DINAMIKA PSIKOLOGIS KETIDAKJUJURAN AKADEMIK PADA CALON PENDIDIK
PUBLIKASI ILMIAH Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat guna Memperoleh Gelar Magister Psikologi
Oleh: HERDIAN S 300 1400 10
PROGRAM MAGISTER PSIKOLOGI SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2016
i
ii
iii
DINAMIKA PSIKOLOGIS KETIDAKJUJURAN AKADEMIK PADA CALON PENDIDIK Herdian1, Sri Lestari2 Sekolah Pascasarjana, Progam Studi Magister Sains Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A. Yani POS 1 Pabelan Surakarta 57102 Email:
[email protected],
[email protected]
Abstrak
Untuk menjadi seorang guru maka harus memiliki nilai-nilai karakter salah satunya kejujuran. Namun yang terjadi pada saat ini pada calon pendidik adalah perilaku ketidakjujuran akademik. Tujuan penelitian ini untuk menggambarkan dinamika psikologis ketidakjujuran akademik pada calon pendidik di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Anak Usia Dini di Universitas X. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologi dengan alat pengumpulan data dengan kuesioner dan wawancara. Subjek penelitian adalah mahasiswa semester 3, 5, dan 7 yang sedang menempuh akademik di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Prodi PAUD. Hasil penelitian menunjukan mahasiswa memiliki nilai kejujuran yang diperoleh dari dalam keluarga, luar keluarga dan Al Qur’an dan Hadits. Namun nilai kejujuran tidak diaplikasikan dalam kegiatan akademik di kampus. Ketidakjujuran akademik terjadi pada calon pendidik saat mengerjakan tugas, Ujian Mid semester dan ujian akhir semester. Situasi yang menjadi faktor melakukan ketidakjujuran akademik diantaranya karena kurangnya pengawasan dan pengaruh teman. Tujuan ketidakjujuran berorientasi pada proses dan berorientasi pada hasil. Mahasiswa sadar bahwa ketidakjujuran membuat ketidaknyamanan. Sedangkan pada mahasiswa yang jujur faktor protect terhadap ketidakjujuran diantaranya karena adanya nilai spiritual dan menjadikan jujur sebagai prinsip. Penyebab/ pendorong ketidakjujuran akademik pada mahasiswa banyak dipengaruhi oleh teman menyontek, ingin nilai yang baik, dan karena tidak bisa menjawab. Bentuk hukuman yang diberikan meliputi peringatan dan hukuman. Dampak hukuman berupa ketidaknyamanan psikologis dan sosial. Hukuman dianggap efektif meskipun ada yang tidak efektif. Dampak hukuman terhadap perilaku ketidakjujuran yaitu akan tidak akan melakukannya lagi, akan melakukan jika teman-teman melakukan ketidakjujuran dan tetap akan melakukannya lagi. Kata Kunci: Ketidakjujuran Akademik, Calon Pendidik, Dinamika Psikologis. Abstract
To become a teacher then a prospective educator must have character values. One of them is honesty. But nowadays showed that some of prospective educators do dishonesty on their academic. The purpose of this study is to describe the psychological dynamics of academic dishonesty on prospective educators in the Faculty of Education Studies Program Early Childhood Education at the University of X. This study used a qualitative phenomenological approach. Questionnaires and interviews as the tool of data collection. Subjects were students of semesters 3, 5, and 7, who are taking an academic in the Faculty of Education early childhood program. The results showed that the student has obtained the values of honesty within the family, outside of the family, the Qur'an and Hadith. But the value of honesty is not applied in their academic activities on campus. Academic dishonesty occurs at a prospective educator while working on assignment, Exams Mid term and final exams. The situation that becomes the factor to commit academic dishonesty among others are lack of 1
supervision and the influence of friends. Process-oriented and results-oriented are the main interest in committing academic dishonesty. Students are aware that dishonesty create discomfort. While the honest students protect or against the dishonesty because of their spiritual values and they make honest as their principle. Cause / driver of student academic dishonesty at much influenced by friends cheating, a desire to get a good value, and the disability in answering questions. A form of punishment provided include warnings and penalties. Impact of punishment in the form of psychological and social discomfort. Punishment is considered effective even though there were not effective punishment . Impact penalties against dishonesty behavior that the students would never do it again, would do if friends do and remain to do it again. Key word: Academic Dishonesty, Teachers Candidate, Psychological Dinamics 1. PENDAHULUAN Di Indonesia standar untuk menjadi seorang pendidik tercantum dalam PP pasal 28 nomor 19 tahun 2005 ayat 3 yang berisi kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi: Kompetensi pedagogik, Kompetensi kepribadian, Kompetensi profesional, dan Kompetensi sosial. Manurung (2012) menjelaskan penjabaran dari kompetensi kepribadian didalamnya mencakup kejujuran. Dimana sebagai seorang pendidik, kewajiban guru adalah mengajarkaan kejujuran didalam kelas yang dibuktikan dengan memberikan keteladanan. Dipertegas oleh Salabi (2014) bahwa sekolah tidak hanya fokus pada ilmu pengetahuan peserta didik yang unggul tapi juga bertanggungjawab terhadap karakter dan kepribadian. Peraturan yang tercantum dalam PP tersebut merupakan standar mutlak untuk menjadi lulusan pada jenjang perguruan tinggi dan kompetensi yang harus dimiliki oleh mahasiswa khususnya calon guru. Guru merupakan seorang pendidik yang akan mencetak calon penerus masa depan. Jika calon pendidik tidak memiliki kepribadian terkait dengan kejujuran maka akan berdampak pula pada peserta didik karena penerapan kejujuran dalam bentuk keteladanan. Penelitian tentang kejujuran