HUBUNGAN ANTARA FANTASY PRONENESS DENGAN MEDICAL STUDENT SYNDROME PADA MAHASISWA PSIKOLOGI DI PERGURUAN TINGGI JAKARTA Putri Dewinta Universitas Bina Nusantara, Jl. Kebon Jeruk Raya No. 27. Kebon Jeruk Jakarta Barat 11530.
[email protected]
ABSTRACT Psychology Students often perform appreciation of learning that can be seen from how they consider that they have a certain psychological disorders. This phenomenon is referred to an earlier study that discussed the aspects of fantasy proneness and medical student syndrome. Both aspects underlying this research, which aims to see whether there is a significant relationship between fantasy proneness with medical student syndrome in Psychology student at the University in Jakarta. With the number of respondents in 3 Faculty of Psychology at the University of Jakarta is 120 people, the results of this study indicate that the significance of the value of the correlation coefficient of 0.750. Referring to the theory Sugiyono (2010), the correlation value means that the relationship between variables is strong. Therefore, it can be concluded that there is a significant relationship between fantasy proneness with medical student syndrome in Psychology student at the University of Jakarta. Keywords: Fantasy Proneness, Medical Student Syndrome, Psychology Student, Psychological disorder
ABSTRAK Mahasiswa Psikologi seringkali melakukan penghayatan pembelajaran yang dapat dilihat dari bagaimana dirinya menganggap bahwa ia memiliki gangguan Psikologis tertentu. Fenomena tersebut diacukan pada penelitian sebelumnya yang membahas mengenai aspek fantasy proneness dan medical student syndrome. Kedua aspek tersebut mendasari penelitian ini, yang bertujuan untuk melihat apakah terdapat hubungan yang signifikan antara fantasy proneness dengan medical student syndrome pada mahasiswa Psikologi di Perguruan Tinggi Jakarta. Dengan jumlah responden di 3 Fakultas Psikologi di Perguruan Tinggi Jakarta sebanyak 120 orang, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa signifikansi nilai koefisien korelasi sebesar 0,750. Mengacu pada teori Sugiyono (2010), nilai korelasi tersebut memiliki arti bahwa hubungan antar variabel bersifat kuat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara fantasy proneness dengan medical student syndrome pada mahasiswa Psikologi di Perguruan Tinggi Jakarta. (PD) Kata Kunci: Fantasy Proneness, Medical Student Syndrome, Mahasiswa Psikologi, Gangguan Psikologi
PENDAHULUAN Seorang mahasiswa sejatinya menjalani kegiatan sehari-hari yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Aktivitas pembelajaran ini pun tentunya berkaitan dan sesuai dengan bidang studi yang diambil oleh mahasiswa itu sendiri. Berbagai asupan pengetahuan dan informasi pada umumnya diberikan melalui sebuah metode tertentu agar ilmu yang ingin disampaikan dapat diterima dengan baik. Pemahaman mahasiswa akan bidang keilmuannya dapat memacu penjiwaan atau penghayatan terhadap bidang ilmu yang dipelajarinya. Nasution (dalam Kunandar, 2009) mengungkapkan bahwa hakikat hasil belajar adalah terdapat adanya suatu perubahan pada individu, tidak hanya mengenai pengetahuan, tetapi juga bagaimana dirinya membentuk kecakapan dan penghayatan sebagai seorang
individu yang belajar. Joni (1985) pun menyatakan bahwa besarnya kadar pembelajaran berhubungan dengan adanya kesempatan dalam menghayati peristiwa yang ada, dimana hal ini berperan sebagai pembentukan sikap dan internalisasi nilai-nilai. Pada mahasiswa Psikologi, pemahaman yang mendalam terhadap ilmu pengetahuan dan informasi yang didapat selama proses pembelajaran tentunya juga sudah seharusnya dilakukan. Menurut Lahey (2009), Psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai tingkah laku dan proses mental. Ilmu Psikologi pun juga identik dengan pembelajaran mengenai gangguan-gangguan psikologis atau kesehatan mental. Menurut Nevid, Rathus, & Greene (2005), gangguan psikologis atau gangguan mental adalah sebuah klasifikasi perilaku