Edisi Ketiga Tahun 2008 Pedoman Imunisasi Di Indonesia Penyunting I.G.N. Ranuh Hariyono Suyitno Sri Rezeki S Hadinegoro Cissy B Kartasasmita Ismoedijanto Soedjatmi ko
Disclaimer Isi di dalam buku Pedoman Imunisasi di Indonesia ada lah hasil kesepakatan para penulis dan editor Satgas Imunisasi IDAI yang berasal dari berbagai sumber. Buku ini merupakan pedoman umum dalam melakukan imunisasi di Indonesia dan dapat disesuaikan dengan kondisi setempat. Kemungkinan dapat terjadi perbedaan dengan sumber-sumber lain karena perkembangan ilmu dan kebijakan setempat. Hak Cipta Dilindungi Undangundang Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara dan bentuk apapun juga tanpa seizin penulis dan penerbit Diterbitkan pertama kali tahun 2001 Diterbitkan kedua kali tahun 2005 Diterbitkan ketiga kali tahun 2008 Koordinator Penerbitan Prof. DR. Dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Sp.A(K) Art director: J.A. Wempi Type setting: Diyan Dwinandio, Unggul Sodjo Edisi 3, cetakan pertama 2008 Penerbit buku ini dikelola oleh: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
Kata Sambutan Menteri Kesehatan Program imunisasi di Indonesia semakin penting kedudukannya dalam upaya mencapai Indonesia Sehat tahun 2010. Pencegahan terhadap penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi telah menampakkan hasilnya. Kejadian penyakit poliomielitis, difteria, tetanus neonatorum, pertusis, campak, dan hepatitis B, berangsur-angsur berkurang. Dalam waktu dekat diharapkan penyakit poliomielitis dapat dieradikasi dari seluruh dunia melalui program imunisasi yang berkesinambungan. Untuk melengkapi panduan imunisasi yang senantiasa up-to date, kami merasa bangga kepada upaya anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia khususnya anggota Satgas Imunisasi IDAI yang telah merevisi buku imunisasi ini untuk ketiga kalinya. Buku Pedoman Imunisasi ini akan menunjang perubahan pandangan dan strategi dalam bidang vaksinologi yang senantiasa berubah sejalan dengan situasi epidemiologi global dan kemajuan teknologi dalam bidang kesehatan. Sebagaimana Buku Imunisasi di Indonesia edisi pertama dan edisi kedua yang telah tersebar luas di tanah air ini, kami harapkan edisi ketiga tetap menjadi acuan dalam meningkatkan program imunisasi dan sebagai acuan untuk vaksin-vaksin baru. Buku ini dapat dipergunakan bersama-sama dengan buku Pedoman Imunisasi Departemen Kesehatan yang telah ada (Kepmenkes No. 1611/MENKES/SK/XI/2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi). Akhirul kata, kami ucapkan selamat dan terima kasih kepada para penulis yang dikoordinasi oleh Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia yang telah menyusun buku imunisasi ini. Karya dan jerih payahnya akan membantu meningkatkan kesejahteraan anak Indonesia.
Karya dan jerih payahnya akan membantu meningkatkan kesejahteraan anak Indonesia. Jakarta, April 2008 DR. Siti Fadilah Supari, Dr., Sp.JP Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Prakata Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI M erupakan kebanggaan dari Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia dapat menyajikan Buku Imunisasi di Indonesia Edisi ketiga ini. Mengingat banyak hal-hal yang perlu disesuaikan dengan kemajuan bidang imunisasi maka edisi ketiga ini merupakan kebutuhan, bukan saja untuk dokter spesialis anak namun untuk semua penyedia layanan jasa kesehatan yang berkecimpung dengan program imunisasi. Program imunisasi yang telah lebih dari tiga abad lalu diakui sebagai upaya pencegahan yang penting, pada sepuluh tahun terakhir ini telah mengalami kemajuan yang signifikan. Edisi ketiga diharapkan dapat menjadi acuan dalam mengatasi kemajuan tersebut. Misalnya perubahan epidemiologi beberapa penyakit dan adanya kemajuan teknik pembuatan vaksin, upaya pemerintah dalam melaksanakan eradikasi polio, eliminasi tetanus neonatorum, reduksi campak, dan memutuskan rantai penularan hepatitis B sedini mungkin, akan mengubah jadwal imunisasi. Tambahan topik dan revisi terutama diperlukan untuk menjawab beberapa masalah, antara lain, (1) bertambahnya jenis vaksin di luar program PPI (vaksin non-PPI), baik sebagai vaksin baru maupun vaksin yang telah lama beredar kini muncul dalam kemasan baru, (2) keamanan pemberian suntikan vaksin (safety injection) perlu mendapat perhatian, dan (3) sesuai dengan maturasi perjalanan imunisasi, program imunisasi akan mengalami hambatan akibat kejadian ikutan yang diduga menjadi penyebab imunisasi; dalam hal ini PP IDAI telah menunjukkan sikapnya menghadapi hal ini. Sebagaimana pembuatan buku imunisasi yang diharapkan senantiasa menjadi acuan, tentunya buku ini tetap memerlukan revisi-revisi di kemudian hari. Akhirnya saya selaku Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia mengucapkan penghargaan yang setinggi-tingginya atas kerja keras seluruh kontributor anggota Satgas Imunisasi dan semua pihak yang membantu penerbitan buku imunisasi ini. Jakarta, Mei 2008 Sukman Tulus. Putra, Dr., Sp.A(K), FACC, FESC
Kata Pengantar Tim Satgas Imunisasi IDAI K ami mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah Subhanawata’ala, bahwa Buku Pedoman Imunisasi edisi 1 (tahun 2002) dan edisi 2 (tahun 2005) tampaknya sangat dibutuhkan oleh dokter dan petugas kesehatan yang terkait dengan vaksin dan imunisasi, sehingga dalam waktu singkat habis dari peredaran. Mengingat banyaknya permintaan untuk mencetak ulang buku ini, maka kami menerbitkan Buku Imunisasi edisi ke-3 dengan revisi beberapa topik dan adanya tambahan informasi vaksin-vaksin baru. Perubahan dalam buku edisi ke-3 tahun 2008 adalah, Penyimpanan dan transportasi vaksin dari Bab XII menjadi Bab II, isi ditambah dan dibagi menjadi 2 topik yaitu rantai vaksin dan kualitas vaksin, Prosedur imunisasi dari Bab II menjadi Bab III, dengan tambahan topik safety injection, Influenza, pneumokokus dan rotavirus direvisi dengan tambah an informasi terbaru, Tambahan topik yaitu vaksin human papilloma virus, Jadwal imunisasi ditambah dengan vaksin human papilloma virus (HPV), untuk anak remaja, Vaksin untuk tujuan khusus dan vaksin untuk turis digabung menjadi satu dalam Bab VI mengenai vaksin yang dianjurkan (non PPI), sehingga jumlah bab berkurang satu menjadi 12, Kontroversi dalam imunisasi ditambah dengan miskonsepsi Imunisasi kelompok berisiko dari Bab III dipindahkan ke Bab IX Kami mengucapkan terima kasih kepada para kontributor, terutama yang telah melakukan revisi,
perbaikan dan penambahan topik-topik baru untuk edisi ke 3 ini. Mengingat pekerjaan untuk membuat revisi buku edisi ke-3 ini cukup melelahkan,
kami telah dibantu oleh dua orang editor baru yaitu Prof. Dr. Ismoedijanto dr.,Sp.A(K) dan Soedjatmiko dr., Sp.A(K)., Msi. Untuk itu kami ucapkan terima kasih. Selanjutnya kami mengharapkan masukan dan saran dari para pengguna buku ini, untuk penyempurnaan pada edisi mendatang. Semoga buku ini bermanfaat bagi semua pihak yang terkait dengan vaksin dan imunisasi, sehingga derajat kesehatan anak Indonesia semakin meningkat. Tim Penyunting Prof. I.G.N. Ranuh dr., Sp.A(K) Prof. Dr. Hariyono Suyitno dr., SpA(K) Prof. Dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro dr., Sp.A(K) Prof. Cissy B. Kartasasmita dr., MSc., Ph.D., SpA(K) Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K) Soedjatmiko, dr., SpA(K), MSi.
Daftar Isi Halaman Disclaimer............................................................................................................ ii Kata sambutan Menteri Kesehatan .................................... iii Prakata ketua Pengurus Pusat IDAI .................................. iv Kata pengantar tim Satgas Imunisasi IDAI........................ v Daftar.................................................................................... isi
Bab I.
vii
Daftar.................................................................... kontributor
ix
Daftar............................................................................. istilah
xii
Dasar-dasar Imunisasi........................................ 1
1. Imunisasi upaya pencegahan primer 2 2. Aspek imunologi imunisasi 10 ...... 3...... Jenis vaksin Bab II. Penyimpanan dan Transportasi Vaksin.......... 29 1. Rantai vaksin 30 2. Kualitas vaksin 40 Bab III. Prosedur Imunisasi............................................ 45 1. 2. 3. 4.
Tatacara pemberian imunisasi 46 Penjelasan kepada orang tua mengenai imunisasi 62 Catatan imunisasi 72 Safety injection............................................................................. 76
Bab IV. Jadwal Imunisasi............................................... 89 1. 2. 3. 4.
Program pengembangan imunisasi 90 Jadwal imunisasi rekomendasi IDAI 97 Jadwal imunisasi tidak teratur 117 Imunisasi anak sekolah, remaja, dan dewasa 122
Bab V.
Vaksin pada Program Imunisasi Nasional (PPI) ... 1. Tuberkulosis .................................................... 2. Hepatitis B .......................................................
...130 131
23
2. Hepatitis B .......................................................
135
3. DTP (difteria, tetanus, pertusis) ..........................
143
4. Poliomielitis ......................................................
157
5. Campak .......................................................... Bab VI. Vaksin yang Dianjurkan (non PPI)....................... 1. MMR (campak, gondong, rubella) ...................... 2. Haemophilus inß uenzae tipe B (Hib) ............ 3. Demam tifoid .................................................. 4. Varisela ........................................................... 5. Hepatitis A ...................................................... 6. Rabies..............................................................
171 178 179 188 192 197 203 210
7. Inß uenza ........................................................
221
8. Pneumokokus..................................................
232
9. Rotavirus ........................................................ 10. Kolera + ETEC.................................................. 11. Yellow fever ................................................... 12. Japanese encephalitis ......................................
241 244 248 254
13. Meningokokus.................................................. 14. Human Papilloma Virus (HPV)..................... Bab VII. Imunisasi Pasif .................................................. Bab VIII. Vaksin Kombinasi ........................................... Bab IX. Imunisasi Kelompok Berisiko.......................... 1. Imunisasi bayi berisiko....................................... 2. Imunisasi bayi pada ibu berisiko.......................... Bab X. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) ........... 1. KlasiÞ kasi kejadian ikutan pasca imunisasi.......... 2. Pelaporan kejadian ikutan pasca imunisasi ..........
262 267 271 292 304 305 315 318 319 341
Bab XI. Miskonsepsi dan Kontroversi dalam Imunisasi 348 1. Miskonsepsi imunisasi....................................... 349 2. Kontroversi dalam imunisasi ........................... 360 Bab XII. Tanya Jawab Orang Tua Mengenai Imunisasi ......... 371 Daftar vaksin yang beredar di Indonesia........................ 385
Daftar Kontributor Achmad Suryono (alm) Jogyakarta
UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA, FK
Universitas Gajah Mada/RSUP Dr. Sardjito,
Agus Firmansyah UKK Gastrohepatologi IDAI, Departemen IKA FK Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta Alan R Tumbelaka
UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI, Departemen IKA FK Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Arwin A P Akib UKK Alergi Imunologi IDAI, Departemen IKA FK Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta Boerhan Hidayat UKK Gizi IDAI, Bagian IKA FK Universitas Airlangga/ RSUP Dr. Soetomo, Surabaya Cissy B Kartasasmita Corry S.Matondang (alm)
UKK Pulmonologi IDAI, Bagian IKA, FK Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung UKK Alergi Imunologi IDAI, Bagian IKA FK Universitas Indonesia/ RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta Dahlan Ali Musa IDAI
UKK Tumbuh Kembang- Pediatri Sosial
Fatimah Indarso UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA, FK Airlangga/RSUP Dr. Soetomo, Surabaya Hanifah Oswari UKK Gastrohepatologi IDAI, Departemen IKA, FK Universitas Indonesia/RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Hardiono D Poesponegoro
FK Universitas Indonesia/ RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Hariyono Soeyitno
UKK Neurologi IDAI, Departemen IKA
UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial
IDAI , Bagian IKA, FK Diponegoro/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
Hartono Gunardi UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI, Departemen IKA FK Universitas Indonesia/ RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta Hindra Irawan
UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI,
Satari Departemen IKA FK Universitas Indonesia/ RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta Iskandar Syarif UKK Neurologi IDAI, Bagian IKA FK Universitas Andalas/RSUP Dr. M. Djamil, Padang Ismoedijanto UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI, Bagian IKA, FK Airlangga/RSUP Dr. Soetomo, Surabaya IGN Gde Ranuh UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI, Bagian IKA, FK Airlangga/ RSUP Dr. Soetomo, Surabaya Jose R L Batubara UKK Endokrin IDAI, Departemen IKA FK Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta Kusnandi Rusmil UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI, Bagian IKA, FK Universitas Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung Nastiti N.Rahajoe UKK Pulmonologi IDAI Noenoeng Rahajoe
UKK Pulmonologi IDAI
Purnamawati S. Pujiarto
UKK Gastrohepatologi IDAI Soedjatmiko UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI, Departemen IKA FK Universitas Indonesia/ RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Soegeng
UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI, Soegijanto Bagian IKA, FK Airlangga/RSUP Dr. Soetomo, Surabaya Sofyan Ismael UKK Neurologi IDAI, Departemen IKA FK Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Sri Rezeki
UKK Infeksi dan Pediatri Tropis IDAI, S.Hadinegoro Departemen IKA FK Universitas Indonesia/ RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta Syahril Pasaribu UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI, Bagian IKA, FK Sumatera Utara/ RSUP Dr. H Adam Malik, Medan Syawitri P Siregar UKK Alergi Imunologi IDAI, Bagian IKA FK Universitas Indonesia/RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo, Jakarta TH Rampengan UKK Infeksi & Pediatri Tropis IDAI, Bagian IKA, FK Sam Ratulangi/ RSUP Dr. Malalayang, Manado
Titut UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA RS S.Poesponegoro Ibu & Anak Harapan Kita, Jakarta (alm) Toto Wisnu Hendarto
UKK Perinatologi IDAI, Bagian IKA RS Ibu & Anak Harapan Kita, Jakarta
UKK = Unit Kerja Koordinasi, merupakan badan khusus PP IDAI
Daftar Istilah AAP
American Academy of Pediatrics
ACIP
Advisory Committee on Immunization
AEFI
Adverse Events Following Immunization
AFP
Acute Flaccid Paralysis, lumpuh layuh
AKABA
Angka Kematian Balita
AKB
Angka Kematian Bayi
APC
Antigen Presenting Cell
ASI
Air Susu Ibu
BCG
Bacille Cal mette Guerin
BIAS
Bulan Imunisasi Anak Sekolah
BTA
Bakteri Tahan Asam
CDC
Center of Disease Control
DALY
Disability Adjusted Life Year
DT
Difteria, Tetanus
DTwP
Difteria, Tetanus, Pertusis (whole cell)
DTaP
Difteria, Tetanus, Pertusis (acellular)
ERAPO
Eradikasi Polio
ETN
Eliminasi Tetanus Neonatorum
FDA
Food Drug Administration
FKUI
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
GVHD
Graft Versus Host Disease
HBIg
Hepatitis B Immunoglobulin
HbsAg
Hepatitis B surface antigen
Hep-B
Hepatitis B
Hib
Haemophyllus influenza type b
HIV
Human Immunodeficiency Virus
HLA
Human Leucocyte Antigen
HPV
Human Papilloma Virus
IDAI
Ikatan Dokter Anak Indonesia
IgA
Imunoglobulin A
IgG
Imunoglobulin G
IgM
Imunoglobulin M
IPV
Inactivated Polio Vaccine
ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut
IU
International Unit
KIPI
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
KLB
Kejadian Luar Biasa
MHC
Major Histocompatibility Complex
MMR
Measles, Mumps, Rubella
NHMRC
National Health and Medical Research Council
NIGH
Normal Immunoglobulin Human
OPV
Oral Polio Vaccine
PIN
Pekan Imunisasi Nasional
PPI
Program Pengembangan Imunisasi
PRP
Polyribosyribitol Phosphate
PRP-OMP Polyribosyribitol Phosphate-Outer Membrane Protein PRP-T Polyribosyribitol Phosphate-Tetanus Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat RSCM UKK
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Unit Kerja Koordinasi
Bab I Dasar-Dasar Imunisasi Bab 1 - 1 Imunisasi Upaya Pencegahan Primer 1 - 2 Aspek Imunologi Imunisasi 1 - 3 Jenis Vaksin Pengantar Sistem kesehatan nasional imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam upaya menurun kan angka kematian bayi dan balita. Dasar utama pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas. Penurunan insidens penyakit menular telah terjadi berpuluh-puluh tahun yang lampau di negara-negara maju yang telah
melakukan imunisasi dengan teratur dengan cakupan luas. Demikian juga di Indonesia; dinyatakan bebas penyakit cacar tahun 1972 dan penurunan insidens beberapa penyakit menular secara mencolok terjadi sejak tahun 1985, terutama untuk penyakit difteria, tetanus, pertusis, campak, dan polio. Bahkan kini penyakit polio secara virologis tidak ditemukan lagi sejak tahun 1995, dan diharapkan beberapa tahun yang akan datang Indonesia akan dinyatakan bebas polio. Sejarah imunisasi telah dimulai lebih dari 200 tahun yang lalu, sejak Edward Yenner tahun 1798 pertama kali menunjukkan bahwa dengan cara vaksinasi dapat mencegah penyakit cacar. Untuk dapat melakukan pelayanan imunisasi yang baik dan benar diperlukan pengetahuan dan ketrampilan tentang vaksin (vaksinologi), ilmu kekebalan (imunologi) dan cara atau prosedur pemberian vaksin. Dengan melakukan imunisasi terhadap seorang anak, tidak hanya memberikan perlindungan pada anak tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya karena terjadi tingkat imunitas umum yang meningkat dan mengurangi penyebaran infeksi. Sangat penting bagi para profesional untuk melakukan imunisasi terhadap anak maupun orang dewasa. Dengan demikian akan memberikan kesadaran pada masyarakat terhadap nilai imunisasi dalam menyelamatkan jiwa dan mencegah penyakit yang berat.
Bab 1-1 Imunisasi Upaya Pencegahan Primer I.G.N. Ranuh Penduduk Indonesia pada tahun 2007 telah melampaui 220 juta dan ditengarai pula bahwa pertumbuhan penduduk bergerak lebih cepat, tidak sesuai dengan perhitungan semula. Menurut Haryono Suyono pengendalian pertumbuhan penduduk hanya difokuskan pada pasangan usia subur yang sangat miskin yang notabene jumlahnya kecil sekali, yaitu 19% dari total jumlah pasangan usia subur di Indonesia Perhitungan tahun 2006 mengatakan bahwa laju pertumbuhan penduduk akan terus turun bahkan pada tahun 2020 – 2025 dimungkinkan mencapai 0,92 %. Namun kenyataan dewasa ini laju pertumbuhan penduduk Indonesia telah mencapai angka yang cukup tinggi 1,3%. Jumlah anak di bawah 15 tahun masih merupakan golongan penduduk yang sangat besar, yaitu kurang lebih 70 juta (30,26%) dan usia balita 23,7 juta (10,4%). Masalah lain yang penting dan memprihatinkan adalah meningkatnya kurang gizi di berbagai pelosok Indonesia. Apabila gizi kurang 37,5% pada tahun 1998 berhasil ditekan mencapai 19,3% pada tahun 2002, gizi buruk 6,3% pada tahun 1989 tidak berhasil ditekan bahkan setelah tahun 2002 berprevalensi untuk menjadi lebih dari 10% yang dapat kita saksikan akhir-akhir ini. Penyebabnya adalah kurang berfungsinya Posyandu di masyarakat pada masa lalu, yaitu sejak krisis moneter 1997, bencana alam yang datang bertubi-tubi di tanah air kita ini dan situasi politik dan keamanan yang tidak kondusif. Dengan revitalisasi posyandu dan program KB diharapkan situasi kesehatan masyarakat dan pertumbuhan penduduk dapat dikendalikan kembali. Berkurangnya fungsi Posyandu, pemantauan
anak kurang mendapatkan perhatian yang tercermin dengan menurunnya kesehatan anak pada umumnya, khususnya adanya gizi kurang dan infeksi yang beberapa tahun yang lalu sudah reda menyerang anak-anak kembali seperti poliomielitis, demam tifoid, difteri, campak, demam dengue, dan lainnya. Pembangunan nasional jangka panjang menititkberatkan pada kualitas hidup sumber daya manusia yang prima. Untuk itu kita bertumpu pada generasi muda yang memerlukan asuhan dan perlindungan terhadap penyakit yang mungkin dapat menghambat tumbuh kembangnya menuju dewasa yang berkualitas tinggi guna meneruskan pembangunan nasional jangka panjang tersebut. Profil epidemiologis di Indonesia sebagai gambaran tingkat kesehatan di masyarakat masih memerlukan perhatian khusus yaitu, Angka kematian kasar (CMR): 7,51 per 1000/tahun Angka kematian bayi (IMR): 48 per 1000 lahir hidup/tahun Angka kematian balita (U5MR) : 56 per 1000 lahir hidup/ tahun Angka kematian ibu hamil (MMR): 470 per 100.000 lahir hidup/tahun Cakupan imunisasi: BCG 85%, DTP 64%, Polio 74%, HB1 91%, HB2 84,4%, HB3 83,0%, TT ibu hamil: TT1 84% dan TT2 77% (WHO) Angka kematian bayi (AKB atau IMR) dalam dua dasawarsa terakhir ini menunjukkan penurunan yang bermakna. Apabila pada tahun 1971 sampai 1980 memerlukan sepuluh tahun untuk menurunkan AKB dari 142 menjadi 112 per 1000 kelahiran hidup; maka hanya dalam kurun waktu lima tahun, yaitu tahun 1985 sampai 1990 Indonesia berhasil menurunkan AKB dari 71
menjadi 54 dan bahkan dari data 2001 telah menunjukkan angka 48 per 1000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Indonesia 2001). Penurunan tersebut diikuti dengan menurunnya angka kematian balita atau AKABA yang telah mencapai 56 per 1000 kelahiran hidup.
Prestasi yang gemilang tersebut tidak lain disebabkan karena penggunaan teknologi tepat guna selama itu, yaitu memanfaatkan dengan baik Kartu Menuju Sehat dalam memantau secara akurat tumbuh kembang anak, peningkatan penggunaan ASI, pemberian segera cairan oralit pada setiap kasus diare pada anak dan pemberian imunisasi pada anak balita sesuai Program Pengembangan Imunisasi (PPI) yaitu BCG, Polio, Hepatitis B, DTP dan campak, bahkan pada tahun 1990 Indonesia telah mencapai Universal Child Imunization (UCI) dengan cakupan imunisasi sebesar 90% pada anak balita. Program ini diperkuat dengan gerakan PIN (Pekan Imunisasi Nasional) terhadap penyakit polio pada tahun 1985 – 1996 – 1997 secara berturut-turut dan serentak di seluruh tanah air menghilangkan kasus polio selama 10 tahun (19972005). Namun kemudian karena adanya outbreak polio yang dimulai di Jawa Barat dilakukan tindakantindakan khusus untuk mencegah menjalarnya lagi polio liar di Indonesia secara intensif dengan pengulangan PIN pada tahun 2005 dan 2006 diharapkan kita berhasil mengendalikan. Pada kesempatan tersebut dan melalui crash program campak vaksinasi terhadap tetanus dan campak diberikan dengan harapan dapat mengurangi kesakitan dan kematian karena kedua penyakit tersebut. Vaksinasi, sebagai upaya pencegahan primer Seiring dengan menurunnya angka kesakitan dan kematian anak pada umumnya maka kualitas hidup bangsa akan meningkat pula. Di samping itu, dengan terjadinya transisi demografik yang mengakibatkan berkurangnya jumlah anak dalam satu keluarga (satu keluarga memiliki 3 orang anak) maka kelompok usia produktif akan meningkat. Meskipun demikian usia anak di bawah 15 tahun masih merupakan kelompok penduduk yang sangat besar dan memerlukan perhatian yang lebih besar lagi. Hasil penelitian di dunia mengatakan bahwa angka kelahiran dan usia harapan hidup di suatu negara berkaitan, yaitu makin
rendah angka kelahiran makin tinggi usia harapan hidup. Untuk itu pencegahan terhadap infeksi maupun upaya yang menentukan situasi yang kondusif untuk itu mutlak harus dilakukan pada anak dalam tumbuh kembangnya sedini mungkin guna dapat mempertahankan kualitas hidup yang prima menuju dewasa. Demikian pula perhitungan ekonomi memperlihatkan bahwa pencegahan adalah suatu cara perlindungan terhadap infeksi yang paling efektif dan jauh lebih murah dari pada mengobati apabila sudah terserang penyakit dan memerlukan perawatan rumah sakit. Secara konvensional, upaya pencegahan penyakit dan keadaan apa saja yang akan menghambat tumbuh kembang anak, seperti cedera dan keracunan karena kecelakaan, kekerasan pada anak, fisik, mental maupun seksual, konsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang, dapat terlaksana dalam tiga kategori, yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier yang dapat dilaksanakan selama masa tumbuh kembang sejak pra-konsepsi, prenatal, masa neonatal, bayi, masa sekolah dan remaja menuju dewasa. Pencegahan primer adalah semua upaya untuk menghindari terjadinya sakit atau kejadian yang mengakibatkan seseorang sakit atau menderita cedera dan cacat. Memperhatikan gizi dengan sanitasi lingkungan yang baik, pengamanan terhadap segala macam cedera dan keracunan serta vaksinasi atau imunisasi terhadap penyakit adalah rangkaian upaya pencegahan primer. Pencegahan sekunder apabila dengan deteksi dini, diketahui adanya penyimpangan kesehatan seorang bayi atau anak sehingga intervensi atau pengobatan perlu segera diberikan untuk koreksi secepatnya. Memberi pengobatan sesuai diagnosis yang tepat adalah suatu upaya pencegahan sekunder agar tidak terjadi komplikasi yang tidak diinginkan, yaitu sampai meninggal maupun meninggalkan gejala sisa, cacat fisik maupun mental. Sedangkan pencegahan tersier adalah membatasi berlanjutnya gejala sisa tersebut dengan upaya pemulihan seorang pasien agar dapat hidup mandiri tanpa bantuan orang lain, seperti contoh pada terapi rehabilitasi medik
pada penyakit polio maupun cacat lainnya karena cedera kecelakaan dan lain-lain sebab. Vaksinasi atau lazim disebut dengan imunisasi merupakan suatu teknologi yang sangat
berhasil di dunia kedokteran yang oleh Katz (1999) dikatakan sebagai ”sumbangan ilmu pengetahuan yang terbaik yang pernah diberikan para ilmuwan di dunia ini”. Satu upaya kesehatan yang paling efektif dan efisien dibandingkan dengan upaya kesehatan lainnya. Pada tahun 1974 cakupan imunisasi baru mencapai 5% dan setelah dilaksanakannya imunisasi global yang disebut dengan extended program on immunization (EPI) cakupan terus meningkat dan hampir setiap tahun minimal sekitar 3 juta anak dapat terhindar dari kematian dan sekitar 750.000 anak terhindar dari kecacatan. Namun demikian, masih ada satu dari empat orang anak yang belum mendapatkan vaksinasi dan dua juta anak meninggal setiap tahunnya karena penyakit yang dapat dicegah dengan vaksinasi. Di masa depan harapan akan hilangnya penyakit polio, campak dan lain-lainnya di dunia adalah sesuatu yang tidak mustahil sehingga setiap anak dapat tumbuh kembang secara optimal. Perbaikan gizi anak disertai penyehatan lingkungan tidak cukup untuk mencegah tertularnya anak oleh kuman, virus maupun parasit. Vaksinasi dapat menekan penyakit yang endemik dan erat hubungannya dengan lingkungan hidup. WHO telah mencanangkan program imunisasi tersebut sejak 1994 dengan EPI dan kemudian lebih luas lagi dengan GPV (global programme for vaccines and immunization), organisasi pemerintah dari seluruh dunia bersama UNICEF, WHO dan World Bank. Ditambah lagi organisasi perorangan Bill and Melinda Gates children’s vaccine programme dan Rockefeller Foundation. Kekebalan atau imunitas tubuh terhadap ancaman penyakit adalah tujuan utama dari pemberian vaksinasi. Pada hakekatnya kekebalan tubuh dapat dimiliki secara pasif maupun aktif. Keduanya dapat diperoleh secara alami maupun buatan. Imun pasif
yang didapatkan secara alami adalah kekebalan yang didapatkan transplasental, yaitu antibodi diberikan ibu kandungnya secara pasif melalui plasenta kepada janin yang dikandungnya. Semua bayi yang dilahirkan telah memiliki sedikit atau banyak antibodi dari ibu kandungnya. Sedangkan imun pasif buatan adalah pemberian antibodi yang sudah disiapkan dan dimasukkan ke dalam tubuh anak. Seperti halnya pada bayi baru lahir dari ibu yang mempunyai HbSAg positif memerlukan imunoglobulin yang spesifik hepatitis B yang harus diberikan setelah lahir dengan segera. Pada seorang yang sedang sakit dapat pula diberikan antibodi spesifik secara pasif sesuai antigen yang menyebabkan sakitnya. Imun aktif dapat diperoleh pula secara alami maupun buatan. Secara alami imun aktif didapatkan apabila anak terjangkit suatu penyakit, yang berarti masuknya sebuah antigen yang akan merangsang tubuh anak membentuk antibodinya sendiri secara aktif dan menjadi imun karenanya. Mekanisme yang sama adalah pemberian vaksin yang merangsang tubuh manusia secara aktif membentuk antibodi dan kebal secara spesifik terhadap antigen yang diberikan. Imunisasi dan Vaksinasi Perlu diketahui bahwa istilah imunisasi dan vaksinasi seringkali diartikan sama. Imunisasi adalah suatu pemindahan atau transfer antibodi secara pasif, sedangkan istilah vaksinasi dimaksudkan sebagai pemberian vaksin (antigen) yang dapat merangsang pembentukan imunitas (antibodi) dari sistem imun di dalam tubuh. Imunitas secara pasif dapat diperoleh dari pemberian dua macam bentuk, yaitu imunoglobulin yang non-spesifik atau gamaglobulin dan imunoglobulin yang spesifik yang berasal dari plasma donor yang sudah sembuh dari penyakit tertentu atau baru saja mendapatkan vaksinasi penyakit tertentu. Imunoglobulin yang non-spesifik digunakan pada anak dengan defisiensi imunoglobulin sehingga memberikan perlindungan dengan segera dan cepat yang seringkali
dapat terhindar dari kematian. Hanya saja perlindungan tersebut tidaklah berlangsung permanen melainkan hanya untuk beberapa minggu saja. Demikian pula imunoglobulin yang non-spesifik selain mahal, memungkinkan anak menjadi sakit karena secara kebetulan atau karena suatu kecelakaan serum yang diberikan tidak bersih dan masih mengandung kuman yang aktif. Sedangkan imunoglobulin yang spesifik diberikan kepada anak yang belum terlindung karena belum pernah mendapatkan vaksinasi dan kemudian terserang misalnya penyakit difteria, tetanus, hepatitis B. Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan paparan dengan antigen yang berasal dari mikroorganisme patogen. Antigen yang diberikan telah dibuat demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun mampu mengaktivasi limfosit menghasilkan antibodi dan sel memori. Cara ini menirukan infeksi alamiah yang tidak menimbulkan sakit namun cukup memberikan kekebalan. Tujuannya adalah memberikan ”infeksi ringan” yang tidak berbahaya namun cukup untuk menyiapkan respon imun
sehingga apabila terjangkit penyakit yang sesungguhnya di kemudian hari anak tidak menjadi sakit karena tubuh dengan cepat membentuk antibodi dan mematikan antigen/penyakit yang masuk tersebut. Demikian pula vaksinasi mempunyai berbagai keuntungan, yaitu Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidupnya Vaksinasi adalah cost-effective karena murah dan efektif Vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang terjadi, jauh lebih jarang dari pada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit tersebut secara alami. Daftar Pustaka 1. World Health Organization, The World Health Report 2007. Asaferfuture: global public health security in the 21st century. Diunduh dari: http://www.who.int/whr/2007/en/index. html.
2. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi18. Philadelphia:Saunders Elsevier. 2007. 3. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization. Geneva: WHO. 2002. 4. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial RI. Sensus Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004. 5. KSK _Satgas Imunisasi IDAI, Learning about Vaccination, 2004. 6. SUSENAS 1989 –2002, Direktorat Gizi Msyarakat, DepKes RI. 7. DepKes: Profil Kesehatan Indonesia, 2004.
Bab 1-2 Aspek Imunologi Imunisasi Corry S Matondang, Sjawitri P Siregar Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa, tidak terjadi penyakit. Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua jenis kekebalan, yaitu kekebalan pasif dan kekebalan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan dibuat oleh individu itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada janin yang diperoleh dari ibu atau kekebalan yang diperoleh setelah pemberian suntikan imunoglobulin. Kekebalan pasif tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh. Waktu paruh IgG 28 hari, sedangkan waktu paruh imunoglobulin lainnya lebih pendek. Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif berlangsung lebih lama daripada kekebalan pasif karena adanya memori imunologik. Tujuan Imunisasi Tujuan imunisasi untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar variola. Keadaan yang terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yang hanya dapat ditularkan melalui manusia, seperti misalnya penyakit difteria.
Respons imun Respons imun adalah respons tubuh berupa urutan kejadian yang kompleks terhadap antigen (Ag), untuk mengeliminasi antigen tersebut. Dikenal dua macam pertahanan tubuh yaitu 1) mekanisme pertahanan nonspesifik disebut juga komponen nonadaptif atau innate artinya tidak ditujukan hanya untuk satu macam antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen, 2) mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau komponen adaptif ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen, terbentuknya antibodi lebih cepat dan lebih banyak pada pemberian antigen berikutnya; hal ini disebabkan telah terbentuknya sel memori pada pengenalan antigen pertama kali. Bila pertahanan nonspesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang. Mikroorganisme yang pertama kali dikenal oleh sistem imun akan dipresentasikan oleh sel makrofag (APC= antigen presenting cell) pada sel T untuk antigen TD (T dependent) sedangkan antigen TI (T independent) akan langsung diproses oleh sel B Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular dan imunitas humoral. Imunitas humoral akan menghasilkan antibodi bila dirangsang oleh antigen. Semua antibodi adalah protein dengan struktur yang sama yang disebut imunoglobulin (Ig) yang dapat dipindahkan
secara pasif kepada individu yang lain dengan cara penyuntikan serum. Berbeda dengan imunitas selular hanya dapat dipindahkan melalui sel; contohnya pada reaksi penolakan organ transplantasi oleh sel limfosit dan pada graft versus-host-disease. Respons imun terdiri dari dua fase, fase pengenalan, diperankan oleh sel yang mempresentasikan antigen (APC), sel limfosit B, limfosit T fase efektor, diperankan oleh antibodi, dan limfosit T efektor (Gambar 1)
Pajanan Antigen pada Sel T Umumnya antigen bersifat tergantung pada sel T (TD=T dependent antigen), artinya antigen akan mengaktifkan sel imunokompoten bila sel ini mendapat bantuan sel Th (T helper) melalui zat yang dilepaskan sel Th aktif. Antigen TD adalah antigen yang kompleks seperti bakteri, virus dan antigen yang bersifat hapten. Sedangkan antigen yang tidak memerlukan sel T (TI=T independent antigen) untuk menghasilkan antibodi dengan cara langsung merangsang sel limfosit B misalnya antigen yang strukturnya sederhana dan berulang-ulang, biasanya merupakan molekul besar dan menghasilkan IgM, IgG2 dan sel memori yang lemah. Contohnya polisakarida komponen endotoksin yang terdapat pada dinding sel bakteri. Endotoksin adalah TI antigen yang dapat merangsang aktivasi sel B dan memproduksi antibodi dan berperan juga sebagai stimulan sel B poliklonal. Kualitas respons imun yang timbul tergantung pada faktor intrinsik Ag dan faktor-faktor lain seperti, Jumlah dosis antigen Cara pemberian antigen. Pada pemberian secara intradermal (id), intramuskular (im), subkutan (sc), organ sasaran adalah kelenjar limfoid regional. Secara intravenus (iv) berada di limpa, sedangkan pemberian secara oral akan ke plaquePeyer’s, dan melalui inhalasi berada di jaringan limfoid bronkhial. Penambahan zat yang bekerja sinergis dengan antigen, misalnya ajuvan atau antigen lain Sifat molekul antigen, jumlah protein, ukuran dan daya larutnya Faktor genetik pejamu Limfosit Th umumnya mengenal antigen bila dipresentasikan bersama molekul produk MHC (mayor histocompatibility complex) kelas I & II yaitu molekul yang antara lain terdapat pada membran sel makrofag. Setelah antigen diproses oleh sel makrofag akan
dipresentasikan bersama MHC kelas I atau kelas II kepada sel Th sehingga terjadi ikatan antara TCR (T cell receptor) dengan antigen. Kemudian akan terjadi diferensiasi menjadi sel Th efektor, sel Tc efektor serta sel Th memori dan sel Tc memori atas pengaruh sitokin berada di jaringan perifer. Sel Th efektor mengaktivasi makrofag (Gambar 1.1). Peran utama dari sel Th ialah membantu sel limfosit B menghasilkan antibodi. Pada manusia terdapat dua jenis sel Th yaitu sel Th1 dan sel Th2 yang dapat dibedakan dengan sitokin yang dihasilkannya dan fungsi efektornya. Misalnya Th1 mensekresi sitokin IL-2, IL-3, TNF-a, TNF-a, TNF-a dan TH2 mensekresi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13. Sedangkan peran utama sel Tc atau sel CD8 ialah untuk mengenal dan kemudian melisis sel target yang terinfeksi sehingga disebut juga sel cytotoxic T lymphocyte (CTLs) yang berperan pada infeksi virus, bakteri dan parasit.
Gambar 1.1. Aktivasi sel limfosit T pada Respon Imun Selular Dikutip dan dimodifikasi dari Abdul K Abbas, 2001
Respon Imun Selular Respons imun selular diperankan oleh sel limfosit T yang dapat langsung melisis sel yang mengekspresikan Ag spesifik (sel Tc=sel T sitotoksik) atau mensekresi sitokin yang akan merangsang terjadi proses inflamasi (Th=sel T helper) hipersensitivitas tipe lambat. Sel Tc dan sel Th berperan pada mikroorganisme intraselular seperti infeksi virus, parasit dan beberapa bakteri. Sel T sitotoksik akan melisis sel yang mengandung virus. Sel Th aktif juga merangsang sel Tc (sel T cytotoxic) untuk mengenal antigen pada sel target bila berasosiasi dengan molekul MHC kelas I. Reaksi hipersensitivitas tipe lambat diperankan oleh sel Th1 yang mensekresi sitokin bila dirangsang oleh Ag. Respons Imun Humoral Reseptor imunoglobulin (Ig) pada sel limfosit B mengenal dan berinteraksi dengan epitop antigen. Mulanya imunoglobulin permukaan ini adalah kelas IgM dan pada perkembangan selanjutnya sel B juga memperlihatkan IgG, IgA dan IgD pada membrannya dengan bagian F(ab) yang serupa. Perkembangan ini tidak perlu rangsangan antigen tertentu. Pajanan Antigen pada Sel B Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan dengan bantuan sel Th (bagi antigen TD) akan terjadi aktivasi enzim dalam sel B, sedemikian rupa hingga terjadilah transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi dan membentuk sel B memori. Sedangkan antigen TI dapat secara langsung mengaktivasi sel B tanpa bantuan sel Th. Antibodi yang disekresi dapat menetralkan Ag sehingga virulensinya hilang, atau berikatan dengan Ag sehingga lebih mudah difagositosis oleh makrofag dalam proses opsonisasi. Kadang fagositosis
dapat dibantu dengan melibatkan komplemen sehingga terjadi penghancuran Ag. Selain itu ikatan antibodi dengan Ag juga mempermudah lisis oleh sel Tc. Peristiwa ini disebut antibody dependent cellular mediated cytotoxi city (ADCC). Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi Ag dan pembentukan sel memori yang kelak bila terpapar lagi dengan Ag serupa akan cepat berproliferasi dan berdeferensiasi. Hal inilah yang diharapkan pada imunisasi. Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak berumur panjang, kadar antibodi spesifik yang cukup tinggi mencapai kadar protektif dan berlangsung dalam waktu cukup lama dapat diperoleh dengan vaksinasi tertentu atau infeksi alamiah. Hal ini disebabkan karena adanya antigen yang tersimpan dalam sel dendrit dalam kelenjar limfe yang dipresentasikan pada sel memori sewaktu-waktu di kemudian hari (Gambar 1.2)
Gambar 1.2. Mekanisme imunitas humoral Dikutip dan dimodifikasi dari Abul K.Abbas, 2001
Respons antibodi terhadap antigen Respons imun primer adalah respons imun yang terjadi pada pajanan pertama kalinya dengan antigen. Antibodi yang terbentuk pada respons imun primer kebanyakan adalah
IgM dan IgG dengan titer yang lebih rendah dibandingkan dengan respons imun sekunder, demikian pula dengan afinitas serta lag phase lebih lama. Respons imun sekunder antibodi yang dibentuk terutama adalah IgG, dengan titer dan afinitasnya lebih tinggi serta phase lag lebih pendek (Gambar 1.3). Pada imunisasi, respons imun sekunder inilah yang kelak diharapkan akan memberi respons adekuat bila terpajan pada antigen yang serupa. Memori Imunologik Peran utama vaksinasi ialah menimbulkan memori imunologik yang banyak. Sel B memori terbentuk di jaringan limfoid di bagian sentral germinal. Antigen asing yang sudah terikat dengan antibodi akan membentuk komplek Ag-antibodi dan akan terikat dengan komplemen (C). Komplek Ag-Ab-C akan menempel pada sel dendrit
Gambar 1.3. Respons imun primer dan sekunder Dikutip dan dimodifikasi dari Abul K. Abbas 2001
folikel (FDC=follicular dendritic cells) karena terdapat reseptor C di permukaan sel dendrit. Terjadi proliferasi dan diferensiasi sel limfosit B dan akan terbentuk sel plasma yang menghasilkan antibodi dan sel B memori yang mempunyai afinitis antigen yang tinggi. Sel B memori akan berada di sirkulasi sedangkan sel plasma akan migrasi ke sumsum tulang. Bila sel B memori kembali ke jaringan limfoid yang mempunyai antigen yang serupa maka akan terjadi proses proliferasi dan diferensiasi seperti semula dengan menghasilkan antibodi yang lebih banyak dan dengan afinitas yang lebih tinggi. Terbentuknya antibodi sebagai akibat ulangan vaksinasi (boosting effect) tergantung dari dosis antigen yang diberikan. Sel T memori dibentuk dengan melalui beberapa tahapan. Sel APC akan mempresentasikan antigen yang sudah diprosesnya bersamasama molekul MHC di jaringan limfoid perifer pada sel limfosit T; bersamaan dengan ini akan disekresi sitokin. Salah satu fungsi dari sitokin adalah proliferasi sel T dengan Ag spesifik (clonal expansion) dan diferen-siasi yang menghasilkan sel efektor dan sel T memori. Sel efektor akan meninggalkan jaringan limfoid dan berada di sirkulasi dan bermigrasi ketempat terjadi infeksi untuk mengeliminasi infeksi sedangkan sel T memori yang tidak aktif dan berada di sirkulasi untuk jangka waktu yang lama. Antigen ekstraselular akan diproses di APC menjadi peptida yang akan dikenal oleh molekul MHC kelas II. Sedangkan Ag intraselular diproses di sitoplasma APC akan dikenal oleh molekul MHC kelas I. Sel limfosit T CD4+ mempunyai fungsi memproduksi sitokin sel helper untuk mengelimasi mikroba ekstraselular. Sedangkan molekul CD8+ yang mempunyai fungsi sitolitik (CTL=cytolytic T lymphgocytes) akan memusnahkan mikobakterium intrasel (Gambar 1). Keberhasilan Imunisasi Keberhasilan imunisasi tergantung pada beberapa faktor, yaitu status imun pejamu, faktor genetik pejamu, serta kualitas dan kuantitas vaksin.
Status Imun Pejamu Terjadinya antibodi spesifik pada pejamu terhadap vaksin yang diberikan akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang semasa janin mendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus campak, bila vaksinasi campak diberikan pada saat kadar antibodi spesifik campak masih tinggi akan memberikan hasil yang kurang memuaskan. Demikian pula air susu ibu (ASI) yang mengandung IgA sekretori (sIgA) terhadap virus polio tidak mempengaruhi keberhasilan vaksinasi polio yang diberikan secara oral, karena pada umumnya kadar sIgA terhadap virus polio pada ASI sudah rendah pada waktu bayi berumur beberapa bulan. Pada penelitian di Sub Bagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA FKUI/ RSCM, Jakarta ternyata sIgA polio sudah
tidak ditemukan lagi pada ASI setelah bayi berumur 5 bulan. Kadar sIgA tinggi terdapat pada kolostrum. Karena itu bila vaksinasi polio oral diberikan pada masa pemberian kolostrum (kurang atau sama dengan 3 hari setelah lahir), hendaknya ASI (kolostrum) jangan diberikan dahulu 2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi. Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi neonatus fungsi makrofag masih kurang, terutama fungsi mempresentasikan antigen karena ekspresi HLA (human leucocyte antigen) masih kurang pada permukaannya, selain deformabilitas membran serta respons kemotaktik yang masih kurang. Kadar komplemen dan aktivitas opsonin komplemen masih rendah, demikian pula aktivitas kemotaktik serta daya lisisnya. Fungsi sel Ts (T supresor) relatif lebih menonjol dibandingkan pada bayi atau anak karena memang fungsi imun pada masa intra uterin lebih ditekankan pada toleransi, dan hal ini masih terlihat pada bayi baru lahir. Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu masih kurang. Jadi dengan sendirinya, vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil yang kurang dibandingkan pada anak. Maka, apabila imunisasi diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan, jangan lupa memberikan imunisasi ulangan.
Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang mendapat obat imunosupresan, menderita defisiensi imun kongenital, atau menderita penyakit yang menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti pada penyakit keganasan juga akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Bahkan adanya defisiensi imun merupakan indikasi kontra pemberian vaksin hidup karena dapat menimbulkan penyakit pada individu tersebut. Demikian pula vaksinasi pada individu yang menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak, tuberkulosis milier akan mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi. Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun seperti makrofag dan limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas humoral spesifisitasnya rendah. Meskipun kadar globulin-g normal atau bahkan meninggi, imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat mengikat antigen dengan baik karena terdapat kekurangan asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis antibodi. Kadar komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofag berkurang, akibatnya respons terhadap vaksin atau toksoid berkurang. Faktor Genetik Pejamu Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik. Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup, dan rendah terhadap antigen tertentu. Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap antigen lain dapat lebih tinggi. Karena itu tidak heran bila kita menemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%. Faktor genetik dalam respons imun dapat berperan melalui gen yang berada pada kompleks MHC (major histocompatibility complex) dan gen non MHC. Gen kompleks MHC berperan dalam presentasi antigen. Sel Tc akan mengenal antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas I, dan sel Td serta sel Th akan mengenal
antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas II. Jadi respons sel T diawasi secara genetik sehingga dapat dimengerti bahwa akan terdapat potensi variasi respons imun. Pada gen non MHC, secara klinis kita melihat adanya defisiensi imun yang berkaitan dengan gen tertentu, misalnya agamaglobulinemia yang terangkai dengan kromosom X yang hanya terdapat pada anak laki laki atau penyakit alergi yaitu penyakit yang menunjukkan perbedaan responsi imun terhadap antigen tertentu merupakan penyakit yang diturunkan. Faktor faktor ini menyokong adanya peran genetik dalam respons imun, hanya saja mekanisme yang sebenarnya belum diketahui. Kualitas dan Kuantitas Vaksin Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung sifat antigenisitas. Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasi, seperti cara pemberian, dosis, frekuensi pemberian ajuvan yang dipergunakan, dan jenis vaksin. Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul. Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal di samping sistemik, sedangkan vaksin polio parenteral akan memberikan imunitas sistemik saja. Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah mempengaruhi respons imun yang terjadi. Dosis terlalu tinggi akan menghambat respons imun yang diharapkan, sedang dosis terlalu rendah tidak merangsang sel imunokompeten. Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasil uji klinis, karena itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang direkomendasikan. Frekuensi pemberian mempengaruhi respons imun yang terjadi. Sebagaimana telah kita ketahui, respons imun sekunder menimbulkan sel efektor aktif lebih cepat, lebih tinggi
produksinya, dan afinitasnya lebih tinggi. Di samping
frekuensi, jarak pemberianpun akan mempengaruhi respons imun yang terjadi. Bila pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi, maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik yang masih tinggi tersebut sehingga tidak sempat merangsang sel imunokompeten. Bahkan dapat terjadi apa yang dinamakan reaksi Arthus, yaitu bengkak kemerahan di daerah suntikan antigen akibat pembentukan kompleks antigen antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal. Karena itu pemberian ulang (booster) sebaiknya mengikuti apa yang dianjurkan sesuai dengan hasil uji klinis. Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons imun terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan mempertahankan antigen pada atau dekat dengan tempat suntikan, dan mengaktivasi sel APC (antigen presenting cells) untuk memproses antigen secara efektif dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel imunokompeten lainnya. Jenis vaksin, vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik dibanding vaksin mati atau yang diinaktivasi (killed atau inactivated) atau bagian (komponen) dari mikroorganisme. Rangsangan sel Tc memori membutuhkan suatu sel yang terinfeksi, karena itu dibutuhkan vaksin hidup. Sel Tc dibutuhkan pada infeksi virus yang mengeluarkan melalui budding. Vaksin hidup diperoleh dengan cara atenuasi. Tujuan atenuasi adalah untuk menghasilkan organisme yang hanya dapat menimbulkan penyakit yang sangat ringan. Atenuasi diperoleh dengan memodifikasi kondisi tempat tumbuh mikroorganisme, misalnya suhu yang tinggi atau rendah, kondisi anerob, atau menambah empedu pada media kultur seperti pada pembuatan vaksin BCG yang sudah ditanam selama 13 tahun. Dapat pula dipakai mikroorganisme yang virulen untuk spesies lain tetapi untuk manusia avirulen, misalnya virus cacar sapi.
Persyaratan Vaksin Dengan mempelajari respons imun yang terjadi pada pajanan antigen, maka terdapat empat faktor sebagai persyaratan vaksin, yaitu 1) mengaktivasiAPCuntukmempresentasikanantigendanmemproduksi interleukin, 2) mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel memori, 3) mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop, untuk mengatasi variasi respons imun yang ada dalam populasi karena adanya polimorfisme MHC, dan 4) memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel folikular dendrit jaringan limfoid tempat sel B memori direkrut sehingga dapat merangsang sel B sewaktu-waktu menjadi sel plasma yang membentuk antibodi terus menerus sehingga kadarnya tetap tinggi. Apakah persyaratan ini seluruhnya atau sebagian saja, tergantung dari ada atau tidaknya variasi respons genetik yang nyata dan respons imun yang dibutuhkan. Vaksin yang dapat memenuhi keempat persyaratan tersebut adalah vaksin virus hidup. Pada umumnya antibodi yang terbentuk akibat vaksinasi sudah cukup untuk mencegah terjadinya infeksi, sehingga pembentukan sel Tc terhadap berbagai epitop antigen tidak merupakan keharusan. Pada penyakit difteria dan tetanus misalnya yang dibutuhkan adalah antibodi untuk netralisasi toksin. Daftar Pustaka 1. Roitt I. Essential Immunology. Edisi ke-11. Blackwell Publishing, 2006. 2. Plotkin SA, Mortimer EA. Vaccines. Philadelphia: WB Saunders, 2004. 3. Grabenstein JD. ImmunoFacts: Vaccines and Immunologic Drugs. St. Louis, MO: Wolters Kluwer Health, Inc., 2006. 4. Cell MediatedImmuneResponses: Activation of TLymphocytes by Cell Associated Microbes. Dalam: Abul K.Abbas, Andrew H.Lichtman, penyunting. Basic Immunology,functions and disorders of the immune system. Edisi pertama. W.B.Saunders, 2001.h.87-108. 5. Humoral Immune Responses: Activation of B lymphocytes and Production of Antibodies. Dalam: Abul K.Abbas, Andrew H.Lichtman, penyunting. Basic immunology, functions and disorders of immune system. Edisi pertama W.B.Saunders, 2001.h.125-45.
Bab 1-3 Jenis Vaksin Hariyono Suyitno Pada dasarnya, vaksin dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu
Live attenuated (kuman atau virus hidup yang dilemahkan) Inactivated (kuman, virus atau komponennya yang dibuat tidak aktif) Sifat vaksin attenuated dan inactivated berbeda sehingga hal ini menentukan bagaimana vaksin ini digunakan. Vaksin hidup attenuated diproduksi di laboratorium dengan cara melakukan modifikasi virus atau bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan masih memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak (replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit. Vaksin inactivated dapat terdiri atas seluruh tubuh virus atau bakteri, atau komponen (fraksi) dari kedua organisme tersebut. Vaksin komponen dapat berbasis protein atau berbasis polisakarida. Vaksin yang berbasis protein termasuk toksoid (toksin bakteri yang inactivated) dan produk subunit atau sub-vision. Sebagian besar vaksin berbasis polisakarida terdiri atas dinding sel polisakarida asli bakteri. Vaksin penggabungan (conjugate vaccine) polisakarida adalah vaksin polisakarida yang secara kimiawi dihubungkan dengan protein; karena hubungan ini membuat polisakarida tersebut menjadi lebih poten. Vaksin Hidup Attenuated Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar (wild) penyebab penyakit. Virus atau bakteri liar ini dilemahkan (attenuated) di laboratorium, biasanya dengan cara pembiakan berulang-ulang. Misalnya vaksin campak yang dipakai sampai sekarang, diisolasi
untuk mengubah virus campak liar menjadi virus vaksin dibutuhkan 10 tahun dengan cara melakukan penanaman pada jaringan media pembiakan secara serial dari seorang anak yang menderita penyakit campak pada tahun 1954. Supaya dapat menimbulkan respons imun, vaksin hidup attenuated harus berkembang biak (mengadakan replikasi) di dalam tubuh resipien. Suatu dosis kecil virus atau bakteri yang diberikan, yang kemudian mengadakan replikasi di dalam tubuh dan meningkat jumlahnya sampai cukup besar untuk memberi rangsangan suatu respons imun. Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol (misalnya panas atau cahaya) atau pengaruh luar terhadap replikasi organisme dalam tubuh (antibodi yang beredar) dapat menyebabkan vaksin tersebut tidak efektif. Walaupun vaksin hidup attenuated dapat menyebabkan penyakit, umumnya bersifat ringan dibanding dengan penyakit alamiah dan itu dianggap sebagai kejadian ikutan (adverse event). Respons imun terhadap vaksin hidup attenuated pada umumnya sama dengan yang diakibatkan oleh infeksi alamiah. Respons imun tidak membedakan antara suatu infeksi dengan virus vaksin yang dilemahkan dan infeksi dengan virus liar. Vaksin virus hidup attenuated secara teoritis dapat berubah menjadi bentuk patogenik seperti semula. Hal ini hanya terjadi pada vaksin polio hidup. Imunitas aktif dari vaksin hidup attenuated tidak dapat berkembang karena pengaruh dari antibodi yang beredar. Antibodi yang masuk melalui plasenta atau transfusi dapat mempengaruhi perkembangan vaksin mikroorganisme dan menyebabkan tidak adanya respons. Vaksin campak merupakan mikroorganisme yang paling sensitif terhadap antibodi yang beredar dalam tubuh. Virus vaksin polio dan rotavirus paling sedikit terkena pengaruh. Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila kena panas atau sinar, maka harus dilakukan pengelolaan dan penyimpanan dengan baik dan hatihati.
Vaksin hidup attenuated yang tersedia Berasal dari virus hidup: vaksin campak, gondongan (parotitis), rubela, polio, rotavirus, demam kuning (yellow fever). Berasal dari bakteri: vaksin BCG dan demam tifoid oral. Vaksi n Inactivated Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakkan bakteri atau virus dalam media pembiakan (persemaian), kemudian dibuat tidak aktif (inactivated) dengan penanaman bahan kimia (biasanya formalin). Untuk vaksin komponen, organisme tersebut dibuat murni dan hanya komponen-komponennya yang dimasukkan dalam vaksin (misalnya kapsul polisakarida dari kuman pneumokokus). Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan penyakit (walaupun pada orang dengan defisiensi imun) dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik. Tidak seperti antigen hidup, antigen inactivated umumnya tidak dipengaruhi
oleh antibodi yang beredar. Vaksin inactivated dapat diberikan saat antibodi berada di dalam sirkulasi darah (misalnya pada bayi, menyusul penerimaan antibodi yang dihasilkan darah). Vaksin inactivated selalu membutuhkan dosis multipel. Pada umumnya, pada dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya memacu atau menyiapkan sistem imun. Respons imun protektif baru timbul setelah dosis kedua atau ketiga. Hal ini berbeda dengan vaksin hidup, yang mempunyai respons imun mirip atau sama dengan infeksi alami, respons imun terhadap vaksin inantivated sebagian besar humoral, hanya sedikit atau tak menimbulkan imunitas selular. Titer antibodi terhadap antigen inactivated menurun setelah beberapa waktu. Sebagai hasilnya maka vaksin inactivated membutuhkan dosis suplemen (tambahan) secara periodik.
Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap penyakit masih memerlukan vaksin seluruh sel (whole cell), namun vaksin bakterial seluruh sel bersifat paling reaktogenik dan menyebabkan paling banyak reaksi ikutan atau efek samping. Ini disebabkan respons terhadap komponen-komponen sel yang sebenarnya tidak diperlukan untuk perlindungan (contoh antigen pertusis dalam vaksin DPT). Vaksin inactivated yang tersedia saat ini berasal dari, Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio (injeksi disuntikkan), rabies, hepatitis A Seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra. Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B, influenza, pertusis a-seluler, tifoid Vi, lyme disease. Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum Polisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus, dan Haemophillus influenzae tipe b Gabungan polisakarida (Haemophillus influenzae tipe b dan pneumokokus) Vaksin Polisakarida Vaksin polisakarida adalah vaksin sub-unit yang inactivated dengan bentuknya yang unik terdiri atas rantai panjang molekulmolekul gula yang membentuk permukaan kapsul bakteri tertentu. Vaksin polisakarida murni tersedia untuk 3 macam penyakit yaitu pneumokokus, meningokokus dan Haemophillus influenzae type b. Respons imun terhadap vaksin polisakarida murni adalah sel T independen khusus yang berarti bahwa vaksin ini mampu memberi stimulasi sel B tanpa bantuan sel T helper. Antigen sel T independen termasuk vaksin polisakarida, tidak selalu imunogenik pada anak umur kurang dari 2 tahun. Anak kecil tidak memberi respons terhadap antigen polisakarida; mungkin
ada hubungannya dengan keadaan yang masih imatur dari sistem imunnya, terutama fungsi sel T. Dosis vaksin polisakarida yang diulang tidak menyebabkan respons peningkatan (booster response). Dosis ulangan vaksin protein inactivated menyebabkan titer antibodi menjadi lebih tinggi secara progresif atau meningkat. Hal ini tidak dijumpai pada antigen polisakarida. Antibodi yang dibangkitkan oleh vaksin polisakarida mempunyai aktifitas fungsional kurang dibandingkan dengan apabila dibangkitkan oleh antigen protein. Hal ini karena antibodi yang dihasilkan dalam respons terhadap vaksin polisakarida hanya didominasi IgM dan hanya sedikit IgG yang diproduksi. Pada akhir tahun 1980-an telah ditemukan bahwa masalah seperti di atas dapat diatasi melalui proses yang disebut penggabungan atau konjugasi (conjugation). Konjugasi mengubah respons imun dari sel T independen menjadi sel T dependen yang menyebabkan peningkatan sifat imunitas (immunogenicity) pada bayi dan respons peningkatan antibodi terhadap dosis vaksin ganda vaksin polisakarida. Conjugasi yang pertama adalah Haemophillus influenzae type b. Suatu vaksin konjugasi lainnya ialah vaksin pneumokok. Vaksin Rekombinan Antigen vaksin dapat pula dihasilkan dengan cara teknik rekayasa genetik. Produk ini sering disebut sebagai vaksin rekombinan. Terdapat 3 jenis vaksin yang dihasilkan dengan rekayasa genetik yang saat ini telah tersedia. Vaksin hepatitis B dihasilkan dengan cara memasukkan suatu segmen gen virus hepatitis B ke dalam gen sel ragi. Sel ragi yang telah berubah (modified) ini menghasilkan antigen permukaan hepatitis B murni. Vaksin tifoid (Ty 21a) adalah bakteria Salmonella typhi yang secara
genetik diubah (modified) sehingga tidak menyebabkan sakit.
• Tiga dari 4 virus yang berada di dalam vaksin rotavirus hidup adalah rotavirus kera rhesus yang diubah (modified) secara genetik menghasilkan antigen rotavirus manusia apabila mereka mengalami replikasi. Daftar Pustaka 1. American Academy of Pediatrics. Active Immunization. Dalam Pickering LK., Penyunting. Red Book 2000, Report of the Committee on Infectious Diseases. Edisi ke 25. Elk Grove Village:American of Pediarics, 2000. h.6-26. 2. National Health and Medical Research Council. The Australian Immunisation Handbook. 9th ed. Australian Government Department of Health and Ageing. 2008. 3. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization. Geneva: WHO. 2002. 4. Centers for Disease Control and Prevention. Classification of vaccine. Dalam Atkinson W, Humiston S, Wolfe, R., penyunting. Epidemiology and Prevention of vaccine Preventable Diseases. Edisi ke 5. Atlanta:Department of Health & Human Services, CDC, 1999.h.4-8 5. Plotkin SA, Mortimer EA. Vaccines. Philadelphia: WB Saunders, 2004.
Bab II Penyimpanan dan Transportasi Vaksin Bab II-1. Rantai vaksin Bab II – 2. Kualitas vaksin Pen gantar Secara umum vaksin terdiri dari vaksin hidup dan vaksin mati (inaktif) yang mempunyai ketahanan dan stabilitas yang berbeda terhadap perbedaan suhu. Oleh karena itu harus diperhatikan syarat-syarat penyimpanan dan transportasi vaksin untuk menjamin potensinya ketika diberikan kepada seorang anak. Bila syarat-syarat tersebut tidak diperhatikan maka vaksin sebagai material biologis mudah rusak atau kehilangan potensinya untuk merangsang kekebalan tubuh, bahkan bisa menimbulkan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang tidak diharapkan. Untuk menghindari halhal yang tidak diinginkan dibutuhkan pemahaman mengenai ketahanan vaksin terhadap perbedaan suhu dan pemahaman rantai vaksin (cold –chain). Diperlukan syarat-syarat tertentu, sehingga sejak dari pabrik sampai saat diberikan kepada pasien vaksin tetap terjamin kualitasnya. Selain itu perlu pula mengenali kondisi vaksin yang sudah tidak dapat dipergunakan lagi, antara lain dari tanggal kadaluwarsa, warna cairan, kejernihan, endapan, warna vaccine vial monitor (VVM), kerusakan label, dan sisa vaksin yang sudah dilarutkan.
Bab II-1 Rantai Vaksin Soedjatmiko, Dahlan Ali Musa Rantai vaksin adalah rangkaian proses penyimpanan dan transportasi vaksin dengan menggunakan berbagai peralatan sesuai prosedur untuk menjamin kualitas vaksin sejak dari pabrik sampai diberikan kepada pasien. Rantai vaksin terdiri dari proses penyimpanan vaksin di kamar dingin atau kamar beku, di lemari pendingin, di dalam alat pembawa vaksin, pentingnya alat-alat untuk mengukur dan mempertahankan suhu. Secara umum ada 2 jenis vaksin yaitu vaksin hidup (polio oral, BCG, campak, MMR, varicella dan demam kuning) dan vaksin mati atau inaktif (DPT, Hib, pneumokokus, typhoid, influenza, polio inaktif, meningokokus). Dampak perubahan suhu pada vaksin hidup dan mati berbeda. Untuk itu harus di ketahui suhu optimum untuk setiap vaksin sesuai petunjuk pernyimpanan dari pabrik masing-masing. Suhu optimum untuk vaksin hidup Secara umum semua vaksin sebaiknya disimpan pada suhu +2 s/d +80 C, di atas suhu +80 C vaksin hidup akan cepat mati, vaksin polio hanya bertahan 2 hari, vaksin BCG dan campak yang belum dilarutkan mati dalam 7 hari. aksin hidup potensinya masih tetap baik pada suhu kurang dari 2oC s/d beku. Vaksin polio oral yang belum dibuka lebih bertahan lama (2 tahun) bila
disimpan pada suhu -25oC s/d -15oC, namun hanya bertahan 6 bulan pada suhu +2oC s/d +80 C. Vaksin BCG dan campak berbeda, walaupun disimpan pada suhu -25oC s/d -15oC, umur vaksin tidak lebih lama dari suhu +2oC s/d +8o C, yaitu BCG tetap 1 tahun dan campak tetap 2 tahun. Oleh
karena itu vaksin BCG dan campak yang belum dilarutkan tidak perlu disimpan di -25 s/d -15 o C atau di dalamfreezer. Suhu optimum untuk vaksin mati Vaksin mati (inaktif) sebaiknya disimpan dalam suhu +2oC s/d +8oC juga, pada suhu dibawah +2oC (beku) vaksin mati (inaktif) akan cepat rusak. Bila beku dalam suhu 0.5oC vaksin hepatitis B dan DPT-Hepatitis B (kombo) akan rusak dalam 1/2 jam, tetapi dalam suhu di atas 8o C vaksin hepatitis B bisa bertahan sampai 30 hari, DPT-hepatitis B kombinasi sampai 14 hari. Dibekukan dalam suhu -5oC s/d – 10oC vaksin DPT, DT dan TT akan rusak dalam 1,5 sd 2 jam, tetapi bisa bertahan sampai 14 hari dalam suhu di atas 8oC. Kamar Dingin dan Kamar Beku Kamar dingin (cold room) dan kamar beku (freeze room) umumnya berada di pabrik, distributor pusat, Departemen Kesehatan atau Dinas Kesehatan Propinsi, berupa ruang yang besar dengan kapasitas 5 – 100 m3, untuk menyimpan vaksin dalam jumlah yang besar. Suhu kamar dingin berkisar +2oC s/d +8oC, terutama untuk menyimpan vaksin-vaksin yang tidak boleh beku. Suhu kamar beku berkisar antara -25oC s/d -15oC, untuk menyimpan vaksin yang boleh beku, terutama vaksin polio. Kamar dingin dan kamar beku harus beroperasi terus menerus, menggunakan 2 alat pendingin yang bekerja bergantian. Aliran listerik tidak boleh terputus sehingga harus dihubungkan dengan pembangkit listerik yang secara otomatis akan berfungsi bila listerik mati. Suhu ruangan harus dikontrol setiap hari dari data suhu yang tercatat secara otomatis. Alarm akan berbunyi bila suhu kurang dari 2oC, atau diatas 8oC, atau listrik padam. Pintu tidak boleh sering dibuka tutup. Kamar dingin dan kamar beku tidak boleh digunakan untuk membuat cool pack atau cold pack, atau meletakkan benda-benda
lain. Pembuatan cold pack dan cold pack menggunakan lemari pendingin tersendiri Lemari es dan freezer Setiap lemari es sebaiknya mempunyai 1 stop kontak tersendiri. Jarak lemari es dengan dinding belakang 10–15 cm, kanan kiri 15 cm, sirkulasi udara disekitarnya harus baik. Lemari es tidak boleh terkena panas matahari langsung. Suhu di dalam lemari es harus berkisar +2oC s/d +8oC, digunakan untuk menyimpan vaksin-vaksin hidup maupun mati, dan untuk membuat cool pack (kotak dingin cair). Sedangkan suhu di dalam freezer berkisar antara -25oC s/d -15oC, khusus untuk menyimpan vaksin Polio dan pembuatan cold pack (kotak es beku). Termostat di dalam lemari es harus diatur sedemikian rupa sehingga suhunya berkisar antara +2oC s/d +8oC dan suhufreezer berkisar -15oC s/d -25oC. Perubahan suhu dapat diketahui setelah 24 jam pengaturan termostat, dengan melihat termometer Dial atau Muller yang diletakkan pada rak ke 2. Di dalam lemari es lebih baik bila dilengkapi freeze watch atau freeze tag pada rak ke 3, untuk memantau apakah suhunya pernah mencapai dibawah 0 derajat. Setelah suhu stabil, posisi termostat jangan diubah, sebaiknya termostat difiksasi dengan pita perekat (selotape) agar tidak tergeser ketika mengambil atau meletakkan vaksin. Sebaiknya pintu lemari es hanya dibuka dua kali sehari, yaitu ketika mengambil vaksin dan mengembalikan sisa vaksin, sambil mencatat suhu lemari es. Pintu lemari es ada dua jenis : membuka ke depan dan membuka ke atas, masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian. Lemari es dengan pintu membuka ke atas lebih dianjurkan untuk penyimpanan vaksin.
Tabel 2.1. Perbedaan lemari es dengan pintu membuka ke depan dan ke atas Pintu membuka ke depan Pintu membuka ke atas
1. Suhu tidak stabil. 1. Suhu lebih stabil. Pada saat pintu dibuka
Pada saat pintu dibuka ke atas,
kedepan, suhu dingin turun
suhu dingin turun dari atas
dari atas kebawah dan keluar
kebawah, tidak keluar
2. Bila listerik padam relatif
2. Bila listerik padam relatif bisa
tidak bertahan lama 3. Jumlah vaksin yang bisa
bertahan lebih lama 3. Jumlah vaksin yang bisa
disimpan lebih sedikit 4. Susunan vaksin lebih mudah
disimpan lebih banyak 4. Susunan vaksin lebih sulit
dilihat dari depan
dikontrol karena bertumpuk sulit dilihat dari atas
Karet-karet pintu harus diperiksa kerapatannya, untuk menghindari keluarnya udara dingin. Bila pada dinding lemari es telah terdapat bunga es, atau di freezer telah mencapai tebal 2-3 cm harus segera dilakukan pencairan (defrost). Sebelum melakukan pencairan, pindahkan semua vaksin ke cool box atau lemari es yang lain. Cabut kontak listerik lemari es, biarkan pintu lemari es danfreezer terbuka selama 24 jam, kemudian dibersihkan. Setelah bersih, pasang kembali kontak listerik, tunggu sampai suhu stabil. Setelah suhu lemari sedikitnya mencapai + 80 C dan suhufreezer – 15 0 C, masukkan vaksin sesuai tempatnya. Susunan vaksin di dalam lemari es Karena vaksin hidup dan vaksin inaktif mempunyai daya tahan berbeda terhadap suhu dingin, maka kita harus mengenali bagian yang paling dingin dari lemari es. Kemudian kita meletakkan vaksin hidup dekat dengan bagian yang paling dingin, sedangkan vaksin mati jauh dari bagian yang paling dingin. Di antara kotak-kotak vaksin beri jarak selebar jari tangan (sekitar 2 cm) agar udara dingin bisa menyebar merata ke semua kotak vaksin.
Text Box:
Text Box:
Bagian paling bawah tidak untuk menyimpan vaksin tetapi khusus untuk meletakkan cool pack, untuk mempertahankan suhu bila listerik mati. Pelarut vaksin jangan disimpan di dalam lemari es atau freezer, karena akan mengurangi ruang untuk vaksin, dan akan pecah bila beku. Penetes (dropper) vaksin polio juga tidak boleh diletakkan di lemari es atau freezer karena akan menjadi rapuh, mudah pecah. Tidak boleh menyimpan makanan, minuman, obat-obatan atau benda-benda lain di dalam lemari es vaksin, karena akan mengganggu stabilitas suhu karena sering dibuka. Lemari es dengan pintu membuka kedepan Bagian yang paling dingin lemari es ini adalah di bagian paling atas (freezer). Di dalam freezer di simpan cold pack, sedangkan rak tepat dibawah freezer untuk meletakkan vaksin–vaksin hidup, karena tidak mati pada suhu rendah. Rak yang lebih jauh darifreezer (rak ke 2 dan 3) untuk meletakkan vaksin-vaksin mati (inaktif), agar tidak terlalu dekat freezer, untuk menghindari rusak karena beku. Termometer Dial atau Muller diletakkan pada rak ke 2, freeze watch atau freeze tag pada rak ke 3
Gambar 2.1 . Tata letak vaksin dalam lemari es yang membuka ke depan, perhatikan bahwa vaksin hidup (BCG, campak, polio) boleh dekat pendingin (freezer), vaksin mati harus jauh dari pendingin (freezer)
Lemari es dengan pintu membuka ke atas Bagian yang paling dingin dalam lemari es ini adalah bagian tengah (evaporator) yang membujur dari depan ke belakang. Oleh karena itu vaksin hidup diletakkan di kanan-kiri bagian yang paling dingin (evaporator). Vaksin mati diletakkan dipinggir, jauh dari evaporator. Beri jarak antara kotak-kotak vaksin selebar jari tangan (sekitar 2 cm). Letakkan termometer Dial atau Muller atau freeze watch/freeze tag dekat vaksin mati.
Gambar 2.2. Lemari es dengan pintu membuka keatas Keterangan gambar: Kotak vaksin hidup boleh dekat pendingin, vaksin mati (inaktif) jauh dari pendingin
Wadah pembawa vaksin Untuk membawa vaksin dalam jumlah sedikit dan jarak tidak terlalu jauh dapat menggunakan cold box (kotak dingin) atau vaccine carrier (termos). Cold box berukuran lebih besar, dengan ukuran 40 – 70 liter, dengan penyekat suhu dari poliuretan, selain untuk transportasi dapat pula untuk menyimpan vaksin sementara. Untuk mepertahankan suhu vaksin di dalam kotak dingin atau termos dimasukkan cold pack atau cool pack. Gambar 2.3. Kotak Dingin, b) Vaksin Carrier, c) cool pack Cold Pack dan Cool Pack Cold pack berisi air yang dibekukan dalam suhu -15 s/d – 25 0 C selama 24 jam, biasanya di dalam wadah plastik berwarna putih. Cool pack berisi air dingin (tidak beku) yang didinginkan dalam suhu +2 s/d +80 C selama 24 jam, biasanya di dalam wadah plastik berwarna merah atau biru. Cold pack (beku) dimasukkan ke dalam termos untuk mepertahankan suhu vaksin ketika membawa vaksin hidup sedangkan cool pack (cair) untuk membawa vakdin hidup dan vaksin mati (inaktif). Text Box:
Gambar 2.4. Cara membawa vaksin dalam vaccine carrier
Daftar Pustaka
1. DirektoratJenderal PPM & PL. Pedoman Teknis Pengelolaan Vaksin danRantaiVaksin. Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2005 2. Direktorat Jenderal PPM & PL. Modul Pelatihan Pengelolaan Rantai Vaksin Program Imunisasi. Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2004. 3. Keputusan Menteri Kesehatan R I. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2005. 4. National Health and Medical Research Council. National Immunization Program. The Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia; 2008. 5. Committee on Infectious Diseases American Academy of Pediatrics. PickeringLK, Baker CL, Overturf GD, Prober CG, penyunting. Red Book: 2003 Report of the Committee on Infectious Diseases. Edisike-26. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2003. 6. Plotkins S, Orenstein WA, penyunting. Vaccines, edisi keempat. Philadelphia, Tokyo, WB Saunders, 2004. 7. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization. Geneva: WHO. 2002.
Bab II-2 Menilai Kualitas Vaksin Soedjatmiko, Dahlan Ali Musa Seperti telah diuraikan dalam Bab II-1, vaksin hidup akan mati pada suhu di atas batas tertentu, dan vaksin mati (inaktif) akan rusak di bawah suhu tertentu. Bila pengelolaan vaksin dan rantai vaksin tidak baik, maka vaksin tidak mampu merangsang kekebalan tubuh secara optimal bahkan dapat menimbulkan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang tidak diharapkan. Oleh karena itu dalam pelayanan sehari-hari kita kita perlu memahami beberapa hal praktis untuk menilai apakah vaksin masih layak diberikan kepada pasien atau tidak. Namun untuk mengetahui potensi vaksin yang sesungguhnya harus dilakukan pemeriksaan laboratorium yang rumit. Kualitas rantai vaksin dan tanggal kadaluwarsa Untuk mempertahankan kualitas vaksin maka penyimpanan dan transportasi vaksin harus memenuhi syarat rantai vaksin yang baik, antara lain: disimpan di dalam lemari es atau freezer dalam suhu tertentu, transportasi vaksin di dalam kotak dingin atau twermos yang tertutup rapat, tidak terendam air, terlindung dari sinar matahari langsung, belum melewati tanggal kadaluarsa, indikator suhu berupa VVM (vaccine vial monitor) atau freeze watch / tag belum melampaui batas suhu tertentu. VVM (vaccine vial monitor) Vaccine vial monitor untuk menilai apakah vaksin sudah pernah terpapar suhu diatas batas yang dibolehkan, dengan membandingkan
warna kotak segi empat dengan warna lingkaran di sekitarnya. Bila warna kotak segi empat lebih muda daripada lingkaran dan sekitarnya (disebut kondisi VVM A atau B) maka vaksin belum terpapar suhu di atas batas yang diperkenankan. Vaksin dengan kondisi VVM B harus segera dipergunakan. A. Segi empat lebih terang dari lingkaran sekitar Bila belum kadaluwarsa: GUNAKAN vaksin. B. Segi empat berubah gelap tapi lebih terang dari lingkaran sekitar Bila belum kadaluwarsa: SEGERA GUNAKAN vaksin. C. Segi empat sama warna dengan lingkaran sekitar JANGAN GUNAKAN vaksin: Lapor kepada pimpinan. D. Segi empat lebih gelap dari lingkaran sekitar JANGAN GUNAKAN vaksin: Lapor kepada pimpinan. Gambar 2.5. Perubahan warna Vaccine Vial Monitor Bila warna kotak segi empat sama atau lebih gelap daripada lingkaran dan sekitarnya (disebut
kondisi VVM C atau D) maka vaksin sudah terpapar suhu di atas batas yang diperkenankan, tidak boleh diberikan pada pasien. Freeze watch dan freeze tag Alat ini untuk mengetahui apakah vaksin pernah terpapar suhu dibawah 00 C. Bila dalam freeze watch terdapat warna biru yang melebar ke sekitarnya atau dalam freeze tag ada tanda silang (X), berarti vaksin pernah terpapar suhu di bawah 0oC yang dapat merusak vaksin mati (inaktif). Vaksin-vaksin tersebut tidak boleh diberikan kepada pasien.
Warna dan kejernihan vaksin Warna dan kejernihan beberapa vaksin dapat menjadi indikator praktis untuk menilai stabilitas vaksin. Vaksin polio harus berwarna kuning oranye. Bila warnanya berubah menjadi pucat atau kemerahan berarti pHnya telah berubah, sehingga tidak stabil dan tidak boleh diberikan kepada pasien.
Text Box:
Vaksin toksoid, rekombinan dan polisakarida umumnya berwarna putih jernih sedikit berkabut. Bila menggumpal atau banyak endapan berarti sudah pernah beku, tidak boleh digunakan karena sudah rusak. Untuk meyakinkan dapat dilakukan uji kocok seperti dibawah ini. Bila vaksin setelah dikocok tetap menggumpal atau mengendap, maka vaksin tidak boleh digunakan karena sudah rusak.
