PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR’AN SURAT MARYAM AYAT 41-42
SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh SAYIDATUL MUWAFIQOH NIM: 111-12-089
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2017
i
ii
iii
iv
v
MOTTO
ِ َّيا أَيُّها ال ول َوََتُونُوا أ ََمانَاتِ ُك ْم َوأَنْتُ ْم تَ ْعلَ ُمو َن ذ َ الر ُس َّ ين َآمنُوا ال ََتُونُوا اللَّوَ َو َ َ َ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (QS. Al-Anfāl: 27)
vi
PERSEMBAHAN Perjuangan merupakan pengalaman berharga yang dapat menjadikan kita manusia yang berkualitas. Skripsi ini saya persembahkan kepada: 1. Kedua orang tuaku (bapak Nahrowi dan ibu Muzawaroh) yang telah memberikan kasih sayang, segala dukungan, doa dan cinta kasih yang tiada terhingga yang tiada mungkin dapat kubalas hanya dengan selembar kertas yang bertuliskan kata cinta dan persembahan. 2. Kedua kakakku (Asa dan Imam) dan adikku (Ezra) yang telah memberikan semangat dan nasehatnya selama ini. 3. Sahabat-sahabatku (Noviana, Nia, Zulaika, Tesa, Rani, Anggun, Helmi, Hani, Heni, Reni, Kuni, Ika, Fida, Mazu, Rumi, Topiqin, Dedi, Tri, Sian‟s Hostel Family, My Best Joko Sarifudin, dan semua teman-teman) terima kasih atas bantuan, doa, nasehat, hiburan, traktiran, ojekan, dan semangat yang kalian berikan selama aku kuliah, aku tak akan melupakan semua yang telah kalian berikan selama ini. 4. Bapak Prof. Dr. H. Budiardjo, M.Ag. yang selalu membimbing dan memotivasi penulis. 5. Keluarga besar PAI C dan teman-teman PAI 2012.
vii
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum wr.wb. Segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, dan inayah-Nya kepada kita semua. Sehingga penulis bisa menjalani kehidupan ini sesuai dengan ridha-Nya. Sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi besar kita nabi Muhammad SAW. Atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur’an Surat Maryam Ayat 4142” sesuai dengan rencana. Selanjutnya penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu pembuatan skripsi ini, kepada yang terhormat: 1.
Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga
2.
Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga.
3.
Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Salatiga yang telah memberikan ijin untuk melaksanakan penelitian dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4.
Bapak Prof. Dr. H. Budihardjo, M.Ag. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah dengan sabarnya memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.
5.
Bapak M. Ali Zamroni, MA. selaku Dosen Pembimbing Akademik.
6.
Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.
viii
Semoga skripsi ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas bagi kita semua dan dapat menjadi sumbangan pemikiran kepada para pembaca khususnya para mahasiswamahasiswi IAIN Salatiga. Penulis sadar bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan skripsi ini. Wassalammu’alaikum wr.wb.
ix
ABSTRAK
Muwafiqoh, Sayidatul. 2017. Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur‟an Surat Maryam Ayat 4142. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Prof. Dr. H. Budihardjo. M. Ag. Kata Kunci: Pendidikan, Akhlak, Surat Maryam ayat 41-42. Prolematika rendahnya pendidikan akhlak yang berarah pada kehancuran bangsa ini sangat memprihatinkan, sehingga untuk menyelamatkan bangsa seluruh masyarakat, para orang tua, pendidik, harus membiasakan anak dengan akhlak yang baik agar tercipta generasi yag mampu menghadapi tantangan hidup. Nabi Ibrāhīm AS merupakan seorang nabi yang memiliki sifat jujur dan tauhid yang baik. Sehingga para orang tua dan pendidik mampu mengaplikasikan atau mencontoh dalam kehidupan sehari-hari. Karena pada masa sekarang ini banyak orang pintar, tetapi sedikit orang yang memiliki sifat jujur. Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui pendidikan akhlak yang terdapat dalam surat Maryam ayat 41-42, agar bisa di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah, (1) bagaimanakah akhlak dan pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an?, dan (2) bagaimana isi pendidikan akhlak yang terdapat dalam surat Maryam ayat 41-42. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (library research), atau bahan-bahan bacaan untuk mencari pendapat para ahli tafsir dan ahli pendidikan tentang pendidikan akhlak. Kemudian dianalisis untuk mencapai tujuan penelitian. Metode yang penulis gunakan yaitu metode tafsir maudhu‟i. Berdasarkan telaah dari literature maka hasil penelitian menunjukkan bahwa akhlak dan pendidikan akhlak dalam Islam meliputi macam-macam akhlak, faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak, dasar pendidikan akhlak, tujuan pendidikan akhlak, ruang lingkup pendidikan akhlak, metode pendidikan akhlak yang semua itu didasarkan pada al-Qur‟an dan Hadist. Sedangkan isi dari pendidikan akhlak yang terdapat dalam surat Maryam ayat 41-42 yaitu berupa sifat jujur (siddiq). Selain itu aktualisasi ayat itu dalam pendidikan karakter berupa: menanamkan sifat jujur, menanamkan sifat tauhid kepada anak sejak dini, bersikap lemah lembut kepada orang tua, serta menanamkan sifat lemah lembut dan tegas dalam membela yang benar.
x
DAFTAR ISI JUDUL .................................................................................................................. i LEMBAR BERLOGO ......................................................................................... ii PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... iii PENGESAHAN KELULUSAAN ....................................................................... iv PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ........................................................... v MOTTO ................................................................................................................ vi PERSEMBAHAN................................................................................................. vii KATA PENGANTAR .......................................................................................... viii ABSTRAK ............................................................................................................ ix DAFTAR ISI......................................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah....................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ........................... .................................................... 4 C. Tujuan penelitian.................................................................................. 4 D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 4 E. Penegasan Istilah ....................................................................................................... 5
xi
F. Metode Penelitian................................................................................. 9 G. Kajian Pustaka...................................................................................... 12 H. Sistematika Penulisan .......................................................................... 14 BAB II RUANG LINGKUP PENDIDIKAN AKHLAK A. Akhlak .................................................................................................. 15 1. Pengertian Akhlak .......................................................................... 15 2. Macam-Macam Akhlak.................................................................. 16 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak ............ 18 B. Pendidikan Akhlak ............................................................................... 23 1. Pengertian Pendidikan Akhlak ....................................................... 23 2. Dasar Pendidikan Akhlak............................................................... 25 3. Tujuan Pendidikan Akhlak............................................................. 27 C. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak ..................................................... 29 D. Metode Pendidikan Akhlak .................................................................. 38 BAB III TAFSIR SURAT MARYAM AYAT 41-42 1. Jenis-jenis Tafsir .................................................................................. 45 2. Kisah Nabi Ibrāhīm AS ........................................................................ 49 3. Asbāb An-Nuzūl Surat Maryam............................................................ 56 4. Analisis Surat Maryam Ayat 41-42 ..................................................... 59 a. Surat Maryam Ayat 41 ................................................................... 59
xii
b. Surat Maryam Ayat 42 ................................................................... 63 BAB IV PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR’AN SURAT MARYAM AYAT 41-42 A. Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur‟an................................................... 71 B. Pendidikan Akhlak yang Terdapat dalam Surat Maryam Ayat 41-42 dan Aktualisasinya dalam Pendidikan Karakter ............... 73 1. Pendidikan Akhlak dalam Surat Maryam Ayat 41-42 ................... 73 2. Aktualisasi QS. Maryam 41-42 dalam Pendidikan Karakter ......... 75 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................................................... 80 B. Saran-Saran .......................................................................................... 81 C. Penutup................................................................................................. 82 DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP PENULIS LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
DAFTAR LAMPIRAN 1. Daftar Riwayat Hidup Penulis 2. Daftar SKK 3. Nota Pembimbing Skripsi 4. Lembar Konsultasi
xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah menurunkan kitab-kitab suci-Nya kepada para Rasul-Nya sebagai pedoman hidup manusia, diantara kitab-kitab suci itu adalah al-Qur‟an. AlQur‟an merupakan firman Allah yang bersifat (berfungsi) mukjizat (sebagai bukti kebenaran atas kenabian Muhammad SAW) yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, yang tertulis di dalam mushaf-mushaf, yang dinukil (diriwayatkan) dengan jalan mutawatir, dan yang membacanya dipandang beribadah (Masjfuk Zuhdi, 1997: 1). Al-Qur‟an tersebut diberikan kepada nabi Muhammad SAW dengan perantara malaikat Jibril yang di dalamnya mengandung petunjuk, panduan, aqidah, akhlak, hukum, kisah, ibadah serta janji dan ancaman (Ali Abdul Hamim Mahmud, 2004: 178). Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar dapat bermuamalah dengan adab dan akhlak yang baik, akhlak yang terpuji bagi seorang muslim mempunyai kedudukan yang sangat penting. Bahkan salah satu risalah yang diemban nabi Muhammad SAW adalah menyempurnakan akhlak. Ini semua karena beliau seorang yang diakui kebaikan akhlaknya oleh Allah dan manusia.
َّك لَ َعلَى ُخلُ ٍق َع ِظْي ٍم َ َوإِن
“Sesungguhnya engkau (hai Muhammad) memiliki budi pekerti yang luhur”. (QS. Al-Qalam: 4)
1
Akhlak merupakan salah satu dari tiga kerangka dasar ajaran Islam yang memiliki kedudukan yang sangat penting. Akhlak mulia juga merupakan buah yang dihasilkan dari proses penerapan aqidah dan syariah. Ibarat bangunan, akhlak mulia merupakan kesempurnaan dari bangunan tersebut setelah fondasi dan bangunannya dibangun dengan baik. Sumber akidah dan akhlak dalam ajaran Islam pada dasarnya berasal pada al-Qur‟an dan Sunnah nabi Muhammad SAW (Darmiyati Zuchdi, 2009: 86). Baik dan buruk dalam akhlak Islam ukuranya adalah baik dan buruk menurut kedua sumber itu, bukan baik dan buruk menurut ukuran manusia. Karena kebenaran dan keaslian al-Qur‟an sudah tidak diragukan lagi. Secara umum akhlak Islam dibagi menjadi dua, yaitu akhlak mulia (alakhlaq
al-mahmudah/al-karimah)
dan
akhlak
tercela
(al-akhlaq
al-
madzmumah/al-qabihah). Akhlak mulia harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan akhlak tercela harus dijauhi dan jangan sampai dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Akhlak bukan hanya teori tetapi juga pernah dipraktikkan oleh sejumlah manusia dalam suatu zaman, sehingga muncul sebagai penyelamat dunia dan pelopor peradaban. Ada sebuah syair yang digubah oleh Syauqi Bek yakni:
ِ ت أَ ْخ ََل قُ ُه ْم َذ َىبُ ْوا ْ َ فَِإ ْن ُى ْم َذ َىب, ت ْ ََوإََِّّنَا ْاْل َُم ُم ْاْلَ ْخ ََل ُق َما بَقي
“Suatu bangsa dikenal karena akhlaknya (budi pekerti), jika budi pekertinya telah runtuh maka runtuhlah bangsa itu”. (Mansur, 2007: 230) Hal itu menunjukkan betapa pentingnya akhlak sebagai karakter bangsa,
bila mereka masih menginginkan eksis di dunia (Mansur, 2007: 230). Artinya bahwa bangsa akan jaya jika warga negaranya terdiri atas masyarakat yang 2
berakhlak luhur. Sebab yang menyebabkan kehancuran dan kejahatan itu memang bukan kurangnya ilmu melainkan kurangnya akhlak. Tujuan utama pendidikan akhlak adalah agar manusia berada dalam kebenaran dan senantiasa berada di jalan yang lurus, jalan yang telah digariskan oleh Allah. Inilah yang akan mengantar manusia kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Akhlak seseorang akan dianggap mulia jika perbuatannya mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur‟an dan Sunnah. Adapun alasan peneliti mengambil surat Maryam ayat 41-42 bahwa di dalam surat ini diceritakan kisah nabi Ibrāhīm, yaitu seorang yang sangat benar sikap, ucapan, dan perbuatnya, serta nabi Ibrāhīm ini merupakan seseorang yang memiliki tauhid yang baik. Akhlak nabi Ibrāhīm ini di akui di dalam alQur‟an dan menjadi pedoman terutama bagi orang tua dan pendidik. Diharapkan pendidik dan orang tua mencontoh serta dapat mengaplikasikan dalam pendidikan anak. Apalah arti seorang anak pintar dan cerdas tapi tidak memiliki hati nurani, angkuh, sombong, tidak mensyukuri nikmat Allah, durhaka kepada orang tua dan menganggap orang lain tidak ada apa-apanya. Pendidik dan orang tua diharapkan mampu untuk mencontoh pendidikan akhlak yang terdapat dalam al-Qur‟an surat Maryam ayat 41-42. Hal tersebut yang mendorong penulis untuk menyusun skripsi dengan judul PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR‟AN SURAT MARYAM AYAT 41-42. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, pokok permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 3
1. Bagaimana akhlak dan pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an? 2. Bagaimana isi pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an surat Maryam ayat 41-42 dan aktualisasinya dalam pendidikan karakter? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui akhlak dan pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an. 2. Mengetahui isi pendidikan akhlak yang terdapat dalam al-Qur‟an surat Maryam ayat 41-42 dan aktualisasinya dalam pendidikan karakter. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi beberapa manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu:
1. Manfaat Teoritis Memberi sumbangan pemikir bagi ilmu pendidikan Islam pada umumnya dan pendidikan akhlak pada khususnya terutama mengenai konsep pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an dan pendidikan akhlak yang terkandung surat Maryam 41-42. 2. Manfaat Praktis Memberi masukan kepada pendidik, pemikir dimasa mendatang atau manusia seluruhnya dalam mensosialisasikan pendidikan akhlak
di
masyarakat sesuai dengan aturan ajaran agama Islam. Begitu juga peran
4
keluarga dan orang tua sangat dibutuhkan, sehingga tujuan pendidikan akhlak dapat tercapai yaitu akhlak-akhlak yang mulia. E. Penegasan Istilah Untuk menghindari adanya kemungkinan penafsiran yang salah tentang istilah-istilah yang digunakan dalam judul penelitian, maka penulis perlu untuk menjelaskan istilah-istilah yang terdapat dalam judul ini, antara lain: 1. Pendidikan Akhlak Pendidikan berasal dari kata dasar “didik” yang mendapat awalan pe dan akhiran an, yang berarti suatu perbuatan untuk memelihara, memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan). Dalam mendidik juga akan dihasilkan suatu “didikan” yang berarti hasil mendidik yang berupa manusia atau hewan yang dididik, ini semua berhubungan erat dengan “pendidik” yaitu orang yang mendidik. Jadi, pendidikan dalam KBBI adalah suatu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan yang berupa proses, cara, dan perbuatan mendidik (KBBI, 2000: 263). Pendidikan adalah suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara efektif dan efisien (Azyumardi Azra, 2012: 4). Dengan pendidikan, maka akan dihasilkan kualitas manusia yang memiliki kehalusan budi dan jiwa, dan memiliki kesadaran penciptaan dirinya. Kata akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu “khuluqun” ( ( ُخلُقjuga diartikan sebagai budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Akhlak 5
secara bahasa berasal dari kata khalaqa (ق َ َ)خَ ل. Kalimat tersebuat mengandung persesuaian dengan perkataan “khalqun” ( ( َخ ْلقyang berarti kejadian, serta berhubungan erat dengan “Khāliq” ( ( َخبلِ ْقyang berarti pencipta dan “makhluq” ( ( َم ْخلُو ْقyang bebarti yang diciptakan (Zahruddin, 2004: 1) Sedangkan pengertian akhlak menurut Al-Ghazali dalam kitab Ihya‟ Ulum al-Din yakni:
ِ ٍ ِ ُ عْن ها تَص ُدر ْاْلَفْ ع,ٌس ر ِاسخة ٍ ِ ْ َف اج ٍة إِ ََل َ ُ ْ َ َ َ َ ِ اْلُلُ ُق عبَ َارةٌ َع ْن َىْيئَة ِِف النَّ ْف َ ال ب ُس ُه ْولَة َويُ ْس ٍرم ْن َغ ِْْي َح .فْ ْك ٍر َوُرْؤيٍَة
“Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”. (Imam al-Ghazali, 2003: 53) Dengan demikian bila ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud akhlak pada pembahasan dalam penelitian ini terdiri dari: a. Akhlak mengenai hubungan manusia dengan manusia sebagai ciptaan (hablumminannas).
b. Akhlak dalam hubungannya manusia dengan Allah sebagai pencipta (hablumminallah). Pendidikan akhlak adalah usaha sadar dan tidak sadar yang dilakukan oleh seorang pendidik untuk membentuk kepribadian yang baik pada seorang anak didik baik dari segi jasmani maupun rohani, sehingga terbentuk
manusia
yang
taat
kepada
Allah.
