1
Dinamika Psikologis Pada Pria Dan Wanita Yang Menjalani Pisah Ranjang Evi Novita Dewi Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta Jalan Kapas 9, Semaki Yogyakarta 65166
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika psikologi pada pria dan wanita yang menjalani pisah ranjang .Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus peneliti melakukan wawancara terhadap dua subyek yaitu pria dan wanita yang menjalani pisah ranjang. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan gambaran dinamika psikologis dari kedua subyek dengan kasus yang berbeda tetapi keduanya menjalani pisah ranjang. Pada subjek pertama seorang pria 35 tahun, selama pisah ranjang kondisi psikologis subjek tidak stabil, pisah ranjang membuat emosi dan susah berkonsentrasi dalam bekerja. Sedangkan subyek kedua seorang wanita 42 tahun, pisah ranjang menimbulkan perasaan kecewa, sakit hati dan malu , namun terdapat perbedaan perilaku yang muncul akibat dari konflik dan pisah ranjang. Pada subyek pertama perilaku yang muncul cenderung negative sedangkan pada subyek kedua perilaku yang muncul cenderung positif. Kata kunci : Dinamika psikologis perkawinan, Pisah ranjang
Abstract This study aims to determine the dynamic of marital psychology of separate married men and women. This study uses a case study approach to qualitative research interviews with the two subjects who have experienced separate married.The results of this study outlines the dynamics of the marriage of the two subjects with different case, but the both of them have experienced separate married. The first subject is a 35 years man, during with its conflicts motivated by sexual problems while the second subject is a 42 years woman who have its conflict cause feelings of disappointment, hurt and embarrassed. but there are differences in behavior arising from the conflicts and causes between them. the first
2
subject appears likely to be negative behaviors while on the second subject appear likely to be positive behaviours. Key word: Phsycological dynamic, separated married
INTRODUCTION Pada dasarnya, pernikahan adalah proses penyatuan antara dua individu yang resmi di mana seorang pria dan seorang wanita hidup bersama sebagai suami isteri untuk membentuk suatu keluarga. Dengan tujuan sakinah mawadah warohmah. Pernikahan juga menuntut adanya penyesuaian antara dua keluarga. Proses penyatuan tersebut membutuhkan persiapan dan kesiapan dari kedua pasangan suami istri beserta keluarga mereka. Perbedaan-perbedaan dalam pernikahan sering menimbulkan pertengkaran antar suami istri. Munculnya berbagai permasalahan dalam pernikahan, seperti perselingkuhan, masalah anak, masalah ekonomi, masalah seks, dan lain lain, juga dapat mengguncangkan sebuah pernikahan. Saat muali terjadi konflik dalam suatu pernikahan, pasangan suami istri dihadapkan pada dua keputusan sulit, yaitu tetap mempertahankan pernikahan atau bercerai. Kehidupan perkawinan tak jarang dihadapkan oleh beraneka macam konflik. Dari hasil pengamatan dilingkungan sekitar menyatakan bahwa dari sepuluh pasangan yang mengalami konflik dalam perkawinanya, delapan pasangan belum mengakhiri perkawinanya atau masih bersetatus suami istri namun menjalani pisah ranjang, sedangkan dua yang lainya telah bercerai secara resmi. Pisah ranjang merupakan kondisi dimana pasangan suami dan istri yang masih resmi bersetatus menikah tetapi sudah tidak harmonis lagi, umumnya pasangan ini memutuskan untuk tidak lagi tidur bersama dalam satu ranjang atau dalam satu rumah. Kebutuhan-kebutuhan yang ada pada diri individu merupakan pendorong dalam diri individu untuk bertindak mencapai tujuannya. Namun tidak jarang terjadi bahwa dalam rangka mencapai tujuan individu menghadapi berbagai macam rintangan. Dalam menghadapi rintangan atau hambatan itu ada berbagai macam reaksi yang diambil oleh individu yang bersangkutan. Hal itu membuktikan bahwa dalam kehidupan perkawinan pun tidak jarang diwarnai dengan konflik yang merupakan bagian kehidupan dari rumah tangga itu sendiri. Umumnya, tidak ada satu pun rumah tangga di dunia ini yang tidak pernah mengalami konflik. Percekcokan dan maslah perkawinan menghadapkan pasangan pada dua pilihan yaitu bercerai atau tetap bertahan namun tidak menjalankan fungsi suami dan istri sebgaimana mestinya. Menurut mappiare (tanpa tahun) factor-faktor yang dapat memperkokoh pernikahan antara lain: Latar belakang masa kanak-kanak yang hidup dalam keluarga yang harmonis, Usia pada waktu pernikahan yang matang, Kesiapan dalam pekerjaan, Kematangan emotional, Nilai-nilai positif yang dianut, masa pertunangan.
