Menjadi Perempuan di dalam Sinetron: Kekinian Femininitas1 Widjajanti Mulyono – Santoso (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
Abstract The article depicts the representation of contemporary women in Indonesia using sinetron or soap opera. Representation of women has been in intrigue issue since in the New Order, women has been one of several important issues. Since the tumbling down of the New Order, market has been an important mechanism of dissemination of culture, and the representation of Indonesian women is one of the icon of the media. The most obvious visualization if women not only as victim of violence but also the doer of violence itself. Women is powerful, such representation is shown by widower, grown women toward powerless little girl. As such the sinetron is not a typical soap opera visualization that tends to visualizing romantic and sensual women. In general such representation is disadvantaging the position of women, as market becomes the powerful mechanism to disseminate such image. Women be cautious! Keywords: Femininity, subordinate, culture, market.
Pendahuluan Femininitas Menjadi perempuan merupakan kajian menarik, karena tidak hanya memperlihatkan bagaimana menjadi perempuan, akan tetapi juga mengangkat sisi yang mendominasi bentukan tersebut. Menjadi perempuan memperlihatkan bagaimana konsepsi femininitas bukan sekedar kenyataan biologis, melainkan menunjukkan bagaimana konsepsi masyarakat yang 1
Makalah ini merupakan perbaikan dan perluasan dari makalah dengan judul “The Sinetron and the Contemporary Femininity Construction in Indonesia”, yang dipresentasikan dalam panel “Gender, Sexuality and Power in an Already Globalised Indonesia” pada Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia, Universitas Indonesia, Depok, 12–15 Juli 2005.
36
bersangkutan tentang maskulinitas dan femininitas (Smith 1990:160). Untuk memulai melihat bagaimana menjadi perempuan di dalam masyarakat, artikel ini mengawalinya dengan definisi femininitas Thus to explore ‘femininity’ as discourse means a shift away from viewing it is a normative order, reproduced through socialization, to which somehow women are subordinated (Smith 1990:163).
Definisi seperti ini mengangkat femininitas tidak sekedar citra (image) semata melainkan merupakan sebuah representasi. Representasi memperlihatkan bagaimana perempuan divisualisasikan sebagai penterjemahan dari pemikiran atau ideologi tertentu, sehingga perilaku perempuan merupakan pembentukan
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 1, 2006
femininitas yang tertentu. Berdasarkan pemikiran yang dikembangkan oleh Dorothy Smith maka perempuan tidak hanya pasif menerima kode-kode femininitas, dia juga mengadaptasi bentukan femininitas yang ada. Dengan demikian bentukan femininitas seperti apa yang diadopsi oleh perempuan, memperlihatkan siginifikansi representasi perempuan. Artinya dalam representasi yang ada, bentukan femininitas tidak berada di dalam ruang yang hampa, melainkan sangat didukung oleh bentukan yang dominan. Ketika membahas isu yang dominan ini maka femininitas dapat dikaitkan dengan pasar yang menjadi media dari penyebaran bentukan femininitas yang dominan. Siapakah pasar? Hal ini memperlihatkan posisi penting media yang mengkomunikasikan femininitas. Dalam hal ini, media dilihat sebagai alat yang ampuh di dalam menyebarkan bentukan dominan yang ada. Tentunya media beragam sehingga media juga menentukan siapa pembacanya yang menerima bentukan yang ada. Dalam hal ini media yang menyebar umum menjadi sangat penting posisinya, karena dia berbicara pada khalayak yang sangat beragam cirinya. Artikel ini memilih sinetron sebagai media yang menjadi favorit masyarakat. Kalaupun tidak favorit, keberadaan televisi cukup unik karena kadang kita melihat bahwa televisi dihidupkan tanpa ada yang menonton. Televisi telah menjadi teman karena suaranya saja dibutuhkan untuk menemani pemirsa. Sebelum melihat konteks sinetron dan televisi maka di bawah ini akan diperlihatkan mengapa femininitas merupakan representasi yang penting bagi perempuan. Citra perempuan yang menyebar dalam masyarakat baik melalui iklan atau tulisan merupakan interpretasi dari ide femininitas yang hidup di dalam masyarakat. Citra tersebut lebih menunjukkan bentukan perempuan seperti yang diinginkan, dan ketika bentukan seperti ini muncul maka
konsepsi patriarki membungkusnya dengan penampilan yang sangat menarik. Dalam sebuah kajian tentang perspektif perempuan, femininitas dapat dilihat sebagai interpretive schemata untuk melihat masalah. Melalui femininitas, kita bisa mempelajari bagaimana masyarakat memposisikan perempuan dalam kaitannya dengan masalah pada kehidupan sehari-hari. Kajian femininitas berkaitan dengan konteks sosial yang terdapat di dalam masyarakat. Dalam hal ini perubahan rejim Orde Baru pada tahun 1998 memberikan konteks yang berbeda terhadap representasi femininitas yang ada. Sebagaimana kita ketahui bahwa perempuan di jaman Orde Baru dibentuk sesuai dengan gambaran kekuasaan tentang perempuan. Konsepsi seperti ibuisme menggambarkan representasi yang diidealkan oleh Orde Baru. Ibuisme memperlihatkan ideologi artikulasi perempuan yang sangat jelas kaitannya dengan mekanisme tersebut sebagai pendukung dari Orde Baru (Suryakusuma 2004). Konsepsi ibuisme ini memiliki imbas pada kegiatan yang populer dilakukan atau diperuntukkan bagi perempuan, di antaranya adalah kegiatan PKK dan Dharma Wanita. Jika menggunakan femininitas sebagai interpretive schemata maka kita bisa memahami konstruksi perempuan Orde Baru telah memainkan peran yang besar di dalam masayarakat. Beberapa fakta bisa dikemukakan untuk memperlihatkan bagaimana sikap kekuasaan Orde Baru terhadap idealisasi perempuan. Antara lain gambaran tentang Kartini yang lebih menampilkan perempuan dalam lingkar-lingkar tradisinya (Jawa) dan tidak menampilkannya sebagai perempuan yang mengalami pencerahan. Adalah sebuah keanehan bahwa ikon perempuan berkonde dan berkebaya diacu banyak orang, akan tetapi pemikirannya disingkirkan. Sebagai tokoh perempuan, Kartini tidak lepas dari kebiasaan
Mulyono – Santoso, Menjadi Perempuan di dalam Sinetron
37
jamannya ketika dia menerima posisinya sebagai istri dari lelaki yang telah beristri. Agaknya ciri seperti ini yang diangkat sebagai bentuk femininitas perempuan. Penekanan istri sebagai idealisasi femininitas telah dimunculkan melalui kegiatan seperti Dharma Wanita. Namun demikian, pada bentukan femininitas Dharma Wanita dipadankan dengan Gerwani. Gambaran Gerwani yang diperlihatkan sebagai perempuan montok yang tersenyum dan menari-nari di atas penderitaan orang lain muncul pada relief di Lubang Buaya. Terutama sebagai padanan Dharma Wanita, gambaran tentang Gerwani dimunculkan secara negatif terhadap perempuan dalam organisasi. Padanan dengan menggunakan hubungan biner ini memperlihatkan posisi buruk aktivitas perempuan, yang dinamakan sebagai model and maniac (Tiwon 1996). Dengan cara seperti ini, maka pengorganisasian perempuan mengambil ciri Dharma Wanita seperti yang dikembangkan di dalam aktivitas seperti PKK.
