IJTIHAD M. QURAISH SHIHAB DALAM MERESPONS PROBLEMATIKA HUKUM ISLAM KONTEMPORER Toha Andiko Jurusan Syariah STAIN Bengkulu Jl. Raden Fatah Pagar Dewa Bengkulu Email :
[email protected]
Abstrak Permasalah utama dalam penelitian ini adalah 1) bagaimana landasan metode ijtihad yang digunakannya, 2) bagaimana aplikasi ijtihadnya dalam merespons problematika hukum Islam kontentemporer. Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif, maka untuk mendapatkan data-data yang akurat dan dokumenter, pengumpulan data dilakukan melalui metode penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan sumber-sumber yang ada kaitannya dengan masalah pokok penelitian, baik sumber primer maupun sekunder dengan pendekatan hukum normatif melalui teknik analisis isi (content analysis). Selanjutnya, data-data dan fakta-fakta dari penelitian ini disajikan secara deskriptif, analisis kritis, dan komparatif. Deskriptif dimaksudkan untuk menjelaskan kebenaran atau kesalahan dari suatu fakta atau pemikiran yang akan membuat suatu kepercayaan itu benar. Sementara analisis kritis dilakukan untuk melihat sisi-sisi mana analisis data dikembangkan secara seimbang dengan melihat kelebihan dan kekurangan dari objek yang diteliti. Hasil penelitian ini ditemukan bahwa dalam ijtihadnya, M. Quraish Shihab menggunakan beberapa metode ijtihad yang telah mapan dan pernah dikemukakan oleh para imam madzhab terdahulu, namun ia tidak terikat dengan salah satu madzhab manapun, baik dari segi metode maupun hasilnya, dan tidak terikat pula pada pendapat fuqahâ’ sesudahnya. Dalam menempuh takhayyur, ia tidak sekedar memilih pendapat yang terkuat, tapi ia juga melakukan tarjîh, memperkuat pandapat yang dipilihnya dengan menambahkan argumen dan mengkritisi pendapat lain yang berbeda dengannya yang dianggapnya lemah. Dalam menganalisis hukum berjilbab, M. Quraish Shihab cenderung menggunakan ijtihad bayani yang diperkaya dengan pendekatan sejarah Arab. Sedang dalam masalah Poligami, ia tampaknya keliru dalam menggunakan istilah ”darurat” bagi kebolehan poligami, karena implikasinya bisa berarti hukum poligami itu asalnya haram. Padahal, tidak ada satupun ayat, hadis, maupun pendapat ulama terdahulu dan kini yang menyatakan hukum dasar poligami haram seperti halnya memakan bangkai, darah dan daging babi. Adapun dalam masalah hukum perkawinan beda agama, selain menggunakan ijtihad bayani, ia memadukannya juga dengan kemashlahatan yang menjadi tujuan utama hukum Islam--sebagai penguat argumentasinya. Kata kunci; khimar, poligami, wanita ahli kitab LATAR BELAKANG Mayoritas ulama mujtahid sepakat bahwa tidak boleh ada suatu masa yang sunyi dari mujtahid yang berijtihad untuk menyelesaikan dan menetapkan (tathbîq) hukum Islam. Mereka berpendirian bahwa ijtihadlah yang telah membawa keharuman dan kecemerlangan Islam sehingga agama ini bisa beradaptasi dengan berbagai situasi dan kondisi (Zahrah, t.t; 279). Dengan demikian, kegiatan berijtihad tidak hanya diperlukan pada masa lalu, tapi juga sangat dibutuhkan pada masa kini apalagi di masa yang akan datang, sebab kejadian dan persoalan baru yang belum ada ketentuan hukumnya terus berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern juga menuntut untuk dipecahkan segera, dan untuk itu diperlukan kesungguhan, keahlian, dan ketelitian yang mendalam untuk menyelesaikannya. Di antara faktor dominan yang mengilhami para mujtahid tersebut bersikeras untuk berijtihad adalah situasi dan kondisi yang senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Salah satu contoh yang bisa diambil
dari ilustrasi ini ialah perbedaan pendapat antara Imam Abû Hanîfah dengan kedua muridnya yaitu Muhammad al-Syaibani dan Abû Yûsuf yang lebih dominan disebabkan oleh perbedaan zaman, bukan semata-mata karena perbedaan dalil dan argumentasi (al-Qardhawi, 1994; 16). Dalam konteks Indonesia, beberapa ulama lokal juga telah melakukan kegiatan ijtihad, baik secara kolektif dalam kelembagaan seperti yang dilakukan oleh MUI, Majelis Tarjih Muhammadiyah, Bahtsul Masa’il Nahdhatul Ulama, Dewan Hisbab Persis, maupun secara individual oleh tokoh-tokoh agama seperti Hasbi as-Shiddiqi, Hamka, Ibrahim Hosen, M. Quraish Shihab (untuk selanjutnya disebut Quraish Shihab) dan lainnya sebagai respons terhadap problematika hukum Islam yang berkembang dalam masyarakat. Khusus terhadap Quraish Shihab, ada hal menarik yang perlu dicermati. Beliau selama ini dikenal sebagai ulama yang produktif dalam berkarya. Gagasan-gagasannya tentang keislaman tidak hanya disampaikan secara lisan, tapi juga
Manhaj, Vol. 12, Nomor 1, Januari – Juni 2012
dituangkan dalam berbagai tulisan yang tersebar di berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Karya-karya tulisnyapun kebanyakan menjadi best seller. Bahkan ia pernah menerima penghargaan Islamic Book Fair (IBF) Award sebagai Tokoh Perbukuan Islam 2009. Ini karena Quraish Shihab dinilai sudah terbukti mampu memberi inspirasi terhadap perkembangan perbukuan Indonesia melalui buku-buku karyanya (Penghargaan berupa piala, sertifikat dan uang tunai diserahkan oleh Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) DKI Jakarta HE Afrizal Sinaro dalam rangkaian acara pembukaan IBF ke-8 Tahun 2009 di Istora Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta, Sabtu., 26 Peberuari 2009). Kajian yang dilakukan Qurasih Shihab juga beragam, mulai dari masalah aqidah, tafsir, `ulum alQur’an, akhlak, hingga syari`ah. Akhir-akhir ini seiring dengan semakin banyaknya beliau mengisi pengajian untuk masyarakat umum, seringkali yang bersangkutan membahas masalah-masalah fiqh untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan jamaah yang awam tentang hukum Islam. Sebagian jawaban-jawaban fiqh beliau lalu dikumpulkan dan dicetak menjadi buku. Bahkan beliaupun akhirnya menulis buku-buku khusus yang berkaitan dengan fiqh. Padahal, ditinjau dari latar belakang keahliannya, sebenarnya beliau adalah ahli tafsir. Selain itu, Quraish Shihab sebagai ulama yang pernah berkecimpung di birokrasi dan aktif di berbagai organisasi, selama ini dikenal sebagai ulama intelektual yang moderat. Oleh sebab itu, ia dipercaya menduduki jabatan-jabatan penting di berbagai lembaga dan organisasi yang diikutinya. Puncak karirnya diraih ketika ia terpilih sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian ia diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap negara Republik Djibauti berkedudukan di Kairo. Terakhir, setelah tidak menjabat lagi di birokrasi, ia mencurahkan segenap energinya untuk mengembangkan studi alQur’an dengan mendirikan Pusat Studi Al-Qur’an dan penerbitan buku-buku agama melalui Yayasan Lentera Hati. Melalui Pusat Studi Al-Qur’an ini, Quraish Shihab mengadakan pengajian rutin intensif tentang tafsir, menyelenggarakan pelatihan-pelatihan yang berkenaan dengan `ulum al-Qur’an, dan memfasilitasi kajian-kajian keislaman lainnya dengan melibatkan beberapa intelektual muda binaannya, sehingga ia pun semakin banyak menghasilkan tulisan-tulisan dengan beragam topik. Yang menarik, dari sekian banyak tulisannya tersebut, ada beberapa 50
