DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11/DPD RI/I/2013-2014 TENTANG RANCANGAN UNDANG-UNDANG USUL INISIATIF DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERKEBUNAN
JAKARTA 2013
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11/DPD RI/I/2013-2014 TENTANG RANCANGAN UNDANG-UNDANG USUL INISIATIF DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
: a. bahwa perkebunan merupakan salah satu sumber daya alam yang harus diolah dan dimanfaatkan untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat secara berkeadilan dan berkelanjutan sesuai dengan tujuan negara dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa untuk mengelola perkebunan secara berkeadilan dan berkelanjutan yang bertujuan memajukan perekonomian bagi daerah maka diperlukan kebijakan pengelolaan perkebunan yang mengedepankan potensi sumber daya lokal dengan senantiasa memperhatikan aspek kelestarian lingkungan; c. bahwa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dipandang sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu dilakukan perubahan; d. bahwa salah satu kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah dapat mengajukan rancangan undangundang mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; e. bahwa berdasarkan ketentuan pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d diatas, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia melalui Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sesuai dengan lingkup tugasnya telah menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Perkebunan; f. bahwa rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada huruf e telah dilakukan harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi oleh Panitia Perancang Undang-Undang Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia untuk mewujudkan keselarasan konsep rancangan undang-undang dimaksud dengan Pancasila, tujuan nasional, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan memuat kesesuaian unsur filosofis, yuridis, sosiologis, serta politis; g. bahwa rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada huruf e telah disampaikan dan diputuskan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagai Rancangan UndangUndang Usul Inisiatif Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
679
untuk disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; h. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Rancangan Undang-Undang tentang Perkebunan; Mengingat
: 1. Pasal 22D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043); 4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah; 5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/DPD/2007 tentang Pedoman Umum Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia; Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-5 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Masa Sidang I Tahun Sidang 2013-2014 Tanggal 1 Oktober 2013 MEMUTUSKAN: Menetapkan
:
PERTAMA
:
KEDUA
:
KETIGA
:
KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG RANCANGAN UNDANG-UNDANG USUL INISIATIF DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERKEBUNAN. Rancangan Undang-Undang tentang Perkebunan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai rancangan undangundang yang berasal dari Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Isi dan rincian rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Diktum Pertama, disusun dalam naskah terlampir yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan ini. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Oktober 2013 DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA Ketua,
H. IRMAN GUSMAN, SE.,MBA Wakil Ketua,
GKR. HEMAS
680
Wakil Ketua,
DR. LAODE IDA
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
BAGIAN PERTAMA NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR .... TAHUN .... TENTANG PERKEBUNAN
JAKARTA 2013 681
682
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan merupakan landasan hukum untuk mengembangkan perkebunan dan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Perkebunan merupakan sektor yang berperan penting dalam perekonomian nasional melalui kontribusi dalam pendapatan negara (penerimaan pajak), penyediaan lapangan kerja, dan penerimaan ekspor. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan beberapa negara dikawasan Asia Pasifik pada tahun 1997-1998, telah membuka kesadaran dan cakrawala baru. Sektor pertanian, khususnya perkebunan, yang akhir-akhir ini daya tariknya tertutupi oleh sektor industri, mencuat kembali sebagai sektor usaha yang menarik. Bahkan berbagai kalangan melihat bahwa usaha di bidang perkebunan merupakan usaha yang strategis untuk perekonomian Indonesia, paling tidak selama 20–30 tahun mendatang. Akan tetapi seiring berkembangnya sektor perkebunan, berbagai persoalan terkait dengan sengketa tanah perkebunan, kerusakan lingkungan, dan tercerabutnya hak masyarakat adat mulai muncul ke permukaan. Sejalan dengan kian kompleks dan beragamnya permasalahan di sektor perkebunan, menimbulkan wacana bahwa revisi UU No. 18/2004 tentang Perkebunan perlu dipercepat agar memiliki landasan kuat dalam pembangunan perkebunan di masa depan, karena konflik lahan cenderung meningkat. Masalah konflik lahan yang terjadi sampai saat ini berjumlah 822 konflik. Jika tidak ada landasan yang kuat tentang pengaturan penggunaan lahan, maka masalah konflik akan semakin kompleks. Sejak 3 tahun terakhir ini telah terjadi berbagai perkembangan dalam berbagai aspek, khususnya dalam sektor perkebunan sehingga perlu dicermati bersama untuk melakukan peninjauan kembali atas Undang Undang No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. Menurut Sekretaris Jenderal Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Mukti Sarjono pada tahun lalu (2012) terdapat sekitar 49 kasus konflik lahan yang terselesaikan dari 822 kasus yang ada. Jumlah ini meningkat dari 2 tahun sebelumnya (2010) yakni terdapat 694 kasus konflik lahan, sedangkan kasus konflik yang dapat diselesaikan hanya 57 kasus. Kementerian Pertanian mencatat, bahwa pada tahun 2009, konflik lahan yang terjadi berjumlah 508 kasus dan yang dapat diselesaikan sekitar 196 kasus. Konflik lahan perkebunan terjadi karena kemitraan antara pengusaha perkebunan dan petani perkebunan kurang berimbang. Usaha perkebunan berkembang pesat di Indonesia dan dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar yang mencapai 19,1 juta orang. Sumber devisa penerimaan ekspor dari sektor perkebunan pada tahun 2011 senilai US$ 32,2 miliar di luar cukai rokok yang mencapai Rp 72 triliun dan pajak ekspor minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO) senilai Rp 28,8 triliun. Sektor perkebunan ini dapat mengentaskan kemiskinan sebanyak 200.000 kepala keluarga per tahun dan meningkatkan pendapatan petani hingga US$ 1.551 per kepala keluarga per tahun dengan kepemilikan kebun 2 hektar. Dalam UU Perkebunan yang ada belum mengatur tentang luas luas maksimum yang dikuasai oleh orang per orang dan perusahaan perkebunan. Hal ini dikhawatirkan bahwa sebagian besar hak guna usaha dikuasai oleh beberapa perusahaan saja, yang lambat laun dapat mengurangi ketersediaan lahan untuk masyarakat tempatan atau masyarakat adat, yang kemudian dapat menimbulkan konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan perkebunan. Di samping itu, adanya sanksi administrasi dan pidana yang dikenakan terhadap setiap orang yang melanggar kewajiban dan melakukan perbuatan yang dilarang dalam UU Perkebunan merupakan permasalahan tersendiri yang harus segera diselesaikan. Permasalahan ini muncul karena muatan materi mengenai “larangan melakukan suatu perbuatan” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 47 Undang Undang No 18 Tahun 2004 dirumuskan secara samar-samar dan tidak jelas dan rinci. Sehingga berpotensi dan memberikan peluang dan keleluasaan untuk disalahgunakan. Ketentuan ini telah diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan registrasi Nomor 55/PUU-VIII/2010 dan telah diputuskan pada 6 September 2012. Di dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi mencabut Pasal 21 dan 47 UU No. 18 Tahun 2004. Pasal 21 tentang larangan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun, sedangkan Pasal 47 tentang sanksi hukum bagi yang melanggar ketentuan dalam pasal tersebut. Pasal itu dicabut oleh MK, dengan alasan kekhawatiran kriminalisasi perusahaan perkebunan terhadap rakyat. Di sisi lain, dalam Peraturan Menteri, tidak ada sanksi hukum, tetapi hanya sanksi administrasi. Uji materi terhadap pasal 21 dan pasal 47 UU Perkebunan, dilatarbelakangi oleh laporan dari beberapa petani yang mewakili masyarakat adat di beberapa wilayah di Indonesia. Beberapa petani ini adalah korban dari perusahaan perkebunan yang melakukan pengusahaan perkebunan di lahan yang diakui sebagai lahan milik masyarakat adat. Persoalan hak masyarakat adat muncul karena belum ada peraturan perundangan yang
683
mengatur mengenai status kepemilikan lahan perkebunan yang diakui oleh masyarakat adat. Ketidakjelasan pengaturan mengenai tenurial (pendudukan/penguasaan) ini telah menjadikan lahan hutan sebagai ladang konflik. Ketiadaan hak formal masyarakat adat menyebabkan mereka tidak bisa mengambil keputusan terkait sumber daya alam di wilayah adatnya yang menjadikan potensi mereka dalam pengelolaan lahan menjadi semakin lemah. Sementara prosedur yang memungkinkan mereka memiliki pengakuan sebagai masyarakat adat terkesan sangat sulit dan berbelit. Mencermati perkembangan terkini dalam bidang perkebunan di Indonesia, termasuk hasil judicial review dari Mahkamah Konstitusi tersebut, menjadi urgen sifatnya untuk merubah peraturan tentang perkebunan untuk diarahkan sebagai salah satu bentuk pengelolaan sumber daya alam yang perlu dilakukan secara terencana, terbuka, terpadu, profesional, dan bertanggung jawab. Wacana revisi UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dinilai perlu dipercepat agar memiliki landasan kuat dalam pembangunan perkebunan ke depan, karena konflik lahan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. B. IDENTIFIKASI MASALAH Berdasarkan pada pengawasan yang dilakukan oleh Komite II DPD RI sejak tahun 2006, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, setelah dikaji, dirasakan lebih memudahkan dan menguntungkan para investor perkebunan skala besar, serta lebih banyak merugikan masyarakat dan lingkungan, karena tidak diperhatikannya aspek keberlanjutan perkebunan rakyat, menghilangkan kehidupan sosial budaya masyarakat terutama aspek kearifan lokal dalam memanfaatkan kondisi alam/lingkungannya. Dalam kondisi seperti itu, peran pengawasan sangat penting, terutama untuk melihat sejauh mana pengelolaan perkebunan telah sesuai dengan undang-undang. Pengembangan perkebunan dengan cara membuka kawasan hutan yang tidak mengikuti aturan berpotensi merusak lingkungan, karena ekosistem yang awalnya bersifat heterogen diubah menjadi ekosistem yang bersifat homogen. Berubahnya sifat ekosistem ini akan mengancam keanekaragaman hayati dan flora-fauna endemik yang berada di kawasan hutan tersebut. Pembukaan kawasan hutan terjadi untuk beberapa komoditas ekspor seperti kelapa sawit, karet, kakao, kopi, dan lada. Perkembangan terbesar terjadi pada perkebunan kelapa sawit, yaitu dari 593.800 ha pada tahun 1986 menjadi sekitar 9,25 juta pada tahun 2012 Fenomena ini bisa ditemui dengan mudah di wilayah provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Riau, dan Jambi. Selain itu, pembukaan lahan gambut untuk kawasan perkebunan telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang besar, antara lain kebakaran hutan dan banjir di wilayah sekitar pemukiman. Contoh lain pengelolaan yang tidak berkelanjutan ini adalah banyaknya izin yang diberikan di atas lahan gambut, baik yang berketebalan kurang dari 3 m atau pun lebih sebagaimana banyak terjadi di Kalimantan Barat, Riau, dan Papua. Pengaturan pembukaan lahan gambut bagi usaha pertanian dan perkebunan, sebenarnya telah dikeluarkan Permentan No. 14 Tahun 2009 yang melarang pembukaan lahan gambut untuk budidaya pertanian, pada: (1) lahan gambut dengan ketebalan >3m, (2) lahan gambut yang belum matang (tingkat kematangan fibrist) dan (3) lahan gambut dengan lapisan tanah dibawah gambut (substratum) berupa pasir kuarsa serta berpotensi sulfat masam. Akan tetapi pada kenyataannya, banyak izin yang dikeluarkan di lapangan telah melanggar Permentan diatas, sehingga pembukaan usaha perkebunan dianggap telah merusak fungsi ekologis lingkungan. Perencanaan pembangunan yang masih bersifat sektoral dan lambatnya pengesahan rencana tata ruang wilayah beberapa daerah telah berperan serta dalam terjadinya tumpang tindih penggunaan ruang antara sektor perkebunan dengan sektor lain misalnya kehutanan, permukiman, dan pertambangan. Dalam UU Perkebunan disebutkan bahwa penunjukan kawasan perkebunan harus berbasis pada rencana tata ruang wilayah, namun pada kenyataannya saat ini masih banyak daerah yang masih menunggu disahkannya RTRW mereka. Hal ini menjadikan perencanaan pembangunan ekonomi dan infrastruktur kurang terpadu sehingga terjadi tumpang tindih dalam pengalokasian ruang dan terjadi tumpang tindih pemanfaatan lahan yang berpotensi menimbulkan konflik sosial. Selain itu, penyusunan RTRW masih bersifat top down dan belum secara utuh menerapkan prinsip transparansi dan partisipasi yang hakiki sehingga masyarakat yang mengetahui kondisi sesungguhnya di lapangan tidak dapat memberikan masukan yang konstruktif terhadap dokumen tersebut. Ketiadaan partisipasi dan transparansi ini memudahkan terjadinya aktivitas penggunanaan lahan yang tidak direncanakan dalam RTRW namun terjadi di lapangan. Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 sebagai pembaruan dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang juga belum cukup membantu menyelesaikan masalah tumpang tindih peruntukan lahan perkebunan. Permasalahan lainnya adalah kapasitas sumber daya manusia di sektor perkebunan yang lemah. Permasalahan kapasitas pada tingkat individu mancakup kompetensi
684
(kemampuan, kualifikasi, dan pengetahuan), sikap dan perilaku (attitude), dan integritas (etos kerja dan motivasi), maupun jiwa kepemimpinan yang kuat dari orang-orang yang bekerja dalam organisasi sebagai ujung tombak pengelolaan perkebunan di lapangan. Permasalahan di tingkat individu pada kondisi yang relatif normal biasanya disebabkan oleh situasi dalam organisasi yang tidak mendukung berkembangnya kapasitas individu. Bahkan terdapat kondisi dimana orang-orang di dalam organisasi cenderung pragmatis dan selalu mencari peluang untuk pemenuhan kepentingan-kepentingan pribadinya dan belum mampu memecahkan masalah perkebunan yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Di sisi lain, benturan atau ketidakharmonisan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perkebunan dengan peraturan perundangan lain dapat terjadi secara horinzontal (antar sektor) atau vertikal (antara pusat dan daerah) misalnya pengaturan mengenai pembukaan lahan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 dengan UU Kehutanan. Selain itu ketidaklengkapan peraturan akan memudahkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan khususnya terkait dengan pemberian perizinan usaha kehutanan maupun izin kegiatan lain di kawasan hutan yang terkait dengan pembukaan perkebunan. UU Pertanian misalnya, memberikan kewenangan kepada Kepala Daerah untuk memberikan izin perkebunan di daerahnya. Walaupun UU Kehutanan mengatur bahwa seharusnya untuk perkebunan dilakukan perubahan peruntukan kawasan hutan terlebih dahulu, namun pada kenyataannya hal ini tidak berjalan di lapangan. Berdasarkan hasil kajian dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) pada tahun 2009 juga menunjukkan adanya tumpang tindih dan inkonsistensi 12 UU terkait sumberdaya alam (SDA) dengan segala dampaknya, baik dari segi normatif maupun empiris. Regulasi tersebut meliputi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. UU Perkebunan terkesan akan membuka ruang eksploitasi perusahaan perkebunan terhadap tanah-tanah negara dan rakyat. Hal ini disebabkan karena tidak adanya pengaturan mengenai luas maksimum dan luas minimum tanah yang dapat dikuasai penggunaanya oleh suatu perusahaan, yang pada akhirnya menimbulkan adanya konsentrasi hak penggunaan tanah yang berlebihan oleh perusahaan. Akibatnya masyarakat adat atau petani tempatan tersebut tidak lagi memiliki akses terhadap lahan yang telah turun temurun mereka kuasai, atau bahkan kehilangan lahannya. Undang-undang Perkebunan yang ada belum memberikan perlindungan terhadap masyarakat tempatan atau masyarakat adat untuk memperoleh atau mempunyai akses terhadap pemanfaatan lahan di areal sekitar keberadaan mereka. Hal ini perlu mendapat perhatian, karena perluasan aral perusahaan perkebunan besar sangat cepat, yang pada berberapa wilayah telah menyebabkan konflik lahan. Sesungguhnya yang menjadi masalah adalah penguasaan manfaat lahan oleh perusahaan perkebunan, tanpa mengikutsertakan masyarakat sekitarnya. Karena tidak semua anggota masyarakat berminat menjadi petani, manfaat keberadaan lahan bagi mereka seyogyanya masih dapat diperoleh melalui keikutsertaan dalam kepemilikan sebagian saham perusahaan. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang semestinya mampu menjadi instrument pelindung hak-hak masyarakat justru dianggap tidak sejalan dengan amanah dari Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. Pada saat proses pengawasan pelaksanaan UU Perkebunan dilaksanakan oleh DPD RI, Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan permohonan untuk melakukan uji materi terhadap pasal 21 dan pasal 47 ayat 1 dan 2 yang dinilai telah bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Pasal 21 mengatur tentang larangan menggunakan tanah perkebunan tanpa izin karena tindakan itu melanggar hak atas tanah orang lain. Hak tersebut meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai yang dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 jo Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Pasal 47 tidak bisa dilepaskan dari Pasal 21. Sebab, berdasarkan penafsiran sistematis, siapapun yang melanggar unsur-unsur Pasal 21 baik disengaja atau karena kelalaiannya dapat dituntut pidana sesuai Pasal 47 yang memuat sanksinya. Ungkapan tersebut di atas memberi kesan bahwa pelanggaran yang dimaksud hanya terhadap Hak Guna Usaha perkebunan besar, padahal juga pada lahan masyarakat dengan status Hak Milik.