Perempuan dalam tayangan Konteks kekuasaan Orde Baru sangat menyanjung perempuan subordinat. Ciri seperti ini juga muncul di dalam tayangan seperti yang diperlihatkan oleh Aripurnami (1996) bahwa kecenderungan imaji perempuan adalah yang cengeng dan selalu tergantung pada lelaki. Hal serupa juga ditemukan oleh Sen (1988) dengan variasi yang lebih banyak sesuai dengan variasi yang ditemukannya di layar lebar. Namun menarik untuk mengamati apa yang ditemukan oleh Kitley (2000) bahwa kecenderungan representasi perempuan di televisi yaitu peran perempuan yang curang dan jahat. Peran antagonis lebih mendapatkan popularitas di dalam masyarakat dibandingkan dengan peran yang protagonis. Sedangkan Soemandoyo (1999) memperlihatkan bahwa perempuan adalah komodifikasi di televisi yang muncul pada beberapa tayangan yang ada.
38
Barangkali menarik untuk mengamati komentar dari Ade Armando (2000) yang mengatakan “Perempuan, sebagaimana tampil di media, adalah pemanis, pelengkap atau bahkan pemuas fantasi seksual”. Komentar ini menjadi penting jika dikaitkan dengan perubahan kekuasaan yang terjadi di Indonesia pasca 1998. Dalam konteks seperti ini maka artikel Armando adalah pengamatan tentang gambaran perempuan setelah Orde Baru, meskipun di dalam tulisannya tidak menekankan tentang pengaruh kekuasaan yang ada. Dengan demikian tulisan Armando penting untuk dua hal. Pertama, adalah melihat bahwa kesannya merupakan perubahan dari apa yang terjadi pada masa lalu. Kedua, komentarnya adalah komentar dari pandangan mainstream terhadap tayangan. Sinetron dihasilkan dalam jumlah yang besar dan perputaran yang juga sangat cepat. Hal ini mudah dilihat melalui jumlah stasiun televisi yang cukup banyak dan program ini ada setiap hari serta menjadi program inti pada stasiun televisi umum (stasiun televisi seperti Metro TV adalah stasiun yang khusus karena menyiarkan berita sebagai program utama). Selain itu ada latar belakang yang signifikan yaitu kajian ini merupakan penelitian dengan jenis kualitatif, oleh karena itu sampel yang diacu bukan dalam jumlah besar akan tetapi kajian mendalam dengan kasus yang terbatas. Secara kebetulan terdapat sinetron yang berhasil digagalkan penayangannya oleh 6 LSM.2 Sinetron tersebut ditayangkan oleh SCTV sebagai sinetron yang khusus ditayangkan menjelang bulan Ramadhan. Alasan yang dikemukakan oleh keenam LSM tersebut adalah tayangannya bersifat asosial, penuh dengan adegan kekerasan, dan anti agama. Protes tersebut dilakukan secara damai yaitu dengan menggunakan surat protes yang 2
Lihat buku putih sinetron Bunglon.
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 1, 2006
dilayangkan kepada institusi yang terkait dengan hal tersebut. Protes tersebut mendapat reaksi simpatik dan beberapa surat kabar menjadikannya bagian dari berita. Aktivitas tersebut kemudian membuat stasiun yang bersangkutan menarik penayangan tersebut.3 Beberapa waktu setelah peristiwa ini, film layar lebar dengan judul ‘Buruan Cium Gue’ mendapatkan protes yang hampir serupa namun mendapatkan publisitas yang lebih besar. Reaksi yang diungkapkan oleh produsen juga serupa yaitu menarik film yang bersangkutan dari peredaran. Terlepas dari reaksi tersebut, kejadian tersebut memperlihatkan masalah sosial yang lebih besar. Artikel ini menyoroti masalah tersebut dari perspektif perempuan, sebuah perspektif yang justru tidak menonjol dalam mencermati kasus yang melibatkan perempuan baik sebagai bagian dari cerita dan juga sebagai pelaku dari proses produksi budaya ini. Untuk mengamati femininitas maka metode teks akan sangat membantu memformulasikan bentukan femininitas yang ada. Sinetron menjadi menarik untuk diamati karena pada teks tidak ada author. Dalam arti meskipun ada penulis skenario, akan tetapi proses visualisasinya dikerjakan oleh orang lain, demikian juga proses penyuntingan. Oleh karena itu produk budaya seperti itu merupakan pekerjaan kompleks yang melibatkan banyak orang. Femininitas di dalam tayangan divisualisasikan melalui tokoh yang diperankan oleh pemain yang dibalut oleh cerita tertentu. Peran-peran tersebut merupakan ikon bagi pemirsa untuk mendapatkan model atau acuan yang 3
Proses ini diangkat menjadi kasus pada lokakarya gender di Singapura. Pengalaman mengangkat kasus ini terutama pada proses bagaimana mengolah film tersebut menjadi data memperlihatkan bahwa metode yang digunakan dan bagaimana memaparkannya menjadi kasus dengan perspektif perempuan, merupakan proses yang tidak mudah.