Gambar 2.7. Uji kocok (Shake test)
Pemilihan vaksin Vaksin yang harus segera dipergunakan adalah : vaksin yang belum dibuka tetapi telah dibawa ke lapangan, sisa vaksin telah dibuka (dipergunakan), vaksin dengan VVM B, vaksin dengan tanggal kadaluarsa sudah dekat (EEFO = early expire first out), vaksin yang sudah lama tersimpan dikeluarkan segera (FIFO = first in first out). Sisa vaksin di sarana pelayanan statis (Puskesmas, Klinik, Rumah Sakit, praktek swasta) Sisa vaksin yang telah dibuka di sarana pelayanan statis masih bisa diberikan pada pelayanan berikutnya bila masih memenuhi syarat-syarat, tidak melewati tanggal kadaluwarsa, disimpan dalam suhu +2 s/d +80 C, tidak pernah terendam air, VVM A atau B, tidak lebih dari 3 - 4 minggu setelah dibuka. Oleh karena itu sebaiknya selalu ditulis tanggal mulainya penggunaan vaksin terebut. Vaksin yang sudah terbuka atau sedang dipakai diletakkan dalam satu wadah/tempat khusus (tray), sehingga segera dapat dikenali. Khusus untuk vaksin yang telah dilarutkan, stabilitas vaksin lebih singkat. Vaksin BCG yang telah dilarutkan walaupun disimpan di dalam suhu +2 s/d +80 C hanya stabil selama 3jam (WHO 6 jam). Vaksin campak yang telah dilarutkan walaupun disimpan di dalam suhu +2 s/d +8
0C
hanya stabil selama 6 - 8 jam. Vaksin Hib yang sudah dilarutkan harus dibuang setelah 24 jam. Vaksin varisela yang sudah dilarutkan harus dibuang setelah 30 menit.
Tabel 2.3. Masa pemakaian vaksin dari vial yang sudah dibuka di sarana pelayanan statis Vaksin
Masa
POLIO
2 minggu
Pemakaian
DPT
4 minggu
DT
4 minggu
TT
4 minggu Hepatitis B
4 minggu Sisa vaksin di sarana
pelayanan luar gedung Vaksin yang belum dibuka tetapi sudah dibawa ke lapangan harus diberi tanda khusus untuk segera dipergunakan pada pelayanan berikutnya, selama semua syarat-syarat masih terpenuhi. Sisa vaksin yang telah dibuka di lapangan sebaiknya dimusnahkan dengan membakar di dalam insinerator bersama alat suntik bekas, atau dikubur sedalam 2-3 meter. Daftar Pustaka 1. DirektoratJenderal PPM & PL. Pedoman Teknis Pengelolaan Vaksin danRantaiVaksin. Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2005 2. Direktorat Jenderal PPM & PL. Modul Pelatihan Pengelolaan Rantai Vaksin Program Imunisasi. Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2004. 3. Keputusan Menteri Kesehatan R I. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2005. 4. National Health and Medical Research Council. National Immunization Program. The Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia; 2008. 5. Committee on Infectious Diseases American Academy of Pediatrics. PickeringLK, Baker CL, Overturf GD, Prober CG, penyunting. Red Book: 2003 Report of the Committee on Infectious Diseases. Edisike-26. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2003.
Bab III Prosedur Imunisasi 1. 2. 3. 4.
Tatacara pemberian imunisasi Penjelasan kepada orang tua mengenai imunisasi Catatan imunisasi Safety injection
Pengantar Imunisasi sebagai upaya pencegahan primer yang sangat handal, memerlukan pemahaman dan ketrampilan dari para pelakunya mengenai prosedur-prosedur yang harus dilakukan sebelum, selama dan sesudah melakukan imunisasi. Prosedur imunisasi dimulai dari menyiapkan dan membawa vaksin, mempersiapkan anak dan orangtua, tehnik penyuntikan yang aman, pencatatan, pembuangan limbah, sampai pada teknik penyimpanan dan penggunaan sisa vaksin dengan benar. Penjelasan kepada orang tua serta pengasuhnya sebelum dan setelah imunisasi perlu dipelajari pula. Pengetahuan tentang kualitas vaksin yang masih boleh diberikan pada bayi/anak perlu mendapat perhatian. Ukuran jarum, lokasi suntikan, cara mengurangi ketakutan dan rasa nyeri pada anak juga perlu diketahui. Imunisasi perlu dicatat dengan lengkap, termasuk keluhan kejadian ikutan pasca imunisasi. Dengan prosedur imunisasi yang benar diharapkan akan diperoleh kekebalan yang optimal, penyuntikan yang aman, kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang minimal,
serta pengetahuan dan kepatuhan orangtua pada jadwal imunisasi.
Bab III-1 Tata-Cara Pemberian Imunisasi Qariyono Q7uyitno Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara seperti berikut Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila tidak divaksinasi. Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila terjadi reaksi ikutan yang tidak diharapkan. Baca dengan teliti informasi tentang yang akan diberikan dan jangan lupa mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab dengan orang tua atau pengasuhnya sebelum melakukan imunisasi. Tinjau kembali apakah ada indikasi kontra terhadap vaksin yang akan diberikan. Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan. Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan dengan baik. Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan. Periksa tanggal kadaluwarsa dan catat hal-hal istimewa, misalnya adanya perubahan warna yang menunjukkan adanya kerusakan. Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan pula vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal (catch up vaccination) bila diperlukan. Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai pemilihan jarum suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan posisi penerima vaksin. Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal seperti berikut. o Berilah petunjuk (sebaiknya tertulis) kepada orang tua atau
pengasuh apa yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang biasa atau reaksi ikutan yang lebih berat. Catat imunisasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan klinis. Catatan imunisasi secara rinci harus disampaikan kepada Dinas Kesehatan bidang Pemberantasan Penyakit Menular ( P2M ). Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan vaksinasi untuk mengejar ketinggalan, bila diperlukan. Dalam situasi vaksinasi yang dilaksanakan untuk kelompok besar, pelaksanaannya dapat bervariasi, namun rekomendasi tetap seperti di atas yang berpegang pada prinsip-prinsip higienis, surat persetujuan yang valid, dan pemeriksaan/penilaian sebelum imunisasi harus dikerjakan. Penyimpanan Vaksin yang disimpan dan diangkut secara tidak benar akan kehilangan potensinya. Instruksi pada lembar penyuluhan (brosur) informasi produk harus disertakan. Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, bahwa vaksin harus didinginkan pada temperatur 28o C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin (DPT, Hib, hepatitis B, dan hepatitis A) menjadi tidak aktif bila beku. Pengguna dinasehatkan untuk melakukan konsultasi guna mendapatkan informasi khusus vaksin-vaksin individual, karena beberapa vaksin (OPV dan Yellow fever) dapat disimpan dalam keadaan beku. Pedoman secara rinci bagaimana menyimpan secara benar dan pengangkutannya diuraikan pada Bab II Penyimpanan dan Transportasi Vaksin. Pengenceran Vaksin kering yang beku harus diencerkan dengan cairan pelarut khusus dan digunakan dalam periode waktu tertentu. Apabila
vaksin telah diencerkan, harus diperiksa terhadap tanda-tanda kerusakan (warna dan kejernihan). Perlu diperhatikan bahwa vaksin campak yang telah diencerkan cepat mengalami perubahan pada suhu kamar. Jarum ukuran 21 yang steril dianjurkan untuk mengencerkan dan jarum ukuran 23 dengan panjang 25 mm digunakan untuk menyuntikkan vaksin. Pembersihan kulit Tempat suntkan harus dibersihkan sebelum imunisasi dilakukan, namun apabila kulit telah
bersih, antiseptik kulit tidak diperlukan. Pemberian suntikan Sebagian besar vaksin diberikan melalui suntikan intramuskular atau subkutan dalam. Terdapat perkecualian pada dua jenis vaksin yaitu OPV diberikan per-oral dan BCG diberikan dengan suntikan intradermal (dalam kulit). Walaupun vaksin sebagian besar diberikan secara suntikan intramuskular atau subkutan dalam, namun bagi petugas kesehatan yang kurang berpengalaman memberikan suntikan subkutan dalam, dianjurkan memberikan dengan cara intra muskular. Teknik dan ukuran jarum Para petugas yang melaksanaan vaksinasi harus memahami teknik dasar dan petunjuk keamanan pemberian vaksin, untuk mengurangi risiko penyebaran infeksi dan trauma akibat suntukan yang salah. Pada tiap suntikan harus digunakan tabung suntikan dan jarum baru, sekali pakai dan steril. Sebaiknya tidak digunakan botol vaksin yang multidosis, karena risiko infeksi. Apabila memakai botol multidosis (karena tidak ada alternatif vaksin dalam sediaan lain) maka jarum suntik yang telah digunakan menyuntik tidak
boleh dipakai lagi mengambil vaksin. Tabung suntik dan jarum harus dibuang dalam tempat tertutup yang diberi tanda (label) tidak mudah robek dan bocor, untuk menghindari luka tusukan atau pemakaian ulang. Tempat pembuangan jarum suntik bekas harus dijauhkan dari jangkauan anak-anak. Diharapkan semua petugas kesehatan memahami benar buku petunjuk ini. Sebagian besar vaksin harus disuntikkan ke dalam otot. Penggunaan jarum yang pendek meningkatkan risiko terjadi suntikan subkutan yang kurang dalam. Hal ini menjadi masalah untuk vaksin-vaksin yang inaktif (inactivated). Standar jarum suntik ialah ukuran 23 dengan panjang 25 mm, tetapi ada perkecualian lain dalam beberapa hal seperti berikut: v. pada bayi-bayi kurang bulan, umur dua bulan atau yang lebih muda dan bayi-bayi kecil lainnya, dapat pula dipakai jarum ukuran 26 dengan panjang 16 mm, v. untuk suntikan subkutan pada lengan atas, dipakai jarum ukuran 25 dengan panjang 16 mm, untuk bayi-bayi kecil dipakai jarum ukuran 27 dengan panjang 12 mm, v. untuk suntikan intramuskular pada orang dewasa yang sangat gemuk (obese) dipakai jarum ukuran 23 dengan panjang 38 mm, v. untuk suntikan intradermal pada vaksinasi BCG dipakai jarum ukuran 25-27 dengan panjang 10 mm. Arah sudut jarum pada suntikan intramuskular Jarum suntik harus disuntikkan dengan sudut 450 sampai 600 ke dalam otot vastus lateralis atau otot deltoid. Untuk otot vastus lateralis, jarum harus diarahkan ke arah lutut dan untuk deltoid jarum harus diarahkan ke pundak. Kerusakan saraf dan pembuluh vaskular dapat terjadi apabila suntikan diarahkan pada sudut 900. Pada suntikan dengan sudut jarum 450 sampai 600 akan mengalami hambatan ringan pada waktu jarum masuk ke dalam otot.
Tempat suntikan yang dianjurkan Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi pada bayi-bayi dan anak-anak umur di bawah 12 bulan. Regio deltoid adalah alternatif untuk vaksinasi pada anakanak yang lebih besar (mereka yang telah dapat berjalan) dan orang dewasa. Sejak akhir tahun 1980, WHO telah memberi rekomendasi bahwa daerah anterolateral paha adalah bagian yang dianjurkan untuk vaksinasi bayi-bayi dan tidak pada pantat (daerah gluteus) untuk menghidari risiko kerusakan saraf iskhiadika (nervus ischiadicus). Buku pedoman ACIP dan AAP dan buku pedoman Selandia Baru juga menganjurkan paha anterolateral sebagai tempat suntikan vaksin. Buku pedoman Inggris mengajurkan paha anterolateral atau lengan atas pada bayi sebagai tempat suntikan. Risiko kerusakan saraf ischiadika akibat suntikan di daerah gluteus lebih banyak dijumpai pada bayi karena variasi posisi saraf tersebut, masa otot lebih tebal, sehingga pada vaksinasi dengan suntikan intramuskular di daerah gluteal dengan tidak disengaja menghasilkan suntikan subkutan dengan reaksi lokal yang lebih berat. Vaksin hepatitis B dan rabies bila disuntikkan di daerah gluteal kurang imunogenik; hal ini berlaku untuk semua umur. Rekomendasi untuk penyuntikkan vaksin di daerah paha anterio lateral sebenarnya
telah diketahui, namun beberapa petugas kesehatan masih segan meninggalkan praktek tradisionalnya dengan menyuntik di daerah gluteal. Sehubungan dengan hal tersebut, dianjurkan untuk selalu mengulang kembali dengan memberi peringatan bahwa bila vaksin-vaksin tersebut disuntikkan di daerah gluteal harus hati-hati, yaitu dengan memilih lokasi suntikan yang tepat untuk menghidari saraf ischiadika. Sedangkan untuk vaksinasi BCG, harus disuntik pada kulit di atas insersi otot deltoid (lengan atas), sebab suntikan-suntikan diatas puncak pundak memberi risiko terjadinya keloid.
Posisi anak dan lokasi suntikan Vaksin yang disuntikkan harus diberikan pada bagian dengan risiko kerusakan saraf, pembuluh vaskular serta jaringan lainnya. Penting bahwa bayi dan anak jangan bergerak saat disuntik, walaupun demikian cara memegang bayi dan anak yang berlebihan akan menambah ketakutan sehingga meningkatkan ketegangan otot. Perlu diyakinkan kepada orang tua atau pengasuh untuk membantu memegang anak atau bayi, dan harus diberitahu agar mereka memahami apa yang sedang dikerjakan. Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur di bawah 12 bulan adalah v. Menghindari risiko kerusakan saraf ischiadika pada suntikan daerah gluteal. v. Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap suntikan secara adekuat. v. Sifat imunogenesitas vaksin hepatitis B dan rabies berkurang bila disuntikkan di daerah gluteal. v. Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuk pembengkakan di tempat suntikan yang menahun. vi. Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian anterior. Vastus lateralis, posisi anak dan lokasi suntikan Vastus lateralis adalah otot bayi yang tebal dan besar, yang mengisi bagian anterolateral paha. Vaksin harus disuntikkan ke dalam batas antara sepertiga otot bagian atas dan tengah yang merupakan bagian yang paling tebal dan padat. Jarum harus membuat sudut 45o-60o terhadap permukaan kulit, dengan jarum ke arah lutut, maka jarum tersebut harus menembus kulit selebar ujung jari di atas (ke arah proksimal) batas hubungan bagian atas dan sepertiga tengah otot. Anak atau bayi diletakkan di atas meja periksa, dapat dipegang oleh orang tua/pengasuh atau posisi setengah tidur pada pangkuan orang
Text Box:
tua atau pengasuhnya. Celana (popok) bayiharus dibukabila menutupi otot vastus lateralis sebagai lokasi suntikkan, bila tidak demikian vaksin akan disuntikkan terlalu bawah di daerah paha. Kedua tangan dipegang
menyilang pelvis bayi dan paha dipegang dengan tangan antara jempol dan jari-jari. Posisi ini akan mengurangi hambatan dalam proses penyuntikan dan membuatnya lebih lancar. Gambar 3.1. Diagram lokasi suntikan yang dianjurkan pada otot paha Dikutip dan dimodifikasi dari Australian Immunization Handbook, 1997 Gambar 3.2. Potongan/ belahan lintang paha: menunjukkan bagian yang disuntik Dikutip dan dimodifikasi dari Australian Immunization Handbook, 1997
Lokasi suntikan pada vastus lateralis Letakkan bayi di atas tempat tidur atau meja, bayi ditidurkan terlentang, Tungkai bawah sedikit ditekuk dengan fleksi pada lutut, Cari trochanter mayor femur dan condlylus lateralis dengan cara palpasi, tarik garis yang menghubungkan kedua tempat tersebut. Tempat suntikan vaksin ialah batas sepertiga bagian atas dan tengah pada garis tersebut (bila tungkai bawah sedikit menekuk, maka lekukan yang dibuat oleh tractus iliotibialis menyebabkan garis bagian distal lebih jelas) Supaya vaksin yang disuntikkan masuk ke dalam otot pada batas antara sepertiga bagian atas dan tengah, jarum ditusukkan satu jari di atas batas tersebut. Deltoid, posisi anak dan lokasi suntikan Posisi seorang anak yang paling nyaman untuk suntikan di daerah deltoid ialah duduk di atas pangkuan ibu atau pengasuhnya. Lengan yang akan disuntik dipegang menempel pada tubuh bayi, sementara lengan lainnya diletakkan di belakang tubuh orang tua atau pengasuh. Lokasi deltoid yang benar adalah penting supaya vaksinasi berlangsung aman dan berhasil Posisi yang salah akan menghasilkan suntikan subkutan yang tidak benar dan meningkatkan risiko penetrasi saraf. Untuk mendapatkan lokasi deltoid yang baik membuka lengan atas dari pundak ke siku. Lokasi yang paling baik adalah pada tengah otot, yaitu separuh antara akromion dan insersi pada tengah humerus. Jarum suntik ditusukkan membuat sudut 45o-60o mengarah pada akromion. Bila bagian bawah deltoid yang disuntik, ada risiko trauma saraf radialis karena saraf tersebut melingkar dan muncul dari otot trisep.
Pengambilan vaksin dari botol (Vial) Untuk vaksin yang diambil menembus tutup karet atau yang telah dilarutkan, harus memakai jarum baru. Apabila vaksin telah diambil dari vial yang terbuka, dapat dipakai jarum yang sama. Jarum atau semprit yang telah digunakan menyuntik seseorang tidak boleh digunakan untuk mengambil vaksin dari botol vaksin karena risiko kontaminasi silang, vaksin dalam botol yang berisi dosis ganda (multidosis) jangan digunakan kecuali tidak ada alternatif lain. Penyuntikan subkutan Tabel 3.1. Pedoman penyuntikan subkutan* Umur Tempat Bayi
Ukuran jarum Paha daerah anterolateral
(0-12 bln)
Ukuran 23-25 Panjang 16-19 mm 1-3 tahun
anterolateral atau
Paha daerah
Ukuran 23-25 daerah lateral lengan atas tahun
Daerah lateral lengan atas
Panjang 16-19 mm >3 Ukuran 16-19 mm Panjang 16-19 mm
Text Box:
*Penyuntikan subkutan untuk imunisasi MMR, varisela, meningitis Gambar 3.3. Lokasi penyuntikkan subkutan pada bayi (a) dan anak besar (b)
Text Box:
Text Box: Umur Tempat Ukuran Jarum
Perhatian untuk penyuntikan intramuskular Pakai jarum yang cukup panjang untuk mencapai otot Suntik dengan arah jarum 45-600 , lakukan dengan cepat Tekan kulit sekitar tempat suntikan dengan ibu jari dan telunjuk saat jarum ditusukkan Aspirasi semprit sebelum vaksin disuntikkan, untuk meyakinkan tidak masuk ke dalam vena. Apabila terdapat darah, buang dan ulangi dengan suntikan baru. Untuk suntikan multipel diberikan pada bagian ekstrimitas berbeda Pemberian dua atau lebih vaksin pada hari yang sama Pemberian vaksin-vaksin yang berbeda pada umur yang sesuai, boleh diberikan pada hari yang sama. Vaksin inactivated dan vaksin virus hidup, khususnya vaksin yang dianjurkan dalam jadwal imunisasi, pada umumnya dapat diberikan pada lokasi yang berbeda saat hari kunjungan yang sama. Misalnya pada kesempatan yang sama dapat diberikan vaksin-vaksin DPT, Hib, hepatitis B, dan polio. Lebih dari satu macam vaksin virus hidup dapat diberikan pada hari yang sama, tetapi apabila hanya satu macam yang diberikan. Vaksin virus hidup yang kedua tidak boleh diberikankurang dari 2 minggu dari vaksin yang pertama, sebab respons terhadap vaksin kedua mungkin telah banyak berkurang. Sebagai tambahan perlu diperhatikan bahwa ada interaksi spesifik antara vaksin demam kuning dan kolera, dan vaksin-vaksin tersebut tidak boleh diberikan dalam jarak 4 minggu satu sama lain. Vaksin-vaksin yang berbeda tidak boleh dicampur dalam satu semprit. Vaksin-vaksin yang berbeda yang diberikan pada seseorang pada hari yang sama harus disuntikkan pada lokasi yang berbeda dengan menggunakan semprit yang berbeda.
Text Box:
Daftar Pustaka 1. American Academy of Pediatrics. Vaccine administration. Dalam: Pickering LK., penyunting. Red Book 2000, Report Committee on Infect Dis. Edisi ke-25. Eik Grove Village: American Academy of Pediatrics 2000.h.16-20. 2. Centers for Diseases Control and Prevention.Vaccine Safety. Dalam: Atkinson W, HumistonS, Wolfe C, NelsonR., penyunting. Epidemiology and prevention of vaccine preventable diseases, edisi ke-5. Atlanta: Department of Health & Human Services, Public Health Service, CDC 1999. h. 277-89. 3. National Health and Medical Research Council. Standard vaccination procedures. Dalam: Walson C, penyunting. The Australian Immunisation Handbook, edisi ke-9. Canberra: NHMRC. 2008. 4. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization. Geneva: WHO. 2002.
Bab III-2 Penjelasan Kepada Orangtua Mengenai Imunisasi Soedjatmiko & Noenoeng Rahajoe Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kedokteran termasuk imunisasi, maka kita perlu memahami dan menyadari kedudukan pasien sebagai konsumen dan dokter sebagai pemberi jasa. Untuk itu kita perlu mengetahui dan melaksanakan Undang-undang RI nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang–undang no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Hak dan kewajiban konsumen serta pemberi layanan (pelaku usaha) Di dalam UU tentang Perlindungan Konsumen, Bab I, Ketentuan Umum, pasal 1, ayat 5 ditulis bahwa: Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Ayat 2: Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Bab III pasal 4 Hak Konsumen: a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan Pasal 5. Kewajiban Konsumen adalah a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut Pasal 7. Kewajiban Pelaku Usaha adalah a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/ atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barng dan/atau jasa yang diperdagangkan.
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa tersebut g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Pasal 6. Hak Pelaku Usaha: a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang tidak beritikad baik c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen d. Hak untuk rehabiitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya Bab IV tentang Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha, pasal 9, Pelaku Usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar : ayat 1c. dengan menggunakan kata-kata berlebihan seperti : aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tan pa keterangan yang lengkap. Hak pasien dan kewajiban dokter Di dalam UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 39 bahwa praktik kedokteran berdasarkan kesepakatan dokter dan pasien untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan.
Pasal 44 ayat 1 dan pasal 51 ayat (a); dalam menyelenggarakan praktik kedokteran dokter wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran, sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. Di dalam pasal 52, tertulis: Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran mempunyai hak mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat 3. Di dalam pasal 52, tertulis: Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran mempunyai hak mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat 3. Di dalam pasal Pasal 45 ayat 1: setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan tersebut diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap (ayat 2). Penjelasan tersebut sekurang-kurangnya mencakup: diagnosis dan tatacara tindakan medis, tujuan tindakan, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, prognosis terhadap tindakan yang dilakukan (ayat 3). Persetujuan tersebut dapat diberikan tertulis maupun lisan (ayat 4). Tindakan yang berisiko tinggi harus tertulis dan ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan (ayat 5). Tatacara mengenai persetujuan tindakan kedokteran tersebut diatur oleh Peraturan Menteri (ayat 6). Peraturan menteri untuk tata cara persetujuan tindakan kedokteran karena belum ada yang baru sementara masih berdasarkan Permenkes no. 585 tahun 1989. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka dokter berkewajiban memberikan penjelasan secara profesional dan proporsional tentang manfaat vaksin, kemungkinan kejadian ikutan pasca imunisasi dan hal-hal lain seputar vaksinasi, sehingga keluarga pasien mendapat informasi yang jelas dan benar agar tidak terjadi salah pengertian dikemudian hari.
Penjelasan kepada orangtua berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) no. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan tersebut dinyatakan bahwa informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut (Pasal 1 ayat a). Informasi harus diberikan kepada pasien baik diminta ataupun tidak diminta (Pasal 4 ayat 1). Semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan (Pasal 2 ayat 1) secara tertulis maupun lisan (Pasal 2 ayat 2). Bila tindakan medik dilakukan tanpa adanya persetujuan dari pasien atau keluarganya, maka dokter dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat izin praktek (Pasal 13). Namun perlu diperhatikan bahwa di dalam Permenkes tersebut yang dimaksud dengan tindakan medik adalah tindakan diagnostik atau terapeutik (Pasal 1, ayat b), sehingga banyak yang berpendapat bahwa vaksinasi tidak perlu persetujuan tindakan medik. Namun, di Amerika dan Australia persetujuan tindakan medik sebelum vaksinasi dianggap perlu, walaupun tidak harus tertulis. The American Academy of Pediatrics
(AAP) menganjurkan pemberian penjelasan secara tertulis (berupa brosur) yang disusun dan disediakan oleh pemerintah bekerjasama dengan AAP dan produsen vaksin. Selain itu AAP menganjurkan agar setiap kali pemberian imunisasi orangtua sebelumnya menandatangani pesetujuan tertulis, atau dicatat dalam catatan medik bahwa penjelasan telah dilakukan dan difahami oleh orangtua. The Australian National Health and Medical Research Council (NHMRC) juga menganjurkan agar setiap kali sebelum imunisasi diberikan penjelasan tertulis disamping penjelasan lisan. Pada imunisasi perorangan orangtua diberi daftar isian (kuesioner) dan keterangan tertulis tentang perbandingan risiko imunisasi dan bahaya penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin tersebut
untuk dibaca dan didiskusikan dengan dokter. Di Australia tidak ada keharusan untuk mendapatkan persetujuan tertulis dari orangtua, cukup dicatat di dalam catatan medik bahwa orangtua telah diberikan penjelasan. Namun beberapa klinik meminta persetujuan tertulis. Imunisasi masal (di sekolah) dilakukan setelah ada persetujuan tertulis dari orangtua. Namun jika orangtua hadir dibutuhkan persetujuan lisan dari orangtua, walaupun telah ada persetujuan tertulis pada imunisasi sebelumnya. Sejalan dengan peningkatan pendidikan dan pengetahuan masyarakat serta kesadaran konsumen tentang hak-haknya, dihimbau kepada anggota IDAI sebelum melakukan imunisasi sebaiknya memberikan penjelasan kepada orangtua (sesuai maksud pasal 2 ayat 3 Permenkes 585/1989) bahwa imunisasi dapat melindungi anak terhadap bahaya penyakit dan mempunyai manfaat lebih besar dibandingkan dengan risiko kejadian ikutan yang dapat ditimbulkannya. Cara penyampaian dan isi informasi disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan situasi pasien (sesuai Pasal2 ayat4Permenkes585/1989). Imunisasi yang harus dilaksanakan berdasarkan program pemerintah untuk kepentingan masyarakat banyak (di Posyandu, Puskesmas) tidak diperlukan persetujuan tindakan medik (sesuai pasal 14 Permenkes 585/1989). Hal-hal yang harus dijelaskan atau ditanyakan kepada orangtua/keluarga sebelum dilakukan imunisasi Keadaan Bayi/Anak Orangtua atau pengantar bayi/anak dianjurkan mengingat dan memberi tahukan secara lisan atau melalui daftar isian tentang hal-hal yang berkaitan dengan indikasi kontra atau risiko kejadian ikutan pasca imunisasi tersebut di bawah ini, ï¶ pernah mengalami kejadian ikutan pasca imunisasi yang berat (memerlukan pengobatan khusus atau perlu perawatan di rumah sakit),
alergi terhadap bahan yang juga terdapat di dalam vaksin (misalnya neomisin), sedang mendapat pengobatan steroid jangka panjang, radioterapi atau kemoterapi, menderita sakit yang menurunkan imunitas (leukemia, kanker, HIV/AIDS), tinggal serumah dengan orang lain yang imunitasnya menurun (leukemia, kanker, HIV / AIDS), tinggal serumah dengan orang lain dalam pengobatan yang menurunkan imunitas (radioterapi, kemoterapi, atau terapi steroid) pada bulan lalu mendapat imunisasi yang berisi vaksin virus hidup (vaksin campak, poliomielitis, rubela), pada 3 bulan yang lalu mendapat imunoglobulin atau transfusi darah, menderita penyakit susunan syaraf pusat. Pemberian Antipiretik sebelum dan sesudah imunisasi Kepada orangtua atau pengantar diberitahukan bahwa 30 menit sebelum imunisasi DTP/DT, MMR, Hib, hepatitis B dianjurkan memberikan antipiretikparasetamol 15 mg/kgbb kepada bayi/anak untuk mengurangi ketidaknyamanan pasca vaksinasi. Kemudian dilanjutkan setiap 3-4 jam sesuai kebutuhan, maksimal 6 kali dalam 24 jam. Jika keluhan masih berlanjut, diminta segera kembali kepada dokter. Manfaat vaksinasi Kepada pengantar atau orang tua sebaiknya dijelaskan secara profesional dan proporsional manfaat vaksinasi yang akan dilakukan. Perlu dijelaskan bahwa vaksin tidak melindunghi 100 %, tetapi dapat memperkecil risiko tertular dan memperingan dampak bila terjadi infeksi.
Reaksi KIPI
Orangtua atau pengantar perlu diberitahu bahwa setelah imunisasi dapat timbul reaksi lokal di tempat penyuntikan atau reaksi umum berupa keluhan dan gejala tertentu, tergantung pada jenis vaksinnya. Reaksi tersebut umumnya ringan, mudah diatasi oleh orangtua atau pengasuh, dan akan hilang dalam 1-2 hari. Di tempat suntikan kadang-kadang timbul kemerahan, pembengkakan, gatal, nyeri selama 1 sampai 2 hari. Kompres hangat dapat mengurangi keadaan tersebut. Kadang-kadang teraba benjolan kecil yang agak keras selama beberapa minggu atau lebih, tetapi umumnya tidak perlu dilakukan tindakan apapun. BCG Orangtua atau pengantar perlu diberitahu bahwa 2-6 minggu setelah imunisasi BCG dapat timbul bisul kecil (papula) yang semakin membesar dan dapat terjadi ulserasi dalam waktu 2-4 bulan, kemudian menyembuh perlahan dengan menimbulkan jaringan parut tanpa pengobatan khusus. Bila ulkus mengeluarkan cairan orangtua dapat mengkompres dengan cairan antiseptik. Bila cairan bertambah banyak atau koreng semakin membesar orangtua harus membawanya ke dokter. Hepatitis B Kejadian ikutan pasca imunisasi pada hepatitis B jarang terjadi. Segera setelah imunisasi dapat timbul demam yang tidak tinggi, pada tempat penyuntikan timbul kemerahan, pembengkakan, nyeri, rasa mual dan nyeri sendi. Orangtua/pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah). Jika demam pakailah pakaian yang tipis. Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin. Jika demam berikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat.
Reaksi yang dapat terjadi segera setelah vaksinasi DPT antara lain demam tinggi, rewel, di tempat suntikan timbul kemerahan, nyeri dan pembengkakan, yang akan hilang dalam dua hari. Orangtua/ pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah), jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin, jika demam berikan parasetamol15 mg/kgbb setiap 3-4jambila diperlukan, maksimal6 kali dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi tersebut memberat dan menetap, atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter. DT Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi DT antara lain kemerahan, pembengkakan dan nyeri pada bekas suntikan. Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres dengan air dingin. Biasanya tidak perlu tindakan khusus. Polio oral Sangat jarang terjadi reaksi sesudah imunisasi polio, oleh karena itu orangtua/pengasuh tidak perlu melakukan tindakan apapun. Campak dan MMR Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi campak dan MMR berupa rasa tidak nyaman di bekas penyuntikan vaksin. Selain itu dapat terjadi gejala-gejala lain yang timbul 5-12 hari setelah penyuntikan selama kurang dari 48 jam yaitu demam tidak tinggi, erupsi kulit kemerahan halus/tipis yang tidak menular, pilek. Pembengkakan kelenjar getah bening kepala dapat terjadi sekitar 3 minggu pasca imunisasi MMR. Orangtua/pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah), jika
demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin, jika demam berikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut berat dan menetap, atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter. Daftar Pustaka 1. Depkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan RI no. 585/Menkes/Per/IX/ 1989 tentang persetujuan tindakan medik. Depkes RI, Jakarta1990. 2. Watson C (penyunting). The Australian Immunisation Handbook, Edisi ke-9. NHMRC, 2008. 3. Peter G, Lepow ML, McCracken GH, Phillips CF. Report of the Committee on Infectious Diseases. American Academy of Pediatrics, Illinois 1994. 4. StarkeJR, Munoz F. Tuberculosis. Dalam: Behrman RE, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-16. WB Saunders, Tokyo 2000. 5. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia
nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam : YLKI, Liku-liku perjalanan UUPK. YLKI, Jakarta 2001. 6. Undang-undang Republik Indonesia no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. CV Eko Jaya, Jakarta 2004.
Bab III-3 Pencatatan Imunisasi Jose RL. Batubara Setiap bayi/anak sebaiknya mempunyai dokumentasi imunisasi seperti kartu imunisasi yang dipegang oleh orang tua atau pengasuhnya. Setiap dokter atau tenaga paramedis yang memberikan imunisasi harus mencatat semua data-data yang relevan pada kartu imunisasi tersebut. Orang tua/pengasuh yang membawa anak ke tenaga medis atau paramedis untuk imunisasi diharapkan senantiasa membawa kartu imunisasi tersebut. Data yang harus dicatat pada kartu imunisasi Jenis vaksin yang diberikan, termasuk nomor batch dan nama dagang Tanggal melakukan vaksinasi Efek samping bila ada Tanggal vaksinasi berikut Nama tenaga medis/paramedis yang memberikan vaksin Jika data vaksinasi tidak diberikan oleh tenaga medis/ paramedis sebelumnya, maka data tentang hal-hal tersebut di atas harus dilengkapi oleh petugas medis yang melanjutkannya. Sehingga kartu imunisasi yang lengkap, baik jadwal maupun efek samping yang akan merupakan informasi penting untuk dokter/paramedis yang akan memberikan vaksin berikutnya. Kartu vaksinasi ini sebaiknya selalu dipegang oleh orang tuanya. Diharapkan para dokter yang memberikan vaksinasi mempunyai sistem untuk mengingatkan orang tua untuk melakukan vaksinasi berikutnya sesuai dengan jadwal vaksinasi yang sudah ditetapkan. Sebaiknya waktu imunisasi berikutnya dibicarakan dengan orang
tuanya (misalnya untuk ibu yang berkarir imunisasi DPT diberikan sehari sebelum hari libur, mengingat apabila terjadi demam ibu berada di rumah). Pentingya kartu vaksinasi ini juga untuk menilai jenis dan jumlah vaksin yang diberikan dan bagaimana pemberian vaksinasi selanjutnya untuk pasien dengan imunisasi tidak lengkap dan cara mengejar (catch up) imunisasi yang tertinggal. Contoh Surat Persetujuan Imunisasi dan Kartu Vaksinasi Surat Persetujuan Imunisasi Nama Jenis kelamin Tanggal lahir Nama orag tua Alamat (tilpon, kota) Ya Saya mohon nama anak yang tertera di atas untuk diimunisasi sesuai dengan jadwal imunisasi yang telah direkomendasikan. (Berikan tanda  apabila ingin diimunisasi atau beri alasan apabila tidak boleh) BCG Polio oral Hepatitis B DPT Campak, dst Tanda tangan
Tanggal
/
/ / Tidak Saya telah mengerti penjelasan yang diberikan pada saya mengenai program imunisasi, namun saya tidak ingin anak saya diimunisasi. Nama orang tua/ wali........................................................ Tanda tangan Tanggal / / /
Jose RL. Batubara Kartu Imunisasi Jenis Vaksin
Nama No Vaksin batch
Tanggal Tempat Paraf Imunisasi Imunisasi
Penjelasan Singkat Dalam Lampiran Kartu Imunisasi
Apa? Imunisasi merupakan upaya yang sederhana dan efektif untuk melindungi anak bapak/ibu terhadap penyakit yang berbahaya. Terdapat 7 penyakit yang diwajibkan (vaksin PP1) untuk diimunisasi pada bayi/anak (TBC, polio, hepatitis B, difteria, batuk rejan, tetanus, dan campak). Saat mi telah bertambah penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi yang tidak tergolong dalam vaksin PPI namun sangat dianjurkan seperti, gondongan, rubela, demam tifoid, hepatitis A, cacar air. Bagaimana? Tubuh tidak dapatmembuatkekebalan terhadap penyakitinfeksi tersebut di atas. Namun, dengan imunisasi (suntikan atau diminum) tubuh dapat membentuk kekebalan (antibodi) terhadap penyakit infeksi tersebut. Imunisasi memberikan perlindungan 95% apabila diberikan dengan cara yang tepat. Mengapa? Terima kasth kepada Program Imunisasi, oleh karena pada saat mi kejadian penyakit infeksi tersebut di Indonesia telah sangat menurun. Hal mi bukan kemudian imunisasi tidak penting lagi. Bakteria dan virus penyebab sampai saat mi masth berada di masyarakat, maka apabila hanya sedikit yang diimunisasi akan mudah terjadi kejadian luar biasa (wabah). Dimana? Imunisasi yang diwajibkan oleh Departemen Kesehatan (PP1) dapat diperoleh di semua fasiitas kesehatan sedangkan untuk vaksinasi lain dapat diperoleh pada dokter pribadi anda. Kapan? Pemberian vaksinasi telah diatur dalam jadwal imunisasi (ithat Bab Jadwal Imunisasi)
Daftar Pustaka 1. National Health and Medical Research Council. MMR. Dalam: Watson C, penyunting. The Australian Immunisation Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC. 2008. 2. American Academy of Pediatrics. Dalam: Pickering LK., penyunting. Red Book 2000, Report Committee on Infectious Diseases. Edisi ke-25. Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics 2000. 3. Centersfor Disease Control and Prevention. Dalam: AtkinsonW, HumistonS, Wolfe C, Nelson R., penyunting. Epidemiology and prevention of vaccine preventable diseases. Edisi ke-5. Atlanta: Department of Health & Human Services, Public Health Service, CDC, 1999.
Bab III-4 Penyuntikan yang Aman (Safety Injection) Soedjatmiko Imunisasi bertujuan untuk merangsang sistem imunitas tubuh agar membentuk kekebalan humoral atau seluler terhadap antigen yang diberikan melalui penetesan di mulut atau disuntikan. Namun proses ini dapat pula menimbulkan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang tidak diharapkan bila berbagai prosedur dalam imunisasi tidak dilakukan dengan benar dan baik. Upaya untuk mengoptimalkan pembentukan kekebalan tubuh dan memperkecil KIPI dimulai dari prosedur produksi, penyimpanan, transportasi dan penggunaan vaksin, penyediaan dan penggunaan alat suntik, teknik penyuntikan yang aman (safety injection) dan penanganan limbah. Tujuan prosedur penyuntikan yang aman selain untuk menghasilkan kekebalan yang optimal pada bayi/anak yang disuntik dan menghindari KIPI, juga untuk menghindari kecelakaan atau penularan infeksi pada bayi/anak tersebut, pada dokter/paramedis yang melakukan penyuntikan atau pada masyarakat disekitarnya. Jenis alat suntik (semprit) 1. Semprit auto-disable atau auto-destruct (AD) Untuk imunisasi rutin atau masal WHO-UNICEF-UNFPA sejak tahun 1999 menganjurkan penggunaan semprit auto-disable (AD) yang hanya bisa dipakai 1 kali kemudian otomatis terkunci, macet atau patah. Semprit ini tidak dapat dipakai ulang, sehingga tidak akan menyebarkan partikel patogen (misalnya hepatitis B atau HIV) yang masuk ke dalam semprit ketika proses penyuntikan atau mengkontaminasi sisa vaksin ketika menghisap vaksin dari
botol atau ampulnya. Harga semprit ini murah dan sudah tersedia secara luas. Beberapa merek semprit AD antara lain uniject, Soloshot, Destrojet, Univec, Terumo, K1 dan Medico inject. Beberapa merek sudah terpasang jarum, namun ada merek dengan jarum terpisah. Sebelum menggunakan semprit AD terlebih dahulu bacalah dengan cermat cara penggunaannya, karena berbeda-beda. Pada prinsipnya piston semprit AD hanya boleh digerakkan kedepan atau kebelakang satu kali saja, setelah itu macet, tidak dapat ditarik atau patah, tergantung mereknya. Setelah
mengeluarkan semprit dari kemasannya, jangan mendorong udara yang ada di dalam semprit, karena setelah piston sampai ke ujung akan terkunci, sehingga bila ditarik untuk menghisap vaksin piston akan macet atau patah. Oleh karena itu jangan mendorong udara yang ada didalam semprit, langsung tusukkan jarum ke dalam botol atau ampul vaksin, kemudian tarik piston untuk menghisap vaksin. Setelah vaksin masuk ke dalam semprit, boleh membuang udara yang ada di ujung semprit dengan mendorong piston secukupnya. Setelah udara habis terbuang segera suntikan vaksin pada bayi/ anak, lakukan aspirasi seperti biasa, kemudian dorong piston sampai vaksin habis, sehingga piston akan terkunci, tidak bisa ditarik lagi atau patah. Kemudian semprit dan jarum bekas harus dimasukkan ke dalam wadah dan dihancurkan dengan prosedur tertentu, untuk mencegah digunakan ulang 2. Semprit dan jarum sekali pakai (disposable) bukan AD Semprit ini banyak digunakan untuk penyuntikan obat dan vaksinasi. Beberapa merek yang sering digunakan antara lain Terumo dan BD. Sebaiknya semprit jenis ini hanya digunakan untuk mencampur vaksin dan pelarutnya. Kemudian semprit dan jarum bekas harus dimasukkan ke dalam wadah dan dihancurkan dengan prosedur tertentu, untuk mencegah digunakan ulang. Penyuntikan pada bayi dan anak sebaiknya dengan semprit AD.
3. Pre filled syringe (PFS) auto disable (AD) Alat suntik ini sudah terpasang jarum dan sudah diisi vaksin oleh pabrik sebanyak 1 dosis, untuk satu kali penyuntikan, setelah disuntikkan tidak bisa diisi ulang sehingga tidak bisa dipakai lagi. Karena sudah diisi dengan 1 dosis dari pabriknya, maka tidak perlu menghisap vaksin dari botol atau ampul, sehingga menghemat waktu, dan dosisnya sudah tepat. Contoh: vaksin Hepatitis B Uniject produksi Biofarma. Kemudian semprit bekas harus dimasukkan ke dalam kotak limbah dan dihancurkan dengan prosedur tertentu, untuk mencegah melukai dan mengkontaminasi orang lain. 4. Pre filled syringe (PFS), pre filled injection device (PID) bukan AD Alat suntik ini sudah dilengkapi dengan jarum dan diisi vaksin oleh pabrik sebanyak 1 dosis, untuk satu kali penyuntikan. Setelah disuntikan semprit masih bisa berfungsi. Contoh: vaksin Hib, kombinasi DPaT- Hib, tipoid, influenza, hepatitis A, pneumokokus. Untuk mencegah pemakaian ulang semprit bekas, segera masukkan ke dalam wadah dan dihancurkan dengan prosedur tertentu. 5. Semprit dan jarum yang bisa dipakai ulang Semprit dan jarum jenis ini sebaiknya tidak dipakai lagi, karena sangat berisiko terjadi kontaminasi dan penyebaran infeksi melalui semprit, jarum atau vaksin yang telah terkontaminasi ketika menghisap vaksin.
Prosedur penyuntikan yang aman bagi bayi dan anak 1. Siapkan semua perlengkapan imunisasi ditempat yang berdekatan (bundling) di tempat yang terlindung dari sinar matahari langsung: a. b. c. d. e. f.
Vaksin yang disimpan dan dibawa dengan benar dan baik (lihat bab Rantai Vaksin) Pelarut khusus untuk masing-masing vaksin, pemotong ampul Semprit auto-disabled atau auto-destructed (AD) Desinfektan/antiseptik Kotak limbah diletakan sedemikian rupa hingga mudah memasukkan semprit bekas pakai Alat/obat kedaruratan yaitu adrenalin, jarum dan slang infus, cairan infus, kortikosteroid
g. Blangko pencatatan imunisasi 2. Periksa kualitas penyimpanan dan transportasi vaksin, suhu, tanggal kadaluwarsa, VVM (vaccine vial monitor), warna vaksin, gumpalan, endapan, label dan indikator kualitas vaksin lainnya. Bila vaksin sudah kadaluarsa, walaupun baru beberapa hari tidak boleh digunakan. Bila ada gumpalan, endapan, perubahan warna vaksin, perubahan warna VVM lsama atau lebih gelap da ri tepinya (kondisi C dan D), atau label pernah terendam air, vaksin tidak boleh digunakan. 3. Tanyakan identitas bayi/anak apakah sesuai dengan nama yang terdapat dalam KMS, kartu atau buku imunisasi, untuk menghindari pemberian vaksin yang tidak sesuai. 4. Tanyakan kondisi bayi/anak sekarang dan beberapa hari sebelumnya, imunisasi yang telah didapat, jarak dengan imunisasi sekarang, KIPI yang pernah terjadi, dan
informasi yang berkaitan dengan indikasi kontra untuk vaksin yang
akan diberikan. Sebaiknya disertai pertanyaan singkat rutin pediatrik: asupan nutrisi, pola tidur, miksi, defekasi dan tumbuhkembang. 5. Berikan penjelasan vaksin yang akan diberikan, teknik penyuntikan, manfaat, kemungkinan KIPI yang bisa terjadi, cara mencegah dan pertolongan pertama bila terjadi KIPI (informed consent). 6. Lakukan pemeriksaan fisik rutin untuk memeriksa kesehatan bayi/anak secara umum, sambil mencari indikasi kontra imunisasi dan memeriksa bagian tubuh yang akan disuntik. 7. Sebelum membuka bungkus semprit atau jarum, perhatikan apakah kemasannya masih utuh dan rapat. Bila kemasan sobek, tidak utuh atau rusak, sebaiknya jarum atau semprit tidak digunakan, segera dibuang seperti semprit atau jarum bekas pakai. 8. Jangan menyentuh jarum sedikitpun. Buang jarum yang telah tersentuh benda tidak steril kedalam kotak limbah kemudian dihancurkan. 9. Baca nama vaksin dan ambil pelarut yang khusus untuk vaksin tersebut. Campur vaksin dengan pelarutnya, boleh menggunakan semprit dan jarum bukan AD, tetapi semprit dan jarum yang telah digunakan untuk melarutkan tidak boleh untuk menyuntikkan. Kocok vaksin sehingga larut homogen. Tulis tanggal dan jam melarutkan vaksin. 10. Baca nama vaksin, ambil 1 dosis vaksin untuk 1 kali penyuntikan. Jangan menghisap lebih dari 1 dosis vaksin ke dalam semprit. Jangan meninggalkan jarum pada botol atau ampul vaksin untuk pengambilan vaksin berikutnya.
11. Jangan menggunakan semprit bekas untuk menghisap vaksin atau menyuntikkan, walaupun sudah disterilkan ulang atau mengganti dengan jarum baru yang steril. 12. Jangan mencampur sisa vaksin dari 2 botol atau ampul, walaupun vaksinnya sama. 13. Posisi bayi dan anak yang akan diimunisasi tidak mudah bergerak atau memberontak ketika disuntik, terutama lengan atau paha yang akan disuntik. Untuk bayi kecil Lebih baik dalam gendongan orangtua/pengasuh, dipeluk dengan posisi dada bayi menempel di dada orangtua/pengasuh. Untuk bayi/anak yang sudah bisa duduk sebaiknya duduk dan dipeluk dipangkuan orangtua dengan dada dan wajah menghadap ke dada orangtua/pengasuh. Salah satu tangan bayi/anak dikepit oleh ketiak orangtua/ pengasuh agar tidak mudah berontak , kedua kaki dikepit diantara kedua paha orangtua/pengasuh, atau dipegang oleh orangtua/ pengasuh. Bagian yang akan disuntik (paha, lengan) dipegang oleh penyuntik. Bila anak cenderung berontak, penyuntik dapat meminta bantuan orangtua/pengasuh, paramedis atau oranglain untuk membantu memegang siku atau lutut dekat bagian yang akan disuntik. Cara memegang jangan membuat bayi/anak kesakitan atau ketakutan. 14. Untuk mengurangi ketakutan, alihkan perhatian anak dengan mengajak bicara, atau bermain dengan mainan. Jangan diancam atau dipaksa sehingga membuat anak ketakutan. 15. Untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberikan krim EMLA (eutetic mixture of local anesthesia) 1 jam sebelumnya, lidokain topikal 10 menit sebelumnya, etil klorid spray beberapa detik sebelumnya, atau ditekan dibagian yang akan disuntik selama 10 detik sebelum disuntikan. Pada bayi baru lahir dapat diberikan sukrosa. Manfaatnya bervariasi.
16. Bersihkan bagian yang akan disuntik dengan desinfektan/ antiseptik, tunggu sampai mengering 17. Untuk mengurangi rasa nyeri, otot harus dalam keadaan lemas, dengan mengatur posisi lengan sedikit fleksi pada sendi siku, atau posisi tungkai sedikit rotasi ke dalam. Selain itu kulit sebaiknya diregangkan kesamping agar jarum mudah menembus kulit untuk mengurangi rasa nyeri. 18. Penyuntikan menggunakan semprit dan jarum AD yang belum pernah digunakan sama sekali. Penyuntikan menggunakan semprit yang sudah diisi vaksin (PFS) dari pabrik vaksin (bukan AD), hanya sekali pakai, langsung dimasukkan ke kotak limbah kemudian dihancurkan. 19. Sudut penyuntikan disesuaikan dengan prosedur tiap vaksin: intradermal (sekitar 15 derajat) , subkutan (45 derajat) atau intra muskular (60 – 90 derajat). Kedalaman penyuntikan subkutan dan intra muskular harus disesuaikan dengan ketebalan lemak dan otot bayi /anak. 20. Untuk mencegah vaksin keluar lagi setelah disuntikan, sebelum penyuntikan kulit bayi/anak digeser kesamping (metode Z – tract), setelah penyuntikan kulit dilepaskan lagi ke posisi semula sehingga vaksin yang telah masuk ke dalam otot atau subkutan tidak dapat keluar lagi. 21. Luka bekas suntikan ditekan agak kuat dengan kapas dan desinfektan agar darah
tidak keluar lagi, dan akan mengurangi rasa nyeri. Jangan menekan luka berdarah dengan jari atau bahan tidak steril. Luka bekas suntikan sebaiknya ditutup dengan plester. 22. Catat vaksin yang telah disuntikan dan tanggal penyuntikan dalam KMS atau buku imunisasi dan laporan imunisasi. Lebih baik bila dilengkapi dengan nama dagang vaksin, nomor batch/
lot/serie, produsen, dosis, bagian tubuh yang disuntik, paraf dokter/paramedis yang bertanggung jawab. 23. Setelah penyuntikan lebih baik bila bayi/anak tidak langsung pulang, menunggu sekitar 15 menit untuk deteksi kemungkinan terjadinya KIPI yang segera. 24. Sisa vaksin multidosis di pelayanan Puskemas, Klinik, Rumah Sakit: 1 BCG setelah dilarutkan dapat dipakai dlm 3jam 2 Campak dan meningokokus ACW135Y setelah dilarutkan dapat dipakai dalam 8 jam 3 Polio bisa dipakai dalam 2 minggu 4 DPT, DT, TT , hepatitis B, DPT-HepB, bisa dipakai dalam 4 minggu, Sisa vaksin yang dibawa ke lapangan (Posyandu, PIN, crash program), tetapi belum dibuka segera dipakai pada kegiatan berikutnya. Vaksin yang sudah dibuka/dilarutkanharus dimusnahkan hari itu juga. Sisa vaksin tersebut di atas masih bisa dipakai dengan syarat-syarat vaksin belum kadaluwarsa, disimpan dalam suhu 2oC – 8oC, VVM warna segi empat lebih muda (kondisi VVM A atau B), tidak pernah terendam air dan sterilitas terjaga. Prosedur penyuntikan yang aman bagi penyuntik (paramedis, dokter) 1. Jangan menekan luka berdarah akibat suntikan dengan jari atau bahan tidak steril. 2. Jangan mencabut jarum atau memasang kembali tutup jarum bekas pakai, karena berisiko tertusuk dan terkontaminasi darah yang ada pada jarum.
3. Selesai menggunakan semprit dan jarum segera masukkan ke dalam kotak limbah tanpa mencabut atau menutup jarum. 4. Jika terpaksa memasang kembali penutup jarum karena imunisasi tertunda akibat anak meronta-ronta, penutupan jarum dilakukan dengan teknik satu tangan agar tidak menusuk jari tangan yang lain. Caranya : tutup jarum diletakkan dimeja (jangan dipegang), dengan tangan kanan pegang semprit, masukkan jarum kedalam tutupnya, dorong terus hingga sebagian besar jarum bisa masuk kedalam tutupnya sehingga tutup terdorong. Tekan tutup tegak lurus di atas meja, sehingga jarum tertutup kuat. Masukkan semprit dan jarum tersebut ke dalam kotak limbah. 5. Jangan meletakkan semprit dan jarum bekas sembarangan karena dapat melukai dan mengkontaminasi penyuntik atau orangorang yang berada dekat tempat penyuntikan. Prosedur penyuntikan yang aman bagi lingkungan 1. Jangan meletakkan semprit dan jarum bekas sembarangan karena dapat diambil atau melukai dan mengkontaminasi masyarakat yang berada dekat tempat penyuntikan. 2. Buang dan hancurkan limbah imunisasi (semprit, jarum, kapas, botol, ampul vaksin) sesuai dengan prosedur yang dianjurkan (dikubur atau dibakar) Mengamankan semprit dan jarum bekas Semprit dan jarum setelah digunakan untuk melarutkan vaksin atau untuk menyuntik harus segera dimasukkan kedalam kotak limbah. Kotak ini harus mempunyai lubang kecil yang mudah untuk dimasuki semprit bekas tetapi tidak mudah tumpah keluar lagi, tidak mudah tembus oleh jarum (untuk mencegah menusuk
orang yang berada disekitarnya) dan tahan air. Kotak ini tersedia dipasaran dengan nama safety box berwarna kuning, terbuat dari karton tebal. Namun boleh juga menggunakan barang-barang bekas seperti botol plastik bekas air mineral, jeriken plastik untuk kotal limbah Gambar 16.
Gambar 3.5. Tempat pembuangan limbah vaksinasi Letakkan kotak ini dekat dengan penyuntik agar mudah memasukkan semprit dan jarum bekas, namun letakkan ditempat yang aman (misalnya di atas meja) sehingga tidak diambil, tertendang atau terinjak oleh penyuntik atau orang lain yang ada disekitarnya. Semprit dan jarum bekas jangan dikeluarkan lagi dari
kotak tersebut untuk dipindahkan ke kotak lain. Jika sudah penuh, segera ditutup rapat agar ketika dibawa ketempat penghancuran tidak tumpah keluar.
Gambar 3.6. Cara pembuangan limbah vaksinasi Membakar semprit dan jarum bekas Text Box:
Sebaiknya spuit dan jarum bekas dibakar dalam insinerator (alat pembakar) yang bersuhu lebih dari 800 derajat C, karena dapat menghancurkan semprit dan jarum, serta mematikan mikroorganisme yang mungkin terdapat dalam semprit/ jarum dari darah bayi/anak. (Gambar 3.7) Gambar 3.7. insinerator (alat pembakar)
Bila tidak ada insinerator, pembakaran dapat dilakukan di dalam drum bekas yang diganjal dengan batu bata. Kotak limbah dimasukkan ke dalam drum, api dinyalakan dibawah drum tersebut. Semprit dan jarum yang sudah terbakar hancur kemudian ditimbun ditempat yang aman. (Gambar 3.8)
Gambar 3.8. Alat pembakar sederhana Bila terpaksa, pembakaran dapat dilakukan di dalam lubang, sebaiknya di lahan yang jarang di olah dan jauh dari pemukiman. Gali lubang sedikitnya sedalam 1 meter, masukkan kotak limbah ke dalam lubang, bakar kotak limbah menggunakan kertas, minyak tanah atau bensin. Setelah semua terbakar, timbun lubang dengan tanah. (Gambar 3.9)
Gambar 3.9. Pembakaran limbah vaksinasi
Membuang semprit dan jarum bekas ke dalam lubang khusus Bila tidak mungkin dibakar, semprit dan jarum bekas dapat dibuang ke dalam lubang khusus. Kedalaman lubang sedikitnya 2 meter, dengan lebar 1 meter, diatasnya ditutup dengan beton, ditengahnya ada pipa besi. Semprit dan jarum bekas dimasukkan kedalam lubang melalui pipa besi tersebut tanpa dibakar. Cara ini masih kurang aman, bila banjir ada kemungkinan mengkontaminasi lingkungan. Menimbun semprit dan jarum bekas di dalam lubang pembuangan Gali lubang sedalam 2–3 meter di lokasi yang diperkirakan dalam 5 tahun tidak akan digali. Masukkan semprit dan jarum bekas ke dalam lubang, kemudian ditutup dengan tanah. Cara ini masih berbahaya karena bila ada banjir, atau tergali, maka dapat melukai atau mengkontaminasi lingkungan sekitarnya. Daftar Pustaka 1. Unicef. Pelatihan Safe Injection. Jakarta : Ditjen PPM & PL dan PATH Depkes RI; 2005. 2. DirektoratJenderal PPM & PL. Pedoman Teknis Pengelolaan Vaksin danRantaiVaksin. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. ; 2005 3. Direktorat Jenderal PPM & PL. Modul Pelatihan Pengelolaan Rantai Vaksin Program Imunisasi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2004. 4. Keputusan Menteri Kesehatan R I. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2005.
Bab IV Jadwal Imunisasi Bab 4-1. Program Pengembangan Imunisasi (PPI) 4-2. Jadwal imunisasi rekomendasi IDAI 43. Jadwal imunisasi yang tidak teratur 4-4. Imunisasi anak sekolah, remaja dan dewasa Pen gantar Pengembangan Program Imunisasi (PPI) merupakan program pemerintah dalam bidang imunisasi guna mencapai komitmen internasional yaitu universal child immunization. Melalui PPI diharapkan beberapa masalah penanggulangan penyakit infeksi dapat dilaksanakan seperti
eradikasi polio, eliminasi tetanus maternal dan neonatal, reduksi campak, peningkatan mutu pelayanan imunisasi, standar pemberian suntikan yang aman dan keamanan pengelolaan limbah tajam. Jadwal imunisasi rekomendasi IDAI tahun 2004 disusun lebih tegas, kapan seorang bayi/anak sebaiknya mendapat imunisasi sehingga didapatkan hasil maksimal. Dalam jadwal terbaru ini juga akan lebih mudah apabila imunisasi diberikan dalam bentuk vaksin kombinasi. Pada anak yang mendapatkan imunisasi tidak sesuai dengan jadwal yang dianjurkan dengan sebab lupa, tidak tahu, atau catatan hilang maka hendaknya petugas kesehatan membantu membuat jadwal imunisasi yang sesuai. Dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi, maka imunisasi diperuntukkan kepada seluruh kelompok umur. Tujuan imunisasi pada kelompok anak sampai dewasa adalah sebagai penguat kadar antibodi yang telah menurun atau untuk memberikan perlindungan pada penyakit yang succeptible pada kelompok yang lebih tua.
Bab IV-1 Program Pengembangan Imunisasi Sofyan Ismael Program imunisasi nasional dikenal sebagai Pengembangan Program Imunisasi (PPI) atau expanded program on immunisation (EPI) dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1977. Program PPI merupakan program pemerintah dalam bidang imunisasi guna mencapai komitmen internasional yaitu universal child immunization pada akhir 1982. Program UCI secara nasional dicapai pada tahun 1990, yaitu cakupan DTP3, polio 3 dan campak minimal 80% sebelum umur 1 tahun. Sedangkan cakupan untuk DTP1, polio 1 dan BCG minimal 90%. Imunisasi yang termasuk dalam PPI adalah BCG, polio, DTP, campak, dan hepatitis B. Program imunisasi melalui PPI, mempunyai tujuan akhir (ultimate goal) sesuai dengan komitmen internasional yaitu, Eradikasi polio (ERAPO), Eliminasi tetanus maternal dan neonatal (maternal and neonatal tetanus elimination MNTE), Reduksi campak (RECAM), Peningkatan mutu pelayanan imunisasi, Menetapkan standar pemberian suntikan yang aman (safe injection practices), Keamanan pengelolaan limbah tajam (safe waste disposal w). Cakupan Imunisasi Target UCI 80-80-80 merupakan tujuan antara (intermediate goal), yang berarti cakupan imunisasi untuk BCG, DPT, polio, campak,
dan hepatitis B harus mencapai 80% baik di tingkat nasional, propinsi, dan kabupaten bahkan di setiap desa. Seluruh propinsi (97% dari 302 kabupaten) di Indonesia telah mencapai target UCI. Jumlah sasaran bayi di Indonesia per tahun 4,6 juta sedang jumlah ibu hamil 5,1 juta. Tabel 4.1. Cakupan Imunisasi di Indonesia Jenis Imunisasi 1 dosis BCG 3 dosis DPT 4 dosis polio 3 dosis hep.B 1 dosis campak 2 dosis TT ibu hamil
Cakupan 1996/1997 (%) 99,6 90,9 85,0 62,0 91,7 73,3
Cakupan 2003 (%) 97,7 90,8 90,4 79,4 90,4 71,5
Data: Subdit Imunisasi Ditjen PPM&PLP DepKes, 2004 Eradikasi Polio (ERAPO) Dalam sidang ke-41, WHA (world health assembly) pada tahun 1988 mengajak seluruh dunia untuk mengeradikasi polio pada tahun 2000. Eradikasi polio didefinisikan sebagai tidak ditemukan lagi kasus polio baru yang disebabkan oleh virus polio liar. Namun melihat kenyataan, maka WHA tahun 2000 mengharapkan polio dapat dieradikasi dari regional Asia Tenggara tahun 2004 dan sertifikasi bebas polio oleh WHO pada tahun 2008. Adapun strategi ERAPO meliputi (1) mencapai cakupan imunisasi rutin yang tinggi dan merata, (2) melaksanakan imunisasi tambahan (PIN) minimal 3 tahun berturutturut, (3) melaksanakan survailans acute flaccid paralysis (AFP) ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium, (4) melaksanakan mopping up, dan akhirnya (5) sertifikasi polio.
Pekan imunisasi nasional (PIN) Pekan imunisasi nasional adalah pekan pada saat setiap anak balita umur 0-59 bulan yang tinggal di Indonesia mendapat 2 tetes vaksin polio oral, tanpa melihat status imunisasi dan kewarganegaraannya. Vaksin polio diberikan 2 kali dengan waktu selang sekitar 4 minggu telah dilakukan berturut-turut pada tahun 1995, 1996, 1997, dan 2002, 2005 dan 2006 Indonesia telah berhasil melaksanakan PIN dengan baik. Pada hari PIN telah diimunisasi sebanyak 22 juta anak balita di seluruh Indonesia. Survailans acute flaccid paralysis (AFP) Survailans acute flaccid paralysis atau lumpuh layu merupakan salah satu dari 3 strategi eradikasi polio yang dilaksanakan di Indonesia. Tujuan dari Survailans AFP untuk mengetahui lokasi transmisi virus liar. Upaya untuk menemukan kasus polio dilakukan dengan menemukan semua anak berusia < 15 tahun yang menderita kelumpuhan. Spesimen tinja anak tersebut serta kontak diperiksa di laboratorium untuk mengetahui apakah kelumpuhan tersebut disebabkan oleh virus polio atau bukan. Sejak dilaksanakannnya survailans AFP pada tahun 1995 sampai tahun 2000, berdasar kriteria klinis masih dijumpai kasus polio kompatibel, yaitu kasus yang dicurigai klinis polio namun tinjanya tidak sempat diperiksa atau tinja tidak adekuat. Namun sejak tahun 1997, Indonesia menggunakan kriteria virologis dan penentuan polio berdasar pada ada tidaknya virus polio liar pada pemeriksaan tinja. Hasil pemeriksaan tiga laboratorium yang telah dikukuhkan WHO (Bio Farma di Bandung, Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan Depkes di Jakarta, dan Balai Laboratorium Kesehatan di Surabaya) menunjukkan bahwa sejak tahun 1995 tidak pernah ditemukan lagi virus polio liar di Indonesia. Virus polio liar terakhir ditemukan pada tahun 1995 di Kabupaten Malang, Probolinggo, Cilacap, Palembang dan Medan, seluruhnya 7 kasus terdiri atas virus
tipe 1, 2, dan 3. Namun kemudian pada Maret 2005 dilaporkan adanya kasus polio di Sukabumi Jawa Barat. Dari pemeriksaan di laboratorium Virologi Bio Farma Bandung dan Laboratorium Virologi Rujukan WHO di Pure India, diketahui bahwa virus yang ditemukan pada penderita di Cidahu adalah virus impor strain Nigeria yang beberapa waktu sebelumnya juga berjangkit di Yaman dan Arab Saudi. Setelah dilakukan outbreak respons immunization mopping-up, dan PIN, sejak februari 2006 tidak lagi ditemukan virus polio liar di Indonesia. Outbreak respons immunization (ORI) dan Mopping up Apabila di suatu wilayah terdapat kasus polio maka harus dilakukan imunisasi polio masal lagi yang dikenal sebagai outbreak respons immunization (ORI) mopping-up, dengan tujuan memutuskan sisa fokus transmisi virus polio liar. Pelaksanaan ORI pada daerah outbreak, sedangkan mopping-up dilakukan baik pada daerah tempat virus polio liar ditemukan maupun pada virus polio yang kompatibel. Masalah yang dihadapi 1. Krisis ekonomi dan konflik sosial politik yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah melemahkan kinerja program imunisasi rutin, survailans AFP, serta suplemen vitamin A terutama di propinsi Aceh, NTT, Maluku dan Irian Jaya. 2. Hal ini menyebabkan ancaman virus polio liar yang berasal dari negara lain di dalam regional Asia Tenggara yang belum bebas polio (misalnya India, Afganistan, dan China), dapat muncul kembali. 3. Pekan imunisasi telah dilakukan kembali di propinsi Aceh, NTT, Maluku dan Irian Jaya, dikenal sebagai Pekan Imunisasi Sub Nasional (Sub PIN) yang dilaksanakan pada bulan September, Oktober 2006 dan februari 2007 bersamaan dengan imunisasi campak.
Eliminasi tetanus neonatorum (ETN) Tujuan umum eliminasi tetanus neonatorum adalah membebaskan Indonesia dari penyakit tetanus neonatorum, sehingga tahun 2005 tetanus neonatorum tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat lagi. Sedangkan tujuan khususnya adalah (1) Secara epidemiologis berarti menurunkan insidens tetanus neonatorum menjadi 1 per 10.000 kelahiran hidup di pulau Jawa-Bali pada tahun 1995 dan seluruh Indonesia pada tahun 2000-2005. (2) Menekan angka kematian tetanus neonatorum menjadi separuh dari CFR (case fatality rate) sebelumnya, dengan jalan menemukan kasus dan mencari faktor risiko. Eliminasi tetanus neonatorum di Indonesia telah dilaksanakan sejak tahun 1991. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan risiko yaitu meliputi status imunisasi TT ibu hamil, pertolongan persalinan, dan perawatan tali pusat. Untuk pelayanan imunisasi tetanus toksoid (TT) dilakukan pada anak sekolah SD kelas VI, calon pengantin wanita, dan ibu hamil. WHO merekomendasikan pemberian 5 dosis TT untuk mendapatkan kekebalan seumur hidup, sedangkan untuk meningkatkan pertolongan persalinan melalui peningkatan pelatihan dan pembinaan dukun bayi. Reduksi campak Reduksi campak ditentukan oleh jumlah kasus dan kematian campak, yaitu penurunan 90% kasus dan 90% kematian akibat campak dibandingkan dengan keadaan sebelum program imunisasi campak mulai. Kendala yang timbul dalam reduksi campak ialah, 1. Imunisasi campak dalam PPI sejak tahun 1982 secara nasional telah mencapai cakupan 80%, 2. Namun angka kesakitan campak masih tinggi, 3. Pemberian imunisasi campak rutin 1 dosis ternyata tidak cukup.
Maka strategi yang disusun oleh Departemen Kesehatan adalah, 1. Cakupan imunisasi campak rutin minimal harus > 90%, kepada sasaran campak diberikan juga vitamin A 100.000 IU. 2. Upaya akselerasi dengan memberikan imunisasi pada anak usia 9 bulan sampai 5 tahun di daerah kumuh perkotaan atau daerah kantung cakupan. Upaya ini dicapai dengan mengadakan sweeping di desa dengan cakupan rendah. Kegiatan sweeping diperlukan untuk membantu Puskesmas dalam meratakan cakupan di tingkat desa. 3. Melakukan crash program campak untuk mencegah KLB, a. Pada balita di daerah kantong cakupan rendah (daerah sulit dicapai, pemukiman transmigrasi baru), b. Anak usia < 12 tahun di tempat pengungsian, Pada kedua kegiatan di atas, vitamin A dosis 100. 000 IU untuk bayi umur 6-11 bulan dan 200.000 IU diberikan pada umur 1-5 tahun (kecuali balita yang pernah mendapat vitamin A dalam 1 bulan terakhir). 4. Melakukan ring vaksinasi pada setiap KLB campak pada sekitar desa KLB, sasaran. umur 9 bulan-5 tahun atau sampai umur kasus tertua, diberikan 1 dosis vaksin campak tanpa melihat status imunisasi sebelumnya. Kegiatan ini untuk memutuskan transmisi bila dilakukan dalam waktu 7-10 hari setelah onset KLB. Diberikan juga vitamin A untuk anak 9- 11 bulan 100.000 IU sedangkan untuk usia 1-5 tahun 200.000 IU (kecuali balita yang pernah mendapat vitamin A dalam 1 bulan terakhir). 5. Melakukan catch-up campaign pada anak sekolah tingkat dasar di seluruh Indonesia, yang dalam pelaksanaannya dilakukan bertahap dalam program BIAS (bulan imunisasi anak sekolah)(lihat Bab 4-4 Imunisasi Anak Sekolah, Remaja dan Dewasa).
Daftar Pustaka 1. Penyakit Polio. Subdit Survailans Direktorat Jenderal PPM&PL, Departemen Kesehatan Rl. Diunduh dari http i/www.depkes.go.id/index.php?option= news&task=viewarticle& sid=1826&Itemid=2. 2. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial Rl. Petunjuk pelaksanaan Sub Pekan Imunisasi Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal PPM&PL, 2000. 3. WHO. Measles reduction. WHO SEARO, Geneva 2003. 4. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccine and Immunization. Geneva: WHO. 2002.
Bab IV-2 Jadwal Imunisasi Sri Rezeki S.Hadinegoro Jadwal Imunisasi IDAI secara berkala dievaluasi untuk penyempurnaan, departemen Kesehatan/ WHO, kebijakan global, dan pengadaan vaksin di Indonesia. Jadwal imunisasi tahun 2008 secara garis besar sama dibandingkan dengan jadwal tahun 2004 yang tertera pada buku imunisasi edisi kedua. Perbedaan terletak pada penambahan vaksin pneumokokus konjugasi (PCV=pneumococcal conjugate vaccine), vaksin influenza pada program imunisasi yang dianjurkan (non-PPI) serta jadwal imunisasi varisela yang dianjurkan diberikan pada umur 5 tahun (jadwal tahun 2007), Pada jadwal 2008 ditambahkan vaksin rotavirus dan HPV (human papilloma virus). Pemberian hepatitis B saat lahir sangat dianjurkan untuk mengurangi penularan hepatitis B dari ibu ke bayinya sedini mungkin. Pemberian vaksin kombinasi, dengan maksud untuk mempersingkat jadwal, mengurangi jumlah suntikan, dan mengurangi kunjungan tetap dianjurkan. Selain vaksin kombinasi DTP dengan Hib (baik DTwP/Hib maupun DTaP/ Hib, atau DTaP/Hib/IPV), Departemen Kesehatan memberikan vaksin kombinasi DTwP dengan Hepatitis B (DTwP/HepB) dalam PPI. Imunisasi campak yang hanya diberikan satu kali pada usia 9 bulan, dalam kajian Badan Penelitian & Pengembangan Depkes ternyata kurang memberikan perlindungan jangka panjang. Oleh karena itu, campak diberikan penguat pada saat masuk sekolah dasar melalui program BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah).
Mengacu pada ketentuan WHO 2005 mengenai program eradikasi polio, apabila di Indonesia tidak terdapat lagi virus polio liar (wild polio virus) selama 3 tahun berturut-turut, besaran cakupan imunisasi polio cukup tinggi (>90%), serta survailans AFP yang baik; maka untuk imunisasi rutin (PPI) dapat diberikan eIPV (enhanced inactivated polio vaccine, injectable poilo vaccine). Namun untuk PIN vaksin polio oral tetap merupakan pilihan Jadwal imunisasi Program Pengembangan Imunisasi (PPI) Departemen Kesehatan yang baru tetap dapat dipergunakan, bersama jadwal imunisasi IDAI. Imunisasi Wajib (PPI) Imunisasi yang diwajibkan meliputi BCG, polio, hepatitis B, DTP dan campak. BCG Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 3 bulan. Namun untuk mencapai cakupan yang lebih luas, Departemen Kesehatan menganjurkan pemberian imunisasi BCG pada umur antara 0-12 bulan. Dosis 0,05 ml untuk bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1ml untuk anak (>1 tahun). VaksinBCG diberikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas pada insersio M.deltoideus sesuai anjuran WHO, tidak di tempat lain (bokong, paha). Hal ini mengingat penyuntikan secara intradermal di daerah deltoid lebih mudah
dilakukan (jaringan lemak subkutis tipis), ulkus yang terbentuk tidak menganggu struktur otot setempat (dibandingkan pemberian di daerah gluteal lateral atau paha anterior), dan sebagai tanda baku untuk keperluan diagnosis apabila diperlukan. Imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan.
Vaksin BCG tidak dapat mencegah infeksi tuberkulosis, namun dapat mencegah komplikasinya. Para pakar menyatakan bahwa 1. efektivitas vaksin untuk perlindungan penyakit hanya 40%, 2. sekitar 70% kasus TB berat (meningitis) ternyata mempunyai parut BCG, dan (3) kasus dewasa dengan BTA (bakteri tahan asam) positif di Indonesia cukup tinggi (25%-36%) walaupun mereka telah mendapat BCG pada masa kanak-kanak. Oleh karena itu, saat ini WHO sedang mengembangkan vaksin BCG baru yang lebih efektif. Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan pada pasien imunokompromais (leukemia, anak yang sedang mendapat pengobatan steroid jangka panjang, atau menderita infeksi HIV). Apabila BCG diberikan pada umur lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif. Hepatitis B Vaksin hepatitis B (hepB) harus segera diberikan setelah lahir, mengingat vaksinasi hepB merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif untuk memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu kepada bayinya. Jadwal imunisasi hepatitis B ï¶ Imunisasi hepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah lahir, mengingat paling tidak 3,9% ibu hamil mengidap hepatitis B aktif dengan risiko penularan kepada bayinya sebesar 45%. ï¶ Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi hepB-1 yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respons imun optimal, interval imunisasi HepB2 dengan hepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka imunisasi hepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan. ï¶ Jadwal dan dosis hepB-1 saat bayi lahir, dibuat berdasarkan
status HBsAg ibu saat melahirkan yaitu (1) ibu dengan status HbsAg yang tidak diketahui, (2) ibu HBsAg positif, atau (3) ibu HBsAg negatif. ï¶ Departemen Kesehatan mulai tahun 2005 memberikan vaksin hepB-0 monovalen (dalam kemasan uniject) saat lahir, dilanjutkan dengan vaksin kombinasi DTwP/hepB pada umur 23-4 bulan. Tujuan vaksin HepB diberikan dalam kombinasi dengan DTwP untuk mempermudah pemberian dan meningkatkan cakupan hepB-3 yang masih rendah. Hepatitis B saat bayi lahir, tergantung status HbsAg ibu ï¶ Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAg yang tidak diketahui: HepB-1 harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dan dilanjutkan pada umur 1 bulan dan 3-6 bulan. Apabila semula status HbsAg ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya diketahui bahwa ibu HbsAg positif maka ditambahkan hepatitis B imunoglobulin (HBIg) 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari. ï¶ Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAg-B positif: diberikan vaksin hepB-1dan HBIg 0,5 ml secara bersamaan dalam waktu 12 jam setelah lahir. Ulangan imunisasi hepatitis B ï¶ Telah dilakukan penelitian multisenter di Thailand dan Taiwan terhadap anak dari ibu pengidap hepatitis B, yang telah memperoleh imunisasi dasar 3x pada masa bayi. Pada umur 5 tahun, 90,7% diantaranya masih memiliki titer antibodi anti HBs protektif (kadar anti HBs >10 ug/ml). Mengingat pola epidemiologi hepatitis B di Indonesia mirip dengan pola epidemiologi di Thailand, maka dapat disimpulkan bahwa imunisasi ulang (booster) pada usia 5 tahun belum diperlukan. Idealnya, pada usia 5 tahun dilakukan pemeriksaan kadar
anti HBs. ï¶ Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah memperoleh imunisasi hepatitis B, maka secepatnya diberikan
imunisasi Hep B dengan jadwal 3 kali pemberian (catch-up vaccination). ï¶ Ulangan imunisasi hepatitis B (hepB-4) dapat dipertimbang kan pada umur 10-12 tahun, apabila kadar pencegahan belum tercapai (anti HBs <10 µg/ml). Cakupan imunisasi hepatitis-B ketiga di Indonesia sangat rendah apabila dibandingkan dengan DTP-3. Untuk mengatasi hal tersebut, sejak tahun 2006 imunisasi hep-B pada jadwal Departemen Kesehatan dikombinasikan dengan DTwP (Tabel 4.2). Jadwal Depkes dapat dipergunakan bersama jadwal imunisasi IDAI Tabel 4.2. Pemberian imunisasi hepatitis B* Umur
Imunisasi
Saat lahir
HepB-0
Kemasan Uniject (hepB-monovalen) 2 bulan
DTwP dan hepB-1
Kombinasi DTwP/hepB-1
3 bulan
DTwP dan hepB-2
Kombinasi DTwP/hepB-2
4 bulan
DTwP dan hepB-3
Kombinasi DTwP/hepB-3
*Jadwal Departeman Kesehatan DTwP (whole-cell pertussis) dan DTaP (acelluler pertussis) Saat ini telah ada vaksin DTaP (DTP dengan komponen acelluler pertussis) di samping vaksin DTwP (DTP dengan komponen whole cell pertussis) yang telah dipakai selama ini. Kedua vaksin DTP tersebut dapat dipergunakan secara bersamaan dalam jadwal imunisasi. Jadwal imunisasi ï¶ Imunisasi DTP primer diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DTP tidak boleh diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8 minggu. Interval terbaik diberikan 8 minggu, jadi DTP-1 diberikan pada umur 2 bulan, DTP-2 pada umur 4 bulan dan DTP-3 pada umur 6 bulan. Ulangan booster DTP selanjutnya diberikan satu tahun setelah DTP-3 yaitu pada
umur 18-24 bulan dan DTP-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun. Vaksinasi ulangan pada program BIAS v. Pada booster umur 5 tahun harus tetap diberikan vaksin dengan komponen pertusis (sebaiknya diberikan DTaP untuk mengurangi demam pasca imunisasi) mengingat kejadian pertusis pada dewasa muda meningkat akibat ambang proteksi telah sangat rendah sehingga dapat menjadi sumber penularan pada bayi dan anak. v. Sejak tahun 1998, DT-5 diberikan pada kegiatan imunisasi di sekolah dasar (pada bulan imunisasi anak sekolah atau BIAS). Ulangan DT-6 diberikan pada 12 tahun, mengingat masih dijumpai kasus difteria pada umur lebih dari 10 tahun. v. Ulangan DT-6 pada umur 12 tahun direncanakan oleh depkes untuk diubah ke vaksin dT (adult dose), buatan PT Bio Farma Indonesia.