(http://skripsi-
tarbiyahpai.blogspot.co.id/2015/01/pengertian-pendidikan-akhlakmenurut.html. 10.00.13062016). 2. Al-Qur‟an 6
Ditinjau dari bahasa, al-Qur‟an berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk jamak dari kata benda (masdar) dari kata qara‟a – yaqra‟u – qur‟anan ( قرانب- )قرأ – ٌقرأyang berarti bacaan atau sesuatu yang dibaca berulang-ulang (Mahmud Yunus, 2010: 335). Kosep pemakaian kata tersebut dapat dijumpai pada salah satu surah al-Qur‟an yaitu surat alQiyāmah ayat 17-18:
(ٔٛ) ُٔ(فَِإ َذا قَ َرأْنَاهُ فَاتَّبِ ْع قُ ْرآنَوٚ)ُإِ َّن َعلَْي نَا َجَْ َعوُ َوقُ ْرآنَو
“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. al-Qiyāmah: 17-18) Al-Qur‟an secara istilah yaitu firman Allah yang bersifat (berfungsi) mukjizat (sebagai bukti kebenaran atas kenabian Muhammad) yang diturunkan kepada nabi Muhammad, yang tertulis di dalam mushaf-mushaf, yang dinukil (diriwayatkan) dengan jalan mutawatir, dan yang membacanya dipandang beribadah (Masjfuk Zuhdi, 1997: 1). Al-Qur‟an yang diberikan Allah kepada nabi Muhammad di dalamnya mengajarkan berbagai prinsip dalam hidup, diantaranya aqidah, akhlak, muamalah, pendidikan dan sebagainya. Maryam adalah seorang hamba Allah yang taqwa dan memperoleh rahmad dari-Nya. Surat ini dinamakan Maryam, karena mengandung kisah Maryam, ibu dari nabi Isā AS. Surat ini menceritakan kelahiran yang ajaib, dimana ia melahirkan Isā AS sedang ia belum pernah digauli oleh seorang laki-laki. Kelahiran Isā AS tanpa ayah merupakan suatu bukti kekuasaan Allah (Departemen Agama RI, 2009: 34). 7
Dalam surat Maryam 41-42 ini juga diceritakan kisah nabi Ibrāhīm, yaitu seorang nabi yang sangat benar sikap, ucapan, dan perbuatanya. Sifat baik Ibrāhīm menekankan pada pendidikan akhlak dan tauhid. Adapun QS. Maryam ayar 41-42 tersebut yaitu:
ِ ِ ِ ِ ِ واذْ ُكرِِف الْ ِكت ِ ال ِالَبِي ِو ياَب ِ ت ِِلَ تَ ْعبُ ُد َم َاال يَ ْس َم ُع َوَال َ َّ ِ انَّوُ َكا َن صدِّيْ ًقان,ب ابْ َرىْي َم َ َ ْ َ ََِّب (ٔٗ) ا ْذق ْ َ ِ يب )ٕٗ( ك َشْيئًا َ ص ُر َوَاليُ ْغ ِ ِْن َعْن ُْ
41. Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrāhīm di dalam Al Kitab (AlQur‟an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat mencintai kebenaran dan seorang Nabi. 42. (Ingatlah) ketika ia (Ibrāhīm) berkata kepada bapaknya; "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?. (QS. Maryam: 41-42). Penulis membatasi surat Maryam beberapa ayat, dalam hal ini yang dimaksud adalah ayat 41-42 karena ayat tersebut ada kaitanya dengan pendidikan akhlak, F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library research), karena semua yang digali adalah bersumber dari pustaka (Sutrisna Hadi, 1981: 9). Penelitian kepustakaan adalah penelitian dengan mencari dan membandingkan naskah atau pendapat para ahli tafsir dan ahli pendidik tentang pendidikan akhlak. 2. Sumber Data Sumber data di sini penulis golongkan menjadi dua macam yaitu: a. Sumber Data Primer
8
Yang dimaksud sumber data primer di sini kitab-kitab tafsir, alQur‟an yang membahas pokok permasalahan secara langsung yang dijadikan acuan penulis untuk membuat skripsi. b. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder yang penulis maksud adalah buku-buku yang membahas pokok permasalahan secara tidak langsung. Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku karangan ilmiah, majalah, artikel yang berhubungan dengan pokok permasalahan. 3. Metode Analisis Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan atau mengadakan penelitian kepustakaan (library research), maka metode yang digunakan untuk membahas sekaligus sebagai kerangka pikir pada penelitian adalah sebagai berikut: a. Metode Tafsir Maudhu‟i Metode tafsir maudhu‟i (tematik) adalah metode yang ditempuh seorang mufassir dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur‟an yang berbicara tentang satu masalah/ tema (maudhu‟) serta mengarah kepada satu pengertian dan satu tujuan, sekalipun ayat-ayat itu (cara) turunnya berbeda, tersebar pada berbagai surat dalam alQur‟an dan berbeda pula waktu dan tempat turunnya (Said Agil Husin Al Munawar, 2002: 73). Kemudian ia menentukan ayat-ayat itu sesuai dengan masa turunnya,
mengemukakan 9
sebab
turunnya
sepanjang
hal
itu
dimungkinkan (jika ayat-ayat itu turun karena sebab tertentu), menguraikanya dengan sempurna menjelaskan makna dan tujuannya, mengkaji terhadap seluruh segi dan apa yang dapat diistinbatkan darinya, segi i‟rabnya, unsur-unsur balaghahnya, segi-segi i‟jaznya (kemu‟jizatanya) dan lain-lain. Namun penulis hanya membatasi dua ayat saja dalam pembahasan ini, yaitu dalam surat Maryam ayat 41-42. Dalam kaitanya dengan pendidikan akhlak, disini dapat kita lihat ayat-ayat tentang pendidikan akhlak cukup banyak tersebut baik di tengah-tengah surat Makiyyah maupun Madaniyah. Seorang penafsir dapat mengikuti runtutan ayat yang sudah tersusun dengan mengemukakan munasabah dan asbabun nuzul dan dalil-dalil
yang
relevan
mengenai
pendidikan
akhlak,
lalu
menjelaskannya dan menarik kesimpulan makna yang dimaksud dengan yang memperkuat ide atau pendidikan akhlak berdasarkan argumentasi yang jelas. b. Metode Deskripsi Metode deskripsi adalah suatu metode penelitian dengan mendiskripsikan
realita-realita, fenomena sebagaimana adanya yang
dipilih dari prespektif subyektif (Winarno, 1989: 132). Maka penulis mendiskripsikan pemikiran al-Qur‟an khususnya surah Maryam ayat 4142. c. Metode Analisis
10
Metode
analisis
adalah
metode
yang
digunakan
untuk
menganalisis bab perbab guna mencari pendidikan akhlak yang terkandung dalam al-Qur‟an khususnya surat Maryam ayat 41-42 yang diperkuat oleh tafsir para mufassir. G. Kajian Pustaka Fungsi kajian pustaka adalah untuk mengemukakan hasi-hasil penelitian dahulu yang ada hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan. Adapun beberapa penelitian yang diakukan dan sejauh ini telah penulis ketahui adalah sebagai berikut: 1. Deden Indiarto, STAIN Salatiga, ekstensi jurusan PAI (2007), dengan judul skripsi “Pendidikan Akhlak dalam al-Qur‟an surat ad-Dhuha ayat 9 sampai 11”, menyimpulkan bahwa konsep pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an yaitu berupa tingkah laku atau perbuatan, dinilai baik dan buruk, terpuji dan tercela, semata-mata karena syara‟ (al-Qur‟an dan As-Sunnah). Contoh mengasihi anak yatim dan dermawan merupakan sifat terpuji. Begitu pula sebaliknya, mendzalimi anak yatim, kikir, merupakan sifat tercela. Nilai pendidikan akhlak dalam surat ad-Dhuha ayat 9-11 sebagai berikut: a) larangan menghardik anak yatim, b) larangan menolak dengan kasar orang yang meminta-minta, c) anjuran untuk bersyukur atas nikmat Allah. Para mufasir Ibnu Katsir dan Al-Maraghi bersepakat mengatakan bahwa surat ad-Dhuha diturunkan kepada Rasulullah sebagai hiburan untuknya, dan Allah akan memberi dua kabar gembira kepada Rasulullah, kabar pertama
11
bahwasanya Allah akan menambah kemuliaan beliau, dan yang dicitacitakan oleh Rasulullah. 2. Siti Nurismawandari, STAIN Salatiga, jurusan PAI (2012), dengan judul skripsi “Pendidikan Akhlak dalam al-Qur‟an dalam surat Luqman ayat 1219”. Menceritakan kisah hidup seorang hamba Allah yang bernama Luqman terkenal dengan sebutan Al-Hakim, yang merupakan seorang yang bijaksana , berilmu pengetahuan, pemahaman, perkataan serta perbuatan, sehingga dapat mengendalikan diri dari perbuatan jahat, dan bisa menempati sesuatu pada tempatnya. Luqman bukan seorang nabi, tetapi ia seorang hamba Allah yang banyak berbuat kebajikan, dan keyakinannya yang lurus, adapun pendidikan Luqman dalam mendidik anaknya antara lain: a) pendidikan bersyukur. b) pendidikan keimanan, c) pendidikan untuk berbakti kepada orang tua, d) pendidikan intelektual, e) pendidikan shalat, f) larangan takabur atau sombong, H. Sistematika Penelitian Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan menyeluruh maka diperlukan sebuah sistematika penulisan yang runtut dari satu bab ke bab yang selanjutnya. Sistematika sendiri memiliki arti suatu tata urutan yang saling berkaitan, saling berhubungan, dan saling melengkapi. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: Bab I pendahuluan akan dipaparkan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, metode penelitian, kajian pustaka, dan sistematika penulisan. 12
Bab II akan dikemukakan tentang pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an yang meliputi: pengertian akhlak, macam-macam akhlak, faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak, pengertian pendidikan akhlak, dasar pendidikan akhlak, tujuan pendidikan akhlak, ruang lingkup pendidikan akhlak, serta metode pendidikan akhlak. Bab III dikemukakan tentang tafsir al-Qur‟an surat Maryam ayat 41-42, yang sebelumnya juga dikemukakan jenis-jenis tafsir, kisah nabi Ibrāhīm AS, Asbābun nuzūl surat Maryam, baru kemudian analisis surat Maryam ayat 41-42. Bab IV akan dikemukakan tentang pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an dan pendidikan akhlak yang terdapat dalam surat Maryam ayat 41-42 dan aktualisasinya dalam pendidikan karakter. Bab V akan dikemukakan tentang penutup, berisi tentang kesimpulan, saran-saran, dan penutup.
13
BAB II LANDASAN TEORI RUANG LINGKUP PENDIDIKAN AKHLAK A. Akhlak 1. Pengertian Akhlak Secara bahasa kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab, yaitu khuluqun ( ( ُخلُقyang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Berakar dari kata khalaqa (ق َ َ )خَ لyang berarti menciptakan, seakar dengan kata Khāliq ()خَ بلِ ْق yang berarti pencipta, makhlūq ( ) َم ْخلُو ْقyang berarti diciptakan, dan khalq () َخلق yang berarti penciptaan (Zahruddin, 2004: 1). Al-Ghazali menjelaskan bahwa akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa, dari sifat itu timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran lebih dulu (Imam al-Ghazali, 2003: 53). Pendapat Al-Ghazali hampir sama dengan pendapat Ibn Miskawaih, bahwa akhlak adalah sesuatu dalam jiwa yang mendorong seseorang mempunyai potensi-potensi yang sudah ada sejak lahir (Yunahar Ilyas, 2007: 2). Menurut Ahmad Amin akhlak adalah kehendak yang dibiasakan. Artinya, kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak (Zahruddin RR, 2004: 4). Sedangkan menurut Abdullah Dirroj, akhlak adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak 14
berkombinasi membawa kecenderungan pada pilihan pihak yang benar (dalam hal akhlak yang baik) atau pihak yang jahat (dalam hal akhlak jahat) (Mansur, 2007: 223). Jadi, akhlak menurut pendapat penulis adalah suatu perbuatan yang dimiliki manusia sejak lahir dan menjadi sebuah kebiasaan yang mantap. Akhlak diartikan sebagai tata krama, yaitu ilmu yang berusaha mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberi nilai kepada perbuatan baik atau buruk sesuai norma-norma dan tata susila. 2. Macam-Macam Akhlak Pada dasarnya akhlak manusia itu ada dua macam, yaitu akhlak yang terpuji (al-akhlaq al-mahmudah) dan akhlak yang tercela (al-akhlaq almazmumah) (Mansur, 2007: 238). a. Akhlak Yang Terpuji (Al-Akhlaq Al-Mahmudah) Akhlak terpuji adalah perbuatan-perbuatan baik yang datang dari sifat-sifat batin yang ada dalam hati menurut syara‟. Sifat-sifat itu biasanya disandang oleh para Rasul, anbiya, aulia, dan orang-orang salih. Adapun syarat-syarat diterima tiap amal salih itu dilandasi dengan sifat-sifat terpuji juga antara lain sebagai berikut: 1) Ikhlas, artinya beramal karena Allah. 2) Wara‟, artinya meninggalkan setiap hal yang haram atau yang ada subhatnya. 3) Zuhud, artinya meninggalkan tamak dan meninggalkan yang bagusbagus dari kelezatan dunia baik berupa makanan, minuman, rumah, dan lain-lain. 15
b. Akhlak Yang Tercela (Al-Akhlaq Al-Mazmumah) Sifat tercela menurut syara‟ dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya yaitu sifat-sifat ahli maksiat pada Allah. Sifat-sifat itu sebab tidak diterimanya amalan-amalan manusia, antara lain: 1) Ujub, yakni melihat kebagusan dan kebajikan diri sendiri dengan ajaib hingga dia memuji akan dirinya sendiri. 2) Takabur, yakni membesarkan diri atas yang lain dengan pangkat, harta, ilmu, dan amal. 3) Riya‟, yakni beramal dengan tujuan ingin mendapatkan pangkat, harta, nama, pujian, sebagai lawan dari ikhlas. 4) Hasad, yakni dengki, suka harta dunia baik halal maupun haram, lawan dari wara‟ dan zuhud. Akhlak tercela lainya adalah mengumpat, namimah, main judi, mencuri, mendengarkan bunyi-bunyian yang haram, melihat sesuatu yang haram, dan bid‟ah.
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Akhlak Faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak, merupakan faktor penting yang berperan dalam menentukan baik dan buruknya tingkah laku seseorang (Ali Mas‟ud, 2012: 39). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak, meliputi: a. Instink (Naluri)
16
Instink (naluri) adalah pola perilaku yang tidak dipelajari, mekanisme yang dianggap ada sejak lahir dan juga muncul pada setiap spesies (A. Budiarjo, 1987: 208-209). Dari definisi di atas, dapat ditarik pengertian bahwa setiap kelakuan manusia, lahir dari suatu kehendak yang digerakkan oleh naluri. Naluri merupakan tabiat yang dibawa manusia sejak lahir, jadi merupakan suatu pembawaan asli manusia. Naluri dapat mendatangkan manfaat dan mendatangkan kerusakan, tergantung cara pengekspresiannya. Naluri makan misalnya, jika diperturutkan begitu saja dengan memakan apa saja tanpa melihat halal haramnya, juga cara mendapatkanya sesuai dengan keinginan hawa nafsu, maka pastilah akan merusak diri sendiri. Islam mengajarkan agar naluri ini disalurkan dengan memakan dan meminum barang yang baik, halal, suci, dan tidak memperturutkan hawa nafsu. Sebagaimana firman Allah:
ِ ِ ض ح ََلًال طَيِّبا وَالتَتَّبِعوا حطُو ِ َات الشَّيط ي ٌْ ِان إِنَّوُ لَ ُك ْم َع ُد ُّو ُّمب ْ َ ِ َّاس ُكلُ ْوا ِمَّا ِِف ْاالَْر َ ُ ُْ َ َ ُ يَا أَيُّ َها الن
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik, dari apa yang ada di bumi, dan jangan lah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (QS. AlBaqarah: 168) b. Keturunan Keturunan adalah kekuatan yang menjadikan anak menurut gambaran orang tua. Ada yang mengatakan turunan adalah persamaan antara cabang dan pokok. Ada pula yang mengatakan bahwa turunan adalah yang terbelakang mempunyai persediaan persamaan dengan terdahulu (Rahmad Djatmika, 1985: 76).
