Prosiding Konferensi Nasional Peneliti Muda Psikologi Indonesia 2016 Vol. 1, No. 1, Hal 1-7
MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS MASYARAKAT INDONESIA: TINJAUAN PSIKOLOGI ISLAM Taufik Kasturi, Ph.D
[email protected] Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Pembicara Undangan Konferensi Nasional Peneliti Muda Psikologi Indonesia Abstrak Konsep kesejahteraan psikologis dikembangkan oleh para ahli psikologi dari konsep kebahagiaan. Konsep ini sebenarnya bukanlah konsep baru, karena para filosof dan ilmuwan zaman dahulu sudah cukup serius mendiskusikannya. Namun demikian para ilmuwan saat ini, mengkonseptualisasikan konsep kesejahteraan psikologis dengan membedakannya dengan kesejahteraan fisik atau materi, gabungan dari keduanya yaitu kesejahteraan fisik dan psikologis disebut dengan kebahagiaan. Tujuan dari makalah ini adalah untuk menjelaskan tentang bagaimana cara meningkatkan kesejahteraan psikologis. Faktor-faktor apa yang dapat meningkatkannya. Bagaimana pandangan ilmuwan-ilmuwan Islam untuk meningkatkan ksejahteraan psikologis? Berdasarkan penjabaran dari makalah ini bahwa bagi seorang muslim kesejahteraan psikologis dapat diperoleh melalui taqwa, yaitu menjauhi segala larangan dan mengerjakan segala perintah Allah SWT. Kata kunci: kesejahteraan psikologis, kebahagiaan, taqwa
tidak bahagia diraih oleh Hungaria (6%), Korea Selatan (7%), Rusia (8%), Spanyol (11%), Italia (13%), Polandia dan perancis masing-masing 15%, dan seterusnya.
Pendahuluan Pada tahun 2011, IPSOS Global sebuah perusahaan riset di Toronto Kanada bekerja sama dengan majalah “What Make You Happy” membuat penelitian tentang kebahagiaan di 24 negara. Survey yang dilakukan terhadap 18.687 responden dewasa menunjukkan hasil yang mengejutkan sekaligus menggembirakan. Berdasarkan regional, Indonesia merupakan negeri yang paling bahagia, di mana lebih dari separuh warga yang disurvey (51%) mengaku bahwa mereka Sangat Bahagia. Peringkat selanjutnya diikuti oleh India dan Mexico (43%), Brazil dan Turkey (30%), Australia dan Amerika (28%), dan setrusnya. Sementara Negara yang paling
Sebagai sebuah penelitian tentu ada keterbatasannya. Namun bila kita ingin menggunakan hasil penelitian di atas untuk memahami tingkat kebahagiaan masyarakat Indonesia, tentunya hasilnya sangat menggembirakan. Bila dibandingkan dengan Negara-negara yang kurang bahagia, ada data yang menarik untuk dikaji. Yaitu Negara-negara yang mengaku kurang bahagia adalah Negara-negara maju atau kaya. Hungaria merupakan salah satu Negara kaya dan maju di Eropa, sedangkan Korea Selatan merupakan Negara kaya dan [1]
kebahagiaan dapat diraih melalui usaha-usaha manusia. Ia juga mengatakan bahwa setiap manusia memiiki tujuan hidup yang sama yaitu meraih kebahagiaan yang disebutnya sebagai eudaimonia. Secara harfiah eudaimonia dapat diartikan sebagai “jiwa yang baik”. Eudaimonia dapat diraih oleh manusia apabila manusia telah memiliki pengetahuan tentang itu, sehingga dari pengetahuan tersebut manusia akan berperilaku baik pula. Perilaku-perilaku buruk pada manusia disebabkan karena manusia tidak memiliki pengetahuan tentang hal yang baik. Pengetahuan tentang kebaikan menjadi sumber kebahagiaan. Manusia akan mencapai kebahagiaan apabila mereka memahami prinsip kebaikan. Dari keyakinannya itu Sokrates merekomendasikan kepada para pemimpin Negara bahwa selain memimpin suatu Negara para pemimpin juga harus memperhatikan kebahagiaan rakyatnya. Dengan kata lain kebahagiaan rakyat menjadi tanggung jawab pemerintah.
