Laporan Survey dan Analisa KKLD Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Observasi untuk Kawasan Pesisir
Balai Riset dan Observasi Kelautan Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan TA 2007
KATA PENGANTAR
Laporan Kegiatan Survei ini disusun untuk memenuhi persyaratan pelaporan pekerjaan “Pengembangan Sistem Observasi untuk Kawasan Pesisir” sesuai dengan isi Kerangka Acuan Kerja. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan penelitian yang dilakukan pada tahun 2007. Pelaksanaan survey dilakukan oleh Tim Peneliti dari Balai Riset dan Observasi Kelautan bekerjasama dengan Universitas Mataram, Pemkab Lombok Timur dan masyarakat setempat. Di dalam laporan ini diuraikan kerangka kerja, metodologi pelaksanaan, hasil dan analisa survei. Secara keseluruhan laporan ini melaporkan hasil survey pengumpulan data primer dan sekunder yang telah dilaksanakan.
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG Kawasan pesisir dan laut Indonesia memiliki potensi dan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (mega biodiversity) dan termasuk dalam kawasan CTC (Coral Triangle Center). Tingginya potensi dan keanekaragaman hayati tersebut baik dalam bentuk keanekaragaman genetik, spesies maupun ekosistem merupakan aset yang sangat berharga, untuk menunjang pembangunan ekonomi Indonesia. Tingginya keanekaragaman hayati perairan tersebut dapat memberikan manfaat bagi lingkungan dan kesejahteraan rakyat Indonesia bila dikelola secara optimal dan berkelanjutan dengan memperhatikan karakteristik dan daya dukung (carrying capacity) lingkungan, serta mengacu pada setiap peraturan dan perundang-undangan yang telah ditetapkan. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, sekitar 75% terdiri dari perairan pesisir dan lautan, dengan luas perairan sekitar 5,8 juta km2 (3,1 juta km2 lautan teritorial dan archipelago, serta 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Secara geografis kepulauan dan perairan Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis karena terletak antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, dan antara Benua Asia dan Australia, termasuk didalamnya paparan Sunda di bagian barat dan Paparan Sahul di bagian timur. Sejalan dengan tugas pokok Departemen Kelautan dan Perikanan cq. Dirketorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Direktorat konservasi dan Taman Nasional Laut memiliki misi dan tanggung jawab untuk mendorong dan memfasilitasi daerah untuk mengembangkan program Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) dalam skala kecil maupun besar khususnya dalam mekanisme penentuan zonasinya. Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah merupakan paradigma baru, disamping kawsan konservasi nasional sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam hal ini Pemerintah Daerah berkewajiban mengatur sumberdaya alam laut di wilayahnya melalui Undangundang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, khususnya Pasal 18 menyatakan bahwa salah satu kewenangan daerah di wilayahnya. Pengelolaan sumberdaya alam laut menjadi hal yang penting di daerah oleh karenanya rencana pengelolaan KKLD Gili Lawang dan Gili Sulat perlu disusun berdasarkan kajian ilmiah, mengacu kepada pedoman pembentukan Kawasan Konservasi Laut dan sesuai kebutuhan daerah. Balai Riset dan Observasi Kelautan – SEACORM (South East Asia Center for Ocean Research and Monitoring) sebagai salah satu UPT dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan merasa perlu mengadakan kajian lebih lanjut dalam memberikan rekomendasi guna penentuan Kawasan Konservasi Laut Daerah khususnya di Lombok Timur (Gili Sulat dan Gili Lawang).
1.2.TUJUAN Kegiatan ini bertujuan untuk : •
Studi lokasi dan kelayakan potensi sumberdaya kelautan dalam rangka penentuan zonasi KKLD dengan data insitu.
•
Penentuan zonasi kawasan konservasi dengan mengintegrasi data satelit dan aplikasi dengan program Marxan.
1.3.SASARAN Sasaran dari kegiatan ini adalah mengetahui potensi sumberdaya pesisir guna pelaksanaan penentuan kawasan konservasi laut daerah sehingga diharapkan dapat terwujud suatu kawasan pengelolaan sumberdaya laut secara efisien dan berkesinambungan dengan melihat carrying capacity KKLD khususnya di Gili Lawang dan Gili Sulat.
1.4. RUANG LINGKUP 1. Kajian dan pengumpulan data lapangan oseanografi dan ekologi. 2. Kajian dan pengumpulan data lapangan guna proses penentuan lokasi KKLD dengan program MARXAN. 3. Kajian potensi sumberdaya kelautan. 1.5. MANFAAT Meningkatkan wawasan dan pengetahuan tentang keberadaan, zonasi dan potensi Pulau Gili Lawang dan Gili Sulat terutama tentang penentuan zonasi KKLD.
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
3
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI KEGIATAN
Secara administratif, Pulau Gili Sulat dan Pulau Gili Lawang dengan luas wilayah masingmasing 694 ha dan 483 ha merupakan bagian dari Desa Sambelia, Kecamatan Sambelia, yang terletak sebelah timur dari pusat Desa Sambelia. Pulau Gili Sulat dan Pulau Gili Lawang merupakan kawasan hutan lindung yang berupa hutan mangrove. Berdasarkan peritungan dari citra satelit Ikonos diperoleh informasi luasan Gili Sulat serta jenis penutupan lahannya (tabel 1), yaitu :
Luas pulau 6.940.466 m2 (694 ha) Panjang garis pantai 13.069 m (13 km) Panjang pulau 5.16 km dan lebar pulau 1.88 km
Tabel 1. Tutupan lahan Pulau Gili Sulat No. 1. 2. 3. 4. 5 6. 7.
Tipe Penggunaan Lahan Belukar Karang Penghalang Mangrove Padang Lamun Pasir Rataan Terumbu Karang Tanah Terbuka Total
Jumlah (ha) 2.409 2.236 641.630 47.599 0.775 178.688 35.666 909.003
Sumber : Hasil studi identifikasi KKLD Lombok Timur, 2002
Sedangkan berdasarkan perhitungan dari citra satelit ikonos diperoleh informasi luasan Pulau Gili Lawang serta jenis penutupan lahannya (Tabel 2), yaitu :
Luasan pulau 4.384.638 m2 (438 ha) Panjang garis pantai 9.856 m (9.9 km) Panjang pulau 3.57 km dan lebar pulau 1.47 km
Tabel 2. Tutupan lahan Pulau Gili Lawang No. 1. 2. 3. 4. 5 6. 7. 8.