17
Seperti halnya doa nabi Zakariā kepada Allah agar diberi anak yang baik, yang terdapat dalam surat Ali-„Imrān ayat 38:
ِ ِ َ ك ذُِّريَّةً طَيِّبةً إِن ُّعاء َ َك َد َعا َزَك ِريَّا َربَّوُ ق ِّ ال َر َ ْب ِِل ِمن لَّ ُدن َ ُىنَال َ يع الد َ ُ َّك ََس ْ ب َى
“Di sanalah Zakariya mendo'a kepada Tuhannya seraya berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do'a". (QS. Ali-„Imrān: 38) Sifat-sifat yang diturunkan oleh orang tua kepada anaknya, pada garis besarnya ada dua macam: 1) Sifat Jasmaniah. Yakni kekuatan dan kelemahan otot dan urat syaraf orang tua dapat diwariskan kepada anak-anaknya. Orang tua yang kekar ototnya, kemungkinan mewariskan kekekaran itu pada anak cucunya, misalnya orang-orang Negro. Dan orang tua yang lemah fisiknya, kemungkinan mewariskan pula kelemahan itu pada anak cucunya. 2) Sifat Rohaniah. Yakni lemah atau kuatnya suatu naluri dapat diturunkaan pula oleh orang tua yang kelak mempengaruhi tingkah laku anak cucunya. c. Lingkungan Lingkungan
adalah
segala
sesuatu
yang
melingkupi
atau
mengelilingi individu sepanjang hidupnya (Hamzah Ya‟qub, 1993: 71-72). Karena luasnya pengertian “segala sesuatu” itu maka dapat disebut: lingkungan fisik dan lingkungan psikologis. Lingkungan fisik yang meliputi rumahnya, orangtuanya, sekolahmya, teman-temannya, dan sebagainya. sedangkan lingkungan spikologis seperti aspirasinya, cita-citanya, masalahmasalah yang dihadapinya, dan lain sebagainya. 18
Faktor lingkungan dipandang cukup menentukan bagi pematangan watak dan kelakuan seseorang. Hal ini sejalan dengan penjelasan Allah dalam al-Qur‟an:
قُ ْل ُك ُّل يَ ْع َم ُل َعلَى َشاكِلَتِ ِو فَ َربُّ ُك ْم أ َْعلَ ُم ِِبَ ْن ُى َو أ َْى َدى َسبِْي ًَل
“Katakanlah: tiap-tiap orang berbuat menurut keadaan masing-masing. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalanya”. (QS. AIsrā‟ [17]: 84) Sabda nabi Muhammad yang diriwayatkan At-Tirmidzi:
ِ اِتَّ ُق اللَ َحْيثُ َما:صلَّى اللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َ َ ق:ال َ ََع ْن أَِب َذر الْغِ َفا ِري َر ِض َي اللُ َعْنوُ ق َ ال َر ُس ْو ُل الل ِ ِ ْ السيِّئ ِة ِ . اس ِبُلُ ٍق َح َس ٍن َ َّ َوأَتْب ُع، ت َ ُكْن ُ َّ َو َخالَ َق الن،الَ َسنَة تُْح َها
dari Abi Dzar Al Ghifari r.a. berkata, sabda Rasulullah SAW: “Bertaqwalah kepada Allah dimanapun kamu berada, dan ikutlah perbuatan buruk dengan perbuatan baik maka akan menghapuskanya, dan bergaullah dengan manusia dengan sebaik-baik pergaulan”. (HR. AtTirmidzi no.1987) d. Kebiasaan Salah satu faktor penting dalam akhlak manusia adalah kebiasaan. Kebiasaan adalah perbuatan yang selalu diulang-ulang sehingga mudah dikerjakan. Sebuah adat istiadat yang dilakukan dalam kehidupan seharihari selalu menimbulkan dampak positif dan bisa juga dampak negatif, tapi nilai adat tersebut tetap berfungsi sebagai pedoman manusia untuk hidup bersama masyarakat dimana ia tinggal. Apabila adat kebiasaan telah lahir dalam suatu masyarakat ataupun pada diri seseorang, maka sifat dari adat itu sendiri adalah: 1) Mudah melakukan apapun pekerjaan yang sudah biasa dikerjakan tersebut.
19
2) Tidak memakan waktu lama dan perhatian berlebihan dari sebelumnya (Istighfarotun Rahmaniyah, 2010: 98-99) e. Kehendak Kehendak merupakan faktor yang menggerakkan manusia untuk berbuat dengan sungguh-sungguh. Seseorang dapat bekerja sampai larut malam, dan pergi menuntut ilmu di negeri seberang berkat kekuatan kehendak. Kehendak ini mendapatkan perhatian khusus dalam lapangan etik, karena itulah yang menentukan baik buruknya suatu perbuatan, dari kehendak inilah menjelma niat yang baik dan memburuk, sehingga perbuatan atau tingkah laku manusia menjadi baik dan buruk karena kehendaknya. Menurut Hamzah Ya‟qub (1993: 74) bahwa kadang-kadang kehendak itu terkena penyakit sebagaimana halnya tubuh kita, antara lain: 1) Kelemahan Kehendak Seseorang mudah menyerah kepada hawa nafsu, kepada lingkungan atau kepada pengaruh yang jelek. Kelemahan kehendak ini melahirkan kemalasan dan kelemahan dalam perbuatan. 2) Kehendak Yang Kuat Tetapi Salah Arah Yaitu pada pola hidup yang merusak dalam berbagai bentuk kedurhakaan dan kerusakan. Misalnya, kehendak orang merampok seorang hartawan. f. Pendidikan 20
Pendidikan merupakan faktor penting yang memberikan pengaruh dalam pembentukan akhlak. Pendidikan turut mematangkan kepribadian manusia sehingga tingkah lakunya sesuai dengan pendidikan yang telah diterimanya. Seperti halnya firman Allah dalam al-Qur‟an surat al-Mujādilah ayat 11:
ٍ ي رفَ ِع اللَّو الَّ ِذين آمنُوا ِمن ُكم والَّ ِذين أُوتُوا الْعِْلم درج ات َواللَّوُ ِِبَا تَ ْع َملُو َن َخبِ ٌْي َ ََ َ َ َ ُ َْ َ َْ
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujādilah: 11) Sistem perilaku atau akhlak dapat dididikkan atau diteruskan dengan menggunakan sekurang-kurangnya dua pendekatan: 1) Rangsangan-jawaban (stimulus-response) atau yang disebut proses mengkondisi, sehingga terjadi automatisasi, dan dapat dilakukan dengan melalui latihan, tanya jawab, dan mencontoh. 2) Kognitif yaitu penyampaian informasi secara teoritis, yang dapat
dilakukan dengan cara melalui dakwah, ceramah, diskusi, dan lain-lain (Zakiah Daradjat, 1990: 545-555). B. Pendidikan Akhlak 1. Pengertian Pendidikan Akhlak Pendidikan akhlak terbentuk dari dua suku kata yaitu “pendidikan” dan “akhlak”, dan untuk memudahkan dan memahami pengertian pendidikan akhlak membutuhkan terlebih dahulu pemahaman akan dua kata tersebut. Dalam pendidikan banyak sekali para ahli berpendapat 21
dalam mengartikan kata
pendidikan, baik para ahli pendidikan barat maupun para ahli pendidikan Islam. Sedangkan pendidikan dalam KBBI adalah suatu proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan yang berupa proses, cara, dan perbuatan mendidik (KBBI, 2000: 263). Sedangkan dalam bahasa Arab “pendidikan” sama dengan “At-Tarbiyyah”, kata At-Tarbiyyah berasal dari tiga bentuk “rabā-yarbū” yang berarti bertambah tumbuh (Mahmud Yunus, 1989: 20). Kata kedua “robaya” yang berarti mendidik, mengajar, mengasuh, dan yang ketiga adalah kata “rabba-rabaya” yang berarti mengasuh, mendidik, mengemong (Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, 2002: 952). Merujuk pada ayat dalam al-Qur‟an:
ِ واخ ِفض ََلما جناح صغِْي ًرا ِّ الر ْْحَِة َوقُ ْل َّر َّ الذ ِّل ِم َن َ ب ْارْحَْ ُه َما َك َما َربَّيَا ِِن َ َ َ َُ ْ ْ َ
“ya Allah, sayangilah keduanya (orang tuaku) sebagaimana mereka telah mengasuhku (mendidikku) sejak kecil”. (QS. Al-Isrā‟: 24) Sementara ahli pendidik Islam menyatakan bahwa “Tarbiyah” adalah proses menyadarkan manusia agar dapat mewujudkan penghambaan diri kepada
Allah SWT. Baik secara individu maupun bersama-sama (Cahyadi Takariawan, 2003: 137). Menurut Langeveld pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan, dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih cepat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri (Hasbullah, 2009: 2). Pendidikan akhlak adalah proses mengarahkan atau mendidik manusia mengenai ajaran baik dan buruk agar tercapai tujuan yang dicita-citakan, yaitu 22
bahagia di dunia dan akhirat. Pendidikan akhlak adalah suatu usaha yang disengaja, memberikan bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan ajaran Islam yang berupa penanaman akhlak mulia, latihan moral, fisik sehingga menghasilkan perubahan dalam hidup meliputi kebiasaan, tingkah laku, berfikir, dan bersikap dalam membentuk kepribadian yang mulia. 2. Dasar Pendidikan Akhlak Dasar pendidikan akhlak adalah al-Qur‟an dan Hadist, karena akhlak merupakan sistem moral yang bertitik pada ajaran Islam. Al-Qur‟an dan hadist sebagai pedoman hidup umat manusia menjelaskan kriteria baik dan buruknya suatu perbuatan (Abu Ahmad dan Noor Salimi, 1994: 199). Al-Qur‟an sebagai dasar akhlak menjelaskan tentang kebaikan Rasulullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umat manusia. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. AlAhzāb, 21:
ِ ِ ِ ِ َُس َوةٌ َح َسنَةٌ ل َم ْن َكا َن يَ ْر ُج ْوا اللَّوَ َوالْيَ ْو َم الْيَ ْوَم ْاْلَخَر َوذَ َكَر اللَّو ْ لََق ْد َكا َن لَ ُك ْم ِ ِْف َر ُس ْول اللَّو أ َكثِْي َرا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.(QS. Al-Ahzāb: 21)
Mengenai landasan atau dasar pendidikan akhlak telah dijelaskan dalam al-Qur‟an surat Maryam ayat 41-42 yang berisikan tentang teladan baik nabi Ibrāhīm, jelasnya yaitu:
ِ ِ ِ ِ ِ واذْ ُكرِِف الْ ِكت ِ ال ِالَبِي ِو ياَب ِ ت ِِلَ تَ ْعبُ ُد َم َاال يَ ْس َم ُع َوَال َ َّ ِ انَّوُ َكا َن صدِّيْ ًقان,ب ابْ َرىْي َم َ َ ْ َ ََِّب (ٔٗ) ا ْذق ْ َ ِ يب )ٕٗ( ك َشْيئًا َ ص ُر َوَاليُ ْغ ِ ِْن َعْن ُْ
41. Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrāhīm di dalam Al Kitab (AlQur‟an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat mencintai kebenaran dan seorang Nabi. 23
42. (Ingatlah) ketika ia (Ibrāhīm) berkata kepada bapaknya; "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?. (QS. Maryam: 41-42) Dasar pentingnya akhlak dalam as-Sunnah dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabdanya:
ِ َّْإَّنَا بعِث َخلَ ِق ْ ت ْلَُتِّ َم َم َكا ِرَم ْاْل ُ ُ
“sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (HR.Ahmad dan Baihaqi) (Imam Ahmad Ibn Hanbal, 1991: 504)
Dari ayat-ayat al-Qur‟an dan as-Sunnah di atas, menunjukkan bahwa dasar dan pijakan pendidikan akhlak adalah al-Qur‟an dan Sunnah nabi. Dari dasar dan pedoman itulah dapat diketahui kriteria suatu perbuatan itu baik ataupun buruk. 3. Tujuan Pendidikan Akhlak Al-Qur‟an menegaskan bahwa tujuan pendidikana akhlak adalah membina manusia. Secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya, untuk membangun konsep yang di tentukan Allah. Manusia yang dibina adalah akhlak makhluk yang memiliki unsur material (jasmani) dan inmaterial (akal dan jiwa), pembinaan akal menghasilkan menghasilkan ilmu, sedangkan pembinaan jiwanya menghasilkan kesucian dan akhlak mulia, dan pembinaan jasmaninya menghasilkan ketrampilan (Slamet Untung, 2007: 107). Dalam konteks ini secara tegas menjelaskan bahwa apapun aktifitas yang dilakukan oleh manusia tidak dapat lepas dari tujuan dan penghambaan kepada Allah. Hal ini sebagaimana tertuang dalam surat al-An‟ām, 162:
24
ِ ِّ قُل إِ َّن صَلَِِت ونُس ِكي وََْمياي وِمََ ِاِت لِلّ ِو ر ي َ ب الْ َعالَم َ ََ َ َ ُ َ َ ْ
“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An‟ām: 162) Adapun tujuan pendidikan akhlak menurut pendapat beberapa tokoh diantaranya: a) Mahmud Yunus Tujuan pendidikan akhlak yaitu membentuk putra-putri yang berakhlak mulia, berbudi luhur, bercita-cita tinggi, kemauan keras, beradab, sopan santun, baik tingkah lakunya, tutur bahasanya jujur dalam segala perbuatan, suci murni hatinya (Mahmud Yunus, 1996: 22). b) Oemar M. At Taumy Asy-Syaibany Tujuan pendidikan akhlak adalah menciptakan kebahagiaan dunia dan
akhirat,
kesempurnaan
jiwa
bagi
individu
dan
menciptakan
kebahagiaan, kemajuan, kekuatan, dan keteguhan bagi masyarakat (Oemar M. At Taumy Asy-Syaibany, 1979: 346). c) M. Athiyah al-Abrasyi Tujuan pendidikan akhlak adalah membentuk orang-orang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku dan perangai, bersifat bijaksana, beradab, ikhlas, jujur, dan suci (M. Athiyah al-Abrasyi, 1970: 1-2). d) Anwar Masy‟ari Tujuan pendidikan akhlak adalah untuk mengetahui perbedaan perangai manusia yang baik dan yang jahat, agar manusia memegang teguh perangai-perangai yang baik dan menjauhi perangai-perangai yang jelek, sehingga terciptalah tata tertib dalam pergaulan masyarakat, tidak saling 25
membenci, tidak saling mencurigai, serta tidak ada persengketaan diantara hamba Allah (Anwar Masy‟ari, 2007: 5). Adapun tujan utama pendidikan akhlak adalah agar manusia berada dalam kebenaran dan senantiasa berjalan di jalan yang lurus yaitu jalan yang diridhai oleh Allah. Inilah yang akan mengantar manusia bahagia di dunia dan akhirat. Dari berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah terbinanya akhlak terpuji dan mulia sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah dan dapat tercapai keselamatan di dunia dan akhirat. C. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak Dalam garis besarnya, akhlak di bagi menjadi dua bagian yaitu, akhlak terhadap Allah (yang menciptakan) dan makhluk (yang diciptakan) (Zubaedi, 2011: 66). Adapun uraian sebagai berikut: 1. Akhlak Terhadap Allah SWT Akhlak kepada Allah merupakan esensial dari pada akhlak-akhlak yang lain. Akhlak terhadap Allah merupakan tolak ukur keberhasilan dalam memahami dan melaksanakan nilai-nilai akhlak yang lainnya. Jika akhlak terhadap Allah lemah (kualitas rendah), maka akan mempengaruhi kualitas akhlak lainya. Dengan demikian, untuk menjalani proses hidup dengan baik, manusia perlu menjalin hubungan (bertakarub) secara harmonis dengan pencipta (al-Khaliq), sehingga perjalanan kehidupan manusia senantiasa mendapat bimbingan dan petunjuk dari Allah. Manusia harus mensyukuri nikmat yang di berikan Allah kepadanya serta malu kepada-Nya ketika akan berbuat maksiat, bertaubat dengan benar, 26
bertawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat-Nya, takut akan siksaan-Nya, itulah yang dinamakan akhlak kepada Allah. Ketika manusia konsisten dan menjaga akhlak kepada Allah dengan baik, maka manusia akan di tambah derajatnya, kedudukan semakin tinggi, dan kemuliaan yang agung. Sehingga manusia akan mendapatkan perlindungan dari Allah. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 163:
ِ َّ الر ْْحن ِ ِ ِ ِ ِ يم ُ َ َّ َوإلَ ُه ُك ْم إلَوٌ َواح ٌد الَّ إلَوَ إالَّ ُى َو ُ الرح
“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah: 163)
Ibadah secara umum meliputi segala perbuatan yang diizinkan oleh Allah. Manusia sebagai ciptaan Allah mempunyai kewajiban terhadap sang pencipta dan terhadap sesama manusia. Untuk ibadah dalam pengertian khusus artinya ibadah yang pelaksanaanya mempunyai tata cara tertentu. Dalam ajaran Islam, ibadah yang bersifat khusus antara lain: shalat, puasa, zakat, dan haji. Melalui ibadah manusia akan membangun kedekatan dengan sang pencipta. Sementara itu, termasuk bagian dari akhlak terhadap Allah yitu meminta tolong kepada Allah setelah terlebih dahulu melakukan ikhtiyar semaksimal mungkin. 2. Akhlak Terhadap Rasulullah SAW Setiap umat Islam yakin bahwa Muhammad adalah rasul Allah dan merupakan kewajiban bagi manusia untuk beriman kepada Allah dan para rasulNya. Iman bukan hanya sekedar percaya terhadap sesuatu yang diyakini, tetapi harus pula dibuktikan dengan amal perbuatan yang dijelaskan di dalam
27
al-Qur‟an dan hadist tentang bagaimana bersikap kepada Rasulullah. Itulah yang dinamakan akhlak terhadap rasulullah. Nabi Muhammad adalah manusia istimewa yang dipilih Allah yang harus dicintai, diikuti, dan ditaati oleh setiap muslim dan muslimah. Kedudukan sebagai nabi dan rasul inilah yang menjadikan nabi Muhammad mempunyai posisi tersendiri dibandingkan manusia lainnya. Diantara perilaku atau akhlak yang harus dilakukan oleh setiap manusia terhadap rasulullah ialah sebagai berikut: a. Menerima dan mengamalkan ajaran yang di bawanya.
