TEKNIK SURVEY DAN ANALISA DATA SUMBERDAYA MANGROVE1 Onrizal Lektor pada Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Jl Tri Dharma Ujung No. 1 Kampus USU Medan 20155 Phone: +62-81314769742; Fax. +62-61-8201920. Email:
[email protected];
[email protected]
Apa itu Mangrove? Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove (Macnae, 1968). Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasangsurut maupun untuk individu-individu jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu jenis tumbuhan, sedangkan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut. Macnae (1968) menggunakan kata mangrove untuk jenis pohonpohon atau semak belukar yang tumbuh diantara pasang surut air laut, dan kata mangal digunakan bila berhubungan dengan komunitas hutan. Richards (1975) menggunakan kata mangrove untuk kelompok ekologi jenis tumbuhan yang mendiami lahan pasang surut dan untuk komunitas tumbuhan yang terdiri atas jenis tersebut. FAO (1982) merekomendasikan kata mangrove sebaiknya digunakan baik untuk individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Aksornkoae (1993) menyatakan bahwa mangrove merupakan tumbuhan halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis. Hutan mangrove menurut Snedaker (1978) adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob. Berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/Dj/I/1978, yang dimaksud dengan hutan mangrove adalah tipe hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, yaitu tergenang air laut pada waktu pasang dan bebas dari genangan pada waktu surut. Dengan demikian secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai (Gambar 1) yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut (Gambar 2) yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Selanjutnya, ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungannya di dalam suatu habitat mangrove. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau. Selain itu, oleh masyarakat Indonesia dan negara 1
Disampaikan pada Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan untuk Petugas/Penyuluh Kehutanan tahun 2008 yang diselenggrakan oleh Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II bekerjasama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) di Tanjung Pinang Propinsi Kepulauan Riau pada tanggal 14-18 Maret 2008
Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan untuk Petugas/Penyuluh Kehutanan di Tanjung Pinang, 14-18 Maret 2008 Asia Tenggara lainnya dengan rumpun bahasa Melayu, hutan magrove sering disebut dengan hutan bakau. Namun demikian, penggunaan istilah hutan bakau untuk sebutan hutan mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena bakau hanyalah sebutan dari marga Rhizophora, sementara hutan mangrove disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya. Dengan demikian, penggunaan istilah hutan mangrove hanya tepat manakala hutan tersebut hanya disusun oleh jenis-jenis dari marga Rhizophora, sedangkan apabila hutan tersebut juga disusun bersamaan dengan jenis dari marga yang lain, maka istilah tersebut tidak tepat lagi digunakan. Ruang Lingkup Sumberdaya Mangrove Sumberdaya mangrove secara keseluruhan mencakup ekosistem mangrove yang menurut Saenger et al. (1983) terdiri atas 4 komponen yang kemudian ditambahkan 2 komponen lagi oleh Onrizal dan Kusmana (2005), sehingga menjadi 6 komponen. Komponen sumberdaya mangrove tersebut adalah: (1) satu atau lebih jenis pohon dan semak belukar yang hidupnya terbatas di habitat mangrove (exclusive mangrove), dan secara alami tidak tumbuh di habitat selain mangrove (2) jenis-jenis tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun secara alami juga dapat hidup di habitat selain mangrove (non-exclusive mangrove), (3) biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain) baik yang hidupnya menetap, sementara, sekali-sekali, biasa ditemukan, kebetulan maupun khusus hidup di habitat mangrove, (4) proses-proses alamiah yang berperan dalam mempertahankan ekosistem mangrove baik yang berada di daerah bervegatasi maupun di luarnya, (5) daratan terbuka atau hamparan lumpur yang berada antara batas hutan sebenarnya dengan laut, dan (6) masyarakat yang hidupnya bergantung dan bertempat tinggal pada lahan mangrove.