685
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN Tanah dan sumber daya alam yang ada diatasnya merupakan potensi yang sangat besar dalam pembangunan perekonomian nasional termasuk di dalamnya pembangunan perkebunan dalam mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara berkeadilan, maka perkebunan perlu dijamin keberlanjutannya serta ditingkatkan fungsi dan peranannya. Selain itu perkebunan sebagai salah satu bentuk pengelolaan sumber daya alam perlu dilakukan secara terencana, terbuka, terpadu, dan bertanggung jawab. Selain melahirkan sebuah instrumen hukum, langkah lain yang penting untuk menjaga efektifitas pengelolaan perkebunan ini adalah pengawasan terhadap pelaksanaan instrumen hukum yang ada. DPD RI dalam hal ini kemudian berperan dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU Perkebunan. Dilakukannya pengawasan atas pelaksanaan UU itu dalam rangka menjaga agar norma, tujuan dan visi-misi yang hendak dicapai lewat produk hukum itu dapat terwujud secara terencana dan terukur. Tujuannya adalah agar masyarakat dan bangsa Indonesia merasakan dampak positif dan ditegakkannnya peraturan perundang-undangan dalam hal ini Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dengan bertanggungjawab. Adanya penegakan dan pengawasan terhadap sebuah produk hukum disuatu negara berarti terdapat upaya untuk memberikan jaminan hak-hak bagi setiap warga negara. Dalam revisi UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan ini diutamakan untuk lebih mendorong peran positif dari perkebunan besar dalam membina perkebunan rakyat. Perubahan paradigma pelayanan oleh aparat pemerintah diperlukan guna mendukung terwujudnya keadilan bagi masyarakat tempatan dalam memperoleh lahan untuk usaha memperbaiki taraf hidup mereka, bermakna mencegah konflik sosial, sekaligus memantapkan keberlanjutan usaha perkebunan, baik besar maupun rakyat. Upaya-upaya pendampingan dan kemitraan perlu terus dilakukan guna meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil perkebunan, terutama perkebunan rakyat, secara berkelanjutan, sesuai dengan fungsifungsi ekonomi, ekologi dan sosial budaya dari usaha perkebunan. D. METODE PENELITIAN Dalam rangka penyusunan naskah akademik ini, tim melakukan kajian dengan menggunakan kajian yang ditinjau secara sistematik, holistik, futuristik dan interdisipliner. Beberapa pertimbangan yang dijadikan sebagai acuan meliputi hasil pengawasan Komite II DPD RI terhadap UU Perkebunan yang telah dilaksanakan 2 (dua) kali pada tahun 2006 dan tahun 2011, perkembangan dan isu terakhir di dalam sektor perkebunan termasuk juga Putusan Mahkamah Konstitusi No. 55/PUU-VIII/2010, serta masukan dari semua pihak yang terkait yang ditampung dalam diskusi DPD RI baik di dalam masa persidangan maupun pada saat kunjungan di daerah. Tim juga memperhatikan aspirasi, sehingga revisi UU yang lahir dari proses ini haruslah integratif dengan UU lain yang berkaitan, komprehensif, workable, mendukung terciptanya good governance dan dapat diterima dalam praktek internasional.
686
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIS EMPIRIS A. KAJIAN TEORITIS Pasal 2 UU Perkebunan menyatakan bahwa perkebunan diselenggarakan berdasarkan atas asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, serta berkeadilan. Demikian pula Pasal 3 butir a UU Perkebunan menyatakan bahwa perkebunan diselenggarakan dengan tujuan meningkatkan pendapatan masyarakat, sedangkan Pasal 4 butir a, UU Perkebunan menyatakan bahwa perkebunan mempunyai fungsi ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional. Dalam hal penerapan asas ini, rupanya terdapat permasalahan mendasar yang cukup penting untuk dirunut konteks permasalahannya. Dari pengawasan yang dilakukan Komite II DPD RI sebelumnya ditemukan, bahwa di sektor perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit, kesempatan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani dalam bentuk pendapatan tunai hanya pada saat-saat buah berproduksi cukup banyak, yaitu antara tahun ke 8 sampai tahun ke 15. Perkebunan yang dikelola oleh perusahaan besar belum sepenuhnya terbukti membawa kemajuan bagi masyarakat setempat secara berkesinambungan. Fakta yang ditemukan menunjukkan bahwa banyak perkebunan besar baik yang dikelola oleh swasta maupun oleh PTPN yang sudah lama mempunyai pola kemitraan PIR (Perusahaan Inti Rakyat) yang membina perkebunan plasma, terutama untuk komoditas kelapa hibrida, teh dan karet, yang dibangun sebelum Undang-undang ini diberlakukan (tahun 2004), belum dapat disebut menyejahterakan rakyat, padahal telah memasuki masa produksi yang cukup lama. Keharmonisan kemitraan yang tidak berkelanjutan dan harga komoditas yang kurang menguntungkan, merupakan kendala utama. Pada kondisi ini, perkebunan yang diselenggarakan berdasarkan atas asas manfaat dan berkelanjutan, yang terpadu dalam kebersamaan dan keterbukaan, untuk memperoleh berkeadilan dalam upaya meningkatkan pendapatan masyarakat tidak dapat terjamin oleh UU Perkebunan. Pada aspek lainnya, isu permasalahan muncul terkait dengan lemahnya perencanaan dalam sektor perkebunan. Pasal 6 UU Perkebunan menyatakan antara lain bahwa perencanaan perkebunan dilakukan oleh pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan masyarakat. Demikian pula Pasal 7 butir 1 menyatakan antara lain bahwa perencanaan perkebunan dilakukan berdasarkan lingkungan hidup dan kepentingan masyarakat. Sedangkan Pasal 9 butir 2 menyatakan antara lain bahwa dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataanya masih ada, perencana perkebunan wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya. Akhirnya, Pasal 22 menyatakan antara lain bahwa perusahaan perkebunan melakukan kemitraan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggungjawab, saling memperkuat dan saling ketergantungan dengan pekebun, dan masyarakat sekitar perkebunan. Dalam tataran konsep, keempat pasal UU Perkebunan tersebut menegaskan betapa pentingnya keterlibatan dan memperhatikan peran serta masyarakat petani peserta perkebunan maupun petani kebun rakyat. Namun dalam konteks pelaksanaannya di lapangan, justru isu krusial dalam sektor perkebunan datang dari empat poin utama tersebut di atas. Beberapa fakta di lapangan menunjukkan sebagian kebun plasma dan swadaya pada beberapa komoditi, terutama karet dan teh yang tidak produktif karena petani tidak mempunyai modal pemeliharaan, di samping mutu hasil kebun yang dihasilkan juga tidak diperhatikan. Pada saat hasil kebun tidak ada harganya, petani tidak sanggup memeliharanya. Pada saat harga naik, semestinya menjadi lebih baik, tetapi kondisi tanaman sudah tidak produktif, sehingga tetap saja petani mengalami kesulitan. Selanjutnya dalam waktu lima sampai dengan 10 tahun kemudian , tanaman akan mati karena umur tanaman yang tua. Kondisi perkebunan rakyat yang demikian sering terjadi, terutama pada pola swadaya, dengan produktivitas dan kualitas hasil yang rendah, karena tidak menerapkan praktek pertanian yang baik. Perkembangan perkebuna rakyat yang demikan terjadi, akibat pembiaran dan lemahnya pembinaan oleh pemerintah serta belum terjalinnya dengan baik kerjasama kemitraan antara perusahaan perkebunan besar dan perkebunan rakyat di sekitarnya. Terkait dengan perencanaan perkebunan yang dilakukan oleh pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota yang harus memperhatikan kepentingan masyarakat, dalam kenyataannya berjalan jauh dari peran dan fungsi pemerintahan yang seharusnya lebih memperhatikan kepentingan masyarakat. Demikian pula perencanaan perkebunan yang melibatkan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataanya masih ada, banyak perencana perkebunan melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat
687
dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dengan cara yang tidak fair, seperti melakukan taktik imbalan jasa untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya. Umpamanya, kepada keluarga yang banyak memiliki lahan adat yang luas, dijanjikan pekerjaan bagi anak-anaknya, tetapi walaupun anak-anaknya ada yang berpendidikan cukup, namun pekerjaan yang diberikan hanyalah pekerjaan lapangan yang sebenarnya tidak memerlukan pendidikan yang tinggi. Akhirnya, dalam hal perusahaan perkebunan melakukan kemitraan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggungjawab, saling memperkuat dan saling ketergantungan dengan pekebun, dan masyarakat sekitar perkebunan, belum seluruhnya berjalan dengan harmonis atau belum menguntungkan bagi ke dua belah pihak. Kendala dapat terjadi dari pihak perkebunan besar atau pun dari perkebunan rakyat. Pola kemitraan baru, dimana dana kredit pembangunan kebun plasma mengharuskan perusahaan inti sebagai avalai (penjamin) dan seluruh kebun, baik inti maupun plasma berada dalam manajemen satu atap (tidak ada konversi kredit dan pengelolaan kebun plasma kepada petani). Dengan pola ini keharmonisan dan keberlanjutan kemitraan diharapkan akan lebih terjamin. B. PRAKTIS EMPIRIS 1. Permasalahan Terkait Lahan dan Lingkungan Perencanaan pembangunan yang masih bersifat sektoral dan lambatnya pengesahan rencana tata ruang wilayah (RTRW) beberapa daerah telah berperan serta dalam terjadinya tumpang tindih penggunaan ruang antara sektor perkebunan dengan sektor lain misalnya kehutanan, permukiman, dan pertambangan. Dalam UU Perkebunan disebutkan bahwa penunjukan kawasan perkebunan harus berbasis pada rencana tata ruang wilayah, namun pada kenyataannya saat ini masih banyak daerah yang masih menunggu disahkannya RTRW mereka. Hal ini menjadikan perencanaan pembangunan ekonomi dan infrastruktur kurang terpadu sehingga terjadi tumpang tindih dalam pengalokasian ruang dan terjadi tumpang tindih pemanfaatan lahan yang berpotensi menimbulkan konflik sosial. Selain itu, penyusunan RTRW masih bersifat top down dan belum secara utuh menerapkan prinsip transparansi dan partisipasi yang hakiki sehingga masyarakat yang mengetahui kondisi sesungguhnya di lapangan tidak dapat memberikan masukan yang konstruktif terhadap dokumen tersebut. Ketiadaan partisipasi dan transparansi ini memudahkan terjadinya aktivitas penggunanaan lahan yang tidak direncanakan dalam RTRW namun terjadi di lapangan. Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 sebagai pembaruan dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang juga belum cukup membantu menyelesaikan masalah tumpang tindih peruntukan lahan perkebunan. Permasalahan terkait lahan rupanya menjadi kendala utama dalam sektor perkebunan. Untuk mengatasi semakin langkanya lahan yang tersedia dan mengurangi dampak negatif pembatasan penggunaan lahan hutan untuk perkebunan, berupa penurunan produksi, memerlukan upaya-upaya pembenahan, terutama optimasi sumberdaya perkebunan yang ada saat ini. Namun demikian, dalam kurun 3 (tiga) tahun terakhir saja telah terjadi peningkatan konflik lahan yang cukup signifikan. Penerapan kerjasama kemitraan antara perusahaan perkebunan besar dan perkebunan rakyat yang harmonis dan saling menguntungkan diharapkan dapat mengurangi masalah konflik lahan tersebut di atas. Ketentuan hubungan kemitraan, inti-plasma sudah ada, kesepakatan dan keberlanjutannya perlu pembinaan dan pengawalan oleh pemerintah. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan mengamanatkan, pembangunan perkebunan harus utuh sejak perencanaan sampai pelaksanaan dan pengawasan. Namun, kenyataannya banyak hal belum diwujudkan pada banyak pengelolaan perkebunan. Dengan demikian, masalah yang banyak muncul adalah terkait dengan keberlanjutan dari perkebunan kelapa sawit dalam peningkatan peran dan fungsinya terhadap masyarakat sesuai amanat undang-undang. Hal ini dapat dilihat dari kelalaian pengelola perkebunan dalam menyiapkan sarana dan prasarana pendukung. Umpamanya, kelapa sawit hanya akan berbuah maksimal sampai 15 tahun saja. Setelah itu, tanaman sawit akan lebih banyak tergantung dengan faktor dari luar, terutama pupuk. Pada saat pupuk kurang, maka otomatis tanaman akan terlantar. Demikian pula dalam hal komunikasi dan koordinasi antara sebagian perkebunan inti dengan petani plasma, maupun dengan petani kebun rakyat swadaya, masih belum optimal. Masalahnya karena perusahaan cenderung mengurusi usaha perkebunannya sendiri (inti), padahal terdapat usaha perkebunan rakyat di sekitarnya yang dikelola oleh masyarakat. Umpamanya, masalah pembibitan dan perawatan yang tidak baik, akhirnya berdampak pula pada kualitas produksi yang dihasilkan. Hal ini terjadi pada sebagian besar komoditas perkebunan yang memerlukan peremajaan karena umur produktif mulai menurun, di mana terlihat tanaman sudah tua dan sudah rusak. Keunggulan
688
perusahaan perkebunan besar dalam hal penguasaan teknologi dan penerapan manajemen kebun yang baik tidak serta merta memberi dampak positif terhadap perkebunan rakyat. Sinergi antara perkebunan besar dan perkebunan rakyat tidak cukup dengan menjalin hubungan kemitraan saja, tanpa adanya pembinaan kemitraan antara kedua belah pihak dan pengawalan dan pendampingan yang terus menerus oleh pemerintah. Selain itu pembenahan pada subsistem on-farm dan subsistem off-farm perlu terus menerus dilakukan agar produktivitas dan kualitas produk perkebunan rakyat semakin tinggi (on-farm) dan tataniaga yang efisien dan kualitas produk pengolahan hasil semakin meningkat (off-farm) 2. Kerentanan akan Konflik Sosial Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan yang semestinya mampu menjadi instrument pelindung hak-hak masyarakat justru dianggap tidak sejalan dengan amanah dari Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. Pada saat proses pengawasan pelaksanaan UU Perkebunan dilaksanakan oleh DPD RI, Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan permohonan untuk melakukan uji materi terhadap pasal 21 dan pasal 47 ayat 1 dan 2 yang dinilai telah bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Pasal 21 mengatur tentang larangan menggunakan tanah perkebunan tanpa izin karena tindakan itu melanggar hak atas tanah orang lain. Hak tersebut meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai yang dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 jo Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Pasal 47 tidak bisa dilepaskan dari Pasal 21. Sebab, berdasarkan penafsiran sistematis, siapapun yang melanggar unsurunsur Pasal 21 baik disengaja atau karena kelalaiannya dapat dituntut pidana sesuai Pasal 47 yang memuat sanksinya. Uji materi terhadap pasal 21 dan pasal 47 UU Perkebunan, dilatarbelakangi oleh laporan dari beberapa petani yang mewakili masyarakat adat di beberapa wilayah di Indonesia. Beberapa petani ini adalah korban dari perusahaan perkebunan yang melakukan pengusahaan perkebunan di lahan yang diakui sebagai lahan milik masyarakat adat. Persoalan hak masyarakat adat muncul karena belum ada peraturan perundangan yang mengatur mengenai status kepemilikan lahan perkebunan yang diakui oleh masyarakat adat. Ketidakjelasan pengaturan mengenai tenurial (pendudukan /penguasaan) ini telah menjadikan lahan hutan sebagai ladang konflik. Ketiadaan hak formal masyarakat adat menyebabkan mereka tidak bisa mengambil keputusan terkait sumber daya alam di wilayah adatnya yang menjadikan potensi mereka dalam pengelolaan lahan menjadi semakin lemah. Sementara prosedur yang memungkinkan mereka memiliki pengakuan sebagai masyarakat adat terkesan sangat sulit dan berbelit. 3. Persoalan Kepastian Hukum Mahkamah Konstitusi telah mencabut Pasal 21 dan 47 UU No. 18 Tahun 2004. Pasal 21 tentang larangan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun, sedangkan Pasal 47 soal sanksi hukum bagi yang melanggar ketentuan dalam pasal tersebut. Pasal itu dicabut oleh MK, dengan alasan kekhawatiran kriminalisasi perusahaan perkebunan terhadap rakyat. Di sisi lain, dalam Peraturan Menteri, tidak ada sanksi hukum, tetapi hanya sanksi administrasi. Benturan atau ketidakharmonisan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perkebunan dengan peraturan perundangan lain dapat terjadi secara horizontal (antar sektor) atau vertikal (antara pusat dan daerah) misalnya pengaturan mengenai pembukaan lahan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dengan UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan. Selain itu ketidaklengkapan peraturan akan memudahkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan khususnya terkait dengan pemberian perizinan usaha kehutanan maupun izin kegiatan lain di kawasan hutan yang terkait dengan pembukaan perkebunan. Walaupun UU Kehutanan mengatur bahwa seharusnya untuk perkebunan dilakukan perubahan peruntukan kawasan hutan terlebih dahulu, namun pada kenyataannya hal ini tidak berjalan di lapangan. Demikian juga di dalam UU Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan misalnya, memberikan kewenangan kepada Kepala Daerah untuk memberikan izin perkebunan di daerahnya, yang mana bermuara pada permasalahan izin perkebunan yang bermasalah di daerah. Berdasarkan hasil kajian dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) tahun 2009 menunjukkan adanya tumpang tindih dan inkonsistensi 12 UU terkait sumberdaya alam (SDA) dengan segala dampaknya, baik dari segi normatif maupun empiris. UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UndangUndang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
689