Tipe Penggunaan Lahan Belukar Karang Penghalang Laguna Mangrove Padang Lamun Pasir Rataan Terumbu Karang Tanah Terbuka Total
Jumlah (ha) 21.367 5.996 13.028 369.023 35.682 1.932 181.254 40.892 909.003
Sumber : Hasil studi identifikasi KKLD Lombok Timur, 2002
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
4
Oleh karena Pulau Gili Sulat dan Gili Lawang pada umumnya merupakan kawasan mangrove, sehingga daerah ini tidak berpenghuni atau tidak didiami secara menetap, kecuali pada saat-saat tertentu, hanya disinggahi oleh para nelayan yang menangkap ikan di lokasi sekitar pulau-pulau tersebut. Mata pencaharian penduduk Desa Sambelia pada umumnya adalah sebagai petani sawah dan petani lahan pekarangan seperti tembakau, kelapa, umbi-umbian, dan kacangkacangan. Sedangkan masyarakat yang bermata pencaharian nelayan umumnya bertempat tinggal di wilayah pantai terutama di Labuhan Pandan dan Sugian (Tekalok Dalam). Rendahnya tingkat perekonomian masyarakat juga dapat dilihat dari kondisi perumahan terlihat bahwa sebagian besar 5,77% terdiri atas rumah dengan tipe sederhana, 25,82% rumah permanen, dan 21,41% sisanya merupakan rumah semi permanen. Penduduk Desa Sambelia umunya etnis Sasak. Etnis Sasak merupakan penduduk asli Desa Sambelia. Selain itu terdapat juga etnis lain seperti Bugis, Mandar, Makassar dan Jawa. Etnis Bugis, Mandar dan Makassar mendominasi profesi nelayan, sementara etnis Sasak lebih banyak mengembangkan perikanan budidaya seperti tambak udang dan tambak kepiting. Dari total jumlah penduduk Kecamatan Sambelia mayoritas memeluk agama Islam. Sebagian kecil masyarakat lainnya memeluk agama Hindu sejumlah 108 jiwa; agama Kristen/Khatolik 35 jiwa; dan agama Budha 4 jiwa. Pulau Gili Sulat dab Gili Lawang mempunyai jarak yang cukup dekat baik dengan mainland (Kecamatan Sambelia), Ibukota Kabupaten (Selong) dan Ibukota Propinsi (Mataram). Dari Pulau Gili Sulat maupun Gili Lawang ke mainland dapat dicapai dalam waktu 10 – 30 menit dengan menggunakan perahu bermotor 25 PK. Sedangkan dari pulau ke Ibukota Kabupaten dapat ditempuh dalam waktu 40 – 60 menit dan dari Pulau ke Ibukota Propinsi dapat ditempuh dalam waktu 2,5 – 3 jam.
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
5
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Mangrove Mangrove merupakan jenis tumbuhan pantai yang secara spesifik tumbuh subur di sepanjang pantai beriklim tropis dan sub tropis yang terlindung dengan membentuk formasi di sepanjang pantai yang hidupnya dari hasil perpaduan antara daratan dan lautan. Tumbuhan ini memiliki sistem perakaran menonjol yang disebut akar napas (pneumatofor) yang mampu beradaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen. Karena itu tumbuhan mangrove memperoleh sumber makanan dari dua alam yakni air laut (laut pasang) dan air tawar ditambah bahan makanan pendukung dari endapan debu hasil erosi sungai yang memperkaya sedimen dan mineral pada daerah rawa-rawa dimana mangrove tumbuh. Beberapa jenis mangrove yang dikenal di Indonesia antara lain Bakau (Rhizopora), Api-api (Avicennia), Pedada (Sonneratia) dan Tanjang (Bruguiera). Hutan mangrove adalah vegetasi hutan yang hanya dapat tumbuh di antara garis pasang surut tetapi dapat juga tumbuh pada pantai karang pada dataran koral mati yang diatasnya ditimbuni selapis tipis pasir atau ditimbuni lumpur atau pantai berlumpur dan berkembang biak di daerah tropis dan keberadaannya sangat penting artinya dalam pengelolaan sumber daya disebagian besar wilayah Indonesia. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah sebagai penyambung dan penyeimbang darat dan laut. Tumbuh-tumbuhan, hewan dan berbagai nutrisi ditransfer ke arah darat atau kearah laut melalui mangrove. Batasan hutan mangrove menurut Samingan (1993) adalah hutan yang terutama tumbuh pada tanah alluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut. Ciri-ciri hutan bakau menurut Soerianegara dan Indrawan (1980) adalah :a. Tidak terpengaruh iklim, b. Terpengaruh pasang surut, c. Tanah ditenggelami air laut, tanah lumpur atau berpasir terutama tanah liat, d. Tanah rendah pantai, e. Hutan tidak mempunyai strata tajuk. Hutan mangrove dikenal beberapa jenis antara lain Bakau (Rhizopora), Api-api (Avicennia), Pedada (Sonneratia) dan Tanjang (Bruguiera). Di Indonesia mangrove dikenal sebagai hutan pasang surut atau hutan bakau yang umumnya tumbuh pada daerah yang tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. Vegetasri hutan mangrove di Indonesia ada sekitar 47 jenis tumbuhan yang spesifik mangrove dimana berbagai jenis satwa liar hidup diantaranya terancam punah seperti Harimau Sumatera, Bekantan, Wilwo (Mycte ria Cinerea), Bubut Hitam (Centropus Nigrorufus) dan Bangau Tongtong (Leptoptilus Javanicus), serta tempat persinggahan bagi burung-burung migran. Manfaatnya secara ekologis mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan, kerang dan spesies lainnya. Selain itu serasah mangrove berupa daun, ranting dan biomassa lainnya yang jatuh di perairan menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
6
produktifitas perikan laut. Hutan mangrove juga merupakan penyedia keanekaragaman hayati (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool) yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem penunjang (carying capacity) kehidupan. Dengan akarnya yang rapat dan kokoh, mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran gelombang dan perembesan air laut. Manfaatnya secara ekonomis dari mangrove, diperoleh melalui tiga sumber utama yakni hasil hutan, perikanan laut dan pantai serta wisata alam pantai. Kayunya cukup bagus untuk bahan bangunan, arang, bahan baku kertas dan produk industri kayu dan kerajinan. Kondisi mangrove di Indonesia Bagi masyarakat Indonesia khususnya kaum pesisir mangrove menggambarkan suatu sumber kekayaan dan keanekaragaman kehidupan. Pada suatu daerah dimana mangrove tumbuh kuat dan subur dengan tekanan penduduk dan tuntutan ekonomi terhadap rona pantai cukup tinggi, mangrove dikenal sebagai pelindung utama lingkungan pantai dan sumber tempat mencari nafkah. Namun