KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM SINETRON INDONESIA (Studi Deskriptif Kualitatif Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Sinetron Indonesia) Nia Lestari 100904060 ABSTRAK Penelitian ini membahas mengenai kekerasan terhadap perempuan dalam sinetron Indonesia. Penelitian ini memfokuskan pada metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Peneliti berusaha mengidentifikasi bentuk kekerasan terhadap perempuan yang ditunjukkan dalam sinetron Indonesia dan ingin mengetahui bagaimana adegan kekerasan di sinetron menempatkan posisi perempuan. Objek penelitian adalah satu episode di setiap judul sinetron yang berada pada rating tinggi berdasarkan AGB Nielsen Media Research yang tayang mulai tanggal 20 Maret hingga 27 Maret 2014 yaitu, sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series (RCTI) episode 1127, sinetron Pashmina Aisha (RCTI) episode 22 & 23, sinetron Ayah Mengapa Aku Berbeda? (RCTI) episode 5, sinetron ABG Jadi Manten (SCTV) episode 19, dan sinetron Diam Diam Suka (SCTV) episode 137. Penelitian ini menemukan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih banyak ditampilkan dalam sinetron Indonesia. Kekerasan yang ditampilkan yaitu kekerasan psikologis berbentuk berteriak-teriak, membentak, mengancam, menghina, merendahkan, mengatur, menyumpah, memata-matai, melecehkan dan memaksa. Kekerasan fisik yang ditampilkan berupa mendorong, menjambak rambut, menarik korban dengan paksa, menampar, dan menyemprotkan sesuatu kepada korban. Kekerasan finansial ditampilkan dalam adegan mengambil uang korban secara paksa. Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa posisi perempuan sebagai pelaku dan korban kekerasan lebih banyak ditunjukkan dibandingkan laki-laki. Kata Kunci : Kekerasan, Perempuan, Sinetron, Televisi PENDAHULUAN Televisi adalah salah satu media massa yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia. Salah satu tayangan televisi yang diminati oleh masyarakat Indonesia adalah sinetron. Hal ini dibuktikan dari peringkat rating sinetron yang relatif tidak terkalahkan jika dibandingkan dengan program televisi lainnya. Jika diamati lebih lanjut, jumlah episode yang ada pada sinetron-sinetron di Indonesia rata-rata mencapai ratusan bahkan ribuan episode. Saat ini, banyak sinetron Indonesia yang menampilkan cerita yang tidak logis dan menyajikan unsur kekerasan di dalamnya, terutama kekerasan terhadap perempuan. Tayangan-tayangan maupun adegan yang ditampilkan di sinetron sebenarnya telah dikonstruksi oleh media. Dengan dikonstruksinya perempuan dalam sinetron, maka dengan sendirinya perempuan akan menjadi perempuan yang dicitrakan oleh media itu sendiri. Sinetron juga mengkonstruksi perempuan
1
dengan menggambarkan dan menampilkan perempuan yang lemah, teraniaya, jahat, kejam, emosional, irrasional dan berbagai karakter lainnya. Melalui karakter-karakter tersebut, tidak jarang perempuan terlibat dalam berbagai adegan kekerasan di sinetron. Apabila adegan yang memuat unsur kekerasan terhadap perempuan terus-menerus ditayangkan di dalam sinetron, maka lambat laun masyarakat akan menganggap hal tersebut menjadi sesuatu yang wajar dan dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga independen yang mengatur penyiaran telah menetapkan peraturan tentang Standar Program Siaran (SPS). Namun, meskipun KPI telah menetapkan peraturan tersebut, masih banyak saja terdapat tayangan sinetron yang bermuatan kekerasan, terutama kekerasan terhadap perempuan. Oleh sebab itu, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian terkait adegan kekerasan dalam sinetron Indonesia. Peneliti ingin mengetahui bagaimana bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan ditunjukkan dalam sinetron Indonesia dan bagaimana posisi perempuan ditempatkan dalam adegan kekerasan yang ada dalam sinetron Indonesia. Fokus Masalah 1. Apa saja bentuk-bentuk kekerasan yang dialami perempuan dalam tayangan sinetron? 