PROPOSAL DISERTASI KESETARAAN GENDER DALAM PEMIKIRAN M. QURAISH SHIHAB DAN RELEVANSINYA TERHADAP HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA Oleh: Nor Salam
A. Latar belakang Sebagai gambaran awal dalam rangka mengkaji tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, penting kiranya dikutip kisah dalam dunia sufistik yang pernah disampaikan oleh Habib Ali ibn Muhammad al-Habsyi. “Konon, terdapat serombongan kafilah yang terdiri dari para lelaki serta perempuan yang hendak melaksanakan ibadah haji. Pada saat mereka menelusuri padang pasir yang sangat gersang tiba-tiba dihadang oleh kawanan singa besar. Kafilah pun berhenti dan sang kepala kafilah memerintahkan rombongannya untuk mengusir kawanan singa tersebut yang ternyata mereka gagal menghalaunya. Pada kondisi yang begitu mencemaskan, salah seorang anggota kafilah mengajukan usul bahwa tidak seorang pun yang mampu menyingkirkan kawanan singa itu kecuali seorang perempuan shalihah yang sedang berada di tengah-tengan kita. Dia itulah perempuan yang bernama Ummu Fatimah, seorang perempuan berusia senja dengan kondisi kedua matanya buta. Setelah ditemui, Ummu Fatimah hanya berkata kepada anggota kafilah yang menemuinya bahwa dirinya menitip salam kepada kawanan singa supaya tidak menghalangi perjalanan rombongan kafilah yang hendak melaksanakan ibadah haji. Akhirnya kawanan singa itu pun dengan sendirinya menghindar dari jalan yang sedang dilalui oleh Ummu Fatimah beserta rombongannya.”1 Kisah di atas secara jelas menunjukkan bahwa perempuan bukanlah tidak mungkin memiliki keistimewaan yang dapat menandingi kaum lelaki, karena memang dalam doktrin teologis islam (baca: al-Quran), laki-laki dan perempuan memiliki prinsip-prinsip kesetaraan yang secara terperinci –sebagaimana diungkapkan oleh Nasaruddin Umar dalam salah satu karya tulisnya, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Quran. Dalam karya itu, Nasaruddin menyebutkan bahwa di dalam al-Quran terdapat beberapa variabel yang dapat diidentifikasi sebagai prinsip-prinsip kesetaraan yang dimaksud, yakni, lakilaki dan perempuan sama-sama sebagai hamba (Qs. Al-Dzariat: 56); laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di muka bumi (Qs. Al-An‟am: 165); laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial (Qs. Al-A‟raf: 172); Adam dan Hawa sama-sama terlibat dalam drama kosmis (Qs. Al-Baqarah: 35, 187, Qs. Al-A‟raf: 20, 22, 23); laki-laki dan 1
Majalah Dakwah Islam, Cahaya Nabawiy, Edisi No. 132 Th. IX Muharram 1436 H / November 2014, hal. 90
perempuan memiliki kesempatan untuk meraih prestasi (Qs. Ali Imran: 195, Qs. Al-Nisa: 124, Qs. Al-Nahl: 97, Qs. Ghafir: 40).2 Prinsip-prinsip di atas bukan saja menunjukkan adanya kemungkinan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk saling “berkompetisi” namun lebih jauh dari itu, al-Quran seakan menentang keras terjadinya “pelecehan” terhadap perempuan sebagaimana yang terjadi pada masa pra Islam, dimana kaum perempuan diperlakukan tidak lebih dari sebuah komoditi yang bisa diperjualbelikan bahkan diwariskan dari satu tangan ke tangan yang lain. Tidak hanya itu, kelahirannya pun ke muka bumi sangatlah tidak diharapkan sehingga kebiasaan yang berlaku pada masyarakat Jahiliyah adalah membunuh bayi perempuan yang dilahirkan. Dalam analisis historis, pembunuhan terhadap bayi perempuan yang telah menjadi kebiasaan masyarakat Jahiliyah, dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut: Pertama, cara hidup masyarakat arab pra-Islam adalah berpindah-pindah (nomaden). Membawa wanita dalam rombongan yang besar membuat gerakan menjadi terhambat bahkan perhatian harus banyak diberikan untuk membantu para perempuan yang ikut dalam rombongan, mengingat gurun pasir yang kan dilewatinya tidak hanya akan menyulitkan perempuan untuk memberikan hal-hal yang diperlukan, melainkan juga mereka tidak akan mampu menolong dirinya sendiri karena fisik perempuan yang terlalu lemah untuk menghadapi alam yang kelam seperti halnya gurun pasir; kedua, setiap mulut yang terbuka pasti membutuhkan makanan, sementara makanan yang tersedia sangatlah terbatas. Oleh karena itu, maka laju pertambahan penduduk harus dihambat yang dalam pengetahuan mereka perempuanlah yang dianggap sebagai penyebab lajunya penduduk; sedangkan faktor ketiga, dalam peperangan, anak-anak dan perempuan dari pihak yang kalah menjadi budak dari pihak pemenang. Hal ini tentu saja sangat menjatuhkan martabat dan kehormatan diri suku yang terkalahkan”.3 Analisis di atas dengan sangat jelas menunjukkan bahwa perempuan memang diciptakan sebagai makhluk yang lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan serta lakilaki adalah orang yang kuat sehingga dituntut untuk menjadi pelindung bagi seorang perempuan, rasional dan perkasa. Ciri-ciri ini, meminjam teori Nature adalah perbedaan yang bersifat alami seperti diutarakan oleh Charles Darwin bahwa memang antara pria dan wanita terdapat perbedaan baik dari segi ukuran maupun kekuatan berfikir. Mengikuti jejak Darwin, Degler dengan mengutip pandangan William Thomas menyatakan bahwa otak wanita lebih kecil dibandingkan dengan ukuran otak pria, bahkan M.A. Hardaker – seorang ilmuwan wanita –turut memperkuat pandangan sebelumnya dengan mengatakan
2
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Quran (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 248 dan setelahnya. 3 Periksa dalam, Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah (Malang: UIN Press, 2008), hal. 70-71
kreativitas berfikir perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki namun perempuan memiliki kemampuan intuisi dan persepsi yang lebih unggul.4 Penyematan ciri yang melekat pada laki-laki dan perempuan sebagai perbedaan yang bersifat alamiah (nature) tampaknya bukanlah sebuah konsensus di antara para ilmuwan. Secara diametral konsep di atas “dilawan” melalui pembedaan antara konsep seks (jenis kelamin) dan gender. Seks merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya laki-laki memiliki penis dan memproduksi sperma, sedangkan perempuan memiliki alat reroduksi seperti rahim, vagina dan perempuan juga memiliki alat menyusui. Semua ini tidaklah dapat dipertukarkan antara alat yang melekat pada laki-laki dan perempuan karena merupakan ketentuan yang bersifat kodrati.5 Berbeda dengan konsep gender yang jelas berbeda dengan dengan seks atau jenis kelamin. Gender adalah seperangkat peran yang diperuntuk untuk laki-laki dan perempuan yang disosialisikan melalui proses sosial budaya. Gender adalah atribut yang dilekatkan, dikodifikasi dan dilembagakan secara sosial maupun kultural kepada perempuan dan lakilaki. Hal itu berkaitan dengan harapan dan pikiran masyarakat tentang bagaimana seharusnya menjadi laki-laki dan perempuan.6 Dengan demikian, terbentuknya perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, di antaranya, dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara. Misalnya saja, karena laki-laki harus