Evi Novita Dewi (08013100) Email address :
[email protected] Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
3
Dari hasil pengamatan dilingkungan sekitar menyatakan bahwa dari sepuluh pasangan yang mengalami konflik dalam perkawinanya, delapan pasangan belum mengakhiri perkawinanya atau masih bersetatus suami istri namun menjalani pisah ranjang, sedangkan dua yang lainya telah bercerai secara resmi. Pisah ranjang merupakan kondisi dimana pasangan suami dan istri yang masih resmi bersetatus menikah tetapi sudah tidak harmonis lagi, umumnya pasangan ini memutuskan untuk tidak lagi tidur bersama dalam satu ranjang atau dalam satu rumah. Penelitian ini akan meneliti tentang dinamika psikologis pada priadan wanita yang menjalani pisah ranjang dengan subyek pria dan wanita yang tengah dalam proses perceraian. Pisah ranjang merupakan keputusan yang diambil secara sepihak ataupun kedua belah pihak dimana pasangan suami isteri enggan untuk melakukan hubungan fisik ( intim). Penelitian ini akan meneliti tentang dinamika psikologis pada pria dan wanita yang menjalani pisah ranjang dengan subyek pria dan wanita yang tengah dalam proses perceraian. Pisah ranjang merupakan keputusan yang diambil secara sepihak ataupun kedua belah pihak dimana pasangan suami isteri enggan untuk melakukan hubungan fisik ( intim). Berdasarkan wawancara awal terhadap ke dua subyek didapat kesimpulan, Subyek pertama AD dan isterinya memutuskan untuk tidak tinggal bersama lagi dan tidak tidur bersama lagi setelah mereka mengalami pertengkaran.AD mengaku selama menjalani pisah ranjang jarang ada komunikasi langsung dengan isterinya lagi, komunikasi yang terjalin hanya lewat telepon dan hanya membicarakan hal yang berkaitan dengan anak mereka. Menurut pengakuan AD keadaan seperti itu membuat AD terkadang tidak semangat untuk bekerja, merasa kesepian, dan malu apabila teman-temanya bertanya perihal anak serta istri. Disatu sisi AD harus tetap mencari nafkah untuk anaknya tetapi tidak ada dukungan dari isterinya. AD berpendapat hubungan yang menggantung seperti ini lebih menyakitkan daripada harus bercerai. Secara hukum AD masih resmi mempunyai isteri tetapi secara kenyataan AD menganggap sudah tidak mempunyai istri. AD juga mengaku banyak hal yang diupayakan sebagai bentuk pelarian dari masalahnya, Menurut AD kondisi tersebut membuat AD sering emosi dan setres. Subyek ke dua adalah seorang wanita. IH yang awalnya menjalani hubungan normal dengan suaminya tiba-tiba harus terpisah karena suaminya memutuskan untuk pergi namun sampai sekarang mereka belum bercerai, walaupun masih ada komunikasi melalui telepon. Menurut pengakuan IH yang sekarang menjalani pisah ranjang dengan suaminya, IH merasa seperti menjadi single parent. IH harus merawat kedua anaknya tanpa kehadiran suaminya. IH pisah ranjang kurang lebih selama hampir 2
Evi Novita Dewi (08013100) Email address :
[email protected] Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
4
tahun. Keadaan tersebut membuat IH merasa tidak sanggup menjalaninya tetapi IH tetap harus bekerja demi anak-anaknya. Dari kedua kasus diatas pasangan suami istri berada dalam keadaan yang menggantung. Secara hukum mereka masih terikat pernikahan tetapi tugas-tugas dalam pernikahan tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Tentu saja hal tersebut menimbulkan masalah bagi individu yang mengalaminya baik subyek pertama ataupun ke dua. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika psikologis kedua subyek yang pisah ranjang dilihat dari aspek emosi, kognisi dan perilaku. 1. Tinjauan Pustaka a. Dinamika Psikologis Retno Purwandari (Yulia, 2010) menjelaskan bahwa dinamika adalah sesuatu yang mengandung arti tenaga kekuatan, selalu bergerak, berkembang dan dapat menyesuaikan diri secara memadai terhadap keadaan. Aspek psikologis meliputri : emosi, emosi pada umumnya perbuatan kita sehari-hari disertai oleh perasaan-perasaan tertentu, yaitu perasaan senang atau perasaan tidak senang.Perasaan senang atau tidak senang yang selalu menyertai perbuatan-perbuatan kita sehari-hari itu disebut warna efektif. Warna efektif ini kadang-kadang kuat, kadang-kadang lemah atau samar-samar saja. Emosi adalah sebagai sesuatu suasana yang kompleks (a complex feelingstate) dan getaran jiwa (a strid up state) yang menyertai atau munculnya sebelum dan sesudah terjadinya perilaku. (Syamsudin, 2005:114), kognitif, menurut Chaplin ( dalam Desmita 2008) kognisi adalah konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan, termasuk