Hubungan Antara Penyesuaian Diri Di Perguruan Tinggi Dan Stres Psikologis Pada Mahasiswa Tahun Pertama Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Fitri Tasliatul Fuad Miranda Diponegoro Zarfiel Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri di perguruan tinggi dan stres psikologispada mahasiswa tahun pertama Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan alat ukur Student Adaptation to College Questionnaire (SACQ) untuk mengetahui gambaran penyesuaian diri di perguruan tinggi partisipan dan alat ukur Hopkins Symptom Checklist-25 (HSCL-25) untuk mengetahui tingkat stres psikologis partisipan. Partisipan dalam penelitian ini adalah 94 orang mahasiswa tahun pertama Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Teknik analisis data menggunakan pearson correlation untuk menjawab permasalahan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif dan signifikan antara penyesuaian diri di perguruan tinggi dan stres psikologis (r = -.284). Kata Kunci: penyesuaian diri; perguruan tinggi; stres psikologis; mahasiswa tahun pertama ABSTRACK This research was conducted to determine the correlation between college adjustment and psychological distress on Faculty of Psychology University of Indonesia First-year Students. This research method use quantitative approach using Student Adaptation to College Questionnaire (SACQ) to get the descriptive data about participant’s college adjustment and Hopnkins Sympton Checklist-25 (HSCL-25) to determine the level of psychological distress on participants. Participants in this study were 94 Faculty of Psychology University of Indonesia first-year students. Pearson Correlation analysis technique was used to answer the research problem. Result showed that there is negative and significant correlation between college adjustment and psychological distress on Faculty of Psychology University of Indonesia first-year students (r = -.284). Keyword: college adjustment, psychological distress, first-year college student
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
PENDAHULUAN Saat memasuki perguruan tinggi mahasiswa akan dihadapkan dengan banyak tantangan baru dan harus menghadapi tantangan akademis yang berbeda dengan yang sebelumnya (Goodwin, 2008). Mahasiswa baru sering memiliki masalah dalam beradaptasi dengan situasi sosial, personal dan emosional yang baru (Chickering, 1969, dalam Downey, 2005). Selain itu mahasiswa juga memiliki berbagai tugas perkembangan yang baru (Medalie, 1981, dalam Downey, 2005) Berdasarkan teori perkembangan mahasiswa menurut Chickering dan Schlossberg (1995) terdapat tujuh tugas perkembangan yang harus dijalani oleh mahasiswa, yaitu mengembangkan kompetensi, mengatur emosi, berkembang dari autonomy menuju interdependence, mengembangkan hubungan interpersonal yang lebih matang, menetapkan identitas, mengembangkan tujuan hidup, dan mengembangkan integritas. Pendidikan tinggi adalah masa yang menekan bagi sebagian besar mahasiswa dimana mereka harus melewati proses adaptasi pada lingkungan pendidikan dan sosial yang baru (Misra & Castillo, 2004). Walaupun banyak mahasiswa yang berhasil menyesuaikan diri dengan kehidupan perkuliahan, masih banyak yang mengalami gangguan emosi jangka panjang dan depresi (Gall, Evans, & Bellerose, 2000; Wintre & Yaffe, 2000). Tinjauan literatur menunjukkan bahwa terdapat mahasiswa sangat rentan mengalami stres (Ross, Neibling, Heckert, 1999) dan berdasarkan hasil penelititan yang dilakukan Misra & McKean (2000) ditemukan bahwa mahasiswa tahun pertama lebih mudah mengalami stres daripada seniornya (Misra & McKean, 2000). Mahasiswa, khususnya mahasiswa baru, merupakan kelompok yang paling mudah mengalami stres (D’Zurilla & Sheedy, 1991, dalam Ross, Niebling, & Heckert, 1999). Stres adalah bagian dari kehidupan mahasiswa dan dapat memberikan dampak yang besar pada kemampuan mahasiswa untuk bertahan dengan kehidupan kampus (Dusselier, Dunn, Wang, Shelley and Whalen, 2005; Greenberg, 1993, dalam Ong, Yap, Pun, 2008). Sebagian besar mahasiswa mengalami psychological distress dikarenakan beberapa perubahan, seperti harus meninggalkan rumah (tinggal sendiri), mandiri dalam mengambil keputusan, berkompetensi dengan standar yang baru, perubahan jadwal tidur, perubahan kebiasaan makan, meningkatnya beban tugas, semakin tingginya tuntutan akademis, berada pada lingkungan yang baru dengan tanggung jawab baru, perubahan interaksi dengan keluarga dan perubahan kehidupan sosial, adanya tanggung jawab finansial, bertemu orang baru, ide-ide baru, serta godaan baru, semakin tingginya tingkat keputusan yang harus dipilih, merokok atau penggunaan obat-obat terlarang, mulai menyadari identitas dan orientasi seksual, harus mempersiapkan kehidupan setelah lulus kuliah, faktor-faktor psikologis seperti self esteem
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
