TANTANGAN & TANGGAPAN KESEHATAN DI INDONESIA Refleksi Keberadaan 10 Tahun Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 : 1.
Hak Cipta merupakan hak ekslusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana Pasal 72 : 1.
2.
Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.0000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
TANTANGAN & TANGGAPAN KESEHATAN DI INDONESIA
Refleksi Keberadaan 10 Tahun Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW Oleh Staff Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW
Penyunting
Ferry F. Karwur
Penerbit
Satya Wacana University Press
TANTANGAN & TANGGAPAN KESEHATAN DI INDONESIA Refleksi 10 Tahun Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW Oleh Staff Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW Cetakan pertama, November 2016
Penyunting Ferry F. Karwur Penata Letak Jerry F. Langkun
Disain Sampul Vinchart D.B.J. Dundu
Diterbitkan oleh Satya Wacana University Press dan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya Wacana Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Tantangan dan Tanggapan Kesehatan di Indonesia : Refleksi Keberadaan 10 Tahun Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW / Penyunting Ferry F. Karwur.-- .-- Salatiga : Satya Wacana University Press, 2016. x, 306p. ; 24 cm. ISBN: 978-602-1047-59-0 1. Education, Nursing 2. Food 3. Colleges and universities-Salatiga I. Karwur, Ferry F.
Sambutan Rektor Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Tanggal 30 Nopember 2016 UKSW berusia 60 Tahun. Pada waktu yang bersamaan, Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) UKSW yang didirikan pada saat UKSW berumur 50 tahun (7 Desember 2006) berulang tahun yang ke 10. Sebagai Fakultas yang termuda di lingkungan UKSW, FIK UKSW adalah salah satu unit kepanjangan tangan dari UKSW dalam menerjemahkan Visi dan Misi UKSW yang telah dicanangkan oleh Para Pendiri UKSW. Suatu kesempatan yang tepat apabila pada umur FIK yang ke-10 ini, pada saat UKSW merayakan Silver Jubelium, ulang-tahun UKSW ke-60, tenaga Akademik dan Non-Akademik FIK-UKSW melakukan refleksi atas apa yang telah dilakukan dan menyatakan kebulatan tekat untuk melakukan yang terbaik dalam pelayanan melalui Fakultas ini. Pimpinan Universitas menyambut baik refleksi atas tugas dan pekerjaan serta tanggung-jawab yang dibebankan baik untuk tenaga akademik maupun tenaga kependidikan. Tentunya refleksi dari masing-masing staf memiliki kemaknaannya sendiri-sendiri, yang di kemudian hari dapat menjadi cermin akan konsistensi pemikiran dan tindakan yang dilakukan, apalagi refleksi itu dibukukan. Bagi Fakultas, refleksi yang dibukukan ini tentu dapat menilai kembali hal-hal yang telah dilakukan dan memastikan kelemahan-kelemahan yang ada dapat diperbaiki. Bagi Universitas, refleksi semacam ini penting agar supaya kita semua boleh bertanya akan makna kehadiran kita di UKSW. Kita tidak hanya bekerja untuk kelangsungan hidup hayati kita, tetapi kehadiran kita di UKSW dan khususnya di FIK merupakan alat Tuhan di dalam pelayanan dan kesaksian melalui pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. v
Umur 10 tahun adalah umur yang masih muda. Diperlukan kerja keras pada sejumlah aspek, antara lain dan terutama Pengurusan Jabatan Fungsional Akademik ( JAFA) tenaga pengajar, Sertifikasi Dosen, dan Program Studi Lanjut staf pada program doktor dalam bidang-bidang yang diperlukan. Program pengembangan staf bukan saja dalam memenuhi kebutuhan 5 program studi yang sudah berjalan (Ilmu Keperawatan, Ilmu Gizi, Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi, Teknologi Pangan, dan
Program Profesi Ners) tetapi juga mengantisipasi pengembangan program studiprogram studi bidang kesehatan dan kedokteran. Demikian pula setiap staf akademik diharapkan fokus melaksanakan penelitian dan pengabdian masyarakat pada bidang ilmu yang dikuasainya untuk dapat meghasilkan karya-karya penelitian dan pengabdian masyarakat yang relevan, di samping kegiatan pendidikan dan pengajaran Perlu saya utarakan bahwa dalam rangka pembukaan Program Studi Kedokteran dan kehadiran Rumah Sakit UKSW sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran (SK YPTKSW No. 238/B/YSW/X/2016) maka per tanggal 1 Agustus 2016 Fakultas Ilmu Kesehatan telah berubah menjadi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) (SK YPTKSW No 237/B/YSW/X/2016).
Salatiga, 1 Oktober 2016
Pdt. Prof. John A. Titaley, Th.D
Rektor UKSW
vi
Daftar Isi Sambutan Rektor Universitas Kristen Satya Wacana ........................................ v Daftar Isi ..............................................................................................................................vii BAGIAN 1. REFLEKSI PERJALANAN KELEMBAGAAN Berlayar Di Tengah Arus Perubahan: Refleksi 10 Tahun Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW ....................................................................................................... 3 Ferry F. Karwur
Kami Sedang Dipakai Tuhan Mewartakan KerajaanNya: Refleksi Tenaga Kependidikan Dalam 10 Tahun FIK .............................................................................12 Ery Budiono, Sri Rejeki Handayani, Kristin Wulandari, Noba Tri Hermani, Martinus Heri Siswanto, Sri Suwarni, Yohanes Bosco Prasetiyo
BAGIAN 2. KEPERAWATAN DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN KESEHATAN
Community Nurses’ (CNs’) Capacity Building for High Quality Maternal Health Services In Indonesian Communities .......................................... 17 Tressia Sujana
Keperawatan Komunitas dan Strategi Pembelajaran Keperawatan Komunitas .................................................................................................. 35 Venti Agustina
Menjadi Perawat Lintas Budaya Di Indonesia ...........................................................47 Arwin Nusawakan
Pencegahan Dan Penanganan Perdarahan Setelah Persalinan ...............................59 Kristiani D. Tauho
vii
Fungsi Keluarga Pada Anak Dengan Kebutuhan Khusus .......................................75 Dary
Manajemen Tuberkulosis Berbasis Keluarga ............................................................ 85 Fiane de Fretes
The Relevance Of Lifeworld Approach For The Understanding of Mental Health Research ...............................................................................................91 Yulius Yusak Ranimpi
Mengeksplorasi Kearifan Budaya Lokal Sebagai Langkah Preventif Terjadinya Gangguan Kesehatan Mental .................................................................. 103 Desi
Ada Yang Terlupakan: Humaniora & Etika Dalam Kesehatan .......................... 113 David Sombolinggi
BAGIAN 3. SINDROMA METABOLIK, GOUT ARTHRITIS DAN ILMU GIZI MOLEKULER Hubungan Antara Diabetes Mellitus Tipe 2 dan Asam Urat Dalam Perspektif Genetika ......................................................................................................... 125 R.L.N.K. Retno Triandhini
SLC2A9 dan Homeostasis Asam Urat ..................................................................... 139 Ferry F. Karwur
Epidemiologi Strok di Kawasan Migrasi Austronesia .......................................... 159 Rosiana Eva Rayanti
Inflamasi Pada Gout Arthritis ...................................................................................... 169 R.Rr. Maria Dyah Kurniasari
BAGIAN 4. KESEHATAN, PENYAKIT METABOLIK DAN AKTIFITAS FISIK Diabetes Mellitus and Problem of Physical Inactivity .......................................... 177 Priska Pulungan viii
Aktivitas Fisik Dan Obesitas ........................................................................................ 185 Anton Tri Wibowo
Mengolahragakan Masyarakat Mengurangi Resiko Kanker ............................... 197 Kukuh Pambuka Putra
Peran Senam Aerobik Low Impact Terhadap Kebugaran Kardiorespirasi Pada Anak Usia 10–12 ................................................................................................... 209 Angkit Kinasih
BAGIAN 5. INOVASI PANGAN LOKAL INDONESIA Produk Pangan Tradisional Indonesia di Kancah Kompetisi Pangan Global .. 223 Venny Santoso
Pengembangan Produk Dari Buah-Buah Lokal Asli Indonesia Melalui Inovasi Pengolahan Pangan .......................................................................................... 239 Sarlina Palimbong
Bakteri Simbion Terumbu Karang Indonesia Sumber Pewarna Pangan Alami 247 Dhanang Puspita
Beef Quality Assurance (Bqa) Dan Kelayakan Industri Daging Sapi Potong di Indonesia ............................................................................................... 259 Monika Rahardjo
Keamanan Pangan ........................................................................................................... 277 Theresia Pratiwi Elingsetyo Sanubari
Reaksi Mailard Pada Pengolahan Bahan Pangandan Dampaknya Bagi Kesehatan di Indonesia ................................................................ 285 Kristiawan P. A. Nugroho
Biodata Penulis ............................................................................................................... 297 Indeks ................................................................................................................................. 301
ix
x
BAGIAN 1 REFLEKSI PERJALANAN KELEMBAGAAN
Berlayar Di Tengah Arus Perubahan Refleksi 10 Tahun Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW FERRY F. KARWUR Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan
Usaha-Usaha Pendirian FIK-UKSW Di ujung tahun emas UKSW (1956 – 2006) dan dalam menatap 50 tahun kedua UKSW, maka pada tahun ajaran 2002/2003 Rektor UKSW Pdt. Prof. Dr. John A. Titaley, membentuk satuan tugas (Satgas) pendirian Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan, dengan tugas pokok menyiapkan pendirian program studi Ilmu Keperawatan. Pendirian Program Studi Ilmu Keperawatan didasarkan pada pertimbanganpertimbangan berikut: (1) Pertumbuhan populasi dunia dan khususnya Indonesia yang semakin sulit terkendali dan kompleks, (2) Sistem dunia yang semakin menyatuh dengan operasi-operasi sejagadnya, (3) Karakteristik Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keluasan serta kompleksitas permasalahan bidang kesehatan individu dan masyarakat, (4) Kebutuhan-kebutuhan pembangunan daerah di bidang kesehatan, (5)Bercermin dan mempelajari peran yang dimainkan oleh universitas-universitas dunia yang berada di garda terdepan dalam bidang kesehatan. Satgas pendirian Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan terdiri atas: Ferry F. Karwur Ph.D (Ketua), Yulianto, S.Si, M.Kom (Sekretaris), dr. Rina (pada waktu itu sebagai ketua Poliklinik UKSW), dr. Anton, dr. Sherly Leuwol, Wati
Daewangga, S.Theol., Yoga Aji Handoko, S.Si., M.Si., dan ibu Pia Haryani. Selesai menyiapkan setiap persyaratan yang dituntut dalam pendirian Program Studi S1 Keperawatan Fakultas Ilmu kesehatan UKSW, Satgas melayangkan undangan ke PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) untuk melakukan visitasi. Visitasi dilakukan 2 kali oleh Ketua PPNI karena dalam visitasi pertama ditemukan ketidaksiapan 3
konsep, termasuk di dalamnya ketiadaan laboratorium penunjang. Atas dasar visitasi pertama itu, maka diusulkanlah kepada Pimpinan Universitas untuk mengubah peran dan fungsi gedung Asrama Unit III menjadi Laboratorium
Keperawatan sekaligus kantor Fakultas dan Program Studi Ilmu Keperawatan. Visitasi kedua menghasilkan rekomendasi resmi PPNI ke Depkes RI melalui surat PPNI No. 264/PP.PPNI/K/IV/2006 tentang Hasil Penilaian Aspek dan Kriteria Pembukaan Program Studi Ilmu Keperawatan (S1) pada Universitas Kristen Satya Wacana. Selanjutnya, dengan surat rekomendasi PPNI Pusat serta atas masukkanmasukkan yang professional dari Perawat Pendidik Senior saudara Ners Jane Freyana (dari universitas Padjajaran bandung) dan Ners Hanung Prasetya, M.Kes. (dari Poltekkes Solo), Satgas melanjutkan pengurusan surat rekomendasi Depkes RI untuk pendirian
Program Studi Ilmu Keperawatan UKSW. Berbekal kedua surat PPNI Pusat dan Depkes RI, maka pengajuan pendirian Program Studi Ilmu Keperawatan S1 UKSW ke Direktorat Jederal Pendidikan Tinggi Depdiknas
RI
dilakukan,
sehingga
Dirjen
Dikti
mengeluarkan
SK
Ijin
Penyelenggaraan Program Studi S1 Ilmu Keperawatan pada Universitas Kristen Satya Wacana melalui SK No. 3458/D/T/2006. Berdasarkan perkembangan tersebut, Satgas menyelenggarakan rapat dan mengusulkan hari kelahiran Program Studi S1 Ilmu Keperawatan UKSW pada tanggal 22 Nopember 2006. Hasil keputusan rapat juga mengusulkan secara resmi pendirian Fakultas Ilmu Kesehatan (The Faculty of Health Sciences) kepada Rektor/YPTKSW dengan program studinya Program Studi S1 Ilmu Keperawatan. Usulan inilah yang menjadi dasar SK YPTKSW No. 269/B/YSW/XII/2006 yang mengesahkan pendirian Fakultas ini pada tanggal 7 Desember 2006. FIK walaupun telah dipersiapkan pendiriannya sejak tahun 2003, ia baru formal diijinkan Dikti menyelenggarakan program pendidikan pada tahun 2006, dengan diberikannya ijin pembukaan program studi pertama, yakni S1 Ilmu Keperawatan.
Akan tetapi FIK baru mulai menerima mahasiswa baru pada tahun 2007. Sumberdaya
4
dosen pada awalnya sebenarnya tidak memenuhi dalam hal jumlah dan kualifikasi: para perawat, dokter, dan tenaga terkait kesehatan (allied health areas) dipinjam dari fakultas lain dan lembaga lain di luar UKSW, karena UKSW pada waktu itu adalah pendatang baru dalam pergumulan bidang-bidang ilmu kesehatan di Indonesia. Setelah ijin penyelenggaraan program studi diperoleh tidak otomatis FIK menyelenggarakan pengajaran. Satgas terutama dr Silvie Ceyra Leuwol dan dr Rina dari poliklinik UKSW dan Sdr Ns. Natalia Ratna Yulianti,S.Kep terlibat dalam fase-fase awal perekrutan mahasiswa baru. Oleh Rektor UKSW yang baru pada waktu itu, Prof K.H. Timotius mengusulkan ke Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana, dr Jodelin Muninggar dari Poliklinik UKSW sebagai pejabat Dekan pertama Fakultas Ilmu Kesehatan, yang kemudian pimpinan universitas mengangkat pejabat definitif
Dekan FIK Sdr. Ir. Ferry F. Karwur, M.Sc., PhD. sejak tanggal 1 September 2009. Sampai dengan November 2016, FIK UKSW menyelenggarakan 5 program studi, yakni: (a) Program Studi Ilmu Keperawatan, (b) Program Studi Ilmu Gizi (berdiri 5 Juni 2012), (c) Program Studi Pendidikan Jasmani, Kesehatan, dan Rekreasi (berdiri 6 Juli 2013), (d) Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan (berdiri 12 April 2013), dan
(e) Program Studi Profesi Ners dimulai penerimaan mahasiswa baru pada November 2016.
Tantangan-Tantangan 10 Tahun Pertama Sejak awal pendirian FIK UKSW diberi nama Fakultas Ilmu Kesehatan (Faculty of Health Sciences) atau FHS dan bukan Fakultas Ilmu Keperawatan atau Fakultas Kedokteran, atau fakultas lain. Penggunaan kata “Sciences” dalam FHS plural memang dengan penuh kesadaran diberikan untuk menekankan bahwa FIK bukan saja untuk menjadi satu fakultas dengan satu program studi tetapi fakultas interdisiplin dalam rumpun ilmu-ilmu kesehatan. Dalam nomenklatur dikti (pada waktu itu, dan sampai sekarang), dibawah Lingkup IlmuIlmu kesehatan tercakup banyak program studi terkait, antara lain: Program Studi Kedokteran, Program Studi Kedokteran Gigi, Program Studi Keperawatan, Program Studi Psikologi, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Program
5
Studi Gizi dan Kesehatan, Program Studi Farmasi, dll. Disamping itu, karena tuntutan pekerjaan, industri, dan publik bahwa profesi bidang kesehatan, seperti perawat, dan ahli gizi, membutuhkan sertifikat profesi, maka FIK UKSW mau-tidak-mau harus juga menyelenggarakan program profesi pada bidang yang diperlukan tersebut. Sebagai fakultas yang masih baru, yang cabang keilmuannya tidak ada di UKSW, kecuali beberapa bidang ilmu dasar, maka tantantangan pertama dan utama dalam pendirian dan menjalankan program studi-program studi di FIK adalah ketersediaan SDM akademik yang memenuhi persyaratan minimal dan mumpuni. Tantangan paling sulit adalah ketersediaan tenaga Magister Keperawatan. Memang awalnya persyaratan minimal staf akademiknya adalah sarjana S1 Keperawatan plus lulus program profesi Ners. Namun dengan diubahnya persyaratan Dosen menjadi minimal S2, maka di Indonesia terjadi kelangkaan tenaga lulusan Magister Keperawatan. Syukur bahwa setelah perjalanan 10 tahun program studi ini, tenaga pengajarnya beberapa diantaranya adalah alumni yang telah menyelesaikan studi di jenjang Magister
Keperawatan. Studi lanjut staf S2 Keperawatan pada awalnya (awal 2010 a/s 2014) terasa sulit sekali karena program S2 hanya diselenggarakan di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia dengan kursi terbatas. Beberapa staf kita harus menunggu lebih dari satu kali tes masuk, pada waktu itu pun hanya satu staf yang bisa berkuliah di sana. Berkat kerjasama dengan Silliman University dan University of Sunshine Coast di Queensland, UKSW dapat menerobos persoalan studi lanjut staf ke jenjang pendidikan
S2 keperawatan. Keterbatasan staf bergelar Magister tentu juga dialami oleh program studi lain, tetapi ternyata ketersediaan mereka (S2 Ilmu Gizi, PJKR, dan Teknologi Pangan) lebih mudah, dan oleh sebab itu perekrutan staf baru berpendidikan S2 lebih mulus terjadi. Tantangan terberat adalah bagaimana para staf baru tersebut beradaptasi dengan konteks kelembagaan dan budaya akademik di UKSW. Dalam hal terakhir ini, PT. Indesso Aroma Jakarta telah membantu Progdi Teknologi Pangan dengan 5 stafnya sebagai buffer di Progdi Teknologi Pangan.. 6
Pembinaan staf secara teratur dan sistematik baik dalam hal pemahaman nilainilai UKSW dan implementasinya, ketrampilan manajemen operasional dan manajemen strategik, disiplin kerja, serta kemampuan penelitian dan publikasi terasa sangat penting dan mendesak; dan itulah yang dikerjakan dalam setiap kesempatan. Dalam upaya membangun global competitiveness, dilakukan penerapan Skor TOEFL ITP 550 sebagai salah satu pertimbangan di dalam pengusulan pengangkatan tenaga dosen tetap, serta publikasi Ilmiah dan Pelibatan dalam Seminar Internasional dengan berpedoman pada “No podium without paper”. FIK harus merevisi persyaratan interal tersebut ke skor 525 sebagai titik temu kelembagaan dan usaha pribadi setiap dosen mengusahakan kemampuan bahasa inggrisnya. Untuk memfasilitasi mahasiswa melaksanakan praktek kerja, sampai tahun 2016, terdapat paling tidak 26 institusi yang secara aktif bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW. Paling tidak FIK bekerjasama dengan 8 Rumah Sakit di Jawa Tengah, sebagai lahan praktek mahasiswa. Rumah Sakit dimaksud adalah: Rumah Sakit Jiwa Prof. dr. Soeroyo Magelang, Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Ngawen-Salatiga, Rumah Sakit Kristen Ngesti Waluyo, Parakan-Temanggung, Rumah Sakit Panti Wilasa “Dr. Cipto” Semarang, Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang, Rumah Sakit Ken Saras, Rumah Sakit Jiwa Surakarta, Rumah Sakit Kristen Mardi Rahayu, Kudus. Demikian pula untuk kepentingan praktek ketrampilan mengajar untuk program studi
PJKR FIK bekerjasama dengan Sekolah Laboratorium UKSW, SD Negeri Ledok I Salatiga, SMP Negeri 7 Salatiga, dan SMK Negeri 3 Salatiga. Kerjasama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Immanuel Bandung dilaksanakan untuk memfasilitasi mahasiswa S1 Keperawatan melanjutkan ke jenjang profesi Ners sebelum FIK memiliki Program Profesi Ners. Dalam rangka memperkuat penelitian dan pengabdian masyarakat, FIK UKSW juga bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan, Pemerintah
Kota Tomohon, Pemerintah Kabupaten Semarang, sebagai laboratorium pelaksanaan segitiga akademik sesuai bidang fokus penelitian FIK-UKSW. Dalam rangka pengembangan tenaga akademik, penguatan kegiatan penelitian 7
serta kegiatan perkuliahan mahasiswa maka telah pula dilakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga berikut: University of the Sunshine Coast, Australia; KinDAI Himeji University, Japan; Kwansei Gakuin University, Japan; Saporro University of Health Sciences, Japan; Charles Darwin University, Australia; Christian University of Thailand; Siliman University, Philipines; Badan Penelitian dan Pengembangan KesehatanKementrian Kesehatan RI; Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoar Penyakit, Salatiga; Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional, Tawangmangu; Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan, dan
Pemberdayaan Masyarakat (Surabaya). FIK UKSW juga bekerjasama dengan sejumlah perusahan makanan dan minuman dalam rangka pengembangan kurikulum di Program Studi Teknologi Pangan. Mereka antara lain PT Indesso Aroma Jakarta, Pabrik Abon Patma Ambarawa, dan Pabrik Abon Koki, Salatiga. Untuk memperkuat posisi kelembagaan dan kebutuhan akreditasi program studi, FIK UKSW sampai tahun 2016 bekerjasama dengan 3 asosiasi profesi, yakni: Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI), Anggota Asosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Gizi Indonesia (AIPGI), dan LAMPTKES. Dalam rangka memperkuat penelitian dan pengabdian masyarakat seiring dengan upaya UKSW mendorong penelitian dan publikasi maka melalui rapat-rapat yang intensif ditetapkan Tema dan Fokus Penelitian Kelembagaan Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW (Tabel 1) yang berlaku baik untuk dosen dan untuk penetapan tugas akhir Mahasiswa. Target publikasi Ilmiah Dosen dilakukan secara bertahap.
8
Tabel 1. Tema dan Fokus Penelitian Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW No
Tema
Area
Sub Area
I
Kesehatan Masyarakat dan Kebijakan
Sistem Kesehatan dan Kebijakan Kesehatan
Profil Kesehatan dan Kebijakan Kesehatan di tingkat Daerah (Provinsi/Kabupaten) Manajemen Puskesmas dan Posyandu
Publik
Promosi kesehatan Ibu Hamil dan perkembangan bayi
Kematian ibu saat melahirkan Kematian anak neonatal Gizi Ibu selama kehamilan Menyusui pada ibu keluarga miskin dan berpendidikan rendah Infeksi malaria dan persoalan kehamilan dan melahirkan pada ibu Kardiometabolik pada ibu hamil dan persoalan melahirkan Ibu terinfeksi HIV dan perkembangan janin Perawatan ibu (maternal)
Tumbuh Kembang
Grafik Pertumbuhan Anak pada berbagai
Anak
latar-belakang suku Bermain pada anak dalam setting komunitas dan kesehatan Pola Pertumbuhan Anak Kurang Gizi, Stimulasi Sosial dan Kecerdasan Aktivitas Fisik (lama, kualitas) dan Kesehatan
Penyakit Menular (TB, Malaria, Demam Berdarah, HIV)
Status Gizi Perilaku Sosial kaitannya dengan pencegahan penyebaran penyakit TB, Malaria, DB, dan HIV Pengaruh Lingkungan Rumah (sanitasi, kepadatan hunian, kualitas udara) terhadap TB, Malaria, DB Epidemiologi penyakit menular
9
No 2
Tema NonComunicable Diseases: DM, Asam Urat, Hipertensi
Area Penyakit Tidak Menular (Diabetes, Hipertensi, Asam Urat Kardiometabolik dan Faktor Genetik
Sub Area Perilaku konsumsi pangan penderita penyakit kardiometabolik Distribusi penderita penyakit kardiometabolik di berbagai suku (area penelitian: Kabupaten Semarang, TTS, Tomohon dan Kaimana) Keragaman Genetik pada Berbagai Suku di Indonesia Familial Gout di Indonesia Timur dan Pasifik Studi pada ABC transporters Asam Urat (Darah dan Urin dan Blood dan Food Behaviour) Asam Urat dan Hipertensi Asam Urat, Fungsi Ginjal dan Gagal Ginjal
3
Perilaku Sosial dan Kesehatan
Kardiometabolik dan Tumbuh
Aktivitas Fisik Manajemen klinis pada anak-anak yang
Kembang Anak Kardiometabolik dan Aktivitas Fisik
obesitas Aktivitas fisik dan olahraga terhadap penderita DM, Asam Urat, Hipertensi Pendidikan Olahraga dan Penyakit Kardiometabolik Dances (Popular dan Tradisional) dan penyakit kardiametabolik Cultural barriers and facilitators of mental health services Mental health promotion program and academic achievement on elementary students Social ties on the cognitive functioning of aging person Culture and understanding of death among aging persons
Perilaku Sosial dan Kesehatan Mental
Perilaku Sosial dan Usia Lanjut (Aging)
4
Inovasi Pangan
Reaksi Mailard and Reaction Products Development
Glikasi
Food Ingredient and Pengembang produk pangan dari tumbuhan Nutrition
lokal Bio pigmen biota laut
Food Behaviour
10
Food pleasures, appettite, and perception
Ucapan Terima Kasih Dalam 10 tahun terakhir ini telah banyak orang yang terlibat dalam upaya pelayanan melalui Fakultas ini. Beberapa di antara mereka ada yang telah memutuskan untuk berhenti bekerja, melanjutkan karir di tempat lain, atau berpindah ke unit lain di UKSW, diantaranya Sdr. Yoga Aji Handoko, M.Si, Bapak Budhi Prasetyo, P.h.D, Ibu dr. Muninggar, M.Med, ibu Nana Ratna Yulianti S.Kep MAN, Ibu Yulindra Numberi, M.Si, Sdr. Yafet Pradikatama, S.Kep. NS, Pak Sarbin yang setia menyapuh halaman kantor FIK-UKSW sehingga selalu rapih. Kepada semua orang yang telah mengambil bagian dalam pelayanan melalui FIK diucapkan terima kasih. Pada kesempatan ini pula saya ingin menyampaikan terima kasih kepada semua staf yang dengan setia tanpa pamrih bekerjasama dan melayani di dan melalui FIK. Saudara R.L.N.K Retno Triandhini, M.Si selaku Wakil Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan sekaligus merangkap Kaprogdi S1 Ilmu Gizi; Sdr. Tessa Messakh, M.A selaku Kaprogdi S1 PJKR; Sdr. Tressia Sujana, S.Kep M.A selaku Kaprogdi S1 Keperawatan; Sdr. Venny Santoso, M.Sc, Ph.D selaku Kaprogdi S1 Teknologi Pangan; Sdr. Dary, S.Kep. N.S, M.N selaku Kaprogdi Program Profesi Ners; Sdr. Dhanang Puspita, M.Si selaku Koordinator Penelitian dan Pengabdian Masyarakat; Sdr. Kristiawan P. Agung nugroho, M.Si selaku Koordinator Penjaminan Mutu; Sdr. Arwin Nusawakan, S.Kep. M.A selaku Kepala Laboratorium, Sdr. Priska Pulungan, MM selaku Koordinator Kerjasama Kelembagaan dan Praktek Lapangan; Sdr. Rosiana Evarayanti Saragih, S.Kep. M.N selaku Koordinator Kemahasiswaan dan Sdr. Desi, S.Kep. M.N selaku Koordinator Tugas Akhir. Demikian pula kepada semua staf akademik dan non-akademik diucapkan terima kasih. Terima kasih atas kebersamaan, kerjasama, dan rasa ke-Indonesia-an yang telah kita bina dan upayakan selama ini.
Penutup Sepuluh tahun Fakultas Ilmu Kesehatan telah melayani. Banyak kemajuan telah terjadi.
Banyak tantangan yang menghadang. FIK yang pada tanggal 19 Oktober berubah namanya menjadi FKIK (Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan) dengan segala tantangannya akan terus berlayar di tengah arus perubahan. Soli Deo Gloria! 11
Kami Sedang Dipakai Tuhan Mewartakan KerajaanNya Refleksi Tenaga Kependidikan Dalam 10 Tahun FIK Ery Budiono, Sri Rejeki Handayani, Kristin Wulandari, Noba Tri Hermani, Martinus Heri Siswanto, Sri Suwarni, Yohanes Bosco Prasetiyo
Daud berkata, “mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya!” Perikop Perjanjian Lama itu meyakinkan kami bahwa bukan kebetulan, Tuhan menempatkan anak – anakNya di Fakultas Ilmu Kesehatan. Dia mengatur sedemikian rupa, sehingga setiap kami berbagi peran mengerjakan pekerjaan yang diberikan Tuhan di lembaga ini. Sejak proses seleksi pegawai, kami percaya bahwa Tuhan menuntun langkah setiap pimpinan dan pemangku kebijakan di Fakultas ini, untuk memilih kami mengerjakan pekerjaan yang kami sekarang tekuni. Satu per satu, kami dipanggil melayani fakultas ini. Tahun 2006, ketika untuk pertama kalinya fakultas ini beroperasi, Ibu Sri Rejeki dan Bapak Sarbin menjadi tenaga kependidikan pertama yang membantu fakultas ini di hari-hari pertama kegiatan belajar mengajar. Bu Sri bertugas di administrasi fakultas, sementara Pak Bin membantu kerumahtanggaan. Tahun 2007, Yohanes Bosco Prasetiyo, diperbantukan dari Biro Teknologi dan Sistem Informasi untuk membantu maintenance jaringan internet, dan alat – alat elektronik serta pekerjaan sistem informasi lainnya. Mas Bosco kemudian resmi bergabung dengan FIK pada tahun 2012. Februari 2008, Pak Bin dipindahtugaskan ke unit K3, dan digantikan oleh Martinus Heri Siswanto, Mas Heri membantu melayani operasional Ruang Baca, fotokopi dokumen dan pengaturan ruang kuliah. Seiring berkembangnya laboratorium fakultas, pada tahun 2009, Vera Indriawati bergabung dengan FIK melayani penggunaan laboratorium dan alat-alat praktikum
12
fakultas, disusul pada tahun 2011 Noba Tri Hermani membantu Mbak Vera mengelola laboratorium-laboratorium yang ada di FIK. Kemudian dengan dibukanya Prodi Gizi dan Progdi Teknologi Pangan, alat-alat laboratorium pun bertambah, bertambahlah pula rekan kerja kami. Tahun 2014 Sri Suwarni memulai tugasnya membantu praktikum khususnya untuk mahasiswa Gizi dan Teknologi Pangan. Tuhan melimpahkan berkatNya pada UKSW terkhusus FIK karena semakin hari, fakultas ini semakin digenapkan dengan bertambahnya mahasiswa yang datang dari berbagai tempat di Indonesia ini. Demi meningkatkan pelayanan FIK untuk para mahasiswa dan dosen yang Tuhan percayakan di tempat ini, Bapak Eri Budiyono, seorang tenaga kependidikan senior dari Fakultas Biologi, diperbantukan di fakultas ini, tugas pertama Pak Eri adalah melayani surat menyurat dan perbekalan fakultas. Pada tahun 2012, Yosia Okta Pungkasari, bergabung dengan FIK untuk mengambil alih tugas Pak Eri yang mendapatkan tugas baru sebagai operator sikasa, sistem keuangan UKSW, yang erat kaitannya dengan pembuatan SPRA fakultas. Dan terakhir rekan kerja kami yang baru saja bergabung dengan kami, Kristina Wulandari bertugas membantu kegiatan promosi dan pengelolaan web. Dan dalam kegembiraan perayaan 10 tahun Fakultas Ilmu Kesehatan ini, ijinkan kami berbagi perasaan, cerita dan suka yang melingkupi kami dalam melayani fakultas ini. Meski kadang menjadi pegawai “kelas dua” kami tetap merasakan kebersamaan yang hangat, baik dengan sesama tenaga kependidikan, dengan tenaga dosen, mahasiswa, bahkan pimpinan. Kami tidak merasa lebih rendah maupun lebih tinggi dari tenaga yang lain, karena sistem manajerial fakultas ini menempatkan kami sebagai mitra dosen dan mahasiswa. Dengan garis koordinasi dan Standard Operating Procedures yang jelas, kami mempunyai posisi tawar yang jelas dalam pelayanan kami. Suasana akrab dan penuh kekeluargaan sangat terasa di lingkungan kerja kami, kami memanggil rekan kerja kami dengan sebutan “Mbakyu”, “Kang”, dan “Pakdhe” khusus untuk Pakdhe Eri yang memang merupakan tenaga paling senior diantara kami. Di sela-sela pekerjaan kami, kami masih menyempatkan diri untuk bercerita, atau sekedar bertukar canda dengan rekan kerja kami. Tak jarang kami saling mengunjungi
13
rumah tempat tinggal kami masing-masing, jika ada salahsatu diantara kami yang sedang sakit, atau berbagi kebahagiaan ketika mendapatkan momongan. Kami tidak sungkan untuk minta bantuan pada tenaga yang lain, ibarat sapu lidi yang hanya kuat dan bersih menyapu jika disatukan, sebaliknya, bekerja sendiri seperti satu lidi yang akan patah dipakai menyapu. Kami tidak dapat bekerja sendiri, kami tetap membutuhkan bekerjasama dengan orang lain. Memang, di satu atau dua kesempatan, kami terlibat pertengkaran kecil, atau berbeda pendapat, tetapi dalam hitungan menit, kami kembali bekerja sama dan tidak menjadikan hal itu sebagai perkara besar yang harus kami pertahankan. Inilah keseharian yang kami tidak dapat jumpai di tempat yang lain, yang membuat kami nyaman bekerja dan melayani sesuai dengan tanggungjawab kami.
Kami menjadikan institusi ini bukan hanya sebagai tempat mencari uang. Sebagai tulang punggung keluarga kami masing-masing, kami dituntut untuk bisa mencukupi kebutuhan keluarga kami, tapi itu tidak menjadikan kami bekerja di FIK semata-mata demi materi. Tetapi hal lain yang mendasari pelayanan kami adalah keyakinan bahwa kami sedang dipakai Tuhan untuk mewartakan kerajaanNya lewat pekerjaan kami. Jika lembaga ini menjadi besar, meski tidak ada perkamen atau manuskrip yang mungkin akan memuat nama kami, namun kami boleh ikut bangga menjadi bagian dari institusi yang dipakai Tuhan ini.
14
BAGIAN 2 KEPERAWATAN DAN KEBIJAKAN
PENDIDIKAN KESEHATAN
Community Nurses’ (CNs’) Capacity Building for High Quality Maternal Health Services in Indonesian Communities TRESSIA SUJANA
Background Community nursing is an important nursing area in Indonesia. Together with village midwifes, community nurses under the supervision of Primary Health Care (PHC) hold fundamental roles to determine maternal health provision in Indonesia. Preventive actions without neglecting curative and rehabilitation for individuals, families and groups are the main problem solving approach for community nursing practices. Thus, Community Nurses (CNs) need to continue to develop their knowledge and skills to reach the aim of delivering high quality health services for communities. Maternal health equity for every community has become an issue in Indonesia. A profile of the health of the population in Central Java found that maternal deaths in Indonesia are mostly preventable (Central Java Department of Health, 2013). There were three causes of maternal death identified in the 2013 Central Java health profile which are: emergency obstetric deaths, which are caused by difficult access to health services; lack of awareness of emergency obstetrics conditions, which cause prolonged decision making and delayed interventions; and the woman’s condition prior to pregnancy. Hence, it can be concluded that delivery of maternal health information and services, especially related to the available maternal health services; pregnancy preparation; pregnancy and emergency obstetric care, needs to reach further into the community. Studies towards maternal health services in Indonesia showed minimum utilisations of pregnancy care services and a tendency to delay maternal health and emergency obstetric interventions among Indonesian societies (D’Ambruoso, et al., 2008). The inequities of maternal
17
health information in Indonesian communities are causing lack of awareness towards the importance of maternal health care in societies. Practice development of CNs will enable them to empower communities and maximise the delivery of maternal health information and services to communities. Primary Health Care (PHC) is the most accessible health institution which provides maternal health care services to Indonesian village communities. Community nurses and midwifes at the PHC level hold a fundamental role in reaching the community, especially in assessing and delivering maternal health services and information to Indonesian communities. PHC services are responsible for delivering most health services to subdistrict areas; usually 5 to 10 villages. The question which emerges is how PHC services deliver maximum maternal and child health benefits for communities? At the macro level, an integrative collaboration, between PHC providers, traditional midwives and community health workers is identified to be an ideal strategy in delivering health services in an effective and efficient way (Mullany, et al., 2010;
Ouma, et al., 2010; Satti, et al., 2012). Another research project focused on maternal health and early childhood development program in Cuba, also concluded that an intersectoral approach at the community level was able to bring a range of health services and shared responsibility to improve health service delivery However, despite of its fundamental function in societies it is identified that community health workers performance in PHC setting has rarely been supervised and evaluated (Titaley, et al., 2011). Thus, related to the lack supervision and evaluation towards health workers’ performances it can be assume that Community Nurses (CNs) in Indonesian PHC setting are not familiar with reflections towards practices and have less encouragement to develop themselves. To be able to reach an optimal outcome of integrative collaboration in PHC, a micro level Clinical Leadership (CL) and Practice Development (PD) is needed, with the goal to reduce the number of maternal deaths and to expand the range of maternal health services by increasing CNs capacity in delivering maternal health services and in collaborating with other sector.
18
Clinical Leadership and Practice Development Clinical leadership (CL) and Practice Development (PD) are two important fundamentals in the transformation of health institutions. CL is defined by Harper (1995) in Stanley, (2006) as “...one who possesses clinical expertise in a specialty practice area and who uses interpersonal skills to enable nurses and other healthcare providers to deliver quality patient care” (p. 81). Clinical leadership also means, not only to see other’s potential, but also being able to set vision, construct relationship, empowering people and give directions (Leithwood et al., 1999 in Stanley, 2006). Practice Development (PD) is a process where characteristics of CL would support the achievement of PD’s goal, which is a high quality patient centred service. Garbett & McCormack (2002) in (McCormack, et al., 2004) define Practice development as “a continuous process of improvement towards increased effectiveness in patient care” (p88). Garbett & McCormack also stated that knowledge, skills and values, which are developed through PD, are used to achieve high quality of patients focus care. PD is also enabling healthcare teams to transform workplace culture and integrate professional functions for the benefit of patients. This essay would describe the relation between CL and PD and their implementation in community health care setting. The mind mapping of the relation of PD and CL depict in picture 1 showed the relation between PD and CL in health care setting. The PD purpose, which is to achieve effective working culture in every health care setting through individual’s empowerments (person centred) and evidence based practices (Manley, et al., 2008), can only be achieved with CL elements which support the transformation process. Communication is one of the CL elements which very important for PD in health care setting. Schein (2010) stated that basic assumptions are very important in organisation’s culture. Schein also describes culture as ‘a set of basic assumptions’ which ‘defines for us what to pay attention to, what things mean, how to react emotionally to what is going on, and what actions to take in various kinds of situation’ (p.29). Thus, to recognize the deeper levels of culture and the role of basic assumptions within the group, good communication skills are needed. In the Primary Health Care (PHC) setting, communication needs to be conduct within community nurses through community nurse’s daily briefings and
19
Picture 1. PD and CL relation in PHC’s setting
with other health care professionals as colleagues and health provider teams through weekly general meetings, as depict in picture 1. Through those meetings, information are shared and all staff are enable to raise their ideas, assumptions and values, which means that PD process is start to happen through the transformation of system centred, which focused on hierarchy decision making, to person centred, which shown through comprehensive agreement of decision making by all staff as clinical experts. The role of clinical leader in this transformation process can be shown by accommodating staff ’s inspirations and empowered each staffs through their enthusiasm, their suggestion as a clinical expert and their approachable existence. This statement is supported by (Stanley, 2006) which clarified seven main factions of leaders that leads to its main role which is to facilitates the person centred development of each staffs. Manley, et al. (2008) describes person centeredness that focuses on four modes of being, which are; ‘being in relation’, ‘being in a social world’, ‘being in place’ and ‘being with self ’, which can be conclude that in person centred development, each individuals needs to become part of the social groups, respected by their colleagues and recognised by their potentials in the workplace environments.
20
Community Nurses Capacity Building in the Primary Setting Primary Health Care (PHC) holds an important role in a developing country like Indonesia. It is the most reachable health services in the community. As the front liner in health services delivery in the community, it is crucial for PHC’s health workers especially community nurses to continuously develop them self in the effort of the compliance of high quality health services. Community nursing as services provides care for individuals and families in their natural environment, thus community nurses needs to have wider descriptions of health. Several literatures on the delivery of maternal health care in PHC’s level in Indonesia concluded that the maternal health care deliveries in communities are still not optimal. The research by (Titaley, Hunter, Heywood, & Dibley, 2010) conclude the lack of monitoring and evaluation in the maternal health program and the minimum utilisations of village midwife as one of the causes of the low antenatal visit numbers. D’Ambruoso, et al. (2008) also conclude health system failure as one of the barriers in the access to maternal health services in Indonesia. Moreover, despites of government’s large investments in providing health professionals, the number of professionally assisted childbirth by health workers and access to emergency obstetric care were low (D’Ambruoso, et al., 2008). Analysing findings from maternal health researches in Indonesia, it is seen that the CL and PD of PHC’s in Indonesia is not maximal. The resources which available in PHC’s and in communities depict to worked individually with no further monitoring and evaluation. Health workers in Indonesian PHC’s level is comprises of general doctors, community nurses and midwifes who are assigned as government employees, which socially have high place in the society and in rural parts of Indonesia become one of the most desirable professions. This assumption of having high stability in income, with less evaluation on their performances were identified as one of the barrier of PD in PHCs setting, where the health worker mostly choose to work with minimum effort, resistance to new ideas with passive working style. This assumption is supported by the findings of
Shankar, et al. (2008) in their research on the evaluation of village midwifes program, which showed the tendency of village midwifes to moved back to cities after they have officially become government employees. 21
The government of Indonesia had set so many great health services program for the community and most likely PHCs in Indonesia have potential resources. The one that lack from the institution is the CL characteristics. Researches in PD practices in health care settings by Chan et al (2013); Katsikitis, (2013) and Mitchell & Waterworth (2012) shows that only small numbers of staff were able to articulate the main goals of the program, which affect on their basic assumptions towards the program. It can be conclude that the leader needs to translate the organisation’s vision to understandable language and communicate it with the staff. As (Schein, 2010) stated that there are three steps of change, which are: ‘creating the motivation to change’, ‘learning new concepts, new meanings for old concepts, and new standards for judgements’ and ‘ internalizing new concepts, meanings and standards’ (p300) which means shared assumptions and values between the leader and staffs are fundamental. Moreover, person centred development would be enabled after the relation between the leader and staff as individuals developed. The increasing of individual’s quality would create experts and the development of PHC as organisation would be sustainable. In conclusion, person centred PD with CL elements would enable PHC to maximise their resources and creates high quality services for the community. It would be a long process, but it is possible to achieve.
Theoretical Framework of Practice Development in the Primary Setting Integrative leadership Theory Integrative leadership is a modified version of a leadership model, which was developed in 2009 by Bennington and Hartley to answer the need for an adaptive leadership model that can undertake complex problems in communities (Benington & Hartley, 2009). The focus of integrative leadership is using leadership characteristics in team work through partnerships that analysed through real situations and contexts{Alban-Metcalfe, 2010 #107;Bono, 2010 #136}.
22
A whole system approach was also developed by Alban-metcalfe & Alimometcalfe (2010) which adapted from Bennington & Hartley’s Warwick model. This model will be used as a framework for this PD program. As describe in Table 1 , this approach is suitable with the Indonesian CNs because it started with in context problem instead of theory and focused on team work which based on mutual respect, critical analysis, reflection towards practices and integrating leadership into practice. Table 1. The whole systems leadership approach compared with traditional leadership approach (Alban-Metcalfe & Alimo-Metcalfe, 2010)
There are two principles of integrative leadership (Crosby & Bryson, 2010) that can be implemented in a community nurses’ PD which are: initial situation and integrative processes. In the initial stage, the leader needs to understand potentials of initial condition. In this PD program the community assessment needs to be done as the first step to gathered information on communities’ strength, weakness, opportunity and threats. This step can be implemented through the engagement with Community Health workers that will allow CNs to gathered information in communities. This collaboration process will start with the training of community health workers’ trainers which aimed to empower local women’s group in delivering maternal health knowledge deeper into communities. 23
The second factor integrative leadership principle that is fundamental to be implemented in a PD program is integrative process and practices. In this stage, a leader needs to share visions with other potential people and provides understanding towards the goal of the program. Fernandez, et al. (2010) stated that in the integrative leadership, five leadership characteristics; which are task oriented, relation oriented, change oriented, diversity oriented and integrity oriented are shared by team leaders, supervisors, managers and other team member, and not depend on single person in the top of the structure. In this PD program, CNs are trained to be leaders who need to collaborate with other team members and also with communities; assess their characteristics, share basic assumptions of the program’s goal and give team members and communities a responsibility to take parts in the integrative collaboration program. In community setting, integrative leadership principles can also be used to develop community’s leaders who can work together with other individuals to solved community based problems (Bono, et al., 2010). Bono, Shen and Snyder also concluded that integrative leadership proved to increase knowledge and participation of community in rural area because of the engagement between volunteers and communities.
Adult learning Adult learning theory is emphasised on the creation of supportive environment for adult learner, through acknowledge learner’s necessity for knowledge; selfconcept; learner’s prior experience; preparedness to learn, perspectives towards learning and motivation (Knowles, et al., 2013). Relax environment and direct practice of the theories in the integrative leadership workshop, training for community health workers’ trainers and CNs peer observation are expected to encourage CNs to be active in every activities that planned in the program and able to relate the theory with their practices. Adults had experience learning and bring their accumulated knowledge into their current learning (MacKeracher, 2004). MacKeracher also stated that adult learning is emphasised in changing knowledge and skills that derived from past experience
24
where their reflections towards experience facilitate them in describing current problems and testing new concepts of practices. Adult learning approach will be used in this PD program. Using case studies that suitable with local context and analyse it by reflecting on CNs’ past experience, CNs are enabled to integrate their prior knowledge with new concepts of maternal health. This theory also suitable for CN population in Indonesian PHC which commonly have years experience in their practices and usually rarely develop their knowledge and skills after they finished their formal education. Strategies To be able to reach the main goal of a PD project, there are possible three strategies that can be constructed. An Integrative leadership workshop is designed to increase CNs knowledge in leadership and in using the leadership knowledge in collaborative way. Training for community health workers’ trainers is planned to enable CNs in empowering local women’s group and delivering maternal health services deeper into communities. The last strategy is peer observation which designed to update CNs knowledge and to reflect their maternal health practices in the community.
Integrative leadership workshop In the integrative leadership workshop in depth learning of theories would be presented through case study analysis and intervention planning which would be provided in the workshop sessions. Workshop package which comprises schedules, pre reading materials, copies of presentations, workshop worksheet and note book would be prepared to be learned by the workshop’s participant prior to the activity.
Manley, et al. (2008) stated that PD is aimed to reach effective working culture in health care settings through personal empowerment. In this integrative leadership training, CNs as individuals is empowered in knowledge of leadership and analysis skills. Thus they are enabled to implement their leadership characters in collaboration and partnership with other colleagues or parties.
25
Training for Community health workers’ trainers Training for trainers will be held to give the Community Nurses (CNs) skills and knowledge to train the Community health workers. Community health workers are respected women in the community, wives of community leaders or trained traditional health workers. The knowledge and skills that will be given by the CNs to the community health workers will enable them to reach more into maternal women in communities and increase their skills of assessing their reproductive health and improve the utilisation of maternal health services particularly related with emergency obstetric cases. Training for trainers is considered to be the appropriate strategy to improve maternal health in Indonesia or other developing countries because it only relies on resources for the initial phase, which is the training.
Moreover, it is important to have same basic assumptions on the importance of maternal health care in communities. Through this training, CNs are empowered with the skills to share their visions and assumptions that might change societies’ perspectives on maternal health. As Schein (2010) stated that transformation is happen through three steps which are: “creating the motivation to change”, “learning new concepts, new meanings for old concepts, and new standards for judgements’ and ‘ Internalizing new concepts, meanings and standards” (p300). The distribution of maternal health knowledge by local people will increase their acceptance to the new knowledge and will enable the community health worker to facilitate the transformation of the community’s behaviour (Makanjuola & Fwacp, 2012). Training package which comprises schedules, pre reading materials and note book will be organized to enable participants to prepare themself prior to training sessions. Peer observation strategy Peer observation learning is a work based adult learning strategy which allows CNs to learn from each other through an observation method. Gosling (2002) and Webster-Wright (2009) define peers as partners with no distinction between the
26
learner and the object of learning in the educational process. Gosling and Webster’s definition of peers is supporting the aim of peer observation where CNs with different levels of knowledge and skills are expected to reflect their current practices and develop their skills and knowledge through monitoring their colleague’s practices. Through observation in daily practices, CNs are enable to collect new knowledge, share ideas and premises; and decide to reject or adopt new knowledge into their own practice. According to Feng, et al. (2016) and Williams (2010) a comfortable environment in a learning process will allow learners to question their assumptions and adapt new knowledge and transform it into their own methods. Research in continuing education and training (CET) in a aged care worker population also found that interactions with experienced others in the workplace is mostly effective and increased their required skills (Choy, et al., 2013).
Partnership activities The design of the peer observation strategy is taken from Sullivan et al. (2012) faculty development tool and adapted according to CNs’ peer learning needs, as depicted in Figure 1. In this peer learning strategy, a CN will be partnered with another CN who identified to have more skills in delivering maternal health in communities.
Figure 1. Peer observation design Adapted from Sullivan et al (2012)
27
The requirements for the peer participants are CNs who: had a minimum of 3 years involvement in maternal health services, had integrative leadership training and did the training for community health workers’ trainer. There are three activities in the peer learning strategy: Pre observation In the pre-observation stage the CN who acts as an observer, gathers information around maternal health method and services that are available and a service that will be observed through literature and standard procedure. In this stage questions can be asked to the peer participant and added as initial knowledge for the observer. Observation By joining the peer participant in maternal health practice activities, the observer experienced visual learning. Observation of methods of maternal health delivery which comprises: communication technique with maternal women, maternal health assessment
skill, maternal
health promotion technique,
referral
management and community nursing documentation are observed in this stage. Information that interests the observer and assumptions that emerge from the observation is then written in the observation form to be reflected and evaluated in the post observation stage. Post observation In the post observation stage, the peer participant and observer discuss and reflect the observation process that occurred; a 30 minute to an hour meeting will be planned for this purpose. Premises that occur from the process can be asked directly and clarified by the peer participant. Findings from the observation stage can be a reflection for the peer participant and also result in new knowledge and skills that can be adapted and transformed into their practices.
28
Critical Reflection The concept of clinical leadership and practice development had never occurred in most nursing practitioner. The concept of leadership mostly implemented and our practices were changed without we noticed it. Schein (2010) describes charisma as an important method in delivering vision and to communicate major assumptions and values. However, it is impossible to be a leader with charisma skills only, as Stanley (2006) stated that the clinical leadership aspect is focused on its acts of clinical competence, effective communicator, motivator, decision maker, approachable, role model and existence. The trust and motivation from the leader gave confidence and the sense of recognition in a workplace. Colleagues will know CN capability as a nurse and will have the feel of acceptance in the social relation. Ideas on the briefing sessions with other colleagues were taken for consideration in the decision making process and inputs may be gain through discussions. CNs will be individually developed and all staff were lead to change. A person centred practice development (PD) was which focused on the existence of a person in a relationship, social relation, recognition in workplace and also trusted and respected as individual (Shaw et al., 2008). In addition, the good relation enabled CNs to intake the value and assumptions that CNs shared on the development of their practices to deliver high quality patient care. The basic assumption on PD is the invisible element that most important in organisational culture, it set the basic thinking on how we see goals and how we plan our way on reaching the goal (Schein, 2010). In conclusion, CL and PD are related and have a reciprocal effect. The PD does not always have to be technical, individual development through role model, shared ideas and being involved in the decision making would make workplace transformation become sustainable and high quality of care for the patient is delivered. To be able to develop learning culture a supportive and skilful leader is needed. Practice development tends to change the working culture, which is why it is important for the leader to understand the depth of each culture level in the staff group. Schein (2010) describes three levels of cultures which are: artefact, which is the visible product of the group such as physical environment and behaviour; espoused beliefs and values; and
29
basic assumptions. Schein also concludes that understanding staff ’s culture would enable the leader to assess the potential of each staff and deal with their assumptions. It is also would help the leader in dealing with the anxiety which caused by the transformation act which may contradictive with staff ’s beliefs or assumptions. Moreover, for novices in the staff group, leader can be a role model, where the leader is communicating his/her values and assumptions through behaviour, which means the basic assumption of the novices is constructed by shared values of the leader. In practice development, transformation is required to create effective and sustainable work cultures, which are person centred and based on evidence (Manley, et al., 2008) which means that each nurse needs to have the same assumptions on the benefit of the transformation. By sharing the values through evidence and personal empowerment, each staff would enable to make the connections of the work culture change in to their own context. The development in each person would influence their relation and interaction in the workplace and finally builds a new and sustainable work culture. It is a process and definitely not an instant one. Critical reflection towards practice The critical thinking and constructive learning in the analysis towards CNs capacity building are proven to be an effective approach in analysing the issue and in developing problem solving strategies. As an educator in a health education institution that focused on community nursing, critical thinking and constructive learning can be a teaching approach that can be used to transfer knowledge and skills to students especially related with intervention planning towards a community health issue in Indonesia. To implement critical way of thinking will be a challenge for students who came from rural areas of Indonesia. A study of maternal deaths in Eastern Indonesia showed that there were cultural factors which restraint community health workers in rural area to involved more in the community’s decision towards maternal health behaviour (Belton, et al., 2014). Thus, community assessments and collaborations
30
with local people need to be considered as part of the critical thinking process of the intervention strategies development. Critical reflection towards Community nursing practices The development of the CNs’ training package has given a clear description on possible practice development among the CN population in a Primary health care setting. However, to build the capacities of CNs will be the first step of delivering more maternal health information and services to the community. The challenge is to make CNs role to be sustainable for the community. Research to home deliveries in Indonesia stated that the lack of supervision and evaluation to health workers’ practices is one of the causes of minimum results of maternal health programs in Indonesian communities (Titaley, et al., 2011). Thus, a bigger framework of action which comprise of assessment, intervention, implementation and evaluation strategies will be an ideal way for maximum results of the program.
Conclusion The utilisation of community health workers is identified as an effective way to deliver more maternal health information and services to Indonesian communities. Providing maternal health education and promoting appropriate health services are some of the community health worker’s role in the community. Community Nurses (CNs) in the
Primary Health Care setting are community health providers who have potentials to educate community members and transform them into community health workers. Community Nurses empowerment will enable the transfer of knowledge and skills of the nurses to the people surround them. It will increase their skills in delegating their primary task of delivering more maternal health information and basic services to community members. This article is a critical reflection on how leaderships, skills and knowledge of CNs in Indonesia can be increased with several strategies. Thus, high quality of CNs can be reached and may be one of the solutions to maternal health problem in Indonesia.
31
References Alban-metcalfe, J., & Alimo-metcalfe, B. (2010). Integrative leadership , partnership working and wicked problems : a conceptual analysis, 6(3), 3–14. Belton, S., Myers, B., & Ngana, F. (2014). Maternal deaths in eastern Indonesia: 20 years and still walking: an ethnographic study. BMC Pregnancy & Childbirth, 14(1), 1–19. http://doi.org/10.1186/1471-2393-14-39 Benington, P. J., & Hartley, J. (2009). “ Whole systems go !,” (August). Bono, J. E., Shen, W., Snyder, M., & Gardner, J. W. (2010). Fostering integrative community leadership. The Leadership Quarterly, 21(2), 324–335. http://doi. org/10.1016/j.leaqua.2010.01.010 Brady, C. L. (2013). Understanding Learning Styles : Providing the Optimal Learning Experience, 28(2), 16–20. Central Java Department of Health. (2013). Health profile of Central Java province. [Profil
Kesehatan Jawa Tengah, Departemen Kesehatan Jawa Tengah]. Chan, B. C., Jayasinghe, U. W., Christl, B., Laws, R. A., Orr, N., Williams, A., … Harris, M. F. (2013). The impact of a team-based intervention on the lifestyle risk factor management practices of community nurses : outcomes of the community nursing SNAP trial. Choy, S., Billett, S., & Kelly, A. (2013). Engaging in continuing education and training: learning preferences of worker-learners in the health and community services industry. Australian Journal of Adult Learning, 53(1), 78–89. Crosby, B. C., & Bryson, J. M. (2010). Integrative leadership and the creation and maintenance of cross-sector collaborations. The Leadership Quarterly, 21(2), 211–230. http://doi.org/10.1016/j.leaqua.2010.01.003 D’Ambruoso, L., Byass, P., and Qomariyah S.N. (2008). Can the right to health inform public health planning in developing countries? A case study for maternal healthcare from Indonesia. Global Health Action, DOI:10.3402/gha.VIiO.1828. Feng, D., Zhao, W., Shen, S., Chen, J., & Li, L. (2016). The influence of perceived prejudice on willingness to be a nurse via the mediating effect of satisfaction with major: A cross-sectional study among chinese male nursing students. Nurse Education Today, 42, 69–72. http://doi.org/10.1016/j.nedt.2016.04.012 Fernandez, S., Jik, Y., & Perry, J. L. (2010). Exploring the link between integrated leadership and public sector performance. The Leadership Quarterly, 21(2), 308– 323. http://doi.org/10.1016/j.leaqua.2010.01.009
32
Gosling, D. (2002). Models of Peer Observation of Teaching Co-Director , Teaching Quality Enhancement Fund National Co-ordination Team, (August). Katsikitis, M. (2013). Continuing professional development in nursing in Australia: Current awareness, practice and future directions, 45(1), 33–45. MacKeracher, D. (2004). Making sense of adult learning (2nd ed.). Toronto: University of Toronto Press. Makanjuola, V., & Fwacp, M. (2012). Impact of a one-week intensive “ training of trainers ” workshop for community health workers in south-west Nigeria, 33–39. Manley,K., McCormack, B., & Wilson, V. (Ed.). (2008). Person-centred systems and processes. In Manley,K., McCormack, B., & Wilson, V. (Ed). International practice development in nursing and health care. Oxford: Blackwell. McCormack, B., Manley, K., & Garbett, R. (Ed.). (2004). Practice development in nursing.
Oxford: Blackwell. Mitchell, P., & Waterworth, S. (2012). EMBEDDING QUALITY IMPROVEMENT CHANGE INTO NURSING PRACTICE, 3(1), 24–30. Mullany, L. C., Lee, T. J., Yone, L, Lee, C. I., Teela, K. C., Paw, P., et al. (2010). Impact of Community-Based Maternal Health Workers on Coverage of Essential Maternal Health Interventions among Internally Displaced Communities in
Eastern Burma: The MOM Project. PLoS Medicine, 7(8). Ouma, O., Van Eijk, M., Hamel, M.J., Sikuku ES, Odhiambo, F.O. and Munguti, K.M. (2010). Antenatal and delivery care in rural western Kenya: the effect of training health care workers to provide “focused antenatal care.” Reproductive Health, 7(1), 1. Satti, H., Motsamai, S., Chetane, P., Marumo, L., Barry , J., and Riley, J. (2012). Comprehensive Approach to Improving Maternal Health and Achieving MDG 5: Report from the Mountains of Lesotho. PLoS ONE, 7(8). Schein, E. (2010). Organizational culture and leadership (4th ed.). Sab Fransisco: JosseyBass. Shankar, A., Sebayang, S., Guarenti, L., Utomo, B., Islam, M., Fauveau, V., & Jalal, F. (2008). The village-based midwife programme in Indonesia. Lancet, 371(9620), 1226–1229.
Stanley, D. (2006). Recognizing and defining clinical nurse leaders. British Journal of Nursing, 15(2), 108–111. Sullivan, P. B., Buckle, A., Nicky, G., & Atkinson, S. H. (2012). Peer observation of teaching as a faculty development tool. 33
Titaley, C., Dibley, M., & Roberts, C. (2011). Utilization of Village Midwives and Other Trained Delivery Attendants for Home Deliveries in Indonesia: Results of Indonesia Demographic and Health Survey 2002/2003 and 2007. Maternal And Child Health Journal, 15(8), 1400–1415. http://doi.org/10.1007/s10995010-0697-1 Titaley, C. R., Hunter, C. L., Heywood, P., & Dibley, M. J. (2010). Why don ’ t some women attend antenatal and postnatal care services ?: a qualitative study of community members ’ perspectives in Garut , Sukabumi and Ciamis districts of West Java Province , Indonesia. BMC Pregnancy and Childbirth, 10(1), 61. http://doi.org/10.1186/1471-2393-10-61 Webster-Wright, A. (2009). Reframing professional development through understand-ing authentic professional learning. Review of Educational Research, 21(1), 25–35. Williams, C. (2010). Understanding the essential elements of work-based learning and its relevance to clinical practice. Journal of Nursing Management, 18, 624–632.
34
Keperawatan Komunitas dan Strategi Pembelajaran Keperawatan Komunitas VENTI AGUSTINA
Pengantar Ilmu keperawatan komunitas ialah ilmu yang menggabungkan pendekatan keperawatan dan praktek kesehatan masyarakat dalam rangka melindungi dan mempromosikan kesehatan masyarakat. Keperawatan komunitas dalam pelaksanaannya mengkombinasikan semua elemen dasar keperawatan klinis dan profesi dengan kesehatan masyarakat dan praktek kemasyarakatan. Berkembangnya kompleksitas sistem kesehatan, perubahan pola penyebaran penyakit menular, proses penuaan, beban yang harus ditanggung akibat penyakit kronis, serta peningkatan penyakit tidak menular memicu perubahan paradigma institusional based nursing ke community based nursing
(Randolph, et al., 2016). Dalam konteks masyarakat Indonesia yang begitu beragam suku, budaya serta sebaran geografis (dengan ciri kepulauannya), maka konteks keperawatan dalam setting klinis individual terasa sulit dicapai secara optimal di daerah pedesaaan, daerah terpencil, dan pulau-pulau. Oleh sebab itu, pendekatan keperawatan komunitas yang berlandaskan pada pendekatan sistem menjadi terasa penting untuk memaksimumkan layanan kesehatan individu, keluarga, kelompok dan komunitas. Keperawatan komunitas dilaksanakan langsung berada bersama-sama dengan warga/masyarakat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Demikian pula bahwa keperawatan individual dalam setting klinis, tentu pada akhirnya, dalam konteks kultur masyarakat kita akan berujung pada layanan keperawatan komunitas. Ambil contoh, seseorang dengan penyakit kronik seperti Diabetes Mellitus
35
(DM) yang membutuhkan intervensi lanjutan pasca keluar dari rumah sakit, dengan strategi pendidikan kesehatan dan perawatan di rumah dapat menurunkan angka hospitalisasi sampai dengan 82% (Macklin dalam Happel, 1998). Isu dan tantangan kesehatan masyarakat dan yang menjadi concern keperawatan komunitas amatlah luas: penyakit infeksi, kesehatan anak, persoalan well-being, kesehatan lingkungan, kejahatan, kecelakaan, kejadian luka, keracunan makanan dan lingkungan, akses fasilitas kesehatan yang tidak merata, kematian bayi, kehamilan, dan persoalan kesehatan pada populasi yang rentan (vulnerable populations) (Meadows, 2009). Dalam konteks inilah perawat komunitas begitu berarti karena adaptabilitas serta kemauan mereka memberikan layanan keperawatan, dalam banyak setting,yang dapat mencakup klinik-klinik kesehatan masyarakat (community health clinics), pedesaan, masyarakat pulau, masyarakat terpencil, gereja dan organisasi keagamaan secara umum, homeless shelters, dan sekolah. Dalam layanan keperawatannya, perawat komunitas memberikan perawatan komprehensif kepada pasien di rumah mereka, pada kegiatan-kegiatan yang terorganisir, kelompok-kelompok warga, posyandu, pustu, posyandu, posyandu lansia, atau pada lembaga-lembaga yang berfungsi melayani masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan tertentu. Di negara-negara yang sistem pendidikan keperawatannya telah maju, ada perawat praktek mandiri (advanced practice nurses) yang membuka layanan praktek di tengah-tengah masyarakat. Hal ini sangat berguna dalam memperbaiki akses terhadap layanan keperawatan, dengan biaya yang dapat dijangkau warga. Demikian pula, dalam setting organisasi/perusahaan, perawat praktek mandiri atau
yang
terpaut
dengan
organisasi
tertentu
mengembangkan
dan
mengimplementasikan misalnya corporate wellness programs, sehingga mendukung kesehatan dan produktivitas karyawan di organisasi mereka. Dalam setting Puskesmas, perawat bekerja dengan beragam rekan kerja dan providers, untuk menangani tantangan-tantangan kesehatan yang kompleks di masyarakat: orang yang mengidap hepatitis, HIV/AIDS, penyandang penyakit metabolik menahun seperti diabetes, dan persoalan penyakit kronis yang dihadapi oleh orang lanjut usia, namun tetap pelaksanaannya di rumah mereka. 36
Dalam konteks kegawatan karena bencana alam atau bencana sosial yang berskala luas, perawat komunitas berada di pusat tanggap darurat, yang memberikan mass prophylaxis, mencegah meluasnya akibat bencana, serta mengelola ancaman bencana. Para perawat komunitas dikenal sebagai perespons pertama (first responders), manakala datang ancaman kesehatan publik. Mereka akan mengorganisasikan dan mengadministrasikan tindakan keperawatan dengan segera (Meadows, 2009).
Dari apa yang dikatakan di atas, maka peran perawat komunitas tidak hanya terbatas dalam pengobatan saja tetapi juga ke arah deteksi dini masalah kesehatan, pencegahan penyakit, serta memberikan pendidikan kesehatan bagi masyarakat sehingga pelayanan kesehatan yang diberikan lebih komprehensif dan optimal dengan mengupayakan perubahan atau melakukan modifikasi perilaku masyarakat atau memodifikasi perilaku atau kebiasaan masyarakat. Perawat komunitas mungkin mengkhususkan keahliannya pada area spesilisasi tertentu, seperti “home care”, manajemen kasus, keperawatan klinis, keperawatan di sekolah, atau keperawatan di perusahan, atau mungkin menjadi peneliti dalam bidang keperawan komunitas. Melihat peranan yang dimainkan oleh perawat komunitas sebagaimana telah diuraikan di atas, maka perawat komunitas haruslah memiliki pemahaman issue-issue kesehatan yang luas, nyaman dengan sifat kerja yang mandiri, dalam setting masyarakat yang berubah-ubah dan dengan tingkat ketidakpastian yang tinggi. Perawat demikian juga harus menguasai ketrampilan keperawatan klinis, tetapi lebih dari itu haruslah yang berfikiran kritis, memiliki ketrampilan advokasi, dan kemampuan analitik. Karena masyarakat itu dinamis maka perawat harus pula mampu beradaptasi dengan situasi tersebut untuk memberikan layanan keperawatan yang diperlukan masyarakat; termasuk jam kerja saat orang lain berlibur (Meadows, 2009). Oleh sebab itu, perawat komunitas hendaknya memiliki gelar sarjana, mempunyai pengalaman klinis pelayanan di masyarakat serta memiliki keterampilan dalam melakukan advokasi, pendidik, pemimpin yang berfikir kritis dan analitis, serta sebagai peneliti dalam memecahkan permasalah kesehatan (Daniel & Equlinet, 2006). 37
Menurut American Association of College of Nursing (AACN) (2008) dan Institute of Medicine (IOM) (2011), perawat komunitas membutuhkan keterampilan analisis kebutuhan kesehatan dan masalah kesehatan komunitas, ketrampilan kepemimpinan, kemampuan komunikasi massa, pengetahuan terkait kebijakan kesehatan, kemamuan penelitian, serta kemampuan bekerja sama dengan pemangku kepentingan di tingkat komunitas dhi Camat, Kades, Kadus, Kepala RT, RW dan stakeholder yang lain (Kulbok, et al., 2012).
Menyiapkan Perawat Komunitas di Indonesia Menghasilkan perawat spesialis komunitas (specialist community nurses) di Indonesia menjadi tantangan bagi institusi atau sekolah keperawatan untuk merancang pembelajaran dimana lulusannya akan memiliki keterampilan, pengetahuan dan kompetensi pelayanan dalam keperawatan kesehatan masyarakat (public health) dalam konteks Indonesia.
Keterampilan, pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan dalam keperawatan
kesehatan masyarakat
dapat
diasah dan
ditingkatkan
melalui
pembelajaran klinis yang dirangkai dengan pembelajaran langsung bersama masyarakat. Pembelajaran klinis di lapangan akan memberikan gambaran dan situasi yang sesungguhnya terjadi dengan kompleksitas masalah di dalamnya. Ketersediaan lahan praktik yang memadai dan preceptors selama proses pembelajaran serta penggunaan strategi pembelajaran yang tepat akan membantu peserta didik dalam menemukan perannya dalam pembelajaran di komunitas. Dengan demikian, bukan hanya soal pengetahuan dan ketrampilan tetapi mahasiswa juga mengalami perubahan-perubahan afektif sebagai bagian dari kompetensi keperawatan komunitas. Oleh karena itu penting untuk merancang strategi pembelajaran yang tepat sehingga dapat mengakomodir capaian kompetensi dari pembelajaran keperawatan komunitas. Capaian kompetensi dalam pembelajaran keperawatan komunitas dibagi dalam kompetensi utama (kompetensi keperawatan klinis dan kompetensi keperawatan komunitas) dan kompetensi pelengkap (Nuntaboot et al., 2000, 2001).Kompetensi keperawatan klinis adalah kemampuan dalam melakukan pengkajian kesehatan,
38
manajemen penyakit, penemuan kasus, manajemen kasus, observasi, komunikasi, dan pengobatan sesuai dengan tanggung jawab yang didelegasikan. Sedangkan kompetensi keperawatan komunitas yakni komptensi (pengetahuan, ketrampilan dan sikap) yang diperlukan dalam menjalankan fungsi perawatan komunitas dan kompetensi pelengkapnya termasuk pula kemampuan terkait sensitivitas budaya, kemampuan berfikir kritis dan analitis, ketrampilan kepemimpinan, kemapuan untuk mengembangkan prosedur penelitian,trampil dalam melaksanakan kaji-tindak partisipatif dalam isu-isu kesehatan masyarakat dan warga dalam setting komunitas. Capaian kompetensi yang sudah disusun selanjutnya akan dijabarkan dalam metode atau teknik pembejaran baik di kelas maupun di luar kelas yang disebut sebagai strategi pengajaran atau pembelajaran. Menurut Weinstein and Mayer (1986), strategi pembelajaran adalah perilaku dan pikiran peserta didik yang terlibat aktif selama proses pembelajaran. Strategi pembelajaran yang dipakai diharapkan mencakup ranah kognitif, afektif dan psikomotor sesuai tujuan atau capaian pembelajaran. Strategi pembelajaran sangatlah beragam tergantung dari capaian kompetensi yang ingin dicapai apakah melalui kuliah, tutorial, investigasi, diskusi, atau praktek lapangan. Dengan demikian, setiap strategi pembelajaran harus jelas dan berfokus pada capaian kompetensi yang mau dicapai.
Strategi Pembelajaran Keperawatan Komunitas di FIK UKSW Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) dengan Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK)-nya bertujuan menghasilkan lulusan yang kompeten dalam bidang keperawatan komunitas. Para lulusannya diharapkan akan kembali ke daerah asal untuk bekerja di fasilitasfasilitas kesehatan dalam setting komunitas. Oleh sebab itu, maka dirasa penting untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam bidang keperawatan komunitas. Dalam matakuliah Keperawatan Komunitas, strategi pembelajaran dirancang agar mahasiswa dapat mencapai kompetensi yang diharapkan dengan menggunakan gabungan metode pembelajaran di kelas dan praktik lapangan. Strategi yang digunakan seiring dengan konsep pembelajaran dan kompetensi yang tertuang dalam Assosiation of Community Health Nursing Educator (ACHNE), 39
2009 dengan konsep The Essential of Baccaleureate Nursing Education for Entry Level
Community/ Public Health Nursing (Cahlen et al., 2013). Dalam pelaksanaannya, sebelum pembelajaran praktik lapangan, mahasiswa diperkuat terlebih dahulu mengenai konsep keperawatan komunitas dan apa yang harus dilakukan saat di komunitas. Terkait pengajar dalam mata kuliah ini FIK melibatkan nara sumber Kepala Puskesmas yang memberikan pelayanan di level dasar, sehingga konsep keperawatan komunitas dapat dipahami dalam pengalaman konkrit. Demikian pula pelibatan tenaga pengajar yang memiliki pengalaman bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memberikan relevansi belajar dalam setting sosial. Peserta didik selanjutnya memasuki tahap pembelajaran praktik lapangan. Untuk pembelajaran praktik lapangan, FIK memiliki “laboratorium lapangan” dimana mahasiswa menggunakannya sebagai lahan praktik dan penelitian yang berada di tiga wilayah, yakni Getasan Kabupaten Semarang, Desa Binaus dan Kec. Mollo Tengah di Timor Tengah Selatan, dan Kota Tomohon.Dalam pembelajaran ini, peserta didik melakukan pengkajian dan analisis kesehatan yang sedang terjadi di masyarakat dan berusaha menemukan solusi bersama untuk memecahkan permasalahan tersebut.
Capaian kompetensi baik kompetensi utama maupun pelengkap dipilah dalam beberapa capaian pembelajaran yakni: 1. Penguasaan konsep keperawatan komunitas. Dalam konsep keperawatan komunitas ini peserta didik dibekali mengenai konsep sehat-sakit, defini keperawatan komunitas, peran perawat komunitas, bentuk pelayanan di komunitas, Puskesmas, bentuk partisipasi masyarakat dalam keperawatan kumunitas dan proses keperawatan komunitas. Strategi pembelajaran yang digunakan ialah didaktik yakni kuliah dari pengajar yang berkompetensi dalam bidang komunitas (dokter dan tenaga pengajar yang memiliki pengalaman bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat), tutorial, diskusi kasus, analisis jurnal keperawatan komunitas.
40
2. Kemampuan berkomunikasi dengan orang lain. Komunikasi ialah kemampuan untuk menafsirkan informasi baik dari klien (individu, keluarga, masyarakat,dan populasi) dan berbagi informas iterkait perawatan klien dengan klien sendiri maupun dengan orang lain yang relevan seperti keluarga, masyarakat, provider lain, dan tim perencanaan kesehatan. Strategi pembelajaran yang digunakan dengan menugaskan peserta didik melakukan pengkajian keluarga di masyarakat dan mempresentasikan hasil pengkajian beserta masalah yang ditemukan. Mahasiswa juga melakukan pengkajian jurnal terkait praktek pelayanan kesehatan komunitas beserta permasalahannya dan mempresentasikannya di dalam kelas. Peserta didik diharapkan berkomunikasi langsung dengan masyarakat, pemangku kepentingan di desa, kader, nakes dhi bidan desa. Dalam proses ini peserta didik mendapatkan pengalaman praktik melakukan komunikasi dengan klien baik sebagai individu, keluarga, komunitas bahkan populasi yang berada di desa tersebut.
3. Kemampuan
mengidentifikasi
permasalahan
kesehatan
dengan
menggunakan konsep epidemiologi dan biostatistik. Epidemologi adalah studi sistematis atas distribusi dan faktor-faktor penentu kesehatan dan penyakit, sedangkan biostatistik ialah data berbasis populasi terkait penyakit, masalah kesehatan dan praktik kesehatan masyarakat. Dengan melakukan identifikasi diatas diharapkan peserta didik menemukan masalah kesehatan yang sedang terjadi di masyarakat. Strategi pembelajaran yang digunakan dengan melakukan penelusuran data statistik terkait angka kelahiran, angka kematian, angka kematian bayi atau insidensi dan prevalensi penyakit yang sedah mewabah, melakukan investigasi langsung ke daerah sasaran berdasarkan data yang diperoleh, setelah data riil ditemukan peserta didik merumuskan masalah kesehatan yang dikaji dan intervensi lebih lanjut. Data statistik dapat diambil dari laporan triwulan Puskesmas, laporan rekam medis klien, laporan penelitian sebelumnya.
