HUBUNGAN ANTARA PAPARAN KEKERASAN DAN DISTRES PSIKOLOGIS PADA REMAJA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK TANGERANG
Karmaya Jozianna Ismuningsih Program Sarjana, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia Pembimbing: Nathanael E.J. Sumampouw
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara paparan kekerasan dan distres psikologis pada remaja laki-laki di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang. Pengukuran distres psikologis menggunaan alat ukur Hopkins Symptom Checklist (HSCL-10) dan pengukuran paparan terhadap kekerasan menggunakan alat ukur Screen for Adolescent Violence Exposure untuk anak (KID-SAVE) yang sudah diadaptasi. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 110 remaja laki-laki yang berada di Lembaga Permasyarakatan Anak Tangerang. Hasil dari penelitian ini menunjukan terdapat hubungan yang signifikan antara paparan kekerasan dan distres psikologis pada remaja yang berada di Lembaga Pemasyarakatan (r=0.310, signifikan pada L.o.S 0.01). Kata Kunci: distres psikologis; lembaga pemasyarakatan anak; paparan kekerasan ABSTRACT The purpose of this study is to find the correlation between exposure to violence and psychological distress in adolescent males in Tangerang Correctional Institute for Children. In this research, psychological distress is measured using Hopkins Symptom Checklist (HSCL-10) and exposure to violence is measured using Screen for Adolescent Violence Exposure for children (KID-SAVE). The participants in this research were 110 adolescent males from Tangerang Correctional Institute for Children. The results show that there is a significant correlation between exposure to violence and psychological distress in adolescent males in Correctional Institute for Children (r=0.310, significant at L.o.S 0.01). Keywords: adolescent; exposure to violence; psychological distress; correctional institute for children
Hubungan antara ..., Karmaya Jozianna Ismuningsih, FPSI UI, 2013
Pendahuluan Secara umum, remaja yang berada di Lembaga Pemasyarakatan memiliki tantangan yang berbeda dengan remaja yang berada di komunitas. Remaja yang berada di Lembaga Pemasyarakatan merupakan remaja-remaja yang terbukti melakukan kenalakan dan untuk beberapa waktu kehilangan kebebasannya. Remaja tersebut biasanya merupakan remaja yang memiliki masalah dalam pendidikan, kebutuhan sosial, dan kesehatan mental yang seringkali tidak diperhatikan (Scott & Steinberg, 2008). Selain itu, permasalahan yang seringkali terjadi pada mereka di Lembaga Pemasyarakatan Anak adalah bullying dan berbagai kondisi lainnya yang tidak aman untuk remaja. Komisi Perlindungan Anak (KPAI) mengemukakan bahwa lebih dari separuh anak penghuni Lembaga Pemasyarakaan Anak mengalami kekerasan atau penyiksaan dalam proses hukum yang mereka jalani (Yurnaldi, 2009). Oleh karena itu, remaja yang berada di Lembaga Pemasyarakatan merupakan remaja berisiko tinggi terpapar pada kekerasan baik pada saat sebelum mereka masuk ke dalam tahanan maupun pada saat berada dalam tahanan. Paparan kekerasan yang dialami oleh remaja yang berada di Lembaga Pemasyarakatan memiliki dampak secara psikologis pada remaja. Baker dan Cunningham (dalam Stapleton dkk., 2009) mengemukakan akibat-akibat paparan kekerasan yang mungkin muncul khususnya pada remaja yaitu dapat membawa pada depresi dan keinginan untuk bunuh diri, kekerasan dalam berpacaran, kenakalan remaja, pelecehan, dan penggunaan kekerasan sebagai teknik dalam mengontrol. Lebih jauh lagi, remaja dengan tingkat kekerasan yang lebih parah melaporkan permasalahan psikologis yang lebih parah (Peltonen, Ellonen, Larsen, & Helweg-Larsen, 2010). Oleh karena itu, berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, dapat dilihat bahwa paparan secara khusus dapat menimbulkan masalah kesehatan mental termasuk di dalamnya distres psikologis. Kesehatan mental secara khusus merupakan hal yang esensial untuk kesejahteraan, hubungan keluarga dan interpersonal, serta kontribusi seseorang terhadap masyarakat (Kahn & Fawcett, 2008). Distres psikologis secara umum digunakan sebagai indikator kesehatan mental dan seringkali dijadikan tolak ukur untuk mengukur kualitas hidup secara universal (Mirowsky & Ross, 2003). Distres psikologis terdiri dari dua bentuk utama yaitu depresi dan kecemasan. Distres psikologis memiliki berbagai dampak yang terlihat jelas dalam kehidupan, salah satunya
