HUBUNGAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS DAN DISTRES PSIKOLOGIS PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UKSW TINGKAT AKHIR
OLEH MARIO VALENTINO TANDJING 802009085
TUGAS AKHIR Ditujukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015
i
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kesejahteraan psikologis dan distres psikologis pada mahasiwa fakultas psikologi UKSW tingkat akhir. Populasi pada penelitian ini adalah mahasiswa fakultas psikologi UKSW tingkat akhir dalam rentang usia 21-26 tahun. Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah simple random sampling dengan partisipan sebanyak 65 mahasiswa. Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada Scale of Psychological Well-Being (Ryff, 1989) dan Distress Anxiety Stress Scale (Lovibond & Lovibond, 1995). Untuk menghitung korelasi antara kesejahteraan psikologis serta tiap dimensi
dan distres psikologis digunakan Pearson’s
Product Moment. Hasil dari penelitian ini mendapati bahwa terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara kesejahteraan psikologis dan distres psikologis dengan koefisien korelasi sebesar -0,364 dan signifikansi 0,001 (p < 0,01); hubungan yang negatif dan signifikan antara dimensi hubungan positif dengan orang lain dan distres psikologis dengan koefisien korelasi sebesar -0,393 dan signifikansi 0,001 (p < 0,01); hubungan yang negatif dan signifikan antara dimensi otonomi / kemandirian dan distres psikologis dengan koefisien korelasi sebesar -0,432 dan signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,01); hubungan yang negatif dan signifikan antara dimensi penguasaan lingkungan dan distres psikologis dengan koefisien korelasi sebesar -0,292 dan signifikansi sebesar 0,009 (p < 0,01); hubungan yang negatif dan signifikan antara dimensi penerimaan diri dan distres psikologis dengan koefisien korelasi sebesar -0,401 dan signifikansi 0,000 (p < 0,01); sedangkan untuk dimensi pertumbuhan pribadi dan dimensi tujuan hidup tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan distres psikologis. Kata kunci: Kesejahteraan Psikologis, Distres Psikologis, Mahasiswa
ii
ABSTRACT This study aims to determine the relationship between psychological well-being and psychological distress on final-year students of psychology faculty UKSW. Population in this study is final-year students of psychology faculty UKSW in the age range between 21 – 26 years old. The sampling technique used in this study is a simple random sampling with 65 participants. Measuring instruments used in this study are reference to the Scale of Psychological Well-Being (Ryff, 1989) and Distress Anxiety Stress Scale (Lovibond & Lovibond, 1995). The correlation between psychological well-being and psychological distress are measured using Pearson’s Product Moment calculations. The result of this study found that there is a significant negative relationship between psychological well-being and psychological distress with a correlation coefficient -0,364 and significance 0,001 (p < 0,01); a significant negative relationship between positive relationship with others and psychological distress with a correlation coefficient -0,393 and significance 0,001 (p < 0,01); a significant negative relationship between autonomy and psychological distress with a correlation coefficient -0,432 and significance 0,000 (p < 0,01); a significant negative relationship between environmental mastery and psychological distress with a correlation coefficient -0,292 and significance 0,009 (p < 0,01); a significant negative relationship between self-acceptance and psychological distress with a correlation coefficient 0,401 and significance 0,000 (p < 0,01); whereas for personal growth and purposes in life there is no significance relationship between both of them and psychological distress. Keyword: Psychological Well-Being, Psychological Distress, College Students
iii
1
PENDAHULUAN Utama (2010) mengatakan mahasiswa memiliki tanggung jawab moral untuk dapat bermanfaat bagi masyarakat dengan mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang telah dipelajarinya di bangku perkuliahan. Di samping tuntutan-tuntutan yang bersifat akademis, mahasiswa juga dituntut untuk dapat bersosialisasi dengan orang lain dari berbagai status dan latar belakang. Belum lagi ditambah dengan tuntutan-tuntutan dari lingkungan terdekat seperti keluarga, teman dekat, suami atau istri untuk bisa cepat lulus dengan nilai akademisi yang memuaskan bahkan tinggi. Ender & Newton (2000) menyatakan bahwa mahasiswa dituntut untuk belajar bagaimana mengontrol dan menyesuaikan diri dengan harapan akademis yang dapat memicu terjadinya krisis dalam diri mereka. Menurut Taylor (2006) hal tersebut dapat menjadi sumber yang berpotensi menimbulkan munculnya distres psikologis dalam diri mahasiswa. Distres psikologis oleh Mirowsky & Ross (2003) digambarkan sebagai penderitaan emosional yang dialami oleh individu yang terdiri dari kecemasan dan depresi. Lovibond & Lovibond (1995) menggambarkan distres psikologis secara konsep merujuk kepada kombinasi dari gejala emosional negatif seperti depresi (gelisah, ketidakberdayaan, penurunan makna hidup, kurangnya ketertarikan, tidak bisa merasakan kesenangan, tidak ingin melakukan apa-apa), kecemasan (kecemasan situasional pengalaman subjektif akan efek kecemasan, efek kecemasan pada fisik, gairah otonom), dan stres (sulit bersantai, gampang kesal / marah, tidak sabar, reaksi berlebihan). Distres psikologis juga bisa diartikan sebagai penderitaan emosional yang dialami oleh individu. Oleh Chalfant et al. (dalam Mabitsela, 2003), distres psikologis digambarkan sebagai suatu pengalaman berkelanjutan yang bersumber dari perasaan tidak bahagia, rasa gugup, rasa kesal, serta masalah dalam hubungan interpersonal.
