WACANA PEMBEBASAN SATINAH DARI HUKUMAN MATI DALAM PEMBERITAAN DI SURAT KABAR (Analisis Wacana Pemberitaan Pembebasan Satinah dari Hukuman Mati pada Harian Kompas dan Media Indonesia Periode 1 Maret – 30 April 2014) Nur Fitriana Sholikhah Mursito BM Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract The phenomenon of repeated violence and death threats affecting migrant workers became phenomenon for the people of Indonesia as well as a lot of media attention because of the news has a high news value. Moreover, not long ago melancholy fate Satinah bint Jumadi, residents Ungaran, Central Java, facing the death penalty in Saudi Arabia re-sticking. She was convicted for the murder of her employer and the theft of money in June 2007. Satinah news about facing the death penalty become a hot topic for several weeks in the media and presented in a variety of viewpoints. However, according to the Observer TKI Noryati Solapri, so far only the mass media proclaim migrant workers in terms of the problems they face, but the achievement is less reported. Meanwhile, according to the Employment Observer Shobichatul Aminah, news of the death penalty as the case reported as cases of abuse rather than legal process. Kompas as one of segmented national newspapers have different writing styles with other media. The language used tends neat and not bubbling. News published are the result of the formulation of balanced effort. While Media Indonesia is known as a newspaper critical, be firm and clear challenging the government. For two months, found 3 news on Kompas and 9 related news on Media Indonesia Satinah case. Therefore, this study aims to determine the discourse of what is presented and see how the Kompas and Media Indonesia construct and proclaim release Satinah of the death penalty. The study was focused on text related news Satinah liberation of the death penalty period 1 March to 30 April, 2014. This study is a qualitative study using the method of discourse analysis Teun van Dijk. With discourse analysis, researchers will look at how the discourse of liberation Satinah of the death penalty is constructed and presented in the text of news in Kompas and Media Indonesia through dimensional analysis of the text. This study led to the conclusion that both the Kompas and Media Indonesia to proclaim the liberation of the death penalty Satinah reported as cases of abuse and criticism of the government rather than a legal process. Satinah was made the object of exploitation. Although in its message, the language used is more subtle Kompas and Media Indonesia bolder. Kompas explicitly supportive of the government, but implicitly also showed a sharp criticism of the government and Media Indonesia clearly shows his criticism of the government's position by presenting it in the news more intensive when compared Kompas or other national newspapers. Keywords: discourse analysis, news, construction of reality, migrant workers, the death penalty
1
2
Pendahuluan Fenomena kekerasan yang terus berulang dan bahkan hingga ancaman hukuman mati yang menimpa TKI menjadi fenomena tersendiri bagi masyarakat Indonesia serta banyak menarik perhatian media karena dari sisi berita hal tersebut memiliki nilai berita yang tinggi. Hal tersebut bukan tanpa alasan. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, jika ada WNI yang dijatuhi hukuman di luar negeri, itu jadi isu yang sensitif bagi masyarakat kita, apalagi kalau hukuman itu hukuman mati.1 Belum lama berselang nasib pilu Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Arab Saudi kembali mencuat. Kali ini menimpa Satinah binti Jumadi, warga Ungaran, Jawa Tengah yang terancam hukuman mati oleh perintah Arab Saudi. Ia dinyatakan bersalah atas pembunuhan majikannya, Nura Al Gharib dan pencurian uang sebesar SR 37.970 atau setara Rp 119 juta pada Juni 2007. Kasus Satinah kemudian menjadi fenomenal. Terlebih setelah kasus TKI Ruyati yang berakhir dengan eksekusi hukuman mati pada tahun 2011 silam dan dianggap telah mencoreng martabat bangsa. Oleh karena itu, dalam kasus Satinah kali ini pemberitaan media sangat intensif. Pemberitaan mengenai Satinah yang terancam hukuman mati menjadi topik hangat selama beberapa minggu di berbagai media massa, baik cetak, televisi, radio maupun online. Media pun secara bersamaan memberitakan kasus tersebut dari berbagai sudut pandang. Meskipun kasus yang diliput sama, namun suatu peristiwa bisa diberitakan dengan sudut pandang, perspektif atau angle tertentu. Oleh karena itu, suatu peristiwa yang sama bisa dipandang berbeda oleh dua media.2 Bahkan perbedaannya bisa menjadi sangat signifikan. Begitu pula dengan penafsiran media terhadap suatu realitas, antara media satu dengan yang lainnya berbeda. Akan tetapi, menurut Pemerhati TKI Noryati Solapri, selama ini media massa hanya memberitakan TKI dari segi permasalahan yang mereka hadapi saja,
1
2
Aries Setiawan & Nila Chrisna Yulika,”Bahas Nasib TKI Satinah, SBY Gelar Rapat Terbatas”. http://www.vivanews.com. 01/09/2014/05.29 Mursito BM, Jurnalistik Komprehensif (Jakarta: Literate, 2013) hlm. 171
3
tetapi yang berprestasi kurang diberitakan.3 Sedangkan menurut Pemerhati Ketenagakerjaan Shobichatul Aminah, berita tentang kasus hukuman mati seolah diberitakan sebagai sebuah kasus penganiayaan daripada sebuah proses hukum.4 Selain itu, menurut Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia Mustafa Bin Ibrahim al Mubarak, media massa di Indonesia dinilai terlalu sering membesar-besarkan permasalahan TKI yang terkena kasus hukum di Arab Saudi.5 Harian Kompas dan Media Indonesia sebagai harian bersegementasi nasional tentunya juga turut memberitakan fenomena pembebasan Satinah dari hukuman mati. Kompas dikenal sebagai salah satu barometer surat kabar di Indonesia yang memiliki gaya penulisan berbeda dengan media lain. Bahasa yang digunakan cenderung rapi dan tidak meletup-letup, meskipun jika dicermati isinya mengandung kritikan dan sindiran-sindiran tajam.6. Berita yang dimuat merupakan hasil penggodokan matang dan diupayakan berimbang. Sedangkan Media Indonesia dikenal sebagai surat kabar yang kritis, bersikap tegas dan jelas menantang pemerintah.7 Selain itu, pada Media Indonesia ditemukan pemberitaan terkait kasus Satinah yang lebih intensif jika dibandingkan dengan surat kabar lainnya. Selama dua bulan, terhitung sejak bulan Maret hingga April 2014, ditemukan 3 berita pada Kompas dan 9 berita pada Media Indonesia. Oleh karena itu, untuk mengetahui wacana apa saja yang disajikan dan melihat bagaimana Kompas dan Media Indonesia mengkonstruksi serta memberitakan pembebasan Satinah dari hukuman mati akan digunakan analisis wacana. Analisis wacana merupakan metode untuk mengkaji wacana yang terdapat pada pesan komunikasi. Isi pesan komunikasi yang dapat dikaji menggunakan metode ini sebagian diantaranya berupa analisis teks, termasuk dalam berita. 3
