HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DAN AGRESI PADA REMAJA DI JAKARTA SKRIPSI
Oleh :
Tita Tri Utami Dewi – 1201002753
Jurusan Psikologi - Fakultas Humaniora Universitas Bina Nusantara Jakarta 2012
1
2
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DAN AGRESI PADA REMAJA DI JAKARTA
Tita Tri Utami Dewi – 1201002753
ABSTRAK
This study aims to examine the relationship between emotional intelligence and aggression in adolescents in Jakarta. Subjects in this study amounted to 200 adolescents ranging in age from 15-18 years who live in West Jakarta, North Jakarta, East Jakarta, South Jakarta and Central Jakarta. In this study, to measure emotional intelligence, used measure of Emotional Intelligence Inventory Lanawati (1999), while for measuring aggression, Aggression Questionairre used gauge of the Buss-Perry (1992). Based on the results of research using Pearson correlation, the correlation of 0.602, and a significance of 0.000 (p <0.01). So there is a negative and significant relationship between emotional intelligence and aggression. Higher emotional intelligence in adolescents, the lower aggression, and vice versa, the lower the emotional intelligence in adolescents, the higher aggression.
Kata Kunci: Kecerdasan Emosional Remaja, Agresi Remaja.
3
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ha m p i r 40% tindak
kriminalitas dilakukan oleh remaja (Republika, 2 0 0 5 ) . Tindak kriminal yang dilakukan oleh remaja sangat bervariasi. Dimulai dari tawuran antar sekolah, perkelahian dalam sekolah, pencurian, hingga pemerkosaan. Tindak kriminalitas yang terjadi dikalangan remaja dianggap kian meresahkan publik (Republika, 2007). Berdasarkan hasil laporan Bimnas Polda Metro Jaya (duniaedukasi.net, 2010), menyatakan bahwa di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran sering terjadi. Data yang diperoleh dari Jakarta misalnya, tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan korban 37 tewas. Pada data yang ada di Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) untuk tahun 2011, kasus remaja pelaku kejahatan di DKI Jakarta menduduki peringkat pertama dengan 222 kasus (Poskota, 2011). Berdasarkan data tersebut dapat terlihat bahwa dalam setiap tahunnya terjadi peningkatan jumlah perkelahian pelajar.
4
Berikut grafik peningkatan kriminalitas pada remaja di Jakarta. Grafik 1.1 Peningkatan kriminalitas pada remaja
Bukan hanya perkelahian, bahkan beberapa kali pelaku pencurian kendaraan bermotor atau pencurian dengan kekerasan adalah remaja berumur 15 dan 16 tahun yang tingkat ekonominya rendah. Para remaja juga berani mencuri dengan kekerasan. Biasanya remaja pelaku kriminal bertindak di bawah pengaruh alkohol, sehingga lebih agresif dan berani melakukan kejahatan. Selain itu, terdapat Kemungkinan perilaku agresi yang dilakukan oleh remaja disebabkan oleh naiknya harga kebutuhan pokok, rendahnya tingkat pendidikan, dan peningkatan jumlah penduduk (kompas, 2008). Eitzen (dalam Dwiko, 2010) mengatakan tingkat kriminalitas yang tinggi dalam masyarakat kota umumnya berada pada wilayah kota yang miskin, dampak kondisi perumahan dibawah standar, overcrowding, derajat kesehatan rendah dari kondisi serta komposisi penduduk yang tidak stabil. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa (Steinberg, 2002). Masa remaja dapat dibagi menjadi tiga bagian, yakni remaja awal dengan batasan usia 12 sampai dengan 15 tahun, remaja madya
5
dengan batasan usia 15 hingga 18 tahun, dan remaja akhir dengan batasan usia 18 hingga 21 tahun (Monks & Haditono, 2009). Hall (dalam Gunarsa & Gunarsa, 2009), menyebut kata remaja sebagai masa storm dan stress yang merupakan masa penuh gejolak emosi dan ketidakseimbangan, sehingga remaja mudah terpengaruh oleh lingkungan. Perilaku remaja dipengaruhi oleh munculnya rasa kecewa, meningkatnya konflik, krisis penyesuaian, angan-angan yang tidak tercapai, hal-hal percintaan, keterasingan dari kehidupan orang dewasa dan norma kehidupan (Gunarsa, 2009). Masa remaja dianggap sebagai suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi, sebagai akibat perubahan fisik dan kelenjar. Tetapi meningginya emosi remaja terutama diakibatkan oleh lingkungan sosial. Remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru (Hurlock, 2011). Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari (Santrock, 2003). Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif. Bila aktivitas yang dijalani di sekolah (pada umumnya masa remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah) tidak memadai untuk memenuhi tuntutan gejolak energinya, maka remaja seringkali meluapkan kelebihan energinya kearah yang tidak positif, misalnya tawuran dan agresi lainnya. Hal ini menunjukkan betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri remaja bila berinteraksi dalam lingkungannya (Mutadin, 2007). Agresi merupakan akar dari kekerasan, dan kekerasan merupakan salah satu subtipe agresi (Krahe, 2005). Agresi dapat dibagi menjadi 4 bagian, diantaranya ialah physical aggression (serangan fisik), verbal aggression
6
(memberikan stimulus yang dapat menyakiti orang lain), anger (perasaan marah), dan hostility (perasaan iri dan ketidak percayaan) (Buss & Perry, 1992). Faktor-faktor yang mempengaruhi agresi ialah faktor sosial seperti adanya provokasi, rangsangan dari berbagai permainan kompetitif, frustasi, kekerasan pada media seperti film dan video games, kekerasan dalam pornografi, faktor kultural, faktor personal seperti gender, narsisme, kepribadian, serta faktor situasional seperti temperatur dan alkohol (Baron & Byrne, 2005). Gessel (dalam Hurlock, 2011) menyebutkan bahwa pada remaja 14 tahun seringkali mudah marah, mudah dirangsang, dan emosinya cenderung meledak, tidak berusaha mengendalikan emosinya. Sebaliknya, remaja 16 tahun tidak mudah meledak dalam emosinya. Sehingga adanya badai dan tekanan berkurang pada periode berakhirnya awal masa remaja. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pacheco & Berrocal (2004), kecerdasan emosional yang rendah pada remaja dapat mengakibatkan tingkat kesejahteraan dan penyesuaian psikologis yang rendah, penurunan kuantitas dan kualitas hubungan interpersonal, penurunan dalam bidang akademik, dan munculnya perilaku agresi. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Rubin (dalam Pacheco & Berrocal, 2004) menghasilkan beberapa temuan bahwa siswa yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi memiliki perilaku positif terhadap teman kelasnya dan memiliki perilaku agresi yang rendah. Selain itu, mereka melakukan perilaku prososial terhadap orang-orang disekitarnya. Serta memiliki skor lebih tinggi pada stres, depresi, dan keluhan somatik (Liau dkk, 2003, dalam Pacheco & Berrocal, 2004). Sebuah penelitian di Inggris menyatakan bahwa siswa yang dianggap memiliki kecerdasan emosional yang rendah lebih sering melakukan bolos sekolah serta memiliki probabilitas untuk dikeluarkan dari sekolah (Petrides, Frederickson dan Furnham, 2004, dalam Pacheco & Berrocal, 2004). Liau dkk.