2
Distres psikologis dapat berdampak pada kondisi fisik seperti keadaan tanpa gairah (kelesuan), serta distraksi pada depresi atau kegelisahan dan penyakit–penyakit ringan (seperti sakit kepala, sakit perut, dan pusing) pada kecemasan (Mirowsky & Ross, 2003). Selain itu, mahasiswa dengan tingkat distres psikologis yang lebih tinggi akan memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi, self-efficacy
akademis yang lebih rendah, dan
memiliki manajemen waktu serta penggunaan sumber belajar yang lebih tidak efektif (Kitzrow, 2003). Pada penelitian ini lebih difokuskan kepada mahasiswa yang berada dalam rentang usia 21-26 tahun. Dalam fase perkembangan yang diungkapkan oleh Levinson (dalam Dariyo, 2008), individu yang termasuk dalam rentang usia tersebut masuk ke dalam fase dewasa muda yang telah dianggap memasuki tahap peralihan masa dewasa. Tugas perkembangan dewasa muda menurut Turner & Helms (dalam Dariyo) yang sesuai dengan yang dialami oleh mahasiswa adalah mencari dan memilih pasangan hidup, memikul tanggung jawab, mengembangkan karir atau melanjutkan pendidikan, memenuhi tanggung jawab sebagai warga negara, dan menemukan kelompok sosial yang sesuai. Menurut KimCohen et al (dalam Stallman, 2008), 27% individu yang berada dalam fase dewasa muda mengalami masalah-masalah psikologis seperti kecemasan dan stres yang dapat menimbulkan distres psikologis, persentase ini adalah yang tertinggi jika dibandingkan dengan fase perkembangan lainnya. Hal tersebut karena tugas-tugas perkembangan yang berbeda di tiap fase dan pada fase dewasa muda adalah masa peralihan yang memiliki tugas perkembangan lebih berat daripada fase perkembangan yang lain. Meskipun stres terkadang memiliki dampak yang positif atau dikenal dengan istilah eustress (Matthews, 2000), namun pada kenyataannya respons yang dialami dari stressor lebih sering ditandai dengan kesulitan menyesuaikan diri terhadap stressor tersebut yang bersifat destruktif serta dapat juga mengganggu kesehatan (Lazarus, 1999).
3
Matthews (2000) mengatakan terdapat dua faktor yang dapat memunculkan distres psikologis, yaitu faktor intrapersonal dan faktor situasional. Faktor intrapersonal lebih kepada trait kepribadian, khususnya neuroticism dan ekstraversi. Faktor situasional terbagi menjadi tiga faktor yaitu, faktor fisiologis, faktor kognitif, dan faktor sosial. Kesejahteraan psikologis dapat dihubungkan dengan faktor intrapersonal dan faktor situasional khususnya faktor kognitif dan faktor sosial dalam kaitannya dengan distres psikologis. Uher dan Goodman (2009) mengatakan bahwa kesejahteraan psikologis dan distres psikologis dapat diukur dalam satu konstruk yang terdistribusi normal dalam populasi umum. Kesejahteraan psikologis seringkali dikaitkan dengan distres psikologis dalam beberapa penelitian sebelumnya dikarenakan kesejahteraan psikologis yang merujuk pada positive well-being dan distres psikologis pada negative well-being, meskipun begitu hubungan kedua variabel tersebut lebih kompleks. Moe (2012) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis dan distres psikologis dapat berhubungan independen satu sama lain, juga dapat menjadi suatu rangkaian kesatuan. Keyes dan kolega (Keyes 2005; Lamers et al. 2011) menyimpulkan ada sumbu yang terpisah tetapi berkorelasi antara kesejahteraan psikologis dan distres psikologis. Ryff (1999) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai hasil evaluasi atau penilaian seseorang terhadap dirinya yang merupakan evaluasi atas pengalamanpengalaman hidupnya. Ryff (1999) juga membagi kesejahteraan psikologis menjadi enam dimensi, yaitu, penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi/kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Winefield, Gill, Taylor, dan Pilkington (2012) mendapatkan hasil bahwa hubungan antara distres psikologis dan kesejahteraan psikologis adalah tidak signifikan atau tidak berhubungan. Hal tersebut karena hanya dua dimensi dari keenam dimensi kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1999) yang berhubungan dengan distres psikologis, yakni penguasaan lingkungan dan hubungan positif dengan orang lain.
