KONFLIK DALAM SINETRON (Studi Analisis Wacana Konflik dalam Sinetron Tim Bui di Metro TV)
Kusumo Wardani Mursito BM
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract The aim of this research is to identify conflict discourse in sinetron Tim Bui. Specifically, examine how the situation and condition of the conflict existing, the resolution of conflict, and the post-conflict condition by using Van Dijk text discourse analysis and conflict mapping by Amr Abdala. This research uses a qualitative research. The data collection technique used in this research is purposive sampling, which is, by selecting the episodes, followed by selecting scenes in the sinetron Tim Bui based on the problem statements and the research objectives. This research concluded that sinetron Tim Bui has vividly illustrates diverse society conflicts in their social life. This soap opera featuring a condition of a conflict between two groups of prisoners, Javanese and Batak. Primordialism extreme attitude both groups sparked a conflict such as the seizure of power and the use of violence. Non violence approachment is the main point for the resolution of conflicts, especially in terms of handling conflict are manifested in changes in the security system and the formation of the football team. Conflict resolution efforts yielded positive things started with peaceful conflict resolution as giving a second chance for team members who made a mistake, start growing sense of unity, able to minimize violence and enthusiastic and solid cooperation in a team sepakbola. One unique feature in this sinetron is football, this paticular and popular sport in the world is used as a peace-maker instrument and a constructive conflict resolution. Keywords : dircourse analysis, sinetron, conflicts.
1
Pendahuluan Sinetron adalah sebuah program tayangan televisi yang memiliki banyak penggemar. Slot tayang pada prime time sudah dikuasai sinetron hampir pada seluruh stasiun televisi Indonesia. Seperti halnya film, sinetron mengambil “hati” pemirsanya yaitu dengan kekuatan cerita dan tokoh yang mampu menghidupkan suasana. Hal yang membedakannya dengan film adalah proses produksinya. Sinetron ditayangkan dalam beberapa episode atau bersambung. Banyak adegan atau konflik dipenuhi dengan kata-kata. Kejadian yang harusnya berlangsung di layar kaca diceritakan secara verbal oleh para tokoh dengan dialog-dialognya.1 Sinetron dengan tema konflik sosial hampir tidak pernah kita temukan diantara puluhan judul sinetron yang sudah ditayangkan di televisi. Konflik masih dipandang sebagai hal yang “tabu” diangkat dalam sinetron. Tema konflik masih terkalahkan dengan tema percintaan yang memiliki banyak penggemar terutama dari kaum remaja dan ibu rumah tangga. Cerita yang ringan dan menghibur lebih menarik dibandingkan dengan cerita serius yang membutuhkan pemahaman. Namun, tema sejenis ini mulai mengesampingkan nilai edukasi dan informatif dimana sisi hiburan lebih ditonjolkan. Sebuah sinetron tidak lagi dibuat berdasarkan sebuah “pesan” yang akan disampaikan melainkan pada rating yang akan diperoleh. Orientasi ini sulit untuk dikesampingkan para praktisi televisi, meskipun mereka mengetahui kriteria sebuah program yang bermutu bagi masyarakat.2 Namun, orientasi keuntungan modal nampak lebih “menggiurkan” dan menjadi ideologi yang mendasari semua program televisi. Search For Common Ground (SFGC) adalah sebuah LSM Internasional yang bergerak di bidang transformasi konflik bekerjasama dengan SET Film memproduksi sebuah sinetron bertajuk Tim Bui. Disaat kebanyakan sinetron mengangkat tema cinta dan remaja, sinetron yang diproduseri Garin ini 1
Fred Wibowo, Teknik Produksi Program Televisi (Yogyakarta : Pinus Book Publisher, 2007), hal. 226. 2 Hary Eko Susanto, "Rating Televisi dan Masyarakat Desa”, Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanegara, Volume 1 Nomor 1, (Maret, 2009), hal.53.
