaten Cianjur, karena sistem perairan di BOPUNCUR (Bogor-Puncak-Cianjur) merupakan sistem tata air yang terintegrasi secara alami. Pencegahan banjir tahunan Jakarta seyogyanya tidak hanya dilakukan melalui upaya-upaya pencegahan di Jakarta, tetapi dengan mengatasi masalah-masalah dari sumbernya, yakni di Kawasan BOPUNCUR itu sendiri, dengan melakukan perbaikan kerusakan sumber daya alam (hutan) di daerah ini, karena BOPUNCUR merupakan watershed bagi Kota Bogor dan Jakarta. Wilayah Selatan Jakarta relatif memiliki potensi SDA yang lebih bagus dibandingkan dengan Wilayah Utara Jakarta akibat adanya aliran air permukaan dan air bawah tanah dari kawasan BOPUNCUR. Ketika wilayah BOPUNCUR rusak, maka Jakarta akan terus dilanda banjir di musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau. Pembuangan limbah domestik dan industri ke sungai dan perairan yang terus meningkat juga akan menimbulkan penurunan kualitas air, yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi umat manusia, karena air tidak lagi dapat dipergunakan (dikonsumsi) secara langsung oleh manusia, meningkatkan biaya pengolahan air bersih bagi PDAM, serta menimbulkan banjir di daerah hulu sungai. Sumber daya air yang tercemar oleh buangan industri, rumah tangga dan
741
kotoran manusia, seperti yang banyak terjadi di kota-kota besar di Jawa, akan sangat merugikan kesehatan masyarakat karena menimbulkan berbagai sumber penyakit (water born diseases). Ketiadaan sistem pengelolaan air limbah (waste water management), bahkan di kota-kota besar sekalipun, semakin memperparah kondisi pencemaran yang ada. Akibatnya, potensi kerugian masyarakat dapat sangat besar, karena tidak saja masyarakat harus mengeluarkan biaya yang mahal untuk konsumsi air minum dalam kemasan serta biaya pengobatan akibat pencemaran air, tetapi juga kehilangan pendapatan akibat penurunan produktivitas kerja. Upaya-upaya konservasi dan pelestarian SDA merupakan jawaban yang sangat tepat jika kita tidak mau mengalami penurunan kuantitas dan kualitas air dimasa mendatang. Upaya-upaya pengelolaan SDA secara terintegrasi (integrated water management) merupakan kunci dalam pengelolaan SDA. Pengelolaan SDA yang terintegrasi meliputi pengelolaan sistem alami maupun sistem non-alami. Keterpaduan pengelolaan sistem alami mencakup: (1) keterpaduan antara kuantitas dan kualitas, (2) keterpaduan antara daerah hulu dan daerah hilir, (3) keterpaduan antara air hujan, air permukaan dan air tanah, serta (4) keterpaduan antara penggunaan lahan dan pendayagunaan air; sementara keterpaduan pengelolan sistem non-alami mencakup: (1) keterpaduan antar sektor, (2) keterpaduan antar semua pihak terkait, dan (3) keterpaduan antar wilayah administrasi, baik secara horizontal maupun vertikal (Sjarief dkk, 2007). Pemahaman mengenai pengelolaan SDA yang terintegrasi ini harus diakomodasikan di dalam UU SDA Indonesia serta peraturan-peraturan turunannya. 4) Eksploitasi Air Tanah Berlebihan Air tanah memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Air tanah dan air minum PDAM merupakan dua komoditas yang bisa bersubstitusi secara sempurna. Mengingat masih rendahnya cakupan layanan dari sekitar 410 PDAM di Indonesia (yakni sekitar 24 persen dari total jumlah penduduk), maka sebagian besar masyarakat menggunakan air tanah sebagai pemuas kebutuhan mereka. Apalagi di daerah perdesaan, di mana layanan PDAM belum menjangkau mereka, hampir seluruh masyarakat praktis memanfaatkan air tanah atau air mata air untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Eksploitasi (pemanfaatan) air tanah yang berlebihan memiliki potensi dampak negatif, apalagi di daerah dekat dengan pantai; karena akan menimbulkan rembesan air laut (sea water intrusion) ke daratan, menggantikan posisi air tanah yang telah tereksploitasi. Eksploitasi air tanah di kota-kota besar dekat pantai, seperti Jakarta, Semarang, Denpasar dan Surabaya, lebih membahayakan lagi, karena volume air tanah yang dieksploitasi sangatlah besar. Di daerah seperti ini, tidak hanya rumah tangga, tetapi industri, perkantoran, hotel, rumah makan, dan lainnya juga menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibatnya, ketersediaan air tanah menjadi berkurang, muka air tanah (water table) mengalami penurunan, permukaan tanah juga menurun (land subsidence), dan air tanah menjadi tercemar sehingga tidak layak konsumsi. Jakarta, ibukota negara Republik Indonesia, tidak terlepas dari masalah groundwater overexploitation (eksploitasi air tanah yang berlebihan) ini. Dengan jangkauan layanan PAM Jaya kurang dari 50 persen, praktis masyarakat Jakarta (rumahtangga, hotel, rumah makan, perkantoran, komersial dan lainnya) mengeksploitasi air tanah yang ada di bawah permukaan tanah mereka. Bagi lembaga-lembaga besar (hotel, industri dan lainnya), mereka akan mengeksploitasi air tanah dalam (deep groundwater), dengan kedalaman air tanah lebih dari 40 meter hingga ratusan meter di bawah permukaan tanah dan dengan kapasitas pompa (sedot) air yang sangat besar. Akibat dari deep groundwater exploitation lebih serius lagi, tidak sekedar sea water intrusion, tetapi juga bisa menimbulkan land subsidence, yang dapat menyebabkan keretakan bahkan ambruknya bangunan. Sejak tahun 2009 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengeluarkan kebijakan baru mengenai biaya/pajak air tanah yang peningkatan biayanya cukup signifikan, namun belum sepenuhnya efektif untuk mengurangi dampak yang sudah terlanjur terjadi.Pencemaran air tanah oleh air laut berdampak buruk bagi masyarakat, karena air bawah tanah tersedia namun telah tercemar oleh air laut, sehingga tidak layak konsumsi. Akibatnya, mereka (terutama masyarakat berpenghasilan rendah dan tidak terjangkau layanan PAM Jaya) harus mengandalkan sumber air lainnya, terutama air hidran umum atau air minum dalam kemasan, yang memiliki harga jauh lebih mahal dibandingkan dengan air PAM Jaya. Masyarakat miskin di Jakarta Utara dan Jakarta Barat biasa mengkonsumsi air hidran umum dalam jerigen (sekitar 20 liter) dengan harga Rp 1.000 hingga Rp 1.500. Artinya, mereka membeli air dengan harga Rp 50.000 hingga Rp 75.000 per m3, sementara masyarakat lebih mampu yang berlangganan air PAM Jaya cukup membayar tarif air rata-rataRp 5.000 per m3. Permasalahan akan semakin kompleks manakala di perkotaan tersebut tidak ada sistem sanitasi (sistem pembuangan air limbah) yang baik. Pada daerah ini, air tanah berpotensi tercemar kotoran manusia dari septic tank yang ada hampir di setiap rumah penduduk, karena belum adanya sistem pembuangan air limbah di Indonesia. Kondisi ini akan sangat merugikan kesehatan masyarakat dan menimbulkan biaya besar. Secara umum dapat dikatakan bahwa eksploitasi air tanah yang berlebihan tidak hanya menimbulkan peningkatan biaya internal (berupa biaya penambangan atau pemompaan)untuk eksploitasi air tanah, tetapi juga menimbulkan biaya-biaya eksternal (external costs, seperti dampak pencemaran, land subsidence dan lainnya)
742
- yang nilainya seringkali jauh lebih tinggi dari pada biaya internalnya. Untuk mengatasi hal ini, maka peningkatan kapasitas air bersih (air minum) PDAM serta penanganan air limbahnya menjadi sangat penting. Investasi yang diperlukan untuk kedua hal ini memang besar, namun hal ini merupakan kewajiban pemerintah dalam rangka menjalankan amanah konstitusi untuk melayani kepentingan rakyat, yakni untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Juga, manfaat dari investasi pada infrastruktur ini akan jauh lebih besar dari pada potensi biaya-biaya eksternal yang ditimbulkannya. Sayangnya, penanganan air permukaan, air tanah dan air limbah secara terintegrasi belum terumuskan secara baik di dalam UU no 7 tahun 2004. Oleh karena itu, pendekatan integrated water management yang lebih definitif menjadi penting untuk mengatasi permasalahanpermasalahan yang ada dan sekaligus memenuhi kebutuhan air dimasa datang. 5) Inefisiensi dalam Pemanfaatan SDA Ketika kondisi SDA yang layak semakin terbatas ketersediaannya, sementara kebutuhan SDA semakin meningkat, maka aspek efisiensi menjadi sangat penting dalam pengelolaan SDA. Efisiensi menyangkut dua aspek, yaitu produksi dan distribusi. Pada sektor air minum, PDAM umumnya memiliki tingkat efisiensi yang cukup tinggi dalam proses produksi (water treatment), namun dalam hal distribusi air, tingkat efisiensinya masih rendah. Hal ini terjadi karena tingginya tingkat kebocoran (leakage) dalam distribusi air (water distribution). Tingkat kebocoran air minum masih relatif tinggi, antara 30% hingga 50% dari total volume air yang dihasilkan, baik akibat kebocoran teknis (technical leakage), sambungan illegal (illegal connection), atau faktor lainnya. Akibatnya, air yang terdistribusi - namun tidak menjadi rekening tagihan PDAM (non-revenue water) juga menjadi tinggi. Ini juga merupakan salah satu faktor penyebab banyaknya PDAM di Indonesia yang merugi. Misalnya, non-revenue water di PDAM Kabupaten Bogor, yang nota bene salah satu PDAM terbaik di Indonesia, tingkat kebocoran yang terjadi masih di atas 30%. Artinya, dari setiap 100 m3 air bersih yang dihasilkan dan didistribusikan, yang sampai ke konsumen danmenjadi “uang” (tertagih) kurang dari 70 m3 saja. Sistem distribusi air irigasi teknis – yang dibangun pemerintah dengan biaya mahal – saat ini tingkat efisiensinya telah menurun secara signifikan akibat banyaknya fasilitas irigasi yang rusak, baik saluran primer, sekunder maupun tersier, sebagaimana terjadi di saluran irigasi yang berasal dari Waduk Jatiluhur (Jawa Barat) maupun Waduk Juanda (Jawa Timur). Akibatnya, tingkat penggunaan air menjadi tidak efektif. Rusaknya infrastruktur irigasi akibat rendahnya alokasi biaya operasi dan perawatan (operation and maintenance) merupakan salah satu penyebab rendahnya efisiensi distribusi air irigasi saat ini. Untuk mengatasi semakin menurunnya ketersediaan air, maka efisiensi produksi dan distribusi air harus dapat ditingkatkan, dengan mengalokasikan pembiayaan yang memadai untuk menjaga fungsi infrastruktur irigasi tersebut. Ketika era Orde Baru, pemerintah masih mengalokasikan biaya operasi dan perawatan jaringan irigasi secara rutin, namun saat ini biaya ini tidak dialokasikan lagi. Akibatnya kondisi infrastruktur irigasi semakin memburuk, dan semakin banyak lahan-lahan sawah yang tidak teraliri air irigasi. Sektor pertanian merupakan pengguna air tertinggi di Indonesia, diikuti oleh sektor municipality (air baku yang diolah oleh PDAM untuk menghasilkan air bersih (air minum) untuk didistribusikan ke masyarakat), serta sektor industri. Dari total konsumsi air di Indonesia sebesar 113.29 km3 pada tahun 2000, 82 persen diantaranya digunakan untuk keperluan produksi pertanian (irigasi), sementara sektor municipality mengkonsumsi sebesar 12 persen, dan sektor industri mengkonsumsi sebesar 6 persen (FAO, 2010). Proporsi penggunaan air oleh ketiga sektor ini ditampilkan pada Gambar 1. Transformasi dalam penggunaan air umumnya terjadi dengan semakin majunya suatu negara. Dengan semakin intensifnya industrialisasi di suatu negara (daerah), umumnya proporsi penggunaan air untuk pertanian akan mengalami penurunan, sementara alokasi air untuk municipality dan industri terus mengalami peningkatan.
Gambar 1. Proporsi penggunaan air untuk berbagai kegiatan di Indonesia, tahun 2000
743
Dengan semakin banyaknya masyarakat yang tinggal di perkotaan, semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan semakin beragamnya keperluan masyarakat terhadap air, maka kebutuhan air bersih untuksektor municipality dan industri akan terus meningkat. Dengan demikian – mau tidak mau – sektor pertanian harus lebih efisien dalam menggunakan air irigasi: bagaimana menghasilkan lebih banyak bahan pangan dengan menggunakan lebih sedikit air (how to produce more food with less water). Sistem irigasi yang lebih efisien sudah banyak dihasilkan di negara-negara maju, namun di Indonesia dihadapkan kepada masalah kemampuan petani dalam mengadopsi teknologi irigasi tersebut. Sebagai gambaran, saat ini, untuk menghasilkan 1 kg padi (gabah) diperlukan sekitar 2 m3 (2.000 liter) air irigasi (catatan: pada Tabel 2 tercantum 2.150 liter untuk menghasilkan satu kilogram padi). Artinya, jika produktivitas lahan adalah 4.000 kg padi per hektar, maka diperlukan air irigasi sebanyak 8.000 m3 per hektar per musim tanam (sekitar 100 hari). Jika saat ini (2012) Indonesia menghasilkan 60 juta ton padi, maka diperlukan sekitar 480 milyar m3 air irigasi per tahun – hanya untuk menghasilkan padi. Sungguh suatu volume yang sangat besar. Belum lagi untuk menghasilkan bahan pangan lainnya, seperti jagung,kedelai, sayuran, buah-buahan, daging, telur, susu, dan produk-produk pertanian lainnya.Kebutuhan daging juga terus meningkat dengan semakin membaiknya kondisi ekonomi masyarakat. Namun, peningkatan kebutuhan daging tersebut memerlukan air dalam jumlah yang lebih besar, karena untuk menghasilkan 1 kg daging ayam diperlukan 5.543 liter air, sementara 1 kg daging sapi diperlukan 14.818 liter air. Tabel 2 menyajikan estimasi keperluan air (virtual water) untuk menghasilkan beberapa jenis bahan pangan. Tabel 2. Kebutuhan Air untuk Menghasilkan Beberapa Produk Pertanian Produk
Cina
Indonesia
(L/kg)
(L/kg)
Rata-rata dunia (L/ kg)
Padi
1.310
2.150
2.300
Beras
1.972
3.209
3.400
Jagung
801
1.285
900
Kedelai
2.614
2.030
1.800
Kelapa
749
2.071
2.550
Kopi bubuk
7.488
21.030
21.000
Daging sapi
12.560
14.818
15.500
Telur
3.550
5.400
3.300
Daging ayam
3.652
5.543
3.900
Semakin meningkatnya kebutuhan air irigasi ini menuntut adanya sistem alokasi SDA yang lebih rasional, sesuai dengan prioritasnya. Kondisi ini menuntut adanya regulasi yang lebih ketat dalam pengalokasian SDA, antara untuk pertanian rakyat (mencakup pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan), kebutuhan air minum, kebutuhan air industri dan kebutuhan air lingkungan. Sebagai pembanding, Australia merupakan salah satu negara yang memiliki aturan yang ketat terkait alokasi sumberdaya air. Berdasarkan hasil kunjungan Komite II DPD RI ke Australia, negara tersebut memiliki dua undang-undang pengaturan sumberdaya air yaitu Water Act dan Water Industry Act. Aturan ini mengatur penggunaan air dengan memisahkan secara tegas antara kebutuhan air untuk rumah tangga dengan kebutuhan air untuk industri. Terkait dengan pengawasan penggunaan air untuk irigasi, Pemerintah Australia menerapkan sanksi yang tegas dan ketat bagi para petani yang kedapatan melakukan penyelewengan dan pencurian air irigasi dengan penggunaan deteksi ukuran air berteknologi yang terhubung secara integratif. 6) Komersialisasi dan Privatisasi SDA Privatisasi (swastanisasi) merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan adanya pergeseran dalam pemilikan dan pengelolaan suatu sumber daya (barang dan jasa) dari sektor publik (negara) ke sektor swasta (perusahaan domestik maupun asing). Privatisasi pengelolaan SDA marak terjadi di mancanegara sekitar tahun 1980-an. Privatisasi ini dipicu oleh dua faktor, faktor pendorong dan faktor penarik (push and pull factors). Faktor pendorong terjadinya privatisasi biasanya disebabkan oleh buruknya kinerja perusahaan negara (state own enterprises) dalam mengelola barang publik tertentu, misalnya air minum, listrik, gas atau lainnya. Di Indonesia, pengelolaan air minum, misalnya, sebagian besar dilakukan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), yang dimiliki dan dioperasikan oleh pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/ kota. Ada indikasi bahwa perusahaan-perusahaan negara/ daerah ini memiliki kinerja kurang memuaskan, yang ditunjukkan oleh karaketristik: tidak efisien, birokratis, merugi, modal terbatas, sarat dengan kolusi, korupsi dan nepotisme, dan stigma negatif lainnya; sehingga menimbulkan kesan “jika perusahaan ini dikelola oleh swasta, kinerjanya akan meningkat” (Syaukat, 2000).