di dalamnya mengamati, melihat, memperhatikan, memberikan, menyangga, membayangkan, memperkirakan, menduga, dan menilai. Perilaku, perilaku juga diartikan sebagai suatu reaksi psikis seseorang terhadap lingkungannya, reaksi yang dimaksud digolongkan menjadi dua, yakni dalam bentuk pasif (tanpa tindakan nyata atau konkrit), dan dalam bentuk aktif (dengan tindakan konkrit), Sedangkan dalam pengertian umum perilaku adalah segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh makhluk hidup (Soekidjo Notoatmodjo, 1987:1) b. Definisi Pernikahan. Duvall dan Miller (dalam hasanah 2011) mendefenisikan pernikahan sebagai hubungan antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak, saling mengetahui tugas masing-masing sebagai
Evi Novita Dewi (08013100) Email address :
[email protected] Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
5
suami dan istri.Gardiner & Myers (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2004 menambahkan bahwa perkawinan menyediakan keintiman, komitmen, persahabatan, cinta dan kasih sayang, pemenuhan seksual, pertemanan dan kesempatan untuk pengembangan emosional seperti sumber baru bagi identitas dan harga diri c. Konflik Pernikahan (Marital) Perkawinan tidak akan lepas dari suatu konfik didalamnya. Setiap pasangan yang hidup selama bertahun-tahun rentan terhadap pertengkaran. Setiap individu yang terlibat dalam perkawinan pasti memiliki perbedaan persepsi dan harapan – harapan. Struggle dan resistance merupakan kata – kata kunci untuk mendefinisikan konflik Kriesberg (dalam sadarjoen 2005). Struggle terjadi bila usulan yang lainya ditolak dan negoisasi tidak hidup lagi. Pada saat yang sama ke dua pasangan menekan usulan – usulan secara berlanjut. Sementara pasangan yang lain menolak karena dianggap usulan tersebut bukan usulan yang diinginkan. Kalaupun terjadi komunikasi yang jelas diantara ke dua pasangan bukan berarti konflik mengenai hal tersebut berhenti. Komunikasi memainkan peranan pada suatu konflik. Konflik sering cenderung diasosiasikan dengan komunikasi yang rusak. Dalam komunikasi yang rusak tersebut tampak jelas manifestasi dan persepsi yang salah. Interpretasi yang salah yang akan dapat mempengaruhi taraf seriusnya konflik marital. Kelly, dkk,( dalam Sadarjoen, 2005). Sadarjoen (2005) menyatakan bahwa konflik perkawinan adalah konflik yang melibatkan pasangan suami istri dimana konflik tersebut memberikan efek atau pengaruh yang signifikan terhadap relasi kedua pasangan. Lebih lanjut Sadarjoen (2005) menyatakan bahwa konflik tersebut muncul karena adanya persepsi-persepsi, harapan-harapan yang berbeda serta ditunjang oleh keberadaan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan nilainilai yang mereka anut sebelum memutuskan untuk menjalin ikatan perkawinan. Sadarjoen (2005) menjelaskan bahwa terdapat beberapa sumber konflik perkawinan yang saling berpengaruh satu sama lain secara dinamis, yaitu: 1) Perbedaan yang tidak terelakkan. Pasangan suami istri terdiri atas individu yang secara esensial memiliki berbagai macam perbedaan, baik dalam hal pengalaman maupun kebutuhannya. Perbedaan tersebut terkait erat dengan nilai-yang mereka anut yang kelihatan peranannya ketika mereka menghadapi dan menyelesaikan masalah. 2) Perbedaan harapan Setiap pasangan mempunyai harapan yang mungkin berbeda dengan pasangan yang lainya terhadap perkawinannya. Harapan antar kedua pasangan sulit dibina pada awalnya karena apabila salah satu pasangan
Evi Novita Dewi (08013100) Email address :
[email protected] Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
6
mengubah harapannya, maka pasangan yang lain akan mempertahankan harapan- harapan yang dulu. Harapan yang tidak diinterpretasikan secara benar, akan menimbulkan perasaan dikhianati dan disakiti karena merasa tidak diperhatikan oleh pasangannya 3) Kepekaan Meningkatkan keterbukaan afeksional akan membuat pasangan meningkatkan pula keterbukaan dirinya. Pada mulanya seseorang akan merasa puas dengan berbagi perasaan. Namun bila sampai pada pada perasaan yang kritis maka kedua pasangan akan menjadi sangat ketakutan. Sering terjadi reaksi negatif yang ditunjukan oleh salah satu pasangan akan menyebabkan kedua pasangan merasa terancam, Jadi membuka diri pada pasangan bukan merupakan jaminan bagi terciptanya relasi yang intim. 