Dinamika Psikologis Pada Orang Dengan HIV Dan AIDS (Odha) Kusumawijaya Paputungan Universitas Ahmad Dahlan Jl. Kapas No.9 Semaki, Yogyakarta. Email :
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) dinamika psikologis pada ODHA? 2) bagaimana kecenderungan penggunaan coping pada ODHA? Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi dan wawancara. Metode analisis data pada penelitian ini dengan menggunakan metode analisis tematik. Subyek penelitian ini dipilih dengan menggunakan teknik sampel kriteria. Subyek penelitian ini adalah ODHA yang terdata di LSM pendampingan ODHA di D.I.Yogyakarta. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kedua subyek memiliki dinamika psikologis yang berbeda sebagai reaksi akibat terinfeksi HIV. Reaksi yang dialami oleh kedua subyek dalam penelitian ini terjadi secara berurutan. Subyek pertama mengalami reaksi denial, depression, anger, bargaining, anxiety, acceptance. Sedangkan subyek kedua mengalami reaksi acceptance, denial, acceptance, bargaining, depression, frustation, bargaining, acceptance. Secara umum, kedua subyek cenderung menggunakan Emotional Focused Coping. Sedangkan secara khususnya, kedua subyek memiliki perbedaan kecenderungan penggunaan coping. Subyek pertama cenderung menggunakan positive reappraisal, sedangkan subyek kedua cenderung menggunakan seeking social emotional support. Kata Kunci : ODHA, Dinamika Psikologis, Coping.
Abstract This study aimed to determine 1) psychological dynamics of people living with HIV and AIDS? 1) how to use coping tendency to people living with HIV and AIDS? This study uses a qualitative case study approach. Data collection in this study using observation and interviews. The method of data analysis in this study using thematic analysis. The subjects of this study were selected using criterion sampling technique.The subjects of this people living with HIV and AIDS were recorded in NGO assistance people living with HIV and AIDS in D.I.Yogyakarta. The results of this study found that both subjects have different psychological dynamics as a reaction to HIV. Reactions experienced by the two subjects in this study occur sequentially. This subjects first had a reaction of denial, depression, anger, bargaining, anxiety, acceptance. While the second subject had a reaction acceptance, denial, acceptance, bargaining, depression, frustation, bargaining, acceptance. In general, the two subjects tend to use the Emotional Focused Coping. While in particular, the two subjects have different coping tendencies usage. The first subjects tend to use positive reappraisal, while the second subject tend to use seeking emotional social support. Keywords : People living with HIV and AIDS, Psychological Dynamics, Coping.
PENDAHULUAN Diantara berbagai virus yang telah dikenal saat ini, yang dianggap paling berbahaya adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyebabkan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). HIV merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh orang yang dijangkitinya (Sarafino, 1998). Sedangkan AIDS merupakan kumpulan simptom yang terjadi karena terjangkit HIV. Jadi, HIV dan AIDS tidak sama. Pusat AIDS Internasional Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Harvard, Amerika Serikat (Mann, 1993 dalam Hawari, 2004) melukiskan bagaimana fenomena infeksi virus HIV mulai menampakkan diri pada 1980-an. Bila pada tahun 1981 yaitu epidemi itu pada tahap awal hanya terdapat sekitar 100 ribu orang yang terinfeksi, maka pada tahun 1992 (11 tahun kemudian) penyakit ini telah menyebar kepada 12,9 juta orang di seluruh dunia, dengan perincian sebagai berikut : 7,1 juta pria; 4,7 juta wanita; dan 1,1 juta anak-anak. Dari jumlah tersebut di atas terdapat 2,6 juta orang yang terinfeksi virus HIV telah berkembang secara klinis (penyakti AIDS) dan 2,5 juta darinya telah meninggal dunia (Hawari, 2004). AIDS pertama kali ditemukan di kota San Francisco, Amerika Serikat. Penyakit ini muncul karena hubungan seksual (sodomi) yang dilakukan oleh komunitas kaum homoseksual (Hawari, 2004). Informasi dari UNAIDS menyatakan bahwa sampai tahun 2010 jumlah penderita HIV mencapai 34 juta orang di dunia.
Di Indonesia, AIDS pertama kali dijumpai pada bulan April tahun 1987. Data situasi perkembangan HIV & AIDS di Indonesia yang dilaporkan oleh Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia pada tanggal 13 Juni 2011 menyebutkan bahwa sampai dengan Juni 211 secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan adalah 26.483 kasus (Ditjen PP & PL Kementerian Kesehatan RI, 2011). Sebanyak 33 provinsi dan 300 kabupaten/kota yang melapor. Ratio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 3 : 1. Cara penularan kasus AIDS kumulatif yang dilaporkan melalui heteroseksual (54, 8%), Injection Drug Use (36,2%), lelaki seks lelaki (2,9%), perinatal (2,8%), transfusi darah (0,2%) dan tidak diketahui (3,0). Pada kelompok umur, proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan 20-29 tahun (46,4%), disusul kelompok umur 30-39 tahun (31,5%), dan kelompok umur 40-49 tahun (9,8%). Kasus terbanyak dilaporkan dari DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Papua, Bali, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, D.I.Yogyakarta, dan Sulawesi Utara. Rate kumulatif kasus AIDS Nasional sampai dengan Juni 2011 adalah 11,09 per 100.000 penduduk (berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2011, jumlah penduduk Indonesia 238.893.400 jiwa). Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berada di peringkat ke sembilan dari 33 provinsi di Indonesia dalam jumlah penderita HIV dan AIDS. Sedangkan dari seluruh wilayah D.I.Y, Kota Yogyakarta menduduki peringkat pertama dalam hal banyaknya jumlah penderita (Tribunnews.com, 2012). Dinas Kesehatan Propinsi D.I.Y dalam laporan surveilans kasus HIV & AIDS tahun 1993 – 2011 (sampai dengan Desember 2011) melaporkan data hasil pengawasan perkembangan kasus HIV & AIDS selama 18 tahun terakhir, menyebutkan bahwa distribusi frekuensi kasus HIV & AIDS menurut jenis kelamin, yaitu laki-laki berjumlah 968 dan perempuan berjumlah 475. Distribusi frekuensi kasus HIV & AIDS menurut alamat tinggal, yaitu Kota Yogyakarta berjumlah 485, Kab. Sleman berjumlah 343, Kab. Bantul berjumlah 238, Kab. Kulon Progo berjumlah 83, dan Kab. Gunung Kidul berjumlah 42. Data frekuensi kasus HIV & AIDS menurut kondisi, yaitu hidup berjumlah 1269 dan meninggal 188. Data frekuensi kasus HIV & AIDS menurut faktor risiko, yaitu heteroseksual berjumlah 653, narkotik suntik berjumlah 243, homoseksual berjumlah 75, perinatal berjumlah 51, transfusi darah berjumlah 13, beseksual berjumlah 13, neonatal berjumlah 1. Data frekuensi kasus HIV & AIDS menurut golongan umur, yaitu umur 20-29 berjumlah 581, umur 30-39 berjumlah 453, umur 40-49 berjumlah 202, umur 50-59 berjumlah 72, umur 01-04 berjumlah 34, umur kurang 1 tahun berjumlah 23, umur 05-14 berjumlah 20, umur 15-19 berjumlah 18, umur 60 keatas berjumlah 7 (Laporan Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DIY, 2012). Sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang dapat melawan virus tersebut. Para ahli berusaha mendapatkan obat untuk mengatasi AIDS dan obat itu disebut sebagai Antiretroviral (ARV). Namun, ternyata obat ini tidak dapat menyembuhkan AIDS, hanya dapat memperlambat reproduksi HIV pada tahap awal (Taylor, 1995).