2
mengangkat tema konflik sosial yang mengangkat isu toleransi dan penyelesaian konflik. Sinetron Tim Bui ini menekankan bagaimana menyelesaikan sebuah konflik tanpa kekerasan. Perbedaan yang paling mencolok jika dibandingkan sinetron lainnya adalah sinetron ini tidak menjual kisah percintaan remaja yang menggebugebu serta gaya hidup hedonis. Tim Bui juga menyajikan masalah sosial yang saat ini terjadi di Indonesia. Sebut saja intoleransi yang dirasakan kaum minoritas, korupsi, reformasi kelembagaan, kepemimpinan perempuan, deradikalisasi teroris, dan pelepasan mereka dari aksi kekerasan. Dalam serial ini, permusuhan antargeng berubah menjadi satu kerja sama saling menguntungkan setelah mereka dilibatkan dalam tim sepak bola.3 Antusiasme masyarakat terhadap sepakbola tidak bisa kita pungkiri lagi. Siaran langsung pertandingan sepakbola lokal sampai tingkat World Cup mampu menyedot perhatian pemirsa televisi. Sinetron Tim Bui mengemas sepakbola sebagai upaya menyatukan perbedaan dan menangani konflik. Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti sinetron Tim Bui karena sinetron ini memiliki perbedaan dengan mayoritas sinetron yang tayang di televisi. Sebagian besar sinetron saat ini, mengangkat tema percintaan dan balas dendam dengan alur cerita yang terkadang “jauh” dari realita yang ada. Sedangkan Tim Bui menjadi alternatif sinetron edukasi yang menyuguhkan tema konflik sosial dalam alur cerita yang ringan dan penuh dengan pesan-pesan positif. Tim Bui menggabungkan kecintaan masyarakat pada sepakbola dan sinetron.
Perumusan Masalah Bagaimanakah wacana konflik yang direpresentasikan dalam sinetron Tim Bui? 3
Nunuy Nurhayati, “Tim Bui Drama Serial Televisi tentang Toleransi,” http://www.tempo.co/read/news/2012/02/16/111384446/Tim-Bui-Drama-Seri-Televisi-tentangToleransi (akses 14 Desember 2012).
3
Tujuan Untuk mengetahui wacana konflik yang direpresentasikan dalam sinetron Tim Bui.
Tinjauan Pustaka 1.
Komunikasi Sebagai Proses Konstruksi Realitas Dewasa ini, para pelaku komunikasi (media massa, humas, media
periklanan) cenderung menggunakan teknik pengemasan pesan (message packaging) untuk memperoleh tujuan-tujuan komunikasinya. Pesan dibuat tidak sekedar untuk ditampilkan atau dikirimkan namun dirancang sedemikian rupa dengan visi dan misi tertentu kemudian disampaikan melalui cara persuasif. Mereka mengembangkan wacana tertentu jika bermaksud menyampaikan pesan pada khalayak.4 Pengelolaan pesan semacam ini didefinisikan sebagai pendekatan lain dari komunikasi yaitu perspektif komunikasi sebagai wacana (communication as discourse). Komunikasi dalam pandangan ini dilakukan dalam rangka menciptakan “kenyataan lain” atau “kenyataan kedua” sebagai hasil pembentukan sebuah wacana (discourse) sebagai “pengganti” dari realitas atau kenyataan pertama.5 Proses pembentukan wacana tersebut
disebut
konstruksi realitas
(construction of reality) dan hasil dari proses tersebut adalah realitas yang telah dikonstruksikan (construction reality).
2.
Sinetron sebagai Bentuk Komunikasi Massa Komunikasi massa adalah berkomunikasi dengan massa (audiens atau
khalayak sasaran).6 Dalam praktiknya, membicarakan komunikasi massa tidak 4
Ibnu Hamad, “Komunikasi sebagai Wacana”, Mediatir, Vol.7 No.2, (Desember, 2006), hal.260. Ibid, hal. 263 6 Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa (Sebuah Analisis Isi Media Televisi), (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), hal.16. 5
4
akan lepas dari pembahasan media massa. Sehingga komunikasi massa sering didefinisikan sebagai komunikasi melalui media massa seperti media cetak maupun elektronik. Dari banyaknya program televisi, sinetron menjadi salah satu program yang memiliki banyak penggemar. Managing director PT Nielsen Company Indonesia Irawati Pratignyo mengatakan bahwa film berseri menyerap banyak perhatian pemirsa yang disebabkan oleh penayangannya di slot waktu yang tepat. Masyarakat Indonesia menghabiskan setidaknya 197 jam atau 24% dari seluruh jam menonton televisi sepanjang tahun untuk menonton sinetron.7 Menurut pemaparan diatas, sinetron dapat dikategorikan sebagai bagian dari komunikasi massa. Melalui televisi, tayangan sinetron disiarkan ke pelosok daerah dan ditonton oleh masyarakat luas menyampaikan pesan melalui tokoh dan alur ceritanya. Pesan dalam tayangan sinetron berpotensi mempengaruhi pola kehidupan sehari-hari para penontonnya. “Films, TV Serials and shows have the potential to influence the audience views and make them adopt certain attitudes in spesific issues.”8 Dalam hal ini, terutama penonton remaja dan anak-anak yang mudah menirukan sesuatu yang sering dilihatnya.
3.