4) Keintiman dalam perkawinan. Keintiman dalam perkawinan maksudnya adalah kecenderungan individu untuk menunjukkan perilaku yang terbaik di depan umum, tetapi ketika di lingkungan keluarganya mereka menampilkan diri sebagaimana adanya. Kehidupan perkawinannya, hidup bersama dengan orang lain sebagai pasangan perkawinan dalam satu atap akan membuat pasangan menunjukkan sisi lain yang aslinya. Mereka menunjukkan keaslian dan menanggalkan topengnya masing-masing yang selama ini berusaha ditutupinya dari orang lain. Kondisi ini tentu saja akan menjadi gangguan relasi yang telah terbentuk. 5) Aspek kumulatif dalam perkawinan Aspek kumulatif dari kehidupan perkawinan akan bertumpu pada satu titik yaitu stres. Setiap waktu dan kesempatan individu akan dihadapkan pada masalah yang kadang kala menimbulkan ketegangan dan memicu munculnya perilaku yang tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai yang mereka anut. Ketika perilaku tersebut bertahan, maka berangsur-angsur akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan. 6) Persaingan dalam perkawinan. Persaingan merupakan wujud dari kecenderungan manusia untuk melakukan kompetisi dan tidak terelakkan persaingan tersebut akan memicu munculnya kebencian dan ketidaksenangan pada pihak yang tidak senang dengan kemampuan ataupun keberhasilan yang mampu diraih orang lain. Demikian pula halnya dalam kehidupan perkawinan. Dalam perkawinan terkadang suami dan istri memiliki kesuksesan yang berbeda, bagi pasangan yang saling tidak mau kalah dengan pasanganya akan berusaha berkompetisi sehingga hal tersebut dapat memicu timbulnya konflik. 2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika psikologis pada pria dan wanita yang menjalani pisah ranjang.
Evi Novita Dewi (08013100) Email address :
[email protected] Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
7
A. METHOD 1. Pendekatan Dan Strategi Penelitian Pendekatan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2011). Penelitian kualitatif ini juga dapat digunakan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain. Secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2008).: Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan Studi kasus. Penelitian ini memusatkan diri secara intensif pada satu obyek tertentu yang mempelajarinya sebagai suatu kasus. Data studi kasus dapat diperoleh dari semua pihak yang bersangkutan, dengan kata lain data dalam studi ini dikumpulkan dari berbagai sumber (Nawawi, 2003) Penelitian case study atau penelitian lapangan (field study) dimaksudkan untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang masalah keadaan dan posisi suatu peristiwa yang sedang berlangsung saat ini, serta interaksi lingkungan unit sosial tertentu yang bersifat apa adanya (given). Subyek penelitian dapat berupa individu, kelompok, institusi atau masyarakat. Penelitian case study merupakan studi mendalam mengenai unit sosial tertentu dan hasil penelitian tersebut memberikan gambaran luas serta mendalam mengenai unit sosial tertentu. Subyek yang diteliti relatif terbatas, namun variabel-variabel dan fokus yang diteliti sangat luas dimensinya (Danim, 2002 ). Peneliti menggunakan studi kasus intrinsik. Penelitian dilakukan karena ketertarikan atau kepedulian pada suatu kasus khusus. Penelitian ini dilakukan untuk memahami secara utuh kasus tersebut, tanpa harus di maksudkan untuk menghasilkan konsep-konsep atau teori ataupun tanpa ada upaya menggeneralisasikan. (Poerwandari, 2007) 2. Sampling Penelitian ini menggunakan subyek sejumlah dua orang yakni satu lakilaki dan satu perempuan yang menjalani pisah ranjang. Penentuan subyek ini diharapkan dapat menghasilkan penelitian yang menunjukan deskripsi yang berkualitas dan mendetail dengan tetap mendokumentasikan keunikan masing-masing subyek. Didalam penelitian “ Dinamika
Evi Novita Dewi (08013100) Email address :
[email protected] Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
8
Psikologis Pria dan Wanita yang Menjalani Pisah Ranjang “ ini, menggunakan convenience sampling atau sampel yang dipilih dengan pertimbangan kemudahan. Dalam memilih sampel, peneliti mempunyai pertimbangan berdasarkan kemudahan saja. Subyek diambil sebagai sampel karena kebetulan orang tadi ada di situ atau kebetulan dia mengenal orang tersebut. Oleh karena itu ada beberapa penulis menggunakan istilah accidental sampling – tidak disengaja – atau juga captive sample (man-on-the-street) Jenis sampel ini sangat baik jika dimanfaatkan untuk penelitian penjajagan, yang kemudian diikuti oleh penelitian lanjutan yang sampelnya diambil secara acak (random). (Hasan Mustafa, 2000). 