4 5
6 7
“Pemberitaan Tentang TKI di Media Belum Berimbang” http://www.bnp2tki.go.id/berita-main menu-231/4366-pemberitaan-tentang-tki-di-media-belum-berimbang-.html. 24/09/2014/01.08 KJRI Jeddah, Suara Indonesia (Jeddah: KJRI Jeddah, 2012) hlm. 6 Daryono. “Dubes Arab Saudi: Pemberitaan Kasus TKI Terlalu Dibesar-besarkan” http://www. timlo.net/baca/68784/soal-tki-dubes-arab-saudi-pemberitaan-tki-terlalu-dibesar-besarkan/.24/09/ 2014/01.44 Nor Islafatun, Jakob Oetama: Bekerja Dengan Hati (Yogyakarta: Buku Pintar, 2013) hlm. 77 David T. Hill. Pers di Masa Orde Baru (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011) hlm. 116
4
Rumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Wacana apa saja yang disajikan dalam pemberitaan pembebasan Satinah dari hukuman mati di Harian Kompas dan Media Indonesia periode 1 Maret – 30 April 2014? 2. Bagaimanakah Harian Kompas dan Media Indonesia mengkonstruksi pemberitaan pembebasan Satinah dari hukuman mati?
Telaah Pustaka 1. Komunikasi sebagai Produksi dan Pertukaran Makna Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama, yang maksudnya adalah sama makna.8 Istilah ini memiliki arti bahwa komunikasi akan berlangsung apabila ada kesamaan mengenai apa yang dipercakapkan. Namun pengertian tersebut masih terlalu umum untuk menjelaskan apa itu komunikasi. Gerald R. Miller menjelaskan bahwa “komunikasi terjadi ketika suatu gambar menyampaikan suatu pesan kepada penerima dengan niat yang disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima”.9 Everett M. Rogers juga menjelaskan bahwa “komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah perilaku mereka”. Sedangkan John Fiske melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orangorang dalam rangka menghasilkan makna, yaitu berkenaan dengan peran teks dalam kebudayaan. Dimana pesan merupakan suatu konstruksi tanda yang melalui interaksinya dengan penerima, menghasilkan makna. Disini yang tekankan adalah teks dan bagaimana teks tersebut “dibaca”.
8 9
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung : Rosda Karya, 2008) hlm. 9 Ibid. hlm. 62
5
2. Surat Kabar Media massa secara sederhana didefinisikan media yang digunakan dalam komunikasi massa, terdiri dari media cetak – surat kabar, majalah dan tabloid, media elektronik – televisi dan radio serta new media – internet. Surat
kabar,
meski
tergolong
media
konvensional
namun
penggunaannya masih bertahan hingga kini di tengah gempuran media yang lebih modern seperti televisi dan internet. Hal tersebut dikarenakan surat kabar merupakan media massa yang mudah didapat, murah dan menjangkau lapisan masyarakat secara luas. Harimurti Kridalaksana mendefinisikan surat kabar sebagai terbitan berkala yang memuat berita, risalah, karangan, iklan, dan lain sebagainya. 10 Surat kabar terdiri dari fakta dan opini. Fakta meliputi berita dan feature, sementara opini terdiri dari antara lain tajuk rencana, pojok, karikatur, surat (dari) pembaca dan artikel.11 Sebagai media komunikasi, surat kabar memiliki beberapa fungsi mendasar, yaitu memberikan informasi yang objektif kepada pembaca mengenai apa yang terjadi dalam lingkungannya dan mengulas berita-berita dalam tajuk rencana dan membawa perkembangannya menjadi sorotan.12 3. Berita Jakob Oetama mendefinisikan berita sebagai laporan tentang kejadian yang aktual, bermakna
dan menarik. Begitu pula
Charnley yang
mendefinisikan berita sebagai laporan yang hangat, padat dan cermat mengenai suatu kejadian, bukan kejadian itu sendiri.13 Assegaf memberi definisi berita sebagai laporan mengenai fakta atau ide yang termasa, yang dipilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, entah karena pentingnya atau akibatnya, entah pula karena ia mencakup segisegi human interest seperti humor, emosi, dan ketegangan.14
10
Muchlis Yahya, Komunikasi Politik dan Media Massa (Semarang: Gunung Jati, 2000) hlm. 102 Ibid. hlm. 229 12 Ibid. hlm. 102 13 Op.Cit. hlm. 82 14 Dja’far H Assegaf, Jurnalisme Masa Kini (Jakarta : PT Ghalia Indonesia, 19820) hlm. 24 11
6
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa berita adalah laporan fakta atau kejadian atau peristiwa yang terjadi di masyarakat yang aktual, menarik, penting bagi sebagian besar khalayak dan disiarkan melalui media berkala seperti surat kabar, radio, televisi atau internet. Daging berita adalah fakta, demikian selalu dinyatakan setiap kali kita berbicara soal hubungan antara berita dengan fakta. Semua unsur peristiwa, yang terdiri dari kejadian, opini orang, situasi, dan kondisi, dipersepsi dan direkam wartawan. Di kantor redaksi, di depan komputer, wartawan melakukan identifikasi menyeleksi, mensistematisasi, memberi struktur pada fakta-fakta hasil observasi tersebut. Fakta-kata hasil persepsi dan observasi, berupa “rekaman” peristiwa ini merupakan realitas yang akan ditulis menjadi berita. Dengan demikian berita merupakan realitas hasil konstruksi wartawan.15 Sehingga laporan fakta atau berita yang disiarkan dan dibaca oleh masyarakat merupakan realitas simbolik hasil bentukan media. Dalam surat kabar terdapat dua format penulisan berita yang sering digunakan, yaitu straight news dan feature. Berita lugas (straight news) merupakan berita yang mengutamakan penyampaian informasi dengan segera, lugas, to the point, ringkas, dan tidak memerlukan kedalaman. Dimana fakta disusun secara sekuensial, diurutkan mulai dari yang paling penting. 16 Sebagian besar halaman depan surat kabar berisi berita lugas. Sedangkan berita kisah (feature news) merupakan berita atau informasi ringan yang sifatnya “menghibur” dan mengandung “human interest”. Feature news mencoba menemukan “realitas lain” dari realitas yang dipaparkan berita lugas dengan tidak menghilangkan seluruh unsur 5W+1H. Sama-sama menjawab pertanyaan 5W+1H, realitas straight news lebih ditekankan pada informasi yang aktual, sentuhannya kognitif; sementara realitas feature news tidak terikat pada aktualitas, tetapi lebih menyentuh perasaan.17 Singkatnya, feature news merupakan pendalaman dari straight news.