yang rendah (Altmaier, 1983, dalam Pfeiffer, 2001; National Health Ministries USA, 2006; Ross, Niebling, & Heckert, 1999). Beberapa dapat melihat perubahan tersebut sebagai pengalaman yang positif, akan tetapi masih banyak yang merasa terancam oleh perubahan tersebut (Pfeiffer, 2001). Psychological distress dapat berakibat negatif pada kesehatan mahasiswa dan prestasi akademisnya (Campbell & Svenson, 1992; Misra, McKean, West & Russo, 2000). Hasil penelitian Fogle (2012) menyebutkan bahwa mahasiswa dengen tingkat stres tinggi memiliki kebiasaan sehat dan prestasi akademis yang lebih buruk daripada mahasiswa dengan tingkat stres rendah. Hasil penelitian ini juga didukung oleh berbagai penelitian lainnya yang menyatakan bahwa stres berdampak negatif terhadap prestasi akademik mahasiswa (Hatcher and Prus, 1991; Hammer, Grigsby and Woods, 1998; Trockel, Barnes and Egget, 2000; Calderon, Hey and Seabert, 2001; Kelly, Kelly and Clanton, 2001, dalam Fogle, 2012). Hal ini dikarenakan mahasiswa dengan tingkat stres tinggi kurang dapat fokus pada kegiatan belajar dan tugas-tugas akademis. Dampak negatif stres lainnya adalah mahasiswa dengan tingkat stres tinggi memiliki konflik harian yang lebih tinggi serta kesenangan harian yang lebih rendah daripada mahasiswa dengan tingkat stres rendah. Stres terjadi ketika adanya tuntutan yang membebani atau di luar batas kemampuan seseorang. Terdapat dua sumber stres, yaitu physical stressor yang bersumber dari fisik (demam tinggi, invasi mikroorganisme, luka fisik) dan pshychosocial stressor yang bersumber dari kondisi sosial lingkungan, dapat merusak saat itu juga atau di masa mendatang. Berdasarkan penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa perubahan kondisi lingkungan dari SMA ke pendidikan tinggi dapat digolongkan menjadi psychosocial stressor bagi mahasiswa. Dengan adanya berbagai perubahan tersebut mahasiswa dituntut untuk dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungan yang baru. Boyer (1987, dalam Fanti, 2005) menyatakan bahwa kesuksesan mahasiswa dalam menyesuaikan diri di perguruan tinggi baru secara signifikan dapat mempengaruhi keseluruhan kegiatan perkuliahannya. Menurut Lazarus (1976) penyesuaian diri merupakan proses-proses psikologis dimana individu mengatur atau mengatasi berbagai tuntutan atau tekanan. Sedangkan menurut Eshun (2006) penyesuaian diri merupakan sebuah respon individu terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya, serta dapat membantu individu mengatasi tuntutan-tuntutan dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan pandangan Allport (1937, dalam Lazarus, 1976) mengenai pengertian personality dalam adjustment, dapat diketahui bahwa setiap individu memiliki cara penyesuaian diri yang unik terhadap lingkungannya. Hal ini berarti ada individu yang dengan mudah dan cepatnya dapat menyesuaikan diri dan ada individu yang
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
membutuhkan waktu lama untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungannya. Proses penyesuaian diri tersebut dapat memunculkan berbagai macam emosi yang kuat, khususnya stress emotions, seperti marah, takut, cemas, merasa bersalah, dan malu (Lazarus, 1976). Penyesuaian diri di perguruan tinggi (college adjustment) merupakan suatu proses psikososial yang menjadi sumber stres pada mahasiswa dan membutuhkan kemampuan coping pada berbagai area, yaitu area akdemis, sosial, personal-emosional, dan keterikatan pada institusi (Baker & Siryk, 1989, dalam Hutz, Martin, & Beitel, 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh L. M. Dahyan Davis pada tahun 2011 ditemukan bahwa mahasiswa tahun pertama memang banyak mengalami masalah penyesuaian diri. Masalah penyesuaian diri yang paling banyak terjadi pada mahasiswa tahun pertama antara lain mencemaskan ujian-ujian, tidak tahu bagaimana cara belajar yang efektif, tidak bisa berkonsentrasi dengan baik, bermasalah ketika berbicara di depan kelas, mudah sekali kehilangan konsentrasi saat bekerja, tidak memberi cukup waktu untuk belajar, lemah dalam karya tulis, ingatan yang buruk, takut gagal di perguruan tinggi, mempunyai terlalu banyak minat di luar bidang akademis, dan melupakan hal-hal yang sudah pernah dipelajari di sekolah. Penelitian Davis (2011) hanya melihat apa saja masalah-masalah penyesuaian diri yang dialami oleh mahasiswa akan tetapi belum mengelompokkan masalah-masalah tersebut paling banyak terjadi pada area mana. Dari uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana gambaran penyesuaian diri di perguruan tinggi dan stress psikologis yang dialami oleh mahasiswa tahun pertama Psikologi UI dan apakah pernyesuaian diri di perguruan tinggi tersebut berkorelasi dengan stres psikologis yang mereka alami. Beratnya beban akademis di Fakultas Psikologi membuat mahasiswa Psikologi UI memiliki kecenderungan mengalami stres psikologis yang tinggi. Dari pengalaman peneliti selama berkuliah di Fakultas Psikologi UI, sangat banyak mahasiswa mengeluh merasa tertekan dengan beratnya beban akademis dan sedikitnya waktu yang tersisa untuk dirinya sendirir. Selain itu juga banyak mahasiswa yang mengaku tidak nyaman dan tidak betah berkuliah di Fakultas Psikologi UI bahkan setelah menjalani 7 semester perkuliahan. Hal ini dapat disebabkan karena masalah penyesuaian diri yang belum teratasi sejak berada di tahun pertama perkuliahan. Selain ingin mengetahui apakah penyesuaian diri di perguruan tinggi berhubungan stres psikologis yang dialami oleh mahasiswa tahun pertama Psikologi UI, peneliti juga ingin mengetahui masalah penyesuaian diri yang sering muncul pada mahasiswa tahun pertama. Peneliti ingin melanjutkan penelitian sebelumnya agar mendapatkan gambaran pada area
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
mana masalah penyesuaian diri paling banyak dialami oleh mahasiswa tahun pertama Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
