TAFSIR SURAT YUSUF AYAT 58-62 (KAJIAN NILAI PENDIDIKAN AKHLAK)
Skripsi Diajukan kepada Fakutas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S.Pd.I)
Oleh MUFLIKHATUL KAROMAH NIM : 108011000044
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H / 2014 M
ABSTRAK Nama Nim Fakultas Judul
: : : :
Muflikhatul Karomah 108011000044 Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Tafsir Surat Yusuf ayat 58-62 (Kajian Nilai Pendidikan Akhlak)
Surat Yusuf ayat 58-62 membahas tentang kisah Nabi Yusuf AS. beserta saudara-saudaranya. Dalam kisah Nabi Yusuf AS. ini Allah SWT. menonjolkan akibat yang baik dari sifat kesabaran, dan kesenangan itu datangnya sesudah penderitaan. Di dalam kisah Yusuf AS. ini terdapat nilai-nilai pendidikan akhlak guru, yaitu akhlak terhadap diri sendiri dan terhadap sesama manusia. Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah kurangnya pemahaman para guru terhadap kandungan surat Yusuf ayat 58-62. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui makna yang tersurat dan tersirat dalam ayat tersebut dan untuk mengetahui nilai-nilai akhlak yang terdapat dalam Q.S. Yusuf ayat 58-62. Skripsi ini merupakan suatu upaya penelitian dengan menggunakan penelitian kualitatif, yang pelaksanaannya menggunakan studi kepustakaan (library research), yaitu dengan mengumpulkan data-data kepustakaan yang diperlukan, terutama dari buku-buku yang berkaitan dengan akhlak. Adapun metode tafsir yang digunakan yaitu menggunakan metode tafsir tahlili yaitu suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari keseluruhan aspeknya dengan cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dari keseluruhan aspeknya dengan cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara urut dari awal sampai akhir. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Yusuf ayat 58-62 yaitu akhlak terhadap diri dan terhadap sesama manusia. Adapun nilai pendidikan akhlak yang terdapat di dalam surat Yusuf ayat 58-62 yaitu akhlak pemaaf, sabar, tanggung jawab, dermawan, dan kejujuran.
i
KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah Swt atas Taufik dan Hidayah-Nya, akhirnya penulisan skripsi yang berjudul “TAFSIR SURAT YUSUF AYAT 58-62 (KAJIAN NILAI PENDIDIKAN AKHLAK)” ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW., keluarga, sahabat dan seluruh pengikut beliau hingga akhir zaman. Penulis menyadari bahwa selama proses penulisan karya ilmiah skripsi ini dalam rangka mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, banyak pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan skripsi ini. Maka dari itu penulis memberikan apresiasi yang setinggitingginya sekaligus ucapan terima kasih. Adapun Apresiasi dan ucapan terima kasih ini penulis khususkan kepada : 1. Nurlena Rifai, MA, Ph.D, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Abdul Majid Khon, MA dan Marhamah Saleh, Lc.,MA., Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam juga Seluruh Dosen dan Staf Jurusan Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuannya selama menempuh pendidikan S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Abd. Ghofur, MA, Dosen Pembimbing yang memberikan bimbingan, saran dan kritik selama penulisan skripsi. 4. Bapak Muhammad Sholeh Hasan, Lc., MA, Dosen Penasehat Akademik yang dengan penuh perhatian telah memberi bimbingan, arahan dan motivasi serta ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan. 5. Bapak dan Ibu Dosen yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu namun tidak sedikitpun mengurangi rasa hormat dan takzim penulis, yang telah membimbing penulis selama kuliah di Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
ii
6. Kepada Kedua Orang Tua yakni: Ayahanda Sudin dan Ibunda Umi Hafsoh sebagai sumber motivasi yang telah memberikan didikan, motivasi, doa dan kasih sayang kepada penulis. 7. Adikku tercinta Chafidz Sulton dan Fadil Ghufron, yang menjadi motivasi dan inspirasi bagi penulis dalam penyelesaian skripsi ini. 8. Seorang sahabat terdekat Lala yang selalu memberikan semangat kepada penulis selama menjalani studi di UIN Syarif Hidayatullah sampai terselesaikannya skripsi ini. 9. Sahabat-sahabatku kosan putri bulan Kak Julia, Rahmi, Ikrima yang sudah memberikan motivasi dan bantuannya sampai selesainya skripsi ini. 10. Sahabat-sahabat dan teman-teman kelas A, B dan D PAI, khususnya Teh Irma, Auliya, Khumaidi, Zain, yang sudah memberikan motivasi dan bantuannya sampai selesainya skripsi ini. 11. Teman-teman Jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2008 yang telah memberikan dukungannya dalam melaksanakan skripsi ini. 12. Segenap pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya, terima kasih atas segala bantuan, perhatian dan semangat yang diberikan kepada penulis.
Jakarta, 25 Maret 2014
Penulis
iii
DAFTAR ISI SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ABSTRAK ........................................................................................................
i
KATA PENGANTAR ......................................................................................
ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ........................................... vii BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................
1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................
4
C. Pembatasan Masalah .................................................................
4
D. Perumusan Masalah ...................................................................
5
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................
5
F. Metode Penelitian .......................................................................
6
KAJIAN TEORI A. Pengertian Nilai ..........................................................................
9
B. Pengertian Pendidikan Akhlak .................................................. 10 C. Tujuan Pendidikan Akhlak ....................................................... 15 D. Macam-macam Pendidikan Akhlak .......................................... 16 BAB III
TAFSIR SURAT YUSUF AYAT 58-62 A. Teks Ayat dan Terjemah ............................................................. 25 B. Tafsir Mufradat ........................................................................... 25 C. Tafsir Surat Yusuf Ayat 58-62 .................................................... 26
BAB IV
ANALISIS NILAI PENDIDIKAN AKHLAK PADA Q. S. YUSUF AYAT 58-62 A. Pemaaf ......................................................................................... 41 B. Sabar ............................................................................................ 45
iv
C. Tanggung Jawab ......................................................................... 50 D. Dermawan .................................................................................. 54 E. Kejujuran .................................................................................... 58 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................ 62 B. Saran ........................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN Berdasarkan SKB Menteri Agama dan Menteri P & K RI No. 158/1987 dan No. 0543 b/U/1987 tertanggal 22 Januari 1988
Huruf
Nama
Huruf Latin
Keterangan
Alif
-
tidak dilambangkan
bā’
B
-
tā’
T
-
ṡā’
ṡ
s dengan satu titik di atas
Jīm
J
-
ḥā’
ḥ
h dengan satu titik di bawah
khā’
Kh
-
Dāl
D
-
Żāl
Ż
z dengan satu titik di atas
rā’
R
-
Zāi
Z
-
Sīn
S
-
Syīn
Sy
-
ṣād
ṣ
s dengan satu titik di bawah
Arab
vi
ḍād
ḍ
d dengan satu titik di bawah
ṭā’
ṭ
t dengan satu titik di bawah
ẓā’
ẓ
z dengan satu titik di bawah
‘ain
‘
koma terbalik
Gain
G
-
fā’
F
-
Qāf
Q
-
Kāf
K
-
Lām
L
-
Mīm
M
-
Nūn
N
-
hā’
H
-
wāwu
W
-
tidak dilambangkan
apostrof, tetapi lambang ini tidak
atau ’
dipergunakan untuk hamzah di awal kata
Y
-
hamzah yā’
vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaan yang mencapai puncak kesempurnaan”. Al-Qur’an memperkenalkan dirinya hu-dan li al-nas (petunjuk untuk seluruh manusia). Inilah fungsi utama kehadirannya.1 Ayat alQur’an yang pertama diturunkan memiliki aspek yang sangat transparan dalam pemahaman kependidikan, yakni perintah untuk membaca bagi Rasulullah SAW., dan perintah tersebut dilakukan secara berulang-ulang, dengan menyebutkan bentuk pengajaran yang disandarkan pada Allah SWT.2 Al-Qur’an dijadikan sebagai acuan pokok dalam melaksanakan pendidikan, karena al-Qur’an merupakan sumber nilai utama dari segala sumber nilai yang ada dalam kehidupan manusia. Al-Qur’an memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu di antaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah SWT., dan ia adalah kitab yang selalu di pelihara.3 Di dalam ajaran-ajaran al-Qur’an tidak hanya terdapat petunjuk dan cara-cara latihan untuk membentuk pribadi muslim yang kuat, tetapi juga untuk hidup bermasyarakat yang bukan hanya untuk bermasyarakat dalam satu masyarakat islam saja, melainkan diajarkan dalam al-Qur’an pula satu sistem, yang penuh dengan kebinekaan (pluralitas) secara lengkap dan terpadu, karena memang Allah SWT. menciptakan makhluk ini berlainan yang menunjukkan corak ragam dan mempunyai fungsi masing-masing, maka haruslah hidup berdampingan dalam satu persekutuan hidup yang harmonis. Ajaran-ajaran al-Qur’an dalam pembentukan akhlak merupakan pengisian
1
M.Quraish Shihab, Lentera Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Mizan Pustaka, 2008), Cet. II, h.
21. 2
Prof. Dr. Muhammad Athiyah Al-Abrasy, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), Cet. I, h. 33 3 M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. VI, h. 21
1
2
yang sangat penting dalam perwujudan tingkah laku moral dalam kehidupan sehari-hari.4 Pendidikan akhlak islami merupakan suatu proses mendidik, memelihara, membentuk, dan memberikan latihan mengenai akhlak dan kecerdasan berpikir baik yang bersifat formal maupun informal yang didasarkan pada ajaran-ajaran agama islam.5 Seseorang yang memiliki akhlak al-karimah akan selalu berusaha untuk berbuat baik, bertakwa serta berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Di dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT., seseorang akan selalu diingatkan kepada hal-hal yang bersih dan suci, ibadah yang dilakukan semata-mata ikhlas dan mengantar kesucian seseorang menjadi tajam dan kuat. Sedangkan jiwa yang suci akan membawa budi pekerti yang baik dan luhur. Oleh karena itu, ibadah disamping latihan spiritual juga merupakan latihan sikap dan meluruskan akhlak. Keutamaan akhlak yang dimanifestasikan dalam keteladanan yang baik, adalah faktor terpenting dalam upaya memberikan pengaruh terhadap hati dan jiwa. Inilah faktor terpenting menyebarnya islam ke pelosok bumi dan dalam memberikan petunjuk kepada manusia untuk mencapai iman dan menelusuri jalan islam.6 Akhlak yang baik merupakan sifat Nabi Muhammad SAW. dan merupakan amal para shiddiqin yang paling utama, ia merupakan separuh dari agama dan merupakan buah dari kesungguhan orang yang bertakwa. Sedangkan akhlak yang jelek merupakan racun yang mematikan dan yang membinasakan.7 Mengingat pentingnya pendidikan akhlak bagi terciptanya kondisi lingkungan yang harmonis, diperlukan upaya serius oleh para guru untuk 4
Ahmad Shahibuddin, Fungsi Al-Qur’an Dalam Pembentukan Mental Remaja, (Jakarta: Dewaruci Press, 1984), Cet. I, h. 9 5 M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2007), h. 23 6 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan anak dalam islam, (Jakarta: Pustaka amani, 1995), Cet. I, h. 30 7 Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf, (Yogyakarta: UIN-Malang Press, 2008),Cet. I, h. 55
3
menanamkan nilai-nilai tersebut secara intensif. Pendidikan akhlak dalam kaitan ini berfungsi sebagai panduan bagi manusia agar mampu memilih dan menentukan suatu perbuatan dan pada akhirnya dapat menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk, serta menerapkan perilaku yang baik dan meninggalkan perilaku yang buruk tersebut. Jika melihat fenomena yang terjadi di kehidupan manusia pada zaman sekarang ini sudah jauh dari nilainilai yang terkandung dalam al-Qur’an. Hal ini terlihat dari bentuk penyimpangan terhadap nilai tersebut mudah ditemukan di lapisan masyarakat baik remaja, dewasa maupun orang tua. Salah satu penyebabnya adalah karena kurang pemahaman para guru terhadap nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam al-Qur’an. Belakangan ini banyak gejala-gejala yang menunjukkan kualitas akhlak para peserta didik yang rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kasus, misalnya hilang etika, sopan santun baik dari kalangan anak-anak, remaja dan orang dewasa, sulit mencari orang yang jujur, kurang rasa tanggung jawab, dan amanat yang sering diabaikan. Masalah-masalah tersebut tentu memerlukan solusi. Dalam hal ini satu-satunya upaya yang perlu ditempuh agar dapat mengantarkan individu kepada terjaminnya akhlak generasi penerus yaitu dengan kembali kepada ajaran yang bersumber pada al-Qur’an. Kisah dalam al-Qur’an tidaklah seperti kisah-kisah biasa atau dongeng-dongeng yang banyak ditemukan di masyarakat secara turuntemurun yang kadang kala banyak dihiasi dengan hal-hal yang fiktif. Tetapi kisah dalam al-Qur’an merupakan kisah-kisah yang menceritakan peristiwaperistiwa yang terjadi dimasa lampau serta disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui wahyu. Kisah-kisah ini tentunya ada tujuan penting bagi kehidupan ini. Salah satu kisah tersebut adalah kisah Nabi Yusuf AS. dalam AlQur’an, yaitu pada Surat Yusuf. Surat ini terdiri dari 111 ayat yang termasuk golongan surat Makkiyah, karena turunnya di Makkah sebelum Nabi hijrah. Dalam kisah Nabi Yusuf ini Allah SWT. menonjolkan akibat yang baik dari sifat kesabaran, dan kesenangan itu datangnya sesudah penderitaan. Di dalam
4
kisah Yusuf ini terdapat nilai-nilai pendidikan akhlak guru yang meliputi akhlak pemaaf, sabar, tanggung jawab, dermawan, dan kejujuran. Semua sikap-sikap ini termasuk akhlak, yaitu akhlak terhadap diri sendiri dan terhadap sesama manusia. Pada hakikatnya orang berbuat baik atau berbuat jahat terhadap orang lain itu untuk pribadinya sendiri, orang lain senang berbuat baik kepada diri kita, karena kita telah berbuat baik kepada orang lain pula. Adanya kesenjangan antara teori dan realita di atas, telah mendorong penulis untuk mengkaji surat Yusuf. Mengingat cukup panjangnya riwayat tersebut, dimulai dari Yusuf kecil sampai dewasa, maka yang dijadikan objek kajian adalah dari Q.S. Yusuf ayat 58-62, yang tertuang dalam judul : “TAFSIR SURAT YUSUF AYAT 58-62 (KAJIAN NILAI PENDIDIKAN AKHLAK)”.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan
latar
belakang
masalah
di
atas,
maka
penulis
mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan judul yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu : 1. Kurang
pengetahuan
masyarakat
terhadap
pemahaman
nilai-nilai
pendidikan akhlak yang terkandung dalam al-Qur’an. 2. Kualitas akhlak peserta didik yang rendah. 3. Hilang etika, sulit mencari orang yang jujur, kurang rasa tanggung jawab, dan amanat yang sering diabaikan.
C. Pembatasan Masalah Agar terhindar dari meluasnya pembahasan dan penelitian ini, maka peneliti membatasi ruang lingkup penelitian hanya pada : 1. Isi Kandungan surat Yusuf ayat 58-62. 2. Nilai-nilai Pendidikan akhlak yang terkandung di dalam Q.S. Yusuf ayat 58-62.
5
D. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis merumuskan masalah yang berkaitan dengan judul yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu : 1. Apa sajakah nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung di dalam Q.S. Yusuf ayat 58-62 ? 2. Bagaimana pendapat para mufassir tentang nilai-nilai pendidikan akhlak dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 58-62 ?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Adapun Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian penulisan skripsi ini adalah : a. Untuk mengetahui apa saja nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam al-Qur’an surat yusuf ayat 58-62 b. Untuk mengetahui pendapat para mufassir tentang nilai-nilai pendidikan akhlak kajian al-Qur’an surat Yusuf ayat 58-62. 2. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Memberikan informasi ilmiah kepada dunia pendidikan islam. b. Dapat mempelajari dan memahami al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman hidup manusia agar ajaran-ajarannya dapat direalisasikan dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari. c. Menumbuhkan keimanan dan ketakwaan yang lebih mendalam. d. Untuk mengetahui dan mendalami isi-isi kandungan al-Qur’an tentang nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Yusuf ayat 58-62. e. Sebagai salah satu sumbangsih karya ilmiah dengan memberikan manfaat kepada para pembaca, khususnya kepada penulis.
6
F. Metode Penelitian Adapun metode yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah metode analisis deskriptif, yaitu penulis menganalisis masalah yang akan dibahas dengan cara mengumpulkan data-data kepustakaan berupa ayatayat al-Qur’an yang berkaitan dengan apa yang akan ditafsirkan, dan pendapat para mufassir. Kemudian menganalisis pendapat para mufassir, selanjutnya membuat kesimpulan. 1. Jenis penelitian Penelitian
ini
bercorak
pure
library
research
(penelitian
kepustakaan murni). Dengan mempelajari dan memahami kitab-kitab tafsir seperti Al-Misbah, Al-Maraghi, Al-Azhar. 2. Sumber bahan Sumber bahan kajian dalam penulisan ini menggunakan data informasi yang bersifat literature kepustakaan, karena itu metode penulisan yang dipilih adalah library research, yang bersumber pada tafsir Al-Maraghi dan buku pendidikan khususnya yang berhubungan dengan pembahasan. 3. Teknik Pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah study literature (book survey), yakni mengumpulkan kitab-kitab tafsir yang pembahasannya berkaitan dengan masalah yang akan dikaji, kemudian mengumpulkan bahan-bahan yang terkait dengan masalah pendidikan akhlak. Adapun langkah-langkah yang akan ditempuh dalam teknik pengumpulan data ini adalah : a. Mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti, dengan mengambil dari beberapa sumber buku yang saling berhubungan. b. Mengklasifikasi data-data dari sumber tersebut, yakni dengan cara mengelompokkan data-data berdasarkan jenisnya, yaitu : 1) Sumber Primer (sumber pokok), yaitu : a. Tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab.
7
b. Tafsir Al-Maraghi karya Ahmad Mustafa Al-Maraghi. c. Tafsir Al-Azhar karya Hamka.