Hubungan antara ..., Karmaya Jozianna Ismuningsih, FPSI UI, 2013
adalah dampak pada kehidupan sosial. Distres psikologis juga seringkali muncul dalam gejala fisik seperti sakit kepala, sakit perut, dan lain-lain. Hal ini menunjukan bahwa distres psikologis dapat menyebabkan berbagai masalah pada kehidupan sehari-hari, mengganggu fungsi sosial, dan juga dapat membahayakan kesehatan individu. Dampak kekerasan terhadap kesehatan mental tersebut diduga juga dialami oleh remaja yang berada di Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini dikarenakan remaja yang berada di Lembaga Pemasyarakatan merupakan remaja yang rentan terhadap distres psikologis. Bohman (2006) mengemukakan bahwa sebagian dari remaja yang berada dalam tahanan memiliki masalah kesehatan mental. Masalah kesehatan metal yang seringkali ditemukan pada remaja yang berada dalam tahanan lain adalah gejala kecemasan, affective disorders (depresi mayor, bipolar disorder), dan disruptive behavior disorder (conduct disorder, attention deficit/hyperactivity disorder atau ADHD (Boesky, 2000; Shelton, 2001; Teplin dkk., 2002 dalam Bonham, 2006). Walaupun terdapat berbagai penelitian yang mendukung adanya dampak paparan kekerasan terhadap distres psikologis, terdapat beberapa penelitian lainnya yang menemukan hasil berbeda. Garbarino, Kostelny, dan Dubrow (dalam Farrell & Bruce, 1997) menemukan bahwa paparan kekerasan yang terjadi berulang kali pada remaja dapat menyebabkan remaja menjadi tidak peduli pada orang lain dan mengalami desentisasi terhadap kejadian kekerasan yang terjadi di sekitarnya Osofsky dkk. (1993 dalam Farrell & Bruce, 1997). Ketidakpedulian dan desentisasi yang dialami remaja ini dikarenakan remaja sering berhadapan dengan perasaan sakit dan kehilangan. Selanjutnya pada penelitian yang dilakukan oleh Fitzpatrick (dalam Farrell & Bruce, 1997) menemukan bahwa remaja dengan tingkat paparan kekerasan yang tinggi memiliki korelasi dengan tingkat depresi yang rendah. Hal ini berbeda dengan apa yang diungkapkan sebelumnya bahwa paparan kekerasan berdampak negatif pada kesehatan mental. Oleh karena adanya perbedaan hasil penelitian terkait dengan paparan kekerasan dan distres psikologis, peneliti melihat perlunya meneliti korelasi antara keduanya. Selain itu, peneliti juga melihat perlunya memberikan perhatian lebih pada remaja yang berada dalam Lembaga Pemasyarakatan terkait dengan adanya kemungkinan remaja yang berada di Lembaga Pemasyarakatan rentan terhadap paparan kekerasan dan juga terhadap distres psikologis. Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui apakah terdapat hubungan antara paparan kekerasan dan distres psikologis yang difokuskan pada remaja yang berada di Lembaga Pemasyarakatan.
Hubungan antara ..., Karmaya Jozianna Ismuningsih, FPSI UI, 2013
Penelitian terkait dengan paparan kekerasan dan distres psikologis ini belum pernah diteliti di Indonesia khususnya pada populasi remaja yang berada di Lembaga Pemasyarakatan. Sebagai tambahan, peneliti juga ingin mengetahui gambaran paparan kekerasan pada remaja di Lembaga Pemasyarakatan. Selain itu, peneliti juga ingin melihat gambaran distres psikologis pada remaja yang berada di lembaga pemasyarakatan. Melalui penelitian ini, peneliti berharap dapat memberikan pengetahuan lebih terkait dengan kondisi remaja di Lembaga Pemasyarakatan sehingga dapat diberikan intervensi yang sesuai. Penelitian ini hanya melibatkan remaja yang berjenis kelamin laki-laki dikarenakan beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa dibandingkan perempuan, laki-laki memiliki kemungkinan lebih tinggi mengalami paparan terhadap kekerasan baik sebagai korban maupun sebagai saksi tindakan kekerasan (Flitzpatrick & Boldizar, 1993; Gladsten, Rusonis, & heald, 1992; Schwab-Stone dkk., 1995; Sener-O’Hagan dkk., 1998; Singer dkk., 1995 dalam Buka dkk., 2001). Distres psikologis pada penelitian ini akan dilihat berdasarkan tingkat depresi dan kecemasan yang diukur menggunakan Hopkins Symptom Checklist (HSCL-10). Alat ukur ini dipilih karena merupakan alat ukur yang sudah umum digunakan di Indonesia. Sedangkan paparan terhadap kekerasan akan diukur menggunakan Screen for Adolescent Violence Exposure untuk anak-anak (KID-SAVE) yang telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia.