ِ ِ يد الْعِ َق اب ُ الر ُس َّ َوَما آتَا ُك ُم ُ ول فَ ُخ ُذوهُ َوَما نَ َها ُك ْم َعْنوُ فَانتَ ُهوا َواتَّ ُقوا اللَّوَ إِ َّن اللَّ َو َشد
“Apa yang di berikan Rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumanya.” (QS. Al-Hasyr: 7) b. Mengikuti dan Mengamalkan Sunahnya Merupakan keharusan bagi umatnya yaitu umat Islam untuk mengikuti jejaknya baik dalam ibadah maupun akhlak, karena di sana ada jaminan dari Rasulullah, barang siapa yang mengikuti beliau akan dicintai Allah dan di ampuni dosanya. c. Mengucapkan Shalawat dan Salam Kepadanya. Adapun akhlak manusia terhadap Rasulullah antara lain: 1) Taat kepada rasulullah, mengikuti jejaknya, dan meniti jalanya dalam seluruh aspek dunia dan akhirat.
2) Cinta kepada rasulullah, hormat kepadanya, dan pengagungan kepadanya harus didahului daripada cinta kepada yang lain, hormat kepada yang lain, dan pengagungan yang lain, siapapun orangnya. 28
3) Mencintai siapapun yang dicintai rasulullah. Memusuhi siapa saja yang di musuhi oleh rasulullah, ridha dengan apa saja yang diridhainya, dan marah kepada apa yang dimarahi beliau. 4) Mengagungkan rasulullah, mengucap salawat dan salam untuknya, dan menghormati seluruh kelebihanya. 5) Membenarkan apa yang dijelaskan oleh rasulullah tentang persoalan dunia, dan masalah-masalah ghaib di kehidupan dunia atau kehidupan akhi rat. 6) Menghidupkan
sunah
rasulullah
mementingkan
syariatnya,
menyampaikan dakwahnya, dan melaksanakan wasiatnya. 7) Merendahkan suara di kuburanya, dan di masjid bagi orang yang mendapatkan kehormatan bisa menziarahi kuburanya. 8) Mencintai orang-orang salih, loyal kepada mereka karena kecintaannya rasulullah kepada mereka, marah kepada orang-orang fasik, dan memusuhi mereka, karena kemarahan beliau kepada mereka. 3. Akhlak Pada Diri Sendiri Orang muslim meyakini bahwa kebahagiaan di dunia, dan akhirat sangat di tentukan oleh sejauh mana pembinaan terhadap dirinya, perbaikan dirinya dan penyucian diirinya. Di dalam Islam, orang muslim dalam memperbaiki dirinya, pembinanya, dan membersihkan dengan menempuh jalan-jalan sebagai berikut: a. Taubat
29
Taubat adalah melepaskan diri dari semua dosa dan maksiat, menyesali semua dosa-dosa masalahnya, dan bertekad tidak kembali kepada dosa di sisa-sisa umurnya. Firman Allah:
َِ وتُوبوا إِ ََل اللَّ ِو َجيعاً أَيُّ َها الْ ُم ْؤِمنُو َن لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُحو َن ُ َ
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nuūr: 31) b. Muraqobah Muraqobah adalah merasa diawasi oleh Allah di setiap waktu kehidupan sehingga akhir kehidupanya, dan mengamati apa saja yang dikerjakan oleh semua jiwa. Firman Allah:
ِ ِ ِ َّ ِ َسلَم و ْجهوُ لل وُىو َُْم ِسن واتَّبع ِملَّةَ إِبْر ِاى يم ْ َوَم ْن أ َ َ ٌ َ َ َ َ َ ْ َح َس ُن ديناً ِِّم َّْن أ َ يم َحنيفاً َواَتَ َذ اللّوُ إبْ َراى َ َ ًَخلِيَل
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrāhīm yang lurus ? Dan Allah mengambil Ibrāhīm menjadi kesayanganNya.” (QS.An-Nisā: 125) c. Muhasabah (Evaluasi) Orang muslim mengadakan muhasabah (evaluasi) terhadap dirinya atas amal perbuatanya sepanjang siang harinya. Jika ia melihat dirinya kurang mengerjakan ibadah-ibadah wajib, ia mencela dirinya dan memarahinya, kemudian memaksa dirinya untuk melakukan ibadah-ibadah wajib tersebut dan memperbanyak ibadah-ibadah sunah. Jika manusia melihat banyak dosa yang terdapat pada dirinya, maka ia beristighfar, menyesali, bertaubat, dan mengajarkan amal shalih yang bisa memperbaiki 30
apa yang telah dirusak. Inilah yang dinamakan muhasabah terhadap dirinya sendiri. Allah berfirman:
ِ َّ َّ ت لِغَ ٍد َواتَّ ُقوا اللَّوَ إِ َّن اللَّ َو َخبِ ٌْي ِِبَا تَ ْع َملُو َن ْ َّم َ س َّما قَد َ يَا أَيُّ َها الذ ٌ ين َآمنُوا اتَّ ُقوا اللوَ َولْتَنظُْر نَ ْف
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 59) d. Mujahadah (Perjuangan) Orang muslim mengetahui bahwa musuh besarnya adalah hawa nafsu yang ada pada dirinya, bahwa watak hawa nafsu adalah condong
kepada keburukan , lari dari kebaikan, dan memerintahkan kepada keburukan seperti yang dikatakan Zulaikah dalam al-Qur‟an.
ِ الس ِ وء إِالَّ ما رِحم رِّب إِ َّن رِّب َغ ُف َّ ِ ِ ُ َوَما أُبَِّر يم ُّ ِس ْل ََّم َارةٌ ب ٌ ٌ ور َّرح َ َََ َ َ َ ئ نَ ْفسي إن النَّ ْف
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yūsuf: 53)
Selain itu, watak hawa nafsu ialah senang malas-malasan, santai, dan menganggur, serta larut dalam syahwat, kendati di dalamnya terdapat kecelakaan, dan membinasakan. Manusia harus mampu melawan hawa nafsu dan bertekat mengatasi seluruh perjuanganya melawan hawa nafsu. Menentang syahwatnya hingga dirinya menjadi tentram, bersih, dan menjadi baik. Itulah tujuan utama mujahadah (perjuangan) terhadap hawa nafsu. 4. Akhlak Manusia Kepada Sesama Manusia Ajaran sosial dan pembinaan akhlak dalam al-Qur‟an bertujuan untuk memperkuat kerjasama dalam lingkungan keluarga dengan mengatur anggota31
anggota keluarga melalui pembentukan kepribadian individu yang baik. Sebagai salah satu bagian dari masyarakat, untuk lebih jelasnya kondisi masyarakat itu ada beberapa uraian: a. Akhlak di Lingkungan Keluarga Setelah manusia lahir, maka akan terlibat dengan jelas fungsi keluarga dalam pendidikan, yaitu memberi pengalaman kepada anak, baik melalui pemeliharaan, pembinaan, dan pengaruh yang menuju pada terbentuknya tingkah laku yang diinginkan oleh orang tua. Orang tua (keluarga) merupakan pusat kegiatan rohani pada anak yang pertama, baik itu tentang sikap, cara berbuat, cara berfikir itu akan kelihatan. Keluarga juga sebagai pelaksana pendidikaan Islam yang akan mempengaruhi dalam pembentukan akhlak yang mulia. b. Akhlak di Lingkungan Tetangga atau Kerabat Tetangga mempunyai hak-hak atas dirinya, dan akhlak harus dijalankan terhadap tetangga mereka dengan sempurna, berdasarkan dalildalil berikut: Firman Allah:
ِ ِوبِالْوالِ َديْ ِن إِ ْحساناً وبِ ِذي الْ ُقرََب والْيَتَ َامى والْمساك ِ ُاْلُن ب ْ اْلَا ِر ْ اْلَا ِر ِذي الْ ُق ْرََب َو ْ ي َو َ ْ َ َ َ َ ََ َ
“Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anakanak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh”. (QS. An-Nisā‟: 36) c. Akhlak Kepada Manusia Secara Umum Terbentuknya suatu masyarakat manusia yang luas di mana satu sama lainnya saling melengkapi kebutuhan masing-masing, saling 32
menolong, saling komitmen dalam kebersamaan sehingga terwujudnya hubungan komunikasi yang harmonis serta tumbuh sikap persaudaraan. Manusia yang bersatu dan menggalang agar terciptanya kedamaian, ketentraman, dan kesejahteraan yang dapat menjadikan masyarakat yang diidamkan. 5. Akhlak Manusia Kepada Alam Sekitar Akhlak manusia terhadap alam bukan semata-mata untuk kepentingan alam, tetapi jauh dari itu untuk memelihara, melestarikan alam, dan sekaligus memakmurkan manusia. Alam dalam hal ini dipahami sebagai segala sesuatu yang berada di langit dan di bumi beserta isinya selain Allah. Manusia ditugaskan Allah menjadi khalifah (wakil) di bumi dengan diberikan kemampuan untuk mengelola dan mengolah alam semesta. Hubungan antara manusia dan alam bukan merupakan hubungan antara penakluk dan yang di tahlukkan atau antara tuan dan hambanya, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah. Hal ini karena kemampuan manusia dalam mengelola dan anugerah yang diberikan Allah kepada manusia. Firman Allah dalam surat Ali-„Imrān ayat 191:
ِ ِ َّ ِ السماو ِِ ِ ِ َّ ِ ات َواْل َْر ض َ َ َّ ين يَ ْذ ُك ُرو َن اللّ َو قيَاماً َوقُعُوداً َو َعلَ َى ُجنُوِب ْم َويَتَ َفك ُرو َن ِف َخ ْلق َ الذ ِ ربَّنَا ما خلَ ْقت ىذا ب ًاطَل َ َ َ َ َ َ
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.” (QS. Ali-„Imrān: 191) Manusia wajib untuk berakhlak kepada alam karena didasarkan pada alasan-alasan berikut: 33
a. Manusia hidup dan mati berada di alam (bumi). b. Alam merupakan salah satu hal pokok yang dibicarakan oleh al-Qur‟an. c. Allah memerintahkan kepada manusia untuk menjaga kelestarian alam. d. Allah memerintahkan kepada manusia untuk mengambil manfaat sebesarbesarnya dari alam, agar kehidupan menjadi makmur. e. Manusia berkewajiban mewujuddkan kemakmuran dan kebahagiaan di muka bumi. Berakhlak terhadap alam dapat dilakukan manusia dengan upaya-upaya pelestarian alam sebagai berikut: a. Melarang penebangan pohon secara liar. b. Melarang perburuan binatang secara liar. c. Melakukan reboisasi (penghijauan). d. Membuat cagar alam dan suakamargasatwa. e. Mengendalikan erosi dan lain-lain. D. Metode Pendidikan Akhlak Mendidik akhlak anak (peserta didik) merupakan pekerjaan yang bernilai tinggi dan paling penting, karena anak merupakan anugerah dari Allah bagi orang tuanya, dimana hatinya bersih dan suci bagaikan mutiara yang cemerlang dan jiwanya sedehana yang kosong dari segala lukisan dan ukiran. Anak-anak itu akan menerima segala sesuatu yang akan diukir padanya, serta condong kepada sesuatu yang mengotorinya. Jika ia dibiasakan dengan kebiasaan yang baik, maka ia akan tumbuh menjadi baik, dan ia akan hidup bahagia di dunia dan di akhirat, dan begitu pula sebaliknya (Ali al-Jumbulati, 2002: 152). Beberapa metode yang bisa 34
digunakan dalam rangka pendidikan akhlak menuju terwujudnya peserta didik berakhlak baik, antara lain: a. Metode Alami Sebagai berkat anugerah Allah, manusia diciptakan telah dilengkapi dengan akal, syahwat, dan nafsu. Semua anugerah tersebut berjalan sesuai dengan hajat hidup manusia yang diperlukan adanya keseimbangan. Metode alami ini adalah suatu metode akhlak yang baik diperoleh bukan melalui pendidikan, pengalaman ataupun latihan, tetapi diperoleh melalui insting atau naluri yang dimilikinya secara alami. Sesuai firman Allah SWT:
َّ ِ َّ ِ َّاس َعلَْي َها َ فطَْرَة اللو ال ِِت فَطََر الن
“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu”. (QS. Ar-Rūm: 30)
Pada dasarnya manusia mempunyai kecenderungan untuk berbuat baik, seperti halnya berakhlak baik. Sebab bila ia berbuat jahat, sebenarnya sangat bertentangan dan tidak dikehendaki oleh jiwa (hati) yang mengandung fitrah tadi. Meskipun demikian, metode ini tidak bisa diharapkan secara pasti tanpa adanya metode atau faktor lain yang mendukung, seperti pendidikan, pengalaman, latihan, dan lain-lain. Tetapi paling tidak metode alami ini jika dipelihara dan dipertahankan akan melakukan akhlak yang baik sesuai dengan fitrah dan suara hati manusia. Metode ini cukup efektif untuk menanamkan kebaikan pada anak, karena pada dasarnya manusia mempunyai potensi untuk berbuat kebaikan, tinggal bagaimana merawat dan menjaganya. b. Metode Langsung
35
Maksud dari metode langsung adalah dengan cara mempergunakan petunjuk, tuntunan, nasihat, menyebutkan manfaat dan bahayanya sesuatu. Kepada peserta didik dijelaskan mengenai hal-hal yang bermanfaat dan yang tidak, menuntunnya pada amal-amal salih, menolong mereka untuk berbudi pekerti yang tinggi dan menghindari hal-hal yang tercela. c. Metode Tidak Langsung Metode ini berjalan dengan cara memberikan sugesti, seperti mendiktekan sajak-sajak yang mengandung hikmat-hikmat kepada anak-anak, memberikan nasihat-nasihat dan berita-berita berharga, mencegah mereka dari membaca sajak yang kosong, termasuk yang menggugah soal-soal cinta dan pelakon-pelakonya (Muhammad „Athiyyah Al-Abrasyi, 2003: 116-117). d. Metode Mujahadah dan Riyadlah Orang yang ingin menjadi penyantun, maka jalannya dengan membiasakan bersedekah, sehingga menjadi tabiat yang mudah mengerjakanya dan merasa tidak berat lagi. Mujahadah atau perjuangan yang dilakukan oleh guru menghasilkan kebiasaan-kebiasaan yang baik. Memang pada awalnya cukup berat, namun apabila manusia bersunggu-sungguh pasti akan menjadi suatu kebiasaan. Metode ini sangat tepat untuk mengajarkan tingkah laku dan perbuatan baik lainya, agar peserta didik mempunyai kebisaan berbuat baik, sehingga menjadi akhlak baik baginya, walaupun dengan usaha yang keras dan melalui perjuangan yang sungguh-sungguh. Imam Al-Ghozali sangat menganjurkan agar mendidik anak dan membina akhlaknya dengan cara latihan dan pembiasaan yang sesuai dengan 36
perkembangan jiwanya walaupun seakan-akan dipaksakan, agar anak dapat terhindar dari keterlanjuran yang menyesatkan (Zainuddin, 1991: 107). Oleh karena itu, guru harus memberikan bimbingan secara terus menerus kepada peserta didiknya agar tujuan pendidikan akhlak dapat tercapai secara optimal. e. Metode Teladan Akhlak yang baik tidak hanya diperoleh melalui mujahadah, latihan atau riyadlah, dan diperoleh secara alami berdasarkan fitrah saja. Akan tetapi akhlak juga bisa diperoleh melalui teladan, yaitu mengambil contoh atau meniru orang yang dekat dengannya. Oleh karena itu dianjurkan untuk bergaul dengan orangorang yang berbudi pekerti luhur. Pergaulan sebagai salah satu bentuk komunikasi manusia memang sangat berpengaruh dan akan memberikan pengalaman-pengalaman yang bermacam-macam. Metode teladan ini memberikan kesan atau pengaruh atas tingkah laku perbuatan manusia, metode ini sangat efektif untuk pengajaran akhlak. Maka seyogyanya guru menjadi panutan utama bagi peserta didik dalam segala hal, misalnya kelembutan dan kasih sayang, banyak senyum dan ceria, lemah lembut dalam bertutur kata, disiplin beribadah dan menghiasi diri dengan tingkah laku yang baik (Chabib Thoha, 1999: 127-129). f. Metode Pengawasan/Perhatian Pendidikan yang disertai dengan pengawasan yaitu pendidikan dengan cara mendampingianak dalam upaya membentuk akidah dan moral, mengawasinya dalam mempersiapkannya secara psikis serta senantiasa 37
menanyakan secara terus menerus tentang keadaannya, baik dari jasmani maupun rohani. Dengan kata lain, pendidikan dengan pengawasan dan perhatian tidak hanya terbatas pada satu pembentukan saja. Tetapi juga mencakup berbagai segi yaitu keimanan, intelektual, moral,fisik, spikis, dan sosial kemasyarakatan. Perlu diingat, dalam memberikan perhatian dan pengawasan hendaknya dengan tata carayang menyenangkan sehingga anak tidak merasa terkekang dan sebagainya.
g. Metode Nasehat Diantara metode dan cara-cara mendidik yang efektif didalam upaya membentuk keimanan anak, mempersiapkannya secara moral, psikis dan secara sosial adalah mendidik dengan memberi nasehat (Abdullah Nashih Ulwan, 1998: 70). Yang dimaksud metode nasehat adalah memberi peringatan untuk menghindarisuatu perbuatan yang dilarang dan memerintahkan untuk mengerjakan perbuatan yang baik dengan berbicara lemah lembut, sehingga menyentuh hati anak yang dinasehati. “maka suatu hal yang pasti jika pendidik memberi nasehat dengan jiwa iklas, suci, dan dengan hati yang terbuka serta akal yang bijak, maka nasehat itu akan lebih cepat terpengaruh tanpa bimbang. Bahkan dengan cepat tunduk kepada kebenaran dan menerima hidayah Allah yang diturunkan”. (Abdullah Nashih Ulwan, 1998: 65-66) Allah berfirman:
ِ ِ ِ ْ الِكْم ِة والْمو ِعظَِة ِ َ ِّْادعُ إِ ََل سبِ ِيل رب َح َس ُن ْ الَ َسنَة َو َجاد َْلُ ْم بِالَِِّت ى َي أ َْ َ َ ْ ك ب َ َ 38
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” (QS. An-Nahl: 125). h. Metode Pembiasaan Sejak kecil anak harus dibiasakan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang baik, dilatih untuk bertingkah laku yang baik, diajari sopan santun dan sebagainya. Pembiasaan adalah suatu peran penting dalam membentuk pribadi anak, banyak contoh pola kehidupan anak, dan tujuan dari pembiasaan itu sendiri adalah peranan kecakapan-kecakapan berbuat dan menyampaikan sesuatu, agar cara-cara tepat dapat dikuasai (Ahmad D. Marimba, 1989: 82). Maka untuk itu orang tua tua atau pendidik, harus mengajarkan pebiasaan dengan prinsip-prinsip kebaikan, harapanya nanti menjadi pelajaran bagi anak, karena apabila anak membiasakan sesuatu yang baik, maka akan terbiasa.
