LAYANAN PELAYANAN TERPADU PEREMPUAN DAN ANAK SURAKARTA (PTPAS) DALAM UPAYA PEMENUHAN HAK PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN FISIK DAN SEKSUAL Intan Hadiah Rastiti (
[email protected])
ABSTRAKSI Tujuan Penelitian ini adalah mengkaji upaya yang dilakukan oleh PTPAS dalam layanan pemenuhan hak bagi perempuan korban kekerasan fisik dan seksual dan mengkaji kendala dalam pendampingan perempuan korban kekerasan fisik dan seksual oleh PTPAS. Masalah perlindungan Korban di dalam proses peradilan pidana merupakan salah satu permasalahan yang menjadi perhatian dunia internasional. Hak-hak Korban seharusnya menjadi bagian yang integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana, di Surakarta telah dibentuk PTPAS (Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Surakarta) yang terdiri dari beberapa institusi dari berbagai latar belakang dengan tujuan yang sama untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Selanjutnya PTPAS memiliki fungsi terpadu dalam penanganan Perempuan Korban kekerasan secara litigasi maupun non-litigasi. Metode penelitian dalam skripsi ini menggunakan penelitian yuridis sosiologis atau sering disebut penelitian hukum yang sosiologis karena penelitian ini berbasis pada ilmu hukum normatif (peraturan perundangan), tetapi bukan mengkaji mengenai sistem norma dalam peraturan perundangan, namun mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu bekerja di dalam masyarakat yaitu dengan mengkaji layanan Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Surakarta (PTPAS) dalam upaya pemenuhan hak bagi perempuan korban kekerasan. Berdasarkan ketentuan dari peraturan perundang-undangan, landasan teori, studi pustaka, hasil wawancara dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Upaya pemenuhan hak bagi perempuan korban kekerasan fisik dan seksual yang dilaksanakan oleh PTPAS dan Kendala yang sering timbul dalam dalam pelaksanaan layanan PTPAS dalam pendampingan perempuan korban kekerasan fisik dan seksual adalah PTPAS sebagai sebuah jaringan layanan terpadu dari berbagai instansi/ lembaga/organisasi yang masing-masing bekerja dan bertindak sesuai dengan tugas, fungsi dan kapasitasnya masing-masing; dan kendala yang sering timbul dalam pelaksanaan layanan PTPAS terhadap perempuan korban kekerasan dibedakan dalam 4 (empat) sisi, yaitu sisi perempuan korban kekerasan, sisi internal PTPAS, sisi eksternal PTPAS, dan sisi kebijakan Pemerintah.
Kata Kunci : PTPAS, Perempuan Korban Kekerasa
1
A. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Meskipun banyak wanita yang menduduki dan memiliki peran strategis ternyata tidak menjadikan perempuan bebas dari tindak kekerasan. Dari tahun ke tahun kekerasan terhadap perempuan tidaklah semakin berkurang meskipun banyak program yang telah dilakukan oleh pemerintah baik pusat, propinsi maupun daerah kabupaten/kota, justru menunjukan kenaikan yang cukup mengejutkan seiring dengan upaya untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Melihat kenyataan tersebut maka pada tahun 2004 di Surakarta telah dibentuk PTPAS (Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Surakarta) yang terdiri dari beberapa institusi dari berbagai latar belakang dengan tujuan yang sama untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Selanjutnya PTPAS memiliki fungsi terpadu dalam penanganan Perempuan Korban kekerasan secara litigasi maupun nonlitigasi. Beberapa Produk hukum yang ada telah memberikan jaminan proses dan ancaman sanksi yang cukup berat bagi para pelaku kekerasan terhadap Perempuan, secara proses hukum telah mendapatkan pengawalan dari sejumlah pihak dan adanya komitmen dari penegak hukum, mulai dari pemeriksaan saksi,
penggumpulan barang bukti, penuntutan dan
putusannya. Namun dengan instrument hukum saja permasalahan tidak serta merta dapat diselesaikan, sebenarnya ada bagian lain yang diperlukan korban selain kepastian proses hukum dalam memperoleh keadilan, yaitu hak untuk mendapatkan perawatan dan perlindungan. Perlu adanya pemahaman dan komitmen yang kuat dari segenap lapisan masyarakat untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pemerintah tidak dapat bergerak sendiri sebagai agen tunggal mengingat kompleksnya
2
permasalahan ini, perlu adanya bantuan dari berbagai pihak, baik lembaga swasta dan untamanya masyarakat.
PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan pada uraian yang mendasari penelitian ini di atas, maka peneliti
merumuskan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut : 1) Bagaimana upaya pemenuhan hak bagi perempuan korban kekerasan fisik dan seksual yang dilaksanakan oleh PTPAS ? 2) Apa kendala yang sering timbul dalam dalam pelaksanaan layanan PTPAS dalam pendampingan perempuan korban kekerasan fisik dan seksual ?
B. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Ada dua jenis penelitan hukum yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris (sosiologis)………(Mukti Fajar ND, 2010:153) Penelitian ini merupakan Penelitian yuridis sosiologis atau sering disebut penelitian hukum yang sosiologis berdasarkan madzhab sosciological jurisprudence, karena penelitian ini berbasis pada ilmu hukum normatif (peraturan perundangan), tetapi bukan mengkaji mengenai sistem norma dalam peraturan perundangan, namun mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu bekerja di dalam masyarakat. Penelitian ini juga sering disebut sebagai penelitian bekerjanya hukum (law in action) yang mendasarkan pada doktrin para realis Amerika seperti Holmes, yaitu bahwa “law is not just been logic but experience” atau dari Roscou Pound tentang “law as tool of social engineering.”….………(Mukti Fajar ND, 2010:47) Untuk itu maka Peneliti mengkaji “LAYANAN (PTPAS)
3
PELAYANAN TERPADU PEREMPUAN DAN ANAK SURAKARTA DALAM UPAYA PEMENUHAN HAK BAGI PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN” . SIFAT PENELITIAN Penelitian ini bersifat diskriptif analitis, yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian. Demikian juga hukum dalam pelaksanaannya di dalam masyarakat yang berkenaan objek penelitian………..(Zainuddin Ali, 2011:105 – 106) Oleh karenanya Penelitian ini bersifat diskriptif analitis sebab bertujuan menggambarkan memahami layanan yang dilakukan oleh PTPAS beserta kendala-kendala yang sering timbul dalam pendampingan perempuan korban kekerasan.
ALAT PENGUMPULAN DATA Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini melalui dua cara yaitu Wawancara dan Studi Pustaka. Wawancara dimaksudkan melakukan tanya jawab secara langsung antara penulis dengan responden atau narasumber atau informan untuk mendapatkan informasi…………….….………(Mukti Fajar ND, 2010:161) Wawancara adalah bagian penting dalam suatu penelitian hukum terutama pada penelitian hukum empiris. Karena tanpa wawancara, penulis akan kehilangan informasi yang hanya diperoleh dengan jalan bertanya secara langsung kepada responden, narasumber atau informan.….………(Mukti Fajar ND, 2010:161) Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam (indepth interviewing). Wawancara dengan informasi yang bersifat open-ended dan mengarah pada kedalaman informasi………(Sutopo, 2006:69) Wawancara mendalam dengan informan ditujukan agar penulis memperoleh gambaran Layanan PTPAS terhadap Perempuan Korban Kekerasan.
4
Sebagai penunjang dalam Penelitian ini dilakukan juga melalui teknik Studi Pustaka, yaitu merupakan cara pengumpulan data dengan cara mempelajari bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
maupun bahan hukum tersier dan atau bahan non hukum.
Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat dilakukan dengan membaca, melihat, mendengar, maupun sekarang banyak dilakukan penelusuran bahan hukum tersebut dengan melalui media internet………(Mukti Fajar ND, 2010:160)
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Upaya pemenuhan hak bagi perempuan korban kekerasan fisik dan seksual yang dilaksanakan oleh PTPAS PTPAS sebagai sebuah jaringan layanan terpadu dari berbagai instansi/lembaga/organisasi yang masing-masing bekerja dan bertindak sesuai dengan tugas, fungsi dan kapasitasnya masing-masing sangat dibutuhkan untuk penanganan perempuan korban kekerasan di kota Surakarta. Layanan terpadu PTPAS bagi perempuan korban kekerasan fisik dan seksual secara terpadu dapat dibagi dalam 3 (tiga) fase, yaitu: a. Fase penanganan pra ajudikasi/sebelum proses hukum Pada fase ini dilakukan pendampingan dan penanganan dengan tujuan untuk menyiapkan perempuan korban kekerasan sehingga siap untuk memasuki
tahapan
ajudikasi/proses
hukum
dengan
kata
lain
mempersiapkan korban untuk mampu bersaksi di depan pengadilan. Kegiatan yang dilakukan pada tahapan ini adalah: 1) layanan dampingan psikososial atau biasa pendampingan korban yang akan melakukan identifikasi dan investigasi terhadap perempuan korban kekerasan dan hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan dan kepentingan perempuan korban kekerasan menuju proses ajudikasi, 2) layanan medis yang meliputi penanganan kesehatan fisik dan psikis sebagai akibat dari tindak kekerasan yang diderita oleh perempuan
5
korban kekerasan, selain itu mempersiapkan rekam medis yang nantinya akan menjadi bahan pembuatan visum at repertum yang akan diminta kepolisian dan hasil pemeriksaan psikologi yang akan digunakan jaksa dalam mengajukan bukti sebagai dasar tuntutan. 3) layanan shelter/rumah aman, layanan ini diberikan hanya pada kasus dimana
perempuan
korban
kekerasan
membutuhkan
tempat
perlindungan sementara selama proses hukum dilakukan dengan pertimbangan
pelaku
tidak
ditahan
dan
merupakan
ancaman/mengganggu ketenangan perempuan korban kekerasan tersebut. b. Fase penanganan ajudikasi/proses hukum 1) layanan pendampingan hukum dilakukan semenjak dilakukannya tahap pelaporan atau pengaduan, pendampingan proses penyidikan (BAP) sampai pada proses pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan dalam memberikan kesaksian di pengadilan. Dalam hal pendampingan di pengadilan seringkali pendamping meminta kepada majelis hakim untuk tidak melakukan konfrontir antara korban dan pelaku kekerasan dengan tujuan menghindari traumatik dari perempuan korban kekerasan sehingga kesaksian dapat berjalan lancar. 2) layanan advokasi dilakukan dalam rangka meminta informasi dan mengawal proses hukum yang dilakukan pada tingkat penyidikan di kepolisian, tingkat penuntutan di kejaksaan, dan tingkat pemeriksaan di pengadilan. 3) layanan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum (APH) yang meliputi Polisi, Jaksa dan hakim untuk menjamin penegakan hukum dan keadilan bagi perempuan korban kekerasan. Biasanya ditengarai dengan proses yang lancar dan hukuman berat bagi pelaku kekerasan tersebut. c. Fase penanganan paska ajudikasi/Rehabilitasi
6