Tinjauan Teoritis Tidak terdapat definisi paparan terhadap kekerasan pada anak dan remaja yang secara universal diterima dan digunakan dalam berbagai disiplin, agensi, dan kelompok. Walaupun demikian, terdapat definisi yang telah digunakan sebelumnya, antara lain adalah definisi yang dikemukakan oleh Buka dkk (2001) yang menyatakan paparan pada kekerasan sebagai peristiwa yang luas, yang terdiri dari menjadi korban kekerasan, menyaksikan kekerasan, dan mendengar kejadian kekerasan yang benar-benar terjadi. Menjadi korban kekerasan yang dimaksud adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja yang dilakukan oleh orang lain untuk melukai seseorang. Tindakan-tindakan tersebut antara lain adalah mengejar, mengancam, memukuli, mencuri, menembak, menusuk, atau membunuh. Di samping itu, menyaksikan kekerasan seringkali diartikan sebagai menyaksikan langsung kejadian yang melibatkan kematian, cedera,
Hubungan antara ..., Karmaya Jozianna Ismuningsih, FPSI UI, 2013
atau ancaman terhadap integritas fisik orang lain (Shakoor & Chalmers dalam Buka dkk., 2001), serta mendengar peristiwa kekerasan berlangsung, contohnya mendengar tembakan, teriakan, dan lain-lain (Campbell & Schwarz dalam Buka dkk., 2001). Definisi lainnya dikemukakan oleh Osofsky (dalam Overstreet, 2000) yang menyatakan bahwa paparan pada kekerasan di komunitas sebagai keterpaparan yang sering dan terus-menerus pada penggunaan senjata, pisau, narkoba, dan berbagai kekerasan lainnya. Paparan tersebut dapat muncul dalam berbagai bentuk, termasuk didalamnya mengetahui korban dari kekerasan, menyaksikan kekerasan, dan menjadi korban kekerasan. Sejalan dengan itu, Singer dkk., (dalam Singer, Miller, Guo, Flannery, Frierson, & Slovak, 1999) juga mengemukakan bahwa paparan terhadap kekerasan termasuk di dalamnya menjadi saksi dari kekerasan atau menjadi korban dari kekerasan. Tingkat paparan terhadap kekerasan pada remaja sangat beragam karena tergantung pada definisi yang digunakan dan populasi yang diambil dalam penelitian. Pada penelitian ini menggunakan definisi umum dari paparan terhadap kekerasan berdasarkan definisi-definisi yang sudah dikemukakan sebelumnya, yaitu paparan terhadap kekerasan merupakan peristiwa kekerasan yang dialami secara langsung, disaksikan, atau didengar oleh individu secara tidak langsung. Remaja merupakan populasi yang rentan terhadap kekerasan. Setiap tahunnya terdapat jumlah besar remaja yang terpapar pada kekerasan baik sebagai korban maupun menjadi saksi di rumah, sekolah, maupun komunitas (Finkelhor dkk., 2009). Remaja pada usia 10 sampai 13 tahun dikatakan rentan pada kekerasan berupa ancaman dengan menggunakan senjata, kekerasan seksual, penculikan, dan melihat kekerasan dalam keluarga. Selanjutnya, remaja pada usia 14 sampai 17 dikatakan umumnya rentan pada kekerasan fisik yang menyebabkan luka, kekerasan oleh teman sebaya, kekerasan seksual, kekerasan psikologis, terpapar pada penggunaan senjata tajam, dan menyaksikan kekerasan dalam komunitas. Secara khusus, remaja laki-laki memiliki kemungkinan lebih tinggi mengalami paparan terhadap kekerasan baik sebagai korban, maupun sebagai saksi tindakan kekerasan (Flitzpatrick & Boldizar, 1993; Gladsten, Rusonis, & heald, 1992; Schwab-Stone dkk., 1995; Sener-O’Hagan dkk., 1998; Singer dkk., 1995 dalam Buka dkk., 2001). Selanjutnya, distres psikologis secara umum didefinisikan sebagai sebagai kondisi tidak menyenangkan secara emosional yang dikarakteristikan dengan gejala depresi dan kecemasan (Mirowsky & Ross, 2002). Depresi dan kecemasan disini merupakan dua prediktor terkuat distres
Hubungan antara ..., Karmaya Jozianna Ismuningsih, FPSI UI, 2013
