Hubungan antara Religiusitas dan Penerimaan Mitos Pemerkosaan pada Mahasiswa Laki-Laki Perguruan Tinggi Agama di Jakarta dan Sekitarnya Meika Marlina Primaningrum, Adriana Soekandar Ginanjar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia e-mail:
[email protected],
[email protected]
Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi adanya fenomenaa kasus kekerasan seksual terhadap perempuan berupa pemerkosaan yang pelakunya termasuk pemuka agama di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara religiusitas dan penerimaan mitos pemerkosaan pada mahasiswa laki-laki perguruan tinggi agama dengan rentang usia 17-25 tahun. Hal ini karena laki-laki cenderung menjadi pelaku kekerasan seksual serta pada rentang usia tersebut mereka cenderung memiliki aktivitas seksual yang tinggi. Mahasiswa laki-laki dari perguruan tinggi agama sendiri merupakan mahasiswa yang diharapkan akan menjadi tokoh masyarakat yang nantinya akan berkontribusi kepada masyarakat dengan berpegang teguh pada ajaran-ajaran agama yang mereka pelajari di perguruan tinggi. Penelitian ini merupakan penelitian korelasional dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini menggunakan teknik nonprobability sampling dengan sampel penelitian berjumlah 158 orang. Peneliti menggunakan alat ukur MRPI (Muslim Religiosity Personality Inventory) untuk mengukur religiusitas dan alat ukur IRMAS (Illinois Rape Myth Acceptance Scale) untuk mengukur mitos pemerkosaan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan negatif yang signifikan antara religiusitas dan penerimaan mitos pemerkosaan (r= -0,252; n=158; p<0,01). Artinya semakin tinggi religiusitas partisipan maka penerimaan mitos pemerkosaannya semakin rendah. Kata Kunci: mahasiswa laki-laki; penerimaan mitos pemerkosaan; perguruan tinggi agama; religiusitas.
Correlation between Religiosity and Rape Myth Acceptance of Male College Students from Religious College in Jakarta and the Surrounding Areas Abstract This research conducted because of the sexual violence phenomenon towards women, such as rape which had done by some religious leaders in Indonesia. This research aims to determine the relationship between religiosity and rape myth acceptance among male college students from religious college/institution with age range from 17-25 years old. This because they tend to be perpetrators, besides on thus age range they tend to have high sexual activity. The reason because male college students from religious institution itself are expected to be a public figure who will contribute to society by holding fast to the religious issues and teachings of the religion they learned in college. This research uses the correlational method with quantitative approach. Participants of this research were 158 male college students which collected with nonprobability sampling technique. Researcher use MRPI (Muslim Religiosity Personality Inventory) to measure religiosity and IRMAS (Illinois Rape Myth Acceptance Scale) to measure rape myth acceptance. The result shows there is a negative significant correlation between religiosity and rape myth acceptance (r= -0,252; n=158; p<0,01). This means that the higher participants’ religiosity, their rape myth acceptance are lower. Keywords: male college students; rape myth acceptance; religiosity; religious college/institutions.
1
Hubungan Antara..., Meika Marlina Primaningrum, FPSI UI, 2014
Pendahuluan Akhir-akhir ini di Indonesia sedang banyak terjadi kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh tokoh/pemuka agama. Hal tersebut dibuktikan salah satunya melalui media massa, seperti kasus pemerkosaan pendeta terhadap mahasiswa di Sumatera Utara (Gaol, 2010), kasus pemerkosaan guru mengaji kepada santrinya hingga memiliki anak di Sidoarjo (Susanto, 2013), kasus pemerkosaan guru mengaji kepada muridnya hingga hamil di Medan dan Jakarta (Budi, 2013; Kusuman, 2013), kasus pemerkosaan guru agama kepada siswanya di Jakarta (Romadhoni, 2013), dan kasus pemerkosaan ustad yang berdalih mengobati kepada siswi SMA di Bekasi (“Berdalih Mengobati”, 2014). Selain kasus-kasus tersebut, masih banyak kasus serupa yang tidak terungkap media. Kasus pemerkosaan oleh pemuka agama ini tentunya sangat disayangkan karena pemuka agama dipandang sebagai tokoh dengan religiusitas tinggi (Sarwono, 2013) yang berperan membimbing serta menuntun masyarakat dalam menjalankan nilai-nilai agama (bnnpsulsel.com, 2013) serta memiliki peran strategis sebagai agen perubahan sosial dan pembangunan (Subhan, 2013). Religiusitas sendiri merupakan suatu keadaan di dalam diri individu yang mendorong individu berperilaku sesuai tingkat ketaatan terhadap agama yang dianutnya (Jalaluddin, 2012). Setiap agama memiliki aturan tentang seksualitas yang melarang adanya perilaku seksual di luar pernikahan dan bertentangan dengan moral, termasuk pemerkosaan. Selain itu, agama juga mengajarkan adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan (Shiojiri, 2005; Sudarwati, 2013). Oleh karena itu, individu dengan religiusitas yang tinggi diharapkan memahami dan menaati aturan agama terkait seksualitas dan juga memahami kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Namun kenyataannya selama ini agama dijadikan dasar menolak kesetaraan laki-laki dan perempuan melalui interpretasi kitab agama yang seksis yang mayoritas dilakukan oleh interpreter laki-laki (Moghaddam, 2007; Franiuk & Shain, 2011; Marzuki, 2011; Sofiani, 2013). Interpretasi ayat-ayat kitab agama dipengaruhi oleh pandangan interpreternya yang terbentuk dari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat serta persepsinya sendiri (Moghaddam, 2007). Di dalam masyarakat kita, budaya patriarki masih dipegang kuat (Retnowulandari, 2010). Sistem patriarki dan status perempuan sebagai warga kelas kedua di dunia dipengaruhi secara kuat oleh agama, yakni melalui interpretasi ayat-ayat kitab agama yang seksis (Albee & Perry, 1998; Starr 1991, dalam Franiuk & Shain, 2011; Baroroh, 2002). Sistem patriarki 2
Hubungan Antara..., Meika Marlina Primaningrum, FPSI UI, 2014