bersifat kuat dan agresif maka laki-laki kemudian terlatih dan tersosialisasi serta termotivasi untuk menuju ke sifat gender yang dikehendaki oleh masyarakat. Sebaliknya, perempuan yang sejak semula diharuskan bersifat lemah lembut, maka sejak bayi proses sosialisasi tersebut tidak saja berpengaruh pada perkembangan emosi dan visi serta ideologi kaum perempuan melainkan juga pada perkembangan fisik dan biologisnya.7 Pandangan ini mendapatkan pembenarannya melalui teori Nurture yang menyebutkan adanya diferensiasi peran (division of labour) antara pria dan wanita bukan disebabkan adanya perbedaan alami secara biologis (nature) melainkan lebih disebabkan oleh faktor budaya akan berinteraksi dengan faktor biologis dan menjadi terinstitusionalisasi. Institusi ini berfungsi sebagai wadah sosialisasi di mana kebiasaan dan norma yang berlaku akan diwariskan secara turun temurun, sehingga perbedaan peran gender yang selama ini berlangsung bukan disebabkan oleh adanya perbedaan nature melainkan budaya atau tradisi sehingga dapat diubah melalui teknologi.8
4
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender (Bandung: Mizan, 1999), hal. 95 5 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hal. 8 6 Muh. Yasir Alimi, Jenis Kelamin Tuhan (Yogyakarta: LKiS, 2002), hal. 20 7 Mansour, Analisis Gender, hal. 9-10 8 Ratna, Membiarkan, hal. 102-103
Terlepas dari perbedaan di atas, apakah memang perbedaan jenis kelamin menentukan peran gender ataukah sebaliknya, yang jelas adanya perbedaan tersebut bukanlah sebuah masalah selama tidak menimbulkan adanya ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun dalam kenyataannya perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan terutama bagi kaum perempuan. Hal ini dapat dilihat melalui berbagai manifestasi seperti marginalisasi, subordinasi, pembentukan stereotype (pelabelan), kekerasan9 maupun intimidasi.10 Manifestasi ketidakadilan gender terlihat dalam rumusan fiqih keluarga atau tepatnya dengan melihat pada kodifikasi hukum keluarga baik dalam UU No.1/1974 maupun KHI yang notabenenya dinobatkan sebagai fiqih madzhab Indonesia. Diskriminasi itu tampak dalam beberapa pasal seperti, batas usia minimal nikah yang diatur dalam pasal 15 ayat (1) yang jelas sangat diskriminatif di mana perempuan boleh menikah dengan usia 16 tahun sementara laki-laki 19 tahun. Ketentuan lainnya adalah tentang wali nikah yang secara keseluruhan haruslah orang laki-laki begitupun halnya dengan para saksi yang diatur dalam pasal 24, 25 dan 26. Hal penting yang tidak kalah menariknya adalah tentang kepemipinan dalam rumah tangga yang diatur dalam pasal 79 KHI di mana suami ditempatkan sebagai kepala rumah tangga sedangkan isteri sebagai ibu rumah tangga. Demikian halnya dalam persoalan nusyuz, poligami, nikah beda agama dan kewarisan yang jelas-jelas menempatkan jenis kelamin laki-laki “di atas kepala”.11 Ketentuan perkawinan yang terasa bias gender tersebut tidak saja berdampak pada variasi pemahamaan keagamaan yang bias gender, namun juga bisa berdampak pada praktik perkawinan yang juga bias gender dan pola relasi a simetris, sehingga menimbulkan berbagai bentuk ketidakadilan gender. Hal ini kendati bisa terjadi pada pihak suami, namun realitas menyatakan bahwa ketidakadilan gender mayoritas dialami oleh perempuan, dalam konteks ini adalah pihak isteri. Beberapa ketentuan perkawinan tersebut mengukuhkan pandangan dominan dalam fiqih yang menempatkan perempuan sebagai urutan kedua setelah laki-laki. Padahal keluarga hanya terbentuk jika ada laki-laki dan perempuan. Idealnya keluarga hanya bisa dibangun jika ada penghargaan yang setara
9
Didukung oleh data catatan akhir tahun 2014 Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan yang menunjukkan peningkatan jumlah kasus terhadap perempuan sebanyak 20.000 kasus dibandingkan kasus tahun 2013. Dalam laporan itu disebutkan terdapat 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2014. Sebanyak 68 persen dari kasus tersebut adalah kekerasan domestik dan rumah tangga (KDRT) dengan mayoritas korban ibu rumah tangga dan pelajar. Bentuk-bentuk kekerasan meliputi penelantaran tanggung jawab, penganiayaan jasmani dan psikis, serta pernikahan paksa ataupun pernikahan dini. Dalam, http://print.kompas.com/baca/2015/04/27/Laporan-KDRT-Meningkat%2c-Penanganan-Belum-Optimal. Diakses pada, 10 Mei 2015 10 Mansour, Analisis Gender, hal. 20-21 11 Husein Muhammad, “Reformulasi Hukum Keluarga Indonesia”, dalam kata pengantar, Marzuki Wahid, Fiqih Indonesia (Bandung: Marja‟, 2014), hal. xxiii-xxiv
antara laki-laki dan perempuan, tanpa ada diskriminasi dan tanpa memandang rendah antara satu dengan yang lain.12 Ketidakpuasan terhadap aturan hukum keluarga memuncak dengan lahirnya Counter Legal Draft (CLD) KHI pada 4 Oktober 2004. Dalam CLD itu, dengan menggunakan perspektif gender, pluralisme, hak asasi manusia serta demokrasi yang diyakini mampu menggeser nalar hukum islam dari teosentrisme ke antroposentrisme, dari elitis ke populis, dari deduktif ke induktif dan dari eisegese ke exegese. Tegasnya, perubahan-perubahan itu dilakukan dalam rangka mempertimbangkan realitas kebudayaan masyarakat Indonesia yang berbeda dengan kebudayaan Arab dan Timur Tengah, juga dengan memperhatikan kondisi perempuan Indonesia yang akhir-akhir ini ternyata mampu membiayai diri dan keluarga dari pekerjaan produktifnya dan bahkan tidak jarang ditemukan perempuan yang mampu tampil sebagai pemimpin dalam wilayah-wilayah publik.13 Gugatan terhadap diskriminasi gender semakin ramai dengan hadirnya para intelektual tanah air yang turut menyuarakan adanya kesetaraan gender yang ditipologikan oleh Muhammad Noor Harisudin dalam disertasinya yang berjudul Peran Domestik Perempuan Menurut K.H. Abd. Muchith Muzadi, ke dalam kategori Feminis Muslim TradisionalKonservatif dengan tokohnya seperti Ratna Megawangi. Kategori lainnya adalah Feminis Muslim Liberal dengan tokoh seperti Masdar F. Mas‟udi, Nasarudin Umar, Husein Muhammad, Siti Musdah Mulia, Faqihudin Abdul Kadir. Kategori terakhir adalah Feminis Muslim Moderat termasuk di dalamnya adalah sederet nama seperti Zakiyah Drajat dan Abd. Muchith Muzadi.14 Di luar nama-nama yang telah disebutkan di atas, nama M. Quraish Shihab layak diangkat sebagai sasaran studi kaitannya dengan pandangan-pandangan beliau seputar kesetaraan gender. Dalam berbagai tulisan yang telah dipublikasikan, terutama dalam bukunya yang berjudul “Perempuan: dari Cinta sampai Seks, dari Nikah Mut‟ah sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama sampai Bias Baru”,15 sangat tampak betapa Quraish berupaya untuk keluar dari mainstream pemikiran kanan yang hendak mengurung perempuan dalam sektor-sektor domestik serta pemikiran kiri yang cenderung kebablasan dalam memahami kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Inilah alasan penulis mengangkat pemikiran M. Quraish Shihab seputar kesetaraan gender sebagai fokus kajian dalam studi ini.
