TELAAH METODE PEMIKIRAN KH. HUSEIN MUHAMMAD TERHADAP KESETARAAN GENDER DALAM HUKUM PERCERAIAN DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Salah SatuSyarat Guna Memeperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh: NURUL MIMIN JANNAH NIM: 211-12-036
JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN) SALATIGA 2016 i
ii
TELAAH METODE PEMIKIRAN KH. HUSEIN MUHAMMAD TERHADAP KESETARAAN GENDER DALAM HUKUM PERCERAIAN DI INDONESIA
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah SatuSyarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh: Nurul Mimin Jannah NIM 211-12-036
JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN) SALATIGA
iii
2
iv
v
vi
MOTTO ِإ ّن َأ ْكا َأ َأ ُك ْك ِإ ْك َأ ِإ َأ ْك َأ ُكا ْك Manusia yang paling mulia di sisi allah adalah yang paling bertakwa
vii
PERSEMBAHAN Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas limpahan rahmat serta karuniaNya, skripsi ini penulis persembahkan untuk: 1. Bapak dan ibuku tercinta, Bapak Sugiharto dan Ibu Siti Aisyah yang telah mencurahkan segenap kasih sayangnya, do‟anya, serta segala dukungannya dalam setiap langkah-langkahku. 2. Kakak serta adik-adikku tersayang serta keponakan kecilku, mbak Nida, Mas santo, adik Eva, adik Erna, serta adik Afif, dan nok Marsa, yang
dukungan
serta
doanya
tak
pernah
surut
mengiringi
perjuanganku. 3. Adik sepupuku, Bapak Ilya Muhsin beserta keluarga yang telah berperan sebagai orang tua keduaku selama aku merajut impian di Salatiga. 4. Dosen pembimbing skripsiku sekaligus Ketua Jurusan Ahwal al Syakhshiyyah, Bapak Sukron Ma‟mun, M.Si yang tak pernah lelah membimbingku untuk menyelesaikan skripsiku ini. 5. Bapak Yusuf Khumaini yang telah memberikan inspirasi dalam penulisan skripsi ini. 6. Segenap dosen Fakultas Syari‟ah yang telah mengiklaskan waktu dan tenaganya untuk membagikan ilmunya kepadaku. 7. KH. Husein Muhammad beserta keluarga yang telah membagikan ilmunya serta bimbingannya kepadaku selama aku berada di Cirebon.
viii
8. Segenap Kyai-kyaiku di pondok pesantren Salafiyah yang tak pernah lelah membimbing jiwa dan ragaku untuk tetap berada di jalanNya. 9. Keluarga besar Santri putra&putrid Salafiyah, Pulutan, Sidorejo Salatiga, yang tak pernah lelah menyemangati serta memberi warna dalam hidupku. 10. Teman sekamarku kak Khuza dan teman seperjuanganku dari Aliyah hingga menyelesaikan S1 ku, Mbak Erni. Semoga persahabatan kita tidak berhenti sampai di sini. 11. Mas Rio, Kang Asdi serta Nilta dan Sita yang telah tulus iklas menjemputku dari stasiun tengah malam pasca penelitian. 12. Keluarga besar pondok pesantren Darul Qur‟an dan Darut Tauhid Arjawinangun, Cirebon. 13. Mas Nawal dan Gus Hasan yang telah mengantarkanku bertemu dengan Buya Husein. 14. Keluarga besar PMII kota Salatiga. 15. Pengurus DEMA IAIN Salatiga periode 2016-2017. 16. Teman-teman seperjuanganku angkatan 2012, khususnya jurusan Ahwal al Syakhshiyyah. 17. Teman-teman
seperjuangan
BISMILLAH IAIN Salatiga
ix
peraih
beasiswa
BIDIKMISI
YA
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrohim Alhamdulillahirabbil‟alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang selalu memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “TELAAH PEMIKIRAN KH. HUSEIN MUHAMMMAD TERHADAP KESETARAAN GENDER DALAM HUKUM PERCERAIAN DI INDONESIA”. Salawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi agung, Nabi Akhiruzzaman, Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat serta pengikutnya yang senantiasa setia dan menjadikannya suritauladan. Beliaulah yang
membawaumatmanusiadarizamankegelapanmenujuzaman
yang
terangbenderang, yakniDinul Islam. Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan dari
berbagai
pihak
yang
telah
tulus
iklasmembantupenulismenyelesaikanskripsiini. Olehkarenaitupenulismengucapkanbanyakterimakasihkepada: 1.
Rektor IAIN Salatiga, Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd.
2.
Ketua Jurusan serta Pembimbimbing skripsi saya, Bapak Sukron Ma‟mun, M.Si. yang dengan iklas membimbing, mengarahkan, serta mencurahkan waktu dan tenaganya untuk penulis sehingga skripsi ini terselesaikan.
x
3.
Bapak serta Ibu dosen serta karyawan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga yang telah membagi ilmu-ilmunya sehingga penulis mampu menyelesaikan jenjang pendidikan S1.
4.
Kepada KH. Husein Muhammad yang telah memberikan ilmu-ilmunya kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian skripsi ini. Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
maka kritik dan saran yang bersifa tmembangun sangat penulis harapkan.Semoga hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khusunya, serta pembaca padaumumnya.Amin. Salatiga, 06 September 2016 Penulis
xi
ABSTRAK Jannah, Nurul Mimin.2016 “Telaah Metode Pemikiran KH. Husein Muhammad terhadap Kesetaraan Gender dalam Hukum Perceraian di Indonesia”.Skripsi. Fakultas Syari‟ah. Jurusan Ahwalusy Syakhshiyyah, Institut Agama Islam Negri. Pembimbing: Sukron Ma‟mun, M.Si. Kata Kunci: Pemikiran K.H.Husein Muhammad dan Hukum Percerain di Indonesia. Kyai Husein merupakan salah satu ulama dari beberapa ulama karismatik yang dimiliki oleh negeri ini.KyaiHuseinjugatermasuksalahsatutokoh gender di managagasangagasanpembaharuannyasangatbriliandandiapresiasiolehbanyakkalangankhususny adarikalangan yang memperjuangkankesetaraan gender. Latar belakang Kyai Husein sebagai ulama juga menjadi tolak ukur masyarakat dalam pengambilan gagasan pemikiran yang KyaiHuseinkemukakan. Permasalahan gender sangatberagam, mulaidarimasalahdomestikhinggamasalahpublik. Salah satupermasalahan gender yang seringterjadiyaitumasalahrumahtangga. Masalah rumah tangga mencakup juga masalah perceraian. Berdasarkan latar belakang di atas, kemudianpenelitimerumuskankedalamtigapertanyaansebagaiberikut: 1. Bagaimanabasis pemikiran K.H. Husein Muhammad? 2. Bagaimana pemikiran KH. Husein Muhammad dan metode pemikirannya tentang kesetaraan gender dalam hokum perceraian di Indonesia? 3. Bagaimana relevansi hukum perceraian di Indonesia terhadap kesetaraan gender? Sehubungan dengan pertanyaan di atas peniliti menggunakan jenis penelitian kualitatif dan pendekatannya melalui pendekatan gender.Metode yang digunakan adalah wawancara dan dokumentasi.Wawancara dilakukan langsung dengan Kyai Husein. Hasil penelitian menunjukkan: 1. Basis pemikiran Kyai Husein sangat berpengaruh terhadap pemikirannya dalam hal ini adalah pemikirannya tentang gender. 2. Menurut Kyai Husein hukum perceraian di Indonesia masih bersifat diskriminatif terhadap perempuan dan perempuan belum mendapatkan haknya sebagaimana mestinya.Metode berfikir Kyai Husein sangat sesuai dengan perkembangan zaman yang menuntut adanya dukungan terhadap aliran penggiat gender. 3. Menurut kacamata gender, di satu sisi hukum perceraian di Indonesia masih mengandung unsur ketimpangan bagi pihak perempuan. Namun di sisi lain pemerintah telah membuat sebuah terobosan baru yang memberikan angin segar
xii
bagi perempuan dalam menyelesaikan kasus perceraian, yakni perceraian harus dilakukan melalui Pengadilan Agama, sehingga laki-laki tidak bisa menceraiakan istrinya semaunya sendiri. Ketentuan semacam ini tidak ditemukan dalam kitabkitab Fiqh klasik yang digunakan rujukan bagi para hakim di Pengadilan Agama.
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ……………………………...………....……............
i
HALAMAN BERLOGO ……...……………………………………..........
ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ….……………...…..........
iv
HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN …..………………..............
v
HALAMAN PENGESAHAN …..……….……..……………….…….......
vi
HALAMAN MOTTO …………...…………………………………...........
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN …..…………………………….…….......
viii
KATA PENGANTAR ……..………………………………….……..........
x
ABSTRAK ……..………………………………………………….............
xi
DAFTAR ISI ……...…………………………………………………........
xii
DAFTAR LAMPIRAN .…………………………………….……..….......
xvi
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……..……………………......
1
B. Rumusan Masalah ………………………………..........
6
C. Tujuan Penelitian …..………………………................
7
D. Kegunaan Penelitian ..…………………………............
7
E. Kerangka Teori …..……………………………............
8
xiii
F. Telaah Pustaka …..…………………………...…..........
12
G. Metode Penelitian
BAB II
1. Jenis Penelitian ….…………………………...........
13
2. Pendekatan Penelitian ………………………..........
14
3. Kehadiran Peneliti ……….……………………......
14
4. Sumber Data …………………………………........
15
H. Prosedur Pengumpulan Data ….………...………….....
16
I. Tahap-Tahap Penelitian ………….................................
17
J. Sistematikan Penulisan …………………………..........
19
KONSEP
KESETARAAN
GENDER
DALAM
PERCERAIAN A. Kesetaraan Gender dalam Perspektif Islam ……….......
21
B. Teori Gerakan Gender 1. Feminisme Liberal ……..…………………….........
30
2. Feminisme Marxis …………………..……….........
31
3. Feminisme Radikal ……………...…..……............
32
4. Feminisme Sosial ………………..………….........
32
C. HukumPerceraian di Indonesia ………..........................
33
D. Kesetaraan Gender dalam Hukum Perceraian di Indonesia …................................................................. BAB III
39
KYAI HUSEIN DAN KETERLIBATANNYA DALAM GENDER A. Biografi Kyai Husein …………………………….........
xiv
42
BAB IV
B. Pendidikan Kyai Husein ………………………............
44
C. Karya-Karya Kyai Husein ……….……………............
45
D. Keterlibatan Kyai Husein dalam Gerakan Gender ........
46
E. Pengalaman Organisasi Kyai Husein ………....………
48
PEMIKIRAN KESETARAAN
KYAI
HUSEIN
GENDER
DALAM
TENTANG HUKUM
PERCERAIAN DI INDONESIA A. Basis Pemikiran Kyai Husein …………............………
51
B. Pemikiran Kyai Husein dalam Hukum Perceraian di Indonesia ..................................................................... C. Metode Pemikiran Kyai Husein ……………................
55 70
D. Relevansi Hukum Perceraian di Indonesia Terhadap Kesetaraan Gender …………………………................. BAB V
75
PENUTUP KESIMPULAN ………………………………..….............
79
SARAN ………………………………………....................
81
xv
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Foto Kegiatan Penelitian …………..………………………..……. 87 Lampiran 2. Konsultasi Skripsi …………….………………………………….. 89 Lampiran 3. Surat Ijin Penelitian ………...…………………………………… 91 Lampiran 4. Surat Keterangan Penelitian………….…………...……………... 92 Lampiran 5. Daftar SKK ……………………………………………………… 93
xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi ini berpasangpasangan termasuk laki-laki dan perempuan.Namun, Allah juga membatasi pergaulan antar laki-laki dan perempuan.Maka dari itu, Allah menurunkan syari‟at
Islam
perempuan.Salah
yang satu
mengatur aturan
hubungan tersebut
antara yaitu
laki-laki
melalui
dan
sebuah
pernikahan.Pernikahan adalah satu-satunya sarana untuk membuat sebuah ikatan yang bernama keluarga. Segala sesuatu yang Allah ciptakan pasti mempunyai hikmah tidak terkecuali pernikahan itu sendiri.Seorang laki-laki dan perempuan merupakan mitra dalam sebuah rumah tangga. Suami dan istri mempunyai peranan masing-masing dalam menjalankan fungsinya, namun dalam peranan tersebut antara suami istri harus saling melengkapi satu sama lain agar tercipta rumah tangga yang harmonis dan dapat mengarungi kehidupan rumah tangga yang tenang sehingga memunculkan kehidupan yang stabil (Al Jarwani, 1997: 309). Pernikahan adalah sebuah karunia dari Allah kepada hamba-Nya karena pernikahan dapat memberikan rasa ketentraman, kedaimaan dan rasa cinta kasih antara pasangan suami istri, seperti firman Allah dalam surat Ar Rum ayat 21 yang berbunyi:
1
َأو ِإ ْكن ايتِإه اَأ ْك خَأ لَأ َأ ق لَأ ُك ْك ِّ ْكن اَأ ْكنفُك ِإس ُك ْك اَأ ْكز َأوا ًج لِّتَأ ْكس ُك ُكىْك ااِإلَأ ْكيهَأ َأو َأج َأع َأل بَأ ْكي َأ ُك ْك )21( َّ َأى َّدةً َّو َأرحْك َأمةً قلى اِإ َّ ِإ ْك لِإ َأ َأ يَأ ٍةة لِّ َأىْك ٍة يَّتَأفَأ َّ ُكوْك َأ Pernikahan bukan hanya sebuah ikatan biologis semata namun ada sebuh ikatan batin di dalamnya. Hal ini sesuai dengan definisi perkawinan dalam Undang-Undang Repubik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Definisi dari pengertian perkawinan di atas bukan hanya sekedar kata-kata namun ada makna filosofis di dalamnya ada istilah kekal yang bermakna bahwa tujuan pernikahan adalah menjalin sebuah ikatan yang tidak ada batasan waktunya dan untuk selamanya (Farida, 2007: 3). Ayat di atas berisikan prinsip pernikahan yang harus dijaga antar kedua belah pihak suami dan istri, prinsip yang dimaksudkan dalam ayat tersebut yaitu prinsip mawaddah wa rahmah yang berarti cinta dan kasih sayang yang harus dijaga oleh kedua belah pihak pasangan suami dan istri agar dapat tercipta pernikahan yang langgeng. Keadaan mempunyai
sebuah
pernikahan
problem-problem
yang
keharmonisannya.Konflik-konflik
kecil
tidak
dapat
sedikit selalu
dipungkiri
banyak mewarnai
pasti
mengganggu perjalanan
kehidupan sebuah pernikahan.Dari sinilah kehidupan rumah tangga mulai sedikit terkoyak.Kedua belah pihak harus mampu untuk mengurai 2
permasalahan rumah tangga mereka jika konflik terus berkepanjangan dan tidak menemukan titik temu, maka tujuan perkawinan yang diinginkan mustahil untuk didapatkan. Perceraian merupakan solusi akhir dari semua konflik yang tidak kunjung ditemukan solusinya. Menurut hukum positif di Indonesia perceraian hanya dalam dilakukan melalui Pengadilan Agama
untuk
masyarakat yang beragama Islam, sesuai dengan UU No.7 tahun 1989 jo. UU No. 50 tahun 2009. Perceraian antara suami istri ditandai dengan jatuhnya talak kepada pihak istri.Hak talak menurut agama Islam hanya diberikan kepada pihak suami saja (Sabiq, 1980: 15).Sahnya talak hanya ketika diucapkan oleh pihak suami.Penjatuhan talak tersebut tidak memandang tempat dan waktu. Berbeda dengan perempuan, pada prinsipnya perempuan berhak untuk menuntut cerai suaminya jika sang suami dianggap tidak mampu memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang suami, namun gugatan perceraian hanya dapat dilaksanakan melalui Pengadilan saja. Cerai seperti ini dinamakan khulu‟ (cerai gugat). Menurut Sayyid Sabiq khulu‟ yaitu: “istri yang menebus dirinya dari suaminya dengan ganti rugi kepadanya”. Perceraian menimbulkan akibat hukum yang bermacam-macam, dalam KHI pasal 149 disebutkan ada 4 (empat) butir ketentuan perkawinan yang putus karena talak, yaitu suami berkewajiban: 1) memberikan muth‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda,
3
kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul. 2) memberikannafkah, maskan, dan kiswah kepada bekas istri selama masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. 3) melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separoh apabila qobla al dukhul. 4)memberikan biaya hadhanah untuk anak-anak yang belum mencapai umur 21 tahun. Para pakar gender memandang ketentuan seperti ini masih bias gender karena jika ditinjau dalam KHI pasal 119 yang berbunyi bahwa talak yang dijatuhkan olehPengadilan Agama disamakan dengan talak ba‟in yang berimplikasi bahwa perempuan yang mengajukan cerai tidak dapat menerima nafkah iddah (Munti& Anisah 2005: 125). Nafkah iddah adalah nafkah yang diberikan suami kepada istri yang diceraikan namun masih dalam masa iddah.Masalah iwadh (tebusan dari pihak istri yang meminta cerai kepada suami) dalam gugatan cerai yang diajukan oleh istri juga dipandang tidak adil karena dalam masalah percerain antara suami dan istri tidak mesti pihak istri yang melakukan kesalahan bahkan biasanya suamilah yang tidak melakukan kewajibannya sebagai suami sehingga sang istri memintai cerai. Ketidakadilan lainnya yaitu apabila sang istri menggugat cerai maka seluruh biaya perceraian dibebankan kepada pihak penggugat dalam hal ini adalah istri(Farida 2007: 33). Meskipun istri yang menggugat suaminya, namun apabila pengadilan mengabulkan gugatan istri, putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan adalah penjatuhan talak suami terhadap istri, dengan makna lain yaitu
4
meskipun pihak istri yang menggugat cerai secara simbolis bermakna bahwa talak tetap berada dalam kuasa seorang suami yang istri sebagai penerima (Munti& Anisah 2005: 78) Melalui keprihatinan inilah para aktifis gender berupaya untuk menyamakan hak antara suami dan istri yang mengajukan perceraian. Salah satu penggiat gender adalah KH.Husein Muhammad yang dikenal dengan Kyai Husein.Kyai Husein adalah salah satu dari beberapa tokoh karismatik yang dimiliki oleh negeri ini. Kyai Husein merupakan salah satu tokoh gender yanggagasan-gagasan pembaharuannya sangat brilian dan diapresiasi oleh banyak kalangan khususnya dari kalangan yang memperjuangkan kesetaraan gender.Meskipun hukum Indonesia telah mengatur tata caracerai gugat, namun akibat hukum dari cerai gugat berbeda dengan cerai talak. Kyai Husein juga berpendapat bahwa sebenarnya produk hukum dalam UU No. 1 tahun 1997 dan KHI masih terlihat bias gender. Aturan-aturan tersebut cenderung mendiskriminasikan perempuan. Salah satunya yaitu tentag pembatasan umur nikah dalam pasal 15 ayat 1 KHI, kemudian tentang nusyuz bagi perempuan dan lain sebagainya (Muhammad,2016: 155). Perceraian yang dilandasi dengan nusyuz (yang hanya dimiliki pihak perempuan) akan memberikan akibat hukum yang berbeda dalam putusan Pengadilan. Keputusan seperti ini dianggap para penggiat gender sebagai pendiskriminasian terhadap hakhak perempuan.