744
Faktor penarik terjadinya swastanisasi adalah adanya persepsi (image) yang bagus (positif) dari perusahaan-perusahaan swasta, seperti: efisien, memiliki profesionalisme tinggi, modal kuat, inovasi tinggi, menguntungkan, dan image positif lainnya. Masyarakat umum berpandangan bahwa seandainya perusahaan-perusahaan swasta ini diberi kesempatan untuk mengelola usaha yang saat ini dilaksanakan oleh perusahaan negara, maka kinerja perusahaan negara tersebut akan lebih baik. Dalam praktiknya, privatisasi perusahaan air minum di berbagai mancanegara ada yang menunjukkan perbaikan kinerja, ada juga yang gagal. Privatisasi PAM Jaya di Jakarta merupakan salah satu contoh privatiasasi yang gagal. Hal ini terjadi karena berbagai faktor, antara lain yang terpenting adalah akibat tidak transparannya pemilihan perusahaan konsesi yang akan mengambil alih operasi PAM Jaya. Bukannya dipilih melalui proses bidding (tender) yang terbuka dan transparan, perusahaan penerima konsesi justru ditunjuk secara langsung oleh Presiden, sehingga tidak terjadi “competition for the field”, yaitu kompetisi dalam penentuan perusahaan pemenang yang menawarkan program kerja terbaik dan output terbaik, misalnya skema rencana investasi dan pengembangan PAM Jaya, serta tarif air minum yang akan dikenakan (Syaukat, 2000). Masalah privatisasi ini mulai muncul di Indonesia sebagai konsekuensi dari diterapkannya Undang-Undang nomor 7 tahun 2004, dimana pada pasal 40 ayat 4 dinyatakan “Koperasi, badan usaha swasta dan masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum”. Pasal ini sering dikatakan sebagai “pintu masuk” privatisasi air minum di Indonesia. Sebenarnya privatisasi ini memiliki beberapa bentuk, seperti penjualan asset perusahaan Negara kepada perusahaan swasta nasional atau asing (sale of assets),kerjasama antara perusahaan Negara dan perusahaan swasta dalam penyediaan suatu barang public tertentu (public-private partnership) atau partisipasi perusahaan swasta dalam penyelenggaraan suatu barang public tertentu (private sector participation). Mengingat kondisi saat ini pengusahaan air minum di Indonesia diselenggarakan oleh perusahaan milik pemerintah daerah (yakni PDAM), maka yang lebih cocok untuk diaplikasikan di Indonesia adalah metode public-private partnership. Namun, peran pemerintah (daerah) sebagai pemegang hak guna usaha air serta pemilik dan pengelola assets harus tetap dominan, sehingga kepentingan masyarakat tetap diutamakan. Perusahaan swasta dalam hal ini berperan dalam penyediaan dana investasi dan teknologi maju yang diperlukan dalam pengembangan penyediaan dan pelayanan air mimum dan/atau air limbahnya. Masalah komersialisasi air juga banyak terjadi, khususnya di perkotaan dengan maraknya jumlah perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) yang beroperasi di Indonesia. Perusahaanperusahaan AMDK berlomba-lomba mengeksploitasi SDA, khususnya air mata air atau air tanah, untuk dijual kepada konsumen dengan harga yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga jual air minum PDAM.Hal ini terjadi karena perusahaan hanya mengutamakan keuntungan semata tanpa mempertimbangkan aspek sosial dari SDA. Eksploitasi SDA ini seringkali menimbulkan masalah bagi masyarakat di sekitarnya. Penguasaan mata air oleh perusahaan swasta di Kabupaten Sukabumi, misalnya, telah merugikan masyarakat sekitar, karena mereka tidak lagi memiliki akses untuk memanfaatkan sumber mata air tersebut, ketersediaan air tanah berkurang (ditunjukkan dengan kedalaman muka air tanah di sumur yang semakin dalam), berkurangnya air irigasi perdesaan untuk mengairi sawah, serta banyaknya jalan yang rusak akibat beroperasinya truk-truk pengangkut air minum. Kondisi serupa juga terjadi di wilayah lainnya seperti masyarakat di sekitar mata air Pandaan Jawa Timur, sumber mata air Grobogan di Jawa Tengah. Terkait dengan usaha AMDK ini, pengaturan dari pemerintah (daerah) dalam pemberian hak guna usaha air harus lebih ketat (misalnya kapasitas air yang diusahakan disesuaikan dengan kapasitas produksi alami dan sistem alokasi air di wilayah setempat) dan disertai dengan kewajiban-kewajiban ekonomi, sosial dan lingkungan bagi perusahaan yang beroperasi. B. Peraktis Empiris Pasal 6 Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 menyatakan bahwa materi muatan suatu Undang-Undang harus mencerminkan azas: pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhineka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, serta keseimbangan, keserasian dan keselarasan. Khusus untuk sumber daya air, Pasal 2 Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 menyatakan bahwa “sumber daya air dikelola berdasarkan azas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas”. Pengertian dari azas-azas ini (penjelasan pasal Undang-Undang SDA) adalah sebagai berikut: a) Azas kelestarian mengandung pengertian bahwa pendayagunaan SDA diselenggarakan dengan menjaga kelestarian fungsi SDA secara berkelanjutan; b) Azas keseimbangan mengandung pengertian keseimbangan antara fungsi sosial, fungsi lingkungan hidup, dan fungsi ekonomi; c) Azas kemanfaatan umum mengandung pengertian bahwa pengelolaan SDA dilaksanakan untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan umum secara efektif
745
dan efisien; d) Azas keterpaduan dan keserasian mengandung pengertian bahwa pengelolaan SDA dilakukan secara terpadu dalam mewujudkan keserasian untuk berbagai kepentingan dengan memperhatikan sifat alami air yang dinamis; e) Azas keadilan mengandung pengertian bahwa pengelolaan SDA dilakukan secara merata ke seluruh lapisan masyarakat di wilayah tanah air, sehingga setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk berperan dan menikmati hasilnya secara nyata; f) Azas kemandirian mengandung pengertian bahwa pengelolaan SDA dilakukan dengan memperhatikan kemampuan dan kunggulan sumber daya setempat; g) Azas transparansi dan akuntabilitas mengandung pengertian bahwa pengelolaan SDA dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. C. Kajian terhadap Praktik Pengelolaan Sumber Daya Air, serta Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat Setelah sembilan tahun implementasi, Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 masih belum mampu dilaksanakan secara konsisten, sehingga kondisi SDA di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai masalah dan kendala. Hasil kajian terhadap Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 menghasilkan adanya tujuh isu dan masalah utama, mengapa hal tersebut terjadi, yang pada akhirnya menyebabkan diperlukannya perubahan terhadap substansi (materi) hukum UU tersebut. Tujuh isu dan masalah tersebut adalah sebagai berikut: 1) Belum Lengkapnya Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden/Menteri yang Sebagai Aturan Penjelas Undang-undang No 7 tahun 2004 Banyak pasal dalam batang tubuh Undang-undang No 7 tahun 2004 memerlukan penjelasan dalam bentuk peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden atau keputusan Menteri agar lebih operasional. Secara umum, Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 memerlukan adanya 49 Peraturan Pemerintah, 3 Keputusan Presiden dan 1 Keputusan Menteri sebagaimana tercantum di dalam Tabel 3. Mengingat Undang-Undang hanya memberikan aturan umum, maka tanpa adanya peraturan yang lebih operasional tersebut, maka Undang-undang tidak dapat diimplementasikan secara optimal di lapangan. Tabel 3. Pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 yang Memerlukan adanya Peraturan Pemerintah No
746
Bab
Pasal
Uraian
1
I. Ketentuan Umum
7
Penjelasan hak guna
2
8
Hak guna tanpa izin untuk perorangan dan pertanian
3
9
Hak guna kepada perseorangan atau badan usaha
4 5
11 12
Pola Pengelolaan SDA disusun oleh semua stakeholders Air permukaan dan air tanah
6
II. Wewenang dan Tanggung jawab
13
Kriteria wilayah sungai dan cekungan air tanah
7
21
Perlindungan dan pelestarian
8
III. Konservasi Sumber Daya Air
22
Pengawetan air
9
23
Pengelolaan kualitas
10
25
Pelaksanaan konservasi
11
IV. Pendayagunaan SDA
27
Zona pemanfaatan dan peruntukan sumber air
12
28
Penetapan peruntukan air
13
29
Penyediaan SDA
14
30
Pelaksanaan penyediaan SDA
15
32
Penggunaan SDA
16
36
Pengembangan sungai, rawa dan danau
17
37
Air tanah
18
38
Pengembangan fungsi dan manfaat air hujan
19
39
Pengembangan fungsi dan manfaat air laut
20
40
Pemenuhan kebutuhan air baku untuk air minum rumah tangga
21
41
Pemenuhan kebutuhan air baku untuk pertanian
22
42
Pengembangan SDA untuk industri dan pertambangan
23
43
Pengembangan SDA untuk keperluan ketenagaan
24
44
Pengembangan SDA untuk perhubungan
25
45
Pengusahaan SDA
26
47
Pengawasan mutu pelayanan
27
48
Syarat pengusahaan SDA
28
50
Pengusahaan SDA
29
V. Pengendalian Daya Rusak Air
51
Pengendalian daya rusak air
30
52
Larangan usaha penyebab terjadinya daya rusak air
31
53
Cara pencegahan
32
54
Cara penanggulangan
33
57
Pemulihan daya rusak air
34
58
Pengendalian air permukaan dan air tanah
35
VI. Perencanaan
60
Prosedur perencanaan
36
61
Inventarisasi SDA
37
62
Instansi penyusun rencana pengelolaan SDA
38
63
Pelaksanaan berdasar norma, standar, pedoman dan manual
39
VII. Pelaksanaan Konstruksi, Operasi dan Pemeliharaan
64
Operasi dan pemeliharaan
40
VIII. Sistem Informasi SDA 66
Jaringan informasi
41
67
Penyelenggara informasi
42
68
Pengelolaan sistem informasi
43
IX. Pemberdayaan dan Pengawasan
70
Pemberdayaan stakeholders
44
75
Pengawasan
45
X. Pembiayaan
77
Biaya dan penganggaran
46
78
Yang membiayai
47 48
79 80
Biaya usaha oleh stakeholders, sosial oleh pemerintah Pengguna dan biaya jasa
49
XI. Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat
84
Peran masyarakat
Tabel 4. Pasal-pasal Undang-UndangNomor 7 tahun 2004 yang Memerlukan adanya Keputusan Presiden/ Menteri No
Bab
Pasal
Uraian
1
II. Wewenang dan Tanggung jawab
13 (1)
Wilayah sungai dan cekungan air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan keputusan presiden Bencana akibat daya rusak air yang berskala nasional ditetapkan dengan keputusan presiden
2 V. Pengendalian Daya Rusak Air
55 (2)
3 XII. Koordinasi
84 (4)
Susunan organisasi dan tata kerja wadah koordinasi diatur lebih lanjut dengan keputusan presiden
4
87 (5)
Pedoman mengenai pembentukan wadah koordinasi pada tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan wilayah sungai diatur lebih lanjut dengan keputusan menteri yang membidangi sumber daya air
Beberapa Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden/Menteri telah dibuat dalam memenuhi kebutuhan aturan tambahan ini. Hanya saja, masih masih banyak Peraturan Pemerintah yang belum dibuat untuk dapat memenuhi kekurangan dalam aturan tersebut. Masalah lainnya adalah, Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden/Menteri yang telah dibuat terkadang tidak sejalan dengan materi pasal-pasal Undang-Undangitu sendiri, atau bertentangan dengan
747
peraturan perundangan lainnya. Oleh karena itu, dalam revisi Undang-Undang ini perlu dilakukan identifikasi keberadaan peraturan-peraturan yang terkait dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 ini. 2) Undang-Undang Nomor 7 2004 memberi peluang timbulnya komersialisasi dan swastanisasi pengelolaan SDA Pasal 40 ayat 4Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 menyatakan bahwa “Koperasi, badan usaha swasta dan masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum”. Ayat ini sering dianggap sebagai pintu masuk bagi upaya swastanisasi dalam pengelolaan air minum, karena di ayat tersebut diberi kesempatan bagi koperasi, badan usaha swasta dan masyarakat untuk berpartisipasi. Kasus yang paling menonjol terkait dengan partisipasi swasta dalam penyelenggaraan air minum adalah swastanisasi PAM Jaya oleh dua perusahaan asing yang bekerjasama dengan perusahaan nasional, yaitu PT Thames PAM Jaya (PT TPJ) dan PT PAM Lyonnaise Jaya (PT Palyja). Melalui program Public-Private Partnership ini, 90% aset PAM Jaya menjadi dikuasai oleh pihak swasta tanpa adanya pembayaran atas pengalihan aset tersebut, sementara kedua perusahaan tersebut tidak melakukan investasi secara memadai untuk meningkatkan kapasitas produksi dan distribusi air minum. Akibatnya, harga mengalami peningkatan secara signifikan,sementara jangkauan, kualitas dan kontinuitas layanan tidak mengalami perbaikan secara signifikan; sehingga konsumen dirugikan dengan adanya swastanisasi ini. Semestinya, meskipun dilakukan Public-Private Partnership, BUMD (PAM Jaya) tetap diberi peran dominan dalam pengelolaan air bersih, tidak diberikan sepenuhnya kepada swasta. Di negara lain pun, baik di negara maju maupun berkembang, layanan SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum) tetap dilaksanakan oleh pemerintah (pusat atau daerah), sehingga operasionalisasinya tetap dapat dikontrol oleh pemerintah. Di Filipina misalnya, mereka melakukan swastanisasi pengelolaan air minum, tetapi pihak pemerintah (pemerintah daerah) tetap memegang peran dominan, dimana penguasaan aset minimal 60% dikuasai oleh pemerintah daerah. Selain itu, pemerintah memberlakukan proses lelang secara profesional, terbuka dan transparan, sehingga perusahaan pemenang tender adalah perusahaan yang menawarkan program investasi dan pengembangan SPAM terbaik, serta menawarkan harga yang relatif terjangkau masyarakat. Hasilnya, masyarakat pelanggan diuntungkan dengan adanya program swastanisasi tersebut. Saat ini, dengan tidak masuknya PAM Jaya dalam pengelolaan air bersih di Jakarta telah mengakibatkan harga air di Jakarta menjadi yang tertinggi dibandingkan dengan harga air bersih di ibukota negara-negara ASEAN lainnya (lihat Gambar 2). Harga rata-rata air minum (air ledeng) di Jakarta adalah USD 0,70 per m3, sementara di ibukota negara ASEAN lainnya bervariasi dari USD 0,22 per m3 (di Kuala Lumpur) hingga USD 0,55 per m3 (di Singapura). Singapura merupakan salah satu negara yang telah menggunakan teknologi penyulingan air laut menjadi air minum yang memerlukan teknologi tinggi dan investasi besa, tetapi harga (tarif) air minum yang ditetapkan bisa lebih rendah dibandingkan dengan harga air minum di Jakarta. Disamping itu, meskipun tarif air minum sudah tertinggi, namun ternyata kualitas dan kontinuitas pengaliran air minum di Jakarta masih relatif tidak memuaskan.