abnormal yang didalamnya meliputi gangguan fungsi psikologis atau gangguan mental. Istilah-istilah tersebut merupakan istilah yang lazim digunakan di bidang Psikologi, yang kemudian secara mendetail akan dipelajari dalam mata kuliah Psikologi Klinis atau pembelajaran mengenai Psikologi Abnormal. Berdasarkan keputusan Asosiasi Penyelenggara Pendidikan Tinggi Psikologi Indonesia (2010), mengenai kurikulum inti program studi Psikologi jenjang sarjana, mata kuliah Psikologi Klinis ditetapkan sebagai mata kuliah inti yang harus ada didalam kurikulum pembelajaran Psikologi. Demi menilik lebih dalam lagi mengenai mahasiswa Psikologi, dilakukan preliminary study dengan metode kuesioner pada tanggal 15 Agustus 2013 pada mahasiswa Psikologi Universitas Bina Nusantara yang telah mendapatkan mata kuliah Psikologi Klinis, yaitu kuesioner mengenai pandangan akan terdapat atau tidak terdapatnya gangguan psikologis didalam diri individu. Hasil dari kuesioner tersebut menunjukkan bahwa 21 responden merasakan terdapat suatu gangguan psikologis tertentu didalam dirinya. Kuesioner ini secara garis besar menjelaskan bahwa mahasiswa Psikologi Universitas BINUS melakukan penghayatan dalam sebuah pembelajaran yang sekiranya menimbulkan kepekaan terhadap kondisi psikologisnya sendiri. Hal ini mengacu pada gangguangangguan yang disebutkan oleh responden yang menyatakan bahwa mereka merasakan terdapat gangguan seperti Phobia, Depression, Obessive-Compulsive Disorder, Generalized Anxiety Disorder, Bipolar, dan sebagainya. Pembahasan yang lebih mendalam didukung oleh hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 5 Desember 2013 dengan 5 responden kuesioner dan juga bersama 7 mahasiswa Psikologi Universitas Bina Nusantara yang sedang mempelajari pembelajaran Psikologi Klinis. Wawancara tersebut berisi pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang lebih mendetail mengenai pembelajaran Psikologi Klinis. Berdasarkan hasil wawancara, dapat diketahui bahwa 4 dari 5 narasumber memiliki kecenderungan untuk membayang-bayangkan gejala gangguan psikologis yang dipelajari selama di perkuliahan. Pemicu dari kecenderungan ini dirasakan disebabkan oleh kemiripan antara ciri-ciri gangguan psikologis yang ada didalam teori dengan apa yang ada pada diri narasumber. Sedangkan berdasarkan hasil diskusi yang dilakukan, lima dari tujuh mahasiswa dalam diskusi itu pun mengakui bahwa mereka memiliki anggapan-anggapan bahwa mereka mengidap suatu gangguan psikologis tertentu. Lebih mendalam, seorang mahasiswa dengan inisial ES mengaku bahwa dirinya merasa bahwa pembelajaran Psikologi Klinis memberikan pengaruh yang signifikan didalam kehidupan sehari-harinya, dimana ia memiliki diagnosa yang ditarik dari dirinya sendiri bahwa ia memiliki gangguan yang diperkirakan berasal dari sifat genetik dari keluarganya yang diakuinya memiliki kerentanan dalam depresi. Lain halnya dengan mahasiswa berinisial FJ, yang menyadari sebuah perilaku yang sejatinya dimiliki mahasiswa Psikologi, yaitu kecenderungan untuk memberikan judgment yang dirasakan tidak memiliki dasar yang kuat. FJ pun juga mengakui bahwa dirinya pun cenderung untuk mengaitkan gangguan-gangguan psikologis yang ia pelajari dalam mata kuliah Psikologi Klinis dengan apa yang ada dalam dirinya atau orang disekitarnya. Melebarkan lingkup fenomena, penelitian ini tidak sekedar membahas situasi yang hanya terjadi pada mahasiswa Psikologi Bina Nusantara. Wawancara (terlampir) juga dilakukan dengan 5 mahasiswa Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, 4 mahasiswa Psikologi Universitas Tarumanagara, dan 2 mahasiswa Psikologi Universitas Persada Indonesia YAI. Hasil yang didapat ialah bahwa 4 dari mahasiswa Psikologi Atma Jaya juga mengalami situasi yang sama, dimana gangguan psikologis yang dirasakan beberapa diantaranya adalah Obessive Compulsive Disorder, Bipolar Disorder, dan Psychosomatic. Sedangkan 2 dari mahasiswa Psikologi Tarumanagara merasakan gangguan psikologis yaitu depresi. Dimana hal