15
Mursito BM, Jurnalisme Komprehensif (Jakarta : Literate, 2013) hlm. 70-71 Ibid. hlm. 160 17 Ibid. hlm. 190 16
7
4. Teks sebagai Wacana Berbicara mengenai wacana tentu tidak bisa lepas dari bahasa sebagai akar dari wacana itu sendiri. Eriyanto menjelaskan bahwa teks bukanlah sesuatu yang datang dari langit, juga suatu ruang hampa yang mandiri. Akan tetapi, teks dibentuk dalam suatu praktek diskursus, suatu praktek wacana. Teks hadir sebagai bagian yang menggambarkan representasi masyarakat. Dimana terdapat dua bagian, yaitu teks yang mikro dan elemen besar berupa struktur sosial yang saling mempengaruhi. Maka untuk melihat teks dibentuk dalam suatu praktek wacana, van Dijk membuat suatu jembatan yang menghubungkan elemen besar berupa struktur sosial tersebut dengan elemen wacana yang mikro dengan sebuah dimensi yang dinamakan kognisi sosial.18 Sementara, peristiwa komunikasi selalu identik dengan kehidupan manusian karena merupakan proses dimana manusia mengungkapkan isi pikiran, ide, gagasan, maksud dan sebagainya. Sehingga teks merupakan satuan bahasa yang menjadi sarana vital untuk mendukung suatu peristiwa komunikasi. Kemudian, perlu dipahami bahwa teks merupakan satuan makna sehingga teks dalam media yang terdiri dari satuan bahasa harus dipandang dari dua sudut bersamaan, baik sebagai hasil maupun sebagai produk.. Selain itu, teks juga dapat dipahami sebagai suatu sistem bahasa yang bersifat semantik dan sekaligus fungsional. Bahasa dalam media massa dapat dipahami tidak semata-mata hanya sebagai alat komunikasi untuk menggambarkan realitas. Akan tetapi, dibalik penggambaran realitas terkandung makna apa yang ingin disampaikan oleh media. Dimana media juga dapat memberikan pengaruh kepada khalayak. Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur atau tingkatan yang masing-masing saling mendukung. Ia membaginya ke dalam tiga tingkatan, yaitu struktur makro, superstruktur dan struktur mikro.19 Menurut Van Dijk, meskipun terdiri dari berbagai elemen, semua elemen 18 19
Eriyanto, Analisis Wacana. (Yogyakarta: LKis Group, 2012) hlm. 222 Ibid. hlm. 225-226
8
tersebut merupakan suatu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. Makna global dari suatu teks (tema) didukung oleh kerangka teks dan pada akhirnya pilihan kata dan kalimat yang dipakai. Pernyataan atau tema pada level umum didukung oleh pilihan kata, kalimat atau retorika tertentu. Prinsip ini membantu peneliti untuk mengamati bagaimana suatu teks terbangun lewat elemen-elemen yang lebih kecil.20 5. Konstruksi Realitas Istilah konstruksi realitas menjadi dikenal sejak dipublikasikan oleh Peter L.Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya The Social Construction of Reality yang didalamnya digambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya dimana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Oleh karena itu, pemahaman terhadap sesuatu bisa terjadi akibat kita berkomunikasi dengan orang lain. Realitas sosial sesungguhnya tidak lebih dari sekedar hasil konstruksi sosial dalam komunikasi tertentu.21 Mursito BM dalam bukunya Jurnalisme Komprehensif mengutip pendapat dari Van Peursen tentang realitas:22 Realitas bukan suatu objek. Karena bukan suatu objek melainkan aturan, ia merupakan semacam norma, semacam kriteria untuk mencapai pengetahuan yang benar dan pengamatan yang bermakna. Dalam arti itu dapat dikatakan bahwa istilah realitas menunjukan syarat bagi pengetahuan objektif, atau dalam bahasa filsafat realitas bersifat transendental. Karena realitas merupakan suatu aturan atau norma, maka akan dijumpai beberapa bentuk realitas, yakni realitas subjektif, realitas simbolik, realitas objektif, dan realitas media. Realitas didefinisikan secara terus menerus melalui praktik bahasa, yang bermakna sebagai pendefinisian selektif terhadap realitas yang ditampilkan. Hal ini mengakibatkan suatu persoalan atau peristiwa di dunia nyata tidak mengandung atau menunjukkan makna integral, tunggal dan 20
Ibid. hlm. 226-227 Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009) hlm. 91 22 Mursito BM, Jurnalisme Komprehensif (Jakarta : Literate, 2013) hlm. 72 21
9
intrinsik. Makna yang muncul hanyalah makna yang ditunjukkan melalui bahasa. Bahasa dan simbolisasi adalah perangkat yang memproduksi makna. Tom Wolf menjelaskan tentang konstruksi realitas yang dikutip Nurudin, tulisan harus merupakan konstruksi dari adegan per adegan. Dengan kata lain tulisan merupakan gaya bertutur dengan susunan mirip skenario film. Dalam jurnalisme baru, penciptaan adegan diperkirakan bisa membuat pembaca memahami perubahan cerita dengan sendirinya, tanpa harus dijelaskan.23 6. Konsep Analisis Wacana Analisis wacana adalah salah satu alternatif dari analisis isi, selain analisis isi kuantitatif yang dominan dan banyak dipakai. Jika analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan “apa” (what), analisis wacana lebih melihat pada “bagaimana” (how) dari pesan atau teks komunikasi. Bukan hanya mengetahui bagaimana isi teks berita, analisis wacana juga melihat bagaimana pesan disampaikan. Lewat analisis wacana kita bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks. Banyak model analisis wacana yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh para ahli, diantaranya model analisis wacana Roger Fowler (1979), Theo Van Leeuwen (1986), Sara Mills (1992), Norman Fairclough (1998) dan Teun A. Van Dijk (1998). Dari beberapa model analisis wacana tersebut, van Dijk adalah model yang paling banyak dipakai karena van Dijk mengkolaborasikan elemen-elemen wacana yang bisa diaplikasikan secara praktis. Model yang dipakai van Dijk kerap disebut sebagai “kognisi sosial”. Istilah yang diadopsi dari pendekatan psikologi sosial, terutama untuk menjelaskan struktur dan proses terbentuknya suatu teks. Menurut Van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktek produksi yang harus juga diamati. Disini harus dilihat juga bagaimana bagaiman suatu teks diproduksi, sehingga kita memperoleh pengetahuan mengapa teks bisa semacam itu.24 23 24
Nurudin, Jurnalisme Masa Kini (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) hlm.185 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LkiS, 2001) hlm. 221
10
Lebih lanjut, Encarnacion Hidalgo Tenorio dalam tulisannya menjelaskan analisis Van Dijk sebagai berikut:25 Van Dijk‟s Socio-Cognitive Discourse Analysis is an approach characterised by the interaction between cognition, discourse and society. It began in formal text linguistics and subsequently incorporated elements of the standard psychological model of memory, together with the idea of “frame” taken from cognitive science. A large part of van Dijk’s practical investigation deals with stereotypes, the reproduction of ethnic prejudice, and power abuse by elites and resistance by dominated groups. Suatu teks yang cenderung memarjinalkan posisi wanita, misalnya, lahir karena kognisi atau kesadaran mental di antara wartawan bahkan kesadaran dari masyarakat yang memandang wanita secara rendah. Sehingga teks disini hanya bagian kecil saja dari praktek wacana yang merendahkan wanita.
Oleh
karena
itu,
penelitian
mengenai
wacana
tidak
bisa
mengeksklusifkan seakan-akan teks adalah bidang yang kosong, sebaliknya ia adalah bagaian kecil dari struktur besar masyarakat. Pendekatan kognisi sosial membantu memetakan bagaimana produksi teks yang melibatkan proses yang kompleks tersebut dapat dipelajari dan dijelaskan. Selain melalui koginisi sosial, ada konteks sosial yang mempengaruhi proses produksi teks. Dimana konteks sosial secara sederhana dipahami sebagai wacana yang berkembang dalam masyarakat, sehingga untuk meneliti teks perlu dilakukan analisis intertekstual dengan meneliti bagaimana wacana tentang suatu hal diproduksi dan dikonstruksi dalam masyarakat.26
Sajian dan Analisis Data Dalam pemberitaan mengenai pembebasan Satinah dari hukuman mati di surat kabar, peneliti menemukan enam judul berita tentang proses pembebasan Satinah yang muncul selama periode 1 Maret – 30 April 2014 dengan perincian dua judul di Harian Kompas dan empat judul di Harian Media Indonesia sebagai berikut: 25
Encarnacion Hidalgo Tenorio, “Critical Discourse Analysis, An Overview”, Journal University of Granada (2011) hlm. 190 26 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LkiS, 2001) hlm. 271
11
1. Lobi Kasus Satinah Terus Dilakukan (Kompas/ Selasa, 25 Maret 2014) 2. “Diyat” Satinah Ditawar (Kompas/ Rabu, 26 Maret 2014) 3. Pemerintah Hanya Mau Bayar Rp 12,4 Miliar (Media Indonesia/ Selasa, 25 Maret 2014) 4. Negara Jangan Gamang Bela Satinah (Media Indonesia/ Kamis, 27 Maret 2014) 5. Rakyat Siap Bebasakan Satinah (Media Indonesia/ Jumat, 28 Maret 2014) 6. Pemerintah Tolak Bayar Uang Diat terlalu Tinggi buat Satinah (Media Indonesia/ Sabtu, 29 Maret 2014) Dalam menganalisis ke enam berita tersebut, peneliti akan menggunakan metode analisis wacana yang dikembangkan oleh Teun van Dijk. Menurut Van Dijk, analisis wacana dapat dilihat dari dimensi teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Akan tetapi, dalam penelitian ini analisis data dibatasi hanya pada dimensi teks saja. Berikut adalah analisis data dari salah satu teks berita di atas.
Analisis Data Lobi Kasus Satinah Terus Dilakukan 1. Tematik Tema utama yang dikembangkan dalam berita tersebut adalah upaya pemerintah dalam melakukan pendekatan dan lobi terhadap keluarga korban Al Gharib untuk membebaskan Satinah dari hukuman mati. Dalam sub topik dijelaskan bahwa pemerintah sudah beberapa kali melobi dan berhasil menurunkan besaran uang diyat hingga turun menjadi 7 juta riyal, setara 21,25 miliar. Selain itu pemerintah juga meminta tambahan waktu terkait keluarga korban yang tetap meminta uang diyat sebesar 7 juta riyal. 2. Skematik Wacana bahwa upaya pemerintah melakukan pendekatan dan lobi terhadap keluarga korban Al Gharib untuk membebaskan Satinah dari hukuman mati didukung oleh cara penceritaan (skematik) tertentu, yaitu melalui penjalinan fakta maupun opini antara satu dengan yang lainnya dalam teks berita tersebut.