psikologis yang umum ditemui. Distres digambarkan sebagai respon stres subjektif yang tidak menyenangkan seperti kecemasan dan depresi (Matthews, 2000; Mirowsky & Ross, 2003). Selain distres, respon individu terhadap stres terkadang memberikan dorongan dan memberikan efek yang menghidupkan yang seringkali disebut dengan eustress (Matthews, 2007). Terdapat dua bentuk utama dari distres psikologis, yaitu depresi dan kecemasan (Mirowsky & Ross, 2003). Depresi merupakan perasaan sedih, tidak bersemangat, kesepian, tidak memiliki harapan, dan tidak berguna, berharap sudah mati, memiliki kesulitan tidur, menangis, menganggap segala sesuatu membutuhkan usaha, dan tidak mampu untuk memulai segala sesuatu. Kecemasan adalah perasaan tegang, gelisah, khawatir, mudah marah, dan ketakutan. Baik depresi dan kecemasan, masing-masing muncul dalam dua bentuk yaitu mood dan malaise. Mood merujuk pada perasaan, sedangkan malaise merujuk pada kondisi tubuh, seperti keletihan pada depresi atau gangguan kesehatan otonom seperti sakit kepala, sakit perut, pusing pada kecemasan. Gejala-gelaja ini seringkali terkait dengan gejala somatis yang beragam antar budaya. Distres psikologis dipandang sebagai gangguan emosional yang bisa berdampak pada fungsi sosial dan dalam keseharian individu (Wheaton, 2007 dalam L’Abate, 2012). Distres psikologis tidak lepas dari kondisi kesehatan mental individu. Mirowsky & Ross (2003) mengemukakan bahwa distres psikologis dan kesehatan mental merupakan dua hal yang saling terkait dan ditemukan korelasi negatif antara distres psikologis dengan kesehatan mental. Dengan demikian, individu dengan nilai distres psikologis tinggi memiliki nilai kesehatan mental yang rendah, dan begitu pula sebaliknya. Hal yang serupa dikemukakan oleh Korkeila dkk (dalam Verger dkk., 2009) yang menyebutkan bahwa kemunculan distres psikologis menjadi indikator buruknya kesehatan mental individu. Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa kondisi kesehatan mental individu sangat terkait dengan distres psikologis individu tersebut.
Metode Penelitian Pada penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur yang berupa dua buah kuesioner, yaitu kuesioner untuk mengukur paparan terhadap kekerasan dan kuesioner untuk mengukur distres psikologis. Paparan terhadap kekerasan diukur dengan menggunakan KID-SAVE yang
Hubungan antara ..., Karmaya Jozianna Ismuningsih, FPSI UI, 2013
merupakan adaptasi dari alat ukur The Screen for Adolescent Violence Exposure (SAVE). SAVE merupakan sebuah alat ukur self-report yang ditujukan pada remaja untuk mengukur frekuensi paparan pada kekerasan dalam konteks yang relevan dalam kehidupan remaja. Konteks yang dimaksud adalah rumah, sekolah, dan lingkungan tempat tinggal. KID-SAVE yang sudah diadaptasi ini terdiri dari 21 item. Alat ukur ini memiliki kelebihan dibandingkan alat ukur yang telah ada sebelumnya, dimana item-item pada KID-SAVE di dapatkan secara empiris dan skala yang digunakan telah teruji reliabilitas dan validitasnya (Hastings & Kelley, 1997 dalam Flowers, Hasting, & Kelley, 2000). Pada alat ukur ini, peneliti melakukan adaptasi dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia dan juga melakukan eliminasi terhadap 13 item yang terkait dengan penggunaan senjata api dikarenakan tidak sesuai dengan situasi di Indonesia, dimana penggunaan senjata api tidak diperbolehkan. Pada alat ukur ini, terdapat tiga alternatif jawaban yang digunakan untuk pertanyaan “Seberapa sering terjadi dalam satu tahun terakhir?” dengan pilihan yang terdiri dari “tidak pernah”, “kadang-kadang”, dan “sering”. Item-item pada alat ukur ini berkaitan dengan kejadian yang disaksikan oleh anak, kejadian yang didengar anak, dan kekerasan yang dialami secara langsung oleh anak. Skoring dilakukan dengan menjumlahkan skor pada setiap item. Distres Psikolgis pada remaja dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan alat ukur Hopkins Symptom Checklist-10 (HSCL-10). Alat ukur ini menggunakan metode self-report. HSCL-10 dikatakan memiliki sensitifitas yang baik dan ketelitian dalam mendeteksi gejala psikologis dan tekanan mental (Syed, Zachrisson, Dalgard, Dalen, & Ahlberg, 2008). Dalam HSCL-10 terdapat sepuluh item berisi