STUDI EKSPLORASI SIKAP MAHASISWA PELAKU PLAGIAT TERHADAP KETIDAKJUJURAN AKADEMIS Hartosujono Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta
ABSTRACT
So far I know, researches for dishonesty academic focus confession from student pass scale. In this research try exploring direct with doer and sacrifice dishonesty academic. With observations and interview methods, dishonesty academic show up from doer and sacrifice perspective. Prediction for any behavior up, because some factor like: take home examinations, with teacher or lecturers who never paper carefully, and bias role. Others factor from who they can victims dishonesty academia like people do not understand his output intellectual is rich own, paper borrowed by other student do not just for model but can plagiarized, and friendship more easy victim dishonesty academic. Output this research from 7 respondent, they are 1 victim plagiarized and 2 plagiarist. When they collect paper for examination, a paper has similarity with other student. That paper showed plagiarized. Any student called, then they interview for dishonesty academic opinion. After interview, they requested confession who plagiarist and victim plagiarized Key words: dishonesty academic, victim plagiarist, plagiarist, and interview
ABSTRAK
Sejauh yang saya tahu, penelitian untuk ketidakjujuran akademik berfokus pengakuan dari skala siswa. Dalam penelitian ini mencoba mengeksplorasi langsung dengan pelaku dan korban ketidakjujuran akademis. Dengan pengamatan dan metode wawancara, ketidakjujuran akademik yang ditampilkan dari pelaku dan korban plagiat. Prediksi untuk setiap perilaku yang ditampilkan dari ketidakjujuran akademis, terjadi karena beberapa faktor seperti: ujian bawa pulang, guru atau dosen yang yang kurang hati-hati dalam mengkoreksi nilai, dan ketidakjelasan aturan yang berlaku. Faktor lain dari korban ketidakjujuran akademis, individu yang bersangkutan kurang memahami bahwa hasil karya akademisnya adalah kekayaan akademis, hasil tugas akademis individu dipinjam oleh mahasiswa lain tidak hanya untuk model tapi bisa diplagiat, dan karena factor persahabatan lebih mudah menjadi korban ketidakjujuran akademis. Hasil penelitian ini dari 7 responden, mereka 1 korban menjiplak dan 2 plagiator. Ketika mereka mengumpulkan hasil akademisnya untuk diperiksa, hasil tugasnya memiliki kesamaan dengan mahasiswa lainnya. Hasil tugas menunjukkan terjadinya plagiat. Setiap mahasiswa tersebut, mereka diwawancarai berkaitan dengan pendapat akademik ketidakjujuran. Setelah wawancara, mereka diminta pengakuan yang menjadi plagiator dan korban plagiat. Kata kunci: ketidakjujuran akademik, korban plagiator, plagiator, dan wawancara
Jurnal SPIRITS,Vol1, No2, Mei 2011.182-195
ISSN : 2087-7641
1
PENDAHULUAN Setiap orang dari waktu ke waktu menyadari pentingnya bersekolah. Diharapkan setelah individu bersekolah, ia memiliki ketrampilan yang dapat menjadi penopang kehidupannya. Pemikiran ini sejalan dari Dweck (dalam Walle, Cron, dan Slocum, 2001) menyatakan bahwa pembelajaran dalam dunia pendidikan memiliki dua tujuan yang penting. Pertama, individu harus memiliki arah tujuan belajar yang benar. Kedua, hasil ketrampilan yang diperoleh individu harus bisa dimanfaatkan untuk mencapai tujuan. Kenyataan yang terjadi, terdapat oknum mahasiswa yang menerima perpindahan ketrampilan dan proses kelulusan dijalani dengan melakukan penipuan. Dengan kata lain, mahasiswa tersebut diragukan, apakah ia benar-benar menguasai pengetahuan dan ketrampilan yang diberikan padanya. Penipuan itu sering disebut ketidakjujuran akademis. Ketidakjujuran akademis memiliki keragaman bentuk, setidaknya dapat dikategorikan jadi dua, yang masih konservatif