TINJAUAN TEORITIS Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi Penyesuaian diri di perguruan tinggi (college adjustment) merupakan suatu proses psikososial yang menjadi sumber stres pada mahasiswa dan membutuhkan kemampuan coping pada berbagai area. Mahasiswa diharapkan untuk dapat menyesuaikan diri pada area akademis, sosial, personal-emosional, dan keterikatan pada institusi (Baker & Siryk, 1989, dalam Hutz, Martin, & Beitel, 2007). Dimensi Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi 1. Academic adjustment, yaitu dimensi yang berhubungan dengan faktor akademis dan pengalaman pembelajaran yang dialami mahaisiswa di pendidikan tinggi. Academic adjustment juga dapat diartikan sebagai kesuksesan mahasiswa dalam melakukan coping terhadap berbagai tuntutan dibidang akademis universitas termasuk motivasi, peforma, dan lingkungan akademis (Baker & Siryk, 1999 dalam Taylor & Pastor, 2005). Skor yang rendah pada dimensi ini menunjukkan bahwa individu memiliki nilai akademis yang rendah, kurang mampu mengatur dan mengontrol tuntutan akademis, serta kurang realistis dalam menilai dirinya (Baker & Siryk, 1999, dalam Abdullah, Elias, Mahyuddin & Uli, 2009) 2. Social adjustment, yaitu dimensi yang berhubungan dengan aspek sosial dari lingkungan perguruan tinggi dan bagaimana mahasiswa berinteraksi di dalamnya. Dimensi ini mengukur keberhasilan mahasiswa dalam melakukan coping terhadap tuntutan interpersonal-sosial yang berhubungan dengan pengalaman di perguruan tinggi (Baker & Siryk, 1989b, dalam Abe, Talbot, & Geehoed, 1998). Dimensi ini meliputi kecenderungan mahasiswa untuk berinteraksi, sejauh mana mahasiswa membina hubungan sosial dengan orang lain di kampusnya, bagaimana pengaturan lingkungan sosial di sekitar mahasiswa, bagaimana ia mengatasi rasa rindunya dengan keluarganya, serta bagaimana perasaan mahasiswa akan pengalaman-pengalaman yang baru. Skor yang rendah pada dimensi ini menunjukkan bahwa mahasiswa kurang berpartisipasi dalam kegiatan sosial di kampus, kurang memiliki keterampilan sosial, memiliki rasa kesepian yang besar, memiliki social avoidance yang besar, sosial distress, memiliki social self-concept yang rendah, serta merasa tidak memiliki
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
dukungan sosial (Baker & Siryk, 1999, dalam Abdullah, Elias, Mahyuddin & Uli, 2009). 3. Personal-Emotional Adjustment, yaitu dimensi yang berhubungan dengan aspek psikologis dan fisik dari mahasiswa. Dimensi ini berfokus pada kondisi intrapsikis mahasiswa selama penyesuainnya ke pendidikan tinggi, dan sejauh mana ia mengalami tekanan psikologis secara umum serta gejala somatik seiring dengan adanya masalah (Baker & Siryk, 1989b, dalam Abe, Talbot, & Geehoed, 1998). Mahasiswa yang memiliki skor rendah pada dimensi ini menunjukkan bahwa ia lebih emosional, memiliki tingkat psychological distress yang tinggi, memiliki lebih banyak pengalaman hidup negatif (Baker & Siryk, 1999, dalam Abdullah, Elias, Mahyuddin & Uli, 2009). 4. Goal Commitment / Institutional Adjustment, yaitu dimensi yang berkaitan dengan komitmen mahasiswa demi mencapai tujuan akademisnya serta keterikatan mahasiswa kepada institusi kampusnya. Dimensi ini melihat kepuasan mahasiswa secara keseluruhan mengenai keberadaan mahasiswa di perguruan tinggi serta emosi atau perasaan mahasiswa mengenai peruruan tinggi tempatnya menimba ilmu saat ini. Mahasiswa yang memiliki skor rendah pada dimensi ini berkemungkinan besar keluar dari perguruan tinggi sebelum lulus dan kurang puas dengan pengalamannya di perguruan tinggi (Baker & Siryk, 1999, dalam Abdullah, Elias, Mahyuddin & Uli, 2009).
Keberhasilan Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi Menurut Baker, McNeil & Siryk (1985, dalam Waller 2009) ada beberapa kriteria perilaku yang menunjukkan berhasilnya penyesuaian diri di perguruan tinggi pada seorang mahasiswa, antara lain: 1.
Mencapai performa akademis yang wajar bahkan baik.
2.
Memanfaatkan sarana bantuan psikologis dan konseling yang ada di fakultas saat diperlukan.
3.
Menyelesaikan masa studi dalam rentang waktu yang ditentukan oleh fakultas.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri di perguruan tinggi. Faktor-faktor tersebut dalam digolongkan menjadi faktor pendukung dan faktor penghambat. Menurut (Brag, Kim, & Rubin, 2005; Maton, Hrabowski, & Schmitt, 2000; Robbins &
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
Smith,1993; dalam Waller, 2009) faktor-faktor yang mendukung penyesuaian diri di perguruan tinggi pada mahasiswa antara lain: 1. Prestasi akademis yang baik Mahasiswa yang memiliki prestasi akademis yang baik cenderung memiliki kemampuan penyesuaian diri di perguruan tinggi yang lebih baik daripada mahasiswa yang memiliki prestasi akademis yang buruk. Mahasiswa yang memiliki prestasi akademis yang baik tidak akan terlalu terkejut dengan perubahan tuntutan akademis yang berbeda di perguruan tinggi sehingga mereka dapat menyesuaikan diri di perguruan tinggi dengan lebih baik. 2. Kesiapan masuk perguruan tinggi (college readiness) Mahasiswa yang lebih siap untuk memsuki pendidikan tinggi memiliki kemampuan penyesuaian diri yang lebih baik daripada mahasiswa yang belum siap memasuki pendidikan tinggi. Kesiapan tersebut dapat berupa informasi yang dimilikinya mengenai bagaimana sistem perkuliahan, informasi mengenai perguruan tinggi dan jurusan yang akan dimasukinya, serta kesiapan mental mahasiswa tersebut untuk mengahadapi berbagai perbedaan antara sekolah dan kuliah. 3. Hubungan yang dekat dan suportif, dan perasaan keterikatan dengan komunitas di kampus Mahasiswa yang memiliki hubungan yang dekat dan suportif dengan keluarga, teman, dan orang-orang di sekiltarnya akan memiliki kemampuan penyesuaian diri di perguruan tinggi yang lebih baik daripada mahasiswa yang tidak memiliki hubungan yang dekat dan suportif dengan orang-orang di sekitarnya. Hubungan yang dekat dan suportif tersebut dapat memabntu mahasiswa melewati perubahan-perubahan yang dialaminya di perguruan tinggi sehingga ia dapat menyesuaikan diri di perguruan tinggi dengan lebih baik.