Lubis (2009), mengemukakan suatu studi telah menyimpulkan bahwa pasien yang menderita suatu penyakit dengan kondisi akut sebagian besar akan menunjukkan adanya gangguan psikologis di antaranya depresi. Seperti yang dikemukakan oleh Sarafino (1998), suatu penyakit dan akibat yang diderita, baik akibat penyakit ataupun intervensi medis tertentu dapat menimbulkan perasaan negatif seperti kecemasan, depresi, marah, ataupun rasa tidak berdaya dan perasaan-perasaan negatif tertentu yang dialami terus-menerus ternyata dapat memperbesar kecenderungan seseorang terhadap suatu penyakit tertentu. Kondisi ini mendesak mereka untuk melakukan perubahan-perubahan sosial secara cepat. Namun, tidak semua orang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut yang pada gilirannya yang bersangkutan dapat jatuh sakit, atau mengalami gangguan penyesuaian diri/adjustment disorder (Hawari, 2004). Perubahan-perubahan psikososial pada sebagian orang dapat merupakan beban atau tekanan mental yang disebut stresor psikososial. Stresor psikososial (Hawari, 2004), adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk menanggulanginya. Masing-masing orang memiliki caranya sendiri untuk mengatasi permasalahannya yang pada akhirnya reaksi menekan itu memunculkan strategi/pola menghadapi untuk melindungi keutuhan dirinya dan beradaptasi terhadap stres yang dialami. Hal-hal ini yang disebut coping menurut Sarafino (1998). Coping adalah usaha-usaha kognitif dan perilaku yang berkesinambungan untuk mengelola tekanan dari dalam dan atau dari luar individu yang dirasakan merugikan atau melebihi kemampuan individu itu (Lazarus dan Folkman, 1984). Proses coping muncul karena adanya berbagai peristiwa bernuansa penuh tekanan dalam kehidupan. Respon seseorang terhadap permasalahan ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kekuatan yang ada dalam dirinya serta dukungan sosial. Penelitian mengenai ODHA yang memfokuskan pada perkembangan status identitas pada penderita HIV & AIDS dengan menggunakan metode kualitatif yang dilakukan oleh Yunita dan Ginanjar (2001), menghasilkan bahwa secara khusus terdapat perubahan status identitas pada tiga area yang di alami oleh penderita pada saat sebelum dan sesudah ia mengetahui bahwa menderita HIV positif, yaitu area pekerjaan, kepercayaan religius, dan tingkah laku seksual. Keduanya menambahkan bahwa penderita HIV mengalami semua reaksi psikologis yang umumnya dialami oleh penderita HIV & AIDS, seperti terkejut, penyangkalan dan kemarahan, menarik diri dan depresi, membuka diri, mencari teman, status spesial, tingkah laku altruistik, dan menerima. Jia, dkk. (2004), melalui penelitiannya mengenai kualitas hidup laki-laki muda pengidap HIV menyimpulkan bahwa dampak dukungan sosial dan coping merupakan faktor utama mengantarkan pada simptom depresi. Dengan memperbaiki dukungan sosial, coping, dan depresi pada individu yang terinfeksi HIV akan memperbaiki kualitas hidup. Phillips (2007), menyimpulkan dalam penelitiannya mengenai dukungan sosial, coping, dan ketaatan berobat wanita dewasa positif HIV yang tinggal di
pedesaan di negara bagian tenggara bahwa dukungan sosial dan strategi coping merupakan indikator yang berpengaruh terhadap ketaatan mengkonsumsi ARV. Penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2009), mengenai coping stres pada orang dengan HIV dan AIDS dengan pendekatan kualitatif menyatakan bahwa pemilihan strategi coping pada ODHA masih menghambat untuk memulai terbuka dengan orang lain. ODHA masih cenderung menggunakan emosional focused coping dengan bertahan dalam keadaan sesulit apapun. Sedangkan pada strategi problem focused coping, ODHA masih pada tahap mencari dukungan serta merencanakan pemecahan masalah secara bertahap. Sampel penelitian belum memulai untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Penulis, melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang pernah penulis dan teman-teman mahasiswa kelola sejak tahun 2010 sampai tahun 2012, penulis sering berinteraksi langsung dengan ODHA yang tergabung dalam komunitas pada kegiatan-kegiatan bersama. Seperti kegiatan Malam Renungan AIDS Nusantara (MRAN), rapat bersama LSM-LSM dan pemerintah daerah Propinsi dan Kota Yogyakarta maupun pada kegiatan-kegiatan sosialisasi yang di selenggarakan oleh pemerintah. Pada beberapa kesempatan tersebut, penulis tidak bisa membedakan antara ODHA dengan yang bukan ODHA. Sebab, secara fisik dan pola interaksi, para ODHA sama dengan kebanyakan orang yang tidak terinfeksi HIV. Hal ini membuat penulis ingin mengetahui cara mereka menghadapi masalah akibat terinfeksi HIV sehingga seolah-olah seperti tidak ada masalah, terutama dari aspek psikologisnya. Permasalahan diatas, membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian, untuk menjawab ketertarikan penulis dalam mengungkap misteri dibalik kehidupan ODHA dalam hal ini adalah dinamika psikologis pada ODHA dan kecenderungan penggunaan coping pada ODHA. A. Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap dinamika psikologis pada ODHA dan kecenderungan penggunaan coping pada ODHA. B. Tinjauan Pustaka 1. Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) a. Pengertian Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Daerah Istimewah Yogyakarja nomor 20 tahun 2010 tentang penanggulangan human immunodefficiency virus (HIV) dan acquired immuno defficiency sindrome (AIDS) menyatakan bahwa orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) adalah orang yang sudah terinfeksi HIV baik pada tahap sebelum ada gejala maupun yang sudah ada gejala. Sedangkan orang yang hidup dengan pengidap HIV dan AIDS yang selanjutnya disingkat dengan OHIDHA adalah orang yang terdekat, teman kerja, atau keluarga dari orang yang sudah tertular HIV. Perda Provinsi D.I.Y no 20 tahun 2010 tentang penanggulangan HIV dan AIDS menyebutkan bahwa Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab AIDS yang digolongkan sebagai jenis yang disebut retrovirus yang menyerang sel darah putih dan melumpuhkan sistem kekebalan tubuh dan
ditemukan dalam cairan tubuh pengidap HIV dan AIDS yang berpotensi menularkan melalui darah, air, mani, air susu ibu dan cairan vagina. Sedangkan Acquires Immuno Defficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh HIV yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia sehingga daya tahan tubuh melemah dan mudah terjangkit penyakit infeksi. AIDS muncul setelah virus HIV menyerang sistem kekebalan tubuh kita selama lima hingga sepuluh tahun atau lebih. Sistem kekebalan tubuh kita menjadi lemah, dan satu atau lebih penyakit dapat timbul. Karena lemahnya sistem kekebalan tubuh tadi, beberapa penyakit bisa menjadi lebih berat daripada biasanya. Individu yang AIDS rentan terjangkit berbagai penyakit yang mengancam (Sarafino, 1998). Berikut ini tabel perjalanan virus HIV : Tabel 1. Perjalanan virus HIV Perjalanan Virus HIV 3 bulan 10 – 15 tahun 1 – 2 tahun HIV Positif AIDS Terinfeksi HIV - Gejala ringan - Infeksi oportunistik Tanpa gejala - Belum perlu ke RS - Perlu ke RS b. Penularan HIV HIV ditularkan khususnya dengan pertukaran cairan tubuh, yaitu cairan seksual dan darah (Taylor, 1995). Virus HIV hidup di semua cairan tubuh tetapi hanya bisa menular melalui cairan tubuh tertentu, yaitu : darah, air mani (cairan, bukan sperma), cairan vagina, air susu ibu (ASI). Cara penularan virus HIV melalui : 1) Hubungan seks yang tidak aman (homoseksual dan heteroseksual), penerimaan organ, jaringan atau sperma. Kemungkinan penularan melalui hubungan kelamin menjadi lebih besar bila terjadi penyakit kelamin, khususnya yang menyebabkan luka atau ulterasi pada alat kelamin. 