pendapatnya yang kontroversial karena dianggap melawan arus dan ke luar dari pendapat mayoritas. Di antaranya masalah jilbab yang baginya bukanlah suatu kewajiban, tapi berupa anjuran (Quraish Shihab, 2003; 170-172). Begitu juga dengan pendapatnya tentang poligami yang terkesan kurang tegas dan mengambang karena mengibaratkannya seperti pintu darurat di pesawat yang hanya boleh dibuka jika keadaan sangat mendesak. Sedangkan syarat adil, penilaian keadaannya diserahkan kepada masing-masing pihak menurut pertimbangannya Quraish Shihab, 2000; 200). Mencermati hal di atas, perlu kiranya untuk meneliti lebih jauh tentang otoritas beliau apakah sebagai ulama mujtahid atau sekedar pemikir fiqh. Oleh sebab itu, perlu digali lagi secara mendalam pendapat-pendapat fiqhnya yang tertuang dalam berbagai tulisannya beserta argumentasinya. Dengan demikian, diharapkan nantinya akan tampak posisinya dalam tingkatan ijtihad dan kecendrungan corak ijtihadnya serta kontribusinya bagi pengembangan hukum Islam di Indonesia. MASALAH PENELITIAN Permasalahan pokok yang akan dibahas pada penelitian ini adalah bagaimana metode ijtihad Quraish Shihab dan kecendrungan corak ijtihadnya yang dibatasi pada ijtihad beliau sebagai secara pribadi dengan ijtihad individualnya (ijtihad fardi) dan tidak dalam kapasitasnya sebagai anggota komisi fatwa MUI dengan ijtihad kolektifnya (ijtihad jamâ`i). Dalam hal ini, hasil ijtihadnya yang akan diteliti juga dibatasi pada masalah-masalah fiqh tentang perempuan (fiqh al-mar’ah), lebih khusus lagi tentang jilbab, poligami, nikah dengan ahl alkitab, dan nikah mut’ah lewat buku-buku yang ditulisnya hingga tahun 2010. Dari masalah pokok tersebut, lalu diterapkanlah beberapa rumusan sub masalah yang akan dicari jawabannya yaitu: (1) Bagaimana landasan epistimologis metode ijtihad Quraish Shihab? (2) Bagaimana aplikasi metode ijtihad Quraih Shihab dalam merespons problematika hukum Islam kontemporer di Indonesia ? KERANGKA TEORI Untuk memverifikasi ijtihad yang telah dilakukan oleh Quraish Shihab, maka sebagai panduan untuk memprediksi fakta, mensistematisasi, mengklasifikasi, menilai, dan generalisasi terhadap hasil ijtihadnya, digunakan beberapa teori berikut ini; Tujuan disyari`atkan hukum Islam kepada orang-orang mukallaf adalah untuk mewujudkan mashlahat dan menolak mudharat. Dimana terdapat kemashalahatan, maka di sanalah hukum Allah yang selalu memberi petunjuk bagi masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan mereka. Realisasi mashlahat tersebut harus melalui tahapan ketentuan-ketentuan yang dharûriy, hâjiy, atau
Toha Andiko; Ijtihad M. Qurais Shihab
tahsîniy. Ketentuan dharûriy itu ialah memelihara kebutuhan yang bersifat esensial, bermaksud untuk menjaga eksistensi agama, jiwa, akal, harta benda, dan keturunan manusia. Ketentuan hâjiy ialah memelihara kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan dalam hidupnya. Sedang ketentuan tahsîniy ialah memelihara kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan di hadapan Tuhannya, sesuai dengan kepatutan (Al-Syâthibi, t.t; 4-5). Hukum Islam dalam hal tidak ada nash yang mengatur, maka ijtihad merupakan alat yang terampuh untuk digunakan (Khallaf, 1977; 8). Teori tentang maqâsid al-syarî`ah ini digunakan sebagai acuan untuk menilai apakah hasil-hasil ijtihad Quraish Shihab dalam menjawab problematika hukum Islam kontemporer pada zamannya sudah sesuai dengan maqâsid al-syarî`ah. Ijtihad dari segi dalil yang dijadikan pedoman terdiri dari 3 macam, pertama ijtihad bayâni yaitu ijtihad untuk menemukan hukum yang tersurat dalam nash, namun sifatnya zhanni, baik dari segi ketetapannya maupun dari segi penunjukannya. Kedua, ijtihad qiyâsi yaitu ijtihad untuk menggali dan menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang tersirat dalam nash, sebab tidak ada nash maupun ijmâ` yang telah menetapkan hukumnya. Ketiga, ijtihad ishtishlâhi yaitu ijtihad untuk menemukan hukum yang tersuruk, dengan menerapkan kaedah kulli (umum) untuk kejadian yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam nash dan ijmâ`, dan dasarnya hanyalah jiwa hukum syara` yang bertujuan untuk kemashlahatan umat (Syarifuddin, 1999; 267). Dalam hal ini, teori tentang 3 macam ijtihad tersebut dipakai untuk menganalisa apakah Quraish Shihab dalam ijtihadnya terhadap berbagai kasus hukum menggunakan salah satu metode saja atau ketigatiganya sekaligus. Untuk menghadapi permasalahan hukum yang tidak ada ketentuannya dalam al-Qur’ân dan alSunnah, para mujtahid berusaha memecahkannya dengan menerapkan ijtihad yang terdiri dari beberapa bentuk, seperti ijtihâd ta`lîli/qiyâsi, ijtihâd intiqâ’i/tarjîhi, ijtihâd insyâ’i, dan ada kalanya menggabung antara ijtihâd intiqâ’i dan insyâ’i sekaligus (al-Qardhawi, 1987; 173). Teori ini digunakan untuk memprediksi kecendrungan corak ijtihad Quraish Shihab, persamaan atau perbedaannya dengan yang lain, lalu mengklasifikasinya berdasarkan intensitas pemakaiannya. Perubahan fatwa dan perbedaan pendapat yang terjadi padanya (hasil ijtihad) dipengaruhi oleh perubahan zaman, tempat, keadaan, niat, dan kebiasaan-kebiasaan (al-Jauziyah, 1973; 3 dan 425). Teori ini digunakan untuk menilai sejauhmana hasil ijtihad Quraish Shihab dipengaruhi oleh perubahan
situasi, kondisi, dan faktor eksternal lain yang melingkupinya. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif, maka untuk mendapatkan data-data yang akurat dan dokumenter, pengumpulan data dilakukan melalui metode penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan sumber-sumber yang ada kaitannya dengan masalah pokok penelitian, baik sumber primer maupun sekunder dengan pendekatan sejarah (historical approach) dan pendekatan hukum normatif melalui teknik analisis isi (content analysis). Pendekatan historis sangat penting karena penelitian ini berkaitan dengan profil seorang tokoh dan pemikiran di masa lampau yang dipaparkan melalui karya-karyanya. Penggunaan pendekatan ini merupakan suatu proses pengujian dan penelaahan secara kritis terhadap rekaman peninggalan masa lalu, dengan melihatnya sebagai suatu kenyataan historis yang mempunyai satu kesatuan dengan masa, tempat, kelompok, budaya, dan suasana lingkungan saat kejadian itu muncul. Dalam hal ini digunakan untuk menyelidiki riwayat hidup Ibrahim Hosen dan suasana lingkungan hidupnya sehingga diketahui latar belakang eksternal dan internal yang turut mempengaruhinya, meliputi keadaan khusus yang dialami oleh subjek yang bersangkutan, pengaruhpengaruh khususnya tradisi intelektual relasi-relasi yang dominan dan lainnya (Suryabrata, 1980; 94). Sedangkan analisis isi digunakan untuk mengetahui secara seksama bagaimana metode istinbâth al-ahkâm Quraish Shihab meliputi bentuk dan corak serta kecendrungannya dalam berijtihad, yang dalam hal ini dilakukan secara sistematis dengan dibantu ilmu ushûl al-fiqh dan fiqh dengan polanya yang teratur dan objektif. Dalam hal ini, akan dianalisis terlebih dahulu kesesuaian dalil yang dijadikannya sandaran dengan kasus-kasus hukum yang dihadapi, cara yang digunakannya dalam penerapan dalil terhadap kasus-kasus hukum tersebut, dan kesimpulan hasil yang diperoleh dari ijtihadnya. Selanjutnya, data-data dan fakta-fakta dari penelitian ini disajikan secara deskriptif, analisis kritis, dan komparatif. Deskriptif dimaksudkan untuk menjelaskan kebenaran atau kesalahan dari suatu fakta atau pemikiran yang akan membuat suatu kepercayaan itu benar (Suriasumantri, 1989; 77). Sementara analisis kritis dilakukan untuk melihat sisi-sisi mana analisis data dikembangkan secara seimbang dengan melihat kelebihan dan kekurangan dari objek yang diteliti (Suriasumantri, 1989; 13). Adapun komparatif deduktif digunakan ketika mengkaji metode ijtihad, sedang komparatif induktif dipakai ketika membahas hasil-hasil ijtihad. 51
