PERANG POSISI MEWUJUDKAN KEADILAN GENDER
udaya patriarki merupakan sumber utama dimana ketidakadilan gender terhadap perempuan menjadi realitas yang sangat merugikan, baik dalam bentuk violence, stereotype, subordinasi, marginalisasi maupun double burden. Budaya patriarki telah mendasari bagaimana relasi sosial yang terbentuk baik dari perspektif “kelas” ataupun yang lainnya menjadikan posisi dan repre sentasi kehadiran serta kepentingan perempuan mendapatkan perlakuan yang tak setara dibandingkan kaum laki-laki. Narasi besar kondisi patriarkal ini mewujud pada struktur-struktur sosial, politik, ekonomi dan budaya dalam realitas sosial dan telah dilanggengkan secara dominatif maupun hegemonik untuk mempertahankan “kekuasaan” tersebut.
B
Pada wilayah politik atau publik yang bermakna pengaturan pranata-pranata kehidupan sosial dalam mencapai tujuan bersama, keabsenan suara perempuan melahirkan situasi kehidupan sosial politik yang sangat maskulin dan konflik sebagai energi perubahan tidak lebih dari “zero sum game” (kalah–menang). Perspektif win-win solution dalam menangani konflik pada wilayah sosial politik hanya jargon semata. Karena itu, representasi kaum perempuan pada wilayah sosial politik menjadi kebutuhan dan kepentingan strategis yang t idak hanya signifikan bagi kepentingan kaum perempuan sendiri, akan tetapi lebih menjamin kepentingan atau kebutuhan semua kelompok sosial, khususnya mereka yang termarginalisasi secara sosial politik dalam proses pembangunan. Partisipasi politik perempuan dalam bentuk advokasi kebijakan publik yang melibatkan/merepresentasikan perempuan dalam pembuatannya bermakna sebagai usaha untuk memulai dan belajar melakukan “perang posisi” menghadapi struktur kekuasaan patriarkis yang dominatif dan hegemonik. Dimulai pada level wilayah “otonomi” paling bawah, yaitu desa, diharapkan proses -proses belajar untuk melawan kondisi tersebut berada dalam kerangka SMART ( Specific,
PENDAHULUAN
1
Measureable, Achieveable, Rationable dan Timeable). Pada posisi ini kehadiran buku Partisipasi Politik Perempuan dalam Proses Pembuatan Kebijakan Publik di Daerah Jawa Timur (Studi Analitik atas Kondisi dan Sikap Masyarakat Terhadap Partisipasi Politik Perempuan dalam Proses Pembuatan Kebijakan Publik di Daerah Jawa Timur) dan Formulasi Pendampingan Komunitas Perempuan untuk Advokasi Kebijakan Publik diharapkan menjadi mozaik ataupun cermin baru untuk memahami, dan bereksperimentasi melakukan “perang posisi“ dan gender mainstreaming pada kepentingan strategis kaum perempuan, khususnya partisipasi perempuan dalam pembuatan kebijakan publik. Kehadiran buku ini diharapkan juga menjadi sebuah tradisi yang penting dimana aksi-aksi advokasi atas partisipasi perempuan dalam pembuatan kebijakan publik sebagaimana yang sedang dilakukan oleh Yayasan Cakrawala Timur Surabaya ini dapat ikut dibaca, ditelaah, dikritisi dan dipertanggungjawabkan secara sosial. Perwujudan buku ini, sebagai bagian dari program partisipasi politik perempuan dalam pembuatan kebijakan publik di daerah Jawa Timur, didukung oleh Patnership for Governance Reform in Indonesia (PGRI) dan Uni Eropa. Terima kasih sebanyak-banyaknya kepada PGRI dan Uni Eropa atas kerjasama dan kepercayaannya selama ini kepada Yayasan Cakrawala Timur, semoga hubungan yang tulus ini semakin kuat dan kokoh pada masa-masa yang akan datang. Terima kasih juga kepada berbagai pihak yang membantu hingga terbitnya buku ini baik secara langsung maupun tdk langsung, khususnya para “intelektual organik”, Mbakyu Eva Kusuma Sundari, Msc. yang sekarang bereksperimen langsung pada wilayah politik praktis sebagai legislator MPR-DPR-RI, atas saran dan keterlibatannya baik sebagai nara sumber atau fasilitator serangkain pelatihan program ini secara formal dan non formal. Juga terima kasih kepada Mbak Yuyud yang dengan telaten mendampingi proses lokakarya dan bimbingan dalam penyusunan buku ini. Tidak lupa pula haturan terima kasih kepada KH Husein Muhammad dari Cirebon, juga Ustadz Nakho’i, Pak Karyono, dan Bu Sutinah atas pendampingannya selama ini sebagai konsultan ahli program. Juga kepada Khanis atas kontribusinya pada ruang-ruang belajar kami. Kepada 30 mitra dalam program ini yang bertindak sebagai subyek dalam proses pembuatan formulasi pendampingan komunitas perempuan hingga maujud dalam karya buku ini, tentunya ucapan terima kasih belumlah sebanding dengan partisipasi dan ketelatenan yang ditunjukkan dalam proses selama ini.
2
PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DI JAWA TIMUR
Kepada seluruh kolega dari Yayasan Cakrawala Timur, ucapan terima kasih atas dedikasinya dalam menjaga komitmen atas kerja-kerja kemanusiaan yang dilakukan selama ini. Selamat berproses dan selamat bekerja untuk keadilan perempuan. Terima kasih Yayasan Cakrawala Timur Surabaya
Badrus Zaman
PENDAHULUAN
3
DAFTAR ISI PENGANTAR: Perang Posisi Mewujudkan Keadilan Gender – v Daftar Isi – ix BAB I Pendahuluan – 1 Good Governance dan Problem Partisipasi Politik Perempuan – 3 Sosial-Budaya dan Hambatan Partisipasi Politik Perempuan – 6 Rumusan Masalah – 7 Tujuan dan Kegunaan (Out Put) Penelitian – 7 Metode Penelitian – 8 BAB II Tinjauan Pustaka dan Teori - 9 Perspektif Makro tentang Problematika Realasi Gender – 10 Problematika Perempuan dalam Dunia Politik - 14 Perspektif Mikro tentang Problematika Perempuan dalam Politik - 24 Perempuan dan Kebijakan Publik di Desa - 27 BAB III Hasil Penelitian dan Pembahasan - 33 Karakteristik Responden – 33 Pekerjaan dan Kondisi Ekonomi Responden - 37 Mobilitas Sosial – 44 Partisipasi dalam Kegiatan Publik - 48 Peran Politik Perempuan - 60 Sikap Patriarki Masyarakat - 65 BAB IV Penutup – 71 Kepustakaan – 75
4
PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DI JAWA TIMUR
FORMULASI PENDAMPINGAN KOMUNITAS PEREMPUAN UNTUK ADVOKASI KEBIJAKAN PUBLIK PROLOG Issu di 30 Kabupaten/Kota di Jawa Timur – 81 PRAWACANA Partisipasi Politik Perempuan dalam Proses Pembuatan Kebijakan Publik di Daerah Jawa Timur – 85 Hambatan–Hambatan Budaya dan Tafsir Agama terhadap Partisipasi Politik Perempuan dalam Pembuatan Kebijakan Publik – 90 Muqaddimah – 90 Masyarakat Bias Laki-Laki - 93 Menggagas Masa Depan Fiqih Perempuan - 94 ISU: PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN - 97 1. KABUPATEN MALANG – 97 LATAR BELAKANG WILAYAH - 97 Geografis - 97 Sumber Daya Manusia - 98 Sumber Daya Alam - 98 Sumber Daya Ekonomi - 99 Definisi Kemiskinan - 99 PILIHAN MASALAH – 100 PROGRAM – 101 Di Tingkat Organisasi Perempuan Pengawal Advokasi Kebijakan -101 Di Tingkat Basis – 101 Di Tingkat Pemerintah – 102 LANGKAH/TAHAPAN KERJA – 102 Penguatan Organisasi Perempuan – 102 Penyadaran dan Penguatan Kelompok Basis – 103 Lobby Aparatus Penyelenggara Negara Lokal – 104 Partisipasi Kelompok Basis dalam Penyusunan Legislasi dan Anggaran – 105 Negosiasi Kelompok Basis dalam Memenangkan Usulan Legislasi dan Anggaran – 106 Pengawasan dan Evaluasi Pelaksanaan Legislasi dan Anggaran - 107
PENDAHULUAN
5
2. KABUPATEN KEDIRI – 108 LATAR BELAKANG - 108 PILIHAN MASALAH - 108 PROGRAM - 110 Strategi penguatan kelompok basis - 110 Strategi negosiasi dengan pemerintah desa dan tokoh masyarakat - 110 Strategi koordinasi Regio Mataraman - 110 TAHAPAN KERJA – 110 Penguatan Organisasi Perempuan – 110 Penyadaran dan Penguatan Kelompok Basis – 111 Lobby Aparatus Penyelenggara Negara L okal – 112 Partisipasi Kelompok Basis dalam Penyusunan Legislasi dan Anggaran – 112 Negosiasi Kelompok Basis dalam Memenangkan Usulan Legislasi dan Anggaran – 114 Pengawasan dan Evaluasi Pelaksanaan Legislasi dan Anggaran - 115 3. KABUPATEN PONOROGO – 116 LATAR BELAKANG WILAYAH - 116 Kabupaten Ponorogo - 116 Desa Campursari Kecamatan Sambit – 117 FOKUS MASALAH – 117 PROGRAM – 118 LANGKAH/TAHAPAN KERJA – 119 Penguatan Organisasi Perempuan Pengawal advokasi Kebijakan – 120 Penyadaran dan Penguatan Kelompok Ba sis – 120 Lobby Aparatus Penyelenggara Negara Lokal – 125 Partisipasi Kelompok Basis dalam Penyusunan Legislasi dan Anggaran – 127 Negosiasi Kelompok Basis dalam Memenangkan Usulan Legislasi dan Anggaran – 127 Pengawasan dan Evaluasi Pelaksanaan Legislasi dan Anggaran – 128 4. KABUPATEN PAMEKASAN – 129 LATAR BELAKANG WILAYAH - 129 Geografis - 129 Pemerintahan Desa - 129 Kepemimpinan - 130 Lembaga Tingkat Desa - 130 Pertanian - 130 Pendidikan - 131
6
PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DI JAWA TIMUR
Kesehatan - 131 DESKRIPSI MASALAH - 132 PROGRAM - 132 LANGKAH/TAHAPAN KERJA – 132 Penguatan Organisasi Perempuan Pengawal advokasi Kebijakan– 133 Penyadaran dan Penguatan Kelompok Basis – 134 Lobby Aparatus Penyelenggara Negara Lokal – 136 Partisipasi Kelompok Basis dalam Penyusunan Legislasi dan Anggaran – 137 Negosiasi Kelompok Basis dalam Memenangkan Usulan Legislasi dan Anggaran – 137 Pengawasan dan Evaluasi Pelaksanaan Legislasi dan Anggaran – 137 ISU: PERLINDUNGAN TERHADAP BURUH MIGRAN – 139 5. KABUPATEN SUMENEP – 139 LATAR WILAYAH – 139 PILIHAN MASALAH – 140 PROGRAM – 141 LANGKAH-LANGKAH PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM ADVOKASI KEBIJAKAN PUBLIK – 141 Penguatan Organisasi Perempuan Pengawal advokasi Kebijakan– 141 Penyadaran dan Penguatan Kelompok Basis – 142 Lobby Aparatus Penyelenggara Negara Lokal – 144 Partisipasi Kelompok Basis dalam Penyusunan Legislasi dan Anggaran – 145 Negosiasi Kelompok Basis dalam Memenangkan Usulan Legislasi dan Anggaran – 145 Pengawasan dan Evaluasi Pelaksanaan Legislasi dan Anggaran – 146 6. KABUPATEN BLITAR – 147 LATAR KOMUNITAS DALAM SUB KULTUR - 147 PILIHAN MASALAH - 147 PROGRAM - 148 Pada Tingkat Organisasi Perempuan pengawal Advokasi Kebijakan - 148 Pada Tingkat Kelompok Basis - 148 Pada Tingkat Pemerintah - 148 LANGKAH/TAHAPAN KERJA – 149 Penguatan Organisasi Perempuan Pengawal advokasi Kebijakan– 149 Pendampingan Kader Komunitas Perempuan – 150 Lobby Aparatus Penyelenggara Negara Lokal – 152
PENDAHULUAN
7
Partisipasi Kelompok Basis dalam Penyusunan Legislasi dan Anggaran – 153 Negosiasi Kelompok Basis dalam Memenangkan Usulan Legislasi dan Anggaran – 153 Pengawasan dan Evaluasi Pelaksanaan Legislasi dan Anggaran – 154 ISU: KESEHATAN LINGKUNGAN – 1 55 6. KABUPATEN SAMPANG – 155 LATAR BELAKANG WILAYAH - 155 PILIHAN MASALAH - 156 PROGRAM - 156 LANGKAH/TAHAPAN KERJA – 156 Penguatan Organisasi Perempuan – 157 Penyadaran dan Penguatan Kelompok Basis – 158 Lobby Aparatus Penyelenggara Negara Lokal – 159 Partisipasi Kelompok Basis dalam Penyusunan Legislasi dan Anggaran – 160 Negosiasi Kelompok Basis dalam Memenangkan Usulan Legislasi dan Anggaran – 160 Pengawasan dan Evaluasi Pelaksanaan Legislasi dan Anggaran – 160 ISU: KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN – 161 7. KABUPATEN PASURUAN – 161 LATAR WILAYAH – 161 Kabupaten Pasuruan – 161 Kecamatan Rembang – 162 Desa Pekoren – 162 PILIHAN MASALAH - 162 PROGRAM - 164 LANGKAH/TAHAPAN KERJA – 165 Penguatan Organisasi Perempuan – 166 Penyadaran dan Penguatan Kelompok Basis – 167 Lobby Aparatus Penyelenggara Negara Lokal – 168 Partisipasi Kelompok Basis dalam Penyusunan Legislasi dan Anggaran – 169 Negosiasi Kelompok Basis dalam Memenangkan Usulan Legislasi dan Anggaran – 170 Pengawasan dan Evaluasi Pelaksanaan Legislasi dan Anggaran – 172
8
PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DI JAWA TIMUR
ISU: KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN – 173 8. KABUPATEN BANYUWANGI – 173 LATAR WILAYAH – 173 Desa Purwodadi Kecamatan Gambiran – 174 PROGRAM - 174 LANGKAH/TAHAPAN KERJA – 175 Penguatan Organisasi Perempuan – 175 Penyadaran dan Penguatan Kelompok Basis – 176 Lobby Aparatus Penyelenggara Negara Lokal – 177 Partisipasi Kelompok Basis dalam Penyusunan Legislasi dan Anggaran – 178 Negosiasi Kelompok Basis dalam Memenangkan Usulan Legislasi dan Anggaran – 178 Pengawasan dan Evaluasi Pelaksanaan Legislasi dan Anggaran – 179 ISU: AKSES AIR BAGI PEREMPUAN – 181 9. KABUPATEN BANGKALAN – 181 LATAR WILAYAH – 181 Air dan Permasalahannya – 182 Perempuan dan Kehidupan Sosial – 183 DESKRIPSI MASALAH - 184 PROGRAM - 184 LANGKAH/TAHAPAN KERJA – 184 Penguatan Organisasi Perempuan – 185 Penyadaran dan Penguatan Kelompok Basis – 186 Lobby Aparatus Penyelenggara Negara Lokal – 189 Partisipasi Kelompok Basis dalam Penyusunan Legislasi dan Anggaran – 190 Negosiasi Kelompok Basis dalam Memenangkan Usulan Legislasi dan Anggaran – 190 Pengawasan dan Evaluasi Pelaksanaan Legislasi dan Anggaran – 191 EPILOG (Pengalaman Keterlibatan Dalam Program) – 193 Dian Pratiwi [Kediri Bersama Rakyat (KIBAR)] – 193 Yeni Mariyana [Kelompok Kerja Lentera Perempuan Ponorogo (POKJA LP2)] – 199
PENDAHULUAN
9
1 PENDAHULUAN
ada
masa Otonomi Daerah yang diamanatkan melalui UU no. 22 tahun 1999 mengenai otonomi daerah (direvisi dengan UU no.32 tahun 2004) dan UU no. 25 tahun 1999 (direvisi dengan UU no. 33 tahun 2004) tentang pembagian keuangan pusat dan daerah, yang telah berjalan kurang lebih selama lima tahun ini, di satu sisi merupakan angin segar akan tanda kemajuan peradaban dalam hubungan pemerintah, masyarakat dan pelaku usaha bagi proses demokrasi dan pembangunan politik di Indonesia. Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) penjelasan akan relasi kekuasaan yang disebut otonomi daerah didasarkan pada asas desentralisasi. Desentralisasi bermakna penyerahan wewenang dari pemerintahan pusat ke daerah otonom yang mencakup desentralisasi teritorial; penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi) dan batas pengaturannya adalah daerah, serta desentralisasi fungsional; pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu dan batasannya adalah fungsi itu sendiri, seperti: pertanahan, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Desentralisasi pada wilayah otonom ini, dalam berb agai penyelenggaraan kekuasaan atas fungsi-fungsinya, memberi peluang kepada usaha tata pemerintahan baru yang baik (Good Governance Reform) , yaitu: tata pemerintahan yang berdimensi pada adanya sikap dan kapasitas pemerintah serta hubungan vertikalnya (antara pemegang dan yang tidak memiliki kekuasaan), yang berarti adanya kapasitas pengelolaan dan pendistribusian sumber daya ekonomi, sosial, politik dan budaya melalui apa yang disebut dengan kebijakan publik. Kebijakan publik dalam otonomi daerah merupak an out-put dari proses relasi kekuasan pada daerah otonom yang mencerminkan bagaimana pola, bentuk, sifat dan kualitas tata pemerintahannya.
P
10 PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DI JAWA TIMUR
Pola relasi kekuasaan yang terjadi itu merupakan perwujudan tata pemerintahan yang baik (Good Governance), sehingga out put-nya diharapkan memberi manfaat bagi meningkatnya kualitas kehidupan masyarakatnya, terutama perempuan. Pengalaman selama era otonomi daerah banyak menunjukkan adanya kebijakan publik yang sarat dengan muatan politis elitis, bahkan konspiratori s antara eksekutif–legislatif sebagai penguasa daerah otonom, seperti ditunjukkan pada fakta di Jawa Timur bahwa hampir di semua daerah otonom terindikasi dan terlibat adanya penyimpangan kekuasaan (a buse of power) dalam bentuk penggelapan atau korupsi keuangan publik dan tidak menunjukkan keperpihakan pada kepentingan perempuan. Tata pemerintahan yang baik (Good Governance) dapat dihadirkan dalam realitas sosial dengan mengedepankan prinsip-prinsip dasar yang meliputi: transparansi, akuntabilitas, part isipasi, keterwakilan, kesetaraan dan penegakan hukum, dan dipertajam melalui analisis gender, sehingga pembentukan tata pemerintahan yang baik bermakna tata pemerintahan yang adil, yakni tata pemerintahan yang benar-benar responsif terhadap kepentingan gender dan berpihak pada kepentingan perempuan. Perjalanan Otonomi Daerah di lapangan menunjukan adanya paradoks perwujudan tata pemerintahan yang baik bila diteropong menggunakan analisis gender. Georgina Asworth, pengajar The London School Political Science, menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang menghambat partisipasi perempuan untuk dapat terlibat dalam proses pencapaian demokrasi, yaitu: 1) Adanya anggapan bahwa hanya laki-laki saja yang dapat menjadi aktor politik, perempuan terdiskualifikasi sebelum kompetisi politik dimulai. 2) Menghindari isu representasi; perempuan hanya sebagai kelompok sosial. 3) Kurangnya komitmen politik secara tertulis mengenai persamaan hak politik maupun kesetaraan gender. 4) Banyaknya penggunaan teknologi yang maskulin. 5) Absennya suara politik perempuan. 6) Budaya politik yang masih maskulin. 7) Waktu yang timpang antara laki-laki dan perempuan dalam mengerjakan tanggung jawab domestik. 8) Pelayanan sosial terhadap perempuan yang sangat terbatas. 9) Kecilnya uang yang bisa diperoleh perempuan. 10) Tidak adanya kuota bagi posisi perempuan dalam pengambilan keputusan. 11) Ketakutan atas kemungkinan dialaminya kekerasan di lingkup rumah tangga ataupun publik. Mewujudkan tata pemerintahan yang baik (Good Governance) dan berkeadilan adalah menuju pada bag aimana hambatan-hambatan partisipasi masyarakat sebagai prinsip utama dari tata pemerintahan yang baik harus diminimalkan,
PENDAHULUAN
11
bahkan dihilangkan. Kualitas partisipasi politik pada tata pemerintahan yang baik berkaitan erat pada dua aspek, yaitu: 1. Adanya basis legal sebagai bentuk partisipasi harus dibenahi dan disempurnakan. 2. Adanya penguatan pada masyarakat yang dilakukan secara simultan melalui penyediaan informasi serta peningkatan kapasitas untuk berpartisipasi. Demi mewujudkan proses demokrasi yang berkeadilan dan penerapan kebijakan publik yang berprespektif gender (berpihak pada perempuan), maka pe ningkatan partisipasi politik perempuan dalam proses pembuatan kebijakan publik di daerah Jawa Timur menjadi penting untuk diwujudkan. Good Governance dan Problem Partisipasi Politik Perempuan Tata pemerintahan sering dikonotasikan dengan pemerintah, kalangan bisnis, dan masyarakat yang mengesankan gender netral, yang menunjukkan fakta adanya peluang memarginalisasikan kepentingan perempuan yang di Indonesia ini jumlahnya lebih dari 50% total penduduk. Tata pemerintahan global melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan pentingnya menciptakan lingkungan yang memungkinkan hak individu di tetapkan tanpa memandang jenis kelamin. Upaya reform atau perbaikan tata pemerintahan harusnya didasarkan pada kebutuhan yang dirasakan warga sebuah komunitas dalam kehidupan sehari-harinya dan perempuan selalu terlibat dalam segala aspek kehidupan komunitas yang bergerak dari hari ke hari, baik di ruang domestik maupun di ruang publik. Pendekatan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik perlu didorong untuk dapat menjangkau ke dalam tata hubungan pada setiap unit sosial terkecil di masyarakat, termasuk keluarga, karena relasi kekuasaan dalam keluarga menempati posisi penting, sebagaimana pola kekerasan dalam masyarakat yang banyak muncul di berbagai wilayah merupakan refleksi dari pola kekerasan di dalam rumah tangga sebagai wilayah terkecil dalam masyarakat. Budaya ke kerasan inilah yang menyeruak dan mengental dalam masyarakat, seperti: Aceh, Poso, Ambon, hingga Papua, dan tidak sedikit di bentaran Nusantara yang lain yang mengakibatkan korban, dan yang terbanyak dari korban-korban ini adalah anak-anak dan perempuan. Revitalisasi kelembagaan yang mampu mendorong tata pemerintahan yang baik (Good Governance) diarahkan untuk meletakkan unsur representasi sebagai prinsip dalam tata pemerintahan yang baik. Pengertian partisipasi perempuan pun harus meletakkan perempuan sebagai subyek, mulai proses perencanaan, memantau jalannya program, sampai evaluasi yang mencerminkan representasi kepentingan perempuan atas keterlibatannya. Partisipasi di ruang privat seperti
12 PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DI JAWA TIMUR
dalam reproduksi dan dalam pekerjaan rumah tangga lainnya layak untuk diperhitungkan sebagai partisipasi produksi/ekonomi perempuan. Desentralisasi yang diharapkan membuka peluang perwujudan tata pemerintahan yang baik (Good Governance) dapat dicapai apabila peran serta/ partisipasi perempuan pada proses-proses pengambilan keputusan publik direpresentasikan perempuan sebagai komunitas sosial sendiri, sehingga kehadiran fisik dan kapasitas yang mencerminkan aspirasi dan kepentingan perempuan dapat terakomodasi secara nyata. Namun secara umum, ditemukan bahwa partisipasi politik perempuan relatif lemah, baik dalam proses pembuatan kebijakan lokal desa maupun untuk mengatur aktivitasnya sendiri. Partisipasi lebih dimaknai sebagai sebuah proses mobilisasi masyarakat untuk suatu kepentingan pembangunan dengan mengatas namakan ‘kesukarelaan berkorban demi nus a dan bangsa’. Bahkan secara definitif, partisipasi dilimitasi pada makna ‘pelaksana’ rencana pembangunan yang sudah dibuat oleh pemerintah. Lebih jauh dapat diafirmasikan bahwa definisi partisipasi yang berlaku di kalangan aparat perencana dan pelaksana pembangunan adalah kemauan rakyat untuk mendukung secara mutlak program-program pemerintah yang didesain dan dideterminasikan tujuannya oleh pemerintah. Partisipasi politik perempuan dapat dilihat melalui tiga aspek, yaitu: akses, kontrol dan suara kelompok perempuan dalam policy making process. Realitas empirik mengindikasikan minimnya ruang publik yang dapat dijadikan arena partisipasi kelompok perempuan dalam proses pembuatan kebijakan. Forum warga sebagai ruang publik di tingkat desa tidak lagi berjalan efektif, namun lebih bayak berlangsung di tingkat bawahnya. Dan sayangnya, agregasi kepentingan kelompok perempuan seringkali tidak terartikulasikan, bahkan kepentingan warga hanya stagnan dalam manifestasi penampungan aspirasi, tanpa ada tindak lanjut. Minimnya akses kelompok perempuan untuk mengaktualisasikan partisipasinya dalam pembuatan kebijakan publik berdampak pada lemahnya kontrol kelom pok perempuan terhadap proses pembuatan kebijakan tersebut. Secara tidak langsung, hal ini berimplikasi pada rendahnya kapasitas kelompok perempuan dalam hal pembuatan kebijakan karena tidak memahami secara jelas latar belakang atau dasar pemikiran suatu kebijakan. Akibatnya, suara mereka sering kali tidak didengarkan karena dianggap tidak relevan dengan konteks y ang ada. Lebih lanjut, minimnya akses dapat dipahami sebagai konsekuensi logis dari minimnya ruang publik yang dapat dijadikan sebagai arena partisipasi kelompok perempuan. Hal ini bisa dikorelasikan pada persoalan struktural, yaitu persoalan regulasi yang mengatur atau membuka ruang publik untuk arena partisipasi kelompok perempuan. Dimatikannya forum-forum warga lokal dan disubstitusikan dengan organisasi bentukan negara secara tidak langsung menghambat akses masyarakat, terutama
PENDAHULUAN
13
kelompok perempuan, dalam mengartikulasikan kepentingan mereka. Dalam realitasnya, organisasi bentukan pemerintah cenderung elitis dan eksklusif, sebab ia dibentuk dan dijalankan di bawah kontrol negara, sebuah perpanjangan skenario korporatisme negara. Sedangkan lemahnya kontrol dan suara kelompok perempuan dalam proses pembuatan kebijakan, lebih jauh, bersumber pada lemahnya kapasitas kelompok perempuan, baik yang berkaitan dengan sotck of knowledge (modal sosial yang tumbuh dan berkembang di masyarakat) tentang kebijakan, maupun bargaining position (kapasitas kelompok perempuan dalam mengorganisir dirinya). Di sisi lain, program penguatan posisi dan peran perempuan jika dikorelasi kan dengan upaya peningkatan partisipasi politik perempuan dalam ranah politik dan proses pembuatan kebijakan publik pada level dan ruang lingkup apapun sudah semestinya diawali dari tataran masyarakat dan pemerintahan desa, sebab gender mainstreaming dalam pembangunan nasional sangat terkait dan arena itu bisa dimulai dari fungsi BPD sebagai kanalisasi aspirasi masyarakat di aras paling bawah. Institusi dan proses kanalisasi tersebut sebenarnya merupakan space (ruang) bagi segenap warga desa, termasuk kelompok perempuan, untuk meningkatkan partisipasi politiknya. Namun, ruang institusional dan mekanisme aspiratif tersebut berhadapan dengan kondisi sosial budaya pedesaan. Lebih lanjut, dengan menekankan tindakan yang tegas (affirmative action) boleh jadi merupakan strategi yang tepat dan instan dalam mengatasi problem masih lemah nya kesadaran perempuan tentang hak-haknya. Meski affirmative action berupa kuota perempuan di lembaga legislatif maupun lembaga representatif desa (BPD) dinilai sebagai terobosan, namun hal itu oleh sebagian kalangan juga dinilai sebagai tindakan bias gender. Alasannya, affirmative action terhadap perempuan, secara implisit terkandung pengakuan dan pengukuhan bahwa perempuan memang inferior dibandingkan dengan lakilaki, sehingga perlu dilakukan tindakan yang berpihak pada perempuan. Tetapi, kebijakan ini bisa dipahami berdasar realitas panjang bahwa mengubah tatanan sosial yang sudah mapan dan merekonstruksi nilai-nilai sosial dan budaya yang sudah terinternalisasi selain tidak mudah, juga perlu waktu sangat panjang. Oleh sebab itu, affirmative action bisa disebut sebagai entry point adanya political will semua pihak untuk meningkatkan kondisi, posisi dan peran perempuan dalam dunia publik demi keberhasilan pembangunan yang setara dan adil. Namun ada persoalan lagi, apakah dengan adanya representasi perempuan di parlemen desa (BPD) dengan sendirinya akan mengubah “political will” di pemerintahan desa agar berperspektif gender. Tidak ada jaminan untuk itu, kecuali bila perempuan yang ada di parlemen desa punya perspektif gender dan terpilih dengan mekanisme yang memenuhi akuntabilitas. Untuk itu, penguatan peran perempuan di BPD atau parlemen desa signifikan dalam mewujudkan masyarakat sipil desa yang berperspektif gender.
14 PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DI JAWA TIMUR
Sosial-Budaya dan Hambatan Partisipasi Politik Perempuan Dalam historisitasnya, perbedaa gender terkonstruk si melalui proses panjang, yakni dibentuk, disosialisasikan dan dikonsolidasikan, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamanaan. Semua proses yang mengkausal itaskan ketidaksetaraan tersebut memproduksi ketidakadilan dan ketimp angan gender yang kemudian memanifestasi ke dalam beberapa bentuk; stereotip, marginalisasi, subordinasi, kekerasan dan triple burden. Kondisi dan posisi seperti ini tentunya berimplikasi dan mendeterminasikan peran perempuan untuk berpar tisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik. Di samping itu, juga menguatkan pandangan bahwa perempuan merupakan manusia kelas dua, sehingga politik bukan ranah bagi perempuan. Lebih lanjut, pembedaan akses pendidikan laki-laki dan perempuan berimplikasi pada diferensiasi dan dominasi penguasaan IPTEK, akses informasi dan komunikasi, sehingga perempuan terhambat dalam membangun jaringan di wilayah publik. Informasi tentang politik selalu diterima berdasarkan perspektif laki -laki, sehingga perempuan - yang teralienasi – berasumsi bahwa politik menjadi fenomena di luar dirinya. Tantangan partisipasi politik bagi perempuan juga nampak pada beberapa perempuan yang telah berhasil duduk di lembaga legislatif dan mengalami kendala psikologis yang luar biasa untuk mengkom unikasikan kepentingan mereka secara khusus yang seharusnya dipahami oleh laki-laki, seperti pentingnya peningkatan kualitas hidup perempuan, hak-hak reproduksi, peningkatan pendidikan dan wawasan perempuan, kekerasan terhadap perempuan, perdagangan ana k dan perempuan, serta isue-isue perempuan lainnya. Sejumlah problem dan kepentingan perempuan tersebut kurang mendapat respon dari kalangan anggota legislatif disebabkan kurangnya sensitivitas dan respons tehadap kesetaraan gender. Di samping kendala yang bersifat eksternal, sesungguhnya ada tantangan yang bersifat internal. Pencitraan perempuan sebagai makhluk lemah, tidak mandiri, kurang tanggung jawab yang sudah terinternalisasi dan inherent dalam mind set, dirasakan oleh perempuan sebagai fitrah, bawaan dan kodrati. Inferioritas akibat konstruksi sosial juga menjadi kendala bagi perempuan dalam proses aktualisasi potensi dirinya. Kekurangpahaman mengukur potensi diri me nyebabkan perempuan seolah kehilangan jati dirinya. Sebagai konsekuensinya, pola pikir perempuan menjadi sangat akrab dengan kepasrahan, sengaja atau tidak akan dimanfaatkan oleh kekuatan superioritas laki -laki. Di sisi lain peluang institusional dan mekanisme aspiratif dalam konteks lokal-desa dengan adanya kanalisasi aspirasi (lembaga formal politik desa atau BPD) juga vis a vis dengan kondisi sosial-budaya-ekonomi pedesaan (pertanian). Karena sebagian besar masyarakat berbudaya pertanian, maka kultur petani dan faktor alam turut mendeterminasikan atau setidaknya mempengaruhi kehidupan sosialnya, termasuk di dalamnya relasi gender. Sebagai masyarakat pertanian yang
PENDAHULUAN
15
menuntut kerja keras, kekuatan fisik dan ketahanan mental, maka sosok pria akan mengedepan, sementara perempuan di belakang (konco wingking). Pola pembagian kerja demikian in i acapkali disebut dengan pola pembagian kerja secara seksual. Pola pembagian kerja secara seksual ini semula hanya terbatas dalam lingkup domestik (rumah tangga), namun dalam prosesnya juga mewarnai dalam berbagai ruang sosial, budaya dan keagamaan. Persoalannya menjadi lebih complicated karena aktivitas perempuan dalam berbagai kegiatan institusi yang ada umumnya masih terbatas pada hal-hal yang selain ritual dan seremonial, juga bias gender akibat ketidaksadaran dan ketidakberdayaan tentang hak -hak perempuan. Sementara itu, kesetaraan dalam peran politik juga sering mendapat kendala dari suatu interpretasi ajaran agama yang secara tekstual membatasi atau bahkan melarang perempuan menjadi pemimpin publik. Interpretasi ini sering dipakai sebagai dalil larangan perempuan tampil sebagai pemimpin masyarakat, mulai dari lembaga kemasyarakatan sejenis yayasan, ormas sampai dengan kepemimpinan politik, khususnya kepemimpinan negara. Dalam masyarakat patriarki sangat populer pandangan bahwa kepemimpinan dalam ber masyarakat maupun bernegara adalah hak laki-laki, bukan perempuan. Rumusan Masalah Studi ini ingin menjawab dua pertanyaan besar berkaitan dengan partisipasi politik perempuan di Jawa Timur, yaitu: 1) Bagaimana kondisi partisipasi dan peran politik perempuan serta sikap masyarakat terhadap partisipasi politik perempuan dalam proses pembuatan kebijakan publik di Daerah Jawa Timur? 2) Faktor-faktor apa yang mendukung dan menghambat partisipasi perempuan dalam ruang publik dan proses pembuatan kebijakan publik d i Daerah Jawa Timur? Tujuan dan Kegunaan ( Out-Put) Penelitian 1)
2)
Mendeskripsikan fakta situasi dan kondisi partisipasi politik perempuan, persepsi dan sikap masyaraktat atas partisipasi politik perempuan dalam ruang publik dan proses pembuatan kebijakan publik di Daerah Jawa Timur Menjelaskan faktor-faktor yang menghambat dan mendukung peran perempuan dalam ruang publik dan partisipasi politik perempuan dalam proses pembuatan kebijakan publik di Daerah Jawa Timur
v
Metode Penelitian Penelitian ini menggunankan pendekatan yang partisipatif, yaitu menempatkan masyarakat bukan sebagai obyek penelitian, tetapi subyek penelitian. Dalam hal ini, masyarakat sendiri yang mengungkapkan fakta-fakta dan persepsinya tentang partisipasi politik perempuan di Jawa timur. Analisis masalah dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif kuantitatif dan deskriptif kualitatif, sehingga hasil yang dicapai akan lebih proporsional untuk mengungkapkan kondisi partisipasi politik perempuan yang ada di Daerah Jawa Timur dalam konteks keterlibatannya dalam pengambilan kebijakan publik. Posisi peneliti sendiri bukan sebagai pengamat, tetapi sebagai bagian dari subyek penelitian yang juga terlibat secara nyata dalam memahami proses dinamika dan pengalaman yang dialami masyarakat. Metodologi pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan melalui proses deep interview, kuisioner, dokumentasi, dan studi literatur.
vi
2 TINJAUAN PUSTAKA DAN TEORI
aling tidak terdapat dua model analisis gender yang acap dipergunakan oleh berbagai kalangan pemerhati masalah gender, yakni model analisis makro dan mikro. Model analisis pertama menjadi arus utama (mainstream) yang hingga kini paling lazim dirujuk para akademisi dan kalangan LSM. Model penjelasan makro melihat persoalan ketimpangan relasi gender lebih disebabkan oleh tekanan struktur sosial dan budaya patriarki. Problem kesetaraan antara lakilaki dan perempuan karenanya merupakan produk sistem sosial. Perempuan, sebagai individu anggota masyarakat, tak terhindarkan harus mengikuti ‘skenario’ format sistem sosial dan budayanya. Teori yang termasuk ke dalam ranah makro ini adalah Teori Struktural Fungsional, Teori Struktural Konflik dan Teori Sistem. Berbeda dengan model analisis makro yang mendasarkan diri pada paradigma social fact , model analisis kedua justru menempatkan individu sebagai unit analisisnya. Penjelasan berparadigma definisi sosial ( social definition) ini menganggap individu-individu anggota masyarakat bukannya ‘obyek’ (benda mati) yang siap ‘dibentuk’ dan selalu dijadikan sasarana kekuatan eksternal (struktur sosial dan budaya), melainkan individu-individu yang aktif, kreatif dan mempunyai kemampuan merespon stimulasi eksternal yang dinilai merugikan kepentingannya. Individu secara subyektif mempunyai kemampuan dan ka pasitas yang memadai sehingga pada gilirannya mampu mereproduksi dan merekonstruksi sesuatu yang dinilai ‘given’ oleh masyarakat. Teori -teori yang biasa dipergunakan dalam model penjelasan mikro ini misalnya Teori Fenomenologi, Teori Interaksionisme Simbolik, Teori Wacana, Teori Pertukaran Perilaku, dan sebagainya.
P
vii
Pilihan paradigma untuk menganalisis relasi gender pada gilirannya akan membawa konsekuensi logis terhadap pilihan metodologi penelitian yang hendak dipergunakan. Oleh karena itu, peneliti perlu memperhatikan sejak dini tentang kejelasan masalah penelitian yang hendak diteliti, jenis paradigma yang akan dipergunakan, kemudian menyesuaikan teori dan metodologi penelitiannya sesuai dengan paradigma yang dipilih. Tinjauan pustaka dan teori berikut akan membahas persoalan relasi gender terutama dalam kaitannya dengan peluang dan tantangan (kaum) perempuan dalam berpartisipasi di dunia politik, khususnya kebijakan publik. Uraian diawali dengan problematika ketimpangan gender dengan menggunakan model a nalisis makro kekuatan eksternal (struktural dan budaya). Kedua, dibahas tentang perjalanan kiprah perempuan dalam dunia politik. Ketiga, tawaran analisis relasi gender berdasar paradigma definisi sosial, faktor peran perempuan secara individual, dan terakhir tentang peran perempuan dalam mempengaruhi kebijakan publik di pedesaan. Perspektif Makro tentang Problematika Realasi Gender Hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat kita hingga kini masih problematik. Problematika relasi gender tersebut tidak hanya terjadi dalam komunitas masyarakat pedesaan, tetapi juga terjadi di kalangan akademisi, birokrasi dan politisi yang umummnya sudah relatif lebih terbuka dan berpandangan liberal. Hal ini menunjukkan bahwa masalah kesetaraan antara laki laki dan perempuan menjadi fenomena umum di semua strata sosial baik di perkotaan maupun pedesaan. Gender berbeda dengan jenis kelamin (seks). Gender, sebagai suatu istilah, membedakan peran-peran spesifik gender yang diatributkan pada laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat. Persoalannya, (pembagian) peran -peran dalam kehidupan sehari-hari itu bukan dibangun berdasarkan kriteria biologis (seks), melainkan oleh setting (kondisi) struktural, budaya dan norma. Karena peran gender dan hirarkhinya didasarkan pada konstruksi budaya dan tergantung oleh situasi struktur sosial, maka ketika berbeda budaya dan struktur sosialnya, akan berbeda pula peran dan hirarkhi perannya. Dalam pandangan sosiobiolog, kaum laki-laki pada masyarakat primitif banyak mendominasi perempuan, bahkan budaya tinggi yang ada melembagakan dominasi tersebut. Sehingga, genetika merupakan biang dari keteraturan penerapan pola pengunggulan laki-laki dan submisifnya perempuan. Dominasi genetik laki-laki menjadi dasar dan rujukan peran-peran seksual dari dahulu hingga sekarang (Illich, 2002:50). Cara pandangan tentang gender seperti itu, kata Illich, akan membedakan tempat, alat, tugas, bentuk wicara, gerak-gerik dan persepsi yang dihubungkan dengan laki-laki dan yang dihubungankan dengan perempuan dalam kebudayaan.
viii
Asosiasi ini membentuk gender sosial karena ia secara khusus terikat pada tempat dan waktu tertentu, yang kemudian disebut dengan istilah vernacular gender. Vernacular gender selalu memantulkan keterkaitan antara budaya lokal, budaya material yang mendua antara laki-laki dan perempuan yang hidupnya mengacu pada aturan-aturan yang ada, yang disebut dengan jenis kelamin sosial bersifat katolik: ia membelah daya kerja seksual, watak atau kecerdasan menjadi dua dan ia merupakan hasil diagnosis atas penyimpangan-penyimpangan dari norma abstrak tanpa gender (genderless) yang membentuk manusia. Singkatnya, gender merupakan sebuah konstruksi sosial budaya. Konstruksi sosial yang timpang ini menye babkan relasi gender yang tidak seimbang pula. Oleh karena itu, dalam pandangan Illich, perbedaan antara laki -laki dan perempuan sesungguhnya lebih disebabkan oleh adanya seksisme dalam pertumbuhan ekonomi. Bahkan, pada seluruh pertum buhan ekonomis akan selalu menyebabkan ketaklukan ekonomi perempuan. Sejarah perbedaan gender, menurut pandangan makro, terjadi melalui proses yang panjang, yakni dibentuk, disosialisasikan dan diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara. Semua proses yang mengakibatkan ketidaksetaraan gender tersebut menghasilkan ketidakadilan gender yang kemudian mewujud ke dalam beberapa bentuk berikut: 1). Marjinalisasi perempuan : perbedaan gender menyebabkan ketidakadilan di berbagai segi kehidupan perempuan; di tempat kerja (pembedaan upah antara laki-laki dan perempuan), dalam rumah tangga (diskriminasi antar anggota keluarga antara laki-laki dan perempuan) dan bahkan dalam perlakuan negara (perbedaan perlakuan hukum) 2). Subordinasi : subordinasi terhadap perempuan terjadi akibat pandangan bias gender yang terjadi dalam segala bentuk yang berbeda, dari satu tempat ke tempat lain dan dari waktu ke waktu. Anggapan bahwa perempuan itu tidak rasional, mengedepankan sifat -sifat emosional dan lebih banyak berbicara atas dasar perasaan dari pada rasionalitasnya berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi tidak penting, baik dalam perlakuan deskriminasi maupun kebijakan. 3). Stereotip : adanya labelisasi (penandaan, cap, vonis) negatif terhadap perempuan, terutama dalam konteks hubungan sosialnya dengan laki -laki sehingga selalu menimbulkan kerugian pada perempuan. 4). Kekerasan: penyerangan (invasi) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis perempuan yang disebabkan oleh anggapan gender atau acapkali disebut dengan gender -related violence. 5). Beban kerja: pembebanan pekerjaan kepada perempuan di area sekitar rumah yang cenderung dianggap rendahan dan tidak produktif dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang biasa dikerjakan laki -laki. Pembebanan pekerjaan domistik, rendahan dan tidak produktif seperti ini mengakibatkan ketidakadilan terhadap perempuan.
ix
Banyak teori sosiologi digunakana untuk menelaah fenomena politik dan relasi gender. Misalnya, Teori Struktural Fungsional. Teori sosiologi bertataran makro ini antara lain menyatakan bahwa masyarakat selalu eksis dan survive dalam keseimbangan (equality). Keseimbangan terjadi karena adanya pembagian kerja yang jelas dan tegas. Selama dan sejauh masing-masing bagian pekerjaan telah melakukan perannya masing-masing dengan baik, maka selama itu pula akan terbangun harmoni sosial. Namun, sebagian besar ahli sosiologi yang menggunakan pendekatan sensitif gender, telah melakukan kritik keras terhadap teori-teori sosiologi makro seperti teori struktural fungsional tersebut. Teori fungsional, khususnya Parsonia, mendapat kritik tajam dan pedas oleh karena teori aksi dari Parsons dinilai kurang dapat diterapkan pada kelompok sosial atau komunitas yang heterogen, termasuk heterogenitas laki-laki dan perempuan. Ahli sosiologi yang berperspektif gender berpendapat bahwa heterogenitas cenderung menyebabkan perbedaan dalam orientasi dan pembagian tugas serta pendangan terhadap kontrol sosial (Johnson, 1989). Kritik lain juga ditujukan pada konsep peran (role) dari teori fungsional, terutama konsep peran laki-laki dan peran perempuan (male role dan female role) yang selama ini dianggap sebagai saling melengkapi, sehingga dianggap tidak ada dimensi power di dalamnya. Teori fungsional tidak memberi tempat bagi masalah ketidakseimbangan (unequality) peran perempuan dan laki-laki, karena semua peran dianggap fungsional. Pendeknya, teori fungsional ini dikritisi karena dianggap turut memberikan andil dalam menciptakan kembali struktur sosial yang timpang tersebut. Selain itu, kritik juga ditujukan pada teori sosialisasi yang dianggap tidak mempertimbangkan adanya ‘tekanan’ dalam proses sosialisasi peran laki-laki dan perempuan (Ollenburger dan Moore, 1996). Sehubungan dengan kritik terhadap teori fungsional di atas, Ida Ruwaida Moor (Opini, 24 April 2003) juga mengatakan bahwa persoalan gender merupakan fenomena struktural, karena: 1). Perilaku cenderung berpola 2). Perempuan dianggap sebagai elemen sistem yang mempunyai peran fungsi serta fokus spesifik, yaitu di sektor domestik. 3). Berkaitan dengan fenomena stratifikasi gender berdasarkan struktur trianggulasi (struktur rumah tangga, ekonomi, dan sosial). Fokus analisis tentang perempuan akhir-akhir ini, karenanya, mulai beralih ke arah perspektif baru seiring dengan terbukanya suatu area studi yang lebih luas dalam analisis sosiologi. Arah ini menuju alternatif paradigma baru yang berperspektif gender. Dasar pijakan analisis sosiologis yang berperspektif gender adalah orientasi pada perempuan serta analisis yang peka gender (gender sensitive) dalam menganalisis tentang proses sosial dan relasi sosial (Stanley, 1990). Dengan demikian, perspektif baru ini menjadi sangat penting untuk
x
memberikan nuansa dimensi gender dalam menjelaskan fenomena partisipasi politik perempuan. Analisis sosiologis perspektif gender mengkritik anggapan bahwa setiap penelitian hendaknya bersifat bebas nilai ( free vakue), obyektif, bebas dari keterlibatan peneliti dan kepentingan politik. Pertanyaan mendasar pendekatan yang sensitif gender terhadap penelitian yang menggunakan pendekatan positivistik seperti itu adalah masalah obyektifitas dalam penelitian atau objectivity claims (Harding, 1987). Perspektif gender ini menilai bahwa penelitian yang bersifat ‘bebas nilai’ dan ‘obyektif’ justru bersifat ‘bias gender’, sehingga tidak dapat mengungkapkan realitas kehidupan perempuan yang sebenarnya. Suatu teori dapat dikategorikan sebagai berperspektif gender apabila teori tersebut dapat digunakan untuk memahami dan sekaligus mengubah status quo yang tidak menguntungkan perempuan. Teori yang berperspektif gender setidaknya mencakup tiga elemen pokok (Harding, 1987; Stanley, 1990; Lynn, 1992), yaitu: 1). Yang menjadi fokus perhatian adalah ‘gender’ sehingga penjelasan sepenuh nya ditujukan untuk memahami dimensi gender dari hubungan sosial, pranata sosial, dan proses sosial; 2). Gender dilihat sebagai issue atau suatu permasalahan, sehingga berusaha memahami bagaimana gender dikaitkan dengan ketimpangan sosial, ketegang an sosial dan kontradiksi-kontradiksi sosial 3). Gender tidak dilihat sebagai hal yang bersifat alamiah dan kekal, tetapi sebagai produk sosio kultural dan kekuatan historis yang telah diciptakan oleh manusia, sehingga secara potensial dapat diubah oleh manusia. Sehubungan dengan upaya memahami kehidupan politik perempuan secara utuh, maka yang hendak dilakukan seharusnya perlu memperhatikan model penjelasan yang lebih luas dari pada sekedar penjelasan stereotip ( stereotype), yakni suatu penjelasan yang hanya melihat perempuan sebagai individu pasif sebagaimana dikemukakan para teoritisi sosiologi makro. G ender, dalam studi seperti itu, menjadi ‘subyek analisis’, yang ‘dapat diubah’ dan sekaligus sebagai ‘bagian dari proses perubahan.’ Karena itu, penelitian yang hendak dilakukan ini seyogyanya menggunakan model analisis mikro berperspektif fenomenologi dengan prinsip-prinsip dasar metodologi yang berperspektif gender. Terlebih apabila penelitian tersebut hendak ditindaklanjuti dengan intervensi kebijakan atau kegiatan-kegiatan lanjutan terhadap perempuan.
