i
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR‟AN (TELAAH SURAT „ABASA AYAT 1-10)
SKRIPSI Diajukan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh: Sri Widayati NIM 11112150
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2016
ii
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR‟AN (TELAAH SURAT „ABASA AYAT 1-10)
SKRIPSI Diajukan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh: Sri Widayati NIM 11112150
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2016
i
ii
iii
iv
MOTTO
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangannya) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Qur‟an surat al-ahzab: 21).
PERSEMBAHAN
Untuk orang tuaku, adik-adikku, Keluargaku, dosen-dosenserta guru-guruku Teman-teman seperjuanganku, sahabat-sahabatku, Dan teman spesialku yang selalu setia “menemaniku.”
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM ALQUR‟AN (Telaah Surat „Abasa Ayat 1-10),” membahas tentang nilai pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an, lebih khususnya nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat „Abasa ayat 1-10. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa banyak bantuan dari berbagai pihak, baik berupa material maupun spiritual. Selanjutnya penulis haturkan ucapan terimakasih kepada mereka yang memiliki andil besar atas terselesaikannya skripsi ini: 1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku Rektor IAIN Salatiga 2. Bapak Suwardi, M. Pd selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga 3. Ibu Hj. Siti Rukhayati, M.Ag selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam 4. Bapak Prof. Dr. H. Budihardjo, M.Ag selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan bimbingan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 5. Ibu Dra.Ulfah Susilowati,M.SI selaku dosen pembimbing akademik 6. Bapak / Ibu dosen beserta karyawan IAIN Salatiga .
vi
vii
ABSTRAK Widayati, Sri. 2016. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur‟an (Telaah Surat „Abasa Ayat 1-10). Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Prof. Dr. H. Budihardjo, M.Ag. Kata Kunci: Nilai, Pendidikan Akhlak, al-Qur‟an Problematika rendahnya akhlak yang berarah pada kehancuran bangsa ini. Sehingga untuk menyelamatkan bangsa seluruh masyarakat, orang tua, pendidik harus membiasakan anak dengan akhlak yang baik agar tercipta generasi yang berakhlak mulia. Kembali kepada ajaran al-Qur‟an dan as-Sunnah merupakan solusi yang tepat dalam menyelesaikan krisis akhlak. Penelitian yang berjudul “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam al-Qur‟an (Telaah Surat „Abasa Ayat 110)” ini, bertujuan untuk menjawab pertanyaan dari permasalahan: 1. Bagaimana konsep nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Islam? 2. Bagaimana nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam al-Qur‟an surat „Abasaayat 1-10. Penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan, atau bahan-bahan bacaan untuk mencari pendapat para ahli tafsir dan ahli pendidikan tentang pendidikan akhlak. Kemudian dianalisis untuk mencapai tujuan. Metode analisis data yang penulis gunakan adalah analisis mawdhu‟i dan analisis semantik. Berdasarkan telaah dari literature maka hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1. konsep nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Islam meliputi nilai, macam-macam nilai, tujuan pendidikan akhlak, ruang lingkup pendidikan akhlak dan sumber pendidikan akhlak. 2. Nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat „Abasa ayat 1-10, antara lain: memberikan penghargaan yang sama, tidak berfikir negatif terhadap orang lain dan bersikap cermat dan berhati-hati dalam mengambil suatu tindakan.
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...........................................................................................
i
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN...........................................................
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... iii PENGESAHAN .................................................................................................. iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN ......................................................................
v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi ABSTRAK .......................................................................................................... viii DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN .................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................
1
B. Rumusan Masalah ..........................................................................
4
C. Tujuan Penelitian ...........................................................................
5
D. Manfaat Penelitian .........................................................................
5
E. Metode Penelitian ..........................................................................
6
F. Penegasan Istilah............................................................................
8
G. Sistematika Penulisan .................................................................... 11 BAB II LANDASAN TEORI NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK ........ 12 A. Nilai ............................................................................................... 12 1. Pengertian Nilai ........................................................................ 12 2. Macam-macam Nilai ................................................................. 13 B. Pendidikan Akhlak ......................................................................... 13
ix
1. Pengertian Pendidikan Akhlak .................................................. 13 2. Tujuan Pendidikan Akhlak ....................................................... 16 3. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak .......................................... 17 4 Sumber Pendidikan Akhlak ...................................................... 27 BAB III ASBĀBUN NUZŪL, POKOK-POKOK ISI SURAT „ABASA, MUNĀSABAH DAN TAFSIR QUR‟AN SURAT „ABASA AYAT 1-10 ........................................................................... 28 A. Asbâbun Nuzūl QS. „Abasa Ayat 1-10 .......................................... 28 B. Pokok-pokok Isi Surat „Abasa Ayat ............................................. 31 C. Munâsabah QS. „Abasa Ayat 1-10 ................................................ 32 D. Pandangan Mufasir dan Penafsiran Tentang al-Qur‟an Surat „Abasa Ayat 1-10 ........................................................................... 35 BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM QS. „ABASA AYAT 1-10 .................................................................
51
A. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak ....................................................... 51 B. Aplikasi Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Kehidupan Sehari-hari ...................................................................................... 59 BAB V PENUTUP ............................................................................................ 64 A. Kesimpulan ................................................................................... 64 B. Saran-saran .................................................................................... 64 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I
: Daftar Riwayat Hidup
Lampiran II
: Lembar Konsultasi
Lampiran III
: Daftar Nilai SKK
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Agama Islam adalah agama yang mengandung jalan hidup manusia yang paling sempurna dan memuat ajaran yang menuntun umat manusia kepada kebahagiaan dan kesejahteraan, baik dunia maupun akhirat kelak. Sumber agama Islam adalah al-Qur‟an dan al-Hadits. Allah telah memberikan pegangan dan pedoman kepada setiap hamba-Nya dalam menjalankan kehidupannya, agar nantinya dapat menjalankan kehidupannya dengan baik serta tidak menyimpang dari tatanan syari‟ah. Pegangan tersebut adalah alQur‟an. Fungsi al-Qur‟an diturunkan adalah sebagai pokok ajaran Islam, yang mendasari ajaran-ajaran hukum, dan peraturan
bagi
umat
manusia
(Budihardjo, 2012: 13). Dasarnya antara lain terdapat pada Q.S. an-Nisā‟/4: 105 yang berbunyi:
“Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”.(QS. an-Nisā‟: 105) Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat mengetahui bahwa berpedoman
kepada
al-Qur‟an,
manusia
1
dapat
belajar
menjalankan
2
kehidupannya dengan baik, karena didalamnya mengandung panduan, aqidah, hukum, kisah, petunjuk, ibadah serja janji dan ancaman. Semua petunjuk yang terkandung di dalam al-qur‟an menuntun manusia untuk berakhlak mulia, dan seluruh kandungan dalam al-Qur‟an berisi petunjuk dari Allah. Allah Swt berfirman:
“(al-Qur‟an) ini adalah penerang bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa”(Ali Imrān: 138). Petunjuk yang diberikan kepada setiap manusia itu berupa akal, kecerdasan dan pengetahuan untuk dikembangkan dan juga petunjuk atau hidayah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat. Untuk mencapai hal tersebut, maka manusia salah satunya yaitu harus memperhatikan pendidikan akhlak. Hal itu karena akhlak adalah buahnya Islam yang diperuntukkan bagi seorang individu dan umat manusia, dan akhlak menjadikan kehidupan ini menjadi manis dan elok. Tanpa akhlak, yang merupakan kaidah-kaidah kejiwaan dan sosial bagi individu juga masyarakat, maka kehidupan manusia tidak berbeda dengan kehidupan hewan dan binatang (hafidz dan Kastolani, 2009: 107).
Allah telah menjadikan contoh akhlak yang luhur dalam al-
Qur‟an dan mengajak kaum muslimin untuk menyerupai nilai-nilai dalam alQur‟an tersebut. Selain itu, Islam juga menjadikan Rasulullah sebagai sumber teladan yang baik dalam akhlak, sebagaimana firman Allah:
3
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”(al-Ahzāb: 21). Selain terdapat dalam al-Qur‟an, juga dalam hadits Rasulullah:
“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang baik”. Melihat firman-firman Allah dan hadits Rasulullah tersebut, kita sebagai umat Islam dianjurkan untuk meneladani Rasulullah SAW karena seluruh umat Islam pastilah tahu bahwa Rasulullah adalah diutus kepada umat manusia untuk menyempurnakan akhlak. Pada prinsipnya akhlak itu mengatur pola tingkah laku manusia melalui dua cara yaitu hablumminallah, hubungan manusia dengan Allah dan hablumminannas hubungan manusia dengan sesama manusia. Karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat terpisahkan dari manusia lain, pastinya juga tidak dapat terpisahkan dari interaksi atau hubungan, yang mana dari hubungan-hubungan tersebut membutuhkan akhlak agar tetap terjaga keharmonisannya. Anak didik di dalam pendidikan dibina dan dikembangkan dengan usaha-usaha agar bisa meneruskan kehidupan bangsa yang maju dan berpendidikan serta bermoral, dan berbudi pekerti yang baik. Pendidikan merupakan suatu sistem yang menetapkan pengaruh adanya efektifitas dari keluarga dan sekolah dalam membentuk generasi muda dari aspek jasmani,
4
akal dan akhlak. Pendidikan akhlak memiliki tujuan utama yaitu agar manusia senantiasa berada dalam kebenaran dan di jalan yang lurus, jalan yang telah ditetapkan oleh Allah. Namun, di zaman yang semakin maju sekarang ini mengalami kemerosotan kualitas akhlak. Seperti contohnya di masyarakat, banyak anakanak yang berani membantah kepada yang lebih tua atau bahkan kepada orang tuanya sendiri, jangkar atau memanggil nama tanpa sebutan pak, mas, bu, dll.Bahkan sama sekali tidak memiliki tata krama dalam pergaulan. Di media cetak atau televisi, sering kita jumpai berita mengenai pembunuhan anak oleh orang tuanya sendiri. Kaitannya dengan permasalahan tersebut terutama di dalam dunia pendidikan maka perlu kita perhatikan pendidikan akhlak agar manusia setidaknya dapat terhindar dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Atas dasar beberapa realita di atasmenjadikan alasan dan mendorong penulis untuk menyusun skripsi dengan judul “NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR‟AN (Telaah Surat „Abasa Ayat 1-10)”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, pokok permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Bagaimana konsep nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Islam?
2.
Bagaimana nilai-nilai pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an surat „Abasa ayat 1-10?
5
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengetahui konsep nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Islam.
2.
Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an surat „Abasa ayat 1-10.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat, baik secara teoritis maupun praktis, yaitu: 1.
Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para pembaca di dunia pendidikan dan khususnya terutama mengenai konsep pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an dan nilainilai pendidikan akhlak yang terkandung di dalam surat „Abasa ayat 110.
2.
Manfaat Praktis Dapat memberi masukan kepada pendidik, pemikir di masa mendatang, atau pun seluruh manusia dalam mensosialisasikan pendidikan akhlak sesuai dengan ajaran Islam. Dan juga, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mempelajari nila-nilai pendidikan akhlak dalam surat „Abasa ayat 1-10 secara komprehensif dan mendalam dalam rangka memperbaiki kualitas akhlak.
6
E. Metode Penelitian 1.
Metode Pengumpulan Data Penulisan penelitian ini, data-data yang berkaitan dengan masalah yang dibahas akan dilakukan dengan jalan Library Research (penelitian kepustakaan) yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka (Zed, 2004: 3). Hal ini dilakukan dengan jalan penelitian terhadap sumber-sumber tertulis. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a.
Sumber Primer Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian sebagai sumber informasi yang dicari (Azwar, 2009: 91). Sumber data primer ini berupa al-Qur‟an surat “Abasa ayat 1-10 beserta tafsirnya baik berupa haidts-hadits maupun penjelasan dan tafsir-tafsir para ulama‟ diantaranya adalah tafsir alMisbah karya M. Quraish Shihab, tafsir al-Maraghi karya Ahmad Mustafa al-Maraghi, al-Qur‟an dan tafsirnya oleh Departemen Agama RI, tafsir Ibnu Katsir karya Muhammad Nasib Ar Rifa‟i, dan tafsir al-Azhar karya HAMKA..
b.
Sumber Sekunder Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh melalui pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitiannya. Dalam hal ini data sekundernya adalah buku-buku
7
yang mendukung penulis untuk melengkapi isi serta interpretasi dari data sumber primer. 2.
Metode Analisis Data a.