ini diakui dirasakan karena terdapat perasaan-perasaan bahwa dirinya tidak berharga, payah dalam berbagai hal, tidak berguna, dan bodoh. Tak jauh berbeda dengan 2 mahasiswa Psikologi YAI yang juga merasakan ada gangguan dalam dirinya, dimana salah satunya tidak keberatan untuk menyebutkan bahwa ia merasa bahwa ia memiliki gangguan halusinasi. Halusinasi tersebut ia rasakan karena dirinya merasa bahwa ketika sedang sendiri, terdapat sosok lain yang mengawasinya. Fenomena yang terjadi pada mahasiswa Psikologi ini mengundang rasa ingin tahu lebih dalam. Berbagai asumsi bermunculan mengenai kecenderungan mahasiswa Psikologi untuk
mengaitkan apa yang ia pelajari mengenai gangguan mental dan psikologis tertentu dengan apa yang ada didalam dirinya, yang dapat membawa kedalam penarikan diagnosa tanpa dasar yang kuat. Pengkajian literatur pun dilakukan untuk membentuk asumsi atas kejadian yang diamati. Sebuah jurnal mengenai Medical Student Syndrome (MSS) dirasakan dapat dijadikan acuan didalam penelitian ini. Lyddy (2003), bahwa Medical Student Syndrome ialah sebuah kondisi yang secara umum dilaporkan oleh seorang mahasiswa kedokteran dan juga mahasiswa dengan disiplin ilmu seasal, seperti ilmu Psikologi. Woods, dkk (dalam Candel dan Merckelbach, 2003) juga menjelaskan bahwa MSS bukan berarti menunjukkan kebenaran akan sebuah patologi, melainkan bahwa hal tersebut datang dari kemampuan individu dalam bidang tersebut. Penelitian yang lebih mendalam dilakukan oleh Hardy & Calhoun (1997), yang mengambil sampel mahasiswa psikologi yang mempelajari Psikologi Abnormal di University of North Carolina, Charlotte dan menemukan hasil ahwa kekhawatiran akan kesehatan psikologis mereka meningkat setelah mereka mempelajari mata kuliah tersebut. Osborne, LaFuze, dan Perkins (2013) menyadari bahwa beberapa mahasiswa yang sudah menyelesaikan mata kuliah Psikologi Abnormal menganggap bahwa mereka sudah dapat menegakkan diagnosa. Menurut Colman (2009), MSS sering terjadi pada mahasiswa Psikologi, dimana ketika mahasiswa mulai untuk mempelajari gangguan mental dan mulai meyakini bahwa ia menderita gangguan yang ada dalam buku yang ia baca. Dari pengkajian literatur-literatur yang telah dilakukan, diasumsikan bahwa Medical Student Syndrome (MSS) serupa dengan fenomena yang terjadi dengan pada mahasiswa psikologi. Dalam penelitian Candel & Merckelbach (2003), diungkapkan bahwa terjadinya MSS berhubungan dengan tingginya tingkat fantasy proneness yang ada dalam diri individu. Berdasarkan jurnal penelitian mengenai Medical Student Syndrome (MSS) yang dilakukan pada mahasiswa kedokteran tahun ketiga dan keempat Universitas Maastricht, Candel dan Merckelbach (2003) mendapatkan hasil bahwa fantasy proneness muncul sebagai prediktor yang lebih kuat akan terjadinya sebuah MSS. Candel dan Merckelbach (2003) memberikan inti pada hasil penelitiannya bahwa meningkatnya level fantasy proneness dapat memungkinkan kerentanan para mahasiswa undergraduate saat mereka menghubungkan pengetahuan teknis yang didapat dengan gejala tubuh yang secara samar-samar mereka rasakan. Hal ini dikarenakan individu tersebut akan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berfantasi dan berkhayal, serta akan memilki kecenderungan untuk merasakan sensasi yang intens. Berdasarkan teori Wilson dan Barber, Novella (2007) membagi fantasy proneness menjadi dua karakteristik yang berbeda, yaitu: (1) tingkat fantasi dan kreativitas yang tinggi; dan (2) kurangnya kemampuan dalam menafsirkan kenyataan serta kecenderungan untuk memiliki rasa sensasi yang tinggi. Kedua karakteristik ini diasumsikan berkaitan dengan hasil survei mengenai fenomena yang terjadi pada mahasiswa Psikologi Universitas Atma Jaya, Tarumanagara, dan YAI. Karakteristik pertama dikaitkan dengan respon 4 narasumber yang memberikan informasi bahwa mereka memiliki kecenderungan untuk membayang-bayangkan bagaimana sekiranya gejala atau gangguan psikologi tersebut ada didalam dirinya. Keempat mahasiswa Psikologi