sendiri dapat menghasilkan ideologi pemerkosaan di dalam masyarakat (Edwards, Turchik, Dardis, Reynolds, & Gidycz, 2011). Akibat dari status perempuan yang dipandang subordinat dari laki-laki, perempuan korban kekerasan seksual cenderung disudutkan sebagai pihak yang harus bertanggung jawab terhadap kekerasan yang mereka alami (Baroroh, 2002). Perempuan korban seringkali dianggap sebagai penyebab maupun pemberi peluang terjadinya pemerkosaan karena cara berpakaiannya, bahasa tubuhnya, caranya berelasi sosial, pekerjaannya, maupun karena keberadaannya pada waktu dan lokasi tertentu (Komnas Perempuan, 2012). Beberapa tokoh masyarakat, seperti Marzuki Ali, Fauzi Bowo, dan Ramli Mansur, serta seorang tokoh agama, Ruslan berpendapat bahwa pemerkosaan terjadi karena perempuan berpakaian minim, menggunakan rok mini, dan tidak menutup aurat sesuai ketentuan syariah Islam (Latif, Widjaya, & Afrianti, 2011; Kurniawati, 2012; Gatra, 2012). Selain itu, calon Hakim Agung, Daming Sanusi berpendapat bahwa korban dan pelaku pemerkosaan sama-sama menikmati pemerkosaan yang terjadi (Iqbal, 2013). Semua pendapat tersebut mengarah pada mitos pemerkosaan (rape myth), yakni persepsi dan keyakinan yang salah serta tidak berdasarkan fakta mengenai pemerkosaan, korban pemerkosaan, dan pelaku pemerkosaan yang tersebar luas dan dipegang teguh masyarakat (Burt, 1980; Payne, Lonsway, & Fitzgerald, 1999). Padahal berdasarkan fakta tidak semua korban pemerkosaan mengenakan pakaian yang mengundang pelaku pemerkosaan (Yolandasari, 2013). Pemerkosaan dapat terjadi pada perempuan yang mengenakan piyama tidur di kamar, jins di kampus, dan bahkan saat mengenakan burqa (pakaian tertutup yang dipakai perempuan Muslim) (Pawestri, 2011; Poerwandari, 2008). Perempuan korban pemerkosaan pun tidak menikmati peristiwa pemerkosaan yang terjadi. Mereka merasa sangat tersiksa, terancam, ketakutan, dan tak berdaya ketika diperkosa sehingga seringkali tidak dapat melawan (Matlin, 2008). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penerimaan mitos pemerkosaan (rape myth acceptance) oleh populasi laki-laki secara umum menjadi faktor yang mungkin mendasari terjadinya pemerkosaan (Burt, 1980, dalam Hoven, 2005; Bohner, Siebler, & Schmelcher, 2006; Smith, 2002; Iconis, 2008; Lonsway & Fitzgerald, 1994). Penelitian kuasieksperimental juga menunjukkan hasil bahwa pelaku pemerkosaan memiliki tingkat penerimaan mitos pemerkosaan lebih tinggi daripada bukan pelaku pemerkosaan (Bohner, Siebler, & Schmelcher, 2006). 3
Hubungan Antara..., Meika Marlina Primaningrum, FPSI UI, 2014
Penelitian mengenai hubungan antara religiusitas dan penerimaan mitos pemerkosaan belum banyak dilakukan. Penelitian Freymeyer (1997) dan penelitian Sheldon dan Parent (2002) mengenai kedua variabel tersebut menunjukkan hasil yang kurang lebih sama, yakni semakin tinggi religiusitas seseorang maka semakin tinggi mitos pemerkosaan yang ia miliki. Penelitian mengenai religiusitas dan penerimaan mitos pemerkosaan penting untuk dilakukan di Indonesia karena belum ada penelitian mengenai kedua variabel tersebut. Selain itu, di Indonesia saat ini sedang banyak terjadi fenomena pemerkosaan oleh pemuka agama, seseorang yang dianggap memiliki religiusitas yang tinggi dan dijadikan tokoh panutan masyarakat. Penelitian yang telah ada mengenai kedua variabel tersebut baru dilakukan di negara-negara barat dengan menggunakan populasi dan sampel agama Kristen, dimana mungkin akan terdapat perbedaan hasil dengan penelitian pada agama-agama lainnya (Freymeyer, 1997; Edwards, dkk., 2011). Edwards, dkk. (2011) juga menyatakan sangat dibutuhkan penelitian empiris mengenai mitos pemerkosaan di dalam institusi keagamaan selain Kristen. Dari pemaparan-pemaparan tersebut, peneliti ingin mengetahui hubungan antara religiusitas dan penerimaan mitos pemerkosaan di Indonesia, dimana mayoritas penduduknya beragama Islam. Penelitian dilakukan pada mahasiswa laki-laki dari jurusan yang berkaitan dengan keagamaan di perguruan tinggi agama. Sampel penelitian ini berasal dari perguruan tinggi agama Islam di Jakarta. Mahasiswa laki-laki dari perguruan tinggi agama nantinya diharapkan dapat menjadi tokoh-tokoh yang berkecimpung dalam bidang-bidang yang berkaitan dengan agama (Groome, 1998, dalam Spilka, 2003; Muhammad, 2011). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan serta arah hubungan antara religiusitas dan penerimaan mitos pemerkosaan pada mahasiswa laki-laki perguruan tinggi agama di Jakarta dan sekitarnya. Penelitian ini menggunakan alat ukur MRPI (Muslim Religiosity Personality Inventory) untuk mengukur religiusitas yang dibuat oleh Krauss (2005; 2011) dan IRMAS (Illinois Rape Myth Acceptance Scale) yang dikembangkan oleh Payne, Lonsway, dan Fitzgerald (1999) untuk mengukur penerimaan mitos pemerkosaan. Tinjauan Teoritis Religiusitas: Definisi dan Perkembangan Konsep
4
Hubungan Antara..., Meika Marlina Primaningrum, FPSI UI, 2014
Definisi religiusitas oleh Johnson, Jang, Larson, dan De Li (2001, dalam Krauss, 2005, hlm. 34) sebagai “sejauh mana individu menaati ajaran agama yang dianutnya dan merefleksikan ketaatannya tersebut dalam sikap dan perilaku sehari-harinya”. Glock dan Stark (1965, dalam Krauss, 2005) telah mengelompokkan area religiusitas menjadi lima dimensi, yakni dimensi ideological, dimensi ritualistic, dimensi experiential, dimensi intelektual, dan dimensi consequential. Serajzadeh (1998, dalam Krauss 2005) mengadaptasi kelima dimensi religiusitas menurut Glock dan Stark tersebut untuk mengukur religiusitas Islam. Menurutnya, agama Islam, Yahudi, dan Kristen merupakan agama monoteistik yang memiliki kesamaan elemen di dalam kitab suci masing-masing. Namun Krauss (2005) berpendapat bahwa meskipun religiusitas model Glock dan Stark dapat diadaptasi untuk mengukur religiusitas Islam, model tersebut tidak adekuat dalam merefleksikan pandangan dan keistimewaan komunitas religius nonKristen-Yahudi. Oleh karena itu Krauss (2005) merumuskan konsep religiusitas Islam untuk mengukur religiusitas pada populasi Muslim. Religiusitas Islam terdiri dari dua aspek berupa pemahaman dan kesadaran tauhid bahwa Tuhan itu satu sebagai sumber beribadah serta adanya pengamalan kesadaran tersebut dalam perilaku sehari-hari (Krauss, 2005). Religiusitas Islam terdiri dari dua dimensi, yaitu Islamic worldview dan Religious Personality. Islamic worldview mengukur tingkat pemahaman prinsip kunci teologis tertentu dari kepercayaan Islam. Dimensi ini terjadi dari dua subdimensi, berupa worldly dan spiritual. Subdimensi worldly mengukur tingkat kepercayaan serta pemahaman kesesuaian antara Islam dan penerapannya dalam kehidupan dunia. Sedangkan subdimensi spiritual mengukur tingkat kepercayaan serta pemahaman hubungan Tuhan dengan makhluk-Nya dan realitas spiritual lainnya. Dimensi religious personality merepresentasikan pengalaman religious worldview di dalam perbuatan yang tepat berdasarkan kesadaran terhadap adanya Tuhan. Dimensi ini terdiri dari subdimensi berupa ritual dan muamalat. Subdimensi ritual mengukur perilaku, emosi, sikap,
dan
motivasi yang berhubungan dengan ritual. Subdimensi muamalat
mengukur perilaku, emosi, sikap interpersonal dan intrapersonal. Religiusitas dan Perilaku Seksual Setiap agama memiliki aturan tentang seksualitas dan pengendalian seksual. Agama menyebabkan rasa malu, bersalah, takut, dan cemas untuk berbagai variasi dosa-dosa seksual sehingga agama berfungsi sebagai kontrol perilaku seksual (Spilka, dkk., 2003). Spilka, dkk. (2003), merangkum penelitian-penelitian mengenai beberapa karakteristik orang-orang yang 5
Hubungan Antara..., Meika Marlina Primaningrum, FPSI UI, 2014