3. Metode Pengambilan Data a. Wawancara Wawancara menurut pendapat Benister (Poerwandari, 2007) adalah percakapan yang terjadi antara pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban. Maksud dilakukan wawancara untuk mengetahui informasi tentang pribadi responden, perasaan, pendapat, anggapan, aktivitas, motivasi dan tujuan (Meleong, 2004). Patton (Sarwono, 2006) menggolongkan wawancara menjadi wawancara pembicaraan informal (informal converstional interview), wawancara umum terarah (general interview guide approach) wawancara terbuka standar (standardized open-ended interview) peneliti memilih menggunakan wawancara terbuka untuk memungkinkan hadirnya pertanyaan di luar guide wawancara. Tehnik yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan tehnik wawancara yang bersifat semi terstruktur, yaitu jenis wawancara dalam pelaksanaanya ada guide atau pedoman wawancara, namun pertanyaan yang di ajukan secara semu dan bersifat lebih fleksibel serta dapat di sesuaikan dengan kondisi (Moleaong, 2008). Format wawancara peneliti ini menggunakan wawancara semi terstruktur. Wawancara akan dilakukan kepada subyek untuk dikumpulkan datanya menggunakan rekaman dan data dari hasil rekaman tersebut akan dideskripsikan dalam verbatim. b. Observasi Observasi adalah kegiatan yang dilakukan dengan memperhatikan secara akurat, dan mencatat fenomena. Data observasi dikatakan penting oleh Patton (Poerwandari, 2007) karena dengan metode observasi akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang konteks yang sedang
Evi Novita Dewi (08013100) Email address :
[email protected] Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
9
diteliti, menunjukkan peneliti bersikap terbuka, berorientasi pada penemuan daripada pembuktian dan mempertahankan pilihan untuk mendekati masalah secara induktif serta merefleksikan pemikiran mereka tentang pengalamannya, yang terkadang kurang disadari responden. Sarwono (2006) menjelaskan lebih lanjut secara panjang lebar, mengenai kegiatan dalam observasi. Kegiatan yang akan dilakukan dalam observasi sebagaimana disebutkan mengenai definisi observasi diatas meliputi melakukan pencatatan secara sistematis kejian-kejadian, perilaku, obyekobyek yang dilihat dan hal-hal lain yang diperlukan dalam mendukung penelitian yang akan dilakukan. Observasi berperan untuk menemukan interaksi yang kompleks dengan latar belakang sosial yang alami (Sarwono, 2006). 4. Desain penelitian Berikut ini skema penelitian untuk mengambarkan alur penelitan peneliti. a. Tahap pertama, peneliti membuat guide wawancara dengan bentuk semi terstruktur yang digunakan peneliti untuk mengajukan pertanyaan kepada subyek penelitian. b. Tahap kedua , peneliti melakukan wawancara sesuai dengan waktu dan tempat yang sudah ditentukan bersama subjek peneliti dan melakukan observasi selama wawancara berlangsung atas persetujuan dari subyek c. Tahap ketiga, peneliti memindahkan hasil rekaman wawancara ke dalam bentuk verbatim tertulis d. Tahap keempat, melakukan analisis data dan interpretasi sesuai dengan hasil yang didapat dalam penelitian wawancara dan observasi e. Tahap kelima, melakukan pembahasan terhadap hasil yang diperoleh selama penelitian 5. Keterpercayaan Penelitian a. Objektivitas ( confirmability ) Menurut Iskandar ( 2009 ), objektivitas bermakna sebagai proses kerja yang dilakukan untuk mencapai kondisi objektif. Adapun kriteria objektifitas jika memenuhi syarat minimum sebagai berikut :desain penelitian dibuat secara baik dan benar, fokus penelitian tepat, literature yang relevan, instrumen dan cara pendapatan yang akurat, teknik pengumpulan data yang sesuai dengan fokus permasalahan penelitian, analisis data dilakukan secara benar, hasil penelitian bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. b. Kesahihan Internal ( credibility )
Evi Novita Dewi (08013100) Email address :
[email protected] Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
10
