AGAMA DAN GENDER: TELAAH PEREMPUAN DALAM STRUKTUR SOSIAL Muhammad. Yazid Gender Dalam Struktur Sosial Wacana gender pada perkembangannya pasca pemilu 1999 semakin menyeruak ke permukaan. Hal ini dipicu oleh sebuah kenyataan tampilnya Megawati Soekarnoputeri sebagai calon presiden PDI-P, partai yang memenangi Pemilu. Maka, perkembangan sosio-politik saat itu sangat sarat dengan wacana gender. Sejalan dengan isu tersebut, dalam tulisan ini akan dicoba mengkaji eksistensi gender dalam kehidupan sosio-kultur dalam perspektif Islam. Pemilihan perspektif ini dilakukan karena bagaimanapun Islam adalah agama yang dipeluk oleh mayoritas rakyat indonesia, maka dengan sendirinya harus dapat menyikapi perkembangan dan atau perubahan sosial yang kini memerlukan solusi yang tepat dan jitu. Sebenarnya ide tulisan ini diilhami oleh tulisan Ashgar Ali Engineer yang mengajukan gagasan yang tidak saja menarik, tapi juga mendasar --kalau tidak dikatakan radikal-- melalui pembacaan yang kritis terhadap muatan-muatan ajaran Islam dalam Al-Qur’an yang membicarakan tentang perempuan. Hal ini dipicu oleh adanya ketimpangan dalam wacana teologi Islam yang tidak saja melahirkan perlakuan yang kurang adil terhadap perempuan dalam kehidupan sosial dan kultural, tetapi secara simultan mengakibatkan terjadinya pengkerdilan nilai-nilai kemanusiaan dalam ajaran Islam. Pemikiran ini sangan relevan dan menarik apabila dikaitkan dengan perspektif kekinian pasca pemilu yang telah begitu jauh menjadi discourse utama dalam wacana intelektual indonesia. Dengan segala implikasi epistimologisnya, tulisan ini mencoba memberikan peluang adanya perkembangan kritik terhadap teks-teks agama yang telah diputarbalikkan sedemikian rupa dan telah memunculkan struktur sosial yang eksploitatif dan diskriminatif yang dengan sendirinya tidak sejalan dengan pesan agama Islam yang paling fundamental, yaitu agama yang menjunjung tinggi konsep egalitarian di segala aspek kehidupan. Wacana teologi yang telah menjadi kajian besar terutama di lingkungan masyarakat Islam, telah mengakibatkan adanya disorientasi teologis karena menguntungkan satu pihak dan merugikan serta mengeksploitir pihak-pihak yang lain. Dalam epistimologi kekinian, corak teologi semacam ini muncul karena adanya hegemoni sistem pengetahuan dan pemahaman yang "salah" yang --anehnya-- selalu berada dibawah otoritas kaum laki-laki. Pemikiran di atas ingin mencoba merombak tatanan pengetahuan yang dalam wacana perempuan menimbulkan teologi patriarkhi untuk selanjutnya diformulasikan menjadi teologi yang bersifat emansipatoris yang dapat memberikan langkah eksistensi terhadap kaum perempuan untuk lebih leluasa. Ada dua sasaran kritik teologi gender. Pertama diarahkan pada bias sosio-antopologis sebagai akibat kuatnya budaya patriarkhi. Kedua pada anggapan yang mendasari
produk pemikiran teologis tentang posisi dan peran wanita, sebelum lebih jauh masuk pada kajian teks-teks Kitab suci. Terhadap kajian wacana yang disebut terakhir ini, teologi gender menganggapnya sebagai wacana yang terbuka, bukan sebagai wahyu dalam bentuk yang sudah jadi, lengkap dengan segala asesorisnya, sehingga tidak terbuka pintu bagi manusia untuk merekonstruksi. Dengan pendekatan hermeneutika, telogi gender kekinian mengembangkan kajian teks yang bersifat historis dan kritis. Dengan langkah-langkah ini teologi gender tidak berhenti pada kritik saja, tapi lebih jauh ingin menawarkan pandangan dan solusi yang juga bertolak pada agama tentang posisi dan peran perempuan yang lebih berimbang dan humanis, yang selanjutnya pada tataran praktis-operasinal pandangan tersebut akan mengimplikasikan terjadinya perubahan sosial (struktural). Dalam kritik teologi