dan yang didukung teknologi. Ketidakjujuran yang konservatif, misalnya, waktu ujian bertanya pada teman, membuka buku cacatan padahal sifat ujian adalah buku tertutup, menyegarkan ingatan dengan melihat buku cacatan sejenak, dan untuk jenis ujian dibawa pulang mahasiswa mengerjakan tugas dengan meminjam temannya. Kedua, ketidakjujuran jenis ini didukung oleh kemajuan teknologi. Jenis ini memiliki proses yang makin cepat dan makin lancar karena adanya kemajuan dalam bidang teknologi, khususnya foto kopi, komputer dan intemet (Kennedy dkk., 2000). Teknologi itu dapat dijadikan sarana untuk ketidakjujuran akademis yang disebut plagiat, pemrosesan salin dan tempel karya pekerjaan mahasiswa lain kemudian diakui sebagai pekerjaaanya sendiri atau lebih dikenal dengan copy paste. Ketidakjujuran akademis pads institusi dapat bermula dari rincian penjelasan ketidakjujuran akademis yang hanya bersifat garis besar, tanpa memberikan contoh, sanksi yang jelas, dan rinci. Akibatnya baik mahasiswa, guru, maupun dosen yang berada dalam institusi itu mempunyai bias yang besar tentang perilaku ketidakjujuran akademis itu. Mahasiswa dapat melakukan sejumlah ketidakjujuran akademis, tanpa sadar bahwa mereka sudah melakukan pelanggaran. Penipuan dalam proses pendidikan disebabkan sejumlah siswa menginginkan nilai yang bagus tanpa harus belajar dengan keras. Reaksi para guru atau dosen yang kebingungan menghadapi mahasiswanya yang secara terang-terangan melakukan perbuatan ketidakjujuran akademis, dapat ditanggapi oleh mahasiswa di kelas itu bahwa peraturan tidak ditegakkan dengan baik (Schneider, 1999). Seharusnya para guru dan dosen itu tetap teguh dalam menjalankan peraturan itu. Singhall (dalam Rittman, 1996) menyatakan bahwa pendidikan dianggap sebagai suatu pembentuk norma kompetisi untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik, misalnya boleh mengambil Satuan Kredit Semester (SKS) lebih banyak, memperpendek waktu studi, memperoleh sekolah favorit, dan kemudahan mendapat pekerjaan. Akibatnya tidak jarang individu melakukan ketidakjujuran akademis, karena merasa dirinya harus mampu memenangkan kompetisi dan mengendalikan ketidakpastian dari lingkungan. Menurut Rindfleisch dan Heide (dalam Stillerud, 2002), pemaksaan kontrol terhadap lingkungan yang tidak pasti dapat mengarahkan individu menjadi penyebab loncatan rasionalitas yang bermasalah. Sejumlah pakar menyatakan perilaku ketidakjujuran akademis dilakukan oleh mahasiswa yang tidak memiliki waktu cukup untuk mengerjakan tugas, dan malas belajar namun ingin memperbaiki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tanpa harus belajar keras menjelang tes atau ujian (Beadle, 1999; Niels, 2002). Adaptasi mahasiswa baru di universitas termasuk juga untuk perilaku ketidakjujuran Jurnal SPIRITS,Vol1, No2, Mei 2011.182-195
ISSN : 2087-7641
2
akademis. Mahasiswa baru tersebut menjadi saksi sejumlah pelanggaran kejujuranakademis yang dilakukan kakak kelasnya, bahkan mungkin di antaranya telah menjadi korban. Keuntungan yang berhasil diraih dan melihat cara pelaku kejahatan beraksi, si korban diberi model untuk melakukan aksinya sendiri. Mahasiswa jujur yang kebetulan menjadi korban dan saksi pada peristiwa ketidakjujuran akademis akan segera menyadari bahwa ia menjadi skeptis terhadap hasil pekerjaan akademisnya sendiri (Turrens dkk., 2002). Para saksi atau para korban dapat menjadi pelanggar akademis berikutnya, karena individu melihat model yang salah dan mereka belajar dari lingkungan sekolahnya. la menjadi tahu bahwa ada alternatif lain untuk mendapat nilai baik tanpa harus belajar keras. Perbedaan jenis kelamin juga menarik untuk diperhatikan Penelitian dari Tang dan Zuo (dalam Beadle, 