2) Transfusi darah. Penerimaan darah ataupun produk darah, dimana resiko serokonversi (kemungkinan status HIV penderita dari negatif menjadi positif) 90% setelah pemberian darah yang positif HIV. 3) Perinatal. Ibu yang HIV positif kepada bayinya (selama atau sesudah kehamilan), dimana resiko berkisar 15% hingga 50%. 4) Penggunaan jarum suntik yang tidak steril secara bergantian. Golongan yang berrisiko tinggi terinfeksi HIV adalah : 1) Orang yang berganti-ganti pasangan seksual (homoseksual atau heteroseksual). 2) Penyalahgunaan obat secara intervena. 3) Penerima darah atau produk darah (bila darah tidak diperiksa terlebih dahulu). Yang paling sering tertular adalah penderita hemophilia. 4) Bayi dari ibu yang telah terinfeksi HIV. Virus HIV mungkin menular pada fetus melalui plasenta, air susu, perlukaan yang terinfeksi darah ibu selama kelahiran dan ditularkan pada bayi. 2. Penyesuaian Psikososial Pada ODHA Hawari (2004), mengatakan bahwa penderita AIDS akan mengalami krisis kejiwaan pada dirinya, pada keluarganya, pada orang yang dicintainya dan pada
masyarakat. Krisis kejiwaan tersebut adalah dalam bentuk kepanikan, ketakutan, kecemasan, serba ketidakpastian, keputusasaan, dan stigma. Perlakuan terhadap penderita AIDS seringkali bersifat diskriminatif dan resiko bunuh diri pada penderita AIDS cukup tinggi akibat depresi mental yang dialaminya (Hawari, 2004). AIDS dapat dipandang sebagai penyakit kronik dibandingkan penyakit akut. Pengalaman individu sering bercampur antara kaget, menolak, merasa bersalah dan takut, semua itu menyatu dengan apakah akan membuka penyakit ini kepada lainnya (Ostrow dkk, dalam Carey dan Vanable, 2003). Hasan (2008), mengatakan bahwa ODHA dengan penyakit mematikan yang dialaminya, memiliki tiga tantangan utama, yaitu menghadapi reaksi terhadap penyakit yang memiliki stigma, berhadapan dengan kemungkinan waktu kehidupan yang terbatas, dan mengembangkan strategi untuk mempertahankan fisik dan emosi. Selain itu, ODHA juga harus menghadapi diagnosis kematian. Hal ini dapat mendorong mereka mengalami stres atau depresi, yang dapat membuat mereka mengisolasi diri dari orang lain (Hasan, 2008). Ketika dokter mendiagnosis bahwa seseorang menderita penyakit kronis seperti AIDS, ada tiga bentuk respon emosional yang secara umum mungkin muncul, yaitu penolakan, kecemasan, dan depresi (Taylor, 1995). Meskipun reaksi psikologis terhadap diagnosis penyakit dan penanganan sangat beragam dan keadaan serta kemampuan masing-masing penderita tergantung pada banyak faktor, tetapi ada enam reaksi psikologis yang utama menurut Prokop (Lubis, 2009) yaitu, kecemasan, depresi, perasaan kehilangan kontrol, gangguan kognitif (impairment), gangguan seksual serta penolakan terhadap kenyataan (denial). Kubler-Ross’s (Sarafino, 2006), melakukan wawancara terhadap 200 individu yang mengalami terminal illnes dan mengatakan bahwa penyesuaian individu biasanya mengikuti pola-pola yang dapat diprediksi dalam 5 tahapan yang dapat dialami secara berbeda oleh setiap penderita. Artinya setiap penderita mempunyai tahapan tersendiri, dapat urut atau melompat, dapat juga maju kemudian mundur kembali. Reaksi-reaksi tersebut adalah : a. Denial Reaksi pertama untuk prognosa yang mengarah ke kematian melibatkan perasaan menolak mempercayainya sebagai suatu kebenaran. Ia menjadi gelisah, menyangkal, gugup dan kemudian menyalahkan hasil diagnosis. Penyangkalan sebenarnya merupakan suatu mekanisme pelindung terhadap trauma psikologis yang dideritanya. b. Anger Secara tidak sadar proses psikologis akan terus berkembang menjadi rasa bersalah bahwa dirinya telah terinfeksi, marah terhadap dirinya sendiri atau orang yang menularinya, tidak berdaya dan kehilangan kontrol serta akal sehatnya. c. Bargaining Pada tahapan ini, orang tersebut berusaha mengubah kondisinya dengan melakukan tawar-menawar atau berusaha untuk bernegosiasi dengan Tuhan. d. Depression
Perasaan depresi muncul ketika upaya negosiasi tidak menolong dan orang tersebut merasa tidak ada harapan serta tidak berdaya. Mereka berada dalam keadaan tidak menentu dalam menghadapi reaksi orang lain terhadap dirinya. e. Acceptance Akhir dari proses psikologis ini adalah menerima nasib. Keadaan ini merupakan suatu keadaan dimana seseorang menyadari bahwa ia memiliki suatu penyakit, bukan akibat dari penyakitnya itu. Orang dengan kesempatan hidup yang tidak banyak lagi akan mencapai penerimaan ini setelah tidak lagi mengalami depresi, tetapi lebih merasa tenang dan siap menghadapi kematian. 3. Coping a. Pengertian Coping Matheny, dkk. (Rice, 1992), mendefinisikan coping sebagai segala usaha, sehat maupun tidak sehat, positif maupun negatif, usaha kesadaran atau ketidaksadaran, untuk mencegah, menghilangkan, atau melemahkan stresor, atau untuk memberikan ketahanan terhadap dampak stres. Lazarus dan Folkman (1984), mengemukakan bahwa coping adalah usahausaha kognitif dan perilaku (behavioral) yang berkesinambungan untuk mengelola tekanan dari dalam (internal) dan atau dari luar (eksternal) individu yang dirasakan merugikan atau melebihi kemampuan individu itu. Menurut Lazarus dan Folkman (1984), coping yang efektif untuk dilakukan adalah coping yang membantu seseorang untuk mentoleransi dan menerima situasi menekan dan tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya. Billing dan Moss (Rice, 1992), menguraikan perilaku coping bisa dikategorikan pertama-tama dalam istilah metode coping (coping method) menghadapi atau menghindari (active or avoidance), lebih terperinci dalam fokus responnya coping bisa dikategorikan pada orientasi masalah (problem oriented), atau orientasi emosi (emotion oriented). Dari beberapa definisi coping yang dikemukakan oleh para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa coping adalah usaha kognitif dan perilaku dalam mengelola tekanan-tekanan yang berfungsi membantu seseorang untuk bisa menerima dan mentoleransi situasi yang menekan b. Tujuan Coping Menurut Cohen dan Lazarus (Sarafino, 1998), tujuan coping, yaitu : 1) Mengurangi hal-hal yang diperkirakan akan menimbulkan situasi stres terutama yang berasal dari lingkungan. Usaha ini meliputi cara mencari alternatif pemecahan masalah. 2) Tercapainya penyesuaian yang baik terhadap kejadian-kejadian negativ yang dialami seseorang dalam kehidupannya. 3) Bertahannya anggapan positif terhadap diri sendiri. 4) Memiliki kemampuan untuk dapat mempertahankan keseimbangan emosional. 5) Dapat menjalin hubungan yang memuaskan dengan orang lain c. Strategi Coping