7
(dalam Pacheco & Berrocal, 2004), di sisi lain, menginformasikan bahwa siswa sekolah menengah yang memiliki kecerdasan emosi yang rendah menunjukkan tingkat agresi yang tinggi dan perilaku yang menyimpang. Penelitian lain yang dilakukan pada remaja di Spanyol oleh Extremera & Fernandez-Berrocal (dalam Pacheco & Berrocal, 2004) menemukan keterkaitan antara kecerdasan emosional dan perilaku agresi. Remaja yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, cenderung menunjukkan perilaku impulsif yang rendah, dan agresi yang rendah. Berdasarkan
temuan, remaja yang
memiliki agresi rendah, lebih mampu membedakan emosi mereka dan memperbaiki emosi negatif. Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosional yang baik dapat mengurangi agresi, khususnya pada remaja. Oleh sebab itu, apabila emosi berhasil dikelola maka individu akan mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya, individu yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus-menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal yang merugikan diri sendiri. Dengan adanya keterkaitan antara kecerdasan emosional dan perilaku agresi pada beberapa penelitian sebelumnya, maka peneliti ingin membuktikan dan menjawab pertanyaan apakah terdapat hubungan antara kecerdasan emosional dan agresi. Pada penelitian ini, peneliti memilih subjek remaja di Jakarta, remaja dianggap memiliki banyak masalah sehingga cenderung menimbulkan agresi (Hurlock, 2011).
1.2
Rumusan Masalah Masalah yang diangkat pada penelitian ini ialah apakah terdapat
hubungan antara kecerdasan emosional dan agresi pada remaja di Jakarta?
8
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui hubungan kecerdasan emosional dan perilaku agresi pada remaja di Jakarta.
1.4
Manfaat Penelitian Banyak manfaat yang bisa kita dapatkan dari suatu penelitian ilmiah.
Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian yang dilaksanakan ini adalah: a. Manfaat teoritis: I.
Dapat menambah wawasan di bidang psikologi sosial mengenai hubungan kecerdasan emosional dan perilaku agresi pada remaja terutama pada remaja.
b. Manfaat praktis: I.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan bagi para orangtua dan pendidik dalam upaya melatih kecerdasan emosional sejak dini.
II.
Membuat remaja sadar akan pentingnya kecerdasan emosional untuk menghindari atau mengurangi sikap dan perilaku agresi yang dapat merugikan orang lain.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kecerdasan Emosional
2.1.1
Kecerdasan Emosional Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan oleh psikolog Peter
Salovey dan John Mayer pada tahun 1990 (Saphiro, 2001). Salovey dan Mayer (dalam Shapiro, 2001), menyatakan bahwa kecerdasan emosional ialah himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Sedangkan Goleman (2007), mengemukakan kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Skala kecerdasan emosional terdiri dari aspek mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati), bekerjasama dengan orang lain.
2.1.2. Kemampuan Utama Kecerdasan Emosional Salovey (dalam Goleman, 2007), menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemampuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu: a. Mengenali Emosi Diri
10
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2007) kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi. b. Mengelola Emosi Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam
menangani
perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita. Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur
diri
sendiri,
melepaskan
kecemasan,
kemurungan
atau
ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan. c. Memotivasi Diri Sendiri Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusiasme, gairah, optimis dan keyakinan diri. d. Mengenali Emosi Orang Lain
11
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman (2007), kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Penelitian Rosenthal (dalam Goleman, 2007) menunjukkan bahwa orangorang yang mampu membaca perasaan dan isyarat nonverbal lebih mampu menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka. Nowicki (dalam Goleman, 2007), ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi. Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain. e. Membina Hubungan Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi. Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi yang lancar dengan orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan
12
karena kemampuannya berkomunikasi. Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa berkembang
dilihat
dari
banyaknya
hubungan
interpersonal
yang
dilakukannya.
2.2
Agresi
2.2.1
Definisi Agresi Berdasarkan kamus Bahasa Indonesia (Alwi, 2007), definisi agresi ialah
cenderung (ingin) menyerang kepada sesuatu yang dipandang sebagai hal yang mengecewakan, menghalangi atau menghambat. Menurut Berkowitz (dalam Sarwono & Meinarno, 2009), agresi ialah tindakan melukai yang disengaja oleh seseorang/institusi terhadap orang/institusi lain yang sejatinya disengaja. Agresi merupakan segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari perlakuan itu (Baron & Richardson, dalam Krahe, 2005). Dari beberapa definisi mengenai agresi tersebut, Maka dapat disimpulkan bahwa agresi merupakan suatu tindakan yang dilakukan secara sadar oleh individu yang dapat merusak barang tertentu, membahayakan dan melanggar hak-hak individu lain serta menyakiti individu, baik fisik maupun mental. Buss & Perry (1992) menyimpulkan bahwa ada empat faktor yang merupakan subtrait dari agresi yaitu physical aggression, verbal aggression, anger, dan hostility yang membentuk trait kepribadian agresi. Berikut ini adalah penjelasan mengenai 4 domain atau dimensi agresi menurut Buss dan Perry (1992):
1. Physical aggression
13
Tindakan menyakiti, mengganggu, atau membahayakan orang lain melalui respon motorik dalam bentuk fisik sebagai bentuk kemarahan atau agresi seperti mencubit, memukul, dan lain sebagainya. Perilaku tersebut dapat diobservasi (overt). 2. Verbal aggression Tindakan yang dapat diamati dan memiliki kecenderungan untuk menyerang orang lain dengan tindakan menyakiti, mengganggu, atau membahayakan orang secara verbal seperti cacian, mengumpat, membentak dan lain sebagainya. 3. Anger Reaksi afektif berupa dorongan fisiologis sebagai tahap persiapan agresi. Beberapa bentuk anger adalah perasaan marah, kesal, sebal, dan bagaimana mengontrol hal tersebut. Termasuk di dalamnya adalah irritability, yaitu mengenai temperamental, kecenderungan untuk cepat marah, dan kesulitan mengendalikan amarah. 4. Hostility Tergolong kedalam agresi covert (tidak kelihatan). Hostility mewakili komponen kognitif yang terdiri dari resentment seperti cemburu dan
iri
terhadap
orang
lain,
dan
suspicion
seperti
adanya
ketidakpercayaan dan kekhawatiran.
2.3
Remaja
2.3.1 Definisi Remaja Remaja dalam bahasa Inggris ialah adolescent yang berasal dari kata latin, yakni adolescence yang artinya tumbuh kearah kematangan fisik dan sosial psikologis (Gunarsa & Gunarsa, 2008). Steinberg (2002), menyatakan bahwa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak dan dewasa, yang
14
berarti tumbuh menuju kematangan. Santrock (2003) dan Papalia, Olds, dan Feldman (2007), menambahkan pernyataan Steinberg dengan menyebutkan terjadinya perubahan kognitif, biologis dan sosio-emosional pada masa remaja. Untuk menentukkan rentang usia remaja, Papalia, Olds, dan Feldman (2007) menyatakan usia remaja ialah individu yang berusia antara 11-21 tahun. Masa remaja dapat dibagi menjadi tiga bagian, yakni remaja awal dengan batasan usia 12 sampai dengan 15 tahun, remaja madya dengan batasan usia 15 hingga 18 tahun, dan remaja akhir dengan batasan usia 18 hingga 21 tahun (Monks & Haditono, 2009).
2.4 Kerangka Berpikir Kasus-Kasus Kekerasan Pada Remaja
Kecerdasan Emosional
Agresi
Kemampuan Mengenali Emosi Diri Kemampuan Mengelola Emosi Kemampuan Memotivasi Diri Kemampuan Memahami Orang Lain Kemampuan Membina Hubungan
Agresi Fisik (Phisical Aggression) Agresi Verbal (Verbal Aggression) Agresi Marah (Anger) Agresi Benci (Hostillity)
Gambar 2.3 Kerangka Berpikir
Keterangan Gambar: :
Meningkat
:
Dimensinya
:
Menurun
:
Menyebabkan
:
Disebabkan
15
:
Berhubungan
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Variabel Penelitian & Hipotesis 3.1.1 Variabel Penelitian & Definisi Operasional 3.1.1.1 Definisi Kecerdasan Emosional Kecerdasan
emosional
merupakan
kemampuan
mengendalikan
dorongan emosi, mengenali perasaan orang lain, dan menjaga hubungan baik dengan orang lain. Selain itu, kecerdasan emosional merujuk pada kemampuan mengenali perasaan orang lain atau berempati, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik serta mampu membina hubungan baik dengan orang lain (Goleman, 2007). Secara operasional kecerdasan emosional diperoleh dari skor nilai alat ukur kecerdasan emosional yang mengacu pada teori Goleman.
