Kesetaraan Gender Strategi Jitu dalam Pemberantasan Buta Aksara di Indonesia Oleh : Harjoni Desky, S.Sos.I., M.Si Kamis, 14 Agustus 2014 08:12
Buta aksara adalah ketidakmampuan untuk membaca, menulis dan berhitung untuk fungsi efektif dan pengembangan individu dalam masyarakat. Menurut definisi UNESCO Buta aksaya, adalah : literacy is the ability to use reading, writing and numeracy skills for effective functioning and development of the individual and the community. Literacy is according to the UNESCO definition : A person is literate who can, with understanding, both read and write a short statement on his or her everyday life ( Education For All Global monitoring Report. Liter acy for life .UNESCO. 2006 hal.158 )
Berdasarkan data terakhir yang ada, Angka buta aksara di Indonesia sampai saat ini mencapai 6,4 juta. Dari jumlah itu, sebagian besar adalah perempuan, dari jumlah tersebut sebagian besar tinggal di daerah pedesaan seperti: petani kecil, buruh, dan nelayan; serta kelompok masyarakat miskin perkotaan yaitu buruh berpenghasilan rendah atau penganggur. Mereka tertinggal dalam hal pengetahuan, keterampilan serta sikap mental pembaharuan dan pembangunan. Akibatnya, akses terhadap informasi dan komunikasi yang penting untuk membuka cakrawala kehidupan dunia juga terbatas, karena mereka tidak memiliki kemampuan keaksaraan yang memadai.
Buta aksara juga sangat berkaitan dengan kemiskinan, keterbelakangan dan ketidakberdayaan. Atas dasar itu, konferensi para Menteri Pendidikan Sedunia di Teheran tanggal 8-9 September 1965, mengusulkan kepada UNESCO agar semua negara anggota PBB segera memulai upaya pengentasan buta aksara secara internasional. Pembangunan sumber daya manusia merupakan salah satu dari tujuan nasional. UNDP menetapkan kemajuan suatu negara dapat ditentukan oleh tiga indikator indeks pembangunan manusia, yaitu indeks pendidikan, indeks kesehatan dan indeks perekonomian. Angka melek aksara adalah salah satu variabel dari indikator indeks pendidikan.
Di Indonesia tingkat melek aksara (huruf) bervariasi di setiap provinsi yang ada. tatapi dari sekian provinsi tersebut, biasanya provinsi dalam kategori sebagai daerah tertinggal memiliki angka buta aksara yang tinggi, contohnya saja Provinsi Papua. Namun, di Papu sendiri tingkat melek aksara di kabupaten bervariasi, dari 97,48 persen di Kabupaten Biak Numfor, hingga 30,52 persen di Kabupaten Nduga. Namun, presentase tingkat putus sekolah di level SMP untuk tahun akademis 2008/2009 juga cukup tinggi, yaitu: 4.2 persen. Bahkan di beberapa desa, hampir semua anak telah putus sekolah. Kasus pekerja anak di Provinsi Papua juga
1/6
Kesetaraan Gender Strategi Jitu dalam Pemberantasan Buta Aksara di Indonesia Oleh : Harjoni Desky, S.Sos.I., M.Si Kamis, 14 Agustus 2014 08:12
merupakan yang tertinggi kedua di Indonesia, menurut Survei Rumah Tangga Sangat Miskin tahun 2008 (RTSM) yang dilakukan oleh Kementerian Sosial (Kemensos). 130.000 pekerja anak ditemukan berada di Papua (75.000 laki-laki dan 55.000 perempuan) di mana 80.000 diantaranya berusia antara dan kurang dari 15 tahun.
Tingginya tingkat buta aksara di Indonesia, pada dasarnya disebabkan oleh beberapa penyebab utama, yakni tingginya angka putus Sekolah Dasar (SD), beratnya kondisi geografis Indonesia, munculnya penyandang buta aksara baru, pengaruh faktor sosiologis masyarakat, dan problematika Gender dalam Pendidikan. Sebenarnya, persoalan besar mengenai buta aksara di Indonesia telah mendapatkan perhatian dari pemerintah, diwujudkan telah dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara (GNP-PWB/PBA) yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 35 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan GNP-PWB/PBA dan Prakarsa Keaksaraan untuk Pemberdayaan (LIFE) UNESCO-UNLD, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal menyediakan layanan kegiatan pendidikan keaksaraan dasar dan keaksaraan usaha mandiri serta kegiatan pasca keaksaraan.
Banyaknya program yang dilakukan pemerintah tersebut, pada dasarnya karena para aksarawan baru cenderung kembali buta aksara apabila kemampuan keaksaraannya tidak dipergunakan secara fungsional dan berkelanjutan. Untuk tahun anggaran 2014 ini layanan kegiatan keaksaraan yang tersedia pemerintah meliputi: keaksaraan dasar, keaksaraan usaha mandiri, aksara kewirausahaan, peningkatan budaya tulis melalui aksara berbasis cerita rakyat. Pendidikan pemberdayaan perempuan dilakukan melalui pemberian bantuan pendidikan kecakapan hidup untuk pemberdayaan perempuan, peningkatan budaya tulis melalui Koran ibu dan Koran anak, serta layanan pembelajaran pendidikan masyarakat melalui bantuan rintisan rumah pintar dan rintisan balai belajar bersama serta unit layanan belajar bersama. Kegiatan-kegiatan tersebut ditunjang dengan taman bacaan masyarakat di ruang publik dan peningkatan mutu taman bacaan masyarakat unggulan berbasis elektronik.