religius. Karakteristik-karakteristik tersebut di dalam buku Spilka, dkk. (2003) berupa orangorang yang religius menunjukkan sikap lebih menentang aborsi (Bryan & Freed, 1993), perceraian (Hayes & Hornsby-Smith, 1994), pornografi (Lottes, Weinberg, & Weller, 2001), seksualitas sebelum pernikahan (premarital sexuality) (Bibby, 2001), perempuan dengan dada terbuka di pantai (Herold, Corbesi, & Collins, 1994,), dan sebagainya. Orang-orang yang religiusnya tinggi juga lebih mendukung pernikahan (Hayes & Hornsby-Smith, 1994), peran seks tradisional (Larsen & Long, 1988), dan penyensoran seks serta kekerasan di dalam media massa (Fisher, Cook, & Shirkey, 1994). Penerimaan Mitos Pemerkosaan Penerimaan mitos pemerkosaan didefinisikan sebagai prejudis, stereotip atau kepercayaan yang salah mengenai pemerkosaan, korban pemerkosaan, dan pelaku pemerkosaan yang menciptakan iklim kekerasan terhadap korban pemerkosaan (Burt, 1980). Sementara itu, Lonsway dan Fitzgerald (1994, dalam Payne, Lonsway, & Fitzgerald, 1999) mendefinisikan kembali mitos pemerkosaan yang dibuat oleh Burt (1980) sebagai sikap dan kepercayaan yang secara umum salah tetapi dipegang secara luas dan terus menerus oleh masyarakat, serta digunakan untuk menyangkal dan membenarkan agresi seksual laki-laki terhadap perempuan. Definisi yang digunakan dalam penelitian ini ialah definisi mitos pemerkosaan oleh Lonsway dan Fitzgerald (1994). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Mitos Pemerkosaan Burt (1980) menyebutkan terdapat tiga variabel sikap yang mempengaruhi penerimaan mitos pemerkosaan. Pertama yaitu stereotip peran jenis kelamin, merujuk pada batasanbatasan kepantasan peran laki-laki dan perempuan dalam konteks keluarga, pekerjaan, dan sosial. Kedua, keyakinan permusuhan seksual, merupakan anggapan bahwa hubungan seksual pada dasarnya bersifat manipulatif, licik, menipu, sulit dipahami, dan tidak sepantasnya dipercaya. Terakhir, penerimaan kekerasan interpersonal, merupakan pemahaman bahwa pemaksaan dan ancaman merupakan cara yang sah untuk memperoleh kerelaan pasangan khususnya dalam hubungan intim dan seksual (Yolandasari, 2013). Anderson, Cooper, dan Okamura (1997) berpendapat bahwa kepercayaan terhadap peran gender tradisional juga dapat memengaruhi penerimaan mitos pemerkosaan seseorang. Selain variabel sikap, terdapat juga faktor demografis yang dapat memprediksi penerimaan mitos pemerkosaan, yakni jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan, serta status 6
Hubungan Antara..., Meika Marlina Primaningrum, FPSI UI, 2014
pernikahan (Burt, 1980). Hasil penelitian Burt juga menunjukkan bahwa secara tidak langsung usia dan pendidikan seseorang berhubungan dengan penerimaan mitos pemerkosaan. Semakin muda usia seseorang dan semakin baik pendidikan yang diperolehnya penerimaan mitos pemerkosaan seseorang juga rendah. Perkembangan Konsep dan Alat Ukur Penerimaan Mitos Pemerkosaan Burt (1980) membuat alat ukur penerimaan mitos pemerkosaan yang dinamakan RMAS (Rape Myth Acceptance Scale). Seiring berkembanganya penelitian dan studi tentang penerimaan mitos pemerkosaan, beberapa peneliti menemukan kekurangan-kekurangan alat ukur yang diciptakan oleh Burt (1980) tersebut. Oleh karena itu, pada tahun 1994, Lonsway dan Fitzgerald (dalam Payne, Lonsway, & Fitzgerald, 1999) membuat definisi dan konseptualisasi ulang konsep penerimaan mitos pemerkosaan. Selain itu, mereka juga menciptakan alat ukur IRMAS (Illinois Rape Myth Acceptance Scale) untuk mengatasi kekurangan-kekurangan RMAS. IRMAS menggunakan model hirarki, yakni gabungan antara model unidimensional dan model multidimensional dengan sebuah komponen/faktor umum berupa penerimaan mitos pemerkosaan dan tujuh (7) komponen/faktor spesifik mitos pemerkosaan atau disebut juga subskala. Tujuh subskala tersebut yaitu: 1. Perempuan meminta dirinya diperkosa (She ask for it/SA 2. Pemerkosaan sebenarnya tidak terjadi (It wasn’t really rape/NR) 3. Laki-laki tidak bermaksud memperkosa (He didn’t mean to/MT) 4. Perempuan ingin diperkosa (She really wanted it/WI) 5. Perempuan berbohong (She lied/Li) 6. Pemerkosaan adalah perkara sepele (Rape is a trivial event/TE) 7.
Pemerkosaan adalah kejadian menyimpang (Rape is a deviant event/DE)
Dinamika Hubungan antara Religiusitas dan Penerimaan Mitos Pemerkosaan Pemerkosaan muncul karena adanya ketimpangan kuasa dimana ketimpangan kuasa ini biasanya berakar dari sistem patriarki di dalam masyarakat (Komnas Perempuan). Sistem patriarki seringkali menjunjung tinggi dominasi kaum laki-laki dan menempatkan perempuan di bawah laki-laki (Franiuk & Shain, 2011). Sistem patriarki dan status perempuan di dunia dipengaruhi secara kuat oleh agama (Albee & Perry, 1998; Starr, 1991, dalam Franiuk & Shain, 2011). Adanya pandangan mengenai ketidakadilan gender di dalam agama biasanya disebabkan oleh interpretasi kitab suci agama yang mayoritas dilakukan oleh para laki-laki 7
Hubungan Antara..., Meika Marlina Primaningrum, FPSI UI, 2014
(Moghaddam, 2007; Marzuki, 2011; Franiuk & Shain, 2011; Sofiani, 2013). Interpretasi yang seksis tersebut terkadang menghilangkan poin-poin tertentu yang sebenarnya mendukung hakhak perempuan (Shaaban, 1995, dalam Franiuk & Shain, 2011). Pandangan mengenai ketidakadilan gender ini menjadi salah satu dasar penyebab adanya mitos pemerkosaan (Franiuk & Shain, 2011). Individu yang semakin religius cenderung memiliki sikap terhadap peran gender yang lebih tradisional (Mueller, 1983, dalam Freymeyer, 1997). Penemuan Lonsway dan Fitzgerald (1994, dalam Freymeyer, 1997) menunjukkan bahwa individu yang memiliki sikap terhadap peran gender tradisional memiliki penerimaan mitos pemerkosaan yang lebih besar. Seseorang yang memiliki penerimaan mitos pemerkosaan yang lebih besar akan cenderung terlibat ke dalam perilaku seksual agresif, termasuk pemerkosaan. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian korelasional dengan pendekatan kuantitatif. Karakteristik partisipan dalam penelitian ini adalah mahasiswa laki-laki yang belum menikah dan terdaftar di perguruan tinggi agama jurusan keagamaan. Partisipan penelitian berasal dari beberapa fakultas dan jurusan di salah satu perguruan tinggi agama Islam di Jakarta (Fakultas Ushuluddin, Fakultas Dirasat Islamiyah, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan jurusan Pendidikan Agama Islam, dan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi) serta dari sebuah Universitas Kristen di Jakarta jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) agama Kristen. Pengambilan data dilakukan menggunakan teknik accidental sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 158 orang dari populasi mahasiswa laki-laki dari perguruan tinggi agama di Jakarta dan sekitarnya. Hipotesis Penelitian Ha: Terdapat hubungan yang signifikan antara skor religiusitas dari alat ukur MRPI dan skor penerimaan mitos pemerkosaan dari alat ukur IRMAS pada mahasiswa laki-laki dari perguruan tinggi agama. Ho: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara skor religiusitas dari alat ukur MRPI dan skor penerimaan mitos pemerkosaan dari alat ukur IRMAS pada mahasiswa laki-laki dari perguruan tinggi agama.