2) Sumber Sekunder (sumber umum), yaitu : a. Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf: Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat dan Tasawuf, Jakarta: Karya Mulia, 2005. b. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2008. c. M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Alqur’an, Jakarta: Amzah, 2007. d. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta : Ciputat Press, 2002. e. Dan buku-buku lain yang relevan dengan pembahasan. 4. Analisis Data Dalam
menganalisis
data
yang
telah
terkumpul
penulis
menggunakan metode tafsir tahlili yaitu berusaha menjelaskan kandungan ayat al-Qur’an secara berurutan ditinjau dari berbagai seginya dengan memperhatikan urutan-urutan ayat-ayat dalam mushaf.8 Tafsir tahlili merupakan suatu metode yang bermaksud menjelaskan dan menguraikan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh isinya, sesuai dengan urutan ayat di dalam suatu surat. Dalam tafsir ini ayat ditafsirkan secara komprehensif dan menyeluruh. Dimulai dengan menyebutkan ayat-ayat yang akan ditafsirkan, menjelaskan makna lafadz yang terdapat di dalamnya, menjelaskan munasabah ayat dan menjelaskan isi kandungan ayat dan kemudian dikaitkan dengan pendekatan pendidikan. Dalam prakteknya, metode analisis tahlili dilakukan dengan dua cara, yaitu tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi. Tafsir bi al-ma’tsur merupakan suatu bentuk penafsiran yang berdasarkan pada ayat al-Qur’an, hadits nabi, pendapat sahabat atau tabi’in. Sementara tafsir bi al-ra’yi 8
Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, (Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005), Cet. I, h. 19
8
adalah bentuk penafsiran al-Qur’an yang berdasarkan hasil nalar (ijtihad) mufasir itu sendiri.9 5. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini ialah dengan mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta tahun 2013.
9
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Sulthan Thaha Press, 2007), Cet. II, h. 47- 48
BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Nilai Nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, singkatnya sesuatu yang baik. Nilai selalu mempunyai konotasi positif.1 Nilai sendiri berasal dari bahasa inggris “value” termasuk bidang kajian filsafat. Persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai (Axiology Theory of Value).2 Filsafat juga sering diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Sesuatu itu mengandung nilai artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu. Nilai adalah harga atau kualitas sesuatu. Artinya, sesuatu dianggap memiliki nilai apabila sesuatu tersebut secara instrinsik memang berharga. Salah satu cara yang sering digunakan untuk menjelaskan apa itu nilai adalah memperbandingkannya dengan fakta.3 Jika kita berbicara tentang fakta, kita maksudkan sesuatu yang ada atau berlangsung begitu saja. Jika kita berbicara tentang nilai, kita maksudkan sesuatu yang berlaku, sesuatu yang memikat atau menghimbau kita. Perbedaan antara fakta dan nilai ini kiranya dapat diilustrasikan dengan contoh berikut ini: Kita andaikan saja bahwa tanggal sekian di tempat tertentu ada gunung berapi meletus. Hal itu merupakan suatu fakta yang dapat dilukiskan secara obyektif. Kita bisa mengukur tingginya awan panas yang keluar dari kawah, kita bisa menentukan kekuatan gempa bumi yang menyertai letusan itu, dan seterusnya. Tapi serentak juga letusan gunung itu bisa dilihat sebagai nilai atau justru disesalkan sebagai non nilai, yang pasti bisa menjadi objek penilaian. Bagi wartawan foto yang hadir ditempat letusan gunung itu merupakan kesempatan emas (nilai) untuk mengabadikan kejadian langka 1
Moh. Toriquddin, Sekularitas Tasawuf: Membumikan Tasawuf Dalam Dunia Modern, (Yogyakarta: UIN-Malang Press, 2008), Cet. I, h. 3 2 Jalaluddin & Abdullah, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan, (Jakarta: PT. Gaya Media Pratama, 2002), cet. II, hal. 106. 3 Moh. Toriquddin, op.cit., h. 4
9
10
yang jarang dapat disaksikan. Untuk petani disekitarnya, debu panas yang dimuntahkan gunung bisa mengancam hasil pertanian yang sudah hampir panen (non-nilai). Nilai selalu berkaitan dengan penilaian seseorang, sedangkan fakta menyangkut ciri-ciri obyektif saja.4 Nilai dapat dipandang sebagai sesuatu yang berharga, memiliki kualitas, baik itu kualitas tinggi atau kualitas rendah. Dari uraian pengertian nilai di atas, maka Notonegoro sebagaimana yang dikutip oleh Kaelan, menyebutkan adanya 3 macam nilai, yaitu sebagai berikut : 1. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia. 2. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas. 3. Nilai kerohaniaan, yaitu segala sesuatu yang berguna rohani manusia. Nilai, kerohaniaan meliputi sebagai berikut: a.
Nilai kebenaran yang bersumber pada akal (rasio, budi, cipta manusia) Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsur perasaan (emotion) manusia.
b.
Nilai kebaikan atau nilai yang bersumber pada unsur kehendak manusia.5 Sesuai dengan penjelasan di atas maka penulis dapat memahami bahwa
nilai ialah suatu hal yang menjadi ukuran atas suatu tindakan yang akan membimbing dan membina manusia supaya menjadi lebih luhur, berguna dan bermartabat dalam kehidupannya. Nilai merupakan sesuatu yang positif dan tidak bisa lepas dari hubungan manusia dengan manusia lainnya. Hal itu menjadikan nilai sebagai apresiasi manusia dalam menetapkan sesuatu hal, jika pribadi menganggap sesuatu itu bernilai maka sesuatu itu akan bernilai.
B. Pengertian Pendidikan Akhlak Pendidikan berasal dari kata “didik”, yaitu memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Pendidikan ialah proses 4
Ibid. Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2008), hal. 89.
5
11
membimbing
manusia
dari
kegelapan,
kebodohan,
dan
pencerahan
pengetahuan. Dalam arti luas pendidikan baik formal maupun informal meliputi segala hal yang memperluas pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri dan tentang dunia tempat mereka hidup.6 Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau pedagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.7 Pada dasarnya pertumbuhan dan perkembangan peserta didik bergantung pada dua unsur yang saling mempengaruhi, yakni bakat yang dimiliki oleh peserta didik sejak lahir dan lingkungan yang mempengaruhi hingga bakat itu tumbuh dan berkembang.8 Pendidikan ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.9 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB 1 Pasal 1 menjelaskan bahwa : “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”10
6
M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2007), Cet. 1, h. 21-22 7 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2006), h. 1 8 Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009),Cet. 9, h. 3 9 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. 20, h. 11 10 H. M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), Cet. I, h. 7
12
Alisuf Sabri mengatakan bahwa pendidikan ialah “usaha sadar dari orang dewasa untuk membantu atau membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak/peserta didik secara teratur dan sistematis secara kedewasaan.11 Menurut Ahmad Tafsir pendidikan ialah “pengembangan pribadi dalam
semua
aspeknya,
dengan
penjelasan
bahwa
yang dimaksud
pengembangan pribadi ialah yang mencakup pendidikan oleh diri sendiri, pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan oleh orang lain (guru). Seluruh aspek mencakup jasmani, akal, dan hati.”12 Sedangkan Muzayyin Arifin mengatakan bahwa pendidikan adalah “menumbuhkan personalitas (kepribadian) serta menanamkan rasa tanggung jawab. Usaha kependidikan bagi manusia menyerupai makanan yang berfungsi memberikan vitamin bagi pertumbuhan manusia”.13 Sementara itu, Ahmad Syalabi dan Ibn Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurthubiy sebagaimana dikutip oleh Samsul Nizar berpendapat bahwa : “Pendidikan pada umumnya mengacu kepada term al-tarbiyah, alta‟dib, dan al-ta‟lim. Dari ketiga istilah tersebut term yang populer digunakan ialah term al-tarbiyah. Penggunaan istilah al-Tarbiyah berasal dari kata rabb. Walaupun kata ini memiliki banyak arti, akan tetapi pengertian dasarnya menunjukkan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian atau eksistensinya.”14 Dari definisi-definisi di atas, penulis dapat memahami bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh si pendidik untuk perkembangan jasmani dan rohani peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan menuju terbentuknya kepribadian utama bagi
11
Ibid. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2007), Cet. 7, h. 26 13 Muzayyin Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), Cet. 1, h. 7. 14 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002),Cet. 1. h. 25-26 12
13
peranannya dimasa yang akan datang, agar nantinya menjadi manusia yang bertanggung jawab. Selanjutnya pengertian akhlak. Ditinjau dari segi bahasa, kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab akhlâq yang berarti “perangai, tabiat, watak dasar kebiasaan, sopan dan santun agama”. Pengertian “akhlak” dari segi bahasa berasal dari bahasa arab jama’ dari kata “khulqun” atau “khuluq” yang berarti budi pekerti.15 Sinonimnya adalah etika dan moral. Etika berasal dari bahasa latin, yaitu etos yang berarti “kebiasaan”. Sedangkan moral berasal dari kata mores yang berarti “kebiasaannya”. Menurut terminology, kata “budi pekerti” terdiri atas budi dan pekerti. “Budi” ialah yang ada pada manusia, berhubungan dengan kesadaran, dan didorong oleh pemikiran, rasio, yang disebut karakter. Sedangkan pekerti ialah apa yang terlihat pada manusia karena didorong oleh perasaan hati, yang disebut behaviour. Jadi, budi pekerti adalah perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermanifestasi pada tingkah laku manusia.16 Arti akhlak menurut istilah yang dikemukakan oleh para tokoh, antara lain: Imam Al-Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata mengatakan bahwa akhlak adalah : sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.17 Akhlak dalam konsepsi Al-Ghazali tidak hanya terbatas pada apa yang dikenal dengan “teori menengah” dalam keutamaan seperti yang disebut oleh Aristoteles, dan pada sejumlah sifat keutamaan yang bersifat pribadi, tapi juga menjangkau sejumlah sifat keutamaan akali dan amali, perorangan dan masyarakat. Semua sifat ini bekerja dalam suatu kerangka umum yang mengarah kepada suatu sasaran dan tujuan yang telah ditentukan. Akhlak menurut Al-Ghazali mempunyai tiga dimensi :
15
Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf: Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat dan Tasawuf, (Jakarta: Karya Mulia, 2005), Cet. II, h. 25. 16 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam : Lanjutan teori dan praktik, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), Cet. 1, H. 91 17 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2008), h. 3- 4
14
1. Dimensi diri, yakni orang dengan dirinya dan Tuhannya, seperti ibadah dan shalat. 2. Dimensi sosial, yakni masyarakat, pemerintah dan pergaulannya dengan sesamanya. 3. Dimensi metafisis, yakni aqidah dan pegangan dasarnya.18 Sejalan dengan pendapat tersebut, Ibrahim Anis mengatakan bahwa akhlak adalah : sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik dan buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.19 Menurut Abuddin Nata: “akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mendalam dan tanpa pemikiran, namun perbuatan itu telah mendarah daging dan melekat dalam jiwa, sehingga saat melakukan perbuatan tidak lagi memerlukan pertimbangan dan pemikiran.”20 Sedangkan yang dikutip oleh Ahmad Daudy, yaitu : Menurut Al-Farabi dalam kitabnya yang berjudul “Risalah fit-Tanbih „Ala Subuli „s-sa‟adah, ia menjelaskan bahwa akhlak itu bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan yang merupakan tujuan tertinggi yang dirindui dan diusahakan oleh setiap manusia. Jika seseorang tidak memiliki akhlak yang terpuji, ia dapat memperolehnya dengan adat kebiasaan, yakni melakukan sesuatu kerja berulang kali dalam waktu lama dan dalam masa yang berdekatan.21 Menurut Konsepsi Ibn Maskawaih, akhlak adalah “suatu sikap mental (halun li‟n-nafs) yang mendorongnya untuk berbuat, tanpa pikir dan pertimbangan”. Keadaan atau sikap jiwa ini terbagi kepada dua : ada yang berasal dari watak dan ada yang berasal dari kebiasaan dan latihan.22 Jika diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa seluruh definisi akhlak sebagaimana dipaparkan di atas tidaklah bertentangan, melainkan saling melengkapi, yakni suatu sikap yang tertanam kuat dalam jiwa yang
18
Moh. Ardani, op.cit., h. 28. Abuddin Nata, loc.cit. 20 Ibid., h. 5 21 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), cet. 3, h. 47 22 Ibid, h.61 19
15
nampak dalam perbuatan lahiriah yang dilakukan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran lagi dan sudah menjadi kebiasaan. Akhlak merupakan kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan, dan kebiasaan yang membentuk suatu kesatuan tindakan akhlak yang dihayati dalam kenyataan hidup keseharian. Dari kelakuan itu lahirlah perasaan moral yang terdapat di dalam diri manusia sebagai fitrah, sehingga mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak bermanfaat. Dari definisi pendidikan dan akhlak di atas, maka dapat dikatakan bahwa pengertian pendidikan akhlak ialah usaha sadar yang dilakukan oleh pendidik untuk membentuk tabiat yang baik pada peserta didik sehingga terbentuk manusia yang taat kepada Allah SWT.
C. Tujuan Pendidikan Akhlak Pendidikan sebagai suatu kegiatan yang berproses dan terencana sudah tentu mempunyai tujuan. Tujuan tersebut berfungsi sebagai titik pusat perhatian dalam melaksanakan kegiatan serta sebagai pedoman guna mencegah terjadinya penyimpangan dalam kegiatan. Setiap usaha yang dilakukan secara sadar oleh manusia, pasti tidak terlepas dari tujuan. Demikian halnya dengan tujuan pendidikan akhlak, tidak berbeda dengan tujuan pendidikan islam itu sendiri. Tujuan tertingginya ialah mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Muhammad Atiyyah Al-Abrasyi mengatakan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah “untuk membentuk orang-orang yang bermoral baik, berkemauan keras, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku dan perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur dan suci”.23 Sedangkan menurut Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany tujuan pendidikan akhlak adalah menciptakan kebahagiaan dua kampung (dunia dan 23
Muhammad Aţiyyah al-Abrâsyî, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), Cet. 1, h. 109.
16
akhirat), kesempurnaan jiwa bagi individu, dan menciptakan kebahagiaan, kemajuan, kekuatan dan keteguhan bagi masyarakat. Agama islam atau akhlak islam tidak terbatas tujuannya untuk mencapai kebahagiaan akhirat yang tergambar dalam mendapat keridhoan, ampunan, rahmat, dan pahalanya, dan juga mendapat kenikmatan akhirat yang telah dijanjikan oleh Allah SWT. kepada orang-orang baik dan orang-orang bertakwa yang telah ditunjukkan oleh banyak ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW.24 Sementara itu, menurut Asmaran pendidikan akhlak bertujuan untuk mengetahui perbedaan-perbedaan perangai manusia yang baik dan yang buruk, agar manusia dapat memegang teguh sifat-sifat yang baik dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang jahat sehingga terciptalah tata tertib dalam pergaulan di masyarakat, dimana tidak ada benci-membenci.”25 Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pendidikan akhlak bertujuan untuk memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui perbuatan yang baik atau yang buruk.26 Dengan demikian, tujuan pendidikan akhlak adalah untuk membuat peserta didik mampu mengimplementasikan keimanan dengan baik.