39
BAB III TAFSIR SURAT MARYAM AYAT 41-42 Surat Maryam terdiri dari 98 ayat. Keseluruhan ayatnya turun sebelum nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah. Nabi Muhammad menamai surat ini dengan “Surat Maryam” karena pada surat ini diuraikan dengan cukup panjang kisah Maryam (M. Quraish shihab, 2012: 335). Selain kisah Maryam surat ini juga menguraikan kisah-kisah lain seperti kisah Zakariyā, Īsā, Yahyā, Ibrāhīm, Isḫāq, Mūsa, Hārūn, Ismāīl, dan Idrīs. Skripsi ini hanya fokus pada surat Maryam ayat 41-42 yang berisi teladan nabi Ibrāhīm. Pembahasan dalam tafsir ayat ini diambil dari tafsir al-Misbah dan al-Lubab karya Quraish Shihab, tafsir Ibnu Katsir karya M. Nasib ar-Rifa‟I dan kitab-kitab tafsir alqur‟an lainnya. Namun, sebelum membahas tafsir surat Maryam 41-42 tersebut, alangkah lebih baiknya jika kita mengetahui jenis-jenis tafsir dan kisah nabi Ibrāhīm AS terlebih dahulu. 1. Jenis-Jenis Tafsir Tafsir adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan al-Qur‟an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan al-Qur‟an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami dan samar artinya, dalam memahami dan menafsirkan al-Qur‟an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab saja tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut al-Qur‟an dan isinya, ilmu untuk memahami al-Qur‟an dinamakan ulumul Qur‟an. Adapun metode-metode dalam menafsirkan al-Qur‟an diantaranya sebagai berikut: a. Ijmali 40
Ijmali yaitu penafsiran al-Qur‟an dengan uraian singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar. Mufassir menjelaskan arti dan makna ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan sebatas arti tanpa menyinggung hal-hal selain arti yang dikehendaki. Hal ini dilakukan terhadap ayat-ayat al-Qur‟an ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai urutan dalam muskhaf dalam rangkai uraian yang mudah dengan bahasa dan cara yang dapat dipahami orang yang pintar dan orang yang bodoh dan juga orang pertengahan antara keduanya. b. Tahlili Tahlili adalah tafsir yang mengkajia ayat-ayat al-Qur‟an dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat dan surat dami surat, sesuai dengan urutan dalam muskhaf Utsmani. Untuk itu, pengkajian metode ini kosa kata dan lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, menjelaskan apa yang dapat diistinbathkan dari ayat serta mengemukakan kaitan ayat-ayat dan relevansinya dengan ayat sebelumnya dan sesudahnya. Untuk itu ia merujuk kepada sebab sebab turunya ayat, hadist-hadist Rasulullah dan riwayat dari para sahabat dan tabi‟in. metode ini di bagi menjadi 7 jenis, yaitu: tafsir bi al-ma‟tsur, tafsir bi al-ra‟yi, tafsir shufi, tafsir fikih, tafsir falsafi, tafsir „ilmi, dan tafsir adabi. Sebagai
contoh
penafsiran
metode tahliliy yang
menggunakan
bentuk Al-Tafsir bi al-Ma‟tsur (Penafsiran ayat dengan ayat lain), misalnya : kata-kata al-muttaqin (orang-orang bertakwa) dalam ayat 1 surat al-Baqarah dijabarkan ayat-ayat sesudahnya (ayat-ayat 3-5) yang menyatakan :
41
ِ َّ ب وي ِقيمون ِ َّ ِ ِ َّ ين يُ ْؤِمنُو َن ِِبَا أُنْ ِزَل َ ُ ُ َ ِ ين يُ ْؤِمنُو َن بِالْغَْي ُ َالصَل َة َوِمَّا َرَزقْ ن َ اى ْم يُْنف ُقو َن (ٖ) َوالذ َ الذ ِ ِ ِ ِ ِك وب ك ُى ُم َ ِك َعلَى ُى ًدى ِم ْن َرِِّبِ ْم َوأُولَئ َ ِاآلخَرِة ُى ْم يُوقنُو َن (ٗ) أُولَئ َ إِلَْي َ َ ك َوَما أُنْ ِزَل م ْن قَ ْبل )٘( الْ ُم ْفلِ ُحو َن
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. al-Baqarah: 3-5) c. Muqaran Muqaran aitu metode yang ditempuh seorang mufassir dengan cara mengambil sejumlah ayat al-Quran, kemudian mengemukakan penafsiran para ulama terhadap ayat-ayat itu, dan mengungkapkan pendapat mereka serta membandingkan segi-segi dan kecenderungan masing-masing yang berada dalam penafsiran al-Qur‟an. Kemudian menjelaskan bahwa diantara mereka ada yang corak penafsiranya ditentukan oleh disiplin ilmu yang dikuasainya. Ada diantara mereka yang menitik beratkan pada bidang nahwu, yakni segi-segi i‟rab, seperti Imam al-Zarkasyi. Ada yang corak penafsiranya ditentukan oleh
kecenderungannya kepada bidang balaghah, seperti „Abd al-Qahhar al-Jurjany dalam kitab tafsirnya I‟jaznya al-Qur‟an dan Abu Ubaidah Ma‟mar ibn alMutsanna dalam kitab tafsirnya al-mujaz, dimana ia memberi perhatian pada penjelasan ilmu ma‟any, bayan, badi, baqiqat, dan majaz. Seorang mufassar dengan metode muqaran dituntut mampu menganalisis pendapat para ulama tafsir yang ia temukan, lalu ia harus mengambil sikap menerima penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsir yang tidak dapat diterima rasionya,
42
serta menjelaskan kepada pembaca alasan dari sikap yang diambilnya, sehingga pembaca merasa puas. d. Maudhui (Tematik) Maudhui Yaitu metode yang ditempuh seorang mufassir dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur‟an yang berbicara tentang sesuatu masalah/tema (maudhu) serta mengarah kepada suatu pengertian dan satu tujuan, sekalipun ayat-ayat itu (cara) turunnya berbeda, tersebar pada berbagai surat dalam al-Qur‟an dan berbeda pula waktu dan tempat turunnya (Said Agil Husin al-Munawar,2001: 73). Kemudian ia menemukan ayat-ayat sesuai dengan masa turunnya, mengemukakan sebab turunnya sepanjang hal itu dimungkinkan (jika ayat turun karena sebab tertentu), menguraikan dengan sempurna menjelaskan makna tujuannya, mengkaji terhadap seluruh segi dan apa yang dapat diistinbatkan darinya, segi I‟rabnya, unsur-unsur balaghahnya, segi-segi I‟jaznya (kemukjizatannya) dan lain-lain, sehingga satu tema dapat dipecahkan secara tuntas berdasarkan seluruh ayat al-Qur‟an itu dan karenanya, tidak diperlukan ayat-ayat lain. 2. Kisah Nabi Ibrāhīm AS
ِ ِ ُ قَالُوا ََِسعنا فًَت ي ْذ ُكرىم ي َق (ٙٓ). يم ُ ْ ُ ُ َ ً َْ ُ ال لَوُ إبْ َراى
“mereka berkata: "Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhalaberhala ini yang bernama Ibrāhīm ". (QS. Al-Anbiyā‟: 60). Dialah kekasih Allah, Ibrāhīm “sang penepat janji”. Allah memberikan petunjuk diusianya yang masih belia. Ibrāhīm mendapati kaumnya dalam kesesatan, maka ia tak mau bersama orang-orang yang bodoh. Ia merenungkan batu-batu yang disembah oleh kaumnya, 43
maka ia tahu bahwa batu-batu itu tiada dapat memberikan manfaat dan mudharat, tiada dapat mendengar dan melihat, tiada dapat memberikan pertolongan apapun. Karena itu, ia memutuskan untuk meninggalkan batu-batu itu, bahkan bertekad menghancurkanya. Maka ia pun menghancurkan semua batu itu kecuali yang paling besar. Hal itu sengaja ia lakukan agar orang-orang bertanya kepada berhala yang paling besar itu, siapakah gerangan yang menghancurkan tuhan-tuhan mereka yang lain. Demikianlah yang dilakukan Ibrāhīm muda (Mustafa Al-„Adawy, 2006: 198). Ibrāhīm muda merenung,
ِِ ُّ ال ال أ ُِح ي َ َال َى َذا َرِّب فَلَ َّما أَفَ َل ق َ َفَلَ َّما َج َّن َعلَْي ِو اللَّْي ُل َرأَى َك ْوَكبًا ق َ ب اآلفل
“Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam." (QS. Al-An‟ām: 76).
Sebab, bintang lebih memukau daripada batu dan patung. Namun kemudian bintang itu tenggelam. Maka ia berkata “ aku tak suka yang tenggelam”. Kemudian ia melihat bulan, dan berkata:
ال لَئِن َِّلْ يَ ْه ِدِِن َرِّب ْل ُكونَ َّن ِم َن الْ َق ْوِم َ َال َى َذا َرِّب فَلَ َّما أَفَ َل ق َ َفَلَ َّما َرأَى الْ َق َمَر بَا ِزغاً ق )ٚٚ( ي َ ِّالضَّال
“Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat." (QS. AlAn‟ām: 77). Kemudian ia melihat matahari dan berkata:
ال يَا قَ ْوِم إِ ِِّن بَِريءٌ ِِّمَّا َ َت ق َ َس بَا ِز َغةً ق ْ َال َى َذا َرِّب َى َذا أَ ْكبَ ُر فَلَ َّما أَفَل ْ فَلَ َّما َرأَى الش َ َّم ِ َّ ) إِ ِِّن و َّجهت وج ِهي لِلَّ ِذي فَطَرٚٛ( تُ ْش ِرُكو َن ض َحنِيفاً َوَما أَنَاْ ِم َن َ الس َم َاوات َواْل َْر َ َ َْ ُ ْ َ ِ )ٜٚ( ي َ الْ ُم ْش ِرك
“Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya 44
aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. (QS. Al-An‟ām: 78-79). Ketika itulah kaumnya membantah dan ia pun membantah mereka, mereka mendebatnya dan ia pun mendebat mereka dan membantah argument mereka. Ia berkata:
ِ ِ اف َما تُ ْش ِرُكو َن بِِو إِالَّ أَن يَ َشاءَ َرِّب ِّ اج َ َآجوُ قَ ْوُموُ ق ُّ َال أ َُُت َّ َو َح ُ َخ َ وِن ِِف اللّو َوقَ ْد َى َدان َوالَ أ ِ ٍ ِ َاف َما أَ ْشَرْكتُ ْم َوال ُ َخ َ ) َوَكْيٛٓ( َشْيئاً َوس َع َرِّب ُك َّل َش ْيء ع ْلماً أَفََلَ تَتَ َذ َّك ُرو َن َفأ ِ ْ َي الْ َف ِري َق َح ُّق بِاْلَ ْم ِن إِن ُكنتُ ْم ُّ ََتَافُو َن أَنَّ ُك ْم أَ ْشَرْكتُم بِاللّ ِو َما َِلْ يُنَ ِّزْل بِِو َعلَْي ُك ْم ُس ْلطَاناً فَأ َيأ ِ َّ )ٕٛ( ك ََلُ ُم اْل َْم ُن َوُىم ُّم ْهتَ ُدو َن َ ِين َآمنُواْ َوَِلْ يَْلبِ ُسواْإِميَانَ ُهم بِظُْل ٍم أ ُْولَئ َ ) الذٛٔ( تَ ْعلَ ُمو َن
“Dan dia dibantah oleh kaumnya. Dia berkata: "Apakah kamu hendak membantah tentang Allah, padahal sesungguhnya Allah telah memberi petunjuk kepadaku". Dan aku tidak takut kepada (malapetaka dari) sembahan-sembahan yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali dikala Tuhanku menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu. Pengetahuan Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka apakah kamu tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)? Bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk mempersekutukanNya. Maka manakah diantara dua golongan itu yang lebih berhak memperoleh keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui? Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An‟ām: 80-82). Demikian Ibrāhīm berkata. Ia berfikir dan tidak mau sekedar mengekor. Ia tidak mentaklid buta pada ayahnya dalam kesesatan dan tidak mengikuti kaumnya dalam kebatilan mereka. Justru ia menasehati dan mengingatkan mereka. Ia berkata kepada ayahnya:
ِ ِ ِ ِ َ َإِ ْذ ق ِ نك َشيئاً (ٕٗ) يا أَب ِ ت إِ ِِّن ْ َ ال ْلَبِيو يَا أَبَت ِلَ تَ ْعبُ ُد َما َال يَ ْس َم ُع َوَال يُْبص ُر َوَال يُ ْغ ِِن َع َ َ ِ ِ ِ ِ قَ ْد ج ِ ك فَاتَّبِع ِِن أَى ِد َك ِصراطاً س ِوياً (ٖٗ) يا أَب ت َال تَ ْعبُ ِد ْ ْ َ اءِن م َن الْع ْل ِم َما َِلْ يَأْت َّ َ َ َ َ 45
ِ ِ ِ اب ِّم َن ُ َخ َ اف أَن َميَ َّس ٌ ك َع َذ َ الشَّْيطَا َن إِ َّن الشَّْيطَا َن َكا َن ل َّلر ْْحَ ِن َعصيّاً (ٗٗ) يَا أَبَت إِ ِِّن أ ِ َالر ْْحن فَتَ ُكو َن لِلشَّيط )ٗ٘( ًان َولِيّا َ َّ ْ
“Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; "Wahai bapakku! mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan.” (QS. Maryam: 42-45). Ayahnya mengancamnya, namun ia tetap teguh dan tidak mau kembali kepada kebatilan. Ayahnya berkata:
ِ ِ ِ ِ َ َق )ٗٙ( ًَّك َو ْاى ُج ْرِِن َملِيّا َ يم لَئِن َِّلْ تَنتَ ِو َْل َْر َُجَن َ بأ ٌ ال أ ََراغ ُ َنت َع ْن آَلَِِت يَا إبْراى
Berkata bapaknya: "Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrāhīm? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama". (QS. Maryam: 46). Maka Ibrāhīm berkata:
ِ ال س ََلم علَيك سأ )ٗٚ( ًك َرِّب إِنَّوُ َكا َن ِب َح ِفيّا َ ََستَ ْغف ُر ل ْ َ َ ْ َ ٌ َ َ َق
Berkata Ibrāhīm: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (QS. Maryam: 47). Dengan gamblang, ia menjelaskan kepada kaumnya,
)ٛ٘( ال ِْلَبِ ِيو َوقَ ْوِم ِو َما َذا تَ ْعبُ ُدو َن َ َإِ ْذ ق
“(Ingatlah) ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Apakah yang kamu sembah itu ?” (QS. Ash-Shāffāt: 85).