gender, kuatnya budaya patriarkhi mengakibatkan lahirnya pengaruh yang besar terhadap terbentuknya wacana sosial yang relevan dengan kenyataan budaya tersebut, sehingga tidak mengherankan bila eksistensi perempuan kurang mendapat perhatian dalam diskursus teologis. Kalaupun diangkat menjadi tema-tema pembicaraan teologis, wanita masih seringkali dipersepsi sebagai yang subordinat, karena semata-mata ingin mempertahankan superioritas kaum laki-laki. Kenyataan ini, misalnya terlihat ketika penafsiran "Zawjaha" dalam Al-Qur’an yang diberi arti sebagai manusia kedua yang diciptakan dari tulang rusuk Adam. Dalam sejarah penafsiran semacam ini tidak saja berakibat pada mandegnya pemikiran teologis yang semestinya terus dikembangkan untuk mencari tentang rumusan yang konstruktif tentang posisi dan peran perempuan dimasa depan. Lebih penting lagi pemikiran ini juga telah mengakibatkan adanya berbagai penyimpangan yang secara fundamental bertentangan dengan misi agama islam sebagai agama "Rah}matan li al-‘A
n" yang membebaskan dan mengutamakan kesamaan eksistensi personal antara sesama mahkluk. Dari kritik terhadap bias sosio-antropologis tersebut, teologi gender juga mengajukan kritik terhadap kesalahan dalam memahami teks-teks kitab suci yang disebabkan oleh asumsi dasar yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara teologis. Menurut Riffat Hasan ada tiga asumsi dasar yang telah lama digunakan dalam tradisi pemikiran teologi dilingkungan umat Islam Pertama; Bila mahluk yang bernama Hawa diciptakan Tuhan dari tulang rusuk laki-laki, maka denga sendirinya perempuan diyakini sebagai mahluk yang secara ontologis adalah sekunder. Kedua; bahwa perempuan --bukan laki-laki-- yang merupakan penyebab utama tergelincirnya Adam dari surga atau yang kita kenal sebagai dosa manusia atau terusirnya manusia dari surga, karena itu semua anak perempuan Hawa harus diperlakukan dengan rasa benci, curiga dan --bahkan-- hina. Ketiga; Bahwa perempuan diciptakan pada dasarnya adalah untuk laki-laki, oleh karena eksistensinya hanyalah pelengkap. Asumsi di atas telah begitu jauh mempengaruhi pemahaman para ulama terhadap teks kitab suci tentang penciptaan manusia yang secara serta merta menempatkan laki-laki di atas perempuan, pada hal sejauh yang dapat ditangkap dari pesan-pesan kitab suci tidak ada penjelasan tentang perbedaan kualitas penciptaan antara laki-laki dan perempuan, walaupun al-Qur’an menggunakan istilah laki-laki dan perempuan, maskulin dan feminin, tidak dimaksudkan untuk memperioritaskan yang satu dan
merendahkan yang lain, karena pada dasarnya hakekat penciptaan mahluk secara eksistensial adalah sama. Tuhan menyebut seluruh umat manusia dimuka bumi sebagai khalifah. Dengan demikian dalam kehidupan sosial tidak ada perbedaan karena adanya kualitas penciptaan secara biologis. Demikianlah kita telah melihat kritik teologi gender telah menyentuh persoalan yang demikian luas dan mendasar. Dikatakan demikian karena teologi gender tidak saja terbatas pada analisis struktural tapi telah memasuki persoalan yang mendasar, yang berkaitan dengan pandangan dunia masyarakat tentang hubungan laki-laki dan perempuan yang dikembangkan berdasarkan pada pemahaman teks-teks Kitab suci. Apa yang ditawarkan dalam kajian gender dengan mengambil acuan pada wacana teologi akan memberikan peluang tumbuh kembangnya diskursus teologi yang bersifat emansipatoris, tidak saja untuk kaum hawa, tapi untuk semua umat manusia. Gender: Sebuah Telaah Historis Berbicara masalaha perempuan tidak dapat dipisahkan dari sudut pandang sejarah. Perjalanan perempuan dalam lintas sejarah sebelum Al-Qur’an diturunkan membuktikan bahwa telah telah sekian banyak peradaban-peradaban besar