4
Moe (2012) mendapati hasil yang berbeda, yakni bahwa kesejahteraan psikologis memiliki hubungan yang negatif signifikan dengan distres psikologis. Hal tersebut menandakan bahwa ketika seseorang memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang rendah maka akan meningkatkan distres psikologis orang tersebut dan begitu juga sebaliknya. Perbedaan hasil dalam penelitian ini dengan penelitian sebelumnya bisa disebabkan
dari
cara
mendefinisikan
distres
psikologis
dan/atau
mengevaluasi
kesejahteraan psikologis. Ryff (dalam Moe) mendefinisikan distres psikologis sebagai pengaruh negatif, depresi, dan kecemasan. Ruini et al (dalam Moe) mendefinisikan distres psikologis sebagai kombinasi dari depresi dan kecemasan. Penelitian terkini mendefinisikan distres psikologis sebagai kombinasi dari depresi, kecemasan, dan juga stres. Ada kemungkinan variasi definisi menghasilkan variasi dalam nilai korelasi. Sebagai tambahan, mengevaluasi kesejahteraan psikologis sebagai nilai keseluruhan mungkin juga akan menghasilkan temuan yang berbeda jika dibandingkan dengan dengan menggunakan nilai rata-rata. Distres psikologis lebih menekankan pada aspek-aspek emosional negatif yang dirasakan pada individu, seperti depresi, kecemasan, dan stres (Lovibond & Lovibond, 1995) . Sebaliknya, pada kesejahteraan psikologis lebih menyangkut tentang kehidupan yang berjalan baik, dan merupakan kombinasi dari perasaan yang baik serta berfungsi secara efektif (Huppert, 2009). Maka dapat disimpulkan bahwa seiring meningkatnya kesejahteraan psikologis pada individu dapat menurunkan tingkat distres psikologis individu tersebut. Tujuan dari penelitian adalah untuk melihat sejauh mana hubungan antara kesejahteraan psikologis dan distres psikologis pada mahasiswa, khususnya pada mahasiswa fakultas psikologi UKSW yang berada dalam fase dewasa muda. Penelitian ini
5
juga untuk melihat kaitan antara dimensi-dimensi dalam kesejahteraan psikologis dengan distres psikologis.
METODE Desain penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kuantitatif dengan desain korelasional. Variabel terikat pada penelitian ini adalah distres psikologis, dan variabel bebas pada penelitian ini adalah kesejahteraan psikologis. Populasi dan sampel Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW tingkat akhir yang berjumlah 202 orang. Mayoritas mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW tingkat akhir berumur antara 21 - 26 tahun. Partisipan yang akan digunakan sebagai sampel pada penelitian ini adalah mahasiswa yang memenuhi kriteria penelitian dan masih aktif berkuliah maupun menyusun tugas akhir atau skripsi. Etnis, jenis kelamin, agama, status pernikahan dan tingkat pendidikan diabaikan dalam penelitian ini. Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan cara simple random sampling, yaitu dengan cara memilih partisipan secara acak dari keseluruhan populasi. Untuk menentukan jumlah sampel yang ingin diambil dalam populasi maka digunakan metode Slovin (dalam Tatang, 2011) dengan batas kesalahan 10%. Maka didapatkan sampel dalam penelitian ini adalah berjumlah 65 orang dan dibulatkan oleh peneliti menjadi 70 partisipan. Instrumen alat ukur Terdapat dua jenis skala psikologis yang digunakan dalam pengukuran penelitian ini. Untuk mengukur distres psikologis digunakan skala psikologis yang dimodifikasi peneliti dengan mengacu pada DASS yaitu Distress Anxiety Stress Scale untuk mengukur distres psikologis secara keseluruhan seperti “saya merasa sedih dan tertekan”, yang dibuat oleh
6
Lovibond & Lovibond (1995). Sedangkan untuk mengukur kesejahteraan psikologis digunakan skala psikologis yang dimodifikasi peneliti dengan mengacu pada SPWB yaitu Scale of Psychological Well-Being yang dibuat oleh Ryff (1999) untuk mengukur keenam dimensi kesejahteraan psikologis menurut Ryff (1999) yaitu dimensi penerimaan diri “secara keseluruhan, saya merasa percaya diri dan bersikap positif mengenai diri saya”, dimensi hubungan positif dengan orang lain “saya merasa mendapat banyak manfaat dari pertemanan saya”, dimensi otonomi/kemandirian “saya yakin akan pendapat saya meskipun berbeda dengan pendapat umum”, dimensi penguasaan lingkungan “saya cukup baik dalam mengatur berbagai tanggung jawab dalam keseharian saya”, dimensi tujuan hidup “saya mempunyai rasa keberlangsungan dan tujuan hidup”, dan dimensi pertumbuhan pribadi “saya adalah tipe orang yang suka mencoba hal baru”. Uji coba skala psikologis pada penelitian ini menggunakan try out terpakai. Melalui