Sinetron Sebagai Wacana Wacana adalah pemakaian bahasa dalam komunikasi, baik disampaikan
secara lisan (percakapan, ceramah, kuliah, dll) maupun secara tertulis (disertasi, surat, dll). Meskipun ada gradasi yang besar dari berbagai definisi, titik singgungnya
adalah
wacana
bahasa/pemakaian bahasa.
berhubungan
dengan
studi
mengenai
9
7
Inaya Rakhmani, “Mainstream Islam : Television Industry Practice and Trends in Indonesian Sinetron”, Asian Journal of Social Science, No.42, (2014), hal.438. 8 Yuksel Koksal dan Nihal Icos Gjana. “Soap Opera Effect on ProductmPreferences in Term of Country Image : A Case of Turkish TV Serials in Albanian Market”, Journal of Economic and Social Studies, Vol.5, No.1, (Spring, 2015), hal.220. 9 Eriyanto, Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hal.4.
5
Guy Cook mengartikan teks sebagai semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua bentuk ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya.10 Penjelasan Guy Cook tersebut dapat penulis simpulkan bahwa keberadaan wacana juga termasuk didalamnya media komunikasi sinetron, karena terdapat unsur ekspresi komunikasi berupa ucapan, musik, gambar, efek suara, dan citra.
4.
Sinetron Indonesia Pada awal tahun 1990an, format awal produksi sinetron Indonesia
menekankan pada kualitas cerita dan menitikberatkan pada kebudayaan lokal Indonesia mengalami sebuah “hantaman” keras dari Punjabi. “He masterfully set new modes of producing sinetron that were both inexpensive and entertaining. The commercial succsess of the sinetron he produced, a transnational derivative of the general norm in Indan television, established the norm of the Indonesian sinetron Industri until today. It was in reference to the shows he produced, which are closer to melodrama or soap opera, that the meaning of the therm Indonesian sinetron shifted.”11 TVRI yang selama ini mempertahankan format sinetron sebagai film televisi (adaptasi dari film) atau drama televisi bergeser ke genre melodrama atau soap opera ala India. “Melodramatic plots inspired by Bollywood film and desire for wealth and luxury that he belived were the taste of the targeted majority middle and lower class audience”12 Produsen sinetron lebih cenderung memilih pada tema-tema yang “pasti” mendatangkan banyak profit. Sinetron dengan tema kehidupan remaja masih mendapat tempat tersendiri dari sekian banyak tema yang bermunculan. Sayangnya, sinetron remaja lebih menitikberatkan pada cerita dengan gaya hidup hedonis dan hampir semuanya menampilkan adegan kekerasan baik verbal
10
Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar, (Bandung : Rosdakarya, 2009), hal. 56. Inaya Rakhmani, Loc.Cit, hal.438 12 Ibid, 11
6
maupun
non
verbal.13
Jika dibandingkan dengan
sinetron pada awal
kemunculannya yang hanya ditayangkan sebulan atau seminggu sekali, kualitas terutama tema yang disuguhkan pada pemirsa jauh menurun. “Kualitas program siaran sinetron masih dinilai tidak berkualitas. Ini ditandai dengan indeks kualitas program siaran sinetron yang mendapatkan indeks hanya sebesar 2,68. Angka ini masih di bawah 4 (berkualitas) yang ditetapkan oleh KPI.”14 Eka Nada Shofa Alkhajar menuturkan bahwa sasaran remaja memiliki potensi yang tinggi untuk menarik simpati sinetron tersebut. Hal ini dilandasi dengan banyaknya kaum remaja di negara kita diantara 250 juta jiwa penduduk Indonesia.15 Alur ceritanya hampir bisa ditebak, kisah percintaan yang diselipi konflik-konflik
yang
membuat
permasalahan
menjadi
kompleks.
Tidak
ketinggalan kentalnya unsur kekerasan baik verbal maupun fisik yang dibalut gaya hidup hedonis semakin menambah “sempurna” terciptanya sebuah sinetron remaja di Indonesia. Dampak buruk sudah mengancam para generasi muda kita, mereka terbuai dengan “realita” sinetron. Melalui tayangan ini remaja lambat laun akan terhegemoni dengan penokohan yang serba glamour dan perilaku tokoh yang dihadirkan dalam sinetron tersebut.16 TV serials can be leveraged as an effective mass communication means that is capable of sneaking into people’s lives, and altering their perceptions, habits and preferences.17
5.
Konflik Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin mendefinisikan konflik sebagai
persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest) atau
13
C. Suprapti Dwi Takariani, “Pengaruh Sinetron Remaja di Televisi Swasta Terhadap Sikap Mengenai Gaya Hidup Hedonis”, Jurnal Penelitian Komunikasi, Vol.16 No.1 (Juli,2013), hal.40. 14 “Hasil Survei Indeks Kualitas Program Siaran Televisi”, Komisi Penyiaran Indonesia, Mei-Juni 2015, hal.15 15 Eka Nada Shofa Alkhajar, Media, Masyarakat dan Realitas Sosial, (Surakarta : UNS Press, 2014), hal.9. 16 Ibid,. 17 Yuksel Koksal dan Nihal Icos Gjana, Yuksel Koksal dan Nihal Icos Gjana, Loc.Cit., hal.219.