1) layanan pemulangan dilakukan apabila perempuan korban kekerasan tidak berasal dari kota Surakarta, hal ini dilakukan dengan berkoordinasi dengan pemerintah daerah tempat asal perempuan korban kekerasan tersebut dengan harapan pemerintah daerah tersebut melanjutkan upaya perlidungan dan rehabilitasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan perempuan korban kekerasan. 2) layanan rehabilitasi pendidikan bagi perempuan korban kekerasan yang masih sekolah atau bagi perempuan korban yang membutuhkan pendidikan non formal untuk menunjang kehidupan berikutnya setelah proses hukum berlangsung dengan segala macam akibatnya. 3) layanan rehabilitasi Psikologis diberikan dalam bentuk terapi bagi perempuan korban kekerasan untuk menemukan kembali semangat dan harga diri sehingga bisa merencanakan masa depannya dengan kondisi yang telah berubah sebagai akibat dari kekerasan yang telah menimpanya. 4) layanan rehabilitasi sosial diberikan kepada perempuan korban kekerasan yang telah terstigma oleh masyarakat sehingga mengalami kesulitan dan/atau permasalahan ketika kembali dalam lingkungan keluarga dan masyarakat, layanan ini biasanya dilakukan dalam bentuk pendampingan bagi perempuan korban kekerasan dan keluarganya serta pendekatan terhadap tokoh agama dan tokoh masyarakat yang ada di wilayah tersebut agar dapat memberikan suasana yang kondusif bagi perempuan korban kekerasan tersebut, dalam hal ini biasanya terjadi pada perempuan korban kekerasan fisik dan seksual yang kemudian hamil. 5) layanan rehabilitasi ekonomi diberikan terutama kepada perempuan korban kekerasan yang memiliki ketergantungan ekonomi terhadap pelaku (suami) dalam kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), diharapkan perempuan korban kekerasan tersebut menjadi produktif dan memiliki kemandirian ekonomi untuk melanjutkan
7
kehidupan selanjutnya bersama dengan anak-anaknya. Layanan ini biasanya berupa latihan ketrampilan usaha dan bantuan modal kerja.
Kendala yang sering timbul dalam dalam pelaksanaan layanan PTPAS dalam pendampingan perempuan korban kekerasan fisik dan seksual Kendala yang sering timbul dalam pelaksanaan layanan PTPAS terhadap
perempuan korban kekerasan dibedakan dalam 4 (empat) sisi yaitu: a. Sisi Perempuan Korban Kekerasan Dari sisi ini biasanya perempuan korban kekerasan adalah sebagai berikut: 1) tidak terbuka untuk mengungkap peristiwa yang sebenarnya terjadi atau dengan kata lain perempuan korban tidak menyembunyikan sebagian kebenaran dalam peristiwa tersebut, 2) tidak ada lagi semangat untuk bangkit dan pulih dari keterpurukan yang dialaminya. 3) terlalu menikmati segala layanan PTPAS yang diterimanya dan tetap terus untuk bergantung, meskipun salah satu prinsip pendampingan adalah mendengar dan mengutamakan kepentingan perempuan korban kekerasan, tetapi upaya untuk mendorong korban pada kemandirian perlu menjadi pertimbangan yang sangat penting. 4) tidak taatnya perempuan korban kekerasan dalam menjalani sejumlah program yang telah disusun bersama antara perempuan korban dengan pendampingnya sehingga target pencapaian tujuan melindungi dan menyiapkan korban dalam kesaksian di pengadilan tidak dapat terwujud dengan baik. b. Sisi Internal PTPAS Dari sisi internal PTPAS dapat dilihat dari sisi petugas yang memberikan layanan dan juga komitmen dari lembaga anggota jejaring PTPAS, hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut: 1) terbatasnya jumlah petugas layanan mengakibatkan perempuan korban kekerasan tidak semuanya dapat terlayani secara terpadu.