Ekosistemnya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Atas dasar butir inilah, isu kepastian hukum, terlebih pasca Putusan MK menjadi catatan yang sangat krusial dalam UU Perkebunan ini. Di beberapa daerah misalnya di Lampung, masih terdapat lahan perkebunan yang ditelantarkan oleh pelaku usaha atau perusahaan perkebunan yang sesuai dengan kepentingannya telah diberikan hak atas tanah yang diperlukan untuk usaha perkebunan berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan/atau hak pakai. Tampaknya implementasi PP No. 10/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar belum berjalan dengan baik. 4. Integrasi Kebijakan Perkebunan Salah satu permasalahan mendasar dalam UU Perkebunan yang lama adalah ketidakbisaan dari beberapa pasal untuk dapat diimplementasikan. Salah sekian di antaranya meliputi masalah ketiadaan perencanaan ataupun grand design dari usaha perkebunan nasional, perimbangan bagi hasil, masalah pembiayaan komoditas, dan pembentukan Dewan Komoditas belum sesuai harapan. Meskipun posisi Dewan Komoditas pun masih mendapat sorotan akan kemungkinan “nasib” yang sama dengan Dewan Energi Nasional maupun Dewan Kelautan Nasional, ternyata hanya menjadi lembaga setengah hati, karena selain kinerja yang kurang, posisi tawar pun tidak bisa dikatakan cukup signifikan. Akan tetapi, urgensi sebuah kelembagaan yang dapat memberikan satu kebijakan makro dalam pengaturan komoditas di Indonesia, seperti halnya penetapan harga patokan komoditas misalnya, menjadi sangat tinggi terutama sebagai antisipasi timbulnya konflik sosial dalam masyarakat yang dapat terjadi. Jika melihat perbandingan dengan negara tetangga kita, Malaysia, terdapat MPOB (Malaysian Palm Oil Board) sebagai organisasi/dewan milik pemerintah yang dipimpin oleh pejabat setingkat Dirjen. Dewan ini difungsikan untuk mengatur dan menghimpun bea keluaran dari ekspor kelapa sawit, serta mengalokasikan peruntukkan dana yang dihimpun tersebut untuk kegiatan seperti riset. Undang-undang Perkebunan yang ada saat ini telah mengamatkan adanya Dewan Komoditas. Namun demikian, pasal yang ada masih sangat sumir, tanpa adanya campur tangan dari Pemerintah. Sehingga yang ada saat ini umumnya berasal dari pihak swasta, yang notabene tidak memiliki kewenangan apapun untuk ikut bersumbangsih dalam kebijakan perkebunan. Salah satu sasaran yang juga dituju dalam RUU Perubahan ini adalah untuk menguatkan peranan Dewan Komoditas tersebut dengan melibatkan berbagai stakeholder yang terdiri dari pihak pengusaha perkebunan, pihak pemerintah dan Perguruan Tinggi. Pemerintah dan pemerintah daerah harus mendorong dan memfasilitasi Dewan Komoditas. Harapan nantinya, Dewan Komoditas mampu untuk mensinergikan kebijakan perkebunan nasional dengan permasalahan riil yang dialami oleh pelaku usaha perkebunan. Persoalan lainnya yang terkait dengan integrasi kebijakan perkebunan perlu ditegaskan adanya konsep perencanaan yang terpadu baik pada level pemerintah maupun pemerintah daerah yang dapat digunakan sebagai grand design dari usaha perkebunan nasional. Termasuk juga persoalan yang timbul akibat tidak integralnya kebijakan perkebunan adalah minimnya kemanfaatan riil yang dapat dirasakan oleh sektor perkebunan ataupun daerah dari hasil perkebunan yang dihasilkan. Perlu ada suatu penegasan tentang konsep perimbangan bagi hasil maupun juga kewajiban-kewajiban yang perlu ditegaskan dalam hal kemitraan dengan masyarakat dan pemerintah daerah dalam usaha perkebunan yang digawangi perusahaan perkebunan. C. LINGKUP PENGELOLAAN PERKEBUNAN YANG DITUJU Tim Perumus Perubahan UU Perkebunan menempatkan, Visi, Misi dan Ruang Lingkup Perkebunan harus dikembalikan dan mengacu pada jiwa Pasal 33 UUD 1945. Visi yang diharapkan dengan adanya perubahan UU Perkebunan adalah mewujudkan pengelolaan perkebunan sebagai salah satu bentuk pengelolaan sumber daya alam yang perlu dilakukan secara terencana, terbuka, terpadu, profesional, dan bertanggung jawab. Secara nyata hal ini akan perlu diujudkan dalam penampilan peran positif dari perkebunan besar dalam membina perkebunan rakyat. Termasuk juga upaya-upaya pendampingan dan kemitraan sebagai proses edukasi yang sangat diperlukan untuk meningkatkan manajemen yang baik,
690
produktivitas dan kualitas hasil, guna mewujudkan perkebunan rakyat yang unggul dan berkelanjutan. Sedangkan misi yang diemban dengan adanya perubahan UU Perkebunan adalah menuju ke arah mengembangkan pengelolaan perkebunan untuk kemakmuran rakyat secara efisien, berkesinambungan dengan memperhatikan keseimbangan lingkungan usaha perkebunan itu sendiri. Atas dasar pertimbangan visi dan misi inilah, ruang lingkup dalam pengelolaan perkebunan haruslah diupayakan untuk menjamin suatu keadilan (fairness) terutama bagi masyarakat kebanyakan, sebagaimana juga lingkup pengaturan di dalam RUU Perubahan UU Perkebunan haruslah dapat memberikan kondisi kerjasama yang menguntungkan antara pekebun besar dengan pekebun kecil, di samping kepastian hukum yang tepat dan tegas untuk memberikan rambu-rambu perlindungannya. Di sisi lain, lingkup pengelolaan ini juga perlu diarahkan agar tetap berkelanjutan dan mendukung penuh upaya pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup. Sementara dari sisi kelembagaan, lingkup dalam pengelolaan perkebunan haruslah dapat memposisikan peran dan kedudukan yang proporsional antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
691
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANGAN TERKAIT A.
ASAS-ASAS YANG DIGUNAKAN DALAM PENYUSUNAN NORMA Sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 2 UU Perkebunan yang menyatakan bahwa perkebunan diselenggarakan berdasarkan atas asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, serta berkeadilan. Penyusunan norma di dalam RUU Perubahan UU Perkebunan ini juga didasarkan pada norma awal tersebut. Hal ini sekiranya sejalan dengan tujuan besar yang diamanatkan di dalam Pasal 3 butir a UU Perkebunan yang menyatakan bahwa perkebunan diselenggarakan dengan tujuan meningkatkan pendapatan masyarakat. Secara prinsip memang sekiranya asas ini perlu ditambahkan dengan asas-asas lain yang meliputi penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM, demokratis, keadilan sosial dan gotong royong, sebagai satu pengikat bahwa pengelolaan perkebunan juga ditujukan untuk menjamin keberlanjutan dari perkebunan tersebut sebagai salah satu unsur dalam lingkungan hidup, di samping peningkatan fungsi dan peranannya. Beberapa asas ini menjadi substantif nilainya jika kita melihat bahwa permasalahan di dalam sektor perkebunan sangat erat kaitannya dengan permasalahan hak. Guna mendukung butir tersebut di atas, terkait dengan pengelolaan perkebunan sebagai bagian dari pelaksanaan desentralisasi, penguatan kelembagaan pada tingkat daerah perlu juga dipertimbangkan sebagai asas dasar di dalam perubahan UU Perkebunan. Pemberian peran yang tepat dan proporsional kepada pemerintah daerah dalam pengaturan sektor perkebunan dengan koridor hukum yang jelas akan dapat memberikan suatu gambaran kewenangan yang tegas bagi pemerintah daerah dalam mengelola sektor perkebunan. Kesesuaian asas yang sudah ada juga masih tetap diperhatikan, terlebih amanat asas-asas dalam UU Perkebunan pada prinsipnya menginginkan pelaksanaan pengelolaan perkebunan secara terencana, terbuka, terpadu, profesional, dan bertanggung jawab. Terkait dengan perencanaan perkebunan yang dilakukan oleh pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota yang harus memperhatikan kepentingan masyarakat, dalam kenyataannya berjalan jauh dari peran dan fungsi pemerintahan yang seharusnya lebih memperhatikan kepentingan masyarakat.. Akhirnya, dalam hal perusahaan perkebunan melakukan kemitraan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggungjawab, saling memperkuat dan saling ketergantungan dengan pekebun, dan masyarakat sekitar perkebunan, belum terlihat pola yang betul-betul menguntungkan masyarakat secara berkesinambungan, berapa lamapun perkebuan tersebut dilaksanakan. Jelas, bahwa amanat UU Perkebunan masih banyak yang belum terlaksana dengan benar dan signifikan.
B.
KETERKAITAN DENGAN PERATURAN LAIN 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria adalah merupakan pembaruan hukum di bidang agraria guna menggantikan produkuk hukum agraria pemerintahan kolonial Hindia Belanda sekaligus sebagai landasan dari pembaruan agraria yang berprinsip pada ”tanah untuk penggarap”, anti pemerasan, perlindungan kepada ekonomi lemah, menjaga kesuburan, dan tanah sebagai jaminan sosial kaum buruh. UUPA 1960 juga telah meletakan bahwa sumber-sumber agraria hanya bisa dimiliki oleh warga negara Indonesia. Meski demikian UUPA 1960 belum mengatur bagaimana memberikan hak atas tanah kepada penggarap (buruh tani dan petani tak bertanah) dan kepada golongan ekonomi lemah lainnya (petani gurem dan kelompok rentan di pedesaan lainnya). Bagaimana manfaat keberadaan lahan bagi masyarakat, walaupun tidak semuanya mau menjadi petani, yang diperkirakan proporsinya akan semakin menurun. Membagi-bagikan lahan untuk masyarakat begitu saja, tidak menjamin lahan tersebut digarap sendiri dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Bagaimanapun juga UUPA 1960 adalah undang-undang payung yang perlu didukung peraturan pelaksanannya. Problemnya adalah peraturan-peraturan tentang landreform yang pernah ada kini sudah tidak berlaku lagi. 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Keterkaitan dengan UU Kehutanan sangat nyata dalam hal begitu banyaknya kejadian alih fungsi lahan kehutanan menjadi areal perkebunan. Selain itu, dengan adanya keputusan MK Nomor 45/PUU-XI/2011 yang merubah Pasal 1 ayat 3 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, maka status kawasan hutan yang belum mendapatkan pengukuhan menjadi tidak jelas. Hal ini tentu saja perlu mendapatkan perhatian lebih.
692
Sedangkan dalam kaitannya dengan hak masyarakat adat, mengacu pada Putusan MK Nomor 34/PUU-IX/2011 tentang pengujian UU Nomor 41/1999 pasal 4 ayat 2 dan 3 tentang kehutanan, yang menajamkan kata “memperhatikan” menjadi “menghormati” hak-hak masyarakat adat, juga perlu mendapatkan porsi perhatian dalam perubahan UU Perkebunan. Persoalan lain dalam kaitannya dengan UU Kehutanan akan terkait dengan kewenangan penetapan status kawasan hutan. Kewenangan pemerintah untuk menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b UU Kehutanan adalah salah satu bentuk penguasaan negara atas bumi dan air yang dimungkinkan berdasarkan konstitusi dengan ketentuan penetapan kawasan tersebut harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dengan memperhatikan hak-hak masyarakat yang terlebih dahulu ada di wilayah tersebut. Dalam hal ini, apabila dalam wilayah tersebut terdapat hak-hak masyarakat, termasuk hak masyarakat tradisional, hak milik, atau hak-hak lainnya, maka pemerintah berkewajiban untuk melakukan penyelesaian terlebih dahulu secara adil dengan para pemegang hak. Penegasan ini dituangkan juga dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 34/ PUU-IX/2011 tentang pengujian UU Nomor 41/1999. Hal ini sekaligus perlu dijembatani dalam pembahasaan nomenklatur norma pada RUU Perubahan UU Perkebunan. 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Perkebunan di dalam tujuannya mengamanatkan tujuan pertama dari pengelolaan perkebunan adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Dalam pelaksanaannya, perencanaan pengelolaan perkebunan wajib memperhatikan aspirasi daerah dengan tetap menjunjung tinggi keutuhan bangsa dan negara. Dalam konteks kekinian dari otonomi daerah, terlebih dengan amanat pengelolaan sumber daya alam melalui PP No. 38 Tahun 2007, UU Perkebunan secara nyata tidak memberikan ruang yang cukup lega bagi daerah dalam partisipasi kewenangan di sektor perkebunan. Di sisi lain, perencanaan pembangunan yang masih bersifat sektoral dan lambatnya pengesahan rencana tata ruang wilayah beberapa daerah telah berperan serta dalam terjadinya tumpang tindih penggunaan ruang antara sektor perkebunan dengan sektor lain misalnya kehutanan, permukiman, dan pertambangan. Dalam UU Perkebunan disebutkan bahwa penunjukan kawasan perkebunan harus berbasis pada rencana tata ruang wilayah, namun pada kenyataannya saat ini masih banyak daerah yang masih menunggu disahkannya RTRW mereka. Hal ini menjadikan perencanaan pembangunan ekonomi dan infrastruktur kurang terpadu sehingga terjadi tumpang tindih dalam pengalokasian ruang dan terjadi tumpang tindih pemanfaatan lahan yang berpotensi menimbulkan konflik sosial. Konflik sosial yang tumbuh dan berkembang banyak terkait dengan permasalahan tenurial atau kepemilikan lahan. Konflik ini bisa tumbuh dari konflik sederhana menjadi skala yang masif, terlebih jika isu kepemilikan lahan terkait dengan permasalahan tanah adat. Inilah yang semestinya mendapat perhatian cukup intens di dalam perubahan UU Perkebunan, sehingga peran dan porsi daerah dapat terakomodir dengan tepat dan proporsional sehingga diharapkan terjadi satu integrasi dan keterpaduan yang selaras antara rencana pembangunan di tingkat nasional dan daerah dengan pengelolaan perkebunan. 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam pelaksanaan pengelolaan perkebunan, persinggungan dengan isu lingkungan hidup jelas merupakan persoalan utama. Terdapat beberapa permasalahan penting yang juga patut untuk diperhatikan dalam singgungannya dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yaitu dalam permasalahan: a) Air, berasal dari limbah yang mungkin timbul dari penyimpanan sludge kelapa sawit. Air penampungan sludge biasanya keruh dan asam. Dan dikarenakan mengandung bahan berbahaya beracun (B3) tentu saja limbah ini perlu untuk dikelola dengan baik. b) Tanah, perkebunan skala besar yang secara langsung mengubah fungsi lahan yang ada sebelumnya tentu saja akan mempengaruhi kesuburan tanah. c) Udara, terutama bermasalah jika melihat dalam pelaksanaan alih fungsi kawasan hutan menjadi areal perkebunan yang seringkali dilakukan dengan cara slash and burn. Tentu saja ini akan menimbulkan emisi berlebih yang dapat dikategorikan pencemaran lingkungan hidup apabila memang melampaui baku mutu lingkungan yang disyaratkan.
693
Untuk menjawab permasalahan berkaitan dengan aspek lingkungan tersebut diatas perlu penerapan perkebunan berkelanjutan. Untuk perkebunan sawit, Pemerintah telah mengeluarkan Permentan No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang merupakan mekanisme audit lingkungan yang diterapkan secara khusus bagi perkebunan kelapa sawit. Persoalan kedua sebagaimana disebutkan dalam UUPPLH ini adalah kewajiban AMDAL sebagai persyaratan Izin Lingkungan. Amdal adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan AMDAL disebutkan dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 5 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi dengan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan. Di mana dalam Permen LH ini terdapat beberapa bentuk kegiatan perkebunan yang wajib AMDAL. Oleh dari itu, pengaturan tentang hal ini perlu juga disinergiskan di dalam RUU Perubahan UU Perkebunan. Dokumen AMDAL tersebut memuat pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan, evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, saran masukan serta tanggapan masyarakat, perkiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak yang terjadi bilamana rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan, evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk menentukan layak atau tidaknya lingkungan hidup, dan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. Kewajiban AMDAL erat kaitannya dengan kewajiban UKL-UPL bagi kegiatankegiatan yang tidak tersebut dalam PermenLH No. 5 Tahun 2012, yang mana secara umum kegiatan perkebunan akan memiliki kewajiban ini. Dua kewajiban inipun akan sinergis dengan beberapa bentuk kewajiban audit lingkungan sebagai bentuk ketaatan dalam hukum lingkungan (legal compliance), yang tentu saja sinergis dengan mekanisme ISPO. 5. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Persoalan selanjutnya erat kaitannya antara UU Kehutanan dengan UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Hal ini pada dasarnya berawal dari permasalahan benturan atau ketidakharmonisan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perkebunan dengan peraturan perundangan lain yang terjadi secara horizontal (antar sektor) atau vertikal (antara pusat dan daerah). Keterkaitan ini terlihat misalnya dalam pengaturan mengenai pembukaan lahan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, yang mana terkait juga dengan UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan. Butir permasalahan terkait dengan penetapan dan alih fungsi lahan pertanian pada dasarnya terletak pada dua hal: persoalan aturan yang seringkali timpang dan kewenangan pemerintah daerah yang sering juga tidak sinkron antar peraturan yang mengaturnya. Ketidaklengkapan peraturan akan memudahkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan khususnya terkait dengan pemberian perizinan usaha kehutanan maupun izin kegiatan lain di kawasan hutan yang terkait dengan pembukaan perkebunan. UU Pertanian misalnya, memberikan kewenangan kepada Kepala Daerah untuk memberikan izin perkebunan di daerahnya. Walaupun UU Kehutanan mengatur bahwa seharusnya untuk perkebunan dilakukan perubahan peruntukan kawasan hutan terlebih dahulu, namun pada kenyataannya hal ini tidak berjalan di lapangan.