Faktor yang menghambat mahasiswa untuk menyesuaikan diri di perguruan tinggi dengan baik (Orfield & Paul, 1988; dalam Waller 2009) antara lain: 1. Adanya pemisahan atau tidak baurnya pergaulan kampus Adanya pemisahan atau tidak baurnya pergaulan di kampus dapat disebabkan oleh terlalu ketatnya persaingan antar peer-group, tekanan senioritas, dan lain-lain. 2. Biaya kuliah yang mahal dan beban tanggungan hidup semasa kuliah Masalah keuangan, yaitu biaya kuliah yang mahal dan besarnya beban tanggungan hidup semasa kuliah dapat menghambat mahasiswa untuk dapat menyesuaikan dirinya di perguruan tinggi dengan baik. 3. Tidak memadainya asistensi bagi mahasiswa yang tidak siap (unprepared)
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
Tidak semua mahasiswa tahun pertama siap untuk mulai berkuliah. Banyak mahasiswa yang belum siap untuk menghadapi perubahan di pendidikan tinggi, terutama bagi mahasiswa yang berasal dari daerah. Tidak adanya asistensi atau bantuan bagi mahasiswa yang belum siap tersebut dapat menghambatnya dalam menyesuaikan diri di perguruan tinggi.
Stres Psikologis Stres merupakan kondisi psikologis yang muncul dan dirasakan lebih kuat ketika seseorang merasa tidak memiliki kapasitas unuk menghadapi tantangan lingkungannya secara efektif (Lazarus, 1999). Menurut Selye (1979, dalam Rice, 1999) stres dapat dibagi menjadi dua, yaitu eustress dan distress. Eustress merupakan pengalaman menyenangkan dan memuaskan. Misalnya berpartisipasi dalam acara pernikahan, kompetisi dalam pertandingan olahraga, dan ikut serta dalam produksi pertunjukan drama atau teater. Eustress dapat meningkatkan kesadaran, kesiagaan, dan sering mengarah pada penampilan kognitif dan tingkah laku tinggi. Sedangkan distress merupakan stress yang merusak atau tidak menyenangkan. Pengalaman yang dialami dirasakan sebagai sesuatu yang negatif, menyakitkan, dan sesuatu yang harus dihindari. Distress memiliki berbagai dampak negatif bagi penderitanya. Salah satunya yaitu individu yang mengalami distress mengalami sulit tidur dan tetap terjaga di malam hari sehingga ia tidak bisa berkonsentrasi pada siang hari dan mengganggu pekerjaannya atau menganggu sosialisasi dengan orang lain. Dampak lainnya adalah individu yang mengalami distress dapat merasakan dampaknya berupa penyakit fisik seperti sakit kepala, sakit perut, sakit punggung, dan berbagai bentuk malaise lainnya. Mereka biasanya menghabiskan banyak biaya untuk mencari pertolongan medis padahal pihak media tidak dapat mendeteksi penyebab fisik dari penyakit tersebut. Bentuk Utama Stres Psikologis Menurut Mirowsky & Ross (1989) distress dapat terlihat dalam dua bentuk utama, yaitu
depresi dan kecemasan. Depresi dapat berupa perasaan sedih, tidak bersemangat,
kesepian, putus asa, merasa tidak berharga, berharap mengalami kematian, sulit tidur, menangis, dan merasa segala sesuatu yang dilakukannya adalah hal yang susah. Kecemasan dapat berupa merasa tegang, gelisah, khawatir, mudah tersinggung, dan ketakutan. Depresi dan kecemasan memiliki dua komponen, yaitu mood dan malaise. Mood merujuk pada perasaan negatif seperti kesedihan dari depresi atau kekhawatiran dari kecemasan. Sedangkan
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
malaise merujuk pada kondisi tubuh, seperti lesu dan gangguan dari depresi atau penyakit otonomi (sakit kepala, sakit perut, pusing) dan lesu dari kecemasan. Depresi dan kecemasan saling berhubungan satu sama lain. Individu yang mengalami depresi biasanya juga mengalami kecemasan, dan begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu para ahli biasanya meneliti kedua hal tersebut dan tidak membedakan keduanya sebagai dua hal yang berbeda. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres Psikologis Menurut Mirowsky & Ross (2003) terdapat lima pola dasar yang memengaruhi stres psikologis, yaitu: 1. Gender. Wanita memiliki kecenderungan mengalami stres psikologis yang lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini bisa jadi disebabkan adanya perbedaan pilihan, nilai, kepercayaan, kegiatan yang mereka lakukan, serta peran gender yang berbeda. Wanita lebih dituntut untuk dapat mengurus rumah tangga dan membesarkan anak dengan baik daripada laki-laki sehingga hal tersebut dapat menimbulkan stress psikologis. Resiko munculnya stres psikologis pada wanita juga akan semakin besar apabila wanita tersebut bekerja. 2. Status Pernikahan. Orang yang belum menikah memiliki kecenderungan yang lebih besar mengalami stres psikologis daripada orang yang belum menikah. Hal ini dikarenakan orang yang belum menikah akan terhindar dari keterikatan hubungan sosial dan tanggung jawab ekonomi pada keluarga. Keterikatan ini dapat membantu terbentuknya rasa aman, perasaan memiliki, dan arah hidup bagi seseorang. Tanpa hal-hal tersebut seseorang akan merasa kesepian, hidup tanpa arah, dan merasa tidak aman. Orang yang belum menikah biasanya juga tinggal sendiri sehingga mereka memiliki kecenderungan yang lebih tinggi dalam mengalami stres psikologis. 3. Perubahan yang tidak diinginkan Stres psikologis dapat diasosiasikan dengan perubahan dari satu situasi ke siatusi lainnya. Perubahan situasi yang tidak diinginkan pada seseorang dapat menimbulkan stres psikologis. Aktivitas yang biasa dilakukan sehari-hari cenderung membentuk suatu pola tertentu (kebiasaan) sehingga meminimalkan jumlah energi dan sumber daya yang harus digunakan. Kebiasaan merupakan sesuatu yang mudah sehingga tidak menimbulkan stres psikologis pada seseorang. Perubahan situasi yang muncul