Lazarus & Folkman (1984), menggolongkan dua strategi coping yang biasanya digunakan oleh individu, yaitu problem focused coping dan emotion focused coping. 1) Problem focused coping Merupakan usaha individu yang secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres. Problem focused coping terdiri dari : a) Confrontative coping, usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang cukup tinggi dan pengambilan resiko. b) Seeking social support, yaitu usaha untuk mendapatkan kenyamanan dan bantuan informasi dari orang lain untuk menyelesaikan masalahnya. c) Planful problem solving, usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analitis 2) Emotion focused coping Merupakan usaha individu untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan, sedangkan kondisi objektif yang menimbulkan masalah tidak ditangani. Emotion focus coping terdiri dari : a) Seeking social emotional support, yaitu usaha untuk memperoleh dukungan secara emosional maupun sosial dari orang lain. b) Self control, usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan. c) Distancing, usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau menciptakan pandanganpandangan yang positif, seperti menganggap masalah sebagai lelucon. d) Positive reappraisal, usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan berfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang bersifat religious. e) Accepting responsibility, usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang di hadapinya, dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. Strategi ini baik, terlebih bila masalah terjadi karena pikiran dan tindakannya sendiri. Namun strategi ini menjadi tidak baik bila individu tidak seharusnya bertanggung jawab atas masalah tersebut. f) Escape/avoidance, usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti makan, minum, merokok, atau menggunakan obat-obatan. d. Strategi Coping Pada ODHA Schrimashaw dan Siegel (2000), dalam penelitiannya mengenai strategi kognitif penderita HIV pada gay menemukan ada 40 strategi kognitif yang digunakan sebagai coping terhadap HIV & AIDS yang kesemuanya di masukkan dalam empat kategori besar, yaitu menghindari ancaman kematian, mengurangi perasaan sebagai korban, mengontrol perasaan, dan menyiapkan mental untuk menghadapi kekacauan emosi.
Sebuah penelitian studi kasus yang dilakukan oleh Kurniawati (2006), mengenai coping stres pada ODHA menunjukkan bahwa ODHA memiliki kecenderungan untuk melakukan emotion focus coping daripada problem focus coping. Pengeksplorasian emosi ternyata merupakan proses penting bagi ODHA untuk kemudian dapat menerima keadaan. Problem focus coping dilakukan ODHA untuk mempertahankan daya tahan tubuhnya. Strategi ini dilakukan ODHA dengan menjaga pola hidup sehatnya ataupun dengan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang HIV & AIDS untuk mengantisipasi adanya penurunan kesehatan. Keberhasilan coping ditentukan oleh dua faktor, yaitu dukungan dari orang-orang di sekitar ODHA (OHIDHA) dan pemenuhan kebutuhan ODHA. Hal senada juga di kemukakan oleh Nihayati (2012), melalui penelitiannya yang mengungkapkan bahwa dukungan sosial memberikan efek positif bagi ODHA. Leiphart dalam artikelnya yang berjudul pengobatan tubuh-pikiran dan HIV & AIDS mengemukakan sebuah hasil penelitian mengenai hubungan tubuh dan pikiran terhadap emosi, kepercayaan, hubungan kita dengan orang lain serta kebiasaan perilaku kita dapat mempengaruhi kekebalan tubuh kita, sehingga mengarahkan tubuh ke arah sakit atau sehat. Para peneliti telah menemukan penyebab mengapa beberapa orang jatuh sakit dan meninggal karena HIV, sementara orang lain tetap bebas dari gejala dan sehat, yaitu kepercayaan, stres, kesedihan, pengungkapan kepada pendukung yang terpercaya, tujuan hidup dan cita-cita, orang yang punya pendirian, dan perawatan tubuh (odhaindonesia.org). Marguari, Ketua Yayasan Spiritia, melalui siaran Iptek Voice yang diberitakan oleh wartapedia.com menjelaskan bahwa penelitian yang melibatkan sekitar 2000 ODHA di 10 provinsi menyimpulkan mutu ODHA baik dan cukup tinggi. Sebanyak 71% mutu ODHA baik karena ada sistem dukungan kelompok sebaya (wartapedia.com). Hal senada juga telah dibuktikan oleh Nihayati (2012) melalui penelitiannya bahwa dukungan sosial berdampak positif bagi ODHA. METODE Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian ini dilakukan di LSM pendampingan ODHA di D.I.Yogyakarta. Sasaran penelitian ini adalah ODHA yang terdata di LSM pendampingan ODHA di D.I.Yogyakarta yang mampu dan bersedia memberikan informasi mengenai dinamika psikologis dan kecenderungan penggunaan coping pada ODHA. Oleh karena itu, subyek pada penelitian ini adalah orang yang benar terinfeksi HIV, jenis kelamin laki-laki atau perempuan, berusia antara 20-39 tahun, mampu berkomunikasi dengan baik. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah criterion sampling. Metode pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara dan observasi. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis tema untuk mendeskripsikan hasil penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Identitas Subyek Berikut ini adalah identitas subyek penelitian : Ciri-ciri Subyek Pertama Subyek Kedua Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Tempat. Tanggal lahir Jakarta, 26 Mei 1976 Yogyakarta, 18 Februari 1986 Usia 36 tahun 26 tahun Asal Jakarta Yogyakarta Status Menikah Cerai mati Pendidikan Terakhir Diploma SMA Pekerjaan Terakhir Karyawan FKL Wirausaha (Sebelum terinfeksi Ekspedisi muatan kapal HIV) laut di Papua Pekerjaan Terakhir Staff di LSM Vicktory Staff di LSM Vicktory Plus (Setelah terinfeksi Plus HIV) Pertama kali tahu September 2003 Desember 2006 status Latar belakang Narkoba jarum suntik Heterosexual terinfeksi 2. Dinamika Psikologis Pada ODHA Kedua subyek memiliki dinamika psikologis yang berbeda selama menjadi ODHA. Subyek pertama ketika pertama kali mengetahui terinfeksi HIV mengalami reaksi denial atau penolakan. Subyek menolak mempercayai bahwa dirinya terinfeksi HIV, karena menurut subyek HIV tidak akan menular hanya dengan menggunakan narkoba jarum suntik bergantian dan HIV hanya menular kepada pelaku seks bebas dan homoseksual. Kubler-Ross’s (Taylor, 1995), berpendapat bahwa pada sebagian orang akan kaget dan menolak hasil apapun sebagai sebuah kesalahan, dimana kondisi ini hanya berlangsung beberapa hari saja. Menurut Taylor (1995), hasil diagnosis penyakit kronis kerap kali membuat pasien mengalami shok. Kondisi ini yang terjadi pada subyek kedua, ketika pertama kali mengetahui positif HIV, yaitu subyek diam tanpa ekspresi. Sesaat kemudian, subyek berpikir bahwa ini adalah resiko menjadi istri pengguna narkoba jarum suntik. Sikap menerima ini diambil oleh subyek atas dasar subyek sangat mencintai suaminya dan juga sebagai upaya agar lebih merasa tenang dan siap menerima resiko. Reaksi ini yang disebut oleh Kubler-Ross’s sebagai acceptance atau menerima (Sarafino, 2006). Selain itu, subyek kedua bisa menerima karena subyek menganggap bahwa masalah ini sebagai bentuk kasih sayang Allah SWT. Sikap subyek ini diperkuat oleh Ironson melalui penelitiannya yang menyatakan (Hawari, 2004) bahwa agama mempunyai peran yang penting dalam memperpanjang usia seseorang yang menderita HIV dan AIDS.