Manhaj, Vol. 12, Nomor 1, Januari – Juni 2012
TEMUAN PENELITIAN A. Hukum Memakai Jilbab Pada permasalah jilbab ini, yang diperdebatkan substansinya adalah cara pandang dalam memahami batas-batas aurat wanita dan tujuan dari berjilbab itu sendiri. Adapun mengenai batasan aurat wanita di luar shalat, terdapat beberapa pendapat: Pertama, menurut madzhab Hanafi, Maliki, dan salah satu qaul imam Syafi`i bahwa seluruh badan wanita, kecuali muka dan kedua telapak tangan tidak termasuk aurat wanita (alSâyis, t.t; 16). Hal ini berdasarkan hadîts Nabi saw riwayat Abu Daud dari Aisyah ra. Bahwasanya Asma’ putri Abu Bakar masuk ke rumah Rasulullah dengan menggunakan pakaian yang tipis. Maka Rasulullah berpaling (tidak mau melihat) dan bersabda: ”Hai Asma’, sesungguhnya wanita apabila telah datang haid tidak layak baginya untuk dilihat kecuali ini dan ini.” Kemudian Rasulullah memberi isyarat kepada muka dan kedua telapak tangannya (alSyaukani, 1973; 244). Menurut Ibnu Khuwaiz Mindâd, jika wanita itu berparas cantik dan ia khawatir wajah dan kedua telapak tangannya yang terlihat menarik itu akan menimbulkan fitnah, maka ia harus menutupnya. Tapi kalau wanita itu sudah tua renta atau jelek, maka ia boleh memperlihatkan muka dan kedua telapak tangannya tersebut (al-Qurthubi, 1372 H; 229). Kedua, menurut Abu Yusuf bahwa seluruh badan wanita termasuk aurat kecuali muka dan kedua tangannya (dari dua siku sampai ujung jari), sebab untuk menutup keduanya sangat sulit (al-Sayis, t.t; 161). Ketiga, menurut salah satu riwayat dari imam Abu Hanifah bahwa seluruh badan wanita, kecuali muka, kedua telapak tangan, dan kedua telapak kaki tidak termasuk aurat, apalagi terhadap wanita desa yang miskin yang mengharuskannya ke luar rumah untuk memenuhi kebutuhannya (al-Sayis, t.t; 161). Hal ini dimaksudkan agar tidak mempersulit wanita yang biasa bekerja atau mempunyai kegiatan di luar rumah. Keempat, menurut imam Ahmad ibn Hanbal dan pendapat yang terkuat dari imam Syafi`i bahwa seluruh badan wanita merdeka adalah aurat. Sedangkan yang dimaksud oleh ayat ”ma zhahara” adalah apa yang tampak dari aurat wanita tanpa disengaja (al-Sayis, t.t; 161). Alasannya berdasarkan surat al-Nûr ayat 31 dan beberapa hadîts Nabi saw, di antaranya hadîts riwayat Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi dari jarir ibn Abdillah bahwa Rasulullah ditanya oleh salah seorang sahabat 52
tentang hukum melihat wanita secara tiba-tiba. Maka Rasulullah saw bersabda: ”Ishrif basharaka” (al-Sayis, t.t; 161) (Palingkanlah pandanganmu). Ali al-Sâyis menjelaskan bahwa sejalan dengan prinsip-prinsip kemudahan hukum Islam dan toleran, beliau memandang kuat pendapat yang menyatakan bahwa muka wanita dan kedua telapak tangannya tidak termasuk aurat. Sebab kalau keduanya termasuk aurat, maka akan mempersulit wanita, terutama bagi wanitawanita miskin yang tidak mempunyai pembantu untuk berbelanja memenuhi kebutuhannya atau wanita yang bekerja di luar rumah untuk berdagang di pasar (wanita karir). Hal ini apabila tidak dikhawatirkan menimbulkan fitnah, namun jika hal tersebut akan menyebabkan timbulnya fitnah, maka sebaiknya wanita tersebut menutup mukanya dan tidak memperlihatkan perhiasannya sedikitpun (alSayis, t.t; 161). Pada zaman Nabi saw., pakaian wanita ada yang terbuka bagian dada dan lehernya. Oleh sebab itu, agama memerintahkan muslimah memakai kerudung (khimar), yaitu kain yang bentuknya seperti selendang yang berfungsi untuk menutup kepala, rambut, telinga, dan dada. Inilah yang dimaksud oleh surat al-Nûr ayat 31: "Katakanlah kepada wanita yang beriman: ”hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya...” (al-Nûr: 31). Quraish Shihab (2003; 170-171) melihat ayat ini lebih cenderung menggambarkan fungsi pakaian sebagai identitas bagi muslimah yang menggambarkan eksistensinya sekaligus membedakannya dari yang lain. Eksistensi seseorang itu menurutnya ada yang bersifat material yang tergambar dalam pakaian yang dikenakannya, dan ada pula yang bersifat imaterial (ruhani) berupa iman (al-Hadîd: 16). Jadi khimar sebagaimana penjelasan ayat di atas, selain berfungsi sebagai penutup aurat, juga berguna sebagai identitas untuk menunjukkan bahwa pemakainya adalah wanita baik-baik sehingga mereka tidak akan diganggu oleh laki-laki yang suka usil dan iseng. Di samping itu, pada masa tersebut, khimar juga berfungsi untuk menunjukkan status sosial yang membedakan antara wanita merdeka dan hamba
Toha Andiko; Ijtihad M. Qurais Shihab
sahaya/budak. Dengan demikian, fungsi khimar untuk masa sekarang selain tetap berfungsi untuk menutup aurat, juga untuk membedakan bahwa wanita pemakainya bukanlah wanita “murahan.” Bahkan Nabi saw sangat menekankan pentingnya identitas bagi umatnya untuk menampilkan kepribadian tersendiri, sabdanya: ﷲ ﷺ ﺛﻢ ﻣﻦ ﺗﺸﺒﮫ ﺑﻘﻮم ﻓﮭﻮ ﻣﻨﮭﻢ ”Dari Abi Munib al-Jarsyi dari Umar berkata, Rasulullah saw bersabda: ”Siapa yang meniru suatu kaum, maka ia termasuk kelompok kaum itu.” (Abu Daud, t.t; juz IV, hlm. 44) Khimar tersebut sebenarnya berbeda pengertiannya dengan jilbab dalam konteks ayat 59 surat al-Âhzâb diturunkan. Jilbab adalah baju kurung yang longgar dilengkapi dengan kerudung penutup kepala (Qurais Shihab, 1996; 172). Sedang jilbab yang dikenal di Indonesia dan sangat populer di masyarakat pada hakekatnya adalah khimar yang telah dimodernisir sejalan dengan perkembangan model di bidang busana muslimah. Khimar itu aslinya dibuat dari kain yang cukup panjang dan lebar (kira-kira 2x1 meter) yang pemakaiannya ditata dan diatur sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas, nampak rapi, anggun dan cantik bagi pemakainya (Hosen, t.t; 5). Namun untuk masa sekarang bentuk dan ukuran khimar ini sangat beragam dengan dihiasi bordiran dan pernik-pernik dengan variasi warna yang menarik. Agak berbeda dengan pendapat di atas, Muhammad Thahir ibn Asyur memandang bahwa jilbab sebagaimana disebut dalam surat al-Ahzâb: 59 adalah bagian dari budaya Arab yang karenanya tidak bersifat mengikat dan tidak harus dilaksanakan, tapi hanya sebatas sukarela. Ini tampak dari ungkapannya: ”Kami percaya bahwa adat-adat suatu kaum tidak boleh untuk dipaksakan dalam kedudukannya sebagai adat terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu...Ini adalah ajaran yang mempertimbangkan adat orangorang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab, tidak menerima ketentuan ini.”(ibn-Asyur, t.t; 91). (tidak berlaku bagi mereka). Dalam Tafsirnya, Thahir menegaskan lagi pendapatnya tentang tidak wajibnya berjilbab, dan ia lebih condong melihat pada tujuan berjilbab itu sendiri yaitu sebagai identitas.