1999; Thorpe, Pittenger, Reed, 1999), menyatakan bahwa laki-laki yang berprestasi rendah tapi berhasrat mendapat hasil nilai yang tinggi, lebih suka berperilaku tidak jujur. Sebaliknya, siswa perempuan memiliki perilaku tidak jujur alasannya adanya ketergantungan secara emosi pada orang lain (Chapman, Page, dan Cramer, 2002). Situasi yang dipilih mahasiswa untuk melakukan aksi ketidakjujuran akademis tidak sembarangan. Mereka memilih situasi dan kondisi yang tepat. Brown dkk. (1999), dan Thorphe, Pittenger serta Reed (1999) menyatakan bahwa, mahasiswa lebih menyukai melakukan plagiat untuk ujian atau tugas yang dibawa pulang ke rumah daripada ujian dalam kelas. Perilaku ketidakjujurannya dalam bentuk plagiat akan timbul bila secara situasi, mereka yakin aman dan tidak akan terungkap. Akibatnya ungkap Brown (1999), mereka sangat enggan melakukan ketidakjujuran sewaktu ujian dalam kelas. Namun demikian sejumlah penelitian dari Roberts dan Rabinowitz (dalam Brown, 1999) serta Rusnak (2002), menyatakan bahwa faktor situasional dan kondisi pada akhirnya mempengaruhi mahasiswa melakukan plagiat atau melakukan ketidakjujuran akademis yang lain. Ketidakjujuran akademis respon pemenuhan kebutuhan atau pemanfaatan peluang situasi. Perilaku ketidakjujuran akademis dipengaruhi oleh konstektual, rangsangan respon dari faktor luar dan yang utama tanggapan dari individu melihat peluang tersebut untuk melakukannya (Brown, 1999; Stillerud, 2002). Individu dapat merasakan tidak bersalah meski tahu hal itu dilarang, karena kebutuhan yang terjadi dalam dirinya didukung oleh kondisi yang ada (MacKinnon, dalam Baron dan Byrne, 1987; Biddle dalam Stillerud, 2002). Peran yang harus dijalankan sedemikian penuh konflik dan aturan yang ada memiliki ketidakjelasan, mendorong timbulnya tekanan tersendiri untuk berperilaku yang jahat seperti penipuan akademis, penipuan dan pelanggaran dari aturan (Rindfleisch dan Heide dalam Stillerud, 2002). METODOLOGI Pelaku plagiat terdapat 13 orang, korban plagiat 10 orang dan yang tidak melakukan plagiat adalah 53 orang. Janis kelamin pelaku plagiat perempuan 2 orang, laki-laki korban plagiat berjumlah 3 orang, dan perempuan korban plagiat perempuan 2 orang. Subjek adalah mahasiswa peserta mata kuliah Psikologi Sosial di salah satu Fakultas Psikologi Universitas Swasta di Yogyakarta (lokasi penelitian ini ada pada redaksi). Sejumlah mahasiswa tersebut kedapatan melakukan plagiat, salah satu bentuk dari ketidakjujuran akademis. Pelaku plagiat tersebut melakukan plagiat ketika ia, mengambil tanpa ijin, atau meminjam hasil karya mahasiswa lain dan diakui sebagai milik pribadi. Dengan dukungan teknologi komputer, seorang mahasiswa hanya mengganti nama penulis asli - yaitu teman di kelas - dengan namanya sendiri. Jurnal SPIRITS,Vol1, No2, Mei 2011.182-195
ISSN : 2087-7641
3
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif, yang bertujuan memberikan gambaran mengenai realitas ketidakjujuran akademis dari mahasiswa pelaku. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah tugas-tugas yang diberikan pada mahasiswa, observasi, dan wawancara sebagaimana Tabel 1. Tabel 1. Panduan Wawancara Pelaku Plagiat No. 01. 02. 03. 04. 05.
Panduan Wawancara
Apakah Anda mengetahui hasil karya akademis merupakan kekayaan intelektual pribadi? Bagaimana pendapat Anda mahasiswa yang mendapatkan nilai A hasil dari menyontek? Bagaimana pendapat Anda, apakah sebenarnya para dosen yang memberikan mahasiswa tugas akan benar-benar dibaca dan diteliti? Ceritakan pada saya, mahasiswa dapat diterima melakukan plagiat karena kondisi tertentu? Bagaimana pendapat Ands, terhadap perasaan seseorang yang kemampuan hasil akademisnya diperoleh dari menyontek?