pada calon guru pernah dilakukan oleh Arianto (2013). Subjek meliputi 132 mahasiswa semester 2, 4, dan 6 di Program studi pendidikan biologi Universitas Mataram. Hasilnya menunjukan bahwa kejujuran pada mahasiswa cenderung menurun ketika jenjang semesternya meningkat. Kejujuran sosial yang dilakukan mahasiswa berkaitan erat dengan kejujuran akademik. Dari penelitian tersebut juga diperoleh hasil bahwa wanita memiliki tingkat kejujuran sosial dan kejujuran akademik lebih tinggi daripada pria. Menarik kesimpulan dari penelitiannya Arianto, bahwa ketidakjujuran pada calon guru merupakan bentuk dari menurunnya kompetensi kepribadian yang seharusnya dimiliki oleh guru. Murphy dan Banas (2009) menyatakan bahwa kejujuran akademik berarti bersikap jujur dalam setting pendidikan. Kibler (1993) mendefinisikan ketidakjujuran akademik sebagai bentuk kecurangan dan plagiarism yang melibatkan siswa dalam memberi atau menerima bantuan yang 2
tidak sah dalam latihan akademis atau menerima uang untuk pekerjaan yang bukan dilakukan oleh mereka sendiri. Jones (2011) mengungkapkan bahwa ketidakjujuran akademik mencakup perbuatan menyontek, menipu, plagiarisme, dan pencurian ide, baik yang dipublikasikan atau tidak dipublikasikan. Kecurangan merupakan bagian dari perilaku tidak jujur. Kecurangan akademik adalah masalah yang fundamental bagi integritas akademik di perguruan tinggi (Brimble dan Clarke, 2005). Murphy dan Banas (2009) menjelaskan bentuk dari plagiarisme adalah; (1) Membeli atau menyalin pekerjaan orang lain (seperti makalah) dan mengkalim sebagai hasil kerja sendiri, (2) Menyalin dari kertas orang lain selama kuis atau ujian, (3) Membayar orang lain untuk mengerjakan tugas sekolah sendiri. Faktor yang melatarbelakangi terjadinya ketidakjujuran akademik adalah faktor motivasional (McCabe,1999; Murdock dan Anderman, 2006; Handayani & Baridwan, 2013; Nursani & Irianto; 2013) dan Faktor kontekstual (maymon, benjamin, stavsky, shoshani dan roth, 2015; McCabe & Trevino, 1997; Jordan, 2001). McCabe (1999) mengatakan bahwa motivasi umum terkait keterlibatan siswa dalam ketidakjujuran akademik dilatarbelakangi oleh tekanan untuk mendapatkan nilai yang lebih tinggi, keinginan untuk unggul, kurangnya persiapan dan tekanan untuk mendapatkan pekerjaan setelah selesai studi. Faktor yang memprediksi kecurangan sebagai pengaruh perilaku tidak jujur melalui tiga mekanisme motivasional: (a) tujuan siswa, (b) harapan siswa untuk mencapai tujuan-tujuan, dan (c) penilaian siswa dari biaya terkait dengan pencapaian tujuan-tujuan Murdock dan Anderman (2006). Kecurangan yang terjadi pada mahasiswa khususnya dalam ujian menurut Purnamasari (2013) meliputi meniru hasil kerjaan teman, bertanya pada teman saat pengerjaan ujian, mencari bocoran soal, membawa catatan dalam bentuk kertas, pada anggota badan atau pada pakaian ke dalam ruang ujian, menerima jawaban dari pihak luar, tukar menukar pekerjaan tugas dengan teman, memerintahkan atau meminta bantuan orang lain untuk menyelesaikan tugas ujian di dalam kelas atau tugas penulisan paper dan take home test. Kecurangan pada mahasiswa dipengaruhi oleh hal-hal yang mendukung untuk melakukan kecurangan salah satunya oleh teman (Nursalam, munirah dan Bani, 2013). Penelitian Warsiyah (2013) pada 92 mahasiswa muslim di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, Tingkat Keimanan dan Prokrastinasi Akademik secara tidak langsung (melalui Sikap terhadap menyontek) memiliki pengaruh yang signifikan pada perilaku menyontek. Nursalam, munirah dan Bani (2013) mengatakan bahwa Faktor-faktor yang menyebabkan mahasiswa melakukan kecurangan akademik adalah dipengaruhi oleh mahasiswa lain yang menyontek, ujian yang sulit, waktu pengerjaan yang singkat, tidak memahami materi, tidak percaya diri dengan hasil kerja sendiri, keinginan untuk memperoleh hasil yg bagus dan tidak berlakunya hukuman. 3
Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) merupakan salah satu fakultas yang ada di Universitas X di Purwokerto. Ada 9 Program studi yang menyelenggarakan pendidikan yang akan mencetak calon pendidik. Berdasarkan studi pendahuluan dengan salah satu dosen FKIP diperoleh informasi terdapat ketidakjujuran akademik pada mahasiswanya. Bentuk dari ketidakjujuran akademik yang dilakukan mahasiswa yaitu dengan menyalin tugas makalah temanya sendiri, kerjasama dalam ujian, membawa catatan ke dalam kelas saat ujian dan kasus beberapa skripsi yang diduga dikerjakan oleh orang lain. Dosen yang melihat praktik kecurangan di dalam kelas biasanya memberikan teguran dan menarik lembar jawab sebagai tanda tidak diperbolehkan untuk meneruskan ujian. Mahasiswa yang melakukan kecurangan menyatakan dilatarbelakangi oleh soal ujian yang sulit dan ingin menghindari nilai yang tidak memuaskan. Melihat kondisi tersebut, kecurangan akademik yang dilakukan oleh mahasiswa sebagai calon pendidik menarik untuk ditindaklanjuti untuk dilakukan penelitian terkait dengan dinamika psikologisnya. Berdasarkan latar belakang diatas maka masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah dinamika psikologis ketidakjujuran akademik pada calon pendidik di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Anak Usia Dini di Universitas X. Keaslian atau orisinilitas dari penelitian ini yaitu pada subjek yang merupakan calon pendidik khususnya pendidikan dasar informal. Fokus penelitiannya adalah pemerolehan nilai kejujuran pada calon pendidik? bagaimana terjadinya ketidakjujuran akademik pada calon pendidik? apa yang mendorong calon pendidik melakukan ketidakjujuran akademik? dan bagaimana bentuk
punishment yang diberikan serta