Penjaminan keabsahan data melalui kesahihan internal dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa criteria teknik pemeriksaan antara lain c. Perpanjangan keikutsertaan peneliti di lapangan Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan data. Keikutsertaan tersebut tidak hanya dilakukan dalam waktu singkat, tetapi memerlukan perpanjangan keikutsertaan peneliti dalam latar penelitian, dengan tujuan untuk meningkatkan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan dan penelitidapat menguji ketidakbenaran informasi yang diperoleh. Perpanjangan keikutsertaan peneliti di lapangan berarti peneliti tinggal di lapangan penelitian sampai kejenuhan pengumpulan data tercapai. d. Meningkatkan ketekunan pengamatan Ketekunan pengamatan oleh peneliti dapat menyediakan kedalaman dengan pengamatan yang teliti dan rinci secara kesinambungan terhadap faktor – faktor yang menonjol serta untuk menemukan ciri – ciri fenomena atau gejala sosial dalam situasi yang sangat relevan. e. Triangulasi Menurut Moleong ( Iskandar, 2009 ) penelitian yang mengunakan teknik triangulasi dalam pemeriksaan melalui sumbernya artinya membandingkan atau mengecek ulang derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda. Dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan triangulasi sebagai metode pendukung yaitu observasi. f. Kesahihan eksternal ( transferability ) Transferabilitas disebut juga daya transfer atau kemampuan hasil penelitian untuk ditransfer pada situasi lain. Manfaat dari transferabilitas ini adalah peneliti dapat membantu pembaca untuk melihat kemungkinan menerapkannya dalam situasi lain yang mirip. Oleh karena itu,transferabilitas sering disebut generalisabilitas yaitu kemampuan hasil penelitian untuk digeneralisasikan pada subjek lain yang mirip. g. Keterandalan ( dependenbility) Dependenbility adalah daya konsistensi dari hasil penelitian standar ini penting karena digunakan untuk menyakinkan pembaca bahwa penelitian tersebut konsisten. B. RESULT Analisis Data Analisis isi (content analysis) merupakan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendeskripsikan dinamika pskologis pernikahan individu yang menjalani pisah ranjang. Analisis isi atau content analysis menurut holistic C. DISCUSSION
Evi Novita Dewi (08013100) Email address :
[email protected] Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
11
Dari hasil wawancara dan observasi terhadap kedua subjek, maka diperoleh dinamika psikologis selama pisah ranjang. AD menikah untuk memenuhi kebutuhan seksual, sehingga ketika terjadi konflik, perbedaan irama seks merupakan factor penyebabnya. Akibat dari hal tersebut AD menjalani pisah ranjang dengan istri. Pisah ranjang yang dijalani AD menimbulkan reaksi emosi berupa kemarahan karena AD merasa tidak dihargai oleh istrinya. Reaksi secara psikologis AD terhadap konflik dan penolakan istrinya menimbulkan kekecewaan dan merasa tidak dihargai. Ketika diwawancarai AD menunjukan raut muka yang menunjukkan kejengkelan dan kekecewaan pada istri. Sesekali nada bicara AD meninggi ketika menjawab beberapa pertanyaan. Ketika penolakan-penolakan terjadi AD menjadi marah. Apa yang diharapkan oleh AD tidak sesuai kenyataanya. Perbedaan harapan yang tidak diinterpretasikan secara benar, akan menimbulkan perasaan dikhianati dan disakiti karena merasa tidak diperhatikan oleh pasangannya (sadarjoen 2005). Namun keadaan pisah ranjang juga membuat AD berfikir bahwa AD bebas melalakuan hubungan seks dengan wanita lain. Hal terseber dianggap AD sebagai suatu kewajaran karena AD merasa istri sudah tidak peduli dengan AD AD merasa masalah yang dialaminya mengganggu pekerjaanya. Beberapa kali AD harus mendapat masalah dalam pekerjaannya karena pisah tanjang. Seorang suami bekerja keras dengan alasan memenuhi kebutuhan keluarga yaitu anak dan istri dengan harapan mendapat penghargaan tinggi dari istri atas hasil yang telah dicapai oleh suami. Perbedaan harapan merupakan salah satu sumber konflik dalam pernikahan. Setiap pasangan mempunyai harapan yang mungkin berbeda dengan pasangan yang lainya. Harapan antar kedua pasangan sulit dibina pada awalnya karena apabila salah satu pasangan mengubah harapannya, maka pasangan yang lain akan mempertahankan harapan - harapan sebelumnya. Harapan yang tidak diinterpretasikan secara benar, akan menimbulkan perasaan dikhianati dan disakiti karena merasa tidak diperhatikan oleh pasangannya Sadarjoen (2005). AD merasa sikap istri jauh dari yang diharapkan, istri tidak mampu menghargai usaha dan kerja kerasnya sebagai kepala rumah tangga dalam artian seorang istri harus mau memberi pelayanan terhadap suami sebagai seorang pemimpin dalam rumah tangga, sehingga AD sering merasa apa yang dilakukannya seperti bekerja merupakan hal yang percuma namun disi lain AD harus memenuhi kewajibannya sebagai seorang ayah terhadap anaknya. AD menganggap apa yang dilakukanya itu adalah wajar. Berhubungan dengan wanita lain dianggap AD sebagai bentuk pelarian yang perlu dilakukan AD untuk tetap bertahan. Respon terhadap konflik dapat berdampak positif maupun negatif. Jika suami atau istri mengambil bentuk penyesuaian diri yang berdampak negatif, maka yang terjadi tidak ada penyelesaiannya. Pasangan suami istri memilih untuk hidup masing-masing dan terpisah satu sama lain, suami