12
Penggunaan judul “Lobi Kasus Satinah Terus Dilakukan” pada teks berita menunjukkan bahwa pendekatan dan lobi untuk membebaskan Satinah dari hukuman mati terus diupayakan oleh pemerintah hingga berkali-kali dengan ditandai penggunaan kata “terus” yang bersifat kontinyu dan berulang. Pada paragraf 1 dan 2 dalam pemberitaan ini wartawan ingin menjelaskan bahwa pemerintah terus mengupayakan pendekatan dan lobi terhadap keluarga korban. Dimana lobi dilakukan agar keluarga korban mau menerima uang diyat yang telah disetorkan pemerintah ke pengadilan Arab Saudi sebesar 4 juta riyal, setara 12 miliar. Setelah sebelumnya pemerintah berhasil beberapa kali berhasil menurunkan besaran uang diyat hingga 7 juta riyal, setara 21,25 miliar. Seperti yang terdapat pada kalimat berikut: Pemerintah terus mengupayakan pendekatan dan lobi terhadap keluarga majikan Satinah, tenaga kerja Indonesia yang divonis hukuman mati. Lobi dilakukan agar keluarga menerima uang darah (diyat) yang telah disetorkan ke pengadilan Arab Saudi sebesar 4 juta riyal, setara Rp 12 miliar. (paragraf 1) “Kami sudah beberapa kali melobi dan berhasil menurunkan besaran uang diyat dari awalnya 15 juta riyal, 10 juta riyal, dan turun menjadi 7 juta riyal,” ujar Tatang. (paragraf 2) Paragraf 3 dan 4 menjelaskan bahwa pemerintah meminta tambahan waktu karena keluarga korban bersikeras meminta uang diyat sebesar 7 juta riyal.
Dijelaskan
pula
bahwa
tambahan
waktu
diperlukan
untuk
mengumpulkan lebih banyak uang sumbangan dana dari masyarakat. Seperti yang terdapat pada kalimat berikut: Dengan begitu, jika keluarga korban tetap meminta bayaran 7 juta riyal, mereka harus memberi tambahan waktu (paragraf 3) Tambahan waktu tersebut diperlukan untuk mengumpulkan lebih banyak sumbangan dari masyarakat. Tatang mengatakan, saat ini Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sudah membuka nomor rekening khusus untuk itu. (paragraf 4) Paragraf 5 wartawan ingin menegaskan bahwa penanganan pemerintah terkait lobi kasus Satinah jauh lebih maju jika dibandingkan dengan negara lain yang juga memiliki banyak pekerja migran. Selain itu, pada paragraf 5 juga dijelaskan bahwa pembayaran uang diyat bukan berarti pemerintah
13
mengambil alih tanggung jawab pidana seseorang, termasuk dalam hal ini Satinah. Seperti yang terdapat pada kalimat berikut: Tatang mengingatkan, penanganan yang dilakukan pemerintah jauh lebih maju dibandikan dengan negara lain, bahka Filipina, yang juga menjadi negara asal pekerja migran. Hanya Indonesia yang mengalokasikan pembayaran diyat diambil dari alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). “Namun perlu diingat, pembayaran uang diyat bukan berarti pemerintah mengambil alih tanggung jawab pidana seseorang,” ujarnya. (paragraf 5) Paragraf 6, 7 dan 8 menjelaskan kronologis kasus Satinah hingga ia dijatuhi hukuman mati. Dalam paragraf 7 dijelaskan bahwa Satinah mengaku membunuh untuk membela diri. Akan tetapi saat menyerahkan diri ke kantor polisi Arab Saudi upaya membela diri tersebut tidak dilaporkan. Seperti yang terdapat pada kalimat berikut: Satinah diancam hukuman mati di Arab Saudi karena mengaku membunuh dan mengambil uang majikannya sekitar Rp 119 juta. Majikan Satinah tewas setelah koma akibat dipukul perkakas pengadon roti dalam perkelahian. (paragraf 6) Berdasarkan catatan lembaga swadaya masyarakat Migrant Care, Satinah mengaku membunuh untuk membela diri. Namun, upaya membela diri itu tak dilaporkan saat menyerahkan diri ke kantor polisi Arab Saudi. (paragraf 7) Akibatnya, pengadilan Arab Saudi menetapkan hukum pancung. (paragraf 8) Paragraf 9 menjelaskan bahwa sejumlah LSM prihatin dengan nasib Satinah dan membuka rekening untuk menggalang sumbangan masyarakat. Selain itu, juga dijelaskan bahwa LSM menyayangkan selama proses pengadilan awal Satinah tidak mendapat bantuan hukum semestinya. Sementara paragraf 10 menjelaskan bahwa banyak pekerja migran asal Indonesia yang tidak memiliki pengetahuan cukup terkait prosedur dan penuntutan hak jika terjadi masalah. Seperti pada kalimat berikut: Sementara itu, Karsiwen dari Asosiasi Buruh Migran Indonesia mengatakan, banyak pekerja migran asal Indonesia tak memiliki pengetahuan cukup terkait prosedur pengaduan dan penuntutan hak jika terjadi masalah. Kebanyakan dari mereka bekerja di sektor domestik sehingga komunikasi dan interaksi dengan dunia luar, terutama dengan sesama pekerja migran di sana, sangat dibatasi. (paragraf 10)
14