xi
Problematika Perempuan dalam dunia Politik Fenomena kelangkaan perempuan di dalam aktivitas publik, khususnya dalam politik di parpol, sangat disadari oleh kaum perempuan, terutama mereka yang memperjuangkan hak-hak perempuan, sehingga tak jarang muncul perdebatan persoalan di mana sebenarnya kedudukan perempuan, khususnya dalam negara. Perdebatan akan kedudukan dan peran perempuan tersebut selalu berkisar pada persoalan yang bergerak pada dua pendulum, yakni perempuan berkedudukan di dunai private (kerumahtanggaan) atau di dunia publik. Lebih-lebih ketika melihat fenomena bahwa beberapa perempuan bisa merangkap tiga peran, yakni peran bagi dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat (publik), yang ketiga peran tersebut mampu dilakukan secara bersamaan oleh perempuan. Inilah yang acapkali disebut dengan triple burden bagi perempuan. Dalam konteks melihat rentang waktu ini, kedua pandangan tersebut sebenarnya sangat dipengaruhi oleh gender bias, yakni bahwa kepentingan perempuan masih disepelekan, terutama di partai politik. Praktek politik masih menunjukkan bahwa parpol lebih dipahami sebagai struggle for power dari pada sebagai artikulator kepentingan. Oleh karena itu yang terjadi adalah platform partai politik yang ada selama ini baik pada masa Orde Lama, bahkan reformasi masih memperlihatkan betapa jauhnya gender sensitivity. Ini disebabkan platform partai politik selama ini merupakan produk dari mayoritas kaum laki -laki yang tidak memiliki gender sensitivity. Pada akhirnya, kepentingan perempuan tidak akan pernah terartikualsikan di parpol, dan ini berimbas juga pada produk politik DPR yang tidak memiliki gender sensitivity. Sesungguhnya, sudah cukup banyak konvensi internasional yang difasilitasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan diratifikasi banyak negara, termasuk Indonesia, yang menyebutkan perempuan memiliki hak-hak politik yang sama dengan laki-laki. Dengan kata lain, negara tidak boleh mendiskriminasi perempuan akan hak-hak politiknya, karena hak-hak politik adalah bagian tak terpisahkan dari hak-hak asasi manusia. Diratifikasinya konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1984, menjadi landasan perjuangan isu kesetaraan gender. walaupun tidak ada sanksi berat bagi negara yang meratifikasi konvensi ini (sebatas dipermalukan dalam sidang PBB). Namun, berbagai perangkat kebijakan Indonesia umumnya masih belum mencoba memperhatikan kesetaraan gender. Selain itu, dalam sejarah perpolitikan Indonesia hampir tidak pernah ada tempat yang layak bagi kaum perempuan untuk berpartisipasi dalam posisi simetris, sepadan dan saling bersinergi dengan kaum laki-laki. Lihat misalnya dalam sejarah perjalanan pemilu di Indonesia yang sudah dilakukan sebanyak sembilan kali, formating pemilu umumnya didominasi oleh kaum laki-laki sehingga
xii
keberadaan kaum perempuan menjadi tak terwakili ( underrepresented) dalam semua jabatan politik. Karena posisinya asimetris dan di hampir semua jabatan politik, maka baik yang diangkat maupun yang dipilih lebih banyak dikuasai lakilaki, sehingga sangat wajar kalau kebijakan publik maupun politis yang dihasilkan tidak mengakomodasi kepentingan politik kaum perempuan. Dalam kondisi dan konteks kebijakan seperti itulah ketimpangan gender terjadi. Seiring dengan bergulirnya bola reformasi, masalah kesetaraan dan keadilan gender pun sudah dituangkan dalam Propenas 2000-2004, yakni program untuk meningkatkan kualitas peranan perempuan dalam bidang hukum, politik, ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya, dan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional. Secara teoritis, sebagaimana dinyatakan pada analisis makro, persoalan marjinalisasi perempuan sebagai penyebab terjadinya ketimpangan gender karena kondisi eksisting struktur sosial yang dinilai menghambat kemajuan perempuan. Struktur sosial yang dibangun berdasarkan otoritas dan superioritas kaum laki -laki demikian itu determinan pada nilai -nilai patriarki. Kecenderungan tersobdinasinya perempuan yang underrepresented seperti itu terjadi hampir di semua negara di dunia, terutama di negara-negara dunia ketiga. Dalam wacana perubahan yang semakin demokratis kondisi marjinalisasi perempuan demikian itu dianggap sebagai suatu pelanggaran hak azasi manusia, suatu pelanggaran yang menjurus kepada pengingkaran dan atau pengabaian terhadap hak-hak politik perempuan. Kurang terakomodasinya kaum perempuan dalam hak-hak politik misalnya antara lain disebabkan oleh (1) konteks politik yang didominasi oleh kaum laki -laki sehingga kepentingan politik perempuan kurang terakomodasi, (2) konteks sosial yang didominasi kaum laki-laki sehingga menghasilkan praktek-praktek maskulin (maskulinisasi) dan (3) konteks budaya yang didominasi tradisi patriarkal yang menghasilkan kontruksi sosial tentang pembagian kerja laki-laki dan perempuan (berdasarkan seks). Jika diperhatikan komposisi perempuan di parlemen memang kurang terwakili karena beberapa sebab dan serangkaian kendala yang membatasi kemajuan mereka. Misalnya, dalam komisi-komisi di parlemen perempuan cenderung memegang jabatan-jabatan yang secara tradisi dilihat sebagai jabatan-jabatan yang "lembut", yang mencerminkan pola tradisional, seperti pembagian tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan. Kendala lain yang menghalangi perempuan menjadi anggota parlemen: (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0803/ 18/teropong/ lainnya03. htm) 1). Berkaitan dengan konteks budaya yang masih sangat kental asas patriar kalnya. Persep si yang sering dipegang yaitu dunia politik adalah dunia laki-laki dan tidak pantas bagi perempuan untuk menjadi anggota parlemen. Menurut Nadezha, budaya patriarki ini menciptakan "model maskulin" dalam kehidupan politik dan badan-badan pemerintahan hasil pemilu.
xiii
Kenyataan bahwa selama ini laki-laki mendominasi dunia politik memformulasikan aturan dan permainan politik, dan laki-laki juga yang menentukan standar evaluasi. Kehidupan politik juga diorganisasi sesuai dengan norma norma dan nilai-nilai laki-laki serta dalam beberapa kasus mengikuti gaya hidup laki-laki. Misalnya, solusi menang-kalah serta kompetisi dan konfrontasi dianggap lebih baik dari pada solusi penciptaan konsensus, saling menghor mati dan kolaborasi. 2). Berkaitan dengan proses seleksi dalam partai politik, yang hampir selalu dilakukan oleh laki-laki, pemimpin laki-laki dari partai-partai politik memiliki kesadaran kesetaraan gender yang rendah, sehingga memberi pengaruh yang tidak proporsional terhadap politik partai, khususnya dalam hal gender. Dengan demikian, perempuan tidak memperoleh banyak dukungan dari partai partai politik karena struktur kepemimpinannya didominasi oleh kaum laki laki. 3). Berkaitan dengan media yang berperan penting dalam membangun opini publik tentang pentingnya representasi perempuan di parlemen. 4). Belum adanya jaringan antara organisasi massa, LSM, dan partai -partai politik untuk memperjuangkan representasi perempuan. 5). Kemiskinan dan tingkat pendidikan perempuan yang rendah. Wajah kemis kinan adalah wajah perempuan. Perempuan miskin harus bekerja memasok kebutuhan rumah tangga, tetapi kerja mereka tidak dihitung secara ekonomi. Kemiskinan ini ikut menghambat partisipasi mereka dalam politik formal. 6). Faktor keluarga yang berkaitan dengan persoalan izin dari pasangan. Banyak suami yang cenderung menolak isterinya melakukan aktivitas tambahan di luar rumah, sedangkan kegiatan-kegiatan politik membutuhkan ketertiban yang tinggi dan dana yang besar. Indonesia sebagai salah satu negara dunia ketiga yang tengah bertransisi menuju demokrasi hingga kini masih sedang mengalami “pergolakan” dari kalangan aktifis perempuan untuk mendapatkan posisi kesetaraan dengan kaum laki-laki sesuai dengan kaidah demokrasi. Dinamika perjuangan kaum perempuan dalam konteks demokrasi politik di Indonesia misalnya dapat dilihat dari fenomena keterwakilan politik perempuan dalam struktur politik, baik yang ada di partai politik dan lembaga legislatif maupun di lembaga-lembaga politik lainnya. Bahkan, ranah perjuangan perempuan tidak hanya pada tingkat nasional, melainkan juga regional dan lokal pedesaan atau kelurahan.
xiv
Tabel 1 Proporsi Perempun dalam Lembaga Legislatif di Indonesia Pemilu
Total Anggota
Laki-laki
% Lakilaki
Perempuan
% Perempuan
1955 1971 1977 1982 1987 1992 1997 1999 2004
272 460 460 460 500 500 500 500 550
255 437 427 421 450 446 442 455 485
93.7 94.9 92.8 91.5 90.0 89.2 88.4 91.0 88.19
17 23 33 39 50 54 58 45 65
6.3 5.1 7.2 8.5 10.0 10.8 11.6 9.0 11.81
Sumber: Litbang Kompas, 24 Februari 2003 dan KPU 2004
Dari pemilu ke pemilu, sebagaimana dapat dilihat dari tabel di atas, menunjukkan bahwa peningkatan representasi perempuan dalam aktifitas politik sangat lambat. Partisipasi politik perempuan pada Pemilu 2004, meski sudah ada kuota 30%, hanya meningkat 0.01% dibandingkan dengan Pemilu 1992. Sedangkan bila dibandingkan dengan Pemilu 1999 mengalami peningkatan 2.81%. Pada Pemilu 2004, jumlah anggota legislatif perempuan berjumlah 65 orang atau 11.81%, sedang sebagian besar (88.19%) adalah laki-laki dari jumlah keseluruhan (550 orang). Salah satu lembaga politik yang menjadi ukuran demokrasi adalah lembaga parpol. Setidaknya parpol menjadi lembaga politik yang jauh dinamis dibandingkan dengan lembaga formal lainnya, sebab di dalam partai secara konseptual dilaksanakan berbagai fungsi politik. Parpol sebagai salah satu indikator berjalannya mesin demokrasi tentunya tidak diskriminatif dalam merekrut atau mengkader anggota-anggotanya, khususnya secara gender. Namun dalam kenyataan, masih ada partai yang mengadopsi nilai-nilai patriarki, sehingga akses perempuan ke parpol tersebut sangat terbatas. Diskriminasi yang bersumber pada nilai-nilai patriarki ini sampai kapanpun bila dibiarkan akan menjadi handicap untuk akses politik perempuan di dalam parpol. Jika partisipasi politik perempuan diukur dengan kuota 30%, maka dalam konteks ini peran partai politik sangatlah penting. Determinasi peran politik untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan antara lain bisa ditunjukkan dari fungsi yang dijalankan parpol, misalnya fungsi artikulasi kepentingan, pendidikan politik, komunikasi politik, sosialisasi politik dan rekruitmen politik. Oleh karena itu, maka sesungguhnya dunia politik merupakan institusi politik yang paling
xv
dinamis dibandingkan dengan lembaga-lembaga formal lainnya (Windyastuti, 2004). Memperhatikan fungsinya yang strategis untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan, partai politik seharusnya terbuka untuk memberikan peluang kepada semua warga, terutama perempuan. Namun, dalam prakteknya masih banyak parpol yang karena masih mengadopsi nilai-nilai patrirki enggan melaku kannya dan karena itu membatasi akses perempuan untuk berpartisipasi ke dunia publik, khususnya parpol. Kondisi parpol yang masih patriarchy oriented ini sudah tentu akan menjadi handicap untuk akses politik perempuan di masa mendatang. Lolosnya UU Pemilu No. 12 Tahun 2003 boleh jadi menjadi entry point perempuan untuk dapat lebih banyak berkiprah dalam dunia publik melalui parpol. Pencantuman secara tegas kuota 30% untuk perempuan sebagaimana tertera dalam pasal 65 ayat 1 adalah sebagai bentuk affirmative action yang berlaku dalam jangka waktu tertentu. Dalam pasal tersebut, paling tidak telah mengikat parpol dengan memberikan nominasi 30% kepada perempuan ke dalam daftar calon legislatif (Caleg). Menurut Ani Sucipto (Kompas, 24 Februari 2003), ketentuan pasal 65 ayat 1 tersebut membawa beberapa implikasi bagi parpol dan perempuan, yaitu: 1). Perempuan mulai di tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi hingga pusat ha rus bekerja keras mempersiapkan diri menjadi caleg yang dapat dicalonkan bagi parpol yang bersangkutan. Oleh sebab itu perlu dipersiapkan bank data perempuan potensial yang mampu dan mau dinominasikan sebagai caleg; 2). Semua parpol perlu segera menyusun landasan politik, termasuk berbagai pandangan dan program mereka mengenai kesetaraan dan keadilan gender; 3). Parpol menyiapkan kader perempuan yang bisa dinominasikan; 4). Pemberlakuan tindakan affirmative untuk perempuan ke dalam kepengurusan parpol di berbagai tingkatan; 5). Perempuan terus menerus membentuk jaringan dengan laki-laki di parpol, LSM, media massa, pemerintahan dan akademisi untuk memperjuangkan proses nominasi caleg. Berbeda dengan negara lain yang rata-rata keterwakilan perempuan sekitar 35%, di Indonesia keterwakilan politik perempuan masih rendah. Di bawah ini adalah data yang menunjukkan keterwakilan politik di berbagai negara.
xvi
Tabel 2 Proporsi Keterwakilan Perempuan Dalam Majelis Rendah Nasional Negara Swedia Denmark Noerwegia Jerman Selandia Baru Afrika selatan Mozambik
Proporsi Perempuan dalam Majelis Rendah 42,7 37,4 36,4 30,9 30,8 29,8 30,0
Sistem Pemilihan Umum Representasi Proporsional/campuran Representasi Proporsional Representasi Proporsional Representasi Wakil Campuran Representasi Wakil Campuran Representasi Proporsional Representasi Proporsional
Sumber: Chusnul Mar’iyah, Kompas, 11 Februari 2004
Secara umum keterwakilan politik perempuan terkait dengan beberapa pertimbangan berikut ini: 1). Konstruksi sosial; Perempuan sendiri terkonstruksi secara sosial bahwa kedudukan-kedudukan tertentu yang bersifat politis adalah laki-laki. Ini bersumber pada adanya pertentangan antara dunia politik dengan dunia perempuan. Di samping itu, keterbatasan kemampuan perempuan, kegiatan masyarakat yang seolah-olah sebagai sesuatu yang given, kesediaan perempuan sendiri untuk duduk di jajaran elit politik, memberikan sumbangan pada langgengnya konstruksi sosial tersebut. 2). Konteks sosial di Indonesia yang masih didominasi laki-laki yang mengedepankan KKN, kekerasan dan perebutan kekuasa an. Akibatnya adalah hancurnya sistem perekonomian dan sosial, ketidakpastian hukum, krisis kepercayaan di antara warga masyarakat dan negara sehingga muncul berbagai konflik di berbagai daerah di Indonesia. Dalam situasi ini hampir tidak ada perempuan yan g dilibatkan dalam peran penting pengambilan keputusan. 3). Konteks politik; yang produk politik dan perundang-undangan yang dihasilkan sangat tidak memihak kepentingan perempuan. Hal ini antara lain disebabkan minimnya jumlah perempuan di lembaga-lembaga formal. Di DPR dan DPD perempuan hanya diwakili 9% dan kurang dari 5 % untuk DPRD propinsi dan kabupaten/kota. Nampaknya dalam perjalanan politik nasional dari masa ke masa hampir tidak memberikan posisi yang layak kepada perempuan untuk posisi -posisi yang simetris dengan laki-laki. Politik bahkan secara kultural lebih banyak mengeksploitasi perempuan dari pada menjadi wadah pemberdayaan. Fenomena Partai Demo-
xvii
krasi Indonesia Perjuangan (PDIP), sebagaimana dikatakan oleh John Lakehomatan (Kompas, 15 September 2003), menunjukkan bahwa di dalam Departemen Pemuda dan Wanita-nya keanggotaan seluruhnya terdiri dari para pengurus minus isteri yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Idealnya, kaum ibu yang anggota departemen wanita sebuah parpol itu dibekali pemahaman lebih komprehensif tentang perempuan, anak, atau lingkungan keluarga. Ternyata para isteri bermerek politik ini sebagai anggota perempuan lebih banyak bekerja di dapur untuk melayani tamu dari daerah. Namun ketika saatnya dicalonkan untuk memenuhi kuota, tingkat kelayakan menjadi sangat diragukan, tidak hanya oleh pihak luar, tetapi juga oleh orang dalam PDIP sendiri karena mereka tidak pernah melakukan aktivitas berbau politik. Walaupun beberapa partai sudah menyertakan dalam kepengurusan, namun di dalam platform partai untuk kaderisasi ataupun kepengurusan tidak pernah mensyaratkan keharusan adanya pengurus wanita (misal sebagai salah satu ketua). Kalaupun perempuan ada dalam prakteknya mereka lebih banyak ditempatkan pada posisi sebagai bendahara yang stereotip dengan pekerjaan perempuan. Sebagai contoh: di Partai Bulan Bintang (PBB) dari sejumlah 31 pengurus, ternyata hanya dua orang yang berjenis kelamin perempuan. Banyak sebab mengapa posisi perempuan dalam kepengurusan masih sangat marjinal. Dalam perpolitikan Indonesia, perempuan baru diperlukan ketika hendak pemilu, dan dijadikan sebagai jurkam perempuan untuk mencari dukungan dari perempuan yang notabene merupakan 50% pemilih. Kultur politik yang eksploitatif ini akan menampakkan wajah politik ke hadapan publik sebagai dimensi aktivitas yang sangat maskulin, keras, dan tidak ramah kepada kaum perempuan. Kesan ini menjadi salah satu penghalang bagi perempuan untuk memasuki ruang publik politik tersebut. Bahkan, eksploitasi dalam bentuknya yang lain adalah menjadikan perempuan sebagai aksesori kampanye. Soal program atau platform politik partai menjadi nomor dua. Yang terpenting adalah bahwa perempuan bisa bernyanyi, cantik, goyang dan massa yang hadir bisa membludak. Kesalahan pokok dari pengalaman empiris tersebut bisa diidentifikasi sebab-sebabnya, antara lain: 1). Parpol tidak memiliki pertautan idealisme yang termanifestasikan ke dalam platform partai dengan elemen kekuatan kemasyarakatan seperti perempuan. Parpol hampir tidak pernah melihat perempuan sebagai elemen kekuatan yang penting dan patut diperhitungkan. Kultur politik yang eksploitatif hanya memandang perempuan sebagai aksesori politik untuk memperoleh suara dalam pemilu. 2). Kaderisasi dan rekrutmen politik yang terdapat pada anggaran dasar atau anggaran rumah tangga partai tidak memiliki gender sensitivity, karena pem-
xviii
buat kerangka kaderisasi dan rekrutmen itu sebagian besar adalah laki -laki yang sama sekali tidak memiliki kepekaan gender. 3). Perumus kebijakan di partai sebagian besar adalah laki-laki, mengakibatkan perempuan dalam posisi yang amat lemah dalam pengambilan keputusan di tingkat partai. Akibatnya, bargaining position perempuan pun tidak menguntungkan dalam perumusan kebijakan. Bagaimanapun, dengan minimnya perempuan maka keterwakilan perempuan dalam perumusan kebijakan sangat kecil. 4). Politik senantiasa berada pada kecenderungan mengarus. Politik tidak sekedar formulasi kebijakan, tetapi juga ada dalam ruang kekuasaan untuk mendapat kan akses. Dengan demikian komitmen parpol pada pemberd ayaan perempuan menjadi nomor dua. Berkaitan dengan marginalnya perempuan di kepengurusan parpol, Direktur Eksekutif Partnership for Governance Reform in Indonesia (PGRI), Hs Dillon, pernah mengemukakan bahwa dunia politik formal yang didominasi laki -laki masih zero sum-game; kalah atau menang. Dengan demikian, tidak mudah memasukkan pemikiran untuk suatu mekanisme lain yang hasilnya bukan sekedar kalah atau menang, tetapi pembagian kekuasaan yang berarti mengurangi representasi, dalam hal ini keterwakilan laki-laki. Lebih dari persoalan partai politik, gender responsive dalam pengambilan keputusan di bidang politik formal, seperti dikemukakan Mayling, merupakan inti dari tata pemerintahan yang baik (good governance). Gender responsive artinya bukan hanya memperhatikan jumlah perempuan, tetapi perimbangan jumlah laki laki dan perempuan. Ia menyatakan, angka perimbangan itu 40 : 60 seperti di Finlandia. Bisa 60 % perempuan dan laki-laki, lewat dari 60% akan terjadi ketidakseimbangan. Namun Nursyahbani mengingat kan, angka perimbangan 50 : 50 menurut Beijing +5 juga gender balance yang juga merupakan kampanye global tentang kesetaraan dan keadilan gender bagi partisipasi dan keterwakilan perem puan dalam politik (formal). Ani Sujipto menyatakan, setelah kuota 30% untuk perempuan legislatif bisa digolkan, yang harus dilakukan kini adalah kerja keras agar pe rempuan mampu memenuhi kursi 30% itu. Akan tetapi, baik Mayling maupun Nursyahbani, menengarai budaya dalam tubuh banyak partai politik masih kurang kondusif bag i perempuan, kalau tidak bisa dikatakan buruk. Hal ini membuat perempuan enggan masuk ke partai politik, padahal, satu-satunya jalan ke parlemen menurut sistem politik harus melalui partai politik (Kompas, 22 Maret 2004). Masa transisi dari banyak pemerintahan yang otoriter ke pemerintahan yang demokratis lebih banyak memberi kesempatan pada perempuan untuk merebut kembali ruang-ruang yang dulu dirampas oleh kekuasaan yang militeristik dan patriarkis. Meskipun terdapat kenaikan prosentase perempuan di parlemenperlemen perempuan di 103 negara, perwakilan perempuan tidak berubah, bahkan
xix
menurun di 40 negara pada periode tahun 1995-2000. Partisipasi perempuan di parlemen di seluruh dunia pada tahun 2000 rata-rata sekitar 14%. Afirmative action dengan sistem kuota akan membuat perubahan tak hanya menyangkut partispasi perempuan dalam politik, tapi juga dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara komplit. Kuota, menurut Sodarsham, penting karena jika diibaratkan pertandingan, garis start perempuan berada di belakang. Di India partai-partai lokal dan kelompok-kelompok lokal mencari perempuan calon untuk mewakili mereka dan memenangkan dukungan mereka. Lima tahun setelah itu perempuan memenangkan 40% kursi di dalam pemilu lokal. Di Perancis amandemen konstitusi tahun 1999 mengisyaratkan sedikitnya separuh dari calon untuk pemilihan di tingkat kota adalah perempuan. Tahun 2001 perempuan memenangkan 48% dari kursi yang diperebutkan. Tahun 1994 Konggres Nasional Afrika di Afrika Selatan memprakarsai satu pertiga kuota untuk perempuan. Dengan 120 perempuan di antara 400 anggota dewan nasional Afrika Selatan menempati ranking delapan dunia dalam hal perempuan di parlemen nasional. Peningkatan partisipasi perempuan membutuh kan strategi jangka panjang untuk mengubah praktek-praktek yang telah berjalan lama yang membuat perempuan berada di luar politik praktis. Selain itu juga harus dipromosikan pengambilan keputusan yang tanggap gender. Moore (1998) menggambarkan bahwa kedudukan dan peran perempuan dalam struktur politik masih sangat kurang karena dominasi kaum laki -laki dalam partai politik, termasuk struktur politik yang telah menempatkan aktivitas politik perempuan pada tingkatan sangat rendah. Meskipun perempuan memiliki hak yang sama, namun mereka tidak dapat mempunyai hak yang sama sebagai warga negara bila dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini terjadi sebagai akibat sebuah konstruksi ideologi developmentalisme dan kultur politik yang patriarkis maskulin dan hegemonik yang kemudian memunculkan inferioritas dan pasifitas gender. Sangat male bias mengakibatkan kepentingan gender tidak pernah diakomodasi oleh parpol. Akses dan peluang perempuan sangat kecil untuk duduk dalam kepengurusan parpol, karena tidak adanya kebijakan affirmative action. Dalam buku monumentalnya, No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries, Huntington dan Nelson mengatakan: partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi dengan maksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi dapat bersifat individual atau kolektif, berkelanjutan atau sporadis, damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif. Demonstrasi yang dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga sebagai reaksi a tas kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), Tarif Dasar Listrik (TDL), dan telepon menunjukkan bahwa perempuan selalu berpartisipasi dalam merespon kebijakan yang tidak menguntungkan mereka. Mereka bisa berada dalam garda paling depan, dan tidak kalah dengan kaum laki-laki dalam melakukan perubahan -perubahan
xx
politik, sosial, dan ekonomi. Mereka memiliki peran yang demikian besar dalam setiap pergantian rezim. Partisipasi perempuan dalam revolusi politik tidak bisa diremehkan (Shafiyah dan Soeripno, 2003). Namun mengapa para perempuan, khususnya perempuan muslimah, yang duduk di parlemen, eksekutif, yudikatif, dan lembaga tinggi negara, mulai dari pusat sampai daerah sangatlah sedikit sekali sehingga tidak bisa ikut mewarnai setiap keputusan politik? Dalam khazanah ilmu sosial dan politik istilah partisipasi politik telah menjadi salah satu topik kajian yang cukup ramai didiskusikan oleh para ahli. Secara umum, istilah partisipasi politik sering digunakan untuk melihat kegiatan warga, baik sebagai perseorangan maupun yang tergabung dalam suatu kelompok dalam bidang politik. Berpartisipasi dalam politik adalah hal yang sangat mudah untuk dilakukan. Ada beberapa kegiatan yang dianggap sebagai bentuk partisipasi dalam politik yang biasanya meliputi: menjadi pengamat yang kritis, mengikuti perkembangan politik melalui media massa, membicarakan masalah politik, menjadi partisipan yang kreatif, menghadiri rapat umum, memberikan suara dalam pemilihan umum, menjadi anggota partai politik, dan lain -lain. (Shafiyah dan Soeripno, 2003). Semua warga negara, termasuk perempuan dan perempuan muslimah, mempunyai hak yang sama untuk berpolitik. Hal ini perlu ditekankan mengingat masih banyak yang melarang perempuan muslimah berpolitik. Padahal, isteri Rasulullah sendiri, Khadijah, rela menjalani hukuman tiga tahun pemboikotan sosial-ekonomi demi mempertahankan iman, padahal beliau adalah tokoh bangsawan Quraisy yang disegani. Pemboikotan itu tidak menyurutkan semangat Khadijah untuk membela perjuangan suaminya, Muhammad saw. Lihat pula misalnya, Zainab al -Ghazali, pada awal abad kedua puluh, turut berada di garis terdepan dalam mempertahankan keteguhan sikap politiknya. Zainab, ustadzah yang juga Ketua Jam'iah Muslimat Mesir, ditangkap dan dipenjarakan oleh rezim Naser dengan tud uhan terlibat dalam konspirasi percobaan pembunuhan pada Naser. Tetapi, dia menolak tawaran bantuan Naser terhadap organisasi yang dipimpinnya itu. Tidak mungkin organisasi yang berlandaskan Islam bergabung dengan organisasi yang berbeda ideologi, demikian tegas Zainab al-Ghazali. Tindakan kedua tokoh perempuan Islam ini merupakan tindakan politik. Oleh karena itu, menurut Syahid Hasan al -Banna, politik tidak hanya menyangkut penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga upaya menciptakan sistem yang bersih dan berkeadilan, yang didukung oleh mekanisme kontrol. Menurutnya: "Kita adalah para politikus, dengan pengertian bahwa kita memperjuangkan urusan bangsa kita". Politik adalah sesuatu yang inheren dalam diri setiap manusia, termasuk manusia muslim (dan muslimah) sebagai konsekuensi logis dari syahadatain (dua
xxi
kalimat syahadat). Kiprah politik muslimah dalam ranah politik adalah sesuatu yang memiliki dasar hukum dan sekaligus signifikan. Perspektif Mikro tentang Problematika Perempuan dalam Politik Kondisi eksisting ‘perilaku’ perempuan dalam dunia politik dapat dipahami sebagai suatu realitas sosial yang fenomenal. Sebagai suatu fenomena, maka analisis yang dinilai cukup tepat untuk memahaminya adalah perspektif teori fenomenologi. Teori fenomenologi bertolak dari ‘paradigma definisi sosial’1 yang memusatkan perhatian pada realitas sosial pada tingkatan mikro-subyektif dan sebagian tingkatan mikro-obyektif yang bergantung pada proses-proses mental dari tindakan sosial (Ritzer, 2002: 131-133). Teori fenomenologi berpendirian bahwa interaksi sosial terjadi dan berlangsung melalui penafsiran dan pemahaman terhadap tindakan masing-masing individu maupun kelompok. Teori fenomenologi memfokuskan perhatiannya pada pentingnya memahami realitas sosial dalam konteksnya, memahami bagaimana realitas sosial itu diciptakan dan bagaimana tindakan sosial dilakukan dalam konteks pengertian mereka sendiri. Teori fenomenologi melihat realitas sosial sebagai suatu realitas subyektif. Di sini realitas sosial secara obyektif diakui memang ada tetapi maknanya berasal dari dan oleh hubungan subyektif (individu) dengan dunia obyektif. Realitas ter bentuk secara sosial, sehingga pemahaman tentang realitas sosial itu sendiri dapat dilakukan dengan jalan menganalisis proses bagaimana realitas sosial itu terjadi. Di sini diakui adanya realitas obyektif dengan membatasi realitas sebagai realitas yang berkaitan dengan fenomena yang kita anggap berada di luar kemauan kita (Berger dan Luckman, 1996). Karena itu, realitas sosial ini harus dipahami secara substansial, sehingga kita harus berupaya mengerti atau memahami ‘makna’ (meaning) yang mendasari atau melingkupi suatu realitas sosial dan historis. Fenomenologi mencari penjelasan bagaimana individu yang unik dan spesifik mengkonstruksi secara kolektif suatu ‘dunia’ kehidupan sosial nyata. Analisis ini melihat kehidupan sosial – dan relasi sosial antara perempuan dan laki-laki – tercipta melalui proses pemberian makna terhadap obyek dan pengalaman yang spesifik (lihat Collin, 1997). Mendasarkan pemikiran pada pendekatan fenomenologi tersebut, dalam penelitian ini konsep-konsep sosiologis seperti nilai dan norma sosial, relasi sosial dan institusi sosial, dilihat sebagai hasil dari suatu proses yang disengaja. Kekuasaan laki-laki yang secara struktural sangat kokoh dengan dukungan budaya patriarki karenanya memang dibangun dan diproduksi secara sadar oleh kaum laki laki. Pendekatan fenomenologi mengakui potensi kreatif dan otonom dari setiap 1
Thomas Kuhn menjelaskan bahwa untuk menjelaskan perkembangan ilmu pengetahuan, paling tidak ada empat paradigma, pertama paradigma fakta sosial (social fact), paradigma definisi sosial (social definition), paradigma perilaku sosial (social behaviour ) dan paradigma campuran.
xxii
perempuan sebagai individu serta mengakui kapasitasnya untuk ‘menentang’ berbagai kondisi sosial, kebiasaan, sosialisasi dan ‘tekanan-tekanan’ kekuatan lakilaki yang patriarkis tersebut. Karena itu, menurut pendekatan ini realitas partisipasi politik perempuan dipahami sedalam -dalamnya dengan cara menangkap realitas sosial menurut realitas itu sendiri. Berdasarkan pendekatan fenomenologi, tindakan manusia dilihat sebagai tindakan yang dilakukan sebagai sarana (yang baik atau setidaknya memuaskan) untuk mencapai suatu tujuan. Realitas sosial dalam hal ini dianalisis dalam dua rangkaian realitas, yaitu: realitas tentang ‘tingkah laku’ dan realitas tentang ‘pikiran’. Dan realitas partisipasi politik perempuan dilihat sebagai hasil dari interaksi dua elemen, yaitu: tingkah laku manusia dan makna yang membarengi tin gkah laku tersebut (Berger and Luckman, 1996). Dalam hal ini, tingkah laku manusia dianggap tidak sepenuhnya dibentuk dan dikonstruksi, tetapi memiliki keberadaan yang bebas. Realitas sosial itu terbentuk karena pemikiran, penilaian dan keputusan manusia manusia, sehingga realitas sosial mengandaikan tindakan manusia sebagai elemen elemennya. Realitas sosial terdiri dari suatu lapisan realitas tentang tindakan individu manusia yang terdiri dari ‘tingkah laku’ dan ‘sesuatu yang memberi makna pada tingkah lak u itu. Penggunaan pendekatan fenomenologi di sini dapat membuka kemungkinan untuk melakukan analisis yang lebih kritis terhadap perilaku sosial yang dilakukan perempuan sebagai pihak yang tersubordinasi. Pemahaman tentang ideologi gender yang berlaku dalam suatu komunitas dapat mengungkap kehidupan perempuan dan relasi gender yang berlangsung di dalamnya. Ideologi ini penting karena merupakan sekumpulan nilai sosial yang menjadi pedoman perilaku yang dianggap baik bagi laki-laki dan perempuan. Ideologi gender ini senyatanya menentukan bagaimana laki-laki dan perempuan didefinisika, dipersepsikan, dinilai dan diharapkan untuk bertingkah laku. Ideologi gender ini pada akhirnya diyakini oleh seluruh anggota komunitas, dianggap sebagai sesuatu yang natural atau kodrati, merasuk dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kesadaran manusia. Walaupun demikian, ideologi gender yang dijadikan pedoman dalam perilaku perempuan dan laki-laki ini sebenarnya merupakan ‘produk’ dari konstruksi sosial. Dalam arti, ideologi gende r ini dikonstruksi dari hari ke hari oleh anggota komunitas melalui interaksi sosial yang melibatkan perempuan dan laki-laki. Karena itu, ideologi gender ini bersifat dinamis, dapat mengalami redefinisi, rekonstruksi dan rekonseptualisasi sesuai dengan ‘k ebutuhan’ komunitas. Persoalan mendasar yang melingkupi kehidupan komunitas perempuan dapat secara baik diungkap melalui pemahaman tentang relasi sosial yang melibat kan perempuan dan laki -laki (relasi gender). Relasi gender tidak hanya menggambarkan interaksi sosial antara perempuan dan laki-laki, tetapi mencakup suatu
xxiii
proses sosial yang kompleks (Game dan Pringle, 1983: 15). Relasi gender setidaknya mencakup lima proses yang saling berinteraksi: 1). Konstruksi atas pembagian kerja yang berkaitan dengan gender; 2). Konstruksi atas simbol dan citra (image) yang menjelaskan, mengekspresikan, menekankan, dan memaksa atau kadang-kadang bertentangan dengan pemba gian kerja tersebut; 3). Interaksi antara perempuan dan laki-laki, antara perempuan dan perempuan, dan antara laki-laki dan laki-laki; 4). Proses yang membantu untuk menghasilkan komponen gender dari identitas individu yang meliputi pula kesadaran gender; 5). Proses fundamental secara terus-menerus terhadap konstruksi dan konseptual isasi struktur sosial (Acker, 1990: 145-147). Konstruksi sosial atas kelima proses tersebut tidaklah statis, melainkan bersifat dinamis dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pemahaman terhadap interaksi sosial antara perempuan dan laki-laki memerlukan pemahaman secara mendalam tentang konsep ‘patriarki’. Sebagai suatu konsep, patriarki pada dasarnya memiliki dua aspek, yaitu sebagai ‘ideologi’ dan sebagai ‘sistem’. Sebagai ideologi, patriarki dapat didefinisikan secara ringkas sebagai: “kekuasaan laki-laki, hubungan sosial dengan mana laki -laki menguasai” (Bhasin, 1996: 1). Sementara itu, secara luas patriarki dapat didefinisikan sebagai “a system of interrelated structures through which men exploit women” (Walby, 1990: 20), suatu struktur sosial yang saling berhubungan dan di sana laki-laki mengeksploitasi perempuan. Patriarki, sebagai suatu ideologi, menyatu dalam budaya manusia. Aturan-aturan yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan tersebut dapat mengambil bentuk yang berbeda -beda dalam setiap masyarakat. Sejauh mana patriarki mengedepan dalam suatu masyarakat merupakan suatu hal yang menjadi salah satu ciri dan dasar dari relasi sosial gender. Lebih jauh, patriarki ini termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari melalui praktekpraktek eksploitasi, marginalisasi, feminisasi, domesti fikasi, tergantung pada konteks sosial dan historisnya. Ideologi gender yang direproduksi dalam berbagai bentuk diskursus (discourse) telah menjadi kekuatan penting dalam menyadarkan atau menegaskan pada perempuan dan laki-laki tentang tugas dan tanggung jawab mereka. Dengan demikian, pemahaman terhadap diskursus (wacana) gender di sekitar realitas kemiskinan juga menggambarkan struktur kekuasaan yang ada dalam komunitas tersebut (Susanti, 2003). Dalam melakukan analisis tentang patriarki, Walby melihat cara baru menteorisasikan patriarki dengan membedakan tingkat abstraksi patriarki. Pada tingkat abstrak, ‘patriarki’ merujuk pada sistem relasi sosial, sedangkan pada tingkat lebih konkrit ‘patriarki’ merujuk pada struktur-struktur sosial (Walby, 1990: 20). Selain itu, patriarki dapat dibedakan ke dalam dua tipe, yaitu:
xxiv
‘patriarki publik’ dan ‘patriarki privat’. Patriarki privat berpijak pada produksi rumah tangga sebagai lingkungan sosial yang opresif terhadap perem puan, sedangkan patriarki publik pada prinsipnya berpijak pada lingkungan publik seperti lapangan kerja dan negara. Keduanya dibedakan untuk kepentingan analisis, tetapi keduanya merupakan suatu kontinum dan bukan suatu dikotomi yang terpisah dan kaku. Ked ua bentuk utama dari patriarki ini berguna dalam mengkonseptualisasikan perubahan pokok dalam relasi gender. Berkaitan dengan relasi gender di dalam rumah tangga, Moser (1993: 27-36) menemukan bahwa dalam kehidupan rumah tangga perempuan memegang tiga tang gung jawab sekaligus, yaitu: tanggung jawab bidang produktif, reproduktif dan pengelolaan komunitas. Tugas dan tanggung jawab perempuan ini tampak lebih melekat pada perempuan -perempuan lapisan bawah atau miskin dari pada perempuan yang berada di kelompok menengah maupun kelompok kelas atas. Karena itu, konsep tersebut menjadi penting dan sangat relevan untuk memahami kehidupan perempuan miskin. Perempuan dan Kebijakan Publik di Desa Otonomi daerah yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2001 melalui UU No 22/ 1999 dan UU No 25/1999 di satu pihak ada yang menyambut positif karena akan dapat merangsang keterlibatan perempuan dalam urusan -urusan publik, namun sebagian yang lain just eru mengkhawatirkan akan menambah ketimpangan gender yang selama ini terjadi. Pihak pertama beranggapan bahwa para perempuan desa akan tertarik dan atau terdorong melibatkan diri dalam urusan publik di desa oleh karena lingkup dan jangkauan pengambilan kebijakannya terbatas dan dekat dengan setting sosial budaya kehidupannya sehari-hari, yakni desa. Sebaliknya, pihak kedua beralasan kebijakan otonomi daerah, yang juga mengisyaratkan otonomi desa sebagai subsistem dalam pemerintahan, dikhawatirkan akan berimplikasi sama pada aras desa (tidak membawa perubahan yang signifikan). Sebagaimana dipahami bahwa pada masyarakat lokal, desa, persoalan ketimpangan gender yang terjadi masih jauh lebih pelik dan problematik dibanding masyarakat urban. Tekanan struktur sosial ekonomi pedesaan dan format budaya patriarki masih relatif kuat. Akibatnya, domain perempuan masih dianggap sebagai ruang domestik. Konsekuensinya, perempuan menjadi tersubordinasi dan tak kuasa menghadapi determinasi tekanan lingkungan eksternal di sekitarnya. Dengan posisi seperti itu, maka partisipasi politik perempuan dalam wuju d kontrol desa pun menjadi terabaikan. Lihat misalnya di Kabupaten Sumedang. Keterlibatan perempuan dalam pemerintahan desa relatif rendah, persentase perempuan yang duduk di Badan Perwakilan Desa (BPD) hanya 2,5 persen (72 perempuan dari 2.886 anggota BPD ),
xxv
sedangkan yang menjadi kepala desa sebesar 6,8 persen (62 perempuan dari 262 desa) (Kompas, 3 Juni 2003) Program penguatan perempuan, apalagi jika dikaitkan dengan upaya peningkatan partisipasi perempuan dalam kegiatan politik dan atau kebijakan publik pada tingkat apapun, sudah seharusnya dimulai dari tataran masyarakat dan pemerintahan desa, sebab pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional sangat terkait dan karena itu bisa dimulai dari dan dengan fungsi BPD atau parlemen desa sebagai penyalur aspirasi masyarakat di aras paling bawah. Dalam UU No 22/1999 Pasal 104 tentang BPD dijelaskan bahwa fungsi BPD antara lain berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan penyelenggaraan pemerintah desa. Semua itu sesungguhnya menjadi ruang (space) bagi segenap warga desa, khususnya perempuan untuk dapat meningkatkan partisipasi politiknya. Buku yang ditulis Samuel P Huntington dan Joan Nelson tentang Partisipasi Politik di Negara Berkembang (1990) menerangkan, tujuan partisipasi politik adalah untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Oleh karena itu, kegiatan itu harus ditujukan dan mempunyai dampak terhadap pusat di mana keputusan diambil. Tetapi, partisipasi politik desa akan cenderung menurun jika keputusan menyangkut penduduk desa tidak diambil pada tingkat desa, melainkan pada tingkat nasional. Dengan demikian, partisipasi politik perempuan dalam kebijakan publik akan signifikan bila ada keterwakilan perempuan di pemerintahan desa. Peluang perempuan untuk terlibat secara aktif dalam perpolitikan desa juga terlihat pada Pasal 14 UU No. 7/1984 yang mengisyaratkan pentingnya penghapusan diskriminasi dan hak untuk berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan bagi perempuan di pedesaan. Selain itu, kesetaraan sebagai pilar demokrasi akan timpang bila menegasikan kesetaraan gender dalam demokratisasi pada tataran lokal. Karena itu, kesetaran gender merupakan keniscayaan dalam mewujudkan demokrasi, dan partisipasi merupakan wujud kontrol masyarakat terhadap roda jalannya pemerintahan desa. Pertanyaannya, melihat kondisi eksisting yang ada, bagaimana mereformasi institusi demokrasi yang ada di daerah pedesaan agar berperspektif gender? Masyarakat desa umumnya hidup dalam setting sosial budaya dan ekonomi pertanian. Sebagai masyarakat yang berbudaya pertanian, maka kultur petani dan faktor alam turut menentukan, atau setidaknya mempengaruhi kehidupan masyarakatnya, termasuk di dalamnya soal relasi gender. Sebagai masya rakat pertanian yang biasanya memerlukan (menuntut?) kerja keras, kekuatan fisik dan ketahanan mental, maka sosok laki-laki akan mengedepan, sementara perempuan di belakang. Pola pembagian kerja demikian ini acapkali disebut dengan pola pembagian kerja secara seksual, berdasar biologis (Siregar, 1982). Pola pembagian
xxvi
kerja seksual, semula hanya terbatas dalam lingkup domestik (rumah tangga), namun dalam prosesnya juga mewarnai berbagai perkumpulan, organisasi, jama’ah dan jam’iyah baik sosial, budaya dan keagamaan di desa -desa. Berbagai organisasi dan perkumpulan baik sosial, budaya, ekonomi, maupun keagamaan banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat desa. Berbagai institusi yang ada di desa tersebut, baik yang sifatnya lokal maupun yang menjadi kapanjangan tangan institusi regional dan nasional, merupakan arena tempat bertemu dan berkumpulnya warga desa (laki -laki maupun perempuan). Dengan demikian, sesungguhnya partisipasi warga desa, termasuk perempuan, dalam berbagai institusi yang ada sudah relatif tinggi. Persoalannya, aktifitas perempuan dalam berbagai kegiatan institusi yang ada umumnya masih terbatas pada hal-hal yang ritual dan seremonial, bahkan bias gender akibat ketidaksadaran dan ketidaktahuannya tentang hak -hak perempuan. Dalam konteks seperti itu, upaya pemberitahuan tentang hak perempuan sebagai warga negara menjadi penting dilakukan, meski diakui tidak mudah. Kesadaran gender sesungguhnya tidak hanya penting bagi perempuan, melainkan juga bagi laki-laki dan masyarakat desa secara keseluruhan. Kehidupan sosial berperspektif gender dengan demikian menjadi kepentingan dan kebutuhan semua warga masyarakat desa, sebab penekanan pentingnya kesetaraan gender bukan dimaksudkan untuk memunculkan kompetisi antara laki -laki dan perempuan, melainkan lebih bersifat komplementer pada fungsi sosial keduanya. Adanya tindakan keberpihakan kepada perempuan yang tertekan (affirmative action) boleh jadi merupakan strategi yang tepat dan instan dalam mengatasi persoalan masih lemahnya kesadaran perempuan tenta ng hak-haknya. Kebijakan affirmative action bisa disebut sebagai tindakan yang sifatnya memaksa, menekan dan bahkan mengancam untuk menyediakan kuota bagi perempuan di BPD atau parlemen desa. Latar belakang mengapa perlu kuota 30% adalah sebagai tindakan afirmatif karena titik awal keterlibatan perempuan dengan laki -laki dalam dunia publik tidaklah sama. Kemampuan perempuan dibangun dari kondisi sosial, tingkat pendidikan, pengalaman berinteraksi sosial, membangun jaringan, membangun basis massa, sampai du kungan dana, jauh tertinggal dari laki-laki yang antara lain disebabkan oleh pengaruh kultur dan adat istiadat (Rahmawati, Api Indonesia, 4 Maret, 2004). Selain itu, rendahnya representasi perempuan dan kesulitan membuat terobosan-terobosan ke dalam sistem telah mendorong perempuan menuntut disahkannya undang -undang yang mengatur kuota 30% untuk menjamin representasi perempuan di badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, dan kuota 30% bagi perempuan ini sudah disahkan meskipun kurang memuaskan sebagian besar kalangan perempuan. Kuota tersebut merupakan langkah awal upaya kesetaraan dalam representasi perempuan di parlemen.
xxvii
Meski demikian, seandainya kuota 30% tersebut bisa dicapai, tidak akan bermaka sama sekali manakala perempuan tidak membekali diri d engan berbagai keterampilan dan pengetahuan. Bahkan, jika targetnya hanya sekedar memenuhi kuota 30%, atau sekedar ada perempuan yang duduk di kursi DPR atau BPD, tanpa bekal kualitas yang memadai, maka hal itu sama dengan merendahkan martabat perempuan, karena orang -orang yang masuk untuk memenuhi kuota tersebut hanya akan menjadi pajangan politik. Sebaliknya, apabila perempuan tidak memiliki keterampilan untuk melaku kan hal tersebut, maka kuota 30% malah akan menjadi hambatan demokrasi yang pada ujungnya merendahkan martabat perempuan dan mengokohkan pandangan kaum patrialkal. Karena itu, merupakan tantangan bagi (politisi) perempuan untuk dapat membuktikan bahwa perempuan memang mempunyai kemampuan dan kapasitas untuk terlibat dalam aktifitas politik. Menurut Hikmah Anas, strategi yang dapat dilakukan oleh perempuan dalam berpolitik (pada semua tingkatan, mulai DPR – BPD) disamping memberikan kuota 30% dan peningkatan kualitas sebagaimana disebutkan di atas, antara lain: 1). Membangun akses ke media. Media apa pun seperti: radio, TV, koran, internet mampu memberikan opini bagi pemakainya. Dan setiap media, langsung ataupun tidak langsung, akan mampu memberikan pengaruh pada para konsumennya. 2). Perlunya Ornop yang prihatin dan peduli terhadap kondisi eksisting representasi politik perempuan yang ada untuk melakukan upaya memperkuat para kandidat perempuan. Upaya tersebut meliputi penyelenggaraan diskusi publik tentang pentingnya peningkatan representasi perempuan di lembaga perwakilan, penyelenggaraan diskusi terbatas, dan sarasehan-sarasehan untuk media. 3). Meningkatkan representasi perempuan dalam organisasi partai-partai politik. Mengupayakan untuk menduduki posisi strategis dalam partai, seperti posisi ketua, sekretaris, karena posisi tersebut yang akan berperan dalam memutuskan banyak hal tentang kebijakan partai. 4). Membangun dan memperkuat hubungan antar jaringan dan organisasi perem puan lintas partai, agama, dan profesi. Meski affirmative action kuota perempuan di parlemen dinilai sebagai terobosan, namun hal itu oleh sebagian kalangan juga dinilai sebagai tindakan bias gender. Alasannya, affirmative action terhadap perempuan, secara implisit terkandung pengakuan dan pengukuhan bahwa perempuan memang inferior dibandingkan dengan laki-laki, sehingga perlu dilakukan tindakan yang berpihak kepada perempuan. Tetapi, kebijakan ini bisa dipahami berdasarkan kenyataan bahwa mengubah tatanan sosial yang sudah mapan dan merekonstruksi nilai-nilai sosial dan budaya yang sudah terinternalisasi selain tidak mudah, juga perlu waktu sangat panjang. Karena itu, affirmative action bisa disebut sebagai entry point
xxviii
adanya kemauan semua pihak untuk meningkatkan posisi perempuan dalam dunia publik demi keberhasilan pembangunan yang adil dan tidak deskriminatif. Persoalannya, apakah dengan adanya keterwakilan perempuan di parlemen desa (BPD) dengan sendirinya akan mengubah kemauan politik aparatur pemerin tahan desa agar berperspektif gender. Tidak ada jaminan untuk itu, kecuali bila perempuan yang ada di parlemen desa punya perspe ktif gender dan terpilih dengan mekanisme yang memenuhi akuntabilitas. Untuk itu, penguatan peran perempuan di BPD atau parlemen desa penting dalam mewujudkan masyarakat sipil desa yang berperspektif gender. Untuk kepentingan studi gender dalam kaitannya dengan upaya peningkatan partisipasi perempuan dalam dunia politik dan kebijakan publik, maka paradig ma dan perspektif yang perlu dirujuk adalah perspektif yang berskala mikro dengan unit analisis individu, yaitu perempuan. Dengan pilihan perspektif indi vidu, memungkinkan peneliti bisa mengeksplorasi tentang konsep diri perempuan, persepsinya terhadap kondisi eksternal yang bias gender (definisi sosial) dan kapasitas perempuan dalam meredefinisi dan merekonstruksi kekuatan eksternal yang patriarkis. Selain itu, juga akan bisa ditelusuri dan diidentifikasi jenis kepentingan dan kebutuhan perempuan macam apa saja dan dengan instrumen seperti apa agar kita bisa membantu menfasilitasinya. Pendekatan mikro dinilai penting bukan hanya berkaitan dengan pilihan metodologi, melainkan juga dari adanya peluang bagi perempuan untuk berkiprah secara lebih leluasa dalam dunia publik. Peluang itu tercermin dari kuota 30% bagi perempuan untuk bisa duduk dalam parlemen. Untuk itu, akhirnya bola berada di tangan perempuan sendiri. Adakah kemauan, kapasitas dan kepercayaan diri?
xxix
3 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
enelitian ini dilakukan di 10 kabupaten dengan mempertimbangkan latar bekalang budaya, yakni budaya arek, pesisir, pendalungan, osing dan kejawen. Asumsinya, perbedaan budaya akan berpengaruh terhadap sikap, perilaku dan partisipasi perempuan dalam kegiatan publik.