7
kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.18 Aspirasi tidak dapat selamanya dalam kondisi stabil, kondisi inilah dapat memulai adanya sebuah gejolak. Konflik dapat terjadi hanya karena salah satu pihak memiliki aspirasi tinggi atau karena alternatif yang bersifat integratif dinilai sulit didapat19. Tidak ada masyarakat yang tidak pernah mengalami konflik baik antar anggotanya maupun kelompok lainnya, konflik akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Teori konflik muncul sebagai “tandingan” teori fungsional struktural yang dianggap kurang memahami masalah konflik sosial dalam masyarakat. Dalam pembahasan ilmu sosiologi, kedua teori ini dibangun atas dasar paradigma yang sama yaitu paradigma fakta sosial. Para ahli sosiologi kontemporer sering mengesampingkan analisa konflik sosial. Dimana konflik dianggap hal negatif yang bersifat destruktif bagi kelompok sosial. Dahrendorf mengkritik pendekatan yang dominan dalam sosiologi (fungsionalisme struktural) yang dianggap gagal dalam menganalisa masalah konflik sosial. Menurutnya, proses konflik sosial itu merupakan kunci bagi struktur sosial. 20 Coser dan Dahrendorf merupakan pelopor penggunaan perspektif konflik dalam memahami lebih baik fenomena sosial.
6.
Pemetaan Konflik Pemetaan konflik merupakan metode yang menghadirkan analisis
terstruktur terhadap konflik tertentu pada waktu tertentu pula. Metode ini memberikan
gambaran
singkat
mengenai
situasi
dan
pedoman
dalam
menyelesaikan sebuah konflik berdasarkan situasi konflik itu sendiri. 21 Pemetaan 18
Dean G Pruit, Jeffrey Z Rubin, Social Conflict, terj. Helly P Soetjipto (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hal.9. 19 Ibid, hal. 27 20 Ibid, hal.130. 21 Novri Susan, Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer, (Jakarta : Kencana, 2009), hal.94.
8
konflik memberi penjabaran mengenai konflik secara lebih terperinci mulai dari situasi konflik, pihak yang berkonflik hingga cara penyelesaian konflik. Pemetaan konflik adalah bagian dari analisis konflik pragmatis yang menganalisis konflik secara umum. Perspektif analisis bisa dimasukkan di dalamnya sesuai dengan kepentingan peneliti. Setiap konflik memiliki pemetaan konflik yang berbeda dengan lainnya. Pada masyarakat tertentu akan terhasilkan satu pemetaan yang sederhana, sedangkan pada masyarakat yang lain bisa saja tergambarkan peta konflik yang begitu kompleks.22 Ada beberapa model pemetaan konflik yang dibuat oleh para ahli sosiolog. Miall membuat model pemetaan konflik untuk melihat pihak-pihak yang bertikai dan persoalannya. Selain itu, ada pemetaan konflik model Wehr dan Bartos. Dari sekian banyak model pemetaan konflik, penulis memilih model pemetaan konflik multidisipliner Amr Abdalla, sosiolog dari United Nations-University for Peace yaitu model SIPABIO. SIPABIO tersebut adalah 23 : a. Source (sumber konflik) Sumber konflik yang berbeda melahirkan tipe-tipe konflik yang berbeda pula. b. Issues (isu-isu) Isu menunjukan pada saling keterkaitan tujuan-tujuan yang tidak sejalan di antara pihak yang bertikai. c. Parties (pihak) Pihak yang berkonflik adalah kelompok yang terlibat langsung dalam konflik maupun pihak yang secara langsung tidak terlibat dalam konflik langsung (tersier). d. Attitudes/feelings (sikap) Sikap adalah perasaan dan persepsi yang mempengaruhi pola perilaku konflik. e. Behaviour (perilaku/tindakan) 22 23
Ibid, hal. 95. Ibid, hal. 98-99.
9
Perilaku adalah aspek tindak sosial dari pihak-pihak yang berkonflik. f. Intervention (campur tangan pihak lain) Intervensi adalah tindakan sosial dari pihak betral yang ditujukan untuk membantu hubungan konflik menemukan penyelesaian. g. Outcome (hasil ahir) Hasil akhir adalah dampak dari berbagai tindakan pihak-pihak yang berkonflik dalam bentuk situasi.