Analisis Mawdhu‟i Analisis mawdhu‟i atau metode tafsir al-mawdhu‟i menurut istilah adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan menghimpun ayat-ayat al-Qur‟an yang mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-sama membicarakan satu topik dan menyusunnya berdasarkan kronologi dan sebab turunnya ayat-ayat tersebut (Budihardjo, 2012: 50). Metode ini penulis gunakan untuk membahas ayat al-Qur‟an surat „Abasa ayat 1-10 dan berupaya menghimpun ayat-ayat alQur‟an yang lain dari berbagai surat yang berkaitan dengan tema yang dibahas, sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
b.
Analisis Semantik Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), semantik adalah ilmu tentang makna kata dan kalimat, pengetahuan mengenai seluk beluk dan pergeseran arti kata. Sedangkan secara etimologis, semantik adalah ilmu yang berhubungan dengan fenomena makna dalam pengertian yang lebih luas dari kata, begitu luas sehingga hampir apa saja yang mungkin dianggap memiliki makna merupakan objek semantik (Izutsu, 2003: 3). Dalam penelitian ini, penulis juga menggunakan analisis semantik untuk membahas ayat al-Qur‟an surat „Abasa.
8
F. Penegasan Istilah Untuk menghindari adanya kemungkinan penafsiran yang salah tentang istilah-istilah yang digunakan dalam judul penelitian, maka penulis perlu untuk menjelaskan istilah-istilah yang terdapat dalam judul ini, antara lain: 1.
Nilai Nilai yaitu esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan. Kata majemuk “nilai-nilai” menurut Muhaimin berasal dari kata dasar “nilai” diartikan sebagai asumsi-asumsi yang abstrak dan sering tidak disadari tentang hal-hal yang benar dan penting (Muhaimin, 1993: 110). Dalam hal ini, nilai yang dimaksudkan adalah nilai pendidikan yang terdapat dalam surat „Abasa ayat 1-10. Selain itu, nilai juga diartikan sifat yang melekat pada sesuatu sistem kepercayaan yang telah berhubungan dengan subjek yang memberi arti (Thoha, 1996: 60). Subjek yang dimaksud di sini yaitu manusia yang meyakininya.
2.
Pendidikan Akhlak Secara terminologi, pendidikan merupakan terjemahan dari istilah Pedagogi yaitu berasal dari bahasa Yunani Kuna Paidos dan agoo. Paidos artinya “budak” dan agoo artinya “membimbing”. Akhirnya pedagogie diartikan sebagai „budak yang mengantarkan anak majikan untuk belajar (Jumali dkk, 2004: 19). Dinamakan pendidikan apabila dalam kegiatan tersebut mencakup hasil yang rambahannya (dimensi) pengetahuan sekaligus kepribadian. Dengan demikian hakikat pendidikan adalah
9
kegiatan formal yang melibatkan guru, murid, kurikulum, evaluasi, administrasi yang secara simultan memproses peserta didik menjadi lebih bertambah pengetahuan, Skiil dan nilai kepribadiannya dalam suatu keteraturan kalender akademik. Sedangkan menurut UU No. 20 th 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengemdalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Dengan pendidikan akan dihasilkan manusia yang memiliki kehalusan budi dan jiwa, dan memiliki kesadaran akan penciptaan dirinya. Secara etimologi, akhlaq (Bahasa Arab) adalah bentuk jamak dari Khuluq (
) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat
(Munawwir, 1984: 364). Berakar dari kata khalaqa (
) yang berarti
menciptakan. Seakar dengan kata khaliq (pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan khalq (penciptaan) (Ilyas, 2007: 1). Masih di dalam buku yang sama, yaitu Kuliah Akhlak oleh Yunahar Ilyas (2007: 2), pengertian akhlak secara terminologi menurut beberapa tokoh diantaranya: 1.
Imam al-Ghazali: “Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.
10
2.
Ibrahim Anis: “Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah
macam-macam
perbuatan,
baik
atau
buruk,
tanpa
membutuhkan pemikiran dan pertimbangan”. 3.
Abdul Karim Zaidan: “(Akhlak) adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya”. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui pendidikan
akhlak adalah pendidikan mengenai dasar-dasar akhlak yang berkaitan dengan perilaku yang harus ditanamkan pada diri anak sejak mulai dini. Penanaman ini dapat di lakukan melalui pendidikan baik formal maupun non formal. Dengan pendidikan akhlak menjadikan kehidupan manusia itu lebih harmonis. 3.
Al-Qur‟an al-Qur‟an secara bahasa berarti pengumpulan dan penghimpunan (Ahmad bin Fāris bin Zakariyā, 1967: 78). Sedangkan secara istilah alQur‟an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW merupakan mukjiat bagi Nabi Muhammad SAW, dinukilkan secara mutawatir dan membacanya bernilai ibadah serta tertulis dalam mushhaf, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nās (Budihardjo, 2012: 3).
11
Sedangkan yang diteliti dalam penulisan ini adalah mengenai surat „Abasa ayat 1-10 karena ayat tersebut ada kaitannya dengan nilai-nilai pendidikan akhlak.
G. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pembahasan dan penelaahan yang jelas dalam membaca skripsi ini, maka disusunlah sistematika penulisan skripsi ini secara garis besar sebagai berikut: Bab I Pendahuluan. Pada bab ini dikemukakan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, penegasan istilah, dan sistematika penulisan skripsi. Bab II Landasan Teori Nilai-nilai Pendidikan Akhlak. Pada bab ini akan dibahas mengenai nilai-nilai pendidikan akhlak yang meliputi: pengertian nilai, macam-macam nilai,pengertian pendidikan akhlak, tujuan pendidikan akhlak, ruang lingkup pendidikan akhlak, dan sumber pendidikan akhlak. Bab III Asbābun nuzūl, munāsabah, pokok-pokok isi surat „Abasa dan tafsir Qur‟an surat „Abasa ayat 1-10. Bab IV Analisis. Pembahasan nilai-nilai pendidikan akhlak dalam alQur‟an (telaah surat „Abasa ayat 1-10) dan aplikasi nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kehidupan sehari-hari. Bab V Penutup. Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran.
BAB II LANDASAN TEORI NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK
A.
NILAI 1.
Pengertian Nilai Ada banyak tokoh pendidikan yang mengartikan apa itu nilai. Nilai menurut Milton Rokearch dan James Bank adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan dalam mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan (Thoha, 1996: 60). Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa nilai merupakan sifat yang melekat pada sesuatu dan berhubungan dengan subjek yang memberi arti yaitu orang yang mempercayainya. Masih di dalam buku yang sama Chabib Thoha mengutip pendapat J.R. Fraenkel yang mendefinisikan nilai yaitu a value is an idea a concept about what some one thinks is important in life (Thoha, 1996: 60). Dari definisi tersebut menunjukkan bahwa nilai bersifat subjektif, artinya nilai menurut masyarakat satu belum tentu dapat diterapkan untuk masyarakat lainnya. sebagai contoh, segenggam garam lebih berarti bagi masyarakat Dayak di pedalaman dari pada segenggam emas. Karena garam lebih berarti untuk mempertahankan kehidupan. Sedangkan segenggam emas lebih berarti bagi orang kota. Adanya perbedaan tersebut dikarenakan dari segi manfaat suatu
12
13
objek/hal. Nilai sesuatu akan selalu berbeda dari masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. 2.
Macam-macam Nilai Menurut Noeng Muhadjir, nilai dibagi menjadi dua yaitu nilai ilahiyah dan nilai insaniyah (Muhadjir, 1987: 64). Nilai ilahiyah adalah nilai yang bersumber dari agama (wahyu Allah). Nilai ilahiyah dibagi menjadi dua. Pertama, nilai ubudiyah yaitu nilai tentang bagaimana seseorang seharusnya berlaku atau beribadah kepada Allah. Nilai ilahiyah juga bisa disebut dengan “hablum minallah”. Kedua, nilai muamalah yaitu nilai yang ditentukan oleh Allah bagi manusia untuk dijadikan pedoman dalam berhubungan sosialnya. Sedangkan nilai insaniyah terdiri dari nilai rasional, nilai sosial, nilai individual, nilai ekonomik, nilai politik dan nilai estetik. Nilai insaniyah ini juga dapat kita sebut dengan “hablum minannas”. Berdasarkan adanya macam-macam nilai tersebut, maka penelitian ini diharapkan dapat menemukan nilai ilahiyah maupun nilai insaniyah yang terdapat pada surat “Abasa ayat 1-10.
B.
Pendidikan Akhlak 1.
Pengertian Pendidikan Akhlak Untuk memudahkan dan memahami pengertian pendidikan akhlak, terlebih dahulu membutuhkan pemahaman mengenai akan dua kata yaitu pendidikan dan akhlak.
Karena pendidikan akhlak
14
terbentuk dari dua kata yaitu “pendidikan” dan “akhlak”. Dalam pendidikan banyak sekali para ahli pendidikan yang mengemukakan pendapatnya tentang pengertian pendidikan. Menurut
M.J.
Langeveld
pendidikan
adalah
kegiatan
membimbing anak manusia menuju pada kedewasaan dan mandiri. Juga menurut David Reisman, pendidikan adalah kegiatan yang harus berujud lembaga yang mampu counter cyclical, yaitu sekolah harus lebih banyak mengajukan dan menanamkan nilai dan norma-norma yang tidak banyak dikemukakan oleh kebanyakan lembaga sosial yang ada di dalam masyarakat. Sekolah harus bertindak sebagai agent ofchange dan creative (Jumali, 2004: 20). Dalam pendidikan itu terdapat usaha, pengaruh dan perlindungan yang diberikan oleh orang dewasa
dengan
menanamkan
nilai-nilai
yang baik
sehingga
terbentuklah manusia dewasa, mandiri dan mulia. Dalam bahasa Arab, pendidikan sama dengaa “At-Tarbiyah”, kata At-Tarbiyah berasal dari kata “robaya” (
) yang berarti
mendidik, mengajar, mengasuh, dan kata “robba-robaya” (
-
)
yang berarti mengasuh, mendidik, mengemong (Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, 2003: 952). Sedangkan pengertian AtTarbiyah dalam buku Ilmu Pendidikan Islam yang dikutip oleh Achmadi (1987: 2), menerangkan lebih lengkap bahwa ditinjau dari asal bahasa pengertian At-Tarbiyah mencakup empat unsur: a. Memelihara pertumbuhan fitrah manusia
15
b. Mengembangkan potensi dan kelengkapan manusia yang beraneka ragam (terutama akal budinya). c. Dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan irama perkembangan anak. Untuk pengertian akhlak itu sendiri adalah perbuatan yang dilakukan dengan mendalam dan tanpa pemikiran, namun perbuatan itu telah mendarah daging dan melekat dalam jiwa, sehingga saat melakukan perbuatan tidak lagi memerlukan pertimbangan dan pemikiran (Nata, 1997: 5). Sedangkan menurut Imam al-Ghazali di dalam buku Akhlak Tasawuf yang dikutip oleh Abuddin Nata, akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macammacam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Berdasarkan pengertian tersebut, jelaslah bahwa akhlak harus mencakup dua syarat, yang pertama perbuatan itu harus konstan yang mana dilakukan berulang kali kontinu dalam bentuk yang sama sehingga dapat menjadi kebiasaan. Kedua, perbuatan yang konstan itu harus tumbuh dengan mudah sebagai wujud refleksi dari jiwanya tanpa
pertimbangan
dan pemikiran. Melihat
dari
pengertian
pendidikan dan akhlak di atas, menurut penulis, pendidikan akhlak adalah suatu proses atau usaha sadar untuk memberikan bimbingan melalui penanaman nilai-nilai Islam terutama mengenai perbuatan sehingga terbentuklah manusia yang berbudi pekerti luhur.
16
2.
Tujuan Pendidikan Akhlak Pendidikan akhlak merupakan salah satu pendidikan yang mana dari situlah kita akan mengetahui banyak teori yang menjelaskan tentang akhlak, banyak contoh-contoh akhlak mulia yang diberikan oleh pendidik atau pun kita dapat mengetahui bagaimana akhlak yang terdapat pada suri tauladan kita yakni Nabi Muhammad SAW yang mana dari situlah ditujukan agar kita dapat mengikuti atau mencontoh akhlak-akhlak mulia dan senantiasa berada dalam kebenaran serta berjalan di jalan yang lurus. Meneladani Nabi Muhammad SAW adalah kewajiban bagi umat Islam. Perintah untuk menjadikan beliau suri tauladan adalah firman Allah:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah” (al-Ahzāb, 33: 21). Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah agar terbinanya akhlak terpuji dan mulia sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW. Selain itu, pendidikan akhlak juga memiliki tujuan yaitu agar manusia berada dalam kebenaran dan senantiasa berada di jalan yang lurus, jalan yang telah digariskan oleh Allah SWT. (Mahmud, 2004: 159). Inilah yang
17
akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan di dunia dan di akhirat. 3.
Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak Menurut Yunahar Ilyas (2007: 17), di dalam bukunya Kuliah Akhlak membagi akhlak menjadi lima, yaitu: Akhlak terhadap Allah, Akhlak terhadap Rasulullah, Akhlak Pribadi, Akhlak dalam keluarga, akhlak dalam masyarakat dan akhlak bernegara. Adapun uraiannya adalah sebagai berikut: a. Akhlak terhadap Allah Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang harus dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada Allah sebagai Khalik (Nata, 2002: 147). Sikap atau perbuatan tersebut harus mencerminkan akhlak mulia yang menggunakan tolok ukur ketentuan Allah. Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah, diantaranya: 1) Allah yang menciptakan manusia. 2) Allah yang telah memberikan perlengkapan pancaindra berupa pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan hati sanubari di samping anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia. 3) Allah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia.
18
4) Allah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya kemampuan menguasai daratan dan lautan. Dalam berakhlak kepada Allah manusia mempunya banyak cara diantaranya yaitu dengan taat dan tawadduk kepada Allah, karena Allah SWT yang telah menciptakan manusia untuk berakhlak kepadanya dengan cara menyembah kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah:
“Dan aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku”(QS. adhDhāriyāt: 56). b. Akhlak terhadap Rasulullah SAW Semua umat Islam tahu bahwa Rasulullah SAW adalah Nabi dan Rasul terakhir, dan kewajiban bagi setiap manusia untuk beriman kepada-Nya. Iman tidak cukup dengan hanya sekedar meyakini, akan tetapi perlu dibuktikan dengan perbuatan atau amal yang sudah dijelaskan di dalam al-Qur‟an dan hadits tentang bagaimana bersikap terhadap Rasulullah SAW. Itulah yang dinamakan akhlak terhadap Rasulullah. Rasulullah SAW adalah manusia istimewa yang memiliki suri teladan bagi umat Islam dan pada-Nya juga terdapat akhlak-akhlak mulia yang pantas untuk kita teladani. Adapun diantara perilaku atau akhlak yang harus dilakukan oleh setiap umat Islam terhadap Rasulullah adalah sebagai berikut:
19
1) Mencintai dan memuliakan rasul 2) Mengikuti dan mentaati rasul 3) Mengucapkan shalawat dan salam c. Akhlak manusia kepada diri sendiri Cakupan akhlak terhadap diri sendiri adalah semua yang menyangkut persoalan yang melekat pada diri sendiri, semua aktifitas,
baik
secara
rohaniah
maupun
secara
jasadiyah
(Nasharuddin, 2015: 257). Adapun akhlak terhadap diri sendiri menurut Yunahar Ilyas (2007: 81) di dalam buku “Kuliah Akhlak” itu meliputi: 1) Shidiq Shidiq (ash-sidqu) secara bahasa berasal dari kata -
yang artinya benar, nyata, berkata jujur, lawan
dari dusta atau bohong (al-khadzib) (Munawwir, 1984: 770). Seorang muslim dituntut untuk selalu berada dalam keadaan benar lahir batin, benar hati (shidq al-qalb), benar perkataan (shidqal-hadits) dan benar perbuatan (shidiq al-„amal). Antara hati dan perkataan harus sama, tidak boleh berbeda, apalagi antara
perkataan
dan
perbuatan.
Rasulullah
SAW
memerintahkan setiap muslim untuk selalu shidiq, karena sikap shidiq membawa kepada kebaikan, dan kebaikan akan mengantarkannya ke syurga. Sebaliknya beliau melarang umatnya berbohong, karena kebohongan akan membawa
20
kepada kejahatan dan kejahatan akan berakhir di neraka. Selain itu Allah SWT menyukai orang-orang yang menepati janji. Dalam al-Qur‟an disebutkan pujian Allah kepada Nabi Isma‟il yang menepati janjinya:
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Isma‟il (yang tersebut) di dalam al-Qur‟an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang Rasul dan Nabi”(QS. Maryam 19: 54). 2) Amanah Amanah secara bahasa berasal dari kata
–
–
artinya jujur, dapat dipercaya (Munawwir, 1984: 40). Dalam pengertian yang luas amanah mencakup banyak hal: menyimpan rahasia orang, menjaga kehormatan orang lain, menjaga dirinya sendiri, menunaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya dan lain-lain sebagainya. Tugas-tugas yang dipikulkan Allah kepada umat manusia, oleh al-Qur‟an disebut sebagai amanah (amanah taklif). Allah berfirman:
21
“Sesungguhnya Kami mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. (QS. Al-Ahzāb 33: 72) 3) Istiqāmah Secara etimologis, istiqāmah berasal dari kata – -
yang berarti tegak lurus. Dalam terminologi
akhlak, istiqāmah adalah sikap teguh dalam mempertahankan keimanan dan keislaman sekalipun menghadapi berbagai macam tantangan dan godaan. Perintah supaya beristiqamah ini dinyatakan dalam al-Qur‟an dan sunnah. Allah berfirman:
“Maka beristiqamahlah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan juga orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Hud 11: 112)
22
4) „Iffah Secara etimologis, „iffah adalah bentuk masdar dari –
–
yang berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang
tidak baik. Dan berarti kesucian tubuh. Sedangkan secara terminologi, iffah adalah memelihara kehormatan diri dari segala
hal
yang
akan
merendahkan,
merusak
dan
menjatuhkannya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
... “...Apabila mereka lewat di tempat-tempat hiburan yang tidak berfaedah, mereka melewatinya dengan menjaga kehormatan diri” (QS. al-Furqān: 72).
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (QS. al-Isrā‟: 32). Dari dua ayat tersebut adalah contoh bentuk dari „iffah. Seorang muslim maupun muslimah diperintahkan untuk menjaga penglihatan dan pergaulannya. Tidak mengunjungi tempat-tempat hiburan yang ada kemaksiatannya dan tidak pula
melakukan
perbuatan-perbuatan
yang
bisa
mengantarkannya kepada perzinaan. 5) Mujāhadah Mujāhadah berasal dari kata
-
-
yang
berarti mencurahkan segala kemampuan. Dalam konteks
23
akhlak mujāhadah adalah mencurahkan segala kemampuan untuk melepaskan diri dari segala hal yang menghambat pendekatan diri terhadap Allah SWT. Untuk mengatasi dan melawan semua hambatan tersebut diperlukan kemauan keras dan perjuangan yang sungguh-sungguh. Perjuangan sungguhsungguh itulah yang dinamakan mujāhadah. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
“Dan orang-orang yang bermujahadah untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benarbenar beserta orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al„Ankabūt 29: 69) 6) Syajā‟ah –
Syajā‟ahsecara etimologis berasal dari kata
– artinya berani (Munawwir, 1984: 695), yaitu berani yang berlandaskan kebenaran dan dilakukan dengan penuh pertimbangan. Keberanian di sini ditentukan oleh kekuatan hati dan kebersihan jiwa. Tawādhu‟ artinya merendahkan hati, tidak memandang dirinya lebih dari orang lain. Orang yang tawādhu‟ menyadari bahwa apa saja yang dia miliki, baik bentuk rupa yang cantik atau tampan, ilmu pengetahuan, harta kekayaan,
maupun
pangkat
dan
kedudukan
dan
lain
24
sebagainya, semua itu adalah karunia dari Allah SWT. Allah berfirman:
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan” (QS. an-Nahl 16: 53).
7) Malu Malu (al-haya‟) secara bahasa bersal dari kata
–
yang artinya hidup (Munawwir, 1984: 315). Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu. Malu adalah sifat atau perasaan yang menimbulkan keengganan melakukan sesuatu yang rendah atau tidak baik. Sifat malu tersebut adalah malu ketika melanggar peraturan Allah yaitu kepada Allah, diri sendiri dan malu kepada orang lain. Perasaan
ini
dapat
menjadi
bimbingan
kepada
jalan
keselamatan dan mencegah dari perbuatan nista. Allah berfirman:
25
“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan Allah Maha meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan”(QS. anNisā‟: 108). 8) Sabar Secara etimologis, sabar (ash-shabr) berasal dari kata –
–
berarti sabar, tabah hati (Munawwir, 1984:
760). Secara terminologi, sabar berarti menahan diri dari segala sesuatu yang tidak disukai karena mengharap ridha Allah.
Orang-orang
yang
memiliki
sifat
sabar
akan
mendapatkan balasan syurga karena kesabaran mereka. Allah berfirman:
“Mereka itulah orang yang dibalas dengan martabat yang tinggi (dalam syurga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan pengormatan dan ucapan selamat di dalamnya” (QS. al-Furqān: 75). 9) Pemaaf Dalam bahasa arab, sifat pemaaf di sebut dengan al„afwu, yaitu berasal dari kata
–
–
yang berarti
memaafkan atau mengampuni (Munawwir, 1984: 950). Sedangkan arti pemaaf itu sendiri adalah sikap suka memberi maaf terhadap kesalahan orang lain tanpa ada sedikitpun rasa benci dan keinginan untuk membalas.
26
Islam mengajarkan kepada kita untuk dapat memaafkan kesalahan orang lain tanpa harus menunggu permohonan maaf dari yang bersalah, karena sesungguhnya Allah Maha pemaaf. Allah berfirman:
“Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa”(QS. an-Nisā‟: 149). d. Akhlak dalam keluarga Seperti yang terdapat di dalam buku Pendidikan Agama Islam yang dikutip oleh Mohammad Daud Ali (2008: 358), akhlak dalam keluarga, karib kerabat diantaranya adalah saling membina rasa cinta dan kasih sayang dalam kehidupan keluarga, saling menunaikan kewajiban untuk memperoleh hak, berbakti kepada ibu bapak, mendidik anak-anak dengan kasih sayang, dan memelihara hubungan silaturrahim yang dibina orang tua. e. Akhlak terhadap bermasyarakat Akhlak terhadap masyarakat menurut Mohammad Daud Ali (2008: 358) dalam bukunya Pendidikan Agama Islam antara lain: 1) memuliakan tamu. 2) menghormati nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. 3) saling menolong dalam melakukan hal kebajikan dan taqwa. 4) menganjurkan anggota
27
masyarakat termasuk diri sendiri berbuat baik dan mencegah diri serta orang lain melakukan perbuatan jahat (munkar). f. Akhlak Bernegara Akhlak bernegara di sini meliputi: bermusyawarah, menegakkan keadilan, amar ma‟ruf nahi munkar dan juga membentuk hubungan yang baik antara pemimpin dengan yang dipimpin. 4.
Sumber Pendidikan Akhlak Berbicara tentang akhlak, di dalam Islam banyak dimuat dalam al-Qur‟an dan hadits. Hal tersebut karena al-Qur‟an dan hadits adalah sumber akhlak. Sumber tersebut merupakan ukuran atau batasanbatasan mengenai baik dan buruk atau mulia dan tercela suatu tindakan sehari-hari bagi manusia (Ilyas, 2007: 4) Dalam konsep akhlak, segala sesuatu itu dinilai baik atau buruk, terpuji atau tercela, semata-mata karena syara‟ (al-Qur‟an dan hadits) menilainya demikian. Dengan penjelasan tersebut, maka sumber pendidikan akhlak adalah al-Qur‟an dan hadits yang merupakan sumber utama agama Islam.
BAB III ASBĀBUN NUZŪL, POKOK-POKOK ISI SURAT „ABASA, MUNĀSABAH, DAN TAFSIR QUR‟AN SURAT „ABASA AYAT 1-10
A. Asbābun Nuzūl QS. 'Abasa Ayat 1-10 Asbābun nuzūl terdiri dari dua kata yaitu asbāb dan nuzūl. Secara bahasa, kata asbāb adalah bentuk jamak dari kata sabab yang berarti sebab. Kata nuzūl adalah isim masdar dari nazala yang berarti menurunkan sesuatu atau kejadian sesuatu (Ahmad bin Fāris bin Zakariyā, V, 1967: 417). Jadi kata asbābun nuzūl dapat diartikan sebab-sebab turunnya al-Qur‟an. Sedangkan secara istilah, asbābun nuzūl menurut Muhammad Ali Ash Shabuni adalah sebagai sebab atau masalah yang menyebabkan diturunkannya ayat-ayat alQur‟an (Ash-Shabuni, 1999: 45). Sebelum membahas tentang asbābun nuzūl surat „Abasa ayat 1-10, terlebih dahulu penulis ingin mengetahui sekilas tentang surat „Abasa. Surat „Abasa terdiri dari 42 ayat, termasuk kelompok surat Makiyyah, diturunkan setelah surat an-Najm. Nama „Abasa (ia bermuka masam) diambil dari perkataan „Abasa yang terdapat pada ayat pertama surat ini (Departemen Agama RI, 2009: 544). Selain itu, ada juga yang menamainya surat ashShakhkhah (yang memekakkan telinga), surat as-Safarah (para penulis kalam Ilahi), dan surat al-A‟mā (sang tuna netra) (Shihab, 2012: 67). Nama-nama tersebut diambil dari kata-kata yang terdapat dalam surat „Abasa.