4. Kemampuan melakukan pengkajian pada komunitas/populasi. Masalah kesehatan yang telah dirumuskan diatas perlu dipertajam dengan memperkuat data yang sudah ada sehingga dilakukan pengkajian lanjutan yang lebih
41
fokus dan komprehensif. Fokus pada kelompok khusus mana yang diambil untuk diintervensi misalnya kelompok rentan seperti ibu hamil, lansia, balita atau bayi baru lahir, penyakit kronis. Komprehensif maksudnya adalah identifikasi masalah kesehatan dari semua sisi yakni kesehatan, lingkungan, kepercayaan sehat dan sakit, sumber daya yang ada, kebutuhan dan pengalaman praktis yang sudah dilakukan terkait sehat dan sakit (American Nursing Association, 2007). Melalui proses
ini,
peserta
didik
memperoleh
kompetensi
pengkajian
pada
komunitas/populasi.Strategi pembelajaran yang digunakan dalam pencapaian kompetensi ini yakni mahasiwa menyebarkan kuesioner sebagai salah satu media pengkajian masalah kesehatan kemudian melakukan musyawarah masyarakat desa untuk mensosialisasikan dan mengkonsultasikan masalah kesehatan yang didapat, melakukan wawancara dengan individu, keluarga, tenaga kesehatan ataupun pemangku kepentingan dan melakukan kunjungan rumah. 5. Kemampuan membuat perencanaanpemecahan masalah kesehatan. Peserta didik mengembangkan perencanaan untuk mengidentifikasi strategi, rencana tindakan, dan alternatif untuk mencapai hasil yang diharapkan.Setelah dilakukan pengkajian secara mendalam, tahap selanjutnya peserta didik membuat perencanaan sesuai yang sudah disepakati dengan mengacu pada hasil pengkajian di atas berdasarkan prioritas masalah untuk dipecahkan segera. Dalam perencanaan ini pelibatan tenaga kesehatan (bidan, dokter, perawat) dan pemangku kepentingan dapat dimasukkan sebagai bentuk partisipasi aktif masyarakat. Strategi pembelajaran yang digunakan adalah pembuatan proposal perencanaan mengenai aktivitas apa yang relevan untuk mengatasi masalah misalnya program promosi kesehatan pada kelompok khusus, program screening penyakit kronis, pameran kesehatan.
6. Kemampuan melakukan intervensi/implementasi pemecahan masalah. Peserta didik mengimplementasikan rencana yang telah dlidentifikasi bersama tim kesehatan lain. Tujuan dari implementasi cenderung ke arah promosi kesehatan (promkes) yakni memodifikasi perilaku kesehatan masyarakat sehingga terjadi peningkatan derajat kesehatan dan penurunan faktor resiko terjadinya penyakit
42
kronis (Waal & Khumsi, 2016). Strategi pembelajaran yang digunakan yakni, mengimplementasikan
rencana
yang
diidentifikasi
sesuai
jadwal,
dan
berkolaborasi dengan tim multi-sektor, misalnya mendesign media promkes. 7. Kemampuan melakukan evaluasi hasil dan proses terkait intervensi yang sudah dilakukan. Setelah proses implementasi dilakukan, peserta didik melakukan evaluasi terhadap semua proses yang sudah dilakukan. Strategi evaluasi yang dipakai dalam pembelajaran ini adalah presentasi hasil implementasi termasuk respon dari masyarakat terkait program yang telah dilakukan bersama dengan Kepala Puskesmas, Pengajar Akademik, Preseptor Lapangan yang selama ini mendampingi peserta didik praktik lapangan. Dengan evaluasi ini diharapkan program yang telah dipaparkan menjadi bahan masukan, evaluasi kepada Puskesmas. Dan apabila program dirasa memberi manfaat dapat diadopsi untuk diterapkan lebih luas.
Capaian pembelajaran diatas yang selama ini diupayakan untuk memperlengkapi peserta didik terjun dalam keperawatan komunitas dan terus diupayakan untuk sinergi dan terintergrasi dengan mata kuliah Keperawatan Komunitas di FIK. Dan strategi pembelajaran yang dipakaipun dari hari ke hari semakin diperbaiki untuk meningkatkan kualitas lulusan peserta didik Fakultas Ilmu Kesehatan.
Kesimpulan Keperawatan komunitas ialah pemberian layanan kesehatan yang diberikan secara langsung baik pada individu, keluarga maupun masyarakat dalam lingkup komunitas dengan tujuan promosi, pengurangan ancaman dan resiko kesehatan demi peningkatan kesejahteraan kesehatan secara luas. Keperawatan komunitas berfokus pada upaya promosi kesehatan tanpa meninggalkan aspek kuratif, preventif mmaupun rehabilitatif dengan dasar pengetahuan dan keeterampilan yang selalu diperbarui dalam konsep keperawatan. Pengetahuan, keterampilan dan sikap merupakan hasil pembelajaran selama proses pendidikan yang didesain sebagai capaian kompetensi dari peserta didik. Oleh karena itu capaian kompetensi diupayakan bersinergi dengan strategi pembelajaran
43
dalam keperawatan komunitas. Dimana capaian dalam pembelajaran komunitas merupakan proses pembentukan karakter peserta didik untuk menghasilkan peserta didik yang berwawasan komunitas yang luas, menguasai ketrampilan keperawatan klinis, kemampuan berfikiran kritis, dan kemampuan berfikir analitik, serta memiliki ketrampilan advokasi. Dengan demikian Perawat komunitas dapat beradaptasi pada lingkungan kerja yang berubah-ubah dan yang menuntut kemandirian dalam kerjalayanannya dalam kehidupan nyata masyarakat.
Daftar Pustaka American Association of Colleges of Nursing (2008). The Essentialbaccaleureate education for professional nursing practice. Retrieved from www.aacn.nche.edu/education-resources/BaccEssential08.pdf. Association Community Health Nursing Educators (ACHNE), 2009. Essential of baccaleureate nursing education for entry level community/ public health nursing. Retrieved from www.achne.org/files/essentialsofbaccaleureate_fall_2009_pdf. Cahlen et al. (2013).Teaching/Learning Strategies for the essential baccaleureate nursing education for entry level community/ public health nursing. Public Health Nursing, 30(6), 547-547 Daniel, M & Equlinet, M. (2006). Community health nursing. University of Gondar: collaboration with the Ethiopia Public Health Training Initiative, The Carter Center, the Ethiopia Ministry of Health, and the Ethiopia Ministry of Education. Happel, B. (1998). Student nurses attitude toward in career in community health. Journal of Community Health, 23(4), 269-279. Kulbok, P.A., Thatcher. E., Park, E., & Meazaros, P.S. (2012). Evolving public health nursing roles. Focus on community participatory health promotion and prevention. Online Journal of Issues in Nursing, 17(2), Manuscript 1 Mchugh, G.A., Horne, M., Chalmers, K.I., Luker, K.A. (2009). Specialist community nurses: a critical analysis of their role in management of long term conditions. Environmental and Public Health, 6, 2550-2567. Meadows, P. ( 2009). Community health nursing. AJN, 109,19 Nuntaboot K et al. (2000) Nursing collaboration to strengthen the teaching in community health nursing among colleges in northeast Thailand. Khon Kaen: Khon Kaen Printing 44
Nuntaboot K et al. (2001) Strengthening of teaching in community nursing in Thailand. Khon Kaen: Khon Kaen Printing Randolph, S., Evans, C., Bacon, C.T. (2016). Preparing BSN students for population focused nursing care. Nursing Education Perspective, 37(2), 115-117. Waal, M. & Khumsi. O. (2016). Supporting communities in practice. International Gateway: Journal of Community Research and Engagement, 9(1), 58-71 Weinstein, C.E. and Mayer, R.E. (1986). The teaching of learning strategies. In M.C. Wittrock (Ed.), Handbook of Research on Teaching, Third Edition (pp. 315-327). New York: Macmillan.
45
Menjadi Perawat Lintas Budaya di Indonesia ARWIN NUSAWAKAN
Mengapa Perawat Lintas Budaya? Sebagai bagian dari salah satu negara yang paling tinggi jumlah penduduknya di dunia (± 256 juta penduduk), masyarakat Indonesia mendiami sekitar 17.504 pulau yang tersebar dari Sabang hingga Marauke, dengan luas sekitar 1,9 juta m2 (Badan Pusat Statistik 2016). Hal inilah yang membedakan Indonesia dengan sebagian besar negara-negara dengan populasi terbesar di dunia lainnya yaitu sebagai sebuah negara kepulauan bukan kontinental. Dampak dari keberadaan Indonesia sebagai negara kepulauan ini adalah negara ini diwarisi berbagai kekayaan keberagaman suku, bahasa, budaya, adat-istiadat, agama.
Namun, keberagaman yang kaya di Nusantara ini tidak lantas membuat Indonesia bebas dari berbagai masalah kependudukan, salah satunya adalah masalah kesehatan. Berkaitan dengan hal diatas, Kementrian Kesehatan dalam rencana strategis tahun 2015-2019 telah merumuskan sasaran-sasaran pokok demi meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Usaha pemerintah tersebut lebih menekankan pada peningkatan status kesehatan dan gizi ibu dan anak, pengendalian penyakit, peningkatan akses dan mutu layanan kesehatan dasar dan rujukan terutama di daerah terpencil, tertinggal dan perbatasan, peningkatan cakupan pelayanan kesehatan universal melalui Kartu Indonesia Sehat dan kualitas pengelolaan SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) Kesehatan, terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan, obat dan vaksin, serta meningkatkan responsivitas sistem kesehatan (Kementrian Kesehatan 2015b). Hal ini sangat beralasan khususnya masalah-masalah kesehatan seperti kematian ibu dan anak, pemenuhan gizi masyatakat yang makin kompleks terkait bukan hanya
47
gizi kurang tetapi juga gizi berlebih, penyakit menular seperti HIV/AIDS, tuberkulosis, malaria dan demam berdarah masih belum sepenuhnya teratasi. Masalah-masalah kesehatan tersebut tentunya akan sangat beragam di tiap daerah khususnya jika dikaitkan dengan kebiasaan, pola hidup, dan budaya yang berkembang di tiap daerah di Indonesia.
Tulisan ini akan menjelaskan refleksi penulis terkait bagaimana memahami dunia keperawatan dalam konteks lintas budaya di Indonesia yang memiliki latar belakang multi kultur ini. Untuk itu, penulis menggunakan topik kesehatan ibu sebagai cara memahami konteks kesehatan yang transkultur tersebut. Hal ini terkait dengan fokus riset yang selama ini dan akan terus menjadi bahan penelitian penulis. Kematian ibu masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Meskipun terjadi kesimpangsiuran terkait rujukan data angka kematian ibu (terdapat beberapa versi seperti menurut WHO,World Bank, maupun SDKI) namun Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 yang dipakai oleh pemerintah sebagai tolok ukur pengambilan keputusan terkait masalah tersebut menyebutkan bahwa angka kematian ibu di Indonesia mencapai 359/100.000 kelahiran hidup (Kementrian Kesehatan 2013). Angka tersebut menunjukan peningkatan angka kematian ibu dari tahun-tahun sebelumnya yaitu di tahun 1997 (334), 2002 (307), 2007 (228). Angka tersebut juga sekaligus mengisyaratkan belum tercapainya target Millenium Development Goals (102/100.000) di tahun 2015 yang kini telah bertransformasi menjadi Sustainable Development Goals (70/100.000) di tahun 2030. Peneliti meyakini bahwa penyebab utama masalah kematian ibu yang ada bukan serta-merta berhubungan dengan faktor-faktor terkait ketersediaan tenaga dan fasilitas kesehatan serta program-program pemerintah terkait kesehatan ibu dan anak diseluruh Indonesia tetapi juga berkaitan dengan faktor-faktor non medis seperti struktur sosial, kepercayaan, nilai, kebiasaan dan perilaku, tradisi yang turut berdampak pada pemahaman masyarakat tentang kesehatan, koping, perilaku mencari layanan ke-sehatan yang berbeda-beda (Kleinman 1988; Ray 2010). Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa data seperti data dari Kementrian Kesehatan terkait cakupan persalinan di tahun 2014 yang hampir mencapai target 48
yang diinginkan (88,68% dari target 90%), jumlah puskesmas yang telah mencapai rasio (1,8:30.000 penduduk) dan juga upaya-upaya lainnya yang telah dilakukan untuk pencapaian penurunan kematian ibu seperti penguatan Bantuan Operasional Kesehatan, Jaminan Persalinan, dan upaya-upaya kerjasama pemerintah pusat, daerah maupun lintas sektoral (Kementrian Kesehatan 2015a). Capaian-capaian tersebut paling tidak mengindikasikan bahwa keterpenuhan tenaga dan fasilitas kesehatan belum menjadi jaminan terjadinya peningkatan status kesehatan ibu. WHO telah melakukan analisis sistematik berdasarkan hasil-hasil penelitian terkait penyebab kematian ibu yaitu karena perdarahan hebat, infeksi, hipertensi saat hamil termasuk pre eklamsia dan eklamsia, komplikasi saat persalinan, dan aborsi yang tidak aman (WHO, 2014). Selain itu sebagian besar tren kematian ibu di negara berkembang dipengaruhi oleh persoalan-persoalan non medis lain seperti kemiskinan, aksesibilitas, kurangnya informasi, ketersediaan layanan kesehatan yang tidak sesuai, perilaku berbasis sosial budaya setempat (World Health Organization, 2015). Hal ini yang membuat Ibu tidak mampu menerima layanan perawatan yang optimal saat hamil hingga setelah bersalin. Data di atas menunjukan bahwa faktor-faktor non medis yang salahsatunya adalah budaya turut berkontribusi dalam ketercapaian sehat atau sakitnya masyarakat. Hal ini juga dikemukakan oleh Engel (1977) bahwa kesehatan tidak hanya berkaitan dengan aspek fisik/biologis saja tetapi juga persoalan psikis dan sosial-budaya. Winkelman (2009) mengatakan bahwa meskipun sebagian besar tenaga kesehatan memahami kesehatan seseorang dari segi biomedis (terkait konsep-konesp terjadinya penyakit maupun kecacatan), namun pemahaman terkait budaya menjadi dasar yang penting. Untuk itu, pemahaman terkait faktor-faktor budaya sebagai salah satu determinan kesehatan perlu didalami sehingga dapat ditemukan keterkaitan yang mendalam antara kemampuan tenaga kesehatan dalam memahami kondisi multikultural pasien di Indonesia dan yang berimplikasi pada bentuk layanan keperawatan lintas budaya.
Pendalaman literatur maupun beberapa hasil riset terkait Kesehatan Maternal menyebutkan bahwa terdapat factor-faktor lain yang melatarbelakangi konsep sehat49
sakit seseorang dan bagaimana perilaku mereka terkait konsep yang dimiliki tersebut. Terkait pemilihan layanan kesehatan ketika proses kehamilan dan kehamilan misalnya, keputusan ibu melakukan persalinan atau memeriksakan kehamilannya dipengaruhi oleh hal-hal seperti nilai dan kepercayaan terhadap tradisi yang dimiliki, tingkat ekonomi, akses ke layanan kesehatan, peran dukun beranak khususnya di daerah pedesaan, pengetahuan dan persepsi terkait proses kehamilan hingga masa nifas, motivasi untuk mencari layanan kesehatan (Agus et al., 2012; Agus & Horiuchi, 2012; Sarker et al., 2016; Sialubanje et al., 2015; Titaley et al., 2010). Khusus terkait dukun beranak, penelulis menemukan dalam studi sebelumnya (Nusawakan, 2015) bahwa dukun beranak mampu menyediakan layanan kesehatan tradisional yang tidak hanya memenuhi aspek fisik ibu melainkan juga aspek psikis, sosial, budaya, dan spiritual ibu. Hal tersebut ditunjukan dengan cara selalu bersedia melayani ibu dan keluarga saat proses persalinan, memberi kenyamanan lewat cara berkomunikasi yang menenangkan dan memberikan sentuhan-sentuhan seperti mengusap-usap kepala ibu ketika kesakitan, meminta ibu dan keluarga menyelesaikan masalah interpersonal, dan berdoa dengan ibu ketika melakukan tindakan persalinan. Disamping telah terjadi pergeseran atau pembatasan peran dalam layanan kesehatan maternal dan klaim bahwa dukun beranak memiliki keterbatasan pengetahuan tentang ilmu medis, namun mereka menunjukan bahwa mereka mampu mengabdi dalam layanan kesehatan maternal secara tradisional sesuai dengan nilai, kepercayaan dan cara hidup di lingkungan tempat mereka tinggal.
Keperawatan Lintas Budaya Konsep budaya telah dibahas secara mendalam dalam studi-studi antropologi. Ilmu yang mempelajari manusia (anthropos = manusia, logos = keilmuan) ini pada hakekatnya mempelajari manusia terkait asal muasalnya, perkembangannya, pola-pola kebiasaan dan perilakunya. Ilmu antropologi menunjukan perkembangannya melalui beberapa cabang atau spesialisasi yaitu Antropologi Fisik, Arkeologi, Antropolgi Bahasa, dan Antropologi Budaya. Selain itu terdapat terapan Antropologi kesehatan yang merupakan cabang ilmu dari antropologi budaya yang menekankan pada studi-studi terkait faktor-faktor biologi
50
dan sosial kultural yang akan mempengaruhi konsep sehat, sakit dan penyakit (Ferraro, 2000). Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan besar adalah “Bagaimana Keperawatan dan Antropologi ini berinteraksi satu sama lain? Bagaimanakah caranya perawat mampu melakukan layanan kesehatan lintas budaya dalam konteks kepulauan di Indonesia?”
Adalah Madeline Leininger, pelopor keperawatan lintas budaya, ilmuan keperawatan pertama yang mempublikasikan buah pikirannya tentang keterkaitan antara antropologi dan keperawatan itu sendiri. Buku pertama yang ditulisnya tahun 1970, Anthropology and Nursing two world Blend, menjelaskan beberapa hal terkait kontribusi-kontribusi pontensial dari ilmu antropologi terhadap keperawatan dan kontribusi ilmu keperawatan dalam ilmu antropologi beserta keterkaitan antara konsep-konsep antropologi (lebih khususnya antropologi budaya) dan keperawatan. Menurut Leininger ilmu antropologi berkontribusi dalam perkembangan ilmu keperawatan. Kontribusi tersebut terkait dengan pemahaman konsep-konsep sosial-budaya, konsep manusia yang holistik dan berbudaya, konsep sehat-sakit yang sangat berkaitan dan dipengaruhi oleh latar belakang budaya, konsep lintas budaya dan metodologi penelitian etnografi (Leininger, 1970). Lanjutnya, interaksi perawat baik kepada sesama tenga kesehatan maupun pasien lewat perilaku, nilai dan norma yang dikembangkan membentuk suatu budaya tersendiri yang dikelompokannya menjadi 2 bagian, budaya yang tradisional seperti otherdirected, self sacrifice, authoritarian values dan kemunculan budaya baru seperti self-directed, self needs dan democratic values (Leininger,
1970) . Artinya bahwa budaya yang dimiliki oleh perawat akan berpengaruh layanan yang dilakukannya baik dalam konteks klinis maupun komunitas. Disisi lain perawat akan berhadapan dan melayani dengan pasien yang sangat memungkinkan datang dari latar belakang budaya yang berbeda. Pertemuan dua atau lebih kebudayaan inilah yang perlu dipahami dan diadaptasi oleh perawat sehingga kualitas layanan yang diberikan akan lebih bermanfaat. Beberapa studi seirama mengatakan bahwa ketidakmampuan perawat dalam mengatasi perbedaan budaya dengan pasien akan menciptakan tantangan, kesulitan dan tidak adekuatnya perawatan yang diberikan, sebaliknya kompetensi budaya yang baik dari perawat akan meningkatkan kepuasan
51
pasien ketika menerima layanan keperawatan ( Jirwe et al., 2010; Beune et al., 2014; Debesay et al., 2014) Terkait dengan penyampaian diatas, perawat diperhadapkan dengan dua kondisi. Pertama, perawat sebagai individu maupun sebagai sesama rekan kerja layanan kesehatan yang memiliki dan menjalankan sistem nilai, kepercayaam, norma maupun kebiasaan. Selain itu, perawat juga berhadapan dengan pasien, masyarakat, maupun sesama tenaga kesehatan yang datang dari latar belakang budaya yang berbeda. Interaksi antara dua kondisi ini hanya bisa berjalan dengan baik jika perawat memiliki kemampuan atau kompetensi berbudaya yang baik. Kompetensi budaya adalah seperangkat kemampuan, karakteristik, perilaku dalam menghargai sesama yang datang dari latar belakang budaya yang berbeda (Farlen). Sedangkan dalam konteks keperawatan, kompetensi budaya dipahami sebagai kemampuan dan proses untuk mengerti dan beradaptasi dalam menghadapi kepercayaan, kebiasaan dan kebutuhan dari pasien maupun tenaga kesehatan lain dalam rangka menyediakan layanan kesehatan yang efisien. Terkait hal diatas, salah satu teori yang menjelaskan secara detail terkait konsep komptensi berbudaya dalam layanan kesehatan adalah teori yang diperkenalkan oleh Joshepa Campinha-Bacote. Ia memperkenalkan model yang dinamainya Campinha-
Bacote’s model of cultural competence in health care delivery. Menurut CampinhaBacote, kompetensi budaya merupakan sebuah proses yang berkelanjutan yang dijalani oleh tenaga kesehatan dalam setiap usahanya melakukan pelayanan yang efektif dalam konteks budaya klien yang dalam hal ini bukan saja individu, tetapi juga keluarga dan komunitas (Campinha-bacote, 2002). Artinya bahwa tenaga kesehatan termasuk perawat hendaknya menginternalisasikan dalam diri mereka bahwa pemahaman terhadap sebuah budaya perlu dilakukan secara terus-menerus karena berkaitan dengan salah satu sifat budaya yaitu dinamis. Campinha-Bacote datang dengan beberapa asumsi dasar yang membentuk model keperawatannya. Pertama, kompetensi dalam berbudaya adalah sebuah proses (Campinha-bacote 2002). Artinya bahwa menjadi tenaga kesehatan yang kompeten 52
dalam berbudaya bukanlah sebuah momen atau event melaikan secara terus menerus berproses. Dalam hal ini, menjadi perawat lintas budaya memposisikan perawat pada proses belajar yang tidak berhenti untuk memahami manusia yang datang dari berbagai latar belakang budaya. Kedua, kompetensi budaya terdiri dari kesadaran berbudaya, pengetahuan berbudaya, keterampilan berbudaya, keinginan berbudaya dan pertemuan-pertemuan antar budaya. Kesadaran berbudaya tentang layanan keperawatan berkaitan dengan kesadaran, refleksi, kehadiran dan konsistensi dari perawat dalam usaha untuk mempelajari berbagai latar belakang budaya dari pasien (Leininger, 1970; Ray, 2010). Konsep ketiga adalah tentang pengetahuan dan ketrampilan berbudaya. Pengetahuan berbudaya dalam konteks kesehatan lintas budaya mengandung makna setiap cara mencari dan memahami pengetahuan yang terkait dengan konsep sehat-sakit bukan saja dari segi biomedis tetapi juga dari perspektif individu, keluarga, maupun masyarakat (Campinha-bacote, 2002). Sementara itu, ketrampilan berbudaya merujuk pada tindakan atau perilaku yang sensitif dan mengakomodir sistem nilai dan kepercayaan masyarkat yang membentuk konsep sehat-sakit individu, keluarga, dan masyarakat (Anderson & McFarlane, 2008). Beberapa skill yang perlu dimiliki seorang perawat lintas budaya adalah ketrampilan sebagai pendengar active, berkomunikasi, beradaptasi, melakukan pengkajian dan implementasi keperawatan (Anderson & McFarlane, 2008). Keterampilanketerampilan ini hanya bisa terwujud jika perawat bahkan mahasiswa keperawatan secara aktif diperhadapkan dengan konteks atau situasi maupun pertemuan-pertemuan lintas budaya. Kesempatan untuk bertemu dan berinteraksi dengan sesama yang berasal dari variasi latar belakang budaya yang berbeda-beda akan memampukan perawat maupun mahasiswa keperawatan untuk terus mengembangkan sikap, ketrampilan, maupun pengetahuan terkait caring lintas budaya.
Konsep yang terakhir dan yang juga merupakan bagian penting dalam proses menjadi tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi berbudaya adalah hasrat untuk berbudaya. Hasrat berbudaya menurut Campinha-Bacote adalah motivasi, dorongan, kemauan, dan bukan sebuah keterpaksaan untuk terlibat dalam usaha-usaha untuk 53
memiliki kesadaran berbudaya, belajar dan mengasah kemampuan berbudaya lewat setiap kesempatan-kesempatan pertemuan lintas budaya dengan klien dan tenaga kesehatan lainnya (Campinha-bacote, 2002). Lebih jauh, hasrat berbudaya adalah pengembangan dan perwujudan sikap caring dalam diri perawat maupun tenaga kesehatan lain. Menunjukan sikap caring menjadi sentral dalam proses kompetensi berbudaya sehingga kemampuan melayani lintas budaya akan tercermin bukan hanya dari pengetahuan ataupun statement bahwa perawat mampu melakukan layanan keperawatan lintas budaya tetapi jauh dari pada itu perawat perlu menunjukan sikap caring tersebut hingga individu, keluarga maupun masyarakat mampu merasakan kehadiran perawat yang caring tersebut (Campinha-bacote, 2002). Seperti halnya dukun beranak dalam pembahasan sebelumnya yang tidak hanya berbicara namum mampu menunjukan sikap caringnya yang holistik kepada orang yang dilayaninya dan membuat masyarakat menjadi percaya dan nyaman dengan pendekatan maupun layanannya.
Bagaimana Menjadi perawat lintas budaya dalam konteks Indonesia? Menjadi bagian dari Indonesia yang merupakan negara dengan berbagai suku dan budaya memungkinkan perawat untuk selalu belajar mengasah kemampuan berbudayanya.
Tersebarnya penduduk yang memiliki latar belakang budaya berbeda ini adalah realita bangsa yang tak bisa dihindari. Hal tersebut berarti kesempatan perawat dalam pertemuan-pertemuan lintas budaya ketika menjalankan tugas layanan kesehatan akan sangat besar sehingga dibutuhkan pengetahuan, ketrampilan dan hasrat dalam proses layanan keperawatan lintas budaya tersebut. Hasil-hasil penelitian maupun studi literatur yang selama ini telah didalami oleh penulis terkait maternal health di Indonesia menunjukan bahwa perilaku sehat-sakit masyarakat Indonesia dan implikasinya pada pemilihan layanan kesehatan professional maupun tradisional sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, nilai dan kepercayaan, tradisi, serta sistem sosial yang ada dalam setiap kelompok masyarakat tersebut. Disisi lain, keberhasilan tenaga kesehatan dipengaruhi oleh kemampuan mereka membangun komunikasi dan kedekatan sesuai dengan kehidupan sosial budaya yang ada (Agus, et al., 2012; Anon, 2003; Belton et al., 2014). Pendekatan lintas budaya adalah salah satu
54
cara yang paling rasional yang bisa digunakan oleh tenaga kesehatan dalam melayani individu, keluarga maupun masyarakat. Selain itu, tantangan menjadi tenaga kesehatan di Indonesia adalah perawat dan tenaga kesehatan lain akan diperhadapkan dengan berbagai kearifan lokal yang dimiliki negara ini. Kemampuan untuk mengakomodir, mengembangkan, dan memodifikasi setiap kearifan lokal yang dimiliki disetiap setiap etnik akan menjadi proses perawatan kesehatan yang lebih tepat sasaran dan membuat pasien menjadi sejahtera.
Memulai Keperawatan Lintas Budaya di UKSW Hal paling akhir dari tulisan ini adalah bagian dari refleksi penulis sebagai staff akademik di UKSW. Refleksi ini terkait pokok-pokok pikiran penulis dalam menjawab pertanyaan kritis terkait apa yang bisa Keperawatan UKSW lakukan untuk menjadikan mahasiswanya sebagai calon-calon perawat lintas budaya? Pertama terkait sejauh mana Keperawatan UKSW menjalankan Tridarma perguruan tinggi dalam pengembangan keperawatan lintas budaya. Sebagai bagian dari perencanaan yang sementara dijalankan dengan mengambil studi antropologi di jenjang masteral dan keperawatan di sarjana, maka diharapkan peneliti akan terusmenerus mengembangkan penelitian-penelitian terkait keperawatan lintas budaya yang harapannya bisa menjadi masukan yang berarti dalam proses pengajaran yang mengintegrasikan keperawatan lintas budaya dalam setiap perkuliahan dan sebagai bahan mendasar dilakukannya kegiatan-kegiatan pengabdian masyarakat. Kedua, sebagai kampus Indonesia mini, kampus ini dianugrahi kesempatan bertemu mahasiswa maupun staf akademik dan non akademik yang tersebar dari Nias hingga Papua. Kesempatan yang berharga ini adalah sebuah laboratorium Mini Indonesia yang memungkinkan setiap pihak untuk berinteraksi secara langsung mengasah kemampuan dan ketrampilan lintas budayanya. Pada akhirnya, nilai-nilai pelayanan yang ada di kampus ini yang akan menjadi modal mendasar pelayanan keperawatan lintas budaya ini dijalankan. Seperti yang
55
dikatakan oleh Campinha-Bacote bahwa salah satu kompetensi berbudaya yang esensial
adalah caring yang termasuk dalam konsep hasrat berbudaya. Nilai-nilai UKSW hendaknya tetap dipertahankan agar menggugah sikap caring dan empati kita dalam memandang masyarakat Indonesia yang majemuk ini.
Daftar Pustaka Agus, Y. & Horiuchi, S., 2012. Factors influencing the use of antenatal care in rural West Sumatra, Indonesia. Agus, Y., Horiuchi, S. & Porter, S.E., 2012. Rural Indonesia women ’ s traditional beliefs about antenatal care. Anderson, E.T. & McFarlane, J., 2008. Community as Partner, Theory and Practice in Nursing, fifth edition, Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins. Badan Pusat Statistik, 2016. Statistik Indonesia, Available at: https://www.bps.go.id/ index.php/publikasi/4238. Belton, S. et al., 2014. Maternal deaths in eastern Indonesia : 20 years and still walking : an ethnographic study. Beune, E.J. A.J. et al., 2014. Culturally Adapted Hypertension Education (CAHE) to Improve Blood Pressure Control and Treatment Adherence in Patients of African Origin with Uncontrolled Hypertension: Cluster-Randomized Trial. 9(3), pp.1–12. Campinha-bacote, J., 2002. The Process of Cultural Competence in the Delivery of Healthcare Services: A Model of Care. Journal of Transcultural Nursing, 13. Debesay, J. et al., 2014. Facing diversity under institutional constraints: challenging situations for community nurses when providing care to ethnic minority patients. , ( January). Engel, G.L., 1977. The Need for a New Medical Model: A Challenge for Biomedicine Author(s). 196(4286), pp.129–136. Ferraro, G., 2000. Cultural Anthropology; an Applied Perspective fourth., California: Wadsworth Publishing Company. Jirwe, M. et al., 2010. Student nurses ’ experiences of communication in cross-cultural care encounters. , pp.436–445. Kementrian Kesehatan, 2015a. PROFIL KESEHATAN INDONESIA 2014,
56
Kementrian Kesehatan, 2015b. Rencana Strategis Kementrian Kesehatan Tahun 20152019, Kementrian Kesehatan, 2013. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia. Kleinman, A., 1988. The Illness Naratives: Suffering, Healing, and The Human Condition, New York: Basic Books. Leininger, M., 1970. Nursing and Anthropology: Two World to Blend, United States of America: John Wiley & Sons, Inc.
Nusawakan, A.W., 2015. Including Traditional Birth Attendants in Community Maternal and Child Care: A Case Study in Nusalaut Island, Central Moluccas, Indonesia. In S. Malasari, M. S. Sangkala, & N. Nurdin, eds. The 2nd International
Nursing & Health Science Student & Health Care Professional Conference 2015. Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, p. 74. Ray, M.A., 2010. Transcultural Caring Dynamics in Nursing and Health Care, Philadelphia:
F.A. Davis Company. Sarker, B.K. et al., 2016. Reasons for Preference of Home Delivery with Traditional Birth Attendants ( TBAs ) in Rural Bangladesh: A Qualitative Exploration. pp.1–20. Sialubanje, C. et al., 2015. Reasons for home delivery and use of traditional birth attendants in rural Zambia: a qualitative study. pp.1–13. Titaley, C.R. et al., 2010. Why don ’ t some women attend antenatal and postnatal care services ?: a qualitative study of community members ’ perspectives in Garut, Sukabumi and Ciamis districts of West Java Province, Indonesia. pp.1–13. Winkelman, M., 2009. Culture and Health; Applying Medical Anthropology, United States of America: Jossey-Bass. World Health Organization, 2015. Trends in Maternal Mortality: 1990 to 2015,
57
Pencegahan dan Penanganan Perdarahan Setelah Persalinan KRISTIANI D. TAUHO
Pengantar Definisi kesehatan (health) menurut World Health Organization (WHO) adalah keadaan sehat secara fisik, mental dan sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan. Peraturan di Indonesia dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menambahkan spiritual sebagai salah satu aspek kesehatan. Undang-undang tersebut juga menjelaskan bahwa keadaaan sehat tersebut memungkinkan seseorang untuk hidup produktif secara social dan ekonomis. Kesehatan maternal sendiri mengacu pada kesehatan ibu selama periode kehamilan, persalinan dan setelah persalinan (postpartum). Artinya, selama periode kehamilan, persalinan dan postpartum ibu tidak hanya terbebas dari penyakit dan kelemahan, tetapi juga sejahtera secara fisik, mental, sosial dan juga spiritual. Kesehatan maternal merupakan salah satu bagian penting dari kehidupan seorang ibu, bahkan kehidupan generasi yang akan datang. Penelitian membuktikan bahwa tidak sehatnya seorang ibu pada masa kehamilan tidak hanya berpengaruh pada kesehatan ibu dan janin pada saat kehamilan (Beck dkk 2009, Dole dkk 2003 Campbell, 2002), tetapi juga berpengaruh terhadap kesehatan ibu dan bayi pada masa persalinan dan postpartum (Patel dkk, 2004, Smith dkk 2001, Cokkinides dkk, 1999, McFarlane dkk, 1996). Demikian juga ketika masa persalinan terjadi masalah kesehatan akan berpengaruh terhadap kesehatan ibu dan bayi pada masa postpartum (Thomson dkk,
O’Connor dkk, 2002). Bahkan, lebih dari itu, bayi yang sudah terpengaruh masalah kesehatan maternal akan mengalami tumbuh kembang yang bermasalah juga (Wachs dkk, Whitaker dkk, 2006). Masalah kesehatan maternal juga berdampak pada kerentanan rumah tangga dari sisi finansial, psikologi dan sosial (Hutton, 2006). 59
Masalah kesehatan maternal terutama sebagai konsekuensi dari masalah sosial yang dihadapi oleh ibu di dalam keluarga dan masyarakat. Kesulitan dalam mencapai fasilitas kesehatan dasar, kondisi geografis yang tidak mendukung, sistem komunikasi dan transportasi yang buruk, kemiskinan (Kahn dkk, 2000), tingkat pendidikan yang rendah, perbedaan gender, konflik politik (Simkhada dkk, 2006), terbatasnya tenaga kesehatan dan rendahnya pemanfaatan sarana kesehatan menjadi faktor penyebab munculnya masalah kesehatan maternal. Keluaran dari masalah kesehatan maternal yang hingga sekarang masih menjadi tantangan negara-negara berkembang adalah mortalitas maternal atau kematian ibu. Selama 25 tahun terakhir angka kematian ibu di dunia mengalami penurunan yang signifikan. Rata-rata kematian maternal di dunia mengalami penurunan 2,3% per tahun (UNICEF, 2016). Penurunan tercepat dialami oleh Negara-negara di Asia Selatan, sedangkan penurunan terlambat dialami oleh negara-negara di Afrika Barat dan Tengah. Penurunan ini bisa mengindikasikan penanganan morbiditas maternal yang semakin baik, tidak hanya terpaku pada masalah fisik, tetapi juga masalah sosial, mental dan spiritual ibu. Indonesia adalah salah satu negara di wilayah Asia Selatan (menurut kategori wilayah UNICEF) yang masih bergelut dengan masalah kesehatan maternal. Pada tahun 2015, angka kematian maternal di Indonesia mencapai 169/100.000 kelahiran hidup yang turun 61,3% selama kurun waktu 1995-2015. Dibandingkan dengan negara-negara se-ASEAN, maka Indonesia berada pada peringkat 5 angka kematian ibu tertinggi (Gambar 1). Berdasarkan angka kematian ibu ini, Indonesia digolongkan sebagai negara dengan angka kematian ibu yang sedang oleh WHO. Masih tingginya angka kematian ibu di Indonesia menunjukkan bahwa derajat kesehatan masyarakat Indonesia masih rendah. Hal ini juga mengindikasikan belum maksimalnya penanganan masalah kesehatan maternal di Indonesia. Sebagai negara berkembang, infrastruktur, sarana dan prasarana kesehatan di Indonesia bisa dikatakan masih kurang, begitu juga dengan kekurangan tenaga kesehatan. Tentu, penanganan masalah kesehatan maternitas akan lebih efektif bila didukung oleh sarana dan prasarana yang baik. 60
Kesenjangan antar wilayah, khususnya kesenjangan pembangunan antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia masih besar. Demikian pula, berdasarkan etnis (Agusta, 2014), etnis China memiliki tingkat kematian yang lebih rendah dibanding etnis lainnya. Oleh karena itu penanganan masalah kesehatan di Indonesia tidak bisa disamaratakan tetapi harus mempertimbangkan karakteristik setiap wilayah dan budaya. Kematian maternal sendiri dianalogikan sebagai puncak dari gunung es, dengan morbiditas maternal sebagai dasar (Firoz dkk, 2013). Ketika satu ibu mengalami mortalitas maternal, 20 atau 30 ibu mengalami morbiditas akut maupun kronik yang berdampak pada fisik, mental, status social dan ekonomi ibu. Morbiditas adalah tingkat sehat atau sakit dalam suatu wilayah (KBBI). Menurut Reed dkk (2000), morbiditas maternal secara umum didefinisikan sebagai penyakit-penyakit atau kecelakaan yang disebabkan oleh, diperburuk oleh atau berhubungan dengan kehamilan atau persalinan. Morbiditas maternal termasuk kondisi fisik dan psikologik yang dihasilkan dari atau diperburuk oleh kehamilan dan efeknya merugikan kesehatan perempuan.
Gambar 1. Tren angka kematian maternal di Negara-negara ASEAN (Diolah dari data WHO, 2015)
61
Morbiditas maternal memiliki rentang keparahan, dari tingkat morbiditas yang paling parah, yaitu maternal near miss hingga tingkat yang tidak parah, yaitu morbiditas yang tidak mengancam hidup (non-life-threatening morbidity). Menurut WHO, maternal near miss didefinisikan sebagai ibu yang mendekati kematian tetapi luput dari sebuah komplikasi selama kehamilan atau persalinan dalam waktu 42 hari setelah akhir kehamilan (Say dkk, 2009). Berdasarkan hal di atas, maka morbiditas maternal merupakan komplikasi-komplikasi yang dialami oleh ibu selama kehamilan, persalinan dan postpartum. Komplikasi dalam persalinan dilaporkan merupakan penyebab kematian ibu tertinggi di Indonesia. Hasil analisis Simarmata dkk (2010) terhadap data Riset Kesehatan Dasar 2010 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2005-2010 tercatat 47,8% kasus komplikasi persalinan. Penelitian di Sidoarjo oleh Rahmawati dkk (2014) menunjukkan bahwa 81% ibu yang mengalami kematian maternal sebelumnya mengalami komplikasi persalinan. Selain itu, mereka juga menemukan probabilitas kematian maternal sebesar 92,9% akan terjadi pada ibu yang mengalami komplikasi persalinan disertai preeklampsia/eklampsia. Komplikasi persalinan antara lain perdarahan, hipertensi dalm kehamilan, infeksi dan abortus (UNICEF 2015). Dari ke-4 komplikasi tersebut, perdarahan postpartum yang merupakan menyebabkan penyebab kematian maternal terbanyak di Indonesia (Angraeni, 2013, Tauho, 2012, Mariati dkk, 2007, Kemenkes RI 2014), bahkan di dunia (WHO, 2016, Say, 2014). Tabel 1 menunjukkan bahwa di salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun 2007-2010, penyebab tertinggi kematian maternalnya adalah perdarahan (Tauho dkk, 2012). Sementara itu, infeksi merupakan penyebab kematian maternal tertinggi kedua, diikuti eklampsia, abortus, komplikasi kehamilan dan penyebab lain-lain (penyakit yang sebelumnya diderita ibu).
Berdasarkan pertimbangan bahwa masalah kesehatan dasar yang dapat menimbulkan kematian maternal yang menentukan derajat kesehatan masyarakat adalah morbiditas maternal yang pada umumnya disebabkan oleh komplikasi persalinan perdarahan postpatum, maka tulisan ini akan memaparkan tentang mekanisme, faktor resiko dan penanganan perdarahan postpartum di Indonesia. 62
Tabel 1. Sebab-Sebab Medik Kematian Maternal di Kab. TTS, NTT Tahun 2007-2010 Tahun Penyebab Kematian
2007
2008
2009
2010
Perdarahan
35
34
22
36
Infeksi
11
8
4
7
Eklampsia
-
3
2
2
Abortus
-
-
1
-
Komplikasi kehamilan
-
-
-
1
Lain-lain
1
14
16
-
Diolah dari Data Dinas Kesehatan TTS (2011)
Perdarahan postpartum, komplikasi persalinan berbahaya Perdarahan merupakan pengeluaran darah lebih dari 500 ml pada proses persalinan spontan dan 1000 ml pada persalinan seksio sesaria. Berdasarkan ukuran pemeriksaan laboratorium, maka definisi perdarahan dapat diterima jika kadar haemoglobin turun 10% dari kadar normal. Perdarahan postpartum terbagi atas 2, yaitu perdarahan postpartum primer (early postpartum haemorrhage) yang berlangsung pada 24 jam pertama kelahiran bayi dan perdarahan postpartum sekunder (late postpartum haemorrhage) yang terjadi 24 jam hingga 6 minggu postpartum (Yiadom, 2015).
Mekanisme Pelepasan Plasenta Perdarahan postpartum yang sering terjadi adalah perdarahan postpartum primer yang terjadi pada kala III persalinan, yaitu periode setelah bayi dilahirkan hingga plasenta dikeluarkan. Pada persalinan normal, proses fisiologis yang terjadi pada kala III persalinan adalah terjadinya pemisahan dan persalinan plasenta dan selaput ketuban dengan mekanisme yang mengurangi perdarahan di tempat plasenta. Pemisahan plasenta biasanya mulai terjadi seiring dengan kontraksi pada proses persalinan bayi. Tahap ini dapat ditangani secara pasif (secara fisiologis) maupun aktif (dengan intervensi). Secara pasif ibu memanfaatkan gaya gravitasi dengan mengubah posisi tubuh menjadi lebih
63
tinggi dari posisi uterus. Pada keadaan ini, tali pusat tidak perlu dijepit. Sementara itu, penanganan secara aktif dilakukan oleh penolong persalinan, termasuk pemberian oksitosin, tindakan menjepit tali pusat dan mengontrol daya tarik plasenta. Mekanisme pemisahan plasenta diawali dengan terpisahnya plasenta dari desidua basalis yang merupakan bagian maternal yang ada di dalam plasenta. Setelah pengeluaran bayi, terjadi proses retraksi yang mana serat otot uterus mengalami kontraksi yang sangat kuat yang menyebabkan serat otot menjadi lebih pendek sehingga uterus berkurang dalam ukuran maupun volume. Menurut Khan, proses ini dipermudah oleh susunan spiral serat otot uterus yang memungkinkan penurunan volume uterus mengarah pada pengurangan luas permukaan tempat implantasi plasenta. Kondisi plasenta yang kaku dengan struktur yang tidak elastis membuat luas permukaan plasenta yang terkompres dengan rapat mengalami penurunan sekitar 75%. Kontraksi dan retraksi yang terjadi membuat pembuluh darah maternal dan serat-serat otot uterus di tempat melekatnya plasenta berikatan dan semakin kuat. Keadaan ini dinamakan living ligatures. Ikatan yang terjadi lama kelamaan membuat pembuluh-pembuluh darah maternal yang masih menjadi bagian plasenta menjadi tegang dan bisa secara tiba-tiba meledak. Sementara itu, darah dalam ruang intervillus terdorong ke dalam sinus-sinus di desidua basalis dan menumpuk membentuk gumpalan akibat terkompresnya plasenta, yang menandai dimulainya proses pemisahan. Sinus terhambat oleh aksi dari kontraksi myometrium yang kuat yang kemudian menekan plasenta untuk mendorong kembali darah ke ruang intervillus. Akhirnya sinus menjadi penuh dan padat sehingga mengalami ruptur. Darah yang keluar dari sinus-sinus ruptur di ruang intervillus menyebabkan perdarahan retroplasental di bagian belakang plasenta, antara plasenta dan dinding uterus dan secara otomatis terjadi penggumpalan darah. Proses ini menyebabkan pemisahan plasenta dan uterus. Berat plasenta menyeret selaput ketuban sehingga keduanya terpisah dari dinding uterus, bergerak ke dalam vagina dan keluar dari dalam tubuh. Kontraksi dan retraksi dari jalinan serat-serat otot uterus di antara arteri spiral maternal yang ada di bekas tempat implantasi plasenta membuat perdarahan postpartum dapat dikontrol.
64
Secara hormonal, pelepasan plasenta dari uterus dipengaruhi oleh hormol oksitosin dan prostaglandin. Oksitosin meningkatkan kontraksi uterus melalui aksi oksitosin uterus (Khan dkk, 2006). Pada proses persalinan, kecepatan sekresi oksitosin oleh neurohipofisis sangat meningkat. Otot uterus meningkatkan jumlah reseptor oksitosin sehingga meningkatkan responnya terhadap dosis oksitosin yang telah ada selama beberapa bulan kehamilan. Peregangan pada serviks pada saat persalinan dapat meningkatkan sekresi oksitosinnya (Kristanti, 2014). Salah satu mekanisme oksitosin yang mempengaruhi kontraksi otot polos uterus adalah mekanisme Ca2+ dependent. Pada mekanisme ini, reseptor oksitosin pada membran otot uterus akan membuka kanal ion kalsium dan natrium serta menimbulkan depolarisasi membran. Selain itu, reseptor oksitosin pada membran yang tidak membuka kanal ion manapun dapat menyebabkan perubahan internal pada serabut otot, seperti pelepasan ion kalsium dari reticulum sarkoplasma intrasel, ion kalsium kemudian menginduksi terjadinya kontraksi (Kristanti, 2014).
Mekanisme Perdarahan Postpartum Perdarahan postpartum terjadi ketika uterus tidak berkontraksi sebagaimana mestinya. Keadaan ini disebut dengan uteri atoni dan merupakan penyebab terbesar perdarahan postpartum (Roslyana, 2012). Ketika plasenta tidak keluar dalam waktu yang lama dan plasenta ditarik dengan paksa, maka ada kemungkinan terjadi pemisahan plasenta namun tidak utuh karena masih ada jaringan plasenta yang tertinggal di dalam uterus. Hal ini menyebabkan perdarahan karena serat-serat otot uterus yang mengikat pembuluh-pembuluh darah maternal masih terhalang jaringan plasenta. Jaringan yang tertinggal di uterus juga akan mengalami nekrosis sehingga ketika mengelupas akan membuat pembuluh darah maternal pada uterus yang tidak berkontraksi menjadi terbuka dan menyebabkan perdarahan. Keadaan ini adalah retensio plasenta yang menyumbang 20% dari kejadian perdarahan postpartum. Retensio plasenta juga bisa disebabkan oleh implantasi plasenta yang menginvasi sampai ke lapisan endometrium (plasenta accreta), myometrium (plasenta increta) bahkan lapisan serosa yang merupakan lapisan terluar dari rahim (plasenta percreta). 65
Perdarahan postpartum juga dapat terjadi jika ada laserasi atau robekan pada jalan lahir. Pada persalinan normal, terkadang dilakukan tindakan episiotomy untuk membantu persalinan bayi jika ibu susah meneran. Episiotomy adalah suatu tindakan pemotongan pada otot antara vagina dan anus (perineum) yang dilakukan menggunakan gunting atau pisau bedah (Lappen dkk., 2016). Tindakan episiotomi sangat beresiko menyebabkan perdarahan, karena area pemotongan bisa sobek dan menjadi semakin besar selama persalinan (bisa mencapai area rektum) (MedlinePlus, 2014). Sementara itu perineum memiliki jaringan pembuluh darah yang luas dan darah yang tersedia mengalami peningkatan seiring dengan perubahan fisiologis selama kehamilan dan persalinan (Lappen dkk., 2016).
Refleksi: Pencegahan dan Penanganan Perdarahan Postpartum (Berdasarkan publikasi publikasi ilmiah hasil penelitian di Indonesia) a. Melaksanakan Manajemen Aktif Kala III Perdarahan postpartum adalah sebuah resiko maternal yang bisa sangat parah dan menyebabkan kematian. Perdarahan postpartum terkadang tidak dapat diduga sebelum persalinan dan dapat terjadi pda wanita tanpa faktor resiko, karena baru menunjukkan tanda ketika proses persalinan dimulai. Perdarahan postpartum dapat dicegah dan penanganan dengan response time yang tepat dapat mencegah ibu dari komplikasi yang lebih parah (Astuti dkk., 2015, Susiloningtyas dkk., 2012). Pencegahan perdarahan postpartum yang direkomendasikan adalah manajemen aktif kala III persalinan. Manajemen aktif kala III yang dilakukan dengan cepat dan tepat terbukti dapat mencegah dan menurunkan kejadian perdarahan postpartum (Hanifah, 2016; Yuningsih dkk., 2012; Nora, 2012; Santosa dkk., 2010). Komponen manajemen aktif kala III antara lain: (a) Memberikan obat uterotonika untuk membantu kontraksi uterus 2 menit setelah persalinan bayi atau kala II; (b) Menjepit dan memotong tali pusat segera setelah melahirkan; (c) Melakukan peregangan tali pusat sambil secara bersamaan memberikan tekanan pada uterus melalui perut.
66
Manajemen aktif kala III hanya dapat dengan cepat dan tepat dilakukan oleh tenaga penolong persalinan yang professional, yaitu dokter, bidan atau perawat berkaitan dengan tingkat pengetahuan dan ketrampilan mereka. Idealnya persalinan ditolong oleh orang yang mengerti tentang kemungkinan-kemungkinan komplikasi yang akan muncul pada saat persalinan. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan professional dapat mengurangi kejadian perdarahan. Sebaliknya angka kematian maternal menjadi tinggi dengan penyebab tertinggi perdarahan postpartum pada saat persalinan ditolong oleh tenaga yang tidak professional (dukun bersalin dan keluarga). Pertanyaannya ialah, “apa yang terjadi seandainya di daerah yang jauh dari fasilitasi kesehatan, tenaga kesehatannya tidak berada di tempat?” Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan tidak berarti tidak akan timbul permasalahan. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan obat uterotonika di fasilitas kesehatan setiap saat sehingga selalu ada jika dibutuhkan. Sarana pendukung seperti spuit dan aboket juga harus ada setiap waktu. Sebuah kematian maternal di Kabupaten TTS, NTT pada tahun 2010 menunjukkan bahwa ibu terlambat mendapatkan pertolongan, karena aboket yang tersedia di Puskemas Pembantu tidak cukup lengkap ukurannya, sehingga tidak ada ukuran yang sesuai dengan pembuluh darah ibu, sehingga ibu tidak dapat tertolong (Tauho dkk, 2012). b. Meningkatkan pengetahuan keluarga mengenai tanda-tanda persalinan Pengetahuan yang kurang mengenai tanda-tanda perdarahan dan penanganan yang tidak tepat terhadap kejadian perdarahan menjadi hal yang meningkatkan keparahan perdarahan postpartum. Penelitian yang penulis lakukan di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada 5 kasus kematian maternal akibat perdarahan postpartum menunjukkan bahwa keluarga yang mendampingi ibu selama proses persalinan tidak menyadari bahwa ibu sedang sekarat karena terjadi perdarahan. Ada juga keluarga yang sadar bahwa pada persalinan tersebut terjadi perdarahan yang sangat parah, tetapi tidak bisa melakukan apa-apa karena jarak ke fasilitas kesehatan sangat jauh. Pada kasus yang lain keluarga mengetahui situasi kegawatan yang sedang dialami oleh ibu dan segera memanggil bidan, namun tidak melakukan apa-apa selama bidan dijemput. 67
Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah agar semua persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan yang memadai seperti Puskesmas, Rumah Sakit dan Klinik Bersalin seharusnya menjadi solusi penanganan perdarahan postpartum, namun nyatanya persalinan masih banyak terjadi di rumah walaupun pemeriksaan antenatal sudah dilakukan dengan teratur di fasilitas kesehatan. Peningkatan pengetahuan keluarga mengenai tanda-tanda persalinan perlu dilakukan ditingkat keluarga agar dapat mengantar ibu ke fasilitas kesehatan tepat waktu sehingga proses persalinan dapat ditolong oleh tenaga kesehatan professional. Kerjasama antara tenaga kesehatan dan masyarakat di tingkat desa menjadi sangat penting untuk ditingkatkan sehingga bisa saling mengingatkan. c. Meningkatkan asupan gizi ibu hamil Penelitian yang dilakukan Lestrina dan Eny di Surabaya (2012) menemukan bahwa terdapat hubungan antara kejadian anemia dan perdarahan postpartum. Ibu dengan anemia berat mempunyai resiko perdarahan postpartum 30,8 kali lebih besar daripada ibu yang tidak anemia. Anemia dapat meningkatkan kejadian perdarahan postpartum karena uterus kekurangan oksigen, glukosa dan nutrisi esensial. Penelitian di Yogyakarta juga menemukan bahwa anemia merupakan faktor dominan kejadian perdarahan postpartum (Hazmi, 2015, Hidayah, 2013). Kekurangan kadar haemoglobin dalam darah mengakibatkan kurangnya oksigen yang dibawa atau ditransfer ke tubuh termasuk ke otot uterus. Jumlah oksigen yang kurang di dalam uterus menyebabkan otot uterus tidak dapat berkontraksi dengan adekuat sehingga timbul atonia uteri yang mengakibatkan perdarahan (Piesesha, 2015; Sarwono, 2008 dalam Hidayah, 2013; Wuryanti, 2010). Hal-hal di atas menunjukkan bahwa pemenuhan gizi ibu hamil menjadi hal mendasar dalam mengurangi resiko perdarahan postpartum karena atonia uteri. Pemerintah dan tenaga kesehatan perlu mempromosikan lagi kecukupan gizi ibu hamil dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam masing-masing daerah. Hasil penelitian Karwur dkk. (2015) di TTS NTT menunjukkan bahwa jika dilakukan pendampingan dan persepakatan bersama dengan warga, ibu bersalin dan keluarga memodifikasi
68
makanan lokal dengan bahan makanan lain sesuai hasil kesepakatan dengan tim peneliti, dan hal ini meningkatkan keanekaragaman makanan yang dikonsumsi menjadi lebih baik dalam hal jumlah dan kualitas (Sibhatu et al., 2015). Hasil penelitian Ramadani dkk (2012) di Padang menunjukkan bahwa kejadian anemia pada ibu hamil berhubungan dengan konsumsi tablet Fe yang tidak dilakukan secara baik dan benar. Suplemen ini harus dikonsumsi oleh ibu sebanyak 90 tablet selama kehamilan. Tablet Fe merupakan bagian dari pelayanan ibu hamil di posyandu maupun fasilitas kesehatan lain, dan hanya bisa diperoleh jika ibu melakukan pemeriksaan kehamilan di fasilitas kesehatan. Pemeriksaan kehamilan di fasilitas kesehatan minimal 4 kali selain mendapatkan tablet Fe, juga dapat mendeteksi abnormalitas kehamilan sehingga bisa segera ditangani sehingga dapat mencegah resiko komplikasi persalinan seperti perdarahan postpartum. Permasalahan yang dihadapi adalah belum semua ibu hamil mendapatkan tablet Fe selama kehamilan dan juga tidak semua ibu hamil melakukan pemeriksaan kehamilan secara minimal 4 kali di fasilitas kesehatan. Menurut laporan Kementerian Kesehatan RI, pada tahun 2014 hanya 85,1% ibu hamil di Indonesia yang mendapat tablet Fe, demikian juga dengan pemeriksaan kehamilan yang hanya mencapai 86,7%. Dukungan sosial kepada ibu perlu diberikan oleh keluarga maupun masyarakat dalam membantu ibu melakukan pemeriksaan kehamilan dan juga mendapatkan serta mengonsumsi tablet Fe secara teratur dan lengkap. d. Meningkatkan Program Keluarga Berencana Faktor-faktor resiko kejadian perdarahan postpartum salah satunya berhubungan dengan perencanaan kehamilan. Ibu dengan jarak kehamilan kurang dari 2 tahun, paritas yang lebih dari 3, usia reproduksi tidak sehat (kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun) memiliki resiko perdarahan postpartum yang besar (Sulistiyani, 2009; Syafneli, 2012;
Moedjiarto, 2011; Purwanti, 2015). Akan tetapi terdapat penelitian yang menemukan bahwa kejadian perdarahan postpartum lebih banyak terjadi pada ibu dengan usia reproduksi sehat antara 20 - 34 tahun (Friyandini, 2015).
69
Perencanaan kehamilan sejak awal menjadi hal yang perlu menjadi perhatian, sehubungan dengan tradisi suku-suku tertentu yang mengajurkan perempuan menikah di usia yang muda, serta masih adanya anggapan bahwa memiliki banyak anak, memiliki banyak rejeki. Selain itu, jarak kehamilan bisa menjadi sangat pendek jika tidak direncanakan dengan baik. Peran tenaga kesehatan dan tenaga penyuluh Keluarga Berencana (PLKB) menjadi sangat penting untuk ditingkatkan, terutama di tingkat
komunitas yang paling kecil, yaitu desa.
Referensi Agusta, I. (2014). Ketimpangan Wilayah dan Kebijakan Penanggulangan di Indonesia: Kajian Isu Strategis, Historis dan Paradigmatis Sejak Pra Kolonial. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia. Anggraini, R. (2013). Faktor-faktor yang Menyebabkan Angka Kematian Ibu (AKI) di Rumah Sakit Ahcmad Muchtar (RSAM) Bukittinggi Tahun 2013. Retrieved July 14, 2016, from Publikasi Online Prodi D-IV Kebidanan Stikes Prima Nusantara Bukittinggi: http://ejurnal.stikesprimanusantara.ac.id/index.php/JKS-DIV/article/view/183 Astuti, Dyah Puji, Mohammad Hakimi, Shinta Prawitasari. (2015). Hubungan Re-spone Time dengan Luaran Keberhasilan Penanganan Perdarahan Postpartum di RSU Margono Soekardji Purwokerto. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 11(2):60-70. Beck, Stacy, Daniel Wojdyla, Lale Say, Mario Merialdi, Jennifer Harris Requejo, Craig Rubens, Ramkumar Menon, Paul FA van Look. (2010). The Worldwide Incidence of Preterm Birth: A Systematic Review of Maternal Mortality and Morbidity. Bull World Health Organ, 88:31-38. Behery, M. (2013). THIRD STAGE OF LABOR - PowerPoint PPT Presentation. Retrieved July 19, 2016, from Powershow website: http://www.powershow.com/ view/3ce817-NzFkM/THIRD_STAGE_OF_LABOR_powerpoint_ppt_ presentation Campbell, J. C. (2002). Health Consecuences of Intimate Partner Violence. The Lancet, 359:1331-36.
Cokkinides, Vilma E., Ann L. Coker, Maureen Sanderson, Cheryl Addy, Lesa Bethea. (1999). Physical Violence During Pregnancy: Maternal Complications and Birth Outcomes. CRVAW Faculty Journal, 93/5:661-66.
70
Dole, N., D.A. Savitz, I. Hertz-Picciotto, A. M. Siega-Riz, M. J. McMahon, and P. Buekens. (2003). Maternal Stress and Preterm Birth. American Journal of Epidemiology, 157:14-24. Firoz, Tabassum, Doris Chou, Peter von Dadelszen, Priya Agrawal, Rachel Vanderkruik, Ozge Tuncalp, Laura A. Magee, Nynke van Den Broek, Lale Say & for the Maternal Morbidity Working Group. (2013, August 6). Measuring Maternal Health: Focus on Maternal Morbidity. Retrieved July 12, 2016, from Bulletin of The World Health Organization: http://www.who.int/bulletin/volumes/91/10/13-117564/en/ Friyandini, F. Y. (2015). Hubungan Kejadian Perdarahan Postpartum dengan Fak-tor Risiko Karakteristik Ibu di RSUP Dr. M. Djamil Padang pada Januari 2012-April 2013. Jurnal Kesehatan Andalas, 4(3):850-55. Hanifah, Dian, Amiroh Eprillia. (2016). Hubungan Pelaksanaan Manajemen Aktif Kala III dengan Penurunan Kejadian Perdarahan Pascapersalinan Pada Ibu Bersalin di BPS NY. “S” Kecamatan Pakis Kabupaten Malang. Retrieved July 15, 2016, from
Jurnal Stikes Kendedes: http://jurnal.stikeskendedes.ac.id/index.php/KMJ/article/download/16/15 Hazmi, S. Z. (2015). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Perdarahan Postpartum di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Tahun 20132014. Yogya-karta: Unpublished. Hidayah, F. N. (2013). Faktor-faktor Risiko yang Mempengaruhi Kejadian Perdarahan Postpartum Primer pada Ibu Bersalin di RSUD Panembahan Senopati BantulDIY Tahun 2012. Yogyakarta: Unpublished . Hutton, G. (2006). The Effect of Maternal-Newborn Ill-Health on Households: Economic Vurnerability and Sosial Implications. Switzerland: World Heatlh Organization. Indonesia, K. K. (2015). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Indonesia, P. R. (2009). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta, Indonesia. Kahn, Robert S., Paul H Wise, Bruce P. Kennedy, Ichiro Kawachi. (2000). State Income Inequality, Household Income and Maternal Mental and Physical Heatlh: cross Sectional National Survey. BMJ, 321:1311-5. Karwur, F.F., Agustina, V., Tauho, K.D., Trihandhini, R.L.N.K.R., Sudiman, H. (2015). Kaji-tindak Partisipatif Modifikasi Tradisi Neno Bo’ha untuk Peningkatan Gizi Ibu dan Bayi di Kecamatan Mollo Tengah, TTS-NTT. Surabaya: Unpublished
71
KBBI. (n.d.). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Retrieved Juli 12, 2016, from Ka-mus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus Versi Online/Daring (Dalam Jar-ingan): http://kbbi.web.id/morbiditas Khan, Khalid S., Daniel Wojdyla, Lale Say, A. Metin Gulmezoglu, Paul F. A. Van Look. (2006). WHO Analysis of Causes of Maternal Death: A Systematic Review. Lancet, 367:1066-74. Khan, R.-U., H. El-Rafaey. (2006). Pathophysiology of Postpartum Hemorrhage and Third Stage of Labor. In C. L. B-Lynch, A Textbook of Postpartum Hemorrhage, A Comprehensive Guide to Evaluation, Management and Surgical Intervention (pp. 62-69). New Delhi: Sapiens Publishing.
Kristanti, R. A. (2014). Pengaruh Oksitosin Terhadap Kontraksi Otot Polos Uterus. El-Hayah, 5(1):17-21. Lappen, JustinR., Christine Isaacs. (2016, June 24). Episiotomy and Repair Technique. Retrieved July 20, 2016, from Mescape News & Perspective: http://emedicine. medscape.com/article/2047173-technique Lestrina, Eny. (2012). Hubungan antara Paritas dan Anemia dengan Kejadian Perdara-han Postpartum di Rumah Sakit William Booth Surabaya Periode 2007 – 2012 . ejournal Stikes William Booth. Mariati, Ulvi, Z. Agus, D. Sullin, Masrul Masrul, Z. Amri, F. Arasy, Muslim Muslim, H. Hanum, Mohanis Mohanis, F. Arma. (2011). Studi Kematian Ibu dan Kematian Bayi di Provinsi Sumatera Barat: Faktor Determinan dan Masalahnya. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 5(6):243-49. MedlinePlus. (2014, November 6). Episiotomy. Retrieved July 21, 2016, from Medline-Plus: https://medlineplus.gov/ency/patientinstructions/000482.htm Moedjiarto, S. (2011). Karakteristik Ibu yang Berhubungan dengan Perdarahan Postpartum di RB Medika Utama Wonokupang Balongbendo Sidoarjo Tahun 2009. Hospital Majapahit, 3(1):87-103. Nora, H. (2012). Manajemen Aktif Persalinan Kala Tiga. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 12(3):165-71. O’Connor, Thomas G., Jonathon Heron, Jean Golding, Michael Beveridge, Vivette Glover. (2002). Maternal Antenatal Anxiety and Children Behavioural/emotional Problems at 4 Years. British Journal of Psychiatry, 180:502-508. Pairman, Sally, Sally Tracy, Carol Thorogood, Jan Pincombe. (2010). Midwifery: Prepa-ration for Practice 2e. Victoria Avenue: Elsevier Australia. Piesesha, F. (2015). Pengaruh Usia, Paritas dan Anemia terhadap Kejadian Perdarahan Postpartum. Jurnal Biometrika dan Kependudukan, 4(1):25-31.
72
Purwanti, Sugi, Yuli Trisnawati. (2015). Pengaruh Umur dan Jarak Kehamilan terhadap Kejadian Perdarahan karena Atonia Uteri. Purwokerto: LPPM Universitas Mu-hammadiyah Purwokerto. Rahmawati, Puspita, Santi Martini, Chatarina Umbul Wahyuni. (2014). Analysis Determinan Kematian Maternal Pada Masa Nifas di Kabupaten Sidoarjo Tahun 2012. Jurnal Berkala Epidemiologi, 2(1):105-117. Ramadani, Mery, Lolly Mayoritha, Fitrayeni. (2012). Penyebab Kejadian Anemia Ibu Hamil di Puskesmas Seberang Padang Kota Padang. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 6(2):57-61. Reed, Holly E., Marjorie A. Koblinsky, W. Henry Mosley. (2000). The Consequences of Maternal Morbodity and Maternal Mortality: Report of a Workshop. Washington DC: National Academy Press. Reitman, Elena, Patricia C. Devine, Sherelle Lea Laifer-Narin, Pamela Flood. (2011). Case Scenario: Perioperative Management od A Multigravida at 34-week Gestation Diagnosed with Abnormal Placentation. Anesthesiology, 115(4):852-57. Roslyana, S. (2012). Faktor Risiko Perdarahan Postpartum di RSUD Sukadana, Kabupaten Lampung Timur. Yogyakarta: Unpublished. Santosa, Budi Joko, Sri Wuriyani, Nurwening Tyas Wisnu. (2010). Hubungan Antara Ketepatan Manajemen Aktif Kala III dengan Perdarahan Kala III di BPS Madiun Selatan. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes, Edisi Khusus Hari Kes-ehatan Interbasional, Hardiknas dan Hari Bidan, 8-11. Say, Lale MD., Joao Paulo Souza MD., PhD, Robert C. Pattinson, Professor for the WHO Working on Maternal Mortality and Morbidity Classifications. (2009). Maternal Near Miss - Towards a Standart Tool for Monitoring Quality of Maternal Health Care. Best Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynaecology, 287-296. Say, Lale, Doris Chou, Alison Gemmill, Ozge Tuncalp, Ann-Beth Moller, Jane Daniels, A. Metin Gulmezoglu, Marleen Temmerman, Leontine Alkema. (2014). Global Causes of Maternal Death: A WHO Systematic Anaisys. Lancet Glob Heatlh, 2:e323-33. Sibhatu, K.T., Krishna VV, Qaim M, 2015. Production diversity and dietary diversity in smallholder farm households. Proc Natl Acad Sci 112:10657-10662. Simarmata, Oster Suriani, Sudikno, Kristina, Dina Bisara. (2014). Determinan Kejadian Komplikasi Persalinan di Indonesia: Analisis Data Sekunder Riset Kesehatan Dasar 2010. Jurnal Kesehatan Reproduksi, 5(3). Smith, John R., Barbara G. Brennan. (2016, March 1). Postpartum Hemorrhage. Re-
73
trieved July 13, 2016, from Medscape News & Perspective: http://emedicine. medscape.com/article/275038-overview#a7 Sulistiyani, C. N. (2009). Hubungan Antara Paritas dan Umur dengan Kejadian Perdara-han Postpartum di RS. Panti Wilasa “Dr. Cipto” Yakkum Cabang Semarang Tahun 2008. Semarang: Unpublished. Susiloningtyas, Is, Yanik Purwanti. (2012). Kajian Pengaruh Manajemen Aktif Kala III Terhadap Pencegahan Perdarahan Postpartum (Sistematik Review). Jurnal Unissula, 50(128):1-10. Syafneli, Sri Masyuni Daulay. (2012). Analisis Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perdarahan Postpartum Primer di RSUD Rokan Hulu Tahun 2010. e-journal UPP, Jurnal Kebidanan Maternity and Neonatal, 1(1):1-18. Tauho, K.D., Karwur, F.F., Anwar, A. (2012). Analisa Penyebab Kematian Maternal di Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2010. Salatiga: Unpublished.
UNICEF. (2016, March). Maternal Mortality Fell by Almost Half Between 1990-2015. Retrieved June 25, 2016, from UNICEF Data: http://data.unicef.org/maternalhealth/maternal-mortality.html Whitaker, Robert C., Sean M. Orzol, Robert S. Kahn. (2006). Maternal Mental Health, Substance Use and Domestic Violence in the Year After Delivery and Subsequent Behavior Problems in Children at Age 3 Years. Arch Gen Psychiatry, 63(5):551-560. WHO. (2003). WHO Definition of Health. Retrieved July 10, 2016, from World Heath Organization: http://www.who.int/about/definition/en/print.html WHO. (2015, November). Media Centre Maternal Mortality. Retrieved June 24, 2015, from World Heath Organization: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/ fs348/en/ WHO. (2016). World Health Statistics 2016: Monitoring Heatlh for the SDG’s, Sustainable
Development Goals. Switzerland: World Health Organization. Wuryanti, A. (2010). Hubungan Anemia dalam Kehamilan dengan Perdarahan Postpartum karena Atonia Uteri di RSUD Wonogiri. Surakarta: Unpublished. Yiadom, M. Y. (2015, November 08). Postpartum in Emergency Medicine. Retrieved July 19, 2016, from Medscape News and Perspective: http://emedicine.medscape. com/article/796785-overview Yuningsih, Budi, Imbarwati. (2012). Hubungan Tindakan Manajemen Aktif Kala III dengan Jumlah Pengeluaran Darah pada Postpartum oleh Bidan di Wilayah Puskesmas Kabupaten Demak. Dinamika Kebidanan, 2(2):1-8.
74
Fungsi Keluarga Pada Anak Dengan Kebutuhan Khusus DARY
Pendahuluan Pada umumnya dinamika kehidupan dalam keluarga mengikuti pola normal perkembangan dalam keluarga, dimulai dari tahap keluarga baru belum memiliki anak hingga tahap keluarga dengan pasangan usia lanjut. Di setiap tahapnya, keluarga memiliki tugas perkembangan yang harus dipenuhi, yang mana tugas perkembangan ini bisa diprediksi dan bisa dipersiapkan. Sebagai contoh pada tahap keluarga baru, pasangan suami istri memiliki tugas perkembangan untuk membangun hubungan pernikahan yang saling memuaskan. Tugas perkembangan lain pada tahap ini adalah membuat keputusan terkait memiliki anak atau menjadi orangtua. Dalam kehidupan berkeluarga, untuk memenuhi tugas perkembangannya terkadang tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Adanya masalah-masalah di dalam keluarga, khususnya masalah kesehatan, dapat mengganggu dinamika dalam keluarga yang menuntut keluarga untuk dapat beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam keluarga. Salah satu masalah kesehatan penting dalam kehidupan keluarga adalah masalah-masalah kesehatan ibu dan anak masih menjadi perhatian. Beberapa contoh diantaranya ibu dengan masalah kehamilan, persalinan dan nifas; anak dengan kebutuhan khusus, penyakit kronik dan terminal. Tulisan ini akan memberi perhatian pada fungsi keluarga pada anak dengan kebutuhan khusus. The international Classification of Functioning, disability and Health: Children and Youth Version (ICF-CY) mendefinisikan istilah berkebutuhan khusus sebagai kondisi keterbatasan, tidak hanya secara fisik dan sosial, melainkan keterbatasan yang menyebabkan gangguan pada hubungan seseorang dengan lingkungan (WHO &
75
UNICEF, 2012). Penyandang disabilitas merupakan kelompok minoritas terbesar di dunia, dimana 80 persen dari jumlah penyandang disabilitas di dunia berada di kalangan negara-negara berkembang, dan anak-anak mengambil porsi sepertiga dari total penyandang disabilitas di dunia (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2014). Diperkirakan 93 juta anak-anak atau satu dari 20 anak berusia lebih muda dari 14 tahun mengalami disabilitas (UNICEF, 2013). Di Indonesia, penduduk yang menyandang disabilitas sebesar 2,45 persen (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2014). Anak penyandang disabilitas dalam tulisan selanjutnya akan disebut anak berkebutuhan khusus. Memiliki anak berkebutuhan khusus tidak hanya berdampak pada anak yang mengalaminya tetapi juga memberi dampak bagi keluarga. Keluarga akan menghadapi situasi yang lebih kompleks dan menuntut perhatian yang lebih besar dalam memenuhi kebutuhan anggota keluarga, khususnya kebutuhan anak berkebutuhan khusus. Dampak pada anak tidak hanya secara fisik tetapi juga pada aspek mental. Banyak orangtua mengeluhkan anaknya memiliki masalah dan gangguan perilaku, emosional dan mental
(Currie and Kahn, 2012). Dalam hal ini, Povee et al., (2012) yang menyatakan bahwa masalah perilaku anak dengan kebutuhan khusus diidentifikasikan membawa dampak negatif bagi keluarga dan berhubungan dengan fungsi keluarga yang kurang sehat. Bagaimana fungsi keluarga dalam kondisi-kondisi seperti di atas penting untuk didiskusikan. Dalam artikel ini dibahas lebih khusus tentang fungsi keluarga dalam keluarga yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus.
Fungsi Keluarga Fungsi keluarga didefinisikan sebagai apa yang keluarga lakukan untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga (Friedman, 2003). Lima fungsi utama keluarga menurutnya yakni: fungsi afektif, fungsi sosialisasi, fungsi ekonomi, fungsi reproduksi dan fungsi perawatan kesehatan. Fungsi afektif menekankan pada tugas keluarga dalam memberikan perlindung-an psikososial dan dukungan untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan
76
yang sehat bagi anggota keluarganya. Fungsi afektif meliputi empat hal berikut ini: 1. Maintaining mutual nurturance. Artinya keluarga merupakan tempat dimana anggota keluarga dapat merasakan cinta, dukungan, penerimaan dan kehangatan. 2. Mutual respect balance. Dalam arti, ada keseimbangan antara memberikan bantuan atau memberi kebebasan (kemandirian) yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas di dalam keluarga. 3. Bonding and identification. Bonding didefinisikan sebagai adanya ikatan emosional yang istimewa antara dua orang; antara pasangan, antara orangtua dan anak, dan antara saudara. Identification didefinisikan sebagai sikap dimana seseorang mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain seolah-olah dirasakan oleh dirinya sendiri. Melalui identifikasi, anak berusaha meniru apa yang dilakukan oleh orangtua sebagai role model. 4. Separateness and connectedness, merujuk pada keseimbangan antara kontrol dan kebebasan. Dengan memenuhi fungsi afektif ini, berarti keluarga mampu memenuhi kebutuhan psikososial anggota keluarganya dalam meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan, kestabilan antara kepribadian dan perilaku, kemampuan untuk berinteraksi secara intim, dan meningkatkan harga diri anggota keluarga (Hanson, et al., 2005; Friedman, 2003). Fungsi sosialisasi didefinisikan sebagai berbagai pengalaman belajar yang diberikan di dalam keluarga meliputi keterampilan dalam interaksi sosial dan peran-peran sosial yang mempengaruhi perkembangan anggota keluarga. Melalui sosialisasi, anggota keluarga belajar bagaimana hidup dengan orang lain dalam kelompok dan melakukan peran yang sesuai dengan umur dan gender (Hanson, et al., 2005; Friedman, 2003). Tugas keluarga dalam fungsi sosialisasi antara lain (Friedman, 2003): (a) Mewariskan kebudayaan pada generasi muda, (b) Mempersiapkan anggota keluarga untuk berpartisipasi di tengah masyarakat [dhi. anak diajarkan bahasa, peran-peran yang harus dilakukan di setiap tahap perkembangan, norma-norma sosial-budaya, dan pola pikir yang relevan. Anak juga diajarkan untuk berperan sesuai jenis kelaminnya, serta
77
kemampuan untuk berkreasi dan berinisiatif], (c) Mendidik anggota keluarga tentang benar dan salah, dan (d) menerapkan kedisiplinan dalam keluarga. Salah satu fungsi dasar dari keluarga adalah menjaga kelangsungan generasi dalam keluarga dan masyarakat melalui fungsi reproduksi. Termasuk dalam fungsi ini adalah pengendalian perilaku seksual, kontrasepsi dan reproduksi antara pasangan dalam keluarga (Anastasiu, 2012). Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) menyatakan bahwa kedua orangtua mempunyai hak yang sama untuk mengambil keputusan dan bertanggungjawab terkait penentuan jumlah dan jarak kelahiran anak mereka (CEDAW, n.d). Fungsi ekonomi merujuk pada bagaimana keluarga mengatur sumber-sumber pendapatan dalam keluarga (finansial, material) melalui proses pengambilan keputusan. Biasanya ibu memiliki tanggung jawab untuk mengatur keuangan dalam keluarga
(Friedman,
2003).