694
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS Terdapat dua isu mendasar yang menjadi landasan dasar inisiatif perubahan UU Perkebunan, yaitu isu konstitusional dan isu otonomi daerah. Kedua isu ini juga mendasari adanya usul pembentukan undang-undang sebagai suatu proses dan keputusan politik lembagalembaga yang memiliki kewenangan untuk dapat mengajukan RUU, baik Pemerintah, maupun DPR dan DPD. Proses politik ini merupakan respon atau bentuk tanggapan Presiden, DPR, dan DPD atas kebutuhan kerangka hukum yang dibutuhkan bagi pembangunan. Secara substantif, proses politik pengajuan RUU haruslah didasarkan pada 3 (tiga) landasan yaitu secara filosofis, sosiologis, dan yuridis. A. LANDASAN FILOSOFIS Landasan filosofis merupakan gagasan atau pemikiran dasar bagi pentingnya penyelenggaraan pembangunan bidang-bidang tertentu dalam rangka mewujudkan tujuan nasional, kewajiban negara melindungi masyarakat, bangsa, hak-hak dasar warga negara sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, yang relevan dengan materi RUU. Pernyataan yang secara tegas tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945 mengenai pengelolaaan sumberdaya alam di Indonesia menyiratkan prinsip geo-nasionalisme dimana kekayaan alam yang tersebar di Nusantara ini semestinya dikelola sebaik mungkin untuk kepentingan hajat hidup orang banyak dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Dengan demikian, hakikat demokrasi ekonomi ditekankan pada hak penguasaan bersama pengelolaan oleh negara atas potensi ekonomi kekayaan alam nasional dan potensi ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan adanya hak pengelolaan bersama itu, Negara dapat mengembangkan kemampuan potensi ekonomi kekayaan alam mineral dan batubara untuk kepentingan kemakmuran bersama. Kekayaan alam ini tentu saja, tersebar dari potensi lahan hingga ke kandungan alam yang ada di bawah perut Bumi. Lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan merupakan landasan hukum untuk mengembangkan perkebunan dan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Perkebunan merupakan sektor yang berperan penting dalam perekonomian nasional melalui kontribusi dalam pendapatan nasional, penyediaan lapangan kerja, penerimaan ekspor, dan penerimaan pajak. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan beberapa negara dikawasan Asia Pasifik pada tahun 1997-1998, telah membuka kesadaran dan cakrawala baru. Sektor pertanian, khususnya perkebunan, yang akhir-akhir ini daya tariknya tertutupi oleh sektor industri, mencuat kembali sebagai sektor usaha yang menarik. Bahkan berbagai kalangan melihat bahwa usaha di bidang perkebunan merupakan usaha yang strategis untuk perekonomian Indonesia , paling tidak selama 20 – 30 tahun mendatang. Akan tetapi seiring berkembangnya sektor perkebunan, berbagai persoalan terkait dengan sengketa tanah perkebunan, kerusakan lingkungan, dan tercerabutnya hak masyarakat adat mulai muncul ke permukaan. Walaupun demikian, usaha perkebunan berkembang pesat di Indonesia dan menyerap banyak tenaga kerja hingga 19,1 juta orang. Sumber devisa penerimaan ekspor dari sektor perkebunan pada 2011 senilai US$ 32,2 miliar di luar cukai rokok Rp 72 triliun dan pajak ekspor minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO) senilai Rp 28,8 triliun. Sektor perkebunan ini dapat mengentaskan kemiskinan sebanyak 200.000 kepala keluarga per tahun dan meningkatkan pendapatan petani hingga US$ 1.551 per kepala keluarga setiap 2 hektar lahannya per tahun (Ditjenbun, 2011). Permasalahan kapasitas sumber daya manusia di sektor perkebunan yang lemah. Permasalahan kapasitas pada tingkat individu mencakup kompetensi (kemampuan, kualifikasi, dan pengetahuan), sikap dan prilaku (attitude), dan integritas (etos kerja dan motivasi), maupun jiwa kepemimpinan yang kuat dari orang-orang yang bekerja dalam organisasi sebagai ujung tombak pengelolaan perkebunan di lapangan. Permasalahan di tingkat individu pada kondisi yang relatif normal biasanya disebabkan oleh situasi dalam organisasi yang tidak mendukung berkembangnya kapasitas individu. Bahkan terdapat kondisi yang orang-orang di dalam organisasi cenderung pragmatis dan selalu mencari peluang untuk pemenuhan kepentingan-kepentingan pribadinya dan belum mampu memecahkan masalah perkebunan yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Upaya-upaya pendampingan dan kemitraan merupakan proses edukasi yang sangat diperlukan untuk meningkatkan manajemen yang baik, produktivitas dan kualitas hasil, guna mewujudkan perkebunan rakyat yang unggul dan berkelanjutan B. LANDASAN SOSIOLOGIS Pertimbangan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta-fakta empiris yang berkaitan perkembangan persoalan/permasalahan, dan kebutuhan masyarakat bagi upaya pembangunan bidang yang terkait dengan materi muatan RUU. Fakta empiris ini seperti
695
halnya perkembangan lingkungan global yang didukung pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menimbulkan konsep kesatuan ekonomi dunia yang semakin tanpa batas. Di Indonesia, perkebunan yang juga memegang porsi penting dalam perekonomian bangsa, tentu saja fakta empiris di lapangan yang terkait dengan ketersinggungan antara UU Perkebunan yang ada dengan kemanfaatan sosial yang diterima masyarakat menjadi satu hal yang mendasar. Dalam hal ini, kita bisa mencermati bahwa secara faktual tersampaikan, mayoritas penduduk miskin terdapat di pedesaan di mana rumah tangga petani menjadi kelompok rentan. Sementara itu sebagian besar korban konflik agraria juga terjadi pada tingkat petani dan mitranya. Hal ini diperparah dengan kepemilikan dan sistem pewarisan lahan yang tidak mendukung usaha budidaya perkebunan rakyat. Di dalam fora masyarakat adat sendiri, status lahan adat yang tidak jelas ikut menjadi salah satu penyebab konflik. Dari poin permasalahan ini, kerentanan petani dan pertanian mewajibkan negara untuk melakukan perlindungan yang diatur dalam undang-undang yang juga dapat dipergunakan petani untuk pembelaan hak-haknya. Sehingga jelas maknanya urgensi sosiologis dari perubahan UU Perkebunan ini. C. LANDASAN YURIDIS Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum, yang antara lain apakah hukum sudah ada, apakah hukumnya sudah memadai atau tidak mengikuti perkembangan faktor empiris dalam bidang yang bersangkutan, atau kerangka regulasi yang jenisnya rendah sehingga kurang komprehensif. Secara yuridis, dapat dikatakan pula, perkembangan sektor perkebunan pun berjalan seiring berjalannya latar historis Negara ini. Dasar yuridis yang paling nyata tercantum dalam konstitusi sebagai groundnorm kita. Terutama termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945 terutama ayat (2) dan ayat(3) yang menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (ayat 2) dan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat” (ayat 3). Yang tentunya menjadi penegasan mengenai arah tujuan dari pengaturan perkebunan nantinya. Landasan yuridis ini juga terkait dengan yuridis formal atau prosedural, yaitu berdasarkan UUD 1945 Bab VII A Pasal 22C dan 22D tentang Dewan Perwakilan Daerah antara lain tugas dari DPD adalah ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan Otonomi Daerah, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Ekonomi lainnya. Landasan yuridis lainnya terkait dengan putusan atas uji materi terhadap pasal 21 dan pasal 47 UU Perkebunan, yang dilatarbelakangi oleh laporan dari beberapa petani yang mewakili masyarakat adat di beberapa wilayah di Indonesia. Beberapa petani ini adalah korban dari perusahaan perkebunan yang melakukan pengusahaan perkebunan di lahan yang diakui sebagai lahan milik masyarakat adat. Persoalan hak masyarakat adat muncul karena belum ada peraturan perundangan yang mengatur mengenai status kepemilikan lahan perkebunan yang diakui oleh masyarakat adat. Ketidakjelasan pengaturan mengenai tenurial (pendudukan /penguasaan) ini telah menjadikan lahan hutan sebagai ladang konflik. Ketiadaan hak formal masyarakat adat menyebabkan mereka tidak bisa mengambil keputusan terkait sumber daya alam di wilayah adatnya yang menjadikan potensi mereka dalam pengelolaan lahan menjadi semakin lemah. Sementara prosedur yang memungkinkan mereka memiliki pengakuan sebagai masyarakat adat terkesan sangat sulit dan berbelit. Lebih lanjut, dalam UU Perkebunan disebutkan bahwa penunjukan kawasan perkebunan harus berbasis pada rencana tata ruang wilayah, namun pada kenyataannya saat ini masih banyak daerah yang masih menunggu disahkannya RTRW mereka. Hal ini menjadikan perencanaan pembangunan ekonomi dan infrastruktur kurang terpadu sehingga terjadi tumpang tindih dalam pengalokasian ruang dan terjadi tumpang tindih pemanfaatan lahan yang berpotensi menimbulkan konflik sosial. Selain itu, penyusunan RTRW masih bersifat top down dan belum secara utuh menerapkan prinsip transparansi dan partisipasi yang hakiki sehingga masyarakat yang mengetahui kondisi sesungguhnya di lapangan tidak dapat memberikan masukan yang konstruktif terhadap dokumen tersebut. Ketiadaan partisipasi dan transparansi ini memudahkan terjadinya aktivitas penggunanaan lahan yang tidak direncanakan dalam RTRW namun terjadi di lapangan. Pijakan hukum yang lebih jelas dan tegas diperlukan untuk hal ini.
696
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG A. UMUM Beberapa hal umum yang diperhatikan di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan meliputi filosofi mendasarnya yang diantaranya meliputi halhal sebagai berikut. Selain konsideran UU Perkebunan yang perlu lebih dipertegas dalam pemaknaannya untuk meningkatkan kemanfaatan bagi kesejahteraan rakyat, beberapa nomenklatur dasar yang terdapat dalam pasal 1 juga perlu disinkronkan. Sebagai misal di dalam pengertian “perkebunan” yang tidak menunjukkan perbedaan signifikan antara “pertanian” dengan “perkebunan”. Demikian juga halnya dengan batasan antara tanaman perkebunan (estate crops) dan kehutanan/HTI (forest estate) seringkali rancu ditetapkan, sehingga perlu penegasan lebih di dalam bahasa nomenklaturnya. Nomenklatur mengenai batasan subyek hukum pelaku kegiatan perkebunan juga perlu untuk dibahas, mengingat saat ini sektor perkebunan dalam skala besar banyak dikuasai oleh perkebunan besar milik orang asing, seperti perkebunan milik Malaysia yang cukup banyak bertebaran di Sumatera dan Kalimantan. Hal ini menjadi sangat substantif terlebih mengingat tujuan besar dari UU Perkebunan pada dasarnya untuk kepentingan masyarakat. Memang, secara umum pemerataan kemanfaatan dari hasil perkebunan terhadap pekebun dan pemilik sangat berbeda jauh. Hal ini diperparah dengan permasalahan ketimpangan dalam hal penerimaan yang didapatkan negara dan penerimaan bagi daerah. Apabila penerimaan negara dari komoditi kelapa sawit, misalnya yang berupa PBB, PPN, PPH, maupun BK dijumlahkan, maka nilainya lebih besar dari laba yang diterima perusahaan. Sementara berbagai pajak ini disetor ke pusat, sehingga pemda dan masyarakat seolaholah tidak menerima manfaat langsung dari industri perkebunan. Lebih jauh lagi, perkebunan justru kerap dianggap sebagai beban sehingga hubungan antara perusahaan dengan PEMDA sering kurang serasi. Pengaturan lebih lanjut terkait penerimaan negara dan daerah perlu menjadi salah satu rujukan dalam RUU Perubahan UU Perkebunan ini. Kedua, secara umum perkebunan yang diselenggarakan berdasarkan atas asas manfaat dan berkelanjutan, yang terpadu dalam kebersamaan dan keterbukaan, untuk memperoleh berkeadilan dalam upaya meningkatkan pendapatan masyarakat tidak dapat terjamin oleh UU Perkebunan. Persoalan yang mendasar, perkebunan pada dasarnya adalah industri yang padat karya, sehingga apabila peran serta masyarakat hanya sebagai buruh, maka tidak akan banyak peningkatan kesejehtaraan dirasakan masyarakat. Oleh sebab itu, perlu ada upaya untuk memfasilitasi masyarakat sekitar untuk dapat dijadikan petani pemilik kebun. Dari segi peningkatan kesejahteraan, kisah keberhasilan paling nampak dalam sektor perkebunan terlihat pada proyek Perkebunan Inti Rakyat (PIR) Trans dimana petani penggarap berubah menjadi petani pemilik. Persoalan ketiga, secara nasional perkembangan pangsa pasar beberapa produk perkebunan utama menunjukkan adanya kecenderungan penurunan dari waktu ke waktu dan tergeser oleh beberapa negara pesaing, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, India dan Sri Lanka. Hal ini menandakan daya saing dan produk perkebunan Indonesia masih lemah. Perekonomian perkebunan juga masih didominasi oleh produk primer perkebunan. Padahal, potensi untuk mengembangkan industri hilir perkebunan masih terbuka dan pasar produk hilir perkebunan lebih prospektif. Dari beberapa contoh negara yang berhasil mengembangkan indutri hilir perkebunan dan juga produk perkebunan ditopang oleh dua infrastruktur yang kuat yaitu di aspek jalan dan pelabuhan. Di dua sektor ini, Indonesia sangat kalah dibandingkan dengan Malaysia, dan Thailand. Selain itu, pemerintah Malaysia dan Thailand memberikan perhatian yang sangat besar terhadap penelitian sehingga dana yang terkumpul dikembalikan lagi untuk penelitian dan pemasaran. Sementara itu di Indonesia lembaga penelitian perkebunan (seperti untuk komoditas sawit, karet, teh dan lainnya) harus membiayai dirinya sendiri. Berdasarkan benchmarking dari Malaysia yang telah mengalokasikan dana riset sebesar 2,5% dari nilai ekspor. Dari dana yang dihimpun tersebut, Malaysia telah berhasil mengembangkan kelapa sawit melalui penelitian. Berdasarkan hal tersebut, maka untuk mengembangkan perkebunan melalui penelitian, pengembangan sumber daya manusia dan keberlanjutan usaha perkebunan perlu mengalokasikan dana minimal 20% dari pajak ekspor hasil perkebunan. Keempat, persoalan perkebunan terkait dengan isu sosial budaya. Hal ini menjadi nyata ketika memang persoalan di sektor perkebunan juga didasari karena ketidakharmonisan antara konsep perubahan fungsi lahan dengan nilai-nilai kearifan lokal di dalam masyarakat. Dalam pelaksanaannya, pengalokasian lahan secara efisien dan adil sangat sulit dicapai. Hal ini terjadi terutama dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk serta kebijakan pengalokasian lahan masa lalu yang tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat. Persoalan ini ditambah dengan permasalahan ketika tatanan dan kebijakan di bidang agraria tidak
697
kompatibel dengan perkembangan dan kondisi sosial masyarakat. Termasuk dengan belum tertibnya sistim administrasi pertanahan, terutama dengan banyak terjadinya duplikasi pemilikan atau penguasaan lahan. Keseluruhan permasalahan ini berujung pada kepastian hukum masyarakat terhadap lahan yang belum terjamin. Termasuk juga permasalahan dalam hal kepemilikan lahan oleh masyarakat adat seperti di Papua, yang seringkali menimbulkan konflik karena ketidakjelasan status lahannya. Kelima, masih terdapat lahan perkebunan rakyat yang berada pada kawasan hutan dan telah berlangsung cukup lama dari generasi ke generasi. Hal ini menjadi permasalahan saat pemilikan lahan saat ini masih berfungsi sebagai komoditas perdagangan, belum melihat lahan dari azas manfaat. Keenam, permasalahan fasilitas pembiayaan yang masih sangat kurang untuk perkebunan rakyat. Untuk perkebunan besar swasta nasional yang mencakup 2 juta ha dibiayai dari dana kredit sebanyak 1,6 juta ha (80%), sedangkan pada perkebunan rakyat, dari 11,2 juta ha yang ada, yang dibiayai dengan kredit hanya sebanyak 2 juta ha (18%). Angka tersebut menunjukkan masih rendahnya perhatian lembaga keuangan terhadap pembangunan perkebunan rakyat. B. Konsep Penguasaan Oleh Pemerintah dan Untuk Kepentingan Masyarakat Hak menguasai oleh negara atas tanah yang kemudian diberikan kepada badan hukum sebagai Hak Guna Usaha untuk usaha perkebunan sangat dominan, sementara itu ketidakpastian hak masyarakat (lokal dan adat) atas sumberdaya lahan untuk perkebunan belum kunjung diselesaikan. Selama ini, pengembangan perkebunan besar lebih dilandasi pada pembukaan lahan hutan dalam skala besar yang dilakukan dengan mengabaikan hak-hak masyarakat di dalamnya. Pada beberapa daerah kondisi demikian ini telah menimbulkan konflik sosial serta dampak negatif terhadap lingkungan. Untuk pengembangan perkebunan yang arealnya berada dalam wilayah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada, terlebih dahulu harus dilakukan musyawarah antara pemohon hak dengan masyarakat pemegang hukum adat. Musyawarah diharapkan memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan kompensasi imbalannya. Pada beberapa program, sebagai contoh nampak pada target pemerintah tahun 2009 untuk membuka lahan hutan untuk sawit di Papua seluas 5 juta hektar, sementara total laju perluasan nasional kebun sawit sudah mecapai 800 ribu hektar per tahun. Hal tersebut tentunya menjadi permasalahan tatkala memunculkan persoalan-persoalan baru baik dalam dimensi sosial, budaya, ekonomi, maupun lingkungan. Penguasaan oleh Negara ini semestinya diwujudkan dalam konsep transfer kepemilikan perkebunan yang merata bagi rakyat. Namun sayangnya tidak demikian, yang sering terjadi adalah ambisi sepihak untuk memenuhi kepentingan investor asing, sehingga alih fungsi lahan yang tidak terkendali pun menjadi konsekuensinya. Perubahan Undang-undang ini menguatkan aspek hukum dalam hal pemberian izin ataupun perpanjangan izin Hak Guna Usaha untuk usaha perkebunan yang diperoleh dari tanah negara dialokasikan untuk kemitraan dengan bentuk kebun plasma sekurangkurangnya seluas 20% (dua puluh persen) bagi pekebun dan masyarakat sekitar kebun. Besaran nilai 20% tersebut sesuai dengan Permentan Nomor 26 Tahun 2007 dan Surat Edaran Kepala BPN No. 02/SE/XII/2012 Tentang Kewajiban Pembangunan Kebun Plasma untuk masyarakat sekitar seluas minimal 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan dan kewajiban pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR) bagi perusahaan. Perusahaan perkebunan yang telah memenuhi kewajiban mengalokasikan lahan untuk kebun plasma pada saat perpanjangan diharapkan perusahaan perkebunan mengalokasikan minimal 5% dari luas perkebunan. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dapat memperoleh manfaat dari keberadaan perusahaan perkebunan. C. Pemerataan Kepemilikan Perkebunan Konsep mendasar yang ingin diusung adalah dalam kepemilikan perkebunan. Perlu adanya pembatasan penguasaan lahan oleh pihak asing, mengingat lahan merupakan keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia. Perlu adanya penegasan mengenai batas minimum usaha perkebunan untuk usaha perkebunan rakyat dan perkebunan besar yang didanai oleh investor asing. Sejalan dengan hal ini, penetapan skala usaha perlu mempertimbangkan aspek ekonomi dan daya saing perusahaan. Sehingga diharapkan ada keseimbangan antara pemenuhan bagi kepentingan rakyat dengan jaminan investasi yang kondusif. Misalnya untuk ekspor sawit dengan kapal samudera volume pershipment 20 ribu ton. Apabila pengapalan dilakukan setiap 2 minggu, maka dengan asumsi 4 ton/ha/ th atau 0,08 ton/ha/minggu, maka luasan kebun pendukung yang diperlukan adalah 62500 ha. Apabila kebun pendukungnya lebih kecil, maka frekuensi ekspor akan menjadi lebih jarang sehingga biaya menjadi meningkat dan mutu turun. Kemungkinan lain adalah adanya pedagang pengumpul minyak sawit yang tentunya menambah rantai tata niaga yang pada akhirnya akan menurunkan harga TBS di tingkat petani.