Setelah kedua subyek mengalami reaksi psikologis saat mengetahui terinfeksi HIV, kedua subyekpun mengalami reaksi berikutnya, yaitu depression bagi subyek pertama dan denial bagi subyek kedua. Subyek pertama mengalami reaksi psikologis berupa depression. Perasaan ini muncul ketika individu merasa tidak ada harapan serta tidak berdaya. Menurut Kubler-Ross’s reaksi ini merupakan waktu untuk ‘perasaan duka terlebih dahulu ketika pasien melihat dirinya akan mati (Taylor, 1995). Sarafino (2006), mengatakan bahwa penyakit AIDS bisa membangunkan perasaan kehilangan harapan dan ketidakberdayaan. Bahkan subyek bisa mengalami depresi berat. Hal serupa juga dikatakan oleh Hawari (2004), bahwa penderita AIDS akan mengalami rasa takut (fear) dan rasa putus asa (burn out). Lubis (2009), mengemukakan suatu studi telah menyimpulkan bahwa pasien yang menderita suatu penyakit dengan kondisi akut sebagian besar akan menunjukkan adanya gangguan psikologis di antaranya depresi. Subyek pertama merasa harapan hidup menipis, semangat hidup menurun, berpikir tidak ada harapan untuk hidup, orang yang HIV sama dengan mati, tidak bisa menikah dan tidak bisa memiliki keturunan. Subyek juga tidak membuka statusnya kepada keluarga karena takut akan ditolak/diisolasi secara sosial. Menurut Taylor (1995), denial atau penolakan merupakan mekanisme pertahanan diri untuk menghindari dampak dari penyakit. Selain itu, KublerRoss’s (Taylor, 1995), mengungkapkan bahwa penolakan dijadikan orang-orang sebagai reaksi untuk mempelajari diagnosis penyakit menular. Hal ini seperti yang terjadi pada subyek kedua yang mengalami reaksi psikologis berupa denial, yaitu tidak bisa menerima dan tidak percaya bahwa dirinya terinfeksi HIV. Subyek merasa jangan-jangan hasilnya negatif, hasil pemeriksaan laboratorium bohong. Penolakan ini muncul ketika subyek mengalami kesendirian setelah suaminya meninggal. Menurut Taylor (2009), kesendirian (aloneness) adalah kondisi obyektif di mana seseorang terpisah atau tidak bersama orang lain. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan hidup yang membuat kita jauh dari sahabat dan kehilangan hubungan dekat. Weiss (Taylor, 2009) menyebutnya sebagai emotional loneliness (kesepian emosional) yang berasal dari hilangnya sosok yang intim, seperti orang tua atau pasangan kekasih hati. Setelah kedua subyek mengalami reaksi tersebut, kedua subyek pun mengalami reaksi berikutnya, yaitu anger bagi subyek pertama dan acceptance bagi subyek kedua. Subyek pertama mengalami reaksi marah (anger). Subyek merasa tidak berdaya dan kehilangan kontrol diri. Rasa bersalah yang mendalam membuat subyek menambah dosis penggunaan narkoba. Hal ini dilakukannya untuk mempercepat kematian. Subyek mengetahui bahwa jika terinfeksi HIV, maka akan mati. Kubler-Ross’e (Sarafino, 2006), mengatakan bahwa reaksi ini timbul sebagai akibat pengaruh gencarnya kampanye AIDS yang mengandung informasi menakutkan. Sedangkan pada subyek kedua, reaksi yang dialaminya adalah acceptance. Subyek menerima dirinya terinfeksi HIV setelah melihat hasil tes CD-4 dan menyadari konsekuensi sebagai istri mantan pecandu narkoba. Tes CD-4 ini dilakukan subyek untuk meyakinkan bahwa dirinya terinfeksi HIV. Hal ini sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Kubler-Ross’s (Sarafino, 2006), mengenai acceptance. Reaksi selanjutnya yang dialami kedua subyek adalah bargaining. Sepertinya yang dikemukakan oleh Kubler-Ross’s (Sarafino, 2006), bahwa subyek melakukan tawar menawar dan mulai membuka diri (self-disclossur) dengan memilih siapa yang akan menerima keadaan dirinya, kemudian akan menceritakan keadaannya. Hal serupa di kemukakan oleh Kaplan (1993), bahwa dukungan sosial dapat diperoleh melalui individu-individu yang diketahui dapat diandalkan, menghargai, memperhatikan serta mencintai kita dalam suatu jaringan sosial. Kondisi ini dijelaskan pula oleh Sarafino (2006), bahwa berinteraksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau merubah persepsi individu mengenai kejadian tersebut, dan ini akan mengurangi potensi munculnya stres baru atau stres yang berkepanjangan. Subyek pertama melakukan tawar-menawar dengan dirinya untuk mulai membuka diri (self-disclosure) pada orang yang di anggap bisa menerima keterbukaannya, sebab subyek merasa tidak mampu menghadapi masalahnya sendirian. Subyek membutuhkan orang-orang yang perhatian terhadap ODHA, baik sesama ODHA maupun orang-orang yang tidak terinfeksi HIV. Begitupun subyek kedua, subyek mulai membuka diri (self-disclosure) kepada orang yang dianggap bisa menerimanya dan memulai untuk melakukan terapi dan pengobatan herbal. Seperti yang dikemukakan oleh McClallend bahwa pada situasi yang penuh dengan tekanan psikologis, orang membutuhkan afiliasi atau need for affiliation (Wikipedia, 2013). Murray (Chaplin, 2006), mengemukakan bahwa affiliation adalah kebutuhan akan pertalian perkawanan dengan orang lain, pembentukkan persahabatan, ikut serta dalam kelompok-kelompok tertentu, bercinta. Motif afiliasi merupakan salah satu motif sosial yang sering diartikan sebagai kebutuhan untuk bersama dengan orang lain. Reaksi berikutnya yang di alami oleh kedua subyek adalah anxiety bagi subyek pertama dan depression bagi subyek kedua. Menurut Sarafino (2006), penyakit AIDS bisa membangunkan perasaan kehilangan harapan dan ketidakberdayaan. Hal serupa juga dikatakan oleh Hawari (2006), bahwa penderita AIDS akan mengalami rasa takut (fear). Kecemasan pada subyek pertama bukan disebabkan oleh virus HIV melainkan masalah membuka statusnya kepada calon istri dan mengenai terapi yang akan di jalaninya. Subyek pertama ini mengalami kecemasan untuk membicarakan penyakitnya kepada calon istrinya. Subyek juga mencemaskan harga ARV yang mahal serta ketakutan akan kebijakan pemerintah yang akan menghentikan subsidi obat bagi penderita HIV. Subyek kedua mengalami reaksi depresi karena pada kondisi ini subyek mengalami masa-masa sulit sebelum mengenal sesama ODHA. Kesulitan yang dialaminya adalah tidak ada teman sesama yang bisa diajak sharing. Kondisi ini juga membuat subyek sering menangis dan murung atau diam dan mengisolasi diri. Hal ini dapat mendorong mereka mengalami stres atau depresi, yang dapat membuat mereka mengisolasi diri dari orang lain (Hasan, 2008). Selain itu, subyek tidak memberitahu statusnya sebagai ODHA kepada kedua orang tua kandungnya. Hal ini dilakukan subyek karena subyek khawatir
akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan orang tuanya dan juga latar belakang pendidikan orang tua yang rendah. Menurut Hawari (2004), dampak psikologis tidak hanya dialami oleh penderita HIV, tetapi bagi keluarga/orang tua yang salah satu anggota keluarganya menderita AIDS, akan menimbulkan rasa duka cita (grief) dan kepedihan yang mendalam, terlebih-lebih lagi manakala saat kematian telah tiba. Reaksi selanjutnya adalah acceptance bagi subyek pertama dan frustation bagi subyek kedua. Subyek pertama menerima dirinya terinfeksi HIV atas izin Tuhan. Subyek yakin bahwa, Tuhan mengizinkan dirinya terinfeksi juga sekaligus memberikan solusinya. Subyek juga yakin bahwa, sesuatu yang tidak mungkin bagi manusia, bagi Tuhan pasti mungkin. Subyek kemudian menjadikan ini sebagai pegangan hidupnya. Selain itu, subyek bergabung dengan teman senasib dan memperbaiki hidup lebih baik serta rutin beribadah di gereja. Selain itu, ketika pertama kali subyek mengetahui hasil tes yang menyatakan bahwa subyek positif HIV, saat itu subyek bersama-sama dengan temannya yang juga di diagnosa positif HIV dan tinggal di panti rehabilitasi. Hal ini kemudian membuat subyek tidak merasa sendiri dan bisa menerima statusnya sebagai ODHA. Subyek kedua mengalami frustation, yaitu suatu keadaan ketegangan yang tak menyenangkan, dipenuhi kecemasan, dan aktivitas simpatetis yang semakin meninggi disebabkan oleh perintangan dan penghambatan (Chaplin, 2006). Subyek kedua mengalami keadaan frustrasi, disebabkan subyek memunculkan ingatan mengenai masalah-masalah yang sedang dialaminya, seperti di usia 20 tahun menjadi ODHA sekaligus single parent, ingat temanteman seusianya yang masih kuliah dan bersenang-senang, menangis sendiri, mempertanyakan nasib hidupnya kepada dirinya sendiri dan Tuhan, dan pertanyaan tentang suaminya sebagai jodoh yang diberikan Tuhan kepadanya. Selain itu, subyek merasa berat ditinggal mati oleh suaminya. Taylor (2009), mengemukakan bahwa kesendirian (aloneness) adalah kondisi obyektif di mana seseorang terpisah atau tidak bersama orang lain. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan hidup yang membuat kita jauh dari sahabat dan kehilangan hubungan dekat. Weiss (Taylor, 2009) menyebutnya sebagai emotional loneliness (kesepian emosional) yang berasal dari hilangnya sosok yang intim, seperti orang tua atau pasangan kekasih hati. Keadaan sendiri muncul karena subyek merasa harus menjalani hidup sebagai orang tua tunggal, merasa mengasuh anak sendirian, merasa keluarganya pincang dan tidak memiliki teman curhat Proses psikologis yang dialami subyek kedua ini akan terus berkembang menjadi rasa bersalah bahwa dirinya terlah terinfeksi, marah terhadap diri sendiri atau orang yang menularinya, demikian yang dikatakan Kubler-Ross’s (Sarafino, 2006). Reaksi selanjutnya yang dialami subyek kedua adalah bargaining. Subyek kedua mencari dan menjalin hubungan sosial dengan sesama ODHA yang tergabung dalam komunitas KDS guna saling men-support. Subyek juga sering mengikuti kegiatan-kegiatan berbagai komunitas untuk mengalihkan perhatiannya manakala ingatan-ingatan mengenai masalahnya muncul dan dirasa mengganggu. Selain itu, subyek juga berpacaran dengan seorang lelaki yang perhatian terhadap
dirinya, yang menurut subyek kehadiran pacarnya tersebut membuat dirinya tidak merasa sendiri. Menurut subyek, kehadiran pacar yang penuh perhatian juga dapat mengurangi tekanan psikologis yang dialami subyek. Reaksi selanjutnya dari subyek kedua adalah acceptance setelah melewati dinamika perubahan psikososial yang panjang. Subyek bisa menerima, sebab sudah terbiasa dengan situasi yang dialaminya. Bentuk penerimaan subyek berupa pasrah pada nasib yang dialaminya. Dari uraian diatas, peneliti menemukan bahwa virus HIV menimbulkan reaksi psikologis pada pengidapnya. Kedua subyek dalam penelitian ini memiliki dinamika psikologis yang berbeda dalam menjalani kehidupannya sebagai ODHA. 3. Kecenderungan Penggunaan Coping Pada ODHA Setelah mengalami kejadian yang menekan, biasanya kita berusaha untuk mengatasinya. Masing-masing orang memiliki caranya sendiri untuk mengatasi permasalahannya. Ketika seseorang dihadapkan pada situasi baru, mau tidak mau dia harus berusaha menyesuaikan dirinya dengan situasi tersebut, begitu juga para ODHA. Menurut Lazarus dan Folkman (1984), individu cenderung menggunakan PFC ketika individu yakin bahwa sumber daya atau tuntutan terhadap situasi yang menekan bisa dirubah. Hal ini dapat dijumpai pada kedua subyek. Subyek pertama menggunakan seeking social support ketika merasa takut seandainya pemerintah menghentikan subsidi obat bagi para penderita HIV, mengingat harga obat yang mahal. Subyek menggunakan usaha ini dengan cara menceritakannya kepada teman dan sekaligus bergabung dalam LSM guna memantau kebijakan pemerintah terhadap para penderita. Solono dkk (Manne, 2003), mengemukakan individu akan berjuang dengan semangat untuk memperkecil perkembangan penyebaran HIV setahun kemudian, setelah melakukan kontrol untuk mengetahui jumlah sel CD-4. Subyek kedua melakukan tes CD-4 untuk menghilangkan keraguan yang menyatakan bahwa dirinya positif HIV. Setelah mengetahui informasi yang jelas, barulah subyek bisa menerimanya. Lalu, subyek berusaha keras untuk mendapatkan bantuan orang lain berupa informasi mengenai HIV, pengobatan dan terapi herbal dengan harapan bisa sembuh dari penyakit HIV. Usaha yang dilakukan oleh subyek kedua ini disebut oleh Lazarus dan Folkman (1984), sebagai seeking social support. Menurut Lazarus dan Folkman (1984), individu cenderung menggunakan EFC ketika yakin kecil kemungkinan untuk bisa merubah keadaan yang menekan. Kejadian menekan yang menimbulkan perasaan ketidakberdayaan dikarenakan situasinya tidak terduga dan tidak terkontrol seperti AIDS (Folkman dan Moskowitz, 2000). Seeking social emotional support, yaitu usaha untuk memperoleh dukungan secara emosional maupun sosial dari orang lain (Lazarus & Folkman, 1984). Hal ini dapat dilihat dari tindakan kedua subyek dalam mengatasi tekanan yang dialami. Subyek pertama berusaha mencari dukungan emosional dan sosial dari orang lain, dengan cara menceritakan masalah-masalah yang sedang