Di
dalam
keluarga
ibu-lah
yang
biasanya
bertanggungjawab mengelola keuangan dan mengatur penggunaan uang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Fungsi perawatan kesehatan merujuk pada pemenuhan kebutuhan fisik seperti baju, makanan, tempat tinggal, dan perawatan kesehatan pada anggota keluarga. Ibu biasanya memiliki tanggung jawab untuk mengambil keputusan tentang apa yang harus dilakukan apabila ada anggota keluarga yang sakit. Ibu juga yang mengajarkan kepada anak-anak perilaku hidup sehat dan bagaimana menjaga kesehatan diri (Hanson, et al., 2005). Senada dengan deskripsi Friedman tentang fungsi keluarga, Matejevic and Jovanovic (2011) menjelaskan bahwa fungsi keluarga berada dalam tiga ranah berikut: hayati, ekonomi, dan psikososial. Ranah hayati mencakup pemenuhan kebutuhan seksual, dan fungsi reproduksi dalam keluarga. Ranah ekonomi mencakup fungsi produksi dan konsumsi. Ranah psikososial meliputi fungsi edukasi, fungsi sosialisasi dan perkembangan ikatan emosional antara anggota keluarga. Menurut teori sistem, keluarga adalah suatu sistem yang terdiri dari komponenkomponen subsistem yang saling berinteraksi: subsistem pasangan, subsistem orangtua,
78
subsistem anak-anak. Keluarga juga merupakan bagian dari suprasistem lingkungan (masyarakat) dimana dalam sistem ini terjadi pertukaran energi dan informasi. Dalam kaitannya dengan fungsi keluarga, fungsi keluarga tidak dapat dipahami sebagai akumulasi dari fungsi individual masing-masing anggota keluarga, melainkan dipandang sebagai fungsi dari keluarga secara keseluruhan bersama subsistemnya (Matejevic and Jovanovic, 2011; Friedman, 2003). Dalam siklus kehidupan, keluarga dihadapkan dengan momen-momen yang memang diharapkan seperti kelahiran seorang anak, tetapi tidak menutup kemungkinan keluarga terkadang menghadapi momen yang tidak diharapkan seperti kelahiran seorang anak dengan kebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus didefinisikan sebagai anak yang memiliki karakter khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik (Suharlina dan Hidayat, 2010). Menurut Suharlina dan Hidayat (2010), mereka yang digolongkan pada anak yang berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan berdasarkan gangguan atau kelainan pada aspek-aspek berikut: (a) Fisik/motorik: cerebral palsi, polio; (b) Kognitif: retardasi mental, anak unggul (berbakat); (c) Bahasa dan bicara; (d) Pendengaran; (e) Penglihatan, dan (f) Sosial
emosi.
Sedangkan
menurut
WHO
(2012),
anak
berkebutuhan
khusus
diklasifikasikan pada tiga kelompok, yakni: (a) Gangguan pada struktur dan fungsi tubuh, contohnya anak yang menderita tuli atau kebutaan; (b) Keterbatasan dalam beraktivitas, contohnya ketidakmampuan dalam membaca atau keterbatasan dalam bergerak; (c) Keterbatasan untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan, misalnya dikeluarkan dari sekolah. Memiliki anak dengan kebutuhan khusus merupakan pengalaman traumatik bagi keluarga, yang dapat menimbulkan stress, ketidakpastian, dan rasa takut bagi keluarga. Sebagai komponen subsistem keluarga, apa yang dialami oleh anak dengan kebutuhan khusus tidak hanya dirasakan oleh anak yang bersangkutan tetapi juga dirasakan oleh anggota keluarga yang lain. Anak-anak berkebutuhan khusus dan keluarganya seringkali berhadapan dengan stigma dan diskriminasi dari masyarakat, kemiskinan sehubungan dengan peningkatan biaya untuk kepentingan pendidikan dan perawatan kesehatan,
79
kekerasan, dan kurang mendapatkan perhatian (WHO & UNICEF, 2012). Selain itu, memiliki anak dengan kebutuhan khusus dapat menurunkan kualitas interaksi antara orangtua dan anak WHO & UNICEF, 2012; Cuskelly et al., 2007). Kehadiran seorang anak dengan kebutuhan khusus sebagai bagian dari keluarga menuntut anggota keluarga yang lain untuk beradaptasi dengan keadaan ini. Respons anggota keluarga yang lain bisa bervariasi, beradaptasi dengan keadaan ini atau justru menambahkan stress bagi keluarga. Dampak lebih lanjut, memiliki anak dengan kebutuhan khusus dapat mempengaruhi bagaimana keluarga dan subsistem (anggota keluarga) menjalankan fungsinya (Matejevic and Jovanovic, 2011). Seperti yang sudah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, memiliki anak dengan kebutuhan khusus merupakan pengalaman traumatik yang dapat menimbulkan stress bagi keluarga. Webster dkk. (2008, dalam Pisula, 2011) menyatakan bahwa nilai index parenting stress berada diatas 85 percentile pada lebih dari 40 persen orangtua yang memiliki anak dengan keterlambatan perkembangan. Ini mengindikasikan stress yang signifikan. Reeja dan Sujatha (2013) juga menyatakan bahwa orangtua dari anak-anak berkebutuhan khusus mengalami tingkat stress yang lebih besar dibandingkan dengan orangtua yang memiliki anak-anak yang normal. Hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus mengalami stress tingkat sedang (Dary, unpublished). Keadaan stress ini dapat mempengaruhi hubungan pasangan dalam keluarga, mempengaruhi kualitas pengasuhan pada anak, dan ketidakmampuan untuk berespon secara adekuat terhadap kebutuhan anak dan anggota keluarga. Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Zincir, dkk (2011) dengan judul “Sexual lives and family function of women with family member with disability: educational status and income level” pada keluarga-keluarga dengan melibatkan 183 wanita dengan anak berkebutuhan khusus di provinsi Kayseri, Turkey. Hasil penelitian menunjukkan sebesar 61,7% wanita mengaku memiliki permasalahan dengan hidup bersama anak berkebutuhan khusus. Lebih spesifik, 44,2% wanita mengungkapkan bahwa mereka tidak dapat hidup bersosial lagi dan 23% menyatakan bahwa mereka tidak mampu menyelesaikan tanggungjawab pekerjaan di rumah. Hasil penelitian ini
80
juga menyatakan sebesar 50% wanita mengaku tidak aktif secara seksual dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki anak berkebutuhan khusus dalam keluarganya, 56,8% wanita menyatakan memiliki masalah dalam berhubungan seksual diantaranya karena tidak dapat menikmati hubungan seksual setelah memiliki anak berkebutuhan khusus (33,7%), merasa bersalah (27,9%), dan karena mereka selalu tidur di ruang dan tempat tidur yang sama dengan anak berkebutuhan khusus (23,1%). Sebuah studi kualitatif yang dilakukan oleh Sari et al., (2006) tentang “experiences of mothers of children with Down syndrome” menyatakan bahwa memiliki anak dengan sindrom Down memberikan dampak dalam aspek sosial, fisik, ekonomi dan emosional pada keluarga. Studi lainnya tentang “an evaluation of quality of life of mothers of children with cerebral palsy” oleh Eker dan Tuzun (2004) menunjukkan hasil yang senada yang menjelaskan bahwa kualitas hidup ibu-ibu yang memiliki anak-anak dengan cerebral palsy, lebih rendah jika dibandingkan dengan ibu-ibu yang memiliki anak-anak dengan masalah kesehatan minor. Beberapa penelitian lain menunjukkan hasil yang berbeda. Penelitian Van Riper (2007) menyatakan banyak keluarga yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus mampu menghadapi dan bertahan terhadap tantangan-tantangan dalam mengasuh anak dengan kebutuhan khusus. Van Riper juga menemukan bahwa kualitas hidup dan persepsi ibu terhadap fungsi keluarga berkaitan dengan persepsi ibu terhadap kualitas dukungan yang diterima dari tenaga kesehatan dan keluarga. Terdapat bukti bahwa dukungan dari teman, keluarga dekat dan tenaga kesehatan memiliki peran penting bagi ibu dalam memenuhi perannya sebagai orangtua anak dengan kebutuhan khusus (Reeja dan Sujatha, 2013). Dalam penelitian yang dilakukan penulis dengan melibatkan 32 ibu yang memiliki anak penderita sindrom Down, menunjukkan bahwa meskipun ibu mengalami stress tingkat sedang tetapi ibu mampu melakukan perannya dan memiliki fungsi keluarga yang sehat, didukung support yang kuat dari pasangan, keluarga dan tenaga kesehatan (Dary, unpublished). Sehingga dapat disimpulkan bahwa fungsi keluarga pada keluarga yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus bisa bervariasi.
Hal ini bergantung pada bagaimana mekanisme koping ibu dalam menghadapi stress dan ketersediaan dukungan bagi keluarga. 81
Refleksi Keluarga merupakan lingkungan pertama yang berperan paling penting bagi tumbuh kembang seorang anak. Keluarga yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus menghadapi tantangan-tantangan yang bisa dikatakan lebih besar dan kompleks dibandingkan keluarga yang memiliki anak normal. Tantangan-tantangan kehidupan tersebut dapat menjadi beban bagi keluarga dan menimbulkan stress. Stress dapat mengganggu keluarga dalam melaksanakan fungsi dan perannya dalam memenuhi kebutuhan anggota keluarga. Dalam Kurikulum Program Studi Ilmu Keperawatan UKSW terdapat mata kuliah wajib “Family Health Nursing” yang wajib diikuti oleh mahasiswa. Asuhan keperawatan keluarga yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus perlu dimasukkan dalam rencana pembelajaran semester. Mahasiswa perlu dibekali pengetahuan terkait asuhan keperawatan keluarga dengan anak berkebutuhan khusus dan bagaimana pengaruh memiliki anak berkebutuhan khusus terhadap fungsi keluarga. Bekal pengetahuan ini dapat membantu mahasiswa merancang program promosi kesehatan dan tindakan pencegahan terkait kesehatan anak berkebutuhan khusus dan keluarganya, sert memberikan pendidikan pada keluarga terkait penggunaan mekanisme koping yang adaptif dalam menghadapi stress. Dalam bidang penelitian khususnya di Indonesia, belum banyak penelitianpenelitian terkait fungsi keluarga pada keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu penulis ingin menggali lebih dalam dan mengembangkan topik ini dalam penelitian-penelitian yang akan penulis lakukan. Dalam bidang pengabdian masyarakat, kesadaran masyarakat untuk menerima dan menghargai keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus perlu ditingkatkan melalui peningkatan usaha komunikasi, informasi dan edukasi (penyuluhan). Dengan melibatkan guru, tokoh masyarakat dan tenaga kesehatan baik di tatanan klinik maupun di komunitas dapat diawali pembentukan parent support group yang dapat membantu orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus untuk sharing pengalaman dan
82
informasi dalam merawat anak-anaknya. Pembentukan parent support group berdasarkan hasil penelitian sangat membantu sekali untuk mengurangi beban orangtua dalam merawat anak berkebutuhan khusus. Artikel ini ditulis sebagai bentuk karya untuk memperingati ulang tahun ke10 Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya Wacana. Selama bekerja di FIK UKSW penulis banyak mendapatkan pengalaman belajar tidak hanya dalam pengajaran tetapi juga dalam penelitian dan pengabdian masyarakat, yang merupakan tri dharma perguruan tinggi yang menjadi tugas pokok bagi seorang dosen. Sebagai rasa syukur penulis akan peringatan 10 tahun FIK UKSW, penulis mempersembahkan tulisan dalam artikel ini dengan topik yang akan menjadi fokus penelitian penulis kedepan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA Anastasiu, I. (2012). The social functions of the family. Retrieved from http://eu-romentor.ucdc.ro/2012/vol3n22012/en/12_the-socialfunctions-of-the-family.pdf Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). (n.d). Marriage and family life. Retrieved from http://www. un.org/womenwatch/daw/cedaw/text/econvention.htm#article16 Currie, J., & Kahn, R. (2012). Children with disabilities: Introducing the issue. The Future of Children, 22(1), 3-11. Retrieved from www.futureofchildren.org Cuskelly, M., Cram, P. H., & Riper, M.V. (2007). Families of children with Down syndrome: What we know and what we need to know. Down Syndrome Research and Practice. Retrieved from http://www.downsyndrome.org/ reviews/2079/reviews-2079.pdf Dary. (Unpublished). Family support, parenting stress and family function of moth-ers who have a child with Down syndrome. A thesis. Philippines: Silliman
University Eker, L., & Tuzun E.H. (2004). An evaluation of quality of life of mothers of children with cerebral palsy. Disability and rehabilitation, 26(23), 1354-1359 83
Friedman, M.M., Bowden, V.R., & Jones, E.G. (2003). Family nursing: Research, theory, and practice (5th ed.). New Jersey: Pearson Education, Inc. Hanson, S. M. H., Duff, V.G., & Kaakinen, J. R. (2005). Family health care nurs-ing: Theory, practice & research (3rd ed.). Philadelphia: F.A. Davis Company. Matejevic, M.D., & Jovanovic, D.R. (2011). The functionality of families with children with special needs from the systemic perspective. Philosophy, So-ciology, Psychology and History, 10(1), 57-66 Pisula, E. (2011). Parenting stress in mothers and fathers of children with autism spectrum disorders. In M. R. Mohammadi (Ed.), A comprehensive book on autism spectrum disorders. Retrieved from http://www.intechopen.com Povee, K., Roberts, L., Bourke, J., & Leonard, H. (2012). Family functioning in families with a child with Down syndrome: a mixed methods approach. Journal of Intellectual Disability Research, 56(10), 961-973. doi: 10.1111/j.1365-2788.2012.01561.x Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.(2014). Penyandang disabilitas pada anak. Retrieved from www.depkes.go.id Reeja, M.R., & Sujatha, R. (2013). Lived experiences of mothers of children with Down’s syndrome in selected schools at Mangalore. Nitte University Journal of Health Science, 3(3), 87-92 Sari, H.Y., Baser, G., & Turan, J.M. (2006). Experiences of mothers of children with Down syndrome. Paediatric care, 18(4), 29-32. Doi:10.7748/ paed2006.05.18.4.29.c1024 Suharlina, Y., & Hidayat. (2010). Anak berkebutuhan khusus. Yogyakarta: UNY
UNICEF. (2013). The state of the world’s children 2013: Children with disabili-ties. Retrieved from www.unicef.org WHO & UNICEF. (2012). Early childhood development and disability: A discussion paper. Retrieved from http://apps.who.int/iris/bitstre am/10665/75355/1/9789241504065_eng.pdf
84
Manajemen Tuberkulosis Berbasis Keluarga FIANE DE FRETES
Salah satu penyakit menular epidemik yang menjadi fokus utama intervensi terutama di negara berkembang adalah tuberkulosis Paru (Tb Paru). WHO (2015) menyatakan bahwa jumlah kasus tuberkulosis sejak tahun 1990–2000 mengalami penurunan mortalitas yang signifikan. Mortalitas kasus tuberkulosis turun sebesar 47% kasus dari target awal MDGs yaitu sebesar 50%. Dapat dinilai bahwa upaya penanganan tuberkulosis melalui Millenium development goals (MDGs) sebenarnya hampir mencapai keberhasilan untuk menurunkan jumlah mortalitas. Strategi penanganan tuberkulosis yang dikenal dengan Stop TB Strategy dalam MDGs, telah berhasil menyelamatkan 43 juta masyarakat dunia dengan kasus TB selama tahun 2000–2014 dengan rata-rata penurunan jumlah insiden TB sebanyak 1,5% setiap tahunnya sejak tahun 2000.
Namun demikian, keberhasilan penurunan angka mortalitas, lantas belum menjadikan persoalan infeksi tuberkulosis dinyatakan selesai. Perkembangan penyakit tuberkulosis bukan hanya pada masalah penularan, tapi masalah tuberkulosis sebagai predisposisi HIV/AIDS dan multidrugs resistant (MDR). 12% dari 9.6 juta kasus baru tuberkulosis (Tb) di tahun 2014,merupakan Tb dengan HIV Positif. Sedangkan, MDR sebanyak 480.000 kasus, namun hanya 123.000 kasus yang terdeteksi dan dilaporkan oleh WHO (World Health Organization, 2014). Selain itu, dari total kasus baru ini, 63% dari kasus tersebut terlapor melalui WHO sedangkan 37% tidak terdata dan tidak diketahui penanganannya. Penyebaran infeksi tuberkulosis masih menjadi perhatian dunia karena berdampak bagi pembagunan kesehatan di Negara-Negara dengan pendapatan rendah dan menegah, salah satunya Indonesia. Data berdasarkan Riskesdas (2015), menyatakan bahwa Prevalensi Nasional Tb Paru pada tahun 2013 sebesar 272/100.000 penduduk
85
lalu meningkat pada tahun berikutnya sebanyak 647/100.000 penduduk. Sedangkan, pada tahun 2015, total kasus Tb Paru di Indonesia sebanyak 330.910 kasus/100.000 penduduk. Tiga propinsi di Jawa, yakni Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur menyumbangkan 38% dari total jumlah kasus Tb Paru yang ditemukan di tahun tersebut. Total kasus Tb Paru yang ditemukan di Jawa Tengah sebanyak 37.396 kasus dengan 0,18% merupakan kasus BTA positif dari total penduduk sebanyak 33.774.141 orang. Walaupun begitu, angka keberhasilan pengobatan Tb Paru di Jawa Tengah sendiri mencapai 84%, hampir mencapai target nasional yakni 85%. (Profil Kesehatan Indonesia, 2015). Angka keberhasilan ini, lantas belum menjadikan kasus Tb Paru dinyatakan selesai di Indonesia. WHO menunjukan pula bahwa perkembangan kasus TB Paru berkembang menjadi resisten terhadap pengobatan (WHO, 2014). Faktor ekonomi masyarakat, sistem sanitasi lingkungan yang rendah dan sistem pengendalian atau pencegahan kasus yang rendah, menyebabkan timbulkan faktor predisposisi dari penyakit Tb paru. Penyebab resistensi penderita terhadap pengobatan disebabkan karena ketidakpatuhan untuk minum obat sesuai jangka waktu yang ditentukan. Salah satu dari 3 pilar utama penanganan tuberkulosis di Indonesia adalah berfokus pada support system baik dari sistem pemerintahan maupun dari lingkungan sosial. Lingkungan sosial terdekat dari penderita tuberkulosis adalah keluarga. Pentingnya peran keluarga dalam perawatan penderita tuberkulosis adalah dalam pengawasan minum obat, sanitasi lingkungan untuk mencegah penyebaran infeksi, dan pemenuhan kebutuhan nutrisi. Pengalaman penanganan tuberkulosis memerlukan keluarga. Hal ini ditunjukan dengan pemberian informasi kesehatan yang ditunjukan kepada keluarga mulai dari perjalanan penyakit hingga penanganan di rumah. hal ini dikarenakan, tidak semua penderita mampu menerima kenyataan akan penyakit yang dialami serta keterbatasan pasien dalam melakukan perawatan bagi dirinya sendiri. Pengobatan yang membutuhkan waktu yang lama, memungkinkan terjadinya kejenuhan untuk minum obat, rasa keterasingan yang beresiko menimbulkan depresi bagi penderita. Penderita penyakit infeksi dalam waktu yang lama, memiliki keterbatasan
86
terhadap hubungan sosial, psikologis dan sumberdaya ekonomi yang menyebabkan mereka mengalami kesulitan dalam menjaga kualitas hidupnya. Oleh karena itu, dukungan keluarga dari setiap aspek baik secara fisik dan psikologis, memungkinkan untuk membantu penderita melewati masa perawatan di rumah. Keluarga berperan penting dalam kesembuhan pasien, dimana perkembangan kesehatan selain dirasakan oleh penderita dan juga keluarga. Keluarga turut memberikan informasi ini setiap kali kunjungan kontrol yang dilakukan oleh penderita di layanan kesehatan baik puskesmas maupun rumah sakit. Selain itu, pemahaman keluarga terhadap penyakit, memudahkan deteksi awal penularan penyakit dan pencegahan terhadap penyakit tersebut. Tidak terdeteksinya jumlah penderita TB Paru di daerah Afrika dan Asia dapat dipengaruhi oleh ketidaktahuan keluarga terhadap kasus sehingga tidak dilaporkan kepada pemberi layanan kesehatan terdekat. Penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Ilmu Kesehatan di Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang antara lain mengenai bagaimana pengelolaan tuberkulosis di lingkungan rumah di mana terdapat penderita tuberkulosis. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kaji-tindak partisipatif anggota keluarga dalam penanganan tuberkulosis. Kaji-tindak partisipatif dalam penelitian ini merupakan metode dengan pengkajian dan intervensi yang bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat untuk meningkatkan kesehatan dengan keterlibatan langsung dari anggota keluarga dan perangkat desa setempat. Pada penelitian ini, keterlibatan para perangkat desa berperan penting terutama dalam proses identifikasi para penderita Tb Paru di daerah Batur. Berdasarkan data Puskesmas Getasan di tahun 2013, terdapat 28 penderita Tb Paru dengan 8 kasus diantaranya berada di desa Batur. Namun setelah kami telusuri kembali di tahun 2014, para penderita ini sudah sembuh atau pindah ke tempat yang lain.Untuk menemui masyarakat yang mengalami Tb Paru, kami melakukan pendekatan sosial dengan perangkat desa Batur sehingga kami mampu menelusuri 3 orang responden penderita Tb Paru yang sedang menjalani tahap rehabilitasi Tb Paru. Hal ini menunjukan bahwa para perangkat desa memiliki kepedulian kepada para masyarakat, sehingga dalam penelitian ini para perangkat desa terlibat langsung sebagai bagian dalam tim peneliti.
87
Secara singkat, penelitian kami menemukan bahwa dukungan keluarga memiliki peranan penting dalam upaya promotif, preventif dan rehabilitatif pasien pasca perawatan tuberkulosis di rumah sakit. Peranan keluarga adalah deteksi gejala penyakit tuberkulosis, akses layanan kesehatan untuk perawatan, pengawas minum obat, pemenuhan kebutuhan nutrisi dan implementasi program PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat). Dalam penelitian kami, kami menemukan bahwa gejala Tb Paru seperti batuk berdahak selama ≥ 3 minggu, sesak napas dan penurunan berat badan yang signifikan menjadi alasan utama keluarga untuk mengantarkan pasien mendapatkan layanan kesehatan. Namun, tidak disadari sebagai gejala Tb Paru hingga diperoleh penjelasan dari tim kesehatan. Layanan kesehatan utama yang dituju selama proses perawatan hingga rehabilitatif bukanlah puskesmas terdekat melainkan Balai Pengobatan Paru (BP4) Salatiga atau Rumah Sakit Ario Wirawan Ngawen, dengan alasan bahwa anggota keluarga yang sakit ini, dalam keadaan parah sehingga perlu penanganan yang lebih serius. Padahal Puskesmas Getasan menyediakan akses layanan rujukan bagi penderita Tb Paru dan pengambilan obat TB paru. Namun, hal ini tidak diketahui dengan jelas oleh para responden. Akses layanan kesehatan pun tidak menggunakan layanan asuransi BPJS dengan alasan ekonomi keluarga tidak cukup untuk membayar iuran BPJS serta jarak tempuh ke rumah sakit yang jauh dan memerlukan biaya transportasi menjadi kendala bagi salah satu responden dalam melakukan jadwal kontrol kesehatan di rumah sakit. Peranan masyarakat sebagai pengawas minum obat sudah dicanangkan oleh pemerintah Indonesia dalam Program Stop Tb Strategi Nasional sejak tahun 2002 dengan melakukan kerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat walaupun dalam program tersebut belum menitikberatkan pada peranan keluarga sebagai unit terkecil dan terdekat dengan pasien Tb Paru. Hasil kajian kami menunjukan bahwa peranan keluarga terhadap kepatuhan minum obat sangatlah besar karena keluarga yang akan menerima informasi secara terperinci dari dokter mengenai prosedur penggunaan obat dan pentingnya minum obat.
88
Salah satu responden mengaku berhenti minum obat karena mengalami efek samping dari pengobatan sedangkan anggota keluarga yang lain tidak memahami prosedur pengobatan responden. Naidoo & Mwaba (2010), menyatakan bahwa dukungan sosial terutama turut berperan dalam memberikan motivasi bagi penderita Tb Paru untuk memperoleh kesembuhan. Upaya pengendalian penyakit tuberkulosis telah diatur oleh pemerintah dalam Pedoman Nasional Pengendalian tuberkulosis tahun 2014. Salah satu dari empat pilar upaya pengendalian infeksi Tb Paru adalah Pengendalian lingkungan. Upaya ini dilakukan dengan pengaturan sistem ventilasi di setiap rumah untuk mencegah penyebaran bakteri melalui percikan droplet saat pasien batuk. Upaya ini tentu dengan mempertimbangkan kondisi geografis daerah setempat termasuk budaya, dana, peraturan bangunan dan kondisi udara di lingkungan luar. Upaya pengendalian ini nampak sudah diterapkan di rumah oleh para responden di daerah Getasan dengan tersedianya jendela dan ventilasi di setiap ruangan serta ruangan yang terang di siang hari. Selain itu, responden mengaku tidur terpisah dengan anggota keluarga yang lain walaupun mereka tidak mengakui secara langsung bahwa mereka mengalami Tb Paru karena tidak ada anggota keluarga lain yang mengalami sakit yang sama dengan mereka. Hal ini juga ditunjang dengan laporan Riskesdas Jawa Tengah tahun 2014, yang menyatakan bahwa masyarakat cenderung tertutup dengan penyakit tuberkulosis yang dialami oleh anggota keluarga. Salah satu upaya pemerintah untuk melakukan pengendalian tuberkulosis adalah dengan melibatkan masyarakat. Upaya ini tentu tidak mudah karena pemerintah mengakui bahwa tantangan yang dialami adalah keterbatasan masyarakat untuk membawa pasien ke rumah sakit karena keterbatasan dana transportasi, dan belum adanya keterlibatan mantan penderita TB Paru dalam dalam proses ini (Pedoman
Nasional Pengendalian Tuberkulosis tahun 2014). Hal ini menjadi tantangan bagi Fakultas Ilmu Kesehatan untuk melanjutkan penelitian ini dalam upaya membentuk manajemen keluarga dan penanganan tuberkulosis dalam upaya promotif, preventif dan rehabilitatif seperti akses layanan kesehatan, pengawas minum obat, pemenuhan kebutuhan nutrisi dan pengendalian lingkungan. Tentunya manajamen keluarga 89
yang diupayakan oleh Fakultas Ilmu Kesehatan dapat dilakukan bekerjasama dengan puskesmas dan diharapkan menjadi model penanganan dan pengendalian kasus tuberkulosis paru di Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang.
Daftar Pustaka Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. (2011). Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis
Tahun 2011-2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Kementrian kesehatan Republik Indonesia. (2015). Profil Kesehatan Kabupaten Semarang Tahun 2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Kementrian kesehatan Republik Indonesia. (2016). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Kementrian Kesehatan RI .(2014). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Naidoo, P., & Mwaba, K. (2010). Helplessness, depression, and social support among people being treated for tuberculosis in south africa. Social Behavior and Personality, 38(10), 1323-1334 Santoso, B., Sulistiowati, E., Sekartuti., & Lamid, A. (2013) Riset Kesehatan Dasar Dalam
Angka Provinsi Jawa Tengah 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI World Health Organization. 2015. Global Tuberculosis Report 2015 (20th ed). Geneva:World Health Organization
90
The Relevance of Lifeworld Approach for the Understanding of Mental Health Research YULIUS YUSAK RANIMPI
Prelude In the light of phenomenology, this article describes the relevance of lifeworld approach to gain a different perspective to understanding mental health issue. It is required a short and contrast explanation from biological perspective on lived body and body presentation definition in illness situation. When experiencing an illness, humans do not enjoy easy and natural access to the world. The relationship with the world is disturbed. Illness seems as the loss of health, as the loss of one’s undisturbed freedom, and always involves a sort of exclusion from life. In illness, humans no longer free to participate in everyday activities and fulfil the goals and life purposes. Lifeworld approach alerts researchers to the absolute primacy of the individual’s unique experiencing-of the world and practically and may provide some insights which are most helpful when considering
the experience of illness and the patient/physician relationship.
Phenomenology This article is written with a viewpoint of phenomenology which focuses on the lifeworld approach, especially in mental health issue. Phenomenology is an umbrella term encompassing both a philosophical movement and a range of research approaches
initiated by Husserl (1983) as a radically new way of applying this philosophical approach. It was further developed by Heidegger and his followers (Finlay, 2008; Langdridge, 2007). Patton (1990, as cited by Ehrich, 2003) suggests phenomenology may be referred to as a philosophy, a paradigm and a methodology, and equated with qualitative methods of research.
91
Phenomenology is the study of phenomena, its nature and meaning (Heidegger,
1998). According to Heidegger, the concept of phenomenon goes back to the Greek word phainomenon, which in turn is derived from phainesthai, which signifies to show itself. Phenomenon thus means that which shows itself in itself, or that which manifest itself to us (Heidegger, 1988). The focus in phenomenology is on the way things appear to us through experience or in our consciousness, where the phenomenological researcher aims to provide a rich textured description of lived experience (Finlay, 2008). The main responsibility of researchers is to return to things themselves. The things here refer to the world of experiences, as lived. As cited by Finlay (2008, pg. 1), Merleau-Ponty (2014/1945) outlined, “to return to the things themselves is to return to that world which precedes knowledge, of which knowledge always speaks”. This idea includes the aim to approach the world as it is experienced, in all its variety. For phenomenology, things are things of experience. The term of experience denotes the relationship between individual with the world, in which we are engaged (Dahlberg, et al., 2008). Thus, phenomenology turns to the world as it is experienced. A phenomenological perspective of the mind acknowledges consciousness as the most fundamental life quality within the body. Thus, a person is regarded as an embodied consciousness. People know one another’s consciousness through their physical bodies, which means that we know our own consciousness by reflection, but cannot know the consciousness of others – except through interactions of the body (Husserl, 1983; Merleau-Ponty, 2014/1945). Husserl (1983) concluded that a body without consciousness is a corpse. For him, consciousness synthesizes experience through its intentional acts toward objects that are both sensorial and mental in origin. Husserl
(1983) made it clear that consciousness is naturally directed to objects, also believing that there is a self-evident existing universe of realities that are constantly present and not questioned in the individual’s life. According to Welton (2003), everything that happens in a worldview, happens for a reason. As a central tenet of phenomenology, as cited by Matthews (2002), Husserl argued that intentionality is the essence of consciousness. In Husserl’s view, the existence of intentionality (Husserl borrowed this term from Bretano, as cited by Matthews,
92
2002) is necessary and sufficient for the existence of consciousness (Priest, 2003). Here, intentionality is not being used in its usual sense, of intending to do something. Instead, it refers to the fact that whenever we are conscious (or aware), it is always to be conscious of something. There is always an object of consciousness (Langdridge, 2007). As noted by Priest (2003), in description of intentionality, Husserl (1983) distinguishes between the noesis, or the act of consciousness, and noema, or the content of consciousness. Noema is what consciousness is directed towards in the restricted sense of what actually appears to consciousness. The noesis, or the noetic act, is the consciousness of the noema. The intentionality of consciousness consists of a noetic act of taking a noema as its content. Significantly, Merleau-Ponty (2014/1945) proposed that Husserl’s view of intentionality is understandable only through reduction.
Through phenomenological reduction, various intentional structures of consciousness may be exhibited, including the distinction between noesis and noema (Priest, 2003). Merleau-Ponty (2014/1945) replaces the phenomenological reduction proposed by Husserl with the Heideggerian existential category of being in the world, because describing the subject cannot be conceptually separated from describing the world (Priest, 2003). In phenomenological research, the focus is on the intentional relationship between the person and the meaning of the things they are focusing on and experiencing (Finlay, 2008).
Lifeworld Husserl’s idea of the lifeworld emerges from his understanding of the natural attitude where all science and research has its origin (Dahlberg, Dahlberg & Nystrom, 2008). Husserl (1970) was the first to describe the lifeworld as an epistemological idea and to outline a lifeworld theory. Phenomenology begins within the lifeworld as the concrete and lived, but often disregarded, existence in the world. Gaddamer emphasizes that the lifeworld itself is tacit, it is “the world in which we are immersed in the natural attitude that never becomes an object as such for us, but that represents the pregiven basis of all experience” (1995, p. 246-247). 93
It was Husserl’s intention to philosophically examine the lifeworld as a tacit ground for science. He argued that the knowledge of the objective-scientific world is ‘grounded’ in the self-evidence of the life-world. The latter is pregiven to the scientific worker, or the working community, as ground, if we cease being immersed in our scientific thinking, we become aware that we scientists are, after all, human beings and as such are among the components of the life-world which always exists for us, ever pregiven; and thus all of science is pulled, along with us, into the – merely ‘subjective-relative’ – life-world. The concrete life-world, is the grounding soil of the ‘scientifically true’ world and at the same time encompasses it in its own universal concreteness (1970, p. 130-131). As an opposite to traditional positivistic realist, the lifeworld can be understood as a source from which all kinds of knowledge are derived. Although Husserl does not give a clear and distinct definition of this term, many authors as cited by Hung (2012) such as Kockelmans (1967) admit that the lifeworld can be the foundation of the theoretical scientific world rather than lifeworld finding its ultimate justification in scientific theory.
The lifeworld theory was further explicated by Merleau-Ponty and became a lifeworld phenomenology. He expresses the idea of lifeworld as our being to the world (Dahlberg, Dahlberg & Nystrom, 2008). The sense in which our being is ‘being-inthe-world’, then, is first, that we do not simply represent the world as a pure object of knowledge from a point outside the world, but actively participate in it; secondly, and consequently, that even our cognitive or representational relation to the world can exist and get its sense for us only as part of our ‘inhabiting’ the world with the whole of ourselves; and thirdly, that ‘inhabiting’ a world in this sense implies that the world exists independently of our participation in it, sets its own limits to the ways in which we can participate in it, and extends far beyond any ‘meanings’ that may emerge from the ways in which we currently inhabit it (Matthews, 2002, p. 54). According to Merleau-Ponty, awareness and understanding of the lifeworld is a necessary condition for knowledge. He says that the lifeworld precedes knowledge. Thus, lifeworld is a world of perception (Merleau-Ponty, 2014/1945). Perception is the ground of both the subjectivity and the objectivity of experience, of its inner feel and its outward “grip” (prise) on the world. Perception is not a “mental” event, for we experience
94
our own sensory states not merely as states of mind, but as states of our bodies and our bodily behaviours. Perception is the background from which all acts stand out, and is presupposed by them (Merleau-Ponty, 2014/1945). Thus, it is clear that for MerleauPonty, we can never escape the lifeworld, the complex, qualitative and lived reality that is there for us whatever we do (Dahlberg, Dahlberg & Nystrom, 2008).
The lived body experience and mental health Bodies are fascinating. They are functional and biological entities, yet at the same time bodies depict aspects of the emotional self. It seems as if a person’s experiences are contained within the physicality of their bodies (Phillips, 2006). Through Phenomenology of Perception, Merleau-Ponty attempts to explore one specific aspect of the lived body. In this term, he attempts to provide a phenomenological account of the human body, focussing primarly on the first person standpoint, on what is involved for each of us in our bodily existence. The body that is thereby revealed is not the scientific object of Cartesian dualism, and its subjectivity is not that of a consciounesness inhabiting such as an object. Further, the world as it is for the human subject is for an embodied subject, not for a disembodied consciousness. Human being in the world is a bodily being or existence, and will require for its adequate description a breaking with traditional philosophical categories (Keat, 1982). The lived body gives us a home in the world and in its existence it emphasizes the mutuality between humans and the world (Dahlberg, Dahlberg & Nystrom, 2008). Thus, in his account of human body, the concept of lived body is not only challenging the possibility of conceptualizing it as a scientific object, and od conceptualizing humans as composed of such a body and ontologically distinct consciousness; but also extending that human in some sense are bodies, when this concept is properly understood. Further, to the extent that humans do indeed differ from other organic and inorganic beings, this is due not to their having some distinctive, non bodily features, but rather to the distinctive character of their bodies (Keat, 1982).
In mental health issue there are many questions that should be critised. Such as many of terms that describes the phenomenon of mental illness, and as stated by Phillips (2006), it is rather difficult, however, to think of a term that best describes 95
how some people appear to be attempting to relate their experiences and perceptions to others in a way that the rest of us might find bizarre, frightening and strange. As an example, the term of mental disorder is open to controversy. It implies that there exist a mental order indicating a state of normality. In contrast, a disorder suggests abnormality. Mental distress is perhaps not adequate either, as people are often no distressed as a result of their delusional experiences (Phillips, 2006). Another questions are what led up to the ‘disorder’? What happened in that person’s life to bring about the ‘symptom’? What is mania? What is depression? What is schizophrenia? What is self-harm? In general, the description of those questions emphasised on behavioural and genetic aspect with a view to normalising the behaviour. Many of textbooks in mental health issue emphasised the importance of the body response, but only as an indicator possible psychiatric conditions. Phillips stated (2006), that the body does not hold clues to the emotional experience of the individual, and how patients have made sense of themselves and the world around them. The body is fundamentally relevant to mental health practice. British psychiatry has historically approached the cause and treatment of mental illness through observation of the body. This tradition continues within current psychiatric and allied mental health practice in the case of mental health assessment. To form a diagnosis, practitioners routinely conduct detailed observations of patients’ appearance, posture, gesture and gait, thereby using the body as a diagnostic index (Phillips, 2006). The experience of illness represents an altered state of existence, a distinct mode of “being-in-the-world.” The patient is isolated in this experience because of his inability to communicate the reality of his illness to others, and particularly to the one who is most intimately involved in sharing that reality - his physician. The experience of illness, rather than representing a shared “reality” between physician and patient represents, in effect, two quite distinct “realities”(the meaning of one “reality” being significantly different from the meaning of the other) (Toombs, 1984). When experiencing an illness, humans do not enjoy easy and natural access to the world. The relationship with the world is disturbed. As Gadamer stated in Dahlberg, Dahlberg and Nystrom (2008), illness as the loss of health, as the loss of one’s undisturbed freedom, always involves a sort of exclusion from life. In illness,
96
humans no longer free to participate in everyday activities and fulfil the goals and life purposes. First and foremost, illness represents dis-ability, the “inability to” engage the world in habitual ways. The relation between the lived body and the environment is also changed in that, with illness, the surrounding world looks and feels different. In lifeworld approach, an illness is far more than a symptoms, diagnoses, and treatment; it is the loss of abilities and the interruption of harmonic, easy and unmindful living. The lived body and, even more profoundly, lived illness, clarify what it means to have access to the world. A break-down of one’s body means a break-down of life and the illness alter one’s attachment with the world (Toombs, 1992). In phenomenology the common distinction is between the body that I prerelectively live, that is the lived or subject body, and the physical body that I can perceive or that is perceived by others, in other words, the object body (Fuchs & Schlimme, 2009). In particular, such an analysis discloses that at the pre-reflective level (i) the body is not explicitly thematized as body (i.e., it is not apprehended as a physiological body or as a material object among other material entities within the world); (ii) the relation with lived body is an existential, rather than an objective, relation. At the level of lived body, I do not “have” or “possess” a body, I am my body; (iii) there is thus a fundamental identification with body at the pre-reflective level such that there is no perceived separation between body and self; and (iv) the lived body exhibits certain features which are essential to embodiment (Toombs, 1992, pg. 51). As an embodied subject I find myself always within the world in the midst of environing things. I am “embodied” in the sense not that I “possess” a body but in the sense that I am my body.
Rather than being an object of the world, my body is my particular point of view on the world (Merleau-Ponty, 2014/1945). The lived body or subject body functions as the medium and the background of our experience. As stated by Stanghelini (2009) in Fuchs and Schlimme (2009), it enables our understanding of the environment as a space of possible engagement and action, of objects being to ready hand (to grasped, to be cut, eaten, written, to dress with). Thus, the overall experience of being in the world is inseparable from how one’s body feels in its surroundings. The basic bodily feelings are the same time feelings
97
of bodily states and ways of experiencing the world (Ratcliffe, 2008). This applies, in particular, to existential feelings such as feeling at home, belonging to the world, having sense of reality, or feeling distant from things or others, alienated, and depersonalized, as well as to atmospheric perception. This is in line with Merleau-Ponty statement that subjectivity is bound up with the body. The experience of being in the world is intrinsically tied to the experiences of being a body in the world (Merleau-Ponty, 20114/1945). These background feeling rooted in the body are not directed towards specific objects or situations but colour and structure one’s experience as a whole (Fuchs
& Schlimme, 2009). Since all experience represents a correlation between the one who is experiencing and which is experienced, and since the locus of meaning is grounded in the intentional activity of personal consciousness, the core of a person’s experience cannot be immediately accessible to another. Each individual retains the essential core of his experiencing as constituted world which essentially transposes the world into own world. Nevertheless, although the individual experiences the world directly in a unique way, he perceives himself to be located in an intersubjective world, that is, to be living in a familiar world as a man among fellow men who share a relationship to a common world (Toombs, 1984). In this context, lifeworld approach placed the existence of human being as a subject and also as object in the world. The self-conscious reflectively conscious of being both subject and object in an intersubjective world. The subject and the object inseparable. Understanding others human and their existence can never be complete without the perspective of their subjective experience, their lived viewpoint of body, health, knowledge and existence (Dahlberg, Dahlberg & Nystrom, 2008). In term of mental health, illness is fundamentally experienced by the patient as a disruption of lived body. Consequently, illness must be understood not simply as the physical dysfunction of the mechanistic, biological body but as the disorder of body, self and world (of one’s being-inthe-world). Unlike the conception of body-as-scientific-object, the paradigm of lived body situates illness in the particular patient in a very explicit way (Toombs, 1992).
Stating his dedication to the relationship between the mind and the body, Merleau-Ponty suggests that the body’s perceptiveness is not simply a result of what 98
occurs in the realm of the mind. The mind itself is embodied. It is the body itself that ‘learns’ how to perform certain actions (Phillips, 2006). As Merleau-Ponty states in The Primacy of Perception, ‘a movement is learned when the body has understood it, that is, when it has incorporated it into its “world”, and to move the body is to aim at things through it’ (Merleau-Ponty in Welton 1999: 155, as cited by Phillips, 2006). The body is a site of sensory experience, not a mere object. The mind is not separated from the body, or somehow just situated in the head with the body as a separate entity. Human beings perceive and experience the world through their bodies. Thought itself relates to the whole body in its relation to the world (Phillips, 2006).
Conclusion What is meant by lifeworld approach is to turn to examples of the way things are actually lived and experienced in the context and situation in which they occur. In other words, when an experience of a phenomenon is investigated it is done via real life examples in which the phenomenon or experience is embedded rather than creating a battery of questions pertaining to specific isolated aspects of the phenomenon which are removed from the full context in which these aspects where experienced (Giorgi in Ashworth & Chung, 2006). In term of phenomenology, the body is a permanent structure of perception, over and beyond the peculiar features of any on of the five traditionally differentiated senses. Because of the perception is holistic and the body’s background self-awareness is one of its permanent horizons, consequently every external perception is immediately synonymous with a certain perception of my body, just as every perception of my body is made explicit in the language of external perception (Carman, 1999). For Merleau-Ponty, the body is a primitive constituent of perceptual awareness as such, which in turn forms the permanent background on intentionality at large. In effect, the body is a natural self and the subject of perception. As MerleauPonty states, our bodies seem to directly relate to the objects around us even prior to us reflecting or conceptualising our actions (Merleau-Ponty, 2014/1945).
99
In mental health issue, the lived body and its presentation (symptoms) are seen to merely relate to specific biologically determined mental illness, and therefore considered within a biomedical framework. Put in another way, this article (in term of lifeworld approach) considers the physicality of people diagnosed with mental illness, proposed to suggest that the body is a means by which patients seem to convey their life experience. In this context, the body must be understood in term of communicator role which is try to saying something about their experience and as researcher we have to perceive and note these expressions as meaningful. Lifeworld approach alerts us as researchers to the absolute primacy of the individual’s unique experiencing-of the world and practically, may provide some insights which are most helpful when considering the experience of illness and the patient/physician relationship.
References Carman, T. (1999). The body in Husserl and Merleau-Ponty. Philosophical Topics, 27 (2): 205-226. Dahlberg, K., Dahlberg, H., & Nystrom, M. (2011). Reflective lifeworld research. Swe-den: Studenlitteratur. Ehrich, L.C. (2003). Phenomenology: the quest for meaning. In T.A. O’Donoghue and K.F. Punch (Eds.), Qualitative educational research in action: Doing and reflecting. London: Routledge Falmer. Finlay, L. (2008). Introducing phenomenological research. Accessed 19 April 2012. http://www.linda.finlay.com/introducingphenomenologicalresearch.doc. Fuchs, T., and Schlimme, J. E. (2009). Embodiment and psychopathology: a phenomenological perspective. Current Opinion in Psychiatry, 22 (6): 570-575. Giorgi, B. (2006). Can empirical psychology be drawn from Husserl’s phenomenology? In Ashworth, P., Chung, M.C (Eds.), Phenomenology and psychological science: Historical and philosophical perspectives. New York: Springer. Gadammer, H.G. (1995/1960). Truth and method. Second revised edition ( J. Weinsheimer & D. Marshall, Trans.). New York: The Continuum Publishing Company. Heidegger, M. (1998/1927). Being and Time ( J. Macquarrie & E. Robinson, Trans.). Oxford: Blackwells.
100
Hung, R. (2012). A lifeworld critique of ‘nature’ in the Taiwanese curriculum: A perspective derived from Husserl and Merleau-Ponty. Educational Philosophy and Theory, 44 (10): 1121-1132.
Husserl, E. (1983). Ideas pertaining to a pure phenomenology and to a phenomenological philosophy: First book. K. Kersten (Trans.). Boston-Lancester: Martinus Nijhoff Publishers Husserl, E., (1970/1936). The crisis of European sciences and transcendental phenomenology (D. Carr, Trans.). Evanston, IL: North Western University Press. Keat, R. (1982). Merleau-Ponty and the phenomenology of body. Unpublished manuscript, University of Edinburgh in http://www.russellkeat.net. Downloaded at August, 8, 2016. Langdridge, D. 2007, Phenomenological psychology: theory, research and method. Harlow: Pearson Education. Matthews, E. (2002). The philosophy of Merleau-Ponty. Bucks: Acumen Publishing Limited. Merleau-Ponty, M. (2014/1945). Phenomenology of perception (D.A Landes, Trans.). London and New York: Routledge. Phillips, L. (2006). Mental illness and the body: Beyond diagnosis. London-New York: Routledge. Priest, E. (2003). Merleau-Ponty. London: Routledge. Ratcliffe, M. (2008). Feeling of being: Phenomenology, psychiatry and the sense of real-ity. Oxford: Oxford University Press. Toombs, S.K. (1984). The meaning of illness. Thesis. Unpublished. Texas: Baylor Uni-versity. Toombs, S.K. (1992). The meaning of illness: A phenomenological account of the different perspectives on physician and patient. Springer-Science and Business Media, B.V. Welton, Donn (2003). The New Husserl: A Critical Reader. Bloomington, IN: Indiana University Press.
101
Mengeksplorasi Kearifan Budaya Lokal Sebagai Langkah Preventif Terjadinya Gangguan Kesehatan Mental DESI
Pendahuluan Pakar keperawatan transkultural, Madeleine Leininger menegaskan bahwa tujuan dari teorinya ialah untuk menyelaraskan tindakan keperawatan pada individu atau kelompok sesuai dengan nilai-nilai, praktik budaya, dan kepercayaannya. Hal ini berhubungan dengan fakta bahwa setiap individu dengan latar belakang budayanya memiliki perbedaan pandangan terhadap konsep sehat-sakit. Perbedaan pandangan ini juga berlaku pada pemahaman setiap individu tentang kesehatan mental (Leininger, 2013) Budaya memiliki peranan penting dalam peningkatan kesehatan di dalam suatu kelompok masyarakat. Budaya adalah bagaimana seseorang dapat meniru dan menyesuaikan diri untuk mengubah lingkungannya menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk ditinggali. Itulah mengapa, aspek budaya dalam diri seseorang seringkali memberikan pengaruh besar terhadap pengetahuan (knowledge) dan perilakunya (behavior), termasuk dalam hal peningkatan kesehatan, khususnya kesehatan mental. Peningkatan kesehatan mental menjadi sorotan dunia khususnya World Health Organization (WHO) sebab data menunjukan bahwa ada sekitar 450 juta orang di dunia menderita gangguan kesehatan mental. Sebagai contoh di Amerika, 1 dari 4 orang mengalami gangguan kesehatan mental sedangkan yang menderita penyakit jiwa
Skizophrenia dan Depresi Mayor ialah 1 diantara 17 orang dewasa (NAMI, 2014). Di Indonesia, kesehatan mental pun masih menjadi permasalahan yang belum terselesaikan. Dari sekitar 400.000 orang yang menderita penyakit mental berat, hanya 103
ada sekitar 10% saja yang terlayani di fasilitas kesehatan. Sebabnya, banyak dari keluarga penderita yang enggan untuk memeriksakan anggota keluarganya ke fasilitas kesehatan. Ada beberapa alasan mengapa hal ini terjadi seperti karena “malu” dan “takut”. Malu yang dimaksud adalah malu karena dianggap sebagai keluarga yang tidak benar, dan takut yang dimaksud adalah takut jika diketahui oleh orang lain, maka keluarga penderita akan dijauhi. Jika disimpulkan, alasan-alasan tersebut ialah berkaitan dengan “Stigma dan diskriminasi” masyarakat terhadap penderita gangguan mental. Sedangkan, terdapat sekitar 14 juta penduduk Indonesia yang mengalami gangguan kesehatan mental secara menyeluruh (RISKESDAS, 2013). Dalam ruang lingkup kesehatan mental, paradigma lama yang menekankan tindakan kuratif penyakit jiwa mulai bergeser menjadi paradigma baru bahwa, kesehatan mental harus mengutamakan tindakan preventif sebelum akhirnya gangguan kesehatan mental seperti “negative thinking” menjadi penyakit jiwa seperti Skizofrenia. Namun, jika hanya 10 % saja dari 400.000 penderita penyakit jiwa yang terlayani di Fasilitas
Kesehatan, lalu bagaimana fasilitas kesehatan dapat menjangkau 14 juta penduduk secara menyeluruh? Dengan cara yang bagaimana petugas kesehatan mengubah cara pandang masyarakat terhadap gangguan mental sehingga dapat mengurangi angka kejadian gangguan kesehatan mental? Sebab dari angka tersebut, tergambar bahwa, masalah gangguan kesehatan mental masih kurang diperhatikan oleh banyak individu selama belum berubah menjadi penyakit mental yang serius. Lalu bagaimana dengan stigma dan diskriminasi itu sendiri? Tidak hanya di Indonesia saja, stigma dan diskriminasi menjadi permasalahan klasik yang memiliki dampak luas terhadap pelayanan kesehatan. Penelitian yang dilakukan oleh Bailey et al. (2011) tentang “Depresi Mayor pada Populasi Afrika-Amerika” menunjukan hasil bahwa perilaku negatif terhadap tenaga kesehatan oleh orang Afrika-Amerika ialah terkait: stigma, kepercayaan terhadap nilai-nilai keagaaman yang berlebih, tidak percaya pada tenaga kesehatan, dan hambatan dalam berkomunikasi. Perilaku-perilaku tersebut yang kemudian berkontribusi pada penurunan pelayanan kesehatan mental.
104
Budaya Sering kita mendengar pertanyaan, “apa suku anda?”, atas pertanyaan ini, beberapa orang mungkin akan segera menjawabnya dengan tegas apa sukunya. Namun jika pertanyaan itu ditujukan kepada saya, perlu waktu 5 menit untuk menjawab yang sebenarnya bukan jawaban melainkan penjelasan silsilah keluarga yang kemudian diikuti dengan pertanyaan balik, “jadi, menurut anda, apa suku saya?” Banyak orang yang menginterpretasikan suku adalah budaya, dan demikian sebaliknya. Pengertian sederhana dari suku yang dimuat dalam Ensiklopedia Indonesia ialah suatu kelompok dalam sistem sosial yang anggotanya memiliki kesamaan dalam hal silsilah keturunan, bahasa (bahasa daerah maupun sebatas logat), sistem nilai, serta adatistiadat dan tradisi turun temurun. Sementara Budaya ialah sebuah cara hidup dan cara pandang yang diwariskan turun-temurun. Cara hidup dan cara pandang yang dimaksud ialah bagaimana suatu kelompok melakukan aktivitasnya dengan pola pikir yang didasari pada nilai-nilai budaya, sosial dan keagamaan, watak/karakter, serta tradisi/ kebiasaan dan hukum adat istiadat dalam suatu kelompok (bisa suku, ras , agama, atau kelompokkelompok tertentu). Budaya terbentuk dari berbagai hal termasuk sistem agama, politik, bahasa, adat istiadat, perkakas, pakaian, bangunan, bahkan karya seni yang kemudian menjadi penciri bagi budaya tersebut. Di Indonesia pada tahun 2010, tercatat ada 1331 suku yang tersebar, dan kemudian di tahun 2013, mencuat data bahwa 633 diantaranya merupakan kelompok suku besar (BPS, 2015). Suku Jawa merupakan suku terbesar di Indonesia (40.05 %), di urutan ke 2 terbesar ialah suku Sunda (15.50%), dan suku-suku lain memiliki presentase di bawah 5%. Sementara untuk budaya, belum ada angka pasti yang menyebutkan jumlah budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia. Hal ini dapat dimungkinkan karena pada setiap suku yang ada, terbagi lagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang memiliki budaya yang berbeda satu dengan yang lain. Sebagai contoh suku Jawa yang tentunya memiliki beragam budaya yang dapat membedakan antara kelompok suku jawa yang berbahasa “Jawa Ngapak” dengan kelompok suku Jawa yang berbahasa “Jawa Halus”. Begitu pula dengan perbedaan kebiasaan/tradisi, pakaian adat, pola pikir/cara pandang,
105
keyakianan terhadap sesuatu, dan seterusnya. Berdasarkan teori kebudayaan dan perbedaan-perbedaan yang bervariasi antar budaya, maka penulis menyakini bahwa: 1.
Dengan latar belakang budaya, seorang individu atau kelompok dapat “menciptakan” masalah kesehatannya sendiri
2.
Dengan latar belakang budaya yang berbeda beda, maka implementasi proses asuhan keperawatan pun harus berbeda dan khusus di tiap individu atau kelompok budaya.
3.
Namun, dengan latar belakang budaya pula, seorang individu atau kelompok dapat mempertahankan bahkan meningkatkan kualitas hidupnya secara holistik/ menyeluruh (biopsikososiokultural). Diperlukan pola pikir yang positif terhadap suatu kondisi kesehatan, khususnya
kesehatan mental penduduk dunia saat ini sehingga, poin ketiga dari apa yang menjadi keyakinan penulis di atas, merupakan hal yang perlu dikembangkan demi tercapainya kesehatan mental yang optimal bagi setiap individu atau kelompok budaya. Poin tersebut mengarah pada kearifan budaya lokal yang jika dipelajari secara sungguh-sungguh dapat digunakan sebagai langkah preventif terhadap gangguan kesehatan mental.
Gangguan Kesehatan Mental Berbicara mengenai ganguan kesehatan mental, tentunya dapat dipahami dengan mengenal terlebih dahulu pengertian dari kesehatan mental. World Health Organization (WHO) mendefinisikan kesehatan mental sebagai kondisi sejahtera dimana setiap individu dapat menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik sebagai individu dan dapat memberikan dampak positif lingkungan sekitarnya (WHO, 2014). Dari pengertian diatas, WHO pun menyimpulkan bahwa kesehatan mental bukan saja hanya ketika sesorang tidak mengidap penyakit jiwa. Kesehatan mental selalu dihubung-hubungkan dengan kesehatan fisik, bahkan spiritual. Seseorang yang mengalami gangguan kesehatan fisik, dapat saja terganggu kesehatan mentalnya. Atau, 106
ketika seseorang mengalami gangguan mental, banyak yang masih menganggap bahwa hal tersebut dikarenakan oleh roh jahat. Lalu, apa sebenarnya gangguan kesehtan mental? Skizofrenia, Depresi Mayor, Alzheimer dan seterusnya, masih terlalu jauh untuk mendefinisikan gangguan kesehatan mental. Gangguan kesehatan mental dikaitkan dengan kekeliruan pola pikir dan olah persepsi terhadap sesuatu hal. Kekeliruan dalam berpikir tersebut yang kemudian dapat ditunjukan melalui perilaku sehari-hari dan berdampak entah positif atau negatif bagi dirinya dan lingkungan sekitar (Maisel, 2013). Untuk membuat lebih jelas tentang gangguan kesehatan mental, penulis ingin mengajak pembaca untuk menyimak fenomena operasi plastik dan variasi program penurunan berat badan (BB) hingga kurang dari angka normal yang dilakukan oleh kaum perempuan, sebagai salah satu contoh gangguan kesehatan mental. Sekilas, segala bentuk usaha tersebut adalah wajar, terutama jika fasilitas yang diperlukan sangat mendukung. Namun, yang menjadi sebuah ketidakwajaran ialah ketika seseorang menjadi obsesi / obsesif untuk melakukan operasi pastik ataupun program diet secara berlebihan.
Lalu, bagaimana fenomena tersebut dikaitkan dengan gangguan kesehatan mental? Perilaku obsesi atau obsesif merupakan gangguan mental yang membuat seseorang memiliki kecemasan berlebih untuk melakukan sesuatu hal secara berulang dikarenakan adanya stres/tekanan dari lingkungan sekitar. Faktanya, saat ini, setiap perempuan usia produktif memiliki resiko terhadap gangguan ini karena lingkungan sosial menuntut mereka untuk melakukannya.
1. Stigma: Ciri negatif yang melekat pada seseorang. Orang yang melakukan serangkaian operasi plastik, bukan tidak mungkin adalah orang yang dianggap “buruk rupa” sehingga berusaha untuk menghilangkan image tersebut pada dirinya. 2. Diskriminasi: menjadi seseorang yang dijauhi dalam komunitas karena stigma merupakan pengalaman traumatik yang bukan hanya sekedar membuat seseorang menjadi termotivasi untuk menjadi lebih baik saja, melainkan dapat membuat seseorang menjadi obsesif dan tidak pernah puas. 107
3. Pergeseran defenisi “Cantik dan menarik”: Banyak perempuan saat ini yang karena terobsesi ingin tampil seperti public figure idolanya, mengikuti trend artisartis K-Pop (asal korea). Oleh karenanya, defenisi cantik dan menarik pun berubah menjadi ciri-ciri fisik seperti kulit putih mulus, rahang pipi tirus, tubuh langsing (dibaca: kurus), tinggi dan dibeberapa bagian tubuh terlihat bervolume layaknya artis K-Pop tersebut. Bukan hanya perempuan saja, bahkan laki-laki pun sudah memiliki pengertian yang serupa tentang cantik dan menarik.
4. Narsistik: Keinginan yang kuat (obsesif) untuk merubah situasi dari diskriminasi menjadi pusat perhatian. Perlu diketahui bahwa narsistik merupakan gangguan kesehatan mental yang terjadi karena dorongan kuat untuk menjadi dirinya penting dan sebagai pusat perhatian. Apa yang terjadi jika tuntutan sosial tersebut gagal dipenuhi? Bukan tidak mungkin seseorang perlahan akan mengalami gangguan kesehatan mental karena tidak bisa menjadi seperti yang diharapkan. Ironisnya adalah, bahkan mereka yang sudah berhasil merubah penampilannya pun tidak semerta-merta lepas permasalahan sosial, bullying. Kesimpulan dari apa yang dipaparkan sebelumnya ialah bahwa, satu saja permasalahan gangguan kesehatan mental pada dasarnya akan meluas, bahkan memburuk dan menjadi rumit untuk diselesaikan. Sehingga, penanganan dini (preventif) masalah gangguan kesehatan mental saat perlu untuk dilakukan.
Eksplorasi Kearifan Budaya Lokal terhadap Gangguan Kesehatan Mental Setiap individu yang berbudaya pasti memiliki nilai-nilai kebudayaan yang ia dapat sejak lahir bahkan ketika ia mulai berbaur dan mengenal komunitasnya. Madeleine Leininger dalam bukunya, “Nursing and Anthropology” (1970), menjelaskan bahwa budaya pegangan hidup yang juga mencakup segala cara penyelesaian masalah kelompok yang dapat tercermin dari bahasa, makanan, pakaian, tempat tinggal, perkakas, hasil kreatifitas, tradisi/kebiasaan dan watak. Dengan demikian, jika budaya merupakan pegangan hidup seseorang atau kelompok, maka tentunya, budaya dapat menjadi sarana untuk 108
meningkatkan
kualitas
hidup
seseorang
(atau
bisa
sebaliknya
jika
tidak
disalahgunakan keberadaannya). Nilai-nilai budaya memiliki kekuatan yang besar untuk mengarahkan seseorang dalam berperilaku dan berpikin untuk mencari solusi dari setiap masalah yang ada. Tentunya, dalam budaya pun mengenal upaya-upaya untuk mendapatkan kesehatan yang optimal. Upaya yang dimaksud tentunya berbeda-beda pada setiap budaya karena cara pandang mereka terhadap kesehatan pun berbeda. Ada kelompok yang secara ekonomi lemah namun mereka menjadi sangat kaya dalam hal sosial budaya; cara hidup kekeluargaan dan banyak menjalankan kegiatan keagamaan. Orang dalam kelompok budaya ini sering disebut sebagai orang yang “berkekurangan” dalam hal kesehatan secara umum, akan tetapi itulah cara pandang mereka untuk mengusahakan kesehatan yang optimal (pada konteks sosial dan spiritual). Lain halnya dibeberapa budaya yang menganut paham bahwa kesehatan bukanlah yang paling utama dalam nilai-nilai budaya mereka. Namun, upaya untuk meningkatkan kesejahteraan yang dilakukan ialah dengan tidak terlalu terlibat dalam interaksi sosial, politik dan tidak berlebih dalam hal keuangan. Lebih ekstrim, ada pula budaya yang sama sekali tidak menganggap kesehatan adalah hal yang penting untuk ditanamkan dalam nilai-nilai budaya mereka.
Sebagai akibatnya, muncul berbagai konflik antar anggota kelompok tersebut dengan komunitas luas tempat mereka tinggal. Hal tersebut inilah yang kemudian membuat nilai-nilai budaya tentang kesehatan menjadi kuat dan semakin bervariasi untuk kemudian diberikan implementasi (Leininger, 1970) Inilah tantangan bagi tenaga kesehatan di masa sekarang dan yang akan datang, yaitu untuk menggunakan nilai-nilai budaya (kearifan budaya lokal) untuk bisa meningkatkan kesehatan, khususnya kesehatan mental dengan tindakan preventif. Sebab, masih banyak tenaga kesehatan yang tidak menyadari akan keberagaman budaya yang pada dasarnya memiliki nilai, norma dan praktik kesehatannya sendiri. Mengabaikan nilai dan norma budaya terhadap kesehatan, akan menghasilkan dampak yang sangat kecil bahkan tidak ada bagi peningkatan kesehatan suatu kelompok. Karena pada akhirnya, nilai-nilai budaya adalah pegangan kuat cara hidup mereka.
109
Dalam konteks kesehatan mental di Indonesia, permasalahan yang sebenarnya ada ialah terkait fasilitas kesehatan yang jumlahnya belum memadai bagi sebagian besar wilayah. Banyak tenaga kesehatan mental yang terpusat di daerah perkotaan dan belum semua tempat (pelosok desa hingga pedalaman daerah) terjangkau. Venurut Dr. Eka Viora dalam workshop yang dibawakannya di Universitas Gajah Mada, standar jumlah psikolog yang ditetapkan WHO adalah yang seharusnya ialah 1:30 orang. Kenyataannya, di Indonesia baru memiliki sekitar 451 psikolog klinis, 773 psikiater, dan 6.500 perawat jiwa untuk melayani sekitar 250 juta. Lebih lanjut ialah tentang apa yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa tenaga kesehatan belum peka terhadap nilainilai budaya yang ada pada pasien/keluarga pasien. Program pemerintah dalam bentuk sosialisasi, penyuluhan, kegiatan terkait mental health management, pengobatan gratis, dan lain sebagainya tidaklah berdampak besar tanpa pendekatan budaya. Kesehatan mental merupakan kebutuhan setiap individu, dan budaya adalah cara hidupnya sehingga, menggunakan nilai-nilai budaya untuk meningkatkan kesehatan individu adalah sebuah kesatuan.
Stigma Penulis beranggapan bahwa stigma dan diskriminasi membuat dua arah hubungan yang berlawanan. Arah yang pertama ialah, dengan adanya stigma dan diskriminasi, seseorang atau bahkan suatu kelompok dapat mengalami gangguan mental. Sementara yang kedua ialah, dengan stigma dan diskrminasi pula seseorang yang dalam tahap pemulihan pasca gangguan kesehatan mental akan mengalami kekambuhan dari sakitnya. Dengan demikian, tidak akan ada titik pemutusan gangguan kesehatan mental selama perspektif masyarakat tentang kesehatan mental masih diikuti dengan stigma dan diskriminasi. Budaya memiliki peranan dalam hal stigma. Ada banyak stigma muncul karena sebuah kejadian/fenomena yang memiliki makna kontras dengan nilai-nilai budaya (dan seringkali dengan spiritual) yang dianut. Setiap budaya memiliki karakter, respon dan pola pikir berbeda terhadap suatu hal. Stigma tidak akan hilang dari seseorang jika tidak disertai dengan perubahan pola pikir suatu masyarakat. Sehingga, dibutuhkan
110
pendekatan budaya untuk bisa mengkaji nilai-nilai budaya suatu kelompok masyarakat dan mengintervensi hal-hal yang perlu untuk dipertahankan, dimodifikasi ataupun diubah melalui orang-orang yang dianggap paling berpengaruh di suatu kebudayaan.
Refleksi Komposisi mahasiswa maupun staff yang ada di Universitas Kristen Satya Wacana khususnya Fakultas Ilmu Kesehatan merupakan representatif dari budaya-budaya Indonesia. Bahkan Transkultural Keperawatan telah dipilih menjadi penciri dari Program Studi Ilmu Keperawatan. Sehingga, paparan tentang budaya dan kesehatan mental dalam tulisan ini akan menjadi sebuah refleksi diri untuk memulai apa yang telah ditulis melalui PSIK-FIK UKSW. Ilmu kesehatan mental, budaya dan keperawatan transkultural harus berkembang dan untuk memulainya, ketiga aspek ini perlu diterapkan pada sistem pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Menyisipkan nilai-nilai budaya dalam setiap pengajaran merupakan langkah awal untuk dapat mengenalkan mahasiswa lebih dekat dengan kearifan budaya lokalnya dan tentunya akan membuat penulis semakin kaya dengan pengetahuan tentang budaya.
Dalam bidang penelitian, ketiga aspek yang telah disebutkan diatas merupakan focus penelitian yang sangat perlu untuk terus dikembangakan sehingga dapat menghasilkan penelitian-penelitian terbaru yang benar-benar dapat memberikan informasi dan dampak positif bagi perkembangan akademik. Alangkah lebih baik jika penelitianpenelitian pada focus penelitian ini dimulai dengan menjawab pertanyaan ilmiah yang sangat fundamental terkait mental health dan budaya. Tentunya, ilmu dan hasil-hasil penelitian nantinya dapat diunakan sebagai dasar dalam melakukan pengabdian masyarakat dimanapun saya dan semua yang pernah belajar di FIK UKSW berada. Selamat memperingati hari jadi ke 10 tahun, Almamaterku. Kita telah terpilih menjadi kepanjangan tangan Tuhan untuk menjadi berkat bagi orang-orang di sekitar kita.
Tuhan memberkati kita.
111
Daftar Pustaka Leininger, M. M., & McFarland, M. R. (2006). Culture care diversity and universality: A worldwide nursing theory. Sudbury, MA: Jones and Bartlett. Maisel, E. (2012). Rethinking depression: How to shed mental health labels and create personal meaning. Novato, CA: New World Library. Mengulik Data Suku di Indonesia. (n.d.). Retrieved July 29, 2016, from https://www. bps.go.id/KegiatanLain/view/id/127 Mental Health Condition. (n.d.). Retrieved August 1, 2016, from http://www.nami.org/ Learn-More/Mental-Health-Conditions Minim Psikolog, Ribuan Penderita Gangguan Jiwa Belum Tertangani. (2015, February 10). Retrieved July 30, 2016, from https://ugm.ac.id/id/berita/9715minim. psikolog.ribuan.penderita.gangguan.jiwa.belum.tertangani The New Definition of a Mental Disorder. Retrieved July 30, 2016, from https:// www.psychologytoday.com/blog/rethinking-psychology/201307/the-newdefinition-mental-disorder WHO | Mental health: A state of well-being. (n.d.). Retrieved July 29, 2016, from http://www.who.int/features/factfiles/mental_health/en/ Leininger, M.M. & McFarland, M.R. (2006). Culture care diversity and university: A worlwide nursing theory. Subdury, MA: Jones and Bartlett.
112
Ada Yang Terlupakan: Humaniora & Etika Dalam Kesehatan Fungsi Sosial atau Fungsi Ekonomi DAVID SOMBOLINGGI
Pengantar Masih teringat 20 tahun lalu, ketika Prof. Laksono Trisnantoro, Ph.D dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mengatakan kepada penulis Sbb: David di UGM kami butuh ide dan bukan gelar, keluarkan semua ide-idenya bagi penyusunan perencanaan dan pengembangan program-program kesehatan di masa depan … Tulisan ini dilatarbelakangi pandangan Sosiologi Agama dan Manajemen Rumah Sakit serta berakar pada teori cultur care dan digabungkan antara “harapan dunia atas” dan “dunia bawah” sebagai simbol perkawinan. Kemudian penulis mencoba mengimplementasikan melalui pendidikan kesehatan/kedokteran sebagai dunia atas dan rumah sakit sebagai dunia bawah/nyata. Perbincangan panjang dengan dr.Rossi
Sanusi, MPA, Ph.D berbagai harapan-harapan turut mendukung perwujudan disekitar pendidikan kesehatan/kedokteran dengan rumah sakit sebagai bentuk satu kesatuan yang melahirkan tenaga kesehatan/kedokteran berperilaku sebagai pelayan, memiliki keahlian dan pengetahuan. Tulisan ini juga ingin memberikan penilaian ulang tesis S2 penulis tahun 1997 berjudul Analisis Harapan Stakeholder Terhadap Rencana Tujuan Bisnis Rumah Sakit Elim
- Rantepao dan pengalaman sebagai Consultan RO Penyakit Menular Departemen Kesehatan Republik Indonesia-Bank Pembangunan Asia, pengalaman penulis selama
113
20 tahun sebagai praktisi rumah sakit dan pengamat kesehatan masyarakat yang juga pencetus penerapan manajemen strategik pada rumah sakit di Indonesia, sebagai peneliti dan narasumber seminar PMPK Fakultas Kedokteran-UGM, maupun sebagai pengajar pada Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan dan berbagai pengalaman lain. Tulisan ini kupersembahkan kepada dosen penulis-kawan lama Prof. Jhon A. Titaley - Rektor UKSW; Ferry Ferdy Karwur, Ph.D - Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW; Prof. dr. Alighufron, MSc., Ph.D/Mantan Wakil Menteri Kesehatan - sekarang Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan-Kementrian Ristek Dikti; dan Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., Ph.D - Ketua Minat Utama Magister Manajemen Rumah Sakit-Fakultas Kedokteran UGM. Tulisan ini adalah juga bagian dari hormat saya kepada Maha Guru penulis dr. Rossi Sanusi, MPA, Ph.D/konsultan Internasional
Bank Pembangunan Asia/Ahli Kesehatan Masyarakat - UGM, yang telah menurunkan ilmunya dan mengorbitkan serta mendukung penulis sampai hari ini. Penulis ucapkan terima kasih dan semoga berkenan bergabung kembali sebagai suatu tim dalam menciptakan ide baru, yaitu penggabungan rumah sakit dan fakultas kedokteran di Indonesia sebagai suatu usulan perencanaan di masa depan.
Pengertian humaniora dan etika Humaniora dikenal sebagai ilmu mempelajari kemanusiaan manusia. Juga dipahami sebagai perilaku manusia berbudi luhur dan melekat pada dirinya, memiliki perasaan, dan peningkatan martabat manusia. Kemudian etika/ethos, diartikan sebagai kebiasaan, model perilaku yang diharapkan dan kriteria tertentu untuk suatu tindakan. Dapat juga diartikan sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan, benar-salanya tindakan, burukbaiknya perbuatan, segala sesuatu yang berkaitan alasan tentang isu moral, dan batas-batas perilaku yang mengatur boleh-tidaknya suatu tindakan diimplementasikan.
Sejarah pelayanan kesehatan Mulanya pelayanan kesehatan diperkenalkan oleh Hipocrates. seorang pendeta/theolog Yunani, dukun dan dalam perkembangan selanjutnya disebut sebagai dokter atau
114
bapak kesehatan. Berbagai gelar yang melekat pada dirinya tidak dapat menghilangkan fungsi social dari pelayanan kesehatan diberikan tanpa menuntut pembayaran kembali. Pelayanan kesehatan yang diberikan berdasarkan kemanusiaan manusia dan bukannya dari kemampuan membayar. Dalam perkembangan selanjutnya masyarakat dituntut membayar kembali jasa layanan yang diberikan. Berbagai harapan-harapan stakeholder dalam pelayanan kesehatan saling bertabrakan. Di satu sisi, pelayanan kesehatan tidak menuntut pembayaran sesuai kemampuan oleh karena kuatnya dukungan dana dari donor. Di sisi lain, masyarakat dituntut membayar jasa layanan, oleh karena mahalnya biaya kesehatan yang harus ditanggung pemberi layanan. Bahkan pemberi layanan membagi dan membedakan layanan berdasarkan pangsa pasar. Produk layanan kesehatan dilihat sebagai proses pertukaran antara pembeli dan penjual. Memasuki dekade 1980an pelayanan kesehatan bergeser ke arah fungsi ekonomi dan mengandalkan pembayaran kembali dengan alasan untuk membiayai kelangsungan hidup lembaga. Perhitungan laba dan rugi diterapkan pihak manajemen guna meraih keuntungan, dan produk kesehatan dilirik sebagai pasar potensial guna menghasilkan keuntungan. Metode Duncan diterapkan dalam sektor pelayanan kesehatan, yaitu cash dan carry dengan menyediakan berbagai produk layanan yang dianggap mampu memberikan kepuasan. Bahkan para pemodal berani dan berlomba berinvestasi dalam bidang kesehatan untuk memperoleh keuntungan jangka panjang dan menjadi sapi perahan unit bisnis di bidang lain. Pasar pelayanan kesehatan telah dilihat sebagai upaya untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Para investor berlomba melihat produk kesehatan sebagai upaya untuk mengejar harta karun yang tidak pernah habis. Pertarungan antara fungsi sosial dan fungsi ekonomi dalam sector kesehatan melahirkan subsidi silang sebagai dalil-dalil yang dipandang mampu menjawab masalah dihadapi. Pembiayaan kesehatan bagi yang tidak mampu membayar jasa layanan diprogramkan dalam berbagai bentuk pembiayaan kesehatan. Mulai dari jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat sampai BPJS ternyata tidak sepenuhnya membawa solusi bagi masalah dihadapi. Resiko ketidakmampuan membayar jasa layanan diterima
115
masyarakat miskin, telah dianggap warisan yang harus ditanggung. Seolah-olah eksistensi si miskin sudah digariskan untuk selalu menerima kenyataan pahit. Bahkan lebih ekstrim lagi itulah hukum alam dan harus diterima si miskin. Dari hasil penelitian tesis S2 penulis dan penelitian sejarah perkembangan manajemen pelayanan kesehatan di Indonesia 1900-1999 bersama Prof. Laksono di PMPK-Kedokteran UGM (1999) ditemukan, bahwa fungsi sosial tidak dapat dipertahankan untuk membiayai kelangsungan hidup lembaga kesehatan, termasuk lembaga sosial keagamaan. Kemudian hasil penelitian Prof. Aligufron (1999), bahwa rendahnya kemampuan membayar premi jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat berdampak pada lemahnya sistem pembiayaan di sektor kesehatan. Dari situlah kemudian, penulis mengusulkan kepada Prof. Laksono agar dilaksanakan pelatihan manajemen strategik untuk direktur rumah sakit seluruh Indonesia. Lewat kerja sama PMPK-Kedokteran UGM dengan Direktur Jenderal PUOD Departemen Dalam Negeri, visi, misi, tujuan, dan formulasi satrategi rumah sakit berubah wajah menjadi lembaga bisnis.
