Jurnal Paradigma Vol X. No. 2 Desember 2009
PEREMPUAN DAN POLITIK DI KOTA BEKASI (Telaah persperspektif Komunikasi Gender dalam Politik) oleh Afrina Sari
ABSTRACT This research to explain that women in Bekasi have low motivation in looking at politics and political execution which occurred in 2004 and 2009 elections. The method of writing using descriptive method by using quantitative data and research results. Analysis of data using Chisquare test (X ²). Results showed that women's political motivation in the City of Bekasi is still included in the low category, due to access a wide open yet. Not a real motivational factors associated with women's political participation, political access of women, and female representation. Keyword: Motivation, Politics and Women.
I. PENDAHULUAN Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan adalah dimensi penting dari usaha United Nations Development Programme (UNDP) untuk mengurangi separuh kemiskinan dunia pada tahun 2015 (UNDP,2003). Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan–tujuan tersebut, diantaranya, dengan membangun mekanisme baru yang memungkinkan perempuan dapat mempengaruhi secara langsung kebijakan politik dan ekonomi, terutama pada alokasi anggaran nasional. Disamping itu, kesempatan untuk membangun jaringan nasional, regional dan global tidak boleh disia-siakan, apalagi dengan perkembangan teknologi informasi seperti internet. UNDP mempunyai komitmen untuk bekerja sama dengan pemerintah, masyarakat sipil, dan mitra lain. Cara-cara tersebut dapat digunakan untuk membangkitkan inisiatif dalam menciptakan bentuk tata pemerintahan yang lebih inklusif dan efektif disemua tingkat masyarakat. Pendekatan
gender dalam pembangunan yang dianut UNDP adalah mewadahi
sepenuhnya keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam kegiatan pembangunan. Tujuan akhir adalah terciptanya pola hubungan gender yang lebih setara dan tercapainya tujuan-tujuan pembangunan manusia yang lebih luas. Sejalan dengan hal ini, Demokrasi di Indonesia yang terbuka setelah Orde baru runtuh, menimbulkan reformasi terhadap tata Pemerintahan yang diharapkan demokratis. Bersamaan
173
Jurnal Paradigma Vol X. No. 2 Desember 2009
dengan perjuangan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan yang mengarah kepada lebih adanya mekanisme yang menempatkan perempuan secara jelas dan luas dalam politik. Melihat Indonesia dengan berbagai budaya bangsa, dimana setiap budaya mempunyai adat istiadat yang kukuh dan hampir semua budaya menempatkan posisi wanita adalah di dalam rumah atau sifatnya domestik. Kuota 30 % merupakan peluang cukup besar bagi wanita Indonesia berada di publik, dan dapat terlibat secara langsung dalam pengambilan keputusan. Peluang ini sebagai tantangan bagi wanita Indonesia. Banyak pertanyaan yang timbul yang dihubungkan dengan kemampuan dan kesiapan wanita untuk memanfaatkan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif. Masih ada kesanksian baik dari kalangan laki-laki maupun kalangan perempuan Indonesia. Penelitian ini mengambil kasus Keterlibatan perempuan di legislatif DPRD kota Bekasi. Masalah pada penelitian ini adalah: Bagaimanakah motivasi perempuan terhadap politik di Kota Bekasi? II. METODE PENELITIAN 2.1.
Populasi Populasi sasaran dalam penelitian ini adalah perempuan yang tercatat sebagai penduduk
Kota Bekasi yang terdaftar sebagai peserta pemilu tahun 2004 dan 2009 dengan ciri populasi yaitu: (1) berusia diatas 21 tahun, (2) dapat menulis dan membaca dalam bahasa Indonesia, (3) berpendidikan minimal SLTA atau sederajat, (4) pernah terdaftar sebagai pemilih pada Pemilu 2004 dan 2009. Lokasi di Kota Bekasi, waktu penelitian Juni 2009. 2.2.