dipergunakannya di dalam mengartikan kehidupan kesehariannya. Ikon-ikon ini digambarkan dengan fesyen, cara berdandan yang secara timbal balik akan saling mempengaruhi dengan industri garmen dan kecantikan yang berkembang. Oleh karena itu meskipun sinetron merupakan acara hiburan yang seringkali dianggap remeh, namun pada kenyataannya hal ini sangat berpengaruh di dalam mengisi kehidupan keseharian. Proses analisa ini merupakan turunan dari metode penelitian visual yang ditulis oleh Rick Iedema (2001). Kajian ini menggunakan sebagian dari metode penelitian yang dikembangkan untuk memperlihatkan bahwa adegan di dalam film atau televisi merupakan informasi yang penting. Pada hal. 196 dan 197, Iedema memberikan bagan untuk mendeskripsikan adegan yang dilakukan kemudian juga interpretasi dari adegan tersebut. Deskripsi adegan merupakan unsur dari Iedema yang dikembangkan oleh buku putih ini, dan merupakan deskripsi yang sanggup memperlihatkan apa yang disajikan apa adanya, sesuai dengan adegan yang ada. Deskripsi terlihat pada deskripsi per episode mengenai adegan yang ada. Dalam deskripsi seperti itu pembuat deskripsi tidak memainkan interpretasinya. Interpretasi baru dimainkan di dalam tahapan selanjutnya yaitu menyisir apa yang diajukan atau divisualisasikan oleh adegan seperti itu. Paparan adegan merupakan salah satu cara yang dicoba di dalam analisa ini, mengingat bahwa pada umumnya analisa dilakukan dengan menggunakan kata-kata. Alasan uji coba seperti ini adalah juga karena salah satu ciri unik televisi yaitu pemirsa bisa menonton dalam jarak jauh karena ada visualisasi. Visualisasi di lain pihak merupakan bentuk representasi dari femininitas itu sendiri. Visualisasi merupakan implementasi dari apa yang dibayangkan oleh individu yang terlibat di dalam proses produksinya. Tentu saja dasar lain dari pilihan seperti ini adalah
Mulyono – Santoso, Menjadi Perempuan di dalam Sinetron
39
visualisasi merupakan teks itu sendiri yang menarik untuk diamati. Paparan di bawah ini merupakan visualisasi dari sinetron Inikah Rasanya, yang ditayangkan pada 8 Maret 2004. Mengingat panjangnya paparan yang ada, maka di dalam artikel ini hanya dua adegan yang dipaparkan. Setelah paparan adegan maka tahap kedua adalah memaparkan konteks femininitas yang berperan. Pola seperti ini adalah cara bagaimana penulis menarik dari apa yang digambarkan oleh adegan dengan apa yang dapat ditarik untuk melihat bentukan femininitas yang ada. Cara seperti ini merupakan terjemahan bebas terhadap cara Dorothy Smith meneliti femininitas. Seperti yang telah dijelaskan di atas, paparan di bawah ini terdiri dari 2 bagian. Pertama adalah paparan adegannya dan kemudian diikuti dengan interpretasi terhadap adegan yang ada. Adegan pertama: 1. Jason di kafe bersama Rena, perempuan ini digambarkan lebih aktif dibandingkan dengan Jason. 2. Nadia masuk ke kafe bersama Dedi. 3. Jason tampak marah melihat Nadia dan Dedi, dan ia segera meninggalkan mejanya. 4. Rena memperkenalkan Jason sebagai pacarnya, sedangkan Dedi mengatakan bahwa dia adalah pacar Nadia. 5. Jason mengendarai mobil (BMW) dengan muka kesal dan hampir saja menabrak sebuah mobil lain. 6. Jason menyalahkan Rena karena terusmenerus berbicara dan marah-marah karena merasa acara di kafe tidak menyenangkan. 7. Dedi mengetahui bahwa Jason satu sekolah dengan Nadia, namun identitas Dedi sebagai sesama anak sekolah tidak tampak. 8. Jason, meski berhasil menghindar dari tabrakan, merasa bingung karena mobil menabrak pohon sehingga bumper mobil agak tergores.