28
29
Adapun asbābun nuzūl surat „Abasa ayat 1-10 yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan tafsirnya yaitu:
“Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling (1). karena seorang buta telah datang kepadanya („Abdullah bin Ummi Maktum) (2). dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa) (3). Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya? (4). Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (pembesarpembesar Quraisy) (5). Maka engkau (Muhammad) memberi perhatian kepadanya (6). Padahal tidak ada (cela) atasmu kalau dia tidak menyucikan diri (beriman) (7). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan segera (untuk mendapatkan pengajaran) (8). Sedang dia takut (kepada Allah) (9). Engkau (Muhammad) malah mengabaikannya (10). Al-Qur‟an dan tafsirnya oleh Departemen Agama RI (2009: 546) menjelaskan bahwa surat ini diturunkan sehubungan dengan peristiwa seorang buta yang bernama „Abdullāh bin Ummi Maktūm anak paman Khadijah. Beliau termasuk diantara sahabat-sahabat Muhajirin yang pertama memeluk Islam. Ketika Rasulullah melaksanakan jihad dan meninggalkan kota Madinah, beliau ini yang ditunjuk untuk menjadi sesepuh kota madinah, mengimami sholat dan juga sering melakukan adzan seperti Bilal. Peristiwa ini terjadi di Makkah yaitu ketika Rasulullah SAW sedang melaksanakan dakwah kepada pembesar Quraisy. Beliau dengan sungguhsungguh mengajak mereka masuk Islam dengan harapan bahwa jika mereka
30
telah memeluk agama Islam, niscaya akan membawa pengaruh besar pada orang-orang bawahannya. Diantara pembesar Quraisy yang sedang dihadapi itu adalah „Utbah bin Rabi‟ah, Syaibah bin Rabi‟ah, Abu Jahal bin Hisyam, al-„Abbas bin „Abdul-Mutalib, Umayyah bin khallaf, dan al-Walid bin alMugirah. Besar sekali keinginan Rasulullah untuk mengislamkan mereka itu karena melihat kedudukan dan pengaruh mereka kepada orang-orang bawahannya. Ketika Rasulullah sedang sibuk menghadapi para pembesar Quraisy, tiba-tiba datanglah „Abdullāh bin Ummi Maktūm dan menyela pembicaraanNya dengan ucapannya, “Ya Rasulullah, coba bacakan dan ajarkan kepadaku apa-apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepadamu. Ucapan itu diulanginya beberapa kali sedang ia tidak mengetahui bahwa Rasulullah sedang sibuk menghadapi pembesar Quraisy. Melihat perbuatan „Abdullāh bin Ummi Maktūm tersebut, Rasulullah merasa kurang senang yang seolah-olah mengganggu beliau dalam kelancaran tabligh-Nya, sehingga beliau memperlihatkan muka masam dan berpaling darinya (Depag, 2009: 546). Allah menyampaikan teguran kepada Rasulullah yang telah bermuka masam terhadap „Abdullāh bin Ummi Maktūm. Karena dengan sifat bermuka masam atau memalingkan dari orang buta tersebut dapat menimbulkan perasaan tidak enak atau menyakiti hati. Padahal sesungguhnya Rasulullah telah diperintahkan untuk bersikap ramah. Maka turunlah ayat ini sebagai teguran atas sikap Rasulullah saw kepada sahabat tersebut.
31
B. Pokok-pokok Isi Surat „Abasa 1.
Keimanan Dalil-dalil keesaan Allah dan keadaan manusia pada hari kiamat. Hal ini tercantum dalam surat „Abasa ayat 33-42. Dalam al-Qur‟an dan tafsirnya oleh Departemen Agama RI (2009: 557-558), pada hari kiamat orang-orang kafir merasa sedih dan menyesal karena telah datang tiupan Malaikat Isrofil yang kedua kalinya. Manusia pada hari ini berpisah dari saudara, ibu, dan bapaknya bahkan istri dan anak-anaknya untuk menyelamatkan diri dari bencana yang sangat menakutkankan. Pada hari kiamat manusia terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan mukmin yang bahagia dan golongan kafir yang celaka.
2.
Penghargaan yang Sama Dalam berdakwah hendaknya memberi penghargaan yang sama kepada orang-orang yang diberi dakwah (tercantum dalam surat „Abasa ayat 1-10). Allah menegur Nabi Muhammad karena bermuka masam dan berpaling dari „Abdullāh bin Ummi Maktūm, seorang sahabat yang buta dan memohon diberi pelajaran oleh Nabi ketika beliau sedang sibuk menghadapi pembesar-pembesar Quraisy untuk diajak masuk Islam (Depag, 2009: 548).
3.
Peringatan Untuk Tidak Mengulangi Tindakan Allah memberi peringatan kepada Nabi agar tidak lagi mengulangi tindakan-tindakan ketika ia menghadapi „Abdullāh bin Ummi Maktūm, yaitu tercantum dalam surat „Abasa ayat 11-16. Yang
32
dimaksud
dengan
tindakan-tindakan
memalingkan/bermuka
masam
yaitu
di
sini
ketika
adalah Rasulullah
bersikap sedang
menghadapi pembesar Quraisy, tibalah „Abdullāh bin Ummi Maktūm yang menyela dakwah Rasulullah. 4.
Peringatan Untuk Bersyukur Cercaan Allah kepada manusia yang tidak mensyukuri nikmat Allah, yang mana tercantum dalam surat „Abasa ayat 17-22. Karena Allah telah memberikan nikmat dengan menciptakan manusia dan melimpahkan nikmat-Nya dalam tiga tahap yaitu kelahiran, pertengahan, dan bagian akhir/penghabisan. Begitu banyak nikmat Allah, maka tidak wajar jika manusia mengingkarinya.
C. Munāsabah QS. „Abasa Ayat 1-10 Secara etimologi, munāsabah berasal dari kata
.
kata tersebut merupakan bentuk tsulatsi mujaradnya
(nasaba) yang
berarti hubungan sesuatu dengan sesuatu yang lain (Budihardjo, 2012: 39). Sedangkan secara terminologi, munāsabah memiliki arti segala sesuatu yang menerangkan korelasi atau hubungan antara suatu ayat dengan ayat yang lain, baik yang ada dibelakangnya atau ayat yang ada di mukanya (Syadali, 1997: 168). Selain itu, di dalam buku pembahasan Ilmu-ilmu alQur‟an karya Budihardjo (2012: 39), munāsabah mengandung pengertian adanya kecocokan, kepantasan dan keserasian antara ayat dengan ayat atau surat dengan surat, atau munāsabah adalah kemiripan yang terdapat pada hal-
33
hal tertentu dalam al-Qur‟an baik pada surat maupun pada ayat-ayatnya yang menghubungkan antara uraian yang satu dengan yang lainnya. Munāsabah antar ayat atau antar surat dalam al-Qur‟an didasarkan pada teori bahwa teks merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling terkait. Sehingga ilmu munāsabah dioprasionalisasikan untuk menemukan hubungan-hubungan yang mengaitkan antara satu ayat dengan ayat yang lain (http://pemikiranislam.wodpress.com, diakses pada tanggal 1 Juni 2016). QS. „Abasa ayat 1-10 ini tentang teguran yang diberikan oleh Allah kepada Rasulullah terhadap sikap beliau. Yaitu ketika Rasulullah sedang menerima dan berbicara dengan pemuka-pemuka Quraisy, yang beliau harapkan agar masuk Islam. Ketika itu datanglah „Abdullāh bin Ummi Maktūm, seorang sahabat yang buta yang mengharapkan agar Rasulullah saw membacakan ayat-ayat al-Qur‟an yang telah diturunkan Allah. Akan tetapi Rasulullah bermuka masam dan memalingkan muka dari „Abdullāh bin Ummi Maktūm yang buta itu. Lalu Allah menurunkan surat ini sebagai teguran atas sikap Rasulullah kepada sahabat tersebut. Akan tetapi pada bagian ini penulis akan membahas munāsabah antar surat yaitu surat „Abasa dengan surat sebelum dan sesudahnya. Mengenai munāsabah QS. „Abasa, surat ini memiliki hubungan dengan surat sebelum dan sesudahnya, yaitu sebagai berikut:
34
1.
Munāsabah dengan Surat Sebelumnya Pada akhir surat an-Nazi‟at diterangkan bahwa Nabi Muhammad hanyalah pemberi peringatan kepada orang-orang yang takut kepada hari kiamat, yang berbunyi:
“Kamu hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari berbangkit)” (an-Nazi‟at: 45). Pada permulaan surat „Abasa dijelaskan bahwa dalam memberikan penghargaan yang sama kepada orang-orang yang diberi peringatan dengan tidak memandang kedudukan seseorang dalam masyarakat, seperti antara tokoh-tokoh bangsawan Quraisy dengan orang buta yang bernama „Adullah bin Ummi Maktum (Depag, 2009: 546). Sahabat Nabi yang terkenal ini sebenarnya bernama „Abdullah bin Syuraih bin Malik bin Abi Rabi‟ah. Ibunya yang bernama Ummi Maktūm adalah anak paman Khadijah sehingga lebih dikenal dengan nama „Abdullāh bin Ummi Maktūm. 2.
Munasabah dengan Surat Sesudahnya Dalam tafsir al-Qur‟an oleh Departemen Agama (2009: 560), hubungan surat „Abasa dengan surat sesudahnya yaitu at-Takwir adalah sama-sama menerangkan tentang huru-hara pada hari kiamat, sama-sama menerangkan bahwa manusia pada hari kiamat dibagi menjadi dua dan pada surat „Abasa, Allah menegur Muhammad SAW, sedang dalam at-
35
Takwir Allah menegaskan bahwa Muhammad SAW adalah seorang Rasul yang mulia. Mengenai situasi dan keadaan hari kiamat, dalam surat „Abasa dijelaskan semua manusia sibuk dengan urusan mereka masing-masing karena dahsyatnya gejala-gejala alam yang mengiringinya. Masingmasing menyikapi hari kiamat sesuai dengan amal perbuatan mereka. Orang-orang mukmin tertawa gembira, sedangkan orang-orang kafir wajah mereka menjadi kelam karena ketakutan dan kesedihan. Pada surat at-Takwir, Allah bersumpah dengan berbagai makhluk-Nya seperti matahari yang dihancurkan, dan unta-unta bunting yang tidak dipedulikan lagi dan sebagainya. Tujuan sumpah itu adalah memberitahu manusia bahwa di hari kiamat manusia akan mengetahui semua amal perbuatan mereka di dunia dan buku catatan amal mereka.
D. Pandangan Mufasir dan Penafsiran Tentang al-Qur‟an Surat „Abasa Ayat 1-10 Al-Qur‟an diturunkan dengan berbahasa Arab. Oleh sebab itu kita bisa memahami serta mengetahui isi kandungan al-Qur‟an dengan mempelajarinya melalui kitab-kitab karya ulama ahli tafsir yang beraneka ragam. Diantaranya adalah al-Qur‟an dan Tafsirnya oleh Departemen Agama RI, tafsir al-Maraghi karya Ahmad Mustafa al-Maragi, tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab, tafsir al-Azhar karya HAMKA dan ringkasan tafsir Ibnu Katsir oleh
36
Muhammad Nasib ar-Rifa‟i. Maka di sini penulis akan menguraikannya sebagai berikut: 1. Penafsiran Ayat Ke 1-2 Dalam tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab (2012: 70) dimulai dengan penjelasan kemudian penyebutan kata-kata sulit masuk kedalam penjelasan, seperti „Abasa, dan al-a‟mā. Tafsir Ibnu Katsir karya Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i (2000: 80) dimulai dengan penjelasan kemudian diberi hadits-hadits Nabi. Dalam tafsir Ibnu Katsir ini tidak terdapat kosa kata sulit. Tafsir al-Maragi (1993: 69) dimulai dengan penafsiran kata-kata sulit seperti „Abasa, tawallā dan an jā‟a hul-a‟mā, pengertian secara umum kemudian penjelasan. Tafsir al-Qur‟an oleh Departemen Agama RI dimulai dengan kosa kata, penjelasan ayat dan kesimpulan. Di dalam tafsir al-Azhar karya HAMKA tidak terdapat kosa kata, dimulai dengan penjelasan.