P
Karakteristik Responden Sebaran responden pada masing-masing lokasi penelitian (kabupaten) dapat dilihat pada tabel 3. Sebaran responden di setiap kecamatan berbeda -beda karena adanya per bedaan jumlah penduduk. Perbedaan jumlah responden di setiap kabupaten, dengan demikian, juga menunjukkan adanya jumlah penduduk yang tidak sama antara satu kabupaten dengan kabupaten lain. Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa jumlah responden yang paling banyak adalah di kabupaten Tuban (18%) sedangkan responden paling sedikit di Kabupaten Jombang (3,8%). Dilihat dari kondisi pendidikan, para perempuan yang menjadi responden dalam penelitian menunjukkan variasi yang cukup merata. Dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini bahwa rata-rata pendidikan responden adalah SLTA (32%). Sementara ada 13,3% yang berpendidikan perguruan tinggi (2,1% diploma dan 8,1% sarjana).
xxx
Tabel 3: Kabupaten, Lokasi Penelitian Kabupaten
Frequency
Banyuwangi
58
4,2
166
11,7
Blitar Jombang Kediri Lumajang
Percent
54
3,8
185
13,1
83
5,9
Malang
154
10,9
Pamekasan
206
14,6
Pasuruan
146
10,3
Ponorogo
136
9,6
Tuban
254
18,0
Total
1413
100,0
Sumber: data primer
Tabel 4: Pendidikan Formal Responden Frequency
Percent
Tidak Jawab
Tingkat Pendidikan
17
1,2
Tidak Sekolah
46
3,3
Tidak tamat SD/MI
72
5,1
Tamat SD/MI
293
20,7
Tamat SLTP
284
20,1
Tidak Tamat SLTP
30
2,1
452
32,0
Tidak Tamat SLTA
30
2,1
Diploma
74
5,2
Sarjana
115
8,1
1413
100,0
Tamat SLTA
Total Sumber : data primer
Meskipun terdapat beberapa persen yang mengaku tidak sempat menamatkan sekolahnya, baik pada tingkat SD, SLTP maupun SLTA, namun umumnya
xxxi
mereka mampu menamatkan pendidikannya, meskipun tidak sampai pada perguruan tinggi. Jika kita cermati lebih lanjut, ternyata responden yang tidak tamat sekolah lebih banyak terjadi pada jenjang pendidikan SD dari pada SLTP maupun SLTA. Tabel 5: Pendidikan Non Formal yang pernah diikuti Pendidikan Non Formal
Frequency
Percent
Tidak Jawab
583
40,9
Pondok Pesantren
359
23,9
Pesantren dan kursus
6
,4
Pesantren dan pelatihan
5
,4
Kursus
316
20,0
Pelatihan/Penataran
135
9,6
Lainnya
10
,4
1413
100,0
Sumber : data primer
Kasus seperti ini paling banyak ditemukan di daerah-daerah responden yang berlatar belakang budaya Pendalungan (daerah Tapalkuda dan Madura). Pada masyarakat yang berkultur pendalungan umumnya budaya patriarki masih cukup kuat dibandingkan daerah lain. Oleh karenanya wajar apabila masalah pendidikan, terutama pendidikan terhadap anak perempuan, kurang mendapatkan perhatian. Tabel 6: Usia Usia Responden
Frequency
16 – 26
15
1,04
27 – 37
409
28,36
38 – 48
542
37,59
49 – 59
256
17,75
60 – 70
109
7,56
71 >
12
0,08
Total
1413
100,0
Sumber : data primer
xxxii
Percent
Selain pendidikan formal, lebih dari separuh responden ternyata juga mempunyai sejumlah pengalaman pendidikan non formal, termasuk di dalamnya adalah pendidikan di pondok pesantren. Dari 48,91% yang mempunyai pendidikan tambahan non-formal, sebanyak 23,9% diperolehnya di pondok pesantren. Pada tabel 5 di atas juga dapat dilihat pendidikan non formal lain yang diikuti responden lain yang sifatnya lebih untu k menambah ketrampilan khusus adalah kursus-kursus (seperti menjahit, tata buku, tata boga, komputer) diikuti oleh 20%; juga ada sebanyak 9,6% mengikuti penataran dan pelatihan -pelatihan khusus. Tabel 7: Status perkawinan Status Perkawinan
Frequency
Tidak Jawab
Percent
6
,4
1035
73,2
Belum Kawin
274
19,4
Cerai Hidup
33
2,3
Cerai Mati
57
4,0
Kawin
Pisah Ranjang Total
8
,6
1413
100,0
Sumber : data primer
Usia responden sebagian besar masih relatif muda, dan termasuk masih sangat produktif, yakni di bawah 37 tahun sebanyak 29,40%. Sementara itu, yang bersusia matang (38 – 48) tahun paling banyak, yakni 37,59% (tabel 6). Tabel 8: Agama Agama Tidak Jawab
Frequency
Percent
34
2,4
1395
98,7
Kristen
6
,5
Katolik
6
,4
Hindu
6
,4
Total
1413
100,0
Islam
Sumber: data primer
xxxiii
Berkaitan dengan status responden, sebagaimana dapat dilihat pada tabel 7, sebagian besar responden sudah berstatus kawin (73,2%) dan sebanyak 13,2% mengaku masih belum menikah. Selain itu, ada sebanyak 6,3% berstatus janda, baik janda karena cerai maupun karena suami meninggal. Sementara itu, dilihat dari agama yang dianut, sebagian besar (98,7%) beragama Islam (tabel 8). Pekerjaan dan Kondisi Ekonomi Responden Sebagaimana tercermin dari perbedaan karakteristik latar belakang daerah penelitian, jenis pekerjaan utama responden, termasuk pekerjaan suami juga memperlihatkan keragaman. Sebagaimana dilihat pada tabel 9 di bawah, wiraswasta atau pedagang berada pada tingkat 22, 29%, kemudian diikuti sebagai karyawan (buruh) swasta seperti di pabrik, industri rumahan atau menjadi penjaga toko. Tabel 9: Pekerjaan Pokok Responden Frequency
Percent
Petani
Jenis Pekerjaan
278
19,7
Buruh tani
60
4,25
Mracangan
85
6,0
PNS
90
6,7
Ustadzah
20
1,42
Karyawan Swasta
188
13,30
Wiraswasta/pedagang
315
22,29
Penjahit
49
3,47
Ibu Rumah Tangga
319
22,58
Pelajar/mahasiswa
6
,4
PRT
3
,2
1413
100,0
Total Sumber: data primer
Bagi responden yang bermukim di daerah pertanian, seperti di Banyuwangi dan Ponorogo misalnya, pekerjaan utama responden yang paling banyak adalah sebagai petani atau setidaknya buruh pertanian di desanya masing-masing. Besar penghasilan responden dari pekerjan pokok tersebut sebanyak 86,9% tergolong kurang besar, yakni rata-rata di bawah 500 ribu rupiah per bulan (tabel 10).
xxxiv
Tabel 10 Penghasilan responden/bln dari pekerjaan pokok Jumlah Penghasilan
Frequency
Percent
0 – 500.000 500.000 – 1.000.000
1228 145
86,9 10,3
34 3
2,4 0,2
1.000.000 – 1.500.000 1.500.000 – 2.000.000 2.000.000 - Keatas Total
3
0,2
1413
100,0
Sumber: data primer
Meski hanya di bawah 500 ribu, namun bagi responden yang bersangkutan dinilai sangat berarti, “bisa untuk menambah memenuhi kebutuhan sekolah anak anak yang mulai masuk ke jenjang SMP,” ka ta Mirah, salah satu responden di Banyuwangi. Sementara itu, jumlah penghasilan sebesar itu, meski tidak bisa memenuhi semua kebutuhan keluarganya, namun bisa untuk menyambung hidup keluarganya. Sebab, sejak 1 tahun terakhir suaminya tidak bekerja lagi, da n sekarang menganggur di rumah, kata Marni yang setiap harinya bekerja sebagai pelayan (penjaga) toko di Jombang. Tabel 11 Pekerjaan Sampingan Responden Pekerjaan Sampiangan Tidak Ada
Frequency
Percent
n = 261
1152
81,5
--
Petani
41
2,9
15,71
Buruh tani
36
2,5
13,8
Pedagang Mracangan
32 46
2,3 3,3
12,3 17,6
Karyawan Swasta
12
,8
4,6
Wiraswasta
55
3,9
21,1
Bagi hasil ternak
11
0,7
4,2
28 1413
1,9 100,0
11,1
Serabutan Total Sumber: data primer
xxxv
Lain Marni dan Mirah yang penghasilan dari pekerjaan pokoknya boleh dibilang lumayan untuk membantu ekonomi keluarganya, Suyatmi justru mengaku sangat kurang. Menurutnya, penghasilan utamanya hanyalah sebagai penjahit yang selain penghasilannya tidak menentu, juga sangat kecil. Ia mengaku kalau sedang ramai paling banyak memperoleh penghasilan (rata-rata) hanya 450.000-an menjelang lebaran, namun setelah lebaran habis paling-paling hanya ada dua atau tiga orang yang meminta jasanya. Ini pun tidak selalu ada. Sementara, empat anaknya sudah sekolah semuanya, bahkan anaknya yang pertama sudah klas II Tsanawiyah. Sedang suaminya selain tidak mempunyai pekerjaan tetap (serabutan), penghasilannya pun tidak seberapa besar. Oleh karena itu, ia terpaksa harus bekerja ekstra, yakni jualan makanan kecil di sekolah dan bagi hasil pemeliharaan ternak kambing. Semua anak-anaknya, meski dalam hatinya kasihan, baik yang laki-laki maupun yang perempuan diberi tugas memelihara kambing. Tabel 12 Penghasilan responden/bln dari pekerjaan sampingan Rupiah
Frequency
Percent
0 – 250.000
1347
95,3
250.001 – 500.000
44
3,1
500.001 – 750.000
10
0,7
750.001 – 1.000.000
8
0,6
1.001.000 – Keatas
4
0,3
Total
1413
100,0
Sumber: data primer
Meskipun sebagai istri, responden juga banyak yang mengaku bertangg ung jawab terhadap upaya pemenuhan ekonomi keluarga. Oleh karena itu, cukup banyak yang harus mendapatkan tambahan penghasilan dengan cara mencari pekerjaan sampingan. Sebagaimana dapat dilihat pada tabel 12 di atas bahwa sebanyak 95,3% responden bisa mendapatkan tambahan penghasilan dari pekerjaan sampingannya sebesar 250 ribu ke bawah. Bahkan, ada yang penghasilan tambahan dari kerja sampingan ini di atas 500 ribu (1,5%).
xxxvi
Tabel 13 Pekerjaan Pokok Suami Pekerjaan Sampingan Suami Responden
Frequency
Percent
Tidak Jawab (Tidak Bekerja)
432
30,6
Petani
338
23,9
Buruh tani
29
2,1
Nelayan
29
1,6
Pedagang
86
6,1
Mracangan
14
1,0
PNS
96
6,8
Karyawan Swasta/buruh pabrik
139
9,8
Wiraswasta
183
13,0
TKI
21
1,5
Guru/ustadz
9
0,6
Sopir
8
0,6
Tukang Bangunan
8
0,6
Serabutan Total
22
1,6
1413
100,0
Sumber: data primer
Berkat kerja keras dirinya, dan dibantu anak-anaknya, ia mengaku bersyukur kebutuhan keluarganya bisa terpenuhi meskipun diakuinya sangat pas-pasan. Baginya, yang penting anak-anaknya masih bisa sekolah; soal makan bisa sedanya, katanya. Studi ini menujukkan bahwa memang tidak semua laki-laki yang menjadi suami responden bekerja. Artinya, ada setidaknya 30,6% yang tidak bekerja alias menganggur karena beberapa alasan (lihat tabel 13). Dari 69,4% yang bekerja, sebagian besar sebagai petani (23,9%) dan wiraswasta (13%). Sebagian yang lain ada yang menjadi petani, karyawan swasta (termasuk buruh pabrik) dan pegawai negeri sipil.
xxxvii
Tabel 14 Penghasilan suami/bln dari pe kerjaan pokok Frequency
Percent
< 500.000
Rupiah
1075
76,09
501.000 - 1.000.000
258
18,26
1.001.000 – 1.500.000
53
3,75
1.501.000 – 2.000.000
19
1,34
> 2.001.000
8
0,6
1413
100,0
Total Sumber: data primer
Sebagian besar (76,09%) penghasilan suami tak jauh berbeda dengan besar penghasilan responden (istrinya), yakni di bawah 500 ribu rupiah. Sementara yang berpenghasilan di atas 1 juta rupiah tak lebih dari 5,59%. Kondisi penghasilan keluarga responden yang tidak terlalu besar tersebut bisa dipahami karena latar belakang pekerjaan mereka umumnya selain di sektor pertanian dan tradisional, juga berada di daerah pedesaan. Tabel 15 Rata-rata kebutuhan hidup dalam sebulan Frequency
Percent
0 – 500.000
Rupiah
977
69,1
500.000 - 1.000.000
360
25,5
1.000.000 – 1.500.000
49
3,5
1.500.000 – 2.000.000
21
1,5
2.000.000 - keatas
6
0,4
1413
100,0
Total Sumber: data primer
Minimnya penghasilan keluarga, sementara kebutuhan hidup semakin meningkat, acapkali banyak mendorong mereka (baik suami maupun istri) harus mencari tambahan penghasilan dengan melakukan pekerjaan sampingan. Tabel 15 menunjukkan bahwa sebanyak 69,1% menyatakan rata-rata kebutuhan hidup dalam satu bulan minimal adalah 500 ribu rupiah. Jika pengha silan responden maksimal yang sebesar itu ada 86,9% dan suami mereka 76,09% (rata-rata jika penghasilan mereka digabung menjadi 81,49%), berarti paling tidak
xxxviii
ada 12,39% keluarga responden yang tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Bahkan jika dilihat secara lebih rinci, besaran kekurangan (minus) penghasilan keluarga responden tersebut berjumlah 25,85%. Tabel 16 Kondisi ekonomi keluarga responden Kondisi Ekonomi Keluarga
Frequency
Percent
>-500.000 -
26
1.84
-420.000 -- -450.000 -350.000 – -400.000
59 40
4.18 2.83
-260.000 – -300.000
36
2.55
-210.000 – -250.000
43
3.04
-170.000 – -200.000
30
2.12
-120.000 – -150.000
15
1.60
-60000 – -100.000 -15000 – -50.000
57 50
4.15 3.54
0
242
17.13
15.000 – 50.000
110
7.78
51.000 – 100.000
141
9.98
101.000 – 150.000
90
6.37
151.000 – 200.000 201.000 – 250.000
87 49
6.34 3.52
251.000 – 300.000
92
6.38
301.000 – 350.000
25
1.77
351.000 – 400.000
30
2.12
401.000 – 450.000 451.000 = 500.000
19 53
1.63 3.56
>500.000
248
17.55
Total
1413
100,0
Sumber: data primer
Tabel 16 di atas memperlihat bagaimana sesungguhnya kondisi kelurga responden. Terdapat 17,13% responden yang kehidupan ekonominya pas -pasan. Artinya, jumlah penghasilan dan besar pengeluarannya sama, impas. Sedang sebanyak 25,85% kehidupan ekonominya minus. Dengan kata lain, lebih dari
xxxix
separuh responden, kehidupannya cukup baik, sedangkan 42,98% kondisi ekonomi keluarga responden pas-pasan, bahkan lebih banyak yang mengalami minus. Tabel 17 Pekerjaan Sampingan Suami Pekerjaan Sampingan Suami Responden
Frequency
Percent
Tidak Jawab
n = 252
1161
82,2
Petani
52
3,7
20,63
Buruh tani
58
4,1
23,00
5
0,03
1,98
29
2,0
11,51
Nelayan Pedagang/berdagang Karyawan Swasta Wiraswasta Guru Swasta
7
0,04
2,78
51
3,6
20,23
5
0,03
1,98
Beternak
17
1,2
6,75
Buruh Bangunan
13
,2
5,16
Serabutan
22
1,6
8,73
1413
100,0
100,00
Total Sumber: data primer
Berbeda dengan kaum perempuan yang boleh jadil lebih fleksibel dan terbuka dalam mencari pekerjaan tambahan, kaum laki-laki umumnya hanya bisa mencari kerja tambahan di sektor pertanian, wiraswasta dan pertukangan. Tabel 18 Penghasilan suami/bln dari pekerjaan sampingan Rupiah
Frequency
Percent
1383
97,88
500.001 – 750.000
8
0,6
750.001 – 1.000.000
14
0,9
1.000.001 – Keatas
8
0,6
1413
100,0
0 – 500.000
Total Sumber: data primer
xl
Dibandingkan dengan penghasilan responden dari kerja sampingan, penghasilan suami mereka jauh lebih kecil tidak saja dilihat dari keseluruhan penghasilan namun juga dari distribusi besarannya. Lihat misalnya, selain prosentase responden yang berpenghasilan di bawah 500 ribu lebih besar dibanding suami mereka, juga distribusi terhadap besaran penghasilan yang lebih besar juga lebih banyak prosentasenya dibandingkan penghasilan suaminya (lihat tabel 16). Studi ini, sekali lagi membuktikan bahwa sumbangan ekonomi dari kaum perempuan terhadap ekonomi keluarga sangat signifikan. Mobilitas Sosial Secara sosiologis ada perbedaan wawasan, pengetahuan dan orientasi sosial antara komunitas petani (termasuk nelayan) dan pedagang. Komunitas petani yang karena pekerjaan dan setting sosialnya yang agraris dan karena itu relatif tidak banyak mobilitas (bepergian) ke luar daerah cenderung konservatif dan agak sulit beru bah. Sebaliknya, komunitas pedagang (wiraswasta) yang karena mobilitas sosialnya relatif tinggi, cenderung lebih kosmopolit karena wawasan, pengetahuan dan orientasi sosialnya relatif lebih luas dan terbuka. Tabel 19 Sarana dan Prasarana transportasi yang dimiliki/biasa dipergunakan : Frequency
Percent
Tidak ada
Jumlah
281
19,88
Sepeda
640
45,3
Sepeda Motor
441
31,12
Mobil
40
2,8
Truk
10
,7
Perahu Total
1
,1
1413
100,0
Hampir semua responden, setidaknya sebagian besar responden mempunyai saran a dan prasarana transportasi yang relatif memadai. Tabel 19 di atas menunjukkan hanya 19,88% responden yang mengaku tidak mempunyai kendaraan jenis apapun. Paling tidak, dan ini jumlah paling banyak adalah memiliki kendaraan sepeda pancal (onthel) sebanyak 45,3%. Sementara itu, terdapat 31,12% yang
xli
biasa menggunakan kendaraan sepeda motor. Mobil dan kendaraan jenis lain juga terlihat biasa dipergunakan meski jumlahnya tidak terlalu banyak. Tabel 20 Frekuensi Bepergian ke kecamatan dan Kabupaten Satu Bulan Terakhir Kecamatan
Frequency
Percent
Tidak Pernah
611
43,3
1- 5
601
42,5
6 – 10
70
4,9
11 – 15
29
2,1
16 – 20
18
1,3
21 – lebih
84
5,9
Tidak Pernah
739
52,3
1– 5
493
34,0
6 – 10
67
4,74
11 – 15
21
1,49
16 – 20
18
1,27
21 – Lebih
75
5,3
1413
100,0
Kabupaten
Total Sumber: data primer
Sebagaimana diungkap dalam tabel di atas, ternyata sebagian besar responden tidak pernah bepergian ke kota kabupaten, termasuk ke kota kecamatan. Data ini mempertegas fenomena bahwa kehidupan petani barangkali memang tidak berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan yang disediakan oleh kota. Apa yang mereka butuhkan, terutama yang berkaitan dengan pekerjaannya di desa, umum nya cukup tersedia di desanya sendiri. Oleh karena itu, wajar apabila mereka jarang bepergian ke kota. Namun, berdasar data sebagaimana tertera pada tabel di atas , responden anehnya justru lebih banyak bepergian ke kota kabupaten dari pada ke kota kecamatan. Fenomena ini sebetulnya wajar-wajar saja, sebab, sebagaimana dikemukakan oleh salah satu responden di Tuban bahwa kegiatan mereka seringkali justru banyak diselenggarakan di kabupaten dari pada di kecamatan. Acara-acara seperti penataran, pelatihan, mengikuti beberapa kali undangan
xlii
seminar tidak pernah dilaksanakan di keca matan, melainkan di kabupaten. Lain halnya alasan yang dikemukakan salah satu responden di Lumajang, bahwa ia hampir sebulan sekali kota Lumajang karena menengok anaknya yang sedang sekolah di SLTA dan indekos di kota. Tabel 21 Pemanfaatan Televisi Jumlah Tidak mempunyai Mempunyai Mempunyai lebih dari 2 Total
Frequency
Percent
199
14,1
1169
82,7
45
3,2
1413
100,0
Meski secara fisik orang tidak biasa bepergian ke luar daerah, namun secara psikologis dapat saja mengetahui perkembangan kondisi dan situasi di luar daerah dengan menonton perkembangannya melalui media televisi. Dengan demikian, maka sesungguhnya mobilitas pikiran seseorang tidak harus dengan mengetahui langsung perkembangan kondisi luar, melainkan dapat dengan melihatnya di televisi. Asumsinya, frekuensi menonton televisi, terutama yang berkaitan dengan perkembangan sutuasi sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan di luar, langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan wawa san, pemikiran dan orientasi sosial seseorang. Sebagaimana dapat dilihat pada tabel 21, sebanyak 82,7% responden mempunyai televisi sendiri di rumahnya; hanya 14,1% yang mengaku tidak mempunyai. Artinya, di hampir setiap rumah responden telah tersedia media informasi yang bisa bermanfaat untuk menambah w awasan dan perkembangan dari luar. Apalagi, hampir 80% responden mengaku hampir setiap hari menonton acara-acara televisi, baik swasta maupun TVRI (lihat tabel 22). Meski tidak semua responden mengaku mempunyai televisi di rumah, namun mereka menyatakan sering menonton televisi, walau harus numpang di tetangganya. Persoalannya, acara macam apakah yang biasa dan paling sering ditonton masyarakat.
xliii
Tabel 22 Frekuensi Menonton TV Jumlah Setiap hari Seminggu sekali Sebulan sekali Total
Frequency
Percent
1115
78,9
289
20,4
9
,7
1413
100,0
Dari sejumlah acara televisi yang ada, studi ini menemukan bahwa ternyata acara sinetron masih yang paling digemari oleh 19,03% responden. Selain sinetron, acara-acara yang bersifat hiburan seperti musik, lawak, dan film, termasuk AFI dan KDI juga mnjadi acara paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Hiburan berupa film pun juga termasuk banyak digemari responden, terutama film India (tabel 23). Tabel 23 Acara Televisi yang Paling Disenangi Acara TV yang Paling Disenangi Berita lokal
Percent
259
18,32
Berita Nasional2
45
3,18
Dialog (politik, ekonomi, dsb)
49
3,46
Hiburan Musik
79
5,59
Hiburan AFI,KDI
155
10,97
Sinetron
269
19,03
Film Nasional
45
3,18
Film Barat
25
1,77
Film India
80
5,66
Kesenian (Wayang, Ludruk, Ketoprak)
45
3,18
Lawak
88
6,23
274
19,39
1413
100%
Apa adanya Jumlah Sumber: data primer
xliv
Frequency
Selain kegemaran menonton acara televisi yang bersifat hiburan, ada hal yang barangkali cukup menggemberikan untuk keper luan dan kepentingan transformasi sosial, yakni prosentase yang cukup tinggi pada kegemaran menonton berita lokal, khususnya seperti ditayangkan salah satu TV swasta di Jawa Timur (JTV) seperti Pojok Kampung yang menggunakan bahasa lokal (daerah). Mereka mengaku senang, bahkan selalu menunggu berita lokal seperti itu, bukan hanya karena ingin mengetahui isi beritanya, melainkan juga tertarik dengan bahasa yang digunakannya. Apalagi, sejak beberapa bulan terakhir, bahasa daerah Jawa Timuran yang dipergunakan semakin banyak, tidak hanya bahasa arek Suroboyoan (yang dalam banyak hal dinilai kasar), tetapi juga mulai digunakan bahasa Madura, Jawa ngoko dan Jawa kromo (halus). Bahkan, di beberapa daerah seperti Madura, Ponorogo, Lumajang, termasuk Surabaya sendi ri acara berita lokal ini termasuk paling digemari oleh para orang tua. Partisipasi dalam Kegiatan Publik Ada kecenderungan pengalaman berorganisasi di masa silam, termasuk ketika masih sekolah, umumnya berpengaruh di kemudian hari terhadap aktifitas da n partisipasi dalam berbagai kegiatan sosial yang ada di masyarakat. Sehubungan dengan itu, studi ini mencoba melacak pengalaman responden ketika masih bersekolah baik ketika masih di SD, SLTP, SLTA sampai perguruan tinggi. Tabel 24 Pengalaman Berorganisasi Ketika di Sekolah (N=432) KETIKA DI No
JENIS KEGIATAN
SLTP/ MTs
SLTA/ MA
MAHA SISWA
Tidak pernah
1
2
3
4
12,2
18,1
0,3
69,4
Olah raga
8,4
6,4
0,6
84,6
Keagamaan
17,8
6,6
6,2
69,4
Pramuka
25,8
9,4
,5
64,3
1
OSIS/Senat
2 3 4
Pengalaman berorganisasi responden ketika masih sekolah atau kuliah ternyata lumayan baik, yakni 30,9%. Artinya, sepertiga responden mengaku pernah terlibat dan berpartisipasi dalam kegiatan -kegiatan di sekolah (kampus). Dari empat jenis kegiatan yang pernah diikuti semasa sekolah, yang paling banyak
xlv
terlibat dalam kegiatan pramuka (35,7%), terutama ketika mereka masih di SD dan SMP. Setelah itu, kegiatan keagamaan dan OSIS juga termasuk banyak diikuti, dan yang paling jarang diikuti adalah kegiatan di bidang olah raga. Tabel 25 Posisi dalam Kegiatan di Sekolah(N=432) Jenis Kegiatan
Anggota Biasa
Menjadi Pengurus
1
Pramuka
26,1
7,6
2
OSIS
17,3
12,5
3
Olahraga
12,8
1,6
4
Keagamaan
21,3
8,2
Sumber: data primer
Beberapa responden, yang kebetulan kini aktif di beberapa kegiatan organisasi di desanya mengakui kalau pengalaman mengikuti berbagai kegiatan semasa di sekolah sangat berperanan menjadikan dirinya aktifis di kampungnya sekarang. “Rasanya tidak enak kalau saya tinggal diam, apalagi menganggur di rumah. Inginnya mengikuti kegiatan di kampung sembari menambah pergaulan, wawasan dan syukur-syukur bisa bermanfaat bagi masyarakat banyak,” kata Siti Maimunah Sumarwati, salah satu aktifis perempuan di Banyuwangi. Dari 432 responden yang pernah mengikuti berbagai kegiatan semasa di sekolah, yang paling banyak mengkui pernah menjadi pengurus pada kegiatan OSIS dan keagamaan. Pengalaman saya menjadi ketua OSIS sewaktu masih di SMP ternyata telah banyak membantu saya sebagai orang yang berani dan tegas dalam semua hal. Saya betul-betul merasakan manfaatnya sekarang, kata Sumiati, salah satu ketua partai politik di tingkat kecamatan di kabupaten Malang. Ketika ditanyakan keikutsertaan responden sejak dua tahun terakhir dalam kegiatan organisasi sosial, keagamaan, politik, termasuk profesi yang ada di lingkungannya, rata-rata (86.7%) tidak menjawab. Artinya, mereka memang belum pernah mengikutinya, atau sebetulnya pernah ikut terlibat, bahkan ada yang menjadi pengurus, namun sejak dua tahun terakhir mengaku tidak lagi aktif dengan berbagai alasan. Tentang partisipasi responden dalam 12 organisasi (baik organisasi sosial, politik, keagamaan, profesi, dll) yang ada di lingkungannya, prosentase partisipasi paling tinggi adalah dalam kegiatan pengajian (66,8%), kemudian diikuti kegiatan PKK (27,9%) dan organisasi (jam’iyah) NU (22,2%). Kegiatan pengajian, harus diakui menjadi salah satu kegiatan yang telah sejak lama paling banyak diikuti kaum perempuan. Kegiatan ini bisa jadi satu-satunya wadah kaum perempuan
xlvi
yan g tidak mengenal golongan politik apapun. Meski ada kelompok pengajian AlHidayah yang dikelola Golkar, namun kegiatan pengajian ini tidak dapat menarik perhatian banyak pihak karena sifatnya yang dinilai elitis. Sebaliknya, kegiatan pengajian selalu ada di kampung, bahkan mulai tingkat RT, RW, desa/kelurahan, kecamatan sampai kabupaten. Selain itu, pengajian juga diselenggarakan hampir di setiap Musholla, Langgar maupun Masjid. Institusi keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU acapkali juga melakukan kegiatan keagamaan. Selain itu, hampir semua institusi negara, swasta, sekolah maupun lembaga-lembaga lain juga sering menyelenggarakan kegiatan pengajian, terutama pada momen -momen Peringatan Hari Besar Islam (PHBI). Tabel 26 Aktifitas Perempuan Berdasarkan Lokasi Kegiatan
No
JENIS ORGANISASI
RT/RW
Dusun
LOKASI Ds/Kel
Kec
Kab 5
Nas
Tidak Menjawab
1
2
3
4
6
7
1
Dasa Wisma
9.5
0.6
1.3
0.2
-
-
88.4
2
PKK
9.4
4.2
13.0
1.2
0.1
-
72.1
3 4
Karang Taruna Organisasi NU
1.9 2.2
1.5 4.7
4.8 10.0
0.2 4.1
1.2
-
91.6 77.8
5
Muhamadiyah
6
Pengajian
7
0.2
0.6
1.7
0.9
0.5
-
95.6
18.8
17.8
16.6
2.7
0.8
0.1
43.2
LSM
0.4
0.1
0.5
0.5
0.8
-
97.7
8
Organisasi Kepemudaan
0.9
0.5
1.4
0.5
0.6
-
96.0
9
BPD
-
-
0.1
-
-
-
99.0
10
Organisasi Politik
-
-
0.5
0.6
0.2
-
98.7
11
Organisasi Profesi
0.1
0.2
0.1
1.1
1.0
0.1
97.3
12 13
Paguyuban Posyandu
0.5 5.6
0.4 5.9
0.6 0.4
0.2 0.4
0.1 -
-
98.3 83.4
Sumber: data primer
Singkatnya, kegiatan pengajian sudah menjadi kegiatan publik, milik publik dan bahkan milik negara. Artinya, kegiatan pengajian justru menarik semua orang dan karena itu acapkali banyak dikunjungi semua kelompok masyarakat manakala kegiatan pengajian itu menjadi bagian dari program PKK, Karang Taruna, baik
xlvii
pada tingkat RT, RW, dusun, desa, kelurahan, kecamatan atau kabupaten (bukan pengajian dari salah satu organisasi keagamaan semisal NU atau Muhammadiyah). Sebagai contoh, sudah sejak lama kegiatan pengajian yang diselenggara kan oleh PKK di salah satu desa di Kabupaten Blitar yang hadir sampai ratusan ibuibu. Ketika kegiatan ini diambil alih oleh salah satu organisasi keagamaan, maka yang hadir tidak lebih dari 40 orang ibu. Salah satu ibu yang ketika tidak mau hadir dan menjadi responden penelitian ini mengemukakan : “pengajian ini sudah lama cukup baik dan lancar, dan yang hadir sampai 400 orang setiap diadakan pengajian di Balai Desa. Orang ngaji itu tidak dan bukan milik siapa -siapa, tapi milik warga muslimin semua. Karena milik semua orang, maka sebaiknya yang mengelola PKK sehingga bisa lancar kembali. Kalau tahu-tahu diambil dan diatasnamakan oleh kelompok begini, akibatnya kacau seperti ini,” katanya. Selain pengajian, kegiatan publik nomor dua yang paling banyak diikuti responden adalah PKK. Hal ini bisa dipahami karena kegiatan ibu -ibu seperti dalam PKK tersebut ditemukan di hampir semua desa/kelurahan, bahkan di semua instansi pemerintah. Meskipun demikian, aktifitasnya sangat tergantung pada kapasitas dan kemampuan pengelola di setiap desa atau kelurahan, sehingga tidak semua desa atau kelurahan aktif dan banyak kegiatan. Selain pengajian dan PKK, kegiatan keoragnisasian yang juga sangat banyak diikuti responden adalah di jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Seperti diketahui, dalam organisasi jam’iyah NU, setidaknya ada lebih dari 20 lembaga, badan otonom dan lajnah yang di dalamnya setidaknya terdapat beberapa lembaga dan banom yang secara khusus merupakan jam’iyah perempuan. Misalnya, Muslimat (diperuntukkan bagi ibu-ibu), Fatayat (diperuntukkan bagi kaum muda perempuan), IPPNU (organisasi pelajar-mahasiswa putri NU), belum lagi ada LKK (Lembaga Kajian Kesejahteraan Keluarga), Mabarot, dst. Oleh karena itu sangat wajar apabila banyak kaum perempuan di pedesaan yang terlibat dalam organisasi keperempuanan di NU. Apalagi, Jawa Timur merupakan sentrum basis NU di Indonesia. Dalam hal keterlibatan dalam organisasi politik, meski masih sangat sedikit responden yang terlibat, setidaknya ada 1,3% (19 responden) yang sudah menjadi aktifis partai politik di desanya. Sembilan dari 19 responden tersebut berlatarbelakang keluarga yang menjadi aktifis partai politik tertentu, sehingga sejak kecil ia sudah terbiasa dengan politik. Sedangkan 10 orang yang lain tertarik politik karena berbagai alasan, antara lain: diajak teman, ditawari oleh partai politik untuk bergabung, sampai karena kesadarannya sendiri untuk bergabung. Yang terakhir ini didasari oleh keyakinan bahwa perjuangan apapun diyakininya harus melalui politik. Seperti dikemukakan oleh salah satu responden di Kediri bahwa: Untuk era sekarang ini, kalau kita mau memperjuangkan sesuatu tidak akan bisa berhasil dan sukses kalau tidak lewat partai politik
xlviii
atau menjadi anggota DPRD. Sebab, merekalah yang sekarang berkuasa menentukan undang-undang atau perda. Mereka pula yang menyetujui program atau usulan kegiatan dari bupati, gubernur dan presiden. Jadi menurut saya di ruang sidang DPRD itulah perjuangan yang paling strategis untuk memperjuangkan kepentingan rakyat ... Model atau strategi gerakan perjuangan ala responden di atas adalah model gerakan atau perjuangan struktural. Ini memang cukup strategis dibandingkan dengan model-model gerakan dan atau perjuangan parlemen jalanan. Hanya persoalannya apa yang disampaikan tersebut tidak mudah dilakukan. Realitasnya, banyak orang yang sebelum menjadi anggota DPR bicara sangat radikal dan idealis, namun ketika sudah menjadi anggota DPR suaranya hilang bagai ditelan bulan, kata Choirunnisa’, salah satu responden dari Malang Tabel 27 Aktifitas Perempuan Berdasar Posisi dalam Organisasi STATUS No
JENIS ORGANISASI
Anggota Biasa
Pengurus
Tidak Menjawab
1
2
3
7,6
4,2
88,2
19,8
7,5
72,7
5,2
2,9
91,9
13,4
9,3
77,3
2,8
1,7
95,5
47,5
8,7
43,8
LSM
1,0
1,2
97,8
8
Org. Kepemudaan
1,6
2,2
96,2
9
BPD
,6
,4
99,0
10
Organisasi Politik
,5
1,2
98,3
11
Organisasi Profesi
1,9
,9
97,2
12
Paguyuban
1,1
,4
98,4
13
Posyandu
5,6
5,9
83,4
1
Dasa Wisma
2
PKK
3
Karang Taruna
4
Organisasi NU
5
Org. Muhamadiah
6
Pengajian
7
xlix
Sebagaimana dapat dilihat pada tabel 26 bahwa lokasi kegiatan organisasi yang paling banyak diikuti adalah pada tingkat desa/kelurahan (4.24%), diikuti kegiatan pada lingkungan RT dan RW (4.13%) disusul di tingkat dusun (pedukuhan) dengan rata-rata 3.04%. Itu artinya bahwa desa atau kelurahan tetap menjadi pusat kegiatan kaum perempuan. Berkaitan dengan status dalam berbagai kegiatan publik seperti tampak pada tabel 27, yang paling banyak menjadi pengurus adalah dalam organisasi (kegiatan) pengajian ibu-ibu (9,3%), kemudian diikuti PKK, pengajian, Dasawisma dan Posyandu. Banyaknya responden aktif dalam empat kegiatan di atas, terutama dasawisma, PKK dan Posyandu karena kegiatan-kegiatan tersebut berkaitan langsung dengan aktifitas perempuan. Oleh karena itu, wajar kalau perempuan yang mengelola dan mengurusi kegiatan tersebut. Tetapi, jika memperhatikan kegiatan yang banyak diikuti perempuan sebagaimana tertera pada tabel 27 di atas, yang juga di dalamnya melibatkan kaum laki-laki, umumnya masih banyak dipimpin dan lebih banyak diwarnai dominasi laki-laki. Meski demikian, sudah mulai banyak perempuan yang juga menjadi pengurus, walau sekali lagi, kepengurusan yang dipegang perempuan tersebut masih saja berkaitan dengan bidang keperempuanan. Misalnya, sekretaris atau bendahara di organisasi profesi dan Karang Taruna, sie kewanitaan di parpol, kajian dan pemberdayaan perempuan di LSM, dan seterusnya. Hampir langka ditemukan ada ketua dari beberapa organisasi yang ada yang diketuai oleh perempuan. Terlepas dari posisioning perempuan dalam berbagai organisasi yang diikutinya, betulkah partisipasi perempuan dalam organisasi-organisasi tersebut atas kesadarannya sendiri? Sebagaimana tampak pada tabel 28, studi ini menemukan bahwa di antara empat motivasi yang terungkap, prosentase paling banyak menunjukkan motivasi responden mengikuti berbagai kegiatan publik karena atas kemauannya sendiri. Dibandingkan dari ketiga motivasi lainnya, dorongan dari dirinya sendiri rata-rata paling besar, yakni 8,98%, kemudian diikuti faktor ajakan teman atau tetangga (1,24%), dorongan suami (0,75%) dan faktor orang tua (0,24%). Data di atas setidaknya membuktikan bahwa niat, kehendak dan semangat dari dalam diri perempuan sesungguhnya cukup signifikan untuk aktif berparisipasi dalam kegiatan-kegiatan publik. Persoalannya bukan lagi pada mau atau tidak mau, melainkan ada atau tidak adanya kesempatan bagi perempuan untuk terlibat dalam organisasi publik yang umumnya masih banyak dikelola oleh laki -laki, termasuk dipartai politik misalnya.
l
Tabel 28 Aktifitas Perempuan Berdasarkan Motivasi dan Siapa yang Mendorong
No
JENIS ORGANISASI
MOTIVASI Kemauan sendiri
Orang Tua
Suami
Teman/ tetangga
Lain nya
Tidak Menjawab
1
2
3
4
5
6
8,3 19,6
,2
,2 1,9
1,8 2,8
,5 ,7
89,2 74,5
Karang Taruna
5,8
,2
,2
1,3
,1
92,4
Organisasi NU
18,1
,3
1,3
1,3
,1
78,9
5
Org Muhamadiyah
3,5
-
,2
,3
,1
95,9
6
Pengajian
41,0
1,2
4,6
5,8
,5
46,8
7 8
LSM Org. Kepemudaan
1,7 3,0
,1 -
,1 ,1
,3 ,5
,1 -
97,7 96,3
9
1 2
Dasa Wisma PKK
3 4
BPD
,4
-
-
-
,1
99,5
10
Organisasi Politik
,9
,2
,1
,1
,1
98,6
11
Org Profesi
2,1
,1
,1
,2
,2
97,3
12
Paguyuban
,9
,1
,1
,1
,2
98,6
13
Posyandu
11,4
,4
,6
1,6
,3
85,7
Sumber: data primer
Yang menarik diperhatikan adalah adanya faktor suami. Meski jumlahnya tidak terlalu besar, namun hal ini penting dicermati karena dari berbagai persoa lan partisipasi perempuan dalam kegiatan publik, faktor suami acapkali menjadi kendala pertama dan utama. Seperti dituturkan oleh salah seorang responden yang kini menjadi aktifis kegiatan perempuan di Kabupaten Ponorogo : Sungguh saya sangat bersyukur dan sangat senang tiada tara karena suami saya mengijinkan, bahkan sangat mendorong saya untuk bisa membantu orang lain dengan aktif di beberapa kegiatan sosial yang ada di sekitar saya. Padahal sebelumnya dia melarang saya ikut-ikutan perempuan lain yang ia sebut sebagai ‘hura-hura’ di organisasi. Memang, ketika dilarang, saya tidak melawan dan menentangnya, sebab, bagaimanapun ia adalah suami saya yang harus saya patuhi dan taati. Tetapi, sedikit demi sedikit, setiap ada kesempatan bisa ngobrol, terutama ketika menjelang tidur malam, saya selalu membicarakan kegiatan ibu-ibu di yayasan sosial yang ada di desa … yang pokoknya ngobrol dan ngomong
li
sambil santai dan tiduran. Ternyata, dengan cara seperti itu, ‘kekakuan’ suami saya sedikit demi sedikit menjadi lu ntur, semakin mengerti dan memahami tentang kegiatan ibu-ibu di kampung dan yayasan sosial hingga akhirnya malah dia yang pertamakali menyuruh dan hingga sekarang terus mendorong saya bisa aktif di yayasan sosial. Ketika itu, bak petir di siang bolong, ketika suami saya tahu-tahu ngomong: ‘bu, opo awakmu kepengen nderek kegiatan ibu-ibu to … wis gak opo-opo, budalo … tak dukung, tapi sing ngati-ati lho ya!!”. Alangkah kaget dan senangnya saya ketika itu. Waduh, saya justru semakin sayang dan menghormati suami saya. Hingga kini, suami saya tetap terus mendukung saya, bahkan sering memberikan masukan dan kritik kepada saya. Kini, saya tidak saja aktif di yayasan sosial, bahkan juga di beberapa kegiatan perempuan lain, termasuk kemarin di ajak teman untuk masuk ke kepengurusan partai…, aduh alhamdulillah!!, katanya” Sementara itu, jika memperhatikan sebaran angka pada tabel 28 berdasar kolom terlihat bahwa prosentase paling banyak yang bersumber dari kemauan sendiri terlihat pada kegiatan pengajian (41%), kemudian diikuti kegiatan PKK, organisasi NU, Posyandu, dasawisama, dan seterusnya. Sementara itu, yang karena ajakan teman atau tetangga umumnya juga terlihat pada kegiatan pengajian, PKK, dasawisama dan Posyandu. Sedangkan yang dipengaruhi dorongan suami selain pengajian, juga terlihat pada kegiatan PKK, Posyandu, organisasi NU dan Muhammadiyah. Yang jelas, semua motivasi yang ada, prosentase paling banyak tertuju pada kegiatan pengajian. Sebagaimana disebutkan di atas, pengajian sudah menjadi milik publik sehingga hampir semua orang bisa mengikutinya. Pengajian dinilai penting tidak saja agar orang bisa lebih tahu dan memahami ajaran agama, tetapi juga untuk sosialisasi sesama orang yang dinilai lebih paham agama sehingga perilaku ibu-ibu baik dalam mendidik anak maupun dalam mengatur keluarganya sehari-hari bisa lebih baik. Selain ada faktor pendorong, terdapat sejumlah alasan mengapa perem puan mau dan bersedia aktif di organisasi publik. Studi ini menunjukkan bahwa alasan yang umumnya dikemukakan utamanya karena untuk menambah wawasan dan memperbanyak pergaulan sosial, sehingga bisa mengikuti perkembangan keadaan di luar rumah. Alasan lain cukup banyak dan variatif, namun yang paling banyak adalah kedua alasan tersebut.
lii
Tabel 29 Aktifitas Perempuan Berdasarkan Alasan ALASAN No
JENIS ORGANISASI
Kewajiban
Pergaulan
Wawasan
Daripad a Bengong
Lainnya
Tidak Menjawab
1
2
3
4
5
7
1
Dasa Wisma
3,9
1,9
3,1
,2
1,7
89,2
2
PKK
9,9
2,5
8,4
1,1
2,9
75,2
3
Karang Taruna
2,2
,8
2,9
,3
1,6
92,2
4
Organisasi NU
4,5
3,3
9,6
1,2
2.
79,4
5
Org Muhamadiyah
1,2
,6
1,7
,4
,2
95,9
6
Pengajian
13,2
5,8
21,4
7,7
4,1
47,8
7
LSM
,5
,3
,8
,1
,2
98,1
8
Org. Kepemudaan
1,3
,7
1,1
,3
,1
96,5
9
BPD
,4
,1
,1
-
-
99,4
10
Organisasi Politik
,5
,1
,4
-
,2
98,8
11
Organisasi Profesi
,8
,1
1,0
-
,3
97,8
12
Paguyuban
,2
,4
,5
,1
,2
98,6
13
Posyandu
6,3
,9
4,7
,6
1,5
86,0
Sumber: data primer
Dari beberapa alasan yang dikemukakan, alasan untuk menambah wawasan dan pengetahuan terlihat paling banyak. Hal ini mengindikasikan bahwa responden sangat berkeinginan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya. Mereka juga ingin lebih maju, lebih berkembang dan karenanya juga dapat lebih berperanan tidak saja dalam mengelola keluarganya, melainkan juga dalam kehidupan sosial. Demikian beberapa alasan yang dikemukakan beberapa responden, misalnya seperti berikut: Saya ikut kegiatan di kampung tidak hanya ikut-ikutan, tapi tentu ada maksudnya. Ya, selain menambah teman, juga lebih penting menambah pengetahuan, wawasan, dan kemampuan saya. Saya nggak mau ngumpet di rumah terus. Maunya ingin terus maju dan berkembang. Dengan ikut kegiatan ibu-ibu saya bisa menjadi lebih banyak tahu bagaimana hidup sehat, bagaimana mendidik anak,
liii
bagaimana melayani suami, bagaimana bergaul yang baik dan benar sehingga hidup ini bisa lebih baik. Jamannya kan sudah berubah ... masak perempuan hanya disuruh di rumah saja ... kan nggak bisa maju-maju ... Betulkah organisasi sosial, keagamaan, profesi, dan lain -lain itu hanya berkaitan dengan kegiatan-kegiatan ritual-seremonial belaka? Tidak pernahkan dalam kesempatan mereka bertemu dalam suatu kegiatan di masing-masing organisasi secara sadar (dan terncana atau menjadi agenda?) juga dibicarakan hal-hal lain yang bersifat dan bernuansa kepentingan publik? Memang, tidak semua responden selalu mengikuti kebijakan atau keputusan hasil rapat desa atau kelurahannya. Namun, dari 1413 responden, sebanyak 133 responden (9,4%) menyatakan selalu mengikuti setiap kebijakan pemerintahan desa/kelurahan. Sebanyak 28,2% mengaku hanya kadang-kadang saja mengikuti karena kebijakan itu menjadi sorotan dan perhatian masyarakat banyak, khususnya kaum perempuan (tabel 30). Tabel 30 Selalu Mengikuti-Tidak Terhadap Kebijakan/Keputusan Rapat Desa/kelurahan Frequency
Percent
Tidak Jawab Ya, selalu
Jumlah
48 133
3,4 9,4
Kadang-kadang
399
28,2
Tidak pernah
833
59,0
1413
100,0
Total
Tabel 31 Pernah–Tidak Menyetujui Kebijakan/ Keputusan Pemerintah Desa/Kelurahan Jumlah Tidak Pernah
Frequency 851
Percent 60,2
Ya, pernah
168
11,9
Kadang-kadang
214
15,1
Tidak pernah
180
12,7
1413
100,0
Total
liv
Meski demikian, ternyata ada 11,9% responden mengaku pernah menolak dengan tegas kebijakan dari pemerintahan desa/kelurahannya, sedang yang kadang-kadang juga ikut menolak kebijakan pemerintah manakala kebijakan itu sudah sangat keterlaluan memberat masyarakat, baik secara ekonomi maupun sosial serta keagamaan sebesar 15,1% (tabel 31). Misalnya, persoalan permainan bilyar di kampung-kampung yang meresahkan masyarakat, lokalisasi, tarikan agustusan, lokasi pengajian, penetapan hari raya, dan sebagainya. Tabel 32 Yang Dilakukan Jika Tidak Menyetujui Kebijakan/Keputusan Pemerintah Desa/Kelurahan Jumlah
Frequency
Percent
1043
73,8
Mengadukan ke RT
89
6,3
Mengadukan ke RW
15
1,1
Mengadukan ke Pamong (Perangkat Desa)
58
4,1
Mengadukan ke BPD/LMD
44
3,1
Mengadukan ke Tokoh masyarakat (Tomas)
84
5,9
Lainnya
80
5,7
1413
100,0
Tidak Jawab
Total Sumber: data primer
Institusi RT, meski tidak secara formal dan struktural berada dalam jalur komando pemerintahan desa/kelurahan, namun bagi masyarakat, justru RT lah yang paling banyak menjadi sasaran pengaduan responden. Paling tidak, 6,3% responden selalu melaporkan dan atau mengadukan setiap ada persoalan (baik sosial maupun keluarga) ke RT, bukan ke institusi BPD (LKMD/LMD) atau langsung ke pemerintahan desa/kelurahan. Selain RT, sasaran pengaduan masyarakat juga ke tokoh masyarakat, seperti ke kyai, guru atau orang yang dituakan di desa. Pengaduan ke BPD justru relatif kecil (3,1%) dibanding pengaduan ke pamong desa misalnya hanya 4,1%. Fenomena tersebut membuktikan bahwa masyarakat, selain mungkin belum mengetahui substansi, konsekuensi dan dampak pengaduan yang dilakukan, juga belum banyak mengerti prosedur yang seharusnya. Oleh karena itu, masyarakat masih lebih tertarik ke tokoh -tokoh jalur informal karena pengalaman hubungan emosional dan faktor kultural-tradisonal.
lv
Tabel 33 Pernah-Tidak Dibicarakan Tentang Kebijakan Pemerintah yang Dinilai Meresahkan Masyarakat dalam Organisasi yang Diikutinya PERNAH –TIDAK
Tidak Menjawab
NO
PERMASALAHAN YANG DINILAI MERESAHKAN
Pernah 1
2
3
1
Deskriminasi Terhadap Perempuan
20,2
57,3
22,5
2
Iuran Kebersihan Kampung
26,9
46,1
27,0
3
Tarikan Desa/Kelurahan
34,0
40,1
25,9
4
Kenaikan Listrik
30,8
42,0
27,2
5
Beaya Sekolah Anak
24,7
40,6
34,7
Tidak
Sumber: data primer Studi ini menemukan bahwa ternyata dalam aktifitas keorganisasi yang di ikuti oleh responden tidak hanya dilakukan aktifitas ritual saja, melainkan juga dibicarakan hal-hal yang dinilai menjadi persoalan, bahkan meresahkan masyara kat (27,32%). Tabel 33 di atas menunjukkan pada jenis persoalan apa dan berapa prosentasenya permasalahan sosial yang meresahkan tersebut pernah dibicarakan dalam kegiatan organisasi yang diikutinya. Diantara permasalahan penting yang pernah dibicarakan dalam kegiatan organisasinya, paling banyak adalah persoalan besaran tarikan kampung (desa/ kelurahan), termasuk di dalamnya pajak (PBB) sebesar 34,0%, kemudian diikuti masalah kenaikan listrik (30,8%), iuran kebersihan kampung (biasanya di tingkat RT/RW) (26,9%), semakin mahalnya biaya pendidikan anak (24,7%) termasuk tarikan-tarikan oleh sekolah, uang seragam, uang buku, dan sebagainya, dan yang paling kecil prosentasenya adalah adanya deskriminasi terhadap perempuan. Yang menarik diperhatikan dari permasalahan sosial tersebut adalah tentang cara menyampaikan aspirasi mereka. Studi ini menemukan, hampir tidak ada dan tidak pernah dilakukan upaya penyampaian aspirasi melalui cara-cara kelembagaan (institusional) organisasinya, misalnya mengatasnamakan PKK, kelompok penga jian, atau yang lainnya. Memang, ada beberapa responden yang mengaku pernah menyampaikan aspirasi tentang permasalahan sosial dengan mengatasnamakan organisasi, seperti melalui muslimat, fatayat, atau jaringan peduli perempuan. Namun hal ini sangat langka dan jarang dilakukan. Yang paling lazim dilakukan justru dengan cara -cara personal dan individual (sendiri-sendiri). Prosentasi paling banyak hanya dilakukan sendiri-sendiri, secara pribadi, hanya kadang-kadang saja yang dilakukan secara bersama -sama (dengan mengajak beberapa orang yang mau diajak).
lvi
Tabel 34 Cara Menyampaikan Permasalahan Sosial Cara No
CARA YANG PILIH
Sendiri
Bersama
Lainnya
Tidak Menjawab
1
2
3
4
12,1
3,8
,6
83,5
Lewat Surat
1,8
1,9
,1
96,2
Rapat Resmi
1,1
4,7
,1
94,1
4
Unjuk Rasa
,3
,6
,2
98,9
5
Berunding
,5
,5
-
99,0
1
Melaporkan Langsung
2 3
Sumber: data primer Memang pada tabel 34 terlihat angka 4,7% yang menggunakan cara melalui rapat resmi dan kemudian disampaikannya secara bersama-sama. Namun, umumnya itu dilakukan tidak dengan mengatasnamakan institusinya, meski sebelumnya dilakukan musyawarah di organisasinya. Peran Politik Perempuan Lingkungan sosial budaya dan keadaan sistem politik makro yang kurang kondusif menyebabkan belum terjaminnya perempuan politisi berperan sebagai pengambil keputusan politik. Dominasi laki-laki di parlemen/legislatif merupakan mata rantai kecilnya peran perempuan di sekt or politik. Program affirmative action yang telah diakomodasi dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, yang tertera pada Pasal 65 ayat 1, yang menyatakan: "Setiap partai politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang -kurangnya 30 persen" juga masih terganjal dalam kerangkeng kultural. Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan program affirmative action kondisi lembaga legislatif hasil Pemilu 2004 bisa mendekati perbandingan yang proporsional, tidak lagi dominan diisi laki -laki dan wajah demokrasi pun berubah dari diskriminatif menjadi partisipatif. Tetapi yang terpenting, di dalam kedudukannya di legislatif itu nantinya perempuan berpeluang besar terlibat dan memiliki otoritas pengambilan keputusan strategis bagi kepentingan dan kebutuhannya yang selama ini kurang bahkan belum disentuh oleh policy makers . Daerah Jawa Timur secara garis besar mewakili berbagai karakteristik dari keadaan Indonesia. Berdasarkan Gender Development Index (GDI) Jatim menem-
lvii
pati rangking 22 dari 26 provinsi Indoneisa (1999) dengan nilai 61,8 (dari nilai absolut 100). Provinsi ini memiliki luas wilayah 46.429 km2 dengan tingkat kepadatan penduduk 732 (tahun 2000) dan naik menjadi 728 pada tahun 2001. Jumlah penduduk Jatim tahun 2001 adalah 34.250.524 juta jiwa, laki-laki 16.818.069 (49,05 %) jiwa dan perempuan 17.467.455 jiwa (50,95 %). (Jawa Timur Dalam Angka 2001) Propinsi Jatim secara kultural memiliki empat subkultur, yaitu Arek, Mataraman, Pendalungan dan Madura. Dengan kategorisasi subkultur ini memudahkan dalam melihat hubungan antara tingkat status perempuan dengan intensitas pembangunan dan laju industrialisasi. Identifikasi status perempuan dalam subkultur itu berkorelasi dengan status perempuan pada masing-masing wilayah. Status perempuan pada subkultur Madura atau Pendalungan menempati urutan terendah. Dilihat dari tingkat Gender Empowerment Measure (GEM), Jatim menempati urutan ke empat dari 26 provinsi dan ini terlihat dari angka partisipasi perem puan di legislatif sebesar 11% dibanding rata-rata nasional sebesar 8,5%. Artinya, upaya memberdayakan dan memperkuat peran politik perempuan di Jatim pe luangnya cukup besar sehingga program-program yang berkait dengan pember dayaan perempuan bisa berkembang dan berhasil. Namun secara umum, studi ini menemukan bahwa peran politik perempuan dalam kegiatan publik, apalagi dalam organisasi politik (dan kebijakan publik) masih relatif kurang. Masih rendahnya peran perempuan dalam kegiatan politikpublik ini antara lain disebabkan terutama oleh kurangnya kesempatan dari institusi publik yang selama ini ‘dikuasai’ laki-laki, baik itu di pemerintahan (termasuk pemerintahan di tingkat desa), maupun di organisasi-organisasi publik lainnya. Alasan paling banyak disebut oleh responden adalah pihak kelurahan/ kepala desa – dan dalam beberapa hal juga partai politik yang ada –sangat jarang (bahkan hampir tidak pernah) mengundang dan melibatkan perempuan dalam berbagai kegiatan mereka yang bersifat publik. Kalaupun dilibatkan, mereka lebih banyak berkaitan dengan bidang “keperempuanan” seperti mengurusi soal-soal akomodasi, konsumsi, lobbying, dan sebagainya. Meski demikian, secara sosio -antropologis, ada kecenderungan ke arah perubahan yang lebih baik terhadap kiprah perempuan di masyarakat. Masyarakat secara umum sudah tidak lagi terlalu mempermasalahkan aktifitas perempuan dalam kegiatan-kegiatan di luar rumah (lihat tabel 35). Dari 1413 responden yang diwawancarai sebanyak 13,8% mengaku masih ada saja yang suka mempermasalahkan keterlibatan perempuan dalam kegiatan di luar rumah. “Mereka itu, umumnya selalu berpikiran negatif (su’udzon) kalau ada perempuan mengikuti kegiatan desa,” kata Retno, responden dari Pasuruan
lviii
Tabel 35 Apakah masyarakat masih mempermasalahkan jika ada kaum perempuan berpartisipasi dalam urusan luar rumah (misalnya kebijakan pemerintah desa)? Frequency
Percent
Masih mempermasalahkan
Jumlah
195
13,8
Kadang-kadang
511
36,2
Sudah tidak lagi
624
44,2
Tidak Tahu Total
83
5,9
1413
100,0
Sumber: data primer
Selain pihak yang masih mempermasalahkan aktifitas perempuan di luar rumah (kegiatan publik) yang berasal dari masyarakat awam, yang biasanya suka mempermasalahkan aktifitas tersebut adalah “orang tua” dan tokoh agama – meskipun sejak lima tahun terakhir sudah mulai tidak terdengar lagi. Tampaknya, mereka sudah mulai mengerti dan memahami aktifitas ibu -ibu di desanya, kata Maimunah responden dari Pamekasan. Ia selanjutnya mengatakan: Orang tua saya, dulu sangat keras melarang saya ikut-ikutan organisasi di kampus. Bahkan setelah saya selesai kuliah pun masih dilarang ikut kegiatan di masyarakat. Alasannya, pekerjaan organisasi itu pekerjaannya orang laki, bukan perempuan, kata ayah saya. Tetapi, setelah kakak saya kawin dengan perempuan yang menjadi pengurus salah satu organisasi profesi, bapak saya tahutahu terdiam, nggak bisa bicara lagi. Karena istri kakak saya itu orangnya pintar, trampil, cekatan dan relatif mumpuni. Sejak itu, bapak saya tidak pernah lagi mempermasalahkan saya aktif di organisasi partai. Fenomena serupa yang pernah dialami oleh salah satu responden dari Tuban. Ketika ia mulai terlibat dalam beberapa organisasi di desanya, hampir semua tetangganya membicarakan dirinya. Hampir semua pembicaraan tentang dirinya tidak ada yang enak di dengar. “Semuanya memojokkan dan bahkan menuduh saya yang tidak-tidak.” Ia selanjutnya mengemukakan, Saya sih bisa mengerti omongan dan komentar mereka tentang saya seperti itu, karena kalau mereka tahu, saya yakin mereka tidak akan bicara seperti itu. Ya, saya biarkan saja. Biar mereka
lix
tahu sendiri nanti tentang apa yang saya lakukan di organisasi. Tapi kadang-kadang telinga saya panas, nggak tahan komentar orang-orang di sekitar saya tersebut. Mereka enak saja ngomong (menuduh) saya sebagai wanita tak tahu diri, murahan, tidak laku kawin, dst. Suatu saat, saya ada kegiatan sosial bersama salah seorang kyai yang cukup terkenal dari salah satu pondok pesantren yang relatif di segani untuk menyantuni anak-anak yatim dan pendampingan masyarakat melalui program pengentasan kemiskinan. Karena sering pergi bersama-sama kyai, santri dan temanteman LSM lain, akhirnya mereka tahu sendiri apa dan bagaimana saya ... Studi ini juga menemukan bahwa sesungguhnya faktor-faktor kultural seperti idiologi patriarki sudah relatif tidak terlalu dominan lagi, setidaknya menurut persepsi (sikap) responden. Artinya, para perempuan secara kultural tidak merasa canggung, enggan, apalagi sampai takut jika ikut terlibat dalam ber bagai kegiatan publik, termasuk politik sekalipun. Persoalannya, mereka merasa tidak diberikan kesempatan dan apalagi dilibatkan dalam berbagai kegiatan desa, termasuk rapat-rapat desa. Studi ini juga menemukan bahwa di masyarakat lapisan bawah sesungguhnya sudah mulai terbangun kesadaran gender yang menjanjikan untuk perkembangan kemandirian perempuan di masa mendatang. Namun, sekali lagi, hal ini masih sangat tergantung dari situasi struktur politik pemerintahan pada tingkat lokal (desa/kelurahan) dan kebijakan partai politik. Selain faktor struktur politik lokal, juga penting diperhatikan hadirnya ‘tokoh’ gerakan perempuan, khususnya dari dalam desa sendiri, bukan dari luar desa. Sebab, secara sosiologis situasi sosial kaum perempuan di pedesaan, khususnya sejak reformasi 1997, banyak dinilai dan dipahami oleh masyarakat, termasuk kaum perempuan sendiri, semakin kondusif untuk “publikasi” kegiatan. Situasi kondusif ini tidak saja ditopang oleh situasi keluarga (sikap suami yang semakin terbuka dan anak-anak yang sudah mulai bisa ‘lepas’ dari ibunya), namun juga oleh usia responden yang umumnya masih relatif muda, sehingga banyak ibu ibu di pedesaan yang mempunyai cukup waktu senggang dan bisa dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan produktif dan konstruktif. Meski belum banyak perempuan di pedesaan yang aktif dalam kegiatan publik, namun setidaknya ada 9,4% yang mengaku selalu mengikuti kebijakan/ keputusan pemerintah, khususnya kebijakan pemerintah desa (kelurahan). Bahkan, ada 11,9% responden yang mengaku sering tidak sependapat (dan acapkali juga menolak) kebijakan pemerintah tersebut. Yang menarik, saluran untuk menyampaikan ketidaksetujuannya bukanlah ke BPD atau langsung ke kepala desa
lx
(kantor kelurahan), melainkan mengadukannya ke RT, ke tokoh masyarakat, bahkan ke pamong desa (khususnya ke kepala dusun). Selain itu, media yang dipergunakan untuk menyampaikan ketidaksetujuan tersebut bukannya melalui surat, audiensi, meminta penjelasan (klarifikasi) kepada pemerintah, atau apapun sebagai hasil musyawarah atau rapat, melainkan disampaikannya secara individual (perseorangan). Jadi, jalur kelembagaan masih belum bisa ditempuh sebagai media komunikasi. Dengan kata lain, meski sudah mulai ada tanda-tanda kesadaran dan kepekaan sosial, namun mereka masih sangat lemah pada tataran organisasi. Barangkali di sinilah konteks penting dan strategisnya bimbingan dan fasilitasi dari pemimpin (tokoh) gerakan. Tabel 36 Ada-Tidak Ada Tanggapan Yang Mengarah Kepada Perubah an Keadaan Jumlah
Frequency
Percent
1067
75,5
Ya ada
231
16,3
Tidak ada
111
7,9
Tidak Jawab
Belum Tentu Total
4
,3
1413
100,0
Apakah aspirasi masyarakat yang berhasil disampaikan kepada pihak pemerintahan desa bisa diterima dan ditanggapi? Tern yata menurut 16,3% responden aspirasi yang disampaikan itu akan ditanggapi oleh pihak pemerintah desa/kelurahan. Hanya 7,9% yang secara tegas menyatakan bahwa pemerintahah (desa/kelurahan) akan tetap ndableg, nggak ngreken alias tidak menanggapi dengan serius laporan dan aspirasi masyarakat tersebut (lihat tabel 36).
lxi
Tabel 37 Yang Dilakukan Jika tidak ada Tanggapan (n=111) Yang Dilakukan
Percent
Yang sudah, biarkan saja
77,8
Kembali meminta penjelasan
15,8
Melaporkan ke instansi yang lebih tinggi
4,7
Melakukan unjuk rasa
,1
Memboikot kegiatan
,6
Dimusyawarahkan
,6
Lainnya
,5 Total
100,0
Tingkat kegigihan responden dalam memperjuangkan aspirasinya umumnya masih belum maksimal, apalagi militan. Dari 111 responden yang menyatakan tidak ada respon sama sekali atas aspirasi yang telah diajukannya, ternyata sebesar 77,8% mengaku pasrah, diam saja (tabel 35). Sedangkan sebanyak 4,7% responden menyatakan terus berjuang dengan menyampaikan aspirasi ke instansi yang lebih tinggi, misalnya ke kantor kecamatan, bahkan ke pemerintahan kabupaten/kota atau ke DPRD. Sikap Patriarki Masyarakat Secara umum penelitian ini menemukan bahwa sikap patriarki masyarakat Jawa Timur mulai memperlihatkan adanya pergeseran menuju lebih terbuka. Artinya, pola hubungan sosial tidak lagi dideterminasi oleh nilai yang membatasi ruang gerak perempuan untuk terlibat dalam aktifitas sosial dan kemasyarakatan. Meski demikian, secara kultural harus diakui masih ada sebagian anggota masyarakat yang masih mempermasalahkan peran publik perempuan. Namun, secara umum hasil studi ini menunjukkan bahwa prosentase sikap masyarakat yang demikian ini sangat kecil. Masyarakat sudah relatif lebih terbuka terhadap aktifitas perempuan yang berdimensi publik, sehingga tidak banyak lagi pergunjingan yang mempermasalahkan keberadaan perempuan sebagai aktifis partai politik, LSM, atau kegiatan kemasyarakatan yang lain. Responden umumnya justeru bangga, senang dan mengaku sangat ingin bisa mengikuti berbagai kegiatan (apapun) yang dinilai bisa membawa manfaat bagi orang banyak. Mereka mengakui, dengan semakin banyaknya perempuan tampil sebagai dan menjadi pemimpin masyarakat, ketua partai, anggota DPR dan tokoh -tokoh
lxii
masyarakat, telah banyak mendorong dan membangkitkan semangat mereka untuk bisa lebih aktif dalam berbagai kegiatan sosial di kampung. Situasinya semakin kondusif oleh karena hampir semua tokoh masyarakat (tokoh pemuda, tokoh agama, anggota BPD, tetua desa termasuk beberapa pamong desa) mengakui bahwa sejak 10 tahun terakhir kegiatan yang dilakukan kaum perempuan di desanya banyak mengalami kemajuan. Jika dilihat berdasarkan lokasi penelitian, sikap patriarki masyarakat menunjukkan perbedaan-perbedaan. Dari 10 kabupaten yang menjadi lokasi penelitian, daerah yang masih relatif kuat sikap patriarkisnya adalah Kabupaten Pasuruan, kemudiaan diikuti Pamekasan, Blitar dan Banyuwangi. Daerah tapal kuda ini boleh jadi memang tetap memperlihatkan karakteristik sebagai daerah ‘hijau’ yang terikat kuat dengan nilai-nilai keagamaan. Sebagaimana diketahui bahwa daerah tapal kuda, termasuk Madura (Pamekasan) adalah daerah yang hingga saat ini cukup problematik dalam merespon inovasi sebagai akibat dari cara pemahaman agama yang banyak dinilai konvensional, tekstual dan hitam-putih. Tabel 38 Sikap Patriarkis Masyarakat Sikap
All F
%
Banyuwangi F %
Blitar F %
SANGAT SETUJU 39 2,76 0 0 3 Setuju 320 22,65 0 0 40 Ragu-ragu 806 57,04 23 79,3 101 Tidak setuju 243 17,20 6 20,7 22 Sangat Tidak setuju 5 0,35 0 0 0 Total
Sikap SANGAT SETUJU Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Sangat tidak setuju Total
1,8 24,1 60,8 13,3 0
Jombang F %
Kediri F %
0 0 1 0,5 27 50,0 25 13,5 23 42,6 118 63,8 4 7,4 40 21,6 0 0 1 0,5
Lumajang F % 0 0 28 33,7 51 61,4 4 4,8 0 0
1413 100,0 29 100,0 166 100,0 54 100,0 185 100,0 83 100,0
All F
%
39 320 806 243 5
5 33 101 15 0
1413 154
Malang % F 3,2 21,4 65,6 9,7 0
Pamekasan % F
14 6,8 35 17,0 86 41,7 70 34,0 1 0,5
100,0 206 100,0
11 15 73 45 2
Pasuruan % F
Ponorogo % F
Tuban % %
7,5 1 0,7 4 1,6 2,76 10,3 57 41,9 60 23,6 22,65 50,0 72 52,9 158 62,2 57,04 30,8 6 4,4 31 12,2 17,20 1,4 0 0 1 0,4 0,35
146 100,0 136 100,0 254 100,0 100,0
Sumber: data primer
lxiii
Sikap masyarakat yang terbangun oleh nilai -nilai keagamaan yang konvensional seperti itu menyebabkan masyarakat di daerah ini dikenal sangat konservatif, sulit berubah, sehingga kondisi laju pembangunan jauh tertinggal dibanding dengan daerah-daerah lain di Jawa Timur. Berdasar data sebagaimana tertulis pada tabel di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum sikap masyarakat dilihat dari prosentasenya terhadap statemen-statemen bernuansa patriarkis memperlihat bahwa yang menjawab sangat setuju dan setuju relatif kecil dibandingkan dengan yang tidak setuju dan sangat tidak setuju. Sementara yang menjawab ragu -ragu justru menunjukkan prosentase yang cukup besar dan merata hampir di semua daerah. Hal ini menunjukkan bahwa sikap dan pemikiran masyarakat umumnya masih dalam keraguan dan boleh jadi anomali. Atau dengan kata lain, sebaran data demikian itu juga menunjukkan bahwa masyarakat sedang dalam situasi transisional: dari kondisi budaya lama yang patriarkis menuju ke budaya baru yang terbuka. Sebuah ungkapan dari salah satu tokoh masyarakat di Pasuruan bisa mencerminkan hal ini: Bagaimanapun, peran perempuan yang baik adalah sesuai dengan ajaran agama, yaitu tugasnya di rumah, mengelola rumah tangga. Apa jadinya kalau para perempuan pada aktif di luar rumah. Orang boleh saja ngomong atur waktu, bagi waktu atau apa sajalah namanya. Tapi yang namanya waktu kan tetap, konstan. Apanya yang dibagi. Kalau perempuan aktif di luar rumah, sudah pasti waktu untuk anak-anak jadi terkurangi. Dan ini pasti ada pengaruhnya terhadap anak. Mbok ya, kalau ngomong itu mikir, jangan hanya mencari alasan pembenarnya sendiri. Jadi, nilai agama itu sudah pasti benarnya. Tidak bisa ditawar lagi. Itulah kebenaran mutlak. Boleh saja perempuan berpartisipasi dalam kegiatan sosial di masyarakat. Tetapi itu ada aturan (toto kromonya). Tidak seperti yang selama ini terjadi. Sebaliknya, daerah yang relatif sudah tampak lebih terbuka terutama adalah Kabupaten Malang, kemudian diikuti Kabupaten Jombang, Ponorogo dan Tuban. Artinya, beberapa kabupaten ini sikap patriarkisnya sudah memperlihat banyak perubahan-perubahan. Masyarakat, khususnya kaum perempuan sudah tidak merasa enggan, segan dan takut-takut lagi untuk ikut berbagai kegiatan publik, termasuk dalam dunia politik. Berdasar data di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum sikap patriarki masyarakat masih relatif kuat pada masyarakat tapal kuda dibanding dengan komunitas budaya lain. Sebaliknya, pada komunitas budaya Mataraman dan Pesisir, sikap patriarki masyarakatnya sudah mulai berubah secara signifikan.
lxiv
Tabel 39 Sikap Masyarakat Terhadap Kultur Patriarki Bwangi Ok No
Lmajang Ok No
Pasuruan Ok No
Malang Ok No
Jomban g Ok No
No
sikap
1
2
3
4
6
7
8
9
10
1
Sulit bagi perempuan menjadi pemimpian, apalagi di papol
31.0
27,6
22,9
62,7
39
35,7
35,1
57,1
33,3
55,5
2
Perempuan sebaiknya tetap menjadi ibu rumah tangga saja Orang tua harus mengarahkan anak perempuannya
20,7
48,3
15,7
75,9
33,6
52
23,4
68,8
11,1
87
55,2
34,5
22,9
65,1
35,6
48,6
12,8
64,3
20,4
72,2
Tetangga masih menggunjingkan perempuan yg aktif di publik/politik Perempuan pun masih menggunjingkan perempuan aktif di publik, apalagi parpol Saya tidak senang jika perempuan aktif di luar rumah, apalagi partai politik Karena saya perempuan maka tugas saya memasak, momong dan melayani suami Suami saya tugasnya mencari uang di luar rumah dan tidak mengurusi rumah Secara tegas dibedakan tugas suami dan Istri Saya lebih senang anak lakilaki ketimbang perempuan
13,8
37,9
9,6
73,5
25,3
47,3
15
75,3
11,1
74,1
3,4
44,8
9,6
75,9
29,5
45,9
6,5
76,6
11,1
74,1
3,4
65,5
6,1
83,1
19,2
49,3
12,4
76,6
7,4
85,1
13,8
55,2
26,5
69,9
41,1
49,3
24,1
67,5
14,8
81,5
20,7
58,6
18,1
79,5
26,1
57,5
5,2
85,1
5,6
94,4
55,2
6,9
51,8
44,6
50,7
35,6
24,7
65,6
9,2
88,9
17,2
55,2
9,6
86,8
24
57,5
14,9
73,4
5,5
92,6
Anak laki- laki lebih cekatan dan dapat diandalkan dari pada perempuan Anak laki- laki bisa sekolah terus kalo perempuan tidak
24,1
55,2
12
86,8
32,2
50,7
16,9
72,1
3,7
96,3
13,8
72,4
8,4
84,2
27,4
56,8
5,9
88,3
1,9
96,2
Saya tidak setuju jika yang jadi pemimpin saya adalah perempuan Sudah sewajarnya suami menegur istrinya yang tidak menurut Kalau ada 2 calon Kades maka saya memilih laki -laki
10,3
65,5
19,3
68,7
20,6
49,3
16,2
75,3
13
79,9
3,4
79,3
4,8
89,2
3,4
83,6
1,3
86,3
1,9
96,2
24,1
37,9
7,2
79,5
52,8
22,6
24
41
31,5
51,8
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
5
lxv
16
17 18 19 20 21
Waktu ngobrol para perempuan tidak pernah membicarkan politik atau kebijakan desa Perempuan keluar rumah atau berpolitik menyalahi kodrat Bagaimanapun pemimpin masyarakat adalah laki-laki Apapun kebijak pemerintah/ desa harus diikuti walupun merugikan perempuan Menurut saya tidak ada perempuan di desa ini yang dapat menjadi kepala desa Tidak mungkin saya bisa menjadi pemimpin dalam organisasi di desa ini
24,1
20,7
16,9
62,6
27,4
30,8
25,3
41
33,3
48,2
3,4
72,4
3,6
91,6
20,5
52,7
18,2
72,7
9,3
87
31
48,3
18,1
75,9
59
21,9
29,9
61,1
24,1
64,8
10,3
82,8
2,4
95,2
3,4
76,7
13,6
74,7
7,4
92,6
55,2
44,8
16,9
81,9
30,1
35
18,8
40,9
27,8
57,4
10,3
41,4
13,2
72,3
28,1
41,1
29,9
44,8
24,1
66,6
Kediri Ok No
Blitar Ok No
Ponorogo Ok No
Tuban Ok No
Pameksan Ok No
No
sikap
11
12
14
15
16
17
18
19
20
1
Sulit bagi perempuan menjadi pemimpian, apalagi di partai politik Perempuan sebaiknya tetap menjadi ibu rumah tangga Orang tua harus mengarahkan anak perempuannya
43,8
37,8
47
39,2
31,6
63,3
31,9
52,7
40,3
26,2
31,9
60,5
18,7
75,3
14
83
19,3
65,7
46,8
48,1
37,8
46
35,5
53
16,9
76,5
28,3
43,7
30,6
38,3
Tetangga masih menggunjingkan perempuan yang aktif di publik/politik Perempuan pun masih menggunjingkan perempuan aktif di publik, apalagi parpol Saya tidak senang jika perempuan aktif di luar rumah, apalagi di parpol Karena saya perempuan maka tugas saya memasak, momong dan melayani suami Suami saya bertugas cari uang di luar rumah dan tidak
25,4
53
28,9
52,4
11,8
81,6
22,4
61
20,9
42,2
22,2
56,2
27,7
58,4
12,5
84,6
20,9
61
17,9
43,2
20
61,1
18,7
57,8
11
80,2
17,3
62,6
22,8
39,8
27,6
68,7
16,9
75,9
19,9
79,4
21,2
56,2
36,4
44,2
13,5
78,4
5,4
87,3
4,4
92,7
15,8
76,3
22,8
50
2 3 4 5
6 7
8
lxvi
13
mengurusi rumah 9 10 11
12 13 14
15 16
17 18
19 20
21
Secara tegas dibedakan tugas suami dan Istri Saya Senang anak laki-laki ketimbang perempuan
31,4
49,7
50
47,5
36,8
58,8
33,4
60,4
25,7
31
10,8
81,6
11,4
78,9
5,1
92,7
4,7
82,7
20,4
57
Karena anak laki-laki lebih cekatan dan dapat diandalkan dari pada perempuan Anak laki-laki bisa sekolah terus kalo perempuan tidak
16,3
68,1
9,6
78,9
8,1
91,9
7,5
81,1
22,8
46,6
11,9
80
5,4
89,2
2,9
95,6
3,9
87
23,3
50,5
Saya tidak setuju jika yang jadi pemimpin saya adalah perempuan Sudah sewajarnya suami menegur istrinya yang tidak menurut Kalau ada 2 calon Kades maka saya memilih laki -laki
17,8
63,2
13,8
68,7
8,8
86,8
7,5
74,4
22,8
48,1
3,3
90,3
2,4
91,6
0,7
96,3
4,3
87,4
10,7
73,3
50,3
24,3
38,5
22,3
28,7
51,1
33,5
33,5
21,4
43,2
Waktu ngobrol para perempuan tidak pernah membicarkan politik atau kebijakan desa Perempuan keluar rumah atau berpolitik menyalahi kodrat Bagaimanapun pemimpin masyarakat itu adalah lakilaki Apapun kebijak pemerintah/ desa harus diikuti walaupun merugikan perempuan Menurut saya tidak ada perempuan di desa ini yang dapat menjadi kepala desa Tidak mungkin saya bisa menjadi pemimpin dalam organisasi di desa ini
39,5
32,4
28,9
38
25,5
58,1
27,9
42,5
19,4
34
9,2
71,4
7,8
74,7
5,1
86,8
8,3
77,9
23,8
50
43,8
44,3
39,8
42,2
28,7
61,8
33,1
49,2
29,1
43,2
18,9
62,7
5,4
78,9
3,7
91,2
9,1
73,2
18,9
58,3
28,7
50,3
13,3
57,8
5,1
89
12,6
62,2
22,3
32,5
27,1
48,1
17,5
58,4
8,8
76,5
19,3
48,4
18,9
34,5
lxvii
4 PENUTUP
ecara umum, studi ini menemukan bahwa peran politik perempuan dalam kegiatan sosial atau kegiatan yang berdimensi publik, termasuk di dalamnya yang menyangkut pembuatan kebijakan publik, juga organisasi politik, masih relatif kurang, meski sudah mulai ada geliat yang signifikan, terutama sejak reformasi. Juga kurangnya kesempatan dari institusi publik yang selama ini ‘dikuasai’ laki-laki, baik itu di pemerintahan, termasuk pemerintahan di tingkat desa, maupun di organisasi-organisasi sosial dan politik lainnya. Kondisi seperti itu terutama ditemukan pada komunitas budaya Tapal Kuda dan Madura. Pada komunitas ini kekuatan budaya patriarki, kokohnya laki-laki dan cara pemahaman agama yang tekstual dan tradisional, menyebaban perempuan sangat sulit menembus wilayah strategis itu. Meski demikian, studi ini menemukan sejumlah indikator mulai longgarnya ‘tekanan budaya dan struktur sosial yang patriarkis’ seperti itu walau diakui cukup lamban. Pihak kelurahan/kepala desa dan partai politik sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah, mengundang, “menyapa” dan apalagi melibatkan perempuan dalam berbagai kegiatan yang bersifat publik. Kalaupun dilibatkan, lebih banyak berkaitan dengan bidang “keperempuanan” seperti mengurusi masalah akomodasi, konsumsi, lobbying, dan sebagainya. Meski demikian, ada kecenderungan ke arah perubahan yang lebih baik terhadap kiprah perempuan di masyarakat. Masyarakat secara umum sudah tidak lagi terlalu mempermasalahkan atau mempergunjingkan perempuan aktif dalam kegiatan-kegiatan di luar rumah. Studi ini menemukan hanya 13,8% responden yang mengaku masih ada saja yang suka mempermasalahkan kegiatan perempuan di luar rumah.
S
lxviii
Oleh karena itu, studi ini juga menemukan bahwa sesungguhnya faktorfaktor kultural seperti idiologi patriarki sudah relatif tidak terlalu dominan lagi, setidaknya menurut persepsi (sikap) responden. Artinya, para perempuan secara kultural tidak lagi merasa canggung, enggan, apalagi merasa takut terlibat dalam berbagai kegiatan publik, termasuk politik sekalipun. Pada masyarakat lapisan bawah sesungguhnya sudah mulai terbangun kesadaran gender yang menjanjikan untuk perk embangan kemandirian perempuan di masa mendatang. Namun, sekali lagi, hal ini masih sangat tergantung dari situasi struktur politik pemerintahan pada tingkat lokal (desa/kelurahan) dan kebijakan partai politik. Proyek Voter Education sebagai upaya penyadaran terhadap hak dan kewajiban warga negara, termasuk pemberdayaan politik yang berkesetaraan gender, merupakan jawaban untuk memenuhi the right gender balance in politics sebagai bagian dari demokrasi politik, sebab tidak akan ada demokrasi tanpa keterlibatan perempuan di dalamnya ( no democracy without women). Dengan tingkat pemberdayaan yang masih kurang maksimal terhadap perempuan di pedesaan Jawa Timur, sebagaimana ditemukan dalam studi ini, maka sistem pemilu apapun tidak akan ada yang menguntungkan d itinjau dari sisi keterwakilan perempuan dalam legislatif. Pada Pemilu 2004 yang lalu seyogyanya merupakan kesempatan bagi perempuan untuk berdiri sejajar dan mandiri dalam aktivitas politik formal-praktis, namun senyatanya masih belum dimanfaatkan secara maksimal. Keterlibatan perempuan di wilayah publik hanya sebatas sebagai pemilih dalam pemilu, sementara haknya untuk dipilih terbatas. Selain faktor struktur politik lokal, juga penting diperhatikan hadirnya ‘tokoh’ gerakan perempuan, khususnya dari dalam desa sendiri; bukan dari luar desa. Sebab, secara sosiologis situasi sosial kaum perempuan di pedesaan, khususnya sejak reformasi 1997, banyak dinilai dan dipahami oleh masyarakat, termasuk kaum perempuan sendiri, semakin kondusif untuk “publikasi” kegi atan. Situasi kondusif ini tidak saja ditopang oleh situasi keluarga (sikap suami yang semakin terbuka dan anak-anak yang sudah mulai bisa ‘lepas’ dari ibunya), namun juga oleh usia responden yang umumnya masih relatif muda, sehingga banyak ibu -ibu di pedesaan yang mempunyai cukup waktu senggang yang bisa dimanfaatkan untu berbagai kegiatan produktif dan konstruktif. Meski belum banyak perempuan di pedesaan yang aktif dalam kegiatan publik, namun setidaknya ada 9,4% yang mengaku selalu mengikuti kebijakan/ keputusan pemerintah, khususnya kebijakan pemerintah desa (kelurahan). Apapun cara yang dipergunakan untuk menyampaikan aspirasinya, ternyata menurut 16,3% responden ada manfaatnya. Maksudnya, laporan dan aspirasinya ditanggapi oleh pihak pemerintah desa/kelurahan. Hanya 7,9% yang secara tegas menyatakan kalau pemerintahah (desa/kelurahan) ndableg, nggak ngreken: tidak ada tanggapan sama sekali.
lxix
Akhirnya studi ini bisa menemukan (beberapa hal baru) atau mempertegas sejumlah variabel yang mempengaruhi partisipasi perempuan dalam kegiatan politik, dan setidaknya juga termasuk dalam berbagai kegiatan organisasi publik. Beberapa variabel itu antara lain adalah: 1) Pendidikan 2) Mobilitas sosial 3) Kian mudahnya akses informasi baik dari media elektronik, cetak dan tulis 4) Kondisi keluarga (berkurangnya beban sosial dan ekonomi keluarga) 5) Pelibatan dalam organisasi-organisasi (proyek-proyek) publik 6) Signifikansi pemanfaatan organisasi-organisasi sosial-kegamaan lokal 7) Tersedia-tidaknya kesempatan 8) Semakin banyaknya waktu luang bagi ibu-ibu ketika anaknya sudah menginjak usia sekolah 9) Kian banyaknya perempuan yang bekerja 10) Adanya desakralisasi keluarga akibat peningkatan fungsi publik perempuan 11) Faktor kepemimpinan (ketokohan), pelibatan dari pemerintahan desa, proyek /program (P2KP), pendidikan, pengalaman berorganisasi, sangat signifikan terhadap kiprah perempuan dalam dunia publik 12) Munculnya motivasi bagi perempuan untuk terlibat di sektor publik sebagai upaya menerapkan pengalaman keagamaan, menambah wawasan, bentuk pengabdian dan kepedulian terhadap masyarakat dan pemahaman terhadap perkembangan keadaan bahwa memang sudah jamannya perempuan tidak hanya tinggal diam di rumah. Sementara itu, semakin melemahnya budaya patriarki antara lain disebab kan oleh beberapa faktor berikut: 1) Kian banyak kaum perempuan yang bekerja 2) Pendidikan masyarakat, khususnya perempuan yang kian meningkat 3) Adanya reference-group tokoh perempuan baik dalam bidang politik, ekonomi, budaya maupun di bidang yang lain 4) Semakin banyaknya perempuan yang terbukti lebih berhasil dan “mumpuni” (sembodo) dari pada laki-laki, terutama dalam hal ekonomi, pendidikan, pekerjaan dan politik. Bagaimana prospek aktifitas perempuan di masa mendatang? Studi ini nenemukan bahwa: Dalam pandangan masyarakat (responden), di masa mendatang: 1) Perempuan akan semakin aktif karena kesempatan yang kian terbuka, pelibatan dalam berbagai kegiatan dan kian meningkatnya pendidikan 2) Sikap permisif masyarakat akan semakin meluas sehingga memungkinkan perempuan bisa bekerja dan beraktifitas di mana saja dan kapan saja 3) Akan semakin menyadari pentingnya sapaan pemerintah desa terhadap perempuan
lxx
Dalam pandangan tokoh masyarakat: 1) Semakin banyak tokoh masyarakat yang memberikan keleluasaan atau setidaknya toleransi kepada perempuan, khususnya anggota keluarganya sendiri untuk berkiprah dalam dunia publik 2) Kesadaran akan adanya arus besar yang memberikan kebebasan kepada masyarakat, khususnya perempuan dalam berbagai aktifitas publik 3) Meski kesadaran dan keleluasaan para tokoh masyarakat terhadap aktifitas perempuan di sektor publik belum dinikmati oleh semua komunitas budaya di Jawa Timur, namun setidaknya indikator ke arah perubahan seperti itu sudah terlihat di hampir semua komunitas budaya 4) Oleh karena itu, di masa depan prospek kiprah perempuan di Jawa Timur dinilai akan semakin terbuka, meski untuk ini agak memerlukan proses yang lamban di komunitas Tapal Kuda. Dalam pandangan aktifis perempuan: 1) Hampir semua aktifis perempuan melihat adanya perubahan atau setidaknya perkembangan yang cukup signifikan terhadap peran perempuan dalam dunia publik. Berbeda dari komunitas Tapal Kuda yang diakui memang relatif alot karena faktor ke-patriarki-an dan cara pemahaman agama yang tradisional. Komunitas kejawen, arek dan pesisiran relatif lebih signifikan. Artinya, sejak reformasi kiprah perempuan dalam dunia publik dan politik jauh mengalami kemajuan yang sangat berarti dibanding sebelumnya. 2) Di masa yang akan datang kondisi aktifitas perempuan pada komunitas tersebut akan semakin pesat dan kondusif.
lxxi
4 PENUTUP
ecara umum, studi ini menemukan bahwa peran politik perempuan dalam kegiatan sosial atau kegiatan yang berdimensi publik, termasuk di dalamnya yang menyangkut pembuatan kebijakan publik, juga organisasi politik, masih relatif kurang, meski sudah mulai ada geliat yang signifikan, terutama sejak reformasi. Juga kurangnya kesempatan dari institusi publik yang selama ini ‘dikuasai’ laki-laki, baik itu di pemerintahan, termasuk pemerintahan di tingkat desa, maupun di organisasi-organisasi sosial dan politik lainnya. Kondisi seperti itu terutama ditemukan pada komunitas budaya Tapal Kuda dan Madura. Pada komunitas ini kekuatan budaya patriarki, kokohnya laki-laki dan cara pemahaman agama yang tekstual dan tradisional, menyebaban perempuan sangat sulit menembus wilayah strategis itu. Meski demikian, studi ini menemukan sejumlah indikator mulai longgarnya ‘tekanan budaya dan struktur sosial yang patriarkis’ seperti itu walau diakui cukup lamban. Pihak kelurahan/kepala desa dan partai politik sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah, mengundang, “menyapa” dan apalagi melibatkan perempuan dalam berbagai kegiatan yang bersifat publik. Kalaupun dilibatkan, lebih banyak berkaitan dengan bidang “keperempuanan” seperti mengurusi masalah akomodasi, konsumsi, lobbying, dan sebagainya. Meski demikian, ada kecenderungan ke arah perubahan yang lebih baik terhadap kiprah perempuan di masyarakat. Masyarakat secara umum sudah tidak lagi terlalu mempermasalahkan atau mempergunjingkan perempuan aktif dalam kegiatan-kegiatan di luar rumah. Studi ini menemukan hanya 13,8% responden yang mengaku masih ada saja yang suka mempermasalahkan kegiatan perempuan di luar rumah.
S
lxxii
Oleh karena itu, studi ini juga menemukan bahwa sesungguhnya faktorfaktor kultural seperti idiologi patriarki sudah relatif tidak terlalu dominan lagi, setidaknya menurut persepsi (sikap) responden. Artinya, para perempuan secara kultural tidak lagi merasa canggung, enggan, apalagi merasa takut terlibat dalam berbagai kegiatan publik, termasuk politik seka lipun. Pada masyarakat lapisan bawah sesungguhnya sudah mulai terbangun kesadaran gender yang menjanjikan untuk perkembangan kemandirian perempuan di masa mendatang. Namun, sekali lagi, hal ini masih sangat tergantung dari situasi struktur politik pemerintahan pada tingkat lokal (desa/kelurahan) dan kebijakan partai politik. Proyek Voter Education sebagai upaya penyadaran terhadap hak dan kewajiban warga negara, termasuk pemberdayaan politik yang berkesetaraan gender, merupakan jawaban untuk memenuhi the right gender balance in politics sebagai bagian dari demokrasi politik, sebab tidak akan ada demokrasi tanpa keterlibatan perempuan di dalamnya ( no democracy without women). Dengan tingkat pemberdayaan yang masih kurang maksimal terhadap perempuan di pedesaan Jawa Timur, sebagaimana ditemukan dalam studi ini, maka sistem pemilu apapun tidak akan ada yang menguntungkan ditinjau dari sisi keterwakilan perempuan dalam legislatif. Pada Pemilu 2004 yang lalu seyogyanya merupakan kesempatan bagi perempuan untuk berdiri sejajar dan mandiri dalam aktivitas politik formal-praktis, namun senyatanya masih belum dimanfaatkan secara maksimal. Keterlibatan perempuan di wilayah publik hanya sebatas sebagai pemilih dalam pemilu, sementara haknya untuk dipilih terbatas. Selain faktor struktur politik lokal, juga penting diperhatikan hadirnya ‘tokoh’ gerakan perempuan, khususnya dari dalam desa sendiri; bukan dari luar desa. Sebab, secara sosiologis situasi sosial kaum perempuan di pedesaan, khususnya sejak reformasi 1997, banyak dinilai dan dipahami oleh masyarakat, termasuk kaum perempuan sendiri, semakin kondusif untuk “publikasi” kegiatan. Situasi kondusif ini tidak saja ditopang oleh situasi keluarga (sikap suami yang semakin terbuka dan anak-anak yang sudah mulai bisa ‘lepas’ dari ibunya), namun juga oleh usia responden yang umumnya masih relatif muda, sehingga banyak ibu -ibu di pedesaan yang mempunyai cukup waktu senggang yang bisa dimanfaatkan untu berbagai kegiatan produktif dan konstruktif. Meski belum banyak perempuan di pedesaan yang aktif dalam kegiatan publik, namun setidaknya ada 9,4% yang mengaku selalu mengikuti kebijakan/ keputusan pemerintah, khususnya kebijakan pemerintah desa (kelurahan). Apapun cara yang dipergunakan untuk menyampaikan aspirasinya, ternyata menurut 16,3% responden ada manfaatnya. Maksudnya, laporan dan aspirasinya ditanggapi oleh pihak pemerintah desa/kelurahan. Hanya 7,9% yang secara tegas menyatakan kalau pemerintahah (desa/kelurahan) ndableg, nggak ngreken: tidak ada tanggapan sama s ekali.
lxxiii
Akhirnya studi ini bisa menemukan (beberapa hal baru) atau mempertegas sejumlah variabel yang mempengaruhi partisipasi perempuan dalam kegiatan politik, dan setidaknya juga termasuk dalam berbagai kegiatan organisasi publik. Beberapa variabel itu antara lain adalah: 13) Pendidikan 14) Mobilitas sosial 15) Kian mudahnya akses informasi baik dari media elektronik, cetak dan tulis 16) Kondisi keluarga (berkurangnya beban sosial dan ekonomi keluarga) 17) Pelibatan dalam organisasi-organisasi (proyek-proyek) publik 18) Signifikansi pemanfaatan organisasi-organisasi sosial-kegamaan lokal 19) Tersedia-tidaknya kesempatan 20) Semakin banyaknya waktu luang bagi ibu-ibu ketika anaknya sudah menginjak usia sekolah 21) Kian banyaknya perempuan yang bekerja 22) Adanya desakralisasi keluarga akibat peningkatan fungsi publik perempuan 23) Faktor kepemimpinan (ketokohan), pelibatan dari pemerintahan desa, proyek /program (P2KP), pendidikan, pengalaman berorganisasi, sangat signifikan terhadap kiprah perempuan dalam dunia publik 24) Munculnya motivasi bagi perempuan untuk terlibat di sektor publik sebagai upaya menerapkan pengalaman keagamaan, menambah wawasan, bentuk pengabdian dan kepedulian terhadap masyarakat dan pemahaman terhadap perkembangan keadaan bahwa memang sudah jamannya perempuan tidak hanya tinggal diam di rumah. Sementara itu, semakin melemahnya budaya patriarki antara lain disebab kan oleh beberapa faktor berikut: 5) Kian banyak kaum perempuan yang bekerja 6) Pendidikan masyarakat, khususnya perempuan yang kian meningkat 7) Adanya reference-group tokoh perempuan baik dalam bidang politik, ekonomi, budaya maupun di bidang yang lain 8) Semakin banyaknya perempuan yang terbukti lebih berhasil dan “mumpuni” (sembodo) dari pada laki-laki, terutama dalam hal ekonomi, pendidikan, pekerjaan dan politik. Bagaimana prospek aktifitas perempuan di masa mendatang? Studi ini nenemukan bahwa: Dalam pandangan masyarakat (responden), di masa mendatang: 4) Perempuan akan semakin aktif karena kesempatan yang kian terbuka, pelibatan dalam berbagai kegiatan dan kian meningkatnya pendidikan 5) Sikap permisif masyarakat akan semakin meluas sehingga memungkinkan perempuan bisa bekerja dan beraktifitas di mana saja dan kapan saja 6) Akan semakin menyadari pentingnya sapaan pemerintah desa terhadap perempuan
lxxiv
Dalam pandangan tokoh masyarakat: 5) Semakin banyak tokoh masyarakat yang memberikan keleluasaan atau setidaknya toleransi kepada perempuan, khususnya anggota keluarganya sendiri untuk berkiprah dalam dunia publik 6) Kesadaran akan adanya arus besar yang memberikan kebebasan kepada masyarakat, khususnya perempuan dalam berbagai aktifitas publik 7) Meski kesadaran dan keleluasaan para tokoh masyarakat terhadap aktifitas perempuan di sektor publik belum dinikmati oleh semua komunitas budaya di Jawa Timur, namun setidaknya indikator ke arah perubahan seperti itu sudah terlihat di hampir semua komunitas budaya 8) Oleh karena itu, di masa depan prospek kiprah perempuan di Jawa Timur dinilai akan semakin terbuka, meski untuk ini agak memerlukan proses yang lamban di komunitas Tapal Kuda. Dalam pandangan aktifis perempuan: 3) Hampir semua aktifis perempuan melihat adanya perubahan atau setidaknya perkembangan yang cukup signifikan terhadap peran perempuan dalam dunia publik. Berbeda dari komunitas Tapal Kuda yang diakui memang relatif alot karena faktor ke-patriarki-an dan cara pemahaman agama yang tradisional. Komunitas kejawen, arek dan pesisiran relatif lebih signifikan. Artinya, sejak reformasi kiprah perempuan dalam dunia publik dan politik jauh mengalami kemajuan yang sangat berarti dibanding sebelumnya. 4) Di masa yang akan datang kondisi aktifitas perempuan pada komunitas tersebut akan semakin pesat dan kondusif.
lxxv
Kepustakaan
Acker, 1990, “Hierarchies, Jobs, Bodies; A Theory of Gendered Organization”. Dalam Gender and Society. 4 (2): 139-158 Api Indonesia, 4 Maret, 2004 Bhasin, K, 1996. Menggugat Patriarkhi: Mengangkat tentang Persoalan Dominasi Terhadap Kaum Perempuan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Berger and Luckman, 1966, The Social Construction of Reality: A Theories in the Sociology of Knowledge. Harmonsdworth: Penguin Books Ltd Collin, F, 1997. Social Reality. New York, Routledge Harding, S, (ed) 1987, Feminism and Metodhology: Social Science Issues. Milton Keynes: Open University Press Illich, I, 1983. Gender. London, Marison Boyars. Johnson, 1989, Huntington dan Joan Nelson, 1990 Jurnal Pemberdayaan Perempuan, Volume 4. Nomer 1, November 2004. Kompas, 24 Februari 2003 Kompas, 3 Juni 2003 Kompas, 15 September 2003 Kompas, 11 Februari 2004 Kompas, 22 Maret 2004 Litbang Kompas, 24 Februari 2003 dan KPU 2004
lxxvi
Moore ,1998. Feminisme dan Antropology. Tim Proyek Studi Gender dan Pembangunan Fisip Universitas Indonesia (penerjemah). Jakarta: Obor Moser, C.O.N. 1993. Gender Planning and Development: Theory, Practice and Training. London: Roudledge Ollenburger dan Moore, 1996. Sosiologi Wanita. Jakarta: Rineka Cipta Opini, 24 April 2003 Ritzer, G, 2000. Moderns Sociology Theory. Boston: McGrawHill ----------, 2002, Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda. Jakarta: Rayagrafindo Persada Shafiyah, Amatullah dan Haryati Soeripno, 2003. Kiprah Politik Muslimah: Konsep dan Implentasinya. Jakarta: Gema Insani Press Stanley, L, 1990. Feminist Praxis: Research, Teory and Epistimology in Feminist Sociology. London: Routledge Susanti, Emy, 2003. “Perempuan dalam Komunitas Miskin: Studi Tentang Idiologi dan Relasi Gender dalam Komunitas “Kedungmangu Masjid” di Kota Surabaya”, Desertasi. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Windyastuti, Dwi 1996, Pengaruh Pemahaman, Kepentingan dan Kepercayaan Politik Terhadap Peran Politik Wanita di Golkar. Surabaya, Lemlit Unair Walby, 1990 ----------, 2004. Akomodasi Partai Politik Terhadap Kuota Perempuan dalam Pemilu 2004. Surabaya: Lemlit Unair.
lxxvii
FORMULASI PENDAMPINGAN KOMUNITAS PEREMPUAN UNTUK ADVOKASI KEBIJAKAN PUBLIK
lxxviii
PROLOG
ulisan berikut ini merupakan rangkaian formulasi pendampingan komunitas perempuan untuk advokasi kebijakan publik yang disusun oleh para mitra Yayasan Cakrawala Timur dalam perjalanan program Peningkatan Partisipasi Politi k Perempuan dalam Proses Pengambilan Kebijakan Publik di Jawa Timur. Formulasi ini disusun berdasarkan hasil pembacaan relitas desa dan persoalan perempuan yang dihadapi oleh masing -masing mitra sebagai pilihan daerah dampingan. Beberapa persoalan berhasil diidentifikasi melalui need assassement dan analisa sosial serta lokakarya subkultur yang mencoba melihat persoalan perempuan berdasarkan subkultur masing-masing mitra.
T
Ada 30 mitra yang tergabung dalam program ini. Dan dalam tahap penyusunan formulasi pendampingan, masing-masing mitra berangkat dari isu yang berhasil dirumuskan berdasarkan kondisi riil masyarakat desa dampingan dan persoalan perempuan yang ada di sana yang semuanya mengerucut pada upaya partisipasi politik perempuan, yakni dengan melibatkan perempuan dalam setiap proses pengambilan kebijakan di desa, dengan pertimbangan bahwa perempuan juga merupakan bagian penting dari warga desa (negara dalam lingkup terkecil) yang memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Lebih dari itu, perempuan selama ini terbukti belum banyak terakomodasi dalam ruang lingkup kekuasaan atau penyelenggaraan pemerintahan dan berada pada posisi strategis penentu kebijakan. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya kebijakan yang tidak berperspektif gender dan tidak berpihak pada perempuan. Kembali pada isu yang menjadi pijakan atau titik keberangkatan dalam penyusunan formulasi pendampingan, di sini ada beberapa isu yang berhasil terklasifikasikan, yaitu: partisipasi politik perempuan, kekerasan terhadap perempuan, kesehatan reproduksi perempuan, perlindungan buruh migran, kesehatan lingkungan, dan akses ekologis air sungai untuk perempuan. Beberapa isu tersebut dipilih berdasarkan realitas empirik yang dihadapi daerah dampingan dan konsentrasi khusus lembaga mitra di Jawa Timur.
lxxix
Dalam “buku” formulasi pendampingan komunitas ini tentu saja tidak akan ditampilkan seluruh formulasi yang berhasil disusun oleh lembaga mitra, melainkan diambil beberapa yang merepresentasikan isu sebagaimana diklasifikasikan di atas. Dalam hal ini, isu partisipasi politik perempuan menempati posisi paling banyak karena menjadi titik tolak mayoritas lembaga mitra. Karena itu akan ditampilkan beberapa (lebih dari dua mitra) yang merepresentasikan program dan langkah pendampingan berdasarkan isu tersebut. Sementara isu yang lainnya hanya akan direpresentasikan oleh satu atau dua lembaga mitra saja. Hal ini dirasa sudak cukup untuk memberi gambaran tentang langkah-langkah dan program pendampingan berdasarkan isu yang berbeda-beda. Latar belakang sosial ekonomis dan kultural masing-masing wilayah membutuhkan penyesuaian yang smart tersendiri bagi wilayah manapun yang ingin menerapkan beberapa strategi langkah pendampingan sebagaimana disusun oleh mitra-mitra yang memiliki kesamaan isu. Dan ini bukan merupakan kendala yang berarti mengingat formulasi-formulasi ini sendiri tidak bersifat baku dan final, melainkan membutuhkan revisi-revisi yang sesuai dengan konteks sosial kultural dan ekonomis masing-masing wilayah (kabupaten/desa). Sebelum memasuki “alam penjelajahan wilayah” dan persoalan perempuan berikut strategi penanganannya, di sini akan diberikan juga semacam “prawacana” atau boleh juga disebut wacana khusus mengenai partisipasi politik, dan Islam dan gender (hambatan kultural dan tafsir agama atas partisipai politik perempuan). Prawacana-prawacana itu ditulis oleh para konsultan ahli program partisipasi politik ini dengan harapan akan memberikan penerangan awal tentang berbagai problem perempuan yang dihadapi di Indonesia ini, khususnya di Jawa Timur. Demikian sedikit pengantar, semoga bisa membimbing para pembaca kepada maksud disusunnya buku ini. Selamat membaca!
lxxx
ISUE PENDAMPINGAN KOMUNITAS UNTUK ADVOKASI KEBIJAKAN PUBLIK DI DAERAH JAWA TIMUR
I. SUBKULTUR AREK No
Kabupaten/ Kota
Issue (Focus)
Output
1.
Malang
Partisipasi politik perempuan dalam proses pengambilan kebijakan publik
Kebijakan lokal yang menjamin keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan desa
2.
Sidoarjo
Kekerasan berbasis gender
Kebijakan lokal yang memberikan proteksi bagi perempuan dari kekerasan
3.
Mojokerto
Kesehatan reproduksi perempuan
Kebijakan untuk meningkatkan pelayanan dan pengadaan fasilitas Kesehatan bagi perempuan di tingkat lokal
4.
Jombang
Partisipasi perempuan dalam proses pengambilan kebijakan publik
Kebijakan lokal yang memberikan akses pembangunan terhadap perempuan
5.
Surabaya
Kesehatan reproduksi
Kebijakan lokal yang memberikan akses dan fasilitas kesehatan reproduksi bagi perempuan
lxxxi
II. SUBKULTUR MATARAMAN No
lxxxii
Kabupaten/ Kota
Issue (Focus)
Output
6.
Ngawi
Akses sumberdaya modal untuk perempuan
Kebijakan lokal yang memberikan akses sumberdaya modal terhadap perempuan
7.
Magetan
Akses modal usaha perempuan
Kebijakan yang memberikan akses modal Usaha bagi perempuan
8.
Madiun
Peningkatan alokasi anggaran perempuan desa
Kebijakan yang berpihak pada peningkatan alokasi anggaran untuk kepentingan peempuan
9.
Nganjuk
Partisipasi perempuan dalam proses pengambilan kebijakan publik
Kebijakan yang memberikan proteksi perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga
10.
Trenggalek
Peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat (khususnya perempuan)
Kebijakan yang memberikan ketersediaannya fasilitas & pelayanan kesehatan (klinik )
11.
Ponorogo
Partisipasi aktif & keterwakilan perempuan dalam bidang Politik
Kebijakan yang memberikan akses terhadap perempuan serta adanya perempuan yang merepresentasi dalam posisi strategis di tingkat desa.
12.
Pacitan
Keterwakilan perempuan
Kebijakan & kuota 30 % di tingkat lokal
13.
Blitar
Perlindungan buruh migran
Kebijakan lokal yang memberikan proteksi terhadap buruh migran
14.
