Original Article Jurnal Ilmiah Mahasiswa Psikologi Vol. 1, No. 3 : 7-18 November 2016
Hubungan Memaafkan dengan Kesejahteraan Psikologis Pada Wanita yang Bercerai Meutia Maulida*, Kartika Sari Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universits Syiah Kuala, Banda Aceh
[email protected]*
ABSTRAK Perceraian berdampak negatif pada hampir seluruh aspek kehidupan wanita yang bercerai. Masalah-masalah yang terjadi setelah perceraian memengaruhi kondisi kesejahteraan psikologis wanita yang bercerai sehingga perlu suatu tindakan yang dapat mengatasi penderitaan dan penyembuhan secara psikologis, yaitu melalui memaafkan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan memaafkan dengan kesejahteraan psikologis pada wanita yang bercerai. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Sampel penelitian berjumlah 266 wanita bercerai yang berusia 23-40 tahun yang tinggal di Aceh. Alat ukur yang digunakan adalah adaptasi dari Transgression-Related Interpesonal Motivation-18 (TRIM-18) dan adaptasi dari Ryff’s Psychological Well-Being Scale. Hasil analisis data menggunakan teknik korelasi spearman menunjukkan koefisien korelasi sebesar -0,525 dengan nilai p = 0,00 (p < 0,05). Nilai koefisien korelasi negatif dikarenakan variabel memaafkan berada pada kategori skor rendah dan variabel kesejahteraan psikologis berada pada kategori skor tinggi. Rendahnya skor pada variabel memaafkan menunjukkan semakin tinggi tingkat memaafkan individu. Hipotesis yang diajukan diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara memaafkan dengan kesejahteraan psikologis pada wanita yang bercerai. Hal ini mengindikasikan semakin tinggi tingkat memaafkan pada wanita yang bercerai maka semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan psikologis. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tingkat memaafkan wanita bercerai berada pada kategori tinggi dan memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi pula.
Kata kunci: Memaafkan, Kesejahteraan Psikologis, Wanita, Perceraian
7
Original Article Jurnal Ilmiah Mahasiswa Psikologi Vol. 1, No. 3 : 7-18 November 2016
The Relationship between Forgiveness and Psychological Well-Being on Divorced Women ABSTRACT Divorce has the negative impact on almost aspect of divorced woman’s life. The problems that occurred after divorce may affect divorced woman’s psychological well-being so we need an action that can overcome suffering and healing psychologically through forgiveness. This study determined the relationship between forgiveness and psychological well-being on divorced women. The sampling technique usesd was purposive sampling. The participants were 266 divorced womens, with aged range 23-40 years who lived in Aceh. The data collected using adaptation of Transgression-Related Interpersonal Motivation-18 (TRIM-18), and adaptation of Ryff's Psychological Well-Being Scale. Data analysis using spearman correlation technique showed a correlation with coefficient (r) = -0.525 and significant (p) = 0.00 (p <0.05), which means the hypothesis was accepted. The correlation coefficient was negative because forgiveness variable was low score and psychological well-being variable so high. The total score of forgiveness scale showed the lower scores indicated higher level of forgiveness. The study showed that there was positive and significant correlation between forgiveness and psychological well-being of divorced women. The higher scores of forgiveness, the higher level of psychological wellbeing, and otherwise. The results showed that the level of forgiveness on divorced women was high category and psychological well-being also high.
Keyword: Forgiveness, Psychological Well-being, Woman, Divorce
8
Original Article Jurnal Ilmiah Mahasiswa Psikologi Vol. 1, No. 3 : 7-18 November 2016
PENDAHULUAN Berkeluarga merupakan salah satu tugas perkembangan yang seharusnya dilakukan oleh setiap individu yang berada pada usia dewasa awal, yaitu usia 18 hingga 40 tahun (Hurlock, 2009). Berkeluarga dilakukan melalui sebuah ikatan pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang berjanji untuk hidup bersama. Pada setiap pernikahan, pasangan suamiisteri pasti memiliki rencana indah untuk terus hidup bersama sampai dipisahkan oleh kematian, namun kenyataan hidup seringkali berjalan tidak sesuai dengan rencana. Setiap pasangan suami-isteri pasti mengalami masalah dan konflik yang timbul dalam kehidupan rumah tangga (Setyawan, 2007). Pasangan suami-isteri yang tidak dapat menyelesaikan masalah dan konflik dalam rumah tangga dengan baik sering mengambil keputusan untuk bercerai. Perceraian dianggap menjadi jalan terbaik bagi pasangan tertentu yang tidak mampu mengatasi masalah-masalah yang terjadi di dalam rumah tangga (Dariyo, 2004). Perceraian merupakan suatu peristiwa perpisahan secara resmi antara pasangan suami-isteri dan berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-isteri (Dipayanti & Chairani, 2012). Akhir-akhir ini, perceraian merupakan sebuah fenomena yang lazim terjadi (Gottman, 2014). Di Aceh, peningkatan kasus perceraian terus terjadi dan didominasi oleh gugatan dari isteri. Cerai gugat menjadi fenomena yang mengagetkan di Aceh karena angkanya jauh lebih besar dibandingkan cerai talak (sak/gun, 2016). Berikut merupakan data perceraian di Aceh: Tabel 1 Data Jumlah Kasus Perceraian di Provinsi Aceh 2013 2014 Kabupaten/Kota Cerai Cerai Cerai Cerai Talak Gugat Talak Gugat Lhoksukon 111 304 117 377 Kuala Simpang 69 304 72 302 Bireun 94 248 127 252 Takengon 145 233 141 278 Idi 68 229 61 240 Sigli 79 228 89 243 Langsa 78 236 70 199 Meulaboh 82 176 85 215 Lhokseumawe 99 159 82 206 Banda Aceh 75 186 89 191 Jantho 47 180 65 189 Tapaktuan 51 130 67 163 Sp. Tiga 103 137 118 150 Redelong Kutacane 38 81 35 139 Meureudu 23 58 29 105 Singkil 31 64 30 47 Calang 13 42 15 52 Blangkejren 26 32 17 41 Sinabang 17 26 22 34 Sabang 15 40 13 34 Jumlah 1.264 3.093 1.344 3.457 Sumber: Mahkamah Syar’iyah Aceh, 2016
9
2015 Cerai Cerai Talak Gugat 120 398 87 363 112 328 173 307 85 295 76 255 61 231 95 219 72 220 68 191 71 170 57 187
Total Cerai Cerai Talak Gugat 348 1.079 228 969 333 828 459 818 214 764 244 726 209 666 262 610 253 585 232 568 183 539 175 480
113
184
334
471
57 43 46 21 33 20 20 1.430
168 74 70 47 55 51 37 3.850
130 95 107 49 76 59 48 4.038
388 237 181 141 128 111 111 10.400
Original Article Jurnal Ilmiah Mahasiswa Psikologi Vol. 1, No. 3 : 7-18 November 2016
Data di atas menunjukkan bahwa angka perceraian semakin meningkat setiap tahunnya. Hal ini juga disertai dengan munculnya fenomena bahwa kaum wanita lebih banyak mengajukan gugatan perceraian dibandingkan dengan kaum pria sebagai suami Menurut data yang diperoleh dari Mahkamah Syar’iyah Aceh (2016), terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab pasangan suami-isteri mengambil keputusan untuk bercerai. Berikut data mengenai faktor penyebab perceraian di Aceh: Tabel 2. Faktor Penyebab Perceraian di Aceh Faktor Penyebab Perceraian Tidak Ada Keharmonisan Tidak Ada Tanggung Jawab Ekonomi Gangguan Pihak Ketiga Cemburu Krisis Moral Penganiayaan Berat Poligami Tidak Sehat Cacat Biologis Kekejaman Mental Dihukum Kawin di Bawah Umur Kawin Paksa Politis Total
2013 1.175 773 296 117 48 66 20 40 13 45 9 21 16 323 2.962
2014 2.020 1.277 180 249 57 119 110 39 21 21 20 8 2 1 4.124
Tahun 2015 2.411 1.304 222 217 116 102 79 84 23 1 25 15 10 12 4.621
Jumlah 5.606 3.354 698 583 221 287 209 163 57 67 54 44 28 336 11.707
Sumber: Mahkamah Syar’iyah Aceh (2016).
Adapun faktor pertama penyebab perceraian sepanjang tahun 2013 sampai dengan tahun 2015 berdasarkan data di atas adalah tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga, faktor kedua adalah tidak ada tanggung jawab, dan faktor ketiga adalah masalah ekonomi. Pada umumnya, meskipun perceraian itu diinginkan, pasangan suami isteri yang bercerai justru akan menghadapi masalah yang jauh lebih berat. Fisher dan Low (2009) mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki pengalaman yang berbeda setelah terjadi perceraian. Setelah perceraian, wanita lebih banyak memiliki masalah emosional dibandingkan pria. Pria dan wanita juga cenderung merasa identitasnya kabur setelah terjadi perceraian, namun wanita lebih parah kondisinya karena sebelum bercerai identitasnya sangat tergantung pada suami. Kehidupan sosial wanita yang bercerai juga akan terganggu karena wanita yang menjadi janda cenderung akan tersisih, lain halnya dengan laki-laki yang menjadi duda akan memiliki kehidupan sosial yang lebih baik (Hurlock, 2009). Lebih lanjut, Santrock (2002) menambahkan bahwa wanita mengalami penurunan penghasilan lebih besar dibandingkan laki-laki dan pada umumnya laki-laki tidak mengalami perceraian secara menyakitkan. Menurut Williams dan Bryant (2006), masalah lain yang muncul setelah perceraian adalah masalah ekonomi, yaitu wanita yang bercerai berarti akan hidup sendiri tanpa pasangan dan harus menanggung kebutuhan rumah tangga dan anak-anaknya sehingga wanita harus bekerja agar kebutuhan rumah tangganya terpenuhi. Lebih lanjut, Lichter, Graefe, dan Brown (2003) menambahkan masalah ekonomi akan menjadi lebih sulit jika wanita bercerai memiliki anak karena kebutuhan anak juga menjadi tanggung jawabnya. Menurut ajaran agama Islam, mantan suami tetap memberikan nafkah kepada anaknya meskipun anak tinggal bersama ibunya selama anak tersebut tidak memiliki harta (Baits, 2014), namun fakta yang 10
Original Article Jurnal Ilmiah Mahasiswa Psikologi Vol. 1, No. 3 : 7-18 November 2016