“Dia bermuka masam dan berpaling karena telah datang kepadanya seorang tuna netra”. Dalam al-Qur‟an dan tafsirnya oleh Departemen Agama RI (2009: 547) mengenai ayat ini Allah swt menegur Nabi Muhammad saw yang bermuka masam dan berpaling dari „Abdullāh bin Ummi Maktūm yang buta, ketika sahabat ini menyela pembicaraan Nabi dengan beberapa tokoh Quraisy. Saat itu „Abdullāh bin Ummi Maktūm bertanya dan meminta Nabi saw untuk membacakan dan mengajarkan beberapa wahyu
37
yang telah diterima Nabi. Permintaan itu diulanginya beberapa kali karena ia tidak tahu Nabi sedang sibuk mengahadapi beberapa pembesar Quraisy. Dalam skala prioritas, sebenarnya Nabi saw sedang menghadapi tokoh-tokoh penting yang diharapkan dapat masuk Islam karena hal ini akan berpengaruh besar terhadap perkembangan dakwah selanjutnya. Maka adalah manusiawi apabila Nabi SAW tidak memperhatikan pertanyaan „Abdullāh bin Ummi Maktūm, apalagi telah ada porsi waktu yang telah disediakan untuk pembicaraan Nabi dengan para sahabat. Akan tetapi Nabi Muhammad SAW sebagai manusia terbaik dan contoh teladan utama bagi setiap orang mukmin (uswah hasanah), maka Nabi tidak boleh membeda-bedakan derajat manusia. Dalam menetapkan skala prioritas juga harus lebih memberi perhatian kepada orang kecil apalagi memiliki kelemahan seperti „Abdullāh bin Ummi Maktūm yang buta. Maka seharusnya Nabi lebih mendahulukan pembicaraan dengan “Abdullāh bin Ummi Maktūm daripada dengan para tokoh Quraisy. Dalam peristiwa ini Nabi SAW tidak mengatakan sepatah katapun kepada „Abdullāh bin Ummi Maktūm yang menyebabkan hatinya terluka, tetapi Allah SWT melihat raut muka Nabi Muhammad SAW yang masam dan
tidak
mengindahkan
„Abdullāh
bin
Ummi
Maktūm
yang
menyebabkan dia tersinggung. Dijelaskan juga bahwa „Abdullāh bin Ummi Maktūm adalah seorang yang bersih dan cerdas. Apabila mendengarkan hikmah, ia dapat memeliharanya dan membersihkan diri dari kebusukan kemusyrikan. Adapun para pembesar Quraisy itu sebagian
38
besar adalah orang-orang yang kaya dan angkuh sehingga tidak sepatutnya Nabi terlalu serius menghadapi mereka untuk diislamkan. Tugas Nabi hanya sekedar menyampaikan risalah dan persoalan hidayah semata-mata berada di bawah kekuasaan Allah. Kekuatan manusia haris dipandang dari segi kecerdasan pikiran dan keteguhan hatinya serta kesediaan untuk menerima dan melaksanakan kebenaran (Depag, 2009: 547). Nabi sendiri setelah ayat ini turun selalu menghormati „Abdullāh bin Ummi Maktūm dan sering memuliakannya melalui sabda beliau, “Selamat datang kepada orang yang menyebabkan aku ditegur oleh Allah. Apakah engkau mempunyai keperluan?”. Dalam keterangan tafsir al-Misbah, apa pun hubungannya surat „Abasa ayat 1-2 ini bagaikan menyatakan bahwa: Dia, yakni Nabi Muhammad SAW berubah wajahnya sehingga tampak bermuka masam dan memaksakan dirinya berpaling didorong oleh keinginannnya menjelaskan risalahnya kepada tokoh-tokoh kaum musyrikin atau salah seorang dari mereka. Dia berpaling karena telah datang kepadanya seorang tuna netra yang memutuskan pembicaraannya dengan tokoh-tokoh itu (Shihab, 2012: 70). Di dalam tafsir Ibnu Katsir, menurut beberapa kalangan mufassir Rasulullah SAW berdialog dengan beberapa orang pembesar Quraisy yang diantaranya adalah dalam riwayat anas bin Malik r.a. pembesar itu bernama Ubay bin Khalaf. Menurut riwayat Ibnu Abbas, mereka itu adalah Utbah bin Rabi‟ah, Abu Jahal bin Hisyam, dan Abbas bin Abdul Muthalib.
39
Rasulullah sering berdialog dengan pembesar-pembesar Quraisy tersebut dengan tujuan agar mereka beriman. Tiba-tiba datang kepada beliau lakilaki buta yaitu Abdullāh bin Ummi Maktūm. Abdullāh meminta Nabi saw. untuk membacakan beberapa ayat al-Qur‟an kepadanya dan berkata, “Ya Rasulullah, ajarkanlah kepadaku apa yang telah Allah ajarkan kepada engkau”, Rasulullah SAW berpaling darinya dengan wajah masam, menghindar dan tidak suka berbicara dengannya, lalu melanjutkan dialog dengan orang lain yakni pembesar Quraisy. Setelah usai melaksanakan urusannya, Rasulullah SAW pun pulang, tiba-tiba Allah menahan pandangannya dan menundukkan kepalanya. Selanjutnya Allah menurunkan ayat, “Dia bermuka masam dan berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya” (Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i, 2000: 80). Keberpalingan itu karena Rasulullah SAW sangat menginginkan kalau sesaat saja itu dihentikan pastilah dia tidak akan mendapatkan kesempatan untuk berbicara di hadapan para pembesar tersebut, sebab beliau sangat mengharapkan mereka mendapatkan hidayah. Dalam tafsir al-Maraghi (1993: 72) Rasulullah SAW berubah masam dan berpaling tatkala datang kepadanya seorang tuna netra. Ia tidak menghendaki pembicarannya terpotong olehnya. Penyebutan tuna netra atau orang buta
dalam ayat tersebut merupakan pemberitahuan
akan keuzurannya yang harus dimaklumi dalam hal ia memotong pembicaraan Nabi SAW ketika ia sedang disibukkan oleh pertemuannya dengan orang banyak. Bisa jadi kebutaan ini merupakan „illat yang
40
menyebabkan marah dan berpalingnya Rasulullah SAW dari padanya. Seolah-olah ayat ini mengatakan, maka kamu (Muhammad) seharusnya lebih berbelas kasihan dan berlaku lemah lembut kepadanya. Dalam tafsir al-Azhar dijelaskan bahwa ini menurut ahli-ahli bahasa yang mendalami al-Qur‟an merasa benar-benar betapa mulia dan tinggi susun bahasa wahyu itu dari Allah terhadap rasul-Nya. Beliau disadarkan dengan halus supaya jangan sampai bermuka masam kepada orang yang datang bertanya, hendaklah bermuka manis terus, sehingga orang-orang yang tengah dididik itu merasa bahwa dirinya dihargai. Mengenai penjelasan ayat 1-2 ini merupakan teguran yang sanga halus sekali karena tidaklah dipakai bahasa berhadapan, tidak pula bersifat larangan. Di sini Rasulullah saw. disebut sebagai orang ketiga, Allah tidak mengatakan engkau melainkan dia (HAMKA, 1982: 44). Dengan membahasakannya sebagai orang ketiga, ucapan itu menjadi lebih halus. Apalagi dalam hal ini Rasulullah saw. tidaklah membuat suatu kesalahan yang disengaja atau yang mencolok mata. Dari beberapa penjelasan mengenai penafsiran tersebut, penulis lebih condong pada al-Qur‟an dan tafsirnya oleh Departemen Agama RI. Dijelaskan bahwa Nabi Muhammad saw bermuka masam ketika „Abdullah bin Ummi Maktum menyela pembicaraan Nabi Muhammad saw dengan beberapa tokoh Quraisy. Saat itu „Abdullāh bin Ummi Maktūm bertanya dan meminta Nabi SAW untuk membacakan dan mengajarkan beberapa wahyu yang telah diterima Nabi. Permintaan itu diulanginya beberapa kali
41
karena ia tidak tahu Nabi sedang sibuk mengahadapi beberapa pembesar Quraisy. Akan tetapi pada kejadian ini Nabi Muhammad SAW tidak memperhatikan pertanyaan „Abdullāh bin Ummi Maktūm dan hal ini adalah manusiawi karena pada skala prioritas Nabi Muhammad saw sangat mengharapkan tokoh-tokoh Quraisy untuk masuk Islam. Meskipun menetapkan skala prioritas juga harus tetap berlaku adil dengan yang dihadapinya atau tidak membeda-bedakan antara yang satu dengan lainnya sehingga tidak akan menimbulkan sifat tersinggung atau kecewa. Nabi Muhammad SAW hanya sekedar menyampaikan risalah jadi Nabi tidak sepatutnya terlalu serius menghadapi tokoh Quraisy sehingga tidak memperhatiakan „Abdullāh bin Ummi Maktūm. Persoalan hidayah sematamata berada di bawah kekuasaan Allah. 2. Penafsiran Ayat ke 3-4
“Apakah yang menjadikanmu mengetahui boleh jadi ia ingin membersihkan diri atau mendapatkan pengajaran sehingga bermanfaat baginya pengajaran itu?”. Teguran ayat-ayat yang lalu dilanjutkan oleh ayat di atas. Dalam alQur‟an dan Tafsirnya oleh Departemen Agama RI (2009: 548) dalam ayatayat ini, dijelaskan bahwa Allah menegur Rasul-Nya, “Apa yang memberitahukan kepadamu tentang keadaan orang buta ini? Boleh jadi ia ingin membersihkan dirinya dengan ajaran yang kamu berikan kepadanya atau ingin bermanfaat bagi dirinya dan ia mendapat keridaan Allah,
42
sedangkan pengajaran itu belum tentu bermanfaat bagi orang-orang kafir Quraisy yang sedang kamu hadapi itu”. Dalam tafsir al-Misbah oleh Quraish Shihab (2012: 72) mengenai ayat ini dijelaskan bahwa: Apakah yang menjadikanmu mengetahui, yakni engkau tidak dapat mengetahui, walau berupaya keras menyangkut isi hati seseorang, boleh jadi ia sang tuna netra itu ingin membersihkan diri, yakni beramal shaleh dan mengukuhkan imannya dengan mendengar tuntunan agama walau dengan tingkat kebersihan yang tidak terlalu mantap atau ia ingin mendapatkan pengajaran sehingga bermanfaat baginya pengajaran itu walau dalam bentuk yang tidak terlalu banyak. Kata
yazzakkā asalnya adalah
ta tidak disebut, ia diganti dengan huruf demikian juga dengan kata
yatazakkā tetapi huruf za‟ dan di-idgham-kan,
yadzdzakkar asalnya
yatadzakkar.
Ini menurut al-Biqa‟i, untuk mengisyaratkan bahwa hal tersebut diharapkan oleh yang bersangkutan dapat wujud walau tidak terlalu mantap. Di dalam tafsir Ibnu Katsir karya Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i (2000: 911) tidak terdapat kosa kata sulit. Akan tetapi ayat tersebut memiliki maksud yaitu barang kali dia (seorang tuna netra) ingin membersihkan dirinya, artinya dia akan mendapatkan hati yang bersih dan suci, “atau dia ingin mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberikan manfaat kepadanya,” yaitu dia dapat menjadikannya sebagai nasihat dan penengah dari perbuatan-perbuatan haram.