2. Bagaimanakah adegan kekerasan di tayangan sinetron menempatkan posisi perempuan? Tujuan Penelitian 1. Untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan yang ada dalam adegan sinetron Indonesia. 2. Untuk mengetahui bagaimana adegan kekerasan di sinetron menempatkan posisi perempuan. KAJIAN PUSTAKA Komunikasi Massa Komunikasi massa adalah komunikasi dengan menggunakan media massa baik cetak maupun elektronik yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang tersebar di banyak tempat, anonim, dan heterogen. Pesan-pesan yang ada bersifat umum, disampaikan secara cepat, serentak, selintas, khususnya media elektronik (Mulyana, 2002:75). Media dalam mengemas pesan dapat memilih fakta yang akan dimasukkan atau yang akan dibuang ke dalam teks pemberitaan. Selain itu, media massa juga dapat memilih simbol-simbol atau label tertentu untuk mendeskripsikan suatu peristiwa. Hal inilah yang akan menentukan gambaran/image yang terbentuk dalam benak khalayak mengenai suatu peristiwa. Televisi sebagai Media Massa Secara sederhana penulis dapat mendefinisikan bahwa televisi adalah salah satu media massa yang menampilkan siaran berupa gambar yang bergerak dan suara dari jarak jauh. Kelebihan televisi adalah dapat menguasai jarak dan ruang. Selain itu dengan penyajian suara dan gambar bergerak yang dimiliki televisi,
2
nilai aktualitas terhadap suatu liputan atau berita sangat cepat sehingga membuat daya rangsang seseorang atau masyarakat cukup tinggi. Namun, kelemahan televisi adalah sifatnya yang “transitory” (isi pesannya tidak dapat di‟memori‟ oleh khalayak). Selain itu, televisi tidak dapat melakukan kritik sosial dan pengawasan sosial secara langsung dan vulgar seperti halnya di media cetak (Kuswandi, 1996). Kekerasan dalam Televisi Kekerasan menurut Nurhayati (2000:28) adalah semua bentuk perilaku, baik verbal maupun nonverbal yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang lainnya yang menyebabkan efek negatif secara fisik, emosionil, psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya. Sunarto mengklasifikasikan kekerasan dalam berbagai dimensi, yaitu: (1) Dimensi bentuk kekerasan: kekerasan fisik, psikologis, seksual, finansial, spiritual, fungsional, dan kekerasan relasional; (2) Dimensi partisipan kekerasan: pelaku dan korban; (3) Dimensi motif kekerasan: sengaja dan tidak sengaja; (4) Dimensi ekspresi kekerasan: verbal, nonverbal, dan gabungan kekerasan verbal dan nonverbal (Armando, dkk, 2008). Perempuan dalam Media Massa Perempuan adalah orang (manusia) yg mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak dan menyusui, wanita (http://kbbi.web.id/perempuan). Tamrin Amal Tomogola Ph.D., M.A. memaparkan bahwa citra perempuan yang berhasil dibentuk dalam media massa adalah (Kuswandi, 2008: 69-70): 1. Citra Pigura : perempuan menyangkut kecantikan dan pemikat secara biologis, seperti pinggul, payudara, atau ciri kewanitaan yang dibentuk budaya; 2. Citra Pilar: menggambarkan perempuan sebagai pengurus atau pengelola rumah tangga dan keluarga; 3. Citra Peraduan: menghubungkan perempuan dengan hal-hal seksual dalam perkawinan; 4. Citra Pinggan: perempuan ditunjukkan sebagai sosok yang identik dengan dunia dapur; 5. Citra Pergaulan: menggambarkan perempuan sebagai orang yang ingin diterima oleh kalangan sosial tertentu. Kekerasan terhadap Perempuan di Media Massa E. Kristi Poerwandari mengklasifikasikan bentuk-bentuk atau dimensi kekerasan terhadap perempuan, yang terdiri dari kekerasan fisik, psikologis, seksual, finansial dan spiritual (Sudiarti, 2011:11). Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Veven SP Wardhana pada tahun 2000 dengan kritis mengungkapkan perempuan dalam sinetron digambarkan dalam rentangan petaka (nasib malang) dan perkasa. Kedua wacana ini ditampilkan dengan cara yang ekstrim sehingga tidak memenuhi kaidah nalar akal sehat, nasib malang yang berlebihan, atau keperkasaan perempuan yang diwujudkan melalui hantunya (Siregar, Ashandi, 2004).