pernyataan mengenai gejala kecemasan dan depresi yang dirasakan individu dalam satu minggu terakhir. Adapun kuesioner ini menggunakan skala tipe Likert dengan empat alternatif jawaban dimana partisipan diminta untuk memilih alternatif jawaban antara lain; “tidak sama sekali”, “sedikit mengganggu”, “agak mengganggu”, dan “sangat mengganggu”. Nilai distres psikologis didapatkan dengan menjumlahkan semua skor pada tiap item. Jika skor bernilai ≥1.75 maka dapat dikatakan individu memiliki tingkat distres psikologis yang tinggi (Sandanger, dkk., 1999). Pengambilan data pada penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang. Partisipan secara bertahap dikumpulkan dalam sebuah ruangan untuk mengerjakan kuesioner. Jumlah partisipan yang diperoleh pada pengambilan data ini berjumlah 142 orang.
Hubungan antara ..., Karmaya Jozianna Ismuningsih, FPSI UI, 2013
Partisipan yang telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian dan menyelesaikan booklet kuesioner kemudian diberikan souvenir yang telah disiapkan sebelumnya. Kuesioner yang lengkap dan dapat diolah berjumlah 110 buah. Kuesioner kemudian diolah menggunakan perangkat lunak SPSS (Statistical Package for Social Science) for Windows.
Hasil Penelitian Berdasarkan data yang didapatkan, diketahui bahwa usia termuda partisipan dalam penelitian ini berumur 15 tahun dan partisipan tertua yang ikut dalam penelitian ini berumur 21 tahun. Jika dilihat dari tingkat pendidikannya, sebagian remaja berada di tingkat Sekolah Menengah Pertama, dan sebagian lainnya berada di tingkat pendidikan Sekolah Menengah Akhir, Sekolah Dasar, dan juga tidak bersekolah. Jika dikelompokan berdasarkan tinggi dan rendahnya distres psikologis dengan rata-rata nilai skor 1.75 sebagai batasnya, maka diketahui bahwa jumlah remaja laki-laki di Lembaga Pemasyarakatan Anak dengan distres psikologis tinggi lebih banyak (67.3%) dibandingkan dengan jumlah remaja laki-laki dengan distres psikologis rendah (32.7%). Dengan demikian dapat dikatakan, sebagian besar remaja di Lembaga Pemasyarakatan Anak memiliki distres psikologis yang tinggi. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1 Kategori Tingkat Distres Psikologi Tingkat
Rata-rata Skor
Jumlah Partisipan
Presentase
Tinggi
25.6
74
67.3%
Rendah
14.8
36
32.7%
Jika ditinjau lebih jauh, terdapat beberapa bentuk paparan terhadap kekerasan yang paling umum dialami jika dilihat dari masing-masing item pada alat ukur paparan kekerasan. Bentuk-
Hubungan antara ..., Karmaya Jozianna Ismuningsih, FPSI UI, 2013
bentuk paparan terhadap kekerasan yang paling umum dialami remaja laki-laki secara rinci dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 Bentuk-bentuk Paparan Kekerasan yang Sering Dialami Nomor Item
Mean
Tidak Pernah
Kadangkadang
Sering
1.454
2.7%
49.1%
48.2%
Item 2
Melihat polisi atau petugas keamanan menangkap seseorang
1.409
9.1%
40.9%
50%
Item 10
Melihat orang-orang saling berteriak satu sama lain
1.373
10.9%
40.9%
48.2%
Item 18
Melihat seseorang dipukuli hingga babak belur
1.227
10%
57.3%
32.7%
Item 11
Melihat seseorang membawa pisau atau benda tajam lainnya
1.182
21.8%
38.2%
40%
Item 4
Melihat ada orang yang dilukai orang hingga parah
1.164
15.5%
52.7%
31.8%
Item 14
Mendengar bahwa ada orang yang dibunuh
1.036
19.1%
58.2%
22.7%
Item 1
Mendengar ada orang yang dilukai dengan pisau atau benda tajam lainnya
1.027
31.8%
33.6%
34.5%
Item 9
Diancam akan dipukuli oleh seseorang
0.982
30%
41.8%
28.2%
Item 3
Melihat seseorang mengancam orang lain dengan pisau atau benda tajam lainnya
0.964
32.7%
38.2%
29.1%
Item 17
Bentuk Paparan Terhadap Kekerasan Mendengar ada orang dipukuli hingga babak belur
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa lima bentuk paparan kekerasan yang seringkali dialami oleh remaja laki-laki di Lembaga Pemasyarakatan khususnya dalam satu tahun terakhir adalah mendengar ada orang dipukuli hingga babak belur, melihat polisi atau petugas