Konsekuensinya, tentu kalau tujuan berjilbab itu telah terpenuhi, maka kewajibannya menjadi hilang. Ini bisa dilihat dari pernyataannya: ”Cara memakai jilbab berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan wanita dan adat mereka. Tetapi tujuan perintah ini adalah seperti bunyi ayat itu yakni ”agar mereka dapat dikenal (sebagai wanita muslim yang baik) sehingga tidak diganggu.” .(ibn-Asyur, t.t; 91). Pendapat Thahir di atas mungkin dapat dimaklumi kalau yang dimaksudkannya adalah jilbab yang persis dalam bentuk yang dipakai di masyarakat Arab saat itu, tapi jilbab dalam pengertian khimar yang menutup kepala dan leher wanita, kiranya tidak bisa diterima. Begitu juga dengan Quraish Shihab yang memahami redaksi surat al-Ahzâb ayat 59 itu bukanlah bermakna wajib, sebab baginya tidak semua perintah yang tercantum dalam al-Qur’an merupakan perintah wajib, begitu pula dengan hadîts-hadîts lain yang mendukung perintah untuk berjilbab. Ia memaknai perintah tersebut bukan dalam arti seharusnya (wajib), tapi bermakna sebaiknya (sunnah). Ia mencontohkan perintah menulis hutang piutang pada surat alBaqarah ayat 282 (Shihab, 1996; 179). Contoh yang diberikan Quraish Shihab di atas kiranya kurang tepat, sebab selain hutang piutang adalah masalah muamalah yang berbeda dengan jilbab yang termasuk kategori ibâdah, kalimat perintah (al-amr) juga baru bisa dimaknai lain seperti sunnah atau ibâhah kalau ada qarînah lain yang mendukungnya atau memalingkannya dari arti wajib. Jadi perintah untuk berjilbab dalam arti menutup kepala dan leher lebih cocok dimaknai sesuai dengan kaedah dasar ”al-ashl fi al-amr li al-wujub.” Selanjutnya, Quraish Shihab menambahkan bahwa tidaklah wajar menyatakan terhadap wanita-wanita yang tidak memakai kerudung atau yang menampakkan tangannya bahwa mereka secara pasti telah melanggar petunjuk agama, sebab di samping al-Qur’ân tidak menyebut batas aurat, para ulamapun berbeda pendapat ketika membahasnya (Shihab, 1996; 179). Sedangkan ajakan bertobat pada akhir surat al-Nur ayat 31, ia menangkap maknanya tidak sebagai penguat perintah berjilbab, tapi lebih pada tuntunan dan anjuran semampunya. Ini tampak dari ungkapannya: ”Ajakan bertobat agaknya merupakan isyarat bahwa pelanggaran kecil atau besar terhadap tuntunan memelihara pandangan kepada lawan jenis, tidak mudah dihindari oleh seseorang. Maka setiap orang dituntut untuk 53
Manhaj, Vol. 12, Nomor 1, Januari – Juni 2012
berusaha sebaik-baiknya dan sesuai kemampuannya. Sedangkan kekurangannya, hendaknya dia mohonkan ampun dari Allah, karena Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Shihab, 1996; 180). Toleransi yang disertai keraguan juga ditunjukkan Quraish Shihab terhadap kebolehan muslimah untuk tidak mengenakan jilbab atau khimar selama muslimah itu menyadari salahnya (tidak memakai jilbab atau khimar) dan berniat akan memperbaikinya, ia mengungkapkan: ”Pernyataan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang—semoga—mengandung arti bahwa Allah mengampuni kesalahan mereka yang lalu dalam hal berpakaian. Karena Dia Maha Penyayang dan mengampuni pula mereka yang tidak sepenuhnya melaksanakan tuntunan-Nya dan tuntunan Nabi-Nya, selama mereka sadar akan kesalahan dan kekurangannya serta berusaha untuk menyesuaikan diri dengan petunjuk-petunjukNya.” (Shihab, 1996; 180). Pendapat atau penafsiran Quraish Shihab yang terakhir ini secara tak langsung bisa berakibat melemahkan semangat untuk berjilbab para wanita muslimah yang tahu kewajiban berjilbab tapi belum mengenakannya—tanpa ada halangan kesulitan-sehingga merekapun berpotensi tidak akan berusaha maksimal untuk sungguh-sungguh sepenuh hati memakainya, karena yang terpenting bagi mereka menyadari kesalahan dan kekurangannya (tidak berjilbab). Padahal, kesadaran itu terkadang dan dalam kasus ini harus dipaksa seperti halnya menyadarkan seseorang untuk mau melaksanakan shalat lima waktu dengan pembiasaan yang dipaksa sejak usia dini. B. Hukum Poligami Poligami adalah salah satu ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’ân berdasarkan surat alNisâ’ ayat: 3 ﻣﺎ ﻓﺎﻧﻜﺤﻮا اﻟﯿﺘﺎﻣﻰ ان ﻻﺗﻘﺴﻄﻮا ﻓﻰ ان ﺧﻔﺘﻢ و ورﺑﺎع ﻓﺎن ﺧﻔﺘﻢ وﺛﻼ ﻣﺜﻨﻰ ﻣﻦ اﻟﻨﺴﺎء ﻟﻜﻢ طﺎب او ﻣﺎ ﻣﻠﻜﺖ اﯾﻤﺎﻧﻜﻢ ذاﻟﻚ ادﻧﻰ ان ﻻ ﺗﻌﺪﻟﻮا ﻓﻮاﺣﺪة (3 : اﻻ ﺗﻌﻮﻟﻮا )اﻟﻨﺴﺎء “Dan jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi dua, tiga, atau empat orang. Kemudian jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budakbudak yang kamu miliki. Yang demikian itu 54
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Al-Nisâ’: 3) Ayat di atas menyebutkan kebolehan poligami yang dilakukan jika diperlukan (karena khawatir tidak akan berlaku adil terhadap anak-anak yatim) dengan syarat yang cukup berat yaitu keadilan yang bersifat material. Begitu juga dengan surat al-Nisâ’ ayat 129: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian…” yang menyatakan ketidakmungkinan manusia untuk bisa berlaku adil (secara immaterial/cinta) walaupun seseorang sangat ingin dan sudah berusaha semaksimal mungkin. Selanjutnya kalau dikaji berdasarkan munâsabah ayat dengan melihat ayat-ayat sebelumnya, maka dapat diketahui bahwa surat al-Nisâ’ ayat 1 berbicara tentang penciptaan laki-laki dan perempuan dari sumber yang sama, karena itu memberikan gambaran kesetaraan kedua jenis kelamin. Lalu al-Nisâ’ ayat 2 berisi desakan kepada muslim agar memberi harta anak yatim yang menjadi warisannya dan tidak mengganggu untuk kepentingan wali. Kemudian al-Nisâ’ ayat 3 memberikan alternatif bagi laki-laki (wali) yang khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anakanak yatim tersebut supaya melakukan poligami dengan menikahi selain anak yatim perempuan yang dalam perwaliannya atau ibunya anakanak yatim. Dengan demikian, penekanan ayat 1, 2, dan 3 surat al-Nisâ’ di atas tampaknya bukan pada poligami itu sendiri, tapi perintah berbuat adil kepada orang-orang yang memelihara anak-anak yatim. Khusus mengenai sabab al-nuzûl al-Nisâ’ ayat 3, al-Shâbuni mengemukakan bahwa alBukhâri meriwayatkan dari Urwah ibn Zubair sesungguhnya ia pernah bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah di atas. Lalu Aisyah berkata: Hai anak saudaraku, si yatim ini berada di bawah perwaliannya dan hartanya tercampur menjadi satu. Wali itu tertarik pada harta dan kecantikan wajah si yatim, lalu hendak mengawininya. Tetapi cara ini tidak adil mengenai pemberian mahar untuk si yatim, ia tidak memberinya seperti yang diberikan kepada wanita lain. Maka berbuat demikian dilarang, lain halnya kalau ia bisa adil. Padahal mereka terbiasa memberi mahar tinggi. Begitulah lalu mereka disuruh mengawini perempuan yang cocok dengan mereka selain anak yatim itu (al-Shabuni, t.t.; 420). Pendapat senada dikemukakan al-Jasshâs yang menurutnya ayat 3 surat al-Nisâ’ di atas
Toha Andiko; Ijtihad M. Qurais Shihab