Metodologi Penelitian Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian kualitatif yang terpusat pada penganalisisan bagaimana proses penyampaian makna/pesan dalam sinetron Tim Bui. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengamati sinetron Tim Bui kemudian penulis melakukan seleksi dengan memilih beberapa episode (1,3,8, dan 12) dilanjutkan dengan mengambil beberapa scene untuk tiap episodenya secara purposive sampling yang dapat mewakili scene lain yang disesesuaikan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yaitu mengetahui wacana konflik dalam sinetron Tim Bui. Pemilihan scene juga mengacu pada teori pemetaan konflik Amr Abdala, SIPABIO (source, issues, parties, attention, behaviour, intervention, outcome). Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan metode analisis wacana teks Van Dijk. Penulis akan mengkaji pemakaian kata, gaya, dan kalimat tertentu dari sinetron Tim Bui yang menggambarkan konflik sesuai dengan teori yang ada. Oleh karena itu, penelitian ini dibatasi hanya pada level teks dengan pendekatan makrostruktur dan mikrostruktur.
Sajian dan Analisis Data A. Analisis Wacana Makrostruktur Dalam analisis wacana teks Van Dijk, topik dari teks dapat diperoleh ketika kita sudah selesai membaca sebuah buku, mendengarkan berita, atau selesai
10
menonton sebuah film. Setelah melihat tuntas sinetron Tim Bui maka peneliti menyimpulkan tema utama dari sinetron Tim Bui adalah : Topik : Konflik Masyarakat Pluralis Topik ini dimunculkan si pembuat sinetron berdasarkan situasi kondisi masyarakat pada saat ini. Konflik perbedaan etnis, agama dan sosial sering terjadi di Indonesia dan beberapa negara lainnya. Namun, banyak diantaranya cenderung menggunakan pendekatan kekerasan dalam menghadapi konflik dibandingkan pendekatan masalah yang konstruktif. Konflik dalam kehidupan keseharian masyarakat dianggap sebagai hal yang negatif dan memicu tindakan-tindakan kekerasan dalam upaya penyelesaiannya. Sinetron ini menyajikan sebuah model alternatif, memperlihatkan bagaimana perbedaan etnis, agama, dan sosial dapat dipecahkan dengan damai menjauhi pendekatan kekerasan dan lebih menuju pendekatan pemecahan masalah yang kolaboratif. 24
B. Sub Topik Penulis menggunakan teori pemetaan konflik Amr Abdala, SIPABIO (source, issues, parties, attention, behaviour, intervention, outcome) dalam menentukan subtopik untuk mendukung topik utama dari sinetron Tim Bui “Konflik Masyarakat Pluralis”. Penulis membagi beberapa sub topik yang dapat menggambarkan topik utama yang utuh. Sub topik tersebut adalah : 1. Kondisi konflik 2. Penanganan konflik 3. Kondisi pasca penanganan konflik
C. Konflik Masyarakat Prularis 1.
Kondisi Konflik a)
24
Primordialisme
“Panduan Penonton Drama Seri Tim Bui”, (Jakarta : SFCG, 2012), hal.2.
11
Dalam sebuah latihan sepakbola, kelompok narapidana Jawa dan Batak kembali terlibat konflik di Lapas Lawang Betung. Sikap saling merendahkan kelompok lain menjadi pokok permasalahan. Setiap permasalahan dalam subtopik harus didukung analisis wacana teks mikrostruktur. Analisis mikrostruktur dapat diamati dalam bentuk kata, kalimat, preposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar. Berikut pemaparan analisis teks mikrostruktur untuk mendukung subtopik diatas. Pada episode 3 scene 3, Togar pesimis dengan kemampuan Joko dalam tim sepakbola. Berikut dialog Togar menyindir Joko : “Gak mungkin itu. Mana bisa menang sama si Joko ini.” Dalam dialog tersebut secara jelas Togar merendahkan Joko sebagai anggota tim sepakbola yang tidak menguntungkan dalam pertandingan. “Si Joko” selain menunjuk pada orang yang bernama Joko itu sendiri juga merujuk pada status Joko yang mana adalah kelompok Jawa. Masalah kesukuan/etnis diantara dua kelompok napi ini diperkuat juga dengan pernyataan Agung pada dialog berikut : “Kalau kita tidak merendahkan orang lain, kitapun tidak akan direndahkan. Kalau kamu tidak merendahkan orang lain, kamupun tidak akan direndahkan orang lain. Kalau kamu mau dihormati orang lain, maka hormatilah orang lain. Bekerjasamalah sebagai tim. Lupakan kebanggaan kamu sebagai Jawa, lupakan kebanggaan kamu sebagai Batak. Jadikan kebanggaan itu satu, kebanggaan kalian. Kebanggaan untuk mememangkan pertandingan ini. Tapi, kalau kalian mau terus seperti itu, ya terserah kalian.”