43
Dalam tafsir al-Maraghi (1993: 73) juga dijelaskan mungkin ia (Abdullāh bin Ummi Maktūm) hendak membersihkan diri dengan apa yang ia dengar dan apa yang ia terima dari Rasulullah SAW sehingga ia akan terbebas dari bahaya perbuatan dosa. Atau ia hendak meminta nasehat kepada Rasulullah SAW kemudian ia mengambil manfaat dari peringatan dan nasehat-nasehat Rasulullah SAW. Dijelaskan dalam tafsir al-Azhar karya Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (1982: 45) melalui ayat 3-4 ini Rasulullah SAW diberi ingat oleh Allah bahwa Abdullāh bin Ummi Maktūm itu lebih besar harapannya akan berkembang lagi menjadi seorang yang suci, seorang yang bersih hatinya, walaupun dia buta. Karena meskipun mata buta, kalau jiwa bersih kebutaan tidaklah akan menghambat kemajuan iman seseorang. Berdasarkan beberapa penafsiran tersebut penulis lebih condong kepada tafsir al-Azhar karya HAMKA. sebab tafsir al-Azhar ini menjelaskan Abdullāh Ibnu Ummi Maktūm mempunyai harapan yang lebih besar untuk menerima ajaran yang diberikan oleh Rasulullah dan akan berkembang lagi menjadi orang yang suci. Meskipun dia seorang yang buta akan tetapi dia mempunyai jiwa yang bersih. 3. Penafsiran Ayat ke 5-10
“Adapun orang yang tidak butuh, maka engkau terhadapnya melayani padahal tiada (celaan) atasmu kalau ia tidak membersihkan diri. dan
44
adapun siapa yang datang kepadamu dengan bersegera sedang ia takut, maka engkau terhadapnya mengabaikan”. Dalam ayat-ayat ini, Allah melanjutkan teguran-Nya, “Adapun orang-orang kafir Mekah yang merasa dirinya serba cukup dan mampu, mereka tidak tertarik untuk beriman padamu, mengapa engkau bersikap terlalu condong pada mereka dan ingin sekali supaya mereka masuk Islam”. Allah mengingatkan Nabi Muhammad, “Dan adapun orang seperti „Abdullāh bin ummi Maktūm yang datang kepadamu dengan bersegera untuk mendapat petunjuk dan rahmat dari Tuhannya, sedang ia takut kepada Allah jika ia jatuh ke dalam lembah kesesatan, maka kamu bersikap acuh tak acuh dan tidak memperhatikan permintaannya” (Depag, 2009: 548). Menurut Quraish Shihab (2012: 72), ayat 5-10 surat „Abasa ini menjelaskan sikap Nabi Muhammad SAW kepada tokoh kaum musyrikin yang beliau sangat harapkan keislamannya. Ayat di atas menyatakan: Adapun orang-orang yang merasa tidak butuh kepada Nabi karena memiliki harta, anak, atau kedudukan sosial serta pengetahuan maka walau ia tidak memiliki motivasi untuk takut kepada Allah, engkau terhadapnya saja bukan kepada tuna netra itu melayaninya dengan menjelaskan secara sungguh-sungguh ajaran Islam. Sebenarnya sikap Rasulullah SAW terhadap tokoh-tokoh kaum musyrikin itu terdorong oleh rasa takut beliau jangan sampai beliau dinilai belum menjalankan tugas dengan baik. Untuk itulah teguran ini dilanjutkan dengan menyatakan bahwa: Engkau wahai Nabi agung
45
melakukan hal itu, padahal tiada celaan atasmu kalau ia, yakni yang engkau layani itu, tidak membersihkan diri yakni tidak beriman walau dalam tingkat sekecil apa pun. Dan adapun siapa yang datang kepadamu dengan bersegera, yakni penuh perhatian untuk mendapatkan pengajaran sedang ia takut kepada Allah, maka sebaliknya, engkau terhadapnya mengambil sikap mengabaikan. Kata ista. Ghain
istaghnā terambil dari kata dan nun
ghaniya dan
dan huruf mu‟tal, keduanya asli sakhih (ghain
dan nun). Keduanya menunjukkan cukup dan yang lain suara (Ahmad bin Fāris bin Zakariyā, IV, 1967: 397). Di dalam tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab (2012: 73), kata
berarti tidak butuh. Huruf
sin
pada kata tersebut dipahami dalam arti merasa/menduga. Ia merasa tidak butuh kepada Allah serta petunjuk Nabi Muhammad SAW karena kekayaan, pengetahuan, dan kedudukan sosialnya. Kata
tashaddā terambil dari kata
shadā, yaitu gema
yakni suara yang memantul. Seseorang yang menghadapi orang lain dan melayaninya diibaratkan sebagai memantulkan suaranya, sehingga ia tidak berhenti kecuali kalau orang itu berhenti, sebagaimana gema suara dan pantulannya akan terus terdengar sampai terhentinya suara itu. Siapa yang melakukan hal itu dinamai tashaddā (Shihab, 2012: 73). Dalam tafsir alMaragi karya Ahmad Mustafa al-Maraghi (1993: 69) kata tashaddā memiliki arti menyambut.
46
Kata
talahhā terambil dari kata
-
lahā-yalhā yang
berarti menyibukkan diri dengan sesuatu sehingga mengabaikan yang lain (Shihab, 2002: 73). Dalam tafsir al-Maragi kata talahhā memiliki arti menganggap remeh atau mengabaikannya (Ahmad Mustafa al-Maraghi, 1993: 69). Tafsir Ibnu Katsir karya Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i (2000: 911) firman Allah SWT, “Adapun orang yang tidak butuh, maka engkau terhadapnya melayani padahal tiada (celaan) atasmu kalau ia tidak membersihkan diri. Dan adapun siapa yang datang kepadamu dengan bersegera sedang ia takut, maka engkau terhadapnya mengabaikan”. Terjemah tersebut memiliki maksud yaitu “adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya”. Yaitu, adapun orang kaya dan menyombongkan diri dari dakwahmu, maka kamu selalu begitu terbuka kepadanya dengan harapan dia mendapatkan petunjuk, “padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri”. Yaitu, padahal kamu tidak diminta untuk melakukan itu kalau dia tidak mau membersihkan hatinya. “Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera, sedang dia takut kepada Allah”, yaitu dia menuju ke arahmu dan menginduk kepada kamu agar dia mendapatkan petunjuk dari dakwah kamu, “maka kamu mengabaikannya”, yaitu berpura-pura tidak sempat. Allah Ta‟ala memerintahkan kepada Rasul-Nya agar memberikan peringatan dengan tidak mengkhususkan orang per orang, akan tetapi
47
disamaratakan semuanya. Kemudian Allah lah yang akan
memberi
petunjuk kepada jalan yang lurus bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Setelah Nabi mendapat teguran itu, beliau sangat menghormati keberadaan Abdullāh bin Ummi Maktūm. Dan, Ibnu Ummi Maktūm ini adalah salah seorang muadzin. Nabi SAW beliau bersabda:
“Sesungguhnya Bilal itu adzan di tengah malam. Karenanya, makan dan minumlah sehingga kamu mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum”. Mengenai namanya, yang paling masyhur adalah Abdullah, namun ada juga yang mengatakan namanya Amar. Selanjutnya
Allah
Ta‟ala
berfirman,
“Sekali-kali
jangan.
Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan”. Yang dimaksud ajaran-ajaran Tuhan di sini adalah surah ini atau wasiat untuk menyamakan sikap terhadap semua orang, dalam menyampaikan ilmu, antara golongan atas dan golongan bawah. Allah SWT berfirman, “Maka barang siapa yang menghendaki, tentulah dia memperhatikannya, di dalam kitab-kitab yang dimuliakan”, yaitu surah atau nasihat ini, dan kedua-duanya diabadikan bahkan seluruh isi Qur‟an dalam mushaf yang dimuliakan, artinya diagungkan dan dihormati, “yang ditinggikan”, yaitu mempunyai kedudukan dan derajat yang sangat tinggi “lagi disucikan” dari berbagai macam noda, pengurangan dan penambahan. Allah Ta‟ala berfirman, “Di tangan para duta,” maksudnya yaitu para malaikat yang menjadi duta antara Allah dan
48
para abdi-Nya. Selanjutnya Allah Ta‟ala berfirman, “Yang mulia lagi berbakti”, maksudnya akhlak mereka sangat baik dan suci. Atas dasar ini sangat dianjurkan bagi para penyandang al-Qur‟an agar perbuatan dan ucapannya berada di atas keseimbangan dan bimbingan. Dalam tafsir al-Maraghi karya Ahmad Mustafa al-Maraghi (1993: 73) kaum Quraisy yang dihadapi Nabi adalah orang yang merasa dirinya kaya dengan harta benda dan kekuasaan yang dimilikinya, ia tidak membutuhkan iman dan apa yang ada pada Rasulullah. Akan tetapi Rasulullah melayani mereka dengan suatu harapan akan kesediaan mereka memasuki Islam dan kesediaan untuk beriman. Rasulullah saw. tiada lain hanyalah seorang Rasul yang diperintahkan untuk menyampaikan apa-apa yang datang dari Allah. Rasulullah telah menunaikan hal tersebut. Rasululllah tidak perlu mengharapkan ke-Islam-an mereka. Adapun terhadap orang yang bergegas datang kepadamu karena ingin memperoleh hidayah dari-Nya serta mendekatkan diri kepada-Nya dan ia berbuat demikian itu karena dorongan rasa takut kepada-Nya serta berlaku hati-hati agar tidak terjerumus ke dalam jurang kesesatan tetapi engkau justru meremehkan dan mengabaikan serta tidak bersedia menjawabnya (al-Maraghi, 1993: 73). Dalam penjelasan ini mengandung kesimpulan: janganlah engkau (Rasulullah SAW) terlalu berharap akan keIslam-an mereka (kaum Quraisy). Dan jangan pula menyibukkan diri dengan ajakan kepada mereka kemudian engkau memalingkan muka dari
49
orang yang telah tertanam dalam jiwanya keimanan yang baik kepada Allah (tuna netra). Dalam tafsir al-Azhar karya Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (1982: 45-46), kaum Quraisy adalah merasa dirinya cukup yaitu merasa dirinya sudah pintar, tidak perlu diajari lagi dan merasa dirinya kaya. Orang-orang yang merasa dirinya cukup itu memandang enteng segala nasihat. Pekerjaan besar, perjuangan-perjuangan yang hebat tidaklah dimulai oleh orang-orang yang telah merasa cukup, biasanya orang yang demikian datangnya ialah kemudian sekali, setelah melihat pekerjaan orang telah berhasil. “Padahal, apalah rugimu kalau dia tidak mau suci”. Padahal sebaliknyalah yang akan terjadi, sebab dengan menunggu-nunggu orangorang seperti itu tempoh akan banyak terbuang. Karena mereka masuk ke dalam perjuangan lebih dahulu akan memperkajikan, berapa keuntungan benda
yang akan didapatnya. Di
dalam ayat
ini
Allah telah
membayangkan, bahwa engkau tidaklah akan rugi kalau orang itu tidak mau menempuh jalan kesucian. Yang akan rugi hanya mereka sendiri, karena masih bertahan dalam penyembahan berhala (HAMKA, 1982: 46). Penjelasan ini hampir sama dengan tafsir al-Maraghi, karena tugas Nabi adalah menyampaikan saja. “Dan adapun orang yang datang kepadamu berjalan cepat”. Kadang-kadang datang dari tempat yang jauh-jauh, sengaja hanya hendak mengetahui hakikat ajaran agama, atau berjalan kaki karena miskin tidak
50
mempunyai kendaraan sendiri, dan dia pun dalam rasa takut, yaitu rasa takut kepada Allah, karna iman mulailah tumbuh, maka engkau terhadapnya berlengah-lengah. Sejak teguran ini Rasulullah SAW merobah taktiknya yang lama. Lebih-lebih terhadap orang-orang baru yang datang dari kampung-kampung yang jauh, Rasulullah bersikap lemah lembut. Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis lebih condong pada tafsir al-Maraghi. Sebab tafsir al-Maraghi ini menjelaskan kaum Quraisy yang sedang dihadapi Nabi adalah kaum yang merasa dirinya kaya dengan harta benda dan kekusasaan yang dimilikinya, ia tidak membutuhkan iman dan apa yang ada pada Rasulullah. Akan tetapi Rasulullah melayani mereka dengan suatu harapan akan kesediaan mereka membutuhkan iman dan masuk Islam. Adapun terhadap orang yang lemah yaitu „Abdullāh Ibn ummi Maktūm Rasullah justru meremehkan dan mengabaikannya dengan tidak bersedia menjawabnya. Padahal „Abdullāh Ibn ummi Maktūm datang kepada Rasulullah dengan bergegas mengharap hidayah dan ingin mendekatkan diri pada-Nya serta berlaku hati-hati agar tidak terjerumus kepada jurang kesesatan. Dengan begitu Rasululah tidak perlu mengharapkan ke-Islam-an kaum Quraisy, karena tiada lain Rasulullah hanyalah Rasul yang diperintahkan menyampaikan apa-apa yang datang dari Allah. Rasulullah tidak perlu menyibukkan diri menghadapi kaum Quraisy kemudian memalingkan memalingkan muka dari „Abdullāh Ibn Ummi Maktūm.
BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM QS. SURAT „ABASA AYAT 1-10
A. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Penulis mencoba untuk menganalisis nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung di dalam surat „Abasa ayat 1-10. Diantaranya: 1. Memberikan Penghargaan Yang Sama Yang dimaksud dengan memberikan penghargaan yang sama di sini adalah dengan tidak membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini ditunjukkan olehsikap Nabi Muhammad SAW yang bermuka masam dan berpaling ketika sedang menghadapi kaum Quraisy dan tibalah datang seorang tuna netra yang memotong pembicaraannya. Nabi begitu perhatian terhadap orang-orang Quraisy karena mengharapkan mereka masuk Islam, sedangkan Nabi justru bermuka masam dan memalingkan seorang tuna netra yang benar-benar mengharapkan ajaranajaran Nabi. Hal ini seharusnya tidak dilakukan Nabi, dan apa yang dilakukan beliau ketika itu sungguh berbeda dengan akhlak beliau seharihari yang sangat kasih kepada yang butuh.
51
52
“Dia bermuka masam dan berpaling, karena telah datang kepadanya seseorang tunanetra”. Ayat di atas menyatakan bahwa: Dia, yakni Nabi Muhammad SAW berubah wajahnya sehingga tampak bermuka masam dan memaksakan dirinya berpaling didorong oleh keinginannnya menjelaskan risalahnya kepada tokoh-tokoh kaum musyrikin atau salah seorang dari mereka. Dia berpaling karena telah datang kepadanya seorang tuna netra yang memutuskan pembicaraannya dengan tokoh-tokoh itu (Shihab, 2012: 70). Ayat tersebut sampai ayat sampai ayat sepuluh menurut banyak ulama turun menyangkut sikap Nabi Muhammad SAW kepada sahabat beliau „Abdullāh Ummi Maktūm, ketika Nabi Muhammad SAW sedang sibuk menjelaskan Islam kepada tokoh-tokoh kaum musyrikin Mekkah, atau salah seorang utamanya, yaitu al-Walid Ibn al-Mughirah. Nabi Muhammad SAW berharap ajakannya dapat menyentuh hati dan pikiran mereka sehingga mereka bersedia memeluk Islam. Jika para pembesar masuk Islam tentunya hal ini akan membawa dampak positif bagi perkembangan dakwah Islam. Namun saat itu „Abdullāh Ummi Maktūm yang rupanya tidak mengetahui kesibukan penting Nabi itu lalu menyela pembicaraan Nabi SAW memohon agar diajarkan kepadanya tentang apa yang telah diajarkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Menurut riwayat, perkataan Abdullāh Ibn Ummi Maktūm tersebut diucapkan berkali-kali dan sikap Abdullāh tersebut tidak berkenan di hati Nabi
53
namun Nabi Muhammad tidak menegur atau memarahinya. Hanya saja nampak pada raut wajah Nabi rasa tidak senang, maka turunlah ayat di atas menegur nabi Muhammad SAW atas sikapnya terhadap Abdullāh Ibn Ummi Maktūm (Shihab, 2012: 70-71). Apa yang dilakukan oleh Abdullāh Ibn Ummi Maktūm termasuk perbuatan tidak sopan apabila seandainya Abdullāh Ibn Ummi Maktūm mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW sedang sibuk dengan orang lain dan beliau mengharapkan keislamannya. Akan tetapi Allah SWT tetap menegur Rasullah SAW atas perbuatannya yang telah berpaling dari Abdullāh Ibn Ummi Maktūm. Dalam ayat ini Rasullah disadarkan dengan halus supaya jangan sampai bermuka masam kepada orang yang datang bertanya, hendaklah bermuka manis, sehingga orangrang yang tengah dididik itu merasa bahwa dirinya dihargai (HAMKA, 1982: 44). Teguran Allah terhadap sikap Rasulullah SAWagar semua orang tahu bahwa mukmin yang fakir lebih baik daripada orang fakir yang kaya, dan memperlihatkan bahwa orang yang beriman itu lebih utama dan lebih baik, sekalipun ia seorang fakir, daripada memperhatikan orangorang kaya karena menginginkan keimanan mereka, sekalipun perbuatan tersebut termasuk salah satu kemaslahatan. Dari beberapa penjelasan tersebut diketahui bahwa Nabi Muhammad pada waktu itu sedang berhadapan dengan orang-orang besar yaitu kaum Quraisy dengan penuh harap orang-orang Quraisy mau masuk Islam. Kemudian datanglah juga
54
seorang tuna netra, Abdullāh Ibn Ummi Maktūm yang lemah, sangat mengharapkan ajaran Nabi Muhammad akan tetapi beliau bermuka masam dan tidak memperhatikan Abdullāh Ibn Ummi Maktūm.
Hal
mengandung nilai pendidikan akhlak yaitu mengajarkan bahwasanya didalam menghadapi orang-orang harus memberikan penghargaan yang sama, yaitu dengan tidak boleh membeda-bedakan antara yang satu dengan lainnya. Hal ini bersifat umum, kepada siapa saja entah itu guru terhadap muridnya, orang tua terhadap anaknya atau terhadap sesama teman atas keberagaman manusia mengenai perbedaan diantara kaya, miskin, cantik, jelek, dan lain-lain. Jika hal ini benar-benar diperhatikan maka hidup manusia akan menjadi lebih harmonis. 2. Tidak Berfikir Negatif Terhadap Orang Lain Berfikir negatif/prasangka dalam istilah sehari-hari dipahami sebagai pendapat atau anggapan kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui (menyaksikan dan menyelidiki) sendiri (Republika, 2006: 129). Muslim tidak dibenarkan meyakini dan mempercayai sesuatu yang didasarkan pada prasangka.
“Apakah yang menjadikanmu mengetahui boleh jadi ia ingin membersihkan diri atau mendapatkan pengajaran sehingga bermanfaat baginya pengajaran itu?”. Quraish Shihab berkata dalam bukunya al-Misbah (2012: 72) bahwa: Apakah yang menjadikanmu mengetahui, yakni engkau tidak
55
dapat mengetahui, walau berupaya keras menyangkut isi hati seseorang, boleh jadi ia sang tuna netra itu ingin membersihkan diri, yakni beramal shaleh dan mengukuhkan imannya dengan mendengar tuntunan agama walau dengan tingkat kebersihan yang tidak terlalu mantap atauia ingin mendapatkan pengajaran sehingga bermanfaat baginya pengajaranitu walau dalam bentuk yang tidak terlalu banyak. Dalam tafsir al-Maraghi (1993: 73) juga dijelaskan mungkin ia (Abdullāh Ibn Ummi Maktūm) hendak membersihkan diri dengan apa yang ia dengar dan apa yang ia terima dari Rasulullah SAW sehingga ia akan terbebas dari bahaya perbuatan dosa. Atau ia hendak meminta nasehat kepada Rasulullah SAW kemudian ia mengambil manfaat dari peringatan dan nasehat-nasehat Rasulullah SAW juga dijelaskan dalam tafsir al-Azhar karya Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (1982: 45) melalui ayat 3-4 ini Rasulullah SAW diberi ingat oleh Allah bahwa Abdullāh Ibn Ummi Maktūm itu lebih besar harapannya akan berkembang lagi menjadi seorang yang suci, seorang yang bersih hatinya, walaupun dia buta. Karena meskipun mata buta, kalau jiwa bersih kebutaan tidaklah akan menghambat kemajuan iman seseorang. Sudah dijelaskan pada ayat yang pertama bahwa Rasulullah telah bermuka masam terhadap kedatangan seorang tuna netra (Abdullāh Ibn Ummi Maktūm), dan pada ayat ini padahal Rasulullah tidak mengetahui apa maksud dan tujuan kedatangan Abdullāh Ibn Ummi Maktūm sehingga beliau telah bermuka masam terhadap Abdullāh Ibn Ummi Maktūm dan
56
lebih perhatian kepada kaum Quraisy.
Hal ini mengandung nilai
pendidikan akhlak yaitu agar tidak berfikir negatif terhadap orang lain, sehingga akan menimbulkan sikap yang baik pula terhadap orang yang dihadapi. 3. Bersikap Cermat dan Berhati-hati dalam Mengambil Suatu Tindakan
Dalam kamus umum bahasa Indonesia karya Poerwadarminta (1987: 202), cermat adalah seksama, teliti dengan penuh minat (perhatian),
serta
tidak
tergesa-gesa
dan
tidak
ceroboh
dalam
melaksanakan pekerjaan. Allah tidak menyukai makhluknya yang bekerja/bertindak
dengan
tergesa-gesa
karena
bisa
menimbulkan
kesalahan dan kegagalan dalam mencapai suatu tujuan. Bersikap cermat dan berhati-hati di dalam mengambil suatu tindakan terkandung di dalam surat „Abasa ayat 5-10, sebagai berikut:
“Adapun orang yang tidak butuh, maka engkau terhadapnya melayani padahal tiada (celaan) atasmu kalau ia tidak membersihkan diri. danadapun siapa yang datang kepadamu dengan bersegera sedang ia takut, maka engkau terhadapnya mengabaikan”. Ayat di atas menyatakan: Adapun orang-orang yang merasa tidak butuh kepada Nabi karena memiliki harta, anak, atau kedudukan sosial serta pengetahuan maka walau ia tidak memiliki motivasi untuk takut
57
kepada Allah, engkau terhadapnya saja bukan kepada tuna netra itu melayaninya dengan menjelaskan secara sungguh-sungguh ajaran Islam. Dalam al-Qur‟an dan tafsirnya oleh Departemen Agama RI (2009: 548), juga dijelaskan “adapun orang-orang kafir Mekah yang merasa dirinya serba cukup dan mampu, mereka tidak tertarik untuk beriman padamu, mengapa engkau bersikap terlalu condong pada mereka dan ingin sekali supaya mereka masuk Islam”. Allah mengingatkan Nabi Muhammad, “Dan adapun orang seperti Abdullāh Ibn Ummi Maktūm yang datang kepadamu dengan bersegera untuk mendapat petunjuk dan rahmat dari Tuhannya, sedang ia takut kepada Allah jika ia jatuh ke dalam lembah kesesatan, maka kamu bersikap acuh tak acuh dan tidak memperhatikan permintaannya”. Sebenarnya sikap Rasulullah SAW terhadap tokoh-tokoh kaum musyrikin itu terdorong oleh rasa takut beliau jangan sampai beliau dinilai belum menjalankan tugas dengan baik. Untuk itulah teguran ini dilanjutkan dengan menyatakan bahwa: Engkau wahai Nabi agung melakukan hal itu, padahal tiada celaan atasmu kalau ia, yakni yang engkau layani itu, tidak membersihkan diri yakni tidak beriman walau dalam tingkat sekecil apa pun. Dan adapun siapa yang datang kepadamudengan bersegera, yakni penuh perhatian untuk mendapatkan pengajaran sedang ia takut kepada Allah, makasebaliknya, engkau terhadapnya mengambil sikap mengabaikan.
58
Menurut Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i (2000: 911) di dalam bukunya tafsir Ibnu Katsir, firman Allah SWT,“Adapun orang yang tidak butuh, maka engkau terhadapnya melayani padahal tiada (celaan) atasmu kalau ia tidak membersihkan diri. Dan adapun siapa yang datang kepadamu dengan bersegera sedang ia takut, maka engkau terhadapnya mengabaikan”.Terjemah tersebut memiliki maksud yaitu “adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya”. Yaitu, adapun orang kaya dan menyombongkan diri dari dakwahmu, maka kamu selalu begitu terbuka kepadanya dengan harapan dia mendapatkan petunjuk, “padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri”. Yaitu, padahal kamu tidak diminta untuk melakukan itu kalau dia tidak mau membersihkan hatinya. “Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera, sedang dia takut kepada Allah”, yaitu dia menuju ke arahmu dan menginduk kepada kamu agar dia mendapatkan
petunjuk
dari
dakwah
kamu,
“maka
kamu
mengabaikannya,” yaitu berpura-pura tidak sempat. Berdasarkan
penjelasan-penjelasan
tersebut,
penulis
menyimpulkan bahwa kandungan nilai pendidikan akhlaknya adalah bersikap cermat dan berhati-hati dalam mengambil suatu tindakan. Karena dalam
peristiwa
tersebut, setidaknya
terlebih dahulu Rasulullah
mengetahui bagaimana karakter kaum Quraisy/orang kafir Mekkah dan seorang tuna netra, sehingga tidak akan terjadi salah satu pihak yang merasa terpalingkan. Pada peristiwa itu, Rasulullah sangat perhatian dan
59
terbuka terhadap orang-orang Quraisy. Padahal orang-orang Quraisy tersebut merasa cukup, kaya dan menyombongkan diri dari dakwah Rasul. Sebaliknya Rasulullah bersikap mengabaikan terhadap „Abdullāh Ibn Ummi Maktūm, yang sebenarnya dia takut kepada Allah, mendatangi Rasul dengan maksud agar mendapatkan petunjuk.
