KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Analisis Pemikiran K. H. Husein Muhammad) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Munib Abadi NIM : 101044122110
KONSEN TRASI PERADILAN AGA MA PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1430 H/2009 M
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Analisis Pemikiran K. H. Husein Muhammad) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
Munib Abadi NIM: 101044122110
Di Bawah Bimbingan
DR. KH. A. Djuaini Syukri, Lc, MA NIP: 150 256 969
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1430 H/2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Analisis Pemikiran K. H. Husein Muhammad) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada Tanggal 12 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Ahwal Al Syakhshiyyah.
Jakarta, 22 Juni 2009 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN Ketua .)
: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA NIP. 19500306 197603 1001
(. . . . .
Sekretaris . .)
: Kamarusdiana, S.Ag., MH.
(. . . .
NIP. 150 285 972
Pembimbing : DR. KH. A. Djuaini Syukri, Lc., M.Ag. .)
(. . . . .
NIP. 150 256 969
Penguji I .)
: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA
(. . . . .
NIP. 19500306 197603 1001
Penguji II . .)
: Kamarusdiana, S.Ag., MH. NIP. 150 285 972
(. . . .
ِِِْْــِ ا ِ اْ ِ ا KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah `Azza wa Jalla yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, yang telah memberikan rahmat, kasih dan sayang-Nya, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Sang Teladan Nabi Muhammad saw. serta keluarga, sahabat dan para penerus perjuangan agama Islam. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa daمam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, baik secara moriil maupun materiil. Oleh karena itu, penulis mengucapkan amat sangat terima kasih kepada: 1.
Bapak Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum, beserta segenap jajarannya yang telah memberikan kesempatan,
baik
secara
edukatif
maupun
administratif,
sehingga
memperlancar terseleaikannya skripsi ini. 2.
Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., Ketua Program Studi Ahwal Al Syakhshiyah, dan juga Bapak Kamarusdiana, S.Ag., MH., Sekretaris Program Studi Ahwal Al Syakhshiyah, yang telah memberikan banyak kemudahan dalam segala administrasi perkuliahan.
3.
Bapak DR. KH. A. Djuaini Syukri Lc., M.Ag., sebagai pembimbing penulis, yang telah banyak membantu dalam meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
4.
Kedua penguji, Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag., MH., terima kasih atas segala kritik dan saran yang penulis anggap sebagai masukan guna membangun skripsi ini agar dapat lebih sempurna.
5.
Segenap dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah banyak memberikan wawasan, ilmu dan pengetahuan kepada penulis, dan mudah-mudahan penulis bisa mengamalkannya dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.
6.
Pimpinan Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah beserta segenap jajarannya, juga Pimpinan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum dan segenap jajarannya. Terima kasih telah memberikan kesempatan, bantuan serta fasilitas kepada penulis untuk mengadakan studi kepustakaan.
7.
Keluarga Besar Bapak K. H. Husein Muhammad, beserta segenap jajaran Staff LSM Rahima Jakarta dan Fahmina Institute Cirebon, khususnya kepada Ibu Ulfa, dan Juga teman-teman saya (Ali Sufroni, Edi Hayat, dan Nur Rohman) yang telah meminjamkan buku-buku referensi, karena dengan bantuan beliaubeliaulah penulis dapat melengkapi segala referensi skripsi ini, baik itu berupa buku-buku, Jurnal, artikel dan data yang lainnya.
8.
Teruntuk kedua orang tua penulis, Ayahanda Modrik dan Ibunda Isnanurida, untuk segala doa, kasih, sayang, keikhlasan dan ketabahan dalam mengasuh dan mendidik, yang selalu penulis rasakan hingga saat ini. Untuk Adinda Lailatul Mubarokah. Juga untuk adik-adikku: Laila Fitrotin dan M. Syaiful Mujab, dan juga saudara-saudaraku, M. Akib, M. Rizal, Mufti Abid, dan Rikha Farikha. Terima kasih untuk semua keakraban, perhatian, keceriaan, kenyamanan, kebersamaan, kedamaian yang kalian berikan. Akhirnya, mohon maaf penulis sampaikan untuk semua pihak yang tidak
tersebutkan. Dan hanya sepucuk doa yang bisa penulis panjatkan: “Semoga Allah membalas segala jasa yang kalian berikan dengan kebaikan yang lebih banyak, Amin..”. Terima Kasih
Jakarta, 20 Juni 2009
Penulis
BAB I PENDAHULUAN A. A. Latar Belakang Masalah Sejarah telah mencatat bahwa perempuan selalu berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dalam relasinya dengan laki-laki. Mereka hanya dijadikan sebagai pelengkap dan bahkan menjadi korban, dianggap makhluk Tuhan kelas dua (second class) dan sering dianggap budak. Di kalangan elit bangsa Yunani kuno, misalnya, perempuan ditempatkan sebagai mahkluk tahanan yang disekap di istana. Kalangan bawahnya pun memperlakukan
perempuan
sebagai
barang
dagangan
yang
bisa
diperjualbelikan. Bila sudah menikah, para suami berkuasa penuh terhadap istrinya. Peradaban Romawi menempatkan perempuan sepenuhnya berada dibawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan suami. sangat mutlak, termasuk kewenangan untuk menjual, mengusir menganiaya dan membunuh.1 Fakta pahit tersebut terus berlangsung sampai abad ke 6 Masehi. Hampir di setiap tempat dan waktu mengisyaratkan demikian. Masyarakat pra-abad ke 7 Masehi sering menjadikan perempuan sebagai sesajen bagi para Dewa. Hak hidup perempuan yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya: isteri harus dibakar hidup-hidup pada saat suami
1
Amiruddin Arani (ed.), Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan; Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda, (Jakarta: Rahima, 2002), h. 103
dibakar. Sedangkan dalam masyarkat Cina terdapat petuah-petuah kuno yang tidak memanusiakan perempuan. Ajaran Yahudi menganggap perempuan sebagai sumber laknat karena ia yang menyebabkan Adam terusir dari surga. Ayah berhak menjual anak perempuan kalau ia tidak memiliki anak laki-laki. Dalam tradisi Nasrani pun nasib perempuan sangat menyedihkan. Dalam Konsili yang diadakan pada Abad ke 5 Masehi dinyatakan bahwa perempauan tidak memiliki ruh yang suci. Pada abad ke 6 Masehi sebuah Konsili menyimpulkan bahwa perempuan adalah manusia yang diciptakan semata-mata untuk melayani laki-laki. Dalam tradisi Arab Jahiliyah menghalalkan dibunuhnya seorang bayi karena ia terlahir sebagai perempuan.2 Ilustrasi yang memilukan di atas mengambarkan kepada kita betapa perempuan selalu menjadi korban kekerasan. Secara umum, kekerasan terhadap perempuan bisa diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, yaitu kekerasan fisik dan kekerasan psikologis. Kekerasan fisik adalah segala perbuatan yang menyebabkan rasa sakit, cedera, luka atau cacat pada tubuh atau anggota badan, dan atau menyebabkan kematian, baik menggunakan alat atau tanpa alat. Sedangkan kekerasan psikologis adalah setiap perbuatan atau ucapan yang mengakibatkan ketakutan atau hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan
2
Arani (ed.), Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan; h. 103
perasaan tidak berdaya pada korban. Selain itu, perempuan bisa saja mendapat kekerasan fisik dan psikologis dalam waktu yang bersamaan.3 Di dalam deklarasi tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan pada bulan Desember 1993 dikatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah perwujudan ketimpangan historis dari hubungan-hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang telah mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap kaum perempuan oleh kaum laki-laki dan hambatan bagi kemajuan terhadap mereka. Selanjutnya, dikatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan salah satu mekanisme sosial yang krusial, yang mendorong perempuan dalam posisi subordinat dibanding dengan laki-laki.4 Selain itu, kekerasan perempuan bisa diklasifikasi berdasarkan tempat kejadian, yaitu di dalam rumah tangga, masyarakat, negara, tempat kerja, politik, dan kekerasan berbasis pandangan agama.5 Penyebab kekerasan terhadap perempuan adalah budaya yang patriarkhis dan pandangan agama yang bias jender yang tidak adil terhadap perempuan. Kekerasan yang pertama berakar pada budaya dan kekerasan terakhir muncul karena penafsiran yang tidak adil terhadap perempuan dalam menganalisa ajaran-ajaran agama. Dalam kehidupan
3
Faishol Adib dan Farid Muttaqin, Panduan untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan Berbasis Pesantren, (Jakarta: PUAN Amal Hayati, 2005) h. 12 4
Nathalie Collmann, Kekerasan Terhadap Perempuan (Program Seri Lokakarya Kesehatan Perempuan), Jakarta, YLKI & The Ford Foundation, 1998, h. 8 5
Adib dan Muttaqin, Panduan untuk Pendamping Perempuan, h. 13-19
masyarakat, biasanya terjadi karena persetubuhan antara keduanya yang kadang sulit diidentifikasi. Dalam masyarakat muslim hal serupa tidak bisa dihindari, dianggap seseuatu yang alamiah bahkan oleh perempuan sendiri. Sampai saat ini kekerasaan terhadap perempuan masih terus terjadi. Bahkan dari hari ke hari semakin meningkat, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Para pelakunya pun semakin beragam, mulai dari pemimpin di tempat kerja, orang yang baru dikenal, tokoh agama, bahkan suami atau ayah yang menjadi keluarga terdekat. Lalu pertanyaannya sekarang apakah semua ini benar-benar yang dianjurkan Islam? Agama Islam menjamin hak-hak perempuan dan memberikan perhatian serta kedudukan terhormat kepada perempuan. Hal ini tidak pernah dilakukan oleh agama atau syari’at sebelumnya. Bahkan ajaran tersebut telah mendahului peradaban Barat. 6 Secara batinniyah, Islam adalah agama keadilan dan anti-kekerasan. Paling tidak, pesan demikian yang yang terlihat dari rumusan-rumusan para ulama mengenai tujuan mengapa agama diturunkan oleh Tuhan kepada umat manusia (maqashid al-syari’ah) di mana agenda utamanya adalah menekankan persoalan jaminan keadilan bagi kemaslahatan umat manusia. Misalnya al-Syatibi menyatakan bahwa mengapa syari’ah
6
H. M. Atho Mudzhar, dkk (ed.), Wanita dalam Masyarakat Indonesia; Akses Pemberdayaan dan Kesempatan, (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2001) h. 37
diturunkan kepada manusia adalah karena menciptakan kemaslahatan yang isinya lima jenis perlindungan; perlindungan terhadap agama, akal, jiwa, jiwa (kehidupan), harta, dan keturunan. Apabila kita lihat dari tujuan syari’ah (maqhasid al-syari’ah) versi al-Syatibi di atas, maka unsur keadilan adalah hal yang paling menonjol dari ajaran Islam.7 Kalau kita teliti lebih dalam, al-Quran, sebagai sumber hukum umat Islam terdapat ayat-ayat yang berbicara hubungan antara laki-laki dan perempuan. Uslub (gaya bahasa) yang digunakanpun beragam; ada yang menyuruh berbuat baik terhadap perempuan, ada yang melarang praktikpraktik yang merugikan perempuan; ada yang digunakan sebagai langkah preventif untuk melindungi perempuan dari tindak kekerasan, ada juga yang dinyatakan sebagai langkah kuratif terhadap praktik kekerasan yang dialami perempuan. Ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan misalnya, QS al-Nisaa: 19, QS al-Baqarah: 232, QS alBaqarah: 228, QS al-Baqarah: 231, QS al-Nisaa: 34-35, QS al-Nisaa:129, QS al-Thalaq : 6, QS an-Nur: 33. Dari ayat-ayat tersebut, dapat kita ketahui ada banyak persoalan kekerasan
terhadap
perempuan
yang
disinggung
oleh
al-Qur’an.
Menyangkut kekerasan fisik dan seksual, al-Qur’an berbicara mengenai pemukulan terhadap isteri yang nusyuz, ishlah (rekonsiliasi) sebagai solusi, larangan mengeksploitasi perempuan untuk menjadi pekerja seks, dan larangan melakukan pelecehan-pelecehan seksual. Menyangkut persoalan
7 Din Wahid dan Jamhari Makruf (editor), Agama Politik Global dan Hak-hak Perempuan, (Jakarta; PPIM UIN Jakarta, 2007) h. 25
kekerasan psikis, al-Qur’an berbicara tentang larangan melakukan adhal dan memperlakukan perempuan sebagai benda warisan, larangan menyianyiakan istri dan mantan istri. Sementara menyangkut masalah kekerasan ekonomi, al-Qur’an dengan tegas memberikan perempuan hak pemilikan dan pengaturan harta.8 Apa yang dikemukakan al-Qur’an memang tidak mencakup seluruh persoalan kekerasan terhadap perempuan. Namun demikian, sebagai sebuah kitab suci, banyaknya ayat yang berbicara mengenai kekerasan terhadap perempuan sudah cukup menjadi bukti bahwa Islam sangat memberikan perhatian terhadap upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.9 Jika nilai-nilai luhur al-Quran di atas berbanding terbalik dengan kondisi yang terjadi di masyarakat muslim, maka hal ini bukan disebabkan oleh
Islam
tetapi
karena
ajaran
dan
bimbingan
Islam
tidak
diimplementasikan dalam tataran praksis.10 Secara umum, perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender
inequalities).
Namun
pada
kenyataannya
perbedaan
gender
telah
melahirkan berbagai ketidakadilan terutama bagi kaum perempuan. Ketidakadilan gender dapat dilihat melalui berbagai manifestasi seperti
8
Arani (ed.), Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan, h. 105-106
9
Ibid, h. 103
10
Atho Mudzhar (ed.), Wanita dalam Masyarakat Indonesia, h. 38.
marginalisasi, subordinasi, pembentukan setreotip (pelabelan), kekerasan maupun intimidasi11. Ketidakadilan yang mengakibatkan kekerasan terhadap perempuan, pada dasarnya merupakan refleksi dari ketidakadilan yang terstruktur yang dikonstruk oleh pembacaan yang kurang konstektualisasi terhadap teks (al-Qur’an dan Hadist), yang sesungguhnya teks tersebut justru menjunjung tinggi harkat martabat perempuan dalam kehidupan sosial. Surat An-Nisaa’ ayat 34. Ayat ini merupakan legitimasi yuridis tentang posisi laki-laki (suami) dalam keluarga sebagai pemimpin yang mempunyai otoritas untuk memimpin. Ayat ini juga memberikan pembenaran kepada suaminya untuk mengambil langkah-langkah tertentu ketika seorang isteri membangkang antara lain suami boleh memukul dalam kerangka edukasi agar tidak membangkang. Meskipun ayat tersebut memang melahirkan banyak
penafsiran
di
kalangan
ulama,
tetapi
mayoritas
ulama
menempatkan hak memukul sebagai bagian tindak kekerasan adalah hak yang dimiliki oleh suami dan oleh karenanya sah dilakukan12. Ada sejumlah kemungkinan yang menyebabkan mengapa terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan dalam konteks keagamaan.
Pertama,
terjadi
keagamaan.
kekeliruan
dalam
menginterpretasikan
teks-teks
Kedua, cara penafsiran teks yang dilakukan secara
11
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), Cet. VII, h. 12 12
Al- Jasshas, Ahkam al-Qur’an, Juz 3 (Beirut: Daar al-Ihya al Turats al Arabi, tt), h. 148. Lihat pula, al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz 5 (Kairo Mesir: Daar al-Sya’bi, tt), h. 12. Lihat pula, As-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz 1 (Beirut: Daar al-Fikr, ttp), h. 371
partikulatif; penafsiran secara sepotong-potong, tidak utuh. Ketiga, boleh jadi karena didasarkan pada hadis-hadis yang lemah dan palsu. Dua yang pertama dari kemungkinan-kemungkinan ini pada akhirnya bermuara pada satu hal, yaitu cara penafsiran tidak menempatkan teks-teks itu pada
setting sosio-kultural dimana dan kapan ia diturunkan. Sedangkan kemungkinan terakhir merupakan cara penafsiran dengan memanipulasi hadis-hadis Nabi untuk kepentingan-kepentingan tertentu.13 Menyikapi persoalan-persoalan di atas, penulis terkesan akan pemikiran seorang yang bergelar K. H. yang berasal dari Cirebon. Beliau adalah K H. Husein Muhammad. Dari gelarnya, kita bisa menyimpulkan bahwa dia berasal dari kalangan pesantren. Pemikirannya dianggap keluar dari mainstream kalangan pesantren yang selalu dianggap tradisional. Gagasan
Husein
persinggungannya
tentang
dengan
perempuan
masalah
HAM
tidak
seperti
terlepas keadilan
dari sosial,
kesetaraan dan demokrasi yang menghargai keragaman pemikiran.14 Untuk mengaplikasikannya dalam dunia pesantren, dicarilah landasanlandasannya dalam ajaran Islam, terutama tradisi Islam klasik atau yang biasa disebut kitab kuning, yang sering diajarkan di dalam pesantren.15
13
Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2004) h. 225 14
M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005) h. 151. 15
Ibid, h. 152
Menurut Jalaludin Rahmat, ada tiga strategi yang dilakukan oleh para pemikir perempuan untuk membongkar pembacaan bias jender.