memberikan pelajaran dan pandangannya, seperti Yunani, Romawi, India dan Cina serta agama-agama yang telah ada, misalkan, Yahudi dan Nasrani, Budha, Zoroaster dan sebagainya. Demikianlah selayang pandang sejarah peradaban manusia tentang kedudukan perempuan sebelum kehadiran Al-Qur’an. Pandangan terhadap perempuan seperti digambarkan di atas --sedikit banyak-mempengaruhi pemahaman sementara ulama terhadap teks-teks Islam, bahkan sebagian apa yang dianggap ajaran agama ternyata bersumber pada budaya dan pandangan di atas, justeru tidak berdasar pada ayat-ayat al-Qur’an. Ini dikuatkan lagi dengan banyaknya bentuk-bentuk ayat dalam teks-teks agama Islam yang disalahpahami tujuannya oleh sementara pihak. Realita diatas --juga-- mengakibatkan timbulnya sikap kegusaran kaum laki-laki manakala derajat kesamaannya dipersamakan dengan kaum perempuan. Secara umum perempuan selalu dimunculkan sebagai sosok yang bermasalah ketika dikaitkan dengan organ-organ tubuhnya. Sudah sepuluh abad lamanya pandangan ini hampir mewarnai seluruh budaya manusia dan kemudian mendapatkan legitimasi dari agamaagama besar seperti, Yahudi, Kristen dan Islam. Ketiga agama tersebut percaya bahwa Adam adalah manusia yang pertama, sementara Hawa diciptakan dari tulang rusuknya, meski tidak satu ayat Al-Qur’an pun memuat ungkapan Hawa dalam peristiwa penciptaan. Al-Qur’an hanya menunjukkan bahwa Adam dan pasangannya diciptakan dari esensi dzat yang sama. Sumber yang dijadikan rujukan lahirnya pandangan tersebut adalah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah yang menegaskan bahwa
perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam yang bengkok, ia akan patah bila kamu bersikap keras untuk meluruskannya. Namun beberapa kalangan berpendapat bahwa apa yang tersebut dalam Al-Qur’an lebih dapat dipertanggung jawabkan keontektikannya daripada periwayatan haditas tersebut. Disamping itu islam pun tidak pernah menyatakan bahwa Hawa adalah pihak yang menyebabkan kejatuhan Adam di dunia, namun toh demikian dalam karya-karya klasik Islam maupun sebagian yang kontemporer, sosok perempuan digambarkan sebagai sumber kejahatan, birahi dan dekadensi moral yang akan menjerumuskan laki-laki ke dalam neraka. Untuk masalah ini lebih lanjut akan dibahas dalam bab yang kemudian. Secara historis adanya sifat kegusaran ini ada sejak Islam lahir sebagai gerakan reformasi budaya. Penolakan terhadap Islam oleh masyarakat Arab --adalah bukti yang sangat jelas-- merupakan penolakan atas moralitas yang menghapuskan simbolsimbol superioritas kaum lelaki. Seruan akan keesaan Allah meruntuh lantakka kewibawaan laki-laki sebagai kepala suku atas kaumnya, tuan atas budaknya, ayah atas anak-anaknya, saudara laki-lakai atas saudara perempuan dan suami atas istrinya, dan semua sahabat dapat dengan segera memberikan respon emansipatif terhadap reformasi sosial ini, bahkan setidaknya Umar bin Khathab pernah mengalaminya dan mengatakan bahwa memberikan hak terlalu banyak kepada perempuan sama saja dengan membiarkan mereka dikuasai oleh kaum perempuan, bahkan sepeninggal Nabi kecenderungan pada superioritas kaum lelaki yang belum sepenuhnya terkikis oleh reformasi budaya islam kembali menguat. Hal ini tampak pada interpretasi para sahabat terhadap beberapa ayat Al-Qur’an. Dari sekian banyak sahabat yang dipandang mempunyai kapasitas penafsiran yang tidak diragukan lagi dikalangan sahabat yang lainnya seperti, Ibnu Abbas, tetap saja menempatkan laki-laki sebagai penguasa, pemimpin dan pengontrol perempuan. Contoh dari sekian banyak pembalikan fakta dari konteks suatu ayat adalah ayat (34) surat al-Nisa’ yang dari sudut asbabun nuzulnya menyangkut dibebankannya taklif pada laki-laki serangkai dengan