Evi Novita Dewi (08013100) Email address :
[email protected] Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
12
berjauhan dengan istri dan tidak berada dalam satu kamar atau satu rumah lagi sehingga mereka saling tidak menyadari akan kebetuhan masingmasing dan tanggungjawab masing - masing yang harus dipenuhi. Apabila hal tersebut berlarut-larut tanpa ada keinginan untuk memperbaikainya maka kemungkinan besar terjadi perceraian yang berakibat buruk bagi pasangan (sadarjoen 2005)..Penyesuaian diri menjadi pilihan bagi suami atau istri ketika konflik perkawinan hadir di antara mereka. Suami atau istri dapat memilih bentuk penyesuaian diri yang bersifat memulai aksi (a mover), menentang, tanpa kompromi (an opposer), mendukung, menyetujui, berpartisipasi dan melanjutkan aksi (a follower), atau diam saja atau menekan keinginan (a bystander), sebagaimana dinyatakan oleh Sadarjoen (2005). AD memilih memulai aksi (a mover) yaitu dengan menyalahkan istrinya sebagai penyebab konflik yang terjadi kemudian pelarian yang dilakukan atas kekecewaanya terhadap sang istri ialah dengan minum minumam keras dan melakukan seks tanpa ikatan pernikahan atau illegal seks. Menurut Golgberg (dalam sadarjoen 2005) mengenai dinamika interaktif konflik perkawinan, Fidelity sangat terkait dengan Trust. kesetiaan memiliki implikasi yang menunjukkan kasih yang umum, kehormatan, keceriaan dan tidak menempatkan orang lain diatas pasangannya. Kriesberg, (dalam sadarjoen 2005) mengemukakan tentang Struggle terjadi bila usulan yang berlawanan ditolak dan tidak terjadi modifikasi sesuai dengan apa yang diusulkan lawannya, kalaupun terjadi komunikasi yang bersih diantara keduanya bukan berarti bahwa konflik yang terjadi akan berhenti. Jadi tidak berarti meskipun AD bicara terbuka dan jelas kepada istri mengenai apa yang dia harapkan dan inginkan akan membuka peluang bagi kemungkinan terjadinya solusi dan mufakat, justru kedua pasangan mencoba merubah situasi yang menyedihkan dengan menunda dan menghindari konfrontasi untuk sementara ,sekedar settle down untuk menenangkan keadaan masing-masing. Seperti hal nya yang dilakukan AD dengan istri mencoba untuk saling memisahkan diri dan tidak berkomunikasi dengan tujuan untuk meredakan konflik yang terjadi namun hal tersebut justru memicu timbulnya masalah-masalah baru. AD berselingkuh dengan wanita lain merupakan bentuk pelarian yang memunculkan masalah baru ketika istri mengetahui hal tersebut, maka perdamain semakin jauh dari harapan. Sedangkan dinamika subyek IH selama pisah ranjang yaitu pisah ranjang menimbulkan reaksi emosi berupa kekecewaan,sakit hati karena merasa dihianati dan kesedihan. Subjek juga merasa malu atas kondisi yang dialaminya. Konflik diawali dengan kebangkrutan yang dialami oleh suami IH, dan setelah kejadian tersebut suami IH meninggalkan IH. Dalam tahapan pernikahan menurut Roulins dan fieldmann (dalam sadarjoen 2005) dijelaskan beberapa perubahan-perubahan yang mungkin terjadi dalam pernikahan antara lain perubahan – perubahan dalam situs ekonomi, baik pendapatan maupun
Evi Novita Dewi (08013100) Email address :
[email protected] Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
13
konsumsi. Dua stage dalam siklus kehidupan pernikahan yang sangat rentan terhadap stress ekonomi terjadi pada awal pernikahan dan pada saat pensiun tiba. Perolehan penghasilan yang rendah dapat menjadi faktor penyebab kehancuran dalam keluarga. Kondisi pisah ranjang membuat pikiran IH terbebani karena harus menafkahi anaknya sendiri. Pada waktu wawancara berlansung IH terlihat murung dan sedikit menunjukan kekecewaannya tetapi IH semangat kembali saat menjawab pertanyaan mengenai dukungan keluarga dan anak-anaknya dan IH yang tetap menjalani hidup normal. Coleman dan Cressey (1987) mengungkapkan, masalah-masalah yang muncul dalam perkawinan antara lain kondisi ekonomi rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga, kehadiran dan pemeliharaan serta pendidikan anak, istri yang bekerja, interferensi dari keluarga baik pihak suami maupun istri, ketidaksepahaman suami istri tentang tugas-tugasnya sesuai peran masingmasing, dan ketidaksiapan suami istri dengan perubahan peran dalam rumahtangga. IH juga merasa kehilangan figure suami yang awalnya sangat ideal dimata