b)
Perebutan Kekuasaan Kekuasaan merupakan salah satu penyebab terjadinya konflik
kelompok Jawa dan Batak. Hal ini dikuatkan secara verbal pada dialog
12
yang diucapkan Joko (Jawa) kepada Togar (Batak). Berikut dialog Joko pada episode 1 scene 22 : “Tapi, jadi terlihat kan? Sopo sing yang berhak pegang Lapas ini?” “Wani sampeyan?” Dari dialog tersebut dapat dilihat bahwa Joko sebagai Ketua Kelompok Jawa berusaha untuk menguasai lapas seutuhnya dengan “mengalahkan” kelompok Batak. Di pihak lain, Togar dan narapidana kelompok Batak tidak akan dengan mudah menyerahkan kekuasaan kepada kelompok Jawa. Berikut dialog Togar menanggapi perkataan Joko : “Hei, bodat! Ku robek mulut kau.” “Ayo!” Kedua
bagian
dialog
Togar
dan
Joko
tersebut
diatas
memperlihatkan adanya perebutan kekuasaan antara Jawa dan Batak. Masing-masing kelompok mempunyai keinginan yang kuat menjatuhkan kelompok lainnya.
c)
Kekerasan Dalam kasus konflik Jawa dan Batak ini kekerasan terjadi baik
dalam bentuk verbal maupun non verbal (fisik). Kekerasan dalam bentuk verbal (kata-kata) dapat kita lihat pada dialog Togar dan Joko pada episode 1 scene 22 : “Bodat” “Jangkrik” Togar
memanggil
Joko
dengan
“bodat”
sebaliknya
Joko
memanggil Togar dengan “jangkrik”. Dua istilah “bodat” dan “jangrik” tergolong
bahasa
“kasar”
dengan
kata
lain
adalah
bentuk
umpatan/makian kepada seseorang dalam bahasa Batak dan Jawa. Secara tidak langsung istilah tersebut merujuk pada makna aslinya yaitu arti “bodat” adalah monyet dan “jangkrik” adalah serangga kecil. Dimana
13
kedua belah pihak saling merendahkan satu sama lain dan menyamakan perangai mereka seperti binatang monyet dan jangkrik. Sedangkan bentuk kekerasan non verbal (fisik) dapat dilihat pada dialog Agung pada episode 3 scene 3 : “Kalian rasakan sendiri kan? Kalau kalian terus melakukan kekerasan kalian terus akan diperlakukan seperti binatang sama sipir-sipir itu. Kalian terus akan dianggap hina. Tapi saya masih yakin kalau kita bisa masuk final dan memenangkan pertandingan.” Pada dialog diatas terlihat kelompok Jawa dan Batak tidak segan menggunakan kekerasan ketika berkonflik. Pihak keamanan lapas pun menggunakan cara yang sama untuk menghentikan konflik. Stereotip lapas sebagai tempat berkumpulnya para kriminal mendorong para petugas lapas menggunakan kekerasan sebagai penyelesaian masalah.
2.
Penanganan Konflik a)
Perubahan sistem keamanan Penerapan kekerasan pada sistem keamanan narapidana terbukti
tidak efektif mengatasi konflik di lapas. Nina berupaya mengganti sistem ini dengan sistem yang baru. Berikut dialog Nina kepada Iwan pada episode 1 scene 20 : “Dalam laporan, tercatat kekerasan kriminal minimal terjadi 4 kali dalam seminggu.” “Justru itu mengecewakan saya Pak Iwan! Saya ingin menerapkan sistem yang baru. Sebagai Kepala Lapas yang baru, semua penanganan napi di Lapas ini akan baru juga.” “Mulai sekarang, kekerasan menjadi alternatif yang terakhir. Jadi, semua sistem penanganan yang selama ini Pak Iwan buat akan saya rubah.” Kutipan beberapa dialog Nina diatas memperlihatkan keinginannya untuk merubah sistem keamanan lapas yang cenderung menggunakan kekerasan dengan sistem baru dengan meminimalisir penggunaan
14
kekerasan. Penerapan sistem keamanan yang baru diharapkan mampu membawa perubahan di Lapas Lawang Betung.