3.1.1.2 Definisi Agresi Myers (2012), menyatakan bahwa agresi merupakan perilaku fisik atau verbal yang bertujuan untuk menyakiti orang lain. Sedangkan menurut Berkowitz (dalam Sarwono & Meinarno, 2009), agresi ialah tindakan melukai yang disengaja oleh seseorang/institusi terhadap orang/institusi lain yang sejatinya disengaja. Secara operasional agresi pada penelitian ini diperoleh dari skor nilai alat ukur agresi yang mengacu pada teori Buss & Perry (1992) dengan membagi indikator agresi menjadi lima bagian, yaitu physical aggression (agresi fisik), verbal aggression (agresi verbal), anger (marah), dan hostility (cemburu/iri dan ketidakpercayaan/kekhawatiran).
16
3.1.2 Hipotesis 3.1.2.1 Hipotesis Alternatif (Ha) Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan agresi pada remaja di Jakarta.
3.1.2.2 Hipotesis Null (Ho) Tidak terdapat hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan agresi pada remaja di Jakarta.
3.2 Subyek Penelitian & Teknik Sampling 3.2.1 Karakteristik Subyek Penelitian Populasi pada penelitian ini ialah para remaja yang menetap di kawasan Jakarta dengan karakteristik subjek pada tingkatan pendidikan SMA. Remaja yang sedang berada pada tingkatan SMA merupakan remaja pertengahan (Middle Adolescent) dengan rentang usia 15 hingga 18 tahun (Kartono, 2008). Pada masa ini, remaja dianggap lebih sering melakukan perilaku kekerasan dibandingkan tahapan remaja lainnya (Goodwin, Pacey, & Grace, 2003). Jumlah populasi remaja pertengahan yang berdomisili di Jakarta ialah berjumlah 815.376 orang yang terbagi atas beberapa wilayah, diantaranya ialah: Tabel 3.1 Populasi Remaja Pertengahan di Jakarta.
Wilayah Jakarta Utara Kepulauan Seribu Jakarta Selatan Jakarta Barat Jakarta Timur Jakarta Pusat Total keseluruhan
Jumlah
Total
Laki-laki
Perempuan
66383 973 80940 96675 106724 38230
78163 861 89516 10759 114013 35308
*Sumber: Jakarta dalam angka BPS Provinsi DKI Jakarta 2011.
144546 1834 170456 204265 220737 73538 815376
17
3.2.2 Teknik Sampling Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik probability sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama kepada setiap anggota populasi untuk menjadi sampel dengan menggunakan tipe cluster sampling. Cluster sampling atau sampel berkelompok digunakan jika sumber data atau populasi sangat luas misalnya penduduk suatu provinsi (Noor, 2012). Dalam penentuan sampel digunakan beberapa tahap: 1. Menentukan sampel daerah, yaitu DKI Jakarta yang terbagi atas beberapa wilayah. 2. Mengambil sampel secara acak di wilayah masing-masing.
3.3 Desain Penelitian Menurut Sangadji & Sopiah (2010), jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Karena pada penelitian kuantitatif datanya dinyatakan dalam angka dan dianalisis dengan teknik statistik. Penelitian ini menggunakan desain penelitian korelasional (correlational Research), non-experimental design dengan tipe ex post facto.
3.4 Alat Ukur Penelitian 3.4.1 Alat Ukur Kecerdasan Emosional Pada penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap kecerdasan emosional dengan menggunakan alat ukur
Emotional Intelligence Inventory (EII) yang
sudah diadaptasi oleh Lanawati (1999). Alat ukur EII berdasarkan dimensi kecerdasan emosi yang dikembangkan oleh Goleman dan item-item yang
18
digunakan pada alat ukur ini merupakan adaptasi dari Bar-On Emotional Quetiont Inventory (EQ-I) dan Trait Meta Mood Scale (TMMS) serta item-item yang dibuat oleh Lanawati (1999) dan rekannya Dr. Rudy Salan. Jumlah item yang digunakan adalah 80 item. 3.4.2 Alat Ukur Agresi Untuk mengukur agresi, peneliti menggunakan alat ukur Aggression Questionnaire yang telah dikembangkan oleh Buss & Perry (1992). Alat ukur ini terdiri dari 29 item. 3.4.3 Validitas & Reliabilitas Alat Ukur 3.4.3.1 Validitas Alat Ukur Untuk melakukan uji validitas, peneliti menggunakan dua macam uji validitas, yaitu content validity dan Construct Validity. Content validity (validitas isi) yang dilakukan oleh peneliti ialah dengan melakukan expert judgement kepada dosen psikologi sosial dan dosen pembimbing. Sedangkan Construct Validity (validitas konstruk) yang digunakan adalah konsistensi internal, yaitu dengan menghitung koefisien korelasi antar skor pada suatu item dengan skor total (Anastasi & Urbina, 2007). Hasilnya digunakan untuk menentukan item mana yang dibuang dan dipertahankan dengan melihat corrected item-total correlation. 3.4.3.2 Reliabilitas Alat Ukur Reliabilitas dianggap sebagai konsistensi dari skor yang diperoleh individu ketika dalam pengerjaan tes pada waktu dan tempat berbeda (Anastasi & Urbina, 2007). Untuk melihat reliabilitas
alat ukur Emotional Intelligence
Inventory (EII) maupun Aggression Questionnaire peneliti menggunakan alpha cronbach, yakni metode pengujian reliabilitas berdasarkan konsistensi respon
19
responden terhadap item-item alat ukur dimana respon yang diberikan tidak bersifat dikotomi (Anastasi & Urbina, 2007). Menurut Aiken (2000), nilai cronbach alpha yang memadai adalah lebih besar dari 0.6. 3.5 Prosedur 3.5.1 Persiapan Penelitian Pada tahap persiapan, peneliti melakukan peninjauan kepustakaan mengenai konstruk-konstruk yang akan diteliti. Kemudian peneliti mencari alat ukur
yang
sesuai,
yakni
Emotional
Intelligence
Inventory
(EII)
yang
dikembangkan oleh Lanawati (1999) dan Aggression Questionnaire dari Buss & Perry (1992). Kemudian peneliti melakukan expert judgement kepada dosen psikologi sosial Juneman, S.Psi., M.Si dan dosen pembimbing Antonina Panca Yuni Wulandari, S.Sos., M.Si. Selain itu, peneliti melakukan uji keterbacaan kepada 2 remaja. Kemudian peneliti melakukan revisi terhadap item-item yang sudah ada agar disesuaikan konteksnya pada remaja dan melakukan ujicoba atau tryout kepada 50 remaja yang terbagi atas 25 siswa dan 25 siswi.
3.5.2 Pelaksanaan Penelitian Peneliti berencana akan menggunakan 200 remaja yang berdomisili di Jakarta. Menurut Kerlinger & Lee (2000), jumlah minimal sampel pada penelitian kuantitatif ialah 30 orang. Guilford & Fruchter (dalam Indria & Nindyati, 2007) juga menyebutkan bahwa jumlah sampel yang mendekati penyebaran normal adalah 30 orang, namun akan lebih baik jika subyek yang didapatkan lebih banyak dari jumlah tersebut. Sehingga untuk populasi yang besar, disarankan jumlah sampel minimum adalah 100 orang (Alreck & Seetle, 2004). Jakarta merupakan kota yang terbagi atas beberapa wilayah bagian. Sehingga peneliti menggunakan sampel yang berada di masing-masing wilayah
20
dengan jumlah responden yang sama setiap wilayahnya. Sampel tersebut diantaranya ialah: a. 40 remaja yang berdomisili di wilayah Jakarta Pusat b. 40 remaja yang berdomisili di wilayah Jakarta Barat c. 40 remaja yang berdomisili di wilayah Jakarta Selatan d. 40 remaja yang berdomisili di wilayah Jakarta Utara e. 40 remaja yang berdomisili di wilayah Jakarta Timur Penyebaran kuesioner penelitian dibagikan secara acak pada tanggal 1116 Mei 2012 kepada sejumlah remaja yang berada di lingkungan sekolah, warung-warung, foodcourt di mall dan tempat makan yang terdapat banyak remaja yang suka berkumpul disana.
3.5.3 Teknik Pengolahan Data Setelah kuesioner terkumpul, peneliti melakukan tahap pengolahan data dengan menggunakan program spss statistics 19.
21
BAB IV PEMBAHASAN
4.1
Gambaran Umum Responden Penelitian
4.1.1
Jumlah Responden Penelitian ini melibatkan 200 responden yang terdiri dari 103 siswa dan
97 siswi. Semua responden merupakan siswa/siswi SMA di Jakarta. Berikut tabel yang menggambarkan distribusi penyebaran responden berdasarkan jenis kelamin. Table 4.1 Tabel Penyebaran responden berdasarkan jenis kelamin.
4.1.2
Jumlah
%
Laki-laki
103
52
Perempuan
97
48
N
200
100
Usia Responden Responden yang digunakan merupakan siswa dan siswi SMA yang
berada pada tahapan remaja pertengahan, yaitu remaja yang berusia 15 hingga 18 tahun. dimana remaja pada batasan usia tersebut dianggap lebih sering melakukan perilaku kekerasan dibandingkan tahapan remaja lainnya (Goodwin, Pacey, & Grace, 2003). Jumlah responden yang berusia 15 tahun adalah 37 orang, 16 tahun berjumlah 75 orang, 17 tahun berjumlah 62 orang, dan 18 tahun berjumlah 26 tahun. Berikut tabel yang menggambarkan distribusi penyebaran responden berdasarkan usia.
22
Tabel 4.2 Tabel Penyebaran responden berdasarkan usia.
4.1.3 Suku Responden pada penelitian ini didominasi oleh remaja yang bersuku Betawi, yakni sebanyak 72 responden atau sebanyak 36%. Untuk suku Jawa merupakan terbanyak kedua dengan jumlah 48 responden atau 24% sedangkan suku Sunda berjumlah 34 orang atau 17%. Sisanya adalah dari berbagai suku yang masing-masing jumlahnya hanya sedikit. Berikut tabel sebaran responden berdasarkan suku. Tabel 4.3 Tabel Penyebaran responden berdasarkan suku.
4.1.4 Uang Jajan Setiap responden memiliki uang jajan yang berbeda-beda, biasanya hal ini tergantung pada tingkat ekonomi keluarga. Peneliti membagi kategori uang
23
jajan bagi remaja di Jakarta menjadi enam pilihan. Mulai dari yang terendah, yakni kurang dari Rp. 5000 hingga yang paling besar, yaitu diatas Rp. 50.000. Dari 200 responden lebih banyak menjawab uang jajan mereka setiap hari yang tidak meliputi biaya lainnya (seperti ongkos dan lain sebagainya) sekitar Rp. 15.001-Rp. 20.000. berikut tabel perincian mengenai uang jajan responden. Tabel 4.4 Tabel Penyebaran responden berdasarkan uang jajan.
4.1.5 Jumlah Sahabat Seorang remaja biasanya akan memiliki sahabat dalam kehidupannya sehari-hari, terutama di sekolah. Setiap responden memiliki variasi dalam jumlah sahabat yang berbeda-beda. Namun ada beberapa responden yang menjawab tidak memiliki sahabat sama sekali. Berikut tabel perincian mengenai jumlah sahabat yang dimiliki oleh responden. Tabel 4.5 Tabel Penyebaran responden berdasarkan jumlah sahabat.
24
4.1.6 Perilaku Orangtua Perilaku orangtua terhadap responden terbagi atas enam pilihan, yaitu perhatian, acuh, memanjakan, kasar, dan tegas. Banyak responden yang memilih jawaban perhatian dengan jumlah 42% dari total jawaban. Berikut tabel perincian mengenai perilaku orangtua yang sering dilakukan pada responden. Tabel 4.6 Tabel Penyebaran responden berdasarkan perilaku orangtua.
4.1.7 Jenis Acara Televisi Acara televisi yang paling banyak dipilih ialah acara komedi sebanyak 27% dan acara yang paling sedikit dipilih ialah acara animasi hanya 1%. Berikut tabel perincian mengenai jenis acara televisi yang sering ditonton oleh responden. Tabel 4.7 Tabel Penyebaran responden berdasarkanacara televisi.
25
4.1.8 Bermain Games Dewasa ini banyak remaja yang menghabiskan aktivitasnya dengan bermain games. Terbukti hasil dari penelitian ini sebanyak 76% remaja suka bermain games dan sisanya sebanyak 24% tidak suka bermain games. Berikut tabel perincian mengenai pernyataan responden terhadap bermain games. Tabel 4.8 Tabel Penyebaran responden berdasarkan bermain games.
4.1.9 Jenis Games yang Dimainkan Jenis games yang ada sangatlah bervariasi, pada penelitian ini, peneliti membagi jenis games menjadi tiga macam, yakni action, strategi, dan petualangan. Namun peneliti menyediakan pilihan tidak ada bagi remaja yang tidak menyukai games. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja lebih banyak menyukai jenis permainan yang memiliki unsur strategi. Berikut tabel perincian mengenai jenis permainan yang sering dimainkan oleh responden. Tabel 4.9 Tabel Penyebaran responden berdasarkan jenis games.
26
4.1.10 Pekerjaan Ayah Jakarta merupakan ibukota yang banyak berdiri perusahaan-perusahaan sebagai pusat kegiatan untuk bekerja. Dari 200 responden, sebanyak 31% menjawab bahwa pekerjaan ayah mereka adalah wiraswasta dan hanya 1% yang menjawab guru. Berikut tabel perincian mengenai pekerjaan ayah responden. Tabel 4.10 Tabel Penyebaran responden berdasarkanpekerjaan ayah.
4.1.11 Pekerjaan Ibu Sebanyak 40% responden menjawab bahwa pekerjaan ibu mereka adalah ibu rumah tangga dan sisanya menjawab jenis pekerjaan lain. Berikut tabel perincian mengenai pekerjaan ibu responden. Tabel 4.11 Tabel Penyebaran responden berdasarkan pekerjaan ibu.
27
4.1.12 Mengonsumsi Alkohol Sebanyak 74% responden menjawab bahwa mereka tidak pernah minum alkohol, 19% menjawab kadang-kadang, dan 7% menjawab ya. Berikut tabel perincian mengenai mengonsumsi alkohol pada responden. Tabel 4.12 Tabel Penyebaran responden berdasarkan konsumsi alkohol.
4.2 Gambaran Skor Variabel 4.2.1 Gambaran Skor Variabel Kecerdasan Emosional Dari 200 responden, sebanyak 103 (49%) responden dinyatakan memiliki kecerdasan emosional sedang, 50 (23,8%) responden berada pada tingkat kecerdasan emosional rendah, dan sebanyak 47 (22,4%) responden pada tingkatan kecerdasan emosional tinggi. Berikut hasil perhitungan variabel kecerdasan emosional.. Tabel 4.13 Tabel norma variabel kecerdasan emosional.
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid rendah 50
23.8
23.8
28.6
sedang 103
49.0
49.0
77.6
Tinggi
47
22.4
22.4
100.0
Total
200
100.0
100.0
28
4.2.2 Gambaran Skor Variabel Agresi Berdasarkan hasil perhitungan, sebanyak 100 (47,6%) responden berada pada tingkat agresi yang sedang, 51 (24,3%) responden berada pada tingkat agresi rendah, dan sebanyak 49 (23,3%) responden berada pada tingkat agresi yang tinggi. Berikut hasil perhitungan pada variabel agresi. Tabel 4.14 Tabel norma variabel agresi.
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid rendah 51
24.3
24.3
29.0
sedang 100
47.6
47.6
76.7
Tinggi
49
23.3
23.3
100.0
Total
200
100.0
100.0
4.3 Uji Normalitas Teknik statistik parametrik menghendaki data yang diperoleh merupakan hasil pengambilan data secara acak. Bila data telah diambil secara acak, maka masih ada beberapa asumsi yang seharusnya dipenuhi sebelum melakukan analisis dengan menggunakan teknik statistik parametrik, yaitu uji asumsi atau uji normalitas. Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah distribusi data yang didapatkan mengikuti atau mendekati hukum sebaran normal baku atau tidak (Nisfiannoor, 2009). Untuk uji normalitas, peneliti menggunakan metode 1Samples K-S.
29
Tabel 4.15 Uji normalitas.
EI N
AGRESI
200
200
Mean
210.74
74.4250
Std. Deviation
30.425
14.57520
.117
.107
Positive
.087
.075
Negative
-.117
-.107
Kolmogorov-Smirnov Z
1.655
1.512
Asymp. Sig. (2-tailed)
.008
.021
a,b
Normal Parameters
Most
Extreme Absolute
Differences
Pada uji normalitas Kolmogorov-Smirnov data dianggap normal apabila nilai signifikansi >0,05 (Nisfiannoor,2009). Dari tabel tersebut, terlihat bahwa signifikansi dari kecerdasan emosional adalah 0,08 (p>0,05) dan agresi 0,21 (p>0,05) maka data tersebut dinyatakan normal.
4.4 Analisis hubungan Antar Variabel Peneliti menghitung korelasi antar variabel dengan menggunakan teknik korelasi pearson, hal ini berdasarkan data pada penelitian ini yang termasuk pada data parametrik dengan jenis data interval. Nisfiannoor (2009), membagi koefisien korelasi menjadi beberapa tingkatan, yaitu: Tabel 4.16 Tabel Koefisien Korelasi.
Koefisien
Tingkat Hubungan
0,0 – 0,19
Sangat rendah
0,2 – 0,39
Rendah
0,4 – 0, 59
Sedang
0,6 – 0,79
Tinggi
0,8 – 1,00
Sangat tinggi
*Sumber: Nisfiannoor (2009). Pendekatan Statistika Modern Untuk Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Hasil perhitungan korelasi antar variabel, dihasilkan tabel sebagai berikut.
30
Tabel 4.17 Tabel deskriptif korelasi variabel kecerdasan emosional dan agresi.
Mean
Std. Deviation
N
EI
210.74
30.425
200
AGRESI
74.4250
14.57520
200
Nilai rata-rata pada kecerdasan emosional adalah 210,74 dengan simpangan baku 30,425. Sedangkan untuk agresi nilai rata-ratanya adalah 74,4250 dengan simpangan baku 14,57520. Untuk melihat hubungan diantara dua variabel tersebut, maka dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.18 Tabel korelasi variabel kecerdasan emosional dan agresi.
EI
Pearson Correlation
EI
AGRESI
1
.602**
Sig. (2-tailed) AGRESI
.000
N Pearson Correlation
200 .602**
Sig. (2-tailed)
.000
N
200
200 1
200
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Berdasarkan hasil penelitian, dihasilkan korelasi antara variabel kecerdasan emosional dan agresi sebesar 0, 602 dan signifikansi 0,000. Oleh sebab itu, berdasarkan nilai r=602 dan p=000 <0,01, maka Ho ditolak dan Ha diterima. Dengan demikian, korelasi antar variabel ini dapat dikatakan memiliki koefisien korelasi yang
tinggi. Sehingga ada hubungan yang negatif dan
signifikan antara tingkat kecerdasan emosional dan agresi pada remaja pertengahan di Jakarta. Semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional, maka makin rendah tingkat agresi. Sebaliknya, semakin rendah tingkat kecerdasan emosional, maka semakin tinggi tingkat agresinya. Berikut tabel hasil korelasi antar variabel.
31
4.5 Hubungan Antara Data Kontrol Dengan Variabel Terikat 4.5.1 Jenis Kelamin Tabel 4.19 Chi Square jenis kelamin dan agresi.
Value
Df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square
62.676a
55
.223
Likelihood Ratio
80.320
55
.015
Linear-by-Linear Association
10.372
1
.001
N of Valid Cases
200
Pada tabel diatas, nilai signifikansinya adalah 0,223 (p>0,05). Sehingga tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan agresi.
4.5.2 Usia Tabel 4.20 Chi Square usia dan agresi.
Value
Df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square
180.376a
165
.195
Likelihood Ratio
199.463
165
.035
Linear-by-Linear Association
.019
1
.891
N of Valid Cases
200
Berdasarkan tabel, signifikansi yang didapatkan adalah 0,195 (p>0,05), sehingga tidak ada hubungan antara usia responden dengan agresi.
4.5.3 Suku Tabel 4.21 Chi Square suku dan agresi.
Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square
657.573a
550
.001
Likelihood Ratio
320.880
550
1.000
Linear-by-Linear Association
.019
1
.890
N of Valid Cases
200
32
Tabel diatas menunjukkan bahwa signifikansi 0,001 (p<0,05). Sehingga terdapat hubungan antara suku dengan agresi.
4.5.4 Uang Jajan Tabel 4.22 Chi Square uang jajan dan agresi.
Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square
284.165a
275
.339
Likelihood Ratio
232.694
275
.970
Linear-by-Linear Association
1.140
1
.286
N of Valid Cases
200
Pada tabel diatas, signifikansinya adalah 0,339 (p>0,05). Maka dari itu, tidak terdapat hubungan antara uang jajan dengan agresi
4.5.5 Jumlah Sahabat Tabel 4.23 Chi Square jumlah sahabat dan agresi.
Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square
174.564a
165
.290
Likelihood Ratio
170.838
165
.362
Linear-by-Linear Association
.168
1
.681
N of Valid Cases
200
Dari tabel diatas, dihasilkan signifikansi 0,290 (p>0,05), sehingga tidak ada hubungan antara jumlah sahabat dengan agresi.
4.5.6 Perilaku Orangtua Tabel 4.24 Chi Square perilaku orangtua dan agresi.
Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square
265.573a
220
.019
Likelihood Ratio
230.264
220
.304
Linear-by-Linear Association
4.021
1
.045
33
N of Valid Cases
200
Tabel diatas menunjukkan bahwa signifikansi 0,019 (p<0,05), maka terdapat hubungan antara perilaku orangtua dengan agresi.
4.5.7 Jenis Acara Televisi Tabel 4.25 Chi Square jenis acara televisi dan agresi.
Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square
351.559a
385
.888
Likelihood Ratio
309.868
385
.998
Linear-by-Linear Association
.195
1
.659
N of Valid Cases
200
Signifikansi pada tabel diatas adalah 0,888 (p>0,05), sehingga tidak ada hubungan antara jenis tontonan di televisi dengan agresi.
4.5.8 Bermain Games Tabel 4.26 Chi Square bermain games dan agresi.
Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square
47.420a
55
.756
Likelihood Ratio
55.602
55
.452
Linear-by-Linear Association
.399
1
.528
N of Valid Cases
200
Dari hasil perhitungan, terdapat signifikansi sebesar 0,756 (p>0,05), maka tidak ada hubungan antara kebiasaan main games dengan agresi.
4.5.9 Jenis Games Tabel 4.27 Chi Square jenis games dan agresi.
Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
34
Pearson Chi-Square
155.930a
165
.681
Likelihood Ratio
173.945
165
.301
Linear-by-Linear Association
.585
1
.444
N of Valid Cases
200
Dari hasil perhitungan, terdapat signifikansi sebesar 0,681 (p>0,05), maka tidak ada hubungan antara jenis games dengan agresi.
4.5.10 Pekerjaan Ayah Tabel 4.28 Chi Square pekerjaan ayah dan agresi.
Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square
481.762a
495
.657
Likelihood Ratio
336.952
495
1.000
Linear-by-Linear Association
2.283
1
.131
N of Valid Cases
200
Dari hasil perhitungan, terdapat signifikansi sebesar 0,657 (p>0,05), maka tidak ada hubungan antara pekerjaan ayah dengan agresi.
4.5.11 Pekerjaan Ibu Tabel 4.29 Chi Square pekerjaan ibu dan agresi. Value a
Df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square
456.474
495
.892
Likelihood Ratio
283.171
495
1.000
Linear-by-Linear Association
10.258
1
.001
N of Valid Cases
200
Dari hasil perhitungan, terdapat signifikansi sebesar 0,892 (p>0,05), maka tidak ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan agresi.
35
4.5.12 Mengonsumsi Alkohol Tabel 4.30 Chi Square pekerjaan ibu dan agresi.
Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square
198.989a
110
.000
Likelihood Ratio
178.433
110
.000
Linear-by-Linear Association
56.050
1
.000
N of Valid Cases
200
Berdasarkan tabel diatas, nilai signifikansi adalah 0,000 (p<0,05). Sehingga terdapat hubungan antara konsumsi alkohol dengan agresi.
4.6 Perbedaan Antara Kelompok Data Kontrol Dengan Variabel Terikat Untuk melihat perbedaan antara data kontrol yang digunakan pada penelitian ini dengan variabel terikat, yakni agresi. Peneliti menggunakan metode Independent-Sample T Test untuk membandingkan dua kelompok dan One Way Anova untuk lebih dari dua kelompok yang sebelumnya dilakukan uji homogenitas antar varians. Bila data yang dianalisis tidak homogen, maka tidak perlu dilakukan pengujian One Way Anova. Suatu data dapat dikatakan memiliki perbedaan jika signifikansi kurang 0,05 (p<0,05). Dan dapat dikatakan homogen atau sama jika signifikansinya lebih dari 0,05 (p>0,05).
36
4.6.1 Jenis Kelamin Tabel 4.31 Independent Samples Test. Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Sig.(2- Mean
AGRESI Equal
F
Sig.
t
Df
.111
.739
-3.300 198
Std. Error Difference
tailed) Difference Difference Lower
Upper
.001
-6.64148
2.01277
-10.61070 -2.67225
-3.297 196.617 .001
-6.64148
2.01421
-10.61370 -2.66926
variances assumed Equal variances not assumed
Nilai signifikansi (p) adalah 0,739 (p>0,05), sehingga tidak terdapat perbedaan antara agresi pada laki-laki maupun perempuan.
4.6.2 Usia Tabel 4.32 Test of Homogeneity of Variances. Levene Statistic
df1
df2
Sig.
.544
3
196
.653
Signifikansi pada tabel diatas ialah 0,653>0,05, maka varians data tersebut dinyatakan homogen. Tabel 4.33 one way anova usia. Sum of Squares Df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
1213.498
3
404.499
1.931
.126
Within Groups
41061.377
196
209.497
Total
42274.875
199
37
Signifikansi pada data diatas adalah 0,126>0,05, maka tidak ada perbedaan yang signifikan antara usia responden dengan agresi.
4.6.3 Suku Tabel 4.34 Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic
df1
df2
Sig.
1.444
10
189
.164
Pada tabel diatas, diketahui bahwa signifikansi sebesar 0,164>0,05, maka varians tersebut homogen.
Tabel 4.35 one way anova suku. Sum of Squares df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
1653.417
10
165.342
.769
.658
Within Groups
40621.458
189
214.928
Total
42274.875
199
Signifikansi pada data diatas adalah 0,658>0,05, maka tidak ada perbedaan yang signifikan antara agresi dengan suku responden.
4.6.4 Uang Jajan
Tabel 4.36 Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic
df1
df2
Sig.
1.043
5
194
.393
signifikansi pada tabel diatas sebesar 0,393>0,05, maka varians tersebut homogen.
38
Tabel 4.37 one way anova uang jajan.
Sum
of
Mean
Squares
Df
Square
F
Sig.
2133.973
5
426.795
2.063
.072
Within Groups
40140.902
194
206.912
Total
42274.875
199
Between Groups
Signifikansi pada data diatas adalah 0,072>0,05, maka tidak ada perbedaan yang signifikan antara agresi dengan uang jajan responden.
4.6.5 Jumlah Sahabat Tabel 4.38. Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic
df1
df2
Sig.
.499
3
196
.683
Signifikansi pada tabel diatas adalah 0,683>0,05, sehingga data tersebut homogen. Tabel 4.39. one way anova jumlah sahabat Sum of Squares Df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
318.650
3
106.217
.496
.685
Within Groups
41956.225
196
214.062
Total
42274.875
199
Signifikansi hasil analisis pada data diatas adalah 0,685>0,05, maka hasilnya adalah tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata jumlah sahabat dengan agresi.
39
4.6.6 Perilaku Orangtua Tabel 4.40 Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic
df1
df2
Sig.
1.276
4
195
.281
Signifikansi pada tabel diatas adalah 0,281>0,05, sehingga data tersebut homogen. Tabel. 4.41 one way anova perilaku orangtua. Sum of Squares Df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
1267.330
4
316.833
1.507
.202
Within Groups
41007.545
195
210.295
Total
42274.875
199
Signifikansi pada data diatas adalah 0,202>0,05, maka tidak ada perbedaan yang signifikan antara agresi dengan perilaku orangtua responden.
4.6.7
Jenis Acara Televisi
Tabel 4.42 Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic
df1
df2
Sig.
.897
7
192
.510
Signifikansi pada tabel diatas adalah 0,510>0,05, sehingga data tersebut homogen. Tabel 4.43 one way anova jenis acara televisi Sum of Squares Df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
1589.766
7
227.109
1.072
.383
Within Groups
40685.109
192
211.902
Total
42274.875
199
40
Signifikansi pada data diatas adalah 0,658>0,05, maka tidak ada perbedaan yang signifikan antara agresi dengan jenis acara televisi yang sering ditonton oleh responden.
4.6.8
Pekerjaan Ayah
Tabel 4.44 Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic
df1
df2
Sig.
1.179
8
190
.313
Signifikansi pada tabel diatas adalah 0,313>0,05, sehingga data tersebut homogen.
Tabel 4.45 one way anova pekerjaan ayah Sum of Squares Df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
1646.497
9
182.944
.856
.566
Within Groups
40628.378
190
213.834
Total
42274.875
199
Signifikansi pada data diatas adalah 0,566>0,05, maka tidak ada perbedaan yang signifikan antara agresi dengan pekerjaan ayah responden.
4.6.9 Pekerjaan Ibu Tabel 4.46 Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic
df1
df2
Sig.
3.036
7
190
.005
41
Signifikansi pada tabel diatas adalah 0,005<0,05, sehingga data tersebut tidak homogen.
4.6.10 Bermain Games Tabel 4.47 Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic
df1
df2
Sig.
1.196
1
198
.275
Signifikansi pada tabel diatas adalah 0,275>0,05, sehingga data tersebut homogen. Tabel 4.48 one way anova pekerjaan ayah Sum of Squares Df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
84.741
1
84.741
.398
.529
Within Groups
42190.134
198
213.081
Total
42274.875
199
Signifikansi pada data diatas adalah 0,529>0,05, maka tidak ada perbedaan yang signifikan antara agresi dengan aktivitas bermain games responden.
4.6.11 Jenis Games Tabel 4.49 Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic
df1
df2
Sig.
1.953
3
196
.122
Signifikansi pada tabel diatas adalah 0,122>0,05, sehingga data tersebut homogen.
42
Tabel 4.50 one way anova pekerjaan ayah Sum of Squares Df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
139.764
3
46.588
.217
.885
Within Groups
42135.111
196
214.975
Total
42274.875
199
Signifikansi pada data diatas adalah 0,885>0,05, maka tidak ada perbedaan yang signifikan antara agresi dengan jenis games yang dimainkan oleh responden.
4.6.12 Mengkonsumsi Alkohol Tabel 4.53 Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic
df1
df2
Sig.
1.076
2
197
.343
Signifikansi pada tabel diatas adalah 0,343>0,05, sehingga data tersebut homogen. Tabel 4.54 one way anova pekerjaan ayah Sum of Squares Df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
14716.995
2
7358.498
52.603
.000
Within Groups
27557.880
197
139.888
Total
42274.875
199
Signifikansi pada data diatas adalah 0,000<0,05, maka ada perbedaan yang signifikan antara agresi dengan konsumsi alkohol responden.
43
4.7 Anasilis Tingkatan Antara Data Kontrol Dengan Variabel Terikat Masing-masing responden memiliki tingkatan agresi yang berbeda-beda ditinjau dari pilihan jawaban yang mereka berikan pada data kontrol. Tingkatan tersebut dibagi menjadi tiga bagian, yakni kategori agresi rendah, sedang, dan juga tinggi. Tabel 4.55 Crosstabb data kontrol dan agresi.
Data Kontrol Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
Usia
Suku
Uang Jajan
Perilaku Orangtua
Jenis Acara TV
Tinggi 28 20 7 15 23 16 16 17 5 12 10 1 1 1 1 1 1 2 3
Betawi Jawa Sunda Padang Batak Bangka Ambon Abung Arab Tionghoa Aceh Kurang dari Rp. 5000 Rp. 5001-Rp. 10.000 Rp. 10.001-Rp. 15.000 Rp. 15.001-Rp. 20.000 Rp. 20.001Rp.50.000 Diatas Rp. 50.001
Tingkatan Sedang Rendah 40 35 18 59 16 14 37 15 34 12 13 8 16 20 12 13 4 4 2 7 1 3 0 1 1 1 2 1 0 2 1 4
Total Responden 103 97 37 75 62 26 48 35 9 10 5 2 3 4 4 8
1
1
0
2
3
6
9
18
9
11
28
48
19
17
32
68
10
16
23
49
6
7
2
15
Perhatian
14
22
49
85
Acuh Memanjakan Kasar Tegas Infotainment
11 6 4 13 2
11 4 4 17 4
19 7 7 12 8
41 17 15 42 14
44
Bermain Games Jenis Games
Pekerjaan Ayah
Pekerjaan Ibu
Minum Alkohol
Film action Sinetron Berita Komedi Reality show Animasi Olahraga Ya Tidak Action Petualangan Strategi Tidak ada PNS BUMN Wiraswasta Wirausaha Buruh Guru Dosen Pensiunan Dokter Pilot PNS BUMN Wiraswasta Wirausaha Buruh Ibu Rumah Tangga Guru Dosen Pensiunan Dokter Ya Kadang-kadang Tidak Pernah
13 5 11 10 3 0 4 38 10 48 13 16 10 12 3 19 9 0 0 0 3 1 1 14 3 16 6 0
13 5 11 16 2 2 5 44 14 58 8 20 13 17 7 17 4 5 0 2 4 0 2 11 1 9 4 0
14 14 15 29 12 0 2 70 24 94 23 35 23 21 9 26 20 3 1 3 4 2 5 16 2 12 12 1
40 24 37 55 17 2 11 152 48 200 44 71 46 50 19 62 33 8 1 5 11 3 8 41 6 37 22 1
7
29
44
80
1 0 0 1 9 28 11
2 1 1 0 2 8 48
5 0 1 1 3 3 88
8 1 2 2 14 39 147
45
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1
Simpulan Berdasarkan hasil analisa, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dan agresi pada remaja (r=0,602 dan p=0,000<0,05). Hal ini berarti, ada hubungan antara kecerdasan emosional dan agresi, hubungan itu merupakan korelasi negatif, artinya semakin tinggi kecerdasan
emosional,
maka
semakin
Sebaliknya,
semakin rendah kecerdasan
rendah
agresinya.
emosional, maka
semakin tinggi agresinya. Maka Ha diterima dan Ho ditolak. 2. Dari 200 responden, yang terbanyak memiliki kecerdasan emosional tingkat sedang (49%). 3. Dari 200 responden, yang terbanyak
memiliki agresi tingkat
sedang (47,9%). 4. Yang memiliki hubungan dengan variabel agresi diantaranya adalah
suku
responden
(p=0,001<0,05),
perilaku
orangtua
(p=0,019<0,05), dan konsumsi alkohol (0,000<0,05). Dan yang tidak ada hubungan dengan variabel agresi adalah usia, jenis kelamin, kegiatan bermain games, jenis games yang dimainkan, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, jenis acara televisi, uang jajan, dan jumlah sahabat. 5. Yang memiliki perbedaan yang signifikan dengan agresi hanya konsumsi alkohol (p=0,000<0,05). Maka dari itu, terdapat perbedaan tingkat agresi antara remaja yang sering minum alkohol, kadang-kadang, dan tidak pernah. Yang tidak memiliki
46
perbedaan dengan agresi diantaranya adalah usia, jenis kelamin, kegiatan bermain games, jenis games yang dimainkan, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, jenis acara televisi, uang jajan, perilaku orangtua, jumlah sahabat, dan suku responden. 6. Baik remaja laki-laki maupun perempuan memiliki tingkat agresi yang sama (p=0,739>0,05).
5.3 Saran Ada beberapa saran yang dapat peneliti ajukan untuk dapat menjadi masukan bagi penelitian selanjutnya, yaitu: 5.3.1
Saran Teoritis a. Selalu melatih kecerdasan emosional diri agar dapat menekan perilaku agresi dengan cara mengenali emosi diri sendiri, dapat mengelola emosi diri sendiri, dapat memotivasi diri sendiri, empati terhadap orang lain, dan dapat membina hubungan baik dengan lingkungan sekitarnya. b. Orangtua merupakan model bagi anak-anaknya, maka disarankan untuk berperilaku baik didepan anak-anaknya agar anak terbiasa meniru perilaku yang sepantasnya. c. Alkohol merupakan prediktor yang dapat mempengaruhi perilaku agresi, maka sebaiknya menghindari kebiasaan minum alkohol. d. Indonesia kaya akan beragamnya suku dan budaya. Oleh sebab itu, perlu dilakukannya pertukaran budaya (cross cultural) agar dapat mempelajari suku-suku lain yang ada di Indonesia. Sehingga kita dapat memahami segala perbedaan-perbedaan seperti watak yang ada pada masing-masing individu yang berasal dari suku dan budaya yang berbeda.
47
5.3.2
Saran Praktis a. Penelitian ini memiliki keterbatasan jumlah responden. Sehingga peneliti hanya dapat mengukur kecerdasan emosional dan agresi pada remaja yang berdomisili di Jakarta saja. Hal itupun masih dibatasi dengan usia responden yang berada pada tahapan remaja pertengahan (middle adolescent). Bagi peneliti yang ingin melakukan
penelitian
yang
serupa,
disarankan
untuk
menggunakan sampel yang lebih banyak dengan variansi berbagai macam usia dan suku di Indonesia. b. Proses penyebaran kuesioner dirasa kurang efisien, karena peneliti menyebarkan dibeberapa tempat dimana banyak remaja berkumpul, seperti foodcourt mall, kantin, dan lain sebagainya. Hal tersebut
cukup
menyita
waktu
peneliti,
alangkah
baiknya
penyebaran kuesioner dilakukan dengan menyebarkan dikelaskelas pada saat sekolah. c. Untuk memperkuat hasil penelitian, seharusnya dilakukan metode tambahan seperti mengobservasi perilaku remaja. d. Saat
ini
banyak
peneliti
melakukan
penelitian
mengenai
kecerdasan emosional berdasarkan model kecerdasan Goleman, maka disarankan untuk menggunakan alat ukur lain. Salah satu alat ukur yang dapat digunakan adalah MSCEIT V.02. yang mempunyai keunggulan prediktif dengan melibatkan real world criteria (Mayer, Salovey, & Caruso, 2002). Hal tersebut dibenarkan oleh Lanawati (2012) yang menyatakan bahwa alat ukur yang dikembangkan oleh Salovey lebih dapat memprediksi kecerdasan emosional orang lain dengan melihat gambar ekspresi pada alat tes tersebut.
48
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan. (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Anak Berperilaku Buruk? Salahkan Pola Asuh. Diperoleh 14 Mei, 2012 dari http://health.kompas.com/read/2011/10/31/07445869/Anak.Berperilaku.B uruk.Salahkan.Pola.Asuh Baron, R. A., & Byrne, D. (2005). Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Bettencourt, B. A., Talley, A., Valentine, J., & Benjamin, A. J. (2006). Personality and aggressive behavior under provoking and neutral conditions: A metaanalytic review. Psychological Bulletin, 132, 751-777.
BPS Provinsi DKI Jakarta. (2012). Jakarta dalam angka BPS Provinsi DKI Jakarta 2011. Jakarta: BPS Provinsi DKI Jakarta. Buss, Arnold H. & Perry, Mark. (1992). The Aggression Questionnaire. American Psychological Association. Journal of Personality and Social Psychology Vol. 63. Calvete, E. & Orue, I. (2010). Cognitive schemas and aggressive Behavior in adolescents; The mediating Role of Social Information Processiong. The Spanish Journal of Psychology. Vol. 13, No. 1, 190-210. Covey, Stephen R. (2005). The 8th Habbit: Melampaui Efektifitas, Menggapai Keagungan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Dunia Edukasi (2010). Perkelahian Pelajar. Diperoleh 16 Januari, 2011 dari http://www.duniaedukasi.net/2010/03/perkelahian-pelajar.html.
Dwiko, S. J. (2010). Genk Remaja. Yogyakarta: Kanisius. Gerungan, W. A. (2009). Psikologi Sosial. Bandung: Rafika Aditama.
Goleman, D. (2007). Emotional Intelligence. Mengapa EI Lebih Penting Daripada IQ. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
49
Gunarsa, S. D., & Gunarsa Y. S. D. (2008). Psikologi Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Guru
dan
Orangtua
Tak
Berdaya.
Diambil
pada
2
Mei,
2012
dari
http://64.203.71.11/ver1/metropolitan/0711/13/050603.html.
Herdiana, Ike (2011). Perilaku sosial pria dan wanita / kajian perilaku agresi. Diperoleh 25 Juli, 2012 dari http://ikeherdiana-fpsi.web.unair.ac.id. Hogg, A., & Vaughan, G. m. (2002). Social Psychology (3rd ed). London: Prantice Hall. Hurlock, E. B. (2011). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (5th Ed). Jakarta: Erlangga. Karmen, Andrew (2001). An Introductory to Victimology (4th Ed): Crime Victims. Wadsworth: United State of America.
Kartono, Kartini. (2011). Psikologi Sosial Kenakalan Remaja . Jakarta: RajaGrafindo Persada. Kerlinger, F. N., & Lee, H. b. (2000). Foundation of Behavioral Research (4th Ed). Forth worth: Harcourt coledge publisher. Krahe, B. (2005). Perilaku Agresif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kompas (2008). Pelaku Kriminal di Semarang Usia Produktif . Diperoleh 1 Agustus,
2012
dari
http://nasional.kompas.com/read/2008/05/05/18262384.
Lazzari, S. A. (2000). Emotional Intelligence, Meaning, and Psychological Wellbeing A Compasion Between Early and late adolescent. Thesis: Trinity western university. Mangunwibawa, A. A. (2004). Konsep Diri, Diskreparsi diri, dan kecenderungan perilaku agresi pada remaja Jakarta. Depok: fakultas psikologi Universitas Indonesia.
50
Meinarno E. W. & Sarwono S. W. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika. Monks, Knoers, & Haditono, S. R. (2009). Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Murray, J. P. (2008). Dampak tayangan adegan kekerasan di televisi. Terjemahan Hanif Hoesin & Ari Cahyo Nugroho. Majalah semi ilmiah popular komunikasi massa Vol. 4 No. 1. Mutadin, Z. (2007). Mengenal Kecerdasan Emosional Remaja. Diperoleh 20 April, 2012 dari sister.imsa.us/index.php?kecerdasan-emosional-remaja.
Myers, D. G. (2012). Psikologi Sosial jilid 2. Jakarta: Salemba Humanika. Noor, Juliansyah. (2012). Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, & Karya Ilmiah. Penerbit: Kencana Prenada Media Group. Pacheco, N. E., & Berrocal, P. F. (2004). The Role of Students’ Emotional Intelligence: Empirical Evidence. Vol. 6, No. 2. Papalia, D. E., Old, S. W., & Feldman, R.D. (2007). Human Development. (10th ed). New York: McGraw Hill.
Republika
23
Maret
2005.
Kenakalan
Remaja
Sudah
Mengkhawatirkan
Republika. (2007). Jakarta Kota Kriminal. Diperoleh 2 Mei, 2012 dari www.bps.go.id/eng/hasil_publikasi/flip_2011/.../searchtext.xml
Robbins, S. P. (2003). Perilaku Organisasi. Jilid 2. Jakarta: Indeks Kelompok Gramedia. Santrock, J. W. (2003). Adolescence. Jakarta: Erlangga. Saphiro, L. E. (2001). Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak. .Jakarta : Gramedia. Sarwono, S. W. (2006). Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
51
Steinberg, L. (2002). Adolescence. (6th Ed.). Boston: The McGraw-Hill Companies, Inc. Sarwono, S. W. (2000). Pengantar Umum Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang. Lanawati, Sri. (1999). Hubungan Antara Emotional Intelligence dan Intelektual Question dengan Prestasi Belajar Pada Siswa SMU Methodist di Jakarta. Depok: Tesis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Lanawati, Sri. (2012). Wawancara Pribadi. Tahun
2003
Jakarta
Makin
Rawan.
Diperoleh
2
Mei,
2012
dari
http://64.203.71.11/metro/news/0212/31/223054.htm. Tambunan, R. (2001). Perkelahian Pelajar. Diperoleh 2 Mei, 2012 dari http://epsikologi.com Willis, S. S. (2009). Konseling Keluarga: Family Counseling. Bandung: Alfabeta. Yosep, I. (2007). Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Rafika Aditama