STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
NAMA
: DIESSA IRRAHMANIA
NIM
: 11.02.7926
KELOMPOK
:A
PROGRAM STUDI
:D3 MI
DOSEN
: DRS. M KHALIS PURWANTO, MM
SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA 2011
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA” . Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, tim penulis dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan,saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Penulis
Abstrak
Salah satu isu yang paling krusial untuk dipecahkan oleh bangsa dan pemerintah Indonesia adalah masalah korupsi. Hal ini disebabkan semakin lama tindak pidana korupsi di Indonesia semakin sulit untuk diatasi. Maraknya korupsi di Indonesia disinyalir terjadi di semua bidang dan sektor pembangunan. Apalagi setelah ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, disinyalir korupsi terjadi bukan hanya pada tingkat pusat tetapi juga pada tingkat daerah dan bahkan menembus ke tingkat pemerintahan yang paling kecil di daerah. Pemberantasan korupsi di Indonesia sebenarnya telah berjalan cukup lama, bahkan nyaris setua umur Republik ini berdiri. Berbagai upaya represif dilakukan terhadap para pejabat publik atau penyelenggara negara yang terbukti melakukan korupsi. Sudah tidak terhitung telah berapa banyak pejabat negara yang merasakan getirnya hidup di hotel prodeo. Kebijakan pencegahan juga telah diupayakan oleh pemerintah. Namun, berbagai kebijakan dan lembaga pemberantasan yang telah ada ternyata tidak cukup membawa Indonesia menjadi negara yang bersih dari korupsi. Berdasarkan kondisi dimana Indonesia tetap dicap sebagai salah satu negara terkorup di dunia tentunya ada beberapa hal yang kurang tepat dalam pelaksanaan kebijakan atau pun kinerja dari lembaga pemberantasan korupsi tersebut. Selain itu, pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain lembaga internal dan eksternal, lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga ikut berperan dalam melakukan pengawasan kegiatan pembangunan, terutama kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara.
Latar Belakang Masalah
Perang terhadap korupsi merupakan fokus yang sangat signifikan dalam suatu negara berdasarkan hukum, bahkan merupakan tolak ukur keberhasilan suatu pemerintahan. Salah satu unsur yang sangat penting dari penegakan hukum dalam suatu negara adalah perang terhadap korupsi, karena korupsi merupakan penyakit kanker yang imun, meluas, permanen dan merusak semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk perekonomian serta penataan ruang wilayah. Di Indonesia korupsi dikenal dengan istilah KKN singkatan dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi sudah menjadi wabah penyakit yang menular di setiap aparat negara dari tingkat yang paling rendah hingga tingkatan yang paling tinggi. Berdasakan laporan tahunan dari lembaga internasional ternama, Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang bermarkas di Hongkong, Indonesia adalah negara yang terkorup nomor tiga di dunia dalam hasil surveinya tahun 2001 bersama dengan Uganda. Indonesia juga terkorup nomor 4 pada tahun 2002 bersama dengan Kenya. Sedangkan Pada tahun 2005 PERC mengemukakan bahwa Indonesia masih menjadi negara terkorup di dunia. Korupsi di Indonesia bukanlah hal yang baru dan menjadi endemik yang sangat lama semenjak pemerintahan Suharto dari tahun 1965 hingga tahun 1997. Penyebab utamanya karena gaji pegawai negeri dibawah standar hidup sehari-hari dan sistem pengawasan yang lemah. Secara sistematik telah diciptakan suatu kondisi, baik disadari atau tidak dimana gaji satu bulan hanya cukup untuk satu atau dua minggu. Disamping lemahnya sistem pengawasan yang ada memberi kesempatan untuk melakukan korupsi. Sehingga hal ini mendorong para pegawai negeri untuk mencari tambahan dengan memanfaatkan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi walau dengan cara melawan hukum. Selain itu, sistem peradilan pidana Indonesia tidak berjalan efektif untuk memerangi korupsi. Sehingga pelaku korupsi terbebas dari jeratan hukum.
Menurut Bank Dunia bahwa korupsi di Indonesia terjadi dimana-mana di berbagai level golongan pegawai negeri sipil, tentara, polisi dan politisi bahkan sudah melanda beberapa kelembagaan seperti Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang seharusnya bertugas untuk memberantas korupsi. Kejadian tersebut di atas menyebabkan protes dan penolakan dari masyarakat luas terhadap pemerintahan Suharto maupun para penggantinya. Adanya korupsi dimana-mana dan timbulnya perasaan jengkel karena keadilan yang dinantikan masyarakat tak kunjung tiba, ditambah lagi keadaan ekonomi rakyat kian parah. Indonesia Corruption Watch mengemukakan bahwa hal tersebut di atas menghasilkan krisis ekonomi di Indonesia yang berujung dengan kejatuhan rezim Suharto.
Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Apa yang menyebabkan terjadinya korupsi? 2. Apa saja akibat-akibat yang ditimbulkan dari korupsi? 3. Bagaimana strategi yang tepat untuk pemberantasan korupsi di Indonesia?
Pendekatan Yuridis Korupsi berasal dari bahasa latin Cooruptio yang artinya suatu perbuatan yang busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral menyimpang dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Menurut UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001, pelaku korupsi (koruptor) didefinisikan sebagai setiap orang yang secara sadar melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri/orang lain/suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara.
Tindakan korupsi hadir dalam bentuk yang beragam. Mulai dari menyalahgunakan sarana yang ada padanya karena jabatan/ kedudukan, menggelapkan uang, sampai menerima hadiah atau janji karena kewenangan/ kekuasaan jabatannya. Pelakunya pun tak hanya penyelenggara negara, bisa juga orang per orang, pegawai negeri kelas ’teri’, ahli bangunan, hakim, dan lain-lain. Peraturan Perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia telah muncul sejak 53 tahun silam melalui Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat No.PRT/ Peperpu/ 013/ 1958. Berbagai tim bentukan
Pemerintah
dalam
upaya
pemberantasan
korupsi
pun
terus
bermetamorfosa mulai dari Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2000-2001), Komisi Pemberantasan Korupsi (2002-2003) hingga Tim Koordinasi Pemberantasan Tipikor (2005), Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (2009). Namun hingga saat ini, korupsi masih tumbuh subur di Negeri ini. Korupsi merupakan permasalahan universal yang dihadapi oleh seluruh negara dan masalah yang pelik yang sulit untuk diberantas. Hal ini tidak lain karena masalah korupsi bukan hanya berkaitan dengan permasalahan ekonomi semata melainkan juga terkait dengan permasalahan politik, kekuasaan, dan penegakan hukum. Dilihat dari sudut pandang sejarah, korupsi telah dilakukan sejak dulu hingga kini. Korupsi dilakukan oleh seluruh tingkat usia (kecuali anak-anak). Bila dilihat dari sudut manajemen maka korupsi terjadi mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga tahap pengawasan kegiatan. Korupsi bila bersinggungan dengan penegakan hukum maka akan sulit untuk diberantas karena secara otomatis akan bersinggungan dengan orang-orang yang memiliki kekuasaan dan uang. Pada dasarnya pelaku korupsi merupakan orang-orang yang berpendidikan dan yang memiliki jabatan. Dengan demikian dengan mudah pelaku korupsi dapat mengerahkan massa, membentuk opini, dan menyuap penegak hukum melalui kekuasaan dan uang.
Upaya pemberantasan korupsi tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Di Indonesia, upaya untuk memberantas korupsi bukanlah merupakan suatu program yang baru dimulai oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan kebijakan pemberantasan korupsinya. Upaya pemberantasan korupsi telah mulai dilakukan oleh pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya peraturan yang dikeluarkan sehubungan dengan permasalahan korupsi. Selain
pembentukan
peraturan
perundang-undangan,
pembentukan
lembaga pengawasan baik yang bersifat internal maupun eksternal telah banyak dibentuk dan dibubarkan. Demikian pula halnya dengan kajian-kajian mengenai korupsi, oleh karena itu makalah ini lebih ditujukan kepada peninjauan secara yuridis terhadap permasalahan korupsi. Peninjauan yuridis dalam makalah ini adalah peninjauan dari sudut peraturan perundang-undangan, Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 tahun 1990, Undang-Undang No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan yang didasarkan pada hasil-hasil penelitian mengenai korupsi yang dilakukan oleh World Bank, OECD (Organization for Economic Co-Operation and Development), dan Norad (The Norwegian Agency for Development Cooperation). Pengertian tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi lebih luas seperti yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menyebutkan, dihukum karena tindak pidana korupsi, yaitu : 1. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada atau yang karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara. 3. Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan Pasal 435 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 4. Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu. 5. Barang siapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkatsingkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang tersebut dalam Pasal 418, 419 dan Pasal 420 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib. Pengertian tindak pidana korupsi berdasarkan undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi lebih luas lagi yaitu dengan dicantumkan korporasi sebagai subjek hukum. Pengertian korporasi sendiri tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan, bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Selain itu terdapat beberapa peraturan pelaksana yang mengatur tentang pemberantasan korupsi di Indonesia, antara lain:
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2000 tentang tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan kekayaan Penyelenggara Negara. 4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 1999 tentang Tata Cara pemantauan dan Evaluasi pelaksanaan Tugas dan Wewenang Komisi Pemeriksa. 5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara. 6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2006 tentang Hak Keuangan, kedudukan Protokol, dan perlindungan Keamanan Pimpinan komisi Pemberantasan Korupsi. 7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2003 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1999 tentang Pembentukan komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara dan Sekretaris Jenderal Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara. 9. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Dari sekian banyak peraturan perundang-undangan yang ada tersebut, pemberantasan korupsi tidak akan berjalan efektif jika tidak ada komitmen yang kuat, tulus dan ikhlas dari pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat.
Pembahasan Korupsi merupakan suatu bentuk kejahatan sosioekonomi dan kejahatan jabatan yang sangat merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, bagaikan virus ganas yang mematikan. Virus ini sangat mudah menyerang birokrasi pemerintah terutama di negara-negara berkembang. Indonesia dari dahulu hingga kini berjuang memberantas korupsi, baik secara prefentif, edukatif, maupun represif. Bahkan tidak sedikit perangkat hukum yang telah dibuat untuk menjerat para koruptor. Tetapi mengapa Indonesia masih selalu menjadi “juara bertahan” dalam soal korupsi? Korupsi jangan lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa tetapi harus digolongkan sebagai kejahatan luar biasa. Begitupun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dilakukan secara biasa, tetapi harus dengan cara-cara yang luar biasa. Menurut David Bayley (1995), akibat-akibat buruk yang ditimbulkan oleh korupsi adalah sebagai berikut: 1. Korupsi mengurangi efisiensi biaya penyelenggaraan negara karena banyaknya pos-pos anggaran yang digerogoti oleh para koruptor untuk keuntungan pribadi. 2. Korupsi menyebabkan kenaikan biaya administrasi. Seberapa jauh pelipatgandaan biaya tambahan tergantung pada kemampuan pasaran. Orang-orang yang sekaligus menjadi wajib pajak dan dipaksa untuk memberi sogokan, menjadi berlipat ganda membayar untuk suatu jasa negara. 3. Jika korupsi terjadi dalam bentuk “komisi”, akan mengakibatkan berkurangnya jumlah dana yang seharusnya dipakai untuk keperluan masyarakat umum. Ini merupakan pengalihan sumber-sumber kepentingan umum untuk keperluan perorangan. Contohnya, seorang pejabat pemerintah menyetujui suatu proyek atau kontrak dengan harga tertentu,
tetapi menerima ”komisi” 10% sebagai balas jasa penyetujuan kontrak tersebut, maka dana yang terpakai untuk kepentingan umum tinggal 90% karena yang 10% telah masuk ke keuntungan pribadi. 4. Korupsi berpengaruh buruk pada pejabat-pejabat lain dari aparat pemerintah. Karena korupsi menghancurkan keberanian orang untuk berpegang teguh pada nilai-nilai sopan santun yang tinggi. Moral dan akhlak merosot karena sebagian orang tidak lagi mengindahkannya. 5. Korupsi menurunkan martabat pejabat dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap tindakan adil pemerintah. 6. Para ahli politik dan pegawai negeri adalah kelompok elit dalam suatu masyarakat. Kalau golongan elit saja bersikap korup, maka rakyat kecil pun tidak memliki alasan untuk tidak melakukan apa saja yang membawa keuntungan bagi dirinya, sebab para elit yang dijadikan panutan toh juga demikian. 7. Keberanian yang laur biasa sukar didaptkan dari pemimpin-pemimpin yang korup. Sebab bagaimana mungkin mereka akan memperjuangkan kebenaran dan keadilan, sedangkan hal itu akan membatasi ruang geraknya sendiri untuk melakukan korupsi. 8. Korupsi menyebabkan keberpihakan pejabat pada kepentingan orang yang memberikan sogokan dan kurang keberpihakannya kepada kebenaran dan kepetingan masyarakat. 9. Korupsi bisa menimbulkan fitnah, dakwaan-dakwaan serta sakit hati yang mendalam. Sebab orang-orang yang tidak mau berbuat korupsi boleh jadi akan dituduh di depan umum oleh temannya sendiri sang koruptor yang sesungguhnya. 10. Korupsi mengakibatkan keputusan akan dipertimbangkan berdasarkan uang pelicin dan bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Roda
organisasi perlu diminyaki dengan uang, tanpa pelumas itu roda birokrasi tidak akan berputar. Menurut Andi Hamzah (2005:249), strategi pemberantasan korupsi bisa disusun dalam tigas tindakan terprogram, yaitu Prevention, Public Education dan Punishment. Prevention ialah pencerahan untuk pencegahan. Publik Education yaitu pendidikan masyarakat untuk menjauhi korupsi. Punishment adalah pemidanaan atas pelanggaran tindak pidana korupsi. 1. Strategi Preventif Strategi Preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan cara menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya korupsi. Konvensi PBB Anti Korupsi, Uneted Nations Convention Against Corruption (UNCAC), menyepakati langkah-langkah untuk mencegah terjadinya korupsi. Masing-masing negara setuju untuk: “...mengembangkan terkoordinasi
dengan
dan
menjalankan
mempromosikan
kebijaksanaan partisipasi
anti-korupsi
masyarakat
dan
menunjukkan prinsip-prinsip supremasi hukum, manajemen urusan publik dan properti publik dengan baik, integritas, transparan, dan akuntable, ... saling bekerjasama untuk mengembangkan langkah-langkah yang efektif untuk pemberantasan korupsi”. 2. Public Education Public Education atau pendidikan anti korupsi untuk rakyat perlu digalakkan untuk membangun mental anti-korupsi. Pendidikan antikorupsi ini bisa dilakukan melalui berbagai pendekatan, seperti pendekatan agama, budaya, sosioal, ekonomi, etika, dsb. Adapun sasaran pendidikan anti-korupsi secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua: a) Pendidikan anti korupsi bagi aparatur pemerintah dan calon aparatur pemerintah.