karena keterbatasan pemahaman tentang nilai dan fungsi mangrove antara para pengambil kebijakan dan masyarakat umumnya, hutan mangrove dipandang sebagai areal yang boleh digunakan semaunya bahkan pohonnya ditebangi untuk kegunaan lain yang dianggap lebih menguntungkan. Akibatnya baru disadari bahwa mangrove ternyata jauh lebih penting antara lain sebagai pelindung pantai dan bangunan-bangunan treatment air, sehingga harus dilakukan upaya untuk merehabilitasi tempat alami hutan mangrove yang memakan investasi cukup besar. Mengingat fungsi hutan mangrove yang sangat strategis tersebut, perlu dilakukan upaya aktif bagi perlindungan dan pelestariannya. Beberapa aspek yang menunjang keberhasilan itu adalah: a. Aspek sumber daya manusia berupa pendidikan, pelatihan dan penyuluhan bagi aparatur pemerintah dan masyarakat. b. Aspek kelembagaan, berupa rancangan peraturan perundangan antar lembaga pemerintah tentang bentuk-bentuk pengelolaan dan pelestarian mangrove. c. Aspek tata ruang, berupa penataan yang sesuai fungsi, peruntukan dan pemanfaatannya, sehingga ada pembagian tugas dan kewenangan yang jelas bagi masing masing instansi di pusat dan daerah dalam merencanakan, memanfaatkan dan mengendalikan penggunaan ruang yang berfungsi lindung dan budidaya. Metode pengumpulan data ada 2 macam yaitu: 1) Transek-kuadrat, dan 2) 'spot check'. Kedua metode ini diaplikasikan untuk mendapatkan informasi komposisi jenis, struktur vegetasi dan komunitas, serta distribusi jenis. Metode transek-kuadrat dilakukan dengan cara menarik garis tegak lurus pantai, kemudian di atas garis tersebut ditempatkan kuadrat ukuran 10 X 10 m, jarak antar kuadrat ditetapkan secara sistematis terutama berdasarkan perbedaan struktur vegetasi. Selanjutnya, pada setiap kuadrat dilakukan perhitungan jumlah individual (pohon dewasa, pohon remaja, anakan), diameter pohon, dan prediksi tinggi pohon untuk setiap jenis. Metode 'spot check' digunakan untuk melengkapi informasi komposisi jenis, distribusi jenis, dan kondisi umum ekosistem mangrove yang tidak teramati pada metode transek-kuadrat. Metode ini dilakukan dengan cara mengamati dan memeriksa zona-zona tertentu dalam Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
7
ekosistem mangrove yang memiliki ciri khusus. Informasi yang diperoleh melalui metode ini bersifat deskriptif. Karakteristik spasial ditandai dengan resolusi spasial yang digunakan sensor untuk mendeteksi obyek. Resolusi spasial adalah daya pilah sensor yang diperlukan untuk bisa membedakan obyek-obyek yang ada dipermukaan bumi. Istilah lain yang umum digunakan untuk resolusi spasial adalah medan pandang sesaat (Intantenous Field of View /IFOV). Karakteristik spektral terkait dengan panjang gelombang yang digunakan untuk mendeteksi obyek-obyek yang ada di permukaan bumi. Semakin sempit julat (range) panjang gelombang yang digunakan maka, semakin tinggi kemampuan sensor itu dalam membedakan obyek. Pemetaan penutup lahan diperoleh dari hasil klasifikasi multispektral citra digital. Klasifikasi multispektral merupakan suatu algoritma yang dirancang untuk menyajikan informasi tematik dengan cara mengelompokkan fenomena berdasarkan satu kriteria yaitu nilai spektral pada beberapa saluran sekaligus. Tiap obyek cenderung memberikan pola respon spektral yang spesifik. Semakin sempit dan banyak saluran yang digunakan, semakin teliti hasil klasifikasi multispektral tersebut. Klasifikasi multispektral diawali dengan menentukan nilai pixel representatif tiap obyek secara sampling. Nilai pixel dari tiap sampel tersebut digunakan sebagai masukan dalam proses klasifikasi. Ekstraksi informasi penutup lahan dikerjakan berdasarkan warna pada citra komposit, analisis statistik dan analisis grafis. Analisis statistik digunakan dengan memperhatikan nilai rerata, standar deviasi, varians, dan kovarians, dari setiap kelas sampel yang diambil guna menentukan keterpisahan sampel. Analisis grafis digunakan untuk melihat sebaran piksel-piksel suatu kelas yang diasumsikan sebagai kelas yang homogen apabila piksel-piksel yang diambil sebagai sampel, bergerombol dalam satu gugus, dengan memperhatikan posisi gugus sampel dalam diagram pencar. Dalam mengkelaskan nilai-nilai spektral citra menggunakan banyak feature tersebut, dikenal istilah klasifikasi teracu (supervised classification) dan klasifikasi tak teracu (unsupervised classification). Istilah 'klasifikasi teracu digunakan, karena metode ini mengelompokan nilai pixel berdasarkan informasi penutup lahan aktual di pemukan bumi, sedangkan istilah 'klasifikasi tak teracu' digunakan, karena proses pengkelasannya hanya mendasarkan pada infomasi gugus-gugus spektal yang tidak bertumpang susun, pada ambang jarak (threshold distance) tertentu, dan saluran-saluran yang digunakan. Informasi yang diperoleh dari proses pengkelasan nilai-nilai spektral bukan merupakan tipe penggunaan lahan, melainkan berupa klas penutup lahan. Berdasarkan hal tersebut, penamaan sampel mengacu pada posisi sampel dalam feature,space, dan diarahkan pada penyusunan klas-klas spektral seperti pada diagram pencar. Dengan mengacu diagram pencar tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat suatu trend atau kecenderungan obyek permukaan bumi meliputi vegetasi, air dan tanah bahkan dapat dibedakan kondisi kerapatan vegetasi secara horisontal (ground cover) dan vertikal (Leaf Area Index) 3.2. Terumbu Karang Pembentukan terumbu karang merupakan proses yang lama dan kompleks. Berkaitan dengan pembentukan terumbu, karang terbagi atas dua kelompok yaitu karang yang membentuk terumbu (karang hermatipik) dan karang yang tidak dapat membentuk terumbu (karang ahermatipik). Kelompok pertama dalam prosesnya bersimbiosis dengan Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
8
zooxanthellae dan membutuhkan sinar matahari untuk membentuk bangunan dari kapur yang kemudian dikenal reef building corals,sedangkan kelompok kedua tidak dapat membentuk bangunan kapur sehingga dikenal dengan non–reef building corals yang secara normal hidupnya tidak tergantung pada sinar matahari (Veron, 1986).