Harapan-harapan di Balik Pendidikan Kedokteran Berdirinya
lembaga
pendidikan
kesehatan/kedokteran
sebagai
produk
transfer
pengetahuan dan implementasi di dunia kerja ternyata tidak membawa perubahan yang signifikan terhadap kemanusiaan manusia. Mata ajar dari humaniora dan etika dipandang sebagai simbol atau pelengkap untuk memenuhi persyaratan akademik. Bahkan dilihat sebagai lawan dari upaya mengeruk keuntungan lewat lembaga pendidikan kesehatan/ kedokteran. Lembaga-lembaga pendidikan kesehatan/kedokteran berlomba memacu diri untuk memperoleh manfaat finansial lebih besar ketimbang melatih anak didiknya berperilaku sebagai pelayan. Prinsip perhitungan pengorbanan-manfaat merupakan indikator utama yang sudah diwarisi sejak menimbah ilmu melalui lembaga pendidikan tanpa berusaha menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dalam berpikir dan bersikap.
Lembaga pendidikan dokter dilihat sebagai bentuk investasi ekonomi jangka panjang dan mengabaikan harkat dan martabat yang dijadikan dasar lewat pendidikan 116
humaniora. Nilai-nilai kemanusian manusia yang seharusnya dijadikan dasar dalam berpikir dan dilembagakan menjadi norma dalam bersikap dan bertindak, telah bergeser kearah profit. Upaya untuk mengabdikan diri di sektor pelayanan kesehatan telah berganti wajah menjadi lembaga yang membuat garis-garis pemisah antara si kaya dengan si miskin. Penerapan strategi diferensiasi dengan mengandalkan si kaya sebagai perhatian utama dan dapat menaikkan harga setinggi mungkin untuk mendapat keuntungan dengan mengabaikan fungsi-fungsi pengabdian pada usaha-usaha kemanusiaan. Usaha untuk mengangkat penderitaan dan menghilangkan jeritan si miskin hanyalah utopia belaka dan berdalih bahwa pendidikan kesehatan/kedokteran tetap mengacu pada prinsip utilitarian yang dikenal sebagai jargon lembaga sosial-ekonomi.
Nilai-nilai harkat dan martabat manusia yang sudah disepakati bersama dan dilembagakan menjadi norma serta menjiwai pengelola pendidikan kesehatan berpikir, bersikap dan bertindak, bahkan hilang sama sekali, khususnya pada lembaga pendidikan kedokteran yang mulanya berorientasi fungsi sosial-keagaamaan. Penarikan uang sumbangan sampai ratusan juta rupiah dan uang kuliah puluhan juta dan berbagai macam pembiayaan, mencerminkan ketidakmampuan pengelola mencari sumber-sumber pembiayaan dari pihak ketiga/donor. Langkah-langkah ke arah perhitungan-perhitungan unit cost seharusnya dijadikan acuan untuk melahirkan tarif sesungguhnya, dan bukannya mencontoh bentuk-bentuk tarif dari pihak lain lalu menerapkannya
begitu
saja
tanpa
melakukan
berbagai
perhitungan
serta
pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan. Batas-batas perilaku dan manajemen yang dipandang sebagai pengatur menentukan apa yang boleh dan tidak dilakukan dipandang tidak layak lagi di-pertahankan. Organisasi pendidikan yang mulanya terbentuk pada landasan sosial dan dianut oleh pendiri dinilai lawan dari fungsi ekonomi. Sistem budaya pendidikan berorientasi pelayanan untuk menolong dan mengangkat penderitaan orang lain telah ditinggalkan dan bekerja untuk mencari uang sebanyak mungkin guna mengembalikan modal dan memperoleh keuntungan besar setelah mengikuti pendidikan. Khususnya organisasi pendidikan dokter yang dikenal memiliki budaya serta struktur dan sistem tersendiri, kemudian melihat dirinya sebagai suatu tim atau keluarga yang erat dalam hubungan 117
kerja sama serta mampu memberikan keuntungan besar. Struktur dan sistim pembiayaan kedokteran memang dipengaruhi beberapa faktor, namun banyak kelemahan berakar dari diterapkannya sistem yang sama pada seluruh situasi dan tidak selalu cocok. Sehingga benarlah apa yang dikatakan Handy dalam bukunya berjudul “understanding organization” teori organisasi modern makin menuntut kebijakan yang tepat.
Keyakinan-keyakinan, nilai-nilai dan asumsi pelayanan berbasis pada eksistensi manusia kiranya dapat dijadikan ukuran dalam menilai. Kecepatan dan ketepatan bertindak dikalangan pengambil kebijakan pendidikan kedokteran merupakan harapan-harapan semua pihak agar organisasi dibangun diatas efektifitas dan efisiensi, sekalipun organisasi memiliki ukurannya masing-masing. Seringkali organisasi pendidikan khususnya kedokteran, telah dibutakan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan berpikir bahwa cara yang diterapkan oleh organisasi lain dapat pula diterapkan dalam tempat dan cara sama. Keramahan dan daya tanggap terhadap permintaan dalam implementasi pelayanan kesehatan hanya berlaku pada si kaya, sementara si miskin harus menunggu waktu lama untuk memperoleh pelayanan. Hakhak istimewa seolah-olah telah diwarisi si kaya dari nenek moyang mereka dan berasumsi hanya merekahlah yang layak memperoleh layanan bermutu karena memiliki kekuatan uang. Kemudian si miskin harus menerima nasib dan pasrah kepada keadaan-kehendak Mahakuasa serta menanti mujizat Tuhan. Seolah-olah harapan digantungkan pada Tuhan sendiri bertindak menyelesaikan masalah dihadapi. Dalam penantian dan pergumulan dengan masalah dihadapi, keyakinan-keyakinan akan campur tangan Tuhan tampil kepermukaan sebagai obat penenang. Kekuatan organisasi pendidikan kesehatan, khususnya kedokteran haruslah berorientasi pada hakekat sebagai pelayan. Prinsip-prinsip pelayanan yang berorientsi kasih kepada sesama merupakan dasar yang harus ditanamkan dalam sistem pendidikan kesehatan/kedokteran. Menurut Aristoteles, pelayan adalah seorang terhina dan tidak sedikitpun menunjukkan kemegahan dan bahkan keangkuhannya. Sikap kerelaan dan kerendahan hati merupakan ukuran yang dapat diimplementasikan dalam dunia pendidikan kesehatan, khususnya kedokteran dan bukannya menjadi mesin ATM/ pencari uang pada saat mereka terjun di dunia kerja. Ketulusan dan senyum 118
manis untuk melayani merupakan ciri khas dan harus dibangun saat ini tanpa harus melupakan kriteria lain pada saat pasien membutuhkan uluran tangan. Memanusiakan manusia dalam hubungan perawat, pasien dengan dokter pada saat memberikan layanan tercermin dari sistem yang sudah terbentuk di hulu, sehingga menjadi ciri khas dari seorang pekerja-pelayan di sektor pelayanan kesehatan (hilir). Demikian pula hubungan perawat dan dokter, tidak dilihat sebagai hubungan tuan dan hamba seperti Filemon dengan Onesimus, tetapi dilihat dalam hubungan fungsional. Perbedaan perawat dan dokter dilihat sebagai perbedaan fungsional dalam pelaksanaannya dan bukan menunjuk pada hirarki. Demikian pula sebaliknya dengan pasien, dilihat sebagai orang samaria yang murah hati, dan bukannya sebagai Herodes si tangan besi atau Pilatus yang tidak mau mengambil resiko dari tindakan yang diyakininya benar. Bahkan harapan seorang pelayan dalam hubungannya dengan masyarakat, diidentikkan ketika Yesus melakukan visite dan menyembuhkan orang lumpuh dan orang buta tanpa menuntut pembayaran kembali dari pelayanan diberikan. Apakah anda bisa seperti itu? Semuanya kembali kepada hati nurani kamu sebagai pelayan yang memiliki kasih dan diwujudkan dalam uluran tangan kepada pasien yang telah menjerit kesakitan dan bukannya menjadikan mereka seperti handuk dan siap diperas airnya. Pertanyaan yang mungkin dapat dijadikan renungan adalah: Siapakah manusia sehingga layak memperoleh layanan sesuai standart kesehatan? Dari manakah harkat dan martabat yang dimiliki manusia? Siapakah yang memberi atau meletakkan harkat dan martabat manusia? Atas dasar apa Sang Pencipta meletakkan martabat pada manusia?
Lingkungan dibalik pendidikan kedokteran Menjamurnya lembaga pendidikan kesehatan, khususnya kedokteran sebagai penyedia praktisi dipasar pelayanan kesehatan ternyata tidak diikuti dengan penyediaan sumber daya yang dapat memahami perasaan pasien ketika membutuhkan layanan. Mata kuliah humaniora dan etika hanya diberi bobot 2-4 SKS dipandang mampu meletakkan dasardasar pelayanan berbasis kemanusiaan. Para pengelola lebih terfokus pada upaya memenangkan persaingan lewat pendataan lingkungan eksternal dan internal dimana mereka beroperasi. Mereka cenderung memperlengkapi diri dan lentur terhadap 119
perubahan pasar pendidikan kesehatan, serta melakukan pendataan tentang kekuatankelemahan dimiliki serta peluang dan hambatan yang akan dihadapi ketimbang memperlengkapi mahasiswanya tentang perilaku berbudi luhur. Para pengelola pendidikan kesehatan melihat lembaga pendidikan lain sebagai pesaing dan menyusun berbagai konsep keunggulan sumber daya, ketrampilan dan mencoba menawarkan jurusan pendidikan sesuai selera pasar. Nilai-nilai tentang apa yang boleh dan tidak dilakukan telah dilupakan dan cenderung menutupi keterbatasan dimiliki dan menampilkan kemampuannya. Penampilan keunggulan dimiliki tercermin dari fasilitas, staf pengajar bergelar doktor serta Profesor, kemampuan manajerial pengelola, serta berbagai kelebihan-kelebihan lain dipandang mampu memberi citra sebagai lembaga pendidikan terbaik. Keunggulan sumber daya dimiliki tidak lagi diukur dari norma yang berlaku tetapi cenderung dijadikan acuan dalam melumpuhkan dan bahkan merebut konsumen sebagai wujud persaingan. Ketatnya persaingan dikalangan lembaga pendidikan kesehatan/kedokteran membuat pengelola focus pada beberapa pertanyaan di sekitar kemampuan menyediakan sumber daya dan meninggalkan pertanyaan di sekitar etika. Pertanyaan-pertanyaan tentang keberadaan manusia, baik-buruknya keputusan diambil, tidak lagi menjadi penghalang, bahkan dianggap sebagai pembenaran dari keputusan logis mereka, guna memperoleh keuntungan jangka panjang dan memenangkan persaingan dengan pihak lain. Tindakan medis, khususnya pendidikan kedokteran lebih banyak menggunakan pertimbangan need ketimbang demand. Para tenaga telah dibekali dengan berbagai ketrampilan-keunggulan dan dengan mudahnya mengelabui pengguna jasa layanan kesehatan yang dianggap “bodoh” atau tidak tahu tentang dunia kesehatan.
Dalam hal regulasi untuk membuka program-program baru, para pengambil kebijakan di pusat membuat aturan semakin ketat dan melupakan pertimbangan serta pengambilan keputusan berbasis riset-etika. Pemberlakuan aturan lewat ketentuan dan persyaratan seolah-olah dibuat sedemikian rupa, sehingga menutup kemungkinan bagi lembaga yang kurang modal untuk tidak berani mengajukan usulan. Berbagai kritikan dan usulan dipandang sebelah mata dan cenderung memberikan tanggapan yang tidak 120
lagi sesuai dengan kondisi saat ini, atau pendapat di luar jangkauan dan kemampuan pengusul
untuk
memenuhinya.
Beratnya
persyaratan-persyaratan
ditawarkan
pengambil kebijakan tidak menyurutkan niat lembaga yang memiliki modal, karena mereka telah memperhitungkan investasi jangka panjang. Perhitungan-perhitungan return of investment dan pertimbangan pengorbanan-manfaat menjadi obat bius bagi pemodal mampu membeli dan membuka program-program baru. Segala cara digunakan untuk memperoleh izin pendirian, sekalipun harus menabrak nilai-nilai etika, tanpa memperhitungkan besarnya beban yang harus ditanggung. Besarnya beban pembiayaan ditanggung pembeli pendidikan kesehatan, khususnya kedokteran, tidak lagi menjadi beban moral bagi pengelola pendidikan, karena mereka berpendapat itulah konsekwensi logis yang harus diterima. Pertimbanganpertimbangan keputusan lebih kepada kemampuan menyediakan sumber daya dibutuhkan, dan bagaimana memastikan tersedianya sumberdaya dibutuhkan. Pertanyaan yang sering muncul adalah, apakah kebutuhan sumberdaya langka dapat didanai dan darimana sumber pembiayaannya? Tanpa mau bertanya, apakah penyediaan sumber daya dibutuhkan bermanfaat untuk semua orang atau hanya pada kepentingan kelompok tertentu?
Implementasi dibalik pendidikan kedokteran dan rumah sakit Kesesuaian antara harapan dengan kenyataan perlu dicapai lewat penggabungan pendidikan dokter dengan rumah sakit yang menjadi cita-cita berbagai stakeholder pemberi layanan dengan pengguna. Namun dalam kenyataannya, mutu layanan yang terukur dari berbagai indikator pelayanan rumah sakit masih jauh dari harapan. Memanusiakan manusia lewat beberapa indikator mutu layanan kesehatan seperti, kehandalan tenaga medis dan para medis dalam merawat pasien belum mampu memberikan kepuasan kepada pengguna layanan. Demikian pula, kecepatan, kemudahan, keramahan, komunikasi, keamananan dan berbagai macam indicator lain yang sering dijadikan jargon mutu layanan. Perubahan perilaku, peningkatan skill lab dan lab skill serta kemampuan pengetahuan lewat pendidikan dokter merupakan harapan-harapan yang membutuhkan evaluasi ulang terhadap indikator-indikator yang telah digunakan 121
selama ini bagi perubahan perencanaan dan pengambilan keputusan di masa akan datang.
Pendekatan Manajemen
Rumah Sakit
Laboratorium
Fakultas Kedokteran
Sikap
Keahlian
Pengetahuan
Ucapan Terimakasih Tulisan ini banyak terinspirasi dari ide-ide yang diutarakan oleh Ade Lisa Matasik & kawan-kawan PKMST di (Mardi & Rio) lewat tarian Lebonna (mitologi Toraja) dalam pesta budaya di UKSW dan diproses melalui tahapan evaluasi dan usulan Mahasiswa Toraja agar diwujudkan dalam bentuk tulisan/konsep pendirian Fakultas Kedokteran, diantaranya Fandi, Tato Salusu, Firjohn, James dan Sony, Syalom Pasau, serta kawankawan lain Boy, Jimran, Ferry Revino dalam suatu diskusi.
122
BAGIAN 3 SINDROMA METABOLIK, GOUT ARTHRITIS DAN ILMU GIZI MOLEKULER
Hubungan Antara Diabetes Mellitus Tipe 2 dan Asam Urat Dalam Perspektif Genetika R.L.N.K. RETNO TRIANDHINI
Pendahuluan Dewasa ini dunia sedang menghadapi fenomena transisi kesehatan, di mana kejadian penyakit menular mengalami penurunan, namun penyakit tidak menular khususnya penyakit kardiometabolik seperti penyakit kardiovaskuler dan diabetes menjadi penyebab utama kematian di dunia. Data dari WHO menunjukkan bahwa dari 56 juta kematian di tahun 2012, sebanyak 38 juta (68%) disebabkan oleh penyakit tidak menular. Peningkatan kematian tertinggi terjadi di wilayah Asia Tenggara dari 6.7 juta di tahun 2000 menjadi 8.5 juta di tahun 2012, dan di wilayah Pasifik Barat dari 8.6 juta di tahun 2000 menjadi 10.9 juta di tahun 2012 (WHO, 2014). Angka kematian akibat penyakit tidak menular diperkirakan akan terus meningkat terutama di negaranegara menengah dan miskin. Di Indonesia, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2007, Profil Kesehatan Indonesia (2013), kematian akibat penyakit menular menunjukkan kecenderungan menurun sebaliknya kematian akibat penyakit tidak menular semakin meningkat. Saat ini masalah penyakit tidak menular sudah harus menjadi prioritas dalam penanganan masalah kesehatan di Indonesia. Salah satu masalah penyakit tidak menular yang terus meningkat prevalensinya di dunia adalah adalah diabetes mellitus. Penyakit ini, yang biasanya hanya disebut diabetes, merupakan penyakit gangguan metabolik kronis yang disebabkan pankreas tidak memproduksi cukup insulin (hormon yang berfungsi mengatur gula darah atau
125
glukosa) atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif (WHO, 2016). Akibatnya, konsentrasi glukosa di dalam darah tinggi atau dalam bahasa medis disebut hiperglikemia. Saat ini, penyakit diabetes menjadi masalah kesehatan hampir di seluruh bagian dunia. Jumlah kasus dan prevalensi diabetes terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut WHO (2016), pada tahun 2014 diperkirakan 422 juta orang dewasa di dunia hidup dengan diabetes, padahal pada tahun 1980, jumlah penderita diabetes hanya berjumlah 108 juta. Artinya, terdapat peningkatan prevalensi diabetes yang signifikan. The International Diabetes Federation (IDF) bahkan memprediksikan penderita diabetes akan meningkat dengan cepat hingga mencapai 552 juta orang di tahun 2030 (Whiting et al., 2011). Penderita penyakit diabetes memiliki resiko yang lebih tinggi terkena komplikasi penyakit-penyakit berbahaya lainnya bila dibandingkan dengan orang tanpa diabetes. Tingginya konsentrasi gula dalam darah secara terus menerus dapat memicu resiko terjadinya serangan jantung, strok, gangguan penglihatan, gagal ginjal, infeksi dan gangguan syaraf. Pada ibu hamil, hiperglikemia dapat menyebabkan gangguan kehamilan mulai dari terganggunya pertumbuhan fetus, gangguan pada saat melahirkan serta cidera pada anak dan ibu. Di berbagai negara, penyakit diabetes dan komplikasinya merupakan salah satu penyebab kematian utama. Kerugian yang diakibatkan oleh penyakit diabetes dapat berakibat lebih luas. Berkurangnya produktivitas tenaga kerja dan beban biaya medis yang besar akan berakibat buruk terhadap ekonomi individu, keluarga bahkan membebani negara. Di Amerika Serikat perkiraan biaya kesehatan diabetes pada tahun 2012 adalah US$ 245 miliar, meningkat 41% dari perkiraan sebelumnya sebesar US$ 174 miliar pada tahun 2007 (American Diabetes Association, 2013). Biaya layanan kesehatan diabetes pada tahun 2010 diperkirakan telah menghabiskan 11,6% dari biaya total kesehatan dunia. Secara global, biaya layanan kesehatan untuk pencegahan dan pengobatan diabetes dan komplikasinya mencapai 376 miliar US dollar. Angka ini diperkirakan akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya penderita diabetes di tahun-tahun mendatang 126
(Zhang et al., 2010). Tingginya biaya kesehatan diabetes akan menjadi beban yang sangat berat terutama bagi negara-negara sedang berkembang Penyakit tidak menular lain yang menurut beberapa studi epidemiologi berhubungan dengan diabetes adalah asam urat. Secara normal asam urat dihasilkan oleh tubuh manusia, sebagai hasil akhir dari metabolisme purin. Setiap manusia memiliki asam urat di dalam tubuhnya, dan secara normal sebagian besar asam urat dikeluarkan melalui ginjal, sebagian kecil melalui saluran pencernaan. Ketika kadar asam urat dalam tubuh melebihi batas normal yaitu 7 mg/dl bagi laki-laki dan 6 mg/dl bagi perempuan maka timbul keluhan-keluhan kesehatan yang pada akhirnya dapat berkembang menjadi penyakit gout, pembentukan tofus, batu ginjal dan gagal ginjal. Prevalensi jumlah penderita asam urat cenderung meningkat di berbagai negara. Penelitian yang dilakukan di Inggris dan Jerman menunjukkan prevalensi gout yaitu penyakit yang disebabkan tingginya asam urat dari tahun 2000-2005 meningkat 1.4% (Annemans dkk., 2007). Saat ini peningkatan jumlah penderita asam urat dan komplikasinya tidak hanya terjadi di negara berkembang, tetapi juga dijumpai di negara sedang berkembang. Studi epidemiologi menujukkan bahwa prevalensi hiperurisemia dan gout juga semakin meningkat di negara Cina dan Selandia Baru (Nan, 2006; Roddy dan Doherty, 2010). Peningkatan kadar asam urat atau hiperuricemia telah diketahui berhubungan dengan resiko terjadinya hipertensi, penyakit kardiovaskuler, dan penyakit ginjal kronis (Kang et al., 2002; Borghi et al., 2016; Yang et al., 2015). Hiperuricemia juga diketahui berkaitan dengan resistensi insulin dan sindroma metabolik yang juga merupakan faktor resiko berkembangnya penyakit diabetes khususnya diabetes mellitus tipe 2. Kesamaan faktor resiko ini merupakan salah satu alasan yangmembuat para peneliti tertarik untuk menghubungkan kedua penyakit tersebut. Penelitian tentang hubungan antara diabetes dan asam urat mendapat perhatian yang besar dari para ahli. Sejumlah penelitian menunjukkan adanya hubungan yang positif antara peningkatan asam urat dengan diabetes (Chien et al., 2008; Dehghan et al., 2008; Kodama et al., 2009; Rho et al., 2016). Studi yang dilakukan pada masyarakat usia lanjut 127
menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki kadar asam urat yang tinggi, pada masa depannya akan lebih beresiko menderita penyakit diabetes tipe 2. Meskipun sejumlah penelitian menunjukkan peningkatan asam urat sejalan dengan timbulnya resiko diabetes, penelitian lain menunjukkan bahwa ada hubungan terbalik antara kedua penyakit ini. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa diabetes dapat menurunkan resiko timbulnya penyakit gout, yaitu penyakit yang disebabkan level asam urat yang sangat tinggi dalam tubuh. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan untuk mempelajari hubungan antara asam urat dan diabetes sebagian besar belum melihat dari keterkaitan genetiknya. Pada umumnya gen-gen yang berkaitan dengan penyakit diabetes mellitus tipe 2 diteliti secara terpisah dengan gen-gen yang berkaitan dengan penyakit asam urat. Meskipun belakangan ini telah ada beberapa penelitian dan artikel yang menuliskan keterkaitan genetik antara kedua penyakit tersebut, namun masih banyak fenomena yang belum dapat dijelaskan. Keterkaitan genetik antara penyakit diabetes dan asam urat telah menjadi salah satu tema yang menarik dan luas untuk diteliti dan dibahas. Bagian selanjutnya dari tulisan ini ingin melakukan eksplorasi terhadap hubungan antara penyakit diabetes tipe 2 dan asam urat ditinjau dari sisi genetiknya.
Peran Gen dalam Kesehatan Selain faktor lingkungan, faktor genetik juga menentukan terjadinya suatu penyakit. Semenjak Mendell mengemukakan tentang teori penurunan sifat, banyak penelitian yang menunjukkan bahwa penyakit-penyakit tertentu dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Namun adanya keterbatasan teknologi dan pengetahuan saat itu, masih banyak pertanyaan-pertanyaan tentang hubungan antara gen dan penyakit yang belum dapat dijawab. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang genetika molekuler, pengetahuan akan kontribusi genetik pada berbagai penyakit khususnya penyakit tidak menular antara lain obesitas, kanker, jantung, hipertensi, diabetes, dan asam urat semakin dapat dipahami. Didukung dengan kemajuan teknologi dan dengan selesainya proyek pemetaan genome manusia (The Human Genome Project) di tahun 2003, telah banyak informasi 128
tentang bagaimana gen-gen tertentu terlibat dalam kejadian penyakit.Informasi ini sangat bermafaat bagi dunia kesehatan karena dapat digunakan untuk prediksi awal timbulnya resiko penyakit tertentu pada seseorang, melakukan tindakan pencegahan, mengidentifikasi adanya suatu penyakit, serta sebagai dasar pemberian intervensi pada pasien. Berdasarkan kaitan genetiknya, penyakit dapat diklasifikasikan menjadi: (1) Kelainan kromosomal, yaitu penyakit yang diturunkan karena kelainan kromosom, contohnya Down Syndrome; (2) Kelainan Mendel, penyakit yang diturunkan secara Mendelian karena mutasi dari satu gen, contohnya: thalassemia; (3) Kelainan multifaktorial, yaitu penyakit kompleks yang terjadi karena adanya variasi genetik yang berinteraksi dengan lingkungan dan menyebabkan suatu penyakit, contohnya: penyakit jantung, diabetes mellitus, dan (4) Kelaianan Mitokondrial, yaitu penyakit yang terjadi disebabkan kelainan genetik mitokondria, yang hanya diturunkan melalui ibu, contohnya: gangguan perkembangan, kebutaan.
Riwayat Keluarga Penyakit diabetes mellitus tipe 2 dan asam urat adalah penyakit multifaktoral yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor genetik atau faktor keturunan. Faktor lingkungan yang meliputi usia, obesitas, pola makan, aktivitas fisik dan gaya hidup tidak sehat telah terbukti berperan penting pada kejadian kedua penyakit ini (Altaf, 2014; Lyu et al, 2003; Steyn et al, 2004; Choi et al., 2005). Faktor lain yang memiliki andil besar pada terjadinya penyakit diabetes dan asam urat adalah faktor genetik atau keturunan.
Seseorang yang memiliki riwayat keluarga penderita penyakit diabetes atau asam urat akan memiliki resiko lebih tinggi terkena penyakit tersebut dibandingkan yang tidak Seseorang yang berasal dari salah satu orangtua diabetes, memiliki 40% kemungkinan menderita diabetes, jika kedua orang tua penderita diabetes maka kemungkinan keturunannya menderita diabetes meningkat menjadi rata-rata 70% (Taylor, 2006). Penelitian yang dilakukan di Sudan menunjukkan hasil bahwa kejadian penderita diabetes, 2,3 kali lebih banyak terjadi pada orang yang memiliki riwayat keluarga diabetes dibandingkan yang tidak memiliki keluarga dengan riwayat diabetes (Elbagir, 1995). 129
Terkait asam urat, hasil penelitian pada saudara kembar menunjukkan ada faktor keturunan yang kuat yang mempengaruhi kemampuan ginjal mengeluarkan asam urat (Emmerson et al., 1992). Berbagai hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ada penyakit-penyakit yang dapat diturunkan membuat data riwayat keluarga banyak digunakan sebagai alat skrening awal untuk mendeteksi dan mencegah terjadinya penyakit (Hariri dkk., 2006). Namun demikian, meskipun riwayat keluarga telah memberikan kontribusi dalam melakukan deteksi awal suatu penyakit, namun sangat diperlukan metode lain untuk memahami faktor-faktor genetik yang terlibat dalam timbulnya suatu penyakit, terutama jika penyakit tersebut merupakan penyakit kompleks yang dipengaruhi oleh lebih dari satu variasi gen disertai faktor lingkungan keluarga non-genik. Oleh sebab itu, studi tentang riwayat keluarga belakangan ini tidak selalu diaplikasikan sendiri namun dikombinasikan dengan metode genetika lainnya sehingga dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang kejadian suatu penyakit.
GWAS Kesadaran akan pentingnya hubungan genetik dengan penyakit menyebabkan munculnya sejumlah pendekatan-pendekatan yang digunakan untuk mengeksplorasi gen-gen yang terlibat pada suatu penyakit. Secara garis besar, ada dua pendekatan yang telah digunakan untuk penelitian tentang faktor genetik. Kedua pendekatan ini adalah gen kandidat (candidate gene) dan analisis hubungan keluarga (family-based linkage). Metode gen kandidat mengkaji gen-gen tertentu yang diduga memiliki peran pada kejadian suatu penyakit. Cara ini telah berkontribusi terhadap identifikasi beberapa variasi gen yang terlibat pada penyakit namun dalam jumlah yang sangat terbatas. Pendekatan lain yaitu family-based lingkage telah terbukti berhasil diaplikasikan pada penyakit-penyakit langka yang disebabkan adanya mutasi pada gen tunggal (Hertel et al., 2013). Sayangnya, analisis hubungan genetik tidak memberikan hasil memuaskan saat diterapkan pada penyakit kompleks di mana ada banyak variasi gen terlibat dan berinteraksi dengan lingkungan. Mekanisme genetik pada penyakitpenyakit kompleks berbeda dengan penyakit langka. 130
Dengan kita telah memasuki era post-genome, telah muncul muncul perspektif baru dalam pemahaman tentang susunan dasar genetika manusia. Salah satu perkembangan yang terjadi setelah selesainya proyek tersebut adalah ditemukannya pendekatan baru dalam mempelajari faktor genetik yang berhubungan dengan penyakit yaitu Genome Wide Association Studies (GWAS). Pendekatan ini dinilai lebih baik dibandingkan pendekatan-pendekatan sebelumnya dalam melakukan penapisan genetik atas penyakit tertentu. GWAS merupakan metode di mana dilakukan skrening secara cepat terhadap genome sejumlah individu untuk menemukan variasi genetik (single nucleotide polymorphisms atau SNPs) yang berasosiasi pada penyakit tertentu (Manolio, 2010). Pada pendekatan GWAS, digunakan SNPs based array dan dilakukan perbandingan frekuensi alel-alel SNPs pada sejumlah besar kasus dan kontrol, sehingga peneliti dapat mendeteksi variasi genetik yang memberikandampak fenotipe sederhana secara sistematik dan tidak bias. Melalui pendekatan ini memungkinkan dilakukan analisis variasi genetik secara cepat dan dalam jumlah besar (Hertel et al., 2013). Informasi yang diperoleh dari penerapan GWAS dapat digunakan sebagai dasar penentuan strategi yang lebih tepat untuk mendeteksi, mencegah dan mengobati suatu penyakit.
Gen-gen pada Diabetes Mellitus Tipe 2 Pendekatan tradisional dengan menggunakan gen kandidat dan analisis hubungan keluarga belum cukup memberikan informasi tentang gen-gen serta mekanismenya yang menyebabkan timbulnya penyakit diabetes tipe 2. Sebaliknya, pendekatan GWAS sangat efektif dalam memetakan banyak SNP yang secara statistik relevan dengan kejadian diabetes mellitus tipe 2. Semenjak metode GWAS muncul dan sukses diimplementasikan, penemuan tentang gen-gen yang terlibat dengan penyakit diabetes berkembang pesat. Jika pada tahun 2006 hanya diketahui 3 lokus, sampai saat ini sekitar 70 lokus telah teridentifikasi
(Kato, 2013). Gen-gen yang mula-mula diketahui berhubungan dengan diabetes tipe 2 diidentifikasi melalui gen kandidat antara lain adalah PPARG dan KCNJ11 (Wheeler 131
and Barroso, 2011; Grarup, 2009). Melalui gen kandidat juga diperoleh HNF1B yang berhubungan dengan diabetes (Grant, 2006). Berikutnya melalui studi pemetaan hubungan (lingkage mapping) diketahui bahwa gen TCF7L2 dapat meningkatkan resiko terjadinya diabetes. Keempat gen ini kemudian dikonfirmasi ulang hubungannya dengan penyakit diabetes tipe 2 melalui GWAS (Hertel et al., 2013). Setelah GWAS digunakan untuk mencari hubungan antara gen dengan penyakit diabetes tipe 2 maka banyak penelitianpenelitan yang berhasil menemukan gen-gen baru yang terkait dengan diabetes. Meskipun ada beberapa gen yang belum diketahui mekanismenya pada diabetes, namun sebagian besar gen tersebut menyebabkan disfungsi beta-sel atau mempengaruhi resistensi atau sensitivitas insulin (Singh, 2015).
Gen-Gen dalam Homeostasis Asam Urat Studi Genome Wide Association untuk mengetahui variasi gen yang mempengaruhi kejadian penyakit asam urat dan turunannya juga mengalami perkembangan pesat. Jika hingga tahun 2012 baru diketahui 10 lokus, yaitu SLC2A9, ABCG2, SLC17A1, SLC22AA11, SLC22A12, GCKR, INHBC, RREB1 dan PDZK1 (Merriman et al., 2014) maka sampai tahun 2013 telah diketahui ada sekitar 28 lokus yang berhubungan dengan asam urat. 18 lokus baru yang berhasil diidentifikasi oleh Kottgen et al. (2013) adalah TRIM46, INHBB, SFMBT1, TMEM171, VEGFA, BAZ1B, PRKAG2, STC1, HNF4G, A1CF, ATXN2, UBE2Q2, IGF1R, NFAT5, MAF, HLF, ACVR1B, ACVRL1, dan B3GNTA. Pada fase awal penelitian-penelitian tentang variasi genetik yang berasosiasi dengan asam urat atau gout banyak dilakukan pada bangsa Eropa. Namun belakangan penelitian-penelitian ini juga dilakukan pada suku bangsa lain seperti pada suku bangsa Afrika-Amerika (Charles et al., 2011; Tien et al., 2011) dan suku bangsa Asia Timur
(Okada et al., 2012). Berdasarkan penelitian pada suku bangsa yang berbeda diketahui bahwa lokus yang berasosiasi dengan asam urat sebagian besar sama, namun ada juga beberapa yang berbeda. Tentu saja data ini masih perlu diteliti lebih lanjut.
132
Variasi Gen yang terkait dengan Diabetes dan Asam Urat Penelitian tentang hubungan antara penyakit diabetes dan asam urat yang telah banyak dilakukan, menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara kedua penyakit ini. Selaras dengan penelitian-penelitian tersebut, sebuah penelitian meta-analisis yang dilakukan untuk mengevaluasi hubungan kedua penyakit ini menunjukkan bahwa ada bukti kuat bahwa level asam urat yang tinggi independen terhadap faktor-faktor lain dalam perkembangan penyakit diabetes tipe 2 (Lv et al., 2013). Hasil penelitian yang menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara diabetes dan asam urat serta ditemukannya sejumlah besar variasi gen pada masing-masing penyakit tersebut menyebabkan penelitian tentang hubungan genetik antara penyakit diabetes dan asam urat mulai banyak dilakukan. Sebuah penelitian yang dilakukan di Taiwan menunjukkan hasil bahwa penderita gout dan diabetes melibatkan faktor genetik yang sama. Dari 334 SNPs yang secara signifikan diketahui berkaitan dengan penyakit gout, 36 gen diantaranya menujukkan adanya hubungan antara penyakit diabetes dan gout (Lai et al., 2011). Penelitian lain yang dilakukan oleh Sun et al. (2015) menunjukkan bahwa gen-gen yang berasosiasi dengan terjadinya asam urat memberi pengaruh terhadap resiko terjadinya diabetes tipe 2, metabolisme glukosa dan sekresi insulin pada populasi suku bangsa Cina. Pada penelitian ini SNPs dari 11 lokus asam urat dianalisis untuk melihat hubungan penyakit ini dengan diabetes tipe 2. Hasilnya diketahui bahwa GCKR rs780094 dan SF1 rs606458 memiliki pengaruh pada resiko kejadian diabetes tipe 2, LRRC16A, SLC2AA11 dan SLC22A12 mengatur metabolisme glukosa dan sekresi insulin pada pria Cina, sedangkan pada wanita lokus yang berperan adalah ABCG2, SLC17A1, LRP2. Selanjutnya diketahui bahwa SLCA29 memodulasi metabolisme glukosa dan sekresi insulin. Studi Genome Wide Associations (GWAs) asam urat yang dilakukan pada populasi India, menunjukkan bahwa gen-gen
SLC2A9, SLC22A11, dan ABCG2 memiliki hubungan dengan kejadian diabetes tipe 2 (Giri et al., 2016).
133
Refleksi Berbagai tindakan yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi penyakit tidak menular khususnya penyakit diabetes tipe 2 dan asam urat belum memberikan hasil yang memuaskan. Kedua penyakit ini masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan di berbagai negara. Prevalensi diabetes tipe 2 dan asam urat masih menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Kemajuan dalam bidang genetika seperti pemetaan urutan genom manusia dan kemajuan dalam bidang teknologi terkait telah memberikan titik pandang yang berbeda dalam memahami suatu penyakit. Melalui pendekatan ini faktor-faktor resiko terjadinya suatu penyakit dapat diketahui lebih awal. Upaya-upaya preventif dan promotif menjadi sangat mungkin untuk dilakukan. Pada sisi lain pemahaman tentang mekanisme terjadinya suatu penyakit dapat dijelaskan dengan lebih komprehensif. Selain itu, intervensi dapat dilakukan secara lebih tepat karena didasarkan pada kondisi keunikan gen dari masing-masing orang. Perkembangan dalam genetika kesehatan ini memberikan harapan baru bagi intervensi medik dan non-medik dalam upaya untuk menurunkan prevalensi penyakit tidak menular termasuk penyakit diabetes tipe 2 dan asam urat. Permasalahan penyakit tidak menular yang semakin kompleks serta usahausaha penanganannya melalui pendekatan genetik menjadi isu yang perlu menjadi perhatian bagi Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW sebagai salah satu institusi kesehatan di Indonesia. Pada usianya yang ke 10 diharapkan Fakultas ini dapat memberikan kontribusi yang lebih banyak pada perkembangan dunia kesehatan salah satunya pada peningkatan pemahaman kita dalam persoalan-persoalan penyakit metabolik dan faktor genetikanya. Kekayaan genetik manusia Indonesia merupakan sumberdaya genetik yang sangat penting untuk dapat menyingkap persoalan penyakit-penyakit metabolik, tidak terkecuali keterkaitan antara penyakit asam urat dan diabetes mellitus. Upaya-upaya penelitian ke arah bidang ini telah dilakukan.
134
Daftar Pustaka Altaf, S. 2014. Investigation of The Genetic Link between The Metabolic Diseases Gout and Type 2 Diabetes. Dissertation. University of Otago. Dunedine. New Zealand. American Diabetes Association. 2013. Economic Cost of Diabetes in The U.S. in 2012. Diabetes Care 36: 1033-1046. Annemans, L., Saeper, E., Gaskin, M, et al. 2007. Gout in The UK and Germany: Prevalence, Comorbidities and Management in General Practice 200-2005. Ann. Rheum Dis 67: 960-966. Borghic, C., Rosei, E.A., Bardin T, et al. 2015. Serum Uric Acid and The Risk of Cardio-vascular and Renal Disease. Journal of Hypertension 33(9): 1729-41. Charles, B.A., Shriner, D., Daumatey, A., et al. 2011. A Genomewide Association Study of Serum Uric Acid in African Amreicans. BMC Medical Genomics 4(17): 1-8 Chien, K.L., Chen, M.F., Hsu, H.C., et al. 2008. Plasma Uric Acid and The Risk of Type 2 Diabetes in a Chinese Community. Clinical Chemistry 54(2): 310-316. Choi, H.K., Lia, S., Curhan G. 2005. Intake of Purine-Ruch Foods Protein and Dairy Product and Relationship to Serum Level of Uric Acid The Third National Health and Nutrition Examination Survey. Arthritis and Rheumatism 52(1): 283-289. Dehgnan, A., Hoek, M.V., Sijbrands, E.J.G., et al. 2008. High Serum Uric Acid as a Novel Risk Factor for Type 2 Diabetes. Diabetes Care. 31: 361-362. Doherty, M. 2009. New Insights into Epidemiology of Gout. Rheumatology 48: 112118. Elbagir, M.N., Eltom, M.A., Elmahadi, E.M.A, et al. 1996. A Population-Based Study of The Prevalence of Diabetes and Impaired Glucose Tolerance in Adults in Northren Sudan. Diabetes Care 19(10): 1126-1128. Emmerson, B.T., Nagel, S.L., Duffy, D.L. Martin, N.G. 1992. Genetic Control of The Renal Clearance of Urate: A Study of Twins. Annals of The Rheumatuc Diseases 51: 375-3777. Feig. D.I. 2012. The Role of Uric Acid in The Phathogenesis of Hypertension in The Young. The Journal of Clinical Hypertension 14(6): 342-352. Giri, A.K., Banerjee, P., Chakraborty, S., et al. 2016. Genomewide Association Study of Uric Acid in Indian Population and Interaction of Identified Variants with Type 2 Diabetes. www.nature.com/scientific report.
135
Grant, S.F., Reynisdotirr, et.al. Varian of Transcription Factor-7 Like 2 (TCFL2) Gene Confers Risk Type 2 Diabetes. 2006. Nat Genet 38: 320-323. Grarup, N. 2009. Genetic Aspect of Type 2 Diabetes and Related Traits. The Past, Present and Future. Dissertation. Faculty of Health Sciences Aarhus University. Denmark. Hariri, S., Yoon P.W., Qureshi, N., et al. 2006. Family History of Type 2 Diabetes: A Population-based Screening Tool for Prevention? Genetic in Medicine 8(2): 102-108. Hertel, J.K., Johansson, S., Midthjell, et al. 2013. Type 2 Diabetes Genes-Present Status and Data form Norwegia Sudies. Norsk Epidemiologi 23(1): 9-22 Kang, D.H., Nakagawa, T., Feng, L, et al. 2002. A Role for Uric Acid in The Progression of Renal Disease. J Am Soc Nephrol 13: 2888-2897. Kato, N. 2013. Insight into Genetic Basis of Type 2 Diabetes. Journal of Diabetes Investigation 4(3): 233-243. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Klemp, P., Stansfiel, S.A., Castle, B and Robertson, M.C. 1997. Gout is on The Increase in New Zealand. Annals of The Rheumatic Diseases 56: 22-26. Kodama, S., Saito, K., Yachi, Y., et al. Association between Serum Uric Acid and Deveopment of Type 2 Diabetes. Diabetes Care 32 (9): 1737-1742. Köttgen, A., Albrecht, E., Teumer, A, et al. 2013. Genome-wide Association Analysis Indentify 18 New Loci Association with Serum Urate Concentrations. Nat Genet 45(2): 145-154. Lai, H.M., Chen, C.J., Su, B.Y.J., 2011. Gout and Type 2 Diabetes Have A Mutual Inter-dependent Effect on Genetic Risk Factors and Higher Incidences. Rheumatology. Lv, Q., Meng, X.F., He F.F., at al. 2013. High Serum Uric Acid and Increased Risk of Type 2 Diabetes: A Systemic Review and Meta-Analysis of Prospective Cohort Studies. PLOS ONE 8(2): 1-7. Lyu, L.C., Hsu, C.Y., Yeh, C.Y., et al. 2003. A Case Control Study of The Association of Diet and Obesity with Gout in Taiwan. The American Jouranl of Clinical Nutrition 78: 690-701. Manolio, T.A. 2010. Genomewide Associaton Studies and Assesment of The Risk of Disease. The New England Journal of Medecine 363: 166-76.
136
Merriman, T.R., Choi, H.K.2014 and Dalbeth, N, The Genetic Basis of Gout. Rheum Dis Clin 40:279-290. Nan, H., Qiao, Q., Dong, Y. A, et al. 2006. The Prevalence of Hyperuricemia in a Population of The Coastal City of Qindao China. The Journal of Rheumatology 33(7): 1346-1350. Okada, Y., Sim, X., Go, M.J., 2012. Meta-analysis Identifies Multiple Loci Associated with Kidney Function-Related Trait in East Asian Population. Nat Genet. 44(8): 904-9 Rho, Y.H., Lu,N., Peloquin, C.E., et al. 2014. Independent Impact of Gout on The Risk of Diabetes Mellitus among Woman and Men: A Population-based, BMI-Matched Cohort Study. Ann Rheum Dis 2014: 0:1-5. Riskesdas. 2007. Laporan Nasional 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Keseha-tan Departemen Kesehatan, Republik Indonesia Roddy, E and Doherty, M. 2010. Epidemiology of Gout. Arthritis Research and Therapy. 12: 223 Ryoo, J.H., Choi, J.M., Oh, C.M., and Kim, M.G. 2013. The Association between UricAcid and Chronic Kidney Diseases in Korea Men: A 4-Year Follow-up Study. Journal Korean Medicine Science 28:855-860. Singh, S. 2015. Genetics of Type 2 Diabetes: Advances and Future Prospect. Diabetes Metabolism 6(4). http://dx.doi.org/10.4172/2155-6156.1000518. Steyn, N., Mann, J., Bennet, P.H., et al. 2004. Diet, Nutrition and The Prevention of Type 2 Diabetes. Public Health Nutrition 7(1A): 147-165. Sun, X., Zhang, R., Jiang, F., etl al. 2015. Common Variants Related to Serum Uric Acid Concentration are Associated with Glucose Metabolism and Insuline Secretion in a Chinese Population. PLOS One Journal .pone.0116714. http://www. ncbl.nml. Taylor, A. 2006. The Genetics of Type 2 Diabetes: A Review. Int. J. Diebetes and
Metabo-lism 14: 76-81. Tin, A., Woodward, O.M., Kao, W.H.L., et al. 2011. Genome-wide Association Study for Serum Urate Concentration and Gout among African Americans Indentifies Genomic Risk Loci and Novel URAT 1 loss-of-function Allele. Human Molecular Genetics 20(20): 4056-4068. World Health Organizastion. 2014. Global Status Report on Non Comunivable Diseases. WHO Press. Switzerland. World Health Organization. 2016. Global Report on Diabetes. WHO. Switzerland.
137
Whiting, D.R., Leonor W.C., and Shau, J. 2011. IDF Diebetes Atlas: Global Estimates of the Prevalence of Diabetes for 2011 and 2030. Diabetes Research and Clinical Practice 94: 311-321.
Yang, T.Y., RFang, C.Y., Chen, J.S, et al. 2014. Association of Serum Uric Acid with Cardiovascular Desease in Taiwanese Patients with Primary Hypertension. Acta Cardiol Sin 31:42-51. Wheeler, E. And Barroso, I. 2011. Genome-wide Association Studies and Type 2 Diabetes. Briefings in Functional Genomics 10(2): 52-60. Zhang, P., Zhang X., Brown, J.B., et al. 2010. Economic Impact of Diabetes. IDF Diabetes Atlas Fourth Edition.
138
SLC2A9 dan Homeostasis Asam Urat FERRY F. KARWUR
Pendahuluan Asam urat (AU) atau 2, 6, 8-trihydroxypurine ditemukan pada paruh kedua abab 18 oleh kimiawan besar Swedia, Karl Wilheim Scheele (1776; 1742-1786), melalui studinya pada batu saluran kencing atau batu ginjal (urinary stones). Penemuan ini merupakan bagian dari kemunculan ilmu kimia moderen dan dasar pertama ilmu kimia klinis (Clinical Chemistry). Dalam penggambarannya tentang komponen kimia batu kantung kemih (bladder stone), Scheele mengatakan bahwa komponen utamanya adalah “suatu senyawa yang hampir tidak larut air dingin tetapi cukup untuk mengubah kertas litmus menjadi merah”, memberi pertanda kelarutannya yang terbatas namun mampu mengubah larutan menjadi asam. Ia melanjutkan, “batu kantung kemih itu meleleh pada kondisi basa dan membentuk endapan pada larutan asam, dan jika endapan itu dilarutkan pada asam nitrat panas akan meninggalkan suatu residu, yang setelah dievaporasi berubah warnanya menjadi warna pinkish crimson. Jika dipanaskan, tergantung suhu pemanasan, akan muncul bau asam sianida (yang pada waktu itu dinamai prussic acid), ammonia, atau bau seperti tanduk yang dibakar”. Scheele menamai substansi itu lithic acid, namun berubah namanya menjadi AU. Di universitas tertua di Eropa Tengah, yakni di Charles University of Prague, Bio/kimiawan Profesor Janar Horbaczewski berhasil mensintesis AU in vitro tahun 1882 melalui pemanasan asam amino glisin dengan urea pada suhu 200-230oC sebagaimana ia jelaskan dalam Sitzungsberichte der K. Akademie der
Wissenschaften in Wien, Math.-naturwiss. K1. Vol 86, sec. 2 (1882), 963-964. Dari sejarah panjang studi AU, kita menyaksikan bahwa sejak awal temuannya
139
sampai saat ini, AU berada dalam pergumulan persoalan patofisiologi klinis, dan telah mengundang banyak pertanyaan ilmiah yang serius untuk dipecahkan. Pertanyaanpertanyaan dimaksud antara lain: Mengapa konsentrasi AU di darah manusia berada jauh di atas konsentrasi darah dari mamalia dan vertebrata lainnya? Mengapa pada satu sisi AU merupakan senyawa proinflamasi namun pada sisi lain merupakan antioksidan? Bagaimana homeostasis AU dalam tubuh manusia diatur dan dikendalilkan? Apa implikasi dari hipourisemia dan sebaliknya, hiperurisemia? Dan pertanyaan yang jawabannya paling banyak memberikan implikasi praktis ialah “apa faktor-faktor lingkungan dan komponenkomponen genetik yang menentukan konsentrasi AU di dalam tubuh manusia dan bagaimana hal itu dapat dikendalikan melalui perubahan perilaku, serta intervensi farmakologis dan medik? Pergumulan-pergumulan tersebut menjadi begitu relevan saat ini berhadapan dengan persoalan-persoalan penyakit komplikasi metabolik yang dihadapi masyarakat moderen, antara lain persoalan tekanan darah tinggi, diabetes, penyempitan pembulu darah, penurunan fungsi dan gagal ginjal, serta sejumlah gangguan neurologis terkait terganggunya homeostasis AU tubuh. Upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut telah banyak diupayakan, dan banyak jawaban telah dapat diberikan, seperti antara lain peranan faktor lingkungan dalam produksi AU (konsumsi makanan kaya purin, konsumsi alkohol, pengaruh peranan obat antihiperurisemia seperti allopurinol), faktor-faktor atropometrik dan perkembangan [umur, indeks masa tubuh, identitas seksual, hormonal (Voruganti et al., 2015; Sparagana and Phillips, 1972)]; serta faktor-faktor genetika (antara lain enzim-enzim yang terlibat dalam biosintesis, transport, dan sekresi AU).
Namun demikian, masih banyak pertanyaan yang jawabannya masih mengandung ketidakjelasan. Ketidakjelasan itu terutama menurut Woodward (2015) adalah karena ketiadaan atau sedikitnya pemahaman kita akan bagaimana sesungguhnya homeostasis AU di dalam tubuh manusia diatur dan dikendalikan. Studi genetika (molekuler) menggunakan strategi identifikasi gen tunggal serta pendekatan GWAS (Genome-Wide Association Study) yang bertumpu pada analisis pembeda penanda genetik SNP antara populasi yang terkena kasus gangguan AU (a.l. hiperurisemia) dengan mereka yang tidak terkena penyakit (kontrol) dalam populasi 140
yang sama, teridentifikasi paling tidak 28 lokus yang terlibat dan ikut ambil bagian dalam kejadian hiperurisemia (Dehghan et al., 200; Kolz et al., 2009; Yang et al., 2010; Köttgen et al., 2013; Phipps-Green et al., 2014; Merriman, 2015). Teridentifikasinya gen-gen tersebut memberikan gambaran sifat multigenik pada persoalan homeostasis AU maupun kondisi-kondisi patologis hiperurisemia atau sebaliknya hipourisemia. Akan tetapi bagaimana mekanisme fisiologi molekuler dari kejadian hiperurisemia dan sebaliknya hipourisemia serta implikasinya pada penyakit-penyakit metabolik yang kompleks dan sistemik masih merupakan pekerjaan besar yang harus dijawab.
Dalam studi-studi GWAS di atas, 2 gen yang paling menonjol mempengaruhi konsentrasi AU darah adalah gen ABCG2 transporter dan gen LSC2A9. Paper ini memberi perhatian pada peranan sentral gen SLC2A9 [solute carrier family 2 member 9] terhadap kemantapan konsentrasi AU pada tubuh manusia, keadaan hipourisemia, hiperurisemia, serta implikasinya pada penyakit Gout Arthritis, penyakit pembuluh darah, sindroma metabolik, diabetes tipe 2, dan penyakit ginjal.
Pemetaan, Isolasi dan Karakterisasi LSC2A9 Gen SLC2A9 yang memiliki nama alias GLUT9, GLUTX, UAQTL2, dan URATv1, pertamakali diisolasi dan dideskripsikan oleh Phay et al., (2000) berdasarkan dugaan kuat bahwa masih ada anggota lain dari keluarga gen facilitative glucose transporter mamalia yang belum teridentifikasi. Menggunakan teknik hibridisasi homologi, mereka berhasil mengidentifikasi dan meminak cDNA SLC2A9 manusia yang mengkode protein sebesar 540 asam amino yang ternyata memiliki identitas urutan dengan Glut5 dan Glut1 masing-masing 44% dan 38%. Protein yang dikode oleh cDNA SLC2A9 ini memiliki topologi transporter dengan 12 domain transmembran sebagaimana dimiliki oleh anggota lain dari keluarga GLUT (Gambar 1). Analisis ekspresi gen SLC2A9 menggunakan teknik Northern didapati 1 transkrip utama sebesar 1,9 kb, dan 2 yang lain, masing-masing berukuran 3,1 dan 5,0 kb. Mereka terutama ditemukan di ginjal dan hati tetapi juga pada sejumlah jaringan namun dengan jumlah yang sedikit. Phay et al., juga berhasil melakukan pembuktian
141
Gambar 1. Peta Topologis LSC2A9 pada membran plasma (Clėmencon et al., 2014)
Gambar 2. Peta Fisik dan Konteks Genomik Gen LSC2A9 bahwa gen ini terlokalisir pada kromosom 4, dan berdasarkan data NCBI mereka menemukan potongan cDNA yang juga berlokasi di kromosom 4, yakni di 4p15.3– p16. Pemetaan lokasi fisik cDNA SLC2A9 pada runutan DNA genomik menempatkan gen ini berada pada urutan nukleotida antara 9.733.359 s/d 10.116.983 yang dikelilingi oleh sejumlah gen lain (Gambar 2). Isolasi cDNA menggunakan teknik hibidridasi molekul DNA bertumpuh pada kesamaan urutan kode DNA (hibridisasi homologi). Oleh sebab itu tentunya terasa 142
sulit bagi sang peneliti untuk tidak tergoda memikirkan bahwa gen yang diisolasinya tidak mengkode gen yang fungsinya sama atau mirip dengan gen penelusurnya. Karena isolasi gen SLC2A9 menggunakan gen GLUT yang telah dipinak sebelumnya sebagai penelusur maka SLC2A9 diduga kuat bertindak mirip dengan penelusurnya itu, yakni sebagai sarana pengangkut heksosa secara pasif (passive carrier). Dalam upaya memahami fungsi gen SLC2A9, Augustin et al., (2004) menggunakan teknik RT-PCR berhasil menunjukkan bahwa SLC2A9 memiliki 2 varian mRNA hasil editan alternatif (alternative splicing), yakni SLC2A9L dan SLC2A9S. mRNA SLC2A9L yang dipinak oleh Phay et al. (2000) berasal dari pre-mRNA dengan 12 exon, hasil pembacaan satu unit transkripsi (transcription unit) yang terbentang 195 kb di lokus SLC2A9 di kromosom 4p15.3-p16. mRNA SLC2A9L mengkode isoform berukuran 540 asam amino. Sebaliknya, mRNA SLC2A9S memiliki potongan-potongan kode alternatif di daerah “baca” [alternative in-frame segment) pada ujung 5’ tidak tertranslasi dan di daerah bacaan yang sudah ada [coding region], serta menggunakan kodon “mulai” yang berbeda dengan varian SLC2A9L. mRNA SLC2A9S berasal dari pre-mRNA dengan 13 exon hasil pembacaan unit transkripsi yang terbentang 215 kb di lokus yang sama. mRNA SLC2A9L mengkode isoform kecil berukuran 512 asam amino karena memiliki terminal-amina yang lebih pendek. Susunan asam amino kedua protein SLC2A9L dan SLC2A9S hanya berbeda di daerah terminal-amina, selebihnya sama.
Pertanyaannya adalah, “apa fungsi sesungguhnya kedua isoform tersebut?
Studi Genetika LSC2A9 Adalah penelitian yang dipimpin oleh Nagaraja (Li et al., 2007) yang pertamakali menunjukan keterkaitan kuat antara konsentrasi AU darah dengan mutasi pada gen LSC2A9 sewaktu mereka melakukan penilikan SNP (Single-nucleotide polymorphism) terhadap keseluruhan genom orang-orang di Pulau Sardinia (suatu daerah otonom di Italia) dan Chianti (di bagian Toscana, Italia). Mereka menemukan beberapa allele terutama allele “G” pada SNP rs6855911 dan alel “G” lain yang jarang, yakni rs7442295, keduanya terletak di daerah bukan pembawa sandi, memiliki daya pengaruh besar [negative additive] terhadap konsentrasi AU orang-orang Sardinia (terutama perempuan). 143
Hasil yang sama ditemukan pula pada orang-orang di Chianti Tuscany. Dengan teknik perunutan DNA, mereka selanjutnya menemukan sejumlah SNP di sampel orangorang Sardinia, selain yang diterangkan sebelumnya, 6 di daerah promotor dan 9 di daerah exon. SNP non-sinonim rs16890979 yang terletak di exon 8 gen LSC2A9 terkait kuat secara statistik linkage disequilibrium dengan SNP rs6855911. Akan tetapi, SNP-SNP di daerah bukan kode [termasuk SNP rs6855911] berasosiasi jauh lebih kuat dengan konsentrasi AU. Hal ini menandakan bahwa gen LSC2A9 membawa mutasi-mutasi penting baik di daerah bukan kode dan daerah kode yang terhubung dengan perubahan konsentrasi AU di darah. Penemuan keterkaitan antara konsentrasi AU darah manusia dengan mutasi pada gen SLC2A9 di Sardinia dan Chianti tahun 2007 diikuti oleh sejumlah penemuan yang membuktikan bahwa mutasi-mutasi titik di gen SLC2A9 menyebabkan perubahan konsentrasi AU [dan penyakit terkait lainnya, walaupun korelasinya lebih lemah]. Vitart et al. (2008) membuktikan lebih spesifik bahwa selain teridentifikasi 1 SNP di hulu gen SLC2A9 yang kuat terkait dengan AU darah, juga teridentifasi 6 SNP di daerah intron
3 – 7 dari gen SLC2A9 yang kuat terkait dengan penurunan ekskresi AU pada mereka yang hiperurisemia dan menderita gout arthritis pada sampel orang-orang Inggris, Kroasia, dan Jerman. Mereka bahkan menemukan SNP rs737267 yang pengaruhnya pada AU darah wanita lebih kuat ketimbang mutasi yang sama pada pria. Studi oleh McArdle et al., (2008) pada kelompok agama-budaya Old Order Amish yang tinggal di Lancaster, Pennsylvania, dan kemudian Dehghan et al., (2008) pada penduduk kulit putih di Framingham, Massachusetts [bagian dari skema riset longitudinal skala besar di Amerika Serikat, yang dikenal dengan Framingham Heart Study, FHS, dimulai tahun 1948) serta pada populasi kulit hitam dalam skema riset ARIC (Atherosclerosis Risk in Communities) di negara yang sama, menunjukkan bahwa
SNP missense rs16890979 LSC2A9 (V2531) yang mengubah asam amino valin [yang identitasnya sangat terkonservasi pada berbagai spesies] menjadi isoleusin, berkorelasi kuat dengan konsentrasi AU darah. Upaya untuk menemukan SNP di daerah LSC2A9 yang berkorelasi kuat dengan konsentrasi AU makin banyak dan intensif dilakukan dan dikaitkan dengan 144
fenomena patologi klinis lain. Pertanyaannya ialah “Apakah mutasi-mutasi tersebut secara fungsional dapat menjelaskannya mekanisme terjadinya gangguan homeostasis AU?”. Sebagaimana ditunjukkan pada studi di Sardinia, tidak semua SNIP bertanggung-jawab secara fungsional pada perubahan konsentrasi urat di darah. Namun demikian pemetaan lanjut lokasi SNP akan memberikan pemahaman di daerah mana di LSC2A9 yang termutasi dan apa implikasi mutasi tersebut pada ekspresi LSC2A9 ataupun pada struktur dan fungsi LSC2A9.
Disfungsi SLC2A9 dan Renal Hypouricemia Sokongan kuat dalam studi genetika mengenai peranan SLC2A9 pada homeostasis AU tubuh adalah sejumlah studi yang melaporkan bahwa mutasi hilang fungsi pada SLC2A9 berakibat pada renal hypouricemia, yakni suatu keadaaan gangguan fungsi ginjal yang berujung pada penurunan jumlah AU darah pada konsentrasi di bawah normal, yang disertai komplikasi gagal ginjal akut yang dipicuh latihan fisik (EIARF, exercise-induced acute renal failure) dan pembentukan batu ginjal (nephrolithiasis). Hal ini terjadi karena adanya gangguan reabsorpsi AU kembali ke dalam sirkulasi darah. Adalah Matsuo et al., (2008) yang menapis 21,260 anggota pasukan bela diri Jepang yang memiliki data kandungan AU darah dan berhasil mengidentifikasi 200 orang dari mereka yang memiliki status AU ≤ 3,0 mg/dl. 50 orang dari 200 orang tersebut memberi persetujuan sebagai partisipan penelitian; dan ditambah dengan 20 pasien hipourisemia rawat jalan, mereka berhasil memperoleh 30 orang hipourisemik dengan mutasi pada gen SLC2A9. 40 orang partisipan sisanya tidak diikutkan selanjutnya dalam riset karena mereka adalah individu dengan mutasi pada gen URAT1, yakni gen lain yang telah diketahui mengakibatkan hipourisemia. Dari 30 orang dengan mutasi SLC2A9, mereka selanjutnya mengeluarkan partisipan yang tergolong memiliki mutasi di SLC2A9 namun dengan frekuensi yang umum di masyarakat Jepang. Dengan teknik
PCR dan perunutan mereka berhasil mengidetifikasi 2 tipe mutasi missesense, yakni R380 dan R198C di isoform GLUT9L yang berkorespondensi dengan R351W dan R169C di isoform GLUT9S. Pemotongan enzimatik atas PCR produk didapati bahwa mutant R380W berkosegregasi dengan fenotipe AU darah rendah pada ibu (I-2; umur 145
70 thn; AU 1,5 mg/dl, I-2) dan anaknya (II-1; 43 thn; AU 2,7 mg/dl), tetapi tidak pada anggota keluarga yang sama yang tidak membawa fenotipe tersebut. Senada dengan itu, substitusi R198C terobservasi pada wanita 32 tahun (AU 2,1 mg/dl). Mereka mengecek kembali runutan DNA genomik pada ketiga orang dimaksud dan tidak menemukan adanya mutasi pada URAT1. Menggunakan data klinis lain mereka menyimpulkan bahwa ketiga partisipan dimaksud mengidap penyakit renal hypouricemia tanpa mutasi
URAT1. Mereka bahkan membuktikan dengan pemotongan enzimatik hasil PCR mutan GLUT9 di exon 10 (R380W) dan exon 6 (R198C) pada 130 partisipan kontrol dan tidak menemukan kedua mutan dimaksud. Penapisan lanjut pada etnik Jepang dilaporkan oleh kelompok yang sama (Chiba et al., 2014). Mereka menapis 50 pasien hipourisemia dan mendapatkan 1 mutasi R380W dengan gejalah klinis yang mirip. Sebelumnya, Shima et al., (2011) telah melaporkan seorang pasien perempuan hipourisemik di Jepang (AU 0,1 mg/dl) dengan gejalah EIARF berulang. Mereka mendapatkan bahwa sang pasien memiliki mutasi heterozygous majemuk di SLC2A9, yakni mutasi nonsense di allel jalur ayah (p.G207X) yang terletak di exon 7, disertai dengan duplikasi skala besar (yakni dupExon1a-11) pada allel maternal. Menariknya, pasien ini menunjukkan gejalah klinis yang sebelumnya belum pernah diketahui keterkaitannya dengan mutasi pada SLC2A9, yakni Posterior Reversible Encephalopathy Syndrome (PRES). Sindroma ini ditandai dengan keterkaitan yang beragam dengan kejang, gangguan kesadaran, sakit kepala, gangguan penglihatan, rasa mual, disertai tandatanda neurologis fokal, dan hipertensi akut (Legriel et al., 2011). Mutan hilang fungsi homozygous pada SLC2A9 dilokasi pengeditan RNA terekspresi (splice-site mutation) telah dilaporkan terjadi pula pada seorang pasien berlatarbelakang suku China, yang selain menunjukkan keadaan hypouricemic dan peningkatan ekskresi AU, juga disertai gejalah klinis EIARF, nephrolithiasis, dan PRES (Mou et al., 2015). Hasil biopsi ginjal, pasien ini mengalami penebalan lapisan pembulu darah bagian dalam dari pembulu arteri yang terletak di antara lobulus (interlobular artery intimal thickening) disertai luka tubulointerstitial akut, dan hidrosefalus bertipe communicating (yakni peningkatan cairan di daerah-daerah ventricle otak). Kejadian PRES juga belum lama dilaporkan pada pasien yang menderita EIAKI (exercise-induced acute kidney injury)
146
akibat renal hypouricemia oleh mutasi URAT1 (disebut hipourisemia tipe I) (Fujinaga et al., 2013). Hal ini memberi dugaan hubungan yang bermakna antara renal hypouricemia ketimbang mutasi pada URATI atau LSC2A9. Mutasi heterozigot majemuk SLC2A9 dengan gejalah renal hipourisemia yang parah, dengan sekresi AU yang sangat besar (dalam 2 kali pengukuran sebesar nilai FE-UA sebesar 200 % dan 732%) disertai EIARF telah pula dilaporkan pada pasien orang Pakistan ( Jeannin, 2014). Pada pasien ini, mutasi terjadi di p.Arg380Trp dan p.Gly216Arg. Apakah kombinasi mutasi ini menyebabkan hipourisemia yang parah patut ditelusuri lebih lanjut. Bukti genetik lanjut mengenai peranan GLUT9 dalam penanganan AU ginjal adalah laporan atas 2 keluarga yang mengidap renal Hypouricemia yang parah dan yang memiliki mutasi-mutasi homozygous di gen SLC2A9 (Dinour et al., 2010). Keluarga yang satu, yakni keluarga Israel-Arab consanguineous, membawa mutasi missense L75R pada 6 anggota keluarganya; sedangkan keluarga yang lain, dari turunan Ashkenazi-Jewish membawa delesi 36 kb (yang menyebabkan dihasilkannya protein yang cacat (truncated) pada satu anggota keluarganya, dimana pada cDNA-nya kehilangan keseluruhan daerah exon 7, dan proteinnya hanya berukuran panjang 231 asam amino. Ketujuh pasien dimaksud memiliki AU 0,17 ± 0,2 mg/dl serta ekskresi fraksional AU >150%; tiga orang dari mereka mengidap nephrolithiasis, dan 3 yang lain memiliki sejarah gagal ginjal yang dipicuh latihan fisik. Eksresi fraksional AU pada ketujuh pasien ini jauh lebih besar
(>150%) ketimbang pada mereka yang hanya membawa mutasi heterozygous (13,00 ± 6,74 %) atau anggota keluarga yang tidak terpengaruhi (8,40 ± 3,88%). Kelompok peneliti yang sama (Dinour et al., 2012) juga melaporkan temuan 2 mutasi missense homozygous di GLUT9 (R171C dan T125M) pada 2 keluarga, yang pembawanya memiliki AU 0,15 ± 0,06 dengan ekskresi AU fraksional sebesar 89-150 %, namun mereka tidak menderita nephroliathis atau EIARF. Di China, Shen et al., (2014) melaporkan satu kasus wanita berumur 12 tahun penderita EIAKI (exercise-induced acute kidney injury) dan idiopathic renal hypouricemia
(serum AU 0,05 mg/dl; ekskresi fraksional AU, 295,99%). Mereka menemukan keadaan
147
klinis tersebut disebabkan oleh mutasi homozygous (g.68G>A) di exon 3 gen SLC2A9. Sebelumnya, 2 pasien dari Inggris yang berasal dari keluarga yang tidak memiliki hubungan saudara telah dilaporkan pula oleh Stiburkova et al., (2012). Mereka menderita AKI (Acute Kidney In jury), dan mereka menunjukkan bahwa AKI tersebut berhubungan dengan renal hypouricemia yang terkait mutasi di gen SLC2A9 (yakni terjadinya mutasi missense transisional, p.G216R dan p.N333S). Mutan disfungsi GLUT9 (p.G72D; c.215G>A) telah pula dilaporkan pada pasien orang Czech yang mengalami renal hypouricemia (dengan eksresi fraksional >10%) (Mancikova et al., 2015). Di Austria, yakni seorang anak laki-laki 16 tahun yang berasal dari keluarga asli setempat menunjukkan gejalah EIAKI dan hipourisemia para (Windpessi et al., 2016). Didapati bahwa yang bersangkutan mengalami mutasi homozygous transisional c.512G>A dan menyebabkan substitusi missense p.Arg171His
Dari laporan-laporan di atas dapat disimpulkan bahwa mutasi pada sejumlah lokasi di gen SLC2A9, apalagi mutasi hilang fungsi dan mutasi majemuk, menyebabkan sejumlah kondisi klinis terutama hipourisemia, ekskresi AU jauh di atas normal, batu ginjal, EIAKI, atau EIARF. Pada sejumlah kasus muncul juga gejalah klinis PRES, dan neurologis lain. Hipourisemia, ketimbang mutasi gen itu sendiri, memainkan peranan kritis terhadap gejalah klinis lainnya, karena gejala yang sama juga bica dipicuh oleh mutasi pada URAT1.
Mekanisme Transport Asam Urat di Ginjal oleh LSC2A9 Sejalan dengan fakta bahwa SLC2A9 adalah anggota dari gen-gen pengangkut heksosa dengan mode pasif, yang pada proteinnya terdapat motif-motif transporter heksosa, Manolescu et al., (2007) membuktikan bahwa SLC2A9 mampu mengangkut fruktosa dan glukosa dengan nilai afinitas (Km) 0.42 mM untuk fruktosa dan 0.61 mM untuk glukosa. Nilai afinitas demikian tergolong rendah. Muncul pertanyaan, “adakah substrat utama alternatif dari protein SLC2A9?”. Terkait dengan pertanyaan ini, maka telah dibuktikan dalam studi genetika bahwa berbagai mutasi pada SLC2A9 berimplikasi pada terganggunya konsentrasi urat darah, terutama hipourisemia, yang terkait erat dengan 148
meningkatnya ekskresi AU, maka menjadi sangat penting baik dari segi perluasan pemahaman maupun dalam aplikasi klinis untuk mengetahui ragam kiprah molekuler dari protein SLC2A9 terkait AU. Adalah Vitart et al., (2008) yang pertamakali membutikan menggunakan sel telur Xenopus laevis bahwa SLC2A9 memiliki kemampuan kuat mentransport AU. Salah satu inspirasi Vitart et al. menggunakan AU sebagai substrat untuk menguji kemampuan mentransportnya ialah sejumlah hasil penelitian yang menunjukkan bahwa SLC2A9 terekspresi di daerah-daerah di mana AU terdeposisi dalam konsentrasi yang tinggi, antara lain di ginjal dan chondrocytes dari articular cartilage. Vitart et al. menggunakan penelusur AU 8-14C sebagai substrat dan membuktikan bahwa sel telur yang mengekspresikan protein SLC2A9S (yakni isoform berukuran kecil dari 2 isoform gen ini) mampu menarik AU ke dalam sel telur 31 kali lebih banyak ketimbang sel telur yang tidak mengekspresikan protein SLC2A9S pada konsentrasi substrat 150 μM. Mereka selanjutnya menunjukkan kemampuan SLC2A9S adalah 7 kali lebih banyak dalam mengangkut AU ke dalam sel ketimbang URAT1, yang sebelumnya telah diketahui mentransport AU. Ditunjukkan pula pola kinetik pengangkutan AU oleh SLC2A9 yang bersifat terjenuhkan dan secara parsial dihambat oleh agen uricosuric, dhi. benzbromarone, 54,9% (bandingkan dengan penghambatan oleh agen yang sama pada URAT1 sebesar 95,1%). Mereka menyimpulkan bahwa SLC2A9 tergolong transporter AU berkapasitas tinggi, dengan afinitas rendah, dengan Vmax 5,33 pmol per sel telur per menit dengan Km 890 μM. Mempertimbangkan lokasi terekspresinya gen SLC2A9 di daerah apikal tubulus proksimal dari ginjal sebagaimana juga gen-gen URAT1 dan
OAT4 (yang sebelumnya telah diusulkan bertindak dalam reabsorpsi AU), Vitart et al., mengusulkan bahwa SLC2A9 bertindak dalam proses yang sama. Pembuktian yang mirip juga telah dilakukan pada sel telur X. laevis oleh Caufield et al., (2008) untuk kedua isoform pada konsentrasi yang mirip dengan konsentrasi AU di darah manusia, yakni 200-500 μM . Dalam 20 menit setelah inkubasi dengan AU, baik SLC2A9L maupun SLC2A9S mengangkut AU dengan sangat cepat. Mereka bahkan menunjukkan kemampuan glukosa (dan pada tingkat tertentu fruktosa) memfasilitasi SLC2A9 mentransport AU. Untuk melihat fungsinya pada ginjal manusia, 149
Caufield et al., menggunakan sel-sel ginjal embrionik manusia yang mengekspresikan kedua isoform SLC2A9, dan berhasil menunjukkan bahwa sel-sel tersebut mengangkut AU ke dalam sel tersebut paling tidak 2 kali lebih banyak dibanding dengan pengangkutan AU oleh sel-sel ginjal kontrol. Peningkatan pengakutan AU tersebut akibat dari protein SLC2A9 karena dengan membungkam ekspresinya (menggunakan SLC2A9-targeted siRNA) maka pengangkutan AU menurun. Pertanyaan penting ialah bagaimana protein SLC2A9 memfasilitasi/ menangani AU pada membran sel? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita menengok eksperimen lain yang dilakukan Caufield et al., (2008) dan Ansai et al., (2008). Caufield et al., (2008) menyuntikkan sel telur X. laevis yang mengespresi SLC2A9 dengan urat tertanda. Mereka kemudian mengukur aliran urat keluar dari sel dalam kehadiran 5 mM D-glukosa, D-fructosa, L-glukosa, atau 2 mM urat di medium (ekstraseluler). Hasilnya, aliran urat keluar sel membentuk kurva tunggal eksponensial selama periode 20 menit, dan kehadiran D-glukosa ekstraseluler sangat mempercepat pergerakan urat keluar sel. Demikian pula dengan fruktosa dalam memfasilitasi aliran urat keluar, walaupun dalam percepatan yang lebih kecil (7 kali untuk glukosa dibandingkan 3 kali untuk fruktosa). Dari eksperimen ini disimpulkan bahwa SLC2A9 bertindak memfasilitasi AU melalui mekanisme transport trans-stimulasi oleh glukosa dan fruktosa. Witkowska et al., (2012) selanjutnya menunjukkan bahwa SLC2A9L lebih sensitif terhadap kehadiran
D-glukosa ekstraseluler ketimbang SLC2A9S. Ansai et al. (2008) melakukan eksperimen untuk mengetahui kinetika, spesifisitas, dan selektivitas, serta faktor-faktor fisiologis yang berpengaruhi aktivitas SLC2A9 dalam mengangkut substrat, dan menguji kemampuan SLC2A9 mentransport urat. Disimpulkan bahwa SLC2A9 selain memiliki kinetika reaksi dengan AU yang nilainilainya tidak jauh dari penelitian-penelitian sebelumnya (Km 365 ± 42 μM; Vmax
5,521 pmol/jam/oosit), memiki substrat yang lebih sempit ketimbang URAT1, bahkan mungkin AU satu-satunya substrat. Aktivitasnya pun ditunjukkan tidak terpengaruh Na+, namun sensitif terhadap potensi elektrik membran akibat dari peningkatan K+ eksternal, serta pH ekstraseluler. Berdasarkan data kepekaan aktivitas SLC2A9 pada muatan elektrik dan berdasarkan kenyataan bahwa sel-sel tubulus (ginjal) memiliki 150
muatan elektrik negatif di dalam sel maka seharusnya keadaan ini mendukung aliran AU ke arah luar sel (efflux). Hal ini didukung pula oleh kenyataan bahwa jika pH eksternal sel bersifat basah maka aktivitas LSC2A9 transport terhadap AU menurun. Kesimpulan Ansai mengenai mekanisme transport AU juga dibuktikan oleh Bibert pada mencit (Bibert et al., 2009). Witkowska et al., (2012) menggunakan teknik voltage-clamp, menyimpulkan bahwa arah aliran AU, apakah infflux ataukah efflux, tergantung terutama pada gradien elektrokimia, sebagaimana ditunjukkan oleh meningkatnya aliran AU ke luar sel dengan menurunnya kadar ion Cl- ekstraseluler. Kalau demikian, bagaimana SLC2A9 bekerja me-reabsorpsi AU kembali ke sistem sirkulasi darah dari nephron? AU harus melewati dua lapis membran untuk keluar dari tubulus nephron. Pertama bahwa AU harus melewati membran apikal dari membran sel tubulus yang menghadap ke arah dalam (lumen) dari tubulus. Kemudian AU harus keluar melewati membran yang berada di arah luar, atau basolateral, yang mengarah ke arah cairan peritubular di sekitar. Oleh sifatnya yang hidrofilik, tentu akan sukar sekali AU melewati membran-membran dimaksud tanpa keterlibatan fasilitator pengangkutan. Oleh sebab itu, untuk menjawab persoalan ini, kita akan melihat apakah LSC2A9 terekspresi dan bekerja di membran-membran dimaksudkan.
Gambar3. Membran Sel Pada Sisi Apikal dan Sisi Basolateral dari Tubulus Nephron (Sumber: http://ouopentextbooks.org/biol3103/chapter-16-excretory-systems) 151
Ekspresi dan Regulasi Gen SLC2A9 Segera setelah SLC2A9 dipinak, studi ekspresikan gen SLC2A9 pun dilakukan. Dalam eksperimen Augustin et al., (2004), mereka mengecek ekspresi SLC2A9L dan SLC2A9S pada berbagai jaringan manusia: hati, ginjal, plasenta, leukosit, otak, dan paru-paru. Ternyata kedua versi cDNA ini terekspresi berbeda. SLC2A9L terdeteksi di semua jaringan yang diuji, dan sangat kuat terekspresi di hati dan ginjal; sedangkan SLC2A9S hanya terdeteksi di ginjal dan plasenta, dengan sinyal yang lebih kuat terlihat di ginjal. Pengecekan ekspresi protein di fraksi membran ginjal membuktikan SLC2A9 terdapat terutama di membran plasma dan fraksi mikrosomal berkerapatan tinggi, pada ukuran 4855 kDa. Analisis pita ekspresi setelah prosedur deglikosilasi didapati 2 pita protein GLUT9L dan GLUT9S. Selanjutnya, hibridisasi insitu dengan teknik imunohistokimia menyimpulkan bahwa SLC2A9L terekspresi di tubulus proksimal dari organ ginjal, dan terutama di membran basolateral pada sel-sel epitel tubulus proksimal. Augustin et al., (2004) kemudian memilih galur sel epitel Madin-Darby Canine Kidney (MDCK), suatu sel model epitelia yang telah mapan dalam mempelajari apakah suatu protein disasar ke daerah apikal atau lateral. Mereka ingin mengetahui apakah LSC2A9L dan SLC2A9S disasar berbeda di dalam sel MDCK terpolarisasi. Mereka berhasil mendemonstrasikan adanya perbedaan pola lokalisasi yang jelas dari LSC2A9L dan LSC2A9S. SLC2A9L ditemukan secara ekslusif di membran basolateral, sedangkan SLC2A9S dihantar ke membran apikal dari sel MDCK. Kimura et al., (2011) kemudian membuktikan bahwa SLC2A9 (URATv1) terekspresi di sisi basolateral dari tubulus proksimal ginjal (sementara URAT1 di sisi apikal, sekaligus membuktikan bahwa URAT1 adalah transporter AU ke arah luar dan disetir oleh tegangan elektrik). Mereka membuat tikus transgenik yang mengekspresikan
SLC2A9 dan mengusulkan bahwa ekspresi berlebihan protein SLC2A9 meningkatkan reabsorpsi AU dan selanjutnya menyebabkan hiperurisemia. Apakah hal ini benarbenar terjadi pada sel-sel tubulus proksimal dari ginjal, perlu dibuktikan. Oleh sebab itu, Kimura et al., (2014) ingin memastikan di manakah di sel-sel tubulus proksimal dari ginjal manusia dari isoform SLC2A9L dan SLC2A9S terekspresi. 152
Dari penelitian mereka didapati bahwa SLC2A9S terekspresi di sisi apikal dari collecting duct, sementara SLC2A9L di sisi basolateral dari tubulus proksimal. Mereka juga menyimpulkan bahwa terminal amina yang khas untuk tiap-tiap isoform memainkan peranan penting pada stabilitas protein dan penyasaran masing-masing (trafficking). Pertanyaan menarik yang perlu dijawab untuk dapat memahami bagaimana SLC2A9 berperan dalam homeostasis AU adalah bagaimana ekspresi gen SLC2A9 dikendalikan pada berbagai aras ekspresi gen, dan bagaimana pula ekspresi gen ini terkoordinasi dengan aktivitas genetik gen-gen transporter AU yang lain (Prestin et al., 2014). Studi untuk menjawab pertanyaan di atas masih terbatas, kecuali regulasi pasca transkripsi pengeditan RNA ke dalam 2 isoform dan bagaimana mereka terekspresi berbeda pada sel-sel tubulus proksimal. Namun demikian, studi regulasi transkripsional telah dilaporkan oleh Prestin et al., (2014). Mereka membuktikan secara invitro bahwa ekspresi SLC2A9 terimbas oleh ekspresi berlebihan faktor transkripsi HNF4α, suatu anggota keluarga protein nuclear receptor. Dibuktikan pula bahwa aras ekspresi mRNA dari SLC2A9 maupun HNF4α di ginjal manusia berkorelasi nyata, sebagaimana pula dibuktikan pada karsinoma sel renal. Menggunakan simulasi komputer (in silico) maupun pengujian ekspresi gen pelapor (reporter gene essays) berhasil teridentifikasi situs pada promotor SLC2A9 isoform 1 yang berinteraksi dengan hepatocyte nuclear factor (HNF) 4α. Aktivitas promotor SLC2A9 isoform 1 tergiatkan oleh ekspresi HNF4α, dan sebaliknya jika mutasi dilakukan di daerah pengikatan HNF4α maka promotor SLC2A9 menurun aktivitasnya. Prestin et al., (2014) menyimpulkan bahwa karena HNF4α juga terlibat pada sejumlah pengendalian ekspresi transporter AU maka hal ini memberi pertanda adanya sistem regulasi ekspresi gen-gen yang terlibat dalam penanganan AU di ginjal secara terkoordinasi. Paling tidak ekspresi terkoordinasi antara SLC2A9 isoform 1 (URATv1) dengan URAT1 di sel tubulus proksimal telah didemonstrasikan (Nakanishi et al., 2013).
Diskusi dan Kesimpulan Hasil-hasil penelitian sebagaimana telah dipaparkan di atas menunjukkan bahwa SLC2A9 terlibat dalam pengangkutan kembali AU di tubulus proksimal ginjal.
153
Bersama-sama dengan transporter lain, terutama URAT1, SLC2A9 mereabsorpsi AU sangat signifikan (mencapai 90%) dan mengembalikannya ke sistem sirkulasi darah. Implikasi dari fungsi LSC2A9 tersebut ialah kadar AU serum darah dipertahankan pada konsentrasi yang tinggi, lebih tinggi dari konsentrasi AU darah pada kebanyakan mamalia dan primata lain ( Johnson et al., 2005). Sebaliknya, penurunan atau disfungsi SLC2A9 pada manusia menyebabkan hipourisemia, dengan berbagai konsekuensi klinisnya. Keadaan ini bertolak-belakang situasinya pada mencit, dimana inaktivasi total dan sistemik SLC2A9 menyebabkan hiperurisemia sedang, yang disertai hiperuricosuria yang masif (kehadiran AU yang sangat berlebihan di urine), nephropathy yang berlangsung dini, adanya obstructive lithiasis, tubulointerstitial inflammation, inflamasi fibrosis progresif di korteks, dan mild renal insufficiency. Inaktivasi SLC2A9 spesifik di hati berakibat pada hiperurisemia berat disertai hiperuricosuria (Preitner et al., 2009). Dengan demikian, mesti terdapat alasan kehadiran kadar asam urat yang tinggi pada manusia. Salah satu argumentasi akan kebutuhan AU yang tinggi adalah peranan AU sebagai antioksidan (Ames et al., 1981). Kalau peran AU sebagai antioksidan penting, maka peningkatan kadar AU darah dalam perjalanan evolusi primata sebagaimana dijelaskan oleh proses kemunduran fungsional gen uricase ataupun akuisisi baru fungsi LSC2A9 sebagai pengangkut AU kembali ke dalam darah, maka proses pemerolehan fungsi tersebut haruslah berlangsung melalui proses seleksi, dan bukan kebetulan evolutif.
Perubahan/penambahan fungsi LSC2A9 yang biasanya terlibat mengangkut heksosa menjadi satu-satunya keluarga SLC2A yang mampu mentransport AU kembali ke dalam tubuh berperan penting memelihara homeostasis AU pada kisaran ± 3 - 7 mg sebagaimana dijelaskan oleh sejumlah SNP pada sejumlah daerah baik di daerah sandi maupun bukan sandi dari gen SLC2A9. Mutasi yang menyebabkan kisaran konsentrasi AU tubuh keluar dari konsentrasi ini menyebabkan gangguan patologis. Oleh sebab itu pula, konteks genomik dan regulasi ekspresi SLC2A9 menjadi penting baik dalam pengertian naik-turunnya ekspresi gen maupun koordinasi ekspresi LSC2A9 dengan transpor AU yang lain, dalam konteks ruang dan waktu. Demikian pula perbedaan respons antara SLC2A9L dan SLC2A9S terhadap kehadiran glukosa dan fruktosa, ataupun senyawa lain menunjukkan pentingnya 154
konteks metabolik dan faktor lingkungan dalam reabsorpsi AU dan berarti pula dalam hal homeostasis AU di dalam darah atau organ tubuh lain (ginjal, hati, usus). Menilik lebih jauh peranan faktor-faktor genetik, molekular, konteks metabolik, dan makanan, memberikan pemahaman kepada kita akan pentingnya pertimbangan-pertimbangan faktor-faktor tersebut di dalam memahami sejumlah persoalan patologis terkait homeostasis AU, hipourisemia dan hiperurisemia (Lihat misalnya Ware et al., 2015). Dalam hal ini studi LSC2A9 pada berbagai aras dan aspek memberikan pencerahan kepada kita akan pentingnya kekhasan individual (genetik, metabolik) dalam praksis kedokteran dan kegizian.
Daftar Pustaka Ames BN, Cathcart R, Schwiers E, Hochstein P, 1981. Uric acid provides an antioxidant defense in humans against oxidant- and radical-caused aging and cancer: a hypothesis. Proc. Natl. Acad Sci USA 78: 6858-6862. Ansai N, Ichida K, Jutabha P, Kimura T, Babu E, Jin CJ et al., 2008. Plasma Urate Level Is Directly Regulated by a Voltage-driven Urat Efflux Transporter URATv1 (SLC2A9) in Humans. J. Biol. Chem. 283:26834-26838. Bibert S, Hess SK, Firsov D, Thorens B, Geering K, Horisberger J-D et al., 2009. Mouse GLUT9: evidences for a urate uniporter. Am J Physiol Renal Physiol 297: F612-F6129. Caulfield MJ, Munroe PB, O’Neill D, Witkowska K, Charchar FJ, Doblado M et al. SLC2A9 is a high-capacity urate transporter in humans. PLoS Med. 2008;5:1509–1523. Chiba T, Matsuo H, Nagamori S, Nakayama A, Kawamura Y, Shimizu S, et al., 2014.
Identification of a Hypouricemia Patient with SLC2A9 R380W, A Pathogenic Mutation for Renal Hypouricemia Type 2. Nucleosides Nucleotides Nucleic Acids 33 (4-6), 261-265. Clemencon B, Luscher BP, Fine M, Baumann MU, Surbek DV, Bonny O, et al., 2014. Expression, Purification, and Structural Insights for the Human Uric Acid Transporter, GLUT9, Using the Xenopus laevis Oocytes System. PLoS ONE 9(10):E108852. Doi:10.1371/journal.pone.0108852. Dehghan A., Köttgen A., Yang Q., Hwang S-J., Kao LWH., Rivadeneira F., et al., 2008.
155
Association of three genetic loci with uric acid concentration and risk of gout: a genome-wide association study. Lancet 372: 1953-1961. doi:10.1016/S01406736(08)61343-4.
Fujinaga S, Ito A, Nakagawa M, Watanabe T, Ohtomo T, Shimizu T, 2013. Posterior reversible encephalopathy syndrome with in renal hypouricemia type 1. Eur J Pediatr (2013) 172: 1557-1560. doi:10.1007/s00431-013-1986-7 Jeannin G, Chiarelli N, Gaggiotti M, Ritelli M, Maiorca P, Quinzani S, Recurrent exercise-induced acute renal failure in a young Pakistani man with severe renal hypouricemia and SLC2A9 compound heterozygosity. BMC Medical Genetics 2014, 15:3. http://www.biomedcentral.com/1471-2350/15/3 Johnson RJ, Titte S, Cade JS, Rideout BA, and Oliver WJ, 2005. Uric Acid, Evolution, and Primitive Cultures. Semin Nephrol 25:3-8. Kimura K , Amonpatumrat S , Tsukada A , Fukutomi T , Jutabha P , Thammapratip T et al., 2011. Increased Expression of SLC2A9 Decreases Urate Excretion From the Kidney. Nucleosides, Nucleotides and Nucleic Acids 30:1295-1301. Kimura T, Takahashi M, Yan K, Sakurai H, 2014. Expression of SLC2A9 Isoforms in the Kidney and Their Localization in Polarized Epithelial Cells. PLoS ONE 9(1): e84996.doi:10.1371/journal.pone.0084996. Kolz, M., Johnson, T., Sanna, S., Teumer, A., Vitart, V., Perola, M., et al., (2009) Meta-analysis of 28,141 individuals identifies common variants within five new loci that influence uric acid concentrations. PLoS Genet 5, e1000504. Köttgen A., Albrecht E., Teumer A., Vitart V., Krumsiek J., Hundertmark C., et al., 2013. Genome-wide association analysis identify 18 new loci associated with serum urate concentrations. Nat Genet 45:145-154. Legriel S, Pico F, and Azoulay E, 2011. Understanding Posterior Reversible Encephalopathy Syndrome. Dalam J.-L. Vincent (ed.), Annual Update in Intensive Care and Emergency Medicine 2011, p.631-653. Mancikova A, Krylov V, Hurba O, Sebesta I, Nakamura M, Ichida K, and Stiburkova B, 2015. Functional analysis of novel allelic variants in URAT1 and GLUT9 causing renal hypouricemia type 1 and 2. Clin Exp Nephrol. 2016 Aug;20(4):578-84. doi: 10.1007/s10157-015-1186-z. Epub 2015 Oct 24. Manolescu A.R., Augustin R, Moley K, Cheeseman C., 2007. A highly conserved hydrophobic motif in the exofacial vestibule of fructose transporting SLC2A proteins acts as a critical determinant of their substrate selectivity. Mol Membr Biol. 24:455-63.
156
McArdle P.F., Parsa A., Chang, Y-P. C., Weir, M.R.,O’Connell, J.R., Mitchell B.D., Shuldiner A.R., 2008. A common non-synonymous variant in GLUT9 is a determinant of serum uric acid levels in Old Order Amish. Arthritis Rheum 58:2874–2881. doi:10.1002/art.23752 Merriman T. R., 2015. An update on the genetic architecture of hyperuricemia and gout. Arthritis Research & Therapy 17:98 Mou L-J, Jiang L-P, Hu Y, Mou L-J, Jiang L-P, Hu Y, 2015. A novel homozygous GLUT9 mutation cause recurrent exercise-induced acute renal failure and posterior reversible encephalopathy syndrome. J. Nephrol. 28: 387–392. doi:10.1007/s40620-014-0073-0 Nakanishi T, Ohya K, Shimada S, Anzai N, Tamai I, 2013. Functional cooperation of URAT1 (SLC22A12) and URAT1v (SLC2A9) in renal readsorption of urate. Nephrol Dial Transplant 28: 603-611. Phay JE, Hussain HB , Moley JF, 2000. Cloning and Expression Analysis of a Novel
Member of the Facilitative Glucose Transporter Family, SLC2A9 (GLUT9). Genomic 66:217-220. Phipps-Green A.J., Merriman M.E., Topless R., Altaf S., Montgomery G.W., Franklin C., et al., 2014. Twenty-eight loci that influence serum urate levels: analysis of as-sociation with gout. Ann Rheum Dis Publish On Line First: September 3, 2014. Prestin K, Wolf S, Feldtmann R, Hussner J, Geissler I, Rimmbach C, et al., 2014. Transcriptional regulation of urate transposome member SLC2A9 by nuclear receptor HNF4α. Am J Physiol Renal Physiol 307:F1041-F1051. Preitner F, Bonny O, Laverriere A, Rotman S, Firsov D, Da Costa A, et al., 2009. Glut9 is a major regulator of urate homeostasis and its genetic inactivation induces hyperuricosuria and urate nephropathy. Proc Natl Acad Sci USA 106:15501-15506. Richet G, 1995. The chemistry of urinary stones around 1800: A first in clinical chemistry. Kidney International 48: 876—886 Sparagana M, Phillips G, 1972. Dehydroepiandrosterone (3β-hydroxy-5-androsten-17-
one) metabolism in gout. Steroids 19: 477–491 Stiburkova B, Taylor J, Marinaki AM, Sebesta I, 2012. Acute kidney injury in two children caused by renal hypouricaemia type 2. Pediatr Nephrol 27:1411–1415. Vitart V., Rudan I., Hayward C., Gray N.K., Floyd J., Palmer C.N., et al., 2008. SLC2A9 is a newsly identified urate transporter influencing serum urate concentration, urat excretion, and gout. Nature Genetics 40:437-442.
157
Voruganti V.S., Laston S., Haack K., Mehta N.R., Cole S.A., Butte N.F., and Comuzzie A.G., 2015. Serum uric acid concentrations and SLC2A9 genetic variation in hispanic children: the Viva La Familia Study. Am J Clin Nutr 101:725-732. Ware EB, Riehle E, Smith JA, Zhao W, Turner ST, Kardia LRK, et al., 2015. SLC2A9 Genotype Is Associated with SLC2A9 Gene Expression and Urinary Uric Acid Concentration. PloS ONE 10(7):e0128593. Doi:10.1371/Journal.pone.0128593
Windpessi M, Ritelli M, Wallner M, Colombi M, 2016. A Novel homozigous SLC2A9 mutation associated with renal-induced hypouricemia. Am J Nephrol 43:245250; Published online: April 27, 2016. Witkowska K, Smith KM, Yao SYM, Ng AML, O’Neil D, Karpinski E, et al., 2012. Human SLCA2A9a and SLCA2A9b isoforms mediate electrogenic transport of urate with different characteristics in the presence of hexoses. Am J Physiol Renal Physiol 303:F527-F539. Woodward O.M., 2015. ABCG2: the molecular mechanisms of urate secretion and gout. Am J Physiol Renal Physiol 309: F485–F488, 2015. Yang Q., Köttgen, A., Dehghan A., Smith A.V., Glazer N.L., Chen M-H., 2010. Multiple genetic loci influence serum urate levels and their relationship with gout and cardiovascular disease risk factors. Circ Cardiovasc Genet. 3:523-530.
158
Epidemiologi Strok di Kawasan Migrasi Austronesia ROSIANA EVA RAYANTI
Austronesia Austronesia adalah rumpun Bahasa yang ada sebelum adanya kolonisasi oleh bangsa barat penutur bahasa Austronesia tersebar dari kawasan Madagaskar di sebelah barat sampai ke Kepulauan Paskah di Timur, dan dari Taiwan di utara sampai ke Selandia Baru di Selatan (The International Symposium on Austronesian Diaspora, Juli 2016). Istilah Austronesia muncul oleh teori dari Peter Bellwood “Out-of-Taiwan (OOT)”. Austronesia berasal dari Bahasa Latin “auster” berarti angin selatan dan Bahasa Yunani “nêsos” berarti pulau. Sehingga dapat dikatakan austronesia adalah Kepulauan Selatan (Flessen, 2006). Flessen (2006) pun menjelaskan bahwa sekitar 4500-4000 BC, masyarakat Taiwan Pre-Austronesia berpidah dari Daratan Cina sebagai akibat dari tekanan populasi yang timbul dari perkembangan di bidang pertanian. Hal ini dibuktikan adanya kesamaan peninggalan benda sejarah di Cina dan Taiwan, yakni tembikar dari budaya lokal Tapenkeng. Selanjutnya, sekitar 3000 BC, ditemukan Yuanshan tembikar yang berasal dari budaya lokal Tapenkeng di Filipina dan Indonesia. Lalu, sekitar 2500–1500 BC diketahui adanya perpindahan masyarakat dari Taiwan ke Filipina dan Indonesia melalui wilayah yang berada di antara Kalimantan dan Maluku di 1500 BC. Juga ditemukan tembikar yang serupa di daerah kawasan ini, tembikar Yuanshan (Bellwood et al., 2006). Persamaan kosa kata dalam Bahasa Austronesia di masa kini pada wilayah lintasan tersebut menunjukkan indikasi kesamaan akar genetik (Ko et al., 2014), budaya, dan gaya hidup (Bellwood et al., 2006). Hal ini berarti pribumi di Taiwan, Filipina, 159
dan Indonesia mempunyai asal usul yang sama, yakni migrasi dari penduduk rumpun Bahasa Austronesia.
Penyakit Strok Strok, gangguan neurologis yang terjadi akibat serangan otak secara tiba-tiba akibat penyempitan bahkan pecahnya pembuluh darah ke otak, ialah salah satu penyakit penyebab kematian terbesar di dunia (World Health Organization, 2006 & Johnston et al., 2009). Strok berada pada urutan ke-2 sebagai penyebab angka kematian tertinggi di usia lebih dari 60 tahun dan pada urutan ke-15 sebagai penyebab angka kematian di usia 15–59 tahun di dunia. Secara global, 10% angka kematian dunia terkait strok, organisasi
WHO memperkirakan adanya peningkatan insiden penyakit sistem peredaran darah termasuk strok pada tahun 2020. Diperkirakan sebanyak 6,5 juta angka kematian karena strok di tahun 2015 dan meningkat 7,8 juta di tahun 2030 (The Stroke Society of the Philippines, 2011). Lebih dari dua pertiga angka kematian akibat strok di dunia terjadi di Negara Berkembang ( Johnston et al., 2009). WHO (2006) pun menegaskan adanya dua (2) klasifikasi strok: iskemik (bekuan) dan hemoragik (pendarahan). Prevalensi strok iskemik sekitar 85% dan hemoragik sebesar 15% dari seluruh angka kejadian strok di dunia (Luengo-Fernandez et al., 2013 & Intercollegiate Stroke Working Party, 2012). Angka kejadian strok hemoragik relatif lebih besar di negara Asia dibandingkan di negara Barat. The Stroke Society of the Philippines (2011) menggunakan database Saint Lukes Medical Center (SLMC) stroke dan database PNA RIFASAF, menunjukkan bahwa angka kejadian strok hemoragik sekitar 26–30%, sedangkan data di negara Barat hanya menunjukkan 20%.
Penelitian epidemiologi yang telah dilakukan beberapa peneliti pun menegaskan bahwa faktor resiko terjadinya strok ialah hipertensi, hyperlipidemia, diabetes, obesitas, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, kondisi sosial dan ekonomi individu, dan riwayat penyakit strok di keluarga (Hart et al., 2000; Jakovljevic et al., 2001; Boysen et al., 1988; Diez-Roux et al., 2000; Mensah et al., 2005; Duncan et al., 160
2002; Gillum et al., 2003; Grundy et al., 2001; Jakovljevic et al., 2001; Brown et al., 2005; dan Modan et al., 1992). Selain berdampak pada kecacatan fisik, serangan strok membutuhkan proses kesembuhan pada fase rehabilitasi dalam waktu jangka panjang dan biaya yang tinggi. Tidak hanya penderita yang mengalami permasalahan pada biologis-psikologis-sosial, tetapi anggota keluarganya pun pengalami perubahan-perubahan seperti harus memenuhi kebutuhan sehari-hari penderita, membiayai pengobatan, dan mendampingi penderita. Umumnya dampak serangan strok pada kecacatan fisik dan kognitif permanen menyebabkan anggota keluarga pun mengalami depresi dan hilangnya kemandirian (Grant et al., 2004 & Wolfe et al., 2007). Strok dikenal sebagai penyakit yang menyebabkan kecacatan serius dalam jangka panjang (Stapf & Mohr, 2002). Mereka juga melaporkan bahwa sepertiga dari penderita yang terserang strok berujung meninggal pada fase akut, sepertiga lainnya mengalami stroke berulang, dan 50% dari yang selamat, berakhir dengan kecacatan. Kecacatan dapat berupa pembatasan fisik dan/atau disfungsi psikososial. Hal mana mempengaruhi kualitas hidup. Kecacatan akibat strok adalah hasil dari defisit neurologi akut yang disebabkan oleh gangguan aliran darah secara mendadak di otak. Akibatnya penderita mengalami gangguan-gangguan pada fungsi kognitif, fungsi fisik, fungsi sosioemosional dan komunikasi (Davis et al., 1999). Defisit-defisit tersebut dapat mengalami perbaikan dengan cepat, mengalami perburukan yang progresif hingga menetap (Price & Wilson,
2005). Miller et al. (2010) pun melaporkan bahwa 50 juta penderita strok di seluruh dunia harus mengatasi gangguan fisik, kognitif, dan defisit emosional yang terjadi akibat stroke. Diketahui bahwa sebesar 25–74% dari penderita strok tersebut memerlukan beberapa bantuan atau sepenuhnya tergantung pada pengasuh untuk aktivitas hidup sehari-hari (Miller et al., 2010). Laporan Stroke Society of the Philippines (2011) menegaskan bahwa penyakit defisit neurologi ini penyebab kecacatan permanen lebih dari 32% pada penderita strok dengan usia dewasa. Kematian akibat strok di dunia tiap tahunnya mencapai 5,5 juta, 161
di mana sebanyak 49 juta penderita strok menderita kecacatan akibat serangan strok (Cox et al.., 2006 & WHO, 2004). Berdasarkan uraian di atas, muncul pertanyaan apakah masyarakat pribumi di Taiwan, Filipina, dan Indoneisa mempunyai kesamaan angka penyebaran penyakit strok?
Taiwan Strok adalah penyebab ketiga angka kematian secara nasional dan penyakit yang sering mengakibatkan kecacatan yang kompleks (Hsieh & Chiou, 2014). Data dari survei nasional di daerah perkotaan di Taiwan yang di tahun 2004 menunjukkan angka kematian akibat strok ialah 55 orang per 100,000 (11%). Hu et al., (1992) dalam penelitian epidemiologi di Taiwan dengan metode kohort pada 8,562 orang bukan penderita strok selama empat tahun untuk mengobservasi temuan kejadian serangan stroke berujung pada hasil terdapat 104 (61 laki-laki dan 43 wanita) mengalami serangan stroke di usia sama dengan 36 tahun atau lebih.
Filipina Strok adalah penyebab kematian kedua secara nasional di Filipina (Navarro dkk, 2014). Data stastistik dari Philippine Department of Health (DOH) pada tahun 1998 dan 2005 menunjukkan Filipina –negara berkembang dengan perekonomian menengah– memiliki prevalensi stroke yang tinggi dan sebagai penyebab kematian ke-2 (Stroke Society of the Philippines, 2011). Di tahun 2005, dari angka kematian 58 juta terdapat 5,7 juta kematian akibat strok tanpa penyakit penyerta lainnya. Laporan dari WHO’s Global Burden of Stroke di tahun 2005 menunjukkan bahwa prevalensi strok di Filipina ialah 14 per 1000 orang. Bahkan, lebih dari rataan 5 orang pe 1000 di Negara Industri.
Indonesia Profil Kesehatan Indonesia tahun 2008 menunjukkan bahwa penyebab kematian utama pada semua umur di Indonesia adalah strok (15,4%), yang disusul oleh 162
TB (7,5%), hipertensi (6,8%), dan cedera (6,5%). Hasil RISKESDAS tahun 2007 pun memperoleh hasil yang sama, bahwa prevalensi strok di Indonesia tinggi sebesar 8,3 per 1.000 penduduk dan yang telah didiagnosis oleh tenaga kesehatan adalah enam penderita stroke per 1.000 penduduk (72,3%) namun angka kematian akibat stroke tetap tinggi. Prevalensi strok tertinggi Indonesia pada tahun 2007 dijumpai di Nanggroe Aceh Darussalam (16,6 per 1.000 penduduk) dan terendah di Papua (3,8 per 1.000 penduduk) (DEPKES RI, 2009). Sulawesi Utara (Sulut) menurut RISKESDAS tahun 2007 adalah provinsi dengan urutan ke-4 prevalensi strok nasional, yakni 8,5‰ berdasarkan penetapan diagnosis klinis. Daerah ini hanya lebih rendah dari empat provinsi lain, yakni: NAD (10,4‰), Kepulauan Riau (10,1‰), dan Jakarta (9,4‰). Jika membandingkan dengan rata-rata prevalensi nasional sebesar 6,0‰, prevelensi strok di Sulut jauh lebih tinggi. Jika prevalensi strok di Sulut mencakupkan pula aspek gejala, maka persentasinya menjadi jauh lebih tinggi, yakni 10,4‰; sementara rata-rata nasional hanya 8,3‰. Kota Tomohon terletak 23 km dari Ibukota provinsi Manado, Sulut. Hasil Profil Kesehatan Sulawesi Utara tahun 2008 menujukkan bahwa berdasarkan penetapan diagnosis klinis penyakit stroke diketahui bahwa Kota Tomohon memiliki prevalensi 0,2%, dibawah rata-rata prevalensi Sulut, yaitu 0,9%. Namun berdasarkan penetapan dengan gejala strok, maka Kota Tomohon memiliki prevalensi tertinggi, setelah Kepulauan Talaud dan Kota Bintung yang masing-masing memiliki prevalensi 1,5% dan Kota Manado (1,3%). Penetapan prevalensi dengan gejala strok di Tomohon ialah 1,1%, lebih tinggi dari rata-rata prevalensi Sulut, yaitu 1%. Dari uraian di atas, diketahui bahwa ketiga negara yang menjadi lintasan migrasi
Austronesia memiliki prevelensi strok yang tinggi, yakni masih dalam tiga penyakit utama penyebab kematian di usia dewasa.
163
Dalam ulasan ini, penulis memilih topik strok dan Austronesia untuk melihat keterkaitan antara wilayah lintasan Austronesia: Taiwan, Filipina, dan Indonesia dalam hal penyebaran penyakit strok. Strok adalah salah satu penyakit yang ada dalam kardiometabolik sindrom. Kardiometabolik sindrom adalah kumpulan dari penyakitpenyakit yang terjadi akibat gangguan pada sistem kardiovaskular atau jantung dan sistem metabolik tubuh. Penyebaran kardiometabolik dari sisi faktor genetik, faktor lingkungan, dan faktor budaya adalah fokus utama penelitian dan pengabdian masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya Wacana. Melihat bahwa angka kejadian strok, hipertensi, diabetes mellitus, dan asam urat yang tinggi dari tahun ke tahun di Indonesia, FIK mengambil peran untuk menangani permasalahan yang terjadi di masyarakat akibat penyakit tersebut. Penulis berfokus untuk mendalami pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat pada faktor lingkungan dan faktor genetik pada kardiometabolik sindrom. Latar belakang penulis yakni keperawatan komunitas akan mempermudah untuk mengali keterkaitan antara faktor lingkungan dan faktor genetik pada penyakit-penyakit dalam kardiometabolik sindrom. Fakultas Ilmu Kesehatan memiliki tiga Daerah Binaan di Jawa Tengah, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Lokasinya ialah Kecamatan Getasan, Kota Tomohon, dan Desa Binaus. Peneliti akan mengaplikasikan bidang ilmu keahlian ini untuk melayani masyarakat di tiga daerah binaan tersebut. Telah dilakukan beberapa pengabdian masyarakat di Desa Batur, Kecamatan Getasan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Peneliti pun telah melakukan penelitian di Kota Tomohon tentang Studi Kasus: Pola Hidup Keseharian Penderita Strok dan Anggota Keluarga yang Merawat. Untuk melihat keseinambungan antara angka kejadian penyakit dalam kumpulan kardiometabolik sindrom di kawasan lintasan austronesia, penelitian tesis pun sengaja memilih topik mengenai Praktik Kesehatan Penderita Diabetes Tipe 2 di Kota Dumaguete, Filipina. Penelitian yang dilakukan ini memang diarahkan untuk menggali aspek-aspek kesehatan pada penyakit di kardiometabolik sindrom. Ini adalah langkah
164
awal yang tepat guna memperdalam fokus bidang keilmuan. Untuk ke depannya, penulis
bertekad mendalami bidang epidemiologi penyakit kardiometabolik sindrom sebagai program doktoral. Penulis telah menjadi bagian dari 10 tahun FIK. Sebagai mahasiswa angkatan pertama di Program Studi Ilmu S1 Keperawatan dan sekarang staff pengajar, penulis paham betul dinamika hingga perkembangan fakultas ini. Penulis sadar betul, keberadaan FIK saat ini tidak lepas dari usaha kerja keras dan doa dari banyak kalangan yang telah mendukung kemajuan FIK. Penulis pun berani mengatakan bahwa sekarang FIK adalah fakultas yang penuh berkat, bergerak dinamis, dan semakin mapan. Selamat ulang tahun ke-10 fakultas tercinta. Kiranya Tuhan selalu menyertai keberadaan FIK dan FIK senantiasa menjadi berkat untuk masyarakat sekitarnya.
Daftar Pustaka Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2008). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007: Laporan Nasional 2007. Jakarta: BPPK Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Bellwood, Peter., Fox, James J., and Tryon, Darrell. (2006). The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives. The Australian National University: ANU E Press.
Boysen G, Nyboe J, Appleyard M, et al. (1988). Stroke Incidence and risk factors for stroke in Copenhagen, Denmark. Stroke, 19:1345–1353. Brown P, Guy M, Broad J. (2005). Individual socio-economic status, community socioeconomic status and stroke in New Zealand: a case control study. Soc Sci Med, 61:1174–1188. Cox AM, McKevitt C, Rudd AG, Wolfe CDA. (2006). Socioeconomic Status and Stroke. Lancet Neurol, 5:181–188. Davis, William B., Kate E. Gfeller, Michael H. Thant. (1999). An Introduction Music Therapy: Theory and Practice. US: The McGraw-Hill Companies. Diez-Roux AV, Link B, Northridge ME. (2000). A multilevel analysis of income inequality and cardiovascular disease risk factors. Soc Sci Med, 0:673–687.
165
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara. (2009). Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2008. Balai Data, Surveilans dan Sistem Informasi Kesehatan: Sulawesi Utara. Duncan GJ, Daly MC, McDonough P, Williams DR. (2002). Optimal indicators of socioeconomic status for health research. Am J Public Health, 92:1151–1157. Flessen, Catherine T. (2006). Bellwood and Solheim: Models of Neolithic movements of people in Southeast Asia and the Pacific. (https://files.itslearning.com/data/ ntnu/44801/bellwood-solheim.pdf ?) Gillum RF, Mussolino ME. (2003). Education, poverty, and stroke incidence in whites and blacks: The NHANES I epidemiologic follow-up study. J Clin Epidemiol, 56:188–195. Grant JS, Glandon GL, Elliott TR et al. (2004). Caregiving problems and feelings experienced by family caregivers of stroke survivors the first month after discharge. Int J Rehabil Res, 27:105–11 Grundy E, Holt G. (2001). The socioeconomic status of older adults: How should we measure it in studies of health inequalities? J Epidemiol Community Health, 55:895–904. Hart CL, Hole D, Smith GD. (2000). The contribution of risk factors to smoke differentials, by socioeconomic position in adulthood: The Renfrew/Paisley study. Am J Public Health, 90:1788–1791. Hsieh, Fang-I and Chiou, Hung-Yi. (2014). Stroke: Morbidity, Risk Factors, and Care in Taiwan. Journal of Stroke, 16(2):59-64 http://dx.doi.org/10.5853/ jos.2014.16.2.59. Hu, HH., Sheng, WY., Chu, FL., Lan, CF., dan Chiang, BN. (1992). Incidence of stroke in Taiwan. Dallas: American Heart Association, Inc. DOI: 10.1161/01. STR.23.9.1237. Intercollegiate Stroke Working Party. (2012). National clinical guideline for stroke, 4th edition. London: Royal College of Physicians. Jakovljevic D, Sarti C, Sivenius J, et al. (2001). Socioeconomic differences in the incidence, mortality and prognosis of intracerebral hemorrhage in Finnish adult population: The FINMONICA stroke register. Neuroepidemiology, 20:85–90. Jakovljevic D, Sarti C, Sivenius J, et al. (2001). Socioeconomic inequalities in the incidence, mortality and prognosis of subarachnoid hemorrhage: The FINMONICA stroke register. Cerebrovasc Dis, 12:7–13. Krieger N, Williams DR, Moss NE. (1997). Measuring social class in U.S. public health research: concepts, methodologies, and guidelines. Annu Rev Public Health, 18:341–378.
166
Jakovljevic D, Sarti C, Sivenius J, et al. (2001). Socioeconomic status and ischemic stroke: The FINMONICA stroke register. Stroke, 32:1492–1498. Johnston, SC., Mendis, S., Mathers, CD. (2009). Global variation in stroke burden and mortality: estimates from monitoring, surveillance, and modeling. Lancet Neurol, 8:345-354 Ko, Albert Min-Shan., Chen, Chung-Yu., Fu, Qiaomei., Delfin, Frederick., Li, Mingkun., Chui, Hung-Lin., Stoneking, Mark., Ko, Ying-Chin. (2014). Early Austronesians: Into and Out of Taiwan. The American Journal of Human Genetics,
94:26-436 Lin, Herng-Ching., Lin, Yen-Ju., Liu, Tsai-Ching., Chen, Chin-Shyan., and Chiu, Wen-Ta. (2007). Urbanization and Stroke Prevalence in Taiwan: Analysis of a Nationwide Survey. Journal of Urban Health: Bulletin of the New York Academy of Medicine, 84(4). doi:10.1007/s11524-007-9195-1 * 2007 The New York Academy of Medicine. Luengo-Fernandez R, Gray AM, Bull L, Welch S, Cuthbertson F, Rothwell PM (2013). Quality of life after TIA and stroke: Ten-year results of the Oxford Vascular
Study. Neurology, 81, October 29, 2013 2. Mensah GA, Mokdad AH, Ford ES, Greenlund KJ, Croft JB. (2005). State of disparities in cardiovascular health in the United States. Circulation, 111:1233–1241. Miller, Elaine L., Laura Murray, Lorie Richards, Richard D. Zorowitz, Tamilyn Bakas, Patricia Clark, Sandra A. Billinger. (2010). Comprehensive Overview of Nursing and Interdisciplinary Rehabilitation Care of the Stroke Patient: A Scientific Statement From the American Heart Association. Dallas: American Heart Association Council on Cardiovascular Nursing and the Stroke Council. Modan B, Wagener DK. (1992). Some epidemiological aspects of stroke: mortality/ morbidity trends, age, sex, race, socioeconomic status. Stroke, 23:1230–123. Navarro, Jose C., Baroque II, Alejandro C., Lokin, Johnny K., and Venketasubramanian, Narayanaswamy. (2014). The real stroke burden in the Philippines. World Stroke Organization: International Journal of Stroke, 9 (5):640-1. DOI: 10.1111/ ijs.12287 Price, Sylvia Anderson and Wilson, Lorraine McCarty. (2005). Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease Processes. Ed. 6. Jakarta: EGC. The International Symposium on Austronesian Diaspora. 18- 23 Juli 2016. Nusa DuaBali. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Indonesia.
167
The Stroke Society of the Philippines. (2011). Guidelines for the Prevention, Treatment and Rehabilitation of Stroke. Philippines: Golden Pages Publishing Company. (http://www.strokesocietyphil.org/files/2011.pdf) Wolfe C, Rudd A. (2007). The Burden of Stroke White Paper: Raising awareness of the global toll of stroke-related disability and death. http://www.safestroke.org/ Portals/10/FINAL%20 Burden%20of%20Stroke.pdf.
World Health Organization. (2006). WHO STEPS Stroke Manual: the WHO STEPwise approach to stroke surveillance /Non-communicable Diseases and Mental Health, World Health Organization. (http://www.who.int/chp/steps/ Manual.pdf) World Health Qrganization. (2004). World Health Report 2004 Changing History. Geneva: World Health Qrganization; (Statistical Annex).
168
Inflamasi Pada Gout Arthritis R.RR.MARIA DYAH KURNIASARI
Indonesia sebagai negara kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dan dari Miangas hingga Rote. Konsekuensi logis dari kondisi ini adalah beragamnya budaya dan pola hidup di wilayah yang satu dengan yang lainnya. Akibatnya, terjadi keberagaman pola dan jenis pangan lokal yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Selain sebagai sumber nutrisi, pangan lokal menjadi salah satu determinan status kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, pemanfaatan nutrisi harus dilakukan secara bijak. Isu-isu kesehatan di dunia adalah timbulnya gangguan metabolisme terkait dengan asupan nutrisi. Setiap harinya, seseorang akan mengkonsumsi berbagai macam jenis mikronutrien yang dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan konsekuensi bagi kesehatan tubuh. Salah satu contohnya adalah sumber makanan yang mengandung purin. Jika seseorang mengkonsumsi makanan tinggi purin maka berpotensi menimbulkan penyakit Metabolism Syndrome. Metabolism Syndrome yaitu timbulnya kadar asam urat dalam darah yang tinggi sebagai produksi metabolisme purin yang berlebihan. Kadar asam urat yang tinggi selanjutnya berkembang menjadi respon inflamasi asam urat (gout arthritis), walaupun kasus gout arthritis tidak selalu terjadi pada semua penderita kadar asam urat dalam darah yang tinggi (Abbas, 2007). Data publikasi WHO (2010) menyebut bahwa prevalensi penyakit asam urat di Indonesia diperkirakan mencapai 1,6–13,6 per 100.000 orang dan akan meningkat seiring dengan meningkatnya umur. Dengan kata lain, peningkatan prevalensi asam urat berbanding lurus dengan meningkatnya usia. Selain itu, di Indonesia asam urat diderita pada usia lebih awal dibandingkan dengan negara barat dengan angka 32% dari seluruh penderita adalah penderita dibawah 34 tahun.
169
Selain kondisi keragaman budaya dan makanan yang menjadi salah satu pemicu kejadian asam urat, ada hal lain yang menarik. Studi oleh Karwur (2015) mengenai tanda dan gejala pada masyarakat Sulawesi Utara dan Pulau Jawa terkait munculnya respon inflamasi kronis pada asam urat menyebabkan disabilitas individu yang menderita. Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan di Sulawesi khususnya Kota Tomohon, Kelurahan Tara-tara dan di Pulau Jawa khususnya di Kota Sragen menunjukkan bahwa kejadian kadar asam urat tinggi di Pulau Jawa terkait budaya makanan manis karena menggunakan banyak jenis gula, namun tidak menunjukan adanya respon inflamasi gout arthritis. Kejadian di pulau Jawa bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan di Pulau Sulawesi bahwa dengan kadar asam urat yang tinggi, terjadilah respon inflamasi kronik. Sebagian besar penderita gout arthritis mengalami pembengkakan pada daerah persendian ekstremitas atas dan ekstremitas bawah akibat penimbunan kristal asam urat, tentunya dengan rasa nyeri. Tanda lain seperti kemerahan pada daerah inflamasi dan penurunan fungsi pada daerah inflamasi (Karnen, 2004). Hasil penelitian ini menjadi isu kesehatan yang harus dikaji mendalam di Indonesia. Satu penyebab yang sama namun memiliki prognosis perkembangan kondisi kesehatan yang sangat berbeda.
Penelitian yang mendeskripsikan tentang tingginya angka penderita asam urat sudah banyak dilakukan di Indonesia, seperti Andry, dkk. (2009), Utami (2009), Damayanti (2012), Kurniawati, dkk (2014), Rizka (2014), Maskarmin (2015), Huda (2011), Prihatmawati (2013), dan lain-lain. Sebagian besar penelitian tersebut belum banyak melakukan analisa mendalam hingga mikroskopik. Baik analisa sampel darah atau analisa sampel cairan sendi khususnya respon imun tubuh penderita. Disamping itu, pemeriksaan asam urat dengan menggunakan cairan sinovial di Indonesia masih belum lazim dilakukan. Treatmen dengan melakukan blockade sitokin proinflamatori belum dilakukan di Indonesia hanya terapi anti-inflamasi seperti antibodi dan obat kostikosteroid. Selama ini, masyarakat masih menilai bahwa pengambilan sampel cairan sendi masih belum lazim. Pemeriksaan asam urat yang dilakukan selama ini menggunakan sampel darah dan belum melakukan pengambilan sampel kristal asam urat akibatnya 170
belum dianalisa secara mikroskopik hingga respon pertahanan tubuh terhadap kristal asam urat. Penelitian dengan menganalisa kristal asam urat serta pertahanan tubuh, dapat membantu peneliti menganalisa secara kompleks. Hasil analisa tersebut membantu untuk melihat lebih dalam dan mengetahui banyak faktor yang menjadi determinan penyakit asam urat. Secara tidak langsung, analisa ini dapat menyumbangkan inovasi pemeliharaan kesehatan di Indonesia, khususnya terkait dengan budaya dan pola hidup masyarakat. Keterkaitan kristal hasil dari produksi metabolisme purin mengakibatkan respon inflamasi sehingga munculnya asam urat. Tinjauan terhadap identiikasi kristal dapat pula membantu telaah menjadi lebih spesifik, jenis kristal seperti apa yang paling menstimulus sistem imun dalam proses inflamasi. Penggunaan berbagai jenis mikroskop untuk mengidentifikasi dan menganalisa kristal asam urat secara morfologi belum dilakukan di Indonesia. American College of Rheumatology1, dan Europan Board of Rheumatology, UEMS Section of Rheumatology2 adalah institusi yang telah menggunakan beberapa jenis mikroskop untuk menganalisa kristal dengan sampel SinofialFluid (SF)/ cairan sendi penderita. Analisa SF adalah prosedur yang sederhana yang menggunakan mikroskop dengan
filter
terpolarisasi
dan
red-compensator
yang
pertama;
yang
dapat
mengidentifikasi kristal MSU dan calcium pyrophosphate dihydrate (CPPD), untuk menegakkan diagnosis penyakit gout/asam urat dan arthritis/radang sendi karena kristal CPPD. Dengan menggunakan mikroskop yang adekuat dalam klinis, akan memberikan diagnosis kristal arthritis yang pasti dan cepat. Sementara ini, tidak ada prosedur yang cepat seperti prosedur yang dapat mendiagnosis penyebab dengan pasti. Deteksi dan identifikasi ini penting agar meminimalisir inflamasi yang timbul serta akibat-akibat keadaan patologis yang timbul pada sistem tubuh yang lain (Terkeltaub, 2013).
Pada awal pembahasan, faktor budaya, sarana pemeriksaan kesehatan terbatas serta kurangnya penelitian pendukung merupakan kumpulan faktor problematika kesehatan gout arthritis di Indonesia. Satu hal lagi yang lebih mikroskopis dan molekular adalah pertanyaan tentang bagaimana dengan keragaman materi genetik seluruh peduduk di Indonesia? 171
Gout arthritis memiliki kondisi klinis yang khas dengan hasil aktivitas inflamasi atau peradangan yang diperankan oleh sel-sel imun. Aktivasi inflamasi tersebut menyebabkan sel-sel imun tertentu yang memiliki respon kepada molekul asing bagi tubuh baik infeksius maupun non infeksius seperti hal-nya kristal asam urat. Penelitian Mariathasan et al. (2006) menunjukkan bahwa respon inflamasi terjadi pada perkembangan dan progesivitas berbagai penyakit kronis, seperti gout, arterosklerosis, dan sindrom metabolik (nonmicrobial pathogen). Inflamasi adalah respon langkah pertama untuk menghancurkan benda asing serta membersihkan jaringan yang rusak sehingga tubuh mengerahkan elemen-elemen sistem imun ke tempat benda asing dan mikroorganisme yang masuk dalam tubuh atau jaringan yang rusak. Dalam proses inflamasi, terjadi tiga (3) proses yang terjadi yaitu, (1) peningkatan pasokan dara ke tempat benda asing atau jaringan yang rusak, (2) peningkatan permeabilitas kapiler yang ditimbulkan oleh pengerutan sel endotel yang memungkinkan melekul yang lebih besar seperti antibodi, (3) fagosit yang dalam hal ini dilakukan oleh makrofag bergerak ke luar pembuluh darah menuju ke tempat benda asing (diapedesis) atau jaringan yang rusak. Selanjutnya leukosit terutaa fagosit polimorfonuklear dan monosit dikerahkan dari sirkulasi ke tempat benda asing atau jaringan yang rusak. Peningkatan permeabilitas vaskular yang lokal terjadi atas pengaruh anafilatoksin (C3a, C4a, C5a). Aktivasi komplemen C3 dan C5 menghasilkan fragmen kecil C3a dan C5a yang merupakan anafilatoksin yang dapat memacu degranulasi sel mast dan atau basofil melepas histamin. Histamin yang dilepas sel mast atas pengaruh komplemen, meningkatkan permeabilitas vaskular dan kontraksi otot polos dan membeirikan jalan untuk migrasi sel-sel leukosit dan keluarnya plasma yang mengandung banyak antibodi, opsonin dan komplemen ke jaringan. Bila penyebab inflamasi tidak dapat disingkirkan atau teradi pajanan berulang‒ulang dengan antigen, akan terjadi inflamasikronis yang dapat merusak jaringan dan kehilangan fungsi sama sekali (Karnen, 2009). Penelitian lain mengemukakan pertahanan tubuh adalah respon sistem imun terhadap kristal hasil metabolisme tubuh yang mengandung banyak purin sehingga menimbulkan tanda dan gejala inflamasi asam urat juga telah dilakukan. Penelitian oleh 172
Schroder & Tschoop (2010) memberikan gambaran bagaimana respon multiprotein sitolitik untuk mendekteksi infeksi yang disebabkan oleh berbagai stimulus melalui sekresi sitokin proinflamatori IL-1β dan IL-18 yang menjadi mediator proinflamasi saat melakukan aktivitas fagositosis. Pada gout arthritis, respon inflamasi terjadi karena diinduksi oleh makrofag yang mengenali tanda adanya kristal asam urat hasil katabolisme purin. Proses ini men-imbulkan aktifnya NLRP3 Inflammasome yang kemudian akan terjadi sekresi sitokin proinflamatori IL-1β dan IL-18, yang pada akhirnya terjadi pyroptosis. Treatment yang ditemukan pada penelitian ini, menemukan bawah melakukan blockade sitokin IL-1β dapat menjadi treatment yang efektif untuk menurunkan respon inflamasi pada gout arthritis (Mariathasan et al., 2006). Selain itu, beberapa petanda untuk mengetahui perkembangan penyakit arthritis dengan menggunakan sitokin IL-1β dan IL-18 serta cairan sinovial asam urat. Respon inflamasi, khususnya proinflamatori IL-18 ini, aktif melalui sistem imun inate, sehingga dapat dimungkinkan bahwa dengan mengaktif-kan imun spesitik atau adaptif dapat mengendalikan respon proinflamatori sistem imun inate (Martinon et al., 2006). Kemungkinan ini masih memerlukan penelitian atau telaah jurnal tentang imun adative booster serta peran dari NLRP3 Inflammasome itu sendiri. Dalam menjalankan sekian proses inflamasi yang telah dijelaskan di atas, sel-sel dalam sistem imun membutuhkan reseptor untuk mengenal dan menstimulus keseluruhan aktivasi respon sistem imun. Sel-sel dalam sistem imun baik spesifik maupun nonspesifik memiliki reseptor yang dikhususkan untuk mengenal spesifitas. Hanya molekul yang memiliki epitop akan dikenal sel sistem imun. Pada manusia, antigen permukaan digambarkan untuk pertama kalinya pada leukosit. Pada penderita yang telah mendapatkan tranfusi darah berulang kali seperti pada 20-30% multipara ditemukan antibodi yang dapat menggumpalkan leukosit. Oleh karena itu timbulah istilah Human Leucosyte Antigen/HLA. HLA adalah Major Histocompability Compleks/ MHC pada manusia yang merupakan regio genetik luas yang menyandi molekul MHC-I, MHC-II dan protein lain. Human Leucosyte Antigen/HLA membuat pertanyaan besar mengenai prognosis gout arthritis yang tidak sama ada semua penderita kadar asam urat 173
yang tinggi dalam darah. Data penderita asam urat yang tinggi, telaah hasil penelitanpenelitian terdahulu tentang inflamasi gout arthritis dan pemeriksaan mikroskopik, serta kajian tentang respon imun khususnya inflamasi pada gout arthritis maka munculah hipotesis bahwa telah terjadi perbedaan respon sel-sel inflamasi dalam sistem imun terhadap gout arthritis dengan determinan utamanya adalah faktor genetik yang spesifik pada Human Leucosyte Antigen/HLA sebagai regio genetik luas yang menjadi petanda
atau dapat menyandi reseptor-reseptor sel-sel inflamasi (Karnen, 2004). Munculnya hipotesis di atas berujung pada pertanyaan besar tentang kondisi respon iflamasi gout arthritis ini. Hal lain yang menjadi kritis adalah bagaimana treatmen yang tepat diberikan kepada penderita, baik farmakologi maupun memblokade mediator proinflamatori dengan budaya dan kebiasaan serta sarana dan prasarana di negara Indonesia tercinta ini.
Referensi Abbas AK, Lichtman AH PS. (2007). Celluer and Molecular Immunology. 6th ed. Philadelpia, WB Saunders. Ariani Dwi Rizka. (2014). Hubungan Tingkat Pengetahuan Penderita Asam Urat dengan Kepathan Diet Rendah Purin Di Gawanan Timur Kecamatan Ccolomadu Karanganyar. Karnen, B. (2004). Imunologi Dasar. 6th ed. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Marthiasan S, Weiss DS, Newton K, McBride J, O’Rourke K, Roose-Girma M, Lee WP, Weinrauch Y, Monack DM, Dixit VM. (2006). Cryopyrin Activates The Inflamasomme in Response to toxins and ATP. Nature, 440: 228-232. Martinon F; Pretilli V, Mayor A, Tardivel A, Tschopp J. (2006). Gout-Associated Urid Acid Crystals Activate The NALP3 inflamasomme. Nature, 440: 237-241 Schroder Kate, Tschopp Jurg (2010). The Inflamasommes. Australia. Elsevier Saunders. Terkeltaub, Robert (2013). Gout and other Crystal Arthropathies. Philadelphia,. Elsevier Saunders. Utami, Prapti. (2009). Solusi Sehat Mengatasi Hipertensi. Jakarta Selatan: Agromedia. Website WHO (http://www.who.int/whosis/whostat/2010/en/) diakses pada tanggal 26 Juni 2016. 174
BAGIAN 4 KESEHATAN, PENYAKIT METABOLIK
DAN AKTIFITAS FISIK
Diabetes Mellitus and Problem of Physical Inactivity PRISKA PULUNGAN
Introduction Physical inactivity had caused higher risks of several chronic diseases, including coronary heart disease (CHD), hypertension, diabetes mellitus, osteoporosis, colon cancer, anxiety and depression. Pale et al in 1995 had recommended a minimum of 30 minutes moderate-intensity physical activity on most or all days of the week to the American adults. It was supported by other epidemiologic studies that shown the low levels of ha-bitual physical activities would result on the increase number of mortality. What about in Indonesia?
Problems of Non-Communicable Diseases and Physical Inactivity in Indonesia Indonesia is a big country with unique demographic and cultural features. With 249.866.000 peoples, it consists of 360 ethnic groups living across the archipelago. The largest ethnic group is Javanese who live mostly in Java and other big cities throughout the archipelago. Out of 10 biggest cities in Indonesia, 8 are in Java, ranging from 10,135,030 ( Jakarta) to South Tangerang (1,436,187) in 2014. In “Outer Indonesia” as mentioned by anthropologist “Clifford Geertz” to point to area outside Java, the populations are concentrated in some big cities such as Medan, Makassar, Palembang, Batam, and Pekanbaru. In term of scale and patterns of diseases, Indonesia is in the state of transition. In one side, there are still many problems of common infectious diseases such as skin
177
diseases, gastrointestinal and pulmonary infections; there are also burden of tropical diseases especially malaria, and some other vector-borne diseases. However, the threats toward Indonesian human development are changing from communicable diseaseases into Non-Communicable Diseases/NCDs. Demographic trend in Indonesia shows the increased number of NCDs in the last two decades. There is a significant epidemiological transition that caused the increase of the degenerative diseases. According to World Economic Forum calculation, five sectors of NCDS are cardiovascular disease, cancer, chronic respiratory disease, diabetes and mental health disorder. While according to WHO, four main types of NCDs are cardiovascular diseases (coronary heart, stroke), cancer, chronic respiratory diseases (asthma and chronic obstructive pulmonary disease) and diabetes. On April 7, 2016, WHO celebrates The World Health Day by raising the topic of Diabetes Mellitus. WHO cares about DM because the symptoms of DM are difficult to recognize. Last year, there were 415 million of DM sufferers in the world. In 2040, it is predicted that the number of them would be increasing until 642 million people. According to Thabrany (2016), DM is one common threat in Indonesia at present. More or less 10 million Indonesian people suffered from DM and in 2040 it will reach the number of 16 million. Basically there are two types of DM, the first is when the body doesn’t produce enough insulin, and the second is when the body produces insulin but it’s not effective enough to control blood glucose. About 90% of the DM sufferers are having DM Type 2 diagnose because of the risk factor of obesity and the lack of body movement. Thabrany (2016) said that DM is resulted from the society’s bad habit disease. Historically, Type 2 Diabetes (DM) has been considered a disease of adults and older individuals and not a pediatric condition. However in 1994, there were 33% of all new diagnosed cases of type 2 diabetes found among 10-19 years old patients. Thus, the overall increase in type 2 diabetes is not a result of the fact that the US population is now living longer past middle age. This means that our children will experience type 2-related conditions like retinopathies, myocardial infarctions and strokes much earlier in life. Riskesdas (2013) also mentioned that the types of NCDs from interviews done to the participants of the research are: (1) asthma, (2) chronic obstructive pulmonary 178
disease, (3) cancer, (4) diabetes mellitus (DM), (5) hyperthyroid. (6) hypertension, (7) coronary heart, (8) heart failure, (9) stroke, (10) chronic kidney failure, (11) kidney stones, (12) arthritis diseases: joint disease/rheumatic. Based on the comparison of NCDs in Riskesdas 2007 and 2013, some of the diseases are having tendencies (trend) to increase (the number of cases). Those diseases are Diabetes Mellitus (DM), stroke and hypertension. The more developed a country is (i.e. Indonesia), the more NCD threats are coming. From economic point of view, Indonesia is in transition from middle income into high income country. WHO data (2015) shows countries with low or middle income suffer more on Non-Communicable Diseases. According to The Economics of Non-Communicable Diseases in Indonesia report (2015), per capita income of Indonesia has been increasing rapidly which is around $3,000 per capita in 2010. Meanwhile at the same time, fertility has dropped significantly and it is implied on the increase number of NCDs to Indonesia’s population health and well-being. The economic growth has been accompanied by rapid urbanization and the transition to occupations requiring less physical activity. This had led to some NCD risk factors in Indonesia such as tobacco use, harmful alcohol use, poor diet and sedentary lifestyles. Those points mentioned above will cause Indonesia to lose US$ 4,47 billion in 20122030 (Moeloek, 2015). This extreme economic loss doesn’t have any relation to the huge number of medication cost but the loss of workers’ productivities which are the foundation of national development. Ministry of Health has called into action at state level to solve the problem of metabolic diseases. In addition, other data mentioned one related to DM, one kind of NCDs. It said that the real cost of DM taken from Indonesian budget can reach more than 3,27 trillion. Thinking of managing diseases, the most common thing to be done is curative action. This action involves drug treatment, also intervention in the area of nutrition, physical activity and stress control. However, there are many weaknesses in doing such thing: (1) economic lose because the curative action is costly; (2) time waste because it usually takes a long time and continuous; (3) moral burden like sadness. Beside those weaknesses, Ignarro et al. (2007) on their review stated that because of the long history 179
of NCDs (i.e. cardiovascular diseases), the causal relationship of nutrition/physical exercise on major diseases is still difficult to assess prospectively. Thus, deeper studies related to it are needed to be conducted. Beside curative action, two other important things that people can consider to manage NCDs are prevention and promotion. Prevention and promotion are very important because the burden of NCDs is caused mostly by people who do too late action in facing the diseases. Riskesdas (2013) is mentioning the prevalence data of DM in Indonesia: 5,4% for undiagnosed DM, 1,5% for diagnosed DM and 6,9% for DM diagnose based on measurement. One case happened in Jakarta is mentioned by Director General of Disease Prevention and Management of The Ministry of Health. He said that actually 80% of Diabetes Mellitus cases can be prevented by knowing the risk factor and DM symptoms. However, Secretary General of Perkeni (Indonesian Endocrinology Association) stated that commonly people are afraid of having early detection of DM because of their own fear of knowing the DM complications such as dialysis and heart disease. Actually such complications can be prevented by doing discipline diet and having regular therapy. Still the concern here is to prevent the DM itself rather than the complications by doing prevention and promotion. In the context of prevention and promotion, people with NCDs and its ecology are having important interaction. Activities are actually part of human ecology system. Yet, human nowadays is somehow being trapped into a built ecosystem (non-natural ecosystem). Another worse thing is because of present human behaviors that lead to some new modern diseases. Physical activities with its certain conditions are needed to be developed more: to develop human ecology interactions. Physical activity being done regularly causes substantial performance-improving and health-enhancing effects. Many of the biological effect of regular, moderate physical activity translate into reduced risk of coronary heart disease, cerebrovascular disease, hypertension, diabetes, overweight and obesity, and osteoporosis (Ignarro et al., 2007). Several studies indicate that low fitness increases the risk of diabetes and increased physical activity is effective in preventing diabetes. In men with diabetes, low cardiorespiratory
180
fitness and physical inactivity independently predict mortality risk compared with fit men. US Health and Human Services Secretary Tommy G. Thompson stated that at least 10 million Americans who are at high risk for type 2 diabetes can sharply lower their chances of getting the disease with diet and exercise. Physical inactivity elevates the risk of type 2 diabetes in normal weight individuals which reinforces the concept that physical inactivity is an independent risk factor for type 2 diabetes. Because physical inactive individuals are likely to have higher Body Mass Index (BMI), physical inactivity also contributes to an increased prevalence of type 2 diabetes by its direct effect on increasing BMI in certain individuals, as the prevalence of type 2 diabetes increases with BMIs > 25.
Reflection Non-communicable diseases (NCDs) especially Diabetes Mellitus are curable and preventable by considering active physical activities. That consideration can hopefully be used by the government to do some changes related to public health such as providing more public open-spaces to do physical activity. Results from a comparative study done in six European countries about perceived community-based opportunities for physical activities showed that the potential residential and community environments did support the population, especially women, to develop active lifestyle which improved their health. Thus, by creating more potential environments like open spaces for the community to do physical activities, the risks of DM could be reduced and Indonesia will not be at this alarmed situation anymore. Indonesian community needs to prevent NCD especially coronary heart disease (CHD), hypertension, and diabetes mellitus – through the consideration of physical activities and all aspects supporting it.
Comprehensive approach which involves all sectors such as health, finance, education, agriculture and development planning are very much needed and are the keys of effective DM’s handling in the future. Besides, it is hoped that the society in this urbanization era also take part in increasing awareness of living healthy, including attention on job which has less physical activity. Scientific work has to go to opposite direction. It is not going to easily tell what we have to do to solve the problem but how 181
to ask what scientific problem need to be formulated and to be solved. So in this regards,
we are setting the stage to be solved scientifically. Fakultas Ilmu Kesehatan (Faculty of Health Sciences) UKSW, entering its 10th year in 2016, is taking important part of the scientific stage. With its four study programs, especially the School of Physical Education, Health and Leisure, it is hoped that FIK can contribute to the practical implications i.e. doing research related to the issues on DM – and other NCDs, and physical activity. The result of the research can contribute in scientific ways for Indonesian government and population towards the changes needed in increasing physical activity behavior, as parts of promoting and preventing NCDs in Indonesia.
References Bloom, D. E., et al. 2015. The Economics of Non-Communicable Diseases in Indonesia. World Economic Forum. Retrieved April 15, 2016. http://www3.weforum.
org/docs/WEF_The_Economics_of_non_Disease_Indonesia_2015.pdf Booth F.W., et al. 2000. Waging war on modern chronic diseases: primary prevention through exercise biology. J Appl Physiol 88:774-787 Geertz, Clifford. 1963. Agricultural Involution: The Processes of Ecological Change in Indo-nesia. Berkeley and Los Angeles, California: University of California Press Hu FB, et al. 1999. Walking compared with vigorous physical activity and risk of type 2 diabetes in women: a prospective study. JAMA 282: 1433-1439 Ignarro L, et al. 2007. Nutrition, physical activity, and cardiovascular disease: an update. Cardiovascular Research 73:326-40. Knowler W. C., et al. 2002. Reduction in the incidence of type 2 diabetes with lifestyle intervention or metformin. NEJM 346:393-403 Kompas, Biaya pengobatan akan bebani Negara. Kompas, 9 April 2016. _______, Deteksi Dini Cegah Komplikasi Penyakit. Kompas, Sabtu 2 April 2016 Ministry of Health Indonesia. 2014. “Estimasi Penduduk Menurut Umur Tunggal Dan
Jenis Kelamin 2014 Kementerian Kesehatan” Moeloek, Nila F. 2015. Penyakit Tak Menular dan Ancaman terhadap Capaian Pembangu-nan Indonesia. Kompas, 5 Juni 2015
182
Paffenbarger RS, et al. 1986. Physical activity, all cause mortality and longevity of college alumni. NEJM 314: 605-613 Pate, Russell, et al. 1995. Physical Activity and Public Health. JAMA 273: 402-407 Litbangkes, 2007. Riset Kesehatan Dasar 2007. Penerbit Kementerian Kesehatan Repub-lik Indonesia. Litbangkes, 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Penerbit Kementerian Kesehatan Repub-lik Indonesia. Roberts C. K., et al. 2005. Effects of exercise and diet on chronic disease. J Appl Physiol 98: 3–30 Rutten et al. 2001. Self reported physical activity, public health, and perceived environment: results from a comparative European study. J Epidemiol Community Health 55:139–146 Thabrany, Hasbullah. 2016. Ancaman Kencing Manis. Kompas, Kamis 7 April 2016
183
184
Aktivitas Fisik dan Obesitas ANTON TRI WIBOWO
Pengantar Perkembangan zaman dan teknologi telah berdampak pada gaya hidup manusia dan berimbas pada kesehatan, antara lain obesitas. Faktor pemicu dari obesitas terutama karena faktor genetik, umur, kondisi psikologis, pola makan, aktivitas fisik yang rendah, serta pengetahuan akan gizi dan bahaya obesitas yang rendah. Untuk menurunkan obesitas maka diperlukan perpaduan antara mengatur jumlah asupan makanan yang masuk ke dalam tubuh dengan peningkatan aktiftas fisik melalui olahraga.
Latar Belakang Masalah Di Indonesia obesitas merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang semakin serius. Survei nasional yang dilakukan pada tahun 1996/1997 di ibukota seluruh propinsi Indonesia menunjukkan bahwa 8,1% penduduk laki -laki dewasa ( ≥ 18 tahun) mengalami overweight (BMI 23-25) dan 6,8% mengalami obesitas, 10,5% penduduk wanita dewasa mengalami overweight dan 13,5% mengalami obesitas. Pada kelompok umur 40-49 tahun overweight maupun obesitas mencapai puncaknya yaitu masing-masing 24,4% dan 23% pada laki-laki dan 30,4% dan 43% pada wanita (Depkes, 2003). Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 melaporkan bahwa prevalensi obesitas pada penduduk dewasa usia diatas 18 tahun adalah sebesar 11,7%. Prevalensi obesitas berbeda menurut jenis kelamin, pada laki-laki adalah 7,8% dan pada perempuan adalah 15,5% (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Obesitas di Indonesia dalam penelitian yang dilakukan oleh Widiantini dan Tafal (2014) menemukan prevalensi obesitas pada orang dewasa yang dilakukan di lingkungan PNS Sekretariat Jenderal 185
Kementerian Kesehatan RI Tahun 2013 adalah 48% mengalami kegemukan dan setelah dikontrol oleh konsumsi makanan dan usia didapatkan hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dan stres dengan obesitas. Obesitas juga terjadi pada anak-anak di Indoensia di dapat prevelensi obesitas terjadi pada anak berdasarkan BB/TB pada tahun 2004 adalah sebesar 3,5% kemudian pada tahun 2007 mengalami kenaikan menjadi 12,3% (Riskesdas). Di Indonesia 12,8–30% penduduk menderita berat badan lebih dan 5–15% menderita obesitas. Penelitian yang dilakukan oleh Depkes RI tahun 1996 di 12 kota besar di Indonesia memperlihatkan bahwa 18,8% penduduk menderita gizi lebih dan
3,7%
menderita
obesitas
(Anonim,
2004).
Widiantini
dan
Tafal
(2014)
mengemukakan bahwa pada tahun 2008 sekitar 2,8 juta orang dewasa meninggal karena mengalami obesitas, sekitar 300 juta orang yang secara klinis tergolong obesitas yang merupakan penyokong utama dari penyakit degeneratif seperti diabetes, penyakti jantung dan kanker. Berbagai penelitian menyimpulkan hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik dengan kejadian obesitas, risiko obesitas semakin rendah dengan aktivitas fisik yang tinggi (Corti et al, 2003).
Aktivitas Fisik dan Manfaatnya Sebenarnya segala sesuatu yang melibatkan anggota fisik manusia adalah merupakan aktivitas fisik, tetapi bukan berarti semua aktivitas fisik ini bisa disebut disebut dengan olahraga, seperti contoh seorang ibu melakukan aktivitas fisik mencuci baju, meskipun si ibu tersebut melakukan mencuci baju menggunakan kombinasi semua ototnya tetapi aktivitas fisik itu bukan termasuk olahraga karena aktiftas fisik yang bisa digolongkan ke dalam olahraga. Menurut WHO Aktivitas fisik didefinisikan sebagai gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang membutuhkan energi untuk mengerakan tubuh. NIH (2016) menyatakan bahwa aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang bekerja menggunakan otot-otot dan membutuhkan lebih banyak energi daripada beristirahat, seperti contoh berjalan, berlari, menari, berenang, yoga, dan berkebun adalah beberapa contoh aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasanya didefinisikan sebagai setiap gerakan tubuh yang diproduksi oleh otot rangka yang mengakibatkan substansial meningkat selama pengeluaran energi istirahat, aktivitas fisik ini lebih mengacu kepada seluruh kelompok
186
otot besar didasarkan pada frekuensi, durasi, intensitas, dan dilakukan di rumah, rekreasi dan bekerja (Bouchard and Shepard, 1994). Aktivitas fisik adalah pergerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang mengeluarkan energi. Menurut kemenkes (2012) Aktivitas Fisik adalah setiap geraakan tubuh yang meningkatkan pengeluaran tenaga/enenrgi dan pembakaran energi, aktivitas cukup apabila seseorang melakukan latihan atau olahraga selama 30 menit setiap hari atau minimal 3-5 hari dalam seminggu. Aktivitas fisik adalah gerakan fisik yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya (Almatsier, 2004). Aktivitas fisik menurut RDA tahun 1989 dibedakan dalam kategori istirahat, sangat ringan, ringan, sedang dan berat. Adapun kegiatan yang dikategorikan dalam kategori tersebut dipaparkan pada Tabel 1. Tabel 1. Kategori Aktivitas Fisik Menurut RDA (1989) Kategori Aktivitas
Kegiatan
Istirahat Sangat ringan
Tidur berbaring atau bersandar Duduk dan berdiri, melukis, menyetir mobil, pekerja laboratorium, mengetik, menyapu, menyetrika, memasak,
Ringan
Sedang Berat
bermain kartu, bermain aalt musik Berajalan dengan kecepatan 2,5 mph, bekerja di bengkel, pekerjaan yang berhubungan dengan listrik, tukang kayu, pekerjaan yang berhubungan dengan restoran, membersihkan rumah, mengasuh anak, golf, memmancing dan tenis meja Berjalan dnegan keceparan 3,5-5 mph, mencabut rumput, menangis dengan keras, bersepeda, ski, tenis dan menari Berjalan mendaki, menebang pohon, menggali tanah, basket, panjat tebing, sepakbola
Aktivitas fisik dengan intensitas sedang secara teratur, seperti berjalan kaki, bersepeda, atau berpartisipasi dalam olahraga permainan lain memiliki manfaat yang signifikan untuk kesehatan. Aktivitas fisik yang cukup pada orang dewasa dapat menurunkan risiko hipertensi, penyakit jantung koroner, strok, diabetes, dan kanker 187
(WHO, 2011). Selain itu tingkat yang memadai aktivitas fisik akan mengurangi risiko pinggul atau patah tulang belakang dan membantu mengontrol berat badan. Menurut Kowalski (2007) aktivitas fisik secara teratur tidak hanya menurunkan tekanan darah, juga menyebabkan perubahan yang signifikan pada kesehatan. Aktivitas fisik secara teratur adalah salah satu hal yang paling penting yang dapat dilakukan untuk kesehatan, bahkan bagi penderita penyakit jantung, artritis, dan diabetes sangat disarankan untuk melakukan aktivitas fisik, dan tentunya harus dengan konsultasi dengan dokter masing-masing (Anonim, 2016). Aktivitas fisik yang baik dan rutin akan melatih otot jantung dan tahanan perifer yang dapat mencegah peningkatan tekanan darah. Disamping itu, olahraga yang teratur dapat merangsang pelepasan hormon endorfin yang menimbulkan efek euphoria dan relaksasi otot sehingga tekanan darah tidak meningkat (Kokkinos et al, 2009). Olahraga atau aktivitas fisik yang mampu membakar kalori 800-1000 kalori akan meningkatkan high density lipoprotein (HDL) sebesar 4.4 mmHg (Khomsan, 2004). Adapun manfaat aktivitas fisik adalah: menjaga berat badan, mengurangi risiko penyakit kardiovaskular, mengurangi resiko diabetes tipe 2 dan sidroma metabolik, mengurangi resiko kanker, memperkuat tulang dan otot, meningkatkan kesehatan mental dan suasana hati, menunda penuaan. Aktivitas fisik olahraga dapat memperbaiki komposisi tubuh, seperti lemak tubuh, kesehatan tulang, massa otot dana meningkatkan daya tahan, masaa otot dan kekuaran otot serta fleksibilitas sehingga lansia lebih sehat dan bugar dan resiko jatuh berkurang (Rika, 2007). Aktivitas fisik secara teratur memiliki efek positif terhadap kesehatan diantaranya: (1). Tehindar dari penyakit jantung, stroke, osteoporosis, kanker, tekanan darah tinggi, diabetes. (2). Berat badan terkendali. (3). Otot lebih lentur dan tulang lebih kuat. (4). Bentuk tubuh menjadi ideal dan proporsional. (5). Lebih percaya diri. (6). Lebih bertenaga dan lebih bugaar. (7). Secara keseluruhan keadaan kesehatan menjadi lebih baik (Pusat Promosi Kesehatan RI, 2006).
188
Obesitas Obesitas (obesity) itu berasal dari bahasa latin yaitu OB yang artinya “akibat dari” dan ESUM yang artinya “makan”. Orang yang mengalami obesitas disebut obes. Jadi permasalahan obesitas ini terjadi sejak zaman dahulu memang sudah disebut sebagai “akibat dari makanan”. Menurut WHO obesitas adalah suatu keadaan dimana terjadi penimbunan jaringan lemak secara berlebihan pada tubuh seseorang dan dinilai dengan nilai Indeks Masa Tubuh (IMT)). Widiyanto (2005) menyatakan obesitas adalah timbunan lemak dalam tubuh terjadi karena energi dari asupan gizi yang dikonsumsi setiap hari tidak seimbang dengan kalori yang dikeluarkan untuk aktivitas fisik, sehingga kalori yang tersisa itu disimpan dalam di dalam jaringan adipose di bawah kulit sehingga badan tampak obesitas. Iwan budiman (2008) mengatakan obesitas dapat didefinisikan sebagai kelebihan lemak tubuh akibat ketidak seimbangan energi yang masuk dan yang keluar. Obesitas dapat diartikan sebagai kondisi dimana tubuh mengalami kelebihan berat badan dalam bentuk penimbunan lemak yang disebabkan oleh ketidak seimbangan antara kalori yang masuk ke dalam tubuh tidak seimbang dengan jumlah kalori yang keluar melalui aktivitas fisik sehingga sisa kalori disimpan menjadi lemak tubuh.
Selain kualitas hidup seseorang yang memiliki obesitas akan mengalami depresi, mengalami masalah seksual, malu dan terisolir dari kegiatan tertentu (www.Obesitas. web.id). Seseorang mengalami obesitas dapat mengalami komplikasi ke beberapa penyakit beberapa penyakit berbahaya seperti kolestorol, diabetes tipe 2, tekananan darah tinggi, penyakit jantung, strok, kanker. Distribusi lemak tubuh terbukti menjadi determinan PJK (Penyakit Jantung Koroner), semakin banyak distribusi lemak sentral maka akan berisiko terkenal PJK (Daniels et al., 2005). Obesitas adalah faktor utama dalam terjadinya MetS (Metabolic Syndrome) yang terdiri dari abdominal obesity di tambah 2 dari 4 kelainan yaitu hipertensi,
Glucose intolerance, Hipertrigliseridemia dan Hipo HDL (Carr et al., 2004).