berkenaan dengan anak yatim yang dinikahi walinya. Bahkan menurut al-Jasshâs, larangan menikahi anak yatim ini begitu kuat. Hal ini terlihat dengan dimasukkannya materi ini pada bab tazwîj al-shighar (pernikahan anak di bawah umur) (al-Jashas, t.t; 54). Begitu juga dengan al-Thabari yang mengatakan bahwa ayat 3 surat al-Nisâ’ tersebut terkait erat dengan nasib perempuan dan anak yatim. Menurutnya, di antara pendapat ulama yang mendekati kebenaran adalah pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat ini terkait dengan kekhawatiran tiadanya wali yang bisa berbuat adil terhadap anak yatim. Maka kalau demikian, kekhawatiran ini dengan sendirinya berlaku juga pada cara mensikapi wanita. Maka “janganlah berpoligami, kecuali pada wanita yang mungkin kamu bisa berlaku adil (dengan) dua sampai empat orang.” Sebaliknya, kalau ada kekhawatiran tidak bisa berlaku adil ketika poligami, maka cukuplah dengan menikahi budak wanita yang dimilikinya, sebab hal itu akan lebih memungkinkan tidak akan berbuat penyelewengan (al-Thabari, 1958; 155-157). Sedangkan dari hadîts-hadîts Nabi, di antaranya diriwayatkan oleh Tirmidzi: “Bahwa Ghailan ibn Salamah ketika masuk Islam mempunyai 10 orang istri, maka Nabipun berkata kepadanya: “pilihlah empat (sebagai istrimu), dan ceraikan yang lainnya” (atTarmidzi, t.t; 1047). Hadîts di atas menjelaskan bahwa poligami hingga batas empat dibolehkan oleh Nabi. Begitu juga dalam shahîh Muslim disebutkan, Aisyah memahami surat al-Nisâ’ ayat 3 itu bahwa jika para pemelihara perempuan yatim khawatir dengan mengawini mereka tidak mampu berlaku adil, sebaiknya mengawini perempuan lain. Oleh sebab itu, ayat yang membolehkan poligami sebenarnya bukanlah menunjuk pada sifat dan makna yang berlaku umum, tapi mengandung suatu maksud, yaitu menegakkan keadilan terhadap anak yatim. Oleh sebab itu, tampaknya tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kebolehan seorang laki-laki menikahi lebih dari satu wanita dengan syarat laki-laki tersebut mampu berlaku adil. Perbedaan pendapat di kalangan ulama terjadi berkenaan dengan status kebolehan poligami tersebut, apakah ia merupakah azîmah atau rukhshah. Sedikit berbeda dengan pendapat di atas, Quraish Shihab memandang bahwa surat alNisâ’ ayat 3 itu sebagaimana diuraikan Aisyah
ialah menyangkut sikap sementara orang yang ingin mengawini anak-anak yatim yang kaya lagi cantik, dan berada dalam pemeliharaannya, tetapi enggan untuk memberinya mas kawin yang sesuai serta tidak memperlakukannya secara adil. Jadi ayat ini melarang hal tersebut dengan susunan kalimat yang tegas. Penyebutan ”dua, tiga, atau empat” pada hakekatnya adalah dalam rangka tuntutan berlaku adil kepada mereka (Shihab, 2000; 324). Oleh sebab itu, menurutnya hukum poligami itu adalah mubah karena darurat dengan syarat bisa berlaku adil (sebagai syarat hukum) yang penilaian keadaannya diserahkan kepada masing-masing pihak menurut pertimbangannya. Ini bisa dipahami dari pernyataannya: ”Ayat ini juga tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, dia hanya berbicara tentang bolehnya poligami, dan itupun merupakan pintu darurat kecil, yang hanya dilalui saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan...adalah wajar bagi suatu perundangan--apalagi agama yang bersifat universal dan berlaku setiap waktu dan kondisi—untuk mempersiapkan ketetapan hukum yang boleh jadi terjadi pada satu ketika, walaupun kejadian itu hanya merupakan ”kemungkinan.” (Shihab, 1996; 200). C. Hukum Perkawinan Beda Agama Dalam masalah perkawinan beda agama, biasa yang sering muncul ke permukaan adalah perkawinan antara pria muslim dengan wanita ahli kitab, di sini di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat mengenai status hukumnya disebabkan perbedaan pendapat mereka tentang kedudukan wanita ahli kitab tersebut. Menurut Ibnu Hazm, hukum menikahi wanita ahli kitab yang merdeka dan tidak berzina dengan berdasarkan zhâhir ayat adalah halal, baik wanita itu kitabiyah dzimmiyyah maupun harbiyyah. Dan lafaz al-musyrikîn tidak mencakup terhadap ahli kitab. Oleh sebab itu, kehalalan menikah dengan wanita ahli kitab adalah takhshîs atau istitsnâ’ dari larangan menikahi wanita-wanita musyrik pada umumnya (ibn Hazm, t.t; 445). Para imam madzhab yang empat pada prinsipnya juga mempunyai pandangan yang sama bahwa wanita ahli kitab itu boleh dinikahi, walaupun ia berkeyakinan bahwa Isa adalah Tuhan atau menyakini kebenaran trinitas. Padahal yang terakhir ini adalah jelas syirik yang sangat nyata. Tapi karena ia mempunyai kitab samawi, maka iapun halal dinikahi sebagai takhshîs (al-Jaziri, 1969; 76) dari surat alBaqarah: 221 dengan pentakhshîsnya surat al55
Manhaj, Vol. 12, Nomor 1, Januari – Juni 2012
Mâ’idah: 5. Walaupun boleh, para fuqahâ’ tersebut tampaknya juga kurang menghendaki kebolehan tersebut diberlakukan secara massal. Mereka misalnya menambahkan, kendati pada dasarnya boleh, namun lebih cenderung kepada makruh bila si laki-laki muslim tidak aman dari usaha-usaha isterinya yang kitabiyah dari fitnah dan cobaan pemalingan dan pengubahan keyakinan agama (al-Jaziri, t.t; 77; Zuhaili, 1969; 154-155; dan Sayyid Sabiq; 90-91). Begitu juga dengan Mahmud Syaltut yang bahwa laki-laki muslim yang kuat imannya, baik budi pekertinya, mampu memimpin rumah tangganya dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang diridhai Tuhan, dibolehkan menikah dengan wanita ahli kitab. Tapi sebaliknya, tidak dibolehkan menikahi ahli kitab bagi laki-laki muslim yang lemah imannya, tidak baik budi pekertinya, tidak mampu memimpin rumah tangganya, dan tidak mampu membimbing anakanak dan keluarganya ke jalan yang diridhai Tuhan (Syaltut, t.t; 276). Bahkan Syaltut memandang wajib untuk melarang perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab itu, bila si suami muslim yang karena merasa lemah, melepaskan hak dan kedudukannya serta menyerahkannya kepada isterinya yang bukan Islam itu. Dalam hal ini, pemerintah yang berpegang pada ajaran Islam wajib mencegah dan melarang perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, karena kebanyakan suami muslim saat ini tunduk pada isteriisterinya sehingga dapat merusak keluarga dan kebangsaan mereka (Syaltut, t.t; 280-281). Sedangkan Ibnu Katsir (t.t; 20) dalam tafsirnya menjelaskan bahwa setelah turun ayat ”Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan (al-muhshanât) di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu...” (al-Ma’idah: 5), maka beberapa orang sahabat menikahi wanita nasrani. Dengan berpegang pada ayat ini, mereka menganggap bahwa hal itu tidak buruk. Karena mereka menjadikan ayat tersebut sebagai mukhasshis terhadap ayat ”Dan janganlah kamu menikahi wanita musyrik sebelum mereka beriman.” (al-Baqarah: 221). Selanjutnya, dalam tafsîr al-Manâr dijelaskan bahwa para ulama memang mempermasalahkan apakah hukum menikahi wanita ahli kitab tersebut boleh secara mutlak bagaimanapun keadaan dan keturunan mereka atau boleh dengan syarat yaitu sebelum adanya perubahan atau penyimpangan (Rasyid Ridha, 1380 H; 179). Keharaman menikahi wanita ahli kitab yang sudah menyimpang itu disebabkan
56
kemusyrikan mereka sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’ân: ”Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) alMasih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (al-Taubah: 31) Adapun M. Quraish Shihab, pada prinsipnya ia tidak setuju dengan pernikahan berbeda agama, baik antara laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab atau perempuan muslimah dengan laki-laki ahli kitab. Ia membahasnya dari sisi potensi kurang harmonisnya dalam hubungan suami istri, di samping dari maksud dan tujuan pernikahan itu sendiri dalam Islam. Ini bisa dianalisis dari penyataannya: ”Tidaklah keliru bila dikatakan bahwa alQur’an secara tegas berbicara tentang keragaman. Allah secara tegas melarang perkawinan Muslim atau Muslimah dengan lakilaki atau perempuan musyrikah. Ini karena pemilihan pasagan adalah batu pertama fondasi bangunan rumah tangga. Ia harus sangat kukuh karena kalau tidak, bangunan tersebut akan roboh kedati hanya dengan sedikit goncangan, apalagi jika beban yang ditampungnya semakin berat dengan kelahiran anak-anak...Fondasi yang kukuh adalah yang bersandar pada iman kepada Yang Maha Esa, Maha Kaya, Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana. Karena itu, wajar jika pesan utama kepada mereka yang bermaksud membina rumah tangga adalah firman Allah yang menyatakan: Janganlah kamu, wahai pria-pria muslim, menikahi yakni menjalin ikatan perkawinan dengan perempuanperempuan musyrik para penyembah berhala, sebelum mereka beriman dengan benar kepada Allah Swt...dan beriman pula kepada Nabi Muhammad saw. Sesungguhnya perempuan budak, yakni yang berstatus sosial rendah menurut pandangan masyarakat, tetapi yang mukmin, lebih baik daripada perempuan musyrik, walaupun dia, yakni perempuanperempuan musyrik itu menarik hatimu karena ia cantik, bangsawan, kaya, dan lain-lain. Hanya saja, berdasarkan penelitiannya dari pakar-pakar tafsir, ia melihat bahwa ahli kitab berbeda dengan musyrik. Pembedaan ini baginya penting karena di tempat lain dalam Alquran ditemukan izin bagi pria Muslim untuk mengawini wanita-wanita ahli kitab sebagaimana penjelasan pada surat al-Maidah ayat 5. Di samping itu, beberapa riwayat juga