Dari uraian penjelasan masing-masing paragaraf di atas, dapat dilihat bahwa upaya pemerintah untuk melobi besaran uang diyat dan meminta tambahan waktu terkait pembebasan Satinah dari hukuman mati di tempatkan pada awal berita, yaitu paragraf 1, 2, 3, 4 dan 5. Sedangkan kronologis kasus Satinah ditempatkan pada paragraf selanjutnya, yaitu 6, 7 dan 8. Dengan penyusunan yang demikian, yang tergambar adalah pemerintah telah dan terus berupaya untuk membebaskan Satinah dari hukuman mati. Hal tersebut dipertegas dengan pernyataan Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Tatang Budi Razak yang mengatakan pemerintah sudah beberapa kali melobi dan berhasil menurunkan besaran uang diyat pada paragraf 2. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa penanganan yang dilakukan pemerintah saat ini jauh lebih maju dibandingan negara lain yang memiliki pekerja migran pada paragraf 5. Sementara kronologis kasus Satinah, kekecewaan LSM terkait proses pengadilan awal Satinah yang tidak mendapat bantuan hukum semestinya dan minimnya pengetahuan pekerja migran Indonesia terkait prosedur pengaduan serta penuntutan hak jika terjadi masalah hanya menjadi informasi pendukung, bukan sebagai penjelas utama dan di tempatkan di akhir berita. 3. Semantik Elemen latar yang ditampilkan pada berita tersebut adalah pendekatan dan lobi yang terus dilakukan oleh pemerintah untuk membebaskan Satinah dari hukuman mati. Secara umum elemen latar terdapat dalam paragraf 1, 2, 3 dan 4. Dalam penulisannya, wartawan menjelaskan bahwa pendekatan dan lobi masih terus diupayakan oleh pemerintah untuk membebaskan Satinah dari hukuman mati, termasuk menurunkan besaran uang diyat dan tambahan waktu. Secara implisit, teks berita tersebut menunjukkan keberpihakan wartawan dan dukungan terhadap langkah pemerintah dalam mengupayakan pembebasan Satinah. Elemen detail yang menunjang latar berita, secara umum terdapat pada paragraf 2, 3, 4 dan 5. Dalam penulisannya, ditampilkan secara detail dan panjang lebar upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam membebaskan
15
Satinah dari hukuman mati, termasuk keberhasilan pemerintah yang telah beberapa kali menurunkan besaran uang diyat. Sementara detail kronologis ancaman hukuman mati yang menimpa Satinah ditempatkan pada paragraf 6, 7 dan 8 yang ditampilkan dengan porsi lebih sedikit jika dibandingkan detail upaya yang telah dilakukan pemerintah. Sedangkan elemen maksud pada berita tersebut secara umum terdapat pada paragraf 2, 5 dan 9. Dimana pada paragraf 2 dan 5 secara jelas informasi yang mendukung upaya pendekatan dan lobi yang terus dilakukan oleh pemerintah untuk membebaskan Satinah disampaikan melalui pendapat Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Tatang Budi Razak. Sementara paragraf 9 yang menunjukan “kekecewaan” terhadap upaya yang dilakukan pemerintah karena dinilai terlambat dan paragraf 10 yang menunjukkan kritik terhadap kinerja pemerintah dalam menyalurkan pekerja migran Indonesia disampaikan secara tersamar, implisit dan tersembunyi. 4. Sintaksis Melalui struktur sintaksis, wartawan dapat mengimplikasikan ideologi. Sehingga melalui struktur sintaksis tertentu, suatu peristiwa maupun aktor dapat digambarkan secara negatif maupun positif. Terdapat tiga elemen dalam sintaksis, yaitu elemen koherensi, bentuk kalimat dan kata ganti. Pada teks berita “Lobi Kasus Satinah Terus Dilakukan” bentuk koherensi pertama terdapat pada kalimat “Lobi dilakukan agar keluarga menerima uang darah (diyat) yang telah disetorkan ke pengadilan Arab Saudi sebesar 4 juta riyal, setara Rp 12 miliar.” (paragraf 1). Sedangkan pada paragraf 5, terdapat pada kalimat “Tatang mengingatkan, penanganan yang dilakukan pemerintah jauh lebih maju dibandingkan dengan negara lain, bahkan Filipina, yang juga menjadi negara asal pekerja migran.” Konjungsi “yang” pada kalimat teks berita tersebut berfungsi sebagai penjelas inti kalimat, yang sebenarnya bukan informasi yang begitu penting. Sehingga jika kata “yang” dihilangkan tidak akan mengurangi inti dari berita itu sendiri. Sebagai contoh, jika “yang telah disetorkan ke pengadilan Arab Saudi” pada
16
kalimat kedua paragraf 1 dihilangkan, maka tidak akan mengurangi inti berita dari kalimat tersebut bahwa lobi dilakukan agar keluarga korban mau menerima uang diyat sebesar 4 juta riyal, setara Rp 12 miliar. Dalam teks berita tersebut koherensi sebab-akibat ditunjukkan dengan penggunaan kata “jika” seperti pada kalimat “Tatang mengingatkan, tenggat 3 April tidak berarti Satinah akan langsung dieksekusi jika uang diyat tak bisa dibayarkan sebelum tanggal itu.” (paragraf 3). Penggunaan kata “akibat” pada kalimat “Namun, upaya membela diri itu tak dilaporkan saat menyerahkan diri ke kantor polisi Arab Saudi. Akibatnya, pengadilan Arab Saudi menetapkan hukum pancung.” (paragraf 7 dan 8). Penggunaan kata “sehingga” pada kalimat “Kebanyakan dari mereka bekerja di sektor domestik sehingga komunikasi dan interaksi dengan dunia luar, terutama dengan sesama pekerja migran di sana, sangat dibatasi.” (paragraf 10). Penggunaan koherensi sebabakibat digunakan untuk menjelaskan suatu fakta atau peristiwa memiliki hubungan kausal (satu fakta atau peristiwa merupakan penyebab dan akibat bagi peristiwa yang lainnya). Sebagai contoh penggunaan kata “akibatnya” pada paragraf 8 memiliki keterkaitan dengan paragraf 7 yang menjelaskan bahwa Satinah dijatuhi hukuman pancung karena tidak melaporkan upaya pembelaan dirinya saat menyerahkan diri ke kantor polisi Arab Saudi. Penggunaan koherensi pembeda dalam teks berita tersebut ditunjukkan dengan penggunaan kata “dibandingkan” pada kalimat “Tatang mengingatkan, penanganan yang dilakukan pemerintah jauh lebih maju dibandingkan dengan negara lain, bahkan Filipina, yang juga menjadi negara asal pekerja migran.” (paragraf 5). Penggunaan kata “dibandingkan” untuk membedakan dua peristiwa atau fakta. Dua peristiwa atau fakta dapat dibuat seolah-olah saling
bertentangan
dan
bersebrangan.