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
menekan seseorang untuk menggunakan energi yang lebih besar untuk dapat beradaptasi dengan perubahan tersebut. Mirowsky & Ross (1989) menemukan bahwa semakin banyak perubahan negatif yang dialami seseorang maka akan semakin tinggi stres psikologis yang dialaminya 4. Status sosial ekonomi. Orang dengan status sosial ekonomi yang tinggi memiliki kecenderungan lebih rendah dalam mengalami stres psikologisdaripada orang dengan status sosial ekonomi yang rendah. Status sosial ekonomi yang tinggi akan meningkatkan kesehatan psikologis seseorang, sedangkan status sosial ekonomi yang rendah akan meningkatkan stres psikologis seseorang. Mirowsky & Ross (1989) menjelaskan bahwa anak yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi yang rendah memiliki sedikit keuntungan, sumber daya, dan kesempatan dibanding anak yang berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi yang tinggi. Mereka cenderung lebih sering menemui kegagalan sehingga hal ini dapat menimbulkan stres psikologis. 5. Usia Remaja merupakan tahapan usia yang paling sering mengalamai kecemasan dan depresi, sedangkan dewasa madya paling sedikit mengalami depresi dan lansia paling sedikit mengalami kecemasan. Remaja merupakan tahapan usia dimana banyak terjadi berbagai perubahan sehingga remaja paling rentan mengalami stres. Orang berusia dibawah 20 tahun cenderung memiliki tingkat anxiety dan anger yang tinggi dan cenderung semakin menurun pada orang yang berusia lebih tua. Hal ini dikarenakan pada usia muda mereka belum sejahtera secara ekonomi dan umumnya belum menikah sehingga tidak mendapatkan dukungan emosional dari pasangan hidupnya.
METODE PENELITIAN Variabel dalam penelitian ini adalah penyesuaian diri di perguruan tinggi dan stres psikologis. Berdasarkan tipe aplikasinya, penelitian ini tergolong ke dalam applied research karena teknik, prosedur, dan metode penelitian yang digunakan bertujuan untuk mengumpulkan informasi mengenai berbagai aspek dari suatu situasi, permasalahan, atau fenomena, sehingga informasi yang terkumpul dapat diaplikasikan untuk kegunaan lainnya. Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini merupakan correlational research karena penelitian ini bertujuan untuk menemukan hubungan/asosiasi/ interdependensi antara dua atau lebih aspek dari suatu situasi. Berdasarkan tipe informasi yang diperoleh, penelitian ini
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
merupakan penelitian kuantitatif karena informasi dikumpulkan melalui variabel-variabel yang diolah dengan analisis kuantitaifKumar, 2005). Partisipan dalam penelitian ini adalah mahasiswa tahun pertama Fakultas Psikologi Universitas Indoensia. Jumlah partisipan adalah 94 orang. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk kuesioner yang terdiri dari Student Adaptation to College Questionnaire (SACQ) untuk mnegukur penyesuaian diri di perguruan tinggi dan Hopkins Symptopm Checklist-25 (HSCL-25) untuk mengukur stres psikologis. Alat ukur SACQ dikembangkan oleh Baker dan Siryk (1984) 59 item dengan rincian 24 item mengukur dimensi academic adjustment, 13 item mengukur dimensi social adjustment, 15 item mengukur dimensi personal-emotional adjustment, dan 7 item mengukur dimensi goal commitment / instutional attachment. Skor total didapatkan dengan menjumlahkan skor semua item alat ukur SACQ. Alat ukur HSCL-25 merupakan alat ukur stres psikologis yang dikenal dan banyak digunakan sebagai alat screening untuk mendeteksi gejala anxiety dan depresi yang dirasakan kurang lebih seminggu terakhir (Ventevogel, et al., 2007). HSCL terdiri dari 25 item yang terdiri dari 10 item yang mengukur gejala anxiety dan 15 item yang mengukur gejala depresi. Setiap item diukur menggunakan skala Likert mulai dari 1 (gejala tersebut tidak mengganggu sama sekali) hingga 4 (gejala tersebut sangat mengganggu). Skor HSCL-25 didapatkan dengan membagi jumlah skor tiap item dengan jumlah item yang dijawab. Jika skor lebih besar atau sama dengan 1.75, maka partisipan memiliki stres psikologis yang tinggi (Ventevogel, et al., 2007). Metode analisi data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode statistik uji korelasi Pearson untuk melihat adanya hubungan diantara kedua variabel, dengan alat bantu yang digunakan untuk analisis adalah program komputer SPSS versi 18.