D. Macam-macam Pendidikan Akhlak Akhlak dalam wujud pengamalannya dibedakan menjadi dua : Akhlak Terpuji (Akhlak mahmudah) dan Akhlak Tercela (Akhlak mazmumah). Jika sesuai dengan perintah Allah SWT. dan Rasul-Nya yang kemudian melahirkan perbuatan yang baik, maka itulah yang dinamakan akhlak terpuji. Sedangkan jika ia sesuai dengan apa yang dilarang Allah SWT. dan Rasul-Nya dan melahirkan perbuatan-perbuatan yang buruk, maka itulah yang dinamakan akhlak tercela.27
24
Omar Mohammad Al-Thoumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979),h. 346 25 Asmaran, Pengantar Studi Akhlak,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), Cet. 2, h. 55 26 Abuddin Nata, op.cit., h. 15 27 Moh Ardani, Nilai-nilai akhlak / budi pekerti dalam ibadat, (Jakarta: Karya Mulia), Cet. 1, h. 54
17
1. Akhlak Mahmudah (Akhlak al-Karimah) Akhlak yang baik ialah segala tingkah laku yang terpuji (mahmudah) juga bisa dinamakan fadhilah (kelebihan). Akhlak yang baik dilahirkan oleh sifat-sifat yang baik. Oleh karena itu, dalam hal jiwa manusia dapat menelurkan perbuatan-perbuatan lahiriah. Tingkah laku dilahirkan oleh tingkah laku batin, berupa sifat dan kelakuan batin yang juga
dapat
berbolak-balik
yang mengakibatkan
berbolak-baliknya
perbuatan jasmani manusia. Oleh karena itu, tindak-tanduk batin (hati) itupun dapat berbolak-balik.28 Dalam berusaha, manusia harus menunjukkan tingkah laku baik, tidak bermalas-malasan, tidak menunggu tetapi segera mengambil keputusan. Sesuatu yang dapat dikatakan baik apabila ia memberikan kesenangan, kepuasan, kenikmatan, sesuai dengan yang diharapkan, dapat dinilai positif oleh orang yang menginginkannya. Perbuatan baik merupakan akhlak al-karimah yang wajib dikerjakan. Akhlak al-karimah berarti tingkah laku yang terpuji yang merupakan tanda kesempurnaan iman seseorang kepada Allah SWT. AlGhazali menerangkan adanya empat pokok keutamaan akhlak yang baik, yaitu sebagai berikut : a) Mencari Hikmah. Hikmah ialah keutamaan yang lebih baik. Ia memandang bentuk hikmah yang harus dimiliki seseorang, yaitu jika berusaha untuk mencapai kebenaran dan ingin terlepas dari semua kesalahan dari semua hal. b) Bersikap Berani. Berani berarti sikap yang dapat mengendalikan kekuatan amarahnya dengan akal untuk maju. Orang yang berakhlak baik biasanya pemberani, dapat menimbulkan sifat-sifat yang mulia, suka menolong, cerdas, dapat mengendalikan jiwanya, suka menerima saran dan kritik orang lain, penyantun, memiliki perasaan kasih dan cinta. 28
M. Yatimin Abdullah, op.cit., h. 39
18
c) Bersuci Diri. Suci berarti mencapai fitrah, yaitu sifat yang dapat mengendalikan syahwatnya dengan akal dan agama. Orang yang memiliki sifat fitrah dapat menimbulkan sifat-sifat pemurah, pemalu, sabar, toleransi, sederhana, suka menolong, cerdik, dan tidak rakus. d) Berlaku Adil. Adil, yaitu seseorang yang dapat membagi dan member haknya sesuai dengan fitrahnya, atau seseorang mampu menahan kemarahannya dan nafsu syahwatnya untuk mendapatkan hikmah dibalik peristiwa yang terjadi. Adil juga berarti tindakan keputusan yang dilakukan dengan cara tidak berat sebelah atau merugikan satu pihak tetapi saling menguntungkan. Orang yang mempunyai akhlak baik dapat bergaul dengan masyarakat secara luwes, karena dapat melahirkan sifat saling cintamencintai dan saling tolong-menolong. Akhlak yang baik bukanlah semata-mata teori yang muluk-muluk, melainkan akhlak sebagai tindaktanduk manusia yang keluar dari hati.29 Akhlak al-karimah atau akhlak yang mulia amat banyak jumlahnya, namun dilihat dari segi hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia, akhlak yang mulai itu dapat dibagi kepada tiga bagian. Yaitu : 1) Akhlak Terhadap Allah SWT. Titik tolak akhlak terhadap Allah SWT. adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji demikian agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikat pun tidak akan mampu menjangkau hakikat-Nya. Banyak alasan mengapa manusia harus berakhlak baik terhadap Allah. Diantaranya adalah hal-hal sebagai berikut : a) Karena Allah SWT. telah menciptakan manusia dengan segala keistimewaan dan kesempurnaannya. Sebagai yang diciptakan 29
Ibid., h. 42
19
sudah sepantasnya manusia berterima kasih kepada yang menciptakannya. b) Karena Allah SWT. telah memberikan perlengkapan pancaindera hati nurani dan naluri kepada manusia. Semua potensi jasmani dan rohani ini amat tinggi nilainya, karena dengan potensi tersebut manusia dapat melakukan berbagai aktifitas dalam berbagai bidang kehidupan yang membawa kepada kejayaannya. Karena Allah SWT. menyediakan berbagai bahan dan sarana kehidupan yang terdapat di bumi, seperti tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang, dan lain sebagainya. 2) Akhlak yang baik terhadap diri sendiri. Selaku individu, manusia diciptakan oleh Allah SWT. dengan segala kelengkapan jasmaniah dan rohaniahnya. Ia diciptakan dengan dilengkapi rohani seperti akal pikiran, hati nurani, naluri, perasaan dan kecakapan batiniah atau bakat. Dengan kelengkapan rohani ini manusia dapat memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya secara konseptual dan terencana, dapat menimbang antara baik dan salah, dapat
memberikan
kasih
sayang,
yang
selanjutnya
dapat
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan peradaban yang mengangkat harkat dan martabatnya. Berakhlak baik pada diri sendiri dapat diartikan menghargai, menghormati, menyayangi, dan menjaga diri sendiri dengan sebaikbaiknya, karena sadar bahwa dirinya itu sebagai ciptaan dan amanah Allah yang harus dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya. Untuk menjalankan perintah Allah SWT. dan bimbingan Nabi Muhammad SAW. maka setiap umat islam harus berakhlak dan bersikap sebagai berikut : a) Hindarkan minuman beracun / keras. Setiap muslim harus menjaga dirinya sebagai suatu kewajiban, untuk tidak meracuni dirinya dengan minuman beralkohol,
20
narkotika atau kebiasaan buruk lainnya yang merugikan diri dan bersifat merusak. b) Hindarkan perbuatan yang tidak baik. Sikap seorang muslim untuk mencegah melakukan sesuatu yang tidak baik adalah gambaran untuk pribadi muslim dalam sikap perilakunya sehari-hari, sebagai suatu usaha untuk menjaga dirinya sendiri. c) Memelihara kesucian jiwa. Penyucian dan pembersihan diri dilakukan secara terus menerus dalam amal shaleh. Untuk keperluan memelihara kebersihan diri dan kesucian jiwa secara teratur, perlu pembiasaan sebagai berikut: taubat, muraqabah, muhasabah, mujahadah, ta’at beribadah. d) Pemaaf dan pemohon maaf. Menjadi umat yang pemaaf biasanya mudah, tetapi untuk meminta maaf apabila seseorang melakukan kekhilafan terhadap orang lain sungguh sangat sukar, karena merasa malu. e) Sikap sederhana dan jujur. Setiap diri pribadi umat islam harus bersikap dan berakhlak yang terpuji, diantaranya bersikap sederhana, rendah hati, jujur, menepati janji, dan dapat dipercaya. f) Hindarkan perbuatan tercela. Dan setiap diri pribadi umat islam harus menghindari dari perbuatan yang tercela yang dapat mempengaruhi rusaknya akhlak yang baik.30 g) Bersifat Sabar. Ada peribahasa mengatakan bahwa kesabaran itu pahit laksana jadam, namun akibatnya lebih manis daripada madu. Ungkapan tersebut menunjukkan hikmah kesabaran sebagai fadhilah.
30
Moh Ardani, op.cit., h. 50
21
Kesabaran dapat dibagi empat kategori berikut ini : 1. Sabar
menanggung
Kewajiban
beratnya
menjalankan
shalat
melaksanakan lima
waktu,
kewajiban. kewajiban
membayar zakat, kewajiban melaksanakan haji bilamana mampu. Bagi orang yang sabar, betapapun beratnya kewajiban itu tetap dilaksanakan, tidak perduli apakah dalam keadaan melarat, sakit, atau dalam kesibukan. Semuanya tetap dilaksanakan dengan patuh dan ikhlas. Orang yang sabar melaksanakan kewajiban berarti mendapat taufik dan hidayah Allah SWT. 2. Sabar menanggung musibah atau cobaan. Cobaan bermacammacam, silih berganti datangnya. Namun bila orang mau bersabar menanggung musibah atau cobaan disertai tawakal kepada Allah SWT., pasti kebahagiaan terbuka lebar. Namun yang sabar menanggung musibah pasti memperoleh pahala dari Allah SWT. 3. Sabar menahan penganiayaan dari orang. Di dunia ini tidak bisa luput dari kezaliman. Banyak terjadi kasus-kasus penganiayaan terutama menimpa orang-orang yang suka menegakkan keadilan dan kebenaran. Tetapi bagi orang yang sabar menahan penganiayaan demi tegaknya keadilan
dan
kebenaran, pasti dia orang-orang yang dicintai Allah SWT. 4. Sabar menanggung kemiskinan dan kepapaan. Banyak orangorang yang hidupnya selalu dirundung kemiskinan akhirnya berputus asa. Ada yang menerjunkan dirinya ke dunia hitam, menjadi perampok, pencopet dan pembegal. Ada lagi yang kemudian terjun menjadi pengemis, pekerjaannya tiap hari hanya minta-minta. Orang seperti ini tidak memiliki sifat sabar. Sebaliknya orang yang sabar menanggung kemiskinan dan kepapaan dengan jalan mencicipinya apa adanya dari pembagian Allah SWT. serta mensyukurinya, maka ia adalah
22
yang di dalam hidupnya selalu dilimpahi kemuliaan dari Allah SWT.31 3) Akhlak yang baik terhadap sesama manusia. Manusia
sebagai
makhluk
sosial
yang
berkelanjutan
eksistensinya secara fungsional dan optimal banyak bergantung pada orang lain. Untuk itu, ia perlu bekerja sama dan saling tolong menolong dengan orang lain. Islam mengajurkan berakhlak yang baik kepada saudara, karena ia berjasa dalam ikut serta mendewasakan kita, dan merupakan orang yang paling dekat dengan kita. Caranya dapat dilakukan dengan memuliakannya, memberikan bantuan, pertolongan, menghargainya, dan sebagainya.32
2. Akhlak Mazmumah (Akhlak Tercela) Akhlak yang tercela (Akhlak al-mazmumah) secara umum adalah sebagai lawan atau kebalikan dari akhlak yang baik. Berdasarkan petunjuk ajaran islam dijumpai berbagai macam akhlak yang tercela, diantaranya : a) Berbohong. Bohong ialah memberikan atau menyampaikan informasi yang tidak sesuai, tidak cocok dengan yang sebenarnya. Berbohong / Berdusta ada tiga macam : Berdusta dengan perbuatan, berdusta dengan lisan, berdusta dalam hati. b) Takabur (sombong). Takabur adalah salah satu akhlak yang tercela pula. Arti takabur ialah merasa atau mengaku diri besar, tinggi, mulia, melebihi orang lain. Pendek kata merasa diri serba hebat. Takabur ada tiga macam, yaitu takabur kepada Allah SWT., berupa sikap tidak mau memperdulikan ajaran-ajaran Allah SWT. Takabur kepada Rasul-Nya berupa sikap dimana orang merasa rendah dirinya kalau mengikuti dan mematuhi Rasul tersebut. Dan takabur kepada sesama manusia, menganggap dirinya lebih hebat dari orang lain. 31
M. Yatimin Abdullah, op.cit., h. 42 Moh Ardani, op.cit., h. 51
32
23
c) Dengki. Dengki atau kata Arabnya “Hasad” jelas termasuk akhlak almazmumah. Dengki itu ialah rasa atau sikap tidak senang atas kenikmatan yang diperoleh orang lain, dan berusaha untuk menghilangkan kenikmatan itu dari orang lain tersebut. d) Bakhil. Bakhil artinya kikir. Orang yang kikir ialah orang yang sangat hemat dengan apa yang menjadi miliknya, tetapi hematnya demikian sangat dan sukar baginya mengurangi sebagian dari apa yang dimikinya itu untuk diberikan kepada orang lain. Pada umumnya sifat bakhil dihubungkan dengan hak milik berupa harta benda. Karena itu orang bakhil, maksudnya ialah bakhil harta benda. Kebakhilan termasuk sifat yang buruk, jadi termasuk kelompok akhlak almazmumah.33
E. Kajian Pustaka Kajian pustaka adalah pemaparan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti lainnya atau para ahli. Dengan adanya kajian pustaka ini penelitian seseorang dapat diketahui keasliannya. Setelah penulis melakukan tinjauan di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis tidak menemukan judul skripsi yang sama dengan yang penulis kaji. Adapun beberapa penelitian yang telah dilakukan dan sejauh ini yang telah penulis ketahui adalah sebagai berikut : 1. “Aspek-aspek pendidikan akhlak yang terdapat pada Q.S. Ali Imran ayat 133-136”. Skripsi ini disusun oleh Achmad Syarief, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2012. Penelitiannya dibatasi pada aspek-aspek pendidikan akhlak dalam Q.S. Ali Imran ayat 133-136, yang meliputi : akhlak dermawan, sabar, dan taubat.
33
Ibid., h. 53
24
Persamaan penelitian Achmad Syarief dengan penelitian ini terletak pada objek yang dikaji yaitu sama-sama meneliti tentang pendidikan akhlak, Sedangkan perbedaannya terletak pada ayat al-Qur’an yang dikaji. Penelitian Achmad Syarief membahas tentang Q.S. Ali Imran ayat 133-136, Sedangkan penulis membahas tentang Q.S. Yusuf ayat 5862. 2. “Pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Luqman [31] ayat 1719”. Skripsi ini disusun oleh Aji Payumi, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2012. Penelitiannya dibatasi pada aspek pendidikan akhlak dalam Q.S. Luqman ayat 17-19, yang meliputi : akhlak kepada Allah SWT. yang terdiri dari ibadah (shalat), amar ma‟ruf nahi munkar, dan sabar; akhlak kepada sesama manusia yang terdiri dari tidak memalingkan muka dan tidak sombong ; dan akhlak kepada diri sendiri yang terdiri dari sederhana dalam berjalan dan melunakkan suara. Persamaan penelitian Aji Payumi dengan penelitian ini terletak pada objek yang dikaji yaitu sama-sama meneliti tentang pendidikan akhlak, Sedangkan perbedaannya terletak pada ayat al-Qur’an yang dikaji. Penelitian Aji Payumi membahas tentang Q.S. Luqman ayat 17-19, Sedangkan penulis membahas tentang Q.S. Yusuf ayat 58-62.
BAB III TAFSIR SURAT YUSUF AYAT 58-62 A. Teks Ayat dan Terjemah
Dan saudara-saudara Yusuf datang ke Mesir lalu mereka masuk ke (tempat) nya. Maka dia (Yusuf) mengenal mereka, sedang mereka tidak mengenalinya (lagi) kepadanya. Dan ketika dia (Yusuf) menyiapkan bahan makanan untuk mereka, dia berkata: "Bawalah kepadaku saudaramu yang seayah dengan kamu (Bunyamin), tidakkah kamu melihat bahwa aku menyempurnakan takaran dan aku adalah penerima tamu yang terbaik? Maka jika kamu tidak membawanya kepadaKu, maka kamu tidak akan mendapat jatah (gandum) lagi dariku dan jangan kamu mendekatiku". Mereka berkata: "Kami akan membujuk ayahnya (untuk membawanya) dan kami benar-benar akan melaksanakannya". Dan dia (Yusuf) berkata kepada pelayanpelayannya: "Masukkanlah barang-barang (penukar) mereka ke dalam karung-karungnya, agar mereka mengetahuinya apabila telah kembali kepada keluarganya, Mudah-mudahan mereka kembali lagi".(Q.S. Yusuf [12] : 58 62)
B. Tafsir Mufrodat جهسterambil dari kata ( جهازjahaz) yaitu barang yang dibutuhkan untuk sesuatu. Misalnya, untuk perjalanan adalah makanan dan bekal lainnya; untuk rumah tangga adalah perabotnya; untuk perkawinan adalah maskawin dan barang persembahan pengantin.
25
26
لفتيانهterambil dari kata فتيانjamak dari ( فتنfatan)yang berarti budak sahaya, baik masih muda maupun sudah tua.
البضاعةterambil dari kata ( بضعbidh’un) yang berarti belahan atau potongan karena بضعberarti sepotong harta. Harta yang dimaksud yaitu harta yang digunakan untuk berdagang.
الرحالbentuk jamak dari ( رحلrahlun) artinya bejana. Rumah dan tempat tinggal manusia pun terkadang disebut رحل. Kata itu terambil dari tempat yang digunakan oleh seseorang untuk menyimpan barang yang telah dibelinya atau ditukarnya dengan makanan. Penukaran makanan itu biasanya dengan sandal atau hamparan kulit.
C. Tafsir Surat Yusuf ayat 58-62 Waktu berjalan lama. Kini mimpi raja terbukti dalam kenyataan. Masa paceklik melanda daerah Mesir dan sekitarnya. Yakub AS. beserta anakanaknya yang tinggal tidak jauh dari Mesir, yakni Palestina, mengalami juga masa sulit. Mereka mendengar bahwa di Mesir pemerintahnya membagikan pangan untuk orang-orang butuh atau menjualnya dengan harga yang sangat murah. Agaknya pembagian jatah ini bersifat perorangan, karena itu Yakub AS. memerintahkan semua anaknya menuju ke Mesir kecuali Bunyamin, saudara kandung Yusuf AS., agar ada yang menemaninya di rumah, atau karena khawatir jangan sampai nasib yang menimpa Yusuf AS. menimpanya pula.1 Dan datanglah saudara-saudara Yusuf ke Mesir, Lalu mereka masuk kepadanya yakni ke tempat Yusuf AS. yang ketika itu mengawasi langsung pembagian makanan. Maka ketika mereka masuk menemui Yusuf AS., dia langsung mengenal mereka, sedang mereka terhadapnya yakni terhadap
1
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,(Jakarta: Lentera Hati, 2002), Cet. 2, h. 475
27
Yusuf AS. benar-benar asing yakni tidak mengenalnya lagi. Sebelum menyerahkan jatah makanan buat mereka, Yusuf AS. menyempatkan diri bertanya aneka pertanyaan tentang identitas mereka. Mereka yang tidak mengenal Yusuf AS. itu menceritakan keadaan orang tua mereka yang tinggal bersama saudara mereka yang berlainan ibu.2 Datanglah saudara-saudara Yusuf AS. ke Mesir dengan maksud mendapatkan makanan, ketika negeri Kan‟an dan syam mengalami musibah seperti yang dialami oleh Mesir. Keluarga Yakub AS. ditimpa musibah seperti halnya para penduduk lainnya. Maka, dia memanggil anak-anaknya, selain Bunyamin, seraya berkata kepada mereka, “Wahai anak-anakku, aku mendengar berita bahwa di Mesir ada seorang raja shaleh yang menjual makanan. Maka, bersiap-siaplah untuk pergi padanya dan membeli apa yang kalian perlukan darinya.” Kemudian, mereka bertolak hingga tiba di Mesir. Maka, masuklah mereka menghadap Yusuf AS. yang ketika itu berada dalam majlis kewaliannya, karena urusan makanan dan jual beli hasil bumi menjadi tanggung jawabnya. Ketika mereka masuk menghadap padanya, dia mengenal mereka dengan pasti, karena jumlah, rupa dan pakaian mereka masih selalu terbayang dalam ingatannya, karena dia dibesarkan di tengah-tengah mereka, terutama penderitaan yang dia alami lantaran mereka pada akhir hidupnya bersamasama mereka. Barangkali, para pekerja dan budak-budak Yusuf AS. telah menanyai suatu urusan sebelum mereka dipersilahkan masuk menghadapnya. Lalu, para pekerja dan budak memberitahukan kepadanya gambaran, tempat tinggal, dan dari mana mereka berangkat. Sedangkan mereka tidak mengenalnya (lupa) karena terlalu lama berpisah dengannya, di samping karena rupanya telah berubah bersamaan dengan usia tua. Juga karena mengenakan pakaian dan perhiasan kebesaran raja, di samping mereka sendiri membutuhkan kebajikan dan kasih sayangnya. Semua ini, untuk sementara dapat mengubah rupa wajahnya, lebih-lebih mereka mengira bahwa dia telah binasa atau hilang. Kalaupun mereka masih 2
Ibid., h. 476
28
mengenal sebagian ciri Yusuf AS., namun barangkali mereka akan memandangnya sebagai orang lain yang mempunyai beberapa kemiripan dengannya. Lebih-lebih mereka tidak pernah membayangkan bahwa saudaranya akan mencapai kedudukan yang tinggi ini.3 Dalam tafsir al-Azhar menjelaskan “Dan datanglah saudara-saudara Yusuf, lalu masuklah mereka kepadanya.”(pangkal ayat 58). Mereka datang membawa hasil negeri mereka yang diperlukan oleh Mesir buat bertukar dengan gandum, sebagai juga kafilah-kafilah lain yang telah datang ramai di Mesir. Setelah mereka datang : “Maka kenallah Yusuf akan mereka, tetapi mereka tidak mengenal dia.”(ujung ayat 58). Masa perpisahan sudah lebih kurang 25 tahun dan rupa Yusuf AS. sudah sangat berubah, dahulu anak kecil, sekarang orang besar yang dewasa, dan karena pakaian yang dipakainya, yaitu pakaian kerajaan, sedang saudara-saudaranya masih memakai pakaian dusun. Dan lagi mudah menanyakan kepada mereka siapa mereka dan anak siapa, tetapi tidak ada diantara mereka yang akan berani menanyakan siapa orang besar, Datuk bendhara yang berjabatan tinggi dan sangat berkuasa itu. Apalagi orang lebih mengenal beliau dalam pangkatnya yang tinggi, bukan dengan namanya. Nama orang besar, menurut zaman purbakala tidak boleh disebutsebut dengan mudah. Cuma disebut „Aziz saja, yang berarti “Yang Mulia”. Menurut As-Suddi dan beberapa penafsir lain, Nabi Yusuf AS. telah menanyai mereka, berkata dengan sikap seakan-akan curiga: “mengapa kalian masuk ke dalam negriku?” Mereka menjawab: “Yang mulia! Maksud kedatangan kami ini ialah hendak membeli pembekalan.” “Barangkali kalian ini mata-mata semua,” sambut Yusuf AS. “Berlindung kami kepada allah, tidaklah demikian maksud kedatangan kami!” “Kalau demikian, dari mana kalian ini datang?” “Kami datang dari negeri Kan‟an, ayah kami adalah Yakub AS, Nabi Allah!” Dan Yusuf AS. berkata lagi: “Apakah dia mempunyai anak selain kalian?” 3
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: CV.Toha Putra, 1994),Cet.
