ISSN 1411- 3341
8 PERSPEKTIF SOSIOLOGIS TENTANG KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM RUMAH TANGGA Oleh : Syufri ABSTRAK Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga adalah masalah keluarga yang sulit terekspos dirana publik, sebagai akibat dari adanya anggapan masyarakat bahwa masalah tersebut adalah suatu hal yang wajar dan dapat diselesaikan secara intern dalam suatu keluarga. Budaya Patriarki dan Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama dan kepercayaan serta Peniruan seorang anak laki-laki terhadap karakter ayahnya, adalah faktor-faktor dominan penyebab terjadi kekerasan tersebut. Oleh sebab itu, pendekatan-pendekatan secara idologis seperti kampanye untuk menghentikan pelbagai bentuk ketidak adilan gender serta mempelajari berbagai teknik oleh kaum perempuan dalam menghentikan kekerasan. Kata Kunci : Kekerasan Terhadap Perempuan. PENDAHULUAN Berbagai peristiwa kekerasan terhadap perempuan terus terjadi di sekitar kita di belahan bumi ini, sedikitnya seorang peermpuan selalu disiksa, pemaksaan melalui sex, atau perlakuan kejam disepanjang hidupnya. Akan tetapi persoalan ini tidak segera terlihat sebagai hal yang serius oleh masyarakat (Population Reports Number 4,December 1999). Kekekerasan terhadap perempuan sebenarnya sudah sejak dulu ada, akan tetapi masalah ini kurang terungkap. Hal ini disebabkan karena
JURNAL ACADEMICA Fisip Untad
VOL. I 2009
95
ISSN 1411- 3341
kekerasaan terhadap perempuan selalu dianggap suatu hal yang wajar terjadi dan merupakan masalah intern suatu rumah tangga, khususnya dalam hubungan suami istri dan apabila masalah ini terungkap, maka akan menjadi aib dalam keluarga tersebut. Dalam proses yang sangat lamban, persoalan kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dianggap sebagai salah satu sebab utama rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan ekonomi dan sosial. Masalah kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga pada mulanya hanya dilihat sebagai masalah privat, meskipun akhirnya dikethui bahwa dialah yang menjadi penyebab utama kecilnya partisipasi perempuan dalam berbagai sektor kehidupan yang menunjang kemajuan suatu bangsa. Menurut Dutton, banyak studi yang berfokus pada kekerasaan terhadap perempuan terutama terhadap istri. Dari hasil studi dan penelitian tentang kekerasaan terhadap perempuan yang dilakukan di Philipina teridentifikasi bahwa kekerasan terhadap perempuan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adalah; adanya kecemburuan para pria yang tidak dapat mengontrol emosinya, pria yang alkoholik, pria dibawah pengaruh obat-obatan, pria yang frustasi dalam kehidupannya, ketidakpuasaan dalam kehidupan sex dengan istri, istri-istri yang sering mengomel, dan istri-istri pembangkang. Akar dari kekerasan tersebut berada dalam orientasi budaya. Hal ini ditoleransi, kekuasaan pria atas wanita dan anakanak untuk menekankan keberadaan kewenangan tradisional dari keluarga dan instituasi sosial lainnya, misalnya pemukulan terhadap istri dan anak-anak secara umu ditoleransi. Dalam masyarakat Philipina beberapa pria tetap mempercayai kebiasaan memukul adalah secara umum diakui, dianggap biasa. Beberapa orang menerima hal ini sebagai bentuk yang syah sebagai usaha dalam mendisiplinkan anggota-anggota keluarganya, serta memperkokoh kekuasaan pria dalam rumah tangga.