5
Sumbangsih Kyai Husein terhadap perjuangan kesetaraan gender tidak dapat diragukan lagi terbukti dari posisi Kyai Husein yang menjabat sebagai salah satu komisioner komnas perempuan hingga sebagai pendiri beberapa LSM yang menangani isu-isu hak-hak perempuan. Latar belakang Kyai Husein yang juga sebagai salah satu ulama juga menjadi tolak ukur masyarakat dalam pengambilan fatwa yang beliau kemukakan. Penulis tertarik untuk mengetahui tentang bagaimana pendapat Kyai Husein tentang bagaimana hukum percerain di Indonesia. Oleh karena itu penulis ingin melakukan penelitian yang berjudul “TELAAH METODE PEMIKIRAN KH.HUSEIN MUHAMMAD TERHADAP KESETARAAN GENDER DALAM HUKUM PERCERAIAN DI INDONESIA”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah saya sampaikan di atas, maka penulis merumuskan beberapa rumusan masalah: 1.
Bagaimana basis pemikiran KH. Husein Muhammad?
2.
Bagaimana
pemikiran
KH.
Husein
Muhammad
dan
metode
pemikirannya tentang kesetaraan gender dalam hukum perceraian di Indonesia? 3.
Bagaiamana relevansi hukum perceraian di Indonesiaterhadap kesetaraan gender?
6
C. Tujuan Penelitian Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa setiap kegiatan atau aktifitas yang dilakukan seseorang pasti mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan skripsi ini adalah: 1. Mengetahui basis pemikiran KH. Husein Muhammad. 2. Mengetahuipokok-pokok pemikiran dan metode pemikiran KH. Husein Muhammad terhadap hukum perceraian di Indonesia. 3. Mengetahui relevansi hukum perceraian di Indonesia terhadap kesetaraan gender. D. Kegunaan penelitian Adapun
kegunaan
yang
diharapkan
dalam
penulisan
ini
diantaranya adalah: 1) Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi pemikiran tentang wacana keilmuan, terutama pengembangan wawasan mengenai pemikiran tokoh gender terhadap hukum perceraian di Indonesia. 2) Secara praktis a. Bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, pengetahuan, dan pengalaman bagi peneliti mengenai produk pemikiran tokoh gender yang berkaitan dengan hukum percerain di Indonesia.
7
b. Bagi Perempuan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi para perempuan tentang posisinya yang tidak selalu di bawah laki-laki. c. Bagi Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau bahan pertimbangan oleh pemerintah dalam merumuskan kembali hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan perceraian di depan Pengadilan Agama yang diajukan oleh perempuan. E. Kerangka Teori Supaya tidak terjadi kesalahpahaman pengertian dalam memahami topik penelitian ini, maka peneliti perlu memberikan penegasan istilah untuk beberapa kata yang terlihat masih abstrak, sehingga mempermudah pemahaman selanjutnya. 1.Gender Kata “gender” berasal dari bahasa Inggri gender yang berarti jenis kelamin (Echols&Shadily, 2007: 332). Menurut Istibsyaroh seorang pakar gender pengertian gender yang diartikan dengan jenis kelamin tersebut kurang tepat. Hal ini dikarenakan kata jender merupakan kosa kata baru yang belum ada di dalam kamus Bahasa Indonesia. Mengutip pendapat H.T. Wilson dalam bukunya Istibsyaroh yang berjudul Hakhak Perempuan Relasi Gender menurut Tafsir al Sya‟rawi, Nasruddin Umar mengatakan bahwa: 8
“Gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangsih laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan” (Istibsyaroh, 2004: 60). Gender secara umum digunakan sebagai pengindentifikasian terhadap perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial dan budaya. Inilah yang membedakan makna gender dengan makna sex. Sex
dalam
kamus
Inggris-Indonesia
dimaknai
dengan
jenis
kelamin.Sex cenderung dimaknai secara biologis yakni laki-laki diciptakan secara kodrati sebagai seseorang yang bisa menghasilkan sperma sedangkan perempuan bisa hamil, melahirkan dan menyusi (Istibsyaroh, 2004: 62). Inti pengertian seks yaitu masing-masing fungsi peranan yang tidak dapat digantikan antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan gender cenderung bermakna perbedaan lakilaki dan perempuan dalam unsur sosial dan budaya. Pengaruh sosial dan budaya yang berbeda menyebabkan perbedaan beban gender yang berbeda dalam tatanan nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat (Umar, 1999: 37). 2. Perceraian Perceraian dalam Bahasa Arab disebut dengan talak. Menurut bahasa talak berasal dari kata “ithlaq” yang berarti melepaskan atau meninggalkan. Menurut istilahnya yaitu atinya “melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan” (Sabiq, 1980: 7). Adapun macam talak ada dua yaitu: talak raj‟i dan talak ba‟in. Talak raj‟i yaitu talak yang diucapkan suami yang belum pernah 9
didahului oleh penjatuhan talak sebelumnya tau pernah satu kali penjatuhan talak, adapun talak ba‟in terdiri dari dua macam yaitu ba‟in shugro dan ba‟in kubro (Al-Fathi, 2010: 45). Konsekuensi dari talak ba‟in sughro yaitu apabila masa iddah istri habis, namun baru mengucapkan talak di bawah tiga kali dan suami ingin merujuknya harus dengan syarat menggunakan akad nikah baru. Adapun ba‟in kubro yaitu apabila suami telah mengucapkan talak tiga kali namun ingin merujuk istrinya kembali, maka harus disertai dengan akad nikah baru, namun disertai dengan syarat setelah sang istri menikah dengan laki-laki lain dan telah berhubungan layaknya seorang istri kemudian sang istri telah cerai dengan suami yang kedua. (Ibnu Qosim, 2005: 48). 3.
Hukum Perceraian di Indonesia Indonesia merupakan sebuah Negara hukum di mana segala sesuatunya diatur oleh hukum, tidak terkecuali dengan perceraian. Percerian dalam UU Perkawinan tahun 1974 diatur dalam pasal 39 yang berbunyi: 1) perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Berbeda dengan ulama fiqh klasik , bahwa hak cerai hanya untuk suami saja (Sabiq, 1980: 15) dan bisa dilakukan dimanapun dia
10
berada. Gugatan perceraian memang bisa diajukan oleh pihak istri, namun harus dilakukan lewat Pengadilan Agama (Munti&Anisah 2005: 78). F. Telaah Pustaka Sesuai dengan pokok pembahasan dalam penelitian ini, yakni tentang kesetaraan gender dalam hukum perceraian di Indonesia menurut Kyai Husein, maka sangatlah penting untuk mengetahui dan melacak penelitian atau tulisan yang hampir sama dengan tema yang penulis angkat. Maka dari itu, penulis memaparkan telaah pustaka untuk membedakan tulisan penulis dengan beberapa tulisan mengenai pemikiran Kyai Husein yang telah ditulis oleh beberapa penulis sebelumnya. Pertama, buku yang ditulis oleh Nuruzzaman, yang berjudul “Kiai Husein Membela Perempuan” yang diterbitkan oleh Pustaka Pesantren pada tahun 2004. Buku ini berisikan tentang kiprah dan perjuangan Kyai Husein dalam memperjuangkan hak-hak perempuan berisi wacana feminisme Kyai Husein di pesantren dengan berbagai pro dan kontranya. Nuruzzaman melakukan wawancara langsung dengan Kyai Huseinuntuk melengkapi tulisannya. Kedua, skripsi karangan Suprapti Ragiliani yang berjudul “Kesetaraan Gender dalam Paradigma Fiqh (Studi Pemikiran Husein Muhammad)”, UIN Yogyakarta tahun 2014. Skripsi ini berisi tentang
11
pemikiran Kyai Husein dalam wacana gender terhadap paradigma Fiqh. Metode yang digunakan dalam skripsi adalah metode Library Reseach. Ketiga, skripsi karangan Ziadatun Ni‟mah yang berjudul “Wanita Karir dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Pandangan KH. Husein Muhammad), UIN Yogyakarta tahun 2009. Skripsi ini berisi tentang wanita yang berkarir dalam keluarga ditinjau dalam tinjauan gender menurut Kyai Husein. Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah Library Reseach. Sudah menjadi sebuah keharusan bahwa hasil karya tidak boleh sama persis dengan hasil karya orang lain. Oleh karena itu penulis mencoba mencari sesuatu yang patut untuk diteliti dan berbeda dengan penelitian yang telah dihasilkan orang lain. Pertama, perbedaan penelitian yang penulis teliti dengan bukunya Nuruzzaman yaitu terletak pada focus penelitian. Buku karangan Nuruzzaman berisi langsung tentang kiprah Kyai Husein dalam memperjuangkan gender secara global, meskipun penulis dan Nuruzzaman menggunakan metode yang sama yakni metode wawancara secara langsung. Kedua, perbedaan penelitian yang penulis teliti dengan skripsi Suprapti Ragiliani terletak pada fokus penelitian dan metode penelitian. Penulis fokus pada hukum perceraian di Indonesia serta menggunakan metode wawancara secara langsung, sedangkan Suprapti fokus pada
12
wacana gender dalam paradigma Fiqh serta menggunakan metode library research. Meskipun subyek yang diteliti sama yakni Kyai Husein Muhammad. Ketiga, perbedaan penelitian yang penulis teliti dengan skrisi Ziadatun Ni‟mah hampir sama dengan perbedaan penelitian yang diteliti oleh Suprapti Ragiliani, yaitu perbedaannya terletak pada fokus penelitian dan metode yang digunakannya. Ziadatun Ni‟mah fokus pada penelitian tentang wanita karir dalam tinjauan gender. Ketiga karya tulis tersebut menggunakan subyek yang sama dengan penulis dalam penelitiannya yaitu KH. Husein Muhammad, namun yang menjadi perbedaanya antara satu sama lain yaitu terletak pada fokus penelitian dan metode yang digunakan oleh masing-masing penulis. G. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan penulis gunakan adalah penelitian lapangan (field research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap objek yang dituju untuk mendapatkan data yang benar dan terpercaya tentang pemikiran Kyai Husein tentang kesetaraan gender dalam perceraian di Indonesia. Penelitian ini bersifat kualitatif, maksudnya adalah prosedur data penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
13
tertulis atau lisan dari orang yang pemikirannya diamati. Penelitian ini dapat dikatakan yang bersifat deskriptif kualitatif yaitu penulis menganalisis dan menggambarkan penelitian secar obyektif dan detail untuk mendapatkan hasil yang akurat (Margono, 1997: 36). 2. Pendekatan Penelitian Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan
gender,
dimana
pendekatan ini menggunakan pandangan kesetaraan kedudukan antara kedudukan perempuan dan laki-laki dalam segi fungsinya bukan dari segi jenis kelaminnya. Menurut beberapa tokoh gender salah satunya yaitu Jill Steal, mengemukakan bahwa term gender tidak ditunjukan dengan perbedaan biologis yakni jenis kelamin laki-laki dan perempuan, namun lebih ditunjukan dengan hubungan ideologis tentang eksistensi keduanya (Kadarusman, 2005: 20). 3. Kehadiran Peneliti Melalui penelitian ini peneliti bertindak sebagai pengumpul data. Peneliti datang dan secara langsung berinteraksi dengan subyek penelitian dan melalukan wawancara mendalam dan aktivitas-aktivitas lainnya demi memperoleh data yagng diperlukan dalam penelitian ini. Peneliti terjun langsung kepada subyek penelitian, tanpa mewakilkan kepada orang lain, supaya kegiatan yang berkaitan dengan menggali, mengidentifikasi data informasi dapat diperoleh secara akurat.
14
4. Sumber Data Pengumpulan data dilakukan dengan pada sumber data primer dan data sekunder. a. Data Primer menurut S. Nasution data primer adalah data yang dapat diperoleh langsung dari lapangan atau tempat penelitian. Sedangkan menurut Lofland bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan. Kata-kata dan tindakan merupakan sumber data yang diperoleh dari lapangan dengan mengamati atau mewawancarai. Peneliti menggunakan data ini untuk mendapatkan informasi langsung tentang hukum perceraian di Indonesai dalam perspektif gender. Data ini berupa hasil wawancara dengan narasumber yang merupakan tokoh gender, yaitu Kyai Husein dan pihak-pihak yang berkaitan dengan Kyai Husein. b. Data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung dan data yang diperoleh oleh peneliti dari berbagai sumber yang telah ada. Data sekunder yang peneliti gunakan bersumber dari beberapa buku yang berkaitan dengan penelitian dan dari dokumentasi. H. Prosedur Pengumpulan Data Metode pengumpulan data kualitatif yang peneliti gunakan untuk mengumpulkan data antara lain sebagai berikut:
15
a. Metode Wawancara Wawancara yaitu suatu proses tanya jawab secara lisan di mana dua orang atau lebih berhadapan secara langsung, antara keduanya atau lebih bisa langsung melihat wajah satu dengan lainnya secara langsung dan bisa mendengar suara responden dengan telinganya sendiri (Sukansarrumidi, 2004: 88). Wawancara ini dilakukan kepada satu subyek yaitu kepada K.H.Husein Muhammad. Melalui wawancara, peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang responden (Sugiyono, 2013: 231). Melalui wawancara peneliti akan bertanya langsung mengenai hukum perceraian di Indonesia dalam perspektif gender. Peneliti juga sempat melakukan wawancara terhadap orang-orang terdekat Kyai Husein untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas tentang sosok Kyai Husein ini. Mulai dari muridnya, santrinya, dan terhadap kerabatnya. b. Metode Dokumentasi Metode dokumentasi merupakan metode yang cukup mudah dibanding dengan metode lainnya. Meskipun ada kekeliruan sumber datanya masih tetap (Arikunto, 2010: 274). Dokumentasi bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumentasi merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan
wawancara
dalam
penelitian
16
kualitatif
(Sugiyono,
2011:
240).Adapun karya-karya Kyai Husein selanjutnya akan penulis kemukakan dalam biografinya. I. Tahap-Tahap Penelitian Penelitian kualitatif terbagi menjadi tiga tahap, yaitu: tahap pra-lapangan, tahap pekerjaan lapangan, dan tahap analisis data (Moleong, 2009: 127). a. Tahap Pra-Lapangan Tahap pra-lapangan adalah tahapan penelitian sebelum berada di lapangan. Ada enam kegiatan yang harus dilakukan peneliti pada tahapan ini. Tahapan ini perlu ditambahkan satu pertimbangan tahapan lagi yaitu etika penelitian. Kegiatan tersebut antara lain: menyusun rancangan penelitian, memilih lapangan penelitian, mengurus perizinan, menjajaki dan menilai lapangan, memilih dan memanfaatkan informan, dan menyiapkan perlengkapan penelitian. Tahap ini digunakan sebelum peneliti melakukan penelitian yang sebenarnya. Kemudian peneliti membuat rancangan kegiatan dan memilih salah satu lokasi untuk dijadikan obyek penelitian. b. Tahap Pekerjaan Lapangan Tahapan ini merupakan tahapan penelitian yang sebenarnya, di mana peneliti terlibat secara langsung dalam proses penelitian dan datang langsung di lokasi penelitian. Peneliti mencari informasi tentang penelitian yang dilakukan dengan responden yang dituju.
