PROSEDING SEMINAR NASIONAL
PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
Reviewer : Prof. Dr. Maman Rachman, M.Sc. Prof. Dr. DYP Sugiharto, M.Pd Prof. Dr. Samsudi, M.Pd
Editor: Dr. Eko Handoyo, M.Si. Hartati Sulistyo Rini, S.Sos., M.A.
DPP IKA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG MARET 2014
PROSEDING SEMINAR NASIONAL
PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA ISBN: ……………….
Reviewer : Prof. Dr. Maman Rachman, M.Sc. Prof. Dr. DYP Sugiharto, M.Pd Prof. Dr. Samsudi, M.Pd
Editor: Dr. Eko Handoyo, M.Si Hartati Sulistyo Rini, S.Sos, M.A.
Desain Cover & Lay Out: Basuki, S.Ikom & Iwan Hardi Saputro, S.Pd
Penerbitan kerjasama antara: 1. DPP IKA Universitas Negeri Semarang 2. Penerbit, Widyakarya - Semarang Anggota IKAPI Nomor : 117/JTE/2008
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang All right reserved
ii
SUSUNAN PANITIA SEMINAR NASIONAL UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA DALAM RANGKA DIES NATALIS UNNES KE-49
PEMBINA PENASIHAT
PENANGGUNG JAWAB STEERING COMMITTEE KETUA WAKIL KETUA SEKRETARIS ANGGOTA
ORGANIZING COMMITTEE KETUA WAKIL KETUA SEKRETARIS WAKIL SEKRETARIS BENDAHARA ACARA PERSIDANGAN
TRANSPORTASI DAN AKOMODASI PERLENGKAPAN
: Rektor Unnes (Prof. Dr. Fathur Rohman, M.Hum.) : Pembantu Rektor I Unnes (Dr. Agus Wahyudin M.Si.) Pembantu Rektor II Unnes (Dr. Wahyono M.M.) Pembantu Rektor III Unnes (Prof. Dr. Masrukhi M.Pd.) : Ketua DPP IKA Unnes (Drs.Budiyanto, SH, M.Hum.) : Dr. Eko Handoyo, M.Si : Dr. Martitah, M.Hhum : Dr. Rodiyah Tangwun, S.Pd., S.H., M.Si : Prof. Dr. Samsudi, M.Pd Prof. Dr. Maman Rachman, M.Sc Prof. Dr. DYP Sugiharto, M.Pd Prof. Dr. Kasmadi Imam Supardi, M.Si Prof. Dr. Wiyanto, M.Si Prof. YL Sukestiyarno, Ph.D : Drs. Moh Solehatul Mustofa, M.A. : Dr. Eva Banowati, M.Si. : Drs. Wirawan Sumbodo, M.T. : Eta Yuni Lestari, S.Pd. : Dra. Margunani, M.P. : Rochmawati, S.Pd, M.H. Ariyani Widyastuti,S.E. : Anang Budi Utomo ,S.Pd, M.Pd. Dr.Suwito Eko Pramono, M.Pd. Drs. Suroto Haryoseputro, M.Si. : Walid, S.Pd, M.Si. Drs.Tugiman, M.Si. : Drs. Said Sunardiyo, MT Widi Widayat, S.Pd. Meldy Septiawan, S.Pd. iii
DOKUMENTASI DAN DEKORASI PUBLIKASI KONSUMSI
MATERI SEKRETARIAT
PEMBANTU UMUM
iv
: Aris Widodo, S.Pd., M.T. Drs. Heri Tjahjono, M.Si. : Sucipto Hadi Purnomo, S.Pd., M.Pd. Surahmat, S.Pd. : Dra. Erni Suharini, M.Si Dra. Sinta Saraswati, M.Pd.,Kons Dra. Prananingsih : Dr. Lisdiana, M.Si. Dr. Isti Hidayah,M.Pd. : Andi Suhardiyanto, S.Pd., M.Si. Basuki, S.I.Kom. Drs. Unggul Yunanto : Drs. Heri Purnomo, M.Pd. Iwan Hardi Saputro, S.Pd.
SAMBUTAN KETUA PANITIA Segala puji dan ucapan syukur patutlah kita persembahkan kepada Tuhan sang pemilik hidup dan kehidupan ini, karena oleh pertolongan-Nya kegiatan Seminar Nasional dengan tema “Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia” dapat berjalan lancar tanpa ada halangan yang berarti. Kami atas nama seluruh panitia mengucapkan terimakasih kepada semua pihak, baik pembicara utama (speaker) dan pemakalah (call for paper), keynote speaker, editor, dan segenap panitia serta semua pihak atas segala sumbangan pemikirannya, sehingga buku prosiding dapat tersusun dengan baik. Buku prosiding ini disusun dengan tujuan untuk memberikan solusi dalam memecahkan masalah korupsi di Indonesia. Indeks persepsi korupsi Indonesia yang lambat peningkatannya dari tahun ke tahun merupakan bukti bahwa kasus korupsi di Indonesia sangat kronis dan memerlukan upaya pemberantasan. Oleh karena itu, tersusunnya buku prosiding ini diharapkan dapat dimanfaatkan seluruh masyarakat Indonesia dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Terselenggaranya kegiatan seminar ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan ini panitia menyampaikan ucapan terimakasih kepada: 1. Rektor Unnes 2. Dekan FIS Unnes Ketua Panitia Dies Natalis Unnes ke-49 3. Ketua DPP IKA Unnes 4. Reviewer dan editor Proceding 5. Ketua Tim Pengembang Jurnal Unnes 6. Seluruh panitia seminar yang ikut serta mensukseskan seminar sehingga buku prosiding dapat tersusun. Demikian panitia berharap semoga prosiding ini dapat memberikan manfaat dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia secara berkelanjutan.
Semarang, 26 Maret 2014 Ketua Panitia,
Drs Moh.Solehatul Mustofa MA
v
KATA PENGANTAR KETUA UMUM DPP IKA UNNES Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga prosiding Seminar Nasional dengan tema Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia dapat diselesaikan dengan baik. Prosiding ini merupakan kumpulan dari berbagai artikel yang dipresentasikan baik oleh pemakalah utama maupun pemakalah pendamping yang diselenggarakan oleh DPP IKA Unnes pada tanggal 26 Maret 2014. Berdasarkan tema yang diangkat dalam seminar yaitu “Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia” maka melalui proseding ini, diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat Indonesia tentang upaya pemberantasan, pencegahan, dan pendidikan anti korupsi, sehingga perilaku korupsi semakin menurun dan pada akhirnya akan hilang dari bumi Indonesia tercinta. Seminar Nasional ini menghadirkan tiga pembicara, yaitu: (1) Ketua KPK (Dr. Abraham Samad, SH, M.H) dengan tema “Peran KPK dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia”; (2) Jaksa Agung RI (diwakili D. Andhi Nirwanto, SH, MM) dengan tema “Peran Kejaksaan Agung dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia”; (3) Kapolri (diwakili Komjen Pol. Suhardi Alius) dengan tema “Peran Kepolisian dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia”. Pada kesempatan ini, DPP IKA Unnes juga menyampaikan terima kasih atas kerjasama yang baik dari Unnes dan segenap panitia sehingga Seminar nasional “Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia” telah berlangsung lancar dengan minat peserta yang luar biasa terutama pada jumlah dan kualitas pertanyaan peserta pada sesi diskusi tanya jawab. Semoga proseding ini dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia, terutama untuk kepentingan pendidikan, pengajaran, penelitian, maupun pengabdian masyarakat yang berkaitan dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Semarang, 26 Maret 2014 Ketua Umum DPP IKA Unnes
Drs. Budiyanto, M.Hum
vi
PENGANTAR REKTOR UNNES Indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2013 adalah 32 dari total nilai ideal 100. IPK tersebut masih berada di bawah negara Asia lain, seperti Singapura, Jepang, Malaysia, dan Thailand. Usaha sungguh-sungguh untuk memberantas korupsi sudah dilakukan pemerintah, termasuk misalnya dengan adanya rencana aksi nasional dan daerah (RAN-RAD) pemberantasan korupsi. Namun demikian, dengan IPK yang masih berada di bawah angka 50 menjadikan kita khawatir jangan-jangan untuk mewujudkan Indonesia menjadi salah satu negara kaya di Asia pada tahun 2020-2050 tidak terbukti. Bagai tubuh manusia, Indonesia akan ambruk dan mati jikalau seluruh tubuh sudah dijangkiti virus penyakit mematikan. Upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi oleh penegak hukum juga sudah dijalankan secara komprehensif, meskipun juga di sana-sini masih dijumpai adanya oknum penegak hukum yang terlibat dalam tindak pidana korupsi, baik menerima suap maupun gratifikasi. Namun adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), meskipun komisi tersebut tidak sekuat sebuah badan atau lembaga negara, seperti halnya Mahkamah Konstitusi atau DPR, tetapi keberadaannya memberikan penguat bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Bekerjasama dengan lembaga penegak hukum lainnya dan komponen masyarakat yang peduli pada masa depan Indonesia, bukan tidak mungkin suatu saat akan terbentuk generasi emas yang anti korupsi dan cinta pada pembangunan dan kejayaan Indonesia. Melalui seminar bertemakan “Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia” yang digagas DPP IKA Unnes, saya menyambut baik upaya luhur untuk menciptakan Indonesia yang bebas dari korupsi entah kapan. Tema seminar tersebut memiliki relevansi dengan visi konservasi yang diusung Unnes, yang salah satu pilarnya adalah konservasi etika dan nilai sosial budaya. Tidak lupa, saya sampaikan terima kasih kepada para kontributor yang telah menyampaikan artikel sehingga proseding seminar nasional ini dapat terwujud. Selamat, semoga bermanfaat bagi kita semua. Semarang, 26 Maret 2014 Rektor Unnes,
Prof.Dr. Fathur Rohman, M.Hum.
vii
PRAKATA PENYUNTING
Korupsi merupakan salah satu fenomena yang mengundang banyak perhatian terkait dengan posisinya sebagai salah satu persoalan bangsa yang mendasar di Indonesia. Berbagai variasi kasus korupsi beserta modus operandinya mampu menyedot perhatian publik. Rentetan peristiwa yang hadir dalam kasus-kasus korupsi memberikan efek kejut bagi masyarakat, terlebih menyangkut keterlibatan berbagai kalangan di dalamnya. Mereka yang terlibat dalam kejahatan korupsi kadangkala merupakan figur yang identik dengan perjuangan anti korupsi yang tentu saja melek hukum dan paham akan konsekuensi tindakannya tersebut. Public dibuat kembali tercengang dengan nilai korupsi yang besaran angkanya sangat fantastis, bahkan seringkali berada di luar kisaran angka yang mampu dibayangkan oleh sebagian besar masyarakat. Di sisi lain, realitas sosial yang menghadirkan krisis multidimensi sebagai akibat dari perilaku korup ini semakin membuka mata banyak kalangan akan bahaya korupsi. Dengan kondisi tersebut, gerakan perlawanan atas korupsi menjadi agenda yang wajib dilakukan sebagai wujud tanggung jawab atas keberlangsungan dan keberlanjutan kehidupan berbangsa pada berbagai tingkat kehidupan masyarakat. Pada level negara, persoalan ini lantas ditanggapi dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bekerja bersama dengan aparat penegak hukum lain untuk memerangi korupsi. Dalam perkembangannya, KPK dianggap menjadi pilar penegakan hukum utama yang kredibel dalam perang melawan korupsi. Melalui realitas inilah kepercayaan dan optimisme masyarakat semakin menguat terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Di sisi lain, perlawanan terhadap korupsi juga menjadi agenda penting yang dilakukan oleh segenap lapisan masyarakat dalam berbagai level. Berbagai kegiatan, seperti diskusi, workshop, seminar, sosialisasi, iklan, bahkan pembaruan kurikulum yang terkait dengan pendidikan anti korupsi, mulai digalakkan. Sebagai salah satu wujud nyata sumbangsih dari elemen bangsa dalam pemberantasan korupsi tersebut, maka lahirlah buku Proseding ini sebagai kumpulan pemikiran cemerlang dari kaum cendekiawan lintas ilmu. Melalui pendekatan dan perspektif berbagai disiplin ilmu, buku ini menyajikan analisis yang komprehensif atas perlawanan terhadap perilaku korupsi. Kumpulan tulisan ini diisi oleh Suhardi Alius dengan tulisan yang bertajuk Peran Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia; Basrief Arief dengan judul Pemberantasan Korupsi Tidak Dapat Berjalan Sendiri; Wahyu Widodo mengenai Peran Dan Koordinasi Antar Lembaga Penegak Hukum Dalam Rangka Pemberantasan Mafia Hukum Di Indonesia; Fajar L. Soeroso dengan judul Perang Melawan Kolusi dan Nepotisme (Agenda Reformasi Yang Terabaikan); Suhadi mengenai Hukum, Moral dan Politik : Realitas Maraknya Korupsi Oleh Para Pemegang Kekuasaan di Indonesia; Sri Endah Wahyuningsih dan Martitah dengan judul Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia.; Eko Handoyo, dengan tulisannya yang bertajuk Korupsi Dan Pembangunan; Yuningtyas Setyawati dengan judul Korupsi Sebagai Sebuah Extraordinary Crime Dan viii
Kemiskinan Di Indonesia; Thriwaty Arsal dengan judul Korupsi Dalam Perspektif Sosiologi; Hartati Sulistyo Rini mengenai Refleksi Sosiologis Atas Upaya Pemberantasan Korupsi Di Indonesia; Ambar Teguh Sulistiyani mengenai Korupsi Sebagai Perilaku Sosial Dan Perilaku Formal Yang Menyimpang; Susilo Rahardjo tentang Pendidikan Anti Korupsi Melalui Bimbingan Kelompok; Lisdiana dan Iwan Hardi Saputro dengan judul Korupsi, Narkoba Serta Solusi Pemberantasannya; Arnie Fajar, Achmad Husen, dan Choirul Muriman S. dengan judul Upaya Memberantasan Korupsi Melalui Mata Pelajaran PKn (PPKn) Di Satuan Pendidikan; Hasti Anngraini dalam tulisannya Penguatan Karakter Bangsa Sebagai Langkah Awal Menumbuhkan Jiwa Anti Korupsi; Oktaviani Adhi Suciptaningsih dengan judul Peran Pendidikan Dasar Dalam Penanaman Nilai-Nilai Antikorupsi; Budiyanto dengan judul Pencegahan Korupsi Melalui Budaya; dan Kholid A.Harras mengenai Tematema Korupsi dalam Karya Sastra Kita. Sebagai pembuka Suhardi Alius mengetengahkan tulisan yang bertajuk Peran Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Melalui tulisannya ini, penulis menegaskan komitmen Polri yang akan terus berupaya untuk meningkatkan penegakan hukum tindak pidana korupsi dan pemberantasan korupsi secara sinergis dengan tetap menjunjung tinggi nilainilai objektivitas dan etika kelembagaan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka perlu melakukan upaya revitalisasi kapasitas penegak hukum tindak pidana korupsi melalui sinergi antar penegak hukum, sehingga efektivitas pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara profesional, berkelanjutan dan sesuai aturan yang berlaku. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Polri akan terus memperkuat jajarannya dalam penegakan hukum kasus korupsi serta terlibat aktif dalam pencegahan tindak pidana korupsi. Masih dalam kerangka pemberantasan korupsi, secara tegas Basrief Arief menerangkan bahwa perlawanan terhadap korupsi adalah bukan hanya menjadi tanggung jawab satu elemen bangsa saja, namun juga menuntut kerjasama yang apik dari berbagai pihak. Melalui tulisan dengan judul Pemberantasan Korupsi Tidak Dapat Berjalan Sendiri, penulis mengetengahkan kondisi bahwa pemberantasan korupsi tidak dapat berjalan sendiri-sendiri dan secara parsial, melainkan merupakan sebuah sistem yang mencakup upaya edukatif, preventif dan baru kemudian represif sebagai jaring pengaman terakhir (ultimun remedium). Sebaliknya harus disadari bahkan hukum pidana bukanlah “panacea” atau obat yang paling mujarab dan serba bisa untuk memberantas korupsi. Mengharapkan hilangnya korupsi dengan hanya mengandalkan penanganan perkara sebanyak-banyaknya atau menghukum seberat-beratnya, maka hanya akan membawa kita ke alam pikiran sempit yang justru dapat menimbulkan tirani-tirani baru dengan dalih penegakan hukum. Oleh karena itulah, maka tidak ada jalan lain, “grand design” pemberantasan korupsi harus dimulai dari upaya membangun kesadaran masyarakat untuk anti korupsi. Hal ini tidak dapat dilakukan sendiri oleh penegak hukum, melainkan tanggung jawab semua elemen bangsa termasuk dunia Kampus. Masih terkait erat dengan perlunya sinergi antar penegak hukum dalam pemberantasan korupsi, Wahyu Widodo memberikan beberapa argumen menarik melalui analisisnya mengenai Peran Dan Koordinasi Antar Lembaga Penegak Hukum Dalam Rangka Pemberantasan Mafia Hukum Di Indonesia. Penulis melihat bahwa tindak pidana korupsi ini dapat diatasi, dengan salah satunya ix
adalah meningkatkan koordinasi antar institusi penegak hukum guna terciptanya hubungan lintas instansi yang sinergis yang dilakukan melalui upaya: melakukan pemetaan terhadap masalah-masalah yang timbul terkait koordinasi lintas instansi, meningkatkan pembentukan lembaga kerjasama antar instansi terkait, membentuk lembaga pengawas yang bertugas mengawasi pelaksanaan tugas masing-masing institusi, melakukan integrasi dan sinkronisai pelayanan masyarakat agar mekanisme pelayanan dapat berjalan dengan sederhana, cepat dan tidak tumpang tindih, masing-masing instansi bertemu secara periodik baik formal maupun informal untuk membicarakan berbagai permasalah yang timbul terkait masalah koordinasi sekaligus menemukan solusinya, peningkatan forum diskusi dan pertemuan antar aparat penegak hukum yang bertujuan untuk memperoleh kesamaan pandang dalam melaksanakan tugas penyidikan, menyusun MoU yang berisikan kerjasama dan koordinasi lintas instansi terkait penegakan hukum. Dalam hal ini, agar koordinasi dan supervisi antar-lembaga penegak hukum itu efektif, diperlukan dukungan politik yang nyata dari Presiden. Misalnya sangat erat kaitannya dengan anggaran, dan perlunya dibentuk suatu unit koordinasi pemberantasan mafia hukum terpadu yang ditempatkan di KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian agar koordinasi tersebut melembaga. Dalam perspektif lain, Fajar L. Soeroso menyodorkan suatu hasil telisik atas akar persoalan korupsi sebagai bagian dari modal dasar upaya pemberantasan korupsi. Perilaku kolusi dan nepotisme umumnya muncul dari perilaku koruptif memanfaatkan jabatan. Dalam kerangka tersebut, perlu dipahami bahwa kolusi dan nepotisme sesungguhnya merupakan akar terjadinya korupsi. Dengan kata lain, korupsi tidak pernah akan mati manakala kolusi dan nepotisme sebagai akarnya tidak ikut diberangus juga. Oleh karenanya, kolusi dan nepotisme merupakan dua noktah lain dalam terma “KKN”, yang juga harus diberantas dan diperangi sebagaimana korupsi. Pendekatan-pendekatan kombinatif perlu terus dikembangkan untuk diformulasikan secara tepat ke tataran riil untuk mendasari perang yang terus dikobarkan hingga hari ini yakni perang melawan KKN sebagai satu paket musuh bersama (common enemy). Sehubungan dengan itu, untuk tidak dikatakan lupa pada perjuangan reformasi, maka tidak semestinya pemberantasan KKN dipersempit hanya sekadar perang melawan korupsi (dalam arti konvensional) melainkan dipahami juga sebagai perang untuk memberangus kolusi dan nepotisme. Kajian menarik ini dibingkai dalam tulisan yang berjudul Perang Melawan Kolusi dan Nepotisme (Agenda Reformasi Yang Terabaikan). Realitas perilaku korupsi yang masih dengan mudah dilihat dikupas dalam kajian yang berjudul Hukum, Moral dan Politik : Realitas Maraknya Korupsi Oleh Para Pemegang Kekuasaan di Indonesia, buah karya Suhadi. Dalam kajiannya tersebut, fokus persoalan ditekankan pada hukum, moral, dan politik yang merupakan 3 (tiga) unsur utama dalam kehidupan masyarakat dan negara. Antara hukum, moral, dan politik memiliki relasi yang kuat satu sama lain. Moral merupakan landasan tujuan hukum, hukum bisa efektif mencapai tujuannya kalau ditopang oleh politik, demikian juga politik memerlukan hukum dan moral agar politik dapat berjalan mencapai tujuannya untuk kemaslahatan kehidupan bersama. Korupsi yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan di Indonesia masih marak terjadi karena dalam menjalankan kekuasaanNya para pemegang kekuasaan mengabaikan hukum dan moral. x
Pengabaian ini terjadi karena politik memiliki power yang lebih tinggi dibanding hukum dan moral. Kekuasaan (politik) yang diemban oleh para pemegang kekuasaan di Indonesia yang berperilaku korup ditunaikan sekehendak hatinya, bukan untuk kepentingan bangsa dan negara tetapi lebih untuk kepentingan diri sendiri, kelompok, atau golongannya. Mengingat hukum memerlukan politik, dan politik memerlukan hukum, maka hukum harus dapat membatasi kekuasaan secara lebih jelas melalui produk hukum yang dihasilkannya. Selain itu, pada waktu penyusunan produk hukum, moralitas harus sudah dimasukkan agar hukum yang dibuat sejalan dengan pencapaian tujuan hidup manusia. Menyoal aspek hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi maka analisis Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia menjadi satu referensi yang patut diperhitungkan. Sri Endah Wahyuningsih dan Martitah menguraikan bahwa korupsi sebagai extraordinary crime, maka upaya pemberantasannyapun tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi harus dengan cara-cara luar biasa (extra-ordinary measures). Penggunaan sanksi pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan secara integral dengan upaya non penal. Usaha penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) sendiri sebenarnya bukan sarana yang utama tetapi bersifat subsidair. Kebijakan penggunaan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia selama ini antara lain tertuang di KUHP, Peraturan Penguasa Militer No.Prt/PM/06/1957, Perpu No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi kemudian pada masa orde baru keluarlah Undang-Undang No.3 Tahun 1971, serta pada era reformasi terbit UU No. 31 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 20 Tahun 2001. Berbagai persoalan bangsa yang dialami sebagai akibat dari tindakan korupsi menjadi fokus kajian yang menarik dari buku ini. Eko Handoyo, dengan tulisannya yang bertajuk Korupsi Dan Pembangunan menghubungkan dengan sangat tepat bagaimana perilaku korupsi adalah rongrongan terbesar dalam pembangunan. Korupsi yang masih terjadi di Indonesia merupakan penghalang bagi upaya mewujudkan kesejahteraan yang merata. Korupsi dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, tetapi yang lebih parah dan dampaknya sangat merusak gerak pembangunan, karena korupsi dilakukan oleh mereka yang seharusnya mengemban amanah untuk menyejahterakan masyarakat, seperti anggota DPR, menteri, gubernur, walikota, bupati, polisi, jaksa, dan hakim. Dampak korupsi tidak hanya menghambat upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penurunan angka kemiskinan, tetapi juga dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi, menghalangi perkembangan ekonomi dan menggerogoti keabsahan politik. Akan lebih berbahaya akibatnya apabila masyarakat tidak lagi percaya kepada apa yang dilakukan pemerintah. Hal ini bisa menimbulkan krisis politik, ekonomi, hukum, dan kepercayaan yang pernah menjadi bagian sejarah bangsa di masa lalu. Upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia perlu dilakukan secara serius, sistematis, dan terpadu, melibatkan tidak hanya komisi yang khusus menangani (KPK), tetapi juga semua lembaga (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dan seluruh anggota masyarakat, khususnya generasi muda sebagai penerus kejayaan bangsa.
xi
Tema besar tersebut di atas, juga dijadikan ulasan menarik oleh Yuningtyas Setyawati. Dengan judul Korupsi Sebagai Sebuah Extraordinary Crime Dan Kemiskinan Di Indonesia, penulis mengetengahkan situasi bahwa Korupsi merupakan ancaman eksistensi dan integritas suatu bangsa. Korupsi telah membentuk suatu resistensi untuk mempertahankan status mereka dengan cara apapun. Saat ini korupsi sudah merupakan suatu bentuk extraordinary crime yang dapat mengancam bangsa dan negara serta dapat menambah kemiskinan. Oleh karena iu korupsi adalah musuh bersama yang harus dibasmi dan bukan dilestarikan karena korupsi bukan budaya. Upaya untuk memberantas korupsi yang nantinya akan berdampak pada upaya perbaikan kondisi masyarkat, khususnya masyarakat miskin, harus ditopang dengan komitmen yang kuat untuk menjaga dan mendorong secara terus menerus proses demokrasi. Hal ini diharapkan semakin dapat menjamin upaya-upaya untuk menanggulangi kemiskinan. Kemiskinan tidak bisa hanya diatasi dengan mengandalkan penerbitan seperangkat kebijakan-kebijakan. Kemiskinan untuk di Indonesia justru harus dimulai dari perlakukan dan aksi yang justru diarahkan kepada aktor pemerintah untuk secara terus menerus harus dibersihkan dari praktekpraktek korupsi. Dengan demikian hal ini akan dapat memberikan jaminan kepada masyarakat, khususnya yang masuk dalam kategori miskin, untuk bisa kembali dapat merasakan sebagai warga negara dengan segala hak-hak yang secara proporsional harus dipenuhi. Fenomena korupsi sebagai masalah utama pada masyarakat telah mampu menarik perspektif Sosiologi untuk ikut memberikan sumbangsihnya. Tulisan yang berjudul Korupsi Dalam Perspektif Sosiologi yang disusun oleh Thriwaty Arsal ini memberikan gambaran jelas bahwa persoalan korupsi erat dengan pelanggaran hukum oleh orang-orang yang berkuasa dan memegang tampuk pimpinan dan memberi ilham kepada bawahannya untuk melakukan hal serupa. Bukannya tidak ada usaha untuk memberantas korupsi, tetapi pengaruh korupsi terlalu kuat dan pidana pada kasus-kasus korupsi tidak seimbang dengan kejahatannya, sehingga korupsi merajalela dan bukan lagi hal yang tabu bagi pelakunya.Walaupun benar bahwa kerahasiaan struktural menyumbang pada korupsi, namun bukan merupakan sebab utama dan menentukan bagi korupsi. Orang yang korup senantiasa pandai menyesuaikan diri. Koruptor akan menyesuaikan diri pada setiap struktur, sedemikian rupa sehingga struktur yang absah pun dapat digunakan menjadi alatnya. Masalah korupsi bersifat lintas-struktural. Semua struktur sepanjang sejarah berbagai masyarakat dengan tingkat organisasi dan birokrasi tertentu dijangkiti oleh korupsi. Perspektif sosiologis juga dapat dirasakan dengan sangat kuat dalam tulisan yang disajikan oleh Hartati Sulistyo Rini. Fokus analisisnya adalah berpusat pada Refleksi Sosiologis Atas Upaya Pemberantasan Korupsi Di Indonesia. Sebagai isu penting yang mengancam laju perkembangan bangsa, perlawanan terhadap korupsi bukan tidak dilakukan tetapi selalu terbentur dengan birokrasi, penegakan hukum, dan anggapan bahwa korupsi adalah bagian dari budaya. Sebagai sebuah alternatif, Sosiologi menawarkan beberapa pandangan dan refleksinya terhadap situasi tersebut. Aspek kelembagaan dalam hal ini dapat berupa optimalisasi sistem kehidupan bermasyarakat yang terkait dengan beberapa institusi besar, seperti: lembaga pendidikan, birokrasi, dan hukum. Pendidikan menjadi faktor penting sebagai fondasi untuk memperbaiki xii
bangsa ini keluar dari jaring korupsi. Dalam berbagai jenjang pendidikan, isuisu pemberantasan korupsi mulai diintegrasikan dengan semua mata kuliah maupun mata pelajaran bagi para siswa. Gerakan pemberantasan korupsi ini juga terkait dengan aspek pendidikan karakter yang akan membentuk kepribadian setiap anak. Yang kedua adalah reformasi birokrasi, dan ketiga adalah aspek penegakan hukum yang memiliki efek jera. Hal yang tidak kalah penting adalah adanya figur pemimpin yang mampu memberikan suri tauladan serta benar-benar menjadi penggerak dalam perang melawan korupsi. Kajian berikutnya adalah dari Ambar Teguh Sulistiyani mengenai Korupsi Sebagai Perilaku Sosial Dan Perilaku Formal Yang Menyimpang. Menurutnya, perilaku korupsi sebenarnya di satu sisi berbasis pada kualitas diri individu di dalam merespons lingkungan. Internalisasi nilai yang positif dan kuat serta kemampuan setiap individu mengimplementasikan dalam setiap tindakan, mekanisme berpikir dan berbuat, maka akan lebih mudah untuk menyelamatkan diri dari rantai korupsi. Namun sebaliknya jika standar nilai yang ada pada individu tersebut lemah, maka seseorang akan mengalami kesulitan dalam merespons lingkungan sehingga akan terbawa arus. Di sisi lain desain sistem formal yang mengimplementasikan standar nilai secara konsisten, kemampuan melakukan kontrol secara adil akan dapat memperkecil peluang korupsi sehingga suatu sistem formal dapat berpengaruh pada terbentuknya perilaku formal yang terkendali. Penggunaan pendekatan multidisiplin dalam melakukan pendekatan terhadap masalah korupsi akan menciptakan kearifan dalam mengatasi korupsi secara integratif, sehingga dapat memperbesar kemampuan mencegah, mengendalikan secara lebih tertib perilaku dan tertib hukum. Susilo Rahardjo menuangkan gagasan cemerlang tentang pemberantasan korupsi ke dalam judul Pendidikan Anti Korupsi Melalui Bimbingan Kelompok. Hasil yang diperoleh adalah : a) korupsi merupakan perilaku merusak sendi sendi kehidupan manusia dan pelanggaran HAM yang berat; b) dampak korupsi sangat luas yaitu (1) kesejahteraan umum negara terancam, (2) demokrasi tidak fair, (3) menghambat pertumbuhan ekonomi dan investasi, (4) korupsi melemahkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam menjalankan program pembangunan, (5) menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, (6) penurunan kualitas moral dan akhlak; dan c) Layanan bimbingan kelompok dengan teknik pemberian informasi, diskusi kelompok, dan permainan peranan (sosiodrama) dapat memberikan pemahaman kepada siswa tentang dampak buruk korupsi, sehingga siswa ikut terlibat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di lingkungan terdekatnya sedini mungkin. Sorotan tajam selanjutnya adalah pada kajian yang bertajuk Korupsi, Narkoba Serta Solusi Pemberantasannya, yang disusun oleh Lisdiana dan Iwan Hardi Saputro. Korupsi dan Narkoba adalah kejahatan besar di Indonesia. Keduanya memiliki kesamaan yaitu sama-sama kejahatan yang dapat merusak moral dan karakter bangsa. Dalam upaya memberantas korupsi, negara membentuk KPK yang berwenang menjerat para koruptor yang telah merugikan uang negara. Sedangkan dalam upaya mencegah maraknya penyalahgunaan narkoba, pemerintah membentuk Badan Narkotika Nasional (BNN). KPK dan BNN berupaya secara sinergis mengembangkan strategi pemberantasan korupsi dan narkoba dengan berbagai pendekatan yang xiii
dilaksanakan secara komprehensif. Upaya KPK dan BNN dalam pemberantas korupsi dan narkoba di Indonesia memang memberikan efek jera yang hebat, namun karena spektrum keduanya demikian luas, maka diperlukan upayaupaya lain. Dalam pemebrantasan korupsi, penulis memberikan alternatif upaya melalui lingkungan keluarga dan pendidikan antikorupsi di sekolah. Untuk pencegahan narkoba, penulis memandang dari berbagai perspektif antara lain dari perspektif ilmu pendidikan, antropologi budaya, sosiologi, ilmu komunikasi dan psikologi perkembangan, termasuk melalui jalur pendidikan yaitu sekolah. Berikutnya, Arnie Fajar, Achmad Husen, dan Choirul Muriman S, memberikan ulasannya mengenai Upaya Memberantas Korupsi Melalui Mata Pelajaran PKn (PPKn) Di Satuan Pendidikan antikorupsi bagi peserta didik akhirnya memang mengarah pada pendidikan nilai yang ditanamkan melalui proses pembelajaran, sehingga dapat terinternalisasi dalam diri peserta didik. Nilai yang telah terinternalisasi diharapkan mampu mempengaruhi sikap serta perilaku peserta didik. Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan dan tidak melakukan sesuatu. Jadi sikap masih merupakan pilihan kecenderungan seseorang. Apabila sudah dipilih dan diimplementasikan dalam kehidupan secara nyata, merupakan suatu perilaku/perbuatan. Walaupun sikap sewaktu-waktu dapat berubah dan sewaktu-waktu pula akan memunculkan perilaku yang kontradiktif antara sikap dan perilakunya, namun upaya pembentukan karakter/kepribadian yang sesuai nilai-nilai terhadap peserta didik melalui jalur pendidikan hukumnya wajib dan tak terelakkan lagi. Hasti Anngraini dalam tulisannya Penguatan Karakter Bangsa Sebagai Langkah Awal Menumbuhkan Jiwa Anti Korupsi. Hasil kajiannya adalah, Pendidikan karakter merupakan langkah strategis dalam mewujudkan jiwa anti korupsi. Pendidikan karakter dapat dilakukan baik dalam lingkungan pendidikan maupun di masyarakat luas. Dalam dunia pendidikan, langkah yang dapat ditempuh adalah dengan menumbuhkan semangat bahwa korupsi adalah hal yang buruk, membangun kurikulum yang memuat anti korupsi, melakukan aksi nyata perlawanan terhadap korupsi, dan menjalin gerakan massif pemberantasan korupsi. Jika langkah-langkah tersebut dapat dilaksanakan maka, pembinaan akarakter anti korupsi akan dapat terwujud. Kajian selanjutnya mengenai Peran Pendidikan Dasar Dalam Penanaman Nilai-Nilai Antikorupsi, dari Oktaviani Adhi Suciptaningsih. Menurutnya, pendidikan dasar mempunyai peranan penting dalam penanaman nilai-nilai antikorupsi pada anak, sebab dalam usia 7 sampai 12 tahun inilah anak dalam tahap perkembangan awal mengenal berbagai macam hal secara sistematis dan ilmiah. Pembiasaan-pembiasaan nilai antikorupsi dalam berbagai kegiatan di sekolah akan membentuk karakter anak untuk tidak berlaku korup. Hal inilah yang menjadi dasar pembentukan kepribadian anak di masa mendatang. Saran yang dapat diberikan atas simpulan di atas adalah: perlunya keteladanan dari berbagai pihak seperti kepala sekolah, guru dan karyawan mengenai pelaksanaan nilai-nilai anti korupsi dalam keseharian. Selain itu, penciptaan lingkungan yang kondusif dan budaya akademik yang positif akan memaksimalkan penanaman nilai antikorupsi. Bagi Budiyanto, pemberantasan korupsi dapat bersinergi dengan aspek budaya. Melalui tulisan yang berjudul Pencegahan Korupsi Melalui Budaya, penulis menyatakan bahwa kebudayaan merupakan pengetahuan manusia yang xiv
diyakini akan kebenarannya oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti serta menyelimuti perasaan-perasaan dan emosi-emosi manusia serta menjadi sumber bagi sistem penilaian sesuatu yang baik dan yang buruk, sesuatu yang berharga atau tidak, sesuatu yang bersih atau kotor, dan sebagainya. Hal ini bisa terjadi karena kebudayaan itu diselimuti oleh nilai-nilai moral, yang sumber dari nilainilai moral tersebut adalah pada pandangan hidup dan pada etos atau sistem etika yang dipunyai oleh setiap manusia. Dengan penerapan dan pembelajaran yang baik, budaya dapat mencegah tindak korupsi, karena kebudayaan menciptakan sejuta makna dan tata aturan hidup manusia. Guna mewujudkan negara yang bersih dari korupsi perlu adanya upaya yang nyata dengan menegakkan aturan hukum yang setinggi-tingginya serta menyimak lebih dalam lagi mengenai tata aturan hidup manusia yang menjadi kebudayaan untuk dijunjung tinggi karena pada hakikatnya kebudayaan menyimpan banyak nasihat yang baik. Menutup buku ini, Kholid A.Harras memberikan penjelasan buah pikirannya yang berjudul Tema-tema Korupsi dalam Karya Sastra Kita. Karya sastra, dengan berbagai latar ideologi penulisnya, sesungguhnya telah sejak lama menyumbangkan energi perlawanan tegas terhadap prilaku busuk korupsi. Pada genre prosa, ada sejumlah karya prosa, baik novel maupun cerpen yang di dalamnya secara eksplisit mengusung tema korupsi. Antara lain novel Max Havelaar of de Koffieveillingen der Nederlandsche Handelmaatschappij atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda karangan Multatuli alias Eduard Douwes Dekker. Di awal-awal kemerdekaan kita sedikitnya ada dua novel yang isinya mengangkat tema korupsi. Pertama Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis. Kedua, novel berjudul Korupsi karya Pramoedya Ananda Toer. Di zaman Orde Baru, setidaknya ada dua novel karya sastrawan kita yang mengangkat tema korupsi, yakni Ladang Perminus karya Ramadhan K.H dan Orang-orang Proyek karya Ahmad Tohari. Lewat novel Ladang Perminus Ramadhan K.H dengan jeli mencoba membeberkan mega skandal korupsi yang terjadi di tubuh BUMN Migas kita (Pertamina) era tahun 1970-1980-an.
xv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
.......................................................................................
i
SUSUNAN TIM PENYUNTING ......................................................................
ii
SUSUNAN PANITIA ........................................................................................
iii v
SAMBUTAN KETUA PANITA ........................................................................ KATA PENGANTAR KETUA UMUM DPP IKA UNNES .......................... PENGANTAR REKTOR UNNES ...................................................................
vii
PRAKATA PENYUNTING .............................................................................
viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................
xvii
1.
2.
3.
4.
5.
6.
PERAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA .................................................... Komjen Pol. Drs. Suhardi Alius, M.H. Kabareskrim Polri PEMBERANTASAN KORUPSI TIDAK DAPAT BERJALAN SENDIRI .................................................................................................... Basrief Arief Jaksa Agung RI PERAN DAN KOORDINASI ANTAR LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM DI INDONESIA ................... Wahyu Widodo PERANG MELAWAN KOLUSI DAN NEPOTISME (Agenda Reformasi yang Terabaikan)................................................... Fajar L. Soeroso Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Mahkamah Konstitusi HUKUM, MORAL DAN POLITIK: REALITAS MARAKNYA KORUPSI OLEH PARA PEMEGANG KEKUASAAN DI INDONESIA ............................................................. Suhadi Dosen Fakultas Hukum Unnes KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA ........................................................................................ Dr. Sri Endah Wahyuningsih, SH. M.Hum Dr. Martitah, M.Hum
vi
1
9
21
33
47
59
xvii
7.
KORUPSI DAN PEMBANGUNAN ...................................................... Eko Handoyo Dosen PKn FIS Unnes 8. KORUPSI SEBAGAI SEBUAH EXTRAORDINARY CRIME DAN KEMISKINAN DI INDONESIA .................................... Yuningtyas Setyawati Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta 9. KORUPSI DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI.................................... Thriwaty Arsal 10. REFLEKSI SOSIOLOGIS ATAS UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA...................................................................... Hartati Sulistyo Rini 11. KORUPSI SEBAGAI PERILAKU SOSIAL DAN PERILAKU FORMAL YANG MENYIMPANG ........................................................ Ambar Teguh Sulistiyani 12. PENDIDIKAN ANTI KORUPSI MELALUI BIMBINGAN KELOMPOK .............................................................................................. Drs. Susilo Rahardjo, M.Pd 13. KORUPSI, NARKOBA SERTA SOLUSI PEMBERANTASANNYA . Dr. Lisdiana, M.Si Iwan Hardi Saputro, S.Pd 14. UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI MELALUI MATA PELAJARAN PKn (PPKn) DI SATUAN PENDIDIKAN ...... Dr. Hj. Arnie Fajar, M.Pd., Dr. Achmad Husen, M.Pd Dr. Choirul Muriman S, SE.,SH.,MP 15. PENGUATAN KARAKTER BANGSA SEBAGAI LANGKAH AWAL MENUMBUHKAN JIWA ANTI KORUPSI ............................ Hasti Angraini Guru PKn SMA Negeri I Pati 16. PERAN PENDIDIKAN DASAR DALAM PENANAMAN NILAI-NILAI ANTIKORUPSI................................................................ Oktaviani Adhi Suciptaningsih Progdi PPKn, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, IKIP PGRI 17. PENCEGAHAN KORUPSI MELALUI BUDAYA ............................... Drs. Budiyanto, SH, M.Hum 18. TEMA-TEMA KORUPSI DALAM KARYA SASTRA KITA .............. Kholid A. Harras
xviii
73
85
99
111
123
135 147
159
177
185
195 205
MARKAS BESAR KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN RESERSE KRIMINAL
PERAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI 1 DI INDONESIA Oleh : Komjen Pol. Drs. Suhardi Alius, M.H. PENDAHULUAN Indonesia yang bebas dari korupsi merupakan dambaan seluruh rakyat Indonesia. Selama ini rakyat telah menjadi korban dari praktek tindak pidana korupsi yang terjadi secara masif, dimana korupsi telah merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara sehingga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional. Korupsi telah terbukti berkaitan dengan keterbelakangan ekonomi suatu negara karena efeknya yang menciptakan distorsi dalam kegiatan perekonomian, menurunkan pertumbuhan ekonomi dengan cara menghambat investasi luar negeri dalam bentuk foreign direct investment (FDI)2, bocornya anggaran belanja negara, turunnya penerimaan pajak, dan maraknya pungutan liar. Secara ekonomi, korupsi pada akhirnya mengakibatkan ekonomi biaya tinggi yang berdampak pada turunnya daya saing produk Indonesia pada tingkat regional maupun internasional. Lebih jauh, korupsi juga mempersulit proses demokrasi dan menghambat terlaksananya good governance and clean government3, sebab korupsi
1
2
3
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dengan tema “Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia”, Universitas Negeri Semarang, 26 Maret 2014. Mauro P. 1995. Corruption and Growth, Quarterly Journal of Economics Vol. 110, hal. 681 - 712 Good Governance merupakan pemerintah yang taat azas, tidak ada penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang serta efisien, efektif, hemat dan bebas KKN. Sedangkan Clean Government adalah pemerintah yang diisi oleh aparat yang jujur dan bekerja sesuai tugas yang diembannya sehingga dapat bertugas secara obyektif, netral, dan tidak diskriminatif.
1
menghancurkan proses formal sebuah sistem pemerintahan.4 Sebagai contoh, korupsi yang terjadi dalam pemilihan umum dapat mengurangi akuntabilitas dan kredibilitas dewan perwakilan, selain itu korupsi pada sistem pengadilan juga meniadakan ketertiban hukum dan menghasilkan ketimpangan dalam pelayanan masyarakat. Oleh karena itu, telah menjadi postulat bahwa korupsi yang masif dapat melemahkan pemerintahan dan negara (weak governance).5 Selain itu, dalam tataran politik, korupsi juga merusak sistem distribusi kekuasaan dan penyelewengan kebijakan yang berujung pada turunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.6 Dewasa ini, melalui berbagai sumber informasi kita memperoleh gambaran bahwa korupsi semakin marak terjadi di hampir seluruh sektor, dimana kebocoran uang negara terjadi baik pada sektor penerimaan maupun belanja negara. Semakin banyak terungkap bahwa korupsi dilakukan oleh berbagai kalangan, mulai dari pejabat negara, pegawai negeri, politisi, pengusaha swasta, dan lain -lain. Maraknya pemberitaan tentang fenomena tindak pidana korupsi yang terungkap diyakini baru merupakan bagian dari fenomena puncak gunung es yang tampak di permukaan. Berdasarkan undang-undang, sebagai salah satu subsistem dalam sistem pemerintahan negara, Polri telah menerima seperangkat kewenangan sebagai amanah untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya, diantaranya adalah tugas di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi.7 Tulisan ini dimaksudkan untuk dapat menggambarkan peran Polri dalam melaksanakan amanahnya untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, sebagai sebuah kontribusi dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
4
5
6
7
Prof. Budi Winarno, MA, PhD, 2011, Isu-Isu Global Kontemporer, penerbit Center for Academic Publishing Service, hal. 289. Dieter Zinnbauer, et.al., (eds.), 2009. Global Corruption Report 2009: Corruption and Private Sector, Cambridge University Press, Cambridge, UK, hal 82. Hal ini disebabkan karena negara akan hanya berkutat pada permasalahan sosial yang tidak pernah selesai yang diakibatkan oleh korupsi. Mohtar Mas? oed, 1994. Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Undang-Undang yang memayungi tersebut diantaranya adalah Undang-Undang Republik indonesia Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2
PEMBAHASAN Beranjak dari kewenangan Polri sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang dan dihadapkan pada fenomena tindak pidana korupsi yang semakin marak terjadi, dapat digambarkan bahwa Polri telah mengambil peran penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, sebagai manifestasi dari upaya Polri untuk menjawab tuntutan masyarakat terhadap role perception dan role expectation masyarakat terkait dengan kedudukan, tugas dan tanggung jawab Polri sebagai bagian dari sebuah sistem organisasi kenegaraan.8 Secara umum dapat digambarkan bahwa dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, peran utama Polri sebagai aparat penegak hukum adalah melakukan penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi. Peran Polri dalam melaksanakan penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi dilaksanakan melalui kegiatan pengelolaan informasi dan pengaduan masyarakat yang ditindaklanjuti dengan serangkaian proses penelitian penelaahan dan analisa untuk menentukan dapat atau tidaknya informasi dan pengaduan masyarakat tersebut ditindak lanjuti melalui serangkaian tindakan penyelidikan dan penyidikan sesuai ketentuan perundangan dan hukum acara yang berlaku bagi Polri. Berangkat dari hasil pengelolaan informasi dan pengaduan masyarakat tentang dugaan terjadinya tindak pidana korupsi, Polri melaksanakan serangkaian kegiatan penyelidikan untuk mencari dan menemukan peristiwa tindak pidana korupsi untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undangundang. Selanjutnya berdasarkan hasil penyelidikan yang mneyatakan adanya tindak pidana korupsi yang terjadi dan dapat ditindak lanjuti dnegan proses penyidikan, penyidik melaksanakan penyidikan sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku bagi penyidik Polri untuk mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.9 Dalam upaya penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi, peran Polri tidaklah sebatas melakukan penyelidikan dan penyidikan yang bermuara pada proses persidangan untuk mengirimkan pelaku tindak pidana korupsi ke dalam penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, namun lebih dari itu, upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi juga dilaksanakan untuk dapat secara maksimal menelusuri dan mengembalikan kerugian negara (asset tracing dan asset recovery) yang 8
9
Dougherty & Pritchard (1985) dalam Bauer (2003) yang menyampaikan bahwa ditinjau dari perilaku organisasi, peran merupakan salah satu komponen dari sistem sosial organisasi, selain norma dan budaya organisasi. Peran didefinisikan sebagai "éxpectation about appropriate behavior in a job position" Pasal 1 butir 5 dan butir 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
3
ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi yang terjadi. Peran Polri dalam melakukan asset tracing dan asset recovery selain bertujuan untuk memberikan kontribusi terhadap pemulihan kerugian keuangan negara yang ditimbulkan akibat terjadinya tindak pidana korupsi, juga dimaknai dalam perspektif untuk memberikan detterance effect baik terhadap para pelaku tindak pidana korupsi agar menjadi jera dan tidak mengulangi perbuatn serta tidak memiliki kesempatan untuk menikmati harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi yang dilakukannya, maupun dalam perspektif pencegahan tindak pidana korupsi dengan memberikan detterance effect bagi siapa pun yang sudah berniat atau mencoba-coba untuk melakukan tindak pidana korupsi untuk kemudian mengurungkan niatnya karena beratnya konsekwensi hukum yang harus ditanggung. Peran Polri dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi juga diwujudkan dalam kegiatan yang bersifat pencegahan terhadap terjadinya tindak pidana korupsi. Program pencegahan tindak pidana korupsi tersebut selain dilakukan terhadap pihak eksternal melalui berbagai kegiatan sosialisasi, penyuluhan, pelatihan dan lain-lain, juga dilakukan Polri terhadap lingkungan internal Polri. Peran pencegahan korupsi di lingkungan internal Polri di antaranya dilakukan melalui upaya membangun zona integritas di lingkungan Polri untuk mewujudkan wilayah bebas korupsi dan wilayah birokrasi bersih dan melayani di lingkungan Polri, proses pembinaan karier anggota Polri secara transparan, kepatuhan terhadap kewajiban melaporkan harta kekayaan dengan mengisi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) bagi pejabat dan anggota Polri yang diwajibkan. Program pencegahan tindak pidana korupsi juga dilaksanakan dengan mengedepankan Itwasum dan Propam sebagai leading sector pencegahan tindak pidana korupsi di lingkungan internal Polri. Selain itu, juga dilaksanakan sosialisasi Perkap Nomor 21 Tahun 2012 tentang Perlindungan Whistle Blower di lingkungan Polri serta sosialisasi dan implementasi Perkap Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri. Polri menyadari bahwa upaya pemberantasan korupsi tidak dapat dilakukan oleh Polri sendiri, namun merupakan tanggung jawab seluruh pihak, khususnya pihak atau instansi yang diberi amanah dan kewenangan untuk memberikan kontribusi aktif dalam upaya pemberantasan korupsi. Untuk itu, Polri juga berperan untuk dapat membangun kerjasama dan sinergi dengan berbagai pihak dalam melaksanakan berbagai upaya pemberantasan korupsi. Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilaksanakan oleh Polri dijabarkan dalam strategi pemberantasan korupsi sesuai dengan bidangnya. Di bidang pencegahan, selain strategi pencegahan tindak pidana korupsi di lingkungan eksternal dan internal sebagai mana diuraikan sebelumnya, Polri juga mengambil langkah strategi untuk mewujudkan 4
pelayanan prima bagi masyarakat dalam setiap sektor pelayanan Polri yang bersentuhan dengan masyarakat, misalnya dalam pelayanan penerbitan dan perpanjangan SIM, STNK dan BPKB, pelayanan penerbitan SKCK, pelayanan penerimaan laporan pengaduan masyarakat, pelayanan proses rekutmen anggota Polri, dan sektor-sektor pelayanan publik lainnya. Melalui pelayan prima yang diberikan Polri kepada masyarakat, diharapkan akan memebrikan kontribusi positif berupa tertutupnya peluang atau kesempatan untuk terjadinya tindak pidana korupsi yang akan mempengaruhi kualitas layanan yang diberikan. Melalui standar layanan prima yang ditetapkan, diharapkan seluruh anggota Polri akan memiliki pemahaman dan tanggungjawab yang besar untuk dapat memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat tanpa pamrih apa pun. Di bidang penegakan hukum, strategi pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilaksanakan Polri di antaranya melalui upaya pemberdayaan penyidik tindak pidana korupsi di tingkat Polda dan Polres melalui berbagai uapaya peningkatan kompetesnsi baik melaui kegiatan pendidikan dan pelatihan, sosialisasi, maupun asistensi dalam penanganan tindak pidana korupsi yang dilaksanakan di tingkat Polda dan Polres. Strategi pemberantasan korupsi di bidang penegakan hukum juga dilaksanakan melalui upaya penguatan organisasi penegakkan hukum terhadap tidnak pidana korupsi di lingkungan Polri, dalam hal ini khususnya penguatan Direktorat Tindak Pidana Korupsi di tingkat Mabes Polri dan penguatan Sub Direktorat Tindak Pidana Korupsi di tingkat Polda, perumusan dan pembaharuan terhadap standar operasi prosedur (SOP) dalam penangangan pengaduan masyarakat, penyelidikan dan penyidikan, sosialisasi dan implementasi Perkap No. 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan untuk menjamin seluruh proses penyidikan yang dilaksanakan dapat terlakasana secara profesional, transparan, akuntabel dan tuntas. Selain itu juga dilakukan upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas dukungan sarana dan prasarana yang diperlukan dalam upaya penegakan hukum baik berupa peralatan utama maupun peralatan khusus yang diperlukan. Dalam upaya meningkatkan kualitas penelusuran dan pengembalian aset (asset tracing and asset recovery) salah satu strategi yang digunakan oleh penyidik Polri adalah dengan menerapkan pasal-pasal tindak pidana pencucian uang untuk melacak dan mengembalikan kerugian keuangan negara dalam bentuk harta kekayaan yang diyakini diperoleh sebagai hasil tindak pidana korupsi. Strategi pemberantasan korupsi di bidang kerjasama dilaksanakan dengan membangun kerjasama dan sinergi antar instansi penegak hukum yang terkait dengan pemberantasan korupsi melalui pembuatan nota kesepahaman (MoU) dan koordinasi lintas sektoral antara Polri dengan KPK, Kejaksaan, BPK, BPKP, LKPP, Pengadilan, dan instansi terkait lainnya. Selain itu juga dibangun 5
kerjasama dan sinergi terkait penelusuran dan pengembalian aset (asset tracing and asset recovery) diantaranya melalui tim terpadu pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Upaya pemberantasan korupsi yang dilaksanakan oleh Polri tidak terlepas dari rangkaian rencana aksi nasional pemberantasan korupsi tahun 2010–2025 yang diantaranya meliputi melaksanakan upaya-upaya pencegahan, melaksanakan langkah-langkah strategis di bidang penindakan, melaksanakan harmonisasi dan penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pemberantasan korupsi dan sektor lainnya yang terkait, melaksanakan penyelamatan aset hasil tindak pidana korupsi, meningkatkan kerjasama internasional dalam rangka pemberantasan korupsi, serta meningkatkan koordinasi dalam rangka pelaporan pelakasanaan upaya pemberantasan korupsi. Hal ini sejalan dengan apa yang telah dirumuskan pemerintah dalam upaya penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia dengan bertumpu enam strategi yaitu: a) pencegahan; b) penindakan; c) harmonisasi peraturan perundang-undangan; d) kerja sama internasional dan penyelamatan aset tipikor; e) pendidikan dan budaya anti korupsi; dan f) mekanisme pelaporan pelaksanaan pemberantasan korupsi.10 Keenam strategi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua strategi utama yaitu strategi pencegahan dan strategi penindakan atau penegakan hukum. Dalam upaya pemberantasan korupsi di bidang penegakan hukum, dapat digambarkan hasil yang telah dicapai melalui jajaran Direktorat Tindak Pidana Korupsi pada tahun 2011 sampai dengan tahun berjalan yaitu tahun 2013 telah melakukan berbagai upaya dalam rangka pemberantasa tindak pidana korupsi dengan perincian sebagai berikut: a. pada tahun 2011, telah ditangani 766 perkara dimana dari jumlah tersebut sebanyak 526 kasus atau 69% diselesaikan penyidikannya dan dilanjutkan ke tingkat penuntutan. Nilai kerugian negara dari perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Polri pada tahun 2001 adalah berjumlah kurang lebih 2 trilyun Rupiah. Kemudian Polri juga telah melakukan recovery atau pengembalian kepada negara sebesar kurang lebih 260 milyar Rupiah atau sebesar 13% dari nilai kerugian negara; b. pada tahun 2012 perkara yang ditangani berjumlah 991 kasus dengan 657 kasus dinyatakan selesai dan dilanjutkan dengan penuntutannya oleh jaksa penuntut umum. Kerugian negara yang terjadi dari tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Polri pada tahun 2012 adalah sebesar kurang lebih 1,5 10
Peraturan Presiden Nomor 55 tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan Dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 Dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014. Pada tahun 2013 dijabarkan melalui Instruksi Presiden R.I Nomor 1 Tahun 2013, Tanggal 25 Januari 2013 Tentang Aksi Pencegahan Dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2013.
6
trilyun Rupiah dengan tingkat pengembalian atau recovery sebesar lebih kurang 16,5 % atau senilai 261 milyar Rupiah; c. pada tahun 2013, hingga akhir Oktober 2013, Polri telah melakukan penyidikan terhadap 1.305 perkara dimana dari perkara yang disidik tersebut sebanyak 726 perkara sudah dinyatakan selesai penyidikannya. Kemudian penyelamatan keuangan negara atau recovery yang sudah dilakukan berjumlah kurang lebih 907 milyar yang pada saatnya akan dikembalikan kepada negara setelah ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Beberapa kasus menonjol yang ditangani Polri dalam upaya pemberantasan korupsi diantaranya adalah penanganan kasus LC Fiktif BNI senilai 1,3 Trilyun Rupiah dan proses hukum terhadap Komjen Pol. Suyitno Landung, dkk; penangangan kasus Gayus Tambunan dan proses hukum terhadap Komjen Pol. Susno Duaji; penangkapan tersangka korupsi atas nama Nazarudin di Bogota; penyidikan kasus simulator SIM; penanganan kasus yang terkait dengan pejabat negara dan kepala daerah, penanganan kasus korupsi penanggulangan flu burung, dan lain-lain. PENUTUP Korupsi merupakan wabah berbahaya yang memiliki berbagai efek korosif pada masyarakat. Perbuatan tercela ini dan ancaman lainnya tidak saja terhadap perekonomian negara tetapi juga pada menurunnya keamanan dan ketertiban masyarakat. Di tengah ekspektasi masyarakat yang begitu tinggi, tugas aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi harus diakui tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Masifnya tindak korupsi yang terjadi baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten kota, bahkan hingga desa, memerlukan upaya sinergi diantara seluruh pemangku kepentingan khususnya lembaga penegak hukum agar dapat memberikan efek jera bagi para pelakunya. Oleh karena itu, metode dan inisiatif dalam rangka pencegahan dan penindakan yang bersifat sinergis dan bertujuan untuk memberantas tindak pidana korupsi melalui harus terus dikembangkan. Konsistensi dan komitmen seluruh unsur penegak hukum untuk bekerja sama dan bersinergi dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi akan menjadi kunci keberhasilan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Polri akan terus berupaya untuk meningkatkan penegakan hukum tindak pidana korupsi dan berkomitmen untuk melakukan pemberantasan korupsi secara sinergis dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai objektivitas dan etika kelembagaan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka perlu melakukan upaya revitalisasi kapasitas penegak hukum tindak pidana korupsi melalui sinergi antar penegak hukum, sehingga efektivitas pemberantasan korupsi
7
dapat dilakukan secara profesional, berkelanjutan dan sesuai aturan yang berlaku. DAFTAR PUSTAKA Mauro P. 1995. Corruption and Growth, Quarterly Journal of Economics Vol. 110 Winarno, Budi. 2011. Isu-Isu Global Kontemporer, penerbit Center for Academic Publishing Service Zinnbauer, Dieter, et.al., (eds.). 2009. Global Corruption Report 2009: Corruption and Private Sector, Cambridge University Press, The Edinburgh Building, Cambridge CB2 8RU, UK Mas? oed, Mohtar. 1994.. Politik, Birokrasi dan Pembangunan , Yogyakarta: Pustaka Pelajar http://jodenmot.wordpress.com/2012/12/29/teori-peran-pengertian-definisi/
8
PEMBERANTASAN KORUPSI TIDAK DAPAT BERJALAN SENDIRI1 Oleh: Basrief Arief2 PENDAHULUAN Trias Koruptika, istilah ini digunakan sebagai judul episode dari acara talkshow yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta pada tanggal 9 Oktober 2013 silam untuk menggambarkan betapa korupsi merupakan sebuah penyakit yang telah menjalar ke seluruh lapisan penyelenggara negara, baik kalangan legislatif, eksekutif maupun yudikatif, ketiga pilar yang seharusnya saling memainkan fungsi kontrol tersebut ternyata tidak kebal dari bahaya korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi bukan saja telah menimbulkan kerugian secara finansial dan menghambat proses pembangunan, namun lebih jauh daripada itu, korupsi juga telah mengancam fundamental kehidupan berbangsa dan bernegara kita, yang apabila tidak disikapi dengan serius, bukan tidak mungkin korupsi akan menjadi babak terakhir dari perjalanan kita sebagai sebuah bangsa yang bermartabat. Sebaliknya tidak dapat dipungkiri bahwa ekspektasi publik terhadap upaya pemberantasan korupsi pada akhirnya bermuara pada tuntutan akan kinerja sistem peradilan pidana untuk mengungkap, memproses dan memberikan keadilan bagi para pelaku korupsi. Kegeraman masyarakat terhadap korupsi dapatlah dimengerti mengingat korupsi telah secara nyata mengalihkan aliran dana negara yang seharusnya dapat dinikmati untuk perbaikan taraf hidup orang banyak kepada segelintir kalangan tertentu yang dapat berfoya-foya di tengah-tengah masih banyaknya rakyat yang menderita. Tidaklah mengherankan apabila dewasa ini pemberitaan media massa baik cetak dan elektronik senantiasa didominasi oleh maraknya berita tentang dugaan korupsi dan penanganan perkara korupsi yang perkembangan terbarunya selalu dinantikan oleh masyarakat. Di lain sisi, pengungkapan praktek korupsi dan proses penindakannya jelas merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi aparat penegak hukum. Tidak seperti kejahatan konvensional yang umumnya didorong oleh dorongan nafsu (passion) sehingga cenderung menimbulkan jejak kejahatan yang dapat dilihat orang lain, korupsi dilakukan dengan cara-cara yang lebih terstruktur rapi dan terselubung dengan memanfaatkan berbagai celah hukum dan perkembangan teknologi, sehingga sulit untuk dapat menentukan secara pasti modus-modus 1
2
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dengan tema “Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia” diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis ke-49 Universitas Negeri Semarang, bertempat di Gedung Auditorium UNNES, Kampus Sekaran, Gunung Pati-Semarang pada tanggal 26 Maret 2014. Jaksa Agung Republik Indonesia.
9
korupsi karena setiap saat selalu berkembang teknik baru untuk melakukan korupsi baik dari segi perencanaan, pelaksanaan maupun penghilangan jejak korupsi tersebut. Di lain sisi, keterbatasan anggaran, sumber daya dan termasuk juga perbedaan mekanisme kerja yang diatur dalam Undang-Undang, jelas berpengaruh pada kinerja penegak hukum di bidang pemberantasan korupsi. Dari berbagai faktor tersebut maka harus diakui bahwa statistik penanganan perkara korupsi akan selalu diwarnai oleh “the dark number” yaitu perbuatan korupsi yang tidak terungkap oleh proses penegakan hukum. Permasalahan penting lainnya yang dihadapi oleh penegak hukum dalam upaya pemberantasan korupsi adalah justru komitmen untuk memotong penyebaran korupsi di kalangan aparatur penegak hukum sendiri, bahkan dapat dikatakan bahwa lemahnya wibawa penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi lebih disebabkan karena aparatur yang seharusnya menegakkan hukum ternyata tidak menghayati secara konsisten nilai yang hendak ditegakkannya. Oleh karena itulah, mengutip Ahmad Ali (2081) yang mengatakan bahwa sepanjang sapu kotor belum dibersihkan, maka setiap pembicaraan tentang keadilan akan menjadi omong kosong belaka (as long as the dirty broom is not cleaned, any talk of justice will be empty).3 Makalah berikut ini akan mencoba membahas mengenai langkahlangkah strategis yang dilakukan oleh Kejaksaan dalam menghadapi kedua permasalahan pokok di atas, yaitu mengimbangi keterbatasan sistem peradilan pidana dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi serta upaya memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap integritas dan komitmen Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi. KETERBATASAN SISTEM PERADILAN PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM Menurut Satjipto Rahardjo, suasana yang tertib merupakan syarat pokok bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.4 Untuk mempertahankan keberadaan masyarakat, maka hukum menempatkan diri sebagai penjaga dan pengatur ketertiban dalam kehidupan bersama dengan membuat berbagai aturan untuk ditaati oleh seluruh anggota masyarakat termasuk juga sanksi bagi pelanggarnya. Tanpa ketertiban yang dijamin oleh hukum, orang dapat berlaku sekehendak hati untuk mewujudkan keinginankeinginannya tanpa memperdulikan hak-hak orang lain. Dalam kondisi tersebut, maka entitas masyarakat sebagai pergaulan hidup manusia yang 3
4
Ahmad Ali, Keterpurukan hukum di Indonesia, Penyebab dan solusinya, (Jakarta; Ghalia Indonesia: 2001). Hal.74 Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, (Jakarta: Uki Press, 2006) hal.98 10
teratur akan runtuh dan sebagai gantinya timbul kekacauan yang memungkinkan manusia yang satu untuk bebas mengeksploitasi manusia yang lain. Dalam konteks hukum pidana, maka upaya menciptakan ketertiban dalam masyarakat diwujudkan melalui bekerjanya sistem peradilan pidana untuk menanggulangi masalah kejahatan, yaitu untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat “diselesaikan” dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputuskan bersalah serta mendapat pidana5. Apabila dihubungkan dengan pandangan Aristoteles, maka penegakan hukum yang dilakukan melalui sistem peradilan pidana dapat dipersamakan sebagai proses menciptakan keadilan korektif yaitu pembetulan terhadap sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan. Jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Keadilan korektif bertugas membangun kembali keseimbangan di dalam masyarakat yang terganggu akibat pelanggaran hukum. Namun demikian upaya untuk menanggulangi kejahatan melalui sistem peradilan pidana juga mengandung permasalahan tersendiri. Dalam rangka memberikan jaminan hukum bagi setiap orang untuk terhindar dari tuntutan atau hukum yang bertentangan dengan hak azasi manusia, maka upaya aparatur penegak hukum dalam mengungkap kejahatan dibatasi pada cara dan tindakan serta mekanisme yang diatur dengan tegas oleh undangundang.6 Pembatasan kewenangan negara dalam hukum pidana tidak lain dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan negara untuk menanggulangi kejahatan dan kepentingan perlindungan terhadap hakhak individu warga negara yang terlibat dalam proses tersebut. Sebagai konsekuensi logis dari pandangan tersebut, maka proses penegakan hukum tidak lagi dapat dipandang sebagai sebuah mesin pabrik yang bekerja dengan kecepatan tinggi untuk sebanyak-banyaknya memproses setiap laporan yang masuk menjadi “barang jadi” yaitu dalam hal ini dihukumnya mereka yang terbukti bersalah. Faktor kuantitas output pada akhirnya harus dikorbankan 5
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana (Kumpulan Karangan, Buku Ketiga), Edisi Pertama Cetakan Ketujuh, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian hukum Universitas Indonesia, 2007).Hal 84
6
Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori dan Azas Umum Hukum Acara Pidana, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1988). Hal 57
11
demi mewujudkan suatu proses hukum yang adil (due process of law) dengan pengadilan yang bebas, yang juga tidak kalah pentingnya dalam upaya menciptakan rasa aman bagi masyarakat.7 Walaupun korupsi merupakan kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa, namun upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi tidak dapat mengabaikan model “due process of law” sebagaimana dijelaskan di atas. Penegakan hukum yang dilakukan secara serampangan dan menghalalkan segala cara tanpa mengindahkan batasan-batasan yang diatur oleh hukum tentu saja tidak akan menghasilkan efek jera bagi pelakunya. Memang, pada awalnya penegak hukum akan menuai pujian atas keberhasilannya dalam mengungkap perbuatan dan menghukum pelaku korupsi tersebut, namun perlakuan yang tidak adil yang dialami seorang tersangka atau terdakwa selama proses penegakan hukum justru dapat menyebabkan mereka menaruh rasa dendam terhadap penegakan hukum dan bukan menyadari serta menyesali perbuatannya.8 Dalam kondisi tersebut, maka seluruh energi yang telah dikeluarkan dalam rangka penegakan hukum akan menjadi sia-sia karena tujuan sebenarnya dari keseluruhan proses peradilan pidana yaitu menyadarkan pelaku akan kejahatannya sehingga tidak akan mengulanginya lagi, tidak akan pernah tercapai. Di bidang penanganan perkara tindak pidana korupsi, selama tahun 2013 Kejaksaan berhasil melakukan penyidikan sebanyak 1.646 perkara dan penuntutan sebanyak 1.964 (dengan rincian, 1.243 perkara penyidikannya dilakukan oleh Kejaksaan dan 770 perkara penyidikannya oleh Penyidik Polri). Kinerja tahun 2013 tersebut menunjukkan peningkatan dalam optimalisasi penanganan perkara korupsi dari tahun sebelumnya yaitu penyidikan sebanyak 1.401 dan penuntutan sebanyak 1.501 perkara. Capaian di bidang penanganan perkara tersebut juga sejalan dengan peningkatan jumlah keuangan negara yang berhasil diselamatkan pada tahun 2013 yaitu sebesar sebesar Rp.403.102.000.215 dan USD 500.000,- (empat ratus tiga milyar seratus dua juta dua ratus lima belas rupiah dan lima ratus ribu dollar Amerikat Serikat) dari tahun 2012 yaitu sebesar Rp.302.609.167.229 dan USD 500.000 (tiga ratus dua milyar enam ratus sembilan juta seratus enam puluh tujuh ribu dua ratus dua puluh sembilan 7
Mardjono Reksodiputro, Op. Cit., hal 34-35.