40
9. Nadia tidak ingin di kafe dan mengajak Dedi pulang saja. 10. Dedi tampak tidak mengerti keinginan Nadia, kemudian menanyakan apakah Nadia mengenal Jason. 11. Nadia tidak mengakuinya, Nadia justru bertanya siapa yang menyatakan pacar, Jason terhadap Rena atau sebaliknya. 12. Jason marah mendengar suara marah Rena dan mengusir Rena pulang sendiri. 13. Rena menjadi semakin marah dan meninggalkan Jason. 14. Dedi memikirkan Nadia dan mengganggap Nadia menyukainya tetapi malu mengakuinya. 15. Sementara itu Jason mengendap-endap pulang menghindari ibunya, tetapi ketahuan sang ibu yang sudah menunggu dan tampak marah melihat kunci mobil di tangan Jason. Adegan-adegan di atas memperlihatkan antara lain: • Rena mempergunakan suasana yang tidak jelas untuk menekan Jason mengikuti kehendaknya. Suasana ketidakjelasan terjadi ketika ada faktor datangnya pasangan lain yang mereka kenal. Ketidakjelasan suasana dipergunakan untuk memberi gambaran pada orang lain bahwa Jason adalah miliknya. Dengan cara yang serupa Dedi juga menyatakan bahwa Nadia adalah miliknya. Ketidakjelasan di sini dilihat sebagai apakah seseorang duduk berdua kemudian juga berarti sebagai pasangan. Pasangan di dalam hal ini berkaitan dengan unsur menekan pihak yang terkait untuk menerima tekanan eksternal sebagai elemen pernyataan bahwa mereka adalah pasangan. • Rena digambarkan suka memerintah dan marah-marah. Jason menyalahkan Rena atas kecelakaan yang dialaminya. Rena digambarkan tidak bisa menahan diri pada
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 1, 2006
•
•
4
situasi yang membingungkan, sehingga mengalami pengusiran. Rena di dalam adegan-adegan ini merupakan perempuan yang aktif, dia tidak malu dan bisa mempergunakan situasi untuk kepentingan dirinya. Namun di lain pihak, perempuan yang aktif kemudian juga berkaitan dengan sisi emosional dan meledak-ledak. Jason tidak hanya melanggar umur untuk mendapatkan ijin mengemudi,4 akan tetapi juga menggunakan mobil ibunya secara diam-diam. Jason digambarkan sebagai lelaki pujaan yang disimbolkan sebagai piala bergilir. Lelaki yang dikagumi dan dikejarkejar oleh peran perempuan yang menonjol, yaitu peran antagonis dan protagonis. Lelaki pujaan tidak hanya digambarkan memiliki tampang yang dianggap ‘cakep’ jika dibandingkan dengan teman-temannya yang tidak memiliki ciri seperti itu. Piala bergilir muncul sebagai simbol ‘cakep’ dan juga posisi ekonomi yang baik. Pilihan pada kafe dibandingkan dengan fast food yang umumnya menjadi tempat nongkrong kalangan anak seumur Jason dan Rena adalah ruang publik. Di lain pihak visualisasi ini memperlihatkan gaya hidup kelas sosial, yang saat ini berkembang mengikuti munculnya mal-mal di perkotaan. Kafe sendiri sebagai ruang publik memiliki karakteristik pasar umur dewasa, di mana ada suasana yang mendukung privasi. Perbedaan seperti ini menjadi kabur, karena yang diangkat adalah kafe yang berkaitan dengan kelas sosial dan gaya hidup, tidak melihat kecenderungan umum bahwa anakanak SMP masih mengunjungi fast food. Ketidak jelasan ini menggambarkan juga terbukanya ruang seksual di mana anak yang baru bersosialisasi tentang ke-
Surat Ijin Mengemudi (SIM) adalah untuk individu dengan usia 18 tahun ke atas
•
•
•
dewasaan terpapar dengan gaya hidup kelompok sosial yang lebih tua yang memiliki kebiasaan yang berbeda. Hubungan sosial Dedi dan Nadia tidak memperlihatkan dasar hubungan yang kuat. Hal ini digambarkan dengan kekurangtahuan Dedi mengenai Nadia. Hal yang kurang lebih serupa juga digambarkan oleh hubungan Jason dan Rena, terutama dalam penggambaran apakah hubungan sosial karena teman atau pasangan kekasih. Dalam konteks yang lebih luas, gambaran seperti ini memperlihatkan bahwa hubungan sosial dalam pasangan kurang memunculkan adanya komitmen atau dasar dalam memberi makna pada hubungan sosial yang ada. Ketidakjelasan dan komunikasi yang kurang terbuka dipelihara dan tidak dijadikan media untuk membicarakan atau mendiskusikan masalah. Secara tidak langsung hal ini memperlihatkan adanya masalah komunikasi dan masalah di dalam hubungan sosial. Pihak-pihak yang terkait sepertinya tidak pernah membahas dan membicarakan masalah atau perasaan masing-masing, juga tidak memperlihatkan rasa ingin tahu dan memahami kondisi pasangan masing-masing. Tindakan kasar seperti kemarahan dan pengusiran menjadi bagian yang menonjol. Seperti juga ibu Jason yang langsung terlihat melotot untuk menunjukkan kemarahan. Atau Rena yang marah-marah karena suasana yang hendak dikembangkannya rusak. Jason sebagai lelaki juga digambarkan marah dengan gaya yang berbeda. Jason marah karena melihat Nadia berjalan dengan lelaki lain. Rasa memiliki Jason membangkitkan rasa marahnya, yang aneh adalah mereka berdua tidak digambarkan sebagai pasangan, namun divisualisasikan bahwa ada kesan penghianatan di dalam hubungan sosial yang ada. Jason
Mulyono – Santoso, Menjadi Perempuan di dalam Sinetron
41
juga marah karena konsentrasinya bubar menghadapi kemarahan Rena. Kemudian menghilangkan kemarahan juga sederhana dengan mengusir Rena, yang tidak didahului oleh pembicaraan tentang apa yang membuat mereka semua marah-marah. Adegan kedua: 16. Mama Jason marah dan menghendaki Jason memperbaiki mobil tersebut. 17. Jason dipaksa bertanggung jawab dengan alasan dia adalah anak lelaki, padahal Jason tidak punya uang. 18. Di sekolah, Nadia melihat bahwa Jason sekarang hebat karena sudah punya ‘cewek’, tetapi mempertanyakan mengapa Jason sering tertangkap mata memperhatikannya. 19. Di rumah (Nadia), Tante marah dan mengatai bahwa kamar Nadia bau. 20. Di kelas Nadia memandang kepada Jason sehingga keduanya seperti bermusuhan. 21. Di kelas Bembi dilirik oleh temannya (lelaki). 22. Guru mengadakan ulangan, murid protes karena tidak siap. Guru yang bersuara cempreng tetap pada keputusan untuk mengadakan ulangan. 23. Guru tampak senang melihat para murid menjadi resah dan dengan galak mengatakan bahwa dia akan menghukum anak yang mencontek. 24. Jono kentut dan seluruh kelas terganggu karena baunya. 25. Guru menjadi marah terhadap Jono dan menyuruhnya keluar. 26. Jono minta maaf kepada teman kelasnya. 27. Guru tetap pada keputusan mengadakan ulangan. 28. Jono buang kentut di luar. 29. Di sekolah, Rena masih terlihat marah karena memikirkan Jason. 30. Di tempat lain, Dedi merasa kesal karena hubungannya dengan Nadia tampak gagal.