8
2) kurangnya perspektif terhadap perempuan korban kekerasan, ketrampilan penanganan kasus dan kapasitas pendampingan menyebabkan layanan PTPAS terhambat. 3) tidak
adanya
internalisasi
instansi/lembaga/organisasi
terkait sehingga
dengan apabila
PTPAS terjadi
kedalam suksesi
kepemimpinan akan berdampak pada lambatnya layanan yang diberikan. 4) adanya perubahan focus/konsentrasi issue yang ditangani oleh instansi/lembaga/organisasi anggota jejaring PTPAS. c. Sisi Eksternal PTPAS Dalam sisi eksternal ini banyak dipengaruhi oleh status, jabatan dan profesi dari pelaku, seringkali mereka menggunakan status, jabatan dan profesi sebagai alat perlindungan sehingga aparat penegak hukum tidak mampu dengan segera melakukan proses hukum sebagaimana mestinya. Sebagai contoh kasus yang melibatkan Raja Kraton Surakarta yang hingga saat ini belum dilakukan pemeriksaan terhadapnya. d. Sisi Kebijakan Pemerintah Pada sisi kebijakan pemerintah ini dapat kita lihat dari kebijakan dan aturan perundang-undangan, hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut: 1) Kebijakan Pemerintah Dalam kebijakan pemerintah ini yang paling sering menimbulkan hambatan layanan PTPAS adalah adanya mutasi pejabat yang berakibat perlu adanya pemahaman lagi terkait dengan kewenangan dan tugas instansi tersebut dalam kapasitasnya sebagai anggota jejaring PTPAS, kemudian adanya perubahan SOP dan tata birokrasi yang memperpanjang serta mempersulit proses rujukan antar anggota jejaring PTPAS dalam layanan terhadap perempuan korban kekerasan tersebut, yang tidak kalah pentingnya lagi adalah pembekuan dan/atau pembubaran organ bentukan pemerintah yang menjadi
rekan
kerja
PTPAS
seperti
Komite
Perlindungan Perempuan dan Anak Surakarta (KIPPAS)
9
Independen
2) Aturan Perundang-Undangan Adanya aturan perundangan yang justru menunjuk ataupun mengamanatkan
pembentukan
sebuah
lembaga
penanganan
perempuan korban kekerasan, misalnya seperti peraturan daerah tentang
trafficking
kota
Surakarta
yang
mengisyaratkan
pembentukan gugus tugas sehingga hal ini menjadikan tabrakan kepentingan layanan terhadap perempuan korban kekerasan.
D. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan ketentuan dari peraturan perundang-undangan, landasan teori, studi pustaka, hasil wawancara dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut: 1. Upaya pemenuhan hak bagi perempuan korban kekerasan fisik dan seksual yang dilaksanakan oleh PTPAS sebagai sebuah jaringan layanan terpadu dari berbagai instansi/ lembaga/organisasi yang masing-masing bekerja dan bertindak sesuai dengan tugas, fungsi dan kapasitasnya masing-masing. Yang meliputi layanan pra judikasi/ sebelum proses hukum, judikasi/proses hukum dan paska judikasi/ proses hukum yang ditengarai dengan rehabilitasi bagi perempuan korban kekerasan. 2. Kendala yang sering timbul dalam dalam pelaksanaan layanan PTPAS dalam pendampingan perempuan korban kekerasan fisik dan seksual dibedakan dalam 4 (empat) sisi. Pertama sisi perempuan korban kekerasan yakni: ketidakterbukaan korban mengenai kondisinya,tidak adanya semangat untuk bangkit dari keterpurukan, korban terlalu menikmati layanan PTPAS (mengalami ketergantungan), dan ketidak taatan perempuan korban untuk menjalani keseluruhan proses pendampingan. Kedua sisi internal PTPAS, yakni keterbatasan jumlah petugas layanan, dan kurangnya perspektif korban pada pendamping korban kekerasan ini. Ketiga adalah sisi eksternal PTPAS, yaitu status
10
sosial, jabatan, dan profesi dari pelaku tindak kekerasan tersebut. Keempat adalah sisi kebijakan Pemerintah, yakni dengan adanya mutasi pejabat yang mengakibatkan perlunya pemahaman ulang, selain itu adanya beberapa perda lain yang justru menyebabkan terjadinya tabrakan kepentingan layanan.
DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU Mukti Fajar ND. 2010.
Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soerjono Soekanto. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Sutopo, 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian, Surakarta: UNS Press. Zainuddin Ali. 2011. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
11