8
Dalam konteks berbeda, Prof. JE Sahetapy, mengatakan bahwa apabila pidana itu dijatuhkan dengan tujuan semata-mata hanya untuk membalas dan menakutkan, maka belum pasti tujuan ini akan tercapai, karena dalam diri si terdakwa belum tentu ditimbulkan rasa bersalah atau menyesal, mungkin pula sebaliknya, bahkan ia menaruh dendam. Lihat: JE Sahetapy, ancaman pidana mati terhadap pembunuhan berencana (Bandung: Alumni, 1979) hal.149
12
rupiah dan lima ratus ribu dollar Amerikat Serikat). Pada awal tahun 2014, Kejaksaan mulai melakukan eksekusi terhadap kewajiban PT Asian Agri Group yang berdasarkan Putusan MA No 2239.K/PID.SUS/2012 tanggal 18 Desember 2012 a.n., terpidana Suwir Laut alias Liu Che Sui alias Atak, diperintahkan untuk membayar syarat khusus 2 kali pajak terutang sejumlah Rp. 2.519.955.391.304 (dua trilyun lima ratus sembilan belas milyar sembilan ratus lima puluh lima juta tiga ratus sembilan puluh satu ribu tiga ratus empat rupiah), yang telah dilaksanakan secara bertahap. Tabel 1 Capaian Kinerja Kejaksaan di Bidang Penanganan Tindak Pidana Korupsi Tahun 2010 - 2013 Tahun
Jumlah Penyidikan
Keuangan Negara Yang Diselamatkan
2010
2.315
Rp.354 Milyar
2011
1.624
Rp.198 Milyar dan USD 6.760,69
2012
1.401
Rp.302,6 Milyar dan USD 500 Ribu
2013
1.646
Rp 403 Milyar dan USD 500 Ribu
Capaian kinerja sebagaimana tergambar di atas merupakan kerja keras bersama dari seluruh jajaran Kejaksaan yang tersebar di 31 Kejaksaan Tinggi dan 403 Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia, baik para Jaksa yang bertugas di Kota Besar maupun mereka yang tersebar di berbagai pelosok tanah air tercinta. Dengan berbagai keterbatasan yang dihadapi, baik letak geografis, sarana dan prasana maupun tentu saja faktor kesejahteraan yang belum memadai, tidak membuat mereka menjadi mengeluh dan mengabaikan tugasnya. Kesemuanya ini dilakukan dengan satu tekad bersama yaitu menunjukkan bahwa Kejaksaan terus berbenah diri untuk meraih kembali kepercayaan masyarakat terhadap Korps Adhyaksa, walaupun terkesan jauh dari hingar-bingar pemberitaan dari media massa. Bagi Kejaksaan, upaya penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi memang bukanlah sebuah upaya pencitraan yang harus selalu ditandai dengan seberapa banyak perkara yang berhasil ditangani atau seberapa heboh gaung pemberitaannya, namun lebih jauh dari itu, penanganan perkara korupsi juga harus mampu memberikan keadilan baik bagi negara, masyarakat maupun tersangka/terdakwa, sehingga pada akhirnya hasil dari penegakan hukum tersebut dapat benar-benar memberikan manfaat yaitu secara umum, mencegah masyarakat untuk melakukan perbuatan korupsi dan secara khusus, menyadarkan pelaku akan kesalahannya sehingga ia tidak mengulangi perbuatannya.
13
Oleh karena itu maka dalam menyikapi RUU KUHAP yang saat ini sedang di bahas di parlemen, Kejaksaan memegang prinsip “yang terbaik bagi bangsa, adalah juga yang terbaik bagi korps Adhyaksa”. Walaupun harus diakui bahwa paradigma yang melandasi penyusunan RUU KUHAP berbasis pada upaya untuk memberdayakan kontrol yang lebih efektif terhadap proses peradilan pidana dalam rangka menjamin perlindungan HAM secara menyeluruh, sehingga tentunya merupakan tantangan besar bagi kinerja jajaran penegak hukum, namun komitmen nasional yang sudah lama digagas dan dicita-citakan oleh segenap bangsa Indonesia tersebut haruslah dijawab dengan sikap optimisme bahwa kita mampu untuk mewujudkan sistem peradilan pidana yang lebih bermartabat dan prestasi penegakan hukum yang sebenarnya bukanlah berlindung di balik berbagai kemudahan yang diberikan oleh perundang-undangan, melainkan justru pada sikap profesionalisme dan akuntabilitas dari setiap pelaksanaan tugasnya. Sikap tunduk pada kemauan seluruh bangsa Indonesia tersebut sebelumnya juga telah ditunjukkan oleh Kejaksaan pada pembahasan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, walaupun harus diakui bahwa berlakunya KUHAP telah secara nyata menghilangkan kewenangan Kejaksaan di bidang penyidikan perkara tindak pidana umum, namun karena saat itu hal tersebut dipandang yang terbaik bagi perbaikan sistem penegakan hukum, Kejaksaan patuh melaksanakan dan sampai dengan saat ini secara konsisten memegang teguh ketentuan KUHAP dalam pelaksanaan tugasnya. Sebaliknya, upaya untuk menekan tingkat korupsi tidak dapat bertumpu hanya pada penggunaan sarana pidana semata-semata, melainkan merupakan sinergi dari berbagai aspek yang bekerja secara terpadu. Menurut Speville, seorang tokoh dari ICAC (Independent Commision Against Corruption) Hongkong, pada dasarnya terdapat 7 (tujuh) elemen pokok yang harus ada dalam usaha pemberantasan korupsi, yaitu:9 1. Kemauan politik atau political will untuk memberantas korupsi. 2. Hukum atau peraturan perundang-undangan yang tangguh. 3. Strategi. Pemberantasan korupsi tidak dapat dilakukan secara acak-acakan, tetapi memerlukan strategi yang rapi didasarkan pada sikap yang serius dan mendasar meliputi penindakan, pencegahan dan pendidikan masyarakat. 4. Koordinasi. Dengan koordinasi diharapkan semua elemen/kekuatan dipadukan menjadi resultante kekuatan yang optimal. Tidak terjadi saling mengurangi atau menghilangkan satu sama lain. Dengan koordinasi juga bisa
9
Said Zainal Abidin, Corruptor? s Fight Back, jurnal “Negarawan” Volume 29 Tahun 2013, kementrian Sekretariat Negara RI. Hal. 99-113
14
dikurangi unsur-unsur kelemahan yang mungkin ada pada setiap elemen strategi. 5. Sumber daya atau resources yang meliputi semua faktor pendukung (supporting factors) yang ada seperti kondisi sumber daya manusia, keuangan, logistik, informasi dan legitimasi atau aturan penjenjangan dalam lingkungan organisasi. 6. Partisipasi atau dukungan masyarakat. 7. Sabar. Pemberantasan korupsi membutuhkan kesabaran, baik dari penegak hukum dan dari masyarakat. Korupsi tidak dapat diberantas dalam waktu singkat. Tidak dalam satu dua tahun atau satu dua dekade, bahkan tidak dalam satu generasi. Pemberantasan korupsi harus menjadi budaya yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan rakyat secara berkelanjutan. Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa berbagai keterbatasan yang terdapat dalam sistem peradilan pidana dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi harus dapat diimbangi dengan strategi yang efektif di bidang pencegahan korupsi dan pemberdayaan masyarakat. Kesadaran akan pentingnya upaya pencegahan korupsi tersebut tergambar dalam ketentuan Pasal 5 Konvensi Anti Korupsi PBB (United Nation Convention Againts Corruption, atau disingkat UNCAC) Tahun 2003 yang menyatakan bahwa setiap negara wajib berusaha keras membangun dan meningkatkan praktik - praktik yang efektif yang ditujukan pada pencegahan korupsi yang diwujudkan melalui kebijakan anti korupsi yang terkoordinasi secara efektif, yang meningkatkan keikutsertaan masyarakat dan mencerminkan prinsip-prinsip supremasi hukum, manajemen yang tepat dari urusan publik dan kekayaan publik, integritas, transparansi dan akuntabilitas. Menurut hemat saya, beberapa keuntungan yang diperoleh dari upaya mengembangkan strategi pencegahan korupsi yang efektif yaitu: a. Tidak seperti upaya penindakan yang caranya dibatasi oleh undang-undang, maka upaya pencegahan korupsi dapat dikembangkan berbagai inovasi baru yang tidak terbatas, untuk memperkecil peluang dan celah bagi tumbuhnya praktik korupsi serta meningkatkan kesadaran masyarakat untuk anti korupsi sejak dini. b. Dengan mencegah korupsi, maka keuangan negara dapat secara utuh diselamatkan dan digunakan tepat sasaran sesuai peruntukannya. Hal ini tentunya berbeda dengan penyelamatan keuangan negara melalui instrumen pidana, yang tidak dapat diharapkan secara utuh memulihkan keuangan negara yang hilang akibat tindak pidana korupsi. c. Karena berpijak pada upaya menumbuhkan kesadaran untuk menjauhi korupsi, maka dengan upaya pencegahan dapat diminimalisir timbulnya dampak negatif dari penegakan hukum yaitu timbulnya dendam pada diri 15
tersangka/terdakwa maupun keluarganya terhadap penegak hukum itu sendiri. Menyadari pentingnya aspek pencegahan korupsi dan pemberdayaan masyarakat tersebut, maka melalui fungsi peningkatan kesadaran hukum masyarakat, Kejaksaan telah secara aktif melakukan berbagai kegiatan penyuluhan hukum dan penerangan hukum dalam rangka menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat menjauhi tindak pidana korupsi. Harapan dari berbagai kegiatan tersebut tentunya adalah agar perlawanan terhadap korupsi bukan saja merupakan domain penegak hukum, melainkan justru tumbuh sebagai kesadaran bersama seluruh lapisan masyarakat. Upaya Kejaksaan RI dan Karang Taruna Nasional melalui pencanangan kantin kejujuran pada awal 2007, telah menjadi inspirasi tumbuhnya lebih dari 1.000 kantin kejujuran di berbagai sekolah, kampus bahkan instansi pemerintah dan swasta di seluruh Indonesia. Walaupun seiring dengan berjalannya waktu tidak dapat dihindari seleksi alam terhadap keberadaan kantin kejujuran tersebut, namun fenomena ini mengindikasikan bahwa kesadaran anti korupsi harus tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Hal yang sama baru-baru ini ditunjukkan oleh Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan melalui Gerakan Generasi Jujur Sulawesi Selatan yang pencanangannya dilakukan oleh Jaksa Agung RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di Makasar pada tanggal 10 Maret 2014. Saya percaya bahwa geliat dan gairah untuk melawan korupsi juga kuat ditunjukkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan jajarannya di bawah kepemimpinan Bapak Ganjar Pranowo. Dengan kesatupaduan antara masyarakat, dunia pendidikan, pemerintah dan jajaran penegak hukum, maka agenda pemberantasan korupsi akan dapat kita percepat sehingga mudah-mudahan permasalahan ini tidak akan menjadi beban pembangunan yang harus dihadapi oleh anak dan cucu kita di masa yang akan datang. MEMULIHKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT TERHADAP KOMITMEN KEJAKSAAN Tidak dapat dipungkiri bahwa rendahnya kepercayaan masyarakat merupakan permasalahan serius yang dihadapi penegakan hukum kita saat ini. Menurut hasil survei yang dirilis oleh Lingkaran Survei Indonesia, dalam kurun waktu 3 tahun terakhir persentase tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap penegakan hukum terus mengalami kenaikan yaitu 37,4 persen dari total responden pada Januari 2010, kemudian pada Oktober 2010 naik menjadi 41,2
16
persen, pada Oktober 2012 mencapai 50,3 persen dan yang terakhir April 2013 sebanyak 56,0 persen dari total responden.10 Kejaksaan menyadari bahwa kepercayaan dari masyarakat merupakan modal terpenting dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Oleh karena itulah, maka dalam rangka meraih kembali kepercayaan masyarakat yang sempat meredup terhadap institusi Kejaksaan, sejak Tahun 2008 Kejaksaan telah secara progresif menggulirkan program Pembaruan Kejaksaan yang dalam salah satu program percepatannya (quick wins) adalah perluasan akses informasi publik terhadap kinerja Kejaksaan yang antara lain diwujudkan dengan re-design dan up-date Website Kejaksaan sebagai media informasi penanganan perkara, termasuk perkembangan mengenai perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan. Komitmen tersebut tidak lain merupakan bentuk akuntabilitas Kejaksaan terhadap rakyat selaku pemangku kepentingan dari pelaksanaan tugas penegakan hukum. Patut disyukuri bahwa pada bulan Desember 2013, kerja keras dan komitmen untuk membangun budaya transparansi di lingkungan Kejaksaan mulai membuahkan hasil dengan keberhasilan Kejaksaan meraih peringkat V di bidang Keterbukaan Informasi Publik yang penghargaannya diberikan langsung oleh Wakil Presiden Boediono di Istana Wakil Presiden, Jakarta. Capaian yang sama juga ditunjukkan di bidang akuntabliitas pengelolaan anggaran yaitu dengan diperolehnya predikat Wajar Tanpa Pengecualian Dengan Paragraf Penjelasan (WTP-DPP) atas hasil pemeriksaan BPK terhadap laporan keuangan Kejaksaan selama dua tahun berturut-turut yaitu 2011 dan 2012. Harus diakui bahwa upaya untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum tidaklah mudah. Dalam survei Global Corruption Barometer yang dirilis oleh Transparency Internasional, pada tahun 2013 Kejaksaan masih dipersepsikan sebagai salah satu lembaga yang akrab dengan korupsi. Bersama-sama dengan pengadilan, Kejaksaan berada di posisi ketiga dengan skala 4,4 setelah parlemen (4,5) dan Kepolisian (4,5).11 Masih rendahnya kepercayaan publik terhadap Kejaksaan tersebut sedkit banyak disebabkan karena masih saja terdapat sejumlah oknum aparatur
10
Kantor Berita Radio Nasional, Kepercayaan Masyarakat Terhadap Penegakan Hukum Semakin Rendah, http://rri.co.id/index.php/editorial/105/ Kepercayaan - Masyarakat - Terhadap - Penegakan Hukum - Semakin Rendah#.UxU4t9KQZ5o
11
Persepsi lembaga yang rentan terhadap korupsi digambarkan dalam bentuk skala 0-5, semakin besar skala yang diperoleh oleh sebuah lembaga, maka lembaga tersebut dipersepsikan semakin akrab dengan korupsi. Sumber: http://www.ti.or.id/index.php/news/2013/12/04/kpk-dongkrak-indekspersepsi-korupsi-indonesia
17
Kejaksaan yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan zaman dan masih menggunakan paradigma lama, yang ditandai dengan sikap arogansi kekuasaan, perilaku tidak terpuji dan termasuk juga melakukan berbagai praktik korupsi seperti menerima suap terkait dengan pelaksanaan tugasnya. Pada penghujung tahun 2013, integritas Kejaksaan kembali diuji dengan tertangkap tangannya oknum Kepala Kejaksaan Negeri Praya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atas dugaan menerima suap dalam penanganan perkara. Kejadian tersebut harus diakui merupakan pukulan telak bagi Kejaksaan di tengah berbagai upaya perbaikan yang dilakukan. Untuk mencegah terulang kembalinya kejadian tersebut, Kejaksaan telah mengambil berbagai langkah strategis untuk terus menyempurnakan mekanisme pengawasan di lingkungan Kejaksaan, yang salah satunya diwujudkan dengan membentuk suatu Unit Perlindungan Pelapor (UPP) yang diketuai oleh Wakil Jaksa Agung di tingkat Kejaksaan Agung dan Kepala Kejaksaan Tinggi untuk Kejaksaan di daerah. Kehadiran unit kerja ini bermaksud sebagai hotline centre pegawai untuk melaporkan segala jenis pelanggaran hukum dan etika serta pelanggaran lain yang terjadi dilingkungan kejaksaan. Bahkan pada awal tahun 2014 jajaran bidang Pengawasan selaku penyidik tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh lingkungan intern Kejaksaan telah menyidik beberapa pegawai Kejaksaan termasuk oknum Kepala Kejaksaan Negeri yang diduga terlibat dalam praktek korupsi, yang sampai dengan saat ini proses penanganan perkaranya tengah berjalan. Hal tersebut dilakukan sebagai wujud komitmen Kejaksaan untuk tidak segan-segan dan tidak pandang bulu dalam menindak aparaturnya yang terlibat praktik korupsi. Upaya untuk terus melakukan “bersih-bersih” di dalam tubuh Kejaksaan tentunya harus pula didukung oleh masyarakat dalam bentuk kontrol eksternal terhadap kinerja dan perilaku segenap jajaran Kejaksaan baik di pusat dan di daerah. PENUTUP Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa pemberantasan korupsi tidak dapat berjalan sendiri-sendiri dan secara parsial, melainkan merupakan sebuah sistem yang mencakup upaya edukatif, preventif dan baru kemudian represif sebagai jaring pengaman terakhir (ultimun remedium). Sebaliknya harus disadari bahkan hukum pidana bukanlah “panacea” atau obat yang paling mujarab dan serba bisa untuk memberantas korupsi. Mengharapkan hilangnya korupsi dengan hanya mengandalkan penanganan perkara sebanyak-banyaknya atau menghukum seberat-beratnya, maka hanya akan membawa kita ke alam pikiran sempit yang justru dapat menimbulkan tirani-tirani baru dengan dalih penegakan hukum. Oleh karena itulah, maka tidak ada jalan lain, “grand design” pemberantasan k orupsi harus dimulai dari 18
upaya membangun kesadaran masyarakat untuk anti korupsi. Hal ini tidak dapat dilakukan sendiri oleh penegak hukum, melainkan tanggung jawab semua elemen bangsa termasuk dunia Kampus. Tri Dharma Perguruan Tinggi harus dimaknai bahwa tanggung jawab Civitas Akademika tidaklah sebatas menimba ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya namun harus dapat menjadi “problem solver” terhadap berbagai permasalahan nyata di tengah - tengah masyarakat termasuk upaya kita dalam membangun sistem pencegahan korupsi yang efektif. Pada akhirnya, saya mengucapkan selamat memperingati Dies Natalis ke-49 bagi segenap keluarga besar Universitas Negeri Semarang. Semoga UNNES dapat terus membentuk insan-insan intelektual bangsa yang bukan saja memiliki wawasan keilmuan yang mumpuni namun juga dilengkapi dengan kualitas akhlak yang terpuji sehingga siap untuk menerima tongkat estafet kepemimpinan bangsa di masa depan. Secara khusus bagi Ikatan Alumni UNNES, saya berpesan, “keep on the good work”, perbaikan harus kita mulai dari sekarang dan dimulai dari diri kita sendiri sebagai pendidik dan pencetak cendikia bangsa.
19
PERAN DAN KOORDINASI ANTAR LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN MAFIA HUKUM DI INDONESIA Oleh Wahyu Widodo Abstrak Sistem peradilan di Indonesia telah banyak dimasuki oleh mafia. Mafia hukum bisa bergerak sesuka hati karena memang sistem hukum Indonesia lemah. Pemberantasan mafia hukum di Indonesia juga seperti garang di awal, melempem di akhir. Pemberantasan mafia hukum masih menjadi agenda utama pemerintah. Untuk mendukung pelaksanaan ini, penguatan koordinasi antara para penegak hukum dan instansi pemerintah mutlak diperlukan. Penguatan koordinasi tersebut bisa dilakukan melalui kerja sama dan saling berkomunikasi antara instansi, agar pemberantasan mafia hukum tidak berujung sia-sia. Kata kunci: peran dan koordinasi, lembaga penegak hukum, pemberantasan mafia hukum PENDAHULUAN Salah satu tantangan dalam pemberantasan korupsi adalah pemberantasan mafia hukum atau praktik korupsi di lembaga peradilan. Berbagai kasus yang terungkap pasca-kriminalisasi terhadap pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan bagaimana mafia hukum masih menjadi persoalan yang parah di institusi kejaksaan dan kepolisian. Mulai dari kasus besar seperti rekening gendut polisi dan kasus Gayus Tambunan hingga kasus-kasus kecil kontroversial: kasus Nenek Minah yang didakwa mencuri kakao, kasus Prita yang diadili karena keluhan pelayanan rumah sakit dan berbagai kasus lainnya, sesungguhnya adalah puncak dari gunung es mafia hukum. Korupsi telah menyandera institusi penegak hukum sehingga dari kasus-kasus tersebut tampak pelakunya tersebar, mulai dari pejabat tinggi hingga Jaksa dan Polisi rendahan. Kasus-kasus itu menunjukkan bagaimana korupsi telah merasuk semakin dalam ke struktur kepolisian dan kejaksaan sehingga setiap upaya memberantasnya tidak mudah untuk dilakukan. Presiden telah membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Namun, satgas ini tak memiliki wewenang yang cukup sehingga pada akhirnya dalam pelaksanaannya kembali kepada kejaksaan dan kepolisian. Dalam beberapa kasus satgas tak menemui hambatan, tetapi dalam kasus-kasus besar yang disorot publik, seperti kasus Gayus dan rekening gendut Polisi, serta dalam kasus yang terkait dengan petinggi di dua institusi tersebut, tampak satgas tidak berdaya. Sulitnya memberantas mafia hukum juga bisa dilihat dari kinerja KPK. Puluhan anggota dan mantan anggota DPR telah dipenjarakan dalam kasus
21
korupsi, demikian juga kepala daerah. Pejabat tinggi negara pun tidak bisa lepas dari penindakan oleh KPK, bahkan kasus korupsi yang melibatkan sejumlah mantan menteri berhasil dituntaskan oleh KPK. Akan tetapi, dalam daftar terpidana KPK hanya ada satu jaksa, yakni Urip Tri Gunawan yang dipenjara karena suap Arthalyta Suryani, dan satu polisi AKP Suparman yang diadili karena melakukan pemerasan dalam kasus PT Industri Sandang saat bertugas di KPK. Pemberantasan mafia hukum harus menjadi agenda utama pemerintah selain melakukan pemberantasan korupsi. Untuk mendukung pelaksanaan ini, penguatan koordinasi antara para penegak hukum dan instansi pemerintah mutlak diperlukan. Penguatan koordinasi tersebut bisa dilakukan melalui kerja sama dan saling berkomunikasi antara instansi, agar pemberantasan mafia hukum tidak berujung sia-sia. Dalam pemberantasan mafia hukum, diperlukan koordinasi dan dukungan antar lembaga. Jika hal ini tidak dilakukan, pemberantasan mafia hukum hanya jadi angan-angan. Dalam praktik penegakan hukum, bukan hal aneh apabila antara institusi penegak hukum harus “berhadapan” dengan institusi lainnya. Sebagai contoh aparat Polri harus “berhadapan” dengan aparat penegak hukum lainnya dalam proses penyidikan suatu perkara pidana. Misalnya Polri dengan kejaksaan, dalam menangani kasus korupsi, Polri dengan TNI Angkatan Laut dalam menangani kasus pidana di wilayah perairan, serta Polri dengan PPNS, untuk penanganan kasus tindak pidana khusus, seperti kasus Hak atas Kekayaan Intelektual, Kehutanan, Kepabeanan, dan sebagainya. Kondisi disharmonis antara aparat penyidik Polri dengan penyidik pada institusi lain, dapat dipastikan akan memunculkan persepsi negatif terkait kinerja lembaga-lembaga tersebut, yang pada gilirannya akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum (termasuk aparat penegak hukum). Padahal, peran aparatur penegak hukum dalam konteks penegakan hukum menempati posisi yang sangat strategis dan menentukan menuju terciptanya supremasi hukum. Relasi yang baik antarlembaga negara diperlukan terutama dalam mengemban kepentingan publik. Namun, sejak era reformasi, praktik relasi yang baik antarlembaga Negara itu kerap disharmoni. Publik menilai, gesekan antarlembaga itu terutama terjadi karena ego sektoral setiap lembaga. Kemunculan lembaga-lembaga baru Negara pada era reformasi menandai pergeseran sistem ketatanegaraan Indonesia dari model otoritarian menjadi cenderung demokratis. Namun, dalam iklim yang terbuka tersebut relasi antarlembaga justru mengalami hambatan serius dalam mengemban kepentingan publik. Hambatan muncul ketika terjadi tumpang tindih dalam tugas dan wewenang setiap lembaga.
22
Hubungan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri menjadi potret yang aktual. Pengungkapan kasus suap pengadaan simulator kendaraan bermotor di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri, akhir Juli lalu, telah menempatkan KPK dan Polri sebagai rival satu sama lain untuk menyelesaikan kasus ini. Kondisi yang sama terjadi pada 2009 ketika muncul kasus ”cicak versus buaya” yang sempat membuat hubungan kedua lembaga ini tegang. Jajak pendapat Kompas di 12 kota yang diselenggarakan pekan lalu mengungkapkan kondisi yang masih memprihatinkan dalam relasi antarlembaga negara ini. Enam dari 10 responden jajak pendapat menilai, dari lima lembaga Negara, yaitu Polri, Kejaksaan, Mahkamah Agung (MA), KPK, dan DPR, hubungan antara KPK dan Polri adalah yang terburuk. Relasi terburuk kedua terjadi antara KPK dan DPR. Terdapat 64,2 persen responden yang menyatakan hal tersebut.1 Hubungan antara KPK dan DPR tampil secara kasatmata ketika KPK mengajukan usulan untuk membangun gedung baru. Meskipun usulan pembangunan gedung baru itu dinilai banyak kalangan sesuai kebutuhan, DPR belum menyetujuinya dengan alasan negara sedang menghemat anggaran. Dalam realitasnya, disharmoni relasi antarlembaga negara juga terjadi pada lembaga negara lainnya. Hubungan MA dengan Komisi Yudisial (KY) termasuk di dalamnya. Konflik keduanya dipicu oleh usulan KY untuk menyeleksi ulang Hakim Agung di MA. Usulan ini didasari oleh penilaian KY bahwa Hakim Agung punya andil dalam maraknya praktik mafia peradilan. Puncak dari perseteruan tersebut adalah MA melaporkan salah seorang komisioner KY, Suparman Marzuki, ke Bareskrim Polri dengan tuduhan penghinaan. Hubungan antarlembaga negara merupakan hubungan kerja sama antarinstitusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara yang meliputi fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Menurut Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran Sri Soemantri, lembaga negara harus membentuk suatu kesatuan proses yang saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan fungsi negara (actual governmental process). Mencuatnya konflik antarlembaga negara itu mencerminkan adanya benturan otoritas antarlembaga. Akibatnya, alih-alih mendorong lembaga negara menciptakan satu kesatuan proses dalam rangka penyelenggaraan fungsi negara, lembaga negara justru menjadi penghambat terlaksananya fungsi tersebut. Merebaknya konflik antarlembaga negara membuka mata publik tentang pertarungan kepentingan dalam kaitan dengan penyelenggaraan
1
www.kompas.com diunduh 9 Desember 2013
23
negara. Setiap lembaga berusaha mempertahankan bukan hanya kepentingan pribadi, melainkan juga kepentingan institusi. Kasus Korlantas merupakan kasus pertama yang disajikan kepada publik terkait praktik korupsi di Polri. Meskipun sebelumnya pernah mengemukakan upaya membongkar dugaan ”rekening gendut” sejumlah perwira tinggi Polri, kasus itu tak terdengar. Langkah Polri melakukan penyidikan terhadap kasus yang sama patut diduga untuk melindungi kepentingan institusinya. Kondisi disharmonis antar aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus pidana, khususnya mafia hukum sejatinya telah memperoleh perhatian utama.Masalah harmonisasi penegakan hukum antar instutusi penegak hukum menjadi salah satu issu sentral yang memerlukan pembenahan segera. Oleh karena itu, memandang pentingnya terwujudnya koordinasi yang sinergis antar aparat penegak hukum, khususnya dalam kerangka penegakan hukum kasus mafia hukum, sebagai salah satu wujud membangun kebersamaan/kemitraan (partnership building), maka perlu disusun strategi guna peningkatan koordinasi antar instansi penegak hukum. PEMBAHASAN Peran Dan Koordinasi Antar Lembaga Penegak Hukum Dalam Rangka Pemberantasan Mafia Hukum Di Indonesia Sistem peradilan di Indonesia telah banyak dimasuki oleh mafia. Dalam menjalankan aksinya, mafia ini sangat lihai. Mereka bisa mengubah Berita Acara pemeriksaan (BAP) di tingkat penyidikan, mengubah surat dakwaan Penuntut Umum yang akan disidangkan, melakukan negosiasi antara penasihat hukum terdakwa, penuntut umum, penyidik, dan hakim, agar terdakwa divonis bebas. Jika si mafia hukum divonis bersalah, dia masih bisa bergerak, yaitu bisa menyuap petugas LP agar membebaskannya atau memperbagus penjaranya. Seperti dalam kasus Gayus Tambunan ketika disidang di PN Tangerang, Maret 2010. Dia menyuap ketua tim Jaksa peneliti kasusnya, Cirus Sinaga. Kemudian, Gayus juga menyuap hakim Muhtadi Asnun, dengan imbalan mobil Honda Jazz. Mereka merekayasa perkara Gayus agar divonis bebas. Sebenarnya, Gayus melakukan korupsi dan pencucian uang sehingga masuk dalam pidana khusus. Namun, Jaksa Cirus mendakwanya dengan pasal penggelapan karena dia adalah Jaksa Pidana Umum. Sesuai Hukum Acara Pidana, jika dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak terbukti, putusannya adalah bebas. Jika perkara bukan merupakan perkara pidana, putusannya lepas. Jika terbukti, dipidana. Setelah mendapat vonis bebas dari PN Tangerang tersebut, Gayus bebas melenggang kemana-mana.
24
Indonesia mempunyai trisula penegak hukum, yaitu Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK. Ketiganya kini telah mempunyai pemimpin baru. Tindakan nyata dari ketiga pemimpin baru tersebut sangat dinanti oleh masyarakat. Polri merupakan alat negara yang berfungsi untuk melindungi dan mengayomi masyarakat. Tanpa Polri, di negara ini tidak bisa tercipta keamanan dan ketertiban. Kejaksaan Agung melakukan tugas di bidang penuntutan sehingga harus dipisahkan dari struktur ketatanegaraan RI. Selama ini, Kejaksaan Agung berada di bawah kekuasaan eksekutif. Berdasarkan Pasal 19 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Jaksa Agung dipilih berdasarkan hak prerogatif Presiden sehingga Jaksa Agung masuk dalam jajaran kabinet pemerintah yang sedang berkuasa. Menurut saya, lebih baik Kejaksaan Agung dipisahkan dari struktur kabinet dan menjadi lembaga yang independen agar bisa melakukan penuntutan kepada pihak manapun tanpa pandang bulu. Kemudian, sebaiknya Jaksa Agung dipilih dengan fit and proper test di DPR, seperti pemilihan Ketua KPK, BPK, Gubernur BI, dan sebagainya. Adapun KPK, dibentuk karena ketidakpercayaan publik atas dua lembaga hukum sebelumnya. Dari awal pembentukannya, sebenarnya KPK adalah lembaga yang mandiri dan ad hoc. Maksud dari ad hoc adalah bersifat sementara. Artinya, jika Kejaksaan Agung dan Polri bisa memberantas korupsi dengan baik dan korupsi telah benar-benar hilang dari bumi Indonesia, KPK bisa dibubarkan. Menurut Sudikno Mertokusumo2 tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terindungi. Dalam mencapai tujuannya itu, hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum. Masalah utama penegakan hukum di negara - negara berkembang khususnya Indonesia bukanlah pada sistem hukum itu sendiri, melainkan pada kualitas manusia yang menjalankan hukum (penegak hukum). Dengan demikian peranan manusia yang menjalankan hukum itu (penegak hukum) menempati posisi strategis. Masalah transparansi penegak hukum berkaitan erat dengan akuntabilitas kinerja lembaga penegak hukum. Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, telah menetapkan beberapa asas. Asas-asas tersebut mempunyai tujuan, yaitu sebagai pedoman bagi para penyelenggara negara untuk dapat mewujudkan penyelenggara yang mampu menjalankan fungsi dan
2
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 71
25
tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.3 Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran (masyarakat), di samping mampu membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Selain itu, golongan panutan harus dapat memanfaatkan unsur - unsur pola tradisional tertentu, sehingga menggairahkan partisipasi dari golongan sasaran atau masyarakat luas. Golongan panutan juga harus dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat di dalam memperkenalkan norma-norma atau kaidahkaidah hukum yang baru serta memberikan keteladanan yang baik.4 Namun sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum di Indonesia adalah masih rendahnya moralitas aparat penegak hukum (hakim, polisi, jaksa dan advokat) serta judicial corruption yang sudah terlanjur mendarah daging, sehingga sampai saat ini sulit sekali diberantas. Adanya judicial corruption jelas menyulitkan penegakan hukum di Indonesia karena para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum terlibat dalam praktek korupsi, sehingga sulit diharapkan bisa ikut menciptakan good governance. Penegakan hukum hanya bisa dilakukan apabila lembaga lembaga hukum (hakim, jaksa, polis dan advokat) bertindak profesional, jujur dan menerapkan prinsip-prinsip good governance.5 Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system), peran aparatur penegak hukum, khususnya penyidik, sangatlah strategis. Penyidik merupakan pintu gerbang utama dimulainya tugas pencarian kebenaran materiil. Melalui proses penyidikan upaya penegakan hukum berawal. Karena itu, kewenangan untuk melakukan penyidikan atas suatu tindak pidana perlu memperoleh kejelasan, tidak saja terkait institusi mana yang berwenang menyidik tetapi juga seberapa luas kewenangan tersebut dilaksanakan, guna menghindari munculnya tarik menarik kewenangan yang potensial menyebabkan terlanggarnya rasa keadilan masyarakat. Diberikannya kewenangan pada institusi lain untuk terlibat dalam proses penyidikan sejatinya telah memiliki dasar pijakan yuridis, baik dalam
3
Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika, Kajian Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005). hlm. 50
4
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,(Cet. Ke-10), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 1
5
M. Afif Habullah, Politik Hukum Rativikasi Konvensi HAM Indonesia, Upaya Mewujudkan Masyarakat Yang Demokratis, (Lamongan Jawa Timur: UNISDA, 2005). hlm. 14 26
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun UndangUndang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 6 ayat (1) KUHAP menyatakan: Penyidik adalah: 1. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia 2. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang. Sedangkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan Pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh: 1. Kepolisian khusus; 2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil; dan/atau 3. Bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. Sebagai implementasi dari Undang-Undang di atas, telah banyak institusi yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan, antara lain: 1. Aparat kejaksaan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, yang menyebutkan: di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang. 2. Perwira TNI AL, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 14 ayat (1) UndangUndang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif, khususnya Pasal 14 ayat (1) yang menyebutkan: Aparatur penegak hukum di bidang penyidikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang ditunjuk oleh Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia”. 3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan Pasal 31 ayat (1) juga menunjuk Perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI AL) sebagai penyidik dalam tindak pidana di area Zone Ekonomi Eksklusif; 4. Pejabat Bea dan Cukai sebagai penyidik berdasarkan Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan; 5. Pasal 89 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang menegaskan bahwa Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Merek. Diberikannya kewenangan pada institusi lain untuk melakukan penyidikan, di satu sisi akan memudahkan dalam pengungkapan suatu kasus tindak pidana mengingat banyaknya kendala yang dihadapi oleh aparat penyidik kepolisian dalam melaksanakan tugas penyidikan, seperti kendala
27
sumber daya manusia, sarana-prasarana, anggaran, dan sebagainya, sehingga keterlibatan institusi tersebut dalam tugas penyidikan dapat membantu proses penegakan hukum. Namun di sisi lain, hal tersebut dapat menimbulkan kondisi disharmonis yang memicu terjadinya tarik menarik kewenangan antar institusi, dan bermuara pada terhambatnya proses penegakan hukum. Tarik menarik kewenangan dalam melakukan penyidikan sudah banyak dijumpai dalam praktik penegakan hukum di Indonesia, yang paling banyak terjadi adalah antara aparat Polri dengan instansi lain, seperti Kejaksaan, dan PPNS. Adanya, tarik menarik kewenangan ini justru dimanfaatkan oleh pihak yang diperiksa (tersangka) untuk mengambil keuntungan, sebagaimana terjadi pada kasus gugatan praperadilan yang dilakukan oleh kuasa hukum Abdul Waris Halid, tersangka kasus gula impor, terhadap Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Cq. Badan Reserse Kriminal Polri Cq. Direktur II Ekonomi dan Khusus. Sebagaimana kita ketahui bersama, akhir dari proses ini pihak Mabes Polri dikalahkan dalam praperadilan tersebut. Contoh lain adalah dalam penegakan hukum kasus tindak pidana korupsi. Diberikannya kewenangan kepada aparat Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menyidik kasus korupsi ternyata tidak menyebabkan kasus korupsi semakin berkurang, malahan yang muncul adalah tarik menarik kewenangan antar intitusi yang berdampak pada terhambatnya proses penegakan hukum. Misalnya di Pengadilan Negeri Ciamis pernah terjadi seorang tersangka kasus korupsi dibebaskan Pengadilan, karena hakim memandang bahwa institusi yang berwenang untuk menyidik adalah kejaksaan bukan kepolisian, akibatnya tersangka dibebaskan. Sungguh ironis, penegakan hukum terhambat hanya karena masingmasing institusi mempertahankan ego sektoral, sehingga rasa keadilan masyarakat harus dikorbankan. Melihat fenomena penegakan hukum seperti ini sudah dapat dipastikan bahwa masyarakat akan meragukan tegaknya wibawa hukum di tanah air. Namun inilah potret penegakan hukum di negara kita. Apabila kondisi di atas tidak segera dibenahi, dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakjelasan arah penegakan hukum, tidak saja di kalangan masyarakat pencari keadilan tetapi juga di kalangan institusi penyidik itu sendiri, karena masing-masing institusi penyidik takut melakukan tindakan hukum, yang pada akhirnya akan berakibat pada munculnya kelambatan dalam pemeriksaan dan penuntutan suatu tindak pidana. Beberapa faktor penyebab yang menurut menjadi pemicu munculnya kondisi disharmonis, di antaranya: 1. Kemampuan aparat penyidik Polri masih belum memadai sebagaimana yang diharapkan, baik secara kualitas (penguasaan teknis dan taktis penyidikan) maupun kuantitas (ratio ketersediaan aparat penyidik dengan
28
2.
3.
a.
b.
kasus yang ditangani serta penyebaran jumlah penyidik). Selain itu, kelemahan sumber daya manusia dapat pula muncul dari aspek kultur yaitu sikap-sikap aparat penyidik yang arogan, tidak memiliki sifat melayani, manipulatif, diskriminatif dan sebagainya. Koordinasi lintas instansi belum berjalan secara sinergis. Indikatornya, pembagian tugas dan tanggungjawab penyidikan dalam kasus tertentu masih dirangkap oleh aparat kejaksaan, yang sejatinya merupakan institusi penuntut, serta institusi di luar kerangka CJS (Criminal Justice System), misalnya penyidik TNI AL. Di samping itu, pelaksanaan koordinasi antar aparat penegak hukum dengan PPNS belum berjalan dengan baik, sehingga di lapangan masih muncul tarik menarik kewenangan untuk melakukan pernyidikan; Perundang-undangan yang menjadi dasar hukum bagi penyidik dalam menjalankan kewenangannya masih menyisakan beragam permasalahan, seperti: Adanya perundang-undangan yang bertentangan satu dengan yang lain, baik dari aspek substansi maupun hierarkinya (ketentuan yang statusnya di bawah bisa bertentangan/mengalahkan ketentuan yang lebih tinggi, misalnya: peraturan pemerintah (PP/KEPPRES) bertentangan dengan Undang-Undang); Masih banyak peraturan perundang-undangan yang berasal dari produk zaman Belanda sehingga tidak mampu mengakomodasi perkembangan yang ada, namun eksistensinya tetap dipertahankan;
c.
Masih ditemukan perundang-undangan yang mengamanatkan segera dibentuknya peraturan pelaksana namun sampai sekarang belum dibentuk; d. Masih ada perundang-undangan yang substansinya tidak jelas sehingga memunculkan multitafsir. Meningkatkan koordinasi antar institusi penegak hukum guna terciptanya hubungan lintas instansi yang sinergis yang dilakukan melalui upaya: 1. Melakukan pemetaan terhadap masalah-masalah yang timbul terkait koordinasi lintas instansi. 2. Meningkatkan pembentukan lembaga kerjasama antar instansi terkait; 3. Membentuk lembaga pengawas yang bertugas mengawasi pelaksanaan tugas masing-masing institusi; 4. Melakukan integrasi dan sinkronisai pelayanan masyarakat agar mekanisme pelayanan dapat berjalan dengan sederhana, cepat dan tidak tumpang tindih; 5. Masing-masing instansi bertemu secara periodik baik formal maupun informal untuk membicarakan berbagai permasalah yang timbul terkait
29
masalah koordinasi sekaligus menemukan solusinya; Peningkatan forum diskusi dan pertemuan antar aparat penegak hukum yang bertujuan untuk memperoleh kesamaan pandang dalam melaksanakan tugas penyidikan; Menyusun MoU yang berisikan kerjasama dan koordinasi lintas instansi terkait penegakan hukum.
6.
7.
Kasus Gayus selayaknya menjadi pintu masuk bagi upaya reformasi penegak hukum di Indonesia. Peristiwa melenggangnya Gayus dari tahanan sebenarnya merupakan cerminan kecil dari lemahnya penegakan hukum dalam institusi penegak hukum. Hal tersebut membuktikan adanya permasalahan besar dalam tubuh penegak hukum yang tak bisa hanya diatasi oleh Satgas Pemberantasan Mafia Hukum semata. Sebagai lembaga yang bukanlah projustisia, Satgas tentunya tidak memiliki kekuatan penuh untuk menguak akar permasalahan hukum di Indonesia. Diperlukan upaya terintegrasi untuk mensinergikan peran institusi penegak hukum sebagai avant -garde atau ujung tombak dalam penyelesaian akar permasalahan hukum di Indonesia.
Reformasi penegak hukum menjadi jawaban yang paling ideal dalam menjawab permasalahan tersebut. Namun sejauh perjalanannya, reformasi penegak hukum justru paling lamban dibanding dengan upaya reformasi di bidang lain seperti reformasi ekonomi. Hal tersebut diperparah dengan adanya praktik mafia hukum yang menyebabkan re formasi hukum di Indonesia jalan di tempat. Penguatan institusi penegak hukum yang ada sekarang merupakan hal
yang tak bisa dihindarkan lagi. Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK sebagai lembaga yang independen dengan tugas dan wewenangnya masing-masing telah dilengkapi kekuasaan serta memiliki diskresi penuh dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Sinergisasi antara ketiga lembaga tersebut setidaknya membutuhkan beberapa hal. Pertama, pimpinan penegak hukum di lembaga masing-masing harus memiliki kemauan dan tekad kuat dalam memberantas praktik mafia hukum di institusi yang dipimpinnya. Kedua, perlunya penguatan serta pengawasan baik dari internal maupun eksternal masing-masing institusi penegak hukum. T erakhir, ada kesempatan seluas - luasnya bagi masyarakat untuk mengawasi kinerja aparat penegak hukum. Tentunya, jika ingin membersihkan kotoran, sapunya harus bersih, kalau sapu itu sendiri kotor, mana mungkin dapat membersihkan.
30
PENUTUP Simpulan Meningkatkan koordinasi antar institusi penegak hukum guna terciptanya hubungan lintas instansi yang sinergis yang dilakukan melalui upaya: melakukan pemetaan terhadap masalah-masalah yang timbul terkait koordinasi lintas instansi, meningkatkan pembentukan lembaga kerjasama antar instansi terkait, membentuk lembaga pengawas yang bertugas mengawasi pelaksanaan tugas masing-masing institusi, melakukan integrasi dan sinkronisai pelayanan masyarakat agar mekanisme pelayanan dapat berjalan dengan sederhana, cepat dan tidak tumpang tindih, masing-masing instansi bertemu secara periodik baik formal maupun informal untuk membicarakan berbagai permasalah yang timbul terkait masalah koordinasi sekaligus menemukan solusinya, peningkatan forum diskusi dan pertemuan antar aparat penegak hukum yang bertujuan untuk memperoleh kesamaan pandang dalam melaksanakan tugas penyidikan, menyusun MoU yang berisikan kerjasama dan koordinasi lintas instansi terkait penegakan hukum. Saran Perbaikan sistem dalam pemberantasan mafia hukum terus dijalankan. Agar koordinasi dan supervisi antar-lembaga penegak hukum itu efektif, diperlukan dukungan politik yang nyata dari Presiden. Misalnya anggaran, enggak ada perhatian untuk menyusun anggaran yang ideal di Kejakasaan dan Kepolisian. Selain itu, perlu dibentuk suatu unit koordinasi pemberantasan mafia hukum terpadu yang ditempatkan di KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian agar koordinasi tersebut melembaga. DAFTAR PUSTAKA Busyro
Muqoddas. Mafia Peradilan Berjalan Sistemik. lihat dalam http://beritasore.com/2009/07/16/mafia peradilan. Friedman, Lawrence M. Friedman.1969. The Legal System, Russel Sage Foundation,. New York. Sudikno Mertokusumo.1999. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty. Siswanto Sunarso.2005. Penegakan Hukum Psikotropika, Kajian Sosiologi Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soerjono Soekanto.2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,(Cet. Ke-10). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Soerjono Soekanto.2001. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press. M. Afif Habullah.2005. Politik Hukum Rativikasi Konvensi HAM Indonesia, Upaya Mewujudkan Masyarakat Yang Demokratis, (Lamongan Jawa Timur: UNISDA,).
31
www.kompas.com diunduh 9 Desember 2013 http://sadarotda.hukum.ugm.ac.id/index.php?option=com_content&view=arti cle&id=6:perkembangan-konsep-negara-hukum-pada-negarademokrasi-indonesia-dan-arah-pembangunanhukum&catid=2:makalah&Itemid=5
32
PERANG MELAWAN KOLUSI DAN NEPOTISME (Agenda Reformasi yang Terabaikan) Fajar L. Soeroso Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Mahkamah Konstitusi Jalan Medan Merdeka Barat No. 6 Jakarta 10110 email:
[email protected] Abstrak Selama 15 tahun memasuki era reformasi, upaya pemberantasan KKN belum menunjukkan hasil optimal. Salah satunya penyebab mendasar ialah karena upaya hanya terfokus pada pemberantasan korupsi, sementara kolusi dan nepotisme terabaikan. Padahal reformasi mengamanatkan upaya pemberantasan KKN: korupsi, kolusi, dan nepotisme. Terlebih lagi, pemberantasan korupsi barulah sebatas korupsi yang diartikan stipulatif sesuai dengan ketentuan undang-undang (konvensional), belum mencakup korupsi dalam sifatnya yang non-konvensional. Padahal pula, dari jenis korupsi inilah kolusi dan nepotisme muncul memproduksi korupsi-korupsi yang bersifat konvensional. Selama kolusi dan nepotisme tidak diberantas, korupsi akan terus bermunculan. Untuk itu, sesuai dengan perjuangan dan amanat reformasi, maka tidak semestinya pemberantasan KKN dipersempit hanya sekadar perang melawan korupsi melainkan harus dipahami juga sebagai perang melawan kolusi dan nepotisme. Kata Kunci: Kolusi, Nepotisme, Agenda Reformasi, Terabaikan
PENDAHULUAN Sekarang ini, hampir tidak ada lembaga negara yang absen meneriakkan jargon-jargon anti korupsi. Dalam berbagai kesempatan, lembagalembaga penegak hukum seperti Kejaksaan Agung, Kepolisian, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi bersuara sangat lantang terhadap korupsi. Kejaksaan Agung mengusung slogan "Berani Jujur, Hebat-Korupsi Sikat, Tanpa Korupsi Hidup Sehat dan Nikmat". POLRI tak mau kalah. Banner dengan tulisan bernada anti korupsi "mengepung " Mabes Polri, bahkan dipampang juga di Mapolres dan Mapolsek di seantero wilayah nusantara. “Korupsi Harus Diberantas”, “ Kawasan Bebas Pungli”, demikian bunyi spanduk-spanduk itu. Di Mahkamah Agung, Ketua MA, Hatta Ali, terus meyakinkan bahwa MA tengah serius berkomitmen memerangi korupsi. Kementerian dan lembaga lain di ranah lembaga eksekutif pun seolah tidak ingin kalah. Di Mahkamah Konstitusi (MK), zona bebas korupsi telah dicanangkan dan dijaga sejak lembaga tersebut berdiri lebih dari satu dasa warsa silam. Di samping mengembangkan sistem pengawasan internal yang efektif, jargonjargon anti-korupsi dipampang di banyak lokasi di dalam gedung MK. Misalnya 33
papan peringatan bertuliskan, Perhatian. Para Pemohon dan Pihak Terkait diminta agar tidak memercayai siapapun yang mengaku hakim atau pegawai MK dengan menghubungi anda melalui telepon, sms, bertemu langsung atau dengan cara lainnya dan menjanjikan dapat mengatur perkara/putusan dengan atau tanpa imbalan uang, hadiah,atau imbalan lainnya. Jargon anti korupsi pun lantang disuarakan di lingkungan DPR. Buktinya, di DPR dibentuk Gugus Tugas DPR yang terdiri atas 28 anggota DPR dari berbagai fraksi dan komisi yang terus intensif mengampanyekan parliamentary awarenes tentang anti korupsi di lingkup parlemen. Intinya, semangat massif lembaga-lembaga negara untuk memerangi korupsi sudah sangat maju dan menggembirakan. Kini, hampir semua lembaga negara berlomba-lomba menahbiskan diri menjadi agen-agen anti korupsi. Hal tersebut tentulah menjadi angin gembira bagi harapan pemberantasan korupsi ke depan. Walaupun dalam praktiknya, kasus korupsi yang kemudian terungkap di tengah-tengah teriakan jargon tersebut justru seperti tidak berkurang, bahkan makin meningkat, baik kualitas maupun kuantitasnya. Sudah banyak pelaku korupsi berhasil digiring dan dijebloskan ke penjara, namun demikian, korupsi-korupsi baru, dengan modus yang lebih canggih bermunculan seolah tiada habis-habisnya. Kasus korupsi yang satu terungkap, muncul lagi kasus baru yang lebih fantastis. Kasus baru sedang ditangani, sudah disusul lagi dengan kasus korupsi lainnya. Demikian seterusnya yang terjadi. Oleh karenanya muncul pertanyaan, meski gencar diupayakan, mengapa pemberantasan korupsi seperti membentur dinding tebal, seolah hanya berpindah dari kegagalan ke kegagalan berikutnya? Tentu ada banyak kemungkinan terhadap hal tersebut. Mungkin soal pilihan pendekatan yang kurang tepat dan komprehensif. Adanya bentuk perlawanan terhadap gerakan anti-korupsi yang meliputi blokade di birokrasi dan aparat penegak hukum, penyerangan terhadap undang-undang dan institusi anti-korupsi yang mengawakinya, dan manipulasi putusan hakim. Termasuk juga karena fenomena corruptor fights back yang seringkali justru mengakibatkan jatuhnya tokoh sentral di belakang pemberantasan korupsi. Semua kemungkinan tersebut terbuka dimunculkan ke ruang analisis. Namun dalam pandangan penulis, ada satu hal mendasar yang turut menyebabkan korupsi tetap bermunculan meski terus diberantas, yaitu karena bangsa ini hanya fokus pada pemberantasan korupsi. Padahal, reformasi 1998 jelas mengamanatkan pemberantasan KKN: korupsi, kolusi, dan nepotisme. Setelah hampir 15 tahun reformasi, semua energi tercurah untuk pemberantasan korupsi, sementara kolusi dan nepotisme seolah terabaikan. Padahal, kolusi dan nepotisme merupakan pra-kondisi terjadinya korupsi.
34
Oleh karena itu, tulisan ini bermaksud mengingatkan kembali perihal pemberantasan KKN sebagai salah satu agenda reformasi.1 Dalam sejarahnya, praktik KKN yang menggurita di masa lalu merupakan salah satu pemicu kuat kuatnya reformasi. Untuk itulah, reformasi mengamanatkan suatu ikhtiar bersama untuk membersihkan bangsa ini dari 3 (tiga) noktah cela yang amat merusak, yaitu KKN: korupsi, kolusi, dan nepotisme. KKN Bukan Hanya Korupsi Semangat massif lembaga-lembaga negara untuk memerangi korupsi sangat menggembirakan. Namun, gerakan-gerakan tersebut semuanya hanya memfokuskan pandangan pada “korupsi” belaka, sementara pemberantasan kolusi dan nepotisme tidak kelihatan sama sekali. Di tambah lagi, setiap pembicaraan pemberantasan korupsi hanya dilakukan untuk korupsi yang menurut Satjipto Rahardjo, korupsi dalam arti konvensional. Satjipto Rahardjo menyatakan:2 “Korupsi versi Undang-Undang Antikorupsi “hanya” merumuskan korupsi sebagai perbuatan yang merugikan keuangan negara , baik untuk kepentingan sendiri maupun kelompok. Tentu saja itu sudah lumayan, tetapi jika kita ingin menuntaskan pemberantasan korupsi dengan sekalian percabangannya, maka sasaran tembak yang demikian itu belum mencukupi. Yang kita tembak baru korupsi konvensional” Maksudnya, yang diberantas barulah sebatas korupsi yang diartikan stipulatif sesuai dengan ketentuan undang-undang yang memuat 3 (tiga) unsur akumulatif di dalamnya, yakni, (1) dilakukan secara melawan hukum, (2) untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, serta (3) merugikan keuangan negara. Tanpa ketiga unsur tersebut bukanlah perbuatan yang layak disebut korupsi. Kiranya, pandangan demikian yang mendasari lembaga1
Terdapat 6 (enam) tuntutan yang disuarakan menjadi agenda reformasi, salah satunya adalah amandemen UUD 1945, yaitu: (1) Amandemen UUD 1945; (2) Penghapusan Dwi Fungsi ABRI; (3) Penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); (4) Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah); (5) Mewujudkan kebebasan pers; dan (6) Mewujudkan kehidupan demokrasi. walaupun tidak ada produk hukum resmi yang menetapkan 6 (enam) agenda reformasi tersebut, tetapi keenam hal tersebut diterima sebagai kesepakatan dalam praktik. Baca MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2010), hal. 3-4.
2
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2006), hal. 135.
35
lembaga negara ketika berlomba meneriakkan jargon anti korupsi. Yang dicegah dan diperangi adalah korupsi dalam arti stipulatif tersebut. Padahal di sisi lain, ada jenis korupsi lain, yakni korupsi nonkonvensional. Menurut Satjipto Rahardjo, korupsi tidak boleh hanya dimaknai sempit dengan merujuk secara stipulatif pada bunyi undang-undang, melainkan lebih pada perilaku koruptif dalam memanfaatkan jabatan yang dipegang penyelenggara negara. Satjipto Rahardjo, memberikan contoh bahwa korupsi non-konvensional itu adalah “korupsi kekuasaan”, yaitu pelaksanaan kekuasaan publik mana pun dan pada tingkat mana pun, yang berkualitas jahat, tidak jujur, lemah empati, tidak bermutu, dan merusak kepercayaan publik. Ia adalah penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang (willekeur), ceroboh, melakukan pekerjaan/proyek di bawah standar; bekerja asal-asalan,tidak peduli perasaan rakyat, dan sebagainya.3 Menurut Moh. Mahfud MD., termasuk juga dalam korupsi nonkonvensional antara lain sikap merasa paling berkuasa, selalu ingin melibatkan kroni dalam kegiatan-kegiatan formal apapun di lembaganya, membuat kegiatan di luar tugas pokok untuk mendapat honor yang secara formal sah tetapi kurang patut, gemar pada protokoler secara berlebihan, dan perilakuperilaku sejenis lainnya.4 Dari jenis korupsi inilah kolusi dan nepotisme muncul dan kemudian segera berkembang biak untuk memproduksi korupsi-korupsi konvensional. Untuk korupsi konvensional, sudah tidak terhitung berapa banyak jumlah pejabat/penyelenggara negara yang berhasil dijatuhi hukuman. Mulai dari pegawai rendahan, pejabat eselon, kepala daerah, mantan menteri, anggota DPR, hakim, jaksa, polisi, dan lain-lain. Namun, bagaimana dengan orang yang terbukti melakukan korupsi non-konvensional? Tentu jawabnya, sejauh ini mereka tetap aman dan nyaman bersama jabatan dan kekuasaannya. Hal itu karena undang-undang tidak pernah dapat menyentuh mereka, terlebih lagi, undang-undang tidak di-setting akrab dengan perilaku korupsi dalam maknanya yang non-konvensional. Itu sebabnya, sampai hari ini pelaku-pelaku korupsi non-konvensional terus saja melenggang bebas. Padahal, jika dicermati, korupsi non-konvensional amat dekat dengan korupsi konvensional. Orang yang gemar melakukan korupsi non-konvensional cenderung mudah untuk
3 4
Ibid, hal.136. Moh. Mahfud MD, Pemberantasan Mafia Peradilan:Mendiagnosa Akar Masalah, Menemukan Solusi Terarah, Keynote Speech pada Debat Publik dalam Rangka 10 Tahun Komisi Hukum Nasional (KHN), yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN), Kamis, 18 Februari 2010 di Hotel Millenium, Jakarta.
36
melakukan korupsi konvensional manakala ada keinginan (willingness) dan kesempatan (opportunity) melakukannya. Pelaku-pelaku korupsi non-konvensional masih bebas berpraktik tanpa terdeteksi pantauan publik, bahkan radar LSM-LSM anti korupsi seolah dibutakan. Hal ini tampak dalam realitasnya, ada kecenderungan pengawasan publik mengendur terhadap lembaga-lembaga negara yang selama ini mendapat cap atau label bersih dalam pengelolaan keuangan negara. Misalnya, terhadap kementerian/lembaga negara yang dalam laporan keuangan negara berhasil meraih predikat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), publik dengan serta merta mempersepsikan kementerian/lembaga negara tersebut bersih dan bebas korupsi. Padahal, seperti yang sering dikatakan Ketua BPK, Hadi Purnomo, opini WTP tidak menjamin bahwa institusi yang bersangkutan tidak ada korupsi. Karena, pemeriksaan laporan keuangan tidak ditujukan secara khusus untuk mendeteksi adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Artinya, kementerian/lembaga negara yang meraih WTP berkali-kali pun, belum tentu sungguh-sungguh terbebas dan bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Inilah konsekuensi terabaikannya pemberantasan kolusi dan nepotisme. Memaknai Kolusi dan Nepotisme Dalam hal ini, penting untuk mengemukakan terlebih dulu secara lebih jelas atas 2 (dua) asumsi yang mendasari analisis ini, yaitu (1) kolusi dan nepotisme merupakan akar terjadinya korupsi, dan (2) kolusi dan nepotisme merupakan entitas berbeda yang harus juga diperangi, seperti halnya korupsi. Terhadap asumsi pertama, menurut penulis, kolusi dan nepotisme telah menjadi mata rantai yang kemudian secara sistemik memproduksi perilaku jahat korupsi. Oleh karena itu, korupsi dapat diminimalisir manakala mata rantainya dapat diputus. Hampir tidak ada korupsi konvensional yang tidak didahului sebelumnya dengan perilaku - perilaku kolutif. Jika korupsi diibartakan sebagai rumput liar, maka sepanjang akarnya tidak dimatikan, maka akar akan bertunas dan terus tumbuh meskipun sudah berkali-kali dipangkas habis serata dengan tanah. Artinya, walaupun korupsi diberantas, tetapi manakala kolusi dan nepotisme dibiarkan, dapat dipastikan korupsi akan muncul kembali. Selain hal itu, jika dicermati lebih jauh, kolusi dan nepotisme pula yang selama ini sesungguhnya yang membuat tindakan-tindakan korupsi berlangsung sistematis dan rapi. Untuk itu, dalam hal ini, kiranya perlu kembali diuraikan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan “kolusi” dan “nepotisme”. Terhadap asumsi kedua, penulis memahami bahwa terdapat ratusan bahkan ribuan jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan korupsi mengingat korupsi merupakan istilah dengan arti yang sangat luas. Secara ringkas, Syed Husein Alatas menggolongkan tindakan-tindakan tersebut 37
ke dalam 7 (tujuh) macam tipologi korupsi yang kesemuanya memiliki esensi pencurian melalui penipuan.5 Sejalan dengan itu, menurut Samuel P. Huntington, korupsi merupakan perilaku menyimpang aparat negara dari norma-norma yang diterima dan dianut oleh suatu masyarakat. Tujuan penyimpangan tersebut tentu saja untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan pribadi.6 Kolusi dan nepotisme acapkali dikatakan sebagai bagian atau menjadi salah satu varian dari korupsi, namun menurut penulis, kolusi dan nepotisme memiliki sejarah dan terminologi sendiri yang berbeda dengan korupsi. Pada konteks Indonesia, pembedaan ketiganya amat jelas. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam TAP MPR RI Nomor VIII/MPR/2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme juncto Tap MPR No 1 Tahun 2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPR Sementara dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai Tahun 2002 secara tegas membedakan istilah korupsi dengan istilah kolusi dan nepotisme. Kemudian, TAP MPR tersebut juga mengamanatkan kepada Pemerintah dan DPR selaku pembentuk undang-undang untuk membuat undang-undang mengenai pencegahan dan pemberantasan korupsi serta undang-undang lain untuk pencegahan dan pemberantasan kolusi dan nepotisme. Dengan demikian, merujuk pada amanat tersebut, korupsi, kolusi, dan korupsi merupakan 3 (tiga) entitas berbeda yang sama-sama harus diperangi dengan menggunakan strategi dan treatment yang dapat saja berbeda. Kata kolusi berasal dari bahasa Inggris “collution” yang berarti “kerjasama rahasia untuk maksud tidak terpuji, persekongkolan”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “kolusi” dimaknai sebagai “rahasia”, “ dengan diam-diam”, atau “tidak terbuka”. Dari makna gramatikal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tindakan kolusi tidak akan tampak kasat mata akan tetapi dapat dirasakan dan dianalisis dari indikasi-indikasi yang menyertai atau ditimbulkannya. Praktik tidak kasat mata itu misalnya, seorang penyelenggara/pejabat negara yang memberikan privillege kepada pihak-pihak tertentu yang disertai proses tawar menawar kepentingan demi meraih keuntungan tertentu. Biasanya, kerja sama dilakukan tersembunyi di bawah prinsip tahu sama tahu dengan nuansa materi yang kental, termasuk dengan memanipulasi prosedur birokrasi, atau bahkan dengan pemaksaan keputusan 5
S.H. Alatas, Korupsi : Sifat, Sebab dan Fungsi, (Jakarta: LP3ES, 1987), hal. 3.
6
Pendapat Samuel P. Huntington dalam bukunya, Political Order In Changing Societes, sebagaimana dikutip Jhonson BS Rajagukguk dalam tulisan berjudul Reformasi Mentalitas Budaya Politik Menuju Pemberantasan Korupsi, di http://www.hariansib.com/date15/rubrik1.htm.
38
atau kebijakan secara struktural, tanpa adanya pelanggaran hukum dalam arti hukum positif. Intinya, kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur penyelenggara negara dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan yang diwarnai dengan orientasi materi dan/atau fasilitas tertentu dengan dibungkus oleh formalitas-formalitas administrasi yang memungkinkan semua terkesan sah dan legal. Dalam kuasa kolusi, keputusan-keputusan diambil tidak menurut apa yang seharusnya dan objektif, melainkan menuruti interest pihak-pihak yang bersangkutan. Keputusan atau kebijakan tersebut diambil bukan karena paling tepat, melainkan yang paling menguntungkan bagi pengambil kebijakan. Dalam ruang yang terkontaminasi kolusi, hilanglah makna dan peran kompetensi, karena pada akhirnya yang dipilih bukan orang yang berkompeten melainkan yang mau dan bersedia diajak kongkalikong dan bersama-sama menangguk keuntungan. Parahnya, praktik-praktik demikian berjalan sejak lama dan terlanjur dianggap sebagai kelumrahan. Dalam artikelnya “Kolusi PenguasaPengusaha”, Didik J. Rachbini mengemukakan bahwa perwujudan dari kolusi dituangkan dalam sebuah kebijakan yang kemudian lahir dari lobi kolusif, dan dikeluarkan semata-mata untuk memberikan proteksi kepada segelintir pengusaha sebagai rekan kolusinya.7 Pada tataran normatif, kolusi ditegaskan dalam UU Nomor 28 Tahun 1999. Menurut Pasal 1 angka 4 UU Nomor 28 Tahun 1999, “kolusi” diberi arti “ permufakatan secara melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara”. Dari definisi tersebut, sekurang-kurangnya dapat dilacak 5 (lima) unsur kolusi, yaitu: (1) adanya permufakatan atau kerja sama. Unsur ini menegaskan bahwa perbuatan kolusi tidak dapat dilakukan sendirian, melainkan oleh 2 (dua) orang atau lebih melalui suatu permufakatan atau kerja sama di antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), istilah “permufakatan” cenderung bermakna negatif dengan digunakannya istilah “permufakatan jahat”, yaitu permufakatan untuk melakukan kejahatan; (2) secara melawan hukum. Dalam pengertian ini “melawan hukum” mencakup perbuatan melawan hukum, baik dalam arti formil maupun dalam arti materiil. Artinya, perbuatan tersebut tidak hanya yang sebatas yang telah tegas diatur dalam peraturan perundang-undangan, melainkan juga perbuatan yang dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma sosial kehidupan dalam masyarakat. Menurut Jan Remmelink, adanya sifat melawan hukum ini maka harus dapat dibuktikan ketiadaan alasan pembenar dalam perbuatan tersebut, yang sebenarnya dapat menghilangkan sifat melawan hukum dari perbuatan 7
Didik J Rachbini, Kolusi Penguasa-Pengusaha, Kompas, 16 Februari 2010. 39
tersebut;8 (3) dilakukan oleh penyelenggara negara. Menurut undang-undang tersebut, Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelengaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (4) melibatkan pihak lain. Dalam Penjelasan Umum UU Nomor 28 Tahun 1999, yang dimaksud dengan pihak lain antara lain keluarga, kroni, dan para pengusaha; dan (5) adanya kerugian. Unsur ini menunjukkan bahwa kolusi termasuk ke dalam kategori delik materiil, artinya kolusi tidak cukup hanya dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, namun juga harus menimbulkan suatu akibat, yaitu berupa kerugian, baik kepada orang lain, masyarakat, dan/atau negara, sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Sementara “ nepotisme” berasal dari Bahasa Latin “nepos” yang berarti "keponakan". Secara umum, nepotisme adalah pemanfaatan jabatan untuk memberi pekerjaan, kesempatan, atau penghasilan, bagi keluarga atau kerabat dekat pejabat, sehingga menutup kesempatan bagi orang lain. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, nepotisme diartikan sebagai (1). perilaku yang memperlihatkan kesukaan berlebihan kepada kerabat dekat; (2). kecenderungan untuk mengutamakan atau menguntungkan sanak saudara sendiri, terutama dalam hal jabatan, pangkat di lingkungan pemerintahan, dan (3). tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan. Syed Husein Alatas memasukkan nepotisme sebagai bentuk korupsi, yakni menempatkan keluarga atau teman pada posisi pemerintahan tanpa memenuhi persyaratan untuk itu. Nepotisme dianggap sebagai praktik yang sangat merugikan dalam penyelenggaraan negara, karena hadirnya terlalu banyak kerabat di dalamnya hanya akan memperlemah sifat birokrasi modern yang seharusnya impersonal. Terlebih lagi, sudah banyak buktinya bahwa hubungan kekeluargaan cenderung tertutup dan eksklusif, apalagi ketika terlibat dalam penyelewengan atau pelanggaran hukum. Hubungan kekerabatan demikian sudah dipastikan akan membentuk format saling menutupi. Selain membuka peluang korupsi atau penyelewengan berikutnya, nepotisme hanya akan menghambat transparansi dan akuntabilitas birokrasi penyelenggaraan negara.9 Secara normatif, menurut UU No. 28 Tahun 1999, nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang 8
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanaannya dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 191-192.