12
Umi Sumbulah “Ketentuan Perkawinan dalam KHI dan Implikasinya bagi Fiqh Mu‟asyarah: Sebuah Analisis Gender.http://download.portalgaruda.org/article.php?article=115333&val=5284, hal. 86. Diakses pada 14 Maret 2015 13 Marzuki Wahid, Fiqih Indonesia (Bandung: Marja‟, 2014), hal. 210 14 Muhammad Noor Harisudin, Peran Domestik Perempuan menurut K.H. Abd. Muchith Muzadi, hal. 65 dan seterusnya. Dalam, http://digilib.uinsby.ac.id/9525/3/babii.pdf. diakses pada, 12 Maret 2015 15 M. Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta sampai Seks, dari Nikah Mut‟ah sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama sampai Bias Baru (Jakarta: Lentera Hati, 2010).
B. Pembatasan Masalah Sebuah objek dapat ditelaah dari berbagai sisi sehingga menghasilkan fokus kajian yang berbeda pula. Demikian halnya dengan kajian terhadap pemikiran seorang tokoh termasuk dalam hal ini adalah pemikiran M. Quraish Shihab, dapat ditinjau dari sisi metodologi tafsir yang digunakan bahkan juga pandangan teologi M. Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat teologis dalam al-Quran. Dari sudut kajian yang luas itu, dalam kajian ini, peneliti hanya memfokuskan pada pemikiran M. Quraish Shihab seputar kesetaraan gender dalam bidang hukum keluarga yang meliputi kajian tentang wali nikah, nikah ijbar, iddah bagi perempuan, kewajiban nafkah, nusyuz, poligami, kewarisan, pemimpin dalam rumah tangga dan nikah beda agama. C. Rumusan Masalah Dari berbagai pertimbangan dan gambaran di atas, maka permasalahan utama dalam penelitian ini adalah Kesetaraan Gender dalam Pemikiran M. Quraish Shihab dan Relevansinya terhadap Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Adapun penjabaran masalah tersebut dirumuskan sebagaimana berikut: 1) Bagaimanakah pandangan M. Quraish Shihab tentang kesetaraan gender dalam hukum keluarga? 2) Faktor-faktor apakah yang mendorong lahirnya pemikiran Quraish Shihab tentang kesetaraan gender dalam hukum keluarga? 3) Bagaimanakah ragam pemikiran feminis muslim di Indonesia dan di mana posisi pemikiran M. Quraish Shihab? 4) Bagaimana relevansi pemikiran M. Quraish Shihab tentang kesetaraan gender terhadap Hukum Keluarga Islam di Indonesia? D. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian meliputi: 1) Pandangan M. Quraish Shihab tentang pemaknaan terhadap konsep kesetaraan gender dalam hukum keluarga 2) Faktor-faktor yang mempengaruhi pola pikir M. Quraish Shihab dalam merumuskan pandangannya tentang kesetaraan gender dalam hukum keluarga 3) Posisi pemikiran M. Quraish Shihab tentang kesetaraan gender dalam belantara pemikiran feminis muslim indonesia 4) Relevansi pemikiran M. Quraish Shihab terhadap rumusan hukum keluarga islam di Indonesia yang terkompilasikan dalam UU No. 1/1974 dan KHI E. Signifikansi Penelitian Dalam penelitian terdapat dua signifikansi yang akan dicapai, yaitu aspek keilmuan yang bersifat teoretis dan aspek praktis yang bersifat fungsional. Dari sisi keilmuan, penelitian terhadap konsep pemikiran M. Quraish Shihab tentang kesetaraan gender ini
akan memberikan nuansa pemahaman baru seputar relasi laki-laki dan perempuan dalam hukum keluarga yang selama ini menjadi perdebatan di kalangan aliran konservatif dan aliran liberal pada sisi yang lain. Sedangkan dari sisi praktisnya, hasil penelitian ini diharapkan memberikan alternatif lain dalam membangun kesadaran antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan rumah tangga sehingga tidak berlindung dibalik argumen kesetaraan gender untuk tujuan eksploitasi terhadap salah satu pihak. F. Tinjauan Pustaka Kajian terhadap pemikiran M. Quraish Shihab sejauh ini telah dilakukan oleh sejumlah peneliti baik dalam bentuk karya yang diajukan sebagai persyaratan akademik ataupun karya dalam bentuk karangan yang dipublikasikan. Sekalipun begitu, dari sekian kajian terhadap pemikiran M. Quraish Shihab tidak ditemukan kajian yang bersifat komprehensif terhadap konsep kesetaraan gender serta implikasinya terhadap hukum keluarga Islam di Indonesia sebagaimana yang hendak dikaji dalam penelitian ini. Di antara penelitian yang telah ada, salah satunya adalah penelitian dengan judul Pemikiran Muhammad Quraish Shihab Tentang Poligami oleh Rahmat Hidayat.16 Karya tersebut merupakan skripsi yang diajukan oleh penulisnya pada Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang pada tahun 2008. Dengan menggunakan kajian literatur terhadap karya-karya M. Quraish Shihab yang membahas tentang poligami akhirnya diperoleh kesimpulan bahwa poligami merupakan salah satu alternatif dalam kondisi darurat dan bagi yang hendak berpoligami haruslah memiliki pengetahuan serta memenuhi persyaratan dan ketentuan dalam poligami. Penelitian lainnya dilakukan oleh Mizanul Hasan dengan judul Perempuan sebagai Isteri: Telaah terhadap Pemikiran M. Quraish Shihab.17 Penelitian ini menggunakan metode content analysis dengan pendekatan historis-normatif. Kesimpulan yang diperoleh adalah, perempuan dalam pandangan M. Quraish Shihab memiliki hak yang sama dalam keluarga dan masyarakat. Mencegahnya bekerja dan beraktifitas di luar rumah dan tidak melibatkan perempuan dalam kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat berarti menyianyiakan paling tidak setengah dari potensi masyarakat. Kesimpulan ini didasarkan oleh penulisnya pada penafsiran M. Quraish Shihab terhadap ayat-ayat al-Qur‟an tentang perempuan, seperti an-Nisa (4): 34, al-Ahzab (33): 33, dan al-Baqarah (2): 228. Begitu pula penelitian yang berjudul Perspektif M. Quraish Shihab terhadap Wanita Pekerja oleh Nurul Irfan yang diajukan sebagai tugas akhir pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.18 Dalam skripsi tersebut diperoleh kesimpulan
16
Rahmat Hidayat, Pemikiran Muhammad Quraish Shihab Tentang Poligami (Malang: Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim, 2008), Skripsi tidak diterbitkan 17 Mizanul Hasan, Perempuan sebagai Isteri: Telaah terhadap Pemikiran M. Quraish Shihab (Yogyakarta: Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2009), Skripsi tidak diterbitkan 18 Nurul Irfan, Perspektif M. Quraish Shihab terhadap Wanita Pekerja (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2010), Skripsi tidak diterbitkan