42
31. Nadia memperhatikan Jason dan merasa kesal, tetapi temannya memahami kekesalan tersebut, dan menyatakan bahwa sabar itu disayang Tuhan. 32. Nadia mendekati Jason namun terjadi ketegangan dengan salah seorang pengagum Jason, yang merasa menerima surat dari Jason. 33. Padahal yang mengirimkan surat tersebut ternyata orang lain dan Jason mengatakan bahwa dia tidak pernah mengirim surat tersebut. 34. Sang pengirim surat tersenyum-senyum melihat pertengkaran tersebut. Adegan-adegan di atas dijabarkan sebagai berikut: • Kemarahan ibu Jason menjadi pengkait antar adegan, karena pada akhir adegan pertama ditutup dengan kemarahan ibu Jason, dan dibuka pada adegan kedua dengan kemarahan (????). Jason dipaksa membayar perbaikan mobil, yang tentu saja diprotes oleh Jason karena dia tidak punya uang. Kemarahan ibu Jason diperlihatkan dengan mimik marah yang aneh. Jason diperlihatkan tidak tahan melihat mimik tersebut karena mimik tersebut agak keterlaluan. Tanggung jawab diformulasikan dalam bentuk uang untuk memperbaiki mobil yang tentu saja akan mahal sesuai dengan kategori mobil mewah. • Saling ketertarikan antara Nadia dan Jason menjadi misteri antara suka atau benci. Ketertarikan tidak menjadi daya tarik karena keterbukaan dan ketulusan tidak digarap di dalam dialog. Hubungan Jason dan Nadia diperlihatkan sebagai hubungan yang saling berlawanan dan bersaing, walaupun memperlihatkan juga ada beberapa kedekatan dan usaha meromantiskan hubungan yang ada. • Ketertarikan terhadap lelaki menjadi ajang kekerasan seperti saling melotot, saling
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 1, 2006
•
•
•
•
benci, saling mengancam. Hubungan seperti ini terjadi di antara perempuan, terutama yang menjadi korbannya adalah tokoh protagonis. Ketertarikan antara teman merupakan ajang ketidakjelasan yang terlihat juga pada hubungan yang melibatkan Bembi, teman Nadia, sehingga lebih memperlihatkan bahwa hubungan sosial di dalam sinetron tersebut memang merupakan hubungan yang problematik. Pada kasus Bembi, terdapat penekanan dan pemaksaan dari pihak lelaki supaya menerima dia sebagai pacar Bembi. Padahal Bembi telah mengatakan bahwa dia sudah punya pacar. Guru digambarkan keras dan tidak memiliki keterbukaan dalam dialog. Guru perempuan digambarkan sebagai tokoh yang konservatif dengan kacamata berbingkai tebal. Guru juga digambarkan menjadi bahan tertawaan dan aneh karena memiliki suara yang cempreng. Perilaku memalukan seperti kentut menjadi unsur cerita yang dianggap menarik, ditambah lagi dengan penampilan Jono yang ketinggalan jaman dan ‘norak’. Kesan ini mendalam karena Jono menjadi bahan tertawaan teman kelasnya, tanpa dia sendiri turut tertawa, seakan-akan dia adalah punakawan. Kekesalan terjadi karena ketidakjelasan dalam sikap atau dalam hubungan. Dalam hubungan sosial mudah sekali diperlihatkan orang menjadi gampang kesal terhadap orang lain. Rumah mulai terlihat sebagai tempat yang problematik bagi Nadia karena sikap Tantenya yang sering marah dan kasar. Nadia membutuhkan rumah itu karena dia adalah yatim piatu, akan tetapi rumah tersebut menjadi ruang penyiksaan bagi dirinya.
•
•
Kekisruhan dalam perilaku menjadi tempat di mana pihak-pihak tertentu menjadi senang. Kekisruhan ini merupakan bagian lain dari adanya ketidakjelasan di dalam hubungan sosial. Seperti juga masalah komunikasi yang tidak terbuka dan tidak membahas masalah atau persoalan yang ada. Adegan ditutup dengan adanya pertengkaran, karena adanya surat kaleng.
Representasi perempuan Seperti telah disinggung di depan bahwa femininitas merupakan idealisasi perempuan. Secara umum perempuan digambarkan cantik, berdandan, bergaya, dan menggunakan rambut palsu. Bahkan di dalam penampilan di ruang domestik sekalipun, perempuan digambarkan berpakaian dan berdandan lengkap. Perempuan yang tomboy digambarkan dengan rambut pendek, namun pada umumnya rambut digambarkan agak panjang. Guru perempuan juga digambarkan dengan kecenderungan keseriusan dengan baju berpotongan model jas dan rok. Keformalan gambaran ini semakin memperlihatkan formalitas seorang guru yang memperlihatkan kecenderungan mereka untuk tidak mudah kompromi. Stereotip seperti ini kemudian ditambah dengan suara yang ‘cempreng’ yang tidak menarik dan menjadi bahan tertawaan para muridnya. Murid perempuan menggunakan baju seragam yang pendek, terutama pemeran utamanya. Penampilan mereka menggunakan asesoris masa kini dengan anting, gelang, kalung, dan bandana warna-warni. Mereka juga menggunakan tali pinggang gaya, yang lebar dan berwarna mencolok. Sedangkan murid lelaki muncul dengan dandanan dan potongan rambutnya. Murid lelaki juga dibekali dengan kacamata terutama untuk memperlihatkan perannya yang kekanak-kanakan, norak atau
Mulyono – Santoso, Menjadi Perempuan di dalam Sinetron
43