penghitungan-penghitungan yang dilakukan, maka muncul aitem-aitem yang gugur atau tidak layak digunakan karena korelasi aitem total tidak mencapai 0,30 pada skala kesejahteraan psikologis. Terdapat 12 aitem yang tidak memenuhi syarat minimal setelah dilakukan tiga kali pengujian pada skala kesejahteraan psikologis (skala 1), sehingga total aitem yang baik digunakan berjumlah 72 aitem. Sedangkan pada skala distres psikologis (skala 2) keseluruhan aitem telah memenuhi standar dan seluruh aitem layak digunakan pada penelitian ini. Setelah dilakukan penghitungan dengan menggunakan formula Cronbach Alpha untuk mendapatkan reliabilitas skala yang digunakan sebagai alat ukur, didapat hasil reliabilitas skala 1 yaitu kesejahteraan psikologis sebesar 0,965 (α= 0,97) dan skala 2 yaitu distres psikologis sebesar 0,943 (α= 0,94). Prosedur pengumpulan data Penelitian ini dimulai dengan memodifikasi skala psikologis. Proses modifikasi skala psikologis ini dibuat dengan cara menerjemahkan skala psikologis yang asli dengan tujuan
7
memudahkan partisipan dalam mengisinya. Proses ini mengalami proses bimbingan yang kemudian menghasilkan dua skala pengukuran. Skala 1 mengukur variabel kesejahteraan psikologis dengan jumlah 84 aitem. Dalam skala 1 peneliti menggunakan skala kombinasi 84 aitem dikarenakan memiliki angka reliabilitas tertinggi jika dibandingkan dengan kombinasi 42 aitem maupun 21 aitem. Skala 2 mengukur variabel distres psikologis dengan jumlah 42 aitem. Jumlah skala psikologis yang dibagikan sesuai dengan hasil perhitungan sampel menggunakan metode Slovin dan mendapatkan hasil 70 partisipan setelah dibulatkan. Setelah proses bimbingan menemui kesepakatan, maka peneliti mendapatkan ijin untuk melakukan penelitian pada tanggal 23 Oktober 2014. Jumlah skala psikologis yang disebarkan sesuai dengan jumlah sampel yang telah dihitung sebelumnya dengan menggunakan metode Slovin (dalam Tatang, 2011) kemudian dibulatkan sehingga mendapatkan jumlah 70 skala psikologis. Pengambilan data dilakukan mulai dari tanggal 27 Oktober 2014 – 14 November 2014. Dari 70 skala psikologis yang dibagikan, hanya 67 skala yang diterima kembali oleh peneliti. Selain itu juga terdapat dua skala yang dieliminasi peneliti dikarenakan partisipan memodifikasi jawabannya. Maka dari itu, jumlah partisipan dalam penelitian ini berjumlah 65 orang mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW tingkat akhir. Setelah dilakukan pengambilan data, maka dilakukan penghitungan reliabilitas dan korelasi antar aitem, uji asumsi, dan uji hipotesis menggunakan bantuan program IBM SPSS ver. 21.00. Teknik analisis data Penghitungan pada penelitian ini menggunakan bantuan program statistik komputer IBM SPSS ver. 21.00. Untuk menguji validitas aitem pada penelitian ini menggunakan Pearson’s Product-Moment (Azwar, 2009). Sedangkan untuk menguji reliabilitas pada penelitian ini menggunakan Cronbach Alpha. Pengujian normalitas pada penelitian ini menggunakan Kolmogorov-Smirnov, untuk uji linearitas digunakan ANOVA table of
8
linearity, sedangkan pengujian hipotesisnya dan korelasi antaara dimensi kesejahteraan psikologis dan distres psikologis menggunakan Pearson’s Product Moment. HASIL Uji asumsi Sebelum melihat apakah terdapat hubungan antara kesejahteraan psikologis dan distres psikologis, maka dilakukan uji asumsi diantaranya uji normalitas dan uji linearitas agar memastikan data yang diperoleh bisa dan layak untuk digunakan dalam penelitian ini. a. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui data kedua variabel terdistribusi normal atau tidak. Dari hasil penghitungan melalui Kolmogorov-Smirnov, didapati bahwa skor K-S-Z kesejahteraan psikologis dengan signifikansi sebesar 0,692 (p>0,05), sedangkan skor K-S-Z distres psikologis dengan signifikansi sebesar 0,617 (p>0,05). dari hasil data tersebut, maka data kedua variabel dapat dikatakan berdistribusi normal. b. Uji Linearitas Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui hubungan antar variabel memiliki hubungan secara linear atau tidak secara signifikan. Dari hasil uji linearitas yang dilakukan dengan menggunakan ANOVA table of linearity, maka didapatkan hasil Fbeda dengan signifikansi 0,786 (p>0,05). artinya kesejahteraan psikologis dan distres psikologis memiliki hubungan yang linear. Analisis deskriptif Setelah dilakukan uji asumsi, maka statistik deskriptif dilakukan untuk mengetahui kategorisasi tiap variabel. Dari hasil statistik deskriptif, maka ditemukan total skor minimum pada variabel kesejahteraan psikologis sebesar 72 dan total skor maksimum sebesar 432 dengan mean 309,34, dan standar deviasi 40,61. Hasil statistik distres psikologis menunjukan bahwa total skor minimum pada variabel ini adalah 0 dan total skor maksimum pada variabel