9
Ignas Kleden, Nepotisme, Kroniisme, dan Dinasti, Kompas, 31 Oktober 2013. 40
menguntungkan kepentingan keluarganya dan/atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Sebagaimana halnya kolusi, berdasarkan definisi tersebut, sekurang-kurangnya terdapat 3 (tiga) unsur dalam konsep nepotisme, yaitu: (1) perbuatan penyelenggara negara, (2) secara melawan hukum, (3) menguntungkan kepentingan keluarganya dan/atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Per definisi, kolusi dan nepotisme sama-sama berusak dan berbahaya. Namun sebenarnya, jika dilihat dari tendensi dan kelanggengan ikatannya, antara kolusi dan nepotisme sedikit agak berbeda. Dalam kolusi, tendensinya terbatas asal saling menguntungkan. Jangka waktu lamanya berkolusi sangat bergantung pada relasi yang dibangun berdasarkan keuntungan masing-masing pihak. Artinya, jika antara pihak-pihak tidak lagi saling menguntungkan maka ikatan kolusi dapat dihentikan kapan pun atau hilang secara alamiah. Berbeda dengan nepotisme, tendensinya tidak lagi cukup saling menguntungkan melainkan umumnya didasari oleh naluri biologi untuk lebih memilih saudara atau kroni-kroninya untuk suatu posisi atau kerja tertentu, padahal pada saat yang sama, tersedia banyak pilihan orang dengan kapasitas yang serupa, bahkan lebih bagus. Karena didasari oleh naluri biologi maka ikatan kepentingan dalam nepotisme cenderung lebih langgeng ketimbang dalam kolusi. Agaknya, meski sama-sama berat, usaha yang lebih keras lagi diperlukan untuk memerangi nepotisme, karena pertama, praktik nepotisme tidak gampang terdeteksi dibandingkan dengan tindakan korupsi. Tudingan seseorang melakukan nepotisme relatif gampang dijawab dengan alasan kompetensi. Kuncinya, jika memilih saudara, famili, atau kroni untuk tugas atau jabatan tertentu sembari menafikkan kompetensi yang dimiliki, itulah nepotisme yang patut diperangi. Kedua, tendensi naluri biologi membuat nepotisme hampir mustahil diberantas. Pakar-pakar biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara. Dalam zaman apapun, naluri „menolong? famili atau kerabat dekat terutama yang minus kompetensi, akan selalu eksis, terlebih lagi dalam iklim budaya bangsa dengan kekerabatan yang sangat kuat seperti Indonesia. Perlu Pendekatan Kombinatif Terlepas dari apapun, harus segara dimulai upaya pemberantasan kolusi dan nepotisme yang lebih serius dan lebih galak seperti halnya treatment yang diperlakukan terhadap korupsi. Memang, untuk memerangi kolusi dan nepotisme agak sulit mengingat pada pertama, sifatnya yang non-konvensional sehingga sangat sulit dicari normanya dalam hukum pidana ketika harus menghukum perilaku tersebut, dan kedua, tidak ada instrumen hukum lain,
41
kecuali UU No. 28 Tahun 1999, yang telah sejak lama diakui dan terbukti mandul. Padahal, pengaturan dalam UU No. 28 Tahun 1999 tergolong cukup tegas, termasuk telah menyediakan pula jerat hukum yang berat bagi pelaku kolusi dan nepotisme. Hal demikian dijumpai dalam Pasal 21 dan Pasal 22. Pasal 21 UU No. 28 Tahun 1999 pada pokoknya mengatur sanksi kepada Penyelenggara Negara yang melakukan kolusi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (duabelas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Demikian pula terkait nepotisme, Pasal 22 UU No. 28 Tahun 1999 mengatur bahwa setiap Penyelenggara Negara yang melakukan nepotisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Entah mengapa ketentuan-ketentuan tersebut dalam perkembangannya tumpul dan mandul. Dalam sosiologi hukum, fenomena demikian dikenal dengan istilah “hukum yang tidur atau ditidurkan” (statutory dormancy), yaitu hukum yang berlaku tetapi tidak lagi dipakai.10 Penulis menengarai bahwa perang terhadap kolusi dan nepotisme tidak dapat menggantungkan lagi semata-mata pada pendekatan yang mengedepankan peraturan perundangundangan yang rinci dan jelas disertai dengan penegakannya secara ketat atau dikenal dengan istilah Lawyer Approach. Untuk itu, diperlukan pendekatan yang dikombinasikan dengan pendekatan-pendekatan lain demi mendekatkan pada level keberhasilannya. Dalam hal ini, perlu dipikirkan untuk melengkapi Lawyer Approach dengan misalnya, Businessman Approach dan Cultural Approach.11 Dalam Businessman Approach, dianut maksim: kejujuran dapat diciptakan dan setiap individu dapat diubah menjadi individu yang jujur manakala disediakan insentif yang sesuai. Insentif dalam hal ini tidak selalu harus berbentuk uang, melainkan dapat juga dalam bentuk lain seperti penghargaan, promosi, dan lain-lain. Dengan memberikan insentif bagi individu yang tidak melakukan kolusi dan nepotisme, diharapkan angka kolusi dan nepotisme dapat ditekan. Demikian halnya, perlu mempertimbangkan pula sekaligus Cultural Approach yang intinya mengedepankan setting atas persepsi atau sudut pandang (mindset) terhadap sesuatu, dalam hal ini kolusi dan nepotisme, yang sangat dipengaruhi oleh budaya. Sesuatu dapat dipersepsikan 10
11
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku, Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009), hal. 21. Mengenai pendekatan-pendekatan dalam memerangi korupsi diulas dalam Wijayanto, Memahami Korupsi, dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie (ed), Korupsi Mengorupsi Indoensia, Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), hal. 43-50. 42
salah atau benar, tercela atau tidak, memalukan atau tidak, tergantung dari sudut pandang yang dipengaruhi budaya. Misalnya, di beberapa bangsa, minum minuman keras, judi, dan bunuh diri bukanlah sesuatu yang harus dihindari, namun bagi budaya Indonesia, hal-hal tersebut merupakan aib besar. Ketika masyarakat menganggap kolusi dan nepotisme sebagai aib besar yang hina dina sehingga harus dihindari, maka sangat mungkin masyarakat akan berperan besar menekan dan meminimalisir kolusi dan nepotisme. Untuk itu, yang diperlukan sekarang adalah instrumen yang jelas, tegas, dan implementatif untuk „memaksa? penyelenggara negara dan lembagalembaga negara untuk membuktikan dan menjamin dirinya benar-benar telah berlaku bersih. Mereka dituntut untuk tidak hanya bersih dari korupsi (konvensional) saja tetapi juga harus bersih dari segala bentuk kolusi dan nepotisme. Bersih dari korupsi bukanlah prestasi yang layak diapresiasi dan dibanggakan sebelum dapat dibuktikan bahwa mereka juga telah terbebas dari kolusi dan nepotisme. Melalui instrumen tersebut, lembaga negara digiring memiliki kesadaran optimal untuk senantiasa berlaku bersih dengan terbuka menjelaskan kepada publik mengenai kinerja lembaganya dari hari ke hari, termasuk prestasi-prestasi yang dicapai, diraih dengan cara-cara yang bersih dari unsur-unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tentu keterbukaan yang dimaksud harus sejalan dan berada dalam batas-batas atau koridor yang ditentukan dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Bagi lembaga-lembaga negara, tidak ada gunanya membangun „mercusuar? dengan mempublikasikan klaim bahwa lembaganya sudah berlaku bersih, padahal klaim itu didirikan dan dibangun di atas dan dengan cara-cara kolutif. Selain itu, perlu dipertimbangkan mendorong agar KPK tidak dipersepsikan sebagai institusi anti-resuah12 atau anti-korupsi belaka, melainkan „dipaksa? dan „didorong? untuk mengibarkan bendera permusuhan terhadap kolusi dan nepotisme. Sudah seharusnya KPK diberi kewajiban dan target untuk fokus juga ke soal yang berkait dengan upaya untuk menekan kolusi dan nepotisme ke level minimum. Alasannya, katakanlah KPK hari ini dianggap telah berhasil menjalankan kewenangannya karena telah berhasil mengungkap banyak kasus korupsi. Namun sesungguhnya, seiring dengan munculnya kasuskasus korupsi baru, keberhasilan itu belum layak disematkan. Dengan kata lain, KPK tidak dapat dikatakan berprestasi jika korupsi-korupsi baru tidak terkurangi dan justru terus menerus berdatangan. Untuk itu, alangkah baik jika kemudian KPK juga diarahkan agar „gatal? memberangus kolusi dan nepotisme, mengingat kolusi dan nepotisme merupakan akar dari korupsi. 12
Menurut Kamus Arab-Indonesia, riswah yang merupakan Bahasa Arab artinya sama dengan korupsi. 43
Sejalan dengan itu, kontrol publik terhadap lembaga-lembaga negara harus terus dijaga intensitas dan kemurniannya. Publik, terutama LSM-LSM anti korupsi, jangan lagi mudah dikecoh untuk hanya concern pada korupsi-korupsi konvensional saja, karena sangat mungkin kolusi dan nepotisme terjadi demikian rapi dan terpola di lembaga negara yang selama ini mendapat sanjungan publik karena dipandang sangat " bersih". Publik harus peduli dan memicingkan mata lebar-lebar untuk menegur lembaga-lembaga negara jika ada indikasi kolusi dan nepotisme sekecil apapun itu. Jangan sampai nanti publik tersentak hebat karena pada suatu hari nanti justru di lembaga-lembaga yang dipandang bersih itulah ditemukan timbunan persoalan kolusi dan nepotisme yang parah. Jika itu kelak benar terjadi, sangat mungkin publik patah hati dan patah semangat untuk ikut mewujudkan Indonesia yang bersih dan bebas dari KKN sebagaimana yang dicita-citakan di awal reformasi. PENUTUP Perilaku kolusi dan nepotisme umumnya muncul dari perilaku koruptif memanfaatkan jabatan. Dalam kerangka tersebut, perlu dipahami bahwa kolusi dan nepotisme sesungguhnya merupakan akar terjadinya korupsi. Dengan kata lain, korupsi tidak pernah akan mati manakala kolusi dan nepotisme sebagai akarnya tidak ikut diberangus juga. Oleh karenanya, kolusi dan nepotisme merupakan dua noktah lain dalam terma “KKN”, yang juga harus diberantas dan diperangi sebagaimana korupsi. Pendekatan-pendekatan kombinatif perlu terus dikembangkan untuk diformulasikan secara tepat ke tataran riil untuk mendasari perang yang terus dikobarkan hingga hari ini yakni perang melawan KKN sebagai satu paket musuh bersama (common enemy). Sehubungan dengan itu, untuk tidak dikatakan lupa pada perjuangan reformasi, maka tidak semestinya pemberantasan KKN dipersempit hanya sekadar perang melawan korupsi (dalam arti konvensional) melainkan dipahami juga sebagai perang untuk memberangus kolusi dan nepotisme. DAFTAR PUSTAKA Didik J Rachbini, Kolusi Penguasa-Pengusaha, Kompas, 16 Februari 2010. Ignas Kleden, Nepotisme, Kroniisme, dan Dinasti, Kompas, 31 Oktober 2013. Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003). Jhonson BS Rajagukguk, Reformasi Mentalitas Budaya Politik Menuju Pemberantasan Korupsi di http:// www.hariansib.com/date 15/rubrik1.htlm Moh. Mahfud MD, Pemberantasan Mafia Peradilan:Mendiagnosa Akar Masalah, Menemukan Solusi Terarah, Keynote Speech pada Debat Publik dalam Rangka 10 Tahun Komisi Hukum Nasional (KHN), yang 44
diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN), Kamis, 18 Februari 2010 di Hotel Millenium, Jakarta. MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2010). Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2006). ____________, Hukum dan Perilaku, Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009). S.H. Alatas, Korupsi : Sifat, Sebab dan Fungsi, (Jakarta: LP3ES, 1987). Wijayanto, Memahami Korupsi, dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie (ed), Korupsi Mengorupsi Indonesia, Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009).
45
HUKUM, MORAL DAN POLITIK: REALITAS MARAKNYA KORUPSI OLEH PARA PEMEGANG KEKUASAAN DI INDONESIA Oleh Suhadi1
Abstrak Indonesia adalah negara hukum, negara demokrasi (sistem politik representatif), dan juga negara berdasar Pancasila sebagai sumber moral bangsa. Hukum, moral, dan politik, tiga unsur utama dalam kehidupan masyarakat dan negara, memiliki relasi kuat satu sama lain. Dalam keadaan ideal moral sebagai landasan tujuan hukum, politik sebagai penopang hukum, politik memerlukan hukum dan moral agar efektif mencapai tujuannya. Hukum memerlukan politik, politik memerlukan hukum, dan agar politik dan hukum mencapai tujuannya diperlukan moral untuk mengawalnya. Apabila hukum tidak dibarengi dengan kekuasaan (politik), hukum tidak akan berarti, karena tidak ada power untuk menegakkannya. Sebaliknya, apabila politik (kekuasaan) tidak dibarengi dengan hukum, maka akan cenderung untuk disalahgunakan dan tak terkendali. Dalam kenyataannya politik yang dijalankan para pemegang kekuasaan mengabaikan hukum dan moral, karena politik memiliki power yang lebih tinggi dibanding hukum dan moral. Hukum yang masih dikendalikan oleh politik dan mengabaikan moral, merupakan tampilan dari hukum berkarak terrepresif. Kata-kata kunci: Hukum, Moral, Politik, Korupsi, Pemegang Kekuasaan
PENDAHULUAN Era reformasi, sebuah era yang didambakan akan dapat mewujudkan Indonesia baru yang lebih baik, setelah berlangsung kurang lebih 15 tahun ternyata menghadirkan kenyataan yang jauh dari harapan. Korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai salah satu musuh gerakan reformasi ternyata tidak kunjung sirna dan bahkan semakin menggurita. Terungkapnya praktik mafia pajak, mafia peradilan, makelar proyek, dan sengkarutnya “deal-deal” anggaran di DPR menjadi bukti nyata gagalnya pemberantasan korupsi di era reformasi. “Perseteruan” antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan POLRI, antara KPK dengan DPR dan KPK dengan Partai Keadilan Sejahtera akhir-akhir ini semakin menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap upaya-upaya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel. Bahkan, Achmad Ali mengatakan proses pemberantasan korupsi malah sering menimbulkan korupsi baru, para tersangka atau terdakwa kasus dugaan korupsi, terutama dari “kelas kakap” ramai-ramai dijadikan “ATM berjalan” 1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang 47
(dijadikan objek pemerasan) dari sosok-sosok penegak hukum tertentu. Lebih jauh dia mengatakan bahwa di era reformasi ini telah terjadi “politisasi pemberantasan korupsi” yang lebih sadis dari “tebang pilih” menjadi “tebang pesanan”. Sosok yang sama sekali tidak bersalah, tetapi hanya karena pesanan dipaksakan untuk ditersangkakan atau diterdakwakan. Lege abitur, instrument criminis atau hukum diubah menjadi alat kejahatan.2 Senada dengan Achmad Ali, Artidjo Alkostar menyatakan bahwa adanya primus interpares dalam penanggulangan korupsi telah mengundang suasana yang tragikomatik yang pada gilirannya menunjukkan adanya krisis keadilan.3 Indeks Persepsi Korupsi sebagaimana dikeluarkan oleh Transparency International Tahun 2012, menempatkan Indonesia di urutan 118 dari 174 negara dengan skor 32.4 Data yang dirilis oleh lembaga survey internasional itu juga menunjukkan tingkat kebersihan masing-masing komponen baik legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Data Global Corruption Barometer 2010/2011 Transparency International menunjukkan bahwa tingkat korupsi di parlemen menempati urutan teratas yaitu 3.6 diikuti oleh partai politik sebesar 3.5, lalu yang mencengangkan adalah keberadaan 2 institusi penegakan hukum di Indonesia yang berturut-turut menempati posisi 3 dan 4 yaitu kepolisian dengan 3.5 dan Kehakiman dengan 3.3, tingkat paling rendah dimiliki oleh badan keagamaan dengan 2.5.5 Hal itu paralel dengan apa yang muncul dalam berbagai pemberitaan media bahwa korupsi di Indonesia terjadi secara massif, bukan saja pada bidang eksekutif, tetapi juga pada bidang legislatif dan bahkan bidang yudikatif. Korupsi tidak hanya terjadi pada level pemerintah pusat tetapi juga pada pemerintah daerah, bukan saja dilakukan oleh pejabat tinggi tetapi juga dilakukan oleh pegawai-pegawai tingkat rendah. Kasus korupsi simulator SIM yang melibatkan jenderal polisi dan mafia pajak Gayus Tambunan paling tidak dapat menjadi contoh hal yang dimaksud. Namun dari semuanya itu, yang pasti adalah mereka semuanya orang - orang yang memegang kekuasaan
2
3
4
5
Achmad Ali, 2008, Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom&Artikel Pilihan dalam Kolom Bidang Hukum. Kencana Prenada Media Group, Jakarta. hlm. 198. Artidjo Alkostar, 1999, “Pembangunan Hukum dan Keadilan” dalam Moh. Mahfud MD, dkk. (Editor). Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, UII Press, Yogyakarta. hlm. 356. Skor 0 menunjukkan negara memiliki tingkat korupsi paling tinggi dan skor 100 menunjukkan negara yang bersangkutan sangat bersih. Indonesia yang berada di urutan 118 tersebut posisinya sama dengan negara Republik Dominiko, Yunani, Equador dan Madagaskar. Bahkan yang cukup mencengangkan adalah Indonesia berada persis di bawah Timor Leste (http://www.transparency.org/cpi2012/results, diundduh pada tanggal 11 Mei 2013). Transparency International,2012.Global Corruption Barometer 2010/2011 48
yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi atau bahkan menekan pihak lain dalam bidangnya masing-masing. Korupsi yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan yang termasuk bidang yudikatif secara logika sebenarnya agak susah dipahami. Kekuasaan yang mereka miliki sesungguhnya adalah amanat rakyat untuk mengelola negara ini menuju pada tujuan bersama masyarakat yang adil dan makmur. Apalagi kalau itu terjadi di bidang yudikatif, memang agak ironis mengingat bidang yudikatif secara hukum dan moral merupakan bidang yang sangat erat dengan penegakan hukum. Bidang inilah yang memiliki tugas utama mengawal dan mengontrol agar eksekutif menjalankan kekuasaan sebagaimana yang telah digariskan oleh legislatif. Namun demikian, fakta memperlihatkan korupsi di bidang yudikatif ini cukup banyak. Selain hakim-hakim yang menangani kasus mafia pajak Gayus Tambunan, hakim-hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Pontianak dan Semarang terkait dengan kasus korupsi APBD Grobogan, dan terakhir yang masih cukup hangat adalah hakim yang sekaligus Wakil Pengadilan Negeri Bandung yang diduga menerima suap merupakan suatu bukti adanya praktik penegakan hukum yang korup. Dari kasus-kasus tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa aparatur negara penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum justru menunjukkan hal yang sebaliknya yakni merusak hukum. Kekuasaan yang diembannya, yang seharusnya diabdikan bagi tegaknya negara hukum Indonesia acapkali dimanfaatkan untuk kepentingan diri sendiri, kelompok atau partainya. Atas dasar uraian di atas, secara singkat dapat dikatakan bahwa korupsi yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan di Indonesia sudah semakin merajalela. Di sisi lain, Indonesia adalah negara hukum, negara demokrasi (sistem politik representatif), dan juga negara yang berdasar Pancasila sebagai sumber moral bangsa. Praktik korupsi yang terjadi di Indonesia yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan menghadirkan pertanyaan dimanakah hukum, moral, dan juga politik sebagai sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sehubungan dengan hal tersebut permasalahan yang akan dijawab dalam tulisan ini adalah bagaimanakah relasi antara hukum, moral dan politik? Mengapa korupsi yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan di Indonesia tidak kunjung dapat diberantas meskipun Indonesia memiliki hukum, moral, dan politik. Relasi Hukum, Moral, dan Politik Hukum, moral dan politik merupakan istilah yang sangat populer di dalam masyarakat Indonesia, terutama sejak bergulirnya era reformasi. Salah satu latar belakang utama lahirnya gerakan reformasi adalah karena terjadinya krisis hukum, krisis moral, dan krisis politik, sehingga salah satu tujuan utama reformasi adalah memulihkan kehidupan hukum, moral dan politik menuju 49
cita-cita hidup bersama dalam negara Indonesia. Sebelum diuraikan tentang relasi hukum, moral, dan politik, akan terlebih dahulu disinggung tentang pengertian hukum, moral, dan politik, untuk memberikan arah bagi uraian selanjutnya. Mengingat beragamnya pengertian hukum, dalam tulisan ini dikutip pengertian hukum dari Achmad Ali, yang menyatakan bahwa hukum adalah seperangkat norma tentang apa yang benar dan apa yang salah, yang dibuat atau diakui eksistensinya oleh pemerintah, yang dituangkan baik sebagai aturan tertulis (peraturan) ataupun yang tidak tertulis, yang mengikat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya secara keseluruhan, dan dengan ancaman sanksi bagi pelanggar aturan itu.6 Moral dari sisi peristilahan berasal dari kata bahasa Latin mos (tunggal) dan mores (jamak) yang berarti kebiasaan, kelakuan, kesusilaan. Istilah lain yang memiliki makna sama dengan moral adalah etika atau ethiek (Belanda), ethics (Inggris), akhlak (Arab) atau kesusilaan (Indonesia), etos (Yunani). Etos dalam bahasa Yunani berarti kebiasaan, kelakuan, yang berbicara bukan hanya apa yang biasa dilakukan orang atau sekelompok orang melainkan juga apa yang menjadi pemikiran dan pendirian mereka mengenai apa baik dan apa yang tidak baik, mengenai apa yang patut dan apa yang tidak patut untuk dilakukan. Moral adalah pengaturan perbuatan manusia sebagai manusia ditinjau dari segi baik buruknya dipandang dari hubungannya dengan tujuan akhir hidup manusia berdasarkan hukum kodrati.7 Tujuan akhir manusia berdasarkan hukum kodrati ini adalah kesempurnaan manusia sebagai manusia yang pada ujung akhirnya tujuannya adalah sama yakni Tuhan sendiri, karena manusia semuanya akan kembali kepadaNya. Ramlan Surbakti menjelaskan sekurang-kurangnya ada lima pandangan mengenai politik. Pertama, politik ialah usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik ialah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketiga, politik sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan/atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.8 Berdasarkan pandangan tersebut tampak bahwa politik berkaitan dengan hal asosiasi warga negara untuk membicarakan dan menyelenggarakan hal ikhwal yang menyangkut kepentingan bersama seluruh warga masyarakat. Dalam konteks
6 7
8
Achmad Ali, op cit. Hlm 2 A. Gunawan Setiardja, 1990, Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Hlm. 113 Ramlan Surbakti, 1992. Memahami Ilmu Politik. Grasindo, Jakarta. Hlm 2 50
ini sebenarnya politik terkait dengan kegiatan merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum yang dilakukan oleh para elit politik. Politik juga berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang di dalamnya termasuk struktur kelembagaan, kekuasaan, dan kewenangan. Politik juga terkait dengan usaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat, yang di dalamnya menyangkut hakikat, kedudukan, dan penggunaan kekuasaan. Dalam kaitan ini sangat mudah dilihat adanya pihak-pihak dalam masyarakat yang berusaha untuk mendapatkan nilai-nilai yang sama tetapi di lain pihak ada kelompok yang berusaha untuk mempertahankan nilai. Dengan kata lain, kekuasaan merupakan aspek utama dari politik. Setelah diketahui pengertian masing-masing baik hukum, moral, maupun politik, pertanyaan kemudian adalah bagaimana relasi antara ketiganya. Berbicara tentang relasi berarti berbicara tentang hubungan antara hukum, moral, dan politik, berbicara tentang hubungan timbal balik dan kemungkinan tarik menarik antara hukum, moral dan politik itu sendiri. Dengan merujuk pendapat Thomas Aquinas, Peter Mahmud Marzuki 9 mengemukakan bahwa moral merupakan dasar aturan hukum. Tujuan hukum atau cita hukum tidak lain adalah keadilan. Esensi keadilan berpangkal pada moral yang mewujud pada cinta kasih dan kebersamaan. Hukum dibangun berdasarkan kemampuan nalar manusia mengidentifikasi tingkah laku yang benar dilihat dari keadaan alamiah manusia. Lebih lanjut Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa prinsip moral sudah harus diadopsi pada saat pembuatan undang-undang. Pendapat lainnya tentang hubungan hukum dan moral dikemukakan oleh Gunawan Setiardja. Menurut Gunawan Setiardja, baik hukum maupun moral kedua-duanya mengatur perbuatan-perbuatan manusia sebagai manusia, kedua-duanya terdiri atas norma-norma yang mengatur perbuatan-perbuatan manusia itu. Perbedaan antara hukum dan moral diantaranya adalah hukum dapat dipaksakan, sedangkan moral tidak dapat dipaksakan. Hukum menuntut manusia untuk melakukan perbuatan secara lahir, sedangkan moral menuntut bukan saja perbuatan lahir melainkan juga sikap batin. Hukum adalah heteronom (manusia terikat pada norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakatnya), sedangkan moral itu otonom. Hukum memiliki aparat untuk memberi sanksi apabila hukum dilanggar, sanksinya lebih dominan berupa sanksi fisik, sedangkan moral sanksinya bersifat batin. Hukum dalam bentuk hukum positif terikat pada waktu dan tempat, sedangkan moral tidak terikat pada waktu dan tempat tertentu.10 Dengan demikian antara hukum dan moral
9
10
Peter Mahmud Marzuki. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Hlm 139-147 A. Gunawan Setiardja. Op cit. Hlm 113-115 51
sesungguhnya memiliki wilayah yang sama yakni sama-sama mengatur perbuatan manusia, hanya saja hukum lebih berada pada hal yang lebih nyata, konkrit, sedangkan moral berada pada wilayah yang lebih abstrak. Relasi antara hukum dan politik antara lain diuraikan oleh Moh. Mahfud MD. Menurutnya ada tiga kemungkinan yang timbul dari relasi hukum dan politik. Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatankegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bakan saling bersaingan. Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.11 Berdasarkan pendapat ini, relasi ideal hukum dan politik adalah pada kemungkinan yang ketiga yaitu berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang satu dengan yang lain. Hukum, moral, dan politik sesungguhnya memiliki relasi atau pertalian erat satu dengan yang lain. Hukum memerlukan politik, politik memerlukan hukum, dan agar politik dan hukum mencapai tujuannya diperlukan moral untuk mengawalnya. Apabila hukum tidak dibarengi dengan kekuasaan (politik), hukum tidak akan berarti, karena tidak ada power untuk menegakkannya. Sebaliknya, apabila politik (kekuasaan) tidak dibarengi dengan hukum, maka akan cenderung untuk disalahgunakan dan tak terkendali. Dalam konteks ini dikenal slogan yang "populer hukum tanpa kekuasaan adalah angan angan, dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman". Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa hukum membutuhkan kekuasaan, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan kekuasaan itu untuk menunggangi hukum. Lebih lanjut dijelaskannya bahwa pada masyarakat yang diatur oleh hukum, hukum merupakan sumber kekuasaan. Kekuasaan yang ada pada orang-orang atau lembaga pemegang kekuasaan kenegaraan itu hanya bisa diberikan oleh hukum.12 Untuk mencegah terjadinya struktur kekuasaan yang bersifat menindas dikembangkanlah sistem hukum yang menyeimbangkan kekuasaan dengan cara distribusi hak dan privilige di antara individu dan kelompok.13 Selain hukum, salah satu pengendali agar kekuasaan (politik) tidak disalahgunakan adalah moral yang berhubungan dengan tujuan akhir hidup manusia. Dalam menjalankan kekuasaan, seharusnya semua diabdikan pada 11
12
13
Moh. Mahfud MD. 2001. Politik Hukum di Indonesia. Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta. Hlm 8 Satjipto Rahardjo. 2000. Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti: Bandung. Hlm 146148. Peter Mahmud Marzuki, op cit. Hlm 84 52
tercapainya kesempurnaan manusia untuk menghadap Sang Khalik, dan oleh karena itu seharusnya pula kekuasaan dijalankan sesuai dengan prinsip untuk kemaslahatan manusia. Hukum, moral dan politik dalam tataran ideal sesungguhnya bersifat komplementer artinya apa yang diidealkan oleh hukum dan moral dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen yang disediakan oleh politik, sebaliknya apa yang diidealkan oleh politik dapat dicapai melalui hukum dan moral. Penghormatan terhadap nilai-nilai yang dijamin oleh hukum dan demikian juga moral sebenarnya dapat difasilitasi oleh politik untuk mewujudkannya. Namun sayangnya, beberapa aspek dari politik, misalnya upaya untuk mempertahankan kekuasaan dan praktik-praktik penggunaan kekuasaan dalam kenyataannya sering bertentangan dengan ideal politik sebagai sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Usaha untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan acapkali terjadi secara lebih dominan meskipun dengan melanggar nilai, norma dan kepatutan sebagaimana dijunjung tinggi oleh hukum dan moral. Dalam konteks semacam inilah, relasi antara hukum, moral dan politik bersifat antagonis. Apabila kondisi ini yang selalu terjadi, maka hukum, moral, dan politik bisa saling mendominasi, padahal yang diharapkan adalah ketiganya saling melengkapi dan saling menunjang untuk mencapai tujuan hidup bersama. Energi Tak Setara: Penyebab Maraknya Korupsi Sebagaimana telah disinggung pada uraian sebelumnya, kekuasaan merupakan aspek utama dari politik. Bila hal ini dikaitkan dengan maraknya korupsi di Indonesia, fakta memperlihatkan bahwa sebagian besar pelaku korupsi adalah orang-orang yang memiliki atau memegang kekuasaan. Kekuasaan ini bisa berada pada lapangan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Kasus-kasus korupsi besar di Indonesia antara lain dilakukan oleh anggota DPR, Menteri, Gubernur, Bupati/Walokota, Jaksa, Polisi, Hakim, Pegawai Pajak, mereka semua adalah orang-orang yang memegang kekuasaan. Sebagian kasus itu sudah menjadi terang karena sudah diputus oleh pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, sebagian lagi masih dalam proses hukum. Maraknya korupsi yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan menunjukkan bahwa keinginan untuk menjadikan hukum sebagai supreme yang akan digunakan sebagai dasar dari segala kebijakan, pengaturan dan pengendalian hidup berbangsa dan bernegara yang diperkokoh dengan moral bangsa (Pancasila) masih sebatas angan-angan yang jauh dari kenyataan. Supremasi hukum dan kendali moral masih sebatas utopia yang masih jauh dari realita. Dalam kondisi riil, hukum dan moral harus berhadapan dengan kekuatan politik (kekuasaan) yang sangat kuat. Dalam kondisi semacam ini
53
umumnya hukum akan kalah, sebab dengan meminjam istilah Talcott Parson14, energi yang dimiliki hukum dan moral sebagai subsistem budaya maupun sosial dari sistem besar masyarakat jauh lebih kecil dibandingkan dengan energi yang dimiliki oleh politik, dan bahkan lebih kecil lagi bila dibandingkan dengan ekonomi. Dalam kondisi semacam inilah, hukum dan moral kerapkali tunduk dan berada di bawah kekuatan politik (kekuasaan), sehingga hukum setiap saat dapat dipermainkan. Sebaliknya, kekuatan politik menunjukkan diri semakin dominan. Kekuatan politik dapat “melahap” apa saja yang menurut kalkulasi politik dianggap merugikan, dan bila perlu termasuk melawan hukum dan moral sekalipun. Dengan meminjam Teori Sibernetikanya Talcott Parson tersebut, memang masuk akal ketika hukum dan moral harus “kalah” dengan politik karena energi yang dimiliki hukum dan moral lebih kecil dibandingkan dengan politik. Maraknya korupsi yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan terjadi karena diabaikannya moral dalam menjalankan kekuasaan. Seorang filsuf yang bernama Taverne pernah mengatakan bahwa “ berikanlah penulis seorang jaksa yang jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang yang paling buruk pun, penulis akan menghasilkan putusan yang adil”. Hal senada diungkapkan oleh Eugene C. Gerhart, bahwa keteguhan hati adalah atribut yang teramat sangat penting bagi seorang hakim/hakim agung. Ia adalah lebih penting ketimbang kecakapan atau visi….Ia tidak dapat dibatasi, tidak dapat untuk tidak diberlakukan, atau tidak dapat usang, dan ia akan merembes loronglorong keadilan, dan ruang-ruang pikiran. Ungkapan tersebut menunjukkan betapa moral memegang peranan penting dalam menjalankan kekuasaan. Memang ungkapan tersebut hanya menunjuk pada jaksa dan hakim, tetapi dapat juga setiap pemegang kekuasaan, karena pada dirinya kekuasaan cenderung disalahgunakan, sebagaimana ungkapan yang sangat terkenal dari Lord Acton yang mengatakan power tends to corrupt, but absolut power corrupt absolutely. Kekuasaan (politik) yang disalahgunakan dengan perilaku korup para pemegang kekuasaan dapat dipandang sebagai perbuatan yang bukan saja melanggar hukum tetapi sekaligus amoral. Kekuasaan yang dimiliki oleh orang perorang atau lembaga kenegaraan bersumber pada hukum. Mereka berkuasa karena dipercaya oleh rakyat, sebagaimana prinsip demokrasi yang dianutnya.
14
Ronny Hanitijo Soemitro.1989. Perspektif Sosial Dalam Pemahaman Masalahmasalah Hukum. Agung: Semarang, Hlm 29-30. Teori Sibernetika Talcott Parson merupakan penggambaran yang lengkap mengenai tingkah laku manusia dengan semua perkaitannya.
54
Demokrasi15 merupakan dasar hidup bernegara yang menempatkan rakyat dalam posisi berkuasa (government or role by people). Dalam prinsip ini, maka rakyat sendirilah yang akan menentukan kehidupannya dalam bernegara. Dengan merujuk pendapatnya Abraham Lincoln, demokrasi adalah government of the people, by the people, and for the people. Dalam kaitannya dengan demokrasi ini dikatakan bahwa ada dua penekanan, yang pertama dalam tataran ide dimana demokrasi menekankan kedaulatan ada di tangan rakyat, dan karena itu pemerintahan diselenggarakan dari, oleh, dan untuk rakyat, meskipun melalui lembaga perwakilan baik pada lembaga legislative, eksekutif, maupun yudikatif. Penekanan yang kedua pada perwujudan demokrasi dalam kehidupan politik sebagai rangkaian prosedur yang mengatur rakyat untuk memilih, mendudukkan dan meminta pertanggung jawaban wakilnya di lembaga perwakilan. Korupsi oleh para pemegang kekuasaan merupakan pencideraan terhadap amanat rakyat dan itu berarti perbuatan yang tidak mengindahkan moral. Maraknya korupsi yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan juga bisa dijelaskan dengan meminjam teorinya Philippe Nonet dan Philip Selznick yang dijelaskan dalam karyanya Law and Society in Transition: Toward Responsive Law. Ia menjelaskan bahwa . ...three modalities or basic “states” of law-in-society: (1) law as the servant of represive power, (2) law as a differentiated institution capable of taming repression and protecting its own integrity, and (3) law as a facilitator or response to social needs and aspirations.16 Dalam menjelaskan relasi hukum dengan kekuasaan, Nonet dan Selznick melakukan pembagian tipe-tipe hukum menjadi 3, yaitu hukum represif (repressive law), hukum otonom (autonomous law) dan hukum responsif (responsive law). Hukum represif adalah hukum sebagai alat kekuasaan represif. Hukum otonom adalah hukum sebagai suatu pranata yang mampu menetralisir represi dan melindungi integritas hukum itu sendiri. Hukum responsif adalah hukum sebagai suatu sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi-aspirasi masyarakat.17 Nonet dan Selznick juga menjelaskan secara rinci perbedaan antara ketiga tipe hukum tersebut. Tujuan hukum dalam tipe hukum represif adalah ketertiban, hukum otonom adalah legitimasi, sedangkan hukum responsif adalah kompetensi. Dalam hubungannya dengan politik, dalam hukum represif 15
16
17
Afan Gaffar. 1999. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hlm 11 Philippe Nonet & Philip Selznick, 2001. Law and Society inTransition: Toward Responsive Law , New York, Hagerstown, San Fransisco and London,Harper Colophon Books, p 14-15 Ibid, hlm 16 55
hukum subordinat terhadap politik, dalam hukum otonom, hukum independen dari politik atau pemisahan kekuasaan, sedangkan dalam hukum responsif terintegrasinya aspirasi hukum dan politik, keberpaduan kekuasaan.18 Korupsi yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan memperlihatkan bahwa kekuasaan para pemegang kekuasaan ini lebih berdaya daripada hukum yang mengatur perilaku mereka. Dalam wajahnya yang demikian, karakter hukum masih menampakkan diri sebagai hukum yang represif, belum menjadi hukum yang otonom, apalagi hukum yang responsif. PENUTUP Hukum, moral, dan politik merupakan 3 (tiga) unsur utama dalam kehidupan masyarakat dan negara. Antara hukum, moral, dan politik memiliki relasi yang kuat satu sama lain. Moral merupakan landasan tujuan hukum, hukum bisa efektif mencapai tujuannya kalau ditopang oleh politik, demikian juga politik memerlukan hukum dan moral agar politik dapat berjalan mencapai tujuannya untuk kemaslahatan kehidupan bersama. Korupsi yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan di Indonesia masih marak terjadi karena dalam menjalankan kekuasaanya para pemegang kekuasaan mengabaikan hukum dan moral. Pengabaian ini terjadi karena politik memiliki power yang lebih tinggi dibanding hukum dan moral. Kekuasaan (politik) yang diemban oleh para pemegang kekuasaan di Indonesia yang berperilaku korup ditunaikan sekehendak hatinya, bukan untuk kepentingan bangsa dan negara tetapi lebih untuk kepentingan diri sendiri, kelompok, atau golongannya. Mengingat hukum memerlukan politik, dan politik memerlukan hukum, maka hukum harus dapat membatasi kekuasaan secara lebih jelas melalui produk hukum yang dihasilkannya. Selain itu, pada waktu penyusunan produk hukum, moralitas harus sudah dimasukkan agar hukum yang dibuat sejalan dengan pencapaian tujuan hidup manusia. Dalam konteks ini, tahap penyusunan hukum dan pelaksanaan hukum menjadi teramat penting. Oleh karena itu, pengawalan rakyat terhadap proses pembentukan dan sekaligus pelaksanaan hukum perlu terus dilakukan. Mengingat pemegang kekuasaan pembuat hukum (hukum negara) adalah orang-orang yang mendapat amanat dari rakyat, maka rakyat seharusnya meningkatkan kontrolnya kepada wakilnya agar hukum yang dibuat melalui proses politik adalah proses yang bermoral. Secara lebih khusus, untuk dapat melakukan kontrol secara maksimal rakyat perlu dibekali pendidikan anti korupsi agar peran yang dilakukan bersinergi dengan gerakan anti korupsi secara luas. 18
Phillipe Nonet & Philip Selznick, loc cit. 56
DAFTAR PUSTAKA Ali, Achmad. 2008. Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom&Artikel Pilihan dalam Kolom Bidang Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Alkostar, Artidjo. 1999. “Pembangunan Hukum dan Keadilan” dalam Moh. Mahfud MD, dkk. (Editor). Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan. Yogyakarta: UII Press. Gaffar, Afan. 1999. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Jakarta: Pustaka Pelajar. Marzuki, Peter Mahmud. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Moh. Mahfud MD. 2001. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES. Nonet, Phillipe & Philip Selznick, 2001. Law and Society inTransition: Toward Responsive Law, New York, Hagerstown, San Fransisco and London,Harper Colophon Books Rahardjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. Ronny Hanitijo Soemitro.1989. Perspektif Sosial Dalam Pemahaman Masalahmasalah Hukum. Semarang: Agung. Setiardja, Gunawan. 1990. Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Kanisius Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo Transparency International. Global Corupption Barometer http://gcb.transparency.org/gcb201011/results/diunduh tanggal 11 April 2013
57
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Oleh: Dr. Sri Endah Wahyuningsih, SH. M.Hum. Dr. Martitah, M.Hum.
Abstrak Tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extra-ordi nary crimes), maka upaya pemberantasannyapun tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi harus dengan cara-cara luar biasa (extra-ordinary measures), Penggunaan sanksi pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan secara integral dengan upaya non penal. Usaha penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) sendiri sebenarnya bukan sarana yang utama tetapi bersifat subsidair. Kebijakan penggunaan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia selama ini antara lain tertuang dakam KUHP, Peraturan Penguasa Militer No.Prt/PM/06/1957, Perpu No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi kemudian pada masa orde baru keluarlah Undang-Undang No.3 Tahun 1971, UUNo. 31 Tahun 1999, dan Undang-undang No.20 Tahun 2001.
PENDAHULUAN Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat, perkembangannya terus meningkat dari tahun ke-tahun baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan Negara maupun dari sisi kualitas yang semakin sistematis serta lingkupnya memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat, sehingga predikat sebagai salah satu negara terkorup di dunia, menjadi kenyataan pahit yang tidak dapat dihindarkan bagi bangsa kita. Dalam resolusi “corruption in government” (hasil Konggres PBB ke8/1990) dinyatakan, bahwa korupsi tidak hanya ada kaitan erat dengan berbagai bentuk “economic crimes”, tetapi juga dengan kejahatan teroganisir (“organized crimes”), perdagangan obat-obatan gelap/terlarang (“ illicit drug trafficking”), dan penyucian uang haram (“ money loundering”). Di dalam The Asian Regional Ministerial Meeting on Transnational crime” yang diselenggarakan di Manila (Filipina) pada tanggal 23 – 25 Maret 1998, korupsi juga dimasukkan sebagai salah satu bentuk “transnational crime”. Berdasarkan hasil survey Lembaga Transparancy Internasional Indonesia yang dilansir oleh Tempo 10 Juli 2013 mengenai korupsi yang terjadi di Indonesia, dikatakan bahwa: Indonesia berada di empat negara terbawah dalam urutan tingkat korupsi. Berdasarkan indeks persepsi korupsi yang 59
dilansirnya Indonesia berada di angka 32. Indeks persepsi korupsi ini merupakan indikator gabungan yang mengukur tingkat persepsi korupsi dari berbagai negara.1 Fakta tersebut tentu menjadi hal yang cukup memprihatinkan mengingat berbagai upaya pemberantasan korupsi, baik upaya penggunaan sarana penal/hukum pidana maupun sarana non penal. sudah dilakukan tapi hasilnya belum memuaskan. Tampaknya pidana yang dijatuhkan oleh hakim kepada para koruptor, tidak membawa efek jera bagi masyarakat (efek prevensi general), sehingga tindak pidana korupsi masih marak terjadi di Indonesia. Oleh karena itu penggunaan sanksi pidana dalam perumusan perundang-undangan selama ini perlu dilakukan evaluasi, baik tentang perbuatannya, pertanggungjawabannya maupun sanksi pidananya. KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DENGAN SARANA PENAL DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Penggunaan sanksi pidana dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi memang sudah selayaknya dilakukan, karena korupsi tidak hanya merugikan keuangan Negara tetapi telah merusak se4ndi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi penggunaan sanksi pidana sebagai upaya penanggulangan kejahatan harus dilakukan secara hemat dan cermat agar dapat diaplikasikan secara efektif oleh aparat penegak hukum dan bukan menjadi perumusan sanksi yang sia-sia. Memang membahas hukum pidana dengan segala aspeknya (aspekaspek sifat melawan hukum, kesalahan, dan pidana), akan selalu menarik perhatian, berhubung dengan sifat dan fungsinya yang istimewa. Sering dikatakan bahwa hukum pidana memotong dagingnya sendiri2 serta mempunyai fungsi ganda yakni yang primer sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang rasional (sebagai bagian politik kriminal) dan yang sekunder sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial sebagaimana dilaksanakan secara spontan atau secara dibuat oleh negara dengan alat perlengkapannya.3 Sudarto berpendapat bahwa yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu, sedangkan Roeslan Saleh menyatakan
1
2
3
http://www.tempo.co/read/news/2013/07/11/063495321/Di-ASEANTingkat-Korupsi-Indo-nesia-Kian-Memburuk didownload pada tanggal 18 Juni 2013 pukul 21.30 Wib. Van Bemmelen, Dalam Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 15. Sudarto, dalam Muladi, Ibid, hlm. 15-16. 60
bahwa pidana adalah reaksi atas delik dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu.4 Jadi hakikat pidana merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan, oleh sebab itu Barda Nawawi Arief dalam sebuah makalahnya menyatakan: Salah satu aspek hukum pidana yang menarik dibandingkan dengan bidang hukum lainnya, bahwa hukum pidana mengandung sifat kontradiktif, dualistik, atau paradoksal. Di satu pihak hukum pidana bermaksud melindungi kepentingan/benda hukum dan hak asasi manusia dengan merumuskan norma-norma perbuatan yang terlarang, namun di lain pihak hukum pidana menyerang kepentingan hukum/HAM seseorang dengan mengenakan sanksi (pidana/tindakan) kepada si pelanggar norma. Sifat paradoksal dari hukum pidana ini sering digambarkan dengan ungkapan yang sangat terkenal: “Rechts guterschutz durch Rechtsguterverletzung” (“perlindungan benda hukum melalui penyerangan benda hukum”). Oleh karena itu sering dikatakan, bahwa ada sesuatu yang menyedihkan (“tragik”) dalam hukum pidana, sehingga hukum pidana sering dinyatakan pula sebagai “pedang bermata dua”.5 Karena hukum pidana mengandung sifat yang kontradiktif, dualistik, dan paradoksal maka apabila hukum pidana akan digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan pendekatan humanistik harus diperhatikan. Hal ini penting, tidak hanya karena kejahatan itu pada hakekatnya merupakan masalah kemanusiaan, tetapi juga karena pada hakekatnya pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia.6 Pendekatan di atas penting karena upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi juga merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau policy (yaitu bagian dari politik hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial) dan di dalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. Menurut Mohamad Mahfud MD politik hukum adalah arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara.7
4
5
6
7
Dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Opcit., hlm 2. Barda Nawawi Arief, Perlindungan HAM dan Tindakan Kekerasan Dalam Penegakan Hukum Pidana, Bahan Diskusi Panel RUU Kepolisian, 15 Juli 1997, FH. UNDIP, hlm. 1. Barda Nawawi Arief , Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Op-cit., hlm. 45. Mohamad Mahfud MD, “Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional”, Makalah disampaikan pada Seminar Arah Pembangunan Hukum 61
Adapun penegakan/fungsionalisasi hukum pidana tindak pidana korupsi dilakukan melalui serangkaian proses yang terdiri dari tiga tahap, yaitu: 1. Tahap kebijakan legislatif/formulatif, 2. Tahap kebijakan yudikatif/aplikatif; dan 3. Tahap kebijakan eksekutif/administratif.9 Dari ketiga tahap tersebut posisi yang paling strategis adalah tahap kebijakan legislatif/formulatif, karena jika dilihat dari aspek substantif dalam tahap ini dirumuskan mengenai 3 masalah pokok hukum pidana yaitu: masalah perbuatan apa yang dijadikan tindak pidana (asas legalitas), masalah pertanggungjawaban pidana (asas kesalahan/culpabilitas) dan masalah pidana dan pemidanaan. Sedangkan tahap lain hanya melanjutkan dari tahap formulasi tersebut. Usaha penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) sendiri sebenarnya bukan sarana yang utama karena mengandung berbagai kelemahan dan keterbatasan, yang menurut Barda Nawawi Arief dapat diidentifikasi sebagai berikut: a. dilihat secara dogmatis/idealis, sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam/keras (oleh karena itu juga sering disebut sebagai "ultimum remedium"); b. dilihat secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi (antara lain: berbagai undang-undang organik, lembaga/aparat pelaksana) dan lebih menuntut "biaya yang tinggi"; c. sanksi hukum pidana merupakan "remedium" yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif; d. penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan "kurieren am symptom" (menanggulangi/menyembuhkan gejala); jadi hokum / pidana hanya merupakan "pengobatan simptomatik" dan bukan "pengobatan kausatif" karena sebab kejahatan yang demikian kompleks berada di luar jangkauan hukum pidana; e. hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub sistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks
9
62
Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2006. hlm.3 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm.25.
(sebagai masalah sosio-filosofis, sosio-politik, sosio-ekonomi, sosiokultural dan sebagainya); f. sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/ personal, tidak bersifat struktural atau fungsional; g. efektivitas pidana masih bergantung pada banyak faktor dan oleh karena itu masih sering dipermasalahkan.10 Mengingat fungsinya yang "subsidiair", maka dalam menggunakan sarana "penal" ada beberapa pedoman atau "prinsip pembatas" {"the limiting' principles") yang sepatutnya mendapat perhatian. Nigel Warker pernah mengingatkan beberapa "prinsip pembatas" antara lain sebagai berikut : a. jangan hukum pidana (HP) digunakan semata-mata untuk tujuan pembalasan; b. jangan menggunakan HP untuk memidana perbuatan yang tidak merugikan/membahayakan; c. jangan menggunakan HP untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana-sarana lain yang lebih ringan; d. jangan menggunakan HP apabila kerugian/bahaya yang timbul dari pidana lebih besar daripada kerugian/bahaya dari perbuatan/tindak pidana itu sendiri; e. larangan-larangan HP jangan mengandung sifat lebih berbahaya dari pada perbuatan yang akan dicegah; f. HP jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari publik; g. HP jangan memuat larangan/ketentuan-ketentuan yang tidak dapat dilaksanakan/dipaksakan ("unenfor ceable").11 Secara lebih singkat Jeremi Bentham pernah menyatakan bahwa janganlah pidana dikenakan/digunakan apabila “groundless, needless, unprofitable or inefficacious”,12 demikian pula Helbert L.Packer pernah mengingatkan bahwa penggunaan sanksi pidana suatu ketika merupakan “penjamin utama”, dan s u a t u k e t i k a merupakan "pengancam utama" dari kebebasan nanusia. la merupakan penjamin apabila digunakan seara hemat-cermat dan secara manusiawi; dan merupakan pengancam, apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. 13 10
11 12
13
Barda Nawawi Arief , Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.hlm.140. Nigel Walker dalam Barda Nawawi Arief , ibid, hlm. 141 Jeremi Bentham dalam Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Op-cit., hlm.142. Helbert.L.Packer dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1984, hlm.156. 63
Sebagai bagian integral dari sistem dan proses sosial, maka proses pemidanaan pengadilan harus menjadi pondasi dan ruh yang memberikan motivasi dan semangat bagi tegaknya supremasi hukum dan keadilan. Oleh sebab itu dalam proses pemidanaan harus mempertimbangkan tujuan pemidanaan. Adapun tujuan pemidanaan yang bersifat integratif menurut Muladi adalah sbb: 1. perlindungan masyarakat; 2. memelihara solidaritas masyarakat; 3. pencegahan (umum dan khusus) 4. pengimbalan/pengimbangan.14 Sedangkan tujuan pemidanaan menurut Konsep RUU KUHP 2012 adalah sbb: 1. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman mansyarakat; 2. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; 3. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan 4. membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Dengan tujuan pemidanaan seperti tersebut di atas mengandung makna bahwa sistem pemidanaan menurut hukum pidana nasional selain harus memperhatikan aspek perlindungan masyarakat juga aspek perlindungan individu atau sering disebut dengan keseimbangan mono-dualistik. Pandangan yang demikian dalam hukum pidana dikenal dengan istilah "Daad-dader strafrecht", yaitu hukum pidana yang memperhatikan segi-segi obyektif dari "perbuatan" (daad) dan juga segi-segi subyektif dari orang/pembuat (dader).15 Seperti diketahui penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana korupsi dibangun, berorientasi pada asas keseimbangan daad- dader strafrecht sebagai ciri dari aliran modern yang menghendaki diterapkannya prinsip keseimbangan dalam sistem pemidanaannya sehingga akan tercapai bukan hanya kepastian hukum tapi juga keadilan bagi masyarakat. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN PENANGGULANGAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat, perkembangannya terus meningkat dari tahun ke-tahun baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan Negara maupun dari sisi kualitas yang semakin sistematis serta lingkupnya memasuki seluruh aspek kehidupan
14 15
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung ,1993, hal.11 Ibid., hlm. 106-107. 64
masyarakat, sehingga predikat sebagai salah satu negara terkorup di dunia, menjadi kenyataan pahit yang tidak dapat dihindarkan bagi bangsa kita. Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan kebijakan dalam rangka pemberantasan korupsi, yang tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam: 1. Delik-delik korupsi dalam KUHP Jika kita tinjau sejarah perundang-undangan pidana korupsi, bagaimanapun juga perlu menengok jauh ke belakang yaitu Kitab UndangUndang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) yang berlaku di Indonesia sejak 1 Januari 1918. KUHP sebagai suatu kodifikasi dan unifikasi berlaku bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordansi (diselaraskan dengan WvS tahun 1881 di Belanda), diundangkan dalam Stbl 1915 Nomor 752, berdasarkan KB 15 Oktober 1915. Walaupun KUHP (WvS) 1915 telah diubah, ditambah dan diperbaiki oleh beberapa undang-undang nasional, yang dimulai dengan Undang-Undang RI Tahun 1946 Nomor 1 (berita RI Tahun II Nomor 9, 15 Maret 1946), UndangUndang RI Tahun 1946 Nomor 20 (berita RI Tahun II Nomor 24, 1 dan 15 November 1946), kemudian Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 yang membawa uniformitas, dan banyak lagi undang-undang lain, delik-delik korupsi yang ada di dalamnya tetap sebagimana mulanya sampai ditarik ke dalam Undang-Undang PTPK (UU No.3 Tahun 1971 dan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001). Bahkan redaksi dari pasal-pasal tersebut tetap sebagaimana aslinya, kecuali mengenai sanksinya yang otomatis mengikuti sanksi yang ditentukan oleh UU PTPK tersebut. Tindak pidana korupsi yang ada di dalam KUHP adalah meliputi Pasalpasal dalam KUHP yang mengatur mengenai delik jabatan (“ambtsalve delicten”) yakni 13 Pasal sebagai kategori delik korupsi yakni berturut-turut Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP. Pada saat mulai berlakunya UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi, maka 13 Pasal tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi dalam penerapan KUHP sebagai tindak pidana umum, karena telah dituangkan dalam UU No.31/1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi dimana pasal demi pasal tersebut telah tersendiri pengaturannya. 2. Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat Peraturan pemberantasan korupsi yang pertama ialah Peraturan Penguasa Militer tanggal 9 April 1957 No.Prt/PM/06/1957, tanggal 27 Mei No.Prt/PM/03/1957 dan tanggal 1 Juli 1957 No.Prt/PM/011/1957. Konsideran dari peraturan yang pertama di atas (9April 1957 no.Prt/PM/06/1957)mengatakan sebagai berikut: 65
“bahwa berhubung tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonimian negara, yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata cara kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha-usaha memberantas korupsi……..” Menilik kata-kata dalam konsiderans tersebut di atas, adalah adanya usaha untuk pertama kali memakai istilah-istilah korupsi sebagai istilah hukum dan memberi batasan pengertian korupsi sebagai berikut: “perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara”. Kemudian keluar Undang-undang Keadaan Bahaya No.74 Tahun 1957, sehingga ketiga peraturan di atas menurut hukum tidak berlaku lagi diganti dengan Peraturan Pemberantasan korupsi Prn Penguasa Perang Pusat No. Prt/Pererpu/013/1958 yang ditetapkan dan diumumkan pada tanggal 16 April 1958 dan disiarkan di BN No.40/1958. Dalam konsiderans peraturan tersebut, khususnya butir a disebutkan sebagai berikut: “bahwa untuk perkara-perkara pidana yang mempergunakan modal dan atau pelaggaran lainnya dari masyarakat misalnya bank, koperasi, wakaf, dan lain-lain atau yang bersangkutan dengan kedudukan si pembuat pidana, perlu diadakan tambahan beberapa aturan pidana pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan yang dapat memberantas perbuatanperbuatan yang disebut korupsi”. Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pembuat peraturan masih berusaha memperbaiki dan menambah peraturan yang terdahulu agar lebih efektif dalam memberantas korupsi. Yang menjadi fokus dari peraturan tersebut ialah bentuk khusus dari perbuatan korupsi, yaitu yang menyangkut keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan atau kelonggaran yang lain dari masyarakat. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa KUHP saja tidaklah cukup untuk menampung segala masalah yang timbul berhubung dengan perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara. Kemudian peraturan tersebut di atas diberlakukan pula untuk wilayah hukum Angkatan Laut dengan Surat Keputusan Kepala Staf AL No. Z/1/1/7, tanggal 17 April 1958 (diumumkan dalam BN No.42/58). Hal yang menarik dari ketentuan Peraturan Penguasa Perang Pusat (angkatan Darat dan Laut) tersebut ialah tentang pengertian korupsi yang tersebut pada Bagian I Pasal 1 yang dijabarkan dalam Pasal 2 dan 3. Disitu ditentukan, bahwa perbuatan korupsi terdiri dari atas: 1. perbuatan korupsi pidana dan, 2. perbuatan korupsi lainnya (Pasal 1).
66
Kemudian diberi penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan perbuatan korupsi pidana, yaitu: 1. perbuatan seseorang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran masyarakat; 2. perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan; 3. kejahatan - kejahatan tercantum dalam Pasal 41 sampai 50 Peraturan Penguasa Perang Pusat ini dan dalam Pasal 209, 210, 418, 419, dan 420 KUHP (Pasal 2). Demikianlah batasan yang pembuat peraturan maksudkan dengan perbuatan korupsi pidana. Ketiga hal ini diambil alih oleh undang-undang berikutnya dengan perbaikan redaksi serta penambahan delik-delik dari KUHP. 3. Perpu No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Berbagai Peraturan yang telah dikeluarkan oleh Penguasa Perang Pusat tentang pemberantasan korupsi waktu itu hanya bersifat darurat, bersifat kontemporer, yang berlandaskan Undang-Undang Keadaan Bahaya, maka dalam keadaan normal perlu dicabut. Yang kemudian dikeluarkan UU No.24 (Prp) Tahun 1960 yang mengambil alih sepenuhnya perumusan delik yang ada dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat dengan sedikit perubahan. Pada Pasal 1 ayat (1) sub a dan b hanya kata “perbuatan” diganti dengan “tindakan” karena undang-undang ini memakai istilah “tindak pidana korupsi” bukan “perbuatan korupsi pidana”. Perubahan lain adalah pada perumusan sub c hanya ditambah saja Pasal 415, 416, 417, 423, 425, dan 435 KUHP. Perumusan-perumusan Undang-undang No.24 (Prp) Tahun 1960 perlu dikaji, bukan saja sebagai suatu sejarah, tetapi juga berhubungan dengan adanya ketentuan peralihan dalam UU No.3 Tahun 1971 sehingga berlaku undangundang pada saat tindak pidana dilakukan. Undang-undang No.24 (Prp) Tahun 1960 juga lebih menguntungkan tertuduh karena selain ancaman pidananya lebih ringan, juga perumusan deliknya lebih sulit dibuktikan oleh jaksa.
67
4. Undang-Undang No.3 Tahun 1971 (LNRI No.19 Tahun 1971 Jo. TLNRI No. 2958) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jika menyimak rumusan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam pasalpasal UU No.3/1971 dapat diketahui bahwa rumusan nya termasuk dalam katagori delik atau tindak pidana formil. Sebagaimana diketahui delik atau tindak pidana formil adalah menegaskan suatu perbuatan menjadi perbuatan yang dapat dipidana adalah harus secara tegas ditentukan dalam rumusan pasal Undangundang sebagai tindak pidana. Artinya hakim dan penegak hukum pada umumnya, tidak dapat memberikan tafsir yang jauh dan tidak sesuai dengan rumusan normatif pasal-pasal Undang-undang. Penegak hukum menjadi corong pasal undang- undang dengan mengabaikan nilai-nilai keadilan yang berkembang di masyarakat. Walaupun ada perbuatan yang sesungguhnya memiliki nilai jahat dalam ukuran nilai-nilai keadilan yang berkembang di dalam masyarakat, akan tetapi kalau tidak dinyatakan secara tegas sebagai perbuatan jahat yang bisa dipidana oleh undang-undang, maka harus tidak boleh dihukum. Dalam konteks rumusan pasal-pasal sebagaimana tersebut di atas, jelas mempunyai makna sebagai tindak pidana formil. Simak saja ketentuan rumusan pasal 1 ayat (1) huruf a, ……….. yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan ncgara dan pereknomian negara, atau diketahui atau patut di sangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dengan rumusan demikian, maka perbuatan siapa saja dan pihak mana saja, harus menimbulkan akibat kerugian keuangan negara baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pertanyaannya adalah mengapa rumusan tersebut mengharuskan adanya keuangan negara dan perekonomian negara. Bagaimana kalau tidak terjadi akibat kerugian keuangan negara dan perekonomian negara. Sebab apabila demikian yang t erjadi yakni tidak t erja di a kib at k erugi an k eu ang an neg a ra dan perekonomian negara, maka sekalipun memenuhi unsur perbuatan yakni dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, maka tidak dapat dipidana. Di samping itu, makna dan melawan hukum, adalah melawan hukum yang bersifat formil, yakni suatu perbuatan apapun jenis dan bentuknya jika tidak menimbulkan akibat kerugian keuangan negara dan perekonomian negara sebagaimana rumusan pasal tersebut, maka tidak dapat pidana. Oleh karena perbuatan yang bersifat melawan hukum tersebu t menggunakan ukuran rumusan perbuatan hanya yang ada dan ditentukan dalam pasal tersebut. 5. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 (LNRI No.40 Tahun 1999 – TLNRI No. 387) Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam UU ini tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan 68
rumusan tersebut meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan dipidana. Sebagai sebuah UU dalam era reformasi yang didasari semangat reformasi, demokratisasi, transparansi dan akuntabel, maka sudah selayaknya materi rumusan TPK yang dibuat juga wajib memperhatikan semangat dan ruh reformasi tersebut. Perkembangan baru yang diatur dalam UU ini adalah korporasi sebagai subyek TPK yang dapat dikenakan sanksi. Selain itu UU ini juga menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati. Selain itu juga memuat pidana penjara pengganti bagi pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara. 6. Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Jo.TLNRI No. 4159) tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setelah melalui beberapa kali perubahan UU korupsi dan terakhir UU No. 20 Tahun 2001, maka sesuai Ketentuan Peralihan Bab IV A, Pasal 43 A ayat (1),(2), (3) dan Pasal 43 B UU No.20 Tahun 2001 menetukan cara penerapan UndangUndang Tindak pidana Korupsi sebagai berikut: Pasal 43A. (1) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum UU no.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan, diperiksa, dan diputus berdasarkan ketentuan UU. No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan maksimum pidana penjara yang menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan ketentuan dalam pasal-pasal berturut-turut: Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, UU No. 20 Tahun 2001 dan Pasal 13 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (2) Ketentuan minimun penjara dalam Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10 UU No.20 Tahun 2001 dan Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi. (3) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum undang-undang ini diundangkan (UU No.20/2001) diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan mengenai maksimum pidana penjara bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) berlaku ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 12 A ayat (2) UU ini (UU No.20 tahun 2001).
69
Pasal 43 B. Pada saat mulai berlakunya UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi, maka 13 Pasal KUHP yakni Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, 435 dinyatakan tidak berlaku lagi dalam penerapan KUHP sebagai tindak pidana umum, karena 13 Pasal KUHP tersebut telah dituangkan dalam UU No.31/1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi dimana pasal-demi pasal tersebut telah tersendiri pengaturannya sebagaimana tindak pidana korupsi. Upaya penanggulangan dan pemberantasan korupsi melalui berbagai kebijakan legislatif idi atas masih ditambah lagi dengan keluarnya beberapa instrumen pendukung seperti: 1. TAP MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. 2. UU No.28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Bebas Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. 3. TAP MPR RI No. VIII/MPR/2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Bebas Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. 4. UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Kebijakan seperti yang tertuang dalam berbagai peraturan perundangundangan di atas antara lain dimaksudkan untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi general karena tipikor dipandang sebagai perbuatan yang membahayakan dan meresahkan masyarakat dan efek prevensi special agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya kembali. Selain itu Hakim dalam mengemban amanah menegakkan keadilan, seharusnya tidak hanya sekedar menjalankan sistem hukum acara yang mengejar aspek kepastian hukum, tetapi Hakim harus mampu menyelesaikan persoalan hukum dengan jaminan mendapat keadilan bagi para pencari keadilan. Independensi dan integritas hakim tidak sekedar diuji oleh banyaknya perkara yang sudah diputuskan tetapi juga harus diuji dan diukur dari perspektif kesadaran dalam memahami dan memaknai keadilan yang menjadi ruh hukum. Hakim tidak sekedar membantu pencari keadilan untuk mendapat hak-hak keadilannya tetapi juga harus mewujudkan dan menjamin terpenuhinya hak-hak keadilan bagi pencari keadilan, baik mulai proses pemeriksaan di sidang pengadilan maupun pengawasan dan evaluasi terhadap putusan yang dibuat atas suatu perkara tertentu. PENUTUP Tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes),
70
maka upaya pemberantasannyapun tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi harus dengan cara-cara luar biasa (extra-ordinary measures). Penggunaan sanksi pidana dalam pemberantasan korupsi harus dilakukan secara integral antara upaya penal maupun non penal. Karena penegakan hukum dengan menggunakan sarana penal saja terbukti kurang efektif dalam menanggulangi kejahatan ini. Oleh karena itu perlu dicari terobosan-terobosan baru terutama upaya non penal dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Anthon F. Susanto. 2004. Wajah Peradilan Kita, Refika Aditama, Jakarta. Andi Hamzah. 2005. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Anwar Haryono. 1968. Hukum Islam Keluasan Dan Keadilannya, Bulan Bintang, Jakarta. Baharuddin Lopa. 1997. Masalah Korupsi dan Pemecahannya, PT. Kipas Putih Aksara, Jakarta. Barda Nawawi Arief. 2002. Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung. ---------------.1997.Perlindungan HAM dan Tindakan Kekerasan Dalam Penegakan Hukum Pidana, Bahan Diskusi Panel RUU Kepolisian, 15 Juli 1997. FH UNDIP, Semarang. ---------------.1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung. Benektiktus Bosu. 2004. Menuju Indonesia Baru Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bayumedia Publishing, Malang. Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari.2005. Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, Hasrul Halili. 2005. Urgensi Transformasi Gerakan Anti Mafia Peradilan Sebagai Gerakan Sosial, Makalah pada Anti-Corruption Summit, Fak Hukum UGM, Yogyakarta. Harun M. Husein.1994. Surat Dakwaan Teknik Penyusunan, Fungsi dan Permasalahnnya, PT Rineka Cipta, Jakarta. Indriyanto Seno Adji.2006. Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, C.V. Diadit Media, Jakarta. Jimly Asshidiqie.2006. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, ---------------------.2005. Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Konstitusi Press, Jakarta. Komariah Emong Sapardjaja.2002. Ajaran Sifat melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia, Alumni, Bandung. Leden Marpaung. 2004. Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan, Djambatan, Jakarta. Leonard W Levy. 2005. Judicial Review, Sejarah, dan Demokrasi: Sebuah Pengantar, dalam Judicial Review, Editor Leonard W Levy, Alih Bahasa oleh Eni Purwaningsih, Nusa Media bekerjasama dengan Nuansa, Bandung. 71
Muladi. 2004. Substantive Highlights Dari Konvensi PBB Untuk Melawan Korupsi, Makalah, Semarang, UNDIP. --------------.1993. Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung. --------------.2000. Prinsip-Prinsip Pengadilan Pidana Bagi Pelanggar HAM Berat Di Era Demokrasi, Makalah Seminar, Semarang. Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, Musni Umar dan Syukri Ilyas.2004. Korupsi Musuh Bersama, Lembaga Pencegah Korupsi, Jakarta, R. Wiyono.2005. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, Robert Klitgaard et al. 2005. Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, Alih Bahasa oleh Yayasan Obor Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Roeslan Saleh.1987. Sifat melawan Hukum dari Perbuatan Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 2005. Singgih.2002. Duniapun Memerangi Korupsi, Pusat Study Hukum Bisnis Fak Hukum Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Soerjono Soekanto.1986. Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta Sudarto.1981. Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981. Soetandyo Wignjosoebroto.2002. Hukum Paradigma Metode dan Dinamika Masalahnya, HUMA, Jakarta. Satjipto Rahardjo. 2006. Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Uki Press, Jakarta. ---------------------.2006. Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, S. Anwary.2005. Quo Vadis Pemberantasan Korupsi Di Indonesia, AMRA, Jakarta, Sri Soemantri, Hak Uji Material di Indonesia, Alumni, Bandung, Tahir Azhary. 1997. Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, 1992. Teguh Prastyo dan Abdul Hakim Barkatullah.2005. Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
72
KORUPSI DAN PEMBANGUNAN Oleh Eko Handoyo Abstrak Di mana-mana ada korupsi. Bahkan tidak ada celah untuk tidak berkorupsi. Semua tempat tampak tersedia peluang dan cara untuk melakukan korupsi. Pelaku tidak hanya mereka yang mengambil kebijakan, tetapi aparat penegak hukum dan warga masyarakat. Dampak korupsi sangat merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat dan negara serta menghalangi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Parasit pembangunan ini harus dihentikan, kalau tidak ingin bangsa ini gagal. Oleh karenanya, komitmen dan partisipasi semua pihak harus didorong agar perbuatan korupsi dapat dihentikan atau setidaknya dihambat agar tidak menular kepada warga bangsa lainnya. Kata kunci: Korupsi, pembangunan, parasit.