189
Faktor Penyebab Obesitas Menurut Kemenkes (2012) obesitas diakibatkan karena asupan energi lebih tinggi dari pada energi yang dikeluarkan, dan asupan energi tinggi isebabkan oleh konsumsi makanan sumber energi dan lemak tinggi, sedangkan pengeluaran energi rendah disebabkan karena kurangnya aktivitas fisik dan life style. Widiantini dan Tafal (2014) mengungkapkan obesitas muncul dikarenakan meningkatnya risiko obesitas yang meliputi (1) jenis kelamin, (2) usia, (3) pengetahuan gizi, (4) pendidikan terakhir, (5) sikap tentang obesitas, (6) konsumsi zat gizi yang meliputi konsumsi energi, (7) karbohidrat, (8) lemak dan protein, (10) aktivitas fisik, dan (11) stres. Asupan makanan berlebih disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk lemak yang dalam jangka panjang mengakibatkan cadangan lemak ditimbun semakin banyak dalam tubuh yang menyebabkan obesitas, kondisi abnormal kelebihan lemak yang serius dalam jaringan adiposa yang mengganggu kesehatan (Widiantini dan Tafal, 2014). Meskipun ada banyak faktor penyebab obesitas seperti genetik dan perubahan hormonal di tubuh, obesitas secara umum terjadi karena lebih banyak kalori yang masuk bila dibandingkan yang dikeluarkan/terbakar baik melalui olahraga atau aktivitas fisik (www.Obesitas.web.id). Faktor pemicu terjadinya obeitas diantaranya genetik, jarang beraktivitas fisik, kebiasaan makan tidak sehat, lifestyle keluarga, berhenti merokok, masa kehamilan, kurang tidur, umur, sosial ekonomi, beberapa jenis pengobatan dan masalah kesehatan (www.Obesitas.web.id). Widiantini dan Tafal (2014) menyatakan berbagai faktor yang meningkatkan risiko obesitas yang meliputi jenis kelamin, usia, pengetahuan gizi, pendidikan terakhir, sikap tentang obesitas, konsumsi zat gizi yang meliputi konsumsi energi, karbohidrat, lemak, dan protein, aktivitas fisik, dan stres.
Pertambahan usia membuat aktivitas bergerak menjadi berkurang sehingga massa otot dalam tubuh menurun sehingga mengakibatkan perlambatan tingkat pembakaran kalori, sehingga tidak mengurangi jumlah asupan kalori dan yang terjadi adalah penumpukkan kalori menjadi lemak (Vassallo, 2007). Peningkatan obesitas yang terjadi baik di negara-negara maju maupun negara berkembang disebabkan karena adanya proses modernisasi, yaitu pola gaya hidup
190
modern (sedentary life style) yang segala aktivitas menggunakan teknologi sehingga kuranagnya aktivtas fisik. Selian itu juga adanya peningkatan pendapatan masyarakat pada kelompok sosial ekonomi tertentu, terutama di perkotaan menyebabkan perubahan pola makan dan pola aktivitas yang mendukung terjadinya peningkatan jumlah penderita kegemukan dan obesitas (Almatsier, 2004). Pertambahan usia membuat aktivitas bergerak menjadi berkurang sehingga massa otot dalam tubuh menurun.
Kehilangan massa otot menyebabkan perlambatan tingkat pembakaran kalori, tanpa mengurangi jumlah asupan kalori terjadi penumpukan energi di dalam tubuh yang pada akhirnya mengakibatkan obesitas (Vassallo, 2007). Di beberapa negara maju dan berkembang terjadi peningkatan pendapatan yang terjadi di masyarakat pada kelompok sosial ekonomi tertentu di perkotaan, menyebabkan adanya peruabhan pola makan dan pola aktivitas yang mendukung terjadinya peningkatan jumlah penderita kegemukan an obesitas (Almatsier, 2004) Menurut Amber et al., (2007, ada hubungan yang bermakna antara pola makan dengan kejadian obesitas. Penyebab obesitas secara nyata disebabkan oleh asupan energi yang melebihi kebutuhan atau pemakaian energinya yang kurang. Faktot-faktor yang menyebabkan asupan energi melebihi kebutuhan adalah gangguan emosional yang biasanya menjadikan makanan sebahai pengganti utnuk mencapai kepuasan. Konsumsi makanan caeoar sajau (fastfood) berkalori tinggi seperti pizza, french fries dan hamburger.
Penggunaan energi yang kurang terjadi karena aktivitas fisik yang kurang seperti menonton TV seharian disertai dengan mengkonsumsi makanan ringan. Selain itu terdapat juga faktor lain yang menyebabkan terjadinya obesitas yaitu faktor herediter atau keturunan yang terjadi pada keluarga tertentu. Kalau salah satu orang tua obesitas maka anaknya mempunyai risiko 30-40% menjadi obesitas. Sedangkan kalau kedua orang tuanya obesitas maka resikonya meningkat menjadi 70-80% (Soetjiningsih:2004). Obesitas berhubungan dengan pola makan, terutama bila makan makanan yang mengancu pada tinggi kalori, tinggi garam dan rendah serat. Selain itu terdapat bebera-pa faktor lain yang mempengaruhi seperti faktor demografi, faktor sosio-kultur, faktor biologi dan faktor perilaku atau gaya hidupnya (Suastiaka, 2002 dalam Nuri Rahmawati, 2009). Dari penjelasan para ahli, penulis menyimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab 191
obesitas adalah: (1) faktor internal: faktor genetik, faktor umur, faktor psikologis (stress).
(2) faktor eksternal: faktor pengetahuan gizi ataupun pengetahuan tentang obesitas masih kurang, anggapan di masyarakat bahwa orang gemuk adalah menaikan status sosial, kelebihan komsumsi dalam mengkonsumsi makanan, faktor gaya hidup, dan kurangnya aktivitas fisik dalam hal ini aktivitas fisik olahraga.
Usaha Untuk Menurunkan Obesitas Seperti yang dijelaskan sebelumnya, obesitas disebabkan karena ketidak seimbangan jumlah kalori yang masuk ke dalam tubuh lebih besar dari jumlah kalori yang keluar, sehingga kelebihan kalori ini disimpan menjadi lemak dan faktor rendahnya kalori yang keluar disebabkan karena kurangnya aktivitas fisik. Untuk usaha untuk mengatasi obesitas yakni: 1. Kebulatan tekad dan konsistensi Kekuatan tekat akan menciptakan perubahan, pepatah itulah yang harusnya menjadi pegangan bagi orang yang ingin merubah pola hidupnya demi meraih kesehat-an badan dan kebugaran tubuh termasuk orang yang mengalami obesitas. Untuk memiliki tubuh yang ideal dan sehat diperlukan tekad yang bulat sehingga akan mengambil usaha untuk mewujudkan gaya hidup sehat, setelah membulatkan tekad barulah membiasakan gaya hidup sehat menjadi kebiasaan yang konsisten. 2. Pengaturan konsumsi makan. Tujuan dari pengaturan makan bagi penderita obesitas adalah untuk menurunkan berat badan secara aman dengan diet rendah kalori dan zat gizi seimbang sehingga berat badan menjadi normal. 3. Beraktivitas fisik dengan berolahraga Banyak para ahli yang mengemukakan tidak ada program menurunkan berat badan yang dapat berhasil tanpa melakukan olahraga. Pendapat ini memang ekstrim tetapi
192
harus kita pahami bersama bahwa manusia memerlukan energi pada saat melakukan olahraga, energi itu didapat dari karbohidrat tetapi jumlahnya sedikit dan hanya bertahan singkat, untuk itu energi diambil dari lemak sehingga bisa untuk mengu-rangi simpanan lemak di tubuh karena dipakai untuk melakukan olahraga. 4. Olahraga bersifat Aerobik Olahraga yang disarankan untuk manusia adalah olahraga aerobik setiap hari yang disesuaikan dengan asupan makanan yang dikonsumsi (Kardjono, 2013). Aerobik juga dikenal dengan nama latihan kardiovaskuler, yaitu kegiatan yang menggunakan oksigen untuk melatih kekuatan jantung (Aderai, 2007). Olaharaga aerobik sangat efektif untuk membakar lemak dan dibutuhkan waktu lebih dari 20 menit, pada saat kurang dari 20 menit energi yang digunakan adalah energi dari glikogen pada otot dan pada organ hati, baru setelah 20 menit akan terjadi pembakaran lemak (Aderai, 2007). Contoh olahraga aerobik adalah jalan kaki, lari, bersepeda, hiking, renang.
Kesimpulan Gaya hidup manusia akan menentukan kualitas hidup seseorang, dengan gaya hidup yang tidak baik dengan mengkonsumsi makanan yang berlebihan dan tidak diimbangi dengan aktivitas fisik terutama olahraga akan memberikan dampak terjadinya obesitas yang akan membawa pada komplikasi berbagai penyakit degenaratif dan kardiovaskuler.
Faktor pemicu obesitas dapat berupa faktor genetik, umur, keadaan psikologis, pola makan, kurangnya aktivitas fisik, pengetahuan akan gizi dan bahaya obesitas masih kurang. Usaha untuk menurunkan obesitas adalah perpaduan antara mengatur jumlah asupan makanan yang masuk kedalam tubuh dengan mengkombinasikan dnegan melakukan aktiftas fisik dengan berolahraga. Sebagai salah satu staf pendidikan di Prodi Pendidikan Jasmani dan Rekreasi penulis merasa memiliki tanggung jawab keilmuwan sebagai bagian dari Fakultas Ilmu Kesehatan untuk memberikan sumbangsih bagi masayarakat dengan memberikan edu-kasi kepada masyarakat luas akan pentingnya aktivitas jasmani untuk dunia pendidikan
193
dan dunia kesehatan, sehingga mampu tidak hanya menciptakan insan yang memiliki keahlian dalam bidang pendidikan jasmani dan kesehatan saja tetapi memiliki keahlian dalam bidang kesehatan yang mengandalkan olahraga untuk mencapai kesehatan itu.
Daftar pustaka Aderai. (2007). Bakar lemak tanpa lapar tanpa lemas. Jakarta:Tabloid Bola. Almatsier, S.(2004). Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Amber AWA, Heijden Vd, Hu FB, Rimm EB, Van Dam RM. (2007). A prospective study of breakfast consumption and weight gain among U.S. Men. Obesity. 2007; 15 (10):
2463-9. Anonim. (2004). Obesitas di Indonesia. www.Obesitas.web.id. Anonim.(2016).https://www.hsph.harvard.edu/obesity-prevention-source/obesitydefinition/ https://www.hsph.harvard.edu/obesity-prevention-source/obesity definition/.diambil tanggal 1 agustus 2016. Bouchard C, Shepard R. (1994). Physical activity, fitness and health: the model and key concepts. In: Bouchard C,Shepard R, eds. Physical activity, fitness and health. Champaign, IL, Human Kinetics Publishers, 1994. Carr, Molly C, and John D Brunzell. (2004; 89). Abdominal Obesity and Dyslipidemia in The Metabolic Syndrome: Importance of Type 2 Diabetes and Familial Combined Hyperlipidemia in Coronary Artery Disease Risk. The Journal of Endocrinology & Metabolism 89(6): 2601-2607. Corti BG, Macintyre S, Clarkson JP, Pikora T, Donovan RJ, 2003. Environmental and lifestyle factors associated with overweight and obesity in Perth, Australia. American Journal of Health Promotion 18:(1). Iwan Budiman. (2008). Validitas Pengukuran Lemak Tubuh yang Menggunakan Skinfold Caliper di 2, 3, 4, 7 Tempat terhadap Cara Bod Pod.Jurnal kedokteran masyarakat. http://majour.maranatha.edu/index.php/jurnal-kedokteran/article/view/105 diakses 26 Agustus 2016. Kardjono J. (2013). Ilmu Gizi Olahraga Makanan untuk Olahragawan. Bandung:Bintang Warli Artika. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.(2008) Riset Kesehatan Dasar tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Keseha-tan.
194
Kemenkes (2012). Pedoman Pencegahan dan penanggunalangan kegemukan dan Obesitas pada anak sekolah.Kementrian Kesehatan Republik Indonesia:Jakarta. Kowalski, R.(2010).Terapi Hipertensi. Terjemahan: Rani S. Bandung: Qanita Zulkeflie, NASB, 2011, Rokok, http://Repository.usu.ac.id/ dikases 5 Januari 2014. Kokkinos PF, et al.(2009).Physical Activity in The Prevention and Management of High Blood Pressure. Hellenic J Cardiologym, vol: 50, hlm: 52-59. Khomsan, A., et al. 2004). Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya. NIH. (2016). What Is Physical Activity. https://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/phys . Diakses pada tanggal 4 Agustus 2016. Rika D.A (2007). Hubungan Indeks Massa Tubuh , Aktivitas Fisik, rokok, Konsusmsi Buah , Sayur dan Kejadian Hipertensi pada lansia di Pulau kalimantan. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Esa Unggul:Jakarta Soetjiningsih. (2004). Obesitas pada anak tmbuh kembang anak.Penerbit Buku kedokteran EGC. Vassallo J. ( 2007). Pathogenesis of obesity. J Malta Coll Pharm Prac [serial on internet] [cited 2012 Feb 13]; 12. Available from: www.meppnet. org/publications/ISSUE12-7.pdf. diakses 17 Agustus 2016. Widiyanto.(2005). Metode Pengaturan berat Badan. UNY: Jurnal Medikora. http://journal.uny.ac.id/index.php/medifora/article/view/4772. Diakses pada tanggal 25 Agustus 2017. World Health Organization. ( 2011) Overweight and obesity. Departement of Sustaina-ble Development and Healthy Environments. 2011 [cited 2013 Jul 4]. Available from: www.who.int/medicare/factsheets/fs311/en/ Diakses 26 Agustus 2016.
Widiantini dan Tafal. (2014). Aktivitas Fisik,Stres dan Obesitas pada pegawai Negeri Sipil. Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 8(7): 7 Februari 2014.
195
196
Mengolahragakan Masyarakat Mengurangi Resiko Kanker KUKUH PAMBUKA PUTRA
Latar Belakang Penyakit degeneratif merupakan salah satu jenis penyakit yang menjadi perhatian saat ini. Penyakit degeneratif adalah penyakit akibat dari proses yang berkelanjutan didasarkan pada perubahan degeneratif sel, mempengaruhi organ atau jaringan dan akan semakin memburuk seiring waktu. Penyakit degeneratif umumnya merupakan penyakit tidak menular (non-communicable disease/NCD) yaitu penyakit yang bukan disebabkan oleh infeksi dan tidak menyebar antar manusia (Pranoto, 2008). Penyakit degeneratif banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor internal individu, antara lain gaya hidup seperti pola aktifitas fisik atau olahraga dan pola kebiasaan konsumsi makanan. Contoh penyakit-penyakit degeneratif meliputi serangan jantung koroner, diabetes melitus, alzheimer, osteoporosis dan osteoarthritis. Salah satu penyakit degeneratif yang dapat mengakibatkan kematian dan yang sedang menjadi perhatian saat ini karena angka kejadian di dunia cukup tinggi adalah penyakit kanker. Kanker adalah penyakit yang meliputi perkembangan sel secara tidak normal dan berpotensi menyerang atau menyebar ke bagian tubuh yang lain (Stewart & Wild, 2014). Kasus kanker banyak sekali ditemukan di berbagai negara di dunia, berdasarkan data dari International Agency of Research on Cancer (IARC, 2016), terdapat 8,2 juta kasus kematian yang disebabkan oleh kanker pada tahun 2012, yaitu 22% dari seluruh kasus kematian dalam kategori penyakit tidak menular, 14,6% dari seluruh kasus kematian manusia dan ditemukan 14,1 juta kasus baru di seluruh dunia pada tahun yang sama (WHO, 2016b). Kanker bisa disebabkan oleh beberapa faktor antara lain intervensi atau paparan partikel kimia atau yang dikenal dengan substansi karsinogen, diet atau pola makan yang buruk, kurangnya aktifitas fisik, kegemukan atau obesitas, infeksi, radiasi,
197
hormon dan faktor keturunan atau genetika. Menurut studi (Anand et al., 2008; Kushi et al., 2006), semua kasus kematian yang terkait kanker, hampir 25-30% disebabkan oleh tembakau yang dikonsumsi berupa rokok, sebanyak 30-35% kasus terkait dengan diet atau kebiasaan makan yang kurang baik, sekitar 15-20% kasus diketahui karena infeksi, dan sisanya disebabkan oleh faktor lain seperti radiasi, polusi lingkungan, stres, dan kurangnya aktivitas fisik. Studi lain ditemukan bahwa 35% atau sekitar 2,43 juta dari 7 juta kematian akibat kanker setiap tahun di seluruh dunia, berhubungan dengan faktor resiko dari gaya hidup yang kurang baik yang sebenarnya dapat dicegah (Weiderpass,
2010). Angka kejadian kanker mungkin dapat ditekan jika faktor penyebabnya (seperti gaya hidup sedenter dan kurangnya aktifitas fisik) dikurangi atau dihilangkan, yaitu jika semua orang di dunia secara rutin melakukan aktifitas fisik intensitas moderat atau sedang, misalnya 2,5 jam sehari per minggu (Danaei et al., 2005). Berdasarkan data-data di atas dapat diketahui bahwa aktifitas fisik memiliki peran yang bermakna dalam kasus kanker. Kurangnya aktifitas fisik dapat dikatakan menjadi faktor utama dalam munculnya kejadian penyakit tidak menular atau penyakit degeneratif dan salah satunya adalah penyakit kanker (WHO, 2016a), oleh karena itu perubahan perilaku masyarakat menjadi lebih aktif secara fisik adalah cara yang paling efektif dalam pencegahan kanker di seluruh dunia (Weiderpass, 2010). Aktifitas fisik dan olahraga melibatkan banyak sekali fenomena fisiologis dan kimiawi di dalam tubuh, yang terjadi karena banyaknya organ yang bekerja dalam sistem yang seringkali lebih cepat dari aktifitas normalnya. Aktifitas fisik dan olahraga sudah dikaitkan dengan fisiologi klinis sejak akhir 1970an di mana latihan fisik yang terkontrol pasca infark miokard diketahui memberikan banyak manfaat bagi kesehatan termasuk meningkatkan fungsi dan mengurangi kemungkinan terjadinya infark miokard kedua. Selain itu, didapat bukti mendalam dari beberapa studi yang menunjukkan bahwa aktifitas fisik yang tinggi atau olahraga memberi banyak manfaat kesehatan bagi jantung. Dianalogikan dengan gambaran fisiologi kardiovaskular dan rehabilitasi jantung yang dikaitkan dengan aktifitas fisik, fisiologi kanker muncul dengan paradigma yang sama. Meskipun penelitian dan bukti yang ditemukan masih sedikit, namun cukup mendukung 198
bahwa aktifitas fisik juga memiliki peran dalam kasus kanker (Brown, Winters-Stone, Lee, & Schmitz, 2012). Meskipun ada kesamaan antara rehabilitasi penyakit jantung dan penyakit kanker, namun keduanya tetap memiliki perbedaan yang bermakna. Kajian ilmu fisiologi olahraga dan latihan (sport and exercise physiology) dalam rehabilitasi jantung masih cenderung berfokus pada parameter kardiopulmonal seperti denyut jantung dan VO2Max (American College of Sports Medicine, 2014), namun dalam rehabilitasi kanker dibutuhkan pengetahuan yang lebih dari itu karena penyakit kanker dan pengobatan kanker mempengaruhi beberapa sistem seperti muskuloskeletal, saraf, kekebalan tubuh, dan endokrin, selain sistem kardiopulmonal (Schmitz et al., 2010). Ada beberapa mekanisme pemicu perkembangan kanker yang menjadi hipotesis, yaitu berkaitan dengan hormon seks, hormon metabolik, inflamasi dan adipositas, stres oksidatif, perbaikan DNA, dan enzim xenobiotik (Rundle, 2005), namun literatur dan studi yang mendukung teori-teori tersebut masih sangat terbatas. Dalam beberapa mekanisme, kanker memerlukan periode laten yang cukup panjang untuk berkembang, sehingga peluang untuk menghambat pertumbuhan kanker juga cukup besar. Oleh karena itu, diharapkan setiap orang memiliki kesadaran untuk meningkatkan aktifitas fisiknya dan berolahraga secara teratur untuk mengurangi resiko dan menghambat atau mencegah perkembangan kanker (Brown et al., 2012). Ada beberapa penelitian yang mempelajari mekansime pemicu perkembangan kanker dan keterkaitannya dengan aktifitas fisik yang teratur atau olahraga. Berikut adalah contoh keterkaitan olahraga dan aktifitas fisik terhadap kanker melalui mekanisme hormon dan fungsi imun.
Pengaruh Hormon Terkait faktor endogen yang memicu atau mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kanker, hormon diduga memiliki keterlibatan yang cukup signifikan. Ada hipotesis bahwa kanker dapat dipicu oleh paparan hormon berlebih dalam rentang waktu yang lama, sehingga muncul studi yang mempelajari tentang pengaruh aktifitas fisik terhadap hormon. Telah dilakukan percobaan secara acak (McTiernan et al., 2004) 199
pada 173 wanita menopause berusia 50-75 tahun yang memiliki gaya hidup sedenter dan mengalami kelebihan berat badan. Bagian yang diteliti adalah efek dari intervensi latihan aerobik secara rutin terhadap serum androgen dan esterogen selama 12 bulan. Didapati wanita yang melakukan latihan aerobik intensitas sedang, 5 kali seminggu, 45 menit per hari, setelah 12 bulan intervensi didapati hormon androgen mengalami penurunan secara signifikan. Pada wanita yang kehilangan lebih dari 2% lemak tubuhnya, testosteron berkurang signifikan sebesar 10,1%, estrone, estradiol, dan estradiol bebas berkurang secara signifikan sebesar 11,9%, 13,7% dan 16,7%. Pada sebuah penelitian kuasi eksperimental (Kossman et al., 2011), 7 wanita yang memiliki resiko tinggi terkena kanker payudara diberi intervensi berupa program latihan aerobik intensitas sedang secara rutin. Setelah pengamatan selama 5 siklus menstruasi didapati terjadi penurunan esterogen dan progesteron secara signifikan sebesar 18,9% dan 23,7%. Ditinjau dari data-data tersebut dapat disimpulkan bahwa intervensi aktifitas fisik intensitas sedang secara teratur memiliki manfaat bagi wanita dengan resiko kanker payudara tinggi.
Insulin juga ditemukan berpengaruh terhadap perkembangan kanker. Sebuah studi menemukan bahwa insulin growth factor-1 (IGF-1) dapat menyebabkan pertumbuhan sel kanker dan menghambat apoptosis (Lynch, Neilson, & Friedenreich, 2011). Beberapa jenis kanker telah diidentifikasi membawa reseptor insulin (MacDonald, Thornton, & Bean, 1993), dan ketika dirangsang oleh insulin maka kanker akan tumbuh secara ukuran (Pan & Morrison, 2011). Olahraga secara rutin dan menurunkan berat badan adalah intervensi yang efektif untuk meningkatkan sensitifitas insulin dan memiliki potensi untuk mengurangi resiko kanker yang dimediasi oleh insulin (Weiss & Holloszy, 2007). Hal menariknya adalah bahwa diketahui satu sesi latihan fisik dapat meningkatkan sensitifitas insulin selama 60 jam (Burstein et al., 1985). Olahraga intensitas sedang yang rutin dilakukan dalam jangka panjang ternyata memiliki hu-bungan dengan IGF-1 dan dapat meningkatkan protein pengikat IGF-1 (Cust, 2011; Frank et al., 2005), dengan demikian olahraga atau latihan fisik intensitas sedang secara rutin dapat menghambat IGF-1 dalam memicu pertumbuhan sel kanker, sehingga olahraga dapat dikatakan mencegah perkembangan kanker melalui mekanisme tersebut.
200
Sistem Imun Salah satu faktor lain yang ditemukan berhubungan dengan aktifitas fisik dan penyakit kanker adalah sistem imun. Sistem imun juga menjadi salah satu hipotesis dalam penurunan resiko kanker baik pada manusia maupun pada model hewan (McTiernan, 2008; Shephard & Shek, 1999), dan diketahui sistem imun berperan dalam mencegah dan menghambat pertumbuhan kanker melalui mekanisme identifikasi dan menghancurkan sel yang tumbuh secara abnormal (Campbell & McTiernan, 2007). Orang yang mengalami gangguan sistem kekebalan tubuh seperti pada penderita AIDS diduga lebih beresiko terkena kanker sehingga kejadian gangguan sistem kekebalan tubuh juga dianggap memiliki hubungan dengan peningkatan kejadian kanker (Bonnet et al., 2004). Sistem imun yang baik dapat dicapai dengan olahraga secara teratur. Orang yang melakukan aktifitas fisik intensitas sedang secara rutin diketahui memiliki sistem imun yang optimal, sedangkan pada orang yang memiliki gaya hidup sedenter atau hanya berolahraga sesekali, sistem imun tubuhnya kurang optimal (Nieman, 1994). Oleh karena itu olahraga secara teratur memiliki manfaat dalam pencegahan kanker dengan mengoptimalkan fungsi imun tubuh. Mekanisme hormon dan sistem imun di atas adalah contoh mekanisme yang sudah banyak dipelajari terkait olahraga dan kanker. Diperkirakan masih ada beberapa mekanisme lain yang menghubungkan olahraga dengan kanker, namun literarur yang tersedia dan studi yang telah dilakukan masih sangat terbatas. Oleh karena itu, masih cukup besar potensi untuk dilakukan studi dalam rangka membuktikan adanya mekanisme lain yang dipicu aktifitas fisik yang terlibat dalam kasus kanker sehingga wawasan akan olahraga dan kanker akan semakin luas dan diharapkan angka kejadian kanker akan semakin dapat ditekan.
Refleksi PJKR ke Depan PJKR UKSW di bawah naungan Fakultas Ilmu Kesehatan bersama prodi lain yaitu teknologi pangan, keperawatan dan ilmu gizi, memiliki potensi untuk berkolaborasi mencetak lulusan yang paham akan kesehatan dalam sudut pandang olahraga. Wawasan 201
dan pengetahuan mahasiswa tentang olahraga dan kesehatan akan sangat membantu masyarakat dalam melaksanakan gaya hidup yang sehat ini, membantu memecahkan masalah yang menghambat masyarakat melakukan aktifitas olahraga, maupun menstimulasi motivasi masyarakat dengan metode-metode yang dapat membuat masyarakat meningkatkan aktifitas fisiknya karena kehendaknya sendiri. Dengan demikian diharapkan intensitas aktifitas fisik masyarakat menjadi meningkat dan angka kejadian penyakit degeneratif seperti kanker akan berkurang. Sebuah studi (Brown et al., 2012) menjelaskan tentang beberapa jenis aktifitas fisik dan seberapa besar dosis-nya untuk mencegah maupun menjadi terapi pada beberapa jenis kanker. Jenis dan dosis aktifitas fisik yang telah dijelaskan tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam menggerakkan masyarakat untuk berolahraga, dan disertakan dalam jadwal olahraga rutin ataupun dalam program latihan di lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti sekolah, komunitas olahraga, maupun klub-klub olahraga. Motivasi adalah salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam kelangsungan aktifitas olahraga (Teixeira, Carraça, Markland, Silva, & Ryan, 2012), karena seseorang umumnya melakukan aktifitas tertentu seperti olahraga diawali oleh motivasi diri. Masyarakat pada dasarnya mengetahui dan menyadari bahwa olahraga dan gaya hidup sehat memiliki banyak manfaat bagi kesehatan, namun faktanya banyak sekali masyarakat yang tidak melakukan olahraga dan tidak menerapkan gaya hidup sehat karena berbagai alasan. Untuk membuat masyarakat mau melakukan olahraga dan menerapkan gaya hidup sehat, maka faktor-faktor yang menjadi alasan dan penghambat tersebut perlu untuk dipelajari dan disusun konsep-konsep solusi hingga produk-produk yang akan membuat masyarakat meninggalkan alasan-alasan penghambat tersebut. Oleh karena itu, keterampilan dan wawasan sosial budaya perlu ditanamkan kepada mahasiswa sehingga mahasiswa lebih dapat menggerakkan masyarakat.
Pada umumnya masyarakat akan setuju terhadap sesuatu yang sesuai dengan kebiasaan, adat atau budaya mereka, sehingga untuk memotivasi atau memicu masyarakat meningkatkan aktifitas fisiknya juga dapat dilakukan melalui konteks budaya. Sebagai contoh adalah dengan mengadakan kegiatan lomba keolahragaan seperti lomba lari, lomba voly, atau sepakbola antar kampung ketika memperingati suatu hari besar 202
maupun hari khusus keadatan. Dengan demikian setidaknya sebagian masyarakat di daerah yang terlibat akan membentuk kelompok, menyibukkan diri dengan persiapanpersiapan, yang akan mereka lakukan secara rutin menjelang hari pelaksanaan lomba tersebut. Dengan demikian pula aktiitas fisik mereka telah meningkat setidaknya untuk beberapa waktu. Metode yang sama dapat dilakukan kembali untuk peringatan hari besar berikutnya, sehingga terjadi kelanjutan dan peningkatan aktifitas fisik tidak hanya terjadi sementara. Oleh karena itu, sosialisasi dan koordinasi dengan tokohtokoh dan pejabat setempat sangat diperlukan dan sangat berpengaruh dalam keberhasilan penggerakan masyarakat untuk berolahraga. Promosi kesehatan dapat juga dilakukan melalui kerjasama dengan lembaga-lembaga kanker di Indonesia seperti diadakan kegiatan penyuluhan hingga program olahraga bersama secara rutin. Aktifitas fisik dapat juga ditingkatkan melalui kegiatan ekstrakurikuler di sekolah-sekolah. Seseorang yang sejak kecil antara usia 9 sampai 18 tahun rajin berolahraga atau memiliki intensitas aktifitas fisik yang tinggi terutama jika dilakukan secara rutin, cenderung memiliki aktifitas fisik yang tinggi pula ketika dewasa (Telama et al., 2005), hal tersebut pasti akan berdampak pada pencapaian tubuh yang ideal dan kualitas kesehatan yang lebih baik. Jika seluruh masyarakat dalam suatu daerah melakukan hal yang sama, maka kualitas kesehatan masyarakat dalam daerah tersebut tentu saja akan lebih baik. Aktifitas fisik sejak usia dini bisa menjadi budaya yang sangat baik. Aktifitas fisik yang tinggi terutama sejak usia muda juga berpengaruh pada kemampuan motorik dan kognitif seseorang, diketahui bahwa anak yang secara rutin melakukan aktifitas fisik memiliki kemampuan motorik yang lebih baik daripada yang tidak melakukan aktifitas fisik secara rutin (Chen, 2013) dan diperkirakan kemampuan motorik di usia dewasanya juga akan lebih baik. Namun demikian anak usia sekolah memiliki standar yang berbeda dengan orang dewasa dalam hal aktifitas fisik, sehingga aktifitas fisik yang terlalu keras tidak dianjurkan dan tidak boleh dipaksakan kepada anak. Ada kriteria tertentu yang perlu diperhatikan pada setiap kategori usia sehingga anak tersebut benar-benar mendapat efek positif dari aktifitas fisik tersebut dan tidak mengganggu tumbuh kembangnya. Aktifitas fisik yang tinggi dan olahraga secara teratur memang dapat mengurangi
203
resiko penyakit kanker, namun berbagai faktor lain yang dapat memicu pertumbuhan dan perkembangan kanker juga perlu untuk diperhatikan dan dibuat konsep solusi yang terprogram. Selain meningkatkan aktifitas fisik, masyarakat perlu menjaga pola makan, memahami bahan dan cara pengolahan makanan yang baik dan aman untuk meminimalkan senyawa berbahaya yang ikut masuk ke dalam tubuh melalui makanan. Udara juga menjadi media masuknya senyawa-senyawa karsinogen ke dalam tubuh. Polusi udara dari asap kendaraan, rokok, limbah, dan sebagainya, dapat berdampak negatif bagi kesehatan, dalam hal ini dapat memicu kanker jika terpapar dalam waktu yang lama. Kesadaran akan polusi diperlukan supaya masyarakat mampu melindungi diri dengan baik seperti menggunakan masker berfilter ketika berada di tempat dengan polusi udara tinggi.
Kesimpulan Penyakit kanker merupakan salah satu penyakit degeneratif dengan angka kejadian yang cukup tinggi di dunia. Banyak kasus kematian yang diketahui disebabkan oleh penyakit kanker. Kanker bisa disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk faktor gaya hidup, pola aktifitas fisik dan kebiasaan makan. Ada beberapa mekanisme yang menghubungkan antara aktifitas fisik dengan penyakit kanker, di antaranya adalah mekanisme hormon dan sistem imun. Hormon berlebih dalam jangka waktu lama diduga dapat memicu perkembangan sel kanker. Aktifitas fisik atau olahraga secara rutin dapat menurunkan kadar hormon dan menurunkan resiko kanker. Olahraga rutin juga dapat meningkatkan fungsi imun sehingga lebih optimal dalam mencegah perkembangan sel kanker.
Olahraga memiliki banyak manfaat terhadap kesehatan. Pada umumnya masyarakat memahami bahwa olahraga secara teratur dapat menurunkan resiko kejadian penyakit-penyakit degeneratif termasuk kanker. Namun masyarakat masih belum dapat menjadikan olahraga sebagai gaya hidup secara optimal karena berbagai alasan. PJKR diharapkan mampu mencetak lulusan yang memahami kesehatan dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah yang menjadi alasan masyarakat untuk tidak menjadikan olahraga sebagai gaya hidup. Lulusan PJKR diharapkan mampu mengedukasi dan menggerakkan 204
masyarakat untuk berolahraga dengan berbagai metode, kebutuhan dan adat kebudayaan masyarakat sehingga konsep-konsep ide yang diberikan oleh lulusan PJKR dapat diterima dengan baik dan memberi pengaruh positif bagi peningkatan kualitas kesehatan masyarakat.
Referensi American College of Sports Medicine. (2014). Guidelines for Exercise Testing and Pre-scription. British journal of sports medicine (Vol. 27). http://doi.org/10.1007/ s13398-014-0173-7.2 Anand, P., Kunnumakkara, A. B., Kunnumakara, A. B., Sundaram, C., Harikumar, K. B., Tharakan, S. T., Aggarwal, B. B. (2008). Cancer is a preventable disease that re-quires major lifestyle changes. Pharmaceutical Research, 25(9), 2097–116. http:// doi.org/10.1007/s11095-008-9661-9 Bonnet, F., Lewden, C., May, T., Heripret, L., Jougla, E., Bevilacqua, S., Morlat, P. (2004). Malignancy-related causes of death in human immunodeficiency virusinfected patients in the era of highly active antiretroviral therapy. Cancer, 101(2), 317–24. http://doi.org/10.1002/cncr.20354 Brown, J. C., Winters-Stone, K., Lee, A., & Schmitz, K. H. (2012). Cancer, Physical Activity, and Exercise. In Comprehensive Physiology. Hoboken, NJ, USA: John Wiley & Sons, Inc. http://doi.org/10.1002/cphy.c120005 Burstein, R., Polychronakos, C., Toews, C. J., MacDougall, J. D., Guyda, H. J., & Posner, B. I. (1985). Acute reversal of the enhanced insulin action in trained athletes. Association with insulin receptor changes. Diabetes, 34(8), 756–60. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/3894119 Campbell, K. L., & McTiernan, A. (2007). Exercise and biomarkers for cancer preven-tion studies. The Journal of Nutrition, 137(1 Suppl), 161S–169S. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17182820 Chen, A. (2013). Motor skills matter to physical activity – At least for children. Journal of Sport and Health Science (Vol. 2). http://doi.org/10.1016/j.jshs.2013.01.002 Cust, A. E. (2011). Physical activity and gynecologic cancer prevention. Recent Results in Cancer Research. Fortschritte Der Krebsforschung. Progrès Dans Les Recherches Sur Le Cancer, 186, 159–85. http://doi.org/10.1007/978-3-642-04231-7_7
Danaei, G., Vander Hoorn, S., Lopez, A. D., Murray, C. J. L., Ezzati, M., Comparative Risk Assessment collaborating group (Cancers), C., Sporn, M. (2005). Causes of cancer in the world: comparative risk assessment of nine behavioural and en-
205
vironmental risk factors. Lancet (London, England), 366(9499), 1784–93. http:// doi.org/10.1016/S0140-6736(05)67725-2 Frank, L. L., Sorensen, B. E., Yasui, Y., Tworoger, S. S., Schwartz, R. S., Ulrich, C. M., McTiernan, A. (2005). Effects of exercise on metabolic risk variables in over-weight postmenopausal women: a randomized clinical trial. Obesity Research, 13(3), 615–25. http://doi.org/10.1038/oby.2005.66 IARC. (2016). Estimated Incidence, Mortality and Prevalence Worldwide in 2012. Re-trieved June 27, 2016, from http://globocan.iarc.fr/Pages/fact_sheets_cancer. aspx Kossman, D. A., Williams, N. I., Domchek, S. M., Kurzer, M. S., Stopfer, J. E., & Schmitz, K. H. (2011). Exercise lowers estrogen and progesterone levels in premenopau-sal women at high risk of breast cancer. Journal of Applied Physiology (Bethesda, Md. : 1985), 111(6), 1687–93. http://doi.org/10.1152/japplphysiol.00319.2011
Kushi, L. H., Byers, T., Doyle, C., Bandera, E. V, McCullough, M., McTiernan, A., American Cancer Society 2006 Nutrition and Physical Activity Guidelines Advisory Committee. (2006). American Cancer Society Guidelines on Nutrition and Physical Activity for cancer prevention: reducing the risk of cancer with healthy food choices and physical activity. CA: A Cancer Journal for Clinicians, 56(5), 254–81; quiz 313–4. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pub-
med/17005596 Lynch, B. M., Neilson, H. K., & Friedenreich, C. M. (2011). Physical activity and breast cancer prevention. Recent Results in Cancer Research. Fortschritte Der Kreb-sforschung. Progrès Dans Les Recherches Sur Le Cancer, 186, 13–42. http://doi. org/10.1007/978-3-642-04231-7_2 MacDonald, R. S., Thornton, W. H., & Bean, T. L. (1993). Insulin and IGE-1 receptors in a human intestinal adenocarcinoma cell line (CACO-2): regulation of Na+ glucose transport across the brush border. Journal of Receptor Research, 13(7), 1093–113. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8366505 McTiernan, A. (2008). Mechanisms linking physical activity with cancer. Nature Reviews. Cancer, 8(3), 205–11. http://doi.org/10.1038/nrc2325 McTiernan, A., Tworoger, S. S., Rajan, K. B., Yasui, Y., Sorenson, B., Ulrich, C. M., Schwartz, R. S. (2004). Effect of exercise on serum androgens in postmeno-pausal women: a 12-month randomized clinical trial. Cancer Epidemiology, Biomarkers & Prevention : A Publication of the American Association for Cancer Research, Cosponsored by the American Society of Preventive Oncology, 13(7), 1099– 105. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15247119
206
Nieman, D. C. (1994). Exercise, upper respiratory tract infection, and the immune system. Medicine and Science in Sports and Exercise, 26(2), 128–39. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8164529 Pan, S. Y., & Morrison, H. (2011). Physical activity and hematologic cancer prevention. Recent Results in Cancer Research. Fortschritte Der Krebsforschung. Progrès Dans Les Recherches Sur Le Cancer, 186, 135–58. http://doi.org/10.1007/978-3-642-04231-7_6 Pranoto, A. (2008). Non-Communicable Disease / Degenerative Disease, 1–8. Retrieved from http://penelitian.unair.ac.id/artikel/1b285257009658bb53c43b60 1027573a_Unair.pdf Rundle, A. (2005). Molecular epidemiology of physical activity and cancer. Cancer Epi-demiology, Biomarkers & Prevention : A Publication of the American Association for Cancer Research, Cosponsored by the American Society of Preventive Oncology, 14(1),
227–36. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15668499 Schmitz, K. H., Courneya, K. S., Matthews, C., Demark-Wahnefried, W., Galvão, D. A., Pinto, B. M., … American College of Sports Medicine. (2010). American College of Sports Medicine roundtable on exercise guidelines for cancer survivors. Medicine and Science in Sports and Exercise, 42(7), 1409–26. http://doi. org/10.1249/MSS.0b013e3181e0c112 Shephard, R. J., & Shek, P. N. (1999). Effects of exercise and training on natural killer cell counts and cytolytic activity: a meta-analysis. Sports Medicine (Auckland, N.Z.), 28(3), 177–95. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10541441 Stewart, B. W., & Wild, C. P. (2014). World cancer report 2014. (B. W. S. and C. P. Wild, Ed.). IARC Nonserial Publication. Retrieved from http://www.iarc.fr/en/pub-lications/books/wcr/wcr-order.php Teixeira, P. J., Carraça, E. V, Markland, D., Silva, M. N., & Ryan, R. M. (2012). Exercise, physical activity, and self-determination theory: a systematic review. The Inter-national Journal of Behavioral Nutrition and Physical Activity, 9, 78. http://doi. org/10.1186/1479-5868-9-78 Telama, R., Yang, X., Viikari, J., Välimäki, I., Wanne, O., Raitakari, O., Yang, X. (2005). Physical activity from childhood to adulthood. American Journal of Preventive Medicine, 28(3), 267–273. http://doi.org/10.1016/j.amepre.2004.12.003 Weiderpass, E. (2010). Lifestyle and cancer risk. Journal of Preventive Medicine and Public Health = Yebang Ŭihakhoe Chi, 43(6), 459–71. http://doi.org/10.3961/ jpmph.2010.43.6.459
207
Weiss, E. P., & Holloszy, J. O. (2007). Improvements in body composition, glucose toler-ance, and insulin action induced by increasing energy expenditure or decreasing energy intake. The Journal of Nutrition, 137(4), 1087–90. Retrieved from http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17374683 WHO. (2016a). Physical activity. Retrieved June 28, 2016, from http://www.who.int/ mediacentre/factsheets/fs385/en/ WHO. (2016b). The top 10 causes of death. Retrieved June 28, 2016, from http://www. who.int/mediacentre/factsheets/fs310/en/
208
Peran Senam Aerobik Low Impact Terhadap Kebugaran Kardiorespirasi Pada Anak Usia 10-12 TAHUN ANGKIT KINASIH
Latar Belakang Kualitas hidup manusia berhubungan dengan kesehatan manusia. Masyarakat di negara maju sudah merasakan akibat dari gaya hidup yang lebih banyak diam, kurangnya aktivitas fisik ataupun kurang bergerak. Dengan modernisasi yang serba teknologi, membatasi aktivitas fisik manusia, sehingga tingkat kebugaran fisik, tidak sesuai dengan beban aktivitas sehari-hari. Hal ini termasuk beban tubuh yang menyebabkan malas untuk bergerak. Melalui aktivitas fisik yang teratur akan diperoleh gerakan fungsi organ tubuh yang memadai bagi pembinaan kemampuan fisik dan persendian yang lebih baik (Rattu, 2001). Menanggulangi dampak permasalahan di masa yang akan datang adalah melalui kegiatan aktivitas fisik dan berolahraga. Salah satu cabang olahraga yang populer saat ini adalah senam. Senam yang diiringi musik lebih dirasakan kegembiraan dan lebih menyenangkan. Senam mengacu pada bentuk gerak yang dikerjakan dengan kombinasi terpadu setiap bagian anggota tubuh dari komponen-komponen kemampuan motorik seperti kekuatan, kelincahan, kecepatan, keseimbangan, kelentukan, agilitas dan ketepatan. Dengan adanya koordinasi yang sesuai dan tata urutan gerak yang selaras akan terbentuk rangkaian gerakan artistik yang menarik. Senam aerobik merupakan salah satu jenis olahraga yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan sangat diminati oleh hampir sebagian besar masyarakat. Hal ini dikarenakan senam aerobik merupakan olahraga yang dapat dilakukan secara massal, tanpa mengeluarkan biaya yang banyak, menyenangkan dan dapat memberikan manfaat yang nyata. Dapat dikatakan bahwa senam aerobik dapat mengaktualisasikan potensi aktivitas manusia dalam bentuk gerak senam, dapat meningkatkan kebugaran seseorang 209
melalui aktivitasnya. Tujuan senam salah satunya untuk membantu dalam peningkatan kebugaran. Kebugaran merupakan aspek yang sangat penting dari kesegaran tubuh secara keseluruhannya yang memberikan kesanggupan pada seseorang untuk menjalani hidup yang produktif serta dapat menyesuaikan diri setiap beban fisik yang layak, (Sutarman, 1997). Kebugaran kardiorespirasi adalah kemampuan sistem peredaran darah dan pernapasan untuk memasok bahan bakar dan oksigen selama aktivitas fisik yang berkelanjutan (Gayuh, 2012). Kebugaran kardiorespirasi mempunyai faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas fisik seseorang, khususnya pada faktor usia. Pada kebugaran kardiorespirasi ditentukan dengan pengambilan oksigen maksimal (VO2 maks), yang menentukan fungsi kardioresspirasi dalam hal melakukan intensitas sedang sampai tinggi dalam waktu yang lama. Dengan hal itu senam dengan gerakan low impact yaitu gerakan senam aerobik dengan intensitas yang rendah dan gerakan salah satu kaki selalu berada dan menapak dilantai setiap waktu, dengan usia pada anak 10-12 tahun dapat memberikan dampak yang positif pada tubuh khususnya jantung dan paru-paru. Pada jantung terjadi peningkatan curah jantung yang disalurkan keseluruh tubuh dengan denyut nadi yang semakin kecil (Rochayah, 2012). Sedangkan pada paru-paru terjadi proses udara yang lebih banyak dengan usaha yang semakin kecil.
Peran Senam Aerobik Low Impact Pada Kebugaran Kardiorespirasi Senam aerobik sangat digemari pada zaman sekarang, karena dengan berolahraga senam mempunyai manfaat yang diperoleh. Menurut Djoko Pekik (2004) senam aerobik memerlukan tiga dasar gerak yaitu disebut dengan molis (move, lift, stretch), move yaitu gerakan continue dengan gerakan ritmis menggunakan otot-otot besar tubuh bagian togok, anggota gerak atas atau bawah dengan gerakan dasar squatting, lunging, jumping, kickling, lia (stationary travling), running dan partner work yang tujuannya meningkatkan daya tahan paru, jantung dan mempertahankan komposisi tubuh terutama membakar lemak dan penumpukan glukosa yang berlebihan dalam darah; lift yaitu gerak melawan beban baik beban berat badan sendiri, partner, aupun bebean luar, tujuan gerakan ini untuk melatih otot (kekuatan, daya tahan, pembentukan dan pengencangan otot); stretch 210
yaitu gerakan meregang sendi dan mengulur otot dapat dikerjakan secara statis maupun dinamis, tujuan gerakan ini melatih kelentukan sendi dan kelenturan otot sehingga dihasilkan mobilitas gerak yang tinggi. Senam aerobik sendiri mempunyai serangkainan gerakan dengan dipadukan irama musik dengan durasi tertentu. Dalam senam secara umum dikenal dengan gerakan lambat (low impact) dan gerakan cepat (high impact). Gerakan low impact disesuaikan dengan irama yang lambat dengan diiringi gerakan dinamis dari tubuh. Latihan aerobik low impact mempunyai fungsi untuk membentuk kesegaran jasmani atau kondisi fisik dan mempunyai tujuan untuk meningkatkan efisiensi pemasukan oksigen dalam jaringan tubuh. Oksigen yang masuk pada tubuh ditentukan oleh kapasitas maksimal paru-paru saat menghirup udara. Dengan latihan senam aerobik yang teratur dengan latihan yang cukup maka akan memperbaiki kerja jantung dan paru-paru. Selama bergerak otot membutuhkan asupan oksigen untuk bekerja. Dengan beban yang meningkat maka tubuh akan menanggapinya dengan meningkatkan jumlah oksigen yang dikirim ke seluruh otot dan jantung. Maka detak jantung dan frekuensi pernafasan akan meningkat sampai memenuhi kebutuhan. Berolahraga akan membuat ventilasi pulmonal berkurang, sehingga orang tidak akan mudah terengah-engah dan paru-paru akan bekerja secara lebih efisien (Giri, 2013). Pernafasan ketika berolahraga secara otomatis akan semakin cepat utnuk memenuhi kebutuhan oksigen, jika orang yang memiliki kapasitas vital besar akan lebih beruntung karena frekuensi nafas tidak terlalu cepat. Pada waktu berolahraga ventilasi paru akan meningkat hingga 200 liter/menit dan ketika beristirahat sekitar 8 liter/menit. Seseorang ketika berlatih peningkatan ventilasi total cukup besar mulai terjadi setelah latihan tersebut di mulai, sebelum semua bahan kimiawi darah memiliki waktu untuk berubah (Guyton & Hall dalam Giri Wiarto, 2013). Jumlah oksigen yang masuk ke aliran darah di paru ketika aktivitas fisik akan meningkat karena naiknya jumlah O2 yang ditambahkan pada tiap satuan darah dan bertambahnya aliran darah yang melewati paru permenit. Selain itu senam aerobik yaitu latihan fisik dengan kapasitas maksimal untuk menghirup, megeluarkan, dan menggunakan oksigen (Nyahmini, et al; 2016). Aktivitas dengan senam aerobik kinerja lebih banyak pada otot lengan dan otot paha, sehingga 211
kinerja pada jantung dan paru-paru lebih efisien. Senam aerobik low impact mempunyai gerakan yang ringan-sedang dengan gerakan tersebut dapat meningkatkan kapasitas oksigen maksimal. Senam aerobik low impact juga dapat mendorong jantung bekerja secara optimal, olahraga untuk jantung dapat meningkatkan kebutuhan energi oleh sel, jaringan dan organ tubuh dimana akibat peningkatan tersebut meningkatkan aktivitas pernafasan dan otot rangka. Menurut Djoko Pekik (2004) menyatakan bahwa komponen kebugaran diklasifikasikan dua kategori yaitu berkaitan dengan kesehatan dan berkaitan dengan keterampilan gerak. Komponen yang terkait dengan kesehatan menyangkut perkembangan kualitas yang dibutuhkan utnuk efisiensi fungsional dan pemeliharaan gaya hidup sehat. Kualitas kebugaran masyarakat Indonesia diutamakan untuk memelihara kesehatan. Kebugaran kardiorespirasi ini sebagai kemampuan respirasi dan sirkulasi untuk menyediakan oksigen guna kerja otot selama aktivitas ritmik dan kontinyu dengan melibatkan kelompok otot besar. Adanya senam aerobik low impact dapat mengembangkan kebugaran kardiorespirasi bagi pelaku senam tersebut, sehingga dengan melakukan senam aerobik low impact yang terprogram dan terencana dengan baik mengacu pada prinsip-prinsip program latihan yang benar dapat memberikan hasil yang baik pada kebugaran. Menurut Alex, dkk (2012) menyatakan manfaat senam adalah menguatkan daya tahan jantung dan paru-paru, memperbaiki penampilan karena gerakan yang dibuat untuk menguatkan, mengencangkan, dan membentuk otot beberapa bagian tubuh tertentu antara lain pinggul, paha, pinggang, perut, dada, punggung, lengan, kaki dan lainnya. Senam aerobik low impact yang dilakukan dalam intensitas ringan- sedang dengan diiringi musik yang sedang, motivasi untuk latihan akan lebih tinggi karena gerakan untuk mengikuti irama musik dan dapat membangkitkan semangat ketika latihan. Aerobik low impact mempunyai kelemahan yaitu bagi pelaku senam cepat merasakan bosan untuk melakukan gerakan- gerakan yang lambat. Dalam penampilan senam aerobik low impact menampilkan gerakan-gerakan untuk menguatkan, mengencangkan, dan membentuk otot beberapa bagian tubuh tertentu. Selain itu memberikan dampak yang cukup besar terhadap respon dan adaptasi terhadap jantung, 212
sistem pernafasan, sistem kardiovaskular, peregangan otot-otot dan sistem energi seperti pembakaran glukosa dan lemak yang menumpuk dalam darah. Gerakangerakan aerobik low impact juga bermanfaat dalam perbaikan fungsi kardiovaskular serta menguatkan dan meningkatkan kapasitas paru-paru. Rutinitas latihan memperbaiki juga sistem saraf karena aktif dalam berolahraga dapat memelihara kecepatan reaksinya lebih baik. Selain itu manfaat kebugaran kardiorespirasi dapat mengurangi resiko gangguan jantung dan pembuluh darah, menjaga tekanan darah tetap normal, mengatur kadar lemak dalam darah, meninggikan VO2 max, tulang persendian dan otot akan menjadi lebih kuat.
Peran Senam Aerobik Low Impact Pada Anak Usia 10-12 Tahun Masa anak sekolah dasar merupakan anak dalam usia pertumbuhan dan perkembangan, dengan itu dalam usia ini anak perlu waktu yang cukup untuk dapat bergerak dan bermain untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangannya baik motorik atau kondisi fisiknya. Mengajarkan anak-anak tentang kesehatan dan kebugaran sangatlah penting. Mereka dilihatkan dalam olahraga untuk memahami kesehatan dan juga membantu mengarahkan setiap kegiatan menjadikan lebih produktif dan untuk menguntungkan dalam masa depan mereka. Pada faktanya, anak-anak zaman modern kini mengalami beberapa gangguan penyakit karena kurangnya aktivitas fisik. Hal tersebut memberi kesempatan kepada anakanak untuk berolahraga ataupun berkegiatan fisik. Memberikan aktivitas fisik dalam waktu 30-60 menit dalam seminggu atau beberapa kali dalam seminggu, akan mengendalikan dan mencegah beberapa penyakit pada anak-anak.
Untuk mendorong aktivitas fisik, dipastikan untuk pelaksanaannya mengikuti aturanaturan dalam gaya hidup sehat. Pada olahraga sendiri sangat penting diperkenalkan pada anak-anak usia sekolah dasar, khususnya pada usia 10-12 tahun. Usia 10-12 tahun adalah masa dimana aktivitas olahraga sangat dianjurkan, pertumbuhan dan koordinasi yang terus berlanjut akan mengalami penyempurnaan (Sadoso dalam Fajar, 2013). Menurut American Academy of Pediatrics (AAP), seorang anak membutuhkan kurang lebih 60 menit untuk berolahraga fisik setiap harinya. Kebiaasaan berolahraga juga bisa menurunkan resiko gangguan kesehatan terkhusus pada jantung.
213
Di sekolah, anak mendapatkan pelajaran pendidikan jasmani yang salah satunya mempunyai tujuan meningkatkan kebugaran. Pelajaran tersebut hanya diperoleh satu minggu sekali oleh sebab itu perlu adanya aktivitas diluar jam pelajaran di sekolah. Pada dasarnya semua macam latihan atau olahraga untuk meningkatkan kebugaran dapat digunakan sebagai sarana latihan. Salah satu bentuk latihan untuk anak sekolah dasar yaitu senam aerobik. Senam aerobik low impact merupakan latihan tubuh yang dicipta-kan secara sengaja, disusun dan dilakukan secara sadar dengan tujuan meningkatkan kebugaran. Senam aerobik low impact yang biasanya diikuti irama musik yang juga dipilih sehingga melahirkan ketentuan ritmis, kontinuitas dan durasi tertentu dengan memiliki gerakan-gerakan dasar dan dapat divariasi dengan kreativitas sendiri. Gerakan senam aerobik low impact dapat meningkatkan kebugaran kardiorespirasi bagi anak-anak karena gerakannya melibatkan sejumlah otot besar yang secara berkesinambungan dengan beban latihan yang cukup untuk merangsang jantung, paru-paru dan pembuluh darah. Latihan senam aerobik low impact yang teratur memberikan keuntungan bagi anak-anak tertama jantung dan paru-paru. Jantung dapat memompakan jumlah darah yang lebih banyak dan berdenyut lebih lambat dan paru-paru akan bertambah kapasitas pernafasannya. Menurut Margiani (2013), mitokondria diyakini komponen dari sel otot yang menyimpan oksigen dan mengeluarkan energi menjadi lebih besar dan banyak sehingga badan menjadi lebih efisien untuk membuang panas. Maka dari itu sintensitas latihan senam yang teratur badan akan menjadi lebih ringan dan segala keletihan setelah berkegiatan sehari-hari akan menjadi hilang dan juga daya tahan tubuh akan meningkat. Peningkatan daya tahan jantung dan paru-paru dapat dijadikan sebagai indikator tunggal untuk menentukan tingkat kebugaran jasmani seseorang antara lain dengan pengukuran VO2 max secara tidak langsung (Korpri, 2016). Menurut Wilmore dalam Korpri (2016) menyatakan bahwa pengaruh latihan aerobik terhadap denyut jantung istirahat dapat menurun 30 sampai 40 denyutan permenit dan untuk orang yang terlatih, sel darah merah lebih banyak dibandingkan dengan orang yang tidak terlatih dan aliran darah keseluruh tubuh meningkat.
214
Dampak Senam Aerobik Low Impact Terhadap Kebugaran Kardiorespirasi Pada Anak Usia 10-12 Tahun Berolahraga sangat berkaitan erat dengan kapasitas kerja sistem sirkulasi, sistem saraf dan sistem otot tubuh, maka yang mempunyai peran penting untuk meningkatkan kondisi fisik adalah sistem sirkulasi, respirasi dan otot tubuh (Purwanto, 2011). Program untuk meningkatkan kebugaran salah satunya senam aerobik. Senam aerobik untuk usia 10-12 tahun diberikan dengan intensitas ringan yaitu senam aerobik low impact. Dengan alasan dalam usia tersebut hanya bisa mengikuti gerakan-gerakan yang tidak terlalu cepat, maka gerakan tidak menggunakan banyak variasi dan iringan musik menggunakan irama pelan. Senam aerobik sendiri merupakan latihan yang menggunakan seluruh otot, dengan gerakan yang terus menerus, berirama dan berkelanjutan.
Pencapaian kebugaran perlu latihan secara bertahap, teratur dan memenuhi dosis latihan. Selain itu mempunyai manfaat ketika latihan senam aerobik low impact pertumbuhan dan perkembangannya semakin baik dan optimal serta mampu meningkatkan dan menjaga kesehatan tubuh. Sehingga fungsi organ seperti paru-paru, jantung dapat bekerja secara maksimal. Selain itu senam aerobik low impact dengan variasi gerakan serta iringan musik yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan pertumbuhan anak di usia 10-12 tahun yang bersifat ringan dan ceria. Pada masa pertumbuhan dan perkembangan tersebut dengan memberikan suatu aktivitas fisik akan meningkatkan kebugaran. Kebugaran kardiorespirasi sendiri kemampuan mengangkut oksigen ke otot-otot selama latihan dengan menghasilkan energi. Dengan melakukan senam aerobik low impact secara teratur, jantung akan menjadi lebih kuat otomatis akan mempertahankan kebugaran kardiorespirasi. Pada jantung sendiri adalah organ yang sangat vital terutama berfungsi sebagai pemompa darah ke seluruh tubuh sedangkan paru adalah organ yang berfungsi untuk menyediakan gas-gas yang diperlukan pada tubuh dengan mengembalikan gas sisa ke atmosfer yang tidak berguna bagi tubuh (Lismadiana, 2012). Ketika aktivitas fisik dengan senam aerobik low impact, jumlah oksigen yang masuk ke aliran darah di paru akan meningkat karena naiknya jumlah O2. Menurut
215
Laure dalam Giri (2013) terdapat faktor-faktor yang berperan dalam respon ventilasi terhadap olahraga, yaitu: a. Refleks yang berasal dari gerakan tubuh Reseptor sendi dan otot tereksitasi selama otot berkontraksi akan secara reflex merangsang pusat pernafasan dan akan dengan cepat meningkatkan ventilasi. Hal ini mempunyai peranan penting pada aktivitas pernafasan dengan peningkatan kebutuhan metabolism otot-otot yang aktif. b. Peningkatan suhu tubuh Energi yang diubah menjadi energi panas dan bukan menjadi energy mekanis selama ontraksi otot berlangsung. Suhu tubuh meningkat dan merangsang pada peningkatan ventilasi pada pernafasan. c. Pengeluaran hormon epinefrin Kadar hormon epinefrin meningkat selama melakukan olahraga, maka respon terhadap pembentukan potensial aksi disistem saraf simpatis yang menyertai peningkatan aktivitas fisik. d. Implus dari korteks serebrum Hal ini serupa dengan penyesuaian kardiovaskular yang dimulai oleh korteks motorik pada permulaan olahraga. Mototrik otak akan meningkatkan aktivitas ventilasi dan sirkulasi untuk menunjang aktivitas fisik yang segera dimulai Senam aerobik low impact merupakan aktivitas fisik yang pemakaian oksigen secara meningkat (Guyton dan Hall, 2008). Perubahan yang terjadi pada sistem respirasi ketika latihan teratur adalah meningkatnya ventilasi semenit sehingga akan mengalami peningkatan pada VO2 max, peningkatan efisiensi ventilator yang lebih tinggi sebagai alat yang menyebabkan sejumlah udara bebeas bergerak pada level tinggi, peningkatan berbagai macam volume dalam paru-paru karena olahraga yang teratur dan peningkatan fungsi pulmoner maka volume paru-paru menjadi lebih besar serta peningkatan kapasitas difusi karena volume paru lebih besar sehingga bidang permukaan kapiler alveolar menjadi lebih besar (Giri Wiarto, 2012).
216
Perubahan fungsi sistem tubuh dengan latihan senam aerobik low impact kebutuhan oksigen semakin besar maka diimbangi jantung dan sistem peredaran darah bekerja secara lebih. Latihan beban yang teratur secara otomatis otot jantung beradaptasi shingga kekuatan jantung dalam memompakan darah menjadi lebih meningkat maka suplai oksigen bagi organ lainnya tercukupi dan dapat bekerja sesuai fungsinya.
Kesimpulan Dengan melakukan kegiatan fisik atau olahraga dengan salah satu cabang senam, yaitu senam aerobik dengan intensitas yang ringan (low impact) dan dilakukan latihan yang teratur, baik dan benar seluruh organ dipicu untuk menjalankan fungsinya sehingga mampu beradaptasi terhadap setiap beban yang diberikan. Terutama pada kebugaran kardiorespirasi anak usia 10-12 tahun akan lebih aktif bergerak dan akan mengurangi resiko penyakit. Tubuh penting bagi anak usia 10-12 tahun diberikan aktivitas yang menunjang kesehatan dan untuk mengetahui perkembangan fisik yang terjadi pada anak.
Refleksi Fakultas Ilmu Kesehatan yang terdiri empat program studi yaitu ilmu keperawatan, ilmu gizi, pendidikan jasmani, kesehatan dan rekreasi (PJKR) serta teknologi pangan mempunyai peran penting dalam bidang ilmu kesehatan. Program studi PJKR adalah salah satu bidang dalam kesehatan tentunya mengulas tentang olahraga, yang minat masyarakat masih mengikuti trend, karena sebagian masyarakat termasuk anak masih memiliki kebugaran yang cukup. Dilihat dari aktivitas sehari-sehari, anak-anak pada usia 10-12 tahun terbawa arus jaman teknologi tinggi dengan adanya handphone mereka bisa bermain game dan sosial media. Keseharian anak-anak hanyalah duduk dan bermain handphone tidak ada aktivitas bergerak. Secara aktif, program studi PJKR dapat memberikan pengetahuan bagi para siswa di tingkat dasar melalui sekolah-sekolah terkhusunya di kelas empat sampai enam sekolah dasar atau usia 10-12 tahun dengan melakukan promosi kesehatan untuk 217
meningkatkan kebugaran kardiorespirasi bagi anak-anak. Bukan hanya bermain gadget saja tetapi perlu memperhatikan tumbuh kembang dengan memperhatikan peningkatan kebugaran anak. Peran orangtua dan guru penjasorkes perlu mendapatkan edukasi yang tepat untuk mengarahkan anak atau peserta didiknya ke cabang olahraga yang dapat meningkatkan kebugaran karidorespirasi dengan cara yang teratur, ringan, murah, mudah dan menyenangkan. Pemahaman kebugaran kardiorespirasi perlu dibagikan kepada seluruh orang tua, guru penjasorkes dan Fakultas Ilmu Kesehatan, terkhusunya program studi PJKR untuk dapat turut ambil bagian dalam ranah pengabdian bagi masyarakat untuk memperbaiki dan meningkatkan kebugaran kardiorespirasi pada anak.
Melihat senam diberbagai sekolah dasar masih menggunakan senam baku seperti senam SKJ, senam SRIBU dan lain-lain tidak mendapatkan dampak bagi tubuh si anak. Peserta didik terlihat bosan dan sulit untuk mengikuti gerakan-gerakan pada senam baku. Hal tersebut mendapat perhatian dan kajian dari fakultas. Kontribusi yang dapat diberikan berupa edukasi dan pelatihan gerakan dasar senam aerobik bagi guru penjasorkes, agar mereka dapat memiliki ide untuk berkreativitas memilih gerakan dan musik yang lebih mudah untuk meningkatkan kebugaran kardiorespirasi pada anak. Kemampuan tubuh untuk melakukan sesuatu pekerjaan fisik tanpa menimbulkan kelelahan merupakan kebugaran jasmani. Kebugaran kardiorespirasi merupakan modal pokok bagi kebuagran jasmani sehingga dapat diketahu tingkat kebugaran kardiorespirasi juga akan menunjukkan pula tingkat kebugaran jasmaninya. Dalam usia pertumbuhan dan perkembangan anak merupakan hal penting bagi kehidupan dimasa mendatang. Gaya hidup yang sehat dapat menunjang aktivitas anak, dengan cara yang praktis mudah dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan masa kini untuk menunjang semangat pada anak. biasanya pada faktor aktivitas fisik dilakukan dengan terprogram merupakan faktor dominan yang mempengaruhi kebugaran maupun kesehatan. kebugaran kardioresprasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor fisiologis yang mempengaruhi daya tahan kardiorespirasi adalah keturunan, usia, jenis kelamin, dan aktivitas fisik (Fredericus, 2013).
218
Daftar Pustaka Alex, Subiono, Sutardji. (2012). Pengaruh Latihan Senam Aerobik Low Impact dan High Impact terhadap Kesegaran Jasmani. Journal of Sport Sciences and Fitnes. 41-45 Fajar Dwi Prasetyo. (2013). Tingkat Kesegaran Jasmani Siswa Usia 10-12 Tahun Sekolah Dasar Negeri Purbasari Kecamatan Karangjambu Purbalingga. Skripsi. UNY Fredericus Suharjana. (2013). Kebugaran Kardiorespirasi dan Indek Masa Tubuh Mahasiswa KKN-PPL PGSD Penjas FIK UNY Kampus Wates Tahun 2012. Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia. Vol 9, Nomor 2, November 2013. 117-124 Gayuh. (2012). Hubungan antara Kebugaran Kardiorespirasi dengan Tekanan Darah pada
Usia 30-39 Tahun. UMS. Giri Wiarto. (2013). Fisiologi dan Olahraga. Yogyakarta. Graha Ilmu. Guyton dan Hall. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi. Jakarta. EGC
Irianto. (2004). Panduan Latihan Kebugaran yang Efektif dan Aman. Yogyakarta. Luk-man Offset. Joko (November 2013). Senam aerobik. Disadur dari: http://jokocrossthelimit.blogspot. co.id/2013/11/makalah-senam-aerobik.html KORPRI Seruyan. (2016). Senam Kesegaran Jasmani. Seruyan (http://www.korpri.seruyankab.go.id/index.php/pembinaan/skj) Lasantha (2010). Sehat Bugar Selalu. Disadur dari: http://sehat-bugar-selalu.blogspot. co.id/2010/12/aerobik-untuk-anak-anak.html Lismadiana. (2012). Peranan Olahraga terhadap Kapasitas Kardiorespirasi. JORPRES. Vol 8, No 2. Margiani Wismayanti. (2013). Pengaruh Hasil Latihan Senam Kebugaran Jasmani 2012 dan Senam Aerobik terhadap Peningkatan Kebugaran Jasmani Siswa Putri Kelas VII SMP N 2 Purbalingga Tahun 2013/2014. UNNES. Semarang. Purwanto. (2011). Dampak Senam Aerobik terhadap Daya Tahan Tubuh dan Penyakit. Jurnal Media Ilmu Keolahragaan Indonesia, Vol 1 Edisi 1, Juli 2011. 1:1-9 Rochayah. (2012). Pengaruh Senam Aerobik Low Impact terhadap Volume Oksigen Maksi-mal pada Wanitas Usia 30-39Tahun. UMS Siti, Nyahmini. (2016). Senam Aerobik Low Impact Intensitas Sedang terhadap Perubahan
Tekanan Darah pada Lansia. PROFESI, Vol 13, nomor 2, Maret 2016. 50-54
219
220
BAGIAN 5 INOVASI PANGAN LOKAL INDONESIA
Produk Pangan Tradisional Indonesia di Kancah Kompetisi Pangan Global VENNY SANTOSO
Latar Belakang Pangan tradisional di Indonesia sangatlah banyak dan bervariasi ragamnya, baik dalam bentuk masakan dan camilan. Pangan tradisional Indonesia terdiri dari berbagai pangan khas tiap daerah yang diolah dari berbagai bahan pangan yang tersedia lokal dengan teknik pengolahan sesuai kultur budaya masing-masing. Teknik dan metode pengolahan yang dilakukan juga bergantung pada kondisi alam dan ketersediaan bahan penunjang serta teknologi. Kearifan lokal yang diturunkan secara turun temurun juga mengambil peranan besar dalam pengolahan pangan tradisional. Misalnya saja, pembuatan daging se’i di NTT ditunjang oleh keberadaan pohon kusambi (Schleichera oleasa) di lingkungan setempat, yang daunnya digunakan sebagai sumber asap dalam pengolahan daging sehingga menghasilkan warna merah khas; babi bakar batu, makanan khas masyarakat Papua. Pengolahan makanan yang unik ini didasari oleh keterbatasan peralatan memasak berteknologi tinggi pada daerah tersebut; pengolahan tempoyak (asam durian) dari buah durian dengan penambahan garam yang mendukung aktivitas bakteri asam laktat hanya dilakukan oleh bangsa Melayu. Di Indonesia, tempoyak banyak dibuat masyarakat Sumatra, dan merupakan salah satu cara preservasi durian yang berlimpah pada musimnya. Pada umumnya, pembuatan pangan tradisional komersil di Indonesia masih dilakukan oleh usaha kecil dan menengah (UKM) setempat. Biasanya, produk pangan tradisional hanya dapat ditemui di sekitar daerah asalnya dan mempunyai wilayah distribusi yang sangat terbatas. Untuk Indonesia, hanya ada beberapa pangan tradisional yang dikenal secara global dan dapat dijumpai secara nasional dan bahkan internasional, 223
di antaranya yaitu tempe (Keuth dan Bisping, 1994; Hachmeister dan Fung, 1993; Yulandi dkk., 2016) dan tape (Djien, 1972; Cronk dkk., 1977). Hanya ditemui publikasi sporadik untuk pangan tradisional Indonesia lainnya, seperti terasi, dadih, dll. Penulis beropini bahwa sifat ‘endemik’ pangan tradisional Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor antaranya yaitu: •
Tidak diberlakukannya standar baku mutu dalam produksi pangan, sehingga tidak memenuhi standar pemerintah/internasional, termasuk keamanan dan kualitas pangan.
•
Tidak dipenuhinya peraturan pemerintah/internasional mengenai komposisi bahan pangan.
•
Tidak lengkapnya informasi mengenai bahan dan nilai gizi pangan yang disampaikan kepada konsumen.
•
Tidak lengkapnya persyaratan administratif untuk distribusi yang luas.
•
Kecilnya skala produksi sehingga tidak memenuhi skala ekonomi.
•
Terbatasnya masa simpan produk.
•
Terbatasnya pengetahuan masyarakat luas mengenai cara produksi pangan tersebut.
•
Terbatasnya sumber daya yang diperlukan untuk produksi.
•
Kurangnya promosi/branding produk. Pembahasan pada artikel ini akan berfokus pada dua aspek yang dihadapi oleh
mayoritas industri pangan kecil dan menengah Indonesia, yaitu: 1). Aspek keamanan dan kualitas pangan, dan 2). Aspek kemasan.
1. Keamanan dan Kualitas Pangan Banyaknya variasi bahan pangan dan proses pengolahan pangan dapat menyebabkan bahaya kesehatan yang signifikan apabila tidak diatur dan dikendalikan.
224
1.1 Kondisi keamanan dan kualitas pangan di industri pangan Indonesia Kondisi kemanan dan kualitas pangan sangatlah beragam di Indonesia. Mayoritas industri pangan besar sudah menerapkan standar keamanan dan kualitas pangan yang ketat menurut standar internasional. Pemenuhan standar manajemen keamanan pangan dibuktikan dengan berbagai sertifikasi industri, seperti SNI (Standar
Nasional Indonesia) dan ISO (International Organization for Standarization). Sebaliknya, sebagian besar UKM belum menerapkan standar keamanan dan penjagaan kualitas yang cukup. Survey ke beberapa UKM di Salatiga dan sekitarnya memberikan hasil sebagai berikut: a. Perizinan produksi lebih bersifat administrative, seperti P-IRT. Perizinan dan sertifikasi seperti Standar Nasional Indonesia (SNI) maupun dari lembaga seperti Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan Sucofindo masihlah jarang ditemui. b. Pada umumnya, pemberian informasi produk masih sangatlah minim, baik dalam segi pencantuman bahan yang digunakan, nilai nutrisi, maupun jangka waktu penyimpanan. c. Kurangnya kesadaran dan kepedulian pekerja dan/atau pemilik industri terhadap keamanan pangan dan akibatnya bagi konsumen. d. Kurangnya pengetahuan mengenai teori dan praktek untuk pemenuhan keamanan dan kualitas pangan. e. Minimnya infrastruktur, baik dari sisi bangunan fisik, sistem dan peralatan untuk penerapan keamanan dan kualitas pangan. f.
Keterbatasan finansial untuk penerapan keamanan dan kualitas pangan.
g. Skala industri yang tidak memungkinkan penerapan standarisasi keamanan dan kualitas pangan. 1.2 Keamanan dan kualitas pangan. Keamanan dan kualitas pangan merupakan perhatian khalayak umum, karena pangan adalah kebutuhan primer setiap manusia. Kurangnya penerapan standar baku mutu 225
pangan dapat menimbulkan bahaya pangan. Bahaya pangan adalah kontaminasi pangan yang tidak dapat diterima dan berpotensi menyebabkan pangan tersebut tidak aman dikonsumsi (Massachusetts Department of Public Health, 2003). Jenisjenis bahaya pangan dibedakan sebagai berikut: a. Bahaya biologis, meliputi bakteri, toksin bakteri, virus, dan organism parasit yang dapat tetap hidup, tumbuh, dan mengkontaminasi bahan mentah atau produk pangan. Jenis bahaya ini perlu mendapatkan perhatian khusus pada produk jadi/siap konsumsi, dimana konsumen tidak melakukan pemrosesan lebih lanjut yang dapat meminimkan bahaya biologis. b. Bahaya kimia, meliputi bahan kimia yang digunakan dalam produksi bahan mentah atau selama proses produksi produk pangan (seperti insektisida, fungisida, pupuk pertanian, bahan pembersih, bahan tambahan pangan yang disalahgunakan, dll.) c. Bahaya fisik, meliputi bahan yang terikut secara tidak sengaja maupun disengaja dalam bahan mentah maupun proses produksi (seperti batu, serpihan kayu, potongan logam, kaca, dll.) 1.3 Penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point). Badan Food and Drug Administration (FDA) dalam Food Code yang diterbitkan pada tahun 1999 menetapkan aplikasi HACCP sebagai persyaratan untuk memperoleh perizinan industri pangan (Roberts, 2001). Aplikasi HACCP didasarkan pada 7 prinsip penting sebagai berikut: Prinsip 1: Melakukan analisis bahaya. Pada tahap ini, dilakukan evaluasi dan identifikasi bahaya, baik bahaya biologi, bahaya kimia, dan bahaya fisik. Evaluasi dan identifikasi ini didasarkan pada berbagai sumber ilmiah, seperti artikel ilmiah, pendapat ahli, data laboratorium, dsb.