b)
Tim Sepakbola Agung memilih cara memediasi konflik dengan menyatukan
kelompok yang berseteru dalam sebuah tim sepakbola dimana perbedaan yang ada selama ini menjadi sumber utama masalah akan dijadikan sebuah kekuatan dalam mencapai sebuah tujuan bersama, kemenangan dalam pertandingan sepakbola. Program ini bertujuan untuk menangani konflik antar kelompok Jawa dan Batak tanpa menggunakan kekerasan. Berikut analisis mikrostruktur untuk mendukung subtopik diatas : Episode 1 Scene 40 Visual
Shoot 2
Shoot 10
Agung optimis pembentukan tim sepakbola merupakan solusi penanganan konflik antara napi Jawa dan Batak. Berikut dialog Agung kepada Nina : “Ya, sepakbola akan menjadi program baru kita. Karena saya melihat hampir semua orang suku atau bangsa menyukai sepakbola. Bahkan bermain bola.” “Insya Allah, saya yakin. Saya yakin kalau lapas ini membuat tim sepakbola semua masalah akan teratasi.” “Sepakbola. Karena dalam sepakbola ada visi, ada misi dengan satu tujuan. Hampir seperti Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda tapi tetap satu tujuan.”
15
3.
Kondisi Pasca Penanganan Konflik a)
Memberi Kesempatan Kedua Joko diceritakan berusaha kabur saat mengikuti pertandingan
sepakbola antar lapas. Namun, rencana Joko ini berhasil diketahui sipir dan Joko pun segera diamankan. Agung berjanji merahasiakan kejadian ini dengan syarat Joko harus kembali bermain dalam tim sepakbola Lawang Betung. Selain harus menerima kekalahan dalam pertandingan, para napi juga kecewa dengan perbuatan Joko yang meninggalkan tim di tengah pertandingan untuk kepentingannya sendiri. Tim sepakbola memutuskan untuk menerima Joko kembali menjadi bagian dari tim. Hal ini diungkapkan Togar, Aron dan Eki kepada Joko : “Tunggu, aku setuju Joko masuk tim ini lagi.” “Ah sate burung lah itu tapi, aku setuju lah, Jok.” “Iyalah, saya juga setuju kalo begitu mah.” Dari dialog tersebut terlihat bahwa dua kelompok narapidana Jawa dan Batak yang sering terlibat konflik mampu menyelesaikan konflik dengan damai. Togar yang selama ini menentang keberadaan Joko dan anggota kelompok Jawa lainnya dalam tim sepakbola telah berubah. Episode 8 Scene 1 Visual
Shoot 7
Shoot 11
b) Mempersatukan Perbedaan Program Sepakbola yang diusung Agung mulai menampakkan hasil positif. Kelompok Jawa dan Batak bersatu dan bekerjasama dalam satu
16
tim sepakbola yang solid. Persatuan dua kelompok narapidana ini diperkuat dengan dialog Agung kepada Nina pada episode 8 scene 8 sebagai berikut : “Bukan itu, Bu. Sudah tidak ada lagi antara Tim Batak, Tim Jawa. Dalam permainan sepakbola mereka saling bekerjasama kelihatan sekali mereka saling membutuhkan dan itu artinya bahwa kita membentuk tim sepakbola di Lawang Betung ini berhasil, Bu.”
c)
Kontrol Tindak Kekerasan Perbuatan Iwan yang telah memanipulasi kasus overdosis Joko
terungkap. Akibatnya tim sepakbola Lawang Betung gagal mengikuti pertandingan final. Para napi melampiaskan kekesalannya pada Iwan tapi, Togar dan Yanto segera menolongnya. Mereka mampu mengontrol penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan masalah dan memilih menyerahkan Iwan kepada petugas yang berwenang. Episode 12 Scene 11 Visual
Shoot 7
Shoot 1
d) Antusias Tim Sepakbola Lawang Betung Setelah Iwan terbukti memanipulasi kasus overdosis Joko maka hukuman tim sepakbola Lawang Betung dicabut. Tim Lawang Betung dapat melanjutkan pertandingan ke babak final. Semua narapidana bersuka cita dengan kabar ini. Tim sepakbola Lawang membuat perubahan besar di Lapas Lawang Betung. Narapidana kelompok Jawa dan Batak sudah menemukan tujuan bersama yaitu memenangkan
17
pertandingan sepakbola antar lapas tanpa mempersoalkan perbedaan diantara mereka. Episode 12 Scene 13 Visual
Shoot 1
Shoot 3b
Kesimpulan Setelah mengamati dan menganalisis maka penulis mengambil kesimpulan bahwa konflik yang direpresentasikan dalam Sinetron Tim Bui adalah sebagai berikut : 1.
Secara Makrostruktur sinetron ini menggambarkan situasi konflik yang terjadi dalam masyakat pluralis. Fokus utama dalam sinetron ini adalah primordialisme, konflik etnis, kekuasaan, dan penggunaan tindak kekerasan.
2.