Gambar 1. Variasi kondisi pantai tempat tumbuh mangrove
Onrizal. 2008. Teknik survey dan analisa data sumberdaya mangrove
2
Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan untuk Petugas/Penyuluh Kehutanan di Tanjung Pinang, 14-18 Maret 2008
(a) (b) Gambar 2. Profil hutan mangrove yang (a) tergenang air saat pasang dan (b) terbebas dari genangan saat surut (Foto Onrizal; hutan mangrove di Teluk Bintuni, Papua, November 1996) Survey Sumberdaya Hutan Survey atau inventarisasi sumberdaya hutan dimaksudkan untuk mengetahui kekayaan yang terkandung di dalam suatu kawasan hutan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Selanjutnya cakupan atau ruang lingkup kegiatan survey sangat tergantung pada tujuan survey yang ingin dicapai. Dalam sistem pengelolaan hutan modern, survey sumberdaya hutan tidak hanya berkepentingan dengan hutan dan kawasannya. Masalah-masalah di luar hutan dan kawasan hutan mempunyai arti yang tidak kalah pentingnya sehingga juga harus dikumpulkan secara cermat dengan persiapan yang memadai. Tergantung pada tujuan survey/inventarisasi hutan, maka kecermatan pencatatan masing-masing informasi tersebut akan berbeda-beda. Informasi yang dianggap penting tentu saja diperlukan data yang lebih akurat dibandingkan dengan informasi lain yang mempunyai kedudukan kurang penting dalam survey hutan (Simon, 1996). Oleh karena itu, tingkat kecermatan informasi yang dicatat dalam survey sumberdaya hutan ditentukan oleh tujuan survey yang diinginkan. Sebagai contoh atau ilustrasi, tingkat kepentingan informasi/datadalam kaitannya dengan tujuan survey sumberdaya hutan disajikan pada Tabel 1. Mengingat hutan yang dijadikan objek mencakup areal yang luas, maka pengumpulan data di lapangan umumnya dilakukan dengan satuan contoh (sampling unit). Misalnya, dalam analisis vegetasi ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh seorang surveyor agar survey vegetasi yang dilakukan dapat memberikan data/informasi yang teliti dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal-hal tersebut adalah bentuk, ukuran, jumlah satuan contoh yang akan dipilih, cara meletakkan satuan contoh, obyek yang akan diamati, parameter vegetasi yang akan diukur, dan akhirnya teknik analisis vegetasi yang akan digunakan. Terkait hal ini dianjurkan untuk membaca buku Metode Survey Vegetasi yang ditulis Kusmana (1997), buku Metode Inventore Hutan oleh Simon (1996) atau buku lain terkait teknik sampling (pengambilan contoh) pada sumberdaya hutan.
Onrizal. 2008. Teknik survey dan analisa data sumberdaya mangrove
3
Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan untuk Petugas/Penyuluh Kehutanan di Tanjung Pinang, 14-18 Maret 2008
Sosial Ekonomi
Survey hutan nasional 2 2 2 2 2 2 Untuk menyusun rencana 1 2 2 2 1 1 karya Untuk survey pengenalan 2 3 3 2/3 2/3 3 Untuk menyusun 2 1 3 1 1 3 pembalakan Untuk rencana industri 2 2 1 1 1 1 kehutanan Untuk menaksir nilai 1 2 3 1 1 3 tegakan Untuk studi tata guna 1 1 1 1 1 2 lahan Untuk rencana rekreasi 2 2 1 1 3 3 Untuk studi watershed 1 1 2 2 2 2 Keterangan: 1 = sangat penting, diperlukan informasi yang akuran dan informasi secara umum; 3 = tidak penting (dapat dihilangkan)
Etat
Taksiran riap
Taksiran volume
Pemilikan
Topografi
Luas
Tujuan Survey
Transportasi
Tabel 1. Penekanan relatif elemen-elemen yang diperlukan dalam survey sumberdaya hutan (sumber: Husch,1971 dalam Simon, 1996) Informasi/data tentang: Areal Hutan
2 1
2 2
3 3
2 3
1
2
3
3
3
1
3 1 2 1 rinci; 2 =
Teknik Survey dan Analisis Data Sumberdaya Mangrove Teknik survey yang disajikan dalam tulisan ini ditujukan untuk mendapatkan data dasar kekayaan sumberdaya mangrove, khususnya komponen flora (tumbuhan) dan fauna (satwa) mangrove. Survey flora dilakukan dengan teknik analisis vegetasi, sedangkan survey fauna dilakukan dengan invetarisasi satwa, khususnya satwa berupa burung, primata dan herbivora besar. Analisis vegetasi Analisis vegetasi hutan mangrove dalam kegiatan pelatihan dilakukan dengan metoda kombinasi antara metoda jalur dan metoda garis berpetak (Gambar 3) yang diletakkan tegak lurus garis pantai menuju daratan dengan lebar 10 m dan panjangnya tergantung kondisi lapangan (jarak hutan mangrove di tepi pantai dengan perbatasan hutan mangrove dengan daratan di belakang hutan mangrove). Di dalam metoda ini risalah pohon dilakukan dengan metoda jalur dan permudaan dengan metoda garis berpetak (Kusmana, 1997). Ukuran permudaan yang digunakan dalam kegiatan analisis vegetasi hutan mangrove adalah sebagai berikut: (a) Semai
: Permudaan mulai dari kecambah sampai anakan setinggi kurang dari 1,5 m. (b) Pancang : Permudaan dengan tinggi 1,5 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm. (c) Pohon : Pohon berdiameter 10 cm atau lebih. (e) Tumbuhan bawah : Tumbuhan selain permudaan pohon, misal rumput, herba dan semak belukar.