Pertama, merujuk kembali pada ayat-ayat al-Quran untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan yang telah terjadi. Kedua, dengan merujuk ayat-ayat yang menekankan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Ketiga, mendekonstruksi atau membaca ulang ayat-ayat yang selama ini dijadikan legitimasi untuk ketidakadilan jender.16 Pada posisi inilah pemikiran Husein. Perbedaannya dengan feminis-feminis yang lain adalah wilayah garapannya, yaitu wilayah agama, khususnya pesantren.
B. Pembatasan Pembatasan dan Perumusan Pe rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Masih banyaknya kekerasan yang dialami perempuan dalam berbagai hal. Misalnya, data kekerasan dalam rumah tangga yang dikumpulkan oleh LSM Women Crisis Centre (WWC) bahwa di Jakarta (1997-2002) telah diterima pengaduan sebanyak 879 kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang pelakunya adalah suami korban mencapai 74%. Sedangkan data dari Rifka Anisa Yogyakarta sejak Tahun 1994-2000 menerima pengaduan sebanyak 994 kasus KDRT (suami terhadap
isteri).
Kemudian
Menteri
Pemberdayaan
Perempuan
RI
menegaskan bahwa 11% dari 217.000.000 jiwa penduduk Indonesia atau
16
Jalaluddin Rahmat (Dalam Pengantar Buku) Kiai Husein Membela Perempuan, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005) h. x-xi
sekitar 24.000.000 perempuan terutama di pedesaan mengaku pernak mengalami KDRT.17 Di luar data tersebut, ada banyak data lain yang mengarah kita pada kesimpulan
bahwa
keadaan
perempuan
di
Indonesia
memang
memprihatinkan. Terdapat banyak kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, baik di luar maupun dalam rumah tangga. Tindak kekerasan terhadap perempuan di luar rumah tangga, bisa berbentuk pelecehan seksual ringan seperti godaan dan komentar usil ketika perempuan memasuki ruang publik, hingga berskala berat dalam bentuk perkosaan. Sementara kekerasan yang dialami perempuan dalam rumah tangga, bisa mengambil dari berbagai bentuk. Mulai dari penyisihan perempuan dalam pengambil keputusan dalam keluarga.18 Padahal, telah lahir berbagai instrumen yuridis sebagai bagian dari kebijakan pemerintah, yaitu dengan dikeluarkannya UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004, dalam hal ini untuk menciptakan tatanan masyarakat yang menghormati hak asasi manusia (HAM) dan juga perlindungan kaum perempuan dari berbagai perlakuan diskriminatif dan praktek kekerasan.19 Akan tetapi, undang-undang tersebut seolah tidak mampu menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan.
17
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2006) Cet. I, h 4
18
Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 307 19
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, h. 5.
Fakta di atas disebabkan oleh banyak hal. Salah satunya disebabkan oleh pemahaman keagamaan atau teks-teks suci (ayat-ayat al-Quran dan hadis) yang dijadikan pembenaran untuk melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan. Ayat-ayat itu begitu populer di kalangan masyarakat. Akibatnya, ayat-ayat itu dijadikan sumber kesimpulan bahwa posisi perempuan dalam masyarakat Islam memang sebagai “kelas kedua”. Akan terlalu panjang jika semuanya diungkapkan dalam penyusunan tulisan ini. Untuk itu, penulis akan membatasi kajian kekerasan terhadap perempuan dalam analisis pemikiran K.H. Husein Muhammad pada wilayah berikut ini: 1. Kekerasan terhadap perempuan dalam perspektif hukum Islam. 2. Pelecehan seksual dalam konteks rumah tangga 3. Kepemimpinan dalam relasi laki-laki dan perempuan
2. Perumusan Masalah Upaya kesetaraan gender dan penghapusan kekerasan perlu dilakukan dengan reinterpretasi dan redefinisi sejumlah pemahaman keagamaan yang mensyaratkan sejumlah langkah metodologis agar teksteks keagamaan tersebut menjadi hidup dan memiliki relevansi dengan ruang kontemporer tanpa harus kehilangan makna transendesinya. Agar
fokus
kajian
ini
dapat
terjaga
dengan
baik,
penulis
merumuskan permasalahan pokok yang akan dijawab dalam skripsi ini sebagai berikut;
1. Bagaimana pandangan Islam tentang kekerasan? 2. Bagaimana pemikiran hukum tentang kekerasan terhadap perempuan menurut K. H. Husein Muhammad? 3. Apa Signifikansi pemikiran K. H. Husein Muhammad dalam konteks keIndonesia-an?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian skripsi ini bertujuan untuk: 1.
Mengetahui awal dari bentuk kekerasan perempuan, kaitannya dengan hukum Islam, yang didalamnya al-Qur’an Hadist dan para pendapat ulama.
2.
Bagaimana strategi yang digunakan K. H. Husein Muhammad dalam memasukkan isu-isu kesetaraan gender dan upayanya dalam meminimalisir tindak kekerasan yang dialami perempuan.
3.
Mengetahui bentuk teks-teks keagamaan yang dijadikan basis pembenaran dalam melakukan kekerasan terhadap perempuan
4.
Memperoleh penafsiran ayat yang berkeadilan dan tidak misoginis.
5.
Mengetahui
siasat
yang
digunakan
untuk
memberdayakan
perempuan dan mensosialisasikan kesetaraan gender ke kelompok masyarakat mendapat hambatan dan tantangan. 6.
Untuk memperoleh bentuk relasi suami isteri yang harmonis dan serasi berdasarkan hak dan kewajiban.
Penelitian skripsi ini bermanfaat bagi: 1. Terwujudnya kesadaran bahwa agama bukan penghalang kemajuan perempuan. 2. Terciptanya keluarga atau rumah tangga yang sakinah, mawwaddah
wa rahmah berlandaskan ajaran agama yang benar tanpa ada tindak kekerasan dalam rumah tangga. 3. Kajian perempuan untuk mewujudkan kesetaraan gender di komunitas pesantren sangat penting guna memberi kontribusi kepada
berbagai
kelompok gerakan
sosial,
seperti gerakan
pemberdayaan ekonomi masyarakat, gerakan penghijauan, dan lainnya untuk melakukan perubahan di komunitas pesantren khususnya dan komunitas keagamaan secara umum.
D. Metode Penelitian D. 1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah pendekatan kualitatif, yaitu pendekatan yang mengutamakan pandangan peneliti terhadap fenomena sosial yang diteliti. Dalam pendekatan kualitatif, hubungan antara peneliti dengan objek yang diteliti bersifat interaktif dan tidak dapat dipisahkan. Karena itu peneliti melakukan interaksi atau komunikasi yang intensif dengan pihak yang diteliti, termasuk di dalamnya peneliti harus mampu memahami
dan mengembangkan kategori-kategori, pola-pola dan analisa terhadap prosesproses sosial yang terjadi di tengah masyarakat yang diteliti20. Penggunaan pendekatan kualitatif ini didasarkan pada pertimbangan bahwa; Pertama, gejala (fenomena) yang hendak diteliti adalah gejala yang dinamis, yaitu kekerasan yang dialami perempuan. Kekerasan terhadap perempuan terus mengalami perubahan seiring terjadinya perubahan sosial di masyarakat secara umum dan adanya berbagai tantangan yang dihadapi di lapangan, baik berupa bentuk, pelaku maupun korban dari kekerasan. Perubahan sosial dan berbagai tantangan itu menuntut kajian perempuan selalu kreatif agar tujuan yang diharapkan terealisasi. Dengan demikian tidak mungkin melakukan kuantifikasi (pengukuran) yang bersifat matematis terhadap kekerasan perempuan. Kedua, subject matter (materi) dalam penelitian ini menyangkut proses dari suatu tindakan yang ditunjukkan oleh gejala-gejala berupa pemikiran, ucapan dan tindakan yang dilakukan oleh anggota suatu komunitas masyarakat yang mengakibatkan tindak kekerasan terhadap perempuan21. D. 2. Sumber Data
20
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003), h. 16.
21
Keterangan lebih lanjut mengenai pertimbangan digunakannya penedekatan kualitatif dalam sebuah penelitian, baca: Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. Ke 8, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), h. 5.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri dari data primer dan data sekunder, yakni : a. Data Primer Sumber data primer dalam penelitian skripsi ini, karena merupakan penelitian kualitatif, adalah pernyataan dan tindakan berbagai pihak yang terkait dengan kekerasan terhadap perempuan perspektif hukum Islam dalam pemikiran K. H. Husein Muhammad. Data primer ini akan diperoleh dengan cara membaca karya-karya K. H. Husein Muhammad secara mendalam, yaitu berupa buku, tulisan karya ilmiah (artikel), hasil ceramah, dan jurnal. Dengan cara ini
diharapkan
penelitian
ini
akan
mampu
merekam
menginvestigasi secara mendalam pergulatan pemikiran
dan K. H.
Husein Muhammad tentang kekerasan perempuan, dan menyiasati berbagai tantangan yang dihadapi. b. Data Sekunder Data sekunder adalah berbagai dokumen yang berkaitan dengan pemikiran ulama klasik maupun kontemporer tentang kekerasan perempuan
dalam
konteks
keagamaan
secara
khusus,
dan
pengertian kekerasan terhadap perempuan secara umum, yang didapat dari bahan-bahan pustaka berupa buku, artikel ilmiah, berita-berita di media massa, dan lainnya.22 D. 3. Teknik Analisis dan Pengumpulan Data
22
J. Moleong, Metodologi Penelitian, h. 112-116.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
metode
deskriptif
analitis,
yakni
mengkaji
secara
teoritis
kekerasan terhadap perempuan dalam konteks keagamaan kemudian menganalisanya dengan berbagai pendekatan. Untuk
memperoleh
data
yang
diperlukan,
maka
penyusun
menggunakan beberapa metode pengumpulan yaitu observasi23 berupa pengamatan yang terlibat langsung dan berkecimpung pada objek penelitian yang akan diteliti. Dalam proses mengumpulkan data ini akan digunakan perspektif feminis, yaitu perspektif yang mengajak untuk melihat, mendengar, dan berinteraksi dengan kajian-kajian perempuan. Segala peristiwa yang dialami
perempuan
dan
cara
pandangnya
diapresiasi
secara
proporsional24. D. 4. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan penulisan skripsi di sini adalah studi pemikiran, yaitu studi terhadap pemikiran seseorang atau penafsiran sesorang mengenai teks-teks keagamaan (al-Qur’an dan Hadist). Karena itu, penyajiannya adalah secara deskriptif-analitis25. Dalam hal ini peneliti berusaha memberikan gambaran secara sistematis dan komprehensif 23
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 2000), Jilid I, h.151.
24
Untuk mengetahui perspektif feminis dalam penelitian social, baca: Reinharz, Shulamit, Metode-metode Feminis dalam Penelitian Sosial, Penerj. Lisabona Rahman dan J. Bambang Agung, (Jakarta: Women Reseach Institute, 2005), h. 3-4. 25
Consuelo G. Sevilla, dkk., Pengantar Metode Penelitian, Penerj. Alimuddin Tuwu, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 71-74.
mengenai kekerasan terhadap perempuan perspektif hukum Islam dalam studi analisis pemikiran K. H. Husein Muhammad dan konteks yang mengitarinya. Gambaran kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan yang komprehensif itu, kemudian akan dianalisis mengenai strategi dan siasat yang digunakan untuk mengatasi berbagai hambatan dan tantangan dalam rangka
mewujudkan
kesetaraan
gender
di
kalangan
komunitas
masyarakat. Metodologi dalam sebuah penelitian merupakan hal yang harus dipegang untuk mencapai hasil yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metodologi dibutuhkan agar penelitian yang dilakukan terlaksana dengan teratur sesuai dengan prosedur keilmuan yang berlaku.
E. Kerangka Teori Cara membaca yang akan penulis pakai atas K. H. Husein Muhammad sebagai kerangka teori yang digunakan, pretensi yang diajukan terlebih dahulu adalah kerangka teori yang disusun bukanlah mematok bahwa proses penelitian (dari pengumpulan analisis hingga perumusan kesimpulan) harus sesuai dengan kerangka ini. Karena yang digunakan pendekatan kualitatif, maka sangat mungkin kerangka kerangka teori ini hanyalah panduan relatif, dan sangat tergantung dari dinamika data yang diperoleh di lapangan.
Untuk mencegah berbagai tindak kekerasan terhadap perempuan dalam konteks keagamaan, diperlukan upaya ke arah reinterpretasi dan redefinisi yang mensyaratkan sejumlah langkah metodologis agar teks-teks keagamaan tersebut menjadi hidup dan memiliki relevansi dengan ruang kontemporer tanpa harus kehilangan makna transendesinya. Misalnya dengan cara; menjadikan tujuan-tujuan syari’ah (maqashid al syar’ah) sebagai basis utama penafsiran (takwil), melakukan analisis terhadap aspek sosio-historis atas kasus-kasus yang ada dalam teks, melakukan analisis bahasa dan konteksnya, melakukan identifikasi aspek kausalitas dalam teks sebagai jalan ke pemikiran analogis untuk kebutuhan konteks sosial baru, melakukan analisis kritis terhadap sumber transmisi hadits dan kritik matannya26.
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang digunakan dalam skripsi ini akan dibagi dalam 5 (lima) bab yang terinci sebagai berikut: BAB I : Berisi tentang latar belakang masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metodologi
penelitian,
kerangka teori, dan sistematika
penulisan.
26
Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 187-188
BAB II : Berisikan tentang riwayat hidup K. H. Husein Muhammad latar belakang pendidikan, perjuangannya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dalam dunia pesantren dan karyanya BAB III : Menjelaskan tentang Islam dan kekerasan terhadap perempuan, meliputi;
relasi
laki-laki
dan
perempuan
dalam
Islam,
pengertian
kekerasan, bentuk-bentuk kekerasan, serta pelaku-pelaku kekerasan. BAB IV : Berisi tentang kekerasan terhadap perempuan menurut K. H. Husein Muhammad dan metodologi hukum kekerasan, serta apresiasi dan kritik terhadap pemikiran K. H. Husein Muhammad dan analisis penulis. BAB V : Penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran.
BAB II BIOGRAFI K. H. HUSEIN MUHAMMAD
A. Sosok K. H. Husein Muhammad Husein Muhammad dilahirkan di Cirebon, tepatnya di lingkungan Pondok Pesantren Dar at-Tauhid Arjawinangun pada Tanggal 9 Mei 1953. Ibunya bernama Ummu Salma Syathori, anak seorang pendiri pondok pesantren Dar At-tauhid yaitu, K. H Syathori. Sedangkan bapaknya bernama Muhammad Asyrofuddin dari keluarga biasa yang berpendidikan pesantren.27 Suami dari Nihayah Fuad Amin ini telah dikarunia lima orang anak, Hilya Auliya (lahir: 1991), Layali Hilwa (lahir 1992), Muhammad Fayyaz Mumtaz (lahir 1994), Najla Hammadah (lahir 2002) Fazla Muhammad (lahir: 2003).28 Sehari-hari Husein Muhammad aktif di berbagai kegiatan dan organisasi sosial; pondok pesantren, masjid, ormas NU, persaudaraan haji, partai politik (PKB), yayasan pendidikan, sosial dan sejumlah NGO,
27
M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005) Cet. I, h. 110 28
http://fahmina.or.id/id/content/view/441/85/
terutama Rahima, Puan Amal Hayati dan Fahmina. Dia juga aktif menulis di media lokal dan nasional dan di forum-forum internasional.29 Selain
menulis
dan
menerjemahkan,
Husein
juga
memiliki
pengalaman organisasi dan aktivitas yang sangat panjang, mulai dari aktivis kampus ketika masih menjadi mahasiswa di PTIQ Jakarta, sampai menjadi direktur dibeberapa LSM Perempuan, kepala sekolah dan juga aktivis partai politik. Ia juga salah satu wakil ketua DPRD Kabupaten Cirebon. Diantara aktivitas organisasi K.H. Husein Muhammad sebagai berikut:
•
Ketua I Dewan Mahasiswa PTIQ Tahun 1978-1979
•
Ketua I Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama Kairo Mesir Tahun 1982-1983
•
Sekretaris Perhimpunan Pelajar dan Mahasiswa Kairo Mesir Tahun 1982-1983
•
Pendiri Fahmina Institute Cirebon
•
Anggota Dewan Syuro DPP PKB Tahun 2001-2005
•
Ketua Dewan Tanfidz PKB Kabupaten Cirebon Tahun 1999-2000
•
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Cirebon 1999-Sekarang
•
Ketua Umum Yayasan Wali Sanga Tahun 1996-Sekarang
•
Ketua I Yayasan Pesantren Dar At-Tauhid Tahun 1984-Sekarang
•
Wakil Rais Syuriah NU Cabang Kabupaten Cirebon Tahun 1989-2001
29
http://fahmina.or.id/id/content/view/441/85/
•
Kepala Sekolah Madrasah Aliah Nusantara Arjawinangun Tahun 1989-Sekarang
•
Kepala SMU Ma’arif Arjawinangun Tahun 2001
•
Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Arjawinangun Cirebon Tahun 1996-Sekarang30
•
Pengasuh Pondok Pesantren Dar al Tauhid Arjawinangun
•
Wakil Ketua Pengurus Yayasan Puan amal Hayati, Jakarta, 1999sekarang
•
Pendiri/Direktur Pengembangan Wacana LSM RAHIMA, Jakarta, 2000-sekarang
•
Pemimpin Umum/Penanggungjawab dwi bulanan “Swara Rahima”, Jakarta, 2001
•
Dewan Redaksi Jurnal Dwi bulanan “Puan Amal Hayati”, Jakarta, 2001
•
Penanggungjawab Buletin Mingguan “Warkah al Basyar”, Fahmina Institute, Cirebon, 2003.