Mahasiswa yang kedapatan melakukan plagiat dipanggil dan diwawancarai. Perilaku plagiat ini dapat secara sederhana diketahui ketika para mahasiswa mengumpulkan tugasnya, terdapat sejumlah tanda yang mencurigakan pada tugas atau makalah yang dikumpulkan mahasiswa. Tanda tersebut antara lain berupa: pembukaan kalimatpertama, susunan kalimat, kesamaan letak kesalahan, ciri-ciri tulisan, anak judul, format penulisan, catatan kaki yang sama, daftar pustaka dan lain-lain. Tanda-tanda pada makalah tersebut sebagian besar sama, antara satu mahasiswa dengan mahasiswa lainnya. Mahasiswa yang kedapatan melakukan plagiat pada mata kuliah Psikologi Sosial tersebut dipanggil dan diwawancarai. Wawancara terhadap jumlah para pelaku plagiat bisa bervariasi, bergantung pada kesamaan makalah atau hasil laporan yang dikumpulkan mahasiswa ke pengampu. Para mahasiswa tersebut dipanggil dan diwawancarai dengan sejumlah pertanyaan berkaitan dengan ketidakjujuran akademis. Ketika pemanggilan dan wawancara dilakukan, peneliti tidak tahu siapa mahasiswa pelaku plagiat dan korban plagiat. Setelah usai wawancara, pewawancara menunjukkan makalah milik mereka, dan menanyakan siapa yang melakukan plagiat dan siapa yang menjadi korban plagiat. Wawancara untuk para mahasiswa tersebut menggunakan sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan ketidakjujuran akademis. Wawancara itu dibuat berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, seperti pemahaman siswa bahwa hasil karya akademis terhadap kekayaan intelektual pribadi, mengapa seseorang melakukan ketidakjujuran akademis, darimanakah seseorang mendapat model untuk melakukan ketidakjujuran akademis, apakah hanya orang pandai atau justru sahabat yang sering dijadikan objek ketidakjujuran akademis, bagaimana situasi dan kondisi yang dipilih oleh seseorang melakukan ketidakjujuran akademis, tugas apa saja yang menjadi sasaran ketidakjujuran akademis. Elemen yang disertakan dalam wawancara sebagai unsur yang saling menguatkan dan menjadi konsistensi secara bagian adalah afeksi, kognisi, dan konasi. Wawancara ini memiliki 15 pertanyaan, yang terdiri dari pertanyaan pokok dan pertanyaan konsistensi. Sejumlah pertanyaan konsistensi memiliki dua fungsi. Pertama berfungsi memperjelas jawaban yang diberikan atau probing. Fungsi kedua, sebagai periksa Jurnal SPIRITS,Vol1, No2, Mei 2011.182-195
ISSN : 2087-7641
4
ulang, apakah jawaban responden memiliki persamaan dengan pertanyaan pokok. Hasil wawancara dianalisis dari basil katakata, ungkapan dan kalimat-kalimat yang berkaitan dengan penelitian. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian ini memberikan pandangan dari pelaku plagiat dan korban plagiat, terhadap ketidakjujuran akademis sebagaimana diberikan pada Tabel 2. Hasil wawancara ini memberikan gambaran bagaimana mahasiswa melakukan ketidakjujuran akademis dan memberikan, bagaimana mahasiswa dapat menjadi korban plagiat. Adapun hasil dari wawancara pelaku ketidakjujuran akademis dan korbannya memberikan hasil sebagai berikut. Para subjek korban plagiat tidak tahu, bahwa hasil karya akademisnya sebagai kekayaan intelektual pribadi. Mereka menganggap, tugas dikerjakan, karena ada waktu luang untuk mengerjakan. Saat pelaku plagiat meminjam, oleh korban plagiat dianggap rasa solidaritas terhadap teman atau sahabat. Perilaku ketidakjujuran akademis relatif mudah dilakukan karena sejumlah teman dan sahabat lingkungan kelas merelakan tugasnya untuk dipinjam. Sahabat yang dipilih untuk dipinjam tugasnya, adalah seseorang dianggap lebih paham dalam mengerjakan tugas tersebut. Peminjaman tugas tidak berarti