peristiwa bahwa seorang sahabat rasulullah mengadu, ia telah dianiaya oleh suaminya. Sambil menaruh rasa gusar dan iba Rasulullah memerintahkan sahabat untuk memanggil suaminya untuk menghadap beliau, lalu turunlah ayat tersebut sebagai peringatan bagi kaum laki-laki untuk bersikap menjaga kepada perempuan. Ayat ini memberikan peringatan agar laki-laki dapat memperlakukan perempuan dengan baik dan memberikan nafkan guna mendukung proses generasi selanjtnya dalam keluarga. Ironisnya pada perkembangannya, justeru ayat ini digunakan untuk mengancam kaum perempuan supaya selalu mentaati laki-laki sampai melampaui otoritas perempuan untuk beribadah kepada Allah dengan dasar dan dalil pada hadits Rasulullah diatas yang dengan sendirinya menuntut untuk dikritisi kebenaran sanad (proses periwayatan) serta matan (susunan isi hadits). Seorang istri harus mendapat izin untuk melakukan ibadah yang sunnah hukumnya. Dalam kondisi demikian manakala suami tidak mengizinkannya, maka istri harus membatalkan dan atau meninggalkannya, sehingga istri tidak mempunyai pilihan kecuali mengabulkan kehendak tersebut. Benarkah agama mengajarkan syari’at yang demikian?. Sepeninggal Nabi, banyak terjadi perubahan besar dalam struktur masyarakat islam. Perubahan ini bearwal dari struktur kekuasaan yang demokratis menjadi sistem monarkhi yang absolut. Sistem patriarkhi yang feodalistik dan hirarkhis muncul untuk
mengembalikan status quo kaum lelaki yang dilindas oleh reformasi Islam, sehingga realita ini semakin menjauhkan masyarakat Islam dari modernitas yang pernah dicapai Rasulullah dan para sahabatnya. Dalam kondisi demikian, sejauh menyangkut maslah-masalah kemasyarakatan, kaum teolog dihadapkan pada suatu keharusan untuk melakukan interpretasi teks-teks AlQur’an dalam upaya kontekstualisasi islam terhadap budaya setempat. Dalam proses kontekstualisasi ini inkulturasi tidak dapat terelakkan. Meski demikian kendali politis tidak selalu memberikan peluang bagi para teolog progresif untuk menyuarakan keadilan yang hakiki. Ini terbukti dari beberapa pemikir yang harus menghadapi kematian dan penjara bila mereka tidak menyediakan alat justifikasi bagi kepentingan raja; kaum laki-laki. Secara praktis dominasi laki-laki atas permpuan dalam masyarakat patriarkhi sepadan dengan dominasi raja atas rakyatnya. Keduanya membutuhkan ketundukan yang menyeluruh. Eksklusivitas dibidang teologi adalah konsekuen logis dari dominasi diatas, karena hampir semua teolog adalah laki-laki, maka yang terakomodasi dalam kitab-kitab tafsir dan fiqh adalah kepentingan penguasa; laki-laki, dan tidak terdengarnya suara perempuan dalam penafsiran Al-Qur’an dan formulasi fiqh (hukum Islam) sama sekali tidak menjadi perhatian para intelektual muslim, bahkan seringkali dianggap sebagai ketiadaan suara perempuan dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Gambaran umum perempuan dalam wacana klasik terdokumentasikan secara sistematis dalam kitab-kitab fiqh. Sementara antara Al-Qur’an dan fiqh harus dibedakan. Yang pertama adalah teks yang dihasilkan oleh peristiwa pembentukan pertama, sedangkan yang kedua adalah kaedah hukum yang diambil dari Al-Qur’an. Secara umum perempuan digeneralisasikan sebagai mahluk yang melebur kedalam citra laki-laki, separo laki-laki. Kitab-kitab fiqh telah mengaburkan posisi sentral perempuan sebgai "keibuan" yang penuh kewibawaan dan kebijaksanaan menjadi posisi "keistrian" yang submisif dan tergantung. Sesungguhnya Al-Qur’an menuntut penghormatan timbal balik antara suami istri. Yang lebih parah lagi banyak kondisi yang ditopang oleh munculnya hadits-hadits palsu, seperti; tidak akan masuk surga seorang istri kecuali atas ridla suaminya. Dan juga contoh