PENDAHULUAN “Kita adalah negara besar dan memiliki sumber daya alam yang kaya. Hanya dengan menata kelola segala sumberdaya dengan baik, maka rakyat akan sejahtera, damai, tenteram serta teratur hidup di dalamnya. Oleh karena itu, harus hadir pemerintahan yang berpihak kepada rakyat dan tidak meladeni diri sendiri, tidak korupsi yang menjadi jawaban dan harapan kita ke depan”, demikian ucapan Syahrul Yasin Limpo, gubernur Sulawesi Selatan periode 2013-2018 (Kompas, Sabtu, 1 Maret 2014 halaman 1). Jika benar apa yang diucapkan pak gubernur tersebut, maka Sulawesi Selatan akan menjadi salah satu provinsi yang berintegritas, di mana pemerintah daerah bekerja semata-mata untuk kepentingan rakyat. Jika melihat perkembangan Sulawesi Selatan, terutama dilihat dari peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM) dari 69,62 pada tahun 2007 menjadi 72,70 pada tahun 2012 dan indeks kesejahteraan daerah (IKD) dari 56,4 pada tahun 2007 menjadi 63,4 pada tahun 2012 (Kompas, Sabtu, 1 Maret 2014 halaman 1), maka ada kemungkian pada masa kepemimpinan pak Syahrul, Sulawesi Selatan akan berkembang lebih baik lagi. Persoalannya adalah data dari berbagai sumber menunjukkan bahwa justru pelaku korupsi paling banyak ada di tubuh birokrasi, termasuk gubernur, bupati dan walikota serta kalangan anggota legislatif. Selama tahun 2010-2013, terdapat 45 orang pelaku, yaitu gubernur dan bupati/walikota dan 181 anggota legislatif. Global Corruption Barometer tahun 2013, melaporkan bahwa lembaga atau instansi terkorup di Indonesia adalah kepolisian, parlemen, peradilan, partai politik, dan birokrasi (pegawai negeri sipil). 73
Potensi kerugian negara akibat dari tindak pidana korupsi cukup besar. Sebagaimana dilaporkan Harman (dalam Handoyo 2013), potensi kerugian yang paling banyak adalah korupsi di ranah infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Data kerugian selengkapnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 1. Jumlah uang negara yang dikorupsi Data tersebut hanya secuil informasi yang memperlihatkan betapa korupsi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Dalam perkembangannya, korupsi tidak hanya dilakukan oleh kalangan birokrasi (eksekutif) dan legislatif, tetapi juga merambah hampir ke semua lapisan masyarakat. Kalangan pendidik yang seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat, juga melakukan korupsi. Banyak kepala dinas pendidikan kabupaten dan kota yang diseret ke depan meja hijau karena berbuat korupsi. Pimpinan atau dosen perguruan tinggi yang seharusnya menjadi teladan untuk membina dan menciptakan lulusan berkarakter juga turut berkorupsi. Salah seorang profesor ternama dari Universitas Indonesia yang juga mantan ketua KPU divonis hukuman penjara karena korupsi pengadaan peralatan pemilu. Demikian pula, salah seorang rektor di salah satu perguruan tinggi di Jawa Tengah, diajukan ke depan meja hijau karena melakukan tindak pidana korupsi. Polisi, jaksa, dan hakim yang seharusnya menjadi palang pintu terakhir bagi penegakan hukum dan penciptaan keadilan di negeri ini, juga tidak kuat menahan godaan untuk tidak berkorupsi. Ketua Mahkamah Konstitusi yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi negara Indonesia juga melakukan korupsi. Pertanyaannya, lalu siapa yang bisa menjaga negeri ini agar tidak ada
74
oknum yang melakukan tindak pidana korupsi kalau penegak hukum saja berbuat korupsi. Entahlah. Artikel ini ditulis, tidak dimaksudkan untuk memberikan solusi bagaimana memberantas korupsi di Indonesia, tetapi lebih banyak dielaborasi untuk menunjukkan kepada pembaca betapa Indonesia merupakan lahan subur bagi perbuatan korupsi. Juga ingin ditunjukkan bahwa korupsi bagai parasit bagi pembangunan dan diperlihatkan pula bahwa korupsi memiliki dampak yang destruktif terhadap pembangunan. Indonesia Lahan Subur Korupsi Sub judul di atas terkesan provokatif, benarkah Indonesia merupakan lahan subur bagi perbuatan korupsi. Hal ini perlu dibuktikan, tidak cukup hanya dengan kata-kata atau pernyataan yang tidak memiliki dasar, tetapi perlu dicari data-data empiris mengenai kebenaran pernyataan “Indonesia lahan subur korupsi”. Data dari Transparansi Internasional yang dirilis dalam empat tahun terakhir menunjukkan ada peningkatan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia. Data dimaksud dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Indeks dan Peringkat Korupsi Indonesia 2010-2013 Tahun Indeks Persepsi Korupsi Peringkat 2010 2,8 110 2011
3,0
100
2012
3,2
118
2013
3,2
114
Sumber: data sekunder dikompilasi dari berbagai sumber. Berdasarkan data di atas, tampak bahwa ada peningkatan indeks persepsi korupsi (IPK) dari tahun 2010 hingga 2013. Namun demikian, angka peningkatannya hanya 0,4 dalam kurun waktu 4 tahun. Sebagai perbandingan, pada tahun 2000, IPK Indonesia adalah 1,9 dan berada pada urutan 88 dari 91 negara yang disurvei. Ini berarti, selama 13 tahun, angka peningkatannya hanya 1,3. Bandingkan dengan Malaysia yang pada tahun 2000 sudah mencapai angka 5,0, berada pada posisi 36 dari 91 negara yang disurvei. Pada tahun 2013 IPK Malaysia adalah 50 atau 5 jika menggunakan pengukuran sebelum tahun 2012. Ini berarti, Malaysia tidak ada peningkatan indeks, namun urutannya naik ke 77, rankingnya lebih baik dari Indonesia yang berada pada urutan 114. IPK Indonesia masih kalah jauh dari IPK Singapura (86) yang berada pada urutan kelima di dunia. IPK Indonesia juga masih kalah dari Philipina (36) dan Thailand (35). Indonesia sedikit lebih baik dari Vietnam (31) yang berada pada urutan 116. Praktik korupsi di Indonesia sesungguhnya berada pada level yang sangat mengkhawatirkan, selain karena IPK Indonesia belum ada peningkatan 75
yang signifikan, jumlah uang yang dikorupsi juga mengalami peningkatan. Pelaku korupsi pun juga berkembang, tidak hanya di kalangan pemerintahan, birokrasi, dan legislatif, tetapi juga kalangan yudikatif serta masuk pada seluruh lapisan kehidupan masyarakat. Korupsi bukan peristiwa biasa, tidak sekadar aktivitas rutin, tetapi bisa berubah menjadi budaya. Kalau demikian halnya, sulit bagi siapa pun untuk memberantas korupsi. Kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia bukan merupakan peristiwa yang terpisah berdiri sendiri dan tidak ada jejak historisnya. Jika dirunut dari zaman kolonialis Belanda, terutama ketika diawali kedatangan VOC, sebuah perusahaan besar milik pemerintah kolonial Belanda ke Hindia Belanda (Indonesia), korupsi sudah terjadi. Justru karena korupsilah yang menyebabkan VOC bangkrut dan bubar, sehingga kekuasaan politik dan ekonomi diambil alih secara langsung oleh pemerintah Belanda. Pada masa Orde Lama juga telah terjadi praktik korupsi meskipun tidak terlalu banyak. Yang mencolok adalah diajukannya Ruslan Abdul Gani ke meja hijau oleh Jaksa Agung Suprapto, karena tuduhan korupsi. Kasus kedua yang besar adalah korupsi di tubuh Pertamina. Karena lembaga anti korupsi yang dibentuk tidak efektif, oleh Presiden Sukarno dibubarkan dan diganti dengan lembaga baru yang dipimpin sendiri oleh Presiden, yaitu Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar). Seperti halnya pada masa Orde Lama, pemerintahan Orde Baru juga bertekad memberantas korupsi di tubuh pemerintahan dan perusahaan negara. Pemerintah Orde Baru telah membentuk tim pemberantas korupsi berdasarkan Keppres Nomor 228 Tahun 1967 dan komisi Empat. Pada masa itu juga dibentuk Komite Anti Korupsi yang diprakarsai angkatan 1966. Pada tahun 1971 keluar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun demikian, karena kekuasaan tersentralisasi pada diri Soeharto, sehingga segala kritik dan perlawanan sosial budaya dibungkam lewat aparatur represif yang dimiliki pemerintah. Praktis pada masa ini, negara memegang kendali terhadap kehidupan masyarakat. Depolitisasi menjadi strategi ampuh guna menyingkirkan lawan-lawan politik dan gerakan mahasiswa. Akibatnya, korupsi, kolusi, dan nepotisme merajalela pada masa Orde Baru. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jabatan publik yang dikuasai elit politik yang memiliki hubungan kekeluargaan, persaudaraan, dan pertemanan. Para pelaku korupsi aman, berlindung di balik kekuasaan Presiden Soeharto yang sangat powerful. Kasus korupsi pada masa Orde Baru tidak tampak, karena rapinya pemerintah Soeharto mengawal aliran dana yang dikorupsi. Kasus korupsi yang terungkap setelah Soeharto lengser adalah kasus dugaan korupsi Soeharto menyangkut penggunaan uang negara oleh 7 buah yayasan yang diketuainya, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti 76
Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora. Pada tahun 1995 Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri. Berkat keputusan tersebut dana mengalir ke yayasan tersebut senilai Rp400 milyar. Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli. Dalam penyelidikan, diduga dana yang mengalir ke yayasan dan tidak jelas pertanggungjawabannya adalah senilai Rp3,3 trilyun. Dana tersebut dialirkan ke bank-bank atas nama Bob Hasan, teman dekat Soeharto. Belakangan diketahui bahwa kekayaan 7 yayasan milik Soeharto senilai Rp4,014 trilyun. Soeharto resmi dinyatakan sebagai tersangka penyalahgunaan dana yayasan sosial yang didirikannya dan dinyatakan sebagai terdakwa berbarengan dengan pelimpahan berkas perkara ke Kejaksaan Tinggi Jakarta. Pada tanggal 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Sementara (SKP3) perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006. Pada tanggal 12 Juni 2006, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan permohonan praperadilan Soeharto yang diajukan oleh berbagai organisasi. Dalam sidang putusan praperadilan, hakim Andi Samsan Nganro menyatakan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) atas nama terdakwa HM Soeharto tanggal 11 Mei 2006 adalah tidak sah menurut hukum, dan menyatakan tuntutan terhadap HM Soeharto tersebut dibuka dan dilanjutkan. Namun entah karena sakit atau karena apa, kasus dugaan Soeharto akhirnya ditutup. Masa Orde Reformasi merupakan masa indah-indahnya kegiatan pencegahan dan pemberantasan korupsi. Pada era reformasi ini banyak produk perundang-undangan yang dikeluarkan, di antaranya adalah Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999; dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pemerintah reformasi juga memiliki rencana aksi nasional (RAN) tentang pemberantasan korupsi. Pemerintah SBY memang memiliki komitmen tinggi 77
dalam pemberantasan korupsi. Kebijakan anti korupsi yang dipelopori pemerintah pusat juga diikuti oleh daerah-daerah dengan mengeluarkan peraturan daerah (Perda). Namun demikian, praktik korupsi pada masa reformasi lebih massif ketimbang praktik korupsi pada era-era sebelumnya. Beberapa kasus korupsi besar yang dapat dicatat, di antaranya korupsi Bank Century yang merugikan keuangan negara hingga 6,7 trilyun rupiah; korupsi Hambalang yang merugikan keuangan negara sebesar 1,2 trilyun rupiah; dan korupsi simulator SIM di Mabes Polri senilai 900 milyar rupiah. Masih banyak kasus korupsi lain yang jumlahnya bermilyar-milyar, melibatkan banyak pihak, seperti anggota DPR dan DPRD, pejabat birokrasi, bupati, walikota, gubernur, menteri, ketua Mahkamah Konstitusi, ketua partai, rektor, dan masih banyak lagi lainnya. Ranah kehidupan yang dimasuki virus korupsi juga meluas, tidak hanya politik, tetapi juga ekonomi, sosial, hukum, dan keamanan. Lemahnya penegakan hukum, adanya konglomerasi politik dan ekslusifisme politik, faktor sosial ekonomi (kemiskinan), dan berkembangnya perusahaan transnasional, merupakan penyebab dari terjadinya korupsi di Indonesia. Korupsi tidak hanya dilakukan secara individual, tetapi juga telah dilakukan secara berjamaah (kelembagaan), yang menyebabkan nyali koruptor makin kuat karena mempunyai banyak teman untuk berbuat hal sama dan menerima resiko yng sama pula ketika mereka tertangkap. Korupsi di Indonesia betul-betul menjadi masalah yang sangat serius, apalagi sekarang ini para pelaku korupsi secara terang-terangan berani melakukan korupsi. Mantan Presiden RI, Gus Dur berseloroh, “korupsi masa Orde Lama ada di bawah meja, pada masa Orde Baru di atas meja, sedangkan pada masa reformasi mejanya diangkut pula”. Ini menandakan bahwa korupsi merupakan masalah paling ruwet dan kompleks dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Achmad Ali, salah seorang profesor hukum di Unhas Makasar berujar “korupsi di Indonesia seperti lingkaran setan, tidak jelas siapa yang seharusnya memberantas dan siapa yang diberantas, karena semuanya berada pada posisi korup” (Shigeno 2005). Korupsi bagai Parasit “Di kebun tetangga ada pohon rambutan Yang entah mulai kapan salah satu cabangnya ditumbuhi benalu Ketika parasitnya kecil, cabang itu masih berbuah Maka pohon itu dibiarkan tetap hidup Waktu pun berlalu Parasit menguasai semua cabangnya Si pohon tidak lagi berdaun, apalagi berbuah Ia telah berubah menjadi pohon benalu 78
Tidak sedikit pun karakter rambutan yang tersisa Kecuali etos kerja akar-akarnya Sayangnya, semua sia-sia Karena benalu, si penguasa, selalu melahap semua hasil jerih payahnya” (dikutip dari Hadi Wiyono 2013:261). Apa yang diungkapkan dalam puisi di atas mirip dengan kondisi pohon mangga di depan rumah. Ketika pohon mangga belum ditumbuhi parasit, buahnya banyak dan ranum. Manakala sudah masak, rasanya manis. Namun ketika parasit tumbuh subur di ranting pohon mangga tersebut, pohon mangga tersebut lama sekali tak berbunga, tidak banyak buahnya, bahkan pernah suatu saat hanya ada 3 buah. Itu pun juga tidak bisa dimakan, karena belakangan diketahui di dalam buah tersebut ada ulatnya. Puisi atau pun kondisi pohon mangga di depan rumah, merupakan metafora untuk menggambarkan perilaku koruptif dan memburu rente yang ada di tubuh birokrasi pemerintahan, kalangan legislatif, dan yudikatif kita yang sangat kleptokrat. Perilaku mereka bagai parasit bagi pembangunan. Ketika perilaku mereka dibiarkan tanpa ada upaya pencegahan dan pembasmian, maka perilaku parasit tersebut akan menguasai, mendominasi, dan mengambil alih apa saja yang bukan menjadi hak dan miliknya. Kasus-kasus korupsi besar, seperti kasus penyalahgunaan dana yayasan oleh Soeharto, kasus Bank Century, kasus Hambalang, kasus simulator SIM, dan yang lain merupakan contoh dari perilaku parasit penguasa republik ini. Para pelaku korupsi tesebut tidak raguragu memamerkan status sosial ekonomi secara mencolok di ruang publik dalam bentuk properti, seperti rumah, mobil, tanah, dan perilaku konsumtif lainnya. Gaya hidup tersebut, mendorong orang lain untuk meniru gaya mereka dan cara untuk memperoleh kekayaan agar bisa bergaya seperti mereka. Studi yang dilakukan Hadi Wiyono (2013) menunjukkan bahwa berbagai agensi yang memiliki gaya hidup global tersebut kebanyakan adalah mereka yang bekerja pada ranah negara. Pekerjaan di ranah negara memang menjanjikan. Orang-orang yang ingin bekerja pada ranah tersebut, bersedia melakukan segala cara (misalnya dengan menyuap atau membayar sejumlah uang tertentu) untuk masuk pada lingkaran pekerjaan di ranah negara ini, karena mereka yakin bahwa mereka akan bisa melakukan hal serupa ketika nantinya berhasil masuk ke dalamnya. Perilaku tersebut menciptakan efek demonstrasi atau menular secara luar biasa kepada masyarakat (Hadi Wiyono 2013). Apa yang dilakukan oleh para koruptor atau calon koruptor dapat dijelaskan dalam teori Bandura (dalam Hadi Wiyono 2013) tentang kaitan antara tindakan seseorang (behaviour), kognisi (cognition) dan lingkungan (ecology). Dalam kasus korupsi, tindakan koruptor (B) yang mengelabuhi rakyat untuk mendapatkan sejumlah benefit terbukti menguntungkan secara material. 79
Dengan melakukan korupsi, kebutuhan mereka dapat dipenuhi. Tidak hanya kebutuhan primer, mereka juga dapat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya. Gaya hidup mereka pun berubah. Yang menarik, mereka juga bisa menjalankan fungsi sosialnya dengan baik, termasuk memberikan santunan sosial kepada masyarakat yang membutuhkan. Lingkungan (E) yang korup dan permisif menyebabkan koruptor menjadi leluasa untuk menjalankan aksinya, bahkan seolah mendapat dukungan dari lingkungan atau setidaknya dibiarkan oleh lingkungan. Kondisi tersebut, menyebabkan koruptor berpikir utntuk mengulangi perbuatannya, karena ternyata mengambil uang negara atau rakyat tidak terlalu sulit. Kalau pun ketahuan dan tertangkap, mereka tidak mengalami kesulitan untuk menegosiasi pihak penangkapnya. Proses imitasi ini, sesuai dengan pandangan Bandura yang menyatakan bahwa manusia belajar dengan mengamati apa yag dilakukan oleh orang lain. Melalui pengamatan, yang juga disebut modelling atau imitasi, manusia secara kognitif sering meniru perilaku orang lain, tidak hanya dalam hal-hal positif, tetapi juga dalam hal-hal negatif, seperti praktik korupsi dan memburu rente (Hadi Wiyono 2013). Lingkungan yang kondusif bagi praktik korupsi ditambah benefit yang didapatkan dari praktik tersebut, sementara hukuman (punishment) terhadap pelaku tidak membuat jera, merupakan faktor penting mengapa perbuatan korupsi terus berulang bahkan secara massif dilakukan oleh kalangan masyarakat yang tidak mungkin melakukan korupsi. Kondisi tersebut akan membahayakan dan memberi dampak yang merusak bagi pembangunan. Dampak Korupsi terhadap Pembangunan Pembangunan diartikan sebagai suatu upaya perbaikan, yang tujuan utamanya adalah peningkatan kesejahteraan rakyat. Apa pun yang dilakukan oleh pemerintah, melalui kebijakan pembangunan yang diambil, sasaran akhirnya adalah masyarakat makmur dan sejahtera. Jika masih banyak warga masyarakat yang miskin, maka akan ditanyakan berapa uang rakyat yang diakumulasi dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dibelanjakan untuk kepentingan rakyat. Sejauh mana alokasi dana pemerintah tersebut mengalir ke masyarakat, utamanya untuk tujuan memakmurkan mereka. Kesejahteraan adalah suatu kondisi yang menunjukkan bagaimana standar kehidupan masyarakat. Todaro dan Stephen C. Smith sebagaimana dikutip Badrudin (2012) memahami standar kehidupan tersebut dalam makna kehidupan yang lebih baik, meliputi (1) peningkatan kemampuan dan pemerataan distribusi kebutuhan dasar seperti makanan, perumahan, kesehatan, dan lingkungan, (2) peningkatan tingkat kehidupan, tingkat pendapatan, pendidikan yang lebih baik, dan peningkatan atensi terhadap budaya dan nilai80
nilai kemanusiaan, (3) memperluas skala ekonomi dan ketersediaan pilihan sosial dari individu dan bangsa. Indonesia dengan tingkat korupsi yang masih besar memperlihatkan kondisi kehidupan masyarakat yang kurang baik. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya jumlah penduduk miskin di Indonesia. Menurut data BPS (2012), jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 29,89 juta orang. Hingga Maret 2013, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan, yaitu 28,07 juta orang (BPS 2013). Ini berarti, dalam rentang waktu 2 tahun, jumlah penduduk miskin berkurang 1,82 juta orang. Kebijakan agresif dari pemerintah SBY, dengan program anti korupsi dan program penanggulangan kemiskinan, merupakan faktor pemicu bagi pengurangan penduduk miskin di Indonesia. Faktor penyebab kemiskinan memang tidak hanya disebabkan oleh perbuatan korupsi, tetapi korupsi yang terjadi di tubuh pemerintahan ditengarai memberi andil besar bagi berlangsungnya kemiskinan di Indonesia. Sebagaimana dikatakan Pope (2007), “korupsi bukan disebabkan oleh kemiskinan, tetapi kemiskinan disebabkan oleh korupsi”. Jeffrey D. Sachs, ekonomi lulusan Universitas Harvard menunjukkan bahwa korupsi di Asia merupakan penghalang penting bagi penanggulangan kemiskinan (Prasetyantoko 2009). Dampak korupsi tidak hanya berkaitan dengan masalah kemiskinan, tetapi juga berhubungan dengan persoalan lainnya. Seperti ditunjukkan Mashal (2011), korupsi menyebabkan 6 hal, yaitu (1) investasi menjadi rendah, (2) mengurangi pertumbuhan ekonomi, (3) mengubah komposisi belanja pemerintah dari aktivitas sangat produktif menjadi aktivitas kurang produktif, (4) ketidaksamaan dan kemiskinan menjadi lebih besar, (5) mengurangi efisiensi bantuan, dan (6) menyebabkan negara mengalami krisis. Dalam skala makro, korupsi memang dapat menyebabkan kondisi negara dalam keadaan krisis. Krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1997/1998, salah satunya disebabkan oleh praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang dilakukan elit politik pemerintahan masa Orde Baru. Pemerintah Orde Baru boleh bangga bahwa pada tahun 2000-an tingkat pertumbuhan ekonominya cukup tinggi, tetapi substansi pertumbuhan ekonomi tersebut sejatinya hanya bermain pada level angka saja. Ekonomi Orde Baru seperti gelembung busa, tampak indah berwarna warni, tetapi sesungguhnya kosong melompong, hanya dinikmati oleh elit menengah ke atas, utamanya kroni-kroni Soeharto. Masyarakat kalangan bawah (grassroot) tidak menikmati apa-apa, kecuali hanya menerima tetesan sisa kenikmatan yang tidak lagi dibutuhkan oleh elit Orde Baru. Dampak nyata dari korupsi pada masa akhir Orde Baru adalah pembangunan menjadi tersendat. Kinerja ekonomi terganggu, investasi swasta 81
berkurang, terbukti dari banyak investor yang mengalihkan modalnya ke luar negeri. Korupsi ibarat pasir bagi roda pertumbuhan ekonomi, artinya korupsi menjadi penghambat bagi pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi melemah, menyebabkan pembangunan yang seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi karena kegiatan pembangunan terganggu oleh korupsi, maka kesejahteraan yang didambakan masyarakat tidak terwujud. PENUTUP Pembangunan mengandaikan adanya perubahan, yakni perubahan kualitas hidup yang lebih baik bagi masyarakat, terutama dilihat dari perubahan kesejahteraan yang dapat dinikmati secara merata oleh masyarakat. Korupsi yang massif terjadi di Indonesia merupakan penghalang bagi upaya mewujudkan kesejahteraan yang merata. Korupsi dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, tetapi yang lebih parah dan dampaknya sangat merusak gerak pembangunan, karena korupsi dilakukan oleh mereka yang seharusnya mengemban amanah untuk menyejahterakan masyarakat, seperti anggota DPR, menteri, gubernur, walikota, bupati, polisi, jaksa, dan hakim. Korupsi massif di Indonesia bagai parasit yang menyebabkan pembangunan tidak dapat berjalan dengan baik. Tujuan menyejahterakan masyarakat menjadi terhambat. Anggaran negara atau daerah yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat, tidak sampai mengalir ke masyarakat, karena alirannya dihentikan oleh para pembuat kebijakan dan dibelokkan untuk kepentingan mereka. Parahnya, aparat penegak hukum yang seharusnya mengawal agar anggaran negara atau daerah digunakan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat turut berpesta pula merampok harta negara. Dampak korupsi tidak hanya menghambat upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penurunan angka kemiskinan, tetapi juga dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi, menghalangi perkembangan ekonomi dan menggerogoti keabsahan politik. Akan lebih berbahaya akibatnya apabila masyarakat tidak lagi percaya kepada apa yang dilakukan pemerintah. Hal ini bisa menimbulkan krisis politik, ekonomi, hukum, dan kepercayaan sebegaimana pernah dialami pada masa akhir pemerintahan Soeharto. Korupsi yang terus berlangsung hingga saat ini merupakan ancaman serius yang dapat membahayakan perkembangan kehidupan bangsa Indonesia sehingga kejahatan korupsi selayaknya dikategorikan sebagai kejahatan yang membahayakan kesejahteraan bangsa dan negara. Upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia perlu dilakukan secara serius, sistematis, dan terpadu, melibatkan tidak hanya komisi yang khusus menangani (KPK), tetapi juga semua lembaga (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dan seluruh
82
anggota masyarakat, khususnya generasi muda sebagai penerus kejayaan bangsa. DAFTAR PUSTAKA Buku: Badrudin, Rudy. 2012. Ekonomika Otonomi Daerah. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. BPS. 2012. “Profil Kemiskinan di Indonesia September 2011”. Dalam Berita Resmi Statistik Badan Pusat Statistik No. 06/01/Th. XV, 2 Januari 2012, hal. 1. BPS. 2013. “Profil Kemiskinan di Indonesia September 2011”. Dalam Berita Resmi Statistik Badan Pusat Statistik No. 47/07/Th. XVI, 1 Juli 2013, hal. 1. Hadi Wiyono, Vincentius. 2013. Parasit Pembangunan. Salatiga: Satya Wacana University Press. Handoyo, Eko. 2013. Pendidikan Anti Korupsi Edisi Revisi. Yogyakarta: Ombak. Mashal, Ahmad M. 2012. “Corruption and Resource Allocation Ditortion for “ESCWA”. In International Journal of Economics and Management Sciences. Vol. 1 No. 4, 2011. Pp. 71-83. Pope, Jeremy. 2007. Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional. Terjemahan Masri Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Prasetyantoko, A. 2009. Krisis Finansial dalam Perangkap Ekonomi Neoliberal. Jakarta: Buku Kompas. Shigeno, Nurhayati. 2005. Realitas Korupsi di Indonesia. Jakarta: Shigeno? s Library. Surat Kabar: Kompas, Sabtu, 1 Maret 2014, halaman 1
83
KORUPSI SEBAGAI SEBUAH EXTRAORDINARY CRIME DAN KEMISKINAN DI INDONESIA Oleh : Yuningtyas Setyawati Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Abstrak Korupsi dan kemiskinan merupakan dua hal yang berlawanan namun memiliki keterkaitan dan merupakan sesuatu yang dianggap sebagai masalah sosial kronis saat ini. Masalah sosial yang masih menggejala dan belum ada habisnya untuk dapat dibahas dan perlu mendapat tempat yang terpenting untuk dilakukan penelaahan hingga akhirnya menemukan solusi tepat dalam pengatasannya. Korupsi dan kemiskinan meskipun merupakan dua hal yang berbeda namun sama-sama perlu diberantas dari kehidupan bermasyarakat. Paling tidak mengalami perubahan sosial lebih baik hingga dapat membentuk pola kehidupan bermasyarakat yang sehat, yaitu "gaya hidup bebas korupsi dan hidup layak bebas dari kemiskinan". Saat ini korupsi di Indonesia seolah-olah merupakan suatu hal yang lumrah dan bahkan menjadi tradisi, terutama bagi para pejabat pemerintah, bahkan korupsi sudah menjadi sebuah extraordinary crime yang perlu diwaspadai. Salah satu inidikasinya adalah lemahnya sistem penegak hukum di Indonesia yang sampai saat ini belum bisa menuntaskan tindak pidana korupsi secara maksimal. Oleh karena itu, masyarakat kecil di Indonesia dan di pedesaan pada khususnya menjadi terlantar karena sibuknya pemerintah dalam menuntaskan korupsi yang tak kunjung selesai sampai saat ini. Di Indonesia sendiri bahkan menjadi peringkat terkorup nomer ke 3 di dunia bahkan Indonesia termasuk dari sepuluh besar yang tingkat korupsinya tinggi di negara-negara dunia. Permasalahan korupsi di Indonesia tidak dapat ditangani secara mudah. Budaya korupsi sudah mendarah daging di segala kehidupan ekonomi. Birokrasi yang berbelitbelit serta peraturan yang tidak jelas telah menyuburkan korupsi. Hukuman yang terlalu ringan bagi para koruptor juga tidak mengurangi efek jera bagi para pelakunya. Korupsi di Indonesia memang harus ditangani secara serius dan memberikan hukuman yang paling berat kepada pelakunya. Hal tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah dengan peran serta masyarakat. Dalam hal ini, kalau kita amati secara lebih dalam ternyata korupsi mempunyai dampak dan pengaruh terhadap kemiskinan di Indonesia. Kemiskinan merupakan permasalahan yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Standar hidup dan pelayanan kesehatan yang rendah adalah ciri-ciri adanya kemiskinan. Beberapa daerah di Indonesia sering dijumpai adanya anak-anak balita yang mengalami gizi buruk. Selain itu, belum lama ini mulai merebak penyakit polio, padahal Indonesia oleh WHO telah dinyatakan bebas dari penyakit ini. Hal tersebut menunjukan tingkat pelayanan kesehatan yang 85
rendah bagi masyarakat. Masih banyak dampak-dampak lain yang terjadi di Indonesia karena kurang tanggapnya pemerintah terhadap rakyatnya, seperti pengangguran, banyaknya pengamen di jalanan yang tak terurus, dan bahkan anak-anak yang putus sekolah karena faktor perekonomian rakyat yang semakin rendah. Betapa besarnya dampak korupsi bagi kemiskinan bangsa, untuk mengatasi permasalahan tersebut agar tidak menjadi berkembang lagi maka mulailah perlu diinisiasi dan diintegrasikan pendidikan anti korupsi dalam berbagai institusi pendidikan di Indonesia. Kata Kunci : Korupsi, Extraordinary Crime dan Kemiskinan di Indonesia PENDAHULUAN Korupsi dapat didefinisikan dengan berbagai cara. Namun demikian, bila dikaji secara mendalam, akan segera diketahui bahwa hampir semua definisi korupsi mengandung dua unsur terdiri dari : Pertama, penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batas kewajaran hukum oleh para pejabat atau aparatur negara; dan Kedua, pengutamaan kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan (Braz dalam Lubis dan Scott, 1985). Dengan kedua unsur tersebut, selanjutnya Alatas (1999) menyebut korupsi sebagai suatu tindakan pengkhianatan (pengingkaran amanah). Melihat sifat korupsi yang seperti itu, maka upaya untuk mendefinisikan korupsi cenderung memiliki masalah pada dirinya sendirinya. Disadari atau tidak, upaya untuk mendefinisikan korupsi hampir selalu terjebak ke dalam dua jenis standar penilaian yang belum tentu akur satu sama lain, yaitu norma hukum yang berlaku secara formal, dan norma umum yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Akibatnya, suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai korupsi secara hukum, belum tentu dikategorikan sebagai perbuatan tercela bila ditinjau dari segi norma umum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Sebaliknya, suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai korupsi dalam pandangan norma umum, belum tentu mendapat sanksi yang setimpal secara hukum (Waterbury dalam Lubis dan Scott, 1990). Bertolak dari masalah pendefinisian korupsi yang cukup rumit tersebut, tanpa sengaja kita sesungguhnya dipaksa untuk memahami korupsi sebagai suatu fenomena dinamis yang sangat erat kaitannya dengan pola relasi antara kekuasaan dan masyarakat yang menjadi konteks berlangsungnya fenomena tersebut (Baswir, 2002). Hal ini berarti bahwa fenomena korupsi hanya dapat dipahami secara utuh jika ia dilihat dalam konteks struktural kejadiannya. Pernyataan ini sama sekali bukan untuk menafikkan keberadaan korupsi sebagai sebuah fenomena kultural, melainkan sekadar sebuah penegasan bahwa fenomena korupsi juga
86
memiliki dimensi struktural yang sangat penting untuk diselidiki guna memahami fenomena korupsi secara utuh. Korupsi di negeri ini sekarang sedang merajalela bahkan telah menjadi suatu “kebiasaan”. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam menangani korupsi dan hukum yang sangat tegas. Namun, tetap saja korupsi masih terdapat di negeri ini. Salah satu mengapa orang berani melakukan tindak pidana korupsi yaitu karena kurangnya kesadaran pribadi tentang bahaya korupsi. Tentu saja kita tidak bisa menyadarkan para koruptor karena mereka sudah terlanjur terbiasa dengan tindakannya tersebut. Salah satu upaya jangka panjang yang terbaik untuk mengatasi korupsi adalah dengan memberikan pendidikan anti korupsi dini kepada kalangan generasi muda sekarang. Karena generasi muda adalah generasi penerus yang akan menggantikan kedudukan para penjabat terdahulu. Juga karena generasi muda sangat mudah terpengaruh dengan lingkungan di sekitarnya. Jadi, kita lebih mudah mendidik dan memengaruhi generasi muda supaya tidak melakukan tindak pidana korupsi sebelum mereka lebih dulu dipengaruhi oleh “budaya” korupsi dari generasi pendahulunya. Penyelenggara Negara mempunyai peran penting dalam konstelasi ketatanegaraan. Hal ini tersirat dalam Amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan antara lain bahwa tujuan dibentuknya ”Pemerintah Negara Indonesia dan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…”. Dalam implementasinya, penyelenggaraan Negara tidak boleh menyimpang dari kaidah-kaidah yang digariskan. Namun demikian, dalam perkembangannya, pembangunan di berbagai bidang berimplikasi terhadap perilaku penyelenggara negara yang memunculkan rasa ketidakpercayaan masyarakat. Stigma yang menganggap penyelenggara negara belum melaksanakan fungsi pelayanan publik berkembang sejalan dengan ”social issue” mewabahnya praktek-prakter korupsi sebagai dampak adanya pemusatan kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab pada jabatan tertentu. Disamping itu masyarakat sendiri tidak sepenuhnya dilibatkan dalam Kegiatan Penyelenggaraan Negara sehingga eksistensi kontrol sosial tidak berfungsi secara efektif terhadap penyelenggara negara, terutama dalam hal akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, sehingga rentan sekali untuk menimbulkan penyimpangan dan korupsi. Korupsi tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara negara, antar penyelenggara negara, tetapi juga melibatkan pihak lain seperti keluarga, kroni dan para pengusaha, sehingga merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang dapat membahayakan eksistensi atas fungsi penyelenggaraan negara.
87
Langkah awal dan mendasar untuk menghadapi dan memberantas segala bentuk korupsi adalah dengan memperkuat landasan hukum yang salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diharapkan dapat mendukung pembentukan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, dan diperlukan pula kesamaan visi, misi dan persepsi aparatur penegak hukum dalam penanggulangannya. Kesamaan visi, misi dan persepsi tersebut harus sejalan dengan tuntutan hati nurani rakyat yang menghendaki terwujudnya penyelengara negara yang mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien, bebas dari korupsi. Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pemerintah sampai saat ini masih terus bergulir, walaupun berbagai strategi telah dilakukan, tetapi perbuatan korupsi masih tetap saja merebak di berbagai sektor kehidupan. Beberapa kalangan berpendapat bahwa terpuruknya perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, salah satu penyebabnya adalah korupsi yang telah merasuk ke seluruh lini kehidupan yang diibaratkan seperti jamur di musim penghujan, tidak saja di birokrasi atau pemerintahan tetapi juga sudah merambah ke korporasi termasuk BUMN. Kemiskinan merupakan masalah sekaligus tantangan yang mengglobal. Tidak hanya melanda negara berkembang tetapi negara maju pun sekaligus ikut merasakan dampaknya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kemiskinan berasal dari kata dasar “Miskin” yang berarti “Tidak punya apa-apa atau rendah”, arti kemiskinan lainnya adalah ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yaitu kebutuhan pokok seperti sandang, papan, dan pangan. Jika ditinjau dari berbagai aspek, negara Indonesia sebenarnya menjamin untuk bangkit dari keterpurukan akibat kemiskinan. Betapa tidak, Indonesia kaya akan budaya, sumber daya alam yang memadai, terdiri dari negara kepulauan yang memberi dampak besar bagi Indonesia jika dikelola dengan baik seperti garam, ikan, serta rumput laut. Kekayaan lainnya adalah indonesia merupakan negara agraris dan Indonesia juga termasuk salah satu tujuan wisata terbesar di dunia. Jika dikelola dengan manajemen yang baik, maka nilai-nilai plus atau aset negara di atas akan sangat membantu untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat indonesia. Namun, harapan sangat berbeda dengan kenyataan. Kualitas hidup masyarakat indonesia hampir 18% hidup di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan ilustrasi tersebut di atas, nampak bahwa kekayaan yang dimiliki Bangsa Indonesia tidak dapat mensejahterakan masyarakat dan mengentaskan kemsikinan karena telah dikorupsi oleh individu ataupun kelompok. Dengan demikian pastinya akan membawa dampak kemiskinan 88
bangsa dan negara kita dan akan sangat sulit dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan menanggulangi kemiskinan yang ada di negara kita ini. Dampak Masif Korupsi bagi Kehidupan Bangsa dan Negara Korupsi membawa dampak yang sangat luar biasa dalam memperlemah investasi dan pertumbuhan ekonomi. Korupsi merintangi akses masyarakat terhadap pendidikan dan kesehatan yang berkualitas. Korupsi memperlemah aktivitas ekonomi, memunculkan inefisiensi, dan nepotisme. Korupsi menyebabkan lumpuhnya keuangan atau ekonomi meluasnya praktek korupsi di suatu Negara mengakibatkan berkurangnya dukungan Negara donor, karna korupsi menggoyahkan sendi- sendi kepercayaan pemilik modal asing. Korupsi juga akan membawa efek penghancuran yang hebat terhadap orang miskin: baik dampak langsung yang dirasakan oleh orang miskin maupun dampak yang tidak langsung terhadap orng miskin, dua kategori penduduk miskin di indonsia: kemiskinan kronis (chronic poverty) dan kemiskinan sementara (transient poverty). Di samping itu juga empat risiko tinggi yang dapat diakibatkan dengan adanya tindak korupsi adalah sebagai berikut: ongkos fiansial (financial cost), moda manusia (human capital), kehancuran moral (moal decay) dan hancurnya modal social (loss of capital socal). Korupsi juga akan menyuburkan bebagai macam kejahatan lain di dalam masyarakat. Semakin tinggi tingkat korupsi, semakin besar pula kejahatan yang akan dilakukan. Menurut transparency rasionalnya, ketika angka korupsi meningkat, maka angka kejahatan juga meningkat. Sebalknya, ketika angka korupsi berhasil dikurangi, maka kepercayaan masyarakat terhdap penegakan hukum (law enforcement) juga meningkat. Dengan mengurangi korupsi dapat juga (secara tidak lagsung) mengurangi kejahatan yang lain. Idealnya, angka kejahatan akan berkurang, jika timbul kesadaran masyarakat (marginal detterrence). Kondisi ini hanya terwujud jika tingkat kesadaran hukum dan tingkat kesejahteraan masyarakat sudah memadai (sufficient). Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penegakan hukum dalam suatu Negara selain tergantung dari hukum itu sendiri, profesionalisme aparat, sarana dan prasarana, juga tergantung pada kesadaran hukum masyaraka. Kesejahteraan yang memadai mengandung arti bahwa kejahatan tidak terjadi oleh karena kesulitan ekonomi. Korupsi yang merajalela di lingkungan pemerintah, dalam pengelihatan masyarakat umum akan menurunkan kredibilitas pemerintah yang berkuasa, jika pemerintah justru memakmurkan praktik korupsi, maka lenyap pula unsur hormat dan trust (kepercayan) masyarakat kepada pemerintah. Praktik korupsi yang kronis menimbulkan demoralisasi di bagian pembangunan, korupsi pertumbuhan ekonomi. 89
Korupsi juga akan menghancurkan birokrasi. Kehancuran birokrasi pemerintah merupakan garda depan yang berhubungan dengan pelayan umum kepada masyarakat. Korupsi melemahkan birokrasi sebagai tulang punggung Negara, korupsi menimbulkan ketidak efisienan yang menyeluruh di dalam birokrasi. Korupsi di dalam birokrasi dapat di katagorikan dalam dua kecendrungan: yang menjangkiti masyarakat dan yang dilakukan dikalangan mereka sendiri. Transparency internasional membagi kegiatan korupsi di sektor publik kedalam dua jenis yaitu: korupsi adminisratif dan korupsi politik. Korupsi dengan demikian dapat menghambat jalannya pemerintahan, di samping itu korupsi menghambat peran Negara dalam pengaturan alokasi, seperti penganak-emasan pembayar pajak tertentu, penentuan tidak berdasar fit dan propertest dan promosi yang tidak berdasar kepada prestasi. Korupsi menghambat pemerataan akses dan asset. Korupsi memperlemah peran pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan politik. Jika dilihat secara teliti, maka tindakan korupsi akan membuat buyarnya masa depan demokasi. Faktor penopang korupsi di tengah negara demokrasi: yaitu tersebarnya kekuasaan di tangan banyak orang telah meretas peluang bagi merajalelanya penyuapan. Reformasi neoliberal telah melibatkan pembukaan sejumlah lokus ekonomi bagi penyuapan. Khususnya yang melibatkan para broker perusahaan publik, pertambahan sejumlah pemimpin neopopulis yang memenangkan pemilu berdasarkan pada kharisma personal melalui media, tertama televisi, yang banyak mempeaktekkan korupsi dalam mengalang dana. Korupsi tidak hanya berdampak terhadap satu aspek kehidupan saja. Korupsi menimbulkan efek domino yang meluas terhadap eksistensi bangsa dan negara. Meluasnya praktik korupsi di suatu negara akan memperburuk kondisi ekonomi bangsa, misalnya harga barang menjadi mahal dengan kualitas yang buruk, akses rakyat terhadap pendidikan dan kesehatan menjadi sulit, keamanan suatu negara terancam, kerusakan lingkungan hidup, dan citra pemerintahan yang buruk di mata internasional sehingga menggoyahkan sendi-sendi kepercayaan pemilik modal asing, krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan negara pun menjadi semakin terperosok dalam kemiskinan. Dampak masif korupsi yang merongrong berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara adalah sebagai berikut : Korupsi memiliki berbagai efek penghancuran yang hebat (an enermous destruction effects) terhadap berbagai sisi kehidupan bangsa dan negara, khususnya dalam sisi ekonomi sebagai pendorong utama kesejahteraan masyarakat. Mauro menerangkan hubungan antara korupsi dan ekonomi. Menurutnya korupsi memiliki korelasi negatif dengan tingkat investasi, pertumbuhan ekonomi, dan dengan pengeluaran pemerintah untuk program sosial dan kesejahteraan. Hal ini merupakan bagian dari inti ekonomi makro. Kenyataan bahwa korupsi 90
memiliki hubungan langsung dengan hal ini mendorong pemerintah berupaya menanggulangi korupsi, baik secara preventif, represif maupun kuratif. Di sisi lain meningkatnya korupsi berakibat pada meningkatnya biaya barang dan jasa, yang kemudian bisa melonjakkan utang negara. Pada keadaan ini, inefisiensi terjadi, yaitu ketika pemerintah mengeluarkan lebih banyak kebijakan namun disertai dengan maraknya praktek korupsi, bukannya memberikan nilai positif misalnya perbaikan kondisi yang semakin tertata, namun justru memberikan negatif value added bagi perekonomian secara umum. Misalnya, anggaran perusahaan yang sebaiknya diputar dalam perputaran ekonomi, justru dialokasikan untuk birokrasi yang ujung-ujungnya terbuang masuk ke kantong pribadi pejabat. Dampak Korupsi Terhadap Kemiskinan Masyarakat Bagi masyarakat miskin korupsi mengakibatkan dampak yang luar biasa dan saling bertaut satu sama lain. Pertama, dampak langsung yang dirasakan oleh orang miskin yakni semakin mahalnya jasa berbagai pelayanan publik, rendahnya kualitas pelayanan, dan pembatasan akses terhadap berbagai pelayanan vital seperti air, kesehatan, dan pendidikan. Kedua, dampak tidak langsung terhadap orang miskin yakni pengalihan sumber daya milik publik untuk kepentingan pribadi dan kelompok, yang seharusnya diperuntukkan guna kemajuan sektor sosial dan orang miskin, melalui pembatasan pembangunan. Hal ini secara langsung memiliki pengaruh kepada langgengnya kemiskinan. Diantaranya adalah: 1. Mahalnya Harga Jasa dan Pelayanan Publik Praktek korupsi yang terjadi menciptakan ekonomi biaya tinggi. Beban yang ditanggung para pelaku ekonomi akibat korupsi disebut high cost economy. Dari istilah pertama di atas terlihat bahwa potensi korupsi akan sangat besar terjadi di negara-negara yang menerapkan kontrol pemerintah secara ketat dalam praktek perekonomian alias memiliki kekuatan monopoli yang besar, karena rentan sekali terhadap penyalahgunaan. Yang disalahgunakan adalah perangkat-perangkat publik atau pemerintahan dan yang diuntungkan adalah kepentingan-kepentingan yang bersifat pribadi. 2. Pengentasan Kemiskinan Berjalan Lambat Jumlah penduduk miskin (hidup di bawah garis kemiskinan) dari waktu ke waktu semakin meningkat. Pengentasan kemiskinan dirasakan sangat lambat. Hal ini terjadi karena berbagai sebab seperti lemahnya koordinasi dan pendataan, pendanaan dan lembaga. Karena korupsi dan permasalahan kemiskinan itu sendiri yang pada akhirnya akan membuat masyarakat sulit untuk mendapatkan akses ke lapangan kerja yang disebabkan latar belakang pendidikan, sedangkan untuk membuat pekerjaan sendiri banyak terkendala oleh kemampuan, masalah teknis dan pendanaan. 91
3. Terbatasnya Akses Bagi Masyarakat Miskin Korupsi yang telah menggurita dan terjadi di setiap aspek kehidupan mengakibatkan high - cost economy, di mana semua harga-harga melambung tinggi dan semakin tidak terjangkau oleh rakyat miskin. Kondisi ini mengakibatkan rakyat miskin semakin tidak bisa mendapatkan berbagai macam akses dalam kehidupannya. Harga bahan pokok seperti beras, gula, minyak, susu dan sebagainya saat ini sangat tinggi. Kondisi ini mengakibatkan penderitaan khusunya bagi bayi dan anak-anak karena ketercukupan gizinya kurang. Untuk mendapatkan bahan pokok ini rakyat miskin harus mengalokasikan sejumlah besar uang dari sedikit pendapatan yang dimilikinya. Rakyat miskin tidak bisa mengakses jasa dengan mudah seperti: pendidikan, kesehatan, rumah layak huni, informasi, hukum dsb. Rakyat miskin lebih mendahulukan mendapatkan bahan pokok untuk hidup daripada untuk sekolah. Kondisi ini akan semakin menyudutkan rakyat miskin karena mengalami kebodohan. Dengan tidak bersekolah, maka akses untuk mendapatkan pekerjaan yang layak menjadi sangat terbatas, yang pada akhirnya rakyat miskin tidak mempunyai pekerjaan dan selalu dalam kondisi yang miskin seumur hidup. Situasi ini layak disebut sebagai lingkaran setan. 4. Meningkatnya Angka Kriminalitas Dampak korupsi, tidak diragukan lagi dapat menyuburkan berbagai jenis kejahatan dalam masyarakat. Melalui praktik korupsi, sindikat kejahatan atau penjahat perseorangan dapat leluasa melanggar hukum, menyusupi berbagai oraganisasi negara dan mencapai kehormatan. Semakin tinggi tingkat korupsi, semakin besar pula kejahatan. Menurut Transparency International, terdapat pertalian erat antara korupsi dan kualitas serta kuantitas kejahatan. Rasionya, ketika korupsi meningkat, angka kejahatan yang terjadi juga meningkat. Sebaliknya, ketika korupsi berhasil dikurangi, maka kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum (law enforcement) juga meningkat. Jadi bisa dikatakan, mengurangi korupsi dapat juga (secara tidak langsung) mengurangi kejahatan lain dalam masyarakat. 5. Solidaritas Sosial Semakin Langka dan Demoralisasi Korupsi yang begitu masif yang terjadi membuat masyarakat merasa tidak mempunyai pegangan yang jelas untuk menjalankan kehidupannya sehari-hari. Kepastian masa depan yang tidak jelas serta himpitan hidup yang semakin kuat membuat sifat kebersamaan dan kegotong-royongan yang selama ini dilakukan hanya menjadi retorika saja. Masyarakat semakin lama menjadi semakin individualis yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan keluarganya saja. Mengapa masyarakat melakukan hal ini dapat dimengerti, karena memang sudah tidak ada lagi kepercayaan kepada pemerintah, sistem, hukum bahkan antar masyarakat 92
sendiri. Orang semakin segan membantu sesamanya yang terkena musibah atau bencana, karena tidak yakin bantuan yang diberikan akan sampai kepada yang membutuhkan dengan optimal. Ujungnya mereka yang terkena musibah akan semakin menderita. Di lain sisi partai-partai politik berlomba-lomba mendirikan posko bantuan yang tujuan utamanya adalah sekedar mencari dukungan suara dari masyarakat yang terkena musibah atau bencana, bukan secara tulus meringankan penderitaan dan membantu agar lebih baik.Solidaritas yang ditunjukkan adalah solidaritas palsu. Sudah tidak ada lagi keikhlasan, bantuan yang tulus, solidaritas yang jujur apa adanya. Kondisi ini akan menciptakan demoralisasi, kemerosotan moral dan akhlak khususnya bagi generasi muda yang terus menerus terpapar oleh kepalsuan yang ditunjukkan oleh para elit politik, pejabat penguasa dan penegak hukum. Selain berdampak pada kemiskinan, tidak menutup kemungkinan juga berdampak pada pengangguran di mana seseorang yang tergolong dalam angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Seseorang yang tidak bekerja, tetapi tidak secara aktif mencari pekerjaan tidak tergolong sebagai penganggur. Terbatasnya lapangan kerja mengakibatkan terjadinya pengangguran. Penganguran timbul karena adanya ketimpangan antara jumlah angkatan kerja dan lapangan kerja. Bagi negara yang sedang mengalami transisi dari negara agraris menuju industrialisasi, seperti Indonesia, pengangguran banyak dijumpai. Keahlian penduduknya dibidang agraris, sementara lapangan kerja yang ada, menuntut yang lain. Bangkrutnya perusahaan - perusahaan pada saat krisis ekonomi turut memperparah angka pengangguran di Indonesia. Oleh karena itu, semakin banyaknya angka kemiskinan di Indonesia akibat banyaknya pelaku korupsi ini, juga berdampak pada banyak sektor, seperti banyaknya anak terlantar tidak sekolah, banyaknya pengamen di jalalanan, pengangguran yang semakin meningkat dan seterusnya. Semua ini disebabkan karena tidak adanya perhatian dari pemerintah, malah pada kenyataannya korupsi justeru semakin merajalela dan nyaris tidak tertangani. Korupsi Sebagai Extraordinary Crime dan Kemiskinan di Indonesia Pemikiran yang berkembang sampai saat ini menegaskan bahwa faktor praktek pemerintahan (governance) dan kemiskinan mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Dalam hal ini khususnya ingin menegaskan bahwa praktek pemerintahan yang buruk (bad governance) telah mengakibatkan upaya untuk mengatasi problem kemiskinan menjadi tidak efektif, sementara di lain pihak program-program yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan justru menjadi lahan munculnya praktek-praktek korupsi (Sudarno, 2003). Hal ini sebenarnya ingin menegaskan bahwa praktek pemerintahan yang baik (good 93
governance) merupakan suatu hal yang sangat diperlukan (mutlak) dalam upaya mengatasi kemiskinan. Sebagaimana diketahui bahwa sejak rejim Orde Baru sampai dengan rejim generasi selanjutnya telah menempatkan Indonesia pada kelompok posisi teratas negara-negara yang korup. Kondisi ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap upaya-upaya yang ditujukan untuk mengatasi kemiskinan. Bahkan praktik- praktik korupsi telah berdampak pada semakin besarnya problem kemiskinan. Berbagai macam program bantuan yang diarahkan untuk mengatasi kemiskinan sering kali berhimpitan dengan problem tidak sampainya bantuan tersebut ketangan kelompok masyarakat yang miskin yang ujungujungnya bermuara pada persoalan korupsi. Sebagaimana dipahami bahwa kemiskinan adalah merupakan konsep yang multidimensional yang tidak hanya terbatas pada terminologi ekonomi saja. Disamping kurangnya dalam hal pendapatan, maka masyarakat yang tergolong miskin adalah mereka yang juga tidak bisa memperoleh akses dalam hal pelayanan publik termasuk didalamnya pelayanan transpotasi, kesehatan, pendidikan, kredit dll. Demikian juga kelompok ini tidak bisa mendapatkan kesempatan dalam hal berpartisipasi dalam konteks kehidupan sosial, ekonomi, dan pembuatan keputusan baik dalam skala lokal, regional, dan nasional. Karena ini hal-hal tersebut, maka masyarakat yang miskin sering kali merasa dimarginalisasikan (excluded) dan bahkan tidak ada pertolongan ketika hak-hak yang dimiliki dilanggar dan dieksploitasi oleh mereka yang kuat dan berkuasa (Ushi, 2000). Berdasarkan pemahaman tersebut pula, dan berdasarkan pengalaman lebih dari 50 tahun program-program bantuan pembangunan untuk negara-negara yang sedang berkembang, maka negara-negara maju dan lembaga-lembaga pemberi bantuan sampai pada kesimpulan bahwa tata pemerintahan yang baik (good governance) merupakan syarat yang diperlukan untuk mengurangi/ mengatasi masalah kemiskinan. Hal ini didasarkan pada beberapa argumentasi. Pertama, tanpa adanya tata pemerintahan yang baik (good governance) maka ketersediaan sumber-sumber yang langka pada umumnya tidak akan dapat menemukan tempatnya yang tepat dalam upayaupaya untuk memerangi kemiskinan. Hal ini sering kali berkaitan dengan masalah ketidaktransparanan, korupsi yang merajalela, dan adanya ketidakpastian sistem hukum yang menghalangi pertumbuhan ekonomi yang sebenarnya dapat mengatasi kemiskinan. Kedua, tata pemerintahan yang baik diperlukan jika semua aspek kemiskinan dikurangi tidak hanya melalui peningkatan pendapatan, tetapi juga melalui upaya pemberdayaan dan peningkatan kesempatan-kesempatan dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial bagi masyarakat miskin (John Blaxall, 2000).
94
Dalam hal upaya untuk efisiensi dan efektivitas pemerintahan, maka secara ideal implementasi untuk semakin memberikan otonomi kepada daerah (desentralisasi) menjadi semakin relevan. Bagi negara-negara yang menerapkan sistem dan penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, maka pemberian otonomi dan desentralisasi pada dasarnya sudah merupakan suatu keharusan. Banyak argumentasi yang pada dasarnya ingin menekankan pentingnya implementasi pemberian otonomi kepada daerah dalam rangkan memberi percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Persoalan yang muncul dalam konteks otonomi daerah tersebut, khususnya di Indonesia, adalah bahwa kebijakan ini semakin menambah beban persoalan sosial menjadi semakin kompleks. Kesalahan-kesalahan dalam menerapkan prinsip-prinsip otonomi daerah yang pada dasarnya disebabkan oleh para pelaku, kemudian disalahtafsirkan sebagai kesalahan sistemnya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika muncul tuduhan-tuduhan bahwa implementasi otonomi daerah untuk sebagian semakin menimbulkan beban sosial khususnya yang berkaitan dengan masalah kemiskinan. Fakta yang sering kali muncul adalah bahwa banyak praktik -praktik penyalahgunaan kekuasaan (baca : korupsi) yang secara nyata telah memanfaatkan kesempatan (kekuasaan dan otoritas) ketika kebijakan otonomi daerah direalisasikan. Disinilah sebenarnya pangkal persoalan ketika kita ingin membedah persoalan kemiskinan, yang tidak semata-mata karena kurangnya jumlah kebijakan-kebijakan untuk menanggulangi kemiskinan yang dibuat oleh pemerintah. Namun semakin beratnya beban problem kemiskinan justru disebabkan oleh perilaku sebagian pejabat pemerintahan daerah (baik eksekutif dan legislatif) yang korup. Sebagaimana dikemukakan oleh Eva Etzioni – Halevy (1983), bahwa birokrasi pada dasarnya akan memunculkan dilema terhadap demokrasi. Dalam arti bahwa ketika birokrasi semakin kuat dan independen, dan di lain pihak terdapat ketidakjelasan kebijakan-kebijakan yang mengatur tentang praktik praktik birokrasi, maka birokrasi akan menjadi ancaman terhadap struktur struktur politik demokratis dan juga merupakan ancaman terhadap para politisi yang menjalankan. Memang sangat disadari bahwa birokrasi yang kuat dan independen merupakan suatu hal yang ideal. Kondisi yang demikian ini akan dapat mencegah pemanfaatan birokrasi sebagai kendaraan politik suatu kekuatan politik (baca: partai politik) tertentu. Selajutnya David M. Chalmers (2001) menguraikan pengertian istilah korupsi dalam berbagai bidang, antara lain yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Kesimpulan ini diambil dari definisi yang dikemukan, antara lain berbunyi, financial manipulations and decisions injurious to the economy are often labeled corrupt (manipulasi dan 95
keputusan mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian sering dikategorikan perbuatan korupsi). Korupsi dalam bentuk yang lain dikemukan juga oleh David M.Chalmers (2001), yaitu dengan istilah political corruption (korupsi politik). Menurut pendapatnya political corruption ialah electoral corruption includes purchase of votes with money, promises of office or special favors, coercion, intimidation, and interference with freedom of election. Corruption in office involves sale of legislative votes, administrative of judicial decision, or governmental appointment. (korupsi pada pemilihan umum, termasuk memperoleh suara dengan uang, janji tentang jabatan, atau hadiah khusus, paksaan, intimidasi, dan campur tangan, terhadap kebebasan memilih. Korupsi dalam jabatan melibatkan penjualan suara dalam legislatif, keputusan administratif, atau keputusan yang menyangkut pemerintahan). Dari pendapat ini sebenarnya ingin menegaskan bahwa korupsi politik pada dasarnya adalah upaya pemanfaatan (distorsi) kekuasan yang dimiliki yang bertujuan untuk memenuhi kepentingan pejabat atau politisi yang bersangkutan. Dalam konteks Indonesia maka dua dimensi dari korupsi politik sering kali ditemukan, yaitu bahwa seseorang akan memanfaatkan berbagai sumber untuk dapat mencapai posisi kekuasaan, dan dilain pihak kemudian terjadi praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan untuk memenuhi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Praktik-praktik kedua dimensi korupsi politik ini pada kenyataannya terjadi di semua tingkatan pemerintahan baik dari pusat sampai ditingkat desa. Bahkan kondisi setelah jatuhnya rezim Suharto – Orde Barupun pada kenyataanya semakin menunjukkan transparansi praktik -praktik korupsi yang tidak hanya terjadi di lembaga eksekutif dan jajaran birokrasinya, namun juga terjadi di lembaga baik legislatif maupun yudikatif. Maka tidak mengherankan jika sering dikatakan bahwa pergantian kekuasaan semenjak turunnya Oder Suharto hanyalah sebuah “rotasi tanpa solusi”, dalam arti bahwa pergantian kekuasaan hanya sebatas pada pergantian kekuasaan saja tanpa adanya perubahan-perubahan yang mendasar khususnya dalam pemberantasan masalah-masalah yang berhubungan dengan korupsi (Prasetyo, 2006). PENUTUP Korupsi umumnya terjadi di Negara berkembang dan merupakan faktor penghambat pembangunan di negara tersebut. Korupsi merambah kesemua aspek pemerintahan mulai dari wilayah birokrasi sipil, sistem sosial dan politik yang berlaku seiring dengan perkembangan kota yang makin maju. Artinya politik tidak hanya terjadi disektor pemerintahan tetapi juga sektor swasta. Korupsi merupakan anaman exsistensi dan integritas suatu bangsa. Korupsi telah membentuk suatu resistensi untuk mempertahankan status mereka dengan cara apapun. Saat ini korupsi sudah merupakan suatu bentuk 96
extraordinary crime yang dapat mengancam bangsa dan negara serta dapat menambah kemiskinan. Oleh karena itu korupsi adalah musuh bersama yang harus dibasmi dan bukan dilestarikan karena korupsi bukan budaya. Upaya untuk memberantas korupsi yang nantinya akan berdampak pada upaya perbaikan kondisi masyarakat, khususnya masyarakat miskin, harus ditopang dengan komitmen yang kuat untuk menjaga dan mendorong secara terus menerus proses demokrasi. Hanya dengan perwujudan iklim politik yang demokratislah yang diharapkan dapat mengembalikan dan mengangkat manusia-manusia Indonesia yang bermartabat. Dilain pihak upaya-upaya yang dapat mengikis iklim demokrasi harus dihadapi secara tegas. Hanya dengan mengimplentasikan sistem politik yang yang secara substansial benar-benar demokratislah, maka korupsi akan bisa diberantas. Hal ini hanya bisa dilakukan kalau kita bisa saling bahu-membahu dan saling mengontrol. Oleh karena itu kritik-kritik intern harus disikapi sebagai upaya untuk saling membersihkan diri, dan dalam upaya untuk membangun masyarakat yang lebih beradab. Dari sinilah kita bisa lebih berharap bahwa dengan semakin berkurangnya praktik -praktik korupsi maka pemanfaatan dana yang seharusnya diorientasikan untuk pemenuhan kebutahan masyarakat dapat semakin efektif. Hal ini diharapkan semakin dapat menjamin upaya-upaya untuk menanggulangi kemiskinan. Kemiskinan tidak bisa hanya diatasi dengan mengandalkan penerbitan seperangkat kebijakan-kebijakan. Kemiskinan untuk di Indonesia justru harus dimulai dari perlakukan dan aksi yang justru diarahkan kepada aktor pemerintah untuk secara terus menerus harus dibersihkan dari praktik -praktik korupsi. Dengan demikian hal ini akan dapat memberikan jaminan kepada masyarakat, khususnya yang masuk dalam kategori miskin, untuk bisa kembali dapat merasakan sebagai warga negara dengan segala hak-hak yang secara proporsional harus dipenuhi. DAFTAR PUSTAKA Alatas, Syed Hussein. 1999. Corruption and Destiny of Asia, Simon and Schuster, Malaysia. Baswir, Revrisond. 2002. Dinamika Korupsi Di Indonesia: Dalam Perspektif Struktural, Jurnal Universitas Paramadina Vol. 2, No. 1, September 2002: 25-34, Jakarta. David M. Chalmers,. 2001, dalam Baharudin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Kompas, Jakarta, 2001, hal. 68-69. Eva Etzioni-Halevy. 1983. Bureaucracy and Democracy – A Political Dilemma, Routledge & Kegan Paul, London, 1983, pp. 87 – 88. John Blaxall. 2000, Governance and Poverty, dalam, Yasutami Shimomura, ibid, hal. 31 Lubis, Mochtar dan James C. Scott. 1985. Bunga Rampai Korupsi, Jakarta: LP3ES Lubis, Mochtar dan James C. Scott. 1990. Korupsi Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 97
Prasetyo, Pius. S. 2006. Good Governance Menanggulangi Kemiskinan: Praktek Good Governance Untuk Menanggulangi Kemiskinan, dalam Seminar Transformasi Kebijakan Publik dan Bisnis Dalam Upaya Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia, Hotel Savoy Homann, Bandung 27 – 29 Agustus 2006. Sudarno Sumarto. 2003. Governance and Poverty Reduction : Evidence from Newly Decentralized Indonesia, dalam, Yasutami Shimomura, The Role of Governance in Asia, ISEAS, Singapore, 2003, hal. 27 – 32. Ushi Eid. 2000. Good Governance for Poverty Reduction, dalam, Yasutami Shimomura, ibid, hal. 31
98
KORUPSI DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI1 Thriwaty Arsal 2
Abstrak Menurut Brooks korupsi adalah suatu tindakan yang sengaja dilakukan atau melalaikan tugas dan kewajiban atau tanpa hak menggunakan kekuasaan dengan tujuan memperoleh keuntungan yang bersifat pribadi. Pada intinya korupsi adalah perwujudan immoral dari dorongan untuk memperoleh sesuatu dengan metode pencurian. Dalam bentuknya yang bersifat memaksa, korupsi adalah perampasan yang disertai kekerasan. Korupsi terutama berkembang di suatu masyarakat dimana kekuatan adalah kebenaran, yang sebagian disebabkan oleh adanya tekanan politik dan sebagian lain oleh keinginan pribadi. Adanya pelanggaran hukum oleh orang-orang yang berkuasa dan memegang tampuk pimpinan memberi ilham kepada bawahannya untuk melakukan hal serupa. Bukannya tidak ada usaha untuk memberantas korupsi, tetapi pengaruh korupsi terlalu kuat dan pidana pada kasus-kasus korupsi tidak seimbang dengan kejahatannya, sehingga korupsi merajalela dan bukan lagi hal yang tabu bagi pelakunya.Walaupun benar bahwa kerahasiaan struktural menyumbang pada korupsi, namun bukan merupakan sebab utama dan menentukan bagi korupsi. Orang yang korup senantiasa pandai menyesuaikan diri. Koruptor akan menyesuaikan diri pada setiap struktur, sedemikian rupa sehingga struktur yang absah pun dapat digunakan menjadi alatnya. Masalah korupsi bersifat lintas-struktural. Semua struktur sepanjang sejarah berbagai masyarakat dengan tingkat organisasi dan birokrasi tertentu dijangkiti oleh korupsi. Kata kunci: korupsi, kekuasaan, struktural, masyarakat, sosiologi
PENDAHULAN Sejarah korupsi bermula sejak awal kehidupan manusia bermasyarakat, yakni pada tahap tatkala organisasi kemasyarakatan yang rumit mulai muncul. Manusia direpotkan oleh gejala korupsi selama beberapa ribu tahun. Intensitas korupsi berbeda-beda pada waktu dan tempat yang berlainan. Seperti gejala kemasyarakatan lainnya, korupsi banyak ditentukan oleh berbagai faktor. Korupsi adalah gejala sosial yang rumit yang tidak dapat dirumuskan dalam satu kalimat saja. Namun perlu membuat gambaran yang masuk akal mengenai 1
2
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia tanggal 26 Maret 2014 di Gedung Auditorium Unnes Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang. Dosen Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. 99
gejala tersebut agar dapat memisahkannya dari gejala lain yang bukan korupsi. Inti korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Menurut Brooks (1974) korupsi adalah suatu tindakan yang sengaja dilakukan atau melalaikan tugas dan kewajiban atau tanpa hak menggunakan kekuasaan dengan tujuan memperoleh keuntungan yang bersifat pribadi. Sejalan dengan pandangan Brooks, Alatas (1968) merinci ciri-ciri korupsi: (a) suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan, (b) penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta atau masyarakat umum, (c) dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus, (d) dilakukan dengan rahasia, (e) melibatkan lebih dari satu orang, (f) adanya kewajiban dan keuntungan bersama dalam bentuk uang atau yang lain, (g) terpusatnya kegiatan korupsi pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya, (h) adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk-bentuk pengesahan hukum, dan (i) menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang melakukan korupsi. Esensi korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi mengkhianati kepercayaan. Pada intinya korupsi adalah perwujudan immoral dari dorongan untuk memperoleh sesuatu dengan metode pencurian. Dalam bentuknya yang bersifat memaksa, korupsi adalah perampasan yang disertai kekerasan. Namun, apakah korupsi dapat digolongkan dalam kejahatan? Sementara mereka yang terlibat dalam kejahatan tidak bersikap terbuka mengenai diri dan kepentingan mereka. Walaupun tidak termasuk kategori kejahatan namun korupsi merugikan Negara, perusahaan ataupun masyarakat. Muncul pertanyaan, bagaimana solusi untuk memberantas korupsi? Syarat pertama untuk memberantas korupsi adalah adanya pemimpin pemerintahan yang punya kemauan keras dan memperoleh dukungan orang yang berwawasan dan jujur. Tanpa pemimpin dan pendukung seperti itu tidak akan ada program pemberantasan korupsi. Perdebatan dalam filsafat Cina mengenai apakah hukum ataukah orang yang lebih penting? Di Negara-negara sedang berkembang, watak seorang pemimpin adalah lebih penting dari pada sistem dan struktur masyarakat. Sistem dan struktur memang dua sasaran utama yang harus diubah bila hendak memberantas korupsi. Tetapi perubahan seperti itu hanya dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang menginginkan perubahan. Kalau orang-orang seperti itu memang ada, barulah rencana yang programatis sangat diperlukan. Seorang pemimpin yang jujur, dan berkemauan keras untuk memberantas korupsi maka akan menaruh perhatian terhadap penerapan programatis.