698
D. Perimbangan Kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Menjadi penting sifatnya perimbangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam kewenangan pengelolaan perkebunan, termasuk juga di dalamnya perimbangan dalam penerimaan pusat dan daerah dari sektor perkebunan. Dengan amanat yang tegas di dalam UU Pemerintahan Daerah dan juga PP No. 38 Tahun 2007, kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam diberikan kepada pemerintah daerah. Hal ini tentu saja perlu dijembatani untuk menjamin kemanfaatan dari perkebunan itu sendiri bagi masyarakat. Undang-Undang Perkebunan di dalam tujuannya mengamanatkan tujuan pertama dari pengelolaan perkebunan adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Dalam pelaksanaannya, perencanaan pengelolaan perkebunan wajib memperhatikan aspirasi daerah dengan tetap menjunjung tinggi keutuhan bangsa dan negara. Dalam konteks kekinian dari otonomi daerah, terlebih dengan amanat pengelolaan sumber daya alam melalui PP No. 38 Tahun 2007, UU Perkebunan secara nyata tidak memberikan ruang yang cukup lega bagi daerah dalam partisipasi kewenangan di sektor perkebunan. E. Integrasi antara Hulu dan Hilir dalam Industri Perkebunan Integrasi antara hulu dan hilir sangat diperlukan. Dalam hilirisasi memang terjadi penambahan “value chain” yang juga berarti penambahan tenaga kerja terserap. Namun, hilirisasi perlu memperhatikan kemampuan industri untuk menembus pasar produk hilir, volume yang diminta. Jangan sampai untuk merangsang pengembangan industri hilir yang hanya menyerap 500 ribu ton CPO/tahun misalnya, seluruh industri hulu dirugikan. Ini terjadi pada industri minyak goreng. Kebutuhan minyak goreng hanya sekitar 1,5 juta ton/th tetapi aturan Bea Keluar (yang awalnya untuk menjaga harga minyak goreng dalam negeri) berlaku untuk semua CPO yang diekspor (15 juta ton). Lebih lanjut lagi, akses pemasaran produk perkebunan masih terbatas serta masih panjangnya rantai pemasaran produk-produk perkebunan yang mengakibatkan rendahnya posisi tawar petani sebagai akibat. Pada pasar primer, yaitu pasar hasil perkebunan dari Perkebunan Rakyat (PR), pekebun yang berjumlah ribuan dan terpencar berhadapan dengan beberapa pedagang (desa sampai kabupaten) dan karena sifat produk perkebunan yang harus diolah berhadapan dengan “kelompok” industri pengolahan primer. Struktur pasar yang berkembang cenderung kearah struktur pasar tidak bersaing (oligopsoni). Pengembangan Pekebunan Rakyat (PR), seperti pada pola kemitraan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) untuk mengubah struktur pasar oligopsoni justru terjebak pada munculnya struktur pasar monopsoni dimana pekebun berhadapan langsung dengan industri pengolahan. Produk perkebunan merupakan produk yang diperdagangkan secara internasional sehingga mekanisme pasar terjadi di pasar internasional. Dengan keterbatasan aksesnya, pekebun pada PR tidak mendapatkan informasi pasar secara efektif. Informasi pasar (harga, mutu, jumlah yang dibutuhkan, dan lain-lain) yang diperoleh secara efektif berasal dari pedagang atau industri pengolahan. Akibatnya, pekebun memperoleh informasi pasar yang bersifat tidak simetris. Integrasi dalam industri perkebunan demikian menjadi sangat perlu sifatnya. F. Besaran Sanksi Pidana Seiring dengan putusan MK yang meniadakan Pasal 21 UU Perkebunan, terdapat kekosongan pengaturan yang perlu untuk dapat melindungi usaha perkebunan dari ancaman dan gangguan seperti perusakan, pembakaran, pembalakan, dan pengambilan tanpa izin. Sehingga perlu ada penambahan satu pasal khusus yang dapat menggantikan keberadaan Pasal 21 UU Perkebunan tersebut. Di samping itu, UU Perkebunan telah berselang 9 (sembilan) tahun, di mana banyak sekali perubahan dalam berbagai sektor. Terkait dengan usaha perkebunan, nilai riil potensi perkebunan sangatlah tinggi dan beberapa menunjukkan kenaikan yang sangat signifikan. Potensi ini perlu dilindungi untuk menjamin kemanfaatan nyata bagi masyarakat. Tentu saja kekhawatiran kita adalah penguasaan yang tidak tepat hingga ke arah usaha perkebunan yang ceroboh dan melanggar sekian banyak norma sehingga menimbulkan kerugian baik bagi manusia maupun lingkungan secara umum. Dalam perubahan Undang-undang ini perlu ditetapkan sanksi yang besarannya disesuaikan dengan nilai denda yang diancamkan sesuai dengan nilai komoditi perkebunan yang dapat rusak akibat suatu perbuatan tindakan pidana. Perubahan ancaman sanksi penjara dan denda diharapkan juga bisa memberikan efek jera (detterent effect) yang lebih, sekaligus sebagai upaya preventif atas kerusakan lingkungan terutama dalam sub sektor perkebunan. G. RUANG LINGKUP MATERI Beberapa ketentuan baru yang diusulkan oleh Tim Perumus meliputi perubahan yang bersifat substantif namun demikian tidak mengubah keseluruhan makna dari UU Perkebunan. Atas pertimbangan ini, RUU Perkebunan yang diajukan ini adalah RUU Perubahan.
699
Beberapa usulan substantif di dalam RUU Perkebunan ini bertujuan untuk memberikan definisi dan pembahasan yang meliputi: 1. Frasa dalam konsiderans diubah untuk disesuaikan dengan semangat perubahan yang diusung oleh rancangan undang-undang ini. Untuk selanjutnya dibahasakan sebagai berikut: a. bahwa perkebunan sebagai salah satu media dalam pengelolaan kekayaan alam tak terbarukan karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi bumi Indonesia mempunyai kedudukan dan peran penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh Negara untuk pencapaian kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan; b. bahwa kegiatan perkebunan perlu diatur kebijakan dan pengaturan dalam pengelolaan serta pengawasannya sehingga dapat memberikan nilai tambah secara nyata untuk pertumbuhan ekonomi nasional, pembangunan daerah secara berkelanjutan, maupun tingkat kesejahteraan masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan; c. bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional, dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang perkebunan yang dapat memberikan jaminan hukum terpadu dalam pengelolaan dan pengusahaan perkebunan yang bermanfaat, terpadu, transparan, berkeadilan serta berwawasan lingkungan; 2. Ketentuan Umum ditambahkan beberapa istilah baru yang ditujukan untuk dapat memberikan kejelasan terhadap beberapa nomenklatur, seperti tanaman perkebunan, izin usaha perkebunan, kemitraan perkebunan, serta agribisnis. Di samping itu juga ditambahkan istilah baru untuk menyesuaikan dengan UU Pemerintahan Daerah. 3. Adapun materi yang akan diatur meliputi beberapa hal, seperti misalnya: a. Peredaksian asas serta fungsi dari UU Perkebunan yang perlu disusun lebih runut dengan tingkat keterbacaan lebih jelas bagi masyarakat. Di samping peredaksian ulang ini untuk menyesuaikan dengan UU Pembentukan Peraturan Perundangundangan. b. Konsep perencanaan perkebunan yang lebih dirinci dan dipertegas sebagai suatu keterpaduan kebijakan yang wajib dipenuhi oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dalam mengupayakan usaha perkebunan yang lebih maju dan berhasil guna nyata bagi masyarakat. c. Perlunya penegasan terkait kedudukan hak ulayat masyarakat hukum adat dalam penentuan lahan perkebunan. Hal ini sangat mendesak mengingat konflik sosial yang sedemikian banyak akibat dinegasikannya hak-hak masyarakat adat dalam pengalih fungsian areal hutan sebagai lahan perkebunan. Sekaligus ini menjadi sinergi dengan penegasan yang telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dalam penafsiran yang semestinya diterapkan pada frasa “yang senyatanya ada” dalam definisi tentang masyarakat adat. d. Jangka waktu Hak Guna Usaha (HGU) yang perlu diperjelas mengenai mekanisme peruntukkan serta perpanjangan. Terutama peruntukkan yang wajib dialokasikan sekian persen untuk pola kemitraan bagi pekebun dan masyarakat sekitar lahan perkebunan. Hal ini perlu sebagai upaya menjamin kepastian hukum atas pelaksanaan Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman Izin Usaha Perkebunan yang sampai saat ini masih banyak kendala dalam pelaksanaannya. e. Komposisi kepemilikan saham antara perusahaan asing dengan usaha perkebunan nasional yang perlu dipertegas, sehingga diharapkan tidak lagi terulang kondisi saat ini yang cukup banyak penguasaan penuh perkebunan kita oleh perusahaan asing. f. Kewenangan dan posisi tawar pemerintah daerah di dalam perizinan perkebunan dan kebijakan perkebunan juga menjadi salah satu substansi yang akan diubah dalam Perubahan UU Perkebunan ini. Hal ini mendesak mengingat perkembangan wewenang daerah atas sumber daya alam dan lingkungan hidup yang semakin luas saat ini seiring dengan penerapan PP No. 38 Tahun 2007. g. Penegasan peraturan tentang Dewan Komoditas yang semestinya secara akademis memiliki kemanfaatan yang signifikan, namun sayangnya di dalam UU Perkebunan tidak dipertegas komponen maupun fungsi dan kedudukannya. h. Amanat pengalokasian sekian persen dari pajak ekspor yang wajib diperuntukkan bagi riset bidang perkebunan serta penjagaan sustainability dari usaha perkebunan di daerah menjadi salah satu substansi yang cukup urgen juga. i. Ketentuan pidana yang perlu dipertegas dan diatur ulang besaran sanksinya guna memberi kepastian hukum serta ancaman yang tegas akan risiko kerugian di sub sektor perkebunan akibat perbuatan pidana. Nilai besaran denda dan pidana penjara juga menjadi pertimbangan yang utama.
700
BAB VI PENUTUP A. SIMPULAN Perlu diakui bahwa naskah akademik ini masih jauh dari sempurna, namun untuk saat ini dinilai telah memadai dijadikan dasar dalam rangka penyempurnaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Perkebunan. Hal ini tercermin dari materi yang dimuat dalam naskah akademik ini yang secara substansial dapat dituangkan dalam rumusan bab, pasal dan ayat yang melengkapi kekurangan yang terdapat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008. Dengan demikian, melalui perumusan yang cermat dan mengakomodasi seluruh kondisi empirik dari pengalaman pelaksanaan sebelumnya, hasil penyempurnaan UndangUndang Perkebunan ini dapat dijadikan dasar, visi dan misi pengelolaan perkebunan di masa datang. B. SARAN Mendasarkan pada pertimbangan di dalam Naskah Akademik ini, beberapa saran untuk mendukung Naskah Akademik ini adalah: 1. Perlunya sinkronisasi sekaligus integrasi dalam penyusunan draft Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan dari RUU ini. Terlebih dengan pertimbangan bahwa ketentuan di dalam RUU ini pada dasarnya melakukan suatu simplifikasi UU, sehingga banyak ketentuan dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Perkebunan yang sifatnya teknis-praktis dikeluarkan dari draft untuk dapat disusun ulang di dalam draft PP. 2. RUU Perkebunan perlu untuk disegerakan penyusunan dan legislasinya, mengingat tingkat urgensi permasalahan yang ada di dalam sektor perkebunan, seperti misalnya konflik sosial masyarakat yang timbul dan permasalahan alih fungsi lahan. Apalagi dengan adanya beberapa permasalahan perkebunan yang ada di daerah, tingkat mendesak dari RUU semakin terlihat. LAMPIRAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG PERKEBUNAN
701
702
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA
BAGIAN KEDUA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ... TENTANG PERKEBUNAN
JAKARTA 2013 703
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ... TENTANG PERKEBUNAN
PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN 2013 TENTANG PERKEBUNAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, I. UMUM Menimbang
704
: a. bahwa sumber daya alam Indonesia yang meliputi bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, merupakan karunia dan amanat Tuhan Yang Maha Esa yang harus diolah dan dimanfaatkan untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat secara berkeadilan dan berkelanjutan; b. bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu membentuk UndangUndang tentang Perkebunan;
Lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan merupakan landasan hukum untuk mengembangkan perkebunan dan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Perkebunan merupakan sektor yang berperan penting dalam perekonomian nasional melalui kontribusi dalam pendapatan nasional, penyediaan lapangan kerja, penerimaan ekspor, dan penerimaan pajak. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan beberapa negara dikawasan Asia Pasifik pada tahun 1997-1998, telah membuka kesadaran dan cakrawala baru. Sektor pertanian, khususnya perkebunan, yang akhir-akhir ini daya tariknya tertutupi oleh sektor industri, mencuat kembali sebagai sektor usaha yang menarik. Bahkan berbagai kalangan melihat bahwa usaha di bidang perkebunan merupakan usaha yang strategis untuk perekonomian Indonesia, paling tidak selama 20–30 tahun mendatang. Akan tetapi seiring berkembangnya sektor perkebunan, berbagai persoalan terkait dengan sengketa tanah perkebunan, kerusakan lingkungan, dan tercerabutnya hak masyarakat adat mulai muncul ke permukaan. Usaha perkebunan berkembang pesat di Indonesia dan dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar yang mencapai 19,1 juta orang. Sumber devisa penerimaan ekspor dari sektor perkebunan pada tahun 2011 senilai US$ 32,2 miliar di luar cukai rokok yang mencapai Rp 72 triliun dan pajak ekspor minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO) senilai Rp 28,8 triliun. Sektor perkebunan ini dapat mengentaskan kemiskinan sebanyak 200.000 kepala ke¬-luarga per tahun dan meningkatkan pendapatan petani hingga US$ 1.551 per kepala keluarga per tahun dengan kepemilikan kebun 2 hektar. Dalam UU Perkebunan yang ada belum mengatur tentang luas luas maksimum yang dikuasai oleh orang per orang dan perusahaan perkebunan. Hal ini dikhawatirkan bahwa sebagian besar hak guna usaha dikuasai oleh beberapa perusahaan saja, yang lambat laun dapat mengurangi ketersediaan lahan untuk masyarakat tempatan atau masyarakat adat, yang kemudian dapat menimbulkan konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan perkebunan. Di samping itu, adanya sanksi administrasi dan pidana yang dikenakan terhadap setiap orang yang melanggar kewajiban dan melakukan perbuatan yang dilarang dalam UU Perkebunan merupakan permasalahan tersendiri yang harus segera diselesaikan. Permasalahan ini muncul karena muatan materi mengenai “larangan melakukan suatu perbuatan” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 47 Undang Undang No 18 Tahun 2004 dirumuskan secara samar-samar
dan tidak jelas dan rinci. Sehingga berpotensi dan memberikan peluang dan keleluasaan untuk disalahgunakan. Ketentuan ini telah diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan registrasi Nomor 55/PUUVIII/2010 dan telah diputuskan pada 6 September 2012. Di dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi mencabut Pasal 21 dan 47 UU No. 18 Tahun 2004. Pasal 21 tentang larangan tindakan yang berakibat pada kerusakan ke¬-bun, sedangkan Pasal 47 tentang sanksi hukum bagi yang melanggar ketentuan dalam pasal tersebut. Pasal itu dicabut oleh MK, dengan alasan kekha¬wa¬tiran kriminalisasi perusahaan perkebunan terhadap rakyat. Di sisi lain, dalam Peraturan Menteri, tidak ada sanksi hukum, tetapi hanya sanksi administrasi. Uji materi terhadap pasal 21 dan pasal 47 UU Perkebunan, dilatarbelakangi oleh laporan dari beberapa petani yang mewakili masyarakat adat di beberapa wilayah di Indonesia. Beberapa petani ini adalah korban dari perusahaan perkebunan yang melakukan pengusahaan perkebunan di lahan yang diakui sebagai lahan milik masyarakat adat. Persoalan hak masyarakat adat muncul karena belum ada peraturan perundangan yang mengatur mengenai status kepemilikan lahan perkebunan yang diakui oleh masyarakat adat. Ketidakjelasan pengaturan mengenai tenurial (pendudukan/ penguasaan) ini telah menjadikan lahan hutan sebagai ladang konflik. Ketiadaan hak formal masyarakat adat menyebabkan mereka tidak bisa mengambil keputusan terkait sumber daya alam di wilayah adatnya yang menjadikan potensi mereka dalam pengelolaan lahan menjadi semakin lemah. Sementara prosedur yang memungkinkan mereka memiliki pengakuan sebagai masyarakat adat terkesan sangat sulit dan berbelit. Mencermati perkembangan terkini dalam bidang perkebunan di Indonesia, termasuk hasil judicial review dari Mahkamah Konstitusi tersebut, menjadi urgen sifatnya untuk merubah peraturan tentang perkebunan untuk diarahkan sebagai salah satu bentuk pengelolaan sumber daya alam yang perlu dilakukan secara terencana, terbuka, terpadu, profesional, dan bertanggung jawab. Wacana revisi UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dinilai perlu dipercepat agar memiliki landasan kuat dalam pembangunan perkebunan ke depan, karena konflik lahan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Mengingat:
Pasal 20, Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERKEBUNAN.