kasus di Lombok ada seorang ulama yang mengatakan bahwa perempuan yang rela dimadu oleh tuan guru (kiyai) maka ia akan mendapatkan "Payung Fatimah" yang memungkinkan ia masuk surga bersama tuan guru. Menggagas Gender: Sebuah Rekonstruksi Menempatkan posisi perempuan dalam dialektika agama dan budaya adalah menelaah suatu proses interpretasi yang terus berlangsung. Posisi ini memiliki dua sisi mata uang. Satu sisi inkulturasi telah memperkaya wacana keagamaan dengan berbagai literatur yang kontekstual serta mengakomodisikan permasalahan lokal yang beragam untuk diberi sentuhan universalitas ajaran agama adalah sebuah kajian yng tak terelakkan. Di sisi yang lain inkulturasi telah mereduksi pesan-pesan universal agama dalam semesta intlektual suatu masyarakat lokal. Sakralisasi produk keagamaan yang interpretatif untuk diterapkan dalam semua kurun waktu justeru akan mengaburkan semangat emansipatif suatu agama. Sakralisasi tersebut --menurut Muhammad Arkoun-- bagaikan lapisan-lapisan geologis yang menyembunyikan inti bumi. Untuk
mengetahui inti ajaran agama yang masih segar dan kaya nuansa pembebasan, seseorang harus mampu membongkar literatur terdahulu bahkan sampai yang modern sekaligus. Salah seorang mufassir yang mencoba mengkaji terhadap masalah agama yang berdimensi sosial termasuk dalam kaitan relasi gender adalah Ahmad Musthafa alMaraghi --mufassir moderat-- yang mengatakan bahwa pengaturannya harus diselaraskan dengan perkembangan suatu masyarakat. Begitu pula secara khusus AlHaitami mengemukakan bahwa asumsi tentang superioritas laki-laki terhadap perempuan hanya merupakan generalisasi belaka, kenyatan membuktikan bahwa banyak pula perempuan mempunyai kemampuan yang sebanding dengan laki-laki secara intelektual, profesional dan keterampilan. Paparan di atas senada dengan gagasan transformatif yang ditawarkan oleh Abdullah Ahmed al-Naim, bahwa transformasi terhadap ketentuan-ketentuan Islam adalah sebuah keharusan demi untuk memperoleh formulasi hukum yang memadai bagi kehidupan islami kontemporer. Di tengah meningkatkan kesadaran "harga kemanusiaan" perempuan dan pihak-pihak yang tertindas, maka formulasi hukum klasik tradisional dan parsial sudah harus ditinggalkan. Dengan cara itu Islam akan mampu tampil menjadi ideologi yang tetap dinamis dan membawa kesejahteraan semesta. Rerkonstruksi gender bukan hanya dilatarbelakangi oleh sikap superioritas laki-laki selama ini, namun jelmaan dari kehendak otoritas perempuan untuk menjadi sosok yang sejajar dengan laki-laki. Gerakan ini ditandai dengan adanya gerakan kemandirian oleh kelompok perempuan dalam semua segmentasi kehidupan. Pembongkaran radikal dilakukan pula pada norma-norma keluarga antara suami-istri, misalkan bahwa mengandung dan melahirkan adalah hak prerogatif seorang perempuan, dan perempuan berhak menentukan sikap untuk menolaknya. Gender: Teologi dalam Wacana Islam Sesuai dengan judul di atas, diawali oleh semakin meluasnya tuntutan gerakan feminis belakangan ini, maka konsekuensi logis sebagai masyarakat yang beragama kita harus memberikan respons teologis secara kritis, sistematis dan mendalam, yakni bagaimana kita mencoba menerjemahkan ajaran-ajaran islam dalam konteks seperti ini. Dengan melibatkan pembicaraan dalam kacamata agama, maka dengan sendirinya --yang pertama-tama perlu diperhatikan-- adalah tata nilai ajaran agama. Ada lapis tata nilai yang bersifat Fundamental (Fundamental Values) dan ada pula tata nilai yang bersifat Instrumental (instrumental Values). Dalam ajaran islam tata nilai tersebut ada yang disebuat dengan istilah Muhkamat yang mempunyai kapasitas universal, misalkan pandangan tentang egalitarian dan persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan di hadapan Allah, karena masingmasing hanya kan ditentuka oleh Amal perbuatan dan ketaqwaannya dan masingmasing laki-laki dan perempuan bertanggung jawab terhadap apa yang diperbuat sendiri. Dalam tataran yang fundamental ini hampir tidak ada persoalan. Disamping sebutan Muhkamat adalah ajaran yang bersifat Mutasyabihat atau yang biasa disebut pada level Instrumental, yang bersifat aplikatif dan kontekstual dan