Hubungan antara ..., Karmaya Jozianna Ismuningsih, FPSI UI, 2013
keamanan menangkap seseorang, melihat orang-orang saling berteriak satu sama lain, melihat seseorang dipukuli hingga babak belur, dan melihat seseorang membawa pisau atau benda tajam lainnya. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang signifikan antara paparan kekerasan dan distres psikologis pada remaja laki-laki yang berada dalam Lembaga Pemasyarakatan. Perhitungan dilakukan menggunakan perhitungan korelasi pada nilai total paparan kekerasan dan nilai total distres psikologis. Hasil perhitungan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 3 Tabel Perhitungan Korelasi antara Paparan Kekerasan dan Distres Psikologis Variabel R Paparan Kekerasan 0.310 Distres Psikologis *signifikan pada L.o.S 0.01
Sig (p)
r2
0.001
0.096
Berdasarkan tabel hasil perhitungan korelasi dengan menggunakan teknik statistik, koefisien korelasi yang didapat yaitu r=0.31 dan p=0.001 yang berarti signifikan pada L.o.S 0.01. Hubungan yang signifikan ini membuat hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima, yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara paparan kekerasan dan distres psikologis pada remaja laki-laki yang berada di Lembaga Pemasyarakatan. Hasil dari r²=0.096 Sehingga dapat diinterpretasikan bahwa variasi skor distres psikologis sebanyak 9.6% dapat dijelaskan dari skor paparan kekerasan.
Pembahasan Hasil utama penelitian ini mendukung asumsi peneliti yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara paparan kekerasan dan distres psikologis pada remaja laki-laki di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang. Selain itu, dapat dikatakan bahwa semakin tinggi paparan kekerasan yang dialami oleh remaja di Lembaga Pemasyarakatan Anak maka semakin tinggi juga distres psikologis yang dialaminya. Hasil ini mendukung apa yang diungkapkan Uchida, Swatt, dan Salomon (2012) yang mengemukakan bahwa paparan terhadap kekerasan memiliki
Hubungan antara ..., Karmaya Jozianna Ismuningsih, FPSI UI, 2013
keterkaitan dengan kecemasan dan depresi. Hal ini diduga terkait dengan kerentanan remaja yang berada di Lembaga Pemasyarakatan pada paparan kekerasan dan distres psikologis. Selain itu, hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa sebagian besar partisipan dalam penelitian ini (67.3%) mengalami distres psikologis yang tinggi. Hal ini juga mendukung apa yang sudah diungkapkan penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa remaja yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Anak merupakan remaja yang rentan terhadap masalah kesehatan mental, khususnya distres psikologis. Peter-Taylor (dalam Bonham, 2006) mengemukakan bahwa remaja mungkin saja mengalami masalah kesehatan mental yang berkembang selama masa penahanannya dikarenakan remaja yang berada dalam tahanan kehilangan kebebasannya. Masalah kesehatan metal yang seringkali ditemukan pada remaja yang berada dalam tahanan lain adalah gejala kecemasan, affective disorders (depresi mayor, bipolar disorder), dan disruptive behavior disorder (conduct disorder, attention deficit/hyperactivity disorder atau ADHD (Boesky, 2000; Shelton, 2001; Teplin dkk., 2002 dalam Bonham, 2006). Sebagai tambahan, berdasarkan wawancara singkat yang dilakukan oleh peneliti selama pengambilan data juga mengungkapkan hal yang serupa, dimana remaja laki-laki yang berada dalam tahanan mengeluh dan merasa tertekan dalam kondisi yang tidak bebas dan diisolasi dari lingkungan sekitarnya. Hasil penelitian terkait dengan paparan kekerasan menunjukan adanya beberapa bentuk paparan kekerasan yang seringkali dialami oleh remaja laki-laki di Lembaga Pemasyarakatan khususnya dalam satu tahun terakhir, yaitu mendengar ada orang dipukuli hingga babak belur, melihat polisi atau petugas keamanan menangkap seseorang, melihat orang-orang saling berteriak satu sama lain, melihat seseorang dipukuli hingga babak belur, dan melihat seseorang membawa