maju di Asia. Realitas di atas sangat kontradiksi dengan di Indonesia. Di sisi lain, Indonesia dengan status sebagai Negara berkembang justru menduduki peringkat teratas. Bila kita mempercayai hasil survey di atas, banyak hal yang bisa menjelaskan mengapa Indonesia menduduki peringkat tertinggi dalam pengukuran kebahagiaan. Antara lain: kebahagiaan bagi masyarakat dunia ketiga adalah simple, banyak alasan atau hal yang bisa membuat rakyat Indonesia bahagia, sementara untuk masyarakat modern kebahagiaan harus memiliki capaian yang luar biasa.
Sokrates menyimpulkan tujuan utama kehidupan manusia untuk membangun jiwanya sebaik mungkin. Sayangnya penjelasan Sokrates berhenti sampai di situ, mestinya Sokrates mengelaborasi lebih jauh apa yang dimaksud jiwa yang baik dan bagaimana cara membangunnya? Tidak mendetailnya penjelasan di atas menyebabkan murid-muridnya menjabarkan pendapatnya sendiri-sendiri di mana yang satu bertentangan dengan yang lain. Menurut salah satu muridnya, Antithenes, kebahagiaan itu sifatnya metafisik maka hal-hal metafisik yang harus ditingkatkan. Untuk meraih kebahagiaan manusia harus meninggalkan kesenangan-kesenangan materiil menuju kesenangan-kesenangan yang lebih hakiki yaitu imateriil.
Konsep Kebahagiaan dalam Sejarah Dalam kehidupan sehari-hari, orang biasanya menyebut kesejahteraan psikologis dengan istilah kebahagiaan. Konsep kebahagiaan sendiri telah didiskusikan secara menarik sejak ribuan tahun silam, pada masa Yunani Kuno. Yaitu zaman para pemikir seperti Sokrates, Epikuros, Plato, Aristoteles, dan sebagainya. Mereka mengkaji konsep kebahagiaan secara berbeda tergantung dari sudut pandang yang mereka anggap tepat untuk membidiknya. Dari sekian pemikir, Sokrates menduduki tempat yang istimewa dalam sejarah diksusi kebahagiaan. Menurutnya [2]
Murid Sokrates lainnya yaitu Plato, membicarakan tentang keadilan psikis yaitu bagaimana seseorang dapat menyeimbangkan antara kebutuhan fisiknya seperti makan dan minum dengan kebutuhan psikologisnya seperti ketenangan, kenyamanan, dan bebas dari konfik, atau bagiaman setiap bagian jiwa dapat menyeimbangkan fungsinya. Namun Plato tidak secara kongkrit menjelaskan bagaimana hubungan antara keadilan sosial, keadilan psikologis, dan kebahagiaan. Apakah keduanya menjadi prasyarat kebahagiaan, ataukah pelengkap kebahagiaan?
kualitas hidup yang baik yang membedakannya dengan manusia-manusia lainnya. Pandangan-pandangan Plato selanjutnya diteruskan oleh muridnya yaitu Aristoteles. Menurut Aristoteles “happiness depends on ourselves”, bila manusia ingin meraihnya maka ia akan mendapatkannya dengan cara melakukan usaha-usaha menuju kesana yaitu melalui cultivation of virtues (penanaman kebaikan-kebaikan). Menurutnya tujuan kehidupan manusia untuk meraih kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan tahapan tertinggi yang bisa dicapai oleh hidup manusia. Bila manusia telah bahagia maka telah lengkaplah kebutuhan hidupnya, sehingga bila benarbenar telah mencapai kebahagiaan manusia tidak lagi memerlukan hal-hal lainnya.