mulai muncul pebedaan-perbedaab visi karena perbedaan latarbelakang budaya sosial dan sebagainya. Pada tataran yang kedua inilah semua aturan atau yang bias disebut dengan fiqh dirumuskan, misalkan tentang cara berpakaian, seberapa besar yang harus ditutup atau samapi batas-batas mana bagian tubuh beloh dibuka. Berangkat dari ulasan diatas, kita mencoba mengkaitkannya dengan berbagai persoalan perempuan yang problematik, krusial dan kontroversial pada era kekiniaan. Untuk menjawab persoalan di atas --secara tidak lansung-- telah tercaver dalam tulisan --pengantar-diawal karena itulah pandangan wacana Islam terhadap teologi gender secara global. Dari ayat di atas, jelas bahwa tabiat kemanusian antara laki-laki dan perempuan -hampir dikata-- adalah sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada laki-laki. Kepada mereka berdua dianugerahkan Allah potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin tersebut dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus, oleh karena itu hukum-hukum syariah pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka, yang satu (laki-laki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan di hukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang lain (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan di hukum serta menuntut dan menyaksikan. Kendati demikian tidak sedikit faktor yang mengaburkan keistimewaan dan memerosotkan kedudukan tersebut. Salah satu diantaranya adalah kedangkalan pengetahuan keagamaan sehingga tidak jarang agama (Islam) diatasnamakan untuk pandangan dan tujuan yang tidak dibenarkan. Dalam Al-Qur’an secara konkrit (lafdhiyah) tidak ditemukan kata yang berarti gender, akan tetapi jika yang dimaksudkan gender itu adalah istilah yang ditujukan untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan, maka terdapat beberapa ayat didalam Al-Qur’an yang dapat dihubungkan dengan istilah tersebut. Misalkan untuk mengungkap jenis laki-laki Al-Qur’an menggunakan istilah "al-Rijal’ dalam berbagai bentuk yang terulang sebanyak 57 kali. Begitu pula dengan istilah yang digunakan untuk mengungkap jenis perempuan dengan menggunakan istilah "al-Nisa’" yang disebut pula sebanyak 57 kali. Begitu juga dalam Al-Qur’an asal usul dan proses kejadian perempuan tidak dijelaskan secara konkrit dan terperinci, bahkan nama Hawa yang dipersepsikan sebagai perempuan pertama dan sekaligus menjadi istri Adam --yang nota benenya mirip dengan cerita yang ada dalam kitab kejadian lama (Al-Kitab)-- sama sekali tidak pernah disinggung dalam Al-Qur’an, justeru keterangan yang terkait dengan ini adalah ditemukan dalam hadits, misalkan; Ketika Allah mengusir Iblis keluar dari taman Adn lalu didalamnya ditempatkan Adam, karena ia tidak mempunyai teman maka Allah menidurkannya, lalu mengambil unsur dari tulang rusuk kirinya kemudian menggantikan daging ditempat semula, kemudia menciptakan Hawa daripadanya. Ketika bangun Adam menemukan seorang perempuan disampingnya, Adam bertanya, siapa anda?. Hawa menjawab, "perempuan" Adam kem,bali bertanya, mengapa engkau diciptakan?. Hawa menjawab supaya engkau mendapat kesenangan dari diri saya. Para Malaikat bertanya, siapakah namanya?. Dia menjawab hawa, mengapa dipanggil Hawa?. Karena diciptakan dari sebuah benda hidup.
