II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Enzim Invertase Enzim adalah senyawa yang struktur dan aktivitasnya berintegrasi dengan
protein yang berfungsi sebagai katalisator reaksi organik (Lehninger, 1993). Enzim bekerja secara spesifik yaitu berbeda pada setiap jenis substrat. Salah satunya adalah enzim invertase. Enzim invertase atau ß-D-Fructofuranosidase fructohidrolase adalah enzim yang dapat menghidrolisis sukrosa. Sumber enzim invertase adalah mikroba, tanaman ataupun hewan. Nama trivial lain dari enzim ini adalah sukrase atau sakkarase (Cantarella, Alfani, dan Cantarell, dalam Whitaker et, al., 2003).
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
Gambar 1. Struktur Kimia Sukrosa (deMann, 1999)
Menurut Cantarella, Alfani, dan Cantarell (2003), hidrolisis sukrosa adalah reaksi utama yang dikatalis oleh enzim invertase. Raffinosa dan stakhiosa dihidrolisis menjadi tingkat yang lebih rendah. Bentuk asam dari enzim invertase yang terbentuk mampu mengkatalis reaksi transfruktosilase. Reaksi hidrolisis sukrosa adalah sebagai berikut: Sukrosa + H2O
ß
→ D-glukosa + D-fruktosa 6
FTIP001640/018
7
2.2
Aktivitas Enzim Enzim adalah protein yang memiliki sifat katalis. Beberapa enzim hanya
terdiri dari protein, tetapi kebanyakan enzim mengandung komponen nonprotein seperti karbohidrat, lipid, logam, fosphat, atau beberapa bagian organik. Struktur enzim yang lengkap disebut haloenzim, bagian protein disebut apoenzim, dan bagian nonprotein disebut kofaktor. Komponen yang dibuat selama reaksi enzimatis disebut substrat (deMann, 1999).
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
Substrat Apoenzim
Haloenzim
Kofaktor
Kompleks Apoenzim-Substrat
Kompleks Haloenzim-Substrat
Kompleks Haloenzim-Produk
Produk
Gambar 2. Reaksi Enzimatis pada Substrat (deMann, 1999)
FTIP001640/019
8
Menurut Shyu, Tzen, dan Jeang dalam Hui (2006), Hampir keseluruhan bagian protein dari enzim bertugas untuk mengkatalis reaksi kecuali bagian asam ribonuklet yang berfungsi sebagai media reaksi kimia di dalam sel. Reaktan yang terlibat dalam reaksi membutuhkan energi yang cukup untuk menyebrangi energi potensial yang ada untuk merusak ikatan kimia pada awal reaksi yang disebut energi aktivasi (EA). Beberapa memiliki energi yang cukup untuk menyebrangi reaksi energi penghalang sampai enzim membentuk keaadaan transisi dengan pereaksi untuk menurunkan energi aktivasi. Energi aktivasi juga diartikan sebagai perbedaan energi bebas antara substrat dan tingkat transisi. Kerja enzim pada umumnya mempercepat reaksi dengan cara menurunkan energi aktivasi (Winarno, 2010).
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
Menurut Winarno (2010), cara menurunkan energi aktivasi biasanya dengan pembentukan kompleks enzim-substrat (ES). Substrat terikat dengan enzim pada bagian tertentu yang sangat spesifik dan disebut lokasi aktif. Terjadinya kompleks ES dapat dibuktikan dengan berbagai cara diantaranya dengan cara sifat-sifat fisik, sifatsifat spektroskopik, dan stereospecity. a.
Sifat-sifat fisik enzim misalnya daya larut, ketahanan terhadap panas, dan sebagainya.
b.
Spektroskopi berbagai enzim dan substrat berubah dengan terjadinya kompleks ES. Kejadian itu sama seperti yang dialami oleh deoksihemoglobin ketika mengikat oksigen atau ketika teroksidasi menjadi hemin (bentuk feri).