Toha Andiko; Ijtihad M. Qurais Shihab
menjelaskan bahwa banyak sahabat Nabi saw dan tabiin yang menikah dengan perempuan ahli kitab. Khalifah Usman bin Affan misalnya, menikah dengan wanita Kristen, walaupun kemudian istrinya tersebut memeluk Islam. Begitu juga dengan Thalhah dan Zubair ra, dua orang sahabat Nabi terkemuka yang menikah dengan wanita Yahudi. Oleh sebab itu, dalam konteks perkawinan dengan ahli Kitab, ia menekankan dua hal: Pertama, yang dibolehkan oleh ayat tersebut adalah menikahi perempuan-perempuan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang muhshanat, yakni perempuan-perempuan yang memelihara kehormatannya. Kedua, walaupun pandangan mayoritas ulama tidak memasukkan ahli kitab ke dalam kelompok yang dinamai musyrik, ini bukan berarti ada izin untuk laki-laki ahli kitab untuk menikahi perempuan Muslimah. Larangan tersebut berlanjut hingga mereka beriman, sedangkan ahli kitab tidak beriman dengan iman yang dibenarkan Islam. Jadi mereka—walaupun tidak dinamai musyrik—dimasukkan dalam kelompok kafir sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Bayyinah ayat 1. Ini dikuatkan lagi pada ayat lain surat al-Mumtahanah ayat 10 yang menjelaskan bahwa perempuan-perempuan Muslimah tidak diperkenankan mengawini atau dikawinkan dengan laki-laki ahli kitab atau sebaliknya (Shihab, 2005; 356-357). Ayat di atas (al-Mumtahanah: 10) walaupun tidak menyebut secara eksplisit ahli kita, tapi istilah yang digunakan adalah orang-orang kafir. Sedang ahli kitab adalah salah satu dari kelompok orag-orang kafir. Dengan demikian, ketidak halalan tersebut tercakup dalam katakata ”orang-orang kafir”. Tidak disebutkannya izin bagi perempuan Muslimah untuk menikah dengan laki-laki ahli kitab (Al-Maidah: 5) merupakan isyarat yang sangat jelas tentang larangan bagi perempuan-perempuan Muslimah untuk menikah dengan laki-laki ahli kitab karena termasuk kategori kafir. Selain itu, untuk memperkuat pendapatnya, ia mengutip pendapat ulama yang menyoroti faktor anak yang mendukung larangan perkawinan beda agama. Ini tergambar dalam ungkapannya: ”Anak manusia adalah anak yang paling panjang masa kanak-kanaknya. Berbeda dengan lalat yang hanya membutuhkan dua jam atau binatang lain yang hanya membutuhkan sekitar sebulan. Anak manusia membutuhkan bimbingan hingga ia mencapai usia remaja. Orang tualah yang berkewajiban membimbing anak tersebut hingga ia dewasa. Nah berapa lama
ia akan dibimbing orang tua yang tidak memiliki nilai-nilai ketuhanan jika ibu atau bapaknya musyrik atau berbeda pandangan hidup? Kalaupun sang anak kemudian beriman, dapat diduga bahwa imannya memiliki kekeruhan akibat pendidikan orang tuanya pada masa kecil.” (Shihab, 2005; 363). Jadi kalaupun ada yang berhasil meisahkan agama dan perasaannya, serta menerapkan toleransi tinggi dalam hidup masing-masing suami istri tersebut, ini pada umumnya hanya bertahan pada masa-masa awal, atau bagi pasangan yang ghirah (semangat) keagamaannya tidak kental. Sebab ketika pasangan suami istri tersebut memasuki usia senja, kebutuhan akan kedekatan kepada Tuhan semakin besar, dan anaknyapun sudah dewasa, masing-masing pihak suami istri yang berbeda agama itu akan menginginkan agar anak kandungnya memeluk agama yang sama dengannya. Di sinilah akan terjadi konflik batin yang tidak dapat teratasi dengan toleransi (Shihab, 2005; 356-357). Oleh sebab itu, izin Alquran bagi laki-laki Muslim untuk menikahi perempuan ahli kitab pada dasarnya adalah sebagai jalan keluar kebutuhan mendesak masa itu, saat kaum Muslimin sering bepergian jauh melaksanakan jihad tanpa mampu kembali ke keluarga mereka, sedang dorongan seksual laki-laki pada umumnya berbeda dengan perempuan. Selain itu, saat ini pengaruh perempuan (istri) sudah tidak jarang mengalahkan pengaruh suami dalam hal agama, di samping unsur dakwah Islamiyah dalam tujuan perkawinan dengan perempuan ahli kitab tersebut telah memudar, bahkan sebaliknya sering terjadi (Shihab, 2005; 364-365). Dengan demikian, dapat tergambar jelas di sini bahwa pada kasus menikah dengan ahli kitab ini, M. Quraish Shihab lebih cenderung menggunakan ijtihad bayani yang diperkuat dengan alasan-alasan kemashlahatan. Intinya, menikah dengan ahli kitab dewasa ini sudah tidak relevan dengan konteks ayat, dan tidak dapat memenuhi tujuan utama dan hikmah dari perkawinan yang diinginkan oleh ajaran Islam. KESIMPULAN Quraish Shihab adalah salah satu dari sederatan ulama yang sangat terkenal di Indonesia , bahkan sampai ke manca negara, karena kepiawainya dalam bidang Tafsir yang merupakan disiplin ilmunya. Dan tak kalah menariknya disamping sebagai seorang ahli Tafsir, Quraish Shihab juga aktif menulis, baik dalam bentuk jurnal maupun dalam bentuk buku. Berkat dari kepiawaiannya menulis buku, Quraish juga menulis tentang masalah-masalah fikih yang 57
Manhaj, Vol. 12, Nomor 1, Januari – Juni 2012
sangat dibutuhkan oleh masyarakat Islam, terutama masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama islam Dalam mengistinbathkan hukum, Quraish Shihab menempuh langkah-langkah, pertama, menafsirkan suatu ayat dengan ayat lainnya, kedua, menafsirkan ayat dengan keterangan yang diambil dari hadis, ketiga menggunakan kaidah-kaidah fikih, keempat menggunakan pendekatan kebahasaan dan sejarah saat turunnya ayat perintah berjilbab.Kemudian memilih pendapat ulama kontenporer yang dianggapnya sesuai dengan tuntutan zaman modern.
adil dari sisi ilmiah dalam memperlakukan pendapat kedua tokoh tersebut. Adapun A. Hakim melihat bahwa tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama mazahab tentang kewajiban berjilbab. Khilafiyah yang terjadi hanyalah batas aurat wanita, dan tidak ada yang mempermasalahkan tentang rambut, leher dan dada. Sedangkan hadis-hadis yang digunakan Quraish Shihab untuk mendukung pendapatnya tidak disepakati kesahihannya, karena itu sifatnya zhanni. DAFTAR PUSTAKA
Faktor-faktor yang melatarbelakangi Quraish Shihab mengeluarkan fatwa hukum tentang jilbab, pertama karena amanah ilmiah yaitu dengan menghidangkan dalil-dalil, argumentasi atau dalih pendapat seobjektif mungkin sambil menunjuk kelemahan dan kekuatan dalil yang digunakan sebagai bahan pertimbangan. Kedua, munculnya pertanyaan-pertanyaan kepada Qurash Shihab seputar hukum berjilbab diberbagai pengajian yang diasuhnya dengan serta adanya realita bahwa ulama terdahulu banyak mengambil sikap tawaqquf, belum memberi pendapat tentang berbagai persoalan seputar jilbab.
Abidîn, Ibnu, Hâsyiyah Radd al-Mukhtâr, Mesir: Musthafâ al-Bâbi al-Halabi, 1966, Cet. ke-2, Juz IV
Tanggapan terhadap pendapat Quraish Shihab tentang hukum berjilbab, umumnya beberapa pakar Indonesia menolaknya dengan kritis. Diantaranya Eli Maliki, seorang Doktor dalam bidang Ushul Fiqh, alumni Al-Azhar berpendapat, hukum berjilbab bukan masalah khilafiyah, karena ayat Alquran sudah menjelaskan secara tegas, kalimat amar pada perintah jilbab menunjukan wajib. Menurut Ibrahim Hosen menyatakan kewajiban menutup aurat bagi pria dan wanita adalah wajib. Aurat laki-laki adalah antara lutut sampai kelutut, sedangkan perempuan adalah seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan. Lebih lanjut Ibrahim Hosen melihat Quraish Shihab dalam memahami hukum jilbab dalam surat An-Nur :(24): 31: “Katakanlah kepada wanita beriman:’Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya dan janganlah mereka menampakan perhiasannya kecuali yang biasa tampak, karena pakaian berfungsi sebagai identitas muslimah. Selain itu Adian Husaini berpendapat bahwa kewajiban berjilbab sudah disepakati oleh sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in dan ulama sesudahnya, sedangkan bagi yang belum mampu menggunakan jilbab tidak ada alasan untuk mengubah hukum jilbab tersebut.Selanjutnya Nurmawan Yudhiwibowo mengomentari pendapat Quraish Shihab yang mengambil pendapat dan alasan yang dikemukakan oleh Thahir Ibnu Asyur dan Asymawi tanpa kritik, pada hal kedua ulama itu dikenal penganut paham liberal dan menentang penerapan syari’at Islam. Dalam hal ini, ia menganggap Quraish Shihab kurang
Asfahani, Al-Râghib al-, al-Mufradât fi Gharîb alQur’ân, Beirut: Dâr al-Fikr, t. th.
58
Amal,
Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas, Bandung: Mizan, 1993
Anderson, J.N.D., Law Reform in the Muslim World, London: University of London the Athlon press, 1976 `Aqabi, Muhammad Husain al-, al-Majmû` Syarh alMuhadzzab, Mesir: Matba`ah al-Imâm, t. th., Juz XVIII
Asqalani, Ahmad ibn Ali ibn Hajar Abu al-Fadhl al-, Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, Beirut: Dâr al-Ma`rifah, 1379 H, Juz XIII Asyûr, Muhammad Thahir ibn, Tafsîr al-Tahrîr, Tunis: al-Dar al-Tunisiyah, t. th., Jilid XXII ------------, Maqâsid al-Syarî`ah al-Islâmiyah, Tunis: al-Dar al-Tunisiyah, t. th. Azdiy, Sulaiman ibn al-Asy`as Abu Daud al-Sijistani al-, Sunan Abî Dâud, Beirut: Dâr al-Fikr, t. th., Juz III, IV Baihaqî, Ahmad ibn al-Husain ibn Ali ibn Mûsâ Abû Bakr al-, Sunan al-Baihaqî, Makkah alMukarramah: Maktabah Dâr al-Bâz, 1994, Juz III, VIII Baqi, Muhammad Fuad Abd al-, al-Mu`jam alMufahrasy li Alfâdz al-Qur’ân al-Karîm, Beirut: Dâr al-Fikr, 1978 Bayanuni, Abu al-Fattah al-, Dirâsât fi al-Ikhtilâf alFiqhiyyah, T.tp.: Dâr al-Salâm, 1983 Bisri, Cik Hasan, Model Penelitian Fiqh, Jakarta: Kencana, 2003 Bukhari, Muhammad ibn Ismail Abu Abdillâh al-, Shahîh al-Bukhâri, Beirut: Dâr ibn Katsîr alYamâmah, 1987, Cet. ke-3, Juz II
Toha Andiko; Ijtihad M. Qurais Shihab
Busti, Muhammad ibn Hibban ibn Ahmad Abu Hatim al-Taimiy al-, Shahîh ibn Hibbân, Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 1993, Cet. ke2, Juz VIII Chuzaifah, Amelia Fauzia dan Yuniyanti, Apakah Islam Agama Untuk Perempuan ? Jakarta: Kerjasama Konrad Adenaeur Stiftung dengan PBB UIN, 2003, Cet. ke-1
Madkur, Muhammad Salâm, Manâhij al-Ijtihâd fi al-Islâm, Kuwait: Al-Mathba`ah al`Ashriyyah, 1973 Mahalli, Muhammad ibn Ahmad al-, Syarh `alâ Matan Jam`i al-Jawâmi`, Mesir: Musthafâ alBâbi al-Halabi, 1937, h. Jilid I
Coulson, Noel J., A History of Islamic Law, London: Edinburgh University Press, 1995
Mahalli, Muhammad ibn Ahmad Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al- dan Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân ibn Abi Bakr al-Suyûthi, Tafsîr al-Jalalain, Mesir: Dâr al-Hadîts, t. th., Cet. ke-1, Juz I
Dimyati, Muhammad Syatha, I`ânat al-Thâlibîn, Bandung: Maktabah Dahlan, t. th.
Mahmood, Tahir, Personal Law in Islamic Countries, New Delhi: Time Press, 1987
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Dirjen Bimas Islam dan Haji Depag RI, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, 2002
Mudzar, Mohammad Atho, “Pengaruh Faktor Sosial Budaya Terhadap Produk Pemikiran Hukum Islam”, dalam Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, Nomor 4 Tahun II, Al-Hikmah & Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Jakarta, 1991
Esposito, John L., Women in Muslim Family Law, Syracus: Syracus University Press, 1982, h. X Federspiel, Howard M., Kajian al-Qur’an Indonesia: Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. ke-1 Ghazali, Muhammad ibn Muhammad al-, AlMustashfâ Min ‘Ilm al-Ushûl, Beirut: Dâr al Fikr, t.th., Jilid II Hasaballah, Ali, Ushûl al-Tasyrî` al-Islâmi, Kairo: Dâr al-Ma`ârif, 1964 Hazm, Abû Muhammad Ali ibn Ahmad ibn, alIhkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Mesir: Dâr alHadîts, t.th, Juz V
-------------, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1975-1988, Jakarta: INIS, 1993,Cet. ke-1 -------------, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998, Cet. ke-1 Muharram, Jamâluddîn Muhammad ibn, Lisân al`Arab, (Mesir: Dâr al-Mishriyyah al-Ta’lîf wa al-Tarjamah, t.t.), Juz III
Humam, Ibnu al-, Fath al-Qadîr, Beirut: Dâr Ihyâ alTurâts al-`Arabi, t. th., Jilid VI
Musa, Muhammad Yusuf, al-Fiqh al-Islâmi Madkhal lidirâsah wa al-Nizhâm al-Mu`âmalah, Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, 1992
Iqbal, Muhammad, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, New Delhi: Kitab Bhavan, 1981
Musa, Sayid Muhammad, al-Ijtihâd wa Madâ Hâjâtinâ Ilaihi fi Hâdza al-`Ashr, Mesir: Dâr al-Kitâb al-Hadîtsah, 1972
Jasshâs, al-, Ahkâm al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Kitâb al-Islamâmiyah, t.th.