Pembentukan terumbu karang hermatipik dimulai adanya individu karang (polip) yang dapat hidup berkelompok (koloni) ataupun menyendiri (soliter). Karang yang hidup berkoloni membangun rangka kapur dengan berbagai bentuk, sedangkan karang yang hidup sendiri hanya membangun satu bentuk rangka kapur. Gabungan beberapa bentuk rangka kapur tersebut disebut terumbu Formasi terumbu karang mengikuti topografi yang dibentuk oleh proses geologi alam. Pemahaman mengenai formasi terumbu karang memberikan informasi kecenderungan bentuk pertumbuhan yang mendominasi suatu zona dengan memperhatikan faktor jarak ekosistem terhadap daratan (pulau) ataupun terhadap laut lepas. Charles Darwin (1842) mengemukakan tiga perbedaaan formasi yang dikenal dengan teori penenggelaman Terumbu karang tepi (Fringing Reef), yaitu terumbu karang yang terdapat di sepanjang pantai dan dalamnya tidak lebih dari 40 meter. Terumbu ini tumbuh ke permukaan dan ke arah laut terbuka.Terumbu karang penghalang (Barrier Reefs), berada jauh dari pantai yang dipisahkan oleh goba (lagoon) dengan kedalaman 40 – 70 meter. Umumnya terumbu karang ini memanjang menyusuri pantai. Atol (atolls), yang merupakan karang berbentuk melingkar seperti cincin yang muncul dari perairan yang dalam, jauh dari daratan dan melingkari gobah yang memiliki terumbu gobah atau terumbu petak. Bentuk Pertumbuhan Karang Karang memiliki variasi bentuk pertumbuhan koloni yang berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan. Berbagai jenis bentuk pertumbuhan karang dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, hydrodinamis (gelombang dan arus), ketersediaan bahan makanan, sedimen, subareal exposure dan faktor genetik. Berdasarkan bentuk pertumbuhannya karang batu terbagi atas karang Acropora dan nonAcropora (English et.al., 1994). Perbedaan Acropora dengan non- Acropora terletak pada struktur skeletonnya. Acropora memiliki bagian yang disebut axial koralit dan radial koralit, sedangkan non-Acropora hanya memiliki radial koralit. Faktor yang Mempengaruhi Bentuk Pertumbuhan Jenis karang yang dominan di suatu habitat tergantung pada kondisi lingkungan atau habitat tempat karang itu hidup. Pada suatu habitat, jenis karang yang hidup dapat didominasi oleh suatu jenis karang tertentu. Pada daerah rataan terumbu biasanya didominasi karangkarang kecil yang umumnya berbentuk masif dan submasif. Lereng terumbu biasanya ditumbuhi oleh karang-karang bercabang. Karang masif lebih banyak tumbuh di terumbu terluar dengan perairan berarus. Gelombang berpengaruh terhadap perubahan bentuk koloni terumbu. Karang yang hidup di daerah terlindung dari gelombang (leeward zones) memiliki bentuk percabangan ramping dan memanjang, berbeda pada gelombang yang kuat (windwardzones) kecenderungan pertumbuhan berbentuk percabangan pendek, kuat, merayap atau submasif. Secara umum ada empat faktor dominan yang mempengaruhi bentuk pertumbuhan, yaitu cahaya, tekanan hidrodinamis (gelombang dan arus), sedimen dan subareal exposure.