ِ )ٛٙ( يدو َن ُ أَئِْفكاً آَلَةً ُدو َن اللَّ ِو تُِر
“Apakah kamu menghendaki sembahan-sembahan selain Allah dengan jalan berbohong?” (QS. Ash-Shāffāt: 86).
Kemudian ia dilempar ke dalam api, namun ia sabar dan teguh pendirian. Ia berkata, “Cukuplah Allah sebagai penolongku. Dan Allah adalah sebaik-baik 46
pelindung”. Maka Allah pun menyelamatkannya dari api. Api itu berubah menjadi dingin dan menyelamatkan. Ia keluar dan memutuskan untuk meninggalkan tanah airnya, menjauhi kaumnya serta teman-temannya. Sebab mereka tidak sejalan dengannya. Ia berkata:
ِ ِِ َّ ب ىب ِِل ِمن ِ ال إِ ِِّن ذَ ِاى )ٔٓٓ( ي َ ََوق َ الصال ْ َ ِّ ) َرٜٜ( ب إ ََل َرِّب َسيَ ْهدي ِن ٌ َ
“Dan Ibrāhīm berkata: "Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Ash-Shāffāt: 99100). Lalu ia pergi, Allah pun menolong dan menjaganya. Dan Ibrāhīm menjadi pemimpin orang-orang yang bertaqwa. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa nabi Ibrāhīm AS bangkit menentang dan memberantas berbagai penyelewengan yang dilakukan umatnya dengan menggunakan akal dan argumen. Pada saat yang sama, Ibrāhīm AS juga menyatakan berlepas diri dari segala bentuk patung serta yang mereka sembah. Dalam ayat di atas, Allah SWT menjelaskan bahwa berbagai tindakan tegas Ibrāhīm AS tadi telah membuat ia memperoleh anugerah berupa kemampuan melihat tanda-tanda Allah yang ada di lagit atupun yang ada di bumi. Diperlihatkannya tanda-tanda Allah itulah yang kemudian membuat Ibrāhīm bertambah yakin bahwa segala sesuatu adalah milik Allah dan Dialah penguasa mutlak segala sesuatu. Pada zaman nabi Ibrāhīm masih hidup, masyarakat penyembah berhala juga sangat memperhatikan benda-benda langit. Mereka menganggap bahwa perputaran benda-benda itu sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Kepercayaan seperti ini hingga sekarang masih dengan mudah kita temukan dalam karya-karya sastra. 47
Dalam menghadapi pikiran-pikiran yang sesat seperti itu, nabi Ibrāhīm mengambil langkah yang agak unik. Pertama-tama ia menempatkan diri seakanakan seperti mereka yang sangat menggantungkan diri kepada bintang, rembulan, dan matahari. Ketika disaksikannya benda-benda langit itu senantiasa muncul dan tenggelam, Ibrāhīm lantas mengambil kesimpulan bahwa benda-benda itu tidak layak untuk disembah. Dengan kata lain, dalam benak Ibrāhīm yang tergambar adalah logika bahwa alih-alih mampu menguasai alam, benda-benda tadi malah tidak bisa melepaskan diri dari hukum alam. Karenanya sangatlah aneh jika bendabenda itu sampai tidak bisa menguasai nasib seseorang. mengikuti penjelasan ayat diatas penyembahan bintang dan bantahan terhadapnya, ayat ini menunjuk kepada para penyembah bulan dan matahari. Disana disebutkan bahwa Ibrāhīm dengan melihat bulan
dan matahari,
sebagaimana orang-orang lain, menunjukkan penghambaan kepadanya. Namun ketika dilihatnya matahari dan bulan tenggelam, Ibrāhīm memperingatkan kaumnya bahwa benda-benda langit itu bisa terbit dan tenggelam. Artinya benda-benda tersebut tidak layak untuk disembah. Ibrāhīm menyatakan kepada kaumnya, "Tindakan kalian itu adalah sebuah penyelewengan dan jika aku mengikuti kalian, aku akan tersesat. Bagaimana mungkin kalian bisa menjadikan bulan dan bintang sebagai sekutu Tuhan dalam mengatur bumi sementara mereka itu tidak mampu mengatur dirinya sendiri”. Di akhir perdebatan logis dan fitri dengan kaum penyembah berhala dan penyembah bintang, bulan, dan matahari, nabi Ibrāhīm AS berkata, "Tidak ada satupun dari benda-benda itu yang bisa menjadi Tuhanku. Tuhanku adalah yang menciptakan 48
aku, pencipta benda-benda itu, dan pencipta langit dan bumi. Aku mengikuti jalan yang benar dan lurus. Tanpa ada sekutu dan penyelewengan, aku hadapkan diriku secara ikhlas kepada-Nya dan kepada-Nya-lah aku mengikatkan hatiku." Kontekstualisasi dari kisah nabi Ibrāhīm di atas untuk masa kini dan yang akan datang antara lain: a. Siapa saja yang mengetahui kebenaran dan mengajak orang lain untuk mengikuti
kebenaran
itu,
pasti
akan
memperoleh
hidayah
Allah Swt berupa diperlihatkannya tanda-tanda-Nya yang ada di langit dan di bumi. b.
Kita diperintahkan untuk tidak hanya membatasi pandangan kita terhadap hal-hal yang lahiriah di dunia. Kita tidak boleh melupakan hubungan antara Allah, manusia, dan alam semesta.
c. Salah satau cara berdakwah adalah dengan menempatkan diri kita seolah-olah bersama mereka yang tersesat dan menjadi obyek dakwah kita itu. Setelah itu, kita tunjukkan kekeliruan mereka itu dengan menggunakan logika dan membangkitkan fitrah mereka. d. Sesuatu yang disembah haruslah dicintai oleh penyembahnya. Karena aktivitas
penyembahan
sendiri
berkaitan
dengan
hati
dan
perasaan, bukan dengan indera atau akal. e. Pembangunan fitrah dan pengaktifan pemikiran merupkan metode dakwah para rasul Allah
49
f. Menghadapi pemikiran dan perilaku yang menyimpang harus dilakukan langkah demi langkah. Misalnya, nabi Ibrāhīm awalnya menolak bintang, kemudian bulan, dan terakhir matahari g. Setiap kali kebenaran tampak kepada kita, dengan tegas dan jelas, kita harus mengumumkan kebenaran itu dan kita harus berlepas diri dari kebatilan. h. Menjauhkan diri dari syirik artinya semua pekerjaan yang dilakukan oleh manusia hanyalah dipersembahkan kepada Tuhan dan segala bentuk keterikatan kepada benda atau orang lain akan menjauhkan diri dari tauhid dan akan masuk ke dalam batasan syirik. 3. Asbāb An-Nuzūl Surat Maryam Secara bahasa, asbāb an-nuzūl dapat diartikan dengan sebab turunnya alQur‟an. Kita tahu bahwa al-Qur‟an di turunkan kurang lebih selama 23 tahun secara mutawatir (berangsur-angsur), dan bertujuan untuk meperbaiki tata cara kehidupan orang yang hidup pada masa zaman jahiliyah. Namun, pembahasan sebab diturunkanya al-Qur‟an di atas, bukanlah maksud dari asbābun nuzūl dalam tulisan ini. Secara bahasa, kata asbābun nuzūl berasal dari kata asbāb dan nuzūl. Kata asbāb merupakan mufrod (bentuk tunggal) dari kata sabab yang artinya alasan atau sebab. Sebab adalah kejadian atau sesuatu hal yang melatarbelakangi suatu wahyu al-Qur‟an di turunkan (Idhoh Anas, 2008: 9). Sedangkan nuzul secara bahasa berarti turun, jadi asbābun nuzūl dapat diartikan sebagai sebab-sebab turunnya al-Qur‟an. Secara terminologi, ada 50
beberapa definisi yang diberikan oleh para ulama‟. Menurut Dr. Shubhi al-Shalih definisi dari asbābun nuzūl adalah sesuatu yang menyebabkan turunnya suatu ayat yang memberi jawaban terhadap sebab itu, dan menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab itu (Ahmad Shadali, 2000: 90). Muhammad Ali Ash Shaubuny mengartikan asbābun nuzūl sebagai sebab atau masalah yang menyebabkan diturunkannya ayat-ayat al-Qur‟an (Muhammad Ali Ash Shaubuny, 1987: 45). Dari penjelasan itu dapat diambil pengertian bahwa sebab turunnya alQur‟an (turunnya suatu ayat) ada kalanya berbentuk pertanyaan suatu ayat atau beberapa ayat turun guna menerangkan hal yang berhubungan dengan peristiwa tertentu atau memberi jawaban terhadap pertanyaan tertentu. Anggapan mempelajari asbābun nuzūl tidak bermanfaat dan membuangbuang waktu adalah tidak benar. Karena dengan mempelajari asbābun nuzūl itu sendiri, ada beberapa manfaat yang dapat kita ambil, diantaranya yaitu: a. Mengerti segi rahasia yang mendorong disyariatkanya beberapa hukum. b. Jalan yang kuat untuk memahami arti dan makna al-Qur‟an karena dengan mengetahui sebabnya maka akan tahu pula perkara yang diakibatkan (Idhoh Anas, 2008: 10). Dilihat dari segi turunnya, al-Qur‟an dibedakan menjadi dua kelompok, yang pertama adalah ayat yang tidak memiliki sebab dan hubungan dengan kejadian. Bagian yang kedua adalah ayat yang memiliki sebab dengan suatu peristiwa (Muhammad Nor Ichwan, 2008: 74).
51
QS. Maryam yaitu bahan pembuatan skripsi ini, juga ada ayat yang memiliki asbābun nuzūl dan ada juga yang tidak memiliki asbābun nuzūl nya. Ayat dari surat Maryam yang memiliki asbābun nuzūl adalah ayat 64, ayat 77, dan ayat 96 (Qomaruddin Shaleh dkk, 1990: 317). Berdasarkan keterangan mengenai mana-mana ayat dari QS. Maryam yang memiliki sebab diturunkanya secara khusus, maka QS. Maryam 41-42 yang menjadi bahan kajian skripsi ini, adalah tidak memiliki asbābun nuzūl . Dengan kata lain, QS. Maryam ayat 41-42 tidak memiliki sebab yang khusus ketika ayat tersebut diturunkan. 4. Analisis Surat Maryam Ayat 41-42 a. Surat Maryam ayat 41
ِ ِ ِ ِ واذْ ُكرِِف الْ ِكت ِ )ٗٔ( َِّب َ َّ ِ انَّوُ َكا َن صدِّيْ ًقان,ب ابْ َرىْي َم ْ َ
“Dan ingatkanlah yang terdapat di dalam al-Kitab tentang Ibrāhīm. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat benar lagi seorang Nabi.” (QS. Maryam: 41) Ulama menghubungkan ayat ini dengan ayat-ayat yang lalu dengan menampilkan terlebih dahulu tema utama surah ini, yakni penjelasan tentang keEsaan Allah, kenabian, dan keniscayaan hari kebangkitan. Ada dua kelompok besar yang mempersekutukan Allah. Pertama, mempersekutukan-Nya dengan makhluk-Nya yang hidup dan berakal, seperti kaum Nasrani
yang
mempersekutukan Allah dengan al-Masih, sedang kedua adalah yang mempersekutukanNya dengan makhlukNya yang tidak hidup dan tidak berakal seperti bintang dan berhala-berhala (Bachtiar Surin, 1991: 1259). Kalau ayat yang lalu telah mengecam mereka yang mempersekutukan Allah dengan siapa 52
yang berakal dari makhlukNya, yakni mereka yang mempertuhan Isa AS, kelompok ini menguraikan tentang mereka yang mempersekutukanNya dengan berhala, yakni nabi Ibrāhīm AS. Al-Biqa‟i menghubungkan ayat ini dengan ayat sebelumnya dari sisi kandungan makna kewarisan, yang antara lain menurutnya tercermin dalam kemenangan para nabi dan pengikut-pengikut mereka menghadapi kebanyakan penghuni bumi, yakni dengan kembalinya penganut agama yang batil kepada para nabi itu (M. Quraish Shihab, 2012: 457). Dan karena nabi Ibrāhīm AS adalah tokoh yang memiliki anak cucu yang banyak, itu berarti beliau merupakan orang yang paling banyak mewarisi bumi. Di sisi lain, beliau seperti halnya nabi Zakariyā AS yang mengharapkan serta dianugerahi ahli waris (anak) ketika usianya telah lanjut dan istrinya dinilai mandul. Apa pun hubungan yang anda pilih atau kemukakan, yang jelas setelah ayat-ayat yang lalu memerintahkan nabi Muhammad SAW Menyampaikan kisah Maryam AS dan putra beliau, kini ayat-ayat di atas memerintahkan bahwa: ”Ceritakan dan ingatkanlah juga, wahai nabi Muhammad SAW, kisah yang terdapat di dalam al-Kitab, yakni ayat-ayat al-Qur‟an yang selama ini engkau telah terima, tentang nabi Ibrāhīm AS. ”Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat benar sikap, ucapan, dan perbuatanya lagi seorang nabi yang mendapat wahyu dari Allah SWT.” Kata ( ْ)و ْاذ ُكر َ wadzkur berasal dari kata َذ َك َرdzakara yang berarti mengingat atau bercerita. Sedangkan kata ( ْ ) َو ْاذ ُكرwadzkur sendiri berarti
53
ceritakanlah )Mahmud Yunus, 2007: 134). Kata ini merupakan kata perintah yang Allah tujukan kepada nabi Muhammad SAW. Bahwa sesungguhnya nabi Muhammad SAW diperintahkan Allah SWT untuk menerangkan kepada kaum musyrikin Mekah kisah nabi Ibrāhīm AS yang mereka anggap sebagai bapak bangsa Arab dan mereka sendiri adalah anak cucunya dan mendakwakan bahwa mereka adalah pengikut-pengikut agamanya. Padahal nabi Ibrāhīm AS adalah seorang mukmin kekasih Allah dan seorang nabi penyembah Tuhan Yang Maha Esa bukan seorang musyrikin penyembah berhala. Allah memerintahkan kepada nabi Muhammad agar dia menceritakan kepada mereka ketika nabi Ibrāhīm AS melarang kaumnya menyembah berhala (Muhammad Nasib ar-Rifa‟I, 2008: 71) Kata ت ِ َ فِى ْال ِكتfī al-kitabi berasal dari kata ُ ْال ِكتَتal-kitabu yang jama‟nya dari kata ُكتُتkutubun yang berarti kitab atau buku (Munawir, 1997: 1187). dan mendapat tambahan فِىfī yang berarti di, atau menunjukkan suatu keberadaan. Sehingga ت ِ َ فِى ْال ِكتfī al-kitabi berarti di dalam kitab. Kitab yang di maksud adalah kitab al-Qur‟an karena rujukannya kembali pada kata sebelumnya, yaitu nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW hanya memiliki satu kitab yang diberi oleh Allah SWT, sehingga dapat di pastikan bahwa yang di maksud dalam kata ت ِ َ فِى ْال ِكتfī al-kitabi ini adalah al-Qur‟an. Kata اِث َْر ِه ٍْ َمIbrāhīma adalah salah satu nabi yang kisahnya di ceritakan dalam al-Qur‟an karena berakhlak mulia dan memiliki tauhid yang baik (Allamah kamal Faqih Imani dan tim ulama, 2005: 272 ).