Nadwi, Ali Ahmad al-, al-Qawâ`id al-Fiqhiyyah, Damaskus: Dâr al-Qalam, 1991, Cet. ke-2
Jauziyah, Ibnu Qayyim al-, I`lâm al-Muwaqqi`în `an Rabb al-`Alamîn, Kairo: Mathba`ah alSa`âdah, 1995, Cet. ke-1, Juz III, IV
Nawawi, Abû Zakariya Yahya ibn Syarf ibn Mary al, Syarh al-Nawawi `alâ Shahîh Muslim, Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-`Arabi, 1392 H, Juz XI
al-Jaziri, Abd al-Rahman, Kitâb al-Fiqh `alâ alMadzâhib al-Arba`ah, Beirut: Dar al-Fikr, 1972
------------, al-Mahalli 'ala Minhâj al-Thâlibîn, Beirut: Dâr al Fikr, t.t., Juz III
Khallâf, Abd al-Wahhâb, al-Siyâsat al-Syar`iyyah, Mesir: Dâr al-Anshâr, 1977
Qardhawi, Yusuf al-, Fatâwa Mu`âshirah, Kairo: Dâr al-Âfaq al-Ghad, 1981, Cet. ke-2
------------, `Ilmu Ushûl al-Fiqh, Qalam, 1978, Cet. ke-12
------------, Ijtihad Dalam Syariat Islam, Penerjemah Achmad Syathori, Jakarta: Bulan Bintang, 1987, Cet. ke-1
Kuwait: Dâr al-
Khatîb, Al-Syarbaini al-, Mughni al-Muhtâj, Mesir: Musthafâ al-Bâbi al-Halabi, t. th., Juz V
Qurthubi, Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakr Farh al-, al-Jami` li Ahkâm al-Qur’ân, Mesir: Dar al-Sya`bi, 1372 H, Juz VI 59
Manhaj, Vol. 12, Nomor 1, Januari – Juni 2012
Qusyairi, Muslim ibn al-Hajjâj Abu al-Husain al-, Shahîh Muslim, Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al`Arabi, t. th., Juz II
--------------, Anda Bertanya, Quraish Shihab Menjawab: Berbagai Masalah Keislaman, Bandung: Al-Bayan, 2002
Razi, Fakhr al-, Tafsîr al-Kabîr, Teheran: Dâr alKutub al-Ilmiyyah, 1993, Cet. ke-2, Juz X, XI
--------------, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2003, Cet. ke-1
Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsîr al-Manâr, Beirut: Dar al-Ma`rifah, t. th.
--------------, Kumpulan Tanya Jawab Quraish Shihab: Mistik, Seks, dan Ibadah, Jakarta: Republika, 2004, Cet. ke-1
Rusyd, Abu al-Walîd Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn, Bidâyat alMujtahid fi Nihâyat al-Muqtasid, Semarang: Toha Putra, t. th., Juz I Sayis, Muhammad Ali al-, Tafsîr Ayât al-Ahkâm, Beirut: Dâr al-Fikr, t. th., Jilid II Sayis, Muhammad Mahmud Syaltut dan Muhammad Ali al-, Muqâranat al-Madzâhib fi al-Fiqh, Mesir: Mathba`ah Muhammad Ali Shabih wa Awladuhu, 1953 al-Shâbûni, Muhammad Ali, Rawâi` al-Bayân Tafsîr Âyât al-Ahkâm, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th., Juz II Shan`âni, Muhammad ibn Ismâ`îl al-, Subul alSalâm, Beirut; Dâr Ihyâ al-Turâts al-`Arabi, 1379 H, Cet. ke-4, Juz II Shihab, M. Quraish, dalam Sambutan Rektor Pada Seminar Sehari “Pikiran Hukum Islam KH. Ibrahim Hosen,” Jakarta, 04 Juni 1994 --------------, Membumikan Mizan, 1994, Cet. ke-6
Al-Qur’an,
Bandung:
--------------, Wawasan Al-Quran, Bandung: Mizan, 1996, Cet. ke-1 --------------, Mukjizat Al-Quran: Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib, Bandung: Mizan, 1997 --------------, Hidangan Ilahi Ayat-Ayat Bandung: Mizan, 1998, Cet. ke-1
Tahlil,
--------------, Jin Dalam Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 1999, Cet. ke-1 --------------, Setan Dalam Al-Qur’an, Lentera Hati, 1999, Cet. ke-1
Jakarta:
--------------, Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab: Seputar Ibadah Mahdah, Bandung: Mizan, 1999, Cet. ke-1 --------------, Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab: Seputar Al-Quran dan Hadis, Bandung: Mizan, 2000 --------------, Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab: Seputar Tafsir Al-Quran, Bandung: Mizan, 2001
--------------, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah (Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendikiawan Kontemporer), Jakarta: Lentera Hati, 2004, Cet. ke-1 --------------, Dia Dimana-Mana ”Tangan” Tuhan Dibalik Setiap Fenomena, Jakarta: Lentera Hati, 2004, Cet. ke-1 --------------, Perempuan dari Cinta sampai Seks dari Nikah Mut`ah sampai Nikah Sunnah dari Bias Lama sampai Bias Baru, Jakarta: Lentera Hati, 2005, Cet. ke-1 --------------, Rasionalitas Al-Qur’an Studi Kritis Atas Tafsir Al-Manar, Jakarta: Lentera Hati, 2006, Cet. ke-2 --------------, Menabur Pesan Ilahi, Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, 2006, Cet. ke-1 --------------, Pengantin Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2007 --------------, M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman, Jakarta: Lentera Hati, 2008 --------------, Al-Lubab: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Al-Fatihah & Juz `Amma, Jakarta: Lentera Hati, 2008, Cet. ke-1 --------------, Malaikat Dalam Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2009, Cet. ke-1 --------------, Al-Quran dan Maknanya, Jakarta: Lentera Hati, 2010 --------------, Sunnah – Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah ?, Jakarta: Lentera Hati, 2010 Suriasumantri, Jujun S., Ilmu Dalam Perspektif, Jakarta: Gramedia, 1989 Suryabrata, Sumardi, Metode Penelitian Ilmiah, Jakarta: Rajawali Press, 1980 Suyûthi, Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân ibn Abi Bakr al-, al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir fi al-Furû`, Mesir: Dâr Ihyâ al-Kutub al-`Arabiyyah, t. th. ------------, Syarh Sunan Ibn Mâjah, Mesir: Dâr alHadîts, t.th, Juz I Syâfi`i, Muhammad ibn Idrîs al-, al-Umm, Kairo: Mathba`ah al-Amiriyah Kubrâ, 1321 H, Jilid I
60
Toha Andiko; Ijtihad M. Qurais Shihab
Syaibani, Ahmad ibn Hanbal Abu Abdillah al-, Musnad Ahmad, Mesir: Mu’assasah Qurthubah, t.th., Juz V Syalabi, Muhammad Musthafâ, Ta`lîl al-Ahkâm, Kairo:Dâr al-Nahdhat al-Arabiyyah, 1981 Syaltut, Mahmud, al-Islam `Aqîdah wa Syarî`ah, (Beirut: Dâr al-Qalam, 1966), Cet. ke-3 ------------, al-Fatâwâ, Mesir: Dâr al-Qalam, t. th., Cet. ke-3 Syarifudin, Amir, Pembaruan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya, 1993 ------------, Ushûl Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, Cet. ke-1, Jilid II Syatibi, Abu Ishaq al-, al-Muwâfaqât fi Ushûl alSyarî’ah, disunting oleh Abdullah Darrâz, Mesir: Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, t. th., Jilid I, II, III Syaukani, Muhammad Ali ibn Muhammad al-, Irsyâd al-Fuhûl Ila Tahqîq al-Haq Min `Ilm al-Ushûl, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994 Thiwana, Muhamad Musa, al-Ijtihâd: Madâ Hâjâtinâ ilaihi fi Hâdza al-Ashr, Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 1972 Tim Penyusun, 20 Tahun Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: MUI, 1995 Tirmidzi, Muhammad ibn Isa Abu Isa al-, Sunan alTirmidzî, Beirut: Dar Ihya al-Turâts al`Arabi, t.th, Juz IV Zahrah, Muhammad Abû, Tarîkh al-Madzâhib alIslâmiyah, Kairo: Dâr al-Fikr al-`Arabi, 1987, Juz II ------------, Ushûl al-Fiqh, Mesir: Dâr al-Fikr al‘Arabiy, t.t. Zarqani, Muhammad ibn `Abd al-Baqiy ibn Yusuf al, Syarh al-Zarqâni `ala Muwattha' al-Imâm Malik, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1411 H, Cet. ke-1, Juz IV Zuhaili, Wahbah al-, al-Wasîth fi Ushûl al-Fiqh alIslâmi, Damaskus: Dâr al-Kitâb, 1978 ------------, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, Damsyiq: Dar alFikr, 1986, Jilid II ------------, al-Fiqh al-Islâmi wa Damsyiq: Dar al-Fikr, 1969, Jilid VII
Adillatuhu,
61