Dosis vaksinasi DTP v. DTwP atau DTaP atau DT adalah 0,5 ml, intramuskular, baik untuk imunisasi dasar maupun ulangan. Pemberian DTP kombinasi v. Vaksin DTP dapat diberikan secara kombinasi dengan vaksin lain yaitu DTwP/HepB, DTaP/Hib, DTwP/Hib, DTaP/IPV, DTaP/Hib/IPV sesuai jadwal. Tetanus Upaya Departemen Kesehatan melaksanakan Program Eliminasi Tetanus Neonatorum (ETN) tahun 2000 belum terlaksana sepenuhnya. Maka pada pemberian vaksin tetanus beberapa hal perlu mendapat perhatian. Jadwal imunisasi tetanus, sesuai dengan imunisasi DTP Perkiraan lama waktu perlindungan antibodi tetanus.
Program imunisasi mengharuskan seorang anak minimal mendapat vaksin tetanus toksoid sebanyak lima kali untuk memberikan perlindungan seumur hidup. Dengan demikian, setiap wanita usia subur (WUS) telah mendapat perlindungan untuk bayi yang akan dilahirkannya terhadap bahaya tetanus neonatorum (pemberian vaksin TT WUS dan TT ibu hamil). Perlindungan tersebut dapat diperoleh dengan cara sebagai berikut. v. Imunisasi DTP primer pada bayi 3 kali akan memberikan imunitas selama 1-3 tahun. Tiga dosis toksoid pada bayi tersebut, setara dengan 2 dosis toksoid pada dewasa. v. Ulangan DTP pada umur 18-24 bulan (DTP 4) akan memperpanjang imunitas 5 tahun yaitu sampai dengan umur 6-7 tahun, pada umur dewasa dihitung setara 3 dosis toksoid. v. Dosis toksoid tetanus kelima (DTP/ DT 5) bila diberikan pada usia masuk sekolah, akan memperpanjang imunitas 10 tahun lagi yaitu pada sampai umur 17-18 tahun; pada umur dewasa dihitung setara 4 dosis toksoid. v. Dosis toksoid tetanus tambahan yang diberikan pada tahun berikutnya di sekolah (DT 6 atau dT) akan memperpanjang imunitas 20 tahun lagi; pada umur dewasa dihitung setara 5 dosis toksoid. v. Upaya ETN dengan target sasaran TT 5 kali juga dilakukan pada anak sekolah melalui kegiatan BIAS. Dosis vaksin DTP atau TT diberikan dengan dosis 0,5 ml secara intramuskular. Polio Terdapat 2 kemasan vaksin polio yang berisi virus polio-1, 2, dan 3. OPV (oral polio vaccine), hidup dilemahkan, tetes, oral. IPV (inactivated polio vaccine), in-aktif, suntikan.
Kedua vaksin polio tersebut dapat dipakai secara bergantian. Vaksin IPV dapat diberikan pada anak sehat maupun anak yang menderita imunokompromais, dan dapat diberikan sebagai imunisasi dasar maupun ulangan. Vaksin IPV dapat juga diberikan bersamaan dengan vaksin DTP, secara terpisah atau kombinasi. Jadwal v. Polio-0 diberikan saat bayi lahir sesuai pedoman PPI sebagai tambahan untuk mendapatkan cakupan imunisasi yang tinggi. Hal ini diperlukan karena Indonesia rentan terhadap transmisi virus polio liar dari daerah endemik polio (India, Afganistan, Sudan). Mengingat OPV berisi virus polio hidup maka diberikan saat bayi meninggalkan rumah sakit/rumah bersalin agar tidak mencemari bayi lain karena virus polio vaksin dapat
sakit/rumah bersalin agar tidak mencemari bayi lain karena virus polio vaksin dapat diekskresi melalui tinja. Untuk keperluan ini, IPV dapat menjadi alternatif. v. Untuk imunisasi dasar (polio-2, 3, 4) diberikan pada umur 2, 4, dan 6 bulan, interval antara dua imunisasi tidak kurang dari 4 minggu. v. Dalam rangka eradikasi polio (Erapo), masih diperlukan Pekan Imunisasi Polio (PIN) yang dianjurkan oleh Departemen Kesehatan. Pada PIN semua balita harus mendapat imunisasi OPV tanpa memandang status imunisasinya (kecuali pasien imunokompromais diberikan IPV) untuk memperkuat kekebalan di mukosa saluran cerna dan memutuskan transmisi virus polio liar. Dosis OPV diberikan 2 tetes per-oral. IPV dalam kemasan 0,5 ml, intramuskular. Vaksin IPV dapat diberikantersendiri atau dalamkemasankombinasi (DTaP/IPV, DTaP/Hib/IPV). Imunisasi polio ulangan diberikan satu tahun sejak imunisasi polio-4, selanjutnya saat masuk sekolah (5-6 tahun).
Campak Vaksin campak rutin dianjurkan diberikan dalam satu dosis 0,5 ml secara sub-kutan dalam, pada umur 9 bulan. Dari hasil studi Badan Penelitian & Pengembangan dan Dirjen PPM&PL Departemen Kesehatan mengenai campak didapatkan, v. Survei di empat provinsi, 18,6%-32,6% anak sekolah mempunyai kadar campak di bawah batas perlindungan, v. Dijumpai kasus campak pada anak usia sekolah, v. Beberapa propinsi masih melaporkan kejadian luar biasa (KLB) campak, Departemen Kesehatan mengubah strategi reduksi & eliminasi campak, sebagai berikut. Disamping imunisasi umur 9 bulan, diberikan juga imunisasi campak kesempatan kedua (second opportunity pada crash program campak) pada umur 6-59 bulan dan SD kelas 1-6. Crash program campak ini telah dilakukan secara bertahap (5 tahap) di semua provinsi pada tahun 2006 dan 2007. Selanjutnya imunisasi campak dosis kedua diberikan pada program school based catch-up campaign, yaitu secara rutin pada anak sekolah SD kelas 1 dalam program BIAS. Apabila telah mendapat imunisasi MMR pada usia 15-18 bulan dan ulangan umur 6 tahun; ulangan campak SD kelas 1 tidak diperlukan. Imunisasi yang dianjurkan Imunisasi yang dianjurkan diberikan kepada bayi/anak mengingat burden of disease namun belum masuk ke dalam program imunisasi nasional sesuai prioritas. Imunisasi dianjurkan adalah Hib, pneumokokus, influenza, MMR, tifoid, hepatitis A, varisela, rotavirus, dan HPV.
Haemophilus influenzae tipe b (Hib) Terdapat dua jenis vaksin Hib konjungat yang beredar di Indonesia yaitu vaksin Hib yang berisi PRP-T (capsular polysaccharide polyribosyl ribitol phosphate – konjugasi dengan protein tetanus) dan PRP-OMP (PRP berkonjugasi dengan outer membrane protein complex). Jadwal imunisasi + Vaksin Hib yang berisi PRP-T diberikan pada umur 2,4, dan 6 bulan + Vaksin Hib yang berisi PRP-OMP diberikan pada umur 2 dan 4 bulan, dosis ketiga (6 bulan) tidak diperlukan. + Vaksin Hib dapat diberikan dalam bentuk vaksin kombinasi (DTwP/Hib, DTaP/Hib,
DTaP/Hib/IPV) Dosis + Satu dosis vaksin Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara intramuskular. + Tersedia vaksin kombinasi DTwP/Hib, DTaP/Hib, DTaP/ Hib/IPV (vaksin kombinasi yang beredar berisi vaksin Hib PRP-T) dalam kemasan prefilled syringe 0,5 ml. Ulangan + Vaksin Hib baik PRP-T ataupun PRP-OMP perlu diulang pada umur 18 bulan. + Apabila anak datang pada umur 1-5 tahun, Hib hanya diberikan 1 kali. Pneumokokus Sejak jadwal imunisasi edisi tahun 2007, vaksin pneumokokus dimasukkan dalam kelompok imunisasi yang dianjurkan sesuai dengan Rekomendasi Satgas imunisasi IDAI tanggal 30 April 2006.
Terdapat 2 jenis vaksin pneumokokus yang beredar di Indonesia, yaitu vaksin pneumokokus polisakarida berisi polisakarida murni, 23 serotipe disebut pneumococcus polysaccharide vaccine (PPV23). Vaksin pneumokokus generasi kedua berisi vaksin polisakarida konjungasi, 7 serotipe disebut pneumococcal conjugate vaccine (PCV7). Tabel 4.3. Perbedaan PPV23 dan PCV7 Vaksin polisakarida (PPV23) Vaksin polisakarida konjungasi (PCV7) T cell • T cell dependent (memory cell)
independent Tidak imunogenik pd umur <2 tahun Indikasi: umur> 2 thn, risiko tinggi Mempunyai imunitas jangka pendek Nama: Pneumo-23@ (Sanofi
Imunogenik pada umur <2 tahun Indikasi: anak sehat dan anak risiko tinggi Umur 2 bulan-5 tahun Mempunyai imunitas jangka panjang Nama: Prevenar@ (Wyeth)
Pasteur) Jadwal dan dosis PCV7 Vaksin PCV7 diberikan sejak usia 2 bulan sampai 9 tahun. Dosis dan interval pemberian sesuai umur tertera pada Tabel 4.4. Tabel 4.4. Jadwal dan dosis vaksin PCV7 Dosis pertama Imunisasi dasar
Imunisasi
(bulan)
ulangan* 2- 6
mgg
3 dosis, interval 6-8
1 dosis, 12-15 bulan 7-11
2 dosis, interval 6-8 mgg
12-23
2 dosis, interval 6-8 mgg
≥24
1 dosis
1 dosis, 12-15 bulan
*Imunisasi ulangan minimal 6-8 minggu setelah dosis terakhir imunisasi dasar Dikutip dengan modifikasi dari AAP, Committee on Infectious Diseases 2006.
Cara pemberian Vaksin PCV7 dikemas dalam prefilled syringe 5 ml diberikan secara intramuskular. Dosis pertama tidak berikan sebelum umur 6 minggu. Untuk bayi BBLR (≤1500 gram) vaksin diberikan setelah umur kronologik 6 -8 minggu, tanpa memperhatikan umur atau apabila berat badan telah mencapai > 2000gram. Dapat diberikan bersama vaksin lain misalnya DTwP, DTaP, TT, Hib, HepB, IPV, MMR, atau varisela, dengan mempergunakan syringe terpisah. Untuk setiap vaksin diberikan pada sisi badan yang berbeda. Kelompok risiko tinggi Untuk anak risiko tinggi berumur 24-59 bulan, vaksin PCV7 diberikan bersama vaksin PPV23 karena kelompok ini rentan terhadap semua serotipe pneumokokus. Kelompok risiko tinggi adalah anak yang menderita penyakit kronik seperti penyakit sickle cell, aslenia kongenital/didapat, disfungsi limpa, infeksi HIV, defisiensi imun kongenital, penyakit jantung bawaan dan gagal jantung, penyakit paru kronik termasuk asma yang diobati dengan kortikosteroid oral dosis tinggi, cerebrospinal fluid leaks, insufisiensi ginjal kronik termasuk sindrom nefrotik, penyakit yang berhubungan dengan pengobatan imunosupresif atau radiasi termasuk penyakit keganasan dan transplantasi organ solid, dan diabetes melitus (Tabel 4.5).
Tabel 4.5. Jadwal dan dosis vaksin PCV7 & PPV23 untuk kelompok risiko tinggi umur 24-59 bulan Dosis sebelumnya Dosis PCV7 dan PPV23 4 dosis PCV7 Umur 24 bln: 1 dosis PPV23, minimal 6-8 mgg setelah PCV7 dosis terakhir. Ulangan PPV23: 1 dosis PPV23, 3-5 th setelah PPV23 dosis pertama 1-3dosis PCV7
1 dosis vaksin
PCV7 1 dosis vaksin PPV23, 6-8 mgg setelah PCV7 dosis terakhir. Ulangan PPV23: 1 dosis PPV23, 3-5 th setelah PPV23 dosis pertama 1 dosis PPV23 2 dosis vaksin PCV7, interval 6-8 mgg, mulai minimal 6-8 mgg setelah PPV23 dosis terakhir. Ulangan PPV23: 1 dosis PPV23, 3-5 th setelah PPV23 dosis pertama Belum pernah
2 dosis vaksin
PCV7 interval 6-8 mgg 1 dosis vaksin PPV23, 6-8 mgg setelah vaksin PCV dosis terakhir. Ulangan PPV23: 1 dosis PPV23, 3-5 th setelah PPV23 dosis pertama Influenza Imunisasi influenza telah direkomendasikan oleh Satgas Imunisasi IDAI sejak April 2006 dan telah dimasukkan dalam kelompok vaksin yang dianjurkan, sesuai jadwal Satgas Imunisasi IDAI periode 2006. Vaksin influenza Vaksin trivalen influenza yang terdiri dari dua virus influenza subtipe A yaitu H3N2 dan H1N1, serta virus influenza tipe B. Vaksin influenza diproduksi dua kali setahun berdasarkan perubahan galur virus influenza yang bersirkulasi di masyarakat. WHO Global Influenza Program merekomendasikan komposisi vaksin influenza yang berlaku untuk tahun berikutnya pada bulan September dan Februari. Musim influenza pada terjadi bulan Mei-Juni di belahan bumi Selatan (Southern hemisphere),
dan November-Desember untuk belahan bumi Utara (Northern hemisphere). Untuk Indonesia dipilih vaksin formulasi dari belahan utara atau selatan yang diproduksi oleh produsen vaksin sesuai dengan waktu yang tepat (perhatikan tanggal kadaluarsa vaksin tersebut). Jadwal Rekomendasi WHO untuk tahun 2006/2007 komposisi vaksin belahan utara adalah A/New Caledonia/20/99(H1N1)-like virus; A/Wisconsin/6 7/2005 (H3N2)-like virus; dan B/Malaysia/2506/2004 like virus. Vaksin influenza diberikan pada anak umur 6–23 bulan, baik anak sehat maupun dengan risiko (asma, penyakit jantung, penyakit sel sickle, HIV, dan diabetes) Imunisasi influenza diberikan setiap tahun, mengingat tiap tahun terjadi pergantian jenis galur virus yang beredar di masyarakat. Vaksin tahun sebelumnya tidak boleh diberikan untuk tahun sekarang. Indikasi lain: anak yang tinggal dengan kelompok risiko tinggi atau pekerja sosial yang berhubungan dengan kelompok risiko tinggi Dosis dan cara pemberian Dosis tergantung umur anak, v. umur 6-35 bulan: 0.25ml v. umur ≥ 3 tahun : 0.5 ml v. umur < 8 tahun : untuk pemberian pertama kali diperlukan 2 dosis dengan interval minimal 4-6 minggu, pada tahun berikutnya hanya diberikan 1 dosis. Vaksin influenza diberikan secara intramuskular pada paha anterolateral atau deltoid.
MMR Vaksin MMR diberikan pada umur 15-18 bulan, minimal interval 6 bulan antara imunisasi campak (umur 9 bulan) dan MMR. Dosis satu kali 0,5 ml, secara subkutan. MMR diberikan minimal 1 bulan sebelum atau setelah penyuntikan imunisasi lain. Apabila seorang anak telah mendapat imunisasi MMR pada umur 12-18 bulan dan 6 tahun, imunisasi campak (monovalen) tambahan pada umur 5-6 tahun tidak perlu diberikan. Ulangan imunisasi MMR diberikan pada umur 6 tahun. Demam tifoid Di Indonesia tersedia 2 jenis vaksin yaitu vaksin suntikan (polisakarida) dan oral (bakteri hidup yang dilemahkan). Vaksin capsular Vi polysaccharide ï¶ diberikan pada umur lebih dari 2 tahun, ulangan dilakukan setiap 3 tahun. ï¶ kemasan dalam prefilled syringe 0,5 ml, pemberian secara intramuskular Tifoid oral Ty21a ï¶ diberikan pada umur lebih dari 6 tahun ï¶ dikemas dalam kapsul, diberikan 3 dosis dengan interval selang sehari (hari 1,3, dan 5). ï¶ imunisasi ulangan dilakukan setiap 3-5 tahun. Vaksin oral pada umumnya diperlukan untuk turis yang akan berkunjung ke daerah endemis tifoid.
Hepatitis A Vaksin hepatitis A diberikan pada daerah yang kurang terpajan (under exposure). Di samping vaksin Hep A monovalen yang telah kita kenal, saat ini telah beredar vaksin kombinasi HepB/HepA.
Jadwal imunisasi + Vaksin hep A diberikan pada umur lebih dari 2 tahun. + Vaksin kombinasi HepB/HepA tidak diberikan pada bayi kurang dari 12 bulan. Maka vaksin kombinasi diindikasikan pada anak umur lebih dari 12 bulan, terutama untuk catchup immunisation yaitu mengejar imunisasi pada anak yang belum pernah mendapat imunisasi HepB sebelumnya atau imunisasi HepB yang tidak lengkap. Dosis pemberian + Kemasan liquid 1 dosis/vial prefilled syringe 0,5ml. + Dosis pediatrik 720 ELISA units diberikan dua kali dengan interval 6-12 bulan, intramuskular di daerah deltoid + Kombinasi HepB/HepA (berisi HepB 10 µgr dan HepA 720 ELISA units) dalam kemasan prefilled syringe 0,5 ml intramuskular. + Dosis HepA untuk dewasa (≥ 19 tahun) 1440 ELISA units, dosis 1 ml, 2 dosis, interval 612 bulan. Varisela Kesepakatan pada rapat Satgas Imunisasi IDAI Maret 2007, telah ditentukan perubahan umur pemberian vaksin varisela dari umur 10 tahun menjadi 5 tahun. Hal ini berdasarkan, 1. Efektifitas vaksin varisela tidak diragukan lagi, namun apabila cakupan imunisasi belum tinggi dapat mengubah epidemiologi penyakit dari masa anak ke dewasa (pubertas). Akibatnya angka kejadian varisela orang dewasa akan meningkat dibandingkan anak. 2. Dampak varisela pada dewasa lebih berat daripada anak, apalagi apabila terjadi pada masa kehamilan dapat mengakibatkan sindrom varisela kongenital dengan angka kematian yang tinggi. 3. Penularan terbanyak terjadi di sekolah (TK dan SD).
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka imunisasi varisela diberikan pada saat anak masuk sekolah Taman Kanak-kanak umur 5 tahun, kecuali terjadi kejadian luar biasa varisela, atau atas permintaan orang tua dapat diberikan pada umur > 1 tahun. Jadwal Imunisasi varisela diberikan pada anak umur ≥ 5 tahun. Untuk anak yang mengalami kontak dengan pasien varisela, imunisasi dapat mencegah apabila diberikan dalam kurun 72 jam setelah kontak (catatan: kontak harus segera dipisahkan). Dosis Dosis 0,5 ml, subkutan, satu kali. Untuk umur lebih dari 13 tahun atau dewasa, diberikan 2 kali dengan jarak 4-8 minggu.
Tabel 4.6. Ringkasan Jadwal Imunisasi Berdasarkan Umur Pemberian Umur Vaksin
Keterangan Saat lahir
Hepatitis B-1
HB-
1 harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dilanjutkan pada umur 1 dan 6 bulan. Apabila status HbsAg-B ibu positif, dalam waktu 12 jam setelah lahir diberikan HBIg 0,5 ml bersamaan dengan vaksin HB-1. Apabila semula status HbsAg ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya diketahui bahwa ibu HbsAg positif maka masih dapat diberikan HB-Ig 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari. Polio-0 Polio-0 diberikan saat kunjungan pertama. Untuk bayi yang lahir di RB/RS polio oral diberikan saat bayi dipulangkan (untuk menghindari transmisi virus vaksin kepada bayi lain). bulan bulan,
1 HB-2 diberikan pada umur 1
Hepatitis B-2
Interval HB-1 dan HB-2 adalah 1 bulan.
Umur Vaksin
Keterangan 0-2 bulan
BCG
BCG
dapat diberikan sejak lahir. Apabila BCG akan diberikan pada umur >3 bulan sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dulu dan BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif. 2 bulan
DTP-1
DTP diberikan pada umur lebih dari 6 minggu, dapat dipergunakan DTwP atau DTaP atau diberikan secara kombinasi dengan Hib (PRP-T). Hib -1 Hib diberikan mulai umur 2 bulan dengan interval 2 bulan. Hib dapat diberikan secara terpisah atau dikombinasikan dengan DTP. Polio-1 Polio-1 dapat diberikan bersamaan dengan DTP-1. PCV-1
PCV-1 diberikan pada umur 2 bulan
4 bulan
DTP -2 Hib -2
Polio-2 PCV-2
DTP-2 (DTwP atau DTaP) dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan Hib-2 (PRP-T). Polio-2 diberikan bersamaan dengan DTP-2 PCV-2 diberikan pada umur 4 bulan 6 bulan
DTP -3
DTP-3 dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan Hib-3 (PRP-T). Hib -3 Apabila mempergunakan Hib-OMP, Hib-3 pada umur 6 bulan tidak perlu diberikan. Polio-3 DTP-3. PCV-3
Polio-3 diberikan bersamaan dengan PCV-3 diberikan pada umur 6 bulan 6 bulan
Hepatitis B-3
HB-3 diberikan umur 3-6 bulan. Untuk
mendapat respons imun optimal interval HB-2 dan HB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. 6-23 bln Influenza
Influenza dapat diberikan sejak umur 6
bulan
Umur Vaksin
Keterangan 9 bulan
Campak
Campak-1 diberikan pada umur 9 bulan, Campak-2 merupakan program BIAS pada SD kl 1, umur 6 tahun. Apabila telah mendapat MMR pada umur 15 bulan, Campak-2 tidak perlu diberikan. 12 -15 bl
PCV-7
Ulangan PCV-7 diberikan 1 dosis, 12-15 bulan
MMR 15-18 bulan
Hib-4
Apabila sampai umur 12 bulan belum mendapat imunisasi campak, MMR dapat diberikan pada umur 12 bln Hib-4 diberikan pada 1518 bulan (PRP-T atau PRP-OMP).
18 bulan
DTP-4
DTP-4
(DTwP atau DTaP) diberikan 1 tahun setelah DTP-3 atau kombinasi DTP/Hib Polio-4 DTP-4.
Polio-4 diberikan bersamaan dengan 2 tahun
Hepatitis A
Vaksin HepA direkomendasikan pada umur >2 tahun, diberikan dua kali dengan interval 6-12 bulan. 2-3 tahun
Tifoid
Vaksin tifoid
polisakarida injeksi direko‑ mendasikan untuk umur >2 tahun. Imunisasi tifoid polisakarida injeksi perlu diulang setiap 3 tahun. 5 tahun
DTP-5
DTP-5 diberikan pada umur 5 tahun (DTwP/DTaP) Polio-5 DTP-5
Polio-5 diberikan bersamaan dengan
Varisela tahun.
Vaksin varisela diberikan pada umur 5 6 tahun
MMR
Diberikan untuk catch-up immuniza‑ tion pada anak yang belum mendapat MMR-1. tahun
dT/ TT
10 Menjelang pubertas vaksin tetanus
ke-5 (dT atau TT) diberikan untuk mendapat imunitas selama 25 tahun.
Umur Vaksin
Keterangan 10 thn
HPV
Vaksin HPV diberikan pada perempuan berumur 10 tahun atau lebih sebanyak 3 kali, dengan jadwal agak berbeda untuk vaksin bivalen (HPV 16, 18) dan kuadrivalen (HPV 6, 11, 16, 18). Vaksin bivalen kedua disuntikan 1 bulan setelah suntikan pertama, suntikan ketiga diberikan 6 bulan setelah suntikan pertama. Vaksin kuadrivalen kedua disuntikan 2 bulan setelah suntikan pertama, suntikan ketiga diberikan 6 bulan setelah suntikan pertama. Daftar Pustaka
1. Plotkins SA, Orenstein WA., penyunting. Vaccines, edisi ke-4. Philadelphia, Tokyo; WB Saunders, 2004. 2. Report of the Committee on Infectious Diseases. American Academy of Pediatrics. Illinois; Amerika Serikat, 2006. 3. National Health and Medical Research Council. National Immunisation Program: The Australian Immunisation Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia, 2008. 4. World Health Organization, The World Health Report 2007. A safer future: global public health security in the 21st century. Diunduh dari: http://www.who.int/whr/2007/en/index.html. 5. Kassianos GC. Immunization Childhood and Travel Health. Edisi keempat. London: Blackwell Science, 2001. 6. AAP, Committee on Infectious Diseases 2006 7. Rekomendasi Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), 2003
Bab IV-3 Jadwal Imunisasi Tidak Teratur Dahlan Ali Musa Pada keadaan tertentu imunisasi tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang sudah disepakati. Keadaan ini tidak merupakan hambatan untuk melanjutkan imunisasi. Vaksin yang sudah diterima oleh anak tidak menjadi hilang manfaatnya tetapi tetap sudah menghasilkan respons imunologis sebagaimana yang diharapkan tetapi belum mencapai hasil yang optimal. Dengan perkataan lain, anak belum mempunyai antibodi yang optimal karena belum mendapat imunisasi yang lengkap, sehingga kadar antibodi yang dihasilkan masih di bawah ambang kadar yang memberi perlindungan (protective level) atau belum mencapai kadar antibodi yang bisa memberikan perlindungan untuk kurun waktu yang panjang (life long immunity) sebagaimana bila imunisasinya lengkap. Dengan demikian kita harus menyelesaikan jadwal imunisasi dengan melengkapi imunisasi yang belum selesai. Vaksin satu kali atau vaksin dengan daya lindung panjang Untuk vaksin yang diberikan hanya satu kali saja atau vaksin yang daya perlindungannya panjang seperti vaksin BCG, campak, MMR, varisela, maka keterlambatan dari jadwal imunisasi yang sudah disepakati akan mengakibatkan meningkatnya risiko tertular oleh penyakit yang ingin dihindari. Setelah vaksin diberikan maka risiko terkena penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi tersebut akan hilang atau rendah sekali, bahkan usia yang lebih tua saat
menerima vaksin akan menghasilkan kadar antibodi yang cukup baik karena sistem imunitas tubuhnya sudah lebih matang. Belum pernah mendapat imunisasi Anak yang belum pernah mendapat imunisasi terhadap penyakit tertentu, tidak mempunyai antibodi yang cukup untuk menghadapi penyakit tersebut. Apabila usia anak sudah berada di luar usia yang tertera pada jadwal imunisasi dan dia belum pernah diimunisasi maka imunisasi harus diberikan kapan saja, pada umur berapa saja sebelum anak terkena penyakit tersebut, karena dia sangat sedikit atau sama sekali belum punya antibodi. Imunisasi multidosis dengan interval tertentu Untuk imunisasi yang harus diberikan beberapa kali dengan interval waktu tertentu agar kadar antibodi yang diinginkan tercapai (di atas ambang perlindungan) seperti vaksin DPT, polio, Hib, pneumokok konjugasi, hepatitis A atau hepatitis B, keterlambatan atau memanjangnya interval tidak mempengaruhi respons imunologis dalam membentuk antibodi. Jumlah pemberian imunisasi tetap harus dilengkapi supaya kadar ambang perlindungan bisa dicapai dan anak terlindung dari penyakit. Keterlambatan akan menunda tercapainya ambang kadar antibodi yang memberikan perlindungan. Terdapat beberapa jenis vaksin (umumnya vaksin inaktif) yang daya perlindungannya terbatas hingga kurun waktu tertentu saja (setelah itu kadar antibodi berada di bawah ambang perlindungan), sehingga membutuhkan imunisasi ulang untuk meningkatkan kembali kadar antibodinya. Bila imunisasi ulang terlambat atau tidak dilakukan, maka kadar antibodi yang sudah rendah itu (terutama pada anak-anak yang tidak pernah mendapat infeksi alamiah) akan meningkatkan risiko terkena penyakit tersebut.
Status imunisasi tidak diketahui atau meragukan Anak dengan status imunisasi yang tidak diketahui atau meragukan, misalnya dokumentasi imunisasi yang buruk atau hilang, menyebabkan ketidakpastian tentang imunisasi yang sudah dan belum diberikan. Pada keadaan ini, anak harus dianggap rentan (susceptible) dan harus diberikan imunisasi yang diperkirakan belum didapat. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa pemberian vaksin MMR, varisela, Hib, hepatitis-B, campak, DPT atau polio yang berlebih akan merugikan penerima yang sudah imun. Tabel 4.7. Rekomendasi jadwal untuk vaksinasi yang tidak teratur Vaksin Rekomendasi bila vaksinasi terlambat BCG
Umur < 12 bulan, boleh
diberikan kapan saja. Umur > 12 bulan imunisasi kapan saja, namun sebaiknya dilakukan terlebih dahulu uji tuberkulin apabila negatif berikan BCG dengan dosis 0.1 ml intrakutan DPwT atau
Bila dimulai dengan
DPwT boleh dilanjutkam dengan DPaT
DPaT. Berikan dT pada anak > 7 tahun, jangan DPwT atau DPaT walaupun vaksin tersedia. Bila terlambat, jangan mengulang pemberian dari awal, tetapi lanjutkan dan lengkapi imunisasi seperti jadwal, tidak peduli berapapun jarak waktu/interval keterlambatan dari pemberian sebelumnya. Bila belum pernah imunisasi dasar pada usia < 12 bulan, imunisasi diberikan sesuai imunisasi dasar, baik jumlah maupun intervalnya. Bila pemberian ke-4 sebelum ulang tahun ke-4, maka pemberian ke-5 secepat-cepatnya 6 bulan sesudahnya. Bila pemberian ke-4 setelah umur 4 tahun, maka pemberian ke-5 tidak perlu lagi. Polio oral Bila terlambat, jangan mengulang pemberiannya dari awal tetapi lanjutkan dan
lengkapi imunisasi seperti jadwal, tidak peduli berapapun jarak waktu/ interval keterlambatan dari pemberian sebelumnya.
Vaksin Rekomendasi bila vaksinasi terlambat Campak
Pada umur
antara 9 – 12 bulan, berikan kapan saja saat bertemu. Bila umur anak > 1 tahun berikan MMR Bila booster belum didapat setelah umur 6 tahun, maka vaksin campak/MMR diberikan kapan saja saat bertemu melengkapi jadwal MMR Bila sampai dengan umur 12 bulan belum mendapat vaksin campak, MMR bisa diberikan kapan saja setelah berumur 1 tahun Hepatitis B Bila terlambat, jangan mengulang pemberian dari awal, tetapi lanjutkan dan lengkapi imunisasi seperti jadwal, tidak peduli berapapun jarak waktu/interval dari pemberian sebelumnya. Anak dan remaja yang belum pernah imunisasi hepatitis B pada masa bayi, bisa mendapat serial imunisasi hepatitis B kapan saja saat berkunjung. Hib
Umur saat ini
Riwayat
Rekomendasi (bulan)
vaksinasi imunisasi 6 – 11
1 dosis
1x umur 6–11 bulan Ulang 1x setelah 2 bulan atau umur 12 – 15 bulan 12 – 14
1 dosis
sebelum umur 12 bulan
Berikan 2 dosis, interval 2 bulan 15 – 59 Berikan 1 dosis
Jadwal tidak lengkap
P n e um o - Umur saat ini
Dosis
kokus
Keterangan (bulan)
Vaksin 3 dosis
7 – 11 2 dosis, interval 4 minggu.
Dosis ke-3 setelah umur 12 bulan, paling sedikit 2 bulan setelah dosis ke-2 12 – 23
2 dosis
Interval paling sedikit 2
bulan >24 - 5th
1 dosis Daftar Pustaka
1. National Health and Medical Research Council. National Immunization Program. The Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia, 2008. 2. Committee on Infectious Diseases American Academy of Pediatrics. PickeringLK, Baker CL, Overturf GD, Prober CG, penyunting. Red Book: 2003 Report of the Committee on Infectious Diseases. Edisike-26. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2003.
3. Plotkins S, Orenstein WA, penyunting. Vaccines, edisi keempat. Philadelphia, Tokyo, WB Saunders, 2004.
Bab IV-4 Imunisasi Anak Sekolah, Remaja dan Dewasa I G N Ranuh Usia sekolah dan remaja saat memasuki usia merupakan kurun waktu dengan paparan lingkungan yang luas dan beraneka ragam. Angka kematian usia balita masih sekitar 56 per 1000 kelahiran hidup, masa usia sekolah dan remaja menunjukkan grafik yang menurun dan meningkat lagi pada usia yang lebih lanjut. Kesakitan dan kematian karena penyakit yang termasuk di dalam imunisasi nasional sudah sangat berkurang, seperti polio, difteria, tetanus, batuk rejan dan campak, terutama karena dilaksanakannya program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) pada bulan November setiap tahunnya. Hanya penyakit tuberkulosis paru yang justru menunjukkan peningkatan karena imunisasi BCG ternyata kurang berhasil meskipun meningitis dan TB sekunder lainnya seperti milier dan spondilitis TB sudah jauh berkurang. Dengan terjadinya transisi epidemiologik dalam dua dekade terakhir ini, penyebab utama kesakitan dan kematian telah mengalami perubahan seperti yang dilaporkan di dalam SKRT1995 dengan bergesernya penyebab kematian karena infeksi ke penyakit kardiovaskuler, terjadinya cedera dan keracunan karena kecelakaan, penyakit karena obat-obatan terlarang, depresi, penyakit jiwa dan penyakit degeneratif. Namun demikian, laporan dari rumah sakit. Puskesmas maupun UKS (usaha kesehatan sekolah), penyakit infeksi seperti ISPA, (infeksi saluran pernafasan akut), diare akut seperti kolera dan penyakit yang seringkali menunjukkan kejadian luar biasa atau wabah, seperti demam berdarah dengue masih merupakan hambatan utama dalam tumbuh kembang menuju dewasa.
Keterlambatan Imunisasi Dasar Apabila imunisasi dasar belum pernah diberikan pada anak pada usia yang seharusnya namun anak belum mencapai usia 8 tahun, perlu diberikan DTP 4 dosis (ke-1 sampai ke-3 berselang 12 bulan dan ke-4 diberikan 6 bulan’kemudian). Apabila anak sudah berumur lebih dari 8 tahun, diberikan dT (adult tetanus diphthteria toxoid), kemudian booster diberikan setiap 10 tahun. Imunitas terhadap pertusis pasca imunisasi berlangsung selama 10 tahun setelah dosis terakhir. Meskipun demikian seorang anak yang telah menerima 5 dosis vaksin pertusis, kemungkinan terjangkitnya penyakit batuk rejan masih dapat terjadi pada usia remaja. Kebutuhan booster pertusis pada usia remaja dan dewasa masih menjadi lahan penelitian. Apabila belum pernah mendapatkan vaksin MMR (measles, mumps, rubella), imunisasi tersebut dapat diberikan pada semua umur di atas satu tahun. Pada anak yang sudah pernah menderita penyakit campak maupun gondongan bukan merupakan halangan untuk memberikan MMR, karena dari anamnesis penyakit tersebut sulit untuk dibuktikan kebenarannya. Vaksin MMR terutama menjadi penting untuk wanita usia subur karena komponen rubela yang ada di dalamnya dapat mencegah rubela kongetial apabila wanita tersebut hamil. Apabila setelah pemberian MMR diperlukan uji tuberkulin, maka perlu diperhatikan bahwa uji tuberkulin baru dapat dilaksanakan sedikitnya sebulan kemudian karena vaksin campak yang mengandung virus hidup dapat mengurangi sensivitas terhadap tuberkulin. Pemberian dua vaksin yang mengandung virus hidup tidak dapat diberikan secara simultan pada hari yang sama atau kurang dari 14 hari. Vaksin hidup yang kedua harus diberikan sedikitnya setelah 14 hari dari yang pertama (rekomendasi Advisory Committee on Immunization Practices).
Imunisasi Anak Sekolah, Remaja, dan Dewasa Pada usia sekolah dan remaja diperlukan vaksinasi ulang atau booster untuk hampir semua
jenis vaksinasi dasar yang ada pada usia lebih dini. Masa tersebut sangat penting untuk dipantau dalam upaya pemeliharaan kondisi atau kekebalan tubuh terhadap berbagai macam penyakit infeksi yang disebabkan karena kuman, virus maupun parasit dalam kehidupan menuju dewasa. Pada umumnya penularan infeksi dapat melalui fekal-oral, pernafasan, urin, maupun darah dan sekret tubuh lainnya. Di dalam lingkungan sekolah, infeksi dapat terjadi di antara para siswa sekolah melalui jalan nafas dan kontak langsung melalui kulit sebagai lahan penularan penyakit. Namun pada lingkungan Sekolah Luar Biasa (SLB) para siswa mengalami perkembangan mental yang kurang, dapat terjadi penularan melalui fekal-oral dan urin. Guna menjaga penyebaran penyakit menular di sekolah, kiranya sekolah harus memiliki catatan imunisasi saat siswa pertama kali masuk sekolah terutama tentang penyakit yang masuk di dalam daftar PPI. Pada usia 6 tahun, booster harus sudah diberikan terhadap penyakit difteria, tetanus dan polio. Secara luas telah dilaksanakan sebagai program BIAS. Hepatitis B tidakperlu diulang, namun apabila tidakmenunjukkan adanya pembentukan antibodi atau kadar antibodi telah menurun di bawah ambang pencegahan vaksinasi hepatitis B (kurang dari 10 µg/dl), ulangan perlu diberikan. Perhatikan dan catat segera adanya peningkatan antibodi. Data terakhir mengatakan bahwa kadar anti-HBs memang akan mengurang dari tahun ke tahun, tetapi ternyata memori imunitas (anamnestic anti-HBs response) tetap bertahan selamanya setelah mendapatkan imunisasi. Meskipun kadar anti-HBs sudah menurun sekali bahkan negatif seorang masih terlindungi dari sakit secara klinis dan sakit kronis. Jadi dosis booster hepB tidak diperlukan lagi bagi orang yang jelas telah memberikan respons yang baik setelah imunisasi.
Campak diberikan pada program BIAS, SD kelas 1. Imunisasi terhadap demam tifoid pada usia sekolah diperlukan karena adanya kebiasaan anak usia sekolah, terutama SD dan SMP untuk membeli makanan dan pedagang kaki lima di sekolah yang tentunya kurang dapat dijamin kebersihannya. Pada usia pra-remaja (10-14 tahun) khususnya anak perempuan diperlukan vaksinasi ulang terhadap tetanus (dT), untuk mencegah kemungkinan terjadi tetanus neonatorum pada bayi yang akan dilahirkan. Pemberian imunisasi hepatitis A, dosis anak tetap berpedoman pada usia dan tidak pada berat badan. Meskipun berat badan melebihi orang dewasa dosis vaksin hepatitis A tetap dengan dosis anak seperti halnya pada vaksin hepatitis B karena response rate ternyata lebih tinggi dari orang dewasa meskipun berat badannya melebihi normal. Imunisasi influenza dan pneumokokus diberikan pada usia di atas 50 tahun khususnya kepada orang yang berisiko tinggi seperti yang bekerja di lingkungan kesehatan (dokter, perawat) dan menderita penyakit kronik seperti diabetes melitus, asma. Imunisasi rubela diberikan pada wanita usia subur (tidak sedang mengandung) terutama pada mereka dengan seronegatif. HPV Mulai umur 10 tahun anak perempuan perlu diberikan imunisasi HPV, untuk mencegah infeksi HPV yang menetap lama (persisten) pada leher rahim yang dapat berkembang menjadi kanker leher rahim.
Tabel 4.8. Ringkasan imunisasi yang diperlukan pada masa remaja dan dewasa Indikasi
Imunisasi
Vaksin Kontra indikasi
Perlu 3 dosis Hepatitis B Individu berisikoAdolesen: 1/2 dosis dewasa Reaksi Diberikan 2 anafilaktik Remaja belum pernah mendapatkan imunisasi kali (usia 1119 tahun) Cacat mental Hemodialisis
Remaja yang belum pernah imunisasi Pekerja kontak
Remaja/ dewasa yang sudah imun: 2 dosis IPV IPV: reaksi anafilaktik dengan interval 4-8 setelah dosis
kontak dengan pasien polio Dewasa yang belum imun & anaknya diberikan OPV
Polio (IPV atau OPV)
Varisela
interval 4-8 sebelumnya minggu. Alergi Dosis ke-3: terhadap 6-12 bulan. streptomisin, polimiksin B, Bagi yang neomisin belum imun diberikan dosis imunisasi dasar
Semua usia yang
belum vaksinasi /sakit Seronegatif Guru TK, petugas TPA, mahasiswa kedokteran Wanita usia subur yang tidak hamil Individu yang seringkali ke luar negeri
<13th: 1 dosis 13 tahun: 2 dosis interval 4-8 minggu Dosis: 0,5 ml (s.k)
Alergi anafilaktik terhadap gelatin/ neomisin Menderita TB aktif Mendapatkan terapi imunosupresif Imunodefisiensi Menderita kelainan kongenital Wanita hamil
Vaksin Indikasi
Imunisasi
Kontra indikasi Tinggal di daerah endemik Mengidap peny.
Hepatitis A
Dosis 2 kali, selang 6-1 2 kronik bulan Dewasa: 1,0 ml Mengidap
Peka terhadap aluminium & bahan
gangguan pengawet Usia 2-1 7 tahun: pembekuan 0,5ml darah Petugas saji/memasak Homoseksual DTP /dT • Semua orang dewasa 2 dosis selang 4-6 minggu
Mempunyai penyakit
Semua orang dewasa 2 dosis selang 4-6 minggu Remaja 11 -12th/ Dosis: 0,5 ml (i.m)
syaraf Hypersensitif
Booster setiap 10 tahun 14-16 tahun apabila 5 tahun sebelumnya belum mendapat DTP/dT berat Petugas kesehatan Usia > 6 bulan dengan Influenza •kardiovaskular/paru kronik termasuk asma Usia > 6 Dosis: 0,5 ml (i.m) •bulan dengan peny metabolik (diabetes), ggn Anafilaksis Diberikan •fungsi ginjal, terhadap telur hemolobinopati. defisiensi sekali • •imun Ibu hamil trimester 2-3 setiap tahun (saat outbreak) Usia 50 •tahun ke-atas Usia 6 bln18 thn mendapat terapi aspirin jangka panjang
Vaksin Indikasi
Imunisasi
Kontra indikasi Usia 65 tahun ke-atas Anak >2 tahun dengan penyakit kardiovaskular/Perlu 1 paru kronik, dosis termasuk Dosis: 0,5 gagal jantung ml kongestif, sakit (i.m/s.k) hati kronik. Dosis keHati-hati iabetes, 2 perlu pada alkohol, hamil kardiomiopati, pada risiko trimester COPD atau pertama emfisema Usia tinggi sedikitnya > 2 tahun 5 tahun dengan gangguan fungsi limpa, setelah penyakit darah suntikan pertama berat. gagal ginjal, transplantasi organ, mengidap HIV
Pneumokokus
Rubela
• Khusus wanita yang
belum mendapatkan imunisasi rubela Mereka dengan risiko paparan penyakit rubela
Campak Remaja/ dewasa & Memiliki risiko Gondongtinggi an (MMR)
2 dosis selang 1 bln
Terapi imunosupresif Hamil
Dosis: 0,5ml, sub TB aktif kutan
Wanita yang belum/ tidak terinfeksi HPV: Semua wanita usia 10-26 tahun Semua wanita usia 26-55 tahun dengan hasil pap smear (-)
Diberikan dalam 3 kali pemberian, pada bulan 0, (1-2), 6 bulan secara intramuskular. Tidak diperlukan booster.
Hamil Hipersensitivitas
Daftar Pustaka 1. Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), CDC, 12/14/2001 2. Departemen Kesehatan R.I. Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004. Jakarta, Depkes & Kesos, 2004. 3. Grabenstein JD. ImmunoFacts Vaccines and Immunologic Drugs. St. Louis:Wolter Kluwer Health, Inc. 2006. 4. Harold Margolis, MD. and LindaMoyer. RN. VACCINATEADULTS, Spring/Summer 2000, Ask the Experts. http//www.immunize,org/va/ va6exprt.htm 5. Pickering LK, penyunting : American Academy of Pediatrics. Red Book. Report Committee on Infectious Diseases. Edisi ke-27. Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics. 2006. 6. Watson C., penyunting: National Health and Medical Research Council. The Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC. 2008. 7. William L. Atkinson.MD.RN. Vaccinate adults. Spring/Summer 2000, Ask the Experts. http//www. immunize.org/va/va6exprt.htm
Bab V Vaksin pada Program Pengembangan Imunisasi (PPI) Bab 5-1. Tuberkulosis (BCG) 5-2. Hepatitis B 5-3. Difteria, tetanus, pertusis (DTP) 5-4. Poliomielitis 5-5. Campak Pen gantar Terdapat tujuh antigen yang termasuk dalam vaksin PPI. Cakupan vaksin PPI di Indonesia telah mencapai lebih dari 80% kecuali hepatitis B ketiga. Sesuai kesepakatan global, perlu diingat bahwa cakupan vaksin PPI harus dipertahankan tetap tinggi di seluruh pelosok negeri sebelum pemerintah memutuskan untuk menambahkan vaksin lain dalam PPI. Imunisasi BCG, walaupun saat ini diragukan manfaatnya WHO tetap menganjurkan pemberian BCG sampai dihasilkan vaksin tuberkulosis yang baru. Vaksin hepatitis untuk bayi baru lahir sangat dianjurkan untuk Indonesia yang termasuk negara endemik tinggi hepatitis B. Untuk mengurangi KIPI vaksin DTwP, vaksin DTaP telah banyak digunakan. Vaksin DTwP/DTaP
dapat diberikan secara tunggal (mono valen) maupun kombinasi dengan vaksin lain (dengan hepatitis B atau Hib). Demikian pula vaksin polio oral maupun suntikan (inaktif) dapat diberikan sebagai vaksin monovalen maupun kombinasi. Imunisasi ulangan (penguat) vaksin campak diberikan pada saat masuk sekolah dasar, namun apabila telah diberikan MMR pada umur setelah 15 bulan maka ulangan campak tidak diperlukan lagi.
Bab V-1 Tuberkulosis Nastiti N.Rahajoe Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium bovis. Tuberkulosis paling sering mengenai paruparu, tetapi dapat juga mengenai organ-organ lainnya seperti selaput otak, tulang, kelenjar superfisialis, dan lain-lain. Seseorang yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis tidak selalu menjadi sakit tuberkulosis aktif. Beberapa minggu (2-12 minggu) setelah infeksi Mycobacterium tuberculosis terjadi respons imunitas selular yang dapat ditunjukkan dengan uji tuberkulin. Epidemiologi WHO report on tuberculosis epidemics tahun 1997 memperkirakan terdapat 7.433.000 kasus TB di dunia dan terbanyak di Asia Tenggara. Dalam data jumlah kasus TB, Indonesia merupakan tiga besar di dunia. Berdasarkan Survei 1979-1982 didapat prevalensi TB BTA (+) sebesar 0,29%. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1980 dan 1986 mendapatkan bahwa TB adalah penyebab kematian ke empat. Sementara itu, SKRT 1992 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematian ke dua di negara kita, sesudah penyakit kardiovaskular. Dari penelitian di 6 propinsi antara tahun 1983 – 1993 diperoleh angka prevalensi antara 0,21% (DI Yogyakarta) dan 0,65% (NTB dan DI Aceh). WHO memperkirakan bahwa di Indonesia setiap tahunnya terjadi 175.000 kematian akibat TB, dan terdapat 450.000 kasus TB baru setiap tahunnya. Tiga perempat dari kasus TB ini berusia 15-49 tahun, separuhnya tidak terdiagnosis dan baru sebagian kasus tercakup dalam program pemberantasan tuberkulosis yang dilaksanakan pemerintah.
Berdasarkan perhitungan DALY (disability adjusted life year) yang diperkenalkan oleh world bank, TB merupakan 7,87% dari total disease burden di Indonesia. Angka 7,7% ini lebih tinggi dari berbagai negara di Asia lain sekitar 4%. Belum diketahui prevalens TB pada anak., namun di berbagai rumah sakit di Indonesia angka perawatan TB berat (TB milier, meningitis TB) masih tinggi. Vaksin BCG (Bacille Calmette-Guerin) Bacille Calmette-Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis yang dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga didapatkan basil yang tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas. Vaksinasi BCG menimbulkan sensitivitas terhadap tuberkulin. Masih banyak perbedaan pendapat mengenai sensitivitas terhadap tuberkulin yang terjadi berkaitan dengan imunitas yang terjadi. Vaksin yang dipakai di Indonesia adalah vaksin BCG buatan PT. Biofarma Bandung. Vaksin BCG berisi suspensi M. bovis hidup yang sudah dilemahkan. Vaksinasi BCG tidak mencegah infeksi tuberkulosis tetapi mengurangi risiko terjadi tuberkulosis berat seperti meningitis TB dan tuberkulosis milier. Vaksin BCG diberikan pada umur <2 bulan, sebaiknya pada anak dengan uji Mantoux (tuberkulin) negatif. Efek proteksi timbul 8–12 minggu setelah penyuntikan. Efek proteksi bervariasi antara 0– 80%, berhubungan dengan berhubungan dengan beberapa faktor yaitu mutu vaksin yang dipakai, lingkungan dengan Mycobacterium atipik atau faktor pejamu (umur, keadaan gizi dan lain-lain). Vaksin BCG diberikan secara intradermal 0,10 ml untuk anak, 0,05 ml untuk bayi baru lahir. Vaksin BCG tidak boleh terkena sinar matahari, harus disimpan pada suhu 2-8° C, tidak boleh beku. Vaksin yang telah diencerkan harus dipergunakan dalam waktu 8 jam.
Tuberkulosis Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Vaksinasi BCG Penyuntikan BCG secara intradermal akan menimbulkan ulkus lokal yang superfisial 3
minggu setelah penyuntikan. Ulkus tertutup krusta, akan sembuh dalam 2-3 bulan, dan meninggalkan parut bulat dengan diameter 4-8 mm. Apabila dosis terlalu tinggi maka ulkus yang timbul lebih besar, namun apabila penyuntikan terlalu dalam maka parut yang terjadi tertarik ke dalam (retracted). Limfadenitis Limfadenitis supuratif di aksila atau di leher kadang-kadang dijumpai setelah penyuntikan BCG. Hal ini tergantung pada umur anak, dosis, dan galur (strain) yang dipakai. Limfadenitis akan sembuh sendiri, jadi tidak perlu diobati. Apabila limfadenitis melekat pada kulit atau timbul fistula maka dapat dibersihkan (dilakukan drainage) dan diberikan obat anti tuberkulosis oral. Pemberian obat anti tuberkulosis sistemik tidak efektif. BCG-itis diseminasi BCG-itis diseminasi jarang terjadi, seringkali berhubungan dengan imunodefisiensi berat. Komplikasi lainnya adalah eritema nodosum, iritis, lupus vulgaris dan osteomielitis. Komplikasi ini harus diobati dengan kombinasi obat anti tuberkulosis. Kontraindikasi BCG Reaksi uji tuberkulin >5 mm, Menderita infeksi HIV atau dengan risiko tinggi infeksi HIV, imunokompromais akibat pengobatan kortikosteroid, obat imuno-supresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit keganasan yang mengenai sumsum tulang atau sistem limfe, Menderita gizi buruk, Menderita demam tinggi,
Menderita infeksi kulit yang luas, Pernah sakit tuberkulosis, Kehamilan. Rekomendasi BCG diberikan pada bayi <2 bulan Pada bayi yang kontak erat dengan pasien TB dengan bakteri tahan asam (BTA) +3 sebaiknya diberikan INH profilaksis dulu, apabila pasien kontak sudah tenang bayi dapat diberi BCG. BCG jangan diberikan pada bayi atau anak dengan imuno defisiensi, misalnya HIV, gizi buruk dan lain-lain. Daftar Pustaka 1. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial RI. Gerakan terpadu nasional penanggulangan tuberkulosis nasional (Gerdunas TB). Jakarta: Depkes & Kesos, 2000. 2. Global tuberculosis control - surveillance, planning, financing. WHO Report 2006. WHO/HTM/TB/2006.362 (http://www.who.int/tb/publications /global_report/2006/ pdf/full_report_correctedversion.pdf). 3. CDC. Guidelines for preventing the transmission of Mycobacterium tuberculosis in healthcare settings, 2005. MMWR Recommendation Report. 2005;54(RR-17). 4. CDC. Guidelines for the investigation of contacts of persons with infectious tuberculosis: Recommendations from the National Tuberculosis Controllers Association and CDC — MMWR Recommendation Report. 2005;54(RR-15):1-37. 5. WHO. Tuberculosis and Air Travel: Guidelines for Prevention and Control (second edition). WHO 2006. WHO/HTM/TB/2006.363 (http://whqlibdoc.who.int/hq/2006/ WHO_HTM_TB_2006.363_eng.pdf) 6. CDC. The Role of BCG vaccine in the prevention and control of tuberculosis in the United States. (ACET and ACIP). MMWR Recomm Rep. 1996;45(RR-4). 7. American Thoracic Society, CDC, and Infectious Disease Society of America. Treatment of tuberculosis. MMWR Recommendation Report. 2003;52(RR-11).
Bab V-2 Hepatitis B Boerhan Hidayat, Purnamawati S Pujiarto Infeksi virus hepatitis B (VHB) menyebabkan sedikitnya satu juta kematian/tahun. Saat
ini terdapat 350 juta penderita kronis dengan 4 juta kasus baru/tahun. Infeksi pada anak umumnya asimtomatis tetapi 80-95% akan menjadi kronis dan dalam 10-20 tahun akan menjadi sirosis dan/atau karsinoma hepatoselular (KHS). Di negara endemis, 80% KHS disebabkan oleh VHB. Risiko KHS ini sangat tinggi bila infeksi terjadi pada usia dini. Di lain pihak, terapi antivirus belum mernuaskan, terlebih pada pengidap yang terinfeksi secara vertikal atau pada usia dini. Di kawasan yang prevalens infeksi VHBnya tinggi, infeksi terjadi pada awal masa kanak-kanak baik secara vertikal maupun horisontal. OIeh karena itu, kebijakan utama tata laksana VHB adalah memotong jalur transmisi sedini mungkin. Vaksinasi universal bayi baru lahir merupakan upaya yang paling efektif dalarn menurunkan prevalens VHB dan KHS. Epidemiologi Indonesia termasuk daerah endemis sedang-tinggi. Prevalens HBsAg pada donor (1994) adalah 9.4% (2.50 - 36.17%), dan pada Ibu hamil 3.6% (2.1 -6.7%). Pen u laran Semua orang yang mengandung HBsAg positif potensial infeksius. Transmisi terjadi melalui kontak perkutaneus atau parenteral, dan melalui hubungan seksual. Transmisi antar anak merupakan modus
yang sering terjadi di negara endemis VHB. VHB dapat melekat dan bertahan di permukaan suatu benda selama kurang lebih 1 minggu tanpa kehilangan daya tular. Darah bersifat infeksius beberapa minggu sebelum awitan, menetap selama fase akut berlangsung. Daya tular pasien VHB kronis bervariasi, sangat infeksius bila HBeAg positif. Kelompok yang rentan terhadap infeksi VHB Pada dasarnya, individu yang belum pernah imunisasi hepatitis B atau yang tidak memiliki antibodi anti-HBs, potensial terinfeksi VHB. Risiko kronisitas dipengaruhi oleh faktor usia saat yang bersangkutan terinfeksi. Kronisitas dialami oleh 90% bayi yang terinfeksi saat lahir, oleh 25-50% anak yang terinfeksi usia 1-5 tahun, dan oleh 1-5% anak besar dan orang dewasa.Infeksi VHB juga umumnya akan menjadi kronis bila mengenai pada individu dengan defisiensi imun, baik kongenital maupun didapat (infeksi HIV, terapi imunosupresi, hemodialisis). Pencegahan Pencegahan merupakan upaya terpenting karena paling cost-effec tive. Secara garis besar, upaya pencegahan terdiri dan preventif umum dan khusus yaitu imunisasi VHB pasif dan aktif. Umum. Selain uji tapis donor darah, upaya pencegahan umum mencakup sterilisasi instrumen kesehatan, alat dialisis individual, membuang jarum disposable ke tempat khusus, dan pemakaian sarung tangan oleh tenaga medis. Mencakup juga penyuluhan perihal safe sex, penggunaan jarum suntik disposable, mencegah kontak mikrolesi (pemakaian sikat gigi, sisir), menutup luka. Selain itu, idealnya skrining ibu hamil (trimester ke-1 dan ke-3, terutama ibu risiko tinggi) dan skrining populasi risiko tinggi (lahir di daerah hiperendemis dan belum pernah imunisasi, homo-heteroseksual, pasangan seks ganda, tenaga medis, pasien dialisis, keluarga pasien VHB, kontak seksual dengan pasien VHB).
Khusus. Program imunisasi universal bayi baru lahir berhasil menurunkan prevalens infeksi VHB dan KHS di Taiwan, Gambia, Alaska, Polynesia. Imunisasi Pasif Hepatitis B immune globulin (HBIg) dalam waktu singkat segera memberikan proteksi meskipun hanya untuk jangka pendek (3-6 bulan).1,5,14 HBIg hanya diberikan pada kondisi pasca paparan (needle stick injury, kontak seksual, bayi dan ibu VHB, terciprat darah ke mukosa atau ke mata). Sebaiknya HBIg diberikan bersama vaksin VHB sehingga proteksinya berlangsung lama. Tabel 5.1. Kebijakan imunisasi pada needle stick injury Kontak yg terpapar(+))
Tatalaksana bila sumber penularan HBsAg
HBsAg
Imunisasi (-) atau
HBIg & vaksin
Vaksin atau periksa Periksa anti HBs bila tergolong risiko tinggi *
Imunisasi (+) Tidak perlu Responder profilaksis Imunisasi (+) HBIg 2x (jarak 1 bulan) atau Non responder HBIg & vaksin
anti HBs bila tergolong
risiko tinggi
Tidak perlu profilaksis Bila sumber penularan risiko tinggi VHB, perlakukan seperti HBsAg + (*)
Ket: HBIg (0,06 ml/kg; maksimum 5 ml) dalam 48 jam pertama setelah kontak Bila sumber penularan needle stick injury HBsAg-HBeAg positif, maka 22%-31% kontak mengalami hepatitis akut dan 37%-61% mengalami sero-evidence infeksi VHB (Tabel 5.1). Kebijakan kontak seksual tergantung kondisi sumber penularan (Tabel 5.2).
Kontak yg terpapar Imunisasi (-) atau anti HBs
Sumber Penularan : VHB Akut HBIg 0,06 ml/kg atau HBIg vaksin atau Periksa anti HBs bila risiko tinggi
Sumber Penularan: Carrier HBIg dan Vaksin atau periksa anti HBs bila tergolong risiko tinggi
Imunisasi (+)
Tidak periu profilaksis Tidak perlu profilaksis
Lupa : periksa anti HBs
Anti HBs(-): HBIg & vaksin
Anti HBs(-): HBIg & vaksin
Keterangan: HBIg (0,06 ml/kg; maksimum 5 ml) dalam waktu < 14 hari sesudah kontak terakhir
Pada bayi dan ibu VHB, HBIg (0,5 ml) diberikan bersama vaksin di sisi tubuh berbeda, dalam waktu 12 jam setelah lahir. Efektivitas proteksinya (85%-95%) dalam mencegah infeksi VHB dan kronisitas. Bila yang diberikan hanya vaksin VHB, tingkat efektivitasnya 75%. Imunisasi aktif Vaksin VHB yang tersedia adalah vaksin rekombinan Pemberian ketiga seri vaksin dan dengan dosis yang sesuai rekomendasinya, akan menyebabkan terbentuknya respons protektif (anti HBs ≥ 10 mIU/mL) pada > 90% dewasa, bayi, anak dan remaja. Vaksin diberikan secara intramuskular dalam. Pada neona tus dan bayi diberikan di anterolateral paha, sedangkan pada anak besar dan dewasa, diberikan di regio deltoid. Siapa yang harus mendapat imunisasi hepatitis B? Semua bayi baru lahir tanpa memandang status VHB ibu Individu yang karena pekerjaannya berisiko tertular VHB Karyawan di lembaga perawatan cacat mental Pasien hemodialisis
Pasien koagulopati yang membutuhkan transfusi berulang Individu yang serumah dengan pengidap VHB atau kontak akibat hubungan seksual Drug users Homosexuals, bisexual, heterosexuals Jadwal dan dosis. Pada dasarnya, jadwal imunisasi hepatitis B sangat fleksibel sehingga tersedia berbagai pilihan untuk menyatukannya ke dalam program imunisasi terpadu. Namun demikian ada beberapa hal yang perlu diingat. Minimal diberikan sebanyak 3 kali Imunisasi pertama diberikan segera setelah lahir Jadwal imunisasi yang dianjurkan adalah 0,1,6 bulan karena respons antibodi paling optimal Interval antara dosis pertama dan dosis kedua minimal 1 bulan. Memperpanjang interval antara dosis pertama dan kedua tidak akan mempengaruhi imunogenisitas atau titer antibodi sesudah imunisasi selesai (dosis ketiga). Dosis ketiga merupakan penentu respons antibodi karena merupakan dosis booster. Semakin panjang jarak antara imunisasi kedua dengan imunisasi ketiga (4 - 12 bulan), semakin tinggi titer antibodinya. Bila sesudah dosis pertama, imunisasi terputus, segera berikan imunisasi kedua. Sedangkan imunisasi ketiga diberikan dengan jarak terpendek 2 bulan dari imunisasi kedua. Bila dosis ketiga terlambat, diberikan segera setelah memungkinkan. Setiap vaksin hepatitis B sudah dievaluasi untuk menen tukan dosis sesuai umur (age-specific dose) yang dapat menim bulkan respons antibodi yang optimum. Oleh karena itu, dosis yang direkomendasikan bervariasi tergantung produk dan usia resipien. Sedangkan dosis pada bayi, dipengaruhi pula oleh status HBsAg ibu. Pasien hemodialisis membutuhkan dosis yang lebih besar atau penambahan jumlah suntikan.
Tabel 5.3. Imunisasi hepatitits B pada bayi baru lahir. HBsAg ibu Imunisasi
keterangan Positif
ml) dan
Vaksin HB Negatif atau tidak diketahui*
HBIg (0.5
Dosis 1: <12 jam pertama Vaksin HB
Dosis I: Segera setelah lahir
Status HBV ibu semula tidak diketahui tetapi bila dalam 7 hari terbukti ibu HBV, segera beri HBIg
Pada pasien koagulopati penyuntikan segera setelah memperoleh terapi faktor koagulasi, dengan jarum kecil (no ≤ 23). tempat penyuntikan ditekan minimal 2 menit. Bayi prematur: bila ibu HBsAg (-) imunisasi ditunda sampai bayi berusia 2 bulan atau berat badan sudah mencapal 2 kg. Catch up immunization. Merupakan upaya imunisasi pada anak atau remaja yang belum pernah diimunisasi atau terlambat > dari 1 bulan dari jadwal yang seharusnya. Khusus pada imunisasi hepatitis B, imunisasi catch up ini diberikan dengan interval minimal 4 minggu antara dosis pertama dan kedua, sedangkan interval antara dosis kedua dan ketiga minimal 8 minggu atau 16 minggu sesudah dosis pentama.19 Efektivitas, lama proteksi. Efektivitas vaksin dalam mencegah infeksi VHB adalah 90%-95%. Memori sistem imun menetap minimal sampai 12 tahun pasca imunisasi sehingga pada anak normal, tidak dianjurkan untuk imunisasi booster.5,12,17,18 Pada pasien hemodialisis, proteksi vaksin tidak sebaik individu normal dan mungkin hanya berlangsung selama titer anti HBs ≥ 10 mIU/ml. Pada kelompok ini dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan anti HBs setiap tahun dan booster diberikan bila anti HBs turun menjadi <10 mIU/ml.
Non responder. Mereka yang tidak memberikan respons terhadap imunisasi primer, diberikan vaksinasi tambahan (kecuali bila HBsAg positif). Tambahan satu kali vaksinasi menyebabkan 15%-25% non responder memberikan respons antibodi yang adekuat. Bila vaksinasi diulang 3 kali, sampai dengan 40% dapat memben tuk antibodi yang adekuat. Bila sesudah 3 kali vaksinasi tambahan tidak terjadi serokonversi, tidak perlu imunisasi tambahan lagi. Uji serologis. Pada bayi-anak, pemeriksaan anti-HBs pra dan pas-ca imunisasi tidak dianjurkan. Uji serologis pra imunisasi hanya dilakukan pada yang akan memperoleh profilaksis pasca paparan dan individu berisiko tinggi tertular infeksi HBV. Uji serologi pas-ca irnunisasi perlu dilakukan pada bayi dan ibu pengidap VHB, individu yang memperoleh profilaksis pasca paparan, dan pasien imunokompromis. Uji serologis, pasca imunisasi ini dilakukan 1 bulan sesudah imunisasi ke-3. Reaksi KIPI. Efek samping yang terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang ringan dan bersifat sementara. Kadang-kadang dapat menimbulkan demam ringan untuk 1-2 hari. Indikasi kontra. Sampai saat ini tidak ada indikasi kontra abolut pemberian vaksin VHB. Kehamilan dan laktasi bukan indikasi kontra imunisasi VHB. Daftar Pustaka 1. WHO. Department of Communicable Diseases Surveillance and Response. Hepatitis B. 2002. 2. Balistreri W. Acute and chronic viral hepatitis. Dalam: Suchy FJ, penyunting. Liver Disease in children, edisi ke-2, St. Louis: Mosby, 2000: 460-509. 3. American Academy of Pediatrics. Hepatitis A, B, C, and E. Dalam Peter G, Hall CB, Halsey NA, Marcey SM. Pickering LK, penyunting. 2000 Red Book. Report of the committee on infectious diseases, edisi ke-25, 2000: 237- 63. 4. LokASF danMcMahonBJ. Chronic hepatitis B. AASLD Practice Guidelines. Hepaatol 2001; 34 (6): 1225 -41.
5. CDC. Recommended childhood and adolescent immunization schedule. MMWR 2003, 52(4): Q1-4. 6. Mast E, Mahoney F, Kane M, et al. Hepatitis B vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, editors. Vaccines. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004. 7. CDC. Updated U.S. Public Health Service guidelines for the management of occupational exposures to HBV, HCV and HIV and recommendations for postexposure prophylaxis. MMWR Morbidity Mortality Weekly Report. 2001;50(RR11):1-54. 8. CDC. A Comprehensive Immunization Strategy to Eliminate Transmission of Hepatitis B Virus Infection in the United States. Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) Part 1: Immunization of Infants, Children, and Adolescents. MMWR Morbidity Mortality Weekly Report. 2005;54(RR16);1-23 9. European Consensus Group on Hepatitis B Immunity. Are booster immunisations needed for lifelong hepatitis B immunity? Lancet. 2000;355:561-5. 10. Lok AS, McMahon BJ; Practice Guidelines Committee, American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD). Chronic hepatitis B: update of recommendations. Hepatology.
of Liver Diseases (AASLD). Chronic hepatitis B: update of recommendations. Hepatology. 2004:39:857-61.
Bab V-3 Difteria, Tetanus, Pertusis (DTP) Qla* . QumuelaAa, Q5ri RexeAi Q5. Qadi*egoio Difteria Difteria adalah suatu penyakit akut yang bersifat toxin-mediated disease dan disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Nama kuman ini berasal dari bahasa Yunani cfyo/jferayang berarti leather hide. Penyakit ini diperkenalkan pertama kali oleh Hyppocrates pada abad ke 5 SM dan epidemi pertama dikenal pada abad ke-6 oleh Aetius. Bakteri ini ditemukan pertama kali pada pseudo membran pasien difteria tahun 1883 oleh Klebs. Anti-toksin ditemukan pertama kali pada akhir abad ke 19 sedang toksoid dibuat sekitar tahun 1920. Corynebacterium diphteriae adalah basil Gram positif. Produksi toksin terjadi hanya bila kuman tersebut mengalami lisogenisasi oleh bakteriofag yang mengandung informasi genetik toksin. Hanya galur toksigenik yang dapat menyebabkan penyakit berat. Ditemukan 3 galur bakteri yaitu, gravis, intermedius dan mitis dan semuanya dapat memproduksi toksin, tipe gravis adalah yang paling virulen. Seseorang anak dapat terinfeksi difteria pada nasofaringnya dan kuman tersebut kemudian akan memproduksi toksin yang menghambat sintesis protein selular dan menyebabkan destruksi jaringan setempat dan terjadilah suatu selaput/membran yang dapat menyumbat jalan nafas. Toksin yang terbentuk pada membran tersebut kemudian diabsorbsi ke dalam aliran darah dan dibawa ke seluruh tubuh. Penyebaran toksin ini berakibat komplikasi berupa miokarditis dan neuritis, serta trombositopenia dan proteinuria. Pada dasarnya semua komplikasi difteria, termasuk kematian merupakan akibat langsung dari toksin difteria. Beratnya penyakit dan komplikasi biasanya tergantung dari luasnya kelainan lokal.
Angka kematian difteria sangat tinggi, dan kematian tertinggi pada kelompok usia di bawah lima tahun. Anti-toksin untuk difteria pertama kali dibuat dari serum kuda di Amerika Serikat pada tahun 1891. Pemberian antitoksin ini dimaksudkan untuk mengikat toksin yang beredar dalam darah, dan tidak dapat menetralisasi toksin yang sudah terikat pada jaringan tertentu. Pasien dengan dugaan difteria harus segera mendapatkan pengobatan antitoksin dan antibiotik dengan dosis yang tepat dan dirawat dengan teknik isolasi ketat. Terapi penunjang untuk membantu pernafasan dan pembebasan jalan perlu diberikan segera bila diperlukan. Pertusis Pertusis atau batuk rejan/batuk seratus hari adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis. Ledakan kasus pertusis pertama kali terjadi sekitar abad 16, menurut laporan Guillaume De Baillou pada tahun 1578 di Paris dan kuman itu baru dapat diisolasi pada tahun 1906 oleh Jules Bordet dan Octave Gengou. Sebelum ditemukan vaksinnya, pertusis merupakan penyakit tersering yang menyerang anak dan merupakan penyebab utama kematian (diperkirakan sekitar 300.000 kematian terjadi setiap tahun). Bordetella pertussis adalah bakteri batang yang bersifat gram negatif dan membutuhkan media khusus untuk isolasinya. Kuman ini menghasilkan beberapa antigen antara lain toksin pertusis (PT),filament hemagglutinin (FHA), pertactine aglutinogen fimbriae, adenil siklase, endotoksin, dan trakea sitotoksin. Produk toksin ini berperan dalam terjadinya penyakit pertusis dan kekebalan terhadap satu atau lebih komponen toksin tersebut akan menyebabkan serangan penyakit yang ringan (label 13). Terdapat bukti bahwa kekebalan terhadap B. pertussis tidak bersifat permanen.
Pertusis juga merupakan penyakit yang bersifat toxin-mediated, toksin yang dihasilkan (melekat pada bulu getar saluran nafas atas) akan melumpuhkan bulu getar tersebut sehingga menyebabkan gangguan aliran sekret saluran pernafasan, berpotensi menyebabkan sumbatan jalan napas dan pneumonia. Tabel 5.4. Peran aktifitas biologik & antibodi komponen toksin B.pertussis
Komponen toksinAktifitas biologik
Peran antibodi Pertusis toxin
Memproduksi eksotoksin (PT)
Mencegah kerusakan saluran
Sensitisasi histamin
nafas dan intraserebral
pada binatang percobaan. Mencegah gejala klinis pada Limfositosis Aktifasi sel pankreas Merangsang sistem imun Filamentous untuk
Memegang peran
Mencegah kerusakan saluran
hemagglutinin (FHA)
melekatnya B. pertussis pada sel epitel saluran
nafas
nafas tetapi tidak berperan intra serebral pada binatang
percobaan Pertactine 69-
Nonfimbrial kDa OMP
Memicu pencegahan agglutinogen,
infeksi pada saluran nafas berhubungan dengan
kerja adenylcyclase
oleh 6. pertussis (binatang
percobaan)
Aglutinogen
Surface antigen
berhubungan dengan fimbriae untuk melekatnya B. pertussis pada sel epitel
Memicu pencegahan infeksi pada saluran nafas oleh B. pertussis (binatang percobaan)
Adenylcyclase Menghambat fungsi fagositosis
Belum diketahui Tracheal
ciliary
Menyebabkan
Belum diketahui
cytotoxin
stasis dan cytopathic effects pada mukosa trakea Sumber: Centre for Disease Control,
1994.
Gejala utama pertusis timbul saat terjadinya penumpukan lendir dalam saluran nafas akibat kegagalan aliran oleh bulu getar yang lumpuh yang berakibat terjadinya batuk paroksismal tanpa inspirasi yang diakhiri dengan bunyi whoop. Pada serangan batuk seperti ini, pasien akan muntah dan sianosis, menjadi sangat lemas dan kejang. Keadaan ini dapat berlanjut antara 1 sampai 10 minggu. Bayi di bawah 6 bulan dapat menderita batuk namun tanpa disertai suara whoop. Bayi dan anak prasekolah mempunyai risiko terbesar untuk terkena pertusis termasuk komplikasinya. Komplikasi utama yang sering ditemukan adalah pneumonia bakterial, gangguan neurologis berupa kejang dan ensefalopati akibat hipoksia. Komplikasi ringan yang sering ditemukan adalah otitis media, anoreksia, dehidrasi, dan juga akibat tekanan intraabdominal yang meningkat saat batuk antara lain epistaksis, hernia, perdarahan konjungtiva, pneumotoraks dan lainnya. Pengobatan pertusis secara kausal dapat dilakukan dengan antibiotik khususnya eritromisin, dan pengobatan suportif terhadap gejala batuk yang berat. Pemberian pengobatan eritromisin untuk pencegahan pada kontak pertusis dapat dilakukan untuk mengurangi penularan. Tetanus
Tetanus adalah penyakit akut, bersifat fatal, gejala klinis disebabkan oleh eksotoksin yang diproduksi bakteri Clostridium tetani. Gejala tetanus sudah mulai dikenal sejak abad ke 5 SM, namun baru pada tahun 1884 dibuktikan secara eksperimental melalui penyuntikan pus pasien tetanus pada seekor kucing oleh Carle dan Rattone. Pembuktian bahwa toksin tetanus dapat dinetralkan oleh suatu zat dilakukan oleh Kitasato (1889), sedang Nocard (1897) mendemonstrasikan efek dari transfer pasif anti toksin yang kemudian diikuti oleh imunisasi pasif selama perang dunia I. Toksoid tetanus kemudian ditemukan pada tahun 1924 oleh
Descombey dan efektifitas imunisasi aktif didemonstrasikan pada perang dunia ke II. Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang dan bersifat anaerobik, gram positif yang mampu menghasilkan spora dengan bentuk drumstick. Kuman ini sensitif terhadap suhu panas dan tidak bisa hidup dalam lingkungan beroksigen. Sebaliknya, spora tetanus sangat tahan panas, dan kebal terhadap beberapa antiseptik. Spora tetanus dapat tetap hidup dalam autoklaf bersuhu 121 °C selama 10-15 menit. Kuman tetanus terdapat di dalam kotoran dan debu jalan, usus dan tinja kuda, domba, anjing, kucing, tikus dan lainnya. Kuman tetanus masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka dan dalam suasana anaerob, kemudian menghasilkan toksin (tetanospasmin) dan disebarkan melalui darah dan limfe. Toksin tetanus kemudian akan menempel pada reseptor di sistem syaraf. Gejalautama penyakit initimbul akibat toksin tetanus mempengaruhi pelepasan neurotransmitter, yang berakibat penghambatan impuls inhibisi. Akibatnya terjadi kontraksi serta spastisitas otot yang tak terkontrol, kejang dan gangguan sistim syaraf otonom. Tetanus selain dapat ditemukan pada anak-anak, juga dijumpai kasus tetanus neonatal yang bersifat fatal. Komplikasi tetanus yang sering terjadi antara lain laringospasme, infeksi nosokomial, dan pneumonia ortostatik. Pada anak besar sering terjadi hiperpireksi yang merupakan tanda tetanus berat. Perawatan luka, kesehatan gigi, telinga (OMSK) merupakan pencegahan utama terjadinya tetanus disamping imunisasi terhadap tetanus baikaktif maupun pasif. Vaksin DTP Toksoid difteria Antitoksin difteria pertama kali diberikan pada anaktahun 1891 dan diproduksi secara komersial tahun 1892. Penggunaan kuda sebagai sumber anti toksin dimulai tahun 1894. Pada mulanya anti toksin
difteria ini digunakan sebagai pengobatan dan efektifitasnya sebagai pencegahan diragukan. Banyak penelitian membuktikan bahwa efikasi pemberian anti toksin untuk pengobatan difteria terutama dengan mencegah terjadinya toksisitas terhadap kardiovaskular. Pemberian antitoksin dini sangat mempengaruhi angka kematian akibat difteria, sesuai laporan bahwa 1%-4% kematian terjadi pada kelompok yang menerima antitoksin pada hari pertama dibandingkan dengan 15%-20% kematian pada kelompok yang mendapatkan antitoksin pada hari ke-7 atau lebih. Era pencegahan difteria dimulai dengan membuat kombinasi toksin dan antitoksin sebagai ramuan imunisasi, yang ternyata tidak efektif. Vaksinasi DTP Untuk imunisasi primer terhadap difteria digunakan toksoid difteria (alum-precipitated toxoid) yang kemudian digabung dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis dalam bentuk vaksin DTP. Vaksin DTP Potensi toksoid difteria dinyatakan dalam jumlah unit flocculate (Lf) dengan kriteria 1 Lf adalah jumlah toksoid sesuai dengan 1 unit anti toksin difteria. Kekuatan toksoid difteria yang terdapat dalam kombinasi vaksin DTP saat ini berkisar antara 6,7-25 Lf dalam dosis 0,5 ml. Jadwal Jadwal untuk imunisasi rutin pada anak, dianjurkan pemberian 5 dosis pada usia 2, 4, 6,15-18 bulan dan usia 5 tahun atau saat masuk sekolah. Dosis ke-4 harus diberikan sekurangkurangnya 6 bulan setelah dosis ke-3. Kombinasi toksoid difteria dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap pemberian vaksin pertusis
Setelah mendapatkan 3 dosis toksoid difteria semua anak rata-rata memberikan titer
lebih besar dari 0.01 IU dalam 1 ml (nilai batas protektif 0.01 IU). Dalam penelitian terhadap bayi yang mendapatkan imunisasi DPT di Jakarta, I Made Setiawan (1992) melaporkan bahwa (1) 71% - 94% bayi saat imunisasi pertama belum memiliki kadar antibodi protektif terhadap difteria, (2) pasca DTP 3 kali didapatkan 68% - 81% telah memiliki kadar antibodi protektif terhadap difteria denganrata-rata 0.0378 Ill/ml. Dalam laporan program pengembangan imunisasi, tahun 2003 didapatkan 98,45% bayi mempunyai antibodi 0,1545 (0,1229-0,1936) setelah mendapat DTP-3. Lama kekebalan sesudah mendapatkan imunisasi dengan toksoid difteria merupakan masalah yang penting diperhatikan. Beberapa penelitian serologik membuktikan adanya penurunan kekebalan sesudah kurun waktu tertentu dan perlunya penguatan pada masa anak. Tosoid difteria Kejadian ikutan pasca imunisasi toksoid difteria secara khusus sulit dibuktikan karena selama ini pemberiannya selalu digabung bersama toksoid tetanus dan atau tanpa vaksin pertusis. Beberapa laporan menyebutkan bahwa reaksi lokal akibat pemberian vaksin dT (dosis dewasa) sering ditemukan lebih banyak dari pada pemberian toksoid tetanus saja. Namun kejadian tersebut sangat ringan dan belum pernah dilaporkan adanya kejadian ikutan berat. Untuk menekan kejadian ikutan akibat hipereaktifitas terhadap toksoid difteria, telah dilakukan beberapa upaya untuk memperbaiki kualitas toksoid tersebut, yaitu (1) meningkatkan kemurnian toksoid dengan menghilangkan protein yang tidak perlu, (2) melarutkan toksoid dalam garam aluminium dan (3) mengurangi jumlah toksoid per inokulasi menjadi 1-2 Lf yang dianggap cukup efektif untuk mendapatkan imunitas. Toksoid Pertusis Antibodi terhadap toksin pertusis dan hemaglutinin telah dapat ditemukan dalam serum neonatus dengan konsentrasi sama dengan
ibunya, dan akan menghilang dalam 4 bulan. Namun demikian antibodi ini ternyata tidak memberikan proteksi secara klinis. Vaksin pertusis adalah vaksin yang merupakan suspensi kuman B. pertussis mati. Pada awalnya vaksin ini sering tercemar dengan campuran mikroflora saluran nafas lainnya. Vaksin wP (whole-cell pertussis) awalnya dibuat di Amerika Serikat dengan standar yang berbeda-beda pada tiap pabrik. Umumnya vaksin pertusis diberikan dengan kombinasi bersama toksoid difteria dan tetanus (DTP). Campuran DTP ini diadsorbsikan ke dalam garam alumunium. Sejak 1962 dimulai usaha untuk membuat vaksin pertusis dengan menggunakan fraksi sel (aselular)yang bila dibandingkan dengan whole-cell ternyata memberikan reaksi lokal dan demam yang lebih ringan, diduga akibat dikeluarkannya komponen endotoksin dan debris. Di Jepang telah dimulai upaya untuk memurnikan vaksin pertusis dengan hanya mengambil komponen toksin yaitu FHA, pertactine, pertussis train dan aglutinogen untuk membuat vaksin pertusis aselular. Vaksin ini telah dipakai sejak 1981 di Jepang dengan hasil baik. Kejadian ikutan pasca imunisasi DTP Reaksi lokal kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi pada separuh (42,9%) penerima DTP. Proporsi demam ringan dengan reaksi lokal sama dan 2,2% di antaranya dapat mengalami hiperpireksia. Anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam pasca suntikan (inconsolable crying). Dari suatu penelitian ditemukan adanya kejang demam (0,06%) sesudah vaksinasi yang dihubungkan dengan demam yang terjadi. Kejadian ikutan yang paling serius adalah terjadinya ensefalopati akut atau reaksi anafilaksis dan terbukti disebabkan oleh
pemberian vaksin pertusis (Tabel 5.5). Tabel 5.5. Insidens kejadian ikutan pasca imunisasi pada vaksin DTwP Derajat klinis
Resipien (%) Ringan Reaksi
lokal Demam >38,5oC Iritabel, lesu, sistemik
10-50 10-50 25-55
Gejala
Berat
Gejala klinis
Onset interval
Per dosis
Per juta dosis
0-24 jam
Menangis >3 jam
1/5-1.000
(inconsolable crying)
1.00060.000
1/17500-2 hari 12.500 0-24 1/1000jam 33.000 1-1 1/50.000 jam 1/50.000
Kejang Hypotonic hyporesponsive Reaksi anafilaktik Ensefalopati
80-570 30-990 20 20
1-2 hari
Indikasi kontra Saat ini didapatkan dua hal yang diyakini sebagai kontraindikasi mutlak terhadap pemberian vaksin pertusis baik whole-cell maupun aselular, yaitu Riwayat anafilaksis pada pemberian vaksin sebelumnya Ensefalopati sesudah pemberian vaksin pertusis sebelumnya Keadaan lain dapat dinyatakan sebagai perhatian khusus (precaution). Misalnya sebelum pemberian vaksin pertusis berikutnya bila pada pemberian pertama dijumpai, riwayat hiperpireksia, keadaan hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 3 jam dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah imunisasi DTP. Riwayat kejang dalam keluarga dan kejang yang tidak berhubungan dengan pemberian vaksin sebelumnya, kejadian ikutan pasca imunisasi, atau alergi terhadap vaksin bukanlah suatu indikasi kontra terhadap pemberian vaksin DTaP. Walaupun demikian, keputusan untuk pemberian vaksin pertusis harus
dipertimbangkan secara individual dengan memperhitungkan keuntungan dan risiko pemberiannya. Telah dibuktikan dalam penelitian, bahwa respons antibodi terhadap imunisasi dasar dengan vaksin pertusis whole cell tergantung pada kadar antibodi maternal yang didapat dari ibu. Sebaliknya respons yang diperoleh setelah penyuntikan vaksin aselular memberikan hasil baik dan tidak dipengaruhi oleh kadar antibodi maternal pravaksinasi. Made Setiawan (1992) melaporkan serokonversi antibodi protektif terhadap pertusis pada 65,8% bayi setelah mendapat imunisasi DTP 3 kali, sedang peneliti lain di Indonesia menemukan angka dengan kisaran 70%-80%. Vaksin Pertusis a-seluler Vaksin pertusis aselular adalah vaksin pertusis yang berisi komponen spesifik toksin dari Bordettellapertusisyanq dipilih sebagai dasar yang berguna dalam patogenesis pertusis dan perannya dalam memicu antibodi yang berguna untuk pencegahan terhadap pertusis secara klinis. Latar belakang penggunaan vaksin pertusis a-selular Vaksin DTwP telah dipergunakan sejak tahun 1970-an sampai saat ini walaupun mempunyai efek samping baik lokal maupun sistemik. Adanya data kejadian ikutan pasca imunisasi gejala susunan syaraf pusat yang serius(termasukensefalopati)yang bersifat temporal association. VaksinDTaP (pertusis aselular) dapatmemberikanimunogenisitas terhadap anti PT, anti FHA, dan anti pertactine sama baiknya dengan DTwP dalam berbagai jadwal imunisasi. Respons antibodi juga tampak tetap tinggi setelah pemberian vaksinasi ulangan pada umur 15-18 bulan dan 5-6 tahun.