dialaminya kepada orang tua dan teman. Hal ini dilakukan subyek, sebab subyek merasa tidak mampu menghadapi masalahnya sendirian dan juga agar subyek tidak merasa sendirian. Subyek juga bergabung dalam LSM untuk saling mensupport sesama ODHA, karena menurut subyek, dukungan dari orang lain sangat dibutuhkan. Hal yang sama juga dilakukan subyek kedua yaitu, mencari dukungan dengan cara menceritakan masalahnya kepada orang lain dalam hal ini adalah beberapa anggota keluarga dan teman, bergabung dalam LSM sesama ODHA, dan mengikuti berbagai kegiatan-kegiatan komunitas seperti klub motor, sepeda, dan komunitas peduli lingkungan. Subyek kedua menggunakan coping ini, sebab menurut subyek dukungan orang-orang disekitarnya sangat membantu sebagai penguat untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menekan. Perhatian dan kepedulian dari orang-orang penting, seperti orangtua, pasangan hidup, teman, rekan kerja, dan para anggota gereja atau kelab dapat berdampak besar pada kesehatan (Sundberg, Winebarger, Taplin, 2007). Dukungan sosial yang diterima subyek berdampak positif terhadap aspek kesehatan, psikologis, sosial dan pekerjaan, sehingga hal tersebut dapat membantu subyek dalam meningkatkan kesehatan guna memerangi virus HIV (Nurbani, 2008). Billings & Moos (Lubis, 2009) mengemukakan hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial dapat memerangi tekanan psikologis selama masa stres. Self control, yaitu usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan. Hal ini bisa ditemukan pada subyek kedua. Tindakan yang dilakukan subyek kedua untuk mengatur perasaannya dengan cara berdoa, menuliskan perasaannya ke dalam diary, dan ikut kegiatan-kegiatan komunitas untuk mengalihkan dan menghilangkan perasaan sedih. Subyek juga menjalin hubungan dengan berpacaran untuk menghilangkan perasaan sedih dan merasa sendiri. Sedangkan subyek pertama tidak menggunakan cara ini untuk mengatur emosinya. Hal ini dikarenakan subyek cenderung menggunakan proses berpikir untuk menghadapi masalah, sehingga dengan cara ini subyek bisa mengatur perasaannya. Positive reappraisal, yaitu usaha mencari makna positif dari permasalahan dengan berfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melibatkan hal-hal yang bersifat religious. Pemaknaan berdampak panjang pada penilaian terhadap tekanan (Lazarus dalam Folkman dan Moskowitz, 2000). Underwood dan Teresi (Fowler dan Hill, 2004), mengemukakan bahwa spiritualitas merupakan tipe yang lain dari coping, yang menunjukkan persepsi dan interaksi dengan kerohanian dan perasaan yang kuat dari dalam diri dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dilihat dari pikiran yang muncul dari kedua subyek dalam memaknai kejadian yang dialami. Subyek pertama, menguatkan aspek spiritualitas dan menjadikannya sebagai pegangan hidup. Menurut subyek, pemikiran manusia berbeda dengan Tuhan. Hal yang terpenting bagi subyek adalah memiliki keinginan untuk berubah dan menjalani hidup dengan baik akan membawa pada perubahan yang lebih baik. Sedangkan subyek kedua juga menggunakan aspek religious dalam memaknai permasalahannya. Derezotes (Fowler dan Hill, 2004), mengungkapkan dalam studinya bahwa religious ini pada umumnya selalu
menunjukkan hubungan petunjuk agama seperti sistem kepercayaan, ritual dan perilaku. Menurut subyek kedua, masalah yang dialaminya adalah bentuk kasih sayang Allah SWT. Aspek ini hanya digunakan subyek disaat pertama kali mengetahui terinfeksi HIV, sedangkan ketika menghadapi permasalahan psikologis selama menjadi ODHA, subyek tidak menggunakan aspek religious ini. Strategi ini cenderung positif dalam melihat situasi menekan untuk mempertahakan keadaan yang positif (Moskowitz, Folkman, Collete, & Vittinghoff dalam Folkman dan Moskowits, 2000). Accepting responsibility, yaitu usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. Kedua subyek penelitian ini menggunakan cara ini untuk mengatur emosinya. Subyek pertama menerima masalah yang dialaminya, sebab subyek menyadari bahwa ini adalah akibat menggunakan jarum suntik dimasa lalu. Subyek juga berpikir bahwa apa yang dialami merupakan kehendak dan izin Tuhan terhadap dirinya. Sedangkan subyek kedua, menyadari bahwa apa yang dialaminya saat ini merupakan resiko menjadi istri seorang mantan pecandu narkoba jarum suntik yang harus diterimanya. Subyek kedua sangat mencintai suaminya, sehingga keadaan ini membuatnya bisa menerima. Subyek juga bersikap pasrah pada nasib yang dialaminya. Selain itu, proses panjang yang dilalui oleh subyek kedua selama menjadi ODHA membuat dirinya terbiasa dengan keadaan dan situasi yang mengalami perubahan, sehingga subyek bisa menerima sebagai tanggung jawab pribadi. Escape/avoidance, yaitu usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain seperti makan, minum, merokok atau menggunakan obat-obatan. Coping ini ditemui pada subyek pertama ketika pertama kali subyek mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV. Saat itu, subyek menggunakan narkoba dengan menambah dosisnya bersama dengan teman-teman sesama pemakai untuk menghindari situasi yang menekan. Setelah mengetahui bahwa cara ini tidak membuahkan hasil yang diinginkan, subyek menghentikannya dan mencari cara yang lain. Sedangkan subyek kedua tidak menggunakan coping ini. Menurut Lazarus dan Folkman (1984), orang bisa mengatur respon emosinya melalui pendekatan merubah cara berpikir (kognitif) dan perilaku (behavior). Usaha-usaha kognitif yang dilakukan oleh kedua subyek berupa memaknai kejadian yang menekan sebagai bentuk kasih sayang dan atas izin Tuhan, menyadari sebagai konsekuensi pengalaman masa lalu, dan pasrah. Sedangkan usaha-usaha perilaku yang dilakukan subyek berupa menceritakan masalah yang dialami kepada sesama ODHA dan OHIDHA, mengikuti KDS, menulis diary, pacaran, mengikuti berbagai kegiatan komunitas. Bila dilihat dari data yang didapat berkaitan dengan jenis-jenis coping yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa ODHA cenderung menggunakan Emotional Focus Coping. Kedua subyek juga memiliki kecenderungan penggunaan coping jenis EFC yang berbeda. Berdasarkan analisis data, subyek pertama cenderung menggunakan positif reappraisal. Hal ini bisa dilihat dari
pernyataan subyek yang mengatakan bahwa aspek spiritualitas menjadi pegangan hidup. Subyek kedua cenderung menggunakan seeking social emotional support. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan subyek yang mengatakan bahwa peran orangorang disekeliling sangat penting bagi subyek sebagai penguat. Menurut subyek, menyibukkan diri dengan mengikuti berbagai kegiatan komunitas, dapat mengalihkan perhatiannya terhadap masalah yang dialaminya.