Teknik Pengambilan Sampel Berdasarkan data penduduk yang terdaftar sebagai pemilih pada pemilu 2004 di seluruh
wilayah kota Bekasi dari 12 kecamatan dengan identifikasi yang berumur 21 tahun keatas dan tamat sekolah formal SLTA keatas adalah 275.747 orang, separuh dari jumlah tersebut adalah perempuan. Berdasarkan penggunaan rumus Taro Yamane, maka sampel dalam penelitian ini sebanyak 100 orang perempuan.
2.3.
Desain Penelitian Penelitian ini memakai desain penelitian survey dengan metode deskriptif analisis.
Metode deskriptif adalah suatu metode penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data. (Effendy, 2003). Instrumen yang digunakan benar-benar valid dan dapat mengungkapkan data yang diperlukan maka instrumen berupa pertanyaan yang ada harus mempunyai nilai validitas yang tinggi (Black dan Champion,1992) untuk menguji validitas alat ukur dicari nilai korelasi antara
174
Jurnal Paradigma Vol X. No. 2 Desember 2009
bagian-bagian dari alat ukur secara keseluruhan dengan mengkorelasikan setiap butir alat ukur dengan skor total yang merupakan jumlah tiap skor butir, dengan rumus Pearson Product Moment dan uji reliabilitas menggunakan metode Alpha. III. PEMBAHASAN Bagi Perempuan, Konsep ‘Demokrasi‘ dapat dikatakan sesuatu hal yang menjadi idaman yang juga merupakan mimpi buruk. Sejak Demokrasi yang diwariskan dari tradisi Yunani, dimana Perempuan dan budak tidak dilibatkan dalam demokrasi. Bahkan tidak ada dilibatkan sebagai pemilih dalam pemilu. Di Indonesia, Keterwakilan perempuan dalam politik membawa dua persoalan yaitu: pertama, masalah keterwakilan Perempuan yang sangat rendah di ruang publik dan kedua, masalah belum adanya platform partai yang secara konkrit membela kepentingan perempuan. Hal ini menjadi momen bagi aktivis wanita Indonesia untuk memperjuangkan hak publik perempuan terutama di politik. Penetapan terhadap kuota 30 persen bagi perempuan Indonesia dalam politik merupakan satu bentuk akses politik. Menurut Galnoor (Nimmo, 2005) akses politik diartikan kepada seberapa besar kesempatan yang didapat dan dimiliki oleh seseorang terhadap politik. Lebih lanjut Galnoor mengatakan bahwa yang dimaksud akses adalah kesempatan seseorang untuk mengirimkan pesan politik dari bawah ke atas, dari “pinggiran “ ke pusat, dan dari individu– individu kepada para pemimpin. Secara de jure pengakuan akan pentingnya perempuan dalam pembangunan telah tersurat secara jelas dalam GBHN 1993,2000. Namun pada kenyataannya perempuan berkecenderungan dijadikan objek dalam program pembangunan. Perempuan belum dapat berperan secara maksimal baik sebagai pelaku maupun sebagai penikmat pembangunan. Hal ini disebabkan pemahaman perempuan hanya sebatas peran domestik (private) sehingga kurang diperhatikan dalam pengambilan kebijakan. Di samping itu juga diperjelas dengan berkembangnya budaya patriarkhi yang menempatkan peran laki-laki sebagai makhluk yang berkuasa dengan berangkat pada pelabelan terhadap dirinya. Kondisi ini secara tidak langsung akan mempengaruhi kesenjangan perempuan sebagai warga bangsa untuk ikut akses dalam politik dan program pembangunan (Jurnal Perempuan, 2001). Sebagai contoh bentuk akses politik di beberapa negara yang mendongkrak jumlah anggota parlemen perempuan, seperti di Perancis ada Party Law (Undang-undang Partai Politik), pada tahun 1999, Party Law merupakan amandemen konstitusi yang mensyaratkan
175
Jurnal Paradigma Vol X. No. 2 Desember 2009
setiap parpol menyertakan perempuan sebanyak 50 persen. Di Indonesia telah hadir kuota 30 persen, untuk mendongkrak jumlah perempuan parlemen yang menduduki kursi di parlemen. Untuk memenuhi pasal 65 ayat (1) UU no.12 tahun 2003 tersebut ada pasal 65 ayat ( 2 ) yang berbunyi: Setiap Partai Peserta Pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120 persen (seratus dua puluh persen) jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap Daerah Pemilihan. Dalam pasal 65 ayat (2) ini terkandung makna bahwa partai boleh melakukan spekulatif terhadap harapan untuk mendapatkan kursi di parlemen tersebut. Untuk pemenuhan kuota 30 persen, setiap partai juga diharapkan mempunyai perhitungan spekulatif untuk pemenuhan kursi kuota 30 persen keterwakilan perempuan tersebut. Dalam pasal 65 ayat (2) ini lebih membuka peluang kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam politik. Menurut sensus yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik(BPS 2002) jumlah perempuan di Indonesia adalah 101.625.816 jiwa atau 51% dari seluruh Populasi atau lebih banyak dari total jumlah penduduk di ketiga Negara Malaysia, Singapura dan Filipina. Namun Jumlah yang besar tersebut tidak tampak dalam jumlah keterwakilan perempuan di lembaga lembaga pembuat keputusan/pengambilan keputusan politik di Indonesia. Mengapa perempuan perlu partisipasi dan ikut menjadi pembuat keputusan politik adalah karena; perempuan memiliki kebutuhan–kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami paling baik oleh perempuan sendiri. Kebutuhan–kebutuhan ini meliputi: a) Isu-isu kesehatan reproduksi, seperti cara KB yang aman. b) Isu-isu kesejahteraan keluarga, seperti harga sembilan bahan pokok yang terjangkau, masalah kesehatan dan pendidikan anak. c) Isu-isu kepedulian terhadap anak, kelompok usia lanjut dan tuna daksa, d) Isu-isu kekearasan seksual. Keikutsertaan perempuan sebagai pembuat keputusan politik dapat mencegah diskriminasi terhadap perempuan yang selama ini terjadi dalam masyarakat, seperti : a) Diskriminasi di tempat kerja yang menganggap pekerja laki-laki lebih tinggi nilainya daripada perempuan. Misalnya penetapan upah yang berbeda antara laki-laki dan perempuan untuk beban kerja yang sama. Diskriminasi dihadapan hukum yang merugikan posisi perempuan misalnya : kasus perceraian. b) Hanya dalam jumlah yang signifikan, perempuan dapat menghasilkan perubahan berarti, seperti: 1) Perubahan cara pandang dalam menyelesaikan masalah-masalah politik dengan mengutamakan perdamaian dan cara–cara ahli kekerasan. 2) perubahan kebijakan dan peraturan undang-undang yang ikut memasukkan kebutuhan–kebutuhan khusus perempuan sebagai bagian dari agenda nasional.
176
Jurnal Paradigma Vol X. No. 2 Desember 2009
Langkah yang harus dilakukan untuk meningkatkan jumlah perempuan sebagai pembuat keputusan politik adalah memahami pentingnya keterwakilan perempuan dalam lembaga politik dan mendukung upaya meningkatkan jumlah perempuan yang duduk dalam lembaga–lembaga politik hingga mencapai jumlah yang signifikan agar dapat mempengaruhi proses pembuatan keputusan keputusan politik. Mendukung penerapan pemilu dengan sistem campuran sebab sistem ini membuka kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk mencalonkan diri. Keterwakilan Perempuan dalam sistem pemilu perlu dianalisa model apa yang sebaiknya dilakukan agar keterwakilan betul-betul terwujud seperti yang diinginkan. Sebagaimana disampaikan oleh Annisa (Kompas, 2003), ada 3 sistem pemilu yang dapat dilakukan yaitu: a) Sistem Distrik;-Dalam sistem ini pemilih memilih sendiri nama calon anggota legislatif (caleg) di unit pemilihannya. Sistem ini memungkinkan pemilih mengenal baik caleg pilihannya sehingga caleg bertanggungjawab langsung kepada pemilih. Hal yang didapat dalam sistem ini: caleg perempuan akan lebih sulit terpilih karena ia harus bersaing dengan caleg lain yang umumnya lebih unggul dalam hal dana, dukungan masyarakat, media massa, keluarga serta norma budaya yang telah sekian lama mengistimewakan peran laki-laki dalam bidang politik. Dengan alasan itu, partai politik jarang mencalonkan caleg perempuan secara terbuka karena dianggap tidak dapat memenangkan persaingan suara dengan partai lain. b) Proporsional;Dalam sistem ini pemilih memilih partai politik. Partai politik menentukan daftar nama caleg di setiap unit pemilihan. Sistem ini juga memungkinkan terpilihnya caleg dari luar daerah pemilihan karena penentuan daftar nama dilakukan sepenuhnya oleh parpol. Hal yang didapat dalam sistem ini: sistem ini membuka kesempatan lebih luas bagi perempuan karena caleg tidak perlu menghadapi pemilih secara langsung. Dengan demikian caleg juga tidak harus bersaing secara tajam dengan caleg lain, yang seringkali membutuhkan pengalaman berpolitik yang belum banyak dimiliki perempuan karena sosialisasi yang dialaminya sejak kecil. c) Sistem campuran;-Dalam sistem ini pemilih memilih sebagian caleg dengan cara distrik dan sebagian lagi dengan cara proporsional. Sistem ini membuka kesempatan yang luas bagi caleg perempuan sekaligus mengharuskan caleg untuk bertanggungjawab langsung kepada pemilihnya. Dengan demikian, sistem ini adalah yang paling baik karena meningkatkan keterwakilan perempuan serta akuntabilitas caleg.
IV. HASIL PENELITIAN 4.1.
Umur responden Berdasarkan kriteria populasi yang ditentukan yaitu minimal berusia 21 tahun dan
berpendidikan minimal SLTA. Diketahui bahwa umur terendah dan tertinggi untuk responden penelitian ini adalah 21 tahun dan 60 tahun dengan rata-rata umur 40 tahun s/d 50 tahun..
177
Jurnal Paradigma Vol X. No. 2 Desember 2009
Berdasarkan pengkategorian yang ada, sebagian besar responden tersebut tergolong pada kategori umur Muda atau antara 21 tahun–30 tahun, umur tua 31 tahun – 40 tahun, umur lebih tua 41 tahun – 50 tahun, umur sangat tua 51 tahun – 60 tahun. Tabel 1. Distribusi Jenjang Pendidikan Berdasarkan Umur Umur responden
jenjang pendidikan
Total
Diploma
strata satu
Strata dua
1.
muda 21th-30 th
9
9
1
19=19%
2.
Tua 31th - 40 th
27
13
5
45=45%
3.
lebih tua 41 th - 50 th
23
4
0
27=27%
4.
sangat tua 51 th - 60 th
9
0
0
9=9%
68
26
6
100=100
Total
Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa 91% responden yang berada antara umur 21 tahun – 50 tahun dengan pendidikan terendah diploma dan tertinggi strata dua (S-2). Hal ini menunjukkan berdasarkan umur responden dan dikaitkan dengan yang dikemukakan Mardikanto( 1993), bahwa umur mempengaruhi cara orang menginterpretasikan sesuatu yang dijadikan objek belajarnya. Umur antara 21-50 tahun merupakan umur yang termasuk mudah menerima inovasi dan mempelajari rangsangan dari luar dirinya. Pendidikan responden dalam penelitian ini digolongkan kedalam 4 tingkatan pendidikan yang ditentukan terendah SLTA dan tertinggi Strata dua (S-2). Pendidikan responden yang terendah adalah Diploma dan tertinggi adalah Strata dua ( S-2). Hal ini dimungkinkan karena pemilihan responden berdasarkan sample purposive yang ditentukan oleh peneliti. Seperti diketahui di Indonesia dikenal 3 macam sistem pendidikan dalam masyarakat yaitu pendidikan formal, atau pendidikan jalur sekolah, pendidikan non formal atau pendidikan melalui luar sekolah, serta pendidikan informal atau melalui dalam keluarga. Pendidikan formal merupakan pendidikan yang terencana, terorganisir yang dilaksanakan didalam kelas. Melalui proses ini seorang warga belajar memperoleh pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan sikap, serta nilai-nilai yang menghantarkan warga belajar tersebut kearah kedewasaan ( Winkel,1996) Tjiptosasmito (1976), mengemukakan bahwa pendidikan yang dijalani oleh warga belajar akan merubah kerangka berpikirnya. Kerangka fikir yang dimiliki oleh warga belajar
178
Jurnal Paradigma Vol X. No. 2 Desember 2009
merupakan konstruksi yang terdiri dari tiga komponen penting yaitu: pertama, bahwa lembaga pendidikan akan mengubah kualitas pribadi, kedua, pribadi yang telah diubah kualitasnya akan meninggalkan sekolah dan memasuki lembaga-lembaga sosial maupun ekonomi, dan ketiga, lembaga sosial ekonomi akan berkembang karena telah memiliki kualitas yang baik. Memahami pernyataan Winkel dan Tjiptosasmito tersebut dapatlah disimpulkan bahwa pendidikan formal merupakan jalur pendidikan yang dapat mengubah pola fikir dan kehidupan seseorang. Kerangka atau pola pikir yang lebih baik akan menolong seseorang dalam mentransformasikan serta menentukan keputusan suatu pandangan terhadap nilai-nilai baru yang akan diterimanya, misalnya pandangan atau pemahaman terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan dilegislatif. Tabel 2. Distribusi Umur Responden Berdasarkan Jenjang Pendidikan Umur responden
jenjang pendidikan
Total
Diploma
strata satu
Strata dua
1. muda 21th-30 th
9
9
1
19
2. Tua 31th – 40 th
27
13
5
45
3. Lebih tua 41 th – 50 th
23
4
0
27
4. sangat tua 51 th - 60 th
9
0
0
9
Total
68
26
6
100
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa keragaman tingkat pendidikan formal responden. Pendidikan terendah responden adalah diploma, sedangkan tertinggi adalah Strata Dua (S-2). Tabel 2 menunjukkan bahwa 68% responden dari total responden berada pada kategori tingkat pendidikan Diploma, 26% dari total responden pada tingkat kategori pendidikan strata satu (S1) dan 6% responden dari total responden pada tingkat pendidikan strata dua (S-2). Pada tabel terlihat bahwa 47%(9 orang) dari 19 responden berumur muda mempunyai pendidikan diploma, 47%(9 orang) berpendidikan strata satu, 6%( I orang) berpendidikan strata dua. Responden berumur tua terlihat pada tabel berjumlah 45 orang, 60% (27 orang) dari total berumur tua berpendidikan diploma, 29% (13 orang) berpendidikan strata satu, 11% (5 orang) berpendidikan stata dua. Responden berumur kategori lebih tua berjumlah 27 orang, 85% (23 orang) berpendidikan diploma, 15% (4 orang ) berpendidikan strata satu, untuk kategori pendidikan strata dua tidak ada. Untuk responden kategori sangat tua berpendidikan diploma yaitu 100% ( 9
179
Jurnal Paradigma Vol X. No. 2 Desember 2009
orang) dari kategori sangat tua 9 orang. Dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan rata-rata responden berpendidikan diploma. 4.2.
Pengalaman Politik Pengalaman merupakan suatu rangkaian peristiwa yang pernah dialami atau suatu
kegiatan yang pernah dilakukan seseorang. Pengalaman dikaitkan dengan politik merupakan pengalaman politik. Berbicara politik berarti kita dapat definisikan politik adalah siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana , pembagian nilai-nilai oleh yang berwenang, kekekuasaan dan pemegang kekuasaan , pengaruh, tindakan yang diarahkan untuk mempertahankan dan atau memperluas tindakan lainnya.(Nimmo, 2005). Dari definisi tersebut politik mencakup sesuatu yang dilakukan orang; politik adalah kegiatan, yang mana kegiatan tersebut dibedakan dengan kegiatan lainnya meskipun tidak selalu berhasil. Ilmuwan Politik Mark Roelofs( Nimmo, 2005) mengatakan secara sederhana ”politik adalah pembicaraan; atau lebih tepat, kegiatan politik (berpolitik) adalah berbicara”. Ia menekankan bahwa politik tidak hanya pembicaraan, juga tidak semua pembicaraan adalah politik. Hakikat pengalaman politik bukan hanya kondisi dasarnya adalah kegiatan berkomunikasi antara orang-orang.
Pandangan Roelofs menekankan bahwa bila orang
mengamati konflik, mereka menurunkan makna perselisihan melalui komunikasi. Bila orang menyelesaikan perselisihan mereka,
penyelesaian itu adalah hal-hal yang diamati,
diinterpretasikan, dan dipertukarkan melalui komunikasi. Dari transaksi yang kita sebut transaksi politik itu muncul makna perselisihan sosial dan penyesuaiannya. Dan dalam proses itu tercipta konflik-konflik baru. Juga tersusun makna-makna yang terus berubah yang diberikan oleh warga negara kepada gagasan-gagasan abstraks seperti demokrasi, kemerdekaan, atau keadilan; kepada lembaga-lembaga utama seperti kepresidenan. Pengalaman dimasa lampau akan mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu objek, gejala, atau peristiwa. Hal ini disebabkan pengalaman merupakan akumulasi dari proses belajar yang akan dijadikan suatu pertimbangan dalam menentukan menerima atau menolak ideide baru (Walker,1973). Pengalaman yang dimiliki seseorang sangat penting dan akan mempengaruhi minat dan keinginannya untuk belajar lebih baik (Bhatnagar,1980). Pengalaman yang menyenangkan atau mengecewakan yang pernah dialami akan berpengaruh terhadap proses belajar seseorang (Padmowihardjo,1994). Bila dikaitkan dengan pengalaman kelompok aktivis dan non aktivis partai dalam mempersepsikan kuota 30% keterwakilan perempuan dilegislatif adalah semakin tinggi jumlah tahun pengalaman politik maka semakin banyak
180
Jurnal Paradigma Vol X. No. 2 Desember 2009
pengalaman politik yang menyenangkan ataupun yang tidak menyenangkan. Pengalaman tersebut akan menentukan pandangan atau tanggapan responden terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan dilegislatif. Tabel 3. Distribusi Pengalaman Politik Responden Berdasarkan Umur Umur responden
pengalaman politik
Total
rendah
sedang
tinggi
1. muda 21th-30 th
8
6
5
19
2. Tua 31th - 40 th
23
11
11
45
3. Lebih tua 41 th – 50 th
15
5
7
27
4. sangat tua 51 th - 60 th
7
1
1
9
Total
53
23
24
100
Tabel 3 menunjukkan bahwa pengalaman politik responden berada pada kategori rendah, baik dari kategori umur muda, tua , lebih tua dan sangat tua yaitu 53% dari total responden. 23% pada kategori sedang, 24 % pada kategori tinggi. Dapat dikatakan bahwa ratarata responden yang di bedakan level umur mempunyai pengalaman politik dalam kategori rendah.
4.3. Motivasi Politik Motivasi adalah adanya dorongan yang membuat seseorang melakukan suatu tindakan atau kegiatan. Dorongan dapat tumbuh dari dalam diri maupun dari luar diri. Dorongan dari dalam diri tersebut dapat terwujud diimbangi dengan adanya motif pada diri seseorang. Motif merupakan suatu pengertian yang melingkupi semua penggerak, alasan, atau dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Semua tingkah laku manusia pada hakikatnya mempunyai motif, yang berguna untuk memberikan arah dalam bertingkah laku. Bila dikaitkan dengan politik, yang dimaksudkan motivasi politik adalah hal yang mencakup alasan atau tujuan dari suatu perbuatan yang ingin dilakukan. Motivasi politik artinya suatu hal yang menjadi dorongan untuk melakukan kegiatan atau aktivitas kearah politik.
181
Jurnal Paradigma Vol X. No. 2 Desember 2009
Tabel 4: Distribusi Motivasi Politik Responden Berdasarkan Umur Umur responden
motivasi politik
Total
rendah
sedang
tinggi
1. muda 21th-30 th
8
6
5
19
2. Tua 31th - 40 th
17
17
11
45
3. Lebih tua 41 th – 50 th
17
4
6
27
4. sangat tua 51 th - 60 th
4
4
1
9
Total
44
33
23
100
Tabel 4 menunjukkan bahwa motivasi politik responden berada pada kategori rendah, baik dari kategori umur muda, tua , lebih tua dan sangat tua yaitu 44% dari total responden. 33% pada kategori sedang, 23 % pada kategori tinggi. Dapat dikatakan bahwa rata-rata responden yang di bedakan level umur mempunyai motivasi politik dalam kategori rendah. 4.3.1. Faktor Motivasi Politik Hubungan antara faktor Motivasi politik responden dengan
persepsi masyarakat
terhadap kuota 30% keterwakilan perempuan dilegislatif yang meliputi akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan dan keterwakilan politik perempuan,dapat dilihat pada tabel perhitungan test Chi-Square(x²) sebagai berikut: Tabel 5: Hubungan Motivasi politik responden dengan Persepsi terhadap Kuota 30% Kuota 30%
X² hitung
X² tabel
. Signifikansi
Persepsi tentang Akses Politik
6,484
Df=4, (13,28)
0.166
Persepsi tentang Partisipasi politik
2,342
Df=2, (5,99)
0.310
Persepsi tentang keterwakilan politik
0.703
Df=4, (9,49)
0.951
Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa Hubungan motivasi politik responden dengan persepsi terhadap akses politik, nilai hitung Chi-square 6,484. nilai tabel Chi-square dalam α = 0.05 , dengan diketahui df = 4, Chi-square tabel adalah = 9,49 dan α =0.01 adalah 13,28. 0leh karena chi-square hitung < Chi-square tabel ( 6,484 < 9,49). Berdasarkan Probabilitas, pada tabel
182
Jurnal Paradigma Vol X. No. 2 Desember 2009
terlihat bahwa Asymp,sig adalah 0.166, artinya probabilitas 0,166 >0.05, artinya ada hubungan pada taraf tidak nyata
kepercayaan 95% atau α = 0.05. atau dapat dikatakan tidak ada
hubungan nyata, maka Hº diterima karena tidak ada hubungan nyata antara faktor motivasi politik dengan persepsi terhadap akses politik perempuan.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi terhadap data penelitian yang ada dapatlah dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: Motivasi politik Perempuan berada pada kategori rendah, begitu juga dengan factor motivasi politik perempuan mempunyai hubungan yang tidak nyata pada taraf p>0.05 dengan persepsi terhadap akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan keterwakilan politik perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa motivasi politik perempuan masih dalam kategori rendah, disebabkan akses politik yang rendah dan masih belum terbuka secara lebar.
SARAN Berdasarkan hasil penelitian ini maka disarankan: Partai politik hendaknya membuka kesempatan lebih banyak untuk perempuan baik secara akses politik, partisipasi politik maupun keterwakilan politik.
DAFTAR PUSTAKA Black, J.A, dan J. Champion, 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Eresco.Bandung. Effendy.o.u, 2003, Metode Penelitian Komunikasi. Remadja Karya.Bandung. Kartasasmita,G, 1995 Perencanaan Pembangunan. BAPPENAS, Jakarta. Nimmo.D.2003. Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan dan Media, Remadja Rosdha Karya.Bandung. Padmowihardjo,Soedijanto,1994. Psikologi Belajar Mengajar:LUHT 4232/2SKS Modul 1-6 Universitas Terbuka Jakarta. Tjiptosasmito,Waskito,1976,” Mandat Masyarakat yang dijalankan oleh
183
Jurnal Paradigma Vol X. No. 2 Desember 2009
Sistem Sekolah.” Prisma No.2 Thn IV,2 Maret Jakarta. UNDP,2003, “Partisipasi Politik Perempuan dan Tata Pemerintahan yang baik:Tantangan Abad 21, “diterjemahkan oleh, Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO),Jakarta. Winkel,W.s,1996. Psikologi Pengajaran. Gramedia Widiasarana Indonesia Jakarta.
184