54
Ayat di atas mengatakan bahwa Ibrāhīm harus disebutkan dalam Kitab ini, yakni al-Qur‟an lantaran dia seorang manusia yang penuh kebenaran dan penyaksi ajaran-ajaran dan perintah-perintah Ilahi. Dia juga seorang nabi Allah. Ayat dia atas mengatakan, “Dan sebutkanlah Ibrāhīm di dalam al-Kitab. Sesungguhnya dia seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi”. Kata ُ اِنَّهinnahu berarti sesungguhnya dia. Dia yang di maksud ini adalah nabi Ibrāhīm, karena merujuk kepada kata sebelumnya (Ahmad Maslakhudin, 2006: 6). Kata َ َكبنkāna pada ayat ini, di samping untuk menunjukkan kebenaran nabi Ibrāhīm. Karena sesungguhnya nabi Ibrāhīm AS adalah seorang nabi yang cepat membenarkan semua hal yang ghaib yang datang dari Allah. Kata ) (ص ّدٌقshiddīq merupakan hiperbola dari kata ( )صدقshidq/benar. Yakni seorang yang selalu benar sikap, ucapan, dan perbuatanya (M. Quraish Shihab, 2012: 458). Dia yang dengan pengertian apapun selalu benar dan jujur, tidak ternodai oleh kebatilan, tidak pula mengambil sikap yang bertentangan dengan kebenaran, serta selalu tampak di pelupuk mata mereka yang haq. Shiddiq juga berarti orang yang selalu membenarkan tuntutan-tuntutan Ilahi, pembenaran melalui ucapan dan pengalamanya. Selanjutnya, ayat ini menyifati Nabi Ibarhim AS dengan kata ( )نجٍّبnabiyyan, yakni manusia yang dipilih Allah untuk memeroleh bimbingan sekaligus ditugasi untuk menuntun manusia menuju kebenaran Ilahi. Ia yang memiliki kesungguhan, amanat, kecerdasan, dan keterbukaan sehingga mereka menyampaikan segala sesuatu yang harus di
55
sampaikan. Mereka adalah orang-orang yang terpelihara identitas mereka sehingga tidak melakukan dosa atau pelanggaran apa pun. Kata ( )نجٍّبnabiyyan terambil dari kata ( )نجأnaba‟ yang berarti berita yang penting. Seorang yang mendapat wahyu dari Allah dinamai demikian karena ia mendapat berita penting dari Allah. Bisa juga kata nabiyy terambil dari kata ( )انجوّ حan-nubuwwah yang bermakna ketinggian. Ini karena ketinggian derajatnya di sisi Allah swt (M. Quraish Shihab, 2012: 458). Dari penjelasan di atas kita dapat mengetahui bahwa seorang nabi itu wajib memiliki sifat jujur, dan kita sebagai umatnya harus meneladani sifat jujur tersebut. b. Surat Maryam Ayat 42
ِ ت ِِل تَعب ُد م َاال يسمع وَال ي ب ِ ِ ِ َ َاِ ْذق )ٕٗ( ك َشْيئًا َ ص ُر َوَاليُ ْغ ِ ِْن َعْن ُْ َ ُ َ ْ َ َ ُ ْ َ َال الَبِْيو يَاَب
“ketika ia berkata kepada orang tuanya:” Wahai bapakku. Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar dan tidak melihat serta tidak dapat menolongmu sedikit pun.” (QS. Maryam: 42)
Ayat yang lalu memerintahkan nabi Muhammad SAW. Mengingatkan tentang ayat-ayat al-Qur‟an yang berbicara tentang Nabi Ibrāhīm AS. Ayat ini menyebut secara khusus satu peristiwa yang berkaitan dengan beliau, yakni ketika ia dengan lemah lembut berkata kepada orang tuanya sambil memanggilnya dengan panggilan mesra: ”Wahai bapakku, mengapa engkau menyembah sesuatu, yakni berhala atau bintang-bintang yang tidak dapat mendengar dan tidak juga dapat melihat serta tidak dapat menolongmu atau mendatangkan manfaat sedikitpun kepadamu dan tidak juga dapat menampik mudharat atasmu? Bukankah yang disembah adalah sesuatu yang jauh lebih tinggi kedudukanya dan jauh lebih mampu daripada yang menyembahnya?”
56
Kata اِ ْذقَب َلidzqōla terdiri dari dua suku kata yaitu kata اِ ْذidz berarti ketika dan kata قَب َلqāla berkata. Jadi اِ ْذقَب َلidzqāla itu berarti ketia dia berkata. Dia yang di maksud yaitu nabi Ibrāhīm AS. Nabi Ibrāhīm AS adalah seorang hamba yang selalu menepati janji, sehingga apa yang di ucapkan beliau selalu yang baikbaik dan benar. Kata ( )أثٍهabīhi penulis terjemahkan dengan orang tuanya. Ini serupa dengan terjemahan penulis untuk ayat 74 surah al-An‟ām. Disana, antara lain penulis kemukakan bahwa berbeda-beda pendapat ulama menyangkut Ãzar yang disebut ( )أةab nabi Ibrāhīm AS, apakah dia ayah kandung beliau atau pamanya (M. Quraish Shihab, 2012: 459). Salah satu alasan yang menolak memahami kata ( )أثٍهabīhi dalam arti bapak kandung adalah bahwa jika Ãzar adalah bapak kandung nabi Ibrāhīm AS. Itu berarti ada dari leluhur nabi Muhammad SAW yang musyrik karena beliau adalah keturunan nabi Ibrāhīm AS. Ini di tolak oleh banyak ulama dengan alasan bahwa sekian banyak riwayat yang mengatakan kebersihan dan kesucian leluhur nabi Muhammad SAW. Beliau bersabda:
ِ ِِ ِ اإلسَلم كنكاح كاح ِ ِ ما ولدِن شيءٌ من ِس ٌ وما ولدِن َّإال ن، فاح اْلاىليَّة
”Sedikitpun aku tidak dilahirkan dari perzinahan orang-orang ahli Jahiliyah dan tidak pula aku dilahirkan kecuali dengan nikah seperti nikahnya Islam.” (HR. ath-Thabrani, Al-Mu'jam Al-Kabir no.10812 10/329) Ini berarti bahwa tidak seorang pun dari leluhur beliau yang mepersekutukan Allah SWT dan dengan demikian, jika memang Ãzar yang
membuat dan menyembah patung itu adalah ayah kandung nabi Ibrāhīm AS.
57
Sedangkan nabi Ibrāhīm AS adalah leluhur nabi Muhammad SAW, maka berarti ada leluhur beliau yang pernah mempersekutukan Allah SWT. Terlepas dari perbedaan pendapat ulama menyangkut hal ini, apa yang dikemukakan oleh penafsir Syi‟ah, Yhabāthabā‟i, sangat wajar untuk dipertimbangkan. Menurutnya, al-Qur‟an menggunakan kata ( )والدwālid untuk makna “ayah kandung”, sedangkan kata ( )أةab digunakan al-Qur‟an untuk makna “kakek” atau “paman” dan lain-lain. Arti-arti kata demikian sama halnya dalam QS. Al-Baqarah: 33, dan QS. Yūsuf: 38 (M. Quraish Shihab, 2012: 459). Apa yang dikemukakan di atas benar adanya, tetapi perlu dicatat bahwa al-Qur‟an menggunakan kata ab untuk menunjuk orangtua kandung, misalnya QS. Yūsuf ayat 4:
ِِ ِ ِ ال يوس ِ ين ُ ُ ُ َ َإِ ْذ ق ُ ْف ْلَبِيو يَا أَبت إِ ِِّن َرأَي ْ َح َد َع َشَر َك ْوَكباً َوالش َتأ َ س َوالْ َق َمَر َرأَيْتُ ُه ْم ِِل َساجد َ َّم
“(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku , sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku." (QS. Yūsuf: 4)
Di sisi lain perlu juga dicatat bahwa, merujuk kepada al-Qur‟an, Nabi Ibrāhīm AS, menggunakan kedua kata tersebut. Dalam QS. Ibrāhīm ayat 41:
ِِ ِ ِْ ي ولِْلم ْؤِمنِي ي وم ي ُقوم اب ُ َ َ ْ َ َ ُ َ َّ َربَّنَا ا ْغف ْر ِِل َول َوال َد ُ ال َس
“Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orangorang mu'min pada hari terjadinya hisab (hari kiamat).” (QS. Ibrāhīm: 4) ّ )والدwālidayya untuk menunjuk kepada Beliau menggunakan kata (ي bapak ibunya.
Ash-Sya‟rawi dalam tafsirnya setelah membuktikan bahwa kata ( )أةab digunakan untuk menunjuk ayah kandung atau paman, ia mengemukakan bahwa biasanya bila kata ab dirangkai dengan namanya, yang dimaksud adalah 58
selain ayah kandung. Kalau ada yang akan bertanya ke mana ayah kandung seseorang, cukup sudah ia bertanya: kemana ayahmu? Tetapi, kalau yang ditanyakan selain ayah kandung, di sini pertanyaannya harus di sertai dengan nama yang bersangkutan. Nah, ayat al-An‟ām itu menggunakan kata ab/ayah sambil menyebut nama, yakni Ãzar. Dengan demikian, yang bersangkutan bukan ayah kandung nabi Ibrāhīm AS. Demikian tulis ulama Mesir itu ketika menafsirkan ayat al-An‟ām. Apakah ini berarti bahwa yang di maksud dengan abihi pada ayat surat Maryam ini adalah ayah kandung nabi Ibrāhīm AS. Kata ( )أثتabati terambil dari kata ( )أَةabun berarti bapak/ayah yang dirangkaikan dengan huruf ) (تبtā yang berfungsi sebagai pengganti huruf ( )ٌبyā yang menunjukkan
makna kepemilikan (M. Quraish Shihab, 2012: 460).
Sehingga, abati bisa diartikan ayak/bapakku. Kata ini mengandung makna kelemah lembutan dan memberi kesan merengek untuk meminta sesuatu kepada orangtua. Kata لِ َم تَ ْعجُ ُدlima ta‟budu berasal dari kata „ َعجَ َدabada yang berarti mengabdi atau menyembah (Mahmud Yunus, 2010: 252). Kemudian mendapatkan tambahan huruf jazm berupa لِ َمlima dan َ تta yang merupakan tanda fi‟il mudhari. Jadi لِ َم تَ ْعجُ ُدlima ta‟buda berarti mengapa kalian menyembah. Menyembah yaitu mengabdikan diri kepada yang diyakininya. Namun yang dimaksud dalam ayat ini adalah menyembah, tetapi mengikuti bisikan setan. Memang, boleh Jadi orang tua dan masyarakat nabi Ibrāhīm AS. menyembah setan, jin, dan malaikat, tetapi semua penyembahan itu lahir dari
59
rayuan dan tipu daya setan yang diikuti oleh para pendurhakan sehingga pada akhirnya lebih tepat memahami kata ta‟bud dalam arti mengikuti bisikan setan Kata َمبmā ini bermakna sesuatu. Bahwasanya menyembah itu perlu sesuatu yang di sembah. Sesuatu disini berupa patung berhala yang dibuat oleh umat yang hidup pada zaman nabi Ibrāhīm AS dan kemudian disembah oleh orang-orang kafir. Kata ََل ٌَ ْس َم ُعlā yasma‟u berasal dari kata َس ِم َعsami‟a yang berarti mendengar. Kemudian mendapat tambahan ََلlā nahi yang berarti tidak. Sehingga ََل ٌَ ْس َم ُعlā yasma‟u berarti tidak adapat mendengar (Munawir, 1997: 660). Kata ًْ ِ َو ََلٌُ ْغنwa lā yughnī berasal dari kata ًَ ِ َغنghoniya yang berarti mencukupi atau kaya. Kemudian mendapatkan tambahan ََلlā nahi yang bermakna tidak. Sehingga ًْ ِ َو ََلٌُ ْغنwa lā yughnī bermakna tidak mencukupi Mahmud Yunus, 2010: 303). Kata ك َ „ َع ْنanka berarti dari kamu. Ini yang di maksud ialah kamu atau mereka para penyembah berhala. Kata َش ٍْئًبsyaian bermakna sedikitpun. Maksudnya yaitu tidak ada sedikitpun kebaikan yang bermanfaat bagi para penyembah berhala dan bahkan berbahaya apa yang selama ini dilakukan. Nabi Ibrāhīm AS berkata yang terdapat dlam surat Maryam ayat 44:
ِ ت َال تَعب ِد الشَّيطَا َن إِ َّن الشَّيطَا َن َكا َن لِ َّلر ْْح ِن ع ِ يا أَب (ٗٗ). ًصيّا َ َ ْ ْ ُْ َ َ
“Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah.” (QS. Maryam: 44)
60
Maksud dari “Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan”, yakni berhala dan bintang yang sebenarnya tidak mempunyai kemampuan sedikitpun. Tetapi, setan yang memperindah penyembahan dan dengan demikian, penyembahan berhala atau bintang dan apapun selain Allah berarti menyembah setan. Sesungguhnya syaitan sejak dahulu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Nabi Ibrāhīm AS. Pada ayat ini tidak secara tegas menyebut berhalaberhala sebagai sesembahan orangtuanya, tetapi menyebut sifatnya, yakni tidak dapat mendengar dan melihat, sehingga, dengan demikian, beliau sekaligus membuktikan bahwa apa yang disembahnya itu sama sekali batil dan tidak beralasan, yaitu: Pertama, karena yang disembah mestinya adalah sesuatu yang kedudukanya lebih tinggi daripada yang menyembahnya, sedang manusia jauh lebih tinggi kedudukaanya daripada berhala. Bukankah manusia yang membuat berhala-berhala itu dan bukankah apa yang di sembah itu tidak dapat mendengar dan melihat? Kedua, sesuatu yang disembah adalah yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan yang menyembahnya, mendengar permohonannya, dan melihat keadaanya. Apa yang disembah oleh orang tua Nabi Ibrāhīm AS itu sama sekali tidak memenuhi syarat untuk disembah, sebagaimana ditegaskan oleh akhir ayat di atas. Pelajaran yang dapat dipetik dari surat Maryam ayat 42, yaitu kewajiban menghormati orang tua, kendati tidak seiman dengan anak, siapa pun yang tidak 61
mengetahui harus mengikuti siapa yang mengetahui, walau yang tidak tahu itu seorang yang harus dihormati. Seperti orangtua, bahkan ayah kandung. Menyembah selain dari Allah Yang Maha Esa adalah dampak dari megikuti setan dan dapat dinilai sama dengan menyembah setan, serta setiap orang berkewajiban mengingatkan siapapun (M. Quraish Shihab, 2012: 353).
62
BAB IV PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR’AN SURAT MARYAM AYAT 41-42 Berpijak pada uraian bab-bab sebelumnya, maka pada bab IV ini akan dilakukan analisis tentang pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an telaah surat Maryam ayat 41-42, sebagai berikut: A. Pendidikan Akhlak dalam al-Qur’an Perlu diketahui bahwa salah satu ciri terpenting dari pendidikan Islam yang berbasis al-Qur‟an adalah penekanan akhlaknya. Secara garis besar pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an dapat diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan secara sadar guna memberikan bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan ajaran Islam yang berupa penanaman akhlak mulia kepada seseorang, sehingga menghasilkan perubahan yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kenyataan hidup baik
itu meliputi: tingkah laku, cara berfikir dan bersikap baik yang dapat
menjadikan manusia sempurna (insan kamil). Perbuatan mulia yang keluar dari kekuatan jiwa tanpa keterpaksaan itu disebut akhlak yang baik (akhlakul mahmudah), seperti: kemurnian hati, lemah lembut, sabar, teguh, berani, adil, jujur, amanah, dan akhlak-akhlak mulia serta kesempurnaan jiwa lainnya. Penemuan baru akan mendorong masyarakat untuk lebih jauh menyibak kebenaran konsep akhlak, masalah perkembangan akhlak selama ini lebih banyak dipengaruhi oleh kurang adanya bukti riil dalam mempengaruhi peningkatan akhlak 63
masyarakat (Mansur, 2007: 229). Begitu juga jika ditelantarkan, tidak disentuh oleh pendidikan yang memadai atau tidak dibantu untuk menumbuhkan unsur-unsur kebaikan yang tersembunyi di dalam jiwanya atau bahkan dididik oleh pendidik yang buruk sehingga kejelekan menjadi kegemaran, kebaikan menjadi kebencian, dan perkataan serta perbuatan tercela mengalir tanpa rasa terpaksa, maka jiwa yang demikian disebut buruk, perkataan dan perbuatan tercela keluar darinya disebut akhlak tercela (akhlak madzmumah), seperti: menghina orang, khianat, dusta, putus asa, ghibah, mencela diri sendiri, berbuat kedzaliman dan berkata kotor. Di sini al-Qur‟an menjadi penyeru pada akhlak yang baik dan mengajak kepada pendidikan akhlak di kalangan kaum muslimin, menumbuhkannya di jiwa mereka, dan menilai keimanan seseorang dengan kemuliaan akhlaknya. Allah memuji nabi-Nya karena akhlaknya yang agung. Allah berfirman:
)ٗ( َّك لَ َعلى ُخلُ ٍق َع ِظي ٍم َ َوإِن
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. AlQalam: 4) Allah pun memerintahkan agar manusia berakhlak mulia. Allah berfirman:
ِ َّ ِ ِ ِ ٌّ ِك وب ي نَو ع َداوةٌ َكأَنَّو و )ٖٗ( يم ْ ْادفَ ْع بِالَِِّت ى َي أ ٌ ِل َْح َ ُ َ َ ُ َْ َ َ ََح َس ُن فَإ َذا الذي بَْي ن
“Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushshilat: 34) Tujuan dari pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an adalah terbentuknya akhlakakhlak yang terpuji dan mulia dalam diri manusia sebagaimana yang telah digambarkan dalam al-Qur‟an dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW, sehingga terwujudnya keselamatan dunia dan akhirat. Sedangkan materi pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an, meliputi: akhlak manusia kepada Allah, Rasulullah, diri sendiri, 64
sesama manusia dan alam sekitar (Zubaedi, 2011: 66). Metode yang di gunakan dalam pendidikan akhlak, antara lain: pengarahan, bimbingan, nasehat, motivasi dan suri tauladan yang baik. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pendidikan akhlak antara lain: 1. Faktor intern yaitu faktor yang ada pada diri manusia secara fitrah mempunyai bakat untuk membentuk akhlak. 2. Faktor ekstern yaitu faktor yang mempengaruhi kelakuan dan perbuatan manusia dari luar pribadi manusia yang meliputi: pengaruh keluarga, sekolah dan masyarakat. B. Pendidikan Akhlak yang Terdapat dalam Surat Maryam Ayat 41-42 dan Aktualisasinya dalam Pendidikan Karakter 1. Pendidikan Akhlak dalam Surat Maryam Ayat 41-42 Allah memberikan petunjuk kepada hambaNya melalui berbagai macam cara. Salah satunya Allah menurunkan al-Qur‟an sebagai pedoman manusia hidup di bumi ini agar selamat di dunia dan akhirat. Salah satunya surat Maryam ayat 41-42:
ِ ِ ِ ِ ِ واذْ ُكرِِف الْ ِكت ِ ال ِالَبِي ِو ياَب ِ ت ِِلَ تَ ْعبُ ُد َم َاال يَ ْس َم ُع َوَال َ َّ ِ انَّوُ َكا َن صدِّيْ ًقان,ب ابْ َرىْي َم َ َ ْ َ ََِّب (ٔٗ) ا ْذق ْ َ ِ يب )ٕٗ( ك َشْيئًا َ ص ُر َوَاليُ ْغ ِ ِْن َعْن ُْ
41. Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrāhīm di dalam Al Kitab (AlQur‟an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat mencintai kebenaran dan seorang Nabi. 42. (Ingatlah) ketika ia (Ibrāhīm) berkata kepada bapaknya; "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?. (QS. Maryam: 41-42). Setelah mengetahui dan memahami penafsiran surat Maryam ayat 41-42 yang telah dikemukakan oleh para ahli tafsir serta aspek-aspek pendidikan akhlak 65
yang ada di dalamnya, maka secara garis besar dalam ayat di atas mengandung nilai-nilai pendidikan akhlak yaitu berupa kejujuran (Shiddiq). Kata ) (ص ّدٌقshiddīq merupakan hiperbola dari kata ( )صدقshidq yang bearti benar, jujur, dan dapat dipercaya (M. Quraish Shihab, 2012: 458). Namun siddiq di sini lebih menjurus kepada sebuah sikap membenarkan sesuatu yang datang dari Allah SWT dan Rasulullah SAW yang timbul dari rasa dan naluri keimanan yang mendalam. Sifat jujur merupakan sifat wajib yang harus dimiliki oleh para nabi, tak terkecuali nabi Ibrāhīm yang menjadi pembahasan dalam surat ini. sifat-sifat ini harus teladani oleh manusia di bumi ini. Sifat jujur adalah sifat yang selalu benar dalam bersikap, ucapan dan perbuatanya. Seseorang yang hatinya telah tertanam oleh sifat jujur tidak akan ternodai oleh kebatilan, tidak pula mengambil sikap yang bertentangan dengan kebenaran, serta selalu tampak di pelupuk mata mereka yang haq. Sesungguhnya sifat yang paling nyata dari seorang nabi dan pembahwa wahyu Ilahi adalah bahwa mereka betul-betul menyampaikana perintah Allah kepada hamba-hamba Allah sepenuhnya. 2. Aktualisasi Surat Maryam Ayat 41-42 dalam Pendidikan Karakter Nabi Ibrāhīm AS dikenal dengan nabi yang sangat lemah lembut sifatnya, sesungguhnya Ibrāhīm adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun (QS. At-Taubah: 114) hal ini terlihat ketika nabi Ibrāhīm mengingkari ayahanda dan kaumnya, Ibrāhīm bahkan menentang ayahnya dengan kata-kata yang sopan dan masih menjaga kebaktiannya dan rasa 66
hormatnya kepada ayahnya. Begitu juga ketika Ibrāhīm mendebat kaumnya, “sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. (QS. AlAn‟am: 79) artinya saya tujukan ibadah dan tauhid saya kepada Allah semata beragama yang benar, yaitu condong kepada yang hak dan aku tidaklah berbuat syirik dalam ibadah kepada Allah (tafsir Ibnu katsir, 2008: 149-152). Dari kisah nabi Ibrāhīm di atas terdapat beberapa nilai-nilai pendidikan yang dapat kita aktualisasikan dalam pendidikan karakter, diantaranya: a. Menanamkan Sifat Jujur Sifat mulia yang dimiliki nabi Ibrāhīm yang dapat kita teladani berupa sifat jujurnya, sebagai karakter kenabiannya. Kita sebagai umat dapat membentuk karakter itu salah satunya melalui pendidikan. maka penyiapan sumberdaya manusia yang berkarakter menjadi keniscayaan. Artinya, pendidikan karakter suatu yang mutlak untuk menumbuhkan kesadaran manusia sebagai makhluk dan hamba Allah, yang seluruh rangkaian aktivitasnya senantiasa disandarkan pada nilai kebenaran dan kejujuran yang diajarkan dalam proses pendidikannya. karakter seseorang tidak bisa dibentuk secara instan atau sekadar lewat transfer pengetahuan (knowledge) atau
lewat aturan-aturan formal, tapi
harus memberi contoh konkrit para penyuaranya. Seseorang pendidik tidak cukup dengan menyuarakan tentang kebaikan, tentang berbuat benar, tapi
67
dirinya juga mesti menunjukkan sikap dan karakter yang baik dan berbuat benar.
b. Menanamkan Sifat Tauhid Kepada Anak Sejak Dini Telah dibahas ayat-ayat di atas mengenai tauhid nabi Ibrāhīm, maka kita sebagai umatnya hendaknya meneladani sifat tauhid tersebut dengan cara menanamkannya pada diri anak sejak dini. Penananman tauhid kepada anak yang merupaan proses pendidikan akhlak anak kepada Allah SWT. Dalam perspektif agama Islam keluarga (orang tua) sangat berpengaruh dalam pembentukan pilihan keyakinan dan sikap hidup yang akan dipilih oleh seorang anak/anggota keluarga. Karena setiap orang tua diperintahkan untuk berupaya semaksimal mungkin memelihara diri dari dan anggotanya dari perilaku yang dapat menjerumuskan diri dan dampak buruk baik di dunia maupun akherat (QS. at-Tahrim:6). Keluarga dengan demikian bertanggung jawab dalam mengembangkan budaya positif yang mendorong seluruh anggotanya keluarganya untuk memiliki semangat beribadah dan mengembangkan akhlaq mulia (Muhjidin, 2011: 30). Adapun cara dan materi penanaman tauhid untuk anak usia dini yang dapat diambil dari surat al Baqoroh 132, yaitu: 1) Mengajarkan Kalimat Tauhid 2) Mengenalkan dan Menanamkan Cinta Pada Allah.
c. Bersikap Lemah Lembut Kepada Orang Tua 68
Dari kisah nabi Ibrāhīm mengajarkan kepada umat Islam bahwa dalam mengajak kepada kebenaran atau dalam berdakwah kepada siapapun seorang da‟i harus melakukan dengan benar dengan cara tetap menjaga sopan santun dan menghargai mereka terlebih dahulu jika objek dakwah adalah kedua orang tua, maka wajib seorang da‟i untuk tetap menjaga sopan santun dan hormat kepada mereka. Hal ini berkaitan dengan apa yang dilakukan oleh nabi Ibrāhīm dalam al-Qur‟an surat Maryam ayat 41-42 “Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrāhīm di dalam Al Kitab (AlQur‟an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat mencintai kebenaran dan seorang Nabi. (Ingatlah) ketika ia (Ibrāhīm) berkata kepada bapaknya; "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?” Ketika mengajak dan menyeru ayahnya pada kebenaran nabi Ibrāhīm memanggil ayahnya dengan sebutan wahai ayahku. Ibrāhīm memulai setiap nasehatnya dengan kata ya abati sebagai penghubung dan penggugah hatinya (tafsir al-Qasimi, jilid 11 hlm. 120). d. Menanamkan Sifat Lemah Lembut dan Tegas dalam Membela yang Benar Nabi Ibrāhīm AS dalam menyampaikan kebenaran kepada kaumnya tetepa memegang teguh dalam sikap kelembutanya dan mendebatkan dengan sebaik-baiknya dengan menunjukkan hujjah-hujjah yang benar walaupun
kaumnya
mengancam
akan
membunuhnya
dengan
memasukkannya kedalam api. Ibrāhīm tidak takut karena kebenaran yang ia sampaikan. Ibrāhīm berkata: "Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit 69
dan bumi yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu". Sikap yang tegas merupakan sikap yang harus dimiki oleh pemimpin, maka sikap ini dapat kita tanamkan sikap ini pada anak didik sebagai generasi yang akan datang agar memiliki karakter yang tegas agar mampu menjadi pemimpin yang berkarakter dan tidak terombang ambing dalam perkembangan zaman.
70
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah penulis menguraikan mengenai pendidikam akhlak dalam al-Qur‟an surat Maryam ayat 41-42, maka dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Akhlak merupakan suatu perbuatan yang dimiliki manusia yang dilakuakan tanpa memerlukan pertimbangan pemikiran terlebih dahulu karena telah menjadi kebiasaan yang mantap. Pada dasarnya akhlak manusia itu ada dua macam, yaitu akahlak terpuji (al-akhlaq al-mahmudah) dan akhlak yang tercela (al-akhlak al-mazmumah). Untuk membentuk akhlak yang mulia perlu adanya suatu proses pendidikan. Pendidikan akhlak itu sendiri adalah suatu proses pengarahan manusia mengenai ajaran baik agar tercapai tujuan yang di cita-citakan, yaitu bahagia dunia dan akhirat dengan mendasarkan al-Qur‟an dan Hadist sebagai pedomannya. 2. Pendidikan akhlak yang terdapat dalam QS. Maryam ayat 41-42 secara garis besar mengandung nilai-nilai pendidikan kejujuran (siddiq). Selain itu aktualisasi ayat itu dalam pendidikan karakter berupa: menanamkan sifat jujur, menanamkan sifat tauhid kepada anak sejak dini, bersikap lemah lembut kepada orang tua, serta menanamkan sifat lemah lembut dan tegas dalam membela yang benar. B. Saran-Saran
71
Dari hasil penulisan skripsi ini, penulis menyampaikan saran-saran sebagai berikut: 1. Kepada Pendidik Pendidikan akhlak sangat berperan penting dalam upaya menciptakan individu dan masyarakat yang beradap. Karena pada dasarnya pendidikan akhlak itu mengenai perintah berperilaku mulia dan larangan berperilaku tercela. Hal itu telah nyata dan dijelaskan dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah, diantaranya adalah yang terkandung dalam surat Maryam ayat 41-42. Oleh karena itu, penulis menyarankan kepada pendidik agar penggalian ajaran tersebut dapat diaplikasikan atau diterapkan pada pendidik sebagai tauladan bagi pesertaa didik, dengan melakukan perbaikkan akhlak manusia dalam menjalani hidup di dunia. 2. Bagi Pembaca Hendaknya membenahi apabila menemukan kesalahan dalam skripsi ini agar sesuai dengan hasil yang diinginkan oleh penulis, yaitu memberi manfaat baik secara teoritis kepada dunia pendidikan dan secara praktis kepada pendidik dan para orang tua yang berperan dalam pembentukan akhlak yang mulia kepada anak.
C. Penutup Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang senantiasa memberikan petunjuk, kelancaran, dan kecerahan pikiran serta nikmat yang tak
72
terkira hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. tiada daya upaya melainkan dengan pertolongan-Nya. Alam yang sangat luas ini ibarat kitab, syair, lukisan, dan bangunan dengan tekstur yang amat indah. Tentu ilmu dan nikmat yang di sediakan Allah pada alam dan kita tidak terbatas. Penulis berharap apabila dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini belum memenuhi syarat, atas nama pribadi penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Karena penulis sendiri menyadari kita sebagai manusia yang jauh dari kesempurnaan dan tak luput dari salah dan lupa. Untuk pembaca hendaknya berkenan memberikan kritik dan saran yang membangun menuju perbaikan. Dengan saran tersebut semoga mampu memberikan semangat bagi penulis untuk memperbaiki karya-karya selanjutnya. Akhirnya, hanya ucapan terima kasih yang dapat penulis haturkan kepada semua belah pihak yang ikut membantu, memberi motivasi dengan segala kerendahan hati sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini jazzakumullah khaira jazza‟ teriring doa dan salam, sehingga skrispsi ini memberi manfaat kepada kita semua.
73
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, A. dan Salimi, N. (1994). Dasar-dasar Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Al-Abrasyi, M.A. (1970). Dasar-Dasar pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. . (2003). Dasar-Dasar pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Al-Adawi, M. (2006). Fiqh Akhlak. Jakarta: Qishti Press Al-Ghazali, I. (2003). Ihya „Ulum Al-Din juz III. Mesir: Isa Bab Al-Halaby tt. Al-Jumbulati, A. (2002). Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka Cipta. Al-Munawar,S.A.H. (2002). Fikih Hubungan Antar Agama. Jakarta: Ciputat Press Ali, A dan A. Zuhdi M. (2002). Kamus Kontemporer Arab Indonesia. Jakarta: Multi Karya Grafika. „Ali Ash-Shabuni, M. (1987). Syafwah At-Tafsir. Beirut: Dar Al-Qur‟an Al-Karim. Ash-Syaibany, O.M. (1979). Falsafah At-Tarbiyah Al-Islamiyah, terjemahan: Hasan Lunggalung. Jakarta: Bulan Bintang. Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (1976). Departemen Agama RI, Jakarta: Bumi Restu. Ar-Rifa‟i, M.N. (1989). Al-Qur‟an-Tafsir (Taisiru al-Aliyyui Qadir Ii Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3). Bandung: Maktabah Ma‟arif Riyadh. . (2008). Al-Qur‟an-Tafsir (Taisiru al-Aliyyui Qadir Ii Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3). Bandung: Maktabah Ma‟arif Riyadh. Asmuni, Y. (1993). Ilmu Tauhid. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Azra, A. (2012). Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III. Jakarta: UIN Jakarta Press. Budiarjo, A. (1987). Kamus Psikologi. Semarang: Dakara Prize. Daradjat, Z. (1990). Dasar-dasar Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Djatmika, R. (1985). Sistem Etika Islam. Surabaya: Pustaka Islam. Hadi, S. (1981). Metode Research. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Hasbullah. (2009). Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
74
Ibn Hanbal, I.A. (1991). Musnad Imam Ahmad bin Hanbal. Beirut: Darul Kutub al Ilmiyyah Ichwan, M.N. (2008). Memasuki Dunia Al-Qur‟an. Semarang: Lubuk Raya. Idhoh, A. (2008). Kaidah-Kaidah Ulumul Qur‟an. Pekalongan: Al Asri. Ilyas, Y. 2007. Kuliah Akhlak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. . (2000). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Imani, A.K.F. dan tim ulama. (2005). Tafsir Nurul Qur‟an. Jakarta: Al-Huda. Mahmud, A.A.H. (2004). Karakteristik Umat Terbaik, Telaah Manhaj, Akidah dan Harakah. Jakarta: Gema Insan Press. Mansur. (2007). Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Marimba, A.D. (1989). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: PT Ma‟arif. Maslakhudin, A. (2006). Modul Nahwu Shorof. Semarang: UNNES. Mas‟ud, A. (2012). Akhlak Tasawuf. Sidoarjo: CV Dwi Putri Pustaka Jaya. Masy‟ari, A. (2007). Akhlak Al-Qur‟an. Surabaya: Bina Ilmu. Munawir, A.W. (1997). Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif. Rahmaniah, I. (2010). Pendidikan Etika. Malang: UIN Maliki. Sabikah. (2012). Al-Qur‟an dan Terjemah. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Sarqawi, U.S. (2001). Zikir itu Nikmat. Bandung: Remaja Rosda Karya. Shadali, A. (2000). Ulumul Qur‟an. Bandung: Pustaka Setia. Shaleh, Q. (1990). Asbabun Nuzul (Latar Belakang History Turunnya Al-Qur‟an). Bandung: CV Diponegoro. Shihab, M.Q. (2012). Al-Lubab (Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah AlQur‟an). Tangerang: Lentera Hati. Slamet. (2007). Pengaruh Penerapan Kecakapan Hidup. Jakarta: UPI. Surin, B. (1991). Tafsir Al-Qur‟an Adz Dzikra lengkap (juz 16-20). Bandung: Angkasa. Syafri, U.A. (2014). Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur‟an. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Takariawan, C. (2003). Prinsip-Prinsip Dakwah. Yogyakarta: Izzan Pustaka.
75
Thoha, C.et, al. (1999). Metodologi Pengajaran Agama. Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo. Ulwan, A.N. (1992). Pendidikan Anak Menurut Islam (Kaidah-Kaidah Dasar). Bandung: Remaja Rosdakarya. Winarno. (1989). Pengantar Ilmiah Dasar Metode Teknik. Bandung: Tarsito. Ya‟qub, H. (1993). Etika Islam. Bandung: Diponegoro. Yunus, M. (1989). Kamus Arab – Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung. . (1996). Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung. . (2007). Kamus Arab – Indonesia. Jakarta: PT Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah. (2010). Kamus Arab – Indonesia. Jakarta: PT Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah. Zahruddin, AR. (2004). Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Zahruddin. (2004). Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Zainuddin, et,al. (1991). Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara. Zubaedi. (2011). Desain Pendidikan Karakter (Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan). Jakarta: Kencana Zuchdi, D, dkk. (2009). Pendidikan Karakter Grand Design dan Nilai-nilai Target. Yogyakarta: Uny Press. Zuhdi, M. (1997). Pengantar Ulumul Qur‟an. Surabaya: Karya Abditama. http://skripsi-tarbiyahpai.blogspot.co.id/2015/01/pengertian-pendidikan-akhlakmenurut.html. 10.00.13062016
76
77
78
79
80
81
82