FTIP001640/020
9
2.3
Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Enzim
2.3.1
Pengaruh Konsentrasi Substrat dan Enzim
Reaksi enzim mengikuti salah satu dari kinetika orde nol atau kinetika orde satu. Ketika konsentrasi subtrat relatif tinggi, konsentrasi dari kompleks enzimsubstrat akan bertahan pada tingkat yang konstan dan keseluruhan produk yang terbentuk adalah mengikuti fungsi linear pada beberapa interval waktu (deMann, 1999). Pada umumnya, konsentrasi substrat harus lebih tinggi dari enzim agar mencegah subtrat habis pada saat konsentrasi substrat rendah sebelum reaksi enzim berakhir. Namun untuk enzim invertase pada konsentrasi sukrosa yang tinggi (1M)
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
sisa ß-D-fructofuranosyl diubah menjadi golongan etanol primer (metanol, etanol, npropanol) dan menjadi isopropanol sebagai etanol sekunder (Cantarella, Alfani, dan Cantarell dalam Whitaker et. al., 2003). Kecepatan reaksi menjadi tidak tergantung pada konsentrasi sukrosa apabila konsentrasi sukrosa terlalu tinggi daripada enzim (Pancoast, 1980 dikutip Widipratomo, 2006). Laju reaksi katalis oleh enzim akan linear pada konsentrasi enzim tertentu selama konsentrasi substrat konstan. Laju reaksi tidak akan menunjukkan linear apabila substrat telah habis, dan penentuan laju reaksi awal tidak akan akurat (Shyu, Tzen, dan Jeang dalam Hui, 2006).
2.3.2
Pengaruh Suhu Suhu adalah salah satu faktor penting yang mempengaruhi aktivitas enzim.
Pada reaksi yang terjadi di suhu ruang tanpa adanya enzim, molekul reaktan dalam
FTIP001640/021
10
proporsi kecil akan membutuhkan energi yang cukup untuk dapat beraksi. Suhu yang meningkat di atas suhu ruang akan menyebabkan molekul reaktan mendapatkan energi tambahan untuk terlibat di dalam suatu reaksi. Energi aktivasi tidak berubah, tetapi distribusi energi yang cukup dari reaktan bergeser ke tingkat energi rata-rata yang lebih tinggi. Ketika enzim terlibat sebagian di dalam reaksi, aktivasi energi menurun secara signifikan dan proporsi dari molekul reaktan pada tingkat energi tertentu yang berada di atas energi aktivasinya juga meningkat sangat tajam (Shyu, Tzen, dan Jeang dalam Hui, 2006). Peningkatan laju reaksi dan stabilitas termal dari enzim pada reaksi katalis enzim dipengaruhi oleh peningkatan suhu, kemudian saat berada di atas suhu kritis,
suhu kritis, aktivitas enzim akan terjadi pada tingkat yang relatif tinggi, dan inaktivasi enzim tidak akan terjadi. Oleh karena itu laju reaksi akan meningkat karena suhu meningkat dengan menurunnya energi aktivasi (Shyu, Tzen, dan Jeang dalam Hui, 2006). Aktivitas enzim invertase meningkat secara bertahap seiring dengan meningkatnya suhu dan mencapai titik maksimum pada suhu 60º C. Kemudian aktivitasnya menurun secara drastis pada suhu 70º C (Gambar 2). Aktivitas realtif (%)
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
aktivitas enzim akan berkurang secara signifikan. Ketika berada di dalam kisaran
150 100 50 0 0
20
40
60
80
100
Suhu (°C)
Gambar 3. Kurva Pengaruh Suhu terhadap Aktivitas Invertase (Rahman et al., 2004)
FTIP001640/022
11
2.3.3
Pengaruh pH Menurut Shyu, Tzen, dan Jeang dalam Hui (2006) Enzim akan menunjukkan
aktivitas maksimal dalam kisaran pH yang terbatas dan berubah secara relatif dalam kisaran pH yang lebih luas.
Setiap enzim memiliki nilai pH optimum. Enzim
invertase umumnya memiliki pH optimum (4,5-5,0) atau pH netral (alkalin 7,0-7,8). Enzim invertase yang berasal dari Saccharomyces cereviceae memiliki pH aktif optimal 3,5-5,5 dan stabil pada pH 3,0-7,5 (Cantarella, Alfani, dan Cantarell, 2003). Enzim adalah protein dengan sifat katalis. Protein dapat mengalami denaturasi yaitu proses dimana struktur molekul berubah tanpa memutus ikatan peptida pada protein. Denaturasi biasanya menyebabkan berkurangnya aktivitas biologi dan
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
perubahan signifikan pada beberapa sifat fisik dan sifat fungsional. Salah satu penyebab denaturasi adalah perubahan pH. Oleh karena itu perubahan pH akan mempengaruhi aktivitas enzim secra langsung (deMan, 1999). Menurut Stauffer (1989) dikutip Widipratomo (2006), hubungan perubaan pH dengan laju reaksi enzim dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu: 1. Protonasi sisi aktif rantai asam amino pada kompleks enzim-substrat (ES) berubah, mengakibatkan perubahan kemampuan kompleks ES dalam menghasilkan produk. 2. Berubahnya muatan ion molekul atau sisi aktif enzim sehingga mempengaruhi kecenderungan pembetukan kompleks ES.