HASIL PENELITIAN Perhitungan korelasi antara variabel penyesuaian diri di perguruan tinggi dan stres psikologis dihitung menggunakan metode Pearson Correlation. Berikut ini adalah hasil perhitungan korelasi antar dua variabel tersebut. Tabel total skor Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi dan Stress Psikologis Skor Pearson Correlation
-,284
Sig. (2-tailed)
,006
N
94
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
Berdasarkan tabel di atas dapat terlihat bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri di perguruan tinggi dan stres psikologis pada mahasiswa tahun pertama Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (p<0.05). Nilai minus menunjukkan bahwa arah hubungan tersebut negatif, yang artinya semakin tinggi kemampuan penyesuaian diri di perguruan tinggi seseorang, maka akan semakin rendah stres psikologis yang dialaminya, begitu pula sebaliknya Tabel Distribusi Skor Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi Kelompok Skor
Jumlah Partisipan
Persentase
Di bawah rata-rata
13
13. 8%
Rata-rata
74
78.7%
Di atas rata-rata
7
7.4%
Total
94
100%
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa subjek yang memiliki distribusi skor penyesuaian diri di perguruan tinggi rentang rata-rata merupakan jumlah terbanyak. Jumlah kedua terbanyak adalah subjek yang memiliki distribusi skor penyesuaian diri di perguruan tinggi rentang di bawah rata-rata. Subjek yang memiliki distribusi skor penyesuaian diri di perguruan tinggi rentang di atas rata-rata merupakan jumlah yang paling sedikit. Tabel Distribusi Skor Stres Psikologis Kelompok Skor
Jumlah Partisipan
Persentase
Distress tinggi 32 34% Distress rendah 62 66% Total 94 100% Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat bahwa subjek yang mengalami stres psikologis yang tinggi lebih banyak daripada subjek yang mengalami stres psikologis yang rendah. Table Korelasi Dimensi Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi dan Stress Psikologis Pearson Correlation
Sig. (2tailed)
Academic adjustment
-.269
.009
Social adjustment
-.194
.061
Personal-emotional adjustment
-.221
.003
Goal commitment/institutional adjustment
-.160
.123
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
Pada hasil analisa person correlation antara dimensi academic adjustment dan stres psikologis didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dimensi academic adjustment dan stres psikologis (p<0.05). Nilai minus menandakan bahwa hubungan tersebut negatif, yang berarti semakin baik kemampuan academic adjustment seseorang maka akan semakin rendah stres psikologis yang dialaminya, begitu pula sebaliknya.
Dari hasil analisa pearson correlation antara dimensi personal-emotional
adjustment dan stres psikologis ditemukan terdapat hubungan yang signifikan antara dimesi personal-emotional adjustment dan stres psikologis pada mahasiswa tahun pertama Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (p<0.05). Nilai minus menunjukkan arah hubungan tersebut negatif, yang artinya semakin baik kemampuan personal-emotional adjustment seseorang maka akan semakin rendah stres psikologis yang dialaminya. Tidak adanya hubungan yang signifikan ditemukan dari hasil analisa pearson correlation antara dimensi social adjustment dan stres psikologis serta hasil analisa pearson correlation antara dimensi goal commitment / institutional adjustment dan stres psikologis pada mahasiswa tahun pertama Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (p>0.05). Tabel Korelasi Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi dengan Faktor Lain Pearson Chi-Square Gender
.204
Tempat Tinggal
.018
Dari tabel di atas dapat lihat bahwa hasil analisa chi-square antara penyesuaian diri dan gender memiliki nilai p > 0.05. Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri di perguruan tinggi gender. Hasil analisa chi-square antara penyesuaian diri dan tempat tinggal memiliki nilai p<0.05. Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri di perguruan tinggi dan tempat tinggal.
Tabel Korelasi Stres Psikologis dan Faktor Lain Pearson Chi-Square Gender Usia Pengeluaran dalam sebulan
.039 .831 .035
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
Berdasarkan tabel di atas pada hasil analisa chi-square antara stres psikologis dan gender dapat dilihat bahwa nilai p < 0.05. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara stres psikologis dan gender pada mahasiswa tahun pertama Fakultas Psikologi UI. Pada hasil analisa chi-square antara stres psikologis dan usia dapat dilihat bahwa nilai p > 0.05. Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan anatar stres psikologis dan usia pada mahasiswa tahun pertama Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Pada hasil analisa chi-square antara stres psikologis dan pengeluaran dalam sebulan dapat dilihat bahwa nilai p < 0.05. Dapat disimpulkan terdapat hubungan yang signifikan antara stres psikologis dan pengeluaran dalam sebulan pada mahasiswa tahun pertama Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
PEMBAHASAN Dari hasil penelitian dirtemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri di perguruan tinggi dan stres psikologis pada mahasiswa Psikologi UI tahun pertama. Masa kuliah merupakan masa transisi dari SMA ke perguruan tinggi. Dalam masa transisi tersebut terdapat banyak perubahan-perubahan yang dialami mahasiswa. Banyak yang menganggap perubahan tersebut sebagai pengalaman yang positif akan tetapi masih banyak pula yang menganggap perubahan tersebut sebagai pengalaman negatif yang menekan sehingga mahasiswa tahun pertama sangat rentan akan stres psikologis. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang juga menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri di perguruan tinggi dan stres psikologis. Selain mengukur hubungan penyesuaian diri di perguruan tinggi dan stres psikologis, peneliti juga mengukur hubungan masing-masing dimensi dalam alat ukur penyesuaian diri di perguruan tinggi dan stres psikologis. Dimensi-dimensi tersebut adalah academic adjustment, social adjustment, personal-emotional adjustment, dan goal commitment / institutional adjustment. Dari hasil pengukuran statistik ditemukan bahwa terdapat hubungan negatif dan signifikan antara dimensi academis adjustment dan stres psikologis pada mahasiswa Psikologi UI tahun pertama. Hal tersebut berarti semakin baik penyesuaian diri di perguruan tinggi seseorang maka akan semakin rendah tingkat stres psikologis yang dialaminya. Hal ini dapat terjadi karena tingginya beban akademis yang dialami oleh mahasiswa Psikologi UI. Selain itu mahasiswa-mahasiswa yang terpilih berkuliah di Universitas Indonesia merupakan mahasiswa dengan kemampuan akademis yang baik sehingga ketika mereka mengalami