Gambar 2. Perbandingan Harga Air Minum di Ibukota Negara-negara ASEAN (dalam USD/m3)
748
3) Perlunya pembatasan Hak Guna Usaha Air (HGUA) Pengaturan Hak Guna Air secara eksplisit hanya terdapat pada 6 pasal Undang-undang nomor 7 tahun 2004, namun keterkaitannya dengan pasal lain khususnya pasal yang mengatur pengelolaan SDA sangat erat, karena Hak Guna Air merupakan bagian dari pengaturan pengelolaan SDA, yaitu aspek pendayagunaan SDA. Prinsip-prinsip yang diatur didalam pasalpasal pengelolaan SDA juga berlaku di dalam pengelolaan Hak Guna Air. Konsepsi HGA yang dirumuskan dalam Undang-Undang nomor 7 Tahun 2004 menganut landasan pengertian yang sama dengan Undang-Undang sebelumnya. Pengaturan mengenai HGA dalam Undang-Undang nomor 7 Tahun 2004 sebenarnya merupakan bagian kecil dari lingkup pengelolaan SDA yang perlu dikembangkan dan diterapkan ketatalaksanaannya. Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air antara lain mengatur tentang Hak Guna Air. Pengaturan secara eksplisit Hak Guna Air didalam undang-undang diatur didalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 dan 83. Walaupun Ketika persoalan HGA ini sedang diperkarakan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi (MK), MK berpendapat bahwa Pasal 5 Undang-Undang SDA yang menyatakan bahwa: “Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupan yang sehat, bersih dan produktif” adalah rumusan hukum yang cukup memadai untuk menjabarkan hak asasi atas air sebagai hak yang dijamin oleh UUD 1945. Jaminan negara dalam Pasal 5 Undang-Undang SDA tersebut kemudian dijabarkan mengikuti paradigma dan prinsip desentralisasi dalam penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat yang dinyatakan dalam Pasal 16 huruf h bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai tanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok air minimal sehari-hari bagi masyarakat di wilayahnya. Tanggung jawab ini tentu tidak bisa diartikan sebagai tanggung jawab eksklusif bahwa hanya Pemerintah Kabupaten/Kota saja yang mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas air. Pemerintah (pusat dan daerah) secara berjenjang juga berkewajiban untuk menjamin agar hak asasi atas air dapat terpenuhi melalui program bantuan teknis dan finansial sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 14 huruf l, Pasal 15 huruf l, dan Pasal 19 serta Pasal 78 ayat 78 ayat (1) Undang-Undang Sumber Daya Air. Konsepsi HGA dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 mengandung beberapa prinsip sebagai berikut: a. Bahwa hak atas air bukan berarti hak memiliki, melainkan hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air dari suatu sumber air untuk keperluan tertentu (Pasal 1 angka 13, angka14 dan angka 15). Kata “mengusahakan” yang tercantum dalam Undang-Undang ini memiliki arti mengolah atau mengupayakan lebih lanjut atas air yang terkandung di dalamnya untuk tujuan usaha tertentu. b. Bahwa HGA tidak dapat disewakan ataupun dipindah-tangankan baik sebagian maupun seluruhnya. HGA kemudian dikelompokkan kedalam dua kategori yaitu Hak Guna Pakai Air dan Hak Guna Usaha Air. Hak Guna Pakai Air adalah hak untuk memperoleh dan memakai air, sedangkan Hak Guna Usaha Air adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan air (Pasal 7 ayat 2). Pengelompokan hak tersebut didasarkan pada tujuan dan sifat penggunaan air itu sendiri untuk keperluan apa. Jika ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari (minum, mandi, masak, cuci, peturasan, dan peribadatan), untuk pertanian rakyat ataupun untuk keperluan sosial lainnya maka kategori haknya adalah Hak Guna Pakai Air. Jika penggunaannya bertujuan untuk diusahakan atau diolah lebih lanjut sebagai air minum dalam kemasan, bahan baku untuk keperluan usaha tertentu, atau sebagai media ataupun sebagai unsur penunjang bagi keperluan usaha tertentu, maka kategori haknya adalah Hak Guna Usaha Air. c. Perseorangan atau badan usaha diperbolehkan meminta hak guna usaha air berdasarkan izin pengusahaan SDA dari pemerintah (Pasal 9 ayat 1). Izin pengusahaan SDA adalah izin untuk menggunakan atau memakai air dalam jumlah tertentu untuk keperluan usaha tertentu misalnya mengolah air baku untuk usaha air minum, usaha pembangkit listrik tenaga air, usaha arung jeram, usaha pariwisata, dan lain-lain. d. Batasan hak penggunaan air dari suatu sumber air untuk memenuhi berbagai jenis kebutuhan ditetapkan besaran alokasinya berdasarkan Pola dan Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air pada setiap Wilayah Sungai (Pasal 11 ayat 2). Karena air merupakan sumber daya esensial yang menyangkut hajat hidup orang banyak, maka proses penyusunan Pola dan Rencana Pengelolaan SDA di setiap Wilayah Sungai (WS) dilakukan secara transparan melibatkan dan mengakomodasi kepentingan dan permasalahan yang dirasakan masyarakat. Pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan Pola dan Rencana Pengelolaan SDA merupakan langkah yang penting untuk membangun prinsip transparansi dan keadilan (Pasal 11 ayat 3; dan Pasal 62 ayat 1). Hasil perencanaan ini kemudian akan ditetapkan oleh pemerintah menjadi kesepakatan yang mengikat baik oleh semua unsur masyarakat pengguna air maupun oleh instansi pemerintah yang terkait dengan pelestarian dan pendayagunaan SDA, serta pengendalian daya rusak air (Pasal 14 huruf b dan c; Pasal 15 huruf b dan c; Pasal 16 huruf b dan c). Sebelum ditetapkan pemerintah, Rencana Pengelolaaan SDA terlebih dahulu harus diumumkan
749
dalam jangka waktu tertentu kepada publik untuk menampung pernyataan keberatan (Pasal 62 ayat 2 dan ayat 2). Penyimpangan terhadap ketentuan ini dapat terkena sanksi atau gugatan masyarakat. Dalam kaitannya dengan penggunaan air ini, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 secara eksplisit menyatakan adanya jaminan perlindungan terutama kepada kelompok masyarakat ekonomi lemah khususnya petani yang sekarang jumlahnya lebihdari 70% jumlah penduduk Indonesia. Keberpihakan tersebut antara lain terdapat pada pasal/ayat sebagai berikut: i. Hak Guna Pakai Air diperoleh tanpa izin untuk memenuhi kebutuhan pokok seharihari bagi perseorangan dan bagi pertanian rakyat yang berada di dalam sistem irigasi (Pasal 8 ayat 1). ii. Pemerintah kabupaten/kota berwenang dan bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas air bagi masyarakat di wilayahnya (Pasal 16 huruf h). iii. Penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi bagi pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada merupakan prioritas utama penyediaan SDA di atas semua kebutuhan (Pasal 29 ayat 3). iv. Pengembangan sistem penyediaan air minum menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah (Pasal 40 ayat 2). v. Pengguna SDA untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan SDA (Pasal 80 ayat 1). vi. Masyarakat yang dirugikan akibat berbagai masalah pengelolaan SDA berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan (Pasal 90). Bila dicermati secara keseluruhan, akan terlihat bahwa Undang-undang ini membuka ruang bagi masyarakat atau badan usaha yang mempergunakan atau mengkonsumsi air dari sumber air dengan cara-cara tertentu untuk mendapatkan air baik untuk mendukung proses produksi maupun mengkonsumsi air untuk diolah dan diusahakan lebih lanjut menjadi produk usaha. Terbukanya ruang pengusahaan sumber daya air oleh masyarakat atau oleh badan usaha ini bukan berarti membuka kesempatan kepada mereka untuk menguasai sumber airnya. Kekuasaan pengaturan penggunaan air dinyatakan tetap berada pada Negara yang amanat penyelenggaraannya diserahkan kepada pemerintah melalui rambu-rambu yang diatur dalam undang-undang. Ramburambu pengaturan yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 antara lain adalah sebagai berikut: a. Pengusahaan SDA yang meliputi satu wilayah sungai secara keseluruhan HANYA DAPAT dilaksanakan oleh BUMN/BUMD pengelola SDA (Pasal 45 ayat 2) misalnya Perum Jasa Tirta I untuk wilayah Sungai Brantas dan Bengawan Sala, dan Perum Jasa Tirta II untuk wilayah Sungai Citarum. Dengan adanya kata “HANYA DAPAT”, berarti bahwa Undang-Undang ini secara hukum telah menutup segala kemungkinan praktek pengalihan, penyerahan, atau pun pelimpahan pengelolaan SDA dari pemerintah kepada pihak swasta atau perorangan. b. Pengusahaan SDA oleh badan usaha ataupun oleh perorangan wajib diatur oleh Pemerintah dan penetapan penggunaan airnya harus didasarkan pada rencana alokasi air pada sumber air yang telah ditetapkan pada wilayah sungai yang bersangkutan (Pasal 46 ayat 2). Dengan demikian tidak ada satupun badan usaha swasta ataupun perorangan yang diperbolehkan melakukan pengusahaan SDA tanpa batasan alokasi air, dan tidak mungkin pula diperbolehkan ada penyediaan air untuk keperluan pengusahaan SDA yang bertujuan komersial sebelum penyediaan air untuk kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi pertanian rakyat pada sistem irigasi telah terpenuhi. c. Kepada pelaku kegiatan pengusahaan sumber daya air dikenakan kewajiban konsultasi publik mengenai rencana pengusahaan SDA yang akan dilakukannya sebagai persyaratan pemberian izin (Pasal 47 ayat 4). d. Pemegang izin pengusahaan SDA wajib ikut serta melakukan konservasi SDA dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya (Pasal 47 ayat 3). Ketentuan ini mengindikasikan adanya pembebanan kepada pemegang izin pengusahaan SDA yang tentu saja secara ekonomi berakibat sebagai unsur biaya atau cost. e. Pemerintah berkewajiban melakukan pengawasan terhadap mutu pelayanan atas kegiatan usaha penyediaan air minum baik yang diselenggarakan oleh BUMD maupun yang diselenggarakan oleh pihak selain BUMD (Pasal 47 ayat 1). Dari ketentuan-ketentuan seperti tersebut diatas, Undang-Undang ini sangatlah konservatif yang secara tidak langsung dirasakan sebagai beban yang berat bagi pelaku usaha yang membutuhkan air. Penyelenggaraan kekuasaan negara diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sebagai cerminan kedaulatan Negara yang dituangkan kedalam pembagian kewenangan antara pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota berdasarkan kebijakan pengelolaan air di tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/kota. Implementasi Pola Pengelolaan SDA dituangkan dalam Rencana Pengelolaan SDA di setiap Wilayah Sungai yang disusun dengan melibatkan masyarakat yang berkepentingan dengan SDA melalui dua tahap konsultasi publik. Tahap pertama untuk menjaring masukan, sedangkan tahap kedua untuk sosialisasi sekaligus untuk memperoleh tanggapan dari masyarakat dan dunia
750
usaha (pasal 11 ayat 3). Pengusahaan SDA selain itu dapat dilakukan oleh perseorangan, badan usaha, kerjasama badan usaha dilakukan berdasarkan izin pengusahaan dari pemerintahsesuai dengan kewenangannya. Pengusahaan tersebut dapat berbentuk penggunaan materi air, pemanfaaan wadah air atau pemanfaatan daya air. Setiap pengusahaan berdasarkan alokasi air yang telah ditetapkan (pasal 45 ayat 3, 4, 5 dan pasal 46 ayat 2). Formalisasi Hak Guna Pakai Air (HGPA) dan Hak Guna Usaha Air (HGUA) diwujudkan dalam bentuk perizinan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Perizinan hanya untuk HGA air permukaan, sedangkan perizinan untuk air tanah hanya menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota (pasal 14, pasal 15 dan pasal 16). Pemerintah Kabupaten/kota bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas air bagi masyarakat di wilayahnya (pasal 16 huruf g). 4) Prinsip Pengelolaan Sumber Daya Air secara Terpadu Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 sebenarnya telahmengakomodasikan prinsip pengelolaan air secara terpadu. Namun, tidak ada definisi secara eksplisit terhadap apa yang dimaksud dengan pengelolaan air secara terpadu (integrated water management) tersebut. Oleh karenanya, perlu ditambahkan definisi/pengertian mengenai pengelolaan SDA secara terpadu tersebut. Dalam hal ini, pengelolaan SDA secara terpadu didefinisikan sebagai pengelolaan SDA yang mengintegrasikan pengelolaan sistem alami maupun sistem non-alami. Keterpaduan pengelolaan sistem alami mencakup: (1) keterpaduan antara kuantitas dan kualitas air, (2) keterpaduan antara daerah hulu dan daerah hilir, (3) keterpaduan antara air hujan, air permukaan dan air tanah,serta (4) keterpaduan antara penggunaan lahan dan pendayagunaan air; sementara keterpaduan pengelolan sistem non-alami mencakup: (1) keterpaduan antar sektor pengguna SDA, (2) keterpaduan antar semua pihak terkait, dan (3) keterpaduan antar wilayah administrasi, baik secara horizontal maupun vertikal (Sjarief dkk, 2007), serta (4) keterpaduan antara penyediaan air bersih dan penanganan air limbahnya. Prinsip ini perlu dikemukakan secara jelas, karena di dalam Undang-Undang No 7 tahun 2004 pengertian terpadunya masih tersekat-sekat, sehingga belum menjelaskan keterpaduan secara holistik. Hal ini menimbulkan masalah di lapangan. Misalnya, kasus banjir Jakarta - sebagaimana dijelaskan pada poin 3 (Konservasi dan Pengelolaan SDA Terpadu)sub-bab A -menunjukkan tidak adanya keterpaduan wilayah dalam pengelolaan SDA di Jakarta dan BOPUNCUR. Contoh lain, munculnya permasalahan eksploitasi air tanah di Jakarta merupakan cerminan dari tidak adanya integrasi dalam pengelolaan sumber daya air tanah dan air permukaan, serta tidak adanya koordinasi antar lembaga (antara Dinas Pertambangan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pendapatan, serta PAM Jaya) yang menangani air bersih di Jakarta. Mestinya, pengembangan pengelolaan sumber daya air tanah dan air permukaan dalam penyediaan air bersih dilakukan secara bersama (conjunctive use between surface water and ground water), dan melibatkan seluruh instansi yang terkait dalam satu manajemen yang solid. 5) Aspek kewenangan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah Pengelolaan SDA secara terpadu memerlukan keterlibatan pemerintah dengan kewenangan dan peran yang cukup signifikan dan jelas. Namun, karena wewenang menggambarkan apa yang menjadi kewenangan suatu pihak tertentu, maka kewenangan antara dua lembagabisa menimbulkan tumpang tindih (overlapping) kewenangan diantara dua lembaga yang ada; atau bisa juga menimbulkan terjadinya kekosongan kewenangan diantara kedua lembaga tersebut, sehingga menimbulkan masalah dalam pengelolaan SDA secara terpadu sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 ini. Mengingat kondisi ini, maka UndangUndang SDA tersebut perlu diperbaiki untuk menjamin adanya lembaga yang berwenang secara spesifik dalam pengelolaan SDA, juga sistem koordinasi yang ada diantara lembaga-lembaga tersebut. Hasil studi menunjukkan bahwa perbedaan kepentingan antara dua atau lebih lembaga yang mengurus SDA sering terjadi. Misalnya, antara Direktorat Geologi Tata Lingkungan Kementerian ESDM yang berperan untuk memberikan rekomendasi teknis pengambilan air tanah dengan Dinas Pendapatan, Pemda DKI. Direktorat Geologi Tata Lingkungan berperan untuk memberikan rekomendasi teknis dalam pengembangan sumur bor dalam (deep well) untuk menjaga keberlanjutan sumber daya air tanah di suatu lokasi tertentu. Sementara itu, Dinas Pendapatan beperan dalam meningkatkan pendapatan daerah, termasuk dari tarif penambangan air tanah. Akibatnya, orientasi Dinas Pendapatan adalah bagaimana meningkatkan pendapatan daerah tanpa memperhatikan apakah eksploitasi sumber daya air tanah yang dilakukan suatu perusahaan telah melewati batas maksimum pengambilan yang telah direkomendasikan. Kondisi ini akhirnya menimbulkan masalah eksploitasi air tanah secara berlebihan, sebagaimana yang terjadi di Jakarta. Demikian pula dengan masalah manajemen sungai. Di dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 dikatakan “one river one management”. Namun beberapa sungai yang mengalir di beberapa provinsi (seperti Sungai Citanduy atau Sungai Ciliwung) menjadi sulit dikelola karena adanya perbedaan kepentingan antara dua provinsi berbeda (antara Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah atau antara Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta), serta kesulitan lembaga yang
751
bertugas dalam melakukan pengelolaan sungai yang menjadi kewenangannya. Akhirnya, kondisi sungai menjadi tak terurus dan menimbulkan banjirpada musim hujan. 6) Aspek koordinasi dan ketatalaksanaan dalam pengelolaan SDA Pasal 85 Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 menyatakan “Pengelolaan SDA mencakup kepentingan lintas sektoral dan lintas wilayah yang memerlukan keterpaduan tindak untuk menjaga kelangsungan fungsi dan manfaat air dan sumber air”. Pasal ini menegaskan pentingnya koordinasi lintas lmbaga dalam rangka pengelolaan SDA secara terpadu. Dalam hal ini, pemerintah (baik pusat maupun daerah) berperan sebagai koordinator dalam pengelolaan SDA, baik koordinasi secara vertikal, yakni koordinasi antar lembaga pemerintah yang atas dengan yang lebih bawah, maupun koordinasi horizontal, yakni koordinasi antar satu lembaga dengan lembaga lain dalam suatu level pemerintahan yang sama. Karakteristik SDA yang dinamis mensyaratkan adanya koordinasi yang baik antar lembaga dalam pengelolaan SDA. Tanpa adanya keterkaitan dan koordinasi yang baik antar lembaga, niscaya pengelolaan SDA akan dihadapkan pada berbagai masalah, seperti yang terjadi saat ini. Lemahnya koordinasi akan menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas, karena programprogram pembangunan SDA menjadi tersekat-sekat di satu lembaga saja, tanpa melibatkan lembaga lainnya. Lemahnya Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 adalah tidak mendefinisikan prinsip pengelolaan sumber daya air secara terpadu itu sendiri, dan pada pasal 86 ayat 4 yang menyatakan bahwa wadah koordinasi diatur lebih lanjut dengan keputusan presiden. Namun, hingga saat ini belum ada keputusan presiden terkait dengan koordinasi antar lembaga ini, sehingga menyulitkan dalam pelaksanaannya. 7) Prinsip Pembayaran Air dan Jasa Lingkungan Air Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 yang disahkan pada tahun 2004, mendapatkan penolakan dari banyak kalangan. Penolakan tersebut disebabkan salah satunya perbedaan paradigma (cara pandang) pemerintah yang dituangkan dalam Undang-Undang No.7 Tahun 2004 dengan paradigma yang berlaku di masyarakat. Sebagian masyarakat memandang bahwa SDA merupakan kebutuhan azasi manusia, sehingga pemerintah wajib menyelenggarakan layanan tersebut (public service obligation). Sebagian masyarakat lainnya memandang bahwa SDA sebagai barang publik yang memiliki fungsi sosial, sehingga mereka tidak perlu membayar untuk mendapatkan kebutuhan dasar air hingga jumlah tertentu. Namun, kenyataan saat ini menunjukkan hal sebaliknya, masyarakat membayar dengan harga yang cukup mahal untuk mendapatkan air, terutama air bersih di perkotaan. Dalam pasal 26 ayat 7 Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 menyatakan bahwa “pendayagunaan SDA dilakukan dengan mengutamakan fungsi sosial untuk mewujudkan keadilan dengan memperhatikan prinsip pemanfaat air membayar jasa pengelolaan SDA dan dengan melibatkan peran masyarakat”. Sebenarnya ayat 7 tersebut sudah menyatakan bahwa penerima manfaat harus membayar jasa pengelolaan SDA yang mereka nikmati. Namun, hal tersebut masih kurang, karena kegiatan pendayagunaan SDA tidak hanya menghasilkan produk atau jasa yang dihasilkan, namun juga menghasilkan limbah atau bahan pencemar yang berpotensi mencemari lingkungan. Oleh karena itu, tidak hanya pemanfaat air, tetapi semestinya pencemar air juga harus membayar biaya jasa pengelolaan sumber daya air. Hal ini perlu diantisipasi, karena jika biaya pencemaran tidak diinternalisasikan, maka akan menimbulkan biaya sosial (social costs) yang besar, yang akan merugikan masyarakat luas. Hubungan hulu dan hilir suatu wilayah sungai memiliki implikasi terhadap ketersediaan air di wilayah hilirnya. Ketika suatu wilayah hulu sungai, yang biasanya berperan sebagai daerah resapan air(water catchment area), dalam kondisi baik, maka ketersediaan dan aliran air dari wilayah hulu ke wilayah hilir akan baik pula. Namun, jika wilayah hulu sudah rusak, maka akan menimbulkan banjir dan/kekeringan di wilayah hilirnya. Oleh karena itu, apabila wilayah hulu dan hilir suatu sungai berada di daerah (provinsi atau kabupaten/kota) yang berbeda, diperlukan adanya suatu rumusan dalam pembayaran jasa lingkungan air. Ketika suatu wilayah hilir menikmati air yang berasal dari wilayah hulu dan mendapatkan manfaat ekonomi (benefits) karenanya, maka wilayah ini semestinya membayar kompensasi kepada wilayah hulu, karena jasanya dalam menjaga kondisi lingkungannya dengan baik. Hubungan kedua wilayah hulu-hilir seperti ini banyak terjadi di Indonesia, seperti Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon, Provinsi Sumatera Barat dengan Provinsi Riau, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur dengan Provinsi Jakarta, dan lainnya. Besarnya kompensasi tergantung dari volume air yang dimanfaatkan dan nilai ekonomi air (economic value of water) yang diperoleh dari pemanfaatan tersebut. Walaupun nilainya tidak bisa ditetapkan secara umum, namun ide pembayaran jasa lingkungan air ini perlu dilaksanakan dan diakoodasikan di dalam Undang-Undang Sumber Daya Air agar wilayah hulu tetap mempertahankan keberadaan daerah resapan airnya. D. Kajian terhadap implikasi penerapan Undang-Undang Sumber Daya Air yang Baru Sebagaimana disampaikan pada poin C, dalam penelitian ini diusulkan perubahan UndangUndang nomor 7 tahun 2004 dengan mempertimbangkan tujuh aspek di atas. Apabila ketujuh aspek tersebut dirubah (disesuaikan), maka hal tersebut menimbulkan berbagai implikasi bagi pemerintah serta pihak terkait lainnya.