Tantangan dan Kebijakan dalam Mewujudkan Kesetaraan Gender dalam Pemberantasan Buta Aksara
2/6
Kesetaraan Gender Strategi Jitu dalam Pemberantasan Buta Aksara di Indonesia Oleh : Harjoni Desky, S.Sos.I., M.Si Kamis, 14 Agustus 2014 08:12
Terkait dengan tingginya buta aksara di Indonesia khusus bagi perempuan. Pada prinsipnya hanya bisa diselesaikan dengan cara mendorong kesetaraan gender di berbagai bidang terutama di bidang pendidikan dan melakukan upaya pemberdayaan perempuan secara konsisten yang didukung oleh pihak-pihak terkait baik pemerintah sampai leader informal yang ada di lingkungan perempuan itu sendiri. Sebagai contoh bagaimana mereka meningkatkan kapasitas mereka dan terhindar dari buta aksara, sementara perekonomian keluarga pas-pasan dan mereka (perempuan) harus membantu meningkatkan ekonomi keluarga dengan cara ikut pergi ke sawah, kebun, mengembala ternak, dan mencari kerang di tepian pantai. Karena itu, tantangan perempuan baik di desa dan perempuan di kota terkaitan pendidikan dan keaksaraan itu banyak sekali.
Beberapa tantangan yang dihadapi dalam rangka menghapuskan kesenjangan gender dalam pendidikan antara lain adalah:
• Bagaimana meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan sehingga masyarakat dapat menilai bahwa pendidikan dapat memberikan nilai tambah yang sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Hal itu diharapkan dapat meningkatkan motivasi orang tua untuk menyekolahkan anak.
• Bagaimana menyediakan pelayanan pendidikan secara lebih luas dan beragam sehingga dapat diakses oleh semua anak Indonesia. Ketersediaan fasilitas pelayanan pendidikan yang lebih dekat dengan tempat tinggal anak diharapkan dapat mengurangi keengganan anak untuk bersekolah atau keberatan orang tua untuk menyekolahkan anak serta dapat menurunkan biaya yang harus dikeluarkan orang tua.
• Dapatkah kita melakukan revisi terhadap semua materi dan ilustrasi bahan ajar yang belum tanggap gender, yang diperlukan untuk menanamkan pengetahuan tentang kesetaraan dan keadilan gender pada anak sejak dini.
• Bagaimana Indonesia mampu menanggulangi kemiskinan sehingga setiap keluarga memiliki kemampuan keuangan yang lebih baik untuk menyekolahkan baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Selain itu, dengan tingkat ekonomi yang lebih baik anak-anak mereka dapat bersekolah tanpa harus bekerja.
3/6
Kesetaraan Gender Strategi Jitu dalam Pemberantasan Buta Aksara di Indonesia Oleh : Harjoni Desky, S.Sos.I., M.Si Kamis, 14 Agustus 2014 08:12
• Bagaimana memberikan pemahaman pada masyarakat bahwa anak baik anak laki-laki maupun perempuan berhak memperoleh pendidikan. Faktor sosial budaya masyarakat dan orang tua yang cenderung menggunakan tenaga anak perempuan untuk membantu urusan rumah tangga sering berakibat pada rendahnya kinerja akademik bahkan putus sekolah.
• Bagaimana meningkatkan pemahaman masyarakat bahwa pendidikan yang cukup tetap diperlukan bagi anak perempuan meskipun akhirnya mereka tidak bekerja di luar rumah dan bukan merupakan investasi yang sia-sia. Pengetahuan ibu tentang kesehatan dan gizi telah terbukti berpengaruh pada tingkat kesehatan anak, rendahnya angka kematian ibu dan angka kematian bayi.
• Bagaimana meningkatkan keamanan khususnya di daerah konflik sehingga anak baik laki-laki maupun perempuan dapat bersekolah dengan tenang.
• Bagaimana peraturan perundangan yang bias gender dapat direvisi. Meskipun Pasal 27 UUD 1945 menjamin kesamaan hak bagi seluruh warganegara di hadapan hukum, baik laki-laki maupun perempuan, masih banyak dijumpai materi dan budaya hukum yang diskriminatif terhadap perempuan dan tidak berkeadilan gender.