FTIP001640/023
12
3. Pergeseran nilai pH dari kondisi netral dapat melemahkan stabilitas konformasi protein, menyebabkan terjadinya denaturasi enzim yang bersifat irreversible. Menurut Rahman et al. (2004), enzim invertase hasil pemurnian dari nira tebu memiliki aktivitas maksimum pada pH 7,2 dan aktivitasnya menurun secara bertahap pada pH asam namun menurun dengan cepat pada pH basa. Hal ini menunjukkan bahwa enzim invertase hasil pemurnian ini lebih stabil pada pH asam hingga netral dari pada pH basa.
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
Aktivitas realtif (%)
120 100 80 60 40 20 0 0
2
4
6
8
10
12
pH
Gambar 4. Kurva Pengaruh Nilai pH Terhadap Aktivitas Invertase (Rahman et al., 2004)
2.3.4
Pengaruh Garam Logam Penambahan garam logam dapat menyebabkan penurunan atau peningkatan
aktivitas enzim. Beberapa jenis ion logam yang dapat meningkatkan aktivitas enzim adalah Ca2+, Mg2+, Zn2+, Mn2+, Fe2+, dan Cu2+. Ion logam tersebut berperan sebagai kofaktor. Kofaktor merupakan grup non-protein yang dapat digunakan oleh enzim
FTIP001640/024
13
untuk mempengaruhi reaksi kalalis oleh enzim (Shyu, Tzen, dan Jeang dalam Hui, 2006).
2.4
Akar Kawao Kawao (Millettia) merupakan tanaman perdu yang memanjat, tegak, panjang
10 – 30 m, tumbuh di dalam hutan dan tepi-tepi sungai. Tanaman kawao dapat tumbuh di dataran rendah hingga ± 1000 m di atas permukaan laut (Menninger, 1970 dikutip
Fillianty,
2007).
Taksonomi
tanaman
akar
kawao
adalah
Divisi
Magnoliophyta, Kelas Magnoliopsida, Ordo Rosales, Famili Caesalpiniaceae, Genus
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
Milletiia, Spesies Millettia sericea (Herbarium Bandungense, 2012).
daun
bunga
batang akar
Gambar 5. Tanaman Kawao (Millettia sericea) (Filianty, 2007) Genus Millettia kemungkinan memiliki 260 spesies yang terdapat di berbagai wilayah yaitu di Afrika (139 spesies) dan Asia (121 spesies). Tanaman Milletia yang banyak tumbuh di Afrika umumnya berbentuk pohon (49%) atau semak belukar, merambat (38%) atau tidak merambat (13%). Daunnya majemuk dan menyirip genap
FTIP001640/025
14
terdapat di bagian ujung-ujung ranting (imparipenate) dengan seluruh daun berbentuk lembaran dan biasanya tumbuh berlawanan arah. Panjang bunga umumnya lebih dari 1 cm berwarna violet, merah muda, biru, dan bergaris putih di bagian luar. Kawao umumnya digunakan sebagai obat tradisional. Bagian tanaman yang dapat dimanfaatkan
adalah
daun,
ranting,
batang,
dan
akar
(Banzouzi,
Prost,
Rajemiarimiraho, dan Ongoka, 2008). Menurut Ngamga et.al (2004), tanaman genus Milletia mengandung senyawa fitokimia alkaloid, furanonaftoquinon, dan isoflavonoid sebagai
komponen
utamananya. Bagian akar tanaman umumnya juga mengandung senyawa calcone dan beberapa jenis isoflavonoid yang memiliki efek anti-inflamasi. Selain akar, bagian
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
biji tanaman ini juga mengandung senyawa fitokimia lain seperti 7-methoksibenosin dan griffonianon E yang termasuk jenis isoflavonoid. Oleh karena itu selain sebagai obat, akar kawao dapat digunakan sebagai pengawet alami dalam bahan pangan yaitu nira (Wibowo, 2006).