Sama halnya seperti gurunya, Plato berpandangan bahwa the good life (eudomonegnia) atau kebahagiaan dapat dicapai dengan cara hidup secara berkomunitas atau bernegara, sehingga agar kehidupan masyarakat menjadi lebih baik dan lebih berbahagia, maka perlu diciptakan pemerintahan yang baik pula. Menurut Plato, kedua pihak saling mempengaruhi. Tatanan pemerintahan yang baik dapat menciptakan kehidupan masyarakat yang tenteram dan sejahtera, sebaliknya kesejahteraan masyarakat dapat meningkatkan kepercayaan diri pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya.
Aristoteles berkeyakinan melalui penggunaan rasio manusia akan meraih kebahagiaan (kebahagiaan personal). Metode perenungan pikiran merupakan sarana untuk mencapai kebaikan tertinggi. Pikiran yang terlatih melalui perenunganperenungan akan menentukan arah kehidupan manusia. Kajian-kajian tentang kebahagiaan ini selanjutnya berkembang, seiring dengan semakin jelinya para peneliti mengkaji konsep kebahagiaan. Konsep kebahagiaan pun berkembang dengan berbagai istilah antara lain: psychological well being, subjective well being, emotional well being, dan sebagainya. Beberapa istilah tersebut sebenarnya tidak memiliki perbedaan signifikan dengan konsep kebahagiaan, namun demikian penjelasan para ahli lebih memperdalam ruang kajian mengenai kebahagiaan ini. Dalam makalah ini kajian akan difiokuskan pada konsep kesejahteraan psikologis.
Konsepsi kehidupan yang baik dijelaskan oleh Plato dari teorinya tentang ide. Menurutnya, pada hakekatnya manusia memiliki kerinduan untuk kembali ke negeri asalnya yaitu pulang ke kerajaan ideide. Kondisi tersebut dapat dicapai bila manusia memiliki akal budi (kualitas diri) yang baik. Akal budi akan membuat manusia mampu menguasai dirinya sendiri, sehingga manusia memiliki ketenangan hidup. Untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia juga harus memenuhi hidupnya dengan keutamaan-keutamaan, yaitu: kebijaksanaan, keberanian, memahami diri sendiri, dan keadilan. Manusia yang telah memiliki keempat keutamaan tersebut ruhnya akan bisa memasuki alam-alam ruh (ruhani), sehingga manusia akan memiliki
Kesejahteraan Psikologis dalam Konsep Menurut Ryff (1989), psychological well being yaitu terpenuhinya kondisi-kondisi psikologis pada beberapa dimensi utama [3]
yaitu: penerimaan diri, hubungan-hubungan yang positif dengan orang lain, otonomi, pemahaman lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.
membuka diri individu untuk menerima atau berinteraksi dengan orang lain. Dalam kondisi senang akan mudah menerima masukan dari orang lain daripada pada kondisi sedang sedih. Mahasiswa yang baru saja lulus ujian akan mudah untuk mengeluarkan uang dengan tujuan “syukuran”, beberapa orang bahkan bisa secara royal membelanjakan uangnya untuk menyenangkan teman-temannya. Mereka mengaku tidak begitu bermasalah mengeluarkan uangnya karena sedang bahagia. Emosi-emosi positif berdampak pada perilaku-perilaku yang positif, sebaliknya emosi-emosi negatif berdampak pada perilaku negatif. Orang yang sedang kehilangan uang akan terlihat murung, sehingga keberadaan orang lain kurang menarik perhatiannya, bahkan bila orang lain tidak hati-hati bisa terkena marahnya.
Kesejahteraan psikologis bukanlah variable tunggal, para ahli memiliki sebutan yang berbeda-beda untuk indicator yang relative sama ini, diantaranya yaitu Subjective WellBeing (SWB) dan Emotional Well-Being (EWB). Para ahli menganggap subjective well being adalah term ilmiah yang ditujukan untuk menggambarkan orang-orang yang mengalami kebahagiaan (Seligman & Csikszentmihalyi, 2000), meliputi kebahagiaan, kepuasan hidup, kehadiran emosi-emosi yang positif, dan sebaliknya ketiadaan emosi-emosi negatif (Myers & Diener, 1995). Subjective well being didefinisikan sebagai evaluasi kognitif tentang kehidupan yang berisi emosi-emosi yang menyenangkan (Lyubomirsky dkk, 2005), termasuk didalamnya pemahaman individu terhadap konsep-konsep kehidupan, kepuasan dalam pernikahan dan pekerjaan (Diener, 2003). Dengan kata lain individu yang sudah mencapai well-being adalah mereka yang telah memahami tujuan hidup dan kehidupan, memiliki kontrol diri dan sosial yang baik sehingga dapat memandang hidup dan kehidupan di sekitarnya secara lebih positif, baik itu kondisi kehidupan yang menguntungkan ataupun tidak menguntungkan untuknya.