Prinsip 2: Menentukan CCPs (Critical Control Points). CCPs ditetapkan sebagai titik dalam sistem produksi pangan dimana hilangnya kontrol berpotensi menyebabkan timbulnya bahaya pangan. Tahap ini merupakan 226
tulang punggung HACCP, sehingga harus dilakukan secara seksama pada keseluruhan tahan proses. Prinsip 3: Menentukan batas kritis. Penentuan CCPs diikuti oleh penetapan batas kritis untuk tiap CCPs. Terlewatinya batas kritis memperbesar keumungkinan terjadinya bahaya pangan. Penentuan batas kritis ini harus dilakukan secara berhati-hati, sehingga batas kritis untuk tiap CCP bersifat realistis dan dapat diukur. Penetapan batas kritis haruslah juga memperhatikan peraturan yang berlaku, baik peraturan pemerintah setempat, maupun standar internasional. Prinsip 4: Menetapkan prosedur monitoring. Prosedur monitoring mengatur pengukuran CCP dan batas kritisnya. Pengukuran ini dilakukan secara berkala dan dapat dilakukan dengan berbagai metode, seperti observasi visual, pengukuran kimiawi, mikrobiologis, dll. Prinsip 5: Menetapkan tindakan korektif. Tindakan korektif mengatur prosedur yang harus dilakukan jika batas kritis terlampaui, termasuk pembagian tanggung jawab dan tugas. Tindakan korektif haruslah bersifat segera dan mengatasi masalah yang terjadi sehubungan dengan terlampauinya batas kritis CCP. Tindakan yang dilakukan dapat bervariasi tergantung pada tahapan proses, seperti penyesuaian temperatur dan waktu, pemberhentian lini produksi, penolakan material, penahanan distribusi produk, dll. Prinsip 6: Menetapkan prosedur verifikasi. Sistem HACCP haruslah bersifat dinamis dan fleksibel, terbuka terhadap perubahan. Verifikasi efektivitas sistem dilakukan secara berkala. Jika terdapat kekurangan atau perubahan kondisi yang membutuhkan penyesuaian, maka sistem HACCP haruslah dimodifikasi sesuai kebutuhan. Prinsip 7: Menetapkan prosedur dokumentasi dan pendataan. Pencatatan dan penyimpanan data yang baik merupakan bagian penting dalam sistem HACCP. Data digunakan untuk proses verifikasi keefektifan sistem HACCP dan pencatatan informasi produk yang dihasilkan. Oleh karenanya, pencatatan dan 227
penyimpanan data harus dilakukan secara detil, untuk memastikan semua informasi tersimpan dengan baik. Dokumen HACCP haruslah memuat informasi sebagai berikut: judul dan tanggal pencatatan, identifikasi produk, bahan dan peralatan yang digunakan, tahapan proses yang dilakukan, CCPs dan batas kritisnya, tindakan korektif untuk mengatasi terlampauinya batas kritis CCPs, penanggung jawab tindakan korektif, data monitoring, dan identitas petugas. Penerapan HACCP dalam industri pangan tidaklah berdiri sendiri, namun juga harus ditunjang dengan sistem Good Retail Practices (GRPs) dan Standard Operating Procedures (SOPs). GRPs bertanggung jawab atas higienitas umum dan pencegahan kontaminasi akibat kondisi non-higienis di lingkungan produksi dan perawatan fasilitas produksi. SOPs digunakan untuk mendukung keberhasilan GRPs, dengan menetapkan spesifikasi prosedur untuk tiap tahapan proses yang terjadi dalam industri pangan.
2. Kemasan Pangan 2.1 Pengantar Kemasan merupakan aspek yang sangat penting dalam pangan. Kemasan mempunyai banyak fungsi, yaitu (FAO, 2014): 1. Sebagai wadah pangan itu sendiri. 2. Untuk melindungi pangan tersebut dari kerusakan, baik yang disebabkan faktor eksternal dan internal. 3. Kemudahan dalam penanganan, penyimpanan, dan transportasi. 4. Sarana komunikasi, meliputi branding melalui pencantuman merk dan logo, media penyampaian informasi ingredien, nilai gizi, masa kadaluarsa, kondisi penyimpanan, dan saran proses pengolahan (jika diperlukan) Industri kemasan pangan merupakan industri yang luar biasa besar. Berdasarkan survey global yang dilakukan tahun 2009, kebutuhan kemasan pangan mencapai 50% dari seluruh kebutuhan bahan kemasan secara menyeluruh
228
(FAO, 2014). Kemasan dapat dibuat dari bahan yang fleksible sampai ke bahan yang keras dan kaku. Berdasarkan tingkat fleksibilitasnya, secara berturut-turut materi bahan kemasan dapat berupa plastik, kertas, logam, gelas/kaca, dan kayu. Terdapat berbagai kombinasi antar bahan pengemas untuk mencapai hasil maksimal. Selain berkaitan dengan bahan pengemas, terdapat berbagai aspek tambahan dan teknologi yang dipakai juga sangat menentukan hasil akhir pengemasan. Berbagai teknologi pengemasan yang diadaptasi oleh industri pangan, seperti vakum, modified atmosphere packaging, dan kemasan aktif. Pertimbangan pemilihan bahan dan teknologi kemasan untuk suatu produk bergantung pada berbagai faktor, yaitu: 1. Sisi ekonomis Harga kemasan ditentukan oleh berbagai faktor, meliputi: •
Ketersediaan bahan baku kemasan secara lokal
•
Ketersediaan industri pemroduksi kemasan
•
Ketersediaan dan kesiapan adaptasi teknologi produksi kemasan
2. Kemampuan bahan melindungi produk Pada umumnya, harga kemasan lebih rendah daripada produk. Namun, perlu diperhatikan kemampuan bahan untuk melindungi produk. Jika terjadi kerusakan produk akibat kemasan yang kurang memadai, maka kerugian yang diderita akan lebih besar. Selain itu, pertimbangan teknologi yang digunakan dapat menjadi faktor penentu kemampuan kemasan melindungi produk. 3. Jumlah dan variasi kemasan Bahan kemasan untuk suatu produk dapat bersifat 1 lapis (kemasan langsung, berkontak dengan produk) atau berlapis-lapis (kemasan tidak langsung). Misalnya saja, bahan pengemas untuk produk kue dapat berupa plastik sebagai pengemas langsung yang berkontak dengan produk, lalu 229
kertas dalam bentuk dus sebagai bahan pengemas lapis kedua. Setelahnya, kardus berisi kue tersebut dapat dimasukkan ke dalam keranjang dari polimer untuk sarana penyimpanan dan transportasi 4. Fleksibilitas desain Bahan kemasan yang sama dapat didesain menjadi berbagai bentuk dan ukuran. 5. Daya tarik terhadap konsumen Kemasan merupakan tampilan pertama bagi konsumen. Seringkali, kemasan tidak bersifat transparan dan lebih dari 1 lapis/jenis, sehingga konsumen tidak langsung melihat pangan yang ditawarkan. Oleh karenanya, kemasan perlu didesain sebaik mungkin agar dapat menarik perhatian konsumen. Desain dapat berupa bentuk kemasan, pilihan bahan pengemas, kreativitas penyajian informasi pada kemasan dengan bentuk tulisan, gambar, dan warna.
2.2 Masalah di Indonesia Melalui survey ke industri UKM, industri pangan berskala besar, maupun usaha retail yang melakukan bisnis pangan tradisional, maka jelas bahwa kondisi kemasan pangan di Indonesia masih sangat perlu ditingkatkan. Bahan kemasan pangan di Indonesia yang biasa ditemui yaitu: • Daun pisang Daun pisang mudah didapat, harganya murah, dan ramah lingkungan. Namun demikian, daun pisang tidak tahan lama, dan biasanya tidak ada perlakuan khusus untuk menjamin sanitasi dan keamanan daun pisang tersebut. Mengingat bahwa daun pisang biasanya digunakan sebagai pengemas yang berkontak langsung dengan produk pangan, maka sanitasi dan keamanan daun pisang perlu mendapat perhatian khusus. • Plastik. Terdapat berbagai jenis plastik yang biasanya digunakan sebagai bahan
230
pembungkus pangan, yaitu PP (polipropilen), PE (polietilen), OPP (Oriented polystyrene), HDPE (High Density Polyethylene), LDPE (Low Density Polyethylene), PET (Poylethylene Terephthalate), PS (Polystyrene), maupun kombinasi dari jenis-jenis di atas. Penggunaan plastik sebagai bahan pengemas pangan memberikan resiko tersendiri, di antaranya: –– Status food grade dari material yang digunakan. –– Bahaya kontaminasi. Penggunaan material daur ulang, penambahan bahan tertentu selama produksi plastik pengemas, maupun proses tertentu pada pangan dapat menyebabkan kontaminasi materi pengemas ke dalam pangan. Migrasi bahan pengemas ke dalam pangan, seperti Bisphenol A (BPA), telah terbukti menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan konsumen (Careghini dkk., 2015; Cooper dkk., 2011). • Kertas. Kertas yang terdapat dalam kemasan pangan dapat berupa kemasan sekunder yang tidak berkontak langsung (dalam bentuk kardus, label, dll), maupun yang berkontak langsung (sebagai pengemas primer, label yang diletakkan di dalam pengemas primer, dll.). Kekhawatiran mendasar mengenai pengemas berbahan kertas adalah sifatnya yang mudah hancur dan kemungkinan kontaminasi ke dalam pangan, baik berupa serpihan kertas maupun migrasi bahan yang terdapat dalam kertas (Kotthoff dkk., 2015). Selain itu, terdapat kemungkinan tumbuhnya mikroorganisme pada pengemas kertas, dipicu oleh kondisi lingkungan tertentu, seperti kelembapan dan temperatur. Penggunaan kertas sebagai pengemas primer mempunyai beberapa poin kritikal, yaitu: –– Penggunaan bahan daur ulang yang tidak dapat dijamin prosesnya. –– Adanya resiko kontaminasi oleh staple yang digunakan. –– Adanya resiko kebocoran, terutama pada pangan yang mengandung minyak.
–– Tidak dapat diketahui apakah kertas dan lapisan plastik yang digunakan mempunyai standar food grade atau tidak.
231
• Kombinasi bahan yang telah disebutkan. Selain pilihan bahan pengemas yang pada umumnya kurang memadai, biasanya terdapat masalah dan keterbatasan lainnya, meliputi: • Tanpa desain atau sangat terbatas • Warna yang monoton, kurang bervariasi dan kurang menarik. •
Sering tidak ada merk, keterangan nilai gizi, bahan-bahan yang digunakan, dan sertifikasi. Hal-hal tersebut di atas menyebabkan pangan yang ditawarkan menjadi kurang menarik, kurang informatif, tidak memenuhi standar nasional dan internasional, sehingga berakibat pada distribusi yang terbatas.
2.3 Solusi Untuk mengatasi masalah kemasan, FAO (2014) memberikan contoh-contoh solusi yang sekiranya cocok untuk negara berkembang. Adaptasi solusi kemasan di Indonesia dapat meningkatkan daya jual dan daya saing produk lokal Indonesia. Sifat solusi yang diberikan beserta contohnya yaitu: a. Hemat Pemilihan bahan yang relatif lebih mahal namun lebih kuat, memberikan perlindungan tambahan dan dapat digunakan berulangkali merupakan opsi yang lebih hemat dalam jangka waktu lama. Contoh bahan yang dapat digunakan yaitu: –– keranjang plastik tebal (dibandingkan keranjang anyaman) –– Keranjang plastik memberikan perlindungan tambahan dan dapat digunakan berulang kali dibandingkan keranjang anyaman. –– keranjang logam yang dapat dilipat –– Keranjang ini memberikan perlindungan tambahan dan hemat tempat
232
sewaktu ditransportasikan dalam keadaan kosong. Namun demikian, mengingat harga keranjang yang cukup mahal, keranjang logam ini harus dipakai berulang kali supaya bernilai ekonomis. –– kardus berdesain yang dapat langsung dipajang. –– Kardus berdesain mengurangi kontak langsung dengan produk yang dapat mengakibatkan kerusakan. b. Inovatif Bahan pengemas yang digunakan merupakan hasil inovasi yang belum pernah ada sebelumnya, misalnya FruitPlast yang dikembangkan oleh Malaysia dari limbah buah tropis menjadi plastik ramah lingkungan yang mempunyai biaya produksi 10% lebih rendah dibandingkan kantung plastic komersial yang tidak ramah lingkungan. Contoh lainnya yaitu pengemas yang dapat dimakan dari Turki. Bahan pengemas ini dikembangkan dari bahan utama putih telur dan protein jagung (FAO, 2014). c. Berfokus pada product branding and positioning Pengemas yang berfokus pada branding and positioning mempunyai fleksibilitas desain yang memberikan nilai lebih pada produk. Strategi ini diadaptasi oleh eksportir minyak zaitun Mohamed el-Kholy dari Mesir yang menggunakan kotak kayu berlapis kertas papirus dengan desain kebudayaan Mesir tua. Contoh lain yaitu kemasan kentang lokal Peru yang menekankan keunggulan rasa, keunikan bentuk dan warna produk, serta sifat alami produk. Penamaan produk lokal ini berfokus pada penciptaan kesan positif dengan merk yang resmi.
d. Ramah lingkungan Bahan pengemas merupakan bagian krusial produk yang pada umumnya tidak dikonsumsi dan menghasilkan limbah. Oleh karenanya, penggunaan bahan pengemas yang dapat didaur ulang, seperti PET atau polyetilen tereptalat, dapat lebih ditekankan. Penggunaan bahan pengemas yang dapat didaur ulang mereduksi limbah dan membantu menjaga kelestarian lingkungan hidup.
233
Future Plan Uraian di atas memberi gambaran mengenai hal-hal dalam bidang pangan yang perlu menjadi perhatian Program Studi Teknologi Pangan FIK. Untuk menyikapi isu di atas, memperkuat penciri dan branding Program Studi, serta melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, maka Program Studi Teknologi Pangan mengembangkan beberapa strategi yaitu sebagai berikut: a. Penjalinan kerjasama dengan industri pangan, baik industri berskala nasional/ internasional dan UKM setempat. Pada sisi industri berskala nasional/internasional, selama ini Program Studi menjalin hubungan yang akrab dengan PT. Indesso Aroma ( Jakarta), PT. Garuda Food (Pati), PT. Pura Barutama (Pati), dan PT. Djarum Kudus (Kudus). Mengingat bahwa saat ini Program Studi hanya mempunyai MOU (Memorandum of Understanding) dengan PT. Pura Barutama, maka penjalinan kerjasama secara formal kelembagaan masih perlu digalakkan. Pada sisi industri kecil dan menengah (UKM), saat ini Program Studi menjalin hubungan dengan industri pangan lokal setempat, yaitu Industri Abon Patma (Ambarawa), Inti Point Bogasari (Salatiga), Rumah Susu Farm (Getasan) dan berbagai industri berbasis kedelai setempat. Melalui penjalinan kerjasama ini, diharapkan Program Studi Teknologi Pangan mempunyai hubungan saling menguntungkan dengan industri pangan Indonesia. Program Studi Teknologi Pangan juga berharap dapat memberikan bantuan dan saran, terutama untuk UKM, mengenai standar baku mutu pangan yang baik. Melalui kerjasama dengan industri dan instansi pemerintahan terkait, Program Studi juga berharap dapat berperan serta dalam pemecahan masalah yang berkaitan dengan kemasan pangan tradisional Indonesia agar lebih memenuhi standar keamanan pangan dan juga menarik bagi konsumen.
234
b. Pendampingan dan pembimbingan UKM mengenai standar baku mutu Masalah utama yang dihadapi oleh UKM dalam pengembangan industrinya adalah kurangnya kesadaran dan pengetahuan mengenai standar baku mutu industri pangan. Hal ini disebabkan oleh latar belakang pencetus UKM yang kebanyakan bukan berasal dari bidang pangan, tidak tersedianya informasi yang cukup mengenai sistem dan peraturan yang berlaku, kurangnya pengetahuan mengenai manfaat dari penerapan standar baku mutu, dan limitasi dana bagi implementasi standar baku mutu. Oleh karena itu, Program Studi Teknologi Pangan FIK berusaha menjadi penghubung antara bidang akademik dan penerapan nyata di lapangan. Aksi nyata Program Studi diwujudkan melalui kegiatan Pengabdian Masyarakat, yang dapat dilakukan secara incidental atau berkesinambungan.
Saat ini, melalui kerjasama dan koordinasi dengan PUM (Netherlands Senior Experts), Program Studi menyediakan pendampingan dan pembimbingan kepada industri Abon Patma, Ambarawa. Strategi yang dilakukan yaitu: Survey lapangan Survey lapangan telah dilakukan pada akhir Juni 2016 lalu. Pada survey ini, staf akademik Program Studi dan mahasiswa bersama-sama melakukan evaluasi terhadap kondisi fisik dan proses yang berlangsung. Pembuatan dan sosialisasi HACCP Berdasarkan hasil evaluasi awal, maka Program Studi menarik kesimpulan bahwa terdapat kelemahan yang mencolok, yaitu terbatasnya kesadaran dan implementasi standar baku mutu industri. Program Studi menilai bahwa terdapat kebutuhan besar akan adanya dokumen HACCP sebagai panduan proses produksi. Penyusunan dokumen telah selesai dilakukan Agustus 2016 lalu dan sosialisasi dilakukan Oktober 2016. Implementasi HACCP memerlukan investasi waktu dan finansial, serta komitmen industri, sehingga diperlukan kesadaran yang tinggi dan menyeluruh akan manfaat yang diperoleh. Sejalan dengan pendampingan industri, penjalinan kerjasama secara formal kelembagaan sedang dilakukan. 235
Diversifikasi produk Selanjutnya, pendampingan akan dilakukan untuk membantu penciptaan diversifikasi produk berdasarkan kondisi lapangan. Arah pengembangan yang dilakukan yaitu usaha pemanfaatan limbah yang dihasilkan oleh proses produksi menjadi produk yang bernilai tambah. c. Penciptaan produk baru lewat kerjasama dan riset Strategi ini dikembangkan dalam rangka mengembangkan ciri khas program studi sebagai lembaga pendidikan teknologi pangan yang mengangkat kearifan lokal Indonesia. Sejalan dengan penciri tersebut, maka produk yang dihasilkan mempunyai kriteria sebagai berikut: –– Berbasis pangan lokal (pangan tradisional berbahan baku lokal) –– Inovatif, mempunyai nilai gizi baik, aman dan enak –– Berpenampilan menarik, dibuat dengan standar baku mutu tinggi, berkemasan aman dan menarik Produk baru ini direncanakan dihasilkan melalui kerjasama antara Program Studi dengan industri pangan, yaitu PT. Indesso Aroma, Jakarta. Komunikasi informal te-lah
mulai
dilakukan
sepanjang
tahun
2016
dan
diharapkan
dapat
diimplementasikan secara nyata tahun 2017 mendatang. d. Pelatihan dan pengarahan mahasiswa melalui kerjasama industri dan program studi. Strategi ini dilaksanakan melalui perkuliahan dan program praktek kerja lapangan yang termasuk dalam kurikulum program studi. Melalui program ini, Program Studi berharap agar lulusan yang dicetak merupakan creative minority yang mempunyai sikap professional, berwawasan global, dan menjunjung kearifan lokal. Selain itu, program ini diharapkan dapat memberikan gambaran nyata mengenai aktivitas industri pangan dan menjadi bekal lulusan menyongsong masa depan sesuai jalur pilihannya masing-masing. 236
Sejauh ini, industri yang diharapkan dapat menjadi partner Program Studi Teknologi
Pangan FIK yaitu: –– PT. Garuda Food Puta Putri, Pati. –– PT. Indesso Aroma, Jakarta. –– Industri Abon Patma, Ambarawa –– PT. Kievit, Salatiga –– PT. Keong Nusantara Abadi (Wong Coco), Lampung –– PT. Ultra Jaya, Bandung Demikian pula, usaha-usaha untuk memperkaya wawasan dan memperdalam pengetahuan segenap sivitas akademika Program Studi terus dilakukan, dengan mengundang para ahli bidang pangan dari berbagai latar belakang, termasuk dari industri pangan untuk memberikan kuliah maupun seminar ilmiah. Strategi-strategi yang dipaparkan di atas diharapkan dapat menghantarkan Program Studi Teknologi Pangan FIK dalam pencapaian visinya untuk menjadi salah satu Program Studi Teknologi Pangan unggulan di Indonesia tahun 2025. Jayalah Teknologi Pangan FIK!
Daftar Pustaka Cooper, J.E., Kendig, E.L., dan Belcher, S.M. 2011. Assessment of bisphenol A released from reusable plastic, aluminium and stainless steel water bottles. Chemosphere. 85(6): 943-947. Cronk, T.C., Steinkraus, K.H., Hacker, L.R., and Mattick, L.R. 1977. Appl. Environ. Microbiol. 33(5): 1067-1073. Djien, K.S. 1972. Tape fermentation. Appl. Microbiol.23(5): 976-978. FAO. 2014. Appropriate food packaging solutions for developing countries. Rome. Keuth, S, and Bisping, B. 1994. Vitamin B12 production by Citrobacter freundii or Klebsiella pneumonia during tempeh fermentation and proof of enterotoxin absence by PCR. Appl. Env. Microbiol. 60(5): 1495-1499.
237
Hachmeister, K.A. and Fung, D.Y. 1993. Tempeh: a mold-modified indigenous fermented food made from soybeans. Crit. Rev. Microbiol. 19(3):137-188. Kotthoff, M., Müller, J., Jürling, H. Schlummer, M., and Fiedler, D. 2015. Perfluoroalkyl and polyfluoroalkyl substances in consumer products. Environ, Sci. Pollut. Res. 22:14546-14559. Massachusetts Department of Public Health. 2003. Validation and verification of HACCP plans in retail food establishments. MA. Roberts, C.A. 2001. The Food Safety. Oryx Press. Wesport, USA. ISBN 1-57356-305-6.
Yulandi, A., Sugiokto, F.G., Febrilina, and Suwanto, A. 2016. Genomic sequence of Klebsiella pneumonia IIEMP-3, a vitamin B12-producing strain from Indonesian tempeh. American Soc. Microbiol. 4(1):e01724-15.
238
Pengembangan Produk dari Buah-Buah Lokal Asli Indonesia Melalui Inovasi Pengolahan Pangan SARLINA PALIMBONG
Pendahuluan Potensi alam Indonesia anugerah Sang Pencipta sampai sekarang sebagian besar belum tereksplor. Belum tereksplor akibat kekurangtahuan akan kemanfaatannya. Secara alamiah dapat diyakini bahwa segala suatu ciptaan Yang Kuasa di dunia ini masing-masing mempunyai manfaat. Kekayaan jenis tumbuhan di hutan Indonesia sampai sekarang belum dapat diperkirakan atau dihitung secara pasti. Sampai sekarang paling tidak terdapat 30.000 jenis tumbuhan berbunga yang sebagian besar masih tumbuh liar di hutan-hutan di berbagai kawasan di Indonesia. Menurut Sastrapadja dan Rifai (1972) dalam Uji (2007), hingga saat ini baru sekitar 4.000 jenis saja yang diketahui telah dimanfaatkan langsung oleh penduduk dan hanya sekitar seperempatnya yang telah dibudidayakan. Dengan demikian masih banyak jenis-jenis tumbuhan yang belum diketahui pemanfaatannya dan jenis-jenis tersebut masih tumbuh liar diberbagai kawasan hutan di Indonesia. Kekayaan keanekaragaman jenis buah-buahan asli Indonesia juga cukup tinggi dan masih banyak yang belum dimanfaatkan secara baik. Hal ini terlihat dari banyaknya buah-buahan impor yang dijual di pasar semi tradisional ataupun di toko-toko swalayan di berbagai kota di seluruh Indonesia daripada buah lokal Indonesia sendiri. Anggapan masyarakat Indonesia dan dunia terhadap hasil hutan Indonesia yang bernilai ekonomis tinggi adalah hasil-hasil kayunya dan bukan buahnya atau manfaat lainnya. Kelompok jenis tumbuhan sebagai penghasil buah-buahan belum banyak dikenal. Hal ini disebabkan antara lain karena dari sudut pandang kehutanan, buah-buahan hutan
239
masih dianggap sebagai hasil sampingan (minor product) yang secara ekonomis dianggap kurang penting. Kekayaan keanekaragaman jenis dan plasma nutfah buah-buahan asli Indonesia yang cukup besar sangat penting terutama sebagai modal dasar untuk pemuliaan tanaman buah-buahan. Inventarisasi kekayaan jenis buah-buahan asli Indonesia perlu dilakukan agar dapat dimanfaatkan terutama dalam usaha meningkatkan kualitas dan kuantitas buahbuahan asli Indonesia juga dapat menambah dan meningkatkan usaha penganekaragaman jenis buah-buahan yang dapat dikonsumsi di Indonesia. Rifai (1986) dalam Uji (2007), menyatakan terdapat 329 jenis buah-buahan (terdiri dari 61 suku dan 148 marga) baik yang merupakan jenis asli Indonesia maupun introduksi ditemukan di Indonesia. Sebanyak tiga perempat dari jumlah yang telah disebutkan terdapat di kawasan Asia Tenggara itu telah ditemukan di Indonesia. Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan tercatat 266 jenis (termasuk 4 anak jenis dan 2 varietas) buah-buahan asli Indonesia sebagian besar masih tumbuh liar di hutan-hutan, dan sisanya telah dibudidayakan. Apabila dilihat berdasarkan lokasi maka jumlah jenis yang paling banyak ditemukan adalah di Sumatra (148 jenis) kemudian Kalimantan (144 jenis), selanjutnya adalah Jawa (96 jenis), Sulawesi (43 jenis), Maluku (30 jenis), Nusa Tenggara (21 jenis), Papua (16 jenis) dan 34 jenis lainnya tersebar diseluruh Indonesia.
Kawasan Papua tercatat paling sedikit apabila dibandingkan dengan keenam kawasan lainnya. Hal ini antara lain disebabkan data tentang kekayaan flora Papua khususnya data tentang flora buah-buahannya masih belum banyak yang diketahui dan dilaporkan. Uji (2004) juga telah melaporkan terdapat 226 jenis buah-buahan asli Kalimantan yang dapat dimakan baik secara langsung maupun setelah melalui proses pengolahan serta yang bermanfaat sebagai sumber plasma nutfah buah-buahan. Hal sama dikemukakan Siregar (2006), bahwa di Kalimantan terdapat 130 jenis pohon buah-buahan lokal (baik jenis asli maupun pendatang) yang telah dikonsumsi oleh masyarakat lokal. Daftar buah-buah lokal yang dituliskan di atas penggunaannya baru sebatas buah segar, dan belum dioptimalkan kegunaan lainnya misalnya untuk kepentingan pengobatan atau diubah dalam bentuk yang lain.
240
Batasan masalah Tulisan ini membatasi pada jenis buah-buahan langka asli Indonesia yang tumbuh di daerah setempat dan dapat dimakan (edible fruits) baik berupa buah segar atau hanya sampingan maupun olahannya yang lazim dikonsumsi masyarakat lokal. Buah-buah lokal yang cenderung mengalami kepunahan akibat kurang diketahui pemanfaatannya oleh masyarakat.
Tujuan dan manfaat •
Menyadarkan kalangan akademis agar lebih memperhatikan potensi tanaman lokal setempat terutama tanaman lokal yang kurang diperhatikan.
•
Menyadarkan masyarakat setempat agar tergerak mencari tahu pemanfaatan lebih dari tanaman lokal yang dimilikinya, sehingga dapat dijadikan ikon daerah tersebut.
Tinjauan Pustaka Difinisi buah-buahan “asli Indonesia” menurut Uji (2004), adalah jenis buah-buahan lokal yang tumbuh secara alami ataupun yang berasal dari kawasan Indonesia. Beberapa contoh buah lokal yakni Kesemek (Diospyros khaki L) sering dijuluki buah genit sebab tampilannya seperti orang yang mengenakan bedak (pupur) tebal. Buah yang mirip tomat ini mempunyai warna jingga kemerahan, hanya tumbuh di daerah Kledung, Boyolali, dan bila berada dipasaran bentuknya selalu diselimuti kapur tebal. Sama seperti buah langka pada umumnya, nilai ekonomisnya sangat rendah sebab kurang disukai konsumen. Selain karena tampilannya kurang menarik, rasa sepat yang dimilikinya sangat mengganggu indera pengecap bila mengenainya. Lain halnya di negara Jepang kesemek dihargai sama mahalnya dengan buah yang lain sebab di Jepang kesemek menjadi salah satu buah persembahan yang wajib disajikan pada dewa yang disembah. Senasib dengan buah lain seperti rukem, mundu, kecapi, dengen, dan lain sebagainya buah-buahan ini sedang menuju ambang kepunahan. Tidak hanya buah sangat masam yang kurang disukai, buah pahit pun relatif kurang disukai. Apabila dapat memberikan
241
peningkatan nilai ekonomis maka dimungkinkan keberadaannya akan mulai dilirik dan dipertimbangkan. Tidak hanya sebatas peningkatan nilai ekonomis karena perubahan bentuk dari yang kurang disukai menjadi produk yang disukai semua kalangan tetapi dimungkinkan mempunyai nilai tambah bagi kesehatan apabila dikonsumsi teratur. Buah-buahan lokal ini akan menuju kelangkaan apabila tidak ada yang tergerak membudidayakannya secara intensif dan akhirnya hanya akan sebatas cerita kepada anak-cucu selanjutnya. Tumbuhan disebut langka apabila terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit/langka. Menurut Yuliawati, dkk (2016), pengertian buah langka berdasarkan hasil survei lapangan adalah buah yang sulit ditemukan, buah bersifat tahunan, jarang dibudidayakan, tumbuh liar pada daerah hutan dan pesisi sungai, jarang dikenal masyarakat, tidak disukai karena rasanya tidak enak, dan berbuah musiman. Rasa buah-buahan ini umumnya masam, hambar, dan sepat, namun buahbuah ini memiliki banyak manfaat baik untuk kesehatan. Sebagai mahluk yang bersyukur, seyogyanya anugerah alam ini dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia tanpa mengesampingkan keseimbangan alam sekitar. Buah-buah lokal ini butuh dikembangkan lebih lagi untuk mengangkat potensinya. Peningkatan nilai ekonomis dapat dilakukan antara lain dengan cara inovasi produk. Inovasi dalam wujud fisik produk dan atau diberi pengemasan yang menarik. Menjadikan bentuk awal yang tidak menarik menjadi sesuatu yang menarik dan mempunyai nilai tambah bagi kesehatan. Contoh inovasi dalam bentuk misalkan buahbuahan yang tidak populer tersebut difermentasi sehingga mempunyai bentuk baru sehingga ketika dikonsumsi memberi manfaat khusus bagi kesehatan (misalkan vinegar apel bermanfaat bagi penderita diabetes mellitus (DM) tipe-2). Inovasi ini selain mengubah bentuk awal menjadi bentuk baru dengan manfaat lebih dapat meningkatkan nilai ekonomisnya sehingga menggugah masyarakat dan wirausahawan untuk membudidayakan tanaman ini secara intensif. Bentuk produk hasil fermentasi yang lazim dikenal adalah wine dan cuka buah (vinegar). Keduanya merupakan hasil fermentasi dari mikrobia tertentu. Wine merupakan hasil fermentasi bakteri Saccharomyces cerevisiae, dan vinegar merupakan hasil fermentasi dari bakteri S.cerevisiae secara anaerob dan yeast A. aceti secara aerob. Fermentasi dengan bakteri S. cerevisiae ini
242
Tabel 1. Beberapa jenis buah lokal yang hampir punah beserta kegunaannya
No Nama Tanaman 1.
Kegunaan
Potensi lainnya
Kokosan (Lansium domesticum var. kokossan) Rambai (Baccaurea. Motleyana Muell.Arg)
Buah masak sebagai Wine, vinegar, selai, campuran rujak, kayu untuk sirup kayu bakar 2. Buah masak sebagai Wine, vinegar, selai, campuran rujak, kayu untuk sirup kayu bakar)** 3. Rukem (Flacourtia Buah masak sebagai Wine, vinegar, rukam Zoll) campuran rujak, kayu untuk antioksidan, selai, kayu bakar)** sirup 4. Kepundung (B. Buah masak sebagai buah Wine, vinegar, antiracemosa) meja)** oksidan, selai, sirup, 5. Lobi-lobi (Flacourtia Buah masak sebagai Selai, sirup inermis) campuran rujak, kayu untuk kayu bakar)** 6. Kesemek (Diospyros Buah sebagai buah meja, Selai, manisan, khaki L.) kayu untuk kayu bakar dan wine, sirup perkakas rumah)* 7. Buni (Antidesma bunius) Buah masak sebagai buah Selai, sirup, meja dan campuran rujak, antioksidan buah muda dan masak untuk pengobatan tradisional, kayu untuk kayu bakar)** 8. Kepel (Stelechocarpus Buah dikonsumsi segar Antioksidan, Burahol) (dulunya hanya dikhususkan peluruh keringat, untuk konsumsi putri antiseptik keraton) )*** 9. Nam-nam (kopi anjing) Buah sebagai campuran Selai, antioksidan, Cynometra cauliflora rujak sirup 10. Jamblang (duwet) Buah sebagai buah meja) Selai, sirup, S.cummini (L) Skeels antioksidan Sumber: * Palimbong, 2006; ** Uji, 2004; ***Tisnadjaja, dkk. 2006, Pribadi, dkk. 2014
243
mengubah karbohidrat menjadi gula, gula diubah menjadi alkohol. Oleh A.aceti alkohol diubah menjadi asam laktat. Kandungan asam laktat inilah yang diyakini bermanfaat bagi penderita diabetes mellitus (DM) tipe-2. Inovasi lainnya dari buah lokal adalah pengolahannya menjadi bentuk-bentuk yang bernilai ekonomis praktis seperti dijadikan manisan/asinan buah, dodol buah, jenang, selai, sirup, tepung, kue, dan lain sebagainya. Bentuk produk seperti ini lebih mudah diterima dan dikonsumsi oleh semua kalangan. Bentuk inovasi lainnya misalnya biji dari buah-buahan tertentu dijadikan bahan baku obat kanker karena adanya kandungan senyawa kimia tertentu di dalamnya seperti pada biji buah langsat muda ditemukan senyawa bersifat antikanker. Potensi ini dapat digali lebih lagi untuk menyediakan informasi kemanfaatan tanaman lokal. Dalam Tabel 1 dikelompokkan beberapa flora lokal yang hampir punah beserta kegunaannya masing. Melihat beragam potensi yang dimiliki tanaman lokal tersebut menjadi hal yang patut untuk dikembangkan lebih lanjut dan memiliki peluang besar untuk dijadikan produk lokal unggulan daerah setempat. Inovasi produk dari tanaman lokal ini selain untuk maksud yang telah dikemukakan di atas, diharapkan juga dapat menjadi sumber pendapatan keluarga, menyerap tenaga kerja lokal lebih banyak sehingga mengurangi tingkat pengangguran, dan membantu perekonomian masyarakat setempat. Lebih lanjut dikatakan oleh Yuliawati, dkk (2016), bahwa buah-buah lokal selain kegunaan dan potensi yang telah disebutkan di atas, dapat pula berfungsi sebagai pelengkap ritual keagamaan, dan untuk kecantikan (bahan massage Spa). Menyadari bahwa tidaklah mudah untuk mewujudkan harapan ini, perlu usaha yang keras dan berkesinambungan maka kaum akademisi perlu melakukan banyak penelitian dalam bidang ini agar dapat memperoleh informasi secara ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Untuk itu dibutuhkan kerjasama dari masyarakat setempat, dan pemerintah daerah setempat untuk mendukung terjadinya harapan ini.
244
Pustaka Palimbong, Sarlina, 2006. Pengaruh Lama Perendaman Stek Akar Kesemek Dalam Deka-mon dan Pengolesan Rootone F Terhadap Pertumbuhan Stek Akar Kesemek (Diospy-ros kaki L). Skripsi tidak dipublikasikan. Fakultas Pertanian Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga Pribadi, P., Latifah, E., Rohmayanti. 2014. Pemanfaatan Perasan Buah Kepel (Stelechocar-pus burahol (Blume) Hook.& Thomson) Sebagai Antiseptik Luka. Pharmaҫiana, Vol. 4, No. 2, 2014: 177-183. Sastrapradja, S.D. dan M.A. Rifai.1989. Mengenal Sumber Pangan Nabati Dan Sumber Plasma Nutfahnya. Komisi Pelestarian Plasma Nutfah Nasional dan Puslitbang Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor. Siregar, M. 2006. Revies: Species Diversity of Local Fruit Trees in Kalimantan: Problems of Conservation and Its Development. Biodiversitas ISSN: 1412033X Volume 7, Nomor 1 Januari 2006 Halaman: 94-99. Tisnadjaja, D., Saliman. E, Simanjuntak, S.P. 2006. Pengkajian Burahol (Stelechocarpus burahol (Blume) Hook & Thomson) sebagai Buah yang Memiliki Kandungan Sen-yawa Antioksidan. BIODIVERSITAS ISSN: 1412033X Volume 7, Nomor 2 April 2006 Halaman: 199-202. Uji, Tahan. 2004. Keanekaragaman Jenis, Plasma Nutfah, dan Potensi Buah-buahan Asli Kalimantan. BioSMART ISSN: 1411-321X, Volume 6, Nomor 2 Oktober 2004 Halaman: 117-125. Uji, Tahan. 2007. REVIEW: Keanekaragaman Jenis Buah-Buahan Asli Indonesia dan Po-tensinya. BIODIVERSITAS ISSN: 1412-033X Volume 8, Nomor 2 April 2007 Halaman: 157-167 Yuliawati, N.W.P, Wiraatmaja, I Wayan, Yuswanti Hestin, 2016. Identifikasi dan Karakterisasi Sumber Daya Genetik Tanaman Buah-buahan Lokal di Kabupaten Gianyar. http://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT. E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika ISSN: 2301-6515 Vol. 5, No. 3, Juli 2016
245
246
Bakteri Simbion Terumbu Karang Indonesia Sumber Pewarna Pangan Alami DHANANG PUSPITA
Indonesia memiliki kekayaan bahari yang melimpah dan salah satunya adalah terumbu karang. Berbagai penelitian menyatakan bahwa warna-warni yang ada di terumbu karang adalah senyawa biokatif yang dihasilkan dengan simbiosis bakteri. Dengan mengisolasi bakteri yang bersimbiosis dengan terumbu karang bisa diperoleh bakteri penghasil pigmen alami tanpa harus terus-menerus mengambil langsung dari laut. Bakteri sumber pigmen ini nantinya bisa menjadi sumber pewarna alami. Pigmen alami dapat dijadikan sebagai material untuk kebutuhan industri farmasi, makanan dan minuman.
Kata kunci: bakteri, biokatif, pigmen, simbion, terumbu-karang.
Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang 81.000 km menjadikan Indonesia sebagai pemilik potensi sumber daya pesisir dan laut yang sangat besar. Ekosistem laut menyediakan sumberdaya alam yang produktif untuk memenuhi kebutuhan pangan, tambang mineral dan energi, sarana tranportasi, dan pariwisata. Sebagai penyedia sumber pangan, ekosistem laut ibarat ladang yang luas yang memiliki beraneka ragam biota. Salah satu ekosistem yang ada di pesisir dan laut adalah terumbu karang. Warna-warni terumbu karang acapkali sulit ditemukan pada tumbuhan atau hewan terestrial. Warna pada terumbu karang adalah hasil metabolisme. Terumbu karang tidak hidup sendiri tetapi bersimbiosis dengan biota-biota laut lainnya, dan salah 247
satunya adalah mikrooganisme. Mikroba yang bersimbiosis dengan terumbu karang memiliki keunikan yakni mampu mensitesis senyawa biokatif seperti pada inangnya. Salah satu senyawa biokatif adalah pigmen/pewarna yang terdapat pada terumbu karang. Terumbu karang yang terlihat warna-warni adalah karena adanya kandungan pigmen. Warna adalah kesan yang diperoleh mata dari cahaya yang dipantulkan oleh benda-benda yang dikenainya. Warna akan memberikan persepsi tentang suatu obyek salah satunya dalam makanan dan minuman. Jika dihadapkan dengan minuman dengan warna merah muda (oranye), maka persepsi mata akan mengarah jika minuman tersebut adalah rasa jeruk, demikian juga warna-warna lain dalam makananan dan minuman. Dalam industri makanan dikenal dengan BTP pewarna (bahan tambahan pangan) yang digunakan untuk memberikan nilai tambah. Acapkali pemanfaatan BTP pewarna menggunakan bahan pewarna kimia sintentis yang berbahaya. Untuk mengantisipasinya maka kembali digalakan pemafaatan pewarna alami. Pewarna alami terdapat dalam tumbuhan maupun hewan yang diklaim aman dan memberikan dampak positif bagi kesehatan. Sumberdaya alam yang terbatas membuat pewarna alami semakin sulit diperoleh. Alternatif dari permasalahan ini adalah mencari sumber alami dari laut, dan salah satu sumbernya adalah bakteri yang bersimbiosis dengan terumbu karang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan biopigmen dari bakteri yang bersimbiosis terumbu karang sebagai pewarna alami.
Terumbu Karang Terumbu karang merupakan suatu ekosistem khas yang terdapat pada wilayah pesisir dan laut di daerah tropis dan sub tropis. Pada dasarnya, terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan kalsium karboat yang masif yang dihasilkan oleh organisme pembentuk karang (karang hermatipik). Organisme pembentuk karang ini berasal dari filum Cnidaria, ordo Scleractina yang hidupnya bersimbiosis dengan zooxantellae (gambar 1). Karang hermatipik hidup berkoloni. Masing-masing individu dari karang hermatipik yang dinamakan polip akan menempati mangkuk kecil atau koralit. Pada masing-masing koralit mempunyai beberapa septa yang tajam dan berbentuk menyerupai
248
daun yang tumbuh keluar dari dasar koralit. Septa-septa tersebut yang nantinya akan menjadi pencirikhas untuk penamaan atau spesies karang.
Gambar.1 Anatomi terumbu karang (http://christineelder.com/project-highlights)
Polip adalah hewan yang memiliki kulit atau epidermis ganda. Kulit luar atau yang dinamakan epidermis dipisahkan oleh lapisan jaringan mati (mesoglea) yang berasal dari kulit dalam yang dinamakan gastrodermis. Di dalam gastrodermis terdapat organisme bersel tunggal yang dinamakan zooxantellae yang hidup bersimbiosis dengan polip. Zooxantelle berperan dalam menghasilkan bahan organik melalui proses fotosintesis yang selanjutnya akan disekresikan dalam saluran pencernaan polip sebagai sumber makanan (Bengen, 2004). Perkembangbiakan terumbu karang bisa secara seksual maupun aseksual, terlihat seperti gambar 2. Perkembangbiakan secara seksual terjadi melalui penyatuan gamet jantan dan gamet betina yang kemudian akan terbentuk larva bersilia yang disebut planula. Planula akan menyebar di dalam perairan dan jika menemukan habitat yang tepat akan tumbuh menjadi polip. Habitat bagi planula adalah substrat yang keras, 249
seperti batuan, karang mati, besi, atau cangkang dari sisa mahluk hidup. Perkembangbiakan dari polip selanjutnya dilakukan secara aseksual. Polip akan memfragmentasi sehingga akan terbentuk polip-polip baru yang saling menempel. Kumpulankumpulan dari polip-polip inilah yang dinamakan terumbu karang.
Gambar.2 Siklus hidup dan reproduksi terumbu karang (http://sero.nmfs.noaa.gov/ protected_resources/coral/elkhorn_coral/) Pada umumnya terumbu karang dikategorikan ke dalam 3 jenis yakni; terumbu karang tepi (fringing reef), terumbu karang penghalang (barrier reef), dan terumbu karang cincin (atoll). Fringing reef dan barrier reef hidup dan berkembang biak sepanjang pantai. Yang menjadi perbedaan kedua jenis terumbu karang ini adalah barrier reef berkembang
250
jauh dari daratan dan berada di perairan yang lebih dalam dibandingkan dengan fringing reef. Atoll adalah terumbu karang yang muncul dari perairan yang dalam dan jauh dari daratan (Bengen, 2004). Terumbu karang yang hidup dengan baik didukung oleh faktor yang lingkungan yang mendukung. Ada beberapa faktor yang mempu mempengaruhi pertumbuhan terumbu karang yakni; suhu air, kedalaman perairan, kadar garam, intensitas cahaya, gelombang air laut, dan sedimentasi. Suhu air laut yang optimal untuk pertumbuan terumbu karang adalah lebih dari 180C. Suhu rerata air laut adalah 23–250C dan suhu maksimal yang masih bisa ditoleransi terumbu karang adalah 36– 400C. Terumbu karang mampu hidup hingga kedalaman 50 m, tetapi tumbuh optimal pada kedalam 25 m atau kurang. Kadar garam atau salinitas berkisar 30–36% cocok untuk pertumbuhan terumbu karang. Terumbu karang juga membutuhkan lingkungan dengan perairan yang visibilitinya baik sehingga cahaya matahari bisa terprenetasi sampai pada terumbu karang. Gelombang air laut juga berpengaruh pada jenis-jenis terumbu karang, berikut juga dengan endapan dasar laut atau sedimentasi. Terumbu karang memiliki komposisi yang terdiri beragam biota laut. Komposisi yang biota laut yang tinggal diterumbu karang seperti; hewan avertebrata, ikan, reptil, alga, dan bakteri. Kehadiran biota laut tersebut memiliki peran dalm rangkaian rantai makanan dan jejaring makanan. Secara ekologis terumbu karang memiliki manfaat seperti; daur materi, habitat biota laut, penangkapan biota laut konsumsi, penyedia bahan konstruksi dan perhiasan, serta bahan baku farmasi dan industri pangan.
Bakteri Penghasil Pigmen Keberadaan bakteri pada terumbu karang saat ini tidak terlalu diperhatikan peranannya. Secara ekologis, bakteri pada terumbu karang hanya berperan dalam daur materi. Bakteri berperan dalam menguraikan material anorganik menjadi senyawa organik yang nantinya akan dimanfaatkan oleh terumbu karang sebagai nutrisi. Tidak banyak yang meneliti peran bakteri selain sebagai organisme pengurai jasad renik, padahal ada peran lain dari bakteri pada terumbu karang.
251
Engel et al. (2002) mengatakan jika dalam air laut terdapat 107 virus, 106 bakteri, dan 103 mikroalga. Perez Matoz et al (2007) mengatakan bahwa bakteri yang bersimbiosis dengan biota laut (terumbu karang) mampu mensintesis senyawa bioaktif yang sama dengan inangnya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wusqy et al., (2014) dikatakan bakteri yang bersimbiosis dengan karang Acropora sp mampu menghasilkan warna yakni pigmen β-carotene. Warna-warni terumbu karang adalah ekspresi dari pigmen-pigmen yang disintesis. Pigmen-pigmen yang terdapat pada terumbu karang seperti karotenoid akan diekspresikan ke dalam warna merah, merah muda, dan kuning.
Karotenoid Karotenoid adalah pigmen yang memberikan representasi warna kuning, merah muda, hingga merah yang berasal dari jalur biosintesis terpenoid. Karotenoid biasanya ditemukan pada organisme autrotof yakni tumbuhan dan alga, juga organisme autrotof seperti hewan, jamur, dan bakteri. Pigmen karotenoid merupakan senyawa yang terdiri 40 atom karbon yang tersusun pada ikatan rangkap tunggal. Karotenoid dibagi menjadi dua yakni, karoten dan santofil didasarkan pada unsur kimia penyusunnya. Pada karoten hanya tersusun oleh hidrogen dan karbon, sedangkan santofil selain hidrogen dan karbon, juga tersusun oleh oksigen. Perbedaan unsur kimia penyusun karotenoid inilah yang akan menyebabkan perbedaan sifat karoten dan santofil. Karoten bersifat non polar (tidak larut dalam air), sedangkan santofil bersifat polar (larut dalam air) karena terdapat oksigen pada struktur kimianya. Biosintesis karotenoid seperti pada gambar 3, dimulai dengan isomerasi IPP (isopentenyl pirofosfate) yang selanjutnya akan disintesis menjadi 2 molekul GGPP (geranylgeranyl pirofosfate) dengan total 20 atom karbon. Dalam reaksi kondensasi GGPP akan dirubah menjadi 15,15’-cis fitoena yang kemudian akan dirubah menjadi all-trans likopen. Pada tahap berikutnya terjadi perubahan all-trans likopen menjadi all-trans βkaroten lewat proses siklikisasi. β-karoten yang tebentuk akan mengalami reaksi hidroksilasi dan oksidasi. Pada reaksi hidroksilasi terjadi karena ada penambahan
OH pada gugus hidroksil dan terbentuklah karotenoid jenis zeaksantin. Pada reaksi oksidasi akan menghasilkan kantaksantin karena ada penambahan atom oksigen pada 252
gugus keto. Akhirnya akan terbentuk astaksantin yang tersintesis melalui kantaksantin dan zeaksantin.
Gambar 3. Sintesis karotenoid (http://www.mdpi.com/2072-6643/6/2/546/htm) Karotenoid tidak semata-mata bertanggung jawab atas pigmentasi dari warna merah, merah muda, dan kuning tetapi ada manfaat lain. Dalam dunia medis dan industri, karotenoid berfungsi sebagai; sumber vitamin A, anti kanker, sumber antioksidan, dan pewarna alami untuk makanan dan minuman. Dalam industri makanan dan minuman pemanfaatan pewarna sebagai BTP (bahan tambahan pangan) dapat digunakan untuk memberi nilai tambah pada produk. Penambahan BTP yang tidak baik dan benar akan memberikan potensi penggunaan BTP pewarna sintetik yang tidak direkomdasikan untuk makanana dan minuman. Efek negatif dari BTP berupa pewarna sintetik yang tidak rekomendasi pada bahan pangan bisa menjadi pemicu munculnya beragam permasalahan kesehatan, seperti; keracunan, radang, hingga kanker. Dari permasalahan 253
inilah yang memunculkan gagasan pemanfaatan pewarna alami sebagai BTP yang jauh lebih aman. Karotenoid dari bakteri (biopigmen) yang bersimbiosis dengan terumbu karang bisa menjadi alternatif sebagai BTP yang aman.
Karotenoid untuk BTP Berdasar penelitian terdapat beragam jenis bakteri yang mampi menghasilkan pigmenpigmen yang potensial sebagai BTP. Pada tabel 1 disebutkan beberapa jenis bakteri yang bersimbiosis dengan terumbu karang yang sudah dikucilkan dan mampu menghasilkan pigmen seperti; astaksantin, β-karonten, kantaksantin, likopen, dan zeasantin. Pigmen-pigmen tersebut juga mimiliki karakteristik warna yang berbeda, seperti; kuning, pink, merah, dan merah muda. Tabel 1. Bakteri Simbion Laut dan Jenis Pigmen yang Dihasilkan Pigmen
Spesies Bakteri
Warna
Astaksantin
Brevundimonas sp
kuning
Agrobacterium aurantiacun
pink – merah
Paracoccus haeundaensis
merah muda
Paracoccus zeaxantinifaciensis
merah muda
β-karoten
Agrobacterium aurantiacun
pink – merah
Kantaksantin
Brevundimonas sp
kuning
Rhadococcus maris
merah muda
Likopen
Agrobacterium aurantiacun
Pink – merah
Zeasantin
Flavabacterium sp
kuning
Paracoccus zeaxantinifaciensis
kuning tua – merah muda
Saat ini pemanenan pigmen karotenoid masih mengambil ektrak dari tumbuhan. Menjadi persoalan adalah ketersediaan bahan baku yang terbatas jika tumbuhan tersebut adalah musiman, sulit dibudidayakan, atau biaya produksi yang mahal. Alternatif 254
untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah memanfaatkan bakteri yang mampu memproduksi pigmen karotenoid. Beberapa keuntungan jika memanfaatkan biopigmen dari laut ini antara lain; 1. prosesnya produksinya cepat, karena bakteri memiliku perkembang biakan yang cepat disbanding tumbuhan atau hewan, 2. mudah untuk ditumbuhkan karena tidak membutuhkan lahan layaknya pertanian, 3. bakteri mudah dikendalikan, 4. lebih ramah lingkungan karena tidak mengekploitasi sumber daya alam,
5. pemanenan lebih mudah, 6. tidak ada NPO (non product output).
Ekplorasi Biopigmen dari Terumbu Karang Dari keuntungan pigmen alami dari terumbu karang pada tabel.1 maka biopigmen dari terumbu karang ini secara industri sangat potensial untuk dikembangakan. Menjadi persoalan selanjutnya adalah bagaimana cara mengeplorasi dan mengoptimalkan potensi ini sehingga bisa memaksimalkan keuntungan. Tahap awal untuk mendapatkan mikroba ini adalah dengan mengucilkan dari habitat aslinya yakni terumbu karang. Terumbu-terumbu karang ibarat hutan belantara yang penuh dengan aneka bebuahan aneka warna. Tidak mungkin akan memanen semua buah tersebut dan membawanya ke permukaan. Selain pekerjaan yang berat, makan potensi kerusakan juga akan muncul akibat ekploitasi ini. Dengan hanya mengambil sampel lalu membudidayakan akan menjadi pilihan yang ramah lingkungan. Untuk mendapatkan sampel terumbu karang terlebih dahulu harus dipersiapkan mediumnya. Sebuah botol ampul steril digunakan untuk mengambil sampel terumbu karang. Penyelaman dilakukan dengan menggunakan peralatan SCUBA untuk mendapat sampel dikedalaman hingga 18 m. Dengan menggunakan gunting pangkas bisa untuk memotong bagian terumbu karang sebesar 1–2 cm lalu dimasukan dalam botol ampul steril berikut dengan air lautnya. Sampel yang diambil dicatat jenis terumbu karang dan kedalamannya sebagai data awal. Sesampai dipermukaan lokasi penyelaman ditandai dengan menggunakan GPS untuk mendapatkan titik koordinatnya.
Sampel yang sudah sampai di permukaan kemudian dipindahkan dalam ice box yang berisi es. tujuan dari dimasukannya sampel ini adalah untuk menurunkan
255
aktivitas metabolisme mikroorganise sehingga tidak terlalu mengalami stress terhadap lingkungan yang bisa mengakibatkan gangguan metabolisme atau kematian. Selanjutnta adalah penyiapan medium pengucilan yakni dengan medium ZoBell dengan komposisi; air laut hingga. ekstrak khamir 5%, pepton 5%, agar 7%. Medium ZoBell kemudian disterilasasi dan setelah itu dituangkan dalam cawan petri. Medium ZoBell digunakan untuk mendekatkan kondisi asli dari habitat terumbu karang.
Gambar.4 tahanpan isolasi bakteri. Pengucilan dilakukan dengan menggukan metode goresan (streak) dari sampel ke atas permukaan cawan petri seperti pada Gambar.4. Setelah dilakukan penggoresan kemudian diinkubasi selama 2x24 jam pada suhu ruang (250C) dengan penyinaran lampu. Tujuan inkubasi dalam suhu ruang adalah untuk mengadaptasi dengan suhu sesungguhnya saat pengucilan hingga produksi nantinya. Penyinaran dilakukan jika ada bakteri fotosintentik bisa melakukan fotosintesis. Setelah 48 jam di inkubasi maka akan muncul koloni-koloni dengan warna-warna yang khas. Koloni dengan warna-warna 256
yang khas tersebut bisa langsung dipindahkan dalam agar miring yang berisi medium ZoBell atau jika belum terpisah koloninya bisa dilakukan pengucilan kembali. Kultur-kultur murni seperti ditunjukan pada Gambar 5 dari biopigmen yang sudah diperoleh kemudian dilakukan uji coba pertumbuhan dan produksi pigmen. Medium ZoBell cair (tanpa agar) yang sudah steril digunakan sebagai media pertum-buhan dan uji coba pembentukan pigmen. Ujicoba ini dilakukan dalam erlenmeyer dan dilakukan pengadukan secara terus menerus (shaker) agar tetap homogen. Uji coba pertumbuhan dan pembentukan pigmen ini dilakukan sampai beberapa hari sampai terbentuk pigmen. Selama proses ini juga dilakukan penyinaran dan dalam suhu kamar.
Gambar 5. Kultur murni dari bakteri yang diisolasi dari terumbu karang. Pigmen yang sudah terbentuk dari uji produksi kemudian diekstraksi untuk mendapatkan pigmen murni. Untuk mengektrasi pigmen dilakukan dengan penyaringan atau sentrifugasi. Filtrat atau pellet yang dihasilkan kemudian dilarutkan dengan menggunakan aseton 99%. Pigmen yang sudah dilarutkan kemudian dianalisa dengan menggunakan spektrofotometer dengan jangkauan panjang gelombang 200 – 800 nm. Dari hasil pola spectra kemudian akan diketahui kira-kira jenis pigmen apa yang diproduksi oleh mikroba tersebut. Berdasar pola spektra yang terbentuk akan diketahui jenis pigmen apa yang terkandung dalam bakteri yang diisolasi. 257
Penutup Pigmen-pigmen yang sudah berhasil diisolasi dan teridentifikasi untuk selanjutnya bisa dilakukan produksi secara scale up. Produksi pigmen secara besar ini untuk memenuhi kebutuhan industri farmasi, makanan, dan minuman yang membutuhkan pewarna alami. Kekawatiran akan maraknya BTP berupa pewarna sintentik yang digunakan untuk pewarna makanan yang berpotensi mengganggu kesehatan bisa dihindarkan. Perairan indonesia bisa menjadi sumber pewarna alami yang melimpah dan belum banyak dieplorasi. FIK bisa berperan dalam ekplorasi pigmen dari bakteri simbion karang yang
bisa dikembangkan sebagai pewarna alami untuk beragam kebutuhan.
Daftar Pustaka Bengen, D.G. 2004. Ekosistem dan Sumber Daya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pen-gelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB. Bogor. Engel.S, Jensen P.R, Fenical W. 2002. Chemical Ecology of Marine Microbial Defense. J.Chem.Ecol. 28(10): 1971 – 1985 http://christineelder.com/project-highlights/ http://sero.nmfs.noaa.gov/protected_resources/coral/elkhorn_coral/) Perez-Matoz, Rosado W, Govind N.S. 2007. Bacterial Diversity Associated with the Car-ibbean Tunicate Ecteinnascidia turbinate. Department of Marine Sciences, Uni-versity of Puerto Rico, Mayaguez Campus. Wusqy, N.K. Limantara L, Karwur F.K. 2014. Exploration, Isolation and Quantification of β-carotene from Bacterial Symbion of Acropora sp. Microbiology Indonesia 8(2): 58-64.
258
Beef Quality Assurance (BQA) dan Kelayakan Industri Daging Sapi Potong di Indonesia MONIKA RAHARDJO
Pendahuluan Daging sapi mempunyai peran yang cukup besar dalam konteks ketahanan pangan. Seperti halnya dengan komoditas susu maupun daging unggas, daging sapi menjadi salah satu komoditas sumber protein yang sangat dibutuhkan tubuh manusia untuk kesehatan dan pertumbuhan. Daging sapi merupakan komoditas daging yang disukai konsumen Indonesia selain daging ayam, daging domba/kambing, dan lain-lainnya. Alasan-alasan konsumen menyukai daging sapi antara lain ialah karena pertimbangan gizi, status sosial, pertimbangan kuliner, dan pengaruh budaya barat ( Jonsen, 2004).
Taylor dan Field (1998) dalam Ngadiyono (2004) menyatakan bahwa daging sapi merupakan produk peternakan yang sangat diperlukan bagi kehidupan manusia. Daging sapi sebagai protein hewani, mengandung semua asam amino esensial melebihi asam-asam amino protein nabati. Sebagai sumber hewani berprotein tinggi, daging sapi mengandung protein, lemak, vitamin, serta zat-zat lain yang dibutuhkan oleh tubuh.
Menurut Aberleet al. (2001) komposisinya terdiri dari air (65-80%), protein (16-22%), lemak (1,5-13%), substansi non protein nitrogen (1,5%), karbohidrat dan substansi non protein (1%), dan konstituen non organik (1,0%).Kecernaan protein daging sapi mencapai 95-100% dibandingkan kecernaan protein tanaman yang hanya 65-75% (Aberle et al. 2001). Konsumen saat ini berharap produk makanan yang mereka beli aman, sehat, berkualitas tinggi, dan konsisten sehingga diperlukan penjaminan mutu daging sapi dari 259
pihak produsen. Namun, minimnya pengetahuan baik dari konsumen maupun produsen tentang daging sapi yang aman dan berkualitas menimbulkan tidak sedikit kasus-kasus kesehatan yang merugikan, misalnya keracunan makanan. Bahaya-bahaya baik secara fisik, kimia, maupun biologi yang berpotensi terdapat pada daging sapi hendaknya dapat diminimalisasi sesuai atau di bawah acceptancence level atau dielimisasi. Komponen utama dari upaya penjaminan mutu daging sapi ini adalah dengan program Beef Quality Assurance (BQA). Diharapkan dengan produsen mengetahui dan menggunakan program BQA ini, industri sapi potong dapat memenuhi tujuan akhirnya yaitu untuk menghasilkan karkas yang berkualitas tinggi sehingga kualitas daging potongnya juga berkualitas dan aman untuk dikonsumsi oleh konsumen.
Beef Quality Assurance (BQA) Beef quality assurance (BQA) merupakan suatu program yang menghubungkan produ-sen dengan para ilmuwan, dokter hewan, suplier pakan, perusahaan kesehatan hewan, pengemasan, penjual, negara, serta badan pemerintah. rogram ini mendorong produsen untuk menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru sehingga daging sapi mereka dapat memenuhi standar kualitas dan keamanan. Pada tahun 1952, departemen
U.S. di bidang Agriculture’s Food Safety Inspection Service (USDA-FSIS) mulai bekerja sama dengan industri daging sapi di Amerika Serikat untuk mengembangkan program keamanan produksi daging sapi pra-panen (pre-harvest beef safety production program) (KY-BQA, 2000). Industri daging sapi kemudian menggunakan nama Beef Quality Assurance (BQA). Pada tahun 1986, setelah 3 tahun melakukan studi yang cermat dan penyesuaian praktek produksi, tiga tempat produksi pakan ternak telah disertifikasi oleh USDA-FSIS. Pengalaman dan pelajaran yang diperoleh selama 3 tahun sekarang dijadikan sebagai dasar program BQA yaitu asosiasi peternak sapi nasional yang dimulai tahun 1987 (KY-BQA). FSIS sangat memuji program nasional BQA ini. Lebih dari 50 negara sekarang mengambil bagian pada program sukarela penggunaan BQA.
260
Gambar 1. Insiden Penyuntikan Sapi yang Berakibat pada Kualitas Daging Sapi (Arkansas Beef Council, 2012) Praktek-praktek BQA telah membantu untuk mengeliminasi masalah-masalah yang berhubungan dengan residu-residu yang melanggar dan secara signifikan mengurangi insiden-insiden seperti insiden tempat penyuntikan pada sapi ternak seperti dapat dilihat pada Gambar 1. Pada tahun 1990-an, USDA mengamanatkan bahwa semua daging kemasan dan pengolahannya mengembangkan dan mengimplementasi program HACCP. Pengimplementasian prinsip-prinsip HACCP dalam pengaplikasian BQA dinilai dapat menangani masalah keamanan pangan dan juga masalah kualitas dengan mengidentifikasi titik kontrol kualitas dalam sistem pengelolaan. Program ini dirancang untuk meningkatkan kualitas karkas dengan cara mencegah adanya residu, kontaminasi patogen, dan kecacatan pada karkas seperti pada tempat injeksi dan memar (Glaze & Chahine, 2008).
Sasaran dan Tujuan BQA Sasaran dari BQA adalah untuk memastikan konsumen bahwa semua ternak yang dikirim dari unit produksi daging sapi sehat, utuh, aman, dan bahwa pengelolaannya telah mengikuti standar yang berlaku (FDA, USDA, EPA, dll) (Glaze & Chahine, 2008).Ternak-ternak juga memenuhi persyaratan kualitas di seluruh sistem produksi dan diproduksi dengan praktek produksi yang ramah lingkungan (Beef Quality Asurance
Manual).
261
Menurut Beef Quality Assurance Manual, tujuan dari BQA adalah sebagai berikut: 1. Menetapkan standar produksi untuk kualitas dan keamaan yang sesuai dengan suatu operasi. Elemen-elemen kunci yang mempengaruhi produksi pangan bebas cacat termasuk biosecurity, kesejahteraan dan kesehatan hewan, kinerja produksi, dan kepedulian terhadap lingkungan. 2. Membentuk retensi data dan pencatatan sistem yang memenuhi pedoman yang berlaku (FDA/USDA/EPA) sehingga dapat membantu validasi kegiatan pengelolaan dan memenuhi tujuan program. 3. Menyediakan pelatihan dan pendidikan untuk membantu peserta memenuhi atau melampaui pedoman program BQA dan membantu mewujudkan manfaat program. 4. Memberikan bantuan teknis melalui staf program BQA, dokter hewan, ahli penyuluhan dan individu lain sehingga memenuhi syarat bekerja dengan program BQA.
HACCP sebagai Dasar dari BQA Program BQA memasukkan prinsip-prinsip Hazard Analysis Critical Control Point Program (HACCP). Banyak program penjaminan mutu dalam industri makanan olahan dan kemasan yang mengikuti panduan HACCP. Di tingkat peternakan, program HACCP sesederhana melakukan perencanaan selangkah ke depan untuk berurusan dengan sesuatu yang tidak berjalan dengan baik termasuk membuat rencana untuk menghindari masalah-masalah yang timbul secara fisik, kimia, dan biologi kemudian menyimpan catatan dari apa yang telah dilakukan untuk memperbaiki masalah tersebut. Menurut Bolton et al., (2001) terdapat 7 prinsip HACCP yaitu: 1. Meninjau setiap program pengelolaan untuk mengidentifikasi praktek-praktek produksi yang dapat mempengaruhi keamanan pangan, kualitas pangan, dan lingkungan. Contohnya, mengajarkan kepada pekerja yang menyuntik tentang
262
teknik yang benar dan tempat untuk menyuntik. 2. Mengidentifikasi dimana kemungkinan masalah muncul dan mengambil tindakan untuk menghindari atau mengontrol masalah-masalah tersebut. Contohnya, menyimpan vaksin pada temperatur yang tepat dan tidak terekspos sinar matahari. 3. Membuat pedoman untuk setiap titik kontrol. Contohnya, memahami dan mengikuti waktu penarikan untuk produk kesehatan hewan. 4. Memonitor titik kontrol untuk memastikan setiap titik kontrol tetap mengikuti pedoman. Contohnya, menyimpan catatan tentang aplikasi waktu penarikan pestisida sehingga kita mengetahui aman atau tidaknya bagi sapi untuk merumput. 5. Memutuskan langkah apa yang akan digunakan ketika muncul masalah. Contohnya, melatih pekerja tidak mengulangi kesalahan yang sudah pernah dilakukan seperti menyuntik sapi pada tempat yang salah. 6. Membuat sistem penyimpanan catatan yang menunjukan bahwa program kita telah
berjalan
sebagaimana
mestinya.
Contohnya,
mencatat
tempat
penyuntikan pada sapi dan dosis yang digunakan. 7. Meninjau sistem produksi secara berkala untuk memastikan sistem berjalan sebagaimana mestinya. Contohnya, meninjau catatan, praktek-praktek produksi, dan praktek perawatan secara teratur.
Quality Control Points (QCP) BQA menggunakan program HACCP sebagai model untuk menemukan cara meningkatkan sistem produksi daging sapi. Hal ini berarti bahwa kita harus melihat pada titik kontrol di seluruh proses produksi. Titik-titik kontrol ini merupakan langkah umum dalam rencana pengelolaan secara keseluruhan, seperti mengembangbiakkan sapi, pembelian pakan ternak, menyapih anak sapi, dan mengangkut ternak. Menggunakan praktek BQA pada titik kontrol bertujuan untuk mencegah timbulnya masalah pada keamanan dan kualitas pangan. 263
Tabel 1 memberikan beberapa contoh titik-titik kontrol pada sapi. Sebagai contoh, produk kesehatan hewan yang diberikan pada waktu penyapihan dapat mencegah atau mengobati gangguan kesehatan.Pemberian produk kesehatan secara benar selama titik kontrol dapat menyingkirkan masalah-masalah keamanan pangan, seperti luka pada tempat injeksi atau terdapatnya residu antibiotik. Tabel 1.Titik-Titik Kontrol pada Sapi Proses Pemberian pakan/
Titik Kontrol Pembelian
Potensi Bahaya Residu antibiotik
suplemen
Penerimaan Penyimpanan Pemberian pakan Proses melahirkan anak sapi
Residu kimia Toksin pada pakan
Penyapihan anak sapi Penerimaan induk sapi atau sapi potong Sapi pekerja dan anak sapi Penyapihan anak sapi Pengiriman ternak
Residu antibiotik Jarum patah
Pencegahan dan penanganan masalah kesehatan
Pengolahan dan penanganan ternak
Penggunaan bahan kimia pada rumput
Aplikasi herbisida/ pestisida Pembuangan wadah
Bekas luka tempat injeksi
Luka injeksi Memar Kerusakan tersembunyi Karkas yang cacat Kesehatan yang buruk Kualitas air Kontaminasi tanah Residu
Pedoman BQA Program BQA mempunyai kemampuan untuk mencapai ke setiap sudut sistem produksi daging sapi. BQA telah berkembang dimulai dari kekhawatiran tentang residu sampai ke diskusi yang komprehensif tentang semua aspek produksi daging sapi di semua segmen industri.Program yang diresmikan pada tahun 1991 dengan bantuan dari program 264
BeefCheckoff ini telah dalam periode yang lama menjaga kesehatan dan kesejahteraan konsumen dan menjaga tanggung jawab dari produsen (Dunn, 2006). Segmen dari industri yang tercakup dalam BQA adalah daging sapi, produk turunan sapi, pakan, dan bahan aditif pakan. Daerah-daerah pokok yang mencakup pelatihan BQA dan program-program pembelajarannya adalah pakan dan sumbernya, pakan tambahan dan obat-obatan, perawatan kesehatan hewan dan penginjeksian, penyimpanan catatan, perawatan hewan dan praktek-praktek di peternakan, dan kualitas karkas (Dunn, 2006).
a. Pakan dan Bahan Aditif Pakan Memonitor sumber-sumber pakan adalah langkah terbaik untuk mencegah residu bahan kimia dan memastikan pakan dengan kualitas tinggi. Apabila kita membeli pakan, harus dilakukan program sampling untuk mengecek kualitas dari pakan tersebut. Mayoritas dari supplier yang baik mempunyai program pengecekan kualitas sendiri. Sebagai contoh, supplier yang terikat persetujuan biasanya melakukan pengecekan untuk polychlorinated biphenyls (PCBs), chlorinated hydrocarbons, organofosfat, pestisida, herbisida, dan mikroba-mikroba (terutama Salmonella). Pestisida, bahan-bahan kimia, dan produk lainnya yang digunakan untuk meningkatkan nilai pakan harus telah mendapat persetujuan dari FDA/USDA/ EPA/ instansi terkait di suatu negara. Selain itu, disyaratkan bahwa setiap orang yang bekerja menggunakan pestisida perlu mendapatkan pelatihan yang sesuai sebelum digunakan pada tanaman. Ada beberapa cara menangani pakan yang akan digunakan untuk hewan ternak. Pertama, dengan menjalankan program kontrol kualitas dari bahan pakan yang diterima/akan digunakan kemudian menyimpan pakan tersebut dengan benar sehingga jamur dan mikotoksin tidak berkembang dan tidak mengekspos bahan pakan tersebut pada bahan-bahan kimia. Apabila mempunyai fasilitas-fasilitas peternakan (gudang penyimpanan, pagar, saluran air, dll), hal tersebut dapat menurunkan bahaya kontaminasi. Menyimpan semua bahan-bahan kimia (pestisida, minyak pelumas, pelarut, dll) jauh dari persediaan pakan dan mengikuti anjuran label di kemasan ketika akan menggunakan. Sebelum menggunakan bahan 265
pakan yang dinilai sudah terkontaminasi, sebaiknya diperiksa terlebih dahulu oleh laboratorium yang qualified. Selanjutnya, membersihkan peralatan makan hewan sebelum digunakan untuk menaruh pakan hewan lagi. Selain itu, lakukan yang terbaik untuk melindungi bahan pakan dan pasokan air dari kontaminasi. Bahan aditif untuk pakan sering digunakan untuk meningkatkan berat hewan, meningkatkan konversi pakan, dan meningkatkan kesehatan hewan ternak. Namun ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum memberikan bahan aditif tersebut. Pertama, bahan aditif yang tidak berlabel tidak boleh digunakan. Tidak seorang pun (bahkan dokter hewan) dapat secara legal meresepkan label ekstra pada bahan aditif. Label ekstra adalah penggunaan obat pada hewan yang tidak sesuai dengan label yang telah tertera. Menjaga pencacatan dengan informasi seperti berikut: bahan aditif yang digunakan, tanggal digunakan, jatah, nama orang yang bertanggung jawab menambahkan bahan aditif, dan jumlah yang diproduksi. Kemudian, memastikan semua bahan aditif ditarik tepat waktu untuk menghindari residu.Waktu penarikan adalah jumlah waktu yang harus berlalu antara ketika hewan menerima pemberian pakan dari suatu obat atau bahan aditif dan ketika hewan itu “dipanen”. b. Pengelolaan/Perawatan dan Pencatatan Sapi-sapi yang berada dalam rantai produksi harus tetap sehat. Apabila terkena penyakit, sapi tersebut membutuhkan perawatan, rentan kematian, dan juga hal-hal lainnya. Bagian penting dari program BQA adalah untuk menangani dan pemberian vaksin secara tepat. Vaksin dengan kualitas tinggi pun tidak berguna apabila tidak ditangani dan diberikan secara tepat. Banyak sistem pengobatan menggunakan vaksin untuk menstimulasi respon sistem kekebalan dan menurunkan kemungkinan pengobatan untuk penyakit yang sama. Produk obat-obatan yang harus digunakan adalah hanya obat yang telah disetujui oleh FDA/USDA/EPA/instansi terkait pada suatu negara.Jenis obat dengan label ekstra yang dapat digunakan adalah obat over-thecounter (OTC) dan obat dengan resep. Obat jenis OTC dapat dibeli dan digunakan tanpa ijin dari dokter hewan yang contohnya dapat dilihat pada Gambar 2.
266
Gambar 2. Contoh Label Obat Jenis Over-the-Counter (OTC) (Dr. Huston, 2007) Penyimpanan catatan, baik secara komputerisasi atau tertulis, sangat penting sebagai alat manajemen.Untuk memastikan kepercayaan konsumen dan menjaga market share, produsen harus dapat mendokumentasikan keamanan dan kualitas dari produk mereka.Pencatatan yang baik menunjukkan bahwa produsen menyadari faktorfaktor resiko dan mengambil langkah untuk mencegah dan mengendalikan residu secara tepat pada ternak yang sedang diobati (Glaze & Chahine, 2008). Semua bahan atau proses yang digunakan dalam menangani hewan harus dicatat (pakan, vaksin, obat cacing, obat parasit, dll) (Beef Quality Assurance Manual).
Pencatatan yang baik berguna ketika badan berwenang terkait melalukan inspeksi. c. Pengelolaan Tempat Injeksi Pada tahun 1991, National Beef Quality Audit merupakan badan pertama yang mengidentifikasi bahwa luka di tempat penginjeksian merupakan masalah serius. Lebih banyak studi menunjukkan bahwa kehilangan daging sapi berkualitas pada tempat penginjeksian bukan masalah satu-satunya. Luka karena injeksi juga sangat menurunkan keempukan potongan daging secara keseluruhan. Luka ini dapat disebabkan karena pemberian injeksi terlalu dalam pada otot atau karena digunakan jarum dan suntikan yang telah terkontaminasi. Pedoman cara melakukan injeksi yang benar dapat dilihat pada Tabel 2. 267
Tabel 2.Pedoman Pada Saat Melakukan Injeksi (Dr. Huston, 2007) 1. Memberikan injeksi pada segitiga zona injeksi di leher.
2. Semua injeksi di daerah subcutaneous(SC-bawah kulit) atau intramuscular (IM-ke dalam otot) harus di daerah segitiga di depan slope bahu.
3. Membuat “tenda” pada kulit untuk semua suntikan di bawah kulit.
4. Memberi
jarak
injeksi
paling sedikit sejauh 4 inchi.
268
Pada survey yang dilakukan di Idaho, terdapat 59-87% responden dari 273 peternakan yang telah melakukan penyuntikan secara benar yaitu di bagian SC dan IM sapi (Glaze & Chahine, 2008). Penyuntikan ini dilakukan oleh orang terlatih yang mendapat sesi latihan di tempat.
d. Husbandry Practices dan Kualitas Karkas Animal husbandry merupakan sistem manajemen dan perawatan dari hewan ternak oleh manusia untuk keuntungan, dimana kualitas genetik dan perilaku dipertimbangkan berguna bagi manusia, sehingga hal-hal tersebut dikembangkan. Istilah ini juga dapat merujuk pada praktek yang secara selektif memilih pengembangbiakkan dan pemeliharaan hewan ternak dan mendorong tercapainya sifat yang diinginkan pada hewan ternak. Animal husbandry practices yang baik meningkatkan kesejahteraan ternak, kesehatan ternak, dan produktivitas ternak. Pengalaman pribadi, pelatihan, dan penilaian dari profesional sangat penting untuk memberikan perawatan hewan yang baik.
Gambar 2. Target Sapi dan Karkasnya dengan Program BQA (Imler, et al., 2012)
269
Contoh sapi dan kualitas karkas yang ditargetkan diperoleh apabila program BQA dijalankan dan apabila sapi ditangani tidak sesuai dengan program BQA dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3. BQA menggunakan skala body condition score (BCS) sebagai pedoman untuk menentukan kualitas karkas. Skala BCS berkisar dari 1 sampai 5 dimana nilai 1 berarti kurus kerempeng dan 5 berarti obesitas (Imler, et al., 2012). Target sapi yang kualitas karkasnya bagus adalah sapi dengan nilai BCS 3. Sedangkan terdapat dua jenis sapi yang tidak ditargetkan yaitu sapi yang “gemuk” dengan nilai BCS-nya 5 dan sapi “buruk”
(a) Sapi “Gemuk” dan Karkasnya
(b) Sapi “Buruk” dan Karkasnya
Gambar 3. Sapi yang Tidak Ditangani Sesuai Program BQA (Imler, et al., 2012)
Kondisi Industri Sapi Potong Di Indonesia 1. Pakan dan Bahan Aditif Pakan Pemberian pakan yang dilakukan peternak biasanya cukup bervariasi jumlah dan jenisnya, tergantung pada musim.Saat musim panen, pakan yang diberikan untuk sapi lebih bervariasi selain diberikan rumput, juga diberikan limbah pertanian berupa limbah jagung, jerami padi, dan kulit kacang tanah.Saat musim kemarau dimana ketersediaan rumput dirasa sulit, pakan sapi ditambah dengan singkong.Pemberian pakan biasanya tiga kali sehari, yaitu pagi, siang, dan sore. Air minum untuk sapi biasanya tidak terbatas menggunakan air sungai, air sumur, atau air PDAM.