efeknya terhadap psikologis? Tujuan penelitian ini untuk menggambarkan dinamika psikologis ketidakjujuran akademik pada calon pendidik di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi PG PAUD di Universitas X. 2. METODE Untuk jenis penelitian ini metode yang digunakan adalah kualitatif karena hasilnya dijabarkan secara eskploratif. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah fenomenologi karena mengungkap pegalaman mahasiswa sebagai calon pendidik dalam menghadapi situasi yang dimungkinkan untuk tidak jujur dalam mengerjakan tugas-tugas kuliah. 2.1 Karakteristik Partisipan Partisipan informan primer dalam penelitian ini yaitu mahasiswa calon pendidik Prodi PAUD semester 3, 5, dan 7. Alasan pemilihan informan yaitu disesuaikan dengan waktu pengambilan data dan standar umum semester dari awal memasuki perkuliahan (semester 1) hingga pada tahap penulisan skripsi
(semester 7). Screening dilakukan untuk mendapatkan partisipna melalui
kuesioner Vignette dari Lestari dan Asyanti (2015) yang telah di adaptasi sebelumnya. Berdasarkan hasil kuesioner Vignette yang dilakukan menunjukan tingkat kejujuran mahasiswa dalam 4
akademiknya. Mahasiswa yang memiliki tingkat kejujuran rendah yang dijadikan partisipan dalam pengambilan data lebih dalam. Hasil kuesioner Vignette yang telah di analisis terdapat 12 partisipan yang memiliki tingkat kejujuran rendah dan 12 mahasiswa dengan kejujuran tinggi yang dijadikan partisipan. 24 mahasiswa diberikan kuesioner terbuka sebagagai tambahan informasi selanjutnya wawancara mendalam dilakukan pada 6 mahasiswa dengan kejujuran rendah. Tidak ada variasi jenis kelamin dalam penelitian ini
karena seluruh mahasiswa PGPAUD berjenis kelamin
perempuan. Penelitian ini juga mengambil data dari 2 dosen sebagai informan sekunder. 2.1 Metode Pengumpulan data 2.1.1 Kuesioner Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner Vignette dan kuesioner terbuka. Alasan menggunakan kuesioner vignette metode penggalian data secara proyektif dan memiliki keunggulan yaitu mengungkap nilai-nilai dan keyakinan pada responden (Finch, 1978). Metode ini digunakan untuk mengungkap pengalaman mahasiswa terkait nilai ketidakjujuran pada setting yang telah ditentukan. Metode vignette yang digunakan merupakan penyesuaian dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lestari dan Asyanti (2015). Penyesuaian terletak pada settingnya yaitu Pengerjaan tugas makalah, Ujian MID dan UAS. Setting tersebut merupakan setting yang sering diakukan mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan 2.1.2 Wawancara Alat pengambilan data yang digunakan adalah dengan wawancara mendalam. Dalam penelitian ini teknik wawancara yang dilakukan bersifat semi terstruktur, yaitu jenis wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara, namun pertanyaan yang di ajukan secara semu dan bersifat lebih fleksibel serta dapat di sesuaikan dengan kondisi (Moleong, 2011). Data yang diambil melalui teknik wawancara ini untuk menggali lebih dalam daripada kuesiner terbuka. 2.2 Prosedur Pengumpulan Data penelitian ini diawali dengan kuesioner Vignette. Informan dalam pengambilan data ini seluruh mahasiswa aktif semester 3, 5, dan 7 berjumlah 42 mahasiswa. Data yang diperoleh dideskripsikan tingkat kejujuran sesuai dengan kondisi dan situasi dalam setting vignette. Selanjutnya kriteria informan untuk penggalian data lebih lanjut yaitu mahasiswa yang memiliki tingkat kejujuran paling rendah dan paling tinggi di setiap semesternya dengan jumlah 4 mahasiswa masing-masing semester. Wawancara mendalam dilakukan pada 6 mahasiswa dengan tingkat kejujuran rendah dan kuesioner terbuka dilakukan pada 24 mahasiswa. Setelah pengumpulan data untuk menggambarkan dinamika psikologis ketidakjujuran pada calon pendidik, maka selanjutnya akan di analisis.
5
2.2 Analisis Data Analisisis data dalam penelitian ini menggunakan model interaktif. Pengolahan data model interaktif memanfaatkan data hasil wawancara dan vignette dengan prosedur dari model tersebut. Prosedur nya adalah: (1) Pengumpulan data, merupakan proses pengambilan data dari informan primer maupun sekunder (2) Reduksi data sebagai cara untuk menyeleksi data yang diperlukan agar lebih fokus, (3) Penyajian data hasil penelitian dan, (4) Menarik kesimpulan atau verifikasi dengan pengumpulan data baru dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada reduksi data dan penyajian data yang merupakan jawaban atas masalah yang diangkat dalam penelitian. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran kejujuran berdasarkan hasil kuesioner Vignette, maka perbandingan prosentase kejujuran dan ketidak jujuran antar semester dilihat dari 3 situasi tersebut dapat dilihat dalam tabel 3. Tabel 1. Prosentase Kejujuran Berdasarkan Kuesioner Vignette Semester 3
5
7 Jumlah Total
Perilaku
Tugas (%)
Mid (%)
Uas (%)
Total tiap semester (%)
Jujur
29
64
61
51
tidak jujur
72
36
40
49
Jumlah
100
100
100
Jujur
65
70
70
68
tidak jujur
35
30
30
32
Jumlah
100
100
100
Jujur
6
39
28
24
tidak jujur
95
61
72
76
Jumlah
100
100
100
Jujur
33
58
53
48
tidak jujur
67
42
47
52
Tabel 1. Menjelaskan bahwa pada situasi menghadapi tugas MID dan UAS kejujuran paling tinggi yaitu semester 5, selanjutnya semester 3 dan kejujuran paling rendah yaitu semester 7. Jadi kesimpulan dari tingkat kejujuran keseluruhan dari 3 situasi yaitu semester 5 paling tinggi dengan jumlah prosentase 68%, selanjutnya semester 3 dengan jumlah prosentase 51% hampir setengah dari jumlah partisipan dan semester 7 dengan tingkat kejujuran terendah yaitu 24%. Hal ini merupakan perbedaan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Arianto (2013) yang mengatakan bahwa kejujuran pada mahasiswa semakin menurun seiring dengan meningkatnya jenjang semester. persamaan hanya terletak pada kejujuran kejujuran paling rendah pada semester paling atas dari penelitian ini.