Implikasi menurunnya EWB berkaitan dengan persoalan-persoalan kesehatan mental seperti stres, depresi, dan kecemasan. Kondisi-kondisi tersebut pada gilirannya berpengaruh pada kesehatan fisik seperti gangguan pencernaan, kesulitan tidur, dan kekurangan tenaga (lemas). Sebaliknya meningkatnya EWB berdampak positif pada kondisi-kondisi psikologis, seperti kemampuan pemecahan masalah, harga diri, konsep diri, performansi, dan produktivitas kerja, bahkan berpengaruh pada bertambahnya usia individu. Kesejahteraan Psikologis dalam Dimensi
Emotional well being merefer pada kualitas emosional individu dalam kehidupan sehari-hari terutama berkaitan dengan bahagia, stres, sedih, marah, dan afeksi yang membuat seseorang nyaman dan tidak nyaman (Kahneman & Deaton, 2010). Emosi-emosi positif menjadi triger meningkatnya emotional well being (Fredricson & Joiner, 2002), tidak hanya berpengaruh pada kondisi-kondisi saat ini, bahkan kemungkinan dapat meningkatkan kenyamanan pada masa-masa yang akan datang. Emosi-emosi positif dapat mempengaruhi sikap dan tindakan sehingga
Untuk mengukur sejauhmana tingkatan kesejahteraan psikologis seseorang maka kita perlu mengenal dimensi-dimensinya. Dalam makalah ini qakan dijelaskan dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis yang dikemukakan oleh Ryff (1989), meliputi: self-acceptance, positive relationships, autonomy, environmental mastery, personal growth, and purpose in life. 1) Self-acceptance, yaitu penerimaan individu terhadap kondisi dirinya apa [4]
adanya, di dalamnya meliputi sikapsikap positif terhadap kondisi diri, baik itu kondisi yang menguntuntungkannya maupun yang dirasa kurang menguntungkannya. Penerimaan diri merupakan bentuk pengakuan akan kekuasaan Allah kepada hambanya, yaitu individu menganggap apapun yang diberikan oleh Penciptanya kepadanya adalah sesuatu yang positif, karena Allah adalah Sang Maha Perencana.
mengendalikan lingkungannya itu dalam genggamannya, dan menselaraskan dengan kondisi psikologisnya. 5) Personal growth, yaitu pribadi yang selalu tumbuh dari pengalamanpengalaman hidup sebelumnya, senantiasa belajar dari kesalahan, memiliki dorongan memperbaiki diri, dan beradaptasi dengan persoalanpersoalan hidup yang dihadapi. Kondisi-kondisi itu dilakukan secara kontinyu disepanjang hidupnya.
2) Positive relationships, merupakan bentuk dari kecerdasan spiritual. Individu memiliki kemampuan untuk menjalin interaksi dengan orang lain, interaksi dengan orang lain ini didasari oleh sikap-sikap positif dan empati terhadap kondisi orang lain. Dalam dimensi ini individu tidak bersikap egoistic, dimana interaksi dengan orang lain semata-mata bertujuan untuk kesejahteraan dirinya, namun lebih jauh dari itu interaksi dengan orang lain dibangun untuk mkesejahteraan orang itu.
6) Purpose in life, tujuan hidup menjadi pembeda antara individu yang satu dengan yang lain. Orang yang memiliki tujuan hidup maka memiliki targettarget yang hendak dicapai dalam hidupnya, baik itu dimulai dari target jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Pengetahuan dan keyakinan yang dimiliki memperkuat tujuan-tujuan hidupnya. Orang yang memiliki tujuan dalam hidupnya menganggap positif apapun tujuantujuan yang bisa dicapainya, artinya individu menganggap keseluruhan hidupnya adalah bermakna buatnya.