2, h. 14
29
“Benar! Kami bersaudara 12 orang; yang paling kecil diantara kami telah hilang di waktu dia masih kecil, binasa di tengah belantara, dan dia adalah anak yang paling dikasihi oleh ayah kami. Maka tinggallah saudaranya yang seribu; anak satu-satunya itulah yang tinggal terus dengan ayah kami, untuk mengobat hatinya yang gundah karena kehilangan saudara kami yang di cintainya itu”. Setelah
mengemukakan
pertanyaan-pertanyaan
yang
demikian,
mulailah Yusuf AS. sikapnya. Diperintahkannya supaya orang-orang itu disambut dengan hormat, sebagai tetamu dan dikatakan kepadanya bahwa segala kehendak mereka hendak membeli barang-barang itu segera dipenuhi, sampai mereka pulang ke kampung dengan selamat. Setelah mereka hendak bersiap pulang, Nabi Yusuf AS. memerintahkan pagawai-pegawainya menyediakan pembekalan mereka, atau tukaran barang-barang yang mereka kehendaki itu.4 Sementara dalam kitab Fi Zhilalil Qur‟an redaksi ini disimpulkan bahwa Yusuf AS. menerima dan menyambut mereka dengan baik dan menempatkan mereka dalam kedudukan yang baik. Yusuf AS. mulai memberikan pelajaran pertama kepada mereka.5 Untuk memenuhi permintaan Yakub AS, berangkatlah saudara-saudara Yusuf AS. kecuali Bunyamin karena tidak diizinkan oleh Yakub AS., untuk membeli bahan makanan yang sangat mereka perlukan. Ketika sampai disana mereka langsung menemui Yusuf AS. dengan harapan akan segera dapat membeli bahan makanan, karena urusan ini sepenuhnya berada ditangan Yusuf AS. Ketika mereka masuk menghadap, tahulah Yusuf AS. bahwa yang datang itu adalah saudara-saudaranya sendiri, karena rupa dan jenis pakaian mereka masih melekat dalam ingatannya apalagi dengan jumlah mereka sepuluh orang pula. Berkatalah Yusuf AS. dalam hatinya, tidak diragukan lagi mereka ini adalah saudara-saudara saya. Sebaiknya mereka tidak tahu sama sekali bahwa yang mereka hadapi adalah saudara mereka sendiri. 4
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), Juz. 13, h. 17-18 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), Cet.1, h.
5
295
30
Mereka semua tidak lagi ingat bentuk Yusuf AS. karena sudah lama berpisah apalagi yang mereka hadapi adalah seorang perdana menteri dengan pakaian kebesaran dan tanda-tanda penghargaan berkilau dibajunya. Tidak mungkin Yusuf AS. akan sampai kepada martabat yang amat tinggi itu karena mereka telah membuangnya kedalam sumur dan kalau dia masih hidup tentulah dia akan menjadi budak belian yang diperas tenaganya oleh tuannya.6 Menurut Penulis, ayat ini menjelaskan bahwa ketika negeri Kan‟an dan Syam mengalami musibah seperti yang dialami oleh Mesir, Nabi Yakub AS. memerintahkan kepada anak-anaknya (saudara-saudara Yusuf AS.) untuk mencari makanan. Maka kemudian datanglah saudara-saudara Yusuf AS. itu ke Mesir dengan maksud untuk mendapatkan makanan. Ketika mereka masuk, mereka langsung bertemu dengan Yusuf AS. yang ketika itu mengawasi langsung pembagian makanan. Yusuf AS. telah mengetahui bahwa yang datang itu adalah saudara-saudaranya, namun mereka tidak mengenal Yusuf AS. karena sudah lama berpisah. Meskipun Yusuf AS. telah mengetahui bahwa yang datang adalah saudara-saudaranya namun Yusuf AS. menyambut mereka dengan sangat hormat dan segala keinginan mereka dikabulkan oleh Yusuf AS.
Dan tatkala dia memerintahkan untuk menyiapkan untuk mereka bahan makanan yang akan mereka bawa pulang, dia berkata kepada rombongan saudara-saudaranya itu, “Lain kali bila kamu datang, bawalah kepadaku saudara kamu yang seayah dengan kamu yakni Benyamin agar kamu mendapat tambahan jatah. Tidakkah kamu melihat bahwa aku menyempurnakan sukatan, tidak merugikan kamu bahkan melebihkannya
6
Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT. Dhana Bhakti Wakaf, 1990), jld. 5, h. 11.
31
demi mencapai keadilan penuh dan aku adalah sebaik-baik penerima tamu?”.7 Ayat di atas menjelaskan bahwa Nabi Yusuf AS. terlibat langsung serta aktif dalam upaya pembagian makanan dan pengawasannya, tidak melimpahkan
pekerjaan
itu
kepada
bawahannya.
Ini
terbukti
dari
pertemuannya dengan saudara-saudaranya di lokasi pembagian itu serta masuknya mereka untuk menemuinya di tempat tersebut. Apa yang dilakukan Nabi Yusuf AS. ini menunjukkan betapa besarnya tanggung jawab beliau. Dan itu juga merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi siapa pun dalam menjalankan tugas.8 Setelah dia memuati kendaraan mereka dengan bahan pangan, dan membekali mereka perbekalan lain serta keperluan yang biasa diperlukan oleh para musafir sesuai dengan kesanggupan dan lingkungan mereka. Yusuf AS. berkata, “Bawalah saudara kalian kepadaku dari ayah kalian.” Yang dimaksud ialah saudara kandungnya, Bunyamin. Hal ini disebabkan Yusuf AS. tidak pernah memberikan kepada setiap orang lebih dari satu muatan unta. Sedangkan saudara-saudaranya berjumlah 10 orang, maka dia memberi mereka 10 muatan pula. Mereka berkata, “Sesungguhnya kami mempunyai ayah yang sudah tua renta dan seorang saudara yang tinggal bersamanya.” Karena usianya yang sudah lanjut dan kesedihannya yang sangat mendalam, ayah mereka tidak bisa hadir bersama mereka, sedang saudaranya tinggal untuk berbakti kepadanya. Mereka berdua harus mendapatkan makanan. Maka, Yusuf AS. menyediakan dua unta lain untuk mereka berdua, seraya berkata, “Bawalah saudara kalian itu kepadaku, agar aku mengetahuinya.” Dalam Sifrut Takwin diceritakan, bahwa Yusuf AS. menginterogasi saudara-saudaranya sambil berpura-pura tidak mengenalnya-dia mengenal mereka, sedang mereka tidak mengenalnya-dan menuduh bahwa mereka adalah mata-mata yang datang untuk melihat kelemahan negara. Mereka membantah tuduhan tersebut dan memberitahukan perkara yang sebenarnya, 7
M.Quraish Shihab, loc.cit. Ibid., h. 477
8
32
seraya berkata padanya, “Kami adalah budak anda, dua belas orang bersaudara, dan kami putra seorang tua di negeri kan‟an; yang paling kecil (bungsu) sekarang berada di sisi ayah kami, sedang seorang lagi hilang.” Yusuf AS. berkata kepada mereka. “Itulah yang aku katakan kepada kalian. Sungguh, kalian adalah mata-mata. Oleh sebab itu, kalian diuji. Demi kehidupan fir‟aun, kalian tidak akan bisa keluar dari sini sebelum kalian mendatangkan saudara kalian yang bungsu kemari. Tinggalkanlah salah seorang di antara kalian sebagai jaminan di sisiku, dan bawalah saudara kalian kemari dari ayah kalian”. Setelah mengadakan undian, terpilihlah syam‟un sebagai jaminan. Lalu, mereka meninggalkannya di sisi Yusuf AS. Kemudian, Yusuf AS. memerintahkan supaya mengisi karung-karung mereka dengan gandum, dan mengembalikan perak pembayaran kepada masing-masing, serta membeli bekal perjalanan. Demikianlah dia berbuat terhadap mereka.9 Tidaklah kalian melihat bahwa aku telah menyempurnakan takaran, tidak menguranginya, bahkan aku menambahkan satu unta untuk saudara kalian. Dengan demikian, sesungguhnya aku adalah sebaik-baik tuan rumah bagi para tamunya. Memang, Yusuf AS. telah menjamu para tamunya dengan sebaik-baiknya, dan membekali mereka dengan perbekalan yang cukup selama dalam perjalanan. Dari sini, dapatlah diketahui bahwa riwayat tentang dituduhnya mereka sebagai mata-mata adalah lemah, karena tidak layak bagi seorang Nabi yang selalu berlaku benar-sedang dia mengetahui kebatilan riwayat itu, kecuali jika tuduhan itu terpaksa harus dilakukan untuk suatu tujuan yang benar, seperti menuduh mereka mencuri.10 “Dan tatkala disediakannya bagi mereka bekal mereka, dia berkata: “Bawa kepadaku saudara yang sebapa dengan kamu itu.” (pangkal ayat 59). Kamu telah menerangkan bahwa kamu bersaudara 12 orang, yang satu hilang di waktu kecil, yang satu tinggal di kampung bersama ayah, aku ingin berkenalan dengan kalian semuanya, sebab itu kalau kembali lagi kemari bawalah saudara kalian itu: “Tidakkah kamu lihat bahwasannya aku 9
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, op.cit., h. 15-16 Ibid.
10
33
memenuhi sukatan dan aku adalah sebaik-baik orang yang menerima tamu?” (ujung ayat 59).11 Sementara
Sayyid
Quthb
menyimpulkan
bahwa
Yusuf
AS.
membiarkan mereka melupakan perihal dirinya. Kemudian sedikit demi sedikit Yusuf AS. mengingatkan mereka tentang siapa sebenarnya mereka secara terperinci. Ia memberitahukan bahwa mereka memiliki seorang saudara laki-laki yang lebih kecil dari mereka yang merupakan saudara sebapak dan tidak hadir bersama mereka, karena bapaknya sangat menyayanginya dan tidak kuat berpisah dengannya. tatkala Yusuf AS. menyiapkan bahan makanan untuk perjalanan mereka, ia berkata pada mereka bahwa ia ingin melihat saudara tiri mereka ini. “bawalah
kepadaku
saudaramu
yang
seayah
dengan
kamu
(bunyamin).” Tidakkah kalian melihat bahwa aku memenuhi perbekalan kantong para pembeli, maka akupun akan menyempurnakan jatah kalian jika kalian datang dengan saudara tiri kalian itu?! Kalian pun melihat sendiri bagaimana aku memuliakan setiap tamu yang mampir. Sehingga, tidak perlu ada yang dikhawatirkan bila dia ikut. Karena mereka yakin sekali akan cinta mendalam dari ayah mereka terhadap saudara mereka yang terkecil (khususnya setelah Yusuf AS. menghilang), mereka serta merta menyatakan bahwa perkara itu bukanlah sesuatu yang mudah. Namun, dalam realisasinya penuh dengan rintangan dan penghalang dari bapak mereka. Meskipun demikian, mereka akan tetap berusaha meyakinkan bapak mereka, dengan penekanan keinginan mereka yang kuat untuk menghadirkan saudara mereka ketika mereka kembali lagi.12 Yusuf AS. mengabulkan permintaan mereka membeli barang-barang mereka dan menukarkan dengan bahan makanan dan memerintahkan supaya disiapkan untuk mereka 10 pikul bahan makanan dan keperluan-keperluan lain yang dibutuhkan dalam perjalanan, karena mereka berjumlah 10 orang, 11
Hamka, op.cit., h. 18 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), Cet.1, h.
12
295
34
masing-masing berhak mendapat satu pikul. Tetapi mereka menceritakan bahwa di kampung mereka ada lagi 2 orang yang sangat memerlukan bahan makanan yaitu seorang saudara dan seorang ayah mereka sendiri. Mereka memohon supaya kepada mereka diberikan 12 pikulan sebab yang sepuluh pikulan itu hanya cukup untuk mereka saja: “Ayah kami tidak dapat datang kemari karena sudah tua dan lemah sedang saudara kami sengaja kami tinggalkan untuk menjaga dan menyenangkan hatinya”. Mendengar keterangan saudara-saudaranya itu Yusuf AS. berkata: “Kalau demikian bawalah saudaramu itu kemari sebagai bukti bagi kami atas kebenaranmu dan kami akan mengabulkan permintaanmu itu. Kami telah melihat sendiri bahanbahan, makanan yang disediakan untuk kamu berjumlah 10 pikulan, karena kami hanya sanggup menyerahkan satu pikulan untuk satu orang. Selain dari itu selama disini kau semua sudah kami perlakukan dengan baik sebagai tamu kami karena begitulah biasanya kami memperlakukan tamu dengan sebaikbaiknya. Sekarang pulanglah kamu semua dan bawalah bahan makanan itu, kemudian kamu datang kembali membawa barang daganganmu untuk ditukar dengan bahan makanan tetapi dengan syarat kamu harus membawa saudaramu. Sebagai bukti kebenaran dan kejujuranmu”.13 Penulis memahami bahwa dalam ayat ini Nabi Yusuf AS. membiarkan mereka melupakan perihal dirinya. Nabi Yusuf AS. mengabulkan permintaan mereka membeli barang-barang mereka dan menukarkan dengan bahan makanan dan disiapkan untuk mereka 10 pikul bahan makanan dan keperluankeperluan lain yang dibutuhkan dalam perjalanan, karena mereka berjumlah 10 orang, masing-masing berhak mendapat satu pikul. Tetapi mereka menceritakan bahwa di kampung mereka ada lagi 2 orang yang sangat memerlukan bahan makanan yaitu seorang saudara dan seorang ayah mereka sendiri. Mereka memohon supaya kepada mereka diberikan 12 pikulan sebab yang sepuluh pikulan itu hanya cukup untuk mereka saja. Kemudian Nabi Yusuf AS. berkata: “Bawalah saudara kalian kepadaku dari ayah kalian!.” Yang dimaksud ialah saudara kandungnya, Bunyamin. Hal ini disebabkan 13
Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia, op.cit. , h. 12.
35
karena Nabi Yusuf AS. tidak pernah memberikan kepada setiap orang lebih dari satu muatan unta. Sedangkan saudara-saudaranya berjumlah 10 orang, maka dia memberi mereka 10 muatan pula. Nabi Yusuf AS. berkata kepada mereka bahwa beliau telah menyempurnakan takaran, tidak menguranginya, bahkan telah menambahkan satu unta untuk saudaranya (Bunyamin). Dengan demikian, sesungguhnya beliau adalah sebaik-baik tuan rumah bagi para tamunya. Memang, Nabi Yusuf AS. telah menjamu para tamunya dengan sebaik-baiknya, dan membekali mereka dengan perbekalan yang cukup selama dalam perjalanan.
Selanjutnya Yusuf AS. memperingatkan mereka bahwa jika kamu tidak membawanya kepadaku saat kedatanganmu yang akan datang, maka kamu tidak akan mendapat sukatan lagi dariku namun aku tidak akan menghalangi jika kamu mendapatkannya dari selainku dan di tempat lain dan karena itu janganlah kamu mendekatiku dan mendekati wilayah ini untuk maksud apa pun.14 Jika kalian datang kembali ke mari untuk mendapatkan makanan bagi keluarga kalian, sedang kalian tidak membawa saudara kalian yang bungsu, maka kalian tidak akan memperoleh takaran dari negeriku, apalagi memperoleh takaran yang sempurna seperti yang kalian peroleh dariku. Dan kalian tidak akan boleh mendekatiku dengan memasuki negeriku, apalagi akan memperoleh kebajikan dengan dipersilahkan bertamu dan menerima jamuan. Di sini terdapat isyarat, bahwa mereka selalu mempunyai niat untuk mendapatkan makanan, dan hal itu diketahui oleh Yusuf AS. Secara dzahir, apa yang diperbuat oleh Yusuf AS. bersama mereka adalah dengan wahyu. Jika tidak, sudah tentu dia akan segera berbuat kebajikan kepada – dan memanggil – ayahnya. Hikmahnya, barangkali Allah berkehendak untuk
14
M.Quraish Shihab, op.cit., h. 476
36
menyempurnakan pahala Yakub AS. dalam ujiannya. Dia akan berbuat apapun yang dikehendaki-Nya terhadap makhluk-Nya.15 Sedangkan dalam Tafsir al-Azhar dijelaskan bahwa Yusuf AS. yang telah tahu bahwa mereka itu adalah saudara-saudaranya semua, dan mereka tidak tahu bahwa yang dipertuan itu Yusuf AS., maka di tuduhlah mereka oleh Yusuf AS. sebagai mata-mata yang hendak mengintip-intip ke dalam negeri Mesir. Tentu saja mereka bersumpah-sumpah bahwa mereka bukan matamata, tetapi Yusuf AS. meminta bukti, yaitu kalau memang mereka bukan orang baik-baik, bukan mata-mata negeri lain, hendaklah dibawanya saudaranya yang seorang lagi itu, dan yang lain boleh pulang mengantarkan gandum, sedang seorang diantara mereka yang bernama Syam‟un dijadikan sandera, ditahan dalam penjara sampai mereka kembali semua di Mesir membawa Bunyamin. Di sini kita lihat dari perbedaan Wahyu al-Quran dengan “Perjanjian Lama” yang Taurat aslinya telah hilang, lalu tinggal catatan manusia yang tidak terang sampai sekarang dimana naskah aslinya. Pada al-Quran diterangkan bahwa dengan siasat yang halus sekali Yusuf AS. telah menawan hati mereka. Mereka tidak tahu bahwa orang besar ini adalah saudara kandung mereka. Mereka semua anak dusun yang telah dihormati demikian rupa oleh Yang Mulia. Mereka merasa sangat berhutang budi. Sehingga Yusuf AS. mengatakan kalau kalian kembali kemari tetapi saudara kalian itu tidak kalian bawa serta, artinya aku tidak akan mempercayai kalian lagi. Dan tidak pula boleh lagi mendekat kepadanya. Cukup berurusan dengan pegawai-pegawai saja, sebagai pembeli-pembeli lain. Maka terhimpit lah lidah mereka untuk menjawab bahwa ayah mereka tidak sudi melepaskan adik mereka itu pergi.16 Sementara dalam tafsiran yang lain menjelaskan bahwa jika kamu tidak membawa saudaramu itu maka kamu tidak akan mendapatkan bahan makanan sama sekali karena terbuktilah bagi kami, kamu bukan orang-orang yang jujur. Orang-orang yang pembohong dan pendusta tidak akan 15
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, op.cit., h. 16 Hamka, op.cit., h. 18
16
37
mendapatkan layanan dari kami dan kami sangat membencinya. Sekali lagi kami tegaskan kepadamu, kalau kamu tidak membawa saudaramu itu janganlah diharapkan bahwa kamu akan diberi bahan makanan dan janganlah mencoba mendekat ke negeri kami apalagi menghadap kepada kami karena tidak ada tempat disini bagi orang-orang yang tidak jujur.17 Ayat ini menerangkan bahwa Nabi Yusuf AS. memperingatkan kepada saudara-saudaranya bahwa ketika mereka akan kembali lagi untuk mendapatkan makanan, mereka harus membawa saudaranya yang bungsu (Bunyamin), mereka diperingatkan karena Nabi Yusuf AS. mengetahui niat mereka untuk berlangganan terhadap beliau. Oleh sebab itu Nabi Yusuf AS. memperingatkan bahwa mereka tidak akan memperoleh takaran darinya, apalagi memperoleh takaran yang sempurna seperti yang telah mereka peroleh. Dan mereka tidak akan boleh mendekati dengan memasuki negerinya, apalagi akan memperoleh kebajikan dengan dipersilahkan bertamu dan menerima jamuan.
Kami akan berusaha keras dan mencari siasat untuk membawa Bunyamin dari tangan ayah. Kami akan memalingkan kehendaknya untuk membiarkan Bunyamin selalu berada disisinya kepada kehendak kami dan kehendakmu, serta membujuknya untuk mengutus Bunyamin bersama kami, sebagaimana anda sukai. Hal seperti itu tidak mustahil dan tidak sulit bagi kami.18 Jawaban saudara-saudara Yusuf AS. menyangkut kehadiran Bunyamin mengesankan bahwa izin ayah mereka tidaklah mudah. Rupanya cinta ayah kepada Nabi Yusuf AS. beralih kepada adiknya itu. Dan karena itu pula, kakak-kakaknya menyadari bahwa izin membawanya menemui penguasa Mesir itu memerlukan upaya yang sungguh-sungguh.19
17
Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia, op.cit., h. 12 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, op.cit., h. 17 19 M.Quraish Shihab, op.cit., h. 477 18
38
Dalam Tafsir al-Azhar dijelaskan bahwa mereka merasa berhutang budi dengan “orang besar mesir” itu. Dapatlah dikira-kirakan sendiri bahwa orang-orang dari desa itu tidak menyangka bahwa mereka akan disambut demikian rupa, sehingga mereka telah terlanjur berjanji untuk membujuk ayah mereka sendiri, supaya jika mereka kembali lagi ke mesir, bunyamin dapat mereka bawa. Dan kekurangan gandum makanan mereka akan memaksa juga, tidak boleh tidak, mereka mesti kembali ke mesir lagi.20 Sedangkan dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an menjelaskan Kata nurawidu menggambarkan betapa usaha yang harus mereka keluarkan untuk merealisasikannya. Yusuf AS. telah memerintahkan para pegawainya agar meletakkan kembali bawaan saudara-saudaranya yang ingin di tukarkan dengan gandum dan bahan makanan. Bawaan tersebut bisa jadi adalah campuran dari uang dan hasil-hasil padang pasir lainnya seperti hasil pohonpohonan padang pasir. Bisa juga terdiri dari kulit, bulu, dan lain lain yang biasa digunakan sebagai barter dalam perdagangan di pasar. Yusuf AS. memerintahkan para pegawainya agar menyelipkan di kantong-kantong mereka. Sehingga, mereka mengenalnya sebagai barang bawaan mereka ketika mereka kembali ketempat tinggalnya.21 Dalam ayat ini dapat penulis pahami bahwa saudara-saudara Yusuf AS. merasa bahwa untuk mendatangkan Bunyamin ke Mesir dan bertemu Nabi Yusuf AS. bukanlah hal yang mudah. Karena kecintaan ayahnya terhadap Yusuf AS. telah berpindah terhadap adik kandungnya (Bunyamin). Namun mereka memberikan kepastian dan berjanji bahwa mereka akan berusaha keras dan mencari siasat untuk membawa Bunyamin dari tangan ayahnya. Mereka akan membujuknya untuk mengutus Bunyamin bersama mereka dan membawanya ke Mesir untuk bertemu Nabi Yusuf AS.
20
Hamka, op.cit., h. 19 Sayyid Quthb, op.cit., h. 296
21
39
Dia berkata kepada bujang-bujangnya yang menakar makanan. “Letakkanlah barang yang mereka tukarkan dengan makanan_yaitu terompah dan kulit_di dalam tempat makanan mereka, tanpa mereka mengetahuinya”. Agar mereka mengetahui bahwa kami mempunyai hak untuk menghormati mereka dengan mengembalikan barang-barang itu kepada mereka, dan memberikan makanan kepada mereka secara cuma-cuma, apabila mereka kembali kepada keluarga dan membuka makanan mereka, lalu mendapatkan barang itu didalamnya. Kemudian, Yusuf AS. mengemukakan alasannya, mengapa mereka dikehendaki untuk mengetahui barang yang dikembalikan kepada mereka: Mudah-mudahan mereka kembali kepada kami karena sangat ingin mendapatkan kebajikan kami, karena kebutuhan kepada makanan pokok merupakan faktor terkuat yang mendorong mereka untuk kembali.22 Inilah pukulan budi yang kedua, sesudah mereka di hormati sebagai tetamu, sekarang harga gandum yang mereka telah beli dikembalikan. Dengan demikian, mereka terpaksa mesti kembali lagi kelak membawa bunyamin. Sedang mereka masih tidak tahu bahwa mereka sudah disiasati secara halus oleh Yusuf AS. Mereka bangga dihormati oleh orang besar kerajaan.23 Sementara itu, dalam tafsir yang lain dijelaskan bahwa Yusuf AS. kemudian memerintahkan kepada petugas-petugasnya yang mengurus bahan makanan agar semua barang-barang yang dibawa mereka di masukkan kembali ke dalam karung-karung bahan makanan tanpa sepengetahuan mereka. Barang-barang itu terdiri dari berbagai macam bahan hasil produksi padang pasir seperti kulit bulu domba dan lain sebagainya. Dengan mengembalikan barang-barang itu, Yusuf AS. bermaksud supaya bila mereka 22
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, op.cit., h. 17-18 Hamka, op.cit., h. 19
23
40
sampai dikampung halaman dan membuka barang-barang itu semua dan terdapat di dalamnya selain bahan makanan ada pula barang-barang dagangan yang mereka bawa sendiri, tentulah mereka akan menyadari sepenuhnya betapa baiknya hati penguasa mesir itu, dan betapa tinggi budi dan jasanya terhadap mereka. Mereka telah di perlakukan sebagai tamu selama di mesir kemudian di beri pula bahan makanan serta barang-barang dagangan mereka sendiri di kembalikan, lagi pula seakan-akan bahan makanan yang sepuluh pikul itu di berikan kepada mereka dengan cuma-cuma sebagai hadiah yang bagi mereka sendiri sangat diperlukan dan tak ternilai harganya. Dengan kesadaran itu semoga timbullah tekad yang kuat dalam hati mereka untuk kembali ke Mesir membawa barang-barang dan membawa Bunyamin sekaligus sebagaimana diamanatkan oleh Yusuf AS.24 Ayat ini menjelaskan bahwa Nabi Yusuf AS. memerintahkan kepada para petugas-petugasnya yang mengurus bahan makanan agar semua barangbarang yang dibawa mereka di masukkan kembali ke dalam karung-karung bahan makanan yang mereka tanpa sepengetahuan mereka. Dengan mengembalikan barang-barang itu, Nabi Yusuf AS. bermaksud supaya bila mereka sampai dikampung halaman dan membuka barang-barang itu semua dan terdapat di dalamnya selain bahan makanan ada pula barang-barang dagangan yang mereka bawa sendiri, mereka akan merasa berhutang budi, karena telah diberikan pelayanan yang terbaik dan semua barang penukar yang mereka bawa dikembalikan serta dikabulkan pula segala keinginan mereka. Oleh sebab itu, diharapkan timbul tekad yang semakin kuat diantara mereka untuk membawa Bunyamin untuk menghadap Nabi Yusuf AS.
24
Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia, op.cit., h. 13.
BAB IV ANALISIS NILAI PENDIDIKAN AKHLAK PADA AL-QUR’AN SURAT YUSUF AYAT 58-62 Berdasarkan hasil analisis, penulis menemukan beberapa nilai pendidikan akhlak yang terkandung di dalam Q.S. Yusuf ayat 58-62, antara lain : akhlak pemaaf, sabar, tanggung jawab, dermawan, dan kejujuran.
A. Pemaaf Dalam surat Yusuf ayat 58 menjelaskan bahwa saudara-saudara Yusuf AS. datang ke Mesir untuk membeli bahan makanan yang sangat mereka perlukan. Ketika sampai disana mereka langsung menemui Yusuf AS. dengan harapan dapat membeli bahan makanan, karena urusan ini sepenuhnya berada di tangan Yusuf AS. Ketika mereka masuk untuk menghadap, Yusuf AS. telah mengetahui bahwa yang datang itu adalah saudara-saudaranya sendiri, karena rupa dan jenis pakaian mereka masih melekat dalam ingatannya apalagi dengan jumlah mereka sepuluh orang. Meskipun Yusuf AS. telah mengetahui bahwa yang datang adalah saudara-saudaranya, tetapi Yusuf AS. tetap bersikap ramah tanpa ada perasaan dendam sedikitpun, padahal beliau telah disakiti oleh saudara-saudaranya tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Yusuf AS. mempunyai sikap pemaaf, karena meskipun telah disakiti beliau tidak ingin menyakiti saudara-saudaranya, sebagaimana yang telah mereka lakukan terhadap Yusuf AS. Dalam bahasa arab sifat pemaaf disebut dengan al-afwu yang secara etimologis berarti menghapus. Dalam konteks bahasa ini, memaafkan berarti menghapus luka atau bekas-bekas luka yang ada di dalam hati.1 Jadi, pemaaf dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang dapat menghapus rasa sakit yang ada di dalam hati serta menerima kekurangan orang lain dengan lapang dada.
1
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak,(Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), 1999), Cet. 1, h. 140
41
42
Allah SWT. memerintahkan kita untuk menjadi pribadi yang pemaaf, sebagaimana firman-Nya :
Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (Q.S. AlA’raf : 199) Ayat di atas menjelaskan bahwa kita sebagai umatnya diperintahkan untuk menjadi pribadi yang pemaaf. Sifat pemaaf merupakan salah satu sikap ketaqwaan kepada Allah SWT. sebagaimana yang dinyatakan dalam firmanNya :
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, Yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”(Q.S. Al-Imran [3]: 133-134) Islam mengajarkan kepada kita untuk dapat memaafkan kesalahan orang lain tanpa harus menunggu pemohonan maaf dari yang bersalah. Sekalipun orang yang bersalah telah menyadari kesalahannya dan berniat untuk meminta maaf, tetapi boleh jadi dia mengalami hambatan psikologis untuk mengajukan permintaan maaf. Apalagi bagi orang-orang yang merasa status sosialnya lebih tinggi daripada orang yang dimintai maaf itu. Misalnya seorang pemimpin kepada rakyatnya, seorang bapak kepada anaknya, seorang manager kepada karyawannya, atau yang lebih tua kepada yang lebih muda. Barangkali itulah salah satu hikmahnya, kenapa Allah SWT. memerintahkan
43
kita untuk memberi maaf sebelum dimintai maaf.2 Adapun keutamaan memaafkan sebagaimana sabda Nabi SAW. :
Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Harta tidak akan berkurang karena shadaqah. Allah swt. pasti akan menambah kemuliaan seseorang yang suka memaafkan. Dan, seseorang yang merendahkan diri karena Allah swt., niscaya Allah swt. yang Mahamulia Lagi Maha Agung akan meninggikan derajatnya.” (H.R.Muslim)3 Hadits diatas menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki akhlak pemaaf akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT. Adapun contoh akhlak pemaaf Nabi SAW. yaitu pada saat seorang lelaki arab bernama Tsumamah bin Itsal dari Kabilah Al Yamamah pergi ke Madinah dengan tujuan hendak membunuh Nabi SAW. Segala persiapan telah matang, persenjataan sudah di sandangnya, dan ia pun sudah masuk ke kota suci tempat Nabi SAW. tinggal. Dengan semangat meluap-luap ia mencari majlis Nabi SAW., langsung didatanginya untuk melaksanakan maksud tujuannya. Tatkala Tsumamah datang, Umar bin Khattab RA. langsung menghadang karena ia melihat gelagat
buruk
pada
penampilannya.
Umar
bertanya,
“Apa
tujuan
kedatanganmu ke Madinah? Bukankah engkau seorang musyrik? ”Dengan terang-terangan Tsumamah menjawab : “Aku datang ke negri ini hanya untuk membunuh Muhammad!”. Mendengar ucapannya, dengan sigap Umar langsung menghajarnya. Tsumamah tak sanggup melawan Umar yang perkasa, ia tak mampu mengadakan perlawanan. Umar berhasil merampas senjatanya dan mengikat tangannya kemudian dibawa ke masjid. Setelah mengikat Tsumamah di salah satu tiang masjid Umar segera melaporkan kejadian ini pada Nabi SAW., 2
Ibid., h. 141 Mustofa Said Al-Khin, dkk., Syarah dan Terjemah Riyadhus Shalihin, (Jakarta: AlI’tishom, 2013), Cet. Ke-10, h. 625 3
44
kemudian Nabi SAW. pun segera keluar menemui orang yang bermaksud membunuhnya itu. Setibanya di tempat pengikatannya, beliau mengamati wajah Tsumamah baik-baik, kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Apakah di antara kalian sudah ada yang memberinya makan?”. Para sahabat Nabi SAW. yang ada disitu tentu saja kaget dengan pertanyaan Nabi SAW. Umar yang sejak tadi menunggu perintah Nabi SAW. untuk membunuh orang ini seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya dari Nabi SAW. Maka Umar memberanikan diri bertanya, “Makanan apa yang Anda maksud wahai Rasulullah? Orang ini datang ke sini ingin membunuh bukan ingin masuk Islam!” Namun Nabi SAW. tidak menghiraukan sanggahan Umar. Beliau berkata: “Tolong ambilkan segelas susu dari rumahku, dan buka tali pengikat itu”. Walaupun merasa heran, Umar mematuhi perintah Nabi SAW. Setelah memberi minum Tsumamah, Nabi SAW. dengan sopan berkata kepadanya: “Ucapkanlah Laa ilaha illa-Llah (Tiada Tuhan selain Allah).” Si musyrik itu menjawab dengan ketus, “Aku tidak akan mengucapkannya!”. Nabi SAW. membujuk lagi, “Katakanlah, Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu Rasul Allah.” Namun Tsumamah tetap berkata dengan nada keras: “Aku tidak akan mengucapkannya!”. Para sahabat Nabi SAW. yang turut menyaksikan tentu saja menjadi geram terhadap orang yang tak tahu untung itu. Tetapi Nabi SAW. malah membebaskan dan menyuruhnya pergi. Tsumamah yang musyrik itu bangkit seolah-olah hendak pulang ke negrinya. Tetapi belum berapa jauh dari masjid, dia kembali kepada Nabi SAW. dengan wajah ramah berseri. Ia berkata: “Ya Rasulullah, aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul Allah. Nabi SAW. tersenyum dan bertanya :“Mengapa engkau tidak mengucapkannya ketika aku memerintahkan kepadamu?” Tsumamah menjawab, “Aku tidak mengucapkannya ketika masih belum kau bebaskan karena khawatir ada yang menganggap aku masuk islam karena takut kepadamu. Namun setelah engkau bebaskan, aku masuk islam sematamata karena mengharap keridhaan Allah Robbil Alamin.” Pada suatu kesempatan, Tsumamah bin Itsal berkata, “Ketika aku memasuki kota
45
Madinah, tiada yang lebih kubenci dari Muhammad. Tetapi setelah aku meninggalkan kota itu, “Tiada seorang pun di muka bumi yang lebih kucintai selain Muhammad Rasulullah.” Sungguh, beliau adalah contoh yang sempurna sebagai seorang manusia biasa. Beliau adalah Nabi terbesar dan teladan yang sempurna.4 Dari kisah tersebut kita bisa mengambil contoh dari sikap Nabi SAW. meskipun ada seseorang yang berniat akan membunuhnya, namun beliau tetap bersikap ramah bahkan memaafkan dan memberikan jamuan kepada orang tersebut. Begitu pula dengan kisah Nabi Yusuf AS. meskipun Nabi Yusuf AS. telah disakiti oleh saudara-saudaranya dan dibuang ke sumur namun ketika bertemu saudara-saudaranya beliau tetap bersikap ramah dan memberikan pelayanan yang terbaik tanpa ada rasa benci sedikitpun. Akhlak pemaaf sangat baik untuk dimiliki dan terus dikembangkan oleh setiap para guru. Dalam pergaulannya di lingkungan pendidikan, kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja sangat mungkin terjadi. Disinilah pentingnya seseorang melatih dirinya untuk menjadi pribadi yang pemaaf, sebab bila ia mampu memaafkan orang lain maka ia akan merasakan manfaat yang besar. Di antaranya adalah hati menjadi tenang dan terciptanya rasa saling mencintai di antara sesama manusia. Dan ketika akhlak pemaaf ini terus dikembangkan oleh para guru, maka para peserta didik pun akan terlatih dengan sikap tersebut, sehingga tidak akan ada kekerasan di dalam lingkungan pendidikan.
B. Sabar Dalam surat Yusuf ayat 58 menjelaskan bahwa saudara-saudara Yusuf AS., ketika sampai mereka langsung menemui Yusuf AS. Meskipun Yusuf AS. telah mengetahui bahwa yang datang itu adalah saudara-saudaranya sendiri, namun beliau tetap memuliakan saudara-saudaranya dan bersikap ramah. Beliau selalu bersikap sabar terhadap cobaan yang telah dilaluinya, 4
http://goresantanganwulan.blogspot.com/2012/02/kekuatan-maaf-nabi-muhammadsaw.html (diakses pada tanggal 1 februari, 2014, jam 20.00)
46
seperti pada saat beliau dibuang ke sumur dan berbagai macam cobaan yang telah beliau rasakan. Sabar berasal dari bahasa arab, shabara-shabran, yang memiliki makna tabah hati. Sedangkan menurut istilah, artinya menahan dan mencegah diri. Hal ini dapat ditelusuri dari akar kata yang terdiri atas huruf shad, ba‟, ra‟. Maknanya berkisar pada tiga hal yaitu menahan, ketinggian sesuatu, dan sejenis batu. Dari makna pertama, lahir kata “konsisten dan bertahan”, karena yang bertahan, menahan pandangannya pada satu sikap. Dari makna kedua, lahir kata shubr yang berarti puncak sesuatu. Dari kata ketiga, muncul kata ash-shubrah yaitu “batu yang kokoh dan kasar” atau “potongan besi”.Ketiga makna tersebut saling berkaitan jika pelakunya adalah manusia. Seorang yang sabar akan menahan diri dan untuk itu ia memerlukan kekukuhan jiwa dan mental baja agar dapat mencapai ketinggian yang diharapkan. Sabar adalah menahan diri dalam menanggung suatu penderitaan, baik dalam menemukan sesuatu yang tidak diingini maupun dalam bentuk kehilangan sesuatu yang disenangi. Kedudukan sabar dalam mencapai keberhasilan sama halnya dengan kepala bagi sesosok tubuh. Sabar adalah jalan menuju kesuksesan dan kebahagiaan.5 Sabar berarti teguh hati tanpa mengeluh ketika ditimpa bencana.6 Kesabaran ialah menahan diri dari apa yang tidak disukai atau tabah menerima dengan rela dan berserah diri. Sabar adalah bagian dari akhlak terpuji yang dibutuhkan seseorang muslim dalam masalah dunia dan agama. Kesabaran adalah kekuatan jiwa yang membuat orang tabah menghadapi berbagai macam ujian. Sebagai hamba Allah SWT., kita tidak terlepas dari segala ujian, baik ujian yang berhubungan dengan pribadi, atau ujian yang menimpa pada sekelompok orang atau bangsa. Ketika menghadapi segala macam kesulitan dan kesempitan yang bertubi-tubi dan sambung-menyambung, maka hanya 5
Muhammad Sholikhin, The Power of Sabar, (Solo:PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009), Cet. 1, h. 6 6 Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 228
47
sabarlah yang dapat memelihara seorang muslim dari kebinasaan, memberikan hidayah yang menjaga dari putus asa.7 Jadi sabar dapat diartikan seseorang yang ketika ditimpa bencana atau cobaan dari Allah SWT. dengan segala sesuatu yang tidak disukai ia tidak akan mengeluh dan ia berserah diri kepada Allah SWT. Yang tidak disukai itu tidak selamanya terdiri dari hal-hal yang tidak disenangi seperti musibah kematian, sakit, kelaparan, dan sebagainya, tapi bisa juga berupa hal-hal yang disenangi misalnya segala kenikmatan duniawi yang disukai oleh hawa nafsu. Sabar dalam hal ini berarti menahan diri dari menuruti segala sesuatu yang menjadi kehendak hawa nafsu. Allah SWT. berfirman :
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun". mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-Baqarah ayat 155-157) Orang muslim juga dituntut oleh Allah SWT. untuk mengiringi keburukan yang dilakukannya dengan perbuatan baik, dan tabah menerima hal-hal yang menyakitkan dari sanak kerabatnya demi memupus api permusuhan di kalangan internal kaum muslim. Dan penolong terbaik dalam hal ini adalah kesabaran. Nabi SAW. bersabda :
7
M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2007), h. 47
48
Abu Sa‟id (Sa‟ad) bin Malik bin Sinan Al-Khudry r.a. berkata ada beberapa orang sahabat Anshar meminta kepada Rasulullah saw. maka beliau memberinya, kemudian mereka meminta lagi dan beliau pun memberinya sehingga habislah apa yang ada pada beliau. Ketika beliau memberikan semua apa yang ada di tangannya, beliau bersabda kepada mereka : “Apapun kebaikan yang ada padaku tidak akan saya sembunyikan pada kamu sekalian. Barangsiapa yang menjaga kehormatan dirinya maka Allah swt. akan menjaganya, dan siapa yang melatih kesabarannya,maka Allah swt. pun akan memberikan kesabaran padanya. Dan seseorang itu tidak akan mendapatkan anugerah yang lebih baik atau lebih lapang melebihi kesabaran.”8 Hadits ini menjelaskan bahwa kesabaran itu dapat terwujud dengan latihan dan usaha perjuangan melawan hawa nafsu, tidak semata-mata datang tanpa usaha ikhtiar. Ketika kita telah melatih diri kita, maka Allah SWT. akan menolong kita untuk menjadi pribadi yang penyabar. Sebagaimana kisah Nabi Yusuf AS. ketika beliau disakiti dan dimasukkan ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya, beliau tetap bersikap sabar hingga akhirnya mereka dipertemukan kembali oleh Allah SWT. dan tidak ada sedikitpun rasa dendam dalam hati Nabi Yusuf AS. ketika bertemu dengan saudara-saudaranya tersebut. Dalam mengarungi kehidupan, setiap orang mengalami perubahanperubahan nasib dan kondisi antara mudah dan susah, kaya dan miskin, sehat dan sakit. Dalam hal ini, seorang muslim dituntut untuk bersabar menghadapi perubahan.9 Kesabaran dapat dibagi empat kategori berikut ini :
8
Salim Bahreisy, Tarjamah Riadhus Shalihin, jilid I, (Bandung: PT. Al-Ma’arif), h. 54. Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam & Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2011), Cet.1, h.
9
298-299.
49
1. Sabar menanggung beratnya melaksanakan kewajiban. Kewajiban menjalankan shalat lima waktu, kewajiban membayar zakat, kewajiban melaksanakan haji bila mampu. Bagi orang yang sabar, betapapun beratnya kewajiban itu tetap dilaksanakan, tidak perduli apakah dalam keadaan melarat, sakit, atau dalam kesibukan. Semuanya tetap dilaksanakan dengan patuh dan ikhlas. Orang yang sabar melaksanakan kewajiban berarti mendapat taufik dan hidayah Allah. 2. Sabar menanggung musibah atau cobaan. Cobaan bermacam-macam, silih berganti datangnya. Namun bila orang mau bersabar menanggung musibah atau cobaan disertai tawakal kepada Allah, pasti kebahagiaan terbuka lebar. Namun yang sabar menanggung musibah pasti memperoleh pahala dari Allah. 3. Sabar menahan penganiayaan dari orang. Di dunia ini tidak bisa luput dari kezaliman. Banyak terjadi kasus-kasus penganiayaan terutama menimpa orang-orang yang suka menegakkan keadilan dan kebenaran. Tetapi bagi orang yang sabar menahan penganiayaan demi tegaknya keadilan dan kebenaran, pasti dia orang-orang yang dicintai Allah. 4. Sabar menanggung kemiskinan dan kepapaan. Banyak orang-orang yang hidupnya selalu dirundung kemiskinan akhirnya berputus asa. Ada yang menerjunkan dirinya ke dunia hitam, menjadi perampok, pencopet dan pembegal.
Ada
lagi
yang
kemudian
terjun
menjadi
pengemis,
pekerjaannya tiap hari hanya minta-minta. Orang seperti ini tidak memiliki sifat sabar. Sebaliknya orang yang sabar menanggung kemiskinan dan kepapaan dengan jalan mencicipinya apa adanya dari pembagian Allah serta mensyukurinya, maka ia adalah yang di dalam hidupnya selalu dilimpahi kemuliaan dari Allah.10 Sikap sabar ini merupakan kebutuhan pokok dalam rohani manusia, karena hanya dengan sikap sabar seseorang dapat sukses dalam cita-citanya. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki sikap ini usahanya akan berhenti ditengah jalan dan cita-citanya hanya akan menjadi khayalan. 10
M. Yatimin Abdullah, op.cit., h. 42
50
Akhlak sabar ini wajib dimiliki oleh para guru, sebab dalam setiap proses pembelajaran pasti akan selalu terdapat kendala. Untuk itu, akhlak sabar perlu dimiliki dan dikembangkan oleh setiap para guru. Untuk membiasakan sikap sabar, banyak hal yang dapat dilakukan, yaitu dengan cara: menahan emosi, pantang menyerah, tidak terburu-buru dalam melakukan sesuatu, tenang, dan berlapang dada.
C. Tanggung Jawab Dalam surat Yusuf ayat 59 menjelaskan bahwa Nabi Yusuf AS. terlibat langsung serta aktif dalam upaya pembagian makanan dan pengawasannya, tidak melimpahkan pekerjaan itu kepada bawahannya. Hal ini terbukti dari pertemuannya dengan saudara-saudaranya di lokasi pembagian itu serta masuknya mereka untuk menemuinya di tempat tersebut. Apa yang dilakukan Nabi Yusuf AS. ini menunjukkan betapa besarnya tanggung jawab beliau terhadap tugas yang telah diamanatkan kepada beliau. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya.11 Tanggung jawab yaitu kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya baik yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Menurut Drs. M. Ngalim Purwanto MP. dalam buku administrasi dan supervisi pendidikan tanggung jawab adalah “kesanggupan untuk menjalankan suatu tugas kewajiban yang dipikulkan kepadanya dengan sebaik-baiknya.”12 Jadi, dapat dikatakan bahwa tanggung jawab adalah kesadaran seseorang dalam melakukan suatu tugas dengan sebaik-baiknya. Tanggung jawab bersifat kodrati, yang artinya tanggung jawab itu sudah menjadi bagian kehidupan manusia bahwa setiap manusia dan yang pasti masing-masing orang akan memikul suatu tanggung jawabnya sendiri11
TIM Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 1139 12 Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h.73
51
sendiri. Apabila seseorang tidak mau bertanggung jawab, maka tentu ada pihak lain yang memaksa untuk tindakan tanggung jawab tersebut. Sebagaimana firman Allah :
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.(Q.S. Al-Zalzalah ayat 7-8) Ayat diatas menjelaskan bahwa sekecil apapun amal yang yang kita lakukan
semuanya
akan
mendapat
balasan
dan
kita
harus
mempertanggungjawabkan segala amal yang kita lakukan. Tanggung jawab bukanlah keistimewaan. Ketika seseorang diangkat atau ditunjuk untuk memimpin suatu lembaga atau institusi, maka ia sebenarnya mengemban tanggung jawab yang besar sebagai seorang pemimpin yang harus mampu mempertanggung jawabkannya. Bukan hanya dihadapan manusia, tapi juga dihadapan Allah SWT. Oleh karena itu, jabatan dalam semua level atau tingkatan bukanlah suatu keistimewaan sehingga seorang pemimpin atau pejabat tidak boleh merasa menjadi manusia yang istimewa sehingga ia merasa harus diistimewakan dan ia sangat marah bila orang lain tidak mengistimewakan dirinya. Nabi SAW. bersabda :
Ibnu Umar r.a. mendengar Rasulullah saw. bersabda :” Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang lelaki adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang istri adalah pemimpin dirumah suaminya, dan ia akan dimintai
52
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam harta tuannya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. “HR.Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah.13 Hadits diatas menjelaskan bahwa setiap orang adalah pemimpin dari apa yang dipimpinnya, setiap manusia memiliki tanggung jawab dan harus mempertanggungjawabkan apa yang ia pimpin. Sebagaimana yang telah dicontohkan didalam hadits diatas bahwa seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya, istri adalah pemimpin dirumah suaminya, karena istri merupakan seorang ibu dari anak-anaknya dan ia wajib bertanggung jawab dalam mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya. Setiap manusia yang berjuang memiliki tujuan untuk memenuhi keperluannya sendiri atau untuk keperluan pihak lain. Untuk itu, ia menghadapi manusia lain dalam masyarakat atau menghadapi lingkungan alam. Dalam usahanya itu manusia juga menyadari bahwa ada kekuatan lain yang ikut menentukan, yaitu kekuasaan Tuhan. Dengan demikian tanggung jawab itu dapat dibedakan menurut keadaan manusia atau hubungan yang dibuatnya, atas dasar ini, lalu dikenal beberapa macam tanggung jawab, yaitu: 1. Tanggung jawab terhadap Tuhan. Tuhan menciptakan manusia di bumi ini bukanlah tanpa tanggung jawab. Manusia mempunyai tanggung jawab langsung terhadap Tuhan. Sehingga tindakan manusia tidak bisa lepas dari hukum-hukum Tuhan yang telah diatur sedemikian rupa dalam berbagai kitab suci melalui berbagai macammacam agama. Manusia diciptakan oleh Allah SWT. untuk menyembahNya, melaksanakan segala perintah-Nya, dan menjauhi segala laranganNya. Setiap manusia akan dipertanyakan dan diperhitungkan serta mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di hadapan Allah SWT.14 2. Tanggung jawab terhadap diri sendiri.
13
Muhammad Shidiq Hasan Khan, Ensiklopedia Hadits Shahih, h.92 Ali abdul Halim Mahmud, Fiqih Responsibilitas: Tanggung Jawab Muslim Dalam Islam, (Jakarta: Gema Insani Press), h. 20 14
53
Tanggung jawab terhadap diri sendiri menentukan kesadaran setiap orang untuk
memenuhi
kewajibannya
sendiri
dalam
mengembangkan
kepribadian sebagai manusia pribadi. 3. Tanggung jawab terhadap keluarga Keluarga merupakan masyarakat kecil. Keluarga terdiri dari ayah, ibu, anak-anak, dan juga orang lain yang menjadi anggota keluarga. Tiap anggota keluarga wajib bertanggung jawab kepada keluarga. Tanggung jawab ini menyangkut nama baik keluarga. 4. Tanggung jawab terhadap masyarakat Pada hakikatnya manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan manusia lain, sesuai dengan kedudukannya sebagai mahluk sosial. Karena membutuhkan manusia lain maka ia harus berkomunikasi dengan manusia lain. Sehingga dengan demikian manusia disini merupakan anggota masyarakat yang tentunya mempunyai tanggung jawab seperti anggota masyarakat yang lain agar dapat melangsungkan hidupnya dalam masyarakat tersebut. Wajarlah
apabila
segala
tingkah
laku
dan
perbuatannya
harus
dipertanggung jawabkan kepada masyarakat. 5. Tanggung jawab kepada Bangsa / Negara Suatu kenyataan lagi, bahwa tiap manusia, tiap individu adalah warga negara suatu negara. Dalam berpikir, berbuat, bertindak, bertingkah laku manusia tidak dapat berbuat semaunya sendiri. Bila perbuatan itu salah, maka ia harus bertanggung jawab kepada negara.15 Orang yang bertanggung jawab akan memperoleh kebahagiaan, karena orang tersebut dapat menunaikan kewajibannya. Kebahagiaan tersebut dapat dirasakan oleh dirinya atau orang lain. Sebaliknya, jika orang yang tidak bertanggung jawab akan menghadapi kesulitan karena ia tidak mengikuti aturan, norma, atau nilai-nilai yang berlaku. Sikap tanggung jawab ini wajib dimiliki oleh para guru, karena sebagai guru harus bertanggung jawab atas
15
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/06/12/mengenal-arti-kata-tanggungjawab-567952.html (diakses pada tanggal 2 februari, 2014, jam 19.00)
54
setiap perkataan dan perbuatannya dalam menyampaikan materi kepada peserta didik.
D. Dermawan Dalam surat Yusuf ayat 59 menjelaskan bahwa Nabi Yusuf AS. mengabulkan permintaan mereka membeli barang-barang mereka dan menukarkan dengan bahan makanan dan disiapkan untuk mereka 10 pikul bahan makanan dan keperluan-keperluan lain yang dibutuhkan dalam perjalanan, karena mereka berjumlah 10 orang, masing-masing berhak mendapat satu pikul. Tetapi mereka menceritakan bahwa di kampung mereka ada lagi 2 orang yang sangat memerlukan bahan makanan yaitu seorang saudara dan seorang ayah mereka sendiri. Mereka memohon supaya kepada mereka diberikan 12 pikulan sebab yang sepuluh pikulan itu hanya cukup untuk mereka saja. Kemudian Nabi Yusuf AS. berkata kepada mereka bahwa beliau telah menyempurnakan takaran, tidak menguranginya, bahkan telah menambahkan satu unta untuk saudaranya (Bunyamin). Hal ini menunjukkan sikap dermawan. Karena beliau telah memenuhi keinginan mereka dalam mencukupi kebutuhannya, dan beliau mengembalikan barang-barang mereka yang ingin ditukarkan. Sebagai seorang muslim, kita harus saling tolong-menolong. Salah satu bentuknya yaitu beramal. Beramal akan melatih diri kita untuk lebih memahami kehidupan orang yang tidak beruntung. Orang yang suka beramal dapat disebut dermawan. Ia mendermakan hartanya kepada orang yang lebih membutuhkannya. Dalam bahasa arab kata “dermawan” disebut juga Al-Sakhawah. Orang yang bersifat dermawan dinamakan sakhiy atau karim. Salah satu nama Allah SWT. adalah al-Karim, karena Allah SWT. yang paling suka memberi.16 Kedermawanan adalah ungkapan tentang memberikan sesuatu yang tidak diperlukannya, sedangkan yang lebih berat adalah memberi sesuatu tetapi 16
Jalaludin Rahmat, Membuka Tirai Kegaiban: Renungan-renungan sufistik, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. 5, h. 262
55
sesuatu itu sangat diperlukan. Istilah dermawan bisa diartikan memberikan sebagian harta yang dimilikinya untuk kepentingan orang lain yang membutuhkan dengan senang hati tanpa keterpaksaan. Orang yang dermawan adalah orang yang senang jika bisa membantu orang lain yang sedang ditimpa kesusahan. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh sahabat nabi saw. yaitu Utsman bin Affan yang terkenal sebagai orang yang kaya raya, baik sebelum datangnya islam maupun masa islam. Utsman merupakan seorang pedagang yang gigih dan ulung. Tidak mengherankan apabila ia menuai sukses dalam usahanya itu. Semasa islam, Utsman menyerahkan bagian terbesar kekayaannya demi kepentingan agama, membantu orang-orang yang kekurangan, serta membeli lalu membebaskan para hamba sahaya muslim yang disiksa tuannya. Utsman adalah seorang saudagar yang kaya tetapi dermawan. Kekayaannya ini beliau belanjakan guna mendapatkan keridhaan Allah SWT., yaitu untuk pembangunan umat dan ketinggian islam. Beliau memiliki kekayaan ternak lebih banyak dari pada orang arab lainnya. Sewaktu Nabi SAW. kekurangan dana untuk membiayai pasukan kaum muslimin ke Tabuk (tahun 9 H/631 M), Utsman menanggung sepertiga dari keseluruhan biaya. Ia menyerahkan 950 ekor unta, 50 ekor kuda, serta uang tunai sebesar 1.000 dinar. Kekayaan yang pernah dimiliki Utsman dapat pula dilihat dari kemampuannya membeli sumur Raumah dari seorang Yahudi ketika umat islam Madinah kekurangan air minum. Diriwayatkan, suatu ketika Nabi berkata: "Siapakah yang mau membeli sumur Raumah ini, lalu dia memberikannya kepada kaum muslimin tanpa mengharapkan imbalan sedikitpun dari mereka?" Utsman keluar dari barisan mereka, lalu pergi menemui orang Yahudi pemilik sumur untuk membeli sumur tersebut. Tetapi si Yahudi pemilik sumur menolak menjualnya, kecuali jika Utsman bersedia membayar 12.000 dirham. Itu pun dengan syarat sumur tersebut tidak sepenuhnya menjadi milik kaum muslimin. Utsman harus setuju dengan tawaran si Yahudi bahwa satu hari itu sumur itu menjadi milik Utsman (kaum
56
muslimin Madinah), tetapi pada hari berikutnya menjadi milik orang Yahudi.17 Allah SWT. berfirman:
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Q.S. Al-Isra’ [17] ayat 26-27) Ayat diatas menerangkan bahwa orang yang beriman mempunyai
kewajiban kepada kerabatnya, yaitu memberikan hak mereka. Kerabat adalah keluarga, yaitu yang mempunyai hubungan darah dengan kita, baik hubungan darah dekat maupun jauh. Mereka mempunyai hak kepada keluarganya, salah satunya yaitu bantuan materi. Bila salah satu dari mereka ada yang kekurangan harus dibantu. Mereka harus didahulukan daripada yang lain. Setelah itu barulah perhatian ditujukan kepada yang lain, terutama orang miskin. Orang miskin adalah orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan primernya. Kebutuhan primer adalah kebutuhan dasar seperti makan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan.18 Dermawan merupakan salah satu sifat terpuji yang harus dimiliki oleh seorang mukmin, karena dermawan adalah perbuatan yang mencerminkan hubungan antar manusia yang
baik, tetapi tidak mengesampingkan
hubungannya dengan Allah SWT. Kedermawanan mengajarkan seseorang akan arti sebuah keikhlasan dan keperdulian terhadap orang lain yang membutuhkan bantuan. Sikap dermawan merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk melatih seseorang dalam mengatur harta yang dimiliki dengan 17
http://nurhayatinusaibah.blogspot.com/2012/07/kedermawanan-sahabat-rasulullah1_8233.html (diakses pada tanggal 01 maret, 2014, jam 13 : 43) 18 http://abdulmuttaqin.blogspot.com/2012/02/ayat-al-quran-tentang-perilakudermawan_08.html (diakses pada tanggal 02 maret, 2014, jam 15 : 41)
57
menyisihkan hartanya dan memberikannya kepada orang lain yang benarbenar membutuhkan. Sifat dermawan yang dimiliki seseorang akan membantu mengurangi kesenjangan yang ada, antara si kaya dan si miskin. Karena didalam perbuatan dermawan yang dilakukan tidak hanya memberikan sesuatu yang dimiliki secara ikhlas tetapi juga adanya hubungan atau silaturahmi yang baik antara penderma dan yang menerimanya. Orang-orang yang menginfakkan hartanya baik dalam keadaan senang ataupun susah senantiasa memperoleh perhatian Allah SWT. Para malaikat berdo’a memohon tambahan rezeki bagi mereka yang mau menafkahkan hartanya. Sedangkan orang yang menimbun kekayaan selalu membayangbayangkan kehilangan hartanya. Padahal harta benda kelak tidak akan dibawa mati.19 Allah SWT. telah berjanji apabila seseorang suka dermawan/sedekah, maka Allah SWT. akan menggantinya, seperti firman-Nya:
“Katakanlah: "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)". dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, Maka Allah akan menggantinya dan Dialah pemberi rezki yang sebaik-baiknya.”(Q.S. Saba’ ayat 39) Ayat diatas menjelaskan barang siapa yang dermawan, maka hartanya akan dilipatgandakan oleh Allah SWT. Nabi SAW. bersabda :
Abu Hurairah r.a. berkata : Rasulullah saw. bersabda: Tidak ada suatu hari pun yang dilewati oleh hamba-hamba Allah pada setiap paginya melainkan dua Malaikat yang turun berdo‟a : yang satu 19
Abu Laila, Akhlak Seorang Muslim, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1995), h. 235.
58
berdo‟a : ya Allah berilah ganti (balasan yang berlipat) pada orang yang suka memberi (dermawan). Yang kedua berdo‟a : ya Allah berilah pada orang yang kikir itu kehancuran kemusnahan (pada hartanya). (H.R. Bukhari, muslim).20 Hadits ini menjelaskan bahwa setiap pagi malaikat turun untuk mendo’akan umat manusia. Beruntunglah manusia yang suka mendermakan hartanya
kepada
sesama,
karena
akan
diberikan
keberkahan
dan
dilipatgandakan hartanya, dan rugilah manusia yang pelit terhadap sesama, karena hal itu akan mempersulit dirinya.
E. Kejujuran Dalam surat Yusuf ayat 60-62 menjelaskan bahwa Nabi Yusuf AS. memperingatkan kepada saudara-saudaranya bahwa ketika mereka akan kembali lagi untuk mendapatkan makanan, mereka harus membawa saudaranya yang bungsu (Bunyamin), mereka diperingatkan karena Nabi Yusuf as. mengetahui niat mereka untuk berlangganan terhadap beliau. Tetapi saudara-saudara Yusuf merasa bahwa untuk mendatangkan Bunyamin ke Mesir dan bertemu Nabi Yusuf AS. bukanlah hal yang mudah. Karena kecintaan ayahnya terhadap Yusuf AS. telah berpindah terhadap adik kandungnya (Bunyamin). Namun mereka memberikan kepastian dan berjanji bahwa mereka akan berusaha keras dan mencari siasat untuk membawa Bunyamin dari tangan ayahnya. Mereka akan membujuknya untuk mengutus Bunyamin bersama mereka dan membawanya ke Mesir untuk bertemu Nabi Yusuf AS., dan hal tersebut akhirnya benar-benar ditepati. Hal ini menunjukkan sikap kejujuran. Jujur, sama juga artinya dengan benar. Orang yang jujur atau benar ialah orang yang pemikirannya berlandaskan kebenaran itu sendiri, sehingga tidak ada lagi perilakunya yang bertentangan dengan kebenaran itu. Salah satu sifat yang akan bisa meraih kemenangan di surga adalah jujur.21 20
Salim Bahreisy, Tarjamah Riadhus Shalihin, jilid I, (Bandung: PT. Al-Ma’arif), h. 428. Mahyuddin Ibrahim, Seratus delapan puluh sifat tercela dan terpuji, (Jakarta: Haji Masagung, 1992), Cet. 3, h. 121 21
59
Seorang muslim dituntut selalu berada dalam keadaan benar lahir batin; Benar hati (shidq al-qalb), benar perkataan (shidq al-hadits), dan benar perbuatan (shidq al-„amal). Antara hati dan perkataan harus sama, tidak boleh berbeda, apalagi antara perkataan dan perbuatan. Benar hati, apabila hati dihiasi dengan iman kepada Allah SWT. dan bersih dari segala penyakit hati. Benar perkataan, apabila semua yang diucapkan adalah kebenaran bukan kebathilan. Dan benar perbuatan, apabila semua yang dilakukan sesuai dengan syari’at islam.22 Jujur dapat dikatakan sebagai sikap yang selalu berusaha menyesuaikan antara ucapan dan perbuatan. Allah SWT. berfirman :
“Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, Maka kembalikanlah Perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (Q.S. Al-Anfaal : 58) Sebagaimana sabda Nabi SAW. :
Dari Ibnu Mas‟ud r.a. dari nabi saw. beliau bersabda : “Sesungguhnya benar / jujur itu membawa kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan itu membawa ke surga; seseorang itu akan selalu bertindak benar/jujur sehingga ia ditulis disisi Allah sebagai orang yang sangat benar/jujur. Dan sesungguhnya dusta itu membawa ke neraka ; seseorang akan selalu berdusta sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai pendusta. (H.R. Bukhari dan Muslim)23 22
Yunahar Ilyas, op.cit., h. 81 Muslich Shabir, Terjemah Riyadlus Shalihin, (Semarang: CV.Toha Putra), jilid I, h. 75-
23
76
60
Seorang muslim harus selalu bersikap benar ; kapan, di mana dan kepada siapapun. Kalau diperinci paling kurang ada lima macam bentuk shidiq: 1. Benar Perkataan (shidq al-hadits) Dalam keadaan apapun seorang muslim akan selalu berkata yang benar; baik dalam menyampaikan informasi, menjawab pertanyaan, melarang dan memerintah ataupun yang lainnya. Orang yang selalu berkata benar akan dikasihi oleh Allah dan dipercaya oleh masyarakat. Sebaliknya, orang yang berdusta apalagi suka berdusta, masyarakat tidak akan mempercayainya. 2. Benar Pergaulan (shidq al-mu‟amalah) Seorang muslim akan selalu bermu’amalah dengan benar; tidak menipu, tidak khianat, dan tidak memalsu, sekalipun kepada non muslim. Orang yang shidq dalam mu‟amalah jauh dari sifat sombong dan ria. Kalau melakukan sesuatu dia lakukan karena Allah, kalau meninggalkan sesuatu juga dia tinggalkan karena Allah. Dia tidak mengharapkan balas budi orang lain. Dia akan selalu bersikap benar dengan siapa pun, tanpa memandang kekayaan, kekuasaan, atau status lainnya. Barang siapa yang selalu bersikap shidiq dalam mu’amalahnya maka dia akan menjadi kepercayaan masyarakat. Siapapun ingin bermu’amalah dengannya. 3. Benar Kemauan (shidq al-a‟zam) Sebelum memutuskan untuk melakukan sesuatu, seorang muslim harus mempertimbangkan dan menilai terlebih dahulu apakah yang dilakukannya itu benar dan bermanfaat. Apabila yakin benar dan bermanfaat, dia akan melakukannya tanpa ragu-ragu, tidak akan terpengaruh dengan suara kiri kanan yang mendukung atau mencelanya. Kalau dia menghiraukan semua komentar orang, dia tidak akan jadi melaksanakannya. Tetapi bukan berarti dia mengabaikan kritik, asal kritik itu argumentatif. 4. Benar Janji (shidq al-wa‟ad)
61
Apabila berjanji, seorang muslim akan selalu menepatinya, sekalipun dengan musuh atau anak kecil. Allah swt. menyukai orang-orang yang menepati janji. Dalam al-Qur’an disebutkan pujian Allah SWT. kepada Nabi Isma’il AS. yang menepati janji :
“Dan Ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan Dia adalah seorang Rasul dan Nabi.”(Q.S. Maryam [19]: 54) „Azam (keputusan hati) untuk melakukan suatu kebaikan dinilai sebagai
janji,
menepatinya
disebut
wafa‟
(menepati
janji)
dan
memungkirinya disebut kadzib (bohong). 5. Benar Kenyataan (shidq al-hal) Seorang muslim akan menampilkan diri seperti keadaan yang sebenarnya. Dia tidak akan menipu kenyataan, tidak memakai baju kepalsuan, tidak mencari nama, dan tidak pula mengada-ada.24
24
Yunahar Ilyas, op.cit., h. 83
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Akhlak merupakan cermin kepribadian seseorang, sehingga baik buruknya seseorang dapat dilihat dari akhlaknya. Al-Qur’an adalah sumber pokok dalam berperilaku dan menjadi acuan kehidupan, karena didalamnya memuat berbagai aturan kehidupan dimulai dari hal sederhana sampai kepada hal yang rumit. Jika al-Qur’an telah melekat dalam kehidupan setiap insan, maka akhlak yang baik pun akan terwujud sehingga memberikan ketenangan dan ketentraman batin. Pendidikan akhlak merupakan bidang pendidikan yang sangat penting dan harus ditanamkan sejak dini, karena pendidikan akhlak tidak terpisahkan dengan aspek-aspek lainnya seperti spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan keterampilan. Tujuannya adalah untuk membentuk insan kamil yang taat dan takwa kepada Allah SWT. Dari berbagai uraian yang penulis paparkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung di dalam alQur’an Surat Yusuf ayat 58-62 sebagai berikut : 1. Pemaaf. pemaaf dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang dapat menghapus rasa sakit yang ada di dalam hati serta menerima kekurangan orang lain dengan lapang dada. 2. Sabar. sabar dapat diartikan seseorang yang ketika ditimpa bencana atau cobaan dari Allah SWT. dengan segala sesuatu yang tidak disukai ia tidak akan mengeluh dan ia berserah diri kepada Allah SWT. Untuk membiasakan sikap sabar, banyak hal yang dapat dilakukan, yaitu dengan cara: menahan emosi, pantang menyerah, tidak terburu-buru dalam melakukan sesuatu, tenang, dan berlapang dada.
62
63
3. Tanggung Jawab. Tanggung jawab adalah kesadaran seseorang dalam melakukan suatu tugas dengan sebaik-baiknya. Ada beberapa macam tanggung jawab, yaitu: tanggung jawab terhadap Tuhan, tanggung jawab terhadap diri sendiri, tanggung jawab terhadap keluarga, tanggung jawab terhadap masyarakat, dan tanggung jawab kepada Bangsa / Negara. 4. Dermawan. Dermawan yaitu memberikan sebagian harta yang dimilikinya untuk kepentingan orang lain yang membutuhkan dengan senang hati tanpa keterpaksaan. 5. Kejujuran Jujur yaitu sikap yang selalu berusaha menyesuaikan antara ucapan dan perbuatan. Ada 5 macam bentuk kejujuran (shidiq), antara lain yaitu : benar perkataan, benar pergaulan, benar kemauan, benar janji, dan benar kenyataan.