Padahal
sesungguhnya tiada celaan atas Rasulullah kalau kaum Quraisy tidak beriman.
B. Aplikasi Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Kehidupan Sehari-hari Islam tidak menetapkan nilai-nilai akhlak hanya pada wacana dan teori saja. Di samping mengajarkan teori tentang akhlak, Islam juga menuntut umatnya untuk mempraktikkan akhlak tersebut. Islam tidak pernah mengajarkan
kepada
kita
untuk
sekedar
mempelajari
teori
tanpa
mengaplikasikannya dalam praktik kehidupan sehari-hari (Mahmud, 2004: 59). Hal ini dapat diketahui dengan mempelajari dan mendalami ajaran-ajaran akhlak di dalamnya. Manusia akan memperoleh kebahagiaan di dunia maupun di akhirat apabila manusia mengamalkan nilai-nilai pendidikan akhlak. Karena pendidikan akhlak memiliki tujuan yang utama yaitu agar manusia berada dalam kebenaran dan senantiasa berada di jalan yang lurus, jalan yang telah digariskan oleh Allah SWT (Mahmud, 2004: 159). Inilah yang akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan dunia maupun akhirat.
60
Penjelasan nilai-nilai pendidikan akhlak yang tergkandung dalam surat „Abasa ayat 1-10, dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari diantanya: 1.
Memberikan Penghargaan Yang Sama Dalam memberikan penghargaan yang sama yaitu dengan tidak membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam kehidupan, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat terlepas dari makhluk lainnya. Manusia akan berhubungan dan berhadapan dengan manusia lainnya dengan penuh keanekaragaman, dari kalangan bawah, menengah, maupun kalangan atas. Ada yang kaya, miskin, jelek, cantik, hitam, putih, semua itu adalah sama di sisi manusia, yang membedakan hanyalah ketaqwaan dan hatinya.Hal ini tersirat di dalam surat al-Hujurāt ayat 13, yang berbunyi:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”(QS. al-Hujurāt: 13). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dalam kehidupan seharihari manusia harus memberlakukan manusia lainnya dengan sama, tidak
61
memilih kasih dan juga harus menghargai. Contoh lainnya yaitu berperilaku sayang kepada semua manusia baik kaya atau pun miskin. 2.
Tidak Berfikir Negatif Terhadap Orang Lain Berfikir negatif/prasangka dalam istilah sehari-hari dipahami sebagai pendapat atau anggapan kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui (menyaksikan dan menyelidiki) sendiri (Republika, 2006: 129). Muslim tidak dibenarkan meyakini dan mempercayai sesuatu yang didasarkan pada prasangka. Allah SWT juga memerintahkan manusia untuk menjauhi prasangka buruk. Sebagaimana firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. al-Hujurāt: 12). Perintah menjauhi prasangka buruk juga disebutkan dalam hadits sebagai berikut:
62
“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “jauhilah oleh kalian prasangka buruk, karena prasangka buruk itu adalah sedustadustanya kata hati, janganlah pula kalian meraba-raba (menyangkanyangka) dan menyelidiki kesalahan orang lain” (Al-Albani, 2013: 353). Dari penjelasan ayat dan hadits tersebut, sangatlah jelas bahwa Allah melarang manusia untuk berburuk sangka/berfikir negatif. Prasangka buruk merupakan sifat kebalikannya dari prasangka baik. Dalam kehidupan sehari-hari, kita harus meninggalkan sifat prasangka buruk dan menumbuhkan prasangka baik, yang mana sifat ini akan mendatangkan manfaat. Contoh perilaku berprasangkan baik terhadap orang lain dapat ditunjukkan dengan cara senang, berfikir positif dan sikap menghormati kepada orang lain tanpa ada rasa acuh tak acuh atau pun curiga, tidak memata-matai orang. 3. Bersikap Cermat dan Berhati-hati dalam Mengambil Suatu Tindakan Cermat merupakan sikap berhati-hati dalam menjalankan sesuatu, penuh dengan perhatian, serta tidak tergesa-gesa dan tidak ceroboh dalam melaksanakan pekerjaan. Sikap kehati-hatian ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan atau kejadian yang tidak diinginkan baik dalam mengerjakan atau mengambil suatu tindakan. Allah SWT berfirman:
63
“Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. Kelak akan Aku perIihatkan kepadamu tanda-tanda azab)-Ku. Maka janganlah kamu minta kepada-Ku mendatangkannya dengan segera”(Qs. Al-Anbiyā‟/21: 37). Oleh karena itu pekerjaan/tindakan haruslah dilakukan dengan hati-hati. Contoh sikap cermat dan berhati-hati dalam kehidupan seharihari diantaranya: meneliti jawaban tujian sekolah sebelum dikumpulkan, tidak berbicara atau bersikap yang dapat menyinggung perasaan orang lain, tidak berlebihan dalam berbicara, tidak menuruti hawa nafsu saat berbicara, istiqamah dan tidak munafik, berhati-hati dan tidak tergesa, dan mendahulukan pekerjaan yang lebih penting daripada yang tidak perlu.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan-pembahasan dan analisis pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan antara lain: 1.
Konsep nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Islam adalah nilai, macammacam nilai, pendidikan akhlak, tujuan pendidikan akhlak, ruang lingkup pendidikan akhlak, dan sumber pendidikan akhlak.
2.
Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Surat „Abasa Ayat 1-10 meliputi: a.
Memberikan penghargaan yang sama.
b.
Mengajarkan agar tidak berfikir negatif terhadap orang lain.
c.
Mengajarkan bersikap cermat dan berhati-hati dalam mengambil suatu tindakan.
B. Saran-saran Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka penulis memberikan saransaran sebagai berikut: 1. Untuk Dunia Pendidikan Islam Pengajaran dan penanaman akhlak yang bersumber dari al-Qur‟an dan hadits harus terus dilakukan, hal ini karena krisis moral yang semakin memprihatinkan. Maka dari itu seorang pendidik diharapkan menekankan pendidikan akhlak
dalam proses belajar mengajar agar siswa-siswa
64
65
sebagai penerus bangsa
menjadi manusia yang cerdas dan berakhlak
mulia. 2. Untuk Pendidik Penggalian terhadap nilai-nilai pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an harus terus dilakukan dan disosialisasikan sebagai salah satu langkah perbaikan akhlak manusia dalam menjalani kehidupan di dunia agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
66
DAFTAR PUSTAKA
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2013. Shahih Sunan Abu Daud. Jakarta: Pustaka Azzam. Ali,
Atabik &Ahmad Zuhdi Muhddlor. 2003. ArabIndonesia. Yogyakarta: Multi Karya Grafik.
Kamus
Kontemporer
Ali, Muhammad Daud. 2008. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Azwar, Saifuddin. 2009. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Budihardjo. 2012. Pembahasan Ilmu-ilmu Al-Qur‟an. Yogyakarta: Lokus. Departemen Agama RI. 2009. Al-Qur‟an dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen Agama RI. Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hafidz, Muhammad & Kastolani. 2009. Pendidikan Islam Antara Tradisi dan Modernitas. Salatiga: STAIN Salatiga Press. HAMKA. 1982. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas. Ibn Zakariyā, Ahmad bin Faris. 1967. Mu‟jam Maqāyis al-Lughah I, II, III, IV, V, VI. Beirut: Dār al-Fikr. Ilyas, Yunahar. 2007. Kuliah Akhlak. Yogyakarta: LPPI. Izutsu, Toshihiko. 2003. Relasi Tuhan dan Manusia. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya. Jumali dkk. 2004. Landasan Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Mahmud, Ali Abdul Halim. 2004. Akhlak Mulia. Jakarta: Gema Insani. Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. 1993. Terjemah Tafsir Al-Maraghi. Semarang: CV. Toha Putra. Muhadjir, Noeng. 1987. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Rake Sarasin.
67
Muhaimin. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Trigenda Karya. Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif. Nasharuddin. 2015. Akhlak :Ciri Manusia Paripurna. Jakarta: Rajawali Pers. Nata, Abuddin. 2002. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Poerwadarminta. 1987. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Republika. 2006. Seratus Cerita Tentang Akhlak. Jakarta: Republika. Rifa‟i, Muhammad Nasib. 2000. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani Press. Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 1999. Studi Ilmu Al-Qur‟an. Bandung: CV Pustaka Setia. Syadali, Ahmad dan Rofi‟i, Ahmad. 1997. Ulumul Qur‟an 1. Bandung: CV. Pustaka Setia. Shihab. M. Quraish. 2012. Tafsir Al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian alQur‟an. Jakarta: Lentera Hati. Thoha, Chabib. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. http://pemikiranislam.wodpress.com, diakses pada tanggal 1 Juni 2016.
68
69
70
71
72
73
74
75
76
DAFTAR NILAI SKK
Nama
: Sri Widayati
P.A
: Dra. Ulfa Susilawati, M.Si
NIM
: 111-12-150
Program Studi : PAI NO 1.
Nama Kegiatan OPAK STAIN Salatiga 2012
2.
Orientasi Pengenalan Akademik dan Kemahasiswaan (OPAK) Orientasi Dasar Keislaman (ODK) Seminar Entrepreneurship dan Perkoperasian 2012 “Explore Your Entrepreneurship Talent” MAPALA MITAPASA dan KSEI STAIN salatiga Achievment Motivation Training JQH&LDK Library User Education oleh UPT Perpustakaan STAIN Salatiga Tabligh Akbar “Tafsir Tematik dalam Upaya Menjawab Persoalan Israel dan Palestina” JQH Bedah Buku “24 Cara Mendongkrak IPK” UPT Perpustakaan STAIN Salatiga Entreprenership Training KSEI
3. 4.
5. 6.
7.
8.
9.
Tanggal 05-07 September 2012 08-0 9 September 2012 10 September 2012 11 September 2012
Jabatan Peserta
Nilai 3
Peserta
3
Peserta
2
Peserta
2
12 September 2012 13 September 2012
peserta
2
Peserta
2
01 Desember 2012
Peserta
2
05 Desember 2012
Peserta
2
25 Maret 2013
Peserta
2
77
10.
11. 12.
13.
14.
15. 16. 17.
18.
19.
20.
Tafsir Tematik “Sihir dalam Perspektif al-Qur‟an dan Hukum Negara” oleh JQH Penerimaan Anggota Baru (PAB) JQH 2013 Islamic Public Speaking Training (IPST) dan Sesorah Bahasa Jawa (SBJ) LDK Pendidikan dan Pelatihan (DIKLAT) Keprofesian oleh HMJ Tarbiyah Islamic Public Speaking Training (ISPT) Milad XII LDK Training Pembuatan Makalah Oleh LDK Diklat Microteaching oleh HMPS PAI Seminar “Mempertegas Peran Pendidikan dalam Mencerahkan Masa Depan Anak Bangsa” HMI cabang Salatiga komisariat Walisongo Diskusi Terbuka “Soekarno, Apa Yang Kalian Pikirkan?”LPM Dinamika Workshop Nasional “Sukses akademik, Sukses Bakat dan Hidup Bermartabat dengan Karya” HMPS PAI vs Talent Center Indonesia Seminar Sesorah Bahasa Jawa (SBJ) Milad-XIII LDK
04 Mei 2013
Peserta
2
23-24 Peserta November 2013 5 Desember Peserta 2013
2
13-14 Mei 2014 Peserta
2
09 Juni 2014
Peserta
2
17 September 2014 08 November 2014 19 November 2014
Peserta
2
Peserta
2
Peserta
2
09 Desember 2014
Peserta
2
16 Desember 2014
Peserta
8
07 Mei 2015
Peserta
8
2
78
21.
22.
23.
24.
26.
National Seminar “Understanding the World by Understanding the Language and the Culture” CEC Bedah Buku “Muda 7 Warna” HMJ PAI IAIN Salatiga Seminar nasional Kewirausahaan “Jiwa Muda, Berani Berwirausaha” PAI Kewirausahaan bersama Disperindagkop Salatiga IAIN Bersholawat “Menyemai Nilai-nilai Islam Indonesia untuk Memperkokoh NKRI dalam mewujudkan Baldatun Toyyibatun Warobun Ghofur” Seminar 2 Nasional “Hak Gender 5 Kaum difabel dalam . Perspektif Sosiologi dan Hukum Islam” HMJ AS Sosialisasi Pendidikan di Desa Bambusari “Pentingnya Pendidikan Anak Untuk Menunjang Kesejahteraan Masyarakat” KKN IAIN Salatiga
04 Juni 2015
Peserta
8
23 September 2015
Peserta
2
30 Oktober 2015
Peserta
8
03 November 2015
Peserta
2
24 Desember 2015
Peserta
8
20 Februari 2016
Panitia
3
79