Seperti
penggunaan
kata
“dibandingkan” pada kalimat di atas yang menegaskan bahwa penanganan pemerintah Indonesia tekait kasus TKI serupa jauh lebih maju jika dibandingkan negara lain, Filipina. Apa yang dilakukan pemerintah Indonesia dibuat seolah-olah bersebrangan dengan apa yang dilakukan oleh Filipina.
17
Pemilihan Filipina sebagai pembanding pemerintahan Indonesia pun dikarenakan sama-sama memiliki banyak pekerja migran di Arab Saudi. Sedangkan koherensi pengingkaran dalam teks berita tersebut ditunjukkan dengan penggunaan kata “namun” dalam kalimat “Namun perlu diingat, pembayaran uang diyat bukan berarti pemerintah mengambil alih tanggung jawab pidana seseorang,” ujarnya.” (paragraf 5). Penggunaan kata “namun” dalam petikan kalimat wawancara dengan Tatang Budi Razak menggambarkan bahwa wartawan ingin menyampaikan maksud secara implisit (tersembunyi) bahwa ia setuju dengan pernyataan pembayaran diyat oleh pemerintah, bukan berarti pemerintah juga turut mengambil alih tanggung jawab pidana seseorang. Karena bagaimana pun suatu hukuman pidana yang telah dijatuhkan kepada seseorang, maka menjadi suatu tanggung jawab bagi seseorang yang terbukti bersalah. Selain elemen koherensi, terdapat elemen bentuk kalimat pada struktur sintaksis. Dimana dalam teks berita tersebut secara umum menggunakan bentuk kalimat berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek pernyataannya, seperti contoh pada paragraf 1 berikut ini: Aktif
Pasif
Pemerintah terus mengupayakan pendekatan dan lobi terhadap keluarga majikan Satinah, tenaga kerja Indonesia yang divonis hukuman mati. Pendekatan dan lobi terus diupayakan oleh pemerintah terhadap keluarga majikan Satinah, tenaga kerja Indonesia yang divonis hukuman mati. Bentuk lain penggunaan elemen bentuk kalimat dalam teks berita ini
adalah penempatan posisi proposisi dalam kalimat. Secara umum posisi proposisi dalam kalimat teks berita tersebut menempatkan pemerintah di awal kalimat sebagai pihak yang ditonjolkan, seperti pada paragraf 5 berikut ini: Awal
Akhir
Tatang mengingatkan, penanganan yang dilakukan pemerintah jauh lebih maju dibandingkan dengan negara lain, bahkan Filipina, yang juga menjadi negara asal pekerja migran. Dibandingkan Filipina, negara yang juga menjadi asal pekerja migran, penanganan yang dilakukan pemerintah jauh lebih maju.
18
Dengan menempatkan pemerintah di awal kalimat, maka kesan kontras pemerintah Indonesia yang lebih maju dalam menangani kasus TKI akan lebih terasa dan menonjol dibandingan dengan peletakan di akhir kalimat. Selain itu, secara umum teks berita tersebut juga menggunakan pola pengembangan deduktif (kalimat umum-kalimat khusus). Dimana inti kalimat (umum) di tempatkan di awal paragraf, disusul dengan keterangan tambahan (khusus) sebagai kalimat penjelas kemudian. Dalam bentuk kalimat deduktif, aspek penonjolannya lebih kentara, sementara dalam bentuk induktif inti dari kalimat ditempatkan tersamar atau sembunyi. Elemen kata ganti dalam teks berita tersebut terdapat pada paragraf 2, yaitu “kami” dalam kalimat “Kami sudah beberapa kali melobi dan berhasil menurunkan besaran uang diyat dari awalnya 15 juta riyal, 10 juta riyal, dan turun menjadi 7 juta riyat,” ujar Tatang.” dan “mereka” pada paragraf 3 dalam kalimat “Dengan begitu, jika keluarga korban tetap meminta bayaran 7 juta riyal, mereka harus memberi tambahan waktu.” Penggunaan “kami” sebagai kata ganti pemerintah dan “mereka” sebagai kata ganti keluarga korban Al Gharib menciptakan jarak dan memisahkan antara pihak “kami” dengan “mereka”. Untuk yang sependapat dengan wartawan atau komunikator menggunakan kata ganti “kami” sedangkan dengan pihak yang tidak sependapat digunakan kata ganti “mereka”. Selain itu, penggunaan kata ganti “kami” mempunyai implikasi menumbuhkan solidaritas, aliansi, perhatian khalayak serta mengurangi kritik dan oposisi terhadap pemerintah. 5. Stilistik Elemen stilistik berkaitan dengan leksikon atau pemilihan kata maupun frase atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia untuk menyatakan maksud. Pilihan kata yang dipakai dapat menunjukkan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap fakta atau realitas. Dalam teks berita tersebut terdapat beberapa kata yang menunjukkan dan memperkuat tema utama, diataranya adalah kata “lobi” pada paragraf 1 dan 2; pekerja migran pada paragraf 5 dan 10; hukum pancung pada paragraf 8
19