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
kesulitan menyesuaikan diri dengan siatuasi akademis di kampus akan lebih mudah untuk mengalami stres psikologis. Selain itu juga terdapat hubungan negatif dan signifikan antara dimensi personalemotional adjustment dan stres psikologis pada mahasiswa Psikologi UI tahun pertama. Hal tersebut berarti semakin baik personal-emotional adjustment seseorang maka akan semakin rendah tingkat stres psikologis yang dialaminya. Personal-emotional adjustment juga mengukur tekanan psikologis yang dialami oleh mahasiswa sehingga memang seharusnya terdapat hubungan antara dimensi personal-emotional adjustment dan stres psikologis pada mahasiswa tahun pertama. Sedangkan untuk dimensi social adjustment dan goal commitment / institutional adjustment ditemukan hubungan yang tidak signifikan dengan stres psikologis. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kenny (1995) yang juga hanya menemukan hubungan negatif dan signifikan pada dimensi academic adjustment dan personal-emotional adjustment dan tidak menemukan hubungan yang signifikan pada dimensi social adjustment dan goal commitment / institutional adjustment. Tidak adanya hubungan antara kedua dimensi tersebut dengan stres psikologis berarti tinggi atau rendahnya social adjustment dan goal commitment / institutional adjustment seseorang tidak berhubungan dengan tinggi atau rendahnya stres psikologis yang dialaminya. Dari hasil tambahan penelitian ditemukan beberapa faktor yang berhubungan dengan penyesuaian diri di perguruan tinggi dan stres psikologis. Faktor pertama adalah gender. Dari hasil pengukuran statistik menggunakan teknik korelasi Chi-Square, ditemukan hubungan yang signifikan antara gender dan stres psikologis pada mahasiswa Psikologi UI tahun pertama. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Mirowsky dan Ross (2003) yang menyatakan bahwa gender merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi munculnya stres psikologis pada seseorang. Mirowsky dan Ross (2003) menyatakan bahwa perempuan lebih mudah mengalami distress daripada laki-laki. Hal ini dikarenakan perbedaan pilihan, nilai, kepercayaan, kegiatan yang mereka lakukan, serta peran gender yang berbeda. Wanita lebih dituntut untuk dapat mengurus rumah tangga dan membesarkan anak dengan baik daripada laki-laki sehingga hal tersebut dapat menimbulkan distress. Dalam pengukuran hubungan gender dan penyesuaian diri di perguruan tinggi, ditemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara gender dan penyesuaian diri di perguruan tinggi pada mahasiswa Psikologi UI tahun pertama.
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
Faktor kedua adalah usia. Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, terdapat empat kelompok usia, yaitu 17, 18, 19, dan 20 tahun. Dari hasil pengukuran statistik ditemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia dan stres psikologis. Hal ini dikarenakan rentang usia subjek penelitian yang sangat sempit dan masih berada dalam tahap perkembangan yang sama. Faktor ketiga adalah tempat tinggal. Tempat tinggal subjek penelitian dikelompokkan menjadi rumah orang tua, rumah kerabat, asrama UI, kos, dan lainnya. Berdasarkan hasil pengukuran statistik ditemukan hubungan yang signifikan antara tempat tinggal dan penyesuaian diri di perguruan tinggi. Tempat tinggal merupakan faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri di perguruan tinggi pada mahasiswa tahun pertama Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Dari kelima kelompok tempat tinggal tersebut, hanya kelompok yang tinggal di asrama UI yang semuanya memiliki distribusi skor penyesuaian diri di perguruan tinggi rentang di bawah rata-rata. Namun hal ini dapat disebabkan karena sangat sedikitnya jumlah subjek yang berada pada kelompok ini, yaitu hanya dua orang. Pada empat kelompok tempat tinggal lainnya, semuanya memiliki pola yang sama. Jumlah subjek terbanyak berada pada distribusi skor penyesuaian diri di perguruan tinggi rentang rata-rata, kemudia rentang di bawah rata-rata, dan rentang di atas rata-rata. Berdasarkan hasil pengukuran statistik mengenai hubungan tempat tinggal dan stres psikologis, tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara tempat tinggal dan stres psikologis pada mahasiswa tahun pertama Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Faktor keempat adalah pengeluaran dalam sebulan. Peneliti membagi subjek penelitian dalam tiga kelompok, yaitu kelompok yang pengeluaran dalam sebulan kurang dari Rp 1.000.000, antara Rp 1.000.000 – Rp 2.000.000, dan lebih dari Rp 2.000.000. Dari hasil pengukuran statistik ditemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan anatar pengeluaran dalam sebulan dan stres psikologis. Kelompok yang pengeluarannya dalam sebulan lebih dari Rp 2.000.000 semuanya mengalami tingkat stres psikologis yang tinggi. Namun hal ini dapat disebabkan karena sangat sedikitnya subjek penelitian yang pengeluarannya dalam sebulan lebih dari Rp 2.000.000. Sedangkan untuk dua kelompok lainnya memiliki pola yang sama, yaitu jumlah subjek yang mengalami stres psikologis yang tinggi lebih banyak daripada yang mengalami stres psikologis yang rendah. Hal ini sesuai dengan teori mengenai stres psikologis dari Mirowsky dan Ross (2003) yang menyatakan bahwa faktor sosial-ekonomi merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan stres psikologis.
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
KESIMPULAN Dari hasil penelitian mengenai hubungan penyesuaian diri di perguruan tinggi dan stres psikologis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan terdapat hubungan yang negatif dan signifikan antara penyesuaian diri di perguruan tinggu dan stres psikologis pada mahasiswa tahun pertama Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Hal tersebut berarti semakin baik penyesuaian diri di perguruan tinggi seseorang maka akan semakin rendah tingkat satres psikologis yang dialaminya. Berdasarkan hasil perhitungan statistik ditemukan bahwa nilai penyesuaian di perguruan tinggi memiliki sumbangan sebesar 8.41 % pada stres psikologis, dan 91.59% lainnya dari faktor lain. SARAN Terkait dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh peneliti, maka peneliti memberikan beberapa saran atas kekurangan-kekurangan peneliti dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut: 1.
Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya jumlah subjek penelitian ditambah dan proporsi subjek laki-laki dan perempuan seimbang agar lebih mudah dibandingkan.