9
distres psikologis adalah 126 dengan mean 32,74, dan standar deviasi 17,46. melalui hasil analisis statistik deskriptif tersebut, maka dilakukan pengkategorisasian berdasarkan 5 kelompok yaitu sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah. Tabel 1.0 Kategorisasi Distres Psikologis Interval
Kategori
Frekuensi
%
100,8 ≤ x ≤ 126.0
Sangat Tinggi
0
0
75,6 ≤ x < 100.8
Tinggi
0
0
50,4 ≤ x < 75,6
Sedang
8
12,31
25,2 ≤ x < 50,4
Rendah
34
52,31
0 ≤ x < 25,2
Sangat Rendah
23
35,38
Mean
SD
32,74
17,46
Mean
SD
309,34
40,61
Tabel 2.0 Kategorisasi Kesejahteraan Psikologis Interval
Kategori
Frekuensi
%
360 ≤ x ≤ 432
Sangat Tinggi
5
7,69
288 ≤ x < 360
Tinggi
45
69,23
216 ≤ x < 288
Sedang
13
20,00
144 ≤ x < 216
Rendah
2
3,08
72 ≤ x < 144
Sangat Rendah
0
0
Uji korelasi Setelah mengetahui kelayakan data yang diperoleh melalui uji asumsi yang dilakukan, maka dilakukan uji hipotesis dengan menggunakan Pearson’s product momment untuk mengetahui arah korelasi kedua variabel dan juga arah korelasi antara dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis dan distres psikologis.
10
Tabel 3.0 Hasil Uji Korelasi Kesejahteraan Psikologis dan Distres Psikologis Correlations Distres.Psikologis Kesejahteraan.Psikologis
Pearson Correlation Sig. (1-tailed)
Hubungan.Positif
Pearson Correlation Sig. (1-tailed)
Otonomi/Kemandirian
Pearson Correlation Sig. (1-tailed)
Penguasaan.Lingkungan
Pearson Correlation Sig. (1-tailed)
Pertumbuhan.Pribadi
Pearson Correlation Sig. (1-tailed)
Tujuan.Hidup
Pearson Correlation Sig. (1-tailed)
Penerimaan.Diri
Pearson Correlation Sig. (1-tailed)
-.364
**
.001 -.393
**
.001 -.432
**
.000 -.292
**
.009 -.168 .090 -.119 .173 -.401
**
.000
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
a. Kesejahteraan psikologis dan distres psikologis Uji korelasi yang dilakukan menemukan bahwa korelasi antara distres psikologis dengan kesejahteraan psikologis memiliki nilai koefisien korelasi sebesar -0.364 (p>0.05) dan signifikansi sebesar 0,001 (p<0,01) (lihat tabel 3.0). Dari hasil tersebut, maka hubungan antara distres psikologis dan kesejahteraan psikologis dapat dikatakan negatif signifikan. Makin tinggi kesejahteraan psikologis, maka makin rendah distres psikologis mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW tingkat akhir, begitu juga sebaliknya semakin rendah kesejahteraan psikologis, maka makin tinggi distres psikologis mahasiswa Fakultas Psikologi UKSW tingkat akhir. b. Dimensi hubungan positif dengan orang lain dan distres psikologis Untuk melihat kontribusi masing-masing dimensi kesejahteraan psikologis terhadap distres psikologis, maka dilakukan perhitungan uji korelasi dari tiap-tiap dimensi kesejahteraan psikologis dan distres psikologis. Dari hasil uji korelasi yang dilakukan menemukan bahwa korelasi antara dimensi hubungan positif dengan orang lain dan distres psikologis memiliki
11
nilai koefisien korelasi sebesar -0,393 (p>0,05) dan signifikansi sebesar 0,001 (p<0,01) (lihat tabel 3.0). Dari hasil tersebut, maka hubungan antara dimensi hubungan positif dengan orang lain dan distres psikologis dapat dikatakan negatif signifikan. c. Dimensi otonomi/kemandirian dan distres psikologis Hasil uji korelasi yang dilakukan terhadap dimensi otonomi/kemandirian dan distres psikologis menemukan bahwa korelasi antara dimensi otonomi/kemandirian dengan distres psikologis memiliki nilai koefisien korelasi sebesar -0,432 (p>0,05) dan signifikansi sebesar 0,000 (p<0,01) (lihat tabel 3.0). Dari hasil tersebut, maka hubungan antara dimensi otonomi/kemandirian dan distres psikologis dapat dikatakan negatif signifikan. d. Dimensi penguasaan lingkungan dan distres psikologis Hasil uji korelasi yang dilakukan terhadap dimensi penguasaan lingkungan dan distres psikologis menemukan bahwa korelasi antara dimensi penguasaan lingkungan dengan distres psikologis memiliki nilai koefisien korelasi sebesar -0,292 (p>0,05) dan signifikansi sebesar 0,009 (p<0,01) (lihat tabel 3.0). Dari hasil tersebut, maka hubungan antara dimensi penguasaan lingkungan dan distres psikologis dapat dikatakan negatif signifikan. e. Dimensi pertumbuhan pribadi dan distres psikologis Hasil uji korelasi yang dilakukan terhadap dimensi pertumbuhan pribadi dan distres psikologis menemukan bahwa korelasi antara dimensi pertumbuhan pribadi dengan distres psikologis memiliki nilai koefisien korelasi sebesar -0,168 (p>0,05) dan signifikansi sebesar 0,090 (p>0,01) (lihat tabel 3.0). Dari hasil tersebut, maka hubungan antara dimensi pertumbuhan pribadi dan distres psikologis dapat dikatakan tidak signifikan. f. Dimensi tujuan hidup dan distres psikologis Hasil uji korelasi yang dilakukan terhadap dimensi tujuan hidup dan distres psikologis menemukan bahwa korelasi antara dimensi tujuan hidup dengan distres psikologis memiliki nilai koefisien korelasi sebesar -0,119 (p>0,05) dan signifikansi sebesar 0,173 (p>0,01) (lihat