para wanita dalam pandangan M. Quraish Shihab boleh bekerja dalam berbagai bidang, di dalam atau di luar rumah, baik secara mandiri atau bersama orang lain dengan lembaga pemerintah atau swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, dapat memelihara agamanya serta dapat pula menghindari dampak-dampak negative dari pekerjaan tersebut baik terhadap diri maupun lingkungannya. Pandangannya itu didasarkan pada surah An-Nisa Ayat 32 dan surat At-taubah ayat 71 yang mengandung prinsip-prinsip kerja yang menghargai perempuan sepenuhnya untuk memilih pekerjaan dalam rangka menafkahi kelurganya. Selanjutnya adalah kajian yang dilakukan oleh Rohana dengan judul Studi Deskriptif Pemikiran Quraish Shihab tentang Konsep Membaca dalam Surat Al-„Alaq Ayat 1-5.19 Melalui pendekatan historis yang digunakakn oleh penulisnya, diperoleh kesimpulan bahwa Dalam kajian ini digunakan konsep membaca menurut M. Quraish Shihab meliputi: (a) membaca merupakan hal yang sangat penting bahkan menjadi keharusan bagi Nabi Muhammad saw dan umatnya, (b) membaca merupakan syarat utama dalam menggapai peradaban yang tinggi, (c) membaca itu tidak harus dengan suara tetapi bisa cukup dengan hati atau tanpa suara, (d) objek membaca adalah segala sesuatu yang dapat dijangkau. Objek membaca tidak hanya berupa teks tertulis (qauliyah) saja melainkan teks yang tidak tertulis (kauniyah), (e) Membaca harus dengan nama Allah, (f) membaca itu tidak hanya dilakukan sekali saja melainkan berulang-ulang, (g) membaca yang dilakukan berulangulang pun harus dilakukan dengan disertai nama Allah, (h) hubungan membaca dan menulis tidak bisa dipisahkan. Hendaknya setelah membaca seseorang sebaiknya menulis, (i) untuk memperoleh ilmu maka seseorang harus berusaha. Usaha yang dimaksud adalah membaca. Dalam bentuk jurnal adalah tulisan yang berjudul M. Quraish Shihab dan Rasionalisasi Tafsir oleh Afrizal Nur.20 Dalam kajiannya itu, Afrizal menguraikan bahwa pemikiran rasional M. Quraish dalam tafsir al-Mishbah dipengaruhi sekian filosof dan ilmuwan semisal Filosuf Jerman yang bernama Schopenhauer, Pakar Fisika Perancis/ahli Bedah Alexis Carrel, Saintis Belanda J.ingenhousz, Arkheolog, Prof. Pettinato, Orientalis bernama Noldeke, Kier Kegart, Filosuf Imamanuel Kant, Dr. Maurice Bucaile, Prof Vilayanur Ramachandran –ahli ilmu syaraf berdarah India ilmuan dari Universtas Kalifornia di Sandiego, Orientalis Mac Donald, Luis Chekhu, Rudyard Kipling –seorang penyair Inggris, Karl Van Fritch, William James, Frued –seorang ahli ilmu Jiwa, Alexis Carrel, David Hume –sang filosuf Inggris, dan yang lainnya.
19
Rohana, Studi Deskriptif Pemikiran Quraish Shihab tentang Konsep Membaca dalam Surat Al-„Alaq Ayat 1-5 (Yogyakarta: Fakultas Adab dan Ilmu Budaya Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2011), Skripsi tidak diterbitkan 20 Afrizal Nur, “M. Quraish Shihab dan Rasionalisasi Tafsir”, dalam, Jurnal USHULUDDIN Vol. XVIII No. 1, Januari 2012
Contoh yang diangkat oleh Afrizal sebagai bukti rasionalisasi penafsiran dalam alMishbah adalah penafsiran terhadap surat al-Baqarah ayat 179 tentang Qishash. Mengomentari ayat tersebut, Quraish menyatakan: “Ada pemikir-pemikir yang menolak hukuman mati bagi terpidana. Pembunuhan sebagai hukuman adalah sesuatu yang kejam, yang tidak berkenan bagi manusia beradab, pembunuhan yang dilakukan terhadap terpidana menghilangkan satu nyawa, tetapi pelaksanaan qishash adalah menghilangkan satu nyawa yang lain; pembunuhan si pembunuh menyuburkan balas dendam, padahal pembalasan dendam merupakan sesuatu yang buruk dan harus dikikis melalui pendidikan, kerana itu hukuman terhadap pembunuh bisa dilakukan dalam bentuk penjara seumur hidup dan kerja paksa; pembunuh adalah seorang yang mengalami gangguan jiwa karena itu ia harus dirawat di rumah sakit.”21 Masih dalam bentuk jurnal adalah tulisan Chamim Thohari yang berjudul Konstruksi Pemikiran Quraish Shihab tentang Hukum Jilbab: Kajian Hermeneutika Kritis.22 Thohari mengidentifikasi pemikiran Quraish tentang hukum jilbab dibangun di atas beberapa pendekatan yang biasa digunakan dalam struktur pemikiran ulama-ulama klasik seperti Pendekatan Tarjih, Pendekatan „illat al-hukm, dan istihsan (bi al-„Urf). Melalui pendekatan tersebut, Quraish dalam pandangan Thohari secara tidak langsung terpengaruh oleh pandangan kontemporer tentang jilbab. Bukti yang diajukan Thohari dalam memperkuat kesimpulannya tersebut meliputi, pertama, sebelum ia berkesimpulan tentang tidak wajibnya jilbab, sebelumnya ia telah bersandar pada nama Qasim Amin dan Syeikh Muhammad Abduh yang juga memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat ulama terdahulu tentang hukum jilbab. Quraish Shihab tampaknya memberikan dukungan dari segi metodologis, karena pendapat Qasim Amin tersebut dianggap memiliki dalil dan metode yang diakui dan biasa dipakai oleh para ulama untuk menetapkan hukum; Kedua, terhadap argumen al-Asymawi, ketika ia memahami bahwa sebab turunnya ayat yang memerintahkan mengulurkan jilbab itu bertujuan membedakan antara wanita merdeka dan hamba sahaya, lalu menyatakan bahwa itulah „illat hukumnya, Quraish membenarkan pendapat tersebut seraya menyayangkan sikap para ulama yang menilainya hanya sebagai hikmah; Ketiga, al-Asymawi menolak dua hadis dari Aisyah yang dijadikan dasar kewajiban jilbab. Menyikapi hal ini Quraish menyatakan bahwa kita tidak dapat memaksakan seseorang untuk menerima hadis yang menurutnya tidak shahih, apalagi telah ada sekian banyak ulama masa lalu yang menolak hadis-hadis tersebut; Keempat, ketika mengomentari kalimat illa ma zhahara minha (kecuali apa yang nampak darinya, al-Asymawi berpendapat bahwa perbedaan para pakar 21
Ibid., hal. 30 Chamim Thohari, “Konstruksi Pemikiran Quraish Shihab tentang Hukum Jilbab: Kajian Hermeneutika Kritis”, dalam Jurnal SALAM, Volume 14 Nomor 1 Januari - Juni 2011 22
hukum itu adalah perbedaan antara pendapat-pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman dan kondisi masa serta masyarakat mereka, bukannya hukum yang jelas, pasti dan tegas. Pendapat ini diperkuat Quraish Shihab bahwa batas yang ditoleransi itu bersifat zhanniy (dugaan), dan seandainya ada hukum pasti dari al-Qur‟an dan Sunnah, tentu mereka tidak akan berselisih pendapat; kelima, Quraish Shihab berpendapat bahwa jilbab tidak lebih dari ajaran budaya setempat, bukan ajaran syari‟at Islam. Dan menurutnya, dengan mengutip perkataan Muhammad Thahir bin Asyur, bahwa adat kebiasaan suatu kaum tidak boleh –dalam kedudukannya sebagai adat – untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu.23 Kemudian dalam bentuk buku –setidaknya –ditemukan dua buku yang mengkaji pemikiran M. Quraish Shihab, yaitu karya tulis Mustafa P., dengan judul M. Quraish Shihab, Membumikan Kalam di Indonesia.24 Karya tersebut menunjukkan sebuah kesimpulan bahwa latar belakang intelektual dan setting social pemikiran kalam Quraish merupakan kekuatan yang saling berebut pengaruh dalam membentuk corak pemikiran kalamnya. Kesimpulan lainnya, bila dari segi metode, pemikiran kalam Quraish jelas bercorak tradisional maka dari sisi isi atau materi terdapat keseimbangan antara kecenderungan tradisional dan rasional. Dari sepuluh materi pemikiran kalamnya yang meliputi aspek-aspek mengenai sifat Tuhan, melihat Tuhan, kalam Tuhan, sunnat Allah serta fungsi akal dan wahyu, jelas pemikirannya mengikuti alur pikir ulama tradisional. Sementara