Atma Jaya mengalami situasi dimana gangguan psikologis yang dirasakan beberapa diantaranya adalah Obessive Compulsive Disorder, Bipolar Disorder, dan Psychosomatic. Sedangkan 2 dari mahasiswa Psikologi Tarumanagara merasakan gangguan psikologis yaitu depresi. Sedangkan karakteristik kedua berkaitan dengan kecenderungan narasumber yang menafsirkan kehidupan nyatanya dengan apa yang diungkapkan dalam pembelajaran gangguan psikologis di perkuliahannya. Tak jauh berbeda dengan 2 mahasiswa Psikologi YAI yang juga merasakan ada gangguan dalam dirinya. Karakteristik kedua yaitu rasa sensasi yang tinggi berhubungan dengan apa yang didapat dari hasil wawancara pada mahasiswa Universitas Tarumanagara, dimana salah satu narasumber mengatakan bahwa ia mengaku merasakan perasaan-perasaan bahwa dirinya tidak berharga, payah dalam berbagai hal, tidak berguna, dan bodoh. Sebuah penelitian yang membahas mengenai fantasy proneness dan medical student syndrome dirasakan perlu dilakukan mengingat efek yang berkemungkinan muncul didalam diri individu yang kemudian memberikan sebuah dampak dikehidupannya. Collier (2008) mengatakan bahwa efek dari membayang-bayangkan suatu permasalahan kesehatan dapat menyebabkan kegelisahan yang nyata. Lebih jauh lagi, menurut Dyrbye, dkk (dalam Waterman, 2011), hal ini dapat membuat mahasiswa mengalami jumlah tekanan psikologis yang berat, stres dalam menjalani ujian, kegelisahan yang berhubungan dengan pengalaman klinis yang baru, dan juga lingkungan yang menjadi terasa kompetitif. Menurut Ahmadi (2009), sebuah fantasi bukan berari tidak memiliki keburukan. Keburukan dari fantasi ialah bahwa seseorang dapat meninggalkan alam kenyataan, lalu masuk dalam alam fantasinya. Hal ini merupakan suatu bahaya, karena dari hal tersebut seseorang dapat terbawa hidup dalam alam yang tidak nyata. Kring, Johnson, Davidson, & Neale (2009) mengatakan bahwa saat mahasiswa membahas gangguan kepribadian, beberapa dari hal tersebut
mungkin akan sesuai dengan diri sendiri maupun orang lain. Dari waktu ke waktu, individu berperilaku, berpikir, dan berperasaan seperti apa yang ditunjukkan dalam gejala gangguan kepribadian, tetapi gangguan kepribadian yang sebenarnya didefinisikan oleh cara yang ekstrim, tidak fleksibel, dan maladaptif yang ditunjukkan oleh sifat ini. Selain itu, gejala-gejala dari sebuah gangguan kepribadian yang benar-benar ada itu bersifat menjalar dan tetap. Penelitian ini dapat membantu mahasiswa Psikologi agar dapat mempertimbangkan lebih baik lagi sebelum masuk kedalam kesimpulan dari judgment yang akan ia buat, serta mahasiswa dapat cukup untuk waspada akan kesehatan psikologis tanpa harus mendapat tekanan akan sebuah perkiraan adanya gangguan dalam dirinya yang belum tentu ada. Woods, dkk (dalam Candel & Merckelbach, 2003) mengatakan bahwa walaupun banyak yang sadar akan fenomena yang terjadi, tetapi penelitian sistematis yang dilakukan jumlahnya tidak banyak. Hal-hal ini pun merupakan suatu aspek yang dirasakan menjadi dasar akan betapa mendesak dan pentingnya sebuah penelitian harus dilakukan untuk menjawab fenomena yang ada. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan ini akan membahas apakah fantasy proneness memiliki hubungan yang signifikan atau tidak signifikan dengan medical student syndrome pada mahasiswa Psikologi di Perguruan Tinggi Jakarta. Banyaknya mahasiswa Psikologi yang merasa bahwa dirinya memiliki sebuah gangguan psikologis tertentu merajuk kepada pemikiran bahwa terdapat aspek fantasy proneness di dalam diri mahasiswa. Rumusan permasalahan yang dapat ditarik ialah ‘Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara fantasy proneness dengan medical student syndrome pada mahasiswa Psikologi di Perguruan Tinggi Jakarta’. Berdasarkan pertanyaan penelitian diatas, maka tujuan dari penelitian ini ialah untuk melihat ada atau tidak adanya hubungan yang signifikan antara fantasy proneness dengan medical student syndrome pada mahasiswa Psikologi di Perguruan Tinggi Jakarta.