752
Pertama, untuk menjaga prinsip pengelolaan SDA secara terintegrasi dibutuhkan koordinasi yang lebih baik lagi diantara lembaga-lembaga pemerintah serta pihak lain yang terkait. Tanpa adanya koordinasi ini, maka integrated water management mustahil dapat direalisasikan dengan baik: pemanfaatan SDA dan pengendalian daya rusak air dapat lebih dicapai dengan lebih efektif dan efisien. Kedua, kelengkapan aturan penjelas juga menjadi penting dalam mengoperasionalisasikan suatu Undang-undang. Dengan dibuatnya peraturan-peraturan penjelas, seperti Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden/Menteri, akan memberikan arahan yang bersifat operasional dalam mengimplementasikan UU, khususnya UU nomor 7 tahun 2004. Ketiga, ketika pencemar lingkungan diharuskan untuk menginternalisasikan biaya eksternalitas (internalization of the external costs) yang ditimbulkannya, maka hal ini akan menimbulkan biaya tambahan bagi masyarakat dan produsen. Walaupun biaya produksi mengalami peningkatan, namun masyarakat secara keseluruhan akan mendapat manfaat dari kondisi lingkungan yang lebih baik, sehingga tidak menimbulkan biaya eksternalitas bagi mereka. Keempat, ketika kerjasama antara koperasi, badan usaha dan perseorangan dengan badan usaha milik negara (pemerintah pusat/daerah) dalam penyelenggaraan sistem penyediaan air minum diatur dengan baik dan dilaksanakan secara konsisten, maka kinerja pelayanan air minum akan meningkat. Dalam hal ini pengusaha (swasta) akan memberikan suntikan dana investasi dan teknologi baru bagi pengembangan infrastruktur air minum, pemerintah (pemerintah pusat/ daerah) akan lebih fokus dalam pengelolaan dan pengembangan aset negara (pusat/daerah), dan masyarakat akan mendapatkan manfaat dari peningkatan kuantitas, kualitas dan kontinuitas layanan air minum, serta mereka membayar layanan tersebut dengan harga yang sepadan dengan kualitas layanan yang diperolehnya. Dengan kata lain, pengaturan yang baik dalam penyelenggaraan sistem penyediaan air minum akan memberikan manfaat bagi seluruh pihak yang terkait. Kelima, pengelolaan sungai yang terintegrasi memerlukan kesamaan visi dan kerjasama antara berbagai daerah (kabupaten/kota dan provinsi) yang terkait. Hal ini menuntut adanya perubahan pandangan dan kebijakan pada pemerintah dalam pengelolaan SDA, misalnya antara Provinsi Jawa Barat dan Provinsi DKI Jakarta dalam pengelolaan Sungai Ciliwung. Dengan koordinasi yang lebih baik, maka akan dihasilkan produk perencanaan yang holistik, yang jika dilaksanaan secara konsisten akan mampu mengatasi masalah sampah dan banjir di sungai Ciliwung, serta menghasilkan manfaat yang besar bagi masyarakat.
753
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
A. Azas-azas yang digunakan dalam penyusunan norma Suatu peraturan/perubahan peraturan perlu dievaluasi dan dianalisis secara mendalam akan keterkaitannya terhadap Peraturan Perundang-undangan lainnya yang telah ada, khususnya yang masih berlaku dan perlu harmonisasi secara vertikal dan horizontal agar tidak terjadi kebersinggungan dengan perundangan yang berlaku dan pemahaman yang salah. Harmonisasi peraturan ini mutlak harus diperhatikan karena seringkali dapat menimbulkan ketidaksinkronan antara peraturan-peraturan yang satu dengan peraturan terkait lainnya, bahkan dapat menimbulkan salah persepsi yang selanjutnya dapat menimbulkan friksi baik di masyarakat maupun pada stakeholder yang lainnya. Dengan demikian dari kajian dan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan ini dapat dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi antar peraturan baik di tingkat pusat maupun daerah. Norma dasar yang digunakan dalam revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 meliputi azas kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, kelestarian lingkungan dan perlindungan Hak Azasi Manusia atas air. Kelima azas dasar tersebut seyogyanya terakomodasikan di dalam draft Revisi Undang-Undang yang akan diajukan. Peraturan hukum terkait pengelolaan SDA harus menjamin dan memberikan kemanfaatan utama bagi masyarakat dan negara secara adil dan merata, tanpa mengabaikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat atas air. Di pihak lain, penggunaan air oleh masyarakat dan negara tetap harus mempertimbangkan kelestarian lingkungan hidup dan tetap memberikan perlindungan hak-hak azasi manusia terhadap SDA yang memang dijamin dalam konstitusi. Dalam dissenting opinion putusan MK pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 perkara No. 058-059-060/PUU/II/2004 dan 008/PUU/III/2005, Mukhti Fajar (Hakim Konstitusi) berpendapat bahwa air yang semakin langka, perlu pengaturan oleh negara. Akan tetapi, dalam tataran paradigma, pengaturan oleh negara atas SDA seharusnya hanya menyangkut pengaturan dalam pengelolaan (manajemen) SDA, agar air dapat digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfill) hak manusia atas air (the right to water) yang secara universal, karena kebutuhan air sudah diakui sebagai hak azasi manusia. Pengaturan oleh negara bukanlah pengaturan dalam bentuk pemberian hak-hak tertentu atas air (water right) kepada perseorangan dan/atau badan usaha swasta, seperti yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004, yang dapat tergelincir menjadi privatisasi terselubung SDA, sehingga mendistorsi ketentuan Pasal 33 UUD 1945. Lebih lanjut lagi, berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, pengelolaan kekayaan sumber daya alam terutama SDA seharusnyamemakai paradigma yang sejalan dengan UUD 1945 terutama pada Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dengan demikian air tidak menjadi obyek sumber daya alam yang dikomersialisasikan, dan negara berkewajiban untuk menyediakan dan pemenuhan kebutuhan air bagi masyarakat. Dengan demikian draf yang akan dirumuskan bukan hanya mendasarkan kepada azas manfaat dan kepastian hukum saja, tetapi juga azas kelestarian lingkungan, keseimbangan antara pendayagunaan dengan pemanfaan dan perlindungan terhadap hak azasiatas air bagi warga negara. Kesemuanya harus secara eksplisit muncul di dalam pasal-pasalundang-undang tersebut.
B. Kajian Keterkaitan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 dengan Hukum Positif lainnya.
Kajian terhadap pengelolaan SDA dari aspek yuridis diperlukan untuk mengetahui kandungan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan SDA. Dari kajian tersebut diharapkan dapat menjadi pertimbangan, arahan dan masukan dalam melakukan perubahan terhadap Undang-Undang No.7 Tahun 2004. Dengan demikian perubahan yang dicapai dapat mengakomodikanseluruh kepentingan terutama masyarakat yang berlandaskan kepada azas kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, kelestarian lingkungan dan perlindungan Hak Azasi Manusia atas air. Sumber daya air memiliki keterkaitan yang erat dengan sumberdaya alam lainnya dan lingkungan hidup. Dengan demikian, Undang-undang Sumber Daya Airpun memiliki katerkaitan dengan Undang-undang lain yang mengatur sumber daya tersebut. Undang-undang yang berkaitan dengan pengaturan sumber daya air diantaranya: 1) Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Dalam undang-undang ini pada Pasal 1 butir 1 yang dimaksud ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu
754
kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lain, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Penataan Ruang dan pengelolaan sumber daya air adalah saling tergantung dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu dalam integrasi dan harmoni antara penataan ruang dan pengelolaan sumber daya air perlu memperhatikan beberapa substansi penting yakni: kondisi lingkungan, ekonomi, sosial-budaya dan politik. Pada Pasal 15 dinyatakan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang didalam bumi. Disini secara eksplisit telah ditegaskan bahwa rencana tata ruang yang ada di semua level dari nasional hingga kabupaten/kota harus memperhatikan sumberdaya alam yang ada (termasuk SDA) dan keberlanjutannya. Sumber daya air mempunyai fungsi sosial yang berarti kepentingan umum lebih diutamakan dari kepentingan individu. Pilar lingkungan hidup berarti bahwa SDA menjadi bagian dari ekosistem sekaligus sebagai tempat kelangsungan hidup flora fauna, dan pilar ekonomi berarti SDA didayagunakan untuk menunjang kegiatan usaha yang diselenggarakan dan diwujudkan secara selaras. Proses penataan ruang mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kegiatan pemukiman dan pengelolaan SDA. Secara umum penentuan rencana tata ruang wilayah dan pengelolaan SDA harus dilakukan bersamaan. Keterkaitan antara penyelenggaraan tata ruang dan pola pengelolaan SDA merupakan hal yang mutlak untuk pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Sebagai contoh di wilayah sungai (berupa DAS atau Cekungan Air Tanah) dalam pengelolaan SDA harus ditransformasikan dan diekuivalensikan dengan wilayah administrasi penataan ruang. Dengan demikian didapat hubungan harmonis antara penataan ruang dengan pengelolaan SDA. 2) Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan Dalam pasal 4 poin (b) dikemukakan bahwa perkebunan juga mempunyai fungsi ekologi, berupa peningkatan konservasi tanah dan air, penyerap karbon, penyedia oksigen, dan penyangga kawasan lindung. Ini menunjukan bahwa dalam pembukaan lahan untuk perkebunan harus memperhatikan konservasi air, karena seringkali pembukaan lahan utuk perkebunan dan alih fungsi lahan faktor penyebab terjadinya banjir. Selain itu, bila dikaji lebih dalam dari Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan ini yang sangat berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air , khususnya di Bagian Ketujuh mengenai Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup. Pasal 25 ayat 1 menyatakan “Setiap pelaku usaha perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah kerusakannya”. Pengelolaan sumberdaya alaam (termasuk air) dan lingkungan hidup diarahkan agar dalam segala usaha pendayagunaannya tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan serta kelestarian fungsi dan kemampuannya, sehingga disamping dapat memberikan manfaat bagi pembangunan dan kesejahteraan rakyat juga dapat tetap bermanfaat bagi generasi yang akan datang. Sesuai Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 disebutkan bahwa sumber daya alam dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidupnya. Sumberdaya alam memiliki peran ganda yaitu sebagai modal pertumbuhan ekonomi (resource based economy) dan sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan (life support system). Prinsip hukum pelestarian lingkungan hidup adalah prinsip yang menghendaki upaya-upaya konkrit di lapangan untuk mewujudkan eksistensi kelestarian fungsi lingkungan hidup secara terus menerus dari ancaman pencemaran atau kerusakan yang disebabkan oleh pelaku usaha atau kegiatan. Intensitas kegiatan perusahaan industri nasional yang semakin meningkat, cepat atau lambat berimplikasi pada timbulnya resiko pencemaran lingkungan. Untuk dapat melestarikan fungsi lingkungan hidup maka pada Pasal 25 ayat 2 butir a bahwa sebelum memperoleh izin usaha perkebunan perusahaan perkebunan wajib “membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup”. Konsep Amdal sebagai salah satu piranti penting dalam upaya mewujudkan kelestarian fungsi lingkungan hidup, termasuk salah satu didalamnya adalah sumber daya air baik kuantitas maupun kualitasnya. Pengaturan Amdal dalam perundang-undangan nasional terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009. Berdasarkan konsep Amdal dalam peraturan tersebut, bahwa Amdal sebagai instrumen hukum yang memiliki makna dan arti penting untuk melindungi, khususnya yang dilakukan oleh para pelaku usaha perkebunan yang kegiatannya dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kelangsungan lingkungan hidup. 3) Undang- Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan (UUP) sudah direvisi dengan Undang Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) Dalam rangka mengatur sektor pertambangan pada tahun 1967 pemerintah Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, sekaligus menandai politik pintu terbuka di bidang pertambangan. Seiring dengan dinamika pemikiran pasca reformasi undang-undang ini dianggap sudah tidak sesuai dengan politik ekonomi yang ingin dijalankan oleh pemerintah khususnya bidang pertambangan.Oleh
755
karena itu ditetapkanlah undang-undang baru sebagai pengganti UU No.11 tahun 1967 yaitu Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pada Pasal 1 poin 4 dinyatakan bahwa Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa biji atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah. Disini walaupun air tanah tidak termasuk dalam jenis yang ditambang tetapi saat pembukaan lahan untuk pertambangan (open pit) semua flora dan fauna yang ada di permukaan tanah dan di dalam tanah akan terganggu keseimbangannya, demikian juga air dan sumber air yang ada. Oleh karena itu dalam penetapan wilayah pertambangan sesuai Pasal 9 ayat 2 bahwa wilayah pertambangan ditetapkan oleh pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Selanjutnya pada Pasal 10 dijelaskan bahwa penetapan wilayah pertambangan dilaksanakan: a) secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab; b) secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; dan c) dengan memperhatikan aspirasi daerah. Apabila diperhatikan UU No.4 tahun 2009 ini sudah mengatur dengan baik untuk mengantisipasi kerusakan lingkungan yang lebih buruk. Namun implementasi di lapangan masih belum optimal. Seperti contoh yang terjadi di Kalimantan Timur khususnya di Kutai Kartanegara, sawah-sawah terus beralih fungsi untuk lahan tambang, dan disisi lain lahan pertanian yang masih ada sangat kekurangan air, sehingga masyarakat petani semakin termarjinalkan. Selain itu hasil laporan kunjungan pengawasan yang dilakukan oleh Komite II DPD-RI menjelaskan bahwa belum optimalnya pelaksanaan UU No. 7 tahun 2004 dalam memperbaiki kondisi sumber daya air disebabkan antara lain adalah kurangnya kesadaran hukum atas pelaksanaan UU Sumber Daya Air, kurangnya pendanaan dan kurang baiknya koordinasi lintas stakeholders yang membidangi sumber daya air. Kondisi tersebut secara langsung maupun tidaklangsung telah mempengaruhi: angka kemiskinan, kekurangan pangan, menghambat pertumbuhan ekonomi sosial budaya bangsa dan terganggunya ekosistem di beberapa daerah di Indonesia. 4) Keterkaitan Undang Undang Nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan Dalam Undang-undang ini diatur tentang air dan pengelolaan air sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pada pasal 1 bab I, defenisi Air adalah “semua air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah, tidak termasuk dalam pengertian ini air yang terdapat di laut. Tetapi,defenisi ini masih sempit sehingga perlu dilakukan perluasan dengan melakukan perubahan. Kewenangan serta tatacara pengelolaan dan syarat untuk mendapatkan izin hak guna usaha air juga belum diatur secara konkrit; sedangkan di dalam UU No.7 tahun 2004 sudah ada pengaturan secara komprehensif. Hanya saja perlu ketegasan penyeimbangan antara air sebagai barang ekonomis dengan air sebagai barang sosial dengan tetap memperhatiakan lingkungan. 5) Keterkaitan dengan UU No.5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria Undang-Undang SDA menentukan hubungan hukum antara orang perorangan maupun badan hukum dengan SDA dalam bentuk Hak Guna Air (HGA). Lebih lanjut HGA dibedakan menjadi Hak Guna Pakai Air (HGPA) dan Hak Guna Usaha Air (HGUA). Walaupun menggunakan istilah “hak”, namun yang dimaksudkan dengan HGA, HGPA dan HGUA adalah “izin”. Hal ini sudah tepat, karena hubungan antara orang-perorangan/badan hukum dengan air adalah hubungan pemanfaatan. Jika dilihat dari asalnya terkait dengan istilah HGA diatur dalam Pasal 47 UUPA, namun konteks HGA dalam UUPA berbeda dengan UU SDA. Undang-Undang SDA mengakui hak ulayat Masyarakat Hukum Adat (MHA). Pasal 6 ayat (3) menentukan: “hak ulayat MHA atas SDA tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan Perda setempat”. Fungsi Perda dalam hal ini harus dipahami sebagai penetapan yang bersifat deklaratoir dan bukan konstitutif. 6) Keterkaitan Undang Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK) Penjelasan Pasal 18 menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian besar mempunyai curah dan intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit, dan bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air, maka ditetapkan luas kawasan hutan dalam setiap daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daratan. Selanjutnya pemerintah menetapkan luas kawasan hutan untuk setiap propinsi dan kabupaten/kota berdasarkan kondisi biofisik, iklim, penduduk, dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat. Ketentuan ini sangat berhubungan dengan bab Konsevasi sumber daya air, karena kawasan hutan adalah salah satu daya dukung keberadaan sumber air. 7) Keterkaitan dengan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Undang-Undang No.7 tahun 2004 tentang sumber daya air ini juga sangat tekait dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan. UU No.7 Tahun 2004 selain membuka komersialisasi terhadap air, pasal-pasal yang terdapat dalam UU tersebut telah membuka dan memberi keleluasaan kepada pihak swasta untuk menjadikan