pada
aspek
lain,
seperti
kemahakuasaan
dan
perbuatan
Tuhan,
antropomorphisme, konsep iman, takdir dan ikhtiar serta keadilan Tuhan, maka pola pikir Quraish menunjukkan corak rasional. Karya lainnya adalah Tafsir al-Mishbah M. Quraish Shihab: Kajian Amtsal al-Quran yang ditulis oleh Mahfudz Masduki. Dalam karya itu disimpulkan bahwa dalam setiap penafsiran terhadap ayat-ayat amtsal, Quraish selalu menguraikan tentang pesan-pesan serta pelajaran yang harus dipetik dari amtsal-amtsal tersebut. Selain itu, Quraish selalu mengutip serta memperbandingkan dengan pendapat para mufassir lain semisal al-Biqa‟i, Thahir ibn „Asyur, al-Thabathaba‟i, Mutawalli al-Sya‟rawi, Sayyid Qutb dan lain-lain, namun beliau tidak mencantumkan rujukannya secara detail.25 Sejumlah karya di atas, baik dalam bentuk tugas akhir sebagai syarat memperoleh gelar kesarjanaan, jurnal-jurnal ilmiah maupun karya tulis berbentuk buku yang telah terpublikasikan sekalipun secara keseluruhan telah menjadikan pemikiran M. Quraish Shihab sebagai fokus kajiannya tidak satupun yang mengkaji aspek pemikiran M. Quraish Shihab dalam memaknai konsep kesetaraan gender dalam bidang hukum keluarga (al23
Ibid., hal. 85-86 Mustafa P., M. Quraish Shihab, Membumikan Kalam di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) 25 Mahfudz Masduki, Tafsir al-Mishbah M. Quraish Shihab: Kajian Amtsal al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) 24
Ahwal al-Syakhsiyah). Hal ini menunjukkan bahwa kajian penulis dengan judul Kesetaraan Gender dalam Pemikiran M. Quraish Shihab dan Relevansinya terhadap Hukum Keluarga Islam di Indonesia layak untuk diteliti karena memang belum ditemukan tema kajian serupa yang telah dikaji oleh para peneliti sebelumnya. G. Landasan Teori Teori seringkali diartikan sebagai pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi. Tegasnya teori merupakan pendapat, cara dan aturan untuk melakukan sesuatu.26 Dalam pandangan Satjipto Rahardjo, teori merupakan sarana untuk bisa merangkum dan memahami masalah yang sedang dibicarakan dengan baik sehingga dalam kondisi demikian teori dapat berfungsi untuk memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang sedang dikaji.27 Dalam penelitian ini, dengan melihat pada substansi kajian yang hendak diteliti, maka teori yang dinilai relevan adalah: 1) Teori Feminis Istilah feminisme mulai digunakan sejak awal abad 17 yang dalam bahasa Inggris disebut dengan feminism atau femina dalam bahasa latinnya. Paham feminisme bermula dari aktivisme perempuan Barat yang merasa tertindas oleh ideologi Gereja. Tidak bisa dipungkiri, ajaran gereja pada abad ke-17 dan 18 tidak memberi tempat yang adil terhadap perempuan bahkan berlaku kejam. Budaya misogynic (merendahkan perempuan) oleh Kristen bersumber dari kitab suci Kristen. Tersebut di Bible di antaranya; “Perempuan lebih dulu berdosa, karena perempuanlah yang terbujuk oleh ular untuk makan buah terlarang” (Kitab Kejadian [3]:1-6). Dalam pandangan gereja, perempuan direndahkan sebagai makhluk yang pertama kali membawa dosa. Selain itu, perempuan merupakan makhluk yang dikutuk Tuhan. Kitab Kejadian [3]:6 mengatakan: “Wujud kutukan Tuhan terhadap perempuan adalah kesengsaraan saat mengandung, kesakitan ketika melahirkan dan akan selalu ditindas laki-laki karena mewarisi dosa”. Thomas Aquinas, teolog Kristen menyebut perempuan sebagai laki-laki yang kurang upaya (defective male). Saint Paulus menilai bahwa perempuan adalah makhluk kelas dua.28 Keyakinan seperti itu tentu saja mempengaruhi cara pandang manusia Barat terhadap perempuan. Pada abad pertengahan, perempuan eropa tidak memiliki hak kekayaan, hak belajar dan turut serta dalam partisipasi politik. Bahkan di 26
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Depatemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hal. 1172 27 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 259 28 Gadis Arivia, Pembongkaran Wacana Seksis Filsafat Menuju Filsafat Berpsektif Feminis (Depok: Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2002), hal. 95
Jerman suami boleh menjual istrinya. Wanita benar-benar dinista bagaikan barang. Seorang ibu dilarang mendidik anaknya, kecuali ada izin dari suami.29 Menghadapi kenyataan ini, pertama, mereka berusaha menafsir ulang ayat-ayat Bible yang merendahkan wanita tersebut. Bahkan kaum perlawanan membuat Bibel tandingan yang diupayakan lebih memihak hak wanita Kristen. Mereka membuat revisi kitab suci yang bernama The Women‟s Bible, ditulis dengan tujuan menandingi ayat-ayat yang dipandang merendahkan wanita. Kedua, melakukan gerakan sosial. Pada 19-20 Juli 1848 di New York diadakan konvensi hak-hak perempuan oleh aktivis gender Elizabeth Candy Stanton. Pertemuan dihadiri oleh para wanita pendukung feminisme dan para aktivis penolak tradisi patriarkhi Gereja. Konvensi ini menghasilkan deklarasi yang bernama Declaration of Sentiments. Isinya usulan reformasi yang luas dan efektif untuk membela hak-hak perempuan dalam setiap aspek kehidupan. Dari sinilah awal mula timbulnya ideologi kebencian kaum feminisme terhadap laki-laki.30 Seiring perjalanan waktu, timbullah berbagai macam aliran feminis yang secara umum –kaitannya dengan perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan –ke dalam tiga aliran besar, yaitu:31 a) Feminisme Liberal Madzhab ini diusung oleh –antara lain –John Stuart Mill, Harriet Taylor, Osephine st. Pierre Ruffin, Anna Julia Copper, Ida B. Waells, Frances EW. Harper dan juga Mary Church Terrel. Teori feminis liberal meyakini bahwa masyarakat telah melanggar nilai tentang hak-hak kesetaraan terhadap perempuan, terutama dengan cara mendefinisikan perempuan sebagai sebuah kelompok ketimbang sebagai individu-Individu.32 Feminisme liberal melandaskan idealisme fundamentalnya pada pemikiran bahwa manusia bersifat otonom dan diarahkan oleh penalaran yang menjadikan manusia mengerti akan prinsip-prinsip moralitas dan kebebasan individu. Feminisme liberal mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan akses pada pendidikan, kebijakan yang bias gender serta hak-hak politis dan sipil.33 b) Feminisme Radikal Feminisme Radikal lahir dari aktifitas dan analisis politik mengenai hakhak sipil dan gerakan-gerakan perubahan sosial pada tahun 1950-an dan 196029
Henry Shalahuddin,Menimbang Paham Kesetaraan Gender:Konsep dan Latar Belakang Sejarah,makalah dipresentasikan pada acara Training of Trainer pada 15/02/2012 di INSIST Jakarta 30 Philip J Adler, “World Civilization”, dalam Adian Husaini, Kesetaraan Gender:Konsep dan Dampaknya terhadap Islam, Jurnal Islamia Vol. III No. 5 thn 2010, hal. 289 31 Nasaruddin, Argumen, hal. 64 32 Siti Hidayati Ama, "Beberapa Perspektif Feminis dalam Menganalisis Permasalahan Wanita" dalam To. Ihromi (eds.), Kajian Wanita dalam Pembangunan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hal. 98 33 Nope Marselina C.Y., Jerat Kapitalisme atas Perempuan (Yogyakarta: Resist Book, 2005), hal. 88