terlalu serius. Pada umumnya cerita akan berpusat pada tokoh antagonis dan protagonis dengan beberapa orang yang menjadi temantemannya. Pada peran antagonis, teman merupakan representasi dari anak buah yang berada di dalam hegemoni tokoh protagonis, tidak bisa berpendapat, dan sering kali menunjukkan ekspresi rasa takut. Selain itu ada tokoh yang muncul dengan dua warna, pada satu sisi dia bersikap memuji tokoh protagonis dan di lain sisi dia menjadi andalan untuk melakukan kekerasan terhadap tokoh yang bersangkutan. Pada umumnya lingkungan keluarga dari tokoh yang bersangkutan berasal dari lingkungan menengah atas. Rumah para tokoh diperlihatkan sebagai rumah yang besar dan luas dengan perabotan yang mahal. Rumah tersebut adalah rumah yang modis dengan warna dinding yang beragam. Ruang yang diperlihatkan adalah ruang tamu, kamar tidur yang cenderung rapi dan apik, ruang makan dengan makanan yang disajikan dengan rapi dan dihias, serta dapur. Sedangkan di sekolah ruang yang diangkat adalah ruang kelas, toilet yang digunakan untuk melakukan kekerasan, koridor, halaman sekolah serta kantin. Kadang diperlihatkan ruang guru dengan meja yang kecil dan dipenuhi oleh tumpukan buku. Mengacu pada dua adegan di atas maka tokoh aktif disampirkan pada tokoh antagonis dan tokoh pasif adalah tokoh protagonis. Meskipun ada lelaki sebagai piala bergilir, namun cerita mengacu pada tokoh utama sebagai tokoh protagonis yang mengalami kekerasan demi kekerasan. Cerita berkisar pada tokoh protagonis, seorang anak perempuan yatim piatu yang tinggal dengan tantenya yang sudah menjanda. Tantenya memiliki anak lelaki yang tampaknya dimanja dan dilindungi oleh ibunya. Karena posisinya sebagai anak yatim piatu, tokoh utama ini dianggap sebagai pembawa sial yang kemudian sebagai
44
implikasinya tokoh ini perlu disingkirkan. Stigma pembawa sial kerap menjadi alasan bagi tantenya untuk melakukan kekerasan terhadap dirinya. Dengan demikian cerita sebenarnya bertumpu pada perempuan sebagai korban kekerasan. Nadia yang digambarkan sebagai tokoh pasif dibandingkan dengan tokoh antagonis, semakin subordinat posisinya karena dia juga menjadi tokoh yang distigmatisasi karena kondisi yatim piatunya. Hubungan sosial antar kerabat dekat tante dan keponakan ini menjadi hubungan yang problematik karena sang tante ingin mengenyahkannya. Sang tante yang janda juga memperlihatkan stereotip janda yang memiliki masalah karena tidak ada lelaki. Posisinya memperlihatkan kekuasaan yang membuat nasib buruk keponakannya menjadi stigma bahwa dia harus dihilangkan karena membawa sial. Gambaran seperti ini tidak sesuai dengan fungsi perempuan yang care giver d a n cenderung mau mengorbankan dirinya untuk orang lain. Posisi subordinat perempuan tidak melulu memperlihatkan posisi yang tidak seimbang dengan lelaki, akan tetapi juga memperlihatkan bahwa perempuan juga cenderung suka menolong atau berkorban. Artinya perempuan mendahulukan orang lain dibanding dirinya sendirinya. Posisi tante yang janda dalam hal ini tidak memperlihatkan posisi subordinitas perempuan karena dia mampu dan bisa bahkan menjadi otak di dalam tindakan melakukan kekerasan. Posisi lain seperti ini diperlihatkan oleh ibu Jason sebagai ibu yang protektif terhadap anak lelakinya. Ibu Jason menentukan dengan siapa Jason berhubungan dan juga menentukan dengan siapa dia tidak boleh berhubungan. Jason sebagai anak tidak memiliki saringan dan penolakan terhadap sikap ibunya, walaupun dia juga memperlihatkan rasa tidak senang. Posisi yang tidak subordinat ini diperlihatkan dengan keinginan untuk
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 1, 2006
menguasai anaknya, bahkan memperlihatkan keinginan untuk menentukan pergaulan anaknya. Representasi stereotip perempuan dan stigma yang digambarkan di dalam sinetron merupakan unsur penting untuk dikritisi. Perempuan sebagai janda digambarkan sebagai stigma negatif. Penggambaran seperti ini tidak menguntungkan masyarakat pada umumnya karena di dalam masyarakat sebenarnya terlihat kecenderungan meningkatnya perceraian. Dalam posisi seperti ini penggambaran janda sebagai hal yang negatif menempatkan janda dalam posisi yang salah sehingga meniadakan peran lelaki. Cerita yang mengangkat janda sebaiknya juga membahas mengenai masalah yang melibatkan problematika kehidupan sebagai janda, atau justru memperlihatkan bagaimana dia harus bergulat untuk menyeimbangkan posisinya sebagai anggota masyarakat. Perempuan menyandang status janda dalam kenyataan hidup sehari-hari menjalani kehidupannya dengan tekanan sosial. Masyarakat melihat janda sebagai perempuan yang available, artinya anggota masyarakat menilai dirinya dengan stereotip seksualitas. Di dalam sinetron ini stereotip seperti itu menjadi lebih buruk lagi karena stereotipnya sebagai pelaku kekerasan. Posisi seperti ini tidak sesuai dengan genre opera sabun yang merupakan film untuk perempuan yang membahas masalah yang berkaitan dengan perempuan. Tokoh korban kekerasan yang juga perempuan memperlihatkan posisi subordinitas perempuan yang ditentukan oleh orang lain yang lebih berkuasa. Posisinya sebagai korban kekerasan tidak memperlihatkan keinginan atau usaha untuk resistensi terhadap tindakan tersebut. Walaupun tindakan tersebut sebenarnya sudah melampaui tindakan kekerasan, karena tindakan kekerasan tersebut mengarah pada tindakan kriminal seperti mencekik,