3
Feminisme Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan keadilan hak dengan pria (http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme). Ketidakseimbangan gender terhadap perempuan juga dapat kita lihat di media massa. Media massa melakukan konstruksi terhadap citra perempuan dengan menampilkan perempuan sebagai orang yang tertindas, sebagai objek seksual, maupun sebagai orang kedua. Konstruksi yang dilakukan oleh media berasal dari kekuatan patriaki yang bersifat tidak setara antara kaum mayoritas dan minoritas. Pada sinetron kita sering menyaksikan perempuan yang berperan sebagai ibu rumah tangga yang pekerjaannya selalu berada dirumah, melayani suami, lugu, mudah dibohongi, dan tunduk pada suami. Kultivasi Teori kultivasi mengatakan bahwa penonton televisi, khususnya penonton fanatik akan menganggap apa yang mereka lihat di televisi sama dengan dunia kenyataan. George Gerbner (1960) memaparkan bahwa media massa dapat menanamkan nilai yang akan berpengaruh pada sikap dan perilaku khalayak. Misalnya, berita kriminal yang ditayangkan dengan intensitas tinggi kemungkinan akan menanamkan cara pandang masyarakat dan rasa takut masyarakat akan kejahatan yang ada disekitarnya akan semakin tinggi (dalam Mulkan, 2011:91). METODE PENELITIAN Metodologi penelitian yang digunakan adalah metode analisis kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Metode penelitian kualitatif tidak mengutamakan besar populasi dan sampling, sehingga penelitian ini bersifat subyektif yang hasilnya bukan untuk digeneralisasikan. Objek Penelitian: adalah 5 sinetron Indonesia yang memuat unsur kekerasan terhadap perempuan didalamnya. Kelima sinetron tersebut dipilih berdasarkan rating tertinggi dari AGB Nielsen pada tanggal 20 Maret 2014. Kerangka Analisis 5 judul sinetron Indonesia yang menduduki rating tinggi
Analisis deskriptif kualitatif kekerasan terhadap perempuan & posisi perempuan dalam sinetron
Pembahasan Hasil Penelitian
Kesimpulan dan Saran
Teknik Pengumpulan Data 1. Studi Kepustakaan: mempelajari dan mengumpulkan data melalui dan sumber bacaan yang relevan dan mendukung penelitian. 2. Dokumentasi: mengumpulkan atau mendokumentasikan tayangan Indonesia yang telah ditentukan sebelumnya melalui rekaman maupun internet atau video rekaman dari situs youtube yang tayangan tersebut secara lengkap.
4
literatur sinetron manual memuat
Teknik Analisis Data Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Model Analisis Interaktif Miles dan Huberman (1994), yaitu terdiri dari 3 hal (dalam Pawito, 2007:104): 1. Reduksi Data (Data Reduction), terdiri dari: (a) Editing, pengelompokan dan meringkas data dimana peneliti memilih satu episode pada setiap judul sinetron yang memuat unsur kekerasan terhadap perempuan yang paling dominan. Pada tahap ini diperoleh satu episode sinetron untuk masing-masing judul sinetron yang menjadi objek penelitian; (b) Menyusun catatan atau gagasan-gagasan yang berhubungan dengan teorisasi atau masalah yang diteliti; (c) Menyusun rancangan konsep serta penjelasan-penjelasan berkenaan dengan tema, pola, atau kelompok-kelompok data yang bersangkutan. 2. Penyajian Data (Data Display), melibatkan langkah mengorganisasikan data, menjalin (kelompok) data yang satu dengan data yang lain sehingga seluruh data yang dianalisis benar-benar dilibatkan dalam satu kesatuan. 