Kejadian reaksi KIPI vaksin DTaP baik lokal maupun sistemik lebih rendah
daripada DTwP. Tabel 5.6. KIPI sistemik (per 1.000 dosis) vaksinasi DTwP dan DtaP Gejala KIPI Pembengkakan Nyeri lokal Iritabel Demam > 38.0oC > 40.0oC Menangis > 3 jam Hypotonic hyporesponsive Sianosis Kejang
DTaP 90 46 300 72 0,36 0,44
DTwP 260 297 499 406 2,4 4,0
0,07
0,67
0,07
0,15 0,22
Sumber: Greco, dkk. N Engl J Med, 1996 Tabel 5.7. KIPI lokal (per 1.000 dosis) 24 jam setelah DTwP dan DTaP Vaksin Dosis
Kejadian
ikutan pasca imunisasi (%) Nyeri Kemerahan Bengkak Demam Demam >2 cm DTaP 1275 2,5 DTwP 455 19,1
>2 cm 0,1 1,1
>38,5OC >39oC 0 1,3
9,9 42,2
0,2 1,3
Sumber: Wiersbitzsky S., dkk. Euro J Ped, 1993 Di lain pihak, saat ini di beberapa negara yang telah mempunyai cakupan imunisasi pertusis tinggi masih melaporkan pasien pertusis. Kemungkinan hal tersebut disebabkan orang dewasa yang non-imun terhadap pertusis sebagai sumber penularan pada anak. Vaksin DTwP dan DTaP dapat dipergunakan secara oergantian (interchangable) apabila keadaan mendesak Vaksin DTwP dan DTaP dapat pula diberikan dalam bentuk vaksin kombinasi (Bab VIII Vaksin Kombinasi).
Toksoid Tetanus (TT) Dosis dan kemasan Toksoid tetanus yang dibutuhkan untuk imunisasi adalah sebesar 40 IU dalam setiap dosis tunggal dan 60 IU bila bersama dengan toksoid difteria dan vaksin pertusis. Berbagai kemasan seperti, preparat tunggal (TT), kombinasi dengan toksoid difteria dan atau pertusis (dT, DT, DTwP, DTaP) dan kombinasi dengan komponen lain seperti Hib dan hepatitis B. Sebagaimana toksoid lainnya, pemberian toksoid tetanus memerlukan pemberian berseri untuk menimbulkan dan mempertahankan imunitas. Tidak diperlukan pengulangan dosis bila jadwal pemberian ternyata terlambat, sebab sudah terbukti bahwa respons imun yang diperoleh walaupun dengan interval yang panjang adalah sama dengan interval yang pendek. Respons imun atau efikasi vaksin ini cukup baik. Ibu yang mendapatkan TT 2 atau 3 dosis ternyata memberikan proteksi yang baik terhadap bayi baru lahir terhadap tetanus neonatal. Kadar rata-rata antitoksin 0,01 AU/ml pada ibu cukup untuk memberi proteksi terhadap bayinya. Jadwal Pemberian TT yang diberikan bersama DTP diberikan sesuai jadwal imunisasi. Kadar antibodi protektif setelah pemberian DTP 3 kali mencapai 0,01 IU atau lebih, hal ini juga terbukti pada penelitian bayi-bayi di Indonesia. Kejadian ikutan pasca imunisasi terutama reaksi lokal, sangat dipengaruhi oleh dosis, pelarut, cara penyuntikan, dan adanya antigen lain dalam kombinasi vaksin itu.
DTaP atau DTwP tidak diberikan pada anak kurang dari usia 6 minggu, disebabkan respons terhadap pertusis dianggap tidak optimal, sedang respons terhadap toksoid tetanus dan difteria cukup baik tanpa memperdulikan adanya antibodi maternal. DT dan dt Vaksin DT diberikan pada anak yang memiliki kontra indikasi terhadap vaksin pertusis, antara lain riwayat anafilaksis atau ensefalopati pada pemberian sebelumnya. Hati-hati bila pada pemberian DTP sebelumnya ada riwayat: hiperpireksia, hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 3 jam atau lebih dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah pemberian DTP. Vaksin dT (adult type) mengandung toksoid difteri yang lebih rendah (4 Lf) daripada vaksin DTP (40 Lf), tetapi toksoid tetanusnya sama (15 Lf). Vaksin dT dianjurkan untuk anak umur lebih dari 7 tahun, untuk memperkecil kemungkinan KIPI karena toksoid difteri. Daftar Pustaka 1. National Health and Medical Research Council. Active and passive immunization. Dalam: Watson C, penyunting. The Australian Immunisation Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC 2008. 2. American Academy of Pediatrics. Diphtheria. In: Pickering LK, Baker CJ, Long SS, McMillan JA, eds. Red Book: 2006 Report of the Committee on Infectious Diseases. 27th ed. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2006:277–81. 3. CDC. Summary of notifiable diseases—United States, 2004. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2004;53:46. 4. World Health Organization. WHO vaccine-preventable diseases monitoring system: 2005 global summary. Geneva, Switzerland: World Health Organization, 2006. 5. Galazka A. The changing epidemiology of diphtheria in the vaccine era. J Infect Dis. 2000;181(suppl 1):S2-9. 6. WhartonM, Vitek CR. Diphtheria toxoid. In: PlotkinSA, Orenstein WA, eds. Vaccines. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004:211–28.
11. 12. 13.
14. 15. 16.
7. CDC. General recommendations on immunizations: recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) and the American Academy of Family Physicians (AAFP). MMWR Recomm Rep. 2002;51(RR-2):1– 35. 8. CDC. Preventing tetanus, diphtheria, and pertussis among adolescents: use of tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and acellular pertussis vaccines: recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP). MMWR Recommm Rep. 2006;55(RR-3):1–50. 9. CDC. ACIP Votes to Recommend Use of Combined Tetanus, Diphtheria and Pertussis (Tdap) Vaccine for Adults. Diunduh dari: http://www.cdc.gov/nip/vaccine/tdap/ tdap_adult_recs.pdf. 10. Wassilak SGF, Roper MH, Murphy TV, Orenstein WA. Tetanus toxoid. In: PlotkinSA, Orenstein WA, eds. Vaccines. 4th ed. Philadelphia, PA: WB Saunders Co.; 2004:745- 81. Pascual FB, McGinley EL, Zanardi LR, Cortese MM, Murphy TV. Tetanus surveillance – United States, 1998-2000. MMWR Surveill Summ 2003;52(SS-3):1-8. Vandelaer J, Birmingham M, Gasse F, Kurian M, Shaw C, Garnier S. Tetanus in developing countries: an update on the Maternal and Neonatal Tetanus Elimination Initiative. Vaccine. 2003;21:3442-5. CDC. Preventing tetanus, diphtheria, and pertussis among adolescents: use of tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and acellular pertussis vaccines. Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP). MMWR Recomm Rep. 2006;55(RR-3):1-34. American Academy of Pediatrics. Pertussis. In: Pickering LK, editor. Red book: 2003 report of the Committee on Infectious Disease. 26thed. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2003. p. 498-520. Edwards KM, Decker MD. Pertussis Vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds. Vaccines. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004:471-528. CDC. Recommended antimicrobial agents for the treatment and posteexposure prophylaxis of pertussis: 2005 CDC guidelines. MMWR Recomm Rep. 2005;54(RR14):1-16.
17. Vademicum PT Bio Farma, 1997.
Bab V-4
Poliomielitis Hariyono Suyitno Kata polio (abu-abu) dan myelon (sumsum), berasal dari bahasa latin yang berarti medulla spinalis. Penyakit ini disebabkan oleh virus poliomyelitis pada medula spinalis yang secara klasik menimbulkan kelumpuhan. Pada tahun 1789 Underwood yang berasal dari Inggris pertama kali menulis tentang kelumpuhan anggota badan bagian bawah (ekstremitis inferior) pada anak, yang kemudian dikenal sebagai poliomielitis. Pada permulaan abad ke 19 dilaporkan terjadi wabah di Eropa dan beberapa tahun kemudian terjadi di Amerika Serikat. Pada saat itu banyak terjadi wabah penyakit pada musim panas dan gugur. Pada tahun 1952 penyakit polio mencapai puncaknya dan dilaporkan terdapat lebih dari 21.000 kasus polio paralitik. Angka kejadian kasus polio secara drastis menurun setelah pemberian vaksin yang sangat efektif. Di Amerika Serikat kasus terakhir virus polio liar ditemukan pada tahun 1979. Di Indonesia imunisasi polio sebagai program memakai oral polio vaccine (OPV) dilaksanakan sejak tahun 1980 dan tahun 1990 telah mencapai UCI (universal of chlid immunization). Etiologi Virus polio termasuk dalam kelompok (sub-group) entero virus, famili Picornaviridae. Dikenal tiga macam serotipe virus polio yaitu P1, P2 dan P3. Virus polio ini menjadi tidak aktif apabila terkena panas, formaldehid, klorin dan sinar ultraviolet.
Epidemiologi Infeksi virus polio terjadi di seluruh dunia, untuk Amerika Serikat transmisi virus polio liar berhenti sekitar tahun 1979. Di Negaranegara Barat, eliminasi polio sejak tahun 1991. Program eradikasi polio global secara dramatis mengurangi transmisi virus polio liar di seluruh dunia, kecuali beberapa negara yang sampai saat ini masih ada transmisi virus polio liar yaitu di India, Timur Tengah dan Afrika. Resevoir virus polio liar hanya pada manusia, yang sering ditularkan oleh pasien infeksi polio yang tanpa gejala. Namun tidak ada pembawa kuman dengan status karier asimtomatis kecuali pada orang yang menderita defisien sistem imun. Virus polio menyebar dari orang satu ke orang lain melalui jalur oro-faecal. Pada beberapa kasus dapat berlangsung secara oral-oral. Infeksi virus mencapai puncak pada musim panas, sedangkan pada daerah tropis tidak ada bentuk musiman penyebaran infeksi. Virus polio sangat menular, pada kontak antar rumah tangga (yang belum diimunisasi) derajat serokonversi lebih dari 90%. Kasus polio sangat infeksius dari 7 sampai 10 hari sebelum dan setelah timbulnya gejala, tetapi virus polio dapat ditemukan dalam tinja dari 3 sampai 6 minggu. Eradikasi Polio (ERAPO) Keinginan melaksanakan eradikasi polio secara global dimulai saat pertemuan anggota WHO pada tahun 1988 yang mencanangkan bebas penyakit polio tahun 2000. Dalam program ERAPO ini, pemerintah Indonesia membuat kebijaksanaan dengan mengambil strategi, meningkatkan cakupan imunisasi OPV secara rutin melaksanakan pekan imunisasi nasional (PIN) melakukan mopping up di daerah-daerah yang masih dijumpai transmisi virus polio liar (wild virus) dan melaksanakan surveilans AFP (acute flaccid paralysis=lumpuh layuh) yang mantap.
Data dari Depkes secara nasional memang menunjukkan bahwa cakupan OPV dapat dipertahankan pada tingkat 80%, namun di daerah-daerah konflik dan terpencil cakupan imunisasinya rendah. Pekan Imunisasi Nasional (PIN) telah dilaksanakan berturutturut, yaitu tahun 1995, 1996, 1997, 2002 yang dengan berhasil mencakup 100% target sekitar 20 juta balita pada tiap NID. Pada hari PIN tersebut telah diimunisasi sebanyak 22 juta anak balita di seluruh Indonesia. Setelah PIN, kasus polio menurun drastis; laporan terakhir menunjukkan bahwa dari pemeriksaan laboratorium hanya ditemukan 7 kasus dengan virus polio liar ( tipe 1, 2, dan 3) pada tahun 1995, dan sejak itu tak pernah lagi ditemukan virus polio liar. Di daerah-daerah yang diduga terjadi transmisi polio liar telah dilakukan mopping up pada tahun 1998 meliputi 52 kecamatan dan pada tahun 1997 mencakup 5 kecamatan. Disamping itu masih dilakukan PIN terbatas. Tahun 2001 di 5 provinsi dan 10 kecamatan yang surveilans AFP-nya rendah. Surveilans AFP dimulai tahun 1995 yang berusaha menemukan semua kasus AFP pada
anak di bawah 15 tahun untuk diidentifikasi dan dilaporkan, yang kemudian tinjanya diambil dalam waktu 24 jam untuk diperiksa. Kualitas surveilans dari tahun ke tahun terus meningkat dengan AFP rate lebih dari 1, namun tahun 2000 turun menjadi 0,90 dan pada tahun 2001 turun lagi menjadi 0,83. Hal ini sebagai dampak situasi politik dan sosial ekonomi saat itu yang tidak stabil. Pemantauan tinja menunjukkan bahwa sejak tahun 1995 sampai saat ini tidak ditemukan lagi virus polio liar. Maka secara virologis Indonesia telah bebas polio, namun hal ini belum cukup dan masih harus melakukan surveilans AFP yang lebih baik. Hal ini berhasil ditingkatkan, mulai tahun 2002 dan kemudian tahun 2003 AFP rate meningkat kembali lebih dari 1.
Pada bulan Maret – 2005 terjadi kejadian luar biasa (KLB), yaitu kasus lumpuh layuh pada anak laki-laki umur 20 bulan dari desa Giri Jaya (kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi) yang belum pernah mendapat imunisasi polio. Pada pemeriksaan tinja oleh laboratorium Global Specific Laboratory (GSL) di Mumbai India, menemukan virus polio liar (VPL) P1 dan merupakan strain (galur) yang sama dengan strain (galur) virus Arab Saudi. Maka disimpulkan bahwa VPL (virus polio liar) tersebut berasal dari luar (impor). Dengan adanya KLB tersebut terjadi clustering kasus AFP karena transmisi setempat; antara bulan Maret – April 2005, di desa-desa sekitarnya dijumpai 13 anak dengan onset lumpuh layuh hampir bersamaan Tahun 2005 merupakan tahun munculnya kembali kasus polio (outbreak), sejak Maret – Desember 2005 di seluruh Indonesia tercatat 303 kasus dengan VPL positif, yang terbanyak propinsi Banten dan Jawa Barat. Tindakan untuk mengatasi ini ialah melakukan outbreak respons immunization (ORI) di lokasi KLB, imunisasi mopping up di beberapa desa/kecamatan berisiko, dan melaksanakan PIN sebanyak 5 putaran (bulan Agustus, September, November 2005, dan bulan Februari, April 2006) serta melakukan Sub-Pin pada bulan Januari 2006 di seluruh Indonesia. Dengan tindakan penanggulangan tersebut diatas telah berhasil menekan kasus polio, yang sepanjang tahun 2006 ini hanya ditemukan 2 kasus dengan VPL positif, yaitu di Aceh (NAD) dan di Jawa Timur masing-masing satu kasus. Disamping kasus AFP yang disebabkan oleh VPL dilaporkan pula lumpuh layuh akut yang disebabkan oleh VDPV (virus derived polio vaccine) di Madura.
Patogenesis Virus polio masuk melalui mulut dan multiplikasi pertama kali terjadi pada tempat implantasi dalam farings dan traktus gastrointestinal. Virus tersebut umumnya ditemukan di daerah tenggorok dan tinja sebelum timbulnya gejala. Satu minggu setelah timbulnya penyakit, virus terdapat dalam jumlah kecil di tenggorok, tetapi virus menerus dikeluarkan bersama tinja dalam beberapa minggu. Virus menembus jaringan limfoid setempat, masuk ke dalam pembuluh darah kemudian masuk sistem saraf pusat. Replikasi virus polio dalam neuron motor kornu anterior medula spinalis dan batang otak mengakibatkan kerusakan sel dan menyebabkan manifestasi poliomielitis yang spesifik. Gambaran klinis Masa inkubasi poliomielitis umumnya berlangsung 6-20 hari dengan kisaran 3-35 hari. Respons terhadap infeksi virus polio sangat bervariasi dan tingkatannya tergantung pada bentuk manifestasi klinisnya. Sekitar 95% dari semua infeksi polio termasuk sub-klinis tanpa gejala atau asimtomatis. Menurut estimasi rasio penyakit yang tanpa gejala terhadap penyakit yang paralitik bervariasi dari 50: 1 sampai 1000: 1 (rata-rata 200 : 1). Pasien yang terkena infeksi tanpa gejala mengeluarkan virus bersama tinja dan dapat menularkan virus ke orang lain. Sekitar 4% - 8% dari infeksi polio terdiri atas penyakit ringan yang non spesifik tanpa bukti klinis atau laboratorium dari invasi dalam sistem saraf pusat. Sindrom ini dikenal sebagai poliomielitis abortif dengan ciri khas penyembuhan sempurna dan berlangsung kurang dari seminggu. Meningitis aseptis non paralitik Kejadian ini terjadi pada 1%–2 % dari infeksi polio, yang didahului oleh gejala prodomal penyakit ringan yang berlangsung beberapa
hari. Anak iritabel, peka saraf meningkat; ada gejala kaku kuduk, kaku punggung dan kaki yang berlangsung antara 2-10 hari yang akan sembuh sempurna. Paralisis flaksid atau lumpuh layuh Lumpuh layuh terjadi pada kurang dari 2% semua infeksi polio. Gejala kelayuhan umumnya mulai 1-10 hari setelah gejala prodromal dan berlangsung 2-3 hari. Pada
umumnya tidak terjadi paralisis berikutnya setelah suhu kembali normal. Pada fase prodromal dapat terjadi bifasik terutama pada anak-anak dengan permulaan gejala ringan dipisahkan oleh periode 1-7 hari dari gejala utama (major symptoms). Gejala prodromal termasuk hilangnya refleks superfisial, permulaan meningkatnya refleks tendon dalam (deep tendon), rasa nyeri otot dan spasme pada anggota tubuh dan punggung. Penyakit berlanjut dengan paralisis flaksid disertai hilangnya refleks tendon dalam, keadaan ini menetap sampai beberapa minggu dan umumnya asimetris. Setelah fase ini lewat, kekuatan kembali, tidak ada gejala kehilangan sensoris atau perubahan kesadaran. Banyak anak dengan poliomyelitis paralitik dapat sembuh dan sebagian besar fungsi otak kembali pada tingkat tertentu. Pasien dengan kelayuhan 12 bulan setelah timbulnya penyakit pertama kali akan menderita dengan gejala sisa yang permanen. Poliomielitis paralitik dibagi menjadi tiga kelompok, 1. Polio spinal, yang paling sering terjadi (79%) dari kasus paralitik yang tercatat dari tahun 1969–1979 di Amerika Serikat. Terjadi paralisis asimetris yang sering pada tungkai bawah. 2. Polio bulbar, tercatat sekitar 2% dari semua kasus paralitik mengakibatkan kelumpuhan otot-otot yang dilayani oleh saraf kranial 3. Polio bulbospinal, tercatat 19% dari kasus paralitik dan merupakan kombinasi antara paralisis bulbar dan spinal.
Diagnosis laboratorium Diambil dari daerah faring atau tinja pada orang yang dicurigai terkena poliomyelitis. Isolasi virus dari cairan serebrospinal sangat diagnostik,tetapi hal itu jarang dikerjakan. Bila virus polio dapat disolasi dari seorang dengan paralisis flaksid akut harus dilanjutkan dengan pemeriksaan menggunakan cara oligonucleotide mapping (finger printing) atau genomic sequencing. Untuk menentukan apakah virus tersebut termasuk virus liar atau virus vaksin. Dengan cara serologis yaitu mengukur zat anti yang menetralisasi (neutralizing antibody) yang muncul awal dan mungkin ditemukan meningkat tinggi pada saat penderita masuk rumah sakit oleh karena itu dapat terjadi kenaikan 4 kali yang tidak diketahui. Pemeriksaan cairan serebrospinal pada infeksi virus polio, umumnya terjadi kenaikan jumlah sel leukosit (10-200 sel/mm3, yang sebagian besar limfosit) dan terjadi kenaikan kadar protein ringan dari 40 sampai 50 mg/100ml. Vaksi n Vaksin Virus Polio Oral (oral polio vaccine = OPV) Vaksin virus polio hidup oral yang dibuat oleh PT.Biofarma Bandung, berisi virus polio tipe 1,2, dan 3 adalah suku Sabin yang masih hidup tetapi sudah dilemahkan(attenuated). Vaksin ini dibuat dalam biakan jaringan ginjal kera dan distabilkan dengan sukrosa. Tiap dosis (2 tetes = 0,1 ml) mengandung virus tipe 1: 106,0 CCID50, tipe 2: 105,0 CCID50 dan tipe 3 : 105,5 CCID50 dan eritromisin tidak lebih dari 2 mcg, serta kanamisin tidak lebih dari 10 mcg. Vaksin ini digunakan secara rutin sejak bayi lahir dengan dosis 2 tetes oral. Virus vaksin ini kemudian menempatkan diri di usus dan memacu pembentukan antibodi baik dalam darah
maupun pada epitelium usus, yang menghasilkan pertahanan lokal terhadap virus polio liar yang datang masuk kemudian. Dengan cara ini, maka frekuensi eksresi polio virus liar dalam masyarakat dapat dikurangi. Vaksin akan menghambat infeksi virus polio liar yang masuk bersamaan, maka sangat berguna untuk mengendalikan epidemi. Jenis vaksin virus polio ini dapat bertahan dalam tinja sampai 6 minggu setelah pemberian OPV. Penerima vaksin dapat terlindungi setelah dosis tunggal pertama namun tiga dosis berikutnya akan memberikan imunitas jangka lama terhadap 3 tipe virus polio. Vaksin polio oral harus disimpan tertutup pada suhu 2-8oC. Vaksin sangat stabil namun sekali dibuka, vaksin akan kehilangan potensi disebabkan oleh perubahan pH setelah terpapar udara. Kebijakan Departeman Kesehatan mengajurkan bahwa vaksin polio yang telah terbuka botolnya pada akhir sesi imunisasi (pasa imunisasi masal) harus dibuang. Tetapi saat ini kebijakan WHO membolehkan botol-botol yang berisi vaksin dosis ganda (multidose) digunakan pada sesisesi imunisasi, bila tiga syarat di bawah ini terpenuhi: v. tanggal kadaluwarsa tidak terlampaui
v. vaksin-vaksin disimpan dalam rantai dingin yang benar (2- 8oC) v. botol vaksin yang telah terbuka yang terpakai hari itu telah dibuang oleh petugas Puskesmas. Vaksin polio oral (OPV) dapat disimpan beku pada temperatur <-20oC. Vaksin yang beku dengan cepat dicairkan dengan cara ditempatkan antara dua telapak tangan dan digulirgulirkan, dijaga agar warna tidak berubah yaitu merah muda sampai oranye muda (sebagai indikator pH). Bila keadaan tersebut dapat terpenuhi, maka sisa vaksin yang telah terpakai dapat dibekukan lagi, kemudian dipakai lagi sampai warna berubah dengan catatan dan tanggal kadaluwarsa harus selalu diperhatikan.
Vaksin polio inactivated (inactived poliomyelitis vaccine = IPV) Vaksin polio inactivated berisi tipe 1, 2, 3 dibiakkan pada sel-sel vero ginjal kera dan dibuat tidak aktif dengan formaldehid. Pada vaksin tersebut dijumpai dalam jumlah kecil selain formaldehid juga ada neomisin, streptomisin dan polimiksin B. Vaksin polio inactivated harus disimpan pada suhu 2-80C dan tidak boleh dibekukan. Pemberian dengan dosis 0,5 ml dengan suntikan subkutan dalam tiga kali berturut-turut dengan jarak 2 bulan antara masing-masing dosis akan memberikan imunitas jangka panjang (mukosal maupun humoral) terhadap tiga macam tipe virus polio. Imunitas mukosal yang ditimbulkan oleh IPV lebih rendah dibandingkan dengan yang ditimbulkan oleh OPV. Rekomendasi Imunisasi primer bayi dan anak Vaksin polio oral diberikan pada bayi baru lahir sebagai dosis awal, sesuai dengan PPI dan ERAPO tahun 2000. Kemudian diteruskan dengan imunisasi dasar mulai umur 2-3 bulan yang diberikan tiga dosis terpisah berturut-turut dengan interval waktu 6-8 minggu. Satu dosis sebanyak 2 tetes (0.1 ml) diberikan per oral pada umur 2-3 bulan dapat diberikan bersama-sama waktunya dengan suntikan vaksin DPT dan Hib. Bila OPV yang diberikan dimuntahkan dalam waktu 10 menit, maka dosis tersebut perlu diulang. Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh pada respons antibodi terhadap OPV dan imunisasi tidak boleh ditunda karena hal ini. Anak-anak dengan imunosupresi dan kontak mereka yang dekat harus diimunisasi dengan IPV.
• Anak yang telah mendapat imunisasi OPV dapat memberikan ekskresi virus vaksin selama 6 minggu dan akan melakukan infeksi, pada kontak yang belum diimunisasi. Untuk mereka yang berhubungan (kontak) dengan bayi yang baru saja diberi OPV supaya menjaga kebersihan dengan mencuci tangan setelah mengganti popok bayi. Vaksinasi terhadap orang tua yang anaknya divaksinasi Anggota keluarga yang belum pernah divaksinasi atau belum lengkap vaksinasinya dan mendapat kontak anak-anak yang mendapat vaksinasi OPV, harus ditawarkan vaksinasi dasar OPV pada waktu yang bersamaan dengan anak tersebut. Dalam hal ini tidak boleh diberikan IPV, mengingat risiko infeksi yang didapat dari anak dapat terjadi sebelum antibodi terbentuk sebagai respons terhadap IPV. Kepada orang dewasa yang telah mendapat imunisasi sebelumnya, tidak diperlukan vaksinasi penguat (booster). Interval minimal antara dua dosis vaksinasi dapat diperpanjang dan dapat menyelesaikan vaksinasinya tanpa mengulang lagi. Imunisasi penguat (booster) Dosis penguat OPV harus diberikan sebelum masuk sekolah, yaitu bersamaan pada saat dosis DPT diberikan sebagai penguat; dosis OPV berikutnya harus diberikan pada umur 15-19 tahun atau sebelum meninggalkan sekolah. Sejak tahun 2007 semua calon jemaah haji dan umroh di bawah umur 15 tahun, harus mendapat 2 tetes OPV Imunisasi polio untuk orang dewasa Untuk orang dewasa, sebagai imunisasi primer (dasar) dianjurkan diberi kan 3 dosis berturutturut 2 tetes OPV dengan jarak 4-8 minggu. Semua orang dewasa seharusnya divaksinasi terhadap poliomyelitis dan tidak boleh ada yang tertinggal. Dosis penguat
untuk orang dewasa tidak diperlukan, kecuali mereka yang dalam risiko khusus, misalnya
Bepergian ke daerah-daerah yang poliomielitis masih endemis atau saat terjadi epidemi Petugas-petugas kesehatan yang kemungkinan mendapat kontak dengan kasus poliomyelitis. Bagi mereka yang secara terus-menerus mengalami risiko infeksi, dianjurkan diberikan dosis tunggal sebagai penguat 2 tetes setiap 10 tahun. Vaksinasi untuk anak imunokompromais Untuk mereka yang vaksin virus hidup merupakan indikasi kontra, misalnya mereka dengan imunosupresi dari sesuatu penyakit atau kemoterapi, maka IPV dapat digunakan sebagai vaksinasi terhadap poliomyelitis. Hal ini juga dipakai untuk saudara-saudara anak imunokompromais dan anggota keluarga yang mendapat kontak. Sebagai vaksinasi dasar, diberikan suntikan IPV sebanyak 3 dosis masing-masing 0.5 ml, secara subkutan dalam atau intramuskular dengan interval 2 bulan. Dosis penguat harus diberikan yang jadwalnya sama dengan pemberian OPV. Anak dengan HIV-positif dan anggota keluarga serumah yang mendapat kontak harus menerima IPV. Kejadian ikutan pasca imunisasi Kasus poliomielitis yang berkaitan dengan vaksin telah dilaporkan terjadi pada resipien (VDPV=vaccine derived polio virus) atau kontak (VAPP=vaccine associated polio paralytic). Diperkirakan terdapat 1 kasus poliomielitis paralitik yang berkaitan dengan vaksin terjadi setiap 2.5 juta dosis OPV yang diberikan. Risiko terjadi paling sering pada pemberian dosis pertama dibanding dengan dosis-dosis berikutnya. Risiko yang relatif
kecil pada poliomielitis yang ditimbulkan pemberian OPV ini tidak boleh diremehkan, namun tidak cukup menjadi alasan untuk mengadakan perubahan terhadap kebijakan imunisasi, karena vaksinasi tersebut terbukti sangat berguna. Harus ditekankan bahwa kebersihan terhadap kontak penerima vaksin yang baru adalah sangat penting. Setelah vaksinasi sebagian kecil resipien dapat mengalami gejala pusing, diare ringan, nyeri otot. Seperti kejadian ikutan pada vaksinasi yang lain, semua gejala yang timbul setelah vaksinasi harus dilaporkan ke Dinas Kesehatan setempat. Indikasi kontra Indikasi kontra pemberian OPV adalah sebagai berikut, Penyakit akut atau demam (suhu >38.5oC), vaksinasi harus ditunda, Muntah atau diare, vaksinasi ditunda, Sedang dalam pengobatan kortikosteroid atau imunosupresif yang diberikan oral maupun suntikan, juga yang mendapat pengobatan radiasi umum ( termasuk kontak dengan pasien), Keganasan (untuk pasien dan kontak) yang berhubungan dengan sistem retikuloendotelial (limfoma, leukemia, dan penyakit Hodgkin) dan yang mekanisme imunologisnya terganggu, misalnya pada hipogamaglobulinemia, Infeksi HIV atau anggota keluarga sebagai kontak, walaupun kejadian ikutan pada fetus belum pernah dilaporkan, OPV jangan diberikan kepada orang hamil pada 4 bulan pertama kehamilan kecuali terdapat alasan mendesak, misalnya bepergian ke daerah endemis poliomyelitis, Vaksin polio oral dapat diberikan bersama-sama dengan vaksin inactivated dan virus hidup lainnya (sesuai dengan indikasi) tetapi jangan bersama vaksin oral tifoid, Bila BCG diberikan pada bayi tidak perlu memperlambat
pemberian OPV, karena OPV memacu imunitas lokal dan pembentukan antibodi dengan cara replikasi dalam usus, OPV dan IPVmengandung sejumlah kecil antibiotik (neomisin, polimiksin, streptomisin) namun hal ini tidak merupakan indikasi kontra, kecuali pada anak yang mempunyai bakat hipersensitif yang berlebihan, Anggota keluarga kontak dengan anak yang menderita imunosupresi jangan diberikan IPV, jangan OPV. Daftar Pustaka 1. American Academy of Pediatrics. Summaries of infectious diseases. Polio
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
infections. Dalam: Pickering LK., penyunting. 2000 Red Book: Report of the Committee On Infectious Diseases. Edisi ke-25 Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics, 2000.h.465-70. Dept. Of Health, Republic of Indonesia, Subdirectorate of Epidemiology: AFP Surveilance data Bulletin. 2006-2007. Dep Kes Republik Indonesia: Achmad U. F. Dirjen PPM dan PL: Laporan KLB Polio Sukabumi, 2006. Ismoediyanto M, Soebagyo, Endarwati L, Ratgono A. An outbreak of acute paralysis caused by VDPV in Madura, Indonesia. Third Asian Congress of Pediatric Infectious Diseases, March, 2006 CDC. Poliomyelitis. In: Atkinson W, Hamborsky J, McIntyre L, Wolfe S, eds. Epidemiology and prevention of vaccine-preventable diseases. 9th ed. Washington, DC: Public Health Foundation; 2006. p. 97-110. Alexander LN, Seward JF, Santibanez TA, et al. Vaccine policy changes and epidemiology of polio in the United States. JAMA. 2004;292:1696-701. CDC. Imported vaccine-associated paralytic poliomyelitis — United States, 2005. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;55;97-9. CDC. Poliovirus infections in four unvaccinated children — Minnesota, August– October, 2005. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2005;54;1053-5. Kew OM, Sutter RW, de Gourville EM, Dowdle WR, Pallansch MA. Vaccine-derived polioviruses and the endgame strategy for global polio eradication. Annu Rev Microbiol. 2005:59;587-635. CDC. Update on vaccine-derived polioviruses. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;55:1093-7.
11. CDC. Resurgence of wild poliovirus type 1 transmission and consequences of importations —21 countries, 2002–2005. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;55:145-50.
12. CDC. Progress toward interruption of wild poliovirus transmission— Worldwide, January 2005–March 2006. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;55:458-62. 13. World Health Organization. Conclusions and recommendations of the Advisory Committee onPoliomyelitis Eradication, Geneva 11–12 October 2005. Wkly Epidemiol Rec. 2005;80;410-6.
Bab V-5 Campak Soegeng Soegijanto Penyakit campak adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus campak yang sangat menular pada anak-anak, ditandai dengan panas, batuk, pilek, konjungtivitis dan ditemukan spesifik enantem (Koplik’s spot), diikuti dengan erupsi makulopapular yang menyeluruh. Bertahun-tahun kejadian penyakit campak terjadi pada anak-anak balita meminta banyak korban tetapi masyarakat belum menyadari bahayanya; bahkan ada mitos jangan memberikan obat apa saja pada penderita sebelum bercak-bercak merah pada kulit keluar. Bahaya penyulit penyakit campak di kemudian hari adalah (1) kurang gizi sebagai akibat diare berulang dan berkepanjangan pasca campak; (2) Sindrom subakut panensifilitis (SSPE) pada anak> 10 tahun; (3) Munculnya gejala penyakit tuberkulosis paru yang lebih parah pasca mengidap penyakit campak yang berat yang disertai pneumonia. Etiologi Penyakit campak disebabkan oleh karena virus campak. Virus campak termasuk didalam famili paramyxovirus. Virus campak sangat sensitif terhadap panas, sangat mudah rusak pada suhu 370C. Toleransi terhadap perubahan pH baik sekali. Bersifat sensitif terhadap eter, cahaya, dan trysine. Virus mempunyai jangka waktu hidup yang pendek (short survival time) yaitu kurang dari 2 jam. Apabila disimpan pada laboratorium, suhu penyimpanan yang baik adalah pada suhu 70oC.
Epidemiologi
Penyakit campak bersifat endemik di seluruh dunia, namun terjadinya epidemi cenderung tidak beraturan. Pada umumnya epidemi terjadi pada permulaan musim hujan, mungkin disebabkan karena meningkatnya kelangsungan hidup virus pada keadaan kelembaban yang relatif rendah. Epidemi terjadi tiap 2–4 tahun sekali, yaitu setelah adanya kelompok baru yang rentan terpajan dengan virus campak. Penyakit campak jarang bersifat subklinis. Penyakit campak ditularkan secara langsung dari droplet infeksi atau, agak jarang dengan penularan lewat udara (airborne spread). Pada awal tahun 1980, pada waktu angka cakupan imunisasi campak global hanya 20%, didapatkan lebih dari 90 juta kasus. Pada pertengahan tahun 1990, dengan angka cakupan 80%, angka tersebut turun tajam sampai 20 juta kasus. Jadi, bahkan dengan angka cakupan 80%, masih sulit untuk mencapai target eradikasi global. World Health Organization (WHO) dengan programnya The Expanded Programme on Immunization telah mencanangkan target global untuk mereduksi insidens campak sampai 90,5% dan mortalitas sampai 95,5% daripada tingkat pre-EPI pada tahun 1995. Beberapa negara berhasil hampir mendekati fase eliminasi. Beberapa macam jadwal imunisasi dan strategi telah digunakan, tetapi ada beberapa negara yang tidak berhasil. Kegagalan ini biasanya disebabkan oleh kegagalan dalam meng-implementasikan rencana strategi secara adekuat. Prioritas utama untuk penanggulangan penyakit campak adalah melaksanakan program imunisasi lebih efektif. Eradikasi campak, didefinisikan sebagai pemutusan rantai penularan secara global sehingga imunisasi dapat dihentikan, secara teori adalah mungkin oleh karena tidak adanya binatang reservoir dan pemberian imunisasi sangat efektif. Strategi untuk eliminasi penyakit campak adalah (1) melakukan imunisasi masal pada anak umur 9 bulan sampai 12 tahun, (2) meningkatkan cakupan imunisasi rutin pada bayi umur 9 bulan, (3) melakukan surveilens secara intensif dan (4) follow-up imunisasi
massal. Di klinik, WHO juga telah mengembangkan standar program penatalaksanaan kasus, tetapi masih ada beberapa kesukaran, misalkan indikasi pemberian antibiotik, pemberian imunoglobulin intravena dan risiko tuberkulosa sebagai komplikasi jangka panjang. Gejala Klinis Demam timbul secara bertahap dan meningkat sampai hari kelima atau keenam pada puncak timbulnya ruam. Kadang-kadang kurva suhu menunjukkan gambaran bifasik, ruam awal pada 24 sampai 48 jam pertama diikuti dengan turunnya suhu tubuh sampai normal selama periode satu hari dan kemudian diikuti dengan kenaikan suhu tubuh yang cepat mencapai 400C pada waktu ruam sudah timbul di seluruh tubuh. Pada kasus yang tanpa komplikasi, suhu tubuh mengalami lisis dan kemudian turun mencapai suhu tubuh yang normal. Gejala awal lainnya yang sering ditemukan adalah batuk, pilek, mata merah selanjutnya di cari gejala Koplik’s spot. Dua hari sebelum ruam timbul, gejala Koplik’s spot yang merupakan tanda pathognomonis dari penyakit campak, dapat dideteksi. Lesi ini telah didiskripsi oleh Koplik pada tahun 1896 sebagai suatu bintik berbentuk tidak teratur dan kecil berwarna merah terang, pada pertengahannya didapatkan noda berwarna putih keabuan. Mula-mula didapatkan hanya dua atau tiga sampai enam bintik. Kombinasi dari noda putih keabuan dan warna merah muda disekarnya merupakan tanda patognomonik absolut dari penyakit campak. Kadang-kadang noda putih keabuan sangat kecil dan sulit terlihat dan hanya dengan sinar yang langsung dan terang dapat terlihat. Timbulnya Koplik’s spot hanya berlangsung sebentar, kurang lebih 12 jam, sehingga sukar terdeteksi dan biasanya luput pada waktu dilakukan pemeriksaan klinis. Ruam timbul pertama kali pada hari ketiga sampai keempat dari timbulnya demam. Ruam dimulai sebagai erupsi makulopapula eritematosa, dan mulai timbul pada bagian samping atas leher, daerah
belakang telinga, perbatasan rambut di kepala dan meluas ke dahi. Kemudian menyebar ke bawah ke seluruh muka dan leher dalam waktu 24 jam. Seterusnya menyebar ke ekstremitas atas, dada, daerah perut dan punggung, mencapai kaki pada hari ketiga. Bagian yang pertama kena mengandung lebih banyak lesi daripada yang terkena kemudian. Setelah tiga atau empat hari, lesi tersebut berubah menjadi berwarna kecoklatan. Hal ini kemungkinan sebagai akibat dari perdarahan kapiler, dan tidak memucat dengan penekanan. Dengan menghilangnya ruam, timbul perubahan warna dari ruam, yaitu menjadi berwarna kehitaman atau lebih gelap. Dan kemudian disusul dengan timbulnya deskuamasi berupa sisik berwarna keputihan. Imunisasi campak Pada tahun 1963, telah dibuat dua jenis vaksin campak
a. Vaksin yang berasal dari virus campak yang hidup dan dilemahkan (tipe Edmonston B) b. Vaksin yang berasal dari virus campak yang dimatikan (virus campak yang berada dalam larutan formalin yang dicampur dengan garam aluminium) Dosis baku minimal untuk pemberian vaksin campak yang dilemahkan adalah 1000 TCID 50 atau sebanyak 0,5 ml. Untuk vaksin hidup, pemberian dengan 20 TCID 50 saja mungkin sudah dapat memberikan hasil yang baik. Pemberian yang dianjurkan secara subkutan, walaupun demikian dapat diberikan secara intramuskular. Pada saat ini di negara yang sedang berkembang, angka kejadian campak masih tinggi dan seringkali dijumpai penyulit, maka WHO menganjurkan pemberian imunisasi campak pada bayi berumur 9 bulan. Untuk negara maju imunisasi campak (MMR) dianjurkan pada anak berumur 12-15 bulan dan kemudian imunisasi kedua (booster) juga dengan MMR dilakukan secara rutin pada umur 4-6 tahun, tetapi dapat juga diberikan setiap waktu semasa periode anak dengan tenggang waktu paling sedikit 4 minggu dari imunisasi pertama.
Imunisasi campak tidak dianjurkan pada ibu hamil, anak dengan imunodefisiensi primer, pasien TB yang tidak diobati, pasien kanker atau transplantasi organ, mereka yang mendapat pengobatan imunosupresif jangka panjang atau anak immunocompromised yang terinfeksi HIV. Anak yang terinfeksi HIV tanpa immunosupresi berat dan tanpa bukti kekebalan terhadap campak, bisa mendapat imunisasi campak. Kesulitan untuk mencapai dan mempertahankan angka cakupan yang tinggi bersamasama dengan keinginan untuk menunda pemberian imunisasi sampai antibodi maternal hilang merupakan suatu hal yang berat dalam pengendalian penyakit campak. Pada anak-anak di negara berkembang, antibodi maternal akan hilang pada usia 9 bulan, dan pada anak-anak di negara maju setelah 15 bulan. Dosis dan cara pemberian Dosis baku minimal untuk pemberian vaksin campak yang dilemahkan adalah 1000 TCID50 atau sebanyak 0,5 ml. Untuk vaksin hidup, pemberian dengan 20 TCID50 mungkin sudah dapat memberikan hasil yang baik. Pemberian diberikan pada umur 9 bulan, secara subkutan walaupun demikian dapat diberikan secara intramuskular. Daya proteksi vaksin campak diukur dengan berbagai macam cara. Salah satu indikator pengaruh vaksin terhadap proteksi adalah penurunan angka kejadian kasus campak sesudah pelaksanaan program imunisasi. Imunisasi campak diberikan lagi pada saat masuk sekolah SD (program BIAS) Reaksi KIPI Reaksi KIPI imunisasi campak yang banyak dijumpai terjadi pada imunisasi ulang pada seseorang yang telah memiliki imunitas sebagian akibat imunisasi dengan vaksin campak dari virus
yang dimatikan. Kejadian KIPI imunisasi campak telah menurun dengan digunakannya vaksin campak yang dilemahkan. Gejala KIPI berupa demam yang lebih dari 39,50C yang terjadi pada 5%-15% kasus, demam mulai dijumpai pada hari ke 5-6 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2 hari. Berbeda dengan infeksi alami demam tidak tinggi, walaupun demikian peningkatan suhu tubuh tersebut dapat merangsang terjadinya kejang demam. Ruam dapat dijumpai pada 5% resipen, timbul pada hari ke 7-10 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2-4 hari. Hal ini sukar dibedakan dengan akibat imunisasi yang terjadi jika seseorang telah memperoleh imunisasi pada saat masa inkubasi penyakit alami. Reaksi KIPI berat jika ditemukan gangguan fungsi sistem saraf pusat seperti ensefalitis dan ensefalopati pasca imunisasi, diperkirakan risiko terjadinya kedua efek samping tersebut 30 hari sesudah imunisasi sebanyak 1 diantara 1 milyar dosis vaksin. Daftar Pustaka 1. Abbas AK and LichtmanAH. 2005. Antibodies and antigen. in Cellular and Molecular Immunology fifth ed. Elsevier Saunders, International Edition page 43-65. 2. Center for Disease Control and Prevention (CDC) 2006. National Immunization Program .The Pink Book. 9 edition. Global Laboratory Networks. 3. Duke T, Mgone CS. 2003. Measles : not just another viral exanthem. Lancet 361 (9359) :
763-73. 4. Featherstone D, Brown D, Sanders R. 2003. Development of the global measles laboratory network. J Infect Dis 187(Suppl):264-269. 5. Maldonado Y, 2003. Measles. In : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. TextBook of Pediatrics. 17 ed. Philadelphia. WB Saunderss Company pp. 1026-1031. 6. MMWR 2004. Epidemiology of Measles, United States 2001-2003. Morb Mortal Wkly Rep. August 13;53(31):713-716. 7. Otten MW Jr, Okwo-Bele JM, Kezaala R, Biellik R, Eggers R, Nsimirimana D. 2003. Impact of alternative approaches to accelerated measles control : experience in the African region, 1996-2002. J Infect Dis 187 Suppl 1:S36-43.
8. Strebel P, Cochi S, Grabowsky M, Bious J, Hersh BS, Okwo-BeleJM, Hoekstra E, Wright P, Katz S. 2003. The unfinished measles immunization agenda. J Infect Dis. 187 Suppl 1: S1-7. 9. World Health Assembly 2003. Reducing global measles mortality. Fifty-sixth World Health Assembly. 28 May 2003. 10. World Health Organization 2005a. Global measles and rubella laboratory network – update. Wkly Epidemiol Rec 80: 384-388. 11. American Academy of Pediatrics. Measles. In: PickeringLK, ed. Red book: 2006 report of the Committee on Infectious Diseases. 27th ed. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2006. p. 441-52. 12. Strebel PM, Papania MJ, Halsey NA. Measles vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds. Vaccines. 4th ed. Philadelphia, PA: WB Saunders; 2003:389-440. 13. CDC. Recommended childhood and adolescent immunization schedule—United States, 2006. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;54:Q1-Q4. 14. AtkinsonWL, PickeringLK, Schwartz B. General recommendations on immunization. Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) and the American Academy of Family Physicians (AAFP). MMWR Recomm Rep. 2002;51(RR02):1-36.
Bab VI Vaksin yang Dianjurkan (non PPI) 1. Campak, gondong, rubella (Measles, Mumps, Rubella) 2. Haemophillus influenzae tipe b (Hib) 3. Demam tifoid 4. Varisela 5. Hepatitis A 6. Rabies dan vaksin anti rabies 7. Influenza 8. Pneumokokus 9. Rotavirus 10. Kolera dan ETEC (enterotoxigenic Escherichia coli) 11. Yellow fever 12. Japanese ensefalitis (JE) 13. Meningokokus 14. Human Papilloma Virus (HPV) Pen gantar Vaksin untuk tujuan khusus adalah vaksin-vaksin yang tidak termasuk vaksin PPI, namun penting diberikan pada bayi/anak di Indonesia mengingat burden of diseases dari masingmasing penyakit tersebut. Untuk vaksin-vaksin tersebut, perlu diketahui mengenai indikasi pemberiannya. Pertimbangan umum dalam memberikan vaksin-vaksin tersebut antara lain adalah insidens penyakit, kelompok susceptible, mortalitas, komplikasi, dan sekuele yang mungkin diakibatkan oleh penyakit tersebut; disamping imunogenisitas dan keamanan vaksin, serta harga vaksin. Dalam Edisi ketiga, ditambahkan penjelasan mengenai Rotavirus dan Human Papilloma Virus (HPV) serta vaksinnya.
Bab VI-1 Campak, Gondongan & Rubela (Measles, Mumps, Rubella = MMR)
Syahril Pasaribu Cam pak (measles, morbilli, rubeola) - lihat Bab V-5 Gondongan (mumps, parotitis) Gondongan adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh paramyxovirus, dengan predileksi pada kelenjar dan jaringan syaraf. Pada gondongan, paling sering terjadi pembengkakan pada kelenjar ludah, terutama kelenjar parotis. Penyebaran penyakit ini adalah melalui droplet dan terutama terjadi pada anak dengan insidens puncak pada usia 5-9 tahun. Masa inkubasi 12-25 hari, gejala prodromal tidak spesifik ditandai dengan mialgia, anoreksia, malaise, sakit kepala dan demam ringan. Setelah itu timbul pembengkakan unilateral/bilateral kelejar parotis. Gejala ini akan berkurang setelah 1 minggu dan biasanya menghilang setelah 10 hari. Namun pada beberapa keadaan infeksi terjadi tanpa gejala sama sekali. Tanda rangsangan meningeal dapat terjadi pada 15% kasus, tetapi gejala sisa yang permanen jarang ditemukan. Ketulian adalah salah satu komplikasi yang serius tetapi jarang terjadi (1: 500 kasus yang dirawat di rumah sakit). Penularan terjadi sejak 6 hari sebelum timbulnya pembengkakan parotis sampai 9 hari kemudian. Orkitis (biasanya unilateral) dilaporkan sampai 20% pada kasus gondongan lelaki dewasa, tetapi keadaan steril jarang ditemukan. Imunisasi dengan live attenuated vaccine sangat berhasil. Di USA telah terjadi reduksi 98% dari kasus yang dilaporkan di antara tahun 1967 (ketika vaksin pertama kali diperkenalkan dan tahun 1985).
Rubela Rubela pada umumnya merupakan penyakit infeksi akut yang ringan, yang disebabkan oleh virus rubela yang termasuk ke dalam famili togavirus. Penyebaran penyakit ini melalui udara dan droplet. Gejala klinis yang mencolok adalah timbulnya ruam makulopapular yang bersifat sementara (kira-kira 3 hari), pembengkakan kelenjar postauricular/dan sub-occipital. Kadang-kadang disertai arthritis dan arthralgia. Walaupun jarang, dapat terjadi komplikasi lain pada sistem syaraf dan trombositopenia. Apabila rubela menjangkiti ibu hamil, maka dapat terjadi sindrom rubela kongenital pada bayi yang dikandungnya. Sindrom rubela kongenital Pencegahan sindrom rubela kongenital (SRK) merupakan tujuan utama pemberian imunisasi rubela. Rubela adalah penyakit yang mendatangkan malapetaka apabila terjadi pada awal kehamilan, karena dapat menyebabkan kematian janin, kelahiran prematur dan cacat bawaan. Abortus dan lahir mati merupakan kejadian yang sering ditemukan. Berat ringannya dampak virus rubella terhadap janin tergantung kapan infeksi ini terjadi. Sampai 85% bayi yang terinfeksi pada kehamilan trimester pertama akan mempunyai gejala setelah lahir. Meskipun infeksi dapat terjadi sepanjang kehamilan, jarang terjadi kelainan bila infeksi terjadi setelah kehamilan di atas 20 minggu. Infeksi kongenital virus rubela dapat mengenai semua sistem organ bayi. Tuli merupakan gejala paling sering terjadi dan kadang-kadang merupakan manifestasi tunggal infeksi rubela kongenital. Kelainan lain yang dapat timbul adalah kelainan pada mata berupa katarak, glaukoma, retinopati dan mikroftalmia. Kelainan pada jantung berupa patent ductus arteriosus (PDA), ventricular septal defect (VSD), stenosis dan retardasi mental. Kelainan lain yang dapat ditemukan adalah lesi pada tulang, spenomegali, hepatitis, trombositopenia dan purpura. Manifestasi SRK ini dapat baru tampak pada umur 2-4 tahun.
Vaksi n Vaksin untuk mencegah campak, gondongan dan rubela merupakan vaksin kombinasi yang dikenal sebagai vaksin MMR (measles, mumps, dan rubella), dosis 0.5 ml. Vaksin MMR merupakan vaksin kering yang mengandung virus hidup, harus disimpan pada temperatur 2-8oC atau lebih dingin dan terlindung dari cahaya. Vaksin harus digunakan dalam waktu 1 jam setelah dicampur dengan pelarutnya, tetap sejuk dan terlindung dari cahaya, karena setelah dicampur vaksin sangat tidak stabil dan cepat kehilangan potensinya pada temperatur kamar. Pada temperatur 22-25oC, akan kehilangan potensi 50% dalam 1 jam, pada temperatur > 37oC vaksin menjadi tidak aktif setelah 1 jam. Dosis Pemberian vaksin MMR dengan dosis tunggal 0,5 ml suntikan secara intra-muskular atau subkutan dalam. Imunisasi ini menghasilkan sero-konversi terhadap ketiga virus ini > 90% kasus. Diberikan pada umur 12-18 bulan. Rekomendasi Vaksin MMR harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi campak, gondongan dan rubella atau imunisasi campak. Tidak ada efek imunisasi yang terjadi pada anak yang sebelumnya telah
mendapat imunitas terhadap salah satu atau lebih dari ketiga penyakit ini. Bayi dan anak berisiko infeksi campak Pada populasi dengan insidens yang tinggi pada infeksi campak dini, imunisasi MMR dapat diberikan pada usia 9 bulan. Indikasi lain pemberian vaksin MMR adalah • Anakdenganpenyakitkronis sepertikistikfibrosis, kelainanjantung bawaan, kelainan ginjal bawaan, gagal tumbuh, sindrom Down.
Anak berusia ≥1 tahun yang berada di day care centre, family day care dan playgroups. Anak yang tinggal di lembaga cacat mental. Individu dengan HIV dapat diberikan vaksin MMR bila tidak ditemukan kontra indikasi lainnya. Vaksinasi MMR yang terlambat Vaksin MMR diberikan pada anak yang berusia > 12 bulan. Bila imunisasi dasar tidak lengkap sampai waktu pemberian MMR, maka dapat diberikan secara bersamaan dengan menggunakan alat untuk dan tempat yang berbeda. Anak dengan riwayat kejang Anak dengan riwayat kejang atau riwayat keluarga pernah kejang harus diberikan MMR dan kepada orang tua diberikan pengertian bahwa dapat timbul demam 5-12 hari setelah imunisasi. Dianjurkan untuk mengurangi demam dengan pemberian parasetamol. Reaksi KIPI Pada penelitian yang mencakup 6000 anak yang berusia 1-2 tahun, dilaporkan setelah vaksinasi MMR dapat terjadi malaise, demam atau ruam yang sering terjadi 1 minggu setelah imunisasi yang berlangsung selama 2-3 hari. Dalam masa 6-11 hari setelah imunisasi, dapat terjadi kejang demampada 0,1% anak ensefalitis pasca imunisasi <1/1000.000 dan pembengkakan kelenjar parotis pada 1% anak berusia sampai 4 tahun, biasanya terjadi pada minggu ketiga dan kadang-kadang lebih lama. Meningoensefalitis yang disebabkan oleh imunisasi gondongan terjadi kira-kira 1/1000.000 kasus dengan galur virus gondongan Urabe, angka kejadian ini lebih kecil dibandingkan apabila menggunakan jalur virus gondongan Jeryl Lyn.
Trombositopenia biasanya akan sembuh sendiri, kadang-kadang dihubungkan dengan komponen rubela dari MMR. Kepada orang tua harus dijelaskan tentang kemungkinan gejala yang bakal timbul dan diberikan petunjuk untuk mengurangi demam, termasuk penggunaan parasetamol pada masa 5-12 hari setelah imunisasi. Indikasi Kontra Anak dengan penyakit keganasan yang tidak diobati atau gangguan imunitas, mereka yang mendapat pengobatan dengan imunosupresif atau terapi sinar atau mendapat steroid dosis tinggi (ekuivalen dengan 2 mg/kgbb/hari prednisolon). Anak dengan alergi berat (pembengkakan pada mulut atau tenggorokan, sulit bernapas, hipotensi dan syok) terhadap gelatin atau neomisin. Anak dengan demam akut, pemberian MMR harus ditunda sampai penyakit ini sembuh. Anak yang mendapat vaksin hidup yang lain (termasuk BCG dan vaksin virus hidup) dalam waktu 4 minggu. Pada keadaan ini imunisasi MMR ditunda lebih kurang 1 bulan setelah imunisasi yang terakhir. Individu dengan tuberkulin positif akan menjadi negatif setelah pemberian vaksin. Jika MMR diberikan pada wanita dewasa dengan kehamilan harus ditunda selama 2 bulan, seperti pada vaksin rubela. Vaksin MMR tidak boleh diberikan dalam waktu 3 bulan setelah pemberian imunoglobulin atau transfusi darah (whole blood). Defisiensi imun bawaan dan didapat (termasuk infeksi HIV). Sebenarnya HIV bukan indikasi kontra, tetapi pada kasus tertentu, dianjurkan untuk meminta petunjuk pada spesialis anak konsultan. Setelah suntikan imunoglobulin, selama 6 minggu tidak boleh mendapat vaksin rubela, kalau boleh sampai 3 bulan setelah pemberian imunoglobulin atau produk darah yang mengandung
imunoglobulin (darah, plasma). Dengan alasan yang sama imunoglobulin tidak boleh diberikan dalam waktu 2 minggu setelah vaksinasi. v. Disebabkan oleh karena komponen rubela, wanita hamil tidak dianjurkan mendapat imunisasi MMR dan dianjurkan untuk tidak hamil selama 3 bulan setelah mendapat suntikan. Penggunaan Imunoglobulin v. Jika seorang anak berusia > 12 bulan belum mendapat imunisasi, kontak dengan pasien campak dapat dicegah dengan pemberian vaksin MMR sesegera mungkin (dalam waktu 72 jam). Alasannya ialah masa inkubasi galur vaksin (4-6 hari) lebih singkat dari masa inkubasi virus campak liar (1-14 hari). Akan tetapi pada anak dengan imunokompromis, vaksin MMR adalah kontra indikasi, imunoglobulin (human) dapat diberikan segera mungkin setelah paparan. v. Pemeriksaan antibodi terhadap campak tidak menolong untuk membuat sesuatu keputusan penggunaan imunoglobulin, oleh karena imunisasi sebelumnya atau kadar serum antibodi yang rendah tidak memberi jaminan imunitas terhadap campak pada individu imunokompromis. Pemeriksaan antibodi terhadap campak juga akan memperlambat pemberian imunoglobulin, akan tetapi pemeriksaan ini mungkin mempunyai nilai untuk menegakkan diagnosa definitif campak. v. Seorang bayi berusia < 12 bulan yang terpapar langsung dengan pasien campak, mempunyai resiko yang tinggi untuk berkembangnya komplikasi penyakit ini; kepada mereka harus segera diberikan imunoglobulin (daripada vaksin) dalam waktu 7 hari paparan, untuk mengurangi kemungkinan terjadinya campak. Kemudian vaksin MMR harus diberikan sesegera mungkin sampai usia 12 bulan, akan tetapi dengan interval 3 bulan setelah pemberian imunoglobulin. v. Dosis imunoglobulin (human) NIGH ialah 0,2 ml/kgbb pada anak sehat dan 0,5 ml/kgbb pada individu imunokompromis (dosis
maksimal 15 ml). Pada wanita hamil non imun yang terpapar dengan campak dapat diberikan NIGH 0.2 ml/kgbb. v. Live mumps vaccine tidak memberikan perlindungan jika diberikan setelah terpapar dengan pasien mumps. Akan tetapi, jika paparan tadi tidak menimbulkan infeksi, vaksin akan memberikan perlindungan terhadap infeksi berikutnya. Imunoglobulin tidak terlihat mempunyai nilai sebagai profilaksis setelah terpapar dengan penyakit ini. Dari satu hasil penelitian di Alaska menunjukkan bahwa, pemberian immunoglobulin terhadap orang yang rentan tidak menunjukkan penurunan kejadian mumps dan juga tidak mencegah timbulnya komplikasi. Antibodi maternal yang ditransfer melewati plasenta dapat melindungi bayi selama 1 tahun kehidupan. v. Live attenuated rubella vaccine dapat memberikan perlindungan terhadap infeksi virus rubela dan pemakaian yang luas vaksin ini menyebabkan sindrom rubela kongenital di Australia tidak ditemukan lagi. Pemakaian imunoglobulin setelah terpapar dengan pasien rubela tidak memberikan perlindungan, sehingga pemberian imunoglobulin nilainya kecil untuk mencegah rubela pada wanita hamil. Kontroversi seputar imunisasi MMR Pernah dikatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit Crohn dan kolitis ulserativa dengan MMR. Pada penelitian ini terlihat adanya risiko relatif kasus yang mendapat MMR akan menjadi penyakit Crohn sebanyak 2,95 dan kolitis ulserativa 2,05. Namun setelah ditelusuri ternyata desain penelitian ini tidak benar. Kemudian dilakukan penelitian yang sama dengan skala besar secara internasional dan hasilnya tidak terdapat hubungan kejadian penyakit ini dengan MMR. Adanyahubungan antara autismdanMMRdiperolehdariprogram televisi Denmark pada tahun 1993, yang berasal dari seorang ibu yang anaknya kembar, salah satu diantaranya menderita autism dan diklaim bahwa penyebabnya MMR.
Kemudian pernyataan ini ditindak lanjuti oleh Danish National Department of Epidemiology dan UK Joint Committee on Vaccination and Immunization. Ternyata tidak ada satupun data biologi dan epidemiologi yang menyokong pernyataan ini. National Autistic Society menyatakan bahwa tidak ada peningkatan kasus autistic spectrum disorders dengan pemberian MMR. Penelitian yang dilakukan di Swedia mengikuti kejadian autism selama 10 tahun. Penelitian ini mempunyai data yang baik dan konsisten. Mereka mengikuti insiden autism di Gothenburg selama 10 tahun sewaktu vaksin MMR diperkenalkan sebagai program imunisasi pada anak. Terbukti bahwa kejadian autism tidak meningkat sehubungan dengan pelaksanaan imunisasi MMR.
Situasi yang sama juga terjadi pada asma. Ternyata tidak ada satupun penelitian yang menyokong adanya hubungan asma dengan vaksin MMR. Daftar Pustaka
2. 3. 4. 5. 6.
1. American Academy of Pediatrics. In: PickeringLK, editor. Red book: 2006 report of the Committee on Infectious Diseases. 27th ed. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2003. p. 441-68. World Health Organization. Global status of mumps immunization and surveillance. Wkly Epidemiol Rec. 2005;80:418-24, 707-43. CDC. Notice to readers: Updated recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) for the Control and Elimination of Mumps. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;55:629-630. Strebel PM, Papania MJ, Halsey NA. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds. Vaccines. 4th ed. Philadelphia, PA: WB Saunders;2003:389-469. Harling R, White JM, Ramsay ME, Macsween KF, van den Bosch C. The effectiveness of the mumps component of the MMR vaccine: a case control study. Vaccine. 2005;23:4070-4. Katz SL, Hinman AR. Summary and conclusions: measles elimination meeting, 16-17 March 2000. J Infect Dis. 2004;189(Suppl 1): S43-S47.
7. CDC. Epidemiology of measles—United States, 2001-2003. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2004;53:713-6.
8. CDC. Recommended childhood and adolescent immunization schedule—United States, 2006. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;54:Q1-Q4. 9. AtkinsonWL, Pickering LK, Schwartz B. General recommendations on immunization. Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) and the American Academy of Family Physicians (AAFP). MMWR Recomm Rep. 2002;51(RR02):1-36. 10. CDC. Licensure of a combined live attenuated measles, mumps, rubella, and varicella vaccine. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2005;54:1212-14. 11. Reef SE, Frey TK, Theall K, Abernathy E, Burnett CL, Icenogle J, et al. The changing epidemiology of rubella in the 1990s: on the verge of elimination and new challenges for control and prevention. JAMA. 2002;287:464-72. 12. Robertson SE, Featherstone DA, Gacic-Dobo M, Hersh BS. Rubella and congenital rubella syndrome: global update. Rev Panam Salud Pública. 2003;14:306-15.
Bab VI-2 Haemophillus Influenza tipe b Hardiono D.Pusponegoro Haemophyllus influenzae tipe b (Hib) bukan virus influensa, tetapi merupakan suatu bakteri Gram negatif. Haemophyllus influenzae terbagi atas jenis yang berkapsul dan tidak berkapsul. Tipe yang tidak berkapsul umumnya tidak ganas dan hanya menyebabkan infeksi ringan misalnya faringitis atau otitis media. Jenis yang berkapsul terbagi dalam 6 serotipe dari a sampai f. Di antara jenis yang berkapsul, tipe b merupakan tipe yang paling ganas dan merupakan salah satu penyebab tersering dari kesakitan dan kematian pada bayi dan anak berumur kurang dari 5 tahun. Infeksi Hib menyebabkan meningitis (radang selaput otak) dengan gejala demam, kaku kuduk, penurunan kesadaran, kejang dan kematian. Penyakit lain yang dapat terjadi adalah pneumonia, selulitis, artritis dan epiglotitis. Meningitis Di negara barat, Hib menyebabkan penyakit pada 20-200 per 100.000 penduduk. Perbedaan angka kejadian tersebut disebabkan perbedan teknik pemantauan/surveilans, teknik pengambilan materi pemeriksaan, teknik pemeriksaan laboratorium, dan pola penggunaan antibiotik. Beberapa faktor risiko misalnya umur kurang dari 5 tahun, tingginya pembawa kuman di tenggorok (karier), penyebaran infeksi di tempat penitipan anak, lingkungan yang padat, dan bayi tidak mendapat ASI. Laporan dari Asia menunjukkan bahwa Hib merupakan penyebab terpenting meningitis. Di Indonesia, dilaporkan bahwa Hib ditemukan pada 33% di antara kasus meningitis. Pada penelitian lanjutan didapatkan
bahwa Hib merupakan 38% di antara penyebab meningitis pada bayi dan anak berumur kurang dari 5 tahun. Laporan dari negara-negara Asia cenderung menunjukkan bahwa Hib merupakan penyebab meningitis terbanyak bersama pneumokokus dan meningokokus, tetapi insidens meningitis rendah. Pneumonia Haemophyllus influenzae sebagai penyebab pneumonia lebih sulit dibuktikan karena metode pengambilan bahan pemeriksaan jauh lebih sulit. Penelitian membuktikan bahwa pneumonia disebabkan oleh virus pada 25%-75% kasus, sedangkan bakteri biasanya ditemukan pada kasus yang berat. Bila kedua penyebab ditemukan, kemungkinan pneumonia pada awalnya disebabkan oleh virus, kemudian terjadi infeksi bakteri. Kematian umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Sebelum diperkenalkan vaksin, H. influenzae tipe b merupakan bakteri penyebab pneumonia yang penting. Identifikasi yang sulit dari bakteri ini mengakibatkan insiden yang pasti tidak diketahui, diduga H.influenzae tipe b bertanggung jawab terhadap 5-18% kejadian pneumonia. Di negara yang telah berkembang, imunisasi menurunkan kejadian sindrom H.influenzae tipe b invasif sampai lebih dari 95%, termasuk pneumonia. Epidemiologi Haemophyllus influenzae hanya ditemukan pada manusia. Penyebaran terjadi melalui droplet dari individu yang sakit kepada orang lain. Sebagian besar orang yang mengalami infeksi tidak menjadi sakit, tetapi menjadi pembawa kuman karena Hib menetap ditenggorok. Prevalensi karier yang lebih dari 3% menunjukkan angka yang cukup tinggi. Penelitian pendahuluan di Lombok menunjukkan prevalensi carrier-rate sebesar 4,6%, suatu angka yang cukup tinggi. Bila prevalensi pembawa kuman cukup banyak, kemungkinan kejadian meningitis dan pneumonia akibat Hib biasanya juga tinggi.
Walaupun demikian, dampak Hib secara keseluruhan baru dapat dipastikan setelah adanya suatu penelitian populasi di lapangan. Penelitian populasi sedang dilakukan di Lombok. Vaksin Hib Bagian kapsul Hib yang disebut polyribosyribitol phosphate (PRP) menentukan virulensi dari Hib. Vaksin Hib dibuat dari kapsul tersebut. Vaksin awal yang terbuat dari PRP murni ternyata kurang efektif, sehingga saat ini digunakan konjugasi PRP dengan protein dari berbagai komponen bakteri lain. Vaksin yang beredar di Indonesia adalah vaksin konjugasi dengan membran protein luar dari Neisseria meningitidis yang disebut sebagai PRP-OMP dan konjugasi dengan protein tetanus yang disebut sebagai PRP-T. Kedua vaksin tersebut menunjukkan efikasi dan keamanan yang sangat tinggi. Kedua vaksin tersebut boleh digunakan bergantian baik monovalen atau kombinasi. Jadwal dan dosis Vaksin Hib diberikan sejak umur 2 bulan. PRP-OMP diberikan 2 kali sedangkan PRP-T diberikan 3 kali dengan jarak waktu 2 bulan. Penelitian menunjukkan bahwa respons antibodi sudah terbentuk setelah suntikan pertama PRP-OMP dan setelah dua kali suntikan PRP-T, sedangkan titer antibodi yang tertinggi ditemukan setelah 3 kali suntikan PRP-T. Titer PRP-T bertahan lebih lama dibandingkan PRP-OMP. Ulangan umumnya diberikan 1 tahun setelah suntikan terakhir. Apabila suntikan awal diberikan pada bayi berumur 6 bulan–1 tahun, 2 kali suntikan sudah menghasilkan titer protektif; sedangkan setelah 1 tahun cukup 1 kali suntikan tanpa memerlukan booster. Hal ini dokter sering menunda pemberian
vaksin Hib sehingga memerlukan dosis yang lebih sedikit. Pendapat ini salah, karena Hib lebih sering menyerang bayi kecil. Dua puluh enam persen terjadi pada bayi berumur 2-6 bulan dan 25% pada bayi berumur 7-11 bulan (CDC). Kasus termuda di Jakarta berumur 3 bulan. • Vaksin tidak boleh diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan karena bayi tersebut belum dapat membentuk antibodi. Penelitian mengenai infeksi Hib di populasi di Lombok, juga meneliti manfaat imunisasi Hib terhadap kejadian dan kematian pneumonia pada balita. Data yang ada menunjukkan bahwa Hib memang merupakan penyebab meningitis yang terbanyak. Saat ini vaksin Hib digolongkan dalam vaksin yang dianjurkan, diharapkan 1-2 tahun mendatang dapat masuk dalam program nasional.
Daftar Pustaka 1. Pusponegoro HD, Oswari H, Astrawinata D, Fridawati V. Epidemiologic study on bacterial meningitis in Jakarta and Tanggerang: preliminary report. Pediatr Infect Dis J 1998; 17:S176-8 2. Gessner BD, Sutanto A, Steinhoff M, dkk. A population-based survey of Haemophylus influenzae type b nasopharyngeal carriage prevalence in Lombok Island, Indonesia. Pediatr Infect Dis J, 1998; 17:S179-82. 3. Petola. Need for Haemophyllus influenzae type b vaccination in Asia as evidenced by epidemiology of bacterial meningitis. Pediatr Infect Dis J, 1998; 17:S148-51. 4. Levine, Schwartz B. Pierce N, Kane M. Development, evaluation and implementation of Haemophylus influenzae type b vaccines for young children in developing countries: current status and priority actions. Pediatr Infect Dis J 1998; 17:S95-113. 5. Wenger JD, Ward JI. Haemophilus influenzae vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds. Vaccines. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004:229-68. 6. CDC. Active Bacterial Core Surveillance Report, Emerging Infections Program Network, Haemophilusinfluenzae, 2004- provisional. Atlanta: Department of Health and Human Services; 2005. 7. Peltola H. Burden of meningitis and other severe bacterial infections of children in Africa: implications for prevention. Clin Infect Dis. 2001;31:64-75. 8. American Academy of Pediatrics. Haemophilus influenzae infections. In: Pickering LK, ed. Red Book: 2006 Report of the Committee on Infectious Diseases. 27th ed. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2006:310-318.
Bab VI-3 Demam Tifoid T. H. Rampengan Salmonella typhi merupakan kuman patogen pada manusia yang menyebabkan infeksi invasif, ditandai dengan demam, toksemia, nyeri perut, konstipasi atau diare. Bila tidak diobati dapat menyebabkan kematian pada 10%-20% kasus karena perforasi usus, perdarahan, toksemia dan karena komplikasi lain. Virulensi Salmonella typhi untuk melakukan sirkulasi ke dalam sirkulasi sebagian berhubungan dengan antigen permukaan Vi. Epidemiologi Infeksi terjadi melalui mulut dari makanan dan minuman yang terkontaminasi. Salmonella typhi hanya dijumpai pada manusia yang terinfeksi dan dikeluarkan melalui tinja dan urin. Masa inkubasi 3- 60 hari, terbanyak 7-14 hari. Insidens tertinggi demam tifoid pada anak terutama di daerah endemis. Demam tifoid sering dijumpai di banyak negara berkembang terutama di Asia, Afrika dan Amerika Latin, tertinggi di India, Pakistan dan Bangladesh. Patogenesis Kuman salmonella masuk bersama makanan/minuman, dan setelah berada dalam usus halus mengadakan invasi ke jaringan limfoid usus halus, terutama pleksus Peyer dan jaringan limfoid mesenterika. Setelah terjadi proses peradangan dan nekrosis setempat, kuman melewati pembuluh limfe masuk ke aliran darah (bakteremia primer) menuju organ dalam sistem retikuloendotelial (RES) terutama hati dan limpa. Di tempat ini kuman difagosit oleh
sel fagosit RES, sedangkan kuman yang tidak difagosit kembali masuk ke aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh (bakteremia sekunder). Sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama limpa dan kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut dikeluarkan kembali dari kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi di usus. Dalam masa bakteremia kuman mengeluarkan endotoksin yang susunan kimianya sama dengan antigen somatik (lipopolisakarida). Demam tifoid disebabkan karena Salmonella typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang. Selanjutnya zat pirogen yang beredar dalam aliran darah mempengaruhi pusat termoregulator di hipotalamus yang mengakibatkan timbul gejala demam. Makrofag akan menghasilkan substansi aktif yang di sebut monokin, selanjutnya monokin ini dapat menyebabkan nekrosis selular dan merangsang sistem imun, menyebabkan instabilitas kapiler, depresi sumsum tulang dan demam. Gejala klinis
v. Gejala klinis pada anak umumnya lebih ringan dan lebih bervariasi dibandingkan dengan dewasa. Dengan demikian maka lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama usia muda. Gejala demam tifoid pada anak bervariasi yaitu demam satu minggu atau lebih, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran. v. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. v. Pada minggu kedua maka gejala/tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung bisa disertai gangguan kesadaran dari ringan sampai berat.
v. Demam tidak selalu khas seperti pada orang dewasa, kadang – kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39410C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi. v. Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah demam meningkat dengan tanda–tanda antara lain lidah tampak kering, di lapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi tampak lebih kemerahan dan bila penyakit lebih progresif maka akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lidah lebih prominen. v. Roseola tifosa lebih sering terlihat pada akhir minggu pertama dan permulaan minggu kedua, berupa nodul kecil, sedikit menonjol dengan diameter 2-4 mm, berwarna merah pucat, serta hilang pada penekanan. Roseola ini karena emboli kuman pada kapiler kulit dan terutama dijumpai di daerah perut, dada, kadang– kadang di bokong maupun bagian fleksor lengan atas. Komplikasi Komplikasi demam tifoid dibagi dua: 1. Komplikasi pada usus berupa perdarahan usus, perforasi usus dan peritonitis. 2. Komplikasi di luar usus berupa bronkitis, bronkopneumonia, ensefalopati, kolesistitis, meningitis, miokarditis dan kronik karier. Vaksin Demam Tifoid 1. Vaksin demam tifoid oral ï¶ Vaksin demam tifoid oral dibuat dari kuman Salmonella typhi galur non patogen yang telah dilemahkan. Kuman dalam vaksin akan mengalami siklus pembelahan dalam usus dan dieliminasi dalam waktu 3 hari setelah pemakaiannya. Tidak seperti vaksin parenteral, respons imun pada vaksin ini termasuk sekretorik
lgA. Secara umum efektifitas vaksin oral sama dengan vaksin parenteral yang diinaktivasi dengan pemanasan, namun vaksin oral mempunyai reaksi samping lebih rendah. Vaksin tifoid oral dikenal dengan nama Ty-21a. + Penyimpanan pada suhu 20C–80C + Kemasan dalam bentuk kapsul, untuk anak umur 6 tahun atau lebih. + Cara pemberian 1 kapsul vaksin dimakan tiap hari ke 1,3 dan 5, 1 jam sebelum makan dengan minuman yang tidak lebih dari 37oC. Kapsul ke-4 pada hari ke-7 terutama bagi turis. + Kapsul harus ditelan utuh dan tidak boleh dibuka karena kuman dapat mati oleh asam lambung. + Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotik, sulfonamid, atau antimalaria yang aktif terhadap salmonella. + Karena vaksin ini juga menimbulkan respon yang kuat dari interferon mukosa, pemberian vaksin polio oral sebaiknya ditunda dua minggu setelah pemberian terakhir dari vaksin tifus ini. + Imunisasi ulangan diberikan tiap 5 tahun. Namun pada individu yang terus terekspose dengan infeksi Salmonella sebaiknya di berikan 3-4 kapsul tiap beberapa tahun. + Daya proteksi vaksin ini hanya 50%-80%, maka yang sudah divaksinasipun dianjurkan untuk melakukan seleksi pada makanan dan minuman. 2. Vaksin polisakarida parenteral
+ Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml mengandung kuman Salmonella typhi, polisakarida 0,025 mg, fenol dan larutan bufer yang mengandung natrium klorida, disodium fosfat, monosodium fosfat dan pelarut untuk suntikan. + Penyimpanan pada suhu 20C-80C, jangan dibekukan. + Kadaluwarsa dalam 3 tahun. + Pemberian secara suntikan intramuskular atau subkutan pada daerah deltoid atau paha.
v. Imunisasi ulangan tiap 3 tahun v. Reaksi samping lokal berupa demam, nyeri kepala,pusing, nyeri sendi, nyeri otot, nausea, nyeri perut jarang di jumpai. Sangat jarang bisa terjadi reaksi alergi berupa pruritus, ruam kulit dan urtikaria. v. Indikasi kontra: alergi terhadap bahan–bahan dalam vaksin. Juga pada saat demam, penyakit akut maupun penyakit kronik progresif. v. Daya proteksi 50%-80%, maka yang sudah divaksinasipun dianjurkan untuk melakukan seleksi pada makanan dan minuman. Daftar Pustaka
5. 6. 7. 8.