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
9
Metode Transek garis Transek garis digunakan untuk menggambarkan struktur komunitas karang dengan melihat tutupan karang hidup, karang mati, bentuk substrat (pasir, lumpur), alga dan keberadaan biota lain. Spesifikasi karang yang diharapkan dicatat adalah berupa bentuk tumbuh karang (life form) dan dibolehkan bagi peneliti yang telah memiliki keahlian untuk mencatat karang hingga tingkat genus atau spesies. Peralatan yang dibutuhkan dalam survei ini adalah rol meter, peralatan SCUBA (Self Contained Underwater Breathing Apparattus), alat tulis bawah air, tas nilon, palu dan pahat untuk mengambil sampel karang yang belum bisa diidentifikasi, dan kapal. Pengambilan data bentik dengan menggunakan metode Point Intercept Transect (PIT) dengan ketelitian hingga Life Form. Metoda PIT digunakan dengan mempertimbangkan keuntungan – keuntungan dari metoda tersebut yaitu dapat dilaksanakan dengan cepat, berbiaya murah dan memungkinkan untuk melakukan pengulangan (Bianchi et al., 2004). Pada setiap pulau terdapat dua buah site pengambilan data. Garis transek ditarik sepanjang 50 meter ke arah laut pada tiap site tersebut. Setiap point transect berjarak 50 cm, sehingga didapat total sebanyak 100 point transect. Pengklasifikasian data benthic mengacu kepada English et al., (1994)
3.3. Penginderaan Jarak Jauh (Remote Sensing) Perolehan informasi kondisi permukaan bumi dengan menggunakan teknologi penginderaan jarak jauh melalui satelit memiliki keuntungan yakni : • •
Daerah cakupan datanya luas sehingga data global dapat diperoleh Resolusi temporalnya tinggi karena datanya dapat diperoleh hampir setiap hari bahkan setiap jam, sehingga dapat dipergunakan untuk pemantauan • Perolehan datanya cepat, karena dapat diperoleh setiap saat dari satelit yang sedang berorbit. Selain itu juga karena datanya dalam format digital, maka pengolahan informasi dapat dilakukan secara cepat dengan menggunakan komputer. • Dipandang relatif ekonomis, ini berkaitan pula dengan sudah adanya beberapa fasilitas penginderaan jarak jauh di Indonesia. Secara umum sistem penginderaan jauh dapat dijelaskan seperti pada Gambar 1. S atellite O bservation
A irborne O bservation
R ecieving S ystem
Processing S ystem
Target O bservation
U ser System
Gambar 1. Sistem Penginderaan jauh (Sumber : Trisakti. B, dkk (2003)) Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
10
Pertama-tama pancaran dan pantulan energi dari benda-benda di permukaan bumi ditangkap oleh sistem sensor pada satelit, kemudian setelah itu diubah menjadi sinyal-sinyal yang selanjutnya dikirimkan ke stasiun bumi untuk seterusnya disimpan dalam bentuk data analog atau digital. Kemudian untuk pemanfaatan suatu bidang tertentu, dapat dilakukan pengolahan lebih lanjut data penginderaan jarak jauh. Sejak adanya teknologi komputer, pengolahan dan interpretasi secara digital dengan komputer banyak dilakukan di unit pengolahan penginderaan jarak jauh. Unit terakhir dari sistem penginderaan jarak jauh adalah unit pengguna (users), yang memanfaatkan hasil pengolahan dan interpretasi data penginderaan jarak jauh (added value) untuk suatu target disiplin ilmu tertentu seperti pertanian, geologi, kelautan, kehutanan dan banyak lagi bidang lainnya. Penginderaan atau sensor pada wahana penginderaan jauh memanfaatkan energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh suatu objek di permukaan bumi, dimana tiap-tiap objek di permukaan bumi memiliki karakteristik reflektansi yang berbeda-beda seperti diperlihatkan pada gambar 2. Panjang gelombang elektromagnetik yang dipergunakan dalam penginderaan jauh berkisar mulai dari panjang gelombang cahaya tampak hingga panjang gelombang radio.
Gambar 2. Reflektansi berbagai objek dipermukaan bumi pada suatu panjang Panjang gelombang dan band spektral satelit penginderaan jarak jauh (Sumber : Trisakti. B, dkk (2003))
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
11
BAB IV HASIL SURVEY
4.1. MANGROVE Pengamatan lapangan dilakukan dengan mengelilingi pulau untuk mendapatkan lokasi plot (cek poin). Jumlah cek poin yang didapat adalah 64 titik, yaitu 25 titik di Gili Lawang dan 39 titik di Gili Sulat (Gambar 4). Tujuannya adalah mendapatkan gambaran sekilas mengenai karakteristik hutan mangrove di kedua pulau. Plot, yang merupakan transek 10m x 10m, dilakukan di beberapa lokasi yang memiliki zonasi tertentu atau perubahan jenis vegetasi. Tiga pengukuran yang dilakukan, yaitu kerapatan, basal area (dominasi) dan probabilitas species per plot (frekuensi). Namun karena keterbatasan waktu, hanya tercapai 19 plot, yaitu 14 plot di Gili Lawang dan 5 plot di Gili Sulat (Gambar 5).
Gambar 4. Titik-titik pengamatan (cek poin).
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
12
Gambar 5. Lokasi plot transek.
HASIL PENGAMATAN LAPANGAN 1. Species Mangrove Keanekaragaman species mangrove di kedua lokasi cukup serupa dimana keduanya memiliki jenis tanah berpasir putih dengan salinitas sekitar 34-35 ‰. Pada sisi barat kedua pulau tersebut, Rhizophora dan Bruguiera merupakan genus dominan. Keragaman genus mangrove lebih banyak pada sisi timur kedua pulau. Species yang ditemukan di Gili Sulat dan Gili Lawang terdeskripsi pada Gambar 3 di bawah ini.
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
13
Rhizophora apiculata
Rhizophora mucronata
Rhizophora stylosa
Bruguiera gymnorrhiza
Aegiceras floridum
Aegiceras corniculatum
Sonneratia alba
Sonneratia caseolaris
Xylocarpus mekongensis
Lumnitzera racemosa
Pemphis acidula
Gambar 6. Beberapa jenis mangrove utama (true mangroves) yang ditemukan di Gili Sulat dan Gili Lawang. Jenis tersebut belum termasuk jenis mangrove ikutan (associate mangroves) yang sangat bervariasi. Diperkirakan masih banyak jenis lainnya yang belum teridentifikasi.
Avicennia marina
Ceriops sp
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
14
2. Struktur komunitas hutan mangrove Beberapa transek dilakukan untuk mendapatkan gambaran dari struktur komunitas hutan mangrove yang ada di Gili Sulat dan Gili Lawang. Dari pengamatan lapangan sekilas (cek poin) dengan cara mengelilingi luar pulau, terlihat bahwa terdapat struktur komunitas yang berbeda antara sisi barat dan timur kedua pulau. Pantai pada sisi barat didominasi oleh species Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata dan Rhizophora stylosa. Beberapa seedling dan sapling Rhizophora terlihat di laut yang menandakan adanya pertumbuhan baru species tersebut yang lebih meluas ke arah laut (Gambar 4).