3. Penarikan dan Pengujian Kesimpulan (Drawing and Verifying Conclusions). HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan lima judul sinetron yang diteliti, masih banyak ditemukan adegan kekerasan terhadap perempuan. Kadangkala kekerasan terhadap perempuan ditunjukkan secara vulgar. Kekerasan terhadap perempuan yang ditampilkan dalam 5 sinetron yang diteliti menunjukkan bahwa kekerasan psikologis menjadi kekerasan yang paling menonjol, diikuti dengan kekerasan fisik. Selain itu dalam episode sinetron yang diteliti juga ada ditunjukkan kekerasan finansial. Namun kekerasan seksual dan spiritual tidak ditemui dalam 5 sinetron tersebut. Sinetron Tukang Bubur Naik Haji episode 1127 menunjukkan kekerasan fisik dan psikologis terhadap perempuan yang dilakukan di lingkungan keluarga yaitu dilakukan oleh suami yang memiliki istri yang lebih dari satu. Porsi kekerasan psikologis lebih banyak ditemui dibandingkan dengan kekerasan fisik. Kekerasan tersebut dilakukan oleh suami kepada dua istri dan dua anak perempuannya. Bentuk kekerasan psikologis terhadap perempuan yang ditampilkan adalah merendahkan, berteriak-teriak, mengatur, menyumpah dan mengancam korban. Sedangkan kekerasan fisik yang terhadap perempuan yang ditampilkan adalah mendorong korban, menarik korban secara paksa dan menutup mulut korban secara paksa. Sinetron Pashmina Aisha episode 22 & 23 menunjukkan kekerasan fisik dan psikologis terhadap perempuan yang dilakukan oleh pelaku perempuan dan laki-laki atas dasar perebutan harta dan cinta. Kekerasan fisik terhadap perempuan ditunjukkan dalam bentuk menampar dan menarik korban secara paksa. Sedangkan kekerasan psikologis yang ditampilkan berupa mengancam dan memata-matai korban. Berbeda dengan dua sinetron diatas, adegan kekerasan terhadap perempuan dalam dua sinetron remaja yang diteliti yaitu sinetron Ayah Mengapa Aku Berbeda? episode 5 dan Diam Diam Suka episode 137 sebagian besar berfokus pada adegan bullying yang dilakukan oleh geng anak sekolah yang
5
merasa berkuasa kepada tokoh-tokoh yang lemah. Kekerasan terhadap perempuan dalam sinetron ini ditunjukkan secara vulgar, terutama pada adegan kekerasan fisik. Tindakan-tindakan kekerasan fisik yang dilakukan pelaku berupa menarik dan memegangi tangan korban dengan paksa, menyemprotkan sesuatu kepada korban dan mengubah penampilan fisik korban secara paksa. Ada juga kekerasan fisik dalam sinetron Diam Diam Suka yang berupa perkelahian hebat diantara dua tokoh perempuan hingga terlibat pada adegan mendorong, menampar dan menjambak rambut korban. Sedangkan kekerasan psikologis ditampilkan dalam bentuk merendahkan, menghina, mengancam, menarik tangan secara paksa, berteriak-teriak, mengatur, dan memaksa korban. Kekerasan finansial juga ditampilkan dalam sinetron Ayah Mengapa Aku Berbeda? episode 5. Pada adegan ini, kekerasan dilakukan oleh tokoh laki-laki dalam bentuk mengambil uang korban secara paksa. Sementara itu dalam sinetron ABG Jadi Manten episode 19 tidak terlalu banyak ditemui adegan kekerasan. Adegan kekerasan hanya terbatas pada kekerasan psikologis. Adegan kekerasan tersebut berupa berteriak-teriak, membentak, melecehkan dan merendahkan korban. Secara umum, posisi perempuan yang ditempatkan dalam adegan kekerasan pada masing-masing episode sinetron yang diteliti adalah sebagai pelaku dan juga korban. Bahkan dari kelima sinetron yang diteliti, tokoh perempuan lebih banyak dijumpai sebagai pelaku kekerasan dibandingkan dengan tokoh laki-laki. Sinetron Tukang Bubur Naik Haji episode 1127 menggambarkan tokoh Eti yang berbeda dengan Neneng. Eti penurut dan takut kepada suami berbalik dengan tokoh Neneng yang mempunyai keberanian melawan suami. Namun mereka berdua adalah korban atas kekerasan yang dilakukan oleh suami mereka. Pada sinetron ini, seluruh adegan kekerasan terhadap perempuan dilakukan oleh laki-laki (suami) kepada perempuan yang menjadi korban. Sinetron Pashmina Aisha episode 22 & 23 menggambarkan posisi perempuan sebagai pelaku kekerasan yang dilakukan kepada perempuan lain seperti adegan Juwita menampar Pashmina, Pashmina yang mengancam