Dan juga hadits; Jagalah perempuan itu baik-baik, karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk, bagian tulang rusuk yang paling rapuh adalah bagian atasnya. Jika engkau berusaha meluruskannya, ia akan patah, jika engkau membiarkannya, maka ia akan terus bengkok, oleh karena itu jagalah perempuan baik-baik . Namun untuk hadits tersebut para ulama masih mempersoalkannya, karena dari segi matannya, hadits tersebut bersimpangan dengan nash Al-Qur’an (khususnya surat alNisa’;1). Kata "minha" dalam ayat tersebut, jumhur ulama (mufassir) menafsirkannya dengan "dari bagian tubuh Adam", tapi apakah yang dimaksud dengan bagian dari tubuh Adam itu "tulang rusuk". Diantara sekian mufassir yang tidak setuju dengan arti demikian adalah Muhammad Al-Razi (dalam tafsirnya Al-Razi), mengatakan: yang dimaksud dengan "dan daripadanya Allah menciptakan zaujnya", sekiranya Hawa adalah manusia pertama yang diciptakan dari tulang rusuk, maka niscaya manusia diciptakan daru dua nafs, bukan dari satu nafs sebagaimana ayat di atas. Oleh karena itu jika kamu sekalian diciptakan dari nafs yang satu, dan Allah dengan kehendaknya menciptakan Adam dari tanah (turab), maka dengan kehendaknya juga Allah menciptakan hawa dari tanah, jika demikian adanya, maka apa gunanya mengatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Memang dari segi sanad hadits tersebut --kemungkinan besar-- dalam kategori "shahih", tapi apakah kemudian kita menerimanya dengan secara harfiyah apa adanya. Dari sisi yang lain para ulama memberikan tekanan pada hadits tersebut --karena secara matan bertentangan dengan Al-Qur’an-- bahwa yang dimaksud dengan "tulang rusuk" yang bengkok harus dipahami secara majazi, yaitu memperingatkan kepada kaum laki-laki agar berbuat bijaksana dalam menghadapi perempuan. Konsep teologis lain yang juga perlu mendapatkan perhatian dalam kerangka ini adalah adanya citra negatif yang diberikan pada permpuan bahwa Hawa sebagai penyebab kejatuhan Adam dari surga dengan rayuannya sehingga ia memakan buah khuldi. Asumsi yang demikian pada gilirannya ditimpahkan kepada kaum hawa sehingga perempuan dianggap senantiasa berada dibawah otoritas dan dominasi lakilaki. Tapi benarkah Al-Qur’an menjelaskan demikian?. Mari kita lihat dalam Al-Qur’an (2);36 dan (7);20-24 justeru menunjukkan d}lami>r tathni>yah (yang berarti dua), yaitu berbentu "huma" yang dengan sendirinya tidak ditujukan pada Hawa, melainkan keduanya (Adam dan Hawa). Dengan demikian tidak ada satu pun ayat Al-Qur’an dan hadits yang mengisyaratkan Hawa sebagi penyebab utama terjadinya kasus Adam tersebut, bahkan rasa penyesalannya pun dinyatakan bersama-sama dan akhirnya Allah mengampuni keduanya. Selain dari kedua contoh di atas, ada satu persoalan yang pada saat ini banyak mendapat anggapan publik bahwa dengan dasar itu mereka beragumentasi dan berdalih bahwa laki-lakilah yang berhak menjadi pemimpin. Dasar yang dijadikan acuan mereka adalah Al-Qur’an (4);34, yaitu "al-Rijaalu Qawwaamuuna "ala al-Nisa’ bimaa Fadldlalallahu wa bima Anfaqu". Benarkah anggapan yang demikian?.