pisau atau benda tajam lainnya. Jika dilihat lebih jauh, sebagian besar dari partisipan dalam penelitian ini melaporkan pernah dan bahkan sering terpapar pada bentuk-bentuk paparan tersebut. Hal ini menunjukan bahwa secara umum sebagian besar partisipan yang merupakan remaja seringkali terpapar pada kekerasan, khususnya bentuk-bentuk kekerasan tertentu. Kekerasan tersebut terjadi dalam kurung waktu satu tahun, sehingga tidak menutup kemungkinan paparan kekerasan yang dialami oleh remaja merupakan peristiwa yang terjadi ketika remaja berada di Lembaga Pemasyarakatan. Terkait dengan paparan kekerasan yang dialami remaja di Lembaga Pemasyarakatan, Baum (dalam Finkelhor dkk., 2009) juga mengatakan bahwa remaja yang berada dalam tahanan
Hubungan antara ..., Karmaya Jozianna Ismuningsih, FPSI UI, 2013
dikatakan dua kali lebih rentan menjadi korban kriminal kekerasan dibandingkan dengan populasi remaja keseluruhan. Selain itu dikatakan juga bahwa anak yang terpapar terhadap kekerasan lebih memungkinkan untuk menjadi korban kekerasan berkelanjutan, melakukan kenakalan remaja, dan keterlibatan dengan sistem hukum. Dalam hal ini, remaja yang berada di Lembaga Pemasyarakatan merupakan remaja yang telah terlibat dengan sistem hukum sehingga mereka merupakan remaja yang cenderung lebih mengalami keterpaparan terhadap kekerasan. Selain itu, dalam pengambilan data yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Anak, sebagian partisipan yang terlibat merupakan tahanan dengan kasus kekerasan seperti tauran, pembunuhan, pelecehan, dan lainnya. Hal ini mungkin merupakan salah satu faktor yang menyebabkan remaja laki-laki di Lembaga Pemsyarakatan Anak memiliki tingkat paparan terhadap kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja laki-laki yang berada di komunitas.
Kesimpulan Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis yang telah dilakukan untuk menjawab masalah penelitian, dapat disimpulkan bahwa: •
Terdapat hubungan yang signifikan antara paparan kekerasan dan distres psikologis pada remaja laki-laki di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang. Dapat dikatakan bahwa semakin tinggi paparan kekerasan yang dialami oleh remaja di Lembaga Pemasyarakatan Anak maka semakin tinggi juga distres psikologis yang dialaminya.
•
Sebagian besar remaja laki-laki di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang yang berpartisipasi dalam penelitian ini memiliki distres psikologis yang tinggi.
•
Terdapat beberapa bentuk paparan kekerasan yang seringkali dialami remaja laki-laki di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang, antara lain adalah mendengar ada orang dipukuli hingga babak belur, melihat polisi atau petugas keamanan menangkap seseorang, melihat orang-orang saling berteriak satu sama lain, melihat seseorang dipukuli hingga babak belur, dan melihat seseorang membawa pisau atau benda tajam lainnya.
Hubungan antara ..., Karmaya Jozianna Ismuningsih, FPSI UI, 2013
Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti menyarankan beberapa hal untuk penelitian selanjutnya, yaitu: 1. Pada saat pengambilan data sebaiknya dilakukan pemeriksaan kembali untuk memastikan bahwa setiap partisipan telah menjawab seluruh pertanyaan dan mengisi data kontrol. 2. Pada penelitian selanjutnya, khususnya pada penelitian yang melibatkan partisipan remaja sebaiknya lebih memperhatikan jumlah item dalam kuesioner sehingga tidak menimbulkan kelelahan pada partisipan. 3. Memperbesar jumlah sampel serta meningkatkan heterogenitas dari karakteristik sampel, seperti remaja perempuan di Lembaga Pemasyarakatan, remaja di komunitas dari sosial ekonomi menengah keatas, sehingga mendapat gambaran yang lebih luas dari remaja di berbagai kalangan. 4. Menggunakan metode kualitatif seperti wawancara dan juga observasi sehingga mendapatkan gambaran yang lebih mendalam terkait dengan kondisi paparan terhadap kekerasan dan distres psikologis yang dialami remaja.