an, serta gerakan-gerakan wanita yang semarak pada tahun 1960-1970-an. Namun demikian, Madzhab ini dapat dilacak pada para pendukungnya yang lebih awal. Mary Wolstonecraft menganjurkan kemandirian wanita dalam bidang ekonomi. Maria Stewart, salah satu feminis kulit hitam pertama, tahun 1830-an mengusulkan penguatan relasi di antara wanita kulit hitam. Elizabeth Cuddy Stanton pada tahun 1880-an menentang hak-hak seksual laki-laki terhadap perempuan dan menyerang justifgikasi keagamaan yang menindas perempuan. Mazhab ini berpendapat bahwa sumber penindasan perempuan bersumber dari sistem patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga dan merupakan figur dominan dalam keluarga.34 Inti gerakan feminis radikal adalah isu mengenai penindasan perempuan. Mereka mencurigai bahwa penindasan tersebut disebabkan oleh adanya pemisahan antara lingkup privat dan lingkup publik, yang berarti bahwa lingkup privat dinilai lebih rendah daripada lingkup publik, dimana kondisi ini memungkinkan tumbuh suburnya patriarki. Dalam konsep feminisme radikal, tubuh dan seksualitas memegang esensi yang sangat penting. Hal ini terkait dengan pemahaman bahwa penindasan diawali melalui dominasi atas seksualitas perempuan dalam lingkup privat. Kaum feminis radikal meneriakkan slogan bahwa yang pribadi adalah politis, yang berarti penindasan dalam lingkup privat adalah merupakan penindasan dalam lingkup publik.35 Para feminis radikal juga memberi perhatian khusus pada isu tentang kekerasan laki-laki terhadap perempuan. Dominasi laki-laki dalam sistem patriarki membuat kekerasan yang menimpa perempuan, seperti pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, pornografi dan pelecehan seksual menjadi tampak alami dan “layak”. Sejalan dengan pemahaman ini, tercipta pula dikotomi mengenai good girls dan bad girls. Apabila seorang perempuan berperilaku baik, terhormat, dan patuh, maka ia tidak akan dicelakai.36 c)
Feminisme Marxis Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik
kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Aliran ini menjadikan teori Friedrich Engels sebagai landasan berfikirnya yang dengan jelas dalam teori ini dinyatakan bahwa 34
Christine Flynn Saulnier, Feminist Theories and Social Work: Approaches and Aplications (New York: The Haworth Press, 2000), hal. 102 35
Gadis Arivia, “Filsafat Berperspektif Feminis”, dalam, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2003, hal. 100102 36 Ibid., hal. 103
jatuhnya status perempuan karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.37 Dengan
demikian,
aliaran
feminisme
ini
bertujuan
mengadakan
restrukturisasi masyarakat agar tercapai kesetaraan gender. Ketimpangan gender disebabkan oleh sistem kapitalisme yang menimbulkan kelas-kelas dan division of labour, termasuk di dalam keluarga. Gerakan kelompok ini mengadopsi teori praxis Marxisme, yaitu teori penyadaran pada kelompok tertindas, agar kaum perempuan sadar bahwa mereka merupakan „kelas‟ yang tidak diuntungkan. Proses penyadaran ini adalah usaha untuk membangkitkan rasa emosi para perempuan agar bangkit untuk merubah keadaan.38 2) Teori Struktural-Fungsional Teori atau pendekatan struktural-fungsional merupakan teori sosiologi yang diterapkan dalam melihat institusi keluarga. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas beberapa bagian yang saling memengaruhi. Teori ini mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam suatu masyarakat, mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi unsur-unsur tersebut dalam masyarakat. Banyak sosiolog yang mengembangkan teori ini dalam kehidupan keluarga pada abad ke-20, di antaranya adalah William F. Ogburn dan Talcott Parsons.39 Lahirnya fungsionalisme struktural sebagai suatu perspektif yang ”berbeda” dalam sosiologi memperoleh dorongan yang sangat besar lewat karya-karya klasik seorang ahli sosiologi Perancis, yaitu Emile Durkheim. Masyarakat modern dilihat oleh Durkheim sebagai keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri. Keseluruhan tersebut memiliki seperangkat kebutuhan atau fungsifungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bila mana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat ”patologis”. Sebagai contoh dalam masyarakat modern fungsi ekonomi merupakan kebutuhan 37
Heather A. Brown, Marx on Gender and The Family, A Critical Study (Leiden: Brill, 2012), hal. 122 Ratna, Membiarkan, hal. 225 39 Ibid., hal. 56 38
yang harus dipenuhi. Bilamana kehidupan ekonomi mengalami suatu fluktuasi yang keras, maka bagian ini akan mempengaruhi bagian yang lain dari sistem itu dan akhirnya sistem sebagai keseluruhan. Suatu depresi yang parah dapat menghancurkan sistem politik, mengubah sistem keluarga dan menyebabkan perubahan dalam struktur keagamaan. Pukulan yang demikian terhadap sistem dilihat sebagai suatu keadaan patologis, yang pada akhirnya akan teratasi dengan sendirinya sehingga keadaan normal kembali dapat dipertahankan. Para fungsionalis kontemporer menyebut keadaan normal sebagai equilibrium, atau sebagai suatu sistem yang seimbang, sedang keadaan patologis menunjuk pada ketidakseimbangan atau perubahan sosial.40 Secara essensial prinsip-prinsip pokok fungsionalisme structural menurut Stephen K. Sanderson adalah sebagai berikut: a) Masyarakat merupakan system yang kompleks yang tediri dari bagianbagian yang saling berhubungan dan saling tergantung, dan setiap bagian saling berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian lainnya; b) Setiap bagian dari sebuah masyarakat eksis karena bagian tersebut memiliki fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas masyarakat secara keseluruhan; c) Semua masyarakat memiliki mekanisme untuk mengintegrasikan dirinya, yaitu mekanisme yang dapat merekatkannya menjadi satu. Salah satu bagian penting dari mekanisme ini adalah komitmen para anggota masyarakat kepada serangkaian kepercayaan dan nilai yang sama; d) Masyarakat cenderung mengarah kepada satu keadaan equilibrium atau homeostatis,dan gangguan pada salah satu bagian cenderung menimbulkan penyesuaian pada bagian lain agar tercapai harmoni dan stabilitas; e) Perubahan sosial merupakan kejadian yag tidak biasa dalam masyarakat tetapi bila itu terjadi juga maka perubahan itu pada umumnya akan membawa
kepada
konsekwensi-konsekwensi
yang
menguntungkan