selalu dilakukan plagiat secara sama persis melainkan hanya sebagai contoh dan gambaran cara mengerjakan. Ketidakjujuran akademis, menyontek atau melakukan plagiat merupakan hal yang sah dilakukan oleh mahasiswa selama tidak diketahui oleh pengampunya. Ketidakjujuran akademis atau plagiat boleh dilakukan, namun tidak boleh sama persis dengan karya tulis aslinya. Ada tambahan pada makalah yang bersifat membedakan dari aslinya. Namun di sisi lain, mahasiswa lebih puas mendapat nilai A atas usahanya sendiri, bukan hasil dari ketidakjujuran akademis. Tugas yang dikembalikan dosen, mahasiswa sering membandingkan hasil nilai dirinya dengan orang lain. Mahasiswa yang jeli menganggap nilai yang diberikan hanya formalitas saja, hal itu dapat dilihat pada makalah atau lembar jawaban yang dikembalikan. Makalah itu terkadang hanya ditandatangani, hasil nilai sama untuk satu kelas, sedangkan ada mahasiswa yang hanya menulis soal. Tidak jarang mahasiswa mendapat informasi dari kakak kelasnya bahwa dosen tertentu tidak memeriksa hasil pekerjaan mahasiswanya. Ciri lain anggapan mahasiswa bahwa dosen tidak meneliti tugasnya, adalah hasil nilai tanpa diikuti transparansi, sedangkan nilai ujian final tetap minim, berkisar C dan D. Hal-hal di atas menjadi faktor pendorong plagiat bila ia bertemu dosen yang sama, namun mata kuliah yang berbeda. Dosen memberi tugas pada mahasiswa masih dalam batas yang wajar. Anggapan dosen terlalu banyak memberi tugas berlebihan, bisa disebabkan mahasiswa tersebut sudah bekerja atau berkeluarga. Tabel 2. Identitas Partisipan Pelaku Plagiat No. Subjek 42 3 32 40 4
Sekse Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki Perempuan
Usia 36 21 19 22 20
Status Sudah bekerja Mahasiswi Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswi
Jurnal SPIRITS,Vol1, No2, Mei 2011.182-195
Partisipasi Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas ISSN : 2087-7641
5
60 65 54 52
Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki
22 20 23 23
Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa
Tuntas Tuntas Gugur Gugur
Mahasiwa tidak mengerjakan tugas bisa disebabkan berbagai hal, misalnya: karena malas, tugas terlalu banyak, dan terlalu aktif di UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Salah satu ketidakjujuran akademis dapat berupa, mahasiswa melakukan pendekatan pada dosennya. Kedekatan dosen dengan mahasiswa dapat menyebabkan nilai ujian akhir yang maksimal. Perilaku dosen yang dapat mendorong mahasiswa melakukan ketidakjujuran akademis, terjadinya ketidakdisiplinan tenaga pengajar, misalnya, mahasiswa banyak sudah hadir namun dosen justru datang terlambat. Penilaian bahwa di kelas terjadi ketidakjujuran dan kejujuran lebih mengarah pada dosen yang dianggap sebagai sumber aturan hukum. Peran dosen menjadi sangat menentukan di kelas, bukan mengacu pada aturan yang baku. Dengan kata lain, secara teori dapat berbeda dengan pelaksanaan di kelas. Aturan di fakultas dengan pernyataan bahwa pelaku ketidakjujuran dapat ditindak tegas, namun bila dosen pengampunya tidak melakukan aturan tersebut, maka mahasiswaberkemungkinan besar melakukan ketidakjujuran akademis. Tindakan ketidakjujuran akademis bisa dibenarkan, karena latar belakang situasi dan kondisi yang buruk, misalnya: masalah keluarga, kematian orang tua, bencana alam di daerah asal mahasiswa. Tindakan ketidakjujuran akademis atau plagiat lain bisa ditoleransi, adalah kondisi mahasiswa yang sudah berkeluarga. Sebaliknya ketidakjujuran akademis kurang dapat diterima, seperti: malas, merasa waktu yang diberikan dosen terlalu pendek dan banyak tugas. Anggapan