2.5
Ekstraksi Bahan Alam Ekstraksi adalah cara untuk mengisolasi metabolit atau isolat dari bahan alam
yang dapat teridentifikasi sebagai komponen dengan berbagai jenis ikatan atau dapat juga senyawa fitokimia (Seidel dalam Sarker, 2006). Ekstraksi adalah pemisahan bagian yang aktif jaringan tanaman atau hewan dari komponen inaktif atau inert menggunakan pelarut tertentu sesuai standar prosedur ekstraksi. Prinsip dari ekstraksi adalah ketika komponen padatan bersentuhan dengan pelarut, komponen terlarut di
FTIP001640/026
15
dalam padatan akan berpindah ke dalam pelarut. Hasil dari ekstraksi adalah perpindahan massa komponen terlarut ke dalam pelarut sehingga akan menimbulkan peningkatan konsentrasi. Laju perpindahan masa akan berkurang seiring dengan meningkatnya konsentrasi komponen terlarut di dalam pelarut hingga mencapai titik kesetimbangan (Handa, 2008). Menurut Seidel dalam Sarker (2006), terdapat berbagai metode ekstraksi bahan alam dengan menggunakan ekstraksi-solvent (ekstraksi menggunakan pelarut) yaitu maserasi, perkolasi, ekstraksi soxhlet, refluks, dan distilasi. Pada ektraksi menggunakan pelarut, terdapat beberapa perlakuan pendahuluan yang harus dilakukan yaitu pengeringan, dan pengecilan ukuran. Pengeringan bertujuan untuk
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
mencegah tumbuhnya mikroorganisme kontaminan, mencegah terjadinya kerusakan metabolit, dan menghambat reaksi enzimatis. Sedangkan proses pengecilan ukuran bertujuan untuk meningkatkan proses ekstraksi selanjutnya dengan sampel yang lebih homogen, meningkatkan luas permukaan, dan memfasilitasi penetrasi pelarut ke dalam sel. Metode ekstraksi yang sederhana dan banyak digunakan adalah metode maserasi. Maserasi merupakan proses ekstraksi menggunakan pelarut diam atau dengan beberapa kali pengocokan pada suhu ruang (Singh, 2008). Ekstraksi akhirnya berhenti ketika keseimbangan terjadi antara konsentrasi metabolit dalam ekstrak dan bahan tanaman. Setelah ekstraksi, sisa bahan tanaman harus dipisahkan dari pelarut dan senyawa yang diekstrak dipisahkan lebih lanjut dari pelarutnya (Seidel, 2006, dalam Sarker, 2006). Pemisahan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan rotary evaporator pada suhu 30 - 40º C (Harborne, 1987).
FTIP001640/027
16
Proses ekstraksi dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti jenis pelarut, temperatur, rasio pelarut dan bahan baku, dan ukuran partikel. Jenis pelarut memengaruhi senyawa yang tersaring, jumlah solut yang terekstrak, dan kecepatan ekstraksi. Secara umum, kenaikan temperatur akan meningkatkan jumlah zat terlarut ke dalam pelarut. Sedangkan rasio pelarut yang semakin besar akan memperbesar pula jumlah senyawa yang terlarut. Faktor lain seperti ukuran partikel akan meningkatkan laju ekstraksi apabila ukuran partikel bahan baku semakin kecil (Lansida, 2011). Metode pemisahan secara ektraksi ini membutuhkan pelarut sebagai media perpindahan komponen sehingga disebut solvent extraction. Jika produk yang
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
dihasilkan akan digunakan dalam produk pangan maka harus menggunakan pelarut yang sesuai dengan aturan. Menurut European Union and Governmental regulations, pelarut yang diperbolehkan adalah air dan pelarut lain seperti propane, butane, etil asetat, etanol, CO2, N2O, aseton (Bart, 2011). Pelarut yang dipilih harus memenuhi syarat sebagai seperti tidak mudah bereaksi, tidak beracun, tidak mudah terbakar, ekonomis, dan mudah didaur ulang dengan metode evaporasi (Seidel, 2006, dalam Sarker, 2006).