masyarakat secara keseluruhan.41 3) Teori Konflik Secara berbeda, Teori-teori Konflik, terutama teori-teori makro sosiologi karya Karl Marx, Georg Simmel, Max Weber sampai karya Randall Collins, Ralf Dahrendorf dan Lewis Coser, memandang konflik sebagai suatu bentuk interaksi manusia dalam membentuk sistem sosial. Konflik telah dipandang sebagai suatu
40
George Ritzer, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Prenada Media Group, 2004), hal. 122 Dikutip dari, Soerjono Soekanto, Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 156 41
gejala yang inheren di dalam masyarakat, karenanya konflik tidak dipandang sebagai suatu kondisi disfungsional bagi sistem sosial.42 Dalam kajian etimologis, konflik berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan.43 Dalam makna demikian, konflik berarti percekcokan, perselisihan dan pertentangan yang jika dikaitkan dengan persoalan sosial berarti pertentangan antar anggota atau masyarakat yang bersifat menyeluruh, atau dalam bahasa yang berbeda, konflik dapat dimaknai sebagai proses pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku.44 Sementara terkait dengan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik, para sosiolog berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu
adanya
hubungan sosial, ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan atas sumbersumber kepemilikan, status sosial dan kekuasaan yang jumlah ketersediaanya sangat terbatas dengan pembagian yang tidak merata di masyarakat.45 Pendapat lain menyebutkan bahwa timbulnya konflik dipengaruhi oleh Perbedaan pendirian dan keyakinan,46 perbedaan kebudayaan,47 dan perbedaan
kepentingan yang
dalam hal ini masing-masing individu ataupun kelompok yang berbeda akan bersaing dan berkonflik untuk memperebutkan kesempatan dan sarana.48 H. Metode Penelitian 1) Jenis Penelitian Sesuai dengan objek yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini, yakni pemikiran M. Quraish Shihab tentang kesetaraan gender, maka penelitian ini tergolong sebagai penelitian literatur (library research). Penelitian ini diarahkan untuk meneliti substansi teks berupa pemikiran maupun gagasan tokoh sebagai karya filsafat atau memiliki muatan kefilsafatan.49 Dalam hal ini, pandangan M. Quraish Shihab tentang kesetaraan gender dan implikasinya terhadap hukum keluarga Islam di Indonesia yang tertuang dalam karya-
42
Robert H. Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001), hal. 98 Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal. 345 44 Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 99; periksa juga dalam, Irving M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998), hal.156; Robert lawang, Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi (Jakarta: Universitas Terbuka, 1994), hal. 53 45 Elly M. Setiadi, Pengantar Sosiologi, hal. 361 46 J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hal. 68 47 Ibid. 48 Astrid Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial (Bandung:Bina Cipta, 2006), hal. 70 49 Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: Rosdakarya, 2001), hal. 109-110 43
karyanya –sebagaimana akan diuraikan dalam kajian tentang sumber data penelitian – diletakkan sebagai objek penelitian. 2) Sumber Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer yang dimaksudkan adalah karya-karya M. Quraish Shihab yang memuat kajian teoretis seputar kesetaraan gender meliputi 4 (empat) karya utamanya, yakni, “Tafsir Al-Misbah”, “Wawasan Al-Quran”, “Membumikan Al-Quran” dan “Perempuan: dari Cinta sampai Seks, dari Nikah Mut‟ah sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama sampai Bias Baru. Sementara sumber sekundernya adalah karya tulis baik yang ditulis oleh M. Quraish Shihab ataupun ilmuwan lainnya dengan catatan memiliki relevansi dengan tema yang sedang penulis kaji. 3) Pendekatan Penelitian Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan hermeneutik50 dan komparatif51. Hermeneutika dalam terminologinya –sebagaimana diungkap Zygmunt Bauman dan selanjutnya dikutip oleh Komaruddin Hidayat – merupakan upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiksi sehingga menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.52 Dalam konteks penelitian ini, pendekatan hermeneutik diaplikasikan dalam mengananalisis pemikiran M. Quraish Shihab yang berkaitan dengan wali nikah, nikah ijbar, iddah bagi perempuan, kewajiban nafkah, nusyuz, poligami, kewarisan, pemimpin dalam rumah tangga dan nikah beda agama. Sedangkan pendekatan komparatif digunakan dalam membandingkan pemikiran M. Quraish Shihab dengan pemikir-pemikir lain sehingga dapat diketahui posisi pemikiran M. Quraish Shihab tentang kesetaraan gender dalam belantara pemikiran gender di Indonesia.
50
Kata „hermeneutika‟ berasal dari bahasa Yunani, hermeneuein yang berarti „menafsirkan‟. Dalam arti mengubah sesuatu atau situasi ketidak-tahuan menjadi mengerti. Sebuah spekulasi historis –lebih tepat disebut mitos – menyebutkan bahwa kata hermeneutika sebenarnya berasal dari kata Hermes, salah satu nama Dewa yang bertugas menyampaikan sekaligus menerjemahkan pesan Jupiter kepada umat manusia. Hermes digambarkan sebagai seorang yang mempunyai kaki bersayap yang lebih dikenal dalam bahasa Latin dengan sebutan Mercurius. Lihat dalam, E. Sumaryono, Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hal. 23-24 51 Komparatif yang diadopsi oleh bahasa Indonesia dari bahasa Inggris yakni comparative berasal dari bahasa Latin yakni comparativus yang berarti kemampuan menggunakan metode untuk mengetahui persamaan atau perbedaan yang ditentukan dengan pengujian secara simultan dari dua hal atau lebih. Philip Babcock Gove, Webster Third New International Dictionary (Massachussets: G. dan C, Meriam Company, 1996), hal. 461 52 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 126
4) Teknik Analisis Data Analisis data disebut juga pengolahan data dan penafsiran data. Analisis data adalah rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokan, sistematisasi, penafsiran dan verifikasi data, agar sebuah fenomena memiliki nilai sosial, akademis dan ilmiah. Kegiatan analisis tidak terpisah dari rangkaian kegiatan secara keseluruhan yang bertujuan untuk menyederhanakan, sehingga mudah ditafsirkan.53 Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah content analysis, yakni berupaya memahami data bukan sebagai kumpulan peristiwa fisik tetapi sebagai gejala simbolik untuk mengungkap makna yang terkandung dalam sebuah teks dan memperoleh pemahaman terhadap pesan yang direpresentasikan.54 Dengan demikian, karya-karya intelektual M. Quraish Shihab sebagai representasi pemikirannya –utamanya yang berkaitan dengan kajian tentang kesetaraan gender – diposisikan sebagai objek yang harus ditelaah dalam rangka menyimpulkan konsep kesetaraan gender dalam pemikiran M. Quraish Shihab. I.