dan “tewas” pada paragraf 6. Berikut salah satu contoh penggunaan kata dalam penulisan kalimat teks berita: Majikan Satinah tewas setelah koma akibat dipukul perkakas pengadon roti dalam perkelahian. Majikan Satinah meninggal setelah koma akibat dipukul perkakas pengadon roti dalam perkelahian. Majikan Satinah terbunuh setelah koma akibat dipukul perkakas pengadon roti dalam perkelahian. Penggunaan kata “tewas” yang artinya meninggal dunia atau mati lebih dipilih daripada kata meninggal atau terbunuh. Penggunaan kata tewas dalam berita di atas memberikan pemaknaan dan penekanan kepada khalayak bahwa majikan Satinah meninggal setelah terjadi perkelahian yang hebat dengan Satinah. Kata tewas biasanya digunakan untuk menggambarkan kematian yang berkaitan dengan kejadian perang dan bencana. Kata meninggal biasanya digunakan untuk memperhalus kematian seseorang dan menggambarkan kematian seseorang yang dikarenakan sakit. Sedangkan kata terbunuh biasanya digunakan untuk menggambarkan kematian yang diakibatkan kejadian penganiayaan. 6. Retoris Elemen retoris terkait fungsi persuasif dengan menggunakan wacana praanggapan, grafis dan metafora. Berikut penggunaan retoris dalam teks berita tersebut yang dapat diamati. Praanggapan merupakan fakta yang belum terbukti kebenarannya, tetapi dijadikan dasar untuk mendukung gagasan tertentu. Contoh wacana praanggapan dalam teks berita terdapat pada paragraf 3 dalam kalimat “Tanggal tersebut adalah kesepakatan pihak keluarga terkait batas waktu tanggal pembayaran. Dengan begitu, jika keluarga korban tetap meminta bayaran 7 juta riyal, mereka harus memberi tambahan waktu.” Anggapan pemberian tambahan waktu dari pihak keluarga Al Gharib masih belum sepenuhnya pasti terkait permintaan besarnya uang diyat yang diminta dan batas waktu pembayaran. Pasalnya sudah beberapa kali keluarga Al Gharib memberikan tambahan waktu, akan tetapi besaran uang diyat yang diminta
20
belum juga dibayarkan sepenuhnya. Akan tetapi praanggapan tersebut didasarkan pada praanggapan yang masuk akal dan logis sehingga meskipun kenyataannya belum terjadi tidak dipertanyakan kebenarannya. Dimana semakin banyak uang diyat yang diminta, maka semakin banyak pula waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan uang diyat. Grafis merupakan penekanan atau penonjolan bagian yang dianggap penting dalam teks berita. Contoh penggunaan grafis dalam kalimat teks berita adalah huruf cetak miring untuk kata “diyat” yang terdapat pada paragraf 1, 2, 3 dan 5. Kata diyat yang berarti uang pengganti atau uang darah dicetak huruf miring karena bukan kata atau istilah yang umum bagi masyarakat Indonesia.
Kesimpulan Setelah menjelaskan dan menganalisa bahasan-bahasan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan bahwa baik Kompas maupun Media Indonesia dalam memberitakan pembebasan Satinah dari hukuman mati diberitakan sebagai sebuah kasus penganiayaan dan kritik terhadap kinerja pemerintah daripada sebuah proses hukum. Satinah pun dijadikan objek eksplotasi karena baik ia maupun keluarganya tidak ditempatkan sebagai subjek pencerita dan tidak diberi ruang untuk menceritakan dirinya atau peristiwa tersebut. Kronologis kasus yang menimpa Satinah pun diceritakan oleh pihak lain, seperti Migrant Care Anis Hidayah. Meskipun dalam pemberitaannya, bahasa yang digunakan Kompas lebih halus dan Media Indonesia lebih berani. Selain itu, Kompas secara eksplisit menunjukkan keberpihakannya kepada pemerintah, akan tetapi secara implisit juga menunjukkan kritik yang tajam terhadap pemerintah dan Media Indonesia secara jelas menunjukkan kritiknya terhadap sikap pemerintah dalam mengupayakan pembebasan Satinah dengan menghadirkan hal tersebut dalam berita yang lebih intensif jika dibandingkan Kompas ataupun surat kabar bersegementasi nasional lainnya.
21
Saran 1. Untuk penelitian selanjutnya yang ingin melakukan penelitian mengenai teks berita, penelitian ini dapat dijadikan refernsi meskipun menggunakan pendekatan dan metode yang berbeda dengan penelitian ini. Hal tersebut semata-mata hanya untuk memperoleh pemahaman yang lebih luas lagi dalam menganalisi teks. 2. Bagi penelitian selanjutnya yang ingin melakukan penelitian mengenai teks berita menggunakan metode analisis Teun van Dijk, hendaknya menggunakan berbagai dimensi untuk mengalisis, tidak hanya dimensi teks tetapi juga dimensi kognisi sosial dan konteks sosial. Daftar Pustaka Assegaf, Dja’far. (1982). Jurnalisme Masa Kini. Jakarta : PT Ghalia Indonesia. Eriyanto. (2008). Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. Hill, David T. (2011). Pers di Masa Orde Baru. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Islafatun, Nor. (2013). Jakob Oetama: Bekerja dengan Hati. Yogyakarta: Buku Pintar. Mulyana, Deddy. (2008). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mursito BM. (2013). Jurnalisme Komprehensif. Jakarta: Literate. __________. (2012). Realitas Media. Solo: Smart Media. Nurudin. (2009). Jurnalisme Masa Kini. Jakarta: Rajawali Pers. Sobur, Alex. (2009). Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Tenorio, Encarnacion Hidalgo. (2011). Critical Discourse Analysis, An overview. Journal University of Granada. Yahya, Muchlis. (2000). Komunikasi Politik dan Media Massa. Semarang: Gunung Jati. Aries Setiawan & Nila Chrisna Yulika. (2014) Bahas Nasib TKI Satinah, SBY Gelar Rapat Terbatas. Jakarta: Vivanews. Tersedia dalam:
[Diakses 1 September 2014]. Daryono. (2014) Dubes Arab Saudi: Pemberitaan Kasus TKI Terlalu Dibesarbesarkan. Surakarta: Timlo. Tersedian dalam: [Diakses 24 September 2014]. BNP2TKI. (2013) Pemberitaan Tentang TKI di Media Belum Berimbang. Jakarta: BNP2TKI. Tersedian dalam: [Diakses 24 September 2014].