mahasiswa melakukan plagiat dan ketidakjujuran akademis merupakan hal yang kreatif dan sebagai salah satu upaya bersedia mengerjakan. Hal yang penting adalah hasil ketidakjujuran akademis tersebut tidak ketahuan oleh dosen pengampu. Perilaku ketidakjujuran akademis, seperti, menyontek dan plagiat tidak dapat mengangkat nilai secara drastis. Hubungan antara perilaku ketidakjujuran akademis dengan peningkatan nilai, ternyata dianggap tidak jelas. Ada beberapa faktor bila telah melakukan ketidakjujuan akademis belum tentu nilai juga naik, seperti: kemampuan kualitas pribadi jelas tidak maksimal, seringkali isi contekan yang sudah disiapkan tidak keluar di ujian, bertanya para orang lain sangat bergantung pada kemampuan jawaban orang tersebut, dan apakah dosen memperhatikan proses belajar mahasiswanya. Indeks Prestasi dan untuk masa depan mahasiswa dalam bekerja, tidak berhubungan dengan hasil nilai yang tertera dalam Indeks Prestasi (Transknp nilai - penulis), apalagi yang diperoleh dari plagiat dan menyontek. Pada pekerjan, Indeks Prestasi lebih dianggap sebagai syarat dasar sedangkan hasil tes wawancara dianggap lebih menentukan. Pendapat yang lain bahwa kemampuan seseorang dalam bekerja lebih ditentukan pada kreatifitas individu dan adaptasinya dengan lingkungan. Para mahasiswa menyatakan selain timbulnya perasaan iri ketika melihat keberhasilan orang lain dalam meraih prestasinya dengan plagiat. Kepuasan ini terletak pada usaha yang mandiri dan dapat lulus pada mata kuliah tersebut. Plagiat tetap dihargai sebagai suatu usaha pribadi, meskipun bila berhasil dirasa tidak meniusakan, karena tidak murni dari diri sendiri. Perilaku ketidakjujuran akademis di ujian cenderung dihindarkan sebab lebih dianggap tindakan yang beresiko, berkonsekuensi tinggi, dan dapat timbul kecemasan dari individu Jurnal SPIRITS,Vol1, No2, Mei 2011.182-195
ISSN : 2087-7641
6
sendiri. Meskipun demikian perilaku menyontek tetap dilakukan, karena sudah kebiasaan. Menyontek pada waktu ujian, lebih disukai pada teman yang dianggap pandai. Penyontekan dari orang lain juga mengandung resiko, yaitu hanya diberi separuh jawaban dan tidak jarang jawabannya hanya tipuan. Sebaiknya dikombinasi selain belajar sendiri jugs menyontek teman, dengan demikian menghindarkan penipuan serta jawaban yang diberikan lebih lengkap. Ketidakpuasan dari hasil ketidakjujuran akademis masih tetap dirasakan, para subyek merasa hasil sendiri lebih murni meskipun dalam tingkatan nilai bukan yang tertinggi. Kemandirian dan kemampuan mengerjakan ujian mandiri dirasa lebih memuaskan dibandingkan mengandalkan orang lain. Tingginya kecemasan yang dialami dan merasa tidak nyaman pada diri sendiri setelah nilai keluar, menyebabkan menyontek, plagiat, dan ketidakjujuran akademis lain tidak terlalu menjadi prioritas utama. KESIMPULAN DAN DISKUSI Hasil dari wawancara menunjukkan mahasiswa tidak menyadari hasil karya akademis merupakan kekayaan intelektual pribadi. Kebutuhan gambaran atau contoh cara mengerjakan tugas atau ujian menyebabkan perilaku plagiat timbul. Ketidakjujuran akademis terjadi dan dimaklumi, karena sejumlah faktor berikut ini, yaitu: kondisi sakit, hal-hal buruk yang menimpa keluarga, aktifitas mahasiswa yang berlebihan, sudah menikah atau bekerja, malas, terdesak oleh waktu, dan menumpuknya tugas yang terlalu banyak. Kondisi lingkungan kelas yang memiliki toleransi melakukan ketidakjujuranakademis memudahkan seseorang melakukannya. Persahabatan mahasiswa yang saling memahami sulitnya membuat tugas atau ujian bawa pulang menyebabkan toleransi perilaku ketidakjujuran akademis yang