Sistematika Pembahasan Penulisan buku ini akan disusun dalam beberapa bab dan setiap bab terdiri dari sub-
sub bahasan. Bab pertama menjelaskan tentang latar belakang penelitian, batasan dan rumusan masalah penelitian. Selanjutnya dibahas pula seputar tujuan dan signifikansi penelitian. Tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian serta sistematika pembahasan juga diuraikan pada bab ini. Bab kedua mengungkap kehidupan dan perkembangan intelektual M. Quraish Shihab yang meliputi biografi pribadi, maupun karya-karya intelektualnya. Selanjutnya pada bab ketiga dimuat kajian tentang metode pemikiran M. Quraish Shihab dalam merumuskan konsep kesetaraan gender serta faktor-faktor yang mempengaruhi pemikirannya. Pada bab keempat, kajian yang diuraikan lebih difokuskan pada aplikasi pemikiran M. Quraish Shihab tentang kesetaraan gender dalam bidang hukum keluarga yang meliputi sub bahasan tentang wali nikah, nikah ijbar, iddah bagi perempuan, kewajiban nafkah, nusyuz, poligami, kewarisan, pemimpin dalam rumah tangga dan nikah beda agama. Kemudian dilanjutkan dengan bab kelima yang mengkaji tentang posisi pemikiran M. Quraish Shihab dalam belantara kajian gender di Indonesia, begitu pula relevansi pemikirannya terhadap bangunan hukum keluarga Islam di Indonesia sebagaimana terumuskan dalam UU No. 1/1974 tentang Perkawinan maupun dalam Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan bab terakhir, yakni bab keenam merupakan kajian penutup yang berisi
53
Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995 ), hal. 88 54 Agus S. Ekomadyo, “Prospek Penerapan Metode Analisis Isi (Content Analysis), dalam, Journal Itenas, No.2 Vol.10 Agustus 2006, hal. 51
kesimpulan dari uraian-uraian yang telah diperbincangkan sebelumnya, sekaligus merupakan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah.
Daftar Pustaka Arivia, Gadis, Pembongkaran Wacana Seksis Filsafat Menuju Filsafat Berpsektif Feminis (Depok: Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2002) Arivia, Gadis, “Filsafat Berperspektif Feminis”, dalam, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2003 Alimi, Muh. Yasir, Jenis Kelamin Tuhan (Yogyakarta: LKiS, 2002) Adler, Philip J., “World Civilization”, dalam Adian Husaini, Kesetaraan Gender:Konsep dan Dampaknya terhadap Islam, Jurnal Islamia Vol. III No. 5 thn 2010 Ama, Siti Hidayati, "Beberapa Perspektif Feminis dalam Menganalisis Permasalahan Wanita" dalam To. Ihromi (eds.), Kajian Wanita dalam Pembangunan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995) Ekomadyo, Agus S., “Prospek Penerapan Metode Analisis Isi (Content Analysis), dalam, Journal Itenas, No.2 Vol.10 Agustus 2006 Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah (Malang: UIN Press, 2008) Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013) Hidayat, Rahmat, Pemikiran Muhammad Quraish Shihab Tentang Poligami (Malang: Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim, 2008), Skripsi tidak diterbitkan Hasan, Mizanul, Perempuan sebagai Isteri: Telaah terhadap Pemikiran M. Quraish Shihab (Yogyakarta: Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2009), Skripsi tidak diterbitkan Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996) Harisudin, Muhammad Noor, Peran Domestik Perempuan menurut K.H. Abd. Muchith Muzadi, hal. 65 dan seterusnya. Dalam, http://digilib.uinsby.ac.id/9525/3/babii.pdf. diakses pada, 12 Maret 2015 Irfan, Nurul, Perspektif M.
Quraish Shihab terhadap Wanita Pekerja (Jakarta: Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2010), Skripsi tidak diterbitkan Megawangi, Ratna, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender (Bandung: Mizan, 1999) Majalah Dakwah Islam, Cahaya Nabawiy, Edisi No. 132 Th. IX Muharram 1436 H / November 2014 Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Quran (Jakarta: Paramadina, 2001)
Muhammad Husein, “Reformulasi Hukum Keluarga Indonesia”, dalam kata pengantar, Marzuki Wahid, Fiqih Indonesia (Bandung: Marja‟, 2014) Shihab, M. Quraish, Perempuan: dari Cinta sampai Seks, dari Nikah Mut‟ah sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama sampai Bias Baru (Jakarta: Lentera Hati, 2010) Rohana, Studi Deskriptif Pemikiran Quraish Shihab tentang Konsep Membaca dalam Surat Al„Alaq Ayat 1-5 (Yogyakarta: Fakultas Adab dan Ilmu Budaya Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2011), Skripsi tidak diterbitkan Nur, Afrizal, “M. Quraish Shihab dan Rasionalisasi Tafsir”, dalam, Jurnal USHULUDDIN Vol. XVIII No. 1, Januari 2012 Thohari, Chamim, “Konstruksi Pemikiran Quraish Shihab tentang Hukum Jilbab: Kajian Hermeneutika Kritis”, dalam Jurnal SALAM, Volume 14 Nomor 1 Januari - Juni 2011 Mustafa P., M. Quraish Shihab, Membumikan Kalam di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) Masduki, Mahfudz, Tafsir al-Mishbah M. Quraish Shihab: Kajian Amtsal al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Depatemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2007) Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006) Shalahuddin, Henry, Menimbang Paham Kesetaraan Gender:Konsep dan Latar Belakang Sejarah, makalah dipresentasikan pada acara Training of Trainer pada 15/02/2012 di INSIST Jakarta Nope, Marselina C.Y., Jerat Kapitalisme atas Perempuan (Yogyakarta: Resist Book, 2005) Christine Flynn Saulnier, Feminist Theories and Social Work: Approaches and Aplications (New York: The Haworth Press, 2000) Brown, Heather A., Marx on Gender and The Family, A Critical Study (Leiden: Brill, 2012) Ritzer, George, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Prenada Media Group, 2004) Soekanto, Soerjono, Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) Lauer, Robert H., Perspektif Tentang Perubahan Sosial (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001) Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011) Soekanto, Soerjono, Kamus Sosiologi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993) Lawang, Robert, Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi (Jakarta: Universitas Terbuka, 1994) Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005) Susanto, Astrid, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial (Bandung:Bina Cipta, 2006)
Suprayogo, Imam dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: Rosdakarya, 2001) Sumaryono, E., Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999) Sumbulah, Umi, “Ketentuan Perkawinan dalam KHI dan Implikasinya bagi Fiqh Mu‟asyarah: Sebuah
Analisis
Gender.http://download.portalgaruda.org/article.php?article=115333&val=5284, hal. 86. Diakses pada 14 Maret 2015 Gove, Philip Babcock, Webster Third New International Dictionary (Massachussets: G. dan C, Meriam Company, 1996) Wasito, Hermawan, Pengantar Metodologi Penelitian (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995 ) Wahid, Marzuki, Fiqih Indonesia (Bandung: Marja‟, 2014) Zeitlin, Irving M., Memahami Kembali Sosiologi (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998) http://print.kompas.com/baca/2015/04/27/Laporan-KDRT-Meningkat%2c-Penanganan-BelumOptimal. Diakses pada, 10 Mei 2015