•
Penanggungjawab Newsletter Dwi Bulanan “Masalih al Ra’iyyah”, Fahmina Institute,Cirebon, 2003.
•
Konsultan Yayasan Balqis untuk Hak-Hak Perempuan, Cirebon, 2002.
•
Pendiri LSM Puan Amal Hayati Cirebon, 2001-sekarang
•
Anggota Pengurus Associate Yayasan Desantara Jakarta th. 2002 – sekarang
30
M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan…h. 122-123
•
Anggota National Broad of International Center for Islam and Pluralisme, (ICIP) Jakarta, 2003.
•
Tim Pakar Indonesian Forum of Parliamentarians on Population and Development, 2003.
•
Anggota Pengurus Associate The Wahid Institute Jakarta, 200431
B. Pendidikan dan Perjuangan Kesetaraan Jender K. H. Husein Muhammad
Husein sejak kecil sudah akrab dengan dunia ilmiah, mulai dari pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang mengkaji wacanawacana fiqh, tauhid, tasawuf dan lain-lain. Dia belajar membaca al-Qur’an pada K. Mahmud Toha, dan kepada kakeknya sendiri (K.H. Syathori) di pondok pesantren Dar At-Tauhid. Pesantren ini memiliki memiliki sejarah yang panjang dan memiliki perbedaan diantara pesantren-pesantren lain di Cirebon. Menurut Husein, pesantren Dar At-Tauhid ini sudah sejak lama memilki cara berfikir dan bersikap sangat moderat. Hal tersebut ditunjukkan ketika kakeknya mempelopori dan merumuskan pendidikan pesantren secara modern pada masa itu. Diantaranya, yaitu dengan menggunakan papan tulis, kelas-kelas dan bangku-bangku. Padahal di pesantren lain hal seperti itu dianggap masih terlarang. Jadi, sejak awal
31
http://fahmina.or.id/id/content/view/441/85/
pesantren dimana Husein hidup sudah memberi ruang pada hal-hal yang berbeda dan mendorong kemajuan.32 Di samping belajar di madrasah (sekolah) diniyah (agama), beliau juga belajar di SD dan selesai pada tahun 1966, kemudian beliau melanjutkan di SMPN 1 Arjawinangun Cirebon dan selesai tahun 1969, ketika di SMPN beliau mulai aktif dalam organisasi sekolah bersama temantemannya.33 Setelah tamat SMPN, Husein Muhammad kemudian melanjutkan belajar ke Ponpes Lirboyo Kediri selama tiga (3) tahun dan kemudian selesai pada tahun 1973. Selama jadi santri di Ponpes Lirboyo Kediri, Pesantren Lirboyo ini adalah pesantren yang masih tradisonal (salaf). Husein relatif berbeda dengan santri-santri yang lain. Ketika ada kesempatan-kesempatan tertentu beliau mencari koran untuk dibaca, bahkan sempat menulis dalam koran lokal, baik dalam bentuk puisi, ataupun cerita orang-orang besar. Sayangnya tulisan-tulisan tersebut tidak didokumentasikan.34 Setelah mengenyam pendidikan di Ponpes Lirboyo di Kediri Jawa Timur, Husein kemudian melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta. Perguruan tinggi yang mengkhususkan kajian tentang Al-Quran dan Mewajibkan mahasiswanya untuk hafal alQur’an. Selama di PTIQ Husein sangat aktif dalam berbagai kegiatan
32
M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan…h. 111
33
Ibid, h. 111
34
Ibid, h. 112.
mahasiswa, baik ekstra maupun intra kampus. Husein bersama temantemannya mempelopori adanya majalah dinding dalam kampus dalam bentuk tulisan reportase. Keakraban Husein dengan junalistik ini diawali dengan pendidikan jurnalistik oleh Mustofa Hilmy yang pernah menjadi redaktur Tempo. Pendidikan jurnalistik dan pengalaman membuat majalah dinding ini memberikan Husein kemampuan menulis dengan cukup baik.35 Di PTIQ ini Husein menghabiskan studinya selama lima tahun, yaitu sampai tahun 1980.36
Pada tahun itu juga dia berangkat ke Kairo,
Mesir, untuk melanjutkan kuliah di Al Azhar University. Dengan alasan ijazah sarjananya belum disamakan, maka ia tidak bisa menjadi mahasiswa di Universitas tersebut. Akhirnya, Husein Muhammad belajar pada sejumlah syaikh (guru besar) di Majma’ al-Buhuts al Islamiyah milik Universitas milik al-Azhar, secara formal di institusi ini, belajar di Dirasat Khashshah (Arabic special Studies), dari sini Husein Muhammad
bergumul
dengan
pemikir-pemikir
Islam
modern
yang
dikembangkan Muhammad Abduh, Ali Abdurr Raziq, Thaha Husein, Rifa’ah, dan Muhammad Iqbal, bahkan, Husein berkenalan dengan pemikir-pemikir Barat seperti, Sartre, Goethe, Nietzshe, Albert Camus, dan lain-lain. Menurut Husein, Kairo memang lebih terbuka dalam bidang pengetahuan dibandingkan negara-negara Timur Tengah lainnya. Meski begitu, dia juga melihat bahwa, sistem pendidikan di Al-Azhar masih sangat tradisional, dan para mahasiswanya banyak yang tidak belajar.
35
Ibid, h. 113.
36
Ibid, h. 112.
Sepulang dari Mesir, Husein langsung ditawari untuk mengajar di PTIQ, namun ia menolak dan lebih memilih pulang ke pesantren untuk mengembangkan pesantren kakeknya, yaitu Dar At-Tauhid. Alasannya, karena pesantren sedang membutuhkan pengembangan, dan keterlibatan Husein sangat diperlukan. Setibanya di pesantren, Husein langsung memimpin Madrasah Aliyah (SMU) yang dalam keadaan kurang baik, bahkan hampir dibubarkan, kemudian ia berusaha memperbaiki dan mengembangkannya. Di samping mengelola pesantren dan sekolah, Husein mulai bersinggungan dengan ide-ide kesetaraan jender yang didasari oleh persoalan HAM. Keterlibatan pertamanya dimulai oleh ajakan Masdar Farid Mas’udi,37
yang
ketika
itu
sebagai
direktur
P3M
(Perhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat). Masdar selalu mengundang Husein untuk mengikuti seminar atau halaqah. Pada tahun 1993, Husein diundang dalam seminar tentang “Perempuan dalam Pandangan Agama-
Agama”. Sejak itu Husein mengetahui ada masalah besar mengenai perempuan.
Dalam kurun waktu yang panjang.
Kaum perempuan
mengalami penindasan dan sering dieksploitasi. Salah satu contoh Husein dalam melakukan pembelaan terhadap perempuan adalah dalam hal hak-hak perempuan dalam wilayah politik,
37
Masdar F. Mas’udi lahir dusun Jombor, Cipete, Cilongok, Purwokerto, tahun 1954. lulusan jurusan Tafsir-Hadits di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,. Saat ini, kegiatan sehari-harinya selain sebagai Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) juga sebagai Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta, Anggota Dewan Etik ICW (Indonesian Corruption Wacth) dan Komisi Ombudsman Nasional (KON) serta membina pesantren Al-Bayan, di kampung Cikiwul, Pancoran Mas, Cibadak, Sukabumi. Sumber: www.masdarmasudi.com
yang berkaitan dengan masalah kepemimpinan perempuan. Dalam kasus tersebut, menurut Husein, Dalam persoalan politik dan kemasyarakatan yang paling diperlukan adalah kemaslahatan, dan cara-cara tersebut pada akhirnya yang dapat mengantarkan masyarakat pada kehidupan yang menjamin kemaslahatan dan menjuhkan dari kerusakan atau kebinasaan meskipun cara-cara itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. dan tidak ada aturan dalam wahyu Tuhan. Jadi tidak ada persoalan perbedaan jenis kelamin dalam hal tersebut, yang paling penting diperlukan kemampuan (skill) dan kejujuran dalam hal memimpin.38 Sikap pembelaan Husein terhadap perempuan juga diwujudkan dengan membuat atau mendorong perempuan untuk terlibat dalam organisasi-organisasi sosial dan politik. Bebrapa organisasi atau LSM perempuan yang dibuat oleh Husein adalah Puan Amal Hayati Cirebon di Ponpes Dar At-Tauhid, Fahmina Institute Cirebon, WCC Balqis Cirebon, KPPI Cirebon. Sedangkan dalam mendorong aktivis perempuan pesantren, Husein selalu berada di belakang dan menjadi penasehat organisasi massa perempuan misalnya, Fatayat NU dan Muslimat NU. Untuk melihat konsistensi gagasan Husein tentang pembelaan terhadap perempuan, bisa diperhatikan beberapa tulisan Husein tentang perempuan, salah satunya dalam makalah yang disampaikan pada tahun 1995 yaitu: “Hak Reproduksi Perempuan Menurut Islam” di situ disebutkan bahwa:
38
“Relasi
seksual
suami-isteri
adalah
kemitraan
dan bukan
Nuruzzaman dkk, dalam Pengantar editor buku, Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2004) Cet. I, h. XLV-XLVII
kekuasaan. Dalam arti lain, hak perempuan haruslah dipandang sama dengan hak laki-laki. Seorang isteri dapat menuntut kenikmatan seksual dari suami, seperti juga sebaliknya.”39 Sejauh ini, Pembelaan terhadap perempuan menurut Husein adalah sangat strategis bagi pembangunan manusia, dia mengatakan bahwa, “Banyak orang beranggapan bahwa masalah penindasan perempuan adalah
masalah
yang
tidak
besar.
Padahal
masalah
perempuan
(ketidakadilan dan sub-ordinasi perempuan) adalah masalah besar, karena perempuan adalah bagian dari manusia, juga bagian dari jenis manusia dan ketika perempuan di nomor dua, maka ini sebenarnya adalah masalah besar bagi kemanusiaan. Perjuangan Husein dalam persoalan persoalan perempuan ini diapresiasi Andree Feillard, seorang Indonesianis asal Prancis. Dia menuturkan bahwa Husein, selalu berusaha mencari makna esensial yang tertanam dalam satu ayat atau hadis menyangkut persoalan jender. Dan yang paling berani adalah pandangannya soal kepemimpinan perempuan dalam shalat. Selain itu, Rais Syuriah PBNU, KH A Sahal Mahfudh pernah
mengatakan: “Sebagai seorang yang memiliki latar belakang tradisi kitab kuning cukup kuat. Kiai Husein mampu membaca dan memetakan berbagai ketimpangan hubungan laki-laki dan perempuan melalui berbagai ragam referensi secara teliti dan kritis,”40
39
Husein Muhammad, Hak Reproduksi Perempuan Menurut Islam, Makalah Pelatihan untuk Pelatih dalam program penguatan hak-hak kesehatan perempuan dikalangan masyarakat Islam, yang diselenggarakan P3M di Yogyakarta pada bulan Agustus 1995. 40
http.thewahidinstitute.com
C. KaryaKarya-karya
Karya Tulis Ilmiah yang pernah dipublikasikan:
•
“Metodologi Kajian Kitab Kuning” dalam Marzuki Wahid (ed.), Pesantren Masa Depan, Pustaka Hidayah, Bandung 1999.
•
Fiqh Perempuan; Refleksi Kiyai atas Wacana Agama dan Gender, LKIS, Yoyakarta, 2001.
•
Ta’liq wa Takhrij Syarh Uqud al Lujain, bersama Forum Kajian Kitab Kuning, Jakarta, LKIS, Yogyakarta, 2001.
•
Gender di Pesantren (Pesantren and The Issue of Gender Relation), dalam majalah Kultur (The Indonesian Journal for Muslim Cultures), Center for Languages and Cultures, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2002.
•
“Tradisi Istinbath Hukum NU: Sebuah Kritik” dalam M. Imaduddin Rahmat (ed.), Kritik Nalar Fiqh NU: Transformasi Paradigma Bahtsul Masa’il, LAKPESDAM, Jakarta, 2002.
•
“Kelemahan
dan
Fitnah
Perempuan”
dalam
buku
“Tubuh,
Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan: Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda”, editor Moqsith Ghazali, Penerbit Rahima-FF-LKIS, Yogyakarta, 2002. •
“Kebudayaan yang Timpang”, dalam K.M. Ikhsanudin, dkk., Panduan Pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren, YKF-FF, Yogyakarta, 2002.
•
Islam Agama Ramah Perempuan, Pembelaan Kiyai Pesantren, LkiS, Yogyakarta, 2004.
•
Kembang Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab ‘Uqud alLujjayn, FK-3 bekerjasama dengan KOMPAS, Jakarta, 2005.
•
“Pemikir Fiqh yang Arif” dalam KH. MA. Sahal Mahfudh, Wajah Baru Fiqh Pesantren, Citra Pustaka, Jakarta, 2004.
•
“Potret Penindasan atas Nama Hasrat” dalam Soffa Ihsan, In the Name of Sex: Santri, Dunia Kelamin, dan Kitab Kuning, JP Books, Surabaya, 2004.
•
“Counter Legal Draft: Merespon Realitas Sosial Baru” dalam Ridwan, M.Ag, Kontroversi Counter Legal Draft: Ikhtiar Pembaruan Hukum Keluarga Islam, PSW Purwokerto kerjasama dengan Unggun Religi, Yogyakarta, 2005.
•
Islam Progressif: Refleksi Kritis Kiai Pesantren terhadap Wacana Kemanusiaan, Pustaka Rihlah Group, Yogyakarta, 2005 [segera terbit]. dll
Karya Terjemahan :
•
Khuthab al Jumu’ah wa al ‘Idain, Lajnah min Kibar Ulama al Azhar ( Wasiat Taqwa Ulama-ulama Besar Al Azhar), Cairo, penerbit Bulan Bintang, 1985.
•
Al Syari’ah al Islamiyah bain al Mujaddidin wa al Muhadditsin, (Hukum Islam antara Modernis dan Tradisionalis, DR. Faruq Abu Zaid, Penerbit P3M, Jakarta, 1986.
•
Mawathin al Ijtihad fi al Syari’ah al Islamiyah (Syeikh Muhammad al Madani), Al Taqlid wa al Talfiq fi al Fiqh al Islamy (Sayid Mu’in al Din), al Ijtihad wa al Taqlid baina al Dhawabith al Syar’iyah wa al hayah al Mu’ashirah (Dr. Yusuf al Qardhawi) (Dasar-Dasar Pemikiran Hukum Islam), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987.
•
Kasyifah al Saja, Penerbit Bandung, 1992.
•
Thabaqat al Ushuliyyin (Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah), Syeikh Mushthafa al Maraghi, Penerbit LKPSM, Yogyakarta, 2001.