tinggi. Seorang pelaku ketidakjujuran akademis atau plagiat akan dengan mudahnya meminjam tugas dari sejumlah temannya untuk diplagiat sebagian kecil, setengahnya atau bahkan seluruhnya. Ujian dan tugas bawa pulang rawan terhadap perilaku ketidakjujuran akademis jenis plagiat. Plagiat lebih disukai karena relatif aman dan memanfaatkan kelemahan dari pihak dosen yang sibuk, mungkin tidak memeriksa tugas mahasiswa dengan rinci satu persatu. Selanjutnya, plagiat digemari karena beberapa tugas yang berkelanjutan dapat dianggap hanya sebagai suatu tugas yang bersifat formalitas, dosen hanya memberi tanda-tanda tertentu yang sama untuk seluruh kelas, menandatangani dan kurang memberi suatu perbaikan yang berarti. Hal-hal yang diuraikan di atas menyebabkan menjamurnya perilaku plagiat. Dari segi resiko, mahasiswa lebih aman melakukan plagiat atau tugas-tugas individu yang tidak dikerjakan di dalam kelas, tapi bisa dibawa pulang (Howell, 1938; dalam Kurtines dan Gewirtz, 1984). Hal ini sejalan dengan wawancara bahwa perilaku ketidakjujuran akademis pada waktu ujian dihindari, karenaberkaitan dengan kecemasan dan resiko yang ditanggung. Kecemasan dari perbuatan ketidakjujuran akademis yang langsung dilakukan di kelas, seperti: melihat catatan waktu ujian atau menyontek dengan kertas kecil, dapat berlanjut dengan timbulnya ketakutan, ada rasa bersalah, tidak nyaman, rasa was-was, berdebar-debar. Menyadari bahwa penyontekan itu beresiko dan berbahaya, maka waktu ujian, mereka lebih suka bertanya teman. Seberapa jauh penyesuaian hati nurani seorang pelaku plagiat? Hal ini sangat bergantung kebiasaan yang dilakukannya. Pernyataan wawancara bahwa melakukan plagiat sangat bergantung pada kebiasaan. Individu yang tidak memahami perilaku ketidakjujuran akademis Jurnal SPIRITS,Vol1, No2, Mei 2011.182-195
ISSN : 2087-7641
7
sebagai suatu perbuatan tidak terpuji, akan melakukan terus karena ketidaktahuannya. Orang yang mengetahui perilaku plagiat merupakan hal yang tabu di bidang akademis, mungkin akan melakukan satu atau dua kali dengan mengalami pertentangan dalam hati nuraninya. Bisa jadi pertentangan dengan hati tidak tergantung lagi pada perilaku plagiat namun dapat juga sebaliknya, menganggap plagiat sebagai suatu jalan untuk memenuhi kebutuhannya. Bila anggapan plagiat sebagai suatu kebutuhannya menang, maka ia butuh membiasakan plagiat yang terus menerus agar hati nuraninya bisa menerima. Untuk penelitian selanjutnya, penggunaan skala moralitas perlu disertakan. Para mahasiswa pelaku ketidakjujuran akademis sudah memahami aturan yang ada, namun karena bias dalam pelaksaan dan tidak disertai sanksi yang tegas, mereka melakukan "lompatan rasionalitas" agar mencapai kemenangan pribadi. Untuk itu penelitian selanjutnya perlu penyertaan skala moralitas. SARAN Ketidakjujuran akademis tercipta karena situasi dan kondisi serta hasrat individu yang saling mendukung. Korban ketidakjujuran akademis bisa disebabkan, karena ketidaktahuan penghargaan terhadap kekayaan intelektual yang dimilikinya. Sebaliknya dari pihak pelaku, ketidakjujuran akademis dilakukan nuraiinya menjadi suatu motivasi untuk hasil yang lebih baik. Yaitu untuk karena harapan yang besar dan tinggi. Sebenarnya mereka tetap memiliki batas internal. Batas internal itu berkaitan dengan hati nurani dan kepuasan bahwa dirinya mampu menyelesaikan sesuatu. Hal ini membuktikan bahwa para mahasiwa pelaku plagiat masih dapat diarahkan dan dibina. Pembenahannya dapat dilakukan dengan memperjelas kekayaan intelektual dan mensosialisasi aturan diikuti dengan penegakan sanksi, serta peningkatan kesadaran diri.