17
Melakukan kegiatan ini peneliti akan mengumpulkan data-data yang sesuai fokus penelitian. c. Tahap Analisis Data Setelah semua data telah terkumpul, maka peneliti menganalisis data yang sudah ada dengan teori-teori yang sudah ada, sehingga dapat disimpulkan beberapa hasil penelitian, analisi data terdapat beberapa alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu: 1. Pengumpulan data Pengumpulan data adalah kegiatan yang mengantisipasi kegiatan sebelum melakukan penelitian ke lapangan.Peneltian dirancang sehingga nanti mudah dalam menganalisis dan sebagai bukti pada penelitian. 2. Reduksi data Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian data kasar yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. 3. Penyajian Data Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan
adanya
penarikan
kesimpulan
dan
pengambilan tindakan. Melalui data kita akan memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan dalam mengambil tindakan berdasarkan atas pemahaman yang didapatkan dari penyajian tersebut.
18
4. Kesimpulan Setelah melalui proses pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, kemudian menarik kesimpulan dari apa yang telah dianalisis. J. Sistematika Pembahasan Agar mendapatkan gambaran yang jelas dan menyeluruh serta mempermudah pemahaman terhadap penulisan skripsi ini, maka penulisan skripsi ini dikelompokan menjadi lima bab. Agar tidak terjadi kerancuan dalam pembahasan ini maka antara bab satu dengan bab yang lainnya harus saling berkaitan. BAB I: Bagian ini merupakan pengantar dari keseluruhan isi pembahasan. Pada bagian pertama iniakan dibahas bebrapa sub bahasan, yaitu: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. BAB II: Pada bab ini berisi tentang kajian teori tentang konsep kesetaraan gender dalam Islam maupun kesetaraan gender dalam hukum perceraian di Indonesia. BAB III:Pembahasan pada bab ini berisi tentang biografi K.H.Husein Muhammad .
19
BAB IV: Bab ini berisikan basis pemikiran KH. Husein Muhammad serta pemikiran dan metodenya tentang hukum perceraian di Indonesia serta relevansi hukum perceraian di Indonesia terhadap kesetaraan gender. BAB V: Bab ini merupakan kajian paling akhir dari skripsi ini, yang mana pada bagian ini berisi kesimpulan peneliti dari seluruh pembahasan yang telah dikemukan dalam skripsi dan saran peneliti.
20
BAB II KONSEP KESETARAAN GENDER DALAM PERCERAIAN A. KESETARAAN GENDER DALAM PERSPEKTIF ISLAM Kesetaraan berasal dari kata setara. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata setara berarti sejajar atau sama tingkatannya. Artinya tidak ada perbedaan kedudukan dari salah satu pihak. Sedangkan gender secara etimologi dari bahasa Inggris gender berarti jenis kelamin (Echols&Shadily, 1983: 265). Kata gender dalam feminisme pertama kali digaungkan oleh Anne Oakley sebagai upaya untuk menghindari terjadinya kerancuan makna dalam kata sex dan gender (Muslikhati, 2004: 19). Gerakan feminisme lahir karena adanya problematika dalam masyarakat yang memandang perempuan hanya dengan sebelah mata.Sebelum Islam datang kita mengetahui masyarakat pra Islam yang dinamakan masyarakat Jahiliyyah lewat bacaan-bacaan yang tersedia. Masyarakat Jahiliyyah dikenal sebagai masyarakat yang paling kejam terhadap perempuan, di mana setiap anak perempuan yang baru lahir dikubur hidup-hidup karena mereka meyakini bahwa anak perempuan hanya akan membawa aib bagi keluarga. Tradisi Budha juga menganggap perempuan sebagai makhluk yang kotor karena hanya bisa menggoda laki-laki saja yang ingin menjadi
21
suci, sehingga tidak ada satupun perempuan yang bisa menjadi Dewa.Kaum Yahudi juga menempatkan perempuan hanya sebagai pelayan, bahkan anak perempuan bisa dijual sendiri oleh ayahnya (Muslikhati, 2004: 24). Kesewenang-wenangan tersebut mulai menggerakkkan hati para penggiat
feminisme
untuk
menyuarakan
suaranya
tentang
ketidakadilan gender. Mulai dari sinilah istilah gender mulai gaung terdengar. Wacana tentang gender sendiri mulai muncul di Indonesia sekitar tahun 1980-an (Muhammad, 2016: 69). Namun menurut Nuruzzaman yang mengutip dari buku “Politik Gender Orde Baru” sebenarnya wacana feminisme sudah jauh muncul di Indonesia sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, zaman ini ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran R.A. Kartini. Menurut Baroroh Baried kesadaran akan kesetaraan gender malahan sudah muncul sejak tahun 1856 yang dimunculkan oleh Ratu Ternate yang bernama Siti Aisyah W. Tanriolle (Nuruzzaman, 2005: 2). Gender dalam beberapa buku diartikan sebagai perbedan fungsi laki-laki dan perempuan bukan dipandang sebagai sebuah perbedaan dalam hal biologis.K.H. MA. Sahal Mahfudz dalam kata pengantarnya dalam buku yang berjudul Fiqh Perempuan karya K.H. Husein Muhammad, mendefinisikan bahwa gender pada dasarnya perbedaan antara laki-laki dan perempuan selain perbedaan biologis. Perbedaan
22
antara laki-laki dan perempuan yang didasari oleh konstruksi sosial yang sifatnya bukan merupakan kodrat dari Tuhan, perbedaan ini melalui proses sosial dan budaya yang lama. Berbagai pro dan kontra bermunculan ketika wacana gender mulai digaungkan. Banyak yang berpendapat bahwa gender merupakan produk impor dari Barat bukan produk yang lahir dari ajaran agama Islam yang dalam konteks keIndonesiaan fanatisme terhadap agama masih sangat mengakar kuat saat itu. Wacana gender masuk kedunia Islam bersamaan dengan masuknya budaya Eropa. Masuknya budaya Eropa ke dalam Negara Islam membawa perubahan yang negatif bagi kaum perempuan, namun perubahan tersebut lambat laun juga membawa dampak perubahan yang positif bagi perubahan politik, ekonomi dan kultural yang secara tidak langsung
juga membawa
perubahan bagi pembebasan kaum perempuan dari pendiskriminasian (Kadarusman, 2007: 61). Meskipun telah membawa kemajuan di sisi lain bagi perkembangan dalam beberapa sektor, namun sentimentil terhadap ajaran gender yang mengatasnamakan agama masih cukup kuat saat itu. Agama dan gender merupakan dua isu yang masih sering diperdebatkan dalam dewasa ini. Bahkan para agamawan juga turut meperdebatkan persoalan ini.Banyak ajaran agama yang masih tetap mengajarkan bahwa posisi perempuan adalah sebagai pihak kelas dua
23
sedangkan laki-laki tetap pada posisinya di kelas pertama. Banyak kitab-kitab yang masih melanggengkan ajaran-ajaran yang menurut para ahli gender mengandung nilai-nilai diskrimanitif bahkan banyak Hadits yang berisi tentang realitas-realitas yang masih bias gender. Menurut salah satu tokoh gender, yaitu Kadarusman mengutip perkataan Rita M. Gross bahwa sebenarnya seluruh ajaran agama memperkuat eksistensi perempuan dalam berbagai hal, namun budaya patriarkhi
yang
masih
mengakar
kuat
sangat
sulit
untuk
menghilangkan budaya tersebut. Budaya patriarkhi merupakan budaya yang menjunjung tinggi laki-laki dan menempatkan laki-laki dalam kelas superior di mana laki-laki memegang penuh kendali atas kaum perempuan (Kadarusman, 2005: 2).Kemudian muncul berbagai macam pertanyaan bagaimana pandangan agama Islam sesungguhnya terhadap kesetaraan gender. Islam dalam ajarannya sangat menghargai perempuan terbukti dari beberapa ayat-ayat Al Qur‟an menjelaskan tentang kedudukan perempuan banyak hadits-hadits yang berisi tentang keunggulan perempuan, bahkan banyak para pejuang-pejuang Islam dahulu banyak yang berjenis kelamin perempuan.Islam sebagai agama yang rahmatal lil „alaminyakni agama yang mengajarkan kedamaian dan agama yangmemuat nilai-nilai kemanusiaandi dalamnya.
24
Tujuan dari sebuah agama adalah membimbing manusia agar menjadi pribadi yang baik dalam segala aspek, baik aspek moral, mental, fisik, spiritual, dan aspek sosial.Agama juga memberikan seperangkat ajaran kepada manusia agar mengerjakan segala perbuatan yang baik dan meninggalkan perbuatan yang tercela.Adanya anjuran untuk berbuat baik dan larangan berbuat perbuatan yang tercela adalah demi kebahagiaan dan ketentraman bagi umat manusia.Salah satu aturan agama yang mendasar adalah keharusan untuk menghormati orang lain tanpa membedakan ras, suku, agama, jenis kelamin maupun gender (Siti Musdah Mulia, 2011: 43). Islam telah mengajarkan ajaran kesetaraan yang termuat dalam kalimat Lailaha illallah.Kalimat tauhid tersebut mempunyai arti yang sangat luhur. Tauhid merupakan inti ajaran dalam agama Islam yag menuntun manusia dalam berketuhanan dan berkemanusiaan secara benar. Ajaran tauhid tidak hanya dimaknai sebagai lafadz yang mengesakan Tuhan semata namun harus diresapi secara penuh oleh manusia bahwa Dzat yang mempunyai ke Esa an hanya Allah semata dan kedudukan tertinggi hanya pada Allah saja. Pandangan bahwa Allah lah dzat yang maha esa melahirkan pandangan bahwa tidak ada makhluk lain yang menyamai kedudukannya pada akhirnya melahirkan pandangan bahwa semua makhluk ciptaan Allah mempunyai kedudukan yang setara.
25
Ajaran-ajaran yang terkandung dalam tauhid mempunyai misi untuk membebaskan manusia, yakni membebaskan manusia secara total,
pembebasan
secara
terus
menerus
maupun
secara
bertahap.Pembebasan dalam kemusyrikan dan kezaliman merupakan pembebasan secara total.Pembebasan secara terus menerus yaitu pembebasan dari Tuhan-Tuhan berhala yang dulu disembah oleh orang kafir hingga Tuhan-Tuhan yang berwujud canggih seperti kekayaan, status,
jabatan
yang
sekarang.Sedangkan
dipuji-puji
pembebasan
oleh
manusia
pada
era
secara
bertahap
merupakan
pembebasan manusia dari sistem sosial yang tidak adil.Pembebasan secara bertahap juga berlaku bagi perempuan. Pada zaman jahiliyah perempuan dianggap sebagai barang yang dapat diwariskan secara turun temurun kemudian Islam datang dan memberlakukan perempuan sebagai subyek yang menerima warisan bukan sebagai barang yang bisa diwariskan.Namun pembebasan tersebut masih bersifat bertahap karena warisan yang diterima oleh perempuan
adalah
separo
dari
laki-laki.Meskipun
demikian
pembebasan tersebut sangat fantastis dibanding dengan ketentuan yang ada pada zaman Jahiliyah (Mulia, Siti Musdah, 2011: 52).Tauhid juga mengandung nilai-nilai keadilan.Keadilan ini juga berlaku bagi perempuan.Perempuan setelah Islam datang memperoleh kedudukan yang luhur. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan setelah Islam
26
datang memberikan angin segar bagi para perempuan untuk menunjukkan eksistensi dirinya. Mengutip dari disertasinya Nasaruddin Umar, Kadarusman menjelaskan Al Qur‟an yang notabene sebagai pegangan umat hidup manusia yang beragama Islam di dunia ini, telah memuat tentang prinsip-prinsip kesetaraan gender. Lebih dijelaskan lagi bahwa al Qur‟an memuat setidaknya lima prinsip kesetaraan yaitu kesetraan sebagai hamba, kesetaraan sebagai wakil Allah di muka bumi, samasama menerima perjanjian dari Tuhan, sama-sama terlibat dalam drama kehidupan, dan sama-sama berpotensi untuk meraih prestasi (Kadarusman, 2007: 64). Menurut salah satu tokoh gender lainnya, yaitu Asghar Ali Engineer mengungkapkan bahwa pada dasarnya Islam juga bermaksud memberikan hak yang setara antara laki-laki dan perempuan.Namun para fuqoha‟ masih tetap memegang kuat tradisi budaya lama dan fanatisme terhadap ajaran yang mengajarkan bahwa laki-laki merupakan pihak superior sedangkan perempuan sebagai pihak inferior (Engineer, Asghar Ali, 2000: 194). Demikianlah ajaran Islam yang bersumber kepada Al Qur‟an dan Hadist berisi ajaran-ajaran tentang kesetaraan yang menolak paham diskriminatif terhadap satu sama lain dan Islam merupakan agama yang membawa perubahan yang besar bagi para perempuan dan
27
mengangkat derajatnya sehingga perempuan bukan hanya menjadi obyek melainkan sebagai subyek.Namun pada praktiknya masih banyak
produk
yang
melegalkan
tindakan
diskriminasi
bagi
perempuan di Indonesia yang mengatasnamakan ajaran agama. Menurut Kyai Husein masih adanya pendiskriminasian terhadap perempuan yang mengatasnamakan ajaran agama ini dipicu dari metode ulama dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur‟an.Pemahaman yang berbeda-beda tentang teks Al Qur‟an menimbulkan berbagai macam produk hukum (Muhammad,2016: 122). Adanya pemahaman terhadap teks-teks Hadits yang berbeda pula juga turut menimbulkan berbagai multi tafsir terhadap sebuah produk hukum. Menurut Dr. Faqihuddin Abdul Qadir, banyaknya literal-literal dalam Hadits yang memandang rendah perempuan harus dilihat konteks yang melatar belakangi munculnya Hadits tersebut. Teks-teks Hadits tentang relasi perempuan dan laki-laki secara umum harus dipahami sebagai gambaran sosio kultur dalam masyarakat Arab saat itu. Teks-teks harus dipahami dengan logika historisnya untuk tujuan keadilan
dan
kemaslahatan
(Faqihuddin
Abdul
Qadir,
2011:
158).Dukungan dari budaya patriarkhi juga turut mewarnai corak pemikiran para agamawan dalam mengeluarkan fatwa-fatwanya yang kemudian diambil sebagai rujukan hukum bagi masyarakat secara luas.
28
Pengukuhan ajaran-ajaran agama terhadap budaya patriarkhi menjadi sebab munculnya tindakan diskriminatif terhadap perempuan. Menurut Kadarusman persoalan pendiskriminasian terhadap gender dipicu oleh dua faktor yaitu faktor sosiologis dan faktor teologis.Faktor sosiologis dalam relasi gender dimaknai sebagai sebuah institusi sosial yang teroganisir antara laki-laki dan perempuan yang meliputi hubungan individu hingga hubungan institusi yang lebih besar seperti kelas sosial hingga struktur pekerjaan. Faktor sosiologis ini merupakan faktor yang dapat berubah sesuai dengan kondisi yang mempengaruhi perubahan tersebut. Keadaan sosial yang memberikan pemahaman bahwa perbedaan gender merupakan perbedaan yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT. menimbulkan asumsi bahwa perbedaan tersebut tidak bisa diganggu gugat. Faktor teologis yaitu pengukuhan ajaran-ajaran agama yang diwacanakan oleh para agamawan masih mengandung nilai-nilai budaya patriarkhi.Penafsiran ayat-ayat Al Qur‟an yang masih didominasi oleh kaum laki-laki memberikan pengaruh dalam produk tafsiran ayat-ayat Al Qur‟an (Kadarusman, 2005: 5). Hubungan antara laki-laki dan perempuan, pada dasarnya dalam Islam sudah diatur beberapa prisip kesejajarannya. Dr. Khoiruddin Nasution mengelompokkan nash yang berbicara tentang keseteraan gender, yaitu: 1) Statemen umum tentang kesetraan antara laki-laki dan perempuan 2) Tentang asal-usul 3) Tentang amal perbuatan 4) Tentang kasih sayang dan mencintai 5) Keadilan dan persamaan 6) Jaminan
29
social 7) Saling tolong menolong 8) Kesempatan yang sama dapat hal mendapatkan pendidikan. Adapun sebab terjadinya bias gender yaitu terjadi karena sepuluh hal, yaitu: 1) Penggunaan studi Islam yang parsial 2) Belum adanya pembedaan antar nash yang bersifat normative-universal dan nash yang bersifat praktis-temporal 3) Terkesan adanya sejumlah nash yang cenderung mendiskriminasikan perempuan sebagai akibat adanya tudi Islam yang bersifat parsial 4) Budaya-budaya Muslim yang masuk dalam ajaran Islam 5) Teologi laki-laki yang mendominasi dalam memahami nash 6) Kajian Islam dengan pendekatan agama murni 7) Proses generalisasi dalam pengambila hukum secara umum dari kaus yang bersifat khusus 8) Mengambil hukum sebagai produk hukum dari penetapan hukum berdasarkan Siyasah al-syar‟iyah 9)Kajian Islam yang tekstual 10) Peran kekuasaan (Nasution, 2004: 166). B. TEORI GERAKAN GENDER Berbicara masalah gender tidak terlepas dari bahasan feminism karena gerakan gender muncul berawal dari adanya gerakan feminism. Berikut beberapa teori feminisme yang dikenal dunia: 1.
