4
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tepung Bonggol Pisang Tanaman pisang yang telah dipanen, bonggol pisangnya tidak akan bertunas
kembali. Tanaman pisang akan ditebang dan bonggol pisangnya akan dibiarkan saja membusuk menjadi limbah pertanian yang tidak memiliki nilai tambah apabila tanaman ini sudah tidak produktif. Bonggol pisang hanya dimanfaatkan sebatas untuk pakan ternak saja dan hanya sebatas sebagai bibit untuk anakan baru (Amry, 2009). Menurut Rismunandar (2001), bonggol pisang terdiri atas bagian dalam tempat
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
tumbuh akar-akar baru dan bagian luar yang ditembus oleh akar. Tunas-tunas tumbuh dari bagian ini yang kemudian akan menjadi anak pisang yang baru. Mata calon tumbuh tunas anakan terdapat pada bagian sepertiga bagian bonggol sebelah atas, sedangkan pada bagian bawah bonggol terdapat perakaran serabut yang lunak. Titik tumbuh yang menghasilkan daun baru terdapat pada bagian atas umbi dan kambium yang bertanggung jawab untuk membesarkan pohon. Bagianbagian ini secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 1. Keterangan : a. batang semu b. titik tumbuh dan kambium c. umbi batang bagian luar d. umbi batang bagian dalam e. akar yang mendatar f. anak pisang berbentuk tanduk g. akar yang tumbuh kebawah
Gambar 1. Penampang Membujur Batang Pisang (Rismunandar, 2001)
4
FTIP001643/018
5
Bonggol pisang yang digunakan adalah bonggol pisang batu. Pisang batu (Musa brachycarpa) termasuk ke dalam pisang olahan atau pisang plantain yang banyak mengandung biji. Pisang batu merupakan jenis pisang yang buahnya tidak memiliki nilai ekonomis tinggi karena hanya digunakan untuk campuran rujak (tidak dikonsumsi segar). Ciri utama dari jenis pisang plantain adalah kandungan karbohidratnya dalam bentuk pati pada daging buah cukup banyak dibandingkan dengan jenis pisang lainnya. Pengolahan bonggol pisang batu menjadi tepung dapat meningkatkan nilai tambah bonggol pisang di masyarakat. Menurut Direktorat Gizi Departemen
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
Kesehatan RI (1981) dalam Munadjim (1983), kandungan karbohidrat bonggol pisang cukup tinggi yaitu sekitar 11,6% untuk berat basah dan 66,2% untuk berat kering, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat dan serat. Komposisi kimia bonggol pisang basah dan kering dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Bonggol Pisang (setiap 100 gram) Komposisi Komponen Basah Kalori (kkal) 43,00* Air (%) 86,00* Protein (g) 0,36* Lemak(g) 0,00* Karbohidrat (g) 11,60* Pati (%) 11* Serat (g) 5** Kalsium (mg) 15,00* Fosfor (mg) 60,00* Besi (mg) 0,50* Vitamin A (SI) 0,00* Vitamin B (mg) 0,01* Vitamin C (mg) 12,00*
Kering 245,00* 20,00* 3,45* 0,00* 66,20* 0,00* 15** 60,00* 150,00* 2,00* 0,00* 0,04* 4,00*
Sumber : * Munadjim, 1983 ** Riana, 2005
FTIP001643/019
6
Menurut Ardiyanto (2008), tepung bonggol pisang adalah butiran halus yang lolos ayakan 80 mesh yang dihasilkan dari proses penggilingan gaplek bonggol pisang. Gaplek kering bonggol pisang batu yang telah direndam dalam larutan natrium metabisulfit 1000 ppm akan menghasilkan karakteristik fisik tepung bonggol pisang batu seperti derajat putih 36,13%, kadar pati 74,99%, serat pangan total 52,92%, dan residu sulfit 132,055 ppm (Prameswari, 2008). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa tepung bonggol pisang batu sesuai untuk produk semi basah seperti mi, cookies, biskuit dan makanan sarapan seperti flakes. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka tepung bonggol pisang dapat digunakan dalam
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
pembuatan biskuit bergizi kaya akan serat alami. Sifat fisik dan kimia tepung bonggol pisang batu dalam 100 gram bahan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Sifat Fisikokimia Tepung Bonggol Pisang Batu dalam 100 gram Bahan Karakteristik Komposisi Kimia 1. Kadar Air (%) 7,12** 2. Kadar Abu (%) 6,10** 3. Kadar Serat (%) 52,92** 4. Kadar Amilosa (%) 8,8325* 5. Kadar Pati (%) 74,99** 6. Rasio Amilosa Dalam Pati (%) 36,5343* 7. Rasio Amilopektin Dalam Pati (%) 63,4657* Fisik 1. Suhu Awal Tergelatinisasi (0C) 70,5* 2. Absorbansi Air (g/g) 0,2183* 3. Modulus Kehalusan 1,19** 4. Derajat putih (%) 36,13** 5. Rendemen (%) 11,39* Sumber : * Ardiyanto, 2008 ** Prameswari, 2008
FTIP001643/020
7
2.2.
Tepung Ubi Jalar Ubi jalar (Ipomea batatas L.) merupakan tanaman ubi-ubian dan tergolong
tanaman semusim (berumur pendek) serta memiliki umbi berbentuk agak bulat sampai lonjong. Ubi jalar mengandung sumber energi (kalori) yang cukup tinggi, yaitu sebesar 215 kkal/ha/hari, sedangkan padi dan jagung hanya 176 kkal dan 110 kkal/ha/hari (Rukmana, 1997). Ubi jalar juga mengandung vitamin A yang cukup tinggi yaitu mencapai 7700 SI sehingga dapat dijadikan sumber vitamin yang murah (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1981). Produktivitas rata-rata ubi jalar nasional pada tahun 2009 sekitar 140,67 Ku/ha dan masih dapat ditingkatkan sampai
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
150,62 Ku/ha pada tahun 2011 (Biro Pusat Statistik, 2011). Ubi jalar yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu ubi jalar varietas Ase kuning kuningan karena mengandung karbohidrat yang tinggi (Jasmin, 2010). Daging umbi bewarna kuning menunjukkan adanya β-karoten yang berfungsi sebagai antioksidan dan provitamin A karena dapat diubah menjadi vitamin A di dalam tubuh manusia (Woolfe, 1992 dikutip Broto dan Prabawati, 2008). Komposisi nilai gizi tepung ubi jalar kuning dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi Nilai Gizi Tepung Ubi Jalar Kuning Komponen Komposisi Air (% bk) 4,50 Abu (% bk) 2,05 Karbohidrat (% bk) 79,36 Protein (% bk) 2,85 Lemak (% bk) 0,45 Serat Kasar (% bk) 3,31 Gula (% bk) 5,51 Sumber : Anwar, Setiawan, dan Sulaeman (1993)
FTIP001643/021
8
Metode pengeringan yang digunakan dalam pembuatan tepung ubi jalar akan memengaruhi mutu tepung yang dihasilkan. Proses yang benar dapat menghasilkan tepung dengan warna sesuai warna umbi segarnya. Proses yang tidak tepat akan menurunkan mutu tepung menjadi lebih kusam, gelap, atau kecoklatan (Broto dan Prabawati, 2008). Kandungan gula dalam tepung ubi jalar cukup tinggi sehingga dalam pembuatan produk olahan berbahan tepung ubi jalar dapat mengurangi penggunaan gula sebanyak 20% (Sunandar, 2004). Penggunaan tepung ubi jalar dapat dioptimalisasikan sebanyak 70% dalam pembuatan cookies maupun biskuit. Biskuit yang dihasilkannya dari tepung ubi jalar mengandung serat pangan yang cukup tinggi
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
yaitu sebesar 9,51% sehingga berpotensi untuk dijadikan sebagai makanan sumber serat (Djuanda, 2003).
2.3.
Tepung Kedelai Kedelai (Glycine max L. Merr) termasuk dalam tanaman famili Leguminosae
mempunyai genus Glycine, sub famili Papilioneideae, ordo Polypetales, dan spesies max (Suliantari dan Winiati, 1990). Kedelai merupakan tanaman dikotiledon (memiliki dua keping biji) yang kaya akan zat gizi sebagai cadangan makanan bagi lembaga (embrio) selama germinasi (proses perkecambahan) (Astawan, 2005). Bentuk biji kedelai bervariasi dari oval, elips, sampai bulat pendek (Borget, 1992 dikutip Effrisanti, 1997). Kedelai kuning atau putih, hitam, dan hijau adalah kedelai yang banyak ditanam di daerah Indonesia. Kacang kedelai mengandung protein tinggi yaitu sekitar 40%, sedangkan kandungan lemak kedelai sekitar 20%. Komponen
FTIP001643/022
9
penting lainnya dalam kedelai adalah vitamin, mineral, fosfolipid, isoflavon dan serat (Astuti, 2003). Produktivitas rata-rata kacang kedelai nasional pada tahun 2009 sekitar 14,42 Ku/ha dan masih dapat ditingkatkan sampai 15,75 Ku/ha pada tahun 2011 (Biro Pusat Statistik, 2011). Komposisi kimia dari kedelai bervariasi tergantung dari varietas, umur panen, dan keadaan tempat tumbuhnya. Komposisi kimia dari kedelai dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Komposisi Kimia Kedelai per 100 gram Komponen
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
Kalori (kkal) Karbohidrat (g) Protein (g) Lemak (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B (mg) Air (g)
Komposisi Basah 286,00 30,10 30,20 15,60 196,00 506,00 6,90 95,00 0,93 20,00
Kering 331,00 34,80 34,90 18,10 227,00 585,00 8,00 110,00 1,07 7,50
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1992
Beberapa faktor yang menyebabkan produk olahan kedelai tidak disukai, yaitu terdapatnya senyawa anti gizi dan senyawa penyebab bau langu. Senyawa anti gizi diantaranya antitripsin, hemaglutinin, asam fitat, dan oligosakarida penyebab flatulensi (timbulnya gas dalam perut sehingga perut dapat menjadi kembung). Hemaglutinin adalah suatu protein yang dapat menggumpalkan sel-sel darah merah. Bau langu (off-flavor) berasal dari glukosida, saponin, senyawa-senyawa penyebab alergi, serta dari enzim lipoksigenase yang ada dalam biji kedelai (Hartoyo, 2005).
FTIP001643/023
10
Enzim lipoksigenase dapat diinaktifkan dengan beberapa cara, diantaranya dengan pemanasan, perendaman, atau diolah lebih lanjut menjadi tepung kedelai. Varietas kedelai yang digunakan adalah Anjasmoro. Menurut Koswara (2002), varietas Anjasmoro memiliki biji dengan bentuk yang seragam, ukuran bijinya lebih besar dibanding kedelai impor, polong tidak mudah pecah, berwarna kuning, dan kadar proteinnya lebih tinggi dibanding kedelai impor. Umur panen dari kacang kedelai varietas Anjasmoro sekitar 82,5 hari – 92,5 hari. Kedelai varietas Anjasmoro memiliki kadar protein sekitar 41,80%−42,10% (% bk). Protein dalam tepung kacang-kacangan dapat memberikan sifat pengemulsi minyak yang baik,
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
membentuk busa, membentuk gel, menangkap atau menahan air serta mempunyai warna yang dapat diterima oleh konsumen (Koswara, 2002).
2.4.
Biskuit Biskuit berasal dari bahasa Latin, yaitu bis coctus yang berarti dimasak dua
kali (cooked twice) dan dibuat dengan cara dipanggang. Biskuit populer dengan sebutan cookie atau crackers di Amerika Serikat, sedangkan bangsa Belanda menyebutnya dengan istilah koekje. Ciri-ciri dari biskuit di antaranya, renyah dan kering, bentuk umumnya kecil, tipis dan rata. (Wikipedia, 2007). Menurut Manley (1983), secara umum biskuit diklasifikasikan menjadi 4 kelompok, yaitu :
Biskuit keras adalah jenis biskuit manis yang dibuat dari adonan keras, berbentuk pipih, bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat, dapat berkadar lemak tinggi maupun rendah.
FTIP001643/024
11
Cracker adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras melalui proses fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih yang rasanya mengarah asin dan relatif renyah, serta bila dipatahkan penampangnya potongannya berlapis-lapis.
Cookies adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, relatif renyah dan bila dipatahkan penampangnya potongannya bertekstur kurang padat.
Wafer adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan cair, berpori-pori kasar, relatif renyah dan bila dipatahkan penampangnya potongannya
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
berongga-rongga. Menurut Manley (2000), biskuit diklasifikasikan berdasarkan jenis tepung yang digunakan, antara lain:
Tepung berprotein tinggi yang banyak diaplikasikan pada produk biskuit jenis fermented dough, puff dough, dan savoury crackers.
Tepung berprotein sedang dan rendah diaplikasikan pada biskuit jenis semi-sweet, hard sweet, short dough, dan wafer.
Menurut Vail, et al. (1978), jenis tepung yang digunakan untuk hard sweet biscuit biasanya adalah tepung dengan kadar protein rendah (8% - 10%). Tepung protein rendah bersifat relatif lebih mudah terdispersi, menyerap sedikit air dan gula, sehingga adonan membutuhkan sedikit cairan dan menjadikan produk biskuit lebih renyah. Biskuit tepung campuran bonggol pisang batu dan ubi jalar termasuk dalam klasifikasi hard sweet biscuit.
FTIP001643/025
12
2.4.1. Bahan – Bahan Pembuatan Biskuit Menurut Matz and Matz (1978), bahan untuk membuat biskuit terdiri atas:
Bahan pengikat (binding material), seperti tepung, air, susu bubuk,
Bahan pembentuk tekstur (tenderizing material) seperti gula, shortening atau margarin, dan
Bahan pengembang, seperti soda kue, baking powder, dan kuning telur.
Bahan-bahan dalam pembuatan biskuit tepung campuran bonggol pisang dan ubi jalar (Jasmin, 2010) adalah sebagai berikut: 1. Tepung campuran bonggol pisang dan ubi jalar
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
Menurut penelitian dari Jasmin (2010), tepung campuran yang terdiri dari 55 gram tepung bonggol pisang batu dan 45 gram tepung ubi jalar kuning dapat digunakan dalam pembuatan hard sweet biscuit. Fungsi penambahan tepung campuran ini adalah untuk membentuk adonan selama proses pencampuran, menarik atau mengikat bahan lainnya serta mendistribusikannya secara merata ke seluruh adonan, dan membentuk struktur biskuit selama pemanggangan. 2. Gula tepung Gula tepung merupakan gula granulasi (gula pasir) bubuk yang baik untuk digunakan dalam pembuatan kue kering (Desroiser, 1988). Kegunaan gula di dalam pembuatan biskuit adalah sebagai pemberi rasa manis, pelunak gluten, berperan memberikan aroma dan warna lewat pencoklatan non enzimatis selama pemanggangan (Matz and Matz, 1978).
FTIP001643/026
13
3. Garam Garam biasanya ditambahkan dalam formulasi adonan biskuit sebanyak 1% dari berat tepung (Matz and Matz, 1978). Penambahan jumlah garam yang terlalu banyak akan menurunkan kemampuan gluten dalam menahan gas, sebaliknya jika terlalu sedikit garam yang digunakan akan menyebabkan adonan menjadi hambar dan akan mengurangi volume adonan. Fungsi dari penambahan garam adalah memperkuat daya regang adonan, meningkatkan daya absorpsi air dari tepung dan merupakan salah satu alah satu bahan pengeras. 4. Minyak Nabati
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
Minyak nabati umumnya berwujud cair karena mengandung asam lemak tidak jenuh seperti asam oleat, linoleat dan linolenat. Menurut Matz and Matz (1978), lemak akan mengelilingi tepung pada saat pencampuran adonan, sehingga jaringan gluten terputus sehingga terbentuk biskuit bertekstur lembut dan renyah. Kombinasi lemak dengan gula sukrosa akan mencegah terbentuknya lapisan keras di permukaan biskuit pada saat pendinginan (Soenaryo, 1985). 5. Telur Penggunaan kuning telur adalah untuk membentuk kelembutan, cita rasa, dan warna yang menarik pada biskuit, akan tetapi jika penggunaannya tidak diimbangi dengan putih telur akan menghasilkan biskuit yang empuk, mengembang, tetapi kurang kokoh atau tegar. Putih telur berperan untuk memberikan tekstur yang kokoh dan kompak (Matz and Matz, 1978). Menurut Winarno (1997), senyawa yang berfungsi sebagai emulsifier di dalam telur adalah
FTIP001643/027
14
lesitin dan cephalin yang merupakan bagian dari lemak telur, khususnya fosfolipida. Kandungan lesitin alami dalam kuning telur berfungsi sebagai pengemulsi yang menjadikan adonan lembut menyatu sehingga tekstur biskuit menjadi halus. Menurut Whiteley (1971), adanya albumin telur membantu pembentukan struktur adonan selama pemanggangan biskuit, karena membantu menangkap udara saat adonan dikocok, sehingga udara dapat menyebar merata di seluruh adonan. 6. Susu bubuk Susu bubuk dibedakan atas susu yang mengandung lemak dan susu yang tidak
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
mengandung lemak. Jenis susu yang banyak digunakan dalam proses baking adalah susu bubuk skim dan susu full cream. Susu skim banyak mengandung protein (kasein) yang cenderung meningkatkan penyerapan dan daya menahan air, sehingga mengeraskan adonan. Susu full cream mengandung lemak yang tinggi sehingga memberikan kelembutan dan aroma yang menyenangkan. Laktosa yang terkandung dalam susu merupakan disakarida pereduksi yang jika berkombinasi dengan protein melalui reaksi Maillard dan adanya proses pemanasan akan memberikan warna coklat yang menarik setelah dipanggang (Manley, 1983). 7. Baking soda Baking soda (sodium bikarbonat) bertujuan untuk mempercepat pembebasan udara pada proses pengadonan, sehingga adonan lebih cepat mengembang. Mekanisme kerja terjadi saat terdapat kandungan air serta soda akan bereaksi dengan zat-zat yang mengandung asam pada bahan adonan dan membebaskan
FTIP001643/028
15
CO2. Baking soda dimasukkan pada tahap terakhir dalam proses mixing. Baking soda yang tidak tercampur rata atau berlebih dapat menyebabkan reaksi basa dan crumb berwarna kekuningan dengan rasa yang tidak disukai (atau lebih dikenal dengan „soda-bite‟). 8. Baking powder Baking powder (ammonium bikarbonat) merupakan modifikasi dari baking soda dan merupakan campuran dari natrium bikarbonat dengan suatu jenis asam, seperti asam sitrat dan asam tartarat. Kombinasi baking soda (sodium bikarbonat) dan asam dimaksudkan untuk memproduksi gas karbondioksida baik sebelum
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
dipanggang atau saat dipanggang di dalam oven (Manley, 1983). 9. Air Fungsi air dalam pembuatan biskuit adalah untuk mengontrol kepadatan adonan, serta melarutkan dan menyebarkan secara merata bahan-bahan bukan tepung agar terbentuk adonan yang mudah dicetak (Soenaryo, 1985).
2.4.2. Formulasi dan Tahapan Pembuatan Biskuit Pembuatan adonan berbeda-beda tergantung jenis adonan yang akan dibuat. Menurut Manley (2000), biskuit diklasifikasikan berdasarkan jenis adonan yang dibuat, antara lain:
Soft dough Pencampuran dimulai dengan mengocok lemak dan gula sampai tercampur halus. Penambahan essens, pewarna dan garam dilakukan
FTIP001643/029
16
selama proses pencampuran. Bahan pengembang dilarutkan dengan air atau susu cair lalu dimasukkan ke dalam cream dan yang terakhir dicampurkan adalah tepung.
Hard dough Prinsip dalam pembuatan hard dough sama dengan soft dough, akan tetapi waktu pencampurannya lebih lama serta ditambahkan bahan pengembang seperti sodium bikarbonat. Hard dough mengalami aging setelah adonan terbentuk selama 15 menit – 30 menit tergantung dari bahan pengembangnya.
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
Biskuit hard semi sweet termasuk jenis hard dough dan diperuntukkan untuk sajian pendamping minuman teh atau kopi. Karakter yang dibutuhkan dari biskuit tersebut adalah tekstur yang tipis dan keras dengan permukaan biskuit yang mengkilat, rasa manis sedang, namun dapat mudah lumer ketika dicelupkan ke dalam minuman. Kelembutan biskuit tergantung pada berapa lama adonan dipanggang. Formulasi biskuit tepung campuran bonggol pisang dan ubi jalar yang digunakan oleh Jasmin (2010) dapat dilihat pada Tabel 5.
FTIP001643/030
17
Tabel 5. Formulasi Biskuit Bahan Baku Tepung bonggol pisang (gram)
Komposisi 55
Tepung ubi jalar (gram)
45
Gula tepung (gram)
70
Minyak nabati (gram)
50
Kuning telur (gram)
30
Susu full cream (gram)
40
Baking powder (gram)
0,5
Baking soda (gram)
0,7
Garam (gram)
0,8
Air (gram)
48
Sumber : Jasmin (2010)
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
Tahapan dalam proses pembuatan biskuit dimulai dengan pencampuran bahan, pembuatan adonan, aging, penipisan adonan, pencetakan, pemanggangan, dan pendinginan. Prosedur pembuatan biskuit tepung campuran bonggol pisang dan ubi jalar hasil penelitian Jasmin (2010) meliputi: 1. Pencampuran bahan Pencampuran bahan seperti gula tepung, minyak nabati, dan garam di dalam baskom, lalu diaduk dengan mixer pada kecepatan tinggi selama 10 menit sampai terbentuk cream putih kekuningan. Tujuan proses ini adalah agar cream tercampur merata dan udara terperangkap di dalam cream. Penambahan susu full cream dan kuning telur ke dalam cream, lalu diaduk sampai tercampur rata kurang lebih selama 4 menit dengan menggunakan mixer pada kecepatan rendah. Penambahan susu full cream dan kuning telur berfungsi
FTIP001643/031
18
untuk menambah cita rasa biskuit serta memberikan warna yang dapat menarik minat untuk mencicipi biskuit ini. Penambahan bahan pengembang serta tepung campuran bonggol pisang dan ubi jalar sedikit demi sedikit ke dalam cream menggunakan spatula dan tidak menggunakan mixer. Proses ini bertujuan agar bahan kering dan cream tercampur secara merata. 2. Pembentukan adonan Bahan-bahan yang telah tercampur diatas ditambahkan air sedikit demi sedikit hingga terbentuk adonan yang merata dan dapat dibentuk. Pengadukan yang
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
berlebihan dapat menyebabkan biskuit retak pada saat dipanggang, sedangkan jika kurang pengadukan maka adonan kurang menyerap air. 3. Aging (15 menit - 30 menit) Aging diperlukan untuk memberi kesempatan kepada bahan pengembang untuk bekerja. Selama proses ini berlangsung, terjadi perubahan-perubahan antara lain penggabungan bahan penstabil dengan air, pengerasan lemak dan peningkatan viskositas. 4. Penipisan Adonan Penipisan adonan dilakukan sampai diperoleh ketebalan yang diinginkan sebelum dicetak. Penipisan dilakukan dengan alat rolling pin. Adonan dibuat menjadi lembaran (sheeting) halus, rata permukaannya, tidak boleh berlubang, dan seragam ketebalannya (Soenaryo, 1985).
FTIP001643/032
19
5. Pencetakan Ukuran biskuit yang dimasukkan ke dalam oven harus seragam ketebalannya. Bila ketebalan adonan dan ukuran biskuit tidak sama pada saat pencetakan, maka dihasilkan biskuit yang tidak merata kematangannya. Tebal adonan sebaiknya sebesar 3 mm. Biskuit biasanya dicetak dengan cetakan bulat. Biskuit tipe hard semi sweet pada bagian atasnya selalu diberi merk atau cap dagang, jarang yang memakai hiasan timbul setelah dicetak. 6. Pemanggangan Adonan yang sudah dicetak dipanggang di atas loyang yang telah diolesi
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
minyak nabati. Pemanggangan pada biskuit tipe hard semi sweet membutuhkan waktu 20 menit pada oven dengan suhu 160 oC. Oven yang digunakan tidak boleh terlalu panas ketika biskuit dimasukkan karena akan mengakibatkan bagian luar biskuit
akan
terlalu
cepat
matang,
menghambat
pengembangan,
dan
mengakibatkan permukaan biskuit pecah-pecah. Pengembangan stuktur biskuit terjadi pada saat proses pemanggangan dikarenakan adanya daya kerja bahan pengembang yang mengeluarkan gas CO2 (Herudiyanto, 2009). Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut : a. Pengembangan cita rasa (flavor) dan perpindahan gas b. Koagulasi protein telur dan gelatinisasi pati c. Perubahan warna akibat reaksi pencoklatan Maillard antara protein susu, gluten, telur dengan gula pereduksi.
FTIP001643/033
20
d. Pembentukan kulit biskuit yang agak keras akibat penguapan air pada permukaan. 7. Pendinginan Setelah keluar dari oven, biskuit harus cepat didinginkan untuk menurunkan suhu dan mengeraskan biskuit akibat pemadatan gula dan lemak. Waktu mendinginkan di suhu ruang (27°C – 30°C) selama 40 menit. 8. Pengemasan Biskuit termasuk produk yang mudah menyerap air dan oksigen. Biskuit dikemas untuk melindungi dari kerusakan dan penyimpangan mutu. Bahan
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
pengemasnya harus memenuhi beberapa syarat, antara lain kedap air, kedap oksigen, kedap terhadap komponen volatil, dan mampu melindungi produk dari kerusakan mekanis. Plastik yang digunakan untuk kemasan biskuit adalah plastik polypropylene (PP). Proses pembuatan biskuit tepung campuran bonggol pisang dan ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 2.
FTIP001643/034
21
70 g gula tepung
50 g minyak nabati
0,8 g garam
gula tepung
garam minyak nabati Bahan Pencampuran (pengadukan dengan mixer kecepatan tinggi) t = 10 menit
Pencampuran (pengadukan dengan mixer kecepatan rendah) t = 4 menit
30 g kuning telur, 40 g susu full cream
55 g tepung bonggol pisang, 45 g tepung ubi jalar, 0,7 g baking soda, 0,5 g baking powder
Pencampuran secara manual dengan spatula hingga homogen
Pembuatan Adonan
48 g air
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
garam Aging (t : 30 menit)
Pencetakkan (tebal : 3 mm) Pemanggangan dengan oven listrik (T : 160 oC, t : 20 menit)
Biskuit Bonggol Pisang
Pendinginan di atas rak (T : 27 oC - 30oC, t : 40 menit) Pengemasan
Biskuit Bonggol Pisang dalam kemasan
Gambar 2. Diagram Proses Pembuatan Biskuit Tepung Campuran Bonggol Pisang dan Ubi Jalar (Jasmin, 2010)
FTIP001643/035
22
2.4.3. Karakteristik Biskuit Biskuit adalah produk kering yang mempunyai daya awet yang relatif tinggi, sehingga dapat disimpan dalaam waktu yang lama dan mudah dibawa dalam perjalanan. Penyimpangan mutu produk akhir dapat terjadi akibat penggunaan bahanbahan tidak sesuai formulasi dan proses pembuatan yang kurang tepat. Beberapa contoh penyimpangan yang terjadi dalam pembuatan biskuit dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Jenis Penyimpangan Biskuit Jenis Penyimpangan Keras
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
Warna pucat Warna tidak rata Keras, poros, kering Permukaan keras Berminyak dan rapuh
Penyebab Kurang lemak, kebanyakan air Proporsi bahan kurang tepat dan suhu oven kurang panas Panas tidak rata dan proporsi bahan pembentuk tidak seimbang Pencampuran tidak tepat, adonan terlalu keras dan kenyal, pemanggangan terlalu lama Pemanggangan terlalu lama dan suhu oven terlalu tinggi Terlalu banyak menggunakan lemak
Sumber : U. S. Wheat Association, 1983
Mutu biskuit tergantung pada komponen pembentuknya dan penanganan bahan sebelum dan sesudah proses produksi (Vail et al., 1978 dikutip Napitupulu, 2006). Mutu biskuit yang baik pada umumnya berwarna coklat keemasan, permukaan agak licin, bentuk dan ukuran seragam, kering, renyah, ringan, serta memiliki aroma yang menyenangkan. Biskuit yang baik harus memenuhi syarat yang ditetapkan SNI 01-2973-1992 seperti yang dapat dilihat pada Tabel 7.
FTIP001643/036
23
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
[1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis [2] Tidak diperkenankan mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa menyebut dan mencantumkan sumbe [3] Pengutipan hanya diberikan bagi kepentingan akademik, penelitian, penulisan karya ilmiah dan penyusunan
Tabel 7. Syarat Mutu Biskuit Menurut SNI No. 01-2973-1992 No Kriteria Uji Persyaratan 1. Keadaan : a. Bau Normal b. Rasa Normal c. Warna Normal d. Tekstur Normal 2. Air (%b/b) Maksimum 5 3. Protein (%b/b) Minimum 9 4. Abu (%b/b) Maksimum 1,5 5. Lemak (%b/b) Minimum 9,5* 6. Karbohidrat (%b/b) Minimum 70* 7. Nilai Kalori (kkal) Minimum 400* 5. Bahan Tambahan Makanan a. Pewarna Yang diizinkan b. Pemanis buatan Tidak boleh ada 6. Cemaran logam : a. Tembaga (mg/kg) Maksimum 1.0 b. Timbal (mg/kg) Maksimum 4.0 c. Seng (mg/kg) Maksimum 0.05 d. Mercury (mg/kg) Maksimum 0.5 7. Arsen (mg/kg) Maksimum 0.5 8. Cemaran Mikroba : a. Angka lempeng total (koloni/g) Maksimum 1 x 106 b. Coliform (APM/g) Maksimum 20 c. E. coli Kurang dari 3 d. Kapang (koloni/g) Maksimum 10 Sumber :
Badan Standardisasi Nasional, 1992 * Departemen Perindustrian RI, 1990
FTIP001643/037