Kepustakaan Bonham, E. (2006). Adolescent Mental Health and the Juvenile Justice System. Pediatric Nursing Journal, 32(6), 591-595 Buka, S. L., Stichick, T. L., Birdthistle, I., Earls, F. J. (2001). Youth Exposure to Violence: Prevalence, Risk, and Consequences. American Journal of Orthopsychiatry, 71(3), 298309. Farrell, A. D., & Bruce, S. E. (1997). Impact of Exposure to Community Violence on Violent Behavior and Emotional Distress Among Urban Adolescencts. Journal of Clinical Child Psycholog, 26(1). 2-14.
Hubungan antara ..., Karmaya Jozianna Ismuningsih, FPSI UI, 2013
Finkelhor, D., Turner, H., Ormrod, R., Hamby, S., & Kracke, K. (2009, October). Children's Exposure to Violence: A Comprehensive National Survey. Juvenile Justice Bulletin, pp. 1-11. Flowers, A. L., Hastings, T. L., & Kelley, M. L. (2000). Development of a Screening Instrument for Exposure to Violence in Children: The KID-SAVE. Journal of Psychopathology and Behavioral Assessment, Vol 22(1), pp.91-104. Kahn, A. P., & Fawcett, J. (2008). Encyclopedia of Mental Health 3rd ed. New York: Facts On File, Inc. L'Abate, L. (2012). Mental Illnesses - Understanding, Prediction and Control. InTech. Matthews, (2007). Distress. In G. Fink, Encyclopedia of Stress (pp. 32-41). Elsevier Inc. Mirowky, J., & Ross, C. E. (2002). Measurement for a Human Science. Journal of Health and Social Behavior, Vol 43(3), pp. 152-170. Mirowsky, J., & Ross, C. E. (2003). Social Causes of Psychological Distress. New York: Walter de Gruyter, Inc. Peltonen, K., Ellonen, N., Larsen, H. B., & Helweg-Larsen, K. (2010). Parental Violence and Adolescent Mental Health. Eur Child Adolesc Psychiatry, 813-822. Scott, E. S., & Steinberg, L. D. (2008). Rethinking Juvenile Justice. United States: Harvard University Press. Singer, M. I., Flannery, D.J., Guo, S., Flannery, D. J., Frierson, T., & Slovak, K. (1999). Contributors to Violence Behavior among Elementary and Middle School Children. Pediatrics, 104, 878-884. Stapleton, J. G., Kimberlly G. Philips, M. M., Wiesen-Martin, D. R., & Beaulieu, A. L. (2009). New Hampshire Endowment for Health Planning Grant Final Report: The Mental Health Needs of CHildren Exposed to Violence in their Homes. Durham: New Hampshire Coalition Againts Domestic and Sexual Violence.
Hubungan antara ..., Karmaya Jozianna Ismuningsih, FPSI UI, 2013
Syed, H. R., Zachrisson, H. D., Dalgard, O. S., Dalen, I., & Ahlberg, N. (2008). Concordance between Hopkins Symptom Checklist (HSCL-10) and Pakistan Anxiety and Depression Questionnaire (PADQ), in a rural self-motivated population in Pakistan. BMC Psychiatry. doi:10.1186/1471-244X-8-59 Uchida, C. D., Swatt, M., & Salomon, S. E. (2012). Exposure to Violence Among Children of Inmates. Silver Spring: Justice & Security Strategies, Inc. Verger, P., Combes, J.-B., Kovess-Masfety, V., Choquet, M., Guagliardo, V., Rouillon, F., & Peretti-Wattel, P. (2009). Psychological distress in first year university students: socioeconomic and academic stressors, mastery and social support in young men and women. Social Psychiatry Psychiatric Epidemiology, Vol. 44, 643-650 Yurnaldi (2009, Juli 31). Lebih dari Separuh Anak Penghuni Lapas Alami Penyiksaan. KOMPAS. Diunduh
dari
http://regional.kompas.com/read/2009/07/31/14354886/Lebih.dari.Separuh.Anak.Penghu ni.Lapas.Alami.Penyiksaan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (2008). Retrieved Juni 1, 2013, from Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia: http://menegpp.go.id/V2/ Tahanan Anak Disiksa dan Disodomi di dalam Sel. (2011, Desember 11). Diambil dari jpnn.com: http://www.jpnn.com/read/2011/12/31/112776/Tahanan-Anak-Disiksa-dan-DisodomiDalam-Sel-
Hubungan antara ..., Karmaya Jozianna Ismuningsih, FPSI UI, 2013