terjadi selama ini adalah mantan suami seringkali melupakan kewajibannya untuk menafkahi anak meskipun telah bercerai sehingga wanita yang bercerai harus menanggung kebutuhan anak-anaknya sendirian (Lubis, 2008). Selain permasalahan ekonomi, dampak psikologis seperti depresi juga dirasakan oleh wanita yang bercerai (Kim & McKenry, 2002). Yaben (2009) menambahkan bahwa perceraian berdampak negatif pada hampir seluruh aspek kehidupan. Wanita yang bercerai akan merasa kesepian, memiliki masalah ekonomi, kesulitan mengasuh anak, dan memiliki risiko buruk terhadap kesehatan fisik dan psikologis. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Sasongko, Frieda, dan Febriana (2013) bahwa ketika bercerai, wanita akan mengalami kesepian, kesehatan yang buruk, kesulitan ekonomi, bahkan depresi. Masalah-masalah yang terjadi setelah perceraian ternyata dapat menurunkan kesejahteraan psikologis atau dalam penelitian ini disebut sebagai kesejahteraan psikologis wanita yang bercerai (Kim & McKenry, 2002), terutama bagi wanita yang belum menikah lagi (Waite dkk, 2009). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Shaphiro dan Keyes (2008) yang mengatakan bahwa perceraian dapat menurunkan kesejahteraan psikologis seseorang. Akibatnya, wanita yang bercerai tidak dapat memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, tidak dapat membuat keputusan sendiri dan mengatur tingkah lakunya, tidak dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya, tidak memiliki tujuan hidup dan membuat hidup individu lebih bermakna, serta tidak mampu mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya (Ryff, 2013). Walaupun perceraian menimbulkan berbagai masalah dan dapat menurunkan kesejahteraan psikologis terutama dalam kehidupan wanita, akan tetapi data menunjukkan bahwa banyak isteri yang melakukan cerai gugat setiap tahun. Kesenjangan ini terjadi karena menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Kim dan McKenry (2002) menunjukkan bahwa wanita yang bercerai memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih baik dibandingkan dengan wanita yang mempertahankan pernikahannya yang tidak bahagia. Sasongko dkk. (2013) menambahkan bahwa kemampuan seseorang dalam menghadapi perceraian akan berbeda pada setiap individu, karena tidak semua wanita mengalami kondisi psikologis yang buruk dalam waktu lama. Bagi sebagian wanita yang lain, kehidupan setelah bercerai dapat menjadi suatu hal yang positif dan menjadikan wanita yang bercerai lebih matang dalam menghadapi kehidupan sehingga dapat mencapai kesejahteraan psikologis dan kehidupan yang lebih bermakna dalam hidupnya (Solichatun, 2009). Pada dasarnya, kesejahteraan psikologis bukan hal yang mudah untuk dicapai, perlu suatu tindakan yang dapat mengatasi penderitaan dan penyembuhan secara psikologis atau tindakan yang dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis pada wanita yang bercerai (Raudatussalamah & Susanti, 2014). Salah satu tindakan yang dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis pada wanita yang bercerai adalah dengan memaafkan mantan suaminya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu mampu memperoleh kesejahteraan psikologis ketika individu tersebut mampu memaafkan pelaku (Bono, McCullough, & Root, 2008). Hal serupa juga diteliti oleh Karremans, Van Lange, Ouwerkerk, dan Kluwer (2003) yang menyatakan bahwa suami/isteri yang memaafkan pasangannya memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi. Memaafkan menurut McCullough, Worthington, dan Rachal (1997) merupakan motivasi individu untuk tidak melakukan perbuatan balas dendam terhadap pelaku, tidak ada keinginan untuk menjauhi pelaku meskipun pelaku telah melakukan perbuatan yang menyakitkan, dan menjalin hubungan yang baik dengan pelaku. Menurut pendapat Karremans dkk. (2003) perilaku memaafkan akan lebih berdampak pada kesejahteraan 11
Original Article Jurnal Ilmiah Mahasiswa Psikologi Vol. 1, No. 3 : 7-18 November 2016
psikologis jika yang dimaafkan adalah seseorang yang sebelumnya memiliki hubungan yang kuat dengan yang memaafkan, seperti hubungan pernikahan. Selain itu, memaafkan dapat mengurangi tekanan psikologis yang dialami wanita yang bercerai. Fincham, Hall, dan Beach (2006) melakukan penelitian yang menjelaskan bahwa memaafkan dapat mengurangi peristiwa yang buruk yang akan terjadi setelah perceraian. Ketika individu memaafkan maka individu yang disakiti mampu untuk menghilangkan kemarahan, melawan dorongan-dorongan untuk menghukum dan berhenti untuk marah. Memaafkan dapat merubah sikap individu yang sebelumnya ingin membalas dendam dan menjauhi pelaku menjadi memiliki keinginan untuk berdamai dengan pelaku (Enright, Gassin, & Wu, 1992). Memaafkan akan mudah dilakukan jika individu yang disakiti memiliki afek positif seperti cinta, belas kasih, kepercayaan, empati atau simpati pada pelaku (McCullough dkk. 1997; Worthington & Wade, 1999). Lebih lanjut, McCullough (2000) menyatakan bahwa jika individu yang mengalami peristiwa menyakitkan mampu memberi maaf, maka individu tersebut akan memiliki kesejahteraan psikologis yang baik.
TINJAUAN TEORI a. Memaafkan Memaafkan adalah motivasi seseorang untuk tidak melakukan balas dendam terhadap pelaku, tidak adanya keinginan untuk menjauhi pelaku, sebaliknya adanya keinginan untuk berbuat baik dan berdamai pada pelaku, meskipun pelaku telah melakukan hal yang menyakitkan (McCullough, Worthington, & Rachal, 1997)
b. Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis merupakan suatu keadaan pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang, yaitu individu mampu menjadi pribadi yang mandiri dari tekanan sosial, mampu mengontrol lingkungan eksternal, mampu merealisasikan potensi dalam dirinya secara terus-menerus, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, dan mampu memaknai kehidupannya dengan tujuan hidup yang jelas, serta dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri (Ryff, 2013)
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian korelasi. Adapun populasi dalam penelitian ini yaitu 10.400 wanita yang melakukan cerai gugat. Penentuan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2013). Adapun kriteria sampel pada penelitian ini adalah : a) wanita berusia 18-40 tahun, b) perceraian terjadi maksimal di usia 5 tahun pernikahan, c) menetap di Aceh dan menerima putusan cerai dari Mahkamah Syar’iyah pada tahun 2013-2015, d) memiliki anak, e) belum menikah lagi pada saat dilakukan penelitian. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua skala psikologi, yaitu adaptasi skala Transgression-Related Interpersonal Motivation-18 (TRIM-18) yang dikembangkan pada tahun 2002 oleh McCullough dan Hoyt. TRIM-18 memiliki 18 butir pernyataan dengan menggunakan skala model likert yang terdiri dari 5 pilihan jawaban. Skala kedua diadaptasi dari Ryff’s Psychological Well-Being Scale yang dikembangkan pada tahun 12
Original Article Jurnal Ilmiah Mahasiswa Psikologi Vol. 1, No. 3 : 7-18 November 2016
1989 oleh Ryff. Skala ini memiliki 42 butir pernyataan dengan menggunakan skala model likert yang terdiri dari 6 pilihan jawaban.
Metode Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis menggunakan teknik one-sample kolmogorov-smirnov test untuk menguji normalitas data dan uji linieritas menggunakan test for liniearity. Selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis menggunakan teknik nonparametrik yaitu spearman dengan menggunakan program SPSS versi 18.0 for Windows.
HASIL PENELITIAN Deskripsi Data Memaafkan
Gambaran umum mengenai data penelitian variabel memaafkan dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 3. Deskripsi Data Penelitian Variabel Memaafkan Data Hipotetik Data Empirik Variabel Xmaks Xmin Mean SD Xmaks Xmin Mean SD Memaafkan 90 18 54 12 81 26 47,83 15,99
Berdasarkan hasil statistik data penelitian, analisis deskriptif secara hipotetik menunjukkan bahwa jawaban maksimal untuk variabel memaafkan adalah 90, minimal 18, nilai rata-rata 54, dan simpangan baku 12, sedangkan pada data empirik menunjukkan bahwa jawaban maksimal 81, minimal 26, rata-rata 47,83, dan simpangan baku 15,99. Deskripsi data hasil penelitian tersebut dapat dijadikan batasan dalam pengkategorian sampel penelitian yang terdiri dari dua kategori, yaitu tinggi dan rendah. Pembagian kategori sampel dalam penelitian ini menggunakan metode pertimbangan eror standar dalam pengukuran. Metode ini menggunakan kisaran skor atau fluktuasi skor mean (Azwar, 2013). Berikut kategorisasi sampel memaafkan: Tabel 4. Kategorisasi Memaafkan pada Wanita yang Bercerai Kategori Skor Kategori Skor Jumlah Memaafkan X < 48 Rendah Tinggi 177 48 ≤ X < 60 Tak terkategorisasi Tak terkategorisasi 10 Rendah 60 ≤ X Tinggi 79
Persentase (%) 66,54 3,75 29,69
Deskripsi Data Kesejahteraan Psikologis Gambaran umum mengenai data penelitian variabel kesejahteaan psikologis dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 5. Deskripsi Data Penelitian Variabel Kesejahteraan Psikologis Data Hipotetik Variabel Xmaks Xmin Mean SD Xmaks Kesejahteraan 252 42 147 35 221 Psikologis
13
Data Empirik Xmin Mean 91
168,80
SD 36,06
Original Article Jurnal Ilmiah Mahasiswa Psikologi Vol. 1, No. 3 : 7-18 November 2016
Berdasarkan hasil statistik data penelitian, analisis deskriptif secara hipotetik menunjukkan bahwa jawaban maksimal untuk variabel kesejahteraan psikologis adalah 252, minimal 42, nilai rata-rata 147, dan simpangan baku 35, sedangkan pada data empirik menunjukkan bahwa jawaban maksimal 221, minimal 91, rata-rata 168,80, dan simpangan baku 36,06. Deskripsi data hasil penelitian tersebut dapat dijadikan batasan dalam pengkategorian sampel penelitian yang terdiri dari dua kategori, yaitu tinggi dan rendah. Pembagian kategori sampel dalam penelitian ini menggunakan metode pertimbangan eror standar dalam pengukuran. Metode ini menggunakan kisaran skor atau fluktuasi skor mean (Azwar, 2013). Berikut kategorisasi sampel kesejahteraan psikologis: Tabel 6. Kategorisasi Kesejahteraan Psikologis pada Wanita yang Bercerai Skor
Kategori
Jumlah
X < 138 138 ≤ X < 156 156 ≤ X
Rendah Tak terkategorisasi Tinggi
65 6 195
Persentase (%) 24,43 2,25 73,30
Uji Asumsi Hasil uji asumsi menunjukkan bahwa data tidak berdistribusi normal dan linier. Hal tersebut dilihat dari hasil analisis menunjukkan bahwa pada variabel memaafkan diperoleh hasil (K-S Z = 3,383 p = 0,000 < 0,05). Selanjutnya, pada variabel kesejahteraan psikologis diperoleh nilai (K – S Z = 4,453 p = 0,000 < 0,05). Hasil uji linieritas menunjukkan nilai signifikansi pada linieritas p = 0,000 < 0,05. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang linier antara variabel memaafkan dan kesejahteraan psikologis. Uji Hipotesis Uji hipotesis menggunakan analisis korelasi spearman dikarenakan data tidak berdistribusi secara normal. Hasil analisis menunjukkan nilai signifikansi pada penelitian ini adalah p = 0,000 lebih kecil dari 0,05 (p <0,05). Hasil analisis penelitian ini juga menunjukkan koefisien korelasi sebesar -0,525. Korelasi negatif menurut Creswell (2012) merupakan perubahan pada variabel yang satu akan diikuti perubahan pada variabel yang lain dengan arah yang berlawanan, artinya ketika variabel X rendah, maka variabel Y tinggi. Sebaliknya, ketika variabel X tinggi, maka variabel Y rendah. Pada penelitian ini, rendahnya skor pada variabel memaafkan diikuti dengan tingginya skor pada variabel kesejahteraan psikologis. Berdasarkan interpretasi skor TRIM-18, semakin rendah skor total yang diperoleh subjek penelitian menunjukkan semakin tingginya tingkat memaafkan individu, sehingga meskipun terdapat tanda minus (-) pada nilai koefisien korelasi, penelitian ini tetap berkorelasi positif artinya terdapat hubungan positif antara memaafkan dan kesejahteraan psikologis. Hubungan tersebut mengartikan bahwa jika semakin tinggi tingkat memaafkan pada wanita bercerai di Aceh maka semakin tinggi pula kesejahteraan psikologisnya.
Diskusi Hasil perhitungan statistik analisis korelasi menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05) dan nilai koefisien korelasi sebesar -0,525, dimana hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara memaafkan dan kesejahteraan psikologis. Nilai koefisien korelasi negatif karena variabel memaafkan rendah dan variabel kesejahteraan psikologis tinggi. Skor total pada skala memaafkan menunjukkan semakin rendah skor maka semakin tinggi tingkat memaafkan individu, sehingga hubungan antar dua variabel dalam penelitian 14
Original Article Jurnal Ilmiah Mahasiswa Psikologi Vol. 1, No. 3 : 7-18 November 2016
ini adalah positif, dimana hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi memaafkan wanita yang bercerai maka akan semakin tinggi pula kesejahteraan psikologisnya. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa wanita bercerai yang memaafkan memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pebriarti (2011) yang menunjukkan bahwa pelatihan memaafkan dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis wanita yang bercerai. Raudhatussalamah dan Susanti (2014) menambahkan bahwa dengan memaafkan individu akan mencapai kesejahteraan psikologis sehingga kualitas hidup yang baik tetap terjaga meskipun individu tersebut berada dalam kondisi yang baik atau buruk. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara memaafkan dan kesejahteraan psikologis (Krause & Ellison, 2003; Toussaint & Friedman, 2009; Bono & McCullough, 2006). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sastre, Vinsonneau, Neto, Girard, dan Mullet (2003) juga menunjukkan bahwa memaafkan dan kesejahteraan psikologis memiliki hubungan yang kuat. McCullough (2000) menyatakan bahwa memberi maaf dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis karena dengan memaafkan individu mampu mengontrol amarahnya sehingga menjadi lebih stabil. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tse dan Yip (2009) juga menunjukkan bahwa dengan memaafkan orang lain akan meningkatkan kesejahteraan psikologis karena dapat mencegah individu dari pengalaman dan persepsi negatif yang berhubungan dengan depresi. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat 66,54% wanita yang bercerai di Aceh memiliki tingkat memaafkan yang tinggi dan 29,69% memiliki tingkat memaafkan yang rendah. Hoyt, McCullough, Fincham, Maio, dan Davila (2005) menjelaskan bahwa individu yang memaafkan tidak memiliki keinginan untuk menghindari pelaku dan tidak ada keinginan untuk membalas dendam, sebaliknya individu tersebut tetap menjaga hubungan baik dengan pelaku. Selanjutnya Witvliet, Ludwig, dan Vander Laan (2001) mengatakan bahwa individu yang tidak memaafkan akan mengalami perasaan tertekan dan akan terus bermusuhan dengan pelaku. Individu yang tingkat memaafkannya rendah juga cenderung memiliki gangguan kesehatan fisik pada sistem imun tubuhnya atau sistem kardiovaskular. Worthington (2005) menambahkan bahwa individu yang memaafkan atau tidak memaafkan akan berdampak pada kesejahteraan psikologisnya. Lebih lanjut, hasil penelitian yang dilakukan oleh Wohl, DeShea, dan Wahkinney (2008) menunjukkan bahwa individu yang memaafkan memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi sedangkan individu yang tidak memaafkan memiliki kesejahteraan psikologis yang rendah. Menurut Maltby, Macaskill, dan Day (2001) individu yang mampu memaafkan orang lain yang telah menyakitinya tidak akan mengalami kondisi psikologis yang buruk. Raudhatussalamah dan Susanti (2014) mengatakan bahwa ketidakmampuan dalam memaafkan secara logis juga menunjukkan bahwa individu kurang mampu memaafkan bagian dari dirinya sendiri. Akibatnya konflik dalam diri individu akan menimbulkan ketegangan psikologis yang membuat individu kurang sejahtera secara psikologis atau memiliki kesejahteraan psikologis yang rendah. Hasil analisis data secara deskriptif menunjukkan bahwa terdapat 73,30% wanita yang bercerai di Aceh termasuk dalam kategori tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi dan 24,43% subjek termasuk dalam kategorisasi tingkat kesejahteraan psikologis rendah. Ryff dan Singer (2008) menyatakan bahwa individu dengan kesejahteraan psikologis yang tinggi seperti pada wanita bercerai dalam penelitian ini menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki penilaian yang positif terhadap pengalaman dan kualitas hidupnya yang dilihat dari keenam dimensi kesejahteraan psikologis, yaitu kemandirian, penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup dan penerimaan diri. 15
Original Article Jurnal Ilmiah Mahasiswa Psikologi Vol. 1, No. 3 : 7-18 November 2016
Individu yang kesejahteraan psikologis tinggi memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, menerima berbagai aspek positif dan negatif dalam dirinya, dan memiliki perasaan positif tentang kehidupan di masa lalu. Menurut Ryff (2013) tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi pada individu dapat dilihat dari kemampuan individu melakukan dan mengarahkan perilakunya secara mandiri, mampu memodifikasi lingkungannya agar dapat mengelola kebutuhan dan tuntutan dalam hidupnya, memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri dan terbuka terhadap hal baru, mampu mengelola hubungan interpersonal yang hangat, memiliki tujuan dan makna hidup serta mampu mengevaluasi secara positif terhadap apa yang terjadi dalam hidupnya baik pada masa kini maupun masa lalu. Sebaliknya, tingkat kesejahteraan psikologis yang rendah pada individu dilihat dari ketidakmampuan individu dalam mengarahkan perilakunya secara mandiri, kurang mampu mengatur lingkungan sekitarnya, kurang mengembangkan diri dan sulit terbuka terhadap hal baru, sulit membangun hubungan interpersonal dengan orang lain, tidak memiliki tujuan hidup, serta kurang mampu menerima keadaan dirinya. Meskipun hipotesis pada penelitian ini telah terbukti secara empiris, namun sumbangan efektif memaafkan terhadap kesejahteraan psikologis pada wanita yang bercerai dapat dilihat dari analisis measures of association, menunjukkan nilai R Square (R2) = 0,465 yang artinya terdapat 46,5% pengaruh memaafkan terhadap kesejahteraan psikologis, sementara 53,5% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti religiusitas (Amawidyati & Utami, 2007), relasi sosial dan aktifitas fisik (McAuley dkk, 2000), self esteem (Paradise & Kernis, 2002), dan kepuasan kerja (Tenggara, Zamralita, & Suyasa, 2010). Faktor-faktor lain yang mendukung kondisi kesejahteraan psikologis yang tinggi pada wanita bercerai dapat berupa faktor usia dan dukungan sosial (Ryff, 1989). Berdasarkan data demografi penelitian menunjukkan sampel penelitian berada pada kisaran usia 23-40 tahun. Ryff (1989) menyebutkan bahwa semakin bertambah usia seseorang maka orang tersebut akan semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Selanjutnya, Ryff juga mengatakan bahwa individu yang mendapatkan dukungan sosial akan memiliki kesejahteraan psikologis yang baik dalam dirinya. Individu yang mendapatkan dukungan sosial seperti rasa nyaman, perhatian, pertolongan yang dipersepsikan oleh individu yang didapatkan dari orang lain akan menyebabkan individu memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi. Dukungan sosial yang diperoleh oleh wanita bercerai dapat berasal dari berbagai sumber, diantaranya adalah dukungan dari anak. Pada penelitian ini, semua wanita bercerai memiliki anak (100%). Faktor lain yang memengaruhi kesejahteraan psikologis adalah status pekerjaan dan pendidikan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Daulay dan Siregar (2013) menunjukkan adanya perbedaan kesejahteraan psikologis antara wanita menopause yang bekerja dan tidak bekerja. Wanita menopause yang bekerja memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita menopause yang tidak bekerja. Pada penelitian ini, rata-rata wanita bercerai memiliki pekerjaan (63,53%). Selanjutnya, pendidikan terakhir yang paling banyak ditempuh oleh wanita bercerai pada penelitian ini adalah SMA (52,63%) dan S1 (39,47%). Ahrens dan Ryff (2006) menyatakan bahwa wanita dengan pendidikan yang baik dan bekerja menunjukkan tingkat otonomi yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan wanita bekerja dengan tingkat pendidikan yang baik memungkinkan bagi mereka untuk mendapatkan sumber-sumber dan kemampuan yang dapat mereka gunakan untuk mengatur berbagai peran yang mereka lakukan dan dengan demikian mereka merasakan otonomi dalam menjalankan berbagai peran dalam kehidupannya.
16
Original Article Jurnal Ilmiah Mahasiswa Psikologi Vol. 1, No. 3 : 7-18 November 2016
KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara memaafkan dan kesejahteraan psikologis. Hal ini mengindikasikan semakin tinggi memaafkan maka semakin tinggi pula kesejahteraan psikologis ataupun sebaliknya. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa tingkat memaafkan wanita bercerai berada pada kategori tinggi dan memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi pula. Kepada wanita bercerai di Aceh yang telah memaafkan segala bentuk perlakuan menyakitkan yang diterima dari mantan suami diharapkan untuk dapat mempertahankan perilaku memaafkan agar kualitas hidup dan kesejahteraan psikologis tetap terjaga. Selanjutnya peneliti berharap kepada pihak Mahkamah Syar’iyah di seluruh Aceh untuk dapat menyediakan data perceraian di website resmi masing-masing mahkamah agar mudah diakses oleh peneliti lain atau pihak yang berkepentingan yang memerlukan data tersebut. Mahkamah Syar’iyah juga dapat menjadikan penelitian ini sebagai informasi mengenai memaafkan dan kesejahteraan psikologis yang mungkin diperlukan saat melakukan mediasi bagi pasangan yang akan bercerai. Kepada peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini dengan menyertakan faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi memaafkan dan kesejahteraan psikologis seperti religiusitas, kepribadian, dan sebagainya. Selain itu, peneliti selanjutnya juga dapat menambahkan variabel lain seperti kebersyukuran, mental health, marital satisfaction, dan sebagainya. Selanjutnya, bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian dengan variabel yang sama, maka dapat meneliti dengan menggunakan metode penelitian kualitatif yang dilakukan dengan wawancara mendalam sehingga informasi yang diperoleh dapat lebih bervariasi. Peneliti juga menyarankan agar peneliti selanjutnya menggunakan metode kuantitatif dengan jenis komparasi dengan variabel yang sama.
DAFTAR PUSTAKA Ahrens, C & Ryff, C. D., (2006). Multiple roles and well-being: Sociodemographic and psychological moderators. Sex Roles, 55, 801-815. Amawidyati, S. A. G., & Utami, M. S. (2007). Religiusitas dan psychological well‐being pada korban gempa. Jurnal Psikologi, 34(2), 164-176. Azwar, S. (2013). Metode penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Baits, A. M. (2014). Meminta nafkah anak kepada mantan suami setelah bercerai. Artikel Online. Diakses dari https://konsultasisyariah.com/22041-meminta-nafkah-anakkepada-mantan-suami-setelah-bercerai.html Bono, G., McCullough, M. E. (2006). Positive responses to benefit and harm: Bringing forgiveness and gratitude into cognitive psychotherapy. Journal Of Cognitif Psychoteraphy, 20(2), 147-158. Bono, G., McCullough, M. E., & Root, L. M. (2008). Forgiveness, feeling connected to others, and well-being: Two longitudinal studies. Personality and Social Psychology Bulletin, 34(2). 182-195. Creswell, J. W. (2012). Educational research: Planning, conducting, and evaluating quantitative and qualitative research (edisi ke-4). New Jersey: Pearson. Dariyo, A. (2004). Memahami psikologi perceraian dalam kehidupan keluarga. Jurnal Psikologi, 2(2), 94-100. Daulay, D. A., & Siregar, N. Z. (2013). Perbedaan psychological well-being antara wanita menopause yang bekerja dan tidak bekerja. Psikologia, 8(2), 50-58. 17
Original Article Jurnal Ilmiah Mahasiswa Psikologi Vol. 1, No. 3 : 7-18 November 2016
Dipayanti, S., & Chairani, L. (2012). Locus of control dan resiliensi pada remaja yang orangtuanya bercerai. Jurnal Psikologi, 8(1), 15-20. Enright, R. D., Gassin, E. A., & Wu, C. (1992). Forgiveness: A developmental view. Journal of Moral Education, 21(2), 99-114. Fincham, F. D., Hall, J., & Beach, S. R. H. (2006). Forgiveness in marriage: Current status and future directions. Family Relation, 55, 415-425. Fisher, H., & Low, H. (2009). Who wins, who loses and who recovers from divorce?. Artikel Online. Diakses dari https://www.researchgate.net/profile/Hamish_Low/publication/267833710_Who_wins_ who_loses_and_who_recovers_from_divorce/links/55f29f8208aef559dc493bc8.pdf Gottman, J. M. (2014). What predicts divorce?: The relationship between marital processes and marital outcomes. Diakses dari https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=ziABAwAAQBAJ&oi=fnd&pg=PP1 &dq=divorce&ots=NV5Du-Xfyq&sig=ihY7oqrfVF9BZDBNCn5KMdYuRE&redir_esc=y#v=onepage&q=divorce&f=false Hoyt, W. T., McCullough, M. E., Fincham, F. D., Maio, G., & Davila, J. (2005). Responses to interpersonal transgressions in families: Forgivingness, forgivability, and relationship-specific effects. Journal of Personality and Social Psychology, 89(3), 375394. Hurlock, E. B. (2009). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (Ed. 5). Terjemahan: Istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta: Erlangga. Karremans, J. C., Van Lange, P. A. M., Ouwerkerk, J. W., & Kluwer, E. (2003). When forgiving enhances psychological well-being: The role of interpersonal commitment. Journal of Personality and Social Psychology, 84(5), 1011-1026. Kim, H. K., & McKenry, P. C. (2002). The relationship between marriage and psychological well-being: A longitudinal analysis. Journal of Family Issue, 23, 885-911. Krause, N., & Ellison, C. G. (2003). Forgiveness by God, forgiveness of others, and psychological well-being in late life. Journal for the Scientific Study of Religion, 42(1), 77–93. Lichter, D. T., Graefe, D. R., & Brown, J. B. (2003). Is marriage a panacea? Union formation among economically disadvantaged unwed mothers. Social Problems, 50(1), 60-86. Lubis, P. (2008). Tunjangan anak setelah bercerai. Artikel Online. Diakses dari http://m.life.viva.co.id/news/read/18544-tunjangan-anak-setelah-bercerai Mahkamah Syar’iyah. (2016). Data perceraian kota Banda Aceh. Diakses dari http://www.ms-aceh.go.id/ Maltby, J., Macaskill, A., & Day, L. (2001). Failure to forgive self and others: A replication and extension of the relationship between forgiveness, personality, social desirability and general health. Personality and Individual Differences, 30, 881–885. McAuley, E., Blissmer, B., Marquez, D. X., Jerome, G. J., Kramer, A. F., & Katula, J. (2000). Social relations, physical activity, and well-being in older adults. Preventive Medicine, 31(5), 608-617. McCullough, M. E., Worthington, E. L., Jr., & Rachal, K. C. (1997). Interpersonal forgiving in close relationships. Journal of Personality and Social Psychology, 73, 321-336. McCullough, M. E. (2000). Forgiveness as human strength: Theory, measurement, and links to well-being. Journal of Social and Clinical Psychology, 19(1), 43-55.
18
Original Article Jurnal Ilmiah Mahasiswa Psikologi Vol. 1, No. 3 : 7-18 November 2016
Paradise, A. W., & Kernis, M. H. (2002). Self-esteem and psychological well-being: implications of fragile self-esteem. Journal of Social and Clinical Psychology, 21(4), 345-361. Pebriarti, S. (2011). Pelatihan pemaafan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis wanita bercerai. (Thesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta). Diakses dari http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail &act=view&typ=html&buku_id=50338&obyek_id=4 Raudatussalamah., & Susanti, R. (2014). Pemaafan (forgiveness) dan psychological wellbeing pada narapidana wanita. Marwah, 8(2), 219-234. Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it? exploration on the meaning of psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 57 (6), 1069 1081. Ryff, C. D., & Singer. (2008). Know thyself and become what you are: A eudaimonic approach psychological well-being. Journal of Happiness Studies, 9, 13-39. doi: 10.1007/s10902-006-9019-0 Ryff, C. D. (2013). Psychological well-being revisited: advances in the science and practice of eudaimonia. Psychotherpsychosom, 83, 10-28. doi: 10.1159/000353263. Sak/gun. (14 Februari 2016). Banyak istri minta cerai. Serambi Indonesia, hal. 1 dan 7. Santrock, J. W. (2002). Life-span development: Perkembangan masa hidup (edisi ke-5). Terjemahan: Ahmad Chusairi & Juda Damanik. Jakarta: Erlangga. Sasongko, R. D., Frieda, N. R. H., & Febriana, I. K. (2013). Resiliensi pada wanita usia dewasa awal pasca perceraian di Sendangmulyo, Semarang. Jurnal Empati, 2(3). Sastre, M., Vinsonneau, G., Neto, F., Girard, M., & Mullet, E. (2003). Forgivingness and satisfaction with life. Journal of Happiness Studies, 4, 323–335. Setyawan, I. (2007). Membangun pemaafan pada anak korban perceraian. Artikel Online. Diakses dari http://eprints.undip.ac.id/19069/1/imam_s_membangun_pemaafan_pada...pdf Shaphiro, A., & Keyes, C. L. M. Marital status and social well-being: are the married always better off?. Social Indicators Research, 88, 329-346. Solichatun, Y. (2009). Hidup setelah menikah, mengurai emosi positif dan resiliensi pada wanita tanpa pasangan. Egalita, 4(1). Sugiyono. (2013). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Tenggara, H., Zamralita., Suyasa, T. Y. S. (2010). Kepuasan kerja dan kesejahteraan psikologi karyawan. Phronesis, 10(1), 1-9. Tousaint,L.&FredmP(209).ogivens,ratudwl-being:Thmdatrolfecnbis.JouralHpneStdy,10635-4. Tse,W.S&YipHJ(209).Relatonshipmgdalforivensth,poaldjusmentycholgiawe-bn:Impctofriesnalhyodpri.JunalfPesoitydIvualDferncs,46(3)5-8. Waite, L. J., Luo, Y., & Lewin, A. C. (2009). Marital happiness and marital stability: consequences for psychological well-being. Social Science Research, 38, 201-212. Williams, K., & Bryant, A. D. (2006). Divorce and adult psychological well-being: Clarifying the role of gender and child age. Journal of Marriage and Family, 68, 11781196. Witvliet, C. V. O., Ludwig, T. E., & Vander Laan, K. L. (2001). Granting forgiveness or harboring grudges: Implications for emotion, physiology, and health. Psychological Science, 121, 117–123. Wohl, M. J. A., DeShea, L., & Wahkinney, R.L. (2008). Looking within: Measuring state self-forgiveness and its relationship to psychological well-being. Canadian Journal of Behavioural Science, 40(1), 1-10.
19
Original Article Jurnal Ilmiah Mahasiswa Psikologi Vol. 1, No. 3 : 7-18 November 2016
Worthington, E. L. (2005). Initial questions about the art and science of forgiving. In Forgiveness as change, edited by E. L. Worthington, hal. 1-13. New York: Routledge. Worthington, E. L., & Wade, N. G. (1999). The social psychology of unforgiveness and forgiveness and implications for clinical practice. Journal of Social and Clinical Psychology, 18, 385-418. Yaben, S. Y. (2009). Forgiveness, attachment, and divorce. Journal of Divorce and Remarriage, 50(4), 282-294.
20