100
PEMBAHASAN Perkembangan Korupsi dari Masa ke Masa Korupsi yang melanda segenap sistem yang ada dewasa ini khususnya di Indonesia sebagai salah satu Negara berkembang diakibatkan oleh Perang Dunia Kedua. Pendudukan Jepang menyebabkan timbulnya korupsi yang membengkak secara mendadak. Kelangkaan barang dan bahan makanan, diiringi dengan inflasi, lemahnya pengawasan pemerintah menjadikan korupsi sebagai sarana yang ampuh untuk menutup kurangnya pendapatan. Situasi perang melahirkan masalah korupsi. Faktor lain yang ikut menyumbang berlangsungnya korupsi adalah pemerintahan kolonial. Korupsi tidak hanya ada dalam pemerintahan kolonial, melainkan juga terus berkembang sebagai pengaruh tidak langsung. Kondisi perang yang disusul penyerahan kekuasaan membuat kelompok baru yang memerintah secara tiba-tiba dihadapkan pada bayak peluang yang sebelumnya tidak ada. Dalam situasi seperti ini watak para pemimpin sangat menentukan. Jika kelompok-kelompok tersebut korup atau membiarkan terjadinya korupsi, maka anasir-anasir korup akan muncul ke permukaan dan mengukuhkan posisi mereka. Di Negara-negara Asia yang baru merdeka para pemimpin adalah korup atau membiarkan terjadinya korupsi. Muncul asumsi bahwa para pemerintahan melindungi politisi atau kelompok-kelompok yang korup. Bahkan banyak diantara pemimpin tertinggi di Asia hanya berpura-pura menentang pengaruh korupsi. Akibat sikap ini, maka kekuatan-kekuatan yang korup makin memperkukuh posisi mereka dan membebaskan daerah operasinya dari gangguan-gangguan. Ketika hal itu dapat dicapai, maka efek bola salju korupsi mulai berlangsung. Rakyat yang miskin dapat menyaksikan tanda-tanda kemakmuran di sekeliling mereka yang korup yang memiliki hotel-hotel besar, mobil – mobil mengkilat, rumah yang serba nyaman, kehidupan yang serba mewah, permata yang dipamerkan di ruang-ruang toko-toko perhiasan dan kesukaan pamer orang-orang yang korup, yang kesemuanya seolah-olah mendapat perkenan pemerintah walaupun cara memperolehnya melalui jalan yang bertentangan dengan moral. Para korup menari-nari di atas penderitaan masyarakat yang kebanyakan hidup di bawah garis kemiskinan. Harga-harga yang semakin membubung, tingkat kehidupan ekonomi yang sulit, lebih mendorong untuk mendapatkan kekayaan atau pelayanan melalui cara yang bertentangan dengan moral. Kesemuanya itu ditambah lagi dengan sistem pemerintahan. Sebab-musabab korupsi lainnya ialah bertambahnya jumlah pegawai negeri dengan cepat, dengan akibat gaji mereka menjadi sangat kurang, bertambah luasnya kekuasaan dan kesempatan birokrasi, dibarengi dengan lemahnya pengawasan dari atas dan pengaruh partai-partai politik menyediakan tanah subur bagi korupsi untuk menghalalkan segala cara. Corpuz 101
melukiskan birokrasi di Filipina (1957) bahwa setelah Perang Dunia usai terutama ditandai oleh martabat rendah, ketidakcakapan, sumber keuangan yang kecil dan meluasnya korupsi. Mekarnya kegiatan pemerintahan yang dikelola oleh birokrasi yang bertambah besar dengan cepat dan dikuasai oleh korupsi yang berasal dari zaman perang, merupakan gejala umum yang mempengaruhi seluruh Asia, misalnya Filipina, Malaysia, India dan Indonesia yang baru bebas dari imperialisme Barat. Di India korupsi sudah dilakukan orang sekurangkurangnya sejak seribu tahun sebelum Nabi Isa, seperti juga halnya pada masa kekaisan Cina Kuno, kekaisaran Romawi dan Yunani Kuno masalah korupsi sudah melanda para penguasa. Hukum Manu di India menetapkan bahwa raja hendaknya jangan berbuat serakah, jangan memeras dan memungut pajak, pemerintah harus mengangkat pejabat yang jujur untuk mengutip pajak. Para pejabat yang korup yang menerima uang suap, maka harta kekayaannya harus disita. ( Buhler, 1886). Menurut (1950) di Cina Kuno korupsi merupakan masalah yang sangat gawat. Orang-orang bijaksana di Cina menentang korupsi dengan kata-kata yang jelas, dan banyak di antara kaisar Cina menaruh simpati kepada orang yang berusaha memberantas korupsi kejahatan, namun muncul hambatan, baik karena terjadi pergantian penguasa ataupun tekanan pada saat paceklik, bencana alam ataupun pecahnya peperangan. Sejarah Romawi memberi gambaran yang sedikit banyak serupa yaitu korupsi dan perlawanan yang terbuka. Keragaman korupsi di Romawi lebih besar daripada di Yunani karena adanya sebuah kekaisaran. Selama abad pertama sebelum Masehi korupsi telah berkembang dengan hebat dan menerobos wibawa pengadilan tertinggi (Ferrero, 1909). Korupsi terutama berkembang di suatu masyarakat dimana kekuatan adalah kebenaran, yang sebagian disebabkan oleh adanya tekanan politik dan sebagian lain oleh keinginan pribadi. Adanya pelanggaran hukum oleh orangorang yang berkuasa dan memegang tampuk pimpinan memberi ilham kepada bawahannya untuk melakukan hal serupa. Bukannya tidak ada usaha untuk memberantas korupsi, tetapi pengaruh korupsi terlalu kuat dan pidana pada kasus-kasus korupsi tidak seimbang dengan kejahatannya, sehingga korupsi merajalela dan bukan lagi hal yang tabu bagi pelakunya. Bila kita berbicara mengenai sebab-sebab korupsi, kiranya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: pribadi, institusional dan situasional. Jenis yang bersifat pribadi bersumber pada orang yang bersangkutan, bukan situasi tertentu yang mendorong prilaku korupsi atau tata institusional yang mendukung adanya korupsi. Pada babak terakhir, maka orang itu sendirilah yang yang pada akhirnya menentukan apakah akan korupsi atau tidak. Korupsi yang didorong oleh situasi dicontohkan dengan seorang calon untuk suatu jabatan yang harus menyuap agar mempunyai peluang untuk menang. Begiru orang semacam ini 102
naik ke tampuk kekuasaan maka akan berkembang bika bahkan diantara mereka yang menjadi musuhnya karena medan politik dikuasai oleh orangorang sejenis. Faktor-faktor struktural dan lingkungan serta pribadi, menjadi salah satu penyebab pengembangbiakan korupsi di dalam masyarakat. Korupsi dan Pengaruh Struktur Dalam konteks Asia dewasa ini berpaling kepada individu tampaknya lebih benar daripada kepada struktur. Pada pemerintah Indonesia bukanlah undang-undang dan peraturan yang tidak ada melainkan faktor-faktor yang ada di luar struktur pemerintahan. Jika orang-orang yang korup menguasai pemerintahan yang apapun strukturnya, struktur tersebuat niscaya akan tercemar. Orang-orang yang mencemarinya akan membiakan jenis mereka dan memaksakan kekuasaan yang lebih besar atas pemerintah. Sebaliknya, pada struktur macam apapun, jika jenis positif dan bermoral yang berkuasa, niscaya mereka juga akan membiakkan diri dan mempertahankan kekuasaan mereka. Di sepanjang sejarah kekuasaan lebih banyak dipegang oleh homo venalis daripada oleh homo moralis. Walaupun benar bahwa kerahasiaan struktural menyumbang pada korupsi, namun bukan merupakan sebab utama dan menentukan bagi korupsi. Orang yang korup senantiasa pandai menyesuaikan diri. Koruptor akan menyesuaikan diri pada setiap struktur, sedemikian rupa sehingga struktur yang absah pun dapat digunakan menjadi alatnya. Masalah korupsi bersifat lintas-struktural. Semua struktur sepanjang sejarah berbagai masyarakat dengan tingkat organisasi dan birokrasi tertentu dijangkiti oleh korupsi. Demikian pula halnya dalam korupsi selalu ada dalam konteks lingkungan dan situasi macam apapun. Lingkungan dan situasi berpengaruh terhadap individu yang korup atau yang berbakat kuat untuk korup. Jika individu-individu tersebut ada dalam posisi berkuasa pada waktu tertentu. Maka mereka akan bergairah menanggapi dorongan-dorongan untuk korupsi. Mereka kemudian akan menggerakkan efek spiral korupsi sampai pada tingkat di mana ia menjadi faktor penentu yang dominan dalam motivasi prilaku manusia. Dalam menentukan sebab-musabab gejala secara historis tidak terlepas dari penggolongan segi makna (significance). Sifat hirarki ini tergantung pada konteks historis. Dimanakah letak faktor-faktor struktural dan situasional dalam hirarki ini? Struktur berlaku baik terhadap organisasi makro maupun organisasi mikro. Terhadap kedua tingkat tersebut korupsi dapat berhubungan secara kausal, baik secara langsung maupun tidak langsung. Di banyak negara sedang berkembang semangat dan gairah merampok dari homo venalis dapat bertahan karena tidak adanya perlawanan masyarakat. Tidak adanya perlawanan masyarakat ini banyak disebabkan oleh tidak adanya pers yang bebas dan wartawan pengusut yang penuh pengabdian. Pengawasan terhadap pers 103
melalui pembaharuan izin secara berkala mengecilkan nyali pers sehingga tunduk kepada kemauan penguasa. Tatanan ini merupakan bagian struktur perundang-undangan Negara yang bersangkutan, yaitu ketergantungan pers pada perkenan pemerintah untuk melakukan pekerjaannya. Jelas harus mempertimbangkan pengaruh struktur terhadap terjadinya korupsi. Korupsi yang mewabah di berbagai negara yang sedang berkembang adalah karena tidak cukupnya gaji pegawai negeri. Korupsilah yang mengeringkan sumber-sumber pemerintah. Ketidakcukupan ini disebabkan oleh adanya korupsi dan perencanaan yang buruk. Korupsilah yang mengeringkan sumber-sumber pemerintah. Perbaikan struktur pajak atau peraturan administratif tidak akan menyelesaikan masalah selagi orang-orang yang terlibat didalamnya tetap korupsi-korupsi di Indonesia dewasa ini tidak dapat dijelaskan dengan hal-hal yang ada di masa peperangan. Sementara itu dua generasi telah terbiasa dengan cara-cara korupsi. Hal yang sama dapat dikatakan berlaku juga di negeri-negeri sedang berkembang yang mengalami peperangan. Sebaliknya, di masa setelah perang berakhir, korupsi diketahui mereda tetapi merajalela kembali pada dasawarsa setelah kemerdekaan. Hal ini terjadi di Malaysia. Sekalipun demikian memang benar bahwa mereka yang berkuasa pada masa awal kemerdekaan menjadi kecanduan korupsi dari masa berlangsungnya peperangan. Tetapi perang itu sendiri adalah situasi yang berlangsung sebentar namun melahirkan korupsi yang meluas. Kelangsungan dan meluasnya korupsi merupakan akibat dari faktor-faktor lain yang tidak timbul dari peperangan. Sebagai kesimpulan hendaknya ditekankan bahwa korupsi mempunyai otonominya sendiri. Struktur ekonomi, politik maupun sosial, apapun jenisnya semua dapat dijangkiti oleh korupsi. Seperti halnya rayap, orang yang korup menyerang segala struktur. Di setiap struktur terdapat interaksi konflik antara orang yang korup dengan orang yang lurus. Struktur menampung keduaduanya, tergantung pada siapa yang mampu menyusupkan kekuasaan lebih besar. Hubungan antara orang dan struktur sosial adalah sama dengan hubungan antara rumah dan penghuninya. Struktur rumah tempat tinggal menyiapkan kondisi hidup bagi penghuninya, tetapi penghuni dapat mengubah struktur apabila menginginkannya. Namun, bila struktur itu menyebabkan kebocoran dan semua penghuninya menyerah saja kepadanya, menimpakan kesalahan pada struktur, maka struktur tersebut akan terus menyebabkan kebocoran. Dalam hal yang demikian, penjelasan tetap penghunilah yang tidak ingin memperbaiki struktur. Sesuatu yang bukan manusia tidak dapat dibebani tanggungjawab untuk sesuatu yang diperbuat oleh manusia. Penjelasan strukturalis tentang korupsi mengalihkan masalah tanggungjawab manusia sebagai pelaku kepada hal-hal yang bersifat eksternal. Hal-hal yang eksternal 104
penting artinya di dalam pemahaman tentang luas dan manifestasi gejala, tetapi kesemuanya itu bukanlah penjelasan yang terakhir. Semua itu baru titik permulaan. Titik terakhirnya adalah watak manusia. Perlawanan Terhadap Tindakan Korupsi Dalam pada itu korupsi di Indonesia terus berkembang. Sorotan terhadap berbagai kasus korupsi terus muncul, baik melalui media elektronik (TV) maupun di Koran-koran Indonesia. Dari waktu ke waktu usaha yang sungguh-sungguh dan terus dilakukan oleh alat-alat Negara. Agar usaha pemberantasan korupsi benar-benar efektif, maka harus menjadi bagian perlawanan pemerintah terhadap korupsi secara besar-besaran dan kuat, disertai dengan mobilisasi total dan terus-menerus dalam suatu jangka waktu yang panjang. Korupsi berkembang di berbagai Negara Asia. Di seluruh kawasan Asia yang sedang berkembang. Korupsi kelas kakap maupun kelas teri melanda semua lembaga. Singapura adalah satu-satunya pemerintah yang praktis bebas dari korupsi. Muangthai, Filipina dan Malaysia juga menghadapi masalah korupsi. Di Malaysia korupsi paling kurang mewabah (pandemic) dan berkembang sejak tahun 1957. Banyak tokoh politik dan tokoh-tokoh lain menghimpun kekayaan berkat jabatannya dalam pemerintahan. Bila korupsi berakar dalam dan meluas dengan otonomi yang kuat, menimbulkan pemikiran bahwa korupsi telah menjadi suatu way of life. Kemudian memaafkannya atau maslahan mengabsahkannya. Alasannya bahwa korupsi itu membantu membina kelas menengah. Kelas menengah ini diyakini akan menjadi tulang punggung stabilitas, dalam tahap perkembangan ekonomi yang kritis, tindakan besar-besaran untuk memberantas korupsi. Pandangan tersebut diajukan setelah sepuluh tahun korupsi melanda segenap sistem di Indonesia. Negarawan yang paling menentang korupsi adalah Hatta (1967) bahwa korupsi telah meresap ke segenap lapisan masyarakat Indonesia, menjangkiti berbagai departemen pemerintah. Para karyawan dan pegawai pemerintah yang upah dan gajinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, diperas oleh anasir-anasir yang korup. Salah satu akibat merajalelanya korupsi yang melanda seluruh sistem ialah semakin lemahnya kemauan untuk melawan korupsi. Melemahnya kemauan ini terlihat dalam berbagi bentuk, seperti membiarkan iklim korupsi, berusaha mengaitkannya dengan norma-norma kelembagaan dan budaya yang hidup di masa-masa sebelumnya, atau dengan pembangunan yang cepat atau bahkan dengan penciptaan kelas menengah. Juga pada umumnya diterima oleh mereka yang kemauannya lemah itu bahwa penolakan terhadap korupsi adalah sikap Barat. Tulisan para sarjana Barat menyumbang pada melemahnya
105
kemauan untuk melawan korupsi karena korupsi dianggap fungsional bagi pembangunan. Pengaruh Korupsi Terhadap Masyarakat Pengaruh korupsi terhadap masyarakat dan individu sedemikian rumit dan beraneka ragam sehingga pusat perhatian pada beberapa di antaranya yang paling menonjol. Korupsi tidak hanya mempengaruhi manusia dalam kehidupan ekonomi dan politik melainkan juga dalam pertumbuhan rokhaniah dan filsafatnya. Dari segi filsafat, korupsi menimbulkan nihilisme dan sinisme, sebaliknya korupsi pun ditumbuhkan oleh kedua hal tersebut. Korupsi melahirkan berbagai masalah rumit seperti larinya tenaga-tenaga ahli ke luar negeri. Masalah rumit ialah masalah yang unsur utamanya korupsi yang berpadu dengan unsur-unsur lain hingga membentuk keseluruhan yang rumit. Di antara akibat-akibat korupsi adalah berbagai bentuk ketidakadilan yang mempengaruhi pribadi-pribadi yang tidak terbilang banyaknya. Sebuah pemerintahan yang dilanda wabah korupsi yang menyerang segenap sistem akan mengabaikan tuntutan pemerintahan yang layak. Orang yang korup selalu mengabaikan kewajibannya karena perhatiannya terfokus pada korupsi semata-mata. Hal ini dapat mencapai titik yang membuat orang tersebut tidak peka perasaannya dan menimbulkan malapetaka terhadap rakyat. Saat krisis biasanya merupakan saat terjadinya peristiwa seperti itu. Andreski (1968). Ketidakpedulian disertai dengan sinisme merasuk menjadi sikap masyarakat terhadap kekuasaan pemerintah dan segenap segi kehidupan pada umumnya. Sikap masa bodoh mempengaruhi berbagai sektor kehidupan masyarakat melalui aneka macam mata rantai sebab-akibat. Korupsi menumbuhkan ketidakefisienan yang menyeluruh di dalam birokrasi. Adalah hal yang tidak mungkin bahwa korupsi memperbaiki efisiensi. Efisiensi yang bertambah baik hanyalah kasus tertentu dalam tindak korupsi. Dari pandangan pihak yang korup adalah efisiensi untuk meminyaki tangan yang gatal yang sedang menggenggam sesuatu yang diinginkan. Tetapi perbuatan yang efisien namun tidak bermoral dan bertentangan dengan hukum ini adalah potongan kecil teka – teki gambar potong (jigsaw puzzle) konfigurasi birokrasi yang lebih luas. Uang suap yang diberikan oleh sebuah perusahaan mengurangi efisiensi pemerintahan karena membuatnya lalai terhadap alternative lainnya yang masih realistis dan rasional. Tegasnya, keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan itu adalah kerugian bagi pemerintah. Harga barang-barang yang bersangkutan selalu dinaikkan. Terus bertambahnya permintaan uang suap dapat membuat peningnya perusahaan karena hal itu akan membaut kikuk apabila secara resmi harus menyebutkan harga yang tinggi dan tidak sesuai dengan kenyataan.
106
Korupsi dalam bentuk suap adalah perampokan uang masyarakat lebih-lebih bagi negeri yang mengalami kesulitan ekonomi dan kesulitankesulitan lain. Besarnya uang masyarakat yang masuk ke kantong orang yang korup di negeri miskin membawa akibat yang tidak terperikan bagi rakyat. Para koruptor sama sekali tidak sudah tidak berakhlak, tindakan korup tidak dapat dikatakan memperbaiki efisiensi bisnis karena dalam bisnis tidak diperlukan akhlak. Pengaruh korupsi yang merugikan terhadap efisiensi amat luas dan aneka ragam. Begitu sindrom korupsi menjangkiti birokrasi, sikap masa bodoh, yang dilindungi dengan sikap pilih kasih dan pengaruh-pengaruh lain menciptakan masalah-masalah yang tak terhitung banyaknya dan akibat-akibat yang berat bagi rakyat. Korupsi yang dilakukan oleh birokrasi dapat dikelompokkan ke dalam dua kecenderungan umum, yang menjangkiti masyarakat dan yang dilakukan di kalangan mereka sendiri. Korupsi tidak hanya terbatas pada transaksi yang korup yang dilakukan dengan sengaja oleh dua pihak atau lebih melainkan juga meliputi akibat-akibat yang timbul dari prilaku orang yang korup, homo venalis. Korupsi jelas menyuburkan jenis kejahatan lain di dalam masyarakat. Melalui korupsi sindikat kejahatan atau penjahat perseorangan dapat membengkokkan hukum, menyusupi organisasi negara, dan memperoleh kehormatan. Namun terdapat unsur-unsur yang membedakan antara korupsi yang terorganisasi di dalam birokrasi dan kejahatan yang terorganisasi. Di dalam korupsi yang terorganisasi tidak terdapat kegiatan besar-besaran yang dikepalai oleh seorang oknum tunggal. Korupsi yang terorganisasi lahir dari birokrasi dan menjungkirbalikkan struktur organisasi yang ada, sedang kejahatan yang terorganisasi membangun struktur organisasinya sendiri. Di dalam korupsi yang terorganisasi terdapat beberapa kepala organisasi dan bukan hanya seorang kepala yang berkuasa. Pada umumnya berbagai kepala korupsi yang terorganisasi bertindak secara otonom walaupun seringkali mereka saling tergantung satu sama lain. Mereka menenggang korupsi yang dilakukan oleh pihak dan semboyan mereka adalah hidup dan biarkan orang lain hidup. Luas kekuasaan mereka di dalam jenjang birokrasi tidak sama persis dengan luas kekuasaan mereka di bidang korupsi, tidak seperti kekuasaan tokoh sindikat kejahatan. Bagaimana pengaruh korupsi terhadap ekonomi? Beban ekonomi yang timbul sebagai akibat korupsi jatuh ke pundak masyarakat. Suap atau pemerasan di masukkan ke dalam perhitungan biaya. Karenanya sebagai akibat korupsi, harga-harga menjadi lebih mahal, disamping beban berupa pajak dan pungutan lain yang sah. Kebebasan yang timbul sebagai akibat korupsi mendorong pengusaha dan industriawan yang serakah untuk menambah batas keuntungan dengan melalaikan mutu dan menaikkan harga. Ini adalah akibat 107
langsung terhadap konsumen, selain itu penderitaan masyarakat masih ditambah karena kas Negara tidak menerima pajak dari kekayaan orang-orang korup yang kaya dan mengetahui cara-cara menghindarkan pajak. Pengelakkan seperti ini berakibat lebih tingginya tingkat pungutan pajak yang harus dibayar oleh warga Negara yang jujur, untuk menutup jumlah yang tidak dibayar oleh orang-orang yang korup. Pameran uang, lagu-lagu pujaan, dan kesukaan menjilat, kesemuanya adalah perwujudan efek transmutasi. Kesemuanya itu memperkuat kecenderungan terhadap korupsi. Prilaku seperti itu di dorong oleh orang-orang yang korup dalam upaya untuk mendapatkan penghormatan. Bentuk dan perwujudan efek transmutasi tergantung pada konteks budaya. Hal penting yang harus diperhatikan adalah adanya efek itu sendiri. Tingkat korupsi di dalam masyarakat berkorelasi dengan luas cakupan dan frekuensi efek transmutasi. Di Asia Tenggara, terdapat pemimpin-pemimpin politik yang korup yang memperoleh kedudukan pemimpin dalam ikatan-ikatan keagamaan yang semu. Terdapat usaha-usaha untuk menutupi orang-orang yang korup dengan selubung yang bersifat magis dan mistis. Kekayaan yang mereka peroleh melalui jalan korupsi dianggap sebagai anugerah Tuhan. PENUTUP Program pemerintah untuk menanggulangi atau melenyapkan korupsi tergantung pada keadaan dan kemauan kelompok pemimpin. Penyusunan program tergantung pada kesadaran mereka yang terlibat; pengertian dan pemahaman mereka akan sifat, sebab-sebab dan akibat korupsi. Begitu suatu pemerintah menetapkan untuk memberantas korupsi dan mempunyai kesempatan untuk itu, tidaklah sulit untuk mengubah situasi, secara bertahap tetapi mantap. Perencanaan harus benar-benar sehat. Sekedar publisitas tidaklah cukup. Hal-hal yang dibutuhkan ialah membuang pejabat yang korup secara sistematis dan berlanjut, pembaharuan administrasi pada pusat-pusat korupsi, dan menjalankan kebijaksanaan ekonomi yang memungkinkan orang mencapai taraf hidup yang layak. Hampir tidak ada pemimpin pemerintahan dewasa ini yang tidak secara terbuka menyatakan niat untuk memberantas korupsi. Pernyataan memang dikeluarkan, tetapi siapa yang mau percaya. Khalayak ramai tidak menganggap pernyataan tersebut sungguh-sungguh tidak dilaksanakan dan mereka memang banyak benarnya. Syarat pertama untuk memberantas korupsi adalah adanya seorang pemimpin pemerintahan yang punya kemauan keras dan memperoleh dukungan orang yang berwawasan dan jujur. Tanpa pemimpin dan pendukung seperti itu tidak akan ada program yang berhasil. Pendekatan progamatis gagal karena pemimpin tertinggi tidak memberi dukungan penuh dan aktif terhadap 108
program ini. Kita ingat diskusi antara kaum legalis yang penganut konghucu didalam filsafat Cina mengenai apakah hukum ataukah orang yang lebih penting. Dalam kaitan yang ada di negara-negara sedang berkembang dewasa ini, watak seorang pemimpin adalah lebih penting daripada sistem dan struktur masyarakat. Sistem dan struktur memang dua sasaran utama yang harus diubah bila kita hendak memberantas korupsi. Tetapi perubahan serupa itu hanya dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang menginginkan perubahan. Kalau orang-orang seperti itu memang ada, barulah suatu rencana yang programatis sangat diperlukan. Maka seorang pemimpin yang berkemauan niscaya akan menyambut gembira rencana seperti itu dan menaruh perhatian terhadap penerapannya. Situasi ini hanya dapat diubah menjadi situasi yang lebih cerah dengan ikhtiar orang-orang dari lingkungan yang bermoral dan berpikiran jujur. Tugas yang harus dilakukan kini adalah membina lingkungan orang-orang bermoral itu di berbagai negara di seluruh dunia, khususnya yang dilanda oleh korupsi. Suatu masyarakat anti-korupsi harus dibentuk untuk menjalin hubungan antar rakyat dari berbagai bagian dunia yang merasa prihatin terhadap masalah korupsi, sekalipun, pada tahap permulaan, mereka hanya dapat membahas tentang kasus-kasus korupsi.
DAFTAR PUSTAKA Abels, Jules.1956. The Truman Scandals. Chicago: Henry Regnery Company Alatas, Syed Hussein.1957. “ Effects of Corruption.” Singapore Tiger Standard. Andreski, Stanislav.1968. The African Predicament. London: Michael Joseph. Bolaji, Labanji.1970. Anatomy of Corruption in Nigeria. Ibadan: Daystar Press. Brooks, Robert C. 1974. Corruption in American Politics and Life. New York: Arno Press. (Dodd Mead & Co., 1910). Buhler, G. 1886. terj. The Laws of Manu. Vols. i- vii. London: Oxford University Press. Swann, Nancy. Lee, terj. Dan ed. 1950. Food and Money in Ancient China. Princeton: Princeton University Press.
109
REFLEKSI SOSIOLOGIS ATAS UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA1 Hartati Sulistyo Rini 2 ABSTRAK Korupsi adalah isu penting yang mengancam laju perkembangan suatu bangsa, tidak terkecuali Indonesia. Perlawanan terhadap korupsi bukan tidak dilakukan tetapi selalu terbentur dengan birokrasi, penegakan hukum, dan anggapan bahwa korupsi adalah bagian dari budaya. Sebagai sebuah alternatif, Sosiologi menawarkan beberapa pandangan dan refleksinya terhadap situasi tersebut, dimana korupsi bukan hanya menyangkut aspek hukum namun juga sosial budaya. Hal ini tidak terlepas dari kondisi bahwa yang merasakan akibat korupsi ini adalah masyarakat luas sebagai subjek Sosiologis. Perspektif Sosiologis ini diharapkan mampu menjadi kajian yang komprehensif sebagai bagian penting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Kata kunci : korupsi, refleksi, sosiologi
PENDAHULUAN Di penghujung tahun 2013, masyarakat Indonesia kembali dikejutkan dengan terkuaknya kasus korupsi di ranah hukum yang menyeret ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Bagaimanapun juga, selama ini tingkat kepercayaan masyarakat dalam penegakan hukum di Indonesia hanya menyisakan dua lembaga negara yang kredibel dan dipercaya oleh masyarakat yaitu KPK dan MK. Dengan kasus penangkapan Akil Mochtar inilah, semakin membuka mata masyarakat betapa kasus korupsi telah menjadi penyakit yang menyebar dan menjangkiti hampir semua elemen masyarakat, bahkan pada elemen penjaga hukum sekalipun. Menurut hasil kajian Transparency International (TI), pada tahun 2013 Indonesia menempati urutan 64 dari 177 negara yang dirilis situasi korupsinya. Skor Indonesia yaitu 32 berdasarkan Corruption Perception Index (CPI). Posisi Indonesia tersebut mengalami perbaikan, dari tahun 2012, yang mencatat posisi Indonesia di urutan 60 negara paling korup. Situasi ini ternyata masih berbeda jauh dengan peringkat dua negara tetangga. Singapura menduduki peringkat 173 dengan indeks 86, yang dengan demikian menempatkannya sebagai top five negara paling bersih dalam rilis TI. Sedangkan Malaysia menduduki peringkat 125 negara korup dengan skor 50. Dari rilis TI tersebut lima besar Negara paling bersih dari korupsi adalah sebagai berikut : 1) Denmark (91); 2) Finlandia (91); 3) 1
2
Disampaikan dalam Seminar Nasional Upaya Pemberantasan Korupsi Di Indonesia dalam rangka Dies Natalis UNNES ke-49 pada hari Rabu, 26 Maret 2014 di Kampus UNNES Sekaran, Gunungpati, Semarang. Dosen pada Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial UNNES. 111
Selandia Baru (89); 4) Swedia (89); 5) Singapura (86). Sedangkan Negara paling korup adalah : 1) Afganistan (8); 2) Korea Utara (8); 3) Somalia (8); 4) Sudan (11); 5) Sudan Selatan (14). Transparency International merupakan lembaga Antikorupsi Internasional yang berdiri tahun 1995 yang mengeluarkan indeks peringkat korupsi negara-negara di dunia berdasarkan gabungan dari 13 indeks data korupsi dari lembaga independen kredibel (metrotvnews.com). Dengan posisi tersebut, menurut Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) (dalam www.harianterbit.com), anggaran belanja negara yang dikorup jumlahnya cukup fantastis, yaitu hingga mencapai 30% dari total APBN. Jika APBN minimal adalah Rp 1.400 trilyun, maka sekitar 400 miliar diantaranya menguap setiap tahunnya. Ini merupakan temuan yang memprihatinkan, mengingat bangsa ini tengah berjibaku dengan segala macam persoalan yang menempatkan Indonesia dalam krisis multidimensi. Dalam catatan korupsi dunia dari In High Commisioner for Human Rights terkait dengan panel Discussion On Negative Impact of Corruption on the Enjoyment of Human Rights yang menjadi salah satu dokumen 5 tahun UNPAC (United Nations Parliamentarians Against Corruption) menggaris bawahi bahwa uang yang dikorupsi tiap tahunnya dapat mengatasi isu kelaparan dunia sebanyak 80 kali (www.merdeka.com). Boleh jadi, Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang berjuang melawan korupsi di dunia ini. Tapi dengan catatan tersebut diatas, ketika Indonesia masih menempati peringkat kritis untuk negara yang bersih dari korupsi, maka sebenarnya pulalah kita ikut menyumbang kemiskinan dunia dan keterbelakangannya karena tersumbat oleh katup korupsi yang menggurita. Bencana korupsi ini bukan tidak disadari oleh masyarakat Indonesia. Berbagai metode, pendekatan, pelibatan aparat dan mekanisme hukum serta sosial menjadi pengalaman sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun sekali lagi, ini bukanlah hal yang mudah mengingat kasus korupsi yang dihadapi oleh bangsa ini telah sampai pada tahap kritis baik secara kuantitas maupun kualitas. Secara kuantitas, jumlah perkara ini sangat besar karena menyerang hampir di semua bidang. Secara kualitas, perkara ini mengalami berbagai dimodifikasi oleh para pelakunya baik pada modus maupun pelaksanaannya. Demikian juga yang terjadi sampai hari ini, dimana berbagai upaya pemberantasan korupsi masih menjadi isu hangat bahkan terpopuler dalam wacana kehidupan berbangsa dan bernegara. Penyakit korupsi dimaknai sebagai wabah yang menjangkiti seluruh aspek kehidupan bernegara, yang mampu menggerus nilai-nilai dasar pembangunan bangsa. Sampai pada akar rumput pun, suara-suara tegas mendukung pemberantasan korupsi santer terdengar. Hal ini terjadi karena dalam aspek das sein, korban dari perilaku korup secara langsung dan sporadis adalah mereka yang ada pada aras bawah 112
yang didominasi masyarakat kecil. Berbagai mekanisme yang telah ditempuh oleh negara tersebut akhirnya akan bermuara pada penilaian publik atas kinerja pemberantasan korupsi. Artinya, bahwa aspek penting selanjutnya adalah bahwa publik atau masyarakat semakin cerdas memaknai ini semua. Bahwa model pemberantasan korupsi apa saja dan jumlah penindakan perkara korupsi berapa saja itu akan dinilai oleh masyarakat. Publik akan melihat sejauhmana negara mampu berada pada posisi melawan korupsi dan berpihak pada masyarakat. Sudut pandang sosiologis inilah yang juga menjadi aspek penting dalam melihat kinerja pemberantasan korupsi di bumi tercinta ini. PEMBAHASAN RUANG LINGKUP KORUPSI Korupsi memiliki berbagai batasan dimensi. Menurut Isra dan Hiariej (dalam Wijayanto dan Zachrie, 2009 : 557) dilihat dari peristilahan kata korupsi berasal dari Bahasa Latin corruptio atau dalam Webster Student Dictionary adalah corruptus. Selanjutnya corruption itu disebutkan berasal dari kata asal corrumpere, kata Latin yang lebih tua. Dari Bahasa latin itulah turun menjadi menjadi banyak bahasa di Eropa seperti Inggris: corruption, corrupt; Perancis : corruption; dan Belanda : corruptie (korruptie). Dapat diduga istilah korupsi dalam bahasa Belanda ini yang kemudian diadopsi dalam bahasa Indonesia menjadi korupsi. Arti harfiah dari kata itu adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang menghina atau memfitnah. Arti kata korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata Indonesia itu telah disimpulkan oleh Poerwadarmintha dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia: Korupsi adalah perbuatan buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan lain sebagainya. Di Malaysia, terdapat juga peraturan anti korupsi, akan tetapi tidak digunakan antikorupsi tetapi anti-kerakusan. Sering pula Malaysia menggunakan istilah resuah yang tentu saja berasal dari Bahasa Arab (riswah). Dalam kamus bahasa Arab-Indonesia, riswah sama artinya dengan korupsi. Di dalam pendekatan sosiologis, Alatas (dalam Wijayanto dan Zachrie, 2009: 558) mengemukakan bahwa korupsi akan berlainan maknanya apabila kita dekati secara normatif, politik, maupun ekonomi. Misalnya memasukkan nepotisme sebagai salah satu unsur korupsi yaitu menempatkan keluarga atau teman pada posisi pemerintahan tanpa memenuhi syarat untuk itu. Tentunya hal ini akan sukar dicari normanya dalam hukum pidana. Menurut Noeh (2005: 1), korupsi mengacu pada berbagai tindakan gelap dan tidak sah (illicit or illegal activities) untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Akan tetapi, dalam perkembangan yang lebih akhir, dari beragam pengertian korupsi terdapat penekanan, bahwa korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk kepentingan pribadi. 113
Sedangkan menurut UU No. 31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pengertian korupsi adalah tindakan memperkaya diri sendiri, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, memberi dan menjanjikan sesuatu kepada pejabat atau hakim, berbuat curang, atau melakukan penggelapan, dan menerima hadiah terkait dengan tanggung jawab yang dijalani (Napitupulu, 2010: 9). Dari berbagai batasan yang coba diberikan oleh beberapa pakar di atas, semakin terbukalah bahwa korupsi bukan kejahatan biasa, tetapi kejahatan yang luar biasa. Korupsi bahkan memiliki dampak sistemik yang bukan saja merusak satu garis generasi, tetapi mampu membawa virusnya menyeberang lintas generasi. Sungguh, bahwa korupsi menjadi sebuah wacana keprihatinan segala unsur masyarakat dan bangsa mengingat bukan hanya potensi bahayanya tetap juga berkaitan dengan dampak yang ditimbulkannya. Efek ini bukan hanya dirasakan di satu lini, tetapi segala lini akan merasakan dampak buruk dari korupsi ini, baik ekonomi, sosial, maupun budaya. Revida (2003) memberikan gambaran akan efek korupsi di berbagai bidang kehidupan sebagai berikut: 1) Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal; 2) Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan social; 3) Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik; 4) Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif. Dari situasi di atas bisa disimpulkan bahwa efek korupsi adalah menjangkau segala aspek kehidupan. Penanganan parsial tidak akan mampu menyelamatkan bangsa dari penyakit korupsi. Oleh karenanya perlu partisipasi dan gerakan holistik yang berkelanjutan agar dapat meyelamatkan bangsa ini ke depan. KEKUASAAN DAN KORUPSI Dalam sudut pandang sosiologi, kekuasaan merupakan salah satu tema besar yang dijelaskan dengan sangat menarik oleh Weber. Max Weber menjadi salah satu founding father Sosiologi yang memberikan penalaran menarik mengenai kekuasaan dan birokrasi. Kajiannya tersebut bahkan menjadi rujukan bagi perkembangan ilmu-ilmu sosial lain di luar sosiologi. Menurut Beilharz (2003: 367) sumbangan pandangan Weber di dalam sosiologi salah satunya adalah bahwa status dan kekuasaan politik merupakan pengimbang dan syarat bagi kekuasaan kelas, serta model mengenai ciri-ciri ideal tipikal birokrasi.
114
Birokrasi ideal bagi Weber adalah instrumen bagi pencapaian tujuan dalam masyarakat. Birokrasi mengatur dan membagi struktur social dalam tingkatan yang memudahkan kerja berbagai elemen masyarakat untuk melakukan tugasnya demi tujuan kolektif kelompok. Kekuasaan dan birokrasi dalam pandangan Weber adalah suatu sistem kerja efektif yang menjadi alat untuk mengembangkan pola-pola kehidupan dalam masyarakat. Namun kenyataannya, dalam masyarakat yang rasional dan modern saat ini cita-cita Weber tersebut menjadi kabur bahkan mengalami anomali. Saat ini, birokrasi dan kekuasaan menjadi jalur persekongkolan dan penyelewengan yang berorientasi terhadap hasrat pribadi atau kelompok kecil golongan tertentu terhadap akumulasi materi dan otoritas. Dalam ranah ini, Semma (2008: 36) mengungkapkan kembali apa yang dikatakan oleh Lord Acton: power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Artinya korupsi muncul bilamana terjadi penyalahgunaan kekuasaan, terlebih apabila kekuasaan bersifat absolut atau mutlak maka korupsi semakin menjadi-jadi. Hal ini juga dikuatkan oleh pendapat Indrayana (2008: 38), bahwa di Indonesia saat ini, korupsi adalah kejahatan tanpa aurat. Ia adalah hasrat telanjang yang terang benderang dilakukan oleh banyak pejabat di semua tingat kekuasaan. Mulai pejabat pemerintahan, pegiat peradilan, hingga korupsi gaya baru yang menggejala dikalangan anggota parlemen. Korupsi di semua tingkatan itu berhubungan dengan kekuasaan yang dimiliki oleh pejabat negara. Korupsi di parlemen misalnya semakin merebak seiring dengan menguatnya kekuasaan legislasi. Masuk akal kiranya pemahaman tersebut apabila merujuk apa yang terjadi di bumi Indonesia dewasa ini. Bagi masyarakat, melihat wajah birokrasi sama saja dengan melihat suatu sistem rapuh yang rentan ambruk karena digerogoti oleh berbagai kepentingan kekuasaan yang pada akhirnya melahirkan sikap kontra bahkan apatis terhadap berjalannya roda pemerintahan. Bukan tidak mungkin, cita-cita good governance hanya akan menjadi sebuah retorika kosong yang mampu berdiri kokoh dalam ranah ide dan isu akademis semata, namun menjadi begitu lemah pada aspek implementasi di ruang publik. Masyarakat sudah sedemikian apatis menatap masa depan dengan janji usang birokrasi yang begitu utopis. Birokrasi akan semakin melanggengkan jaringan kebusukan korupsi yang ada pada level strata tertentu, bahkan menjadi bagian dari dinasti yang sulit digantikan. Contoh nyata yang kemudian muncul adalah pada kondisi dinasti kekuasaan Ratu Atut di Banten. Pemusatan kekuasaan yang diiringi dengan mekanisme birokrasi penuh kepentingan, menjadikan Banten bak kerajaan kecil yang habis rakus dimakan oleh makhluk yang bernama korupsi. Pada kasus adik Atut, Tubagus Chaeri Wardhana, betapa public dibuat terbelalak ketika KPK menemukan sederet mobil mewah di rumah yang 115
bersangkutan serta barang bukti lain yang nilainya lebih dari 10 milyar rupiah. Ini adalah kondisi yang sangat bertolak belakang apabila dikaitkan dengan kondisi Banten yang menyandang gelar sebagai salah satu propinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia. Inilah yang dikatakan oleh Weber (dalam Beilharz, 2003: 367) dimana meningkatnya sentralisasi birokrasi berjalan seiring dengan meningkatnya sentralisasi kekayaan. KPK DAN SEPAK TERJANGNYA Di Indonesia, pemberantasan korupsi sangat identik dengan tugas KPK. Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Pembentukan KPK ini tidak lepas dari sejarah masa silam dimana lembaga-lembaga negara penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan tidak mampu menyelesaikan penindakan kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Sebagai extra ordinary crime, Wijayanto dan Zachrie (2009: 564) menegaskan bahwa, korupsi memiliki sifat khusus. Yang pertama, sifat yang dikemukakan oeh Sutherland yaitu korupsi sebagai white collar crime. Kedua, korupsi ini biasanya dilakukan secara berjamaah atau dalam kata lain kejahatan terorganisir, yang oleh Francis Ianni disebut sebagai organized crime. Ketiga, korupsi biasanya dilakukan dengan modus operandi yang canggih sehingga sulit pembuktiannya. Melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada akhirnya komisi anti rasuah ini didirikan. Visi KPK di tahun 2011-2015 adalah menjadi lembaga penggerak pemberantasan korupsi yang berintegritas, efektif, dan efisien Sedangkan misi KPK adalah sebagai berikut: 1) Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK; 2) melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK; 3) Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap TPK; 4) Melakukan tindakan-tindakan pencegahan TPK; dan 5)Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara (www.kpk.go.id). Prestasi KPK sampai tahun 2013 ini adalah meningkatnya penanganan kasus korupsi yang cukup signifikan, yaitu di tahun 2012 sebanyak 49 perkara dan di tahun 2013 sebanyak 70 perkara. Dijumlah dengan kasus yang tersisa tahun sebelumnya, maka saat ini ada 76 kasus yang sedang dalam tahap penyidikan, 108 penyelidikan, dan 66 penuntutan. Sedangkan kasus yang telah diselesaikan dan berkekuatan hukum tetap ada 40 perkara. Sepanjang tahun 2013 juga KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) . Selain itu, ada juga penangkapan pada mereka yang masuk daftar pencarian orang (DPO) (www.detik.com). Prestasi yang patut diapresiasi masyarakat mengingat
116
tantangan dan hambatan yang luar biasa berat dihadapi KPK dalam menindak perkara korupsi. PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM SUDUT PANDANG SOSIOLOGIS Upaya pemberantasan korupsi bukan tanpa cela. Terbukti masih banyak catatan kasus-kasus korupsi yang belum mampu diselesaikan. Tengok saja kasus Century yang telah terkatung-katung selama beberapa tahun. Di sisi lain, kasus korupsi masih marak terjadi bahkan jumlah yang dikorupsi semakin fantastis, dan beritanya kerap menghiasi headline berbagai media massa di tanah air. Melihat kecenderungan tersebut, terdapat beberapa alasan sosiologis, yang membuat publik berada di lini depan menggugat pemberantasan korupsi. Pertama, masih lemahnya penegakan hukum. Berkaca pada hal tersebut, Syamsudin (2008: x) terdapat empat fakta yang menandai gagalnya sistem hukum di Indonesia, yaitu ketidakmandirian hukum; integritas penegak hukum yang buruk; kondisi masyarakat yang rapuh dan sedang mengalami pseudoreformatie syndrome; pertumbuhan hukum yang mandek. Secara konkret, lanjutnya, kegagalan proses penegakan hukum kita bersumber pada substansi peraturan perundang-undangan yang tidak berkeadilan, aparat penegak hukum yang korup; budaya masyarakat yang buruk; dan lemahnya kelembagaan hukum kita. Syamsudin juga menyitir kondisi hukum kita yang lebih banyak bersifat represitoris, dan tidak antisipatoris sehingga kadangkala peraturan perundang-undangan yang dibuat sering tidak mencerminkan masyarakat secara utuh. Hal ini menciptakan masyarakat yang hyper regulated, dimana banyak peraturan dibuat tetapi tidak ada yang dapat memberikan keadilan bagi masyarakat. Pemberantasan korupsi telah menjadi agenda hukum yang wajib bagi Indonesia. Oleh karenanya, beberapa produk hukum telah dibuat, yaitu: UU No Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, bahkan yang terkini adalah pemberantasan korupsi yang mengelaborasikannya dengan tindak pidana pencucian uang, yaitu dalam UU No Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun yang menjadi persoalan adalah, perbandingan antara ancaman hukuman dengan vonis kepada koruptor yang belum memenuhi rasa keadilan untuk masyarakat. Dari data Indonesian Corruption Watch (ICW), ada 278 kasus sampai pengadilan tingkat pertama banding dan kasasi, vonis bersalah di tahun 2013, 16 di antaranya bebas vonis, sedangkan 78 persen (232 kasus) vonis masih ringan (www.tribunnews.com). Masih langkanya figur hakim yang berani mengambil langkah tegas seperti halnya Artidjo Alkostar dalam tindak pidana korupsi dengan terdakwa Angelina Sondakh, adalah realitas yang tak terbantah. 117
Artidjo menguatkan vonis hukuman mantan puteri Indonesia itu menjadi 12 tahun dari semula 4 tahun 6 bulan dan juga wajib membayar uang pengganti Rp 12,58 miliar dan 2,35 juta dollar Amerika Serikat subsider 5 tahun penjara karena terbukti melanggar Pasal 12 a Undang-Undang Pemberantasan Tipikor karena aktif meminta uang (fee) dari sejumlah proyek di Kementerian Pendidikan Nasional. Angie juga dinilai bersalah karena aktif menggiring anggaran. Sangat sedikitnya vonis berat untuk koruptor, mengakibatkan pemberantasan korupsi terkesan setengah hati bahkan masih jauh dari memberikan efek jera. Kedua, koruptor yang mengadopsi sikap selebritis di hadapan media. Sebagai extra ordinary crime yang memiliki efek destruktif dan masif, seharusnyalah para maling atau koruptor tersebut merasa malu disorot oleh media. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Sikap selebritis yang mereka tunjukkan antara lain adalah : melambaikan tangan kepada media bak artis Hollywood yang berjalan di karpet merah sambil tetap menjaga senyumnya agar tetap terkembang; hadir dalam ruang sidang dengan tetap modis dan full kosmetik, bahkan menggunakan jaket tahanan KPK dengan variasi ikat pinggang yang mahal bak peragawati; dan tidak jarang diantara para koruptor tersebut membawa “suporter” layaknya fans setia yang mendukung artis idolanya. Yang tidak kalah dramatis adalah seringkali mereka melontarkan pembelaan-pembelaan yang sifatnya berlebihan seperti layaknya adegan sinetron televisi. Sungguh perilaku-perilaku semacam itu benar-benar menciderai publik, karena segala kemewahan dan selebrasi yang mereka tampilkan di muka media tersebut berbanding terbalik dengan dunia nyata dimana korupsi membawa kesengsaraan, penderitaan dan kemiskinan. Ketiga, masih adanya anggapan bahwa korupsi itu bagian dari budaya. Menurut Noeh (2005: 1) hingga saat ini, korupsi dan praktik-praktik pendukungnya seperti kolusi dan manipulasi telah menjadi isu besar. Sampai akhirnya pada tingkat tertentu, korupsi dianggap sebagai gejala wajar dalam kehidupan keseharian. Lebih lanjut Usman juga menyoal tentang aktor-aktor yang patut diduga menganggap bahwa korupsi merupakan bagian dari budaya. Mereka adalah kalangan yang pasrah (fatalistik) karena tidak memiliki kemauan, ketahuan, dan kemampuan maupun kalangan pasrah (fatalistik) karena kalah, marginal, dan hidup dalam kepanikan, sebenarnya hidup dalam suasana yang disana hampir tidak ada security, safety, dan certainty. Karena mereka tidak berdaya, maka diperkirakan kalangan inilah yang selama ini melembagakan mitos bahwa korupsi adalah bagian dari budaya. Dalam benak mereka korupsi tidak mungkin dihapus karena menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan hidup dan kehidupan. Korupsi dianggap sebagai tabiat yang lazim melekat dalam pelbagai aktivitas sosial.