IH. Suami merubah sikapnya menjadi orang yang berbeda dengan sebelumnya. Menurut Golberg (dalam sadarjoen 2005), salah satu dinamika interaktif konflik perkawinan ialah keintiman – Privasi (Intimacy – Privacy) Merupakan kebutuhan akan kedekatan dan kontak baik dalam aspek fisik maupun aspek emosional. intimacy akhirnya terkait dengan masalah kebutuhan untuk bersama. Dalam kasus ini IH memilih untuk diam saja atau menekan keinginan (a bystander) ditunjukan dengan reaksi perilaku IH yang tetap menjalani hidup dengan bekerja demi mencukupi kebutuhan anak-anaknya.Menurut sadarjoen (2005) ada bebrapa respon terhadap konflik pernikahan. Berbeda dengan subjek AD, IH lebih memilih untuk survive bekerja dan menghidupi anak-anaknya walaupun sedang menjalani pisah ranjang dengan suaminya. Dibanding dengan subyek sebelumnya perilaku yang muncul dari IH akibat konflik cenderung lebih positif. Sekalipun hal tersebut tidak lantas membawa penikahan IH dalam keadaan yang lebih baik. D. KESIMPULAN Dari kedua kasus yang telah dijelaskan dalam penelitian ini, pisah ranjang menimbulkan dinamika psikologis, pada subyek pertama mengalami kekecewaan, stress dan emosi yang tidak menentu. Keadaan psikologis yang tidak menentu itu menimbulkan perilaku yang negatif . Sedangkan pada subyek yang kedua subyek mengalami hal yang serupa, kekecewaan, kesedihan, rasa sakit hati dan terbebani pikiranya, namun reaksi yang dimunculkan subyek kedua sebagai perilaku atau respon dari keadaan psikologisnya berbeda dengan subyek yang pertama. Subyek kedua
Evi Novita Dewi (08013100) Email address :
[email protected] Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
14
memilih pelampiasan dengan bekerja dan berjuang untuk anak-anaknya. Maka dapat disimpulkan bahwa keadaan pisah ranjang dapat menimbulkan ktidakstabilan baik secara emosi,kognitif ataupun perilaku bagi pelakunya. Pada ke dua kedua subjek reaksi emosi dan kognisi yang muncul cenderung negatif akibat dari keadaan pisah ranjang.
REFERENCES Alsa, A. (2011). Pendekatan kuantitatif & kualitatif serta kombinasinya dalam penelitian psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Anindita, diah & Bahsori, Khoirudin. (2012). Kohesivitas Suami Istri Di Usia Madya. Jurnal Psikologi. Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Anto.
(2009). Angka Perceraian di bantul http://rol.repubrica.co.id/berita/54074. 27 Mei 2010
Arifjulianto, (2008). Tingginya tingkat perceraian di http://arifjulianto.wordpress.com/2008/06/05/. 5 Juni 2008.
Meningkat. Indonesia.
Azwar, S. (2004). Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Carter, B. & McGoldrick, M. (1999). The Expanded Family Lifecycle. Individual Family and Social Perspectives (Third edition). Boston: Allyn & Bacon.
Evi Novita Dewi (08013100) Email address :
[email protected] Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta
15
Dewi,E.M.P & Basti. (2008). Konflik Perkawinan dan Model Penyelesaian Konflik pada Pasangan Suami Istri. Journal psikologi. Universitas Negri Makasar. Dwi Atmaja. 2012. Perspektif Dalam Psikologi Abnormal. Sumber : http://kajian psikologi.guru-indonesia.net/artikel_detail-18704.html. 16 April 2012 Hasanah, Marwadah. (2012). Gambaran Konflik pada Pasangan Berlatar Belakang Etnis Jawa- Batak . Skripsi. (tidak diterbitkan) : Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Jehani,Libertus.(2008). Perkawinan Apa Resiko Hukumnya. Jakarta : Forum Sahabat.. Mappiare, A. (Tanpa Tahun). Psikologi Orang Dewasa. Yogyakarta: Andi Offset. Moleong, L. J. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Bandung: Remaja Rosdakarya,PT.
Revisi).
Poerwandari, E. R. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Edisi Ketiga. Depok : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Rifky
Rifael. 2011. http://lajupena.wordpress. 17 April 2012
Pertentangang-pertentangan Sosial com/tag/pertentangan-pertentangan-sosial/.
Sadarjoen, S.S. (2005). Konflik marital: Pemahaman konseptual, actual dan alternative solusinya. Refika Aditama Bandung. Sarwono, J. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu. Simamora, C.M. (2005) . Hubungan Ketegangan Suami Isteri Dengan Konflik Pada Keluarga Bercerai. Skripsi (tidak diterbitkan) Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Spanier, Graham B. and Linda Thompson (1984), Parting: The Aftermath of Separation and Divorce, Beverly Hills: Sage.
Evi Novita Dewi (08013100) Email address :
[email protected] Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta