HUBUNGAN ANTARA KESESUAIAN INDIVIDU-ORGANISASI DAN MODAL PSIKOLOGIS DENGAN KETERIKATAN KERJA PADA STAF ADMINISTRASI PERGURUAN TINGGI Johanes Gregorious Gozalie Magister Psikologi Sains, Fakultas Psikologi Universitas Surabaya, Surabaya Alamat Korespondensi: Jl. Raya Kalirungkut, Surabaya, Telp. 0312981352 Email:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini meneliti tentang hubungan antara kesesuaian individu-organisasi dan modal psikologis dengan keterikatan kerja yang dimiliki staf administrasi perguruan tinggi. Persaingan antar perguruan tinggi yang semakin ketat membuat pelayanan yang diberikan menjadi salah satu kunci keberhasilan sebuah perguruan tinggi. Salah satu pelayanan yang sering diabaikan, namun cukup penting adalah pelayanan administrasi. Maka dari itu, staf administrasi perguruan tinggi seharusnya menunjukkan sikap melayani yang prima kepada stakeholder. Namun sayangnya, tidak semua staf administrasi perguruan tinggi menunjukkan sikap tersebut. Sikap kerja yang prima akan ditunjukkan seorang staf ketika staf tersebut memiliki keterikatan kerja yang tinggi terhadap pekerjaannya. Keterikatan kerja seorang staf diindikasikan oleh tiga hal yaitu semangat, dedikasi, dan penghayatan. Staf akan memiliki keterikatan kerja jika staf tersebut memiliki kesesuaian dengan organisasinya. Didukung pula, jika staf tersebut memiliki modal psikologis yang tinggi, maka keterikatan kerja staf tersebut akan semakin tinggi. Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah jika staf administrasi perguruan tinggi memiliki nilai, tujuan, pemenuhan kebutuhan, serta budaya yang sesuai dengan perusahaan, ditunjang dengan modal psikologis yang baik, maka keterikatan kerja staf tersebut akan semakin besar. Subjek dalam penelitian ini adalah staf administrasi berjenis kelamin pria dan wanita, dengan kriteria masa kerja lebih dari 5 (lima) tahun dan berstatus karyawan tetap. Teknik pengumpulan sampel adalah menggunakan proportion random sampling. Pengambilan sampel dilakukan di sebuah perguruan tinggi swasta di Surabaya. Kata kunci: Modal Psikologis, Kesesuaian Individu-Organisasi, Keterikatan Kerja
186
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
1. PENDAHULUAN Jumlah perguruan tinggi di Indonesia yang semakin banyak dari tahun ke tahun membuat persaingan di antara perguruan tinggi semakin ketat. Maka dari itu, tiap perguruan tinggi diharuskan memiliki sumber daya yang unggul. Sumber daya utama yang harus dimiliki oleh perguruan tinggi adalah dosen atau tenaga pendidik, namun di samping itu, sumber daya yang juga memegang peranan penting dalam berlangsungnya aktifitas di perguruan tinggi adalah staf administrasi. Staf administrasi tidak hanya berkaitan dengan tugas-tugas administratif saja, namun juga tugas-tugas lain yang terkait dengan pelayanan, antara lain membantu proses belajar mengajar, kemahasiswaan, kepegawaian, sarana prasarana, pembangunan infrastruktur, keuangan, perpustakaan, serta hubungan masyarakat. Tugas-tugas staf administrasi yang sangat terkait dengan pelayanan kepada pihak eksternal maupun internal membuat staf administrasi seharusnya memiliki mental yang positif dan memiliki totalitas dalam bekerja. Namun yang terjadi, berdasarkan pengamatan awal yang dilakukan oleh peneliti, ditemukan cukup banyak staf administrasi perguruan tinggi yang tidak menunjukkan sikap yang positif dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan, terutama dari pihak eksternal. Di beberapa perguruan tinggi di Surabaya, hal yang paling sering terjadi adalah melempar-lempar informasi sehingga pelanggan menjadi bingung dan pada akhirnya tidak menemukan solusi dari layanan yang diberikan oleh petugas administrasi. Selain itu, ada pula terjadi di beberapa universitas, staf administrasi melayani dengan nada dan sikap yang ketus, sehingga menimbulkan kesan yang tidak ramah. Bahkan di salah satu universitas swasta, peneliti menemukan ada petugas sedang tiduran di atas sofa. Hal tersebut mencerminkan sikap-sikap yang kurang positif dan penuh. Sikap-sikap tersebut sangat terkait dengan motivasi dalam bekerja. Salah satu konsep motivasi yang dapat menjelaskan fenomena tersebut yaitu keterikatan kerja. Keterikatan kerja merupakan keadaan mental seseorang terkait dengan pekerjaannya yang bersifat positif dan penuh. Terdapat 3 karakteristik yang dapat menilai keterikatan kerja seorang karyawan, yaitu vigor (semangat), dedication (dedikasi), dan absorption (penghayatan). Semangat ditandai dengan energi tinggi dan ketahanan mental saat bekerja, keinginan untuk berinvestasi pada suatu pekerjaan dan tetap bertahan walaupun mengalami kesulitan. Dedikasi mengarah pada seseorang yang sangat terlibat pada pekerjaannya dan merasakan signifikansi, antusias, terinspirasi, bangga, dan memperoleh tantangan dari pekerjaannya. Penghayatan ditandai dengan berkonsentrasi penuh dan bahagia terlibat dalam pekerjaannya di mana hal ini mengakibatkan waktu terasa cepat berlalu dan orang tersebut sulit untuk memisahkan diri dari pekerjaannya (Schaufeli et al., 2002). Menurut Saks (2006), keterikatan kerja memiliki hubungan yang positif dengan berbagai hal yang berkaitan dengan organisasi dan karyawan. Dalam kaitannya dengan karyawan, Soane et al. (2010, dalam Banihani et al., 2013) menemukan bahwa keterikatan kerja mempengaruhi wellbeing dan kinerja karyawan. Kinerja karyawan yang terikat dengan pekerjaannya akan memiliki kinerja lebih baik daripada karyawan yang tidak terikat dengan pekerjaannya. Hal tersebut disebabkan karena empat hal, yaitu karyawan yang terikat mengalami emosi positif seperti happiness, enthusiasm, dan joy; mereka memiliki kesehatan yang lebih baik; mereka mampu membuat sumber-sumber pribadi dan organisasi; dan mereka sering membagi keterikatannya kepada orang lain (Bakker, 2009). Ketika karyawan mengalami hal-hal positif dan memiliki keterikatan kerja yang tinggi, maka karyawan tersebut akan puas terhadap pekerjaannya, sehingga intention to quit dari karyawan menjadi kecil. Hal tersebut juga disampaikan oleh Koyuncu, Burke, dan Fiksenbaum (2006) dalam penelitiannya kepada manajer dan profesional di Turkish Bank yang menemukan bahwa keterikatan kerja berhubungan dengan intention to quit dan job satisfaction dari karyawan. Dalam level organisasi, Harter et al. (2002) menyetujui bahwa keterikatan kerja memiliki hubungan dengan business outcome berupa kepuasan pelanggan, profit, produktivitas, turnover karyawan, dan kecelakaan kerja. Di sisi lain, karyawan yang tidak memiliki keterikatan kerja membawa pengaruh buruk untuk keuangan perusahaan (Loehr & Schwartz dalam Banihani, 2013). Sebagai contoh, di Singapore, biaya yang dikeluarkan untuk menanggung karyawan yang tidak Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
187
terikat sebesar 4,9-6,7 miliar Poundsterling per tahun (Flade; Frank et al. dalam Banihani, 2013). Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa keterikatan kerja sangat penting dan memiliki pengaruh positif baik dalam level individu maupun organisasi. Dewasa ini, studi mengenai keterikatan kerja telah menggunakan Job Demand-Resources (JD-R) model sebagai kerangka teori untuk memprediksi keterikatan kerja. Sesuai dengan namanya, JD-R Model terdiri dari dua aspek, yaitu job demands dan job resources (Bakker & Leiter, 2010). Job demands merupakan aspek fisik, psikologis, sosial, atau organisasional dari pekerjaan yang membutuhkan usaha atau kemampuan fisik dan/atau psikologis berkesinambungan dari karyawan (Bakker & Demerouti, 2007). Contoh dari job demands adalah tekanan waktu dan pekerjaan, emotional demands of client work, fisik lingkungan kerja yang merugikan, ketidakjelasan peran, konflik dalam peran, dan peran yang berlebihan. Di sisi lain, job resources adalah aspek fisik, psikologis, sosial, atau organisasi dari pekerjaan yang mampu mengurangi beban pekerjaan, berfungsi dalam mencapai tujuan kerja, dan mendukung pertumbuhan, pembelajaran, dan perkembangan karyawan (Bakker & Demerouti, 2008). Contoh dari job resources adalah gaji, kesempatan karir, keamanan bekerja, kejelasan peran, dan keikutsertaan dalam pengambilan keputusan, performance feedback, variasi keterampilan, dan otonomi. Menurut Bakker & Demerouti (2007), tingginya job resources jika dikombinasikan dengan job demands, baik tinggi maupun rendah dapat menghasilkan motivasi dan keterikatan yang tinggi. Menurut Bakker & Leiter (2010), pada awal penelitian mengenai keterikatan kerja, terdapat kemungkinan adanya faktor di luar pekerjaan yang dapat meningkatkan keterikatan. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara keterikatan dengan personal variable. Pada akhirnya, Xanthopoulou et al. (2007) menggabungkan konsep personal resources ke dalam model JD-R. Personal resources mereka yakini dapat dikembangkan dan dikelola untuk meningkatkan kinerja. Hamid & Yahya (2011) memaparkan bahwa keterikatan kerja tidak hanya dapat diprediksi dengan model JD-R saja, melainkan ada prediktor-prediktor lain yang berhubungan dengan keterikatan kerja. Prediktor tersebut adalah person fit. Hamid & Yahya (2011) menjelaskan hubungan antara person fit dengan keterikatan kerja menggunakan Field Theory dari Lewin dan Theory of Planned Behavior (TPB) dari Ajzen. Field theory menjelaskan bahwa interaksi antara individu dengan lingkungan kerjanya akan memunculkan sebuah perilaku. Individu yang merasakan lingkungan kerjanya positif, maka individu tersebut akan memunculkan perilaku positif. Maka dari itu, ketika karyawan merasa cocok baik dengan pekerjaan maupun organisasinya, mereka akan bekerja secara efektif dengan cara menyesuaikan perannya dalam mencapai visi dan misi perusahaan. Dengan kata lain, ketika karyawan merasa dirinya cocok dengan pekerjaan dan organisasinya, mereka akan menunjukkan keterikatan kerja yang tinggi (Lewin dalam Hamid & Yahya, 2011). Ajzen (1991) menyatakan bahwa karyawan yang memiliki knowledge, skill, dan ability yang baik akan dapat mengimplementasikan pekerjaannya dengan baik pula. Hal tersebut membuat karyawan tersebut memiliki keterikatan dengan implementasi pekerjaan. Karyawan yang memiliki kemampuan yang cocok dengan pekerjaan dan organisasinya dapat menunjukkan kinerja yang efektif, sehingga dapat melakukan implementasi pekerjaannya untuk mencapai visi dan misi perusahaan dan akhirnya karyawan tersebut merasa terikat dengan perannya dalam perusahaan. Berdasarkan paparan ketiga teori tersebut yaitu JD-R Model, Field Theory, dan TPB, maka penulis menilai bahwa keterikatan kerja tidak selamanya hanya dapat diprediksi menggunakan job resources, job demands, dan personal resources. Ternyata ada pula variabel-variabel lain yang tidak termasuk ke dalam job resources, job demands, dan personal resources yang dapat menjadi prediktor untuk keterikatan kerja, misalnya person fit, baik person-job fit ataupun personorganization fit (P-O Fit). Adanya gap teori keterikatan kerja ditinjau dari JD-R Model, Field Theory, serta TPB membuka peluang penelitian yang dapat menggabungkan ketiga teori tersebut. Selain itu, pentingnya keterikatan kerja, kesesuaian individu-organisasi, dan modal psikologis dalam sebuah organisasi atau perusahaan, didukung pula oleh adanya gap empirik yang terjadi pada staf administrasi di perguruan tinggi, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Hubungan antara Kesesuaian Individu-Organisasi dan Modal Psikologis dengan Keterikatan Kerja. 188
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara Kesesuaian Individu Organisasi dan Modal Psikologis secara simultan dengan Keterikatan Kerja. Ketika seorang karyawan merasa sesuai dengan perusahaan tempatnya bekerja, maka keterikatan kerjanya akan semakin meningkat. Begitu pula ketika karyawan memiliki modal psikologis yang tinggi, maka keterikatan kerjanya juga akan semakin meningkat. Penelitian ini memiliki tiga buah hipotesis, dua di antaranya adalah hipotesis minor dan sebuah hipotesis mayor. Hipotesis mayor dari penelitian ini adalah ada hubungan antara Kesesuaian Individu-Organisasi dan Modal Psikologis dengan Keterikatan Kerja. Sedangkan hipotesis minor pertama adalah ada hubungan positif antara Kesesuaian Individu-Organisasi dengan Keterikatan Kerja dengan mengontrol Modal Psikologis. Hipotesis minor kedua adalah ada hubungan positif antara Modal Psikologis dengan Keterikatan Kerja dengan mengontrol Kesesuaian Individu-Organisasi. Keterikatan Kerja Tokoh pertama yang menemukan konsep keterikatan kerja adalah Kahn (1990) yang mendefinisikan keterikatan kerja sebagai ”harnessing of organization members’ selves to their work roles: in engagement, people employ and express themselves physically, cognitively, emotionally, and mentally during role performances”. Dengan kata lain, karyawan yang terikat akan menaruh perhatian dan usaha besar pada pekerjaannya, baik secara fisik, pikiran, emosi, maupun mental karena karyawan tersebut mengenali pekerjaannya. Selanjutnya, Rothbard (2001) yang terinspirasi dengan konsep Kahn mendefinisikan keterikatan kerja sebagai konsep motivasi dua dimensi yang terdiri dari attention (ketersediaan pemikirian dan banyaknya waktu yang dihabiskan seseorang dalam memikirkan sebuah peran) dan absorption (intensitas dari fokus seseorang terhadap sebuah peran). Maslach et al. (2001) mendefinisikan keterikatan kerja sebagai lawan dari burnout. Menurut Maslach et al. (2001), keterikatan kerja adalah kondisi dimana karyawan memiliki energi dan hubungan efektif dengan pekerjaannya, dan mereka justru menganggap tekanan dan banyaknya pekerjaan sebagai suatu tantangan. Di sisi lain, Schaufeli et al. (2002) mendefinisikan keterikatan kerja sebagai “a positive, fulfilling, work-related state of mind that is characterized by vigor, dedication, and absorption”. Dengan kata lain, karyawan yang terikat dengan pekerjaannya akan memiliki keadaan mental yang positif dan penuh ketika bekerja. Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa keterikatan kerja adalah keadaan dimana karyawan mengerahkan seluruh energi dan kemampuannya, baik secara fisik, pikiran, emosi, maupun mental secara efektif, positif dan penuh di dalam pekerjaannya. Dalam penelitian ini, konsep keterikatan kerja yang dipakai adalah konsep dari Schaufeli et al. (2002) yang mendefinisikan keterikatan kerja sebagai keadaan mental seorang karyawan terkait dengan pekerjaannya yang bersifat positif dan penuh dan memiliki karakteristik semangat, dedikasi, dan penghayatan. Keterikatan kerja dapat diprediksi oleh 3 faktor, yaitu job resources, personal resources, dan job demands (Bakker & Demerouti, 2007; Bakker & Demerouti, 2008). Ketiga faktor tersebut diintegrasikan menjadi sebuah model bernama JD-R Model seperti yang terdapat pada Gambar 1.
Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
189
JOB DEMANDS
JOB RESOURCES -
Autonomy Performance feedback Social support Supervisory coaching Etc.
-
Work pressure Emotional demands Mental demands Physical demands Etc.
PERSONAL RESOURCES -
Optimism Self-efficacy Resilience Hope Etc.
KETERIKATAN KERJA - Vigor - Dedication - Absorption
Gambar 1. JD-R Model (Bakker & Demerouti, 2008)
Kesesuaian Individu-Organisasi Ada dua macam definisi yang dipakai dalam konsep kesesuaian individu-organisasi. Sebagian besar peneliti mendefinisikan kesesuaian individu-organisasi sebagai kesesuaian antara individu dengan organisasi (Kristof, 1996). Van Vianen, De Pater, & Van Dijk (2007, dalam Sutarjo, 2011) menambahkan bahwa kesesuaian individu-organisasi merupakan kesesuaian antara kepribadian, tujuan, dan nilai individu dengan organisasi. Kristof (1996) mendefinisikan kesesuaian individu-organisasi sebagai kesesuaian antara individu dengan organisasi yang terjadi ketika: (a) salah satu dari entitas (individu atau organisasi) menyediakan kebutuhan entitas yang lainnya, atau (b) kedua entitas tersebut memiliki karakter yang mirip bahkan sama, atau (c) keduanya. Kristof (1996) membagi kesesuaian dalam kesesuaian individu-organisasi ke dalam 2 macam kesesuaian, yaitu supplementary fit dan complementary fit. Supplementary fit terjadi ketika individu memiliki karakteristik yang hampir sama dengan individu lain di dalam lingkungan organisasi. Sedangkan complementary fit terjadi ketika karakter individu memberikan pemenuhan atau penambahan pada karakter lingkungan organisasinya. Selain perspektif supplementary dan complementary fit, Kristof (1996) juga menyatakan bahwa kesesuaian individu-organisasi dapat dilihat dari perspektif needs-supplies dan demandsabilities. Dilihat dari sisi needs-supplies, kesesuaian individu-organisasi terjadi ketika organisasi dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan individu. Sedangkan jika dilihat dari sisi demandsabilities, kesesuaian individu-organisasi terjadi ketika individu memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan organisasi. Interaksi antara kedua perspektif tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2, dapat dilihat bahwa supplementary fit (panah”a”) menggambarkan hubungan antara karakteristik organisasi dan individu. Karakter organisasi terdiri dari budaya, iklim, nilai, tujuan, dan aturan. Sedangkan karakter individu terdiri dari kepribadian, nilai, tujuan, dan sikap. Ketika ada kemiripan antara karakteristik organisasi dan individu, maka terjadilah supplementary fit.
190
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
Gambar 2. Model Konsep Kesesuaian Individu-Organisasi (Kristof, 1996)
Masing-masing entitas memiliki supplies dan demands. Organisasi memiliki demands seperti waktu, tenaga, komitmen, pengalaman, serta kemampuan (Knowledge, Skills, Abilities / KSAs) dari individu. Sedangkan individu memiliki demands seperti kebutuhan keuangan, kebutuhan fisik, kebutuhan psikologis, serta kebutuhan pengembangan diri. Jika diperhatikan dari Gambar 2, maka demands organisasi merupakan supplies individu, dan sebaliknya, demands individu merupakan supplies organisasi. Ketika supplies organisasi sesuai dengan demands individu, di sinilah terjadi needssupplies fit (panah “b”). Sedangkan ketika demands organisasi sesuai dengan supplies yang dimiliki individu, di sinilah terjadi demands-abilities fit (panah “c”). Kedua hubungan demandssupplies disebut juga complementary fit. Kristof (1996) juga menyatakan bahwa terdapat empat karakteristik untuk menilai kesesuaian antara individu dengan organisasi, yaitu kesesuaian nilai antara nilai intrinsik individu dengan organisasi, kesesuaian antara tujuan individu dengan organisasi, kesesuaian antara kebutuhan karyawan dan kekuatan yang terdapat dalam lingkungan kerja dengan sistem dan struktur organisasi, dan kesesuaian antara kepribadian individu dengan iklim atau budaya organisasi. Modal Psikologis Penelitian dan teori yang dihasilkan tokoh-tokoh psikologi, mulai dari awal perkembangannya hingga sampai saat ini banyak berorientasi pada konsep psikologi positif (Luthans, Avolio, Avey, & Norman, 2007). Dalam perkembangannya, konsep psikologi positif yang disebut juga positive organizational behavior (POB) tersebut banyak dipakai juga untuk mengelola sumber daya manusia dalam organisasi. POB didefinisikan sebagai studi dan aplikasi dari kekuatan positif dan kapasitas psikologis yang dimiliki sumber daya manusia yang dapat diukur, dikembangkan, dan dikelola secara efektif untuk meningkatkan kinerja. Berdasarkan definisi tersebut, ditemukan bahwa konsep psikologi positif memiliki empat kriteria, yaitu hope (harapan), resilience (resiliensi), optimism (optimisme), dan self-efficacy (keyakinan akan kemampuan diri sendiri), dan jika digabungkan akan membentuk sebuah konsep yang dinamakan modal psikologis (Luthans et al., 2007). Dari beberapa konsep dan kriteria tersebut, Luthans et al. (2007) mendefinisikan modal psikologis sebagai sebuah pengembangan kondisi psikologis yang positif dari seseorang yang memiliki karakteristik memiliki keyakinan akan kemampuan diri sendiri untuk mengeluarkan usaha dalam rangka menyelesaikan tantangan dalam pekerjaan, membuat tekad positif dalam mencapai keberhasilan sekarang dan di masa yang akan datang, tekun dalam pencapaian tujuan, jika perlu Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
191
membuat jalur dalam mencapai tujuan dalam rangka untuk mencapai keberhasilan, dan ketika mengalami masalah atau kesulitan, mampu bertahan dan bahkan bangkit untuk mencapai kesuksesan. Menurut Luthans et al. (2007), terdapat empat karakteristik yang membentuk konsep modal psikologis, yaitu keyakinan diri, harapan, optimisme, dan resiliensi. Bandura (1997, dalam Page & Donohue, 2004) mendefinisikan keyakinan diri sebagai keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk mengelola dan melaksanakan tugas-tugasnya dalam mencapai sebuah tujuan. Sedangkan menurut Stajkovic & Luthans (1998, dalam Luthans et al., 2007), keyakinan diri adalah kepercayaan diri karyawan terhadap kemampuannya untuk mengerahkan motivasi, sumber daya kognitif, atau tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan dengan sukses. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, Stajkovic & Luthans (1998, dalam Luthans et al., 2007) menemukan bahwa keyakinan diri memiliki hubungan yang kuat dan positif dengan kinerja. Dalam modal psikologis, keyakinan diri memiliki kontribusi dalam membuka diri terhadap tantangan dan kemauan untuk memberikan usaha lebih dalam mencapai tujuan (Page & Donohue, 2004). Snyder et al. (1991, dalam Luthans et al., 2007) mendefinisikan harapan sebagai motivasi positif seseorang yang didasarkan pada keinginan untuk sukses. Harapan memiliki tiga konsep dasar yaitu agency (energi atau motivasi untuk mencapai tujuan), pathways (cara-cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan), dan goals (tujuan yang ingin dicapai). Dengan kata lain, harapan merupakan kemauan seseorang untuk sukses dan kemampuan untuk mengidentifikasi, menjelaskan, dan melaksanakan cara untuk mencapai kesuksesan (Snyder, 2000, dalam Luthans et al., 2007). Dalam modal psikologis, harapan memiliki kontribusi dalam menentukan tujuan dan keinginan untuk mencapai tujuan tersebut, disertai dengan rencana atau strategi yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut (Page & Donohue, 2004). Luthans & Youssef (2004, dalam Page & Donohue, 2004) menjelaskan bahwa optimisme merupakan sebuah tipe pembagian kejadian dari seseorang, kejadian positif bersifat internal, pemanen, dan dapat menjalar ke kejadian lain, sedangkan kejadian negatif bersifat eksternal, sementara, dan spesifik pada sebuah kejadian saja. Seligman (2002, dalam Page & Donohue, 2004) menjelaskan dua dimensi optimisme berdasarkan persepsi dari seseorang terhadap sebuah kejadian. Seseorang yang optimis akan melihat kejadian negatif sebagai hal yang sementara dan kejadian positif sebagai hal yang permanen. Selain itu, orang yang optimis akan melihat efek negatif sebagai akibat yang spesifik terhadap sebuah kejadian, sedangkan efek positif akan dilihat sebagai kebalikannya. Snyder (2002, dalam Luthans et al., 2007) mendefinisikan optimismee sebagai proses berpikir berdasarkan tujuan yang berjalan ketika sebuah hasil yang dicapai memiliki nilai substansial. Seligman (1998, dalam Luthans et al., 2007) menemukan bahwa optimismee memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan kinerja ketika diterapkan langsung pada tempat kerja. Dalam modal psikologis, optimismee memiliki kontribusi dalam memberikan batasan antara pengaruh negatif dan positif dari sebuah kejadian, serta memberikan harapan positif terkait dengan masa depan (Page & Donohue, 2004). Dalam konsep psikologi positif, resiliensi memiliki karakteristik penyelesaian masalah dan adaptasi secara positif terhadap sebuah resiko atau kesulitan (Masten, 2001, dalam Luthans et al., 2007). Dalam konteks di tempat kerja, resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan psikologis seseorang untuk bertahan, dan bahkan bangkit dari kesulitan, ketidakpastian, konflik, kegagalan, bahkan peningkatan tanggung jawab dalam pekerjaan (Luthans, 2002, dalam Luthans et al., 2007). Dalam modal psikologis, resiliensi memiliki kontribusi dalam mengembalikan kondisi seseorang ketika mengalami kejadian yang tidak menyenangkan (Page & Donohue, 2004).
192
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
2. METODE Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian kuantitatif dengan metode survey. Dalam penelitian ini, variabel yang menjadi dependent variable, yaitu variabel yang dipengaruhi variabel lain adalah keterikatan kerja. Sedangkan variabel yang menjadi independent variable, yaitu variabel yang mempengaruhi variabel lain adalah kesesuaian individu-organisasi dan modal psikologis. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh staf administrasi di sebuah perguruan tinggi swasta di Surabaya yang telah berstatus karyawan tetap dan memiliki masa kerja di atas lima tahun. Jumlah populasi tersebut adalah 259 orang. Dari total populasi tersebut kemudian dilakukan proses sampling dengan jumlah sampel sebesar 157 orang. Teknik pengambilan sampel yang dipakai dalam penelitian ini adalah proportion random sampling. Hal tersebut disebabkan adanya bagianbagian dalam struktur organisasi perguruan tinggi tesebut, sehingga agar semua karyawan bisa mendapatkan kesempatan yang sama dalam penelitian, maka akan diambil sampel dari tiap-tiap bagian. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga alat ukur. Instrumen yang digunakan untuk mengukur keterikatan kerja karyawan adalah Utrecht Work Engagement Scale (UWES) yang dikembangkan oleh Schaufeli dan Bakker (2003). Instrumen tersebut terdiri dari 17 aitem dan dibagi menjadi tiga aspek, yaitu vigor (6 aitem), dedication (5 aitem), dan absorption (5 aitem). Instrumen yang digunakan untuk mengukur kesesuaian individu-organisasi adalah Angket P-O Fit yang didasarkan pada konsep Kristof (1996). Instrumen tersebut terdiri dari 16 aitem yang terbagi menjadi empat aspek, yaitu value congruence (4 aitem), goal congruence (4 aitem), employee need fulfillment (4 aitem), dan culture personality congruence (4 aitem). Instrumen yang digunakan untuk mengukur modal psikologis adalah Psychological Capital Questionnaire (PCQ) yang dikembangkan oleh Luthans et al. (2007). Instrumen tersebut memiliki 24 aitem yang dibagi ke dalam 4 aspek, yaitu hope, efficacy, resilience, dan optimism dimana masing-masing aspek memiliki enam aitem. Uji validitas yang dipakai pada penelitian ini adalah expert judgement atau konsultasi dengan ahli, dalam hal ini dosen pembimbing. Teknik pengujian reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode konsistensi internal menggunakan koefisien Alpha Cronbach. Sedangkan untuk menguji hipotesis penelitian, peneliti menggunakan metode structural equation model.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Paper ini merupakan sebuah rancangan penelitian yang pada akhirnya akan diimplementasikan pada sebuah tesis. Oleh karena itu, untuk sementara, paper ini belum memiliki hasil penelitian. Namun, peneliti mencoba melakukan studi literatur berdasarkan penelitianpenelitian terdahulu yang terkait dengan variabel-variabel penelitian ini, yaitu kesesuaian individuorganisasi, modal psikologis, dan keterikatan kerja. Berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan, peneliti menemukan beberapa hasil penelitian terdahulu, antara lain: Tabel 1. Hasil studi literatur dari penelitian sebelumnya mengenai kesesuaian individu-organisasi, modal psikologis, dan keterikatan kerja No.
Peneliti
Judul Penelitian
1.
Hamid & Yahya (2011)
2.
Biswas &
Relationship between Person-Job Fit and PersonOrganization Fit on Employee’s Work Engagement: A Study among Engineers in Semiconductor Companies in Malaysia Mediator Analysis of
Hasil Penelitian r = 0,406
standardized
Kesimpulan P-O Fit berkorelasi positif dengan keterikatan kerja
P-O Fit memiliki hubungan
Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
193
Bhatnagar (2013)
3.
Sugianto, Thoyib, & Noermijati (2012)
4.
Rostiana & Lihardja (2013)
5.
Yungsiana, Widyarini, & Silviandari (2014)
6.
Baco et al. (2014)
Employee Engagement: Role of Perceived Organizational Support, P-O Fit, Organizational Commitment and Job Satisfaction Pengaruh P-O Fit, Motivasi Kerja, dan Kepuasan Kerja terhadap Komitmen Pegawai
The Influence of Psychological Capital to Work Engagement and Organizational Citizenship Behavior Pengaruh Psychological Capital dan OrganizationalBased Self Esteem terhadap Work Engagement Modal Psikologi (Psychological Capital), Stres Kerja dan Komitmen Kerja (Work Engagement): Satu Penelitian Awal
β = 0,48; CR = 4,67
yang signifikan dengan employee engagement
ρ = 0,437; thitung = 5,754 > ttabel = 1,96
Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara PO Fit dengan motivasi kerja, dimana motivasi merupakan konsep yang membentuk keterikatan kerja Terdapat korelasi yang positif dan signifikan antara modal psikologis dengan keterikatan kerja
r = 0,563
thitung = 8,491 > ttabel = 1,977
Modal psikologis memiliki pengaruh terhadap keterikatan kerja
r = 0,622
Modal psikologis memiliki hubungan positif dan signifikan dengan keterikatan kerja
Berdasarkan hasil studi literatur yang telah dilakukan, keterikatan kerja memegang peranan penting dalam sebuah organisasi. Keterikatan kerja berpengaruh terhadap outcome dari sebuah organisasi atau perusahaan, baik secara finansial maupun secara kesejahteraan karyawan. Penelitian-penelitian sebelumnya memiliki hasil yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kesesuaian individu-organisasi, modal psikologis, dan keterikatan kerja. Jika dilihat, memang dalam penelitian-penelitian tersebut belum ada yang menilai hubungan antara kesesuaian individu dan modal psikologis dengan keterikatan kerja secara simultan, namun justru hal tersebut menjadi kesempatan peneliti untuk melakukan penelitian terhadap ketiga hal tersebut secara bersama-sama sekaligus merupakan letak orisinalitas dari penelitian ini. Secara parsial, nilai korelasi antara kesesuaian individu-organisasi dengan keterikatan kerja yaitu cukup tinggi (r>0,3) dan semua hasil penelitian terdahulu menunjukkan hasil korelasi yang positif antara kedua variabel tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa antara kesesuaian individuorganisasi dan keterikatan kerja terdapat hubungan yang positif. Begitu pula dengan modal psikologis. Secara parsial, nilai korelasi antara modal psikologis dengan keterikatan kerja juga tinggi (r>0,5) dan semua hasil penelitian terdahulu menunjukkan hasil korelasi yang positif antara kedua variabel tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa antara modal psikologis dan keterikatan kerja terdapat hubungan yang positif. Dengan hasil parsial tersebut, diharapkan pada penelitian ini, hasil secara simultan juga menunjukkan adanya hubungan antara kesesuaian individu-organisasi dan modal psikologis dengan keterikatan kerja. 4. KESIMPULAN Keterikatan kerja memiliki dampak yang besar bagi kelangsungan sebuah perusahaan, termasuk salah satunya perguruan tinggi. Jika karyawan dalam sebuah perusahaan memiliki keterikatan kerja yang tinggi, maka hal tersebut akan berpengaruh terhadap outcome dari perusahan tersebut, baik secara finansial maupun kesejahteraan karyawan. Berdasarkan beragam hasil penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kesesuaian antara seorang karyawan dengan organisasinya, maka akan semakin tinggi pula tingkat keterikatan kerja dari karyawan tersebut. Begitu pula, semakin tinggi modal psikologis yang dimiliki seorang karyawan, maka akan semakin tinggi pula tingkat keterikatan kerja dari karyawan tersebut. 194
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
Rencana pengembangan penelitian ini selanjutnya adalah dengan memunculkan sisi kualitatif dari penelitian ini. Perlu juga dikembangkan secara spesifik jenis kesesuaian individuorganisasi menurut persepsi karyawan, modal psikologis karyawan, dan keterikatan kerja menurut persepsi karyawan. Dengan demikian, ketiga variabel tersebut akan sangat identik dengan kondisi subyek penelitian dan akan dapat memberikan kontribusi yang lebih dalam untuk pengetahuan di bidang psikologi industri dan organisasi.
DAFTAR PUSTAKA [1] [2]
[3] [4] [5] [6] [7] [8]
[9]
[10]
[11] [12]
[13] [14]
[15] [16]
[17]
Ajzen, I. 1991. The Theory of Planned Behavior. Journal of Organizational Behavior and Human Decision Process. 50: 179-211. Baco, B., Nor, M., Malek, M. 2014. Modal Psikologi (Psychological Capital), Stres Kerja dan Komitmen Kerja (Work Engagement): Satu Penelitian Awal. [Online]. From: http://www.ums.edu.my/fpp/images/download/proseding_skik2014/Beddu_salam_baco.pdf. [Accesed on 17 Mei 2015]. Bakker, A. 2009. Building Engagement in The Workplace. In R.J. Burke & C.L. Cooper (ed.). The Peak Performing Organization (pp. 50-72). Oxon, UK: Routledge. Bakker, A. & Demerouti, E. 2007. The Job Demands-Resources Model: State of The Art. Journal of Managerial Psychology. 22: 309-328. Bakker, A. & Demerouti, E. 2008. Towards a Model of Work Engagement. Career Development International. 13: 209-223. Bakker, A. & Leiter, M. 2010. Work Engagement A Handbook of Essential Theory and Research. New York: Psychology Press. Banihani, M., Lewis, P., Syed, J. 2013. Is Work Engagement Gendered? Gender in Management: An International Journal. 28: 400-423. Biswas, S., Bhatnagar, J. 2013. Mediator Analysis of Employee Engagement: Role of Perceived Organizational Support, P-O Fit, Organizational Commitment and Job Satisfaction. Vikalpa: The Journal for Decision Makers. 38: 27-40. Hamid, S., Yahya, K. 2011. Relationship between Person-Job Fit and Person-Organization Fit on Employees’ Work Engagement: A Study Among Engineers in Semiconductor Companies in Malaysia. Annual Conference on Innovations in Business & Management, London, UK: 1-30. Harter, J. et al. 2002. Business-Unit-Level Relationship Between Employee Satisfaction, Employee Engagement, and Business Outcomes: A Meta-Analysis. Journal of Applied Psychology. 87: 268-279. Kahn, W. 1990. Psychological Conditions of Personal Engagement and Disengagement at Work. Academy of Management Journal. 33: 692-724. Koyuncu, M., Burke, R.J., & Fiksenbaum, L. 2006. Work Engagement among Women Managers and Professionals in a Turkish Bank: Potential Antecedents and Consequences. Equal Opportunities International. 25: 299-310. Kristof, A. 1996. Person-Organization Fit: An Integrative Review of Its Conceptualizations, Measurement, and Implications. Journal of Personnel Psychology. 49: 1-49. Luthans, F., Avolio, B., Avey, J., & Norman, S. 2007. Positive Psychological Capital: Measurement and Relationship with Performance and Satisfaction. Leadership Institute Faculty Publications. 11: 541-572. Maslach et al. 2001. Job Burnout. Annual Review of Psychology. 52: 397-422. Page, L. & Donohue, R. 2004. Positive Psychological Capital: A Preliminary Exploration of The Construct. Working Paper of Monash University Business and Economics Faculty. 51: 1-10. Rostiana, Lihardja, N. 2013. The Influence of Psychological Capital to Work Engagement and Organizational Citizenship Behavior. International Conference on Entrepreneurship and Business Management (ICEBM), Sanur, Bali. 21-22 November 2013. 161-171. Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
195
[18] Rothbard, N. 2001. Enriching or Depleting? The Dynamics of Engagement in Work and Family Roles. Administrative Science Quarterly. 46: 655-684. [19] Saks, A.M. 2006. Antecedents and Consequences of Employee Engagement. Journal of Managerial Psychology. 21: 600-619. [20] Schaufeli, W. & Bakker, A. 2003. UWES Utrecht Work Engagement Scale. Utrecht: Occupational Health Psychology Unit, Utrecht University. [21] Schaufeli, W. et al. 2002. The Measurement of Engagement and Burnout: A Two Sample Confirmatory Factor Analytic Approach. Journal of Happiness Studies. 3: 71-92. [22] Sugianto, S., Thoyib, A., Noermijati 2012. Pengaruh Person Organization Fit (P-O Fit), Motivasi Kerja, dan Kepuasan Kerja terhadap Komitmen Pegawai (Pada Pegawai UB Hotel, Malang). Jurnal Aplikasi Manajemen. 10: 229-238. [23] Sutarjo. 2011. Ten Ways of Managing Person-Organization Fit (P-O Fit) Effectively: A Literature Study. International Journal of Business and Social Science. 2: 226-233. [24] Xanthopoulou, D. et al. 2007. The Role of Personal Resources in The Job DemandResources Model. International Journal of Stress Management. 14: 121-141. [25] Yungsiana, I., Widyarini, I., Silviandari, I. 2014. Pengaruh Psychological Capital dan Organizational-Based Self Esteem terhadap Work Engagement. [Online]. From: http://www.academia.edu/5784398/PENGARUH_PSYCHOLOGICAL_CAPITAL_DDA_O RGANIZATIONAL-BASED_SELF_ESTEEM_TERHADAP_WORK_ENGAGEMENT. [Accesed on 3 Mei 2015].
196
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk