Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia Prinsip-Prinsip Usulan Terhadap RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender
Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia Prinsip-Prinsip Usulan Atas RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender1
A. Latar Belakang Komnas Perempuan adalah Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia yang bekerja secara independen, berdiri berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 dan diperbaharui dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2005. Komnas Perempuan memiliki peran untuk pemenuhan tanggung jawab negara dalam penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, serta dalam rangka memastikan ketersediaan akses keadilan bagi perempuan, khususnya perempuan korban. Salah satu mandat yang diemban Komnas Perempuan adalah memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah, lembaga legislatif, yudikatif serta organisasi-organisasi masyarakat guna mendorong penyusunan dan perubahan hukum dan kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak-hak asasi perempuan. Diskriminasi gender yang terus terjadi merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan ketidakadilan gender terhadap perempuan. Diskriminasi gender dapat mengemuka dalam rupa tindakan, perilaku, hingga kebijakan yang diskriminatif. Hal ini terlihat antara lain dari makin maraknya kebijakan diskriminatif yang terbentuk melalui celah otonomi daerah dimana hasil pemantauan yang dilakukan Komnas Perempuan hingga Agustus 2012 terdapat 282 kebijakan diskriminatif. Kekerasan terhadap perempuan pun semakin bertambah dan berkembang jumlah dan bentuknya. Diskriminasi gender menyebabkan perempuan terhalang untuk berkontribusi aktif dalam kehidupan publik, yang selanjutnya akan menyebabkan kurang maksimalnya pencapaian kehidupan yang berkualitas. Sebaliknya, kesetaraan gender adalah kondisi dan situasi yang memberikan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki dalam pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia oleh perempuan dan laki-laki, terlepas dari status perkawinan mereka. Indonesia telah memiliki seperangkat aturan hukum yang bertujuan untuk menghapuskan diskriminasi gender menuju hadirnya kesetaraan gender. Di antaranya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, dan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional. Konstitusi dan peraturan perundangundangan tersebut diharapkan dapat mempercepat penghapusan diskriminasi gender. Namun demikian, perangkat hukum tersebut sesungguhnya tidaklah cukup karena belum ada satu payung hukum yang mampu menjadi sandaran utuh bagi penghapusan diskriminasi gender. Inilah yang mengakibatkan bangsa Indonesia belum dapat memaksimalkan upaya penghapusan diskriminasi gender.
1
Naskah ini disusun pada bulan November 2012
Rancangan Undang-Undang tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) adalah salah satu rancangan peraturan perundang-undangan yang diharapkan akan menjadi payung kebijakan dalam rangka menciptakan situasi yang kondusif bagi pencegahan diskriminasi gender. Berkenaan dengan hal tersebut, Komnas Perempuan telah menyelenggarakan serangkaian kegiatan, yaitu diskusi terfokus, konsultasi dengan tim penyelaras, rapat dengar pendapat, maupun audiensi dengan para pihak terkait dalam rangka menggali masukan terhadap usulan atas RUU KKG dengan membaca berbagai draft yang ada; maupun menyampaikan prinsip-prinsip usulan masukan terhadap RUU KKG yang diharapkan akan menjadi bagian pertimbangan dalam perumusan draft naskah RUU KKG yang mewujudkan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.
B. Prinsip-Prinsip Usulan RUU KKG 1) Bagian Menimbang Bagian ini perlu menegaskan jaminan dari negara atas hak setiap orang untuk bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun. Selain itu, juga harus ditegaskan jaminan bagi setiap setiap orang untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminatif sebagaimana diamanatkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kebutuhan terhadap RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender perlu ditegaskan dengan pengakuan terhadap masih adanya diskriminasi atas dasar jenis kelamin yang kebanyakan dialami oleh kaum perempuan sehingga kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia belum mencerminkan kesetaraan dan keadilan gender. Jaminan kepastian hukum untuk pengaturan kesetaraan dan keadilan gender yang ditujukan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, demokratis dan sejahtera juga perlu disebutkan sebagai dasar kebutuhan pengaturan kesetaraan dan keadilan gender dalam peraturan perundang-undangan. 2) Bagian Mengingat Bagian ini perlu menegaskan landasan konstitusionalnya pada sejumlah Pasal dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya yang terkait dengan pemenuhan Hak Asasi Manusia yaitu Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), dan Pasal 28 I ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31, 32, 33, 34 ayat (2) dan (3). Selain itu, bagian ini perlu memuat peraturan perundang-undangan terkait pemenuhan Hak Asasi Manusia, sebagai landasan keterkaitan antara RUU KKG dengan substansi pengaturan dalam peraturan perundang-undangan tersebut, yaitu sebagai berikut: - Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Hak-Hak Politik Wanita (Convention of Women’s Political Rights); - Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women); - Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; - Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights);
-
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights); Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan; dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pengesahan International Convention On The Protection Of The Rights Of All Migrant Workers And Members Of Their Families (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran Dan Anggota Keluarganya).
3) Nomenklatur Judul Rancangan Undang-Undang Judul RUU ini diusulkan tetap menggunakan nomenklatur “Kesetaraan dan Keadilan Gender”. Judul ini akan sangat terkait dengan materi muatan yang diatur dalam RUU, dimana di dalamnya akan terdapat Ketentuan Umum yang memberikan definisi lebih lanjut apa yang dimaksud dengan Kesetaraan dan Keadilan Gender. Istilah “gender” adalah perbedaan perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya. Ada pun makna dari Kesetaraan adalah relasi yang setara dan hak yang sama dalam mengakses, berpartisipasi, mengontrol dan memperoleh manfaat pembangunan dan hak asasi manusia. Sedangkan makna dari Keadilan adalah perlakuan yang adil untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya sosial, ekonomi, politik dan informasi, berdasarkan pengakuan terhadap perbedaan biologis dan sosial, yang tidak menjadikan perbedaan tersebut sebagai hambatan untuk menikmati hak-haknya sebagai warga Negara. 4) Ketentuan Umum Istilah yang sering muncul dalam materi muatan RUU KKG perlu dijelaskan dalam bagian ini dengan singkat, tepat dan sejelas-jelasnya agar tidak menimbulkan multitafsir yang akan menyulitkan dalam implementasi RUU ini. Definisi harus berupa kalimat yang sederhana, mudah dipahami dan tidak membuka celah penafsiran berbeda terhadap apa yang termaktub dalam uraian definisi. Istilah “Gender”, didefinisikan sebagai berikut: perbedaan perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil bentukan sosial budaya. Definisi ini lebih tepat digunakan dalam RUU KKG karena secara singkat dan padat definisi tersebut menjelaskan dengan tegas apa yang dimaksud dengan “Gender”. Demikian pula dengan istilah Kesetaraan gender, didefinisikan sebagai: relasi perempuan dan laki-laki yang setara dan memiliki hak yang sama dalam mengakses, berpartisipasi, mengontrol dan memperoleh manfaat pembangunan dan hak asasi manusia. Definisi ini menegaskan bahwa kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan merupakan akibat dari relasi yang setara. Adapun definisi Keadilan gender perlu diletakkan dalam konteks perlakuan yang adil oleh negara kepada perempuan dan laki-laki agar masing-masing dapat menikmati hak-haknya sebagai warga negara. Maka diusulkan definisi Keadilan Gender sebagai berikut: perlakuan yang adil bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya sosial, ekonomi, politik, hukum dan informasi, berdasarkan pengakuan terhadap perbedaan biologis dan sosial, yang tidak menjadikan perbedaan tersebut sebagai hambatan untuk menikmati hak-haknya sebagai warga Negara.
Ketentuan Umum ini seharusnya mengandung tiga materi muatan, yaitu pengaturan tentang definisi terhadap istilah yang sering digunakan dalam RUU ini, asas-asas yang mendasari materi muatan RUU, dan tujuan dari pengaturan substantif dalam RUU. Adapun asas-asas yang diusulkan melandasi RUU ini, antara lain asas kemanusiaan, persamaan substantif, non-diskriminasi, partisipatif, transparansi dan akuntabilitas. Pada dasarnya, kesetaraan dan keadilan gender hendak ditujukan untuk: a. Mewujudkan relasi perempuan dan laki-laki yang setara dan memiliki hak yang sama dalam mengakses, berpartisipasi, mengontrol dan memperoleh manfaat pembangunan dan hak asasi manusia; b. Mewujudkan kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang setara dan adil. c. Menghapus segala bentuk diskriminasi dan kekerasan berbasis gender yang kebanyakan dialami oleh perempuan; d. Menghapus segala kebiasaan dan praktek lainnya yang didasarkan atas prasangka stereotip untuk perempuan dan laki-laki; e. Mewujudkan pemenuhan hak perempuan atas perlindungan kesehatan reproduksi; dan f. Mewujudkan pelaksanaan Tindakan Khusus Sementara (TKS) bagi perempuan guna mempercepat tercapainya persamaan substantif antara perempuan dan laki-laki di segala bidang kehidupan. 5) Pelaksanaan Kesetaraan dan Keadilan Gender Sebagai bab yang mengandung materi muatan yang diatur oleh RUU, bab ini hendaknya secara jelas dan tegas memberikan acuan bagi para pihak yang terkena kewajiban oleh RUU ini untuk dapat melaksanakannya dengan tepat dan efektif. Materi muatan yang diatur dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) yang diadopsi oleh negara sebagai bagian dari hukum yang berlaku melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, telah memberikan panduan hak warga negara terutama perempuan untuk menikmati kehidupan yang bebas dari segala bentuk diskriminasi. Konvensi tersebut juga memandatkan kepada negara sebagai pemangku kewajiban untuk melakukan segala tindakan dan melahirkan berbagai kebijakan demi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah salah satu instrumen hukum yang dilahirkan oleh negara untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam konteks perkawinan dan keluarga. Demikian pula dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) adalah bentuk komitmen negara untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam konteks tindak pidana perdagangan orang. Kedua terobosan tersebut akan lengkap jika RUU KKG ini dapat memberikan panduan kepada negara dalam hal ini legislatif, yudikatif, eksekutif, korporasi, partai politik dan masyarakat sipil untuk melaksanakan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dengan upaya pelaksanaan kesetaraan dan keadilan gender di segala bidang. Bab ini mengatur tentang pelaksanaan dari kesetaraan dan keadilan gender bagi perempuan dan laki-laki di semua bidang. Misalnya, dalam bidang politik, RUU ini memerintahkan kepada
legislatif, yudikatif, eksekutif, korporasi, partai politik dan masyarakat sipil untuk antara lain memberikan akses dan kesempatan yang sama untuk memilih dan dipilih; menyediakan ruang partisipasi dalam perumusan, pelaksanaan, pengawasan dan pemantauan penyelenggaraan perundang-undangan dan kebijakan publik; memberikan kesempatan yang sama dalam pemerintahan; menyediakan ruang untuk membentuk dan berpartisipasi dalam organisasi dan perkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik negara; dan membuat tindakan khusus sementara bagi perempuan untuk mencapai paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan di legislatif, eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga pemerintahan non-kementerian, lembaga politik dan lembaga non-pemerintah, lembaga masyarakat di tingkat daerah, nasional, regional dan internasional. Demikian pula dalam bidang perkawinan, pelaksanaan kesetaraan dan keadilan gender bagi perempuan dan laki-laki meliputi, antara lain perlindungan dari negara atas hak tiap perempuan dan laki-laki untuk memasuki jenjang perkawinan dan memilih suami atau isteri tanpa ada paksaan dan tekanan. Pengaturan ini sesungguhnya menekankan prinsip penghormatan kepada perempuan untuk terbebas dari perkawinan paksa seperti perjodohan tanpa persetujuan kedua belah pihak, pemaksaan perkawinan dengan alasan untuk mengurangi atau membantu perekonomian keluarga, ataupun pemaksaan perkawinan dengan pelaku kekerasan seksual. Pengaturan ini pada dasarnya memberikan kewajiban bagi negara untuk memberikan perlindungan melalui kebijakan atau tindakan lainnya agar perempuan dan laki-laki tidak dikawinkan dalam usia masih anak-anak. Memasuki jenjang perkawinan adalah hak setiap orang baik laki-laki dan perempuan, dan bukan merupakan kewajiban dari laki-laki atau perempuan tersebut. Namun sekalipun merupakan hak, hal tersebut hanya berlaku jika laki-laki dan perempuan tersebut bukan berada dalam usia anak atau masih berusia di bawah 18 tahun. 6) Pengarusutamaan Gender Bagian ini mengatur tentang siapa saja yang berkewajiban menyelenggarakan pengarusutamaan gender. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional mengamanatkan kepada eksekutif sebagai penyelenggara PUG. RUU KKG ini seharusnya memberikan amanat tersebut tidak hanya kepada eksekutif, melainkan juga kepada lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga pemerintahan non-kementerian, lembaga politik, lembaga non-pemerintah, korporasi dan lembaga masyarakat. Mengingat penyelenggaraan PUG sebagai strategi untuk pelaksanaan kesetaraan dan keadilan gender hanya akan berjalan maksimal jika keseluruhan penyelenggara negara dan para pihak yang terlibat di dalam negara melaksanakan kewajiban tersebut. Oleh sebab itu pendidikan dan pelatihan terkait dengan kesetaraan dan keadilan gender menjadi penting. Penyelenggaraan PUG dilakukan sejak perumusan kebijakan program dan kegiatan, perencanaan, pelaksanaan, pembiayaan, pemantauan sampai evaluasi dan pelaporan yang dilaksanakan dan disinkronisasikan sesuai dengan indikator capaian serta dampak yang bisa diukur perubahannya. 7) Gugus Tugas Gugus Tugas Kesetaraan dan Keadilan Gender (selanjutnya disebut Gugus Tugas KKG) adalah lembaga koordinatif yang bertugas mengkoordinasikan upaya mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender di Tingkat Nasional. Presiden adalah lembaga yang membentuk Gugus Tugas KKG ini di
tingkat nasional, sedangkan di tingkat daerah Gugus Tugas KKG dibentuk oleh Kepala Daerah. Gugus Tugas KKG di tingkat pusat dikoordinatori oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Gugus Tugas KKG dibentuk untuk memastikan bahwa setiap instansi/lembaga negara menjalankan kewajiban yang diamanatkan oleh RUU KKG. Lahirnya RUU KKG yang memberikan kewajiban bagi seluruh instansi/lembaga negara meniscayakan perlunya kehadiran sebuah mekanisme koordinasi dan sinkronisasi – dalam bentuk Gugus Tugas KKG – agar pengawasan terhadap pelaksanaan dan pemenuhan mandat RUU KKG dapat dimonitor dan dievaluasi. Gugus Tugas KKG bukanlah lembaga baru yang dibentuk khusus melalui RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender. Ia merupakan sebuah mekanisme koordinasi baru, dengan menggunakan infrastruktur dan sumber daya yang sudah tersedia, untuk menjamin pelaksanaan kesetaraan dan keadilan gender di seluruh instansi/lembaga negara. Gugus Tugas KKG terdiri dari unsur-unsur yang mewakili instansi/lembaga negara, baik Legislatif (Ketua DPR), Eksekutif (Menteri dan Pejabat setingkat Menteri), Yudikatif (Ketua Mahkamah Agung, Kepala Kepolisian Republik Indonesia), Lembaga Hak Asasi Manusia Nasional (National Human Rights Institusion), termasuk lembaga pertahanan negara (Panglima Tentara Negara Indonesia). Selain itu, Gugus Tugas KKG dapat terdiri dari individu atau perorangan yang merupakan tokoh nasional yang menguasai isu kesetaraan dan keadilan gender ataupun perwakilan dari lembaga masyarakat dan korporasi. Sebagai lembaga koordinatif lintas institusi, keberadaan Gugus Tugas KKG adalah ad hoc atau tidak permanen. Walau pun demikian, institusi yang menjadi bagian dari Gugus Tugas KKG adalah permanen, bukan lembaga ad hoc. Gugus Tugas KKG akan bekerja sampai tercapainya Kesetaraan dan Keadilan Gender. Gugus Tugas KKG bertugas antara lain melakukan fungsi pengawasan dan evaluasi terhadap upaya pelaksanaan kesetaraan dan keadilan gender di seluruh instansi/lembaga negara, lembaga non pemerintah/lembaga masyarakat dan korporasi. Dalam melakukan fungsi tersebut, Gugus Tugas KKG perlu mendapatkan jaminan akses terhadap data, sumber daya manusia dan informasi anggaran di tiap-tiap institusi. Hasil pengawasan dan evaluasi dari Gugus Tugas KKG dapat menjadi dasar dalam pemberian rekomendasi berupa sanksi atau penghargaan terhadap instansi/lembaga negara, lembaga non pemerintah/lembaga masyarakat dan korporasi. Gugus Tugas KKG juga bertugas untuk melakukan koordinasi upaya-upaya pelaksanaan kesetaraan dan keadilan gender di lembaga terkait. Selain itu, Gugus Tugas KKG juga bertugas untuk melakukan koordinasi dengan Gugus Tugas Daerah terkait fungsi pengawasan dan evaluasi Gugus Tugas Daerah. Adapun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (selanjutnya disebut KPPPA) berperan sebagai Koordinator dari Gugus Tugas KKG. Peran ini memberikan KPPPA perluasan mandat dan kewenangan dari kewenangan yang sekarang ini dimiliki. Dengan demikian, KPPPA selain memiliki kewenangan untuk menjalankan fungsi koordinator Gugus Tugas KKG, juga berwenang untuk mendorong impelementasinya di setiap institusi/lembaga negara termasuk menjalankan implementasi kesetaraan dan keadilan gender di lingkungan institusinya sendiri baik di pusat maupun di daerah. Kewenangan ini otomatis berlaku tanpa harus tersedia kebijakan tertentu yang mengesahkan kewenangan tersebut, misalnya Kesepakatan Bersama atau Memorandum of Understanding.
Sementara itu, untuk pengaturan mekanisme kerja Gugus Tugas tidak perlu diatur dalam RUU KKG. Ketentuan tentang hal tersebut cukup dituangkan dalam peraturan pelaksana perundangundangan. 8) Sanksi Administratif dan Penghargaan Agar kesetaraan dan keadilan gender dilaksanakan dengan tepat dan efektif oleh setiap lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga pemerintahan non-kementerian, lembaga politik, lembaga non-pemerintah, lembaga masyarakat dan korporasi, perlu ada dorongan berupa sanksi administratif ataupun penghargaan. Sanksi administratif diberikan kepada setiap lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga pemerintahan non-kementerian, lembaga politik, lembaga non-pemerintah, lembaga masyarakat dan korporasi yang tidak melaksanakan kesetaraan dan keadilan gender sebagaimana diatur dalam Bab Pelaksanaan Kesetaraan dan Keadilan Gender RUU ini. Adapun sanksi administratif yang dikenakan pada lembaga dapat berupa: a. teguran yang dipublikasikan lewat media; b. pemotongan anggaran; c. surat rekomendasi untuk pembatalan/pencabutan kebijakan; Selain kepada lembaga, pejabat negara yang tidak melaksanakan kesetaraan dan keadilan gender diberikan pula sanksi administratif. Misalnya, terbukti seorang pejabat negara melontarkan pernyataan yang diskriminatif terhadap perempuan dan melanggar pengaturan dalam Bab Pelaksanaan Kesetaraan dan Keadilan Gender RUU ini, maka kepadanya dikenakan sanksi berupa: a. teguran yang dipublikasikan lewat media; b. mutasi pejabat; dan c. pemotongan tunjangan jabatan Selain usulan tersebut, sanksi bagi pejabat negara juga diusulkan berupa penurunan pangkat hingga pemberhentian dengan tidak hormat. Sementara untuk korporasi atau para pihak yang tidak terikat dengan mekanisme birokrasi negara, sanksi dijatuhkan jika tidak melaksanakan atau menghalang-halangi pelaksanaan kesetaraan dan keadilan gender di tempat kerjanya adalah pencabutan ijin atau bentuk sanksi lainnya. Adapun terkait sanksi pidana, RUU KKG tidak perlu mengatur secara khusus. Namun jika terdapat orang atau lembaga yang dengan sengaja melakukan tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan, maka kepadanya dikenakan pidana berdasarkan ketentuan pidana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain sanksi administratif, RUU KKG perlu mengatur tentang pemberian penghargaan bagi lembaga negara termasuk lembaga pemerintah non kementerian di pusat dan daerah, lembaga politik, lembaga non pemerintah, lembaga masyarakat dan korporasi yang telah melakukan inisiatif baru dalam upaya mewujudkan kesetaraan gender. Hal ini untuk mendorong agar semakin banyak pihak yang termotivasi menciptakan kreativitas program atau kegiatan atau pendekatan tertentu agar kesetaraan dan keadilan gender dapat tercapai.
C. Penutup
Prinsip-prinsip usulan ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian bagi para pemangku kepentingan untuk menguatkan tujuan bersama melahirkan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender yang komprehensif, jelas, tegas dan tidak multitafsir. Lebih jauh, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender yang akan diberlakukan kelak hendaklah menjadi terobosan hukum di Indonesia untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.[]