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu kita cermati ayat tersebut dari dua sudut pandang, yaitu asbabub nuzul dan proses penafsirannya. Pertama; Dari segi asbabun nuzul, maka jelas ayat tersebut diturunkan ketika salah seorang sahabat Nabi menganiaya istrinya, lalu dengan rasa tidak terima atas perlakuan tersebut ia menghadap Rasulullah seraya mengadukan peristiwa yang telah dialaminya. Mendengar cerita wanita itu --sambil menahan rasa marah-- Nabi memerintahkan kepada salah seorang sahabat untuk memanggil suami tersebut, kemudian turunlah ayat diatas sebagai peringatan bagi kaum laki-laki untuk bersikap menjaga dan mengayomi kepada perempuan, Maka dengan sendirinya ayat ini memberikan peringatan pada kaum laki-laki agar dapat memberlakukan perempuan dengan baik dan memberi nafkah guna proses generasi dalam keluarga. Kemudian dari sisi penafsiran --kita sejenak menengok kajian tafsir, dalam ilmu tafsir dikenal istilaf "tafsir al-ayat bi al-ayat" (metode penafsiran pada sebuah ayat yang telah diberikan penafsiran sendiri oleh ayat yang lain, tanpa membutuhkan penafsiran lebih lanjut dari ahli tafsir). Kalau kita perhatikan secara seksama ayat di atas –secara tekstual-- menyebutkan bahwa laki-laki menjadi pemimpin bagi kaum perempuan, akan tetapi jangan kemudian diberhentikan sampai –cukup-- kalimat di situ, tapi harus dilanjutkan pada kalimat selanjutnya (karena kalimat selanjutnya adalah sebagai penafsirannya), yaitu "Bima Fadldlalallahu wa bima Anfaqu", bahwa laki-laki menjadi pemimpin bagi perempuan itu karena dua sebab, pertama, (bima Fadldlallahu), karena Allah memberikan kelebihan (anugerah) kepada sebagian dari mereka (laki-laki) atas sebagian yang lainnya (perempuan). Kedua, (wa bima Anfaqu), karena laki-laki mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah kepada perempuan. Kata "Fadldlala" dalam ayat tersebut berarti bahwa dari segi fisik laki-laki diciptakan dengan susunan organ tubuh yang lebih kuat daripada perempuan dan atau dari segi biologis perempuan diberikan keterbatasan-keterbatasan seperti mngandung, melahirkan, menyusui dan datangnya tamu setiap bulan. Tapi manakala perempuan dapat mengatasi dan membatasi keadaan-keadaan yang tidak dapat dihindari tersebut dan juga didukung oleh kemampuan diri yang bagus, tidak menutup kemungkinan ia menjadi pemimpin, toh secara empiris tidak sedikit wanita yang mampu mengeliminir keterbatasan-keterbatasan tersebut dengan langkah antisipatif pada suatu kondisi dan banyak pula perempuan yang kemampuan intelektual dan atau penghasilannya yang melebihi laki-laki. Dengan demikian ayat tersebut justeru mengakui keberadaan laki-laki dan perempuan, bahwa keduanya adalah mahkluk yang mempunyai status yang sama baik dalam kapasitasnya sebagai hamba Allah (mengabdi) maupun sebagai wakil Allah di bumi (khalifah). Antara yang satu dengan yang lain tidak terdapat superioritas baik dari segi asal usul kejadiannya maupun struktur sosial dalam masyarakat. Dengan demikian, prinsip murni dalam Al-Qur’an adalah kesetaraan total antara laki-laki dan perempuan sebagaimana ditunjukkan oleh adanya tanggung jawab yang sama di hadapan Allah pada hari pembalasan . Kesimpulan Berangkat dari paparan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut; Bahwa adanya asumsi-asumsi atau ketetapan yang salama ini dianggap benar dengan
mengatasnamakan ajaran agama tentang eksistensi perempuan dalam kehidupan sosial, ternyata "kurang benar" dan krusialnya masalah ini hampir sama dengan masalah KB yang awal kehadirannya juga dilarang keras oleh para ulama, justeru dengan kebijakan di atas agama hadir sebagai elemen yang mendorong proses lahirnya perkembangan keilmuan dan perubahan sosial. Akhirnya kajian-kajian lain yang sepadan dengan kasus di atas pada kelanjutannya akan banyak muncul dan lahir di sekeliling kehidupan manusia, di situla peran agama dipertaruhkan. Benarkah Islam sebagai agama "Rahmatan li al-‘Alamin, sehingga kita akan menemukan jati diri Islam sebagai agama yang paripurna.