METODE PENELITIAN Berdasarkan jenis sampling, penelitian ini merupakan penelitian Non-Probability dengan bentuk Convenience sampling. Menurut Pujiati & Rusliah (1995), Non-probability sampling adalah teknik dimana seluruh anggota populasi tidak memiliki peluang yang sama untuk dijadikan sebuah sampel dari penelitian yang dilakukan. Teknik Non-probability sampling juga merupakan teknik dimana peneliti tidak mengetahui besarnya populasi dan tidak dapat mendaftarkan siapa saja yang ada didalamnya (Gravetter & Forzano, 2012). Sedangkan convenience sampling menurut Shaughnessy, Zechmeister, & Zechmeister (2009), adalah jenis teknik yang melibatkan pemilihan utama responden berdasarkan kesediaannya dan kemauannya untuk merespon. Berdasarkan perspektifnya, penelitian yang akan dilakukan ini menggunakan tipe penelitian kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Penelitian kuantitatif ialah penelitian yang akan dianalisis secara statistik, yaitu berupa angka (Seniati, Yulianto, dan Setiadi, 2011Berdasarkan fungsinya, penelitian ini merupakan penelitian korelasional. Menurut Bordens & Abbott (2002), dalam penelitian korelasional, hal utama adalah untuk menentukan apakah dua atau lebih variabel bersifat kovarian, hal ini untuk membentuk hubungan, besaran, dan bentuk dari hubungan yang telah diamati. Penelitian korelasional berarti ketika terdapat perubahan di satu variabel, maka variabel lainnya akan terjadi perubahan juga. Alat ukur yang digunakan untuk variabel fantasy proneness merupakan alat ukur yang diadaptasi penulis, yang sebelumnya telah dikembangkan secara empiris oleh Merckelbach, Horselenberg, & Muris (2001) yang bernama The Creative Experiences Questionnaire (CEQ) yang terdiri dari 25 item. Alat ukur ini berangkat dari teori fantasy proneness yang dipelopori oleh Wilson & Barber. Skala yang digunakan adalah skala Guttman, dengan pilihan jawaban Ya atau Tidak. Dalam pengukuran variabel Medical Student Syndrome, dilakukan pengadaptasian alat ukur Medical Student Syndrome Questionnaire (MSS-Q) yang dikonstruksikan oleh Candel & Merckelbach (2003). Alat ukur untuk mahasiswa kedokteran ini akan disesuaikan menjadi alat ukur yang ditujukan pada mahasiswa Psikologi. MSS-Q merupakan alat ukur yang berisi 6 item yang menggunakan skala Likert, dengan skor 1 – 5 yang mengukur perasaannya mengenai seberapa serius gangguan tersebut.
HASIL DAN BAHASAN Berdasarkan uji normalitas yang telah dibahas sebelumnya, data yang didapat merupakan data yang berdistribusi normal. Oleh karena itu, analisa korelasi yang digunakan adalah analisa korelasi Pearson Product-Moment. Hasil dari perhitungan korelasi melalui software IBM SPSS Statistics (version 21) menunjukkan data sebagai berikut: Tabel 4.4 Korelasi Fantasy Proneness & Medical Student Syndrome
Correlations FP Pearson Correlation FP
MSS
Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
MSS
1
.750**
120
.000 120
.750**
1
.000 120
120
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Sumber: Hasil Olah Data SPSS Berdasarkan hasil analisa korelasi dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa nilai signifikansi korelasi ialah sebesar 0,750, dimana korelasi ini signifikan pada level 0,01. Menurut Sugiyono (2010), interpretasi hasil koefisien korelasi dapat dikategorisasikan sebagai berikut: • Skor 0,00 – 0,199 = sangat rendah • Skor 0,20 – 0,399 = rendah • Skor 0,40 – 0,599 = sedang • Skor 0,60 – 0,799 = kuat • Skor 0,80 – 1,000 = sangat kuat Dari perhitungan data dan teori yang ada, maka nilai signifikasi korelasi antara fantasy proneness dengan medical student syndrome termasuk kedalam kategori korelasi yang kuat, yaitu dengan skor 0,750. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara fantasy proneness dengan medical student syndrome pada mahasiswa Psikologi Di Peruguruan Tinggi Jakarta. Penelitian ini menunjukkan nilai signifikansi yang bersifat kuat, dengan indeks koefisien korelasi sebesar 0,750, yang menunjukkan bahwa hipotesis nol (H0) ditolak dan hipotesis alternatif (Ha) diterima. Hasil ini menunjukkan hubungan yang positif antara variabel, yaitu apabila dalam diri individu terdapat fantasy proneness yang tinggi, maka medical student syndrome juga tinggi, begitupula sebaliknya, jika dalam diri individu terdapat fantasy proneness yang rendah, maka medical student syndrome nya pun juga rendah. Wilson dan Barber (dalam Fromm dan Nash, 1992) mengatakan bahwa fantasy proneness ialah kerentanan individu untuk berfantasi, dimana ia menghabiskan banyak waktunya dalam