Tulung Agung
15.
Kediri
Keterwakilan perempuan Keterlibatan perempuan dlm pengambilan kebijakan atau keputusan di Desa
Kebijakan yang memberikan akses terhadap keterwakilan Perempuan di tingkat lokal Kebijakan dan Representasi perempuan dalam posisi strategis di tingkat lokal
III. SUBKULTUR PANTURA No
Kabupaten/ Kota
Issue (Focus)
Output
16.
Bojonegoro
Keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan kebijakan di desa
Kebijakan yang memberikan akses terhadap perempuan untuk terlibat dalam pengmabilan kebijakan di tingkat lokal
17.
Tuban
Keterlibatan Perempuan dalam proses pembuatan kebijakan di desa
Kebijakan yang memberikan akses terhadap perempuan untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan di tingkat lokal
18.
Lamongan
Perlindungan Sumber Daya Air
Kebijakan di tingkat lokal tentang Perlindungan Sumber Daya Air
19.
Gresik
Partisipasi Perempuan dalam proses pembuatan kebijakan
Kebijakan tentang partisipasi perempuan dalam proses pembuatan kebijakan di tingkat lokal
IV. SUBKULTUR MADURA No
Kabupaten/
Issue
Kota
(Focus)
Output
20.
Sumenep
Akses pertanian terhadap buruh migran
Kebijakan lokal yang memberikan akses pertanian terhadap buruh migran
21.
Sampang
Sanitasi / kesehatan lingkungan ibu nelayan
Kebijakan lokal yang memberikan sarana sanitasi lingkungan (MCK)
22.
Pamekasan
Keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan di tingkat desa
Kebijakan lokal yang memberikan akses terhadap keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan di tingkat lokal
23.
Bangkalan
Akses sosial ekologis sungai untuk perempuan Tonjung
Kebijakan lokal yang memberikan akses sosial ekologis sungai bagi perempuan
lxxxiii
V. SUBKULTUR TAPAL KUDA No
Kabupaten/
Issue
Kota
(Focus)
Output
24.
Situbondo
Kesehatan Reproduksi
Kebijakan lokal yang memberikan akses kesehatan reproduksi bagi perempuan
25.
Probolinggo
Perlindungan Buruh Migran
Kebijakan lokal yang memberikan proteksi terhadap Buruh Migran
26.
Pasuruan
Kekerasan Terhadap Perempuan
Kebijakan lokal yang memberikan proteksi terhadap perempuan dari kekerasan
27.
Bondowoso
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kebijakan tentang perlindungan perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga di tingkat lokal
28.
Jember
Kesehatan perempuan
Kebijakan lokal yang memberikan pelayanan kesehatan terhadap perempuan
29.
Lumajang
Pelayanan Kesehatan
Kebijakan lokal yang memberikan pelayanan kesehatan terhadap perempuan
30.
Banyuwangi
Kesehatan Reproduksi
Kebijakan lokal yang memberikan akses terhadap kesehatan reprodusi perempuan
lxxxiv
PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DALAM PROSES PEMBUATAN KEBIJAKAN PUBLIK DI JAWA TIMUR Oleh: Sutinah
erempuan dan politik merupakan dua hal yang sangat jauh dari anganangan, terutama di negara-negara berkembang seperti In donesia yang masih kental dengan budaya patriarki. Masyarakat masih beranggapan bahwa dunia dan perilaku politik merupakan domain publik yang identik dengan aktivitas laki-laki. Hal ini dapat dilihat bahwa keberadaan perempuan dalam posisi pemimpin (leader) dan pengambil keputusan tetap menyimpan suatu dilema; harus berhadapan dengan tembok struktural yang cenderung patriarkis, bahkan tidak jarang ada pihak yang melihat keberadaan perempuan secara diskriminatif. Ada sikap dan pandangan yang tidak sama, yai tu ada yang sangat menyetujuinya, dan ada yang merasa khawatir dengan kompetensi dan aspirasi baru perempuan. Walaupun pada akhir -akhir ini mulai banyak pertanyaan dan gugatan diajukan agar perempuan mendapatkan posisi yang setara dengan laki -laki, namun tidak jarang kesetaraan inilah yang paling gampang dijadikan kambing hitam terhadap persoalan antara laki-laki dan perempuan. Sebagaimana persoalan yang umum terjadi, misalnya keretakan dalam rumah tangga. Perlu diketahui bahwa selama ini masyarakat mengakui laki-laki merupakan aktor politik yang menentukan. Pengakuan ini karena laki-laki adalah kepala keluarga, sehingga tidak jarang istri dan anak -anaknya pun mewakilkan aspirasi
P
lxxxv
politik mereka kepada sang suami atau ayah. Sementara kaum perempuan dinilai tidak mungkin menjadi aktor politik karena minat dan kepentingan mereka terbatas pada domain privat atau rumah tangga, sebab norma budaya yang ada menekankan bahwa kedudukan dan peran perempuan berkisar dalam lingkungan keluarga seperti mengurus suami, anak-anak, memasak dan lain-lain. Sebagai akibatnya, sulit bagi perempuan untuk berhasil dalam dunia politik dibandingkan laki-laki. Bahkan, pada umumnya perempuan hanya dijadikan alat politik peleng kap untuk mendapatkan suara. Dunia politik memang “kejam”, hal ini dapat dilihat di banyak negara, dimana perempuan belum menempati posisi yang sama dengan laki-laki di panggung politik. Bahkan, yang terjadi acapkali lebih parah; kaum perempuan mengalami ketidakadilan ganda, karena miskin dan karena statusnya sebagai perempuan, dan di banyak negara/tempat ketidakadilan itu masih dipertajam dengan diskriminasi rasial. Satu hal yang menarik di Indonesia adalah hasil pemilu legislatif tahun 2004, meski dilakukan secara langsung, namun tidak menunjukkan adanya kenaik an presentase keterwakilan perempuan yang signifikan. Secara nasional pada pemilu tahun 1999, jumlah anggota legislatif perempuan sebanyak 9,0% yang mengalami penurunan dibanding pemilu pada tahun 1992 dan tahun 1997. Pada pemilu tahun 2004 meningkat menjadi 11,81%. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pemilihan umum/pemilu yang demokratis tidak menjamin peningkatan keterwakilan perempuan. Selain itu juga menunjukkan bahwa dalam masa transisi di Indonesia partai-partai politik belum mempunyai pendirian yang jelas dalam hal pengarusutamaan gender (gender mainstreaming). Oleh karena itu, sekarang sudah saatnya kita mulai melakukan suatu upaya untuk meningkatkan posisi dan partisipasi perempuan dalam dunia politik, sebuah dunia yang terlanjur dilabelkan sebagai dunia laki-laki. Padahal dalam kenyataan, secara demografis jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki, walaupun hampir di semua sektor (seperti pendidikan, ekonomi, politik) mengalami keter tinggalan. Partisipasi perempuan dalam dunia politik terkait dengan usaha untuk memperbesar akses perempuan kepada kekuasaan. Oleh karena hanya dengan mempunyai akses besar, perempuan bisa mencapai jabatan-jabatan dalam politik dan pemerintahan. Sudah saatnya kaum perempuan berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan di negeri ini. Kalau tidak, kondisi perempuan akan terus terpuruk dan perubahan yang menyangkut kepentingan perempuan tidak akan pernah terjadi. Kita tidak mungkin memungkiri realitas yang ada, seperti kendala -kendala/ hambatan struktural, internal, eksternal yang masih menghalangi perempuan untuk mencapai tujuan kesetaraan gender. Untuk mewujudkan kesetaraan gender, meningkatkan partisipasi politik perempuan harus bisa menjadi keniscayaan, maka
lxxxvi
perempuan harus membekali dirinya dengan memiliki kompetensi, keahlian (skill) dan kapasitas politik. Kendala yang menghalangi perempuan untuk mencapai tahap kesetaraan gender harus dikuti dengan kompetensi, keahlian dari perempuan sendiri. Partisi pasi politik perempuan sudah semestinya ditingkat kan, bukan hanya untuk melahirkan dimensi pemerintahan yang demokratis, serta untuk memenuhi prinsip prinsip gender equitable. Jika tahap ini telah terlampaui, maka program -program yang bersinggungan langsung dengan aspirasi, kebutuhan dan kepentingan perempuan bisa diwujudkan. Organisasi-organisasi perempuan yang telah ada seperti di Indonesia dapat dioptimalkan perannya melalui advokasi, dan membangun kesa daran politik anggotanya merupakan upaya penguatan peran politik perempuan (empowering), sehingga kendala yang menghambat partisipasi politik perempuan bisa dikurangi. Harus disadari bahwa undang-undang dan kebijakan yang menguntungkan perempuan tidak bisa diwakilkan kepada laki-laki dan harus diperjuangkan kaum perempuan sendiri karena perempuan mempun yai kepentingan dan kebutuhan khas yang hanya bisa dipahami perempuan sendiri, di antaranya isu kesehatan reproduksi, kekerasan terhadap perempuan, kekerasan seksual, kepedulian ter hadap anak, kelompok lanjut usia, dan sebagainya. Selain itu, bila dibedah satu per satu dari seluruh undang -undang dan kebijakan yang ada, terlalu banyak untuk disebutkan klausul yang tidak berpihak pada kepentingan kaum perempuan. Padahal kalau diperhatikan secara cermat, sejak tahun 1991, ada suatu penelitian di Amerika (Zanville, 2001) yang menunjukkan bahwa telah terjadi suatu gelombang perubahan yang cukup besar dimana makna perempuan mulai berubah, banyak perempuan yang masuk dalam bangunan politik. Sejak saat itu, terbentuk suatu pandangan baru tentang perempuan yang meng ukuhkan citra bahwa perempuan layak menggunakan kekuatan maupun kekuasaan yang selama ini didominasi oleh laki -laki. Bahkan Naomi Wolf (1997) mengemukakan bahwa kesetaraan gender menuntut kaum perempuan sebagai agent of change, agen potensial bagi perubahan dengan banyak sumberdaya manusia. Karena itu peran perempuan sebagai pemimpin (dalam arti luas) harus mampu melakukan pemberdayaan diri yang bermakna pemerataan kekuasaan dan otonomi. Lebih lanjut Naomi Wolf menye butkan bahwa kekuasaan mendasar yang dibutuhkan untuk dapat meningkatkan posisi tawar menawar (bargaining) adalah uang, kesempatan, kesehatan, pendidikan dan keterwakilan politis. Sementara untuk menjadi pemimpin yang diakui luas, dibutuhkan perjuangan 3-5 kali lebih keras. Fenomena peran perempuan dalam ranah publik (termasuk politik) khususnya dalam posisi peran pemimpin (pengambil keputusan) sebagaimana digambarkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Rose Lyn Zanville (2001), menunjukkan hal yang sama di beberapa negara, yaitu bahwa perempuan di ranah
lxxxvii
publik menunjukkan kinerja dan pencapaian karir yang lebih bagus dibanding lakilaki ditinjau dari karakteristik personal yang dimiliki oleh masing-masing jenis kelamin. Mengacu hasil penelitian Bank Dunia dalam kaitannya dengan korupsi, sebagaimana dipaparkan dalam Engineering Development (2001), menunjukkan bahwa jika jumlah perempuan lebih besar dalam kehidupan publik (politik) maka tingkat korupsi menurun. Suatu analisis data yang dikumpulkan dalam World Value Survey’s dari 18 negara pada tahun 1981 dan 43 negara pada tahun 1991 menunjukkan bahwa perempuan kurang bisa menerima perbuatan tidak jujur dan yang bersifat ilegal dibanding laki-laki. Secara eksplisit disebutkan bahwa hanya 7 dari 43 negara yang disurvei pada tahun 1991, lebih banyak laki -laki yang tidak bisa menerima uang sogok, selebihnya banyak perempuan yang tidak bisa menerima sogok. Laporan studi ini menyimpulkan bahwa perbedaan sikap terha dap korupsi karena perbedaan gender merupakan hal yang terjadi di berbagai tempat di dunia. Survei tersebut juga dilakukan di perusahaan-perusahaan, yang menemukan bahwa perempuan yang memiliki usaha lebih sedikit memberi sogok kepada aparat pemerintah dibanding dengan laki-laki. Alasan perempuan untuk menolak memberi sogok adalah untuk menghindari risiko yang lebih besar atau karena standar etika moral yang lebih tinggi. Bahkan survei terhadap 350 perusahaan di Negara Georgia menyimpulkan bahwa perusahaan yang dikelola atau dimiliki laki laki memiliki kecenderungan memberi sogok lebih tinggi dibanding perusahaan yang dikelola dan dimiliki perempuan (2:1). Hal yang kurang lebih sama adalah studi yang dilakukan oleh Presiden Direktur Fortune PR, dalam dunia bisnis jarang perempuan pengusaha yang bermasalah dalam bisnisnya, pengusaha dengan masalah kredit macet dalam jumlah besar kebanyakan adalah laki-laki. Bukan berarti usaha perempuan dalam skala kecil sehingga bila ada kredit macet tidak terdengar, tetapi menurut studi ini ada rasa malu yang tinggi dan secara emosi perempuan lebih berkembang sehingga perempuan lebih merasa khawatir bila melakukan hal-hal yang melanggar norma, lebih merasa malu. Survei Bank Pembangunan Asia di Medan dan Semarang menemukan bahwa perempuan lebih realistis dan hati-hati dalam menjalankan usahanya. Perempuan pengusaha lebih diandalkan dalam melunasi pinjamannya di bank. Bahkan, perempuan pengusaha cenderung lebih memilih untuk memiliki izin usaha dan membayar pajak pertambahan nilai serta pajak pendapatan. Yang sangat menarik adalah hasil studi Bank Dunia yang menunjukkan bahwa pemenuhan hak-hak sosial dan ekonomi perempuan berkorelasi negatif, artinya bila hak-hak sosial dan ekonomi perempuan dipenuhi, maka angka korupsi juga menunjukkan penurunan. Selain hak-hak perempuan, partisipasi perempuan yang lebih tinggi di dalam politik dan angkatan kerja juga berpengaruh terhadap penurunan jumlah korupsi. Korupsi berkurang secara nyata ketika proporsi
lxxxviii
perempuan di parlemen meningkat. Mereka mampu mengontrol pendapatan negara dan faktor lain yang mempengaruhi korupsi. Gillin (dalam Engineering Development) mengemukakan bahwa perempuan dan laki-laki berbeda dalam tingkah laku yang berhubungan dengan korupsi, sebab perempuan lebih berorientasi pada komunitas dan sedikit yang hanya memikirkan diri sendiri (selfless) dibandingkan dengan laki-laki. Dari deskripsi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa peran perempuan di dunia politik sangat diperlukan, bukan hanya untuk memenuhi haknya sebagai warga negara untuk terlibat dalam penyelenggaraan negara, tetapi juga untuk ikut melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan negara itu sendiri. Berdasarkan beberapa studi ataupun penelitian sebagaimana dipaparkan di atas menunjukkan bahwa perempuan juga memiliki kapabilitas untuk terlibat di wilayah publik dan cenderung berdampak positif dalam setiap representasinya, namun hanya masalah kesempatan dan paradigma yang patriarkis yang menjadi hambatan bagi berlangsungnya partisipasi politik perempuan. Oleh karena itu, program-program sebagaimana dijalankan oleh Yayasan Cakrawala Timur untu k meningkatkan partisipasi politik perempuan di Indonesia, khususnya di Jawa Timur, menjadi sangat signifikan dan harus selalu didukung demi tercapainya good governance.
lxxxix
PARTISIPASI POLITIK OUTPUT: Kebijakan dan representasi perempuan dalam posisi strategis di tingkat lokal
PEREMPUAN
FORMULASI PENDAMPINGAN KOMUNITAS DALAM UPAYA PENINGKATAN PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DALAM PROSES PEMBUATAN KEBIJAKAN PUBLIK DI WILAYAH KABUPATEN MALANG LATAR BELAKANG WILAYAH Geografis Desa Tlogosari terletak pada 600 m di atas permukaan laut, dengan temperatur rata-rata 15°C-35°C, dan merupakan wilayah perbukitan/pegunungan. Desa ini relatif luas dengan kepadatan penduduk yang relatif rendah. Topografi bentangan lahan untuk dataran seluas 70 ha dan perbukitan seluas 827 ha. Desa ini terletak paling dekat dengan pusat pemerintahan kecamatan Tirtoyudo dan di pertengahan jalur kegiatan ekonomi Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Malang. Di sebelah utara desa ini dibatasi oleh Desa Sukorejo, sebelah selatan dibatasi oleh desa Jogomulyan, sebelah timur dibatasi oleh Desa Tamansari dan sebelah barat dibatasi oleh Desa Gadungsari. Ia juga berdekatan dengan ibukota kecamatan, jarak yang ditempuh untuk mencapai ibu kota Kabupaten ± 40 km. Jumlah penduduk pada saat ini ±3338 orang dengan rasio jenis kelamin 98,33 yang terdiri dari 1655 laki-laki dan 1683 perempuan. Sebenarnya, desa
xc
Tlogosari merupakan sebuah desa yang potensial bila pengelolaan sumber daya dilakukan dengan baik. Tingkat pendidikan penduduk Desa Tlogosari relatif masih rendah, mayoritas tingkat pendidikannya SD. Meskipun tidak menempuh pendidikan formal, Penduduk pada umumnya merupakan keluaran pondok pesantren yang tersebar di wilayah kecamatan Gondang legi dan Dampit. Sarana perhubungan yang seringkali digunakan oleh penduduk dalam melakukan aktifitas sehari -hari adalah bis antar kota , mobil penumpang umum, ojek dan sarana perhubungan lain seperti kendaraan pribadi. Karena wilayah desa ini berada di jalur utama Lumajang -Malang, maka setiap saat tersedia alat angkutan umum. Kualitas jalan di wilayah desa sendiri masih kurang baik/rusak. Bahkan sebagian jalan yang menghubungkan antar dusun masih makadam (tak beraspal). Sedangkan jalan yang menghubungkan dengan kabupaten masih relatif baik. Jarak menuju pusat pemerintahan Kecamatan Tirtoyudo relatif sangat dekat. Dan jarak ke kabupaten bisa ditempuh dalam waktu ±45 menit. Sumber Daya Manusia Tingkat pendidikan penduduk relatif sangat rendah. Mayoritas tingkat pendidikannya adalah SD. Meskipun tidak menempuh pendidikan formal, penduduk umumnya alumni pesantren yang tersebar di wilayah Kec. Gondanglegi dan Dampit. Mayoritas penduduk ialah subkultur arek Jawa Timur dan beberapa golongan dari etnis Madura pendalungan dan sedikit Jawa Timur Mataraman (Tulungagung dan Trenggalek). Kehidupan sosial yang paling utama adalah komunitas pengajian dan kegiatan arisan baik pada kelompok bapak-bapak maupun ibu-ibu. Kegiatan sosial keagamaan rutin dijalankan di setiap RT untuk satu minggu sekali dan untuk tingkat desa satu bulan sekali Sumber Daya Alam Luas wilayah ± 450 ha, terbagi dalam kepemilikan perorangan mencapai ± 275 ha (61,11%), tanah sengketa dengan rakyat ± 168 ha (37,33%), milik negara ± 5,57 ha. Komposisi peruntukannya ± 20 ha untuk pemukiman, ± 5,57 ha untuk bangunan, luas sawah ± 24 ha, luas ladang ± 168 ha, luas perkebunan rakyat ± 221 ha dan selebihnya ± 9 ha untuk lain -lain. Kondisi tanah yang subur ± 252 ha atau 28,09% dari luas lahan yang ada. Sedangkan luas lahan ± 200 ha atau 22,3% merupakan lahan sedang. Curah hujan rata -rata1800-2000 mm per tahun dengan topografi perbukitan jenis tanah berombak yang termasuk lahan kritis.
xci
Sumber Daya Ekonomi Sumber utama pencaharian penduduk ialah sektor pertanian, baik dari perkebunan maupun lahan sawah kering. Dari luas 24 ha persawahan dimiliki oleh sekurang kurangnya 70 orang. Sedangkan lahan perladangan seluas 168 ha dimiliki 827 orang. Dan sebanyak 132 orang pemilik lahan perkebunan. Dari subsektor peternakan terdapat sedikitnya 155 orang yang menekuni bidang ini. 15 orang memiliki ternak sapi, 20 orang ternak kambing, 110 orang ternak ayam, dan 10 orang buruh ternak. Usaha pertanian yang dikembangkan oleh penduduk di antaranya tanaman kopi dengan penghasilan rata-rata 1,5-2 ton/ha, tanaman padi 3-4 ton/ha, tanaman jagung 4 ton/ha, tanaman ubi kayu 25 ton/ha, dan tanaman nilam 20 ton/ha. Usaha di sektor non pertanian yang umumnya banyak digeluti oleh penduduk adalah jasa perdagangan dan tukang kayu. Desa Tlogosari mempunyai pasar desa, dan pasar ini menjadi sangat ramai khususnya pada hari pasaran pon. Usaha-usaha lain di luar pertanian dan perdagangan meliputi PNS/TNI sekitar 6 orang, guru 21 orang, mantri kesehatan/perawat 2 orang dan pegawai swasta sekitar 7 orang. Pelayanan masyarakat di bidang ekonomi jauh tertinggal. Desa Tlogosari yang kaya akan sumber ekonomi pertanian nyaris tak mendapatkan dukungan teknis dari pemerintah. Ekonomi masyarakat setempat bergerak mandiri dan sendiri. Struktur ekonomi yang terbentuk di tingkat lokal lebih merupakan hasil gerakan masyarakat. Kondisi ini menggambarkan adanya pasar bebas pada komunitas petani subsisten yang berbasis agraris. Petani penggarap dan buruh tani serta perusahaan besar bekerja pada ruang yang sama. Persaingan dan kerjasama ditentukan oleh akses-akses modal, teknologi dan manajemen yang menentukan pula kegiatan ekonomi. Oleh karena itu proses dan kegiatan ekonomi terpusat pada usaha-usaha tempat modal terpusat. Sarana transportasi sangat baik dan lancar untuk dapat mencapai pusat desa, kota kecamatan dan kabupaten. Prasarana jalan darat yang ada di desa atau yang melalui desa sebagai berikut: jalan desa sepanjang 15 km belum beraspal (makadam), jalan kabupaten 4 km dan jalan propinsi 6 km. Kondisi jalan tanah 15 km, jalan batu 4 km dan jalan aspal 10 km. Definisi Kemiskinan Secara umum komunitas (buruh tani) di wilayah perkebunan Desa Tlogosari mendefinisikan kemiskinan bukan semata-mata pendapatan yang rendah, tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai, pemukiman yang sederhana, menerima zakat sepanjang hayat (mendapatkan santunan dan belas kasihan), Namun juga merupakan keterkaitan antara penguasaan lahan yang dimiliki,
xcii
pekerjaan yang digeluti, akses terhadap modal, akses informasi dan ketrampilan yang dimiliki serta akses terhadap pelayanan publik (seperti sekolah, penyuluhan pertanian, penyuluhan kesehatan). Ukuran kemiskinan yang diutarakan oleh masyarakat Desa Tlogosari bukanlah semata-mata ukuran moneter (uang). Tetapi juga dilihat pada bagaimana etos kerja yang dimiliki, motivasi dan hubungan kekerabatan sesama warga desa. Sehingga yang dibutuhkan di sini ialah bagaimana untuk mendapatkan akses pelayanan publik yang memadai dan juga bagaimana aksi riil yang dilakukan oleh perempuan untuk meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat, dengan tanpa meninggalkan tugas pokoknya sebagai ibu rumah tangga. PILIHAN MASALAH Secara umum permasalahan yang dihadapi perempuan di desa Tlogosari tidak jauh beda dengan persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan di wilayah-wilayah yang lain. Dalam konteks partisipasi politik, perempuan di desa Tlogosari masih belum terlibat dalam aktifitas -aktifitas yang memiliki dampak sosial yang signifikan, terutama yang menyangkut pembuatan dan pengambilan kebijakan di tingkat desa. Rendahnya partisipasi ini di antaranya disebabkan oleh tingkat pendidikan perempuan di sana yang rendah (rata-rata tamatan SD). Lemahnya wadah pengorganisasian perempuan di desa juga menyebabkan tingkat keberdayaan politik perempuan desa kurang, dan ini juga didukung oleh tidak adanya support dari pemerintahan desa baik berupa support moral maupun material untuk memberdayakan perempuan. Selain itu, setereotip pemerintah bahwa perempuan merupakan warga kelas dua menyebabkan perempuan di desa tersebut tidak dilibatkan dalam setiap proses pembuatan kebijakan publik. Selain beberapa sebab di atas, kondisi geografis yang menempatkan desa T logosari pada pedalaman kabupaten Malang menyebabkan akses akan informasi juga terbatas. Hal ini juga berdampak pada minimnya pengetahuan dan kesadaran perempuan akan eksistensi dan hak-hak politiknya, sehingga menempatkan perempuan tetap pada wilayah domestik. Organisasi-organisasi informal yang ada di desa seperti jamaah yasinan, jamaah tahlilan, kelompok arisan, dan lain-lain lebih cenderung berorientasi domestik (hanya mengarah pada ekspresi individual dan spiritual yang ujungujungnya kembali pada ruma h tangga, dan ini dianggap sebagai aktifitas sosial khas perempuan). Sampai saat ini belum ada organisasi-organisasi, baik formal maupun nonformal, yang menampung apresiasi dan ekspresi perempuan tentang permasalahan-permasalahan publik dan mendorong mereka menjadi kekuatan sosial yang memiliki nilai tawar pada penentuan keputusan politik (kebijakan). Bahkan, belum ada upaya untuk mendorong aktifitas-aktifitas organisasi nonformal
xciii
yang selama ini diikuti mereka menjadi ruang yang sekaligus menampung pembicaraan-pembicaraan seputar permasalahan masyarakat yang dihadapi di desa. Karena itulah, perlu adanya satu upaya yang sistematis dan terorganisir untuk membuka kesadaran kaum perempuan di desa Tlogosari dan mendorongnya untuk terlibat dalam aktifitas-aktifitas sosial yang berdampak positif bagi mereka dan mempu memiliki nilai tawar untuk mempengaruhi dan menentukan setiap produk kebijakan yang ada di desa. PROGRAM Di Tingkat Organisasi Perempuan Pengawal Advokasi Kebijakan -
-
Rancangan kegiatan pendampingan yang sistematis dan gradual. Menyiapkan media-media pengorganisasian (Legal drafting, UU, Perdes) dan juga community organizer sehingga siap untuk diajak melakukan need assessment bersama dalam rangka mengidentifikasi masalah-masalah di tingkatan lokal. Melakukan advokasi terhadap kebijakan publik dengan mendasarkan pada database yang ada di tingkat pemerintahan lokal. Evaluasi kegiatan atas berbagai kekurangan maupun kelemahan yang selama ini terjadi, sehingga akan diperoleh satu hikmah yang akan dijadikan rujukan bagi penyusunan strategi melakukan kegiatan-kegiatan pendampingan di masa yang akan datang.
Di Tingkat Basis -
Proses pendampingan Membentuk kelompok kolektif organisasi perempuan sebagai wadah konsolidasi Melakukan diskusi tentang penguatan pendidikan partisipatoris, sekaligus melakukan sosialisasi tentang agenda kepentingan perempuan. Mengadakan pelatihan tentang Toga (Tanaman Obat Keluarga) Melakukan need assessment; identifikasi masalah, identifikasi kebutuhan, identifikasi sumber daya, identifikasi kebijakan-kebijakan yang sudah ada. Focus Group Discussion (FGD) untuk mencari kesamaan cara pandang sehingga mencapai satu titik kesadaran kritis. Menyusun rencana tindak lanjut
xciv
Di Tingkat Pemerintah -
Pengumpulan database dari legal draft yang ada dan juga menggali informasi yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah desa yang selama ini dijalankan. Melakukan pendekatan dengan aparat desa baik secara formal maupun informal Melakukan aksi atau tindakan riil (lobi, negosiasi, memperkuat jaringan) dalam mendesakkan kepentingan-kepentingan perempuan dalam pos-pos anggaran. Sosialisasi ke publik tentang hal-hal yang sudah dilakukan oleh pemerintah desa setempat sejauh mana pelibatan perempuan dalam proses pembuatan kebijakan publik. Konsolidasi tentang berbagai hal yang akan maupun hal yang sudah dicapai sehingga tercapai konsistensi dari pemerintah desa untuk melaksanakan agenda tersebut.
LANGKAH/TAHAPAN KERJA Kegiatan 1 Penguatan Organisasi Perempuan Pengawal Partisipasi Perempuan Marginal Dalam Kebijakan Publik Lintas Kabupaten Deskripsi Kegiatan
Tujuan
Sasaran
Metode
Capaian
Waktu
Pertemuan Asistensi dari CT
Proses konsultasi dan pemecahan masalah
Aktivis KKPM
Diskusi
Adanya persamaan manajemen program antara CT dengan KKPM
Kesepakatan CT dengan KKPM
Pertemuan antar Organ Perempuan seRegio Arek
Konsolidasi dan sharing informasi aktivitas masingmasing lembaga di tiap kabupaten
Lembaga pelaksana program di Regio Arek
Diskusi, Brain storming
Adanya koordinasi sebagai langkah pengawalan untuk pencapaian isueisue kebijakan publik di tingkat kabupaten masingmasing
2 bulan sekali
xcv
Pertemuan dan konsolidasi di tingkatan organisasi KKPM
Konsolidasi dan evaluasi pelaksanaan program serta rencana tindak lanjut
Aktivis/a nggota KKPM
Diskusi
Terevaluasinya kegiatan yang terlaksana dan tersusunnya rencana program yang sistematis
1 minggu sekali
Kegiatan 2. Penyadaran dan Penguatan Kelompok Basis Deskripsi Kegiatan Pelatihan kader komunitas perempuan
xcvi
Tujuan
Sasaran
Memunculkan kaderkader komunitas yang mendorong peningkatan partisipasi politik perempuan di tingkat desa
30 orang peserta yang ada di desa Tlogosari yang meliputi 3 dusun, yakni Dusun Tlogosari, Tlogorejo & Tlogomulyo, dengan mempertimbangk an bahwa sebaran komunitas berada dalam satu satuan administrasi, berasal dari kesamaan topografi (da taran tinggi, la han kering) dan kesamaan budaya (tradisi sosial, nilai -nilai dan sumber produksi)
Metode Pendidikan Orang Dewasa (POD) yang berpijak pada prinsip belajar dari pengalaman. Fasilitator menstruktur kan pengalaman yang diungkapkan dengan cara curah gagasan, diskusi kelompok, permainan dan brain storming Nara sumber memberikan gambaran dan masukan yang bersifat informatif dan cara pandang baru dalam melihat fenomena yang terjadi dengan cara presentasi dan tanya jawab
Capaian
Waktu
Kader perempuan pedesaan memahami partisipasi politik dan kebijakan publik untuk terwujudnya tata pemerintahan yang baik (Good Governance), mampu menjadi Community Organizer di komunitasnya dalam mendorong partisipasi politk perempuan di tingkat desa, dan mampu menyibak keterbatasan akses ekonomi masyarakat desa, khususnya perempuan.
28- 29 Juni 2005
Pendampingan kelompok perempuan
Pendidikan partisipatori s dan memuncul kan kesadaran kritis
Peserta pelatihan kader komunitas perempuan pedesaan dan warga perempuan desa
1. Diskusi 2. Focus Group Discussion (FGD) 3. Pelatihanpelatihan
Teridentifikasi nya masalah perempuan dan munculnya kesadaran untuk memper juangkannya di tingkat desa, yakni persoalan kurangnya jaminan kesehatan dari pemerintah, kurangnya akses informasi yang mereka terima dan juga kurangnya akses terhadap perekonomian
Minggu ke4
Kegiatan 3. Lobby Aparatus Penyelenggara Negara Lokal Deskripsi Kegiatan
Tujuan
Sasaran
Metode
Capaian
Waktu
Mengadakan pertemuan dengan kepala desa dan perangkat desa
1. Memperoleh informasi tentang program desa 2. Mempengaruhi cara pandang aparat desa tentang kesetaraan dan keadilan gender
Kepala Desa bese rta Perangkat perangkatnya
Dialog Diskusi Curah gagasan
Adanya kesadaran pihak pemerintah desa tentang keadilan dan kesetaraan gender
Kesepakat an antara komunitas basis perempuan dengan aparat desa
Mengadakan pertemuan dengan BPD
- Meminta penjelasan tentang program satu tahun desa, - Minta penjelasan tentang pendapatan asli desa, dana alokasi umum dari Pemda,
BPD
- Dialog
Adanya informasi tentang program desa untuk kemudian dibawa ke komunitas basis untuk ditindaklanjuti,
Tentatif
xcvii
dan alokasi pos anggaran untuk pembangunan desa
sekaligus sebagai rencana aksi komunitas
Kegiatan 4. Partisipasi Kelompok Basis Dalam Penyusunan Legislasi dan Anggaran Deskripsi Kegiatan
Tujuan
Sasaran
Capaian
Waktu
Mengajukan draft usulan Perdes tentang keterwakilan perempuan dalam partisipasi politik di tingkat desa
1. Mengakomodasi kepentingan perempuan desa Tlogosari, yakni akses informasi, kemudahan/ subsidi terhadap akses kesehatan, akses terhadap modal usaha 2. Mewujudkan peran serta perempuan dalam segala proses pengambilan keputusan di tingkatan pemerintahan desa
BPD dan pemerintah desa
1.Dialog 2.Lobby
1. Adanya peraturan desa yang mengatur tentang keterwakilan perempuan di setiap kegiatan pengambilan kebijakan, perencanaan pembangunan sampai pada evaluasi pelaksanaan pembangunan 2. Adanya perempuan yang duduk dalam wilayah pengambilan kebijakan publik
Tentatif
Mengajukan draft usulan anggaran untuk kegiatan pemberdayaan perempuan desa Tlogosari, terutama demi peningkatan kesejahteraan masya rakat
Gender budgeting untuk tiap program pembangunan, yakni anggaran tentang kesehatan, untuk usaha perekonomian bersama.
Pemerintah desa dan BPD
1.Dialog 2.Lobby
Dianggarkannya kepentingan kepentingan perempuan dalam anggaran pemerintahan desa, yakni an ggaran tentang kesehatan, untuk usaha perekonomian bersama
Tentatif
xcviii
Metode
Peran serta dalam Musbangdes
Meningkatkan partisipasi aktif perempuan dalam setiap proses pengambilan kebijakan publik di tingkat desa
Pemerintah desa dan BPD
Negosiasi Kontrak politik
Meningkatnya partisipasi aktif perempuan dalam pembuatan kebijakan publik serta terakomodirnya kepentingan perempuan
Setiap ada musba ngdes
Kegiatan 5. Negosiasi Kelompok Basis Dalam Memenangkan Usulan Legislasi dan Anggaran Deskripsi Kegiatan
Wakt u
Tujuan
Sa saran
Metode
Capaian
Membangun opini masyarakat desa tentang usulan perdes dan anggaran
Sosialisasi tentang usulan pengajuan perdes keterwakilan perempuan dan anggaran untuk pemberdayaan perempuan
Tokoh agama, tokoh masyarakat, kelompok pengajian, kelompok tani, karang taruna, dan lainlain.
Kampany e
Adanya duku ngan terhadap perdes keter wakilan perempuan dan anggaran untuk pemberdayaan perempuan
Tenta tif
Lobby BPD
1. Mendorong terbentuknya perdes dan anggaran 2. Mendorong pengikutserta an perwakilan perempuan dalam setiap perencanaan pembangunan tingkat desa
Personal dan kolektif BPD
- Silaturahmi - Mendatangi kantor BPD secara berkala - Mengikuti sidang BPD
Adanya Nota kesepakatan dengan BPD untuk mewujudkan Perdes keterwak ilan perempuan dan Anggaran desa untuk perempuan
Tenta tif (Ketik a ada sidang BPD)
Memobilisasi publik (kelompok kepentingan, serikat, pengajian, dsb) mengadakan pertemuan dengan BPD
Membangun basis dukungan untuk mendesakkan kepentingan perempuan
BPD dan LKD
Persamaan persepsi dan issu tentang Keterwakilan perempuan. Adanya organisasi/ job d escription penggalangan basis massa
Tenta tif
-
N egosiasi - Dengar Pendapa t
xcix
Lobby Pengurus Partai tingkat ranting
Menjaring duku ngan politik untuk mende sakkan terwujudnya keterwakilan perempuan.
Pengurus partai politik
Kontrak Politik Silaturahmi
Nota kesepakatan untuk mendesakkan kebijakan publik tentang keterwakilan perempuan.
Tenta tif
Kegiatan 6. Pengawasan dan Evaluasi Pelaksanaan Legislasi dan Anggaran Deskripsi Kegiatan Pertemuan/ Hearing dengan BPD dan Aparat Desa
c
Tujuan Koreksi dan evaluasi draft kebijakan keterwakilan perempuan
Sasaran
Metode
Capaian
Waktu
BPD dan aparat desa
- Dialog - Diskusi
Draft kebijakan berpihak pada perempuan.
Tentatif
2
Form mulla si PPeendam mpinngaan KKom munit as U Untuukk A Advokaas i Keb ebijjak ann Publi k di Jaw awaa TTimuurr Kabupaten Kediri Desa Selopanggung Kecamatan Semen
Latar belakang Wilayah lereng Gunung Wilis di Kabupaten Kediri merupakan prototipe wilayah dengan segala keterbatasa n geografis dan sumberdaya manusianya. Hal ini menyebabkan akses politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat rendah . Pengaruh yang jelas dari kondisi geografis wilayah tersebut, khususnya Desa Selopanggu ng, adalah sumber daya ekonomi masyarakat lebih didasarkan pada sektor pertanian. Hal ini membawa konsekuensi tersendiri pada pembagian kerja masyarakat antara yang laki-laki dan yang perempuan. Dalam hal ini, peran laki-laki lebih dominan karena produksi pertanian menuntut tenaga (fisik) yang lebih, sementara perempuan telah diasumsikan tidak memiliki kekuatan yang sama sehingga produksi pertanian ini lebih ditentukan oleh laki -laki. Peran laki-laki yang lebih ini kemudian berpengaruh di ruang publik, yaitu proses pengambilan keputusan sangat ditentukan oleh mereka. Namun, seiring perkembangan zaman ketika tuntutan hidup semakin tinggi dan mencari nafkah semakin sulit, perempuan dituntut untuk ambil bagian dalam proses produksi ekonomi ini, sehingga dominasi laki-laki dalam kerja-kerja fisik ini mengendur dan di-sharing-kan dengan perempuan. Namun, dalam hal pengambilan keputusan, baik di keluarga maupun di komunitas, dan peran di ruang publik masih didominasi oleh laki-laki. Bahkan, justifikasi agama sering dipakai untuk melarang perempuan terlibat dalam forum-forum desa sehingga aktifitas perempuan terbatas hanya di komunitasnya, yaitu di kelompok Muslimat. PILIHAN MASALAH Desa Selopanggung berada di lereng Gunung Wilis dan termasuk dalam wilayah Kecamatan Semen Kabupaten Kediri. Sebagian besar warganya, baik laki-laki maupun perempuan, tua dan muda, bermatapencaharian sebagai petani dan sebagian besar wilayahnya berupa areal persawahan, perkebunan dan hutan. Sektor pertanian menjadi sumber penghasilan bagi mayoritas warga. Dalam keluarga, baik laki dan perempuan ataupun orangtua dan anak, semua mendapat peran yang seimbang dalam pengelolaan usaha pertanian. Namun warga yang notabene berada pada tingkat ekonomi menengah ke atas berasal dari sektor di luar pertanian, seperti PNS atau pedagang. Adanya kebijak an dari Pemerintah
ci
Kabupaten Kediri yang akan menjadikan wilayah lereng Gunung Wilis sebagai tempat pariwisata membuat kurangnya perhatian terhadap sektor pertanian. Ini didukung oleh makin tingginya harga sarana produksi pertanian, seperti pupuk dan benih, sementara harga jual produk pertanian makin turun. Hal ini sangat dirasakan oleh petani-petani kecil yang jumlahnya dominan, yang seringkali merugi dalam usaha pertaniannya. Pengakuan pemerintah yang hanya pada kelompok tani laki -laki membuat akses perempuan terhadap program pemerintah di bidang pertanian tidak ada, padahal perempuan punya peran cukup besar dalam usaha pertanian . Hal ini berdampak pada kurang berhasilnya pelaksanaan program yang dirasakan oleh masyarakat. Dalam keluarga, peran produksi, reproduksi, distribusi, transaksi dan konsumsi dilakukan melalui kerjasama antara laki-laki dan perempuan dengan pembagian peran yang seimbang. Namun dalam hal mengakses modal masih dikuasai oleh laki-laki karena adanya aturan dari pemerintah dan masih kuatnya budaya patriarkhi. Misalnya: karena laki-laki dianggap sebagai kepala rumah tangga maka pengajuan kredit bank, surat tanah, surat kendaraan bermotor dan surat-surat berharga lainnya dalam keluarga harus atas nama laki-laki. Hal ini menjadi hambatan bagi keluarga yang tidak ada laki-lakinya sehingga terjadi pemiskinan. Padahal, perempuan lebih kreatif dalam pengelolaan keuangan dan menambah pendapatan, seperti adanya arisan, simpan pinjam dan koperasi bahan kebutuhan pokok serta pengolahan hasil pertanian oleh kelompok ibu-ibu tingkat RT. Hal ini ditunjang oleh adanya akses penguasaan atas alat-alat produksi dan teknologi, terutama pengolahan hasil pertanian, oleh perempuan. Semua posisi di pemerintahan dan lembaga desa diisi oleh laki-laki. Pemerintahan desa kurang berjalan dengan baik sesuai aturan yang berlaku karena kurangnya pemahaman tentang tata cara mengatur pemerintahan, yang didukung oleh berubah-ubahnya undang-undang tentang Pemerintahan Daerah. Bahkan, kepercayaan masyarakat lebih pada tokoh masyarakat di tingkat RT/RW daripada perangkat desa. Pengambilan keputusan di desa sering hanya dilakukan oleh beberapa perangkat desa tanpa melibatkan semua perangkat, apalagi perwakilan masyarakat dan perempuan. Bahkan ada pernyataan dari beberapa warga bahwa peran sekretaris desa sangat dominan sampai keluar wilayah tugasnya dan sering melakukan penyelewengan sehingga kurang disenangi masyarakat. Perangkat desa lebih mengutamakan instruksi dari pihak kecamatan atau di atasnya daripada memperhatikan aspirasi masyarakat. Jadi, permasalahan pokok menyangkut perempuan di Desa Selopanggung ini adalah rendahnya keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan desa. Sehingga program yang dibutuhkan adalah pemberdayaan politik perempuan desa Selopanggung untuk terlibat dalam aktifitas pengambilan kebijakan publik.
cii
PROGRAM Strategi penguatan kelompok basis 1. Sosialisasi tentang kesetaraan dan keadilan gender kepada komunitas basis, baik perempuan maupun laki-laki 2. Penguatan kelompok melalui pendampingan kelompok basis untuk memantapkan pemahaman isu gender sehingga terjadi perubahan cara berpikir dalam menyikapi permasalahan perempuan, termasuk di dalamnya menyadari kebutuhan perempuan dan berani memperjuangkannya 3. Pengorganisasian masyarakat atau organisasi rakyat ber perspektif gender sebagai kelompok penekan percepatan partisipasi perempuan dalam pembuatan kebijakan publik. Strategi negosiasi dengan pemerintah desa dan tokoh masyarakat 1. Melakukan pendekatan terhadap pemerintah desa (kepala desa dan perangkat) serta tokoh masyarakat tentang pengarusutamaan gender (PUG), bahwa PUG merupakan bagian dari program pemerintah yang juga harus dilakukan oleh pemerintah desa 2. Mengkomunikasikan permasalahan perempuan kepada pembuat kebijakan di tingkat desa untuk ditindaklanjuti sebagai permasalahan publik (melakukan Public Hearing) Strategi koordinasi Regio Mataraman 1. Diadakan komunikasi untuk sharing informasi aktivitas masing-masing Kota/Kabupaten berkaitan dengan isu perempuan 2. Saling memberikan dukungan di tingkat regio (konsolidasi) untuk mengawal isuisu publik yang muncul di kota/kabupaten di Regio Mataraman. TAHAPAN KERJA Kegiatan 1 Penguatan Organisasi Perempuan Pengawal Partisipasi Perempuan Marginal Dalam Kebijakan Publik Lintas Kabupaten Deskripsi Kegiatan
Tujuan
Pertemuan Asistensi dari CT
Proses konsultasi dan pemecahan masalah
Sasaran Aktivis organisasi perempuan pengawal adv . KP
Metode Diskusi
Capaian Adanya persamaan manajemen program antara CT dan KIBAR
Waktu Kesepakatan CT dengan KIBAR
ciii
Pertemuan antar Organ Perempuan se-Regio
Konsolidasi dan sharing informasi aktivitas masingmasing lembaga di tiap kabupaten
Lembaga pelaksana program
Diskusi Curah pendapat
Adanya koordinasi sebagai langkah pengawalan untuk pencapaian isuisu kebijakan publik di tingkat kabupaten masing-masing
2 bulan sekali
Pertemuan di tingkat lembaga KIBAR
Konsolidasi dan evaluasi pelaksanaan program serta rencana tindak lanjut
Aktivis/ anggota KIBAR
Diskusi
Terevaluasi kegiatan yang telah terlaksana dan tersusunnya rencana program berikutnya secara sistematis
2 minggu sekali (tentatif)
Kegiatan 2 Penyadaran dan Penguatan Kelompok Basis Deskripsi kegiatan
Tujuan
Sasaran
Metode
Capaian
Pelatihan kader komunitas basis perempuan
Menyiapkan kader-kader komunitas basis yang mendorong peningkatan partisipasi perempuan di tingkat desa
30 orang perempuan yang mewakili komunitas di Desa Selopang gung K ec. Semen Kab. Kediri dari Dusun Tunggul, Plingsangan, Selopanggung dan Sumberagung
Pendidikan Orang Dewasa (POD) dipandu fasilitator dan dialog interaktif dengan narasumber
Munculnya kader komunitas yang memiliki kesadaran tentang kesetaraan dan kea dilan gender. Adanya kader perempuan di tingkat basis yang mendorong peningkatan partisipasi perempuan di tingkat desa
21-22 Juni 2005
Pendampin gan kelompok perempuan
Melakukan pendidikan partisipatoris sehingga muncul kesadaran kritis dari kader perempuan
Peserta pelatihan kader komunitas perempuan
Focus Group Discussion (FGD)
Teridentifikasinya masa lah perempuan dan munculnya kesadaran untuk memper juangkan masalah tersebut sebagai masalah publik
2 kali tiap bulan selama JuliDesem ber 2005
civ
Kader perempuan dari masing-masing dusun
Waktu
Kegiatan 3. Lobi Aparatus Penyelenggara Negara Lokal DESKRIPSI KEGIATAN
TUJUAN
SASARAN
METODE
CAPAIAN
WAKTU
Mengadakan pertemuan dengan kepala desa dan perangkat
Memperoleh informasi tentang program desa. Mempengaruhi cara pandang aparat desa tentang kesetaraan dan keadilan gender
Kepala desa Perangkat
Dialog
Adanya kesadaran pihak pemerintah desa tentang keadilan dan kesetaraan gender
Kesepakatan bersama antara komunitas dengan aparat desa
Mengadakan pertemuan dengan BPD dan LPMD
Minta penjelasan tentang program 1 tahun desa Minta penjelasan tentang pendapatan asli desa, dana alokasi umum dari Pemda dan alokasi anggaran untuk pembangunan desa
BPD dan LPMD
Dialog
Adanya informasi tentang program desa untuk kemudian dibawa ke komunitas basis untuk ditindaklanjuti sekaligus sebagai rencana aksi komunitas dalam memperjuangkan hak-haknya
Tentatif
Kegiatan 4. Partisipasi Kelompok Basis Dalam Penyusunan Legislasi Dan Anggaran Deskripsi kegiatan
Tujuan
Sasaran
Mengajukan draft usulan Perdes tentang keterwakilan perempuan
Terakomodasinya kepentingan perempuan di Desa Selopanggung
BPD dan pemerintah desa
Metode Dialog Lobbying
Capaian - Adanya peraturan desa tentang keterlibatan dan keterwakilan perempuan - Adanya kuota perempuan untuk setiap
Waktu Tentatif
cv
kegiatan pengambilan kebijakan, perencanaan pembangunan sampai pada evaluasi pelaksanaan pembangunan - Adanya perempuan yang duduk dalam wilayah pengambilan kebijakan publik Mengajukan draft usulan anggaran untuk kegiatan pemberdayaan perempuan Desa Selopanggung
Melaksanakan gender budgetting untuk tiap program pembangunan
Pemerintah desa d an BPD
Dialog Lobying
Adanya anggaran untuk kegiatan pemberdayaan perempuan dalam APBDes
Tentatif
Peranserta dalam Musbangdes
Meningkatkan partisipasi aktif perempuan dalam setiap proses pengambilan kebijakan publik di tingkat desa
Pemerintah desa dan B PD
Negosiasi Kontrak politik
Meningkatnya partisipasi aktif perempuan dalam pembuatan kebijakan publik serta terakomodirnya kepentingan perempuan
Setiap ada Musbang des
cvi
Kegiatan 5. Negosiasi Kelompok Basis Dalam Memenangkan Usulan Legislasi Dan Anggara n Deskripsi kegiatan
Tujuan
Sasaran
Metode
Capaian
Waktu
Kampanye
Tersosialisasikan nya pengajuan perdes keterwakilan perempuan dan anggaran untuk pemberdayaan perempuan
Tentatif
Membangun opini masyarakat desa tentang usulan perdes dan anggaran
Sosialisasi tentang usulan pengajuan perdes keterwakilan perempuan dan anggaran untuk pemberdayaan perempuan
Tokoh agama
Lobby BPD
Mendorong terwujudnya perdes dan anggaran untuk perempuan
Personal dan kolektif BPD
Silaturahmi Mendatangi kantor BPD secara berkala Mengikuti sidang BPD
Adanya nota kesepakatan dengan BPD
Tentatif
Lobby LPMD
Mendorong pengikutsertaan perwakilan perempuan dalam setiap perencanaan pembangunan tingkat desa
Personal dan kolektif LPMD
Silaturahmi Lobbying Negosiasi
Adanya nota kesepakatan dengan LPMD
Tentatif
Memobilisasi publik (kelo mpok kepentingan, serikat, pengajian, dsb) untuk adakan pertemuan BPD dan LKD
Membangun basis dukungan untuk mendesakkan kepentingan perempuan
BPD dan LKD
Negoisasi untuk desakkan dan tawar menawar kepentingan Dengar pendapat
Persamaan persepsi dan isu keterwakilan perempuan.
Tentatif
Tokoh masyarakat Ibu pengajian Karang taruna
Adanya organisasi/job description penggalangan basis massa
cvii
Lob i pengurus partai tingkat ranting
Menjaring dukungan politik untuk mendesakkan terwujudnya keterwakilan perempuan.
Pengurus partai politik
Kontrak politik Silaturahmi
Nota kesepakatan untuk mendesakkan kebijakan publik tentang keterwakilan perempuan
Tentatif
Kegiatan 6. Pengawasan dan Evaluasi Pelaksanaan Legislasi dan Anggaran Deskripsi kegiatan Pertemuan/ Hearing dengan LKD, BPD dan Aparat Desa
cviii
Tujuan Koreksi dan evaluasi draft kebijakan keterwakilan perempuan
Sasaran LKD, BPD dan aparat desa
Metode Dialog
Capaian Draft kebijakan berpihak pada perempuan.