118
Dari beberapa pernyataan tersebut di atas, maka realita sosial yang mengarahkan persoalan korupsi pada isu budaya adalah hal yang sangat memprihatinkan. Bukankah budaya adalah bagian dari budidaya manusia dan masyarakatnya yang memiliki aspek keluhuran budi dan perilaku sehingga menjadikan masyarakat tersebut mampu beradaptasi dan terus melanjutkan kehidupannya. Jika memang demikian, maka tak patut kiranya mengkambinghitamkan faktor kebudayaan atas perilaku busuk para koruptor. Seringkali perilaku korup ini dihubungkan dengan nilai-nilai dasar interaksi sosial yang disalahgunakan demi memuluskan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu dalam masyarakat, seperti : sikap balas budi, tolong menolong dan menganggap semua hal bisa dikompromikan. Sikap-sikap tersebut dijadikan tameng untuk mengambil keuntungan sepihak dan berpotensi merugikan keuangan negara. Perlu ditegaskan bahwa maraknya kasus korupsi tidak berkorelasi positif dengan nilai luhur budaya bangsa. Bahwa menganalogikan korupsi sebagai bagian dari budaya bagi Lubis (dalam Noeh, 2005: 1), dimungkinkan karena usia korupsi sebagai gejala sosial yang terhitung tua, dan dalam sejarahnya korupsi muncul dalam berbagai bentuk. Inilah yang menjadikan korupsi berhasil menanamkan akarnya pada nilai budaya berbagai masyarakat dan bangsa. APA YANG BISA DILAKUKAN? Melihat kondisi tersebut, terdapat beberapa hal penting yang dapat diupayakan sebagai bagian dari mekanisme pemberantasan korupsi. Dari sudut pandang sosiologis, terdapat dua hal pokok yang bersinggungan langsung dengan perilaku manusia dalam masyarakat, yaitu menyangkut lembaga dan aktor di dalamnya. Aspek kelembagaan dalam hal ini dapat berupa optimalisasi sistem kehidupan bermasyarakat yang terkait dengan beberapa institusi besar, seperti: lembaga pendidikan, birokrasi, dan hukum. Pendidikan menjadi faktor penting sebagai fondasi untuk memperbaiki bangsa ini keluar dari jaring korupsi. Dalam berbagai jenjang pendidikan, isu-isu pemberantasan korupsi mulai diintegrasikan dengan semua mata kuliah maupun mata pelajaran bagi para siswa. Gerakan pemberantasan korupsi ini juga terkait dengan aspek pendidikan karakter yang akan membentuk kepribadian setiap anak. Lebih jauh lagi, beberapa lembaga pendidikan siap mengimplementasikan mata ajar pendidikan anti korupsi sebagai bagian dari mencerdaskan dan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap praktik-praktik korupsi. Slogan-slogan anti korupsi seperti : berani jujur itu hebat: kalau harus bersih mengapa harus risih; stop mencontek dan lain sebagainya menjadi salah satu cara yang dipakai untuk menginternalisasikan nilai-nilai anti korupsi. Aplikasi dari pendidikan anti korupsi yang nyata telah dilakukan oleh beberapa institusi pendidikan ini antara 119
lain adalah munculnya model-model kantin kejujuran di beberapa sekolah. Walaupun perlu pembenahan di sana sini namun wujud nyata ini perlu mendapatkan apresiasi. Dari sudut pandang sistem birokrasi dan kekuasaan, perlawanan terhadap praktik korupsi ini oleh Baswir (2002) dijelaskan sebagai berikut: 1) debirokratisasi BUMN yaitu dengan cara memisahkan pengelolaan BUMN dari campur tangan birokrasi pemerintah; 2) penghapusan segala bentuk dan dana nonbujeter dan penggabungan pengelolaannya ke dalam mekanisme APBN; 3) penyerahan sebagian sumber-sumber pendapatan pemerintah pusat melalui mekanisme pembagian pajak (tax sharing) kepada pemerintah daerah; 4) penyerahan sebagian aset negara yang dikuasai oleh pemerintah pusat, termasuk saham BUMN, atau untuk dikelola secara swadaya oleh masyarakat; 5) pembukaan peluang bagi setiap kelompok masyarakat yag bergerak dalam bidang pelayanan publik, untuk turut mengelola secara langsung sebagian belanja daerah; 6) peningkatan partisipasi dan transparansi dalam pengelolaan keuangan publik.; dan 7) penghapusan peran militer dalam bidang politik dan bisnis. Dalam bidang hukum, perlu ada sistem yang membuat jera para koruptor. Hal ini terkait dengan sanksi yang dijatuhkan untuk para koruptor. Jika hanya sanksi masuk penjara yang tidak terlalu lama dan membayar denda yang perbandingannya sangat kecil dibandingkan dengan hartanya secara keseluruhan, maka hal itu dirasakan kurang memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat. Wacana yang berkembang kemudian adalah dengan memiskinkan para koruptor tersebut. Pelaksanaan UU TPPU menjadi koridor yang sesuai dengan tujuan yang akan dicapai tersebut. Memiskinkan artinya menyita harta yang merupakan hasil korupsi kepada negara, yang berakibat pada pengurangan harta koruptor secara signifikan. Terbukti, pada setiap kali penuntutan dengan jerat UU TPPU ini, para koruptor beserta tim kuasa hukumnya mengerahkan seluruh daya upaya untuk berkelit dari aturan ini. Karena bukan saja nama diri dan keluarga yang tercemar oleh kasus korupsi ini, namun gambaran akan kehidupan masa depan yang jauh dari kemewahan akan membayanginya. Bahkan mungkin, menjadi miskin adalah hal yang paling menakutkan bagi para koruptor. Di sisi lain, dalam aspek aktor atau individu, masyarakat kita ini membutuhkan figur seorang pemimpin yang mampu dijadikan sebagai contoh. Pemimpin bukan semata-mata merupakan individu yang mendulang kekuasaan lewat suara rakyat, tetapi pemimpin adalah mereka yang mampu menjadi mata, telinga, hati dan wadah aspirasi rakyat. Tindakan nyata pemimpin dalam memperjuangkan hak-hak rakyat menjadi indikator kemampuan memimpin masyarakat. Ini memang bukan pekerjaan yang mudah namun juga bukan berarti tidak dapat dilakukan. Dalam masyarakat kita sekarang ini, masih sangat 120
langka pemimpin yang mampu bekerja baik di bidangnya, dan dapat dijadikan suri tauladan. Kebutuhan akan kategori pemimpin seperti ini sangat diperlukan mengingat sifat masyarakat yang paternalistik, dimana figur pemimpin berperan sangat besar dalam proses perubahan sosial budaya masyarakat. PENUTUP Memerangi korupsi adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam menciptakan kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih baik. Walaupun sampai hari ini isu korupsi adalah isu yang dianggap sulit untuk diberangus, namun peran serta masyarakat, aparat hukum, dan birokrasi yang bersih adalah kekuatan bangsa yang potensial untuk diupayakan. Pemberantasan korupsi bukan lagi pilihan atau kewajiban bagi seluruh elemen masyarakat, tetapi menjadi sebuah kebutuhan bersama yang mampu menjadi jalur perbaikan bangsa menuju masyarakat yang lebih beradab. DAFTAR PUSTAKA Baswir, R. 2002. Dinamika Korupsi Di Indonesia : Dalam Perspektif Struktural. Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 1 September Hal. 25-34. Beilharrz, P. 2003. Teori-teori Sosial : Observasi kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Indrayana, D. 2008. Negeri Para Mafioso : Hukum Di Sarang Koruptor. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Isra, S. dan Hiariej, E.O.S. 2009. Perspekif Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia dalam Korupsi Mengorupsi Indonesia : Sebab, Akibat dan Prospek Pemberantasan (Wijayanto dan Zachrie, R. (ed). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Napitupulu, D.R.W. 2010. KPK In Action. Jakarta : PT Niaga Swadaya. Noeh, M. F. 2005. Kiai Di Republik Maling : Refleksi Gerakan Moral Melawan Korupsi. Jakarta: Penerbit Republika. Revida, E. 2003. Korupsi Di Indonesia: Masalah Dan Solusinya. Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Semma, M. 2008. Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara, Manusia Indonesia dan Perilaku Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Syamsuddin, A. 2008. Integritas Penegak Hukum : Hakim, Jaksa, Polisi dan Pengacara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Usman, S. Tantangan Pemberantasan Korupsi (Tinjauan Sosiologi). Makalah tidak dipublikasikan. Di 2013, Kasus Korupsi yang Ditangani KPK Meningkat diunduh dari http://news.detik.com/read/2013/12/30/183318/2454434/10/di2013-kasus-korupsi-yang-ditangani-kpk-meningkat diunduh pada tanggal 25 Februari 2014 pukul 11.30 WIB. Indonesia Peringkat 64 Negara Paling Korup di Dunia (3 Desember 2013), diunduh dari www.metrotvnews.com pada 28 Februari 2014 pukul 14.40 WIB. Menyedihkan masih banyak kasus korupsi dijatuhi vonis ringan dinduh dari http://www.tribunnews.com/nasional/2014/01/12/menyedihkan-
121
masih-banyak-kasus-korupsi-dijatuhi-vonis-ringan pada 20 Februari 2014 pukul 16.00 WIB. Tiap Tahun, 30% APBN Dikorup (8 September 2013), diunduh dari www.harianterbit.com pada 28 Februari 2013 pukul 16.23 WIB. Uang Yang Dikorupsi Per Tahun Bisa Atasi Kelaparan Dunia 80 Kali (9 Desember 2013), diunduh dari www.merdeka.com pada 28 Februari 2013 pukul 16.02 WIB. www.kpk.go.id
122
KORUPSI SEBAGAI PERILAKU SOSIAL DAN PERILAKU FORMAL YANG MENYIMPANG Ambar Teguh Sulistiyani Abstrak Kedudukan seseorang dalam struktur organisasi pemerintahan bukan menjadikan seseorang berpeluang besar untuk membuat perubahan dan menyumbangkan karya serta kemaslahatan. Semakin tinggi jabatan seseorang hendaknya menjadi “menara air” yang mampu memberikan kemanfaatan semakin luas akibat kemampuannya dalam manajemen dan pengambilan keputusan dengan jangkauan yang lebih luas pula. Namun sebaliknya semakin tinggi jabatan ternyata semakin luas pula tubuh birokrasi yang dijangkiti oleh “benalu sosial” sehingga korupsi menjadi semakin besar dan melibatkan lebih banyak pejabat. Terkait dengan penyimpangan perilaku sosial dan birokrasi senantiasa bersifat saling terkait. Jika perilaku sosial dari anggota organisasi telah mengalami penyimpangan secara sosial tentu sangat menentukan kualitas perilaku formal dalam birokrasi. Karena perilaku sosial memiliki dampak terhadap perilaku formal setiap orang. Sedangkan perilaku formal dalam birokrasi tentunya tidak lepas dari kekuasaan, sehingga korupsi sebagai manivestasi perilaku menyimpang sangat erat kaitannya dengan penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan. Kata kunci: korupsi, kedudukan, perilaku sosial, perilaku formal
PENDAHULUAN Banyak permasalahan penyimpangan di dalam penyelenggaraan Negara dan pemerintahan yang terjadi, sehingga mengganggu dinamika kemajuan yang semestinya dapat berjalan lancar. Tindak indisipliner merupakan salah satu bentuk penyimpangan perilaku kerja pegawai yang sering tidak dipermasalahkan. Bermula dari pelanggaran yang sangat kecil selanjutnya berlarut-larut menjadi sebuah kebiasaan negatif, dan akhirnya menjadi sebuah permasalahan yang sangat besar, akut, dan melibatkan banyak pihak secara luas. Dapat diambil contoh tindak indisipliner ini menjadi salah satu awal dari terjadinya penyimpangan yang lebih besar. Penyimpangan besar yang melanda hampir semua lini pemerintahan hingga lembaga-lembaga Negara, alat-alat Negara yang dewasa ini banyak diberitakan berbagai media adalah korupsi. Korupsi dapat dimaknai sebagai pemanfaatan aset Negara, kepemilikan publik baik yang berupa uang, benda, kedudukan untuk memperkaya, mempermudah urusan sendiri dengan secara tidak legal. Menurut Carbonell123
Catilo 1996 dalam Amundsen (1999)1 Political corruption is therefore something more than a deviation from formal and written legal norms, from professional codes of ethics and court rulings. Apa yang dapat dipahami dari pendapat ini hendaklah memandang korupsi dengan lebih luas. Bahwa korupsi bukan sekadar menyangkut masalah pelanggaran ketentuan formal maupun pelanggaran atas hukum-hukum tertulis, kode etik profesi saja. Ada seuatu yang paling hakiki, bahwa korupsi adalah sebuah perilaku yang bersumber dari sebuah nilai yang salah dan telah tertanam dalam pribadi seseorang. Dengan nilai yang salah ini menjadikan perilaku menyimpang. Senada dengan hal ini maka Revida menyampaikan (2003:1)2 pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Kasus korupsi yang meluas di Indonesia, jika ditelaah dari pandangan Revida di atas, maka menunjukkan bahwa sudah terlalu banyak masalah “benalu sosial” yang menjangkiti kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Kedudukan seseorang dalam struktur organisasi pemerintahan bukan menjadikan seseorang berpeluang besar untuk membuat perubahan dan menyumbangkan karya serta kemaslahatan. Semakin tinggi jabatan seseorang hendaknya menjadi “menara air” yang mampu memberikan kemanfaatan semakin luas akibat kemampuannya dalam manajemen dan pengambilan keputusan dengan jangkauan yang lebih luas pula. Namun sebaliknya semakin tinggi jabatan ternyata semakin luas pula tubuh birokrasi yang dijangkiti oleh “benalu sosial” sehingga korupsi menjadi semakin besar dan melibatkan lebih banyak pejabat. Akibat lebih lanjut kehidupan birokrasi pemerintah tidak fokus kepada pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dalam memenuhi tuntutan dan konsekuensi amanat yang dipikulkan. Bahkan karena banyak aktor pemerintah juga bersinggungan dengan dana pembangunan, maka penyimpangan juga melanda pada alokasi dana pembangunan yang tidak memenuhi ketentuan dan target pembangunan. PEMBAHASAN Penyimpangan Perilaku Sosial dan Formal Terkait dengan penyimpangan perilaku sosial dan birokrasi senantiasa bersifat saling terkait. Jika perilaku sosial dari anggota organisasi telah mengalami penyimpangan secara sosial tentu sangat menentukan kualitas perilaku formal dalam birokrasi. Karena perilaku sosial memiliki dampak terhadap perilaku formal setiap orang. Sedangkan perilaku formal dalam 1
2
Amundsen, Inge, 1999,Political Corruption : an Introdustion to Issues, WP., (Chr. Michelsen Institute Development Studies and Human Rights). Revida, Erika, 2003, Korupsi di Indonesia: Masalah Dan Solusinya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Medan. 124
birokrasi tentunya tidak lepas dari kekuasaan, sehingga korupsi sebagai manivestasi perilaku menyimpang sangat erat kaitannya dengan penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan. Terkait dengan hal ini Kartono (1983)3 memberi batasan korupsi sebagai tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri. Bertolak pada pengertian korupsi ini maka tentunya setiap penggunaan kewenangan untuk tujuan keuntungan diri sendiri atau sekelompok orang dalam konteks formal. Ini semua dilandasi oleh perilaku sosial yang didasari oleh nilai-nilai yang salah dan diyakini sehingga tertanam dan menjadi jiwa dan kebiasaan. Secara formal rumusan pemaknaan korupsi telah disajikan dalam Undang-undang. Tindak pidana korupsi pasal 2 Undang-undang No 31 tahun 1999 jo. Undang-undang No 20 tahun 2001 adalah setiap orang, memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi, dengan cara melawan hukum, dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Sedangkan menurut KPK(2006) Perbuatan termasuk korupsi; pegawai negeri atau penyelenggara negara; menerima hadiah atau janji; diketahuinya bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Lebih formal dan eksplisit jabaran tentang tindakan yang termasuk dalam kategori korupsi dalam kedua rumusan ini. Korupsi sudah jelas sebagai sebuah tindakan : penggunaan kewenangan secara menyimpang, perbuatan melawan hukum untuk mencari keuntungan diri sendiri, atau sekelompok orang, menyebabkan kerugian negara. Di lingkungan akademik telah banyak yang dilakukan dalam rangka menganalisis masalah korupsi. Ada banyak studi yang dilakukan. Secara umum tujuan dari studi adalah untuk menganalisis pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan dalam menelaah efek atau dampak korupsi. Di sisi lain sebuah studi untuk melakukan ekplorasi tentang bagaimana melakukan sebuah penelitian yang implementatif. Sebagimana disampaikan bahwa, The purpose of this report is to review the “state-of-the-art” in international corruption research. The study has two objectives. First, it aims to review the essential elements of the various approaches that have been used to analyse the causes and effects of corruption. Thus, the study is organised as a literature review, extracting and evaluating the core elements of 3
Kartono, Kartini, 1983, Pathologi Sosial, Edisi Baru, CV. Rajawali Press, Jakarta. 125
corruption research in economics, political science and sociology/anthropology. Second, it aims to explore how research has been applied in developing countries. This is a question of what policy recommendations have been made, and what might be learned from the anti-corruption campaigns and policies applied in specific countries.( Andvig, Jens Chr., Odd-Helge Fjeldstad, Inge Amundsen, Tone Sissener and Tina Søreide, 2000).4 Terdapat banyak sebab yang menimbulkan korupsi. Penyebab yang mendorong korupsi ini dapat berpangkal pada sebab lemahnya kontrol individu di satu sisi, dan lemahnya kontrol sistem formal di sisi lain. Sementara itu banyak sektor yang dapat dijadikan sebagai kontekstualisasi dalam menelaah korupsi, yang masing-masing memiliki implikasi yang berbeda-beda. Latar belakang Negara apakah termasuk pada Negara-negara maju atau Negara berkembang juga ikut menentukan tindakan korupsi itu. Namun jika difokuskan pada sumber utamanya tetap sumber internal dan eksternal dari setiap pribadi. Mengingat bahwa sebuah tindakan korupsi berangkat dari perilaku sosial, maka perlu dicermati oleh setiap orang bahwa semua berangkat dari lepasnya kontrol diri (self control) dan pengawasan lingkungan (social control) sehingga seseorang atau sekelompok orang berperilaku menyimpang. Sebagai contoh dalam sebuah lingkungan kerja yang merasa “ewuh pakewuh” menegur terhadap orang-orang yang melakukan kecurangan, sehingga menjadi sebuah kebiasaan dan dalam bentuk yang semakin besar yaitu menjadi tindak korupsi. Menurut Albrecht dan Albrecht (2003) dalam Suradi (t.th:1) 5 kecurangan dipengaruhi oleh tiga hal: (1) adanya tekanan/dorongan (pressure/motivation); (2) rasionalisasi/pembenaran (menyangkut etika dan akhlak dari yang bersangkutan); dan (3) adanya peluang/kesempatan (opportunity) dan pengetahuan (konwledge) untuk melakukan kejahatan. Lebih lanjut Albrecht dan Albrecht (2003)6 menggambarkannya sebagai segitiga kecurangan (fraud triangle). Secara jelas bahwa sebuah tindak pidana korupsi itu kait mengkait antara perilaku sosial dengan peluang formal yang kendur, sehingga etika dan akhlak yang tidak baik tersebut dapat menjadi sebuah praktik yang terjadi ketika situasi formal mendukung adanya peluang berbuat jahat tersebut. Beberapa Perspektif tentang Korupsi Sah-sah saja bahwa ada beberapa pandangan dalam menelaah sebuah tindak pidana korupsi. Pandangan tentang korupsi yang direduksi dari beberapa perspektif ini akan memperkaya sudut pandang pemikiran dalam khasanah akademik. Di sisi lain beberapa pandangan ini akan menyumbangkan 4 5
6
Loc.cit.. Suradi, (Widyaiswara), Mengapa Seseorang Korupsi, t.th. Madya Balai Diklat Keuangan Palembang, Palembang. Albrecht, W. Steve and Chad 0. Albrecht, 2003, Fraud Examination, New York: Thomson South-Western.. 126
sebuah pemikiran yang positif untuk mengatasi terjadinya korupsi. Diketahui bahwa perspektif hukum memandang bahwa korupsi sebagai sebuah penyimpangan dan pelanggaran ketentuan hukum dan undang-undang. Wajar jika ahli hukum memandang sebuah korupsi merupakan sebagai sebuah kejahatan (crime). Karena korupsi sebagai sebuah kejahatan tentunya memerlukan tindakan yang legal untuk mengadili sebuah perbuatan korupsi. Klasifikasi seorang koruptor adalah termasuk dalam kategori penjahat. Karena seorang koruptor adalah sebagai penjahat oleh karenanya yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah secara proporsional segera menindak para koruptor dengan menggunakan jerat-jerat hukum yang sesuai. Dilihat delik hukumnya dan segera dilakukan penindakan terhadap pelaku korupsi. Hal lain yang perlu dilakukan terkait dengan pandangan ini adalah memberantas korupsi dengan memperkuat perangkat hukum. Adapun perangkat hukum yang perlu diperkuat adalah undang-undang dan aparat hukum. Pandangan lain yang tidak kalah pentingnya untuk dicermati adalah perspektif politik. Apa yang disampaikan oleh Perspektif politik di dalam memandang masalah korupsi cenderung menekankan pada aspek penyimpangan kekuasaan dan kewenangan. Untuk itulah perspektif ini mengedepankan untuk menyoroti para pemegang kekuasaan (pemerintah) dan alat-alat Negara di dalam menjalankan kekuasaan dan kewenangan. Secara umum yang terjadi di ranah politik, mencermati bagaimana kekuasaan itu digunakan, kewenangan itu dimanfaatkan oleh pemerintah dan alat-alat Negara lainnya. Apakah kekuasaan dan kewenangan digunakan secara proporsional atau digunakan untuk memperoleh keuntungan diri sendiri, menguntungkan orang lain atau sekelompok orang yang dengan secara sengaja atau tidak sengaja sehingga merugikan Negara. Dewasa ini dapat disaksikan bahwa meluasnya korupsi akibat penggunaan kekuasaan dan pemanfaatan kewenangan secara khusus untuk kepentingan yang melanggar etika pejabat/pegawai. Bisa dicermati bahwa khususnya korupsi besar (grand corruption) justru banyak dilakukan oleh para pejabat, politisi dengan cara menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan dalam birokrasi atau lembaga yang dipimpinnya. Pandangan lain yang perlu ditelaah adalah perspektif sosilogi. Perspektif sosiologi lebih memiliki fokus dalam memandang korupsi sebagai sebuah masalah sosial, juga masalah institusional serta masalah struktural. Masyarakat memiliki segmentasi, yang menimbulkan masalah sosial, institusional dan struktural. Masalah sosial bertolak dari pemahaman dan kualitas diri seseorang yang ada dalam institusi sosial tersebut. Jika seseorang memiliki sebuah kemampuan sosial yang mampu mengintrodusir nilai-nilai positif di dalam dirinya dan mengejawantahkan dalam sebuah perilaku sosial yang baik, maka sulit untuk ditembus oleh korupsi. Namun hal ini akan 127
menerima banyak tantangan dari lingkungan. Kuat lemahnya seseorang tentunya juga bertolak dari kemampuan mengimplementasikan keyakinan agamanya. Jadi pandangan sosial dan pandangan agama akan bertemu pada suatu titik yaitu kontrol diri. Korupsi terjadi di semua sektor dan dilakukan oleh sebagian besar lapisan masyarakat, akibat lemahnya kelembagaan nilai-nilai positif pada setiap pribadi. Di samping itu masalah korupsi juga menjadi masalah institusional masyarakat, yaitu aspek kelembagaan institusi masyarakat dalam menanamkan nilai-nilai positif terhadap warganya. Di samping itu struktur sosial yang di dalamnya menempatkan para tokoh masyarakat yang mampu mengendalikan gejolak lingkungan sosial akan dapat mengendalikan warga masyarakat, sehingga terpupuk perilaku positif. Dengan demikian perilaku korup sebagai penyakit sosial dapat diantisipasi oleh institusi sosial dan struktur sosial. Berbeda dengan pandangan di atas, perspektif agama menekankan pentingnya internalisasi, pemeliharaan dan implementasi nilai-nilai dan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari dan berperilaku hidup bermasyarakat, perilaku kerja yang dilandasi oleh kebenaran agama. Untuk itu sosialisasi internalisasi nilai-nilai kebenaran agama senantiasa perlu dilakukan, karena kebenaran agama yang memiliki tingkatan tertinggi, yang mengajarkan seorang umat menyambung dengan penciptanya. Artinya semua perilaku hidup ini akan menjadi sebuah pertanggungjawaban kepada Allah. Untuk itulah perspektif agama memandang bahwa korupsi terjadi karena lemahnya keyakinan seseorang terhadap agamanya, sehingga tidak memelihara perilaku hidup dan bekerjanya dengan berdasar kepada agama yang diyakininya. Agama akhirnya hanya menjadi sebuah ritual sembahyang, sedangkan perilaku sosial dan formalnya terpisah dari agama. Kegagalan orang dalam mengikatkan semua perilaku ke dalam nilai-nilai kebenaran agama ini yang kemudian lepas kontrol dalam perilaku sosial dan formalnya. Dengan kata lain korupsi itu terjadi sebagai dampak dari lemahnya nilai-nilai agama dalam diri individu. Dari pandangan ini maka upaya mencegah dan mengatasi korupsi hendaknya menyentuh setiap individu dengan mempertanyakan tentang konsistensi dalam menjalankan agamanya. Bertolak dari sini maka upaya yang harus dilakukan adalah memperkokoh internalisasi nilai-nilai keagamaan kepada setiap individu. Perlunya setiap diri individu dan masyarakat untuk mencegah tindak korupsi baik yang sifatnya kecil atau besar. Tindak korupsi kecil (petty corruption) perlu dicegah sedini mungkin. Korupsi yang kecil dapat berkembang menjadi sebuah korupsi besar (grand corruption). Kenyataan ini telah banyak disaksikan dewasa ini. Setiap organisasi hendaknya mempertajam perilaku beragama agar semua lebih dapat dikontrol oleh sistem yang lebih kuat yang bekerja di dalam diri individu(self-control) yaitu dengan meyakini secara dalam
128
atas bekerjanya waskat (pengawasan malaikat), bukan sekedar pengawasan melekat. Kemampuan Sistem Menekan Korupsi Ada kesempatan yang mungkin rentan terhadap tindak pidana korupsi. Selain dalam proses pengambilan keputusan tentang Rencana Anggaran Belanja Negara (RAPBN), Rencana Anggaran Belanja Daerah (RAPBD), juga dalam proses pengambilan keputusan bantuan-bantuan untuk pembangunan lebih luas. Bahkan pada saat implementasi kebijakan, monitoring dan evaluasi juga terdapat kemungkinan adanya kelalaian sehingga peluang korupsi itu terjadi. Risiko terjadinya korupsi dapat ditemui pula pada implementasi bantuan asing kepada Negara-negara berkembang. Upaya untuk meninimalkan risiko korupsi tentunya perlu dilakukan agar bantuan asing tidak terkontaminasi dengan korupsi. Tentunya sikap ini merupakan sikap yang positif, akan tetapi belum tentu ditanggapi secara proporsional. Consequently, if donors want to minimize the risk of foreign aid being contaminated by corruption, the poorest countries should be avoided. This would, however, make aid policy rather pointless. This is the basic dilemma corruption raises for aid policy. Unlike international business most development aid organizations and international finance institutions have the lion’s share of their activities located in highly corrupt countries. (Alesina and Weder, 1999 in Andvig, Jens Chr., Odd-Helge Fjeldstad, Inge Amundsen, Tone Sissener and Tina Søreide, 2000).7 Dari sistem pengambilan keputusan masih menghadapi faktor risiko korupsi yang sangat kuat. Sistem yang sudah terlanjur rusak oleh kebiasaan perilaku sosial yang salah menjadi sulit mengendalikan korupsi. Budaya memberikan ucapan terimakasih atas proyek yang dikelola atau kepercayaan atas suatu pekerjaan yang diberikan seringkali diikuti oleh memberikan balas jasa. Budaya kickback sepertinya telah dipahami sebagai sebuah kalaziman dalam sebuah sistem. Kickback merupakan sebuah pengembalian dari sebagian pembayaran yang diterimakan akibat sebuah transaksi bisnis tertentu yang disepakati keduabelah pihak yang bertransaksi. Sebenarnya kickback juga merupakan sebuah budaya yang bersifat tidak etis atau tidak legal karena merupakan perilaku menyimpang dengan melakukan pembayaran sebagian dari sejumlah uang yang diterimakan kembali kepada pihak pemberi kerja sebagai bagian dari transaksi bisnis yang dianggap legal dan sah. Menurut (anonym, 2013:1)8 Suap, kickback dan bentuk pembayaran lain yang korup bisa terjadi dalam berbagai bentuk dan tidak hanya dalam 7
8
Andvig, Jens Chr., Odd-Helge Fjeldstad, Inge Amundsen, Tone Sissener and Tina Søreide, 2000, Research on Corruption A policy oriented survey, (Final report, December) , Chr. Michelsen Institute (CMI) & Norwegian Institute of International Affairs (NUPI), Bergen/Oslo. P:1. Anonim, 2013., Kebijakan Anti Korupsi di Seluruh Dunia, (last revisited, June). 129
pemberian uang. Ini bisa termasuk hal-hal seperti; memberi pekerjaan kepada sanak keluarga penerima suap, menjanjikan pekerjaan setelah pensiun dari jabatan di pemerintahan, atau hadiah-hadiah yang berlebihan dan mewah atau hadiah dalam bentuk “hiburan dewasa.” Ini semua terjadi karena dilandasi oleh perilaku sosial yang menyimpang, sehingga mengintervensi perilaku formal dalam birokrasi menjadi menyimpang pula. Dan ini dibutuhkan sebuah sistem yang mampu mengatasi dengan membudayakan upaya bersih pada setiap perilaku sosial dan formal setiap orang. Pihak penerima pekerjaan dan pemberi pekerjaan, atau bentuk transaksi bisnis lain konsisten dengan aspek legalitas hukum dan undang-undang dengan dilandasi oleh sebuah kelurusan perilaku sosialnya. Terdapat sebuah ilustrasi kebijakan bahwa dalam melakukan bisnis di belahan bumi manapun di dunia, sebuah afiliasi, pekerja/pegawai, pimpinan/pejabat dan direktur atau apapun sebutannya dengan semua afiliasinya hendaknya menjiwai perilaku sosial dan formal yang konsisten untuk tetap menempatkan kejujuran sebagai bagian terpenting. Bahkan semua orang yang bertindak sebagai apapun, misalnya perwakilan, agen, atau penasihat bagi instansi, perusahaan maupun afiliasinya konsisten dengan peraturan perundang-undangan, dengan dilandasi oleh perilaku sosial yang lurus. Pengalaman yang disampaikan oleh Eaton adalah dalam situasi apa pun para pegawai Eaton dilarang untuk secara langsung maupun tidak langsung menawarkan, memberi, meminta, atau menerima segala bentuk suap, kickback atau pembayaran korup lain, atau sesuatu yang bernilai,kepada atau dari seseorang atau organisasi, termasuk badan-badan pemerintah, pejabat pemerintah secara individu, perusahaan swasta dan para pegawai perusahaan swasta tersebut. (Anonim, 2013)9 Semestinya sebuah sistem yang dikendalikan dengan konsisten akan mampu mengatasi masalah korupsi. Namun jika sistemnya lemah, maka akan memungkinkan peluang itu muncul sehingga para pihak yang memiliki dorongan untuk berperilaku sosial yang lemah akan mudah menerima keadaan tersebut sebagai peluang untuk menyimpang, tidak mentaati undang-undang maupun peraturan lain. Sebagai contoh kasus perusahaan “Eaton” dapat mengendalikan seluruh pegawainya serta perangkat pimpinan tetap menjunjung tinggi terhadap hukum dan undang-undang, karena sistemnya kuat untuk mengendalikan perilaku sosial dan perilaku formal semua orang yang tergabung di dalamnya.
9
Op.cit. 130
Kebijakan penanganan korupsi Secara umum pangkal dari masalah korupsi adalah karena kurangnya transparansi dalam pengelolaan aset maupun dalam sistem manajemen secara umum. Untuk itulah Vienna menyampaikan bahwa, normative standards and processes of detection and transparency need to be accompanied by appropriate sanctions.10 Dalam banyak praktik korupsi secara umum karena lemahnya standar normatif sehingga tidak dapat mendeteksi perilaku menyimpang. Di sisi lain lemahnya sanksi yang dikenakan kepada pelaku korupsi juga tidak menimbulkan efek jera. Ada sisi benarnya pendapat tersebut, namun yang lebih mengejutkan adalah ketika telah banyak regulasi yang mengatur tentang larangan korupsi, namun tetap saja korupsi itu terjadi. Banyak regulasi yang sesungguhnya telah mengatur masalah penanganan tindak pidana korupsi. Namun tetap saja korupsi menjadi permasalahan akut yang sepertinya sulit untuk diatasi. Untuk itulah peran masyarakat menjadi bagian yang sangat penting dalam rangka mengatasi masalah korupsi ini. Masalah peran serta masyarakat oleh Pemerintah Republik Indonesia 11 tersebut diatur oleh peraturan pemerintah No 71/2000. Sedangkan dalam rangka implementasi pemberantasan korupsi ini diperlukan sebuah alat yang dapat mengefektifkan. Menurut Rinaldi, Marini Purnomo dan Dewi Damayanti12 dibutuhkan beberapa perubahan bagi instansi penegak hukum di tingkat lokal antara lain: i) memperkuat kerjasama antara instansi penegak hukum dan organisasi anti korupsi di tingkat lokal dengan melibatkan aparat hukum dalam kegiatan pendidikan hukum dan anti korupsi bagi kelompok masyarakat dampingan; ii) menetapkan indikator lama proses hukum pada tiaptiap tahap selama proses hukum berlangsung; iii) surat edaran dari Kejaksaan Agung agar Kejaksaan Negeri wajib melaksanakan gelar perkara atas suatu kasus dugaan korupsi bersama organisasi anti korupsi serta memfasilitasi organisasi masyarakat untuk menyelenggarakan eksaminasi publik terhadap putusan pengadilan. Karklins13 “Anti-corruption work among public administrator and high level official can help, but in the long run, the mobilization of democratic forces from below and the forging of civil society is the decisive way to contain corruption in 10
11
12
13
United Nations, 2006, Legislative Guide for Implementation of The United Nations Convention Against Corruption, New York Pemerintah Republik Indonesia, 2000, Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Rinaldi, Taufik, Marini Purnomo, Dewi Damayanti, 2007, Memerangi Korupsi di Indoensaia secara Terdesentralisasi: Studi Kasus Penanganan Korupsi Pemerintah Daerah, Justice for The Poor Project, Bank Dunia. hlm:8. Karklins, Rasma, Anti-Corruption Incentives and Constituencies in the PostCommunist Region, Paper for Workshop 1: Creating a Trustworthy State, Collegium Budapest, Draft, September 2002, p.1 131
democratic society. Peran serta aktif masyarakat sesungguhnya dengan menciptakan lingkungan sosial yang mampu memberikan penanaman nilai positif, mengendalikan institusi sosial serta struktur sosial yang konsisten sehingga keyakinan agama dapat tertanam secara kuat, menjadi sebuah relalisasi perilaku sosial yang konsisten sehingga menjalankan sebuah kebaikan adalah kebutuhan setiap orang. Jika peran serta masyarakat hanya sebatas peraturan formal saja masih tidak akan mampu membendung korupsi. Dari catatan LP3ES14 pada tahun 2003 saja diperkirakan terdapat 450 LSM yang aktif mengusung berbagai isu di masyarakat. Bila dihitung dengan berbagai LSM yang baru berdiri, angka tersebut sangat mungkin membesar beberapa kali lipat. Termasuk dalam hal ini isu korupsi adalah sebagai isu masyarakat yang sangat luas. Banyak orang dalam masyarakat tersangkut masalah korupsi. Basis persoalan adalah rendahnya kemampuan institusi pendidikan keluarga, masyarakat, sekolah dan kekuatan formal dan informal lain dalam menginternalisasikan nilai budaya positif, mengontrol perilaku, dan mengajarkan cara melakukan kontrol diri. Di sisi lain kegagalan dalam melakukan sinkronisasi dan antar hubungan berbagai ilmu dalam mengatasi masalah korupsi. Karena sesungguhnya peran interdisipliner dalam mencegah dan mengatasi korupsi sangat strategis. International Council of Human Rights, (2009:15)15 Corruption demands a multidisciplinary approach, and many fields of study, from political science to economics, have addressed the issue. Pendekatan dari aspek multidisiplin perlu dilakukan untuk mengurai masalah korupsi, mencegah dan mengontrol perilaku. Berbagai pandangan tentang korupsi sebagaimana telah dijabarkan di atas maka sangat menolong pemerintah dan masyarakat dalam mengendalikan korupsi. Semakin banyak ilmu yang dipahami, maka semakin banyak aspek pengendalian yang dapat dilakukan. PENUTUP Perilaku korupsi sebenarnya di satu sisi berbasis pada kualitas diri individu di dalam merespons lingkungan. Internalisasi nilai yang positif dan kuat serta kemampuan setiap individu mengimplementasikan dalam setiap tindakan, mekanisme berpikir dan berbuat, maka akan lebih mudah untuk menyelamatkan diri dari rantai korupsi. Namun sebaliknya jika standar nilai yang ada pada individu tersebut lemah maka seseorang akan mengalami 14
15
Tim Lindsey, 2002, “Anti-corruption and NGOs in Indonesia,” in Stealing from the People: The Clamp Down: in Search of New Paradigms, Book 4, Foundation for Partnership for Governance Reform in Indonesia, Aksara, Jakarta , hlm: 35-42. International Council of Human Rights, 2009 Transparency International The Global Coalition Against Corruption: Corruption and Human Rights Making the Connection, Printed by ATAR Roto Press SA, Vernier, Switzerland. P:15.
132
kesulitan dalam merespons lingkungan sehingga akan terbawa arus. Di sisi lain disain sistem formal yang mengimplementasikan standar nilai secara konsisten, kemampuan melakukan kontrol secara adil akan dapat memperkecil peluang korupsi sehingga suatu sistem formal dapat berpengaruh pada terbentuknya perilaku formal yang terkendali. Penggunaan pendekatan multidisiplin dalam melakukan pendekatan terhadap masalah korupsi akan menciptakan kearifan dalam mengatasi korupsi secara integrative, sehingga dapat memperbesar kemampuan mencegah, mengendalikan secara lebih tertib perilaku dan tertib hukum. DAFTAR PUSTAKA Albrecht, W. Steve and Chad 0. Albrecht, 2003, Fraud Examination, New York: Thomson South-Western. Amundsen, Inge, 1999,Political Corruption : an Introdustion to Issues, WP., (Chr. Michelsen Institute Development Studies and Human Rights). Andvig, Jens Chr., Odd-Helge Fjeldstad, Inge Amundsen, Tone Sissener and Tina Søreide, 2000,”Research on Corruption A policy oriented survey”, (Final report, December) , Chr. Michelsen Institute (CMI) & Norwegian Institute of International Affairs (NUPI), Bergen/Oslo. Anonim, 2013., Kebijakan Anti Korupsi di Seluruh Dunia, (last revisited, June). International Council of Human Rights, 2009 Transparency International The Global Coalition Against Corruption: Corruption and Human Rights Making the Connection, Printed by ATAR Roto Press SA, Vernier, Switzerland. Karklins, Rasma, 2002, Anti-Corruption Incentives and Constituencies in the PostCommunist Region, Paper for Workshop 1: Creating a Trustworthy State, (Collegium Budapest, Draft, September ). Kartono, Kartini, 1983, Pathologi Sosial, Edisi Baru, CV. Rajawali Press, Jakarta. Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, “Memahami untuk Membasmi Korupsi”, Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, KPK RI, Jakarta. Nanang T. Puspito, Marcella Elwina S., Indah Sri Utari, Yusuf Kurniadi, (editor), 2011, Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Jl. Jend. Sudirman Pintu 1. Gedung D Depdikbud, Senayan, Jakarta 10270. Pemerintah Republik Indonesia, 2000, Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Revida, Erika, 2003, Korupsi di Indonesia: Masalah Dan Solusinya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Medan. Rinaldi, Taufik, Marini Purnomo, Dewi Damayanti, 2007, Memerangi Korupsi di Indoensaia secara Terdesentralisasi: Studi Kasus Penanganan Korupsi Pemerintah Daerah, Justice for The Poor Project, Bank Dunia. Suradi, (Widyaiswara), Mengapa Seseorang Korupsi, t.th. Madya Balai Diklat Keuangan Palembang, Palembang. Tim Lindsey, 2002, “Anti-corruption and NGOs in Indonesia,” in Stealing from the People: The Clamp Down: in Search of New Paradigms, Book 4, 133
Foundation for Partnership for Governance Reform in Indonesia, Aksara, Jakarta. United Nations, 2006, Legislative Guide for Implementation of The United Nations Convention Against Corruption, New York.
134
PENDIDIKAN ANTI KORUPSI MELALUI BIMBINGAN KELOMPOK1 Drs. Susilo Rahardjo, M.Pd. 2 Email:
[email protected] Abstrak Korupsi di Indonesia sudah sampai pada taraf akut, hampir semua elemen penyelenggara negara – eksekutif, legislatif dan yudikatif – mulai dari tingkat kabupaten/kota, propinsi sampai tingkat pusat terlibat korupsi. Kita semua sepakat bahwa korupsi merupakan perilaku yang harus segera diberangus sampai ke akar-akarnya. Pendidikan anti korupsi harus segera dilakukan oleh institusi pendidikan melalui layanan bimbingan kelompok dengan teknik pemberian informasi, diskusi kelompok, dan permainan peranan agar setiap siswa setelah mengikuti layanan memahami, mencegah, dan mengatasi perilaku korupsi. Kata kunci: korupsi, pendidikan anti korupsi, bimbingan kelompok . PENDAHULUAN Skandal korupsi mantan Ketua MK, Akil Mochtar kian membuat jeblok potret korupsi di Indonesia. Publik dibuat terhenyak, karena perilaku korupsi yang dilakukan oleh para penyelenggara negara sudah sempurna. Mulai dari Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, aparatnya sudah terlibat korupsi. Lalu, apa yang harus dilakukan? (Nabila dan Anggi, Nopember 2013 – Januari 2014) Berbagai upaya pemberantasan korupsi mulai dari pencegahan sampai dengan penindakan, tidak mengurangi jumlah tindakan korupsi. Tindakan dan perilaku korupsi trendnya justru meningkat dari tahun ke tahun. Salah satu hal yang disinyalir tidak menimbulkan efek jera bagi para koruptor adalah ringannya hukuman bagi para pelaku korupsi. Bahkan ada koruptor yang dinyatakan tidak bersalah dan bebas dari hukuman karena tidak adanya buktibukti yang cukup dan “kepiawaian” pengacara yang membela mereka. Namun demikian perang melawan korupsi tidak boleh berhenti. Pendidikan nasional Indonesia yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, dalam rangka mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa 1
2
Makalah disajikan dalam Seminar Nasional “Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia” diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis ke-49 Unnes oleh DPP IKA Unnes di Universitas Negeri Semarang: Rabu, 26 Maret 2014. Lektor Kepala Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah dpk pada Program Studi Bimbingan dan Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muria Kudus 135
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (Departemen Pendidikan Nasional, 2003:11), harus terus diupayakan agar peserta didik tidak terkontaminasi oleh virus korupsi. Pendidikan anti korupsi melalui bimbingan kelompok merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh konselor dalam mencegah sedini mungkin perilaku korupsi. Siswa-siswa sebagai peserta layanan bimbingan kelompok disajikan berbagai informasi, melakukan diskusi dan kegiatan lain agar mereka memperoleh pemahaman mengenai dampak buruk tindakan dan perilaku korupsi; pencegahan terhadap dorongan, keinginan, dan kesempatan melakukan korupsi; memunculkan ide-ide kreatif untuk melakukan pengentasan masalah korupsi; pengembangan dan pemeliharaan terhadap situasi dan kondisi positif di mana peserta layanan bersih dari tindakan dan perilaku positif.
PERILAKU KORUPSI MERUPAKAN PENYAKIT MENULAR Korupsi merupakan kata benda (nomina) yang dimaknai sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain (Alwi, 2001:597). Dalam konteks sekarang, korupsi tidak hanya menyangkut uang negara, perusahaan, badan usaha Negara, badan usaha swasta, koperasi masyarakat, dan kelompok tertentu; tetapi dapat pula berupa barang bergerak dan tidak bergerak yang memiliki “nilai ekonomis”, bahkan gratifi kasi seks pun merupakan objek korupsi untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Perilaku korupsi dengan demikian dapat diartikan sebagai perilaku seseorang dan/atau sekelompok orang yang menyelewengkan atau menyalahgunakan wewenang yang ada pada seseorang dan/atau sekelompok orang. Perilaku manusia dalam kajian psikologi dan pendidikan merupakan hasil belajar. Menurut behavioristik manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial budaya, sehingga perilaku manusia dapat dipelajari. Dalam konsep behavioral, perilaku manusia merupakan hasil belajar sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar (Rusmana, 2009:65). Mengacu pada Rusmana (2009:65) di atas, perilaku korupsi tidak mungkin berdiri sendiri, berasal dari dorongan dalam diri pelaku korupsi; melainkan mengikuti hukum dan kaidah stimulus and response. Pelaku korupsi “digoda” pihak lain untuk menerima sesuatu atas jasanya, fasilitas yang diberikannya, penyalahgunaan wewenang yang dimilikinya. Itu semua karena lingkungan sosial budaya yang melingkupinya, dan ia belajar dari lingkungannya bahwa korupsi di Indonesia sudah jamak dilakukan oleh mereka yang punya fasilitas, wewenang dan kedudukan. Sementara di sisi lain ia pun 136
belajar bahwa hukum yang diberlakukan tidak tegas dan keras, misalnya pelaku korupsi disita semua kekayaannya, dihukum mati. Hukuman seumur hidup dan denda sekian milyar tidak memberikan efek jera karena pelaku korupsi selalu mendapatkan remisi, dan hartanya yang disimpan di berbagai tempat masih aman untuk dinikmati oleh istri, anak cucu dan kroni-kroninya Korando - Koran Anak Indonesia (2010) menyatakan bahwa, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Lebih lanjut dinyatakan, dampak buruk korupsi bagi masyarakat dan bangsa meliputi (1) kesejahteraan umum negara terancam, (2) demokrasi tidak fair, (3) menghambat pertumbuhan ekonomi dan investasi, (4) korupsi melemahkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam menjalankan program pembangunan, (5) menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, (6) penurunan kualitas moral dan akhlak. Mengingat dampak buruknya perilaku korupsi sebagai hasil belajar sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar, sudah seharusnya diperlukan cara-cara kreatif untuk mengubah perilaku korupsi, memberantasnya, terutama mencegahnya agar tidak terjadi. Layanan bimbingan kelompok diyakini dapat mencegah dan mengubah perilaku korupsi, dimulai dari pendidikan di sekolah dan kemudian melebar ke masyarakat luas.
BIMBINGAN KELOMPOK Layanan bimbingan dan konseling sekarang ini bukan hanya dilaksanakan di latar sekolah tetapi sudah menjangkau luar sekolah dan masyarakat luas. Sepuluh jenis layanan dapat dilakukan oleh konselor, meliputi layanan orientasi, layanan informasi, layanan penempatan/penyaluran, layanan penguasaan konten, layanan bimbingan kelompok, layanan konseling kelompok, layanan konseling perorangan, layanan mediasi, layanan konsultasi, dan layanan advokasi (Prayitno, 2012:2-3). Masing-masing layanan mempunyai prosedur yang berbeda, meskipun tujuan akhirnya adalah mewujudkan peserta layanan memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Penulis memilih layanan bimbingan kelompok dalam konteks makalah pendidikan anti korupsi ini, dengan pertimbangan sebagaimana alasan-alasan berikut ini. Rahardjo (2004:5) menyatakan bahwa bimbingan kelompok didasarkan pada:
137
1. Adanya kebutuhan dari klien akan suasana kelompok karena pada hakekatnya manusia adalah makhluk individual dan makhluk sosial. Statemen tersebut di atas menggambarkan bahwa secara kodrati setiap manusia itu membutuhkan orang lain agar ia dapat melangsungkan hidupnya secara wajar. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat hidup secara normal tanpa orang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia membutuhkan manusia lain. Sebab pada hakekatnya ada hal-hal tertentu yang dapat dipenuhi oleh individu itu sendiri, tetapi ada hal-hal tertentu pula yang pemenuhannya harus melibatkan orang lain (kelompok). Misalnya untuk mengatasi korupsi tidak bisa dilakukan secara perorangan. Seorang Abraham Samad tidak dapat memberantas korupsi tanpa didukung banyak orang yang ada di KPK dan lembaga terkait. 2. Adanya suatu masalah atau kesulitan dari klien yang lebih tepat atau harus diselesaikan dalam kegiatan dan suasana kelompok. Masalah-masalah klien yang membutuhkan penyelesaian dengan kegiatan dan suasana kelompok adalah masalah yang tidak bersifat pribadi dan emosional, misalnya masalah sosial, masalah pendidikan, masalah pekerjaan, masalah penggunaan waktu luang, masalah penempatan dan penyaluran bakat dan minat, masalah pengajaran atau belajar. Pendidikan anti korupsi harus diselesaikan dalam kegiatan dan suasana kelompok. Hal ini dimungkinkan karena bimbingan kelompok memiliki beberapa keunggulan mendasar (Sugiharto, 2012:1), antara lain : (1) membantu seseorang atau sejumlah orang yang tidak siap dan terbuka secara perorangan menemui konselor, (2) memfasilitasi individu atau sekelompok individu yang lebih berani berbicara dan terbuka saat bersama-sama temannya, (3) dapat melayani sejumlah orang dalam waktu yang bersamaan, (4) menimbulkan keakraban, membangun suasana saling percaya, saling membantu, dan empati diantara sesama anggota kelompok dan konselor, (5) menemukan alternatif pemecahan masalah yang lebih banyak dan bervariasi, karena mengemukanya berbagai pemikiran dari anggota, (6) praktis, dalam arti dapat dilakukan di mana saja, di dalam ruangan atau di luar ruangan, di sekolah atau di luar sekolah, di rumah salah seorang peserta atau di rumah konselor, di suatu kantor, atau di ruang praktik pribadi konselor. Dengan demikian layanan bimbingan kelompok mempunyai nilai lebih dari pada konseling perorangan, karena melibatkan banyak orang sekaligus dalam satu kegiatan, di mana komunikasi dan interaksi antar anggota kelompok dapat memberikan pencerahan, pemahaman, dan memunculkan ide -ide kreatif untuk mengatasi prilaku korupsi.
138
Gibson dan Mitchell (2011:52) menyatakan bahwa, bimbingan kelompok merupakan aktivitas yang dirancang untuk menyediakan kepada individu-individu sejumlah informasi atau pengalaman yang memajukan karier atau pengertian tentang pendidikan, pertumbuhan pribadi dan penyesuaian sosial mereka. Lebih lanjut, dikatakan bahwa bimbingan kelompok juga diorganisasikan untuk mencegah berkembangnya problem. Isinya bisa mencakup informasi pendidikan, pekerjaan, pribadi atau sosial, dengan tujuan menyediakan kepada siswa informasi akurat yang akan membantu mereka membuat perencanaan hidup dan pengambilan keputusan yang tepat. Pendapat Gibson dan Mitchell di atas menunjukkan kepada kita bahwa informasi mengenai pendidikan anti korupsi diharapkan dapat memberikan gambaran kepada peserta layanan sehingga mereka tidak tergoda untuk melakukannya. Siswa sebagai peserta layanan dan konselor sebagai pemberi layanan merupakan komponen penting dalam keberhasilan pendidikan anti korupsi. TEKNIK BIMBINGAN KELOMPOK Teknik bimbingan kelompok bukan merupakan tujuan tetapi alat untuk mencapai tujuan bimbingan kelompok. Pemilihan dan penggunaan teknik bimbingan kelompok didasarkan atas kebutuhan kelompok baik itu menyangkut konselor maupun konseli. Kreativitas konselor dalam menggunakan dan mengembangkan teknik bimbingan kelompok membantu dan berkontribusi terhadap pencapaian tujuan bimbingan kelompok. Romlah (2006: 87-125) menyatakan bahwa teknik bimbingan kelompok terdiri dari pemberian informasi atau teknik ekspositori, diskusi kelompok, pemecahan masalah, permainan peranan, permainan simulasi, karyawisata, dan homeroom. Penulis memilih teknik pemberian informasi, diskusi kelompok dan permainan peranan dalam memberikan layanan bimbingan kelompok untuk membahas pendidikan anti korupsi. 1.
Pemberian Informasi Teknik pemberian informasi dapat juga disebut sebagai ceramah bimbingan yaitu pemberian penjelasan oleh seorang pembicara (konselor) kepada sekelompok siswa. Pemberian informasi atau ceramah bimbingan tidak sematamata dilakukan secara lisan, tetapi dapat pula dilakukan dengan tertulis, bahkan dapat dibantu dengan papan bimbingan, poster, newsletter, bulletin dan majalah sekolah, slide, dan film. Sebagai informasi awal untuk memberikan pemahaman dan pencegahan konselor dapat memberikan layanan dengan cara menyajikan kliping berita korupsi dan dampaknya yang berkaitan di papan bimbingan, poster ajakan untuk mencegah dan memberantas korupsi, stiker anti korupsi. 139
Kegiatan informasi tersebut dilanjutkan melalui pertemuan dengan siswa di kelas untuk menjelaskan korupsi dan dampaknya melalui potongan-potongan film berita korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara dan pejabat publik. Tunjukkan perilaku mereka yang menghambur-hamburkan uang negara (yang berarti uang rakyat juga), hidup mewah dan berfoya-foya, menimbun mobil mewah dan rumah mewah, memiliki beberapa istri simpanan yang ikut menikmati uang rakyat; sementara di sisi lain ditayangkan gambar rakyat yang miskin di mana-mana, jalan dan jembatan tidak diperbaiki, anak-anak sekolah sulit memperoleh akses. Dari pemberian informasi (ceramah bimbingan) dilanjutkan dengan tanya jawab, dan simpulan korupsi dan dampaknya bagi masyarakat dan negara. Konselor dapat memberikan tugas lanjutan kepada siswa (1) untuk mengkliping berita korupsi dan mereka diminta untuk memberikan komentar dan kritik atas peristiwa tersebut, (2) membuat karya pendidikan anti korupsi berupa karikatur, poster, essay, pantun, untuk dimuat di majalah dinding, blog atau web sekolah. 2.
Diskusi Kelompok Diskusi kelompok merupakan teknik bimbingan kelompok yang paling sering digunakan, baik dipadukan dengan teknik yang lain maupun berdiri sendiri; dalam arti sejak mulai kegiatan sampai dengan akhir bimbingan kelompok dilakukan dengan diskusi. Romlah (2006:89) mengutip pendapat Bloom (dalam Bennet, 1963) mengemukakan: Diskusi kelompok merupakan usaha bersama untuk memecahkan suatu masalah, yang didasarkan pada sejumlah data, bahan-bahan, dan pengalaman-pengalaman, di mana masalah ditinjau selengkap dan sedalam mungkin. Secara idea, pemimpin kelompok membantu kelompok untuk memusatkan perhatian pada masalah yang dihadapi, membantu meninjau masalah secara luas dan mendalam, membantu memberikan sumber-sumber yang dapat dipakai untuk pemecahan masalah, dan membantu kelompok mengetahui bilaman masalah sudah terpecahkan serta implikasi selanjutnya dari pemecahan tersebut. Layanan bimbingan kelompok dengan tema “Pendidikan Anti Korupsi” yang didiskusikan oleh sekelompok siswa dengan dipimpin konselor, merujuk pendapat Rahardjo (2004:50-56), kegiatan diskusi kelompok dilakukan melalui tahap awal, tahap pembentukan, tahap peralihan, tahap kegiatan, dan tahap akhir. Tahap awal berlangsung sampai berkumpulnya seluruh anggota kelompok dan dimulainya tahap pembentukan. Pada tahap awal ini menyangkut kegairahan maupun keengganan atau bahkan sikap penolakan para (calon) anggota kelompok untuk ikut serta dalam kegiatan kelompok yang
140
dimaksud. Pada tahap awal konselor dapat mengawali kegiatan antara lain dengan informasi melalui papan bimbingan, poster, pengumuman di kelas. Tahap pembentukan merupakan tahap pengenalan, tahap untuk melibatkan diri atau memasukkan diri ke dalam kehidupan suatu kelompok. Pada tahap ini pada umumnya para anggota itu saling memperkenalkan diri dan juga mengungkapkan tujuan atau pun harapan yang ingin dicapai dengan kegiatan kelompok ini, baik oleh masing-masing anggota maupun sebagian anggota. Dalam hal ini pemimpin kelompok hendaknya: (1) menyampaikan salam dan ucapan terima kasih serta memimpin doa (2) menjelaskan arti dan tujuan diskusi kelompok (3) menjelaskan cara pelaksanaan diskusi kelompok (4) menjelaskan azas-azas yang digunakan dalam kegiatan ini (5) melaksanakan perkenalan, permainan dan kesepakatan waktu Dalam tahap peralihan di warani suasana ketidakseimbangan. Seringkali terjadi konflik atau bahkan konfrontasi antar anggota kelompok. Pada tahap ini pemimpin kelompok: (1) menanyakan kesiapan anggota kelompok untuk mengikuti kegiatan selanjutnya (2) menginformasikan kepada anggota kelompok bahwa pada saat ini tema yang hendak dibahas adalah “masalah korupsi” Tahap kegiatan merupakan kehidupan yang sebenarnya dari kelompok. Kegiatan kelompok pada tahap ini tergantung pada hasil dari tahap sebelumnya. Jika tahap-tahap sebelumnya berhasil dengan baik, maka tahap ini akan berlangsung dengan lancar, dan pemimpin kelompok mungkin sudah dapat lebih santai dan membiarkan para anggota kelompok tanpa banyak canpur tangan pemimpin kelompok. Bebarapa hal yang harus dilakukan oleh pemimpin kelompok adalah: (1) memberikan kesempatan kepada anggota kelompok kalau ada usulan topik/tema/masalah lain yang hendak dibahas. Namun demikian, konselor menekankan “masalah korupsi” untuk diprioritaskan (2) menyepakati “masalah korupsi” untuk dibahas sekarang (3) mendorong anggota kelompok untuk tanggapan tentang “masalah korupsi” (4) mengarahkan anggota kelompok untuk membahas “masalah korupsi” secara sistematis (5) membahas “masalah korupsi” bersama anggota kelompok (6) melaksanakan selingan/permainan dan menciptakan kehangatan dalam mengelola bimbingan kelompok (7) menyimpulkan dan mengamati perkembangan setiap anggota kelompok dalam pembahasan “masalah korupsi”. Konselor memberikan kesempatan kepada setiap anggota untuk mengemukakan ide dan pendapatnya, 141
sementara itu perlu membatasi anggota tertentu yang mendominasi pembicaraan Pada tahap kegiatan ini konselor perlu menekankan agar anggota kelompok membahas “masalah korupsi” dalam kontek di sini dan sekarang berdasarkan informasi, fakta dan data yang mereka peroleh dan ketahui. Berkenaan dengan pengakhiran kegiatan kelompok, pokok perhatian utama bukanlah pada beberapa kali kelompok itu harus bertemu tetapi pada hasil yang telah dicapai oleh kelompok itu. Untuk itu pemimpin kelompok hendaknya: (1) menginformasikan kepada anggota kelompok bahwa kegiatan akan diakhiri (2) meminta anggota kelompok untuk memberikan kesean setelah mengikuti kegiatan (3) meminta anggota kelompok untuk menyampaikan komitmennya terhadap masalah yang dibahas (4) membahas kegiatan bimbingan kelompok lanjutan (5) memimpin doa dan mengucapkan terima kasih, dilanjutkan dengan perpisahan 3.
Permainan Peranan Teknik permainan peranan (role playing) dalam bimbingan kelompok terdiri atas sosiodrama dan psikodrama. Mengutip pendapat Corsini (1966) dan Shaw, dkk (1980), Romlah (2006:98) menjelaskan bahwa istilah permainan peranan mempunyai empat macam arti. Penulis lebih menitik beratkan arti yang ke (4) karena sesuai dengan kegiataan bimbingan kelompok, yaitu diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan, di mana individu memerankan situasi yang imaginatif dengan tujuan uintuk tercapainya pemahaman diri sendiri, meningkatkan keterampilan-keterampilan, menganalisis perilaku, atau menunjukkan pada orang lain bagaimana perilaku seseorang atau bagaimana seseorang harus bertingkah laku. Penulis dalam melaksanakan bimbingan kelompok dengan teknik permainan peranan memilih sosiodrama untuk “Pendidikan Anti Korupsi”. Sosiodrama adalah permainan peranan yang ditujukan untuk memecahkan masalah sosial yang timbul dalam hubungan antar manusia. Konflik-konflik sosial yang disosiodramakan adalah konflik-konflik yang tidak mendalam yang tidak menyangkut gangguan kepribadian (Romlah, 2006:104). Misalnya pertentangan antar kelompok, perbedaan nilai antara orang tua dengan anak, perbedaan pandangan perilaku korupsi antara pelaku dengan orang yang tidak melakukan. Pelaksanaan sosiodrama dalam membahas tema “Pendidikan Anti Korupsi” mengikuti langkah-langkah sebagaimana mengacu pada tulisan Romlah (2006:104-105) adalah: 142
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Persiapan. Konselor mengemukakan masalah korupsi yang akan disosiodramakan, dan tujuan permainan yaitu setiap peserta mendapatkan pemahaman tentang korupsi, bahaya dan dampaknya terhadap masyarakat dan bangsa. Kemudian dilakukan Tanya jawab untuk memperjelas masalah dan peranan-peranan yang akan dimainkan, misalnya korupsi Pemilukada yang melibatkan mantan Ketua MK. Membuat skenario sosiodrama Konselor bersama siswa merancang rangkuman atau garis besar cerita sosiodrama. Menentukan kelompok yang akan memainkan sesuai dengan kebutuhan skenarionya, dan memilih individu yang akan memegang peran tertentu. Siswa-siswa di kelas tersebut ditawarkan siapa yang mau menjadi peserta sosiodrama. Misalnya ada yang berperan sebagai Akil Mochtar, Wawan, artis-artis cantik penerima mobil, warga masyarakat Banten yang miskin, dan peran lain sesuai kebutuhan. Pemilihan pemegang peran dapat dilakukan secara sukarela, usulan dari siswa yang lain, atau berdasarkan kedua-duanya. Menentukan kelompok penonton dan menjelaskan tugasnya Kelompok penonton adalah siswa yang tidak bertugas sebagai pemain. Tugas kelompok penonton adalah melakukan observasi pelaksanaan sosiodrama. Hasil observasi kelompok penonton merupakan bahan diskusi setelah sosiodrama selesai. Pelaksanaan sosiodrama Setelah semua peran terisi, para pemain diminta untuk berembug beberapa menit menyiapkan diri bagaimana sosiodrama itu akan dimainkan. Setelah siap, dimulailah sosiodrama. Masing-masing pemain memerankan perannya berdasarkan imajinasinya tentang peran yang dimainkannya. Pemain diharapkan dapat memeragakan konflik-konflik yang timbul dalam peristiwa korupsi, mengekspresikan perasaanperasaan. Dalam sosiodrama ini diharapkan terjadi identifikasi yang sebenar-benarnya antara pemain maupun penonton dengan peran-peran yang dimainkannya, agar pemahaman terhadap korupsi berserta dampak negatifnya menjadi perilaku yang memuakkan, menjijikkan, dan menyengsarakan banyak pihak. Evaluasi dan diskusi Setelah sosiodrama selesai diadakan diskusi mengenai pelaksanaan permainan berdasarkan hasil observasi dan tanggapan penonton. Diskusi diarahkan untuk membicaraakan tanggapan mengenai bagaimana para pemain membawakan perannya sebagai Akil Mochtar, Wawan, Jennifer Dunn, Pengacara Wawan, warga masyarakat Banten; cara mereka 143
memecahkan masalah, dan kesan-kesan pemain dalam memainkan perannya. Evaluasi paling lengkap adalah hasil shooting sosiodrama ini ditayangkan ulang. (7) Ulangan permainan Dari hasil diskusi dapat ditentukan apakah perlu dilakukan ulangan sosiodrama atau tidak Ketiga teknik tersebut dilaksanakan dalam waktu yang berbeda terhadap kelompok yang anggotanya tetap, sehingga pemahaman peserta layanan mengenai “Pendidikan Anti Korupsi” lengkap dan utuh. Mereka tidak hanya memperoleh informasi dari ceramah, tetapi juga terlibat dalam pemecahan masalah melalui diskusi dan permainan peranan. Tujuan dari layanan bimbingan kelompok dengan tiga teknik secara terpadu ini mendorong peserta untuk ikut mencegah dan memberantas korupsi. Merujuk pada konsep behavioral (Rusmana, 2006:65) bahwa perilaku manusia merupakan hasil belajar sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar; penulis yakin bahwa perilaku korupsi dapat dicegah dan diberantas kalau kita mau belajar dengan benar bahwa korupsi merupakan perilaku yang merusak sendi-sendi kehidupan manusia dan pelanggaran HAM yang berat (Hermawan, 2010) karena dampaknya sangat luas. PENUTUP Berdasarkan paparan-paran di muka dapat disimpulkan bahwa: 1. Korupsi merupakan perilaku merusak sendi-sendi kehidupaan manusia dan pelanggaran HAM yang berat 2. Dampak korupsi sangat luas yaitu (1) kesejahteraan umum negara terancam, (2) demokrasi tidak fair, (3) menghambat pertumbuhan ekonomi dan investasi, (4) korupsi melemahkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam menjalankan program pembangunan, (5) menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, (6) penurunan kualitas moral dan akhlak. 3. Layanan bimbingan kelompok dengan teknik pemberian informasi, diskusi kelompok, dan permainan peranan (sosiodrama) dapat memberikan pemahaman kepada siswa tentang dampak buruk korupsi, sehingga siswa ikut terlibat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di lingkungan terdekatnya sedini mungkin.
DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka. 144
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Gibson, Robert L. & Mitchell, Marianne H. 2011. Bimbingan dan Konseling. Edisi ketujuh. Alih Bahasa oleh Yudi Santoso. Cetakan 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hermawan, Adi. 2010. Korupsi adalah Pelanggaran HAM. Tersedia on line di http:// ardi-rocn.blogspot.com/2010/04/artikel-tentang-korupsi.html. diunduh 19 Maret 2014. Korando - Koran Anak Indonesia. 2010. Dampak Buruk Korupsi Bagi Masyarakat dan Bangsa. Tersedia on line di http://korananakindonesia.com/ 2010/12/09/dampak-korupsi-bagi-masyarakat/. diunduh 19 Maret 2014. Nabila dan Anggi. 2013-2014. Memahami Hulu Korupsi. Info Muria / Edisi XVI / Nopember 2013 – Januari 2014. ISSN: 2088-2920. Prayitno. 2012. Seri Panduan Layanan dan Kegiatan Pendukung Konseling: Jenis Layanan dan Kegiatan Pendukung Konseling. Padang: Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang. Rahardjo, Susilo. 2004. Bimbingan Kelompok. Kudus: Program Studi Bimbingan dan Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muria Kudus. Romlah, Tatik. 2006. Teori dan Praktek Bimbingan Kelompok. Cetakan II. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang. Rusmana, Nandang. 2009. Bimbingan dan Konseling Kelompok di Sekolah (Metode, Teknik dan Aplikasi). Bandung: Rizki Sugiharto, DYP. 2010. Konsep Dasar Bimbingan Kelompok dan Konseling Kelompok. Tersedia on line di http://konselorindonesia.blogspot.com/ 2010/11/bimbingan- kelompok- dan- konseling.html. diunduh 18 Januari 2012.
145
KORUPSI, NARKOBA SERTA SOLUSI PEMBERANTASANNYA 1 Oleh Dr. Lisdiana, M.Si. 2 Iwan Hardi Saputro, S.Pd.
3
Abstrak Pemberantasan korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan menanggulangi korupsi (melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan) dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Upaya pemberantasan korupsi terdiri dari tiga unsur pembentuk, yaitu: (1) pencegahan (preventif), (2) penindakan (reprseif), dan (3) peran serta masyarakat. Di Indonesia upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan secara serius, terutama melalui penegakan hukum (law enforcement). Lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan telah bekerja keras mengupayakan hal itu. Namun demikian, kegiatan korupsi masih tetap berlangsung hingga kini. Selain itu, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya melalui upaya di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, maupun melalui penegakan hukum. Kata Kunci: korupsi, narkoba, upaya pemberantasan, lingkungan
PENDAHULUAN Korupsi dan Narkoba pada saat ini menjadi problema yang serius di berbagai negara, termasuk Indonesia. Sebagai negara yang memiliki keanekaragaman suku, agama, dan budaya, seharusnya Indonesia bangga karena mempunyai kekayaan dan keindahan alam yang tidak banyak dimiliki negara-negara lain. Namun, kebanggaan tersebut harus terpendam karena Indonesia termasuk salah satu negara dengan kasus Korupsi dan Narkoba tinggi. Tingginya kasus Korupsi dan Narkoba sangat dirasakan di berbagai daerah di Indonesia, salah satunya di Nusa Tenggara Timur. Dalam tempo (2013), disampaikan bahwa Polisi Daerah (Polda) Nusa Tenggara Timur (NTT) melansir tiga kasus yang paling tinggi di daerah itu yakni Korupsi, Narkoba dan Trafiking selama tahun 2013. "Ada tiga kasus yang paling menonjol selama tahun ini," kata Kapolda NTT Brigadir Jenderal Untung Yoga Ana kepada 1
2 3
Makalah disampaikan dalam kegiatan Seminar Nasional Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia 26 Maret 2014 Dosen FMIPA Unnes Dosen PKn FIS Unnes 147
wartawan, Selasa, 31 Desember 2013. Hal ini jelas mengindikasikan bahwa kasus korupsi dan narkoba merupakan dua kasus besar yang harus segera dicarikan solusi penyelesaiannya. Upaya pemberantasan kasus korupsi dan narkoba telah diupayakan oleh banyak pihak. Dalam upaya memberantas kasus korupsi, negara membentuk lembaga independen yang khusus menangani kasus korupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Beberapa upaya kuratif yang dilakukan KPK memang memberikan hasil seketika dan memberikan efek jera yang hebat, namun karena spektrum perilaku korupsi yang demikian luas, maka diperlukan upaya lain untuk memberantas tindak pidana korupsi. Sedangkan dalam upaya pemberantasan narkoba, negara melalui pemerintah telah membentuk Badan Narkotika Nasional (BNN) yang khusus mengatasi masalah narkoba. Karena persoalan korupsi dan narkoba di Indonesia sangat kompleks dan mengkhawatirkan, maka perlu adanya upaya pemberantasan korupsi yang tidak hanya melibatkan lembaga-lembaga yang sudah dibentuk pemerintah, namun seluruh warga negara Indonesia. PEMBAHASAN Mengenal Apa Itu Korupsi Dalam mengatasi korupsi diperlukan pemahaman masyarakat mengenai apa itu korupsi. Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau coruptus. Coruptio berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia yaitu korupsi (KPK, 2006). Dalam Kamus Bahasa Indonesia 1991, dapat berarti busuk, suap, sedangkan dalam Kamus Hukum 2002, korupsi dapat diartikan sebagai perbuatan buruk, rusak, dan suka menerima uang sogok, menyelewengkan uang atau barang milik perusahaan atau negara dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi (Kamus Hukum, 2002). Unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dapat dianggap sebagai korupsi adalah: 1. secara melawan hukum; 2. memperkaya diri sendiri atau orang lain; 3. merugikan keuangan atau perekonomian negara. Di dalam UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi telah dirumuskan 13 pasal yang didalamnya terdapat 30 jenis tindak pidana korupsi yang dikelompokkan sebagai berikut: 1. merugikan keuangan negara; 2. suap menyuap; 3. penggelapan dalam jabatan; 148
4. 5. 6. 7.
pemerasan; perbuatan curang; benturan kepentingan dalam pengadaan; gratifikasi.
Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia Pemberantasan korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan menanggulangi korupsi (melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan) dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (KPK, 2006: 26). Upaya pemberantasan korupsi terdiri dari tiga unsur pembentuk, yaitu: (1) pencegahan (preventif), (2) penindakan (reprseif), dan (3) peran serta masyarakat. Di Indonesia upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan secara serius, terutama melalui penegakan hukum (law enforcement). Lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan telah bekerja keras mengupayakan hal itu. Namun demikian, kegiatan korupsi masih tetap berlangsung hingga kini. Upaya-upaya kuratif memang memberikan hasil seketika dan memberikan efek jera yang hebat, namun karena spektrum perilaku korupsi yang demikian luas, maka diperlukan upaya lain yang hasilnya tidak bisa dilihat sekarang yaitu melalui pendidikan antikorupsi (Handoyo, 2007: 2). Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya melalui upaya di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, maupun melalui penegakan hukum. Pemberantasan Korupsi di Lingkungan Keluarga Mengutip pernyataan Wijayanto (2009), keluarga adalah lingkungan pertama yang dikenal oleh seorang anak. Sebuah pepatah Cina kuno berbunyi: “Segala kebaikan dan keburukan berawal dari rumah”. Barangkali pepatah tersebut dapat dijadikan renungan bagi kita semua, betapa penting dan berharganya arti sebuah rumah. Rumah di sini tidak diartikan sebagai bangunan tempat tinggal, tetapi sebagian tempat berkumpulnya sebuah keluarga. Bahkan lebih dalam lagi, rumah berfungsi sebagai universitas tempat pembelajaran dan tempat bersemainya nilai-nilai dan norma-norma luhur yang diajarkan dan ditunjukkan melalui metode yang kita kenal dengan cinta dan kasih sayang. Dari pernyataan Wijayanto di atas, jelas bahwa peran keluarga sangat penting dalam upaya menanamkan perilaku antikorupsi. Keluarga merupakan cikal bakal pembentukan akhlak/moral anak yang kemudian berkembang kepada pembetukan karakter, yaitu karakter antikorupsi. Dengan demikian, 149
korupsi, tidak bisa dipisahkan dengan masalah moral. Sedangkan masalah moral tidak terlepas dari masalah moral oleh keluarga. Sebab keluargalah yang bisa memberikan pendidikan moral melalui keteladanan, pembiasaan dan penekanan moral serta metode lainnya. Pemberantasan Korupsi Melalui Pendidikan Antikorupsi Di Sekolah Pendidikan antikorupsi telah dilaksanakan di berbagai negara, baik di daratan Eropa, Afrika, Asia, Amerika maupun Australia. Di dunia telah dibentuk pula jaringan kerjasama antar-negara untuk mengenalkan program pendidikan antikorupsi. Salah satu contoh pendidikan antikorupsi adalah apa yang telah dilaksanakan oleh Cina. Melalui China On Line, seluruh siswa di jenjang pendidikan dasar diberikan mata pelajaran pendidikan antikorupsi, yang tujuannya adalah memberikan vaksin kepada pelajar dari bahaya korupsi. Dalam jangka panjang generasi muda Cina bisa melindungi diri di tengah gempuran pengaruh kejahatan korupsi (Suyanto, 2005: 42). Pendidikan antikorupsi di Indonesia selain dirancang dan dilaksanakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga disambut positif oleh Departemen Pendidikan Nasional. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, substansi materi pendidikan antikorupsi dirumuskan dalam kurikulum kelas V semester I, kelas VIII semester I dan kelas X semester I. Meskipun tidak dicantumkan ke seluruh semester dari jenjang sekolah dasar hingga menengah, tetapi upaya Departemen Pendidikan Nasional patut diapresiasi untuk memberikan landasan moral dan sosial kepada siswa agar terbiasa berperilaku antikorupsi. Pendidikan antikorupsi dapat dilaksanakan di semua jalur pendidikan baik formal, nonformal maupun informal. Namun, karena otoritas yang dimiliki dan kultur yang dipunyai, jalur formal atau sekolah dipandang efektif untuk menyiapkan generasi muda berperilaku antikorupsi. Nilai-nilai kejujuran, keterbukaan, tanggungjawab, kerja keras dan komitmen dapat semaikan secara subur melalui kebudayaan sekolah. Upaya Pemberantasan Narkoba Penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainya (selanjutnya akan disebut narkoba) merupakan permasalahan kompleks baik di lihat dari faktor penyebab maupun akibatnya. Penyebabnya merupakan kompleksitas dari berbagai faktor, termasuk faktor fisik dan kejiwaan pelaku, serta faktor lingkungan baik mikro maupun makro. Akibatnya juga sangat kompleks dan luas tidak hanya terhadap pelakunya, tetapi juga menimbulkan beban psikologis, sosial dan ekonomis, bagi orang tua dan keluarganya, serta menimbulkan dampak yang merugikan terhadap berbagai aspek kehidupan 150
masyarakat, bangsa dan umat manusia. Secara ekonomis, penyalahgunaan narkoba menimbulkan biaya yang sangat besar baik terhadap pelakunya, orang tua atau keluarganya, maupun terhadap perekonomian nasional. Perekonomian nasional dibebani oleh biaya pencegahan, penyalahgunaan, penegak hukum, operasi pemberantasan pengedar narkoba. Sementara masyarakat harus memikul beban biaya sosial dampak penyalahgunaan dan pengedaran narkoba dalam bentuk meningkatnya tindak kejahatan kecelakaan, pemutusan hubungan kerja, dan menurunya produktivitas nasional (BNN, 2010). Saat ini penyalahgunaan narkoba sudah mewabah. Hal ini terlihat dengan makin banyaknya pengguna narkoba dari semua kalangan, tua, muda, anak-anak, kaya, miskin. Namun yang lebih memprihatinkan, penyalahgunaan narkoba saat ini justru banyak dari kalangan pelajar dan mahasiswa, padahal mereka merupakan generasi penerus bangsa yang kelak akan menjadi pemimpin-pemimpin di negeri tercinta ini. Berdasarkan hasil survey Badan Narkotika Nasional tahun 2012 diperoleh data bahwa prevalensi penyalahguna narkoba sebesar 5,8 juta dan 15,89% adalah pelajar dan mahasiswa atau 921.695 orang (Binarsih, 2012). Angka-angka tersebut menggambarkan bahwa generasi muda adalah kelompok yang masih labil dan mudah terpengaruh, sehingga menjadi sasaran utama para bandar. Untuk itu kita harus merapatkan barisan dan saling bekerjasama dalam membentengi sekolah dan kampus dari ancaman bahaya penyalahgunaan narkoba. Institusi pendidikan tinggi merupakan salah satu institusi yang berkewajiban dan bertanggung jawab dalam upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba di kalangan mahasiswa Karena mahasiswa merupakan obyek yang secara emosional masih labil, sehingga sangat rentan untuk ikut terjerumus dalam lingkaran penyalahgunaan narkoba, mulai dari rasa ingin tahu, mau coba-coba, ikut-ikutan teman, rasa solidaritas group dan jiwa adventurism yang tinggi. Selain itu kampus sebagai tempat berkumpulnya para mahasiswa, merupakan lingkungan yang potensial dalam mempengaruhi dan mewarnai kehidupan mahasiswa. Oleh karena itu seluruh warga kampus dan stakeholders harus saling bahu membahu dan terlibat aktif dalam melakukan upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba secara terus menerus melalui aksi nyata. Badan Narkotika Nasional berusaha mengembangkan strategi pencegahan penyalahgunaan narkoba guna meningkatkan efektivitas dengan berbagai cara dan pendekatan. Upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan yang dilaksanakan secara komprehensif dari berbagai perspektif, yakni antara lain dari perspektif Ilmu Pendidikan, Antropologi Budaya, Sosiologi, Ilmu Komunikasi, dan Psikologi Perkembangan.