Kondisi konflik yang terjadi dalam sinetron ini adalah pengelompokan narapidana, menjadi dua kelompok besar yaitu Jawa dan Batak sehingga memicu munculnya sikap primordialisme yang ekstrem. Situasi ini memicu masalah konflik lain yaitu perebutan kekuasaan antara Jawa dan Batak serta penggunaan tindak kekerasan.
3.
Dalam sinetron ini digambarkan bagaimana upaya menangani konflik dengan pendekatan non kekerasan dan konstruktif dengan merubah sistem keamanan lapas dengan pendekatan non kekerasan dan memediasi konflik dengan membentuk tim sepakbola. Perbedaan Jawa dan Batak dimanfaatkan sebagai kekuatan dalam mewujudkan sebuah tujuan bersama.
18
4.
Kondisi pasca penanganan konflik akibat penanganan konflik dengan pendekatan non kekerasan terbukti mampu menangani konflik antara Jawa dan Batak. Para narapidana mampu mengatasi konflik dengan damai dengan memberikan kesempatan kedua bagi anggota yang melakukan kesalahan, dapat mengontrol diri untuk tidak mudah melakukan tindak kekerasan, bekerjasama dalam sebuah tim sepakbola dan mempunyai antusias tinggi dalam mencapai tujuan bersama yaitu kemenangan dalam pertandingan sepakbola.
Saran Berdasarkan kesimpulan diatas, peneliti menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut : a.
Peneliti menyarankan penelitian mengenai media dalam hal ini televisi khususnya sinetron lebih ditingkatkan, terlebih pada sinetron yang bertemakan sosial terutama mengenai konflik dan etnis yang dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Penelitian dapat dilakukan dengan metode lain sehingga data yang dikumpulkan tidak hanya berasal dari satu sumber saja dan memberikan hasil yang lebih variatif.
b.
Perlu ada penelitian lain yang membahas tentang teori konflik dan pemetaan konflik agar dapat memperdalam dan memperkaya khazanah keilmuan tentang konflik. Pendekatan penangangan konflik non kekerasan yang ditampilkan pada sinetron ini baiknya diterapkan secara serius untuk menangani konflik di Indonesia yang termasuk daerah rawan konflik.
c.
Untuk konsumen tayangan televisi khususnya sinetron harus lebih cerdas memilah pesan-pesan yang berdampak positif maupun negatif.
Daftar Pustaka Alkhajar, Ekanada Shofa. (2014). Media, Masyarakat dan Realitas Sosial. Surakarta : UNS Press
19
Eriyanto. (2001). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta : LKIS. Fisher, Simon, dkk. (2000). Mengelola Konflik : Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak. Jakarta : The British Council. Hamad, Ibnu. (2006). “Komunikasi sebagai Wacana”. Mediator, Vol.7 No.2. Koksal, Yuksel. Nihal Icos Gjana. (2015). “Soap Opera Effect on Product Preferences in Term of Country Image : A Case of Turkish TV Serials in Albanian Market”. Journal of Economic and Social Studies, Vol.5, No.1. KPI. (2015). “Hasil Survei Indeks Kualitas Program Siaran Televisi”. Komisi Penyiaran Indonesia, Mei-Juni. Kuswandi, Wawan. (1996). Komunikasi Massa (Sebuah Analisis Isi Media Televisi). Jakarta : Rineka Cipta. Nurhayati, Nunuy. (2012). “Tim Bui, Drama Serial Televisi tentang Toleransi” (online), (http://www.tempo.co/read/news/2012/02/16/111384446/TimBui-Drama-Seri-Televisi-tentang-Toleransi diakses 14 Desember 2012). Pruit, Dean G. (2004). Jeffrey Z Rubin. Social Conflict, terj. Helly P Soetjipto. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Rakhmani, Inaya. (2014). “Mainstream Islam : Television Industry Practice and Trends in Indonesian Sinetron”. Asian Journal of Social Science, No. 42. SFGC. (2012). “Panduan Penonton Drama Seri Tim Bui”. Sobur, Alex. (2009). Analisis Teks Media Suatu Pengantar. Bandung : Rosdakarya. Susan, Novri. (2009). Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta : Kencana. Susanto, Hary Eko. (2009). "Rating Televisi dan Masyarakat Desa”. Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanegara, Vol. 1 No. 1. Takariani, C. Suprapti Dwi Takariani. (2013). “Pengaruh Sinetron Remaja di Televisi Swasta Terhadap Sikap Mengenai Gaya Hidup Hedonis”. Jurnal Penelitian Komunikasi, Vol. 16 No.1. Wibowo, Fred. (2007). Teknik Produksi Program Televisi. Yogyakarta : Pinus Book Publisher.
20