Juwita, dan Dinar yang memata-matai perbincangan Juwita dan ayahnya. Selain itu terdapat satu adegan kekerasan fisik terhadap perempuan yang dilakukan oleh tokoh laki-laki yakni menarik korban secara paksa. Sinetron Ayah Mengapa Aku Berbeda episode 5 lebih banyak menempatkan posisi perempuan sebagai pelaku kekerasan terhadap perempuan lain yaitu berupa bully yang dilakukan geng yang berkuasa di sekolah kepada tokoh perempuan yang lemah. Dalam sinetron ini hanya terdapat satu adegan kekerasan yang dilakukan pelaku laki-laki kepada tokoh perempuan sebagai korban yaitu berupa kekerasan finansial. Sinetron remaja Diam Diam Suka episode 137 juga tidak jauh berbeda dengan sinetron Ayah Mengapa Aku Berbeda? Posisi perempuan yang ditempatkan dalam sinetron ini adalah sebagai pelaku dan juga korban kekerasan. Keseluruhan adegan-adegan kekerasan yang ada di dalam episode ini dilakukan oleh pelaku perempuan terhadap perempuan lain sebagai korban. Sedangkan dalam sinetron bergendre drama komedi ABG Jadi Manten, posisi perempuan dalam adegan kekerasan yaitu sebagai pelaku dan juga korban. Perempuan
6
sebagai korban kekerasan oleh pelaku laki-laki lebih banyak muncul daripada perempuan sebagai pelaku kekerasan. Berdasarkan penelitian ini dapat dilihat bahwa muatan adegan kekerasan terhadap perempuan masih mendominasi isi cerita. Perempuan sebagai pelaku kekerasan dalam sinetron-sinetron yang diteliti digambarkan memiliki sifat yang kejam, cerewet, dan sering merasa iri dengan kesuksesan perempuan lain. Adegan-adegan kekerasan yang ditampilkan dalam cerita sinetron yang menjadi objek penelitian merupakan hasil dari bentukan/konstruksi media, dimana pembuat sinetron mengkonstruksikan isi tayangan atau jalan cerita dari sinetron tersebut. Salah satu contohnya yaitu, peran atau karakter dari tokoh perempuan digambarkan sebagai orang yang lemah, pihak kedua, dan korban kekerasan. Namun, perempuan juga digambarkan sebagai orang yang jahat, kejam, emosional, dan aktor atau pelaku kekerasan itu sendiri. Bingkai patriakis yang kelihatan dalam penelitian ini yaitu dengan menempatkan posisi perempuan sebagai penguasa sekaligus korban dalam konflik kekuasaan. Dengan menampilkan hal tersebut sinetron-sinetron ini secara tidak langsung telah menyelamatkan wajah laki-laki & menekankan superioritas lakilaki. Dalam penelitian ini perempuan banyak ditunjukkan memegang peran penting (sentral) dalam ceritanya. Karena itu, tidak jarang ditemui cerita seputar konflik diantara perempuan. Cerita-cerita yang sering menunjukkan konflik diantara perempuan inilah yang membuat perempuan malah dieksploitasi dan diinjak-injak martabatnya. Sementara itu, citra perempuan menurut Tamrin Amal Tomagola (Kuswandi, 2008:69-70) yang berhasil dibentuk dari kelima sinetron tersebut adalah citra pigura, citra pilar, citra pinggan, dan citra pergaulan. Citra pigura dapat ditemui dalam sinetron ABG Jadi Manten episode 19 yaitu tokoh Sarti yang ditampilkan cantik, selalu memakai kebaya, memiliki lekuk tubuh yang seksi dan berambut panjang. Tokoh Sarti selalu berusaha terlihat cantik agar suaminya tidak melirik wanita lain. Dalam sinetron Diam Diam Suka episode 137 dan Ayah Mengapa Aku Berbeda? episode 5 juga ditemui citra pigura, dimana tokoh geng „The Johits‟ dalam sinetron Diam Diam Suka dan tokoh geng „Ungu Unyu‟ yang selalu tampak cantik dan sempurna dengan ciri-ciri kewanitaan yang dimilikinya. Citra pilar dapat ditemui dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji episode 1127 yaitu tokoh Rumi. Dalam ABG Jadi Manten episode 19, citra pilar ditemui pada tokoh Sarti dan Indun. Sedangkan dalam sinetron Pashmina Aisha episode 22 & 23, citra pilar ditemui pada tokoh Juwita dan Dinda. Citra pinggan