1. Krugman S, Katz L.: Infectious diseases of children, Philadelphia; Mosby 2004. 2. Sood SK. Immunization for Children Travelling Aboard. Pediatrics Clin North Am 2000: 47; 435-48. 3. American Academy of Pediatrics. Dalam: Pickering L:K,Baker,CJ,Overturf GD, Prober CG, Penyuting. Red book. 2003 Report of commitee on Infectious Diseases. Edisi ke-26. Elk Grove: 2003. h. 541-7. 4. Lutwick LI, Rubin LG, Childhood immunizations. WB Saunders Company. Ped Clin of N Am 47, April 2000. Centers for Disease Control and Prevention. Yellow Book(4) CDD Travelers health. Health Information for International Travel, 2005-2006. Crump JA, Luby SP, Mintz ED. The global burden of typhoid fever. Bull World Health Organ. 2004;82(5):346-53. Steinberg EB, Bishop R, Haber P, Dempsey AF, Hoekstra RM, Nelson JM, et al. Typhoid fever in travelers: who should be targeted for prevention? Clin Infect Dis. 2004;39:186-91. Beeching NJ, Clarke PD, Kitchin NR, Pirmohamed J, Veitch K, Weber F. Comparison of two combined vaccines against typhoid fever and hepatitis A in healthy adults. Vaccine. 2004;23:29-35.
Bab VI-4 Varisela Hindra Irawan Satari Vaksin varisela hidup yang dilemahkan (live attenuatted varicella vaccine) dikembangkan pertama kali di Jepang oleh Takahashi, yang dikenal dengan strain Oka. Di Amerika mendapat lisensi untuk dipegunakan pada anak sejak tahun 1995. Vaksin berasal dari VZV liar yang diisolasi dari seorang anak yang bernama belakang Oka, berusia 3 tahun. Hasil penelitian klinis di Amerika Serikat pada anak sehat menunjukkan bahwa vaksin aman dan mempunyai efektivitas tinggi untuk mencegah varisela yang berat. Epidemiologi Varisela (cacar air) adalah penyakit infeksi yang sangat menular disebabkan oleh virus varisela-zoster. Cacar air merupakan fase akut invasi virus sedangkan herpes zoster merupakan reaktivasi fase laten. Angka kematian meningkat pada individu imunokompromais 7%-10% dibandingkan dengan anak sehat 0,1%-0,4%. Patogenesis Cacar air ditularkan melalui droplet infection dan sangat menular selama masa prodromal yang singkat dan pada fase awal erupsi. Masa inkubasi 14 sampai 16 hari. Apabila lesi telah berubah menjadi krusta, pasien tidak menularkan penyakit. Gejala Klinis Setelah masa inkubasi, muncul nyeri kepala ringan, demam tidak begitu tinggi dan lemah badan, diikuti dengan timbulnya lesi kulit
24-36 jam kemudian. Ruam pertama muncul dalam bentuk erupsi makula yang dapat disertai dengan daerah kemerahan. Ruam ini hanya timbul dalam beberapa jam, terasa gatal, vesikel berisi cairan jernih, dan menimbul dari dasar; pada saat ini pada umumnya diagnosis mudah ditegakkan. Perubahan lesi makula ke papul menjadi vesikel kemudian krusta, berlangsung dalam kurun waktu 6 sampai 8 jam. Lesi kemudian berubah menjadi krusta. Fase akut berlangsung 4-7 hari. Cacar air pada anak biasanya bersifat ringan dan berlangsung singkat. Bila menyerang dewasa sifatnya lebih berat dan dapat menyakibatkan penyakit yang serius serta fatal, terutama apabila menyerang pasien defisiensi imun, anak yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid atau terapi kemostatik, tanpa bergantung kepada golongan umur. Pada umur 12 tahun, sekitar 75% anak telah terserang varisela. Lima persen diantaranya bersifat sub-klinis. Herpes Zoster Infeksi herpes zoster berupa ruam vesikular yang terlokalisasi akibat reaktivasi virus variselazoster laten, akan timbul pada saat menurunnya kekebalan. Herpes zoster jarang ditemui sebelum umur 12 tahun (1% kasus), umumnya muncul pada usia 40 tahun (81 %). Herpes zoster sering berupa penyakit yang serius pada usia lanjut dan individu yang menderita imunokompromais; sehingga dapat menjadi herpes zoster menyeluruh yang meliputi organ dalam, susunan syaraf dan paru. Sindrom varisela kongenital Infeksi varisela pada bayi baru lahir yang berat terjadi semasa perinatal akibat varisela dari ibu hamil. Sindrom varisela kongenital dilaporkan terjadi setelah infeksi varisela pada masa tengah kehamilan dan dapat berakibat malformasi kongenital, parut kulit dan anomali lain. Data terakhir dari Eropa mengindikasikan risiko yang tinggi bila infeksi maternal muncul
pada masa kehamilan 0-12 minggu (2%-4%). Bayi yang terinfeksi intrauterin juga mempunyai risiko (0,8%-1,7%) untuk terjadinya herpes zoster pada masa bayi, risiko meningkat apabila paparan terjadi pada kehamilan 25-36 minggu. Masa awitan pada wanita hamil berlangsung 5 hari sebelum kelahiran sampai 2 hari pasca kelahiran dan diperkirakan akan berakibat varisela berat pada 17% -30% bayi yang dilahirkan. Komplikasi Infeksi sekunder oleh kuman streptokokus pada vesikel dapat mengakibatkan terjadinya erisipelas, sepsis, nefritis hemoragik akut. Infeksi stafilokokus dapat terjadi pada vesikel dan menyebabkan pioderma atau impetigo bulosa. Meski jarang, dapat terjadi komplikasi berat, seperti serebelitis, meningitis aseptik, mielitis transversa, trombositopenia dan pneumonia. Pada kasus lebih jarang lagi bahkan dapat menyerang organ dalam dan sendi. Komplikasi pneumonia terjadi pada dewasa, bayi baru lahir serta pasien imunokompromais, tetapi jarang pada anak kecil. Aspirin atau salisilat tidak boleh diberikan pada pasien dengan varisela oleh karena ditakutkan terjadinya sindrom Reye. Vaksi n Vaksin virus hidup varisela-zoster (galur OKA) yang dilemahkan terdapat dalam bentuk bubuk-kering (lyophilised). Bentuk ini kurang stabil dibandingkan vaksin virus hidup lain, sehingga memerlukan suhu penyimpanan tertentu. Vaksin harus disimpan sesuai dengan petunjuk pabrik. Vaksin variselazoster yang beredar di Indonesia dapat disimpan pada suhu 2oC-8oC. Bagi anak hanya diperlukan 1 dosis, sedang individu imunokompromais serta remaja (sama atau di atas 13 tahun) dan dewasa memerlukan 2 dosis, selang 1-2 bulan.
Serokonversi didapat pada 97% individu yang divaksinasi dan sekitar 70% terlindungi apabila terpapar infeksi oleh anggauta keluarga. Infeksi setelah terpapar apabila telah divaksinasi dapat terjadi pada 1 %-2% kasus setahun, tetapi infeksi pada umumnya bersifat ringan. Vaksin dapat diberikan bersama dengan vaksin MMR. American Academy of Pediatrics merekomendasikan vaksin ini diberikan 2 kali bagi anak berumur di bawah 13 tahun, suntikan pertama diberikan pada umur 1215 bulan, sedangkan suntikan ulangan pada umur 4-6 tahun. Dosis kedua dapat diberikan lebih awal dengan jarak antar suntikan 3 bulan. Cara pemberian Mengingat (1) kejadian varisela di Indonesia terbanyak terjadi pada anak yang telah bergaul dengan anak seumurnya (awal sekolah) dan (2) penularan varisela (kepada adik atau anggota keluarga yang lain) terbanyak terjadi pada saat usia
sekolah, maka Satgas Imunisasi pada tahun 2007 merekomendasikan: Vaksin varisela diberikan mulai umur masuk sekolah 5 tahun, dosis 0,5 ml secara subkutan, dosis tunggal. Atas pertimbangan tertentu vaksinasi varisela dapat diberikan setelah umur >1 tahun. Pada anak ≥ 13 tahun vaksin dianjurkan untuk diberikan dua kali selang 1 bulan. Pada keadaan terjadi kontak dengan kasus varisela, untuk pencegahan vaksin dapat diberikan dalam waktu 72 jam setelah penularan (dengan persyaratan: kontak dipisah/tidak berhubungan). Mengingat infeksi alamiah masih tinggi sehingga imunisasi pada sekelompok anak tertentu tidak mengubah epidemiologi penyakit ini, seperti peningkatan insiden pada golongan umur yang lebih tua.
Kejadian ikutan pasca imunisasi Reaksi simpang jarang terjadi. Reaksi KIPI dapat bersifat lokal (1%), demam (1%), dan ruam papula-vesikel ringan. Pada individu imunokompromais: ï¶ Reaksi sistemik muncul lebih sering (sekitar 12%-40% pada pasien leukemia dalam pengobatan rumatan) daripada reaksi lokal. ï¶ Setelah penyuntikan vaksin, pada 1% individu imuno kompromais dapat timbul penyulit varisela. ï¶ Pada pasien leukemia yang mendapat vaksinasi varisela dapat muncul ruam pada 40% kasus setelah vaksinasi dosis pertama, 4% diantaranya dapat terjadi varisela berat yang memerlukan pengobatan asiklovir. Indikasi kontra Vaksin varisela tidak dapat diberikan pada keadaan demam tinggi, hitung limfosit kurang dari 1200/µl atau adanya bukti defisiensi imun selular seperti selama pengobatan induksi penyakit keganasan atau fase radioterapi, pasien yang mendapat pengobatan dosis tinggi kortikosteroid (2 mg/kgBB per hari atau lebih). Vaksin ini juga indikasi kontra bagi pasien yang alergi pada neomisin. Daftar Pustaka 1. GershonAA, Takahashi M, White CJ. Varicella vaccine. Dalam: Plotkin dan Orenstein, penyunting. Vaccines. Edisi ke–4. Philadelphia: W.B. Saunders 2004; 475-507. 2. Seward JF, Watson BM, Peterson CL, Mascola L, Pelosi JW, Zhang JX, et al. Varicella disease after introduction of varicella vaccine in the United States, 1995-2000. JAMA. 2002;287:606-11. 3. Gershon AA, Takahasi M, Seward J. Varicella vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, eds. Vaccines. 4th ed. Philadelphia: Saunders; 2004:783-823. CDC_ch04_113-380.indd 354 4/9/07 10:06:52 AM Viral Hemorrhagic Fevers 355.
4. CDC. Decline in annual incidence of varicella – Selected States, 1990-2001. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2003;52:884-5. 5. Centers for Disease-Control. Prevention of varicella. Update. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 1999;48:1-6. 6. ACIP Provisional Recommendations for Prevention of Varicella (http://www.cdc. gov/nip/vaccine/varicella/varicella acip recs prov june 2006.pdf). 7. Kuter B, Matthews H, Shinefi eld H, Black S, Dennehy P, Watson B, et al. Ten year followup of healthy children who received one or two injections of varicella vaccine. Pediatr Infect Dis J. 2004;23:132-7. 8. Shinefield H, BlackS, Digilio L, Reisinger K, Blatter M, Gress JO, et al. Evaluation of a quadrivalent measles, mumps, rubella and varicella vaccine in healthy children. Pediatr Infect Dis J. 2005;24:665-9. 9. Seward JF. Update on varicella. Pediatr Infect Dis J. 2001;20:619-21. 10. ACIP Provisional recommendations for the use of zoster vaccine (http://www.cdc. gov/nip/recs/provisional_recs/zoster-11-20-06. pdf). 11. CDC. A new product (VariZIG) for postexposure prophylaxis of varicella available under an Investigational New Drug application expanded access protocol. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006; 55(MM8):209-210
Bab VI-5 HEPATITIS A Boerhan Hidajat, Purnamawati S. Pujiarto, Hanifah Oswari Infeksi virus hepatitis A (VHA) bersifat global dengan variasi demografis sesuai tingkat higiene-sanitasi dan sosial-ekonomi suatu negara. VHA bersifat self limiting namun potensial menimbulkan dampak epidemiologis dan klinis. Indonesia merupakan daerah endemis hepatitis virus baik VHA maupun hepatitis virus B dan C (VHB dan VHC). Sulit untuk mengetahui insidens pasti VHA karena pada sebagian kasus infeksinya bersifat asimtomatis terutama pada anak berusia < 6 tahun. Kelompok asimtomatis ini merupakan reservoir infeksi bagi komunitasnya, termasuk orang tua. Pasien penyakit hati kronis (PHK) mempunyai morbiditas dan mortalitas lebih tinggi. Virus hepatitis A tergolong picornavirus (berukuran 27 nanometer). Terdiri dan satu rantai RNA linear yang dibungkus 3 protein yaitu VPI VP2, VP3. Neutralisasi termasuk oleh neutralizing antibody pasca imunisasi, ditujukan terhadap VPI-3. Virus HA sangat stabil pada suhu tinggi maupun pada pH 3–10. Epidemiologi Di negara prevalens tinggi, infeksi umumnya teijadi pada usia <10 tahun, di daerah prevalens sedang, infeksi terjadi pada usia remaja dan dewasa muda, sedangkan di area prevalens rendah, infeksi terjadi pada dewasa dan usia lanjut. Di daerah urban Jakarta, prevalens anti HAV pada kelompok usia < 9 tahun 39,6%, usia 10 - 19 tahun 67,8%, dan 95% pada usia >50 tahun. Di Bandung, prevalens anti HAV 63,2% dan di rural Sulawesi 47,5%. Penelitian lain pada anak usia 6-8 tahun dan kelompok sosial ekonomi tinggi di Jakarta menunjukkan bahwa prevalens anti HAV
hanya 1,7% dan mereka inilah yang kelompok yang rentan dan perlu imunisasi VHA. Transmisi. Transmisi VHA terjadi melalui penularan fekal-oral dalam bentuk penularan antar individu (kontak erat) dan penularan melalui makanan atau minuman yang tercemar. Transmisi terjadi selama ekskresi virus di tinja masih berlangsung yaitu sejak 2-3 minggu sebelum sampai dengan 8-19 hari sesudah gejala klinis rnuncul. Transmisi dalam kontak erat terbukti dengan terjadinya penularan intrafamilial satu rumah (26%), di tempat penitipan anak (TPA, 11%), di lembaga retardasi mental, dan di kalangan homoseksual (l5%). Meskipun jarang, transrnisi dapat pula terjadi di rumah sakit. Transmisi antar anak di sekolah bukan merupakan modus transmisi yang kerap. Infeksi VHA di sekolah merefleksikan adanya infeksi di populasi. Wabah akibat makanan (tidak dimasak atau yang dibekukan), jarang terjadi tetapi dapat menimbulkan dampak lingkungan yang besar. Di beberapa negara berkembang, kejadian wabah VHA cukup tinggi akibat air kolarn renang yang tercemar atau tidak diklorinisasi dengan adekuat. Meskipun jarang, penularan dapat juga terjadi melalui transfusi darah/komponen darah dan donor yang sedang berada pada fase viremia. Selain itu, transmisi juga terjadi pada pengguna obat terlarang (10%), serta pada wisatawan mancanegara (14%). Populasi risiko tinggi tertular VHA Anak usia ≥ 2 tahun, terutama anak di daerah endemis. Pada usia > 2 tahun antibodi maternal sudah menghilang. Di lain pihak, kehidupan sosialnya semakin luas dan semakin tinggi pula paparan terhadap makanan dan minuman yang tercemar. Pasien PHK, berisiko tinggi hepatitis fulminan bila tertular VHA. Kejadian hepatitis fulminan pada pengidap VHB dan VHC 55% dan 33%.
Kelompok lain, yaitu pria homoseksual, pasien koagulopati, pengguna narkotik intravena, pekerja dengan primata, dan kelompok sosioekonomi tinggi. Penelitian pada anak kelompok sosioekonomi tinggi di Jakarta menunjukkan persentase rendah anak sekolah kelompok sosio ekonomi tinggi yang sudah memiliki proteksi alamiah. Manifestasi klinis Masa inkubasi HVA bervariasi antara 15 - 50 hari. Infeksi dapat simtomatik atau asimtomatik, tergantung usia. Infeksi asimtomatis dialami 70% anak usia < 6 tahun sedangkan 85% anak besar dan dewasa simtomatis dan umumnya memerlukan rawat inap. Gejala berlangsung < 2 bulan, tetapi 10% - 15% pasien mengalami prolonged atau relapsing hepatitis selama 6 bulan. Sebagian besar hepatitis akut yang dirawat di rumah sakit adalah infeksi HVA.
Virus bereplikasi di hati, diekskresi dan menumpuk di tinja. Selama 2 minggu sebelum ikterik atau sebelum terjadinya peningkatan SGPT, daya tular sangat tinggi karena konsentrasi virus di tinja sangat tinggi. Pada fase ikterik, konsentrasi virus di tinja jauh berkurang tetapi telah dilaporkan fecal shedding bisa berlangsung beberapa bulan. Viremia berlangsung singkat, sebagian kecil saja yang masih viremia pada awal masa penyembuhan. HVA dapat menimbulkan komplikasi (1) hepatitis fuiminan (± 0.1%) yang pada VHB dan VHC meningkat (55% dan 33%); (2) prolong hepatitis (12-18 minggu); dan (3) relapsing hepatitis (3,8% - 20%), biasanya kekambuhan Iebih dan satu kali. Pencegahan Upaya pence gahan merupakan upaya yang terpenting, dilakukan dengan pola hidup bersih/sehat dan imunisasi pasif maupun aktif.
Imunisasi pasif Normal human immune globulin (NIHG) setiap milimiternya mengandung 100 IU anti HAV Diberikan sebagai upaya pencegahan setelah kontak (kontak serumah, kontak seksual, saat epidemi) atau upaya profilaksis pasca paparan. Diberikan pula sebagai upaya profilaksis pra paparan atau sebelum kontak (pengunjung dari daerah non endemis ke daerah endemis). Seyogyanya diberikan tidak lebih dari 2 minggu setelah paparan. Imunoglobulin (Ig) diberikan secara intramuskular dalam dengan dosis 0,002 ml/kg berat badan, pada anak besar dan dewasa ≤5 ml, sedangkan pada anak kecil atau bayi tidak melebihi 3 ml. Tabel 6.1. Rekomendasi profilaksis post exposure terhadap VHA. Saat paparan (minggu) Usia (tahun)
Rekomendasi ≤2
2
<
Ig ≥2
Ig dan vaksin >2
2
<
Ig ≥2
Vaksin
Keterangan: Ig=imunoglobulin Tabel 6.2. Profilaksis pre exposure terhadap pengunjung dan daerah non endemis Umur Rekomendasi (thn)
Lama
Keterangan
kunjungan <2
0.02ml/kg 3 - 5 bulan
< 3 bulan
Ig
1 kali Ig 0.06 ml/kg
Jangka panjang Ig 0.06 ml/kg
1 kali saat berangkat, di‑ ulang setiap 5 bln ≥2
<3 bulan
Vaksin atau
Ig 0.02 ml/kg Dosis dan jadwal 3 - 5 bulan Jangka panjang Vaksin
Vaksin atau Ig 0.06 ml/kg imunisasi aktif lihat di bagian perihal imunisasi aktif Keterangan: Ig=imunoglobulin
Imunisasi aktif
Imunisasi menyebabkan terbentuknya serum-neutralizing antibodies terhadap epitop permukaan virus. Kandidat vaksinasi VHA berdasarkan rekomendasi ACIP tertera pada Tabel 6.3. Kebijakan imunisasi hepatitis A lebih bersifat individual. Imunisasi hepatitis A diberikan pada anak berusia ≥ 2 tahun. Tabel 6.3. Indikator kandidat vaksinasi HVA Kandidat vaksinasi HVA Imunisasi rutin Anak di daerah endemis HVA atau daerah dengan wabah periodik Risiko tinggi VHA Pengunjung ke daerah endemis Pria homoseksual dengan pasangan ganda IVDU Pasien yang memerlukan konsentrat faktor VIII Staf TPA, staf dan penghuni institusi untuk cacat mental Pekerja dengan primata bukan manusia Staf bangsal neonatologi Risiko hepatitis fulminan Pasien penyakit hati kronis Risiko menularkanYHA Penyaji makanan, anak usia 2-3 tahun di TPA Vaksin Vaksin dibuat dan virus yang dimatikan (inactivated vaccine). Dosis vaksin bervariasi tergantung produk dan usia resipien. Vaksin diberikan2kali, suntikankedua atau booster bervariasi antara 6 sampai 18 bulan setelah dosis pertama, tergantung produk. Vaksin diberikan pada usia ≥2 tahun. Vaksin hepatitis A terbukti mempunyai imunogenisitas baik. Efek Samping Vaksin HVA aman dan jarang menimbulkan efek samping. Reaksi lokal merupakan efek samping tersering (21 %–54%) tetapi umumnya ringan. Demam dialami 4% resipien.
Uji serologi pra-pasca vaksinasi Uji pra vaksinasi pada anak hanya dilakukan bila ada kecurigaan kuat terhadap infeksi masa lampau. Uji pasca vaksinasi hanya dikerjakan pada individu dengan gangguan imunologis termasuk PHK. Lama proteksi Lama proteksi antibodi anti HVA diperkirakan menetap selama ≥ 20 tahun. Proteksi jangka panjang terjadi akibat antibodi protektif yang menetap atau akibat anamnestic boosting infeksi alamiah. Pemberian bersama vaksin lain Pemberian vaksin VHA bersamaan dengan vaksin lain tidak mengganggu respons imun masing-masing vaksin dan tidak meningkatkan frekuensi efek samping. Indikasi kontra dan kondisi yang memerlukan perhatian khusus Vaksin VHA tidak boleh diberikan kepada individu yang mengalami reaksi berat sesudah penyuntikan dosis pertama. Daftar Pustaka 1. Sulaiman A, Julitasari. Panduan praktis hepatitis A. Edisi pertama. Jakarta, Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia, 2000. 2. National Health and Medical Research Council. Dalam: Watson C, penyunting. The Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC 2008. 3. Bisanto J. Tinjauan multi-aspek hepatitis virus A pada anak. Dalam Tinjauan komprehensif hepatitis virus pada anak. Naskah lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIII; Jakarta, 2000: 9-31.
4. BergeJJ, DrennanDP, Jacob RI, Jakins A, Meyyerhoff AS, Stubblefield W, Weinberg M. The cost of hepatitis A infections in American adolescents and adults in 1997. Hepatol 2000; 31: 469- 73.
5. Rosenthal P. Cost-effectiveness of hepatitis A vaccination in children, adolescents, and adults. Hepatol 2003; 37 (1): 44-51. 6. Averhoff F, Shapiro CN, Bell BP, Hyams I. Burd L. Deladisma A, Simard EP. Nalin D, Kuter B. Ward C, Lundberg M, Smith N. Margolis HS. Control of hepatitis A through routine vaccination of children. JAMA 2001; 286 (23): 296S-73. 7. Werzberger A, Mensch B. Nalin DR, Kuter BJ. Effectiveness of hepatitis A vaccine in a former frequently affected community: 9 years’ follow up after the Monroe field trial of VAQTA®. Letter to Editor. Vaccine 2002; 20: 1699-701. 8. CDC. Prevention of hepatitis A through active or passive immunization: recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP). MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006; RR 55:1-23. 9. Bell BP, Feinstone SM. Hepatitis A vaccine. dalam: Plotkin SA, Orenstein WA, editors. Vaccines. 4th edition. Philadelphia: W.B. Saunders, 2004. 10. Mutsch M, Spicher VM, Gut C, Steffen R. Hepatitis A virus infections in travelers, 1988-2004. Clin Infect Dis. 2006;42:490-7. 11. BacanerN,StaufferB,BoulwareDR,WalkerPF,KeystoneJS. Travel medicine considerations for North American immigrants visiting friends and relatives. JAMA. 2004;291:2856-64. 12. CDC. Hepatitis Surveillance Report No. 61.2005. Atlanta: U.S. Department of Health and Human Services. Centers for Disease Control and Prevention. 2006. 13. van Damme P, BanatvalaJ, Fay O, IwarsonS, McMahonB, VanHerckK, dkk. Hepatitis A booster vaccination: is there a need? Lancet. 2003;362:1065–71.
Bab VI-6 Rabies dan Vaksinasi Anti Rabies Q)skandar Qyarif Rabies dari bahasa latin yang berarti kemarahan yang sangat, merupakan subjek yang menarik perhatian karena menyebabkan ketakutan dan siksaan berat sejak ditemukan dahulu kala. Rabies pada manusia adalah infeksi virus pada susunan saraf pusat biasanya ditularkan melalui luka yang terkontaminasi ludah binatang yang terinfeksi virus rabies. Penyakit ini umumnya bersifat fatal tapi dapat dicegah (preventable fatal disease) dengan profilaksis pasca paparan (postexposure prophylaxis). Epidemiologi Saat ini sekitar 100 negara terdapat rabies pada binatang baik liar maupun domestik dan sekitar 2,5 milyar manusia yang hidup pada daerah ini. Diperkirakan terdapat 50.000 kematian tiap tahun pada manusia oleh karena rabies, dan sekitar 10 juta orang menerima vaksinasi pasca paparan. Anak umur 5–15 tahun berada dalam risiko terhadap penyakit ini. Sekitar 99% kematian terdapat di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, India melaporkan sekitar 30.000 kematian tiap tahunnya. Di Indonesia hanya beberapa daerah yang masih bebas rabies diantaranya Bali, NTB, DKI, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Di Yogyakarta (Subdit Surveilan Rabies). Pada Tabel 6.4 tertera 6 provinsi tertinggi kasus gigitan hewan tersangka rabies.
Tabel 6.4. Kasus gigitan hewan tersangka rabies di beberapa propinsi utama tahun 2001 s/d 2005 No
Propinsi
GHTR
Rabies
Sumatera Barat Sulawesi Selatan Sumatera Utara NTT Sumatera Selatan Sulawesi Utara Maluku Sulawesi Tenggara
1 2 3 4 5 6 7 8
11022
44
6700
37*
4537
5*
4214
34
4208
6
2646
21
3295
37
2029
35*
GHTR : Gigitan Hewan Tular Rabies (data Subdit Surveilan Rabies Depkes RI). * Data Tahun 2001-2004 Jumlah gigitan hewan tersangka rabies untuk seluruh Indonesia tahun 2001-2005 yang telah terdata sebanyak 56.245, yang mendapatkan vaksin anti rabies 33.135 (+50 %) dan yang mendapatkan vaksin dan serum anti rabies 193 orang (0,34%), sedangkan jumlah kasus rabies 365 orang (0,6% dari kasus gigitan hewan tersangka rabies). Etiologi Virus rabies merupakan genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae, virus ini berbentuk peluru dengan panjang 130-380 nm dan diameter 70-85 nm. Terdapat 7 galur (strain)Lyssavirus, galur 1 Caninerabies virus rabies klasik galur 2 Pada kelelawar di Lagos Nigeria galur 3 Makola virus juga pada kelelawar di Nigeria galur 4 Duvenahage virus pada manusia (Afrika Selatan) galur 5 Lyssavirus kelelawar Eropa 1 (kasus manusia di Rusia) galur 6 Lyssavirus kelelawar Eropa 2 (2 kasus di Finlandia) galur 7 Baru terisolasi di kelelawar Australia
Patogenesis Secara umum diterima apabila virus memasuki luka, virus akan segera memasuki sel otot didekatnya dan berkembang biak dalam sel otot dan segera melekat di reseptor nikotinik asetilkholin pada neuromuscular junction. Pada saat virus memasuki saraf pertahanan tubuh tidak bisa lagi melawan virus ini. Virus akan bergerak dalam akson menuju susunan saraf pusat dengan kecepatan bervariasi 3 mm perjam, 20-24 mm perhari, 8-20 mm perhari. Virus akan merusak jaringan batang otak dan medula spinalis, hidrophobi merupakan gejala patognomonis penyakit ini karena kerusakan batang otak. Hidrophobi ini tidak ditemui pada penyakit lain oleh karena hanya rabies yang mengenai batang otak dengan kortekserebri intact sehingga tetap sadar. Penemuan patologi berupa negri bodies di jaringan otak yang merupakan hallmark dari rabies ini saat ini hanya pada sekitar 50% kasus sehingga tidak ditemuinya negri bodies ini tidak mematikan diagnosis. Saat ini dikembangkan direct flurescent antibody test (DFAT) dengan sensitivitas yang lebih baik mendekati 100%. Selain luka gigitan dari binatang yang sakit, virus dapat juga melalui mukus membran dan kulit yang aberasi, transplantasi jaringan dan inhalasi dari eksreta kelelawar. Gambaran klinis Masa inkubasi sangat bervariasi dari 5-6 hari sampai beberapa tahun dengan mayoritas kasus antara 20-60 hari, masa inkubasi pendek bila gigitan di daerah kepala bila dibandingkan ekstremitas. Masa inkubasi lebih pendek pada anak karena jarak ke SSP lebih pendek jika dibandingkan dengan orang dewasa. Pada masa inkubasi ini tidak ditemui gejala. Gejala dimulai pada masa prodromal berupa malise, anoreksia, lelah, nyeri kepala, dan demam. Nyeri dan parestesi di tempat gigitan atau ekspsur ditemui 50%-80% kasus. Rasa takut, agitasi, iritabel, nervus, sukar tidur, dan depresi menonjol pada masa ini. Masa prodromal ini berlangsung 2-10 hari.
Setelah masa prodromal akan terjadi masa neurologik akut yang dapat berupa bentuk furipus (hebat) dan bentuk paralitik yang akan berlangsung 2-21 hari atau 2-12 hari. Bentuk furious ditandai dengan hidrophobi, aerophobi, hiperaktif yang mendadak, disorientasi, kelakuan yang aneh (bizarre) diselingi lusid interfal. Pada fase lusid ini penderita dapat mengutarakan apa yang terjadi dan yang dirasakan serta ditakutkan. Pada fase ini juga ditandai dengan disfungsi saraf otonom berupa dilatasi pupil dan hipersalivasi. Bentuk paralitik pasien tetap sadar dengan gambaran seperti sindrom Gullain Barre, dengan gejala paralitik asending yang simetris, bentuk ini ditemui pada sekitar 20% kasus terutama setelah digigit kelelawar. Beberapa pasien dengan gejala meningismus sampai epistotonus dengan LCS normal atau gejala iritasi meningeal dengan peningkatan sel limfosit dan protein. Apabila pasien tidak meninggal dalam periode akut akibat kegagalan kardiorespirasi, pasien akan jatuh ke stadium koma. Walaupun dengan tersedianya perawatan intensif dapat memperpanjang hidup sementara pasien dengan komplikasi miokarditis, gangguan hipofise dan syndrome inappropriate antidiuretic hormon (SIADH). Pasien infeksius sekitar 1 minggu sebelum muncul gejala sampai sekitar 5 minggu setelahnya. Walaupun prinsipnya dapat menularkan tetapi sampai saat ini belum ada laporan penularan antar manusia kecuali pada transplantasi kornea dari pasien yang sebelumnya tidak terdiagnosis rabies. Untuk orang yang terkontak dengan pasien rabies baik oleh karena gigitan, air liur pasien pada selaput mukosa atau kulit yang tidak utuh diharuskan mendapat vaksinasi pasca terpapar (lihat pencegahan). Umumnya pasien yang telah menunjukkan gejala rabies akan meninggal karena tidak ada pengobatannya sampai saat ini, walaupun ada beberapa laporan yang selamat (3 kasus) tetapi semuanya telah mendapat pencegahan secara parsial sebelum terpapar.
Pengobatan Pengobatan pasca paparan berupa pengobatan luka dan pemberian imun globulin dan vaksinasi. Pengobatan luka merupakan bagian penting dari tatalaksana pasca gigitan yakni mencuci luka dengan sabun, detergen dan air yang banyak sekurang-kurangnya 10 menit. Luka dapat diberikan povidone-iodine, alkohol 40%-70%, bila luka cukup besar perlu dipasang kateter untuk irigasi dan jahitan hanya jahitan situasi. Pemberian anti tetanus serum dan antibiotika untuk pengobatan luka dari infeksi perlu diberikan. Profilaksis setelah terpapar akan tergantung pada keadaan anjing yang menggigit apa hewannya telah diimunisasi atau tidak atau anjing liar yang dapat ditangkap atau lari. Subdit Zoonosis Ditjen PPM & PLP Depkes RI (2000) memberikan bagan alur sebagai berikut,
Hewan penggigit lari/hilang & tdk dpt ditangkap, mati atau dibunuh Text Box:
Spesimen otak hewan Dapat diperiksa Di labor
Hewan penggigit dpt ditangkap & diobservasi 10-14 hari
Positif
Negatif
Stop VAR
Lanjutkan VAR
Tidak diberi VAR
Spesimen otak hewan diperiksa di lab Text Box: VAR lanjutkan
VAR di
stop
Positif
Jika tdk dpt diperiksa Lanjutkan VAR
VAR lanjutkan * VAR= vaksin anti rabies SAR= serum anti rabies
Gambar 6.1. alur pengobatan digigit hewan
Pedoman di Amerika Serikat (untuk postexposure rabies prophylaxis/ treatment PEP/PET) sebagai berikut. 1. Setiap serangan hewan tanpa provokasi terlebih dahulu berisiko tinggi rabies. 2. Setiap gigitan atau mukous membran kontak dengan hewan domestik yang telah diimunisasi sebelumnya dan pemiliknya dapat menjamin hewannya selama 10 hari maka PEP dapat ditunda. 3. Pada hewan dengan gejala rabies hewan segera dimatikan dan diperiksa otaknya di laboratorium hewan segera untuk melihat ada atau tidaknya rabies. 4. Human rabies immunoglobulin dan vaksin diberikan pada kasus risiko tinggi kecuali hanya pada orang yang telah divaksinasi sebelumnya dan antibodi dapat dideteksi hanya pemberian vaksin ulangan tanpa imunoglobulin. Tabel 6.5. Petunjuk untuk post exposure treatment menurut WHO Kategori Tipe kontak dengan hewan yang diduga
Pengobatan yang dianjur‑ kan I
Kontak atau memberi
makan Tidak diterapi hewan, jilatan pada kulit yang utuh Berikan vaksin segera Stop terapi jika hewan tetap II sehat selama Nibbling pada observasi 10 kulit yang hari atau jika tidak utuh, hewan garutan kecil dibunuh dan atau aberasi hasil kulit tanpa pemeriksaan perdarahan , rabies negatif jilatan pada pada kulit yang
kulit yang tidak utuh III Satu atau lebih gigitan atau garutan pada kulit Kontaminasi air liur pada membran mukosa, misalnya jilatan
laboratorium yang dipercaya Berikan VAR danSAR segera. Hentikan terapi jika hewan tetap sehat selama 10 hari observasi atau jika hewan dibunuh hasil pemeriksaan rabies negatif pada laboratorium yang dipercaya
Pemberian serum anti rabies (SAR) yang berasal dari manusia dengan dosis 20 IU/kg BB, sedangkan yang berasal dari kuda dengan dosis 40 IU/kg BB. Reaksi anafilaksis jarang terjadi tetapi uji kulit diperlukan pada serum yang berasal dari kuda. Pemberian SAR ini diinfiltrasikan sebanyak mungkin di sekitar luka dan sisanya intramuskular dengan jarum dan tempat yang berbeda dari vaksin. Pemberian SAR dapat diberikan dalam 7 hari setelah pemberian vaksin dan tidak diperlukan lagi setelahnya. Bila uji kulit positif perlu dipertimbangkan bila ada indikasi dapat tetap diberikan dengan pretreatmen dengan adrenalin/ epinefrin im dan antihistamin dan pasien diperlukan tinggal 1 jam setelah pemberian, test kulit negatif untuk serum dari kuda ini tidak menjamin tidak akan ada reaksi anafilaksis karenanya tetap disediakan adrenalin dengan dosis anak 0,01/kg BB dan dewasa 0,5 ml subkutan atau im. Di Indonesia tersedia rabies imunoglobulin serum manusia (Imogam vaksin rabies dari Aventis Pasteur). Vaksin rabies Vaksin rabies dahulu berasal dari jaringan saraf (nervus tissue vaksin) yang mungkin masih ada pada beberapa negara tapi di Indonesia sudah tidak dipakai lagi karena efek samping yang serius, dapat berupa meningoensefalitis, meningoensefalomielitis, transverse mielitis dan paralisis tipe Landry. Saat ini vaksin dari jaringan diploid manusia berupa human diploid cell Vaccine (HDCV) misalnya imovax rabies vaccine dari Aventis Pasteur reaksi minimal. Di Eropa dan negara yang sedang berkembang melisensikan vaksin dari kultur sel monyet vero disebut purified vero cel vaccine (PVRV) dengan nama dagang Verorab dengan hasil penggunaan vaksin vero dan HDCV setara. Pemberian vaksin secara standar WHO intra muskular satu dosis 1 ml atau 0,5 ml tergantung vaksin yang tersedia pada hari 0, hari ke-3, hari ke-7, hari ke-14, dan hari ke-28. Juga dapat
diberikan reduksi jumlah suntikan dengan 2 dosis pada hari 0, 1 dosis hari ke-7 dan satu dosis hari ke-21 (regimen Zagreb yang dipakai di Indonesia), dapat mengurangi kebutuhan satu vaksin dan waktu kunjungan lebih singkat. Suntikan di regio deltoideus pada dewasa, paha lateral pada anak, dan jangan di daerah gluteus yang akan menyebabkan serokonversi yang rendah. WHO berdasarkan penelitian di beberapa negara dan mengingat biaya yang cukup tinggi dengan standar regimen secara im dapat diberikan secara intradermal. Untuk pemberian intra dermal diperlukan tenaga yang terlatih pemberian intradermal dan tidak diberikan pada kasus yang mendapat obat antimalaria kloroquin karena dapat menurunkan pembentukan antibodi. Dosis intra dermal 0,1 ml bila sediaan im 0,5 dan 0,2 bila sediaan im 1 ml. Pemberian intra dermal dapat berupa two-site intradermal regimen (2-2-2-0-1-1) yaitu 2 suntikan pada hari 0, ke-3, ke-7, dan 1 suntikan hari ke-28 dan ke-90. Pemberian multi site intradermal regimen (8-0-4-0-1-1), 8 suntikan ID pada hari 2, 4 suntikan hari ke-7 dan masing-masing 1 pada hari ke-28 dan 90. Delapan suntikan ini masing -masing 2 regio deltoideus, 2 supra skapula, 2 regio abdomen dan 2 paha lateral quadran bawah. Empat suntikan hari ke-7 pada regio deltoideus dan paha kiri kanan. Vaksin yang sudah dilarutkan dan tetap dalam suhu 2-8 derajat C, harus dipakai dalam 6jam berikutnya. Regimen ID ini sudah dipakai di Thailand (1995), Srilangka (1995), dan Filipina (1997), negara-negara maju hanya mengadopsi suntikan im dengan dosis standar, kecuali untuk pre-exposure prophylaxis.
Pemberian vaksinasi sebelum terpapar ini biasanya diberikan pada orang yang berisiko tinggi terhadap rabies seperti dokter hewan, petugas karantina hewan, pemburu, penangkap anjing, tenaga lab yang berhubungan dengan virus rabies sedangkan pelancong ke daerah endemis masih kontroversi. Dosis sama dengan vaksinasi pasca terpapar pada hari 0, ke-7, ke-21 atau ke-28 baik im
Text Box:
maupun ID. Booster dapat diberikan 1 kali setelah 1 tahun, umumnya dapat diulang setelah 1 sampai 5 tahun. Orang ini harus dicek titer antibodinya setiap 6 bulan bila berhubungan dengan virus aerosol, dan yang lainnya setiap 2 tahun. Studi di Vietnam memberikan imunogenisitas dan aman pemberian vaksinasi pada anak secara im pada umur 2 dan 4 bulan, secara ID atau pada umur 2, 3, dan 4 bulan. WHO masih mempelajari pemberian vaksinasi awal pada anak yang hidup di daerah dengan rabies merupakan problem utama. Regimen Intramuskular Standar WHO Dosis : 1 dosis im (1,0 atau 0,5 ml) di otot deltoideus Day 0 3
7
14
28
SAR*
Regimen Suntikan Intramuskular pada beberapa tempat dengan jumlah vaksin dikurangi (2-1-1) Dosis : 1 dosis im (1,0 atau 0,5 ml) di otot deltoideus Hari 0
7
21 Tempat x2
x1
SAR*
S A R = serum antirabies
Text Box:
Text Box:
Regimen Suntikan Intradermal pada 8 tempat (8-0-4-0-1 -1) Dosis: 0,1 ml intradermal pertempat suntikan Hari Tempat x8
SAR
0
7 x4
28 x1
90 x1
x1
Regimen Suntikan Intradermal pada 2 tempat (2-2-2-0-1 -1) Dosis: dosis intradermal 1/5 dari dosis intramuskular (0,1 atau 0,2 ml) pertempat Hari
03
Tempat x2 x2
7 x2
28 x1
90
x1
SAR
Pencegahan pada binatang Saat ini di negara maju semua binatang peliharaan yang berpotensi menularkan rabies diberikan imunisasi terhadap rabies, bahkan pada hewan liar dengan daerah yang sangat luas diberikan umpan yang ditebarkan dengan pesawat udara (imunisasi secara oral). Bila 80% populasi anjing dapat divaksinasi sudah cukup untuk menghambat penularan. Pemusnahan hewan liar terutama anjing dapat menurunkan penyebaran penyakit ini di Cina, Indonesia, Thailand dan Vietnam.
Daftar Pustaka 1. Fishbein DB, Robinson LE: Rabies. N Engl J Med 1999; 329: 1632-8. 2. Adam WG: Rabies. Dalam BehrmanRE, Kliegman RM, Jenson HB penyunting Nelson Text Book of Pediatrics 17 eds Saunders 2004 h 1101-4. 3. WHO. Weekly epidemiological record. No 14. 2002. http://www.who.int/wer 4. Bertolini J, Merlin M. Rabies httpi/www.emedicine.com. Last update october 2004. 5. SubdinZoonosis Ditjen PPM & PLP Depkes-Kesos RI. BaganTatalaksanaKasus Gigitan Hewan tersangka Rabies. 6. Warrell MJ, Warrell DA. Rabies and other lyssavirus diseases. Lancet. 2004;363:959- 69. 7. Taplitz RA. Managing bite wounds. Currently recommended antibiotics for treatment and prophylaxis. Postgrad Med. 2004;116:49-52, 55-6, 59. 8. Knobel DL, Cleaveland S, Coleman PG, Fevre EM, Meltzer MI, Miranda ME et al. Re-evaluating the burden of rabies in Africa and Asia. Bull World Health Organ. 2005;83:360-8. 9. Wilde H, Briggs DJ, Meslin FX, Hemachudha T, Sitprija V. Rabies update for travel medicine advisors. Clin Infect Dis. 2003;37:96-100. 10. Rendi-Wagner P, Jeschko E, Kollaritsch H, osterreichische Expertengruppe fur Reisemedizin. Travel vaccination recommendations for Central and Eastern European countries based on country-specific risk profiles. Wien Klin Wochenschr. 2005;117 Suppl4:11-9. 11. Richardson M. The management of animal and human bite wounds. Nurs Times. 2006;102:34-6. 12. Jackson AC, Warrell MJ, Rupprecht CE, Ertl HC, Dietzschold B, O’Reilly M, et al. Management of rabies in humans. Clin Infect Dis. 2003;36:60-3. 13. CDC. Human rabies prevention — United States, 1999. Recommendations of the Advisory Committee on Immuniza-tion Practices (ACIP). MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 1999;48(RR-1):1-21. 14. World Health Organization Expert Consultation on Rabies. World Health Organ Tech Rep Ser. 2005;931:1-88. 15. Khawplod P, Wilde H, Sirikwin S, Benjawongkulchai M, Limusanno S, Jaijaroensab W, Chiraguna N, et al. Revision of the Thai Red Cross intradermal rabies post-exposure regimen by eliminating the 90-day booster injection. Vaccine. 2006;24:3084-6. 16. Heudorf U, Tiarks-Jungk P, Stark S. Travel medicine and vaccination as a task of infection prevention. Gesundheitswesen. 2006;68:316-22. 17. Rupprecht CE, Gibbons RV. Clinical practice. Prophylaxis against rabies. N Engl J Med. 2004;351:2626-35.
Bab VI-7 INFLUENZA Cisy Kartasasmita
Influenza adalah penyakit infeksi saluran nafas yang disebabkan oleh virus influenza A dan virus influenza B. Penyakit ini sangat menular, yang dapat mengakibatkan komplikasi serius. Namun demikian, seringkali masyarakat dan dokter, memakai istilah “influenza” atau “flu” untuk setiap penyakit infeksi saluran naf as dengan gejala demam, rinitis, nyeri tenggorokan, batuk, nyeri kepala, nyeri otot, apapun virus penyebabnya, dikenal sebagai influenza like illness (ILI). Gejala tersebut tidak spesifik, dan di masa lalu mungkin tidak penting untuk mendeteksi virus penyebabnya, karena pengobatannya simtomatis. Pada saat ini dengan adanya obat dan vaksin untuk pencegahan beberapa jenis virus, perlu dipastikan virus penyebab penyakit tersebut. Pemberian vaksin influenza yang dilemahkan (inactivated influenza vaccine) kepada individu yang berisiko timbulnya komplikasi infeksi, merupakan satu-satunya cara untuk pencegahan atau mengurangi infeksi influenza serta mencegah kematian pada saat epidemi. Setelah vaksinasi hampir semua orang dewasa yang divaksinasi mempunyai titer antibodi yang dapat melindunginya dari galur (strain) virus yang ada di dalam vaksin. Sebagai tambahan, individu tersebut juga diproteksi terhadap berbagai varian. Bayi, orang usia lanjut, dan pasien dengan gangguan kekebalan, akan menghasilkan titer antibodi yang rendah setelah vaksinasi. Dengan perkataan lain vaksin influenza lebih efektif untuk mencegah komplikasi saluran nafas bawah atau komplikasi lain, daripada mencegah infeksi. Harus diingat bahwa vaksin influenza tidak mencegah infeksi primer akibat virus lain maupun bakteri patogen dalam saluran nafas.
Virologi Virus influenza merupakan virus bersampul (enveloped viruses), termasuk kelompok Orthomyxoviridae. Gambaran karakteristik virus yaitu mempunyai glikoprotein dipermukaannya, yaitu hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA). Dijumpai 3 tipe virus yaitu A, B dan C. Influenza tipe A terdiri dari beberapa sub-tipe, yang dibedakan berdasarkan surface antigen HA dan NA. Telah dapat diidentifikasikan 15 HA dan 9 NA subtipe yang berbeda. Tiga tipe hemagglutinin (H1, H2, dan H3) dan 2 tipe NA (N1 dan N2) dapat diidentifikasi pada virus influenza manusia. Antigen HA berperan terhadap penempelan virus (virus attachment) pada sel manusia, dan sebagai mediator untuk reaksi bersatunya sampul virus dan membran sel, melalui persatuan ini kemampuan akses virus ke bagian dalam sel meningkat. Sedangkan neuraminidase (N1 dan N2) berperan terhadap penetrasi virus ke dalam sel manusia. Variasi kedua glikoprotein eksternal HA dan NA, adakalanya secara periodik berubah, hal ini menyebabkan perubahan antigenisitas. Virus yang sudah berada dalam sel, maka RNA akan replikasi dan protein virus disintesis menghasilkan ribuan partikel virus baru per sel. Akibat infeksi tersebut sel pejamu mati. Proses lisis sel parenkim paru dan saluran nafas, mengakibatkan deskuamasi epitel saluran nafas. Antigenic shift Antigenic shift merupakan perubahan besar (major) salah satu antigen permukaan (HA dan atau NA), sehingga dihasilkan subtipe virus dengan HA baru (dan/atau NA baru). Menurut informasi yang mutakhir reservoar alamiah untuk virus influenza adalah burung, semua subtipe 15HA dan 9 NA dapat diidentifikasi pada burung. Bila terjadi proses antigenic shift subtipe virus influenza baru akan diperkenalkan ke manusia. Berbagai jalan bisa menghasilkan subtipe virus baru.
Pertama, melalui genetic reassortment antara virus manusia dan unggas (avian), yaitu virus manusia yang bersirkulasi mengubah segmen gen-nya dengan virus avian. Hal ini terjadi kalau sel pejamu terinfeksi oleh 2 virus influenza A. Segmen RNA kedua virus bereplikasi dalam nukleus sel, sehingga dihasilkan galur virus ketiga yang baru. Binatang yang diyakini selama ini bisa sebagai intermediate host tempat genetic reassortment adalah babi, karena babi mempunya mixing vessels yang ideal, selain babi bisa terinfeksi baik oleh virus manusia maupun unggas. Akhir-akhir ini diduga pada manusia juga bisa terjadi karena tersedianya mixing vessels tersebut. Kedua, transmisi langsung dari unggas ke manusia tanpa melalui langkah reassortment, seperti terbukti penularan flu burung di Hongkong tahun 1997. Saat itu virus yang diidentifikasi pada manusia dan ayam sama jenisnya, yaitu H5N1. Pada kejadian tersebut 18 orang terinfeksi dan 6 diantaranya meninggal. Begitu pula penyebaran avian influenza di berbagai negara termasuk di Indonesia. Ketiga, virus “lama” yang pernah bersirkulasi pada manusia beberapa waktu lalu beredar kembali, seperti yang terjadi di Rusia (Russian flu) tahun1977. Virus Rusia tersebut (H1N1) pernah bersirkulasi sebelum tahun 1957 dan mengakibatkan epidemik besar tahun 1950. Karena populasi secara imunologi naif terhadap subtipe virus tersebut, infeksi dapat segera menyebar dan mengakibatkan tingginya morbiditas dan mortalitas di seluruh populasi. Biasanya diasosiasikan dengan pandemik.
Tiga influenza pandemik utama di dunia terjadi di abad ke 20. Pertama adalah Spanish flu, yang disebabkan oleh virus H1N1 influenza A, terjadi tahun 1918 -1919, setelah Perang Dunia I menyebabkan kematian sedikitnya 40 juta orang. Kedua terjadi tahun 1957, dikenal sebagai Asian flu, disebabkan oleh virus H2N2 dan ketiga Hong Kong flu, terjadi tahun 1968 akibat virus H3N2.
Antigenic drift Antigenic drift merupakan perubahan kecil (minor) pada antigen permukaan yang timbul akibat mutasi viral genome, sehingga terjadi substitusi asam amino pada tempat antigenik. Antigenic drift akan menghasilkan varian/galur baru yang berbeda secara parsial dengan galur terdahulu. Tergantung dari mutasinya, subtipe baru kemungkinan masih bisa dikenal secara parsial oleh pertahanan imun pejamu. Akibat dari perubahan antigenic drift dapat terjadi epidemi influenza yang baru. Di negara empat musim biasanya terjadi epidemi saat musim dingin. Namun adakalanya antigenic drift sangat dominan sehingga galur yang baru sangat berbeda dengan induknya, hal ini menyerupai antigenic shift, akibatnya bisa terjadi pandemi seperti yang terjadi di Hongkong tahun 1968. Influenza A dapat menyebabkan penyakit yang sedang maupun berat pada semua umur. Selain menyebabkan penyakit pada manusia juga pada binatang seperti babi dan burung. Influenza B umumnya menyebabkan penyakit yang lebih ringan dibandingkan yang tipe A, dan terutama menyerang anak-anak. Influenza B lebih stabil dari influenza A, dengan sedikit antigenic drift dan menyebabkan immunitas yang cukup stabil. Virus ini hanya menyerang manusia. Virus influenza B mungkin dapat dihubungkan dengan sindom Reye. Influenza C sangat jarang dilaporkan menyebabkan penyakit pada manusia, mungkin karena pada umumnya bermanifestasi subklinis. Tidak pernah dihubungkan dengan epidemi. Nomenklatur untuk mendeskripsi kan tipe virus influenza berdasarkan urutan sebagai berikut (1) tipe virus, (2) tempat dimana virus pertama kali di isolasi, (3) nomor galur, (4) tahun isolasi, (5) subtipe virus. Epidemiologi Penularan virus melalui udara (aerosol) dan percikan ludah (droplets) kontak langsung dari seseorang yang infeksius. Penularan terjadi 1- 2 hari sebelum gejala timbul sampai 4-5 hari sesudahnya. Tak ada
status karier. Virus influenza seringkali menyebabkan kejadian luar biasa (KLB), baik berupa epidemi maupun pandemi influenza. Setiap kurun waktu tertentu, sepuluh tahun atau mungkin lebih, sub-tipe influenza A baru muncul, dan menyebabkan pandemik, seperempat atau lebih populasi dunia akan terserang pada satu periode jangka pendek. Sporadik KLB dapat terlokalisasi di keluarga, sekolah, dan komunitas yang terisolasi. Jaringan Intemasional WHO untuk surveilans influenza meliputi 110 National Influenza Centers di 83 negara, memonitor aktivitas inluenza di dunia. Data surveilans setiap tahun dipergunakan sebagai rekomendasi panduan untuk komposisi vaksin. Penyakit influenza timbul terutama pada musim dingin dan mencapai puncaknya dari Desember sampai Maret di daerah yang beriklim subtropis, tetapi dapat timbul lebih awal atau lebih lambat. Selama tahun 1976-2001, di Amerika Serikat aktivitas puncak timbul paling sering pada bulan Januari (24%) dan Februari (40%) dan rata-rata terjadi 20.000 kematian per tahun. Pada daerah tropis influenza dapat timbul setiap saat selama setahun. Pada anak usia 0-4 tahun, angka perawatan rumah sakit adalah 500 per 100.000 orang yang berisiko tinggi dan 100 per 100.000 orang yang tidak berisiko tinggi. Dalam kelompok usia 0-4 tahun, angka perawatan rumah sakit tertinggi adalah anak umur 0-1 tahun dan angka ini sama dengan angka yang ditemukan pada orang usia ≥ 65 tahun. Kematian akibat influenza dapat disebabkan oleh pneumonia, ataupun eksaserbasi penyakit kardiopulmonal dan penyakit kronis lainnya. Pada penelitian epidemi influenza yang terjadi dari tahun 1972-1973 sampai 1994-1995, kematian terjadi selama 19 dari 23 musim epidemi influenza. Selama 19 musim influenza tersebut, perkiraan angka kematian akibat influenza kirakira 30 sampai > 150 kematian per 100.000 orang usia ≥ 65 tahun. Lebih dari 90% kematian pada lansia karena pneumonia dan influenza.
Manifestasi Klinik Secara umum flu merupakan penyakit infeksi saluran nafas yang bisa sembuh spontan. Virus influenza biasanya tidak menyebar kemana-mana karena cenderung diam di epitel saluran nafas dan paru paru. Oleh karena itu sangat jarang virus masuk ke sirkulasi darah atau organ lain. Masa inkubasi umumnya 2 hari, bervariasi antara I - 4 hari. Gejala
klinis bisa ringan atau berat tergantung virulensi virus. Gejala ditandai dengan demam tinggi mendadak (38 – 400C), merupakan gejala utama, dapat disertai nyeri kepala, nyeri otot (mialgia), lemas, nafsu makan hilang, lelah, muntah dan diare. Gejala saluran pernafasan seperti pilek, hidung tersumbat, dan nyeri menelan. Batuk yang mula mula kering berubah menjadi produktif dengan sputum yang tidak banyak, dan bening kental (mukoid), namun bisa purulen. Batuk terjadi sebagai akibat destruksi epitel trakea. Gejala demam dan saluran nafas tersebut bisa berlangsung lima hari, namun bisa berlangsung 7 – 10 hari. Sedangkan rasa lemah dan batuk bisa menetap sampai 1 – 2 minggu kemudian. Perjalanan penyakit dapat lebih berat dan dapat berisiko menyebabkan kematian pada lansia, pasien penyakit paru atau jantung kronis. Vaksinasi influenza Vaksin influenza mengandung virus yang tidak aktif (inactivated influenza virus), diproduksi dari virus yang tumbuh pada embrio ayam. Formulasi vaksin influenza di-review secara berkala, sehingga perubahan komposisi menyesuaikan dengan antigenic shifts dan antigenic drift. Vaksin influenza mengandung antigen dari 2 subtipe virus influenza A dan satu galur virus influenza B, subtipe-nya setiap tahun direkomendasikan oleh WHO. Rekomendasi WHO berdasarkan virus yang bersirkulasi pada suatu musim influenza, yang didapat dengan melakukan surveilans aktif galur influenza baru di dunia. Rekomendasi WHO ada 2 setiap tahun untuk dunia belahan utara (northern hemisphere) dan belahan selatan (southern hemisphere). Namun pada umumnya tidak banyak beda antara
galur untuk kedua belahan bumi tersebut. Galur tersebut akan di rekomendasikan untuk vaksin di tahun yang akan datang. Untuk periode 2006–2007 WHO merekomendasikan untuk belahan utara vaksin influenza berisi A/New Caledonia/20/99(H1N1)-like virus, A/Wisconsin /67/2005 (H3N2)-like virus dan B/Malaysia/2506/2004- like virus. Sedangkan untuk belahan bumi selatan berisi A/New Caledonia/20/99(H1N1)-like virus, A/Wisconsin/67/2005(H3N2)-like virus dan B/Malaysia/2506/2004-like virus, untuk kedua belahan bumi tidak banyak perbedaan galur virusnya. Untuk daerah sekitar katulistiwa dapat menyesuaikan. Vaksin influenza Terdapat dua macam vaksin yaitu whole-virus vaccine dan split-virus vaccine. Untuk menjaga agar daya proteksi berlangsung terus menerus, maka perlu dilakukan vaksinasi secara kontinu teratur setiap tahun, menggunakan vaksin yang me ngandung galur yang mutakhir. Vaksinasi influenza menunjukkan keefektifan tinggi. Vaksin influenza inaktif aman dan imunogenisitas tinggi. Vaksin influenza harus disimpan dalam lemari es dengan suhu 2oC-8oC. Tidak boleh dibekukan. Saat ini di Indonesia telah beredar 2 macam vaksin influenza yaitu Fluarix (GSK) dan Vaxigrip (Aventis Pasteur ). Rekomendasi Satgas Imunisasi IDAI (15 Juni 2006) Imunisasi influenza untuk anak sehat usia 6–23 bulan Semua orang usia ≥ 65 tahun Anak dengan penyakit kronik seperti asma, diabetes, penyakit ginjal, kelemahan sistim imun Anak dan dewasa yang menderita penyakit metabolik kronis, termasuk diabetes, penyakit disfungsi ginjal, hemoglobinopati dan imunodefisiensi
Orang yang bisa menularkan virus influenza ke seseorang yang berisiko tinggi mendapat komplikasi yang berhubungan dengan influenza, seperti petugas kesehatan dan petugas di tempat perawatan dan orang-orang sekitarnya, semua orang yang kontak serumah, pengasuh anak usia 6–23 bulan, dan orangorang yang melayani atau erat dengan orang yang mempunyai risiko tinggi. Jadwal dan Dosis Dosis untuk <3 tahun 0,25 ml dan untuk ≥ 3 tahun 0,5 ml. Untuk anak yang pertama kali mendapat vaksin influenza trivalen (TIV) usia ≤ 8 tahun vaksin diberikan 2 dosis dengan selang waktu minimal 4 minggu, kemudian imunisasi diulang setiap tahun. Vaksin influenza diberikan secara suntikan intramuskular di otot deltoid pada orang dewasa dan anak yang lebih besar sedangkan untuk bayi dapat diberikan di paha anterolateral. Pada anak atau dewasa dengan gangguan imun, diberikan 2 dosis dengan jarak interval minimal 4 minggu, untuk mendapatkan antibodi yang memuaskan.
interval minimal 4 minggu, untuk mendapatkan antibodi yang memuaskan. Bila anak usia 9 tahun atau lebih cukup satu kali saja, teratur, setiap tahun satu kali. KIPI vaksin influenza Efek samping minimal berupa ruam makula/papula, 9% menunjukkan reaksi lokal ringan dan transien serta 28% reaksi sistemik ringan. Pada anak usia antara 6 bulan sampai 5 tahun didapatkan reaksi demam 18%. Reaksi lokal nyeri, eritema dan indurasi pada tempat suntikan, pada 15%-20% resipien, terjadi selama 1–2 hari Gejala sistemik tidak spesifik pada <1% resipien berupa demam, lemas dan mialgia (flulike symptoms), yang timbul beberapa jam
setelah penyuntikkan, terutama pada anak usia muda, timbul setelah 6 - 12 jam pasca vaksinasi, selama 1 atau 2 hari. Reaksi segera (immediate hypersensitivity seperti hives, angiooedema, asma, sistemik anafilaktis) jarang didapat. Hal ini terjadi karena respons alergi terhadap komponen vaksin, seperti protein telur. Pasien dengan riwayat anafilaksis setelah makan telur atau adanya respons alergi terhadap protein telur jangan diberi vaksin influenza. Indikasi Kontra Individu dengan hipersensitif anafilaksis terhadap pemberian vaksin influenza sebelumnya dan komponen vaksin seperti telur jangan diberi vaksinasi influenza. Termasuk ke dalam kelompok ini seseorang yang setelah makan telur mengalami pembengkakan bibir atau lidah, atau mengalami distres nafas akut atau pingsan. Vaksin influenza tidak boleh diberikan pada seseorang yang sedang menderita penyakit demam akut yang berat. Tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan menyusui. Antivirus Obat antivirus generasi pertama adalah amantadin dan rimantadin, keduanya merupakan M2 inhibitor. Sedangkan oseltamivir dan zanamivir adalah golongan neuramidase inhibitor. Obat antivirus dapat dibedakan menjadi obat-obat untuk pengobatan penyakit influenza (amantadin, rimantadin dan oseltamivir), dan obat untuk pencegahan influenza (amantadin, rimantadin, oseltamivir dan zanamivir). Hanya oseltamivir dan zanamivir efektif untuk influenza B. Oseltamivir merupakan salah satu pilihan utama mengingat resistensi virus influenza A terhadap amantadin dan rimantadin meningkat. Oseltamivir dan oseltamivir carboxylase dapat diberikan pada anak. Penelitian baru dilakukan pada anak usia 3 – 12 tahun dan 5 – 16 tahun.
Indikasi pemberian anti virus untuk penyakit influenza 1. Pasien yang berisiko dan orang serumah yang belum mendapat imunisasi pada waktu infeksi influenza terjadi didaerahnya. 2. Untuk mengendalikan kejadian luar biasa di komunitas terisolasi atau semi isolasi. 3. Pasien yang berisiko karena adanya riwayat alergi telur (sehingga tidak dapat diimunisasi). 4. Adanya ketidakcocokan vaksin dan virus yang bersirkulasi. 5. Ancaman pandemik dan vaksin tidak tersedia. Antivirus untuk influenza harus diberikan dalam waktu 24-48 jam sejak mulai sakit. Obat diberikan secara oral kecuali zanamivir secara inhalasi. Efek samping berupa keluhan susunan saraf pusat seperti gelisah sulit konsentrasi, sulit tidur, pusing, nyeri kepala dan jitteriness dan gangguan perut. Amantadin dan mungkin rimantadin meningkatkan risiko terjadinya kejang pada anak dengan riwayat pernah kejang. Daftar Pustaka 1. Canadian Immunization Guide. Fifth edition, 1998. 2. CDC. Press release, October 2003. The advisory committee onuimmunization practice vote to recommend influenza vaccination for children aged 6 to 23 months. http://www. cdc.gov/od/oc/media/pressel/r031016.htm. 3. Offit PA, Bell LM. Vaccines, what you should know. Third edition, Wiley, 2003. 4. Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases. Atkinson W, Humiston S, Wolfe C, Nelson R. Eds. 5th edition. Department of Health & Human Services, Public Health Service, CDC, January 1999. 5. The Australian Immunisation Handbook. 6th edition. National Health and Medical Research Council (NHMRC), 1997. 6. Red Book. Report of the Committee on Infectious Diseases. American Academy of
Pediatrics, 2006. 7. Yee TT and Ee AL. What to know about Influenza. Newsletter, 2000. 8. WHO. http://www.who.int/csr/disease/influenza/update/en/index.html.
9. Gonzales M, Pirez MC, Dibarboure, Garcia A, Picolet H. Safety and immunogenicity of paediatric presentation of an influenza vaccine.Ach Dis.Child. 83:488-491, 2000. 10. GoodmanMJ, NordinJD, Harper P, DeFor T, Zhou XZ. The safety of trivalent Infuenza Vaccine among Healthy Children 6 – 24 months of age. Peasitrics,117:pp:e821-e826, 2006. 11. Wilschut J, McElhaney JE. Influenza. Mosby. Elsevier Limited. The Neherland, 2005.
Bab VI-8 PNEUMOKOKUS Cisy Kartasasmita Pneumokokus dan H influenzae adalah bakteri gram positif diplokokus merupakan penyebab terpenting penyakit infeksi saluran nafas pada masa anak. Diduga di negara berkembang, setiap tahun sedikitnya 1 juta anak meninggal karena penyakit infeksi pneumokokus. Pneumokokus selain merupakan penyebab utama pneumonia, juga menyebabkan meningitis, bakteremia, sepsis, sinusitis, otitis media, dan konjungtivitis terutama pada anak usia di bawah 2 tahun dan lansia. Sebagian pneumokokus dapat ditemukan sebagai flora normal saluran nafas atas, sedangkan yang lain merupakan kuman yang berhubungan dengan penyakit invasif. Kemampuan pneumokokus untuk mengadakan invasi karena peran polisakarida. Pneumokokus menyebabkan penyakit invasif maupun non-invasif. Penyakit akibat infeksi pneumokokus invasif antara lain adalah pneumonia, meningitis, bakteremia dan infeksi di tempat lain dikelompokkan sebagai Invasive Pneumococcal Diseases (IPD). Risiko untuk seorang anak menderita IPD dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko yaitu umur, jenis kelamin, keadaan lingkungan, dan berbagai penyakit kronis. Serotipe pneumokokus ditentukan oleh polisakarida yang melingkari dinding sel. Sampai saat ini telah dapat diidentifikasikan lebih dari 90 serotipe. Namun hanya beberapa serotipe menyebabkan penyakit yang serius seperti IPD. Serotipe 4, 6B, 9V, 14, 18C, 19F, dan 23F merupakan penyebab terbanyak IPD pada anak di Amerika. Sedangkan serotipe 6B, 9V, 14, 19A, 19F, dan 23F merupakan isolat yang tersering yang dihubungkan dengan penisilin resistensi. Kapsul polisakarida melingkari dinding sel dan merupakan
komponen utama antigenik kuman, dan merupakan faktor yang menentukan virulensi kuman. Virulensi pneumokokus ditandai oleh jumlah polisakarida yang dihasilkan, semakin banyak menghasilkan polisakarida semakin virulen. Setelah bakteri melakukan invasi kapsul polisakarida akan memproteksi kuman dengan cara menginhibisi fagositosis neutrofil dan pemusnahan bakteri yang klasik melalui sistim komplemen. Faktor penting untuk terjadinya penyakit pneumokokus termasuk kemampuan kuman menyerang sistem imun dan tidak adanya antibodi spesifik terhadap pneumokokus. Epidemiologi Pneumokokus merupakan bagian dari flora normal saluran nafas atas pada anak sehat, dan disebarkan dari manusia-ke-manusia melalui percikan ludah. Dilaporkan bahwa laju pembawa kuman di nasofaring dewasa berkisar antara 5%–30%, pada anak sehat 20%–50% dan 25%–75% bayi membawa kuman pneumokokus setiap
saat. Kolonisasi tertinggi didapatkan pada bayi usia muda, laki-laki, anak yang tinggal di Panti dan anak yang dititipkan di Tempat Penitipan Anak. Faktor risiko lain untuk kolonisasi bayi yang tidak dapat ASI, infeksi virus pada saluran nafas atas, perokok pasif, saudara yang dititipkan di tempat penitipan anak, negara 4 musim pada musim dingin. Beberapa faktor meningkatkan risiko penularan bakteri di lingkungan keluarga dan rumah tangga yaitu kepadatan hunian, cuaca, dan adanya pasien infeksi saluran pernafasan bagian atas, pnemonia, atau otitis. Risiko tinggi pada kelainan anatomi dan fungsi adalah: asplenia, defisiensi imunoglobulin, sindrom nefrotik, multipel mieloma, AIDS, gagal ginjal kronik, transplantasi organ, dan keganasan
limfoid, penyakit kardiovaskular kronis dan penyakit paru kronis, diabetes melitus, alkoholisme, sirosis hepatis dan pasien dengan kebocoran cairan serebrospinal akibat trauma atau pasca operasi. Di seluruh dunia 10% dari 12 juta kematian yang diperkirakan pada balita setiap tahun, disebabkan karena infeksi pneumokokus. Dari Amerika Serikat dilaporkan insidensi bakteriemia 15- 19/100.000, meningitis 1-2/100.000, kematian 10-30%. Sebelum imunisasi pneumokokus diberlakukan, setiap tahun di Amerika Serikat dilaporkan sebanyak 4 juta anak menderita infeksi telinga, 125.000 anak dirawat dengan pneumonia, 2500 kasus meningitis dan 30.000 sepsis. Di Australia pada suku Aborigin insidensi infeksi pneumokokus dilaporkan mencapai 200/100.000 per tahun, dengan kematian 10%. Di Papua New Guinea, hampir 50% kematian akibat infeksi saluran nafas pada anak berhubungan dengan S. pneumoniae. Hasil penelitian di Ujung Berung, Bandung pada 698 balita dengan pneumonia tidak berat, didapatkan isolat positif 25,4% dan 67,8% diantaranya positif S.pneumoniae. Penelitian lanjutan di Majalaya dari 1012 spesimen apus nasofaring, 59,9% isolat positif untuk pneumokokus dan 42% positif H.influenzae. Penelitian lain di Ujung Berung, Bandung, pada bayi baru lahir yang diikuti sampai usia 2 bulan didapatkan 1 isolat positif pneumokokus pada bayi baru lahir dan 2.8%, 9,3%, 12%, dan 13,9% pada minggu ke 2, ke 4, ke 6 dan ke 8. Pada saat yang sama didapatkan 57,1% saudara bayi tersebut menunjukkan isolat positif juga, yang kemungkinan besar merupakan sumber penularan. Penelitian Soewignyo dkk. yang dilaksanakan di Lombok pada 484 anak umur < 24 bulan, didapatkan pada 48 kasus S pneumoniae positif, dengan peningkatan dengan bertambahnya umur. Hasil penelitian pada 169 isolate ditemukan serotipe 6, 23, 33, 15, 12, 19, 14, 9, 18, 4, 10, 22, dan 7. Hal lain yang penting adalah meningkatnya resistensi isolat pneumokokus terhadap berbagai antibiotik. Di Amerika Serikat
didapatkan resistensi pneumokokus terhadap penisilin sebesar 25%, dan 79% diantaranya multi drug resistance. Adanya peningkatan resistensi ini merupakan salah alasan perlunya imunisasi. Vaksi n Salah satu kesulitan dalam membuat vaksin pneumokokus karena ada 90 serotipe yang berbeda yang dapat menyebabkan penyakit. Namun, hanya 7 serotipe pneumokokus yang mempunyai kontribusi terhadap 80% infeksi pada anak. Jenis vaksin Terdapat 2 macam vaksin pneumokokus Vaksin pneumokokus polisakarida (pneumococcal polysaccharide vaccine = PPV). Vaksin PPV 23 valen mengandung 23 serotipe ( 1, 2, 3, 4, 5, 6B, 7F, 8, 9N, 9V, 10A, 11A, 12F, 14, 15B, 17F, 18C, 19A, 19F, 20, 22F, 23F, dan 33F) yang bertanggung jawab terhadap 85%–95% IPD pada anak dan dewasa di Amerika. Vaksin PPV 23 yang tersedia di Indonesia adalah Pneumo-23® . Vaksin PPV tidak dapat merangsang respon imunologik pada anak usia muda dan bayi sehingga tidak mampu menghasilkan respon booster. Untuk meningkatkan imunogenositas pada bayi, dikembangkan vaksin pneumokokus konjugasi. Vaksin pneumokokus polisakarida konjugasi (pneumococcal conjugate vaccine = PCV). Vaksin PCV pertama berisi 7-valen, mengandung serotipe 4, 6B, 9V, 14, 18C, 19F, dan 23F.
Ketujuh serotipe PCV penyebab hampir 90% penyakit pneumokokal invasif pada anak usia muda di Amerika Serikat dan Canada, dan 75% anak di Eropa. Vaksin PCV7 yang saat ini beredar di Indonesia adalah Prevenar® .
Tabel 6.6. Perbedaan antara PPV-23 dan PCV-7 PPV23
PCV-7 Polisakarida bakteri
o Konyugasi polisakarida dengan T- independent antigen protein difteri Tidak imunogenik pada < 2 o T-dependent tahun, rekomendasi untuk > 2 tahun
o Imunogenik pada anak < 2
tahun
Imunitas jangka pendek, tidak
o Mempunyai memori jangka
ada respon booster
panjang
Mengandung 23 serotipe 14,6B,19F 18C, 23F, 4, 9V, 19A,
o
Imunitas jangka panjang, respon booster positif
6A, 7F, 3, 1, 9N, 22F, 18B, 15C, 12F, 11A, 18F, 33F, 10A, 38, 13 (Pneumo-23® )
o Mengandung 7 serotip: 4, 6B, 9V, 14, 18C, 19F, dan 23F
(Prevenar® ) Impak dari pemberian vaksin
Efikasi PPV23 kebanyakan pada orang dewasa ≥18 tahun, terutama lansia di atas 60 tahun atau anak ≥2 tahun dengan faktor risiko. Penelitian case-control pada anak ≥2 tahun dengan risiko dan lansia ≥ 65 tahun di Amerika mendapatkan efikasi sebesar 81% (34%–94%) pasca vaksinasi. Efikasi vaksin PCV7 telah diteliti secara luas di banyak negara. Penurunan episode pneumonia paling besar pada umur ≤ 2 tahun, 32,2% tahun pertama dan 23,4% tahun kedua. Efikasi 100% vaksin PCV7 untuk bayi LBW dan prematur, Efek samping sistemik maupun lokal berupa bengkak di tempat suntikan, nyeri pada rabaan dan demam ≥ 380C tidak berbeda antara bayi BBLR dan bayi berat badan normal. Efikasi untuk OMA hasilnya baik, penurunan episode OMA yang disebabkan serotipe yang ada dalam vaksin menurun 34% (21 %–45%). Penurunan 51% terhadap OMA yang karena serotipe sejenis dalam vaksin. Efektif menurunkan 95% sepsis dan meningitis. Mengurangi kunjungan berobat. Menurunkan kolonisasi di nasofaring.
Menurunkan kejadian OMA dan IPD, penurunan kejadian penyakit pada umur < 1 tahun 77%, umur 1 tahun 83%, 2 tahun 73% dan umur 4 tahun 49%. Penurunan kejadian bakteriemia 66%, pneumonia 39% dan meningitis 56%. Penurunan resistensi S. pneumonia terhadap penisilin 40% Menimbulkan herd effects 40% –55% artinya anak dan orang dewasa yang tidak diimunisasi akan terlindungi dari paparan. Menurunkan insiden serotipe vaksin sebesar 73% - 94%. Rekomendasi Rekomendasi Satgas Imunisasi IDAI telah dikeluarkan pada tanggal 15 Juni 2006 Vaksin pneumokokus polisakarida (PPV 23) diberikan pada, Lansia di atas 65 tahun.
Diberikan pada anak >2 tahun yang mempunyai risiko tinggi IPD yaitu anak dengan asplenia (kongenital atau didapat), penyakit sickle cell, splenic dysfunction dan HIV. Imunisasi diberikan 2 minggu sebelum splenektomi. Pasien umur > 2 tahun dengan imunokompromais yaitu HIV/AIDS, sindrom nefrotik, multipel mieloma, limfoma, penyakit Hodgkin, dan transplantasi organ. Pasien umur > 2 tahun dengan imunokompeten yang menderita penyakit kronis yaitu penyakit jantung kronis, penyakit paru atau ginjal kronis, diabetes. Pasien umur >2 tahun kebocoran cairan serebrospinal. Catatan: Pasien risiko tinggi tersebut seyogyanya mendapat imunisasi PCV7 sesuai umur dan pengulangan imunisasi PPV23 setelah 3–5 tahun. Vaksin polisakarida konjugat (PVC7) direkomendasikan untuk anak di atas 2 bulan. Semua anak sehat usia di atas 2 bulan sampai 5 tahun. Anak dengan risiko tinggi IPD termasuk anak dengan asplenia baik kongenital atau didapat, termasuk anak dengan
penyakit sickle cell, splenic dysfucntion dan HIV. Imunisasi diberikan 2 minggu sebelum splenektomi. Pasien dengan immunokompromais yaitu HIV/AIDS, sindrom nefrotik, multipel mieloma, limfoma, penyakit Hodgkin, keganasan lain dan transplantasi organ. Pasien dengan immunokompeten yang menderita penyakit kronis yaitu penyakit jantung kronis, penyakit paru atau ginjal kronis, diabetes. Pasien kebocoran cairan serebrospinal. Selainjuga dianjurkan pada anak yang tinggal di rumah yang huniannya padat, lingkungan merokok, di panti asuhan dan sering terserang akut otitis media. Catatan: Anak yang tergolong imunokompeten hanya perlu 1 dosis sedangkan dengan imunokompromais harus mendapat 2 dosis dengan jarak minimal 2 bulan, diikuti dengan pemberian PPV23 2 bulan kemudian. Dosis & cara pemberian Vaksin PPCV7 diberikan pada bayi umur 2, 4, 6 bulan, dan diulang pada umur 1215 bulan. Pemberian PCV7 minimal umur 6 minggu, Interval antara dua dosis 4-8 minggu, Paling sedikit diberikan 2 bulan setelah dosis PCV ketiga. Apabila anak datang setelah berumur > 7 bulan maka diberikan jadwal dan dosis seperti tertera pada Tabel 6.7. Tabel 6.7. Dosis pemberian PVC7 pada bayi ≥ 7 bulan Umur datang pertama kali Dosis vaksin yang diberikan 7-11 bulan 3 dosis* 12-23 bulan
2 dosis#
≥ 24 bulan sampai 5 tahun
1 dosis Keterangan:
* 2 dosis interval 4 minggu, dosis ketiga diberikan setelah 12 bulan, paling sedikit 2 bulan setelah dosis kedua # 2 dosis paling sedikit interval 2 bulan
Imunisasi untuk anak risiko tinggi Meskipun data terbatas namun kesempatan untuk memberikan vaksin dengan serotipe yang lebih banyak menjadi dasar pemikiran pemberian kombinasi ini. Setelah pemberian imunisasi PCV7, diberikan lanjutan imunisasi PPV23. Anak yang telah mendapat imunisasi PCV7 lengkap sebelum umur 2 tahun, pada umur 2 tahun diberi PPV23 1 dosis, dengan selang waktu suntik ≥ 2 bulan setelah PCV terakhir.
