Opini Edisi 13: Perempuan Belum Menjadi Subjek dalam Sejarah Qurban Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 07:49 -
Tema qurban sering kali dibicarakan dalam berbagai forum. Bedanya dengan yang dikaji di sini adalah upaya mengaitkan tema qurban ini dengan perempuan yang sering kali menjadi korban dalam pelbagai tindak kekerasan. Kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan seksual. Tema ini menjadi lebih aktual manakala disajikan bersamaan dengan momen Idul Adha atau Idul Qurban. Kajian tentang qurban selama ini hanya dikaitkan dengan pengurbanan yang dilakukan Ibrahim AS terhadap Ismail. Sedikit sekali atau bahkan tidak ditemukan adanya perspektif perempuan dalam memaknai ritual Haji atau Idul Qurban. Rubrik akan
opini ini terdiri dari dua bagian wawancara. Wawancara pertama mengeksplorasi makna qurban dari sisi historis maupun perspektif perempuan dan Islam. Kami hadirkan wawancara dengan Nuryamin Aini (Dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pengamat hubungan Perempuan dan Islam) yang lebih banyak melihat dari sudut pandang Islam. Sementara wawancara kedua berusaha mengungkapkan pemahaman makna qurban, korban, dan pengorbanan dalam berbagai sudut pandang. Disinggung pula bagaimana proses terjadinya kekerasan oleh negara dan bagaimana pengalaman mendampingi korban kekerasan. Untuk itu kami mengetengahkan narasumber Ita F. Nadia (Komnas Perempuan).
Wawancara
dengan Nuryamin Aini
Perempuan Belum Menjadi Subjek dalam Sejarah Qurban
Apa perbedaan antara kurban (dengan huruf “u” dan korban (dengan “o”) menurut Bapak ? 1 / 23
Opini Edisi 13: Perempuan Belum Menjadi Subjek dalam Sejarah Qurban Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 07:49 -
Bila dilihat dalam istilah Arab maka qurban berasal dari kata q-r-b artinya dekat. Qurban berarti melakukan sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Istilah lain untuk hewan qurban adalah al-ud-hiyyah yang berarti suatu pemberian kepada Tuhan yang didasarkan kepada ketaatan-ketaatan tanpa resiko. Dalam hal ini ada sejenis cinta tidak bersyarat dan tidak akan pernah dipertanyakan atau diragukan. Mungkin dalam dalam bahasa perkawinan hal tersebut dapat disamakan dengan istilah ”mawaddah wa rahmah” Mawaddah adalah sebuah ketaatan yang masih didasarkan pada syarat-syarat tertentu. Tetapi kalau rahmah maka dalam hal ini berarti seseorang akan selalu memberikan sesuatu dan justru akan menemukan makna ketika ia memberi. Sangat disayangkan dalam keseharian kita justru semangat udhiyyah seperti di atas semakin hilang. Ketika ada kata take and give (memberi dan menerima), maka yang sering muncul justru keakuan. Padahal yang ingin diajarkan dalam semangat kurban tadi adalah bagaimana orang berpikir untuk selalu memberi (tanpa berharap menerima pamrih—Red.). Berkaitan dengan istilah bahasa korban dan kurban saya pikir hal ini adalah hanya upaya bahasa Indonesia yang membedakannya. Sedangkan kalau dilihat ke bahasa Inggris, korban seringkali diterjemahkan sebagai victim, padahal korban yang dimaksud dalam istilah keagamaan Islam adalah sebuah dedikasi kepada Tuhan. Di sinilah terlihat sejauh mana kemampuan bahasa itu sendiri mentransformasi satu makna budaya yang nuansanya agak teologis. Kalau ada bahasa ad-ha, yud-hi, maka bagi saya itu adalah sebuah refleksi diri yang nuansanya menggambarkan satu jiwa yang tidak pernah mempertanyakan dan selalu berfikir untuk memberi, karena dengan memberi, orang tersebut menemukan kebahagiaan.