Onrizal. 2008. Teknik survey dan analisa data sumberdaya mangrove
4
Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan untuk Petugas/Penyuluh Kehutanan di Tanjung Pinang, 14-18 Maret 2008 10 m
10 m
Arah rintis 2m 5m
Gambar 3. Desain kombinasi metoda jalur dan metoda garis berpetak Selanjutnya ukuran sub-petak untuk setiap tingkat permudaan adalah sebagai berikut: (a) Semai dan tumbuhan bawah : 2 x 2 m. (b) Pancang : 5 x 5 m. (c) Pohon : 10 x 10 m.
Alat dan bahan utama yang dibutuhkan dalam analisis vegetasi terutama adalah GPS, kompas, parang, meteran (besar dan kecil), phiband, haga hypsometer, buku pengenalan jenis, peta lokasi dan tally sheet (contoh tally sheet vegetasi pada Lampiran 1-3). Selain itu juga dibutuhkan alat dan bahan untuk material herbarium, seperti gunting ranting, plastik besar, sasak, kertas koran, dan alkohol 70%. Material herbarium dibutuhkan sebagai bukti dan untuk identifikasi bila jenis tersebut belum bisa dikenal secara tepat di lapangan. Seluruh individu tumbuhan mangrove pada setiap sub-petak tingkat pertumbuhan diidentifikasi, dihitung jumlahnya, dan khusus untuk tingkat pohon diukur diamater pohon, tinggi bebas cabang dan tinggi total pohon. Diameter pohon yang diukur adalah diamater batang pada ketinggian 1,3 m dari atas permukaan tanah atau 10 cm di atas banir (untuk pohon-pohon dari marga Bruguiera) atau akar tunjang (untuk pohon-pohon dari marga Rhizophora) apabila banir atau akar tunjang tertinggi terletak pada ketinggian 1,3 m atau lebih. Diamater pohon ini dikenal dengan DBH (diamater at breast height). Untuk keperluan identifikasi jenis, diambil material herbarium setiap jenis, berupa setangkai daun berbunga dan atau berbunga. Perhitungan besarnya nilai kuantitif parameter vegetasi, khususnya dalam penentuan indeks nilai penting, dilakukan dengan formula berikut ini: a.
Kerapatan suatu jenis (K) (ind/ha) individu suatu jenis K= Luas petak contoh b. Kerapatan relatif suatu jenis (KR) (%) K suatu jenis KR = x 100% K seluruh jenis c. Frekuensi suatu jenis (F) Sub − petak ditemukan suatu jenis F = Seluruh sub − petak contoh
∑
∑
∑
d. Frekuensi relatif suatu jenis (FR) (%) F suatu jenis FR = x 100 % F seluruh jenis
Onrizal. 2008. Teknik survey dan analisa data sumberdaya mangrove
5
Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan untuk Petugas/Penyuluh Kehutanan di Tanjung Pinang, 14-18 Maret 2008 Dominansi suatu jenis (D) (m2/ha). D hanya dihitung untuk tingkat pohon. Luas bidang dasar suatu jenis D= Luas petak contoh f. Dominansi relatif suatu jenis (DR) (%) D suatu jenis DR = x 100 % D seluruh jenis g. Indeks Nilai Penting (INP) (%) g.1. Untuk tingkat pohon adalah INP = KR + FR + DR g.2. Untuk tingkat semai, pancang dan tumbuhan bawah adalah INP = KR + FR e.