6
3.1 Pemerolehan Nilai Kejujuran Pada Calon Pendidik Mahasiswa menganggap nilai jujur merupakan nilai yang penting, diantaranya karena berkaitan dengan hubungan kemasyarakatan dan nilai spiritual. Jujur yang dilakukan bertujuan untuk memperoleh kepercayaan, amanah dan disukai oleh orang lain. Untuk memperjelas sumber data, berikut disajikan kutipan datanya: Sangat penting, sebab dengan kita belajar selalu jujur masyarakat di sekitar kita akan memeberikan kepercayaan dan amanah yang harus selalu kita jaga (A-kuesioner-6-RN_1-4) Sumber pemerolehan nilai jujur diperoleh dari dalam keluarga, luar keluarga, dan dari Al Qur’an dan Hadits. Dari dalam keluarga meliputi ayah, ibu, kakak dan saudara, dari luar keluarga meliputi guru, dosen, teman, sekolah formal maupun non formal, kampus, dan dari sumber lain yaitu Al Qur’an dan Hadits. Hasil penelitian ini selaras dengan yang dikatakan Mulyatiningsih (2010) bahwa pendidikan karakter dilakukan secara holistik dari semua lingkungan pendidikan yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sumber lain yang memberikan pemahaman tentang jujur yaitu dari Al Qur’an dan Hadits. Seperti yang kita ketahui bahwa Qur’an dan Hadits merupakan pedoman bagi agama islam. Hasil penelitian ini selaras dengan yang dikatakan oleh Marzuki (tanpa tahun) bahwa sumber utama penentuan karakter dalam Islam yaitu Al Quran dan Sunnah Nabi Muhammad saw. Kedua sumber ini mengajarkan karakter yang istilahnya dikenal sebagai ahlak. Nilai jujur yang diberikan diberikan dengan 3 cara yaitu melalui keteladanan, nasehat, dan melalui pelajaran di sekolah. Keteladanan merupakan cara yang paling banyak digunakan oleh orang yang memberikan nilai jujur. Keteladanan berarti mencontohkan nilai karakter secara real berupa perbuatan langsung yang ditiru oleh orang lain. Hasil penelitian ini selaras dengan Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional (Muchlas Samani, 2011) yang menyarankan empat cara dalam pengembangan pendidikan karakter dalam kaitannya pengembangan diri salah satunya yaitu dengan keteladanan. Selain keteladanan, nasehat merupakan cara pemberian nilai jujur. Nasehat dapat dikemas melalui ceramah, sharing maupun dongeng baik yang tersirat maupun tersurat. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitiannya Jati (2012) bahwa dongeng merupakan salah satu cara mentransfer nilai jujur. Penerapan nilai jujur didominasi dengan mematuhi dalam aturan, perkataan dan perbuatan,. Penerapan jujur salah satunya dengan mengikuti aturan yang ada. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitiannya Vidiana (2014) yang meneliti implementasi karakter kejujuran, bahwa mengikuti aturan yang berlaku merupakan implementasi nyata yang bisa dilakukan. Penerapan jujur dilakukan pula dalam perkataan dan perbuatan. Perkataan merupakan ungkapan verbal tentang sesuatu yang apa adanya. Sedangkan perbuatan aplikasi dari perkataan.
7
3.2 Ketidakjujuran Akademik Pada Calon Pendidik Sebelum menguraikan hasil penelitian ketidakjujuran akademik, maka perlu menjelaskan nilai-nilai apa saja yang harus dimiliki oleh calon pendidik dari sudut padang mahasiswa sebagai calon pendidik. Nilai-nilai yang harus dimiliki menurut hasil penelitian terangkum dalam kompetensi kepribadian salah satunya kejujuran. Selain itu kompetensi sosial, kompetensi profesional dan kompetensi pedagogik. Hasil dari penelitian ini sesuai dengan PP pasal 28 nomor 19 tahun 2005 ayat 3 yang berisi Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini salah satunya kompetensi kepribadian. Nilai kejujuran merupakan salah satu nilai yang terdapat dalam kompetensi kepribadian. Kejujuran dianggap sebagai nilai terpenting untuk menjadi seorang pendidik. Pada kenyataannya nilai jujur tidak diaplikasikan dalam dunia akademik calon pendidik. Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh hasil bahwa ketidakjujuran akademik dilakukan pada saat mengerjakan tugas, MID semester dan Ujian Akhir Semester. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar 1.
MID 1. Teman acuan mencari jawaban 2. Internet 3. Membawa contekan 4. Bantuan Handphone 5. Tukar menukar hasil jawaban tertulis
UAS 1. Teman sebagai Acuan mencari jawaban 2. Internet 3. Membawa contekan
KETIDAKJUJURAN AKADEMIK
TUGAS 1. Internet 2. Teman acuan mencari jawaban 3. Menitipkan nama 4. Orang lain yang mengerjakan 5. Membeli pada orang lain
Gambar 1. Ketidakjujuran pada saat mengerjakan MID, UAS dan Tugas Penggunaan internet merupakan bentuk ketidakjujuran, hal ini diperkuat oleh hasil penelitiannya Nursalam, Munirah dan Bani (2013) menjelaskan bentuk kecurangan yang dilakukan oleh mahasiswa salah satunya melakukan salinan dari internet melalui handphone. Segala bentuk penggunaan internet dengan tujuan mengambil data dengan istilah searching, browsing merupakan bentuk ketidakjujuran. Bentuk dari ketidakjujuran teman sebagai acuan mencari jawaban selaras dengan hasil penelitian Purnamasari (2013) bahwa kecurangan yang terjadi pada mahasiswa khususnya dalam ujian meliputi meniru hasil kerjaan teman, bertanya pada teman saat pengerjaan ujian. Menitipkan nama dalam tugas kelompok, namun tidak ikut mengerjakan tugas, orang lain yang mengerjakan dan copy paste copy paste didukung oleh penelitian Ariska (2015) bahwa bentuk ketidakjujuran akademik mahasiswa salah satunya tidak berkontribusi dalam tugas kelompok dan copy paste jawaban. Membeli tugas yang dikerjakan orang lain didukung dengan hasil penelitian