Reaksi KIPI Vaksin pnemokokus aman diberikan, tidak menyebabkan efek samping yang serius. Reaksi KIPI seringkali terjadi setelah dosis pertama. Efek samping berupa eritema, bengkak, indurasi dan nyeri di bekas tempat suntikan. Efek sistemik yang sering terjadi berupa demam, gelisah, pusing, tidur tidak tenang, nafsu makan menurun, muntah, diare, urtikaria. Demam ringan sering timbul, namun demam tinggi di atas 39oC jarang dijumpai dilaporkan setelah pemberian dosis ketiga. Reaksi berat seperti reaksi anafilaksis sangat jarang ditemukan. Pernah juga dilaporkan kejadian berat berupa nefrotik sindrom, limfadenopati, dan hiperimunoglobulinemia. Reaksi KIPI biasanya terjadi setelah dosis kedua, namun berlangsung tidak lama, akan menghilang dalam 3 hari. Daftar Pustaka 1. Canadian Immunization Guide. Fifth edition, 1998. 2. Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases. Atkinson W, Humiston S, Wolfe C, NelsonR. Eds.5th edition. Department of Health & Human Services, Public Health Service, CDC, January 1999. 3. McIntyre P. Pneumococcal vaccines. In Vaccine: Children & Practice 2000;l3:15-17. 4. Offit PA, Bell LM. Vaccines, what you should know. Third edition, Wiley, 2003. 5. Red Book. Report of the Committee on Infectious Diseases. American Academy of Pediatric, 1997. 6. DaganR. Can we identify pneumonia that may be reduced by pneumococcal conjugate vaccines?. In Proceeding of Pneumococcal diseases in Asian Children. Seoul Korea, 2003. 7. Durbin WJ. Pneumococcal infections. Pediatrics in Review, 25: 2004. 8. Kaplan SL, Mason O, Wald ER, Schutze GS, Bradley JS, Tan TQ, Hoffman JA, Givner LB, Yogev R, Barson WJ. Decrease of invasive pneumococcal infections in children among 8 Children’s Hospitals inthe United Statesafter the introduction of the 7-valent Pneumococcal Conjugate Vaccine. Pediatrics; 113:443-449, 2004. 9. Bridy-Pappas, Margolis MB, Center KJ, Isaacman DJ. Streptococcus pneumoniae: Description of the Pathogen, Disease Epidemiology, Treatment, and Prevention. Pharmacotherapy 25(9):1193-1212, 2005. 10. Poehling KA, Talbot TR, Griffin MR, Craig AS, Whitney CG, Mstat EZ, Lexau CA, Thomas AR, HarrisonLH, Reingold AL, Hadler JL, Farley MM, AndersonBJ, Schaffner W. Invasive Pneumococcal Disease among infants before and after introduction of Pneumococcal Conjucate Vaccine. JAMA; 295:1668-74. 2006.
Bab VI-9 Rotavirus Agus Firmansyah Epidemiologi Infeksi rotavirus terjadi di seluruh dunia. Pada daerah dengan empat musim, umumnya terjadi pada musim dingin. Di Indonesia, puncak kejadian diare karena rotavirus terjadi pada musim panas yaitu sekitar bulan Juli-Agustus. Diare karena rotavirus terjadi pada usia 6-24 bulan, dengan puncaknya pada usia 9-12 bulan.
Sepertiga kasus diare yang dirawat di rumah sakit di seluruh dunia disebabkan oleh rotavirus dengan angka kematian 600.000 pertahun. Angka tersebut mencerminkan 2025% dari seluruh kematian akibat diare dan 6% dari seluruh kematian pada balita. Di Indonesia dilaporkan angka kejadian diare rotavirus di poliklinik rumah sakit atau Puskesmas berkisar 36-61% dari kasus diare pada balita. Namun laporan data survailans di tiga rumah sakit di Jogyakarta dan Purworejo mendapatkan rotavirus sebagai penyebab diare mencapai 53,4% dari 1321 sampel tinja yang diperiksa dan kasus terbanyak berumur 24 bulan. Genotipe terbanyak adalah G1 57,4%, diikuti oleh G4 14,9%, G2 10,9%, dan campuran (mixed infection) G1 dan G2 7,9%. Patogenesis Rotavirus menginvasi enterosit matur pada hilus usus halus. Diare yang terjadi merupakan resultante dari malabsorbsi, sekresi air oleh sel kripta imatur dan defek transport akibat efek toksik protein virus (NSP4). Kesembuhan terjadi apabila lapisan epitel usus halus telah mengalami regenerasi.
Gejala klinis Infeksi rotavirus mungkin asimtomatik atau simtomatik. Masa inkubasi antara 24-72 jam dan gejala yang timbul didahului oleh demam dan muntah dan diare berair yang menyebabkan dehidrasi berat dan kematian. Diare oleh rotavirus berlangsung selama 4-7 hari, 5% kasus disertai kejang demam. Pengobatan Pengobatan diare karena rotavirus bersifat suportif, meliputi rehidrasi dan pemberian makanan sesegera mungkin dan ASI tetap diberikan selama sakit. Vaksi n Vaksin Rotavirus (RV) yang telah ada di pasaran berasal dari human RV vaccine R/X 4414, dengan sifat sebagai berikut. Live, attenuated, berasal dari human RV /galur 89-12. Monovalen, berisi RV tipe G1, P1A (P8), mempunyai neutralizing epitope yang sama dengan RV tipe G1, G3, G4, dan G9 yang merupakan mayoritas isolat yang ditemukan pada manusia. Vaksin diberikan secara oral dengan dilengkapi bufer dalam kemasannya. Pemberian dalam 2 dosis pada umur 6-12 minggu dengan interval 8 minggu. Faktor-faktor yang mengurangi imunogenisitas vaksin RV, Apabila diberikan bersamaan dengan OPV (vaksin polio oral) Masih terdapatnya antibodi maternal Adanya bakteri enterik patogen di dalam usus
Rotavirus Kejadian ikutan pasca imunisasi Dari laporan penelitian vaksin RV di Finlandia, Amerika Selatan, dan Singapura, tidak ditemukan kejadian intususepsi pada vaksin RV baru. Kejadian ikutan yang dilaporkan adalah diare 7,5%, muntah 8,7%, dan demam 12,1%. Daftar Pustaka 1. Bass DM. Rotavirus vaccinology: good news and bad news. JPGN 2000; 38;10-11. 2. Barnes G. Rotavirus vaccine. JPGN 2000; 38:12-17. 3. Wiopo SA, Soenarto Y, Breese J, Tholib A, Cahyono A, Aminah, Gentsch JR, Glass Rl. Surveillance to determine the diseases burden and the epidemiology of rotavirus in Indonesia. Final report, August 18,2004. Dipresentasikan pada pertemuan Dirjen PPM & PL Departemen Kesehatan, Jakarta Oktober 2004. 4. Vesikari T, Karvonen A, Korhonan T, Espo M, Lebacq E, Fosters J, Zepp F, Delem A, De Vos B. Safety and immunogenocity of RIX4414 live atte nuated human rotavirus vaccine in adults, toddlers and previously uninfected infants. Vaccine 2004; 22; 1836- 42. 5. Bock HL. Rotavirus Vaccine -clinical update. Dipresentasi kan pada Seminar on Vaccinology Update, Kinabalu Malaysia, 4-7 September 2004.
Bab VI-10 Kolera dan Enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC) Agus Firmansyah Kolera disebabkan oleh infeksi enterotoksin yang dihasilkan oleh Vibrio cholerae serotipe O1 dan O139 dengan gejala-gejala khas, yaitu serangan mendadak berupa diare cair yang menyemprot yang kemudian diikuti oleh dehidrasi, asidosis metabolik, dan hipotensi. Kolera dapat bersifat ringan dan subklinis, namun pada kasus berat bila tidak diobati dengan cepat dan tepat, separuhnya akan meninggal. Penyakit ini umumnya ditularkan lewat air atau makanan yang tercemar dengan tinja manusia, walaupun Vibrio cholerae dapat pula berkembang biak di air laut dan air tawar. Meskipun 75% infeksi bersifat asimtomatis atau ringan, infeksi Vibrio cholerae dapat menimbulkan diare berair yang masif yang menyebabkan syok dan kematian. Infeksi Vibrio cholerae terjadi melalui makanan. Penyembuhan nya pada umumnya dengan resusitasi cairan dan antibiotik akan berhasil baik. Sejak tahun 1988, tidak ada negara yang secara resmi meminta sertifikat vaksinasi kolera. Oleh karena vaksin yang beredar saat ini efikasinya rendah (sekitar 50%) dan relatif banyak efek sampingnya, maka manfaat vaksinasi kolera banyak dipertanyakan. Keasaman lambung merupakan daya tangkal yang terpenting terhadap infeksi kolera. Oleh karena itu, vaksinasi kolera dianjurkan pada turis yang mempunyai riwayat reseksi lambung, aklorhidria, ulkus peptikum yang mendapat terapi inhibitor reseptor H2 (misalnya simetidine) dan proton pump inhibitor (misalnya omeprazol). Secara epidemiologis daerah-daerah yang tercatat ditemukannya kolera ialah Asia, Afrika, Timur-Tengah, Amerika Selatan dan sebagian Oseania.
Vaksin Kolera Vaksin kolera-CSL (suspensi V. cholerae klasik serotipe O1 Inaba dan Ogawa) yang telah dimatikan lewat pemanasan dengan penambahan fenol 0,5% sebagai pengawet. Vaksin ini memberi perlindungan terhadap kolera beberapa bulan, vaksin juga tidak efektif terhadap Vi cholerae O139. Pada uji klinis yang dirancang dengan baik di Banglades dan Filipina, efektivitas kolera hanya 50-70% dengan lama perlindungannya antara 3-6 bulan. Vaksin kolera hidup yang dilemahkan diberikan 1 kali suntikan dan efektif selama 3 tahun. Efek samping berupa anoreksia, diare dan muntah terjadi pada kurang dari 10% resipien dan berlangsung sementara. Vaksin kolera hidup oral sedang dalam pengembangan. Rekomendasi Di beberapa negara kolera bersifat endemis, namun vaksinasi rutin tidak dianjurkan. Kepada orang yang melakukan perjalanan dianjurkan lebih baik hati-hati memilih makanan dan minuman, dipandang lebih penting dari pada vaksinasi. Sejak tahun 1973, WHO telah menghapuskan peraturan tentang vaksinasi kolera. Walaupun demikian, masih ada pejabat imigrasi beberapa negara yang meminta sertifikat vaksinasi sebagai syarat. Untuk hal ini orang yang mengadakan perjalanan telah dinasehatkan mendapat dosis tunggal vaksin sehingga memiliki sertifikat sebelum berangkat (ini lebih baik daripada dipaksa mendapat vaksinasi di perbatasan suatu negara) Kenyataan menunjukan bahwa pengawasan perlintasan perbatasan sangat lemah, maka nasehat di atas masih perlu dipertanyakan, dan harus ditekankan bahwa tak ada dasar medis untuk melakukan vaksinasi kolera secara rutin untuk mereka yang melakukan perjalanan ke luar negeri.
Agus Firmansyah Dosis vaksin kolera v. v. v. v.
Dosis tunggal, diberikan secara intra muskular dalam Dosis dewasa 0,5 ml Dosis anak umur 5-9 tahun 0,3 ml Dosis bayi 0,1 ml vi. Dosis kedua diberikan 7-28 hari kemudian, untuk memperkuat respons imun, tetapi tidak direkomendasikan kecuali ada risiko terpajan yang substantif. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
Pembengkakan dan indurasi dapat terjadi pada tempat suntikan, sedangkan gejala lain seperti demam, malaise dan reaksi serius jarang terjadi. Indikasi Kontra Jangan menggunakan vaksin untuk orang-orang yang diketahui hipersensitif terhadap dosis yang diberikan sebelumnya atau Bayi berumur kurang dari 6 bulan Anak-anak yang sering sakit Kehamilan merupakan indikasi kontra yang relatif. Pengelolaan Wabah Vaksin kolera tidak ada manfaatnya dalam pengawasan kejadian wabah. Daftar Pustaka 1. Sood SK. Immunisations for children traveling abroad. Pediat Clin N Amer 2000; 47:1-15. 2. McLellan SLF. Vaccines for travelers. Infect Med 2000; 17:168-71.
3. Jiang ZD, Mathewson JJ, Ericsson CD, Svennerholm AM, Pulido C, DuPont HL. Characterization of enterotoxigenic Escherichia coli strains in patients with travelers’ diarrhea acquired in Guadalajara, Mexico, 1992-1997. J Infect Dis. 2000;181:779-82. 4. Adachi JA, Jiang ZD, Mathewson JJ, Verenkar MP, Thompson S, Martinez-Sandoval F, et al. Enteroaggregative Escherichia coli as a major etiologic agent in traveler’s diarrhea in 3 regions of the world. Clin Infect Dis. 2001;32:1706-9. 5. Shlim DR. Update in traveler’s diarrhea. Infect Dis Clin North Am. 2005;19:137-49. 6. Connor BA. Sequelae of traveler’s diarrhea: focus on postinfectious irritable bowel syndrome. Clin Infect Dis. 2005;41:S577-86. 7. DuPont HL, Jiang ZD, Ericsson CD, Adachi JA, Mathewson JJ, DePont MW, et al. Rifaximin versus ciprofloxacin for the treatment of traveler’s diarrhea: a randomized double blind clinical trial. Clin Infect Dis. 2001;33:1807-15. 8. World Health Organization. Cholera, 2005. Wkly Epidemiol Rec. 2006;81:297-308. 9. Griffith DC, Kelly-Hope LA, Miller MA. Review of reported cholera outbreaks worldwide, 1995-2005. Am J Trop Med Hyg. 2006;75 973-7.
Bab VI-11 Yellow Fever Agus Firmansyah Penyakit yellow fever atau demam kuning disebabkan oleh virus yellow fever yang termasuk famili flavivirus. Nama yellow diberikan karena penyakit ini menyebabkan ikterus. Penyakit ini dapat ringan seperti serangan flu dan dapat seberat hepatitis atau demam berdarah. Masa inkubasi 2-5 hari. Pada infeksi yang khas, gejala awal berupa nyeri kepala, nyeri perut, dan muntah. Kemudian diikuti dengan hepatitis virus berat dengan gagal hati dan ginjal. Bila turis terserang, angka kematiannya cukup tinggi sekitar 50 persen. Vaksinasi terhadap yellow fever unik karena merupakan satusatunya vaksinasi wajib yang disyaratkan oleh beberapa negara tujuan wisata. Sangat dianjurkan bagi mereka yang mengunjungi Afrika dan Amerika Selatan. Sejak Juli 1996, 18 negara meminta Yellow International Certificate Vaccination bagi turis yang memasuki negara mereka. Negara-negara tersebut adalah Benin, Burkina Faso, Kamerun, Republik Afrika Tengah, Kongo, Cote d’lvoire, Gabon, Ghana, Liberia, Mail, Mauritania, Nigeria, Ruanda, Sao Tome, Senegal, Togo, Zaire di Afrika dan French Guyana di Amerika Selatan. Epidemiologi Secara epidemiologis dibedakan dua bentuk yellow fever, yaitu bentuk yang ada diperkotaan (urban) dan di hutan (jungle). Kedua bentuk tersebut baik klinis maupun etiologis tidak berbeda. Yellow fever yang ditemukan di pedesaan adalah suatu epidemi penyakit virus yang ditularkan dari orang ke orang lain oleh nyamuk Aedes aegypti. Di daerahdaerah yang telah dilakukan pemberantasan Aedes aegypti, maka yellow fever bentuk perkotaan dapat menghilang. Bentuk yang ditemukan di
hutan (jungle yellow fever) adalah yellow fever yang ditularkan di antara kera oleh berbagai macam nyamuk hutan, yang bila menggigit manusia dapat menyebabkan infeksi. Bila orang tersebut kemudian digigit oleh nyamuk Aedes aegypti, dapat menjadi sumber penyebaran yellow fever bentuk perkotaan. Yellow fever perkotaan muncul secara periodik di Afrika Selatan pada tahun terakhir ini dan berlanjut lebih sering terjadi di beberapa daerah di Afrika Barat dan Timur, ditemukan baik di kota maupun di pedesaan. Tindakan pencegahan terhadap yellow fever meliputi eradikasi nyamuk Aedes aegypti, perlindungan terhadap gigitan nyamuk, dan vaksinasi. Yellow fever yang ditemukan di hutan hanya dapat dicegah dengan cara vaksinasi. Vaksinasi untuk perjalanan international Syarat vaksinasi untuk perjalanan internasional tergantung pada negara yang akan dikunjungi dan jalur perjalanan yang dilalui. Persyaratan ini dapat mengalami perubahan dari waktu ke waktu sehingga semua orang yang dalam perjalanan harus mencari informasi dari pejabat kesehatan negara yang bersangkutan. Orangorang yang tak memenuhi persyaratan untuk vaksinasi yellow fever harus dikarantina. Semua orang yang berumur lebih dari 1 tahun, yang dalam 6 hari saat tiba di suatu negara telah bepergian dari daerah infeksi sebagai yang tertera dalam daftar WHO, harus memiliki sertifikat vaksinasi international yang baru (yang masih berlaku). Sertifikat vaksinasi yellow fever berlaku sampai 10 tahun, yaitu berlaku sejak 10 hari setelah tanggal vaksinasi atau pada kasus revaksinasi sebelum masa kadaluwarsa sertifikat yang sebelumnya telah dimiliki sampai tanggal revaksinasi. Vaksin yellow fever • Vaksin yellow fever adalah CSL dari galur 17D, merupakan vaksin live attenuated, berbentuk vaksin kering beku (freezed dried vaccine), aman digunakan, dan efektif.
Setiap dosis 0,5 ml berisi tidak kurang dari 1,000 mouse LD50 units. Vaksin tersebut dikembangkan dalam embrio ayam dan berisi tidak lebih dari 2 IU neomisin dan 5 IU polimiksin; dikemas dalam vial untuk 5 dosis. Vaksin disuntikkan subkutan dalam sebanyak 0,5 ml berlaku untuk semua umur dan dapat memberi proteksi sampai 10 tahun. Vaksin diberikan dalam dosis tunggal dan perlu diulang tiap 10 tahun. Tidak boleh diberikan pada anak kurang dari 1 tahun, ibu hamil, imunokompromais, dan alergi telur. Idealnya diberikan lebih dari 10 hari sebelum memasuki negara tersebut dan berjarak sekurangnya 3 minggu dari vaksinasi kolera. Vaksinasi hepatitis B dan campak dapat diberikan berturutan dengan vaksinasi yellow fever. Vaksin harus dilindungi dari sinar dan disimpan dalam keadaan beku di bawah 5°C. Setelah diencerkan dengan cairan sodium klorid, harus disimpan pada suhu 0°C dan dipakai dalam waktu 1 jam. Rekomendasi Bayi umur 6 bulan atau lebih yang melakukan perjalanan atau bertempat tinggal di daerah yellow fever (saat ini di beberapa daerah di Afrika Selatan dan Amerika Selatan) harus divaksinasi. Secara rinci mengenai imunisasi yellow fever dapat diperoleh dari petugas kesehatan pusat vaksinasi negara yang bersangkutan. Vaksinasi juga dianjurkan untuk mereka yang melakukan perjalanan ke daerah di luar perkotaan yellow fever endemis. Perlu waspada terhadap terjangkitnya yellow fever yang belum sempat dilaporkan dapat menyebabkan meninggalnya turis yang belum divaksinasi.
Pada bayi umur kurang dari 6 bulan dan ibu hamil harus dipertimbangkan untuk vaksinasi bila melakukan perjalanan ke daerah risiko tinggi, yang perjalanannya tidak dapat ditunda, dan pencegahan terhadap gigitan nyamuk sulit dilakukan. Petugas laboratorium yang mungkin terpajan terhadap virus yellow fever juga harus divaksinasi. Kejadian ikutan pasca imunisasi Reaksi terhadap vaksin yellow fever galur 17D pada umumnya bersifat ringan; sekitar 25% penerima vaksin merasa pusing, mialgia, demam atau gejala ringan lainnya yang terjadi 5-10 hari setelah vaksinasi. Reaksi berat yang sampai mengganggu aktivitas sehari-hari terjadi pada 20% kasus. Reaksi hipersensitivitas vaksin seperti ruam, urtikaria, atau serangan asma sangat jarang terjadi, yaitu kurang dari 1 dalam 1 juta dosis pada umumnya terjadi pada seseorang dengan riwayat alergi telur. Lebih dari 34 juta dosis vaksin telah didistribusikan, namun hanya 2 kasus ensefalitis
yang ada hubungannya dengan vaksinasi yellow fever yang telah dilaporkan di Amerika Serikat. Dari satu kasus yang meninggal, dari jaringan otaknya telah diisolasi virus galur 17D. Indikasi kontra Bayi berumur 6 bulan atau kurang, walaupun secara teoritis lebih rentan terhadap kejadian ikutan ensefalitis dibandingkan dengan anak yang lebih besar. Wanita hamil, vaksinasi perlu dipertimbangkan bila risiko infeksi yellow fever sangat besar. Walaupun belum ada informasi khusus tentang kejadian ikutan terhadap perkembangan fetus, namun secara teoritis vaksinasi harus dihindari dan menunda
perjalanan ke daerah yang ditemukan yellow fever sampai setelah persalinan. Gangguan status imun. Virus vaksin yellow fever akan memperberat penyakit leukemia, limfoma, infeksi HIV simtomatis, penyakit keganasan pada umumnya, dan juga mereka yang respons imunnya tertekan oleh kortikosteroid, obat-obat lainnya dan radiasi. Hipersensitivitas. Vaksin yellow fever adalah virus hidup yang dikembangkan dalam embrio ayam dan tidak boleh diberikan kepada anak yang hipersensitif terhadap telur. Bila seseorang mempunyai pengalaman hipersensitif terhadap telur, harus dilakukan uji intradermal terlebih dahulu dengan pengawasan medis. Juga terhadap pasien yang sudah jelas hipersensitif terhadap neomisin dan polimiksin tidak diberikan vaksinasi. Pemberian vaksin lain pada hari yang sama. Vaksin virus hidup, misalnya campak dan kolera tidak boleh diberikan bersama-sama dengan vaksin yellow fever, diperlukan waktu 4 minggu interval untuk vaksin tersebut apabila diberikan berurutan. Tidak ada data yang menunjukan adanya kemungkinan pengaruh vaksin lain misalnya tifoid, hepatitis B, rabies, dan Japanese ensefalitis dengan yellow fever. Daftar Pustaka 1. Sood SK. Immunizations for children traveling abroad. Pediat Clin N Amer 2000; 47:1-15. 2. McLellan SLF. Vaccines for travelers. Infect Med 2000; 17:168-71. 3. National Health and Medical Research Council. Yellow Fever. Vaccines for foreign travel Dalam: Watson C, penyunting. The Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC, 2008. 4. Monath TP. Yellow Fever. In: Plotkin S, Orenstein WA, eds. Vaccines. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders; 1999. p. 815-80. 5. Monath TP, Cetron MS. Prevention of yellow fever in persons traveling to the tropics. Clin Infect Dis. 2002;34:1369-78. 6. CDC. Adverse events associated with 17D-derived yellow fever vaccination—United States, 2001-2002. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2002;51:989-93.
7. Marfin AA, Barwick Eidex R, Monath TP. Yellow Fever. In: Guerrant RL, Walker DH, Weller PF, eds. Tropical infectious diseases: principles, pathogens, & practice. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier; 2006. p. 797-812. 8. Adhiyaman V, Oke A, Cefai C, Adhiyaman V, Oke A, Cefai C. Effects of yellow fever vaccination. Lancet. 2001;358:1907-8. 9. ChanRC, Penney DJ, LittleD, Carter IW, RobertsJA, Rawlinson WD. Hepatitis and death following vaccination with 17D-204 yellow fever vaccine. Lancet. 2001;358:121-2. 10. Struchiner CJ, Luz PM, Dourado I, Sato HK, Aguiar SG, Ribeiro JG, et al. Risk of fatal adverse events associated with 17DD yellow fever vaccine. Epidemiol Infect. 2004;132:939-46. 11. Troillet N, Laurencet F. Effects of yellow fever vaccination. Lancet. 2001;358:19089. 12. CetronMS, MarfinAA, Julian KG, Gubler DJ, Sharp DJ, Barwick RS, et al. Yellow fever vaccine. Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), 2002. MMWR Recomm. Rep. 2002;51(RR-17):1-11. 13. Khromava AY, Eidex RB, Weld LH, Kohl KS, Bradshaw RD, Chen RT, et al. Yellow fever vaccine: An updated assessment of advanced age as a risk factor for serious adverse events. Vaccine. 2005;23: 3256-63. 14. World Health Organization. International Health Regulations. 2005. Geneva. Diunduh dari http://www.who.int/csr/ihr/en/.
Bab VI-12
Japanese Ensefalitis Q)skandar Qyarif Japanese ensefalitis (JE) adalah penyakit radang akut susunan syaraf pusat yang disebabkan infeksi virus Japanese ensefalitis. JE adalah penyebab utama penyakit ensefalitis yang disebabkan oleh virus di Asia. Japanese ensefalitis ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Culex, Anopheles dan Mansonia. Epidemiologi Menurut perkiraan ada sekitar 30.000–50.000 kasus JE dan 10.000 – 15.000 kematian terjadi setiap tahunnya, dan kebanyakan dari mereka adalah anak. Di daerah endemik, setiap tahunnya kejadian klinis yang dilaporkan berkisar antara 10-100 per 100.000 penduduk. Mayoritas orang yang tinggal di daerah endemik JE telah terinfeksi oleh virus tersebut sebelum berusia 15 tahun. Sejak kasus JE pertama dicatat pada akhir abad ke 19, JE telah menyebar jauh dari daerah asalnya bahkan mencapai Australia pada tahun 2000. Japanese ensefalitis terjadi terutama di 1) Cina dan Korea; 2) sub-benua India; 3) Negara Asia Tenggara seperti Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Thailand dan Vietnam. Di Indonesia kasus JE dilaporkan terjadi di Lombok tahun 1960, Surabaya tahun 1968, Jakarta tahun April 1981 sampai Maret 1982,dan di Bali tahun 1999. Patogenesis Japanese ensefalitis tidak ditularkan dari orang ke orang. Penyakit ini disebabkan oleh virus yang termasuk genus Flavivirus.
Virus JE disebarkan melalui nyamuk yang telah terinfeksi. Jenis nyamuk spesifik yang menularkan virus JE adalah nyamuk Culex tritaeniochynchus, yang berkembang biak di perairan tanaman padi, rawa-rawa dan juga pada air menggenang yang terdapat di kolamkolam tempat penanaman padi. Pola penularan JE berbeda-beda antar daerah, bahkan antar negara, dan dari tahun ke tahun. Di kebanyakan daerah, masa penularan dimulai pada bulan April dan Mei dan berlangsung hingga bulan September atau Oktober. Babi dan burung air, seperti bangau dan lain-lain yang sering berpindah-pindah mengikuti musim dari belahan bumi Utara ke Selatan dan sebaliknya adalah host virus yang utama. Sekali binatang tersebut terinfeksi, virus akan mampu bertahan di dalam darah mereka tanpa mengakibatkan penyakit yang serius. Virus ini dapat dengan mudah menyebar pada setiap nyamuk yang belum terinfeksi yang menggigit binatang yang telah terinfeksi dan kemudian melanjutkan siklus penularan. Binatang setempat, kelelawar, ular dan katak dapat juga terinfeksi JE. Manusia dan kuda merupakan pejamu akhir dari virus dan tidak berkontribusi pada siklus penularan. Kira-kira 1 dalam 25 sampai 1 dalam 1000 anak yang terinfeksi dengan virus JE akan memperlihatkan gejala klinis. Dari yang ringan sampai berat. Faktor yang menentukan hal ini tidak diketahui. Diduga adalah jalan masuk virus, jumlah virus, keganasan virus, faktor pejamu, usia, genetik, keadaan umum dan imunitas. Manifestasi klinis Setelah gigitan nyamuk yang infeksius, virus akan memperbanyak dii dan menimbulkan viemia sebelum menyebar ke sistem syaraf pusat, termasuk otak dan sumsum tulang belakang. Gejala awal adalah flu disertai demam, menggigil, rasa lelah, nyeri kepala, mual, muntah dan penurunan kesadaran. Perasaan bingung dan gelisah, bahkan kejang serta koma dapat terjadi.
Sebagian besar infeksi tidak dapat dideteksi secara klinis, hanya menimbulkan gejala-gejala ringan atau bahkan tanpa gejala sedikitpun. Gejala penyakit diperkirakan terjadi pada rata-rata 1 dari 300 infeksi. Gejala-gejala ini biasanya timbul dalam waktu 4-14 hari setelah terjadinya infeksi dan ditandai dengan gejala seperti sakit flu, disertai demam mendadak, menggigil, nyeri kepala, rasa lelah, mual, dan muntah. Pada anak tahap awal dari penyakit dapat didominasi oleh nyeri perut dan gangguan pada fungsi pencernaan. Setelah 3-4 hari tanda-tanda gangguan pada saraf akan muncul disertai perubahan pada tingkat kesadaran dimulai dari limbung hingga koma. Masa inkubasi sesudah gigitan nyamuk bervariasi, 5-15 hari dengan gambaran klinis dibagi atas 3 stadium. 1. Stadium prodromal. Pasien tiba-tiba demam tinggi, disertai dengan nyeri kepala, lemas, mual, muntah. Gejala ini berlangsung dalam 1-6 hari.
2. Stadium ensefalitis akut. Demam yang terus menerus, tanda rangsangan meningeal, kejang, spastis dan gejala piramidal. Stadium ini berlangsung selama 2 minggu. 3. Stadium akhir atau sekuele, dengan lamanya waktu biasanya demam berkurang, gejala neurologis menetap, gejala sisa menetap seperti kerusakan mental, emosi labil, lesi motor neuron dan afasia. Beberapa pasien sembuh spontan dan yang lainnya menjadi meningitis aseptik. Kejang terjadi pada 85% anak dan pada 10% dewasa. Beberapa anak mengalami kejang yang diikuti perbaikan kesadaran dengan cepat sehingga didiagnosis kejang demam. Kejang umum tonik klonik lebih sering terjadi daripada kejang fokal. Kejang berulang atau kejang lama menandakan prognosis yang jelek. Gejala lain kejang subtle, twitching jari-jari, mata dan mulut, nistagmus, deviasi mata atau pernafasan tidak teratur. Gambaran klasik JE adalah wajah dull flat mask-like dengan mata tidak berkedip, tremor, hipertonus dan kaku. Didapatkan pada 70-
80% anak Amerika dan 20-40% anak Indian. Opistotonus dan kejang rangsang terjadi pada 15% pasien. Gejala ektrapiramidal lain adalah head nodding dan pergerakan pill rolling, opsoklonus mioklonus, koreoatetosis, bizarre facial grimacing dan lip smacking. Kelemahan saraf facial upper motor neuron (UMN) terdapat pada 10% anak dan kadang-kadang tidak jelas. Perubahan pola pernafasan, kelainan pupil dan reflek oculocepalic merupakan tanda prognosis yang jelek. Baru–baru ini didapatkan pasien yang terinfeksi JE memperlihatkan gejala lumpuh layu mendadak. Kelemahan lebih sering terjadi pada tungkai dibanding lengan dan biasanya asimetris. Tiga puluh persen pasien menjadi ensefalitis. Pada pengamatan 1-2 tahun kemudian terdapat kelemahan yang menetap. Virus JE dapat berkembang menjadi infeksi serius pada otak yang berakibat fatal pada 30% dari kasus. Sekitar 40% - 75% akan menyebabkan kerusakan otak yang serius termasuk kelumpuhan dan retardasi mental. Walaupun perawatan yang mendukung untuk ensefalitis dapat menurunkan tingkat kematian, akan tetapi tidak ada obat yang dapat menyembuhkan JE. Sebanyak 30%-50% dari kasus yang dinyatakan sembuh akan mengalami sekuele pada saraf dan kejiwaan termasuk kerusakan otak dan lumpuh. Kebanyakan kematian dan gejala sisa pada saraf dan kejiwaan terjadi pada anak berusia di bawah 10 tahun. Infeksi yang terjadi pada trimester pertama dan kedua dari kehamilan dapat menyebabkan infeksi dalam rahim yang berakibat pada keguguran. Kira-kira 30% kasus JE yang dirawat di rumah sakit meninggal dan 1/2 nya dengan gejala sisa yang berat. Gejala sisa berupa fleksi lengan atas dan hiperekstensi tungkai dengan equine feet. Dua puluh persen kasus mengalami gangguan kognitif berat dan gangguan bahasa. Gejala lain berupa kesukaran belajar, masalah tingkah laku dan kelainan neurologis yang ringan. Dapat ditemukan peningkatan neutrofil dan hiponatremi. Peningkatan tekanan intrakranial ditemukan pada 50% pasien dan
mempunyai prognosis buruk. Terdapat pleositosis 10-100 sel/mm3 dengan limfosit predominan, protein 50-200 mg% dan glukosa normal. Diagnosis banding adalah ensefalitis virus lain (arbovirus, herpes, enterovirus, postinfeksi dan postvaksinasi encepalomielitis), infeksi susunan saraf pusat (SSP) lain (meningitis bakteri, TBC, malaria serebral, leptospirosis, tetanus, abses), infeksi lain dengan manifestasi SSP (tifoid ensefalopati, kejang demam), dan penyakit noninfeksi (tumor, Reye sindrom, epilepsi, ensefalopati toksik dan alkoholik). Diagnosis Diagnosis JE ditegakkan dengan gejala klinis dan laboratorium. Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu secara serologis, biologis, identifikasi virus JE dengan PCR, pemeriksaan darah, dan cairan likuor serebrospinal. Isolasi virus JE jarang berhasil, mungkin karena rendahnya titer virus dan produksi antibodi netralisasi.1,2 Secara serologis dapat dilakukan pemeriksaan secara uji hemaglutinasi inhibisi (HI), uji komplemen fiksasi (CFT), uji hemolisis radial tunggal, neutralizing antibody (NA). Uji HI dan NA dapatmendeteksi infeksiJE lebih awal dari CFT dan juga dapat mendeteksi JE pada stadium lebih lanjut. Pencegahan
1. Terhadap vektor Pemberantasan vektor dapat dilakukan secara mekanis, biologis, kimia, ekologis dan genetik. 2. Terhadap reservoir Melakukan pemeriksaan secara intensif untuk mengetahui adanya virus JE atau antibodi dalam tubuh reservoir, sehingga kemungkinan wabah dapat terdeteksi secara dini.
3. Pencegahan terhadap manusia mencegah terjadinya gigitan nyamuk. memberikan kekebalan dengan suntikan pencegahan. Untuk turis, risiko terkena JE cukup rendah. Tidak lebih dari 1 kasus per tahun yang terdiagnosis pada turis di seluruh dunia. Pengunjung yang bepergian ke daerah pedesaan dan berada di alam terbuka atau daerah endemik kemungkinan terkena terutama jika terjadi epidemi. Vaksinasi bisa dipertimbangkan jika bepergian ke daerah pedesaan dan tinggal selama lebih dari 2 minggu. Imunisasi adalah cara yang paling baik untuk mencegah Japanese ensefalitis. Walaupun vaksin JE sudah ada dan telah digunakan di beberapa negara, tetapi vaksin tersebut memiliki banyak keterbatasan. Vaksin tersebut merupakan inactivated mouse-brain derived vaccine, dan diperlukan satu mencit/tikus untuk memproduksi setiap dosis vaksin sehingga vaksin tidak dapat diproduksi sesuai dengan skala yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan. Selain itu diperlukan 3 dosis untuk mencapai 90% efektivitas dan suntikan tambahan diberikan setiap 3 tahun. Vaksin JE Terdapat tiga macam vaksin JE yang digunakan untuk manusia, yaitu vaksin inactivated yang dibuat dari kultur jaringan ginjal marmut, vaksin inactivated galur Nakayama yang dibuat dari otak mencit dan vaksin hidup yang dilemahkan dari kultur jaringan ginjal marmut. Vaksin diberikan secara serial dengan dosis 1 ml secara subkutan pada hari 0, 7 dan 28. Untuk anak yang berumur 1-3 tahun dosis yang diberikan masing-masing 0,5 ml dengan jadwal yang sama. Booster diberikan pada individu yang berisiko tinggi dengan dosis 1 ml 3 tahun kemudian.
Penelitian terkontrol yang dilakukan di dua daerah endemik menunjukkan bahwa vaksin JE ternyata efektif dan tanpa menimbulkan efek samping yang serius bagi vaksinasi selama masa kanak-kanak. Seri tiga dosis vaksin berhasil mencegah penyakit JE pada 9 dari 10 orang. Sampai saat ini tidak ada data tentang keampuhan dan keamanan vaksin JE pada anak berusia di bawah 1 tahun. KIPI VaksinasI JE Kemungkinan efek samping dari pemberian vaksin mencakup, tempat suntikan menjadi kemerahan dan bengkak, demam, nyeri kepala, bercak pada kulit, menggigil, pusing, mual dan muntah, serta sakit perut. Juga dapat terjadi reaksi alergi. Saat ini secara resmi vaksin ini belum masuk ke Indonesia, tapi di beberapa tempat seperti Bali, vaksin ini tersedia. Pengobatan Tidak ada pengobatan khusus untuk JE. Antibiotika tidak efektif terhadap virus, dan obat anti virus yang efektif untuk mengatasi penyakit ini belum dikembangkan. Tetapi perawatan pasien yang baik sangat penting, dan dipusatkan pada pengobatan terhadap gejala dan komplikasi yang timbul. Kortikosteroid dapat diberikan, namun hasil penelitian double blind plasebo kontrol tidak menunjukkan keuntungan pemberian kortikosteoid. Isoquinolon efektif untuk in vitro dan antibodi monoklonal efektif pada hewan percobaan. Daftar Pustaka 1. Solomon T, Dung NM, Kneen R dkk. Japanese encephalitis. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2000; 68: 405-15. 2. Potula R, Badrinath S dan Srinivasan S. Japanese encephalitis in and around Pondicherry, South India: a clinical appraisal and prognostic indicators for the outcome.
Journal of Tropical Pediatrics 2003; 49: 48-53.
3. Marfin AA, Gubler DJ. Japanese encephalitis: the need for more effective vaccine. Didapat dari www.thelancet.com vol 366 Oktober 2005. 4. Masloman N, Widarso HS, Cicilia W. Japanese encephalitis in children. Pediatrica Indonesiana 2005; 44: 46-8. 5. Harad W, Kuwabara M, Kuwayama M dkk. The clinical features about 5 cases of Japanese encephalitis reported in Japan 2002. Kansenshogaku Zasshi 2004; 78(12): 1020-5. 6. Solomon T, Dung NM, Kneen R dkk. Seizures and raised intracranial pressure in Vietnamese patients with Japanese encephalitis. Brain 2002; 125: 1084-93. 7. Sarkar N, Roy BK, Dass SK dkk. Bilateral intracerebral haemorrhages: an atypical presentation of Japanese encephalitis. J Assoc Physicians India 2005; 53: 144-6. 8. Ohrr H, Tandan JB, Sohn YM dkk. Effect of single dose of SA 14-14-2 vaccine 1 year after immunisation in Nepalese children with Japanese encephalitis: a case control study. Didapat dari www.thelancet.com vol 366 Oktober 2005. 9. Halstead SB, Tsai TF. Japanese encephalitis vaccine. In: Plotkin SA, Orenstein WA, editors. Vaccines, 4th edition. Philadelphia: Saunders;2004:919-58. 10. Halstead SB, Jacobson J. Japanese encephalitis. Adv Virus Res. 2003;61:103-38. 11. Marfin AA, Barwick Eidex RS, Kozarsky PE, Cetron MS. Yellow fever and Japanese encephalitis vaccines: Indications and complications. Infect Dis ClinN Am. 2005;19:151- 168. 12. Solomon T. Flavivirus encephalitis. N Engl J Med. 2004;351:370-378. 13. Monath TP. Japanese encephalitis vaccines: current vaccines and future prospects. Curr Top Microbiol Immunol. 2002;267:105-38. 14. Plesner AM. Allergic reactions to Japanese encephalitis vaccine. Immunol Allergy Clin North Am. 2003;23:665-97. 15. Takahashi H, Pool V, Tsai T, ChenRT, and the VAERS Working Group. Adverse events after Japanese encephalitis vaccination: review of post-marketing surveillance data from Japan and the United States. The VAERS Working Group. Vaccine 2000;18:2963- 2969.
Bab VI-13 Meningokokus Dahlan Ali Musa Epidemiologi Infeksi meningokok adalah infeksi invasif yang mengakibatkan meningokoksemia, dan atau meningitis. Penyebabnya adalah Neisseria meningitidis, suatu bakteri diplokokus gram negatif. Bakteri yang dapat mengakibatkan penyakit infeksi invasif ini berdasarkan polisakarida dari permukaan sel bakterinya, dikelompokkan dalam 13 serogrup. Serogrup tersering adalah tipe A,B,C,X,Y,Z,W-135 dan L. Tidak ada hubungan yang pasti antara serogrup atau tipe dengan virulensi bakteri. Di Amerika, serogrup B dan C merupakan 45% dari kasus yang dilaporkan. Di tempat lain di dunia, yang sering mengalami epidemi maka serogrup A sering sebagai penyebabnya. Di Australia pada tahun 1995 terjadi 2.1 kasus per 100.000 populasi, sebagian besar adalah serogrup B, dengan puncaknya pada usia 0-4 tahun dan 15-19 tahun. Pada abad ke-20, epidemi serogrup A terjadi secara siklus setiap 5-10 tahun di daerah meningitis belt yang dibatasi oleh Sudan di sebelah timur, Gambia di barat, gurun Sahara di utara, dan daerah hujan tropis bagian selatan. Di Brazil, India utara, Mongolia dan Nepal dilaporkan banyak epidemi dalam 10 tahun terakhir ini oleh serogrup A dan C. Serogrup W-135 didapatkan pada kurang dari 5 % kasus yang dilaporkan di dunia. Epidemi pertama kali serogrup W-135 dilaporkan terjadi pada musim haji di Saudi Arabia pada tahun 2000, dan pada 2002 dilaporkan telah terjadi epidemi serogrup W-135 di Afrika SubSahara. Di masyarakat, pengidap karier Neisseria meningitidis di saluran nafas yang asimtomatik terdapat sekitar 20%, prevalensi akan meningkat pada penduduk yang hidup berkelompok di
suatu lingkungan yang sempit. Infeksi cenderung terjadi di kelompok yang terlokalisasi, sering diantara anggota keluarga serumah, kelompok anak-anak prasekolah atau unit militer, dimungkinkan karena penyebaran organisme galur ganas di dalam kelompok. Manifestasi klinis Masa inkubasi penyakit ini mulai 1 hari sampai 10 hari, biasanya kurang dari 4 hari. Onset penyakit muncul saat meningokoksemia, ditandai dengan demam, menggigil, sangat lemah, prostration dan ruam yang pada awalnya dapat berupa ruam makula, ruam makulopapular, atau petekie. Pada kasus berat, purpura, koagulasi intravaskular deseminata, syok, koma, dan kematian (sindrom Waterhouse-Friederichsen) dapat bermanifestasi dalam beberapa jam, kecuali mendapat pengobatan yang tepat. Tanda
klinis meningitis meningokok tidak dapat dibedakan dengan meningitis akibat bakteri patogen lainnya. Komplikasi infeksi meningokok dapat berupa artritis, miokarditis, perikarditis, endoftalmitis, atau pnemonia. Di Indonesia belum ada data yang pasti pada anak. Pencegahan diberikan kepada jemaah haji yang akan berada untuk waktu yang lama di daerah yang kecil dengan jumlah orang yang sangat banyak serta padat. Arab Saudia masuk dalam meningitis belt tersebut di atas yang sering terjadi siklus epidemik meningokokus. Vaksin tetravalen Vaksin tetravalen mengandung lyophilized purified polysaccharides dari N.meningitidis serogrup A,C,W-135 dan Y, masing-masing antigen 50 mcg di dalam 0.5 ml dengan fenol 25% sebagai preservasi. Tersedia dalam vial 0.5 ml dosis tunggal dengan larutan garam faali sebagai pelarut dalam botol yang terpisah dan vial 10 dosis dengan vial pelarut yang terpisah.
Saat ini belum tersedia vaksinuntuk mencegah anak dari penyakit serogrup B, karena vaksin yang mengandung polisakarida kapsul bakteri yang dimurnikan dari serogrup B secara imunogenik terlalu lemah untuk merangsang pembentukan antibodi. Imunitas yang memberi perlindungan bertahan selama 3 tahun. Rekomendasi Vaksin diberikan secara injeksi subkutan dalam Vaksin diberikan kepada anak berusia 2 tahun atau lebih. Pada 90% penerima vaksin yang berusia 2 tahun atau lebih, vaksin tetravalen ini menghasilkan antibodi dalam waktu 10-14 hari setelah pemberian vaksin. Vaksin boleh diberikan bersamaan dengan vaksin lain asalkan pada tempat yang berbeda Vaksin disimpan pada temperatur 2oC-8oC dan tidak boleh beku. Indikasi Imunisasi meningokok secara rutin pada anak tidak dianjurkan Imunisasi perlu dianjurkan pada anak usia 2 tahun atau lebih yang mempunyai risiko tinggi. Vaksin diindikasikan untuk mengontrol kejadian luar biasa oleh salah satu serogrup yang dikandung oleh vaksin. Imunisasi akan sangat menguntungkan bagi pelancong yang menuju daerah atau negara yang dikenal sebagai daerah hiperendemik atau epidemik penyakit meningokok. Imunisasi ulang Antibodi meningokok pada orang dewasa dapat bertahan selama 10 tahun, tetapi pada anak khususnya yang menerima vaksin pada usia di bawah 4 tahun kadar antibodi dengan cepat menurun dalam kurun waktu 3 tahun pertama.
Apabila terpapar dengan risiko baru atau risiko yang terus menerus oleh infeksi subgrup C, maka imunisasi ulang perlu diberikan setelah 1 tahun kepada anak yang menerima imunisasi pada usia kurang dari 4 tahun dan setelah 5 tahun kepada anak yang menerima imunisasi pada usia di atas 4 tahun. Imunisasi ulang pada orang dewasa sebelum 5 tahun dari imunisasi pertama tampaknya tidak diperlukan, demikian pula apabila terjadi paparan baru terhadap penyakit dalam kurun waktu tersebut. Kejadian ikutan pasca imunisasi Reaksi sangat jarang terjadi setelah imunisasi Apabila ada sangat ringan, berupa rasa sakit lokal dan kemerahan lokal selama 12 hari. Kadang terjadi neuritis brakialis pada lengan yang disuntik Daftar Pustaka 1. National Health and Medical Research Council. National Immunization Program. The Australian Immunization Handbook. Edisi ke-9. Commonwealth of Australia, 2008. 2. Plotkins S, Orenstein WA, penyunting. Vaccines, edisi keempat. Philadelphia, Tokyo, WB Saunders, 2004. 3. LK American Academy of Pediatrics. Meningococcal infections. In: Pickering LK, editor.
Red book: 2003 Report of the Committee on Infectious Disease. 26th ed. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics; 2003. p. 430-6. 4. CDC. Prevention and control of meningococcal disease: recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP). MMWR Recomm Rep. 2005;54(RR-7):1-21. 5. Rosenstein NE, Perkins BA, Stephens DS, et al. Meningococcal disease. N Engl J Med. 2001;344:1378-88. 6. Maiden MC, Stuart JM; UK Meningococcal Carriage Group. Carriage of serogroup C meningococci 1 year after meningococcal C conjugate polysaccharide vaccine. Lancet. 2002;359:1829-31. 7. CDC. Update: Guillain-Barré Syndrome among recipients of Menactra meningococcal conjugate vaccine—United States, October 2005-February 2006. MMWR Morbid Mortal Wkly Rep. 2006;55: 364-6.
8. CDC. Notice to Readers: Recommendation from the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) for Use of Quadrivalent Meningococcal Conjugate Vaccine (MCV4) in Children Aged 2-10 Years at Increased Risk for Invasive Meningococcal Disease. MMWR 2007;56(48):1265-1266. 9. CDC. Notice to Readers: Revised Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices to Vaccinate All Persons Aged 11-18 Years with Meningococcal Conjugate Vaccine. MMWR 2007;56(31):794-795.
Bab VI-14 HUMAN PAPILLOMA VIRUS Kusnandi Rusmil Infeksi Human Papilloma Virus (HPV) pada genitalia merupakan suatu infeksi yang sering terjadi dan bersifat asimtomatik. Infeksi HPV dapat sembuh sempurna, namun apabila menetap lebih dari 2 tahun (persistent infection) dapat berkembang menjadi lesi pra-kanker disebut CIN= cervical intraepithelial neoplasia, dalam 9-15 tahun akan menjadi kanker serviks (kanker leher rahim) dengan kejadian 1/625 infeksi HPV. Terbukti hasil pemeriksaan patologi dari spesimen pasien kanker serviks 99,7% ditemukan HPV DNA, tipe risiko tinggi atau disebut tipe onkogenik, 70% terdiri dari tipe 16 dan 18. Epidemiologi Secara global kanker leher rahim menempati posisi kedua penyebab kematian wanita akibat kanker. Setiap tahun ditemukan 510.000 kasus baru, 288.000 kasus meninggal, atau setiap dua menit seorang wanita meninggal oleh karena penyakit ini. Kejadian kanker leher rahim 80% kasus dijumpai di negara yang sedang berkembang. Di Asia Pasifik setiap empat menit seorang wanita meninggal dunia sedangkan di Indonesia angka kejadian kanker leher rahim merupakan penyebab kematian pertama kanker pada perempuan. Diperkirakan terdapat 80-100 kasus baru kanker leher rahim per 100.000 penduduk pertahun. Angka kejadian infeksi diperkirakan 6,2 juta kasus baru pertahun. Kejadian infeksi pada wanita berkisar 50%-80% selama hidupnya, 50% diantaranya merupakan tipe onkogenik. Kanker leher rahim merupakan manifestasi klinis dari infeksi (HPV) persisten.
Risiko tertinggi infeksi HPV terjadi pada usia remaja dan kanker leher rahim bisa mengenai wanita mulai umur 15 tahun. Faktor risiko
Faktor risiko yang berperan untuk terjadinya kanker leher rahim adalah infeksi HPV menetap yang terjadi sejak usia muda. Sedangkan ko-faktor yang mempengaruhi infeksi HPV menjadi kanker leher rahim adalah hubungan seksual yang dimulai pada usia muda, berganti-ganti pasangan, pemakaian alat kontrasepsi hormonal, tingginya frekuensi persalinan, imunosupresi/ infeksi HIV (human immuno deficiency virus), koinfeksi klamidia, koinfeksi HSV-2 (herpes simplex virus-2), perokok aktif atau pasif, faktor genetik, status sosial ekonomi rendah (gizi buruk, pendapatan dan pendidikan rendah, dan kurangnya fasilitias untuk skrining dan pelayanan kesehatan). Vaksin HPV Penelitian vaksin HPV bivalen dan kuadrivalen menunjukkan imunogenisitas yang tinggi. Vaksin HPV yang telah beredar di Indonesia dibuat dengan teknologi rekombinan. Vaksin HPV berpotensi untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan infeksi HPV. Terdapat 2 jenis vaksin HPV Vaksin bivalen (tipe 16 dan 18, Cervarix@) Vaksin quadrivalen (tipe 6, 11, 16 dan 18, Gardasil @), Vaksin HPV mempunyai efikasi 96%-100% untuk mencegah kanker leher rahim yang disebabkan oleh HPV tipe 16/18. Vaksin HPV telah disahkan oleh Food and Drug Administration (FDA) dan Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) dan di Indonesia sudah mendapat izin edar dari Badan POM RI.
Human Papilloma Virus KIPI vaksin HPV Efek samping lokal vaksin HPV bivalen dan kuadrivalen adalah nyeri, reaksi kemerahan dan bengkak pada tempat suntikan. Efek samping sistemik vaksin HPV bivalen dan kuadrivalen adalah demam, nyeri kepala dan mual. Rekomendasi Satgas Imunisasi IDAI Imunisasi vaksin HPV diperuntukkan pada anak perempuan sejak umur > 10 tahun. Dosis 0,5 mL, diberikan secara intramuskular pada daerah deltoid. Jadwal Vaksin HPV bivalen, jadwal 0, 1 dan 6 bulan, Vaksin HPV kuadrivalen, jadwal 0, 2 dan 6 bulan. Tabel 6.8. Spesifikasi vaksin bivalen dan quadrivalen Vaksin HPV 16/18
Vaksin HPV 6/11/16/18
mL SO4
Per dosis 0.5
Adjuvant
A
Antigen
L1 HPV 16 20
Garam aluminium 225 Al(OH)3 500 ug MPL
ug
Volume Per dosis 0,5 mL
ug
50 ug
L1 HPV 6 40 ug L1 HPV 18 20 ug
L1 HPV 11 20 ug
L1 HPV 16 40 ug L1 HPV 18 20 ug Expression system Baculovirus
Hi- 5
Ragi (yeast) Jadwal pemberian 0,1,6 bulan intramuskular 0,2,6 bulan intramuskular Umur pra remaja(>10 th) Umur pra remaja (>10 th)
Daftar Pustaka 1. WHO. Developmnet of new vaccine. dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/ fs289/en/html. 2. Daley MF, Liddon N, Crane LA, Beaty BL, Barrow J. A national survey of pediatrician knowledge and attitudes regarding human papillomavirus vaccination. Pediatrics 2006;118:2280-9. 3. Andrijono. Kanker serviks. Edisi pertama. Divisi Onkologi, Departemen ObstetriGinekologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta 2007. 4. Pagliusi SR, Aguado MT. Vaccine. 2004;23:569–78. 5. McIntosh N. JHPIEGO strategy paper. 2000.
Pen gantar Imunisasi pasif didapat dari penyuntikkan imunoglobulin manusia. Daya proteksi yang ditimbulkan cepat, sedangkan lamanya proteksi sangat tergantung dosis, biasanya hanya bertahan beberapa minggu. Dikenal 2 tipe imunoglobulin, yaitu yang normal dan spesifik. Imunoglobulin yang normal berasal dari kumpulan plasma darah donor yang mengandung antibodi terhadap virus yang banyak ditemukan di populasi umum. Sedangkan immunoglobulin spesifik digunakan untuk proteksi seseorang terhadap virus atau bakteri tertentu seperti CMV, hepatitis B, rabies, tetanus dan varisela / zoster. Imunoglobulinnya didapatkan dari darah penderita dengan penyakit tertentu pada saat konvalesens, donor yang barn mendapat imunisasi atau seseorang yang pada skrening mempunyai titer antibodi tinggi.
Toto Wisnu Hendrarto Imunisasi pasif adalah pemberian antibodi kepada resipien, dimaksudkan untuk memberikan imunitas secara langsung tanpa harus memproduksi sendiri zat aktif tersebut untuk kekebalan tubuhnya. Antibodi yang diberikan ditujukan untuk upaya pencegahan atau pengobatan terhadap infeksi, baik untuk infeksi bakteri maupun virus. Mekanisme kerja antibodi terhadap infeksi bakteri melalui netralisasi toksin, opsonisasi, atau bakteriolisis. Kerja antibodi terhadap infeksi virus melalui netralisasi virus, pencegahan masuknya virus ke dalam sel dan promosi sel natural-killer untuk melawan virus. Dengan demikian pemberian antibodi akan menimbulkan efek proteksi segera. Imunisasi pasif tidak melibatkan sel memori dalam sistem imunitas tubuh, proteksi bersifat sementara selama antibodi masih aktif di dalam tubuh resipien, dan perlindungannya singkat karena tubuh tidak membentuk memori terhadap patogen/ antigen spesifik. Jenis imunisasi pasif Imunisasi pasif dapat terjadi secara alami atau didapat. Transfer imunitas pasif alami terjadi saat ibu hamil memberikan antibodi tertentu ke janinnya melalui plasenta, terjadi di akhir trimester pertama kehamilan, dan jenis antibodi yang ditransfer melalui plasenta adalah imunoglobulin G (IgG). Transfer imunitas alami dapat terjadi dari ibu ke bayi melalui kolostrum (ASI), jenis yang ditransfer adalah imunoglobulin A (IgA). Transfer imunitas pasif didapat terjadi saat seseorang menerima plasma atau serum yang
mengandung antibodi tertentu untuk menunjang kekebalan tubuhnya. Jenis imunisasi pasif atau seroterapi tergantung dari cara pemberian dan jenis antibodi yang diinginkan, yaitu Imunoglobulin (Ig) Imunoblobulin yang di berikan secara intravena (IgIV) Imunoglobulin spesifik (hyperimmune) Antiserum (antibodi dari binatang) Plasma manusia
Indikasi imunisasi pasif Tujuan pemberian imunisasi pasif adalah untuk pencegahan bila antibodi diberikan pada pasien defisiensi sistem imun dan untuk pengobatan bila antibodi diberikan terhadap infeksi tertentu. Indikasi pemberian imunisasi pasif, 1. Adanya gangguan pada limfosit B, baik kongenital maupun didapat. Kelainan tersebut dapat murni gangguan pada limfosit B sendiri, dapat juga kombinasi gangguan/ defisiensi sistem imun lainnya. 2. Adanya risiko menderita infeksi atau komplikasi lebih berat bila terpapar oleh infeksi tertentu karena adanya imunokompromis, misalnya pasien leukemia yang terpapar infeksi campak atau cacar air. 3. Diperlukan antibodi siap pakai segera pada saat terpapar infeksi, yang tidak dapat terpenuhi dengan pemberian vaksinasi, misalnya pada neonatus dengan ibu HBsAg positif. 4. Sebagai pengobatan dalam menahan kerja toksin, misal pada kasus difteri, tetanus. 5. Sebagai pengobatan anti inflamasi terhadap kerja toksin pada organ tertentu, misal pada pasien penyakit Kawasaki.
Imunoglobulin (Ig) Imunoglobulin (Ig) adalah derivat plasma pasien dewasa yang diproses melalui fraksinasi alkohol, steril dan tidak tercemar oleh virus hepatotropik, HIV atau jenis infeksi lain. Sekitar 16,5% atau 165 mg/mL merupakan komposisi protein tertentu berasal dari plasma populasi yang sembuh/ pernah terpapar satu infeksi atau telah mendapat vaksinasi tertentu, sehingga memiliki antibodi spesifik terhadap infeksi tersebut. Fraksi yang dikandung 95% IgG, sisanya IgA dan IgM. Cara pemberian secara intra muskular (im), di regio gluteal pada anak yang lebih besar atau paha bagian anterior lateral pada pasien anak lebih kecil atau bayi. Jumlah maksimal yang dapat diberikan pada setiap kali suntikan adalah 5 ml pada anak lebih besar, dan 1-3 ml pada anak lebih kecil atau bayi. Khusus kasus defisiensi imun diberikan subkutan, tidak direkomendasikan pemberian intrakutan, sedangkan pemberian intravaskular merupakan kontraindikasi. Untuk mengurangi rasa nyeri pada bekas suntikan, Ig diberikan pada suhu kamar. Kadar antibodi dalam serum mencapai puncak terjadi dalam 48-72 jam setelah pemberian, dengan waktu paruh 3-4 minggu. Indikasi pemberian Imunoglobulin 1. Terapi defisiensi antibodi Dosis 100 mg/ kg berat badan (0,66 ml/ kg berat badan), secara intra muskular (im) per bulan. Dosis awal dibagi dalam dua dosis, selanjutnya diberikan dengan interval 2-4 minggu. Pada pasien dewasa dapat diberikan subkutan, sehingga dapat dilakukan secara rawat jalan di rumah. Reaksi alergi sistemik terjadi pada 1% kasus, dan reaksi jaringan lokal biasanya ringan. 2. Profilaksis hepatitis A Diindikasikan untuk melindungi seseorang dari penyakit hepatitis A bila diberikan dalam 14 hari setelah terpapar. Semua
wisatawan yang bepergian ke daerah endemis tinggi atau sedang, termasuk Afrika, Timur Tengah, Asia, Eropa Timur, Amerika Tengah dan Selatan, perlu diberikan Ig atau vaksin hepatitis A sebelum keberangkatan. Ig dalam dosis tunggal 0.02 ml/kg, atau 2 ml diberikan untuk orang dewasa, yang akan terpajan lebih dari 3 bulan, untuk pemajanan yang lebih lama, diberikan 0.06 ml/kg atau 5 ml dan diulang setiap 4-6 bulan apabila proses pemajanan terus berlangsung. 3. Profilaksis campak Diindikasikan untuk melindungi seseorang dari penyakit campak bila diberikan dalam 6 hari setelah terpapar. Efek samping Imunoglobulin 1. Rasa nyeri pada tempat suntikan, yang akan berkurang bila Ig diberikan pada suhu kamar. Reaksi lain dan jarang terjadi adalah muka kemerahan (flushing), nyeri kepala, menggigil dan mual.
dan mual. 2. Reaksi yang berat jarang timbul, misalnya nyeri dada, sesak nafas, reaksi anafilaksis dan renjatan. Risiko terjadi reaksi sistemik meningkat bila diberikan secara intra vena (iv). Pemberian Ig dosis berulang dapat menimbulkan reaksi sistemik seperti demam, menggigil, berkeringat, perasaan tidak nyaman dan renjatan. 3. Pada pasien defisiensi IgA selektif, kadar IgA dalam Ig sedikit, menimbulkan antibodi anti-IgA yang memberikan reaksi pada pemberian Ig berikutnya, tranfusi darah lengkap (whole blood) atau plasma Gejala sistemik yang timbul adalah menggigil, dengan gejala mirip renjatan. Untuk mengurangi risiko ini dianjurkan pemberian IgIV tanpa IgA. 4. Risiko pembentukan antibodi terhadap IgG heterolog dapat terjadi, dan bisa menimbulkan reaksi sistemik, tetapi jarang terjadi. 5. Sebagian preparat Ig tidak mengandung thimerosal.
Perhatian khusus pada pemberian imunoglobulin 1. Hati-hati memberikan Ig pada pasien yang alergi pada pemberian Ig. 2. Harus tersedia obat dan peralataan kedaruratan untuk mengatasi reaksi sistemik akut atau anafilaksis, meskipun jarang terjadi. 3. Ig diindikasikan kontra pada pasien dengan trombositopeni berat dan gangguan koagulasi. Pada kasus ini dianjurkan pemberian IgIV 4. Tidak dianjurkan melakukan penapisan rutin untuk difisiensi IgA. Imunoglobulin intravena Imunoglobulin intra vena (IgIV) dibuat dengan prosedur yang sama dengan pembuatan Ig, dengan modifikasi tertentu sehingga dapat diberikan secara intravena. Sediaan IgIV yang direkomendasi, harus mengandung konsentrasi antibodi minimal terhadap campak, difteri, polio dan hepatitis B. Konsentrasi antibodi terhadap Streptococcus pneumoniae bervariasi dari satu pruduk dengan produk yang lain. Kandungan protein bervariasi tergantung produsernya. Terdapat dalam sediaan cair dan kering, tidak mengandung thimerosal. Indikasi pemberian imunoglobulin intravena 1. Defisiensi antibodi Dosis IgIV pada sindrom imunodefisiensi adalah 300-400 mg/ kg berat badan, diberikan sekali sebulan, secara IV. Dosis efektif pada masing-masing pasien berbeda, rata-rata 200-800 mg/ kg berat badan per bulan. Konsentrasi IgG rumatan sebesar 500 mgdL (5 g/L) sudah menghasilkan respon klinis yang baik. 2. Penyakit Kawasaki. Pemberian IgIV pada 10 hari pertama perjalanan penyakit akan mengurangi lamanya demam dan risiko timbulnya kelainan pada arteri koronaria. Dosis yang dianjurkan adalah 2g/ kg berat badan, dosis tunggal diberikan dalam 10-12 jam.
3. Infeksi HIV pada anak Rekomendasi pemberian IgIV adalah sebagai berikut, Adanya infeksi bakteri berulang, meskipun sudah diberikan profilaksis antibiotik. Tidak responsif terhadap pemberian vaksin campak, meskipun sudah diberikan 2 kali, terutama bagi pasien yang tinggal di daerah endemis campak. Adanya trombositopeni meskipun sudah mendapat terapi antiretroviral Masih adanya bronkiektasis meskipun sudah mendapat terapi pulmonal dan antibiotik. 4. Hipogamaglobulinemia pada pasien leukemia limfositik kronis, untuk mengurangi timbulnya infeksi bakterial berulang. 5. Untuk mengurangi angka infeksi dan kematian pada pasien transplantasi sumsum tulang. Pada pasien dewasa untuk menurunkan insidensi pneumonia interstisial terutama yang disebabkan oleh sitomegalovirus. 6. Pemberian profilaksis sepsis pada bayi prematur tidak terbukti aman dan efektif dalam penelitian metaanalisis. Sehingga IgIV tidak direkomendasikan diberikan rutin untuk mencegah sepsis awit lambat. 7. Kasus sindrom Guillain Barre 8. Mungkin bermanfaat pada pasien anemia karena infeksi Parvovirus B-19, mieloma multipel, resipien organ dari pasien dengan sitomegalovirus positif, neonatus dengan hipogamaglobulinemia yang berisiko infeksi, intractable epilepsy, sindrom
vaskulitis sistemik, anemia hemolitik autoimun, trombositopenia aloimun pada neonatal yang tidak berespon terhadap pengobatan, immune-mediated neutropenia, miastenia gravis dekompensata, dermatomiositis, polimiositis dan trombositopenia berat yang tidak berespon terhadap terapi.
Efek samping pemberian imunoglobulin intravena Pada umumnya bersifat ringan dan dapat sembuh sendiri. Reaksi berat jarang terjadi dan tidak ada indikasi kontra untuk pemberian berikutnya. Beberapa efek samping yang sering terjadi, Reaksi piogenik, ditandai dengan adanya demam tinggi, menggigil dan gejala sistemik. Reaksi sistemik ringan dengan gejala seperti nyeri kepala, mialgia, kecemasan, mual atau muntah. Gejala vasomotor atau kardiovaskular ringan ditandai dengan kulit kemerahan, perubahan tekanan darah dan takikardia. Meningitis aseptik. Reaksi hipersensitifitas. Gagal ginjal akut. Perhatian khusus pada pemberian IgIV 1. Hati-hati memberikan IgIV pada pasien dengan riwayat alergi pada pemberian imunoglobulin. 2. Harus tersedia obat dan peralataan kedaruratan untuk mengatasi reaksi sistemik akut, meskipun jarang terjadi. 3. Risiko efek samping dikurangi dengan menurunkan kecepatan maupun volume pemberian. Pasien dengan reaksi berat berulang yang tidak berespons dengan cara tersebut, berikan hidrokortison 1-2 mg/kg berat badan secara IV selama 30 menit sebelum pemberian IgIV, atau berikan preparat IgIV lain, tambahkan difenhidramin, aseaminofen atau aspirin sebelum pemberian IgIV. 4. Komplikasi vasomotor dan kardiovaskular seperti hipertensi dan gagal jantung sering terjadi saat memberikan IgIV dengan volume besar pada pasien sakit berat. 5. Tidak dianjurkan melakukan penapisan rutin untuk difisiensi IgA.
Imunoglobulin Spesifik (IgS) dan antitoksin Imunogobulin S (IgS, hyperimmune globulins) secara farmakologi maupun karakteristik biologi berbeda dengan imunoglobulin normal. Perbedaan yang bermakna terdapat pada kandungan antibodi spesifiknya. Sediaan ini diambil dari kumpulan darah pasien pada masa penyembuhan dari penyakit tertentu atau setelah pemberian vaksinasi tertentu, sehingga darahnya mengandung titer antibodi sangat tinggi terhadap penyakit tersebut. Untuk itu IgS diindikasikan untuk pencegahan infeksi bakteri spesifik seperti difteri, pertusis, tetanus dan kuman clostridium lain, infeksi saluran nafas, stafilokokus, streptokokus invasif, dan pseudomanas. Pencegahan infeksi virus seperti hepatitis A, B, C; TORCH, HIV, ebola, rabies, dan MMR. Pada tabel 1 diuraikan ringkasan kegunaan IgS pada pencegahan dan pengobatan infeksi. Antitoksin difteria Antitoksin ditujukan untuk netralisasi toksin di tempat masuknya kuman dan sirkulasi, dalam upaya menghentikan bertambah beratnya proses penyakit dan mencegah timbulnya komplikasi. Dosis ditentukan berdasarkan tempat infeksi 20.000-40.000 unit diberikan IV, bila infeksi terjadi pada pharing dan laring dalam waktu 48 jam. 40.000-60.000 unit, IV, bila infeksi terjadi pada nasopharing 80.000-120.000 unit, IV, pada infeksi lanjut dan sudah tampak adanya bull-neck. Uji hipersensitif harus dilakukan sebelum memberikan antitoksin difteri untuk mencegah timbulnya reaksi alergi/ anafilaksis. Kasus tetanus neonatorum dosis diberikan 500 U, diberikan secara intramuskular.
Imunoglobulin tetanus (human tetanus immune globulin) Pemberian Ig tetanus dan antitoksin tetanus diindikasikan untuk pencegahan pada luka dalam yang kotor, yang tidak akan terlindungi hanya dengan pemberian vaksin saja, riwayat imunisasinya tidak jelas/tidak pernah diimunisasi atau imunisasi dasarnya tidak lengkap.
Disamping itu, juga diindikasikan untuk pengobatan dalam upaya netralisasi toksin yang bekerja sistemik. Dosis pemberian Ig tetanus untuk pencegahan adalah 250 unit, diberikan secara im. Untuk pengobatan, dosisnya adalah 3.000- 6.000 unit, im. Pada kasus tetanus neonatorum dosis diberikan 500 U, diberikan secara im. Antitoksin Tetanus Jika TIg tidak tersedia dapat diberikan antitoksin yang berasal dari serum binatang sebanyak 1.500 – 5.000 IU, pemberian harus didahului dengan tes sensitifitas. Dosis tunggal antitoksin tetanus berkisar antara 50.000-100.000 U. Untuk pengobatan tetanus neonatorum diberikan dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah 20.000 U dari antitioksin dimasukkan ke dalam 200 cc cairan NaCl 0,9%, diberikan IV dalam 35-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara im pada paha antero lateral.
Tabel 7.1. Manfaat imunisasi pasif dalam pencegahan dan pengobatan infeksi Infeksi Pencegahan Rekomen Pengobatan Rekomen‑ dasi Infeksi Bakteri Infeksi respirasi (S.pneumoniae, N.meningitis,
dasi
Terbukti Terbukti
Tidak Tidak
H. influenzae)
Tidak
Terbukti
Tidak
Tidak
Difteri
Tidak terbukti
Pertusis
Tidak terbukti
Tidak terbukti Tetanus
Terbukti
Terbukti Jenis clostridium
lain:
Terbukti C.botulinum
Terbukti
Tidak terbukti Tidak
Mungkin C.difficile
bermanfaat
Infeksi Staphylococcus Sindrom syok toksik Resisten antibiotik S.epidermidis pada neonatus
Tidak terbukti Tidak terbukti Mungkin bermanfaat
Mungkin bermanfaat Mungkin bermanfaat Belum ada penelitian
Infeksi Pencegahan Rekomen Pengobatan Rekomen‑ dasi
dasi
Hepatitis B Terbukti
Tidak bermanfaat
Tidak
Hepatitis C
Tidak
HIV
Tidak
Tidak bermanfaat
Tidak
Tidak
Tidak terbukti RSV
Terbukti
Tidak
Tidak terbukti
Virus Herpes Tidak CMV Terbukti EBV Tidak HSV Terbukti VZV
Tidak
Terbukti
Tidak
Tidak
Terbukti
Tidak
Pada neonatus
Tidak
Tidak Tidak
Mungkin bermanfaat Tidak Tidak terbukti Tidak Tidak Tidak terbukti Tidak terbukti
Parvovirus
Tidak
Enterovirus
Terbukti
Mungkin bermanfaat Ebola Tidak
Mungkin
bermanfaat Rabies Tidak
terbukti Terbukti
bermanfaat Measles Terbukti
Tidak bermanfaat
Tidak
Rubella
Tidak
Mumps
Tidak
Tidak bermanfaat
Tidak
Tidak bermanfaat Tick borne
Mungkin
Tidak
encephalitis
bermanfaat
bermanfaat Vaccinia
Terbukti
Terbukti Keller MA.,dan Stiehm ER.
Clin.Microbiol.Rev. 2000.
Jika antitoksin yang berasal dari serum binatang (ATS) yang dipakai lakukan terlebih dulu skin test untuk mencegah terjadinya syok anafilaksis. Skin test dilakukan dengan menyuntikkan antitoksin yang telah diencerkan dengan garam fisiologis dengan perbandingan 1:100, sebanyak 0,02 cc intrakutan. Pada saat yang bersamaan siapkan alat suntik yang telah diisi dengan adrenaline. Skin test dengan larutan yang lebih encer (1:1000) dilakukan terhadap pasien yang sebelumnya sudah pernah mendapatkan suntikan antitoksin dari serum binatang. Sebagai kontrol di tempat lain disuntikkan garam fisiologis intrakutan. Jika setelah 15 – 30 menit setelah suntikan timbul benjolan di kulit yang dikelilingi oleh warna kemerahan berupa eritema dengan ukuran 3 mm atau lebih dibandingkan dengan kontrol maka lakukan desensitisasi terhadap pasien. Imunoglobulin botulin um (human botulinum immune globulin) Pemberian Ig botulinum diindikasikan untuk netralisasi neurotoksin yang menyebar secara sistemik yang akan berikatan dengan reseptor di presinaptik neuro-endplate, sehingga menimbulkan konstipasi, gangguan menelan, letargi, kelumpuhan saraf kranial sampai kelumpuhan umum. Dosis Ig botulinum adalah 50 mg/kg berat badan, diberikan secara IV. Imunoglobulin hepatitis A Imunoglobulin hepatitis A diberikan dalam 2 minggu setelah ada paparan virus hepatitis A, secara im, dan perlindungan yang diperoleh sebesar 85%. Karena tidak mengandung timerosal, dapat diberikan pada wanita hamil dan bayi.
Imunoglobulin hepatitis B Imunoglobulin Hepatitis B dibentuk dari donor yang memiliki titer tinggi anti-HBs dan bebas terhadap antibodi HIV dan virus Hepatitis C (hyperimmunized donors). Titer tinggi yang dimiliki adalah 1:500.000, sangat tinggi disbanding Ig standar yang hanya mengandung antibodi terhadap hepatitis B 1:2 sampai 1:64. Pemberian Ig hepatitis B diindikasikan pada bayi prematur untuk memberikan perlindungan aktif terutama pada ibu dengan HBsAg positif, yang berisiko tertular secara vertikal melalui plasenta. Disamping itu juga untuk individu yang berisiko tinggi tertular hepatitis B secara horizontal misalnya pasien kontak seksual dengan pasien hepatitis B. Rekomendasi pemberian Ig hepatitis B Pada masa perinatal - Berat lahir kurang dari 2000 gram Ig hepatitis B diberikan dalam 12 jam dengan dosis 0,5 ml, secara im pada paha sisi lain dari pemberian vaksin hepatitis B pertama. Vaksin hepatitis B pertama yang diberikan merupakan dosis tambahan, tidak termasuk 3 dosis yang seharusnya diberikan. Evaluasi HBsAg dan antibodi anti HBsAg 3 bulan setelah jadwal vaksinasi lengkap. Bila tidak terbentuk antibodi, lakukan ulangan sesuai prosedur pasien yang tidak responsif pada vaksinasi hepatitis B. - Berat lahir lebih dari 2000 gram, Ig hepatitis B diberikan dalam 12 jam dengan dosis 0,5 mi, secara IM, pada paha sisi lain dari pemberian vaksin hepatitis B pertama. Vaksin hepatitis B pertama yang diberikan merupakan bagian 3 dosis yang harus diberikan serial sampai umur 6 bulan. Pada kasus kontak seksual hepatitis B Pemberian Ig hepatitis B dilakukan dalam 14 hari setelah terjadi kontak dengan dosis 0,06 mL/kg berat badan atau 5 mL. Berikan vaksinasi hepatitis B sesuai jadwal yang dianjurkan, pada pasien yang belum pernah diberikan vaksinasi.
Kontak serumah dengan pasien hepatitis B: Pasien berumur kurang dari 12 tahun mendapat dosis 0,5 ml, diberikan secara im. Dosis bagi pasien lebih tua umurnya atau dewasa diberikan dengan dosis 0,06 mL/ kg berat badan atau 5 mL. Imunoglobulin cytomegalovirus (CMV) IgIV CMV diberikan untuk profilaksis kasus yang berisiko tinggi terhadap infeksi CMV. Dosis awal adalah 150 mg/kg, dilanjutkan dengan dosis rumatan setiap 2 minggu, diturunkan bertahap sampai 16 minggu. IgIV CMV efektif untuk penderita transplantasi ginjal dan hati. Penggunaan pada neonatus untuk mencegah penularan CMV secara vertikal pada neonatus masih belum diketahui dengan pasti. Vaksin CMV masih dalam proses penelitian terutama dalam pembuktian klinis pada sukarelawan dan penderita transplantasi ginjal. Imunoglobulin rabies Dosis pemberian Ig rabies adalah 20 IU/kg berat badan (0,133 mL/ kg berat badan), diberikan bersamaan dengan pemberian vaksin rabies, dalam upaya pencegahan pasca paparan dalam kurun waktu mulai awal terpapar sampai terbentuknya antibodi aktif. Bila IgR tidak tersedia, vaksin dapat diberikan diikuti dengan pemberian IgR pada 7 hari pertama setelah pengobatan. Bila pemberian vaksin dan IgR terlambat, keduanya harus diusahakan untuk memperpendek interval antara waktu paparan dengan pengobatan. Dosis IgR 20 IU/kg berat badan, sebanyak-banyaknya diberikan secara infiltrasi di sekitar luka. Sisanya diberikan im dengan alat dan jarum suntik yang terpisah. Bila lukanya banyak, lakukan pengenceran IgR dengan NaCl 0,9% agar volumenya cukup (diencerkan 2-3 kalinya). Pada anak dengan masa otot yang tipis, dianjurkan pemberian IgR di tempat yang berbeda. Kemasan IgR manusia tersedia dalam vial 2 mL (300 IU) dan 10 mL (1500 IU). Antibodi pasif dapat menghambat
respon vaksin rabies; oleh sebab itu dosis yang direkomendasikan tidak boleh berlebih. Vaksin tidak boleh disuntikkan dan diberikan dalam satu alat suntik yang sama. Reaksi hipersensitifitas terhadap IgR jarang terjadi. Plasma dari Manusia Plasma dari manusia dapat digunakan untuk mengatasi infeksi walaupun terbatas karena resiko tercemar hepatitis. Biasanya digunakan pada pasien luka bakar, untuk mengatasi hilangnya protein dan adanya penelitian untuk mencegah infeksi pseudomonas. Pemberian plasma bermanfaat pula untuk pasien defisiensi antibodi IgG, karena plasma juga mengandung Ig. Antibodi hewan (antisera hewan) Dibuat dari serum kuda, dengan cara mengendapkan fraksi globulin serum dengan amonium sulfat. Digunakan pada penyakit berikut: Antitoksin botulism, trivalen (jenis A, B, E) Antitoksin difteri Antitoksin tetanus Globulin rabies Antitoksin difteri Antitoksin ditujukan untuk netralisasi toksin di tempat masuknya kuman dan sirkulasi, dalam upaya menghentikan bertambah beratnya proses penyakit dan mencegah timbulnya komplikasi. Dosis ditentukan berdasarkan tempat infeksi 20.000-40.000 unit diberikan iv, bila infeksi terjadi pada pharyng dan laryng dalam waktu 48 jam. 40.000-60.000 unit, iv, bila infeksi terjadi pada nasopharyng 80.000-120.000 unit, iv, pada infeksi lanjut dan sudah tampak adanya bull-neck.