Luas bidang dasar (LBD) suatu pohon yang digunakan dalam menghitung dominansi jenis didapatkan dengan rumus: π * R2 1 = π * D2 LBD = ∑ Seluruh sub − petak contoh 4 dimana R adalah jari-jari lingkaran dari diameter batang; D adalah DBH. LBD yang didapatkan kemudian dikonversi menjadi m2. Selanjutnya potensi suatu pohon yang dinyatakan dengan volume pohon (m3) didapatkan dengan rumus V = LBD * Tbc * f dimana Tbc adalah tinggi bebas cabang pohon, f adalah angka bentuk pohon, yakni sekitar 0,7-0,8. LBD yang digunakan dengan satuan m2. Indeks keanekaragaman Shannon (Shannon’s index) (Ludwig & Reynold, 1988) digunakan untuk mengetahui keanekaragaman jenis di setiap tingkat pertumbuhan dengan rumus sebagai berikut: H ’ = – ∑ (pi ln pi); dengan pi = (ni / n) dimana H ’ adalah indeks keanekaragaman Shannon, ni adalah jumlah individu suatu jenis ke–i dalam petak ukur (PU), dan n adalah total jumlah individu dalam PU. Barbour et al. (1987) menyatakan bahwa nilai H’ berkisar antara 0 – 7 dengan kriteria (a) 0 – 2 tergolong rendah, (b) 2 – 3 tergolong sedang, dan (c) 3 atau lebih yang tergolong tinggi. Untuk mengetahui nilai kekayaan digunakan indeks kekayaan jenis Menhinick (Menhinick’s index) (Ludwig & Reynold, 1988) dengan rumus sebagai berikut: R=S/√n dimana R adalah indeks kekayaan Menhinick, S adalah jumlah jenis dalam PU, dan n adalah total individu seluruh jenis dalam PU. Untuk mengetahui kemerataan jenis, marga atau suku pohon, indeks kemerataan (evenness index) (Ludwig & Reynold, 1988) dapat digunakan dengan rumus sebagai berikut: E = H ‘ / ln (S) dimana E adalah indeks kemerataan untuk jenis, marga atau suku, dan S adalah jumlah jenis, marga atau suku yang dijumpai dalam PU. Dalam rangka untuk mengetahui gambaran struktur hutan di lokasi penelitian, dibuat distribusi pohon secara horizontal (sebaran horizontal) dan secara vertikal (statifikasi) yang secara berturut–turut didasarkan klas diamater (selang 5 cm) dan klas tinggi pohon (selang 1 m).
Onrizal. 2008. Teknik survey dan analisa data sumberdaya mangrove
6
Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan untuk Petugas/Penyuluh Kehutanan di Tanjung Pinang, 14-18 Maret 2008 Inventarisasi satwa Pengamatan mamalia dan burung dilakukan dengan metoda line transect (Gambar 4) dengan panjang jalur minimal 2 km sebanyak 2 jalur dan observasi secara acak (random walk) pada daerah sekitarnya. Metoda line transect dapat digunakan untuk sensus berbagai jenis satwaliar, seperi burung (Bibby, 1992), primata dan herbivora besar (Alikodra, 1993). Alat dan bahan utama yang dibutuhkan dalam inventarisasi satwa antara lain adalah GPS, meteran besar, peta, teropong dan buku pengenalan satwa (burung, primata, herbivora besar), dan tally sheet (contoh tally sheet inventarisasi satwa pada Lampiran 4). Pengamatan transek sebaiknya dilakukan pada pagi hingga siang hari (pkl. 06.00-13.00) dan pengamatan secara acak (random) dilakukan setelah pengamatan transek selesai. Semua jenis hewan yang dijumpai secara langsung maupun indikasi keberadaannya dicatat dalam buku catatan lapangan. Data yang dicatat dalam pengamatan transek ini antara lain waktu perjumpaan, lokasi perjumpaan, nama jenis, jarak pengamat dengan satwa (D), sudut, jumlah satwa yang ditemui (Z), jarak perpendikular (Y), sebaran kelompok dan aktivitas dari satwa. Disamping itu, dicatat pula indikasi keberadaan satwa berupa kotoran (faeces), jejak, cakaran, sarang dan suara, yang merupakan metode pengamatan tidak langsung.