dunia yang ia buat sendiri, yaitu dunia dalam gambaran, khayalan, dan fantasi. Wilson dan Barber (dalam Krippner & Powers, 1997) mendeskripsikan penemuannya akan sekelompok individu yang memiliki istilah “fantasy addicts”, “fantasy-prone personalities” dan “fantasizers”. Individu dengan fantasy proneness memiliki keterlibatan yang sifatnya mendalam dan memakan waktu yang panjang didalam fantasi dan imajinasi. Wilson dan Barber (dalam Nash & Barnier, 2009) juga mengatakan bahwa individu yang dideskripsikan memiliki fantasy proneness yang tinggi terkadang bingung antara fantasi dan kenyataan. Tingginya skor fantasy proneness yang ada dapat dijelaskan oleh teori Wilson dan Barber (1983) yang mengatakan bahwa sebuah fantasi dapat berkembang semenjak kecil. Dimana dimasa kanak-kanaknya, individu mengembangkan fantasinya yang berangkat dari dongeng atau cerita fiktif yang didapatinya semenjak kecil-kecil. Hal ini memiliki makna bahwa pada umumnya orang dewasa terdekat dapat membacakan dongeng atau cerita yang bergaya dramatis terhadap anak-anak, serta memuji (praise) anak apabila ia memiliki keyakinan akan hal tersebut. Sutarto (dalam Yus, 2010) mengatakan bahwa semenjak kecil individu sudah diperkenalkan oleh orang tua akan berbagai cerita rakyat yang ada di Nusantara. Sebuah dongeng merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Bahkan seringkali dongeng-dongeng yang diperkenalkan tersebut menjadi inspirasi bagi seorang anak dalam bertingkah laku dan bercita-cita. Dongeng seperti sebuah tradisi lisan yang memiliki peran penting dalam masa pertumbuhan ahlak anak-anak. Sebab, selain pendidikan, sebuah dongeng juga memiliki unsur hiburan. Pesan mulia tersebut diharapkan mampu membawa anak-anak
pada alam kehidupan sehari-hari yang lebih baik. Tjahjono (dalam Yus, 2010) mengatakan bahwa mendongeng seolah menjadi budaya dikalangan orang tua. Sudah menjadi kebiasaan bagi orang tua untuk membacakan cerita Si Kancil, atau Timun Mas sebelum anaknya tidur. Meskipun cerita dalam dongeng tersebut fiktif, namun kesan yang ditimbulkannya bisa menciptakan daya fantasi anak, yang menyebabkan anak menjadi sangat menyukai dongeng dan cerita fantasi tersebut. Selain itu, fungsi dongeng ialah sebagai sarana 'pengembaraan' anak. Sebab dengan mendengarkan sebuah dongeng, fantasi dan daya cipta anak akan mengembara sesuai alur cerita dalam dongeng. Saat itulah biasanya unsur pendidikan dan pembinaan moral dapat 'disusupkan' dalam benak anak-anak. Sue, Sue, & Sue (2010) menjelaskan bahwa medical student syndrome (MSS) adalah kecenderungan seseorang yang berpikir bahwa dirinya memiliki gangguan tertentu yang dijelaskan didalam teori, dimana hal ini dikarenakan sebuah pengalaman yang dimiliki dan juga kecenderungan untuk membandingkan fungsi diri dengan persepsi mengenai fungsi yang ada dalam diri orang lain. Sue, Sue, & Sue berpendapat bahwa menjadi makhluk hidup berkenaan dengan kesulitan dan masalah didalamnya. Dapat dimengerti bahwa MSS adalah keadaan ketika seseorang membaca mengenai sebuah gangguan, hal tersebut dapat membawanya untuk merasakan bahwa ia, teman, atau relatifnya memiliki gangguan yang sebenarnya tidak ada.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil pengambilan dan pengolahan data didalam penelitian ini, diperoleh hasil bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara fantasy proneness dengan medical student syndrome, dimana hasil nilai signifikansi korelasi yang ada ialah sebesar 0,750. Hasil yang didapat ini merupakan hasil perhitungan dengan software IBM SPSS Statistics (version 21). Seperti yang telah dibahas pada bab 4, dari perhitungan data dan teori yang ada, maka nilai signifikasi korelasi antara fantasy proneness dengan medical student syndrome termasuk kedalam kategori korelasi yang kuat. Diketahui bahwa hubungan yang ada antara kedua variabel merupakan hubungan yang searah, dimana semakin tinggi nilai dari variabel fantasy proneness maka semakin tinggi pula nilai dari variabel medical student syndrome, sebaliknya, semakin rendah nilai dari variabel fantasy proneness, maka semakin rendah pula nilai dari variabel medical student syndrome individu. Dapat disimpulkan dari uraian hasil penelitian ini bahwa hipotesis nol (H0) ditolak dan hipotesis alternatif (Ha) diterima, yang berarti terdapat hubungan antara fantasy proneness dengan medical student syndrome pada mahasiswa Psikologi di Perguruan Tinggi Jakarta. Dalam penelitian ini, rencana yang telah disusun dengan pelaksanaan yang terjadi tidak terlepas