2.
Pada penelitian selanjutnya sebaiknya jumlah subjek
penelitian untuk setiap faktor
tambahan (usia, tempat tinggal, status sosial-ekonomi) diseimbangkan sehingga didapatkan hasil penelitian yang lebih valid 3.
Penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan pengukuran untuk setiap angkatan, sehingga dapat diketahui apakah angkatan atau lama berkuliah merupakan faktor yang berhubungan dengan penyesuaian diri di perguruan tinggi dan stres psikologis, dan dapat diketahui angkatan manakah yang paling berhubungan dengan penyesuaian diri di perguruan tinggi dan stres psikologis.
4.
Apabila penelitian selanjutnya tetap pada mahasiswa tahun pertama, sebaiknya dilakukan pengukuran pada saat baru masuk perguruan tinggi dan satu tahun setelahnya agar dapat diketahui apakah terdapat perubahan setelah satu tahun menjalani kuliah.
5.
Sebaiknya pihak fakultas memberikan informasi mengenai gambaran kehidupan perkuliahan di fakultas Psikologi UI sehingga mahasiswa tahun pertama tidak kekurangan informasi dan menjadi lebih mudah beradaptasi dengan situasi perkuliaan.
6.
Sebaiknya pihak fakultas mensosialisasikan adanya pusat konsultasi di fakultas Psikologi sehingga mahasiswa yang mengalami stres psikologis yang tinggi dapat segera mendapatkan bantuan.
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. C., Elias, H., Mahyuddim, R., & Uli, J. (2009). Adjustment amongst first tear students in a Malaysian University. European Journal of Social Sciences Vol. 8, No. 3 Abe, Jin., Talbot, D. M. & Geelhoed, R. J. (1998). Effects of a peer program on international student adjustment. Journal of College Student Development Vol. 39, No. 6 Al-Qaisy, Lama M. (2010). Adjustment of College Freshmen: the Importance of Gender and the Place of Residence. International Journal of Psychological Studies Vol. 2, No. 1; June 2010 Baker, R. W. & Siryk, B. (1984). Measuring adjustment to college. Journal of Counseling Psychology Vol. 31, No. 2, 179-189 Chickering, A.W.,& Schlossberg, N.K. (1995). Getting the Most out of College. Needham Heights, MA: Allyn and Bacon. Davis, D.L. (2011). Gambaran Masalah Penyesuaian Diri Pada Mahasiswa Tahun Pertama Universitas Indonesia. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia. Downey, Paul. (2005). An exploration of the adjustment processes of freshmen studentathletes and non-athlete students. Disertasi: West Virginia University Eshun, S. (2006). Realtionship between outlook to life and college adjustment: an analysis of the role of optimism in stress appraisal and overall mental health among college students. Nova Science Publisher, Inc, page 187-201. Fanti, Kostas Andrea. (2005). The parent-adolescent relationship and college adjustment over the freshman year. Psychology Theses. Paper 4 Fogle, Gretchen. (2012). Stress and Health in College Students. Thesis: Ohio State University Gall, T.L., Evans, D.R., & Bellerose, S. (2000). Transition to first-year university: pattern of change in adjustment across life domains and time. Journal of Social and Clinical Psychology, Vol. 19 (4), 544-567. Goodwin, C.J. (2008). A History of Modern Psychology. Hoboken: John Wiley & Sons, Inc. Hutz, A., Martin, W. E.., & Beitel, M. (2007). Ethnocultural Person-Environment Fit and College Adjusment: Some Implications for College Counselors. Journal of College Counseling Volume 10
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
Kumar, R. (2005). Research methodology: A step by step guide for beginners. London: Sage Publications. Lazarus, R. S. (1976). Pattern of Adjusment 3rd ed. Tokyo: McGraw-Hill, Inc Markam, S.S. (2005). Pengantar Psikologi Klinis. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press) Misra, R. & Castillo, L. G. (2004). Academic Stress Among College Students: Comparison of American and International Students. International Journal of Stress Management , Vol. 11, No. 2, 132–148 Misra, R & McKean, M. (2000). College students' academic stress and its relation to their anxiety, time management, and leisure satisfaction. American Journal of Health Studies 16. 1 (2000): 41-51. Mirowsky, J. & Ross, C. E. (1989). Social cause of psychological distress. New York: Aldine de Gruyter. Mirowsky, J. & Ross, C.E. (2003). Social cause of psychological distress. New York: Aldine de Gruyter National Health Ministries. (2006). Stress & The College Student. PC(USA) Rev. 2.2006 Pallant, J. (2011). SPSS Survival Manual (4th Ed.). New South Wales: Allen Unwin. Pfeiffer, Denise. (2001). Academic and environmental stress among undergraduate and graduate college students: a literature review. The Graduate School University of Wisconsin-Stout Menomonie, WI 54751 Rice, P. L. (1999). Stress and Health 3rd Edition. California: Brooks/Cole Publishing Company. Rose, S. E., Niebling, B. C., & Heckert, T. M. (1999). Sources of stress among college students. College Student Journal; Jun99, Vol. 33 Isuue 2, p312, 6p, 1 chart. Taylor, M. A. & Pastor, D. A. (2005). A confirmatory factor analysis of the student adaptation to college questionnaire. Association of Institutional Research, San Diego, CA. Waller, Tremayne. O. (2009). A mixed method approach for assessing the adjustment of incoming first-year engineering students in a summer bridge program. Dissertation: Graduate Faculty of The Virginia Polytechnic Institute and State University. Winter, M.G. & Yaffe, M. (2000). First year student adjustment to university life as a function of relationship with parents. Journal of Adolescent Research, 15: 19-37.
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013
Journal of College Student Development, 41, 202–214; Winter M.G., Yaffe M. (2000) Young, Kimball. (1940). Personalitiy and problems of adjustment. New York: Appleton Century Crofts.
Hubungan antara..., Fitri Tasliatul Fuad, FPsi UI, 2013