12
tabel 3.0). Dari hasil tersebut, maka hubungan antara dimensi tujuan hidup dan distres psikologis dapat dikatakan tidak signifikan. g. Dimensi penerimaan diri dan distres psikologis Hasil uji korelasi yang dilakukan terhadap dimensi penerimaan diri dan distres psikologis
menemukan bahwa korelasi antara dimensi penerimaan diri dengan distres
psikologis memiliki nilai koefisien korelasi sebesar -0,401 (p>0,05) dan signifikansi sebesar 0,000 (p<0,01) (lihat tabel 3.0). Dari hasil tersebut, maka hubungan antara dan dimensi penerimaan diri dapat dikatakan negatif signifikan. Pembahasan Dari hasil perhitungan uji korelasi antara variabel kesejahteraan psikologis dengan distres psikologis, didapatkan hubungan negatif signifikan antara kedua variabel tersebut dengan besar korelasi -0,364. Artinya, makin tinggi tingkat kesejahteraan psikologis mahasiswa, maka makin rendah tingkat distres psikologis mahasiswa, begitu pula sebaliknya. Dari hasil perhitungan juga didapati R² sebesar 0,132 yang menunjukan bahwa sumbangan efektif dari kesejahteraan psikologis terhadap distres psikologis adalah sebesar 13,2% dan selebihnya adalah dari faktor yang lain selain kesejahteraan psikologis. Penelitian ini mengungkapkan bahwa variabel bebas (kesejahteraan psikologis) dan variabel terikat (distres psikologis) memiliki hubungan negatif dan signifikan yang bisa disebabkan oleh berbagai kemungkinan. Kemungkinan yang pertama adalah kesejahteraan psikologis yang tinggi dapat menyebabkan individu mengevaluasi dirinya sendiri secara positif dan mengurangi distres psikologis yang dirasakan oleh individu tersebut. Ryff (1999) menggambarkan bahwa kesejahteraan psikologis adalah suatu kondisi psikologis individu yang sehat ditandai dengan berfungsinya aspek-aspek psikologis positif dalam prosesnya mencapai aktualisasi diri. Sedangkan distres psikologis
digambarkan sebagai
suatu
13
pengalaman berkelanjutan yang bersumber dari perasaan tidak bahagia, rasa gugup, rasa kesal, serta masalah dalam hubungan interpersonal (Chalfant et al., dalam Mabitsela, 2003). Kemungkinan
kedua
dapat
disebabkan
oleh
dimensi-dimensi
kesejahteraan
psikologis, yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi/kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Dimensi penerimaan diri merupakan dimensi yang menunjukan bahwa individu menerima dan menghargai dirinya apa adanya secara positif. Maka ketika individu menerima dan menghargai diri sendiri apa adanya dengan baik, maka hal itu akan mengurangi gejala emosional negatif yang dirasakan oleh individu tersebut. Ruini et al. (2003) mendapatkan bahwa distres psikologis berkorelasi negatif dengan dimensi penerimaan diri. Kemungkinan ketiga dapat disebabkan oleh dimensi hubungan positif dengan orang lain. Dimensi ini menekankan pada kemampuan mencintai sebagai salah satu karakteristik kesehatan mental. Menurut Freud (Kaplan, 2010) dalam teori psikodinamikanya, kehilangan objek untuk dicintai akan berdampak pada terjadinya depresi. Individu yang memiliki hubungan positif dengan orang lain akan mengurangi resiko terkena depresi yang merupakan salah satu aspek dalam distres psikologis. Kemungkinan keempat adalah dalam dimensi otonomi/kemandirian menunjukan kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan sendiri secara mandiri, dapat melawan tekanan sosial untuk berpikir juga bersikap dengan cara yang benar, dan mampu mengkaji diri sendiri berdasarkan standar pribadi. Individu yang tinggi pada dimensi ini akan berusaha melawan tekanan-tekanan atau stressor yang muncul dan mengarahkannya ke arah yang positif. Selye (dalam Santrock, 2003) mengatakan bahwa penilaian kognitif sangat berpengaruh terhadap respon yang akan muncul dari stressor. Individu yang mandiri atau baik dalam dimensi ini akan mampu mengarahkan stressor ke arah yang positif sehingga mengurangi akibat dari stres yang negatif atau distress.