705
II. Pasal-perpasal BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Cukup Jelas. 1. Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/ atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. 2. Tanaman Perkebunan adalah tanaman tertentu baik sifatnya musiman dan/atau tahunan yang jenis dan tujuan pengelolaannya ditetapkan sebagai tanaman perkebunan. 3. Usaha perkebunan adalah usaha yang menghasilkan barang dan/atau jasa perkebunan. 4. Pelaku usaha perkebunan adalah pekebun dan perusahaan perkebunan yang mengelola usaha perkebunan. 5. Pekebun adalah perorangan warga negara Indonesia yang melakukan usaha perkebunan dengan skala usaha tidak mencapai skala tertentu. 6. Perusahaan perkebunan adalah pelaku usaha perkebunan warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang mengelola usaha perkebunan dengan skala tertentu. 7. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. 8. Skala tertentu adalah skala usaha perkebunan yang didasarkan pada luasan lahan usaha, jenis tanaman, teknologi, tenaga kerja, modal dan/atau kapasitas pabrik yang diwajibkan memiliki izin usaha. 9. Izin Usaha Perkebunan yang selanjutnya disingkat IUP adalah izin tertulis dari pejabat yang berwenang dan wajib dimiliki oleh perusahaan yang melakukan usaha budidaya perkebunan dan terintegrasi dengan usaha industri pengolahan hasil perkebunan. 10. Industri pengolahan hasil perkebunan adalah kegiatan penanganan dan pemrosesan yang dilakukan terhadap hasil tanaman perkebunan yang ditujukan untuk mencapai nilai tambah yang lebih tinggi. 11. Hasil perkebunan adalah semua barang dan jasa yang berasal dari perkebunan yang terdiri dari produk utama, produk turunan, produk sampingan, produk ikutan, dan produk lainnya. 12. Agribisnis perkebunan adalah suatu pendekatan usaha perkebunan yang terpadu dan tersistem dari hulu sampai hilir, mulai dari budidaya, penyediaan bahan baku, pascapanen, proses pengolahan, pemasaran, maupun kegiatan jasa lainnya. 13. Kemitraan perkebunan adalah hubungan kerja yang saling menguntungkan, menghargai, bertanggung jawab, memperkuat, dan saling ketergantungan antara perusahaan perkebunan dengan pekebun, karyawan, dan masyarakat sekitar perkebunan. 14. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
706
15. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. 16. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perkebunan. BAB II ASAS, TUJUAN, DAN, FUNGSI Pasal 2 Perkebunan diselenggarakan atas asas: a. manfaat;
Pasal 2 Huruf a
b. keadilan dan keseimbangan;
Yang dimaksud dengan asas manfaat adalah bahwa penyelenggaraan perkebunan harus dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Huruf b
c.
keterpaduan;
Yang dimaksud dengan asas keadilan dan keseimbangan adalah bahwa agar dalam setiap penyelenggaraan perkebunan harus memberikan peluang dan kesempatan yang sama secara proporsional kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya. Demikian juga seimbang porsi pengaturannya oleh Pemerintah dalam setiap komoditi yang ada. Huruf c
d. keterbukaan;
Yang dimaksud dengan asas keterpaduan adalah bahwa penyelenggaraan perkebunan harus dilakukan dengan memadukan subsistem produksi, pengolahan, dan pemasaran hasil perkebunan. Huruf d
e. partisipatif dan kebersamaan;
Yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah bahwa penyelenggaraan perkebunan dilakukan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat dan didukung dengan pelayanan informasi yang dapat diakses oleh masyarakat. Huruf e Yang dimaksud dengan asas partisipatif dan kebersamaan adalah bahwa agar dalam setiap penyelenggaraan perkebunan menerapkan kemitraan secara terbuka sehingga terjalin saling keterkaitan dan saling ketergantungan secara sinergis antar pelaku usaha perkebunan.
f.
kearifan lokal; dan
Huruf f Yang dimaksud dengan kearifan lokal adalah bahwa penyelenggaraan perkebunan harus dilakukan dengan memperhatikan karakteristik khas daerah serta menghormati nilai-nilai kearifan tradisional yang ada di dalam masyarakat.
707
g. berkelanjutan.
Huruf g Yang dimaksud dengan berkelanjutan adalah bahwa penyelenggaraan perkebunan harus dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan mengupayakan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan memperhatikan kondisi sosial budaya. Pasal 3
Pasal 3 Perkebunan diselenggarakan dengan tujuan: a. meningkatkan pendapatan masyarakat; b. meningkatkan penerimaan negara; c. meningkatkan penerimaan devisa negara; d. menyediakan lapangan kerja; e. meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing; f. memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri; dan g. mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Pasal 4 Perkebunan mempunyai fungsi: a. ekonomi, yaitu penguatan struktur ekonomi daerah dan Negara melaui peningkatan pendapatan dan kesejahteraan rakyat; b. ekologi, yaitu peningkatan konservasi tanah dan air, penyerap karbon, penyedia oksigen, dan penyangga kawasan lindung; dan
Pasal 4
c.
Cukup Jelas.
Huruf a Cukup Jelas. Huruf b
Yang dimaksud dengan fungsi ekologis didasarkan untuk mencapai keberlanjutan ekologis dari perkebunan sebagai salah satu unsur penyangga kehidupan. Dalam mendukung fungsi ini, penanggung jawab usaha perkebunan mengalokasikan dana kompensasi yang difungsikan untuk pemulihan lingkungan. Hal tersebut meliputi juga kewajiban pelaksanaan audit lingkungan sebagai sarana untuk memantau upaya pengelolaan lingkungan hidup. sosial budaya, yaitu sebagai perekat dan pemersatu Huruf c bangsa. Yang dimaksud dengan fungsi secara sosial budaya harus dimaknai untuk mencapai keterpaduan antara sistem perkebunan yang ada dengan sistem sosial masyarakat khususnya pada daerah lokasi perkebunan tersebut. BAB III RUANG LINGKUP
Pasal 5 Ruang lingkup pengaturan perkebunan meliputi: a. perencanaan; b. penggunaan tanah; c. pemberdayaan dan pengelolaan usaha; d. pengolahan dan pemasaran hasil; e. penelitian dan pengembangan; f. pengembangan sumber daya manusia;
708
Pasal 5 Cukup jelas.
g. pembiayaan;dan h. pembinaan dan pengawasan.
BAB IV PERENCANAAN PERKEBUNAN Pasal 6 (1) Perencanaan perkebunan dimaksudkan untuk memberikan arah dan pedoman dalam pencapaian, pemanfaatan, serta pengendalian tujuan penyelenggaraan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (2) Perencanaan perkebunan terdiri dari perencanaan nasional, perencanaan provinsi, dan perencanaan kabupaten/kota.
Pasal 6 Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan perencanaan perkebunan adalah perencanaan makro baik nasional, provinsi maupun kabupaten/kota, bukan perencanaan usaha/perencanaan mikro yang dilakukan oleh pelaku usaha perkebunan.
(3) Perencanaan perkebunan dilakukan secara terpadu Ayat (3) oleh Pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan masyarakat. Cukup Jelas. Pasal 7 Pasal 7 (1) Perencanaan perkebunan dilaksanakan melalui tahapan: Ayat (1) a. identifikasi dan inventarisasi komoditas perkebunan; Huruf a dan Identifikasi dan inventarisasi komoditas perkebunan dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi mengenai potensi dan ketersediaan dari komoditas perkebunan. b. penetapan database peruntukan dan penggunaan Huruf b lahan. Penetapan database peruntukan dan penggunaan lahan dilaksanakan untuk menentukan alokasi pemanfaatan lahan secara berkelanjutan pada sektor perkebunan. (2) Perencanaan perkebunan secara Nasional dilaksanakan Ayat (2) dengan memperhatikan perencanaan perkebunan di tingkat provinsi. Cukup Jelas (3) Perencanaan perkebunan di tingkat provinsi dilaksanakan Ayat (3) dengan memperhatikan perencanaan perkebunan di tingkat kabupaten/kota. Cukup Jelas. (4) Ketentuan mengenai perencanaan perkebunan Ayat (4) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Cukup Jelas.
Pasal 8
Pasal 8
Cukup Jelas.
(1) Perencanaan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 disusun oleh Menteri, gubernur, atau bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Perencanaan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam rencana jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. (3) Menteri menetapkan identifikasi dan inventarisasi komoditas perkebunan pada tingkat nasional.
709
(4) Penetapan identifikasi dan inventarisasi komoditas perkebunan pada tingkat daerah dilakukan oleh gubernur atau bupati/walikota dengan berdasarkan pada hasil identifikasi dan inventarisasi komoditas perkebunan tingkat nasional. Pasal 9
Pasal 9
Cukup Jelas.
(1) Penyusunan rencana pengelolaan perkebunan oleh pelaku usaha perkebunan wajib memperhatikan perencanaan perkebunan nasional dan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. (2) Penyusunan rencana pengelolaan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c memuat: a. rencana pemanfaatan perkebunan; b. pengendalian dan pelestarian lingkungan; dan c. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
Pasal 10
Pasal 10
(1) Perencanaan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9 dilakukan dilakukan berdasarkan: a. rencana pembangunan nasional; b. rencana tata ruang wilayah; c. ketersediaan dan kesesuaian peruntukan tanah untuk usaha perkebunan; d. pembangunan berkelanjutan; e. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; f. kondisi sosial dan budaya; g. pelestarian lingkungan hidup; h. Aspirasi, kepentingan dan kebutuhan masyarakat; i. perkembangan dan kebutuhan pasar; dan j. aspirasi daerah dengan tetap menjunjung tinggi keutuhan bangsa dan negara; dan k. karakteristik atau kekhasan daerah. (2) Perencanaan perkebunan meliputi: a. wilayah; b. tanaman perkebunan; c. sumber daya manusia; d. kelembagaan; e. keterkaitan dan keterpaduan hulu-hilir; f. sarana dan prasarana; dan g. pembiayaan. Pasal 11 Pasal 11 Perencanaan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10 pelaksanaannya berdasarkan prinsip:
710
Cukup Jelas.
a.
Terukur,
Huruf a
b.
c.
Dapat dilaksanakan;
Yang dimaksud dengan terukur adalah bahwa perencanaan perkebunan dapat diukur pelaksanaannya. Huruf b
Realistis dan bermamfaat;
Yang dimaksud dengan dapat dilaksanakan adalah bahwa perencanaan perkebunan dapat dilaksanakan di masyarakat. Huruf c
d.
Partisipatif
Yang dimaksud dengan realistis dan bermamfaat adalah bahwa perena\canaan perkebunan harus disusn secara realistis dan mempunyai mamfaat bagi masyarakat. Huruf d Yang dimaksud dengan partisipatif adalah proses penyusunan rencana yang melibatkan partisipasi masyarakat dan pihak terkait.
e.
f.
g.
Terpadu
Huruf e
Terbuka;
Yang dimaksud dengan terpadu adalah bahwa rencana nasional, provinsi dan kabupaten/kota disusun secara terkoordinasi, terintegrasi, dan tersinkronisasi. Huruf f
Akuntabel
Yang dimaksud dengan terbuka adalah bahwa informasi mengenai perencanaan dapat diakses oleh masyarakat. Huruf g Yang dimaksud dengan akuntabel adalah bahwa perencanaan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
BAB V PENGGUNAAN TANAH UNTUK USAHA PERKEBUNAN
(1)
Pasal 12 Pasal 12 Dalam rangka penyelenggaraan usaha perkebunan, Ayat (1) kepada pelaku usaha dapat diberikan hak atas tanah yang diperlukan untuk usaha perkebunan berupa hak Pemberian hak milik dilakukan oleh pejabat milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan/atau hak yang berwenang atas permohonan pekebun. pakai sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemberian hak guna usaha dilakukan oleh pejabat yang berwenang atas tanah negara berdasarkan permohonan perusahaan perkebunan. Pemberian hak guna bangunan dilakukan oleh pejabat yang berwenang atas permohonan pelaku usaha perkebunan apabila diperlukan dalam area perkebunannya. Pemberian hak pakai dilakukan oleh pejabat yang berwenang atas tanah negara sesuai dengan peruntukannya.
711
(2)
(3)
Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah Ayat (2) hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada, sebelum pemberian hak Cukup Jelas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilakukan musyawarah antara pemohon hak dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Musyarawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Ayat (3) dilakukan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah,kompensasi imbalannya, serta hak dan Yang dimaksud dengan musyawarah dengan kewajiban bagi masyarakat yang bermukim di sekitarnya masyarakat hukum adat pemegang hak dengan difasilitasi oleh pemerintah daerah setempat. ulayat adalah musyawarah yang dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat atau setidaknya lebih dari 50 % (lima puluh perseratus), tidak dapat diwakili oleh pemuka adat saja. Frasa “menurut kenyataannya masih ada” dimaksudkan dalam hal masyarakat adat wajib memenuhi unsur: a. masyarakat masih dalam paguyuban (rechtsgemeinscaft);
bentuk
b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat; c. ada wilayah hukum adat yang jelas; d. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; dan e. ada pengukuhan dengan peraturan adat. Pasal 13
Pasal 13
(1) (2) (3)
(4)
(5)
712
Menteri menetapkan batasan luas maksimum dan luas minimum penggunaan tanah untuk usaha perkebunan. Pemberian hak atas tanah ditetapkan oleh instansi yang berwenang dibidang pertanahan. Dalam menetapkan luas maksimum dan luas minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berpedoman pada: a. jenis tanaman; b. ketersediaan tanah yang sesuai dengan agroklimat; c. modal; d. kapasitas pabrik; e. aspek ekonomi dan daya saing industri; f. tingkat kepadatan penduduk; g. pola pengembangan usaha; h. kondisi geografis; dan i. perkembangan teknologi. Pemegang hak usaha perkebunan dilarang memindahkan hak atas tanah usaha perkebunan yang mengakibatkan terjadinya satuan usaha yang kurang dari luas minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Larangan pemindahan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertujuan agar tidak terjadi pemecahan pada batas minimum luas tanah perkebunan yang dapat mengubah peruntukan dan penggunaannya.
Cukup Jelas.
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 14 Hak guna usaha untuk usaha perkebunan diberikan dengan jangka waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun. Jangka waktu sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), atas permohonan pemegang hak diberikan perpanjangan waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun oleh instansi yang berwenang di bidang pertanahan.
Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Perpanjangan hak guna usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan setelah diberikan penilaian oleh Menteri bahwa pemegang hak guna usaha telah memenuhi kewajibannya dan melaksanakan pengelolaan kebun sesuai ketentuan teknis yang ditetapkan.
Ketentuan dan prosedur pemberian hak guna usaha dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Perpanjangan hak guna usaha sebagaimana dimaksud Ayat (3) pada ayat (2) diberikan setelah diberikan penilaian oleh Menteri bahwa pemegang hak guna usaha telah Cukup Jelas. memenuhi kewajibannya dan melaksanakan pengelolaan kebun sesuai ketentuan teknis yang ditetapkan. Setelah jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir, atas permohonan bekas pemegang hak diberikan hak guna usaha baru, dengan jangka waktu sebagaimana yang ditentukan pada ayat (1) dan persyaratan yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 15
Pasal 15
(1)
(2)
(3)
Cukup Jelas.