dari keterbatasan-keterbatasan yang menjadikan adanya kekurangan didalamnya. Dalam pengambilan sampel penelitian, perbedaan regulasi kurikulum dan perbedaan waktu akademik pada masing-masing perguruan tinggi menjadi sebuah pacuan untuk mengerahkan usaha yang lebih giat lagi agar bisa mendapatkkan sampel yang sesuai dengan karakteristik didalam penelitian ini. Keterbatasan informasi yang bersifat konfidensial di masing-masing Universitas tersebut juga berupa kurikulum Psikologi yang berlaku didalamnya, dimana perencanaan mata kuliah Psikologi yang ada serta pembagian pembelajaran mengenai gangguan-gangguan Psikologis tidak hanya disampaikan melalui mata kuliah Psikologi Klinis dan Psikologi Abnormal. Meskipun penyampaian materi gangguan-gangguan Psikologis tidak diberikan secara komprehensif (seperti pada mata kuliah Psikologi Klinis) pada jenis mata kuliah lainnya, tetapi hal ini menjadi keterbatasan didalam penelitian karena diperlukannya informasi tambahan mengenai seberapa banyak mahasiswa yang sudah dapat dikatakan menguasai gangguan tersebut yang sekiranya juga dapat dijadikan sampel penelitian. Hal ini juga berarti bahwa informasi konfidensial ini membutuhkan penelitian lebih lanjut di Fakultas Psikologi dimasing-masing perguruan tinggi tersebut. Selain itu, keterbatasan informasi mengenai jumlah data mahasiswa di masing-masing perguruan tinggi juga membuat penelitian ini tidak mengetahui jumlah populasi. Sebuah saran teoritis diharapkan dapat memberikan pencerahan terhadap penelitian selanjutnya, yaitu: (1) Penelitian ini masih memiliki keterbatasan-keterbatasan kontrol subjek. Oleh karena itu, alangkah baiknya apabila penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil penelitian yang dilakukan. Penelitian selanjutnya dapat meneliti lebih dalam mengenai apakah terdapat faktor pembelajaran lain dalam kurikulum Psikologi selain pembelajaran dari mata kuliah Psikologi Klinis atau Psikologi Abnormal. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat mata kuliah lain yang berkemungkinan berkontribusi untuk menyebabkan adanya sebuah medical student syndrome. (2) Penelitian ini baru membahas mengenai ada atau tidaknya hubungan antara fantasy proneness dengan medical student syndrome pada mahasiswa Fakultas Psikologi di
Perguruan Tinggi Jakarta dengan Akreditasi A. Disarankan agar penelitian selanjutnya dapat mengambil populasi penelitian yang lebih luas lagi agar penelitian dapat bermanfaat bagi mahasiswa Psikologi di Perguruan Tinggi manapun. Selain itu terdapat saran praktis yang dapat digunakan sebagai informasi tambahan bagi pembaca atau untuk mengembangkan penelitian selanjutnya. Kecenderungan individu untuk berfantasi dapat memberikan dampak yaitu mengurangi kualitas hidupnya apabila sudah pada taraf yang mengganggu. Individu dapat mengatasi dengan cara melakukan kontrol diri, seperti misalnya meningkatkan konsentrasi atau membuat dirinya sadar penuh akan lingkungan dan apa yang ia pikirkan. Memiliki kesadaran akan kecenderungan berfantasi dalam diri dapat menjadi sebuah pengingat bagi individu agar tidak berkembang dan berdampak pada suatu hal yang tidak diinginkan. Beralih kedalam pembahasan mahasiswa yang memiliki medical student syndrome, hal ini dapat diatasi dengan cara mengembangkan pemikiran yang kritis, selain itu, mahasiswa dapat menanganinya dengan cara merefleksikan model pembelajaran yang sebelumnya telah dijelaskan (Osborne, LaFuze, & Perkins, 2013). Hal ini bertujuan agar mahasiswa cukup sadar tentang dirinya sendiri dan juga sadar untuk menjadi pelajar yang menggunakan informasi dengan baik, serta mempertimbangkan aspek-aspek yang sekiranya perlu untuk sangat diperhatikan dalam menegakkan diagnosa akan sebuah gangguan mental atau psikologis. Saran lainnya merupakan saran akademis yang ditujukan bagi para pendidik yang memiliki wewenang untuk mengajarkan mata kuliah Psikologi yang khususnya membahas gangguan atau penyakit psikologis, agar memberikan informasi mengenai adanya kemungkinan akan medical student syndrome yang dapat terjadi dalam diri mahasiswa. Mengacu pada Osborne, LaFuze, & Perkins (2013), didalam sebuah sesi pembelajaran, ketika asumsi-asumsi mahasiswa muncul, sebaiknya lakukan sebuah tugas studi kasus dengan tingkat kesukaran yang tinggi untuk melakukan pengukuran yang akurat, yang melibatkan tantangan dalam mengembangkan sebuah evaluasi strategi pengobatan yang akan digunakan. Hal ini dipercaya akan membantu mahasiswa untuk meraih pemahaman akan sebuah kompleksitas proses klinis.
REFERENSI Ahmadi. A. (2009). Psikologi umum. Jakarta: PT Rineka Cipta. Asosiasi Penyelenggara Pendidikan Tinggi Psikologi Indonesia. (2010). Kurikulum inti program studi psikologi, diakses 22 Januari 2014, 20.05 dari http://ap2tpi.or.id/index.php?option=com_k2&view=item&task=download&id=6&Itemid=116 Candel, I., & Merckelbach, H. (2003). Fantasy proneness and thought suppression as predictors of the medical student syndrome. Personality and Individual Differences, 35, 519-524. Collier, R. (2008). Imagined illnesses can cause real problem for medical students. Canadian Medical Association Journal, 178(7), 820. Colman, A.M. (2009). A dictionary of Psychology. Oxford: Oxford University Press. Fromm, E., & Nash, M.R. (1992). Contemporary hypnosis research. New York: Guildford Press. Gravetter, F. J., & Forzano, L. B. (2012). Research methods for the behavioral sciences, 4th edition, International edition. Belmont: Wadsworth, Cengage Learning. Hardy, M.S., Calhoun, L.G. (1997). Psychological distress and the “Medical Student Syndrome” in abnormal psychology students. Teaching of Psychology, 24, 192-193. Joni, R.T. (1992). Peningkatan mutu pendidikan dasar dan menengah melalui strategi pembelajaran aktif (cara belajar siswa aktif) dan pembinaan profesional guru, kepala sekolah, penilik dan pengawas sekolah serta pembina lainnya. Jakarta: Depdikbud. Kring, A.M, Davidson, G.C., Neale, J.M., & Johnson, S.L. (2009). Abnormal Psychology. New Jersey: Wiley. Krippner, S. & Powers, S.M. (1997). Broken images, broken selves, dissociative narratives in clinical practice. Washington: Brunner/Mazel Inc. Kunandar. (2009). Langkah mudah penelitian tindakan kelas sebagai pengembang profesi guru. Jakarta: Rajawali Press. Lahey, B. B. (2009). Psychology: An introduction. New York: McGraw-Hill. Lyddy, F. (2003). Medical Student Syndrome. BPS Journals, 16, 11. Merckelbach, H., Horselenberg, R., & Muris, P. (2001). The creative experiences questionnaire (CEQ): A brief self-report measure of fantasy proneness. Personality and Individual Differences, 31, 987-995. Nash, M.R., & Barnier, A.J. (2009). The oxford handbook of hypnosis: Theory, research, and practice. Oxford: Oxford University Press. Nevid, J.S., Rathus, S.A., & Greene, B. (2005). Psikologi abnormal, edisi kelima, jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Novella, S. (2007). The fantasy prone personality. Neurologica blog, diakses 25 Oktober 2013, 21.00 dari http://theness.com/neurologicablog/index.php/the-fantasy-prone-personality/ Osborne, R.E, LaFuze, J., Perkins, D. (2013). Case analysis for abnormal psychology: Learning to look beyond the symptoms. Philadelphia: Psychology Press. Pujiati, A. S. & Rusliah, N. (1995). Penggunaan r dalam psikologi. Jakarta: Pustaka Setia. Seniati, L. Yulianto, A., & Setiadi, B. N. (2009). Psikologi eksperimen. Jakarta: PT. Indeks. Shaughnessy, J.J., Zechmeister, E.B., & Zechmeister, J.S. (2009). Research methods in Psychology, eight edition. New York: McGraw-Hill. Sue, D., Sue, D.W., & Sue, S. (2010). Understanding abnormal behavior: Eight edition. Belmont: Cengage Learning. Sugiyono. 2009. Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan r&d. Bandung : Alfabeta. Waterman, L. (2011). Does medical school lead students to repeatedly visit the doctor with concerns about having serious health problems?. A Cross-Sectional Study of ‘Medical Student Syndrome. Wilson, S.C., & Barber, T.X. (1983). The fantasy-prone personality: Implications for understanding imagery, hypnosis, and parapsychological phenomena. In: A.A. Sheikh, (ed) Imagery: Current theory, research and application. New York: Wiley; 340-90. Woods, dkk. (1966). Medical student’s disease: Hypochondriasis in medical education. Journal of Medical Education, 41, 785-790.
RIWAYAT PENULIS Putri Dewinta lahir di Jakarta pada tanggal 22 Februari 1992. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang Psikologi pada tahun 2014. Penulis aktif di organisasi AIESEC LC Bina Nusantara.