151
Perspektif Pendidikan Pendidikan baik formal maupun non formal merupakan salah satu kegiatan yang sangat berpengaruh terhadap kejadian penyalahgunaan narkoba. Pendidikan keluarga adalah merupakan bekal awal yang sangat fundamental bagi perjalanan hidup seorang anak. Oleh karena itu dalam upaya mengatasi kejadian terjadinya penyalahgunaan narkoba, peran orang tua sangatlah strategis. Untuk mempersiapkan anak sejak usia dini agar menjadi SDM yang berkualitas diperlukan diperlukan parenting skill, karena pada hakekatnya parenting skill bagi orang tua bukan lagi kewajiban tetapi juga keharusan. Dengan parenting skill diharapkan akan dihasilkan generasi – generasi penerus yang handal, memiliki keterampilan hidup dan tidak berdekat-dekatan dengan obat-obatan terlarang. Menurut Widaninggar bahwa keterampilan hidup berkaitan erat dengan situasi sosial dan budaya masyarakat setempat, merupakan keterampilan dasar yang penting dalam meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan anak dan remaja. Oleh karena itu pendidikan keterampilan hidup berkaitan dengan usaha pencegahan penyalahgunaan narkoba. Keterampilan hidup adalah keterampilan psikososial yang meliputi sejumlah keterampilan: 1. Pengambilan keputusan 2. Pemecahan masalah 3. Berpikir kritis 4. Berpikir kreatif 5. Berkomunikasi efektif 6. Hubungan antar pribadi 7. Kesadaran diri 8. Empati 9. Mengatasi emosi 10. Mengatasi stres Berbagai ancaman terhadap kesehatan jasmani, rohani dan sosial anak dan yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkoba adalah sebagai berikut: 1. Kebiasaan merokok, minum-minuman keras 2. Tindak kekerasan fisik dan mental 3. Perkosaan dan eksploitasi seksual 4. Konflik sosial 5. Ketimpang sosial dan ketimpangan gender 6. Masalah lingkungan 7. Perilaku seks bebas 8. Masalah kesehatan reproduksi 9. Kehamilan remaja/kehamilan tak diharapkan dan aborsi 10. Penyakit menular seksual 152
Pendidikan keterampilan hidup sehat bermuatan pengetahuan sikap dan perilaku hidup sehat. Konsep dasar keterampilan hidup sehat adalah sebagai berikut: 1. Demokrasi, penghargaan atas kebebasan, persamaan, dan perlindungan hak asasi manusia 2. Tanggung jawab terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan 3. Perlindungan terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan Indikator keberhasilan pendidikan keterampilan hidup sehat adalah sebagai berikut : 1. Kesehatan mental: a. harga diri meningkat b. kesadaran diri meningkat c. kemampuan penyesuaian emosional dan sosial meningkat d. kecemasan menurun 2. Perilaku hidup sehat adalah sebagai berikut: a. meninggalkan atau mengurangi kebiasaan merokok b. meninggalkan atau mengurangi kebiasaan menggunakan narkoba c. keterlibatan dalam kenakalan remaja menurun d. tindak kekerasan menurun 3. Prestasi belajar, adalah sebagai berikut: a. berperilaku positif di kelas b. prestasi belajar meningkat c. absensi menurun Perspektif Antropologi Budaya Manusia selalu mengembangkan kebudayaan sebagai kerangka acuan dalam memahami dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan pada waktu yang sama harus belajar memahami dan menghayati kebudayaannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemahaman dan penghayatan kebudayaan tidak bebas dari perbedaan penafsiran, penyimpangan dan pembaharuan. Pembaharuan atau penyimpangan yang dilakukan oleh sejumlah kecil orang akibat pengaruh dari banyak faktor internal dan eksternal kebudayaan yang bersangkutan. Salah satu faktornya adalah dorongan keingintahuan manusia yang sangat kuat serta ketidakpuasannya atas diri dan lingkungannya. Penyalahgunaan narkoba adalah bagian dorongan kuat keingintahuan manusia, ingin coba, dan ingin meningkatkan kesenangan. Manusia memiliki kebutuhan dasar hidup. Setelah kebutuhan dasar hidupnya terpenuhi, manusia berusaha memenuhi kebutuhan diluar kebutuhan dasarnya yang semakin luas dan beragam. Kebutuhan yang luas dan beragam itu seperti hasil penemuan, teknologi dan industri baru seperti rokok, minuman keras dan narkoba. Barang konsumsi seperti minuman keras dan narkoba tidak 153
mempunyai makna dan berdampak buruk terhadap kesehatan dan fungsi organ tubuh., bahkan oleh kalangan tertentu hal itu dijadikan sebagai simbol jati diri dan kemapanan. Sementara itu, situasi kehidupan masyarakat yang penuh pancaroba, krisis, ketidakpastian, dan kesenjangan sosial, pertumbuhan perkotaan, dan makin heterogennya masyarakat, merupakan situasi yang rawan ketegangan jiwa bagi warga masyarakat. Demikian pula situasi di atas mengakibatkan melemahnya homogenitas dan pengawasan sosial masyarakat, serta timbulnya kebutuhan akan jati diri dan kelompok sosial. Situasi kehidupan demikian pada gilirannya menimbulkan kerentanan terhadap penyalahgunaan narkoba. Situasi kehidupan masyarakat demikian belum diimbangi oleh pendidikan pengembangan watak perwujudan diri , angan kepribadian, serta pendidikan sosial dalam menghadapi kehidupan yang penuh persaingan, sehingga para remaja mencari penyaluran ketegangan tersebut dengan berpaling kepada narkoba. Hanya sedikit remaja yang mendapat suasana kehangatan dan perhatian dalam keluarga. Banyak remaja yang jatuh ke dalam lingkungan kelompok sebaya, dengan segala dampak buruknya. Pencegahan penyalahgunaan narkoba perlu memberikan perhatian kepada kelompok sebaya. Para orang tua perlu diingatkan kembali tentang peran utamanya di bidang pendidikan anak. Sementara pendidikan dasar perlu diluruskan kembali kepada pengembangan kepribadian dan pembentukan watak. Perspektif Sosiologi Secara ekonomi, narkoba merupakan gejala ekonomi kapitalis internasional yang menjanjikan keuntungan besar, karenanya menjadi komoditas pasar gelap yang diminati kapitaliis besar sampai pengedar. Secara sosial budaya, narkoba telah merupakan bagian dari gaya hidup modern; pola konsumsi conspicious, hedonis dan emulatif; antara lain sebagai pemicu korupsi. Narkoba juga telah menjadi alat komunikasi sosial dan menjadi symbol status bagi kalangan tertentu. Penyalahgunaan narkoba juga merupakan wujud kebodohan masyarakat yang merupakan cerminan dari kelemahan sifat manusia, seperti masyarakat Indonesia yang masyarakatnya banyak yang belum memahami bahaya penyalahgunaan narkoba. Kombinasi dari gejala-gejala tersebut saling memperkuat; secara politis, narkoba merupakan gejala penghancuran sosialbudaya. Pencegahan penyalahgunaan narkoba memerlukan strategi pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan budayanya, seperti berupa penguatan rasa takut, rasa bersalah, dan rasa malu terhadap bahaya penyalahgunaan narkoba, melalui sarana penegakan hukum, agama, pendidikan moral, pengawasan sosial, dan pengembangan ideologi. Penggunaan sarana tersebut bukan tanpa kelamahan dan kendala: Agama 154
seringkali dogmatis, ritual, dan sektarian; Pendidikan moral, adanya interupsi budaya asing yang sangat kuat, meminggirkan budaya lokal; Pengembangan sistem nilai, terkendala oleh kesenjangan antara nilai ideal dengan nilai nyata; Pengembangan rasa malu, masyarakat makin materialis, dan individualis; Pengembangan rasa takut terkendala oleh lemahnya kepastian dan penegakan hokum. Strategi komunikasi pencegahan penyalahgunaan narkoba perlu secara total melawan narkoba dan strategi pendidikan masyarakat. Sayangnya, media masa sekarang terlalu berorientasi komersial dan infotainment, kurang sekali edutainment. Rendahnya biaya pendidikan menyebabkan tidak adanya pengembangan dan pelembagaan tanggung jawab sosial perusahaan. Perspektif Ilmu Komunikasi Strategi komunikasi adalah suatu manajemen komunikasi untuk mengubah perilaku manusia pada tataran yang luas melalui pemindahan pikiran baru, bersifat berorientasi dampak. Dampak suatu proses komunikasi melalui media masa atau media antar pribadi bermanfaat dalam memberikan pengetahuan dan menggugah kesadaran. Komunikasi antar pribadi bermanfaat dalam pembentukan sikap. Dampak penggunaan media adalah kepuasan khalayak, dengan indikator: 1. khalayak merupakan pihak yang akti f dan bagian penting dari pemanfaatan media 2. pilihan media tergantung pada khalayaknya sendiri 3. ada persaingan antarmedia untuk memuaskan khalayaknya Berbagai keluhan tentang media masa: 1. tayangan tidak akurat, tidak sesuai fakta 2. arogansi media, tid ak mau minta maaf bila terjadi kekeliruan 3. kurang memperhatikan privacy orang 4. kekurangtanggapan media terhadap suku, ras, gender, dan lain -lain Berbagai fungsi media: 1. sebagai pengawas 2. memperluas pandangan khalayak 3. memfokuskan perhatian kepada hal-hal penting 4. membangkitkan aspirasi khalayak 5. menciptakan iklim membangun 6. memberikan masukan bagi pengambilan keputusan 7. mengubah status seseorang 8. membangkitkan bentuk komunikasi antar pribadi 9. memperluas proses dialog 10. memperkuat norma sosial 155
11. mempengaruhi sikap khalayak 12. menjadi guru Strategi komunikasi pencegahan penyalahgunaan narkoba perlu memperhatikan: 1. khalayak yang heterogen mempunyai pilihan media yang masing -masing. Untuk kampanye melawan penyalahgunaan narkoba secara besar-besaran, harus terlebih dahulu ada base-line data. 2. heterogenitas khalayak menjadi dasar tentang pilihan media yang digunakan. 3. isi pesan harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan khalayak 4. manfaatkan tugas humas. 5. membangun kerja sama dengan pihak media 6. merangkul para pemuka agama, pemuka masyarakat baik formal maupun informal 7. membangun kerja sama dengan asosiasi periklanan 8. membangun kerja sama dengan kelompok pemuda 9. membangun kerja sama dengan pihak pengusaha 10. membangun kerja sama dengan perguruan tinggi 11. meningkatkan kegiatan pemasaran sosial 12. menggunakan iklan layanan masyarakat Perspektif Psikologi Perkembangan Enoch Markum dalam “Kerentanan psikologis remaja terhadap penyalahgunaan narkoba dan upaya penangggulangannya” mengemukakan bahwa penyalahguna narkoba sebagian besar adalah kaum muda (remaja dan pemuda), karena pada satu sisi masa remaja adalah masa transisi dari masa anak ke masa dewasa, penuh badai dan ketegangan, merupakan masa yang penuh tantangan dan paling sulit, sementara pada sisi lainnya dihadapkan pada situasi lingkungan sosial kota besar yang permisif, anomi (hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya), dan mengkhawatirkan. Masa remaja ditandai oleh: perubahan fisik, emosional, intelektual, seksual, dan sosial. Perubahan tersebut dapat mengakibatkan dampak, sebagai berikut; pencarian jatidiri, pemberontakan, pendirian yang labil, minat yang berubah-ubah, mudah terpengaruh mode, konflik dengan orang tua dan saudara, dorongan rasa ingin tahu dan mencoba yang kuat, pergaulan intens dengan teman sebaya dan membentuk kelompok sebaya yang menjadi acuannya. Selain predisposisi remaja, pola asuh orang tua turut membentuk perilaku remaja: Pola asuh permisif (serba boleh), dengan kendali orang tua rendah, sikap demokratis tinggi, tuntutan berprestasi rendah dan kasih sayang orang tua tinggi. Pola asuh otoriter: kendali orang tua tinggi, sikap demokratis rendah, tuntutan berprestasi tinggi, dan kasih sayang orang tua rendah. Pola 156
asuh otoritatif: kendali orang tua yang tinggi, sikap demokratis tinggi, tuntutan berprestasi tinggi, dan kasih sayang orang tua tinggi. Sepuluh faktor risiko dan kerentanan remaja terhadap penyalahgunaan narkoba adalah sebagai berikut: 1. pengendalian diri lemah dan cenderung mencari sensasi 2. kondisi kehidupan keluarga, seperti: perokok, peminum, pola asuh tidak konsisten, hubungan anak-orang tua tidak baik dan konflik dalam keluarga 3. temperamen sulit, seperti: pemarah dan pemurung 4. mengalami gangguan perilaku, misalnya agresif 5. suka menyendiri dan suka memberontak 6. prestasi sekolah yang rendah 7. tidak diterima dalam kelompok teman sebaya 8. berteman dengan pengguna atau pengedar narkoba 9. bersikap positif terhadap penggunaan narkoba 10. mengenal narkoba sejak usia dini Ada tujuh predisposisi penggunaan narkoba, yaitu sebagai berikut: 1. sensitif terhadap perasaan menyenangkan 2. tidak mampu mengendalikan perilaku, impuls sesaat lebih dominant 3. tidak punya pengetahuan tentang cara mengendalikan dan mengatasi masalah 4. impulsive, punya pola otomatis dan nonreflektif 5. cepat bosan, toleransi rendah terhadap rutinitas 6. toleransi rendah terhadap frustasi 7. tidak mampu melihat masa depan, dan lebih berorientasi kekinian Para pengguna narkoba mempunyai keyakinan inti yang mendasari perbuatan, misalnya merasa dikucilkan oleh teman-teman; keyakinan permisif, “saya pakai narkoba toh tidak akan membahayakan”; keyakinan akan penyembuhan, “saya perlu pakai narkoba karena akan membuat saya tenang”. Upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba: 1. Bagi orang tua: a. menyadarkan para orang tua bahwa penyalahgunaan narkoba bisa mengenai siapa saja, termasuk anak-anaknya yang berperilaku manis b. agar para orang tua waspada dan mampu mendeteksi secara dini perilaku anak-anaknya dengan mempelajari gejala-gejala penyalahgunaan narkoba serta cara penanggulangannya c. mengembangkan pola asuh otoritatif, menghormati hak anak, menyayanginya, terbuka dan berkomunikasi dengan anak, serta mengembangkan penalaran moral anak 2. Bagi remaja: a. hindarilah perbuatan dan kebiasaan merokok dan minum-minuman keras 157
b. c.
mengembangkan diri, harga diri, dan kepercayaan diri mengembangkan cara berpikir alternatif untuk meluruskan keyakinan yang salah
PENUTUP Korupsi dan Narkoba adalah kejahatan besar di Indonesia. Keduanya memiliki kesamaan yaitu sama-sama kejahatan yang dapat merusak moral dan karakter bangsa. Dalam upaya memberantas korupsi, negara membentuk KPK yang berwenang menjerat para koruptor yang telah merugikan uang negara. Sedangkan dalam upaya mencegah maraknya penyalahgunaan narkoba, pemerintah membentuk Badan Narkotika Nasional (BNN). KPK dan BNN berupaya secara sinergis mengembangkan strategi pemberantasan korupsi dan narkoba dengan berbagai pendekatan yang dilaksanakan secara komprehensif. Upaya KPK dan BNN dalam pemberantas korupsi dan narkoba di Indonesia memang memberikan efek jera yang hebat, namun karena spektrum keduanya demikian luas, maka diperlukan upaya-upaya lain. Untuk korupsi penulis memberikan alternatif upaya pemberantasannya yaitu melalui lingkungan keluarga dan pendidikan antikorupsi di sekolah. Untuk pencegahan narkoba penulis memandang dari berbagai perspektif antara lain dari perspektif ilmu pendidikan, antropologi budaya, sosiologi, ilmu komunikasi dan psikologi perkembangan, termasuk melalui jalur pendidikan yaitu sekolah. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009. Sebelas Kampus Anti Narkoba. Jurnan BNN, Edisi 10 p.12-14 Bambang Widjoyanto, dkk., (ed.), Korupsi Itu Kafir; Telaah Fiqih Korupsi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, hal.156 Binarsih C. 2012. Mahasiswa Tercatat Paling Tinggi Konsumsi Narkoba. Tribunyogya: Yogya BNN a .2010. Pelajar dan Bahaya Narkoba. Deputi Bidang Pencegahan Direktorat Diseminasi Informasi: Jakarta BNN b. 2010. Petunjuk Teknis Advokasi Bidang Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba bagi Lembaga/Instansi. Deputi Bidang Pencegahan: Jakarta Handoyo, Eko. 2007. Sekolah sebagai Agen Pendidikan Antikorupsi. Makalah disampaikan pada acara Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Pokja di Semarang pada 18 Januari 2007. Handoyo, Eko. 2013. Pendidikan Anti Korupsi Edisi Revisi. Yogyakarta: Ombak. KPK. 2006. Memahami untuk membasmi-Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: KPK. Lisdiana, 2007. Penyalahgunaan dan Ketergantungan pada Narkoba (Tinjauan PsikoBio-Spiritual). Depdiknas UNNES Lisdiana. 2010. Action Plant. Modul Diklat Propinsi Jawa Tengah. Nugrahaningsih WH, Lisdiana, Yuniastuti A. 2007. Penerapan Tutor Sebaya Berantai untuk Membangun Kesadaran Siswa SMA tentang Bahaya Narkoba. FMIPA UNNES Tempo, Sabtu, 1 Maret 2014, halaman 1 158
UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI MELALUI MATA PELAJARAN PKn (PPKn) DI SATUAN PENDIDIKAN
Dr. Hj. Arnie Fajar, M.Pd., Dr. Achmad Husen, M.Pd. dan Dr. Choirul Muriman S, SE.,SH.,MP
Abstrak Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini. Antikorupsi ditinjau dari konteks pendidikan adalah tindakan untuk mengendalikan atau mengurangi korupsi, merupakan keseluruhan upaya untuk mendorong generasi-generasi mendatang mengembangkan sikap menolak secara tegas setiap bentuk tindak korupsi. Oleh karena itu pendidikan antikorupsi sangat penting dilakukan melalui jalur pendidikan, karena pendidikan merupakan proses perubahan sikap mental yang terjadi pada diri seseorang. Perwujudan pendidikan antikorupsi di sekolah harus diorientasikan pada tataran moral action, yang pembinaan melalui proses berkelanjutan dari moral knowing, moral feeling, hingga moral action. PKn adalah nama salah satu mata pelajaran sebagai muatan wajib dalam kurikulum Secara filosofis, PKn mengkaji pendidikan dasar dan menengah. bagaimana warganegara bertindak. Adapun tujuan PKn adalah mendukung tercapainya tujuan pendidikan nasional, yakni berusaha mengembangkan potensi peserta didik secara optimal berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Konsep pendidikan antikorupsi dan PKn memiliki keterkaitan yang sangat erat, baik ditinjau dari aspek konsep, tujuan, karakteristik, maupun sasaran. Selain itu juga sangat relevan dan tepat, karena keduanya mefokuskan pada pembentukan sikap yang sesuai sistem nilai yang diterima oleh masyarakat Indonesia. Pendidikan antikorupsi bagi peserta didik akhirnya memang mengarah pada pendidikan nilai yang ditanamkan melalui proses pembelajaran sehingga dapat terinternalisasi dalam diri peserta didik. Nilai yang telah terinternalisasi diharapkan mampu mempengaruhi sikap serta perilaku peserta didik. Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan dan tidak melakukan sesuatu. Jadi sikap masih pilihan kecenderungan seseorang, apabila sudah dipilih dan diimplementasikan dalam kehidupan secara nyata, merupakan suatu perilaku/perbuatan. Walaupun sikap sewaktu-waktu dapat berubah dan sewaktuwaktu pula akan memunculkan perilaku yang kontradiktif antara sikap dan perilakunya. Namun upaya pembentukan karakter/kepribadian antikorupsi terhadap peserta didik melalui jalur pendidikan hukumnya wajib dan tak terelakkan lagi. Kata kunci: antikorupsi, PKn, sekolah (satuan pendidikan).
159
PENDAHULUAN Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini. Istilah korupsi saat ini semakin “trend” dan sering diperbincangkan masyarakat, baik masyarakat kota maupun pedesaan, dari anakanak sampai pada orang dewasa, bahkan dari elit politik sampai masyarakat awam. Jika ditilik latar belakangnya, korupsi sebenarnya ada sejak masa sebelum penjajahan sampai masa kemerdekaan baik pada masa orde lama, orde baru, reformasi, bahkan saat ini (pasca reformasi) korupsi semakin marak, tersistem dan canggih dalam pelaksanaannya. Pemerintah telah berupaya melakukan pencegahan dengan berbagai cara seperti dikeluarkannya peraturan perundang-undangan dan penindakan bagi pelaku. Namun demikian, korupsi tetap berlangsung hingga saat ini seperti mata rantai yang silih berganti selalu muncul disetiap saat. Permasalahan korupsi yang terjadi di Indonesia, sebagai mana juga di Korea Selatan dan negara komunis pada umumnya terjadi karena dimensi birokrasi sampai dengan budaya. King (2000) menunjukkan bagaimana korupsi dimulai sejak dua dekade lalu melalui kerjasama antara pengusaha Lim Soe Liong dengan Soeharto yang terjadi lebih dari tiga puluh tahun telah menghasilkan kolusi yang saling menguntungkan. Gama Agung (2007) mengajukan dua jenis motivasi yang menyebabkan terjadinya korupsi yaitu kebutuhan dan keinginan. Korupsi dilakukan oleh seseorang karena dengan cara normal tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Di lain pihak korupsi karena keinginan mendorong orang untuk menjadi serakah. Meskipun demikian kedua jenis motivasi tersebut tidak dapat dilakukan demarkasi secara jelas. Lain halnya dengan Taufiequrachman Ruki, mantan ketua KPK (Wikipedia, ensiklopedia bebas, 2007) yang mengemukakan jenis motivasi menjadi corruption by needs, corrupstion by greeds dan corruption by opportunities. Namun demikian maksud dari dua pendapat tersebut relatif senada bahwa korupsi dilakukan oleh seseorang karena dorongan kebutuhan, untuk memenuhi kebutuan tersebut muncul keinginan untuk serakah, dan ketika kedua dorongan tersebut menguat ditambah adanya kesempatan maka terjadilah perilaku korupsi yang tak terelakkan lagi. Korupsi dapat juga terjadi karena faktor budaya. Argumentasi yang dikemukakan oleh Peter Vershezen pada Simposium Jurnal Antropologi III Di Denpasar pada pertengahan Juli 2002 terdapat perbedaan antara suap dan pemberian. Suap mempunyai konotasi negatif karena erat kaitannya dengan korup, sedangkan pemberian mempunyai konotasi kultural yakni sebagai ungkapan rasa hormat atau kasih sayang (Kompas, 31 Juli 2002). Namun pemberian tidak lagi mempunyai konotasi kultural ketika hal itu terjadi antara bawahan dengan atasan atau birokrat yang mempunyai kewenangan dengan rekanan. Pemberian tersebut masuk dalam kategori gratifikasi, yaitu pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
160
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya (UU No.31/1999 yo UU No. 20/2001 Bab penjelasan Pasal 12B Ayat 1). Upaya pencegahan telah dilaksanakan oleh pemerintah yaitu dengan membentuk lembaga pemberangus korupsi, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, Komisi Empat pada tahun 1970, Komisi Antikorupsi pada 1970, Opstib di tahun 1977, hingga Tim Pemberantas Korupsi (KPK). Tindakan terhadap pelaku/koruptor juga kerap dilakukan dengan menangkap dan menjebloskannya ke penjara. Namun tindakan tersebut tidak membuat jera masyarakat, koruptor junior terus bermunculan, mati satu tumbuh seribu, kata pepatah. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya dengan penetapan berbagai peraturan perundang-undangan, namun oleh karena korupsi merupakan multidimensi maka solusi untuk memberantas korupsi tidak harus melalui jalur peraturan perundang-undangan atau hukum saja. Pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan membangun filosofi berupa penyemaian nalar dan nilai bebas korupsi melalui jalur pendidikan, karena pendidikan memiliki posisi sangat vital dalam upaya membangun sikap antikorupsi. Sektor pendidikan formal dapat berperan dalam memenuhi kebutuhan pencegahan korupsi sebagai preventive strategi. Dalam hal ini peserta didik dijadikan sebagai target sekaligus diberdayakan sebagai penekan lingkungan agar tidak permissive to corruption dan bersama-sama bangkit melawan korupsi. Peserta didik adalah mereka yang dalam waktu relatif singkat akan segera bersentuhan dengan beberapa aspek pelayanan publik, mereka adalah “student are today and leader are tomorrow”. Mereka merupakan generasi yang akan mengganti generasi sekarang menduduki berbagai jabatan baik di instansi pemerintah maupun swasta, dan sebagian diantara mereka akan menjadi pengambil kebijakan. Adanya persepsi bahwa korupsi adalah tindakan yang melanggar dan bertentangan dengan berbagai norma dan peraturan perundang-undangan, diharapkan akan diikuti berbagai tindakan dan kebijakan ketika sebagian dari mereka menjadi pengambil kebijakan di masa depan. Hal ini dapat terwujud apabila mereka sudah dibekali pemahaman terhadap lingkup, modus, dan dampak dari korupsi baik dalam lingkup yang paling dekat dan skala terkecil hingga lingkup makro dan mencakup skala besar. Selain itu, ide memasukkan materi antikorupsi dalam kurikulum mendapat respons positif masyarakat. Hasil jajak pendapat harian Seputar Indonesia terhadap 400 responden (27/5), sebanyak 87% menyatakan perlunya memasukkan pendidikan antikorupsi dalam kurikulum. Keyakinan masyarakat juga relatif besar. Hampir 200 responden menyatakan keyakinannya bahwa pendidikan antikorupsi bisa berjalan efektif membendung perilaku korupsi di Indonesia. Jajak pendapat itu menjaring pula pendapat masyarakat seputar
161
pentingnya pendidikan antikorupsi. Masyarakat berharap pendidikan antikorupsi memberikan pengetahuan seputar korupsi dan bahayanya, mencetak daya manusia yang berkesadaran tinggi terhadap hukum, serta memutus mata rantai korupsi. Selanjutnya, masyarakat berkeinginan agar upaya pendidikan antikorupsi berjalan paralel dengan upaya lainnya, yakni maksimalisasi penegakan hukum, fungsi pengawasan yang ketat, sosialiasi dan kampanye gerakan antikorupsi secara berkala dan berkesinambungan, dan menghilangkan praktik korupsi dalam birokrasi (Djabar, 2008). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka sangat tepatlah jika penanaman nilai-nilai antikorupsi dilaksanakan melalui jalur pendidikan. Adapun tujuan dari pendidikan antikorupsi adalah membangun komitmen moral kebangsaan dan tata nilai kolektif dalam melahirkan generasi baru yang lebih jujur, lebih bersih, lebih memiliki budaya antikorupsi. PEMBAHASAN Pendidikan Antikorupsi (PAK) Secara etimologi korupsi berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyuap. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Arti secara harafiah tersebut mengacu kepada pendapat cf. Leiken (1997:55-73) dalam makalah Azra, Azyumardi (2009:3), bahwa korupsi adalah „penggunaan kekuasaan publik (public power) untuk mendapatkan keuntungan [material] pribadi atau kemanfaatan politik? . Antikorupsi dilihat dalam konteks pendidikan adalah tindakan untuk mengendalikan atau mengurangi korupsi, merupakan keseluruhan upaya untuk mendorong generasi-generasi mendatang mengembangkan sikap menolak secara tegas setiap bentuk tindak korupsi (Buchori, Muchtar, 2007). Korupsi seakan-akan sudah membudaya di negeri ini, karena sejak sebelum penjajahan Belanda (masa kerajaan di nusantara) korupsi sudah ada. Anderson (1972) mengatakan bahwa sebelum zaman penjajahan (zaman kerajaan di nusantara), zaman kemerdekaan 1945 hingga kini masih ada korupsi, walaupun sudah ada upaya-upaya melalui sistem nilai untuk memberantas korupsi. Sejalan pendapat tersebut, King (2000) menambahkan bahwa korupsi malah merajalela saat penjajah Belanda sampai Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan 1945. Herbert Feith (1962) menuturkan bahwa lepas dari belenggu penjajah, masih terdapat korupsi, namun sementara waktu korupsi menurun. Para pengamat menganalisis, bahwa hal itu disebabkan oleh masih tingginya idealisme yang dimiliki oleh kalangan birokrat, pejuang dan
162
penggerak revolusi masih bersih, idealisme dan nasionalisme yang lagi dalam puncaknya (Buchori, 2007), sehingga orang masih enggan atau malu akan melakukan korupsi. Pasca reformasi, korupsi semakin menggejala dan semakin tersistem karena banyak melibatkan orang, instansi ataupun organisasi sosial serta LSM. Terbukti di media massa menunjukkan banyak pejabat negara (bahkan karyawan), pimpinan lembaga, LSM terlibat kasus korupsi dan banyak pula yang sudah divonis dan dipenjarakan. Namun tindakan tegas yang dilakukan pemerintah sepertinya tidak memberikan efek jera terhadap pelaku-pelaku korupsi. Hal Ini menunjukkan bahwa dorongan untuk melakukan korupsi terkait erat dengan sikap mental seseorang terhadap sistem nilai yang diwarisi. Oleh karena itu Pendidikan Antikorupsi sangat penting dilakukan melalui jalur pendidikan, dengan harapan agar generasi muda secara sadar mampu membangun sistem nilai yaitu antikorupsi. Pendidikan Antikorupsi melalui jalur pendidikan lebih efektif, karena pendidikan merupakan proses perubahan sikap mental yang terjadi pada diri seseorang, dan melalui jalur ini lebih tersistem serta mudah terukur, yaitu perubahan perilaku antikorupsi. Perubahan dari sikap membiarkan dan memaafkan para koruptor ke sikap menolak secara tegas tindakan korupsi tidak pernah terjadi jika kita tidak secara sadar membina kemampuan generasi mendatang untuk memperbaharui sistem nilai yang diwarisi (korupsi) sesuai dengan tuntutan yang muncul dalam setiap tahap pernjalanan bangsa. Sistem nilai adalah keseluruhan norma-norma etika yang dijadikan pedoman oleh bangsa untuk mengatur perilaku dari semula sikap membiarkan, memahami, dan memaafkan korupsi ke sikap menolak secara tegas dan ini hanya akan terjadi setelah lahir generasi yang mampu mengidentifikasi berbagai kelemahan dalam sistem yang mereka warisi dan mampu memperbaharui sistem nilai warisan itu berdasarkan situasi baru (Buchori, Muchtar, 2007 dikutif dari Kompas, 21 Februari 2007). Pada dasarnya sistem nilai yang lebih baik, datang dari berbagai pengalaman nyata dari perjalanan suatu bangsa yang bersifat dramatis yang lahir dari kontemplasi mendalam mengenai makna aneka peristiwa kehidupan yang dijumpai selama suatu kurun waktu. Dalam konteks pendidikan, ”mencabut korupsi samp ai seakar-akarnya” berarti melakukan serangkaian usaha untuk melahirkan generasi yang tidak bersedia menerima dan memaafkan suatu perbuatan korupsi. Oleh karena itu harus dilakukan usaha-usaha untuk melahirkan perubahan radikal dalam sikap bangsa terhadap korupsi. Berdasarkan uraian tersebut, Pendidikan Antikorupsi menfokuskan pada penanaman nilai-nilai pada generasi muda, sehingga akan muncul sistem nilai antikorupsi yang terinternalisasi pada diri generasi muda sebagai pedoman hidup (tidak melakukan korupsi) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
163
bernegara. Nilai-nilai Antikorupsi yang perlu ditanamkan kepada generasi mudah melalui jalur pendidikan yang direkomendasikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu tanggung jawab, disiplin, jujur, sederhana, kerja keras, mandiri, adil, berani, dan peduli (sembilan nilai). Franz Magnis Suseno (dalam Djabar, 2008) mengemukakan, terdapat tiga sikap moral fundamental yang akan membuat orang menjadi kebal terhadap godaan korupsi: kejujuran, rasa keadilan, dan rasa tanggung jawab. Jujur berarti berani menyatakan keyakinan pribadi. Menunjukkan siapa dirinya. Kejujuran adalah modal dasar dalam kehidupan bersama. Ketidakjujuran jelas akan menghancurkan komunitas bersama. Peserta didik perlu belajar bahwa berlaku tidak jujur adalah sesuatu yang amat buruk. Adil berarti memenuhi hak orang lain dan mematuhi segala kewajiban yang mengikat diri sendiri. Magnis mengatakan, bersikap baik tetapi melanggar keadilan, tidak pernah baik. Keadilan adalah tiket menuju kebaikan. Tanggung jawab berarti teguh dan tekun melaksanakan tugas/kewajiban hingga tuntas. Hal ini dipertegas oleh Magnis dalam Faisal Djabar, (2008), bahwa "pengembangan rasa tanggung jawab adalah bagian terpenting dalam pendidikan anak menuju kedewasaan. Menjadi orang yang bermutu sebagai manusia". Selanjutnya, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 dinyatakan secara eksplisit bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Dengan demikian, pembinaan pendidikan antikorupsi pada jalur pendidikan di seluruh satuan pendidikan (sekolah) merupakan wahana untuk mendukung dan mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut. Untuk mewujudkan Pendidikan Antikorupsi, pendidikan di sekolah harus diorientasikan pada tataran moral action, agar peserta didik tidak hanya berhenti pada kompetensi (competence) saja, tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari. Lickona (1991), menyatakan bahwa untuk mendidik moral anak sampai pada tataran moral action diperlukan tiga proses pembinaan yang berkelanjutan mulai dari proses moral knowing, moral feeling, hingga sampai pada moral action. Ketiganya harus dikembangkan secara terpadu dan seimbang. Dengan demikian diharapkan potensi peserta didik dapat berkembang secara optimal, baik pada aspek kecerdasan intelektual, yaitu memiliki kecerdasan, kemampuan membedakan yang baik dan buruk, benar dan salah, serta menentukan mana yang bermanfaat.
164
Kecerdasan emosional, berupa kemampuan mengendalikan emosi, menghargai dan mengerti perasaan orang lain, dan mampu bekerja dengan orang lain. Kecerdasan sosial, yaitu memiliki kemampuan berkomunikasi, senang menolong, berteman, senang bekerja sama, senang berbuat untuk menyenangkan orang lain. Kecerdasan spritual, yaitu memiliki kemampuan iman yang anggun, merasa selalu diawasi oleh Allah, gemar berbuat baik karena lillahi ta'alah, disiplin beribadah, sabar, ikhtiar, jujur, pandai bersyukur dan berterima kasih. Sedangkan kecerdasan kinestetik, adalah menciptakan keperdulian terhadap dirinya dengan menjaga kesehatan jasmani, tumbuh dari rizki yang hahal, dan sebagainya. Maka sosok manusia yang mengembangkan berbagai kecerdasan tersebut, diharapkan siap menghadapi dan memberantas perbuatan korupsi atau bersikap antikorupsi. Karena proses pembinaan yang berkelanjutan dimulai dari proses moral knowing, moral feeling, hingga sampai pada moral action, maka implementasi pembinaannya perlu ditindaklanjuti dengan membangun ”kantin kejujuran” di sekolah sebagai praktik moral action yang harus dirancang sesuai dengan muatan sifat edukasi. Hasil yang diharapkan dari intervensi di jalur pendidikan adalah: Kaum muda khususnya pelajar dapat lebih memahami tindak pidana korupsi, dan mulai berani berkata “TIDAK' untuk korupsi, dan pada gilirannya dapat mewarnai, mendorong masyarakat dan lingkungan sekitarnya untuk bersama-sama bangkit melawan korupsi. Dengan kondisi demikian diharapkan dapat membawa negeri ini keluar dari perangkap korupsi serta mengembalikan kewibawaan serta harga diri bangsa. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Secara kebijakan PKn adalah nama salah satu mata pelajaran sebagai muatan wajib dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah (Pasal 37 Ayat 1 UU SPN). Selanjutnya dalam Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi ditegaskan bahwa PKn termasuk cakupan kelompok mata pelajaran Kewarganegaraan dan Kepribadian, dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia. Oleh karena itu kehidupan yang demokratis dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, pemerintahan, dan organisasi-organisasi non-pemerintahan perlu dikenal, dipahami, diinternalisasi, dan diterapkan demi terwujudnya pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi. Selain itu perlu pula ditanamkan kesadaran wawasan kebangsaan, jiwa patriotisme dan bela negara, penghargaan terhadap hak asasi manusia, kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan membayar pajak, dan sikap serta perilaku antikorupsi, kolusi, dan nepotisme.
165
Sedangkan secara konsep, PKn merupakan keseluruhan program sekolah, seperti yang dikemukakan Jack Allen dalam Somantri, Numan, 2001: 283, bahwa: „Citizenship Education, properly defined, as the product, of the entire program of the school, certainly not simply of the social studies program, and assuredly not merely of a course of civics. But civics has an important function to perform, it confronts the young adolescent for the first time in his school experience with a complete view of citizenship functions, as rights and responsibilities in democratic context?. Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa PKn merupakan hasil dari keseluruhan program sekolah yang meliputi pembelajaran, model/metode pembelajaran, aktifitas peserta didik, pengalaman peserta didik, dan fungsi peserta didik sebagai warganegara dengan segala hak dan tanggung jawabnya dalam suasana yang demokratis. Dengan demikian PKn bukan hanya mempelajari materi kewarganegaraan, melainkan harus melakukan sesuatu sesuai dengan hak dan kewajibannya, dan secara lebih luas meliputi pengaruh belajar di luar kelas/sekolah/masyarakat, dan pendidikan di rumah. Selanjutnya dengan mempelajari PKn diharapkan setiap peserta didik dapat menjadi warga negara yang baik, memahami hak dan kewajibannya yang diwujudkan melalui partisipasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam suasana yang demokratis dengan tetap berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945. National Council for the Social Studies atau NCSS (1970: 10) merumuskan bahwa PKn merupakan gabungan dari seluruh hal positif yang menunjukkan peran serta warga negara terhadap negaranya. PKn bukan hanya dipelajari peserta didik di dalam kelas, namun dapat dipelajari di lingkungan masyarakat dari kelompok masyarakat terkecil yaitu keluarga sampai dengan kelompok masyarakat secara luas yaitu bangsa dan negara. Dengan demikian setelah mempelajari PKn diharapkan peserta didik dapat berpartisipasi secara efektif dalam kehidupan sehari-hari sebagai warga negara yang baik (good citizenship). Pentingnya peran warga negara didukung oleh Quigley dan Hoar (1999: 124) bahwa peran warga negara dalam perkembangan budaya politik ditujukan untuk demokrasi, artinya warga negara memiliki kewajiban untuk memelihara dan memperbaiki lembagalembaga demokrasi. Dengan demikian, PKn merupakan program pendidikan yang digunakan untuk membantu generasi muda (peserta didik) memperoleh pemahaman tentang hal-hal yang berkaitan dengan negara seperti pemerintahan, konstitusi, lembaga-lembaga, hak asasi manusia, demokrasi, hukum dan peradilan serta dapat berpartisipasi aktif secara kritis analitis, bersikap dan bertindak secara demokratis. Berdasarkan paparan di atas, dapat dikemukakan bahwa makna PKn (Indonesia) adalah pengorganisasian dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora
166
dengan penekanan pada pengetahuan dan kemampuan dasar tentang hubungan antar warganegara dan warganegara dengan negara yang dilandasi keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, nilai luhur dan moral budaya bangsa, memiliki rasa kebangsaan (nasionalisme) yang kuat dengan memperhatikan keragaman agama, sosio-kultural, bahasa, dan suku bangsa, dan memiliki jiwa demokratis yang diharapkan dapat diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Dengan kata lain bahwa materi PKn terdiri dari beberapa disiplin ilmu yang memerlukan pengorganisasian materi secara sistematis dan pedagogik yang dapat dilihat pada bagan berikut. Hukum Politik Humanio Moral Pancasila
Tatanegara
PKn
Disiplin Ilmu Lainnya
Psikologi Nilai-nilai Budi Pekerti
Pengorganisasian PKn (Fajar, Arnie: Tesis 2003) Selanjutnya, secara filosofis PKn adalah mengkaji bagaimana warganegara bertindak, dalam arti melakukan sesuatu berdasarkan apa yang diketahui dan dipahami melalui materi PKn, dan akhirnya dapat membuat keputusan-keputusan secara demokratis, cerdas dan bertanggung jawab dalam menghadapi berbagai masalah baik pribadi, masyarakat, bangsa, dan negara. Secara visual diungkapkan dalam bagan berikut. Bagaimana Warganegara Bertindak
PKn
Simplifikasi Ilmu-ilmu sosial dan Humaniora
Hubungan antarwarganegara dan warganegaranegara
Nilai-Moral Pancasila
Warganegara: Cerdas Nasionalis Demokratis Religius
Hakekat PKn (Fajar, Arnie: Tesis 2003)
167
Adapun tujuan mata Pelajaran ini adalah memberikan kompetensi kepada peserta didik dalam hal: 1) berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan; 2) berpartisipasi secara bermutu dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; 3) berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan pada karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya; dan 4) berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (Lampiran 3 Permendiknas No. 22 Tahun 2006: 232). Sehubungan dengan hal tersebut Somantri,Endang, dalam (CICED, 1999:73) menyatakan bahwa: “Tujuan utama dari kehendak negara yang memprogramkan pendidikan kewarganegaraan ini adalah untuk mengembangkan warganegara yang mengenal, menerima, dan menghayati serta menyadari perannya sebagai pengambil keputusan yang bertanggung jawab yang berkenaan dengan peradaban dan moral dalam kehidupan masyarakat yang demokratis seperti perilakunya diatur oleh prinsip-prinsip moral dalam segala situasi. Secara singkat tujuan yang terfokus kepada status kewarganegaraannya adalah untuk pengembangan pribadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap pembentukan suatu masyarakat yang adil dan mampu melindungi orang atau makhluk lain dari kekejaman dan sebagai bangsa yang merdeka dan demokratis. Di beberapa negara tujuan ini didukung oleh Undang-undang Dasar, Ketetapan dan peraturan negara masing-masing” . Berdasarkan pada tujuan PKn yang telah dikemukakan di atas, dapat diasumsikan bahwa pada hakekatnya dalam setiap tujuan membekali kemampuan kepada peserta didik dalam hal tanggung jawabnya sebagai warganegara. Yaitu warga negara yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan yang Maha Esa; berpikir kritis, rasional, dan kreatif; berpartisipasi dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; berkembang secara demokrtis; dan membentuk diri berdasarkan pada karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya serta berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Secara singkat tujuan PKn adalah membina peserta didik agar menjadi warganegara yang baik (good citizens). Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang dituangkan dalam UU SPN Pasal 3 yang telah dipaparkan di atas. Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa pada dasarnya tujuan PKn mendukung tercapainya tujuan pendidikan nasional, yakni berusaha mengembangkan potensi peserta didik secara optimal berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945.
168
Berkaitan dengan strategi Pembelajaran PKn, Mark, dalam Somantri, Numan, (2001:313), menyatakan bahwa kesulitan mengajar civic dalam hal ini dimaknai sebagai mata pelajaran PKn adalah „ to steer between dull memorization of facts on one hand, and broad unsupported generalization on the other?, dapat diartikan bahwa guru civic (PKn) harus memadukan hafalan dengan kehidupan yang sebenarnya dalam masyarakat. Oleh karena itu peserta didik dapat dilatih untuk berpikir sistematis, kritis, rasional, kreatif, bersikap dan bertindak demokratis di dalam maupun di luar kelas. Dengan konsep demikian guru dituntut untuk melatih peserta didik untuk menemukan suatu isu/masalah atau konsensus yang ada dalam kehidupan masyarakat. Sehubungan dengan hal itu, berdasarkan berbagai literatur yang dikaji dapat dikemukakan hal-hal yang perlu dilakukan untuk membekali peserta didik dalam pembelajaran mata pelajaran PKn, sebagai berikut : 1. Pengetahuan tentang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang meliputi bidang politik, pemerintahan, nilai-moral budaya bangsa sebagai identitas bangsa, nasionalisme, ekonomi, antikorupsi, dan nilai-nilai masyarakat lainnya. 2. Pemahaman terhadap hak dan tanggung jawab sebagai warganegara Indonesia yang memiliki identitas/jati diri sebagai bangsa Indonesia. 3. Pengkayaan sumber belajar, bahwa sumber belajar tidak hanya di dalam kelas dan dari buku teks, melainkan diperkaya dengan pengalaman-pengalaman belajar mandiri dari peserta didik yang relevan, baik di sekolah, di lingkungan keluarga, maupun di masyarakat, yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dan menemukan sendiri bagaimana berperan serta dalam lingkungan masyarakat, bangsa, dan negara dengan menggunakan berbagai media sebagai hasil teknologi. 4. Keteladanan dari nilai-nilai dan prinsip yang dikembangkan dalam PKn melalui sikap dan perilaku sehari-hari, sehingga peserta didik memiliki panutan dalam mewujudkan perilaku yang diharapkan. 5. Hidup bersama dengan orang lain sebagai satu bangsa, bahwa mata pelajaran PKn termasuk dalam rumpun Pendidikan IPS, menekankan bagaimana manusia sebagai warganegara dapat bekerjasama dengan orang lain, saling menghormati, menghargai, dan hidup berdampingan secara damai untuk mewujudkan cita-cita/tujuan bangsa dan negara. Hal ini sesuai dengan konsep pembelajaran yang dicanangkan oleh United Nation Education and Scientific Organisations (UNESCO), yaitu learning to know, learning to be, learning to do, and learning to live together. Artinya belajar untuk mengetahui, belajar untuk mengenali/percaya pada diri sendiri, belajar untuk melakukan/bertindak, dan belajar untuk hidup bersama. Dengan pengetahuan dan pemahaman terhadap ilmu pengetahuan (konsep) dengan benar, peserta didik akan
169
percaya pada diri sendiri dan dapat mengenali diri sendiri, yang selanjutnya akan melakukan sesuatu berdasarkan apa yang telah diketahui dan dipahami tersebut dalam kehidupan bersama di masyarakat. Oleh karenanya diperlukan praktik belajar kewarganegaraan dan kepribadian. Praktik belajar kewarganegaraan dan kepribadian merupakan suatu inovasi pembelajaran yang dirancang untuk membantu peserta didik memahami teori kewarganegaraan yang dilandasi karakter bangsa Indonesia melalui pengalaman belajar praktik-empirik. Dengan adanya praktek, peserta didik diberikan latihan untuk belajar secara kontekstual. Praktik belajar ini dapat menjadi program pendidikan yang mendorong kompetensi dan tanggung jawab partisipasi peserta didik, belajar bagaimana menilai dan mempengaruhi kebijaksanaan umum, memberanikan diri untuk berperan serta dalam kegiatan antar-peserta didik, antarsekolah, dan antar-anggota masyarakat. Pada hakekatnya merupakan suatu aktivitas yang dapat dilakukan oleh perorangan, kelompok, kelas, atau sekolah, dan bermanfaat bagi diri, keluarga, masyarakat, dan negara. Dengan adanya Praktik Belajar Kewarganegaraan ini diharapkan dapat meminimalisasi kesenjangan antara teori dan praktik kewarganegaraan. Dengan demikian praktik ini mempunyai kegunaan praktis bagi peserta didik dalam mendalami konsep dan praktik kewarganegaraan dan kepribadian. Dengan kata lain peserta didik harus dapat menguasai ilmu tentang kewarganega-raan (sains) dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan nilai-nilai yang ada di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan negara. Dengan demikian Pendidikan Kewarganegaraan berkait erat dengan pembentukan karakter bangsa yang meliputi civic knowledge, civic virtue, and civic skill (pengetahuan, karakter kewarganegaraan, dan keterampilan). Ketiga hal tersebut merupakan karakteristik Mata Pelajaran PKn, sekaligus merupakan bekal bagi peserta didik untuk meningkatkan kecerdasan multidemensional yang memadai untuk menjadi warga negara yang baik. Civic knowledge berkaitan dengan pengetahuan tentang kewarganegaraan. yakni setiap warga negara harus memahami terhadap hakhaknya dan kewajiban yang harus dipenuhi sebagai warga negara. Civic virtue berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan yang diterapkan melalui sikap warga negara yang harus dimiliki dan ditunjukkan sesuai dengan sistem nilai bangsa Indonesia. Sistem nilai dimaksudkan adalah keseluruhan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sedangkan civic skill berkaitan dengan praktik kewarganegaraan yang harus dilakukan berdasarkan sistem nilai dalam bentuk perilaku-perilaku sehari-hari. Dengan demikian pembelajaran PKn harus dinamis dan mampu menarik perhatian peserta didik. Sekolah hendaknya memberikan bantuan kepada peserta didik untuk mengembangkan pemhamanan baik materi maupun ketrampilan intelektual
170
(thinking skill), keterampilan sosial (social skill) dan partisipatori dalam kegiatan sekolah yang berupa intra dan ekstra kurikuler. Melalui pembelajaran bermakna, peserta didik diharapkan dapat mengembangkan dan menerapkan keterampilan intelektual, ketrampilan sosial dan partisipatori yang menghasilkan pemahaman tentang arti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Disamping itu peserta didik akan memperoleh keuntungan dan kesempatan dari pembelajaran yang bermakna untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (politics) dan penyelenggaraan organisasi yang baik (good governance) pada tingkat kelas dan sekolah mereka sendiri, berpartisipasi dalam simulasi kegiatan ke parlemen (misalnya: prosedur dengar pendapat dan judicial di lembaga legislatif), mengamati cara kerja di nonpemerintahan, belajar bagaimana anggota pemerintahan dan organisasi nonpemerintahan berusaha mempengaruhi kebijaksanaan umum dan/atau negara, dan bertemu dengan pejabat-pejabat publik/pemerintahan. Keterampilan intelektual dalam mata pelajaran PKn tidak dapat terpisahkan dari materi kewarganegaraan, sebab untuk dapat berpikir secara kritis tentang suatu isu, seseorang selain harus mempunyai pemahaman yang baik tentang isu, latar belakang, dan hal-hal komtemporer yang relevan juga harus memiliki perangkat berpikir intelektual tersebut meliputi kemampuan untuk menilai posisi, membangun (to-contruct), dan memberikan justifikasi posisi pada suatu isu. Keterampilan dan kemampuan berpartisipasi dalam proses politik juga diperlukan bagi peserta didik. Hal ini meliputi kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan dan keputusan melalui kerjasama dengan orang lain dengan cara mengetahui tokoh kunci pembuat kebijakan dan keputusan, membangun koalisi bernegosiasi, mencari konsensus, dan mengendalikan konflik. Keterkaitan Pendidikan Antikorupsi dengan Pendidikan Kewarganegaraan Ketua MPR Hidayat Nurwahid dalam Syarif, S, (2005), berpendapat bahwa pendidikan perlu dielaborasi dan diinternalisasikan dengan nilai-nilai antikorupsi sejak dini. Pendidikan antikorupsi yang diberikan di sekolah diharapkan dapat menyelamatkan generasi muda agar tidak menjadi penerus tindakan-tindakan korup generasi sebelumnya termasuk antara Pendidikan Antikorupsi dengan Pendidikan Kewarganegaraan di persekolahan. Menurut Indonesian Corruption Watch pada diskusi tentang pendidikan untuk membasmi korupsi yang diselenggarakan tanggal 8 Februari 2007, bahwa ada tiga gagasan yang disampaikan, pertama, korupsi hanya dapat dihapuskan dari kehidupan kita secara berangsur-angsur. Artinya membasmi korupsi di tanah air ini tidak seperti membasmi hama ulat di tanaman sekali disemprot dengan pestisida, hama ulat akan hilang, tetapi harus dilakukan secara terus-menerus. Kedua, pendidikan membasmi korupsi sebaiknya berupa persilangan (intersection) antara
171
pendidikan watak (character) dan Pendidikan Kewarganegaraan, dimana pendidikan watak terkait dengan pembentukan sikap sesuai dengan sistem nilai sesuai, sedangkan Pendidikan Kewarganegaraan lebih memfokuskan pada pemahaman sikap dan perilaku warga negara sesuai hak dan kewajiban seperti amanat Pancasila dan UUD 1945. Ketiga, pendidikan untuk mengurangi dan atau memberantas korupsi harus berupa pendidikan nilai, yaitu pendidikan untuk mendorong setiap generasi menyusun kembali sistem nilai yang diwarisi dari pendahulunya. Sistem nilai yang tidak cocok segera diperbaharui atau membuat sistem nilai baru. Sistem nilai warisan inilah seakan-akan korupsi telah membudaya, tidak putus-putusnya korupsi terus dilakukan dari generasi ke generasi. Adapun Keterkaitan antara Pendidikan Antikorupsi dengan Pendidikan Kewarganegaraan dapat ditinjau dari berbagai aspek, antara lain: 1. Aspek Konsep Konsep Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan Pendidikan Antikorupsi secara konsep merupakan upaya melalaui jalur pendidikan untuk mengendalikan atau mengurangi serta mengembangkan sikap menolak secara tegas setiap bentuk korupsi. Sikap tegas menolak setiap tindakan korupsi tidak pernah terjadi apabila kita tidak secara sadar membina kemampuan generasi mendatang melalui pendidikan. Jalur pendidikan memiliki nilai strategis yang sangat vital membangun karakter bangsa. Dari kedua konsep tersebut keterkaitan antara Pendidikan Antikorupsi dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sangatlah relevan dan tepat, karena keduanya mefokuskan pada pembentukan sikap yang sesuai sistem nilai yang diterima oleh masyarakat Indonesia. 2. Aspek Tujuan Pendidikan Antikorupsi adalah tindakan untuk mengendalikan atau mengurangi korupsi, merupakan keseluruhan upaya untuk mendorong generasigenerasi mendatang mengembangkan sikap menolak secara tegas setiap bentuk tindak korupsi (Buchori, Muchtar, 2007). Sedangkan salah satu tujuan Pendidikan Kewarganegaraan di persekolahan adalah berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara termasuk antikorupsi. Dengan demikian Pendidikan Antikorupsi dan PKn terkait erat. 3 Aspek karakteristik Karakteristik Mata Pelajaran PKn adalah pengetahuan, keterampilan, dan karakter kewarganegaraan. Ketiga hal tersebut merupakan bekal bagi peserta didik
172
untuk meningkatkan kecerdasan multidemensional yang memadai untuk menjadi warga negara yang baik. Karakter kewarganegaraan, adalah karakter warga negara yang memahami akan hak dan kewajibannya. Pendidikan Antikorupsi juga membina karakter bangsa melalui pendidikan nilai-nilai kebaikan. Dengan demikian penddikan antikorupsi dengan PKn memiliki krakteristik yang sama. 4. Aspek sasaran PKn mengarah kepada terbentuknya manusia yang cerdas, trampil, kreatif, mentaati peraturan yang berlaku, berpartisipasi secara aktif, bertanggung jawab, berpikir kritis, logis, inovatif dan mampu memecahkan persoalan dalam kehidupan sehari-hari, sebagai warga negara yang memahami hak dan kewajibannya, dan pada akhirnya menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab (UU NO. 20 Tahun 2003). Pendidikan Antikorupsi mendorong sikap antikorupsi. Orang melakukan korupsi berarti tidak mentaati peraturan yang berlaku, tidak bertanggung jawab untuk kepentingan umum, melanggar hak dan kewajibannya, karena itu Pendidikan Antikorupsi terkait erat dengan PKn Dari uraian di atas, keterkaitan antara Pendidikan Antikorupsi dengan Pendidikan Kewarganegaraan sangat erat dan tepat. Materi-materi Pendidikan Antikorupsi dapat disisipkan pada pokok-pokok materi yang tertuang pada Standar Kompetensi maupun Kompetensi Dasar. Namun tidak semua Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dapat disisipkan nilai-nilai Pendidikan Antikorupsi. PENUTUP Pendidikan Antikorupsi Melalui Pendidikan Kewarganegaraan Pendidikan antikorupsi bagi peserta didik akhirnya memang mengarah pada pendidikan nilai yang ditanamkan melalui proses pembelajaran sehingga dapat terinternalisasi dalam diri peserta didik. Nilai yang telah terinternalisasi diharapkan mampu mempengaruhi sikap serta perilaku peserta didik. Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan dan tidak melakukan sesuatu. Jadi sikap masih pilihan kecenderungan seseorang, apabila sudah dipilih dan diimplementasikan dalam kehidupan secara nyata, merupakan suatu perilaku/perbuatan. Walaupun sikap sewaktu-waktu dapat berubah dan sewaktuwaktu pula akan memunculkan perilaku yang kontradiktif antara sikap dan perilakunya, namun upaya pembentukan karakter/kepribadian yang sesuai nilainilai terhadap peserta didik melalui jalur pendidikan hukumnya wajib dan tak terelakkan lagi. DAFTAR REFERENSI Azra, Azyumardi, (2009), Pendidikan Anti-Korupsi (Makalah untuk Seminar Nasional Ditjen Mandikdasmen, Depdiknas), Hotel Safari Garden, Cisarua14-16 Desember 2009.
173
Buchori, Muchtar, 2007, Pendidikan Antikorupsi, dimuat dalam Harian Kompas, 21 Februari 2007. Budi Darma, 25 Oktober 2003, Korupsi, Kompas Hal. 4. Center for Indonesian Civic Education (CICED),1999. Workshop On The Development of Concepts and Concent of Civic Education for Indonesian Schools. In collabrotion with : Center for Civic Education (CCE), Calabasas USA Bandung. Faisal Djabar, 2008, Direktorat Pendidikan & Pelayanan Masyarakat, Komisi pemberantasan Korupsi) Fajar, Arnie, 2003, Pengembangan Sikap Nasionalisme dalam Pembelajaran PPKn Melalui Pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat (S-T-M), Tesis. Gamada Agung, 20 Maret 2007, Is corruption driven by needs or wants?. The Jakarta Post. Hal. 6. jawa pos dotcom, February 11, 2008 Jeferson Kameo, 31 maret 2003, Menggali akar penyebab korupsi. Media Indonesia. Hal. 21. King, Dwight Y, 2000, Cortuption in Indonesia: A curable cancer? Journal of International Affairs; Spring; (53), 2. Hal.603 – 624. Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, Memahami untuk membasmi: Buku saku untuk memahami tindak pidana korupsi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi. Lickona, Thomas, 1991, Educating for Character How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, New York: Bantam Books. National Council for the Social Studies atau NCSS,1970, Curriculum Standards for Social Studies. United States of America. National Council for the Social Studies. 1994. Expectations of Exellence Curriculum Standards for Social Studies. United States of America. Paul Suparno, 11 November 2003, Perampingan PNS sebagai cara pemberantasan. Kompas, hal. 4. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah Sabiqul Khair Syarif S., 2003, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sabiqul Khair Syarif S.,2005, Mahapeserta didik Pascasarjana Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM, Jogjakarta Sabiqul Khair Syarif S., 2006, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Sabiqul Khair Syarif S., 2006, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kelulusan Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Schumpeter, A. Joseph. 1947, Capitalism, Socialism, and Democracy. edisi ke-2, New York : Harper. Somantri, Numan M. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung : Kerjasama Program Pascasarjana dan FPIPS UPI dengan PT Remaja Rosdakarya. Stiglitz, Josep E., 11 Nov, 2002, Conflicts of interest in eradicating corruption. The Jakarta Post, 6. Teten Masduki, 26 Januari, 2006, Korupsi jalan terus, kenapa tanya?. Kompas. Hal. 6
174
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional. Von Aleman, Ulrich, 2004, The unknown depths of political theory: the case for a multideimensional concept of corruption. Crime, Law & Social Change (42). 2534. Wikipedia, ensiklopedia bebas, 2007 Wikipedia, ensiklopedia bebas, Penyimpangan Perilaku, 2008 Wikipedia, ensiklopedia bebas, Sosiologi, 2008 Williams, Robert, 1999, New concepts for old?. Third World Quarterly, Vol. 20. No. 3. Hal. 503-513.
175
PENGUATAN KARAKTER BANGSA SEBAGAI LANGKAH AWAL MENUMBUHKAN JIWA ANTI KORUPSI Hasti Angraini Guru P.Kn SMA Negeri I Pati Email:
[email protected]
Abstrak Korupsi di Indonesia merupakan permasalahan yang hampir setiap hari didengar oleh masyarakat. Besarnya kerugian negara dan buruknya dampak korupsi, harus segera dicarikan solusi, salah satunya adalah melalui penguatan karakter bangsa pada generasi muda. Pendidikan karakter adalah sebuah usaha mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif pada lingkungannya. Pendidikan karakter lebih berkaitan dengan bagaimana membudayakan dan pembudayaan nilai-nilai positif melalui sesuai fase usia dan strategi pembentukan karakter. kata kunci: fase, karakter, penguatan, strategi
PENDAHULUAN Korupsi di Indonesia merupakan permasalahan yang hampir setiap hari didengar oleh masyarakat, baik melalui media elektronik maupun cetak. Permasalahan korupsi menjadi persoalan yang hangat dibicarakan, karena korupsi membawa kerugian bagi keuangan negara dan menghambat tercapainya tujuan nasional, yaitu kesejahteraan bagi seluruh rakyat Inodensia. Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, merilis hasil analisis terhadap 1365 kasus korupsi yang sudah mendapatkan putusan tetap dari Mahkamah Agung. Selama tahun 2001 sampai dengan 2012 terdapat 1842 terdakwa koruptor, dengan nilai total hukuman finansial Rp. 15,09 triliun," (http :// www.tempo.co/read /news/2013 /03/04/058464996). Lansiran warta BPK tahun 2013, negara dirugikan sebesar Rp. 463,67 milyar karena salah urus dalam proyek Hambalang. Sementara itu, korupsi pendidikan mengalami peningkatan dalam jumlah uang yang dikorupsi. Tahun 2011 terdapat 16 kasus dengan kerugian Rp. 78,5 milyar dan pada tahun 2012 turun menjadi 8 kasus tetapi jumlah kerugian naik menjadi Rp. 99,2 milyar. Besarnya kerugian negara tersebut, telah mengganggu perekonomian negara, sehingga perlu untuk segera ditangani. Korupsi di Indonesia sebenarnya telah ditangani oleh kepolisian, kejaksaan, dan bahkan sampai dibentuknya KPK, 177
yang secara konsen menangani masalah korupsi. Sayangnya, sampai saat ini upaya pemberantasan korupsi belum tuntas, korupsi terjadi silih berganti di semua lini, bahkan merajalela yang akhirnya merugikan keuangan negara. Besarnya kerugian negara dan buruknya dampak korupsi, harus segera dicarikan solusi, salah satunya adalah melalui penguatan karakter bangsa pada generasi muda. Karakter bangsa akan membangun identitas generasi peneus bangsa, sehingga kedepan akan menjadi masyarakat yang taat pada hukum dan memiliki jiwa anti korupsi. PEMBAHASAN Pendidikan karakter adalah sebuah usaha mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif pada lingkungannya. Nilai-nilai karakter yang perlu ditanamkan kepada anak-anak adalah nilai-nilai universal yang mana seluruh agama, tradisi, dan budaya pasti menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai universal ini harus dapat menjadi perekat bagi seluruh anggota masyarakat walaupun berbeda latar belakang budaya, suku, dan agama (Megawangi, 2004: 105-109). Dikatakan lebih lanjut bahwa ada sembilan pilar yang selayaknya diajarkan kepada anak-anak, yaitu: a. Cinta Tuhan dan Segenap Ciptaan-Nya b. Kemandirian dan tanggung jawab c. Kejujuran atau amanah, bijaksana d. Hormat dan santun e. Dermawan, suka menolong dan gotong royong f. Percaya diri, kreaktif, dan pekerja keras g. Kepemimpinan dan keadilan h. Baik dan rendah hati i. Toleransi dan kedamaian dan kesatuan. Pendidikan karakter lebih berkaitan dengan bagaimana membudayakan dan pembudayaan nilai-nilai tertentu dalam diri peserta didik di sekolah nilai-nilai ini bisa memiliki bobot moral ataupun tidak, seperti nilai yang sifatnya individual personal (tanggung jawab personal, kemurahan hati, penghargaan diri, kejujuran, pengendalian diri, bela rasa, disiplin diri, daya tahan, pemberian diri, percaya diri, integritas, cinta, tepat waktu, berjiwa pengampun, dan rasa terima kasih).
178
Tahap-tahap Pendidikan (pembudayaan) Karakter Pendidikan karakter dapat diklasifikasikan dalam tahap-tahap sebagai berikut: a. Adab (5-6 tahun), pada fase ini hingga berusia 5-6 tahun anak di didik budi pekerti, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai karakter sebagai berikut: jujur, tidak berbohong, mengenal mana yang benar dan mana yang salah, mengenal mana yang baik dan mana yang buruk, dan mengenal mana yang diperintah (yang dibolehkan) dan mana yang dilarang (yang tidak boleh di lakukan). Pendidikan kejujuran merupakan nilai karakter yang harus ditanamkan pada anak sedini mungkin karena nilai kejujuran merupakan nilai kunci dalam kehidupan. Pada fase ini juga harus dididik mengenai karakter yang baik dan buruk. b. Tanggung jawab diri (7-8 tahun), pada usia ini anak juga mulai dididik untuk tertib, bertanggung jawab dan disiplin. Hal-hal yang terkait dengan kebutuhan sendiri sudah harus mulai dilaksanakan pada usia ini. Misalnya, perintah agar anak usia 7 tahun mulai menjalankan shalat menunjukkan bahwa anak mulai dididik untuk bertanggung jawab, terutama dididik bertanggung jawab pada diri sendiri. Anak mulai diminta untuk membina dirinya sendiri, anak mulai dididik untuk memenuhi kebutuhan dan kewajiban dirinya sendiri. c. Caring-Peduli (9-10 tahun), selanjutnya anak dididik tentang tanggung jawab diri, selanjutnya mulai peduli pada orang lain, terutama teman-teman sebaya yang setiap hari ia bergaul bersama. Menghargai orang lain, menghormati hak-hak orang lain, bekerja sama diantara teman-temannya, membantu dan menolong orang lain, dan lain-lain merupakan aktivitas yang sangat penting pada masa ini. Di sisi lain, sebagai dampak dari kegiatan bekerja sama dan kebersamaan ini juga berdampak pada sebuah pendidikan akan pentingnya tanggung jawab pada orang lain, sehingga nilai-nilai kepemimpinan mulai tumbuh pada usia ini. Oleh karena itu, pada usia ini tampaknya tepat jika anak dilibatkan dengan nilai-nilai kepedulian dan tanggung jawab pada orang lain, yaitu mengenai aspek kepemimpinan. d. Kemandirian (11-12 tahun), berbagai pengalaman yang telah dilalui pada usia-usia sebelumnya makin mematangkan karakter anak sehingga akan membawa anak kepada kemandirian. Kemandirian ini ditandai dengan kesiapan dalam menerima resiko sebagai konsekuensi tidak mentaati aturan. Pada fase kemandirian ini berarti anak telah mampu menerapkan terhadap hal-hal yang menjadi perintah atau yang diperintahkan dan hal-hal yang menjadi larangan atau yang dilarang, serta sekaligus memahami konsekuensi resiko jika melanggar aturan. Diharapkan anak telah mampu mengenal mana yang benar dan mana yang salah seklaigus membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
179
e. Bermasyarakat (13 tahun > keatas), pada fase ini merupakan tahap dimana anak dipandang telah siap memasuki kondisi kehidupan di masyarakat. Anak diharapkan telah siap bergaul di masyarakat dengan berbekal pengalaman yang dilalui sebelumnya. Setidak-tidaknya ada dua nilai penting yang harus dimiliki anak walaupun masih bersifat awal atau belum sempurna, yaitu: integritas, dan kemampuan beradaptasi. Jika tahap-tahap pendidikan karakter ini dapat dilakukan dengan baik, maka pada tingkat usia berikutnya tinggal menyempurnakan dan mengembangkannya. Strategi Pembentukan Karakter Strategi dalam pendidikan karakter dapat dilakukan melalui sikapsikap sebagai berikut: a. Keteladanan, memiliki kontribusi yang sangat besar dalam mendidik karakter. Keteladanan lebih mengedepankan aspek perilaku dalam bentuk tindakan nyata dari pada sekadar berbicara tanpa aksi. Apalagi didukung oleh suasana yang memungkinkan anak melakukannya ke arah hal itu. Faktor penting dalam mendidik adalah terletak pada “keteladanannya”. Keteladanan yang bersifat multidimensi, yakni dalam berbagai aspek kehidupan. Ada tiga unsur agar seseorang dapat diteladani atau menjadi teladan, yaitu: 1) Kesiapan untuk dinilai dan dievaluasi, berarti adanya kesiapan menjadi cermin bagi dirinya maupun orang lain. 2) Memiliki kompetensi minimal, seseorang akan menjadi teladan jika memiliki ucapan, sikap, dan perilaku yang layak untuk diteladani. 3) Memiliki integritas moral, integritas moral adalah adanya kesamaan antara ucapan dan tindakan atau satunya kata dan perbuatan. Integritas moral adalah terletak pada kualitas istiqomahnya. b. Penanaman Kedisiplinan, hakikatnya adalah suatu ketaatan yang sungguhsungguh yang didukung oleh kesadaran untuk menunaikan tugas kewajiban serta berperilaku sebagaimana mestinya menurut atauran-aturan atau tata kelakuan yang seharusnya berlaku di dalam suatu lingkungan tertentu. Kedisiplinan menjadi alat yang ampuh dalam mendidik karakter. Banyak orang sukses karena menegakkan kedisiplinan. Sebaliknya, banyak upaya membangun sesuatu tidak berhasil karena kurang atau tidak disiplin. Kurangnya disiplin dapat berakibat melemahnya motivasi seseorang untuk melakukan sesuatu. Penegakkan kedisiplinan merupakan salah satu strategi dalam membangun karakter seseorang. Kegiatan upacara yang dilakukan setiap hari tertentu kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan kebersihan dan pengecekan ketertiban sikap dalam mengikuti upacara dapat digunakan sebagai upaya penegakkan kedisiplinan. Penegakan disiplin antara lain dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti peningkatan motivasi, 180
pendidikan dan latihan, kepemimpinan, penerapan reward and punishment, penegakan aturan. c. Pembiasaan, anak memiliki sifat yang paling senang meniru. Terbentuknya karakter memerlukan proses yang lama dan terus menerus. Oleh karena itu, sejak dini harus ditanamkan pendidikan karakter pada anak. Pendidikan karakter tidak cukup hanya diajarkan melalui mata pelajaran di kelas, tetapi sekolah dapat juga menerapkannya melalui pembiasaan. Pembiasaan diarahkan pada upaya pembudayaan pada aktivitas tertentu sehingga menjadi aktivitas yang terpola atau tersistem. d. Menciptakan suasana yang kondusif, lingkungan dapat dikatakan merupakan proses pembudayaan anak dipengaruhi oleh kondisi yang setiap saat dihadapi dan dialami anak. Demikian halnya, menciptakan suasana yang kondusif di sekolah merupakan upaya membangun kultur atau budaya yang memungkinkan untuk membangun karakter, terutama berkaitan dengan budaya kerja dan belajar di sekolah. Sekolah yang membudayakan warganya gemar membaca, tentu akan menumbuhkan suasana kondusif bagi siswa-siswanya untuk gemar membaca. Demikian juga, sekolah yang membudayakan warganya untuk disiplin, aman, dan bersih, tentu juga akan memberikan suasana untuk terciptanya karakter yang demikian. e. Integrasi dan Internalisasi. Pendidikan karakter membutuhkan proses internalisasi nilai-nilai. Nilai-nilai karakter seperti menghargai orang lain, disiplin, jujur, amanah, sabar, dan lain-lain dapat diintegrasikan dan diinternalisasikan ke dalam seluruh kegiatan sekolah baik dalam kegiatan intrakurikuler maupun kegiatan yang lain. Terintegrasi, karena pendidikan karakter memang tidak dapat dipisahkan dengan aspek lain dan merupakan landasan dari seluruh aspek termasuk seluruh mata pelajaran. Terinternalisasi, karena pendidikan karakter harus mewarnai seluruh aspek kehidupan (Hidayatullah, 2010: 39-55). Terbentuknya karakter (kepribadian) suatu manusia ditentukan oleh dua faktor, yaitu nature (faktor alami atau fitrah) dan nurture (sosialisasi dan pendidikan). Fitrah manusia menurut perspektif agama adalah cenderung kepada kebaikan, namun pengaruh lingkungan dapat mengganggu proses tumbuhnya fitrah. Faktor lingkungan, yaitu usaha memberikan pendidikan dan sosialisasi dapat menentukan ”buah” seperti apa yang akan dihasilkan nantinya dari seorang anak. Jadi sebuah bangsa akan terbentuk menjadi bangsa yang berkarakter dengan adanya pengasuhan, pendidikan, dan sosialisasi positif dari lingkungan sekitanya.