3) Autonomy, bentuk dari individu yang sejahtera secara psikologis yaitu memiliki kemandirian dalam bersikap, mengambil keputusan, dan dalam berinteraksi dengan orang lain. Orang yang otonom dalam pengambilan keputusan tidak membutuhkan dukungan orang lain, karena individu memiliki keyakinan akan pandangannya. Tidak terlalu memikirkan apapun pandanganpandangan orang tentang dirinya.
Peningkatan Kesejahteraan Psikologis Berdasarkan hasil-hasil riset di bidang ilmu psikologi, para ahli merumuskan faktorfaktor yang dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis, antara lain: kemampuan financial, lingkungan pekerjaan, keluarga, dan tingkat pendidikan (Mirowsky & Ross, 2005), dan kualitas kepribadian (Ryff, 1989). Ryff menjelaskan bagaimana faktor kepribadian (big five personality) dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Ternyata tipe extroversion, conscientiousness, low neuroticism berpengaruh secara signifikan terhadap kesejahteraan psikologis. Aspek yang dipengaruhi oleh ketiga factor tersebut yaitu self-acceptance, environment mastery, dan purpose in life. Agreeableness dan extraversions berpengaruh terhadap
4) Environmental mastery, yaitu menggambarkan kemampuan manajerial seseorang terhadap dirinya untuk bisa mengatur lingkungannya atau hal-hal di luar dirinya secara efektif. Individu seperti ini memiliki ketertarikan terhadap lingkungan sekitarnya namun bukan sekedar berpartisipasi untuk meramaikannya, melainkan memiliki kemampuan untuk [5]
positive relationships with others, sementara itu low neuroticism akan mempengaruhi autonomy. Selanjutnya Ryff juga mengatakan bahwa keterbukaan terhadap pengalaman baru akan berpengaruh kuta terhadap personal growth.
kebahagiaan yang menipu. Namun demikian kebanyakan manusia ketika menyebutkan dirinya bahagia sering terjebak dengan kebahagiaan materi ini. Adapun kebahagiaan yang sejati menurut Ibnu Miskawaih adalah kebahagiaan jenis kedua yaitu kebahagiaan psikologis. Konsep kebahagiaan psikologis ini mirip dengan kesejahteraan psikologis (true happiness), menurut Ibnu Miskawaih kebehagiaan jenis ini akan dapat membawa manusia ke derajat para malaikat.
Apabila kita menggunakan teori Ryff di atas, maka bila ingin meningkatkan kesejahteraan psikologis, maka factorfaktor tersebut di ataslah yang perlu untuk ditingkatkan. Meningkatnya factor-faktor selanjutnya akan meningkatkan kesejahteraan psikologisnya. Sesuai dengan pendapat Ryff di atas, apabila individu memiliki keterbukaan diri dan ceria sehingga mudah pula baginya bergaul dengan orang lain (extraversions), dan ramah (agreeableness) maka individu akan memiliki penerimaan diri yang baik (good self-acceptance) serta memiliki kemampuan dalam membangun hubungan dengan orang lain, dan pemahaman lingkungan social yang baik pula (good environment mastery). Sementara itu individu yang memiliki sikap hati-hati (agreeableness) dan memiliki tingkatan kecemasan yang rendah (low neuroticism) akan meningkatkan penguasaan terhadap lingkungan (environment mastery) dan kejelasan dalam tujuan hidupnya (purpose in life), dan membuat individu lebih mandiri (autonomy).
Sejalan dengan Ibnu Miskawaih, Abu Hamid Al Ghazali atau yang lebih dikenal dengan Imam Ghazali telah menulis sebuah karya monumental, yaitu buku Kimia Kebahagiaan (The Alchemy of Happiness) setebal lebih dari 6000 halaman (4 volume). Menurut Al Ghazali kebahagiaan itu berasal dari transformasi diri, dan terletak pada pemahaman dirinya. Kata al Ghazali, “barangsiapa yang dapat memahami dirinya, maka sungguh ia akan bahagia”. Mengapa demikian? Karena pemahaman diri dapat menjadi cermin dari pengalaman-pengalaman hidupnya di masa lalu, masa sekarang, dan teropongan individu pada masa yang akan datang. Individu akan benar-benar mencapai taraf kebahagiaan apabila ia dapat membersihkan hatinya dari debu-debu racun sehingga bersih seperti cermin, itu berarti cahaya Allah telah masuk kedalam dirinya.
Selain ilmuwan-ilmuwan psikologi, ilmuwan-ilmuwan Islam pun telah menjelaskan konsep kesejahteraan psikologis ini. Dalam makalah ini akan disebutkan dua diantaranya, yaitu: Ibnu Miskawaih (932 – 1030) dan Imam Al Ghazali (1058 – 1111).
Al-Ghazali menekankan, hanya sedikit orang yang mampu mencapai puncak kebahagiaan. Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta‟ala, seperti para Nabi dan orang-orang shalih (juga muslih). Kebahagiaan yang mereka miliki merupakan kebahagiaan sejati. Standar kebahagiaan mereka tentunya berbeda dengan jenis kebahagiaan yang dimiliki oleh orang-orang awam yang cenderung masih merupakan kebahagiaan material. Kebahagiaan mereka tercapai apabila telah berhasil menunaikan suatu tugas atau berhasil dalam dakwahnya karena kelak mereka meyakini akan
Menurut Ibnu Miskawaih kebahagiaan (alsa’adah) terdiri atas dua jenis, yaitu: kebahagiaan materi (jism al-sa’adah) dan kebahagiaan psikologis (nafs al sa’adah). Kebahagiaan materi pada dasarnya bukan kebahagiaan, karena individu bahagia hanya sebatas pada hal-hal material saja, Ibnu Miskawaih menyebutnya sebagai [6]
mendapatkan buah dari jerih payahnya itu. Kata Al Ghazali inilah yang disebut kebahagiaan sejati.
well being: emotional and cognitive evaluations of life. Anual Review of Psychology, 54, 403-425. Fredrickson, B.L., & Joiner, T. (2002). Positive emotions trigger upward spirals toward emotional well-being, Psychological Science, 13, 172-175.
Kesimpulan Kesejahteraan subjektif bisa diraih apabila individu hidup dengan menggunakan jalan seperti yang telah ditempuh oleh para Nabi, wabil khusus nabiyullah Muhammad Shalallahu „Alaihi Wassalam. Yaitu hidup dengan limpahan maghfirah, hidayah, dan taufiq dari Allah Subhanahu Wa Ta‟ala. Maghfirah yaitu ampunan Allah yang akan membuka pintu-pintu nikmat lainnya, hidayah adalah petunjuk Allah sehingga individu senantiasa berada di jalannya, sedangkan taufiq adalah bertemunya antara keinginan hamba dengan keinginan Allah, atau kondisi di mana seorang mukmin menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. Dengan kata lain kesejahteraan psikologis bagi seorang mukmin akan dapat dicapai apabila ia bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala.
Kahneman, D. & Deaton, A. (2010). High income improves evaluation of life but not emotional well-being. Proceedings of the National Academy of Sciences, 7 September 2010 Mirowsky J, Ross CE. Education, Learned Effectiveness, and Health. Review of Education, 3, 205–220. Myers, D.G., & Diener, E. (1995). Who is happy? Psychological Science, 6, 1018. Ryff,
Referensi
C.D. (1989). Happiness Is Everything, or Is It? Explorations on the Meaning of Psychological WellBeing. Journal of Personality and Social Psychology, 57, 1068 – 1081.
Seligman, M.E.P., & Csikszentmihalyi, M. (2000). Positive Psychology: an introduction. American Psychologist, 55, 5-14.
Al-Ghazali, A. H. (2009). The Alchemy of Happiness. London: WLC Books Diener, E., Oishi, S., & Lucas, R.E. (2003). Personality, culture, and subjective
[7]