DAFTAR PUSTAKA Baron, R. A. dan Byrne, Donn (1987). Social Psychology: Understanding Human Interaction, 5th Edition, Massachuseetts: Allyn and Bacon, Inc. Beadle, D.J. (1999). What type of Students More Likely to Cheat? Departement of Psychology - Missouri Western State College. http://clearinghouse.mwsc.edu/manuscripts/96.asp Brown, K., Ball, M., Bowen, A., dan Dumbel, B., (1999). The Influence of Spesific Situasional Contexts on theLikelihood of Cheating. Situasional Contexts on the Likelihood of Cheating Academic Dishonesty at UNC: A Collaborative Study Part II. http://www.unc.edu/–bmize/ teaching/english12/academic dishonesty/index.html Chapman, M., Page, S., dan Cramer, K.M. (2002) Gender and Assessment of Academic Cheating: Gilligan's Justice and Care Orientations. University of Windsor. Journal of Psychology and the Behavioral Sciences. Vol. 16. http://alpha.fdu.edu/psychweb/ Voll6/Chapman.pdf Kennedy, K., Nowak, S., Raghuraman, R., Thomas, J., dan Davis, S., (2000). Academic Dishonesty and Distance Learning: Student and Faculty Views. College Student Journal. Volume 34, Issue 2. Jurnal SPIRITS,Vol1, No2, Mei 2011.182-195
ISSN : 2087-7641
8
http://www.findarticles.com/cf.0/mOFCRJ234/63365187/1 pl/articlejhtml Niels, G.J. (2002). Academ IQ Practices, School Culture and I Cheating Behavior. Winchester Thurston School. Rittman, A. L. (1996). Academic Dishonesty among College Students. University of California Davis, Student Judicial Affairs Website. http://www.mwsc.edu/ psychology/research/psy302/ fa1196/andi rittman.html Rusnak, J.R., Cramer, K.M., Page, S., dan Campbell, L G. (2002). Academic Indiscretion in Hypothetical Scenarios: Identifying Situasional Variables Conducive to Cheating. Journal of Psychology and the Behavioral Sciences. Vol. 16. http://alpha.fdu.edu/psychweb/ Vol16/Rusnak.pdf Schneider, A. (1999). Why Professors Don't Do More to Stop Students Who Cheat. The Chronicle ofHigher Education. http://chronicle.com Stillerud, B. (2002). Behavioral Assumptions in Marketing Organizations: An Explorations of Dimensions of Governance, Role Stress and Organizational Outcomes. University of Kentucky. Gatton College of Business and Economics., unpublished manuscript. Thorpe, M. F., Pittenger, D. J., & Reed, B. D. (1999). Cheating the researcher: A study of the relation between personality measures and self-reported cheating. College Student Journal, 33, 49-59. http://www.findarticles.com/cf 0/ mOFCR/1 33/62894053/p 1 / article jhtml Turrens, J.F.; Staik, I.M.; Gilbert, D.K.; Small, W.C. and Burling, J.W. (2002). Undergraduate Academic Cheating as a Risk Factor for Future Professional Misconduct. In: Proceeding of the First O.R.I. Research Conference on Research Integrity, Dept. of Health and Human Service, pp.49-52. http://ori.dhhs.gov/multimedia/ acrobat/papers/turrens.pdf Walle, D.V.; Cron, W.L.; Slocum, J.W.; (2001). The Role of Goal Orientation Following Performance Feedback. Journal ofApplied Psychology. Volume 86, No. 4, 629-640. American Psychological Association
Jurnal SPIRITS,Vol1, No2, Mei 2011.182-195
ISSN : 2087-7641
9