menggunakan pisau, racun, atau menenggelamkan. Sebagai sebuah tayangan, visualisasi seperti ini memperlihatkan netralisasi tindakan kriminal. Artinya tindakan tersebut memperlihatkan tindakan yang biasa saja, sehingga kematian merupakan jawaban dari stigma pembawa sial. Sinetron juga cenderung tidak mengembangkan pakem opera sabun yang umumnya menekankan pada sensualitas dan romantisme. Sebagai kajian feminis, opera sabun dikritik karena menggunakan perempuan sebagai obyek seksualitas, akan tetapi pada sinetron yang mencolok adalah penggunaan kekerasan sebagai dramatisasi dari cerita. Jika sensualitas dan romantisme dipandang sebagai male gaze yaitu penggambaran perempuan yang ada sesuai dengan bagaimana lelaki memandang perempuan. Oleh karena itu menarik untuk melihat dan mempertanyakan dan barangkali menuduh bahwa apakah kekerasan menjadi cara bagaimana lelaki Indonesia memandang perempuan. Bukan sekedar perempuan akan tetapi perempuan yang memiliki stigma buruk di dalam masyarakat Indonesia seperti janda. Dalam hal ini kelengkapan sebuah keluarga merupakan nilai ideal yang memperlihatkan posisi normal atau yang seharusnya. Dengan demikian maka tidak heran bahwa perempuan yang berada pada posisi keluarga yang tidak lengkap mendapatkan nilai atau pemaknaan tidak normal dan kemudian berkonotasi negatif bahwa dia bermasalah. Stigma buruk juga menimpa perempuan yang dapat dikategorikan sebagai perempuan yang aktif, yaitu dia menjadi tokoh antagonis. Dalam hal ini, menarik untuk melihat konsep seperti girl power yang berkembang pada produksi budaya di Barat yang memperlihatkan perempuan yang mampu mengambil keputusan terhadap dirinya sendiri. Girl power sebagaimana halnya perempuan aktif merupakan elemen penting yang dapat disampaikan
Mulyono – Santoso, Menjadi Perempuan di dalam Sinetron
45
sebagai upaya untuk mendidik masyarakat bahwa perempuan bisa aktif dan perlu aktif. Namun dengan adanya konotasi negatif seperti itu, maka representasi perempuan yang ada semakin memperlihatkan stereotip perempuan seperti di dalam gambaran lelaki, perempuan aktif = masalah. Girl power juga tidak diperlihatkan dalam tindakan apakah tokoh yang menderita tindakan kekerasan berusaha untuk bangkit dari kondisinya. Kekuatannya berada pada pertemanan yang dia miliki yang menjadi pengganti orang tua yang mengurus dan menasehatinya. Pada peran yang lain keberadaan girl power ada pada perempuan seperti Bembi yang mampu mengatakan menolak permintaan lelaki untuk menjadi pacarnya, walau kemudian diikuti oleh ancaman dari lelaki tersebut karena permintaannya ditolak. Peran lain yang memperlihatkangirl power ada pada Mimi yang digambarkan sebagai perempuan yang tomboy. Artinya perempuan yang memiliki karakter lelaki bisa menentukan pendapatnya. Kekuatan perempuan harus seperti lelaki jika ia ingin memperlihatkan kekuatan dan kebisaannya. Perempuan yang memiliki power, seperti ibu guru, diperlihatkan dengan cara konservatif dan kuno. Guru perempuan diperlihatkan judes, suka memaksa, tidak kompromistis dan juga memiliki karakter biologis yang buruk seperti suara yang cempreng. Perempuan seperti ini menjadi bahan tertawaan dan ejekan, termasuk ejekan dari anak lelaki yang menjadi muridnya. Representasi seperti ini menjadi negatif karena perempuan yang memiliki kebisaan diperlihatkan sebagai sebuah keanehan. Kembali lagi representasi seperti ini memperlihatkan elemen misoginis yang ada di Indonesia, yang menganggap bahwa perempuan yang mandiri itu adalah perempuan yang aneh. Representasi guru yang konservatif dan kuno juga memperlihatkan bahwa perempuan yang memiliki kebisaan adalah perempuan yang tidak
46
tampak sebagai perempuan yang halus dan fashionable dan tampil menarik. Namun girl power yang tampak mencolok adalah representasi sang tante sebagai pelaku kekerasan. Posisi seperti ini memperlihatkan kekuasaan yang dimiliki perempuan, akan tetapi representasinya sebagai pelaku kekerasan yang menjurus ke arah kriminal membuat gambaran negatif tentang kekuasaan yang dimiliki oleh perempuan. Perempuan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan diperlihatkan sebagai subyek yang kejam dan terutama lebih kejam daripada lelaki.
Penutup Kajian ini dibuka dengan keingin tahuan mengenai femininitas yang ada di Indonesia pada akhir-akhir ini. Tampaknya memang terjadi perubahan jika dibandingkan dengan femininitas masa Orde Baru yang mendapatkan intervensi dari negara. Negara pada saat itu memiliki konsepsi cukup rinci mengenai bentuk femininitas perempuan yang diidealkan. Representasinya dapat dilihat dari tayangan sinetron yang ada di televisi, yang menggambarkan adanya tokoh bapak yang bijaksana, dan ibu sejati yang serba bisa dan serta tahu dan serba memaklumi. Tentunya representasi ini tidak lepas dari tokoh antagonis yang memperlihatkan tokoh perempuan dewasa yang menyandang stigma negatif sebagai janda yang melakukan kekerasan. Stigmatisasi tersebut sangat negatif bagi perempuan, dan merupakan elemen penting yang perlu diperhatikan oleh pemirsa dan juga pelaku industri budaya. Bahwa ada kenyataan seperti itu di masyarakat merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri, namun mengedepankan hal tersebut sebagai femininitas yang dominan bukan perilaku yang terpuji. Dengan sangat menonjolnya elemen tersebut memperlihatkan elemen misoginis di dalam masyarakat yang ingin memperlihatkan bahwa
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 1, 2006