14
Kemungkinan kelima adalah dalam dimensi penguasaan lingkungan, dimensi ini merupakan dimensi yang menggambarkan kompetensi dan kemampuan individu dalam mengontrol lingkungan, menyusun kontrol yang kompleks terhadap aktivitas eksternal, mampu melihat dan menggunakan kesempatan yang ditawarkan oleh lingkungan, mampu memilih serta menciptakan konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi. Lazarus & Folkman (1984) menjelaskan distres psikologis sebagai suatu hubungan khusus antara individu dengan lingkungannya yang dinilai oleh individu tersebut sebagai suatu hal yang melebihi kemampuannya dan dapat membahayakan well-being dirinya. Ketika individu memiliki nilai tinggi dalam dimensi ini, maka individu tersebut cenderung merasa mampu dalam mengontrol lingkungannya dan dapat menekan distres psikologis yang dirasakan oleh individu tersebut. Hasil dalam penelitian ini juga menemukan bahwa terdapat dua dimensi dalam kesejahteraan psikologis yang tidak memiliki hubungan dengan distres psikologis. Pertama adalah dimensi tujuan hidup yang menjelaskan bahwa individu yang memiliki nilai tinggi dalam dimensi ini akan memiliki tujuan ke depannya serta makna dalam hidup (Ryff & Keyes, 1995). Kedua adalah dimensi pertumbuhan pribadi yang menjelaskan kemampuan untuk merasakan bahwa individu mampu melalui tahap perkembangan, terbuka pada pengalaman baru, melakukan perbaikan dalam dirinya dan menyadari potensi yang ada dalam dirinya. Distres psikologis oleh Mabitsela (2003) digambarkan sebagai perilaku maladaptif yang terdapat dalam suatu hubungan, dan disebabkan oleh hubungan yang tidak memuaskan pada masa lalu maupun masa sekarang. Peneliti berasumsi bahwa dimensi tujuan hidup dan dimensi pertumbuhan pribadi lebih berfokus pada hubungan intrapersonal dan juga pada masa depan, sehingga tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan distres psikologis. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat hubungan antara kedua dimensi tersebut dan distres psikologis.
15
Selain itu hasil dari penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Moe (2012) yang menyatakan bahwa ada hubungan negatif dan signifikan antara variabel kesejahteraan psikologis dan variabel distres psikologis. Sebaliknya penelitian ini justru menolak hasil penelitian dari Winefield, Gill, Taylor, dan Pilkington (2012) yang menyatakan bahwa tidak terdapatnya hubungan negatif dan signifikan antara variabel kesejahteraan psikologis dan variabel distres psikologis. Penelitian ini memiliki kelebihan maupun keterbatasan. Kelebihan penelitian ini adalah penelitian ini dapat melihat hubungan tiap dimensi variabel kesejahteraan psikologis terhadap variabel distres psikologis. Hal ini dapat dilihat dari output IBM SPSS ver. 21.00 (tabel 3.0), yang menunjukan hubungan tiap-tiap dimensi dengan distres psikologis. Keterbatasan pada penelitian ini adalah banyaknya jumlah aitem baik dari skala 1 yang berjumlah hingga 84 aitem maupun pada skala 2 yang berjumlah hingga 42 aitem sehingga total aitem pada kuesioner yang dibagikan pada penelitian ini berjumlah 126 aitem. Hal tersebut menyebabkan partisipan jenuh dalam mengisi kuesioner yang dibagikan sehingga cenderung terjadi manipulasi pada jawabannya. Kesimpulan Mengacu pada hasil penelitian yang telah didapatkan, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1. Terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara kesejahteraan psikologis dan distres psikologis. Makin tinggi kesejahteraan psikologis mahasiswa, makin rendah distres psikologisnya, atau sebaliknya makin rendah kesejahteraan psikologis mahasiswa, makin tinggi distres psikologisnya. 2. Terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara dimensi hubungan positif dengan orang lain, dimensi otonomi / kemandirian, dimensi penguasaan lingkungan,
16
dimensi penerimaan diri dengan distres psikologis. Semakin mahasiswa memiliki hubungan positif dengan orang lain, mandiri, menguasai lingkungan, dan menerima diri maka makin rendah distres psikologisnya, begitu juga sebaliknya. 3. Tidak terdapat hubungan antara dimensi pertumbuhan pribadi dan dimensi tujuan hidup dengan distres psikologis. 4. Sebagian besar (52,31%) mahasiswa pada penelitian ini memiliki distres psikologis pada kategori rendah dan sebagian besar (69,23%)
mahasiswa memiliki
kesejahteraan psikologis pada kategori tinggi. Untuk penelitian selanjutnya, peneliti memberi saran agar melihat faktor-faktor lain yang mempengaruhi distres psikologis dan menyesuaikan jumlah aitem dalam kuesioner dengan partisipan agar dapat meminimalisir resiko partisipan memanipulasi jawabannya.