756
air sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Kondisi ini telah menyebabkan bermunculannya perusahaan-perusahaan air minum dalam kemasan di berbagai daerah. Hal ini yang telah menyebabkan pemanfaatan sumber daya air secara berlebih terutama air tanah yang bersumber dari air mata air. Akibatnya masyarakat yang berada di sekitar sumber mata air menderita kekurangan air sementara akses terhadap sumber mata air yang semula dimanfaatkan oleh masyarakat menjadi tertutup. Kondisi ini telah menciptakan suatu cara pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak bijaksana dan membahayakan kelangsungan kehidupan di muka bumi ini karena tidak adanya perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang baik. Hal ini tidak sejalan dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Pasal 3 butir c, d, e, h dan i dimana disebutkan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Untuk itu perlu dicari solusi dan diselaraskan dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2009 dengan mengacu pada Pasal 42 ayat 1 dan 2a yakni dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup. Instrumen ekonomi lingkungan hidup meliputi: perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi; pendanaan lingkungan hidup; dan insentif dan/atau disinsentif. Selanjutnya dijelaskan pada Pasal 43 ayat 2b bahwa Instrumen pendanaan lingkungan hidup meliputi: dana jaminan pemulihan lingkungan hidup; dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup; dan dana amanah/bantuan untuk konservasi. Berdasarkan hal ini maka diusulkan dalam RUU perubahan Sumber daya alam harus ada klausul khusus yang mengatur pemanfaatannya, dalam hal yang dimaksud sumberdaya alam itu adalah air maka, sumber mata air yang dikelola dan diusahakan oleh pihak swasta harus ada pengawasan yang melekat dalam pemanfaatannya. Klausul khusus yang diusulkan adalah: (1) Adanya pembatasan quota pemanfaatan sesuai debit mata air yang ada diwilayah tersebut, sehingga pemanfaatan lestari; (2) Adanya pendanaan lingkungan dalam bentuk pembayaran jasa lingkungan (kompensasi).
757
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Landasan filosofis adalah dasar filsafat atau pandangan atau ide yang menjadi dasar kebijaksanaan yang akan dituangkan dalam draf sebuah peraturan. Selain itu, landasan filosofis juga merupakan gagasan atau pemikiran dasar bagi pentingnya penyelenggaraan pembangunan bidang-bidang tertentu dalam rangka mewujudkan tujuan nasional: kewajiban negara melindungi masyarakat, bangsa, dan hak-hak dasar warga negara. Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang relevan dengan materi revisi RUU No.7 Tahun 2004. Pernyataan yang secara tegas tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945 mengenai pengelolaaan sumberdaya alam di Indonesia menyiratkan prinsip geo-nasionalisme dimana kekayaan alam yang tersebar di nusantara ini semestinya dikelola sebaik mungkin untuk kepentingan hajat hidup orang banyak dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Dalam hal sumber daya air (SDA), penting untuk diperjelas dan ditegaskan terkait cara, bagaimana dan siapa yang akan mengelolanya di dalam Undang-Undang sebagai peraturan turunan dari konstitusi tersebut. Hal ini disebabkan air adalah sumberdaya yang menyangkut kebutuhan mendasar setiap individu warga negara Indonesia dan bagian dari hak azasi yang harus dilindungi oleh negara. Negara wajib menyediakan air untuk masyarakatnya sebagai warga negara Indonesia. Fakta yang ada hingga saat ini menunjukkan bahwa pemanfaatan kekayaan SDA masih jauh dari pencapaian tujuan untuk kesejahteraan seluruh rakyat, bahkan bisa mengancam keberlangsungan hidup. Hal ini disebabkan karena negara melalui UU No. 7 Tahun 2004 telah membuka kesempatan luas orang perorangan dan badan usaha swasta untuk ikut mengelola dan memperjual belikan air. Air tidak lagi menjadi sesuatu barang yang bersifat sosial yang menjadi milik publik, yang seharusnya negara hanya mengelola dan mengatur cara penggunaanya,tetapi dengan UU No. 7 Tahun 2004 air juga telah menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis. Saat ini mulai dari kota hingga kedesa-desa orang-perorangan atau badan usaha swasta berlomba-lomba membuka usaha jual beli air, dan tanpa disadari SDA yang semula adalah hak publik dan gratis (free good) - dimiliki oleh setiap orang seperti halnya udara - telah berubah menjadi sesuatu yang harus memerlukan uang untuk mendapatkanya (economic good). Pergeseran paradigma ini cenderung akan mengabaikan peran air dalam menjaga keseimbangan fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan hidup yang merupakan komponen dasar dalam pembangunan berkelanjutan. Seharusnya meskipun Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 telah membuka peluang menjadikan air sebagai barang ekonomis, tetapi aturan tersebut haruslah diikuti oleh aturan yang menegaskan tentang keseimbangan, pembatasan kuota debit SDA sesuai dengan sumber air setempat dan menertibkan mekanisme pengusahaan air, sehingga air tidak serta merta dieksploitasi untuk diperjual belikan secara bebas. Prinsip lain yang harus secara eksplisit dirumuskan di dalam suatu UU SDA adalah pengaturan yang mampu mengarahkan pengelolaan SDA dalam suatu keterpaduan antar-wilayah, antarsektor, antar-waktu dan antar-generasi. Hal ini sangat penting mengingat potensi ketersediaan SDA di Indonesia sangat timpang. Pulau Jawa dan Bali yang dihuni oleh lebih dari 60 persen penduduk Indonesia hanya memiliki sekitar 6 persen potensi SDA nasional, sementara pulaupulau besar lainnya (Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua) memiliki potensi SDA melimpah, sementara penduduknya relatif sedikit. Hal semacam ini memerlukan pola pengaturan pemanfaatan SDA yang khusus. Ketimpangan ketersediaan air antar musim juga menimbulkan masalah manajemen (pengelolaan) SDA.Pada musim penghujan, curah hujan begitu tingginya, sehingga menimbulkan bencana banjir di berbagai daerah, baik di Jawa maupun luar Jawa.Sementara pada musim kemarau, banyak daerah yang mengalami kekeringan, sehingga menimbulkan berbagai bencana bagi umat manusia dan lingkungan.Kejadian iklim ekstrem (extreme climate) ini semakin meningkat dengan adanya perubahan iklim (climate change) yang melanda dunia pada saat ini. Oleh karena itu, tantangan pengelolaan SDA akan semakin rumit pada masa mendatang; dan hal ini perlu diantisipasi di dalam peraturan dan sistem pengelolaan SDA. Perumusan regulasi terkait pengelolaan sumber daya alam secara umum masih belum menunjukkan integrasi pengaturan yang mampu menjawab permasalahan bangsa dan masyarakat Indonesia. Demikian pula dengan pengaturan yang tercantum di dalam UndangUndang No.7 Tahun 2004.Oleh karenanya perlu dilakukan penyempurnaan dalam pengaturan mengenai pengelolaan SDA dalam merealisasikan amanat konstitusi Republik Indonesia. B. Landasan Sosiologis Landasan sosiologis dari perlunya melakukan revisi UU No.7 Tahun 2004 didasarkan pada fakta-fakta empiris yang berkaitan perkembangan permasalahan dan kebutuhan masyarakat
758
bagi upaya pembangunan bidang yang terkait dengan SDA. Pengalaman empiris dan penelitianpenelitian yang telah banyak dilakukan menunjukkan bahwa pengelolaan air minum oleh swasta belum meningkatkan kinerja sektor tersebut.Misalnya, privatisasi PAM Jaya oleh swasta (nasional dan asing) sejak tahun 1998 tidak meningkatkan cakupan layanan dan kualitas air secara signifikan.Tingkat efisiensi dalam produksi dan distribusi air bersih juga masih sangat rendah, padahal harga (tarif) air minum (air bersih) telah mengalami peningkatan secara signifikan yang mengakibatkan harga air bersih di Jakarta menjadi yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Public utilities seperti PDAM (Perusahaan daerah Air Minum) sudah selayaknya dimiliki dan dioperasikan oleh Pemerintah Daerah, karena ia memiliki peran untuk melayani kepentingan masyarakat banyak (public service obligation). Dengan demikian, PDAM tidak semata-mata mencari keuntungan sebesar-besarnya, tetapi diorientasikan pada kondisi full cost recovery (pengembalian secara penuh atas biaya yang dikeluarkan – balik modal), sehingga tidak terusmenerus disubsidi dengan menggunakan dana pemerintah (pusat atau daerah). Kalau pun PDAM dapat keuntungan, keuntungan tersebut harus dikembalikan ke PDAM untuk mengembangkan kapasitas layanan air bersih kepada masyarakat, mengingat rata-rata cakupan layanan (service coverage) PDAM di Indonesia saat ini umumnya masih lebih rendah dari 50 persen (dari total jumlah penduduk di suatu daerah dimana PDAM tersebut beroperasi).Peran demikian sangat sesuai dengan kewajiban pemerintah dalam melindungi, menjamin, dan memenuhi kebutuhan bagi warganya sebagai bagian dari hak azasinya. Komersialisasi air juga terjadi di bidang air mata air.Di daerah-daerah tertentu, terutama di perdesaan, ditemukan mata-mata air yang memiliki potensi yang cukup besar.Walaupun mata air tersebut umumnya dimiliki seseorang (individual), namun si pemilik biasanya memberikan izin kepada masyarakat sekitarnya untuk menggunakan air tersebut untuk kebutuhan mereka seharihari.Keberadaan air mata air tersebut seringkali mengundang pengusaha (lokal atau asing) untuk mengeksploitasinya untuk tujuan komersial, seperti dijual sebagai air curah ke kota-kota besar dengan menggunakan truk tanki atau dijadikan sebagai air minum dalam kemasan. Ketika terjadi pengalihan kepemilikan air tersebut, dari individu pemilik sebelumnya kepada seorang pengusaha (perusahaan), biasanya pengusaha menutup akses publik (masyarakat sekitarnya) dari penggunaan SDA tersebut. Akibatnya, masyarakat sekitar tidak lagi memiliki sumber air bersih untuk keperluan mereka sehari-hari. Salah satu contoh kasus tersebut terjadi di Kecamatan Cicurug Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kewajiban pemerintah untuk melindungi, menjamin, dan memenuhi kebutuhan air warganya (sebagai bagian dari hak azasi) merupakan salah satu bentuk dari amanah yang tercantum di dalam Pasal 28A dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Kondisi ini akan menjadi indikator dalam melihat konstitusionalitas UU sumber daya air tersebut, karena Republik Indonesia merupakan suatu negara kesejahteraan (welfare state). Tetapi pengujian yang telah diajukan permohonan untuk membatalkan pasal-pasal tertentu ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.Misalnya bagaimana pengaturan pengelolaan SDA dikaitkan dengan produksi pangan, perikanan dan peternakan, kehutanan, pertambangan, lingkungan, dan aspek lainnya.Oleh karenanya, revisi terhadap UU No.7 Tahun 2004 merupakan solusi dengan melakukan kajian secara sosiologis setelah melihat fakta dan realisasi dari UU No.7 Tahun 2004; sehingga ada keseimbangan antara air sebagai barang ekonomis dengan air sebagai barang sosial. C. Landasan Yuridis Landasan yuridis adalah ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan. Landasan yuridismenyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansiatau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk PeraturanPerundangUndangan yang baru. Dengan melihat serta membaca ketentuan hukum yang sudah ada, maka dapat diketahui:apakah suatu isu (permasalahan) yang terjadi dalam masyarakat telah memiliki hukum (aturan);apakah hukumnyatelah mengikuti perkembangan faktor empiris dalam bidang yang bersangkutan; atau kerangka regulasi yang ada kurang komprehensif. Secara umum, landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat Secara yuridis, perkembangan pengelolaan SDA mengalami perubahan pengaturan beberapa kali. Pada tanggal 19 Februari 2004 DPR telah mensyahkan Undang-Undang No.7 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan.UndangUndang No. 7 Tahun 2004 memberikan paradigma baru dalam pengelolaan Air.Dalam UU No. 7 Tahun 2004 selain membuka peluang komersialisasi terhadap air, mengingat pasal-pasal yang terdapat dalam UU tersebut telah memberi keleluasaan kepada pihak swasta untuk menjadikan air sebagai komoditi ekonomi. Namun demikian, sejak diterapkannya hingga saat ini, banyak penolakan dan protes dari masyarakat, sebagaimana disampaikan oleh deklarator Gerakan Menegakkan Kedaulatan Negara (GMKN), Din Syamsudin, yang menyatakan bahwa “kami akan melakukan yudicial rivew UU No. 7 Tahun 2004” (Aktual.co, Rabu, 6/1/2013). Din menambahkan bahwa pengajuan uji materi UU No. 7 Tahun 2004 tersebut merupakn sikap GMKN dalam menegakkan kedaulatan Negara. Tokoh GMKN lainya, Adhie Massardi, pun mengatakan bahwa
759
air adalah hak dasar manusia yang harus dikelola untuk kesejahteraan masyarakat, namun negara melakukan privatisasi, beliau menambahkan bahwa pengelolaan air seharusnya demi kesejahteraan masyarkat. Paradigma yang tersirat dalam UU No.7 Tahun 2004 secara yuridis belum sejalan dengan ruh yang terdapat dalam UUD 1945 terutama Pasal 33. Padahal, Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, menganut doktrin bahwa air merupakan res communes, sumber daya milik publik. Konsekuensi dari Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, air merupakan milik umum rakyat Indonesia dan seluruh kewenangan yang lahir dari penguasaan negara dalam bentuk pengaturan, pengelolaan, pengawasan dan pengurusan atas air dan SDA harus menempatkan hak rakyat Indonesia yang bersifat azasi sebagai hak yang utama, dan seluruh pengaturan yang dilakukan haruslah mendahulukanpemenuhan kebutuhan warga negara untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Setelah itu, baru dipertimbangkan skala prioritas lainnya. Komersialisasi air seluas-luasnya tanpa pembatasan juga sebenarnya tidak sejalan dengan pasal 28A dan pasal 28I ayat (1), yang menjadi norma dasar dalam sistem hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pasal tersebut mengatur bahwa Pemerintah Negara Republik Indonesia berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum.Selain itu, negara juga berkewajiban, di samping melindungi, juga menghormati dan memenuhi hak azasi warganegara yang menyangkut akses terhadap air.Pengaturan SDA dimasa mendatang harus ada penegasan keseimbangan antara air sebagai barang ekonomis dengan air sebagai barang sosial yang tetap melihat kondisi lingkungan sekitar serta pembatasan kuota debit air sesuai dengan kondisi wilayahnya. Disamping itu terkait dengan proses pemberian izin harus diatur lebih tegas sehingga dalam pengelolaan dan pengusaan air bisa terarah.
760
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG Naskah Akademik ini berfungsi mengarahkan ruang lingkup materi muatan Rancangan Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang SDA yang akan dibentuk. Di dalam Bab ini, sebelum menguraikan ruang lingkup materi muatan, dirumuskan sasaran yang akan diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan. Materi didasarkan pada ulasan yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya. Dari beberapa persoalan yang terasa dalam Undang-Undang No 7 Tahun 2004, seperti yang telah disampaikan terdahulu maka yang krusial menurut kami dari analisis yang dilakukan adalah persoalan paradigma sebagai pondasi daripada Undang-Undang No.7 Tahun 2004, yang memang tidak sama dengan yang diinginkan. Dari aspek-aspek legal formal yang disampaikan diatas, maka RUU yang akan disusun adalah RUU Perubahan. Menurut BAB II huruf D angka 230 dan angka 231, Perubahan Perundang-undang dilakukan dengan: 1. Menyisip atau menambah materi kedalam Peraturan Perundang-undangan. 2. Menghapus atau mengganti sebagian materi Peraturan Perundang-undangan. Perubahan Perundang-undangan dapat dilakukan terhadap: a. seluruh atau sebagian buku, bab, bagian, paragraf, pasal, dan/atau ayat; atau b. kata frasa, istilah, kalimat, angka, dan/atau tanda baca. Perubahan dilakukan terhadap pasal-pasal yang selama ini menimbulkan tidak adanya kepastian hukum di masyarakat. Perubahan yang dilakukan sekaligus menegakkan kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta menjamin hak-hak ulayat masyarakat hak adat serta masyarakat hukum adat serta masyarakat di sekitar Sumber Daya Air. A. Ketentuan umum Dalam ketentuan umum dalam undang-undang nomor 7 tahun 2004 perlu diperhatikan disamping konsideran yang lebih dipertegas terkait tentang penyeimbangan ekpsloitasi air dengan ketersedian air, dan juga beberapa pasal, ayat dan poin yang ditambah dan diubah seperti misal dalam pasal 9 diatur pembatasan hak guna usaha air dalam jangka tertentu, hal ini penting sekali karena jika tidak dipertegas dalam undang-undang sangat memungkinkan terjadi ekploitasi dan komersialisasi tanpa batas yang dapat merusak lingkungan dan merugikan masyarakat sekitar. Dengan adanya pembatasan jangka waktu ekploitasi,serta mekanisme dan syarat yang harus dipenuhi dalam pengelolaan dan pengusahaan SDA, maka kondisi SDA akan dapat dikontrol setiap kali perpanjangan izin usaha air. Dari hasil temuan dan kunjungan Anggota Komite II DPD RI disimpulkan bahwa meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dari tahun ketahun, perkembangan industri pertanian kecil, menenagah dan besar telah mengakibatkan peningkatan kebutuhan air guna menunjang penyediaan pangan dan kesehatan, serta media produksi. Akibatnya, telah terjadi ketidak seimbangan antara ketersediaan air dengan kebutuhan, sehingga konflik antara pengguna dan pemakai sering ditemukan. B. Ketentuan Sanksi Sanksi yang dikenakan kepada para pengguna air yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan tidak dapat ditentukan pada saat ini, karena untuk penentuan sanksi tersebut diperlukan kajian yang mendalam dengan besarnya biaya (akibat) yang diakibatkan/ditimbulkan oleh adanya pelanggaran terhadap suatu ketentuan tertentu. Pada saat ini, informasi ini tidak tersedia. C. Materi yang akan diatur
1) Undang-Undang No 7 2004 memberi peluang timbulnya komersialisasi dan swastanisasi
pengelolaan SDA (Pasal 40 ayat 4): penguasaan dan monopoli sumber-sumber air oleh swasta, terkonsentrasinya penggunaan air bagi kepentingan komersil: privatisasi PDAM dan AMDK. Usulan: adalah sebagai berikut: o Koperasi, badan usaha swasta, dan masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minumdengan bekerjasama dengan badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah 2) Perlunya pembatasan Hak Guna Usaha Air (HGUA): o Pertanian Rakyat (Pasal 8) - Perubahan ayat yaitu penambahan bahwa tentang penggunaan air tidak hanya pertanian, tapi juga untuk perikanan dan perkebunan. o Jangka waktu HGUA (Pasal 9 ayat 1a, 1b, ) - tambahan pasal. o Berakhirnya HGUA (Pasal 9A) - tambahan pasal
761
o Pengembalian HGUA (Pasal 9B) – tambahan pasal o Pencabutan HGUA (Pasal 9C) – tambahan pasal. 3) Perlunya definisi Pengelolaan Sumber Daya Air secara Terpadu : Keterpaduan sistem alami dan Keterpaduan sistem non-alami (pasal 11 ayat 1a, 1b,) – tambahan pasal 4) Aspek kewenangan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Peran Dewan Sumber Daya Air: (Pasal 14 poin g dan l – serta tambahan pasal pada 14 A). 5) Aspek koordinasi dan ketatalaksanaan dalam pengelolaan sumber daya air. Pasal 85 ayat 1 dan pasal 86 ayat 1: koordinasi dalam rangka pengelolaan SDA terpadu. 6) Pembayaran Jasa Pengelolaan sumber daya air dan Jasa Lingkungan air (Bab I pasal 9A).
762
BAB VI PENUTUP A.
Kesimpulan Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air sebenarnya sudah komprehensif dibandingkan UU sebelumnya, yakni Undang-Undang nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan. Namun, setelah 9 tahun diimplementasikan, Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 masih menghadapi kendala dan permasalahan dalam pelaksanaannya, terutama dalam hal koordinasi antar kelembagaan pengelolaa SDA. Persoalan mendasar lainnya adalah masih banyaknya peraturan penjelas (baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden/Menteri) yang belum dihasilkan; sertaadanya pergeseran paradigma pengelolaan SDA, dari yang sebelumnya lebih dianggap sebagai barang sosial, menjadi barang ekonomis, sehingga harus ada upaya penyeimbangan antara pendayagunaan dan pemanfaatan SDA, serta pengaturan lebih tegas terkait izin, konservasi dan perhatian terhadap lingkungan. Prinsip lain yang belum secara eksplisit dirumuskan di dalam suatu Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang SDA adalah adanya pengaturan yang mampu mengarahkan pengelolaan SDA dalam suatu keterpaduan antar-wilayah, antar-sektor, antar-waktu dan antar-generasi. Hal ini sangat penting mengingat potensi ketersediaan SDA di Indonesia cenderung mengalami penurunan dan pencemaran, sementara kebutuhannya terus mengalami peningkatan. Pemanfaatan air yang tidak terkelola dengan baik dan terintegrasi dapat menimbulkan masalah-masalah sosial, ekonomi dan lingkungan, yang jika tidak dapat dicegah dan diperbaiki, masalah tersebut akan terakumulasi dan menjadi ‘bom waktu’. Oleh karena itu, aspek koordinasi antar lembaga (stakeholders) terkait dalam pengelolaan SDA harus secara eksplisit dimasukkan ke dalam materi Undang-Undang. Operasionalisasi Undang-Undang SDA belum optimal karena lemahnya aspek koordinasi antar lembaga pengelola SDA, lemahnya kapasitas kelembagaan dan personal dari instansi pemerintah dalam mengelola SDA, kurangnya pembiayaan dalam pengembangan dan pemanfaatan SDA, pengelolaan daya rusak air, serta faktor lainnya. Untuk mengatasi hal ini, maka Undang-Undang SDA harus lebih tegas lagi dalam mengatur aspek-aspek tersebut. B. Saran Naskah ini belumlah sempurna dan perlu didiskusikan lebih dalam lagi oleh Tim, namun dari beberapa masalah yang diangkat dan dibahas, maka dalam rangka perubahan dapat disarankan: 1. Sebagai barang sosial dan jugaekonomis,SDA harus diatur pendayagunaan dan pemanfaatannya dengan melakukan pembatasan terhadap kapasitas pemanfaataan SDA, disesuaikan dengan kondisi wilayahnya dan pola alokasinya. 2. Izin penggunaan air, khususnya izin pemakaian air dan izin usaha air, bisa diberikan kepada perseorangan atau perusahaan, namun kepemilikan/penguasaan SDA tetap berada di tangan pemerintah (pusat atau daerah). Pengusaha hanya memiliki hak atas pengusahaan air saja, dan pemerintah harus selektif dalam memberikan izin kepada pemegang hak pemaiakai/ usaha air dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang SDA. 3. Pemberian peran kepada perseorangan atau badan usaha dalam pengelolaan SDA tidak bisa dilepaskan begitu saja dari peran pemerintah atau pemerintah daerah. Oleh karenanya, pemberian hak guna usaha air kepada perseorangan dan badan usaha tersebut harus tetap dikerjasamakan dengan badan usaha milik pemerintah (pusat atau daerah) yang berwenang dalam pengelolaan SDA. 4. Pengelolaa SDA yang dilakukan oleh badan usaha atau perseorangan, wajib memberikan kompensasi dan mengimplementasikan aspek perlindungan dan penghormatan kepada hak asasi manusia terhadap air dalam rangka pencapaian tujuan peningkatan kesejahteraan rakyat. 5. Upaya-upaya pemanfaatan dan konservasi SDA dan lingkungan yang telah diakomodasikan ke dalam materi Undang-Undang harus dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen, karena potensi ekses (biaya) yang ditimbulkan dari kerusakan SDA dan lingkungan sangat besar. Juga untuk mengantisipasi peningkatan kebutuhan air dalam jangka panjang.
763
DAFTAR PUSTAKA BAPPENAS. 2007. Prosiding Lokakarya Nasional I: KAJI Ulang Arah Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air. Jakarta, 4 April 2007. Baumann, Duane D; John J Bolland and W Michael Hanemann.Urban Water Demand Management and Planning. McGraw-Hill Inc. New York. Bird, Jeremy; Wouter Lincklaen Arriens and Dennis Von Custodio. 2009. Water Rights and Water Allocation: Issues and Challenges for Asia. Water for All Series 17, Asian Development Bank, Manila. Dewan Perwakilan Daerah. 2013. Laporan Uji Sahih ke Sumatera Barat dan Bali. Dewan Perwakilan Daerah. 2013. Laporan Pelaksanaan Telaah dan Implementasi serta Pendalaman Materi Komite II DPD ke Australia dalam Pembahasan Bidang Sumber Daya Air dan Perkebunan. Food and Agricultural Organization. 2010. Aquastat – Country Profile: Indonesia.http://www.fao. org/nr/water/aquastat/countries_regions/ indonesia/index.stm Griffin, Ronald C. 2006. Water Resource Economics: the analysis of scarcity, policies and projects. The MIT Press, Massachussetts. Koadoatie, Robert J dan M Basoeki. 2005. Kajian Undang-Undang Sumber Daya Air. Yogyakarta: ANDI. Molden, David (Ed.) (2007). Water for Food, Water for Life: A Comprehensive Assessment of Water Management in Agriculture. IWMI and Earthscan. Molden, David. 2007. Water for Food, Water for Life: A Comprehensive Assessent ofWater Management in Agriculture. International Water Management Institute and Eartscan, London. PERPAMSI (Indonesian Water Supply Association). 2009. PERPAMSI Profile. PERPAMSI, Jakarta. PERPAMSI (Indonesian Water Supply Association). 2010. Peta Masalah PDAM: Ringkasan Eksekutif. PERPAMSI, Jakarta. Salim, Emil. 2007. Arah Kebijakan Nasional Pengelolaan Air. Bab di dalam Bappenas 2007. Sjarief, Roestam; M Amron dan Sutardi. 2007. Perspektif Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Bab di dalam Bappenas 2007. Syaukat, Yusman. 2000. Economics of Integrated Surface and Ground Water Use Management in the Jakarta Region, Indonesia. PhD Dissertation, University of Guelph, Canada. Syaukat, Yusman. 2010. Managing Indonesia’s Water Resources. AsiaViews Vol. III no 10, February-March 2010, pp 10-11. Undang Undang Dasar 1945: Naskah Asli dan Perubahannya. Penerbit Pustaka, Jakarta, 2006. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang Kehutanan. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
764
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
BAGIAN KEDUA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG –UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR
Jakarta 2013 765
766
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
PENJELASAN
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN ... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG -UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG -UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, I. Umum
Menimbang :
a.
b.
c.
bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam segala bidang dengan prinsip berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan; bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air beberapa ketentuan dipandang sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu dilakukan perubahan; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b diatas perlu membentuk undang-undang tentang perubahan atas undang-undang sumber daya air;
Meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun, berkembangannya industri kecil, menengah dan besar telah mengakibatkan peningkatan kebutuhan air guna menunjang penyediaan pangan dan kesehatan, serta media produksi. Akibatnya, telah terjadi ketidak-seimbangan antara ketersediaan air dengan kebutuhan, sehingga konflik antara pengguna dan pemanfaat sering ditemukan di berbagai wilayah Indonesia. Bahwa dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, kerusakan dan pencemaran lingkungan yang semakin meluas, maka sumber daya air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras. Kesadaran masyarakat akan permintaan air sebagai penunjang hidup yang vital berbanding terbalik dengan ketersediaan yang ada. Kondisi yang dialami Indonesia dari tahun ke tahun hingga saat ini, telah terjadi penurunan debit air dari sumber-sumber mata air yang ada di wilayah Indonesia. Kondisi ini
767
dipengaruhi berbagai faktor, diantaranya adalah eksploitasi sumber daya air tanpa batas, tidak optimalnya usaha konservasi lingkungan akibat dilakukannya eksploitasi sumber daya air secara berlebih dan terusmenerus dan semakin kurangnya daerah resapan air yang dapat menyimpan cukup cadangan air yang nantinya dapat diolah di penampungan air bersih untuk dapat dimanfaatkan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air, merupakan landasan hukum dalam pengelolaan sumber daya air, untuk menjaga keberlangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Dengan lahirnya undang-undang ini diharapkan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya air dapat lebih efektif, efisien dan berkelanjutan untuk kemaslahatan masyarakat umumnya. Sejalan dengan makin kompleks dan beragamnya permasalahan tentang pengelolaan sumber daya air menjadi penting sebagai masukan, sehingga perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air tentang sumber daya air dinilai perlu dipercepat agar memiliki landasan kuat dalam pengelolaan sumberdaya air demi menjaga kelangsungan hidup manusia mengingat air sangat penting bagi kehidupan. Mengingat
:
1. Pasal 20, Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4377) Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR. II. Pasal per-pasal Pasal I
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4377) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 16 dan angka 17 diubah, serta penambahan Angka 1 angka 27 dan angka 28 sehingga pasal 1 berbunyi sebagai berikut : Pasal 1 Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Cukup jelas
768
1.
Sumber Daya Air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya. 2. Air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat. 3. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah. 4. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. 5. Sumber Air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah. 6. Daya Air adalah potensi yang terkandung dalam air dan/atau pada sumber air yang dapat memberikan manfaat ataupun kerugian bagi kehidupan dan penghidupan manusia serta lingkungannya. 7. Pengelolaan Sumber Daya Air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. 8. Pola Pengelolaan Sumber Daya Air adalah kerangka dasar dalam merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi kegiatan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. 9. Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air adalah hasil perencanaan secara menyeluruh dan terpadu yang diperlukan untuk menyelenggarakan pengelolaan sumber daya air. 10. Wilayah Sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaansumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2. 11. Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. 12. Cekungan Air Tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung. 13. Hak Guna Air adalah hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air untuk berbagai keperluan. 14. Hak Guna Pakai Air adalah hak untuk memperoleh dan memakai air. 15. Hak Guna Usaha Air adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan air. 16. Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintah oleh Pemerintahan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 17. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
769
18.
19.
20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Konservasi Sumber Daya Air adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang. Pendayagunaan Sumber Daya Air adalah upaya penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air secara optimal agarberhasil guna dan berdaya guna Pengendalian Daya Rusak Air adalah upaya untuk mencegah, menanggulangi, dan memulihkan kerusakan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh daya rusak air. Daya Rusak Air adalah daya air yang dapat merugikan kehidupan. Perencanaan adalah suatu proses kegiatan untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan secara terkoordinasi dan terarah dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan sumber daya air. Operasi adalah kegiatan pengaturan, pengalokasian, serta penyediaan air dan sumber air untuk mengoptimalkan pemanfaatan prasarana sumber daya air. Pemeliharaan adalah kegiatan untuk merawat sumber air dan prasarana sumber daya air yang ditujukan untuk menjamin kelestarian fungsi sumber air dan prasarana sumber daya air. Prasarana Sumber Daya Air adalah bangunan air beserta bangunan lain yang menunjang kegiatan pengelolaan sumber daya air, baik langsung maupun tidak langsung. Pengelola Sumber Daya Air adalah institusi yang diberi wewenang untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya air. Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum. Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
2. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut: Angka 2 Pasal 2 Pasal 2 Sumber daya air dikelola berdasarkan asas: a. kemanfaatan umum; Huruf a
b.
keadilan;
Yang dimaksud dengan asas kemanfaatan umum adalah pengelolaan sumber daya air dilaksanakan untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan umum secara efektif dan efisien. Huruf b Yang dimaksud dengan asas keadilan adalah bahwa pemanfaatan sumber daya air harus dapat diperoleh manfaatnya sebagian besar bagi sisi sosial bukan dari sisi ekonomi sehingga masyarakat dapat menggunakan air bagi kehidupan sehari-hari.
770
c.
d.
e.
f.
g.
keseimbangan;
Huruf c
keterpaduan dan keserasian;
Yang dimaksud dengan asas keseimbangan adalah keseimbangan antara fungsi sosial, fungsi lingkungan hidup, dan fungsi ekonomi. Sedangkan yang dimaksud dengan asas keadilan adalah bahwa pengelolaan sumber daya air dilakukan secara merata ke seluruh lapisan masyarakat di wilayah tanah air sehingga setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk berperan dan menikmati hasilnya secara nyata. Huruf d
kemandirian;
Yang dimaksud dengan asas keterpaduan dan keserasian adalah bahwa pengelolaan sumberdaya air dilakukan secara terpadu dalam mewujudkan keserasian untuk berbagai kepentingan dengan memperhatikan sifat alami air yang dinamis. Huruf e
transparansi dan akuntabilitas;
Yang dimaksud dengan asas kemandirian adalah bahwa pengelolaan sumber daya air di lakukan dengan memperhatikan kemampuan dan keunggulan sumber daya setempat. Huruf f
kelestarian; dan
Yang dimaksud dengan asas transparansi dan Akuntabilitas mengandung pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya air dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggung-jawabkan. Huruf g Yang dimaksud dengan asas kelestarian adalah bahwa pendayagunaan sumber daya air diselenggarakan dengan menjaga kelestarian fungsi sumber daya air secara berkelanjutan.
771
h.
pelestarian dan kearifan lokal.
Huruf g
Yang dimaksud dengan asas kearifan lokal adalah bahwa pengelolaan sumberdaya air juga memperhatikan gagasan atau pengetahuan masyarakat setempat yang sesuai dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya setempat sedangakan yang dimaksud dengan asas berwawasan lingkungan adalah bahwa pengelolaan sumber daya air secara terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan, perencanaan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. 3. Ketentuan Pasal 6 ayat (3) diubah dan menyisipkan satu ayat Angka 3 baru ayat (3a) diantara ayat (3) dan ayat (4) sehingga Pasal 6 keseluruhannya berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 Pasal 6 (1) Sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan Cukup jelas. untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (2) Penguasaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/ atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan. (3) Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diakui keberadaannya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang. (3a) Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air diakui keberadaannya sepanjang ,masih hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila: a) adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok; b) adanya pranata pemerintahan adat; c) adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; d) adanya perangkat norma hukum adat khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial; dan/atau e) adanya wilayah tertentu. (4) Atas dasar penguasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan hak guna air. 4. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) diubah sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai Angka 4 berikut: Pasal 8
772
Pasal 8
(1)
(2)
Hak guna pakai air diperoleh tanpa izin untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari bagi perseorangan dan bagi pertanian rakyat dalam arti luas yang berada di dalam sistem irigasi.
Hak guna pakai air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerlukan izin apabila:
Yang dimaksud dengan pertanian rakyat dalam arti luas adalah budi daya pertanian yang meliputi berbagai komoditi yaitu pertanian tanaman pangan dan non pangan, perikanan budidaya, peternakan, perkebunan, dan kehutanan yang dikelola oleh rakyat dengan luas tertentu yang kebutuhan airnya tidak lebih dari 2 liter per detik per kepala keluarga. Ayat (2) Cukup jelas.
a.
(3) (4)
cara menggunakannya dilakukan dengan mengubah kondisi alami sumber air; b. ditujukan untuk keperluan kelompok yang memerlukan air dalam jumlah besar; atau c. digunakan untuk pertanian rakyat di luar sistem irigasi yang sudah ada. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan-nya. Hak guna pakai air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak untuk mengalirkan air dari atau ke tanahnya melalui tanah orang lain yang berbatasan dengan tanahnya.
Ayat (1)
Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
5. Ketentuan Pasal 9 diubah dan menyisipkan lima ayat baru ayat (2a), Angka 5 ayat (2b), ayat (2c), ayat (2d), dan ayat (2e) diantara ayat (2) dan ayat (3) dan menambahkan satu ayat baru ayat (5) sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 Pasal 9 Hak Guna Usaha Air dapat diberikan kepada perseorangan Ayat (1) atau badan usaha dengan izin dari Pemerintah atau Cukup jelas. pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. (2) Hak Guna Usaha Air diberikan dalam jangka waktu paling Ayat (2) lama 10 (sepuluh) tahun dengan kapasitas yang disesuaikan Yang dimaksud dengan dengan kemampuan produksi, sistem alokasi sumber daya air kemampuan produksi adalah di wilayah setempat, analisis mengenai dampak lingkungan jumlah debit air yang mampu dan kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah. dihasilkan dari suatu sumber air, misalnya debir mata air 200 liter/ detik. Alokasi sumberdaya air adalah upaya pengaturan untuk berbagai keperluan dari waktu ke waktu dengan memperhatikan jumlah dan mutu air pada lokasi tertentu, yang meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. (2a) Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan Ayat (2a) kewenangannya mencabut Hak Guna Usaha Air yang Cukup jelas. belum dimanfaatkan sampai dengan 2 (dua) tahun sejak diterbitkannya. (2b) Hak Guna Usaha Air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat Ayat (2b) diperpanjang setelah diberikan penilaian oleh Pemerintah Cukup jelas. atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bahwa pemegang Hak Guna Usaha Air telah memenuhi kewajiban dan melaksanakan pengelolaan sumber daya air sesuai ketentuan teknis yang ditetapkan. (1)
773
(2c)
Perpanjangan Hak Guna Usaha air sebagaimana dimaksud pada ayat (2b) diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan permohonannya harus diajukan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum hak berakhir. (2d) Setelah jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2c) berakhir, atas permohonan bekas pemegang hak dapat diberikan Hak Guna Usaha Air baru, dengan jangka waktu sebagaimana yang ditentukan pada ayat (1) dan persyaratan yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (2e) Pemegang Hak Guna Usaha Air wajib mengalokasikan peruntukan air bagi masyarakat sekitar. (3) (4) (5)
Pemegang Hak Guna Usaha Air dapat mengalirkan air di atas tanah orang lain berdasarkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa kesepakatan ganti kerugian atau kompensasi Bagi pemegang Hak Guna Air yang tidak mengalokasikan peruntukan air bagi masyarakat sekitar sebagaimana dimaksud pada ayat (2e), Pemerintah atau Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangnnya dapat mencabut tersebut, apabila teguran tertulisnya disampaikan Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tidak dilaksanakan.
Ayat (2c) Cukup jelas. Ayat (2d) Cukup jelas.
Ayat (2e) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.
6. Diantara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 4 (empat) pasal yaitu Pasal Angka 6 9A, 9B, 9C dan Pasal 9D yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 9A (1) (2) (3) (4)
(5)
(6) (7) (8)
(9)
774
Pasal 9A Pemegang hak guna usaha air berizin wajib Ayat (1) membayar Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air dan Cukup jelas. Jasa Lingkungan Air. Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air bersifat Ayat (2) wajib dan bukan merupakan bentuk tanggung jawab sosial Cukup jelas. perusahaan. Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air dipungut Ayat (3) paling besar 10% (sepuluh perseratus) dari keuntungan Cukup jelas. tahunan perusahaan. Penetapan Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air Ayat (4) dilakukan dengan Peraturan Pemerintah untuk Hak Guna Cukup jelas. Usaha Air yang diberikan izin dari Pemerintah dan Peraturan Daerah untuk Hak Guna Usaha Air yang diberikan izin dari Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air Ayat (5) diperuntukkan sebagai kompensasi kepada masyarakat yang Cukup jelas. terkait langsung dengan pelestarian sumberdaya di daerah hulu, dan untuk tujuan pembangunan secara umum. Biaya Jasa Lingkungan Air bersifat wajib dan bukan Ayat (6) merupakan bentuk tanggung jawab sosial perusahaan. Cukup jelas. Biaya Jasa Lingkungan dipungut paling besar 10% Ayat (7) (sepuluh perseratus) dari keuntungan tahunan perusahaan. Cukup jelas. Penetapan Biaya Jasa Lingkungan Air dilakukan Ayat (8) dengan Peraturan Pemerintah untuk Hak Guna Usaha Air Cukup jelas. diberikan izin dari Pemerintah dan Peraturan Daerah untuk Hak Guna Usaha Air diberikan izin dari Pemerintah Daerah. Biaya Jasa Lingkungan Air diperuntukkan secara Ayat (9) keseluruhan untuk mempertahankan dan memperbaiki kondisi Cukup jelas. alam dan lingkungan.
(10) Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air dan Biaya Jasa Lingkungan Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. (11) Bagi pemegang Hak Guna Usaha Air yang tidak membayar Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air dan Jasa Lingkungan Air dikenai sanksi administratif berupa : a. denda administratif;
Ayat (10) Cukup jelas. Ayat (11) Huruf a
b.
pemberhentian sementara;
Cukup jelas. Huruf b
c.
pencabutan Hak Guna Usaha Air; dan/atau
Cukup jelas. Huruf c
d.
daya paksa polisional.
Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan daya paksa polisional adalah tindakan paksa oleh pihak yang berwenang kepada pemegang Hak Guna Usaha Air untuk membayar Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air dan Jasa Lingkungan Air.
Pasal 9B Hak guna usaha air berakhir karena: a. dikembalikan; b. dicabut; atau c. habis masa berlakunya.
Pasal 9B Cukup jelas
Pasal 9C Pasal 9C (1) Pemegang hak guna usaha air dapat menyerahkan kembali Cukup jelas dengan pernyataan tertulis kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan disertai dengan alasan yang jelas. (2) Pengembalian hak guna usaha air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah setelah disetujui oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan setelah dipenuhi kewajibannya. Pasal 9D Pasal 9D Hak guna usaha air dapat dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati/ Cukup jelas walikota sesuai dengan kewenangannya apabila: a. pemegang hak guna usaha air tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam mendapatkan izin guna usaha air serta tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. pemegang hak guna usaha air melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini; atau c. pemegang hak guna usaha air dinyatakan pailit.
7. Ketentutan Pasal 10 diubah sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai Angka 7 berikut: Pasal 10 Pasal 10 Ketentuan mengenai hak guna air sebagaimana dimaksud dalam Cukup jelas Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 9A, Pasal 9B, dan Pasal 9C diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
775
8. Ketentuan Pasal 11 ayat (1) diubah dan disisipkan 3 (tiga) ayat Angka 8 setelah ayat (1) yaitu ayat (1a), ayat (1b), ayat (1c), ayat (2) dihapus, ayat (3) diubah, ayat (5) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 11 berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 Pasal 11 Penjaminan keterselenggaraan pengelolaan sumber daya Cukup jelas air yang dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat dalam segala bidang kehidupan dilakukan dengan berdasarkan pola pengelolaan sumber daya air secara terpadu. (1a) Keterpaduan pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keterpaduan berdasarkan sistem alami dan non alami. (1b) Keterpaduan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) dilakukan berdasarkan sistem nonalami yang mencakup: a. keterpaduan antara daerah hulu dan daerah hilir; b. keterpaduan antara kuantitas dan kualitas air; c. keterpaduan antara air hujan, air permukaan, dan air tanah; d. keterpaduan antara konservasi dan pendayagunaan sumber daya air; dan e. keterpaduan antara penggunaan lahan dan pendayagunaan air. (1c) Keterpaduan pengelolaan berdasarkan sistem non alami sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) meliputi: a. keterpaduan antarsektor; b. keterpaduan antarpihak terkait; dan c. keterpaduan antarwilayah administratif, baik secara vertikal maupun horizontal. (2) Dihapus (3) Penyusunan pola pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha. (4) Pola pengelolaan sumber daya air didasarkan pada prinsip keseimbangan antara upaya konservasi dan pendayagunaan sumber daya air (5) Ketentuan mengenai penyusunan pola pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. (1)
9. Ketentuan Pasal 12 dihapus. 10.
Ketentuan Pasal 15 ditambah huruf yaitu (m), sehingga Pasal 12 Angka 10 berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 Pasal 15 Wewenang dan tanggung jawab pemerintah provinsi meliputi: Cukup jelas a. menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dengan memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya; b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota; c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya; d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota; e. melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan provinsi sekitarnya;
776
f. g.
h. i. j. k. l. m.
11.
mengatur, menetapkan, dan memberi izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota; mengatur, menetapkan, dan memberi rekomendasi teknis atas penyediaan, pengambilan, peruntukan, penggunaan dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota; membentuk dewan sumber daya air atau dengan nama lain di tingkat provinsi dan/atau pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota; memfasilitasi penyelesaian sengketa antarkabupaten/kota dalam pengelolaan sumber daya air; membantu kabupaten/kota pada wilayahnya dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat atas air; menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota; dan memberikan bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada pemerintah kabupaten/kota. melakukan inventarisasi potensi sumber daya air di provinsi dan mengoordinasikan pengelolaan sumber daya air lintas kabupaten/kota dengan mempertimbangkan keseimbangan antara pendayagunaan dan pemanfaatan sumber daya air.
Ketentuan Pasal 16 ditambah huruf yaitu (j), sehingga Pasal 16 Angka 11 berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 Pasal 16 Wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota Cukup jelas meliputi: a. menetapkan kebijakan pengelolaan sumber daya air di wilayahnya berdasarkan kebijakan nasional sumber daya air dan kebijakan pengelolaan sumber daya air provinsi dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya; b. menetapkan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota; c. menetapkan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya; d. menetapkan dan mengelola kawasan lindung sumber air pada wilayahsungaidalam satu kabupaten/kota; e. melaksanakan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan kabupaten/kota sekitarnya; f. mengatur, menetapkan, dan memberi izin penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah di wilayahnya serta sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota; g. membentuk dewan sumber daya air atau dengan nama lain di tingkat kabupaten/kota dan/atau pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota; h. memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari atas air bagi masyarakat di wilayahnya; i. menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota; dan j. melakukan inventarisasi potensi sumber daya air dan mengoordinasikan pengelolaan sumber daya air di dalam kabupaten/kota dengan mempertimbangkan keseimbangan antara pendayagunaan dan pemanfaatan sumber daya air.
777
12.
Ketentuan Pasal 20 (1) dan ayat (2) diubah, sehingga Pasal 20 Angka 12 berbunyi sebagai berikut:
(1) (2)
13.
Pasal 20 Pasal 20 Konservasi sumber daya air ditujukan untuk menjaga Cukup jelas keberadaan, kualitas, kontinuitas, daya dukung, daya tampung, dan fungsi sumber daya air. Konservasi sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air, pengawetan air, pengelolaan kualitas air, pencegahan, dan pengendalian pencemaran air dengan mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air secara terpadu yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai.
Ketentuan Pasal 21 ayat (1), ayat (2) huruf (f), dan (g) diubah Angka 13 sehingga Pasal 21 berbunyi sebagai berikut:
(1)
(2)
Pasal 21 Pasal 21 Perlindungan dan pelestarian sumber air ditujukan untuk Ayat (1) melindungi dan melestarikan sumber air beserta lingkungan Cukup jelas. keberadaannya terhadap kerusakan atau gangguan yang disebabkan oleh daya alam, termasuk banjir dan kekeringan, dan yang disebabkan oleh tindakan manusia. Perlindungan dan pelestarian sumber air sebagaimana Ayat (2) dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air; b. pengendalian pemanfaatan sumber air;
Cukup jelas. Huruf b
c. pengisian air pada sumber air;
Cukup jelas. Huruf c
d. pengaturan prasarana dan sarana sanitasi;
Cukup jelas. Huruf d
e. perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan pada sumber air; f. pengendalian pemanfaatan lahan dan pelarangan alih fungsi lahan di daerah hulu; g. pengaturan, pengendalian, dan pengawasan daerah sempadan sumber air;
h. rehabilitasi hutan dan lahan; dan/atau i. pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam, dan kawasan pelestarian alam.
778
Huruf a
Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud daerah sempadan sumber air adalah kawasan sepanjang sisi kiri dan kanan saluran air atau sungai termasuk sungai buatan/ kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas.
14.
Ketentuan Pasal 22 ayat (2) huruf a diubah, sehingga Pasal 22 Angka 14 berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 Pasal 22 (1) Pengawetan air ditujukan untuk memelihara keberadaan dan Cukup jelas ketersediaan air atau kuantitas air, sesuai dengan fungsi dan manfaatnya. (2) Pengawetan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara: a. menyimpan air yang berlebih pada saat hujan untuk dimanfaatkan pada waktu diperlukan; b. menghemat air dengan pemakaian yang efisien dan efektif; dan/atau c. mengendalikan penggunaan air tanah. (3) Ketentuan mengenai pengawetan air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
15.
Ketentuan Pasal 23 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga Angka 15 Pasal 23 berbunyi sebagai berikut: Pasal 23 Pasal 23 (1) Pengelolaan kualitas air, pencegahan, dan pengendalian Ayat (1) pencemaran air ditujukan untuk mempertahankan dan Cukup jelas. memulihkan kualitas air yang masuk dan yang ada pada sumber-sumber air dan ekosistemnya. (2) Pengelolaan kualitas air sebagaimana dimaksud pada ayat Ayat (2) (1) dilakukan dengan cara memperbaiki kualitas air pada Yang dimaksud ekosistem sumber air dan prasarana sumber daya air serta ekosistem adalah suatu bentuk menyeluruh mulai dari hulu hingga ke hilir. atau tatanan yang ada di dalam air dan sekitarnya yang terdiri dari makhluk hidup dalam air tersebut dan lingkungan air itu sendiri. Ekosistem air terdiri dari komponen hidup (biotic) dan komponen tidak hidup (abiotik) yang saling mempengaruhi antara satu komponen dengan komponen lainnya. (3) Pencegahan dan Pengendalian pencemaran air sebagaimana Ayat (3) dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara mencegah Cukup jelas. dan mengendalikan masuknya zat/bahan pencemar pada sumber air mulai dari hulu hingga ke hilir dan prasarana sumber daya air. (4) Ketentuan mengenai pengelolaan kualitas air dan Ayat (4) pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud pada Cukup jelas. ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
16.
Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai Angka 16 berikut: Pasal 24 Pasal 24 Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan Cukup jelas yang mengakibatkan rusaknya sumber air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air, dan/atau mengakibatkan pencemaran air dan kerusakan ekosistem air.
17.
Ketentuan Pasal 40 ayat (4) diubah sehingga Pasal 40 berbunyi Angka 16 sebagai berikut: Pasal 40 Pasal 40
779
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
18.
Ayat (1)
Badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah merupakan penyelenggara pengembangan sistem penyediaan air minum.
Ayat (3)
Koperasi, badan usaha swasta, dan masyarakat dapat bekerjasama dalam penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum.
Ayat (4)
Pengaturan terhadap pengembangan sistem penyediaan air minum bertujuan untuk:
a. terciptanya pengelolaan dan pelayanan air minum yang berkualitas dengan harga yang terjangkau; b. tercapainya kepentingan yang seimbang antara konsumen dan penyedia jasa pelayanan; dan c. meningkatnya efisiensi dan cakupan pelayanan air minum. Pengaturan pengembangan sistem penyediaan air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diselenggarakan secara terpadu dengan pengembangan prasarana dan sarana sanitasi sebagaimana dimaksuddalam Pasal 21 ayat (2) huruf d. Untuk mencapai tujuan pengaturan pengembangan sistem penyediaan air minum dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Pemerintah dapat membentuk badan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri yang membidangi sumber daya air. Ketentuan pengembangan sistem penyediaan air minum, badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah penyelenggara pengembangan sistem penyediaan air minum, peran serta koperasi, badan usaha swasta, dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan sistem penyediaan air minum, dan pembentukan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (7) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.
Cukup jelas.
Yang dimaksud dapat bekerjasama dalam p e n y e l e n g g a r a a n pengembangan sistem penyediaan air minum adalah penguasaan dan pengalokasian air minum tetap berada di sektor publik. Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7) Cukup jelas.
Ayat (8) Cukup jelas.
Diantara Pasal 40 dan Pasal 41 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Angka 18 Pasal 40A yang berbunyi sebagai berikut:
(1)
(2)
780
Pemenuhan kebutuhan air baku untuk air minum rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dilakukan dengan pengembangan sistem penyediaan air minum. Pengembangan sistem penyediaan air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah.
Pasal 40A Pasal 40A Badan usaha swasta, koperasi, dan perseorangan Cukup jelas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4) yang melakukan usaha air atau penyediaan air wajib memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis, dan persyaratan lingkungan. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administratif, persyaratan teknis, dan persyaratan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
19.
20.
Ketentuan Pasal 41 ayat (2) diubah dan ditambah huruf (d) serta Angka 19 pada ayat 3 (tiga) dihapus sehingga Pasal 41 berbunyi sebagai berikut: Pasal 41 Pasal 41 (1) Pemenuhan kebutuhan air baku untuk pertanian Cukup jelas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dilakukan dengan pengembangan sistem irigasi. (2) Pengembangan sistem irigasi primer, sekunder, dan tersier menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah dengan ketentuan: a. pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder lintas provinsi menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah; b. pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder lintas kabupaten/kota menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah provinsi; c. pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder yang utuh pada satu kabupaten/kota menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan; dan d. Pengembangan sistem irigasi tersier pada suatu kabupaten/kota menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan dengan melibatkan perkumpulan petani pemakai air. (3) Dihapus. (4) Pengembangan sistem irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mengikutsertakan masyaraka. (5) Pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder dapat dilakukan oleh perkumpulan petani pemakai air atau pihak lain sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya . (6) Ketentuan mengenai pengembangan sistem irigasi diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Ketentuan Pasal 59 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 59 berbunyi Angka 20 sebagai berikut:
(1)
(2) (3) (4)
21.
Pasal 59 Pasal 59 Perencanaan pengelolaan sumber daya air disusun untuk Cukup jelas memberikan pedoman dan arah serta sebagai alat kendali pencapaian tujuandalam pelaksanaan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Perencanaan pengelolaan sumber daya air dilaksanakan berdasar-kan asas pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Perencanaan pengelolaan sumber daya air disusun sesuai dengan pola pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. Rencana pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu unsur dalam penyusunan, peninjauan kembali, dan/atau penyempur-naan rencana tata ruang wilayah.
Ketentuan Pasal 64 ayat (6) diubah serta ayat (6) huruf (a) dan Angka 21 huruf (b) dihapus sehingga Pasal 64 berbunyi sebagai berikut: Pasal 64
Pasal 64
781
(1) (2)
(3) (4)
(5) (6)
(7) (8)
Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sumber daya air terdiri atas pemeliharaan sumber air serta operasi dan pemeliharaan prasarana sumber daya air. Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi untuk menjamin kelestarian fungsi dan manfaat sumber daya air. Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sumber daya air dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, atau pengelola sumber daya air sesuai dengan kewenangannya. Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan prasarana sumber daya air yang dibangun oleh badan usaha, kelompok masyarakat, atau perseorangan menjadi tugas dan tanggung jawab pihak-pihak yang membangun. Masyarakat ikut berperan dalam pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi primer, sekunder dan tersier menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya prasarana sumber daya air. Ketentuan mengenai operasi dan pemeliharaan sumber daya air diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Cukup jelas
22.
Ketentuan Pasal 77 ayat (2) huruf (e) diubah dan ditambah 1 (satu) Angka 22 huruf yaitu huruf f, sehingga Pasal 77 berbunyi sebagai berikut: Pasal 77 Pasal 77 (1) Pembiayaan pengelolaan sumber daya air ditetapkan Cukup jelas berdasarkan kebutuhan nyata pengelolaan sumber daya air. (2) Jenis pembiayaan pengelolaan sumber daya air meliputi: a. biaya sistem informasi; b. biaya perencanaan; c. biaya pelaksanaan konstruksi; d. biaya operasi, pemeliharaan; e. biaya konservasi; dan f. biaya pemantauan, evaluasi, dan pemberdayaan masyarakat. (3) Sumber dana untuk setiap jenis pembiayaan dapat berupa: a. pemerintah: b. anggaran swasta; dan/atau c. hasil penerimaan biaya jasa pengelolaandan kompensasi sumber daya air.
23.
Ketentuan Pasal 78 ayat (3) huruf b dan huruf c diubah, sehingga Angka 23 Pasal 78 berbunyi sebagai berikut: Pasal 78 Pasal 78 (1) Pembiayaan pengelolaan sumber daya air sebagaimana Cukup jelas dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dibebankan kepada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah pengelola sumber daya air, koperasi, badan usaha lain, dan perseorangan, baik secara sendiri-sendiri maupun dalam bentuk kerja sama. (2) Pembiayaan pengelolaan sumber daya air yang menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada kewenangan masing-masing dalam pengelolaan sumber daya air. (3) Pembiayaan pelaksanaan konstruksi dan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi diatur sebagai berikut:
782
a.
(4)
24.
pembiayaan pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan sistem irigasi primer dan sekunder menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dan dapat melibatkan peran serta masyarakat petani; b. pembiayaan pelaksanaan konstruksi sistem irigasi tersier menjadi tanggung jawab pemerintah dan/ atau pemerintah daerah; dan c. pembiayaan operasi dan pemeliharaan sistem irigasi tersier menjadi tanggung jawab Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan melibatkan perkumpulan petani pemakai air. Dalam hal terdapat kepentingan mendesak untuk pendayagunaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, lintas kabupaten/kota, dan strategis nasional, pembiayaan pengelolaan-nya ditetapkan bersama oleh Pemerintah dan pemerintah daerah yang bersangkutan melalui pola kerja sama.
Di antara Bab XV dan Bab XVI disisipkan 1 (satu) bab baru, yakni Angka 24 Bab XVA, berikut dengan penambahan sembilan pasal baru, yakni Pasal 93A, Pasal 93B, Pasal 93C, Pasal 93D, Pasal 93E, Pasal 93F, Pasal 93G, Pasal 93H, dan Pasal 93I sehingga keseluruhan Bab XVA berbunyi sebagai berikut:
BAB XVA DEWAN SUMBER DAYA AIR NASIONAL Bagian Kesatu Susunan dan Kedudukan Pasal 93A
Pasal
93A
Cukup jelas (1) (2) (3)
Untuk melaksanakan pengelolaan sumber daya air dibentuk Dewan Sumber Daya Air Nasional yang bersifat mandiri. Dewan Sumber Daya Air Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di Ibukota Negara. Dewan Sumber Daya Air (Nasional) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibentuk di Provinsi, dan Kabupaten/ Kota. Bagian Kedua Fungsi dan Wewenang Pasal 93B
Pasal 93B Cukup jelas
(1)
Dewan Sumber Daya Air Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93A mempunyai tugas dan wewenang: a. menyusun dan merumuskan kebijakan nasional serta strategi pengelolaan sumber daya air di dasarkan pada informasi potensi wilayah sungai dan cekungan air; b. memberikan pertimbangan untuk penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah; c. memantau dan mengevaluasi pelaksanaan tindak lanjut penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah, serta pengusulan perubahan penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah; dan
783
(2)
d. menyusun dan merumuskan kebijakan pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi, dan hidrogeologi pada taningkat nasional. Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Dewan Sumber Daya (Nasional) bertanggungjawab kepada Presiden.
Bagian Ketiga Susunan dan Keanggotaan Dewan Sumber Daya Air Nasional Pasal 93C
Pasal 93C Cukup jelas
(1)
(2)
Dewan Sumber Daya Air Nasional terdiri atas: a. 1 (satu) orang ketua merangkap anggota; b. 1 (satu) orang wakil ketua merangkap anggota; dan c. 7 (tujuh) orang anggota. Dalam hal ketua Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berhalangan, wakil ketua dewan menjalankan tugas dan wewenang ketua dewan. Pasal 93D
Pasal 93D Cukup jelas
(1) (2)
(3)
Presiden membentuk keanggotaan tim seleksi yang berjumlah paling banyak 11 (sebelas) orang. Tim seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membantu Presiden untuk menetapkan calon anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional yang akan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Tim seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah dan masyarakat. Pasal 93E
Pasal 93E Cukup jelas
(1) (2)
Tim seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93D melaksanakan tugasnya secara terbuka dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Dalam melaksanakan tugasnya, tim seleksi dapat dibantu oleh atau berkoordinasi dengan lembaga yang memiliki kompetensi pada bidang yang diperlukan. Pasal 93F
Pasal 93F Cukup jelas
(1)
(2)
Presiden mengajukan 14 (empat belas) nama calon atau 2 (dua) kali jumlah anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional kepada Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya berkas calon anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional. Penyampaian nama calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan abjad disertai salinan berkas administrasi setiap bakal calon anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional. Pasal 93G
Pasal 93G Cukup jelas
(1)
784
Proses pemilihan awal anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional dilakukan oleh DPD dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya berkas calon anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional dari Presiden.
(2) (3) (4)
(5)
DPD menetapkan 9 (Sembilan) calon anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional untuk dipilih oleh DPR. DPR memilih calon anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional berdasarkan calon yang diajukan oleh DPD. DPR menetapkan 7 (tujuh) calon anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional peringkat teratas dari 9 (sembilan) calon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai calon anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional terpilih. DPR menyampaikan nama calon anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) kepada Presiden. Pasal 93H
Pasal
93H
Cukup jelas (1) Presiden mengesahkan calon anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional terpilih yang disampaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya 7 (tujuh) nama anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional terpilih. (2) Pengesahan calon anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Bagian Keempat Sekretariat Jenderal Pasal 93I
Pasal 93I Cukup jelas
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, dibantu oleh sebuah sekretariat yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal. (2) Sekretaris Jenderal diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. (3) Syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Jenderal dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan di bidang kepegawaian. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, susunan organisasi, fungsi, tugas, wewenang, dan tanggungjawab sekretariat jenderal diatur dengan Peraturan Presiden. (5) Ketentuan lebih lanjut tentang Dewan Sumber Daya Air Nasional diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
25.
Dalam ketentuan peralihan diantara Pasal 97 dengan 98 disisipkan Angka 25 1 (satu) Pasal yaitu Pasal 97A, yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 97A Pasal 97A Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan Cukup jelas paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
26.
Ketentuan mengenai BAB XVI Ketentuan Penutup diubah sehingga Angka 26 berbunyi sebagai berikut: BAB XVIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 99
Pasal 99
785
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sumber daya air masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal II Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta, pada tanggal... September 2013 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta, pada tanggal .... MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA AMIR SYAMSUDIN, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ...
786
Cukup jelas