•
Wajah Baru Kitab Syarh Uqud al Lujain, LKIS, Yogyakarta, 2001. Karya bersama Forum Kajian Kitab Kuning, Jakarta.41
41
http://fahmina.or.id/id/content/view/441/85/
BAB III KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
A. Pengertian Kekerasan Perbincangan mengenai aksi kekerasan oleh publik pada umumnya tertuju pada kekerasan yang bersifat instan dan sensasional yang biasanya digembar-gemborkan serta diblow-up oleh media massa, misalnya perampokan
bank,
pembajakan
pesawat
terbang,
penculikan
penganiayaan dan pembunuhan. Masyarakat pada umunya tidak melihat dan memperhatikan gagasan perlunya melakukan penyelidikan lebih mendalam untuk mengurai apa penyebab dibalik aksi-aksi kekerasan tersebut. Pentingnya identifikasi melacak akar permasalahan dibalik aksi kekerasan adalah dalam rangka mencari model pencarian solusi alternatif untuk mengeliminir tindakan kekerasan itu sendiri secara sistemik dan efektif.42 Istilah
kekerasan
biasanya
digunakan
untuk
mengambarkan
perilaku baik yang terbuka (overt) atau (covert), dan yang baik bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive) yang disertai dengan penggunaan kekuatan kepada orang lain. Menurut Mansour Fakih, kekerasan atau violence tidak hanya diartikan sebagai serangan fisik saja, tetapi juga diartikan sebagai suatu
42
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2006) Cet. I, h. 57
serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integrasi mental psikologis seseorang.43 Tindak kekerasan atau violence pada dasarnya merupakan suatu konsep yang makna dan isinya sangat tergantung kepada masyarakat sendiri, seperti yang dikatakan Michael Levi. Bahkan Jerome Skolnick mengatakan tindak kekerasan merupakan “…an ambiguous term whose
meaning is established through political process”. Alan Weiner, Zahn dan Sagi mencoba merumuskan unsur-unsur kekerasan sebagai berikut: “…the treat, attempt, or use of physical force
by one or more persons that results in physical harm to one or more other person…”44 Salah satu pihak yang paling sering menjadi korban dalam masyarakat itu adalah perempuan. Di sini penulis sebutkan beberapa arti dan makna kekerasan terhadap perempuan, antara lain: 1. Kekerasan
terhadap
perempuan
adalah
setiap
tindakan
yang
melanggar, menghambat, meniadakan kenikmatan dan pengabaian hak asasi perempuan atas dasar jender. Tindakan tersebut mengakibatkan kerugian dan penderitaan terhadap perempuan dalam hidupnya baik fisik, psikis maupun seksual. Termasuk didalamnya ancaman paksaan,
43
Mansour Fakih, Kekerasan Gender dalam Pembangunan, ditulis dalam buku Kekerasan
dalam Perspektif Pesantren, (editor) Ahmad Suaedy, (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 78 44
Neil Alan Weiner dkk, Violence: Patterns Causes, Public Policy, (New York: Harcourt
Brace Jovanovich, 1990), h. 23
atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik dalam kehidupan individu, keluarga, bermasyarakat maupun bernegara.45 2. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan jenis kelamin yang mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis. Termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik dalam kehidupan publik maupun kehidupan pribadi.46 3. Kekerasan terhadap perempuan adalah sebuah tindakan sosial, dimana pelakunya
harus
mempertanggungjawabkan
tindakannya
kepada
masyarakat.47 4. Kekerasan terhadap perempuan adalah perilaku yang muncul sebagai akibat adanya bayangan tentang peran identitas berdasarkan jenis kelamin, dan berkaitan dengan bayangan mengenai kekuasaan yang dapat dimilikinya.48 Luasnya makna kekerasan yang diberikan dalam rumusan ini merupakan refleksi dari pengakuan atas realitas sosial terhadap kekerasan
45
Kantor Menteri Negara PP. RAN PKTP, Tahun 2001-2004
46
Istilah Kekerasan tersebut tercantum dalam Pasal 2 Deklarasi PBB No. GA Res 48/ 104 Tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan pada tanggal 20 Desember 1993 yang kami kutip dari Buku, Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender, (Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 2004) Cet.I, h. 64-65 47
Lee Ann Hoff, Violence Issues; An Interdisciplinary Curriculum for Health Profesional, (Canada; Health Services Derectorate Health, 1994) h. 5-9 48
Zaitunah Subhan, Kekerasan Terhadap Perempuan, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), Cet. II, h. 7
terhadap perempuan yang terjadi selama ini di seluruh dunia. Pelakunya pun dari berbagai kalangan bisa dikenal bisa pula yang tidak dikenal.
B. PelakuPelaku-Pelaku Kekerasan Terhadap Perempuan Pelaku kekerasan terhadap perempuan pada kenyataannya tidak terbatas pada usia, tingkat pendidikan, agama, status sosial-ekonomi, suku, kondisi psikopatologi, maupun hal-hal lain. Mereka dapat berasal dari berbagai latar belakang, tetapi memang umumnya adalah laki-laki yang sudah dikenal atau tidak.49 Ada dua kecenderungan pelaku melakukan tindak kekerasan nonseksual terhadap perempuan, pertama, adanya pandangan bahwa perempuan merupakan makhluk yang lemah sehingga mudah ditaklukkan dan dijadikan tindak kekerasan. Kecenderungan ini tampak pada kasus penipuan, pemaksaan untuk menyerahkan barang, diskriminasi ditempat kerja, dieksploitasi dalam pekerjaan, diculik, serta dianiaya secara fisik. Kedua, adanya semanacam harapan mengenai perempuan ideal, baik
mengenai
kondisi,
perilaku,
maupun
mengenai
kemampuan.
Perempuan diharapkan berprilaku yang baik, pandai menyenangkan suami,
49
Achie Sudiarti Luhulima Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya (Jakarta: Pusat Kajian Wanita dan Gender UI, 2000), h. 29
setia dan tidak agresif. Selain itu, perempuan juga diharapkan untuk menikah pada usia tertentu, mempunyai anak, pandai memasak, pandai menjaga penampilan, serta menjaga keharmonisan keluarga.50
C. BentukBentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan Seperti yang sudah dipaparkan di atas, secara umum, kekerasan terhadap perempuan diklasifikasikan dalam dua bentuk, yaitu; kekerasan fisik dan kekerasan psikologis. Seorang perempuan bisa mengalami kekerasan fisik atau psikologis, atau bisa juga mengalami kedua bentuk kekerasan itu secara bersama. Pengertian klasifikasi tersebut yaitu:
Pertama kekerasan fisik, adalah segala perbuatan yang menyebabkan rasa sakit, cedera, luka atau cacat pada tubuh atau anggota badan, dan atau menyebabkan kematian, baik dilakukan dengan menggunakan alat atau tanpa alat. Kedua, kekerasan psikologis adalah setiap perbuatan atau ucapan yang mengakibatkan ketakutan atau hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan perasaan tidak berdaya pada korban.51 Selain itu, bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan bisa diklasifikasi berdasarkan tempat (locus) kejadian. Berdasarkan kriteria ini 50
Anna Marie Wattie (ed), Tembok Tradisi dan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan, (Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, 2002), Cet. I, h.74-75 51
Faishol Adib dan Farid Muttaqin, Panduan untuk Pendamping Perempuan KorbanKekerasan Berbasis Pesantren, (Jakarta: PUAN Amal Hayati, 2005) h. 12-13
bisa diidentifikasi antara lain: Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan di dalam masyarakat, kekerasan oleh negara, kekerasan di tempat kerja, dan kekerasan dalam politik.52 a) Kekerasan dalam rumah tangga Kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan domestik, pada prinsipnya terdiri dari tiga jenis yaitu; intimate violence, private violence, dan family
violence. Intimate violence dan private violence, terjadi antara suami-isteri atau pasang-pasangan. sedangkan violence family, terjadi pada anggota keluarga secara keseluruhan.53
Bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi
dalam rumah tangga (KDRT) adalah berupa tindakan, antara lain:
•
Mendorong, menampar, memukul, menendang, mencekik, memiting, dan menjambak rambut
•
Menusuk dengan garpu, menyentuh kulit dengan rokok, menyengat dengan aliran listrik, dan mlempar dengan keras.
•
Tidak memberi nafkah baik lahir maupun batin padahal suami memiliki kemampuan.
•
Menghina, membentak, mencaci, merendahkan, dan mengancam.
•
Perkosaan terhadap istri (marital rape), incest, dan child abuse.
•
Pelecahan seksual.
•
Perusakan dan penyerangan alat kelamin dan alat reproduksi.
h.10
52
Ibid, h. 13
53
Anna Marie Wattie (ed), Tembok Tradisi dan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan..,
•
Pembunuhan54
b) Kekerasan dalam masyarakat Kekerasan terhadap perempuan dalam mesyarakat adalah kekerasan yang dialami kaum perempuan dalam hubungan sosial-kemasyarakatan sebagai seorang anggota masyarakat. Bentuk-bentuknya antara lain:
•
Tidak memberikan kesempatan untuk berkumpul dan berorganisasi
•
Perkosaan
•
Pelecahan seksual
•
Pornografi
•
Peniadaan sumber daya ekonomi
•
Perdagangan perempuan (women trafficking) untuk dipekerjakan atau dilacurkan.55
c) Kekerasan dalam Negara Negara juga dapat menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan, yaitu
yang
disebut
dengan
start violence against women. Yang
bertanggung jawab dalam kekerasan terhadap perempuan oleh negara adalah para pengambil kebijaksanaan (decision maker) dan para aparatnya yang secara langsung ataupun tidak langsung melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan. Tindak kekerasan terhadap perempuan oleh negara antara lain56 berbentuk: Pertama, tindakan-tindakan yang menjadi sumber kekerasan
54
Faishol Adib dan Farid Muttaqin, Panduan untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan Berbasis Pesantren, h. 13-14 55
Ibid, h. 15
terhadap
perempuan
dan
tindakan-tidakan
yang
menjadi
potensi
penegasan (pembenar) kekerasan terhadap perempuan.
Kedua,
mengabaikan
dan
membiarkan
terjadinya
kekerasan
terhadap perempuan yang terjadi dalam masyarakat. Masih kuat anggapan pada sebagian besar aparat negara bahwa sekarang ini tidak ada kekerasan terhadap perempuan. Mereka juga tidak bersedia melakukan upaya-upaya yang dapat melindungi kaum perempuan dari berbagai tindak kekerasan. Bahkan, jika terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan, negara belum bersedia melakukan berbagai kebijakan yang dapat menyelesaikan persoalan tersebut secara adil terhadap perempuan korban. Misalnya kasus dimana banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual dan perkosaan misal, namun tidak ada tindakan negara yang signifikan untuk menyelesaikan persolan ini. Kekerasan dan ketidakadilan yang dialami para perempuan buruh migrant juga sering tidak mendapat perhatian yang serius dari negara, sehingga bisa disebut telah terjadi kekerasan terhadap perempuan oleh negara.
Ketiga, negara secara langsung melakukan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Didaerah-daerah yang memberlakukan operasi militer, banyak melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, psikologis, maupun seksual. Bahkan tidak sedikit kekerasan terhadap perempuan di daerah-daerah konflik bersenjata
56
Ibid, h. 16-17
dilakukan sebagai strategi untuk meneror, menakut-nakuti sekaligus melumpuhkan lawan.57 d) Kekerasan di tempat kerja Kekerasan terhadap perempuan di tempat adalah kekerasan yang dialami kaum perempuan dalam hubungan kerja sebagai seorang pekerja, karyawan atau buruh atau ketika dia sedang mencari kerja. Beberapa bentuk kekerasan di tempat kerja antara lain:
•
Perdagangan
perempuan
(trafficking)
untuk
dipekerjaan
atau
dilacurkan. •
Penyerangan atau perusakan alat kelamin dan alat-alat reproduksi.
•
Menolak mempekerjakan perempuan.
•
Memberikan gaji lebih kecil bagi pekerja perempuan untuk pekerjaan yang sama dengan laki-laki.
•
Tidak memberikan kesempatan untuk meningkatkan karir secara sama.
•
Pelecehan seksual dan eksploitasi seksual.
•
Pemerasan dan pungutan liar terhadap buruh perempuan.58
D. Kekerasan Terhadap Perempuan Berbasis Pandangan Islam Dalam literatur Islam yang menyatakan bahwa melakukan kekerasan dengan cara memukul isteri diperbolehkan. Bahkan ada yang berpendapat
57
Faishol Adib dan Farid Muttaqin, Panduan untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan Berbasis Pesantren….h. 17 58
Faishol Adib dan Farid Muttaqin, Panduan untuk Pendamping Perempuan KorbanKekerasan Berbasis Pesantren….h. 18
bahwa memukul isteri adalah cara yang dianjurkan al-Qur’an untuk memberi pelajaran isteri yang nusyuz. Ayat yang dijadikan dasar pemikiran itu adalah Surat An-Nisaa’ ayat 34 ./+, - '()*!$+, & !"#$% ☺ - :;* 0<18 9 234⌧6718 ☺ 01 =>36>F B=>CD> 3=>?>@A
% & ⌧J6F
☺ G?
M 01 Y W,R13X+R 01 PQ,RV3,% +N_% 2 W,R ]9 01 QBZ[ !$☺< Wd:]? 2':b !⌧% :;3`0D+,18 D]`!l jk? ⌧i M hN4 g e⌧H`f ( : )اءmn
Artinya:
‘Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu,
Maka
janganlah
kamu
mencari-cari
jalan
untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.’’ (Q. S. Al-Nisa 34) Dalam pandangan para penafsir klasik ayat diatas secara eksplisit menunjukkan keabsahan suami melakukan tindak kekerasan terhadap isteri yang melakukan nusyuz. Dalam kamus Al Misbah Al Munir, Nusyuz diartikan
sebagai
durhaka
terhadap
suami
atau
melakukan
pembangkangan terhadap suami. Perempuan dapat dikategarikan nusyuz dalam banyak karya fiqih mencakup banyak hal. Antara lain; ucapan isteri terhadap suami, menolak menjawab suami, menolak hubungan intim dan keluar rumah tanpa memperoleh izin dari suami diluar keperluan penting dan mendesak. Atas dasar ayat tersebut suami boleh memukul isteri setelah terbukti melakukan nusyuz. Tetapi pemukulan hanya dapat dilakukan setelah melakukan tahap-tahap persuasif, menasihati dan pisah tidur.59 Al-Suyuti dalam Kitabnya Al Durr al Mantsur, menyebutkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa pemukulan dengan tangan suami terhadap isterinya. Isteri kemudian melaporkan kejadian ini kepada Nabi Saw. dan memintanya diberi hak untuk membalas. Beliau mempersilahkan untuk membalas memukulnya. Tetapi kemudian ayat ini diturunkan. Dari informasi yang diceritakan oleh al-Suyuti tersebut, mengisyaratkan bahwa Nabi menempatkan perempuan dalam posisi yang sama dengan laki-laki. Tetapi pertanyaannya kenapa al-Quran justru menurunkan ayat yang
59
Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2004) h. 240-241
seolah melegalkan bentuk kekerasan tersebut? Bertolak dari pertanyaan ini, kita bisa meneliti bagaimana sebenarnya pesan-pesan universal dari alQuran sebagai cara pandang umat Islam.60 Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa pelecehan seksual tidak sematamata berarti menggoda, berkata jorok, berbuat tidak senonoh, atau melakukan perkosaan terhadap perempuan. Lebih dari itu pelecehan seksual juga berarti melanggar nilai-nilai seksualitas yang luhur. Adanya unsur keji dan buruk dalam suatu perbuatan telah menjadi alasan mengapa perzinaan dan perselingkuhan termasuk pelecehan seksual. Karena cara pandang Al-Qur’an terhadap seksualitas memasukkan unsur moral dan tidak semata-mata bertumpu pada perasaan individu yang bersangkutan, maka zina dan perselingkuhan yang dilakukan atas dasar suka sama suka dikategorikan sebagai pelecehan seksual. Sedangkan kekerasan yang masuk
kategori
psikis
misalnya,
larangan
melakukan
Adhal
dan
memperlakukan perempuan sebagai benda waris, menyia-nyiakan isteri dan mantan isteri61.