Waktu Tentatif
3
PENINGKATAN PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM PROSES PEMBUATAN KEBIJAKAN PUBLIK DI KABUPATEN PONOROGO
(Advokasi Kepentingan Perempuan dalam Rencana Pembangunan Melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Desa Campursari, Kec. Sambit)
Latar Belakang Wilayah Kabupaten Ponorogo Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu dari 37 kabupaten di Jawa Timur yang terletak sekitar 200 Km² dari kota Surabaya (Ibu Kota Propinsi), memiliki luas wilayah 1.371,78 Km dan terbagi atas 21 kecamatan sert a 26 kelurahan dan 277 desa (BPS Kab.Ponorogo Tahun 2001). Secara administratif batas wila yah Kabupaten Ponorogo meliputi: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Madiun, Magetan, dan Nganjuk. 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tulung Agung dan Trenggalek. 3. Sebelah Selatan berbatasan denagn Kabupaten Pacitan. 4. Seabelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Pacitan dan Wonogiri (Jawa Tengah). Sedangkan secara topografi Kabupaten Ponorogo terbagi dalam 2 area yaitu : dataran tinggi, meliputi 4 kecamatan, yaitu: Ngrayun, Sooko, Pulung dan Ngebel; dataran rendah meliputi 17 kecamatan termasuk kecamatan Sambit. Secara demografis Kabupaten Ponorogo berpenduduk 898.807 jiwa dengan 441.114 laki-laki dan 457.693 perempuan (hasil Registrasi pada akhir 2002). Sebagian besar penduduk kabupaten Ponorogo bermata pencaharian sebagai petani. Tetapi, lima tahun terakhir ini Kabupaten Ponorogo menjadi basis pengiriman buruh migran baik sebagai TKI maupun TKW dengan ditandai banyaknya cabang -cabang PJTKI dan meningkatanya pendapatan daerah yang berasal dari sektor ini . Secara sosial-kultural Kabupaten Ponorogo tidak sama dengan kabupaten lain di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ponorogo, tidak bisa disebut berbudaya khas Jawa Timur tetapi juga tidak bisa disebut berbudaya khas Jawa Tengah, meskipun merupakan daerah bekas kekuasaan Kerajaan Mataram Islam (Demak). Ponorogo telah dikenal sebagai daerah WAROK dan REOG jauh sebelum penguasaan Mataram. Karena kuatnya budaya Warok dan Reog maka mempengaruhi karakte r masyarakatnya, yaitu memiliki keteguhan prinsip. Meski
cix
masyarakat Ponorogo lebih cenderung sebagai masyarakat abangan, namun dalam perkembangannya Islam menjadi semangat religius yang kental beriringan dengan budaya reognya. Desa Campursari Desa Campursari merupakan salah satu dari 15 desa di Kecamatan Sambit yang merupakan daerah berdataran rendah. Desa Campursari merupakan desa kecil berdasarkan luas wilayahnya, yaitu ± 103,156 Ha dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara berbatasan dengan sungai dan Desa Kradenan Kecamatan Jetis Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Bulu Kecamatan Sambit Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Campurejo Kecamatan sambit Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kutu Wetan Kecamatan Jetis. Jumlah penduduk Desa Campursari 1601 jiwa yang terdiri dari 822 jiwa perempuan dan 779 jiwa laki-laki. Mata pencaharian mayoritas penduduk adalah sebagai petani. Namun, karena semakin sempitnya luas tanah pertanian banyak penduduk yang berdagang. Meskipun demikian,masih banyak penduduk Desa Campursari yang tidak mempunyai mata pencaharian tetap (sebagai buruh tani, buruh lepas dan merantau ke luar kota). Desa Campursari terbagi dalam 2 dusun dengan 15 RT, Dusun Gading yang letaknya di sebelah Barat dan Dusun Bedali yang terletak sebelah Timur. Ada satu ciri khas Dusun Bedali, yaitu sebagai sentra industri rumah tangga pembuatan roti Bolu. Mayoritas penduduk Desa Campursari beragama Islam dan termasuk desa yang tingkat religiutasnya tinggi yang ditandai dengan hidupnya kelompok yasin dan tahlil. Kehidupan sosial kemasyarakatan cukup semarak, hal ini dapat dilihat dengan banyaknya organisasi dan perkumpulan , antara lain: Karang Taruna Dusun Gading, Karang Taruna Dusun Bedali, paguyupan Reog, paguyupan karawitan, kelompok sepakbola PERSADA. FOKUS MASALAH Permasalahan di Desa Campursari adalah masih lemahnya tingkat partispasi perempuan dalam proses pembuatan kebijakan publik di tingkat desa. Kondisi real partisipasi perempuan dapat dilihat dari hasil identifikasi permasalahan perempuan dalam Pelatihan Kader Komunitas Basis Perempuan pada bulan Juni tahun 2005. Berdasarkan hasil curah pengalaman perempuan tergambarkan dengan sangat jelas beberapa permasalahan yang dihadapi perempuan, seperti permasalahan kekerasan dalam rumah tangga, rendahnya modal usaha bagi perempuan, kesehatan reproduksi perempuan, rendahnya akses informasi dan
cx
masih banyak lagi. Hal itu disebabkan karena kepentingan perempuan tidak terumuskan dalam rencana pembangunan desa dan tidakadanya perempuan yang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan desa. Bahkan, dalam sejarah pemerintahan desa Campursari, belum ada perempuan yang duduk di wilayah struktural pemerintahan desa. Selama ini perempuan lebih berkecimpung di PKK dan kegiatan sosial keagamaan, atau kalaulah perempuan dilibatkan maka prosentasenya sangat kecil dan belum representatif dengan jumlah perempuan. Akar masalah dari semua itu adalah karena hak perempuan (istri) ditentukan oleh suami. Apabila ditelaah lebih lanjut berdasarkan pengalaman ibu -ibu pada waktu pelatihan kader kemarin, penghambat partisipasi perempuan untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan publik adalah masih dirasakan kegiatan domestik sebagai kewajiban perempuan, meskipun dirasakan merepotkan dan menjadi beban karena sudah terkonst ruksi sedemikian rupa sehingga ibu -ibu (perempuan) memaknainya sebagai “KODRAT”. Hambatan dalam diri perempuan untuk terlibat dalam kegitan publik khususnya dalam proses pembuatan kebijakan publik adalah kurangnya rasa percaya diri yang diakibatkan rendahnya tingkat pengetahuan dan kemampuan perempuan. Dalam program ini diharapkan masyarakat, khususnya perempuan, menyadari akan hak dan kewajibannya untuk terlibat dalam kegiatan publik (ikut andil dalam proses pembuatan keputusan desa) untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingannya agar terum uskan dalam rencana pembangunan. Program Program yang akan dilaksanakan adalah meningkatkan partisipasi perempuan dalam proses pembuatan kebijakan publik di tingkat desa dengan isu “Keterwakilan Perempuan”. Momen yang sangat tepat saat ini sedang dilaksanakan Program Pengembangan Kecamatan (PPK), sehingga dapat dijadikan media untuk memperjuangkan kepentingan dan kebutuhan perempuan yang selama ini belum terumuskan dalam rencana pembangunan secara maksimal. Selain itu , mengajak komunitas perempuan berpikir kritis tentang kebijakan dan alur pembangunan untuk selanjutnya diarahkan pada advokasi kebijakan (rencana jangka panjang). Kegiatan pengawalan PPK ini juga dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan praktis perempuan dalam upaya peningkatan kesejahteraan, sekaligus sebagai pemenuhan kebutuhan strategis perempuan dalam partisipasi pembangunan. Dalam hal ini masyarakat, khususnya perempuan, diajak untuk mengkaji tentang apa dan bagaimana PPK. Kebutuhan praktis perempuan berjalan sinergis dengan kebutuhan strategisnya, dengan mengusung isu keterwakilan perempuan. Out put yang diharapkan adalah adanya Peraturan Desa (Perdes) tentang keterwakilan perempuan sebagai jaminan yuridis yang nantinya menjawab berbagai kepentingan
cxi
perempuan yang tidak terumuskan dalam rencana pembangunan desa, sekaligus mendorong kegiatan perencanaan pembangunan mempunyai roh keadilan dan kesetaraan gender. Dalam rangka pencapaian out put tersebut maka perlu dilakukan kegiatankegiatan penguatan dan transformasi dengan sasaran: 1. Organisasi pengawal advokasi kebijakan 2. Kelompok komunitas perempuan 3. Pemerintahan desa dan tokoh masyarakat Langkah/Tahapan Kerja Tahapan pertama yang harus dilakukan adalah penguatan organisasi pengawal program, dalam hal ini adalah POKJA LP2. Selanjutnya melakukan identifikasi “tokoh kunci” yang akan menjadi partner untuk mengawal program. Identifikasi komunitas perempuan yang ada di desa dan pendataan calon kader juga sangat penting untuk memaksimalkan hasil pelatihan yang akan dilaksanakan. Tahapan berikutnya adalah penguatan dan penyadaran pada kelompok komunitas perempuan. Kegiatan ini merupakan proses yang diawali dengan pelatihan kader komunitas basis perempuan. Pada pelatihan tersebut diharapkan ada cara pandang baru dari komunitas tentang keadilan dan kesetaraan gender terhadap perempuan. Kegiatan ini dilanjutkan dengan pendampingan komunitas perempuan sebagai upaya meningkatkan kesadaraan kritis perempuan dan meningkatkan partisipasi politik perempuan. Dari pendampingan ini juga diharapkan muncul kelompok perempuan yang akan mewakili perempuan desa Campursari dalam memperjuangkan kepentingannya di tingkat desa. Pemerintah desa dan tokoh masyarakat tidak boleh ditingggalkan , mengingat mereka adalah pembuat kebijakan di tingkat desa. Upaya mempengaruhi pembuat kebijakan desa dilakukan dengan melakukan dengar pendapat, lobbi dengan pihak desa, BPD maupun tokoh-tokoh lain yang berhubungan dengan pembuatan kebijakan. Diskusi publik dilakukan sebagai upaya mensosialisasikan agenda kepentingan perempuan sekaligus menggalang dukungan dari masyarakat dalam upaya peningkatan partisipasi perempuan dalam proses pembuatan kebijakan di tingkat desa, dengan kata kunci “keterwakilan perempuan”.
cxii
KEGIATAN 1 Penguatan Organisasi Perempuan pengawal Advokasi Kebijakan Diskripsi kegiatan
Tujuan
Pertemuan asistensi dari Yayasan Cakrawala Timur
Proses konsultasi dan pemecahan masalah
Aktivis organisasi pengawal advokasi kebijakan publik
Diskusi
Adanya koordinasi antara CT dengan POKJA LP2 dalam melaksanakan program
Kesepakatan antara CT dengan POKJA LP2
Pertemuan antar organisasi pengawal program se regio mataraman
Konsolidasi dan sharing informasi aktivitas masing masing lembaga di tiap kabupaten
Lembaga Pelaksana Program
Diskusi Brainstorming
Adanya koordinasi sebagai langkah pengawalan untuk pencapaian proses advokasi kebijakan di tingkat kabupaten masing-masing
2 bulan sekali (selesai)
Pertemuan di tingkat lembaga POKJA LP2
Konsolidasi dan evaluasi pel aksanaan program
Aktivis POKJA LP2
Diskusi
1. Adanya rencana program yang sistematis. 2. Keberhasilan pelaksanaan program sesuai rencana
Tentatif
Sasaran
Metode
Capaian
Waktu
Kegiatan 2 Penyadaran dan Penguatan Kelompok Basis Diskripsi kegiatan Identifikasi “Tokoh Kunci” desa
Tujuan
Sasaran
Capaian
Waktu
Adanya tokoh-tokoh desa yang sudah dikenal masyarakat yang menjadi partner
Bulan April – Mei 2005
Metode Mengidentifikasi tokohtokoh desa yang dapat dijadikan partner dalam pelaksanaan
Tokohtokoh desa: istri perangkat desa, istri Pak Kyai, Kades,
Silaturahmi Lobby personal
cxiii
atau pengawalan program
Identifikasi dan Pendataan calon Kader
Mendaftar calon kader dari komunitas perempuan yang ada di desa (representatif wilayah) yang akan diundang dalam Pelatihan kader
Pelatihan Kader Komunitas Basis Perempuan
1.Mensosialisasi kan tentang keadilan dan kesetaraan gender. 2.Munculnya kader perempuan yang berperspektif gender yang menguatkan komunitas perempuan yang ada untuk bersama-sama meningkatkan partipasi perempuan dalam pembuatan kebijakan publik di tingkat desa.
cxiv
anggota BPD, anggota LKD, perangkat desa lainnya KomunitasKomunitas perempuan yang ada di desa campursari
30 orang peserta perempuan desa Campursari, yang mewakili 2 dusun dengan 15 RT dan diutamakan perempuan dari komunitas perempuan yang ada, yaitu : 1.Komunitas Jamaah Yasin Dsn. Gading 2.Komunitas jamaah Yassin Dsn. Bedali 3.Perkumpu lan Pemudi Gading (KPG) 4.Perkumpu
dalam mengawal program
Pengumpulan data (hasil dialog dengan tokoh masyarakat dan pengamatan langsung)
Adanya daftar calon kader yang merupakan perwakilan dari komunitaskomunitas perempuan
Bulan Mei-Juni 2005
1. Pendidikan Orang Dewasa (POD) yang berpijak pada prinsip belajar dari pengalaman 2. Narasumber hanya memberi kan masukan yang bersifat informative dan cara pandang baru dalam melihat fenomena yang terjadi.
1.Terssialisas ikan-nya keadilan dan kesetaraan gender. 2.Adanya kaderkader perempuan yang berperspek tif gender yang menguatka n kominitas perempuan yang ada untuk bersamasama meningkat kan partisipasi perempuan dalam pembuatan kebijakan publik
Tanggal 25 – 26 Juni 2005
lan pemudi Bedali (Tunas Pertiwi) 5.PKK 6.Kelompok Ibu-ibu Kerawitan Pendampingan I (Evaluasi pemahaman tentang materi pelatihan)
Pendampingan II (Peningkatan pengetahuan komunitas perempuan tentang pembangunan dan pembuatan kebijakan melalui “PPK”
Menguatkan pemahaman komunitas perempuan tentan g materi pelatihan dalam rangka meningkatkan kesadaran kritis perempuan.
- Komunitas inti (alumni pelatihan kader komunitas perempuan) - PKK - Kelompok Arisan Ibu-ibu RT 02/RW I Gading.
1. Mengetahui 1. Komunitas alur inti pembanguna Kelompok n& Perempua pembuatan n “TIRTA kebijakan SARI yang PERTIWI” diarahkan 2. Komunitas pada perempua advokasi n yang kebijakan. ada. 2. Meningkatka n partisipasi 3.
- Fokus Group Discution (FGD) - Pertemuan partisipatoris komunitas perempuan dengan pendekatan kefasilitato ran secara kontinyu
1.Meningkatn ya kesadaran kritis perempuan untuk berpartisip asi dalam proses pembuatan kebijakan di desa. 2.Munculnya kelompok perempuan yang mewakili perempuan desa Campursari untuk memperjua ngkan kepentingan perempuan di desa.
Bulan Juli 2005 : 15 juli 2005 20 juli 2005 24 juli 2005.
1. Diskusi 2. Pertemuan secara kontinyu 3. Permainan
1.Komunitas perempuan memahami dan mengetahu i tentang pembangu nan dan alur pembuatan kebijakan di desa. 2. Komunitas
Bulan Agustus 2005 : 17 Agustus 2005 (Jamaah Yassin Dsn Gading) 28 Agustus 2005 (Tirta Sari
cxv
perempuan melalui madia “PPK” 3. Mengidentifi kasi kebutuhan & kepentingan perempuan untuk masuk dalam rencana pembangun an.
Pendampingan III (Perumusan strategi komunitas perempuan dalam memperjuangk an kepentinganny a dalam pelaksanaan PPK di tingkat desa)
cxvi
1. Merumuskan strategi dalam pencapaian pemenuhan kebutuhan & kepentingan perempuan dalam rencana pembangunan 2. Mengawal gagasan & kepentingan perempuan untuk masuk dalam rencana pembangunan
1. Kelompok “Tirta Sari Pertiwi”. 2. Komunitas Perempuan yang ada (Ikmapi “Tunas Pertiwi”)
Diskusi kelompok.
perempuan berpartisip asi untuk memperjua ngkan kepentinga n sekaligus ikut serta dalam proses perencana an pembangu nan melalui media “PPK”. 3.Teridentifi kasinya kebutuhan dan kepentingan perempuan untuk dimasukkan dalam rencana pembangu nan
Pertiwi)
1. Adanya strategi dalam pencapaian kebutuhan & kepentinga n perempuan dalam rencana pembangu nan. 2. Adanya kepastian usulan gagasan kebutuhan & kepentingan
10 & 18 September 2005
Pendampingan IV (Persiapan Komunitas Perempuan mengawal kepentinganny a dalam kompetisi PPK di Kecamatan)
1. Mempersiapkan komunitas perempuan dalam kompetisi PPK di Kecamatan 2. Menggalang dukungan dari kelompok lain (komunitas perempuan) untuk menjadi partner dalam memperjuang kan kepentingan perempuan di Kecamatan.
1. Komunitas perempua n “Tirta Sari Pertiwi” 2. Kelompok di luar komunitas Perempuan.
Diskusi Kelompok Lobby
Pendampingan V (Evaluasi capaian usulan perem-puan dalam rencana pembangunan pasca Musyawarah Antar Desa Penetapan usulan PPK )
Mengevaluasi capaian usulan peremp uan dalam rencana pembangunan yang dihubungkan dengan keterwakilan perempuan.
1. Kelompok “Tirta Sari Pertiwi” 2. Komunitas perempuan lain
Diskusi Kelompok.
perempuan masuk dalam rencana pembangu nan. 1. Adanya kemampua n& kepercayaa n diri kelompok perempuan yang dibekali dengan materi & bahan data yang dijadikan pendukung dalam kompetisi di tingkat kecamatan 2. Adanya partner di luar kelompok permpuan untuk memperjua ngkan usulan kepentingan perempuan. Adanya hasil kajian bersama tentang capaian dari usulan perempuan dalam rencana pembangunan yg dihu bungkan
9 & 16 Oktober 2005
20 November 2005
cxvii
dengan keterwakilan perempuan dalam setiap proses pencapaiannya, sebagai landasan untuk penyusunan Peraturan Desa tentang keterwakilan perempuan. Pendampingan VI (Penindaklanjutan hasil evaluasi tentang keterwakilan perempuan (perumusan “produk yuridis” sebagai jaminan keterwakilan perempuan)
Mempelajari tentang alur pembuatan Peraturan Desa
1.Komunitas perempuan “Tirta Sari Pertiwi” 2.Kelompok di luar komunitas Perempuan.
Diskusi kelompok menghadirka n nara sumber (semi pelatihan)
Perempuan mempunyai pengetahuan & kemampuan tentang pembuatan Perdes sebagai upaya penyusunan draf rancangan Perdes tentang keterwakilan perempuan.
Bulan Desember 2005 - 11 Des 2005 - Tentatif
Capaian
Waktu
Kegiatan 3 Lobby Aparatus Pemerintahan Desa dan Tokoh Masyarakat. Diskripsi kegiatan Hearing I : Mengadakan pertemuan dengan pemerintah Desa sehubungan dengan pelaksanaan PPK
cxviii
Tujuan
Sasaran Metode
1. Memberikan informasi tentang partisipasi perempuan dalam kegiatan & pengawalan PPK sekaligus memberikan
Kades & perangkat Desa, BPD
- Dengar pendapat. - Lobby (baik secara personal maupun kelembagaa n)
1. Adanya dukungan & akses informasi seluas luasnya tentang pelaksanaan PPK di Desa Campursari.
Bulan Agustus 05 Minggu I bln Sept 2005
informasi tentang hasil identifikasi kebutuhan & kepentingan perempuan (dari hasil musyawarah khusus perempuan) 2. Meminta persetujuan dari Pemerintah Desa selaku pemegang kebijakan untuk menetapkan kelompok “Tirta Sari Pertiwi” yang nantinya menjadi penerima manfaat sekaligus pengelola dana simpan pinjam kelompok perempuan dalam pelaksanaan PPK. Hearing II: Pertemuan dengan pelaku PPK
Konsolidasi mencari dukungan untuk memenangkan usulan perempuan di tingkat kecamatan.
Untuk kelompok perempuan sekaligus dimasukkann ya usulan gagasan kelompok perempuan dalam rencana pembanguan desa. 2. ditetapkanny a kelompok perempuan “Tirtar Sari Pertiwi” sebagai pengelola & pemanfaat dana SPP PPK yang dituang dalam surat keputusan Kepala Desa & diketahui oleh BPD.
Kades, BPD, FD, LKD & TPK PPK
- Lobby - Diskusi
1. Adanya nota kesepekatan tentang usulan pembangunan desa. 2. Adanya strategi bersama untuk memenangkan usulan desa
Bulan Oktober 05
cxix
Hearing III: Pertemuan dengan Pemegang Kebijakan Desa
1. Memberikan informasi tentang kegiatan & hasil evaluasi kelompok perempuan pasca MAD penetapan usulan PPK 2. Mempangaruhi cara pandang para pembuat kebijakan sekaligus mendesakkan adanya jaminan yurudis tentang keterwakilan perempuan.
Kades , perangkat & BPD
Lobby & dengar pendapat.
1. Adanya kesepaham an tentang perlunya keterwakilan perempuan dalam setiap pelaksanaan pembangun an desa. 2. Adanya kepedulian dari pemerintah desa untuk memasukkan jaminan yuridis tentang keterwakilan perempuan.
Bulan Desember 05
Kegiatan 4. Partisipasi Kelompok Basis Dalam Penyusunan Legislasi dan Anggaran Diskripsi kegiatan
Tujuan
Sasaran
Capaian
Waktu
Metode
Peran serta dalam Musbangdes
Munculnya keterlibatan komunitas perempuan dalam proses pengambilan keputusan pembangunan desa
Kelompok perempuan “Tirta Sari Pertiwi”
Negosiasi, Dengar pendapat.
Adanya keterlibatan komunitas perempuan dalam proses pengambilan keputusan pembangunan di desa.
Setiap ada Musbangdes.
Penempatan perwakilan perempuan pada posisiposisi strategis kegiatan desa
1. Mengakses informasi tentang kegiatankegiatan desa yang bisa dijadikan
Kader-kader perempuan yang mempunyai komitmen terhadap kepentingan perempuan
Negosiasi
1.Adanya informasi tentang kegiatankegiatan desa yang bisa dijadikan
Setiap ada kegiatan yang melibatkan partisipasi masyarakat.
cxx
(difokuskan pada pelaku PKK desa)
media partisipasi perempuan. 2. Mengawal kepentingan perempuan dalam pembanguna n di tingkat desa.
(kader-kader berperspektif “sisterhood”)
media partisipasi perempuan (ditindaklanj uti sebagai agenda aksi) 2. Adanya kepastian kepentingan perempuan terencanakan dalam pembangunan di tingkat Desa.
Kegiatan 5 Negosiasi Kelompok Basis Dalam Memenangkan Usulan Legislasi dan Anggaran Diskripsi kegiatan
Tujuan
Sasaran
Capaian
Waktu
Membangun opini masyarakat desa tentang partisip asi perempuan dalam pembangunan
1. Menggalang massa untuk mendukung partisipasi perempuan dalam pembangun an 2. Menghapus pandangan negatif masyarakat terhadap perempuan yang sering berorganisa si.
1. Tokoh Agama 2. Tokoh Masyarakat 3. kelompok kelompok di luar komunitas perempuan
- Silaturrahmi - Mengundang pada kegiatankegiatan organisasi perempuan - Mendatangi acaraacara di luar kegiatan perempuan
1. Adanya dukungan dari masyarakat terhadap partisipasi perempuan dalam pembangun an 2. Adanya pemahama n dari masyarakat tentang pentingnya perempuan berorganisa si.
Tentatif
Diskusi Publik
Mensosialisasi kan wacana tentang pengarusutam aan gender (PUG) & agenda kepentingan
- Pemegang kebijakan desa , BPD, komunitas perempuan, Ormas perempuan (se-Kec.
Seminar
Tersosialisasik annya PUG & agenda kepentingan perempuan dalam peningkatan partisipasi
Bu la n November 2005 (tentatif )
Metode
cxxi
perempuan dalam peningkatan partisipasi perempuan dalam proses pembuatan kebijakan publik
Sambit) - Anggota DPRD - Camat beserta aparat kecamatan - Kantor pemberday aan masyarakat kabupaten Ponorogo
perempuan dalam proses pembuatan kebijakan publik.
Kegiatan 6 Pengawasan dan Evaluasi Pelaksanaan Legislasi dan Anggaran. Diskripsi kegiatan Pertemuan dengan pemerintah desa, BPD & pelaku PPK desa.
cxxii
Tujuan
Sasaran
Capaian
Waktu
Metode Koreksi & evaluasi pelaksanaan PPK.
Pemerintah desa, pelaku PPK
Dengar pendapat
Adanya transparansi pelaksanaan PPK di desa
Bulan Desember 2005 – Januari 2006 (tentati f)
3
FORMULASI PENDAMPINGAN KOMUNITAS UNTUK ADVOKASI KEBIJAKAN PUBLIK Di Desa Blumbungan Pamekasan
Latar Belakang Wilayah Geografis Desa Blumbungan adalah desa yang berada di pinggiran Kota Pamekasan. Desa ini terdiri dari 16 dusun, yaitu: Pangganten, Bantar, Duwak Tinggi, Berruh, Polay, Sumber batu, Aeng Pena y, Pandian, Tlagah, Garuk, Kendal, Tomang Mateh, Kaju Raja, Nyalaran, Tambak, Toronan Samalem. Di Desa Blumbungan penduduknya mayoritas bermata pencaharian sebagai petani/buruh tani, sebagian bermata pencaharian sebagai pedagang dan sebagian lagi pengangguran. Jumlah penduduk desa Blumbungan keseluruhan mencapai 14. 516 jiwa dan termasuk desa yang wilayahnya paling luas, sehingga ada rencana dari pihak pemerintah Kabupaten Pamekasan untuk membagi Blumbungan menjadi tiga desa. Masyarakat desa Blumbungan dapat di katagorikan menjadi dua katagori, yaitu: 1. Masyarakat pedalaman yang identik dengan daerah berbasis pesantren ( salaf) yang cenderung konservatif dan taat pada tokoh. 2. Masyarakat pinggiran yang sebagian besar masyarakatnya adalah buruh gudang tembakau, ada pula yang bekerja sebagai PNS. Pada katagori yang kedua masayarakatnya lebih terbuka dan lebih mudah menerima hal baru. Ketaatan terhadap tokoh cenderung berkurang daripada masyarakat katagori pertama. Pemerintahan Desa Posisi pemerintahan dan lembaga desa semuanya diisi oleh laki-laki. Pemerintahan desa kurang berjalan dengan baik karena kurangnya pemahaman tentang tata cara mengatur pemerintahan, yang didukung oleh beruba-ubahnya UU tentang pemerintahan daerah. Kepercayaan masyarakat lebih besar kepada tokoh setingkat RT/RW. Selain mereka lebih intens berkomunikasi dengan masyarakat, mereka juga lebih mudah untuk ditemui. Pengambilan keputusan di desa sering hanya dilakukan oleh beberapa perangkat desa tanpa melibatkan semua perangkat desa, apalagi perwakilan masyarakat dan perempuan. Bahkan, masyarakat sering tidak tahu tentang proyek yang diterima oleh desanya, seperti Raskin, PPK, dan lain sebagainya, karena selain memang tidak open management, juga tidak ada
cxxiii
sosialisasi ke warga desa. Hal ini sebenarnya yang membuat hilangnya kepercayaan warga terhadap perangkat desa, terutama Kadesnya. Kepemimpinan Kepemimpinan desa Blumbungan diturunkan sebagaimana warisan, karena yang pernah menjadi pemimpin adalah hubungan ayah dan anak. Kepala desa yang sekarang adalah keturunan ke 7 dari Buyut Lander (Pemimpin pertama Desa Blumbungan pada zaman Belanda). Menurut masyarakat Blumbungan tidak ada yang berani untuk merebut posisi kepala desa dari keturunan Buyut Lander. Selagi keturunannya masih berminat untuk menjadi kades, maka tidak ada seorang pun yang berani mencalonkan diri dalam Pilkades karena takut kualat. Karena semasa hidupnya Buyut Lander adalah orang yang bisa dibilang hebat karena kesaktiannya. Meskipun kepala desa yang sekarang rupanya kurang serius untuk menjadi kepala desa karena ternyata dia jarang ada di rumahnya dan sulit untuk bertemu rakyatnya. Lembaga Tingkat Desa Desa Blumbungan di pimpin oleh seorang kepala desa, yang relatif masih muda, karena dia mewarisi ayahnya sebagai kepala desa sebelumnya. Perangkat desa, mulai dari KADUS, ketua RT/ ketua RW, BPD semuanya diisi oleh laki-laki. Di desa ini tidak ada organisasi masyarakat yang eksis, seperti karang taruna, kelompok tani, atau PKK. Yang ada hanya paguyuban berbasis keagamaan yang memiliki kegiatan tahlilan, yang dalam bahasa Madura disebut kolom atau kumpulan. Paguyuban semacam ini dimiliki baik oleh laki-laki maupun perempuan. Namun, paguyuban yang anggotanya perempuan lebih banyak dan lebih tinggi frekuensinya. Namun kepercayaan terhadap perempuan untuk terlibat dalam musyawarah desa hampir tidak ada, atau bahkan tidak ada sama sekali. Perempuan masih dianggap tabu untuk berbicara dalam forum musyawarah desa yang mayoritas pesertanya adalah laki-laki. Dalam hal ini, perempuan dilarang untuk ikut campur. Pertanian Sektor pertanian di Desa Blumbungan kurang produktif karena masyarakat Blumbungan hanya semangat untuk bertani ketika musim kemarau, yaitu saat musim tembakau. Sedang beberapa tahun terakhir ini harga tembakau sangat murah (anjlok), sehingga tidak bisa diandalkan untuk menopang perekonomian, karena memang tidak punya kuasa untuk menentukan harga. Sedangkan pada musim hujan biasanya masyarakat Blumbungan menanam jagung, walaupun terkadang biaya perawatannya jauh lebih besar daripada hasil panennya karena
cxxiv
memang harga jagung relatif murah. Hal inilah yang membuat petani enggan untuk bertani dan sebagian memilih menjadi buruh gudang tembakau atau kuli bangunan. Pendidikan Di Blumbunagan juga banyak lembaga pendidikan tin gkat sekolah, seperti Sekolah Dasar (SD), Taman Kanak-Kanak (TK), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), juga pondok-pondok pesantren. Namun biasanya jenjang pendidikan tingkat menengah dan atas (MTs/MA) lebih banyak diisi oleh murid laki -laki, apalagi di kelas 3 MA hampir tidak ada murid perempuan (kalaupun ada prosentasenya sangat kecil), karena biasanya murid perempuan yang usianya mencapai kelas 3 MTs sudah dilamar dan dikawinkan. Fenomena yang lain adalah: anak laki -laki biasanya disekolahkan ke sekolah negeri seperti SMP, SMA yang ada di kabupaten, sementara anak perempuan cukup di sekolah swasta dan cukup sampai di jenjang MTs saja. Bahkan, ada beberapa pilihan bagi perempuan yang telah lulus SD, yaitu: langsung menjadi buruh tembakau, nik ah, atau masuk ke pondok pesantren. Kesehatan Desa Blumbungan mempunyai puskesmas pembantu yang hanya buka dua kali dalam seminggu. Dan ada juga bidan desa yang tinggal dekat rumah kepala desa, dan tidak semua masyarakat desa dapat menjangkaunya karena j alannya sulit dan relatif jauh mengingat Blumbungan sangat luas daerahnya. -- 00O00-Budaya patriarkhi yang sangat kuat di Madura, termasuk Pamekasan, serta justifikasi agama para kiyai membuat sulitnya perempuan berperan dalam ranah publik. Ketika ada perempuan yang aktif dalam persoalan politik, menjadi sorotan dari semua pihak baik itu laki -laki ataupun perempuan. Hal inilah yang membuat perempuan takut untuk berperan di wilayah tersebut, karena pasti akan dinilai negatif. FKSK mencoba melakukan proses p enyadaran dengan mensosialisasikan hak-hak perempuan dan perlunya perempuan berperan aktif dalam ranah publik yang di ikuti oleh Ibu-ibu dan remaja putri di desa Blumbungan. Tidak adanya organisasi masyarakat yang mewadahi perempuan di desa Blumbungan mem buat perempuan di desa semakin jauh dari kebiasaan hidup bermusyawarah dalam memutuskan persoalan di desa. Biasanya urusan desa sepenuhnya di serahkan kepada laki-laki. Karena itu, kini saatnya perempuan bangkit untuk menyejajarkan haknya dengan laki -laki untuk terlibat di wilayah publik, khususnya di wilayah yang strategis sebagai pengambil kebijakan.
cxxv
2. Deskripsi masalah Isu yang menjadi fokus FKSK dalam program Peningkatan Partisipasi Politik Perempuan dalam Pembuatan Kebijakan Publik adalah tidak adanya perempuan yang terlibat dalam setiap proses pembuatan kebijakan publik. Perempuan tidak pernah dilibatkan baik dalam struktur pemerintahan desa maupun dalam setiap kegiatan pembangunan baik yang sifatnya temporal maupun jangka panjang, pembangunan fisik maupun non fisik. Adanya UU Otonomi daerah yang salah satu produknya adalah terbentuk nya lembaga legislatif desa yaitu Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai alat kontrol dan mitra pemerintahan desa ternyata juga belum bisa mengakomodasi perempuan untuk terlibat di dalamnya. Hal ini disebabkan karena: 1. Masyarakat Madura dikenal sebagai penganut ajaran Islam yang taat dan fatwa kyai yang membatasi perempuan untuk aktif di ranah publik 2. Faktor pendidikan yang rendah dan ekonomi yang lemah, sehingga perempuan yang kebetulan aktif di luar lebih banyak bekerja sebagai buruh tani dan buruh gudang tembakau yang upahnya pun rendah. Dengan kondisi seperti itu, maka perempuan sulit untuk terlibat di setiap proses pengambilan kebijakan publik, baik di tingkat desa, dusun atau pun RT. Karena itu, perlu adanya satu program untuk mendorong partisipasi politik perempuan di tingkat desa. Dengan program ini diharapkan perempuan mempunyai peluang berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan publik, baik di tingkat struktural pemerintahan desa maupun di tingkat komunitas. 3. Program program yang akan dijalankan adalah meningkatkan partisipasi perempuan dalam pembuatan kebijakan publik di desa. Outputnya adalah rumusan perdes untuk diajukan ke pemerintahan desa dan DPRD. Diharapkan perdes tersebut dapat memberikan ruang kepada perempuan untuk terlibat dalam struktur desa atau dalam setiap pembangunan di desa Blumbungan. 4. Langkah/tahapan kerja Langkah pertama yang dilakukan adalah pengorganisasian masyarakat (community organizing) untuk membentuk wadah bagi komunitas perempuan dengan melakukan penyadaran tentang hak-hak perempuan serta pentingnya perempuan terlibat dalam setiap proses pengambilan kebijakan publik di desa. Selanjutnya , dilakukan pendampingan selama tujuh bulan terhadap kelompok perempuan dengan melakukan pendalaman materi tentang advokasi kebijakan publik.
cxxvi
Upaya mempengaruhi pembuat kebijakan dilakukan dengan cara dengar pendapat ( hearing) dengan pihak pemerintahan desa, Badan Perwakilan Desa (BPD), dan Dewan Perwakilan rakyat daerah (DPRD). Respon yang berupa dukungan dari masyarakat tentang agenda aksi perempuan Desa Blumbungan ini akan diperoleh dari kegiatan diskusi publik. Kegiatan 1 Penguatan Organisasi Kebijakan Publik Deskripsi Kegiatan
Tujuan
Perempuan
Sasaran
Pengawal
Partisipasi
Metode
Perempuan
Capaian
Dalam
Waktu
Pertemuan Asistensi dengan Yayasan Cakrawala Timur
Proses konsultasi dan pemecahan masalah
Aktivis FKSK
Diskusi
Adanya kesepahaman antara CT dan FKSK dalam manajemen pelaksanaan program
Kesepaka tan antara CT dan FKSK
Pertemuan antar organ perempuan se-Regio
Proses kordinasi dan pemecahan masalah
Lembaga pelaksana program
Diskusi
Adanya koordinasi sebagai langkah pengawalan kebijakan publik di kabupaten masing-masing
Dua bulan sekali
Pertemuan di tingkat FKSK
Evaluasi, menyusun RTL
Komponen FKSK Pamekasan
Diskusi
Terevaluasinya kegiatan yang sudah dilaksanakan dan tersusunnya rencana kerja periode berikutnya
Satu bulan sekali
UP Date data
Memiliki data terkini terkait program
Personil FKSK Pamekasan
Pengamatan langsung, Klipping koran, Investigasi
Mendapatkan data berupa kebijakan, Struktur Pemdes, dan perkembangan kelompok basis
Tentatif
cxxvii
Kegiatan 2 Penyadaran dan Penguatan Kelompok Basis Deskripsi Kegiatan
Tujuan
Sasaran
Metode
Capaian
Waktu
Identifikasi permasalahan dan komunitas sasaran
Mengetahui kondisi Desa Blumbungan, memetakan permasalahan perempuan Desa Blumbungan
Perempuan Desa Blumbungan yang aktif dalam kegiatan masyarakat tapi tidak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan desa
Diskusi kelompok/ Focus Group Discussion (FGD)
Memperoleh data tentang pemerintahan desa dan kondisi sosial masyarakat Desa Blumbungan
April dan Mei 2005
Pembentukan kelompok
Membentuk kelompok perempuan yang akan memperjuang kan kepentingan peremp uan di desa
Perempuan Desa Blumbungan representasi dari semua dusun
Pertemuanpertemuan
Terbentuknya kelompok perempuan yang kuat yang mewakili semua dusun di Desa Blumbungan
Mei 2005
Peningkatan kapasitas
Memahami pola relasi gender yang setara, hak -hak peremp uan, resistensi terhadap globalisasi, strategi advokasi, dan peran perempuan dalam Kebijakan publik di desa
30 calon kader dari 16 dusun di Desa Blumbungan.
Pendidikan Orang Dewasa (POD), Diskusi, Ceramah, Permainan
Meningkatnya kapasitas 30 orang calon kader komunitas
3, 4 Juni 2005
cxxviii
Pendampingan kelompok perempuan Studi kebijakan (pendamping an I)
Anggota kelompok memahami kebijakan desa yang berkaitan dengan kepentingan perempuan
30 calon kader dari 16 dusun di Desa Blumbungan.
Pengumpul an data (lisan, hasil pengamatan, klipping berita), diskusi
Munculnya sikap kritis atas kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan Perempuan Desa Blumbungan
Juli 2005
Perumusan strategi advokasi (pendamping an II)
Anggota kelompok dapat merumuskan tujuan advokasi dan langkah yang harus ditempuh untuk mencapainya (merumuskan isu, tujuan, sasaran)
30 calon kader dari 16 dusun di Desa Blumbungan.
Diskusi kelompok
Adanya rumusan strategi advokasi, isu utama, tujuan jangka pendek dan jangka panjang, sasaran advokasi, serta draft nota kesepakatan yang akan diajukan kepada Pemdes, BPD, DPRD, dan masyarakat luas
Agust. 2005
Perumusan pesan dan penyampaian pesan (pendamping an III)
Perempuan Desa Blumbungan dapat merumuskan pesan, memilih media kampanye dan saluran komunikasi
30 calon kader dari 16 dusun di Desa Blumbungan.
Diskusi kelompok
Tersampaikann ya gagasan kelompok mengenai hak hak perempuan
Sept. 2005
Persiapan komunikasi dengan lawan (Pendamping an IV)
Meningkatkan kemampuan anggota kelompok untuk berdialog dengan pihak terkait kebijakan
30 calon kader dari 16 dusun di Desa Blumbungan.
Diskusi kelompok
Tersusun draft nota kesepakatan, personel yang akan berunding , serta skenario
Okt . 2005
cxxix
(Pemdes, dll.)
perundingan
Identifikasi dukungan
Anggota kelomp ok mengetahui pihak mana yang akan mendukung pencapaian tujuannya dan bagaimana bentuk dukungannya
30 calon kader dari 16 dusun di Desa Blumbungan.
Diskusi kelompok
Anggota kelompok mampu merancang suatu kegiatan yang melibatkan masyarakat luas untuk mendapatkan dukungan (misal; diskusi publik, seminar, dll.)
Nop. 2005
Perumusan petisi/nota kesepakatan
Anggota kelompok dapat merumuskan draft kesepakatan berkenaan dengan rencana aksinya.
30 calon kader dari 16 dusun di Desa Blumbungan.
Diskusi kelompok
Terumuskannya perdes untuk diajukan kepada Pemdes. BPD dan DPRD
Des. 2005
Kegiatan 3 Lobi dengan aparatur penyelenggara negara lokal Deskripsi Kegiatan
Tujuan
Sasaran
Metode
Capaian
Waktu
Pertemuan dengan kepala desa dan apatur desa (Hearing 1)
Memberikan informasi ke pihak kelurahan mengenai rencana aksi kelompok dan mengetahui persepsi aparat desa mengenai hakhak perempuan
Kades dan Aparatur Desa
Dengar pendapat
Adanya kepedulian pihak desa terhadap kepentingan perempuan dan keterlibatan perempuan dalam kebijakan publik serta adanya dukungan kongkrit (nota kesepakatan)
Agustus 2005
Pertemuan dengan BPD (Hearing 2)
Menyampaikan keinginan kelompok berkenaan dengan
BPD Blumbungan
Dengar pendapat
Adanya kesepahaman mengenai keterlibatan perempuan dalam
Oktober 2005
cxxx
Pertemuan dengan DPRD (Hearing 3)
keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan didesa Menyampaikan rumusan Perdes
setiap proses pembuatan kebijakan publik di desa
Anggota DPRD komisi terkait
Dengar pendapat
Tersampaikannya tuntutan komunitas perempuan mengenai keterlibatan perempuan dalam setiap proses pembuatan kebijakan publik di desa
Desember 2005
Kegiatan 4 Partisipasi Kelompok Basis Dalam Penyusunan Legislasi Dan Anggaran Deskripsi Kegiatan Me mbangun komunikasi dengan aparat kelurahan
Tujuan Menggalang dukungan
Sasaran Lurah, sekretaris desa dan staf kelurahan lain
Metode Diskusi tentatif
Capaian Terbangun hubungan psikologis yang baik, pihak kelurahan memahami kepentingan perempuan
Waktu Setiap saat
Kegiatan 5 Negosiasi kelomp ok Basis dalam Memenangkan Usulan Legislasi dan Anggaran Deskripsi Kegiatan Musyawarah pemangku kepentingan Desa Blumbungan
Tujuan Menggalang dukungan
Sasaran Tomas, Toga, BPD dan perangkat Desa
Metode Diskusi
Capaian Pemangku kepentingan mengetahui agenda komunitas perempuan
Waktu 2006
cxxxi
Kegiatan 6 Pengawasan dan Evaluasi Pelaksanaan Legislasi dan Anggaran Deskripsi Kegiatan
Tujuan
Sasaran
Metode
Capaian
Waktu
Pertemuan dengan BPD dan Pemdes
Evaluasi pelaksanaan kebijakan
BPD dan Kades
Diskusi
Terbentuknya kesepakatan baru
Tentatif
Dengar pendapat dengan DPRD
Meminta penjelasan mengenai follow up dewan atas rumusan perdes
Komisi terkait
Dengar pendapat
Ada follow up yang lebih jelas dan bertanggung jawab dari dewan
Tentatif
Pendesakan
Mendesak para pembuat kebijakan tingkat kabupaten untuk membuat perda tentang keterlibatan perempuan dalam kebijakan publik.
Dinas terkait
Aksi, statement
Ada perhatian lebih baik dari pihak pembuat kebijakan, pressure oleh komunitas lain
Tentatif
cxxxii
PERLINDUNGAN TERHADAP OUTPUT: Kebijakan lokal yang memberikan perlindunga n terhadap buruh migran
BURUH MIGRAN
PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM ADVOKASI KEBIJAKAN PUBLIK TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMENUHAN HAK-HAK EKOMOMI BURUH MIGRAN PEREMPUAN DI DESA BRAGUNG KECAMATAN GULUKGULUK KABUPATEN SUMENEP Latar Wilayah
Secara geografis Desa Bra gung berbatasan dengan Desa Tambukoh (sebelah barat), Desa Penanggungan (sebelah timur), Desa Guluk-guluk (sebelah selatan) dan Desa Prancak (sebelah utara). Desa Bragung terdiri dari tujuh kampung, yaitu: Kampung Lengkong Barat, Lengkong Timur, Parebaan, Banlapah, Lengkong Daya, Areg Sawah dan Gunung yang merupakan daerah perbukitan dengan jumlah penduduk keseluruhan 7500; terdiri dari laki-laki 3000 dan perempuan 4500. Sedangkan mata pencaharian utama penduduk rata -rata pertanian dengan presentase 70%, 5% peternakan, 10% pedagang dan 15% menjadi buruh migran (85% ke negara Malaysia, 5% ke Saudi Arabia dan 10% urban). Dalam presentase pendidikan masyarakat yang tidak sekolah mencapai 50%, dan 40% dari itu adalah perempuan. Mereka yang tamat SD sebanyak 30% (10%nya perempuan), MTs sebanyak 10% (4%-nya perempuan), MA sebanyak 8% (1%-nya perempuan), dan sarjana sebanyak 2% (tidak ada perempuan). Pilihan Masalah
cxxxiii
Dilihat dari letak georafis Desa Baragung secara ekonomi bisa dibilang menguntungkan karena memiliki area persawahan yang subur. Tapi mengapa dalam setiap tahunnya hasil pertanian selalu tidak menguntungkan bagi petani. Hal ini sebenarnya sudah disadari oleh para petani bahwa semua alat produksi pertanian tidak lagi dimiliki oleh petani, mulai dari pupuk, bibit, bahkan pasar pun tidak memihak petani. Seringkali petani terjebak pada rentenir saat membutuhkan modal tanam. Para buruh tani perempuan dengan upah Rp.7000 dan buruh laki-laki dengan upah Rp.15000 ternyata tidak mampu menopang hidup denga n baik, apalagi dengan tingginya harga barang-barang pokok, biaya pendidikan, biaya rumah sakit dan ditambah lagi dengan budaya “tatengka” (seperti kondangan, kematian, kelahiran, jenguk orang sakit dan lain-laian). Persoalan ini yang akhirnya menjadi alasan mereka memilih menjadi buruh di negeri asing tanpa memiliki informasi yang akurat mengenai proses bekerja keluar negeri, terutama bagi perempuan yang pada umumnya berpendidikan rendah dan bekerja di sektor informal. Dengan demikian, eksploitasi serta diskriminasi terhadap perempuan tidak dapat dihindarkan. Pemerintah desa sendiri selama ini kurang begitu berperan dalam melaku kan kontrol terhadap warganya yang pergi ke luar negeri, karena pada umumnya para calon tidak pernah melapor ke pihak desa. Kalau pun pihak desa tahu, mereka juga tidak melakukan apa-apa. Beberapa masalah yang lolos dari kontrol desa antara lain: penipuan warga sebagai calon tenaga kerja oleh calo-calo, TKW yang pulang dalam keadaan hamil, TKW yang pulang dengan membawa anak tanpa suami, dan lain-lain. Sampai saat ini belum ada kebijakan yang mengatur perlindungan terhadap keluarga buruh migran, termasuk jaminan kesehatan dan pendidikan anak -anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya yang bekerja menjadi TKW. Karena itu perlu adanya dorongan untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan buruh migran ini, termasuk juga buruh migran perempuan (TKW) agar mereka mendapatkan perlindungan dari ketidakadilan dan mendapat jaminan kesejahteraan bagi keluarganya. Dorongan tersebut adalah keterlibatan warga, khususnya perempuan, dalam penentuan kebijakan desa yang menyangkut kepentingan buruh migran. Dengan demikian, fokus masalah yang akan diatasi oleh SBMI Sumenep adalah perlindungan terhadap buruh migran perempuan (BMP).
cxxxiv
Program Program yang akan dijalankan adalah meningkatkan partisipasi buruh migran perempuan dalam mendesakkan pembuatan kebijakan publik yang berkenaan dengan perlindungan dan pemenuhan hak-hak ekomomi buruh migran perempuan. Outputnya adalah rumusan UU perlindungan dan peme nuhan hak-hak ekonomi bagi buruh migran untuk diajukan kepada pemerintahan desa. Harapannya adalah buruh migran terlindungi dari segala bentuk ketidakadilan dan kekerasan, dan mendapat haknya dari pemerintahan desa berupa perlindungan dari praktek percaloa n. Langkah-langkah partisipasi perempuan dalam advokasi kebijakan publik. Kegiatan 1 Penguatan Organisasi Perempuan Pengawal Partisipasi Perempuan Marginal Dalam Kebijakan Publik Lintas Kabupaten Deskripsi Kegiatan
Tujuan
Sasaran
Capaian
Waktu
Pertemuan Asistensi dari CT
Proses konsultasi dan pemecagan masalah
Aktivis SBMI
Diskusi
Metode
Adanya pemahaman bersama antara CT dan SBMI Madu ra dalam managemen pelaksanaan program
CT dan SBMI Sumenep
Pertemuan antar Organ Perempuan se- Regio
- Sharing pengalam an pelak sanaan program - Proses konsultasi dan pemecahan masalah
Lembaga pelaksana program
Diskusi
- Adanya informasi isue tentang hasil pelaksana-an program yang sedang dilakukan - Adanya koordinasi sebagai langkah pengawalan kebijakan publik di kabupaten masing-masing
Pertemuan Regio 3x1 setahun
Pertemuan tingkat SBMI Sumenep
Evaluasi pelaksanaan program
SBMI Sumenep
Diskusi
Terevaluasinya kegiatan yang sudah dilaksanakan dan termuskannya rencana kegiatn periode selanjut-nya
Setiap kali pelaksanaan kegiatan program
cxxxv
Kegiatan 2. Penyadaran dan Penguatan Kelompok Basis Deskripsi Kegiatan
Tujuan
Sasaran
Membahas rencana kelompok (RTL) pelatihan komunitas
Adanya rencana aksi bersama oleh kelompok
Komunitas BMP
Membahas Dampak globalisasi pada perempuan desa
Adanya pemahaman dan kesadaran tentang globalisasi dan dampaknya terhadap pe rempuan desa
Komunitas BMP
Membahas Perempuan dan politik
Adanya pemahaman komunitas tentang politik dan menyadari pentingnya perempuan terlibat dalam keputusan politik di tingkat desa
Komunitas BMP
Membahas Pemerintah desa kita
- Komunitas pa ham sistem pemerintahan desa dan tahu proses pembuatan peraturan desa sehingga dapat mengkritisi kebijakan di desa - Komunitas mempunyai gagasan untuk perbaikan sis tem pemerintahan desa
Komunitas BMP
cxxxvi
Metode Cura h pendapat
Capaian
Waktu
Komunitas memiliki pemahaman terhadap persoalannya dan terprogramnya aksi bersama
Juli 2005
Ceramah diskusi
Komunitas BMP memiliki pengetahuan tentang globalisasi dan dampaknya terhadap perempuan
Juli 2005
Curah pendapat
Komunitas BMP memiliki pemahaman dan kesadaran pentingnya keterlibatan dalam pengambilan keputusan di desanya
Agust. 2005
Komunitas BMP memiliki kesadaran kritis serta termotivasi untuk melakukan aksi guna perbaikan sistem pemerintahan desa yang baik
Agust. 2005
Ceramah Diskusi kelompok
Ceramah Diskusi kelompok
Ceramah Diskusi kelompok Curah pendapat Permainan /praktek
dan termotivasi untuk melakukan aksi Analisa UUPTKLN. Konvensi PBB dan Deklarasi Colombo
Menganalisa bersama tentang UUPTKLN, konvensi PBB dan Deklarasi Colombo
Komunitas BMP
dialog
Terumuskannya draf UU perlindungan BM perempuan
Sept. 2005
Sosialisasi pembentukan wadah keuangan
Adanya persiapan untuk membangun wadah keuangan sebagai upaya mengurangi peran rentenir
Komunitas BMP
Dialog
- Gagasan program disepakati
Sept. 2005
Pembentukan wadah keuangan bagi BMP
Adanya wadah keuangan yang terbentuk oleh komunitas BMP
Komunitas BMP
Dialog
Terbentuknya wadah pengembangan keuangan bagi komunitas BM perempuan
Sept. 2005
Pembuatan rumusan UU perlindungan BMP dan penguatan ekonomi melalui wadah keuangan bagi BMP
a) Perumusan UU perlindung an buruh migran terutama halhal yang ber kaitan dengan pencaloan
Komunitas BMP
FGD
Terumuskannya UU perlindungan dan pemenuhan hak-hak ekonomi bagi buruh migran perempuan
Nov. 2005
- Komunitas BM perempuan paham dan komit pada gagasan yang direncakan
b) Perumusan UU pemberdayaan ekonomi bagi buruh mig ran dan perempuan pada umu mnya
cxxxvii
Kegiatan 3. Lobby Aparatus Penyelenggara Negara Lokal Deskripsi Keiatan
Capaian
Waktu
Pertemuan dengan kepala desa dan BPD
Memberikan inormasi ke pihak desa rencana aksi kelompok dan mengetahui persepsi kelurahan mengenai kebutuhan komu nitas
Kepala desa dan BPD
Lobby
Adanya kepedulian pihak kelurahan terhadap perlindungan buruh migran (nota kesepakatan)
Agustus
Mengadakan pertemuan dengan BPD
Memperoleh informasi tentang program legislatif desa, anggaran desa, mekanisme kerjanya
BPD
Dialog
Adanya kontrak pelayanan BPD terhadap kelompok basis dan organ pengawal advokasi kebijakan publik
Agustus 2005
Mengadakan pertemuan dengan Aparat Desa/Kelurahan
- Minta penjelas an tentang program 1 tahun desa, - Minta penjelasan tentang pendapatan asli desa, dana alokasi umum dari Pemda, dan alokasi anggaran untuk pembangunan desa
Aparat Desa
dialog
Terkumpulnya data dan informasi tentang program 1 tahun desa, pendapatan asli desa, dana alokasi umum dari Pemda, dan alokasi anggaran untuk pembangunan desa
Oktober 2005
cxxxviii
Tujuan
Sasaran
Metode
Kegiatan 4. Partisipasi Kelompok Basis dalam Penyusunan Legislasi dan Anggaran Deskripsi Kegiatan
Tujuan
Sasaran
Metode
Capaian
Waktu
Mengajukan draft usulan perdes tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak ekonomi BM perempuan
Adanya draf usulan Perdes tentang perlindungan dan pemenuhan hakhak ekonomi BM perempuan
BPD
Dialog Lobby
Disahkannya perdes tentang perlindungan dan pemenuhan hak -hak ekonomi bagi BM perempuan
Des. 2005
Mengajukan draft usulan Anggaran untuk peningkatan ekonomi buruh migran dan pe rempuan pada umumnya
Adanya anggaran untuk pemberdayan ekonomi BM perempuan
BPD
Dialog Lobyy
Adanya legiti masi hukum tentang hak -hak ekonomi bagi perempuan
Des. 2005
Peran serta dalam Musrembangdes
Ikut merumuskan rencana pembangunan
Camat, BPD, aparat desa, tomas.