270
Pencarian rumput, limbah tanaman, dan hijau-hijauan segar lain untuk pakan ternak biasanya dilakukan secara random, dimana tempat tersedianya. Peternak di pedesaan biasanya tidak mempermasalahkan pakan ternak yang diperoleh, sebagai contoh apakah pakan ternak tersebut berada di lokasi pertanian yang secara rutin menggunakan pestisida yang mana dapat membahayakan kesehatan ternak dan juga konsumen daging sapi nantinya apabila terdapat residu di dalam daging sapi yang dikonsumsinya. Pengecekan kualitas pakan juga biasanya tidak dilakukan, pakan ternak biasanya beragam jenisnya (terutama rumput-rumputan dan tanaman yang digunakan), apakah kemudian dapat mencukupi gizi dari hewan ternak ataupun dapat membahayakan apabila terdapat mikroorganisme berbahaya didalamnya.
Mempunyai lahan pertanian untuk pakan ternak sendiri lebih baik karena dapat lebih mudah memonitornya. Selain itu, kadang ditemui peternak yang melakukan tindakan curang/kriminal yang bermotif ekonomi, seperti misalnya kasus sapi “glonggong” dimana sapi diminumi air secara terus-menerus sampai hampir pingsan/pingsan sehingga beratnya bertambah kemudian disembelih. Hal ini selain membuat sapi stres yang berakibat ke kualitas karkas yang jelek juga merugikan konsumen yang membeli daging sapi dari sapi “glonggong” walaupun dijual dengan harga lebih murah. 2. Pengelolaan, Perawatan dan Pencatatan Di Indonesia, biasanya kandang sapi yang digunakan menganut tipe tunggal dan tipe ganda (tipe head to head dan tail to tail) (Ngadiyono, 2007) seperti dapat dilihat pada Gambar 4. Tipe tunggal terdiri dari satu baris kandang yang dilengkapi lorong jalan dan selokan/parit.Tipe ganda secara head to head berfungsi untuk memudahkan pemberian pakan dan tail to tail berfungsi untuk memudahkan pembersihan kotoran dan dilengkapi lorong untuk pemberian pakan dan pengontrolan ternak.
Pembersihan kandang biasanya sebelum pemberian pakan.Sapi dimandikan secara rutin untuk membersihkan bulu sehingga tidak menjadi sarang kuman, parasit, dan jamur yang dapat membahayakan kesehatan.
271
(a) Kandang Tipe Tunggal
(b) Kandang Tipe Ganda
Gambar 4.Tipe Kandang Sapi (BPTPJ, 2007)
Menurut Beef Quality Assurance Manual, tujuan dari sanitasi adalah untuk menghilangkan materi-materi organik, terutama feses, untuk menghindari kontaminasi silang masuk pada sapi secara oral. Darah, air liur, dan urin dari sapi yang sakit atau mati harus manjadi fokus. Untuk kasus di Indonesia, dikhawatirkan bahwa peralatan yang digunakan untuk membersihkan kandang dapat menjadi sumber kontaminasi silang bila digunakan untuk membersihkan lantai, tempat pakan, dan tempat kotoran dari sapi dengan hanya satu alat saja.Semua peralatan yang digunakan, terutama yang berkontak dengan rongga mulut atau dengan pakan sapi harus dibersihkan (didisinfeksi) sebelum digunakan.Penyimpanan peralatan diharuskan di area yang kering dan bersih, tidak diperbolehkan di dalam wadah disinfektan. Untuk pencacatan, sepertinya belum dilakukan oleh para peternak di Indonesia baik untuk pakan, bahan aditif, obat-obatan, dll. Terutama untuk obat-obatan dan vaksin, yang sebenarnya diperlukan untuk mengontrol parasit dan penyakit pada sapi.Parasit dibagi menjadi dua jenis, yaitu parasit internal dan parasit eksternal. Parasit internal, seperti cacing perut, dapat menyebabkan kerusakan pada saluran pencernaan hewan ternak sehingga mengganggu fungsi pencernaan dan penyerapan nutrisi. Sedangkan parasit eksternal, seperti lalat-lalat yang mengerubungi sapi (jenis horn fly dan heel fly) dapat mempengaruhi kinerja dan kualitas kulit sapi.Vaksin dan
272
obat yang biasanya sudah diberikan pada sapi oleh peternak di Indonesia adalah vaksin SE (Septichaemia Epizootica) untuk penyakit ngorok yang penularannya sangat cepat dan juga obat cacing (Rohaeni, et al., 2006). 3. Husbandry Practices Jenis sapi potong di Indonesia antara lain adalah sapi Bali, sapi Madura, sapi Ongole, sapi PO/SO (persilangan dari peranakan Ongole), Limousin, Simmentak, Brahman Cross (BX), dan Angus. Diantara sapi-sapi tersebut, sapi Bali banyak dipelihara di luar Jawa, terutama di wilayah timur Indonesia. Saat ini di Jawa banyak dijumpai sapi hasil perkawinan antara sapi Simmental atau Limousin dengan sapi
PO melalui inseminasi buatan.Jumlah sapi persilangan ini terus meningkat dengan berkembangnya Balai Inseminasi Buatan Daerah (BIBD) di berbagai propinsi yang menyediakan sapi unggul. Keunggulan sapi Bali antara lain jinak (mudah pemeliharaanya), tingkat kesuburan tinggi, dapat memanfaatkan pakan mutu rendah (daya cerna serat baik), daya adaptasi tinggi, dapat digunakan untuk sapi potong dan kerja, persentase karkas tinggi yakni sekitar 56–57% dan kadar lemak karkasnya rendah (1,2%). Namun, sapi Bali juga mempunyai kelemahan antara lain ukuran tubuh kecil, pertumbuhan relatif lambat, kematian anak sapi cukup tinggi (mencapai 20-40%) dan mudah terinfeksi penyakit Jembrana atau MCF (ingusan) (BBPPTP, 2008). Peternak biasanya menggunakan sistem kombinasi gembala dan dikandangkan, dimana pagi hingga sore ternak dilepas di lapangan, sedangkan malam hari ternak digirng kembali ke kandang. Hal ini memungkinkan ternak untuk menghilangkan stres dibandingkan jika hanya dikandangkan terus-menerus. Namun, saat ini ketersediaan padang penggembalaan semakin sempit, tersedak oleh pembangunan sarana dan prasarana jalan, perumahan, industri, dll. Hal ini juga memungkinkan tanah dan rumput juga terkontaminasi oleh polusi dan limbah yang membahayakan kesehatan ternak.
273
4. Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Akhir dari suatu peternakan sapi potong adalah untuk menghasilkan kaskas berkualitas sehingga kualitas potongan daging pun berkualitas tinggi.Gambar potongan-potongan daging sapi dari karkas dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5.Karkas dan Potongan-Potongan Daging Sapi (BBPPTP, 2008) Dagingsebagaibahanmakananberproteintinggimempunyaikecenderungan mudah terkontaminasi terutama oleh mikroba. Oleh karena itu, selama proses penyediaan daging harus diupayakan sehigienis mungkin untuk mencegah pencemaran mikroba. Dalam rangka menjamin keamanan pangan dan keselamatan masyarakat terhadap daging yang dikonsumsi, pemerintah menyediakan rumah pemotongan hewan (RPH) dan mengatur tata cara pemotongan ternak termasuk sapi. Menurut Nugroho (2004), hampir seluruh RPH yang ada di Indonesia merupakan warisan zaman Belanda yang sudah berusia tua. RPH-RPH ini tidak memenuhi syarat baik dari segi lingkungan, higiene, dan sanitasi.Peralatan yang digunakan juga mayoritas tidak memenuhi syarat higiene karena sudah berkarat.
Dalam hal ini penyembelihan hewan di RPH merupakan suatu titik kritis yang harus dapat dikendalikan berdasarkan konsep HACCP. Berdasarkan sistem HACCP maka terdapat empat titik kritis kendali selama penyembelihan di RPH
274
yaitu pelepasan kulit, pengeluaran jeroan, pemisahan tulang, dan pendinginan (Bolton, et al., 2001). Sebelum disembelih, sapi sebaiknya dirawat minimum 4 jam untuk memulihkan diri dari stres perjalanan (Beef Quality Assurance Manual). Hewan yang stres apabila disembelih akan menghasilkan daging yang kurang baik kualitasnya seperti daging menjadi gelap, keras, dan kering, selain itu juga menurunkan keawetannya (Gracey & Collins, 1992). Peralatan yang digunakan
disarankan untuk menggunakan dua pisau dengan cara bergantian salah satu pisau direndam dalam air panas > 82oC untuk menghindari pencemaran silang (Bolton, et al., 2001).
Daftar Pustaka Aberle, E.D., Forrest, J.C., Gerrard, D.E., & Mills, E.W. (2001).Principles of Meat Sci-ence.Fourth Edition.Kendal/Hunt Publishing Company. Andersen, H.J., Oksbjerg, N., Young, J.F., Therkildsen, M. (2005).Feeding and meat qual-ity – a future approach. Meat science 70: 543-554. Arkansas Beef Council.(2012). Arkansas beef quality assurance program.University of Arkansas Division of Agriculture, Department of Animal Science, Cooperative Ex-tention Service. BBPPTP (Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian).(2008). Teknologi Budidaya Sapi Potong.Badan Penelitian dan Pengembangan Perta-nian. Beef Quality Assurance Manual. Dapat diakses di:www.BQA.org. Bolton, D.J., Doherty, A.M., Sherudda, J.J. (2001). Beef HACCP: Intervention and nonintervention systems. International Journal of Food Microbiology, 66:119-129.
BPTPJ (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi). (2007). Manajemen pengelolaan penggemukan sapi potong.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. De-partemen Pertanian. Dunn, B.H. (2006). Beef quality assurance : present and future. King Ranch Institute for Ranch Management. Fearne, A., Hornibrook, S., Dedman, S. (2001).The management of perceived risk in the food supply chain: a comparative study of retailer-led beef quality assurance schemes in Germany and Italy. International Food and Agribusiness. Management Review
4:19-36. 275
Glaze, J.B. & Chahine, M. (2008).Assestment of management and basic beef quality assur-ance practices on Idaho dairies. Journal of Dairy Science, 92:1265-1271.
Gracey, J.F., & Collins, D.S. (1992).Meat Hygiene.Ninth edition.Bailliere Tindal, Lon-don. Dr. Huston, C. (2007). Missisippi cattlemen’s beef quality assurance program.College of Veterinary Medicine.Missisippi State. Imler, A.M., Carr, C.C., Hersom, M.J., Johnson, D.D., Thrift, T.A. (2012). Impact of daity beef quality assurance extension program on producer cull cow management practices and meat quality knowledge.Departement of Animal Sciences, Univer-sity of Florida. Jonsen, G.D. 2004. Prospek dan preferensi masyarakat terhadap konsumsi daging sapi ola-han di Indonesia. Seminar FGW Food Conference, Jakarta 6-7 Oktober 2004. KY-BQA (Kentucky Beef Quality Assurance).(2000). Kentucky Beef Quality Assurance Program.University of Kentucky.College of Agriculture. Ngadiyono, N. (2007). Beternak Sapi. PT Citra Aji Pratama, Yogyakarta. Ngadiyono, N. (2004). Pengembangan sapi potong dalam rangka penyediaan daging Indo-nesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, 7 Oktober 2004. UGM.Yogya-karta. Nugroho, S.N. (2004). Jaminan keamanan daging sapi Indonesia.Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rohaeni, E.N., Zuraida, R., & Hikmah, Z. (2006).Analisis kelayakan usaha ternak sapi potong melalui perbaikan manajemen pada kelompok ternak kawasan baru.Seminar teknologi peternakan dan veteriner.
276
Keamanan Pangan Kontaminasi Pangan dengan Insektisida dan Tantangan Petani Kita THERESIA PRATIWI ELINGSETYO SANUBARI
Indonesia dikenal sebagai Negara yang agraris karena mata pencaharian sebagian besar penduduknya adalah sebagai petani dan Indonesia menggantungkan perekonomian negaranya di bidang pertanian. Sebutan ini menandakan bahwa Indonesia kaya akan hasil bumi. Kekayaan Indonesia ini mendorong pemerintah untuk selalu meningkatkan hasil buminya untuk keperluan ekonomi. Hal ini ditandai dengan usaha pemerintah melalui program insentif untuk meningkatkan varietas lahan dengan cara penggunaan bahan kimia, yaitu insektisida di pertengahan tahun 1960-an (Mariyono, 2000). Penggunaan insektisida ini berakibat baik karena menyebabkan hasil pertanian dapat dengan cepat didapatkan. Sayangnya, efek buruk yang diakibatkan dari penggunaan insektisida ini lebih banyak dibanding efek positifnya. Efek buruk yang ditimbulkannya yaitu kerusakan lingkungan, kesehatan manusia, dan efek pada petani sendiri yang menyemprotkan insektisida. Banyaknya efek buruk yang ditimbulkan dari penggunaan insektisida ini membuat pemerintah menghentikan subsidi untuk insektisida pada tahun 1989. Subsidi insektisida ini segera diganti dengan Manajemen Hama Terpadu (MHT). Manajemen Hama Terpadu (MHT) adalah penggunaan beberapa cara atau metode pengendalian atau pengontrolan hama dalam suatu pelaksanaan yang harmonis dan terorganisasi dengan maksud untuk mengontrol hama dalam jangka lama (Koswara, 2006). Metode ini diharapkan bisa menurunkan penggunaan insektisida oleh petani. Sayangnya, harapan ini tidak terjadi karena permintaan akan insektisida oleh petani masih sangat tinggi (Mariyono, 2000). Hal ini bisa disebabkan oleh pemerintah yang tidak menyeluruh dalam memberikan penyuluhan ataupun pelatihan mengenai MHT ini. Strategi yang dilakukan dalam memberikan informasi mengenai MHT ini adalah dengan melatihkan kepada komunitas petani di suatu wilayah, kemudian meminta 277
komunitas petani tersebut untuk memberikan informasi kepada petani yang lain. Kekurangan dari metode ini adalah informasi yang diberikan. Pemberian informasi kedua dan seterusnya akan tergantung pada penangkapan informasi oleh petani yang dilatih. Selain itu, penggunaan insektisida ini dipicu juga dengan pemerintah Indonesia yang terus menerus melakukan import dari Negara lain. Tindakan pemerintah ini didukung dengan perilaku masyarakat Indonesia yang lebih menyukai barang impor dibanding barang dalam negeri. Pemakaian barang impor ini terkadang menjadi perilaku masyarakat Indonesia hanya untuk meningkatkan self-esteem mereka, terlebih jika barang-barang tersebut berasal dari Amerika, Eropa, dan Jepang (Siringoringo, Consumption Model of Imported Products: Indonesian Case, 2013). Permintaan masyarakat akan barang import yang terus meningkat ini akhirnya membuat pasar tradisional dan supermarket untuk masyarakat menengah ke bawah menawarkan produk dari China, Korea, Taiwan, dan Negara Asia lainnya yang lebih murah dibanding barang-barang dari Amerika, Eropa, dan Jepang (Siringoringo, 2013). Lebih parahnya bangsa Indonesia banyak mengeksport barang mentah dan mengimport barang jadi untuk digunakan oleh warganya (Siringoringo, Consumption Model of Imported Products: Indonesian Case, 2013). Barang yang diimpor dari Negara lain pun ini bukan hanya sandang tetapi juga pangan. Impor barang yang dilakukan pemerintah termasuk hasil bumi, seperti beras, buah, dan sayur. Dipilihnya bahan impor ini karena bahan pangan cenderung terlihat lebih menarik dibanding bahan pangan lokal. Bahan pangan impor seperti buah biasanya memiki warna yang lebih menarik, rasa yang lebih manis, bentuk yang lebih besar, dan tingkat kesegarang yang lebih tinggi (Yosini, 2011). Selain itu, bahan pangan ini biasanya bisa dijual dengan harga yang relatif terjangkau dan dapat didapatkan dengan mudah serta cepat. Masyarakat Indonesia saat ini lebih suka membeli bahan pangan di supermarket yang biasanya tempatnya terjangkau, harga tidak jauh beda dengan pasar tradisional, jam buka sampai malam, dan bersih dibanding membeli di pasar tradisional biasanya hanya bisa buka di pagi hari untuk mendapatkan barang yang bagus.
278
Supermarket asing pertama kali masuk di Indonesia pada tahun 1998 dan 2002 melalui Carrefour dan Giant. Berkembangnya supermarket ini pun akhirnya membuat pedagang dari luar negeri mampu menaikkan penjualannya sampai 8.4% dari total penjualan pasar. Setelah tahun 2000, mini market mulai menjamur di tengah masyarakat dengan dua nama utama, yaitu alfamart dan indomaret. Efek dari berkembangnya mini market ini adalah penjualan bahan pangan dan kebutuhan di pasar tradisional maupun kios menjadi menurun (Sunanto, 2012). Kesenjangan antara usaha petani untuk selalu meningkatkan produknya dan impor barang yang tetap selalu dilakukan pemerintah serta menurunnya kepopuleran pasar tradisional ini menimbulkan pertanyaan bagaimana petani bisa terpenuhi akan kebutuhan pangannya dan bagaimana petani bisa keluar dari masalah ini.
Efek Kontaminasi Pangan bagi Petani Pemenuhan kebutuhan pangan termasuk di dalam salah satu aspek ketahanan pangan. Suatu Negara dianggap memiliki ketahanan pangan yang baik, jika ia mampu memenuhi tiga komponen, yaitu ketersediaan, aksesibilitas, dan kemampuan pangan untuk seluruh lapisan masyarakat. Hal ini karena definisi dari ketahanan pangan sesuai dengan Summit Pangan Internasional tahun 1996 adalah kondisi di mana setiap individu dapat mendapatkan akses penuh secara fisik dan ekonomi dan dapat memenuhi ketersediaan makanan dan nutrisi dalam hidup sehat sesuai dengan nilai dan budayanya (Yunindyawati, et al., 2014). Di Indonesia, ketahanan pangan ini selalu diidentikkan dengan beras (Timmer, 2004). Strategi ketahanan pangan ini diubah pemerintah dengan mengenalkan kebijakan pangan baru di tahun 2012, yang menyatakan bahwa target pangan yang harus dipenuhi berupa beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Kelima target pangan ini dicanangkan oleh pemerintah karena pemerintah ingin memberikan kesempatan pada produksi tradisional. Sayangnya, strategi ini tetap tidak berhasil menurunkan harga beras yang terus naik (Organisation for Economic Co-Operation and Development, 2015). Beras pun menjadi makanan pokok bagi seluruh bagian wilayah di Indonesia, walaupun di wilayah tersebut hanya menghasilkan beras dalam jumlah sedikit. Masyarakat pun 279
memiliki pandangan bahwa tidak memiliki beras maka hidup masih tidak berkecukupan dan tidak makan nasi maka tidak kenyang. Ketiga aspek ketahanan pangan di atas masih sulit terpenuhi bagi petani di Indonesia walaupun merekalah yang menyediakan pangan bagi masyarakat Indonesia. Petani di Indonesia sebagian besar masuk dalam golongan perekonomian menengah ke bawah. Salah satu faktor yang menyebabkan petani sulit memenuhi kebutuhannya karena mereka tidak mendapatkan penghasilan yang cukup akibat hasil bumi mereka tidak laku di pasar, hasil bumi yang kalah saingan, dan hasil bumi yang tidak selalu bisa memenuhi keinginan pasar. Usaha meningkatkan ketahanan pangan bagi petani sudah banyak strategi yang dilakukan seperti, mengembangkan asuransi petani padi (Pasaribu, 2010); sektor pertanian yang selalu berusaha meningkatkan produk (Lisanty & Tokuda, 2015). Sayangnya, usaha-usaha ini tetap membuat ketahanan pangan petani lemah. Masih terdapat 11.27% masyarakat miskin di Indonesia menurut BPS (2012) yang sebagian besar adalah petani (Lisanty & Tokuda, 2015), lahan pertanian menurun dari 16.7 juta hektar menjadi 15.6 hektar (Riyadi 2002 dalam (Yunindyawati, et al., 2014). Selain itu, malnutrisi anak yang menjadi salah satu indikator ketahanan pangan masih memiliki prevalensi yang rendah, yaitu hampir 50% keluarga masih mengalami kekurangan energi dan protein dan menurut pusat analisis sosial ekonomi agensi penelitian pertanian tahun 2006, sekitar 70% dari petani padi adalah buruh dan memiliki lahan yang kecil (Yunindyawati, et al., 2014). Keadaan ini diperparah dengan petani yang masih tinggi memakai pestisida, yaitu sekitar 23.7 % untuk petani padi (Frimawaty, et al., 2013), sehingga menurunkan permintaan pasar. Pemakaian insektisida memiliki banyak kontradiktif. Disatu sisi, petani memakai insektisida karena ingin selalu menyaingi produk import dan ingin produk dapat menghasilkan produk yang maksimal (McCarthy & Obidzinski, 2015). Selain itu, pemakaian insektisida yang dikenal sebagai bahan beracun membuat hasil lokal semakin tidak dinikmati. Disisi lain, jika petani tidak memakai insektisida tetapi memakai bahan organik untuk menghasilkan bahan pangan organik, bahan ini
280
cenderung akan kalah bersaing harga dengan barang impor. Kalangan pembeli untuk produk ini adalah masyarakat dengan perekonomian menengah ke atas, yang cenderung lebih suka membeli bahan pangan di supermarket daripada di pasar tradisional. Sayangnya, pemasaran ke supermarket ini cenderung tidak dijangkau oleh petani. Petani lebih suka menjual mereka di pasar tradisional, di mana pemerintah sulit melindungi mereka, meningkatkan stabilitas, pertumbuhan ekonomi, dan perkembangan sosialnya
(McCarthy & Obidzinski, 2015). Melihat keadaan ini, seharusnya petani harus bisa berinovasi terhadap hasil bumi yang dihasilkannya. Petani harus bisa melakukan hal ekstra untuk bisa tetap menjual hasil buminya dan menjaga kualitasnya. Selain itu, pasar tradisional harus mampu berevolusi dan membantu kehidupan petani. Inovasi petani yang bisa dilakukan misalnya adalah mengembangkan produkproduk lokal, selain produk bahan pokok, seperti beras, sayur, dan buah. Mengembangkan produk lokal ini akan membantu kekosongan petani sehingga petani akan tetap mendapatkan penghasilan. Industri rumah tangga memang sudah banyak walaupun banyak kendala seperti akses pasar, teknologi yang kurang berkembang, dan tidak kompetitif (Najib, Kiminami, & Yagi, 2011). Selain itu, ada satu kendala yang sering tidak disadari yaitu orisinalitas. Pengusaha industri rumah tangga ini cenderung meniru produk yang meledak di tengah masyarakat dan tidak berpikir untuk membuat produk yang berbeda. Petani sebagai subjek yang sangat dekat dengan bahan alami seharusnya bisa membuat produk yang lebih orisinil dan bisa di jual di pasaran.
Makanan tradisional ini akan lebih bisa menarik masyarakat karena terkadang makanan bisa lebih dari masyarakat yang mencari nutrisi, meningkatkan self-esteem karena membeli dengan harga yang mahal, dan ketertarikan dengan bentuknya yang menarik. Makanan bisa juga disukai karena adanya determinan intrapersonal berupa persepsi, kepercayaan, budaya, ataupun sejarah dari makanan itu sendiri (Contento, 2011). Makanan bisa membuat seseorang merasa lebih dekat dengan masa kecilnya dan membuat dengan pengalaman menyenangkan atau pun menyedihkan. Konsep ini harusnya bisa dipakai petani sebagai dasar pengembangan produk lokal.
281
Usaha mengembangkan produk lokal yang dilakukan petani ini pun dapat meningkatkan ketahanan pangan petani perempuan dan seluruh keluarga. Petani perempuan hanya memproduksi makanan sebagai konsumsi rumah. Aktivitas ini membuat mereka menjadi agen penting dalam perkembangan ekonomi. Pentingnya peran perempuan ini seharusnya bisa membuat perempuan terlibat juga untuk mengatur lahan (Yunindyawati, et al., 2014). Selain pengembangan produk makanan tradisional, pasar tradisional seharusnya bisa membantu petani dalam penjualan produknya. Kelemahan pasar tradisional terletak pada permintaan dan perilaku konsumen, harga dari produk, kondisi bahan pangan yang dijual di pasar tradisional, lokasi, perilaku pengecer, kualitas fisik dari pasar tradisional, manajemen pasar, strategi manajemen, dan ikut campur pemerintah (Rahadi, Prabowo,
& Hapsariniaty, 2015). Sistem desentralisasi yang saat ini berkembang di Indonesia seharusnya lebih mampu meningkatkan campur tangan pemerintah daerah dalam mengembangkan kondisi pasar tradisional. Pemerintah daerah saat ini banyak yang hanya memikirkan keuntungan daripada nasib rakyatnya. Masih banyaknya penggunaan insektisida di kalangan petani, salah satunya adalah pemerintah daerah yang menyuplai insektisida. Pemerintah daerah menjadi diuntungkan karena penjualan insektisida tetapi petani menjadi rugi karena hasil buminya tidak laku. Pedagang di pasar cenderung memiliki daya saing yang tinggi antar pedagang, mengakibatkan berjualan hanya sebagai persaingan. Penelitian (Mas, et al., 2014) tentang ketangguhan pedagang di pasar tradisional untuk menghadapi perkembangan pasar modern adalah dengan meningkatkan self-efficacy pedagang. Konsep berdagang dengan dasar kemampuan berwirasusaha, keinginan untuk meningkatkan agama, dan memiliki kepercayaan, norma, jaringan, dan ingin melayani konsumen membuat pasar tradisional bisa berkembang dan berdaya saing.
Kesimpulan Insektisida masuk ke Indonesia membawa efek yang buruk bagi hasil bumi. Metode Manajemen Hama Terpadu (MHT) yang dibuat oleh pemerintah tetap tidak bisa
282
menurunkan penggunaan insektisida oleh petani. Penggunaan insektisida tetap dilakukan oleh petani karena petani harus bersaing dengan pemerintah yang melakukan impor, permintaan konsumen, perilaku konsumen yang lebih menyukai barang impor, dan menurunnya kepopuleran pasar tradisional. Ketahanan pangan petani pun semakin tidak aman. Menghadapi hal ini, petani harus bisa berinovasi dengan menggunakan bahan tradisional. Selain itu, pemerintah daerah harus bisa membantu meningkatkan kepopuleran pasar tradisional secara terus menerus dibantu dengan usaha dari pedagang.
Daftar Pustaka Contento, I. R. (2011). Nutrition Education: Linking Research, Theory, and Practice 2nd Edition. Canada: Jones and Bartlett Publishers . Frimawaty, E., Basukriadi, A., & Jasmal A Syamsu, T. B. (2013). Sustainability of rice farming based on eco-farming to face food security and climate change: Case study in Jambi Province, Indonesia. The 3rd International Conference on Sustain-able Future for Human Security SUSTAIN 2012, pp. 53-59. Koswara, S. (2006). Manajemen Pengendalian Hama dalam Industri Pangan. ebookpan-gan.com. Lisanty, N., & Tokuda, H. (2015). Comprehending Poverty in Rural Indonesia: An Indepth Look inside Paddy Farmer Household in Marginal Land Area of Banyuasin District, South Sumatra Province. International Journal of Social Science Studies, 3, 129-137. Mariyono, J. (2000). The Impact of Integrated Pest Management Technology on Insecticide Use in Soybean Farming in Java, Indonesia: Two Models of Demand for Insecticides. Asian Journal of Agriculture and Development, 5 (1), 43-56.
Mas, N., Thoyib, A., Surachman, & Solimun. (2014, May). Trader Sturdiness at Tradi-tional Market in Facing Modern Market Progress. International Journal of Busi-ness and Management Invention, 49-58. McCarthy, J. F., & Obidzinski, K. (2015). Responding to food security and land ques-tions: Policy principles and policy choices in Kalimantan, Indonesia. Land grabbing, conflict and agrarian‐ environmental transformations: perspectives from East and Southeast Asia (pp. 1-16). Chiang Mai: BRICS Initiatives for Critical
Agrarian Studies (BICAS); MOSAIC Research Project; Land Deal Politics Initiative (LDPI); RCSD Chiang Mai University.
283
Najib, M., Kiminami, A., & Yagi, H. (2011). Competitiveness of Indonesian Small and Medium Food Processing Industry: Does the Location Matter? International Journal of Business and Management, 6 (9), 57-67.
Organisation for Economic Co-Operation and Development. (2015, March). Agriculture: Achieving Greater Food Security. Indonesia Policy Brief, 1-2. Pasaribu, S. M. (2010). Developing rice farm insurance in Indonesia. Agriculture and Agricultural Science Procedia, 22-41. Rahadi, R. A., Prabowo, F. S., & Hapsariniaty, A. W. (2015). Synthesis of Traditional Marketplace Studies in Indonesia . International Academic Research Journal of Business and Technology, 8-15. Siringoringo, H. (2013). Consumption Model of Imported Products: Indonesian Case. 1st World Congress of Administrative & Political Sciences, pp. 195-199. Siringoringo, H., Margianti, E. S., Kowanda, A., & Saptariani, T. (2013). Shopping Be-havior of Indonesian Consumer Towards Imported Products. 1st World Congress of Administrative & Political Sciences (81), pp. 411-415. Sunanto, S. (2012). Modern Retail Impact on Store Preference and Traditional Retailers in West Java. Asian Journal of Business Research, 2 (2), 7-23. Timmer, C. P. (2004). Food Security in Indonesia: Current Challenges and the LongRun Outlook. Center for Global Development. Yosini, D. (2011). Consumer Preference on Import and Local Fruit in Indonesia. Lucrări ştiinţifice seria Agronomie, 54, 32-37. Yunindyawati, Adiwibowo, T. S., Vitayala, A., & Hardinsyah. (2014). The Power of Women’s Knowledge in Food Security at the Rural Families in Indonesia (The Case in South Sumatera). International Journal of Humanities and Social Science, 308-313.
284
Reaksi Mailard Pada Pengolahan Bahan Pangan dan Dampaknya bagi Kesehatan di Indonesia KRISTIAWAN P. A. NUGROHO
Pendahuluan Makanan dan minuman menjadi sebuah kebutuhan mutlak bagi manusia. Ketertarikan masyarakat dalam bidang kuliner membuka peluang besar bagi para penyedia jasa boga untuk menyajikan makanan yang bervariasi dari berbagai jenis bahan dan aneka cara pengolahannya. Cara memasak dengan digoreng, dipanggang, dibakar, maupun dengan cara pemanasan lainnya seolah tetap menjadi pilihan mutlak guna menyajikan makanan yang layak saji. Namun, tanpa disadari pengolahan makanan dengan beberapa cara tersebut dapat memicu terbentuknya reaksi Maillard atau yang dikenal pula sebagai glikasi. Masyarakat umumnya gemar mengonsumsi makanan dan minuman manis, seperti cokelat, es krim, minuman berkarbonasi, dan permen. Berbagai jenis makanan dan minuman tersebut mengandung gula dan jika dikonsumsi secara berlebihan, makaberpotensi mempengaruhi kesehatan tubuh, misalnya berat badan dan kulit. Glukosa yang masuk ke dalam tubuh akan dialirkan ke seluruh tubuh melalui darah (gula darah) untuk diubah menjadi energi, kemudian akan disimpan dalam bentuk lemak. Apabila kadar gula darah di dalam tubuh berlebih dan tubuh tidak adekuat memproduksi hormon insulin guna mengubah gula darah menjadi energi, maka dapat terbentuk pula proses glikasi. Reaksi Maillard atau glikasi merupakan reaksi non-enzimatis yang membentuk kompleks inklusi basa schiff menjadi protein; terjadi akibat adanya reaksi antara gugus amino (protein) dengan gugus karbonil (karbohidrat), terutama pada gula reduksi 285
dengan bantuan panas (Sun et al., 2006 dalamSuryani et al., 2014; Bao et al., 2009; Glenn dan Stitt, 2009; Apriani et al., 2011). Pada pengolahan bahan pangan, reaksi tersebut akan menghasilkan suatu senyawa yang bersifat antioksidan, memunculkan flavor, dan membentuk warna. Produk awal glikasi akan mengalami penyusunan ulang yang reversibel menjadi produk komplek inklusi Amadori. Ikatan basa schiff dan produk Amadori selanjutnya mengalami penyusunan kembali, oksidasi, atau bahkan dehidrasi melalui jalur kimia untuk menghasilkan kompleks inklusi yang irreversibel menjadi protein dalam bentuk Advance Glycation End-Products (AGEs) atau Produk Akhir Glikasi Protein (PAPG) yang berimplikasi negatif bagi kesehatan tubuh. AGEs dapat menginduksi penyakit degeneratif seperti penuaan dini, gagal ginjal, diabetes bahkan Alzheimer sebagai hasil dari rantai reaksi kimia glikasi (Rahmadi dan Zahid, 2010; Apriani et al., 2011).
Selain permasalahan glikasi, masyarakat juga patut waspada karena “dihantui” oleh penyakit lain yang dapat ditimbulkan akibat konsumsi dari jenis bahan makanan dan cara pengolahan makanan maupun minuman yang beraneka ragam. Makanan yang manis bahkan gurih akan memberikan sensasi kenikmatan tersendiri bagi konsumennya dan apabila dianggap sesuai dengan selera maka akan terus berupaya untuk mengkonsumsi makanan atau minuman tersebut. Beberapa penyakit lain yang turut mengintai masyarakat antara lain kolesterol, hipertensi, DM, maupun gangguan metabolik lainnya.
Reaksi Maillard Dalam Pengolahan Pangan Reaksi Maillard dalam pengolahan bahan pangan tidak dapat dihindari karena penting dalam peningkatkan keamanan pangan, sekaligus menambah cita rasa suatu produk, baik dengan cara dibakar, dipanggang, digoreng, bahkan dipanaskan. Hasil akhir dari proses pemasakan tersebut adalah terbentuknya warna kekuningan hingga kecoklatan (browning) sebagai hasil reaksi antara gugus amino dari protein dan gugus karbonil dari gula, sehingga memunculkan pigmen coklat (melanoidin) (Reineccius, 2006 dalam
Suryani et al., 2014). Meskipun perubahan warna tersebut merupakan indikasi umum
286
yang dapat menyatakan kematangan suatu bahan pangan, namun dapat mempengaruhi rasa, kenampakan, dan nilai gizi dari produk pangan tersebut, seperti pembentukan kulit luar roti tawar yang berwarna coklat. Proses glikasi dalam pengolahan pangan merupakan proses yang dikehendaki untuk terjadi karena akan terbentuk warna, aroma, serta perubahan tekstur bahan pangan (Ulrichdan Cerami, 2001; Henle, 2005). Selain suhu, beberapa faktor lain yang turut berperan dalam proses browning dari reaksi Maillard antara lain jenis dan konsentrasi gula, gugus amino, tingkat keasaman (pH), waktu, serta aktivitas air (Miller, 1998 dan Liu et al., 2012 dalam Suryani et al., 2014). Dalam industri pangan, aroma misalnya, menjadi poin penilaian penting untuk menarik perhatian konsumen. Pencampuran rare sugar menyebabkan lemak di dalam susu kerbau menguap dan menghasilkan aroma khas spesifik seperti harum manis (senyawa furaneol) yang sebagian besar bersifat volatil (Soeparno, 1992 dalam Suryani et al., 2014). Senyawa tersebut terbentuk melalui reaksi Maillard dari 2-hidroksi proponal (Mejeher dan Henryk, 2005 dalam Suryani et al., 2014). Meskipun keberadaannya diharapkan terjadi, proses glikasi dapat pula menurunkan kualitas fungsional suatu produk pangan, kandungan asam amino esensial, dan kemampuan produk untuk dapat dicerna dengan baik oleh tubuh akibat pemasakan yang berlebihan (Rahmadi dan Zahid, 2010). Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak pembentukan
AGEs antara lain penambahan antioksidan dan polifenol, mengurangi waktu kontak dengan pemanas, pengolahan bahan makanan dengan suhu rendah, dan menggunakan teknik penguapan (Uribari et al., 2010).
Dampak Reaksi Maillard Bagi Kesehatan Indeks glikasi yang tinggi (glycemic index) dapat menyebabkan glikasi di dalam tubuh. Konsumsi karbohidrat berlebih berpotensi memunculkan penyakit yang berhubungan dengan glikasi. Peradangan kronis (inflamasi) diberbagai jaringan tubuh jika dihubungkan dengan asupan karbohidrat dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, salah satunya adalah glikasi dari protein dan lemak tanpa melalui proses enzimatik. Mekanisme 287
lainnya adalah hiperinsulinemia (Insuline Resistance Syndrome– IRS), radikal bebas, dan hipertrigliserida. Glikasi tersebut mengakibatkan terjadinya sklerosis pada pembuluh darah, gangguan metabolisme, proses penuaan dini, dan gangguan keseimbangan berbagai siklus pertumbuhan jaringan di dalam tubuh. AGEs yang terjadi akibat glukosa mengikat protein di kulit dapat menonaktifkan antioksidan, menyerang protein kolagen, dan serat elastin di dalam kulit. Kondisi tersebut dapat menyebabkan kelembapan kulit menjadi berkurang dan tidak kenyal (terasa kaku). Kondisi kulit tersebut akan rentan terhadap kerusakan, nampak kering, kusam, berkerut, mengalami penuaan dini, dan menghambat proses regenerasi sel kulit. Terganggunya keseimbangan oksidan dan antioksidan akan meningkatkan radikal bebas di dalam tubuh dan memicu berbagai kerusakan protein (Apriani et al., 2011). Hiperglikemia akibat kadar glukosa darah yang melebihi batas normal dapat menyebabkan stres oksidatif yang membentuk AGEs. Apriani et al. (2011) menyatakan bahwa stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan pada tingkat molekuler, sel, bahkan jaringan, termasuk kerusakan protein kolagen tulang. Hiperglikemia menyebabkan defisiensi insulin akibat kerusakan sel beta atau terjadi resistensi insulin pada organ hati dan otot. Penyakit diabetes melitus akibat hiperglikemia kronik dapat memicu kerusakan berbagai organ tubuh lainnya, seperti jantung, mata, ginjal, saraf, dan sistem vaskular, sehingga menyebabkan komplikasi diabetes melitus.
Pada konsentrasi glukosa tinggi, ikatan yang terjadi antara glukosa tersebut dengan protein akan membentuk glikosilasi sebagai hasil reaksi glikasi non-enzimatik pada penderita hiperglikemia. Glikosilasi tersebut tidak hanya membentuk AGEs, tetapi juga Advanced Oxidation Protein Products (AOPP). Radikal bebas yang masuk ke dalam tubuh akan memodifikasi struktur dan fungsi protein, misalnya kolagen, yaitu protein pada tulang (Apriani et al., 2011). AGEs tidak hanya mempengaruhi kesehatan kulit dan tulang, tetapi dapat pula menyebabkan inflamasi (pembengkakan lokal) sebagai upaya tubuh untuk membersihkan sel-sel yang rusak oleh sistem imun (Block dan Hong, 2005 dan Sastre et al., 2006 dalam Rahmadi dan Zahid, 2010). Inflamasi secara kontinu pada penderita 288
Alzheimer, diabetes, dan penuaan dini menyebabkan tubuh tidak mampu meregenerasi sel-sel pengganti dalam jumlah adekuat. Sastre et al.(2006) dan Heneka dan O’Banion (2007) dalam Rahmadi danZahid (2010) menyatakan bahwa sel syaraf di dalam otak tidak mengalami regenerasi, sehingga inflamasi pada sel otak akan mengurangi jumlah sel-sel syaraf fungsional. Pada produk pangan yang dimasak dengan cara digoreng, reaksi Maillard yang terbentuk dapat memicu akrilamida. Akrilamida merupakan salah satu bahan organik yang digunakan untuk memproduksi plastik, pewarna, dan menjernihkan air minum. Keberadaan akrilamida dalam produk pangan yang dikonsumsi oleh manusia masih belum dapat dipastikan efek negatifnya bagi kesehatan (Harahap, 2003). Namun, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh sejumlah pakar teknologi pangan dari Universitas Stockholm Swedia menyebutkan bahwa beberapa jenis pangan olahan mengandung senyawa yang bersifat karsinogenik dalam kadar tinggi (Swedish National Food Authority
– SNFA). World Health Organization (WHO) (2002) menyebutkan bahwa pengolahan makanan dengan bahan dasar pati seperti kentang, singkong, beras, dan gandum pada suhu > 120oC (bukan dengan direbus pada suhu rendah) dapat menyebabkan terbentuknya senyawa akrilamida. Hasil ujitoksisitas pada hewan yang diujicobakan dengan akrilamida menunjukkan adanya pembentukan sel kanker. Gangguan kesehatan pada hewan akibat akrilamida lebih bersifat genotoksik terutama pada jaringan sel syaraf dan pembuluh darah. Pada beberapa organseperti ginjal, hati, dan sistem reproduksi terjadi akumulasi akrilamida. Akrilamida diekskresikan dalam jumlah besar melalui urin dan empedu sebagai metabolitnya (Harahap,2006).
Pencegahan dan Pengobatan Ages Bagi Kesehatan Penelitian Rahmadi dan Zahid (2010) menyatakan bahwa beberapa tanaman berkhasiat obat yang ditemukan di hutan tropis Indonesia memiliki efikasi dalam mencegah dan mengobati penyakit degeneratif akibat AGEs. Teh jenis Camelia sinensis dan
Illexparaguariensis dapat menghambat produksi AGEs dan menurunkan kadar radikal
289
bebas di dalam tubuh. Jambu biji (Psidium guajava) mampu menghambat produksi AGEs serta merombak dan memerangkap gugus reaktif dari AGEs. Benalu (Loranthus parasiticus) yang dikenal oleh masyarakat awam sebagai tanaman parasit, ternyata mampu menurunkan kadar radikal bebas di dalam tubuh, sedangkan sambiloto (Andrographis paniculata) yang terkenal dengan rasa pahitnya dapat menurunkan sitokinin pro-inflamasi dan mereduksi aktivasi NF-kB. Jamur Ganoderma dianggap mampu mereduksi aktivasi
NF-kB serta mengurangi senyawa aloksan pada gejala diabetes melitus. Selain beberapa jenis tanaman di atas, beri-berian yang umumnya ditemukan di hutan berpotensi dalam mengatasi penyakit-penyakit degeneratif akibat reaksi AGEs. Pengolahan bahan-bahan alami tersebut perlu diperhatikan agar kandungan senyawa – senyawa kimia yang berpotensi mengurangi atau menonaktifkan AGEs di dalam tubuh dapat bekerja secara optimal. Nantitanon et al. (2010) menyatakan bahwa pengolahan buah dan daun jambu misalnya, harus mendapatkan perhatian serius agar kandungan antioksidan yang berperan merusak struktur alfa-dikarbonil dalam reaksi glikasi tidak rusak. Beberapa perlakuan seperti tingkat ketuaan daun, perlakuan pasca pemetikan, pengeringan, dan metode ekstraksi akan menentukan perubahan konsentrasi dan konformasi struktur kimia senyawa aktif pada berbagai produk herbal. Manifestasi klinis lainnya akibat keberadaan AGEs di dalam tubuh antara lain gangguan pada mata, kardiovaskuler, dan eritrosit. Penderita diabetes melitus dengan katarak merupakan salah satu bentuk dari peningkatan kadar AGEs di dalam tubuh (Gul etal., 2009). AGEs yang terakumulasi dalam eritrosit dapat memicu terjadinya deformitas, sedangkan dalam sistem kardiovaskuler AGEs akan menyebabkan aterosklerosis (Ando etal., 1999; Basta et al., 2004). Pemberian vitamin C serta vitamin B seperti tiamin dan beta alanin L-histidin dapatmencegah proses AGEs (Rahmadi dan Zahid, 2010). Konsumsi vitamin C dapat mengurangihingga sebanyak 50% glikasi protein serum guna mencegah komplikasi diabetes melitus(Riviere et al., 2010). Penambahan vitamin B1 dan B6 dapat mencegah pembentukan AGEsdengan menghambat reaksi glikasi dengan cara mengurangi kadar gula darah yang memicu penyakit diabetes melitus.
290
Kaitannya dengan makanan, glikasi dapat dicegah dengan memilih jenis makananyang mengandung indeks glikemik rendah atau sedang dan pengaturan pola makan. Beberapa jenis makanan karbohidrat yang memiliki indeks glikasi rendah (<55) antara lain buah-uahan, sayuran (kecuali kentang dan semangka), roti, kacangkacangan, serta susu dan olahannya seperti yogurt dan keju. Gula pasir, ubi jalar, gandum, dan beras merupakan jenis bahan pangan dengan indeks glikasi sedang (56– 69), sedangkan produk olahan jagung (corn flakes), produk olahan beras (crispies), kentang yang dipanggang, semangka, roti putih, sereal dekstruksi, dan nasi putih merupakan beberapa contoh makanan yang memiliki indeks glikasi tinggi (>70.) Masyarakat juga perlu menghindari jenis makanan yang berpotensi menimbulkan alergi, bahkan memperberat proses alergi; makanan dengan kandungan lemak transfat dan lemak jenuh tinggi, makanan yang merangsang pelepasan radikal bebas, serta makanan yang mampu meningkatkan trigliserida atau asam lemak bebas secara cepat. Kaitannya dengan akrilamida, Harahap (2006) menyebutkan bahwa WHO dan FAO telah memberikan upaya sederhana yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya risiko akibat zat tesebut. Masyarakat diminta untuk mengubah cara memasak dengan menggunakan suhu yang cukup atau dapat pula direbus pada suhu <120OC serta menerapkan pola makan seimbang dan bervariasi seperti buah dan sayur. Cara-cara sederhana tersebut diharapkan dapat mencegah dan mengurangi dampak negatif dari glikasi yang berlangsung di dalam tubuh. Pengukuran AGEs mulai banyak digunakan sebagai medical marker untuk melihat kondisi pasien secara keseluruhan guna pertimbangan tindakan keperawatan (intensif atautidak), misalnya pada pasien jantung koroner. Proses glikasi akan merusak sel-sel endotelium pada pembuluh darah, sehingga menyebabkan aterosklerosis. Plak di dalam pembuluh darah cenderung menumpuk di daerah aliran darah tinggi, seperti pintu masuk ke arteri koroner karena daerah tersebut merupakan tempat berkumpulnya molekul gula dan AGEs. Akumulasi plak tersebut membuat kolagen berkurang dan dinding pembuluh darah kaku, sehingga menyebabkan tekanan darah tinggi. Strok juga dapat disebabkan oleh AGEs sebagai akibat dari melemahnya kolagen di dalam pembuluh darah arteri yang menyebabkan aneurisma. 291
Kesimpulan Meskipun reaksi Maillard atau glikasi diharapkan keberadaannya dalam bidang pengolahan pangan karena dapat menghasilkan suatu senyawa yang bersifat antioksidan, memunculkan flavor, dan membentuk warna, namun dapat menimbulkan efek negatif bagi kesehatan terutama bila reaksi tersebut menghasilkan Advanced Glycation End
Products (AGEs). Mengubah cara memasak dengan menggunakan suhu yang cukup dan menerapkan pola makan seimbang – bervariasi seperti buah dan sayur, diharapkan dapat mencegah dan mengurangi dampak negatif dari glikasi yang berlangsung di dalam tubuh.
Refleksi Fakultas Ilmu Kesehatan sebagai satu-satunya Fakultas dengan Program Studi Ilmu Gizi dan Program Studi Teknologi Pangan di Salatiga sudah selayaknya memberikan kontribusi positif dalam bidang gizi, perbaikan gizi, maupun pengolahan pangan. Secara aktif, Program Studi Gizi dapat memberikan edukasi bagi para siswa mulai dari tingkat dasar hingga menengah melalui sekolah -sekolah dengan melakukan promosi kesehatan gizi guna meningkatkan status gizi anak-anak. Makanan harus disadari bukan lagi hanya sebagai materi yang dibutuhkan untuk memenuhi rasa kenyang bagi perut, namun cara pandang tersebut harus mulai diubah sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan nutrisi bagi perbaikan diri untuk pertumbuhan dan perkembangan bahkan peningkatan prestasi baik dalam hal akademik maupun non akademik. Pemilihan nutrisi yang tepat dapat menunjang kinerja otak dan tubuh untuk beraktivitas secara optimal. Keluarga dan masyarakat juga perlu mendapatkan edukasi yang tepat terkait pemilihan dan penyiapan bahan pangan bagi keluarga dan masyarakat. Keluarga, khususnya Ibu menjadi salah satu dasar dan tokoh penting dalam mempersiapkan anak-anak maupun anggota keluarga lain untuk mendapatkan kecukupan gizi harian. Pemahaman tentang gizi dan pengolahan pangan perlu diberikan kepada keluarga dan Fakultas Ilmu Kesehatan, khususnya Program Studi Ilmu Gizi dan Program Studi
292
Teknologi Pangan dapat turut ambil bagian dalam ranah pengabdian bagi masyarakat untuk memberbaiki dan meningkatkan gizi keluarga. Maraknya berbagai jajanan maupun panganan kaki lima, baik di lingkungan sekolah maupun kawasan pinggir jalan layak mendapat perhatian dan kajian dari Fakultas Ilmu Kesehatan. Kontribusi yang dapat diberikan dapat berupa edukasi maupun penyuluhan bagi para pedagang jajanan maupun panganan agar dapat menyuguhkan pilihan makanan maupun minuman yang sehat, bergizi, dan higienis bagi masyarakat. Inovasi dalam hal pengolahan bahan pangan juga perlu ditingkatkan agar masyarakat memiliki banyak ide maupun pilihan dalam mengolah berbagai bahan pangan yang tersedia di pasaran. Baik disadari maupun tidak, jajanan maupun panganan kaki lima yang saat ini marak beredar dapat berkontribusi pada peningkatan kasus gangguan kesehatan, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa penyakit dapat ditimbulkan akibat dari kebiasaan makan yang tidak tepat. Kebiasaan makan ini tidak hanya terbatas pada cara makannya saja, tetapi juga pemilihan bahan makanan dan frekuensi makan (pola makan). Tidak hanya diare, sakit perut, maupun tipus yang kerap melanda masyarakat atau anak-anak pada khususnya, namun juga pengaruh glikasi, hipertensi, strok, DM, kenaikan gula darah, gangguan sirkulasi jantung, bahkan kanker dapat menjadi permasalahan besar dan masif apabila tidak dikendalikan sedari dini. Hipertensi dapat menjadi “hantu” bagi masyarakat di Indonesia karena gaya hidup masyarakat, yang mungkin sudah dimulai dari masa anak-anak, enggan mengkonsumsi buah dan sayur secara rutin setiap hari. Faktor risiko hipertensi dapat terjadi akibat pilihan menu makanan yang terbatas pada makanan daging maupun olahannya seperti makanan siap saji yang terasa gurih, mengandung banyak lemak, protein, tinggi garam, dan rendah serat pangan. Mengubah persepsi masyarakat tentang mengolah makanan memang tidak mudah. Masyarakat telah terbiasa untuk mengolah bahan makanan dengan cara dimasak menggunakan api dan dengan menambahkan berbagai campuran bumbu 293
masakan yang dapat saja berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan. Namun, Fakultas Ilmu Kesehatan harus tetap bertahan dengan memberikan kontribusi ide-ide dalam pengolahan bahan pangan dan terus berkarya dalam pengabdian masyarakat untuk terjun langsung ke lapangan, berhadapan dengan masyarakat dan mengutarakan pentingnya hidup sehat melalui makanan dan minuman yang dikonsumsi setiap hari. Masyarakat perlu disadarkan secara penuh untuk mau memulai dan melangkah menuju perubahan pola hidup yang lebih sehat. Berbagai penelitian perlu dikembangkan untuk dapat memberikan kontribusi terhadap pengolahan bahan makanan, termasuk di dalamnya melalui cara pemasakan agar tidak menimbulkan efek AGEs dalam jangka panjang atau bahkan melakukan intervensi guna ‘memotong’ siklus rantai menuju AGEs. Daging misalnya, merupakan bahan makanan yang banyak mengandung lemak (kolesterol). Daging mengandung Very Low Density Lipoprotein (VLDL) dan Low Density Lipoeprotein (LDL) (lemak jahat) dengan kadar yang tinggi dibandingkan dengan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Bila kadar kolesterol dalam pembuluh darah tinggi, maka akan terjadi penyempitan pembuluh darah. Pada keadaan yang berat dimana terjadi sumbatan total dari pembuluh darah, maka akan terjadi kerusakan organ. HDL akan membawa kolesterol bebas dari pembuluh darah ke hati, sehingga diameter pembuluh akan melebar, sedangkan bila kadar VLDL dan LDL tinggi maka akan terjadi hal sebaliknya yang akan memperberat penyempitan pembuluh darah dan akan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah (Herwati dan Sartika, 2013). Mengubah cara memasak dengan menggunakan suhu yang cukup dan menerapkan pola makan seimbang – bervariasi seperti buah dan sayur, diharapkan dapat mencegah dan mengurangi dampak negatif dari glikasi yang berlangsung di dalam tubuh. Pemantauan gizi masyarakat harus secara kontinu dilakukan agar dapat dilakukan upaya perbaikan ataupun stabilitas status gizi agar menjadi atau tetap baik.
294
Daftar Pustaka Ando, K., Beppu, M., Kikugawa, K., Nagai, R., dan Horiuchi, S. 1999. Membrane Pro-teins ofHuman Erythrocytes are Modified byAdvanced Glycation End Products Dur-ing Agingin the Circulation. Biochem. Biophys. Res. Commun. 258 : 123 – 127.
Apriani, N., Suhartono, E., dan Akbar, I. Z. 2011. Korelasi Kadar Glukosa Darah den-ganKadar Advanced Oxidation Protein Products (AOPP) Tulang pada Tikus Putih ModelHiperglikemia. JKM Vol. 11 (1) : 48 – 55. Bao, Z., Guan, S., Cheng, C., Wu, S., Wong, S. H., Kemeny, D. M., Leung, B. P., dan Wong,W. S. F. 2009. A Novel Antiinflammatory Role for Andrographolide in Asth-ma viaInhibition of the Nuclear Factor-B Pathway. Am. J. Respir. Crit. Care Med.
179 (8) : 657 – 665. Basta, G., Schmidt, A. M., dan De Caterina, R. 2004. Advanced Glycation End Products andVascular Inflammation: Implications for Accelerated Atherosclerosis in Diabetes. Cardiovasc. Res. 63 : 582 – 592. Glenn, J. V. dan Stitt, A. W. 2009. The Role of Advanced Glycation End Products in Reti-nalAgeing and Disease. Biochimica et Biophysica Acta (BBA) – General Sub-jects 1.790(10) : 1.109 – 1.116. Gul, A., Rahman, M. A., Salim, A., dan Simjee, S. U. 2009. Advanced Glycation EndProd-ucts in Senile Diabetic and Nondiabetic Patiens with Cataract. J. DiabetesCompli-cations 23 (5) : 343 – 348. Harahap, Y. 2006. Pembentukan Akrilamida dalam Makanan dan Analisanya. Majalah IlmuKefarmasian, Vol III (3) : 107 – 116. Henle, T. 2005. Protein-Bound Advanced Glycation End Products (AGEs) as BioactiveAm-ino Acid Derivatives in Foods. Amino Acids 29 (4) : 313 – 322. Herwati dan Sartika, W. 2013. Terkontrolnya Tekanan Darah Penderita Hipertensi Ber-dasarkan Pola Diet dan Kebiasaan Olah Raga di Padang Tahun 2011. Jurnal Kes-ehatan Masyarakat, Sep. 2013 – Mar. 2014, Vol. 8 (1) : 8 – 14. Nantitanon, W. S., Yotsawimonwat, S., dan Okonogi, S. 2010. Factors InfluencingAntioxidant Activities and Total Phenolic Content of Guava Leaf Extract. LWT – FoodScience and Technology 43 (7) : 1.095 – 1.103. Rahmadi, A. dan Zahid, M. 2010. Mengatasi Produk Akhir Glikasi Protein: Mencari,Memanfaatkan, dan Melestarikan Obat-obatan Asal Hutan Tropis yangMenyembuhkan Penyakit Degeneratif. Proceeding of South East Asian AgroForestryEducation (SEANAFE). Bogor.
295
Riviere, S., Birlouez-Aragon, I., dan Vellas, B. 2010. Plasma Protein Glycation in Alzheimer’sDisease. Glycoconjugate Journal 15 (10) : 1.039 – 1.042. Suryani, D. R., Legowo, A. M., dan Mulyani, S. 2014. Aroma dan Warna Susu Kerbau AkibatProses Glikasi D-psikosa, L-psikosa, D-tagatosa, dan Ltagatosa. Jurnal Ap-likasiTeknologi Pangan 3 (3) : 121 – 124. WHO. 2002. Health Implication of Acrylamide in Food: Report of a Joint FAO / WHOCon-sultation. Geneva, Swiss : World Health Organization (WHO). Ulrich, P. Dan Cerami, A. 2001. Protein Glycation, Diabetes, and Aging. Recent Prog. Horm.Res. 56 (1) : 1 – 22. Uribari, J., Woodruff, S., Goodman, S., Cai, W., Chen, X., Pyzik, R., Yong, A., Striker, G.E., dan Vlassara, H. 2010. Advanced Glycation End Products in Foods and aPractical Guide to Their Reduction in Diet. Journal of the American DieteticAs-sociation 110 (6) : 911 – 916.
296
Biodata Penulis Angkit Kinasih. Lahir di Salatiga, 20 Mei 1987. Menyelesaikan S1 di Universitas Negeri Yogyakarta dan S2 di Universitas Negeri Semarang. Fokus
penelitian Aktifitas Fisik dan Kesehatan. Antonius Tri Wibowo. Lahir di Ermera, 7 Maret 1985. Menyelesaikan S1 dan S2 di Universitas Negeri Yogyakarta. Fokus penelitian tentang Aktifitas Fisik dan Kesehatan. Arwyn Weynand Nusawakan. Lahir di Ambon, 23 April 1990. Lulusan S1 dari Universitas Kristen Satya Wacana dan S2 dari Silliman University Filipina. Fokus penelitian tentang Antropologi Kesehatan. Dary. Lahir di Malang, 15 Maret 1984. Lulusan S1 dari Universitas Brawijaya dan S2 dari Silliman University Filipina. Fokus penelitian tentang Kesehatan Ibu, Anak, dan Keluarga. David Nakka Gasong. Lahir di Palopo, 23 September 1964. Menyelesaikan S1 di Universitas Kristen Satya Wacana dan S2 di Universitas Gadjah Mada. Fokus penelitian ialah Manajemen Rumah Sakit dan Penyakit Menular. Desi. Lahir di Cemara Jaya, Halmahera, 6 Desember 1990. Lulusan S1 dari Universitas Brawijaya dan S2 dari Silliman University Filipina. Fokus penelitian ialah keperawatan jiwa, keperawatan transcultural dan palliative care.
Dhanang Puspita. Lahir di Kabupaten Semarang, 20 April 1983. Menyelesaikan S1 dan S2 di Universitas Kristen Satya Wacana. Fokus penelitian
tentang Biopigmen. Ery Budiono. Lahir di Kebumen, 26 mei 1960. SMA Kristen Masehi Kebumen. Bertanggung jawab tentang keuangan di Fakultas Ilmu Kesehatan.
Ferry Fredy Karwur. Lahir di Minahasa, 4 Februari 1965. Menyelesaikan S1 di Universitas Kristen Satya Wacana, S2 di Wye College (University of London), dan S3 di Imperial College of Science and Technology and Medicine (University of London). Fokus penelitian Genetika Molekuler Gout Arthritis dan Gizi Molekuler.
297
Fiane de Fretes. Lahir di Soe, 18 Februari 1990. Menyelesaikan S1 di Universitas Kristen Satya Wacana dan sedang S2 di Trinity University Filipina.
Fokus penelitian ialah Penyakit Menular: TB, DB dan Malaria. Kristiani Desimina Tauho. Lahir di Soe, 25 Desember 1989. Menyelesaikan S1 di Universitas Kristen Satya Wacana. Fokus penelitian tentang Kesehatan Maternal.
Kristiawan Prasetyo Agung Nugroho. Lahir di Kelaten, 15 September 1985. Menyelesaikan S1 dan S2 di Universitas Kristen Satya Wacana. Fokus penelitian tentang Gizi, Glikasi dan Kesehatan, serta Epidemiologi. Kristin Wulandari. Lahir di Salatiga, 18 Januari 1986. Lulusan D3 Komputerisasi Akuntansi dari Universitas Kristen Satya Wacana. Pengelola WEB dan membantu kegiatan Promosi Fakultas Ilmu Kesehatan.
Kukuh Pambuka Putra. Lahir di Tuluagung, 9 Januari 1990. Lulusan S1 dari Universitas Negeri Surabaya dan S2 dari Universitas Airlangga. Fokus penelitian tentang Aktifitas Fisik dan Kesehatan. Martinus Heri Siswanto. Lahir di Salatiga, 27 Februari 1976. Lulusan dari STM Wargo Surakarta. Pengelola Perpustakaan dan Pelayanan Umum Fakultas Ilmu Kesehatan. Monika Rahardjo. Lahir di Semarang, 7 Juni 1990. Lulusan S1 dari Universitas Katholik Parahyangan dan S2 dari Universitas Katholik Soegijapranata. Fokus penelitian tentang Inovasi Pangan.
Noba Tri Hermani. Lahir di Boyolali, 22 November 1977. Lulusan D3 dari STIKES Tlogorejo. Laboran di Laboratorium Fakultas Ilmu Kesehatan. Priska Lydia Sulistyawati Pulungan. Lahir di Semarang, 24 Juni 1988. Menyelesaikan S1 dan S2 di Universitas Kristen Satya Wacana. Fokus penelitian tentang Aktifitas Fisik dan Kesehatan. Raden Rara Maria Dyah Kurniasari. Lahir di Magelang, 15 Maret 1991. Lulusan S1 dari Universitas Kristen Satya Wacana, Profesi Ners dari STIKES Karya Husada, dan S2 dari Universitas Diponegoro. Fokus penelitian tentang Medical Biology (Immunology).
298
Rambu Lawu Nedi Kristanti Retno Triandhini. Lahir di Semarang, 23 Januari 1975. Menyelesaikan S1 dan S2 di Universitas Kristen Satya Wacana. Fokus penelitian tentang Nutrisi dan Faktor Genetika pada Kardiometabolik. Rosiana Evarayanti Saragih. Lahir di Jakarta, 24 Oktober 1989. Lulusan S1 dari Universitas Brawijaya dan S2 dari Silliman University Filipina. Fokus penelitian mengenai Cardiometabolic Syndrome. Sarlina Palimbong. Lahir di Sukabumi, 20 Januari 1984. Lulusan S1 dari Universitas Kristen Satya Wacana dan S2 dari Universitas Gadjah Mada. Fokus penelitian ialah Pangan Fungsional. Sri Rejeki Handayani. Lahir di Salatiga, 9 Maret 1966. Lulusan SMK Indonesia Surakarta. Bertanggung jawab tentang Kerumahtanggaan dan Pelayanan Informasi di Fakultas Ilmu Kesehatan. Sri Suwarni. Lahir di Kabupaten Semarang, 7 April 1984, Lulusan D3 Analisis Kimia Industri dari Universitas Kristen Satya Wacana. Laboran di Laboratorium Fakultas Ilmu Kesehatan. Theresia Pratiwi E. Sanubari. Lahir di Surakarta, 26 Maret 1988. Menyelesaikan S1 di Institut Pertanian Bogor dan S2 di Universitas Airlangga. Fokus penelitian ialah Food Ingredient & Nutrition, Biokimia, dan Epidemiologi-HIV. Tressia Sujana. Lahir di Bandung, 11 Juli 1982. Tamatan D3 dan S1 dari STIK Imanuel Bandung dan S2 dari Sunshine Coast University Australia. Fokus penelitian ialah Kesehatan Masyarakat. Venny Santosa. Lahir di Semarang, 24 Juli 1980. Menyelesaikan S1 di Universitas
Kristen Satya Wacana, S2 di UKSW dan Kwansei Gakuin University serta S3 di Kwansei Gakuin University Jepang. Fokus penelitian tentang Inovasi Pangan. Venty Agustina. Lahir di Yogyakarta, 5 Agustus 1984. Lulusan D3 dari AKPER Bethesda Yogyakarta, S1 dari Universitas Gadjah Mada dan sedang S2 di Trinity University Filipina. Fokus penelitian ialah Gizi Balita. Vera Indriawati. Lahir di Salatiga, 19 Agustus 1981. Lulusan D3 dari STIKES Elizabeth. Laboran di Laboratorium Fakultas Ilmu Kesehatan.
299
Yohanes Bosco Prasetyo. Lahir di Ambarawa, 14 September 1983. Lulusan S1 dari Universitas Kristen Satya Wacana. Bertanggung jawab tentang Kerumahtanggaan dan Pelayanan Informasi di Fakultas Ilmu Kesehatan. Yosia Okta Pungkarsari. Lahir di Salatiga, 28 Oktober 1982. Lulusan D3
Sekretaris dari Universitas Kristen Satya Wacana. Sekretariat pengelola surat menyurat dan kearsipan di Fakultas Ilmu Kesehatan Yulius Y. Ranimpi. Lahir di Dompu, 26 Juli 1973. Menyelesaikan S1 di Universitas Wisnuwardhana, S2 di Universitas Kristen Satya Wacana, dan sedang menyelesaikan S3 di Sunshine Coast University Australia. Fokus penelitian ialah Indigenous Psychology, Community Mental Health, Phenomenology Research.
300
Indeks Symbols 2, 6, 8-trihydroxypurine 139
Astaksantin 254 Aterosclerosis 144 Aterosklerosis 290, 291
A
Atoll 250
A1CF 132
Atropometrik 140
ABCG2 132, 133
ATXN2 132
Abdominal obesity 189
Austronesia 159, 160, 163, 164
ACVR1B 132
B
ACVRL1 132 Advance Glycation End-Products 286 Aerobik 193, 200, 209, 210, 212, 213 AGEs 286, 287, 288, 289, 290, 291, 292, 294 AKI 148 Akrilamida 289, 291 Allopurinol 140 Alternative splicing 143 Amadori 286 Anafilatoksin 172 Anak berkebutuhan khusus 76, 79, 80, 82 Analisis hubungan keluarga 130, 131 Androgen 200 Aneurisma 291 Antibodi 172, 173
B3GNTA 132 Bakteri 247, 248, 251, 252, 254, 256, 257 Barrier reef 250 Basa schiff 285 Batu ginjal 139, 145, 148 BAZ1B 132 Biokatif 247, 248 Biopigmen 10, 248, 255, 257 Biota 247, 252 Bisphenol A 231 Body functions 97 BPA 231 BPOM 225 BQA 259, 260, 261, 262, 264, 265, 266,
Antigen 172, 173
270 BTP 248, 253, 258
Antihiperurisemia 140
C
Antioksidan 140, 154, 243, 287, 288, 290 AOPP 288 ARIC 144 Arthritis 169 Articular cartilage 149 Asam urat (AU) 10, 125, 127, 128, 129, 130,
Candidate gene 130 Capacity Building 17 Cardiovascular 178 CCPs 226, 227 cDNA 141, 142, 152
132, 133, 134, 139, 140, 143, 144, 145,
Chondrocytes 149
146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153,
Clinical Chemistry 139
154, 155, 164, 169, 170, 171, 172, 173
Cnidaria 248
301
Community nurses 17, 18, 19, 23, 26, 31, 32,
44, 45, 56 Consciousness 92, 93, 95, 98
D Degeneratif 197, 202, 204, 289 Diabetes 126, 127, 128, 129, 132, 133, 160, 178, 187, 289 Diabetes mellitus 35, 125, 127, 128, 129, 131, 134, 164, 177, 178, 179, 180, 181, 242, 244, 288, 290 Diabetes Tipe 2 133, 134, 141, 164, 189
FSIS 260 Fungsi ekonomi 76, 78, 113, 115, 117 Fungsi keluarga 78, 81, 82 Fungsi Keluarga 75 Fungsi perawatan 78 Fungsi reproduksi 76 Fungsi sosial 113, 115 Fungsi sosialisasi 76, 77
G Gastrodermis 249
Diskriminasi 79, 104, 107, 108, 110
GCKR 132, 133
DNA 142, 144, 199
Gen 128, 129, 130, 131, 132, 133, 140, 141, 142, 143, 145, 148, 149, 152, 153, 154 Genetik 128, 129, 130, 131, 133, 134, 155, 164, 171, 173, 185, 190, 192
Down Syndrome 129
E EIAKI 146, 147, 148 EIARF 145, 146, 148 Ekosistem 248 Endokrin 199 Endorfin 188 Epidemik 85 Epidemiologi 9, 41, 73, 127, 159, 160, 162, 177, 178
Genetika 125, 131, 140, 143, 198 Gen kandidat 130, 131 Genom 131, 134 Genome Wide Association 131, 132 Genomik 142 Glikasi 285, 286, 287, 290, 291, 292, 293, 294 GLUT 141, 143 GLUT9 141, 145, 146, 147
Esterogen 200
GLUT9S 145
Etika 113, 114, 116
GLUTX 141 Gout 127, 133, 171
F
Gout arthritis 144, 170, 171, 172, 173,
Facilitative glucose transporter
174 GRPs 228
141 Fagosit polimorfonuklear 172
Gula reduksi 285
Family-based lingkage 130
GWAS 130, 131, 132, 133, 140, 141
FDA 226
H
Fetus 126 FHS 144
HACCP 226, 227, 228, 235, 261, 262, 274
Food grade 231 Framingham
HDL 294
Heart Study 144 Fringing reef 250
302
HDPE 231 Hibridisasi homologi 141, 142
Hiperglikemia 126, 288
Kardiopulmonal 199
Hiperinsulinemia 288 Hipertensi 127, 128, 160, 187, 293
Kardiorespirasi 209, 210, 212, 213, 214, 215, 217, 218
Hipertrigliserida 288
Kardiovaskular 198, 216
Hiperuricosuria 154
Kardiovaskuler 127, 193, 290
Hiperurisemia 127, 140, 141, 154
Karkas 261, 269, 270, 274
Hipourisemia 140, 146, 147, 148
Karotenoid 252, 254
Histamin 172
Karsinogen 204
HLF 132
KCNJ11 131
HNF4G 132
Kebugaran 210, 212, 213, 215, 217, 218
HNF4α 153
Kematian ibu 9, 47, 48, 49, 60, 62, 70,
Homeostasis 132, 139, 141, 145, 153, 155
72 keperawatan keluarga 82
Hormon 199, 200, 201, 204, 216
Keperawatan komunitas 36, 38, 40, 43, 44, 164 Keperawatan Lintas Budaya 55 Kesehatan maternal 49, 50, 59, 60 Kesehatan mental 103, 104, 106, 107, 108, 110, 111
Humaniora 113, 114, 116 Husbandry Practices 269 hyperlipidemia 160
I IGF1R 132 Indeks Masa Tubuh 189 Inflamasi 169, 170, 172, 173, 174, 199, 288 Inflammasome 173 INHBB 132 INHBC 132 Inovasi Pangan 10 Insektisida 277, 278, 280, 282 Insulin 125, 132, 133, 178, 200 Interventions 17, 33 ISO 225 Isoleusin 144
K Kalori 188, 189, 190 Kanker 197, 198, 199, 201, 204 Kantaksantin 253, 254 Kardiometabolik 9, 10, 125 Kardiometabolik sindrom 164, 165
Kesehtan mental 107 Kompetensi 54 Kompetensi budaya 52, 53, 56 Komplikasi persalinan 62, 63, 69 Komplikasi Persalinan 73 Kromosom 129
L Laboratorium lapangan 40 Lahan praktik 38, 40 LDL 294 LDPE 231 leadership 31 Leadership 18, 19, 22, 23, 24, 25, 28, 29, 32, 33 Leukosit 172, 173 Likopen 254 Lingkage mapping 132 Lokus 132 LRP2 133 LRRC16A 133
303
LSC2A9 142, 143, 144, 145, 147, 148, 151, 154, 155 LSC2A9L 152 LSC2A9S 152
Oahraga 192, 197, 198, 199, 201, 202, 209, 212, 213, 214, 217
M
OAT4 149 Obesitas 10, 128, 129, 160, 185, 186, 189, 190, 191, 192, 193, 197
MAF 132
Obstructive lithiasis 154
Malnutrisi 280
Olahraga 10, 193, 200, 204
maternal 60, 61, 62
Osteoporosis 177
Maternal health 17, 18, 21, 23, 25, 26, 27, 28, 30, 31, 32, 33, 54, 71, 73
OTC 266, 267
MDCK 152
P
Medium ZoBell 256, 257 Melanoidin 286 Mental health 10, 74, 95, 96, 98, 100, 110, 111, 112 Mesoglea 249 Metabolic diseases 179
Metabolic syndrome 169, 189 Metabolik kronis 125 MHT 277, 282 Missense homozygous 147 Missense transisional 148 Mitokondrial 129 Morbiditas 60, 61, 62 mRNA 143
Pangan 223, 224, 239, 259, 277, 278, 279, 280,
282, 285, 286, 289, 292 pankreas 125 Patofisiologi 140 PCR 143, 145 PDZK1 132 PE 231 Pelepasan plasenta 63, 65 pendekatan budaya 110, 111 pengetahuan berbudaya 53 peran perawat 37, 40 Perawat lintas budaya 47, 53, 54 Perception 10, 94, 95, 96, 98, 99, 101
Muskuloskeletal 199
Perdarahan postpartum 62, 63, 65, 66, 68, 69, 71, 72, 73, 74
Mutasi heterozygous 146, 147
Perkembangan Kognitif 1, 175,
N
221 PET 231
Nephroliathis 147
Pewarna alami 247 Phenomenology 91, 92, 93, 94, 95, 97, 99, 100, 101
nephrolithiasis 145, 147
Pigmen 248, 251, 252, 257
nephropathy 154
pigmen alami 247
neurologi 160, 161
Polip 249, 250 PP 231
NCDs 180
NFAT5 132 Non-Communicable Diseases 177, 178, 179, 181, 197
304
O
PPARG 131 PRES 146, 148
Primary Health Care 17, 18, 19, 21,
SLC2A9 132, 133, 139, 141, 142, 143, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 152, 153, 154
31 PRKAG2 132 Progesteron 200
SLC2A9L 143, 149, 152, 154
Proinflamatori 173, 290
SLC2A9S 143, 152,
Prussic acid 139
154 SLC2AA11 133
PS 231
SLC17A1 132, 133
Purin 127, 172, 173
SLC22A11 133
Pyroptosis 173
SLC22A12 132, 133 SLC22AA11
Q
132 SLCA29
QCP 263
133 SNI 225 SNP 140, 143, 144, 145, 154
R
SNPs 131, 133
Radang sendi 171
SOPs 228
Reaksi Maillard 285, 286, 287, 289, 292 Reflection 23, 28, 29, 30, 31, 92
STC1 132 Stigma 79, 107, 110
reflections 18, 25
Stres oksidatif 199, 288
Rehabilitasi 87
Strok 126, 159, 160, 161, 162, 179, 187, 291,
293
Renal hypouricemia 145, 146, 147, 148 Reporter gene essays 153
Sucofindo 225
Retensio plasenta 65
T
RNA 146, 153 RPH 274
Tapenkeng 159
RREB1 132
TCF7L2 132 Terpenoid 252
S
Terumbu karang 247, 248, 249, 250, 251,
Sapi potong 259
256 Testosteron 200
Scleractina 248 Senam aerobik 209, 210, 211, 212, 213, 214, 215, 216, 217 SF1 133
The Human Genome Project 128
SFMBT1 132
Tuberkulosis 48, 85, 87, 88, 89,
Sidroma metabolik 127, 172, 188
90 Tubulointerstitial 146
single nucleotide polymorphisms 131,
Tubulointerstitial inflammation 154
143 SinofialFluid 171 siRNA 150 Sitokin 173
TMEM171 132 Transcription unit 143 TRIM46 132
U UAQTL2 141
305
UBE2Q2 132 Ume Kbubu 1, 15, 123, 175, 221 URAT1 145, 146, 147, 148, 149, 150, 152, 154 URATv1 141 Urinary stones 139 USDA 260, 261, 262, 265, 266 Utilitarian 117
V VEGFA 132 Ventilasi pulmonal 211 VLDL 294 VO2 max 199, 210, 213, 214, 216 Voltage-clamp 151
X Xenopus laevis 149
Z Zeaksantin 253 Zeasantin 254 Zooxantellae 248, 249
306