Tantangan yang ada tersebut itu tentu harus diselesaikan dengan melahirkan kebijakan-kebijakan yang dapat mewujudkan persamaan akses pendidikan yang bermutu dan berwawasan gender bagi semua anak laki-laki dan perempuan; menurunkan tingkat buta huruf penduduk dewasa terutama penduduk perempuan melalui peningkatan kinerja pendidikan pada setiap jenjang pendidikan, baik melalui sekolah maupun luar sekolah, pendidikan kesetaraan dan pendidikan baca tulis fungsional bagi penduduk dewasa; dan meningkatkan kemampuan kelembagaan pendidikan dalam mengelola dan mempromosikan pendidikan yang berwawasan gender.
Strategi dalam Perspekti Gender untuk Pemberantasan Buta Aksara
Terkait dengan kebijakan yang telah dijelaskan tersebut akan dapat dilaksanakan menurut penulis melalui lima strategi utama, yaitu:
4/6
Kesetaraan Gender Strategi Jitu dalam Pemberantasan Buta Aksara di Indonesia Oleh : Harjoni Desky, S.Sos.I., M.Si Kamis, 14 Agustus 2014 08:12
pertama, penyediaan akses pendidikan yang bermutu, terutama pendidikan dasar secara merata bagi anak laki-laki dan perempuan baik melalui pendidikan persekolahan maupun pendidikan luar sekolah; kedua, penyediaan akses pendidikan kesetaraan bagi penduduk usia dewasa yang tidak dapat mengikuti pendidikan sekolah; ketiga, peningkatan penyediaan pelayanan pendidikan baca tulis untuk meningkatkan derajat melek huruf, terutama penduduk perempuan; keempat, peningkatan koordinasi, informasi, dan edukasi dalam rangka mengarusutamakan pendidikan berwawasan gender; dan kelima, pengembangan kelembagaan institusi pendidikan baik di tingkat pusat maupun daerah mengenai pendidikan berwawasan gender.
Sementara, sasaran kinerja pendidikan berwawasan gender yang ingin dicapai dalam akses pendidikan: adalah (a) meningkatnya partisipasi pendidikan penduduk usia sekolah yang diikuti dengan semakin seimbangnya rasio siswa laki-laki dan perempuan untuk semua jenjang pendidikan; (b) meningkatkan partisipasi penduduk miskin laki-laki dan perempuan terutama yang tinggal di daerah pedesaan yang masih rendah sehingga menjadi setara dengan penduduk dari kelompok kaya, (c) dan meningkatkan derajat melek huruf penduduk baik laki-laki maupun perempuan dengan rasio yang semakin setara.
Kondisi kesetaraan gender dalam pendidikan yang beragam, karena itu memerlukan bentuk-bentuk intervensi yang bervariasi sehingga berbagai program yang dilaksanakan benar-benar dapat menurunkan kesenjangan pendidikan antara laki-laki dan perempuan. Untuk jenjang sekolah dasar atau kelompok penduduk usia 7–12 tahun, dengan rasio siswa laki-laki dan perempuan yang sudah baik, penentuan prioritas perlu mempertimbangkan keragaman antar wilayah atau provinsi dan kelompok pendapatan.
Pada jenjang SLTP/MTs atau kelompok usia 13–15 tahun diketahui bahwa partisipasinya masih cukup rendah. Karena itu, upaya peningkatan partisipasi harus diupayakan baik pada penduduk laki-laki dan perempuan. Namun dengan diketahuinya partisipasi pendidikan penduduk laki-laki kelompok 40 persen termiskin lebih rendah dibandingkan penduduk perempuan, upaya yang lebih intensif untuk meningkatkan partisipasi kelompok itu sangat diperlukan. Dengan asumsi bahwa partisipasi pendidikan yang lebih rendah itu salah satunya karena bekerja, upaya untuk mengembalikan mereka ke sekolah menjadi sangat penting.
5/6
Kesetaraan Gender Strategi Jitu dalam Pemberantasan Buta Aksara di Indonesia Oleh : Harjoni Desky, S.Sos.I., M.Si Kamis, 14 Agustus 2014 08:12
Upaya untuk meningkatkan pendidikan baca tulis, sangat jelas bahwa tingkat melek huruf penduduk perempuan masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan penduduk laki-laki baik di pedesaan maupun di perkotaan, di setiap kelompok usia penduduk dewasa, dan di setiap kelompok pengeluaran keluarga. Namun, prioritas utama diberikan pada upaya peningkatan kemampuan baca tulis penduduk perempuan yang miskin, yang tinggal di daerah perdesaan dan berusia lebih dari 25 tahun karena kelompok inilah yang memiliki tingkat melek huruf paling rendah yang diikuti oleh penduduk laki-laki kelompok usia yang sama, yang miskin dan tinggal di perdesaan. Seluruh upaya untuk meningkatkan partisipasi pendidikan dan tingkat melek huruf penduduk tersebut, harus juga didukung dengan upaya peningkatan kemampuan kelembagaan pendidikan itu sendiri, sehingga memiliki kemampuan dalam merencanakan pendidikan yang tanggap gender, disamping meningkatkan pemahaman semua pihak mengenai pentingnya pendidikan baik untuk laki-laki maupun perempuan. Semoga….
6/6