KESIMPULAN Penelitian ini menemukan bahwa ODHA memiliki dinamika psikologis yang berbeda-beda sebagai reaksi akibat terinfeksi HIV. Reaksi yang dialami oleh kedua subyek dalam penelitian ini terjadi secara berurutan. Subyek pertama mengalami reaksi denial, depression, anger, bargaining, anxiety dan acceptance. Subyek kedua mengalami reaksi acceptance, denial, acceptance, bargaining, depression, frustation, bargaining, dan acceptance. Penelitian ini juga menemukan bahwa masing-masing subyek penelitian memiliki kecenderungan penggunaan coping. Secara umum, kedua subyek cenderung menggunakan Emotional Focused Coping. Subyek pertama menggunakan seeking social support, seeking social emotional support, positive reappraisal, accepting responsibility, dan escape/avoidance. Subyek kedua menggunakan seeking social support, seeking social emotional support, self control, positive reappraisal, dan accepting responsibility. Secara khusus, kedua subyek memiliki perbedaan kecenderungan penggunaan coping. Subyek pertama cenderung menggunakan positive reappraisal, sedangkan subyek kedua cenderung menggunakan seeking social emotional support. Keterbatasan Penelitian Ada beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, antara lain : 1. Penulis tidak melakukan observasi di lingkungan tempat tinggal subyek. 2. Penulis hanya menggunakan satu significant person dari kedua subyek penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Carey, M.P., & Vanable, P.A. 2003. AIDS/HIV in Irving B. Weiner (editor). Handbook of Health Psychology (9 : 219-239). New Jersey : John Wiley & Sons, Inc. Chaplin, J.P. 2006. Kamus Lengkap Psikologi. Penerjemah : Kartono, K. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. Creswell, John W. 2009. Research Design, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
DickyN. 2012. Deskripsi Singkat Tentang Yogyakarta. http://blog-tentang-jogjadeskripsi-singkat-tentang-yogyakarta.htm. 25 Oktober 2012. Ditjen PP & PL Kementerian Kesehatan RI. 2011. Laporan Perkembangan Situasi HIV & AIDS Di Indonesia Triwulan 2 Tahun 2011. Jakarta. Folkman, S., & Moskowitz, T. 2000. Positive Affect and the Other Side of Coping. American Psychologist Journal. 55 : 647-654. Forum Kompas. 2012. Penderita Baru AIDS Di Indonesia Capai 6.087 Orang. http://forum.kompas.com/nasional/48348-penderita-baru-aids-diindonesia-capai-6-087-org.html. 25 Oktober 2012. Fowler, D.N., & Hill, H.M. 2004. Social Support and Spirituality as Culturally Relevant Factors in Coping Among African American Women Survivors of Partner Abuse. Violence Againts Women Journal. 10 : 1267-1282. Halim, M.S & Atmoko, W.D. 2005. Hubungan Antara Kecemasan Akan HIV/AIDS Dan Psychological Well-Being Pada Waria Yang Menjadi Pekerja Seks Komersial. Jurnal Psikologi. 15 : 17-31. Hasan, A.B.P. 2008. Pengantar Psikologi Kesehatan Islami. Jakarta: Rajawali Pers. Hawari, D. 2004. Al Qur’an : Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa”. Edisi III (Revisi). Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa. Jih, H., dkk. 2004. Health-Related Quality of Life Among Men with HIV Infection : Effects of Social Support, Coping, and Depression. AIDS PATIENT CARE and STDs. 18 : 594-603. Kaplan, H.I., Sadock, B.I., Grebb, J.A.1993. Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri. Jilid dua : edisi ke tujuh. Jakarta : Binarupa Aksara. KPA Provinsi DIY. 2012. Laporan Surveylans Kasus HIV&AIDS Provinsi DIY Tahun 1993-2011(sampai dengan Desember 2011). http://data-kasus-hivaids-diy-s-d-des-2011–komisi-penanggulangan-aids-diy.htm. 25 Oktober 2012. Kurniawati. 2006. Coping Stres Pada Orang Dengan HIV/AIDS (Sebuah Studi Kasus). Skripsi. (tidak diterbitkan). Surabaya : Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Lazarus, R.S., & Folkman, S. 1984. Stress, Appraisal and Coping. New York: Spranger.
Leiphart, J. 2007. Pengobatan tubuh-pikiran dan HIV/AIDS. http://www.pengobatan-tubuh-pikiran-dan-HIV-AIDS-ODHAIndonesia.htm. 25 Oktober 2012. Lubis, N.L. 2009. Depresi : Tinjauan Psikologis. Jakarta : Kencana. Manne, S. 2003. Coping and Social Support in Irving B. Weiner (editor). Handbook of Health Psychology (9 : 51-67). New Jersey : John Wiley & Sons, Inc. Minza, W. M. dkk. 2006. Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi S1 Pendekatan kualitatif. Yogyajarta : Universitas Ahmad Dahlan. Nihayati, A. 2012. Dukungan Sosial Pada Penyandang HIV/AIDS Dewasa. Skripsi. (tidak diterbitkan). Surakarta : Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Nugroho, P. 2009. Coping Stres Pada Orang Dengan HIV dan AIDS. Skripsi. (tidak diterbitkan). Malang : Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang. Nurbani, F. 2008. Dukungan Sosial Pada ODHA. Skripsi. (tidak diterbitkan). Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Organisasi.Org. 2007. Informasi Profil Provinsi DI Yogyakarta. http://informasiprofil-provinsi-di-yogyakarta-jogjakarta-info-daerah-yang-ada-diindonesia-organisasi.Org.htm. 25 Oktober. 2012. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewah Yogyakarta nomor 20 tahun 2010 tentang penanggulanagan human immunodefficiency virus (HIV) dan acquired immuno defficiency sindrome (AIDS). 2010. Yogyakarta. Phillips, K.D. 2007. Social Support, Coping, and Medication Adherence Among HIV-Positive Women with Depression Living in Rural Areas of the Southeastern United States. AIDS PATIENS CARE and STDs. 21 : 667680. Rice, P.L. 1992. Stress and Health. Second Edition. California: Pasific Grove, Brook/Cole Publishing Company. Poerwandari, E. K. 2009. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Sarafino, E.P. 1998. Health Psychology: Biopsychosocial Interaction. New York: John Wiley & Sons Inc. Sarafino, E.P. 2006. Health Psychology: Biopsychosocial Interaction. Fifth Edition. New York: John Wiley & Sons Inc. Schrimshaw, E.W., & Siegel. K. 2000. Coping with Negative Emotions : The Cognitive Strategies of HIV-infected Gay/Besexual Men. Journal of Health Psychology. 5 : 517-530. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Alfabeta. Sunberg, N.D., Winebarger, A.A., & Taplin, J.R. 2007. Psikologi Klinis, Perkembangan Teori, Praktik, dan Penelitian. Edisi Keempat. Penerjemah : Soetjipto, H.P & Soetjipto, S.M. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Taylor, S.E. 1995. Health Psychology. Third Edition. New York: inc. Mc. Graw Hill. Taylor, S.E, Peplau, L.A., & Sears. D.O. 2009. Psikologi Sosial. Edisi Kedua Belas. Jakarta : Kencana Tribunnews. 2012. Yogyakarta Peringkat Sembilan Jumlah Penderita HIV & AIDS. http://id.berita.yahoo.com/yogyakarta-peringkat-sembilan-jumlahpenderita-hiv-aids.123151544.html. 25 Oktober 2012. Vicktory Plus Yogyakarta. 2010. LSM Vicktory Plus. http://lsm-victory-plus.htm. 25 Oktober 2012. Wartapedia.com. 2011. AIDS : KDS Berupaya Tingkatkan Mutu Hidup ODHA. http://AIDS-KDS-Berupaya-Tingkatkan-Mutu-Hidup-ODHA.htm. 25 Oktober 2012. Wikipedia. 2013. Need theory. http://Need_theory.htm. 30 Januari 2012. Yayasan Spiritia. 2009. Hidup dengan HIV/AIDS. Jakarta : Yayasan Spiritia. Yunita, B.S., & Ginanjar, A.S. 2001. Perkembangan Status Identitas Pada Penderita HIV & AIDS. Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.