Hak Guna Usaha untuk usaha perkebunan yang diperoleh dari tanah negara wajib mengalokasikan peruntukan lahan bagi kemitraan dengan pekebun dan masyarakat sekitar kebun sekurang-kurangnya seluas 20% (dua puluh perseratus) yang diwujudkan dalam bentuk kebun plasma. Penentuan pekebun dan masyarakat sekitar kebun yang wajib diikutsertakan dalam kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Kepala Daerah dengan memperhatikan masukan dari perusahaan perkebunan. Perusahaan perkebunan yang telah memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diwajibkan mengalokasikan peruntukkan lahan tambahan bagi kemitraan dengan pekebun, masyarakat sekitar kebun, pemerintah daerah, dan/atau badan usaha milik daerah paling sedikit seluas 5% (lima perseratus) sebagai syarat dalam perpanjangan hak guna usaha. Pasal 16
Pasal 16
Cukup Jelas.
Bagi perusahaan perkebunan yang sebelumnya sudah memiliki hak guna usaha yang berasal dari tanah negara, kewajiban penyediaan alokasi peruntukan lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ditetapkan sebagai syarat dalam perpanjangan hak guna usaha. Pasal 17
Pasal 17
Cukup Jelas.
713
(1) Pemenuhan kewajiban alokasi peruntukan lahan untuk kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16 ini menjadi dasar penilaian oleh Menteri terhadap pelaksanaan izin usaha perkebunan. (2) Ketentuan lebih lanjut tentang pengalokasian peruntukan lahan bagi kemitraan dengan masyarakat diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 18
Pasal 18
(1)
(2)
Cukup Jelas.
Apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun, hak guna usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) tidak dimanfaatkan sesuai dengan rencana peruntukannya dan/atau diterlantarkan, Menteri dapat mengusulkan kepada instansi yang berwenang di bidang pertanahan untuk menghapus hak guna usaha tersebut. Pencabutan hak guna usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban hukum pemilik hak apabila telah terjadi perubahan fungsi lahan atau dampak lingkungan terhadap bidang tanah hak guna usaha tersebut.
BAB VI PEMBERDAYAAN DAN PENGELOLAAN USAHA PERKEBUNAN Bagian Kesatu Pelaku usaha Perkebunan Pasal 19
Pasal 19
(1) (2)
(3) (4)
Cukup Jelas.
Usaha perkebunan dapat dilakukan di seluruh wilayah Indonesia oleh pelaku usaha perkebunan baik pekebun maupun perusahaan perkebunan. Badan hukum asing atau perorangan warga negara asing yang akan melakukan usaha perkebunan wajib bekerja sama dengan pelaku usaha perkebunan nasional dengan membentuk badan hukum Indonesia. Komposisi pemilikan saham oleh pelaku usaha perkebunan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit 51% (lima puluh satu perseratus). Badan hukum asing atau perorangan warga negara asing melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi berupa larangan membuka usaha perkebunan.
Pasal 20 Pasal 20 Pengalihan kepemilikan badan hukum pelaku usaha perkebunan Komposisi pemilikan saham antara badan yang belum terbuka dan/atau mengalami kepailitan kepada hukum asing atau perorangan warga negara badan hukum asing, harus memenuhi ketentuan sebagaimana asing pelaku usaha perkebunan nasional dimaksud dalam Pasal 19 dan terlebih dahulu harus mendapat dalam badan hukum Indonesia ditentukan saran dan pertimbangan dari Menteri. dengan pembagian 25: 75. Bagian Kedua Jenis Perizinan Usaha Perkebunan Pasal 21
714
Pasal 21
(1) Usaha perkebunan terdiri atas usaha budi daya tanaman Ayat (1) perkebunan dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan. Cukup jelas. (2) Usaha budi daya tanaman perkebunan sebagaimana Ayat (2) dimaksud pada ayat (1) merupakan serangkaian kegiatan pratanam, penanaman, pemeliharaan tanaman, Yang dimaksud dengan sortasi adalah pemanenan, dan sortasi. kegiatan pemilihan dan pemilahan hasil perkebunan (3) Usaha industri pengolahan hasil perkebunan sebagaimana Ayat (3) dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan pengolahan yang bahan baku utamanya hasil perkebunan untuk Cukup jelas. memperoleh nilai tambah. (4) Industri pengolahan hasil perkebunan merupakan Ayat (4) pengolahan hasil perkebunan yang bahan bakunya karena menurut sifat dan karekteristiknya tidak dapat dipisahkan Cukup jelas. dengan usaha budi daya tanaman perkebunan terdiri dari gula pasir dari tebu, teh hitam dan teh hijau serta ekstraksi kelapa sawit. (5) Penambahan atau pengurangan jenis usaha industri Ayat (5) pengolahan hasil perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Dalam rangka mengikuti perkembangan di bidang teknik budi daya, teknologi pengolahan, dan transportasi, jenis-jenis komoditas dimaksud pada ayat (4) dapat ditambah atau dikurangi yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah setelah berkoordinasi dengan menteri yang bertanggung jawab di bidang industri. Pasal 22 Pasal 22 Jenis tanaman perkebunan pada usaha budi daya tanaman Cukup jelas. perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 23 Perusahaan perkebunan dengan luasan tanah tertentu dan/atau usaha industri pengelolaan hasil perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu wajib memiliki izin usaha perkebunan. Kewajiban memperoleh izin usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi pekebun. Luasan tanah tertentu untuk usaha budi daya tanaman perkebunan dan kapasitas pabrik tertentu untuk usaha industri pengelolaan hasil perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan jenis tanaman, teknologi, tenaga kerja, dan modal. Usaha industri pengelolaan hasil perkebunan harus dapat menjamin ketersediaan bahan bakunya dengan mengusahakan budi daya tanaman perkebunan sendiri, melakukan kemitraan dengan pekebun, perusahaan perkebunan, dan/atau bahan baku dari sumber lainnya.
Pasal 23 Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4) Kewajiban melakukan kemitraan dimaksudkan untuk menjamin pasar bagi pekebun dengan prioritas yang berada di lingkungan usaha industri pengolahan hasil perkebunan yang bersangkutan pada tingkat harga yang wajar. Di samping itu, ketentuan ini juga dimaksudkan untuk memberikan nilai tambah yang lebih besar kepada pekebun sebagai salah satu upaya pemberdayaan pekebun.
715
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
Izin usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat Ayat (5) (1) diberikan oleh: Apabila lahan usaha perkebunan melintas lebih dari satu wilayah Provinsi, maka izin diberikan oleh masing-masing provinsi yang bersangkutan. Pemberian izin usaha pada wilayah khusus seperti Provinsi Papua dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disesuaikan dengan Undang-undang yang berlaku. a. Bupati/Walikota untuk wilayah kabupaten/kota; dan b. Gubernur untuk wilayah lintas kabupaten/kota dengan rekomendasi bupati/walikota yang bersangkutan. Dalam hal izin usaha perkebunan terkait dengan Ayat (6) hak tanah ulayat maka pemberi izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib melakukan musyawarah Laporan perkembangan usaha meliputi, dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat antara lain, perkembangan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. perizinan, pelaksanaan kemitraan, kegiatan lapangan, pabrik pengolahan, pemasaran, dan pengelolaan lingkungan. Izin usaha perkebunan untuk daerah dengan status Ayat (7) otonomi khusus, daerah khusus, atau daerah istimewa dilaksanakan dengan memperhatikan peraturan yang Hal-hal pokok yang diatur dalam keputusan mengatur status daerah tersebut. Menteri meliputi persetujuan prinsip, pemenuhan persyaratan, antara lain, kemitraan, tata cara, pemberian, penolakan, dan pencabutan izin usaha perkebunan, serta kewajiban penyampaian laporan. Pelaku usaha perkebunan yang telah mendapat izin usaha Ayat (8) perkebunan wajib menyampaikan laporan perkembangan usahanya secara berkala paling sedikit 1 (satu) tahun Cukup Jelas. sekali kepada pemberi izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan tembusan disampaikan kepada Menteri. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara Ayat (9) pemberian izin usaha perkebunan sebagimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta laporan perkembangan Cukup Jelas. usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan oleh Menteri. Bagian Ketiga Pemberdayaan Usaha Perkebunan
Pasal 24 Pasal 24 (1) Pemberdayaan usaha perkebunan dilaksanakan oleh Ayat (1) Pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota bersama pelaku usaha perkebunan serta lembaga terkait lainnya. Pemberdayaan usaha perkebunan dilaksanakan melalui fasilitasi kepada pelaku usaha perkebunan diutamakan kepada pekebun agar mampu mengembangkan usaha dan meningkatkan kesejahteraannya.
(2) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
Yang dimaksud dengan lembaga terkait, antara lain, lembaga keuangan baik bank maupun nonbank, asosiasi komoditas, asosiasi pemasaran, asosiasi penelitian perkebunan, penyedia jasa sarana, dan prasarana produksi perkebunan. Ayat (2)
a. memfasilitasi sumber pembiayaan/permodalan; b. menghindari pengenaan biaya yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
716
Cukup Jelas.
c. m e m f a s i l i t a s i p e l a k s a n a a n e k s p o r h a s i l perkebunan; d. mengutamakan hasil perkebunan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri; e. mengatur pemasukan dan pengeluaran hasil perkebunan; dan/atau f. memfasilitasi aksesibilitas ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi.
(1)
(2)
(3)
Pasal 25 Pemerintah dan pemerintah daerah mendorong serta memfasilitasi pemberdayaan pekebun, kelompok pekebun, koperasi pekebun, serta asosiasi pekebun berdasarkan jenis tanaman yang dibudidayakan untuk pengembangan usaha agribisnis perkebunan. Untuk pengembangan komoditas perkebunan strategis dan membangun sinergi antara pelaku usaha dan pemerintah, Pemerintah membentuk Dewan Komoditas yang unsurnya terdiri dari perwakilan pemerintah, industri perkebunan, dan asosiasi pekebun.
Pasal 25 Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan dewan komoditas adalah suatu wadah berhimpunnya semua pemangku kepentingan (stakeholders) yang mengusahakan komoditas strategis perkebunan yang sejenis untuk meningkatkan kerja sama, koordinasi, dan memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing komoditas perkebunan. Dewan Komoditas berperan dalam memberikan Ayat (3) masukan dan pertimbangan kepada Menteri mengenai pengembangan dan rencana strategis usaha perkebunan Cukup Jelas. nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 9.
Pasal 26 Pasal 26 Susunan, keanggotaan, tugas, dan wewenang Dewan Cukup Jelas. Komoditas diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Keempat Kemitraan Usaha Perkebunan Pasal 27 Pasal 27 (1) Perusahaan perkebunan melakukan kemitraan Ayat (1) perkebunan yang saling menguntungkan dan saling menghargai sebagai salah satu tanggung jawab sosial Ketentuan kemitraan dimaksudkan untuk dan lingkungan perusahaan. lebih meningkatkan kesejahteraan karyawan, pekebun dan masyarakat sekitar serta untuk menjaga keamanan, kesinambungan, dan keutuhan usaha perkebunan. (2) Kemitraan usaha perkebunan sebagaimana dimaksud Ayat (2) pada ayat (1), polanya dapat berupa kerja sama penyediaan sarana produksi, kerja sama produksi, Cukup Jelas. pengelolaan dan pemasaran, transportasi, kerja sama operasional, kepemilikan saham, dan jasa pendukung lainnya. (3) Dalam pelaksanaan kemitraan usaha perkebunan Ayat (3) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan upaya-upaya untuk Cukup Jelas. melindungi petani atau pekebun. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola kemitraan usaha Ayat (4) perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. Cukup Jelas. Bagian Kelima
717
Kawasan Pengembangan Perkebunan Pasal 28 Pasal 28 (1) Usaha perkebunan dilakukan secara terpadu dalam Ayat (1) agribisnis perkebunan maupun dalam kluster industri tertentu dengan pendekatan kawasan pengembangan Yang dimaksud dengan kawasan perkebunan. pengembangan perkebunan adalah wilayah pembangunan perkebunan sebagai pusat pertumbuhan dan pengembangan sistem dan usaha agribisnis perkebunan yang berkelanjutan (2) Pemerintah daerah dapat menetapkan kawasan Ayat (2) pengembangan komoditi industri perkebunan dalam rencana tata ruang wilayahnya Cukup Jelas. (3) Dalam kawasan pengembangan perkebunan Ayat (3) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku usaha perkebunan dapat melakukan diversifikasi usaha yang Cukup Jelas. tidak mengakibatkan perubahan komoditi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kawasan pengembangan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Keenam Perlindungan Wilayah Geografis Penghasil Produk Perkebunan Spesifik Lokal Pasal 29 Pasal 29 (1) Pemerintah melindungi kelestarian wilayah geografis Ayat (1) yang menghasilkan produk perkebunan yang bersifat spesifik. Pengaturan perlindungan wilayah geografis dimaksudkan untuk menunjukkan daerah asal suatu komoditas perkebunan yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri khas dan kualitas tertentu pada komoditas perkebunan yang dihasilkan dan tidak dapat diperoleh pada wilayah lainnya. (2) Setiap pelaku usaha perkebunan dilarang Ayat (2) mengalihfungsikan lahan perkebunan di dalam wilayah geografis yang menghasilkan produk perkebunan yang Perubahan fungsi tanah dari wilayah yang bersifat spesifik. dilindungi dengan indikasi geografis menjadi fungsi yang lain, misalnya perubahan jenis komoditas, atau bahkan untuk kepentingan permukiman dan/atau industri dilarang. (3) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib berperan Ayat (3) aktif dalam melakukan perlindungan indikasi geografis terhadap produk perkebunan yang bersifat spesifik Cukup Jelas. sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Ketentuan lebih lanjut tentang perlindungan kelestarian Ayat (4) wilayah geografis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Cukup Jelas. Bagian Ketujuh Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Pasal 30
718
Pasal 30
(1) Setiap pelaku usaha perkebunan wajib memelihara Ayat (1) kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah kerusakannya. Yang dimaksud dengan memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup di dalamnya termasuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha dari pelaku usaha perkebunan. Dalam hal ini; Pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota berkewajiban membina dan memfasilitasi pemeliharaan kelestarian fungsi lingkungan hidup tersebut, khususnya kepada pekebun. (2) Untuk mencegah kerusakan fungsi lingkungan hidup Ayat (2) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebelum memperoleh izin usaha perkebunan perusahaan perkebunan wajib : a. membuat membuat analisis mengenai dampak Huruf a lingkungan hidup (AMDAL) atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan Analisis mengenai dampak lingkungan hidup lingkungan hidup (UKL-UPL) sebagai persyaratan merupakan syarat yang harus dipenuhi pengajuan izin lingkungan; untuk mendapatkan izin melakukan usaha perkebunan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup. Sedangkan bagi pelaku usaha yang usaha atau kegiatannya kemungkinan tidak menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup diwajibkan memiliki upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup. Pekebun tidak diwajibkan membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup. Namun demikian, dalam hal kegiatan perkebun secara bersama-sama pada satu hamparan yang secara luasan berdampak terhadap kerusakan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah, provinsi, dan/atau kabupaten/ kota membina dan memfasilitasi pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup kawasan perkebunan. Adapun kriteria mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup mengacu kepada peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup yaitu, antara lain; a. jumlah manusia yang akan terkena dampak; b. luas wilayah persebaran dampak; c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung; d. banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak; e. sifat kumulatif dampak; f. berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.
719
b. memiliki analisis dan manajemen risiko yang Huruf b menggunakan hasil rekayasa genetik; Kewajiban analisis dan manajemen risiko dibebankan kepada perusahaan yang memproduksi dan/atau memasarkan benih hasil rekayasa genetik agar memenuhi kaidah-kaidah keamanan hayati dan keamanan pangan/pakan. c. membuat pernyataan kesanggupan untuk Huruf c menyediakan sarana, prasarana, dan system tanggap darurat yang memadai untuk Cukup jelas. menanggulangi terjadinya kebakaran lahan. (3) Untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup Ayat (3) dan mencegah dan menanggulangi kerusakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah Cukup jelas. memperoleh izin usaha perkebunan, perusahaan perkebunan wajib menerapkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup dan/atau analisis dan manajemen risiko lingkungan hidup serta memantau penerapannya. (4) Setiap perusahaan perkebunan yang tidak memenuhi Ayat (4) persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditolak permohonan izin usahanya. Cukup jelas. (5) Setiap perusahaan perkebunan yang telah memperoleh Ayat (5) izin usaha perkebunan tetapi tidak menerapkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya Cukup jelas. pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup sebagimana dimaksud pada ayat (3) dicabut izin usahanya. Pasal 31
Pasal 31
(1)
(2)
(3)
(4)
Cukup jelas.
Usaha industri pengelolaan hasil perkebunan dilakukan untuk memperoleh nilai tambah melalui penerapan sistem dan usaha agribisnis perkebunan yang didasarkan pada keunggulan dan daya saing. Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan dalam rangka pengembangan usaha industri pengolahan hasil perkebunan untuk memberikan nilai tambah yang maksimal. Usaha industri pengolahan hasil perkebunan dapat dilakukan di dalam atau di luar kawasan pengembangan perkebunan, dan dilakukan secara terpadu dengan usaha budi daya tanaman perkebunan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan keterpaduan usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan usaha budi daya tanaman perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengah Peraturan Pemerintah.
Pasal 32 Pasal 32 Setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau Kriteria pencemaran dan kerusakan fungsi mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat lingkungan hidup mengikuti peraturan terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup. perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Pasal 33 Pasal 33 Setiap orang dilarang: Cukup Jelas. a. mengerjakan, menggunakan, dan/atau menduduki tanah perkebunan tanpa seizin pemilik hak atau secara tidak sah;
720
b. c. d.
melakukan penebangan pohon dalam kawasan perkebunan tanpa seizin pemilik hak atau secara tidak sah; membakar kebun tanpa seizin pemilik hak atau secara tidak sah; dan/atau memanen dan/atau memungut hasil perkebunan tanpa seizin pemilik hak atau secara tidak sah.