ditemui dalam sinetron ABG Jadi Manten episode 19 pada tokoh Sarti dan Indun. Sedangkan dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji episode 1127, citra pinggan ditemui dalam tokoh Eti dan Rumi. Sementara itu citra pergaulan banyak ditemui dalam sinetron remaja Ayah Mengapa Aku Berbeda? dan Diam Diam Suka. Dalam sinetron Ayah Mengapa Aku Berbeda? episode 5 citra pergaulan terdapat pada tokoh geng Lola, Karin dan Maya yang selalu tampil kompak dalam berpakaian dan menggunakan aksesoris. Sedangkan dalam sinetron Diam Diam Suka episode 137 citra pergaulan dapat ditemui pada geng The Johits maupun tokoh Alexa dan Netha yang berusaha menunjukkan kelompok mereka berbeda
7
dan lebih berkelas dibandingkan dengan kelompok-kelompok lain melalui penampilan fisik mereka. Penelitian ini juga sejalan dengan penggambaran kekerasan NTVS (National Television Violence Study) yang mengatakan bahwa terdapat empat bentuk kekerasan yang berpotensi menimbulkan resiko berbahaya bagi khalayak penonton. Bentuk kekerasan tersebut adalah kekerasan di TV mengalami glamorifikasi, sanitisasi, trivilisasi dan anti kekerasan (Armando, dkk, 2008). Kekerasan disajikan dengan cara yang positif dan tidak ada ganjaran bagi pelaku kekerasan menunjukkan bahwa kekerasan merupakan sesuatu yang diglamorifikasi. Kekerasan yang terdapat dalam sinetron tersebut juga mengalami sanitisasi yakni disajikan dengan konsekuensi negatif minimal dimana korban kekerasan tidak tampak menderita dalam jangka pendek atau jangka panjang. Hal ini dapat dilihat dalam sinetron Ayah Mengapa Aku Berbeda episode 5 yaitu tokoh Lola, Karin dan Maya yang meskipun selalu mengerjai dan membully Angel, mereka tidak mendapatkan ganjaran/hukuman. Selain itu, Angel yang merupakan korban kekerasan tidak tampak menderita setelah mendapatkan kekerasan dari teman-temannya. Triviliasasi juga terdapat dalam sinetron-sinetron tersebut, yakni dimana adegan kekerasan terhadap perempuan kadangkala disajikan secara humor dan kekerasan diterima sebagai sesuatu yang biasa dan tidak berdampak serius bagi korban. Kekerasan yang disajikan secara trivialisasi ditunjukkan dalam sinetron Ayah Mengapa Aku Berbeda? episode 5 pada adegan Lola, Karin dan Maya yang mengerjai Angel hanya untuk mengusir kebosanan mereka. Kekerasan yang mereka lakukan ditunjukkan secara humor dan kadangkala dapat membuat pemirsa tertawa. Pemirsa secara tidak sadar dibawa untuk menikmati adegan kekerasan tersebut dan tidak menganggap adegan kekerasan tersebut sebagai sesuatu yang serius. Selain itu, adegan-adegan dalam sinetron yang diteliti hanya sedikit yang menekankan temi anti kekerasan (hanya sedikit adegan yang menampilkan kekerasan sebagai konteks edukasi kepada khalayak). Jika adegan-adegan kekerasan tersebut semakin sering ditayangkan di televisi, dikhawatirkan masyarakat akan menganggap kekerasan terhadap perempuan adalah hal yang wajar atau lebih parah lagi masyarakat akan melakukan imitasi atau meniru tayangan tersebut. Teori kultivasi mengatakan bahwa televisi adalah alat atau media dimana pemirsa belajar tentang masyarakat & kultur lingkungannya. Masyarakat akan menganggap bahwa apa yang ia saksikan dalam sinetron adalah kejadian atau gambaran di dunia nyata. Padahal apa yang ada dalam sinetron tersebut hanyalah skenario belaka. Oleh sebab itu, masyarakat sebagai penonton televisi diharapkan dapat lebih bijaksana dalam menentukan apa yang mereka konsumsi di media massa sehingga masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh terpaan buruk media massa, khususnya televisi. PENUTUP Simpulan 1. Adegan kekerasan terhadap perempuan masih ditemui dalam sinetronsinetron Indonesia, khususnya sinetron yang menduduki rating tinggi di Indonesia.