Gambar 7. Struktur komunitas hutan mangrove di pantai sisi barat.
Pada sisi timur, kedua pulau juga memiliki struktur komunitas serupa, yaitu jenis mangrove yang lebih bervariasi dan beberapa terlihat sangat tua (Gambar 5). Pantai terluar didominasi oleh genus Rhizophora (Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata dan Rhizophora
stylosa), Bruguiera (Bruguiera gymnorrhiza) Sonneratia (Sonneratia alba, Sonneratia caseolaris) dan Aegiceras (Aegiceras floridum, Aegiceras corniculatum).
Gambar 8. Struktur komunitas hutan mangrove di pantai sisi timur pada saat pasang.
Komunitas hutan mangrove yang berbeda ini bertemu disuatu zona transisi dimana terdapat komunitas peralihan, yaitu suatu komunitas gabungan antara dua komunitas tersebut. Di Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
15
lokasi ini genus Rhizophora berkelompok dengan genus Sonneratia dan Aegiceras, yang hanya umum ditemukan di sisi timur Gili Sulat dan Gili Lawang.
Gambar 9. Struktur komunitas hutan mangrove di zona transisi.
3. Zonasi hutan mangrove Zonasi hutan mangrove di Gili Sulat dan Gili Lawang terbagi atas 2 tipe mengikuti struktur komposisi hutan mangrove. Zona basah adalah zona terdepan dimana mengalami genangan air lebih dari 14 hari/bulan. Zona sedang adalah zona dibelakang zona basah dan mendapat pergenangan air laut selama 6-14 hari/bulan. Sedangkan zona kering adalah zona terbuka dan mendapat limpasan air laut kurang dari 6 hari/bulan. Di zona ini terdapat vegetasi mangrove ikutan (mangrove associate) seperti rerumputan (Acanthus ilicifolius, Ipomoea, Spinifex littoreus), waru (Thespesia populnea, Hibiscus tiliaceus), Pongamia pinnata dan jenis lainnya. Gambar 10. Garis transek dari pantai ke arah darat.
Gambar 11. Zonasi hutan mangrove di sisi timur Gili Sulat dan Gili Lawang
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
16
Gambar 12. Zonasi hutan mangrove di sisi barat Gili Sulat dan Gili Lawang
4. Kerapatan hutan mangrove Hutan mangrove di Gili Sulat dan Gili Lawang memiliki kerapatan yang cukup tinggi karena masih banyaknya mangrove dalam kondisi baik dan terjaga sehingga dapat tumbuh besar (Gambar 10). Namun menurut data dari Departemen Kehutanan (Tabel 1), kondisi mangrove di kedua pulau tersebut telah mengalami penurunan sehingga diperkirakan nilai kerapatannya telah berkurang. Kerapatan tertinggi sekitar 31,54 m2/ha (lingkar luar pulau) hingga 58,75 m2/ha (di sekitar sungai dalam pulau).
Gambar 13. Akar napas Rhizophora dan Sonneratia berukuran besar.
Lokasi
Luas (Ha)
Kondisi
Gili Sulat
663,50
Rusak sedang
Gili Lawang
423,36
Rusak sedang
Tabel 3. Luas hutan mangrove menurut sumber dari Ditjen RLHS, Dephut (2002). Data ini belum diklarifikasi kembali dalam survey karena belum tersedianya data citra.
Study mengenai perkembangan kondisi hutan mangrove dapat dilakukan dengan komparasi kerapatan terdahulu dengan sekarang. Kegiatan ini memerlukan data citra satelit yang dicek dengan data lapangan. Dari data citra terdahulu, terlihat perbedaan tutupan lahan dibandingkan dengan data lapangan terakhir. Namun kegiatan ini belum dapat dilakukan karena belum tersedianya data citra terbaru. Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
17
4.2. TERUMBU KARANG
Gambar 14. Lokasi Penyelaman (S1, S2, S3, S4)
Komposisi Benthic Life Form Komposisi jenis bentik yang ditemukan pada tiap site penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Pada seluruh site pengambilan data secara umum terdapat 17 jenis kategori benthic life form, dengan variasi terbanyak terdapat pada Site I Gili Sulat dan Site IV Gili Lawang (masing – masing 13 jenis) sedangkan pada Site II Gili Sulat dan Site III Gili Lawang hanya terdapat masing – masing 9 jenis.