Feminisme Liberal Teori ini pertama kali dirumuskan oleh Mary A Vindication (1759-1799 M) dalam tulisannya yang berjudul A Vindication of Rights of Women (Nuruzzaman, 2005: 18).Teori ini berpendapat
30
bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kaum ini menuntut kesempatan dan hak yang sama bagi setiap individual atas dasar kesamaan keberadaannya bagi makhluk yang rasional (Muslikhati, 2004: 32). Kaum feminis liberal mempunyai dua cara untuk mencapai tujuannya, yaitu: pertama dengan pendekatan psikologi atau pendekatan jiwa dengan cara membangkitkan kesdaran individu akan adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Kedua dengan cara menuntut adanya pembaharuan hukum yang cenderung merugikan perempuan diubah ke dalam hukum yang cenderung menyamakan hak laki-laki dan perempuan (Nuruzzaman, 2005: 20). 2. Feminisme Marxis Landasan yang dipakai dalam teori ini adalah teori konfliknya Karl
Mark. Teori ini berpendapat bahwa adanya
ketimpangan hak laki-laki dan perepuan terjadi karena laki-laki sebagai pengontrol produksi dan kaum laki-laki lah yang mendominasi dalam hubungan sosio-politik sehingga perempuan direduksi menjadi bagian kepemilikan atau sebagai barang milik.Dari sinilah terjadi pembagian ruang antara laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki bekerja diluar sebagai pencari nafkah dan perempuan hanya berada di rumah yang berfungsi sebagai pengurus rumah tangga.Upaya yang dilakukan oleh kaum feminis marxis yaitu selalu meletakkan isu-isu perempuan sebagai kritik
31
terhadap kaum kapitalis yang menyebabkan kaum perempuan tertindas.Solusi yang ditawarkan oleh kaum feminis Marxis yaitu adanya revolusi besar-besaran yang mampu memutuskan hubungan dengan kapitalis internasional dan diganti dengan sistem sosialis (Muslikhati, 2004: 34). 3. Feminis Radikal Feminis radikal ini menolak adanya institusi keluarga. Mereka mengganggap adanya keluarga hanya akan menjadikan perempuan sebagai obyek kekerasan dari pihak laki-laki. Feminisme radikal ini cenderung membenci laki-laki bahkan yang lebih ekstrim lagi kelompok ini menjujung tinggi paham lesbi, yaitu paham yang melegalkan hubungan sesama jenis lebih khusunya sesama perempuan.Paham
ini berkeyakinan bahwa
perempuan yang hidup dengan perempuan merupakan cirri perempuan yang mandiri. Paham yang diajarkan yaitu adanya pemisahan secara internal ataupun eksternal antara laki-laki dan perempuan (Muslikhati, 2004: 36). 4. Feminis Sosialis Gerakan feminis social lebih menitik beratkan pada penyadaran bagi para perempuan akan hak-haknya. Teori yang diajarkan adalah teori konflik, di mana dengan adanya penyadaran tersebut, kaum perempuan akan bangkit emosinya dan secara kelompok akan mampu mengadakan konflik langsung dengan
32
kaum laki-laki. Gerakan sosial ini tidak melulu memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan sehari-hari, sebaliknya kaum ini memperjuangkan pembebasan kaum perempuan dan laki-laki dalam sistem yang cenderung mendiskriminasikan perempuan. Perjuangan kaum feminisme ini bukan sekedar meningkatkan status perempuan atas laki-laki, namun sebatas memberdayakan perempuan dengan cara meletakkan kembali posisi perempuan yang sesuai dengan pola kekuasaan dan sumberdayanya masingmasing (Nuruzzaman, 2005: 30). C. HUKUM PERCERAIAN DI INDONESIA Hukum merupakan seperangkat peraturan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang yang berisi tentang bagaimana seharusnya manusia bersikap dalam pergaulannya yang berupa perintah, larangan yang bersifat memaksa dan ajuran atau pembolehan yang disertai dengan adanya sanksi (Farkhani, 2011: 31). Pengertian tersebut mempunyai empat unsur, yaitu: 1.
Adanya peraturan yang mengatur tingkah laku manusia.
2.
Peraturan ini dikeluarkan oleh lembaga resmi.
3.
Peraturan bersifat memaksa.
4.
Adanya sanksi yang tegas terhadap setiap pelanggarannya. Sementara perceraian dalam bahasa Arab disebut dengan
talak.Talak berarti melepas tali ikatan, yang di maksud disi adalah tali pernikahan (Rasjid, 2004: 401). Perceraian dapat terjadi dengan cara
33
segala sesuatu yang bisa menyebabkan putuskan perceraian, baik menggunakan kata-kata, atau dengan surat kepada istrinya, atau dengan isyarat oleh orang yang bisa, atau bisa dengan mengirimkan utusan. Menurut buku Fiqh Sunnah karangan Sayyid Sabiq, ucapan cerai terbagi menjadi dua, pertama yaitu cerai yang diungkankan secara jelas atau sharih, talak yang jelas menggunakan tiga lafal yaitu talak, firaq, dan siraah.Adapun talak yang diungkapkan dengan sindiran atau talak kinayah dianggap sah jika disertai dengan niat (Sabiq, 1980: 28). Di Indonesia Undang-undang tentang perceraian diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan pelaksanaannya diatur diatur dalam KHI Inpres No. 1 tahun 1991. Undang-undang tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk menjelaskan tentang aturanaturannya yang berbunyi “nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, didasari oleh pegawai pencatat nikah yang diangkat oleh Mentri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya”.Adapun talakdan rujuk juga harus diberitahukan kepada pegawai pencatat nikah setelah mendapatkan putusan dari Pengadilan Agama yang memutuskan (Sudarsono, 1994: 163). Aturan-aturan dalam keluarga di Indonesia telah termuat dalam UU Perkawinan tahun 1974 dan Kepres No. 1 tahun 1991 tentang KHI. Latar belakang munculnya KHI di latar belakangi oleh banyaknya
34
tafsiran-tafsiran para hakim atas sebuah kasus. Pada awalnya pemerintah mengesahkan UU Perkawinan tahun 1974, namun pada praktiknya terutama di Pengadilan Agama pendapat para hakim sesuai dengan kitab Fiqh masing-masing yang dijadikan sebagai rujukannya yang banyak sekali macam kitabnya. Ketidakadaan standar baku menimbulkan perbedaan keputusan para hakim atas sebuah kasus dan ini jelas mengabaikan asas kepastian hukum. Oleh karena itu Mahkamah Agung pada tahun 1985 mengusulkan agar dirumuskannya sebuah hukum yang baku sebagai landasan pijakan para hakim. Usulan tersebut direalisasikan pada eranya Munawir Syadzali yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Agama pada tahun 1991 (Munti&Anisah, 2005: 17). Proses penyusunan UU Perkawinan dan KHI berdasarkan pada hukum normatif Islam yang ada di dalam kitab-kitab Fiqh. Materimateri-materi
dalam UU Perkawinan maupun KHI diadopsi dari
materi-materi Fiqh klasik yang cenderung pada madzhab Imam Syafi‟i (Muhammad, 2016: 154). Hukum-hukum tersebut bersifat mengikat putusan-putusan para hakim untuk menetapkan sebuah putusan.Berikut juga hukum tentang perceraian. Menurut pasal 38 UU No.1 tahun 1974 “perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan Pengadilan”. Hal ini menunjukkan adanya tiga faktor perceraian:
35
1. Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh suami atau istri untuk memutus hubungan perkawinan antara mereka. 2. Peristiwa alamiyah yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun, yaitu kematian dari salah satu pihak suami ataupun istri. 3. Putusan dari Pengadilan yang berakibat putusnya hubungan perkawinanan antara suami dan istri (Syaifuddin, Muhammad dkk, 2013: 16). Menurut UU perkawinan pasal 39 UU Perkawinan No.1 tahun 1974 disebutkan bahwa ketentuan perceraian adalah: 1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan istri tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri. 3. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundang-undangan sendiri. Adapun tata cara perceraian pasangan suami istri yang beragama Islam melalui Pengadilan Agama yang telah diatur dalam KHI pasal 129–142. Berikut juga akibat putusnya perkawinan karena perceraian juga diatur dalam UU perkawinan pasal 41.Adapun dalam KHI akibat dari perceraian diatur lebih spesifik.Yakni dalam KHI pasal 149-152. Pasal 149: 36
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: 1. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul. 2. Member nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. 3. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separo apabila qobla al dukhul. 4. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun. Pasal 150 Bekas suami berhak melakukan ruju‟ kepada bekas istri yang masih dalam masa iddah. Pasal 151 Bekas istri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerimapinangan dan tidak menikah dengan pria lain. Pasal 152 Bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz.
37
Perceraian dapat dilakukan jika memenuhi salah satu syarat yang ada dalam KHI pasal 116 yaitu: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok berat, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturur-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah ataukarena hal lain di luar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat-akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami/istri. f. Antara suami dan istri terus-menurus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagidalam rumah tangga. g. Suami melanggar taklik talak. h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. D. KESETARAAN GENDER DALAM HUKUM PERCERAIAN DI INDONESIA
38
Ketentuan-ketentuan perceraian telah diatur dalam UndangUndang perkawinan yang pelaksanaannya telah diatur dalam KHI. Pembuat hukum di Indonesia sebenarnya telah berupaya untuk membuat aturan yang bersifat penghapusan pendiskriminasian terhadap perempuan antara lain yaitu UU No. 7 tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi bagi perempuan. Kemudian muncul 29 kebijakan baru untuk memenuhi hak-hak perempuan, penanganan dan penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan. Beberapa diantaranya yaitu UU Penghapusan kekerasan Rumah Tangga (PKDRT), UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), UU Perlindungan Anak, UU Penempatan dan Perlindungan TKI ke Luar Negeri (UU TKI ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan), UU Kewarganegaraan No. 12 tahun 2006. Pada tahun 2000 juga dikeluarkan Instruksi Presiden (Inpres th. 2000) untuk Pengarustamaan Gender (Muhammad, 2016: 130). Namun dalam hukum perceraian di Indonesia aturan bagi kedua belah yang bercerai yakni pihak suami maupun pihak istri masih banyak yang besifat diskriminatif. Menurut Ratna Batara Munti dan Hindun Anisah seorang pakar gender menyatakan bahwa, hukum perceraian di Indonesia masih bersifat diskriminatif terbukti dari beberapa putusan yang masih merugikan pihak perempuan. Rujukan yang dipakai oleh para hakim Pengadilan Agama yang diambil dari beberapa rujukan salah satunya
39
yaitu dariUndang-Undang Perkawinan dan KHI yang proses penyusunannya berdasarkan pada hukum normatif Islam sebagaimana isinya seperti dalam kitab-kitab Fiqh (Muhammad, 2016: 154), yang mana putusan masih dirasa berat sebelah bagi perempuan.Salah satu produk putusan yang hingga kini tetap menjadi penetapan yaitu bunyi amar putusan yang menyatakan bahwa perempuan yang mengajukan perceraian, jika perceraian tersebut dikabulkan maka bunyi amar putusannya
tetap
pihak
suamilah
yang
menjatuhkan
talak
kemudiantentang „iwadz.Ratna Batara Munti dan Hindun Anisah juga menganggap ketentuan seperti ini sebagai bentuk pendiskriminatifan terhadap perempuan, karena perempuan yang menggugat cerai suaminya yang melanggar ta‟lik talak diharuskan memberikan tebusan atas pembebasannya tanpa terkecuali (Munti& Anisah, 2005: 85).
BAB III KYAI HUSEIN DAN KETERLIBATANNYA DALAM GENDER A. Biografi K.H. Husein Muhammad
40
Kyai Husein lahir pada tanggal 9 Mei 1953 di Cirebon dari pasangan Ummu Salamah dan Muhammad Asyrofuddin. Ibunya adalah seorang guru ngaji disebuah pesanteren yang didirikan oleh kakeknya, sedangkan
ayahnya
merupakan
seorang
pegawai
pemerintah
didaerahnya.Kyai Husein terlahir disebuah lingkungan yang kental nilainilai ke-Islaman-nya. Kyai Husein dilahirkan disalah satu sudut komplek pesantren yang didirikan oleh kakeknya sendiri dari garis keturunan ibunya yang bernama K.H. Sanawi bin Abdullah bin Muhammad Salabi pada tahun 1932. Kyai Husein mempunyai 8 saudara yang semuanya menjadi kyai yang berpengaruh didaerahnya. Saudara-saudara Kyai Husein yaitu Hasan Thuba Muhammad yang menjadi pengasuh di pondok pesantren Raudlah at Thalibin di Bojonegoro, Jawa Timur. Husein Muhammad menjadi salah seorang pengasuh pondok pesantren Dar at Tauhid di Arjawinangun, Cirebon. Ahsin Sakho Muhammad pengasuh pondok pesantren Darul Qur‟an di Arjawinangun Cirebon.Ubaidah Muhammad pengasuh pondok pesantren Lasem, Jawa Tengah.Mahsun Muhammad pengasuh pondok pesantren Dar at Tauhid di Arjawinangun, Cirebon.Azzah Nur Laila pengasuh pondok
pesantren
HMQ
Lirboyo,
Kediri,
Jawa
Timur.Salman
Muhammad pengasuh pondok pesantren tambak Beras, Jombang, Jawa Timur.Faiqoh pengasuh pondok pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Setelah kakek Kyai Husein wafat pesantrennya kemudian diampu oleh K.H. A. Syathori sampai tahun 1969.Pesantren ini kemudian hari 41
kita kenal dengan nama pesantren Dar
At Tauhid. Pada mulanya
pesantren ini bernama al-Ma‟had al-Islami, kemudian setelah putranya yang bernama K.H. Ibnu Ubaidillah pulang dari Makah al-Mukarromah setelah menyelesaikan studinya, pesantren ini namanya diubah menjadi Ma‟had Dar At-Tauhid al-„Alawa al-Islami, yang kemudian disederhakan menjadi Ma‟had Dar At-Tauhid al-Islami. Pesantren ini pada awal kemunculannya
sudah dikenal sebagai pesantren yang berbeda dari
pesantren lainnya. Jauh sebelum di Indonesia ada pesantren yang menggunakan sistem madrasi, pesantren ini telah mengamalkannya dan sudah menggunakan kapur tulis sebagai medianya untuk menulis ayatayat Al Qur‟an dan kemudian dihapus yang mana debunya berceceran dan oleh sebagian ulama ini dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap ayat-ayat al-Qur‟an. Format pendidikan seperti ini menuai banyak kecaman dari berbagai pihak, namun berkat kekuatan argumentasi yang disampaikan oleh Kyai Syathori akhirnya mereka menerima cara pendidikan seperti itu (Nuruzzaman, 205: 108).
B. Pendidikan Kyai Husein Kyai Husein mengenyam pendidikan agama sejak kecil, selain pendidikan formal beliau juga mengenyam pendidikan sekolah di madrasah diniyah.Kyai Husein pertama kali belajar membaca Al-Quran dengan Kyai Mahmud Toha dan kepada kakeknya sendiri. Kyai Husein menyelesaikan pendidikan formal di sekolah dasar pada tahun 1966 42
kemudian beliau melanjutkan ke SMPN 1 Arjawinangun, kemudian setelah lulus Kyai Husein melanjutkan pendidikannya di pesantren Lirboyo di daerah Kediri Jawa Timur selama tiga tahun. Kemudian beliau melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur‟an (PTIQ) Jakarta selama lima tahun. Selama Kyai Husein kuliah beliau terlibat aktif diberbagai organisasi, bahkan beliau pernah menjabat sebagai ketua 1 Dewan Mahasiswa pada tahun 1979.Kyai Husein juga menjadi salah satu pelopor berdirinya PMII Rayon Kebyoran Lama (Nuruzzaman, 2005: 113). Tahun 1980 Kyai Husein melanjutkan pendidikan ke Universitas Al Azhar Mesir, dikarenakan ijazah sarjanannya belum bisa digunakan untuk melanjutkan S2nya dengan alasan ijazahnya belum disamakan, maka Kyai Husein belajar dengan sejumlah syaikh di Majma‟ al-Buhuts al-Islamiyah milik Universitas Al-Azhar.Secara formal di institusi ini Kyai
Husein
belajar
di
Dirasat
Khashshah
(Arabic
Special
Studies).melalui institusi inilah Kyai Husein berkenalan dengan pemikiran-pemikiran
Islam
modern
yang
dikembangkan
oleh
Muhammad Abduh, Ali Abdur Raziq, Muhammad Iqbal dan lainnya. Kyai Husein juga berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Barat seperti Sratre, Goethe dan lainnya (Nuruzzaman, 2005: 6). C. Karya-karya Kyai Husein Kyai Husein tercatat sebagai penulis yang handal terbukti dari beberapa karya beliau yang sudah lebih dari 10 buku yang telah beredar
43
dimasyarakat. Bagi Kyai Husein menulis adalah sebuah keharusan, seperti yang dituturkan Kyai Husein dalam sebuah kesempatan ketika penulis turut serta mengikuti kajian yang diampu Kyai Husein secara langsung: “kematian adalah hal yang tidak kutakutkan, karena dia pasti. Yang aku takutkan adalah ketika aku tidak bisa meninggalkan sesuatu yang membuatku hidup selamanya, yaitu sebuah karya yang bermanfaat bagi orang lain” Maka dari itu Kyai Husein tdak pernah berhenti untuk terus berkarya.Salah satu karya Kyai Huseinyang digunakan sebagai bahan rujukan para aktivis perempuan yaitu “Fiqh Perempuan, Refleksi Kiyai atas Wacana Gender”, karyanya yang lain yaitu “Islam Agama Ramah Perempuan”, “Ijtihad Kyai Husein, Upaya Membangun Keadilan Gender”,
“Dawrah
Fiqh
Perempuan”
(modul
pelatihan),
“Fiqh
Seksualitas”, “Fiqh HIV/AIDS”, “Mengaji Pluralisme Kepada Maha Guru Pencerahan”, “Sang Zahid, Mengarungi Sufisme Gus Dur”, “Menyusuri Jalan Cahaya”, dan buku terbaru beliau yaitu yang berjudul “Perempuan, Islam & Negara” yang baru diterbitkat pada tahun 2016 ini (Muhammad, 2016: 319). Pada tahun 2003, Kyai Husein mendapatkan penghargaan dari Bupati Kabupaten Cirebon sebagai tokoh Penggerak, Pembina, dan pelaku Pembangunan Pemberdayaan Perempuan. Pada tahun 2006 Kyai Husein juga menenerima penghargaan dari pemerintah Amerika Serikat sebagai “Heroes To End Modern-Day Slavery”. Nama Kyai Husein juga
44
tercatat dalam “The 500 Moslem Influential Muslims” yang diterbitkan oleh Royal Islamic Strategic Center sejak tahun 2010. D. Keterlibatan Kyai Husein dalam Gerakan Gender Sekitar tahun 1989 Kyai Husein sudah aktif dipertemuan halaqah para kyai-kyai yang membahas tentang ilmu-ilmu Islam di pesantren, kemudian Kyai Husein diundang untuk mengikuti pelatihan Islam dan gender. Awalnya Kyai Husein menolak pemikiran-pemikiran gender karena latar belakangnya yang masih kental dengan pesantren yang masih memegang teguh ajaran-ajaran kitab kuning, namun seiring waktu dan berkali-kali diskusi dengan para tokoh gender, yang diantaranya adalah Masdar Farid Masdu‟i dan kawan-kawan yang ketika itu menjadi direktur P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat). Masdar sering mengajak Kyai Husein dalam berbagai seminar yang berbau tentang gender lambat laun pemikiran Kyai Husein mulai terbuka untuk menerima pemikiran tentang gender, kemudian Kyai Husein mencari referensi-referensi tentang teks-teks Al Qur‟an, Hadist, maupun kitab-kitab Fiqh yang tidak bias gender, pada mulanya Kyai Husein kesulitan namun setelah banyak memhami isi kandungan dari teks-teks tersebut Kyai Husein tambah yakin akan pemikiranpemikirannya tentang gender dan mulai giat mengkampanyekan isu-isu gender (wawancara 10 Juni 2016). Kyai Husein dikenal sebagai Kyai Feminis, karena banyaknya perhatian Kyai Husein terhadap isu-isu gender yang bermunculan. Hal ini
45
menunjukan bahwa pesantren juga membawa angin segar bagi kaum feminis di Indonesia dan menunjukkan betapa besarnya perhatian dan peran para ulama bagi kaum perempuan. Suami dari Lilik Nihayah Fuadi ini yang telah dikaruniai 5 orang buah hati yang bernama Hilya Aulia, Layali Hilwa, Muhammad Fayyaz Mumtaz, Najlah Hammada, Fazla Muhamad dan satu orang cucu ini juga berperan sebagai pendiri beberapa LSM yang memperhatikan isu-isu tentang perempuan. Sekitar tahun 2000, Kyai Husein mendirikan LSM bersama dengan beberapa tokoh gender.Salah satu LSM yang Kyai Husein dirikan bernama Rahima.Lembaga ini memusatkan kerjanya pada pendidikan, pelatihan, dan pusat informasi Islam dan hak-hak perempuan. Rahima juga memfasilitasi tumbuhnya jaringan-jaringan di pesantren-pesantren untuk sosialisasi program keadilan dan kesetaraan gender. Lembaga ini berhasil menerbitkan buku karangan Kyai Husein yang berjudul Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Agama dan Jender, kemudian pada tahun yang sama Kyai Husein juga mendirikan sebuah LSM bersama teman-temannya yang diberi nama Puan Amal Hayati yang sekarang dipimpin oleh Ibu Nyai Shinta Nuriyah , istri almarhum Gus Dur. Puan sendiri merupakan kependekan dari Pesantren untuk Pemberdayaan Perempuan, selain melakukan pelatihan dan sosialisasi tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan, lembaga ini juga mempelajari dan mengkaji secara kritis kitab karangan Syekh Nawawi al-
46
Bantaniy yang berjudul „Uqud al Lujain fi Bayan Huquq al Zaujain yakni kitab yang berisi tentang kewajiban dan hak-hak suami dan istri menurut Fiqih sufistik. Pada tahun 2001 Kyai Husein mendirikan lagi sebuah LSM yang bernama Fahmina Institut.Fahmina Institut memfasilitasi keberdayaan dan pembelaan terhadap masyarakat yang tertindas.Fahmina juga menggelar program penghapusan trafficking perempuan dan anak, dan juga menyelenggarakan pendidikan perempuan ulama pada tahun 2005. Fahmina Institut juga pernah menyelenggarakan kursus Islam dan gender bagi para aktivis perempuan non-pesantren se-Indonesia dan juga pernah menerima beberapa kali kunjungan dari para aktivis perempuan dari Asia Selatan. Fahmina juga bekerjasama dengan beberapa pihak dalam penerbitan bulletin tentang isu-isu perempuan. Kehadiran Fahmina juga banyak menggugah kesadaran masyarakat akan adanya ketimpangan relasi sosial dalam masyarakat (Muhammad,2016: 91). E. Pengalaman Organisasi Berikut ini kumpulan beberapa aktivitas organisasi Kyai husein: 1.
Ketua I Dewan Mahasiswa PTIQ tahun 1978-1979.
2.
Ketua I Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama Kairo Mesir 19821983.
3.
Sekretaris Perhimpunan Pelajar dan Mahasiswa Kairo-Mesir 19821983.
4.
Pendiri Fahmina Institute, Cirebon.
47
5.
Pelopor PMII Rayon Kebayoran Lama.
6.
Pengasuh Pondok Pesantren Dar At-Tauhid.
7.
Anggota Dewan Syuro DPP PKB 2001-2005.
8.
Ketua Dewan Tahfidz PKB Kabupaten Cirebon tahun 1999-2002.
9.
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Cirebon tahun 1999-2005.
10.
Ketua umum Yayasan Wali Songo tahun 1996-2005.
11.
Ketua 1 Yayasan Peasantern Dar At-Tauhid tahun 1984-sekarang.
12.
Wakil Rois Syuriyah NU Cabang Kab. Cirebon 1989-2001.
13.
Sekjend RMI (Rabithoh Ma‟had Islamiyah) Jawa Barat tahun 1994-1999.
14.
Pengurus PP RMI tahun 1989-1999.
15.
Wakil Ketua Pengurus Yayasan Puan Amal Hayati, Jakarta tahun 2000-sekarang.
16.
Direktur Pengembangan Wacana LSM RAHIMA, Jakarta tahun 2000-sekarang.
17.
Ketua Umum DKM Masjid Jami‟ Fadhlulloh, Arjawinangun tahun 1998-sekarang.
18.
Kepala Madrasah Aliyah Nusantara berlokasi di Arjawinangun tahun 1989-sekarang.
19.
Kepala SMU Ma‟arif Arjawinangun 2001.
20.
Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia Arjawinangun 1996.
21.
Ketua Kopontren Dar At-Tauhid 1994-sekarang.
48
22.
Ketua Departemen Kajian Filsafat dan Pemikiran ICMI
Orsat
Kabupaten Cirebon tahun 1994-2000. 23.
Ketua I Badan Koordinator TKA-TPA Wilayah III Cirebon tahun 1992-sekarang.
24.
Pemimpin
Umum/Penanggung
Jawab
Dwibulanan
“Swara
Rahima”, Jakarta tahun 2001. 25.
Dewan Redaksi Jurnal Dwi Bulanan “Puan Amal Hayati”, Jakarta tahun 2001.
26.
Konsultan Yayasan Balqis untuk Hak-hak Perempuan, Cirebon tahun 2002.
27.
Konsultan /Staf ahli Kajian Fiqh Siyasah dan Perempuan.
28.
Anggota National Broad of Internasioanal Center for Islam and Pluralism, Jakarta tahun 2003.
29.
Dewan Penasehat dan Pendiri KPPI (Koalisi Perempuan Partai Politik Indonesia) di Kabupaten Cirebon, tahun 2004.
30.
Tim Pakar Indonesian Forum of Parliamentarian on Population and Development, 2003.
31.
Komisioner Komnas Perempuan 2007-2009 dan 2010-2014.
32.
Pendiri Lintas Iman (forum Sabtuan), Cirebon tahun 2000-sekarang (Nuruzzaman, 2005: 124). Kyai Husein selain aktifis dalam beberapa kegiatan organisasi yang
bergerak dalam ranah gender,Kyai Husein juga merupakan sosok seorang guru, kyai, dan seorang paman yang penuh perhatian dan tidak segan
49
membagi ilmunya dengan tulus iklas kepada mereka.Hal ini dituturkan oleh salah satu muridnya di Fahmina Institut yang bernama Zainal Abidin. Zainal Abidinberpendapat bahwa Kyai Husein merupakan sosok guru yang sangat perhatian dan merupakan sosok kyai yang out of the box, yaitu seorang kyai yang dengan keteguhan pemikirannya berani berbeda dengan kyai-kyai pada umumnya. Terutama tentang isu-isu kemanusian, keadilan, pluralism, dan gender. Salah satu santrinya yang bernamambak Qona‟ahjuga berpendapat bahwa Kyai Husein merupakan sosok yang dekat dengan santrinya tanpa memposisikan diri beliau sebagai seorang kyai melainkan sebagai seorang sahabat. Dalam berbagai kajian kitab, Kyai Husein juga selalu menyelinginya dengan isu-isu gender meskipun di dalam kitab tidak memuat bahasan gender secara eksplisit. Menurut salah satu keponakannya yang bernama Gus Hasan juga mengungkapkan selain menjadi paman, Kyai Husein juga merupakan sosok guru dalam hidupnya.Kyai Husein merupakan sosok cendekiawan muslim yang alim dan berwawasan luas.Pandangan Fiqh Kyai Husein juga sangat progress dan tidak terpaku pada produk-produk Fiqh yang telah ada.
BAB IV PEMIKIRAN KYAI HUSEIN TENTANG KESETARAAN GENDER DALAM HUKUM PERCERAIAN DI INDONESIA A. Basis pemikiran Kyai Husein 50
Basis pemikiran Kyai Husein yaitu keterbukaan untuk menerima segala sesuatu dari manusia. Menurut Kyai Husein segala ilmu yang baik itu berasal dari Allah SWT, seluruh hikmah kebijaksanaan dari siapapun sebenarnya itu merupakan hikmah dari Allah tanpa memandang keluarnya dari siapapun meskipun berbeda ras, suku bahkan berbeda agama, jika itu baik maka selayaknya untuk diapresiasi. Banyaknya perdebatan tentang gender disinyalir karena melihat darimana gender itu berasal dan siapa yang
mencetuskan
gender
pertama
kali.
Kyai
Husein
tidak
mempermasalahkan hal ini, selama hal ini baik dan membawa kemaslahatan bagi semua ummat bagi itu tetap mengandung hikmah bagi kehidupan manusia (wawancara, 12 Juni 2016). Basis pemikiran Kyai Husein yang lain yaitu beliau memahami tauhid sebagai manifestasi terhadap penghargaan terhadap hak-hak manusia. Manusia apapun latar belakangnya, dari manapun dia berasal pada ujungnya berasal dari sumber yang satu yakni merupakan ciptaan Allah SWT.Tidak ada perbedaan kedudukan antara manusia satu dengan yang lainnya, antara laki-laki dan perempuan karena kedudukan tertinggi hanya ada pada Allah SWT (wawancara, 12 Juni 2016). Selanjutnya Kyai Husein menjabarkan lafadz tauhid menjadi perkalimat.Kalimat la ilaha bersifat penafian terhadap hal yang disembah. Termasuk dalam hal mengagungkan dirinya sendiri, karena pengagungan terhadap diri sendiri adalah hal yang dilarang dalam agama yang justru
51
akan menyesatkan manusia. Kemudian lafadz illallah hanya Allah lah satu-satunya Dzat yang memiliki kebesaran.Kesimpulan dari lafadz lailahaillah merupakan bentuk kebebasan diri manusia dari sifat-sifat egoisme atau sifat individualisme. Jika manusia dibiarkan hidup dalam keinginan pribadinya maka manusia yang kuat akan cenderung mengeksploitasi manusia yang lemah, perempuan yang dianggap lemah akan cenderung selalu ditindas kaum laki-laki yang dianggap sebagai pihak yang berkuasa (Nuruzzaman, 2005: 157). Kyai Husein juga menjunjung tinggi demokrasi dan Hak Asasi Manusia (Nuruzzaman, 2005: 152). Menurut Kyai Husein Hak Asasi Manusia adalah hak mutlak yang tidak dapat diganggu gugat oleh orang lain. Hak Asasi Manusia sendiri mulai diperkenalkan pada tanggal 10 Desember 1948 yang ditandai dengan adanya deklarasi dari PBB. Namun dalam buku lain tentang HAM disebutkan, bahwa sejak zaman Yunani kuno sudah mulai diungkapkan tentang pemikiran HAM (Effendi& Taufani,2007: 1). Islam sendiri telah mengenal HAM sejak zaman Rasululloh yang kemudian menjadi dasar dalam perumusan HAM Universal, seperti yang termuat dalam pidato Rasulullah dalam pidatonya yang disampaikan ketika haji Wada‟ “hai manusia, sesungguhnya darahmu (hidupmu)), hartamu, dan kehormatanmu adalah suci, sesuci hari ini di bulan ini dan di negeri ini sampai kamu bertemu dngan Tuhanmu di hari Kiamat”. Kata darahmu, hartamu, dan kehormatanmu kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris life, property, dan
52
dignityyang merupakan prinsip dalam HAM (Muhammad, Husein, 2016: 111). Pada zaman Rasulullah pun kita telah mengenal istilah Piagam Madinah.Piagam tersebut merupakan perjanjian antara orang Mukmin dengan orang-orang non-Muslim yang berada di Madinah.Piagam tersebut terdiri dari 47 pasal, yang mana diantara isinya memuat tentang penjaminan
keselamatan
antar
kedua
belah
pihak.Dalam
perkembangannya kemudian muncullah deklarasi Kairo pada tahun 1990 yang popular menjadi deklarasi Hak Asasi Islam yang ditujukan untuk anggota Organisasi Konferensi Islam (Muhammad, 2016: 115). Manusia mempunyai hak untuk dirinya sendiri yang lepas dari orang lain. Namun karena manusia ditakdirkan sebagai mahluk sosial maka hak tersebut tentunya tidak boleh bertentangan dengan hak-hak orang lain juga. Istilah HAM sebenarnya merupakan istilah yang lahir di Barat.Tetapi dalam akhir-akhir ini dunia Islam menyebut Hak Asasi Manusia Universal sebagai "al huquq al insaniyah al-asasiyah al-alamiyah”. Menurut Abed al-Jabiri yang dikutip oleh Kyai Husein kata al-Alamiyah bermakna universal, yakni berlaku bagi siapapun tanpa dibatasi ruang dan waktu. HAM merupakan hak setiap manusia karena melekat pada diri manusia itu sendiri. Deklarasi Universak hak Asasi Manusi memuat 30 pasal yang menerangkan hak-hak yang dimiliki manusia, berikut slah satu dari beberapa pasal yang termuat dalam DUHAM:
53
1. Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunya martabat dan hak yang sama. Mereka dianugrahi akal dan budi nurani dan hendaknya satu sama lain bergaul dalam semangat persaudaraan. 2. Setiap orang mempunyai hak atas semua hak dan kebebasan yang termaktub dalam pernyataan ini, tanpa kekecualian semacam apapun, seperti asal-usul, keturunan, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendirian politik atau pendirian lainnya atau asal-usul, kebangsaan atau asal-usul sosial, hak milik, status kelahiran, ataupun status lainnya. 3. Setiap orang berhak hidup, berhak atas kebebasan, dan keamanan diri pribadinya. 4. Tak seorangpun boleh dikenai perlakuan atau pidana yang aniaya atau kejam yang tidak berperikemanusiaan atau merendahkan martabat. Pasal-pasal yang terdapat dalam DUHAM tersebut terdapat dua hal yang paling mendasar dan menjadi akar dari HAM yaitu, kesetaraan dan kebebasan (Muhammad, 2016: 109).Kebebasan merupakan penghargaan dari Tuhan untuk hamba-Nya sebagai wujud anugrah akal dan pikiran manusia. Menurut Kyai Husein Muhammad kebebasan dalam konteks individual yakni tidak ada satu orang pun yang bisa membatasi aktifitas pemikiran seseorang meliputi pilihan hidup maupun keyakinan. Keyakinan merupakan anugrah dari Tuhan dan hanya Tuhan yang memilikinya. Namun Kyai Husein juga membuat batasan yakni jika berkaitan dengan orang
lain
kebebasan
seseorang
untuk
menyampaikan
maupun
mengekspresikan pikiran, gagasan ataupun tindakan tidak bersifat
54
absolute, yaitu kebebasan tersebut jangan sampai bersinggungan dengan hak-hak orang lain (Muhammad, 2016: 113). B. Pemikiran Kyai Husein dalam Hukum Perceraian di Indonesia Perempuan adalah seorang makhluk yang mempunyai kedudukan istimewa menurut Allah dan Rasulullah, sebagaimana disebutkankan dalam beberapa ayat dalam Al-Quran. Salah satu buktinya yaitu surat dalam Al Qur‟an yang bernama seorang perempuan. Namun pada kenyataannya, seiring perkembangan zaman dan mengakar kuatnya budaya patrirkhi di sebagian besar belahan dunia menyebabkan kedudukan perempuan semakin tergerus dan termajinalkan. Perempuan hanya dianggap sebagai konco wingking oleh sebagian kaum. Perempuan hanya mempunyai kedudukan sebagai ibu rumah tangga, dan kedudukan kepala rumah tangga tetap pada kendali seorang suami. Menempatkan perempuan dalam wilayah domestik juga merupakan bentuk pendiskriminasian terhadap perempuan dan sebagai bentuk pembatasan ataupun pengucilan yang tanpa disadari akan menciptakan kemiskinan dan pembodohan bagi perempuan yang juga merupakan kemiskinan dan pembodohan bagi masyarakat bangsa. Banyak sekali tindakan kekerasan yang dialami oleh perempuan, banyaknya kasus-kasus KDRT yang terjadi di negara ini. Menurut Kyai Husein, kekerasan yang dialami oleh perempuan disinyalir karena adanya ketimpangan kekuasaan relasi antara laki-laki dan 55
perempuan. Laki-laki dan perempuan diletakan tidak sederajat laki-laki dietakkan sebagai penguasa yang menguasai perempuan.Inilah yang membuat terjadinya tindakan kekerasan pada perempuan.Perempuan diletakkan sebagai makhluk nomor dua yang mana rentan terhadap kekerasan dari pihak laki-laki yang dianggap sebagai makhluk nomor satu. Melihat kenyataan ini muncullah beberapa aktivis gender yang ingin menyingkirkan ketidakadilan tersebut, salah satu aktifis gender yang giat mengkampanyekan pemikiran-pemikiran gender yaitu Kyai Husein. Kyai Husein berpendapat bahwa dalam beberapa hal perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama. Adanya kesenjangan dalam idealitas agama dan fakta sosial yang harus disikapi dengan bijak.Idealisme agama memberikan peran dan aktualisasi terhadap kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, namun realita sosial justru membatasinya. Meskipun banyak aktivis gender bermunculan pada akhir-akhir ini, namun masih banyak juga orang yang menolak ide kesetaraan gender yang dikuatkan dengan salah satu dalil dalam al-Qur‟an surat al-Nisa‟ ayat 34, yang telah diterjemahkan menurut versi Kementrian Agama RI: “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan, dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.
56
Kyai Husein kemudian mengkritisi terjemahan ayat ini menjadi tiga bagian, yakni: pertama dilihat dari asbabun nuzul ayat ini mendiskripsikan situasi sosial dan budaya Arabia pada abad ke-7, di mana budaya pada saat ini masih menganut sistem patriarkhis yang kuat. Jadi ayat ini bukan bersifat universal yang berlaku bagi seluruh umat Islam di dunia.Kedua, ayat ini menyebutkan dua alasan mengapa terjadi kesenjangan antara kedudukan laki-laki dan perempuan, yakni karena laki-laki mempunyai keunggulan atas perempuan dan karena laki-laki secara fungsional bertanggung jawab atas kebutuhan perempuan.Ayat tersebut juga tidak menyebutkan secara eksplisit makna dari keunggulan tersebut.Ketiga, ayat ini menyebutkan lafal “ba‟dhakum „ala ba‟dh” (sebagian atas sebagian), ini memberikan arti bahwa keunggulan laki-laki terhadap perempuan bersifat
abstrak
atau
tidak
bersifat
mutlak
(Muhammad,
2016:
241).Banyak perempuan zaman sekarang menjadi pemimipin dalam berbagai
instansi
pemerintah
maupun
non-pemerintah.Hal
ini
menunjukkan bahwa perempuan juga mempunyai kelebihan dibandingkan dengan laki-laki dalam ranah publik. Kyai Khusein selalu memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
karena
menurut
beliau
kesetaraan
akan
membawa
kemaslahatan bagi kedua belah pihak, yaitu pihak laki-laki dan perempuan. Pendiskriminasian terhadap jenis kelamin hanya akan melahirkan berbagai bentuk kekerasan dan pengabaian terhadap hak-hak manusia. Mendiskriminasikan hak-hak perempuan sama juga melanggar
57
hak-hak asasi manusia karena perempuan juga manusia. Menurut Kyai Khusein perempuan harus dilindungi karena dialah sumber dari generasi kedapannya, jika perempuan dalam keadaan baik, tidak mengalami tindakan kekerasan, tidak tersakiti jasmani maupun psikologinya, maka akan tercetak generasi-generasi yang baik pula. Perlakuan-perlakuan yang diskrimatif jika diteruskan maka akan cenderung merugikan salah satu pihak dan tujuan agama Islam sebagai agama yang rohmatan lil alamin tidak akan terwujud. Agama Islam dan agama-agama lainnya dihadirkan oleh Tuhan sebagai agama yang membawa berkah bagi seluruh umat yang ada di bumi, yang bertujuan untuk menghapus segala dikriminasi di muka bumi ini, yang berupa pembebasan terhadap ketidakadilan berupa apapun, baik berupa perbedaan ras, suku, warna kulit, keyakinan, gender maupun yang lainnya. Hal ini senada dengan bunyi deklarasi HAM yang dikenal dengan istilah DUHAM, adapun bunyi pasal 1 DUHAM yaitu “semua manusia bebas dan dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang sama” (Hardiman, 2011: 43). Sangat aneh jika agama Islam mendukung akan adanya tindakan kekerasan dan diskrimasi terhadap salah satu pihak. Namun kenyataannya budaya patriarkhi yang melekat pada masyarakat sangat sulit untuk dihilangkan.Pada tataran realita sosial perempuan masih diletakkan dalam ranah makhluk dometik saja, perempuan hanya berkutat dalam seputar
58
urusan rumah tangga saja.Kewajiban utama perempuan hanya seputar mengasuh dan mendidik anak dan urusan rumah tangga lainnya, terutama melayani suami.Hal ini diperparah dengan adanya dukungan dari sebagian para ulama yang mendukung adanya sikap herois atau yang meletakkan laki-laki sebagai makhluk yang berkuasa atas perempuan dan didukung dengan teks-teks Al Qur‟an untuk memperkuat dalilnya. Sebenarnya dalam permasalahan gender ini, ulama terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang mendukung adanya persamaan gender dan kelompok yang kedua yaitu kelompok yang menentang adanya persamaan gender.Kelompok yang pertama mengatakan bahwa posisi perempuan memang sudah ditakdirkan untuk menjadi makhluk kelas dua, hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan harus dibedakan dan tidak bisa digantikan dalam bentuk apapun.Pada intinya perempuan mempunyai hak separoh atas laki-laki karena ini sudah tercantum dalam Al Qur‟an dan Hadits.Persamaan laki-laki dan perempuan dianggap sebagai bentuk penentangan terhadap hukum Tuhan.Aliran ini disebut sebagai aliran konservatif. Sedangkan aliran yang kedua disebut sebagai aliran progresif, yang mana aliran ini berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama. Perempuan juga memiliki potensi yang sama dengan laki-laki. Dua aliran juga juga sama-sama mempunyai dalil-dalil yang sama dari Al Qur‟an dan Hadits untuk memperkuat argumennya. Perbedaan cara
59
pandang para ulama ini terjadi akibat perbedaan cara memahami teks-teks dalam Al Qur‟an dan Hadits. Cara memahami teks dalam tradisi agama Islam dibagi menjadi dua yaitu dengan cara Tafsir dan Ta‟wil. Tafsir lebih berkaitan dengan riwayat atau infirmasi dari bunyi-bunyi teks tersebut sedangkan Ta‟wil berisikan tentang isi atau subtansi berita (Muhammad, 2016: 122).Ta‟wil merupakan alat untuk menganalisis bagi manusia untuk memahami dan menemukan arti, maksud atau pesan adari sebuah teks. Kyai Husein juga memaparkan bahwa cara berfikir itu dibagi menjadi dua bagian yaitu cara berfikir yang subtanstif dan cara berfikir yang formalis. Cara berfikir yang subtantif yaitu cara berfikir dengan melihat tujuan dari segala sesuatu tidak terpaku dengan tafsiran-tafsiran ayat secara tekstual, sedangkan cara berfikir formalis yaitu cara berfikir secara tekstual artinya terpaku pada tafsiran-tafsiran secara tekstualis. Menurut Kyai Husein cara berfikir formalislah yang menjadikan pemikiran mandek dan tidak bisa berkembang karena hanya tertuju pada bunyi-bunyi tekstual (Kajian, 15 Juni 2016). Sumber-sumber hukum Islam menyediakan dua kategori teks, yaitu teks universal dan teks partikular. Teks universal yaitu teks yang berisi prinip-prinip fundamentalis, kata ini dalam Ushul Fiqh disebut dengan Maqosidu as Syari‟ah yang berisi lima ajaran pokok yaitu hifzh al din, hifzh al naf, hifzh al „aql, hifzh al nasl, dan hifzh al amal. Para ahli Islam menyebutnya sebagai teks yang Muhkamat artinya teks yang tidak dapat
60
diabaikan dan harus menjadi landasan dalam setiap tindakan yang dilakukan.Sedangkan teks partikular adalah teks-teks yang menunujukkan pada suatu kasus tertentu yang harus dimaknai secara kontekstual, semua perkara hukum bersifat partikular karena ini berkaitan dengan kasus-kasus tertentu yang tidak bisa dimaknai secara universal.Teks partikular melihat peran tempat dan waktu untuk mempengaruhi segala hukum yang ditimbulkan (Muhammad, 2016: 123). Menurut Kyai Husein, mengutip perkataan Ibnu Taimiyah, bahwa hukum Islam juga mempuyai dua kategori, kategori pertama yaitu, hukum yang
dihasilkan
oleh
para
mujtahid
disebut
sebagai
“syari‟ah
mu‟awwalah” (syari‟at yang ditafsirkan), sedangkan kategori kedua disebut “syari‟ah munazzalah” (syari‟at yang diturunkan) (Muhammad, 2015: 100). Pemaknaan tersebut mengantarkan pada pemahaman bahwa ada hukum yang bersifat baku dan ada hukum yang bersifat berubah. Hukum yang bersifat baku yaitu pertama hukum yang mengatur tentang kepercayaan makhluk kepada Tuhan Yang Maha Esa, MalaikatmalaikatNya, Utusan-utusan Nya, Kitab-kitabNya, pada hari kiamat, dan pada ketentuan-ketentuan Nya. Kedua yaitu hukum yang mengatur pokokpokok ibadah seperti halat, puasa, zakat, dan haji. Ketiga adalah prinsipprinip kemanusian yang bersifat universal. Adapun aturan hukum yang bersifat tidak baku atau yang dapat berubah yaitu, segala permasalahan
61
yang menyangkut hubungan atau relasi antar manusia atau dengan sebuah komunitas, atau yang sering disebut dengan “mu‟amalat”. Bidang ini meliputi aturan-aturan tentang relasi manusia dalam keluarga dan aturanaturan mengenai relasi antar manusia dalam kehidupan rumah tangga, sosial,
budaya,
(Muhammad,
ekonomi,
2015:
politik,
serta
101).Mu‟amalat
pergaulan
yang
berarti
antar
bangsa
relasi
sosisal
memberikan kesempatan atau ruang terbuka bagi para pemikir-pemikir Islam
untuk
dapat
mengembangkan
pemikiran-pemikirannya
atau
berpartisipasi dalam pembentukan produk-produk ijtihad baru bagi perkembangan hukum-hukum syari‟ah, karena Al-Qur‟an tidak mengatur tentang mu‟amalat secara detail melainkan menetapkan prinsip-prinsip pokoknya saja. Syari‟ah memang bersifat sakral dan tidak boleh diubah karena bersumber dari Tuhan, akan tetapi secara bentuk dan mekanismenya ia bersifat terbuka bagi semua orang. Oleh karena itu banyak hukum-hukum syari‟ah yang berbeda meskipun dari unsur yang sama (Muhammad, 2016: 101). Kaidah Ushul mengatakan bahwa hukum bisa berubah seiring berubahnya waktu dan tempat (taghayyur al hukmi bil taghayyur al azminah wal amkinah) Kyai Husein mengutip pandangan Dr.Musthafa Syalabi dalam bukunya Ta‟lil al-Ahkam, “apabila kemaslahatan bertentangan dengan nas, dalam bidang muamalat dan adat kebiasaan yang malahatnya telah berubah, maka kemaslahatanlah yang haru dipertimbangkan, dan hal ini tidaklah dapat dikatakan sebagai menentang nas melalui semata-mata pendapat nalar.
62
Sebaliknya, ia justru mengaplikasikan nas-nas yang sangat banyak yang menunjukkan keharusan menjaga kemashlahatan tersebut. Akan tetapi, apabila kemaslahatn dalam nas tidak berubah, maka nas sama sekali tidak boleh diabaikan” (Muhammad, Husein, 2015: 102). Masalah perbedaan pendapat ini juga terjadi dalam penerapan hukum perceraian salah satunya yaitu masalah iddah.Dalam kitab-kitab Fiqh klasik banyak ditemukan bahkan bisa dikatakan hampir seluruh ulama Fiqh yang bermadzhab Syafi‟i mengatakan bahwa hak talak merupakan hak mutlak bagi laki-laki.Mereka beragumen bahwa suamilah yang memegang seluruh kekuasaan yang ada pada keluarganya dan laki-lakilah yang mampu berfikir secara rasional dan lebih banyak mempertimbangkan segala sesuatu sebelum bertindak, sedangkan perempuan hanya cenderung bersifat emosional.Menurut Kyai Husein pendapat seperti ini sangat bias gender dan cenderung mendiskriminasikan perempuan.Kyai Husein juga mengungkapkan hak cerai yang diberikan untuk laki-laki merupakan warisan dari kebudayaan Jahiliyyah, di mana waktu itu laki-laki menguasai penuh atas diri perempuan.Perempuan pada masa itu memang hanya dijadikan sebagai pelengkap di dalam sebuah rumah dan perempuan tidak mempunyai peranan apapun kecuali mengurus rumah, suami, dan anak.Namun pada kenyataannya banyak ditemukan dalil-dalil tentang hak talak ini di dalam Al Qur‟an dan Hadist yang notabene keduanya merupakan pegangan bagi seluruh umat Islam di dunia. Kembali pada penjelasan di atas bahwa Al Qur‟an dan Hadits merupakan dua kitab yang tidak bisa berbicara sendiri semua tergantung dari siapa yang menafsirkannya.Menurut Kyai Husein, sebenarnya
63
Rasulullah saat itu hanya membenarkan sementara hak talak bagi laki-laki karena sebuah tradisi yang melekat pada masyarakat tidak bisa diubah dalam sekali waktu, Al Qur‟an pun demikian.Al Qur‟an pada saat itu diturunkan di tengah kondisi masyarakat yang masih banyak mengamalkan ajaran-ajaran Jahiliyyah.Oleh karena itu Al Qur‟an tidak serta merta mengubah keadaan yang ada namun hanya cenderung membatasi.Kyai Husein memandang batasan ini mengarah pada ketidakbolehan, namun Al Qur‟an tidak serta merta langsung melarangnya.Salah satunya yaitu pembatasan bilangan talak yang awalnya tidak ada batasan dalam bilangannya dan tindakan suami terhadap istri apabila istri sedang nusyuz, mulai dari diperingatkan terlebih dahulu kemudian dipisah tempat tidurnya dan solusi yang paling akhir yaitu dipukul namun dengan pukulan yang tidak menyakitkan (Wawancara, 10 Juni 2016). Inilah salah satu kelebihan Al Qur‟an, yang mana Al Qur‟an diturunkan dengan cara yang halus tidak serta merta mengubah kenyataan. Perubahan tradisi yang dilakukan serta merta cenderung akan membuat goncangan dalam tatanan masyarakat. Kyai Husein berpendapat bahwa dalam beberapa hal perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama. Al-Qur‟an yang merupakan pedoman bagi seluruh umat islam di dunia banyak menyebutkan ayat-ayat yang berisi tentang kesetaraan, kebebasan, dan penghormatan terhadap manusia. Latar belakang Kyai Husein yang dari pesantren turut mewarnai pemikiran beliau terhadap kesetaraan gender. Kyai Husein mengambil
64
sumber-sumber gender dari hukum-hukum syari‟ah yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Hadits, namun Kyai Husein tidak menafsirkan Al-Qur‟an secara tekstual. Kyai Husein mengutip pemikiran Ibnu Taimiyah, di mana ayat-ayat
Al-Qur‟an
ditafsirkan
menurut
klasifikasinya
masing-
masing.Ayat-ayat Alqur‟an yang berisi hukum-hukum syari‟ah ada yang bersifat tetap dan ada yang bersifat bisa berubah (Muhammad, Husein, 2015: 101).Kyai Husein juga mendalami beberapa kitab-kitab klasik yang di dalamnya termuat khazanah-khazanah tentang penghargaan terhadap perempuan, di mana orang-orang Islam masih sulit untuk menerima pemikiran pembaharuan terhadap hukum-hukun Islam.Gagasan-gagasan Kyai Husein ini berlandaskan pada nilai-nilai ke-tauhid-an. Budaya patriarkhi yang melekat pada masyarakat juga tidak mudah untuk dihilangkan, maka dari itu hak talak yang melekat pada laki-laki juga sangat sulit dihilangkan. Menurut Kyai Husein hak talak diberikan untuk laki-laki karena laki-laki kebanyakan berkedudukan sebagai pemimpin yang mana laki-laki berfungsi sebagai pencari nafkah dan perempuan yang menerima nafkah tersebut, maka sangat wajar jika lakilaki dianggap sebagai pemimipin. Keadaan sekarang ternyata berbalik jauh dari itu, banyak perempuan yang keluar untuk mencari nafkah untuk keluarganya.Maka, kepemimpinan laki-laki tersebut tidak bersifat mutlak hanya sekedar sebagai fungsional saja.Kyai Husein menawarkan sebuah konsep yang menurut Kyai Husein konsep ini adil bagi kedua belah pihak.Kedua belah pihak mempunyai kedudukan setara yakni sama-sama
65
menjadi subyek hukum.Kyai Husein mempunyai pemikiran bahwa alangkah baiknya jika yang berhak menjatuhkan talak adalah Pengadilan Agama.Talak yang dijatuhkan laki-laki tanpa putusan Pengadilan Agama tidak mempunyai akibat hukum apapun, yakni tidak berpengaruh terhadap perkawinan antara suami dan istri tersebut.Jadi, laki-laki tidak semenamena mengucapkan talak terhadap istrinya sebagaimana yang termuat dalam kitab-kitab Fiqh klasik bahwa talak dapat dijatuhkan oleh laki-laki dimanapun dan kapanpun yang dia mau.Dengan begitu keutuhan tumah tangga tidak tergantung terhadap ucapan talak laki-laki yang sewaktuwaktu bisa laki-laki ucapkan (wawancara, 10 Juni 2016). Sebenarnya agama Islam juga memberikan hak meminta cerai kepada suaminya.Cerai semacam ini dinamakan khulu‟, yaitu seorang perempuan yang meminta cerai kepada suaminya dengan cara memberikan sebuah tebusan yang dinamakan „iwadh. Kemudian muncul banyak permasalahan bagaimana jika perempuan yang meminta cerai tersebut adalah korban tindak kekerasan dari suaminya, masih wajibkah perempuan tersebut membayar „iwadh untuk memebebaskan dirinya dari tali perkawinannya dengan suaminya? Seperti yang termuat dalam bukunya Kyai Husein yang berjudul Perempuan, Islam, dan Negara, memuat data-data kekerasan dalam rumah tangga yang didapatkan dari laporan tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2010, kekerasan rumah tangga yang menimpa naik menjadi tiga kali lipat dari tahun 2008. Tahun 2008 terjadi 54.425 kasus kekerasan naik
66
menjadi 143.586 kasus yang terjadi pada tahun 2010.Adapun 96% terjadi terhadap
perempuan
(Muhammad,
2016:
207).
Kasus
tersebut
dimungkinkan akan terus terjadi peningkatan setiap tahunnya jika perempuan tidak mendapatkan kedudukan yang sama dengan lakilaki.Dilihat dari data tersebut perempuanlah yang menjadi korban dari laki-laki. Menurut Kyai Husein sangatlah tidak adil jika seorang korban masih dibebani biaya untuk membebaskan dirinya dari sebuah tali perkawinan yang merugikan dirinya.Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga.Maka dari itu, Kyai Husein berpendapat bahwa sebaiknya pihak yang bersalah yang seharusnya menanggung beban biaya tersebut. Pengadilan harus mencari pihak mana yang bersalah untuk menetapkan beban biaya perceraian tersebut, bukan istri yang harus membayar beban biayanya.Sebagaimana bunyi putusan Pengadilan Agama yang berbunyi suami yang menjatuhkan talak meskipun pihak istri yang mengajukan gugatan cerai ini juga dipandang
sebagai
sesuatu
yang
diskrimanatif
terhadap
perempuan.Seharusnya bunyi amar putusan tersebut berbunyi bahwa Pengadilan lah yang memutuskan ikatan perkawinan antar suami dan istri (wawancara, 10 Juni 2016). Adapun akibat dari nusyuz pun harus diberlakukan untuk kedua belah pihak.Masing-masing antara suami istri dibebani nusyuz ketika keduanya sama-sama
tidak
melakukan
kewajibannya
sebagai
suami
dan
istri.Masyarakat Indonesia yang masih menganut sistem budaya patriarkhi
67
mewajibkan beban nafkah kepada suami dan istri yang posisinya sebagai pihak penerima nafkah diwajibkan untuk menyerahkan tubuhnya pada pihak suami. Menurut Kyai Husein,nusyuz yaitu ketika antara pihak suami dan istri tidak melaksanakan kewajibannya, maka itu dianggap sebagai nusyuz.Menurut KHI pasal 152, bekas istri yang melakukan nusyuz tidak diberikan nafkah iddah. Menurut Kyai Husein ketentuan seperti ini tidak adil.Seperti pernyataan Kyai Husein di atas bahwa seharusnya beban biaya ataupun beban yang lainya dibebankan kepada pihak yang bersalah.Bukan hanya pihak perempuan yang dibebani akibat nusyuz tersebut. Seharusnya dicari dahulu sebab dari nusyuz tersebut apakah perempuan yang nusyuz tersebut nusyuz dengan tanpa alasan atau ada alasan lain yang menyebabkan perempuan melakukan tindakan nusyuz tersebut seharusnya pula laki-laki dikenai denda ketika dia menceraikan istrinya dalam keadaan nusyuz denda tersebut di luar kewajiban nafkah madhiyah dengan begitu tidak hanya wanita yang nusyuzyang
dikenai hukuman ketika
nusyuz, yakni berupa hukuman tidak menerima nafkah iddah(wawancara, 10 Juni 2016). Setelah terjadinya perceraian perempuan lekat dengan iddah. Iddah sendiri bermakna masa tenggang atau masa tungggu seorang perempuan yang dicerai atau ditinggal mati suaminya guna untuk mengetahui kandungannya berisi atau tidak (Rasjid, 2004: 414). Menurut Fiqh fungsi dari iddah yaitu bara‟atur rahim yakni untuk memastikan bahwa rahim perempuan yang dicerai (cerai hidup atau cerai mati) bebas dari sperma
68
laki-laki yang bisa menyebabkan kehamilan.Adapun waktu iddah masingmasing perempuan berbeda tergantung sebab perempuan tersebut diceraikan.Iddah wanita yang hamil yaitu sampai melahirkan, adapun iddahnya wanita yang dicerai suaminya apabila dia masih dalam keadaan haidh makan iddahnya tiga kali suci dan ada yang mengatakan tiga kali haidh, apabila perempuan tersebut telah menopause maka iddahnya sampai tiga bulan.Adapun perempuan yang ditinggal mati iddahnya empat bulan sepuluh hari bagi perempuan yang masih suci ataupun yang telah menopause (Rasjid, Sulaiman, 2004: 415). Menurut Kyai Husein perbedaan bilangan iddah ini ada dua „illat, yakni „illat pertama yaitu bara‟atur rahim, sedangkan „illat yang kedua yaitu sebagai bentuk bela sungkawa dari seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya. Kyai Husein juga mengkritisi masalah iddah ini. Mengapa hanya perempuan yang dibebani iddah dan apa fungsi iddah sebenarnya. Zaman dahulu memang iddah adalah satu-satunya cara untuk mengetahui kehamilan seorang perempuan yang ditinggalkan suaminya, namun seiring perkembangan zaman dan majunya teknologi sekarang, untuk mengetahui kehamilan seseorang hanya tinggal menunggu hitungan jam tanpa harus menunggu sampai berbulan-bulan. Lalu apa sebenarnya fungsi iddah, apalagi bagi seorang perempuan yang telah menopause. Jika iddah berfungsi untuk merasakan bela sungkawa karena ditinggal mati oleh pasangannya kenapa hanya perempuan yang dibebani iddah.Apakah seorang laki-laki tidak merasakan rasa duka cita akibat ditinggal mati oleh
69
pasangannya. Kemudian Kyai Husein berpendapat jika „illat iddah untuk mengetahui kandungan maka „illat tersebut gugur karena untuk mengetahui kandungan tidak harus menunggu sampai berbulan bulan karena kemajuan teknologi sekarang di mana untuk mengetahui kehamilan bisa melalui USG, Kyai Husein menggunakan kaidah Fiqh yang berbunyi al-hukmu yaduru „alal „ilati wujudan wa „adaman yang artinya apabila „illat hukum telah hilang maka hukum tersebut pun ikut hilang atau tidak berfungsi. Jika „illat nya untuk berbela sungkawa maka antara laki-laki dan perempuan harus sama-sama menjalankan iddah tersebut (wawancara, 10 Juni 2016). C. Metode pemikiran Kyai Husein Metode dalam berfikir sangat mempengaruhi hasil dari pada sebuah pemikiran.Hasil pemikiran tidak layak untuk dipublikasikan jika tanpa sebuah metode yang mendasarinya.Berikut ini adalah metode pemikiran Kyai Husein atas pemikirannya terhadap hukum perceraian di Indonesia (wawancara, 12 Juni 2016). Metode pertama yaitu konsep agama Islam sebagai agama yang menjunjung nilai kesetaraan. Islam merupakan agama yang Rahmatan lil „Alamin, Islam merupakan agama yang dibawa oleh manusia pilihan, Nabi akhir zaman, pemilik akhlak yang paling mulia, yakni Sayyidina Muhammad S.A.W yang kualitas akhlaknya tidak pernah diragukan oleh siapapun. Rasulullah tidak pernah membedakan antara manusia yang satu
70
dengan manusia yang lain. Pasca Rasulullah wafat yakni pada masa perkembangan Islam, Islam mengalami perkembangan yang pesat dibidang keilmuan.Para Khalifah Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah ketika itu menggunakan orang-orang non-muslim yang cakap dibidang tertentu untuk mengajari kaum muslimin (Al-Jarjawi 1997: 55).Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang menjunjung nilai kesetaraan tidak memandang agama, ras, suku, dan lainnya. Sumber Islam yang paling utama yakni Al Qur‟an memuat banyak sekali penjelasan tentang eksistensi manusia, tentang kebebasa, kesetaraan dan penghormatan terhadap manusia. Tentang kesetaraan, Islam menegaskan bahwa manusia merupakan makhluq Tuhan yang mempunyai kedudukan yang sama dihadapan Tuhan, yang membedakan hanyalah tingkat ketaqwaannya saja. Inilah kemudian yang menginspirasi Kyai Husein untuk memikirkan kesetaraan-kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang
kemudian melahirkan konsep gender. Menurut Kyai
Husein kesetaraan akan membawa kebaikan bagi siapapun, tidak ada yang menyakiti
dan
tidak
ada
yang
merasa
tersaikiti.
Kesetaraan
akanmemunculkan keadilan bagi seluruh masyarakat bangsa. Keadilan merupakan tujuan tertinggi yang diajarkan oleh seluruh agama di dunia.Keadilan dalam pengertiannnya diartikan sebagai wadh‟u as syai‟i fi mahallihi (menepatkan segala sesuatu sebagai dengan proporsionalnya) (Muhammad, 2016: 232).Kyai Husein juga menambahkan keadilan berarti memberikan hak terhadap pemiliknya.Inilah tujuan sebenarnya agama
71
Islam sebagai agama yang Rahmat al „Alamin, yakni terciptanya masyarakat yang tentram, damai, dan sejahtera. Tujuan tersebut diwujudkan oleh para penggiat gender dengan cara mengkampanyekan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang kemudian hari disebut dengan kesetraan gender. Adapun metode yang kedua yakni beliau melihat situasi dan kondisi dahulu dan sekarang, yakni melihat teks secara kontekstual.Kondisi sekarang sangat jauh berbeda dengan kondisi zaman dahulu.Meskipun dalam kitab-kitab Fiqh telah mengatur tindakan seorang perempuan dalam masalah publik namun perubahan kondisi masyarakat tidak bisa dipungkiri.Fakta-fakta yang terjadi dimasyarakat turut memberikan sumbangsih yang besar terhadap perubahan ini.Salah satu contoh dari perubahan kondisi tersebut yaitu tentang kiprah perempuan di ranah publik yang pada zaman dahulu lingkungan perempuan hanya terbatas pada rumahnya saja. Zaman dahulu perempuan dilarang bepergian selain dengan mahramnya karena takut akan terjadi sesuatu. Pada zaman sekarang ketentuan tersebut tidak berlaku lagi karena banyak perempuan yang pergi keluar negri untuk belajar ataupun bekerja seorang diri.Jika ketentuan perempuan bepergian harus disertai dengan mahram, maka betapa repotnya dan besarnya biaya yang harus ditanggung seorang mahram yang harus mengikuti kemanapun perempuan tersebut pergi.Lebih jauh lagi sekarang banyak perempuan yang terjun di dunia politik, banyak yang menjadi anggota legislatif, yudikatif, ataupun eksekutif.Oleh karena
72
itu Kyai Husein mencoba membaca teks yang tertuang dalam kitab-kitab Fiqh secara kontekstual bukan secara tekstual. Menurut Kyai Husein kita harus membaca apa yang dicita-citakan oleh Al-Qur‟an, yakni dengan cara berfikir secara subtantif bukan hanya berfikir secara formalitas, yakni melulu terhadap naskah teks. Kita juga harus melihat asbabun nuzul dari ayat-ayat Al Qur‟an, alasan kenapa ayat tersebut diturunkan dan faktor apa yang mempengaruhinya dan melihat asababul wurud dari sebuah Hadits yang bersumber dari Rasulullah. Faktor yang melatar belakangi turunnya ayat Al Qur‟an dan sebuah Hadits sangat mempengaruhi dari sebuah produk hukum yang akan diambil. Metode yang ketiga adalah: Kyai Husein berpendapat bahwa pintu ijtihad tetap terbuka.Perubahan yang terjadi pada masyarakat sangatlah cepat dan tidak bisa untuk dicegah.Perkembangan yang terjadi dibutuhkan segala macam aturan atau hukum yang harus senantiasa mengikuti perkembangan tersebut.Banyak kasus yang terjadi dimasyarakat tidak ditemukan jawabannnya pada kitab-kitab Fiqh klasik.Jika kita terus menerus berpegang teguh pada ajaran fuqaha‟ yang telah lalu yang memandang ijtihad mereka sebagai teks suci yang tidak bisa diubah. Jika pandanga teebut terus dipertahankan makaagama Islam berangsur-angsur hilang dari masyarakat.Kyai Husein mengungkapkan bahwa Fiqh bukan merupakan teks suci yang tidak bisa diubah oleh siapapun. Karya-karya Fiqh sangatlah beragam. Semua pandangan dalam ilmu Fiqh diapresiasi sama.
73
Banyaknya ulama Fiqh dan perbedaan fatwanya menunjukkan Fiqh merupakan produk intelektual dari para Fuqaha‟.Fiqh bersifat plural dan tidak bersifat tunggal (Muhammad, 2016: 156). Kasus-kasus yang tidak ditemukan jawabannya secara tekstual dan eksplisit dalam kitab Fiqh harus digali dengan cara eksploratif melalui analisis kontekstual atas teks-teks Fiqh yang telah tersedia. Oleh karena itu ijtihad sangat diperlukan untuk menemukan hukum-hukum baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat sekarang ini.Ketika melakukan ijtihad diperlukan dasar-dasar yang kuat untuk menghasilkan sebuah produk hukum yang memuat kemaslahatan bagi semua pihak. Adapun dasar-dasar tersebut yaitu: 1. Mencegah segala yang membahayakan 2. Membolehkan segala yang bermanfa‟at 3. Mewajibkan segala yang menjadi keharusan 4. Memboleh segala yang diharamkan oleh nash jika keadaannya memaksa 5. Membolehkan segala yang diharamkan untuk mencegah kerusakan jika ada maslahah yang ditimbulkan (As Shidiqy, 1981: 282). Kyai Husein mengutip pendapat Dr. Musthafa Syalabi bahwa apabila ada kemaslahatan yang bertentangan dengan nash (teks) dalam bidang muamalat dan tradisi, maka kemaslahatanlah yang harus dipertimbangkan
(Muhammad,2015:
74
102).Penetapan
suatu
hukum
bertujuan untuk menerapkan kemaslahatan bagi umat manusia.Pada dasarnya dalam kitab Ushul Fiqh karangan Abdul Wahhab Khallaf, maslahah yang bertentangan dengan nash dianggap tidak sah (Khallaf, 2003: 114), namun dalam pendapat Dr. Musthafa Syalabi nash tersebut dibatasi ruang lingkupnya, yakni nash yang mencakup bidang mu‟amalat dan tradisi saja. D. Relevansi Hukum Perceraian di Indonesia Terhadap Kesetaraan Gender. Produk hukum dalam UU Perkawinan maupun KHI masih dianggap diskriminatif oleh para penggiat gender.Perempuan dalam UU tersebut cenderung menjadi obyek hukum bukan menjadi subyek hukum.Aturanaturan yang diskriminatif tersebut dipandang telah menimbulkan ketidakadilan bagi perempuan karena banyak sekali pasal-pasal dalam UU Perkawinan maupun KHI yang bersifat diskriminatif. Menurut para penggiat gender proses penyusunan dalam KHI pun sangat terlihat diskriminatif, dari 16 orang panitia hanya 1 perempuan yang terlibat itupun di posisikan sebagai sekertaris. Proses wawancara dengan para Ulama se-Indonesia dari 27 orang yang bertugas pun tidak ada satupun yang perempuan (Munti& Anisah, 2005: 24). Konteks Indonesia yang mayoritas agamanya beragama Islam sangat teguh memegang ajaran agama yang diajarkan oleh para ulama‟.Aturanaturan hukum yang bersifat diambil dari berbagai ajaran agama juga turut
75
dipegang teguh oleh para penganutnya.Begitu pula ajaran-ajaran yang dinilai masih bias gender dan cenderung merugikan perempuan juga masih tetap dijadikan pegangan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Oleh karena itu Kyai Husein dan teman-temannya mencoba melakukan kritik terhadap KHI melalui Counter Legal Drafting yang mencoba mengubah pasal-pasal dalam KHI agar memuat pasal-pasal yang tidak diskriminatif terhadap perempuan. Namun berbagai ganjalan muncul terhadap proses ini. Menurut Kyai Husein ganjalan-ganjalan yang terjadi ini dikarenakan pihak yang berwenang membuat Undang-Undang belum menghendaki perubahan
terhadap pasal-pasal yang masih digunakan
sekarang. Banyak faktor yang mempengaruhinya.Salah satunya yaitu masih kuatnya budaya patriarkhi dan pengkultusan terhadap produk hukum Fiqh klasik.Produk hukum Fiqh dianggap sebagai produk hukum yang suci yang tidak bisa diubah dan pengkritikan terhadap teks Fiqh dianggap sebagai pemberontakan terhadap agama dan menghancurkan syari‟at-syari‟at agama.Padahal, Fiqh sendiri selalu menghasilkan sesuatu yang bersifat plural. Para ahli Fiqh tidak selalu sepakat atas sebuah putusan hukum meskipun itu berasal dari sebuah teks yang sama. Hal ini dikarenakan masing-masing putusan dibatasi oleh ruang dan waktu (Muhammad, 2016: 156). Menurut Musdah Mulia dalam kata pengantarnya dalam buku Posisi Perempuan dalam hukum Islam di Indonesia menyatakan bahwa,
76
Perubahan zaman turut juga menuntut perubahan atas segala hukumnya, karena hukum merupakan aturan-aturan normatif yang mengatur tingkah laku manusia yang tumbuh di ruang yang berkembang. Hukum tidak bisa bersifat vakum pada suatu masa karena itu dibutuhkan perubahanperubahan hukum yang sesuai dengan zamannya yang mencakup nilainilai kemaslahatan bagi umat. Namun alangkah baiknya jika setelah memaparkan kekurangankekurangan kemudian juga diikuti dengan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh para penegak-penegak hukum di Indonesia. Menurut Kyai Husein, Negara telah melakukan kemajuan yang sangat pesat dengan mendirikan sebuah lembaga peradilan untuk memproses segala bentuk perceraian. Ketentuan semacam ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab Fiqh klasik.Kemajuan ini mempunyai dampak yang besar bagi terwujudnya keterjaminan hak-hak perempuan yang diceraikan oleh suaminya (wawancara, 10 Juni 2016). Negara mempunyai inisisatif mendirikan sebuah lembaga peradilan untuk membatasi kesewenang-wenangan pihak laki-laki yang menceraikan istrinya dan sekaligus diharap mampu melindungi hak-hak perempuan untuk memperoleh keadilannya. Ini merupakan salah satu bentuk dukungan dari negara bagi perempuan untuk mendapatkan hak-haknya. Keputusan ini didasari pada pertimbangan perubahan sosial yang ada dalam masyaratkat. Kyai Husein mengutip perkataan Syekh Musthfa
77
Syalabi yang mengatakan bahwa perubahan hukum sama sekali bukan berarti pembatalan terhadap hukum-hukum Tuhan. Perubahan ini diakibatkan
karena
perubahan
kondisi
masyarakat
dan
karena
kemaslahatan yang telah berubah (Muhammad, 206: 166).Meskipun masih banyak produk hukum yang masih diskriminatif namun disatu sisi mempunyai kemajuan yang sangat berarti.
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dari analisis yang dilakukan penulis dari skripsi yang berjudul “Telaah Pemikiran KH.Husein Muhammad Terhadap Kesetaraan Gender dalam Hukum Perceraian di Indonesia”, yang mana Kyai Husein 78
merupakan sosok kyai yang sangat terbuka pemikirannya mengenai perkembangan zaman dan menjunjung tinggi asas-asas kesetaraan antara lakilaki dan perempuan dan merupakan sosok kyai yang aktif mengkampanyekan kesetraan gender. Penulis menyimpulkan ada tiga kesimpulan yang akan dipaparkan: 1. Basis pemikiran Kyai Husein sangat berpengaruh terhadap hasil dari pemikirannya, terlebih dalam masalah gender. Setidaknya ada tiga basis pemikirannya yang dijadikannya sebagai landasan berfikir, yaitu: a). keterbukaan fikiran untuk menerima segala sesuatu dari manusia tanpa membedakan asalnya. b). Memahami tauhid sebagai manifestasi terhadap penghargaan hak-hak manusia. c). Menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. 2. Pemikiran Kyai Husein tentang gender mencakup persoalan yang sangat luas. Salah satu pemikirannya yaitu tentang hak-hak perempuan setelah bercerai dengan suaminya. Menurut Kyai Husein akibat perceraian yang terdapat dalam hukum perceraian di Indonesia masih bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Banyak perempuan yang bercerai dengan suaminya tidak mendapatkan hak-haknya sebagaimana mestinya. Metode berfikir Kyai Husein yaitu cara berfikir bahwa, Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi nilai kesetaraan. Kyai Husein juga mempunyai pandangan
bahwa
hukum
selalu
berkembang
seiring
dengan
perkembangan zaman dan menuntut dilakukannya ijtihad-ijtihad hukum yang sesuai dengan zamannya.
79
3.
Menurut kaca mata gender, di satu sisi hukum perceraian di Indonesia dipandang masih berat sebelah dalam memperlakukan perempuan. Namun di sisi lain hukum perceraian di Indonesia juga membawa kemajuan pesat. Salah satu kemajuan yang dilakukan yaitu perceraian harus dilakukan melalui Pengadilan Agama. Hal ini merupakan sebuah terobosan baru yang tidak ditemukan di dalam kitab-kitab Fiqh klasik karya ulama-ulama zaman dahulu. Perceraian yang awalnya hanya bisa dilakukan oleh lakilaki setelah munculnya aturan tersebut perempuan bisa mengajukan perceraian terhadap laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa hukum perceraian di Indonesia dalam kacamata gender mempunyai dua mata sisi, di satu sisi masih mengalami kekurangan di dalam menegakkan kesetaraan gender. Namun di sisi lain mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam mendukung kesetaraan gender, yaitu berani membuat terobosan baru dalam membuat sebuah aturan yang tidak ditemukan dalam kitab FiqhFiqh klasik.
B. SARAN 1.
BagiAkademisi Para akademisi diharapkan untuk membuka pemikirannya tentang nilai-nilai
kesetaraan
dalam
bidang
gender.Sehingga
pandangan-
pandangan yang masih syarat dengan pendiskriminasian terhadap perempuan lambat laun dapat diminimalisir. 2. BagiPraktisi 80
a.
Gerakan Gender Para penggerak gender dapat menjadikan pemikiran Kyai Husein sebagai bahan rujukan dalam menangani hal-hal yang berkaitan dengan gender.
b.
Hakim Para hakim juga bisa menjadikan pemikiran-pemikiran Kyai Husein ini sebagai acuan untuk mengambil keputusan dalam menetapkan kasus perceraian.Sehingga putusan-putusan yang masih mendiskriminasikan perempuan dalam menerima putusan dalam cerai gugat dapat diminimalisir.
c.
Pemerintah Pemerintah diharapkan mampu untuk membuat sebuah produk hukum yang tidak berat sebelah, yakni membuat sebuah produk hukum yang mempunyai rasa keadilan bagi kedua belah pihak, baik pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Pemerintah juga diharapkan mampu untuk menyelaraskan antara produk yang diambil dari hukum Islam atau kitab-kitab Fiqh maupun hukum yang diciptakan oleh para penegak hukum di Indonesia atau yang disebut degan hukum positif agar tidak terjadi gesekan-gesekan antara hukum-hukum agama dengan hukum-hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah.
3. Bagi MasyarakatUmum.
81
Masyarakat umum diharapkan lebih cerdas dan lebih selektif dalam menerima putusan-putusan atau ajaran-ajaran yang masih bersifat diskriminatif terhadap perempuan.
DAFTAR PUSTAKA Al Falfi, Sulaiman. 2010. Mukhtasar Fiqh Sayyid Sabiq.Solo: Aqwam. Al-Jarjawi, Ali Ahmad.2006. Indahnya Syari‟at Islam.Jakarta: Gema Insani.
82
Arikunto, Suharsini. 2010. Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Praktik.Jakarta: PT Rineka Cipta. Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1981. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Departemen Pendidikan Nasional.2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka. Effendi, Masyhur dan Atufani Sukmani Evandi. 2007. HAM dalam Dimensi/Dinamika Yuridis Sosial, Politik dan Proses penyusunan/Aplikasi HA-KHAM (Hukum Hak Asasi Manusia) dalam Masyarakat. Bogor Selatan: ghalia Indonesia. Engineer, Asghar Ali. 2000. Hak-Hak Perempuan dalam Islam. Alih Bahasa Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf. Yogyakarta: LSPPA. Farhani.2011. Ilmu Hukum Sebuah pengantar.Salatiga: STAIN Salatiga Press. Farida, Anik dkk. 2007. Perempuan dalam system Perkawinan dan Perceraian di Berbagai komunitas dan Adat. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama. Hardiman, Budi. 2011. Hak-Hak Asasi Manusia Polemik dengan Agama dan Kebudayaan. Yogyakarta: KANSIUS. Istibsyaroh,. 2004. Hak-Hak Perempuan Relasi Gender Menurut Tafsir AlSya‟rowi. Jakarta: Teraju. Kadarusman. 2005. Agama, Relasi Gender & Feminisme. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Khallaf, Abdul Wahhab. 2003. Ilmu ushul Fiqh, Terjemahan Faiz el Muttaqin. Jakarta: Pustaka Amani. Lexy, Moleong. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Muhammad, Husein. 2007. Fiqh Perempuan Atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LKiS. Muhammad, Husein dkk. 2011. Dawrah Fiqh Perempuan. Cirebon: Fahmina Institute. Muhammad, Husein. 2016. Perempuan, Islam & Negara. Yogyakarta: Qalam Nusantara. Munti, Ratna Batara dan Hindun Anisah.2005. Posisi Perempauan dalam Hukum Islam di Indonesia.Yogyakarta: LKiS.
83
Nasution, Khoiruddin. 2004. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Academia + TAZZAFA Nuruzzzaman. 2005. Kyai Husein Membela Perempuan. Yogyakarta: LKiS. Rasjid, Sulaiman. 2004. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Salim, Petter. 2010. Modern English-Indonesia Dictionary. Jakarta: PT Gramedia Utama. Syaifuddin, Muhammad dkk. 2013. Hukum Perceraian. Jakarta: Sinar Grafika. Sudarsono.2005. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta. Sugiyono. 2013. Metode apenelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: ALFABETA. Umar, Nasasuddin. 1999. Argumen kesetaraan Jender Perspektif Al Qur‟an. Jakarta: Paramadina. Wahid, Abdurrahman dkk. 2015. Islam Nusantara. Banung: PT Mizan Pustaka.
RIWAYAT HIDUP PENULIS A. Data Pribadi Nama
: Nurul Mimin Jannah
Tempat/Tanggal lahir
: Pati/29 oktober 1992 84
NIM
: 211-12-036
Fakultas
: Syari‟ahs
Jurusan
: Ahwal al Syakhshiyyah
Alamat di Salatiga
: PonPes Salafiyah Pulutan-Sidorjo Lor
Alamat Asal
: Tapen-Kertomulyo-Margoyoso-Pati
B. Motto “manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah mereka yang bertakwa”. C. Riwayat Pendidikan No.
Instansi Pendidikan
Masuk (Th)
Keluar (Th)
1.
SD Kertomulyo 2
1998
2004
2.
MI Miftahul Huda
1999
2005
Kertomulyo 3.
Mts Mathali‟ul Falah
2005
2009
4.
MA Mathali‟ul Falah
2009
2012
5.
S1 AS IAIN Salatiga
2012
2016
85
Peneliti Ikut Serta dalam Kajian Gender di Fahmina Institute
Peneliti Ikut Serta dalam Kajian Kitab di Dar at Tauhid
86
Peneliti Melakukan Wawancara dengan Kyai Husein
Peneliti Pasca Melaksanakan Wawancara 87
DAFTAR SKK Nama
:
NurilMiminJannah
Fakultas
: Syariah
NIM
:
211-12-036
Jurusan
: Ahwalusysyakhshiyyah
No.
NamaKegiatan
Pelaksanaan
Jabatan
Nilai
1.
OrientasiPengenalanAkademikdank emahasiswaan (OPAK) oleh DEMA STAIN Salatiga OrientasiPengenalanAkademikdank emahasiswaan (OPAK) oleh HMJ Syari‟ah STAIN Salatiga OrientasiDasarKeislaman (ODK) olehITTAQO dan CEC Seminar Entrepreneurship danPerkoprasian 2012 oleh MAPALA MITAPASA dan KSEI Achievment Motivation Training oleh JQH dan LDK Library User Education oleh UPT Perpustaakaan STAIN Salatiga MAPABA PMII JokoTingkir Kota Salatiga Semalamsehatioleh HMJ Syari‟ah STAIN Salatiga PeringatanMulidNabi Muhammad SAW tahun 1434 H. oleh KSEI Seminar Nasionaloleh HMI CabangSalatiga KursussingkatPolitik Jihad danTerorismeoleh Prodi Ahwal al Syakhshiyyah TafsirTematikoleh JQH STAIN Salatiga Seminar Nasionaloleh KOPMA FATAWA STAIN Salatiga Seminar Regional oleh LDK STAIN Salatiga Seminar Nasionaloleh HMJ Syari‟ah STAIN Salatiga SK PengangkatanPengurus HMJ Syari‟ah STAIN Salaiga
05-07 September 2012
Peserta
3
08-09 Sempember 2012
Peserta
3
10 September 2012
Peserta
2
11 September 2012
Peserta
2
12 September 2012
Peserta
2
13 September 2012`
Peserta
2
05-07 Oktober 2012
Peserta
3
13-14 Oktober 2012
Peserta
3
27 Januari 2013
Peserta
2
23 Februari 2013
Peserta
6
Februari-April 2013
Peserta
3
04 Mei 2013
Peserta
2
27 Mei 2013
Peserta
6
11 Juni 2013
Peserta
4
27 Juni 2013
Peserta
6
2.
3. 4.
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
12. 13. 14. 15. 16.
15 Januari 2014
4
17. 18. 19. 20. 21.
22. 23. 24.
25.
26. 27. 28.
29. 30. 31. 32. 33. 34.
English Course Program at 25 Januari-24 Februari 2014 Pyramid English Course Seminar Internasionaloleh 28 Februari 2014 IAINSalatiga English Camp at Egypt 11 Maret 2014
Peserta
3
Peserta
8
Peserta
3
Dialog Interaktif&Edukatifoleh SEMA STAIN Salatiga SK PenetapanJuaraMusabaqohQiro‟atu lKutubolehKementrian Agama Kota Salatiga TafsirTematikoleh JQH STAIN Salatiga PelatihanAdvokasioleh HMJ Syari‟ah STAIN Salatiga Seminar ImsakiyaholehJurusanSyari‟ah STAIN Salatiga OrientasiPengenalanAkademikdank emahasiswaan (OPAK) oleh HMJ Syari‟ah STAIN Salatiga Seminar Nasionaloleh DEMA STAIN Salatiga MAPABA PMII KomisariatJokoTingkir Workshop Pendidikan Anti Korupsioleh HMJ Syari‟ah STAIN Salatiga SK PengangkatanPengurus SEMA IAIN Salatiga SK PengangkatanPanitia Public Hearing SEMA IAIN Salatiga PelatihanManajemen TPQ olehYaBismillah IAIN Salatiga SK PengangkatanPanitia Legal Drafting SEMA IAIN Salatiga Seminar MotivasiolehYaBismillah IAIN Salatiga SK PengangkatanPanitiaTemuLembaga Mahasiswa PTAI, PTN, dan PTS se-Jawa Tengah SEMA IAIN Salatiga
Peserta
2
1 April 2014 23 April 2014
5
17 Mei 2014
Peserta
2
23-24 Mei 2014
Panitia
3
26 Mei 2014
Peserta
2
20-21 Agustus 2014
Panitia
3
25 September 2014
Peserta
6
17-19 Oktober 2014
Panitia
3
24-25 November 2014
Panitia
3
17 Maret2015
4
06 Juni 2015
2
04 Juli 2015
Peserta
10 September 2015 24 Desember 2015 19 Februari 2016
2 2
Peserta
2 2
35.
SosialisasiPemahamanHakKonstitu sionalwarga Negara BagiBadanEksekutifMahasiswa (BEM) Dan UstadzMuda seIndonesia olehKepaniteraandanSekertariatJen drlMahkamahKonstitusidanKement rian Agama 36. TOEFL Training for Bidikmisioleh UPTPB 37. SK pengangkatanpengurus DEMA IAIN Salatiga 38. SK pengangkatanpanitia Seminar Nasional “PenguatanNasionalismedanWawas anKebangsaan” DEMA IAIN Salatiga 39. KuliahUmumFakultasSyari‟ah IAIN Salatiga 40. Dialog Nasionaloleh DEMA IAIN Salatiga Jumlah = 134
21-23 April 2016
Peserta
3
7 Maret- 12 April 2016
Peserta
3
14 Maret 2016
4
26 April 2016
6
02 Juni 2016
Peserta
2
19 Juni 2016
Panitia
6