96
JURNAL ACADEMICA Fisip Untad
VOL. I 2009
ISSN 1411- 3341
Lembaga sosial mendukung melegalkan penggunaan kekuatan oleh laki-laki untuk memeliharA struktur tradisonal keluarga serta hubungan-hubungannya. Media, Gereja, sistem pendidikan dan bahkan budaya politik dari negara, semuanya menghasilkan stereotipe ide-ide maskulin dan feminim yang disyahkan untuk mengampuni tindakan kekerasan. Alasan lain mengapa istri-istri selalu ditempatkn sebagai pihak yang selalu mengalami perlakuan kasar dari suami-suaminya dikarenakan ketergantungan ekonomi, ketakutan atas pemukulan dan saran dari pihak keluarga dan temanteman menganggap hal tersebut bersifat sementara. DEFENISI DAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Seperti banyak terungkap dari hasil studi dan penelitian bahwa kecendrungan terjadinya kekerasaan terhadap perempuan dalam rumah tangga lebih disebabkan karena faktor budaya patriarki. Menurut Mascionis, patriarki adalah suatu bentuk organisasi sosial dalam mana laki-laki mendominasi perempuan. Laki-laki mempunyai nilai lebih dihargai. Budaya patriarki menganggap . Kekerasan laki-laki terhadap perempuan datang dari kekuasaan laki-laki dan laki-laki juga yang ingin mempertahankan kekuasaan. Faktor lain penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga adalah; Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama dan kepercayaan, yang cenderung menafsirkan secara keliru sehingga menimbulkan anggapan bahwa laki-laki menguasai perempuan, dan Peniruan, dimana anak laki-laki yang hidup bersama ayahnya yang pemukul, biasanya akan meniru ayahnya. Prilaku tersebut akan dianggap sebagai suatu pola komunikasi yang kelak akan diterapkan terhadap pasangannya. Semua orang dan anak khusunya memiliki kecendrungan kuat untuk meniru orang lain, orang yang paling banyak ditemui, merupakan orang yang paling banyak ditiru. Orang tua memiliki kriteria ini dan merupakan model utama bagi seorang anak pada masa awal kehidupannya. Bila orang
JURNAL ACADEMICA Fisip Untad
VOL. I 2009
97
ISSN 1411- 3341
tua bertindak agresif, maka anak itu juga akan bertindak agresif (sears dkk, 1991:12-14) Menurut Gelles dan Straus, kekerasaan adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja atau bermaksud menyakiti orang lain, sedangkan defenisi PBB tentang kekerasaan terhadap perempuan (violence against woman) adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehiudupan pribadi. Defenisi-defenisi kekerasaan terhadap perempuan meliputi : 1. Kekerasaan fisik dan psikologi yang terjadi dalam keluarga termasuk pemukulan, pelanggaran seksual terhadap anak perempuan dalam rumah tangga, kekerasaan yang berkaitan dengan mahar, pemerkosaan dalam perkawinan, pengrusakan alat vital wanita dan praktek tradisional yang merugikan wanita, kekerasaan yang dilkaukan oleh bukan suami-istri dan kekerasaan yang berkaitan dengan eksploitasi. 2. Kekerasaan fisik, seksual dan psikologi dalam masyarakat umum, termasuk pemerkosaan, pelanggaran seksual, gangguan seksual, perdagangan wanita dan prostitusi yang dipaksakan. 3.
Kekerasaan fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan, diampuni oleh negara, dimanapun terjadi. (Konferensi Dunia ke-4 tentang wanita, 1995)
BENTUK-BENTUK PEREMPUAN
KEKERASAAN
TERHADAP
Bentuk-bentuk kekerasaan bisa sangat subtil, yakni melalui bahasa yang dibentuk oleh masyarakat yang didominasi oleh budaya pariarkhi. Budaya patriarkhilah yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan, sementara negara hanyalah salah
98
JURNAL ACADEMICA Fisip Untad
VOL. I 2009
ISSN 1411- 3341
satu pelaku kekerasan. Menurut Laporan Bank Dunia tahun 1991, bentuk kekerasaan terhadap perempuan terbanyak adalah penyiksaan terhadap perempuan dalam relasi hubungan intim dan mengarah pada sistematika kekuasaan dan kontrol. Pelaku berupaya untuk menerapkannya kepada perempun melalui penganiayaan secara fisik, emosi, seksual, dan sosial. Dari hasil studi yang dilakukan oleh Kalakasan di Kota Metro Philipina mengindentifikasikan bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yakni: 1. Kekerasan fisik, meliputi menempelng muka, meninju dan menjambak rambut. 2. Kekerasan seksual, meliputi pemerkosaan, perbuatn cabul, penganiyaan seksual dan godaan seksula. 3. Kekerasaan emosi yang secara langsung ditujukan kepada korbannya, dan yang secara tidak langsung meliputi; mengancam hidup orang lain, mempunyai gundik atau istri simpanan, peminum alkohol dan budak obat-obatan. 4. Kekerasaan ekonomi, meliputi tidak memberikan bantuan keuangan, menyalah gunakan dana keluarga dan menggunakan dana keluarga untuk kejahatan yang lainnya. Kedudukan ekonomi dan sosial yang rendah dari perempuan menjadi sebab sekaligus akibat dari perlakuan kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan menjadi kendala untuk mencapai sasaran persamaan (hak), pembangunan dan perdamaian. Kekerasan terhadap perempuan mengganggu dan melanggar serta meniadakan kenikmatan perempuan akan hak-hak azasi serta kebebasan pokok mereka. Kekerasan bisa dilakukan oleh siapa saja. Dalam relasi kekuasaan, kekerasan bisa dilakukan oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah dan kenyataannya bahwa kekerasan lebih banyak menimpa perempuan, baik secara fisik maupun non-fisik. Perempuan cenderung sebagai korban kekerasan
JURNAL ACADEMICA Fisip Untad
VOL. I 2009
99
ISSN 1411- 3341
yang dilakukan oleh anggota keluarga atau pasangan karib dari pada laki-laki. Dalam konteks kekerasaan terhadap perempuan yang menjadi persoalan utama adalah bagaimana membongkar masyarakat patriarki-bangunan politik laki-laki, Dampak dari budaya patriarkhi ini sangat terasa, sangat banyak sektor publik yang menjadi tantangan bagi kaum perempuan, disamping makin terpuruknya perempuan karena budaya kekerasan (Zohra,69,2000). Ladang kekerasan terhadap perempuan adalah rumah tangga. Rumah tangga menjadi ladang subur terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Hal ini terjadi karena sampai sekarang persepsi masyarakatnya umumnya masih menganggap kekerasaan di rumah tangga adalah urusan pribadi. Dengan demikian, bukan sesuatu yang melanggar hak azasi perempuan. Dari hasil studi Rosario, ditemukan beberapa alasan mengapa wanita ditempatkan sebagai pihak yang selalu disiksa (perlakuan kasar) yaitu karena adanya perasaan rendah diri, tidak mampu membuat keputusan, janji-janji dari pasangannya untuk berubah atau tidak memukul lagi, ketakutakan bahwa pelaku juga akan melukai anakanak mereka, anak akan diambil alih, melakukan demi anak, dianggap tidak memiliki cukup alasan untuk bercerai dan pihak orang tua yang akan menyalahkan mereka apabila terjadi perceraian. Sedangkan studi-studi tentang aspek psikologi dari perempun korban pemukulan diiindikasikan mengalami trauma akibat seringnya mereka disiksa, kemudian bercampur dengan reaksi trauma akibat seringnya mereka disiksa, kemudian bercampur dengan reaksi emosional terhadap kemarahan, kebingungan, pemalu, tidak punya kekuatan atau lemah dan mengalahkan diri sendiri. Pemukulan pada perempuan dirasionalkan sebagai ketidak mampuan perempuan mengakhiri perlkauan kasar dari pelaku yang berkaitan dengan perilaku perempuan yaitu istri masih mencintai suami atau pasangannya, perempuan dianggap tidak berhak marah, karena
100
JURNAL ACADEMICA Fisip Untad
VOL. I 2009
ISSN 1411- 3341
dianggap bereaksi berlebihan, perempuan dianggap salah jika sendiri dan kesepian, laki-laki mempunyai banyak masalah dan hanya istri yang dapat mengerti hal tersebut, dan laki-laki (suami) tersebut dapat berubah lebih baik atau menjadi baik. (Sylvia H. Guerrero and Carolyn I.Sobritchea, the Realitation Of Family Violence in The Pohilipina Reccomendation For Change ( Maria E.Pandu, Sosiologi Keluarga dan Gender). Untuk itulah timbul pertanyaan, mengapa kekerasan terhadap perempuan khususnya dalam rumah tangga harus menjadi perhatian?. Pertama, karena ruang lingkupnya tertutup sehingga menyebabkan kejahatan yang tersembunyi atau yang lebih dikenal dan . Kedua, kekerasan dianggap wajar dan dilanggengkan oleh budaya, dan ketiga, terjadi dalam suatu lembaga yang legal yaitu keluarga. Kesemuanya diatas disebabkan interpretasi yang salah terhadap agama, ideologi dan budaya, serta adanya pengaruh role model. KEKERASAAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS Para ahli sosiologi harus melihat lebih jauh masalah kekerasan dalam keluarga dengan menggunakan seperangkat teori untuk memahami dinamikan interaksi-interaksi sosial dan fungsi dari institusi sosial khususnya keluarga. Goode menjelaskan bagaimana keluarga sebagai institusi sosial menekankan peran atau fungsi seorang suami atau ayah yang mempunyai kekuatan untuk bersikap tegas dan memecahkan masalah-masalah ketidak disiplinan anggotaanggota keluarga. Lebih jelas dari struktur fungsional bahwa keluarga merupakan kerangka pembentukan sosialisasi dengan mengasumsikan seperti anak-anak, masyarakat pertama kali belajar secara mekanik tentang imbalan dan hukuman (secara langsung dan mewakili). Selama proses sosialisasi, individu-individu membangung kepribadian
JURNAL ACADEMICA Fisip Untad
VOL. I 2009
101
ISSN 1411- 3341
berdasarkan komitmen dengan norma-norma, nilai-nilai dan prilakuprilaku mereka belajar sesuai dengan karakteristik jenis kelamin. Dalam masyarakat dimana menggunakan kekuatan fisik dan perilaku yang agresif atau perilaku yang dipahami sebagai sifat maskulin, laki-laki disosialisasikan kedalam prilaku agresif. Mereka diajarkan secara langsung dan tidak langsung bahwa hal ini sangat tepat dalam menghadapi atau memecahkan masalah dan menunjukkan otoritas dalam situasi tertentu. Perempuan, dilain pihak disosialisasi untuk tunduk kepada otoritas laki-laki. Mereka telah dianjurkan berusaha memilih karakter atau sifat untuk dapat menggantikan kepemimpinan laki-laki dalam keluarga. Mengutif teori struktural fungsional (salah satu grand teori sosiologi), perspektif fungsional, melihat bahwa peran dan fungsi seorang suami atau ayah yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk bersikap tegas dan memecahkan masalah ketidakdisiplinan pada anggota keluarga. Laki-laki disosialisasikan ke dalam prilaku agresif. Mereka diajarkan secara langsung maupun tidak langsung untuk memecahkan dan menghadapi masalah serta menunjukkan otoritas mereka dalam situasi tertentu. Sedangkan perempuan disosialisikan untuk tunduk kepada otoritas laki-laki dan mereka telah dianjurkan berusaha memilih sifat untuk dapat menggantikan kepemimpinan laki-laki dalam keluarga. Mengutip analisis Marx (persspektif konflik) tentang kesadaran Dobash dan Dobash mengatakan bahwa agresi atau penyerangan terhadap kelas pekerja laki-laki menjadikan mereka frustasi karena beban pekerjaan dan tekanan dari kelas penguasa. Persepsi ini, menitip beratkan pada kekerasan dan ketidaksetaraan kelas dan bukan dalam kekuasaan laki-laki. Kritik-kritik dari perspektif ini dijelaskan bahwa; yang miskin Cenderung pada kekerasaan, dan perempuan lebih subordinat secara sosial mereka diuntungkan dan secara ekonomi mereka tidak mendapatkan apa-apa.
102
JURNAL ACADEMICA Fisip Untad
VOL. I 2009
ISSN 1411- 3341
Persfektif sosiologi tentang penyimpangan telah digunakan untuk memahami kekerasan dalam keluarga. Ide dasarnya adalah sifat kasar dari individu adalah penyimpangan sejak mereka tidak mampu menyesuaikan dari hal-hal yang normal. Penyimpangan yang terlihat melalui prilaku kasar yang mungkin terbawa karena terdapat halhal.yang tidak terpenuhi pada masa kanak-kanak, kekurangan kasih sayang dan perawatan dimasa kanak-kanak atau hubungan-hubungan rahasia yang kasar sebelumnya. PENGHENTIAN KEKERASAAN TERHADAP PEREMPUAN Solusi dalam menghentikan masalah kekerasaan, pelecehan dan berbagai stereotipe terhadap perempuan, diperlukan suatu aksi jangka pendek dan jangka panjang. Untuk jangka pendek, kaum perempuan sendiri harus mulai memberikan pesan penolakan secara tegas kepada mereka yang melakukan kekerasan dan pelecehan agar tindakan kekerasan dan pelecehan tersebut terhenti. Membiarkan dan menganggap biasa terhadap kekerasan pelecehan berarti mengajarkan dan bahkan mendorong para pelaku untuk melanggengkannya. Pelaku penyiksaan, pemerkosaan dan pelecehan seringkali salah kaprah bahwa ketidak tegasan penolakan dianggapnya diam-diam perempuan juga menyukainya. Perlu kiranya dikembangkan kelompok perempuan yang memungkinkan mereka saling membahas dan saling membagi rasa pengalaman untuk berperan mengahadapi masalah kekerasan dan pelecehan. Karena kekerasan, pemerkosaan, pelecehan dan segala bentuk yang merendahkan kaum perempuan bukan semat-mata salah kaum perempuan saja, maka usaha untuk menghentikan secara bersama perlu digalakkan. Yang termasuk kegiatan praktis jangka pendek ini adalah mempelajaari berbagai teknik oleh kaum perempuan sendiri guna menghentikan kekerasan, pemerkosaan, dan pelecehan. Misalnya mulai membiasakan diri mencatat setiap kegiatan dalam buku harian, termasuk sikap penolakan dan responsi yang diterima, secara jelas