E. Relasi LakiLaki -laki dan Perempuan Menurut Islam Allah SWT menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan. Keberpasang-pasangan
ini
mengandung
persamaan
dan
sekaligus
perbedaan. Persamaan dan perbedaan itu harus diketahui agar manusia
60
61
Ibid, h. 242
Badriyah Fayumi, dalam Buku, Tubuh, seksualitas dan kedaulatan Perempuan, (Yogyakarta: LKIS, 2002), h. 119
dapat bekerja sama menuju cita-cita kemanusian. Artinya laki-laki dan perempuan keduanya berkewajiban menciptakan situasi harmonis dalam masyarakat. Tentu saja, situasi ini sesuai dengan kodrat dan kemampuan masing-masing,
ini
berarti
bahwa
kita
dituntut untuk
mengetahui
keistimewaan dan kekerurangan masing-masing, serta perbedaan diantara keduannya.62 Dalam kaitannya dengan persoalan relasi laki-laki dan perempuan, prinsip dasar al-Qur’an sesungguhnya memperlihatkan pandangan yang egaliter.63 Sejumlah ayat al-Qur’an yang mengungkapkan prinsip ini dapat kita baca, misalnnya g>t<4?u r74 sh hD od p1qr>O :;g>t%?,[01 -Kw7x801 ⌧iv - 2z,%0{ ,C !"y b01 w ,M ..... - :;g 4<18 } p : g|l18 hN4 (١ : )ا اتm~n Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.....” (QS. AlHujurat: 13)
62
63
M. Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta; Lentara Hati, 2006), Cet. III, h. 2-3
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan; Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKiS, 2007) Cet. IV, h. 20-21
-Kw7x8 +118 "!lv ☯?> !"☺ 9 Dt-0HF FhDH'D?% ⌦+ 0,R01
(٩٧: )اm$n 2 Do`k Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An-Nahl: 97) 3=>t+)☺< 01 ND+)☺< 01 : ) اm~n - ./+, s 0k +118 :;)*3$+, (٧١ Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong.” (QS. At-Taubah: 71)
=>☺?')☺< 01
☺?')☺< hN4 =>t+)☺< 01
D+)☺< 01 =>D>4< 01 YCD>4< 01 =>p>@A 01 Yp>@A 01 ;0]G >@A 01 Y]G >@A 01 =>,T>< 01 Y,T>< 01 YRpA)☺< 01 Y☺r>@A 01 =>RpA)☺< 01
36>o< 01 =>☺r>@A 01 =>36>< 01 :;)*[1,% D]⌧i M
ZlM 01 =F & Wp18 ;ZlM 01 (
:)اﺡاب
mn ☺H3 9[1801 Dt6<'h
Artinya: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-
laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, lakilaki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan
perempuan
yang
berpuasa,
laki-laki
dan
perempuan
yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35) Turunnya al-Quran ke muka bumi ini dapat dipandang sebagai langkah yang sangat spektakuler dan revolusioner. Ia tidak saja mengubah tatanan masyarakat Arab pada waktu itu, tetapi juga mendekontruksi pilarpilar peradaban, kebudayaan dan tradisi yang diskriminatif dan misoginis, yang telah sekian lama dipraktikkan masyarakat sebelumnya. Pada masamasa pra-Islam, perempuan dihargai sangat rendah. Mereka dianggap sebagai barang atau benda, yang dapat diperlakukan apa saja, bahkan sering kali orang menganggap melahirkan perempuan sebagai sesuatu yang memalukan dan ditolerir jika anak perempuan tersebut dibunuh hidup-hidup. Dalam banyak praktik hukum, harga perempuan adalah harga separuh dari harga laki-laki. Perlakuan hukum sangat diskriminatif. Oleh karena itu, datangnya Islam ingin mengubah pandangan dan praktikpraktik yang misoginis dan diskriminatif diganti dengan pandangan yang adil dan manusiawi.64 Hal itu bisa dilihat misalnya, ketika Islam menawarkan konsep keadilan relasi antara laki-laki dan perempuan. Pada relasi suami-istri Islam menegaskan konsep “pasangan” atau zawaj, yang satu adalah pakaian bagi yang lain: melengkapi, menutupi, menentramkan dan membahagiakan. Jika relasi yang adil ini terbangun dalam kehidupan
64
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan….h. 22-23
rumah tangga, maka kekerasan dalam rumah tangga akan dapat dihindari. Karena kekerasan, baik dalam bentuk fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi pada dasarnya adalah cermin ketidakrukunan keluarga akibat relasi yang timpang, relasi yang tidak adil, di
antara mereka, dan itu
dilarang oleh ajaran Islam65. Hal itu sebagaimana tertulis dalam Hadits yang di riwayat oleh Abu Dawud.
: ُ#$: ! أ َي ل: َْ و ِ#, ا: و ﻥَ'َرُ ؟ ل، *+ و ﻥ، , - ﻥ./ 0لَ ا23ر 5 و،َ#-6ُ إِذا اآ- واآ،َ#ْ:ِ َ; إِذا: ; وأ،َ#<= >?ْ!َ@ أَﻥAَ (ْ دَاوُد2ُ َ أK )رَوا.ِْبAْCَ* 5 و،َD2 اﻝFGHُ* Bahz bin Hakim bin Mu’awiyah berkata, bahwa bapakku dari kakekku bertanya kepada Nabi saw: “Wahai Rasulullah, apa hak isteri kita, dan apa yang boleh kita lakukan dengannya dan apa yang tidak boleh dilakukan? Nabi menjawab: “Gaulilah isterimu bagaimanapun cara yang kamu suka, dan berilah makan dia dari yang kamu makan, dan berilah pakaian dia seperti yang kamu pakai, dan jangan mencemooh muka istri dan jangan memukulnya.” (H.R. Abu Dawud)66. Didalam Al-Qur’an sendiri telah dijabarkan bahwa, adanya perbedaan anatomi antara laki-laki dan perempuan. Al Qur’an juga mengakui bahwa anggota masing-masing jender berfungsi dengan cara merefleksikan
Faqihuddin Abdul Kodir, Teologi Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Jurnal Swara Rahima Edisi XX, tahun VI, Desember 2006, h. 33 65
66
329
Ibn al-Atsîr, Jâmi’ al-Ushûl, Juz VII, Nomor Hadîts: 4717 (Beirut: Dar al-Fikr, tth), h.
perbedaan yang telah dirumuskan dengan baik yang dipertahankan oleh budaya mereka. Perbedaan ini merupakan bagian penting dari bagaimana budaya
berfungsi.
Sesungguhnya, hubungan fungsional
yang yang
harmonis dan saling mendukung antara laki-laki dan perempuan.
F.Kesetaraan F.Kesetaraan LakiLaki-laki dan Perempuan Menurut Islam Sejarah telah mencatat bahwa, sebelum turunnya al-Qur’an terdapat sekian banyak bangsa di dunia ini seperti Yunani, Romawi, India dan China. Dan juga di dalam agama-agama seperti Yunani dan Nasrani, Budha, Zoroaster di Persia dan sebagainya. Menempatkan perempuan pada posisi sub-ordinat atau termarjinal dalam segala kehidupan.67 Di masyarakat Yunani kuno misalnya, hukum memperlakukan para perempuan itu hanya sekedar mekanisme menurunkan anak belaka. Aristoteles yang dikenal sebagai Filosof kenamaan dari bangsa Yunani, mengakui bahwa perempuan memiliki segi kemampuan untuk berunding, tetapi dia menyatakan bahwa itu “tanpa otoritas”, dan baginya laki-laki adalah norma, dan perempuan itu penyimpang dan rendah diri.68 Agama Kristen mengajarkan, meskipun ajarannya memberikan status baru kepada kaum perempuan, tetapi pada kenyataannya posisi sosial dan hukum sebenarnya hanyalah tetap, dan tidak berubah, atau
67
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung, Mizan, 2000), Cet. X, h., 296 68
Geoffrey Parrinder, Teologi Seksual, (terj),(Yogyakarta, LKIS, 2005) Cet. I, h. 444
meskipun mempercayai perempuan adalah saudara dalam iman, tetapi kekuatan tradisi asketis membantu mengaja perempuan tetap dibawah kekuasaan laki-laki. Seperti yang dikatakan Paulus bahwa “Didalam Kristus tak ada laki-laki dan perempuan,” tetapi dia juga mengatakan bahwa “kepala setiap laki-laki adalah Kristus, dan kepala perempuan adalah lakilaki.69 Sementara itu dalam petuah China kuno diajarkan, “anda boleh
mendengar
pembicaraan
perempuan,
tetapi
sama
sekali
jangan
mempercayai kebenarnya”. Sedangkan dalam ajaran Yahudi, martabat perempuan
sama
dengan
pembantu.
Ayah
berhak
menjual
anak
perempuan kalau ia tidak mempuyai saudara laki-laki. Ajaran mereka menganggap perempuan sebagai sumber laknat, karena dialah yang menyebabkan Adam diusir dari surga.70 Menurut Nasaruddin Umar, terdapat beberapa variabel yang dapat digunakan sebagai standar dalam menganalisa prinsip-prinsip kesetaraan jender dalam Islam. Variabel-variabel tersebut diantaranya71: 1. Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT dalam surah AlZariyat ayat 56
69
Ibid, h. 444-445
70
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; h. 297
71
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 1999) Cet. I, h. 247-248
#j4
7= 01
WZ*< (
3=<4?u
01
: )اارتmn nN1)pb+,0H
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Al-Zariyat: 56) Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduannya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba yang ideal. Hamba ideal dalam alQur’an biasanya diistilahkan dengan orang-orang yang taqwa (muttaqun), dan untuk mencapai derajat muttaqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau jenis etnis tertentu.72 hal tersebut seperti di jelaskan dalam firman Allah SWT dalam surah Hujurat: 13 g>t<4?u r74 sh hD od p1qr>O :;g>t%?,[01
-Kw7x801
⌧iv
- 2z,%0{ ,C !"y b01 w
,M
- :;g 4<18 } p :
g|l18 hN4
(١ : )ا اتm~n ]bu LB? M hN4 Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Hujurat: 13)
72
Ibid, h. 248
Dalam hal ini, Mahmud Syaltut, dalam bukunya Min Tawjihat Al-Islam yang dikutip Quraish Shihah mengatakan bahwa; tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan hampir dapat dikatakan sama. Allah SWT telah
menganugrahkan
kepada
perempuan–sebagaimana
menganugrahkan kepada laki-laki– potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggungjawab dan menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktifitas-aktifitas yang bersifat umu maupun khusus, karena itu hukum-hukum syariat pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka.73 2. Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi Maksud dan tujuan penciptaan manusia dimuka bumi adalah, di samping untuk menjadi hamba (abid) yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah SWT. Juga menjadi khalifah di bumi (khalifah fi al-
ard). Kapasitas manusia sebagai khalifah di bumi di tegaskan dalam al Qur’an Surah Al-An’am: 165 r>?u ./+, )BO]P
:;3`?,[
:% :;g!$+, Y
M
B%0{01 m:{
:;i0,?:b0kI
b
0{
0,R01
hN4
g
=>[0{k :
g0
bLBF{ ⌦{36' Fr7401 G 4,< (١ : )اﻥمm~n Artinya: “Dan dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya
73
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung, Mizan, 1996), Cet. XII, h., 280
Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-An’am: 165) Kata Khalifah dalam ayat diatas tidak menunjuk kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan mempunyai
fungsi
yang
mempertanggungjawabkan
sama
sebagai
tugas-tugas
khalifah,
yang
akan
di
bumi.
kekhalifahan
Sebagaimana halnya mereka harus bertanggungjawab sebagai hamba Tuhan.74 3. Laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Seperti diketahui menjelang seorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhan,75 sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-A’raf: 172 k0 YK[
i b
:;d☺O{,v :;dZ36718 -
0{ ⌧H18
'(R{)*3)
2 2 :;g
:O
2 34
⌧H>R
9
hD3l
18
r74
:;,Rpod91801
3=' 18 79p*⌧M
o☺>0kG4<
(١٧٢ : )ا افm~n Y6>⌧ Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
74
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, h. 252-253
75
Ibid, h. 253-254
(seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)" (QS. Al-A’raf: 172) Menurut Fakhr al-Razi, tidak ada seorang pun anak manusia lahir di muka bumi ini yang tidak berikrar akan keberadaan Tuhan, dan ikrar mereka di saksikan oleh para malaikat. Tidak ada seorang pun yang mengatakan “tidak”.76 Dalam
Islam,
tanggung
jawab
individual
dan
kemandirian
berlansung sejak dini, yaitu semenjak dalam kandungan. Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama. Rasa percaya diri seorang perempuan dalam islam semestinya dibentuk sejak lahir karena sejak awal tidak pernah diberi beban khusus berupa “dosa warisan” seperti yang dikesan didalam Yahudi-Kristen.77 Kata Bani Adam dalam ayat ini menunjukkan kepada seluruh anak Adam, tanpa membedakan jenis kelamin, suku bangsa, dan warna kulit. Dalam al Qur’an tidak pernah ditemukan satu ayat pun yang menunjukkan keutamaan suku tertentu.78
76
Ibid,, h. 254
77
Ibid, h. 254
78
Ibid, h. 257
4. Adam dan Hawa, terlibat secara aktif dalam drama kosmis Semua ayat yang menceritakan tentang drama kosmis, yakni cerita tentang keadaan Adam dan pasangannya di surga sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak dalam keadaan selalu aktif. Hal ini ditandai dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang, yaitu huma, yakni kata ganti untuk adam dan hawa.79 5. Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi Peluang meraih prestasi maksimum tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana ditegaskan dalam al Qur’an (Qs.AlImron ayat 195), (QS. An-Nisaa’ ayat 124), (QS. An-Nahl ayat 97), (QS. Gafir ayat 40). Ayat-ayat tersebut di atas mengisyaratkan konsep kesetaran jender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individu baik dalam bidang spiritual maupun dalam bidang karir profesional, tidak mesti dimonopoli oleh jenis kelamin tertentu.80 Prinsip kesetaraan jender tidak hanya dikukuhkan oleh penjelasan al-Qur’an tentang penciptaan dan ontologi manusia, tetapi juga oleh definisinya tentang agensi dan praksis moral, terutama ajaran bahwa lakilaki dan perempuan memiliki kapasitas agensi, pilihan dan individualitas moral yang sama. Hal ini terbukti berdasarkan dua kenyataan: pertama, alQur’an menetapkan standar perilaku yang sama bagi laki-laki dan
79
Ibid, h. 260
80
Ibid, h. 263-265
perempuan dan menerapkan standar penilaian yang sama bagi keduanya, artinya al-Qur’an tidak mengaitkan kualitas moral dengan jenis kelamin tertentu.
Kedua, al-Qur’an menyebut laki-laki dan perempuan sebagai penuntun dan pelindung satu sama lain, dengan menyebutkan keduanya mampu mencapai individualitas moral dan memiliki penjagaan yang sama satu lain. Al-Qur’an tidak pernah satu kalipun menyatakan bahwa laki-laki dalam kapasitas biologisnya sebagai laki-laki, atau dalam kapasitas sosialnya sebagai ayah, suami atau penafsir kitab suci lebih mampu daripada
perempuan
dalam
mencapai
melaksanaan ajaran agama.81
81
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender…h. 123
tingkat
ketaqwaan
atau
BAB IV KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN; PEMIKIRAN K. H. HUSEIN HUSEIN MUHAMMAD
A. Metodologi Pemikiran Hukum K. H. Husein Muhammad Hingga sekarang, kekerasan terhadap perempuan baik secara fisik maupun psikis masih terus berlangsung. Modus operandi dan pelakunya pun semakin variatif. Ada sejumlah penyebab kenapa itu terjadi. Mulai dari budaya, kebijakan politik, hingga agama. Untuk mencegah berbagai tindak kekerasan terhadap perempuan dalam konteks keagamaan, diperlukan upaya ke arah reinterpretasi dan redefinisi yang mensyaratkan sejumlah langkah metodologis agar teks-teks keagamaan tersebut menjadi hidup dan memiliki relevansi dengan ruang kontemporer tanpa harus kehilangan makna transendesinya82. Diantaranya dengan cara: a. Menjadikan tujuan-tujuan syari’ah (maqashid al syari’ah) sebagai basis utama penafsiran (takwil) b. Melakukan analisis terhadap aspek sosio-historis (al siyaq al
tarikhi al ijtima’iy) atas kasus-kasus yang ada dalam teks c. Melakukan analisis bahasa dan konteksnya (al siyaq al lisani) d. Melakukan identifikasi aspek kausalitas dalam teks sebagai jalan ke pemikiran analogis untuk kebutuhan konteks sosial baru
82
Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2004) h. 187
e. Melakukan analisis kritis terhadap sumber transmisi hadits
(takhrij al sanaid) dan kritik matannya (naqd al matn)83. Di samping itu, beberapa kemungkinan kenapa agama menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan, K. H. Husein Muhammad melihat,
Pertama, boleh jadi karena kekeliruan dalam menginterpretasikan teks. Kedua, karena cara penafsiran yang dilakukan secara eklektik dan artikulatif; sebuah cara penafsiran yang sepotong-sepotong, tidak holistik dan mengabaikan visi pandangan dunia Islam. Ketiga, boleh jadi karena didasarkan pada hadis-hadis yang lemah atau palsu. Dua yang pertama dari kemungkinan ini, pada akhirnya bermuara pada satu hal, yaitu cara penafsiran yang tidak menempatkan teks-teks itu pada setting sosiokultural dimana dan kapan ia diturunkan. Sedangkan kemungkinan yang terakhir merupakan cara penafsiran dengan memanipulasi hadist-hadits Nabi untuk kepentingan tertentu.84 Sebagai contoh, yang tertuang dalam al-Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat 34: ./+, - '()*!$+, & !"#$% ☺ - :;* 0<18 9 234⌧6718 ☺ 01 =>36>F B=>CD> 3=>?>@A
% & ⌧J6F
☺ G?M 01 Y W,R13X+R 01 PQ,RV3,% +N_% 2 W,R ]9 01 QBZ[ !$☺< Wd:]? 2':b !⌧% :;3`0D+,18
83
Ibid, h. 187-188
84
Ibid, h. 245-246
D]`!l jk? ⌧i M hN4 g e⌧H`f ( : )اءmn
Artinya: ‘Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.’’ (Q. S. Al-Nisa 34) Para ahli tafsir, semacam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Al Thabari (w.932 M), Abu Abdullah Muhammad Al-Qurthubi, Fakhr al Din al Razi (1150-1210 M), Imad al Din Ibnu Katsir (w.774 H), Abu Bakar Muhammad al Arabi (468-543 H), al Zamakhsyari (w. 1144 M) dari aliran rasionalis Mu’tazilah yang menyatakan bahwa qawwam dalam ayat tersebut berarti pemimpin, penanggung jawab, pengatur dan pendidik. Kategori-kategori ini sebenarnya tidak menjadi persoalan yang serius sepanjang ditempatkan secara adil dan tidak didasari pandangan yang diskriminatif. Akan tetapi, secara umum para ahli tafsir tersebut menjadikan indikator bagi superioritas kaum laki-laki. Mereka berpendapat bahwa superioritas lakilaki ini adalah mutlak. Superioritas ini diciptakan Tuhan sehingga tidak bisa
berubah. Kelebihan laki-laki dari perempuan sebagaimana dinyatakan ayat di atas, oleh para penafsir al-Qur’an dikatakan karena akal dan fisiknya.85 Secara sepintas, ayat ini juga tampak membolehkan pemukulan terhadap isteri. Pandangan ini muncul bila kita memahami berdasarkan makna yang tersurat dari ayat di atas atau berpegang pada makna dzahir ayat tersebut. Pertanyaan kemudian apakah betul pemukulan tersebut merupakan anjuran dari al-Qur’an? Pertanyaan ini penting mengingat alQur’an diturunkan pada saat masyarakat tidak memanusiakan perempuan. Jangankan dipukul, perempuan pada masa pra-Islam bahkan berhak dibunuh. Dijadikan benda warisan dan sebagainya tanpa boleh membela diri.