perempuan berbuat jahat atau berbuat kekerasan. Jika sebagai sebuah genre film, sinetron pada umumnya mengembangkan sensualitas dan romantisme, maka harus menjadi pertanyaan mengapa pelaku industri budaya yang kebanyakan adalah lelaki melestarikan gambaran bahwa perempuan adalah pelaku kekerasan? Sebegitu menyeramkankah posisi perempuan di Indonesia, sehingga visualisasi dominannya adalah sebagai pelaku kekerasan. Ada unsur penting yang mendasari representasi perempuan sebagai pelaku kekerasan perlu dibahas dengan serius di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan konteks perubahan sosial yang terjadi di Indonesia, di mana kekerasan tiba-tiba mencuat menjadi berita utama dan sarapan sehari-hari. Pembahasan tentang kekerasan perlu dikembangkan dengan mengangkat latar belakang terjadinya kekerasan, sehingga orang lain dapat belajar untuk menghindarinya. Terutama perempuan terstigma yang melakukan kekerasan seperti yang muncul di dalam sinetron, harus menjadi perhatian utama. Pertama, tentu saja hal tersebut tidak sesuai dengan stereotipe perempuan yang diperlihatkan mampu menerima orang lain. Apakah dengan visualisasi tersebut pembuat sinetron ingin memperlihatkan bahwa perempuan sudah tidak seperti stereotip itu lagi. Kedua, gambaran seperti itu tidak sesuai dengan genre perempuan dari opera sabun itu sendiri yang banyak membahas masalah perempuan. Justru hal ini menjadi elemen yang kurang tergarap dari perempuan itu sendiri. Artinya sinetron Indonesia belum mengembangkan sisi kepentingan perempuan di dalam penggarapan ceritanya. Sinetron di dalam hal ini merupakan realitas itu sendiri yang dapat tidak berhubungan dengan apa yang terjadi sehari-hari. Sebagai sebuah realitas, sinetron mengangkat representasi tertentu yang dapat dianggap kurang
pas jika dilihat dari perspektif perempuan. Dalam hal ini sudut pandang kepentingan perempuan terlihat belum tergarap, seperti cerita tentang janda yang masih melekatkan stigma pada janda. Padahal di dalam masyarakat, terlihat ke cenderungan perceraian meningkat, namun mengapa terdapat kesan bahwa hal tersebut adalah “kesalahan” perempuan. Di sisi lain , dengan meningkatnya perceraian, ada masalah terkait lainnya yang perlu mendapat perhatian seperti bagaimana anak memaknai hal tersebut. Stigmatisasi negatif perempuan tidak menolong anak untuk memahami kondisi perceraian yang ada. Namun secara umum, masyarakat tidak belajar untuk beradaptasi dengan adanya perubahan sosial yang terjadi. Unsur kekuasaan atau power dalam hal ini mewarnai cerita di dalam sinetron sehingga hubungan sosial yang terjadi cenderung bersifat dominan-mendominasi. Kekuasaan menjadi sangat terkait dengan kekerasan itu sendiri. Dalam hal ini perempuan yang memiliki kekuasaan direpresentasikan secara negatif dan cenderung melecehkan seperti penggambaran guru perempuan. Perempuan yang memiliki kekuasaan merupakan gambaran yang tidak sesuai dengan perempuan itu sendiri, dengan alasan bahwa perempuan menduduki posisi yang subordinat. Subordinitas perempuan menghasilkan kecenderungan bahwa perempuan tidak memiliki kekuasaan. Pada posisi seperti ini, perempuan yang memiliki kemampuan untuk membuat sebuah keputusan kecil sekalipun dihargai sebagai perempuan yang mampu. Hal yang sangat berbeda dari representasi perempuan yang menjadi otak dari perilaku kekerasan, yang mampu mempengaruhi orang lain termasuk lelaki. Secara umum, penulis ingin menutup dengan himbauan bahwa lebih banyak sisi harus dikaji tentang sinetron dan hasil produksi budaya lainnya. Justru karena posisinya dianggap remeh, tidak penting, namun disukai
Mulyono – Santoso, Menjadi Perempuan di dalam Sinetron
47
oleh kebanyakan orang, produksi budaya seperti ini menjadi semakin penting untuk diperhatikan dan dikaji. Kajian yang berhubungan dengan perspektif termasuk di dalamnya perspektf perempuan sangat diperlukan untuk memperlihatkan adanya
alternatif berpikir. Hal ini perlu disikapi dengan bijak, bukan dalam keinginan untuk meniadakan akan tetapi justru sebaliknya mengembangkan dialog untuk kemajuan pertelevisian khususnya dan media di Indonesia pada umumnya.
Referensi Aripurnami, S. 1996 “A Feminist Comment of the Sinetron Presentation of Indonesian Women”, dalam L..J. Sears (peny.) Fantasizing the Feminine in Indonesia. Durham: Duke Univesity Press. Hlm. 249–258. Armando, A. 2000 “Perempuan di Media Rupawan, Aduhai dan Manja”, Jurnal Perempuan (13):29–32. Iedema, R. 2001 “Analysing Film and Television: A Social Semiotic Account of Hospital: An Unhealthy Business”, dalam T. Van Leeuwen dan C. Jewitt (peny.) Handbook of Visual Analysis. London: Sage Publications. Hlm. Kitley, P. 2000 Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi. van Leeuwen, T. dan J.Carey (peny.) 2001 Handbook of Visual Analysis. London: Sage Publications. Sekretariat Bersama ‘6 LSM Menolak Sinetron Bunglon’ 2004 Menolak Sinetron Remaja “Bunglon” (SCTV, Minggu 19.00 – 20.00). Vol 1 Rabu 7 Juli 2004. 2004 Menolak Sinetron Remaja “Bunglon” (SCTV, Minggu 19.00 – 20.00). Penayangan terakhir Episode 4: Minggu 11 Juli 2004, Vol 2 Rabu 21 Juli 2004. Sen, K. 1988
Indonesian Cinema Framing the New Order. London: Zed Books Ltd.
Smith, D.E. 1990 Texts, Facts and Femininity, Exploring the Relation of Ruling, London: Routledge. Soemandoyo, P. 1999 Wacana Gender dan Layar Televisi. Yogyakarta: LP3Y. Suryakusuma, J. 2004 Sex, State and Nation: An Anthology of Writing 1979-2003. Jakarta: Metaphor Publisher. Tiwon, S. 1996 “Model and Maniac: Articulating the Female in Indonesia”, dalam L.J. Sears (peny.) Fantasizing the Feminine in Indonesia. Durham: Duke Univesity Press. Hlm. 47–70.
48
ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 1, 2006