181
Pendidikan Karakter dan Menumbuhkan Jiwa Anti Korupsi Pendidikan sebagai sebuah bagian dari sistem pembangunan nasional, harus mampu untuk mengatasi persoalan korupsi, karena melalui pendidikan akan terjadi proses pembelajaran yang berlangsung secara sistemik. Melalui pendidikan akan dibangun karakter bangsa generasi penerus bangsa, dan pada akhirnya akan membentuk jiwa anti korupsi. Beberapa upaya dapat dilakukan untuk membangun karakter anti korupsi generasi yang akan datang, yaitu: Pertama, tempatkan pendidikan sebagai sarana pembentuk karakter. Pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966) mangatakan bahwa hakikat utama pendidikan adalah pembentukan karakter. Dalam pandangannya, ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter, yakni keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasarkan hirarki nilai, koherensi yang memberi keberanian, teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko, memberikan otonomi dalam menginternalisasikan aturan luar menjadi nilai bagi pribadi, dan membangun keteguhan dan kesetiaan dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Kematangan empat nilai dasar Foerster tersebut akan membangun forma seorang pribadi dalam segala tindakannya. Keempat nilai dasar itulah akan lahir seorang pribadi yang tangguh dan siap menerjang ketimpangan yang melanda masyarakat, khususnya korupsi. Kedua, membuat kurikulum yang selalu mengajarkan korupsi sebagai kemunkaran sosial. Setiap materi pelajaran, seorang guru seharusnya tidak hanya menjelaskan makna tekstual teori ilmu pengetahuan, tapi juga mampu mengontekstualisasikan dengan fenomena ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat. Integrasi teori dan realitas, maka kurikulum pendidikan, selain tidak menjemukan siswa, juga mampu mengantarkan mereka menuju hampaan pengetahuan yang begitu luas dan dahsyat. Mereka tidak hanya kaya dengan pengetahuan, tapi juga pengalaman hidup sebagai bekal di masa depan. Ketiga, melakukan aksi nyata dalam pemberantasan korupsi. Aksi nyata ini bisa berupa kerja sama dengan lembaga peradilan yang menyeret para koruptor atau lembaga swadaya masyarakat yang concern terhadap kebijakan pemberantasan korupsi. Aksi nyata tersebut, siswa atau para mahasiswa akan melihat secara riil an korupsi di Indonesia dan menjelaskan pada mereka bahwa para koruptor tersebut adalah kaum berdasi yang telah menyelesaikan pendidikannya sampai jenjang paling tinggi. Peserta didik memdapat pembudayaan untuk bangkit mengembalikan moralitas pendidikan dan akhirnya akan berdedikasi secara positif bagi kelangsungan bangsa. Keempat, membangun arus baru lintas sektoral pendidikan. Di sini perlu dibentuk gerakan massif di berbagai lembaga pendidikan pusat maupun daerah dalam menentang ulah para koruptor. Gelombang arus baru tersebut akan selalu diliput media dan nantinya lama kelamaan akan menjadi 182
mainstream pemikiran kemanusiaan masa depan maka pendidikan antikorupsi bukan sekadar wacana, tapi sebuah gerakan yang sangat penting demi kelangsungan masa depan bangsa. Beberapa langkah ideologisasi tersebut di atas diharapkan dapat menjadi menghalau paling jitu terhadap penyakit sosial yang telah merusak kehidupan bangsa ini. Korupsi dan dua saudara kembarnya, kolusi dan nepotisme, selama ini telah menjadi “trilogi” penyakit yang menggerogoti bangsa ini. Jangan sampai “trilogi” penyakit bangsa ini terus hidup dan menggerogoti kehidupan bersama kita. Karena itu, pendidikan karakter harus dibangun untuk menumbuhkan jiwa anti korupsi. PENUTUP Pendidikan karakter merupakan lagkah strategis dalam mewujudkan jiwa anti korupsi. Pendidikan karakter dapat dilakukan baik dalam lingkungan pendidikan maupun di masyarakat luas. Dalam dunia pendidikan langkah yang dapat ditempuh adalah dengan menumbuhkan semangat bahwa korupsi adalah hal yang buruk, membangun kurikulum yang memuat anti korupsi, melakukan aksi nyata perlawanan terhadap korupsi, dan menjalin gerakan massif pemberantasan korupsi. Jika langkah-langkah tersebut dapat dilaksanakan maka, pembinaan akarakter anti korupsi akan dapat terwujud. DAFTAR PUSTAKA Hidayatullah, Furqon. 2010. Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa. Surakarta: Yuma Pustaka Megawangi Ratna. 2004. Pendidikan Karakter. Jakarta Idhom, Addi Mawahibun.2013. Akibat Korupsi, Uang Negara Menguap Rp168,19 triliun. Di unduh dari http://www.tempo.co/read/news/2013/03/04/058464996, pada 1 Maret 2014 Pukul 13.40 WIB.
183
PERAN PENDIDIKAN DASAR DALAM PENANAMAN NILAI-NILAI ANTIKORUPSI Oktaviani Adhi Suciptaningsih Progdi PPKn, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, IKIP PGRI Semarang, Jln Sidodadi Timur No 24 Dr.Cipto Semarang, email:
[email protected]
Abstrak Pendidikan dasar memiliki peran strategis dalam menanamkan nilai-nilai anti korupsi di kalangan siswa. Nilai-nilai antikorupsi yang ditanamkan sejak dini melalui pembiasaan-pembiasaan di sekolah dapat membentuk kepribadian siswa supaya tidak bertindak korup di kemudian hari. Sesuai dengan tahap perkembangan anak, penanaman nilai-nilai antikorupsi pada anak usia dasar lebih mudah dilakukan daripada pada anak usia menengah, sebab pada usia dasar anak baru belajar mengenal lingkungannya. Nilai-nilai antikorupsi yang ditanamkan meliputi kejujuran, kepedulian, kemandirian, kedisiplinan, tanggung jawab, kerja keras, kesederhanaan, keberanian dan keadilan. Penanaman nilai-nilai antikorupsi pada pendidikan dasar dapat dilakukan dengan tiga strategi, yakni strategi inklusif, strategi eksklusif dan strategi studi kasus. Sedangkan faktor pendukung keberhasilan penanaman nilai-nilai tersebut adalah keteladanan dari seluruh anggota sekolah baik kepala sekolah, guru dan karyawan, lingkungan yang kondusif dan penciptaan budaya akademik yang secara kontinu dilakukan. Kata Kunci : Pendidikan Dasar, Nilai - Nilai Antikorupsi PENDAHULUAN Korupsi telah menjadi fenomena internasional yang mempengaruhi dan merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Joseph Nye, mengartikan korupsi sebagai, “behavior which deviates from the normal duties of a public role because of private-regarding (personal, close family, private clique) pecuniary or status gains or vialotes rule against the exercise of certain types of private-regarding influence” (Wibowo, 2006: 5)”, yang secara singkat dapat diartikan bahwa korupsi merupakan perilaku menyimpang dari tugas-tugas normal penjabat publik. Pemerintah telah mengupayakan berbagai macam cara untuk memberantas korupsi, seperti mengeluarkan Undang-Undang pemberantasan korupsi, yakni dimulai pada masa orde baru Pemerintah telah mengeluarkan TAP MPR mengenai pemberantasan korupsi, pada tahun 1971 mengeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tahun 1998 mengeluarkan TAP MPR Nomor XI/ MPR/ 1998 tentang
185
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Sebagai tindak lanjut TAP MPR tersebut dikeluarkan UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sampai yang terbaru adalah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain melalui Undang-Undang pemerintah juga telah mengupayakan pencegahan tindak korupsi, namun hal tersebut tampaknya belum mampu secara sistematis mengurangi praktek dan perilaku koruptif. Buktinya, praktek korupsi masih terjadi secara masif, sistematis dan terstruktur pada lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, pada Badan Usaha Milik Negara, lembaga jasa keuangan, perbankan serta di sebagian kehidupan masyarakat lainnya. Upayaupaya kuratif memang memberikan hasil seketika, namun karena spektrum perilaku korupsi yang luas maka diperlukan upaya lain yang hasilnya tidak bisa dilihat sekarang, yakni melalui pendidikan anti korupsi (Handoyo, 2009). KPK sebagai lembaga independen yang secara khusus menangani tindak korupsi telah berupaya menyebarluaskan nilai-nilai antikorupsi dalam ranah pendidikan dengan membuat komik dan modul bagi siswa maupun bagi guru dari tingkat SD sampai dengan Perguruan Tinggi. Dengan adanya komik dan modul tersebut diharapkan penanaman nilai-nilai anti korupsi dalam dunia pendidikan bisa maksimal. Sekolah dapat mengambil peran strategis dalam melaksanakan pendidikan anti korupsi terutama dalam membudayakan perilaku anti korupsi di kalangan siswa. Pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan anti korupsi telah dilakukan di berbagai negara, negara-negara di Amerika, Eropa, Asia, Afrika maupun Australia. Di dunia telah dibentuk juga jaringan kerjasama antarnegara untuk memperkenalkan program pendidikan anti korupsi. Salah satu contoh pendidikan korupsi di Cina, yakni melalui China on- line, seluruh siswa di seluruh pendidikan dasar diberikan mata pelajaran pendidikan anti korupsi yang tujuannya adalah memberikan vaksin kepada pelajar dari bahaya korupsi. Dalam jangka panjang generasi muda China bisa melindungi diri di tengah gempuran pengaruh kejahatan korupsi (Suyanto, 2005: 42). Melalui pengembangan kultur sekolah, diharapkan siswa memiliki modal sosial untuk membiasakan berperilaku anti korupsi. Pendidikan anti korupsi seyogyanya diberikan kepada anak-anak sejak di bangku sekolah dasar (SD). Anak-anak SD yang berusia antara 7 sampai dengan 12 tahun dapat berpikir transformasi revesible (dapat dipertukarkan) dan kekekalan (Disiree dalam Suyanto, 2005). Mereka dapat mengerti adanya perpindahan benda,
186
mampu mengklasifikasi dalam level konkrit, mampu memahami persoalan sebab akibat yang bersifat konkrit. Oleh karenanya siswa SD dapat diperkenalkan suatu tindakan dengan akibat yang baik dan yang tidak baik. Pentingnya pendidikan anti korupsi diberikan kepada siswa SD, yakni: 1. Siswa belum mendapatkan informasi dan sosialisasi tentang anti korupsi. Untuk itu, perlu diperkenalkan terlebih dahulu nilai-nilai konkrit yang diyakini akan dapat melawan tindakan korupsi. 2. Kurangnya keteladanan dari lingkungan (orang tua, guru, orang dewasa di sekitar dan media). Keteladanan dari orang-orang terdekat dan di sekitarnya akan sangat membantu dalam proses penanaman nilai atau budi pekerti yang diharapkan dapat diterapkan dalam kegiatan sehari-hari. 3. Adanya kompetisi yang kurang sehat antar-siswa. Upaya menghindari kompetisi yang kurang sehat dalam pergaulan di sekolah dapat dilakukan dengan menanamkan nilai-nilai budaya di sekolah, seperti saling menghargai, saling menghormati, kesederhanaan dan tidak pamer. Bahkan jika perlu sekolah dapat memberi penghargaan kepada siswa yang berperilaku terpuji. 4. Sekolah tidak menerapkan aturan yang jelas dan konsisten. Itulah sebabnya aturan sekolah harus dibuat bersama antara guru, orang tua, dan siswa, supaya merasa ikut memiliki dan bertanggung jawab terhadapnya. Sementara itu, guru dan orang tua berperan sebagai fasilitator dan pengawas. Jika ada yang melanggar aturan sekolah, yang bersalah harus diberi hukuman sesuai dengan tingkat kesalahannya. Pembelajaran di sekolah masih didominasi oleh aspek kognitif. Pembelajaran seperti ini kurang mampu membentuk karakter siswa. Untuk itu, perlu dikembangkan pembelajaran afektif yang bersifat aplikatif dengan modelmodel pembelajaran yang dikuasai guru, sehingga pembelajaran kognitif akan dapat dikawal untuk mewujudkan tujuan pendidikan di sekolah dasar. Metode dongeng, permainan (games), dan simulasi atau sosiodrama dapat diterapkan dalam pembelajaran afektif di sekolah (Handoyo, 2009: 7-8). Berdasarkan hal di atas permasalahan ini menjadi sangat layak untuk dikaji lebih lanjut dengan judul: “Peran Pendidikan Dasar dalam Penanaman Nilai-Nilai Antikorupsi”. PEMBAHASAN Pendidikan menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 (tentang Sistem Pendidikan Nasional) adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
187
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Tujuan Pendidikan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Sedangkan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. Pada usia sekolah dasar anak sudah dapat mereaksi rangsangan intelektual atau melaksanakan tugas-tugas belajar yang menuntut kemampuan intelektual atau kemampuan kognitif. Menurut Piaget (1970) masa ini berada pada tahap operasi konkret yang ditandai dengan kemampuan mengklasifikasikan benda-benda dengan ciri yang sama, menyusun atau mengasosiasikan angka-angka atau bilangan, memecahkan yang sederhana. Kemampuan intelektual pada masa ini sudah cukup untuk menjadi dasar diberikannya berbagai kecakapan yang dapat mengembangkan pola pikir atau daya nalarnya. Anak usia SD telah dapat mengembangkan keterampilan berpikir, bertindak dan pengaruh sosial yang lebih kompleks. Sampai dengan masa ini, anak pada dasarnya egosentris (berpusat pada diri sendiri) dan dunia mereka adalah rumah keluarga, dan taman kanak-kanaknya. Selama duduk di kelas kecil SD, anak mulai percaya diri meskipun terkadang masih dalam skala rendah diri. Pada tahap ini mereka mulai mencoba membuktikan bahwa mereka "dewasa". Mereka merasa, "saya dapat mengerjakan sendiri tugas itu, karenanya
188
tahap ini disebut tahap "I can do it my self". Mereka sudah mampu untuk diberikan suatu tugas. Daya konsentrasi anak tumbuh pada kelas-kelas besar SD. Mereka dapat meluangkan lebih banyak waktu untuk tugas tugas pilihan mereka, dan seringkali mereka dengan senang hati menyelesaikannya. Tahap ini juga termasuk tumbuhnya tindakan mandiri, kerjasama dengan kelompok dan bertindak menurut cara-cara yang dapat diterima lingkungan mereka. Mereka juga mulai peduli pada permainan yang jujur. Karakteristik anak usia SD adalah senang bermain, senang bergerak, senang bekerja dalam kelompok, serta senang merasakan/ melakukan sesuatu secara langsung. Oleh karena itu, guru hendaknya mengembangkan pembelajaran yang mengandung unsur permainan, memungkinkan siswa berpindah atau bergerak dan bekerja atau belajar dalam kelompok, serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat langsung dalam pembelajaran. Menurut Havighurst (1961) tugas perkembangan anak usia SD adalah sebagai berikut : menguasai keterampilan fisik yang diperlukan dalam permainan dan aktivitas fisik, membangun hidup sehat mengenai diri sendiri dan lingkungan, belajar bergaul dan bekerja dalam kelompok sebaya, belajar menjalankan peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin, mengembangkan keterampilan dasar dalam membaca, menulis, dan berhitung agar mampu berpartisipasi dalam masyarakat, mengembangkan konsep-konsep hidup yang perlu dalam kehidupan, mengembangkan kata hati, moral, dan nilai-nilai sebagai pedoman perilaku, mencapai kemandirian pribadi. Tugas perkembangan tersebut mendorong guru SD untuk: menciptakan lingkungan teman sebaya yang mengajarkan keterampilan fisik, melaksanakan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar bergaul dan bekerja dengan teman sebaya sehingga kepribadian sosialnya berkembang, mengembangkan kegiatan pembelajaran yang memberikan pengalaman yang konkret atau langsung dalam membangun konsep; serta melaksanakan pembelajaran yang dapat mengembangkan nilai-nilai sehingga siswa mampu menentukan pilihan yang stabil dan menjadi pegangan bagi dirinya. Pendidikan di SD merupakan jenjang pendidikan yang mempunyai peranan sangat penting dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Pada tahapan perkembangan awal ini anak akan dibekali dengan berbagai macam nilai dan norma yang ada dalam masyarakat. Lebih mudah menerapkan pendidikan nilai pada anak usia dasar dibandingkan anak usia pendidikan menengah. Untuk itu pendidikan di SD menjadi landasan bagi pembentukan kepribadian anak. Hal ini disebabkan karena pendidikan merupakan suatu proses yang kontinyu. Ia merupakan pengulangan yang
189
perlahan tetapi pasti dan terus-menerus sehingga sampai pada bentuk yang diinginkan. Salah satu pendidikan yang ditanamkan pada anak adalah pendidikan nilai. Pendidikan nilai secara sederhana dapat diartikan sebagai penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang (Mulyana, 2004: 119). Mendefinisikan pendidikan nilai sebagai pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar mereka menyadari nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten. Dalam konteks yang lebih luas, nilai-nilai yang dikembangkan melalui pendidikan sekolah tidak hanya menyentuh nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan sebagaimana dikemukakan oleh Mulyana, tetapi lebih dari itu juga nilai kejujuran, nilai tanggung jawab, nilai kedisiplinan, nilai kebebasan, nilai kesamaan, nilai kepemimpinan, nilai toleransi, nilai kesetiaan, nilai kerjasama, nilai persahabatan, nilai cinta kasih dan nilai-nilai lainnya yang bermanfaat bagi pengembangan karakter dan kepribadian siswa. Salah satu pendidikan nilai adalah pendidikan anti korupsi. Hal ini dapat dimengerti karena yang ingin dikerjar oleh pendidikan anti korupsi tidak lain adalah membentengi anak-anak dari perilaku koruptif dengan membekali nilai-nilai luhur sebagaimana dikembangkan oleh pendidikan nilai. Korupsi berasal dari Bahasa Latin corruption atau corruptus. Corruptio berasal dari kata corrumpere. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa, seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Perancis yakni corruption dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dan dari bahasa Belanda inilah kata corruptie diserap ke dalam Bahasa Indonesia, yaitu korupsi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi berasal dari kata korup artinya: buruk, rusak, busuk, suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok (memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi) (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 596). Sedangkan korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Penyebab korupsi terdiri atas faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan penyebab yang datangnya dari diri pribadi atau individu dan faktor eksternal berasal dari lingkungan atau sistem. Untuk itu pencegahan korupsi dapat dilakukan dengan menghilangkan, atau setidaknya mengurangi, kedua faktor penyebab tersebut. Upaya pencegahan korupsi melalui pendidikan anti korupsi harus ditanamkan secara terpadu mulai dari pendidikan dasar, karena akan berpengaruh pada perkembangan psikologis siswa. Berikut merupakan beberapa tujuan yang ingin dicapai dari pendidikan anti korupsi ini: a. Untuk menanamkan semangat anti korupsi pada setiap anak. Melalui
190
pendidikan ini, diharapkan semangat anti korupsi akan mengalir di dalam darah setiap generasi dan tercermin dalam perbuatan sehari-hari. Sehingga, pekerjaan membangun bangsa yang terseok-seok karena adanya korupsi di masa depan tidak ada terjadi lagi. Jika korupsi sudah diminimalisir, maka setiap pekerjaan membangun bangsa akan maksimal. b. Untuk membangun nilai-nilai dan mengembangkan kapasitas yang diperlukan dalam pembentukan posisi sipil siswa dalam upaya melawan korupsi. Sebab, pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab lembaga penegak hukum seperti KPK, Kepolisian dan Kejaksaan agung, melainkan menjadi tanggung jawab setiap anak bangsa. Pola pendidikan yang sistematik dalam pendidikan dasar akan mampu membuat siswa mengenal lebih dini hal-hal yang berkenaan dengan korupsi termasuk sanksi yang akan diterima apabila melakukan korupsi. Dengan begitu, akan tercipta generasi yang sadar dan memahami bahaya korupsi, bentukbentuk korupsi dan tahu akan sanksi yang akan diterima jika melakukan korupsi. Sehingga, masyarakat akan mengawasi setiap tindak korupsi yang terjadi dan secara bersama memberikan sanksi moral bagi koruptor. Gerakan bersama anti korupsi ini akan memberikan tekanan bagi penegak hukum dan dukungan moral bagi KPK sehingga lebih bersemangat dalam menjalankan tugasnya. Tidak hanya itu, pendidikan anti korupsi yang dilaksanakan secara sistemik diharapkan akan memperbaiki pola pikir bangsa tentang korupsi. Selama ini, sangat banyak kebiasaan-kebiasaan yang telah lama diakui sebagai sebuah hal yang lumrah dan bukan korupsi. Termasuk hal-hal kecil. Misalnya, anak sering terlambat dalam mengikuti sebuah kegiatan di sekolah, seperti terlambat masuk sekolah, terlambat mengikuti ekstrakurikuler dan lain sebagainya. Menurut KPK, ini termasuk salah satu bentuk korupsi, yakni korupsi waktu. Kebiasaan tidak disiplin terhadap waktu ini sudah menjadi lumrah, sehingga perlu dilakukan edukasi kepada anak. Materi ini dapat diikutkan dalam pendidikan anti korupsi ini. Begitu juga dengan hal-hal sepele lainnya. Pendidikan anti korupsi melibatkan tiga domain penting yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Kognitif menekankan pada aspek mengingat dan mereproduksi informasi yang telah dipelajari, bisa berupa mengkombinasikan cara-cara kreatif atau mensintesiskan ide-ide dan materi baru. Domain afektif menekankan pada aspek emosi, sikap, apresiasi, nilai atau pada level menerima atau menolak sesuatu. Ketiga, yaitu domain psikomotorik menekankan pada tujuan melatih kecakapan dan ketrampilan tertentu (Handoyo, 2009). Nilai-nilai anti korupsi yang dapat ditanamkan kepada anak usia SD dan implementasinya:
191
1. Kejujuran. Penanaman nilai kejujuran pada anak usia SD dapat dilakukan melalui pembiasaan di lingkungan sekolah, seperti tidak mencontek pada saat ulangan atau ujian, bersikap sportif dalam berbagai perlombaan yang diikuti, bersikap sportif dalam permainan yang sering dilakukan di luar jam belajar di kelas, dilatih melalui kantin kejujuran, dan lain sebagainya. Sesuai dengan perkembangannya anak usia SD masih dalam tahap pembelajaran awal dan cenderung lebih senang bermain, sehingga dalam berbagai pembelajaran dan permainan tersebut guru dapat menanamkan nilai kejujuran sejak dini pada anak agar terbiasa sampai besar nanti. 2. Kepedulian. Nilai kepedulian dapat ditanamkan dalam wujud menyayangi teman, guru dan yang lainnya. Membangun kepedulian dapat dilakukan dengan cara membantu teman yang sedang kesusahan, berempati terhadap teman yang sedang tertimpa bencana alam dengan menggalang dana, menyumbangkan pakaian pantas pakai, dan lain sebagainya, serta menengok teman yang sedang sakit. 3. Kemandirian. Anak SD masih dalam tahap belajar untuk mandiri, mereka cenderung ingin melakukan segala sesuatu sendiri, hal ini sesuai dengan tahapan perkembangan anak di awal sekolah (usia 7 sampai 12 tahun). Dalam tahap ini anak dapat dilatih untuk mengerjakan tugas sendiri, dilatih makan sendiri (tidak disuapi lagi), dilatih melipat baju sendiri dan lain sebagainya. 4. Kedisiplinan. Anak harus dibiasakan berdisiplin diri, seperti berdisiplin waktu dengan datang tidak terlambat ke sekolah, tidak terlambat dalam berbagai kegiatan sekolah yang lain seperti pada saat upacara bendera, ekstrakurikuler, perlombaan dan lain sebagainya. Kemudian berdisiplin diri yang lain adalah memakai baju seragam yang bersih dan rapi, menjaga kebersihan diri seperti memotong kuku yang panjang, merapikan rambut, mengerjakan PR di rumah bukan di sekolah, berbaris ketika akan masuk kelas, membudayakan antri dalam berbagai kegiatan di dalam kelas maupun di luar kelas. 5. Tanggung Jawab. Tanggung jawab dapat diajarkan melalui pemberian PR di rumah, pembentukan struktur organisasi kelas (ketua kelas, sekretaris, bendahara, seksi kebersihan), pembagian piket kelas (menyapu, membuang sampah, membersihkan papan tulis, menata meja guru), pembagian tugas menjadi petugas upacara di hari Senin dan lain sebagainya. 6. Kerja Keras. Hal ini dapat dilakukan dengan memberi tugas di rumah membuat prakaria (kerajinan tangan), memberi pertanyaan ketika akan pulang sekolah, di mana siapa yang terlebih dahulu menjawab dengan benar pertanyaan guru maka akan pulang terlebih dahulu. 7. Kesederhanaan. Anak dilatih untuk hidup sederhana, semisal anak tidak
192
boleh memakai perhiasan, sekolah menyeragamkan atribut anak, seperti seragam yang dipakai, kaos kaki, ikat pinggang, sepatu dan lain sebagainya. 8. Keberanian. Guru dapat melatih keberanian siswa dengan menugasi siswa menjadi petugas upacara, mengikutsertakan siswa dalam berbagai perlombaan, menugasi siswa untuk memimpin doa ketika pembelajaran di kelas, memberi kesempatan bertanya dan menjawab ketika pelajaran, dan lain sebagainya. 9. Keadilan. Guru dapat memberikan teladan bagaimana berlaku adil, contohnya ketika anak melakukan kesalahan maka guru tidak boleh berat sebelah, memberi kesempatan baik bagi siswa laki-laki maupun siswa perempuan untuk aktif dalam berbagai kegiatan di dalam dan di luar kelas. Dalam upaya mengimplementasikan pendidikan anti korupsi di sekolah dapat dipilih tiga strategi, yaitu strategi inklusif, strategi eksklusif dan strategi studi kasus (Suyanto, 2005: 43). Dengan mempertimbangkan kematangan berpikir dan emosional anak serta padatnya jam pelajaran, strategi inklusif dapat dipilih dengan cara menyisipkan nilai-nilai anti korupsi ke dalam sejumlah mata pelajaran terkait. Pendekatan eksklusif dapat digunakan untuk jenjang pendidikan menengah, yakni dengan cara memasukan pendidikan anti korupsi ke dalam kurikulum lokal (muatan lokal) atau melalui kegiatan ekstrakurikuler yang lebih bernuansakan kesiswaan. Penanaman pendidikan anti korupsi dalam pendidikan dasar memerlukan keteladanan dari berbagai pihak yang ada di sekolah tersebut, baik kepala sekolah, guru maupun karyawan. Melalui metode yang baik dan lingkungan sekolah yang senantiasa membangun kultur akademik yang positif, penanaman nilai-nilai antikorupsi dapat dilakukan pada anak usia SD secara maksimal, sehingga pada diri anak akan terbentuk kepribadian yang anti korupsi. PENUTUP Simpulan Pendidikan dasar mempunyai peranan penting dalam penanaman nilai-nilai antikorupsi pada anak, sebab dalam usia 7 sampai 12 tahun inilah anak dalam tahap perkembangan awal mengenal berbagai macam hal secara sistematis dan ilmiah. Pembiasaan-pembiasaan nilai antikorupsi dalam berbagai kegiatan di sekolah akan membentuk karakter anak untuk tidak berlaku korup. Hal inilah yang menjadi dasar pembentukan kepribadian anak di masa mendatang. Saran Saran yang dapat diberikan atas simpulan di atas adalah: perlunya keteladanan dari berbagai pihak seperti kepala sekolah, guru dan karyawan 193
mengenai pelaksanaan nilai-nilai anti korupsi dalam keseharian. Selain itu penciptaan lingkungan yang kondusif dan budaya akademik yang positif akan memaksimalkan penanaman nilai antikorupsi. DAFTAR PUSTAKA Handoyo, Eko. 2009. Pendidikan Anti Korupsi. Semarang: Widya Karya. Havighurst, Robert. J. 1961. Human Development and Education. New York: Loongmans Green and Co. Mulyana, Rahmat. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta Nasution, S. 1995. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Piaget, Jean. 1970. Science of Education and Psychology of The Child. New York: Wiley. Pusat Bahasa Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Suyanto, Totok. 2005. Pendidikan Anti Korupsi dan Pengembangan Budaya Sekolah. Dalam JPIS Nomor 23 Tahun XII Edisi Juli- Desember 2005. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Wibowo, Agus. 2013. Pendidikan Antikorupsi di Sekolah: Strategi Internalisasi Pendidikan Antikorupsi di Sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
194
PENCEGAHAN KORUPSI MELALUI BUDAYA Oleh Drs. Budiyanto, SH, M.Hum Abstrak Dari tahun ke tahun korupsi telah menjadi persoalan serius di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Di Indonesia korupsi sudah menjadi budaya yang dapat menjatuhkan sebuah rezim, menyengsarakan rakyat, dan menghancurkan suatu negara. Budaya korupsi akan menjadi cermin dari kepribadian bangsa yang bobrok dan dapat mengakibatkan rakyat semakin miskin karena kekayaankekayaan negara dicuri untuk kepentingan segelintir orang tanpa mempedulikan bahwa dengan tindakannya akan membuat sengsara berjuta-juta rakyat Indonesia. Budaya korupsi menjadi cermin dari kepribadian bangsa yang bobrok dan sungguh membuat negara ini miskin karena kekayaan-kekayaan negara dicuri untuk kepentingan segelintir orang tanpa mempedulikan bahwa dengan tindakannya akan membuat sengsara berjuta-juta rakyat ini. Untuk mengatasi masalah korupsi memang tugas berat, namun tidak mustahil tetap dilakukan. Dibutuhkan lintas aspek dan tinjauan untuk mengatasi, mencegah tindakan korupsi. Tidak saja dari segi aspek agama (tentu ini bukan hanya tugas para dai, mengingatkan bahwa korupsi, dan menyalahkan kekuasaan adalah tindakan tercela dalam agama), dibutuhkan juga penegakan hukum yang berat untuk menjerat para koruptor sehingga mereka jera, serta dibutuhkan norma sosial untuk memberikan rasa malu kepada pelaku koruptor bahwa mereka juga akan bernasib sama dengan pelaku terorisme. Salah satu upaya cara lain untuk pencegahan kasus korupsi adalah melalui budaya. Budaya yang dimaksud adalah melalui penghayatan dan penerapan kearifan lokal budaya jawa dalam kehidupan sehari-hari yang perlu untuk terus dipelajari dan dilestarikan. Kata Kunci: pencegahan, korupsi, budaya
PENDAHULUAN Kata “korupsi” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berarti penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Oleh sebab itu, perbuatan korupsi sesungguhnya selalu mengandung unsur “penyelewengan” atau dishonest (ketidak jujuran). Sedangkan sesuai dengan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), disebutkan bahwa “korupsi” adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang
195
mengatur tentang tindak pidana korupsi. Orang yang melakukan korupsi dinamakan koruptor. Praktik-praktik korupsi di Indonesia, sebenarnya telah berlangsung sejak era Orde Lama (sekitar tahun 1960-an) bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah melalui UU No. 24 Prp 1960 yang diikuti dengan dilaksanakannya “Operasi Budhi” dan Pembentukan Tim Pemberantas Korupsi berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 228 Tahun 1967 yang dipimpin oleh Jaksa Agung , belum membuahkan hasil nyata. Pada era Orde Baru, muncul UU No. 3 Tahun 1971 dengan “Operasi Tertib” yang dilakukan oleh Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkantib), namun sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, modus operandi korupsi semakin canggih dan rumit sehingga UU tersebut dinyatakan tidak mampu lagi untuk dilaksanakan. Selanjutnya untuk lebih memperkuat pelaksanaan pemberantasan korupsi, dikeluarkan kembali UU No. 31 Tahun 1999. Upaya-upaya hukum yang telah dilakukan oleh pemerintah sebenarnya sudah cukup banyak dan sistematis. Namun dirasakan sangat berat beban korupsi di Indonesia, yakni sejak akhir tahun 1997, saat negara mengalami krisis ekonomi dan moneter. Krisis demi krisis menyusul seperti krisis politik, sosial, kepemimpinan (turunnya Presiden Soeharto), dan kepercayaan yang pada akhirnya menjadi krisis multidimensi. Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru menurut antara lain ditegakkannya supremasi hukum dan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Tuntutan masyarakat tersebut selanjutnya dituangkan dalam Ketetapan MPR No. IV / MPR / 1999 dan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Kebudayaan Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. Kebudayaan merupakan pengetahuan manusia yang diyakini akan kebenarannya oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti serta menyelimuti perasaan-perasaan dan emosi-emosi manusia serta menjadi sumber bagi sistem penilaian sesuatu yang baik dan yang buruk, sesuatu yang berharga atau tidak, sesuatu yang bersih atau kotor, dan sebagainya. Hal ini bisa terjadi karena kebudayaan itu diselimuti oleh nilai-nilai moral, yang sumber dari nilainilai moral tersebut adalah pada pandangan hidup dan pada etos atau sistem etika yang dipunyai oleh setiap manusia (Geertz, 1973b).
196
Kebudayaan yang telah menjadi sistem pengetahuannya, secara terus menerus dan setiap saat bila ada rangsangan, digunakan untuk dapat memahami dan menginterpretasi berbagai gejala, peristiwa, dan benda-benda yang ada dalam lingkungannya sehingga kebudayaan yang dipunyainya itu juga dipunyai oleh para warga masyarakat di mana dia hidup. Karena, dalam kehidupan sosialnya dan dalam kehidupan sosial warga masyarakat tersebut, selalu mewujudkan berbagai kelakuan dan hasil kelakuan yang harus saling mereka pahami agar keteraturan sosial dan kelangsungan hidup mereka sebagai makhluk sosial dapat tetap mereka pertahankan. Adanya kebudayaan Jawa yang memiliki banyak makna dan tuturnasihat yang baik diharapkan mampu menjadi upaya untuk pencegahan korupsi yang ada di Indonesia ini. Dengan mempertimbangkan hal tersebut di atas, maka makalah ini kami beri judul Pencegahan Korupsi melalui Budaya. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah:
1. 2. 3.
Bagaimana budaya khususnya budaya Jawa di Indonesia? Bagaimana tindak korupsi di Indonesia? Bagaimana peran budaya dalam upaya pencegahan tindak korupsi?
PEMBAHASAN Budaya Jawa Di Indonesia Dalam pengalaman dan proses belajar manusia, sesungguhnya dia memperoleh serangkaian pengetahuan mengenai simbol-simbol. Simbol adalah segala sesuatu (benda, peristiwa, kelakuan atau tindakan manusia, ucapan) yang telah ditempeli sesuatu arti tertentu menurut kebudayaan yang bersangkutan. Simbol adalah komponen utama perwujudan kebudayaan karena setiap hal yang dilihat dan dialami oleh manusia itu sebenarnya diolah menjadi serangkaian simbol-simbol yang dimengerti oleh manusia. Sehingga Geertz (1966) menyatakan bahwa kebudayaan sebenarnya adalah suatu sistem pengetahuan yang mengorganisasi simbol-simbol. Dengan adanya simbolsimbol ini kebudayaan dapat dikembangkan karena sesuatu peristiwa atau benda dapat dipahami oleh sesama warga masyarakat hanya dengan menggunakan satu istilah saja. Dalam setiap kebudayaan, simbol-simbol yang ada itu cenderung untuk dibuat atau dimengerti oleh para warganya berdasarkan atas konsepkonsep yang mempunyai arti yang tetap dalam suatu jangka waktu tertentu. Dalam menggunakan simbol-simbol, seseorang biasanya selalu melakukannya berdasarkan aturan-aturan untuk membentuk, mengkombinasikan bermacammacam simbol, dan menginterpretasikan simbol-simbol yang dihadapi atau yang merangsangnya. Kalau serangkaian simbol-simbol itu dilihat sebagai bahasa, maka pengetahuan ini adalah tata bahasanya. Dalam antropologi 197
budaya, pengetahuan ini dinamakan kode kebudayaan. Peran kebudayaan Jawa yang banyak memberikan nasihat dapat menjadi sebuah upaya untuk mencegah korupsi sejak dini melalui pemahaman makna yang terkandung disetiap nasihat budaya jawa. Banyak nilai luhur budaya Indonesia, khususnya nilai luhur budaya Jawa yang sudah dimiliki, diterapkan dalam kehidupa masyarakat Jawa sejak dahulu. Nilai-nilai luhur tersebut adalah sebagai berikut. 1. Menang Tanpa Ngasorake "Guru muride dewe, murid guruning pribadi, pamulange sangsaraning sesami. Sugih tanpa bandha, nglurug tanpa bala, digdaya tanpa aji, menang tan ngasorake lan weh-weh tanpa kilangan ". Konsep ini berasal dari Dr. RM Sosro Kartono, yang juga dikenal sebagai guru spiritual Bung Karno dan adik kandung dari RA Kartini. Adapun makna dari konsep tersebut di atas adalah: Sugih tanpa bandha, nglurug tanpa bala, digdaya tanpa aji, menang tan ngasorake lan weh-weh tanpa kilangan. Apa yang sudah Tuhan YME berikan kepada kita sudah sedemikian besar, seperti halnya kesehatan, kepandaian, kebahagiaan, kewaspadaan, keluarga, sahabat dan lainnya, itulah kekayaan yang tak ternilai harganya. Kemenangan sejati adalah mengalahkan diri sendiri dengan cara mengendalikan diri dari segala lingkaran nafsu yang menyesatkan. Bertindaklah seperti seorang guru, walaupun setiap hari memberikan ilmu yang bermanfaat kepada anak muridnya, sang guru malah bertambah pintar. Dalam ajaran Islam, terdapat 4 (empat) nafsu manusia yang harus dikendalikan oleh rasa atau hati nurani, yaitu: 1. Aluamah, yaitu nafsu yang menyebabkan manusia mempunyai rasa lapar, haus,ngantuk, malas dan lainnya. 2. Amarah, yaitu nafsu yang menyebabkan manusia bisa marah, iri, dengki dan lainnya. 3. Mutmainah, yaitu nafsu yang menyebabkan manusia menjadi tamak, srakah, kikir, mementingkan diri sendiri dan lainnya. 4. Sopiah, yaitu nafsu yang menyebabkan manusia mempunyai sifat ingin memiliki, ingin senang, ingin indah, ingin enak dan lainnya. Nglurug tanpa bala, digdaya tanpa aji, menang tan ngasorake juga bisa diartikan untuk menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru. Karena itu, disarankan untuk selalu berpikir secara matang sebelum bertindak dan mengadakan evaluasi secara terus menerus. Secara inti terlihat adanya ajaran untuk selalu eling dengan melakukan kontrol dan kendali terhadap “sedulur papat” (nafsu manusia). Disamping itu, juga ada perintah untuk selalu membantu yang lemah. 198
2.
Eling Lan Waspada Kalimat “ eling lan waspada” sebenarnya berasal dari cuplikan Serat Kalatida yang ditulis oleh oleh pujangga kraton Surakarta Raden Ngabehi Ronggowarsito (15 Maret 1802 s/d 24 Desember 1873), tetapi ada juga yang mengatakan bahwa ini merupakan karya sastra dari Prabu Joyoboyo selaku raja di-Kediri (Anjar Any, 1989: 12). Adapun petikan Serat Kalatida yang dimaksud adalah sebagai berikut “..Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Milu edan nora tahan, Yen tan melu anglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun, Ndilalah karsa Allah, Begja-begjane kang lali, Luwih begja kang eling lawan waspada...” Terjemahan bebasnya adalah: “Hidup didalam jaman edan, memang repot. Akan mengikuti tidak sampai hati, tapi kalau tidak mengikuti geraknya jaman tidak akan mendapat apapun juga. Akhirnya dapat menderita kelaparan. Namun sudah menjadi kehendak Tuhan. Bagaimanapun juga, sebahagianya orang yang lupa, masih lebih bahagia orang yang senantiasa ingat dan waspada”. Kalimat “luwih begja kang eling lawan waspada” pada bait terakhir serat kalatida di atas, dapat diartikan sebagai: a. Sebagai makhluk Tuhan, kita diminta untuk senantiasa eling ataupun mengingat akan ajaran dan larangan Tuhan. Apa yang menjadi ajaran-Nya kita jalankan dengan sepenuh hati, dan disamping itu kita juga meninggalkan apa yang menjadi larangan Nya. Dengan perilaku yang selalu eling ataupun ingat tersebut, maka Tuhan akan memberikan pelbagai petunjuk tentang apa yang harus kita lakukan secara baik dan benar, dan inilah yang dimaksud dengan kalimat “luwih begja kang eling lawan waspada”. Petunjuk yang datang dari Tuhan bisa berujut adanya suatu pemikiran yang cerdas untuk mengatasi pelbagai kesulitan ataupun hambatan, keberanian ataupun ketabahan dalam menghadapi pelbagai cobaan, kedewasaan dalam berpikir, kesehatan yang prima, keluarga yang sejahtera dan bahagia dan masih banyak lagi. b. Sebagai makhluk sosial, kita diminta untuk bisa eling ataupun menempatkan diri terhadap sesama manusia. Karena selain bisa bertindak atas nama diri sendiri, kita juga merupakan bagian dari keluarga, bagian dari masyarakat, bagian dari suatu negara, dan bagian dari warga dunia. Dengan perilaku tersebut, kita akan menghargai hak dan kewajiban masingmasing orang. 3. Mencari Rejeki Untuk mencari rejeki, masyarakat Jawa menganjurkan agar “ojo sare sore-sore lan yen wungu ojo nganti kedisikan srengenge utowo manuk, tumindako sing jujur”. Tidur di atas jam 24.00 dan bangun sebelum terbit fajar merupakan saran yang utama, di samping itu juga ada anjuran agar berbuat jujur. 199
Tentunya banyak hal yang bisa kita perbuat dengan waktu yang sedemikian panjang. Selain dapat merenungkan tentang rencana dan pelaksanaan pekerjaan, kita juga dapat merenung tentang alam dan pencipta Nya. Apa yang sudah kita lakukan sepanjang hari, apakah ada yang salah dan harus dikoreksi ataukah ada yang harus ditingkatkan, bagaimana hubungan kita dengan sesama karyawan ataupun pelanggan, bagaimana dengan persoalanpersoalan yang belum dapat diselesaikan dan masih banyak lagi. Dalam kepenatan berpikir tentang pekerjaan, kita bisa beristirahat dengan mengingat akan kebesaran dan keagungan Tuhan. Bahwa Tuhan adalah maha segalagalanya; Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Suci, Maha Keslamatan, Maha Mengamankan, Maha Merawat, Maha Gagah, Maha Perkasa, Maha Besar, Maha Pencipta, Maha Pengampun, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Adil dan lainnya lagi. Dengan mengingat akan kebesaran-kebesaran Tuhan tersebut, maka hati dan pikiran akan menjadi sejuk dan kita kemudian bisa melanjutkan untuk merenung tentang rencana dan pelaksanaan pekerjaan. Semua konsep di atas merupakan konsep kebudayaan jawa yang banyak mengandung makna untuk menjadi pedoman kehidupan sehari-hari supaya korupsi yang meraja lela di negeri ini. Budaya Jawa mengandung banyak nasihat dan tutur /tatanan kehidupan yang mengajarkan kebaikan, kewaspadaan dan selalu eling kepaya yang Maha Kuasa sehingga setiap orang akan berfikir ulang untuk melakukan korupsi. Korupsi Di Indonesia Fenomena umum yang biasanya terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia ialah, proses modernisasi belum ditunjang oleh kemampuan sumber daya manusia pada lembaga-lembaga politik yang ada. Sementara di sisi lain, institusi-institusi politik yang ada juga masih lemah. Lemahnya lembagalembaga politik tersebut banyak disebabkan oleh mudahnya “oknum” lembaga tersebut dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan kelompok bisnis/ekonomi, sosial, keagamaan, kedaerahan, kesukuan, dan profesi serta kekuatan-kekuatan asing tertentu. Pada kehidupan masyarakat yang mengalami proses perubahan, selalu muncul kelompok-kelompok sosial baru yang ingin berpartisipasi dalam bidang politik, namun sesungguhnya banyak diantara mereka yang tidak mampu. Di lembaga-lembaga politik, mereka (politikus instan) sering hanya ingin memuaskan ambisi dan kepentingan pribadinya dengan dalih “kepentingan rakyat”. Oleh sebab itu, tidak jarang diantara mereka sering terjebak pada ambisi pribadi dan kepentingan kelompok tertentu. Sebagai akibatnya, terjadilah runtunan peristiwa sebagai berikut :
200
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Partai-partai politik sering inkonsisten, artinya apa yang diperjuangkan dan menjadi misinya sering berubah-ubah (pendirian dan ideologi) dan “mudah dibeli” sesuai dengan kepentingan politik saat itu. Munculnya “oknum” pemimpin yang lebih mengedepankan kepentingan pribadi daripada kepentingan umum, sehingga kesejahteraan umum mudah dikorbankan. Dengan demikian, lembaga-lembaga politik tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya, dan cenderung dimanipulir oleh oknumoknum pemimpinnya. Sebagai oknum pemimpin politik, partisipan dan kelompoknya, berlombalomba untuk mencapai “objek politik” dalam bentuk keuntungan materiil dengan mengabaikan kebutuhan rakyat banyak sehingga terjadi “kehampaan motivasi perjuangan”. Terjadilah erosi loyalitas kepada bangsa dan negara, karena lebih menonjolkan dorongan pemupukan harta kekayaan dan kekuasaan. Jadi, mulailah penampilan pola tingkah laku yang korup. Di masyarakat, mereka sebagai kelompok Orang-orang Kaya Baru (OKB, nouveaux riches) yang ingin mendapatkan status sosial dan kekuasaan politik yang seimbang dengan posisi ekonominya yang baru. Sumber kekuasaan dan ekonomi, mulai terkonsentrasi pada 1 / beberapa kelompok kecil yang melimpah sehingga kekayaan dan kesejahteraan yang ada terkonsentrasi pada yang menguasai sumber-sumber pendapatan dan tumpuk pemerintahan. Sedangkan derita dan kemiskinan tetap ada pada kelompok masyarakat besar (rakyat). Penggunaan lembaga-lembaga politik sebagai sarana untuk mencapai harta kekayaan itu mecakup pengertian adanya dwi-aliansi diantara bidang “politik” dengan sektor “ekonomi-bisnis”. Bahkan tidak jarang nilai-nilai politik dan lembaga-lembaga politik itu menjadi bawahan / subordinat dari nilai dan ambisi lembaga-lembaga ekonomi. Tujuan-tujuan politik yang prinsipil bukannya kesejahteraan dan kepentingan rakyat banyak, melainkan kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan. Pada umumnya, kesempatan korupsi akan lebih meningkat seiring dengan semakin meningkatnya jabatan dalam hierarki politik kekuasaan. Para legislator (pembuat UU) tingkat nasional pada umumnya relatif lebih korup daripada pejabat-pejabat lokal. Demikian juga untuk aparat birokrat tingkat atas, lebih memiliki kesempatan daripada pejabat-pejabat eselon di bawahnya.
Peran Budaya Dalam Upaya Pencegahan Tindak Korupsi Budaya korupsi akan menjadi cermin dari kepribadian bangsa yang bobrok dan sungguh membuat negara ini miskin karena kekayaan-kekayaan negara dicuri untuk kepentingan segelintir orang tanpa mempedulikan bahwa 201
dengan tindakannya akan membuat sengsara berjuta-juta rakyat ini. Tentu untuk mengatasi masalah korupsi ini adalah tugas berat namun tidak mustahil untuk dilakukan. Dibutuhkan lintas aspek dan tinjauan untuk mengatasi, mencegah tindakan korupsi. Tidak saja dari segi aspek agama (tentu ini bukan hanya tugas para dai, mengingatkan bahwa korupsi, dan menyalahkan kekuasaan adalah tindakan tercela dalam agama), dibutuhkan juga penegakan hukum yang berat untuk menjerat para koruptor sehingga mereka jera, serta dibutuhkan norma sosial untuk memberikan rasa malu kepada pelaku koruptor bahwa mereka juga akan bernasib sama dengan pelaku terorisme. Banyak sekali cara untuk mencegah korupsi, contohnya melalui penghayatan dan penerapan budaya Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal yang berupa kebudayaan perlu untuk terus dipelajari dan dilestarikan. Pada dasarnya tata kehidupan manusia sudah ada yang mengaturnya sesuai dengan adat dan kebiasaan dari masa sebelumnya. Korupsi menjadi sebuah ancaman yang dapat menjadi bumerang di negeri sendiri dan sayangnya pelaku korupsi merupakan warna negara Indonesia sendiri yang mereka kurang paham mengenai makna dari kehidupan dan budaya yang ada dari diri mereka luntur tergerus kebudayaan asing yang merugikan. PENUTUP Kebudayaan merupakan pengetahuan manusia yang diyakini akan kebenarannya oleh yang bersangkutan dan yang diselimuti serta menyelimuti perasaan-perasaan dan emosi-emosi manusia serta menjadi sumber bagi sistem penilaian sesuatu yang baik dan yang buruk, sesuatu yang berharga atau tidak, sesuatu yang bersih atau kotor, dan sebagainya. Hal ini bisa terjadi karena kebudayaan itu diselimuti oleh nilai-nilai moral, yang sumber dari nilai-nilai moral tersebut adalah pada pandangan hidup dan pada etos atau sistem etika yang dipunyai oleh setiap manusia. Dengan penerapan dan pembelajaran yang baik, budaya dapat mencegah tindak korupsi, karena kebudayaan menciptakan sejuta makna dan tata aturan hidup manusia. Guna mewujudkan negara yang bersih dari korupsi perlu adanya upaya yang nyata dengan menegakkan aturan hukum yang setinggi-tingginya serta menyimak lebih dalam lagi mengenai tata aturan hidup manusia yang menjadi kebudayaan untuk dijunjung tinggi karena pada hakikatnya kebudayaan menyimpan banyak nasihat yang baik DAFTAR PUSTAKA Teguh. 2009. Berantas Korupsi Birokrasi. Online (diakses 31 Maret 2014 pukul 18.14 WIB) http://staff.blog.ui.ac.id/teguh1/files/2009/05/berantas_kourpsi_birokrasi_tk_ 28_mei.pdf
202
Hendika. 2012. Mencegah dan Menghilangkan Budaya Korupsi. (Online, diakses 31 Maret 2014 pukul 19.00 WIB) http://hendikam.wordpress.com/2012/11/28/mencegah-dan-menghilangkanbudaya-korupsi/ Adib Achmadi. 2009. Pendekatan Budaya Dalam Pemberantasan Korupsi. ( Online diakses 31 Maret 2014 pukul 19.16WIB) http://www.transparansi.or.id/2009/05/pendekatan-budaya-dalampemberantasan-korupsi/ http://kuliah.dinus.ac.id/edi-nur/mbbi/bab3.html
203
TEMA -TEMA KORUPSI DALAM KARYA SASTRA KITA Kholid A. Harras Abstrak Karya sastra, dengan berbagai latar ideologi penulisnya, sesungguhnya telah sejak lama menyumbangkan energi perlawanan tegas terhadap perilaku busuk korupsi. Pada genre prosa, ada sejumlah karya prosa, baik novel maupun cerpen yang di dalamnya secara eksplisit mengusung tema korupsi. Antara lain novel Max Havelaar of de Koffieveillingen der Nederlandsche Handelmaatschappij atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda karangan Multatuli alias Eduard Douwes Dekker. Di awal-awal kemerdekaan kita sedikitnya ada dua novel yang isinya mengangkat tema korupsi. Pertama Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis. Di zaman Orde Baru, setidaknya ada dua novel karya sastrawan kita yang menganggkat tema korupsi, yakni Ladang Perminus karya Ramadhan K.H dan Orang-orang Proyek karya Ahmad Tohari. Lewat novel Ladang Perminus Ramadhan K.H dengan jeli mencoba membeberkan mega skandal korupsi yang terjadi di tubuh BUMN Migas kita (Pertamina) era tahun 1970-1980-an. Kata kunci: ideologi, korupsi, tema, karya sastra
PENDAHULUAN Julukan Indonesia merupakan surga bagi para koruptor, agaknya sudah tidak bisa disangkal lagi. Bak virus endemik, prilaku koruptif telah mewabah di setiap penjuru wilayah negeri dan menghinggapi semua kalangan maupun golongan: anggota DPR/DPRD, menteri, gubernur, bupati, polisi, jaksa, direktur bank, pengusaha, bahkan pada para guru/dosen serta ulama. Di lingkungan Kemendikbud, berbagai tindak korupsi juga begitu meraja. Menurut laporan ICW, hingga tahun 2009 penegak hukum telah mengusut 142 kasus korupsi di jajaran birokrasi pendidikan negeri ini, dan telah menetapkan 287 pelaku sebagai tersangka. Adapun total kerugian negara kurang lebih Rp 243,3 miliar rupiah. Masih menurut ICW, korupsi di lingkungan Kemendikbud yang telah ditindak masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan penyelewengan yang terjadi. Perilaku korupsi di institusi ini dilakukan secara bersama-sama alias berjamaah dalam berbagai jenjang, dari tingkat sekolah, dinas, sampai departemen. Guru, kepala sekolah, kepala dinas, dan seterusnya masuk dalam jaringan korupsi. Saking banyaknya prilaku korupsi yang dilakukan, konon telah menempatkan institusi tersebut sebagai penyumbang koruptor terbesar dibanding dengan institusi lainnya di negeri ini.
205
PEMBAHASAN Pendidikan Anti-Korupsi Walaupun jika dikaitkan dengan realitas saat ini terkesan paradoksal, namun banyak kalangan berharap dunia pendidikan atau sekolah ikut berperan mengatasi prilaku menyimpang dari birokrat yang menyengsarakan rakyat akibat korupsi ini. Caranya lewat penerapan Pendidikan Antikorupsi di setiap jenjang persekolahan negeri ini. Sejumlah dasar pertimbangan yang diajukan oleh para pendukung upaya memasukkan Pendidikan antikorupsi ke sekolah ini, selain pemberantasan korupsi mesti dilakukan secara integratif dan simultan, juga sudah saatnya dunia pendidikan kita disentuh oleh persoalan-persoalan riil yang berlangsung di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Ketika perilaku korupsi sudah demikian mengakar di berbagai lapis dan lini kehidupan masyarakat, sudah seharusnya para siswa didik yang kelak akan menjadi penentu masa depan negeri ini, diperkenalkan dengan masalah-masalah korupsi, untuk selanjutnya diajak bersama-sama memberikan sebuah pencitraan bahwa korupsi harus menjadi public enemy yang harus dihancurkan bersama. Para siswa didik perlu tahu betapa berbahayanya perilaku koprusi itu sehingga mereka diharapkan memiliki filter yang amat kuat untuk tidak tergoda melakukan tindakan-tindakan koruptif. Setelah cukup lama diwacanakan dan menjadi bahan perbincangan masyarakat, pada pertengah tahun 2010 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendibud), Mohammad Nuh, mentargetkan pendidikan Antikorupsi mulai diterapkan di persekolahan kita pada tahun ajaran 2011 lalu. Pendidikan Antikorupsi yang merupakan bagian dari pendidikan karakter ini diberikan pada semua jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Menurut Mendikbud, pelajaran pendidikan Antikorupsi tersebut tidak akan menjadi mata pelajaran yang akan menambah beban peserta didik karena akan dititipkan melalui berbagai mata pelajaran yang ada. Seperti oksigen, pendidikan antikorupsi ini akan bisa masuk dan merasuk ke setiap mata pelajaran, ke setiap pokok bahasan, dan mata pelajaran apa saja (Kompas,5/10/2010). Konon, sejak tahun yang lalu Kemendikbud bersama KPK sudah membentuk tim teknis untuk melakukan pembahasan dan uji coba serta membahas isi dari pendidikan antikorupsi yang sudah ada untuk selanjutya diintegrasikan ke dalam proses pembelajarannya: mulai bagaimana menyiapkan metodologinya, menyiapkan para guru yang akan menyampaikan materi anti korupsi ini, dan pelatihan para guru anti korupsi juga lebih diperkokoh lagi, sampai dengan bagaimana nanti cara mengevaluasinya.
206
Sastra dan Korupsi Sebagaimana dikemukakan di atas, pendidikan Antikorupsi yang rencananya akan mulai diterapkan pada semua jenjang pendidikan kita tersebut tidak akan menjadi mata pelajaran baru tetapi akan dititipkan melalui berbagai mata pelajaran yang ada, termasuk mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Masalah yang mungkin menggayuti pikiran rekan-rekan guru pengajar pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ialah, bagaimana modus dan kiat-kiat “memboncengkan” pesanan pendidikan antikorupsi ini pada pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia? Karya sastra, dengan berbagai latar ideologi penulisnya, sesungguhnya telah sejak lama menyumbangkan energi perlawanan tegas terhadap prilaku busuk korupsi. Berikut akan dipaparkan sejumlah karya sastra dari sastrawan kita yang isinya mengangkat tema-tema korupsi, baik langsung maupun tidak langsung. Harapannya semoga informasi ini bisa dijadikan pilihan oleh rekanrekan guru dalam menyukseskan misi pendidikan antikorupsi yang telah dicanangkan pemerintah. Pada genre prosa, ada sejumlah karya prosa, baik novel maupun cerpen yang di dalamnya secara eksplisit mengusung tema korupsi. Antara lain novel Max Havelaar of de Koffieveillingen der Nederlandsche Handelmaatschappij atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda karangan Multatuli alias Eduard Douwes Dekker. Novel yang telah ditulis hampir satu setengah abad lalu ini berkisah tentang penguasa yang korup, baik yang kulit putih maupun yang kulit coklat. Melalui karya novel ini para peserta didik akan mendapatkan penjelasan tentang latar belakang berbagai peristiwa ketidakadilan, prilaku koruptif para pejabat serta pemerasan dan penindasan terhadap rakyat yang terjadi pada era kolonial tersebut. Pada dua dasawarsa abad ke-20 Semaoen menerbitkan novel Hikayat Kadiroen. Dalam novel bergaya realisme-sosial yang diterbitkan tahun 1920 sebagai cerita bersambung dalam surat kabar Sinar Hindia dan diterbitkan sebagai buku oleh kantor PKI Semarang ini terdapat ide-ide dasar komunis tentang perlawanan terhadap kaum borjuis yang dianggap kental dengan prilaku koruptif. Hikayat Kadiroen ditulis oleh Semaoen untuk melawan rezim Belanda dan disita setelah tahun 1926/1927 karena buku tersebut dianggap sebagai kesusastraan bawah tanah (Siregar, 1964). Di awal-awal kemerdekaan kita sedikitnya ada dua novel yang isinya mengangkat tema korupsi. Pertama Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis. Novel ini pertama kali terbit pada tahun 1963 dalam bahasa Inggris berjudul Twilight in Jakarta Awalnya Twilight in Jakarta tidak diterbitkan di Indonesia sebab tidak mendapat izin pemerintahan Sukarno, karena itu diterbitkan di Singapura, lantas di Malaysia (1964). Baru bisa diterbitkan di Indonesia pada tahun 1970 oleh PT. Badan Penerbit Indonesia Raya, di tahun 1982 oleh Pustaka Jaya, dan tahun ini oleh Yayasan Obor Indonesia. Kedua, novel berjudul Korupsi karya Pramoedya 207
Ananta Toer. Novel ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1954 dan diterbitkan ulang tahun 2002 oleh Hasta Mitra. Pada kedua novel yang berlatar belakang rezim orde lama ini, isinya mengisahkan tentang penghidupan sosial politik di sebuah kota besar yang pada saat itu menjadi salah satu kota besar di asia yaitu Jakarta di mana di dalamya mengupas tentang bagaimana kesenjangan sosial antara kaum yang miskin dengan kaum yang kaya dan bagaimana praktekpraktek korupsi di kalangan para pejabat dan elit politik merajalela yang membuat suasana kehidupan politik kacau balau dengan ditandai jatuh bangunnya kabinet pemerintahan yang ada di Indonesia pada saat itu (tahun 1950-1960-an). Meskipun settingya sudah berbeda dengan situasi saat ini, tetapi bagaimana penggambaran prilaku korupsi oleh pejabat negeri ini masih sangat relevan jika dihubungkan dengan situasi masa sekarang. Di zaman Orde Baru, setidaknya ada dua novel karya sastrawan kita yang menganggkat tema korupsi, yakni Ladang Perminus karya Ramadhan K.H dan Orang-orang Proyek karya Ahmad Tohari. Lewat novel Ladang Perminus Ramadhan K.H dengan jeli mencoba membeberkan mega skandal korupsi yang terjadi di tubuh BUMN Migas kita (Pertamina) era tahun 1970-1980-an. Begitu luar biasanya korupsi yang terjadi di tubuh BUMN tersebut (melibatkan para petinggi Orba saat itu), sehigga menjadi pembicaraan masyarakat luas dan memunculkan berbagai reaksi dari banyak kalangan, termasuk demonstrasi mahasiswa dan memunculkan peristiwa Malari. Pada tahun 2009 novel Ladang Perminus pernah diadaptasi ke dalam bentuk drama oleh Wawan Sofwan. Kemudian dengan bekerjasama dengan sejumlah LSM, antara lain ICW, mereka melakukan road show pementasan drama tersebut ke sejumlah kota untuk ditonton oleh para pelajar kita. Pada novel Orang-Orang Proyek Ahmad Tohari mengisahkan seorang insiyur bernama Kabul yang merupakan mantan aktivis kampus dan memiliki idealisme yang tinggi ketika harus berhadapan dengan mafia birokrasi dan politik Orba saat dirinya mengerjakan pembuatan jembatan sungai Cibawor. Lewat novel ini Ahmad Tohari menghadirkan kisah ironis serta beban psikologis hubungan antara kejujuran dan kesungguhan dalam pembangunan sebuah proyek dengan keberpihakan kepada masyarakat miskin. Sedangkan di era reformasi novel yang secara gambling mengusung tema korupsi antara lain novel berjudul? 86? karya Okky Madasari. Lewat tokoh utama seorang perempuan muda bernama Arimbi yang merupakan pegawai rendah di sebuah kantor pengadilan, Okky mencoba menguakkan berbagai penyimpangan dan mafia kasus yang sedemikian mapan, sistematis, dan menggurita terjadi di dunia peradilan kita. Lewat ? 86', Okky, mencoba mengembalikan tradisi sastra sebagai perlawanan terhadap ketimpangan dalam masyarakat. Khususnya berkaitan dengan isu korupsi, Okky telah melanjutkan apa yang pernah “diperjuangkan” oleh para sastrawan pendahulunya. 208
Selain novel karangan sastrawan kita terdapat novel terjemahan yang mengangkat tema korupsi, yakni karya Tahar Ben Jelloun, novelis kelahiran Maroko peraih Hadiah Sastra Prix Gouncourt. Novel yang diberi judul Korupsi (judul aslinya L? Homme Rompu ) diterjemahkan oleh Okke K.S. Zaimar ini (cetakan pertama November 2010). Novel ini meskipun latarnya terjadi di Maroko, tetapi praktik-praktik korupsi yang diceritakan pada novel ini banyak sekali kemiripannya dengan apa yang terjadi di Indonesia. Lewat novel ini Tahar ben Jelloun menyuguhkan pemandangan pahit di hadapkan kita betapa laten-nya bahaya akibat prilaku koruptif yang terjadi dalam masyarakat. Untuk karya sastra berbentuk cerpen yang secara khusus mengusung tema korupsi, baik yang berupa antologi sendiri maupun antologi bersama, sejauh yang penulis ketahui belum ada yang secara khusus membukukannya. Cerpen-cerpen yang bertemakan korupsi pada umumnya banyak tersebar di berbagai media massa, baik Koran maupun majalah. Di antara para cerpenis kita yang banyak mengangkat tema korupsi pada cerpen-cerpennya antara lain Satyagraha Hoerip, Hamsad Rangkuti, Agus Noor Gus Tf, Joni Ariadinata dan cerpenis muda lainnya. Tema korupsi juga banyak diusung dalam cerpen-cerpen berbahasa daerah, khususnya bahasa sunda (Cerpon), antara lain pada carpon-carpon (carita pondok/cerita pendek) karya Ahmad Bakri. Pada genre puisi sesungguhnya sudah sangat banyak penyair kita yang mengangkat tema-tema korupsi dalam karya puisi mereka, baik yang dipublikasikan lewat media massa maupun yang sudah dibukukan dalam bentuk antologi. Hampir dipastikan para para penyair kita pernah mengangkat tema korupsi dalam puisi mereka, baik di kalangan penyair senior, seperti W.S.Rendra dan Taufiq Ismail, penyair yunior, seperti Agus R.Sarjono, Sony Farid Maulana, hingga penyair cilik seperti Abdurahman Faiz. Tentu saja dengan jumlah yang berbeda-beda. Namun di antara penyair kita yang secara khusus menulis dan menerbitkan kumpulan sajak yang secara eksplisit mengangkat tema korupsi yakni F.Rahardi “Catatan Harian sang Koruptor” (1985). Lewat kumpulan puisi ini F. Rahardi merangkum 48 sajak yang penuh dengan kritik sosial dan refleksi realitas kehidupan, khususnya korupsi. Sedangkan pada genre drama, sedikitnya ada sebuah naskah drama yang secara khusus mengusung tema korupsi, yakni naskah drama berjudul Nyonya dan Nyonya karya Motinggo Busye. Naskah dramanya ini konon pernah dipentaskan ketika Motinggo Busye masih tinggal di Yogyakarta, dan diterbitkan di Jakarta pada 1963. Naskah ini adalah naskah komedi, yang menceritakan tentang lika-liku kehidupan seorang koruptor bernama Tuan Tabrin. Tentu saja masih banyak daftar karya sastra lainnya (novel, cerpen, esai, puisi, drama) dan yang di dalamnya membicarakan, mengkritik maupun 209
secara tidak langsung menghipnotis pembacanya untuk memusuhi korupsi, baik langsung maupun tidak langsung. Selain di perpustakaan dan toko buku, karya-karya tersebut dengan relative mudah bisa dicari di dunia maya lewat internet. Salah satu situs yang mengoleksi karya sastra yang secara khusus mengusung tema korupsi yakni http://www.antikorupsi.org.
210