B. Saran Pendidikan akhlak adalah usaha sadar dan tidak sadar yang dilakukan oleh seorang pendidikan untuk membentuk tabiat yang baik pada seorang anak didik, sehingga terbentuk manusia yang ta’at kepada Allah SWT. Pembentukan tabiat ini dilakukan oleh pendidik secara terus-menerus dengan tidak ada paksaan dari pihak manapun. Pendidikan akhlak merupakan pendidikan yang tidak hanya mengedepankan sisi nilai (kognitif) saja, tetapi juga pada aspek sikap (afektif). Oleh sebab itu, perlu adanya usaha untuk memotivasi dan mendukung pembentukan pribadi muslim yang tangguh dengan berpedoman kepada al-Qur’an dan hadits. Tercapainya pendidikan akhlak tersebut sangat bergantung kepada tekad, semangat dan kinerja para pendidik agama islam itu sendiri, karena hanya dengan tekad dan semangat yang kuatlah akan menunjang serta mendorong tercapainya hasil yang sempurna. Hal ini tentu harus disadari oleh kemampuan-kemampuan dasar sebagai pekerja professional. Untuk mencapai tujuan pendidikan, maka
64
penanaman nilai akhlak harus diterapkan dengan menggunakan metode yang tepat. Dari hasil penelitian ini, ada beberapa saran yang ingin penulis sampaikan khususnya bagi diri pribadi penulis sendiri dan umumnya para pembaca sebagai masukan atau pengingat, yaitu : 1. Hendaknya selain belajar pendidikan akhlak perlu juga dipraktekkan sikap akhlak al-karimah dalam kehidupan sehari-hari. Dengan melaksanakan pengamalan-pengamalan yang diperoleh setelah belajar pendidikan akhlak dapat membentuk pribadi dan perilaku yang baik untuk diri sendiri dan bermanfaat bagi orang lain. 2. Sekolah harus terus mengoptimalkan pendidikan akhlak dan memberikan pembinaan akhlak seperti yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya secara intensif kepada seluruh siswa di sekolah agar tidak terjadi krisis akhlak yang membahayakan. 3. Seorang pendidik dalam menyampaikan materi pendidikan akhlak kepada peserta didik hendaknya menggunakan metode yang sesuai dengan pembahasan, sehingga pendidikan akhlak menjadi suatu hal yang menarik, dan tujuan pendidikan akhlak dapat tercapai dengan baik. 4. Peranan orang tua sebagai pendidik akhlak utama sangatlah penting dalam mewujudkan proses akhlak yang baik. Oleh karena itu, para orang tua sebaiknya memberikan perhatian yang optimal terhadap anak-anaknya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga semua perbuatan yang dilakukan oleh anak-anaknya dapat dikontrol dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Yatimin, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Amzah, 2007. Abrasy, Muhammad Athiyah, Al, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, Cet. I, 1996. , Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. 1, 1970. Ardani, Moh., Akhlak Tasawuf: Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat dan Tasawuf, Jakarta: Karya Mulia, 2005. Arifin, Muzayyin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. 1, 2003. As, Asmaran , Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994. Bahreisy, Salim, Tarjamah Riadhus Shalihin, jilid I, Bandung: PT. Al-Ma’arif. Buchori, Didin Saefuddin, Metodologi Studi Islam, Bogor: Granada Sarana Pustaka, Cet.Ke-1, 2005. Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Hajjaj, Muhammad Fauqi, Tasawuf Islam & Akhlak, Jakarta: Amzah, 2011. Hamalik, Oemar, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. 9, 2009. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, Juz.13, 1983. Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2006. http://goresantanganwulan.blogspot.com/2012/02/kekuatan-maaf-nabimuhammad-saw.html (diakses pada tanggal 1 februari, 2014, jam 20.00) http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/06/12/mengenal-arti-kata-tanggungjawab-567952.html (diakses pada tanggal 2 februari, 2014, jam 19.00) http://nurhayatinusaibah.blogspot.com/2012/07/kedermawanan-sahabatrasulullah-1_8233.html (diakses pada tanggal 01 maret, 2014, jam 13 : 43)
http://abdulmuttaqin.blogspot.com/2012/02/ayat-al-quran-tentang-perilakudermawan_08.html (diakses pada tanggal 02 maret, 2014, jam 15 : 41) Ibrahim, Mahyuddin , Seratus delapan puluh sifat tercela dan terpuji, Jakarta: Haji Masagung, 1992 Ilyas, Yunahar , Kuliah Akhlak, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), 1999. Indonesia, Badan Wakaf Universitas Islam, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Yogyakarta : PT. Dhana Bhakti Wakaf, 1990. Jalaluddin & Abdullah, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan, Jakarta: PT. Gaya Media Pratama, Cet. II, 2002. Kaelan, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Paradigma, 2008. Khan, Muhammad Shidiq Hasan , Ensiklopedia Hadits Shahih, h.92 Khin, Mustofa Said, Al, dkk., Syarah dan Terjemah Riyadhus Shalihin, Jakarta: Al- I’tishom, 2013. Laila, Abu, Akhlak Seorang Muslim, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1995. Mahmud, Ali abdul Halim , Fiqih Responsibilitas : Tanggung Jawab Muslim Dalam Islam, Jakarta: Gema Insani Press. Maraghi, Ahmad Mustafa, Al, Tafsir Al-Maraghi, Semarang: CV.Toha Putra, 1994. Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2008 Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Press, 2002. Purwanto, M. Ngalim, Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya 2011. , Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009. Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. I, 2003 Rahmat, Jalaludin, Membuka Tirai Kegaiban: Renungan-renungan sufistik, Bandung: Mizan, 1996. Redaksi, TIM, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Sabri, H.M. Alisuf, Pengantar Ilmu Pendidikan, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005. Saleh, Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al-Qur’an, Jakarta: Sulthan Thaha Press, Cet.2, 2007. Shabir, Muslich, Terjemah Riyadlus Shalihin, Semarang: CV.Toha Putra Shahibuddin, Ahmad, Fungsi Al-Qur’an Dalam Pembentukan Mental Remaja, Jakarta: Dewaruci Press, 1984. Shihab, M. Quraish, Lentera Al- Qur’an, Jakarta: PT.Mizan Pustaka, Cet. II, 2008. , Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, Cet. VI, 1994. , Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, Cet. II, 2002. , Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1997. Sholikhin, Muhammad, The Power of Sabar, Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009. Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam : Lanjutan teori dan praktik, Bandung: CV.Pustaka Setia, 2010. Syaibany, Omar Mohammad Al-Thoumy, Al, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, Cet. 7, 2007. Toriquddin, Moh., Sekularitas Tasawuf, Yogyakarta: UIN-Malang Press, 2008. Ulwan, Abdullah Nashih, Pendidikan anak dalam islam, Jakarta: Pustaka amani, 1995.
I'J I
LEMBAR UJI REFERENSI Nama NIM Jurusan Judul Skripsi
Muflikhatul Karomah 10801 1000044 PendidikanAgamaIslam TAFSIR SURAT YUSUF AYAT 58-62 (KAJIAN NILAI PENDIDIKAN AKHLAK)
No
Judul Buku/Referensi
I
M. Quraish Shihab, Lentera Al- Qur'an, (Jakarta: PT.MizanPustaka: 2008),Cet.ke-2,h.21.
I
2
Prof. Dr. MuhammadAthiyah Al-Abrasy, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Titian IlahiPress,1996),Cet.Ke-l,h. 33 M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung:Mizan,1994\,Cet.VI, h. 21
2
No Footnote
Paraf Pembimbing
BAB I
a J
) \ \
a J
4
4
Ahmad Shahibuddin, Fungsi Al-Qur'an Dalam Pembentukan Mental Remaja, (Jakarta : Dewaruci Press,1984),Cet.Ke.1,h.9
5
M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur'an, (Jakarta: Amzah,2007),h. 23
6
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan anak dalam islam, (Jakarta:Pustakaamani, 1995),Cet.1, h. 30
6
7
Moh. Toriquddin,SekularitasTasawuf (Yogyakarta: UIN-MalangPress,2008),Cet. Ke-1,h. 55
7
8
Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, (Bogor: GranadaSaranaPustaka,2005),Cet.Ke-1,h.19 Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur'an, (Jakarta: Sulthan Thaha Press.2007\. Cet.2.h.47- 48
8
9
,
,b
9
BAB II
1 0 Moh. Toriquddin,SekularitasTasawuf: Membumikan
1
TasawufDalam Dunia Modern, (Yogyakarta: UINMalangPress,2008),Cet.I, h. 3 l1
Jalaluddin & Abdullah, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidiknn, (Jakarta: PT. Gaya Media Pratama,2002),cet. II, hal. 106.
I 2 Moh. Toriquddin,SekularitasTasawuf: Membumikan
2 a J
TasawufDalam Dunia Modern, (Yogyakarta: UINMalangPress,2008),Cet.I, h. 4 l3
Kaelan, Pendidikon Pancasila, Paradigma,2008), hal. 89.
(Yogyakarta:
4
I
l
t"J
,
j
I4
15 I6
t7 18 I9
20 21
22
ZJ
M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam PerspeHif Al-q ur' an, (J akarta: Amzah, 2007), Cet.1, h. 2I -22 Hasbullah, Dasar-dasar llmu Pendidikan,(Jakarta PT.RaiaGrafindo Persada.2000. h. 1 Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara,2009),Cet.9,h.3 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis Don P r aktis, (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 20 | l), Cet.20, h.11 H.M. AI suf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta UIN JakartaPress,2005), Cet.I,h.7 H.M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta : UIN J akartaPress,2005), Cet.I,h. 7 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung : PT.RemajaRosdakarya,2007), Cet. 7,h.26 Muzayyin Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), Cet. 1, h.7. SamsulNizar, Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, ( Jakarta : Ciputat Press, 2002\.Cet.I. h.25-26 Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf: Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam lbadat dan Tasawuf, (Jakarta: Karya Mulia,2005), Cet. II, h.25.
24 Dedi Supriyadi,PengantarFilsafat Islam : Lanjutan teori danpraktik, (Bandung:CV.PustakaSetia,2010), C e t.1 ,H .9 1 25 M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i Atas Pelbagai Persoalan Umat,(Bandung: Mizan, 1997),Cet.6, h. 253 26 AbuddinNata,Akhlak Tasawuf, ( Jakarta: PT.Raja GrafindoPersada.2008). h.3-4
27
5
r) (
6 7 8
9 10 11
T2
13
r [-<---,
I4
t:
15
t6 t7
Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf: Nilai-nilai Akhlalr/Budi Pekerti dalam lbadat dan Tasawuf, (Jakarta:Karya Mulia, 2005), Cet. II, h.28. 2 8 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf ( Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2008), h.3- 4
18
29 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf ( Jakarta: PT.Raja
20
t9
GrafindoPersada. 2008).h. 5 3 0 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan
2I
Bintans. 1992\.cet.3.h. 47
31 AhmadDaudy,Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,I992),cet.3,h. 61
22 )
t.t
a^
Muhammad Aliyyah al-Abrdsyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: BulanBintang, 1970), Cet. 1 .h . 1 0 9 . aa JJ Omar Mohammad Al-Thoumy Al-Syaib any, Falsafah PendidikanIslam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979),h.346 3 4 Asmaran, Pengantar Studi Akhlak,(Jakarta : Raja Grafindo Persada,1994), Cet.2,h. 55 3 5 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, ( Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada"2008)"h. l5 3 6 Moh Ardani, Nilai-nilai akhlak / budi pekerti dalam ibadat, (Jakarta: Karya Mulia), Cet.1,h.54 JZ
3 7 M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-qur'an,(Jakarta Amzah,2007), Cet.1,h. 39 3 8 M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al -qur' an, (J akarta : Amzah, 2007), Cet.I, h. 42 3 9 Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf: Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam lbadat dan Tasawuf, (Jakarta: Karya Mulia,2005), Cet. II, h. 50
40 M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif AI-qur' an, (Jakarta: Amzah,2007), Cet.I, h. 42 4 I Moh. Ardani,Akhlak Tasawuf:Nilai-nilai AkhlaUBudi Pekerti dalam lbadat dan Tasawuf,(Jakarta:Karya Mulia,2005), Cet.II, h. 51 42 Moh. Ardani,Akhlqk Tasawuf:Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam lbadat dan Tasawuf,(Jakarta:Karya Mulia, 2005),Cet.II, h. 53 BAB III 43 M.QuraishShihab,Tafsiral-Misbah: Pesan,Kesan danKeserasian Al -Qur'an,(Jakarta: LenteraHati, 2002),Cet.2,h.475 44 M.Quraish Shihab, Tafsir ol-Misbah : Pesan,Kesan
23 (
24 25
26 27 28 29 30
31 a^
JZ
33
€J
I
2
dan Keser asi an A I- Qur' an,(J akarta: Lentera Hati, 2002\, Cet.2,h. 476
45 AhmadMustafaAl-Maraghi,TafsirAl-Maraghi, (Semarans : CV.TohaPutra.1994).Cet. 2.h.14 46 Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: PustakaPanjimas,
J
4
1 9 8 3 )J, u z . I 3 ,h . 1 7 - 1 8
47 SayyidQuthb,TafsirFi Zhilalil Qur'an, (Jakarta: GemaInsaniPress,2003),Cet.1,h.295 4 8 BadanWakafUniversitasIslamIndonesia, Al-Qur'an (Yogyakarta: PT. DhanaBhakti dan Tafsirny,a, Wakaf,1990),ild.s,h. 11. 49 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah : Peson,Kesan dan Keser asi an A I - Qur' an,(J akarta: Lentera Hati, 2002), Cet.2,h. 476
5 6
7
I
l
t'/ I
5 0 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah : Pesan,Kesan dan Keser asi an A I- Qur' an,(J akarta: Lentera Hati, 2002),Cet.2,h.477 5 1 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: CV.Toha Putra, 1994\,Cet.2, h. I 5-l 6 5 2 Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: PustakaPanjimas, 1 9 8 3 )J, u z . 1 3h, . 1 8 5 3 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur'an, (Jakarta., GemaInsaniPress,2003),Cet.l, h.295
54 BadanWakafUniversitasIslamIndonesia, Al-Qur'an (Yogyakarta dan Tafsirnya : PT. DhanaBhakti Wakaf,1990),ild.s,h.12. 5 5 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah : Pesan,Kesan
8
1
9
I
10 11
t2 I3
dan Keser asi an A I - Qur' an,(J akarta: Lentera Hati, 2002\. Cet.2.h. 476
5 6 AhmadMustafaAl-Maraghi,TafsirAl-Maraghi, (Semarang : CV.TohaPutra,I994),Cet.2,h.16 5 7 Hamka,TafsirAl-Azhar,(Jakarta:PustakaPanjimas, 1 9 8 3 ). Ju z.1 3h.. 1 8 5 8 BadanWakafUniversitasIslamIndonesia, Al-Qur'an dan Tafsirnya,(Yogyakarta: PT. DhanaBhakti Wakaf,1990),ild.s,h. 12. 5 9 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,
I4 15 l6
T7
(Semarans : CV.TohaPutra.1994).Cet. 2.h.17
60 M.QuraishShihab,Tafsiral-Misbah: Pesan,Kesan dan Keser asi an A I-Qur'an,(Jakarta: LenteraHati, 2002),Cet.2,h.477 6 l Hamka,TafsirAl-Azhar,(Jakarta:PustakaPanjimas, 1 9 8 3 )J,u z . I 3 , h . 1 9 62 SayyidQuthb,TafsirFi Zhilalil Qur'an, (Jakarta: GemaInsaniPress,2003),Cet.1,h.296 63 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: CV.TohaPutra,I994),Cet.2,h. 17-18 64 Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: PustakaPanjimas, 1 9 8 3 )J, u z . l 3 , h . 1 9 65 Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia,Al-Qur'an dan Tafsirnya, (Yogyakarta : PT. Dhana Bhakti Wakaf" 1990).ild.5. h. 13.
BAB IV 66 YunaharIlyas,Kul i ah Akhlak,(Yogyakarta: Lembaga PengkajiandanPengamalan Islam(LPPD,1999),Cet. 1 .h . 1 4 0 67 Yunahar Ilyas, Kul i ah Akhl ak,(Y ogy akarta: Lembaga Pengkajiandan PengamalanIslam (LPPD, 1999), Cet.
t . h .r 4 r
18
iF
T9 20 2l
22 23
I
2
_i
!,
r
1
68 Mustofa Said Al-Khin, dkk., Syarah dan Terjemah
69
70 7l
72 -a IJ
74 75 76
78 79
Riyadhus Shalihin, (Jakarta : Al- I'tishom,2013), Cet. Ke-10.h.625 http ://goresantanganwulan.blogspo t.con/ 20 12I 02 lkeku (diaksespada atan-maaf-nabi-muhammad-saw.html tanggal1 februari,2014,iam 20.00) Muhammad Sholikhin, ThePower of Sabar, (Solo:PT. Tiga SerangkaiPustakaMandiri, 2009), Cet. l, h.6 Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada,1994),h.228 M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur'an, (J akarta : Amzah, 2007), h. 47 Salim Bahreisy,TarjamahRiadhusShalihin,jilid I, (Bandune: PT. Al-Ma'arifl. h.54. Muhammad Fauqi Hajjq, TasawufIslam & Akhlak, (Jakarta: Amzah, 20Il), Cet.1, h. 298-299. M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Our' an. 0 akarta : Amzah. 2007\. h. 42 TIM Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka,2002),h. 1139 Ngalim Purwanto,Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Bandung: PT. RemajaRosdakarya, 2009\.h.73 Muhammad Shidiq Hasan Khan, Ensiklopedia Hadits Shahih.h.92 Ali abdul Halim Mahmud, Fiqih Responsibilitas: TanggungJawab Muslim Dalam Islam, (Jakarta: GemaInsani Press)"h.20
80 http://lifestyle.kompasiana. 13I 06I 12Ime com/catatan/2O 81
82 83
84 85
ngenal-arti-katatanggung-j awab-567952.l$ml (diaksesoadatanssal 2 februari.2014. iam 19.00) JalaludinRahmat,MembukaTirai Kegaiban: Renungan-renungan sufistik, (Bandung: Mizan, 1996).Cet.5. h.262 http://nurhayatinusaibah. blogspot.coml2012I07lkeder mawanansahabat-rasulul lah-1_8233.html (diakses padatanggal0lmaret,2014,iam 13 : 43) http.,llabdulmuttaqin.blogspot.coml20l2l02layat-alquran-tentang-perilaku-dermawan_08.html (diakses padatanggal02 marct,2014, iam 15 : 41) Abu Laila,AkhlakSeorangMuslim,(Bandung: PT. Al-Ma'arif,1995),h. 235. SalimBahreisy,TarjamahRiadhusShalihin,jilid I, (Bandung : PT.Al-Ma'arif ,h.428.
J
7
4
5 6 7 8 9 10 11
T2
t*
13 t4 15
t6 l7
18
t9 20 )
I
IJ
I'
8 6 MahyuddinIbrahim,Seratusdelapanpuluh sifut terceladan terpuji, (Jakarta: Haji Masagung,1992), Cet3 . .h . l 2 l 87 Yunahar Ilyas, Kul iah Akhl ak,(Y ogy akarta: Lembaga Pengkajiandan PengamalanIslam (LPPI), 1999), Cet. 1 .h . 8 1 8 8 Muslich Shabir, Terjemah Riyadlus Shalihin, (Semarang: CV.Toha Putra),iilid I, h.75-76
8 9 YunaharIlyas,Kuli ah Akhlak,(Yogyakarta: Lembaga PengkajiandanPengamalan Islam(LPPD,1999),Cet. 1 .h . 8 3
21
22
i
23
f-
24
\
Abd.Ghofur"MA NIP : 196812081997031003
.-
\
j'
AGAMA KEMENTERIAN UIN JAKARTA FITK
FORM( FR)
Jl. lr. H. Juanda No 95 Ciputat 15412 lndonesia
N o .D o k u m e n : : Tgl.Terbit : No.Revisi: Hal
FITK-FR-AKD-081 l M a r e t 2010 01 1t1
S U R A TB I M B I N G A NS K R I P S I ry
Jakarta.25 Maret2014
. 311 . . . . . . . . 1 2 0 1 2 Nomor : Un.01/F.1/KM.0 Lamp. :Hal : Bimbingan Skripsi
KepadaYth. A. Ghofur,MA PembirnbingSkripsi FakultasIhnu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. A ssa.lam,u'al a i kunt wr.v,b. Dengan ini diharapkan kesediaarrSaudara untuk menjadi pembimbing I/ll (materi/tel
I L
Nama
MuflikhatulKaromah
NIM
1 0 8 0 r1 0 0 0 0 4 4
Jurusan
PendidikanAgarnaIslam
Semester
XI
Judul Skripsi
: Tafsir SuratYusuf ayat58-62(Kajian Nilai PendidikanAkhlak)
yang bersangkutanpada tanggal 31 Oktober Judul tersebuttelah disetujui oleh Jurr"rsan 2013, abstrakstloutline terlarnpir,Saudaradapat melakukanperubahanredaksionalpada jLrdul tersebut. Apabila perubahansubstansialdianggap perlu, mohon pembimbing menghubungi Jurusanterlebihdahulu. Bimbingan skripsi ini diharapkanselesaidalanr waktu 6 (enam) bulan, dari dapat tanpasuratperparrjar'rgan. berikr,rtrrya diperpanjang selama6 (enam)br"rlan Atas perhatiandan kerja sarla Saudara,kami ucapkanterimakasih. l(/a.s saI a.m,u' a.l, ai kunt u,r.wb. a.n,
6ffi Tembusan: 1. DekanFITI( ybs. 2. Mahasiswa
n AgamaIslam
.Ag 1 9 9 8 0 13 0 0 2