b) Public education anti korupsi bagi masyarakat luas melalui lembagalembaga keagamaan, dan tokoh-tokoh masyarakat. Semua itu dilakukan untuk meningkatkan moral anti korupsi. Publik perlu mendapat sosialisasi konsep-konsep seperti kantor publik dan pelayanan publik berikut dengan konsekuensi-konsekuensi tentang biaya-biaya sosial, ekonomi, politik, moral, dan agama yang diakibatkan korupsi. 3. Strategi Punishment Strategi Punishment adalah tindakan memberi hukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Dibandingkan negara-negara lain, Indonesia memiliki dasar hukum pemberantasan korupsi paling banyak, mulai dari peraturan perundang-undangan yang lahir sebelum era eformasi sampai dengan produk hukum era reformasi, tetapi pelaksanaannya kurang konsisten sehingga korupsi tetap subur di negeri ini.
Dari sekian banyak peraturan perundang-undangan anti-korupsi yang ada, salah satu yang paling populer barangkali UU Nomor 30/2002 tentang KPK. KPK adalah lembaga negara yang bersifat independen yang dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya bebas dari kekuasaan manapun. Tugas-tugas KPK adalah sebagai berikut: a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, c. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap penyelengaraan pemerintahan negara.
Kesimpulan dan Saran
Uraian mengenai fenomena korupsi dan berbagai dampak yang ditimbulkannya telah menegaskan bahwa korupsi merupakan tindakan buruk yang dilakukan oleh aparatur birokrasi serta orang-orang yang berkompeten dengan birokrasi. Korupsi dapat bersumber dari kelemahan-kelemahan yang terdapat pada sistem politik dan sistem administrasi negara dengan birokrasi sebagai prangkat pokoknya. Keburukan hukum merupakan penyebab lain meluasnya korupsi. Seperti halnya delik-delik hukum yang lain, delik hukum yang menyangkut korupsi di Indonesia masih begitu rentan terhadap upaya pejabat-pejabat tertentu untuk membelokkan hukum menurut kepentingannya. Dalam realita di lapangan, banyak kasus untuk menangani tindak pidana korupsi yang sudah diperkarakan bahkan terdakwapun sudah divonis oleh hakim, tetapi selalu bebas dari hukuman. Itulah sebabnya kalau hukuman yang diterapkan tidak drastis, upaya pemberantasan korupsi dapat dipastikan gagal. Meski demikian, pemberantasan korupsi jangan menjadi “jalan tak ada ujung”, melainkan “jalan itu harus lebih dekat ke ujung tujuan”. Upaya-upaya untuk mengatasi persoalan korupsi dapat ditinjau dari struktur atau sistem sosial, dari segi yuridis, maupun segi etika atau akhlak manusia.
Referensi Dirjosisworo, Soedjono. 1984. Fungsi Perundang-undangan Pidana Dalam Penanggulangan Korupsi Di Indonesia. Bandung: CV Sinar Baru. Gunawan, Ilham. 1993.
Postur Korupsi di Indonesia: Tinjauan Yuridis,
Sosiologis, Budaya dan Politis. Bandung: Angkasa. http://klikbelajar.com/pelajaran-sekolah/korupsi-dan-upaya-pemberantasankorupsi-di-indonesia/ http://mgtabersaudara.blogspot.com/2010/03/pemberantasan-korupsi-diindonesia.html http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/tinjauan-yuridis-mengenai-peranankomisi-pemberantasan-korupsi-kpk-dalam-pemberantasan-tindak-pidana-korupsidi-indonesia/