8
Murphy dan Banas (2009) bahwa membeli merupakan bentuk dari tidak jujur. Membeli artinya membayar orang lain untuk mengerjakan tugas. Hasil penelitian ini juga menyebutkan bahwa menyuruh orang lain untuk mengerjakan tugas merupakan bentuk tidak jujur. Selaras dengan hasil penelitian Purnamasari (2013) bahwa memerintahkan atau meminta bantuan orang lain untuk menyelesaikan tugas ujian maupun didalam tugas penulisan paper dan takehome merupakan bentuk-bentuk dari ketidakjujuran. Bentuk lain ketidakjujuran dalam mengerjakan mid semester adalah tukar menukar jawaban secara tertulis. Hal ini sesuai dengan hasil penelitiannya Purnama Sari (2013) bahwa bentuk dari ketidakjujuran didalamnya termasuk tukar menukar pekerjaan dengan teman. Dosen memberikan informasi bahwa ketidakjujuran yang dilakukan mahasiswa memiliki 3 bentuk yaitu teman sebagai acuan mencari jawaban, saling tukar menukar jawaban tertulis dan membawa contekan. Perbedaan informasi mahasiswa dan dosen hanya pada caranya. Dosen menjelaskan menyelipkan Salinan di tip-x, saling menukar jawaban di lembar soal yang kosong, dan membawa contekan. Hasil penelitian ini merupakan temuan dalam hal metode yang digunakan mahasiswa dalm melakukan ketidakjujuran yaitu saling tukar menukar jawaban dengan media alat tulis yaitu tip-x. Ketidakjujuran yang dilakukan oleh mahasiswa dilatarbelakangi oleh keputusan yang kompleks dan mencakup beberapa faktor salah satunya situasional (Anderman & Murdock, 2007). Sama hal nya dengan penelitian ini yang mengatakan situasi ketidakjujuran dilatarbelakangi oleh pengawasan dosen, waktu pengerjaan dan sulitnya pengerjaan. Situasi berdasarkan faktor pengawasan dosen melitputi dosen yang keluar ruangan, dosen ngobrol, dosen mengangkat telpon, dosen lengah, dosen menggunakan HP, dosen sibuk dan dosen mengawasi peserta lain. Pengawasan yang dilakukan oleh dosen membuat mahasiswa menggunakan situasi tersebut untuk melakukan ketidakjujuran. Berikut cuplikan data salah satu mahasiswa: ketika uts contohnya misalnya ya sedang sepi seperti itu. Seperti ketika dosen sedang ngobrol, dosen sedang mengawasin tetapi dosennya ngobrol sama pengawas yang lain seperti itu, ya ini kesempatan buat mencontek seperti itu (wawancara-P-RN-270-274) Penelitian ini diperkuat oleh Anderman & Murdock (2007) juga menyatakan hal yang sama bahwa salah satu faktor pendukung ketidakjujuran yang dilakukan mahasiswa adalah tidak adanya pengawasan. Meskipun dalam ruangan ujian sudah ada dosen yang mengawasi ujian, namun ketidakjujuran yang dilakukan tidak diketahui karena pengawasan dosen yang tidak sepenuhnya teliti. Waktu pengerjaan ujian merupakan salah satu situasi yang membuat mahasiswa melakukan ketidakjujuran, hal ini selaras dengan Nursalam, Munirah dan Bani (2013) yang mengatakan bahwa salah satu yang mendukung melakukan kecurangan adalah waktu pengerjaan yang singkat. Selain itu teman juga menjadi faktor situasi yang mendukug dalam melakukan ketidakjujuran. 9
Ketidakjujuran yang dilakukan berdasarkan sulitnya pengerjaan. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Nursalam, Munirah dan Bani (2013) bahwa ujian yang sulit merupakan bagian dari situasi yang mendukung melakukan ketidakjujuran. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa sulitnya pengerjaan didalamnya dikarenakan situasi yang mendesak, terpaksa dan kepepet karena tidak bisa mengerjakan. Situasi ini didukung dengan hasil penelitiannya Yulianto (2015) bahwa menyontek merupakan perilaku disaat terpaksa atau “kepepet”. Terpaksa merupakan kondisi dimana mahasiswa yang tidak bisa mengerjakan secara jujur sehingga mencari alternatif lain yaitu tindakan tidak jujur. Ketidakjujuran memiliki efek terhadap psikologis yaitu ketidaknyamanan. Bentuk perasaan yang menyesal, bersalah, Kecewa, malu pada diri sendiri dan orang lain, kurang puas karena bukan kerjaan sendiri dan menyesal merupakan bentuk ketidaknyamanan. Perasaan-perasaan yang masuk dalam kategori ini diartikan sebagai refleksi evaluasi dari tindakan ketidakjujuran yang berakibat pada perasaan negative. Respon dosen ketika melihat ketidakjujuran dibedakan menjadi 2 yaitu dengan memberikan peringatan dan hukuman. Hukuman yang diberikan oleh dosen sebagai pengawas bertujuan agar perilaku tidak diulangi lagi. Penelitian ini mengungkap respon yang diberikan selain hukuman adalah dengan peringatan. Hasil penelitian ini selaras dengan pernyataan Sagoro (2013) bahwa jika dosen mengetahui adanya ketidakjujuran/ kecurangan yang dilakukan oleh mahasiswa hanya sebatas diingatkan tanpa diberikan sanksi berat yang dapat membuat mahasiswa berpikir ulang untuk mengulangi perbuatan mereka. Tujuan dalam melakukan ketidakjujuran dibedakan menjadi 2 kategori yaitu berorientasi pada pekerjaan dan berorientasi pada hasil. Orientasi pada pekerjaan bentuknya yaitu agar pekerjaan selesai dan menyesuaikan/ mencocokan jawaban dengan temannya. Sedangkan untuk orientasi pada hasil yaitu agar mendapat nilai yang baik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dosen bahwa mahasiswa melakukan ketidakjujuran bertujuan nilai baik dan menyamakan hasil jawaban teman. Tujuan dari ketidakjujuran yang dilakukan mahasiswa berorientasi pada pekerjaan yaitu agar pekerjaan/ ujian selesai. Hal ini terungkap dalam kutipan berikut: Tujuannya itu agar terisi semua soalujiannya (B-kuesioner-13-MN_1) ya buat nyelesaiin soal-soalnya (wawancara-P-MN-438-439) Hasil penelitian ini didukung dengan hasil penelitiannya Lestari dan Asyanti (2015) bahwa tujuan melakukan ketidakjujuran adalah ingin menyelesaikan tugas atau ujian. Tujuan menyamakan atau mencocok selaras dengan temuan Sarwono (2011) situasi ulangan siswa sebenarnya dihadapkan pada situasi kecemasan terhadap nilai sehingga melakukan ketidakjujuran baik dengan menyesuaikan/ mencocokan jawaban dengan temannya. Tujuan lain dari hasil penelitian ini menjelaskan bahwa mahasiswa melakukan ketidakjujuran bertujuan agar mendapatkan nilai yang 10
baik. Hasil penelitian ini didukung dengan hasil penelitiannya Nursalam, Munirah dan Bani (2013), Lestari dan Asyanti (2015) bahwa nilai yang tinggi menjadi tujuan dalam melakukan ketidakjujuran. Jika dicermati, mahasiswa mengganggap nilai sebagai tolak ukur keberhasilan dalam akademik sehingga untuk memperolehnya menggunakan cara yang tidak jujur. Ketidakjujuran disadari mahasiswa sebagai merusak masa depan, pelanggaran aturan, pelanggaran terhadap norma, melanggar aturan agama dan pelanggaran terhadap moral. Hasil penelitian ini khususnya dalam menilai ketidakjujuran yang dilakukan selaras dengan hasil penelitian Yulianto (2015) bahwa pada umumnya mahasiswa sepakat bahwa ketidakjujuran yang dilakukan merupakan tindakan yang melanggar norma yang berlaku. Jika dicermati dari hasil penelitian ini, diperoleh informasi bahwa mahasiswa menilai ketidakjujuran sebagai suatu tindakan yang memberikan efek negatif bagi masa depan, tidak baik, melanggar aturan, dan tidak disukai Alloh SWT. Keinginan untuk berhenti dalam melakukan ketidakjujuran hanya pada 11 mahasiswa mengatakan ada niat untuk berhenti namun 1 mahasiswa mengatakan tidak ada niat untuk berhenti. Hal ini membuktikan bahwa hukuman terhadap konsekuensi sikap atau perilaku negatif maka akan mengurangi perilaku buruk (Nugraha dan Dina Dwiyana, 2009). Ketidakjujuran yang dilakukan oleh mahasiswa yang selama ini yang telah mendapat peringatan ataupun hukuman, ternyata tidak membuat ketidakjujuran berhenti dilakukan. Hasil penelitian ini mengungkap faktor yang menyebabkan perilaku ketidakjujuran terulang kembali. Faktor-faktor tersebut diantaranya faktor nilai, faktor percaya diri, faktor kesiapan ujian, dan faktor pengaruh teman. Dosen pun mengatakan hal yang sama mengenai faktor ketidakjujuran terulang yaitu faktor kesiapan ujian dan nilai sebagai barometer. Berikut kutipan data salah satu mahasiswa mengenai hal tersebut: ketika saya sudah berusaha tetapi kok nilainya lebih tinggi dari teman saya seperti itu ya saya gimana ya emmm... mencontek lagi seperti itu (wawancara-P-RN-369-372) Jika dibandingkan, maka mahasiswa yang melakukan kejujuran akademik menjadikan tugas/ MID/ UAS sebagai sarana untuk mengukur kemampuan, kejujuran dilakukan atas dasar spiritual, takut dengan hukuman, kepuasan tersendiri, menjadikan jujur sebagai prinsip, mendatangkan ketenangan dan percaya diri. Kejujuran yang dilakukan bukan berarti dapat memberikan efek terhadap nilai agar tinggi/ bagus. Meskipun jujur tetap saja nilai tidak jaminan mendapat nilai tinggi. Titik fokus dari hasil penelitian ini terletak pada bagaimana perasaan dalam menyikapi nilai yang rendah meskipun sudah melakukan kejujuran. Diperoleh hasil bahwa mahasiswa merasakan kepuasan (evaluasi), Sedikit kecewa namun puas, senang, ketidakpuasan, dan Kecewa namun bersyukur.
11
3.3 Faktor Pendorong Dalam Melakukan Ketidakjujuran Akademik Mahasiswa yang melakukan ketidakjujuran dilarabelakangi oleh faktor tidak dapat menjawab. Selanjutnya dikarenakan pengaruh teman menyontek dan ingin nilai yang baik. Dosen mengatakan bahwa penyebab ketidakujuran yaitu karena tidak percaya diri dengan hasil jawaban sendiri, karena tidak belajar, ikut-ikutan teman dan tekanan teman. Tidak belajar diartikan sebagai tidak siap dalam menghadapi ujian sehingga tidak dapat menjawab. Hal ini selaras dengan hasil penelitian McCabe (1999) kurangnya persiapan dalam menghadapi ujian menyebabkan terjadinya ketidakjujuran. Nursalam, Munirah dan Bani (2013) yang mengatakan bahwa tidak paham materi merupakan bagian dari penyebab ketidakjujuran. Teman menjadi faktor perilaku tidak jujur. Hasil ini seselaras dengan hasil penelitian Miler, murdock, anderman dan poindexter (2007), dan Nursalam, Munirah dan Bani (2013) bahwa ketidakjujuran lebih banyak saat siswa menyaksikan teman-temannya mencontek. Ingin nilai yang baik dan takut nilai jelek merupakan penyebab yang cukup banyak pada. Hasil penelitian ini didukung dengan hasil penelitiannya Lestari dan Asyanti (2015) bahwa nilai yang tinggi menjadi faktor yang melatarbelakangi dalam melakukan ketidakjujuran. Tidak percaya diri dalam mengerjakan ujian juga menjadi faktor penyabab ketidakjujuran. Ketika mahasiswa menjawab soal yang dianggap masih ragu kebenarannya maka mahasiswa akan mencari solusi dengan melakukan ketidakjujuran. Hasil penelitian ini selaras dengan Nursalam, Munirah dan Bani (2013) bahwa self esteem menjadi faktor ketidakjujuran akademik. Artinya percaya diri pada jawaban diri sendiri akan membuat mahasiswa jujur begitupula sebaliknya. Orang tua juga menekan anaknya untuk memperoleh nilai yang tinggi menjadi faktor penyebab ketidakjujuran. Tekanan orang tua tidak dilakukan sebagaimana mestinya dengan cara yang jujur, namun sebaliknya. Hasil penelitian ini selaras dengan hasil penelitiannya Arinda (2015) bahwa ketidakjujuran yang dilakukan oleh mahasiswa disebabkan tekanan dari orangtua. Jika dicermati dari hasil penelitian ini maka orangtua menjadikan nilai sebagai acuan keberhasilan dalam akademik dan mahasiswa mahasiswa menggunakan cara yang tidak jujur. Hasil penelitian ini memberikan informasi bahwa tekanan bukan hanya dari orangtua saja. Teman sebagai orang yang dekat selain orangtua tua khususnya di kampus memberikan pengaruh terhadap aktivitas akademik. 3.4 Bentuk Hukuman Yang Diberikan Dan Efeknya Terhadap Psikologis Hukuman yang diberikan oleh dosen dikategorikan menjadi 2 yaitu hukuman berupa peringatan/ perlakuan dikelas dan konsekuensi terhadap nilai. Dosen memiliki peraturan yang berbeda dalam memberikan hukuman, yaitu dengan tidak diberi nilai dan dikeluarkan dari kelas. Hukuman yang berupa peringatan/ perlakuan didalam kelas merupakan hukuman yang diberikan secara langsung didalam kelas. Bentuk dari hukuman ini adalah ditegur,lembar jawab diminta,di catat namanya, 12
diberi nasehat, lembar jawab di sobek,ujian ulang, dicatat namanya, mengerjakan diruang dosen dan digertak. Hukuman berupa konsekuensi terhadap nilai merupakan bentuk yang memberikan pengaruh negatif terhadap nilai. Bentuk dari hukuman ini adalah nilai tidak memuaskan, tidak dapat nilai, nilai tidak keluar, nilai jelek, dikurangi nilainya, dan diberi nilai D/K. Perbedaan dalam memberikan hukuman terlihat pada saat dosen menerapkan peraturan ketika melihat ketidakjujuran. Dosen MI mengatakan tidak akan diberikan nilai dan dosen YK mengeluarkan mahasiswa keluar ruangan. Jika diperhatikan hukuman yang diberikan, maka tidak ada hukuman yang diterapkan sama sesuai dengan bentuk ketidakjujuran yang diberikan. Hal ini membuktikan bahwa peraturan yang ada masih belum memiliki standar dalam menerapkan ketidakjujuran yang dilakukan. Hal ini selaras dengan pernyataan Sagoro (2013) bahwa lembaga seharusnya menerapkan aturan dan sanksi akademik dengan tegas. Hukuman yang diberikan berdampak terhadap psikologis mahasiswa. Dampaknya berupa ketidaknyamanan psikologis dan ketidaknyamanan sosial. Ketidaknyamanan psikologis berupa menyesal, tidak puas,tidak percaya diri, takut, jera, malas belajar, kecewa,tidak tenang, cemas dan khawatir. Ketidaknyamanan sosial merupakan dampak yang dirasakan yang berpengaruh terhadap kehidupan social mahasiswa.Ketidaknyamanan tersebut berupa malu, tidak dipercaya oleh dosen, hilangnya kredibilitas, citra diri buruk (penyontek). Mahasiswa yang diberikan hukuman dimaksudkan agar ketidakjujuran yang dilakukan tidak dilakukannya lagi dilain waktu, namun hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa ada yang akan melakukannya lagi dengan syarat kondisi tertentu dan tidak akan melakukan dengan syarat kondisi tertentu pula. Hasil penelitian ini juga menjelaskan bahwa setengah dari jumlah mahasiswa yang diteliti mengatakan tidak akan melakukannya lagi. Pada hakikatnya hukuman yang diberikan, diharapkan agar ketidakjujuran segera berhenti. Nugraha dan Dina Dwiyana (2009) mengatakan bahwa hukuman merupakan konsekuensi sikap atau perilaku negatif dan bila diterapkan dengan benar hukuman dapat mengurangi perilaku buruk. 4. PENUTUP Jujur diperoleh dari dalam keluarga maupun luar keluarga ternyata tidak diaplikasikan dalam akademik, terutama pada saat mengerjakan tugas, MID dan UAS. Ketidakjujuran terjadi pada mahasiswa memiliki 2 tujuan yaitu tujuan yang berorientasi pada proses dan tujuan yang berorientasi pada hasil.Kurangnya pengawasan merupakan situasi terjadinya ketidakjujuran. Respons ketidakjujuran yaitu diberi hukuman dan peringatan. Ketidakujujuran disadari oleh mahasiswa telah memberikan efek pada ketidaknyaman. Sebenarnya mahasiswa menyadari bahwa tindakannya yang dianggap sebagai tindakan yang dilarang dan berkibat negatif salah satunya merusak masa depannya. Ketidakjujuran juga merupakan suatu pelanggaran aturan baik aturan 13
salah satunya terhadap karakter seorang pendidik. Ketika menyadari bahwa ketidakjujuran merupakan tindakan negatif maka sebagian besar mahasiswa berniat untuk berhenti. Namun demikian, ada juga mahasiswa mengatakan tidak ada niat untuk berhenti. Meskipun ada niat untuk berhenti, ketidakjujuran dapat terulang kembali diantaranya karena keinginan mendapatkan nilai tinggi dan pengaruh teman. Faktor terkuat yang yang menjadi pendorong tidak jujur karena tidak dapat menjawab dan pengaruh teman menyontek. Terlihat perbedaan faktor pada mahasiswa jujur sebagai pendorong untuk tetap teguh meskipun situasi mendukung untuk bertidak jujur. Faktor kejujuran didasari oleh adanya nilai spiritual, percaya diri dan mengukur kemampuan. Perbedaan perasaan yang menyertai ketika melakukan tindakan yang jujur dan yang tidak jujur terletak pada kesejahteraan psikologis dan ketidaknyamanan. Ketidakjujuran yang dilakukan diberikan hukuman agar tidak terjadi ketidakjujuran lagi dimasa yang akan datang. Hukuman tersebut berupa peringatan didalam kelas secara langsung dan hukuman yang berdampak pada nilai. Hukuman yang diberikan oleh dosen dianggap efektif merubah perilaku menjadi jujur bagi sebagian mahasiswa dan sebagian mahasiswa lainnya mengatakan tidak efektif. Hukuman yang diberikan oleh dosen memiliki dampak pada masingmasing
individu
dengan
efek
yang
berbeda-beda.