Dengan
demikian,
pemukulan
terhadap
isteri
yang
nusyuz
(meninggalkan rumah tanpa izin atau berbuat melawan suami) pada saat itu termasuk kekerasan yang ringan dibanding perilaku yang biasa dilakukan masyarakat pra-Islam.86 Memperhatikan ketentuan ayat nusyuz di atas, tindakan pemukulan jelas merupakan alternatif terakhir ketika upaya pertama yaitu memberi nasihat (mauidzah) dan cara kedua yaitu pisah ranjang tidak cukup efektif untuk membuat isteri taat kepada suami dan menyadari kesalahannya. Dua alternatif solusi yang diberikan al-Qur’an dalam memberikan treatment pada isteri yang nusyuz merupakan indikator (qarinah) yang mengantarkan pemahaman bahwa pemukulan sesungguhnya bukan sesuatu yang harus dilakukan atau bahkan semangat dari ayat di atas justru dalam rangka
85
Ibid, h. 24-25
86
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2006) Cet. I, h. 146
meminimalisir praktik kekerasan suami terhadap isterinya di tengah masyarakat yang penuh dengan budaya kekerasan perempuan.87 Lantas bagaimana memandang ayat tersebut di atas, Husein mengatakan, dasar penafsiran sebagaimana dikemukakan pada awal tulisan ini maka ayat di atas harus dipahami sebagai teks yang bersifat sosiologis dan kontekstual karena menunjuk pada persoalan partikular. Posisi perempuan yang ditempatkan sebagai bagian lai-laki, dan laki-laki sebagai pemimpin rumah tangga, sebenarnya muncul dalam suatu peradaban patriarki atau peradaban laki-laki dimana ketergantungan perempuan terhadap laki-laki dalam aspek ekonomi dan keamanan sangat kuat. Pada masyarakat seperti ini, penempatan posisi perempuan yang demikian boleh jadi memang tepat sepanjang dalam parktiknya tetap memperhatikan prinsip-prinsip kemaslahatan (kebaikan). Oleh karena itu, redaksi ayat tersebut juga datang dalam bentuk narasi (ikhbar) yang dalam disiplin
ilmu
ushul
fiqih
hanya
sebatas
pemberitaan
yang
tidak
mengindikasikan suatu ajaran (perintah agama). Asbabul nuzul ayat tersebut juga memperkuat pandangan ini, dimana ia turun untuk memperkecil kekerasan penolakan masyarakat patriarki saat itu terhadap keputusan Nabi Saw., yang memberi kesempatan kepada Habibah binti Zaid yang telah dipukul oleh suaminya untuk membalas memukul suaminya. Dengan demikian, penafsiran yang mengatakan bahwa kepemimpinan
87
Ibid, h. 146-147
hanya hak kaum laki-laki dan bukan kaum perempuan adalah interpretasi yang sarat dengan muatan sosio-politik saat itu.88 Apabila penafsiran ini bersifat sosiologis dan kontekstual maka terbuka kemungkinan bagi terjadinya proses perubahan. Dengan kata lain, posisi perempuan sebagai subordinat laki-laki juga memungkinkan untuk diubah pada waktu sekarang, mengingat format kebudayaannya yang sudah berubah.89 Akan tetapi, penafsiran yang demikian itu masih jarang dilakukan, sehingga menurut Husein, kerja metodologis tafsir sekarang memerlukan bantuan ilmu-ilmu sosial90 termasuk masalah HAM yang di dalamnya mencakup kesetaraan, persamaan, dan
keadilan sosial bagi semua
kalangan. Dengan memanfaatkan ilmu-ilmu sosial, penafsir akan mampu mengurai problem-problem sosial kemanusiaan, bukan dengan model penyelesaian dogmatik kerohanian, tetapi secara kultural dan sosiologis.91 Dengan metodologi tafsir yang demikian, masalah kemiskinan, kebodohan, politik yang menindas rakyat kecil, korupsi, rasisme, dan masalah-masalah sosial lain, merupakan masalah yang penting untuk
88
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan,..h. 26-27
89
Ibid, h. 27
90
Islah Gusmian, Metodologi Penafsiran Emansipatoris: Ilmu Sosial sebagai Alat Analisis Teks Kitab Suci, Makalah ini dipresentasikan dalam acara Annual Conference Kajian Islam 2006 yang diselenggarakan oleh Departemen Agama RI di Lembang Bandung, 26-30 November 2006. h. 1 91
Ibid, h. 1
dipecahkan dalam konteks tafsir kitab suci.92 Termasuk pula ketimpangan jender, relasi laki-laki dan perempuan. Untuk melakukan itu semua, diperlukan para intelektual yang berusaha mendekonstruksi wacana yang sudah menghegemoni, kemudian dipraksiskan dalam kehidupan bermasyarakat. Tetapi persoalannya, tidak semua intelektual bisa melakukannya. Menurut Gramsci, pemikir asal Italia, hal itu hanya bisa dilakukan oleh intelektual organik.93 Intelektual organik ini dibedakan dengan intelektual tradisional yang hanya memproduksi, mempertahankan, dan menyebarkan ideologi-ideologi yang membentuk hegemoni yang kemudian tertanam dan ternaturalisasai dalam akal sehat. Sebaliknya, intelektual organik adalah mereka yang yang berjuang dalam gerakan feminis, pascakolonial, atau sederhananya mereka yang termasuk dalam bagian yang kontra-hegemonik dan sekutu-sekutunya. Peran ini tidak hanya dimainkan mereka yang berada di dalam dunia pendidikan, tapi oleh para penulis, pengorganisasian komunitas, guru94 dan juga para agamawan (kiai).
92
Ibid, h. 1
93 Tipe intelektual organik ini, mengakui hubungan mereka dengan kelompok sosial tertentu dan memberikannya homogenitas serta kesadaran tentang fungsinya, bukan hanya di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang sosial politik. Intelektual organik adalah intelektual yang berasal dari kelas tertentu, bisa jadi berasal dari kelas borjuis dan memihak mereka, bisa juga berasal dari kelas buruh dan berpihak kepada perjuangan buruh. Kelompok ini berpenetrasi sampai ke massa. Memberikan mereka sebuah pandangan dunia baru dan menciptakan kesatuan antara bagian bawah dan atas. Hal ini tidak berarti bahwa sebuah kebudayaan baru muncul saja dari produksi, melainkan harus menentang common sense dari cara-cara massa yang berpikir tradisional. Lihat, Nezar Patria dan Andi Arief, dalam, Antonio Gramsci; Negara dan Hegemoni, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cat. II, 2003) h. 161-162. 94
Crish Berker, Cuktural Studies; Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2005) Cet. I. h. 469
Intelektual organik dalam melakukan upaya-upaya pembelaannya membutuhkan kemampuan khusus sesuai dengan masyarakat yang dihadapi. Kalau dia ingin melakukan transformasi di kalangan kelas-kelas terpinggir, dia harus memiliki perangkat-perangkat intelektual di wilayah itu. Begitu juga bagi seorang yang akan melakukan transformasi dalam wilayah agama (Islam), dia harus mempunyai kompetensi dalam linguistik Arab, maupun ilmu-ilmu metodologis, seperti ilmu Tafsir, ushul fiqh, ilmu hadits,
analisis
sejarah
dan
kemampuan
mengompilasikan,
membandingkan, dan akhirnya merekonstruksi kembali ajaran-ajaran Islam itu ke dalam bangunan paradigma tafsir baru. Dalam posisi inilah Husein patut dipertimbangkan. Sedangkan prototipe metodologi Husein dikaitkan dengan khazanah filsafat Islam tergolong kedalam metode burhani. Seperti diketahui, dalam filsafat Islam dikenal tiga buah metodologi pemikiran, bayani, 'irfani, burhani. Metode bayani adalah sebuah model metodologi berfikir yang didasarkan atas teks. Teks suci al-Qur’anlah yang mempunyai otoritas penuh untuk memberikan arah tujuan dan arti kebenaran, sedangkan rasio menurut metodologi ini hanya berperan-fungsi sebagai pengawal bagi keamanan otoritas teks tersebut.95 Pendek kata, dasar utama metode bayani adalah teks. Ini berarti sumber pengetahuan utamanya adalah alQuran dan hadis.
95
Islah Gusmian, Metodologi Penafsiran Emansipatoris:, h. 1
Metode 'irfani adalah model metodologi yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung atas realitas spiritual keagamaan. Berbeda dengan sasaran bayani yang bersifat eksoteris, sasaran bidik
'irfani adalah bagian esoteris (batin) teks, karena itu, rasio berperan sebagai alat untuk menjelaskan berbagai pengalaman spiritual tersebut.96 Tahapan untuk memperoleh pengetahuan irfani itu ada tiga, yaitu
persiapan, penerimaan, dan pengungkapan. Pada tahap persiapan, ada tujuh tahapan yang mesti dijalani, yaitu taubat, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang syubhat, wara’), tidak tamak
dan tidak dan tidak
mengutamakan kehidupan dunia (zuhud), mengosongkan pikiran dan tidak menghendaki apa pun kecuali Allah (faqir), sabar, tawakal, dan ridha. Pada tahap penerimaan, jika telah mencapai tingkat tertentu, seseorang akan mendapat limpahan pengetahuan dari Tuhan. Sedangkan pada tahap pengungkapan, pengalaman mistik disampaikan kepada orang lain, baik lewat ucapan maupun tulisan. Metode ini lebih menekankan pada pengalaman langsung sehingga otoritas akal menjadi tertepis karena lebih bersifat partisipatif.97 Sedangkan burhani adalah metodologi yang tidak didasarkan atas teks maupun pengalaman, melainkan atas dasar runtutan nalar logika, bahkan dalam tahap tertentu, teks dan pengalaman hanya bisa diterima apabila tidak bertentangan dengan aturan logis.98
96
Ibid, h. 1
97
Eka Mukti Arifah, Penerapan Konsep Logika sebagai Metode Berpikir Analitik Pada Epistemologi Burhani, http://www.students.if.itb.ac.id. h. 3 98
Islah Gusmian, Metodologi Penafsiran Emansipatoris: h. 1
Berikut ini adalah tabel perbandingan antara ketiga metode berfikir Islam yang telah menorehkan prestasinya masing-masing.99 Bayani
Irfani
Burhani
Sumber
Teks Keagamaan/ Nash
Ilham/ Intuisi
Rasio
Metode
Istinbat/ Istidlal
Kasyf
Tahlili (analiti), Diskursus
Pendekatan
Linguistik
Psiko-Gnostik
EssensiAksitensi Bahasa-Logika
Validitas Kebenaran
Korespodensi
Intersubjektif
Koherensi konsistensi
Pendukung
Kaum Teolog, Ahli Fiqh, ahli Bahasa
Kaum Sufi
Para Filosof
Sebelum penulis menjelaskan metodologi Husein, perlu kiranya meneliti gagasannya dalam pembelaaannya terhadap perempuan dalam perspektif Islam yang didasari oleh gagasannya tentang HAM.
Basis pemikiran saya sebenarnya demokrasi dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia. Pikiran terhadap kajian perempuan ini lebih pada kebetulan ketika saya dikenalkan pada masalah-masalah perempuan yang ternyata ada banyak sekali pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia itu. Kemudian kajian itu semakin intensif ketika orang banyak memberikan kesempatan pada saya untuk memberikan pandangan hak asasi manusia berkaitan dengan
99
Eka Mukti Arifah, Penerapan Konsep Logika, http://www.students.if.itb.ac.id. h. 3
perempuan dipandang dari sudut fiqh (hukum Islam) atau perspektif Islam. Kemudian saya belajar dengan intensif dan melakukan analisis kritis paradigma keadilan dan demokrasi. Dari situlah masalah-masalah perempuan sangat strategis bagi pembangunan manusia. Banyak orang beranggapan bahwa masalah perempuan adalah masalah yang bukan besar, tetapi saya beranggapan bahwa masalah perempuan, yaitu ketidakadlian terhadap perempuan dan subordinai perempuan adalah masalah besar, karena perempuan adalah bagian dari manusia dan bagian dari jenis manusia. Ketika perempuan dijadikan nomor dua, maka ini sebenarnya adalah masalah besar kemanusiaan.100
Dalam upaya mencari dasar argumentasi ajaran Islam (fiqh), Husein melacaknya dalam khazanah Islam klasik (kitab kuning). Dalam satu kesempatan dia pernah berpendapat seperti ini: ”Untuk memajukan kehidupan umat Islam, sebaiknya
khazanah Islam klasik jangan ditinggalkan. Ia adalah warisan ulama para pendahulu kita, yang harus diapresiasi dengan benar. Tetapi tidak pula untuk diikuti mati-matian tanpa kritik sedikit pun. Kita harus menempatkan ulama dahulu dengan pandangan-pandangannya dengan benar, sesuai konteks zaman mereka hidup. Untuk ini dibutuhkan kearifan dan kecerdasan tersendiri.”101
Bertolak dari pendapat itu, Husein menemukan spirit dan nilainilai dasar Islam yaitu keadilan, kesetaraan, dan penghargaan 100
Hasil wawancara Nurzaman dan Husein Muhammad. Lihat, M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan…h. 152. 101 Ali Mursyid, Bersama Kyai Husein Kitab Klasik Jadi Menarik, http://fahmina.or.id/id/content/view/441.
terhadap hak asasi manusia dalam teks-teks klasik. Menurutnya, itu spirit dan nilai-nilai dasar itu ada dalam konsep tauhid. Alasannya, karena dalam sejarah agama-agama monoteisme, tauhid hadir di tengah-tengah moralitas individu dan sosial yang runtuh-kacau. Keruntuhan dan kekacauan ini ditandai dengan menurunnya penghargaan manusia terhadap nilai-nilai kemanusiaan mereka sendiri.102 Husein memahami tauhid sebagai manifestasi atas penghargaan terhadap hak-hak manusia dari penindasan, dan semua pembawa agama tauhid hadir di tengah-tengah masyarakat yang mengalami krisis kemanusiaan.103 Selain itu, dia juga mengatakan bahwa tauhid secara literal adalah
mengesakan,
menunggalkan
atau
menyatukan
segala
sesuatu. Soal menyatakan bahwa Tuhan (Allah) adalah Satu, bukanlah sekedar pernyataan verbal belaka, melainkan juga seruan untuk
menjadikan
ke-esaan-
itu
sebagai
basis
utama
bagi
pembentukan tatanan sosial politik-kebudayaan. Dari sini, kebutuhan paling besar dari pemahaman keagamaan yang berpihak pada HAM dan demokrasi adalah kontekstualisasi teks-teks klasik. Metodologi inilah yang dilakukan Husein dalam
102
M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan…h. 154
103
Ibid, h. 155
mendekati teks-teks agama (al-Quran, hadits dan pendapat ulamaulama). Dengan metodologi ini, teks-teks agama yang sudah dianggap mapan dan bahkan menjadi ideologi itu dilihat kembali, dievaluasi, dan ditafsir ulang. Itu dilakukan supaya teks-teks agama sebagai salah satu komponen yang membentuk budaya masyarakat yang lebih adil bagi seluruh mausia, termasuk perempuan dalam kaitanya dengan relasi jender. Sehingga pemikiran keagamaan tidak lagi menghambat proses kesetaran dan keadilan jender. Menurutnya,
kita
memerlukan
pendekatan
baru
untuk
merumuskan pandangan Islam atas masalah-masalah perempuan yang selama ini masih pada posisi yang rentan terhadap kekerasan. Pendekatan baru ini dilakukan dengan mengembangkan tafsir baru. Arah tafsir baru ini adalah dengan memahami teks-teks agama bukan dari semata-mata makna leteralnya, melainkan makna subtansialnya. Kemudian teks-teks agama yang spesifik sosiologis ditempatkan ke dalam maknanya yang relatif ketika berhadapan dengan kenyataankenyataan sosial yang mengingkari pesan-pesan fundamental agama.104
104
Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan, h. 248
B. Kekerasan Terhadap Perempuan Menurut Husein Muhammad
Sebagai konsekuensi logis dari metodologi yang dipakai Husein, kita bisa
menelitinya ketika dia mendekati surat An-Nisa
ayat 34. Menurutnya, ayat ini adalah ayat sosiologis. Ia turun sebagai respon atas sejarah sosial bangsa Arab saat diturunkannya. Hal ini tampak dari teks yang dikemukan dalam bentuknya yang naratif dan bukan teks normatif.105 Dengan asumsi demikian, keunggulan lakilaki atas perempuan dan kewajiban nafkah laki-laki adalah realitas sosial dan kultural Arab jauh sebelum Islam datang. Pada masa itu struktur sosial Arab telah mendomestifikasi perempuan bahkan menempatkannya pada posisi tertindas secara terus-menerus. Kaum perempuan bukan hanya tidak memiliki hak atas tubuhnya sendiri, tetapi juga dipandang sebagai permainan untuk kesenangan seks laki-laki di satu sisi, dan dibenci di sisi yang lain. Hak-hak mereka sepenuhnya berada di tangan laki-laki. Umar bin Khatab menjadi saksi atas sistem ini.106 Dengan pembacaan demikian, kita akan menemukan nuansa relativitas
mengenai
superioritas
laki-laki
atas
perempuan.
(Keunggulan) laki-laki atas perempuan tidaklah berlaku absolut bagi 105
Ibid, h. 248-249
106
Ibid, h. 249
setiap laki-laki atas setiap perempuan. Dengan begitu, pernyataan ini sekaligus memperlihatkan pandangan al-Quran tentang fungsi-fungsi sosial ekonomi lak-laki dan perempuan pada saat itu. Pendek kata, kekuasaan
(kepemiminan)
laki-laki
atas
perempuan
bersifat
fungsional kontekstual belaka dan bukan kekuasaan normatif dan eternal.107 Dengan demikian, kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk fisik; pemukulan suami terhadap isteri sebagaimana lanjutan ayat ini, juga harus dibaca dengan cara pandang yang sama. Secara eksplisit, pemukulan terhadap isteri diizinkan oleh ayat ini sebagai alternatif
terakhir
dari
cara-cara
nusyuz
menghentikan
(pembangkangan, ketidaktaatan) yang diperlihatkan isteri terhadap suaminya.108 Hal
ini
dilakukan
Husein
dengan
mendudukkan
kata
“wadhribuhunna” dengan analisis bahasa. Artinya, pemaknaan sebuah teks bahasa tidaklah tunggal. Makna teks bahasa selalu mengalami
perkembangan.
Kalimat “wadhribuhunna”
di
atas,
misalnya tidak hanya memiliki “pukullah mereka dengan tangan”, karena “dharaba” tidak hanya memiliki satu makna. Ar Raghib al-
Isfihani dalam Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an, sebagaimana yan
107
Ibid, h. 250
108
Ibid, h 250
dikutip Husein mengungkapkan sejumlah makna “dharaba” yang terdapat dalam al-Qur’an. Beberapa diantaranya adalah bermakna
“menempuh perjalanan” (surah An-Nisaa’ ayat 101 dan Thaha ayat 77), “membuat” seperti membuat contoh atau perumpamaan (Q.S. alTahrim ayat 10, Yaasin ayat 13, al-Baqarah ayat 26, Ibrahim ayat 25), atau membuat jalan (QS. Thaha ayat 77), “menutupi” seperti menutupi wajah dengan kerudung (QS. An-Nur ayat 31), “ditimpakan
atau diliputi” misalnya “mereka ditimpakan kehinaan” (al-Baqarah ayat 61). Al-Qur’an juga menggunakan kata “dharaba” untuk mkana menutup, misalnya: “maka, kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu” (QS. Al-Kahfi ayat 11).109 Menurut Husein, alternatif-alternatif yang ditawarkan oleh alQuran untuk mengatasi pembangkangn isteri terhadap suami dipandang sebagai langkah progresif yang mengarah kepada perwujudan rekonsiliasi tanpa kekerasan (pemukulan). Dengan bahasa lain, al-Quran sesungguhnya menghendaki dihentikannya cara kekerasan untuk mengatasi ketidaksetiaan isteri.110 Untuk memperkuat argumennya, Husein, menjelaskan bahwa Nabi sendiri menghendaki penghentian kekerasan itu dilakukan seketika dengan memberikan hak balas kepada isteri. Tetapi
109
110
Ibid, h. 252-253 Ibid, h. 250-251
tampaknya al-Quran melihat penghentian itu tidak dapat efektif jika dilakukan seketika.111 Menurut
Husein,
al-Quran
telah
memberikan
wacana
gradualiasasi dan evolusi untuk transformasi kultural yang lebih baik. Dengan demikian, jika makna ayat al Qur’an lahir dalam konteks tradisi dan budaya yang dinamis, maka tentu saja ayat ini tidak bisa dipahami sebagai ketentuan yang normatif dan mapan, karena tradisi dan kebudayaan tidak bersifat permanen.112 Selain melakukan tafsir ulang terhadap al-Quran, Husein juga melakukan hal yang sama terhadap teks-teks fiqih. Seperti kita ketahui, kajian bidang fiqh mendominasi setiap wacana dan perbincangan problem manusia. Hampir setiap problem-problem sosial didekati dan dijawab dengan fiqh. Pendekatan problem tersebut melalui aspek moralitas jarang ditempuh. Pada sisi yang lain, fiqh yang digunakan sampai saat ini masih berkutat pada produk-produk
lampau
dengan
segenap
permasalahan
dan
logikanya sendiri. Lebih dari itu, produk-produk klasik dalam banyak kasus masih sangat terbatas dan belum membuka diri bagi referensi yang lebih luas, tanpa sekat-sekat ideologis dan doktrinal.113 Begitu
111
Ibid, h. 251
112
Ibid, h 251
113
Ibid, h 204.
pula dengan masalah hubungan laki-laki dan perempuan. Sebagian besar ulama tetap memandang bahwa laki-laki memang menempati posisi superioritas atas perempuan. Laki-laki lebih unggul dari perempuan.
Pendapat
mereka
jelas
semakin
memperkokoh
kebudayaan patriarki. Akan tetapi, kehidupan senantiasa terus berkembang ke arah lebih maju dan terbuka. Kebudayaan manusia dewasa ini tengah berangkat
menuju
rasionalitas
dan
mempercayai
kebenaran-
kebenaran realitas. Kini realitas budaya telah memperlihatkan semakin
banyaknya
perampuan
yang
memiliki
kemampuan
intelektual dan kecerdasan nalar. Bahkan juga kekuatan fisik. Hal ini bisa
terjadi
karena
kebudayaan
telah
memberikan
peluang,
meskipun masih seidkit untuk, kepada mereka untuk melakukan aktualisasi potensi-potensi yang mereka miliki, seperti yang juga dmiliki oleh laki-laki. Dengan
cara
pandang
tersebut,
jelas
menimbulkan
konsekuensi-konsekuensi terhadap wacana hukum Islam (fiqh). Pendapat-pendapatnya tak urung menimbulkan protes dari banyak kalangan terutama kalangan pesantren. Ada beberapa pendapatnya yang dalam ilmu fiqih sudah dianggap mapan, yaitu imam shalat perempuan bagi laki-laki, khitan perempuan, aurat perempuan, kawin muda, wali mujbir dan lain-lain.
Akan tetapi, penulis hanya akan memaparkan pendapatnya tentang kepemimpinan perempuan dalam shalat dengan jamaah laki-laki. Menurut Husein, jika kita membuka halaman demi halaman baik fiqh klasik maupun modern yang membahas imam shalat, pasti kita akan menemukan sejumlah syarat shalat. Syarat itu adalah Islam, berakal, baligh, dan laki-laki. Para ulama fiqih mulai dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali sepakat bahwa perempuan tidak dibenarkan memimpin shalat kaum laki-laki. Ia hanya bisa menjadi imam bagi kaumnya sendiri. Bahkan Imam Malik bin Anas, pendiri mazhab Maliki, sama sekali tidak membenarkan perempuan menjadi imam shalat, termasuk bagi kaumnya sendiri, baik shalat fardhu, maupun shalat sunnah.114 Husein menyebutkan bahwa Abu Hamid al-Isfirayani (344-406 H) tokoh utama aliran fiqh Iraq dari mazhab Syafii menyatakan bahwa seluruh ulama fiqh dari mazahab fiqh Islam, kecuali Abu Tsaur (240 H/ 854 M) salah seorang mujtahid besar, sepakat berpendapat bahwa kepemimpinan perempuan dalam shalat bagi jamaah kaum laki-laki adalah tidak sah. Tetapi, Husein juga memperlihatkan ada tokoh lain yang membantah Abu Hamid ini, yaitu Qadhi Abu Tayyib (348-450 H) dan al-Abdari. Menurut kedua tokoh ini, bahwa
114
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKiS, cet. IV, 2007) h. 35.
keabsahan perempuan menjadi imam shalat bagi kaum laki-laki bukan anya dikemukakan oleh Abu Tsaur saja, melainkan juga oleh Ibn Jarrir al-Thabari (w. 310 H./923 M.) dan Imam al-Muzani (175-264 H.).115 Dari
sini,
Husein
memperlihatkan
dasar-dasar
dari
dua
pandangan yang berbeda ini. Menurutnya, pendapat pertama yang didasarkan oleh hadis Nabi dari Jabir:
ًSََُأَ ٌة رAِْ إ.َمOُ*َ5: َ? َ ل$َ3َِ وDَْ$َ 0َ> ا$َN ِG? ْ َ ِ اﻝAِ َْ َ (D إDAUِْ ً )أOُ ٌAِ َT .َمOَُ5ًَا وAِ َُ ٌِ َاAََْ أ5َو 116
Dari sahabat Jabir, dari Nabi Saw. baginda bersabda: “janganlah sekali-kali perempuan menjadi imam shalat laki-laki, orang-orang Baduy bagi orang-orang Muhajir, dan orang-orang jahat bagi orang-orang Mukmin.” (H. R. Ibn Majjah). Husein kemudian mengutip pendapat Imam Syarafuddin anNawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab. Menurut Nawawi, hadis ini kualitasnya lemah (dhaif)117.
115
Ibid, h. 36
116
Muhammad bin Yazid Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Juz I, no. Hadist 108, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), h. 342 117
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan; h. 37
Sedangkan argumen yang kedua, yang menyatakan keabsahan imam perempuan atas laki-laki didukung oleh hadis Nabi
ْ ِ ََُﻝ2َْاحْ ََ!َ َ اَﻝAَZ ُ ِ ْ اﻝXَِْْ ََ!َ َ وَآGَْ= ِ ََ نْ إ أ:ْWُ َ َ!ََ َدِ ا\َﻥْ[َ رِيSِU ْ ِ ْ َ:ْ?Aُْ اﻝGَ َ ََ!َ ِ ََ*ِْ وXِْ:َ ْ ِ 0ِْ اGَ َ َ ^ََا:? ﻝ$َ3َِ وDَْ$َ 0َ> ا$َN َِG? أَن? اﻝ: ْ]َTْ2َُ ﻥ#ْ ِ َََْ ْ أُِ وَر ٌَضAَِْ> اﻝْ_َْوِ َ َ@َ أT ِْ أَﻥ?'َنَ ﻝ0ْلَ ا2ُ3ََ ر: ُDَُ ﻝ#ْ$ُ: ْ#َ ََار َ ﻝ َ0ِن? اcَT ِ@ِ6َْ >ِT ِْيAَ ََ ل. ًْزَِ ِ =ََ دَةAَ ُْ أَن0َﺽَ آُْ ﻝَ َ]َ اAَ : ََ ل. َََِْةd? اﻝ:َ-ُ* ْ#َََ ﻥT: ََ ل. َََ دَةdْزُُ@َ اﻝAَ >َ$َََ? و ْ? أَن$َ3َِ وDَْ$َ 0َ> ا$َN ِG? ِ اﻝ#َْذَﻥ+َ6ْ3 َT َنfْAُHَْأَتِ اﻝAَ َْ ْ#َوَآَ ﻥ ًًََِ وََ رSُ^ َْتAَ َْ د#َوَآَ ﻥ: ََ ل. َََذَنَ ﻝ+َT, ًَذِﻥOُ َِ> دَارِهT َ'ِg?6َ* ( ْ دَاوُد2ُ َ أK)رَوا 118
Diriwayatkan oleh Abu Dawud: Utsman bin Abi Syaibah menceritakan kepada kami: Waki bin al-Jarrah menceritakan kepada kami: al-Walid bi Abdurahman bin Jumayyi’ menceritakan kepada kami: nenekku dan dan Abdurahman bin Kahllad al-Anshari menceritakan kepadaku dari Ummu arqah bin Naufal: bahwa ketika Nabi Saw. Akan berangkat ke perang Badar, Ummu Waraqah mengatakan: Aku katakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, izinkan aku ikut berperang bersamamu, aku akan merawat mereka yang sakit. Mudah-mudahan Allah menganugerahiku sebagai orang yang
118
Abu Dawud, As-Sunan, Juz I, Hadist No. 591, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), h. 161
mati syahid.” Nabi menjawab: “Sebaiknya kamu tinggal saja di rumahmu. Allah akan menganugerahimu mati syahid.” Abdurrahman bin Khallad mengatakan, “Dia kemudian dipanggil syahidah. Dia mengatakan, “Ummu waraqah setelah membaca al-Quran meminta izin kepada Nabi Saw. Agar diperkenankan menjadi seorang muadzin dan belian mengizinkan.” Perempuan itu mengasuh seorang laki-laki dan perempuan sebagai pembantunya.”(H.R. Abu Dawud). Dalam hadis lain dinyatakan bahwa Abdurrahman bin Khallad mengatakan:
َ َوَآ ًَذِﻥOُ َََِ وََ َ]َ ﻝ6َْ >ِT َ? َُاوِرُه$َ3َِ وDَْ$َ 0َ> ا$َN ن ُ#ََْﻥَ رَأ+َT: ْ َ:ْ?Aُْ اﻝGَ ََ ل. ََم? أَهْ]َ دَارِهOُ* َْ أَنAَََذِنُ ﻝََ وَأOُ ( ْ دَاوُد2ُ َ أKًا )رَواAِْGًَ آgَْ= ََُذِﻥOُ 119
Nabi Saw. Pernah mendatangi rumahnya dan memberinya seorang muadzin dan enyruhnya (Ummu warqah) menjadi imam bagi penghuni rumahnya. Abdurrahman mengatakan, “Aku benar-benar melihat, muadzinnya adalah seorang laki-laki tua.” (H.R. Abu Dawud). Setelah memaparkan kedua hadis Nabi yang dijadikan dasar oleh kedua belah pihak, Husein melanjutkan dengan melakukan kritik sanad dari masing-masing hadits tersebut. Dia mengutip ahli-ahli hadis tentang “keadilan” perawi hadis dari masing-masing pendapat
119
Al-Mundiri, Mukhtasar Sunan Abu Dawud, Juz I, (Maktabah As-Sunan Al Muhammadiyyah, t.t), h. 307
berkesimpulan bahwa, dalam perawi hadis pendapat pertama terdapat Abdullah bin Muhammad al-Adawi, mengenai perawi ini, alBukhari dan Abu hatim ar-Razi mengatakan: “hadisnya tidak bisa diterima (munkar)”, Ibnu Adi mengatakan: “hadits yang dimilikinya hanya sedikit,” Imam al-Daruquthni: ”haditsnya harus ditinggalkan (matruk)”, Imam Waqi bin al-Jarrah mengatakan: “dia sering membuat hadis palsu”, Ibnu Hibban mengatakan: “hadis yang diriwayatkannya tidak boleh dijadikan dasar hukum”, Ibnu Abdul Bar mengatakan: “Hadits yang dikeluarkan Ibn Majjah ini dibikin Abdullah bin Muhammad al-Adwi”. Sedangkan hadis
yang dijadikan argumen oleh pandangan
kedua, terdapat seorang perawi perlu diteliti kualifikasinya yaitu alwalid bin Abdullah bin Jumayyi’ al-Zuhri al-Maliki. Mengenai orang ini, para ulama hadits berkomentar: Ahmad Abu Dawud mengatakan: “Dia tidak bermasalah”, Ibn Ma’in dan al-Ijli mengatakan: “terpercaya (tsiqah)”, Abu Hatim mengatakan: “hadis yang diriwayatkannya bagus”, Ibnu mengelompakannya sebagai orang yang terpercaya, Ibn Sa’d berkata: “dia dapat dipercaya”, sementara al-Uqaili mengatakan bahwa hadits yang diriwayatkannya membingungkan. Selanjutnya
perawi
Abdullah
bin
al-Khalad,
Ibnu
Hibban
memasukannya ke dalam orang yang dipercaya, Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haqq al-Azhim, penulis kitab ‘Aun al-Ma’bud
Syarh Sunan Abu Dawud mengatakan: ”Abu al-Hasan Ibn al-Qaththan berpendapat bah hal-ihwalnya tidak diketahui.120 Setelah
itu,
dia
memaparkan
subtansi
masalah
dari
kepemimpinan perempuan dalam shalat. Menurutnya, dalam banyak persoalan yang terkait dengan relasi laki-laki dan perempuan, baik yang menyangkut bidang ibadah maupun sosial, dimana berlangsung pertemuan antara perempuan dan laki-laki, baik secara bersamasama,
berhadap-hadapan,
mengundang
perhatian
maupun laki-laki,
aktivitas para
perempuan
ulama
fiqh
yang selalu
mengaitkannya dengan alasan khauf al-fitnah (menjaga jangan sampai terjadi fitnah, yakni suasana yang mengganggu atau menggoda hati dan pikiran laki-laki). Dengan alasan seperti ini pula, maka dalam banyak masalah, seperti urutan shaf dalam shalat berjamaah, posisi perempuan dan laki-laki haruslah terpisah dan shaf perempuan berada di belakang laki-laki. Selain itu, perempuan juga tidak diwajibkan shalat Jumat, dilarang menyampaikan khutbah, atau mengumandangkan azan dengan suara yang dapat didengar laki-laki. Bahan perempuan yang keluar rumah untuk mengikuti shalat berjamaah di mesjid juga dianggap kurang baik.121
120
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan;… h. 39-42.