Negosiasi Kontrak Politik
Keterlibatan BM perempuan dalam perumusan pembangunan
Setiap ada musbang des
Kegiatan 5. Negosiasi Kelompok Basis Dalam Memenangkan Usulan Legislasi Dan Anggaran Deskripsi Kegiatan Membangun opini publik desa tentang usulan legislasi/anggaran
Tujuan
Sasaran
Agar ada pemahaman, kesadaran dan aksi bersama tentang isu (usulan legislasi/ anggaran) untuk pemberdayaan ekonomi perempuan
Tokoh agama, tokoh masyarakat, Ibu pengajian
Metode Kampanye
Capaian
Waktu
Adanya dukungan dari masyarakat terhadap usulan legislasi dan anggaran untuk pemberdayaan ekonomi perempuan
Novem ber 2005
cxxxix
Lobby BPD
Membangun kesepakatan untuk peningkatan ekonomi bagi buruh migran perempuan
Personal dan kolektif BPD
Silaturahmi Mendatangi kantor BPD secara berkala Mengikuti sidang BPD
Tercapainya kesepakatan dalam perencanaan anggaran untuk peningkatan ekonomi bagi BM perempuan
Des . 2005
Lobby Bappedes
Agar mengetahui proses dan cara melakukan pengawasan program pembangunan desa
Personal dan kolektif Bappedes
Dialog personal/k olektif
Terlibat dalam pengawasan proses pelaksanaan program pembangunan
Kesepa katan SBMI dan komu nitas
Lobby pengurus pa rtai tingkat ranting
Menjaring dukungan dari partaiparta lokal untuk pelaksanaan pemberdayaan ekonomi
Partai lokal
Kontrak Politik Silaturahmi
Adanya dukungan dari partai lokal untuk pelaksanaan program pemberdayaan ekonomi
Kesepa katan SBMI dan Partai politik lokal
Kegiatan 6. Pengawasan dan Evaluasi Pelaksanaan Legislasi dan Anggaran Deskripsi Kegiatan Pertemuan dengan BPD, Bapedes, aparat desa, Tomas, partai lokal dan komunitas
cxl
Tujuan
Sasaran
Membicarakan Draf UU/Perdes yang mengatur tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak ekonomi bagi BM perempuan
BPD, Bapedes, aparat desa, partai lokal, tomas dan komonitas
Metode Dialog
Capaian Disepakatinya UU/Perdes yang mengatur tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak ekonomi bagi BM perempuan
Waktu 27 Juli 2006
2
Formulasi Pendampingan Komunitas Untuk Advokasi Kebijakan Publik Di Kabupaten Blitar
Latar Komunitas dalam Sub Kultur Perempuan di komunitas Kalipucung ini tidak terlepas dari kultur Mataraman yang menempatkan mereka hanya sebagai konco wingking laki-lakinya. Aktifitasnya terbatas pada wilayah kerumahtanggaan, dan jika ingin terlibat dalam ruang publik hanya dibatasi pada aktifitas keagamaan (pengajian). Atau jika mereka terlibat dalam kegiatan publik, mereka hanya di beri ruang untuk me ngurusi konsumsi. Meskipun ada perempuan yang bersikeras aktif di wilayah publik dan mendapat posisi strategis di struktur desa, ternyata ruang geraknya sangat dibatasi oleh suaminya dengan aturan bahwa tidak diperbolehkan terlibat dalam urusan desa. Bahkan, masih ada penilaian negatif jika ada perempuan yang pulang malam, meskipun itu melakukan kegiatan organisasi masyarakat atau keagamaan. Sebagian besar mata pencaharian penduduk Desa Kalipucung adalah tani dan buruh tani. Ada tradisi yang masih sangat melekat, yaitu ketika Bulan Suro masyarakat di desa itu selalu melakukan selamatan dengan cara membuat tum peng dan kepala ayam yang sudah dimasak dimasukkan ke dalam sumber mata air yang biasanya disebut sumber udel dengan tujuan agar pada tiap panen hasil panennya berlimpah karena pengairan sawah penduduk Kalipucung berasal dari sumber itu. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun mereka sangat memegang teguh agama, tetapi mereka juga memegang tradisi yang dianut oleh nenek moyangnya. Pilihan masalah Berdasarkan penelitian yang kami lakukan, para petani dan buruh tani itu hanya bisa menikmati hasil panen per bulannya kurang lebih Rp. 50.000, -, sehingga pendapatan perharinya kurang lebih hanya Rp. 1.500, -. Akibatnya, masyarakat di desa tersebut harus mencari nafkah tambahan yang biasanya dilakukan oleh seorang isteri untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Misalnya, dengan membuka usaha di rumah, berjualan di pasar, dan sebagian besar justeru menjadi tenaga kerja di luar negeri atau buruh migran. Berkaitan dengan buruh migran, bayak masalah yang dihadapi oleh para buruh migran itu dan keluarganya (bahkan sering tanpa disadari), baik sebelum bekerja, ketika bekerja, ataupun setelah bekerja. Masalah itu pun dianggap bukan masalah karena tuntutan ekonomi dan desakan kebutuhan hidup terus menjadi
cxli
motivasi untuk berangkat kerja di luar negeri. Pemalsuan KTP, gaji yang tidak dibayarkan, penyiksaan dan penganiayaan, pelecehan seksual, tidak boleh melaku kan ibadah, dan lain-lain adalah bagian dari hidup para buruh migran itu. Sementara fungsi pengawasan dan perlindungan aparat desa terhadap warganya sangat lemah, terbukti dengan tidak adanya data tertulis jumlah penduduknya yang bekerja di luar negeri. Selain itu, para calo yang sering disebut sebagai petugas lapangan dengan mudah keluar masuk desa untuk mencari “mangsa” yang akan diberangkatkan keluar negeri dengan iming-iming bebas biaya, terutama untuk calon buruh migran perempuan. Namun, sampai saat ini belum ada kebijakan desa yang menjamin perlin dungan bagi buruh migran ini. Bahkan, ada kesan bahwa aparat desa sendiri terlibat dalam konspirasi penjaringan calon buruh migran dengan memudahkan pema lsuan KTP. Dengan demikian, permasalahan pokok yang dihadapi buruh migran di desa ini adalah tidak adanya perlindungan dan jaminan keselamatan bagi mereka. Karena itu perlu adanya perjuangan untuk mendesakkan satu kebijakan yang mengatur perlindungan bagi buruh migran di desa tersebut. Program Pada tingkat organisasi perempuan pengawal advokasi kebijakan 1. Melakukan pertemuan secara intensif untuk mendiskusikan permasalahan buruh migran dan upaya perlindungan terhadap mereka. 2. Merumuskan langkah-langkah strategis advokasi kebijakan di tingkat kelompok basis dan pemerintah. 3. Melakukan Up Dating data tentang permasalahan buruh migran perempuan. Pada tingkat kelompok basis 1. Melakukan proses penyadaran terhadap kelompok perempuan basis tentang bahaya trafficking 2. Melakukan pengorganisasian komunitas buruh migran perempuan dan menyiapkannya sebagai kader komunitas perempuan yang akan memperjuangkan hakhak buruh migran. 3. Peningkatan kapasitas kelompok basis baik yang bersifat teknis maupun kognitif (peningkatan wacana). Pada tingkat pemerintah
cxlii
1. Melakukan lobi secara intensif kepada aparat pemerintah maupun instansi terkait dalam rangka memperjuangkan hak-hak buruh migran 2. Mendesakkan perdes dan APBDes yang mendukung upaya perlindungan terhadap buruh migran perempuan 3. Melakukan monitoring dan evaluasi atas aksi yang telah dilakukan bersama komunitas perempuan buruh migran dengan kebijakan yang didesakkan ke pemerintah. Langkah/Tahapan Kerja Yang telah dilakukan oleh Solidaritas Buruh Migran Blitar (SBMB) adalah pengorgan-isasian warga Kalipucung yang mayoritas mantan buruh migran untuk secara kritis mengetahui hak-hak buruh migran mulai pra kerja, saat bekerja, dan sesudah bekerja di luar negeri. Kemudian, dilanjutkan dengan proses pendampingan seba-gai bentuk penguatan kapasitas terhadap kader komunitas, hal ini juga meningkat-kan ketrampilan mempengaruhi pembuat kebijakan di tingkatan desa yang dilaku-kan dalam bentuk hearing dengan melibatkan aparat desa, DPRD yang berasal dari desa Kalipucung, Disnakertrans, dan tokoh masyarakat agar Peraturan Desa yang didesakkan mampu direspon dan dikaitkan dengan rancangan peraturan daerah tentang perlindungan buruh migran yang ada di Kabupaten Blitar. Kegiatan 1 Penguatan Organsiasi Perempuan Pengawal Partisipasi Perempuan Marginal Dalam Kebijakan Publik Deskripsi Kegiatan
Tujuan
Sasaran
Pertemuan Asistensi dari CT
Proses konsultasi dan pemecahan masalah
Aktivis organisasi Solidaritas Buruh Migran Blitar
Pertemuan di tingkat SBMB
Evaluasi, menyusun RTL
Up Date
Memiliki
Metode
Capaian
Waktu
Diskusi
Adanya pemahaman bersama antar CT dan SBMB dalam manajemen pelaksanaan program
Sesuai kesepaka tan
Tim atau komponen SBMB
Diskusi
Terevaluasinya kegiatan yang sudah dilaksanakan dan tersusunnya rencana kerja periode berikutnya.
Satu Bulan Sekali
CO SBMB
Pengamatan
Adanya data tentang
Setiap
cxliii
data
cxliv
data terkini terkait program
langsung, komunikasi personal dengan kader komunitas
permasalahan yang dihadapi buruh migran perempuan ber dasarkan apa yang dialaminya, baik sebelum, ketika, mau pun setelah bekerja.
saat dan sewaktuwaktu
Kegiatan 2 Penyadaran dan Penguatan Kelompok Basis Deskripsi Kegiatan
Tujuan
Sasaran
Metode
Capaian
Waktu
Identifikasi permasalahan komunitas sasaran
Mengetahui kondisi mantan buruh migran perempuan dan keluarganya
15 mantan buruh migran perempuan dan keluarga-nya, 5 orang Ormas perempuan, 5 remaja putri desa
Curah pendapat Diskusi kelompok
Memperoleh data kasus yang pernah dialami mantan buruh migran perempuan dan upaya penanganannya
Mei 2005
Pembentukan kelompok
Menyiapkan kader komunitas perem puan mantan bu ruh migran dan keluarganya untuk memperjuangkan hak -hak buruh migran perempuan
15 mantan buruh migran perempuan dan keluarga-nya, 5 orang Ormas perempuan, 5 remaja putri desa
Pertemuan intensif
Terbentuknya kelompok perempuan mantan Buruh Migran dan perempuan keluarga Buruh Migran
Awal Juni 2005
Peningkatan kapasitas
Memahami pola relasi gender yang setara, hak-hak perempuan, dan hak -hak buruh migran
15 mantan buruh migran perempuan dan keluarga-nya, 5 orang Ormas perempuan, 5 remaja putri desa
Pendidikan Orang Dewasa (POD), diskusi, ceramah, dan permainan
Kader komunitas memiliki bekal pemahaman tentang keadilan gender dan hak- hak buruh migran perempuan
11, 18 Juni 2005
Pendampingan Kader Komunitas Perempuan (Dilakukan 1 bulan 2 kali pertermuan selama bulan Juli – Desember 2005) Deskripsi Kegiatan Analisa sosial tentang kondisi desa dalam perspektif gender
Tujuan
Sasaran
Metode
Capaian
- Mengetahui kondisi dan potensi desa - Mengetahui keberpihakan aparat desa terhadap kepentingan perempuan
15 mantan buruh migran perempuan dan keluarga-nya, 5 orang Ormas perempuan, 5 remaja putri desa
Diskusi kelompok, permainan
Munculnya sikap kritis dari kader sehingga mampu meng kaitkan hak haknya sebagai permpuan dengan kebijakan desa
Waktu Juli 2005
cxlv
Belajar bersama tentang bahaya trafficking
- Mengetahui modus operandi pelaku trafficking - Mampu merumuskan apa itu trafficking
15 mantan buruh migran perempuan dan keluarga-nya, 5 orang Ormas perempuan, 5 remaja putri desa
Ceramah, diskusi
Anti trafficking sebagai gerakan komunitas kader perempuan
Agust. 2005
Perumusan strategi advokasi
Kader komunitas mampu merumuskan tujuan dan langkah untuk mencapai tujuan (merumuskan isu, tujuan, sasaran)
15 mantan buruh migran perempuan dan keluarga-nya, 5 orang Ormas perempuan, 5 remaja putri desa
Diskusi kelompok
Adanya rumusan stategi advokasi, isu utama, tujuan jangka pendek dan jangka panjang, serta kesepakatan, yang akan diajukan kepada aparat desa dan DPRD serta Disnakertrans
Sept. 2005
Perumusan penyampaian pesan
Kader komunitas mampu merumuskan strategi kampanye gerakan anti trafficking dan pentingnya perlindungan buruh migran.
15 mantan buruh migran perempuan dan keluarga-nya, 5 orang Ormas perempuan, 5 remaja putri desa
Diskusi kelompok
Pembuatan kaos dan stiker untuk menyam paikan gagasan kelompok mengenai pentingnya perlindungan terhadap buruh migran dan keluarganya
Okto ber 2005
Persiapan komunikasi dengan lawan
Meningkatkan kemampuan kader komunitas untuk berdialog dengan pihak terkait (aparat desa dan Disnakertrans)
15 mantan buruh migran perempuan dan keluarga-nya, 5 orang Ormas perempuan, 5 remaja putri desa
Diskusi kelompok
Tersusunnya nota kesepakatan dan personel yang akan berunding serta skenario perundingan
Nop. 2005
cxlvi
Identifikasi dukungan dan peru musan kesepakatan
- Menggalang dukungan yang lebih luas hingga tingkat kabupaten akan pentingnya perlindungan BM hing ga tingkat desa. - Kader mampu merumuskan draft kesepakatan yang berkaitan dengan rencana aksinya.
15 mantan buruh migran perempuan dan keluarga-nya, 5 orang Ormas perempuan, 5 remaja putri desa
Seminar, diskusi publik
Rumusan diajukan ke DPRD
Des. 2005
Kegiatan 3 Lobby Aparatus Penyelenggara Negara Lokal Deskripsi Kegiatan
Tujuan
Sasaran
Metode
Capaian
Mengadakan pertemuan dengan aparat Desa Kalipucung
Memperoleh informasi tentang data pen duduk Kalipucung yang be kerja di luar negeri dan tingkat pengawasan
Aparat Desa, Tokoh masyarakat
Dengar pendapat
Memperoleh data yang akurat tentang jumlah buruh migran, khususnya perempuan
Agustus 2005
Waktu
Pertemuan dengan BPD dan DPRD
Mendesakan pentingnya perlindungan untuk buruh migran
BPD, DPRD
Dengar pendapat
Adanya dukungan secara konkret
Oktober 2005
Pertemuan dengan Disnakertrans
Memperoleh informasi tentang draft perda perlindungan dan UU perlindung an BM
DPRD, Disnaker trans
Dengar pendapat
Tersampaikannya tuntutan komunitas
Desember 2005
cxlvii
Kegiatan 4 Partisipasi Kelompok Basis dalam Penyusunan Legislasi dan Anggaran Diskripsi Kegiatan
Tujuan
Sasaran
Metode
Capaian
Waktu
Sosialisasi Pembuatan APBDes partisipatif
Memberikan gambaran tentang pentingnya APBDes. Mengetahui pentingnya pengelolaan aset desa
Kelompok perempuan dampingan, tokoh masyarakat, BPD dan ormas
Ceramah dan dialog
Munculnya pemahaman tentang APBDes
13 Agustus 2005
Pelatihan Pembuatan APBDes
Mendorong tumbuhnya semangat partisipasi masyarakat dalam mengelola keuangan desa. Menumbuhkan sikap kritis masyarakat terhadap pengelolaan aset desa sebagai modal pemberdayaan dan pelayanan msayarakat desa dan kaum perempuan
Kelompok perempuan dampingan, tokoh masyarakat, BPD dan ormas
Brainstroming dan diskusi kelompok (Pendidik an Orang Dewasa)
Mampu membuat APBDes
20 Agustus 2005
Kegiatan 5 Negosiasi Kelompok basis Memenangkan Usulan Legislasi dan Anggaran Diskripsi Kegiatan Publik Hearing dengan aparat desa
cxlviii
Tujuan
Sasaran
Metode
Mendesakkan keterlibatan perempuan di tingkat pembuat kebijakan
Kelompok perem puan dampingan, tokoh masyarakat, BPD dan ormas
Dialog dan pernyataan sikap
Capaian Tercapainya kuota 30% bagi perempuan di tingkat struktur desa
Waktu 27 Agustus 2005
Publik hearing dengan aparat desa
Mendesakkan APBDes yang pro perempuan
Kelompok perempuan dampingan, tokoh masyarakat, BPD dan ormas
Dialog dan pernyataan sikap
Tercapainya kesepakatan/ kontrak politik tentang poor budgeting dan women bud geting
24 Sept. 2005
Rembug Desa
Menggalang dukungan
Kelompok perempuan dampingan, tokoh masyarakat, BPD dan ormas
Dialog dan pernyataan sikap
Tercapainya kesepakatan/ kon trak politik tentang perdes perlindungan buruh migran serta mengetahui agenda kader komunitas
2006
Kegiatan 6 Pengawasan dan Evaluasi Pelaksanaan Legislasi dan Anggaran Diskripsi Kegiatan
Tujuan
Sasaran
Metode
Capaian
Waktu
Pertemuan dengan Disnakertrans
Evaluasi pelaksanaan kebijakan
Staft dan kepala Dinas
Diskusi
Terbentuknya kesepakatan
Tentatif
Dengar pendapat dengan DPRD
Meminta penjelasan mengenai follow up atas kesepakatan
Komisi terkait
Dengar pendapat
Follow up yang jelas dan bertanggung jawab
Tentatif
Pendesakan
Mendesak para pembuat kebijakan hingga tingkat kabupaten tentang perlindungan buruh migran
Dinas terkait, DPRD, Pemkab
Aksi, Pers release.
Adanya perhatian yang lebih baik pada buruh migran dan keluarganya sebagai penyumbang devisa untuk Kabupaten Blitar
Tentatif
cxlix
KESEHATAN LINGKUNGAN OUTPUT: Kebijakan lokal yang memberikan sarana sanitasi lingkungan
FORMULASI PENDAMPINGAN KOMUNITAS UNTUK ADVOKASI KEBIJAKAN PUBLIK DI DESA DHARMA CAMPLONG KECAMATAN CAMPLONG KABUPATEN SAMPANG
Latar Belakang Wilayah Desa Dharma Camplong merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan Camplong Kabupaten Sampang yang terdiri dari tujuh dusun. Seperti kecamatan lain di Kabupaten Sampang, penduduk Desa Dharma Camplong kebanyakan bermata-pencaharian sebagai nelayan, petani dan pedagang. Sebagian kecil berprofesi sebagai pegawai baik di instansi pemerintahan maupun swasta. Penduduk Desa Dharma Camplong sampai dengan akhir tahun 2004 berjumlah 8317 jiwa yang terdiri dari 4210 jiwa perempuan dan 4107 jiwa laki-laki, dengan jumlah KK 1674 dan pasangan usia subur 966 pasang. Berdasarkan data penduduk miskin jumlah keluarga pra sejahtera 777 KK, keluarga sejahtera tahap I 689 KK, keluarga sejahtera tahap II 135 KK dan keluarga sejahtera tahap III 73 KK. Pendidikan yang dirasakan oleh penduduk Desa Dharma Camplong juga masih kurang, khususnya bagi perempuan karena istilah “makkeah da’remma’ah baih reng bine’ paggun burun nah ka dhapor keyah” (bagaimana pun tingginya pendidikan seorang perempuan, larinya akan ke dapur juga) sangat kuat diterapkan pada perempuan. Dalam
cl
menentukan sekolahpun, orang tua laki-laki lebih dominan mempunyai keputusan, dan rata -rata mereka memilih MTs karena mereka beranggapan SMP hanya tempat untuk pacaran dan lebih banyak makan biaya (pembayaran SPP, pembelian buku LKS dan buku-buku lainnya), sementara di MTs banyak pelajaran yang lebih disukai karena 60% pendidikan/pelajaran yang diberikan tentang keagamaan. Pilihan Masalah Isu yang menjadi titik keprihatinan dalam program Tikar bekerja sama dengan Cakrawala Timur ini adalah tentang rendahnya pendidikan untuk ibu-ibu nelayan dan kebersihan lingkungan. Lokasi yang dipilih adalah sebuah dusun, yaitu Dusun Pesisir Timur Desa Dharma Camplong Kecamatan Camplong yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan dan segala aktifitasnya selalu berkaitan dengan laut; mencari ikan di laut, membuang sampah ke laut, bahkan membuang hajat (buang air besar) pun ke laut. Karena rendahnya pendidikan maka perilaku masyarakat yang seperti itu menimbulkan lingkungan yang tidak sehat, seperti beg itu banyaknya tinja manusia dan sampah yang ada di pinggir pantai. Dalam program ini diharapkan masyarakat (khususnya ibu-ibu nelayan) mempunyai kesadaran, mampu menyampaikan keinginannya dan mampu meng kritisi pada pembuatan kebijakan yang berkaitan denga n kepentingan dusunnya. Program Program yang akan dijalankan adalah meningkatkan partisipasi perempuan pesisir dalam pembuatan kebijakan publik, khususnya yang berkaitan dengan kesehatan ibu nelayan. Outputnya adalah munculnya kebijakan desa yang mengatur tentang kebersihan dan kesehatan lingkungan bagi kaum nelayan dan adanya penyediaan sarana sanitasi (MCK) Langkah Tahapan Kerja Dalam pelaksanaannya, program didahului dengan kegiatan pengorganisasian masyarakat untuk membentuk wadah bagi komunitas perempuan pesisir memperjuangkan kepentigannya. Setelah terbentuk kelompok dilakukan peningkatan kapasitas anggota kelompok dengan mengirim kader terpilih dalam pelatihan, dan kader tersebut diharapkan bisa menjadi agen pembaharu dan salah satu titik awal kekuatan kelompok. Dilanjutkan pendampingan selama tujuh bulan terhadap kelompok saat melaksanakan advokasinya. Upaya mempengaruhi pembuat kebijakan dilakukan dengan cara melakukan dengar pendapat dengan pihak pemerintah desa, dinas kesehatan dan dinas pendidikan. Respon, baik berupa
cli
dukungan maupun kritikan dari masyarakat luas terhadap agenda aksi perempuan pesisir ini akan diraih melalui kegiatan diskusi publik. Kegiatan 1 Penguatan organisasi perempuan pengawal partisipasi perempuan marginal dalam kebijakan publik lintas kabupaten. Kegiatan
Tujuan
Pertemuan asistensi dari CT
Proses konsultasi dan pemecahan masalah
Aktivitas organisasi perempuan pengawal advokasi KP
Pertemuan antar organisasi perempuan se-Regio
Konsilidasi dan sharing informasi aktivitas di tiap kabupaten
Pertemuan di tingkat lembaga Tik@ar Sakera Update data
clii
Sasaran
Metode
Capaian
Waku
Diskusi
Adanya persamaan manajemen prog ram antara CT dengan Tik@r dalam melaksanakan program
Kesepakatan CT dengan Tik@ar Sakera
Lembaga pelaksana program
Diskusi
Adanya koordinasi sebagai langkah pengawalan untuk pencapaian isu-isu kebijakan publik di tingkat Kabupaten masing- masing
2 bulan sekali
Konsilidasi dan evaluasi pelaksanaan program serta RTL
Aktivis / anggota Tik@ar Sakera
Diskusi
Terevaluasinya kegiatan yang terlaksana dan tersusunnya rencana program yang sistimatis
2 minggu sekali (tentalif)
Mencari data terkini terkait program
Personil data dan informasi Tik@r
Pengama tan langsung
Terkumpulnya data terkini yang men dukung terlaksananya program
Tentatif
Kegiatan 2 Penyadaran dan penguatan kelompok basis Kegiatan
Tujuan
Sasaran
Metode
Capaian
Waku
Identifikasi permasalahan dan komunitas sasaran
Mengetahui dan memetakan kondisi masyarakat
Kelompok perempuan pesisir
FGD
1. Data sosial masyarakat pesisir 2. Data perempuan yang menggunakan laut sebagai tempat buang hajat dan sampah
April dan Mei 2005
Pelatihan kader komunitas perempuan (peningkatan kapasitas)
Mencari kader-kader komunitas basis untuk mendorong peningkatan partisipasi perempuan di tingkat desa
30 orang perempuan yang memiliki komunitas perempuan pesisir.
Diskusi kelompok
Munculnya kader komunitas yang memiliki kesadaran tentang kesetaraan dan keadilan dender. Adanya kader perem puan di tingkat basis yang mampu mendorong peningkatan partisipasi perempuan di tingkat desa.
4-5 Juni 2005
Waku
Pendampingan Kelompok Perempuan Kegiatan
Tujuan
Sasaran
Metode
Capaian
Pengorganisasian dan pendampingan I
Memberikan pendidikan tentang hak-hak perempuan pesisir
Kelompok perempuan pesisir
Diskusi kelompok
Perempuan pesisir memahami tentang hak-hak nya sebagai warga desa dan negara
16 juli 2005
Pengorganisasian dan pendampingan II
Memahami pentingnya pendidikan, khususnya bagi perempuan
Kelompok perempuan pesisir
Diskusi kelompok
Perempuan pesisir memahami tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan
13-14 Agustus 2005
Pengorganisasian dan pendam pingan III
Memberi penyadaran tentang pentingnya kesehatan dan kebersihan lingkungan
Kelompok perempuan pesisir
Diskusi kelompok
Adanya kesadaran bagi perempuan pesisir tentang pentingnya kesehatan dan kebersihan lingkungan
17-18 Sept. 2005
cliii
Pengorganisasian dan pendampingan IV (perumusan strategi advokasi)
Perempuan pesisir mampu merumuskan strategi untuk peningkatan SDM
Kelompok perempuan pesisir
Diskusi kelompok
Adanya rumusan langkah/tahap seb agai strategi advokasinya yang diaju kan kepada sasaran terpilih (pemerintah desa), dinas kesehatan dan dinas pendidikan.
16 -17 Nopem ber 2005
Pengorganisasian dan pendampingan V
Identifikasi dukungan dan persiapan diskusi publik.
Kelompok perempuan pesisir
Diskusi kelompok
Perempuan pesisir dapat mengidenti fikasi pihak terkait yang akan mendukung aksinya.
12 -13 Nopem ber 2005
Kegiatan 3 Lobby aparatus penyelenggara negara lokal Kegiatan
Tujuan
Sasaran
Metode
Capaian
Waku
Mengadakan pertemuan dengan kepala desa dan perangkat
- Memperoleh informasi tentag program desa. - Mempengaruhi cara pandang aparat desa tentang keseta raan dan keadilan gender - Mengusulkan adanya sarana sanitasi bagi masyarakat nelayan
Kepala desa Perangkat
Dengar pendapat, Dialog
Adanya kesadaran pihak pemerintah desa tentang keadilan dan kesetaraan gender. Dan dipertimbangkannya usulan sarana sanitasi.
Kesepakatan bersama antara komunitas dengan aparat desa
Pertemuan dengan dinas kesehatan dan dinas pendidikan
Meminta penje lasan tentang program- program dinkes dan diknas untuk perempuan
Dinas kesehatan dan dinas pendidikan
Dengar pendapat
Adanya kesepahaman mengenai pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat pesisir
Oktober dan Desember 2005
cliv
Kegiatan 4 Partisipasi kelompok Basis dalam penyusunan legislasi dan anggaran. Kegiatan Membangun komunikasi dengan aparat desa
Tujuan Menggalang dukungan
Sasaran Kades dan perangkat desa
Metode
Capaian
Di skusi Tentatif
Terbangunnya hubungan psikologis yang baik, pihak desa memahami kepentingan perempuan
Waku Setiap saat
Kegiatan 5 Negoisasi kelompok basis dalam menunangkan usulan legislasi dan anggaran. Kegiatan Pertemuan dengan pemangku kepentingan desa
Tujuan Menggalang dukungan
Sasaran Tomas, Toga dan aparat desa
Metode Diskusi
Capaian Pemangku kepenting an mengetahui agenda komunitas perempuan
Waku 2006
KEGIATAN 6 Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan legislasi dan anggaran Kegiatan
Tujuan
Sasaran
Metode
Capaian
Waku
Pertemuan dengan dinas kesehatan dan pendidikan
Evaluasi dan pelaksanaan kebijakan
Dinas kesehatan dan pendidikan
Diskusi
Terbentuknya kesepakatan baru
Tentatif
Pendesakan
Mendesak para pembuat kebijakan tingkat desa untuk membuat rencana tata ruang yang lebih baik
Dinas terkait
Aksi
Adanya perhatian lebih baik dari pihak pembuat kebijakan
Tentatif
clv
KEKERASAN TERHADAP OUTPUT: Kebijakan lokal yang memberikan proteksi terhadap perempuan dari
PEREMPUAN
Formulasi Pendampingan Komunitas Untuk Advokasi Kebijakan Publik Di Desa Pekoren Rembang Pasuruan
Latar Wilayah Kabupaten Pasuruan Pasuruan merupakan sebuah kabupaten yang berbatasan sebelah Selatan dengan Kabupaten Malang, sebelah Timur dengan Kabupaten Probolinggo, sebelah Utara dengan Kabupaten Sidoarjo dan Selat Madura, dan sebelah Barat dengan Kabupaten Mojokerto. Secara administratif kabupaten Pasuruan mempunyai enam wilayah Pembantu Bupati, 24 Kecamatan, 341 wilayah desa dan 24 wilayah kelurahan, dengan luas area 14.740.150 ha, dengan jumlah penduduk keseluruhan sebanyak 1.366.605 jiwa yang terdiri dari laki-laki 676.264 jiwa dan perempuan 690.341 jiwa. Dari jumlah penduduk keseluruhan yang tergolong miskin sebesar 1,51%, sangat miskin 6,47%, dan mendekati miskin 22,76%. Sedang sisanya 69,26% tidak miskin. Kecamatan Rembang
clvi
Kecamatan Rembang adalah kecamatan yang berbatasan sebelah barat dan utara dengan Kecamatan Bangil, sebelah timur dengan Kecamatan Kraton dan sebelah selatan dengan Kecamatan Sukorejo. Kecamatan ini memiliki tujuh wilayah desa dengan luas wilayah 4.252 ha. Jumlah penduduk keseluruhan sebanyak 53072 jiwa: terdiri atas 25.837 laki -laki dan 27.235 perempuan. Dari 24 kecamatan yang ada di wilayah Pasuruan, Kecamatan Rembang menduduki peringkat pertama dalam kategori penduduk miskin terbanyak dengan jumlah sekitar 21.824 jiwa . Desa Pekoren Desa Pekoren terdiri dari empat dusun, yakni Pekoren, Ketimang, Ketapan, dan Krian dengan luas wilayah 515 ha. Penduduknya sebanyak 4954 jiwa, terdiri dari 2500 perempuan dan 2454 laki-laki. Dalam hal mata pencaharian, warga Pekoren yang be rusia 30 tahun ke bawah rata-rata menjadi buruh pabrik di daerah sekitar (Kawasan PIER), dan yang usianya lebih dari 30 tahun bekerja sebagai pekerja home industri (Bordir), buruh tani, PNS, buruh perkebunan. Sebagian besar penduduk Pekoren beretnis Jawa, tetapi bahasa sehari -harinya menggunakan bahasa campuran Jawa-Madura. Pilihan Masalah Realitas sosial-budaya dan sosial-religius masyarakat Desa Pekoren pada umumnya homogen, yakni masyarakat berbasis pesantren. Nilai-nilai dan norma-norma kehidupan ber masyarakat baik individu maupun sosial banyak diwarnai religi. Dominannya kehidupan pesantren membawa pengaruh pada perilaku kehidupan sosial, politik, maupun individu. Secara kultural, posisi laki -laki lebih dominan dalam hampir semua aspek kehidupan, baik politik, sosial, agama, maupun keluarga. Perempuan berada pada wilayah domestik (rumah tangga), dan setiap pengambilan keputusan banyak didominasi laki -laki. Berhubungan dengan permasalahan kekerasan dalam rumah tangga, pihak laki -laki dapat dengan mudah memutuskan talak atau tindakan kekerasan kepada istrinya tanpa dilandasi dasar dan pertimbangan apapun. Tradisi sosial -budaya turut memperparah keadaan. Di desa Pekoren, tidak jarang terjadi kekerasan fisik maupun psikis terhadap perempuan (istri) dalam rumah tangga, seperti pemukulan, penganiayaan, umpatan, dan perkataan -perkataan kasar yang mengakibatkan trauma. Hasil identikasi praktek kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di Desa Pekoren ini menunjukkan bahwa sangat banyak tindakan ini dilakukan o leh suami, namun mayoritas ibu-ibu rumah tangga tidak mau mengungkapkan secara lebih detail, meskipun mereka umumnya mengakui bahwa tindakan kekerasan ini
clvii
sering kali terjadi di dalam rumah tangga mereka. Mereka masih merasa takut untuk mengungkapkan tindakan -tindakan kekerasan tersebut karena menganggap bahwa hal tersebut merupakan aib keluarga yang tidak patut untuk diungkap kepada orang lain (konsumsi publik). Beberapa pengakuan yang berhasil direkam adalah mayoritas kekerasan bersifat sangat fisik yang berupa pukulan, tamparan, dan sejenisnya. Dan kekerasan fisik ini tidak saja terbatas dilakukan di dalam rumah, bahkan sering terjadi pula dilakukan di luar rumah dan disaksikan oleh lingkungannya, namun sama sekali tidak ada respon dalam masyarakat untuk mengatasi hal ini. Tentu saja hal tersebut karena dianggap bahwa itu bukan urusan mereka, melainkan urusan internal rumah tangga yang bersangkutan. Selain kekerasan yang bersifat fisik juga terjadi kekerasan yang bersifat psikis, yakni dengan umpatan-umpatan kasar yang secara langsung sangat melukai perasaan dan menimbulkan trauma tersendiri bagi perempuan. Beberapa ragam kekerasan tersebut umumnya disebabkan karena istri membantah perkataan suami, atau tidak menuruti kehendak suami. Selain itu juga sering terjadi perselingkuhan yang mengakibatkan mudahnya suami melakukan talak, padahal dalam hal ini perempuan yang sangat dirugikan. Sementara itu, di salah satu dusun di Desa Pekoren juga masih ditemukannya praktek-praktek kawin sirri yang sangat rentan mengundang tindakan kekerasan terhadap perempuan, dan juga menyebabkan keluarga (istri dan anak) terlantar. Padahal dalam Undang-undang No. 23 tahun 2004 secara eksplisit disebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan fisik, psikis, seksual atau penelantaran dalam rumah tangga. Dengan demikian, dapat dikatakan telah terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan. Tetapi kasus tersebut secara sosial bukanlah menjadi sebuah permasalahan, bahkan telah “mentradisi”. Artinya, hal ini sudah menjadi bagian dari hidup berumahtangga mayoritas masyarakat Pekoren sehingga sudah dianggap sangat lazim. Dengan demikian, secara tidak sadar tindakan kekerasan tersebut telah menjadi bagian dari kultur dan terpatri dalam pola pikir dan perilaku sebagian besar masyarakat Desa Pekoren. Pandangan kultural yang terbentuk kemudian adalah bahwa merupakan aib bagi perempuan untuk mengadukan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga mereka. Di samping itu, belum ada satu institusipun yang mampu melakukan pendidikan kepada masyarakat untuk mengeliminasi banyaknya atau membudayanya tindak kekerasan dalam rumah tangga. Juga belum ada campur tangan aparatur desa, entah melalui produk hukum atau kebijakan yang diambil yang mencoba mengatasi kekerasan dalam rumah tangga ini.
clviii
Oleh karena itu, kebutuhan akan adanya Perdes yang mengatur persoalan tersebut sangat mendesak untuk dibuat. Karena itu perlu dilakukan penelitian dan penelaahan secara mendalam untuk pembuatan Perdes, sehingga benar -benar menjawab kebutuhan masyarakat Desa Pekoren akan Perdes yang mengatur perlindungan terhadap perempuan dari tindak kekerasan dalam rumah tangga yang sesuai dengan karakterisktik dan kondisi lokal, sehingga tidak tumbuh dan bertentangan dengan perundang-undangan yang sudah ada. Melekatnya budaya patriarkis dengan meletakkan perempuan sebagai sub struktur masyarakat, maka sangat dimungkinkan bahwa dengan pembuatan Perdes perlin dungan perempuan dari tindak kekerasan dalam rumah tangga akan menyebabkan “culture shock”. Karena itu dalam pembuatannya harus melibatkan semua unsur masyarakat desa Peko ren, sehingga bisa meminimalisasi polemik yang kemungkinan terjadi di tengah masyarakat nantinya. Program 1. Tingkat kelompok perempuan: Melakukan koordinasi dengan kelompok– kelompok perempuan yang ada baik di Desa Pekoren maupun di tingkat kabupaten untuk menyamakan perspektif terhadap permasalahan yang dihadapi dan bersama-sama mendesakkan kepentingan yang sama. 2. Tingkat pemerintahan desa dan tokoh masyarakat: Mempengaruhi para pembuat kebijakan dengan cara dengar pendapat (hearing) dengan pihak kelurahan, BPD, dan Bappemas. Sedangkan dengan tokoh masyarakatnya akan dilakukan pendekatan yang intens untuk mencari dukungan selama proses advokasi. 3. Tingkat kelompok basis: Program pertama yang akan dijalankan adalah mengadakan pelatihan kader komunitas sebagai kader inti untuk melakukan perubahan di masyarakat dengan perempuan sebagai subjeknya. Selanjutnya dilakukan proses pendampingan secara rutin selama 6 (enam) bulan dalam bentuk diskusi rutin atau Focus Group Discussion (FGD) untuk memberikan pemahaman dan pengetahuan tentang permasalahan yang dihadapi dalam rangka mencari solusi untuk mengatasinya. Ketika kelompok perempuan telah memahaminya, maka perlu adanya pelatihan advokasi kebijakan publik dan pendidikan lobi dan negosiasi sebagai motivasi dan bekal mereka dalam melakukan advokasi untuk kepentingan mereka.
clix
Langkah/Tahapan Kerja Untuk mengatasi beberapa masalah yang muncul di Desa Pekoren, pilihan aksi yang dilakukan di komunitas perempuan Desa Pekoren adalah: 1. Melakukan pendekatan pada masyarakat dan berintegrasi dengan kondisi sosial setempat. Pola pendampingan ini dilakukan untuk membangun kesadaran kritis di basis massa perempuan pedesaan. 2. Dalam proses pendampingan, yang dilakukan adalah mengorganisir kelompokkelompok perempuan, dengan terlibat dalam komunitas yang sudah ada. Jika tidak ada kelompok yang bisa diorganisir, maka yang dilakukan adalah memfa silitasi pembentukan kelompok sebagai kader inti untuk mendorong gagasan tentang perubahan yang akan dilakukan dengan perempuan sebagai subjeknya. 3. Selanjutnya, dilakukan diskusi rutin atau Focus Group Discussion (FGD) untuk memberikan pemahaman dan pengetahuan tentang permasalahan yang dihada pi dalam rangka mencari solusi untuk men gatasinya. 3. Ketika kelompok perempuan telah memahaminya, maka perlu ada motivasi dan bantuan untuk memfasilitasi komunikasi kepada pihak -pihak yang bisa diajak bernegosiasi, misalnya intansi-instansi pemerintah terkait. Diharapkan, partisipasi perempuan tersebut dapat dilakukan dalam bernegosiasi dengan pihakpihak terkait. 5. Kemudian dari rangkaian proses yang telah dilakukan tersebut, ada hal -hal yang harus dilakukan, yaitu evaluasi. Kelompok perempuan harus difasilitasi untuk mengevaluasi proses-proses yang telah dilakukan, sehingga dapat meminimali sasi permasalahan yang mungkin menghambat proses. 6. Untuk proses menggalang dukungan maka diperlukan kampanye atas apa yang telah dilakukan dengan harapkan masyarakat memahami permasalahan terse but secara komprehensif, sehingga akan menjadi stimulan munculnya kesadaran kritis menuju terwujudnya partisipasi masyrakat. 7. Mekanisme proses kampanye sebagai media pemberian informasi kepada masyarakat terdiri dari berbagai macam metode, salah satunya adalah menjalin kerjasama dengan beberapa instansi -instansi pemerintah terkait dengan perma salahan tersebut untuk memperkuat dan memperlancar proses ini. Langkah-langkah yang dilakukan diatas masih pada level membangun kesadaran kritis secara kolektif, bukan hanya pada level kesadaran personal. Untuk tahapan selanjutnya, yang dilakukan adalah memfasilitasi upaya perubahan yang ingin dilakukan oleh komunitas basis.
clx
Untuk persoalan kekerasan terhadap perempuan, yang diupayakan adalah adanya penyediaan layanan penanganan korban yang berbasis komunitas secara sederhana sebagai mekanisme awal sebelum adanya penanganan korban di level kabupaten yang telah menyediakan layanan khusus untuk korban kekerasan. Kegiatan 1 Penguatan Organisasi Perempuan Pengawal Partisipas i Perempuan Marginal dalam Kebijakan Publik Lintas Kabupaten Deskripsi Kegiatan
Tujuan
Sasaran
Metode
Capaian
Waktu
Pertemuan Asistensi dari CT
konsultasi dan pemecahan masalah
Aktivis organisasi Perempuan Pengawal Advokasi KP
Diskusi
Adanya koordinasi dan pemahaman bersama tentang proses advokasi
3 bulan sekali
Pertemuan antar organ perempuan se Regio
Koordinasi dan sharing proses advokasi di masing-masing kabupaten
Aktivis organ perempuan di masing -masing kabupaten seregio
Diskusi dan sharing
Adanya refleksi dan evaluasi atas tahapan yang dilakukan di masingmasing kabupaten
2 bulan sekali
Pelatihan kefasilitatoran
Memberikan skill kefasilitatoran
Aktivis organ/lembaga perempuan seregio
POD
Adanya skill dalam proses untuk memfasilitasi
Agustus
Pelatihan advo- 1. kasi kebijakan publik sampai pada skill legal drafting dan budgeting
Penguatan dan peningkatan kapasitas dan kualitas lembaga dalam advokasi kebijakan publik dan memiliki skill legal drafting dan budgeting
Aktivis organ/ lembaga pe rempuan se regio
POD
1. Adanya pemahaman untuk melakukan advokasi kebijakan publik. 2. Adanya pemahaman tentang legal drafting dan budgeting
Pelatihan lobby dan negosiasi
Memiliki skill lobbying dan negosiasi
Aktivis organ/ lembaga pe rempuan se regio
POD
Adanya kemampuan untuk melakukan lobby dan negosiasi
September
Oktober
clxi
Kegiatan 2. Penyadaran dan Penguatan Kelompok Basis Deskripsi Kegiatan
Tujuan
Sasaran
Metode
Capaian
Waktu
Pendidikan Ansos “Pemeta an desa berdasarkan analisis SWOT”
Menguatkan perspektif dan skill komunitas basis dalam melakukan Ansos dan PRA
Komunitas basis
Brainstorming, role playing dan diskusi kelompok
Adanya kemampuan dari kelompok basis untuk melakukan Ansos dan PRA
24, 31 Juli
Analisa gender dalam perspek tif Islam
Transformasi wacana gender dalam perspektif Islam
Komunitas basis
Brainstorming dan diskusi
Adanya pemahaman tentang wacana gender dalam perspektif Islam di komunitas basis
12, 22 Agustus
Sosialisasi dasar -dasar hukum perlindungan perempuan dari tindak kekerasan
Transformasi dasar-dasar hukum perlindungan perempuan dari tindak kekerasan
Komunitas basis
Diskusi dan studi kasus
Adanya pemahaman dan wacana kritis dari kader komunitas tentang dasar-dasar hukum perlindungan perempuan dari tindak keke rasan
2, 23 September
Pendidikan advokasi kebijakan publik
Memahami logika legislasi dan anggaran desa
Komunitas basis
Diskusi dan studi kasus
Adanya pemahaman atas mekanisme pembuatan kebijakan dan anggaran desa
1, 15 Oktober
Pendidikan lobiying dan negosiasi
Komunitas basis memiliki skill dalam bernegoisasi dan lobbying
Komunitas basis
Role playing, studi kasus dan diskusi
Adanya pemahaman dan skill kelompok basis dalam bernegoisasi
18, 30 Nopember
clxii
Pendidikan tentang penyediaan layanan perlindungan dan konseling terhadap perempuan korban kekerasan
Komunitas basis memahami bagaimana menyediakan layanan perlindungan dan konseling terhadap perempuan korban kekerasan
Komunitas basis
Diskusi, role palaying dan studi kasus
Adanya pema h aman tentang mekanisme pembentukan dan operasionalisasi layanan perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan
9, 18 Desember
Kegiatan 3. Lobby Aparatus Penyelenggara Negara Lokal Deskripsi Keiatan
Tujuan
Sasaran
Metode
Capaian
Waktu
Mengadakan pertemuan dengan tokoh agama (Toga) dan tokoh masyarakat (Tomasy)
Memperoleh dukungan dari Toga dan Tomasy terhadap kelompok basis dan organisasi pengawal advokasi kebijakan publik
Toga, Tomasy
Silaturrahmi dan melibatkan dalam FGD
Adanya dukungan dari Toga dan Tomasy terhadap kelompok basis dan organisasi pengawal advokasi kebijakan publik
Jum’at 12 Agustus 2005, jam 13.3016.00
Mengadakan pertemuan dengan BPD
Memperoleh informasi tentang program legislatif desa, anggaran desa, mekanisme kerjanya
BPD
Dialog
Adanya kontrak pelayanan BPD terhadap kelompok basis dan organ pengawal advokasi kebijakan publik
Senin, 12 September 2005 jam 08.3010.00
Mengadakan pertemuan dengan aparat desa/kelurahan
Minta penjelasan tentang program 1 tahun desa; Minta penjelasan tentang pendapatan asli desa, dana alokasi umum
Aparat Desa
Dialog
Adanya wacana kritis dari komunitas basis tentang kebijakan dan anggaran desa (DAU dan DAK) tiap tahun
Senin, 26 Septemb er 2005 jam 09.0013.00
clxiii
dari Pemda, dan alokasi anggaran untuk pembangunan desa Mengadakan pertemuan dengan pihak pemerintah terkait dengan perlindungan hukum dan penyediaan layanan penanganan bagi perempuan korban kekerasan
Memperoleh akses informasi dan sharing tentang perlin dungan hukum dan penyediaan layanan penanganan bagi perempuan korban kekerasan di desa
Instansi/ Dinas terkait
Diskusi dan sharing
Adanya pemahaman bersama antara Instansi /Dinas terkait dan basis tentang Perlindungan hukum dan penyediaan layanan penanganan bagi perempu an korban kekerasan di desa
Jum’at, 9 Des. 2005, jam 09.0011.00
Kegiatan 4. Partisipasi Kelompok Basis Dalam Penyusunan Legislasi Dan Anggaran Deskripsi Kegiatan
Capaian
Waktu
Mengajukan draft usulan Perdes anti kekerasan terhadap perempuan
Mencari dukungan terhadap usulan Perdes anti kekerasan terhadap perempuan
BPD dan Pemdes
Dialog Lobby
Adanya dukungan terhadap usulan Perdes anti kekerasan terhadap perempuan
September
Mengajukan draft usulan anggaran untuk penyediaan layanan penanganan bagi perempuan korban kekerasan
Mencari dukungan terhadap usulan anggaran untuk penyediaan layanan penanganan bagi perempuan korban kekerasan
BPD dan Pemdes
Dialog Lobby
Adanya dukungan terhadap usulan anggaran untuk penyediaan layanan penanganan bagi perempuan korban kekerasan
10 Oktober
Peran serta dalam Musbangdes
Keikutsertaan dalam proses musyawarah perencanaan pembangunan desa
BPD dan Pemdes
Negosiasi Kontrak politik
Adanya keterlibatan kelompok basis dalam proses musyawarah perencanaan pembangunan desa
21 Oktober
clxiv
Tujuan
Sasaran
Metode
Kegiatan 5. Negosiasi Kelompok Basis dalam Memenangkan Usulan Legislasi dan Anggaran Deskripsi Kegiatan
Tujuan
Sasaran
Capaian
Waktu
Lobby BPD
Mempengaruhi pola pikir personel BPD dalam pengesahan draft usulan Perdes anti kekerasan terhadap perempuan dan draft usulan anggaran untuk penyediaan layanan penanganan bagi perempuan korban kekerasan
Personal dan kolektif BPD
- Silaturahmi - Mendatangi kantor BPD secara berkala - Mengikuti sidang BPD
Metode
Terbangunnya kesamaan pola pikir antara BPD dengan kelompok ba sis tentang draft usulan Perdes anti kekerasan terhadap perempuan dan draf usulan anggaran untuk penye diaan layanan penangan an perempuan korban kekerasan
September
Lobby Pemdes
Mempengaruhi pola pikir personel pemdes dalam pengesahan draft usulan perdes anti kekerasan terhadap perempuan dan draft usulan anggaran untuk penyediaan layanan penanganan bagi perempuan korban kekerasan
Personal dan kolektif Pemdes
- Silaturahmi - Mendatangi kantor Pemdes secara berkala - Mengikuti sidang Pemdes
Terbangunnya kesamaan pola pikir antara pemdes dengan kelompok basis tentang draft usulan Perdes anti kekerasan terhadap perempuan dan draft usulan anggaran untuk penye diaan layanan penangan an perempuan korban kekerasan
Oktober
clxv
Diskusi Publik
Membangun opini publik desa tentang draft usulan Perdes anti kekerasan terhadap perempuan dan draft usulan anggaran untuk penyediaan layanan penanganan bagi perempuan korban kekerasan
Tokoh agama, tokoh masyarakat, Ibu pengajian
Kampanye
Terbangunnya opini publik di desa tentang draft usulan Perdes anti kekerasan terhadap perempuan dan draft usulan anggaran untuk penyediaan layanan penanganan perempuan korban kekerasan
Nopember
Galang sekutu
Membangun kekuatan politik dalam memenangkan draft usulan Perdes anti kekerasan terhadap perempuan dan draft usulan anggaran untuk penyediaan layanan penanganan bagi perempuan korban kekerasan
Partai politik, ormas, Kyai/Ulama dan pesantren
Kontrak Politik, Silaturahmi
Terbangunnya kekuatan politik dalam memenangkan draft usulan Perdes anti kekerasan terhadap perempuan dan draft usulan anggaran untuk penyediaan layanan penanganan bagi perempuan korban kekerasan
Desember
clxvi
Kegiatan 6. Pengawasan dan Evaluasi Pelaksanaan Legislasi dan Anggaran Deskripsi Kegiatan
Tujuan
Sasaran
Metode
Capaian
Waktu
Monitoring
Mengawal proses dan implementasi kebijakan publik yang sensitif gender
Pelaksana terkait
Diskusi dan akses informasi dan data
Adanya media akses informasi yang terbuka
NopemberDesember
Evaluasi
Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pelaksana kebijakan desa
Pemerintah desa
Mengontrol keputusan strategis dan praktis desa
Diketahuinya progres dan hambatan kebijakan desa
NopemberJanuari 2006
clxvii
KESEHATAN REPRODUKSI OUTPUT: Kebijakan lokal yang memberikan pelayanan kesehatan kepada
PEREMPUAN
FOMULASI PANDUAN PENDAMPINGAN KOMUNITAS DALAM UPAYA ADVOKASI KEBIJAKAN PUBLIK DI BANYUWANGI Latar Wilayah Banyuwangi merupakan salah satu kabupaten di ujung paling timur dari propinsi Jawa Timur dengan penduduk yang tergolong padat dan dengan identitas kolektif akul turasi Jawa, Madura dan Osing. Hal ini membuat proses adaptasi dalam masyrakat menjadi faktor penting karena perbedaan budaya tersebut. Secara demografis jumlah penduduk Banyuwangi ± 1.488.791 jiwa. Dalam hal perekonomian masyarakat Banyuwangi tidak hanya terfokus pada bidang tertentu, namun dise suaikan dengan kondisi wilayah yang didiami masyarakat, yaitu wilayah pantai, daratan, dan pegunungan. Karena itu pilihan pekerjaan juga beragam, antara lain: nelayan, petani (buruh tani), pedagang, dan pegawai perkebunan. Namun, kehidupan bermasyarakat yang diwarnai kultur Osing dan agama dengan “pemahaman seadanya” menempatkan perempauan pada keterbatasan untuk mengakses ruang publik, termasuk akses informasi, keterlibatan dalam aktifitas desa, dan lain -lain. Bahkan, mereka mereka mendapat keterbatasan untuk mengakses hal-hal yang menyangkut kebutuhannya sendiri seperti layanan kesehatan dan lain-lain. Desa Purwodadi Kecamatan Gambiran
clxviii
Desa Purwodadi yang terletak di Kecamatan Gambiran Kabupaten Banyuwangi secara geografis dibatasi oleh beberapa desa, yaitu: sebelah barat berbatasan dengan Desa Tegalsari, sebelah timur berbatasan dengan Desa Sembulung, sebelah utara be rbatasan dengan Desa Jajag, dan sebelah selatan dibatasi oleh Kecamatan Bangorejo. 2 Luas wilayah desa secara keseluruhan adalah 1.777 Km . Jumlah penduduknya teridiri dari laki-laki 3.024 jiwa dan perempuan 3.752 jiwa. Desa Purwodadi merupakan salah satu desa yang ada di Kabupaten Banyuwangi dengan kultur budaya Jawa. Tingkat partisipasi perempuan dalam hal peng ambilan kebijakan publik rendah. Hal ini dibuktikan dengan tidak ada nya keterwakilan perempuan dalam lembaga legeslatif desa. Rendahnya pendidikan masyarakat ditunju kkan dengan angka putus sekolah 130 orang (SLTP) dan 181 orang (SLTA). Hal ini berakibat pada rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan. Data statistik menunjukkan: - Angka kelahairan tahun 2005 sampai bulan Juli sebanyak 74 de ngan rata-rata 10 kelahiran/bulan - Angka kematian bayi tahun 2005 sampai bulan Juli adalah 1 bayi - Angka melahirkan dengan bantuan medis untuk tahun 2005 sampai bulan Juli adalah 37 bayi. - Kasus persalinan abnormal untuk tahun 2005 sampai dengan bulan Juli adalah 3 kasus. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa kesadaran masyarakat terhadap kesehatan, kususnya kesehatan reproduksi masih rendah. Fenomena melahirkan tanpa bantuan medis, enggan ke dokter ketika sakit, menjadi salah satu alasan di pilihnya daerah tersebut sebagai daerah dampingan dengan program pilihan yang didasarkan pada isu kesehatan reproduksi perempuan. Program Program yang akan di laksanakan adalah meningkat partisipasi perempuan Desa Purwodadi dalam proses pembuatan kebijaan publik yan g berkenaan dengan kesehatan reproduksi perempuan. Hasil yang diharapkan adalah adanya peraturan atau kebijakan di tingkat desa yang mengatur tentang adanya layanan kesehatan murah bagi perempuan dan anak.
clxix
Langkah atau tahapan kerja Langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan pendekatan kepada masya rakat khususnya perempuan dan berintegrasi dengan kondisi setempat, kemudian melakukan sosialisasi tentang kesehatan reproduksi bagi perempuan yang diharap kan bisa menjadi bahan renungan dan penyadaran bahwa kesehatan reproduksi merupakan hal yang sangat penting dan harus diketahui. Langkah selanjutnya adalah melakukan pengorganisasian masyarakat untuk membentuk wadah bagi komunitas perempuan Desa Purwodadi untuk memperjuangkan kepentingannya. Setelah terbentuk kelompok dilakukan peningkatan kapasitas anggota kelompok dengan cara diskusi rutin atau Focus Group Discussion (FGD) serta pendampingan dengan tujuan untuk memberikan pemahaman dan pengetahuan tentang permasalahan yang dihadapi dalam rangka mencari solusi untuk mengatasinya. Upaya mempengaruhi pembuat kebijakan dilakukan dengan cara dengar pendapat (Hearing) dengan pemerintah desa, dinas kesehatan setempat, TOGA dan TOMAS. Proses penggalangan dukungan dari masyarakat tentang agenda aksi perempuan Desa Purwodadi ini akan diraih melalui kegiatan diskusi publik. Kegiatan I Pengutan Organisasi Perempuan Pengawal Patisipasi Perempuan dalam Kebijakan Publik Diskripsi kegiatan
Tujuan
Sasaram
Pertemuan asistensi dengan CT
Proses konsultasi dan pemecahan masalah
Aktifis organi sasi perempuan pengawal adv. KP
Diskusi
Adanya koordinasi dan pemahaman bersama tentang proses advokasi
3 bulan sekali
Pertemuan antar organ perempuan se-regio
Koordinasi dan sharing proses advokasi di masing-masing kabupaten
Aktifis organ perempuan di masingmasing kabupaten seregio
Diskusi dan sharing
Adanya refleksi dan evaluasi atas tahapan yang sudah dilakukan di msingmasing kabupaten
2 bulan sekali
Pertemuan di tingkat intern lembaga
Evaluasi dan menyusun RTL
Komponen lembaga
diskusi
Terevaluasi kegitan yang sudah dilaksanakan dan tersusunnya rencana kerja periode berikutnya
1 bulan sekali
clxx
Metode
Capaian
Waktu
Update data
Memiliki data terkini meng enai program
Personil lembaga
Investigasi atau pencarian data
Mendapatkan data berupa programprogram terbaru dari pemerintah yang terkait dengan kesehatan reproduksi
tentatif
Kegiatan 2 Penyadaran dan Penguatan Kelompok Basis Diskripsi kegiatan
Tujuan
Sasaram
Metode
Capaian
Waktu
Pendidikan tentang kesehatan repro duksi bagi perempuan
Komunitas basis mengetahui dan memahami ten tang kesehatan perempuan
Komunitas basis
POD
Adanya pemahaman dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi bagi perempuan
Bulan Juni
Pelatihan Gender
Transformasi wacana gender
Komunitas basis
POD
Adanya pemahaman tentang perspektif gender di komunitas basis
Juli
Pendidikan manajemen organisasi
Komunitas basis memiliki skill mengelola kelompok
Kamunitas basis
POD, simulasi, role playing, dll.
Adanya kemampuan dari basis untuk memanage kelompok atau organisasi
Agustus
Pendidikan Ansos
Menguatkan perspektif dan skill komunitas basis
Komunitas basis
POD
Adanya kemampuan dari basis untuk melakukan analisa sosial
September
Pendidikan advokasi kebijakan publik
Memahami logika legeslasi dan anggaran desa
Komunitas basis
Role playing dll.
Adanya pemahaman tentang pe nyusunan legislasi dan anggaran
Oktober
Pendidikan negosiasi dan lobbying
Menyiapkan skill untuk bernegosiasi dan melakukan lobbying
Komunitas basis
Role playing dll.
Adanya pemahaman dan kemam puan kelompok basis dalam bernegosiasi dan lobbying
November
clxxi
Perumusan draft perdes kespro
Anggota kelompok dapat merumuskan draft berkenaan dengan rencana aksinya (kespro)
Kelompok basis
Diskusi kelompok
Terumuskannya draft perdes kespro untuk diajukan kepada pemdes
Desember
Kegiatan 3 Lobby Aparatus Penyelenggara Negara Lokal Diskripsi kegiatan
Sasaran
Metode
Capaian
Mengadakan pertemuan dengan BPD dan pemdes
Memberikan informasi kepada pihak pemdes mengenai rencana aksi kelompok dan mengetahui persepsi pemdes mengenai kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang lebih murah
Aparat desa dan anggota BPD
Dengar pendapat
Adanya keperdulian pihak Pemdes terhadap kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan murah dan adanya dukungan kongkrit
September
Pertemuan dengan penyedia pela yanan kesehatan di desa (Bidan, pus kesmas, atau dinas terkait)
Memperoleh informasi tentang layanan kesehatan yang disediakan serta informasi tentang layanan kesehatan yang bisa diakses oleh masyarakat
Bidan, puskesmas, dinas terkait
Dengar pendapat
Adanya pemahaman tentang layanan kesehatan yang disediakan di desa
Oktober
Mengadakan pertemuan dengan pemerintah desa dan BPD
Menyampaikan draft perdes kespro
Pemdes dan BPD
Dengar pendapat
Tersampaikann ya tuntutan komunitas perempuan dan terbitnya peraturan desa mengenai pelayanan kesehatan murah
Desember
clxxii
Tujuan
Waktu
Kegiatan 4 Partisipasi Kelompok Basis Dalam Penyusunan Legeslasi dan Anggaran Diskripsi kegiatan
Tujuan
Sasaran
Metode
Capaian
Waktu
Mengajukan draft usulan perdes tentang layanan kesehatan bagi perempuan dan anak yang mampu diakses di wilayah pedesaan
Mencari dukungan terhadap usulan Perdes tentang layanan kesehatan bagi perempuan dan anak yang mampu di akses di wilayah pedesaan
BPD dan Pemdes
Dialog dan lobby
Adanya dukungan terhadap usulan perdes tentang pelayanan kesehatan bagi perempuan dan anak yang dapat di akses di wilayah pedesaan
Desember
Mengajukan draft usulan anggaran untuk subsidi kesehatan bagi perempuan dan anak
Mencari dukungan terhadap usulan anggaran tentang layanan kesehatan bagi perempuan dan anak
BPD dan pemdes
Dialog dan lobby
Adanya dukungan terhadap usulan anggaran tentang layanan kesehatan bagi perempuan dan anak
Desember
Kegiatan 5 Negosiasi Kelompok Basis Dalam Memenangkan Usulan Legeslasi Dan Anggaran Diskripsi kegiatan Lobby BPD dan Pemdes
Tujuan Mempengaruhi pola pikir personal BPD dan pemdes untuk mendukung berhasilnya Perdes tentang layanan kesehatan
Sasaran Personal BPD dan Pemdes
Metode
Capaian
Waktu
Silaturrahmi
Terbangunnya kesamaan pola pikir dan visi antara pemdes, BPD dengan kelompok basis
September, Oktober dan November
clxxiii
Lob i TOGA dan TOMAS
Mempengaruhi pola pikir personal TOGA dan TOMAS serta menggalang du kungan untuk keberhasilan Perdes tentang laya nan kesehatan
TOGA dan TOMAS
Diskusi dan silaturrahmi serta surat dukungan untuk pengajuan perdes
TOGA dan TOMAS memiliki kesamaan pola pikir dengan kelompok basis dan memberi dukungan terhadap agenda komunitas perempuan
September, Oktober dan November
Diskusi publik
Membangun opini publik di desa tentang usulan legeslasi atau anggaran kespro
TOGA, TOMAS, dan Komunitas perempuan
Kampanye
Terbangunnya opini Publik di desa tentang usulan legeslasi dan anggaran kespro
November
Kegiatan 6 Pengawasan Dan Evaluasi Pelaksanaan Legislasi Dan Anggaran Diskripsi kegiatan Mengadakan pertemuan dengan aparat desa dan BPD
clxxiv
Tujuan
Sasaran
Melakukan kontrol terhadap proses legeslasi di desa, anggaran desa, mekanisme kerjanya
Aparat desa dan BPD
Metode Dialog
Capaian
Waktu
Adanya kontrol dari kelompok b asis terhadap hasil kebijakan (legeslasi dan anggaran) dan mekanisme kerjanya
tentatif
AKSES AIR OUTPUT: Kebijakan lokal yang memberikan akses sosial ekologis air sungai bagi perempuan
BAGI PEREMPUAN
FORMULASI PENDAMPINGAN KOMUNITAS PEREMPUAN UNTUK PEMENUHAN KEBUTUHAN AIR DI DESA TONJUNG KECAMATAN BURNEH KABUPATEN BANGKALAN Latar Wilayah Kabupaten Bangkalan adalah salah satu dari empat kabupaten di Pulau Madura dan memiliki 18 kecamatan. Seperti kabupaten yang lain di Madura, penduduk Bangkalan bermatapencaharian sebagai pedagang, nelayan dan petani. Sebagian kecil berprofesi sebagai pegawai baik di instasi pemerintahan maupun swasta. Penduduk Bangkalan sampai dengan akhir 2003 (Bangkalan Dalam Angka) adalah 826.258 jiwa, yang terdiri dari 390.230 jiwa laki-laki dan 436.028 perempuan. Dengan jumlah penduduk perempuan yang lebih banyak daripada jumlah penduduk laki-laki keterwakilan perempuan di bidang politik tidak cukup memadai. Dari 45 anggota DPRD Bangkalan periode 2004-2009 hanya dua orang yang berjenis kelamin perempuan. Hampir setahun masa jabatannya sebagai anggota dewan tidak pernah terdengar terobosan baru dari kedua anggota dewan tersebut sebagai wujud kepeduliannya terhadap kepenting-an perempuan.
clxxv
Gender mainstreeming di Bangkalan tidak mencapai kemajuan yang berarti. Contoh konkretnya adalah, data statistik dalam Bangkalan Dalam Angka tidak spesifik menyajikan data perempuan dan laki-laki. Sosialisasi program atau proyek yang berkenaan dengan kepentingan umum tidak pernah secara khu-sus mengundang masyarakat dengan perimbangan gender (contoh: sosialisasi waduk, sosialisasi program PDPP/RPJMDK). Kepentingan perempuan tidak mendapat tempat yang memadai. Dengan kepala daerah yang melakukan poligami tidak banyak yang bisa diharapkan dari pemerintah. Setahun berlakunya UU PKDRT, pemerintah Bangkalan tidak pernah menyelenggarakan satu pun acara untuk mesosialisasikannya. Kalaupun ada hanya mendompleng acara-acara yang diselenggarakan oleh LSM atau ormas lainnya. Dalam pembangunan jembatan Suramadu (lintas Surabaya-Madura) Bangkalan adalah pintu gerbang untuk daerah Madura. Kondisi ini menimbulkan konsekuensi perubahan besar-besaran dalam tatanan kehidupan masyarakat Bangkalan di kemudian hari. Rencana Suramadu satu paket dengan industrialisasi Madura me nimbulkan potensi masalah tersendiri bagi daerah kaki. Proyek pusat ini diberita kan terancam mandek karena dana dari pusat tidak segera turun, tapi provinsi Jawa Timur akan mengajukan talangan dalam APBDnya. Dalam berbagai kesempatan Kabupaten Bangkalan sibuk mempersiapkan diri untuk menyambut Suramadu, tetapi konsentrasi utama cenderung ke arah mengundang investor sebanyak-banyaknya. Salah satu proyek yang diduga kala ngan LSM untuk menyambut industrialisasi adalah pembangunan waduk yang akan menenggelamkan 14 desa untuk pemenuhan airnya. Air dan Persoalannya Masalah air adalah masalah besar bagi masyarakat Madura. Sejak jaman dahulu Madura selalu dianggap kekurangan air. Bangkalan adalah pemilik sumber air terbesar di Madura, yaitu Sumber Pocong, tetapi saat ini mulai terjadi perebutan kepentingan terhadap sumber tersebut. Selama ini sumber tersebut dipergunakan untuk irigasi, sumber PDAM, pemasok air bagi Batuporon (kompleks militer) dan kapal-kapal besar. Saat ini telah ada satu perusahaan air minum yang mengincar sumber tersebut, aksi penolakan mulai muncul. Pihak kecamatan pemilik sumber tidak ambil pusing terhadap persoalan tersebut karena selama inipun penerima manfaat terbesar bukan dirinya, segala retribusi yang berkenaan dengan peman faatan air masuk ke kabupaten. Kecamatan Burneh adalah salah satu kecamatan dimana kaki Suramadu berada. Daerah industri diperkirakan berada di daerah ini. Saat ini jalan akses Suramadu tengah dibangun. Jalan akses ini pembangunannya mengarah ke sungai yang mengalir di kecamatan Burneh. Sungai tersebut berasal dari Sumber Pocong.
clxxvi
Selama ini selain untuk irigasi sungai tersebut juga dipergunakan oleh rumah tangga untuk pemenuhan kebutuhan non konsumsi. Tetapi satu -satunya fungsi yang diakui adalah fungsi irigasi. Penggunaan sungai oleh perempuan untuk berbagai keperluan rumah tangga tidak diakui, karenanya kebijakan yang muncul kemudian merugikan kepenting an perempuan tersebut, misalnya mematikan aliran air ketika musim panen, pembukaan gorong-gorong limbah menuju sungai baik dari pabrik kecil maupun kamar mandi rumah tangga. Perempuan dan Kehidupan Sosial Madura adalah sebuah daerah yang terkenal Islami, termasuk di antaranya Kabu paten Bangkalan. Puluhan pondok pesantren berdiri di Bangkalan. Kecamatan Burneh sendiri memiliki lebih dari 10 pondok pesantren. Kyai masih menjadi opinion leader di sini. Tetapi saat ini sudah banyak kyai yang terjun ke dunia politik. Bupati Bangkalan tadinya adalah seorang kyai, demikian pula ketua DPRD, wakil ketua dan beberapa anggotanya. Salah satu anggota dewan perempuan juga berasal dari keluarga kyai. Perempuan Bangkalan, seperti daerah lainnya, mengalami dinamika sosial yang beragam. Sebagian masih terkungkung erat dalam budaya patriarki sebagian lainnya mulai membebaskan diri. Bangkalan dalam angka tidak menyebutkan spesifik jumlah perempuan dalam pendidikan. Tetapi menurut seorang aktivis LSM, saat ini kesempatan perempuan bersekolah lebih besar. Beberapa sekolah menengah pertama di pedesaan jumlah siswa perempuan hampir berimbang dengan siswa laki-laki. Perempuan yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi semakin banyak. Khusus untuk Kelurahan Tonjung, perempuan tidak memiliki hambatan yang cukup berarti untuk kehidupan sosial be rmasyarakat. Sebagian besar tidak mendapat hambatan untuk berkegiatan di luar rumah atau bernegosiasi. Masalah nya adalah tidak ada organisasi yang cukup progresif memperjuangkan kepen tingan perempuan. Kelompok yang ada adalah kelompok agama dan PKK. Kegi atan PKK hanya sebatas arisan bulanan, dan saat -saat tertentu dikumpulkan lebih dari sekali sebulan karena ada lomba PKK antar wilayah kabupaten. Pada saat itu terjadi pembenahan mendadak terhadap administrasi PKK. Agama tidak dijadikan alasan untuk melarang perempuan berkegiatan di luar rumah. Menurut salah satu tokoh masyarakat, perempuan Tonjung sudah biasa tidak di rumah karena sebagian besar berprofesi sebagai pedagang di pasar, baik Pasar Tonjung, pasar kecamatan lain, pasar kabupaten, bahkan pasar Surabaya. Setiap hari banyak perempuan pedagang yang pergi pagi pulang sore. Hambatan berkegiatan justru muncul pada istri pegawai atau TNI, kemandirian mereka jauh lebih kecil daripada para pedagang dalam hal ekonomi, karena
clxxvii
adanya perasaan makan nunut suami maka pengabdian yang diberikan harus lebih banyak. Kegiatan PKK tidak menjadi masalah karena jarang dan hanya sebentar di sore hari, tetapi suami akan tegas-tegas melarang istrinya ikut kegiatan yang cukup lama misalnya pelatihan sehari. Hal lain yang menjadi prinsip mereka adalah jangan mengikuti kegiatan yang membahayakan pekerjaan suami. Jika pada masa Orde Baru pilihan partai dalam pemilu yang menentukan adalah suami, pada masa reformasi pun situasi ini tidak berubah. Meskipun mereka menyadari adanya ketidakadilan yang menimpa perempuan dalam hidup bermasyarakat tetapi tidak mau melakukan sesuatu untuk perubahan karena enggan melepaskan kehidupan mapan sebagai isteri pegawai. Deskripsi masalah Di Kelurahan Tonjung, Kecamatan Burneh, kabupaten Bangkalan ada sebuah sungai yang melintas. Sungai tersebut selama ini memenuhi kebutuhan air non konsumsi sebagian besar masyarakat kelurahan. Terlepas dari layak tidaknya kualitas air sungai itu dimanfaatkan, masyarakat saat ini dihadapkan pada ancaman yang berasal dari rencana pembangunan jembatan Suramadu, jalan tol, dan kemung kinan tumbuhnya industri yang dikhawatirkan mengganggu kelestarian (daya dukung terhadap fungsi ekologis dan sosial) sungai selama ini. Potensi ancaman tersebut berupa berkurangnya kapasitas air dan tercemarnya sungai. Dalam program ini diharapkan masyarakat, khususnya perempuan, mempunyai ruang partisipasi yang lebih luas dalam menentukan nasib sungainya. Itu berarti masyarakat, khususnya perempuan pengguna mayoritas air sungai itu, harus mengkritisi kebijakan yang telah dan akan diterapkan terhadap sungainya. Program program yang akan dijalankan adalah meningkatkan partisipasi perempuan pengguna sungai dalam pembuatan kebijakan publik yang berkenaan dengan sungai Tonjung. Outputnya adalah rumusan petisi untuk diajukan kepada DPRD. Diharapkan petisi tersebut dapat mempengaruhi rencana tata ruang wilayah berkaitan dengan sungai tersebut. Langkah/tahapan kerja pertama-tama yang dilakukan adalah melakukan pengorganisasian masyarakat untuk membentuk wadah bagi komunitas perempuan pengguna kali untuk mem perjuangkan kepentingannya. Setelah terbentuk kelompok dilakukan peningkatan kapasitas anggota kelompok dengan mengirim kader terpilih untuk melakukan penelitian. Selanjutnya dilakukan pendampingan selama tujuh bulan terhadap kelompok saat melaksanakan advokasi untuk mewujudkan jaminan fungsi sosial
clxxviii
ekologis sungai. Upaya mempengaruhi pembuat kebijakan dilakukan dengan cara dengar pendapat (hearing) dengan pihak kelurahan, dinas pengairan, dan DPRD. Respon yang berupa dukungan dari masyarakat tentang agenda aksi perempuan pinggir sungai ini akan diraih melalui kegiatan diskusi publik. Kegiatan 1 Penguatan Organisasi Perempuan Pengawal Partisipasi Perempuan dalam Kebijakan Publik Deskripsi Kegiatan
Tujuan
Sasaran
Metode
Capaian
Waktu
Pertemuan Asistensi dengan Yayasan Cakrawala Timur
Proses konsultasi dan pemecahan masalah
Aktivis KSL Rampa
Diskusi
Adanya pemahaman bersama antara CT dan KSL Rampa dalam manajemen pelaksanaan program
Kesepakatan
Pertemuan antar Organ Perem puan se Regio
Proses konsultasi dan pemecahan masalah
Lembaga pelaksana program
Diskusi
Adanya koordinasi sebagai langkah pengawalan kebijakan publik di kabupaten masing-masing
Dua bulan selesai
Pertemuan di tingkat KSL Rampa
Evaluasi, menyusun RTL
Komponen KSL Rampa
Diskusi
Terevaluasinya kegiatan yang sudah dilaksanakan dan tersusunnya rencana kerja periode berikutnya
Satu bulan sekali
UP Date data
Memiliki data terkini terkait program
Personil KSL Rampa
Pengamatan langsung, Investigasi
Mendapatkan data berupa kebijakan, kondisi sungai, dan perkembangan kelompok basis
Tentatif
clxxix
Kegiatan 2 Penyadaran dan Penguatan Kelompok Basis Deskripsi
Tujuan
Sasaran
Metode
Mengetahui kondisi sungai, memetakan perempuan pengguna sungai
Perempuan yang tinggal di sepanjang anak sungai dan diduga memiliki interaksi dengan sungai
Diskusi kelompok/ Focus Group Discussion
Pembentukan kelompok
Membentuk kelompok tiap anak sungai sebagai wadah mewujudkan partisipasi dalam peme cahan masalah komunitas terkait kebu tuhan air
Perempuan yang tinggal sepanjang anak sungai dan diduga memiliki interaksi dengan sungai
Peningkatan kapasitas
Memahami po la relasi gender yang setara, hakhak perempuan, resistensi terhadap globalosasi, strategi advo kasi, dan peran perempuan dalam politik air
10 calon kader dari tiap anak sungai
Kegiatan Identifikasi permasalahan dan komunitas sasaran
clxxx
Capaian
Waktu
Memperoleh data fisik biologi dan sosial sungai
April dan Mei 2005
Pertemuanpertemuan
Terbentuknya satuan kelompok berdasarkan anak sungai (anak sungai kenek, kali modern, sungai bagian hulu)
Mei 2005
Pendidikan Orang dewasa (POD) Diskusi Ceramah
Meningkatnya kapasitas 30 orang calon kader komunitas
3, 4 Juni 2005
(FGD)
Permainan
Pendampingan kelompok perempuan Studi kebijakan (pendampingan I)
Anggota kelompok memahami kebijakan terkait sungainya
Kel. I (rembag penggir singay kenek) Kel. II (rembag penggir songai kali modern) Kel. III (rembag penggir songay kampong demmangan)
Pengumpulan data (lisan, hasil pengamatan, klipping berita), diskusi
Munculnya sikap kritis atas kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat tepi sungai
Juli 2005
Perumusan strategi advokasi (pendampingan II)
Anggota kelompok dapat merumuskan tujuannya dan langkah apa yang harus ditempuh untuk mencapai tujuannya (merumuskan isu, tujuan, sasaran)
Kel. I (rembag penggir singay kenek) Kel. II (rembag penggir songai kali modern) Kel. III (rembag penggir songay kampong demmangan)
Diskusi kelompok
Adanya rumusan strategi advo kasi, isu utama, tujuan jangka pendek dan jangka panjang, sasaran advokasi, serta draf nota kesepakatan yang akan diajukan kepada kelurahan, pengairan, DPRD, dan masyarakat luas
Agustus 2005
Perumusan pesan dan penyampaian pesan (pendampingan III)
Perempuan pinggir kali dapat merusukan pesan, memilih media kampanye dan saluran komunikasi
1. Kelompok I (rembag penggir singay kenek) 2. Kelompok II (rembah Songay kali modern) 3. Kelompok III (rembag penggirsongay kampong demmangan)
Diskusi kelompok
Penggunaan media stiker untuk menyampaikan gagasan kelompok mengenai sungai
September 2005
clxxxi
Persiapan komunikasi dengan lawan (Pendampingan IV)
Meningkatkan kemampuan angota kelompok untuk berdialog dengan pihak terkait kebijaka n (Dinas Pengairan, dll)
1. Kelompok I (rembag penggir singay kenek) 2. Kelompok II (rembah Songay kali modern) 3. Kelompok III (rembag penggirsongay kampong demmangan)
Diskusi kelompok
Tersusun draf nota kesepaatan dan personel yang akan berunding serta skenario perundingan
Oktober 2005
Identifikasi dukungan
Anggota kelompok mengetahui pihak mana yang akan mendukung pencapaian tujuannya dan bagai mana bentuk dukungannya
1. Kelompok I (rembag penggir singay kenek) 2. Kelompok II (rembah Songay kali modern) 3. Kelompok III (rembag penggirsongay kampong demmangan)
Diskusi kelompok
Anggota kelompok mampu merancang suatu kegiatan yang melibatkan masyarakat luas untuk melihat respon masyarakat terhadap rencana aksinya (misal; diskusi publik, seminar, dll.)
Nopember 2005
Perumusan petisi/nota kesepakatan
Anggota kelompok dapat merumuskan draf berkenaan dengan rencana aksinya.
1. Kelompok I (rembag penggir singay kenek) 2. Kelompok II (rembah Songay kali modern)
Diskusi kelompok
Terumuskannya petisi untuk diajukan kepada DPRD
Desember 2005
3. Kelompok III (rembag penggirsongay kampo ng demmangan)
clxxxii
Kegiatan 3 Lobi dengan aparatur penyelenggara negara lokal Deskripsi Kegiatan
Tujuan
Sasaran
Metode
Capaian
Waktu
Pertemuan dengan kepala kelurahan (lurah)
Me mberikan informasi ke pihak kelurahan mengenai rencana aksi kelompok dan mengetahui persepsi kelurahan mengenai kebutuhan masyarakat akan air
Lurah dan perangkat kelurahan
Dengar pendapat
Adanya kepedulian pihak kelurahan terhadap kebutuhan masyarakat akan air dan adanya dukungan kongkrit (nota kesepakatan)
Agustus 2005
Pertemuan dengan Dinas pengairan
Meminta penjelasan kebijakan terkait sungai dan menyam paikan keinginan kelompok berkenaan dengan sungai
Dinas pengairan cabang Burneh, juru air, dll.
Dengar pendapat
Adanya kesepahaman mengenai pengelolaan air sungai, kompromi antara kepentingan irigasi dan fungsi sosial
Oktober 2005
Pertemuan dengan DPRD
Menyampaikan petisi
Anggota DPRD komisi terkait
Dengar pendapat
Tersampaikan nya tuntutan kominitas perempuan mengenai pengelolaan fungsi sosial ekologis sungai terkait rencana pembangunan jalan tol menuju Suramadu dan dampak industrialisasi
Desember 2005
clxxxiii
Kegiatan 4 Partisipasi Kelompok Basis Dalam Penyusunan Legislasi Dan Anggaran Kelompok basis yang didampingi KSL RAMPA berada di wilayah adiministratif yang berbentuk kelurahan. Selama ini tidak ada produk kebijakan yang dikeluarkan oleh kelurahan, kalaupun ada peraturan kelurahan hanya mengikat stafnya. Upaya untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam penyusunan anggaran tidak memiliki ruang. Upaya memasukkan agenda perempuan dalam anggaran hanya dapat dilakukan dengan pendekatan kepada lurah. Upaya yang dibangun adalah mem bangun komunikasi yang baik. Menggagas acara temu tokoh masyarakat adalah jalan yang akan ditempuh komunitas perempuan untuk memasukkan kepentingan perempuan dalam anggaran kelurahan.
Deskripsi Kegiatan Membangun komunikasi dengan aparat kelurahan
Tujuan
Sasaran
Menggalang dukungan
Lurah, sekretaris desa dan staf kelurahan lain
Metode Diskusi tentatif
Capaian
Waktu
Terbangun hubungan psikologis yang baik, pihak kelurahan memahami kepentingan perempuan
Setiap saat
Kegiatan 5 Negosiasi kelompok Basis dalam Memenangkan Usulan Legislasi dan Anggaran Deskripsi Kegiatan Rembug pemangku kepentingan Kelurahan Tonjung
clxxxiv
Tujuan Menggalang dukungan
Sasaran Tomas, toga, perangkat kelurahan
Metode Diskusi
Capaian Pemangku kepentingan mengetahui agenda komunitas perempuan
Waktu 2006
Kegiatan 6 Pengawasan dan Evaluasi Pelaksanaan Legislasi dan Anggaran Deskripsi Kegiatan
Tujuan
Sasaran
Pertemuan dengan Dinas pengairan
Evaluasi pelaksanaan kebijakan
Staf dinas pengairan
Dengar pendapat dengan DPRD
Meminta penjelasan mengenai follow up dewan atas petisi
Pendesakan
Mendesak para pembuat kebi jakan tingkat kabupaten untuk membuat renca na tata ruang yang lebih baik
Metode
Capaian
Waktu
Diskusi
Terbentuk kesepakatan baru
Tentatif
Komisi terkait
Dengar pendapat
Ada follow up yang lebih jelas dan bertanggung jawab dari dewan
Tentatif
Dinas terkait
Aksi, statement
Ada perhatian lebih baik dari pihak pembuat kebijakan, pressure oleh komunitas lain
Tentatif
clxxxv
Epilog: Pengalaman Keterlibatan Dala m Program Peningkatan Par tisipasi Politi k Per empuan dalam Proses Advokasi Kebijakan Publik
D Diia n PP r a t i w i
KKE D DI R I B EE R SSA AM A R A AK Y A AT ( KIIBB ARR )
aya adalah koordinator Program Pendidikan Pemilih bagi Perem puan menjelang Pem ilih an Umum 2004, serta Progra m Peningkatan Partisipasi Pol itik Perem puan dalam Proses Peng ambilan Kebijakan Pu blik di Kabupaten Kediri. Kedua program terse but terla ksana masin g -masin g di tahun 2004 dan 2005 dengan cakup an wilayah provin si Jawa Timur. Saya ingin menyampaikan gambaran bagaimana prose s berjalannya program te rse but di Kediri, pe mbela jaran yan g saya dapatkan, se rta manfaat maupun kekuranga n yang ada. Pada awalnya Saya mengenal teman -teman Cakrawala Timur di jaringan pen dampin g petani pe rempuan Jawa Timur. Komunikasi yang terbangun menjadi berkem bang pada ke pedul ian atas minimny a akses perempuan di segala bidang. B erdasa rkan hasil disku si inten sif yang dilaku kan, terbentuklah foru m pedul i pe rempuan untuk polit ik. Forum ini menjalin ke rjasama dengan Partne rsh ip for Gove rnance Reform in In done sia (PGRI) dal am menyusun strategi pemberdayaan perempuan dalam bidang polit ik di Jawa Timur.
S
clxxxvi
Dari Focus Group D iscussion (FGD) pada awal pelaksanaan pro gram, teridentifikasi sistematika proses polit ik perem puan yang saya akui merupakan pen galaman pertama saya dalam memahami apa itu “Polit ik” dengan benar. Pe n didikan tentang pol itik perem puan yang difa silitasi oleh I bu Eva Kusum a Sundari sangat mengena di ot ak dan menyentuh di jiwa saya. Sebelumnya saya hanya bergaul dalam ge rakan petani yang nota bene sa ngat maskulin . Sampai akhirnya terja di internal isasi di ri se bagai perempuan bahwa segala perjuangan bagi keadilan di bidang apapun tida k akan tuntas tanpa kete rl ibatan perempuan. Pe rebutan kekuasan atau jalan politik haru s ditempuh perempuan demi mengatasi segala ketertinggalan dan hambatan. Kemudian pola piki r saya bisa terbentuk untuk memasukkan analisa gender dalam set iap akt ivitas dan program. Saya haru s berterima kasih pa da Mbak Eva, M bak Nadia dan teman - teman Cakrawala Timur atas semua proses pem belajara n di awal tahun 2004 kemarin. Program pen didikan pem il ih bagi perempuan di tahun 2004 mendapatkan momentum yang tepat setelah adanya affirmativ e action bagi kelom pok pe rempu an yang terakomodir dalam undangundang pemilu. Hal ini me mpermudah saya menyusun strategi implementasi program di kediri, serta menari k dukungan dari pihak pihak terkait. Sepe rti halnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) kota kediri yang pernah be rke rjasa ma dengan Forum Perem puan Kediri (Forpuri) menyelenggarakan se minar “aktualisasi dan implem entasi UU pemilu pasal 65 tentang kuota 30% perempu an menjelang pemil u 2004”. KPU Kota dan KPU K abupaten Kediri sangat mendukung program pen didikan pemilih bagi pe rempuan, dengan terl ibat sebagai pembica ra maupun membe ri m asukan -masukan kon stru ktif. Peserta yang terlibat dalam seminar me njadi ja ringan kami untuk men sosialisasikan ke pentingan pol itik perempuan ke masyara kat luas. Kemudian, salah satu partai ya ng mempunyai ba sis massa te rbesar di Kediri ju ga membuka peluang komunikasi dan menempatkan cukup banyak calon anggota legislatif perem puannya dalam daftar caleg, dan hasilnya 2 anggot a legislatif perem puan bisa menjadi anggota DPRD Kabupaten Kediri. Total anggota legislatif pe re mpuan di Kabupaten Kediri ada 4 orang, meningkat 3 orang daripa da sebelumnya. Ini memang belum bisa diklaim sebagai hasil pen didikan pemilih untuk pe rempuan, namun setidaknya menjadi entry poin t bagi perjuangan atas ke pentingan polit ik perem puan di masa menda tang di Kediri. Sosialisasi dan penguatan kelompok pe rempuan beru pa Pelatihan Tingkat Basis (PTB) di Kediri kami lakukan pada satu daerah pemi-
clxxxvii
lihan, yaitu DP 6, yang meliputi 5 kecamatan. Kegiatan terse but mendapat respon posit if dari para kade r pe rempuan yang ditun jukkan dari antu siasme mere ka mengikuti pelatihan dan menjal ankan tindak lanjut yang disepa kati. Para kader sebagian besa r mengaku baru memahami polit ik dan pe ntingnya peran pe rempuan di dalam nya. Namun karena yang mengikuti hanya 2 orang kader pe re mpuan perwakilan dari 60 de sa, maka sosialisasi tersebut ku rang optimal hasilnya. Terlalu banyaknya desa dan sedi kitnya jumlah kader per desa membuat saya dan teman -teman kurang bisa mendampin gi dan memonitoring pelaksanaan sosialisasi se rta menin daklanjutinya, kecuali di be bera pa desa yang sebelumnya sudah menjadi wilayah dampingan. Baga imanapun, pel atihan ini menja di sa rana kami untuk mengembangkan kemampuan ke fasilitatoran dalam hal pem berdayaan polit ik pe rempuan. Dari kegiatan kampanye yang dilaku kan, baik melalui ra dio maupun beru pa kam panye kit s sepe rti spanduk, leaflet dan stike r, wacana keterwakilan perem puan bisa tersampaikan kepa da kh alayak luas. Adanya talk show radio m embuka peluang bagi kami unt uk mengenal dunia ju rnalisme di Ke diri sehingga pada kesem patan berikut nya mempermudah kami apabil a memerlukan media publ ikasi. Manfa at lain adalah kami juga menjadi terlat ih untuk berbica ra di depa n publ ik. Program in i mencapai kl imaksnya saat dilaksanakan Dialog Publ ik antara calon anggota le gislatif pe rempuan dengan konst ituen nya, yang menjadi satu pendidikan polit ik yang baik sekal i bagi ke dua belah pihak. Selain bisa sa ling mengenal dan menjalin keakrab an, pelajaran yang dapat dipetik adalah bahwa konst ituen tida k akan “membeli kucin g dalam karung” dan caleg tidak akan “jualan obat ” lagi. Sayangnya, meskipun caleg pe rempuan dari DP 6 kami undan g semua, yang hadir hanya 4 orang dari jumlah yang seharu sn ya, 15 orang. Be bera pa partai dan cal eg yang kami konfirmasi menge muka kan alasan-alasan sepe rti di kantor partai tidak a da orang se hingga undangan tidak sampai ke caleg, undangan sudah sampai ke caleg tapi calegnya yang tidak ma u hadir, serta un dangan tidak jelas acaranya. Hal ini menunjukkan selain tidak rapinya manajemen partai di tingkat daerah, ju ga perhatian terhada p kegiatan beru pa pendidikan pol itik bagi pe rempuan masih kurang dan dianggap tida k penting . Ini sangat mengenaska n sekali mengingat se benarnya sudah ada kuota pe rempuan yang pada hakekatnya bisa dite rjem ahkan sebagai momentum pen ingkatan part isipasi pol itik perempuan.
clxxxviii
Atas inisiatif pese rta, dari ke giatan Dialog Publ ik terbentuk Forum Pe rempuan Pemilih dari DP 6 Kabupaten Kediri, yang terdiri dari perwakilan 5 kecamatan, serta saya dan teman -teman sebagai mediator antara kon stituen de ngan anggota legislatif. Setela h prog ram tahun 2004 be rakhir, para perwakilan da ri Forum Pe re mpuan Pemilih inila h yang serin gkali bertanya bagaimana tindak lanjut dari program tersebut . Kami akui memang sulit untuk melakukan tinda k lanjut mengingat sumbe r daya yang terbatas dengan wilayah yang luas. Satu hal pentin g sebagai manfa at sampin gan da ri program tah un lal u adalah terbentuknya Rembug Perempuan Pede saan Jawa Timur (RPP JATIM) . Forum ini berangkat da ri hasil diskusi in formal namun intensif teman -teman yang sehari-h arinya menggeluti isu perem pu an pedesaan, yang dilakukan di se la -sela waktu pelaksanaan progra m. Dengan berjalannya program di tahun ini sangat men dukung aktifita s teman -teman yang tergabung dalam RPP J ATIM. Pendidikan pol itik bagi pe rem puan berlanjut di tahun kedu a (2005) dengan tema Peningkata n Partisipasi Perem puan dalam Prose s Pembuatan Kebija k an Publ ik. Nilai plus pada program tahun 2005 adalah adanya pelatihan- pelatihan capacity building se bagai bekal kami melakukan pendampingan komunitas pe rempuan dan advoka si kebijakan. Dila kukan juga be berapa kegiatan pra -program sepe rti Loka karya Ident ifik asi Persoal an Perem puan dengan memfokuskan target pada satu desa saja mel alui pendampingan intensif, sa ya rasa makin mengarahkan pada penc apaian output yang optimal. S ayangnya ada kegiatan yang dikurangi intensita snya, yaitu kampanye, yang dibatasi pa da talk show ra dio saja. Padahal pengalaman tahun lalu menunjukkan adanya sumbangan yang cukup besar dari adanya kam panye kits terhada p pembangu nan opini pu blik tentang keterwakilan perempuan dalam polit ik. Para mit ra yang terga bung dalam program tahun ini me njadi lebih banyak karena bera sal dari seluruh ka bupaten di Jawa Timur, serta semuanya melakukan pendampingan komunitas pe rempuan di daerah masing - masing. Hal ini merupakan nilai positif se bagaimana hasil evaluasi program tahun lalu dan need assesment di a wal program tahun ini bahwa berdasar realita s di Jawa Timur, pendidikan politik untuk pere mpuan lebih realistis bila dil akukan terfokus pada satu desa saja dengan pemerintahan desa sebagai sasaran advokasi ka rena merupakan bagian te rkecil dari pemerintahan .
clxxxix
Beberapa pelatihan yang dituju kan untuk mitra selain menam bah wawasan dan ketrampilan juga menjadi sarana tukar in forma si dan pengalaman yang efe ktif. Misalnya saja, saya menjadi sangat terbantu ketika salah satu kasus yang terjadi di Kediri dijadikan contoh soal dalam pelatihan sehingga saya mendapatkan banyak ide dan solusinya. Program yang dituju kan untuk wilayah sasaran beru pa pelatihan kader komunita s pe rempua n, pendam pingan komunitas perem puan, talk show ra dio, hearin g komunitas basis dengan form al polit ik dan dialog publ ik. Saat ini masih dalam masa runnin g progra m sehingga saya belum bisa memberikan gambaran secara ut uh atas keseluruhan program. Namun dari pelatihan kade r komunitas perem puan, saya merasakan ada keharuan tersendiri. Pela ksanaan program tahun ini kami tempat kan di Desa Selopanggun g Kecamatan Semen Kabupaten Kediri. De sa in i te rda pat di lereng Gunung Wilis yang kerin g dan berbukit. Dari hampir semua pe serta perem puan yang ikut pelatihan, pen didikannya hanya setingkat Se kolah Dasa r (SD), sehingga mereka merasa sangat senang men dapatkan pendidikan lagi yang juga bermanfaat. Hambat an mereka dalam meraih pendidikan tinggi tidak menyuru tkan semangat mereka untu k belajar. Karena wilayah ini termasuk wilayah pendampin gan saya sebelumnya, mempe rmudah saya memasukkan isu -isu ke pen tingan polit ik perem puan yang saya kombinasikan dengan isu pede saan dan pertanian. Pendam pingan di komunitas pe rempuan lebih saya inten sifkankan, disamping pen dampingan di komunita s petani yang dido minasi laki-lak i yang inten sitasnya sudah cuku p tin ggi. Denga n dila kukan pendam pingan di dua komunitas yang berbeda ini saya kira sangat mendu kung pencapaian output yang opt imal, ka rena serin gkali hambatan perem puan dalam partisipasi pol itik be rasal da ri laki laki. Men genai berbagai jaringan yang terhubun g dari program tahun lalu, masih ada yang tersisa untuk tahun ini. Meskipun se karang FOR PURI sudah tidak akt if lagi, namun bebera pa lembaga da n indi vidu didalamnya masih intens melakukan komunikasi dan kerjasama dalam berba gai bentuk. Salah satunya adalah terbentuknya Kadiri Women and Children Center (KWCC), yang memfokuskan diri pada perlin dungan perempuan dan anak dari kekera san. Disin i saya menempati Divisi Huma s yang membuat saya harus tetap memelihara hubungan baik den gan berbagai pihak. Hal yang bisa saya ambil manfaatnya dari adanya KWCC adalah sisi keke rasan pol itik pada perempuan yang sangat releva n apabila diapl ika sikan pa da wilayah
cxc
sasaran program. D i Desa Sel opanggun g, perempuan ja rang sekali dilibatkan dalam prose s penga mbilan kebijakan pu blik dan tidak ada satupun yang menempat i posisi strategis di in stitu si de sa. Aktifita s di R PP JATIM masih berlanjut karena saya dipercaya teman -teman sebagai Koordina tor Regio Mataraman dan Divisi Data dan Informasi. Banyak hasil y ang dida pat dari program tahun ini menjadi masu kan bagi R PP J ATIM, antara lain hasil ident ifikasi problem dan kepent ingan pe rempuan tiap su bkultu r di Jawa Timur, serta sepe rangkat program yang mendukung pen dampin gan di komu nitas pe rempuan. Ha sil t e rse but menjadi data dan fakta untuk merumuskan arah langkah R PP J ATIM ke depan. Secara keselu ruhan, program affirmative action bagi perempuan ini men dapat respon posit if dari masyarakat, khusu snya perem puan yang paling me rasakan m anfaat dari proses pen di dikan polit ik yang dilakukan. Hal ini dikare nakan selama ini perempuan kurang mendapatkan akse s pen didikan serta ke sempatan bera ktivitas di wilayah publik. Pengem bangan dan kebe rlanjutan program ini ke depan menjadi pentin g bagi t erwujudnya keadilan dan ke se taraan gender, utamanya di ranah politik.
cxci
Yeni Mariyana KELOMPOK KERJA LENTERA PEREMPUAN PONOROGO (POKJA LP2)
agu dan tidak percaya diri saat Yayasan Cakrawala Timur menghubungi dan menawarkan kepada POKJA LP2 untuk bergabung sebagai mitra dalam Program Peningkatan Partisipasi Perempuan dalam Proses Pembuatan Kebijakan Publik di Jawa Timur. Ini kali pertama kami bergabung dengan Cakrawala Timur. Selain itu, dari program tersebut ada dua poin yang sangat penting menurut hemat kami, yaitu partisipasi perempuan dan kebijakan publik. Dua hal tersebut bagaikan dua kutub yang “rasanya” sulit untuk dipertemukan, sehingga kami berkesimpulan ini bukan program “main-main”, artinya dibutuhkan komitmen dan kemampuan untuk dapat mengawalnya, sedangkan kami (POKJA LP2) cukup sadar akan sumber daya manusia (SDM) yang kami miliki. Akan tetapi di sisi lain hal ini sekaligus tantangan dan kesempatan bagi kami sebagai bagian dari masya-rakat untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi perempuan di Pono-rogo, khususnya di daerah kami bertempat tinggal. Serangkaian prosedur kami ikuti sebagai mitra dari Cakrawala Timur sampai akhirnya kami menandatangani Memorandum of Understanding (MOU). Bahwa ini bukan program main-main ditunjukkan juga oleh pihak
R
cxcii
Cakrawala Timur sebagai penanggungjawab program dengan mempersiap kan serangkaian pelatihan-pelatihan untuk mempersiapkan para lembaga mitra dalam pelaksanaan program di daerahnya nanti. Salah satu hal yang perlu dicatat yaitu adanya perubahan rencana pelatihan pada waktu workshop yang menyesuaikan dengan kebutuhan dari lembaga mitra. Kalau boleh jujur ini salah satu kelebihan dari Cakrawala Timur. Lokakarya identifikasi masalah perempuan yang dilakukan di masingmasing regio (subkultur) merupakan upaya u ntuk melihat dan menemukan hambatan-hambatan partisipasi perempuan dalam kegiatan publik, utamanya dalam proses pengambilan dan pembuatan kebijakan publik. Pelatihan analisis sosial dengan perspektif gender juga memberikan dasar bagi kami untuk menemukan masalah sampai pada menyingkap akar masalah yang sesungguhnya. Kemampuan untuk melakukan pengorganisasian komunitas juga diberikan, sehingga meningkatkan rasa percaya diri kami untuk terus mengawal program ini. Pelatihan gender dan Islam merupakan pembekalan untuk menindaklanjuti hasil dari lokakarya, bahwa salah satu hambatan partisipasi perempuan adalah adanya pemahaman terhadap ajaran agama Islam yang bias gender. Pelatihan ini tidak hanya diberikan kepada aktivis lembaga mitra tetapi juga terhadap tokoh agama dari komunitas yang kami dampingi sehingga sangat membantu dan meringankan beban kami, sekali gus membuka peluang adanya partner dalam mengawal program ini. Karena berkaitan dengan pembuatan kebijakan publik, pelatihan advokasi kebijakan menjadi hal yang wajib, juga pelatihan gender budgeting bagi pembuat kebijakan lokal yang paling tidak memberikan cara pandang baru tentang pengarusutamaan gender. Pelatihan komunikasi publik memberikan bekal dan pencerahan bagi kami, karena kesalahan dalam berkom unikasi akan menyebabkan tidak tersampaikannya pesan advokasi, sekaligus juga mengetahui pentingnya menggunakan media massa dan berkawan dengan pers dalam melakukan advokasi. Akan tetapi, tiada gading yang tak retak. Ada beberapa pelatihan yang rencananya sebagai bekal kami untuk mengawal program ini mengalami perubahan dari jadwal yang telah ditentukan, sehingga membuat kami harus belajar dari kawan-kawan lembaga lain yang tergabung sebagai mitra Cakrawala Timur. Persoalan administrasi yang rumit seringkali lebih menguras energi kami sehingga mengurangi konsentrasi dalam membuat strategi advokasi dan pelaksanaan advokasi itu sendiri. Persoalan administrasi tersebut muncul karena dari awal tidak ada pelatihan. Dan pelatihan baru diberikan setelah berjala nnya program, yaitu ketika menghadapi kasus
cxciii
(kesalahan dalam sistem administratif) sehingga hal tersebut menyulitkan kami sebagai lembaga yang baru sekali ini bekerjasama dengan Cakrawala Timur. Ada hikmah yang sangat kami syukuri dari program ini, karena meliputi 30 kabupaten se-Jawa Timur maka ini memberikan kesempatan untuk belajar dan menimba pengalaman dari kawan-kawan yang telah lama melakukan pengorganisasian komunitas, khususnya kawan-kawan yang tergabung dalam Rembug Perempuan Pedesaan Jawa Timur.
cxciv