Batasan
korban itu sendiri apa saja Pak? 2 / 23
Opini Edisi 13: Perempuan Belum Menjadi Subjek dalam Sejarah Qurban Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 07:49 -
Batasannya mungkin ketika tidak ada lagi orang yang berpikir pada formalistis. Seringkali kita terjebak dalam bahasa ‘aku sudah berkorban’ yang berarti ‘aku sudah menyelesaikan sesuatu secara formal’. Yang dijadikan pijakan dasar ibadah qurban adalah keinginan memberi. Maka tidak ada batas berkorban, yang ada hanya hitungan tahun, atau hitungan jumlah, misalnya satu sapi untuk tujuh orang. Semakin banyak orang berkeinginan untuk memberi maka pengorbanan menjadi sesuatu yang ringan untuk dilakukan. Saya mengangkat cerita Ibrahim, terutama cerita Ismail, tergambar di dalamnya gambaran cinta yang tulus dari seorang hamba kepada Tuhannya. Kalaupun itu kemudian muncul melalui sebuah mimpi maka dia pun tidak akan pernah meragukan mimpi itu.
Bagaimana pandangan Bapak tentang qurban dilihat dari sudut pandang Sosiologi Agama? Mungkin kita dapat memulai perbincangan dengan sejarah qurban. Memang selama ini sejarah didominasi oleh laki-laki karena yang terlibat di dalamnya adalah laki-laki. Walaupun ada perempuan di balik ‘panggung’ sejarah, tetapi tampaknya dalam sejarah kurban tersebut lebih banyak dilihat sebagai skenario teologis Ibrahim dan Ismail. Dalam sejarah tersebut tidak pernah memunculkan pertimbangan seorang ibu (Siti Hajar) yang juga merasa mempunyai anak kesayangan. Dialog-dialog yang ada dalam sejarah qurban tidak pernah melibatkan suara dari Siti Hajar sebagai seorang ibu. Saya kira untuk mengangkat isu gender dalam sejarah qurban, perlu dilihat posisi Hajar. Saya sendiri belum menemukan di mana suara Hajar dapat didengar. Saya pikir mungkinkah ada satu pembuangan sejarah dari proses pengurbanan tersebut oleh kelompok-kelompok tertentu yang berkepentingan hanya untuk memunculkannya sebagai isu ibadah saja.
3 / 23
Opini Edisi 13: Perempuan Belum Menjadi Subjek dalam Sejarah Qurban Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 07:49 -
Bagaimana jika dibandingkan dengan kasus qurban dalam kepercayaan lain, seperti pada masyarakat Tengger? Kalau dalam sejarah pendekatan manusia kepada Tuhan, udhiyyah adalah simbol penghubung untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dan hal ini berkaitan dengan pemaknaan konsep entitas Tuhan dan eksistensi Tuhan. Maksud eksistensi Tuhan adalah konsep tentang keberadaan dan kedirian Tuhan. Ketika kita memahami Tuhan sebagai yang lebih maskulin seperti sifatnya jabbar, qohhar yaitu penguasa-penguasa segala kekasaran dan kekerasannya. Mungkin figur Tuhan akan menjadi zat yang sangat otoriter. Maka pendekatan orang tersebut bukan pendekatan penghambaan dalam arti hubungan mahabbah, seperti tampak dalam drama kosmiknya Ibrahim dan Ismail. Kalau kita memahami Tuhan dengan pemahaman animistik, yaitu dengan ada perasaan takut akan murka Tuhan kepada hambanya, maka pendekatan pengorbanan adalah salah satu ungkapan penjinakan terhadap larangan Tuhan. Jika masyarakat yang memahami konsep Tuhan sebagai sosok yang garang maka tidak mustahil mereka melakukan penundukan melalui sebuah korban. Mengorbankan sesuatu diyakini akan membuat Tuhan menjadi tidak murka. Dalam sejarah Islam dan konsep teologis Islam, ketika Ibrahim dan Ismail melakukan contoh ‘drama kosmik’ seperti itu, saya tidak menganggap pemahaman seperti konsep Tuhan tadi. Saya tidak menemukan konsep Tuhan yang harus didekati dengan bahasa sesajen, tetapi justru sebagai Tuhan yang dipahami dengan bahasa yang sangat feminin, dengan bahasa pengayoman, kasih-sayang. Saya kira di masyarakat primitif, pengorbanan masih dianggap sesuatu yang lumrah dilakukan, karena Tuhan dalam pandangan mereka masih dianggap sebagai sosok yang berbeda-beda misalnya mereka mengenal ada
4 / 23
Opini Edisi 13: Perempuan Belum Menjadi Subjek dalam Sejarah Qurban Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 07:49 -
Tuhan Pembuat, Tuhan Perusak dan ada Tuhan Penjaga. Dan dengan keyakinan itu pula ada Tuhan yang tidak murka jika diberi sesajen atau kurban. Tetapi Ibrahim sama sekali tidak mencontohkan hal tersebut. Kalaupun simbol qurban yang dipakai dalam sejarah Ibrahim dan Ismail adalah seekor kibas, hal itu tidak dalam bahasa penggantian nilai bahwa harga manusia sama dengan harga kibas. Tetapi hal ini adalah simbol dari ketulusan yang luar biasa. Walaupun saya tidak mengetahui apakah pada waktu itu kibas adalah binatang yang sangat mahal, semahal harga kecintaan itu sendiri.
Bagaimana dengan qurban yang dilakukan Qabil dan Habil pada masa Nabi Adam? Kembali agak jauh ke belakang. Sejarah yang diwarisi hingga sekarang nampaknya lebih banyak dirujuk dan dimaknai dari peristiwa kurban zaman Ibrahim. Kalaupun dilihat jauh ke belakang maka secara simbolis masalah kurban yang dilakukan Qobil dan Habil adalah bagian dari simbol-simbol dari sebuah gambaran penyerahan diri secara tulus. Yaitu ketika sebuah perintah ketuhanan (titah ilahiyah) perlu ditaati. Kalau dalam aturan (qaidah) awalnya yaitu ketika anak-anak Adam tersebut berebut seorang perempuan, maka memang perempuan kemudian muncul hanya sebagai obyek yang diperebutkan. Yang menarik dari dua peristiwa tersebut (perintah kurban dan perebutan perempuan) adalah bahwa tidak ada perempuan yang diposisikan sebagai subyek dalam masalah tersebut, paling tidak dengan menyuarakan identitas dirinya. Akan tetapi saya melihat bahwa dua peristiwa pada zaman Nabi Adam ini tidak terlalu signifikan dalam sejarah ritual Islam, karena saya melihat yang dicontohkan oleh Qabil dan Habil lebih kental pada sejarah permusuhannya. Kalaupun ada unsur ‘ubudiyah (ibadah) dalam konstruksi fiqh yang dianut sekarang maka hal itu tidak merujuk kepada peristiwa tersebut. 5 / 23
Opini Edisi 13: Perempuan Belum Menjadi Subjek dalam Sejarah Qurban Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 07:49 -
Bagaimana kita bisa memahami Hajar dalam konteks qurban? Ketika sejarah telah menggambarkan ketidakterlibatan Hajar maka mungkin kita dapat memahaminya melalui konteks historisnya yaitu di mana posisi Hajar adalah hanya sebagai isteri kedua dan pernah ‘dibuang’. Nash-nash yang menyuarakan Hajar sangat jelas menyebutkan bahwa dia harus diusir dan dibuang di satu tempat. Bagi saya hal ini adalah sebuah tantangan moral. Apakah pengorbanan Hajar itu dapat dipahami sejak dia diusir dari keluarga utama? Bagi saya walaupun itu tidak diungkapkan secara jelas, tetapi sejarah mengungkapkan bahwa ada jiwa seorang ibu yang lebih dari sekadar mengatakan bahwa dia pun berkorban. Ungkapan-ungkapan yang ada hanyalah sebuah kebisuan dan hal ini dapat diartikan sebagai sebuah bentuk kepasrahan. Saya justru lebih menangkap bahwa Hajar terbentuk sebagai istri kedua yang berada dalam posisi subordinatif dari istri pertama suaminya. Sehingga sulit mengharapkan untuk melibatkannya sebagai pelaku utama dalam ‘drama kosmik’ qurban .
Dalam hal ini, apakah Hajar adalah bagian yang juga berqurban atau juga sebagai orang yang dikurbankan? Kalau melihat narasi yang diungkapkan oleh Al-Qur’an, Hajar memang sama sekali tidak dilibatkan dalam dialog-dialog. Saya kira hal ini adalah salah satu bentuk peminggiran, atau pembuangan sejarah perempuan. Yang saya tangkap memang Hajar tidak terlibat dan hal ini ada kaitannya dengan konstruksi historis. Saya tidak mengetahui semua ini terpengaruh oleh konsep-konsep Israiliat (cerita atau riwayat dari tradisi Bani Israil—Red.) yang selalu mengucilkan perempuan. Saya menangkap bahwa dalam sejarah, secara formal 6 / 23
Opini Edisi 13: Perempuan Belum Menjadi Subjek dalam Sejarah Qurban Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 07:49 -
perempuan memang sering dilupakan. Ada dua kemungkinan menurut saya ketika Hajar tidak terlibat, yaitu karena bentuk kepercayaan seorang ibu kepada anak dan suaminya dan yang kedua lebih karena ketidakmampuan Hajar untuk membela dirinya. Terus-terang saya juga tidak mengerti mengapa Ismail tidak pernah digambarkan berdialog dengan ibunya, pun Ibrahim. Yang ada hanya sebuah pertanyaan-pertanyaan besar yang diutarakan Hajar kepada Ibrahim. Lalu dalam hal ini, apakah kita dapat mengatakan bahwa mungkin Ibrahim adalah orang yang tidak peduli dengan suara perempuan.
Apakah dengan menyembelih kibas justru memunculkan simbol-simbol kekerasan? Saya mencoba menangkap bahwa pada akhirnya suatu peristiwa terkadang memiliki pemaknaan yang sangat penting dan sangat variatif. Saya melihat udhiyah atau qurban memang berkaitan dengan sesuatu yang dipotong kemudian dimakan. Untuk hal ini nampaknya penyembelihan qurban harus difahami dengan konsep kehalalan. Saya tidak mengetahui apakah konsep ini juga berkaitan dengan toyyib dalam konsep makanan karena ukuran darah yang dikeluarkan dari tubuh binatang kurban. Dalam bahasa biologi, darah adalah zat yang paling mudah terkontaminasi dari tubuh seseorang, karenanya udhiyyah tidak semata-mata hanya simbol pengorbanan. Oleh sebab itu mengorbankan binatang sama dengan menyediakan makanan dari binatang qurban tadi untuk manusia. Kemudian mengenai bentuk pengorbanan dengan keharusan memotong leher, menurut saya adalah sebagai upaya untuk mencoba mengejar makna toyyibah dalam konsep makanan.
Bolehkah
simbol penyembelihan Ismail tersebut dipahami
7 / 23
Opini Edisi 13: Perempuan Belum Menjadi Subjek dalam Sejarah Qurban Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 07:49 -
sebagai simbol menghapus budaya patriarkhi? Pada simbol formal, maka patriarkhi bagi saya adalah sesuatu yang lebih rendah jika dibandingkan dengan pembelaan terhadap kemartabatan manusia. Bagi saya puncak qurban adalah menghargai kemartabatan manusia. Cinta yang tulus adalah membela kemartabatan. Dan Ismail membela martabat (kemanusiaan) dengan memberikan apapun yang terbayang, walaupun dengan mengorbankan diri sendiri.
Lalu bagaimana memunculkan suara perempuan dalam pemaknaan qurban?. Secara formal, memahami keterlibatan perempuan dalam hal qurban bukan berarti perempuan tidak rela untuk mengorbankan anaknya, tetapi merupakan gambaran kecintaan yang luar biasa dalam lingkup rumah tangga. Ketika pengorbanan perempuan hingga harus merelakan anaknya untuk dikorbankan, maka hal itu bermakna ketulusan dan merupakan salah satu bentuk ketaatan individual seseorang kepada Tuhannya. Tetapi saya tidak menerima ketaatan seorang perempuan kepada Tuhan harus dengan mengorbankan dirinya kepada suaminya seperti yang terjadi pada tradisi dan teologi Hindu. Dalam teologi Hindu, ketika suami meninggal maka sang isteri harus rela mengikuti kematian suami dengan ikut membakar diri. Bagi saya tradisi qurban seperti ini akan mengurangi nilai martabat perempuan itu sendiri. Kalaupun perempuan tersebut tulus mengorbankan sesuatu, maka seharusnya ia tidak menggunakan medium-medium manusia dalam hal ini laki-laki.
Hikmah apa yang bisa dipetik dari pemaknaan qurban kaitannya dengan hak-hak perempuan?
8 / 23
Opini Edisi 13: Perempuan Belum Menjadi Subjek dalam Sejarah Qurban Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 07:49 -
Dalam agama, yang paling dalam adalah hal moralitas. Apa yang dicontohkan dalam sejarah Ismail dan Ibrahim adalah gambaran dari sebuah ungkapan yang melintas batas-batas formalisme. Yang dimunculkan dari makna kurban bagi perempuan adalah justru ketulusan yang luar biasa. Kemudian kita mencoba memperjuangkan perempuan dan laki-laki melalui simbol-simbol ideologis yang ada. Saya setuju ketika pemberdayaan perempuan dengan segala upayanya mampu melebur hal-hal yang sangat formal ke dalam makna-makna yang lebih jauh, dibandingkan bahasa-bahasa fiqh dan hukum. Kalaupun kemudian ada bahasa hukum yang ingin membebaskan perempuan dari segi kekerasan, maka bagi saya akarnya adalah tidak semestinya ada pihak yang dikorbankan lagi. Maka berpikirlah untuk tidak menjadi pelaku yang mengorbankan orang lain. Dan hal itulah yang dikutip dalam sebuah hadis bahwa kebaikan adalah kemampuan untuk membahagiakan orang lain. Menurut saya makna qurban salah satunya datang dari contoh Ibrahim yang menyembelih anaknya. Ismail sebagai anak Ibrahim yang harus disembelih adalah perwakilan dari laki-laki.
Wawancara Ita F. Nadia
Belajar Mendengarkan Suara Korban
Alumni Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada ini telah cukup lama malang9 / 23
Opini Edisi 13: Perempuan Belum Menjadi Subjek dalam Sejarah Qurban Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 07:49 -
melintang sebagai pekerja kemanusiaan dan pendampingan korban. Baginya, percaya kepada Allah memiliki konsekuensi untuk membangun dunia yang lebih manusiawi. Karenanya, semenjak menjadi mahasiswa ia telah mengabdikan dirinya sebagai guru bagi anak-anak miskin di Yogyakarta. Penelitiannya mengenai Sejarah Lisan tentang Perempuan Korban Militerisme telah mengantarkannya untuk lebih berempati dan memahami korban.Kepada AD. Kusumaningtyas dari Swara Rahima, aktivis Komnas Perempuan dan lulusan Program Studi Women and Development di Institute Social Studies di Den Haag Belanda ini menyampaikan berbagai pemikiran kritisnya untuk para pembaca.
10 / 23
Opini Edisi 13: Perempuan Belum Menjadi Subjek dalam Sejarah Qurban Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 07:49 -
Apa saja pengertian dasar tentang kurban, korban, dan beberapa istilah yang terkait dengannya ? Sebenarnya ini pertanyaan filofsofis. Apa itu qurban, korban, dan menjadi korban? Kalau melihat sepintas, sepertinya tidak ada perbedaan, tapi sebetulnya ada perbedaan yang sangat esensial. Kurban mengandung satu nilai atau semangat untuk melakukan pengorbanan atau mengorbankan diri untuk kepentingan kemanusiaan. Kalau saya melihat dari sudut esensi, berqurban adalah bagaimana seorang manusia, laki-laki maupun perempuan memberikan atau mengolah egonya, bukan untuk kepentingan dirinya tetapi untuk kepentingan kemanusiaan yang lebih besar. Di situ mengandung pesan adanya satu topik tentang kehidupan kemanusiaan yang lebih baik, adil, dan damai. Itu qurban menurut saya dari apa yang saya lihat.
11 / 23
Opini Edisi 13: Perempuan Belum Menjadi Subjek dalam Sejarah Qurban Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 07:49 -
Bagaimana dengan pengertian Korban? Korban adalah satu kelompok atau individu yang mendapat beban atau derita karena tindakan kekerasan atau kejahatan yang dilakukan oleh orang lain. Orang lain itu bisa berbentuk individu atau kelompok atau malah satu sistem negara. Korban ini menerima tindakan di luar perikemanusiaan sehingga mengalami penderitaan, baik fisik maupun nonfisik.
Lalu bagaimana dengan terma dikorbankan yang seringkali kita dengar? Kalau dikorbankan saya kategorikan masuk dalam tindakan yang disengaja. Adanya kelompok atau individu tertentu yang secara sengaja melakukan kekerasan 12 / 23
Opini Edisi 13: Perempuan Belum Menjadi Subjek dalam Sejarah Qurban Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 07:49 -
atau membatasi tindakan atau membatasi kehidupan seseorang, baik dengan aturan maupun dengan perilaku-perilaku fisik. Itu arti dikorbankan. Saya lebih melihat dikorbankan betul-betul dilakukan secara sengaja tetapi dengan cara yang halus. Sering tidak kentara, sehingga seorang korban sendiri yang sebenarnya telah dikorbankan, tidak merasa menjadi korban.
Menarik sekali penjabaran istilah-istilah tadi. Sekarang kita bisa lebih fokus pada bagaimana perempuan dalam posisi berkorban tadi? Nilai-nilai seperti apa yang disosialisasikan kepada perempuan? Ada sosialisasi secara informal dan formal. Sebenarnya sosialisasi secara formal ini juga bagian atau tindak lanjut dari sosialisasi informal. Dasarnya adalah 13 / 23
Opini Edisi 13: Perempuan Belum Menjadi Subjek dalam Sejarah Qurban Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 07:49 -
tradisi dan budaya. Nilai-nilai tertentu yang tentang perempuan yang bias gender disosialisasikan secara intensif melalui keluarga, misalnya: sebagai perempuan harus mengalah; makanan harus diberikan kepada laki-laki lebih dulu atau yang lebih tua; sebagai perempuan harus mengalah dan jangan berani; jangan mendahului; dan lain sebagainya. Jadi sosialisasi-sosialisasi tentang perilaku perempuan yang harus berkorban ditanamkan sejak usia dini. Setelah dewasa, ketika menjadi istri dan ibu, perempuan harus menomorsatukan suami dan anaknya. Apalagi sebagai ibu, ia harus senantiasa berkorban karena jika tidak, kalau ada sesuatu dengan anaknya, maka ibunya pasti disalahkan. Pengorbanan semacam ini terinternalisasi menjadi kepercayaan yang hampir dipunyai setiap perempuan.
14 / 23
Opini Edisi 13: Perempuan Belum Menjadi Subjek dalam Sejarah Qurban Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 07:49 -
Lalu bagaimana kaitannya peran negara dalam isu pengorbanan ini? Sosialisasi di tingkat keluarga seperti di atas kemudian dimanipulasi oleh negara. Perempuan adalah tulang punggung dari komunitas maka harus berbakti kepada negaranya. Dia harus melaksanakan the glories of sacrifice, dia harus berbakti kepada bangsanya. Negara berseru, “wahai ibu-ibu, kalau kamu bisa menyumbangkan salah satu anakmu di medan laga maka kamu adalah Ibu yang baik, karena kamu memberikan anakmu yang terbaik, untuk menjaga bangsa.”
Menarik sekali. Mohon diberi satu contoh aktual? Coba lihat konteks Palestina. Dengan cara memberikan dukungan kepada anak laki-laki, bahkan yang sekarang juga perempuan untuk membela negara 15 / 23
Opini Edisi 13: Perempuan Belum Menjadi Subjek dalam Sejarah Qurban Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 07:49 -
Palestina. Proses berkorban menjadi proses sosialisasi, tidak saja ditingkat keluarga, tetapi sudah sampai ke tingkat national liberation. Fenomena Palestina ini, menurut saya menarik sekali, di mana antara korban dan pengorbanan sudah tidak bisa lagi dipisahkan. Jika seorang ibu memiliki dua anak mati terbunuh oleh Israel, mungkin ia akan bergumam: “Aku sedih karena anakku mati, tapi aku bangga anak-anakku mati demi Negara Palestina”. Artinya, dia berkorban demi kebangsaan Palestina, tetapi dia berkorban demi sesuatu, demi kepentingan politik dan bukan karena murni keinginannya. Inilah potret pengorbanan perempuan yang dimanipulasi mulai dari level keluarga hingga tingkat paling tinggi.
Bagaimana
harus bersikap agar 16 / 23
Opini Edisi 13: Perempuan Belum Menjadi Subjek dalam Sejarah Qurban Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 07:49 -
para korban bangkit kembali? Perempuan sendiri sering terjebak kalau sudah menjadi korban. Kita harus melakukan pemulihan. Kita harus membantu dan mendukung perempuan korban, tetapi kita lupa bahwa dalam berempati kepada korban seringkali justru mempersulit korban kembali. Kita tidak melakukan satu empowering atau penguatan korban agar bermetamorfosa dari victim (korban tak berdaya) menjadi seorang survivor, tetapi malah memperburuk situasi korban.Kadang pendamping selalu melihat korban sebagai pihak yang tak berdaya dan tidak bisa merumuskan sendiri. Menurut saya ini satu tindakan yang justru melemahkan korban. Memang ada tahapan di mana korban masih dalam posisi yang tidak berdaya, tetapi kita harus sadar bahwa dia sebagai manusia memiliki potensi untuk berpikir dan merumuskan dirinya.
17 / 23
Opini Edisi 13: Perempuan Belum Menjadi Subjek dalam Sejarah Qurban Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 07:49 -
Mbak Ita menyebut istilah survivor. Mungkin secara ringkas dapat dijelaskan, apa yang disebut survivor itu? Secara kontekstual, survivor adalah orang yang bisa mengatasi masa lalunya. Dia telah bisa mengatasi atau merekonsiliasi diri dengan masa lalunya. Menurut saya, dia bisa memikirkan, orang yang bisa mengatasi masa lalunya, artinya secara psikologis dia sudah bisa mentransformasi masa lalunya, menjadi satu energi yang positif untuk melangkah cepat. Artinya, dia sudah merumuskan norma-norma yang akan menjadi pijakan di masa mendatang. Dengan norma-norma ini, dia berangkat dari proses dialog dengan masa lalunya. Rekonsiliasi adalah proses dialog dengan masa lalu untuk merumuskan norma-norma, pijakan-pijakan bagi hidupnya yang akan datang. Itulah 18 / 23
Opini Edisi 13: Perempuan Belum Menjadi Subjek dalam Sejarah Qurban Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 07:49 -
rekonsiliasinya. Itu menurut saya pengertian seorang survivor.
Bagaimana cara yang perlu dilakukan untuk memutus siklus yang bermata rantai antara korban, menjadi korban, mengorbankan, dan dikorbankan itu sendiri? Saya selalu merujuk pada proses pengorganisasian. Jadi korban harus diorganisir agar dia bisa berjuang memutus rantai dikorbankan dan menjadi korban. Ini menyangkut politik yang lebih besar seperti negara, pemerintah, dan sebagainya. Dengan begitu dia membangun kesadaran di antara mereka tentang apa yang di hadapan mereka dan apa yang harus mereka tumbuhkan atau apa yang harus mereka lakukan. Menurut saya mata rantainya adalah untuk melawan politisasi korban, tapi tidak dinamakan 19 / 23
Opini Edisi 13: Perempuan Belum Menjadi Subjek dalam Sejarah Qurban Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 07:49 -
organisasi korban. Itu bagian dari perlawanan, bagian dari proses resistensi untuk menjadi seorang survivor. Jadi harus berorganisasi. Berorganisasi menurut saya sangat penting karena itu membangun kesadaran politik tentang apa itu korban, dikorbankan, dan apa itu pengorbanan, dan juga membongkar tentang politisasi korban. Ini harus dilakukan pengorganisasian. Kalau enggak atau kalau berdiri sendiri, maka akan mudah sekali di-getok dan sosialisasi korban tetap berlangsung. Jadi harus masuk dengan memetakan dan merumuskan persoalannya, serta tidak ada intervensi orang lain. Orang itu membantu, tetapi yang nomor satu adalah korban. Korban dibantu untuk melihat persoalan.
20 / 23
Opini Edisi 13: Perempuan Belum Menjadi Subjek dalam Sejarah Qurban Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 07:49 -
Bagaimana dengan perempuan korban bencana alam misalnya Tsunami di Aceh saat ini? Kita harus membedakan kategori korban. Korban alam atau korban politik. Kalau korban alam seperti Tsunami akan berbeda penanganannya dengan korban politik seperti Jugun Ianfu, kasus ‘65, konflik bersenjata, dan sebagainya. Korban ini juga akan berbeda kalau perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dan perempuan korban perkosaan. Dimensi korban sendiri tidak bisa disamaratakan atau dijadikan satu. Kita harus melihatnya secara berbeda-beda, dia korban kekerasan jenis apa? Penanganannya akan berbeda, kalau korban seks dalam rumah tangga dengan korban kekerasan seksual di wilayah konflik. Korban bencana alam dengan korban politik ‘65 atau Mei 98 akan berbeda di dalam pengorganisasiannya dan penanganannya atau di dalam recovery 21 / 23
Opini Edisi 13: Perempuan Belum Menjadi Subjek dalam Sejarah Qurban Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 07:49 -
organisasi. Di sini faktor memutus rantai ini memang perlu dilakukan. Ini juga tidak bisa langsung jadi.
Yang penting adalah bagaimana kita mengajak korban mendefinisikan diri mereka sendiri kemudian merumuskan apa-apa yang terkait untuk mereka ke depan? Saya pernah melihat proses pendampingan perempuan Bosnia korban kekerasan seksual. Korban pada tahap awal diajak berbicara dan berpikir mengapa dia menjadi korban? Si pendamping itu tidak hanya melihat dari sudut psikologis tetapi harus melihat juga dari sudut politik dan konflik. Kemudian dia dipertemukan dengan korban-korban lain. Di sini ada proses sosialisasi, bukan untuk dirinya saja, tetapi ada korban-korban lain. Pengorganisasian itu tidak untuk dirinya 22 / 23
Opini Edisi 13: Perempuan Belum Menjadi Subjek dalam Sejarah Qurban Ditulis oleh Redaksi Jumat, 19 Juni 2009 07:49 -
saja. Ketika dia sudah berani mengungkapkan dirinya adalah korban, di situ lah gender perspektif dipakai untuk merumuskan eksistensi diri dan masa depan secara baru.
23 / 23