Tes hipersensitif harus dilakukan sebelum memberikan antitoksin difteri untuk mencegah timbulnya reaksi alergi/anafilaksis. Kasus tetanus neonatorum dosis diberikan 500 U, diberikan secara im. Antitoksin tetanus Jika TIG tidak tersedia dapat diberikan antitoksin yang berasal dari serum binatang sebanyak 1.500 – 5.000 IU, pemberian harus didahului dengan tes sensitifitas. Dosis tunggal antitoksin tetanus berkisar antara 50.000-100.000 U. Untuk pengobatan tetanus neonatorum diberikan
dengan dosis 40. 000 U, dengan cara pemberiannya adalah: 20.000 U dari antitioksin dimasukkan ke dalam 200 cc cairan NaCl 0,9%, diberikan IV dalam 35-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara im pada paha antero lateral. Antitoksin botulinum Dosis untuk anti toksin botulinum tergantung tingkat beratnya penyakit, pada pasien dewasa dapat diberikan antara 2-4 vial, secara im atau iv. Sebelum pemberian anti toksin botulinum harus dilakukan uji sensitifitas yaitu pertama dilakukan scratch, prick, atau puncture test. Bila hasilnya negatIf dilanjutkan dengan tindakan kedua yaitu dengan melakukan tes intradermal, yang menunjukan hasil positif bila terbentuk indurasi selebar 3 mm dalam waktu 15-20 menit setelah tes dilakukan. Bila hasil tes positif dan didapat riwayat alergi, antitoksin botulinum diberikan melalui desensitisasi. Indikasi antisera hewan Penggunaan produk yang mengandung antibodi dari serum hewan demikian terbatas dan dengan indikasi yang kuat, yaitu bila preparat Ig dari manusia tidak tersedia, (misalnya untuk difteria dan botulism).
Reaksi terhadap serum hewan Sebelum pemberian serum hewan, sebaiknya dilakukan anamnesis adanya atopi seperti asma, rinitis alergika, urtikaria, atau riwayat pemberian serum hewan sebelumnya. Bila didapatkan atopi tersebut, pemberian serum hewan sangat berbahaya, kecuali pada kondisi tertentu. Tes sensitivitas terhadap serum hewan Tes Intradermal harus dilakukan sebelum pemberian serum hewan. Tes Intradermal (ID) dilakukan dengan penyuntikan 0,02-0.1 ml dari serum yang diencerkan dengan Nacl 0,9% 1:100, dan dibaca setelah 10 sampai 30 menit. Hasil positif bila terdapat pembengkakan. Pada penderita yang berbakat alergi, cara yang dilakukan adalah memberikan 0,05 ml serum yang diencerkan dengan Salin 1:1000 secara intradermal. Tes intradermal dapat menimbulkan kematian, oleh karena itu persiapkan tindakan terapi reaksi anafilaksis dengan mempersiapkan semprit yang berisi 1 ml 1:1000 epinefrin yang secara cepat dapat diberikan, serta tersedianya personil yang trampil, dan dapat memberikan medikasi/cairan infus secara intravena bila diperlukan. Bila tes kulit intradermal (id) berakibat fatal, cara lain yang cukup aman adalah scratch test. Scratch, prick atau puncture test dilakukan dengan pemberian satu tetes 1:100 serum yang diencerkan dengan Salin pada kulit yang digores secara superfisial dan ditunggu 15–30 menit. Hasil yang positif menunjukkan kemerahan atau indurasi. Cara lama yang pernah dilakukan dan sekarang mulai ditinggalkan adalah tes mata. Tes mata dilakukan dengan cara meneteskan satu tetes serum yang diencerkan dengan salin 1:10 pada satu mata, sementara mata sisi lainnya diberi satu tetes Salin sebagai kontrol. Hasil tes positif, apabila terdapat produksi airmata yang berlebihan dan adanya reaksi kemerahan atau konjungtifitis setelah 10 sampai 30 menit pada sisi mata yang diberi serum. Beberapa ahli
Alergi sudah meninggalkan cara ini dan lebih memilih Scratch tes atau tes intradermal. Apabila scratch test atau tes mata negatif, tes kulit dan tes mata dapat diindikasikan sensitif. Tetapi bila hasilnya negatif tidak menjamin bebas alergi. Apabila riwayat alergi tidak ada dan sensitifitas keduanya negatif, dosis serum dapat diberikan secara Intramuskular. Pemberian iv dapat dilakukan bila dosis antibodi yang dibutuhkan dapat mencapai kadar lebih tinggi secara cepat. Pada keadaan demikian dosis awal 0.5 ml yang diencerkan dengan 10 ml salin atau glukosa 5% diberikan secara intravena sepelan mungkin dan ditunggu 30 menit untuk melihat reaksinya. Bila reaksi tidak terjadi, sisa serum diencerkan 1:20 diberikan kembali IV dengan kecepatan tidak lebih dari 1 ml per menit Bila ada riwayat alergi, harus diputuskan apakah serum hewan akan diberikan apa tidak. Apabila pemberian harus tetap dilakukan dapat digunakan cara desensitisasi, tetapi sediakan epinefrin 1:1000 siap pakai didalam semprit, untuk tindakan antisipasi terhadap terjadinya reaksi anafilaksis bila diperlukan. Cara desensitisasi sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
0.05 ml serum diencerkan 1:20 diberikan secara subkutan 0.1 ml serum diencerkan 1:10 diberikan secara subkutan 0.3 ml serum diencerkan 1:10 diberikan secara subkutan 0.1 ml serum tidak diencerkan diberikan secara subkutan 0.2 ml serum tidak diencerkan diberikan secara subkutan
6. 0.5 ml serum tidak diencerkan diberikan secara intra muskular 7. sisanya serum tidak diencerkan diberikan secara intra muskular Jenis reaksi terhadap serum hewan Reaksi yang terjadi dengan pemberian serum hewan melibatkan antibodi IgE, yang dapat diprediksi dengan melakukan tes kulit. 1) Reaksi demam tiba-tiba, biasanya ringan karena semua serum sudah dibuat tes pirogenisitas dan dapat diatasi dengan antipiretik.
2. Serum sickness. Gejala timbul mulai hari ke 7 sampai ke 10 (bisa sampai 3 minggu), setelah terpapar protein asing, yaitu demam, urtikaria, ras makulopapuler, (90% kasus), arthritis atau artralgia, dan limfadenopati. Reaksi edem lokal terjadi di tempat suntikan, sebelum gejala sistemik muncul. Angioedema, glomerulonefritis, sindromGuillain-Barré, neuritis perifer, dan miokarditis juga dapat terjadi. Namun demikian serum sickness bisa timbul ringan dan hilang spontan dalam beberapa hari sampai 2 minggu. Penderita yang pernah mendapat injeksi serum ulangan sebelumnya, berisiko terjadi serum sickness lebih cepat (terjadi dalam beberapa jam sampai 3 hari). Antihistamin sangat membantu mengatasi gatal, edem, dan urtikaria. Demam, rasa lemah, artralgia dan arthritis dapat diatasi dengan pemberian asetosal atau anti inflamasi non steroid lainnya. Bila tidak berhasil dapat diberikan kortikosteroid (prednison atau predisolon) dengan dosis 1,5 sampai 2mg/kg per hari, diberikan 5 sampai 7 hari. 3. Anafilaksis. Timbulnya dapat cepat dalam beberapa menit setelah terpapar zat allergen. Semakin cepat timbul, semakin berat gejala yang terjadi. Gejala utamanya adalah pada kulit gatal, merah, urtikaria, dan angioedem. Gangguan pernapasan seperti serak dan stridor, batuk, mengi, sesak nafas dan sianosis. Sistem kardiovaskular: nadi cepat dan lemah, hipotensi, dan aritmia. Gangguan pencernaan spasme dinding perut, muntah, diare, dan mulut kering. Anafilaksis sebagai kegawatan medis Pengobatan reaksi anafilaksis Tenaga medis yang memberikan produk biologis atau serum harus siap menghadapi adanya reaksi anafilaksis. Obat-obatan, alat-alat medis, dan personel yang terampil dalam resusitasi kardiopulmonal harus siap untuk menghadapi reaksi anafilaksis. Epinefrin adalah obat utama dalammenghadapireaksi anafilaksis. Gejala ringan seperti gatal, eritema, urtikaria dan angioedem diatasi
dengan injeksi epinephrin subkutan atau intramuskular, diikuti oleh suntikan difenhidramin atau antihistamin lain yang diberikan per oral atau parenteral. Pemberian epinefrin dapat diulang setiap 5-15 menit, sampai kondisi pasien membaik dan tanda vitalnya stabil. Pengobatan anafilaksis sistemik berat dan mengancam jiwa dengan gejala spasme bronkus, edem laring, renjatan dan gangguan kardiovaskuler memerlukan tindakan lanjut. Lakukan tindakan resusitasi dengan mempertahankan jalan nafas, beri oksigen, jaga sirkulasi dengan memberikan cairan infuse. Bila perlu pemberian tetesan cepat larutan kristaloid seperti garam fisiologis atau ringer laktat dilakukan untuk mengatasi adanya renjatan. Epinefrin yang diencerkan 1:1000, diberikan IV, merupakan indikasi pada keadaan ini. Obat-obatan lain yang diperlukan adalah aminofilin IV untuk mengatasi spasme bronkus, golongan inotropik seperti dopamine untuk mempertahankan tekanan darah, kombinasi antihistamin reseptor H1, H2 yang dapat memberikan efek sinergis, serta kortikosteroid walaupun efeknya tidak diharapkan segera. Semua penderita dengan gejala anafilaksis harus diobservasi antara 4 sampai 24 jam, karena adanya reaksi berulang. (lihat bab Cara mengatasi syok anafilaksis) Daftar Pustaka 1. American Academy of Pediatrics. Active and passieve immunization. Dalam: Pickering LK., penyunting. Red Book 2006, Report Committee on Infection Diseases. Edisi ke 27. Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics. 2000. h 54-66. 2. Keller MA., danStiehmER. Passive Immunity in Prevention and Treatment of Infectious Diseases. Vol.13-No.4, Clin.Microbiol.Rev. Oct. 2000. h. 602-614. 3. UNICEF, WHO. Immunization Summary: the 2007 edition. Geneva: WHO. 2007. 4. Grabenstein, JD. ImmunoFacts: Vaccines and Immunologic Drugs. St. Louis: Wolters Kluwer Health, Inc. 2006.
Vaksin Kombinasi (vaksin kombo) Pen gantar Pada saat ini makin banyak jenis vaksin baru dan pembuatan vaksin yang telah diperbaharui dengan teknologi canggih berada di pasaran. Diperkenalkannya vaksin baru di Indonesia, berakibat pada penataan jadwal imunisasi yang sudah cukup rumit. Dalam jadwal imunisasi rekomendasi IDAI edisi tahun 1999, seorang anak sampai umur 5 tahun akan mendapat 13 kali suntikan vaksinasi yang terpisah. Maka, untuk mengurangi jumlah suntikan telah dicoba memberikan beberapa jenis vaksin secara bersama-sama pada satu saat. Pemikiran tersebut menjadi dasar pembuatan vaksin kombinasi (vaksin kombo, combined vaccine), yang merupakan salah satu alternatif cara untuk mengurangi jumlah suntikan dan kunjungan ke fasilitas kesehatan. Seperti telah diketahui bahwa tujuan akhir dari vaksinasi adalah eradikasi penyakit, maka vaksin kombinasi di pasaran berfungsi sebagai pelengkap vaksin monovalen dan bukan sebaliknya.
Vaksin Kombinasi Sri Rezeki S.Hadinegoro Vaksin kombinasi adalah Gabungan beberapa antigen tunggal menjadi satu jenis produk antigen untuk mencegah penyakit yang berbeda. Misalnya vaksin kombinasi DTP/Hib adalah gabungan antigenantigen D-T-P dengan antigen Hib untuk mencegah penyakit difteria, pertusis, tetanus, dan Hib. Gabungan dari antigen dari galur (strain) multipel suatu organisme penyebab penyakit yang sama. Misalnya vaksin polio terdiri dari antigen polio-1, polio-2, dan polio-3 untuk pencegahan penyakit poliomielitis (galur 1, 2, dan 3). Dasar vaksin kombinasi Alasan utama pembuatan vaksin kombinasi adalah, Kemasan vaksin kombinasi lebih praktis dibandingkan dengan vaksin vaksin monovalen, sehingga mempermudah pemberian maka dapat lebih meningkatkan cakupan imunisasi, Mengurangi frekuensi kunjungan ke fasilitas kesehatan sehingga mengurangi biaya pengobatan, Mengurangi biaya pengadaan vaksin, Memudahkan penambahan vaksin baru ke dalam program imunisasi yang telah ada, Untuk mengejar imunisasi yang terlambat (catch-up immunization), dan Biaya lebih murah. Apabila dihitung seluruh pengeluaran termasuk biaya berobat, transportasi, kecemasan anak dan
orang tua, biaya pengadaan dan penyimpanan vaksin, maka vaksin kombinasi lebih murah dibandingkan apabila beberapa vaksin monovalen diberikan secara terpisah. Di samping keuntungan tersebut, vaksin kombinasi mempunyai beberapa kekurangan. Terjadinya incompatibility (ketidakserasian) kimiawi maupun fisis, sebagai akibat percampuran beberapa antigen beserta ajuvan, zat preservasi dan bufer. Sulit dihindari adanya perubahan respons imun (imunogenitas), sebagai akibat interaksi antara antigen dengan antigen lain atau antara antigen dengan ajuvan yang berbeda. Pemakaian vaksin kombinasi dapat membingungkan para dokter dalam menyusun jadwal imunisasi, apalagi bila dipergunakan vaksin dari pabrik yang berbeda. Diharapkan apabila seorang dokter akan mempergunakan vaksin kombinasi, perlu membuat perencanaan dalam jadwal imunisasi. The Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), the American Academy of Pediatrics (AAP) dan the American Academy of Family Physicians (AAFP), merekomendasikan lebih baik mempergunakan vaksin kombinasi yang telah dikemas dari pabrik daripada memberikan dua jenis vaksin monovalen yang diberikan secara terpisah pada saat bersamaan. Vaksin kombinasi yang dianjurkan adalah vaksin yang telah mendapat persetujuan dari pemerintah negara
masing-masing, di Indonesia melalui izin dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan RI (BPOM Depkes). Daya Proteksi Daya proteksi vaksin dinilai dari serokonversi kadar antibodi sebelum dan setelah diberikan vaksinasi. Untuk mendapatkan kepastian
mengenai daya proteksi ini perlu dilakukan uji klinis secara random dan tersamar. Laporan beberapa penelitian memberikan hasil yang bervariasi. Beberapa hasil uji klinis pada vaksin kombinasi di Amerika dan Eropa, mendapatkan titer antibodi salah satu antigen (atau komponen) dari vaksin kombinasi lebih rendah apabila dibandingkan dengan vaksin terpisah. Walaupun demikian kadar antibodi masih berada di atas ambang pencegahan (protective level). Misalnya pada kombinasi DTwP/HepB titer antiHBsAg lebih rendah dibandingkan vaksin monovalen walaupun titernya di atas 10 IU/ml (ambang pencegahan dicapai bila titer anti HbsAg >10 IU/ml). Titer antibodi anti PRP dari Hib pada vaksin kombinasi DTaP/Hib dan DTap/Hib/ IPV dijumpai lebih rendah dari vaksin Hib yang diberikan terpisah. Hal ini juga tampak pada vaksin kombinasi MMR/V, kadar anti bodi anti varisella lebih rendah dibandingkan vaksin varisela terpisah. Maka apabila mempergunakan vaksin kombinasi, tidak boleh lupa memberikan vaksinasi ulangang (booster). Dilaporkan kadar antibodi Hib meningkat sama dengan vaksin monovalen setelah diberikan booster Hib pada umur 18 bulan. Imunogenitas Imunogenisitas dan efikasi vaksin berhubungan dengan titer antibodi yang terbentuk sehingga dapat mencegah penyakit. Pada pemberian vaksin monovalen, antibodi yang terbentuk akan mengenal antigen melalui epitop protein atau polisakarida. Pada vaksin kombinasi, akibat pembuatannya terjadi modifikasi epitop antigen sel B sehingga secara teori dapat mengurangi kemampuan vaksin membuat antibodi untuk mengikat antigen. Hal tersebut akan mengurangi imunogenisitas yang berakibat mengurangi efikasi vaksin. Sebagai contoh, komponen toksin pertusis akan menjadi tidak aktif sebagai akibat proses kimiawi dari ajuvan formaldehid, aluminium hidroksida, atau aluminium fosfat. Dapat pula karena pada vaksin berisi antigen pertama dan ajuvan setelah ditambah antigen lain kedua, respons imun antigen kedua akan
berubah. Demikian juga buffer, stabilizer atau komponen lain akan mempengaruhi komponen vaksin lain. Namun, kekhawatiran tersebut tidak terbukti dari hasil beberapa penelitian mengenai vaksin kombinasi. Penelitian di Thailand menyimpulkan bahwa pada vaksin kombinasi DTwP/hepB atau vaksin pentavalen DTwP/hepB/Hib terbukti memberikan imunogenisitas yang tinggi terhadap semua antigen (anti difteria, anti pertusis, anti tetanus, antiHBsAg, dan anti PRP) tanpa mempengaruhi respons imun satu sama lainnya. Khususnya antiHBsAg pada vaksin kombinasi DTwP/HepB memberikan respons antibodi lebih baik daripada diberikan terpisah, sesuai dengan penelitian Bio Farma Bandung. Diduga DTwP menjadi ajuvan pada vaksin kombinasi DTwP/HepB sehingga akan membantu meningkatkan kadar antibodi . Dalam penelitian di Mexico, Santos J. melaporkan bahwa imunogenisitas vaksin kombinasi DTwP/ HepB dibandingkan dengan pemberian terpisah pada umur 3, 4, dan 5 bulan. Setelah pemberian dosis kedua, proporsi titer antibodi anti HbsAg pada kelompok DTP/hepB lebih tinggi (94,9%) dibandingkan pemberian terpisah (66,1%). Dilaporkan juga bahwa pada penelitian serupa dari kelompok vaksin DTwP/ hepB/Hib mempunyai seroconversion rate (94,4%) sebanding dengan kelompok vaksin DTwP/hepB terpisah dengan Hib (95,7%). Reaktogenitas Badan POM DepKes RI memberikan rekomendasi untuk peredaran vaksin kombinasi di Indonesia berdasarkan studi imunogenitas dan keamanan (reaktogenitas) vaksin kombinasi tersebut, dibandingkan dengan vaksin monovalen atau kombinasi lain yang telah beredar sebelumnya. Dari laporan beberapa uji kilins didapatkan bahwa reaktogeni sitas yang timbul lebih banyak disebabkan oleh ajuvan dari pada antigen yang berada di dalamnya. Kejadian ikutan pasca imunisasi baik pada vaksin kombinasi DTwP/hepB tidak berbeda dengan pemberian DTwP dan hepB terpisah. Pada pemberian
vaksin kombinasi DTwP/Hib didapatkan lebih banyak reaksi lokal daripada DTwP dan Hib terpisah; sedangkan pada vaksin kombinasi MMR/V, jumlah ruam morbili form akan lebih banyak dijumpai walaupun jumlah ruam tidak lebih banyak dibandingkan vaksin yang diberikan terpisah. Angka Cakupan Studi di Thailand melaporkan mengenai angka cakupan (coverage rate) vaksin kombinasi DTwP/hepB dibandingkan dengan DTwP dan hepB terpisah. Pada dosis ketiga didapatkan daya cakupan yang lebih tinggi pada vaksin kombinasi (94%) daripada pemberian terpisah (84%). Sedangkan pengalaman di Spanyol menggunakan vaksin kombinasi dapat mengurangi total biaya 16% selama tahun 1998/1999. Kepraktisan pemberian vaksin yaitu pengurangan jumlah suntikan atau jumlah kunjungan sehingga menurunkan biaya dapat menjadi sebab meningkatkan angka cakupan. Hal-hal yang perlu diperhatikan Vaksin kombinasi dari jenis pabrik vaksin yang berbeda Secara umum vaksin untuk mencegah penyakit yang sama dari pabrik yang berbeda dapat diberikan secara bergantian pada seorang anak sesuai dengan jadwal imunisasinya, khususnya untuk hepatitis B dan Hib. Namun, untuk vaksin kombinasi apabila akan digunakan secara bergantian dengan vaksin monovalen (interchangeability) sebaiknya memilih vaksin dari pabrik yang sama. Demikian juga untuk vaksin kombinasi yang mengandung DTaP, dianjurkan mempergunakan vaksin dari pabrik yang sama oleh karena data penelitian dari pabrik yang berbeda sampai saat ini belum ada, kecuali bila vaksin yang sama di negara tersebut tidak beredar.
Respons serologi vaksin kombinasi Pemakaian jenis vaksin untuk mencegah penyakit yang sama dari pabrik yang berbeda secara bergantian ditentukan oleh respons serologi penyakit tersebut. Walaupun vaksin hepB, hepA, dan Hib telah terbukti dapat diberikan bergantian dari pabrik yang berbeda, komponen Hib akan menentukan dapat atau tidaknya vaksin tersebut dipakai secara bergantian. Dari beberapa studi yang telah dilakukan, ternyata komponen utama vaksin Hib dalam vaksin kombinasi adalah PRP-T (polyribosyl ribitol phosphate konjugasi dengan toksoid tetanus) dan bukan PRP-OMP (polyribosyl ribitol phosphate konjugasi dengan outer membrane protein), jadi apabila suntikan pertama PRP-OMP maka suntikan kedua sebaiknya PRP-T, sedangkan suntikan ketiga boleh jenis vaksin Hib yang mana saja. Pengadaan dan penyimpanan vaksin Setiap fasilitas kesehatan seyogianya menyediakan semua jenis vaksin yang telah direkomendasikan dalam jadwal imunisasi. Namun dalam hal penyediaan, vaksin monovalen atau kombinasi seringkali terjadi tumpang tindih maka perlu dipertimbangkan halhal sebagai berikut, (a) apabila terlalu banyak variasi vaksin yang disediakan, dapat membingungkan petugas imunisasi (khususnya perawat) atau malahan dapat terjadi kesalahan dalam pengambilan dan pemberian, (b) vaksin yang jarang dipergunakan akan mudah kadaluwarsa, (c) memerlukan tempat penyimpanan lebih luas, dan (d) memerlukan pendanaan yang lebih besar. Pemberian dosis antigen berlebih Bayi dan anak mungkin mendapat dosis ekstra dari vaksin atau antigen padahal mereka telah imun (telah divaksinasi). a. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi dasar kedua dan ketiga sebenarmya telah terlindung secara imunologik terhadap penyakit yang bersangkutan. Namun oleh karena pengukuran
kadar antibodi tidak dilakukan (tidak praktis dan mahal), maka suntikan ulangan diberikan tanpa diketahui kadar antibodi yang telah ada. Pemberian suntikan ulangan diberikan berdasarkan pertimbangan klinis dan aspek kesehatan masyarakat guna menurunkan jumlah anak yang rentan (susceptible) sehingga meningkatkan daya pencegahan penyakit di masyarakat. b. Dosis antigen tambahan tersebut kadangkala diberikan secara tidak sengaja oleh karena
tidak ada catatan imunisasi atau pada saat dilakukan program imunisasi masal. c. Pada saat dilakukan Pekan Imunisasi Nasional (PIN), imunisasi polio dan campak diberikan pada anak yang terindikasi tanpa memperhatikan status imunisasinya. d. Kadangkala vaksin kombinasi berisi beberapa antigen yang sebenarnya tidak seluruhnya dibutuhkan, namun terpaksa diberikan oleh karena vaksin yang berisi antigen monovalen yang diperlukan tidak tersedia. Misalnya, karena di Indonesia tidak ada vaksin rubela monovalen maka diberikan MMR yang merupakan vaksin kombinasi yang juga berisi vaksin campak. Bagaimana KIPI pada dosis vaksin yang berlebih? Secara teori dikhawatirkan antigen tambahan (ekstra) yang sebenarnya tidak diperlukan berhubungan dengan risiko terjadinya KIPI. Namun, dari laporan penelitian yang ada tidak dijumpai KIPI yang serius. Pemberian vaksin kombinasi pada umur yang tidak tepat dapat menimbulkan KIPI. Misalnya, pemberian vaksin kombinasi DTP/hepB-atau DTP/Hib tidak boleh diberikan sebelum umur 6 minggu mengingat antigen DTP atau Hib (PRP-T) mengandung tetanus toksoid yang tidak direkomendasikan diberikan sebelum umur 6 minggu. Studi lain melaporkan ternyata pemberian dosis ekstra vaksin yang berisi virus hidup yaitu vaksin OPV, MMR, varisela, dan rotavirus yang telah dilemahkan pada anak imunokompeten
yang pernah mendapat imunitas baik dari vaksin sebelumnya atau infeksi alamiah, tidak menunjukkan peningkatan KIPI. Berbeda dengan vaksin mati atau vaksin subunit yang pada umumnya mengandung ajuvan garam aluminium. Pada pemberian dosis tambahan jenis vaksin ini, harus dipertimbangkan mengenai keuntungan dan kerugian sehubungan dengan reaktogenisitas yang dapat timbul. Secara klinis tampak efek samping ringan timbul pada pemberian dosis tambahan vaksin hepB atau Hib dari komponen vaksin kombinasi. Pemberian dosis tambahan dari vaksin yang mengandung ajuvan garam aluminium dapat meningkatlan reaksi hipersensitivitas, misalnya pemberian DT pada anak, dT atau TT pada dewasa. Pemberian dosis tambahan komponen toksoid tetanus yang ada di dalam vaksin sebaiknya diberikan atas pertimbangan khusus, misalnya seorang anak yang semula mendapat DT oleh karena di kemudian hari harus diberikan perlindungan terhadap pertusis maka berikan DPT oleh karena tidak tersedia antigen pertusis monovalen sehingga anak tersebut kelebihan antigen difteria dan tetanus. Jenis Vaksin Kombinasi Jenis vaksin kombinasi dibuat berdasarkan 4 kategori, 1. Pengembangan vaksin kombinasi yang paling lama diproduksi yaitu DTwP (komponen whole-cell pertussis), disebut vaksin kombinasi tradisional. 2. Vaksin kombinasi dengan dasar vaksin campak atau MMR. 3. Vaksin kombinasi dengan dasar DTaP (DTP dengan komponen a-cellular pertussis) atau hepatitis B. 4. Vaksin kombinasi lain yang sedang dikembangkan. 30 0 Tahun 2008
Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Ketiga
Jenis vaksin kombinasi tertera pada Tabel 8.1 Tabel 8.1. Jenis vaksin kombinasi Vaksin Kombinasi
Jenis Vaksin DTwP /hepB DTwP
DTwP /hepB DTwP /Hib
1 Pengembangan vaksin DTwP (DTP dengan komponen whole-cell pertussis) 2 Penambahan vaksin baru pada campak atau MMR 3
Campak/ yellow fever MMR /varisela
Pertusis a-sellular (DTaP) atau hep-B sebagai dasar kombinasi DTaP /hep B a. Dasar kombinasi pertusis DTaP/Hib DTaP/IPV DTaP/hepB/Hib a-selular (DTaP) DTaP/Hib/IPV DTaP/hep-B/Hib/IPV b. Dasar kombinasi hepatitis B Hep-B/hep-A
Hep-B/ Hib
DPwT/ Men 4 Vaksin kombinasi lain (sedang dikembangkan)
DPaT/Men IPV/Pneumo IPV/Pneumo/Men Hib/Pneumo/Men
Keterangan: DTwP = DTP whole cell , DTaP = DTPa-celluler, Hep-B = hepatitis B, Hib = Haemophilus influenzae tipe b, IPV = inactived polio vaccine, Hep-A = hepatitis A, Pneumo = pneumokokus, Men = meningitis Jadwal Imunisasi pada Vaksin Kombinasi Pemberian vaksin kombinasi DTwP/hepB, DTaP/Hib, DTaP/ Hib/IPV dapat dimasukkan dalam jadwal imunisasi IDAI dengan beberapa pilihan jadwal. a. Vaksin kombinasi DTwP/hepB Apabila akan mempergunakan vaksin kombinasi DTwP/HB, maka jadwal imunisasi dapat disusun sebagai berikut.
Tabel 8.2. Vaksin DTwP/hepB dalam jadwal imunisasi PPI Depkes
Umur
Pemberian vaksin
Keterangan Saat lahir 2 bulan
DTwP/hepB+OPV
HepB+BCG+OPV
DTwP/hepB diberikan ≥ 6
minggu 3 bulan
DTwP/hepB+OPV
4 bulan
DTwP/hepB+OPV DTwP/hepB = vaksin kombinasi DTwP
dan hepB Tabel 8.3. Vaksin kombinasi DTwP/hepB
Saat pemberian Umur
Pilihan 1
Pilihan 2 Saat lahir
HepB+BCG+OPV
HepB+BCG+OPV
2 bulan DTwP/ hepB+Hib+OPV
DTwP/hepB+Hib+OPV
4 bulan
DTwP+Hib+OPV
DTwP/hepB+Hib+OPV
6 bulan
DTwP/hepB+Hib+OPV
DTwP/hepB+Hib+OPV
DTwP/hepB = vaksin kombinasi DTwP dan hepB b. Vaksin kombinasi DTP/Hib Apabila mempergunakan vaksin kombinasi DTwP/Hib atau DTaP/ Hib, maka jadwal imunisasi dapat disusun sebagai berikut. Tabel 8.4. Vaksin kombinasi DTwP/Hib atau DTaP/Hib dalam jadwal imunisasi Vaksin kombinasi Umur DTwP/Hib
DTaP/ Hib
Saat lahir
HepB + BCG + OPV
2 bulan
DTwP/Hib + hepB + OPV
DTaP/Hib + hepB + OPV
4 bulan
DTwP/Hib + OPV
DTaP/Hib + OPV
6 bulan
DTwP/Hib + hepB + OPV
DTaP/Hib + hepB + OPV
DTwP/Hib = vaksin kombinasi DTwP dan Hib dan Hib
HepB + BCG + OPV
DTaP/Hib = vaksin kombinasi DTaP
c. Vaksin kombinasi DTaP/Hib/IPV Tabel 8.5. Vaksin kombinasi DTaP/Hib/IPV dalam jadwal imunisasi Umur
Vaksin kombinasi
DTaP/Hib/IPV Saat lahir 2 bulan
DTaP/Hib/IPV + hepB
4 bulan
DTaP/Hib/IPV
6 bulan
DTaP/Hib/IPV + hepB
HepB + BCG + IPV
DTaP/Hib/IPV = vaksin kombinasi DTaP, Hib (PRP-T), dan IPV Daftar Pustaka 1. American Academy of Pediatrics. Combination vaccines for childhood immunisation: recommendations of the Advisory Committee on Immunisation Practices, the American of Pediatrics and the American Academy of Family Physicians. Pediatrics 1999; 103:1064-8. 2. Bogaaerts H. Clinical experience with a combined DTPw-HB vaccine in healthy infants. Satellite symposium and regional meeting. The 9th Asian Congress of Pediatrics, Hongkong, 24 Maret 1997. 3. UNICEF. Combination vaccine juggling with option. Geneva: Children’s Vaccine Initiative. 1998. 4. Decker MD, Edwards KM. Combination Vaccines. Dalam: Plotkin SA, Mortimer EA., penyunting. Vaccines. Edisi ke-4. Philadelphia: WB Saunders Company, 2004. h. 508 – 14. 5. Centers for Disease Control and Prevention U.S. Combination vaccines for chlidhood immunization. Atlanta, Georgia: Department of Health & Human Services. Morbidity and Mortality Weekly Report (MMWR) 1999; 48: RR-5.
6. World Health Organization. Combined vaccine for world’s children. Dalam: Ditmann, penyunting. Progress towards implementing hepatitis B and Haemophillus influenzae type b into childhood immunisation programmes. Geneva: WHO 1999. 7. Poovooravaan Y, Apiradee Theambooniers. Comparison study of combined DTwPHB vaccines and separate administration of DTwP and HB vaccines in Thai children. Asian Paed. J. Allergy Immunol 1999; 17:113-20. 8. Hadinegoro SR, Rusmil K, Mulyati S, Sampana E, Sundoro J, Kaligis B, Mahendra. Efficacy and reactogenicity of DTwP/Hepatitis B (Bio Farma) combined vaccine. Dipresentasikan pada Simposium Recent in Vaccinology. Bandung 4 September 2004.
Bab IX Imunisasi Kelompok Berisiko 1. Imunisasi bayi berisiko 2. Imunisasi bayi pada Ibu berisiko Pen gantar Kelompok berisiko dibagi menjadi bayi yang berisiko dan ibu yang berisiko. Pada bayi/anak yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat infeksi atau perhatian khusus untuk pemberian imunisasi berikut, diperlukan panduan. Kelompok ini termasuk bayi/anak yang menderita defisiensi imun seperti bayi prematur, anak dengan penyakit keganasan, anak yang mendapatkan pengobatan imunosupresi, radioterapi, anak yang menderita infeksi HIV, transplantasi sumsum tulang/organ dan splenektomi; atau mereka yang pernah menderita reaksi efek samping yang serius setelah imunisasi. Kelompok ibu yang berisiko dapat menularkan infeksi yang diderita terhadap bayi yang dilahirkan, perlu mendapat pertimbangan saat bayi akan diimunisasi. Perhatian khusus diperlukan pada ibu yang menderita hepatitis B, tuberkulosis, dan HIV.
Bab IX-1 Imunisasi pada Bayi dan Anak Berisiko Sjawitri P. Siregar Pada bayi dan anak yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat infeksi, harus diimunisasi berdasarkan prioritas. Misalnya pada bayi dan anak yang menderita imunokompromais, transplantasi sumsum tulang/organ dan splenektomi serta bayi prematur, imunisasi harus diatur. Pasien imunokompromais Penekanan respons imun (imunokompromais) dapat terjadi pada penyakit defisiensi imun kongenital (primer) dan defisiensi imun didapat (sekunder) yaitu pemakaian kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan lama, penyakit keganasan seperti leukemia, limfoma, pasien dengan pengobatan alkilating agents, antimetabolik, radioterapi, bayi/anak menderita HIV dan transplantasi sumsum tulang. Defisiensi imun primer Pada defisiensi imun primer humoral, defisiensi imun primer selular dan kombinasi defisiensi keduanya seperti pada penyakit X-linked agammaglobulinemia, Bruton, Wiskott-Aldrich, ataxia telangiectasia dan sindrom di George , kontraindikasi untuk vaksinasi dengan vaksin hidup. Dapat diberikan imunisasi pasif dengan gammaglobulin spesifik atau dengan IGIV. Pada defisiensi komplemen dapat diberikan semua jenis vaksin baik hidup ataupun vaksin kuman mati/dilemahkan sedangkan pada defisiensi fagosit misalnya pada penyakit granulomatosis, tidak boleh diberikan vaksin bakteri hidup dan dianjurkan untuk divaksinasi terhadap penyakit influenza dan pneumokokus.
Defisiensi imun sekunder
1. Mendapat pengobatan kortikosteroid dosis tinggi sama atau lebih dari 20 mg sehari atau 2 mg/kgBB/hari dengan lama pengobatan >7 hari atau dosis 1 mg/kgBB/hari lama pengobatan >1 bulan. 2. Pengobatan dengan alkylating agents, antimetabolik dan radioterapi. Untuk penyakit keganasan seperti leukemia, dan limfoma. Pada pasien dengan sistem imun tertekan tidak boleh diberikan imunisasi vaksin hidup karena dapat berakibat fatal disebabkan kuman akan bereplikasi hebat karena tubuh tidak dapat mengontrolnya. Vaksin hidup misalnya vaksin polio oral, MMR dan BCG. Vaksinasi dengan mikroorganisme hidup dapat diberikan setelah penghentian pengobatan imunosupresif minimal 3 bulan. Vaksinasi dengan mikroorganisme mati atau yang dilemahkan dapat segera diberikan seperti hepatitis B, hepatitis A, DTP, influenza danHib, dosis samadengan anaksehat. Respons imunyangtimbultidak sama dengan anak sehat, sehingga bila kontak dengan pasien campak harus diberikan imunisasi pasif dengan normal immunoglobulin (human) NIGH dosis 0.2 ml/kgBB intramuskular. Untuk profilaksis varisela dosis lebih besar 0.4-1.0 ml/kgBB, bila mungkin sebaiknya diberikan imunisasi profilaksis (spesifik) dengan varicella-zoster immunoglobulin (VZIG), namun pada saat ini belum ada di Indonesia. Pengobatan kortikosteroid Pada pasien dengan pengobatan kortikosteroid (1) topikal atau obat semprot hidung, paru, salep kulit, salep mata, injeksi lokal intra artikular, (2) kortikosteroid dosis rendah yang diberikan setiap hari atau selang sehari, dapat diberikan imunisasi dengan vaksin hidup. Sedangkan pada pasien yang mendapat kortikosteroid sistemik dosis tinggi setiap hari atau selang sehari dan lama pemberian kurang dari 14 hari, dapat diberikan vaksinasi dengan vaksin
hidup segera setelah penghentian pengobatan, namun ada pendapat yang menganjurkan setelah penghentian 14 hari. Pada pasien yang mendapat kortikosteroid sistemik dosis tinggi setiap hari atau selang sehari selama >14 hari, dapat diberikan vaksin hidup setelah penghentian pengobatan 1 bulan. Imunisasi dengan vaksin hidup dapat diberikan pada pasien yang telah menghentikan pengobatan imunosupresi selama 3 bulan atau 6 bulan dengan pertimbangan bahwa status imun sudah mulai membaik dan penyakit primernya sudah dalam remisi atau sudah dapat dikontrol. Keluarga pasien imunokompromais yang kontak langsung (serumah) dianjurkan untuk mendapatkan vaksinasi polio inaktif (inactivated polio vaccine), varisela dan MMR. Vaksin varisela sangat dianjurkan untuk keluarga imunokompromais, oleh karena walaupun dapat terjadi penularan tranmisi virus varisela pada pasien tetapi gejala lebih ringan dari pada bila infeksi alamiah yang akan berakibat lebih buruk dan dapat fatal. Pengecualian untuk pasien leukemia limfositik akut dalam keadaan remisi lebih dari 1 tahun, dapat diberikan imunisasi dengan virus hidup varisela, oleh karena bila mendapat infeksi alamiah dengan varisela keadaannya dapat fatal. Pasien defisiensi imun kongenital ataupun yang didapat, imunisasi tidak akan memberikan respons maksimal yang diinginkan, sehingga dianjurkan memeriksa titer antibodi serum setelah imunisasi diberikan sebagai data untuk pemberian imunisasi berikutnya. Infeksi human immunodefisiensi virus (HIV) Pasien HIV mempunyai risiko lebih besar untuk mendapatkan infeksi sehingga diperlukan imunisasi, walaupun responsnya terhadap imunisasi kurang optimal. Yang menjadi pertanyaan, kapan pasien HIV harus diberikan imunisasi? Apabila diberikan terlambat mungkin tidak akan berguna karena penyakit sudah lanjut
dan efek imunisasi tidak ada atau kurang; namun apabila diberikan dini, vaksin hidup akan mengaktifkan sistim imun yang dapat meningkatkan replikasi virus HIV sehingga memperberat penyakit HIV. Pasien HIV dapat diimunisasi dengan mikroorganisme yang dilemahkan atau yang mati. Vaksin pneumokok konjugasi (PCV7) diberikan pada anak dengan HIV (+). Pada umur kurang dari 23 bulan mendapatkan imunisasi PCV7 3 kali dengan interval 2 bulan, sedangkan anak umur 24-59 bulan karena mempunyai risiko tinggi maka diberikan imunisasi dengan PCV7 2 kali dengan interval 2 bulan dan dilanjutkan dengan imunisasi ke 3 memakai vaksin pnemumokok PCV23 (Tabel 9.1) Tabel 9.1. Rekomendasi imunisasi untuk HIV anak Vaksin Rekomendasi
Keterangan
IPV DPT Hib Hepatitis B* Hepatitis A MMR** Influenza Pneumokokus BCG ** Varisela **
Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya/tidak
Pasien dan keluarga serumah Sesuai dengan jadwal anak sehat Secepat mungkin Sesuai jadwal anak sehat Sesuai jadwal anak sehat Diberikan umur 12 bulan Tiap tahun diulang Secepat mungkin Dianjurkan untuk Indonesia Tergantung berat penyakit
Dikutip dan dimodifikasi dari Plotkin SA, 2004 * Ada yang menganjurkan dosis Hepatitis B dilipat gandakan 2 X ** MMR, BCG dan Varisela dapat diberikan pada pasien HIV asimptomatik atau gejala HIV ringan. Tidak diberikan pada kasus HIV berat dan kadar limfosit CD4+ <25% Penyakit Hodgkin • Pasien penyakit Hodgkin yang berumurlebih dari24bulandanorang dewasa (close contact) dianjurkan mendapat imunisasi pneumokok dan Hib, karena penderita ini berisiko terhadap kedua penyakit tersebut. Respons antibodi paling baik bila imunisasi diberikan 10-
14 hari sebelum dilakukan imunoterapi. Apabila diberikan bersama dengan imunoterapi hasilnya kurang efektif dan harus diulang 3 bulan setelah kemoterapi atau radioterapi dihentikan. Pada splenektomi dianjurkan untuk pemberian imunisasi pneumokok dan Hib sebelum pengangkatan limpa. Pemberian profilaksis antibiotik dengan penisilin dianjurkan untukpenderita anemi sickle cell, thalasemia terhadap infeksi pneumokok. Dosis yang dianjurkan 2 x 125 mg sehari untuk anak kurang dari 5 tahun dan 2 kali 250 mg sehari untuk anak > 5 tahun. Dapat juga profilaksis dengan amoksilin 20 mg/kg sehari. Harus dijelaskan kepada orang tua bahwa walaupun sudah mendapat profilaksis antibiotika anaknya masih dapat menderita infeksi oleh kuman lain, sehingga bila demam harus segera berobat untuk menghindarkan sepsis. Pada pasien keganasan seperti leukemia dan limfoma sebelum memulai pengobatan dengan kemoterapi sebaiknya diberikan dahulu imunisasi (Tabel 9.2) Tabel 9.2. Rekomendasi imunisasi pada pasien kanker Vaksin Rekomendasi
Keterangan
DPT Polio (IPV)* Pneumokok Hib Influenza** Varisela* MMR*
Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak
Penderita kanker anak Penderita kanker Untuk limfoma Penderita kanker anak Tergantung musim** Penderita seronegatif
Dikutip dan dimodifikasi dari Plotkin SA,2004 * Keluarga dekat / serumah juga harus diimunisasi dengan IPV,varisela & MMR ** Untuk daerah yang tidak tergantung musim, vaksin influenza diberikan pada bulan AgustusSeptember tiap tahun Pasien transplantasi sumsum tulang (TST) Resipien transplantasi sumsum tulang (TST) alogenik akan menjadi defisiensi imun disebabkan4komponen (1) pengobatan imunosupresi
terhadap penyakit primer, (2) kemoterapi dan radioterapi yang diberikan pada pejamu (3) reaktivitas imunologi antara graft dan pejamu, serta (4) pengobatan imunsupresi yang diberikan setelah tranplantasi dilakukan. Sedangkan pada transplantasi sumsum tulang otolog hanya komponen (1) dan (2) yang berperan. Rekomendasi yang dianjurkan pada pasien transplantasi sumsum tulang tampak pada Tabel 9.3. Pada TST alogenik, sistem imun resipien digantikan oleh sistem imun pejamu. Sebaiknya sebelum transplantasi dilakukan, pada pasien diberikan imunisasi polio dan DTP terlebih dahulu; karena terbukti setelah transplantasi, imunitas terhadap virus polio, tetanus dan difteri hampir tidak ada. Penelitian klinis menunjukkan bahwa bila donor diberikan imunisasi difteri dan tetanus sebelum transplantasi dilakukan kemudian segera setelah itu diberikan imunisasi pada resipien dengan antigen yang sama akan memberikan respons yang baik. Hal yang sama dapat dilakukan dengan vaksin inaktif pertusis, Hib, hepatitis B, pneumokok dan IPV (inactivated polio vaccine). Pada TST otologus tidak terdapat perbedaan imunologik antara graft dan pejamu, sehingga regenerasi sistem imun lebih cepat dan bahaya infeksi pun tidak seperti pada transplantasi alogenik. Pada transplantasi TST alogenik, sistem imun resipien digantikan oleh sistem imun pejamu. Sebaiknya sebelum transplantasi dilakukan diberikan imunisasi terlebih dahulu kepada resipien. Imunisasi influenza dapat diberikan 1 tahun setelahtransplantasi, dan diulangi setiap tahun sebelum epidemi tiba. Imunisasi dengan hepatitis B diberikan setelah 1 tahun transplantasi. Pasien berumur diatas 12 tahun yang akan mendapat organ transplantasi sebaiknya diperiksa terlebih dahulu titer antibodi campak, rubela dan varisela. Mereka yang berisiko tinggi harus mendapat imunisasi MMR sebelum transplantasi dilakukan. Waktu terbaik adalah 1 bulan sebelum transplantasi dilakukan. Titer antibodi setelah setahun transplantasi sebaiknya diperiksa. Pada mereka yang rentan infeksi bila kontak dengan pasien campak, varisela dan rubela sebaiknya diberikan imunisasi pasif dengan imunoglobulin dan bila mungkin
titer antibodi diperiksa terlebih dahulu. Karena hanya sedikit data mengenai imunisasi pada pasien transplantasi, setiap senter mempunyai pengalaman dan cara yang berbeda. Tabel 9.3. Rekomendasi imunisasi untuk pasien transplantasi sumsum tulang
Vaksin
Transplantasi Transplantasi SST alogenik SST otologus
DPT
Ya
Ya
Polio (IPV) Ya
Ya
Campak
Epidemik
Hanya pada
campak
penderita anak
Rubela Hib Ya Ya
Hepatitis B
Ya Ya
Keterangan 2-3 dosis setelah 6-12 bulan transplantasi. 2-3 dosis setelah 6-12 bulan transplantasi. Tidak diberikan dalam 24 bulan setelah tranplantasi. Tidak pada GVHD. Terutama wanita. 2 dosis mulai 6-12 bulan setelah transplantasi. 12 bulan setelah transplantasi. Hasil tidak baik pada GVHD. Tidak dalam masa 24
Hepatitis B Ya Pneumokok
Ya
Ya
?
Tidak
Anak dan dewasa muda
bulan setelah transplantasi. Tidak pada GVHD.
Varisela
Dikutip dan dimodifikasi dari Plotkin SA, 2004. Keterangan: TST = transplantasi sumsum tulang GVHD = graft versus host disease Bayi prematur dan berat lahir rendah Bayi prematur dapat diimunisasi sesuai dengan umur kronologisnya dengan dosis dan jadwal yang sama dengan bayi cukup bulan. Vaksin DTwP atau DTaP, Hib dan OPV diberikan pada umur 2 bulan. Bila bayi masih dirawat pada umur 2 bulan sebaiknya diberikan IPV, bila akan diberikan OPV sebaiknya pemberian ini harus ditunda sampai saat bayi akan dipulangkan dari rumah sakit/rumah bersalin untuk menghindarkan penyebaran virus polio
kepada bayi lain yang sedang dirawat. Pada bayi prematur respons imun kurang bila dibandingkan bayi matur terhadap imunisasi hepatitis B, sehingga pemberian vaksin hepatitis B dapat dilakukan dengan 2 cara sebagai berikut: Ibu positif HbsAg, berat lahir >2000 g: harus diberikan hepatitis B bersamaan dengan HBIG pada 2 tempat yang berlainan dalam waktu 12 jam. Dosis ke-2 diberikan 1 bulan kemudian, dosis ke-3 dan ke-4 diberikan umur 6 dan 12 bulan. Periksa titer anti-HBs dan HbsAg pada umur 9-15 bulan. Bila HBSAg dan anti-HBs negatif, reimunisasi dengan 3 dosis dengan interval 2 bulan dan periksa kembali HbsAg dan anti-HBs. Ibu positif HbsAg, berat lahir <2000 g: harus diberikan vaksin Hepatitis B + HBIg pada 2 tempat suntikan yang berlainan dalam waktu 12 jam. Imunisasi vaksin hepatitis B ke-2 diberikan umur 1 bulan dan berat badan mencapai 2000 g, selanjutnya umur 2-3 bulan dan 6 bulan umur kronologis. Periksa anti-HBs dan HbsAg pada umur 9-15 bulan. Bila HbsAg dan anti-HBs negatif, reimunisasi dengan 3 dosis dengan interval 2 bulan dan periksa kembali HbsAg dan anti-HBs. Ibu negatif HbsAg, berat lahir >2000 g: pemberian imunisasi hepatitis B dosis pertama saat lahir, selanjutnya umur 1 dan 6 bulan umur kronologis. Ibu HbsAg negatif, berat lahir <2000 g: imunisasi pertama saat berat badan telah mencapai 2000 g atau secara klinis keadaannya stabil dalam 30 hari umur kronologis atau pada saat keluar dari RS sebelum 30 hari. umur kronologis. Imunisasi hepatitis B dalam 3 dosis pada umur 1-2 bulan, 2-4 bulan dan 6-18 bulan umur kronologis. Ibu tidak diketahui status HbsAg, berat lahir >2000 g: diberikan vaksin hepatitis B dalam 12 jam. Periksa HBsAg ibu segera. Bila hasil positif ditambahkan HBIg dalam waktu 7 hari.
• Ibu tidak diketahui status HbsAg, berat lahir <2000 g: diberikan vaksin hepatitis B. Periksa HBsAg ibu segera, bila tidak dapat dilakukan dalam 12 jam, berikan HBIg dalam 12 jam. Saat ini telah beredar vaksin kombinasi hepatitis B dengan DTP, DTaP (DTP/HepB). Vaksin kombinasi baru dapat diberikan pada umur kronologis setelah 6 minggu, jadi vaksin kombinasi tidak dapat diberikan sebagai imunisasi pertama pada bayi prematur. Imunisasi pada anak dengan penyakit kronis Anak dengan penyakit kronis peka terhadap infeksi, sehingga harus diberikan imunisasi seperti anak sehat, kecuali sudah terjadi defisiensi imun sekunder. Sangat dianjurkan untuk imunisasi terhadap influenza dan pneumokokus. Tabel 9.4. Imunisasi dan kondisi terpapar infeksi Paparan infeksi Inkubasi
Pemberian vaksinasi Campak
8-12 hari
0-
72 jam paparan Varisela
14-16 hari
0-72 jam paparan
Rubela
14-23 hari
Tidak perlu
Gondongan
12-25 hari
Tidak perlu
Heptitis B
14-160 hari
Perlu aktif dan pasif segera dlm 12 jam
Tetanus beberapa bulan Hepatitis A
24 jam -
15-50 hari
Perlu aktif dan pasif
Tidak perlu Vaksinasi pada anak dengan reaksi
efek samping Pada anak yang pernah menderita reaksi efek samping yang serius setelah imunisasi, harus diberikan imunisasi berikutnya di rumah sakit dengan pengawasan dokter.
Air susu ibu dan imunisasi Tidak terdapat kontra indikasi pada bayi yang sedang menyusui bila ibunya diberikan imunisasi baik dengan kuman atau virus hidup dan kuman yang dilemahkan. Sebaliknya air susu ibu tidak akan menghalangi seorang bayi untuk mendapatkan imunisasi. Daftar Pustaka 1. Atkinson W, Walfe C, Hamiston S, dkk. general recommendations on immunization. Dalam: Atkinson W, penyunting. Epidemiology and prevention of vaccine-preventable diseases; edisi ke-6. Atlanta, 2000; 18-20. 2. Vaccines. Plotkin SA, Orenstein WA, editors. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders; 2004. 3. NHMRC (National Health and Medical Research Council). The Australian Immunization Handbook, edisi ke-9. 2008. 4. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization. Geneva: WHO. 2002.
Bab IX-2 Imunisasi Bayi pada Ibu Berisiko Toto Wisnu Hendrarto Ibu menderita hepatitis B Ibu yang menderita hepatitis B akut atau uji serologis HBsAg positif, dapat menularkan hepatitis B pada bayinya. Imunisasi hepatitis B pada bayi ditentukan oleh status HBsAg ibu sebagaimana tertulis pada tabel 9.5 berikut ini. Tabel 9.5. Skema Iimunoprofilaksis hepatitis B pada bayi berdasarkan status HBsAg ibu.* Status HBsAg ibu Berat lahir ≥2000 g
Berat lahir <2000 g Vaksin HBsAg positif Vaksin Hepatitis B + HBIgHepatitis B + HBIg (dalam (dalam umur 12 umur 12 jam) jam) Imunisasi Imunisasi dengan 3 dengan 4 dosis dosis vaksin vaksin pada pada 0, 1, 20, 1, dan 6 3, dan 6 bulan umur bulan umur kronologis.
kronologis. kronologis. Periksa anti-HBs dan HBsAg pada umur 9–15 bulan +
Periksa anti-HBs dan HBsAg pada umur 9–15 bulan +
Bila HBsAg Bila HBsAg dan antidan antiHBs negatif,HBs negatif, reimunisasi reimunisasi dengan 3 dengan 3 dosis, dosis, dengan dengan interval 2 interval 2 bulan, dan bulan, dan periksa periksa kembali kembali HBsAg dan HBsAg dan anti-HBs. anti-HBs.
HBsAg tidak diketahui
Vaksin Vaksin Hepatitis B Hepatitis B + HBIg (dalam 12 jam) (dalam 12 + HBIg (dalam jam) 7 hari) bila hasil Periksa pemeriksaan HBsAg ibu HBsAg ibu segera, bila positif tidak dapat Periksa HBsAg ibu segera
dilakukan dalam 12 jam, berikan HBIg.
Toto Wisnu Hendrarto Status HBsAg ibu Berat lahir ≥2000 g
Berat lahir <2000 g HBsAg negatif
Dianjurkan
vaksin Hepatitis Vaksin Hepatitis B dosis B saat lahir.
1 dalam 30 hari umur
kronologis, bila secara klinis keadaannya stabil, atau pada saat keluar dari RS sebelum 30 hari umur kronologis.
HBsAg negatif
Imunisasi Hepatitis B
dalam 3 dosis pada umur 0–2, 1–4, dan 6–18 bulan umur kronologis. Bila vaksinasi kombinasi mengandung Hepatitis B, berikan saat usia 6–8 minggu umur kronologis Evaluasi anti-HBs dan HBsAg tidak perlu dilakukan
Imunisasi Hepatitis B dalam 3 dosis pada umur 1–2, 2–4, dan 6–18 bulan umur kronologis. Bila vaksinasi kombinasi mengandung Hepatitis B, berikan saat usia 6–8 minggu umur kronologis Evaluasi anti-HBs dan HBsAg tidak perlu dilakukan
Saat pemberian dosis vaksin Hepatitis B tidak mempertimbangkan masa gestasi dan berat lahir. Pendapat lain menganjurkan melakukan pemeriksaan serologis 1-3 bulan sesudah pemberian jadwal vaksinasi Hepatitis B selesai. Yakinkan ibu tetap menyusui ASI, apabila vaksin Hepatitis B sudah diberikan. Ibu menderita tuberkulosis Bayi dilahirkan ibu menderita (TB) paru aktif sesaat sebelum, sesudah lahir, dan mendapat pengobatan kurang 2 bulan sebelum melahirkan, tidak cukup terlindungi dengan vaksinasi BCG. Tindakan yang dilakukan, Jangan diberi BCG pada saat setelah lahir. Beri pencegahan dengan isoniazid (INH) 5 mg/kg BB sekali sehari per oral. Pada umur 8 minggu evaluasi bayi kembali, berat badan, dan lakukan pemeriksaan uji tuberkulin dan foto dada bila memungkinkan. ï¶ Apabila ditemukan kemungkinan TB aktif, mulai diberi
Imunisasi Bayi pada Ibu Berisiko pengobatan anti TB sesuaikan program pengobatan TB pada bayi. ï¶ Apabila kondisi bayi baik dan hasil uji tuberkulin negatif lanjutkan pencegahan dengan isoniazid dalam waktu 6 bulan. ï¶ Tunda pemberian BCG sampai 2 minggu setelah pengobatan selesai. Bila BCG sudahterlanjur diberikan, ulangi pemeriksaan 2 minggu setelah pengobatan INH selesai. ï¶ Yakinkan ibu bahwa ASI tetap boleh diberikan dan catat berat badan bayi tiap 2 minggu. Ibu menderita HIV Tidak ada tanda spesifik HIV yang dapat ditemukan pada bayi saat lahir. Tanda klinis dapat ditemukan pada umur 6 minggu setelah lahir, namun uji antibodi baru dapat dideteksi pada umur 18 bulan, untuk menentukan status HIV bayi. Bayi yang dilahirkan dari ibu HIV positif, lakukan konseling pada keluarga rawat bayi seperti bayi yang lain dan perhatian khusus pada pencegahan infeksi. Bayi tetap diberi imunisasi rutin seperti layaknya bayi sehat lain. Daftar Pustaka 1. DepartamenKesehatanR.I. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk dokter, perawat, bidan di Rumah Sakit Rujukan Dasar. Kerja sama IDAI, MNHJHPIEGO, Departemen Kesehatan R.I. 2003. 2. WHO, Unicef, The World Bank. State of the World’s Vaccines and Immunization. Geneva: WHO. 2002. 3. Vaccines. Plotkin SA, Orenstein WA, eds. 4th ed. Philadelphia, PA: WB Saunders Co.; 2004:745-81.
Bab X Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi 1. Klasifikasi KIPI 2. Pelaporan KIPI Pen gantar Reaksi lokal maupun sistemik yang tidak diinginkan dapat terjadi pasca imunisasi. Sebagian besar hanya ringan dan bisa hilang sendiri. Reaksi yang berat dan tidak terduga bisa terjadi meskipun jarang. Umumnya reaksi terjadi segera setelah dilakukan vaksinasi, namun bisa juga reaksi tersebut muncul kemudian. Sebagai pelaksana kita harus mengetahui berapa besar insidensi dan bentuk kejadian yang tidak diharapkan dari suatu imunisasi. Pasien dan keluarga harus diberi informasi mengenai risiko dan
keuntungan vaksinasi dan tentunya tentang penyakit yang akan dicegah. Persetujuan tertulis dari pasien atau keluarga tidak diperlukan, namun mereka selain diberi informasi juga diberi kesempatan untuk bertanya. Perlu dicatat di kartu imunisasi bahwa hal ini telah dilaksanakan. Pasien dan keluarganya harus dinasihati agar melaporkan kepada tempat imunisasi diberikan bila terjadi reaksi pasca imunisasi yang serius, dan petugas harus melaporkan kejadian pasca imunisasi yang serius ini ke instansi yang berwenang di daerah tersebut dengan mengisi formulir KIPI yang telah tersedia. Pelaporan kasus KIPI sangat penting dan harus selalu dibuat dan dikirimkan kepada Komite Daerah (Komda) PP KIPI yang berkedudukan di tiap provinsi. Dengan laporan yang berkesinambungan, data KIPI Indonesia dapat dibuat dengan cermat oleh Komite Nasional (Komnas) PP KIPI.
Bab X-1 Kejadian Pasca Imunisasi (KIPI) adverse events following immunization (AEFI) Arwin P. Akib, Asri Purwanti Keamanan vaksin sudah menjadi perhatian sejak lama, dan masalah medikolegal vaksin di Indonesia mulai mencuat di tahun 1990, sehingga mulai dibentuklah KOMNAS pengkajian penanggulangan KIPI/PP KIPI yang merupakan badan independen yang dibentuk oleh Departemen Kesehatan dengan anggotanya terdiri dari IDAI, Subdit Imunisasi Depkes, BPOM dan lain-lain. Pembentukan itu kemudian diikuti oleh organisasi tingkat provinsi (Komda PP KIPI)bahkan di tingkat kabupaten. Seiring dengan kewaspadaan terhadap aspek medikolegal, imunisasi telah diakui sebagai upaya pencegahan penyakit yang paling efektif yang berdampak terhadap peningkatan kesehatan masyarakat. Faktor terpenting yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan vaksin adalah keseimbangan antara imunogenisitas (daya membentuk kekebalan) dengan reaktogenisitas (reaksi simpang vaksin). Untuk mencapai imunogenisitas yang tinggi vaksin harus berisi antigen yang efektif untuk merangsang respons imun resipien sehingga tercapai nilai antibodi di atas ambang pencegahan untuk jangka waktu yang cukup panjang. Vaksin harus diupayakan agar tidak menimbulkan efek simpang yang berat, dan jauh lebih ringan dibandingkan dengan gejala klinis penyakit secara alami. Pada kenyataannya tidak ada vaksin yang benar-benar ideal, namun dengan kemajuan bioteknologi saat ini telah dapat dibuat vaksin yang efektif dan relatif aman. Seiring dengan cakupan imunisasi yang tinggi maka penggunaan vaksin juga meningkat, dan akibatnya kejadian yang berhubungan dengan imunisasi juga meningkat. Dalam menghadapi hal tersebut
penting diketahui apakah kejadian tersebut berhubungan dengan vaksin yang diberikan ataukah secara kebetulan. Reaksi simpang yang dikenal sebagai kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau adverse events following immunization (AEFI) adalah kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, atau akibat kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan, atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan. Perlu juga dipertimbangkan adanya efek tidak langsung dari vaksin yang disebabkan Kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi vaksin, kesalahan prosedur, kesalahan teknik imunisasi, atau kebetulan. Untuk mengetahui hubungan antara imunisasi dengan KIPI diperlukan pencatatan dan pelaporan dari semua reaksi simpang yang timbul setelah pemberian imunisasi (yang merupakan kegiatan dari surveilans KIPI). Surveilans KIPI tersebut sangat membantu program imunisasi, khususnya untuk memperkuat keyakinan masyarakat akan pentingnya imunisasi sebagai upaya pencegahan penyakit yang paling efektif. Definisi KIPI Untuk kepentingan operasional maka Komnas PP KIPI menentukan bahwa kejadian ikutan pasca imunisasi adalah sebagai reaksi simpang yang dikenal sebagai kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau adverse events following immunization (AEFI) adalah kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa efek vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis, atau kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan, atau
hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan. Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari (artritis kronik pasca vaksinasi rubela), atau bahkan sampai 6 bulan (infeksi virus campak vaccine-strain pada pasien imunodefisiensi pasca vaksinasi campak, dan polio paralitik serta
infeksi virus polio vaccine-strain pada resipien non imunodefisiensi atau resipien imunodefisiensi pasca vaksinasi polio). Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang (adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin antara lain dapat berupa efek farmakologi, efek samping (sideeffects), interaksi obat, intoleransi, reaksi idiosinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya secara klinis sulit dibedakan satu dengan lainnya. Efek farmakologi, efek samping, serta reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi karena potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksi alergi merupakan kepekaan seseorang terhadap unsur vaksin dengan latar belakang genetik. Reaksi alergi dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin campak, gondong, influenza, dan demam kuning), antibiotik, bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau unsur lain yang terkandung dalam vaksin. Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpanan vaksin, kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata kejadian yang timbul secara kebetulan. Persepsi awam dan juga kalangan petugas kesehatan, menganggap semua kelainan dan kejadian yang dihubungkan dengan imunisasi sebagai reaksi alergi terhadap vaksin. Akan tetapi telaah laporan KIPI oleh Vaccine Safety Comittee, Institute of Medicine (IOM) USA menyatakan bahwa sebagian besar KIPI terjadi secara kebetulan saja (koinsidensi). Kejadian yang memang akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan (programmatic errors). Epidemiologi KIPI Kejadian ikutan pasca imunisasi akan timbul setelah pemberian vaksin dalamjumlahbesar. Penelitian efikasi dankeamananvaksin dihasilkan melalui fase uji klinis yang lazim, yaitu fase 1, 2, 3, dan 4. Uji klinis
fase 1 dilakukan pada binatang percobaan sedangkan fase selanjutnya pada manusia. Uji klinis fase 2 untuk mengetahui keamanan vaksin (reactogenicity and safety), sedangkan pada fase 3 selain keamanan juga dilakukan uji efektivitas (imunogenisitas) vaksin. Pada jumlah penerima vaksin yang terbatas mungkin KIPI belum tampak, maka untuk menilai KIPI diperiukan uji klinis fase 4 dengan sampel besar yang dikenal sebagai post-marketing surveilance (PMS), Tujuan PMS adalah untuk memonitor dan mengetahui keamanan vaksin setelah pemakaian yang cukup luas di masyarakat (dalam hal ini program imunisasi). Data PMS dapat memberikan keuntungan bagi program apabila semua KIPI (terutama KIPI berat) dilaporkan, dan masalahnya segera diselesaikan. Sebaliknya akan merugikan apabila program tidak segera tanggap terhadap masalah KIPI yang timbul sehingga terjadi keresahan masyarakat terhadap efek samping vaksin dengan segala akibatnya. Menurut National Childhood Vaccine Injury dari Committee of the Institute of Medicine (IOM) di USA sangat sulit mendapatkan data KIPI oleh karena, Mekanisme biologis gejala KIPI kurang difahami Data KIPI yang dilaporkan kurang rinci dan akurat Surveilans KIPI belum luas dan menyeluruh Surveilans KIPI belum dilakukari untuk jangka panjang Publikasi KIPI dalam jumlah kasus yang besar masih kurang. Mengingat hal tersebut, maka sangat sulit menentukan jumlah kasus KIPI yang sebenarnya. Kejadian ikutan pasca imunisasi dapat ringan sampai berat, terutama pada imunisasi masal atau setelah penggunaan lebih dari 10.000 dosis. Klasifikasi KIPI Komnas Pengkajian dan Penanggulangan KIPI (Komnas PP KIPI ) mengelompokkan etiologi KIPI dalam 2 klasifikasi, 1. Klasifikasi lapangan menurut WHO Western Pacific (1999 ) untuk petugas kesehatan di lapangan.
2. Klasifikasi kausalitas menurut IOM 1991 dan 1994 untuk telaah Komnas PP KIPI. 1. Klasifikasi lapangan (WHO Western Pasific 1999) Sesuai dengan manfaatnya di lapangan maka Komnas PP-KIPI memakai kriteria WHO Western Pacific untuk memilah KIPI dalam lima kelompok penyebab, yaitu kesalahan program, reaksi suntikan, reaksi vaksin, koinsiden, dan sebab tidak diketahui. Klasifikasi lapangan ini dapat dipakai untuk pencatatan dan pelaporan KIPI. a. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmatic errors) Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya, dosis antigen (terlalu banyak) lokasi dan cara menyuntik sterilisasi semprit dan jarum suntik jarum bekas pakai tindakan aseptik dan antiseptik kontaminasi vaksin dan peralatan suntik penyimpanan vaksin pemakaian sisa vaksin jenis dan jumlah pelarut vaksin tidak memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian, indikasi kontra dan lainlain) Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama. Mencegah program error (VSQ 1996) Alat suntik steril utk setiap suntikan Pelarut vaksin yg sudah disediakan oleh produsen vaksin Vaksin yg sudah dilarutkan segera dibuang setelah 6 jam
lemari pendingin tidak boleh ada obat lain selain vaksin Pelatihan vaksinasi dan supervisi yg baik Program error dilacak, agar tidak terulang kesalahan yg sama b. Reaksi suntikan Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung maupun tidak langsung dan harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya nyeri sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkop. Reaksi ini tidak berhubungan dengan kandungan yang terdapat pada vaksin, sering terjadi pada vaksinasi masal, Syncope/fainting Sering kali pada anak > 5 tahun , Terjadi beberapa menit post imunisasi, Tidak perlu penanganan khusus. Hindari stres saat anak menunggu, Hindari trauma akibat jatuh/posisi sebaiknya duduk. Hiperventilasi akibat ketakutan Beberapa anak kecil terjadi muntah, breath holding spell, pingsan. Kadang menjerit, lari bahkan reaksi seperti kejang (pasien tersebut perlu diperiksa) Beberapa anak takut jarum, gemetar, dan histeria. Penting penjelasan dan penenangan Pencegahan reaksi KIPI Reaksi suntikan:
Teknik penyuntikkan yang benar Suasana tempat penyuntikan yang tenang Atasi rasa takut yang muncul pada anak yang lebih besar c. Induksi vaksin (reaksi vaksin) Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin
dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaktik sistemik dengan risiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atau berbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi dengan obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi. 1. Reaksi lokal + Rasa nyeri di tempat suntikan. + Bengkak-kemerahan di tempat suntikan sekitar 10 % + Bengkak pada suntikan DPT dan tetanus sekitar 50% + BCG scar terjadi minimal setelah 2 minggu kemudian ulserasi dan sembuh setelah beberapa bulan. 2. Reaksi sistemik + Demam pada sekitar 10%, kecuali DPT hampir 50%, juga reaksi lain seperti iritabel, malaise, gejala sistemik. + MMR dan campak, reaksi sistemik disebabkan infeksi virus vaksin. Terjadi demam dan atau ruam dan konjungtivitis pada 5%-15% dan lebih ringan dibandingkan infeksi campak tetapi berat pada kasus imunodefisiensi. + Pada mumps terjadi reaksi vaksin pembengkaan kelenjar parotis, rubela terjadi rasa nyeri sendi 15% dan pembengkakan limfe. + OPV kurang dari 1% diare, pusing dan nyeri otot. 3. Reaksi vaksin berat Kejang Trombositopenia Hypotonic hyporesponsive episode/HHE Persistent inconsolable screaming bersifat self-imiting dan tidak merupakan masalah jangka panjang Anafilaksis, potential menjadi fatal tetapi dapat disembuhan tanpa dampak jangka panjang Ensefalopati akibat imunisasi campak atau DTP
Pencegahan terhadap reaksi vaksin Perhatikan indikasi kontra. Vaksin hidup tidak diberikan kepada anak dengan defisiensi imunitas. Orang tua diajar menangani reaksi vaksin yg ringan dan dianjurkan segera kembali apabila ada reaksi yg mencemaskan. Parasetamol dapat diberikan 4x sehari untuk mengurangi gejala demam dan rasa nyeri. Mengenal dan mampu mengatasi reaksi anafilaksis. Lainnya disesuaikan dengan reaksi ringan/berat yang terjadi atau harus dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas lengkap. d. Faktor kebetulan (koinsiden) Kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan saja setelah imunisasi. Indikator faktor kebetulan ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama di saat bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakteristik serupa tetapi tidak mendapat imunisasi.
e. Penyebab tidak diketahui Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan ke dalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan ke dalam keiompok ini sambi! menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya dengan kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI. World Health Organization pada tahun 1991 meialui expanded programme on immunisation (EPI) telah menganjurkan agar pelaporan KIPI dibuat oleh setiap negara. Untuk negara berkembang yang paling penting adalah bagaimana mengontrol vaksin dan mengurangi programmatic errors, termasuk cara menggunakan alat suntik dengan baik, alat yang sekali pakai atau alat suntik reusable, dan cara penyuntikan yang benar sehingga transmisi patogen melalui darah dapat dihindarkan. Ditekankan pula bahwa untuk
memperkecil terjadinya KIPI harus selalu diupayakan peningkatan ketelitian pemberian imunisasi selama program imunisasi dilaksanakan. 2. Klasifikasi kausalitas Vaccine Safety Committee 1994 membuat klasifikasi KIPI yang sedikit berbeda dengan laporan Comnittee Institute of Medicine (1991) dan menjadi dasar klasifikasi saat ini, yaitu Tidak terdapat bukti hubungan kausal (unrelated ) Bukti tidak cukup untuk menerima atau menolak hubungan kausal (unlikely) Bukti memperkuat penolakan hubungan kausal (possible) Bukti memperkuat penerimaan hubungan kausal (probable) Bukti memastikan hubungan kausal (very like/certain) Gejala klinis KIPI Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi lainnya. Pada umumnya makin cepat terjadi KIPI makin berat gejalanya. Baku keamanan suatu vaksin dituntut lebih tinggi daripada obat. Hal ini disebabkan oleh karena pada umumnya produk farmasi diperuntukkan orang sakit sedangkan vaksin untuk orang sehat terutama bayi. Karena itu toleransi terhadap efek samping vaksin harus lebih kecil daripada obat obatan untuk orang sakit. Mengingat tidak ada satu pun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping, maka apabila seorang anak telah mendapat imunisasi perlu diobservasi beberapa saat, sehingga dipastikan bahwa tidak terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa lama observasi sebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan observasi selama 15 menit.
Text Box:
Untuk menghindarkan kerancuan maka gejala klinis yang dianggap sebagai KIPI dibatasi dalam jangka waktu tertentu timbulnya gejala klinis (Tabel 10.2). Tabel 10.2. Gejala klinis menurut jenis vaksin dan saat timbulnya KIPI Jenis vaksin KIPI
Gejala klinis
Saat timbul KIPI Toksoid tetanus anafilaktik
Syok
(DPT,DT.TT) brakialis
Neuritis
4 jam 2-28 hari
Komplikasi akut termasuk kecacatan Tidak ter‑ dan kematian Pertusis whole-cell (DPwT)
Syok anaphilaktik
catat
4 jam
Ensefalopati
72 jam Komplikasi akut termasuk kecacatan Tidak ter‑
dan kematian Campak
Syok anafilaktik
catat 4 jam Ensefalopati Trombositopenia
Klinis campak pada resipien imuno- 6 bulan
5-15 hari 7-30 hari
kompromais Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian Polio hidup
Polio paralisis
30
hari (OPV) kompromais
Polio paralisis pada resipien imuno- 6 bulan Komplikasi akut termasuk keca
catan dan kematian Hepatitis B
catat
Syok anafilaktik Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian
BCG
Tidak ter‑
4 jam Tidak tercatat
BCG-itis
4-6 minggu
Dikutip dengan modifikasi dari RT Chen, 1999.
Angka kejadian KIPI yang paling serius pada anak adalah reaksi anaflaktoid. Angka kejadian reaksi anafilaktoid pada DTP diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis , tetapi yang benar-benar reaksi anafilaktik hanya 1-3 kasus diantara 1 juta dosis. Anak yang lebih besar dan orang dewasa lebih banyak mengalami sinkope, segera atau lambat. Episode hipotonikhiporesponsif juga tidak jarang terjadi, secara umum dapat terjadi 4-24 jam setelah imunisasi. Kasus KIPI polio berat dapat terjadi pada 1 per 2,4 juta dosis vaksin (CDC Vaccine Information Statement 2000), sedangkan kasus KIPI hepatitis B pada anak dapat berupa demam ringan sampai sedang terjadi 1/14 dosis vaksin, dan pada dewasa 1/100 dosis (CDC Vaccine Information Statement 2000). Kasus KIPI campak berupa demam terjadi pada 1/6 dosis, ruam kulit ringan 1/20 dosis, kejang yang disebabkan demam 1/3000 dosis, dan reaksi alergi serius 1/1.000.000 dosis. Tabel 10.3 dapat digunakan, Untuk mengantisipasi reaksi imunisasi. Mengidentifikasi kejadian yang tidak berhubungan dengan immunisasi. Sebagai perbandingan kejadian/rates untuk kepentingan pelaporan dan penyelidikan bila ternyata lebih besar kejadiannya.
Tabel 10.3. Reaksi Vaksin, interval kejadian dan rasio KIPI. Vaksin
Rasio Interval per kejadian juta dosis
Reaksi
BCG
Hib Hepatitis B Measles OPV
Tetanus
Limfadenitis supuratif BCG-osteitis BCG-it is deseminata Tidak diketahui Anafilaktik Kejang demam Trombositopenia Anafilaktik VAPP (vaccine associated paraliytic
1001000 1-12 bulan 1-700 2-6 bulan
1-12 bulan 2 -
-
0-4 jam 5-12 hari 15-35 hari 0-1 jam
1-2 333 33 1-50
4-30 hari
1,4-3,4 (b)
poliomyelitis) Neuritis Brakialis 2-28 hari Anafilaktik 0-4 jam 1-6 Abses Steril minggu Sama dengan tetanus Persistentinconsolable screaming 0-24 jam (menangis berkepanjangan lebih dari 3 jam) Kejang demam 0-3 hari Episode hipotenik hiporesponsif 0-24 jam (ENH) Anafilaktik 0-4 jam Ensefalopati 0-3 hari
TD
DTP
5-10 1-6 6-10 -
100060.000 570 (c) 570 20 0-1
Dikutip dari: Background rates of adverse events following immunization, supplementary information on vaccine safety. Part 2 tahun 2000; WHO Keterangan : a. Reaksi (kecuali syok anafilaktik) tidak terjadi bila anak sudah kebal (± 90 % anak yang menerima dosis kedua) anak umur di atas 6 tahun jarang mengalami kejang demam. b. Risiko VAPP lebih tinggi pada penerima dosis pertama (1 per 1,4 - 3,4 juta dosis), sedangkan risiko pada penerima dosis vaksin selanjutnya 1 per 6,7 juta dosis. (c) Kejang diawali dengan demam, frekuensi tergantung pada riwayat kejang sebelumnya, riwayat dalam keluarga serta umur.
Imunisasi pada kelompok berisiko Untuk mengurangi risiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan apakah resipien termasuk dalam kelompok risiko. Yang dimaksud dengan kelompok risiko adalah, 1. Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasi ter da hu lu. 2. Bayi berat lahir rendah. Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi kurang bulan sama dengan bayi cukup bulan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan. a. Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah dari pada bayi cukup bulan. b. Apabila berat badan bayi sangat kecil (<1000 gram) imunisasi ditunda dan diberikan setelah bayi mencapai berat 2000 gram atau berumur 2 bulan, kecuali untuk irnunisasi hepatitis B pada bayi dengan ibu yang HBs Ag positif. c. Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin polio yang diberikan adaiah suntikan IPV bila vaksin tersedia, sehingga tidak menyebabkan penyebaran virus vaksin polio melalui tinja 3. Pasien imunokompromais Pada pasien imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar atau sebagai akibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid jangka panjang). Jenis vaksin hidup merupakan indikasi kontra untuk pasien imunokompromais, untuk polio dapat diberikan IPV bila vaksin tersedia. Imunisasi tetap diberikan pada pengobatan kortikosteroid dosis kecil dan pemberian dalam waktu pendek. Imunisasi harus ditunda pada anak dengan pengobatan kortikosteroid sistemik dosis 2 mg/kg berat badan/hari atau prednison 20 mg/hari selama 14 hari. Imunisasi dapat diberikan setelah 1 bulan pengobatan kortikosteroid dihentikan atau 3 bulan setelah pemberian kemoterapi selesai. 4. Pada resipien yang mendapatkan human immuno globulin Imunisasi virus hidup diberikan setelah 3 bulan pengobatan untuk menghindarkan hambatan pembentukan respons imun.