8
Hubungan Antara..., Meika Marlina Primaningrum, FPSI UI, 2014
Alat Ukur Penelitian ini menggunakan alat ukur MRPI (Muslim Religiosity Personality Inventory) yang dibuat oleh Krauss (2005) untuk mengukur religiusitas. MRPI yang digunakan hanya meliputi dimensi Islamic worldview (20 item) yang terdiri dari subdimensi worldly (14 item) dan subdimensi spiritual (6 item). Peneliti hanya menggunakan dimensi Islamic worldview karena pada penelitian Freymeyer (1997), aspek religiusitas berupa kepercayaan religius yang memiliki kemiripan dengan dimensi Islamic worldview memiliki peran lebih besar bagi mahasiswa laki-laki dalam menentukan tinggi rendahnya mitos pemerkosaan daripada aspek praktik religius.
Alat ukur ini telah diadaptasi oleh tim
penelitian payung Kekerasan Seksual agar dapat diaplikasikan secara universal pada agama monoteistik yang diakui di Indonesia (Islam, Kristen, dan Katholik). MRPI menggunakan skala Likert dengan rentang skala 1=Sangat Tidak Setuju (STS) sampai dengan 6=Sangat Setuju (SS). Koefisien reliabilitas untuk dimensi Islamic worldview dari MRPI sebesar 0,82 (Krauss, 2005).
Untuk mengukur variabel penerimaan mitos pemerkosaan, peneliti
menggunakan IRMAS (Illinois Rape Myth Acceptance Scale) yang dikembangkan oleh Payne, Lonsway, dan Fitzgerald (1999). IRMAS terdiri dari 40 item dan 5 filter items yang tidak diikutkan dalam penghitungan skor. Prosedur Pengambilan data dilakukan pada pertengahan November 2013 hingga Desember 2013. Pengambilan data dilakukan dengan cara membagikan kuesioner yang telah dimasukkan ke dalam amplop beserta alat tulis yang akan digunakan partisipan untuk mengisi kuesioner. Penggunaan amplop dalam pembagian kuesioner bertujuan untuk meyakinkan partisipan bahwa data yang mereka berikan benar-benar dijaga kerahasiaannya, mengingat pernyataan-pernyataan maupun pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner penelitian ini cukup sensitif. Prosedur pengolahan data dilakukan menggunakan Statistical Package for Social Science
(SPSS)
for
Windows dengan teknik analisis statistik berupa analisis statistik
deskriptif, Pearson Correlation Coefficient (r), dan independent sample t-test. Hasil Penelitian Gambaran Umum Partisipan Penelitian Tabel 1 9
Hubungan Antara..., Meika Marlina Primaningrum, FPSI UI, 2014
Gambaran Umum Karakteristik Partisipan Penelitian (N=158) Karakteristik Frekuensi Persentase (%) Usia 17-20 tahun (remaja) 83 52,53 21-25 tahun (dewasa muda) 65 41,14 Tidak menjawab 10 6,33 Semester 1 23 14,56 3 15 9,49 5 63 39,87 7 15 9,49 9 5 3,16 11 1 0,63 Tidak menjawab 36 22,78 Komunitas Keagamaan Ya 63 39,87 Tidak 60 37,97 Tanpa Keterangan 35 22,15 Tabel 2 Gambaran Umum Perilaku Seksual Partisipan (N=158) Perilaku Seksual Frekuensi Valid N Masturbasi Ya 90 Tidak 67 158 Tidak menjawab 1 Sexual Intercourse Ya 15 Lanjutan Tabel 2 Gambaran Umum Perilaku Seksual Partisipan
Persentase (%) 56,96 42,40 0,63 9,49
Perilaku Seksual Frekuensi Valid N Persentase (%) Tidak 143 158 90,51 Tidak Menggunakan Kondom ketika Melakukan Sexual Intercourse Ya 9 5,70 15 Tidak 6 3,80 Menolak permintaan pasangan Anda untuk menggunakan kondom ketika berhubungan seksual Ya 2 1,27 15 Tidak 13 8,23 Lanjutan Tabel 2 Memaksa Pasangan Melakukan Aktivitas Seksual yang Tidak Diinginkan Ya 10 6,33 158 Tidak 148 93,67
10
Hubungan Antara..., Meika Marlina Primaningrum, FPSI UI, 2014
Gambaran perilaku seksual partisipan bertujuan untuk melihat sejauh mana partisipan penelitian melakukan perilaku seksual pranikah dan sejauh mana partisipan penelitian terlibat dalam perilaku yang mengarah pada kekerasan seksual (dilihat berdasarkan tiga pertanyaan terakhir). Pertanyaan mengenai penggunaan kondom mengindikasikan kekerasan seksual karena terkait dengan keamanan dalam hubungan seksual (Walsh, Carey, & Senn, 2012; Wilson, Emerson, Donenberg, & Woods, 2012). Gambaran Skor Religiusitas Partisipan Penelitian Tabel 3 Gambaran Skor Religiusitas Partisipan Penelitian N Minimum Maksimum Worldly 158 2,43 6 Spiritual 158 1 6 MRPI Total 158 3,3 5,65
Mean 4,45 4,97 4,61
SD 0,65 0,81 0,51
Dari 158 partisipan penelitian, sebanyak 81 partisipan (51,26%) memiliki skor religiusitas di atas nilai rata-rata kelompok (≥ 4,61) dan 77 partisipan (48,73%) memiliki skor religiusitas di bawah nilai rata-rata kelompok (≤ 4,61). Gambaran Skor Penerimaan Mitos Pemerkosaan Partisipan Penelitian Tabel 4 Gambaran Skor Penerimaan Mitos Pemerkosaan Partisipan Penelitian Subskala N Minimum Maksimum Mean SD SA 158 1,13 6 4,08 0,82 NR 158 1 6 3,09 1 MT 158 1,6 6 4,42 0,78 WI 158 1,2 6 3,56 0,98 LI 158 1,2 6 3,83 0,90 TE 158 1 6 3,31 0,91 DE 158 1,57 6 3,74 0,78 IRMAS TOTAL 158 2,04 6 3,72 0,66 *Keterangan: SA (She ask for it)=perempuan meminta diperkosa NR (It wasn’t really rape)=pemerkosaan sebenarnya tidak terjadi MT (He didn’t mean to)=laki-laki tidak bermaksud memperkosa WI (She wanted it)=perempuan ingin diperkosa LI (She lied)=perempuan berbohong TE (Rape is a trivial event)=pemerkosaan adalah perkara sepele DE (Rape is deviant event)=pemerkosaan adalah kejadian menyimpang.
Dari 158 partisipan penelitian, 85 partisipan (53,79%) memiliki skor penerimaan mitos pemerkosaan di bawah rata-rata (≤3,72) dan sebanyak 73 partisipan (46,21%) memiliki skor 11
Hubungan Antara..., Meika Marlina Primaningrum, FPSI UI, 2014
penerimaan mitos pemerkosaan di atas rata-rata (≥3,72). Dapat disimpulkan bahwa lebih banyak partisipan yang memiliki skor penerimaan mitos pemerkosaan yang lebih rendah dari skor rata-rata. Hasil Utama Penelitian Tabel 5 Korelasi Skor Religiusitas dan Skor Penerimaan Mitos Pemerkosaan r Sig. (2-tailed) Keterangan MRPI-0,252** 0,001 Signifikan pada IRMAS LoS 0,01 Dari tabel 5 dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara religiusitas dan penerimaan mitos pemerkosaan pada mahasiswa laki-laki dari perguruan tinggi agama (r= 0,252; n=158; p<0,01). Korelasi yang didapatkan adalah negatif, artinya semakin tinggi skor religiusitas partisipan maka semakin rendah skor penerimaan mitos pemerkosaannya, begitu juga sebaliknya. Dari hasil tersebut juga diketahui bahwa nilai coefficient of determination (r2) sebesar 0,064 yang berarti bahwa sebesar 6,4% variansi skor penerimaan mitos pemerkosaan dapat dijelaskan oleh skor religiusitas, sedangkan 93,6% variansi yang lain dapat dijelaskan melalui faktor kebetulan, error, atau faktor lainnya yang tidak diukur atau tidak dijelaskan di dalam penelitian ini. Tabel 6 Korelasi Skor Subdimensi Islamic Worldview MRPI dan Skor Penerimaan Mitos Pemerkosaan (IRMAS) Subdimensi r Sig. (2-tailed) Keterangan Worldly -0,289** 0,000 Signifikan pada Spiritual 0,003 0,968 LoS 0,01 Berdasarkan Tabel 6, dapat dilihat bahwa hanya subdimensi worldly yang memiliki hubungan negatif dan signifikan dengan penerimaan mitos pemerkosaan (r = -0,289; N=158; p<0,01). Hal ini berarti semakin tinggi tingkat kepercayaan serta pemahaman individu tentang kesesuaian ajaran agama dengan kehidupan dunia, maka penerimaan mitos pemerkosaannya semakin rendah, demikian pula sebaliknya.
12
Hubungan Antara..., Meika Marlina Primaningrum, FPSI UI, 2014
Tabel 7 Korelasi Skor Subskala Penerimaan Mitos Pemerkosaan (IRMAS) dan Skor Religiusitas (MRPI) Sig. (2Subskala Penerimaan Mitos Pemerkosaan r tailed) Perempuan meminta diperkosa (SA) -0,068 0,396 Pemerkosaan sebenarnya tidak terjadi (NR) -0,330** 0,000 Laki-laki tidak bermaksud memperkosa (MT) 0,023 0,775 Perempuan ingin diperkosa (WI) -0,248** 0,002 Perempuan berbohong (LI) -0,087 0,276 Pemerkosaan adalah perkara sepele (TE) -0,422** 0,000 Pemerkosaan adalah kejadian menyimpang (DE) -0,194* 0,015 **. Korelasi signifikan pada LoS 0,01 *. Korelasi signifikan pada LoS 0,05
Hasil korelasi yang negatif dan signifikan pada subskala NR, WI, TE, dan DE dengan religiusitas sejalan dengan hasil pada Tabel 4, yakni rendahnya skor rata-rata partisipan penelitian pada semua subskala ini, kecuali subskala DE. Semua skor rata-rata subskala ketiga variabel tersebut, yakni NR (M=3,09), WI (M=3,56), dan TE (M=3,31) berada di bawah skor rata-rata IRMAS secara keseluruhan (M=3,72). Untuk subskala DE (M=3,74), skor rataratanya berada sedikit di atas skor rata-rata IRMAS secara keseluruhan (M=3,72). Untuk subskala lain yang tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan religiusitas memiliki skor rata-rata di atas skor rata-rata IRMAS secara keseluruhan (skor rata-rata yang tergolong tinggi). Hasil Analisis Tambahan Tabel 4.8 Perbandingan Skor Religiusitas Berdasarkan Gambaran Umum Partisipan Gambaran Umum N Mean t dan p Ket. Usia Partisipan 17-20 tahun (remaja) 84 3,75 t(146)= -4,22 Tidak 21-25 tahun (dewasa muda) 64 3,79 p=0,67 signifikan Komunitas Keagamaan Ya 63 3,86 t(121)=1,77 Tidak Tidak 60 3,69 p=0,79 signifikan Sexual Intercourse Ya 15 3,88 t(156)=0,99 Tidak Tidak 143 3,74 p=0,32 signifikan
13
Hubungan Antara..., Meika Marlina Primaningrum, FPSI UI, 2014
Tabel 4.9 Perbandingan Skor Penerimaan Mitos Pemerkosaan Berdasarkan Gambaran Umum Partisipan Data Demografi N Mean t dan p Ket. Usia Partisipan 17-20 tahun (remaja) 84 3,83 t(146)=2,32 Signifikan 21-25 tahun (dewasa muda) 64 3,58 p=0,021 Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara religiusitas dan penerimaan mitos pemerkosaan. Hasil penelitian ini berbeda dari hasil penelitian sebelumnya oleh Freymeyer (1997) serta Sheldon dan Parent (2012) yang menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara religiusitas dan penerimaan mitos pemerkosaan. Perbedaan hasil penelitian ini diduga terjadi diantaranya karena adanya perbedaan agama yang dianut oleh partisipan penelitian. Penelitian-penelitian sebelumnya mengenai religiusitas dan penerimaan mitos pemerkosaan banyak dilakukan di negara barat dan pada populasi agama Kristen (Freymeyer, 1997; Sheldon & Parent, 2002; Franiuk & Shain, 2011; Edwards, dkk., 2011). Sedangkan penelitian pada skripsi ini dilakukan di Indonesia dimana mayoritas penduduknya menganut agama Islam. Agama Islam seringkali dipandang sebagai agama yang paling menyalahkan korban pemerkosaan atas peristiwa pemerkosaan yang terjadi dibandingkan dengan agama-agama lainnya (Franiuk & Shain, 2011). Namun, berdasarkan studi-studi yang terus berkembang mengenai ajaran Al Quran dan sunah dalam agama Islam, Islam justru sangat menjunjung tinggi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan (Marzuki, 2008). Adanya pemahaman bahwa Islam memandang rendahnya status perempuan dan cenderung menyalahkan perempuan atas pelecehan seksual yang terjadi disebabkan masih adanya warisan pemahaman Islam dari para tokoh muslim tradisional dan diperkuat justifikasi agama (Marzuki, 2008). Adanya hubungan yang negatif pada penelitian ini diduga dipengaruhi perkembangan studi mengenai kesetaraan gender dalam agama Islam (Marzuki, 2008) dan adanya tokoh-tokoh akademisi dari perguruan tinggi agama Islam ini yang memiliki pemahaman bahwa Islam menjunjung kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan (Lubis, 2006). Oleh karena itu, mahasiswa dari perguruan tinggi ini diduga memiliki pemahaman yang tidak lagi mewarisi pemahaman kesetaraan gender dalam Islam dari ajaran tokoh muslim yang tradisional. 14
Hubungan Antara..., Meika Marlina Primaningrum, FPSI UI, 2014
Hal lainnya yaitu alat ukur yang peneliti gunakan untuk mengukur variabel religiusitas dalam penelitian ini pun berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Alat ukur religiusitas pada penelitian ini, yaitu Muslim Religiosity Personality Inventory (MRPI), menggunakan pendekatan worldview agama Islam sedangkan alat ukur religiusitas pada penelitian sebelumnya menggunakan pendekatan worldview dari agama Kristen-Yahudi (menggunakan dimensi religiusitas milik Glock & Stark). Perbedaan pendekatan yang digunakan ini mempengaruhi konseptualisasi religiusitas pada pembuatan alat ukur dimana menurut Krauss (2005), pendekatan worldview Islam tidak dapat diukur menggunakan pendekatan worldview Kristen-Yahudi. Worldview Islam menekankan pada pandangan tauhid (Tuhan itu satu). Selain hal-hal di atas, penelitian ini menggunakan konstruk unidimensional dari religiusitas. Peneliti hanya menggunakan dimensi Islamic worldview dari alat ukur MRPI. Islamic worldview hanya mengukur mengenai pemahaman individu terhadap konsep keesaan Tuhan dan prinsip kunci ajaran agama. Padahal pengukuran religiusitas akan lebih komprehensif hasilnya jika diukur menggunakan konstruk muldimensional, yakni mengukur baik aspek kepercayaan religius dan praktik religius individu (Ellison,1991; Ellison, Gay, & Glass, 1989; Kristensen, Pedersen, & Williams, 2001, dalam Holdcroft, 2006; Gorsuch & McFarland, 1972, dalam Krauss, 2005). Alat ukur MRPI sendiri sebenarnya mengukur juga aspek praktik religius melalui dimensi religious personality-nya. Hanya saja, dimensi ini tidak peneliti gunakan antara lain karena berdasarkan hasil penelitian Freymeyer (1997) yang menjelaskan bahwa aspek religiusitas berupa kepercayaan religius memiliki peran yang lebih besar dalam menentukan tinggi rendahnya penerimaan mitos pemerkosaan pada mahasiswa laki-laki. Berdasarkan hasil pengolahan data, diketahui bahwa korelasi antara religiusitas dan penerimaan mitos pemerkosaan cukup rendah (r= -0,252). Koefisien determinasi dari korelasi tersebut pun kecil (r2=0,064) yang artinya bahwa religiusitas hanya menjelaskan variansi penerimaan mitos pemerkosaan sebesar 6,4% sedangkan 93,6% variansi lainnya dapat terjadi karena faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor lainnya tersebut peneliti duga diantaranya berupa item-item di dalam alat ukur IRMAS yang lebih mencerminkan sikap laki-laki yang tidak ingin disalahkan dan menganggap pemerkosaan bukan sebagai hal besar (Payne, Lonsway, & Fitzgerald, 1999). Item-item di dalam IRMAS tidak mengandung keterkaitan antara aturan 15
Hubungan Antara..., Meika Marlina Primaningrum, FPSI UI, 2014
tertentu di dalam agama dengan pemerkosaan dan juga tidak membahas hal-hal yang berkaitan dengan religiusitas dan hubungannya dengan pemerkosaan. Hasil analisis berdasarkan data demografi partisipan penelitian menggunakan teknik statistik independent sample t-test, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan rata-rata skor religiusitas yang signifikan pada kelompok partisipan berdasarkan usia, keterlibatan dalam komunitas keagamaan, dan keterlibatan dalam sexual intercourse. Temuan ini sesuai dengan penjelasan dari beberapa sumber bahwa pada rentang usia emerging adulthood, tingkat religiusitas individu cenderung berada pada titik yang sama (Spilka, dkk., 2003; Lefkowitz, Gillen, Shearer, & Boon, 2004). Perbedaan tingkat religiusitas individu akan sangat terlihat ketika individu tersebut mulai memasuki tahap dewasa madya hingga dewasa akhir (Spilka, dkk., 2003). Tidak adanya perbedaan rata-rata skor religiusitas pada mahasiswa yang terlibat dan tidak terlibat dalam organisasi keagamaan peneliti duga terjadi karena semua partisipan di penelitian ini berasal dari perguruan tinggi Islam negeri yang memiliki visi misi ingin mengembangkan dan mengintegrasikan aspek ilmu pengetahuan dan keislaman (uinjkt.ac.id). Oleh karena itu institusi ini memasukkan mata kuliah mengenai agama Islam serta beberapa pembahasan terkait agama Islam ke dalam kurikulum belajar mahasiswa sehingga mereka memiliki pemahaman yang cenderung sama dalam hal yang berkaitan dengan materi keagamaan. Terlibat atau tidaknya individu di dalam perilaku sexual intercourse pun tidak memberikan perbedaan rata-rata skor religiusitas. Bibby (2001, dalam Spilka, dkk., 2003) menyebutkan bahwa ciri-ciri orang yang religius di antaranya menunjukkan sikap menentang perilaku seksual sebelum pernikahan. Penelitian Andisti dan Ritandiyono (2007) tentang perilaku seks pada dewasa muda menunjukkan bahwa semakin tinggi religiusitas individu maka semakin rendah perilaku premarital seksnya, dan sebaliknya. Religiusitas yang diukur dalam penelitian ini tidak meliputi aspek perilaku atau praktik religius sehingga tidak adanya perbedaan rata-rata skor religiusitas yang signifikan pada partisipan yang pernah atau tidak pernah terlibat dalam sexual intercourse dapat pula dipengaruhi hal ini. Sementara itu untuk variabel penerimaan mitos pemerkosaan, ditemukan bahwa terdapat terdapat perbedaan rata-rata skor penerimaan mitos pemerkosaan yang signifikan hanya pada kelompok partisipan usia remaja dan dewasa muda.
Adanya perbedaan rata-
rata skor penerimaan mitos pemerkosaan tersebut menjadi penemuan yang menarik dan perlu 16
Hubungan Antara..., Meika Marlina Primaningrum, FPSI UI, 2014
diteliti lebih lanjut. Hal tersebut karena berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya mengenai mitos pemerkosaan pada mahasiswa menunjukkan bahwa mitos pemerkosaan pada usia emerging adulthood atau rentang usia mahasiswa sarjana cenderung sama, yakni samasama tinggi (Iconis, 2008; Howe-Martin, 2006; Wiscombe, 2012). Hasil penelitian ini pun tidak sesuai dengan pernyataan Burt (1980) bahwa semakin muda usia seseorang, mereka cenderung memiliki penerimaan mitos pemerkosaan yang semakin rendah. Pada penelitian ini, justru partisipan pada kelompok usia remaja (17-20 tahun) memiliki skor rata-rata penerimaan mitos pemerkosaan yang lebih tinggi (M=3,83) daripada skor rata-rata partisipan pada kelompok usia dewasa muda (M=3,58). Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa hipotesis alternatif (Ha) yang peneliti ajukan diterima, yakni terdapat hubungan antara religiusitas dan penerimaan mitos pemerkosaan pada mahasiswa laki-laki perguruan tinggi agama di Jakarta dan sekitarnya. Korelasi yang diperoleh adalah negatif, artinya semakin tinggi religiusitas partisipan maka penerimaan mitos pemerkosaannya akan semakin rendah; begitu juga sebaliknya. Saran Saran Metodologis 1. Melakukan pengambilan data dengan cara classical di dalam suatu ruangan untuk mempermudah peneliti memberikan penjelasan terkait penelitian yang dilakukan, informed consent, ketentuan pengisian kuesioner, dan pengawasan terhadap proses pengisian kuesioner yang dilakukan partisipan. Peneliti juga dapat memeriksa kelengkapan pengisian kuesioner oleh partisipan dengan cara meminta partisipan untuk memeriksa kembali kuesioner yang telah diisi agar tidak ada yang terlewat. 2. Akan lebih baik jika pengambilan data juga dilakukan pada perguruan tinggi agama selain agama Islam dengan jumlah partisipan yang cukup banyak (perguruan tinggi agama Kristen dan Katholik). Hal ini bertujuan untuk mengetahui heterogenitas respon partisipan di dalam religiusitas maupun penerimaan mitos pemerkosaan. 3. Menggunakan alat ukur religiusitas yang mengukur konstruk religiusitas secara multidimensional, meliputi pemahaman dan pengetahuan terhadap ajaran agama serta praktik religius atau pengamalan ajaran agama dalam keseharian. 17
Hubungan Antara..., Meika Marlina Primaningrum, FPSI UI, 2014
4. Melakukan pembuatan norma untuk kedua variabel (religiusitas dan penerimaan mitos pemerkosaan) sebelum melakukan pengambilan data. Hal ini bertujuan agar peneliti dapat membuat kategori skor rendah/sedang/tinggi untuk kedua variabel sehingga hasil dan analisis penelitian akan lebih mendalam. Saran Praktis 1. Memberikan intervensi khusus kepada para mahasiswa dari perguruan tinggi agama berupa sosialisasi/penyuluhan mengenai kesetaraan gender dan konsep yang tepat tentang pemerkosaan yang sebenarnya. 2. Melakukan kajian-kajian atau diskusi-diskusi kecil mengenai konsep dan fakta pemerkosaan, ajaran kesetaraan gender yang sebenarnya di dalam agama, ajaran tentang seksualitas yang tepat sesuai dengan ajaran agama yang sebenarnya melalui organisasiorganisasi keagamaan yang ada di kampus-kampus. Daftar Pustaka Anderson, K. B., Cooper, H., dan Okamura, L. (1997). Abstrak: Individual differences and attitudes toward rape: a meta-analytic review. Personality and Social Psychology Bulletin (23), hlm. 295-325. Diakses dari http://pshlm.sagepub.com/content/23/3/295.abstract pada 23 September 2014 pukul 11.23 WIB. Andisti, M.A. & Ritandiyono. (2007). Hubungan antara religiusitas dan perilaku seks bebas pada dewasa awal. Jurnal Ilmiah Penelitian Psikologi. Jakarta: Lembaga Peneliian Universitas Gunadarma. Diakses dari http://ejournal.gunadarma.ac.id/index.php/psiko/article/view/88 pada 10 Desember 2013 pukul 09.29 WIB. Berdalih mengobati, ustad di Bekasi perkosa siswi SMA. (24 Februari 2014). Liputan 6. Diakses dari http://news.liputan6.com/read/835727/berdalih-mengobati-ustad-dibekasi-perkosa-siswi-sma pada 5 Maret 2014 pukul 13.08 WIB. Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Sulawesi Selatan. (2013). Peran serta tokoh agama merupakan salah satu kunci penting dalam mensukseskan program p4gn. Diakses dari http://bnnpsulsel.com/pemberdayaan-masyarakat/peran-serta-tokohagama-merupakan-salah-satu-kunci-penting-dalam-mensukseskan-program-p4gn/ pada 17 Desember 2013 pukul 10.57 WIB. Badan Pusat Statistik (BPS). (2010). Penduduk menurut wilayah dan agama yang dianut. Diakses dari http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321&wid=3100000000 pada 12 Maret 2014 pukul 15.49 WIB. Baroroh, U. (2002). Feminisme dan feminis muslim. Dalam N. Umar, Z. Masduki, S. S. Sukri, S. Mujibatun, U. Baroroh, F. Umma, dkk., & S. Suhandjati (Ed.), Pemahaman islam dan tantangan keadilan jender (hlm. 183-194). Yogyakarta: Gama Media. Budi, T. (2013). Guru ngaji diduga memerkosa dan sebarkan ajaran sesat. Diakses dari http://berita.plasa.msn.com/nasional/okezone/guru-ngaji-diduga-memerkosa-dansebarkan-ajaran-sesat pada 12 Desember 2013 pukul 10.02 WIB. 18
Hubungan Antara..., Meika Marlina Primaningrum, FPSI UI, 2014
Burt, M.R. (1980). Cultural myths and support for rape. Journal of Personality and Social Psychology 38(2), hlm.217-230. Diakses dari http://psycnet.apa.org/index.cfm?fa=buy.optionToBuy&id=1981-08163-001. Edwards, K.M., Turchik, J.A., Dardis, C.M., Reynolds, N., & Gidycz, C.A. (2011). Rape myths: history, individual and institutional-level presence, and implications for change. Feminist Forum, 65, hlm. 761-773. DOI: 10.1007/s11199-011-9943-2. Franiuk, R. & Shain, E.A. (2011). Beyond christianity: the status of women and rape myths. Feminist Forum, 65, hlm.783-791. DOI: 10.1007/s11199-011-9974-8. Gaol, B.L. (29 Januari 2010). Oknum pendeta diduga perkosa 19 mahasiswa. Diakses dari http://news.okezone.com/read/2010/01/28/340/298758/oknum-pendeta-didugaperkosa-19-mahasiswa pada 2 Februari 2014 pukul 11.13 WIB. Gatra, S. (6 Maret 2012). Marzuki ali: pelecehan seksual dipicu pakaian tak pantas. Diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2012/03/06/14273563/Marzuki.Ali.Pelec ehan.Seksual.Dipicu.Pakaian.Tak.Pantas pada 13 Desember 2013 pukul 13.27 WIB. Holdcroft, B. (2006). What is religiosity. Journal of Inquiry and Practice (10) 1, hlm. 89-103. Diakses dari http://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1006105.pdf pada 15 Desember 2013 pukul 11.28 WIB. Iconis, R. (2008). Rape myth acceptance in college students: a literature review. Comtemporary Issues Education Research, 1(2), 47-51. Iqbal, M. (15 Januari 2013). Pemerkosa & korban saling menikmati, Daming langgar kode etik hakim. Detik News. Diakses dari http://news.detik.com/read/2013/01/15/063828/2142152/10/2/pemerkosa--korbansaling-menikmati-daming-langgar-kode-etik-hakim , pada 23 Desember 2013 pukul 10.17 WIB. Jalaluddin. (2012). Psikologi agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). (2012). Kekerasan seksual: kenali dan tangani . Jakarta: Sub. Komisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan. Krauss, S.E. (2005). Development of the muslim religiosity-personality inventory for measuring the religiosity of Malaysian muslim youth (Master’s Thesis). Malaysia: Universiti Putra Malaysia. Krauss, S.E., & Hamzah, A. (2011). The muslim religiosity-personality inventory (MRPI) scoring manual. Malaysia: Universiti Putra Malaysia. Kurniawati, Y. (25 Januari 2012). Jangan Telanjangi Korban Perkosaan. Diakses dari http://sosbud.kompasiana.com/2012/01/25/jangan-telanjangi-korban-perkosaan433347.html pada 13 Desember 2013 pukul 14.39 WIB. Kusuma, E.F. (2013). Guru ngaji dipolisiskan karena diduga menghamili muridnya. Diakses dari http://news.detik.com/read/2013/10/24/114032/2394264/10/1/guru-ngajidipolisikan-karena-diduga-menghamili-muridnya pada 12 Desember 2013 pukul 10.18 WIB. Latif, S., Widjaya, I., & Afrianti, D. (18 September 2011). Rok mini dan keamanan warga perempuan. Diakses dari http://fokus.news.viva.co.id/news/read/248040-perkosaan-diangkot--rok-mini-disalahkan pada 13 Desember 2013 pukul 15.17 WIB. Lefkowitz, E.S., Gillen, M.M, Shearer, C.L., & Boon, T.L. (2004). Religiosity, sexual behaviors, and sexual attitudes during emerging adulthood. The Journal of Sex Research. 41 (2), DOI: DOI: 10.1080/00224490409552223 19
Hubungan Antara..., Meika Marlina Primaningrum, FPSI UI, 2014
Lonsway, K. A., & Fitzgerald, L. F. (1995). Attitudinal antecedents of rape myth acceptance: A theoretical and empirical reexamination. Journal of Personality and Social Psychology, 68(4), 704-711. doi:http://dx.doi.org/10.1037/0022-3514.68.4.704. Lubis, M.B. (2006). Argumen kesetaraan gender-perspektif al quran: satu ulasan. Diakses dari http://journalarticle.ukm.my/1076/1/Argumen_Kesetaraan_Gender-Perspektif_AlQuran.pdf. Marzuki. (2008). Studi tentang kesetaraan gender dalam berbagai aspek. Diakses dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/dr-marzuki-mag/dr-marzuki-magstudi-tentang-kesetaraan-gender-dalam-berbagai-aspek.pdf. Marzuki. (2011). Kekerasan gender dalam tafsir keagamaan perspektif islam. Diakses dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Dr.%20Marzuki,%20M.Ag./Dr.%Ma rzuki,%20M.Ag._.%20%20Kekerasan%20Gender%20dalam%20Tafsir%20Keagamaa n%20Perspektif%20Islam.pdf. Matlin, M.W. (2008). The psychology of women (6th Ed). USA: Thomson Wadsworth. Moghaddam, S.A. (2007). Gender awareness and development manual: resource material for gender trainers. Kabul: Gender Equality, UNDP Afghanistan. Muhammad, D. (7 Januari 2011). Perbedaan perguruan tinggi agama islam dengan P.T. lainnya. Republika Online. Diakses dari http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita/11/01/07/156860-perbedaanperguruan-tinggi-agama-islam-dengan-pt-lainnya#comments-list, Jumat, 28 Februari 2014 pukul 11.48 WIB. Oknum pendeta perkosa bidan ptt. (22 Desember 2013). Diakses dari http://www.jpnn.com/read/2013/12/20/206719/Oknum-Pendeta-Perkosa-Bidan-PTTpada 2 Februari 2014 pukul 11.20 WIB. Pawestri, T. (20 Septermber 2011). Bukan salah korban pemerkosaan. Tempo. Diakses dari http://www.tempo.co/read/kolom/2011/09/20/450/Bukan-Salah-Korban-Pemerkosaan-, 13 Desember 2013 pukul 15.04 WIB. Payne, D. L., Lonsway, K. A., & Louise , F. F. (1999). Rape myth acceptance: exploration of its structure and its measurement using the illinois rape myth acceptance scale. Journal of Research in Personality, 33, 27-68. Poerwandari, K. (2008). Penguatan psikologis untuk menanggulangi kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual: Panduan dalam bentuk tanya-jawab.Jakarta: Program Studi Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Retnowulandari, W. (2010). Budaya hukum patriarki versus feminis dalam penegakan hukum di persidangan kasus kekerasan terhadap perempuan. Jurnal Hukum 8 (1). Diakses dari http://portal.kopertis3.or.id/bitstream/123456789/714/1/Budaya%20Hukum%20Patriar ki%20Versus%20Feminis%20Dalam%20Penegakan%20Hukum%20dipersidangan%2 0Kasus%20Kekerasan%20Terhada.pdf. Romadhoni, A. (24 Oktober 2013). Guru agama perkosa abg 15 tahun di musala hingga hamil. Diakses dari http://news.liputan6.com/read/728584/guru-agama-perkosa-abg15-tahun-di-musala-hingga-hamil pada 10 Januari 2014 pukul 10.19 WIB. Ruslan, R. (2013). Kejahatan seksual: sebab dan solusinya dalam pandangan islam. Diakses dari hizbut-tahrir.or.id: http:// hizbut-tahrir.or.id/2013/02/07/kejahatan-seksual-sebabdan-solusinya-dalam-pandangan-islam/ pada 23 September 2013 pukul 12.15 WIB. 20
Hubungan Antara..., Meika Marlina Primaningrum, FPSI UI, 2014
Sarwono, S.W. (2 Desember 2013). Moral manusia Indonesia ii. Kolom Opini Koran Sindo. Diakses dari http://nasional.sindonews.com/read/2013/12/02/18/812147/moralmanusia-indonesia-ii pada 17 Desember 2013 pukul 09.48 WIB. Sheldon, J.P. & Parent, S.L. (2002). Clergy’s attitudes and attributions of blame toward female rape victims. Violence AgainstWomen 8, hlm. 233-256. DOI: 10.1177/10778010222183026. Shiojiri, K. (2005). The islamic view of women: ideals and realities. London: The Islamic Computing Centre. Smith, K. (2002). Rape myth acceptance among miami university students. Diakses dari http://jrscience.wchlm.muohio.edu/humannature02/FinalArticles/quotRapeMythquotA cceptanc.html pada 17 Desember 2013, pukul 23.03 WIB. Sofiani, T. (2013). Tafsir agama dan kekerasan berbasis gender. Jurnal Penelitian STAIN Pekalongan 5 (2). Diakses dari http://e-journal.stainpekalongan.ac.id/index.php/Penelitian/Issue/current Spilka, B., Hood, Jr, R. W., Hunsberger, B., & Gorsuch, R. (2003). The psychology of religion: An empirical approach (3rd Ed.). United States of America: The Guilford Press. Subhan. (2013). Bintek: peningkatan peran tokoh agama dalam pembangunan di kota depok tahun 2013 | kantor kesatuan bangsa dan politik. Diakses dari http://kesbangpol.depok.go.id/bintek-peningkatan-peran-tokoh-agama-dalampembangunan-di-kota-depok-tahun-2013/ pada 17 Desember 2013 pukul 11.03 WIB. Sudarwati, E. (2013). Kesetaraan gender dalam alkitab. Diakses dari http://www.gkj.or.id/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=797 pada 20 Desember 2013 pukul 19.36 WIB.
Susanto, B. (2013). Guru ngaji perkosa santri hingga memiliki satu anak. Detik News. Diakses dari http://news.detik.com/surabaya/read/2013/08/27/172350/2342304/475/guru-ngajiperkosa-santri-hingga-memiliki-satu-anak pada 12 Desember 2013 pukul 09.33 WIB Tentang UIN. Diakses dari www.uinjkt.ac.id/index.php/tentang-uin.html. Visi, misi, dan tujuan uin syarif hidayatullah jakarta. Diakses dari www.uinjkt.ac.id/index.php/visi-misi-dan-tujuan-uin.html. Walsh, J.L., Carey, M.P.,& Senn, T.E. (2012). Exposure to different types of violence and subsequent sexual risk behavior among female sexually transmitted disease clinic patients: a latent calss analysis. American Psychological Association 4 (2), hlm. 339354. DOI: 10.1037/a0027716. Wilson, H.W., Emerson, E., Donenberg, G.R., & Woods, B.A. (2012). Patterns of violence exposure and sexual risk in low-income, urban african American girls. American Psychological Assosiation 2 (2), hlm. 194-207. DOI: 10.1037/a0027265. Winarno, H.H. (2013). Guru ngaji di temanggung ditahan karena cabuli enam santrinya. Diakses dari http://www.merdeka.com/peristiwa/guru-ngaji-di-temanggung-ditahankarena-cabuli-6-santrinya.html pada 12 Desember 2013 pukul 10.11 WIB. Yolandasari, A. R. (2013). Perbandingan rape myth acceptance antara orang tua yang memiliki anak perempuan dewasa muda dengan penyidik unit pelayanan perempuan dan anak di jakarta dan sekitarnya. (Skripsi Sarjana). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
21
Hubungan Antara..., Meika Marlina Primaningrum, FPSI UI, 2014