8
2. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan yang ditemui dalam 5 judul sinetron yang diteliti adalah kekerasan fisik, psikologis, dan finansial. Kekerasan psikologis adalah jenis kekerasan paling dominan yang ditemui dalam 5 judul sinetron yang diteliti. Ditampilkan dalam bentuk berteriakteriak dengan nada tinggi, membentak, mengancam, menghina, merendahkan, mengatur, menyumpah, memata-matai, melecehkan & memaksa. Sementara itu bentuk kekerasan fisik yang ditemui berupa mendorong korban, menarik korban dengan paksa, menampar korban, menyemprotkan sesuatu kepada korban dan menjambak rambut korban. Sedangkan bentuk kekerasan finansial ditampilkan pada sinetron Ayah Mengapa Aku Berbeda? yaitu adegan mengambil uang korban secara paksa. 3. Berdasarkan 5 judul sinetron yang diteliti, secara keseluruhan posisi perempuan ditempatkan sebagai pelaku kekerasan dan korban adegan kekerasan. Bahkan perempuan sebagai pelaku kekerasan lebih mendominasi dibandingkan dengan laki-laki sebagai pelaku kekerasan. 4. Disamping menggambarkan perempuan sebagai orang yang lemah, penurut, dan korban kekerasan. Namun, perempuan juga digambarkan sebagai orang yang jahat, kejam, cerewet, emosional, dan sebagai aktor atau pelaku kekerasan itu sendiri. 5. Bingkai-bingkai patriakis tercermin dalam sinetron-sinetron yang diteliti. Perempuan ditempatkan sebagai pelaku/penguasa sekaligus korban dalam konflik kekuasaan. Dengan menampilkan hal tersebut sinetron-sinetron ini secara tidak langsung telah menyelamatkan wajah laki-laki & menekankan superioritas laki-laki. Cerita-cerita yang sering menunjukkan konflik diantara perempuan inilah yang membuat perempuan malah dieksploitasi dan diinjakinjak martabatnya. 6. Citra perempuan menurut Tamrin Amal Tomagola yang berhasil dibentuk dari kelima sinetron tersebut adalah citra pigura, citra pilar, citra pinggan, dan citra pergaulan. Saran 1. Media massa terutama televisi sebaiknya lebih memperhatikan tayangan apa yang akan mereka produksi. Stasiun-stasiun televisi sebaiknya mengurangi atau menghapus tayang-tayangan yang banyak memberikan dampak negatif bagi masyarakat. Sebaiknya rumah-rumah produksi yang menghasilkan sinetron juga lebih memperhatikan kualitas tayangan mereka agar tidak berdampak buruk bagi masyarakat. 2. Masyarakat sebaiknya lebih bijaksana dalam memilih siaran televisi apa yang layak untuk mereka konsumsi. Masyarakat dapat memanfaatkan tayangan televisi untuk memenuhi kebutuhan akan informasi dan hiburan. Namun, sebaiknya masyarakat tidak terpengaruh dengan terpaan buruk televisi yang terkadang mengandung unsur kekerasan. 3. Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga independen yang mengawasi isi siaran sebaiknya mampu menangani dan menghapuskan segala bentuk kekerasan terutama terhadap perempuan di televisi. Selain itu, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang dikeluarkan
9
oleh KPI bagi lembaga penyiaran seperti televisi sebaiknya dapat dijalankan secara utuh dan maksimal. DAFTAR REFERENSI Armando, Nina Mutmainnah, Billy K. Sarwono & Hendriyani. (2008). “Wajah Buram Sinetron Indonesia: Analisis Isi Sinetron Remaja 2007” dalam Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi Thesis (September-Desember 2008). Volume VII/No.3. Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia. Eriyanto. (2004). Analisis Framing, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media. Yogyakarta :LKIS. Kuswandi, Wawan. (1996). Komunikasi Massa Media Televisi. Jakarta: Rineka Cipta. ________. (2008). Komunikasi Massa: Analisis Interaktif Budaya Massa. Jakarta: Rineka Cipta. Mulkan, Dede. (2011). Cerdas Nonton Televisi. Bandung: Arsad Press. Mulyana, Deddy. (2002). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya. Nurhayati, Elli. (2000). Panduan untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Rifak Annisa. Siregar, Ashandi. (2004). “Ketidakadilan dan Konstruksi Perempuan di Film dan Televisi” dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Volume 7, No 3, Maret 2004 (335-350) ISSN 1410-4946. Sudiarti L, Achie. (2000). Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan dan Pemecahannya. Bandung: PT Alumni. Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: PT Lkis Pelangi Aksara. Internet: KBBI Online. (2014). “Definisi Perempuan” dalam http://kbbi.web.id/perempuan. Diakses pada tanggal 19 April 2014 pukul 18.33 WIB. Wikipedia Bahasa Indonesia. (2014). “Feminisme” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme. Diakses pada tanggal 29 Mei 2014 pukul 20.10 WIB.
10