2.5.1
Pelarut Pelarut memiliki beberapa fungsi selama reaksi kimia. Pelarut adalah tempat
dimana reaktan dan reagen bereaksi untuk mengubah reaktan menjadi produk. Fungsi pelarut dapat meningkat dengan pengaturan suhu dimana meningkat karena adanya
FTIP001640/028
17
gesekan antar molekul sehingga meningkatkan laju reaksi. Pemilihan pelarut yang tepat dilakukan berdasarkan teori dan pengalaman. Secara umum, pelarut yang baik harus seusai dengan kriteria berikut:
Pelarut harus inert terhadap reaksi kimia.
Pelarut harus melarutkan reaktan dan reagen.
Pelarut harus memiliki titik didih yang sesuai.
Pelarut harus mudah dipisahkan. Kriteria lainnya dari pelarut adalah keseuaian sifat kepolaran antara pelarut
dan komponen terlarut. Komponen polar akan terlarut oleh pelarut polar dan
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
komponen non-polar akan terlarut oleh pelarut non-polar. Terdapat tiga langkah yang dapat menentukan suatu pelarut adalah polar atau non-polar, yaitu dipole moment, konstanta dielektrik, dan kelarutannya dengan air. Molekul dengan dipole momen yang luas dan konstanta dielektriknya tinggi adalah polar. Sedangkan molekul yang dipole momennya rendah dan konstanta dielektriknya kecil diklasifikasikan sebagai non-polar. Cara lainnya adalah ketika pelarut tersebut dapat bercampur dengan air maka diklasifikasikan sebagai pelarut polar, sedangkan yang tidak bercampur adalah pelarut non-polar. Berdasarkan kepolaran secara kimia, pelarut dibedakan menjadi pelarut polar, dipolar, dan non-polar (Anonima, 2004).
2.5.1.1 Pelarut Air Air merupakan pelarut yang baik untuk senyawa ion seperti garam, karena daya tarik antara komponen ion dari molekul dan dipolar air cukup untuk mengatasi
FTIP001640/029
18
tarikan antara ion-ion itu sendiri. Gugusan fungsional polar, seperti gugus hidroksil, dari senyawa non-ionik dengan mudah mengikat hidrogen dengan molekul air, mendispersikan senyawa di antara molekul air (Armstrong, 1983). Menurut DeMann (1999), atom di dalam air tersusun dengan sudut ikatan 105° dan jarak antara atom hidrogen dengan oksigen adalah 0,0957 nm. Hal menyebabkan bentuknya hampir tetrahedral dan setiap molekul air secara potensial dapat mengikat hidrogen dengan empat molekul lainnya. Pada sutau molekul air, atom oksigen yang sangat elektronegatif menarik elektron pengikat dari masingmasing dua atom hidrogen, mempolarisasikan ikatan. Daerah positif parsial dan daerah negatif parsial di sekeliling atom oksigen menjadikan air suatu molekul
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
dipolar. Sifat polar dari air inilah yang memungkinkan tarikan elektrostatik antara molekul-molekulnya (Armstrong, 1983).
2.5.1.2 Pelarut Etanol Menurut Shakashiri (2009), Ethanol (Ch3CH2OH) adalah jenis alkohol yang ikatan kimianya terdiri dari grup hidroksil (-OH) yang berikatan dengan atom karbon. Etanol memiliki titik didih 78,9º C dan densitas 0,789 g/mL pada suhu ruang. Etanol dapat bercampur dengan air dan dengan pelarut organik lain. Sifat-sifat fisika etanol utamanya dipengaruhi oleh keberadaan gugus hidroksil dan pendeknya rantai karbon etanol. Gugus hidroksil dapat berpartisipasi ke dalam ikatan hidrogen sehingga membuatnya cair dan lebih sulit menguap dari pada senyawa organik lainnya dengan massa molekul yang sama. Sifat gugus hidroksil yang polar menyebabkannya dapat
FTIP001640/030
19
larut dalam banyak senyawa ion, utamanya natrium hidroksida, kalium hidroksida, magnesium klorida, kalsium klorida, amonium klorida, amonium bromida, dan natrium bromida. Penambahan beberapa persen etanol dalam air akan menurunkan tegangan permukaan air secara drastis. Etanol termasuk ke dalam pelarut polar dengan dipole momen 1,69 dan konstranta dielektri 24,3 (Anonima, 2004).
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
FTIP001640/031