5. Responnya terhadap imunisasi tidak optimal atau kurang tetapi kasus HIV memerlukan imunisasi. Ada pertimbangan bila diberikan terlambat mungkin tidak akan berguna karena penyakit sudah lanjut dan efek imunisasi tidak ada atau kurang. Apabila diberikan dini, vaksin hidup akan mengaktifkan sistim imun yang dapat meningkatkan replikasi virus HIV sehingga memperberat penyakit HIV. Pasien HIV dapat diimunisasi dengan mikroorganisme yang
dilemahkan atau yang mati Sesuai jadwal anak sehat. Tabel 10.4. Rekomendasi imunisasi untuk pasien HIV anak Vaksin Rekomendasi
Keterangan IPV
Ya
Pasien dan keluarga serumah
DPT
Ya
Hib
Pasien dan keluarga serumah
Ya
Pasien dan keluarga serumah
Hepatitis B *
Ya
Sesuai jadwal anak sehat
Hepatitis A
Ya
Sesuai jadwal anak sehat
MMR **
Ya
Diberikan umur 12 bulan
Influenza
Ya
Tiap tahun diulang
Pneumokok
Ya
Secepat mungkin
BCG ***
Ya
Dianjurkan untuk Indonesia
Varisela
Tidak Dikutip dan dimodifikasi dari Plotkin
SA, 2004. Keterangan: * Ada yang menganjurkan dosis hepatitis B dilipatgandakan dua kali ** MMR dapat diberikan pada pasien HIV yang asimtomatik atau HIV dengan gejala ringan. *** Tidak diberikan pada HIV yang berat.
Tabel 10.5. Indikasi Kontra dan perhatian khusus untuk Imunisasi Indikasi kontra dan perhatian khusus
Bukan indikasi kontra (imunisasi dapat dilaku‑ kan) Berlaku umum untuk semua vaksin DPT, Polio, Campak, dan Hepatitis B
Indikasi kontra Bukan indikasi kontra Ensefalopati dalam 7 hari pasca DPT sebelumnya Perhatian khusus Demam >40,5 C dalam 48 jam pasca DPT
Demam <40,5 C pasca
sebelumnya, yang tidak berhubungan dengan DPT sebelumnya penyebab lain
Riwayat kejang dalam
Kolaps dan keadaan seperti syok (episode
keluarga
hipotonik-hiporesponsif) dalam 48 jam pasca
Riwayat SIDS dalam
DPT sebelumnya
keluarga
Kejang dalam 3 hari pasca DPT sebelumnya
Riwayat KIPI dalam kelu‑
Menangis terus>3 jam dalam 48 jam pasca DBT arga pasca DPT sebelumnya Sindrom guillain-barre dalam 6 minggu pasca vaksinasi
Vaksin polio Indikasi Bukan indikasi kontra
kontra Infeksi HIV atau kontak HIV serumah
Menyusui
Imunodefisiensi (keganasan hermatelogi atau Sedang balam terapi anti tumor padat, imuno-defisiensi kongenital, terapi imunosupresan jangka panjang) Imunodefisiensi penghuni serumah
biotik Diare ringan
Perhatian khusus Kehamilan Campak Perhatian khusus Mendapat transfusi darah/produk darah atau imunoglobulin (dalam 3-11 bulan, tergantung produk darah dan dosisnya) Trambositopenia Riwayat purpura trombositopenia Hepatitis B Indikasi Bukan indikasi kontra
kontra
Reaksi anafilaktoid terhadap ragi
Kehamilan Dikutip dari rekomendasi ACIP dan
AAP dalam JC Watson, G. Petr, 1999. Keterangan: D
= vaksin difteria
T
= vaksin tetanus untuk anak
Td
= vaksin tetanus untuk dewasa
P
= vaksin pertusis whole cell
aP
= vaksin pertusis aselular
SIDS = sudden infant death syndrome HIV = human immunodeficiency virus
Text Box:
DT
= vaksin difteria dan tetanus
KIPI = kejadian ikutan pasca imunisasi PPD = purified protein derivative
Text Box:
Text Box:
Daftar Pustaka 1. Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Pemantauan dan Penanggulangan KejadianIkutanPaska Imunisasi, DepartemenKesehatan Republik Indonesia, Jakarta 2005.
2. Reporting and Compensation Tables, National Childhood Vaccine Injury Act 1986, Comittee from the Institute of Medicine, National Academy of Science USA, dalam Atkinson W, Wolfe CS, Humiston S, Nelson R,2000. 3. WHO: Background rates of adverse events following immunization, supplementary information on vaccine safety. Part 2 , 2000.
Bab X-2 Pelaporan KIPI Hindra Irawan Satari Vaksinasi bertujuan untuk melindungi individu dan masyarakat terhadap serangan penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan vaksinasi. Vaksin mutakhir cenderung lebih aman walaupun demikian tidak ada vaksin yang tanpa risiko. Maka walaupun jarang, sebagian orang dapat mengalami reaksi ringan sampai mengancam jiwa setelah imunisasi. Pada beberapa kasus reaksi disebabkan oleh vaksin, pada kasus lain penyebabnya adalah kesalahan pemberian vaksin, tetapi sebagian besar umumnya tidak berhubungan dengan vaksin. Apapun penyebabnya, apabila timbul kejadian ikutan pasca imunisasi masyarakat selalu bersikap menolak untuk pemberian imunisasi berikutnya, sehingga anak tersebut akan rentan terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, sehingga dapat timbul kecacatan/kematian. Untuk itu, pelaporan KIPI yang cepat dan tepat diikuti dengan tindak lanjut yang benar dapat membantu pelaksana program mengatasi masalah di lapangan sehingga masyarakat tidak resah dan tetap mendukung program imunisasi. Deteksi dan pelaporan KIPI Kejadian ikutan pasca imunisasi adalah insiden medik yang terjadi setelah imunisasi dan dianggap disebabkan oleh imunisasi. Komnas Pengkajian dan Penanggulangan KIPI menetapkan bahwa KIPI adalah semua kejadian penyakit atau kematian dalam kurun waktu 1 bulan setelah imunisasi. Meskipun masyarakat seringkali beranggapan bahwa insiden medik setelah imunisasi selalu disebabkan oleh imunisasi, insiden umumnya terjadi
secara kebetulan (koinsiden). Sebagian yang beranggapan bahwa vaksin sebagai penyebab KIPI juga keliru. Penyebab sebenarnya adalah kesalahan program yang sebetulnya dapat dicegah. Untuk menemukan penyebab KIPI kejadian tersebut harus dideteksi dan dilaporkan. KIPI yang harus dilaporkan Semua kejadian yang berhubungan dengan imunisasi seperti: Abses pada tempat suntikan. Semua kasus limfadenitis BCG. Semua kematian yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat berhubungan dengan imunisasi. Semua kasus rawat inap, yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat berhubungan dengan imunisasi. Insiden medik berat atau tidak lazim yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat berhubungan dengan imunisasi. Pelapor KIPI Pelapor KIPI adalah Petugas kesehatan yang melakukan pelayanan imunisasi. Petugas kesehatan yang melakukan pengobatan di pelayanan kesehatan, rumah sakit serta sarana pelayanan kesehatan lain. Peneliti yang melakukan studi klinis atau penelitian lapangan. Hal-hal yang harus dilakukan oleh petugas kesehatan Apabila orang tua membawa anak sakit yang baru diimunisasi, petugas kesehatan harus
dapat mengenal KIPI dan menentukan apakah perlu dilaporkan dan perlu tindakan lebih lanjut.
Petugas harus mengetahui faktor pencetus dan harus mampu menggunakan definisi kasus. Pada kasus ringan, petugas kesehatan harus tenang dan memberi nasehat pada orang tua untuk mengobati pasien. Reaksi ringan, seperti limfadenitis BCG dan abses kecil pada tempat suntikan, tidak perlu dilaporkan kecuali apabila tingkat kepedulian orang tua cukup bermakna. Para orang tua dan anggota masyarakat harus mengetahui reaksi yang diharapkan terjadi setelah imunisasi dan dianjurkan untuk melapor serta membawa dengan segera anak yang sakit yang dikhawatirkan ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan. Pelapo ran Laporan dibuat dengan mengisi formulir laporan yang disediakan. Menyerahkannya ke instansi kesehatan tingkat Kabupaten/ Daerah Tingkat II, dengan tembusan ke Sekretariat KOMDA PP KIPI yang berkedudukan di provinsi. Petugas kesehatan di tingkat II harus merekapitulasi kejadian serta menetapkan kasus tersebut termasuk KIPI atau tidak, serta meneruskannya ke Instansi Kesehatan Propinsi / Daerah Tingkat I sampai ke Subdit Imunisasi Dirjen PPM & PLP Depkes dengan tembusan kepada KOMNAS PP KIPI. Dalam hal mendesak, pelaporan dapat disampaikan melalui tele‑ pon atau faxsimili, formulir pelaporan harus diisi kemudian. Data demografi Data yang harus dilaporkan 1. Data pasien Riwayat perjalanan penyakit Riwayat penyakit sebelumnya
Riwayat imunisasi Pemeriksaan penunjang yang berhubungan 2. Data pemberian vaksin Nomor batch-vaccine Masa kadaluwarsa Nama pabrik pembuat vaksin Kapan dan dari mana vaksin dikirim Pemeriksaan penunjang tentang vaksin, apabila ada atau berhubungan 3. Data yang berhubungan dengan program Perlakuan umum terhadap rantai dingin vaksin, Penyimpanan vaksin, membeku? Kadaluwarsa? Perlakuan terhadap vaksin, misalnya mengocok vaksin sebelum disuntikkan Perlakuan setelah vaksinasi, misal pembuangan vaksin setelah selesai pelaksanaan imunisasi? Perlakuan mencampur serta melakukan imunisasi Apakah pelarut yang dipakai sudah benar? Apakah pelarut steril? Apakah dosis sudah benar? Apakah vaksin diberikan dengan cara dan tempat yang benar? Ketersediaan jarum dan semprit Apakah setiap semprit steril digunakan oleh satu orang? Perlakuan sterilisasi peralatan apakah telah dilakukan? 4. Data sasaran lain Jumlahpasien yang menerima imunisasi denganvaksinnomor batch sama atau pada masa yang sama atau keduanya, dan berapa jumlah pasien yang sakit serta bagaimana gejalanya. Jumlah sasaran yang diimunisasi dengan nomer batch lain (dari produsen sama atau berlainan) atau masyarakat yang tidak diimunisasi tetapi terkena penyakit dengan gejala yang sama.
yang sama.
Waktu pelaporan Kematian dan rawat inap merupakan kasus yang harus segera diperhatikan dan dilaporkan. Meski demikian kasus lain, seperti abses, limfadenitis BCG dan KIPI lain harus juga segera dilaporkan. Gunakan media komunikasi tercepat, seperti telepon, faksimili dan lain-lain. Cara pelaporan Semua kolom formulir yang dapat diisi, harus dilengkapi. Apabila perlu, jangan ragu untuk menuliskan laporan tambahan pada formulir tersebut. Laporan bulanan harus dibuat, sekalipun tidak ada kasus (tuliskan jumlah kasus 0, zero report). Petugas kesehatan di tingkat II/kabupaten harus mengidentifikasi masalah dan menilai, sehingga dapat terlihat, v. Apakah kejadian ini berlangsung di Puskesmas/tempat yang sama setiap bulan. v. Apakah beberapa Puskesmas/tempat yang berbeda melaporkan hal yang sama. v. Bagaimana perbandingan laporan yang dibuat oleh Puskemas/tempat yang berbeda dilaporkan. Tindakan selanjutnya Pelacakan harus dilakukan segera setelah laporan diserahkan tanpa ditunda. Pelacakan dimulai oleh petugas kesehatan yang mendeteksi KIPI, atau oleh supervisor yang melihat pola tertentu di daerah binaannya. Di lain fihak, dalam beberapa keadaan untuk KIPI tertentu tidak perlu dilakukan tindak lanjut, seperti penyakit yang tidak berhubungan dengan imunisasi, seperti pneumonia setelah penyuntikan DPT. Meskipun demikian apabila orang tua pasien atau fihak keluarga menganggap kejadian tersebut berhubungan dengan imunisasi, berikan kesempatan kepada mereka untuk mendiskusikan masalah tersebut dengan petugas kesehatan.
Bab 10-2. Pelap
FORM ULIR PELAPORAN KEJADIAN IKUTAN PASCA IMUNISASI (KIPI)
Diisi oleh KOMNAS PP KIPI Kode ........................................ Tanggal terima.......................... :
Pasien Nama
Dokter penanggung jawab Tanggal lahir
.../.../....
Alamat (RS, Puskesmas, Klinik) Laki-laki RT/RW: Kel: Perempuan 0 Wanita usis subur Kota Kode pos: Kota: (WUS) Hamil 0 Provinsi: Provinsi.: Tidak hamil 0 Pemberi imunisasi: dokter/ bidan/ Tilpon: perawat/ jurim Daftar vaksin yang pernah diberikan 4 minggu terakhir, termasuk imunisasi terakhir Pemberian Tempat Jenis Nomer Tetes oral/ Pabrik Jumlah Tanggal Imunisasi vaksin Batch subkutan i.m/ dosis imunisasi (*) intrakutan 1 2 (*) 1. RS 2. RB 3. Puskesmas 4. Dokter praktek 5. Bidan praktek 6. Balai Pengobatan
Nama orang tua Alamat:
7. Posyandu 8. Balai imunisasi 9. Sekolah Manifestasi kejadian ikutan Waktu Lama gejala Keterangan lanjutan/ Keluhan, gejala klinis gejalatimbul menit jam hari Hasil akhir Reaksi alergi Tindakan darurat * gatal Rawat inap/jalan * bengkak bibir Sembuh/tidak Meninggal
Meninggal (tgl.......... ) Gejala sisa Diagnosis Ensefalitis/ ensefalopati Sindrom GuillainBarre Hipotensif hiporesponsif
* urtikaria Muntah Diare Pingsan Kejang Sesak nafas
Demam tinggi Abses (>39°C) Bengkak Neuritis brakhialis Pembesaran kel Syok anafilaksis limf Kelemahan/ Polio paralitik kelumpuhan Kesadaran Trombositopenia menurun purpura Riwayat reaksi simpang obat/ vaksin yang pernah dialami Obat-obatan yang diberikan bersamaan 0............................ ..... 0 Data laboratorium (bila ada) Penyakit yang diduga diderita pada saat imunisasi (spesifik) Diagnosis dokter .................................. Pengobatan yang diberikan 0 0 0 Penerimaan laporan KIPI .................. tanggal / / Tanggal: pelapor,
/
/
Tanda tangan
Daftar Pustaka 1. Departemen Kesehatan & Kesejahteraan Sosial RI. Petunjuk teknis kejadian ikutan pasca imunisasi. Edisi ke-4. Jakarta, Subdit Imunisasi, Ditjen PPM & PLP 2004. 2. American Academy of Pediatrics. Vaccine safety and contra indication: reporting of adverse events. Dalam: PickeringLK., penyunting. Red Book 2000, Report Committee on Infectious Diseases. Edisi ke-25. Elk Grove Village: American Academy of Pediatrics 2000.h.30-1. 3. Plotkin SA, Orenstein WA., penyunting. Vaccine safety. Dalam: Vaccine. Edisi ke4. Philadelphia: W.B. Saunders 2004. 4. National Health and Medical Research Council. Reporting adverse reactions. Dalam: Watson C, penyunting. The Australian Immunisation Handbook. Edisi ke-9. Canberra: NHMRC 2008.
Bab XI Miskonsepsi dan Kontroversi Dalam Vaksinasi 1. Miskonsepsi 2. Kontroversi Pen gantar Tak dapat diragukan bahwa imunisasi telah membawa perubahan yang sangat dramatik di dunia kedokteran. Suatu program kesehatan yang paling efektif dan efisien dalam menurunkan angka kematian dan angka kesakitan. Namun demikian, ternyata masih banyak kontroversi yang berasal dari faktor program imunisasi, vaksin atau resipien yang menerima imunisasi. Pada suatu saat masalah tersebut menjadi sangat intens, pada saat lain menyurut, tergantung pada adanya pemicu yang timbul di masyarakat. Masalahnya makin mencuat, karena imunisasi dilakukan pada anak yang sehat, sehingga bila terjadi reaksi betapapun kecilnya, akan memicu rasa tidak aman pada orang tua. Cara pemberian imunisasi sebenarnya menirukan kejadian sakit karena suatu infeksi secara alamiah, sehingga menimbulkan “infeksi ringan” yang tidak berbahaya, namun cukup menyiapkan respon imun dan kekebalan. Dengan demikian
apabila ada paparan penyakit yang sesungguhnya anak tidak menjadi sakit.
Bab XI-1 Miskonsepsi Imunisasi Hartono Gunardi, Ismoedijanto Di masyarakat sering terdengar pendapat yang salah atau miskonsepsi mengenai imunisasi. Tidak jarang dijumpai orangtua yang ragu atau bahkan menolak imunisasi dengan berbagai alasan. Ketakutan atau penolakan imunisasi mungkin berdasarkan pandangan religi, filosofis tertentu, anggapan imunisasi sebagai intervensi pemerintah. Alasan lain adalah berhubungan dengan keamanan dan efikasi vaksin atau pandangan bahwa penyakit yang dapat dicegah oleh vaksinasi tidak menimbulkan masalah kesehatan yang berbahaya. Keraguan tentang manfaat dan keamanan imunisasi perlu ditanggapi secara aktif. Apabila orangtua mendapat jawaban akurat dan informasi yang benar, maka orangtua dapat membuat keputusan yang benar tentang imunisasi. Miskonsepsi imunisasi yang sering dijumpai, 1. Penyakit telah menghilang sebelum vaksin diperkenalkan, akibat perbaikan sanitasi dan higiene. Pengamatan difteria di Eropa setelah perang dunia ke II menunjukkan adanya penurunan insidens penyakit, sejalan dengan perbaikan sanitasi dan higiene. Namun penurunan kejadian penyakit yang permanent baru tampak setelah program imunisasi dijalankan secara luas. Kondisi sosial ekonomi yang membaik mempunyai dampak positif bagi penyakit. Nutrisi yang cukup, penemuan antibiotik dan pengobatan lain, telah meningkatkan angka harapan hidup bagi pasien. Kepadatan penduduk yang berkurang, telah menurunkan transmisi penyakit. Angka kelahiran yang menurun
juga telah menurunkan jumlah anak yang rentan dan menurunkan transmisi antar keluarga. Pengamatan insidens penyakit jangka panjang dapat menerangkan dampak vaksin dalam menurunkan penyakit. Pengalaman negara maju, seperti Inggris, Swedia dan Jepang, menunjukkan bahwa penghentian program imunisasi pertusis karena kekhawatiran terhadap efek samping vaksin, menimbulkan dampak peningkatan penyakit. Di Inggris, penurunan imunisasi pertusis pada tahun 1974 diikuti oleh epidemi dengan lebih dari 100.000 kasus dan 36 meninggal pada tahun 1978. Di Jepang pada kurun waktu yang hampir sama, terjadi penurunan cakupan imunisasi pertusis dari 70% menjadi 20%-40%. Hal itu diikuti dengan peningkatan kasus pertusis dari 393 dan tanpa kematian pada tahun 1974 menjadi 13.000 kasus dan 41 meninggal pada tahun 1979. Di Swedia, incidence rate per 100.000 anak umur 0-6 tahun meningkat dari 700 kasus pada tahun 1981 menjadi 3.200 pada tahun 1985. Untuk penyakit difteria, dapat disajikan data dari propinsi Ontario yang mempunyai data morbiditas, mortalitas dan case fatality rate untuk kurun waktu 1880-1940. Sebelum ditemukan antitoksin difteria, mortalitas difteria melampaui 50 per 100.000 populasi pada masa tersebut. Mortalitas menurun menjadi sekitar 15 per 100.000 pada Perang Dunia I, meskipun angka morbiditas tidak menurun. Setelah penggunaan toksoid difteri secara luas pada akhir tahun 1920, penyakit difteria menurun drastis. Dari pengalaman tersebut jelas bahwa dampak imunisasi lebih besar daripada perbaikan sanitasi. Penghentian imunisasi akan meningkatkan kembali angka kejadian penyakit. 2. Mayoritas anak yang sakit telah divaksinasi Pendapat yang salah ini sering dijumpai dalam rumor maupun dalam literatur kelompok anti vaksin. Memang dalam suatu kejadian luar biasa (KLB) jumlah anak yang sakit dan pernah diimunisasi mungkin lebih banyak dibandingkan jumlah anak sakit dan belum diimunisasi.
Ketimpangan ini dapat diterangkan dengan 2 faktor, yaitu tidak ada vaksin yang efektif 100%. Supaya aman, maka bakteri atau virus dimatikan atau dilemahkan (attenuated) terlebih dahulu. Efektivitas sebagian besar vaksin pada anak adalah sebesar 85%- 95%, tergantung respon individu. Faktor kedua adalah jumlah anak yang diimunisasi lebih banyak dibanding jumlah anak yang belum diimunisasi di negara telah yang menjalankan program imunisasi. Bagaimana kedua faktor terebut berinteraksi diilustrasikan dalam contoh hipotetis sebagai berikut.
Satu sekolah mempunyai 1000 murid. Semua murid pernah diimunisasi campak 2 kali, kecuali 10 yang tidak pernah sama sekali. Ketika semua murid terpapar campak, 10 murid yang belum diimunisasi, semuanya menderita campak. Dari kelompok yang telah diimunisasi campak 2 kali, sakit 25 orang. Kelompok anti imunisasi akan mengatakan bahwa persentase murid yang sakit adalah 71,4% (25/35) dari kelompok yang pernah imunisasi dan 28,6% (10/35) dari kelompok yang tidak pernah imunisasi. Padahal bila dihitung efek proteksi, maka imunisasi memberikan perlindungan sebesar (990– 25)/990 = 97,5%. Yang tidak diimunisasi, efek proteksi sebesar 0/10 = 0%. Dengan kata lain, 100% murid yang tidak mendapat imunisasi akan sakit campak; dibanding kurang dari 2% murid yang mendapat imunisasi campak 2 kali akan menderita sakit campak. Dengan demikian jelas bahwa imunisasi berguna untuk melindungi anak. 3. Vaksin menimbulkan efek samping yang berbahaya, kesakitan dan bahkan kematian. Vaksin merupakan produk yang sangat aman. Hampir semua efek simpang vaksin bersifat ringan dan sementara seperti nyeri di lengan pada bekas suntikan atau demam ringan. KIPI secara definitif mencakup semua kejadian sakit pasca imunisasi. Prevalensi dan jenis sakit yang tercantum dalam KIPI dengan sendirinya hampir sama dengan prevalensi dan jenis sakit dalam keadaan seharihari tanpa adanya program imunisasi. Hanya sebagian kecil yang
memang berkaitan dengan vaksin atau imunisasinya, sebagian besar akan bersifat ko-insidens. Kematian yang disebabkan oleh vaksin sangat sedikit. Sebagai ilustrasi semua kematian yang dilaporkan di Amerika sebagai KIPI pada tahun 1990 – 1992, hanya 1 yang mungkin berhubungan dengan vaksin. Institute of Medicine tahun 1994 menyatakan bahwa risiko kematian akibat vaksin adalah amat rendah (extra-ordinarily low). Besarnya risiko harus dibandingkan dengan besarnya manfaat vaksin. Bila satu efek simpang berat terjadi dalam sejuta dosis vaksin namun tidak ada manfaat vaksin, maka vaksin tersebut tidak berguna. Manfaat imunisasi akan lebih jelas bila risiko penyakit dibandingkan dengan risiko vaksin seperti yang terlihat pada Tabel 11.1. Tabel 11.1. Risiko morbiditas dan mortalitas akibat penyakit dan akibat vaksin Penyakit
Vaksin
Text Box: Campak MMR
Difteria
DTaP Meninggal
1 : 20
Menangis terus lalu pulih
kembali Tetanus Meninggal
Kejang/renjatan lalu 2: 10
pulih kembali Ensefalopati akut
Pertussis
Kematian
Kematian
Pneumonia
1:8
Ensefalitis
1 : 20
1 : 200
Fakta menunjukkan bahwa penyakit lebih banyak menimbulkan risiko komplikasi maupun kematian pada anak dibanding imunisasi. Anak akan menderita lebih banyak sakit jika tidak mendapat imunisasi. 4. Penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin telah tidak ada di negara kita, sehingga anak tidak perlu imunisasi Angka kejadian beberapa penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin memang telah menurun drastis. Namun kejadian penyakit tersebut masih cukup tinggi di negara lain. Siapapun, termasuk wisatawan, dapat membawa penyakit itu secara tidak sengaja dan dapat menimbulkan wabah. Hal tersebut serupa dengan KLB polio di Indonesia pada tahun 2005 yang lalu. Sejak tahun 1995, tidak ada kasus polio yang disebabkan oleh virus polio liar. Pada bulan April 2005, Laboratorium Biofarma di Bandung mengkonfirmasi adanya virus polio liar tipe 1 pada anak berusia 18 bulan yang menderita lumpuh layu akut pada bulan Maret 2005 yang tidak pernah diimunisasi polio sebelumnya. Virus polio selanjutnya menyebabkan wabah merebak ke 10 propinsi, 48 kabupaten. Sampai bulan April 2006 tercatat 349 kasus polio, termasuk 46 kasus VDPV (vaccine derived polio virus) di Madura dan 2 kasus yang terjadi pada tahun 2006. Dari analisis genetik virus, diketahui bahwa virus berasal dari Afrika barat. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa virus sampai ke Indonesia melalui Nigeria Sudan dan sama seperti virus yang diisolasi di Arab Saudi dan Yaman. Dari pengalaman tersebut, terbukti bahwa anak tetap harus mendapat imunisasi karena dua alasan. Alasan pertama adalah anak harus diindungi. Meskipun risiko terkena penyakit adalah kecil, bila penyakit masih ada, anak yang tidak terproteksi tetap masih dapat terinfeksi. Alasan kedua imunisasi anak penting untuk melindungi anak lain di sekitarnya. Terdapat sejumlah anak yang tidak dapat diimunisasi (misalnya karena alergi berat terhadap komponen vaksin) dan sebagian kecil anak yang tidak memberi respon terhadap
imunisasi. Anak-anak tersebut rentan terhadap penyakit dan perlindungan yang diharapkan adalah dari orang-orang di sekitarnya yang tidak sakit dan tidak menularkan penyakit kepadanya. 5. Pemberian vaksin kombinasi (multipel) untuk berbagai penyakit pada waktu tertentu meningkatkan risiko efek simpang yang berbahaya dan dapat membebani sistem imun Anak-anak terpapar pada banyak antigen setiap hari. Makanan dapat membawa bakteri yang baru ke dalam tubuh. Sistem imun juga akan terpapar oleh sejumlah bakteri yang hidup di mulut dan hidung. Infeksi saluran napas bagian atas akan menambah paparan 4-10 antigen, sedangkan infeksi streptokokus pada tenggorokan memberi paparan 2550 antigen. Tahun 1994 Institute of Medicine menyatakan bahwa dalam keadaan normal, penambahan jumlah antigen dalam vaksin tidak mungkin akan memberikan beban tambahan pada sistem imun dan tidak bersifat imunosupresif. Data penelitian menunjukkan bahwa imunisasi simultan dengan vaksin multipel tidak membebani sistem imun anak normal. Pada tahun 1999 Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) dan American Academy of Pediatrics (AAP) dan American Academy of Family Physicians (AAFP) merekomendasi pemberian vaksin kombinasi untuk imunisasi anak. Keuntungan pemberian vaksin kombinasi adalah mengurangi jumlah suntikan yang diperlukan untuk melindungi anak terhadap penyakit infeksi. Keuntungan lain adalah mengurangi biaya penyimpanan dan pemberian vaksin, mengurangi biaya kunjungan ke fasilitas kesehatan dan memfasilitasi penambahan vaksin baru ke dalam program imunisasi. Kombinasi vaksin menjadi satu tidak meningkatkan efek simpang secara keseluruhan. Vaksin kombinasi misalnya dengan DTaP, frekuensi efek simpang lebih rendah disbanding vaksin diberikan terpisah. Schmitt dkk membandingkan respon antibodi dan efek simpang vaksin pada kelompok anak yang mendapat vaksin DTaP-HBV-IPV-Hib dalam satu suntikan dengan kelompok
anak yang mendapat Hib dalam suntikan berbeda. Tidak ditemukan perbedaan bermakna dalam efek simpang vaksin pada regimen yang berbeda. Dua alasan praktis dalam memberikan beberapa vaksin dalam satu kunjungan, yaitu anak mendapat perlindungan sedini mungkin dalam awal kehidupannya. Alasan lain adalah pemberian vaksin simultan akan menghemat waktu dan biaya serta mungkin kurang traumatis bagi anak. 6. Vaksin MMR menyebabkan autisme
Autisme adalah kelainan perkembangan kronis yang ditandai dengan gangguan interaksi, komunikasi serta perhatian dan aktivitas yang repetitif dan restriktif. Dr. Andrew Wakefield bersama peneliti lain dari Royal Free Hospital London, tahun 1993 melaporkan adanya hubungan antara virus campak dan vaksin campak dengan Inflammatory Bowel Syndrome (IBD). Penelitian dilakukan pada 25 anak dengan penyakit Crohn dibandingkan dengan 22 anak normal. Tahun 1998 peneliti yang sama melaporkan sindrom baru dari IBD yang berhubungan dengan gangguan perkembangan seperti autism. Peneliti menduga vaksin MMR menyebabkan IBD dan menurunkan absorpsi vitamin dan nutrien esensial dari saluran cerna, yang selanjutnya menimbulkan autism. Hubungan kausal dalam penelitian ini, dinilai lemah dan mengandung beberapa kekurangan. Kekurangan pertama adalah penelitian dilakukan pada pasien yang sangat selektif yaitu yang dirujuk ke Royal Free Hospita,lLondon; sehingga tidak mewakili populasi pasien secara umum (bias rujukan atau referral bias). Seri kasus tidak dapat menentukan adanya hubungan kausal. Kelemahan yang terpenting adalah hubungan vaksin dan autisme dibuat berdasarkan ingatan orangtua (parental recall). Orangtua cenderung menghubungkan gangguan perilaku dengan kejadian yang mudah diingat seperti imunisasi. Tidak ada bukti ilmiah yang mendasari teori tersebut. Lebih lanjut, 4 dari 12 kasus, menunjukkan gangguan perilaku sebelum timbul gejala IBD.
Wakefield dan kawan-kawan, mempublikasi penelitian lain tentang pemeriksaan virus campak pada pasien inflammatory bowel disease, dugaan mekanisme terjadinya autism setelah vaksin MMR, yang mengandung vaksin campak, tidak terbukti karena tidak mengandung virus campak. Telaah yang dilakukan oleh pakar Kanada dan WHO menyimpulkan bahwa dari data epidemiologi yang ada saat sekarang, tidak menunjukkan adanya hubungan kausal antara virus campak dan IBD. Tahun 1998, para pakar kedokteran Inggris, WHO dan internasional berkumpul untuk membahas masalah tersebut dan berkesimpulan bahwa berdasarkan bukti yang ada saat itu, tidak ada hubungan antara campak, vaksin campak dengan penyakit Crohn (IBD) ataupun autisme. 7. Thimerosal menimbulkan gangguan perkembangan Thimerosal (disebut thiomersal di Inggris dan di negara persemakmuran) merupakan preservasi (pengawet) vaksin yang mengandung etilmekuri, suatu senyawa organik yang dimetabolisme menjadi merkuri. Thiomersal mengandung 49,6% merkuri, dan berguna untuk mencegah kontaminasi bakteri dan jamur pada vaksin multidosis. Thimerosal telah digunakan di dalam vaksin sejak tahun 1930an. Imunisasi berulang dengan vaksin yang mengandung thimerosal, pada bayi baru lahir terutama bayi kurang bulan, secara teoritis dapat meningkatkan kadar merkuri dalam darah. Namun penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kadar merkuri itu masih dalam rentang ‘normal’ yang diacu oleh US Department of Health & Human Services. Sejauh ini tidak ada bukti ilmiah bahwa thimerosal vaksin mengakibatkan gangguan perkembangan anak. Penelitian di Denmark yang membandingkan insidens autism dalam periode waktu pemberian vaksin berthimerosal dengan insidens autism dalam periode pemberianvaksin bebas thimerosal. Ternyata setelah tahun 1992, yaitu saat pemberian vaksin bebas thimerosal, insidens autisme meningkat tajam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa vaksin dengan
thimerosal tidak berkorelasi dengan insidens autisme. Penelitian di Inggris yang melibatkan lebih dari 13.000 anak yang mendapat vaksin mengandung thimerosal, menunjukkan bahwa tidak ada bukti tentang paparan thimerosal pada umur dini menimbulkan efek buruk pada perkembangan saraf maupun psikologis. Namun demikian, pada tahun 1999 Food and Drug Authority (FDA) menghimbau semua produsen vaksin agar menghilangkan atau mengurangi thimerosal dari vaksin. Demikian pula American Academy of Pediatrics (AAP) dan United States Public Health Service (USPHS) mengeluarkan pernyataan bersama untuk mengurangi atau menghilangkan thimerosal dari vaksin. Pada tahun 2000 diluncurkan vaksin hepatitis B baru tidak mengandung thimerosal. Selain miskonsepsi yang dikemukakan oleh WHO dan CDC di atas, ada beberapa pandangan salah yang sering dijumpai pada masyarakat Indonesia. Dapat diketahui pada bab Tanya Jawab Orangtua Mengenai Imunisasi. 8. Bila anak tidak demam setelah divaksinasi, berarti vaksinnya tidak bekerja Perlu dibedakan antara imunogenitas vaksin dan reaktogenitas vaksin. Imunogenitas adalah kemampuan vaksin tertentu untuk membentuk imunitas atau kekebalan pada individu yang menentukan daya proteksi vaksin. Reaktogenitas
adalah respons tubuh yang tidak nyaman yang timbul setelah imunisasi. Penelitian imunogenitas atau daya proteksi vaksin DTP setelah penyuntikan pertama kali adalah 6%-29%, dan setelah penyuntikan ketiga adalah 68%-81%. Reaktogenitas vaksin DTP menyebabkan demam menetap setelah penyuntikan sekitar 46,9%. 9. Setelah imunisasi vaksin polio oral, bayi tidak boleh minum ASI selama beberapa jam Dalam masyarakat termasuk di kalangan paramedis, terdapat isu bahwa setelah imunisasi polio oral, pemberian ASI perlu ditunda untuk jangka waktu tertentu. Ada yang menganjurkan untuk
menunda 15 menit, ada yang menganjurkan penundaan sampai 1 jam. Pendapat tersebut tidak beralasan. Efek ASI pada serokonversi terhadap vaksin polio oral diteliti oleh John dan kawan-kawan, pada 300 bayi berusia 6 - 51 minggu di India. Bayi dibagi dalam 6 kelompok dan mendapat vaksin polio oral (OPV) trivalen. Grup pertama mendapat ASI on demand, namun wajib mendapat ASI dalam interval 30 menit sebelum sampai 15 menit sesudah OPV. Pada grup kedua, tiga, empat, lima pemberian ASI ditunda selama 3, 4, 5 dan 6 jam sesudah dan sebelum OPV. Grup ke enam mendapat susu formula. Sampel darah diambil pada saat sebelum imunisasi dan dari 227 bayi pada 4 minggu setelah OPV pertama dan/atau OPV ketiga. Dilakukan pengukuran antibodi terhadap virus polio tipe 1,2 dan 3 setelah dosis pertama dan ketiga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa respons rate sama pada seluruh kelompok yang mendapat ASI, tidak tergantung pada jadwal pemberian ASI, demikian pula pada kelompok susu formula. Dengan demikian, ASI tidak memperlihatkan hambatan pada pembentukan antibodi terhadap OPV pada bayi setelah periode neonatus. Daftar Pustaka 1. WHO. Six common misconceptions about immunization. Diunduh dari http://www. who.int/immunization_safety/aefi/immunization_misconceptions/en/print.html tanggal 19 Februari 2007. 2. CDC Publications. Six Common Misconceptions about vaccination and how to respond to them. Diunduh dari : http://www.cdc.gov/nip/publications/6mishome.htm tanggal 19 Februari 2007. 3. McKinnon NE. Diptheria prevented. Dalam: Cruickshank R(ed). Control of the common fevers. Lancet: 1942; 41-56. Dikutip dari Wharton M, Vitek CR. Diphtheria Toxoid. Dalam Plotkin SA, Orenstein WA (eds) Vaccines. Philadelphia, Saunders, 2004:211-28. 4. Macintyre CR, Gidding H. Myths & Realities. Responding to arguments against immunization. A guide for provider. Edisi ke-3. Canbera, Department of Health and Aged Care, 2001.
5. Heron J, Golding J, the ALSPAC Study Team. Thimerosal Exposure in Infants and Developmental Disorders: A Prospective Cohort Study in the United Kingdom Does Not Support a Causal Association. Pediatrics 2004;114:577–83. 6. Anne-Marie Plesner, Peter H. Andersen and Preben B. Mortensen Kreesten M. Madsen, Marlene B. Lauritsen, Carsten B. Pedersen, Poul Thorsen, Thimerosal and the Occurrence of Autism: Negative Ecological Evidence From Danish Population-Based Data. Pediatrics 2003;112;604-6. 7. Joint statement of the American Academy of Pediatrics (AAP) and the United States Public Health Services (USPHS). Pediatrics 1999: 104; 568-9. 8. Schmitt HJ, Knuf M, Ortiz E, Sänger R, Uwamwezi MC, Kaufbold A. Primary vaccination of infants with diphtheria-tetanus-acellular pertussishepatitis B virus-inactivated polio virus and Haemophilus influenzae type b vaccines given as either separate or mixed injections. J Pediatr 2000;137:304-12. 9. David Elliman. Safety and efficacy of combination vaccines. Combinations reduce distress and are efficacious and safe. Editorial. BMJ 2003;326:995–6. 10. WHO. Outbreak of polio in Indonesia. Updated 10 April 2006. Diunduh dari http:// www.searo.who.int/vaccine/linkfiles/polioupdate.pdf tanggal 13 Maret 2007.
Bab XI-2 Kontroversi dalam Imunisasi Ismoedijanto Imunisasi telah membawa perubahan yang sangat dramatik di dunia kedokteran. Program kesehatan yang paling efektif dan efisien dalam menurunkan angka kematian dan angka kesakitan. Namun demikian, masih banyak kontroversi yang muncul dari faktor penerapan program imunisasi, vaksin dan bahan di dalamnya atau resipien penerima imunisasi. Pada suatu saat sangat intens, pada saat lain menyurut, tergantung pada ada-tidaknya pemicu yang timbul di masyarakat Masalahnya dapat makin mencuat, karena imunisasi dilakukan pada anak yang sehat, sehingga betapapun kecilnya reaksi yang terjadi akan memicu rasa tidak aman pada orang tua. Konsep imunisasi pada dasarnya adalah menggugah respons tubuh dengan sengaja, agar anak kebal terhadap paparan penyakit yang dituju di kemudian hari. Pada perjalanan sejarah imunisasi, keseimbangan antara imunitas dan reaktogenitas ini sering berubahubah, tergantung pada vaksin ataupun interaksi yang terjadi antara vaksin dan resipiennya. Perubahan keseimbangan ini dapat memicu kontroversi imunisasi, terutama bila skala besaran program menjadi sangat besar, misalnya imunisasi global. Meskipun proporsi reaktogenitas tetap, namun besaran program menyebabkan jumlah kasus menjadi lebih menonjol, dan menjadi lebih menakutkan. Imunisasi jangan hanya diperlakukan sebagai upaya klinik saja namun harus dipandang sebagai tindakan epidemiologik dan dinilai keberhasilannya dengan parameter epidemiologik, yaitu berapa banyak kasus dan berapa banyak penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Masalah epidemiologik yang berbeda pada setiap benua bahkan setiap negara, mengakibatkan perbedaan kebutuhan akan imunisasi.
Beban penyakit di suatu negara atau region tertentu merupakan acuan utama pada saat kita merencanakan dan memutuskan upaya imunisasi. Selanjutnya berkembang praktek imunisasi yang menekankan pada perlindungan individu, selaras dengan konsep penghargaan pada individu di negara Barat. Praktek imunisasi menggunakan segala teknologi kedokteran yang ada, vaksin yang efektif dan efisien, yang menurunkan probabilitas kemungkinan menjadi sakit. Kenyataan bahwa penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi masih berada di sekitar kita, mengancam kematian dan kecacatan, merupakan alasan menempatkan imunisasi sebagai ujung tombak kesehatan anak. Setiap anak harus mendapat manfaat imunisasi, sampai ada bukti ilmiah yang menghentikannya. Kembali keseimbangan akan imunitas dan reaktogenitas merupakan pertimbangan yang harus dikaji, melebihi pertimbangan lain seperti pertimbangan keuntungan dan sebagainya. Beberapa kontroversi yang timbul 1. Pelaksanaan program imunisasi Perbedaan pendapat seringkali terjadi di antara para ilmuwan dengan para penentu kebijakan di masa yang lampau dan bahkan sampai saat ini. Dari sejarah kita ketahui adanya pertentangan program imunisasi di masyarakat, yaitu sejak masa Pasteur mengenalkan imunisasi rabies, sampai keputusan imunisasi demam tifoid semasa perang Boer. Demikian pula penentang imunisasi cacar di Inggris yang sampai membawa masalah tersebut ke parlemen, bahkan perseteruan juga terjadi saat imunisasi telah menjadi program global. Para ibu di Jepang dan Inggris menolak imunisasi DTP karena menyebabkan reaksi panas. Setelah Perang Dunia II, vaksin berkembang sangat pesat, sejalan dengan berkembangnya teknologi biakan pada sel hidup
yang semula dianggap tidak etis. Untuk beberapa waktu keberhasilan imunisasi mencegah kejadian penyakit dan bahkan mampu menghilangkan penyakit cacar dari
bumi, telah menenangkan para penentang imunisasi, yang kemudian muncul kembali pada permulaan tahun 2000-an, yaitu dengan masih banyaknya orang tua yang menentang program imunisasi melalui media massa. Vaksin DTaP yang kurang menyebabkan panas dapat meredam sikap anti imunisasi sampai timbul kasus autisme yang menurut penelitian Montgomery disebabkan oleh karena suntikan MMR. Kelompok penentang imunisasi pada saat ini menggunakan media maya (internet) untuk memicu isu-isu anti imunisasi dengan bukti ilmiah yang tingkat evidence-nya rendah namun sensasional Masalah yang dilontarkan adalah: a. Imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah telah merampas hak warganegara untuk memilih tidak diimunisasi (hak untuk sakit dan menjadi sumber penularan). Khusus di Indonesia, Undang Undang Wabah memberikan sanksi pada siapapun yang melalaikan atau menghalangi pelaksanaan penganggulangan wabah. b. Imunisasi pada anak mementingkan kekebalan jangka pendek terhadap beberapa penyakit menular tertentu dan menggangu kekebalan jangka panjang, penyakit tersebut pindah ke usia yang lebih tua. c. Imunisasi memindahkan satu penyakit dari satu masa ke penyakit lain pada usia lain dan juga menghilangkan satu penyakit tetapi menimbulkan penyakit lain. Bagi para ilmuwan yang menghargai hak hidup kuman dan virus di bumi, isu ini bukan merupakan masalah baru. 2. Vaksin dan keamanannya Vaksin adalah suatu bahan yang dapat merangsang kekebalan dan dibuat dengan menggunakan teknologi kedokteran yang paling maju. Vaksinologi telah menyerap begitu banyak teknologi kedokteran yang terbaik, sehingga sulit mencari tandingan vaksin ini. Bahkan Katz, 1999, menyebutnya sebagai the best science can give. Meskipun minimal ada kelemahan dari metode imunisasi
ini. Kelemahan metode imunisasi ini tidak berarti vaksin tersebut tidak aman. Kelemahan ini mungkin baru terungkap setelah vaksin digunakan dalam jangka waktu yang lama. Masalah yang kemudian muncul adalah siapa yang berminat untuk membiayai penelitian yang membuktikan adanya efek samping yang minimal setelah 20-40 tahun pemberian imunisasi? Vaksin adalah substansi biologik hidup yang aman sampai suatu saat dapat dibuktikan cacat. Kontroversi berasal dari a. Jenis dan bahan vaksin Vaksin digolongkan menjadi beberapa jenis (vaksin mati-hidup, vaksin polisakarida, vaksin rekombinan) semuanya dibuat dengan cara yang berbeda dan memberikan “kelemahan” yang berbeda pula. Vaksin hidup paling banyak menuai tuduhan, karena atenuasi atau proses pelemahan yang kurang kuat akan menyebabkan penyakit atau menyimpangnya respon imun penerima. b. Bahan dalam vaksin Bahan dalam vaksin terutama adalah bahan pengawet, bahan antibeku, bahan pewarna dan bahan yang ikut dalam proses pembuatan vaksin. Bahan ini bermanfaat untuk penyimpanan vaksin dosis multipel, sehingga biaya imunisasi dapat ditekan. Bahan merkuri merupakan bahan yang paling digunjingkan merusak otak, seperti kasus keracunan merkuri di Minimata. Tiomersal mengandung 49.6% Hg dari beratnya, dalam tubuh dimetabolisir menjadi etilmerkuri dan thiosalisilat. Waktu paruh tubuh adalah 50 hari. Paparan merkuri secara menahun bersifat neurotoksik dan nefrotoksik, Meskipun bahan ini dalam vaksin selama imunisasi sampai usia 6 bulan (150 mcg) masih lebih rendah dari batas minimal yang direkomendasikan oleh WHO, bahan ini akan dihilangkan dengan risiko harga vaksin akan per dosis meningkat. Vaksin yang bebas merkuri adalah MMR, OPV, campak, BCG dan HB yang dosis tunggal dan DTaP dosis tunggal. Bahan yang ada dalam vaksin lainnya adalah
sisa formaldehid, bahan antibeku etilen glikol, gelatin dan glutamat pada vaksin cacar air, neomisin dan streptomisin untuk mencegah tumbuhnya kuman dalam biakan sel, dan sebagainya. Bahan ini dianggap beracun, namun perlu informasi ambang kadarnya yang berbahaya. Bahan makanan dan minuman yang dikomsumsi sehari-hari mungkin juga mengandung bahan ini, tergantung pada kondisi lingkungannya. Formaldehid sisa tidak boleh lebih dari 0.02% w/v (British Pharmacopeia) atau 0.004% w/v (Australia Therapeutic Good Administration). c. Manfaat dan efikasi vaksin: Efikasi vaksin harus lebih besar dari reaktogenisitas vaksin, dinyatakan pada perbandingan besaran outcome dan besaran reaksi imunisasi. Outcome atau komplikasi yang terjadi pada penyakit campak di negara berkembang adalah kejadian pneumonia 1 kasus dari tiap 25 kasus klinik dan ensefalitis 1 kasus setiap 2000 kasus atau 500 kasus setiap 1.000.000 penderita. Reaksi samping yang terjadi pada suntikan campak adalah bengkak tempat suntikan , demam, meriang 1 diantara 10 suntikan, ruam pada 1 anak diantara 100 suntikan dan kemungkinan ensefalitis 1 diatara 1.000.000 dosis. Pada penyakit gondongan komplikasi mungkin terjadi kasus ensefalitis 1 kasus tiap 200 kasus atau 15.000 kasus diantara 3.000.000 kasus, sementara pada imunisasi kemungkinanan ensefalitis kasus terjadi pada 1 kasus diantara 3.000.000 dosis . Komplikasi pada rubella yang paling berat adalah adanya sindrom rubela kongenital pada 9 kasus diantara 10 kehamilan bila serangan terjadi pada 10 minggu pertama, inflamasi otak pada 1 diantara 6000 pasien, nyeri sendi pada 1 diantara 2 pasien yang sudah remaja, sementara bengkak, demam, meriang mungkin terjadi pada 1 kasus setiap 10 dosis, kemungkinan terjadinya nyeri sendi, pembesaran kelenjar pada 5 kasus setiap 100 dosis. Angka diatas menunjukkan manfaat lebih besar dari risiko imunisasi.
d. Kecenderungan genetik yang menyimpang Tiap individu mempunyai probabilitas hidup dengan pola genetik yang menyimpang, sehingga seringkali tidak dapat memberikan respons imun yang diharapkan. Semakin tinggi cakupan imunisasi, semakin banyak pula populasi yang tercakup dalam imunisasi yang mempunyai kecenderungan genetik tidak semestinya. KIPI yang merupakan rekaman kasus apapun setelah imunisasi sangat bermanfaat untuk memperbaiki kualitas program imunisasi namun peningkatan kasus KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) akan menyebabkan peningkatan sikap anti imunisasi, menurunkan angka cakupan dan akan menaikkan risiko wabah kembali. 3. Respon imun penerima vaksin Resipien atau si-penerima vaksinasi yang sakit berat atau yang pertahanan tubuhnya tidak normal besar kemungkinannya akan menjadi sakit, atau menjadi karier sehat. Anak yang mendapat kortikosteroid, penderita HIV, anak dengan malnutrisi berat, merupakan contoh anak bermasalah. Imunisasi polio oral pada anak dengan defisiensi imun akan mengakibatkan pengeluaran virus polio lebih lama dibanding dengan anak normal. Banyak keadaan yang mempengaruhi kinerja vaksin dan terutama berakibat pada rendahnya keberhasilan menggugah respon imun. Pada sisi yang lain juga terdapat respon imun yang menyimpang sebagai akibat kecenderungan genetik yang dimiliki bayi. Reaksi samping atau akibat dari imun respon yang menyimpang ini, sering ditimpakan pada kualitas atau kuantitas antigen (vaccine safety) dalam vaksin atau bahan lain yang ada dalam vaksin, karena penapisan (screening) anak dengan indikasi kontra masih belum dijalankan secara rutin, karena metode pemeriksaan yang sederhana dan akurat belum ada. Sebaiknya sebelum memberikan imunisasi, indikasi kontra dan kewaspadaan (precautions) dibaca sekali lagi.
4. Adanya pemicu Seringkali suatu masalah menjadi hangat kembali setelah ada pemicu yang hadir. Beberapa pemicu masalah besar antara lain, Autisme Wakefield dan Montgomerry telah mengajukan laporan penelitian yang menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antara vaksin MMR dan kejadian autisme pada anak. Banyak hipotesis yang
diajukan, hipotesis mekanisme imunologik, biologik, opioid excess, autoimmune, virus campak dalam usus. Kebanyakan hipotesis yang diajukan tidak menggunakan paradigma epidemiologik, tetapi paradigma imunologi atau biomolekuler dan belum memberikan bukti yang sahih. Penelitian epidemiologik menunjukkan tidak jelas ada hubungan antara suntikan MMR dengan autism. Penelitian dan pengamatan epidemiologik tidak dapat menyokong adanya hubungan sebab-akibat antara ASD (autistic syndrome disorder) dan MMR, pengamatan juga tidak mendapatkan dukungan hubungan temporal antara awitan ASD dan pemberian suntikan MMR., tidak memberikan dukungan hubungan suntikan MMR dengan kejadian regresi, tidak jelas hubungan patogenetik yang berbasis bukti antara suntikan MMR dan kejadian ASD. Adanya genome virus campak belum disertai bukti bahwa virus itu berasal dari vaksin campak monovalen atau MMR atau virus campak liar. IBD (inflammatory bowel disease) akibat infeksi persisten bisa terjadi secara alamiah, pada anak dengan kelainan genetic, seperti adanya kelainan kromosom 7. Jenis bahan apa saja yang lolos lewat usus dan menyebabkan gangguan perilaku, belum dapat ditentukan. Hubungan yang diyakini ada baru sebatas gagasan hipotetik yang perlu bukti lebih lanjut. Berapa jumlah bahan yang akan menyebabkan kelainan perilaku belum mendapat kesepakatan yang jelas. Berapa proporsi anak yang mempunyai infeksi virus campak yang persisten setelah imunisasi dan berapa proporsi anak yang dengan IBD menjadi autis, perlu pengamatan lebih lanjut. Bukti
hasil penelitian baru sepotong-potong yang belum utuh, belum dapat dirangkai menjadi kesimpulan yang sahih. Banyak bagian dari jigsaw puzzle ilmiah yang belum terisi. Baik pengadilan London maupun redaksi majalah yang memuat tulisan Wakefield akhirnya menyesal dan menyatakan bukti yang diajukan lemah dan kabur. Reaksi neurologik Beberapa vaksin diduga menyebabkan reaksi pada susunan saraf. Reaksi ini sangat jarang dan belum jelas patogenesisnya. Kelainan nerologik yang diduga akibat vaksin terbagi menjadi: demyelinating disease (ADEM dan GBS). non demyelinating disease (encephalopathy, SSPE, neuropathy, brachial neuritis). Reaksi imunologik Vaksin dapat menimbulkan penyimpangan respons imun sebagai reaksi tubuh terhadap bahan tambahan maupun bahan dasar vaksinnya sendiri. Reaksi pasca imunisasi terutama mengarah pada hipersensitivitas, dari tipe 1-4, dari reaksi anafilaksis, reaksi antibodi dengan antigen jaringan, reaksi Arthus dan delayed type hypersensitivity. Reaksi pasca imunisasi seharusnya dapat diketahui dengan memperhatikan butir-butir kewaspadaan dan indikasi kontra sebelum memberikan imunisasi. Autoimun Semakin banyak tulisan yang menghubungkan kenaikan kejadian autoimun dengan kenaikan cakupan vaksin. Perimbangan Th1 dan Th2 dicoba dipakai sebagai alat untuk menjelaskan hubungan ini. Namun sampai kini belum jelas model mana yang pasti dan mempunyai evidence-based yang tinggi yang cukup dipakai sebagai alasan menghentikan imunisasi dan memberikan metode lain untuk mencegah wabah penyakit menular. Menggugah respon imun yang berlebihan akan menyebabkan beberapa bagian dari komponen imunologik menyerang bagian dari tubuh sendiri. Meskipun
paradigma ini sudah dikenal, namun belum ada pengamatan jangka panjang yang membuktikannya. Beberapa makalah biomolekuler menandai kenaikan insidens penyakit autoimun searah dengan kenaikan cakupan imunisasi, tanpa memberikan penjelasan yang sahih mengenai pengaruh perubahan gaya hidup dan lingkungan terhadap kenaikan insidens penyakit autoimun. Diabetes Semula terdapat bukti bahwa ada hubungan sebab akibat antara infeksi virus (gondong, rubella) dan IDDM (insuline dependent diabetic mellitus). Kini banyak diajukan hipotesis hubungan
dan IDDM (insuline dependent diabetic mellitus). Kini banyak diajukan hipotesis hubungan antara IDDM dengan vaksin HB, MMR, DTP, HIb, pneumokokus. Selain virus yang menyerang pankreas, juga terjadi proses autoimun yang menyerang sel pankreas, sehingga terjadi gangguan produksi insulin. Jalan keluar dan anjuran apa yang harus dilakukan Masalah yang dikemukakan tersebut telah memicu beberapa perdebatan dan perbedaan pendapat antara pada pakar yang makin membingungkan orangtua. Ada beberapa tip yang bisa membantu para sejawat mencari jalan keluar masalah kontroversi imunisasi. • Penjelasan yang jujur Penjelasan yang jujur dan benar kepada orang tua sangat diperlukan untuk mengimbangi segala informasi penentang imunisasi yang seolah-olah berdasar alasan yang kuat dan disertai dengan riset yang mendalam. Penjelasan harus dilakukan secara proaktif, diberikan pada setiap orang tua bayi yang akan diimunisasi dengan vaksin tertentu, meskipun orangtua tidak menanyakannya secara aktif. Selain membangun komunikasi yang baik antara dokter dan orang tua, kesempatan ini akan memancing mereka sehingga mampu atau tidak malu-malu menanyakan perihal imunisasi. Penjelasan mencakup manfaat
imunisasi dan kemungkinan adanya reaksi samping. Bilamana orangtua menunjukkan penolakan atau keraguan, sebaiknya imunisasi ditunda dulu sampai orang tua yakin akan tindakan yang kita lakukan pada bayinya. Menunjukkan empati dan perhatian yang besar Membeberkan kelemahan alasan antiimunisasi saja tidak cukup, orang tua harus diyakinkan bahwa dokter juga sangat memperhatikan dan membantu orang tua dalam upaya membesarkan anak. Kepercayaan pada dokter akan memperkuat penerimaan orangtua pada imunisasi, sehingga keraguan dan kemungkinan ikut hanyut secara emosional pada kelompok penentang imunisasi dapat dibatasi. Menghindari pertempuran emosi Pertempuran emosi akan mengurangi kemampuan analitis dan rasional. Menghadapi orangtua yang kecewa atau marah dengan kegeraman kita atas tidak rasionalnya pikiran yang digunakan sangat tidak bermanfaat. Sebaliknya mendengarkan akan membawa hasil yang lebih baik. Membekali diri dengan pengetahuan Membekali diri dengan pengetahuan yang cukup perihal pokokpokok dasar imunisasi. Termasuk diantaranya pengetahuan tentang sifat tiap vaksin yang kita gunakan. Daftar Pustaka 1. Stratton KR, Gable A, Shetty P, McCormick, M (editor) Immunization safety review: Measles-Mumps-Rubella vaccine and autism , Immunization Safety Review Committee, Institute of Medicine, national Academy Press, Washington DC, 2001 2. Chen RT, De Stefano F, Mootrey G, Kramarz P, Hibbs B. Vaccine recommendation challenges and controversies, challenges and controversies in immunization safety. Infectious Disease Clinic of North America 2001; 15: 1-16.
3. Wakefield, A.J. Montgomery SM, Measles, Mumps, rubella vaccine: through a glass, darkly, Adverse Drug React: 2000; 19:1-19. 4. Dales L, Hammer SJ, Smith NJ. Time trends in autism and MMR immunization coverage in California JAMA;285(9):1183-5. 5. Black,C, Kyae JA, Jick H, Relation of childhood gastrointestinal disorder to autism: nested case control study using data from the UK general practice Research Database BMJ 2002;325:419-421. 6. Madsen KM, HVIID A, Vestergaar M, schendel D, et al, A population based study of measles, Mumps, and Rubella vaccination and auitism N Engl J Med;347:1477-1482 7. Campion EW 2002 Suspicion about the safety of vaccine N Engl j Med 347;19:1474-6. 8. WHO 2001, Statement on the use of MMR vaccine,24 January, 2001 9. Cave S dan Mitchell D : Apa yang orang tua harus tahu tentang vaksinasi pada anak. Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Pen gantar Setiap pemberi imunisasi harus siap untuk menerangkan dengan jelas kepada orang tua atau anak yang telah besar mengenai berbagai hal yang ditanyakan. Pemberi imunisasi harus selalu siap dengan jawaban yang sering ditanyakan oleh mereka. Pengetahuan mengenai imunisasi pada umumnya terutama keuntungan yang didapatkan oleh si anak, akan jauh lebih besar daripada kerugian apabila dia harus menderita penyakit. Pada umumnya efek samping merupakan hal yang terbanyak ditanyakan, namun adanya isu-isu negatif terhadap imunisasi perlu mendapat perhatian para dokter. Kunci komunikasi dalam advokasi imunisasi adalah dengarkan pertanyaan dan keluhan mereka dengan penuh perhatian, kemudian jelaskan dengan bahasa awam yang mudah dimengerti.
Soedjatmiko, Alan R. Tumbelaka Jadwal imunisasi Mengapa jadwal imunisasi di beberapa praktek dokter, klinik atau rumah sakit berbedabeda ? Perbedaan jadwal imunisasi pada kurun waktu yang berbeda di beberapa praktek dokter antara lain karena: sumber rujukan yang berbeda, adanya modifikasi untuk memudahkan orangtua, atau pertimbangan khusus berdasarkan keadaan bayi dan anak pada saat itu. Sebaiknya menggunakan jadwal imunisasi terbaru yang direkomendasikan oleh Satgas Imunisasi IDAI, karena dievaluasi secara periodik dengan mempertimbangkan perubahan epidemiologi penyakit tertentu, adanya vaksin-vaksin baru yang resmi beredar di Indonesia dan negara tetangga serta memperhatikan anjuran dari WHO (Badan Kesehatan Dunia), Jadwal imunisasi mana yang terbaik ? Jadwal yang terbaik adalah yang masih di dalam rentang umur Jadwal Imunisasi PPI Depkes maupun Rekomendasi Satgas Imunisasi PP IDAI (baca Bab IV tentang Jadwal Imunisasi). Namun harus dipertimbangkan pula hal-hal lain: keadaan dan riwayat bayi/anak yang berkaitan dengan indikasi kontra atau risiko kejadian ikutan pasca imunisasi, serta permintaan orangtua (misalnya vaksinasi cacar air sebelum umur 10 tahun). Berdasarkan pertimbanganpertimbangan tersebut dokter dapat melakukan penyesuaian untuk kepentingan bayi / anak, disertai penjelasan kepada orangtua.
Jika umur bayi atau anak sudah lebih dari umur yang dianjurkan dalam jadwal imunisasi, apakah boleh divaksin sesuai jadwal tersebut ? Boleh, tidak berbahaya, karena anak yang belum mendapat imunisasi sesuai jadwal, berarti belum mempunyai kekebalan terhadap penyakit tersebut. Tetapi kalau umurnya sudah terlewat jauh beberapa tahun, untuk beberapa penyakit tertentu mungkin kurang penting, karena kemungkinan tertular semakin kecil. Tetapi ada penyakit tertentu yang tetap penting, walaupun sudah terlewat jauh. Untuk itu diskusikan dengan dokter, untuk mengejar imunisasi yang terlewatkan. Jika sudah diimunisasi lengkap pada usia balita, apakah di sekolah perlu diimunisasi lagi ? Mengapa perlu ? Imunisasi yang perlu diberikan ulangan pada sekolah dasar yaitu imunisasi campak dan DT
(kelas 1), dan TT (kelas 2, 3, dan 6). Banyak anak yang sudah divaksinasi campak ketika bayi ternyata pada umur 5 - 7 tahun 28.3% masih terkena campak. Pada umur > 10 tahun masih banyak dijumpai kasus difteri. Untuk pemberantasan tetanus neonatorum sedikitnya dibutuhkan 5 kali suntikan tetanus toksoid sejak bayi sampai dewasa, sehingga kekebalan pada umur dewasa akan berlangsung sekitar 20 tahun lagi (lihat Bab IV tentang Jadwal Imunisasi) Bayi prematur, apakah imunisasi harus ditunda ? Ya, vaksin polio oral sebaiknya diberikan sesudah bayi prematur berumur 2 bulan, demikian pula DTP, hepatitis B dan Hib. Bayi/anak sedang sakit atau sedang dalam pengobatan Bayi/anak sedang pilek batuk bolehkah diimunisasi ? Boleh. Batuk pilek ringan tanpa demam boleh diimunisasi, kecuali bila bayi sangat rewel, imunisasi dapat ditunda 1 - 2 minggu kemudian.
Jika sedang minum antibiotik bolehkah diimunisasi ? Boleh, karena antibiotik tidak mengganggu potensi vaksin. Yang harus dipertimbangkan adalah penyakit dan keadaan bayi/anak sesuai pedoman umum vaksinasi. Jika sedang minum obat lain apakah boleh diimunisasi ? Apabila anak sedang minum obat prednison 2 mg/kgbb/ hari, dianjurkan menunda imunisasi 1 bulan setelah selesai pengobatan. Jika sering menggunakan steroid inhalasi bolehkah diimunisasi ? Boleh, karena steroid inhalasi tidak menekan sistem imun, asalkan digunakan sesuai dosis yang dianjurkan. Penderita epilepsi bolehkan diimunisasi ? Kelainan neurologik yang stabil dan riwayat kejang atau epilepsi di dalam keluarga bukanlah indikasi kontra untuk memberikan vaksinasi DPT. Orangtua atau pengasuh harus diingatkan bahwa sesudah vaksinasi dapat timbul demam, oleh karena itu dianjurkan untuk segera memberikan obat penurun panas. Harus diingatkan pula bahwa demam pasca vaksinasi campak baru timbul 5 - 10 hari setelah imunisasi. Penderita alergi bolehkah diimunisasi ? Pasien asma, eksim dan pilek alergi boleh diimunisasi, tetapi kita harus sangat berhatihati jika anak alergi berat terhadap telur. Jika ada riwayat reaksi anafilaktik terhadap telur (urtikaria luas, pembengkakan mulut atau tenggorok, kesulitan bernapas, mengi, penurunan tekanan darah atau syok) merupakan indikasi kontra untuk vaksin influenza, demam kuning dan demam Q. Sedangkan untuk vaksin MMR karena kejadian reaksi anafilaktik sangatjarang, masih boleh diberikan dengan pengawasan.
Bengkak, kemerahan setelah disuntik vaksin apakah akibat salah suntik ? Atau vaksinnya kadaluarsa ? Apakah berbahaya ? Setelah penyuntikkan vaksin dapat timbul reaksi lokal di tempat penyuntikan misalnya bengkak, kemerahan, gatal, nyeri, selama 2 sampai 3 hari. Hal itu tidak berbahaya karena merupakan reaksi normal dari tubuh terhadap vaksin yang bersifat individual. Kompres hangat dapat mengurangi keadaan tersebut. Kadangkadang teraba benjolan kecil yang agak keras selama beberapa minggu atau lebih, tetapi umumnya tidak perlu dilakukan tindakan apapun. Terkadang diserta reaksi umum berupa demam, rewel, tergantung pada jenis vaksinnya. Reaksi tersebut umumnya ringan, mudah diatasi oleh orangtua atau pengasuh, dan akan hilang dalam 1 - 2 hari. Obat penurun panas, bolehkah diberikan sebelum dan sesudah imunisasi ? Apakah tidak
mengurangi potensi vaksin ? Boleh. Sebaiknya 30 menit sebelum imunisasi suntik, terutama DPT/DT, boleh diberikan obat penurun panas (berisi parasetamol) kepada bayi/anak untuk mengurangi nyeri dan demam pasca vaksinasi. Kemudian dilanjutkan setiap 3-4 jam bila masih panas atau nyeri, maksimal 6 kali dalam 24 jam. Obat penurun panas tidak menmpengaruhi potensi vaksin. Jika keluhan masih berlanjut, diminta segera kembali kepada dokter. Kekebalan setelah diimunisasi Sesudah diimunisasi apakah pasti tidak akan tertular penyakit tersebut ? Bayi/anak yang telah diimunisasi masih dapat tertular penyakit tersebut, namun jauh lebih ringan dibanding terkena penyakit secara alami.
Apabila bayi/anak sudah pernah sakit campak, rubela atau batuk rejan bolehkah di imunisasi untuk penyakit-penyakit tersebut? Boleh, walaupun ada riwayat pernah menderita penyakit tersebut vaksinasi tidaklah berbahaya. Vaksinasi bayi/anak dengan riwayat pernah sakit campak akan meningkatkan kekebalan dan tidak menimbulkan risiko. Diagnosis campak dan rubella tanpa konfirmasi laboratorium banyak yang meragukan. Anak dengan riwayat pernah sakit tersebut sebaiknya tetap diberikan MMR. Polio Setelah pemberian vaksin polio tetes, apakah dapat timbul panas, mencret ? Walaupun sangat jarang terjadi, tetapi kadang-kadang dapat terjadi mencret ringan, tanpa demam. Pemberian vaksin polio lebih dari 2 tetes apakah berbahaya ? Tidak berbahaya, karena virus vaksin polio sudah dilemahkan, artinya tidak dapat menimbulkan kelumpuhan, tetapi masih bisa berkembang biak dan bisa merangsang kekebalan didalam usus maupun di dalam darah bayi dan anak. Namun bila meneteskan terlalu banyak sebaiknya dicatat identitas bayi/anak, kemudian dilakukan pengamatan selama beberapa minggu. Berapa lama jarak antara pemberian ASI atau susu formula dengan pemberian vaksin polio oral ? ASI dapat diberikan segera setelah imunisasi polio oral pada umur lebih dari 1 minggu. Hanya di dalam kolostrum terdapat antibodi dengan titer tinggi yang dapat mengikat vaksin polio oral. Susu formula boleh segera diberikan setelah vaksinasi polio oral.
Bagaimana jika bayi memuntahkan vaksin polio ? Jika muntah terjadi sebelum 10 menit segera berikan lagi vaksin polio dengan dosis sama. Jika muntah berulang, berikan lagi pada keesokan harinya. Mana yang lebih bagus : vaksin polio yang diteteskan di mulut (polio oral) atau yang disuntikkan ? Vaksin polio yang diteteskan dimulut adalah virus polio vaksin yang masih hidup tetapi dilemahkan, sehingga masih bisa berkembang biak di usus, dan dapat merangsang usus dan darah untuk membentuk zat kekebalan (antibodi) terhadap virus polio liar. Artinya, bila ada virus polio liar masukke dalamusus bayi/anaktersebut, maka virus polio liar tersebut akan diikat dan dimatikan oleh zat kekebalan tersebut yang dibentuk di usus dan di dalam darah, sehingga tidak dapat berkembang biak, tidak membahayakan bayi/anak tersebut, dan tidak dapat menyebar ke anak-anak sekitarnya.
Vaksin polio suntik, isinya virus polio mati yang disuntikan di otot lengan atau paha, sehingga tidak dapat berkembang biak di usus dan tidak menimbulkan kekebalan diusus, namun dapat menimbulkan kekebalan di dalam darah. Oleh karena itu, bila ada virus polio liar yang masuk ke dalam usus bayi/anak yang disuntik vaksin polio, maka virus polio liar masih bisa berkembang biak di ususnya (karena tidak ada kekebalan di dalam ususnya) tetapi ia tidak sakit, karena ada kekebalan di dalam darahnya. Tetapi karena virus polio liar masih bisa berkembang biak diususnya, maka bisa menyebar melalui tinja ke anak-anak lain, dan dapat menyebabkan kelumpuhan pada anak-anak disekitarnya. Oleh karena itu, di negara atau wilayah yang masih ada transmisi polio liar semua bayi dan anak balita harus diberi virus polio yang diteteskan ke dalam mulut, agar ususnya mampu mematikan virus polio liar, sehingga menghentikan proses penyebaran. Bila selama 5 tahun atau lebih tidak ditemukan lagi virus polio liar, maka secara bertahap dapat menggunakan virus polio suntik.
Virus polio suntik boleh diberikan pada pasien yang kekebalannya rendah, misalnya karena sedang mendapat pengobatan kortikosteroid dosis tinggi dalam jangka lama, mendapat obatobat anti kanker, menderita HIV AIDS, atau didalam rumahnya ada pasien tersebut. Hepatitis B Setelah vaksinasi Hepatitis B apakakah bisa timbul demam atau bengkak ? Walaupun sangat jarang, tetapi dapat timbul demam yang tidak tinggi, pada tempat penyuntikan timbul kemerahan, pembengkakan, nyeri, rasa mual dan nyeri sendi. Orangtua/pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah), jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin, jika demam berikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3 - 4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi tersebut menjadi berat dan menetap, atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter. BCG Setelah suntikan vaksin BCG, mengapa sebulan kemudian timbul bisul yang menjadi koreng ? Apakah itu akibat salah suntik ? Bisul yang timbul 2 minggu setelah imunisasi BCG adalah normal, karena merupakan reaksi tubuh terhadap vaksin BCG. Bisul kecil (papula) dapat membesar dan terjadi korengi selama 2-4 bulan, kemudian menyembuh perlahan dengan menimbulkan jaringan parut. Bila ulkus mengeluarkan cairan orangtua dapat mengkompres dengan cairan antiseptik. Bila cairan bertambah banyak atau koreng semakin membesar orangtua harus membawanya ke dokter.
Apa beda vaksin DTP dan DTaP ? Mengapa vaksin DPaT jauh lebih mahal ? Vaksin DTP dan DTaP kedua-duanya untuk mencegah penyakit difteri, pertusis dan tetanus. Perbedaan utama pada komponen antigen untuk pertusis. Vaksin DTP berisi sel bakteri Pertusis utuh yang berisi ribuan antigen, termasuk antigen yang tidak diperlukan, sehingga sering menimbulkan reaksi panas tinggi, bengkak, merah, nyeri ditempat suntikan. Sedangkan vaksin DTaP berisi bagian bakteri pertusis yang tidak utuh dan hanya mengandung sedikit antigen yang dibutuhkan saja, sehingga jarang menimbulkan reaksi tersebut. Karena proses pembuatan DTaP lebih rumit, maka harganya jauh lebih mahal. Setelah pemberian vaksin DTP , apa yang dapat terjadi pada bayi ? Reaksi yang dapat terjadi segera setelah vaksinasi DTP antara lain demam tinggi, rewel, di tempat suntikan timbul kemerahan, nyeri dan pembengkakan, yang akan hilang dalam 2 hari. Orangtua/ pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah), jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin, jika demam berikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut berat dan menetap, atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter. Campak dan MMR Setelah vaksinasi campak dan MMR, apa yang dapat terjadi pada bayi ? Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi campak dan MMR berupa rasa tidak nyaman di bekas penyuntikan vaksin. Selain
itu dapat terjadi gejala-gejala lain yang timbul 5 - 12 hari setelah penyuntikan selama kurang dari 48 jam yaitu demam tidak tinggi, erupsi kulit kemerahan halus/tipis yang tidak menular, pilek. Pembengkakan kelenjar getah bening kepala dapat terjadi sekitar 3 minggu pasca imunisasi MMR. Orangtua/pengasuh dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah), jika demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin, jika demam berikan parasetamol 15 mg/kgbb setiap 3-4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut berat dan menetap, atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi/anak ke dokter. Bayi yang pernah sakit campak apakah perlu divaksin campak pada umur 9 bulan ? Boleh. Karena beberapa penyakit virus lain gejalanya mirip campak, sehingga orangtua bahkan dokter keliru, bahwa penyakit yang disebabkan oleh virus lain dianggap sebagai campak. Seandainya benar-benar pernah menderita campak, bayi tetap boleh diberikan vaksin campak, tidak merugikan bayi, karena kekebalannya hanya bertahan beberapa tahun. Oleh karena itu semua anak balita dan usia sekolah di daerah yang banyak kasus campak dan cakupan imunisasinya masih rendah harus mendapat imunisasi campak ulangan (penguat) agar kekebalannya bisa berlangsung lama. Apakah imunisasi MMR menyebabkan anak menderita autisme ? Sampai saat ini belum ada bukti yang menyokong bahwa imunisasi (jenis imunisasi apapun) dapat menyebabkan autisme. Badan Kesehatan Dunia (WHO) maupun Departemen Kesehatan tetap merekomendasikan pemberian imunisasi sesuai jadwal yang telah ditentukan.
Influenza Setelah mendapat vaksinasi influenza apakah anak tidak akan batuk pilek lagi ? Imunisasi Influenza hanya untuk mencegah penyakit influenza berat yang disebabkan oleh virus Influenza A dan B jenis tertentu yang berbahaya. Vaksin influenza tidak dapat mencegah batuk pilek karena alergi, iritasi atau oleh virus lain yang tidak berbahaya. HIB (haemophilus influenza tipe B) Apakah vaksin Hib untuk mencegah influenza ? Bukan. Vaksin Hib adalah untuk mencegah penyakit yang disebabkan oleh kuman Hib, yang dapat menyebabkan radang otak (meningitis), radang paru (pneumonia), infeksi telinga (otitis media) dan lain lain. Setelah divaksinasi Hib yang dapat mencegah meningitis dan pneumonia, apakah tidak perlu divaksin pneumokokus ? Vaksin Hib hanya dapat mencegah meningitis (radang otak) dan pneumonia (radang paru) yang disebabkan oleh kuman Hib. Sedangkan meningitis dan pneumonia yang disebabkan oleh kuman Pneumokokus tidak dapat dicegah dengan vaksin Hib, tetapi harus dicegah vaksin Pneumokokus. Oleh karena itu sebaiknya bayi mendapat kedua vaksin tersebut sesuai jadwal. Tifoid Anak yang sudah pernah sakit demam tifoid apakah perlu divaksin tifoid ? Perlu, karena kekebalan setelah sembuh dari demam tifoid tidak berlangsung lama.
Cacar air
Bila anak timbul beberapa gelembung cacar air, dapatkah vaksinasi cacar air untuk mencegah bertambah banyaknya gelembung cacar air ? Tidak bisa, sudah terlambat. Bila sudah timbul gelembung cacar air, berarti anak tersebut sudah tertular 3 - 7 hari yang lalu, virus cacar air sudah berkembang biak dan menyebar keseluruh tubuh anak, sehingga vaksinasi cacar air tidak dapat menghentikan proses tersebut. Bila di dalam rumah atau sekolah ada penderita cacar air, apakah anak lain harus segera divaksin untuk mencegah penularan ? Apabila belum lewat 48 jam anak sehat kontak dengan pasien cacar air kemungkinan besar anak sehat tersebut dapat dicegah dengan vaksinasi cacar air agar tidak tertular. Tetapi bila lebih dari 48 jam, kemungkinan anak sudah tertular virus cacar air tersebut, kemudian sudah mulai berkembang biak di dalam tubuh anak tersebut, sehingga vaksinasi tidak mampu mencegah kelanjutan penyakit tersebut. Anak yang pernah sakit cacar air apakah perlu divaksinasi cacar air ? Tidak perlu. Umumnya anak yang telah sakit cacar air akan mempunyai kekebalan sampai dewasa, sehingga tidak perlu divaksin cacar air lagi Jarak antar vaksinasi dan bagian tubuh yang disuntik Apabila jarak antar imunisasi lebih lama dari jarak yang dianjurkan, apakah vaksinasi perlu diulang ? Tidak perlu diulang, karena sistem imunitas tubuh dapat “mengingat” rangsangan vaksin terdahulu. Lanjutkan dengan vaksinasi yang belum diberikan dengan jarak sesuai anjuran.
Apabila anak diberi beberapa jenis vaksin sekaligus apakah tidak berbahaya? Tidak berberbahaya, asalkan imunisasi dilakukan di bagian tubuh yang letaknya berjauhan, menggunakan alat suntik yang berlainan dan memperhatikan ketentuan umum tentang pemberian vaksin. Beberapa dokter menyuntikkan vaksin di tempat yang berbeda walaupun vaksinnya sama. Apakah ada perbedaan kekebalan? (Misalnya penyuntikan vaksin BCG ada yang dilengan atau pinggul, campak, hepatitis B, Hib, DTP di lengan atau paha). Pemilihan tempat penyuntikan vaksin berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain untuk mendapatkan kekebalan optimal, cedera yang minimal pada jaringan, pembuluh darah, saraf di sekitarnya, memperkecil kemungkinan rasa tidak nyaman pada bayi dan anak akibat gerakan, tekanan, sentuhan, terutama apabila bayi sudah dapat berjalan, atau sekedar pertimbangan estetis. Perbedaan tempat penyuntikan tidak menimbulkan perbedaan kekebalan, asalkan kedalaman penusukan jarum atau jaringan yang disuntik vaksin sesuai dengan ketentuan untuk setiap jenis vaksin (intrakutan, subkutan, intramuskular). Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) Jika pada imunisasi terdahulu timbul kejadian ikutan pasca imunisasi, bagaimana jadwal vaksinasi selanjutnya ? Jika kejadian ikutan pasca imunisasi hanya ringan, vaksinasi berikutnya dilanjutkan sesuai jadwal. Jika mengalami KIPI berat sebaiknya dosis berikutnya tidak dilanjutkan. Jika kejadian ikutan pasca imunisasi DTP cukup berat, dosis berikutnya menggunakan vaksin DT.
Untuk mengurangi kemungkinan KIPI, apakah dibenarkan mengurangi dosis menjadi setengahnya atau menjadi dosis terbagi (split doses) ? Pengurangan dosis menjadi setengahnya, atau membagi dosis sangat tidak dibenarkan,
karena tidak mengurangi kemungkinan KIPI dan kekebalan yang ditimbulkan tidak memadai. Daftar Pustaka 1. Watson C (editor). The Australian Immunisation Handbook 9th ed. NHMRC, 2008. 2. Peter G, Lepow ML, McCracken GH, Phillips CF. Report of the Committee on Infectious Diseases. American Academy of Pediatrics, Illinois 2004. 3. Satgas Imunisasi IDAI. Jadwal Imunisasi Rekomendasi IDAI. Sari Pediatri 2:1, Juni 2000.
Text Box: Daftar Vaksin yang Beredar di Indonesia
Bio Sanofi Farma Pasteur
Vaksin Hib PRP-T Tifoid Hepatitis A Varisela Influenza Pneumokokus
GSK
Act-Hib Hiberix TyphimThypherix Vi Havrix Avaxim 720 Okavax Varilrix Vaxigrip Fluarix Pneumo 23 (PPV)
BERNA
Wyeth
MSD
Prevenar (PCV)
MeningoMencevax kokus Kolera Kolera Rabies Rabies Verorab HPV
Cervarix Ket* MDV = multidose vial
Gardasil