BAB VII PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PERKEBUNAN Bagian Kesatu Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan Pasal 34 Pasal 34 (1) Usaha industri pengolahan hasil perkebunan dilakukan Ayat (1) untuk memperoleh nilai tambah melalui penerapan sistem dan usaha agribisnis perkebunan. Nilai tambah dari kegiatan usaha industri pengolahan hasil perkebunan harus dinikmati secara berkeadilan oleh semua pihak yang terlibat dalam usaha perkebunan, termasuk pekebun yang bergerak di bidang budi daya tanaman perkebunan melalui berbagai pola kemitraan dengan usaha industri pengolahan hasil perkebunan. (2) Pemerintah, provinsi, kabupaten/kota melakukan Ayat (2) pembinaan dalam rangka pengembangan usaha industri pengolahan hasil perkebunan untuk memberikan nilai Yang dimaksud dengan pembinaan adalah tambah yang maksimal. memfasilitasi, memberikan pedoman, kriteria, standar dan pelayanan informasi yang meliputi, antara lain, sumber dan potensi bahan baku, teknologi pengolahan, sarana dan prasarana, serta permodalan. (3) Usaha industri pengolahan hasil perkebunan dapat Ayat (3) dilakukan di dalam atau di luar kawasan pengembangan perkebunan, dan dilakukan secara terpadu dengan usaha Cukup jelas. budi daya tanaman perkebunan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan Ayat (4) keterpaduan usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan usaha budi daya tanaman perkebunan Hal-hal pokok yang diatur dalam Peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) Pemerintah mengenai pembinaan dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. keterpaduan usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan usaha budi daya tanaman perkebunan meliputi, antara lain, jaminan ketersediaan bahan baku dalam kaitannya dengan kapasitas industri pengolahan hasil perkebunan, peningkatan nilai tambah, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan pekebun, jenis dan kualitas hasil usaha industri pengolahan hasil perkebunan, dan sanksi administrasi bagi perusahaan perkebunan yang tidak melaksanakan kewajiban. Pasal 35 Pasal 35 (1) Untuk mencapai hasil usaha industri pengolahan Ayat (1) perkebunan yang berdaya saing, Pemerintah menetapkan sistem mutu produk olahan hasil perkebunan dan pedoman Penetapan pedoman industri pengolahan industri pengolahan hasil perkebunan yang baik dan benar hasil perkebunan yang baik dan benar (good sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan processing practices) didasarkan pada sifat teknologi. pengolahan hasil perkebunan
721
(2) Ketentuan tentang penerapan, pembinaan, dan Ayat (2) pengawasan sistem mutu produk olahan hasil perkebunan serta pedoman industri pengolahan hasil perkebunan Cukup Jelas. ditetapkan oleh Pemerintah. Bagian Kedua Pemasaran Hasil Perkebunan Pasal 36
Pasal 36
Cukup Jelas.
(1)
Pelaku usaha perkebunan, asosiasi pemasaran, asosiasi komoditas, kelembagaan lainnya, dan/atau masyarakat bekerja sama menyelenggarakan informasi pasar, promosi d a n menumbuhkembangkan pusat pemasaran baik di dalam maupun di luar negeri. (2) Pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota memfasilitasi kerja sama antara pelaku usaha perkebunan, asosiasi pemasaran, asosiasi komoditas, kelembagaan lainnya, dan/atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pemerintah dan pemerintah daerah berperan aktif dalam: a. menjamin akses pemasaran bagi hasil perkebunan rakyat; b. memberikan informasi harga pasar yang aktual; dan c. mendorong daya saing internasional untuk petani dan pekebun rakyat. Pasal 37
Pasal 37
Cukup jelas.
Setiap pelaku usaha perkebunan dalam melakukan pengolahan, peredaran, dan/atau pemasaran hasil perkebunan dilarang: a. memalsukan mutu dan/atau kemasan hasil perkebunan; b. menggunakan bahan penolong untuk pengolahan; dan/ atau; c. mencampur hasil perkebunan dengan benda atau bahan lain yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia, merusak fungsi lingkungan hidup, dan/atau menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Pasal 38
Pasal 38
Cukup Jelas.
Setiap pelaku usaha perkebunan dilarang mengiklankan hasil usaha perkebunan yang menyesatkan konsumen. Pasal 39
Pasal 39
Cukup Jelas. Setiap pelaku usaha perkebunan dilarang menadah hasil usaha perkebunan yang diperoleh dari penjarahan dan/atau pencurian. Pasal 40
Pasal 40
Pemasaran hasil industri perkebunan dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perdagangan.
722
Cukup Jelas.
BAB VIII PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERKEBUNAN Pasal 41 Pasal 41 (1) Penelitian dan pengembangan perkebunan dapat Ayat (1) dilaksanakan oleh perorangan, perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan pemerintah Lembaga penelitian dan pengembangan dan/atau swasta, serta lembaga penelitian dan lainnya di antaranya adalah Lembaga Riset pengembangan lainnya. Perkebunan Indonesia (LRPI), sebagai lembaga yang berbadan hukum (2) Perorangan, perguruan tinggi, lembaga penelitian Ayat (2) dan pengembangan pemerintah dan/atau swasta, serta lembaga penelitian dan pengembangan lainnya Kerja sama di sini dimaksudkan untuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan mengembangkan sistem informasi manajemen kerja sama dengan : penelitian dan pengembangan. Organisasi profesi, antara lain, Persatuan Agronomi Indonesia (PERAGI), Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI), Ikatan Ahli Gula Indonesia (IKAGI), dan lain-lain. a. b. c. d. e. (3)
(4)
(5)
(6)
sesama pelaksana penelitian dan pengembangan; pelaku usah perkebunan; asosiasi komoditas perkebunan; organisasi profesi terkait; dan/atau lembaga penelitian dan pengembangan perkebunan asing. Pemerintah, perguruan tinggi, kabupaten/kota dan/ Ayat (3) atau pelaku usaha perkebunan dalam hal tertentu menyediakan fasilitas untuk mendukung peningkatan Penyediaan fasilitas dalam hal tertentu kemampuan pelaksana penelitian dan pengembangan untuk mendukung peningkatan kemampuan untuk menguasasi dan mengembangkan ilmu lembaga penelitian, antara lain, berupa pengetahuan dan teknologi perkebunan. kemudahan perizinan penelitian, kemudahan pemasukan sarana/prasarana penelitian dari luar negeri, akses penggunaan sarana/ prasarana penelitian di dalam negeri. Pemerintah, pemerintah daerah, perguruan tinggi, Ayat (4) dan lembaga penelitian mendorong pelaku usaha perkebunan baik secara mandiri maupun secara Cukup Jelas kemitraan bersama untuk melakukan penelitian dan pengembangan di bidang perkebunan. Perorangan warga negara asing dan/atau lembaga Ayat (5) penelitian dan pengembangan asing yang akan melakukan penelitian dan pengembangan perkebunan Cukup Jelas. wajib mendapatkan izin terlebih dahulu dari instansi Pemerintah yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah, perguruan tinggi, kabupaten/kota melalui Ayat (6) instrumen kebijakannya mendorong pelaku usaha perkebunan asing untuk melakukan alih teknologi. Alih teknologi dari pelaku usaha perkebunan asing dilakukan antara lain melalui pendampingan, pelatihan, dan pemagangan.
723
Pasal 42 Pasal 42 (1) Pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota memfasilitasi Ayat (1) pelaksana penelitian dan pengembangan, pelaku usaha perkebunan dan masyarakat dalam mempublikasikan Publikasi hasil penelitian dan pengembangan dan mengembangkan sistem pelayanan informasi hasil dilakukan, antara lain, melalui: penelitian dan pengembangan perkebunan, dengan memperhatikan hak kekayaan intelektual sesuai dengan a. media cetak seperti buletin, jurnal, peraturan perundang-undangan. majalah ilmiah, poster, dan bentuk sarana penyuluhan lainnya; b. media elektronik seperti radio, televisi, dan internet; c. seminar, gelar teknologi, pameran teknologi, dan diseminasi teknologi.
Yang dimaksud dengan pengembangan sistem pelayanan informasi hasil penelitian dan pengembangan, antara lain, website, networking, perpustakaan, dan internet.
Fasilitasi publikasi dan pengembangan sistem pelayanan informasi hasil penelitian dan pengembangan bagi pelaku usaha perkebunan terutama ditujukan untuk kepentingan pekebun melalui kegiatan penyuluhan. (2) Pemerintah memberikan perlindungan hak kekayaan Ayat (2) intelektual atas hasil invensi ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang perkebunan. Perlindungan hak kekayaan intelektual di bidang perkebunan mengacu pada peraturan perundang-undangan di bidang hak cipta, paten, disain industri, hak perlindungan varietas tanaman, merek dagang, rahasia dagang, dan indikasi geografis. (3) Pelaksana penelitian dan pengembangan melaksanakan Ayat (3) pemantauan dan evaluasi terhadap penerapan hasil penelitian perkebunan. Cukup jelas. BAB IX PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERKEBUNAN Pasal 43
Pasal 43
Cukup Jelas.
(1) Pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota memfasilitasi pelaksana penelitian dan pengembangan, pelaku usaha perkebunan dan masyarakat dalam mempublikasikan dan mengembangkan sistem pelayanan informasi hasil penelitian dan pengembangan perkebunan, dengan memperhatikan hak kekayaan intelektual sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pemerintah memberikan perlindungan hak kekayaan intelektual atas hasil invensi ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang perkebunan. Pasal 44
Pasal 44
(1) Pengembangan sumber daya manusia perkebunan dilaksanakan melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan, penyuluhan, pengenalan teknologi baru dan/atau metode pengembangan lainnya.
724
Cukup Jelas.
(2) Pengembangan sumber daya manusia perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk meningkatkan keterampilan, profesionalisme, kemandirian, pengetahuan, wawasan teknologi dan meningkatkan dedikasi. (3) Sumber daya manusia perkebunan meliputi aparatur dan seluruh pelaku usaha perkebunan baik perorangan maupun kelompok. Pasal 45 Pasal 45 Pemerintah, pemerintah daerah, serta pelaku usaha Selain dilakukan oleh Pemerintah, provinsi, perkebunan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kabupaten/kota, dan pelaku usaha serta membina sumber daya manusia perkebunan baik sendiriperkebunan, penyelenggaraan pendidikan sendiri maupun bekerjasama. dan pelatihan dapat juga dilakukan oleh perguruan tinggi, lembaga pendidikan khusus perkebunan, lembaga swadaya masyarakat, perorangan, dan lain-lain. Pasal 46 Penyuluhan perkebunan dilaksanakan oleh kabupaten/kota dan pelaku usaha perkebunan baik sendiri-sendiri maupun bekerjasama.
Pasal 46 Yang dimaksud dengan penyuluhan perkebunan adalah salah satu upaya pemberdayaan pekebun yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan mengubah sikap serta perilakunya, yang dilaksanakan antara lain melalui pendidikan nonformal. Penyuluhan perkebunan merupakan urusan rumah tangga kabupaten/kota.
BAB X PEMBIAYAAN USAHA PERKEBUNAN Pasal 47 Pasal 47 (1) Pembiayaan usaha perkebunan bersumber dari pelaku Ayat (1) usaha perkebunan, masyarakat, lembaga pendanaan dalam dan luar negeri, Pemerintah, provinsi, dan Pembiayaan dari lembaga pendanaan dalam kabupaten/kota. dan luar negeri diutamakan bagi pekebun diberikan, antara lain, dengan kemudahan prosedur dan tingkat bunga yang layak. (2) Pemerintah mendorong dan memfasilitasi terbentuknya Ayat (2) lembaga keuangan perkebunan yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik usaha perkebunan Yang dimaksud dengan lembaga keuangan perkebunan, antara lain, lembaga perbankan, lembaga keuangan bukan bank, serta lembaga asuransi. Yang dimaksud dengan karakteristik usaha perkebunan yaitu bahwa usaha perkebunan memiliki siklus waktu usaha yang relatif panjang, terkait dengan sumber daya alam, iklim dan musim, mengandung risiko yang tinggi, sehingga memerlukan investasi jangka panjang dengan tingkat suku bunga yang layak bagi pengembangan usaha perkebunan. (3) Pembiayaan yang bersumber dari Pemerintah, provinsi, Ayat (3) dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan untuk pemberdayaan petani atau Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih pekebun rakyat. mengutamakan pemberdayaan pekebun agar dapat mengembangkan usahanya dengan skim pendanaan yang sesuai, antara lain, subsidi bunga, kemudahan prosedur, dan bantuan penjaminan.
725
(1)
(2)
(3)
Pasal 48 Pasal 48 Pemerintah, pemerintah daerah, dan pelaku usaha Ayat (1) perkebunan menghimpun dana untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, Ketentuan ini mengatur mengenai serta promosi perkebunan penghimpunan dana dari sumber Pemerintah, provinsi, kabupaten/kota, dan pelaku usaha perkebunan. Dana dari pelaku usaha perkebunan berupa iuran pelaku usaha perkebunan dihimpun dalam suatu badan yang dibentuk oleh pelaku usaha perkebunan itu sendiri dengan tujuan untuk membiayai pendidikan dan pelatihan, penyuluhan, penelitian dan pengembangan, serta promosi perkebunan. Dana yang terhimpun oleh Pemerintah yang berbentuk Ayat (2) pajak ekspor hasil perkebunan, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) untuk riset serta Cukup jelas. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perkebunan, dan paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) untuk pengembangan usaha perkebunan di wilayah penghasil secara berkelanjutan. Ketentuan lebih lanjut mengenai penghimpunan dana Ayat (3) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Cukup jelas.
BAB XI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN USAHA PERKEBUNAN
(1)
(2)
Pasal 49 Pasal 49 Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha Ayat (1) perkebunan dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah diatur dengan peraturan menteri. Pembinaan terhadap usaha perkebunan dilakukan dengan pendekatan sistem dan usaha agribisnis yang memadukan keterkaitan berbagai subsistem dimulai dari penyediaan sarana produksi, subsistem produksi, subsistem pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan serta subsistem jasa penunjang lainnya untuk meningkatkan pendapatan pelaku usaha perkebunan. Pengawasan usaha perkebunan dimaksudkan agar pelaku usaha perkebunan mematuhi peraturan perundang-undangan perkebunan Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan Ayat (2) pengawasan usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. Cukup Jelas. BAB XII PENYIDIKAN Pasal 50
Pasal 50
(1) Selain penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perkebunan juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perkebunan. (2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk:
726
Cukup Jelas.
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang perkebunan; b. melakukan pemanggilan terhadap seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau sebagai saksi dalam tindak pidana di bidang perkebunan; c. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perkebunan; d. memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan pengembangan perkebunan; e. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang perkebunan; f. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang perkebunan; g. membuat dan menanda tangani berita acara; dan h. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang perkebunan. (3) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan melaporkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia.
KETENTUAN PIDANA Pasal 51
Pasal 51
Cukup Jelas.
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan usaha budi daya tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas tertentu tidak memiliki izin usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (2) Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan usaha budidaya tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas tertentu tidak memiliki izin usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 52
Pasal 52
Cukup Jelas.
Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa izin melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) Pasal 53
Pasal 53
Cukup Jelas.
727
(1) Setiap orang yang dengan sengaja membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 54
Pasal 54
(1)
(2)
Pasal 55
Pasal 55
(1)
(2)
728
Cukup Jelas.
Setiap orang yang karena kelalaiannya melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja, di dalam pengadaan sarana produksi, pengolahan dan/atau pemasaran hasil perkebunan, melanggar larangan: a. memalsukan mutu dan/atau kemasan hasil perkebunan; b. memalsukan sarana produksi; c. menggunakan bahan penolong untuk usaha industri pengolahan hasil perkebunan; dan atau d. mencampur hasil perkebunan dengan benda atau bahan lain yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia, merusak fungsi lingkungan hidup, dan/atau menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); Setiap orang yang melakukan pengolahan, peredaran, dan/atau pemasaran hasil perkebunan karena kelalaiannya melanggar larangan: a. memalsukan mutu dan/atau kemasan hasil perkebunan; b. menggunakan bahan penolong untuk usaha industri pengolahan hasil perkebunan; dan atau c. mencampur hasil perkebunan dengan benda atau bahan lain yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia, merusak fungsi lingkungan hidup, dan/atau menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
Cukup Jelas.
Pasal 56
Pasal 56 Cukup Jelas.
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan mengiklankan hasil usaha perkebunan yang menyesatkan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (2) Setia, orang yang karena kelalaiannya melar Agar larangan mengiklankan hasil usaha perkebunan yang menyesatkan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 57
Pasal 57
Cukup Jelas.
Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan menadah hasil usaha perkebunan yang diperoleh dari penjarahan dan/atau pencurian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 58
Pasal 58
Cukup Jelas.
Semua benda sebagai hasil tindak pidana dan/atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56 dan Pasal 57 dapat dirampas dan/atau dimusnahkan oleh negara sesuai dengan peraturan perundangundangan. BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 59
Pasal 59
Cukup Jelas.
Industri pengolah hasil perkebunan diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian, kecuali untuk hal-hal yang secara khusus telah diatur dalam Undang-Undang ini. BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 60
Pasal 60
Cukup Jelas.
Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam UndangUndang ini ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini ditetapkan. Pasal 61
Pasal 61
Cukup Jelas.
729
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4411), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Pasal 62
Pasal 62
Cukup Jelas.
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4411), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 63
Pasal 63
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
730
Cukup Jelas.