121
Ibid, 44-45
Dengan demikian, alasan yang paling subtansial dari larangan itu adalah karena adanya faktor kekuatiran akan terjadinya fitnah. Setelah
menyimpulkan
demikian,
Husein
melanjutkan
dengan
pertanyaan, jika dengan mekanisme tertentu atau dalam situasi tertentu dan serta waktu tertentu, pertemuan/kebersamaan laki-laki dan perempuan dapat dipastikan tidak akan membawa fitnah, apakah dalam kondisi seperti itu seorang perempuan diperbolehkan menjadi imam shalat untuk kaum laki-laki? Mungkinkah pendapat Abu Tsaur juga didasarkan atas alasan ini? Husein merekomendasikan bahwa untuk memberdayakan dan mensetarakan hak-hak kaum perempuan dari ketidakadilan dan kekerasan yang dialami selama ini perlu dilakukan dua hal sebagai berikut; pertama, reinterpretasi teks (untuk membangun basis teoritis bagi pemahaman dan tradisi baru yang lebih serta selaras dengan pesan-pesan subtansial Islam untuk memuliakan kaum perempuan), hal tersebut telah dijelaskan di dalam kerangka metodologi K. H. Husein Muhammad. Kedua, sosialosasi keadilan gender122. Langkah pertama sekalipun teoritis jelas menyimpan tingkat kerumitan dan resiko tersendiri. Namun dalam konteks masyarakat Indonesia, langkah tersebut merupakan kebutuhan mutlak dan tak
122
Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan, h. 314
terhindarkan. Masyarakat jelas membutuhkan panduan dalam beragama,
termasuk
perempuan,
maupun
dalam
persoalan
berkaitan
dengan
relasi
laki-laki
posisi
sosial
dan kaum
perempuan123. Langkah
kedua
adalah
langkah
praktis,
yakni
berupa
sosialisasi keadilan gender atau dalam bahasa populernya disebut
gender mainstreaming (pengarusutamaan gender). Melalui langkah strategis ini, penyadaran akan berbagai bentuk ketidakadilan dan kekerasan terhadap perempuan yang kini banyak terjadi di masyarakat, harus terus dilakukan secara berkelanjutan.124 Meskipun Husein hanya sampai pada pertanyaan, penulis mempunyai
pandangan
diperjuangkannya
selama
tersendiri ini
yaitu
dari
apa
yang
menginginkan
terus adanya
transformasi. Itu bisa dilihat dari konsistensinya sebagai seorang yang selalu menenkankan perlunya keputusan fiqh merujuk realitas yang berkembang, baik sosial, ekonomi, maupun politik. Bahkan dalam pandangannya realitas harus menjadi salah satu dasar utama dalam memahami teks-tekas agama, agar ajaran agama (teks-teks agama) selalu kontekstual dan tidak a historis, atau dalam bahasa fiqh shalihun likulli zaman wa makan. Oleh karena itu, ketika realitas soaial menunjukkan bahwa perempuan itu mampu, pintar, dan layak, 123
Ibid, h. 314
124
Ibid, h. 315
maka keputusan fiqh mengenai kepemimpinan ini sangat mungkin berubah.
C. Apresiasi dan Kritik terhadap Pemikiran K. H. Husein Muhammad
Gagasan-gagasan Husein Muhammad disambut baik oleh berbagai
kalangan
terutama
kalangan
yang
salama
ini
memperjuangkan ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan. Tak heran kemudian jika dia harus sibuk mengisi seminar-seminar nasional dan internasional. Farid Essack, seorang pemikir Afrika Selatan berdecak kagum atas apa yang dilakukannya. Dia kaget bahwa pendapat-pendapat Husein berdasrkan teks-teks klasik. Andrea Filliard menganggap pendapatnya tentang kepemimpinan perempuan diantara makmum laki-laki adalah berani. K. H. Sahal Mahfudz, seorang pakar fikih Indonesia juga tak urung memuji kemampuannya dalam penguasaan teks-teks fiqh. Akan tetapi, karena gagasan-gagasannya itu, dia juga pernah dihakimi oleh para kiai NU. Itulah sebuah risiko yang mesti ditanggung. Tetapi penulis yakin bahwa yang menghakimi itu adalah bentuk dari apresiasi juga. Husein Muhammad adalah teks yang belum selesai, demikian istilah M. Nuruzaman. Sebagai sebuah teks yang belum selesai, dia tak lepas dari kekurangan dan kelebihan. Tak ada gading yang tak
retak, begitu kata pepatah. Tetapi hal itu semata-mata tergantung siapa yang membacanya dan sisi mana yang dilihatnya. Bagi penulis, ada beberapa hal yang mesti digarisbawahi atau di kritisi dalam pemikiran K. H. Husein Muhammad. Pertama, Sebagai seorang feminisme laki-laki, dia tidak memiliki landasan teoritis dari teoriteori feminisme. Gagasannya susah untuk diletakkan dalam aliran feminisme arus utama. Oleh karena itu, dia tidak bisa menjelaskan persoalan penyebab ketimpangan jender secara lebih tajam. Kalau kita bandingkan dengan feminisme liberal misalnya, kita akan menemukan hal itu. Menurut feminisme liberal, kaum perempuan terbelakang disebabkan oleh mereka sendiri yang tidak mampu bersaing dengan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme aliran ini fokus perjuangannya adalah menuntut kesempatan dan hak yang sama bagi setiap individu termasuk perempuan.
Kedua, kerangka metodologi yang diajukan Husein dalam melakukan pembelaan terhadap perempuan belum jelas, misalnya kalau kita bandingkan dengan feminisme liberal, yang menganggap bahwa ketertindasan perempuan karena perempuannya sendiri tidak bisa bersaing dengan laki-laki, maka harus dilakukan dengan pendekatan psikologis (membangkitkan kesadaran individu), dan perlunya pembaharuan hukum yang lebih menguntung perempuan serta berbasis kesetaraan.
Akan tetapi, bagi penulis apa yang dilakukan Husein bukanlah suatu yang mudah dilakukan. Banyak aral melintang karena dia berhadapan dengan budaya yang sudah tertanam kuat yang ditopang oleh agama. Apa yang dilakukannya sangat urgen dan kontekstual dalam kekinian dan keindonesian. Posisinya menjadi khas dibanding feminis-feminis lain pemikirannya bersumber dari teks-teks klasik. Pandangan-pandangan ulama klasik dari berbagai mazhab fiqh dan disiplin ilmu agama dipaparkan secara seimbang, transparan dan secara umum tuntas dalam kaitannya dengan tematema
kepemimpinan
perempuan.
perempuan
dalam
shalat,
khitan,
aurat
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Kekerasan terhadap perempuan baik secara fisik maupun psikis, sudah sejak lama berlangsung. Hingga kini terus terjadi dengan berbagai bentuk, motif, dan pelakunya. Salah satu penyebabnya adalah cara pandang dan penafsiran terhadap teks-teks agama yang tidak ramah perempuan. Begitu pula dalam Islam. Itu bisa kita lihat dari pandangan para ulama mainstream yang terdokumentasikan dalam fiqh. Pandangan para ulama tersebut tumbuh subur dalam budaya patriarkhi. Akhirnya, pandangan
tersebut
menghegemoni,
kemudian
terus
direproduksi,
dipercayai bahkan menjadi ideologi. Akan tetapi, dari dulu hingga kini selalu saja ada kalangan yang berbeda pendapat dengan wacana yang dominan tersebut. Tentu saja kalangan ini hanya sedikit jumlahnya dan nasibnya tidak beruntung. Mereka selalu dianggap menyimpang, tersingkirkan dan kadang dianggap salah. Salah satu contoh dari kalangan ini adalah Abu Tsaur. Ia berani berpendapat beda dengan kalangan mainstream. Setelah penulis mengkaji dan memaparkan pembahasan skripsi ini, maka dari hasil penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan:
1.
Islam adalah agama rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam, sehingga sangat tidak menghendaki ajarannya menganjurkan kekerasan. Jika ada sebagian ajarannya yang berindikasi demikian, kita harus mengembalikan pada spirit agama
yang anti-kekerasan dan
kedamaian.
Untuk mencapai
kemaslahatan dalam bermasyarakat dan berbangsa. 2.
Dengan modal dasar penguasaan teks-teks klasik (kitab kuning) yang berisi dengan masalah HAM, Husein melakukan reinterpretasi dan redefinisi terhadap teks-teks keagamaan yang tidak ramah perempuan. Kemudian, mengkontekstualkannya dengan realitas kekinian dan kedisinian. Strategi yang dilakukannya adalah mencari pendapat-pendapat ulama semacam Ibnu Tsaur itu. Ketika ada ayat al-Quran yang dijadikan sebagai legitimasi penindasan terhadap perempuan, dia menghadirkan teks lain yang mengusung semangat persamaan dan kesetaraan. Begitu pula ketika bertemu dengan hadis Nabi yang bernada sama, dia mencari hadis lain yang berlawanan. Bahkan lebih jauh, ia melacak para perawi dan melakukan kritik sanadnya. Implikasi dari pemikiran Husein, melakukan tidak kekerasan terhadap perempuan sangat bertentangan dengan spirit al-Quran.
3.
Seperti diketahui, di Indonesia masih banyak terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan. Salah satu penyebabnya adalah pemahaman
keagamaan yang
tidak ramah perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa agama sangat berpengaruh dalam pemikiran dan perilaku masyarakat. Apa yang dilakukan Husein – Pertama, melakukan reinterpretasi dan redefinisi- terhadap teks-teks keagamaan yang tidak ramah perempuan, sangat urgen dalam konteks
keindonesiaan untuk meminimalisirnya. Kedua, sosialisasi keadilan gender atau
dalam
bahasa
populernya
disebut
gender
mainstreaming
(pengarusutamaan gender). Melalui langkah strategis ini, penyadaran akan berbagai bentuk ketidakadilan dan kekerasan terhadap perempuan yang kini banyak terjadi di masyarakat, harus terus dilakukan secara berkelanjutan B. Saran Saran--saran
Di akhir penulisan skripsi ini, penulis mengajukan saran-saran, baik yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan pokok pembahasan dalam skripsi ini. Penulis berharap semoga saran-saran ini bermanfaat bagi segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta masyarakat pencari keadilan dan kesetaraan, khususnya kaum perempuan. 1.
Untuk segenap civitas akademika UIN syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya Fakultas Syariah dan Hukum, baik dosen maupun mahasiswa. Pertama, sebagai kalangan intelektual dengan konsentrasi dalam masalah hukum, seharusnya menjadi kalangan terdepan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam yang ramah perempuan. Kedua, sebagai kalangan intelektual, sejatinya melakukan penelitian dan penulisan lebih intens tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
2.
Kepada masyarakat secara umum dapat dikemukakan bahwa Islam dan gender secara substansial tidak bertentangan. Bahkan nilai-nilai Islam
juga
menjunjung
tinggi
kesetaraan
gender.
Perjuangan
mewujudkan kesetaran gender adalah sebagai salah satu wujud melaksanakan ajaran Islam.
3.
Kepada pihak yang berwenang dalam proses regulasi, penegak hukum, untuk lebih meningkatkan dan memaksimalkan penghapusan tindak-tidak kekerasan terhadap perempuan karena negara sudah memiliki payung hukum yang jelas.
4.
Kepada para aktifis perempuan ketika melakukan sosialisasi isu-isu kesetaraan gender ke komunitas yang berbasis agama seperti pesantren, maka yang perlu diperhatikan adalah cara penyampaiannya harus dikemas dengan menggunakan bahasa atau logika agama. Karena ajaran agama menjadi referensi utama mereka. Untuk meminimalisir
munculnya
berbagai
tantangan
maka
sosialisasi
kesetaraan gender harus dilakukan secara halus, moderat, dan evolutif, bukan kasar, radikal, liberal dan revolusioner.
5.
Kepada seluruh lapisan masyarakat hendaknya menyadari bahwa kekarasan terhadap perempuan dalam bentuk apa pun adalah menyalahi spirit agama dan hukum negara.
6.
Bagi peneliti selanjutnya yang hendak membahas tema yang sama, kami menyarankan agar dapat membahas kekerasan lebih mendalam dan detail.
Daftar Pustaka
Al-Atsîr, Ibn, Jâmi’ al-Ushûl, Beirut: Dar al-Fikr, t.t. Al Jasshash, Ahmad bin Ali ar-Razi, Ahkam al-Qur’an, Beirut: Daar al-Ihya al Turats al Arabi, t.t. Ann Hoff, Lee. Violence Issues; An Interdisciplinary Curriculum for Health Profesional. Canada; Health Services Derectorate Health, 1994. Arani, Amiruddin ed., Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan; Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda. Jakarta: Rahima, 2002. Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali, Fath al-Qadir, Beirut: Daar al-Fikr, t.t. Berker, Crish. Cuktural Studies; Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2005. Collmann, Nathalie. Kekerasan Terhadap Perempuan (Program Seri Lokakarya Kesehatan Perempuan). Jakarta, YLKI & The Ford Foundation, 1998. Dawud, Abu, As-Sunan, Beirut: Dar al-Fikr, t.t. Endraswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003 Faishol Adib dan Farid Muttaqin, “Panduan untuk Pendamping Perempuan KorbanKekerasan Berbasis Pesantren, Jakarta: PUAN Amal Hayati, 2005. Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003 Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 2000 Ibn Majah, Muhammad bin Yazid, Sunan Ibn Majah, Beirut: Dar al-Fikr, t.t. Jurnal Swara Rahima Edisi XX, tahun VI, Desember 2006 Makalah Annual Conference Kajian Islam 2006 yang diselenggarakan oleh Departemen Agama RI di Lembang Bandung, 26-30 November 2006.
Makalah Pelatihan, Hak Reproduksi Perempuan Menurut Islam, untuk Pelatih dalam program penguatan hak-hak kesehatan perempuan dikalangan masyarakat Islam, yang diselenggarakan P3M di Yogyakarta Pada Bulan Agustus 1995 Marie Wattie, Anna (editor), Tembok Tradisi dan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan, Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, 2002. Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997 Mudzhar, M., Atho., dkk (ed.), Wanita dalam Masyarakat Indonesia; Akses Pemberdayaan dan Kesempatan, Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2001. Muhammad, Husein, K.H. Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai Pesantren. Yogyakarta: LKIS, 2004. _________________. Fiqih Perempuan; Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: LKIS, 2007. Mundiri, Al, Mukhtasar Sunan Abu Dawud, Maktabah As-Sunan Al Muhammadiyyah, t.t. Neil, Alan Weiner dkk, Violence: Patterns Causes, Public Policy, New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1990. Nuruzzaman, M., Kiai Husein Membela Perempuan,Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005. Parrinder, Geoffrey, Teologi Seksual, (terj), Yogyakarta, LKIS, 2005 Patria, Nezar, dan Arief, Andi, Antonio Gramsci; Negara dan Hegemoni, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003 Pusat Kajian Wanita dan Gender UI, Hak Azasi Perempuan Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004. Qurthubi, al, -al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Kairo Mesir: Daar al-Sya’bi, t.t. Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2006.
Shihab, Quraish M., Perempuan, Jakarta; Lentara Hati, 2006. _________________. Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i Persoalan Umat, Bandung, Mizan, 2000.
atas Pelbagai
_________________.Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan, 1996. Sevilla, Consuelo G., dkk., Pengantar Metode Penelitian, Penerj. Alimuddin Tuwu, Jakarta: UI Press, 1993 Shulamit, Reinharz, Metode-metode Feminis dalam Penelitian Sosial, Penerj. Lisabona Rahman dan J. Bambang Agung, Jakarta: Women Reseach Institute, 2005 Suaedy, Ahmad, (editor), Kekerasan dalam Perspektif Pesantren, Jakarta: Grasindo, 2000. Subhan, Zaitunah, Kekerasan Terhadap Perempuan, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004. Sudiarti Luhulima, Achie, Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya Jakarta: Pusat Kajian Wanita dan Jender UI, 2000. Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 1999. Wahid, Din dan Jamhari Makruf editor. Agama Politik Global dan Hak-hak Perempuan Jakarta; PPIM UIN Jakarta, 2007.