Tabel 4. Komposisi bentik pada site penyelaman : Benthic
Site I Gili Sulat
ca ot sp sa rk dc cr abr aen atb adg Asm Nen Nsm Nm Nbr Nfo Nmu Fire
+ + + + + + + + + + + + + -
Site II Gili Sulat + + + + + + + -
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
Site III Gili Lawang + + + + + + + + + -
Site IV Gili Lawang + + + + + + + + + + + + + 18
Lc Sft Blue Op Fanwhip An Can Keterangan : + (ada), - (tidak ada)
+ + -
-
-
Gambar 15. Life form List
Profil Transek, Jumlah dan Persent Cover Benthic Life Form Site I Gili Sulat
Profile Transek S-1 (Gili Sulat) Jarak Dari Pantai 0 Kedalaman (m)
0
10
20
30
40
-5 -10 -15 -20 Gambar 16. Profile Transek pada Site I Gili Sulat
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
19
0 lc
e
u
0
0
0
0
0
0
sf t blu e fa Op nwh ip An Ca n
2
o
2
nm
0 ne n ns m
0
cr ab r ae n at b ad g as m
0
nm
3
2
0 rk
sa
0 sp
ca ot
1
7
5
fi r
6
r
7
dc
7
11
nf
13
nb
Jumlah
33
Bentik Life Form
Gambar 17. Jumlah Benthic Life Form yang terdata pada Site I Gili Sulat
nbr 34%
nm 5%
nfo 7%
nsm 2%
nmu 2%
nen 3%
ca 7%
aen 6%
ot 1% abr 11% cr 13%
dc 2%
sp 7%
Gambar 18. Persent Cover Benthic Life Form pada Site I Gili Sulat
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
20
0
Site II Gili Sulat
Profile Transek S-2 (Gili Sulat) Jarak Dari Pantai
Kedalaman
0 0
10
20
30
40
-5 -10 -15
Gambar 19. Profile Transek pada Site II Gili Sulat
Jumlah
44
16
0
4
2
0
0
0
0
0
0
0
Bentik Life Form
Gambar 20. Jumlah Benthic Life Form yang terdata pada Site II Gili Sulat
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
2
f a Op nwh ip An Ca n
2
ue
0
bl
0
lc sf t
0
r nf o nm u f ir e
2
nm
0
cr ab r ae n at b ad g as m ne n ns m
0
dc
0 rk
2
sp sa
0 ot
ca
0
nb
8
21
0
An sp cr 2% 2% 2% abr 20%
aen 10%
sft 55%
nen 2% nbr 2%
nm 5%
Gambar 21. Persent Cover Benthic Life Form pada Site II Gili Sulat
Site III Gili Lawang
Profile Transek S-3 (Gili Lawang) Jarak Dari Pantai
Kedalaman
0 -5
0
10
20
30
40
-10 -15 -20 -25
Gambar 22. Profile Transek pada Site III Gili Lawang
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
22
0
0
0
0
0
4
8 1
0
0
0
0
fa Op nwh ip An Ca n
0
ue
0
bl
0
lc sft
0
rk dc cr ab r ae n at b ad g as m ne n ns m
2
sp sa
ca ot
4
18 11
nb r nf o nm u f ir e
14
nm
Jumlah
35
0
0
0
Bentik Life Form Gambar 23. Jumlah Benthic Life Form yang terdata pada Site III Gili Lawang
nmu 1%
ca ot 4% 2% dc 14%
nfo 37% cr 11%
nbr 8%
nm 4%
abr 19%
Gambar 24. Persent Cover Benthic Life Form pada Site III Gili Lawang
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
23
0
Site IV Gili Lawang
Profile Transek S-4 (Gili Lawang) Jarak Dari Pantai
0 0
10
20
30
40
Kedalaman (m)
-5 -10 -15 -20 -25
Gambar 25. Profile Transek pada Site IV Gili Lawang
14 10 8
7
6
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
An Ca n
0
at b ad g as m
cr ab r ae n
0
bl ue fa Op nwh ip
1
dc
rk
0 sa
ot sp
ca
1
4
3
lc sft
4
nb r nf o nm u f ir e
4
ne n ns m nm
Jumlah
10
Bentik Life Form
Gambar 26. Jumlah Benthic Life Form yang terdata pada Site IV Gili Lawang
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
24
0
nfo 5%
ca 10%
nbr 20%
ot 1% sp 5% rk 1% dc 15%
nm 1% nsm 11%
cr 8%
nen 4% atb 5%
abr 14%
Gambar 27. Persent Cover Benthic Life Form pada Site IV Gili Lawang
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terdapat dominasi dari coral non – acropora foliose (nfo) pada Site III Gili Lawang (37%) dan coral non – acropora branching (nbr) pada site I Gili Sulat dan Site IV Gili Lawang (34% dan 20% secara berurutan). Pada Site II Gili Sulat didominasi oleh Soft coral (sft) yaitu sebesar 55%.
4.3. HASIL MARXAN Marxan adalah sebuah perangkat lunak yang dapat digunakan untuk membantu merancang sebuah kawasan perlindungan laut atau jejaring kawasan perlindungan laut. Pada walanya tahun 2000 Marxan dibuat untuk merancang ulang kawasan Great Barier Reef Australia. Setelah sukses di Great Barier Reef mulailah Marxan digunakan untuk keperluan yang sama di daerah-daerah lain, termasuk kawasan Gili Sulat dan Gili Lawang. Dalam membuat peta layout Running Marxan didasarkan pada nilai-nilai SPF (Species Penalty Factor) / nilai penalti barkaitan dengan target fitur konservasi didalam unit perencanaan Marxan dan Nilai Cost dimana berisi nilai cost untuk setiap heksagon dalam planning unit (Planning unit cos) yang terdapat di lokasi pulau. Adapun perincian nilainya sebagai berikut : Tabel 5 . Fitur Konservasi dan Fitur Cost Pulau Gili Lawang dan Gili Sulat No 1 2 3 4 5 6
Konservasi Terumbu karang Mangrove a Mangrove b Mangrove c Lamun Benthos
SPF 2 2 1,5 0,75 1,25 1,5
Cost Kampung Sebaran sedimen Jalur layar Bom Ikan Dive site Shelter
Skor 1 2 1 2 1 1
Kedua fitur tersebut didasarkan pada tabel ketetapan nilai dibawah ini :
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
25
Tabel 6 . Ketetapan nilai SPF dan Cost
Sumber : Workshop Resilient TNC CTC 2006
Gambar 28. Flow Chart Running Marxan (Sumber : TNC – CTC Modul 3 Pengantar Marxan, 2007)
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
26
Gambar 29. Hasil Running Marxan sebagai Rekomendasi “No Take Zone”
4.4. KUALITAS AIR LAUT
Tabel 7. Data kualitas air laut Di Pulau Gili Lawang dan Gili Sulat Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Lokasi G Lawang G Lawang G Lawang G Lawang G Lawang G Lawang G Lawang G Sulat G Sulat G Sulat G Sulat G Sulat G Sulat G Sulat
TS 42350 43390 43560 42610 43760 35660 43160 43240 44050 42870 55850 55290 42920 43350