JURNAL ACADEMICA Fisip Untad
VOL. I 2009
103
ISSN 1411- 3341
dan dimana. Catatan ini kelak akan berguna jika peristiwa tersebut ingin diproses secara hukum. Usaha seperti menyuarakan uneg-uneg kekolom surat kekolom surat pembaca perlu diintesifkan . Usaha ini tidak saja memiliki dimensi praktis jangka pendek tetapi juga sebagai upaya pendidikan dengan cara kampanye anti kekerasan dan anti pelecehan terhadap kaum perempuan bagi masyarakt luas. Secara praktis dalam surat-surat itu haru tersirat semacama ancaman, yakni jika pelecehan dan kekerasan tidak segera dihentikan, maka kejahatan semacam itu bisa dan akan dilaporkan ke penguasa. Pada tingkatan yang lebih atas. Kesankan bahwa anda tidak sendiri melainkan suatu kelompok perempuan yang tengah menyadari hal itu. Suatu kelompok atau organisasi lebih sulit diintimidasi ketimbang individu. Sedangkan usaha jangka panjang perlu dilakukan untuk memperkokoh usaha praktis tersebut. Mengingat usaha-usaha praktis diatas sering kali justru berhenti dan tidak berdayahasil, karena hambatan ideolologis, misalnya bias gender, sehingga sistem masyarakat justru akan menyalahkan korbannya, maka perjuangan strategis ini meliputi berbagai peperanngan ideologis di masyarakat. Bentuk-bentuk peperangan tersebut misalnya dengan melancarkan kampanye kesadaran kritis dan pendidikan umum masyarakat untuk menhentikan pelbagai bentuk ketidak adilan gender. Upaya strategis itu, perlu dilakukan dengan berbagai langkah pendukung, seperti melakukan studi tentang berbagai bentuk ketidakadilan gender da manifestasinya baik di masyarakat, negara maupun dalam rumah tangga ( DR. Mansour Fakih) KESIMPULAN Kekerasan yang terjadi terhadap perempuan utamanya terhadap istri dalam lingkungan rumah tangga dianggap wajar dan merupakan masalah intern. Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga harus menjadi perhatian karena ruang lingkupnya tertutup sehingga menyebabkan hidden crime dan dark number, terjadi dalam sebuah
104
JURNAL ACADEMICA Fisip Untad
VOL. I 2009
ISSN 1411- 3341
lembaga yang legal yaitu keluarga dan kekerasan dianggap wajar dan dialnggengkan oleh budaya. Kesemuanya ini diakibatkan karena interpretasi yang salah terhadap agama, ideologi dan budaya serta adanya pengaruh role model. Dampak dari kekerasan yang dialami oleh perempuan secara terus menerus akan mengakibatkan sulit berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, akibatnya mereka akan merasa terasing dengan lingkungan sekitarnya. Tingginya tingkat kecurigaan terhadap orang lain khususnya orang yang tidak dikenalnya. Untuk menghentikan masalah kekerasan, maka upaya yang harus dilakukan adalah: pertama, kaum perempuan sendirilah yang harus mulai memberikan pesan penolakan secara tegas, agar tindakan kekerasan tersebut terhenti. Kedua, memperjuangkan melalui perang idiologi di masyarakat, misalnya dengan melakukan kampanye anti kekerasaan dan hal yang paling penting adalah adanya kepastian hukum yang melindungi perempuan dari bentuk-bentuk kekerasaan yang terjadi baik didalam maupun diluar rumah.
DAFTAR PUSTAKA Baso, Zohra, Andi, 2000, Langkah Perempuan Menuju Tegaknya hak -hak Konsumen, Makassar, Yayasan YLKI Sul-Sel, The Ford Foundation. Fakih, Mansour DR, Analisis Gender dan Transformasi Sosial; Pustaka Pealajar, Jogjakarta, 201. Ollenburger, Jane, C.Moore; Sosilogi Wanita, Rineka Cipta, jakarta, 1996. Sears, David O, dkk, 1991; Psikologi Sosial (Jilid 20), Jakarta , LP3ES. Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi Edisi Kedua; Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta, 2000. Pandu, Maria, Dra, MA; Sosiologi Keluarga dan Gender , Bahan Kuliah Pasca Unhas, 2000. Population Report, December 1999, Number 4 Volume XXVII, Ending Violence Against Woman.
JURNAL ACADEMICA Fisip Untad
VOL. I 2009
105