17
DAFTAR PUSTAKA Azwar, S. (2009). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Sigma Alpha. Dariyo, A. (2008). Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Google Books. Diunduh pada 28 Maret 2014. http://books.google.co.id/books?id=dariyo. Ender, S.C. & Newton, F.B. (2000). Students helping student: a guide for peer educators on college campuses. California: Jossey-Bass, Inc. Huppert, F. A. (2009). Psychological well-being: Evidence regarding its causes and consequences.Applied Psychology:Health and Well-Being, 1, 137–164. doi:10.1111/j.1758-0854.2009.01008. Keyes, C. L. M. (2005). Mental illness and/or mental health? Investigating axioms of the complete state model of mental health.Journal of Consulting and Clinical Psychology, 73, 539-548. doi:10.1037/0022-006X.73.3.539 Kitzrow, M. A. (2003). The mental health need of today’s college students: challenges and recommendation. NASPA Journal, Vol. 41 (1), 167-181. Lamers, S. M. A., Westerhof, G. J., Bohlmeijer, E. T., ten Klooster, P. M., & Keyes, C. L. M. (2011). Evaluating the psychometric properties of the Mental Health ContinuumShort Form (MHC-SF).Journal of Clinical Psychology, 67, 99–110. doi:10.1002/jclp. 20741 Lazarus, R.S. (1999). Stress and emotion : A new synthesis. New York: Springer Publishing Company, Inc. Lazarus, R.S. & Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer Publishing Company. Lovibond, S. H., & Lovibond, P. F. (1995). Manual for the depression anxiety stress scales (2nd ed.). Sydney, Australia: Psychology Foundation. Mabitsela, L. (2003). Exploratory study of psychological distress as understood by pentecostal pastors. Pretoria: Faculty of Humanities Faculty of Pretoria. Matthews, G. (2000). Distress. Dalam G. Fink (ed). Encyclopedia of stress (Vol. 1, pp 723729). California: Academic Press. Mirowsky, J & Ross, C.E. (2003). Social causes of psychological distresss. New York: Aldine de Gruyter. Moe, K. (2012). Factors influencing women’s psychological well-being within a positive functioning framework (Doctoral thesis, University of Kentucky). Ruini C., Ottolini F., Rafanelli C., Tossani E., Ryff C. D., Fava G. A. (2003). The Relationship of Psychological Well-Being to Distress and Personality. Psychotherapy Psychosom 2003;72:268-275. Ryff, C. D. (1999). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 57, 10691081. doi:10.1037/0022-3514.57.6.1069
18
Ryff, C. D., & Keyes, C. L .M. (1995). The structure of psychological well-being revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69(4), 719-727. Ryff, C.D., Love, G.D., Urry, H.L., Muller, D., Rosenkranz, M.A., Friedman, E., Singer, B.H. (2006). Psychological well-being and ill-being: Do they have distinct or mirrored biological correlates? Psychotherapy and Psychosomatics, 75, 85-95. doi: 10.1159/000090892 Sadock , B.J., Sadock, V.A. (2007) Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry. Behavior Sciences / Clinical Psychiatry. 10th ed. Lippincott Williams & Wilkins. Santrock, John W.(2003). Adolescence. Perkembangan Remaja. Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga, Stallman, H. M. (2008). Pravalence of psychological distress in university students implication for service delivery. Australian Family Physician, 37, 673-677. Taylor, S.E. (2006). Health psychology (6th ed.) Los Angeles: McGraw-Hill. Uher, R., Goodman, R. (2009) The everyday feeling questionnaire: the structure and validation of a measure of general psychological well-being and distress. Soc Psychiat Epidemiol, 45, 413-423. Doi: 10.1007/s00127-009-0074-9 Utama, B. (2010). Kesehatan Mental dan Masalah-Masalah Pada Mahasiswa S1. Depok: Universitas Indonesia. Winefield H. R., Gill T. K., Taylor A. W., Pilkington R. M. (2012). Pscyhological well-being and psychological distress : is it necessary to measure both? SpringerOpen Journal, 2 (3).