Nitrat 0,163 0,142 0,144 0,145 0,15 0,141 0,165 0,127 0,133 0,17 0,14 0,14 0,21 0,213
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
Nitrit 0,031 0,032 0,039 0,031 0,035 0,031 0,035 0,029 0,032 0,046 0,029 0,032 0,029 0,032
Phosfat 0,233 0,231 0,216 0,242 0,239 0,226 0,221 0,231 0,239 0,231 0,247 0,234 0,237 0,239
Amonia 0,222 0,229 0,237 0,221 0,212 0,208 0,217 0,231 0,207 0,231 0,229 0,217 0,203 0,226
27
Tabel 8. Baku Mutu Air Laut Peruntukan Wisata Bahari Kep Menteri Negara Lingkungan hidup tahun 2004 No
Parameter
Satuan Fisika
1 2
Suhu Kecerahan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
pH Salinitas DO Amoniak Bebas Fosfat Nitrat Sulfida Minyak dan Lemak BOD5
o
Baku mutu
c m
30 >6
%o mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
7-8.5 Alami >5 Nihil’ 0.015 0.008 Nihil’ 1 10
Kimia
Tabel 9. Baku Mutu Air Laut Untuk Biota laut Kep Menteri Negara Lingkungan hidup tahun 2004 No
Parameter
Satuan
Baku mutu
Fisika o
c
Alami Coral 28-30 Mangrove 28-32 Lamun 28-30 Coral>5 Mangrove – Lamun >3
1
Suhu
2
Kecerahan
1
pH
-
2
Salinitas
%o
3 4 5 6 7 8 9 10
DO Amoniak Bebas Fosfat Nitrat Sulfida Minyak dan Lemak BOD5 Pestisida
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l µg/l
7-8.5 Alami Coral 33-34 Mangrove s/d 34 Lamun 33-34 >5 0.3 0.015 0.008 0.01 1 20 0.01
1 2
plankton Bakteri Total
Sel/100 ml MPN/100 ml
Tidak bloom 1000
m Kimia
Biologi
Kualitas perairan disekitar Gili Lawang dan Gili Sulat akan ditinjau dari dua sisi pemanfaatan yaitu untuk kepentingan ekowisata dan kepentingan dari pertumbuhan biota laut. Pada pengujian di sekitar perairan Gili Lawang dan Gili sulat yang masuk dalam lokasi KKLD tersebut, kualitas airnya masih normal karena kandungan Nitrat, Nitrit, Ammonia dan fosfat untuk peruntukan biota laut masih dibawah ambang batas, jadi masih baik untuk berbagai macam biota laut. Sedangkan kandungan Ammonia yang berada disekitar perairan Gili Lawang sudah diatas ambang batas. Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
28
BAB V KESIMPULAN Dari hasil survey yang didapat tingkat kerapatan mangrove di Pulau Gili Lawang dan Pulau Gili Sulat terdapat di sisi utara masing-masing pulau, Keanekaragaman spesies mangrove di kedua lokasi cukup serupa dimana keduanya memiliki jenis tanah berpasir putih dengan salinitas sekitar 34-35 ‰. Pada sisi barat kedua pulau tersebut, Rhizophora dan Bruguiera merupakan genus dominan. Keragaman genus mangrove lebih banyak pada sisi timur kedua pulau. Sedangkan terumbu karang berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terdapat dominasi dari coral non – acropora foliose (nfo) pada Site III Gili Lawang (37%) dan coral non – acropora branching (nbr) pada site I Gili Sulat dan Site IV Gili Lawang (34% dan 20% secara berurutan). Pada Site II Gili Sulat didominasi oleh Soft coral (sft) yaitu sebesar 55%. Berdasarkan hasil olahan software Marxan didapatkan hasil “no take zone” terdapat di hampir sebagian Pulau Gili Lawang, ini disebabkan karena : pada sisi barat Pulau terdapat coral rubble/karang mati dan terumbu karang yang masih dalam/sementara proses recovery juga adanya fitur Cost ; jalur layar, kampung, sebaran sedimen, bom ikan, dive site, dan shelter sebagai faktor pembatas dalam menentukan kawasan/zona inti dalam hal ini “No take zone”. Dan untuk pengukuran kualitas air laut pada pengujian di sekitar perairan Gili Lawang dan Gili sulat yang masuk dalam lokasi KKLD tersebut, kualitas airnya masih normal karena kandungan Nitrat, Nitrit, Ammonia dan fosfat untuk biota laut masih dibawah ambang batas.
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
29
BAB VI TAHAPAN SELANJUTNYA
Kegiatan di lokasi Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Gili Sulat dan Gili Lawang (Lombok Timur) telah dilaksanakan. Secara ruang lingkup kegiatan ini telah melaksanakan pengumpulan data Oseanografi (model arus), Kualitas perairan, mangrove, dan terumbu karang serta permodelan dengan menggunakan program MARXAN guna rekomendasi penentuan kawasan KKLD. Tahapan selanjutnya untuk kegiatan ini adalah observasi dan kajian pemanfaatan kawasan konservasi laut di Gili Sulat dan Gili Lawang dan yang direncanakan pelaksanaannya pada tahun 2008. Adapun cakupan kegiatan selanjutnya adalah : 1. Pembuatan media coral farming (sexual reproduction methods). 2. Pengukuran parameter fisikokimia dan analisa kualitas air laut serta pola arus nutrien (Nutrient flow). Dengan adanya kegiatan tahap lanjutan diharapkan akan memiliki hasil yang tidak hanya berorientasi terhadap penentuan zonasi kawasan konservasi, tetapi juga dapat memberikan kontribusi dalam menjaga daya dukung (carrying capacity) serta tersedianya data parameter fisikokimia air laut dan pola arus nutrien (Nutrient flow).
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
30
DOKUMENTASI PELAKSANAAN SURVEY
Guest house KKLD Gili Sulat-Gili Lawang
Kantor KKLD yang belum beroperasi
Training Marxan di Lombok kerjasama dengan TNC dan Pemda NTB
Koordinasi dengan pengelola KKLD
Tim survey bawah laut
Transek terumbu karang
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
31
Pengambilan sampel air dan bentos
Tim survey kualitas air
Transek mangrove
Tim survey mangrove
Personil yang terlibat dalam survey
Para peneliti Tim Konservasi BROK
Laporan Survey dan Analisa Gili Sulat – Gili Lawang Pengembangan Sistem Obseravsi untuk Kawasan Pesisir – TA 2007
32