D1
Di
Y1 D2
Keterangan:
= posisi pencatat;
Yi
Garis transek
Y2
= posisi satwa
Gambar 4. Disain sederhana metoda line transect untuk pengamatan satwaliar. Perhitungan populasi satwaliar pada petak ukur dilakukan dengan rumus sebagai berikut: A* Z A* Z P= atau P = 2 * X *Y 2* X * D
D=
( n1 * D1 ) + ( n 2 * D 2 ) + ... + ( n i * D i ) Z
Y =
( n1 * Y1 ) + ( n 2 * Y2 ) + ... + ( n i * Yi ) Z
Keterangan: P = populasi A = luas wilayah yang disensus X = panjang transek D = jarak pencatat dengan satwa Y = jarak terpendek satwa dengan transek (perpendicular distance) ni = jumlah satwa yang terlihat Z = jumlah total satwa liar yang dijumpai Onrizal. 2008. Teknik survey dan analisa data sumberdaya mangrove
7
Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan untuk Petugas/Penyuluh Kehutanan di Tanjung Pinang, 14-18 Maret 2008
Untuk mengetahui keanekaragaman jenis satwaliar, digunakan indeks keanekaragaman Shannon (Shannon’s index), seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Pustaka Aksornkoae, S. 1993. Ecology and management of mangrove. IUCN. Bangkok. Alikodra, H.S. 1993. Pengelolaan satwaliar. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor dan Lembaga Sumberdaya Informasi IPB. Bogor. Bibby, C.J., N.D. Burgess, & D.A. Hill. 1992. Bird census techniques. Academic Press. London. FAO. 1982. Management and utilization of mangrove in Asia and the Pacific. FAO Environmental Paper No. 4. Rome. Kusmana, C. 1997. Metode survey vegetasi. IPB Press. Bogor. Ludwig, J.A., and J.F. Reynold. 1988. Statistical Ecology: a Primer on Methods and Computing. New York: John Wiley & Sons. Macnae, W. 1968. A general account of fauna of the mangrove swamps of Inhaca Island, Mocambique. J. Ecol. 50 : 93 – 128. Onrizal & C. Kusmana. 2005. Ekologi dan manajemen mangrove Indonesia. Buku Ajar. Departemen Kehutanan FP USU. Medan. Richards, P.W. 1975. The tropical rain forest. Cambridge Univ. Press. Cambridge. Saenger, P. E.J. Hegerl, & J.D.S. Davie. 1983. Global status of mangrove ecosystems. IUCN. Commision on Ecology Number 3. Simon, H. 1996. Metoda inventore hutan. Aditya Media. Yogyakarta Snedaker, S.C. 1978. Mangroves: their values and perpetuation. Nature and Resources 14: 6-13
Onrizal. 2008. Teknik survey dan analisa data sumberdaya mangrove
8
Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan untuk Petugas/Penyuluh Kehutanan di Tanjung Pinang, 14-18 Maret 2008
Lampiran 1. Tally sheet analisis vegetasi untuk tingkat pohon Nama Lokasi : Posisi geografis : Altitude Awal transek : Awal Akhir transek : Akhir Ukuran transek : ..... m x ..... m Ukuran petak : ..... m x ..... m Surveyor : Tanggal : No S-PU
Nama Jenis
Diameter (cm)
Tinggi Total (m)
T.B Cabang (m)
: : :
m dpl m dpl
Keterangan
Lampiran 2. Tally sheet analisis vegetasi untuk tingkat pancang Ukuran petak : ..... m x ..... m Surveyor : Tanggal : No S-PU
Nama Jenis
Jumlah Individu
Keterangan
Lampiran 3. Tally sheet analisis vegetasi untuk tingkat semai dan tumbuhan bawah Ukuran petak : ..... m x ..... m Surveyor : Tanggal : No S-PU
Nama Jenis
Jumlah Individu
Onrizal. 2008. Teknik survey dan analisa data sumberdaya mangrove
Keterangan
9
Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove Berkelanjutan untuk Petugas/Penyuluh Kehutanan di Tanjung Pinang, 14-18 Maret 2008
Lampiran 4. Tally sheet inventarisasi satwa Nama Lokasi : Posisi geografis : Awal transek : Akhir transek : Panjang transek (X) : ......... km Surveyor : Tanggal : No S-PU
Nama Jenis
Jumlah Individu
Altitude Awal Akhir
D (m)
Onrizal. 2008. Teknik survey dan analisa data sumberdaya mangrove
Y (m)
: : :
m dpl m dpl
Keterangan
10