Notabene
mahasiswa
merasakan
ketidaknyamanan psikologis dan social. Ketidaknyamanan psikologis seperti perasaan negatif seperti menyesal, kecewa, cemas dsb. Ketidaknyaman sosial meliputi rasa malu, hilangnya kepercayaan dosen dan citra diri buruk. Pada dasarnya mahasiswa sadar akan dampak hukuman yang merugikan diri sendiri. Namun ketidakjujuran akan tetap dilakukan pada beberapa mahasiswa dengan alasan jika teman-teman melakukan ketidakjujuran dan situasi yang terdesak. Alasan lainnya yaitu mahasiwa akan jujur jika semua mahasiswa bertindak jujur dalam mengerjakan dan jika dosen dalam mengawasi sangat ketat. DAFTAR PUSTAKA Anderman, E.M., & Murdock, T.B. (2007). The Psychology Of Academic Cheating. California: Elsevier Academic Press. Arianto, T. (2013). Tingkat Kejujuran Sosial Dan Akademik Mahasiswa Pendidikan Biologi. Prosiding Seminar Nasional X Pendidikan Biologi, 10 (1) diambil dari http://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/prosbio/articlm e/view/3095 Arinda, F.P. (2015). Ketidakjujuran Akademik Mahasiswa Perguruan Tinggi X Di Surakarta.Skripsi (tidak diterbitkan). Diambil dari eprints.ums.ac.id/34416/1/02.%20NASKAH%20PUBLIKASI.pdf Ariska, F. (2015). Ketidakjujuran Akademik Mahasiswa Perguruan Tinggi X Di Surakarta. Skripsi (tidak diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Brimble, M., & Clark, P.T. (2005). Perceptions of the Prevalence and Seriousness of Academic Dishonesty in Australian Universities The Australia.Educational Researcher. 32 (3), 19-44 Finch, J. (1978). The Vignette technique in survey research. Sosiology, 21 (1), 105-144. Doi: 10.1177/0038038587021001008
14
Handayani & Baridwan. (2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku ketidakjujuran akademik: modifikasi theory of planed behaviour. Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB, 2 (1) dipetik Agustus 3, 2015 dari http://portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=189226 Jati, J., P. 2012. Pendidikan Karakter JujurDi Sdit Cahaya Bangsa Mijen Semarang. Tesis (Tidak Diterbitkan) Dikutip Mei 6, 2016 Dari Http://Eprints.Walisongo.Ac.Id/119/1/Irapustipta_Tesis_Sinopsis.Pdf
Jones, L. R. (2011). Academic Integrity & Academic Dishonesty: A Handbook About Cheating & Plagiarism. Floride Institude of Technology Revised &Expanded Edition diambil dari www.fit.edu/current/documents/plagiarism.pdf
Kibler, W. L. (1993). Academic Dishonesty: A Student Development Dilemma. Naspa Journal. 30. 253-262. Manurung, R. (2012). Pendidikan Antikorupsi Sebagai Satuan Pembelajaran Berkarakter Dan Humanistik. Jurnal Sosioteknologi, 27 (11). McCabe, D. L., & Trevino, L. K. (1997). Individual and contextual influences on academic dishonesty: A multicampus investigation. Research in Higher Education, 38, 379–396 Moleong, L. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Mulyatiningsih, E. 2010. Analisisis Model-Model Pendidikan Karakter untuk Usia Anak-Anak, Remaja, dan Dewasa. Dipetik mei 6, 2016 dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Dra.%20Endang%20Mulyatiningsih,%20 M.Pd./13B_Analisisis%20Model%20Pendidikan%20karakter.pdf . [13 Januari 2014]. Murdock, T. B., & Anderman, E. M. (2006). motivational perspectives on student cheating: toward an integrated model of academic dishonesty. Educational Psychologist, 41 (3), 129–145. Murphy, M.M., & Banas, S. L. (2009). Character Education Overcoming Prejudice. New york: Chelsea House publisher Nursalam, Bani, S., & Munirah. (2013). Bentuk Kecurangan Akademik (Academic Cheating) Mahasiswa PGMI Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan Uin Alauddin Makassar. Lentera Pendidikan, 16 (2). 127-138 Nursani & Irianto. (2013). Perilaku Kecurangan Akademik Mahasiswa: Dimensi Freuf Diammond. Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB, 2 (2) diakses http://portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=189748 . Pedoman Penanaman Sikap Pendidikan Anak Usia Dini Yang Diterbitkan Oleh Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan Tahun 2015 Purnamasari, D. (2013). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecurangan Akademik Pada Mahasiswa. Educational Psychology Journal, 2 (1), 13-21. Sagoro, E. M. (2013). Ensinergian Mahasiswa, Dosen, Dan Lembaga Dalam Pencegahan Kecurangan Akademik Mahasiswa Akuntansi. Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia XI (2), 54-57. Salabi, A. (2014). Implementasi Pedidikan Berbasis Karakter Melalui Program Kantin Kejujuran pada Sekolah-Sekolah di Provinsi Kalimantan Selatan. Jurnal Ilmiah Ilmu Kependidikan dan Kedakwahan, 4 (2), 1-20 Sarwono, S. W. (2011). Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Vidiana, E.N.M. (2014). IMPLEMENTASI KARAKTER KEJUJURAN (Studi Kasus pada Penerima Bantuan Langsung Sementara Masyarakat di Desa Kwasen Kecamatan Kesesi Kabupaten Pekalongan). Skripsi (tidak diterbitkan) diambil Mei 20, dari eprints.ums.ac.id/28549/13/02._Naskah_Publikasi.pdf Warsiyah, (2013). Perilaku Menyontek Mahasiswa Muslim (Pengaruh Tingkat Keimanan, Prokrastinasi Akademik dan Sikap terhadap Menyontek pada Perilaku Menyontek Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo). Tesis (tidak diterbitkan). Program magister Institut agama islam negeri (iain) walisongo dipetik mei 6, 2016 dari eprints.walisongo.ac.id/31/1/Warsiyah_Tesis_Sinopsis.pdf
15